CASE DSS edit Lagi.doc
Transcript of CASE DSS edit Lagi.doc
1
BAB I
LAPORAN KASUS
I.1. IDENTIFIKASI
Nama : An. AS
Umur : 4 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat badan : 13 kg
Tinggi badan : 95 cm
Agama : Islam
Suku Bangsa : Palembang
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Jl. Kamboja No. 1402 RT 22 RW 08 Kelurahan 20 Ilir,
Palembang
MRS : 1 Oktober 2012 pukul 01.00 WIB
I.2. ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan Ibu kandung penderita pada
tanggal 1 Oktober 2012 pukul 14.00 WIB.)
Keluhan Utama : Kaki dan tangan dingin
Keluhan Tambahan : Demam
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Sejak 5 hari SMRS penderita demam tinggi, mendadak, terus-menerus,
tidak menggigil, tidak berkeringat banyak. Batuk tidak ada, pilek tidak ada,
nyeri menelan tidak ada, sakit kepala tidak ada, nyeri otot ada, nyeri sendi
tidak ada, sakit belakang bola mata tidak ada, nyeri perut tidak ada. Bintik-
bintik merah di kulit tidak ada, mimisan tidak ada, perdarahan gusi tidak
ada. Mual dan muntah tidak ada, BAK tidak ada keluhan. BAB tidak ada
keluhan. Kemudian penderita dibawa berobat ke dokter spesialis anak dan
diberi 2 macam obat, yaitu obat racik, tapi tidak tahu namanya, dan
biostrum, keduanya diminum 3 x sehari. Demam turun, tapi berulang
kembali.
2
Sejak 2 hari SMRS, demam mulai turun. Bintik-bintik merah di kulit
tidak ada, mimisan ada, perdarahan gusi tidak ada, sakit kepala tidak ada,
nyeri otot ada, nyeri sendi tidak ada, sakit belakang bola mata tidak ada,
nyeri perut tidak ada. Mual dan muntah ada. frekuensi muntah 2 kali/hari,
banyaknya ± ¼-½ gelas belimbing, isi apa yang dimakan, muntah berwarna
hitam tidak ada. BAB tidak ada keluhan, BAK sedikit. Penderita tidak
dibawa berobat.
Sejak 1 hari SMRS kaki dan tangan penderita teraba dingin dan
lembab. Penderita tampak gelisah. Penderita tidak mau makan dan minum.
Penderita dibawa ke RS swasta. Selama perawatan 1 hari di sana, penderita
diberikan infus total 5 kolf.
Sejak 9 jam SMRS penderita mengalami muntah hitam dan BAB
hitam. Penderita tampak semakin lemah dan gelisah. Demam turun namun
tangan dan kaki penderita teraba dingin. Penderita dirujuk ke RSMH.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat sakit malaria disangkal
Riwayat bepergian ke luar daerah disangkal
Riwayat Penyakit dalam Keluarga:
Riwayat keluarga yang menderita DBD disangkal.
Riwayat Kehamilan Ibu dan Kelahiran:
GPA : P3A0
Penyakit/komplikasi kehamilan : (-)
Masa kehamilan : Cukup bulan
Partus : Spontan
Ditolong oleh : Bidan
Berat badan : 3000 gram
Panjang badan : 48 cm
Keadaan saat lahir : Langsung menangis
3
Riwayat Makanan
ASI : 0-3 tahun → tidak terjadwal, sesering anak minta
Bubur susu : 3-6 bulan → teratur, 4x 1 piring kecil/hari
Nasi tim : 6-9 bulan → teratur, 3x 1 piring kecil/hari
Nasi biasa : 9 bulan-sekarang → teratur, 3x 1 piring sedang/hari
Daging atau ayam → 1 potongan sedang, tiap hari
Telur → 1 butir, tiap hari
Ikan → 1 ekor ukuran kecil, 2x/minggu
Sayuran → ½ mangkuk kecil, 4x/minggu
Pisang/jeruk/pepaya/apel → 1 buah, tiap hari
Susu → 1 gelas/hari
Kesan: kualitas dan kuantitas makanan baik.
Riwayat Keluarga
Tn. I /39 th/SMA/Swasta Ny. S /34 thn/SMA/IRT
Os (4 th)
Riwayat Perkembangan
Tengkurap : 3 bulan
Merangkak : 5 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 10 bulan
Berbicara : 1,5 tahun
Kesan : Perkembangan dalam batas normal
4
Riwayat Imunisasi
BCG : (+), scar (+)
DPT : DPT I, II, III
Polio : Polio I, II, III,IV
Hepatitis B : Hepatitis B I, II, III
Campak : (+)
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
I.3. PEMERIKSAAN FISIK (1 Oktober 2012 pukul 14.00 WIB)
KEADAAN UMUM
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis, E4M6V5 GCS 15
Tekanan Darah : 90/60 mmHg, isi dan tegangan cukup
Nadi : 138 x/menit
Pernapasan : 52 x/menit, reguler
Suhu : 37,0˚C
Tinggi badan : 95 cm
Berat badan : 13 kg
Anemis : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Edema umum : tidak ada
Keadaan Gizi
BB/U = 13/16 x 100% = 81,25 %
TB/U = 95/101 x 100% = 94,05%
BB/TB = 13/14 x 100% = 92,85%
Z-score : BB/U = diantara persentil 0 dan -2 (normal)
TB/U = diantara persentil 0 dan -2 (normal)
BB/TB = diantara persentil 0 dan -1 (normal)
Kesan : gizi baik
5
KEADAAN SPESIFIK
Kepala
Kesan kepala : Normocephali
UUB : Menutup
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema palpebra
(+), refleks cahaya +/+, pupil bulat, isokor, diamater 3
mm, mata cekung (-)
Hidung : Sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Telinga : Sekret (-)
Mulut : Stomatitis angularis (-), atrofi papil lidah (-), mukosa bibir
dan mulut kering (+), sianosis sirkum oral (-), typhoid
tongue (-)
Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Leher : tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tekanan
vena jugularis tidak meningkat
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis & dinamis simetris, retraksi (+) interkostal,
epigastrium
Palpasi : Stemfremitus kanan melemah pada bagian basal
paru
Perkusi : Sonor pada lapangan paru kiri, redup pada paru
kanan mulai dari ICS IV.
