CASE DSS edit Lagi.doc

59
1 BAB I LAPORAN KASUS I.1. IDENTIFIKASI Nama : An. AS Umur : 4 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Berat badan : 13 kg Tinggi badan : 95 cm Agama : Islam Suku Bangsa : Palembang Kebangsaan : Indonesia Alamat : Jl. Kamboja No. 1402 RT 22 RW 08 Kelurahan 20 Ilir, Palembang MRS : 1 Oktober 2012 pukul 01.00 WIB I.2. ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan Ibu kandung penderita pada tanggal 1 Oktober 2012 pukul 14.00 WIB.) Keluhan Utama : Kaki dan tangan dingin Keluhan Tambahan : Demam Riwayat Perjalanan Penyakit : Sejak 5 hari SMRS penderita demam tinggi, mendadak, terus-menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat banyak. Batuk tidak ada, pilek tidak ada, nyeri menelan tidak ada, sakit kepala tidak

Transcript of CASE DSS edit Lagi.doc

1

BAB I

LAPORAN KASUS

I.1. IDENTIFIKASI

Nama : An. AS

Umur : 4 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Berat badan : 13 kg

Tinggi badan : 95 cm

Agama : Islam

Suku Bangsa : Palembang

Kebangsaan : Indonesia

Alamat : Jl. Kamboja No. 1402 RT 22 RW 08 Kelurahan 20 Ilir,

Palembang

MRS : 1 Oktober 2012 pukul 01.00 WIB

I.2. ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan Ibu kandung penderita pada

tanggal 1 Oktober 2012 pukul 14.00 WIB.)

Keluhan Utama : Kaki dan tangan dingin

Keluhan Tambahan : Demam

Riwayat Perjalanan Penyakit :

Sejak 5 hari SMRS penderita demam tinggi, mendadak, terus-menerus,

tidak menggigil, tidak berkeringat banyak. Batuk tidak ada, pilek tidak ada,

nyeri menelan tidak ada, sakit kepala tidak ada, nyeri otot ada, nyeri sendi

tidak ada, sakit belakang bola mata tidak ada, nyeri perut tidak ada. Bintik-

bintik merah di kulit tidak ada, mimisan tidak ada, perdarahan gusi tidak

ada. Mual dan muntah tidak ada, BAK tidak ada keluhan. BAB tidak ada

keluhan. Kemudian penderita dibawa berobat ke dokter spesialis anak dan

diberi 2 macam obat, yaitu obat racik, tapi tidak tahu namanya, dan

biostrum, keduanya diminum 3 x sehari. Demam turun, tapi berulang

kembali.

2

Sejak 2 hari SMRS, demam mulai turun. Bintik-bintik merah di kulit

tidak ada, mimisan ada, perdarahan gusi tidak ada, sakit kepala tidak ada,

nyeri otot ada, nyeri sendi tidak ada, sakit belakang bola mata tidak ada,

nyeri perut tidak ada. Mual dan muntah ada. frekuensi muntah 2 kali/hari,

banyaknya ± ¼-½ gelas belimbing, isi apa yang dimakan, muntah berwarna

hitam tidak ada. BAB tidak ada keluhan, BAK sedikit. Penderita tidak

dibawa berobat.

Sejak 1 hari SMRS kaki dan tangan penderita teraba dingin dan

lembab. Penderita tampak gelisah. Penderita tidak mau makan dan minum.

Penderita dibawa ke RS swasta. Selama perawatan 1 hari di sana, penderita

diberikan infus total 5 kolf.

Sejak 9 jam SMRS penderita mengalami muntah hitam dan BAB

hitam. Penderita tampak semakin lemah dan gelisah. Demam turun namun

tangan dan kaki penderita teraba dingin. Penderita dirujuk ke RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat sakit malaria disangkal

Riwayat bepergian ke luar daerah disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:

Riwayat keluarga yang menderita DBD disangkal.

Riwayat Kehamilan Ibu dan Kelahiran:

GPA : P3A0

Penyakit/komplikasi kehamilan : (-)

Masa kehamilan : Cukup bulan

Partus : Spontan

Ditolong oleh : Bidan

Berat badan : 3000 gram

Panjang badan : 48 cm

Keadaan saat lahir : Langsung menangis

3

Riwayat Makanan

ASI : 0-3 tahun → tidak terjadwal, sesering anak minta

Bubur susu : 3-6 bulan → teratur, 4x 1 piring kecil/hari

Nasi tim : 6-9 bulan → teratur, 3x 1 piring kecil/hari

Nasi biasa : 9 bulan-sekarang → teratur, 3x 1 piring sedang/hari

Daging atau ayam → 1 potongan sedang, tiap hari

Telur → 1 butir, tiap hari

Ikan → 1 ekor ukuran kecil, 2x/minggu

Sayuran → ½ mangkuk kecil, 4x/minggu

Pisang/jeruk/pepaya/apel → 1 buah, tiap hari

Susu → 1 gelas/hari

Kesan: kualitas dan kuantitas makanan baik.

Riwayat Keluarga

Tn. I /39 th/SMA/Swasta Ny. S /34 thn/SMA/IRT

Os (4 th)

Riwayat Perkembangan

Tengkurap : 3 bulan

Merangkak : 5 bulan

Duduk : 6 bulan

Berdiri : 9 bulan

Berjalan : 10 bulan

Berbicara : 1,5 tahun

Kesan : Perkembangan dalam batas normal

4

Riwayat Imunisasi

BCG : (+), scar (+)

DPT : DPT I, II, III

Polio : Polio I, II, III,IV

Hepatitis B : Hepatitis B I, II, III

Campak : (+)

Kesan : Imunisasi dasar lengkap

I.3. PEMERIKSAAN FISIK (1 Oktober 2012 pukul 14.00 WIB)

KEADAAN UMUM

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis, E4M6V5 GCS 15

Tekanan Darah : 90/60 mmHg, isi dan tegangan cukup

Nadi : 138 x/menit

Pernapasan : 52 x/menit, reguler

Suhu : 37,0˚C

Tinggi badan : 95 cm

Berat badan : 13 kg

Anemis : tidak ada

Sianosis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Edema umum : tidak ada

Keadaan Gizi

BB/U = 13/16 x 100% = 81,25 %

TB/U = 95/101 x 100% = 94,05%

BB/TB = 13/14 x 100% = 92,85%

Z-score : BB/U = diantara persentil 0 dan -2 (normal)

TB/U = diantara persentil 0 dan -2 (normal)

BB/TB = diantara persentil 0 dan -1 (normal)

Kesan : gizi baik

5

KEADAAN SPESIFIK

Kepala

Kesan kepala : Normocephali

UUB : Menutup

Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema palpebra

(+), refleks cahaya +/+, pupil bulat, isokor, diamater 3

mm, mata cekung (-)

Hidung : Sekret (-), nafas cuping hidung (-)

Telinga : Sekret (-)

Mulut : Stomatitis angularis (-), atrofi papil lidah (-), mukosa bibir

dan mulut kering (+), sianosis sirkum oral (-), typhoid

tongue (-)

Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang

Leher : tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tekanan

vena jugularis tidak meningkat

Thorax

Paru-paru

Inspeksi : Statis & dinamis simetris, retraksi (+) interkostal,

epigastrium

Palpasi : Stemfremitus kanan melemah pada bagian basal

paru

Perkusi : Sonor pada lapangan paru kiri, redup pada paru

kanan mulai dari ICS IV.

