case anestesi 2

14
PRESENTASI KASUS I. IDENTITAS Nama : Sdr. Doni Umur : 22 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Agama : Islam Tanggal operasi : 21 September 2010 II. ANAMNESIS (PRA ANESTESI) Anestesi terdahulu : Disangkal Penyakit terdahulu : Disangkal Alergi : Disangkal Merokok : Diakui, 6 batang per hari Minuman alcohol : Disangkal III. PEMERIKSAAN FISIK Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 Tanda Vital : Tekanan Darah : 130/60 mmHg Nadi : 90 x/menit Repirasi : 24 x/menit Suhu : Afebris Gigi : Gigi kiri 1 goyang, gigi kiri 2 lepas, gigi kiri 3 masuk ke gusi bagian atas Jantung : BJ I-II REGULER, Gallop (-), Murmur (-) Pulmo : Vesikuler kanan = kiri, Ronki (-), Wheezing (-)

Transcript of case anestesi 2

Page 1: case anestesi 2

PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Sdr. Doni

Umur : 22 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Tanggal operasi : 21 September 2010

II. ANAMNESIS (PRA ANESTESI)

Anestesi terdahulu : Disangkal

Penyakit terdahulu : Disangkal

Alergi : Disangkal

Merokok : Diakui, 6 batang per hari

Minuman alcohol : Disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15

Tanda Vital :

Tekanan Darah : 130/60 mmHg

Nadi : 90 x/menit

Repirasi : 24 x/menit

Suhu : Afebris

Gigi : Gigi kiri 1 goyang, gigi kiri 2 lepas, gigi kiri 3 masuk ke

gusi bagian atas

Jantung : BJ I-II REGULER, Gallop (-), Murmur (-)

Pulmo : Vesikuler kanan = kiri, Ronki (-), Wheezing (-)

IV. LABORATORIUM

Hemoglobin : 14.2 g/dL

Leukosit : 10.200/mm3

Hematokrit : 42.6 %

Ureum : 26.8 mg/dL

Kreatinin : 1.20 mg/dL

Page 2: case anestesi 2

SGOT : 43 u/L

SGPT : 18 u/L

Trombosit : 258.000/mm3

GDS : 94 mg/dL

V. ANESTESI

Ahli Anestesi : dr. Widodo, Sp.An

Ahli bedah : drg. Bambang, Sp.BM

Kamar bedah : OK 2 CMU

Diagnosa pre bedah : Fraktur alveolaris & avulsi gigi

Resiko ASA : I

Jenis pembedahan : Reposisi dan debridement

Kisah anestesi :

Pasien terpasang IVFD RL

Dilakukan anestesi umum

Premedikasi dengan sulfas atropine 0.25 mg, petidine 50 mg, ondansetron 4

mg

Induksi dengan propofol 100 mg

Muscle relaxan dengan succinylcholin 40 mg

Intubasi dengan ETT no.7 nonkinking, cuff (+), guedel (+)

Maintenance O2 2.5 L/menit, N2O 2.5 L/mnt, Isoflurane 1.5 Vol%,

dexamethasone 10 mg

Monitoring peri anestesi

Jam Tekanan Darah

(mmHg)

Nadi

(x/menit)

Saturasi

(%)

10.30 130/60 80 100

10.45 95/65 85 100

11.00 85/55 90 100

11.15 90/60 75 100

11.30 100/60 80 100

Page 3: case anestesi 2

VI. RECOVERY ROOM

Kesadaran

Tanda Vital

Tekanan Darah : 100/60 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Respirasi : 24 x/menit

Suhu : afebris

Pasien terpasang RL dengan ketorolac 30 mg

INTUBASI NASOTRAKEA

Page 4: case anestesi 2

Intubasi naotrakea digunakan pada pasien yang menjalani operasi rahang atas atau

prosedur gigi atau ketika intubasi orotrakea tidak layak (misalnya, pasien dengan keterbatasan

membuka mulut). Intubasi Nasotrakea menjadi pilihan untuk intubasi berkepanjangan di unit

gawat darurat, tapi kerusakan hidung, sinusitis, dan abses lokal telah membatasi penggunaannya.