Auskultasi : Vesikuler (+) normal pada paru kiri, vesikuler
melemah pada basal paru kanan, ronkhi basah
halus (+) pada paru kanan bawah, wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi tidak terlihat, iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
6
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR 138 x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Palpasi : Tegang, nyeri tekan (+), hepar dan lien sulit dinilai
Perkusi : Shifting Dulllness (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran
Ekstremitas : Akral dingin (+/+), edema (-), sianosis (-), ptechiae
spontan (-), hematom (+), CRT < 2 detik
Pemeriksaan Neurologi
Fungsi motorik Tungkai Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Reflek Fisiologis
Reflek Patologis
Luas
5
Eutoni
-
(+) normal
-
Luas
5
Eutoni
-
(+)
normal
-
Luas
5
Eutoni
-
(+) normal
-
Luas
5
Eutoni
-
(+) normal
-
Fungsi sensorik : normal
Nervi Craniales : normal
Gejala Rangsang Meningeal : (-)
I.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Darah Rutin (1 Oktober 2012)
Hb : 11,3 g/dl
7
Ht : 30 vol %
Leukosit : 11.000/mm3
LED : 2 mm/jam
Trombosit : 42.000/mm3
Hitung jenis : 0/0/2/45/38/15
Kimia Darah (1 Oktober 2012)
BSS : 117 mg/dl
Albumin : 1,9 g/dl
Natrium : 129 mmol/l
Kalium : 4,7 mmol/l
b. Foto Rontgen Thorax (1 Oktober 2012)
Kesan : efusi pleura (+)
I.5. RINGKASAN DATA DASAR
Seorang An. AS perempuan berusia 4 tahun datang ke IRD RSMH pada
tanggal 1 Oktober 2012 pukul 01.00 WIB dengan berat badan 13 kg, tinggi
badan 95 cm, berkebangsaan Indonesia, beragama Islam, beralamat Jl.
8
Kamboja No. 1402 RT 22 RW 08 Kelurahan 20 Ilir, Palembang, dengan
keluhan utama kaki dan tangan dingin.
Sejak 5 hari SMRS penderita demam tinggi, mendadak, terus-menerus.
Nyeri otot ada, Kemudian penderita dibawa berobat ke dokter spesialis anak
dan diberi 2 macam obat, yaitu obat racik, tapi tidak tahu namanya, dan
biostrum, keduanya diminum 3 x sehari. Demam turun, tapi berulang
kembali.
Sejak 2 hari SMRS, demam mulai turun. Mimisan ada, nyeri otot ada.
Mual dan muntah ada. frekuensi muntah 2 kali/hari, banyaknya ± ¼-½ gelas
belimbing, isi apa yang dimakan. Penderita tidak dibawa berobat.
Sejak 1 hari SMRS kaki dan tangan penderita teraba dingin dan
lembab. Penderita tampak gelisah. Penderita tidak mau makan dan minum.
Penderita dibawa ke RS swasta. Selama perawatan 1 hari di sana, penderita
diberikan infus total 5 kolf.
Sejak 9 jam SMRS penderita mengalami muntah hitam dan BAB
hitam. Penderita tampak semakin lemah dan gelisah. Demam turun namun
tangan dan kaki penderita teraba dingin. Penderita dirujuk ke RSMH.
Analisis Awal
Keadaan Umum
Kesadaran : compos mentis, GCS 15
TD : 90/60 mmHg
Nadi : 138 x/menit (I/T cukup)
Respirasi : 52 x/menit
Suhu : 37,0˚C
Keadaan Spesifik
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema palpebra
(+), mukosa bibir dan mulut kering (+), sianosis sirkum
oral (-), NCH (-), faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
tenang.
Thorax : Simetris, retraksi (+) intercosta, epigastrium,
9
Cor : BJ I dan II normal, bising (-)
Pulmonal : stem fremitus melemah pada basal paru
kanan, perkusi redup pada basal paru
kanan, vesikuler (+) melemah pada basal
paru kanan, ronkhi basah halus (+),
wheezing (-)
Abdomen : Cembung, tegang, hepar lien sulit dinilai, nyeri tekan (+),
shifting dullness (+), bising usus (+) normal
Ekstrimitas : Akral dingin (+/+), edema (-), sianosis (-), ptekie spontan
(-), hematom (+), CRT < 2 detik
I.6. DIAGNOSIS KERJA
Dengue Shock Syndrome (DSS)
I.7. PENATALAKSANAAN
Pasien post resusitasi di RS swasta
TD = 90/60 mmHg, N = 138x/m (I/T cukup), RR = 52 x/menit
Oksigen nasal 1L/menit
IVFD RL 10 cc/kgBB/jam
Simetidine 2 x 120 mg
Balance cairan per 6 jam
Kurva suhu per 6 jam
Observasi tanda perdarahan
Cek Hb, Ht, trombosit serial
Anjuran untuk banyak minum
I.8. PEMERIKSAAN ANJURAN
Rencana pemeriksaan serologi dengue : IgG dan IgM
I.9. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
10
Quo ad functionam : bonam
FOLLOW UP
Tanggal Keterangan
2-10-12 S: Sesak (+), demam (-), melena (-)
O: TD = 90/60 mmHg
N = 128 x/menit
RR = 48 x/menit
T = 37,20C
Keadaan spesifik:
Kepala : Napas cuping hidung (-), sklera ikterik (-), konjungtiva
palpebra pucat (-), edema konjungtiva (-)
Thorax : Simetris, retraksi (+) interkostal
Cor : BJ I dan II normal, bising (-)
Pulmo : stem fremitus melemah pada basal paru kanan, perkusi
redup pada basal paru kanan, vesikuler (+) melemah
pada basal paru kanan, ronkhi basah halus (+),
wheezing (-)
Abdomen : Cembung, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus
(+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”
Balance per 24 jam
I : 1870 cc
O : 1375 cc
IWL : 288 cc
B : +207 cc
D : 6,6 cc/kgBB/jam
A: DSS dengan perbaikan
11
P: O2 nasal 1 liter/menit (nasal)
IVFD RL 2 cc/kgBB/jam = 26 cc/jam D5% ¼ NS
Cimetidine 2 x 120 mg
Cek HB, Ht, Trombosit serial
Balance cairan per 12 jam
Kurva suhu per 6 jam
Diet BB 1150 kkal + protein 200 gr
Ht : (39 – 28) : 28 = 39,2 %
Hasil lab = Hb : 10,1 gr/dL; Ht : 28 vol%; Trombosit : 90.000/mm2
3-10-12 S: Sesak (-), demam (-), melena (-)
O: TD = 90/60 mmHg
N = 102 x/menit
RR = 36 x/menit
T = 36,10C
Keadaan spesifik:
Kepala : Napas cuping hidung (-), sklera ikterik (-), konjungtiva
palpebra pucat (-), edema konjungtiva (-)
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Cor : BJ I dan II normal, bising (-)
Pulmo : stem fremitus melemah pada basal paru kanan, perkusi
redup pada basal paru kanan, vesikuler (+) melemah
pada basal paru kanan, ronkhi basah halus (+),
wheezing (-)
Abdomen : Cembung, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus
(+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”
Balance per 6 jam
I : 200 cc
O : 240 cc
12
IWL : 71,875 cc
B : -111,875 cc
D : 0,9 cc/kgBB/jam
A: DSS dengan perbaikan
P: IVFD D5% ¼ NS gtt VI x/m
Cimetidine 2 x 120 mg
Cek HB, Ht, Trombosit serial
Balance cairan per 12 jam
Kurva suhu per 6 jam
Diet BB 1150 kkal + protein 200 gr
Hasil lab (2-10-12) = Hb : 10,6 gr/dL; Ht : 29 vol%; Trombosit :
146.000/mm2
Pemeriksaan rontgen thorax
Kesan: Efusi pleura minimal
13
4-10-12 S: Sesak (-), demam (-), melena (-)
O: TD = 90/60 mmHg
N = 98 x/menit
RR = 38 x/menit
T = 36,30C
Keadaan spesifik:
Kepala : Napas cuping hidung (-), sklera ikterik (-), konjungtiva
palpebra pucat (-), edema konjungtiva (-)
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Cor : BJ I dan II normal, bising (-)
Pulmo : stem fremitus melemah pada basal paru kanan, perkusi
redup pada basal paru kanan, vesikuler (+) melemah
pada basal paru kanan, ronkhi basah halus (+),
wheezing (-)
Abdomen : Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)
normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”
Balance per 12 jam
I : 550 cc
O : 650 cc
IWL : 143,75 cc
B : 243,75 cc
D : 6,1 cc/kgBB/jam
A: DSS dengan perbaikan, bebas demam 3 hari
P: IVFD D5% ¼ NS gtt VI x/m
Cimetidine 2 x 120 mg
Hasil lab = Hb: 9,7 gr/dL; Ht: 28 vol%; Trombosit: 176.000/mm3
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Syok
Syok didefinisikan sebagai gangguan sirkulasi yang mengakibatkan
penurunan kritis perfusi jaringan vital atau menurunnya volume darah
yang bersirkulasi secara efektif. Kekurangan oksigen dalam keadaan syok
ini akan diimbangi dan dikompensasi oleh metabolisme anaerob, namun
bila kekurangan perfusi tidak dapat diperbaiki, lama kelamaan
metabolisme anaerob dengan glukosa akan menimbulkan asidum laktikum
dan asidum piruvikum, sehingga terjadi asidosis metabolik, yang
mengganggu kehidupan sel-sel. Dengan demikian, hipoksia jaringan akibat
kekurangan perfusi yang berlangsung terlalu lama dan progresif akan
merusak sel-sel dan akhirnya akan menyebabkan kematian.