Auskultasi : Vesikuler (+) normal pada paru kiri, vesikuler

melemah pada basal paru kanan, ronkhi basah

halus (+) pada paru kanan bawah, wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : Pulsasi tidak terlihat, iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

6

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : HR 138 x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Cembung

Palpasi : Tegang, nyeri tekan (+), hepar dan lien sulit dinilai

Perkusi : Shifting Dulllness (+)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran

Ekstremitas : Akral dingin (+/+), edema (-), sianosis (-), ptechiae

spontan (-), hematom (+), CRT < 2 detik

Pemeriksaan Neurologi

Fungsi motorik Tungkai Lengan

Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan

Kekuatan

Tonus

Klonus

Reflek Fisiologis

Reflek Patologis

Luas

5

Eutoni

-

(+) normal

-

Luas

5

Eutoni

-

(+)

normal

-

Luas

5

Eutoni

-

(+) normal

-

Luas

5

Eutoni

-

(+) normal

-

Fungsi sensorik : normal

Nervi Craniales : normal

Gejala Rangsang Meningeal : (-)

I.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium

Darah Rutin (1 Oktober 2012)

Hb : 11,3 g/dl

7

Ht : 30 vol %

Leukosit : 11.000/mm3

LED : 2 mm/jam

Trombosit : 42.000/mm3

Hitung jenis : 0/0/2/45/38/15

Kimia Darah (1 Oktober 2012)

BSS : 117 mg/dl

Albumin : 1,9 g/dl

Natrium : 129 mmol/l

Kalium : 4,7 mmol/l

b. Foto Rontgen Thorax (1 Oktober 2012)

Kesan : efusi pleura (+)

I.5. RINGKASAN DATA DASAR

Seorang An. AS perempuan berusia 4 tahun datang ke IRD RSMH pada

tanggal 1 Oktober 2012 pukul 01.00 WIB dengan berat badan 13 kg, tinggi

badan 95 cm, berkebangsaan Indonesia, beragama Islam, beralamat Jl.

8

Kamboja No. 1402 RT 22 RW 08 Kelurahan 20 Ilir, Palembang, dengan

keluhan utama kaki dan tangan dingin.

Sejak 5 hari SMRS penderita demam tinggi, mendadak, terus-menerus.

Nyeri otot ada, Kemudian penderita dibawa berobat ke dokter spesialis anak

dan diberi 2 macam obat, yaitu obat racik, tapi tidak tahu namanya, dan

biostrum, keduanya diminum 3 x sehari. Demam turun, tapi berulang

kembali.

Sejak 2 hari SMRS, demam mulai turun. Mimisan ada, nyeri otot ada.

Mual dan muntah ada. frekuensi muntah 2 kali/hari, banyaknya ± ¼-½ gelas

belimbing, isi apa yang dimakan. Penderita tidak dibawa berobat.

Sejak 1 hari SMRS kaki dan tangan penderita teraba dingin dan

lembab. Penderita tampak gelisah. Penderita tidak mau makan dan minum.

Penderita dibawa ke RS swasta. Selama perawatan 1 hari di sana, penderita

diberikan infus total 5 kolf.

Sejak 9 jam SMRS penderita mengalami muntah hitam dan BAB

hitam. Penderita tampak semakin lemah dan gelisah. Demam turun namun

tangan dan kaki penderita teraba dingin. Penderita dirujuk ke RSMH.

Analisis Awal

Keadaan Umum

Kesadaran : compos mentis, GCS 15

TD : 90/60 mmHg

Nadi : 138 x/menit (I/T cukup)

Respirasi : 52 x/menit

Suhu : 37,0˚C

Keadaan Spesifik

Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema palpebra

(+), mukosa bibir dan mulut kering (+), sianosis sirkum

oral (-), NCH (-), faring hiperemis (-), tonsil T1-T1

tenang.

Thorax : Simetris, retraksi (+) intercosta, epigastrium,

9

Cor : BJ I dan II normal, bising (-)

Pulmonal : stem fremitus melemah pada basal paru

kanan, perkusi redup pada basal paru

kanan, vesikuler (+) melemah pada basal

paru kanan, ronkhi basah halus (+),

wheezing (-)

Abdomen : Cembung, tegang, hepar lien sulit dinilai, nyeri tekan (+),

shifting dullness (+), bising usus (+) normal

Ekstrimitas : Akral dingin (+/+), edema (-), sianosis (-), ptekie spontan

(-), hematom (+), CRT < 2 detik

I.6. DIAGNOSIS KERJA

Dengue Shock Syndrome (DSS)

I.7. PENATALAKSANAAN

Pasien post resusitasi di RS swasta

TD = 90/60 mmHg, N = 138x/m (I/T cukup), RR = 52 x/menit

Oksigen nasal 1L/menit

IVFD RL 10 cc/kgBB/jam

Simetidine 2 x 120 mg

Balance cairan per 6 jam

Kurva suhu per 6 jam

Observasi tanda perdarahan

Cek Hb, Ht, trombosit serial

Anjuran untuk banyak minum

I.8. PEMERIKSAAN ANJURAN

Rencana pemeriksaan serologi dengue : IgG dan IgM

I.9. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

10

Quo ad functionam : bonam

FOLLOW UP

Tanggal Keterangan

2-10-12 S: Sesak (+), demam (-), melena (-)

O: TD = 90/60 mmHg

N = 128 x/menit

RR = 48 x/menit

T = 37,20C

Keadaan spesifik:

Kepala : Napas cuping hidung (-), sklera ikterik (-), konjungtiva

palpebra pucat (-), edema konjungtiva (-)

Thorax : Simetris, retraksi (+) interkostal

Cor : BJ I dan II normal, bising (-)

Pulmo : stem fremitus melemah pada basal paru kanan, perkusi

redup pada basal paru kanan, vesikuler (+) melemah

pada basal paru kanan, ronkhi basah halus (+),

wheezing (-)

Abdomen : Cembung, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus

(+) normal

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”

Balance per 24 jam

I : 1870 cc

O : 1375 cc

IWL : 288 cc

B : +207 cc

D : 6,6 cc/kgBB/jam

A: DSS dengan perbaikan

11

P: O2 nasal 1 liter/menit (nasal)

IVFD RL 2 cc/kgBB/jam = 26 cc/jam D5% ¼ NS

Cimetidine 2 x 120 mg

Cek HB, Ht, Trombosit serial

Balance cairan per 12 jam

Kurva suhu per 6 jam

Diet BB 1150 kkal + protein 200 gr

Ht : (39 – 28) : 28 = 39,2 %

Hasil lab = Hb : 10,1 gr/dL; Ht : 28 vol%; Trombosit : 90.000/mm2

3-10-12 S: Sesak (-), demam (-), melena (-)

O: TD = 90/60 mmHg

N = 102 x/menit

RR = 36 x/menit

T = 36,10C

Keadaan spesifik:

Kepala : Napas cuping hidung (-), sklera ikterik (-), konjungtiva

palpebra pucat (-), edema konjungtiva (-)

Thorax : Simetris, retraksi (-)

Cor : BJ I dan II normal, bising (-)

Pulmo : stem fremitus melemah pada basal paru kanan, perkusi

redup pada basal paru kanan, vesikuler (+) melemah

pada basal paru kanan, ronkhi basah halus (+),

wheezing (-)

Abdomen : Cembung, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus

(+) normal

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”