Karena kebutuhan tabung yang lebih panjang dan sempit untuk rute hidung, toilet paru lebih sulit

dan resistensi saluran napas yang lebih besar. Rute hidung pada pasien ventilasi spontan dulu

pernah dianggap sebagai teknik pilihan untuk operasi darurat, namun intubasi orotrakea dengan

pengawasan langsung mengikuti urutan cepat induksi anestesi sekarang merupakan teknik

pilihan.

INDIKASI

Kebanyakan, teknik ini digunakan dalam ruang operasi untuk prosedur gigi dan operasi

intraoral (misalnya, prosedur rekonstruksi mandibula atau osteotomi mandibula) dan

orofaringeal. Beberapa penulis menganjurkan menggunakan intubasi nasotrakea untuk operasi

otolaringologi minor dan operasi rahang atas, sebagaimana mereka percaya teknik ini kurang

dimanfaatkan dalam praktek saat ini

Indikasi lainnya termasuk mengamankan saluran udara pada pasien dengan stabilitas

tulang belakang servikal yang dipertanyakan atau parah penyakit degeneratif tulang belakang

servikal (menggunakan teknik intubasi terjaga serat optik), pasien dengan lesi massa intraoral

atau kelainan struktural, dan pasien dengan membuka mulut terbatas (misalnya, trismus).

KONTRAINDIKASI

Kontraindikasi absolut:

• Tersangka epiglotitis

• Ketidakstabilan wajah tengah

• koagulopati

• patah tulang tengkorak yang dicurigai basilar

• Apnea atau henti pernapasan impending (Setiap pasien dengan obstruksi jalan nafas berat, yang

mengalami kesulitan mempertahankan jalan napas nya, tidak boleh dikenakan segala bentuk

intubasi terjaga.)

Page 5: case anestesi 2

Kontraindikasi relatif:

Polip nasi

Korpus alienum pada badan nasal

Operasi nasal

Hematoma leher atas atau infeksi

Riwayat epistaksis

Katup jantung buatan (meningkatkan resiko bakteremia pada saat insersi)

ANESTESI

General anestesi: Jika tidak ada kesulitan yang dicurigai dalam mengamankan saluran

napas, berdasarkan pemeriksaan fisik atau riwayat intubasi sebelumnya, anestesi umum

dan blokade neuromuskular dapat diinduksi. Anestesi umum secara rutin diinduksi

menggunakan agen hipnotik atau induksi aksi cepat (misalnya, propofol, etomidate,

thiopental, ketamin).

Menilai ventilasi masker sebelum blokade neuromuskular: Setelah induksi anestesi,

menilai kemampuan untuk ventilasi masker pasien sebelum memberikan blok

neuromuskuler (kecuali dalam kasus induksi cepat, bila masker ventilasi tidak berhasil,

dan succinylcholine atau rocuronium diberikan simultan ke agen hipnotis). Setelah obat

penghambat neuromuskuler diberikan dan diberi waktu untuk mencapai efek maksimal,

melakukan laringoskopi langsung atau intubasi buta.

Persiapan hidung: Pelumas dan vasokonstriktor biasanya diberikan pada saluran hidung

sebelum pemberian suatu tabung endotrakeal. Berbagai vasokonstriktor tersedia, seperti

solusi kokain 4% (tidak melebihi 1,5 mg / kg), semprot hidung oxymetazoline 0,05%

(Afrin), atau fenilefrin tetes 0,25-1% (Neo-Synephrine). Pilihan vasokonstriktor biasanya

pada pilihan anestesi. Memberikan lidocaine jeli atau pelumas larut dalam air

memungkinkan untuk insersi yang halus serta pengambilalihan yang lebih baik rotasi

panjangnya tabung endotrakeal selama manipulasi terarah.