2.2. Klasifikasi Syok
Menurut Hinshaw dan Cox (1972), klasifikasi dari syok yaitu:
1. Syok hipovolemik, merupakan jenis syok yang paling sering terjadi
akibat volume sirkulasi yang tidak mencukupi. Merupakan penyebab
utama hilangnya cairan dari sirkulasi, baik itu karena perdarahan,
adanya fistula, luka bakar yang luas, ataupun pada penyakit demam
berdarah dengue grade III.
2. Syok kardiogenik, merupakan tipe syok yang disebabkan karena
gagalnya jantung untuk memompa secara efektif. Hal ini bisa
disebabkan karena kerusakan dari otot jantung, yaitu terjadi myokard
infark yang luas. Penyebab lain dari syok kardiogenik yaitu aritmia
jantung, cardiomiopati, gagal jantung kongestif (CHF), contusio cordis,
ataupun kelainan katup.
3. Syok distributif, merupakan syok hipovolemik yang disebabkan karena
volume darah yang tidak mencukupi di dalam sirkulasi. Merupakan
15
jenis syok yang disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah. Adapun
contoh dari syok tipe ini yaitu:
a. Syok septik, disebabkan oleh infeksi kuman dalam jumlah besar
yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi. Bakteri gram negatif,
contohnya Escherichia coli, spesies Proteus, Klebsiella pneumoniae
yang mengeluarkan endotoksin yang menyebabkan perubahan
biokimia, imunologi, dan biasanya efek neurologi yang berbahaya
pada tubuh. Gram positif coccus, seperti pneumococcus dan
streptococcus serta jamur yang dapat menghasilkan toksin yang
hampir mirip dengan toksin gram positif yang menghasilkan sindrom
yang mirip dengan endotoksin.
b. Syok anafilaktik, disebabkan karena reaksi anafilaktik yang berat
terhadap allergen, antigen, obat atau protein asing yang memicu
terlepasnya histamin sehingga terjadi vasodilatasi yang meluas
menyebabkan hipotensi dan peningkatan permeabilitas kapiler.
c. Syok neurogenik, merupakan syok yang paling jarang terjadi. Syok
ini disebabkan oleh trauma pada spinal cord sehingga hilangnya
refleks otonom dan motorik secara tiba-tiba pada wilayah dibawah
segmen yang cedera. Tanpa adanya stimulasi dari sistem saraf
simpatis, maka relaksasi dinding pembuluh darah tidak terkontrol,
menyebabkan terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer
secara tiba-tiba sehingga terjadi vasodilatasi dan hipotensi.
4. Syok Obstruktif, pada kondisi ini terjadi obstruksi aliran darah yang
menghambat sirkulasi dan dapat menyebabkan circulatory arrest.
Menurut McCance dan Huether syok terbagi atas:
1. Syok hipovolemik
2. Syok kardiogenik
3. Syok neurogenik
4. Syok anafilaktik
5. Syok septik
16
Sedangkan menurut Rice, syok neurogenik, anafilaktik dan septik
termasuk dalam syok distributif.
Dalam buku ATLS (Advanced Trauma Life Support) syok terbagi
dalam 2 kelompok besar yaitu syok hemoragik dan syok non hemoragik,
dimana syok kardiogenik, neurogenik dan syok septik termasuk didalam
syok non hemoragik.
2.3. Definisi Infeksi Dengue
Infeksi dengue adalah suatu infeksi Arbovirus akut, ditularkan oleh
nyamuk spesies Aedes, dan sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe di
Indonesia, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.1
Demam dengue (DD) adalah penyakit demam akut dengan
berbagai macam maifestasi klinis diantaranya demam ringan atau demam
tinggi mendadak, bintik kemerahan, sakit kepala, nyeri belakang bola
mata, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah.1
Demam berdarah dengue (DBD) ditandai dengan empat kriteria
yaitu, demam tinggi akut, manifestasi perdarahan diantaranya dengan uji
bendung, perdarahan di bawah kulit, mukosa, dan perdarahan saluran
gastrointestinal, trombositopenia, dan manifestasi plasma leakage yaitu
hemokosentrasi, timbunan cairan di paru atau abdomen. Derajat DBD
dibagi menjadi empat yaitu derajat 1, 2, 3, dan 4. Derajat 3 disebut juga
Dengue shock syndrome (DSS) yaitu, sindrom syok yang terjadi pada
penderita Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah
Dengue.1
2.4. Epidemiologi
DBD masih menjadi masalah kesehatan utama di Asia dan Pasifik
khususnya Indonesia. Angka kematian DSS di rumah sakit masih tinggi.
Data di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM antara 1 Januari
2003 sampai dengan 30 Juni 2004 didapatkan jumlah kasus DBD yang
dirawat sebanyak 263 pasien. Jumlah kasus DSS pada periode tersebut
17
sebesar 31,7% DBD derajat III, diikuti DBD derajat II sebesar 30,7% dan
DBD ensefalopati pada DBD derajat IV sebesar 1%.2
Sejak tahun 2004 kasus DBD terus meningkat dan meluas sampai
lebih dari 350 kabupaten/kota. Peta insiden DBD di Indonesia pada tahun
2009 memperlihatkan seluruh wilayah jawa insidensinya lebih dari 3,5 per
10.000 penduduk dan di Jawa Tengah sendiri sebesar 5,6/ 10.000
penduduk. Meski sejak tahun 2007 angka kematian sudah berada di bawah
2%, namun yang dijadikan indikator nasional adalah masih diatas 1%.2
2.5. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106. Terdapat 4 serotipe virus
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis
serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak
menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang
yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4
kali seumur hidupnya. Dengue adalah penyakit daerah tropis dan
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah
yang menggigit pada siang hari. Faktor resiko penting pada DHF adalah
serotipe virus, dan faktor penderita seperti umur, status imunitas, dan
predisposisi genetis.1
2.6. Patofisiologi
Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan
patogenesis pada DBD dan DSS yaitu hipotesis infeksi sekunder
(secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody dependent
enhancement (ADE).3
1) Teori Infeksi Sekunder (secondary heterologous infection)
18
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses
kekebalan terhadap infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka
waktu yang lama. Pengertian ini akan lebih jelas bila dikemukakan
sebagai seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue,
akan mempunyai antibodi yang dapat menetralisir antigen yang sama
(homologous).
Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan
serotipe virus yang berbeda, maka terjadi infeksi yang berat. Hal ini
disebabkan karena pada infeksi selanjutnya, antibodi heterologous yang
telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan
virus dengue baru yang berbeda serotipe, namun tidak dapat dinetralisir.
Virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius.
Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus
dengan serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising
antibody maka partikel virus DEN (dengue) dan molekul antibodi IgG
membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks
tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari IgG
menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN.
Kompleks virus antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan
antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga
makrofag mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan
memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF alpha dan juga “Platelet Activating
Factor” (PAF).
Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di
neutralisasi tetapi bebas bereplikasi di dalam makrofag. TNF alpha baik
yang terangsang INF gama maupun dari makrofag teraktivasi antigen
antibodi kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran
dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh
yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang
19
mekanismenya sampai saat ini belum jelas. Hal tersebut akan
mengakibatkan syok.
Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan
merangsang komplemen, yang farmakologis cepat dan pendek. Bahan
ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan
kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.
Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan
riwayat pernah terinfeksi virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari
ibu ke anak maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi “Non
Neutralizing Antibodies” akibat adanya infeksi yang persisten, sehingga
infeksi baru pertama kali sudah terjadi proses “Enhancing” yang akan
memacu makrofag sehingga mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan
mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Bahan- bahan
mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh
darah dan system hemostatik yang selanjutnya mengakibatkan
kebocoran plasma dan perdarahan.
2) Teori ADE (antibody dependent enhancement).
Pada teori kedua (ADE), menyebutkan tiga hal yaitu antibodies
enhance infection, T-cells enhance infection serta limfosit T dan
monosit akan melepaskan sitokin yang berkontribusi terhadap
terjadinya DBD dan DSS. Singkatnya secara umum ADE dijelaskan
sebagai berikut, bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis
virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi
sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh merupakan
antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan
penyakit yang berat.
Kinetik dari kelas imunoglobulin spesifik terhadap virus dengue
di dalam serum pasien DD, DBD dan DSS ternyata didominasi oleh
IgM, IgG1 dan IgG3, sedangkan IgA level tertinggi dijumpai pada fase
akut dari DSS. Dikatakan pula bahwa IgA, IgG1 dan IgG4 dapat
digunakan sebagai marker dari risiko berkembangnya DBD dan DSS,
20
oleh karenanya pengukuran kadar imunoglobulin tersebut sejak awal
pengobatan dapat membantu mengetahui perkembangan penyakit.
3) Teori virulensi virus
Disamping kedua teori tersebut masih ada teori-teori lain
tentang patogenesis dari DBD, diantaranya adalah teori virulensi virus
yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue Den-1, Den-2,
Den-3 dan Den-4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus
yang fatal, tetapi berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain.
4) Teori antigen-antibodi
Teori antigen-antibodi, dimana pada teori ini berdasarkan
kenyataan bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktivitas
sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan dari kadar C3, C4
dan C5. Disamping itu 48-72% penderita DBD terbentuk kompleks
imun antara IgG dengan virus Dengue, selanjutnya kompleks imun
tersebut dapat menempel pada trombosit, sel B, dan sel-sel dalam organ
tubuh lain. Terbentuknya kompleks imun tersebut akan mempengaruhi
aktivitas komponen sistem imun yang lain.
5) Teori mediator
Menurut teori mediator, makrofag yang terinfeksi virus Dengue
akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12,
TNF dll. Diperkirakan mediator dan endotoksin bertanggung jawab atas
terjadinya syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya
berselang beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, akan
tetapi derajad kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan
tidak cukup untuk menjadikan penyebab kematian dari infeksi virus
tersebut melainkan lebih disebabkan oleh gangguan metabolik.
Diketahui juga bahwa akibat dari replikasi virus di dalam sel mulai dari
terjadinya stres dari sel sampai kematian sel apoptotik, baik in vitro
maupun in vivo. Mekanisme pertahanan tubuh melalui apoptosis dan
aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal (local
21
tissue injury) atau ketidakseimbangan homeostasis dan selanjutnya
memicu efek yang lain.
Sistem HLA/MHC pada umumnya berperan dalam pengawasan
dan regulasi respons imun. Peran dalam regulasi respons imun berupa
proses pengenalan antigen, yang berlanjut pada proses aktivasi sistem
imun dan proses sitotoksisitas antigen berdasarkan ekspresi molekul
HLA/MHC kelas I (lokus A,B,C) dan kelas II (lokus D/DR,DQ,DP).
Penelitian membuktikan bahwa patogenesis DBD/DSS umumnya
disebabkan oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag
yang terinfeksi virus Dengue akan mensekresi monokin yang berperan
dalam proses patogenesis dan gambaran klinis DBD/DSS.
Pada penelitian invitro dendritic Cell yang terinfeksi virus
dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR,
CD11b dan CD83. Anehnya DC yang terinfeksi virus dengue ini
sanggup memproduksi TNF-α dan IFN-α, namun tidak mensekresi IL-6
dan IL-12. Oberholzer dkk, 2002, menjelaskan bahwa IL-10 dapat
menekan proliferasi sel T.Jadi IL-10 sebagai sitokin proinflamasi
tampaknya berperan dalam respons imun yang diperantarai limfosit
Th1, yang dikatakan berperan pada infeksi virus pada umumnya.
Pada infeksi fase akut terjadi penurunan dari populasi limfosit
CD2+ dan berbagai subsetnya CD4+ dan CD8+. Juga terjadi penurunan
respon proliferatif dari sel-sel mononuklear baik terhadap rangsangan
mitogen maupun antigen virus Dengue, sebaliknya pada fase
konvalesen respon proliferatif kembali normal.
Terjadi peningkatan konsentrasi IFN-α, TNF-α, IL-10 dan
reseptor TNF terlarut di dalam plasma pasien DBD/DSS. Peningkatan
TNF-α berkorelasi dengan manifestasi hemoragik, sedangkan kenaikan
IL-10 berhubungan dengan platelet decay. Disimpulkan bahwa pada
infeksi virus Dengue fase akut terjadi penekanan jumlah maupun fungsi
dari limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF-α berperan penting
22
dalam severity dan patogenesis DBD/DSS, begitu juga meningkatnya
IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit T dan fungsi trombosit.
