Case 1 DM Maya
-
Upload
kyky-choco-catz -
Category
Documents
-
view
74 -
download
6
Transcript of Case 1 DM Maya
LAPORAN KASUS I
SEORANG LAKI-LAKI 40 TAHUN DENGAN DIABETES MELITUS
TIPE 2 DENGAN NEUROPATI, NEFROPATI DIABETIKUM,
RETINOPATI DIABETIKUM DAN FOOT DIABETIKEUM
Oleh :
Devi Mayasari, S.Ked
J 500080099
Pembimbing :
dr. Asna Rosida, Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UMS / RSUD DR. HARJONO
PONOROGO
2012
LAPORAN KASUS
I. ANAMNESIS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. K
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Jambon, Ponorogo
No. RM : 265xxx
Tanggal masuk : 14 November 2012
Tanggal pemeriksaan : 20 November 2012
B. DATA DASAR
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis yang
dilakukan pada tanggal 20 november 2012 di Bangsal Mawar.
1. Keluhan Utama : Badan Lemas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Ponorogo pada tanggal 11 November
2012 kemudian di kirim ke bangsal Mawar dengan keluhan badan lemas
sejak 10 hari SMRS. Keluhan disertai mual dan muntah, pasien
mengatakan muntah sebanyak 2 kali, berwarna coklat kekuningan cair
tidak disertai makanan dan sebanyak 4 sendok makan. Pasien sering
merasakan nyeri pada ulu hati.
Selain itu pasien juga mengeluhkan kesemutan di kedua tangan dan
kedua kaki. Kesemutan dirasakan terus menerus. Pasien juga mengatakan
bahwa sudah semenjak 3 tahun ini, telapak kaki pasien kurang terasa.
Sandal sering lepas tanpa disadari oleh pasien. Kemudian pada kaki kiri
pasien terdapat luka yang tak kunjung sembuh. Selain itu pasien juga
mengeluhkan pandangan kedua matanya kabur dan terlihat ada titik-titik
hitam, terutama mata sebelah kanan. Kaburnya pandangan pasien ini di
2
mulai sejak ± 3 bulan dan makin lama makin memberat. Pasien
mengeluhkan penurunan nafsu makan. Sesak (-) demam (-). BAK
normal, BAB normal warna hitam (-) konsistensi padat. Pasien mengaku
mengkonsumsi obat DM yaitu glibenklamid. Konsumsi obat glibenklamid
sudah 7 tahun. Pasien mengaku selalu mengkonsumsi obat sesuai resep
dokter.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat kencing manis :diakui, sejak tahun 2005 sampai
sekarang. Pasien mengakui gejala
awalnya berat badan turun, sering
BAK, sering makan dan minum.
GDS pertama kali diukur 400
mg/dL.
b. Riwayat tekanan darah tinggi : diakui
c. Riwayat alergi obat & makanan : disangkal
d. Riwayat kencing batu : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat sakit jantung : disangkal
g. Riwayat sakit ginjal : disangkal
h. Riwayat mondok : diakui, 2 kali karena penyakit
diabetes melitus
i. Riwayat operasi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
c. Riwayat sakit gula : disangkal
d. Riwayat sakit darah tinggi : disangkal
e. Riwayat sakit jantung : disangkal
f. Riwayat sakit ginjal : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
3
a. Riwayat minum jamu tradisional : diakui
b. Riwayat olahraga teratur : disangkal
c. Riwayat minum suplemen : diakui
d. Riwayat konsumsi alkohol : diakui
e. Riwayat konsumsi obat bebas : diakui
6. Anamnesis Sistem
a. Keluhan utama : badan lemas
b. Sistem saraf pusat : kaku kuduk (-), kejang (-), sakit
kepala (-), nyeri tengkuk (-)
c. Sistem Indera
- Mata : berkunang-kunang (-), kuning (-), pandangan dobel
(-), penglihatan kabur (+),
pandangan berputar (-), bengkak
sekitar mata (-)
- Hidung : mimisan (-), pilek (-)
- Telinga : pendengaran berkurang (-),
berdenging (-) keluar cairan (-),
darah (-)
d. Kepala : rambut rontok (-), wajah bengkak (-)
e. Mulut : sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), gusi berdarah (-),
mulut kering (-), gigi goyah dan
tanggal (+)
f. Tenggorokan : sakit menelan (-), suara serak (-),
gatal (-), tenggorokan terasa
panas (-).
g. Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), batuk
darah (-), mengi (-), tidur
mendengkur (-)
h. Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktivitas (-),
nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
4
i. Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (+), sakit perut
(+) tidak buang air besar (-), perut
sebah (-), mbeseseg (-), kembung
(-), nafsu makan berkurang (+),
ampeg (-)
j. Sistem muskuloskeletal : kaku (-), badan lemas (+), mudah
lelah (+), badan terasa berat (-)
k. Sistem genitourinaria : sering kencing (+), air kencing
berwarna merah (-), nyeri saat
kencing (-), keluar darah (-),
kencing nanah (-), sulit memulai
kencing (-), kencing keluar batu (-)
l. Ekstremitas atas : luka (-), nyeri (-), kaku (-), tremor
(-), ujung jari terasa dingin (-),
kesemutan (-), bengkak (-), sakit
sendi (-), berkeringat (-)
m. Ekstremitas bawah : nyeri gerak (-), kaku (-), bengkak
(-), tremor (-), ujung jari terasa
dingin (+), kesemutan (+), luka (+)
n. Sistem neuropsikiatri : kejang (-), gelisah (-), kesemutan
(+), mengigau (-), emosi tidak
stabil (-)
II. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 20 november 2012. Setelah
perawatan selama 6 hari di RSUD Ponorogo.