Balance per 6 jam

I : 200 cc

O : 240 cc

12

IWL : 71,875 cc

B : -111,875 cc

D : 0,9 cc/kgBB/jam

A: DSS dengan perbaikan

P: IVFD D5% ¼ NS gtt VI x/m

Cimetidine 2 x 120 mg

Cek HB, Ht, Trombosit serial

Balance cairan per 12 jam

Kurva suhu per 6 jam

Diet BB 1150 kkal + protein 200 gr

Hasil lab (2-10-12) = Hb : 10,6 gr/dL; Ht : 29 vol%; Trombosit :

146.000/mm2

Pemeriksaan rontgen thorax

Kesan: Efusi pleura minimal

13

4-10-12 S: Sesak (-), demam (-), melena (-)

O: TD = 90/60 mmHg

N = 98 x/menit

RR = 38 x/menit

T = 36,30C

Keadaan spesifik:

Kepala : Napas cuping hidung (-), sklera ikterik (-), konjungtiva

palpebra pucat (-), edema konjungtiva (-)

Thorax : Simetris, retraksi (-)

Cor : BJ I dan II normal, bising (-)

Pulmo : stem fremitus melemah pada basal paru kanan, perkusi

redup pada basal paru kanan, vesikuler (+) melemah

pada basal paru kanan, ronkhi basah halus (+),

wheezing (-)

Abdomen : Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)

normal

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”

Balance per 12 jam

I : 550 cc

O : 650 cc

IWL : 143,75 cc

B : 243,75 cc

D : 6,1 cc/kgBB/jam

A: DSS dengan perbaikan, bebas demam 3 hari

P: IVFD D5% ¼ NS gtt VI x/m

Cimetidine 2 x 120 mg

Hasil lab = Hb: 9,7 gr/dL; Ht: 28 vol%; Trombosit: 176.000/mm3

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Syok

Syok didefinisikan sebagai gangguan sirkulasi yang mengakibatkan

penurunan kritis perfusi jaringan vital atau menurunnya volume darah

yang bersirkulasi secara efektif. Kekurangan oksigen dalam keadaan syok

ini akan diimbangi dan dikompensasi oleh metabolisme anaerob, namun

bila kekurangan perfusi tidak dapat diperbaiki, lama kelamaan

metabolisme anaerob dengan glukosa akan menimbulkan asidum laktikum

dan asidum piruvikum, sehingga terjadi asidosis metabolik, yang

mengganggu kehidupan sel-sel. Dengan demikian, hipoksia jaringan akibat

kekurangan perfusi yang berlangsung terlalu lama dan progresif akan

merusak sel-sel dan akhirnya akan menyebabkan kematian.

2.2. Klasifikasi Syok

Menurut Hinshaw dan Cox (1972), klasifikasi dari syok yaitu:

1. Syok hipovolemik, merupakan jenis syok yang paling sering terjadi

akibat volume sirkulasi yang tidak mencukupi. Merupakan penyebab

utama hilangnya cairan dari sirkulasi, baik itu karena perdarahan,

adanya fistula, luka bakar yang luas, ataupun pada penyakit demam

berdarah dengue grade III.

2. Syok kardiogenik, merupakan tipe syok yang disebabkan karena

gagalnya jantung untuk memompa secara efektif. Hal ini bisa

disebabkan karena kerusakan dari otot jantung, yaitu terjadi myokard

infark yang luas. Penyebab lain dari syok kardiogenik yaitu aritmia

jantung, cardiomiopati, gagal jantung kongestif (CHF), contusio cordis,

ataupun kelainan katup.

3. Syok distributif, merupakan syok hipovolemik yang disebabkan karena

volume darah yang tidak mencukupi di dalam sirkulasi. Merupakan

15

jenis syok yang disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah. Adapun

contoh dari syok tipe ini yaitu:

a. Syok septik, disebabkan oleh infeksi kuman dalam jumlah besar

yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi. Bakteri gram negatif,

contohnya Escherichia coli, spesies Proteus, Klebsiella pneumoniae

yang mengeluarkan endotoksin yang menyebabkan perubahan

biokimia, imunologi, dan biasanya efek neurologi yang berbahaya

pada tubuh. Gram positif coccus, seperti pneumococcus dan

streptococcus serta jamur yang dapat menghasilkan toksin yang

hampir mirip dengan toksin gram positif yang menghasilkan sindrom

yang mirip dengan endotoksin.

b. Syok anafilaktik, disebabkan karena reaksi anafilaktik yang berat

terhadap allergen, antigen, obat atau protein asing yang memicu

terlepasnya histamin sehingga terjadi vasodilatasi yang meluas

menyebabkan hipotensi dan peningkatan permeabilitas kapiler.

c. Syok neurogenik, merupakan syok yang paling jarang terjadi. Syok

ini disebabkan oleh trauma pada spinal cord sehingga hilangnya

refleks otonom dan motorik secara tiba-tiba pada wilayah dibawah

segmen yang cedera. Tanpa adanya stimulasi dari sistem saraf

simpatis, maka relaksasi dinding pembuluh darah tidak terkontrol,

menyebabkan terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer

secara tiba-tiba sehingga terjadi vasodilatasi dan hipotensi.

4. Syok Obstruktif, pada kondisi ini terjadi obstruksi aliran darah yang

menghambat sirkulasi dan dapat menyebabkan circulatory arrest.

Menurut McCance dan Huether syok terbagi atas:

1. Syok hipovolemik

2. Syok kardiogenik

3. Syok neurogenik

4. Syok anafilaktik

5. Syok septik

16

Sedangkan menurut Rice, syok neurogenik, anafilaktik dan septik

termasuk dalam syok distributif.

Dalam buku ATLS (Advanced Trauma Life Support) syok terbagi

dalam 2 kelompok besar yaitu syok hemoragik dan syok non hemoragik,

dimana syok kardiogenik, neurogenik dan syok septik termasuk didalam

syok non hemoragik.

2.3. Definisi Infeksi Dengue

Infeksi dengue adalah suatu infeksi Arbovirus akut, ditularkan oleh

nyamuk spesies Aedes, dan sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe di

Indonesia, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.1

Demam dengue (DD) adalah penyakit demam akut dengan

berbagai macam maifestasi klinis diantaranya demam ringan atau demam

tinggi mendadak, bintik kemerahan, sakit kepala, nyeri belakang bola

mata, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah.1

Demam berdarah dengue (DBD) ditandai dengan empat kriteria

yaitu, demam tinggi akut, manifestasi perdarahan diantaranya dengan uji

bendung, perdarahan di bawah kulit, mukosa, dan perdarahan saluran

gastrointestinal, trombositopenia, dan manifestasi plasma leakage yaitu

hemokosentrasi, timbunan cairan di paru atau abdomen. Derajat DBD

dibagi menjadi empat yaitu derajat 1, 2, 3, dan 4. Derajat 3 disebut juga

Dengue shock syndrome (DSS) yaitu, sindrom syok yang terjadi pada

penderita Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah

Dengue.1

2.4. Epidemiologi

DBD masih menjadi masalah kesehatan utama di Asia dan Pasifik

khususnya Indonesia. Angka kematian DSS di rumah sakit masih tinggi.