Hipotesis tentang patogenesis DBD/DSS seperti antibody-
dependent enhancement, virus virulence, dan imunopatogenesis yang
diprakarsai oleh IFN-α/TNF-α dianggap belum cukup untuk menjawab
terjadinya trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD/DSS.
Infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh
berupa perubahan dari rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan
dapat menginfeksi sel-sel endotel dan hepatosit dengan akibat
terjadinya apoptosis serta disfungsi dari sel-sel tersebut.
Begitu juga sistem koagulasi dan fibrinolisis ikut teraktivasi
selama infeksi virus dengue. Gangguan terhadap respon imun tidak
hanya berupa gangguan dalam membersihkan virus dari dalam tubuh,
akan tetapi over produksi sitokin dapat mempengaruhi sel-sel endotel,
monosit dan hepatosit. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang
otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan
besar dalam terbentuknya otoantibodi anti-trombosit dan anti-sel
endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi.
Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas
terjadi pada pasien DBD dan DSS disebabkan oleh kerja bersama
seperti suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin dan
kematian sel apoptotik. Dihipotesiskan bahwa peningkatan sintesis IL-8
memegang peran penting dalam terjadinya kebocoran plasma pada
pasien DBD dan DSS. Hal ini dapat dilihat dalam serum pasien
DBD/DSS berat terjadi peningkatan level IL-8. Secara in vitro melalui
kultur primer dari monosit manusia yang diinfeksi dengan virus dengue
tipe 2, terjadi peningkatan level IL-8 dalam supernatan kultur, yang
diperkirakan karena terjadi peningkatan aktivasi dari NF-kappa B.
Penelitian terhadap anak di Vietnam dengan DBD dan DSS
menyebutkan bahwa pada anak dengan DSS, level IL-6 dan soluble
intercellular adhesion molecule-1 rendah. Hal ini merefleksikan adanya
23
kehilangan protein dalam sirkulasi karena kebocoran kapiler dan hanya
level dari reseptor TNF terlarut (TNFR) yang meninggi seiring dengan
beratnya penyakit.
2.7. Manifestasi Klinis
a) Demam Dengue
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari),
kepustakaan lain 1-7 hari. awal penyakit biasanya mendadak, disetai
gejala prodromal meliputi nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh,
anoreksia, rasa menggigil dan malaise. Terdapat trias yaitu demam
tinggi, nyeri anggota badan dan timbul ruam. Ruam timbul pada 6-12
jam sebelum suhu naik pertama kali yaitu pada hari sakit ke 3-5
berlangsung 3-4 hari, kepustakaan lain menyebutkan 24-48 jam setelah
timbul demam. Ruam bersifat makulopapular, generalis dan
menghilang pada tekanan.4,5
Pada lebih dari separuh pasien, gejala yang timbul mendadak
disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang bola mata,
punggung, otot, sendi disertai rasa menggigil. Beberapa penderita
dijumpai demam bifasik atau menyerupai pelana kuda, tetapi tidak
dianggap patognomonik karena tidak dijumpai pada setiap pasien.5
Sering pula dijumpai anoreksia, obstipasi, rasa tak nyaman
epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek. Pula fotofobi,
keringat bercucuran, serak, batuk, epistaksis dan disuria. Kelainan darah
tepi berupa leukopeni selama periode prademam dan demam, neutofilia
relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis
pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesen. Eosinofil
menurun dan menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit ,
hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel
plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan
terdapatnya tombositopeni. Darah tepi menjadi normal kembali dalam
satu minggu.5,6
24
b) Demam Berdarah Dengue
Ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi mendadak dan
terus-menerus, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali
dan kegagalan peredaran darah. Lama demam 2-7 hari, suhu dapat
mencapai 40-41°C Juga dapat ditemui uji tourniket yang positif, memar
dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Epistaksis dan
perdarahan gusi jarang ditemui terlebih perdarahan saluran cerna yang
biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan
lain seperti perdarahan subkonjungtival kadang-kadang ditemukan.
Pada masa konvalesen seringkali ditemukan eritema pada telapak
tangan/telapak kaki.5,6
WHO menggunakan kriteria sebagai berikut untuk mendiagnosis
demam dengue dan demam berdarah dengue:7
Demam dengue ditandai gejala klinis berupa demam diikuti ≥ 2
gejala : nyeri kepala, muntah,nyeri perut, nyeri otot, nyeri sendi, rash;
mungkin disertai manifestasi perdarahan berupa uji tourniket positif
dan/atau perdarahan spontan; tidak terbukti terjadinya peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, nilai hematokrit maksimal < 44%;
mungkin terdapat trombositopeni. Sedangkan pada demam berdarah
dengue gejala klinis harus disertai manifestasi perdarahan baik dengan
uji tourniket positif dan/atau perdarahan spontan; terbukti terjadinya
peningkatan permeabilitas kapiler dengan nilai hematokrit maksimal ≥
44%; hitung trombosit mimimal ≤ 100.000/mm3.
c) Dengue Shock Syndrome
Pada DSS setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan
umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau
setelah demam menurun, yaitu pada hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat
diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis. Pada
sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit
teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat
dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah dan secara cepat masuk dalam
25
fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri didaerah perut sesaat
sebelum syok. Nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan
gastrointestinal. Nyeri daerah retrosternal tanpa sebab yang jelas dapat
memberi petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal yang hebat. Syok
yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis
yang buruk. Disamping kegagalan sirkulasi syok ditandai oleh nadi
lembut, cepat, kecil, sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun
sampai 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80
mmHg atau lebih rendah.5,6
2.8. Penegakan Diagnosis
Hingga kini diagnosis DBD/DSS masih didasarkan atas patokan
yang telah dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang terdiri dari 4
kriteria klinik dan 2 kriteria laboratorik dengan syarat bila kriteria
laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria klinik pertama, dengan
ketepatan diagnosis 70-90% atau 87%.7
Kriteria Klinik:
Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari,
dengan sebab tidak jelas dan hampir tidak dapat dipengaruhi oleh
antipiretik maupun surface cooling.
Manifestasi perdarahan :
a. Dengan manipulasi yaitu uji tourniket positif
b. Spontan yaitu petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis dan melena.
c. Pembesaran hati
d. Syok yang ditandai dengan nadi yang lemah dan cepat sampai tak
teraba, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau sampai nol,
tekanan darah (sistolik) menurun menjadi 80 mmHg atau sampai
nol, disertai kulit yang teraba lembab dan dingin terutama pada
ujung jari tangan, kaki dan hidung, penderita menjadi lemah,
gelisah sampai menurunnya kesadaran dan timbul sianosis di
sekitar mulut.
26
Kriteria Laboratorik :
a. Trombositopeni : jumlah trombosit ≤ 100.000/mm.
b. Hemokonsentrasi : meningginya nilai hematokrit atau Ht ≥ 20%
dibandingkan dengan nilai pada masa konvalesen.