Intubasi serat optik: Jika terjaga, intubasi serat optik diperlukan; mempersiapkan lubang

hidung pasien seperti dijelaskan di atas. Selain itu, pada pasien sadar atau dibius, anestesi

topikal untuk laring pasien dan pharynx juga diperlukan. Hal ini dapat dicapai dengan

beberapa teknik, seperti aplikasi transoral dari agen anestesi lokal atau menggunakan

Page 6: case anestesi 2

blok saraf laring superior dengan lidokain 4% (sampai 3 mg / kg) diberikan transtrakea

atau disemprotkan ke lumen fiberscope itu secara intermitten pada jalan scope. Anestesi

topikal yang tidak lengkap tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan pasien, hal ini

membuat prosedur jauh lebih sulit dan dapat menyebabkan peningkatan morbiditas

pasien. Obat antisialagogue diberikan (misalnya, glycopyrrolate 0,2-0,3 mg IV) untuk

meningkatkan visualisasi lapangan. Sedasi dosis kecil juga dapat diberikan, perlu diingat

bahwa obat penenang bukanlah pengganti untuk jalan napas yang baik.

PERLENGKAPAN

1. Nasal Rae Endotracheal tube

2. Lidokain jel

3. Magill forceps

4. Suction5. Peralatan intubasi (laringoskop, fiberoptic scope, glide scope)

Page 7: case anestesi 2

POSISI

Pasien berada dalam posisi supine

Jika intubasi serat optik yang terjaga (atau intubasi terjaga lainnya) yang dikejar, posisi

yang paling praktis mungkin duduk (di meja operasi kamar), karena mencegah laring

jatuh kea rah posterior seperti dalam posisi terlentang.

TEKNIK

Menetapkan patensi dari nares dengan terompet hidung yang sudah dilumasi

Masukkan tube yang dilumasi dengan manset mengempis melalui nares yang paten, dan

dilumasi dengan sudut wajah yang tepat.

Laringoskop direk dengan blade Miller. Masukkan ETT dan masukkan sedikit untuk mnempatkan

laringoskop ke dalam mulut

Beberapa resistansi yang biasa ditemui, kemungkinan besar karena arytenoid kanan. Hal

ini biasanya diatasi dengan sedikit rotasi berlawanan arah jarum jam.

Page 8: case anestesi 2

Setelah tube berada di bawah nasofaring, masukkan laringoskop ke dalam kavitas oral dan masukkan tube dengan penglihatan langsung.

Setelah korda vokalis terlihat, masukkan ETT dengan bantuan laringoskop

Forsep Margill mengarahkan ETT untuk memasukkannya melewati korda vokalis.

Seringkali untuk menghindari robekan manset dengan forsep, forsep Margill dibutuhkan

untuk memasukkan ETT melewati korda vokalis. Jika seperti ini, seorang asisten

dibutuhkan untuk memasukkan ETT.

KOMPLIKASI

Epistaksis

Merupakan komplikasi yang sering, terjadi karena abrasi mukosa nasal ketika tube

melewati bagian posterior. Jika perdarahan terjadi tetapi intubasi masih dapat dilakukan,

maka harus diselesaikan. ETT pada posisi yang tepat dapat menjadi tampon perdarahan

Page 9: case anestesi 2

dan melindungi jalan napas. Jika upaya berulang diperlukan, maka tabung harus ditarik

sampai manset diposisikan mengembang untuk tampon pendarahan.

Kerusakan rongga hidung

Aspirasi

Refleks vagal

Laringospasme

Kerusakan korda vokalis

Bakteremi dari induksi flora nasal ke trakea

Pneumothoraks

LAPORAN KASUS

Page 10: case anestesi 2

REPOSISI FRAKTUR ALVEOLARIS

DENGAN ANESTESI UMUM

MENGGUNAKAN INTUBASI

NASOTRAKEA

DISUSUN OLEH:

RENDY AGUSTIAN 110 2003 237

SMF ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

RSUD GUNUNG JATI CIREBON

2010

Page 11: case anestesi 2