Data di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM antara 1 Januari

2003 sampai dengan 30 Juni 2004 didapatkan jumlah kasus DBD yang

dirawat sebanyak 263 pasien. Jumlah kasus DSS pada periode tersebut

17

sebesar 31,7% DBD derajat III, diikuti DBD derajat II sebesar 30,7% dan

DBD ensefalopati pada DBD derajat IV sebesar 1%.2

Sejak tahun 2004 kasus DBD terus meningkat dan meluas sampai

lebih dari 350 kabupaten/kota. Peta insiden DBD di Indonesia pada tahun

2009 memperlihatkan seluruh wilayah jawa insidensinya lebih dari 3,5 per

10.000 penduduk dan di Jawa Tengah sendiri sebesar 5,6/ 10.000

penduduk. Meski sejak tahun 2007 angka kematian sudah berada di bawah

2%, namun yang dijadikan indikator nasional adalah masih diatas 1%.2

2.5. Etiologi

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang

termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus

merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat

rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106. Terdapat 4 serotipe virus

yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis

serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak

menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang

yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4

kali seumur hidupnya. Dengue adalah penyakit daerah tropis dan

ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah

yang menggigit pada siang hari. Faktor resiko penting pada DHF adalah

serotipe virus, dan faktor penderita seperti umur, status imunitas, dan

predisposisi genetis.1

2.6. Patofisiologi

Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang

kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan

patogenesis pada DBD dan DSS yaitu hipotesis infeksi sekunder

(secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody dependent

enhancement (ADE).3

1) Teori Infeksi Sekunder (secondary heterologous infection)

18

Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang

mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses

kekebalan terhadap infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka

waktu yang lama. Pengertian ini akan lebih jelas bila dikemukakan

sebagai seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue,

akan mempunyai antibodi yang dapat menetralisir antigen yang sama

(homologous).

Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan

serotipe virus yang berbeda, maka terjadi infeksi yang berat. Hal ini

disebabkan karena pada infeksi selanjutnya, antibodi heterologous yang

telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan

virus dengue baru yang berbeda serotipe, namun tidak dapat dinetralisir.

Virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius.

Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus

dengan serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising

antibody maka partikel virus DEN (dengue) dan molekul antibodi IgG

membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks

tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari IgG

menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN.

Kompleks virus antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan

antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga

makrofag mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan

memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF alpha dan juga “Platelet Activating

Factor” (PAF).

Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di

neutralisasi tetapi bebas bereplikasi di dalam makrofag. TNF alpha baik

yang terangsang INF gama maupun dari makrofag teraktivasi antigen

antibodi kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran

dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh

yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang

19

mekanismenya sampai saat ini belum jelas. Hal tersebut akan

mengakibatkan syok.

Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan

merangsang komplemen, yang farmakologis cepat dan pendek. Bahan

ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan

kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.

Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan

riwayat pernah terinfeksi virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari

ibu ke anak maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi “Non

Neutralizing Antibodies” akibat adanya infeksi yang persisten, sehingga

infeksi baru pertama kali sudah terjadi proses “Enhancing” yang akan

memacu makrofag sehingga mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan

mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Bahan- bahan

mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh

darah dan system hemostatik yang selanjutnya mengakibatkan

kebocoran plasma dan perdarahan.

2) Teori ADE (antibody dependent enhancement).

Pada teori kedua (ADE), menyebutkan tiga hal yaitu antibodies

enhance infection, T-cells enhance infection serta limfosit T dan

monosit akan melepaskan sitokin yang berkontribusi terhadap

terjadinya DBD dan DSS. Singkatnya secara umum ADE dijelaskan

sebagai berikut, bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis

virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi

sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh merupakan

antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan

penyakit yang berat.

Kinetik dari kelas imunoglobulin spesifik terhadap virus dengue

di dalam serum pasien DD, DBD dan DSS ternyata didominasi oleh

IgM, IgG1 dan IgG3, sedangkan IgA level tertinggi dijumpai pada fase

akut dari DSS. Dikatakan pula bahwa IgA, IgG1 dan IgG4 dapat

digunakan sebagai marker dari risiko berkembangnya DBD dan DSS,

20

oleh karenanya pengukuran kadar imunoglobulin tersebut sejak awal

pengobatan dapat membantu mengetahui perkembangan penyakit.

3) Teori virulensi virus

Disamping kedua teori tersebut masih ada teori-teori lain

tentang patogenesis dari DBD, diantaranya adalah teori virulensi virus

yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue Den-1, Den-2,

Den-3 dan Den-4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus

yang fatal, tetapi berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain.

4) Teori antigen-antibodi

Teori antigen-antibodi, dimana pada teori ini berdasarkan

kenyataan bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktivitas

sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan dari kadar C3, C4

dan C5. Disamping itu 48-72% penderita DBD terbentuk kompleks

imun antara IgG dengan virus Dengue, selanjutnya kompleks imun

tersebut dapat menempel pada trombosit, sel B, dan sel-sel dalam organ

tubuh lain. Terbentuknya kompleks imun tersebut akan mempengaruhi

aktivitas komponen sistem imun yang lain.

5) Teori mediator

Menurut teori mediator, makrofag yang terinfeksi virus Dengue

akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12,

TNF dll. Diperkirakan mediator dan endotoksin bertanggung jawab atas

terjadinya syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.

Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya

berselang beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, akan

tetapi derajad kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan

tidak cukup untuk menjadikan penyebab kematian dari infeksi virus

tersebut melainkan lebih disebabkan oleh gangguan metabolik.

Diketahui juga bahwa akibat dari replikasi virus di dalam sel mulai dari

terjadinya stres dari sel sampai kematian sel apoptotik, baik in vitro

maupun in vivo. Mekanisme pertahanan tubuh melalui apoptosis dan

aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal (local

21

tissue injury) atau ketidakseimbangan homeostasis dan selanjutnya

memicu efek yang lain.

Sistem HLA/MHC pada umumnya berperan dalam pengawasan

dan regulasi respons imun. Peran dalam regulasi respons imun berupa

proses pengenalan antigen, yang berlanjut pada proses aktivasi sistem

imun dan proses sitotoksisitas antigen berdasarkan ekspresi molekul

HLA/MHC kelas I (lokus A,B,C) dan kelas II (lokus D/DR,DQ,DP).

Penelitian membuktikan bahwa patogenesis DBD/DSS umumnya

disebabkan oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag

yang terinfeksi virus Dengue akan mensekresi monokin yang berperan

dalam proses patogenesis dan gambaran klinis DBD/DSS.

Pada penelitian invitro dendritic Cell yang terinfeksi virus

dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR,

CD11b dan CD83. Anehnya DC yang terinfeksi virus dengue ini

sanggup memproduksi TNF-α dan IFN-α, namun tidak mensekresi IL-6

dan IL-12. Oberholzer dkk, 2002, menjelaskan bahwa IL-10 dapat

menekan proliferasi sel T.Jadi IL-10 sebagai sitokin proinflamasi

tampaknya berperan dalam respons imun yang diperantarai limfosit

Th1, yang dikatakan berperan pada infeksi virus pada umumnya.

Pada infeksi fase akut terjadi penurunan dari populasi limfosit

CD2+ dan berbagai subsetnya CD4+ dan CD8+. Juga terjadi penurunan

respon proliferatif dari sel-sel mononuklear baik terhadap rangsangan

mitogen maupun antigen virus Dengue, sebaliknya pada fase

konvalesen respon proliferatif kembali normal.