Mengingat derajat beratnya penyakit bervariasi dan sangat erat
kaitannya dengan pengelolaan dan prognosis, maka WHO membagi DBD
dalam 4 derajat setelah kriteria laboratorik terpenuhi yaitu:7
a. Derajat I : Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala tidak khas dan
satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniket positif.
b. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan dikulit dan
atau perdarahan lain.
c. Derajat III : Derajat II ditambah kegagalan sirkulasi ringan yaitu nadi
cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg) atau hipotensi
(sistolik ≤ 80 mmHg) disertai kulit yang dingin, lembab dan penderita
gelisah.
d. Derajat IV : Derajat III ditambah syok berat dengan nadi yang tak
teraba dan tekanan darah yang tak terukur, dapat disertai dengan
penurunan kesadaran, sianosis dan asidosis.
Derajat I dan II disebut DBD/DHF tanpa renjatan sedang derajat III dan IV
disebut DBD/DHF dengan renjatan atau DSS.
2.9. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar
hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi
untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit
plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell
culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-
PCR (Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun
27
karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi
adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM
maupun IgG.
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya
limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang
pada fase syok akan meningkat.
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya
dimulai pada hari ke-3 demam.
Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-
Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan
atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran
plasma.
SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan
diberikan transfusi darah atau komponen darah.
Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap
dengue.
IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat
pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan
surveilans.7
28
b. Pemeriksaan radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada
sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi
badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan pemeriksaan USG.7
2.10. Diagnosis Banding
Demam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan
virus yang luas. Pada hari-hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan
dari morbili dan ITP yang disertai demam. Pada hari demam ke3-4,
kemungkinan diagnosis DBD akan semakin besar, apabila gejala klinis
lain seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran hati menjadi nyata.
Kesulitan kadang-kadang dialami dalam membedakan syok pada DBD
dengan sepsis; dalam hal ini trombositopeni dan hemokonsentrasi
disamping penilaian gejala klinis lain seperti tipe dan lama demam dapat
membantu.5,6
Semua penyakit dengan demam tinggi mendadak meliputi: Faringitis akut;
ISK akut; Infeksi susunan saraf akut; Malaria; Proses supurasi;
Chikungnya dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.8
2.11. Penatalaksanaan
DBD dengan renjatan8
Prinsip pengobatan meliputi: atasi segera hipovolemi, lanjutkan
penggantian cairan yang masih terus keluar dari pembuluh darah selama
12-24 jam , atau paling lama 48 jam, koreksi keseimbangan asam-basa,
beri darah segar bila ada perdarahan hebat.
1. Mengatasi renjatan.
Sebaiknya diberikan cairan kristaloid yang isotonis atau yang
sedikit hipertonis. Cairan yang dapat dipakai: Ringer Laktat (RL);
Glukose 5% dalam half strength NACL 0,9%; RL-D5, dibuat dengan
29
menambahkan 6,25 cc RL dengan 6,25 cc D40%; atau NaCl 0,9% :
D10 ditambahkan Natrium bikarbonas 7,5% sebanyak 2 cc/kgBB.
Plasma/plasma ekspander. Diperlukan pada penderita renjatan
berat atau bila tidak segera mengalami perbaikan dengan cairan
kristaloid diatas. Bila dapat cepat disiapkan, diberikan sebagai
pengganti cairan pertama lalu setelah itu cairan pertama dilanjutkan
lagi. Bila setelah pemberian cairan pertama nilai hematokrit masih
tinggi dan hitung trombosit masih rendah. Dosis 10-20 cc/kgBB dalam
1-2 jam. Bila nadi/tekanan darah masih jelek atau Ht masih tinggi,
dapat ditambahkan plasma 10 cc/kgBB setiap jam sampai total 40
cc/kgBB. Yang digunakan seperti Plasbumin (Human albumin 25%),
Plasmanate (plasma protein fraction 5%), plasmafuchsin, Dekstran L40.
Dosis/kecepatan pemberian cairan kristaloid. Dosis yang biasa
diberikan ialah 20-40 cc/kgBB diberikan secepat mungkin dalam 1-2
jam. Untuk renjatan yang tidak berat, cairan diberikan dengan
kecepatan 20 cc/kgBB/jam dan dapat diulang hingga 2 kali, bahkan bila
vena kolaps dimana pemberian yang diharapkan tidak dapat dicapai,
maka dapat diberikan dengan semprit secara cepat sebanyak 100-200
cc. Untuk menentukan guyur tidaknya pemberian cairan, maka
dilakukan pengukuran central venous pressure (CVP/JVP) dengan
pemasangan kateter vena sentralis biasanya pada v. Basilica lengan kiri
atau kanan, apabila nilai kurang dari 5 maka cairan diguyur sampai
nilai=5 dan dipertahankan antara 5-8 cm H20.
2. Cairan maintenance
Jenis cairan yang dapat diberikan:
D5/10 : NaCl 0,9 = 3:1, untuk anak besar dan anak bayi 4:1
D5 dalam NaCl 0,225 , kedalam cairan ini ditambahkan KCl 10
mEq, Vitamin B komplek dan vitamin C secukupnya.
D5/10 + KCl 10 mEq/botol, bila kadar natrium dan klorida dalam
serum tinggi.
NaCl 0,9 : D10 aa
30
⅔ cairan kristaloid + ⅓ cairan plasma ekspander
Atau cairan rekomendasi dari WHO, berupa:
Ringer laktat (RL), atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat (D5/RL)
Ringer asetat (RA), atau dekstrosa 5% dalalm ringer asetat
(D5/RA)
NaCL 0,9% (garam faali=GF), atau dekstrosa 5% dalam garam
faali (D5/GF)
3. Kecepatan/Dosis cairan maintenance
Setelah renjatan teratasi dan penderita mulai masuk kedalam stadium
penyembuhan, maka pemberian cairan hendaknya dilakukan secara
hati-hati karena dapat terjadi hipervolemia, hal ini karena cairan yang
terdapat di ruang ekstravaskular mulai direabsorbsi kedalam vascular.
Dosis yang sering digunakan ialah 100-150 ml/kgBB/24 jam.
4. Tranfusi darah
Sebaiknya darah segar; pada perdarahan hebat baik hematemesis,
melena atau epistaksis yang memerlukan tamponade; bila setelah 24-48
jam setelah pengobatan renjatan anak jatuh ke dalam renjatan lagi
walaupun belum terlihat perdarahan; pada kadar hematokrit yang
rendah (< 35-40%) tetapi anak masih syok; Dosis 10-20 ml/kgBB,
dapat ditambah bila perdarahan berlangsung terus2. Pada perdarahan
gastrointestinal hebat (kadang dapat diduga dari menurunnya Hb dan Ht
sedang perdarahan sendiri tidak kelihatan).
5. Obat-obatan
Antibiotik. Diberikan bila prolonged shock, ada infeksi sekunder,
sebagai profilaksis. Dapat digunakan : Ampisilin 400-800
mg/kgBB/hari IV atau Gentamisin 2 x 5mg/kgBB/hari IV.
Antivirus. Seperti isoprinosin. Masih kontroversial, mungkin
bermanfaat pada stadium dini.
Heparin diberikan pada penderita prolonged shock dimana DIC
diduga sebagai penyebab perdarahan (penurunan trombosit <
75000/mm³ dan fibrinogen < 100mg%), dosis 0,5 mg/kgBB IV tiap 4-6
31
jam. Sedang menurut Sumarmo (1981) pemakaian heparin kurang
mengesankan.