Terjadi peningkatan konsentrasi IFN-α, TNF-α, IL-10 dan

reseptor TNF terlarut di dalam plasma pasien DBD/DSS. Peningkatan

TNF-α berkorelasi dengan manifestasi hemoragik, sedangkan kenaikan

IL-10 berhubungan dengan platelet decay. Disimpulkan bahwa pada

infeksi virus Dengue fase akut terjadi penekanan jumlah maupun fungsi

dari limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF-α berperan penting

22

dalam severity dan patogenesis DBD/DSS, begitu juga meningkatnya

IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit T dan fungsi trombosit.

Hipotesis tentang patogenesis DBD/DSS seperti antibody-

dependent enhancement, virus virulence, dan imunopatogenesis yang

diprakarsai oleh IFN-α/TNF-α dianggap belum cukup untuk menjawab

terjadinya trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD/DSS.

Infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh

berupa perubahan dari rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan

dapat menginfeksi sel-sel endotel dan hepatosit dengan akibat

terjadinya apoptosis serta disfungsi dari sel-sel tersebut.

Begitu juga sistem koagulasi dan fibrinolisis ikut teraktivasi

selama infeksi virus dengue. Gangguan terhadap respon imun tidak

hanya berupa gangguan dalam membersihkan virus dari dalam tubuh,

akan tetapi over produksi sitokin dapat mempengaruhi sel-sel endotel,

monosit dan hepatosit. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang

otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan

besar dalam terbentuknya otoantibodi anti-trombosit dan anti-sel

endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi.

Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas

terjadi pada pasien DBD dan DSS disebabkan oleh kerja bersama

seperti suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin dan

kematian sel apoptotik. Dihipotesiskan bahwa peningkatan sintesis IL-8

memegang peran penting dalam terjadinya kebocoran plasma pada

pasien DBD dan DSS. Hal ini dapat dilihat dalam serum pasien

DBD/DSS berat terjadi peningkatan level IL-8. Secara in vitro melalui

kultur primer dari monosit manusia yang diinfeksi dengan virus dengue

tipe 2, terjadi peningkatan level IL-8 dalam supernatan kultur, yang

diperkirakan karena terjadi peningkatan aktivasi dari NF-kappa B.

Penelitian terhadap anak di Vietnam dengan DBD dan DSS

menyebutkan bahwa pada anak dengan DSS, level IL-6 dan soluble

intercellular adhesion molecule-1 rendah. Hal ini merefleksikan adanya

23

kehilangan protein dalam sirkulasi karena kebocoran kapiler dan hanya

level dari reseptor TNF terlarut (TNFR) yang meninggi seiring dengan

beratnya penyakit.

2.7. Manifestasi Klinis

a) Demam Dengue

Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari),

kepustakaan lain 1-7 hari. awal penyakit biasanya mendadak, disetai

gejala prodromal meliputi nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh,

anoreksia, rasa menggigil dan malaise. Terdapat trias yaitu demam

tinggi, nyeri anggota badan dan timbul ruam. Ruam timbul pada 6-12

jam sebelum suhu naik pertama kali yaitu pada hari sakit ke 3-5

berlangsung 3-4 hari, kepustakaan lain menyebutkan 24-48 jam setelah

timbul demam. Ruam bersifat makulopapular, generalis dan

menghilang pada tekanan.4,5

Pada lebih dari separuh pasien, gejala yang timbul mendadak

disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang bola mata,

punggung, otot, sendi disertai rasa menggigil. Beberapa penderita

dijumpai demam bifasik atau menyerupai pelana kuda, tetapi tidak

dianggap patognomonik karena tidak dijumpai pada setiap pasien.5

Sering pula dijumpai anoreksia, obstipasi, rasa tak nyaman

epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek. Pula fotofobi,

keringat bercucuran, serak, batuk, epistaksis dan disuria. Kelainan darah

tepi berupa leukopeni selama periode prademam dan demam, neutofilia

relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan limfositosis

pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesen. Eosinofil

menurun dan menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit ,

hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel

plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan

terdapatnya tombositopeni. Darah tepi menjadi normal kembali dalam

satu minggu.5,6

24

b) Demam Berdarah Dengue

Ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi mendadak dan

terus-menerus, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali

dan kegagalan peredaran darah. Lama demam 2-7 hari, suhu dapat

mencapai 40-41°C Juga dapat ditemui uji tourniket yang positif, memar

dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Epistaksis dan

perdarahan gusi jarang ditemui terlebih perdarahan saluran cerna yang

biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan

lain seperti perdarahan subkonjungtival kadang-kadang ditemukan.

Pada masa konvalesen seringkali ditemukan eritema pada telapak

tangan/telapak kaki.5,6

WHO menggunakan kriteria sebagai berikut untuk mendiagnosis

demam dengue dan demam berdarah dengue:7

Demam dengue ditandai gejala klinis berupa demam diikuti ≥ 2

gejala : nyeri kepala, muntah,nyeri perut, nyeri otot, nyeri sendi, rash;

mungkin disertai manifestasi perdarahan berupa uji tourniket positif

dan/atau perdarahan spontan; tidak terbukti terjadinya peningkatan

permeabilitas pembuluh darah, nilai hematokrit maksimal < 44%;

mungkin terdapat trombositopeni. Sedangkan pada demam berdarah

dengue gejala klinis harus disertai manifestasi perdarahan baik dengan

uji tourniket positif dan/atau perdarahan spontan; terbukti terjadinya

peningkatan permeabilitas kapiler dengan nilai hematokrit maksimal ≥

44%; hitung trombosit mimimal ≤ 100.000/mm3.

c) Dengue Shock Syndrome

Pada DSS setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan

umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau

setelah demam menurun, yaitu pada hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat

diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis. Pada

sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit

teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat

dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah dan secara cepat masuk dalam

25

fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri didaerah perut sesaat

sebelum syok. Nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan

gastrointestinal. Nyeri daerah retrosternal tanpa sebab yang jelas dapat

memberi petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal yang hebat. Syok

yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis

yang buruk. Disamping kegagalan sirkulasi syok ditandai oleh nadi

lembut, cepat, kecil, sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun

sampai 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80

mmHg atau lebih rendah.5,6

2.8. Penegakan Diagnosis

Hingga kini diagnosis DBD/DSS masih didasarkan atas patokan

yang telah dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang terdiri dari 4

kriteria klinik dan 2 kriteria laboratorik dengan syarat bila kriteria

laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria klinik pertama, dengan

ketepatan diagnosis 70-90% atau 87%.7

Kriteria Klinik:

Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari,

dengan sebab tidak jelas dan hampir tidak dapat dipengaruhi oleh

antipiretik maupun surface cooling.

Manifestasi perdarahan :

a. Dengan manipulasi yaitu uji tourniket positif

b. Spontan yaitu petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,

hematemesis dan melena.

c. Pembesaran hati

d. Syok yang ditandai dengan nadi yang lemah dan cepat sampai tak

teraba, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau sampai nol,

tekanan darah (sistolik) menurun menjadi 80 mmHg atau sampai

nol, disertai kulit yang teraba lembab dan dingin terutama pada

ujung jari tangan, kaki dan hidung, penderita menjadi lemah,

gelisah sampai menurunnya kesadaran dan timbul sianosis di

sekitar mulut.

26

Kriteria Laboratorik :

a. Trombositopeni : jumlah trombosit ≤ 100.000/mm.

b. Hemokonsentrasi : meningginya nilai hematokrit atau Ht ≥ 20%

dibandingkan dengan nilai pada masa konvalesen.