Dipyridamol dan asetosal. Maksud pemberian obat ini adalah untuk
mencegah adhesi dan agregasi trombosit dalam kapiler, pula mencegah
permulaan terjadinya DIC. Sumarmo (1983) tidak menganjurkan
pemakaian asetosal pada penderita dengan kecenderungan perdarahan.
Carbazochrom Sodium Sulfonat (AC 17). Beberapa peneliti
menggunakan obat ini pada penderita DSS yang disertai dengan
perdarahan saluran cerna yang hebat. Cara kerja obat ini adalah
menekan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, memiliki aktivitas
plasma ekspander, mempersingkat waktu perdarahan. Funahara dkk.
(1986) serta Sugiyanto dkk. (1987) memberikan preparat ini dengan
cara berikut:
Hari I : suntikan 25 mg IV dilanjutkan infus secara kontinyu
dengan dosis 300 mg/hari dalam larutan RL selama 24 jam.
Hari II : infus AC 17 dengan dosis 3 x 100 mg/hari
Hari III : infus dengan dosis 3 x 50 mg/hari
Hari IV : pemberian obat dihentikan.
Ternyata efektivitas cukup memuaskan dengan menekan
kebocoran plasma dan mengurangi perdarahan. Sedangkan Sachro dkk.
(1987) di Semarang tidak mendapat perbedaan yang bermakna antara
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Dopamin. Dipertimbangkan pada penderita DSS dengan renjatan
yang belum dapat teratasi, walau telah diberikan cairan yang adekuat.
Dosis 5-10 mcg/kgBB/menit IV setiap 4-6 jam.
Sedativa dan antikonvulsan. Diberikan pada penderita DSS yang
amat gelisah dan kejang. Dapat diberikan Diazepam 0,3-0,5
mg/kgBB/dosis IV atau Klorhidrat 12,5-50 mg/kgBB Oral atau Rektal
hanya satu kali (dosis maksimal 1 gr).
32
Antasida. Dipertimbangkan pemberiannya pada penderita DSS
dengan muntah-muntah hebat dan nyeri epigastrium yang tidak jelas
dan disebabkan oleh pembesaran hati yang progresif.
Diuretika. Furosemida diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB/x, 1 x
sehari bila ada tanda/gejala overhidrasi.
Digitalisasi cepat dapat diberikan pada penderita dengan
gejala/tanda kegagalan jantung. Dosis 0,03 mg/kgBB untuk hari I.
6. Observasi penderita
Pengawasan dan pemantauan ketat merupakan hal terpenting untuk
mencapai keberhasilan.meliputi :
keadaan umum, tanda-tanda perdarahan (luar maupun organ
dalam), rasa lemas, keringat dingin, kesadaran.
TTV dipantau tiap jam dengan chart
Abdomen : hepatomegali, awasi nyeri epigastrium (awal syok)
Organ lain: jantung (takikardi supraventikular), paru (efusi pleura,
pernafasan kussmaul, edema paru akibat overhidrasi)
Urin tampung untuk memantau perbaikan perfusi ginjal
(keberhasilan therapy)
Laboratorium: Ht setiap 2 jam selama keadaan masih gawat, makin
jarang sampai 1 atau 2 kali per 24 jam bila keadaan membaik.
Trombosit bila perlu tiap 6 jam, minimal setiap hari. Plasma
protein (bila bisa) untuk menentukan keperluan pemberian plasma.
Kemungkinan DIC: masa perdarahan, masa pembekuan,
trombositopeni, morfologi eritrosit (burr cell, fragmentosit, helmet
cell), bila ada perdarahan merembes.
TATALAKSANA KASUS DSS ATAU DBDDERAJAT III DAN IV
DBD Derajat IVDBD Derajat III
33
1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 lt/menit) 2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/ Ringer asetat/ Nacl 0,9%20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi?
Pantau tanda vital tiap 10 menitCatat balans cairan selam pemberian cairan intravena
Syok teratasi Syok tidak teratasi
Keadaaan membaik Keadaan memburukNadi teraba kuat Nadi lembut/tidak teraba Tekanan nadi >20 mmHg Tekanan nadi <20 mmHgTidak sesak nafas/sianosis Distres pernafasan/sianosis Ekstremitas hangat Kulit dingin dan lembabDiuresis cukup 2 ml/kgBB/jam Ekstremitas dingin
Cairan dan tetesan disesuaikan 1. Lanjutkan cairan kristaloid 20 ml/kgBB/jam
10 ml/kgBB/jam 2.Tambahan koloid/plasma dekstran/FPP
Evaluasi ketat 10-20 (max 30) ml/kgBB/jam
Tanda vital Tanda perdarahan 3. Koreksi asidosisDiuresisPantau Hb, Ht, Trombosit Evaluasi 1 jam
Stabil dalam 24 jam
Tetesan 5 ml/kgBB/jam Syok belum teratasi
Tetesan 3 ml/kgBB/jam Syok teratasi Ht turun Ht tetap tinggi/naik
Infus stop tidak melebihi 48 jam Transfusi darah koloid 20 ml/kgBBSetelah syok teratasi segar 10 ml/kgBB
Diulang sesuai kebutuhan
Keterangan gambar 11Gambar 11. Tatalaksana kasus DSS (DBD derajat III dan IV)
34
1. Segera beri infus kristaloid (Ringer Laktat atau NaCl 0,9% ) 20 ml/kgBB
secepatnya( diberikan dalam lobus selama 30 menit) dan oksigen 2
liter/menit. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi
tidak terukur, diberikan ringer laktat 20 mg/kgBB bersama koloid).
Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6
jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 3 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat
belum dilanjutkan 20 ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma)
atau koloid (dekstran 40) sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB
(koloid diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan
secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah,keadaan nadi tiap 15
menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Kotreksi asidosis,elektrolit dan
gula darah.
2.12. Prognosis
Tergantung dari beberapa faktor seperti, lama dan beratnya
renjatan, waktu, metode, adekuat tidaknya penanganan; ada tidaknya
rekuren syok yang terjadi terutama dalam 6 jam pertama pemberian infus
dimulai, panas selama renjatan, tanda-tanda serebral.8
2.13. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi berupa syok ringan/berat, syok
berulang, kegagalan pernafasan akibat edema paru atau kolaps paru, efusi
pleura, asites, ensefalopati dengue, kegagalan jantung, sepsis.8
BAB III
ANALISIS KASUS
35
Dari hasil anamnesis didapatkan an.A, perempuan, 4 tahun datang dengan
keluhan utama kaki dan tangan yang dingin. Sebelumnya, sejak 5 hari yang lalu
pasien mengalami demam tinggi. yang artinya penderita mendapat infeksi, bisa
berupa infeksi bakteri (infeksi saluran nafas), infeksi virus (demam dengue,
DHF), atau infeksi parasit (misal malaria).
Demam pada malaria sesuai dengan tipe plasmodium penyebab malaria.
Plasmodium vivax/ ovale menyebabkan demam timbul selang satu hari. Demam
pada malaria yang disebabkan oleh Plasmodium malariae timbul selang dua hari.
Selain itu, tidak ditemukan riwayat berpergian ke daerah endemik sebelumnya.