Mengingat derajat beratnya penyakit bervariasi dan sangat erat

kaitannya dengan pengelolaan dan prognosis, maka WHO membagi DBD

dalam 4 derajat setelah kriteria laboratorik terpenuhi yaitu:7

a. Derajat I : Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala tidak khas dan

satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniket positif.

b. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan dikulit dan

atau perdarahan lain.

c. Derajat III : Derajat II ditambah kegagalan sirkulasi ringan yaitu nadi

cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg) atau hipotensi

(sistolik ≤ 80 mmHg) disertai kulit yang dingin, lembab dan penderita

gelisah.

d. Derajat IV : Derajat III ditambah syok berat dengan nadi yang tak

teraba dan tekanan darah yang tak terukur, dapat disertai dengan

penurunan kesadaran, sianosis dan asidosis.

Derajat I dan II disebut DBD/DHF tanpa renjatan sedang derajat III dan IV

disebut DBD/DHF dengan renjatan atau DSS.

2.9. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien

tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar

hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi

untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit

plasma biru.

Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell

culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-

PCR (Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun

27

karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi

adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM

maupun IgG.

Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:

Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui

limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya

limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang

pada fase syok akan meningkat.

Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya

peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya

dimulai pada hari ke-3 demam.

Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-

Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan

atau kelainan pembekuan darah.

Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran

plasma.

SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.

Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.

Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.

Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan

diberikan transfusi darah atau komponen darah.

Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap

dengue.

IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,

menghilang setelah 60-90 hari.

IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada

infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.

Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat

pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan

surveilans.7

28

b. Pemeriksaan radiologis

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks

kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat

dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada

sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi

badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi

dengan pemeriksaan USG.7

2.10. Diagnosis Banding

Demam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan

virus yang luas. Pada hari-hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan

dari morbili dan ITP yang disertai demam. Pada hari demam ke3-4,

kemungkinan diagnosis DBD akan semakin besar, apabila gejala klinis

lain seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran hati menjadi nyata.

Kesulitan kadang-kadang dialami dalam membedakan syok pada DBD

dengan sepsis; dalam hal ini trombositopeni dan hemokonsentrasi

disamping penilaian gejala klinis lain seperti tipe dan lama demam dapat

membantu.5,6

Semua penyakit dengan demam tinggi mendadak meliputi: Faringitis akut;

ISK akut; Infeksi susunan saraf akut; Malaria; Proses supurasi;

Chikungnya dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.8

2.11. Penatalaksanaan

DBD dengan renjatan8

Prinsip pengobatan meliputi: atasi segera hipovolemi, lanjutkan

penggantian cairan yang masih terus keluar dari pembuluh darah selama

12-24 jam , atau paling lama 48 jam, koreksi keseimbangan asam-basa,

beri darah segar bila ada perdarahan hebat.

1. Mengatasi renjatan.

Sebaiknya diberikan cairan kristaloid yang isotonis atau yang

sedikit hipertonis. Cairan yang dapat dipakai: Ringer Laktat (RL);

Glukose 5% dalam half strength NACL 0,9%; RL-D5, dibuat dengan

29

menambahkan 6,25 cc RL dengan 6,25 cc D40%; atau NaCl 0,9% :

D10 ditambahkan Natrium bikarbonas 7,5% sebanyak 2 cc/kgBB.

Plasma/plasma ekspander. Diperlukan pada penderita renjatan

berat atau bila tidak segera mengalami perbaikan dengan cairan

kristaloid diatas. Bila dapat cepat disiapkan, diberikan sebagai

pengganti cairan pertama lalu setelah itu cairan pertama dilanjutkan

lagi. Bila setelah pemberian cairan pertama nilai hematokrit masih

tinggi dan hitung trombosit masih rendah. Dosis 10-20 cc/kgBB dalam

1-2 jam. Bila nadi/tekanan darah masih jelek atau Ht masih tinggi,

dapat ditambahkan plasma 10 cc/kgBB setiap jam sampai total 40

cc/kgBB. Yang digunakan seperti Plasbumin (Human albumin 25%),

Plasmanate (plasma protein fraction 5%), plasmafuchsin, Dekstran L40.

Dosis/kecepatan pemberian cairan kristaloid. Dosis yang biasa

diberikan ialah 20-40 cc/kgBB diberikan secepat mungkin dalam 1-2

jam. Untuk renjatan yang tidak berat, cairan diberikan dengan

kecepatan 20 cc/kgBB/jam dan dapat diulang hingga 2 kali, bahkan bila

vena kolaps dimana pemberian yang diharapkan tidak dapat dicapai,

maka dapat diberikan dengan semprit secara cepat sebanyak 100-200

cc. Untuk menentukan guyur tidaknya pemberian cairan, maka

dilakukan pengukuran central venous pressure (CVP/JVP) dengan

pemasangan kateter vena sentralis biasanya pada v. Basilica lengan kiri

atau kanan, apabila nilai kurang dari 5 maka cairan diguyur sampai

nilai=5 dan dipertahankan antara 5-8 cm H20.

2. Cairan maintenance

Jenis cairan yang dapat diberikan:

D5/10 : NaCl 0,9 = 3:1, untuk anak besar dan anak bayi 4:1

D5 dalam NaCl 0,225 , kedalam cairan ini ditambahkan KCl 10

mEq, Vitamin B komplek dan vitamin C secukupnya.

D5/10 + KCl 10 mEq/botol, bila kadar natrium dan klorida dalam

serum tinggi.

NaCl 0,9 : D10 aa

30

⅔ cairan kristaloid + ⅓ cairan plasma ekspander

Atau cairan rekomendasi dari WHO, berupa:

Ringer laktat (RL), atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat (D5/RL)

Ringer asetat (RA), atau dekstrosa 5% dalalm ringer asetat

(D5/RA)

NaCL 0,9% (garam faali=GF), atau dekstrosa 5% dalam garam

faali (D5/GF)

3. Kecepatan/Dosis cairan maintenance

Setelah renjatan teratasi dan penderita mulai masuk kedalam stadium

penyembuhan, maka pemberian cairan hendaknya dilakukan secara

hati-hati karena dapat terjadi hipervolemia, hal ini karena cairan yang

terdapat di ruang ekstravaskular mulai direabsorbsi kedalam vascular.

Dosis yang sering digunakan ialah 100-150 ml/kgBB/24 jam.

4. Tranfusi darah

Sebaiknya darah segar; pada perdarahan hebat baik hematemesis,

melena atau epistaksis yang memerlukan tamponade; bila setelah 24-48

jam setelah pengobatan renjatan anak jatuh ke dalam renjatan lagi

walaupun belum terlihat perdarahan; pada kadar hematokrit yang

rendah (< 35-40%) tetapi anak masih syok; Dosis 10-20 ml/kgBB,

dapat ditambah bila perdarahan berlangsung terus2. Pada perdarahan

gastrointestinal hebat (kadang dapat diduga dari menurunnya Hb dan Ht

sedang perdarahan sendiri tidak kelihatan).

5. Obat-obatan

Antibiotik. Diberikan bila prolonged shock, ada infeksi sekunder,

sebagai profilaksis. Dapat digunakan : Ampisilin 400-800

mg/kgBB/hari IV atau Gentamisin 2 x 5mg/kgBB/hari IV.

Antivirus. Seperti isoprinosin. Masih kontroversial, mungkin

bermanfaat pada stadium dini.

Heparin diberikan pada penderita prolonged shock dimana DIC

diduga sebagai penyebab perdarahan (penurunan trombosit <

75000/mm³ dan fibrinogen < 100mg%), dosis 0,5 mg/kgBB IV tiap 4-6

31

jam. Sedang menurut Sumarmo (1981) pemakaian heparin kurang

mengesankan.

Dipyridamol dan asetosal. Maksud pemberian obat ini adalah untuk

mencegah adhesi dan agregasi trombosit dalam kapiler, pula mencegah

permulaan terjadinya DIC. Sumarmo (1983) tidak menganjurkan

pemakaian asetosal pada penderita dengan kecenderungan perdarahan.

Carbazochrom Sodium Sulfonat (AC 17). Beberapa peneliti

menggunakan obat ini pada penderita DSS yang disertai dengan

perdarahan saluran cerna yang hebat. Cara kerja obat ini adalah

menekan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, memiliki aktivitas

plasma ekspander, mempersingkat waktu perdarahan. Funahara dkk.

(1986) serta Sugiyanto dkk. (1987) memberikan preparat ini dengan

cara berikut:

Hari I : suntikan 25 mg IV dilanjutkan infus secara kontinyu

dengan dosis 300 mg/hari dalam larutan RL selama 24 jam.

Hari II : infus AC 17 dengan dosis 3 x 100 mg/hari

Hari III : infus dengan dosis 3 x 50 mg/hari

Hari IV : pemberian obat dihentikan.

Ternyata efektivitas cukup memuaskan dengan menekan

kebocoran plasma dan mengurangi perdarahan. Sedangkan Sachro dkk.

(1987) di Semarang tidak mendapat perbedaan yang bermakna antara

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

Dopamin. Dipertimbangkan pada penderita DSS dengan renjatan

yang belum dapat teratasi, walau telah diberikan cairan yang adekuat.

Dosis 5-10 mcg/kgBB/menit IV setiap 4-6 jam.

Sedativa dan antikonvulsan. Diberikan pada penderita DSS yang

amat gelisah dan kejang. Dapat diberikan Diazepam 0,3-0,5

mg/kgBB/dosis IV atau Klorhidrat 12,5-50 mg/kgBB Oral atau Rektal

hanya satu kali (dosis maksimal 1 gr).

32

Antasida. Dipertimbangkan pemberiannya pada penderita DSS

dengan muntah-muntah hebat dan nyeri epigastrium yang tidak jelas

dan disebabkan oleh pembesaran hati yang progresif.

Diuretika. Furosemida diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB/x, 1 x

sehari bila ada tanda/gejala overhidrasi.

Digitalisasi cepat dapat diberikan pada penderita dengan

gejala/tanda kegagalan jantung. Dosis 0,03 mg/kgBB untuk hari I.

6. Observasi penderita

Pengawasan dan pemantauan ketat merupakan hal terpenting untuk

mencapai keberhasilan.meliputi :

keadaan umum, tanda-tanda perdarahan (luar maupun organ

dalam), rasa lemas, keringat dingin, kesadaran.

TTV dipantau tiap jam dengan chart

Abdomen : hepatomegali, awasi nyeri epigastrium (awal syok)

Organ lain: jantung (takikardi supraventikular), paru (efusi pleura,

pernafasan kussmaul, edema paru akibat overhidrasi)

Urin tampung untuk memantau perbaikan perfusi ginjal

(keberhasilan therapy)

Laboratorium: Ht setiap 2 jam selama keadaan masih gawat, makin

jarang sampai 1 atau 2 kali per 24 jam bila keadaan membaik.

Trombosit bila perlu tiap 6 jam, minimal setiap hari. Plasma

protein (bila bisa) untuk menentukan keperluan pemberian plasma.

Kemungkinan DIC: masa perdarahan, masa pembekuan,

trombositopeni, morfologi eritrosit (burr cell, fragmentosit, helmet

cell), bila ada perdarahan merembes.

TATALAKSANA KASUS DSS ATAU DBDDERAJAT III DAN IV

DBD Derajat IVDBD Derajat III

33

1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 lt/menit) 2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)

Ringer laktat/ Ringer asetat/ Nacl 0,9%20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi?

Pantau tanda vital tiap 10 menitCatat balans cairan selam pemberian cairan intravena

Syok teratasi Syok tidak teratasi

Keadaaan membaik Keadaan memburukNadi teraba kuat Nadi lembut/tidak teraba Tekanan nadi >20 mmHg Tekanan nadi <20 mmHgTidak sesak nafas/sianosis Distres pernafasan/sianosis Ekstremitas hangat Kulit dingin dan lembabDiuresis cukup 2 ml/kgBB/jam Ekstremitas dingin

Cairan dan tetesan disesuaikan 1. Lanjutkan cairan kristaloid 20 ml/kgBB/jam

10 ml/kgBB/jam 2.Tambahan koloid/plasma dekstran/FPP

Evaluasi ketat 10-20 (max 30) ml/kgBB/jam

Tanda vital Tanda perdarahan 3. Koreksi asidosisDiuresisPantau Hb, Ht, Trombosit Evaluasi 1 jam

Stabil dalam 24 jam

Tetesan 5 ml/kgBB/jam Syok belum teratasi

Tetesan 3 ml/kgBB/jam Syok teratasi Ht turun Ht tetap tinggi/naik

Infus stop tidak melebihi 48 jam Transfusi darah koloid 20 ml/kgBBSetelah syok teratasi segar 10 ml/kgBB

Diulang sesuai kebutuhan

Keterangan gambar 11Gambar 11. Tatalaksana kasus DSS (DBD derajat III dan IV)

34

1. Segera beri infus kristaloid (Ringer Laktat atau NaCl 0,9% ) 20 ml/kgBB

secepatnya( diberikan dalam lobus selama 30 menit) dan oksigen 2

liter/menit. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi

tidak terukur, diberikan ringer laktat 20 mg/kgBB bersama koloid).

Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6

jam. Periksa elektrolit dan gula darah.

2. Apabila dalam waktu 3 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat

belum dilanjutkan 20 ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma)

atau koloid (dekstran 40) sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB

(koloid diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan

secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah,keadaan nadi tiap 15

menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Kotreksi asidosis,elektrolit dan

gula darah.

2.12. Prognosis

Tergantung dari beberapa faktor seperti, lama dan beratnya

renjatan, waktu, metode, adekuat tidaknya penanganan; ada tidaknya

rekuren syok yang terjadi terutama dalam 6 jam pertama pemberian infus

dimulai, panas selama renjatan, tanda-tanda serebral.8

2.13. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi berupa syok ringan/berat, syok

berulang, kegagalan pernafasan akibat edema paru atau kolaps paru, efusi

pleura, asites, ensefalopati dengue, kegagalan jantung, sepsis.8

BAB III

ANALISIS KASUS

35

Dari hasil anamnesis didapatkan an.A, perempuan, 4 tahun datang dengan

keluhan utama kaki dan tangan yang dingin. Sebelumnya, sejak 5 hari yang lalu

pasien mengalami demam tinggi. yang artinya penderita mendapat infeksi, bisa

berupa infeksi bakteri (infeksi saluran nafas), infeksi virus (demam dengue,

DHF), atau infeksi parasit (misal malaria).

Demam pada malaria sesuai dengan tipe plasmodium penyebab malaria.