Maka kemungkinan sakit malaria dapat disingkirkan.
Tidak adanya batuk, pilek, dan sesak napas mengurangi kemungkinan
adanya infeksi di saluran napas.
Pada demam berdarah dengue (DBD), demam tinggi timbul secara
mendadak selama 2-7 hari yang diselingi fase turunnya demam (fase kritis) pada
hari ke 3, 4 atau 5 demam. Seperti yang terjadi pada pasien ini dimana demam
dimulai pada 5 hari SMRS dan mengalami penurunan pada hari ke 4.
Pada pasien juga ditemukan manifestasi perdarahan berupa epistaksis dan
melena, Namun, uji torniquet menunjukkan negatif. Dari gejala diatas maka
kriteria Demam Dengue dapat ditegakkan. Dengan adanya penurunan demam
pada hari ke 4 dan tanda-tanda manifestasi perdarahan maka pasien dapat
dikatakan memasuki fase kritis.
Selain itu, Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda kebocoran
plasma seperti ascites dan efusi pleura yang dapat ditegakkan dari hasil foto
rongten toraks, dan gejala ini dapat menunjang diagnosis Demam Berdarah
Dengue. Penegakkan diagnosis ini dapat dibantu dengan hasil pemeriksaan
darah rutin berupa hematrokit dan trombositopenia.
Hasil pemeriksaan darah rutin yang pertama (1 Oktober 2012)
menunjukkan nilai Ht adalah 30 vol% dan trombosit 42.000 sel/mm3. Hasil
pemeriksaan ini menunjukkan adanya trombositopenia yang merupakan salah
36
satu kriteria DBD. Ht normal merupakan suatu respon terhadap terapi yang telah
diberikan di rumah sakit sebelumnya.
Menurut WHO, untuk menegakkan diagnosis DBD, pada pasien harus ada:
1. Demam akut selama 2-7 hari.
2. Adanya minimal satu dari manifestasi perdarahan (uji torniquet positif,
ekimosis, purpura, petekie, perdarahan pada mukosa, traktus gastrointestinal,
lebam pada bekas suntikan, hematemesis, dan melena)
3. Trombositopenia (≤ 100.000 sel/ mm3)
4. Adanya bukti kebocoran plasma, ditandai dengan:
Kenaikan hematokrit ≥20% dari hematokrit normal pasien.
Penurunan hematokrit ≥20% setelah resusitasi cairan.
Adanya efusi pleura, asites, hipoproteinemia.
Untuk membuktikan penegakkan diagnosis DBD, maka pemeriksaan
serologi dapat dilakukan berupa pemeriksaan IgG dan IgM yang dapat
dianjurkan pada pasien ini pada demam hari ke 6 dan ke 7.
Kondisi pasien pada saat 1 hari SMRS pasien dalam keadaan gelisah,
lemah, kaki tangan dingin, dan frekuensi serta banyaknya BAK sedikit, dan pada
saat MRS Moh. Hoesin pasien telah mendapat resusitasi di RS Charitas sehingga
pasien datang dalam keadaan compos mentis, nadi cukup, takikardia, takipnea,
dan disertai dengan kaki dan tangan yang teraba dingin. Dari data-data diatas
menunjukkan terdapat tanda-tanda syok pada pasien sebelumnya. Berdasarkan
hasil pemeriksaan tersebut, pasien dapat didiagnosis mengalami DSS.
Tatalaksana awal yang diberikan adalah pemberian oksigen 2 L/ menit dan
resusitasi cairan Ringer Laktat sebanyak 20 cc/KgBB (260 cc) secepatnya dalam
bolus dalam 30 menit. Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium darah
rutin tiap 6 jam untuk memonitor peningkatan atau penurunan hematokrit, dan
trombosit serta dilakukan kurva suhu untuk mengetahui pola demam dan balance
cairan untuk mengetahui diuresis sebagai respon pengobatan.
Dari hasil anamnesis, pasien telah mendapat resusitasi sebanyak 5 kolf,
dan syok dapat teratasi dengan dibuktikan pasien dalam keadaan stabil setelah
resusitasi, berupa kesadaran membaik menjadi kompos mentis dan nadi teraba
37
kuat, maka tatalaksana dapat dilanjutkan dengan pemberian ringer laktat
sebanyak 10 ml/kgBB/jam. Selain itu, O2 diberikan karena pasien mengalami
sesak. Pemberian simetidine 2x120 mg diberikan karena pasien mengalami
perdarahan saluran cerna. Evaluasi ketat berupa tanda-tanda vital, tanda-tanda
perdarahan, diuresis, dan pemeriksaaan laboratorium berupa Hb, Ht, trombosit
serial dilakukan untuk melihat respon terhadap terapi.
Prognosis quo ad vitam pada pasien dubia ad bonam, karena kondisi
pasien belom melewati fase kritis, namun sudah terdapat respon pengobatan pada
pasien berupa perubahan kondisi yang menjadi stabil.
Dilakukan follow up selama 3 hari, dari hasil follow up didapatkan
adanya tanda-tanda respon terhadap terapi diantaranya, dari hasil pemeriksaan
fisik, sesak napas berkurang, retraksi tidak ada, perdarahan saluran cerna tidak
ada. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, hematokrit yang menuju normal, serta
peningkatan trombosit. Hasil rontgen thorak masih didapatkan efusi pleura
minimal. Terapi yang diberikan merupakan terapi lanjutan berdasarkan bagan
WHO mengenai tatalaksana DBD grade 3 dan 4, dimana setelah keadaan umum
stabil dalam 24 jam (dari monitoring terhadap vital sign, tidak ada perdarahan,
diuresis lebih dari 1, hasil laboratorium) maka diberikan cairan RL 2 cc/kgBB
(26 cc/jam). Setelah syok teratasi, maka tidak lebih dari 48 jam, cairan RL
diganti dengan cairan maintenance sesuai berat badan yaitu D5% ¼ NS. Jika
trombosit diatas 50.000, telah melewati fase kritis, serta keadaan umum pasien
stabil maka pasien dapat dipulangkan.
.
.
.
DAFTAR PUSTAKA
38
1. Evid, C. Dengue Haemorrhagic or Dengue Shock Syndrome in Children.
PMC2907812: 2009.
2. Puspanjono, MT dkk. Comparison of serial blood lactate level between
dengue shock syndrome and dengue hemorrhagic fever (evaluation of
prognostic value) . Paediatrica Indonesiana, Vol 47, No 4, Juli 2007.
3. Soegijanto S , 2004 . Demam berdarah dengue. Airlangga University Press
Surabaya. Hal 99.
4. Prober, Charles G, Ilmu Kesehatan Anak NELLSON Jilid 2, edisi bahasa
Indonesia edisi 15. Jakarta: 1999.
5. Sumarmo, S, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi Dan Penyakit
Tropis, Ed. Pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 2002.
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: 1985.
7. World Health Organization, 2005. Dengue, Dengue Hemorrhagic Fever,
and Dengue Shock Syndrome in the Context of the Integrated
Management of Childhood Illness. World Health Organization.
8. Rampengan, TH, Laurentz, IR. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. EGC.
Jakarta: 1993.