Plasmodium vivax/ ovale menyebabkan demam timbul selang satu hari. Demam

pada malaria yang disebabkan oleh Plasmodium malariae timbul selang dua hari.

Selain itu, tidak ditemukan riwayat berpergian ke daerah endemik sebelumnya.

Maka kemungkinan sakit malaria dapat disingkirkan.

Tidak adanya batuk, pilek, dan sesak napas mengurangi kemungkinan

adanya infeksi di saluran napas.

Pada demam berdarah dengue (DBD), demam tinggi timbul secara

mendadak selama 2-7 hari yang diselingi fase turunnya demam (fase kritis) pada

hari ke 3, 4 atau 5 demam. Seperti yang terjadi pada pasien ini dimana demam

dimulai pada 5 hari SMRS dan mengalami penurunan pada hari ke 4.

Pada pasien juga ditemukan manifestasi perdarahan berupa epistaksis dan

melena, Namun, uji torniquet menunjukkan negatif. Dari gejala diatas maka

kriteria Demam Dengue dapat ditegakkan. Dengan adanya penurunan demam

pada hari ke 4 dan tanda-tanda manifestasi perdarahan maka pasien dapat

dikatakan memasuki fase kritis.

Selain itu, Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda kebocoran

plasma seperti ascites dan efusi pleura yang dapat ditegakkan dari hasil foto

rongten toraks, dan gejala ini dapat menunjang diagnosis Demam Berdarah

Dengue. Penegakkan diagnosis ini dapat dibantu dengan hasil pemeriksaan

darah rutin berupa hematrokit dan trombositopenia.

Hasil pemeriksaan darah rutin yang pertama (1 Oktober 2012)

menunjukkan nilai Ht adalah 30 vol% dan trombosit 42.000 sel/mm3. Hasil

pemeriksaan ini menunjukkan adanya trombositopenia yang merupakan salah

36

satu kriteria DBD. Ht normal merupakan suatu respon terhadap terapi yang telah

diberikan di rumah sakit sebelumnya.

Menurut WHO, untuk menegakkan diagnosis DBD, pada pasien harus ada:

1. Demam akut selama 2-7 hari.

2. Adanya minimal satu dari manifestasi perdarahan (uji torniquet positif,

ekimosis, purpura, petekie, perdarahan pada mukosa, traktus gastrointestinal,

lebam pada bekas suntikan, hematemesis, dan melena)

3. Trombositopenia (≤ 100.000 sel/ mm3)

4. Adanya bukti kebocoran plasma, ditandai dengan:

Kenaikan hematokrit ≥20% dari hematokrit normal pasien.

Penurunan hematokrit ≥20% setelah resusitasi cairan.

Adanya efusi pleura, asites, hipoproteinemia.

Untuk membuktikan penegakkan diagnosis DBD, maka pemeriksaan

serologi dapat dilakukan berupa pemeriksaan IgG dan IgM yang dapat

dianjurkan pada pasien ini pada demam hari ke 6 dan ke 7.

Kondisi pasien pada saat 1 hari SMRS pasien dalam keadaan gelisah,

lemah, kaki tangan dingin, dan frekuensi serta banyaknya BAK sedikit, dan pada

saat MRS Moh. Hoesin pasien telah mendapat resusitasi di RS Charitas sehingga

pasien datang dalam keadaan compos mentis, nadi cukup, takikardia, takipnea,

dan disertai dengan kaki dan tangan yang teraba dingin. Dari data-data diatas

menunjukkan terdapat tanda-tanda syok pada pasien sebelumnya. Berdasarkan

hasil pemeriksaan tersebut, pasien dapat didiagnosis mengalami DSS.

Tatalaksana awal yang diberikan adalah pemberian oksigen 2 L/ menit dan

resusitasi cairan Ringer Laktat sebanyak 20 cc/KgBB (260 cc) secepatnya dalam

bolus dalam 30 menit. Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium darah

rutin tiap 6 jam untuk memonitor peningkatan atau penurunan hematokrit, dan

trombosit serta dilakukan kurva suhu untuk mengetahui pola demam dan balance

cairan untuk mengetahui diuresis sebagai respon pengobatan.

Dari hasil anamnesis, pasien telah mendapat resusitasi sebanyak 5 kolf,

dan syok dapat teratasi dengan dibuktikan pasien dalam keadaan stabil setelah

resusitasi, berupa kesadaran membaik menjadi kompos mentis dan nadi teraba

37

kuat, maka tatalaksana dapat dilanjutkan dengan pemberian ringer laktat

sebanyak 10 ml/kgBB/jam. Selain itu, O2 diberikan karena pasien mengalami

sesak. Pemberian simetidine 2x120 mg diberikan karena pasien mengalami

perdarahan saluran cerna. Evaluasi ketat berupa tanda-tanda vital, tanda-tanda

perdarahan, diuresis, dan pemeriksaaan laboratorium berupa Hb, Ht, trombosit

serial dilakukan untuk melihat respon terhadap terapi.

Prognosis quo ad vitam pada pasien dubia ad bonam, karena kondisi

pasien belom melewati fase kritis, namun sudah terdapat respon pengobatan pada

pasien berupa perubahan kondisi yang menjadi stabil.

Dilakukan follow up selama 3 hari, dari hasil follow up didapatkan

adanya tanda-tanda respon terhadap terapi diantaranya, dari hasil pemeriksaan

fisik, sesak napas berkurang, retraksi tidak ada, perdarahan saluran cerna tidak

ada. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, hematokrit yang menuju normal, serta

peningkatan trombosit. Hasil rontgen thorak masih didapatkan efusi pleura

minimal. Terapi yang diberikan merupakan terapi lanjutan berdasarkan bagan

WHO mengenai tatalaksana DBD grade 3 dan 4, dimana setelah keadaan umum

stabil dalam 24 jam (dari monitoring terhadap vital sign, tidak ada perdarahan,

diuresis lebih dari 1, hasil laboratorium) maka diberikan cairan RL 2 cc/kgBB

(26 cc/jam). Setelah syok teratasi, maka tidak lebih dari 48 jam, cairan RL

diganti dengan cairan maintenance sesuai berat badan yaitu D5% ¼ NS. Jika

trombosit diatas 50.000, telah melewati fase kritis, serta keadaan umum pasien

stabil maka pasien dapat dipulangkan.

.

.

.

DAFTAR PUSTAKA

38

1. Evid, C. Dengue Haemorrhagic or Dengue Shock Syndrome in Children.

PMC2907812: 2009.

2. Puspanjono, MT dkk. Comparison of serial blood lactate level between

dengue shock syndrome and dengue hemorrhagic fever (evaluation of

prognostic value) . Paediatrica Indonesiana, Vol 47, No 4, Juli 2007.

3. Soegijanto S , 2004 . Demam berdarah dengue. Airlangga University Press

Surabaya. Hal 99.

4. Prober, Charles G, Ilmu Kesehatan Anak NELLSON Jilid 2, edisi bahasa

Indonesia edisi 15. Jakarta: 1999.

5. Sumarmo, S, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi Dan Penyakit

Tropis, Ed. Pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 2002.

6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan

Anak. Jakarta: 1985.

7. World Health Organization, 2005. Dengue, Dengue Hemorrhagic Fever,

and Dengue Shock Syndrome in the Context of the Integrated

Management of Childhood Illness. World Health Organization.

8. Rampengan, TH, Laurentz, IR. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. EGC.

Jakarta: 1993.