Keadaan Umum
Pasien tampak lemah, kompos mentis
Tanda Vital
Tensi : 170/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup.
5
Frekuensi nafas : 20 x/menit, tipe thorakoabdominal
Suhu : 37,3°C per axiler
Status Gizi
BB = 45 kg
TB = 160 cm
BMI = 45 =17,5 kg/m2 (harga normal = 18,5-22,5 kg/m2)
(1,60)2
Kesan : underweight (normal = 47,3-57,6 kg)
Kulit
Ikterik (-), petechiae (-), acne (-), turgor cukup, hiperpigmentasi (-), bekas
garukan (-), kulit kering (+), kulit hiperemis (-)
Kepala
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-), luka (-)
Wajah
Simetris, eritema (-), ruam muka (-), moon face (-)
Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-),
pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/+) normal, oedem
palpebra (-/-), strabismus (-/-) OD : 4/60 OS : 5/60
Telinga
Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-) gangguan fungsi pendengaran (-)
Hidung
Deviasi septum nasi (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (-),
fungsi pembau baik, foetor ex nasal (-)
Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), pucat (-), lidah tifoid
(-), papil lidah atropi (-), luka pada sudut bibir (-)
Leher
JVP R+0 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-).
6
Thoraks
Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostalis (-), spider nevi (-),
pernafasan thorakoabdominal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah
bening aksilla (-), rambut ketiak rontok (-)
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi :Iktus kordis kuat angkat, teraba di 1 cm medial SIC V linea
midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung
kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
kiri bawah : SIC V 2 cm medial linea
midclavicularis sinistra
kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
pinggang jantung : SIC II-III parasternalis sinistra
Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, regular, bising
(-), gallop (-).
Pulmo
Depan
Inspeksi :
Statis : normochest, simetris kanan-kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi (-)
Dinamis : simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-),
pergerakan paru simetris
Palpasi :
Statis : simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-), tidak
ada yang tertinggal
Dinamis : pengembangan paru simetris, tidak ada yang
tertinggal
7
Fremitus : fremitus raba simetris kanan dan kiri
Perkusi :
Kanan : Sonor hingga SIC III
Batas paru – lambung sulit dievaluasi.
Batas paru – hepar redup relatif di SIC V linea
medioklavikularis dextra.
Batas paru – hepar redup absolut di SIC VI linea
medioklavikularis dextra.
Kiri : Sonor
Auskultasi :
Kanan : Suara dasar vesikuler intensitas normal –
menghilang di basal paru, suara tambahan wheezing
(-), ronchi basah kasar (+), krepitasi (-)
Kiri : Suara dasar vesikuler intensitas normal –
menghilang di basal paru, suara tambahan wheezing
(-), ronchi basah kasar (+), krepitasi (-)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada, venektasi (-),
sikatrik bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak alih (-), undulasi (-), nyeri ketok kostovertebra
(-)
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, defans muskular
(-), nyeri tekan (-), nyeri tekan suprapubik (-), ballotment (-)
Genitourinaria
Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)
Ekstremitas :
Superior dekstra : odem (-), sianosis (-), pucat (-), akral dingin (-), eritem
palmaris (-), ikterik (-), spoon nail (-), kuku pucat (-), jari
tabuh (-), nyeri tekan (-), nyeri gerak (-), deformitas (-)
8
Superior sinistra : odem (-), sianosis (-), pucat (-), akral dingin (-), eritema
palmaris (-), luka (-), ikterik (-), spoon nail (-), kuku pucat
(-), jari tabuh (-), nyeri tekan dan nyeri gerak (-),
deformitas (-)
Inferior dekstra : pitting odem (-), bekas luka (+), hiperemis (-), nyeri tekan
(-), sianosis (-), pucat (-), akral dingin (-), eritema palmaris
(-), ikterik (-), spoon nail (-), kuku pucat (-), jari tabuh (-),
deformitas (-)
Inferior sinistra : pitting odem (-), hiperemis (-), luka (+,) nyeri tekan (-),
sianosis (-), pucat (+), akral dingin (-), eritema palmaris
(-), ikterik (-), spoon nail (-), kuku pucat (-), jari tabuh (-),
deformitas (-).
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan EKG
1. Frekuensi: 104x/menit
2. Ritme: teratur
3. Jenis irama: sinus
4. Zona transisi: normal
5. Aksis:normal
6. Morfologi gelombang
Gelombang P selalu diikuti gelombang QRS dan T
Interval PR 0,16 detik
Gelombang QRS 0,08 detik
Elevasi ST (-)
Depresi ST (-)
LVH (-) tidak terdapat depresi segmen ST
9
B. Laboratorium Darah
Keterangan 21/11/2012 Satuan Nilai rujukan
Hematologi rutin
Hb 10,7 g/dl 11-16
Hct 30,7 % 37-50
AL 8,9 10³/µl 4,0-10
AT 250 10³/µl 100-300
AE 3,84 10⁶/µl 3,5-5,5
Indeks eritrosit
MCV 80,1 fl 82-95
MCH 27,8 pg 27-31
MCHC 34,8 g/dl 32-36
RDW 11,4 % 11,0-16,0
MPV 7,3 fl 6,5-12,0
PDW 15,5 % 9,0-17,0
Hitung jenis
Limfosit 7,2 % 25-40
Kimia klinik
GDS 489 mg/dl < 140
Ureum 22,14 mg/dl 10-50
Kreatinin 1,54 mg/dl 0,7-1,2
Asam urat 6,8 Mg/dL 2,4-6,1
SGPT 12,4 u/l 0-31
SGOT 15,4 u/l 0-31
Bil. Total 0,56 mg/dl 0-1,2
Bil. Direct 0,15 mg/dl 0-0,35
Albumin 3,7 g/dl 3,5-5
Globulin 4,6 g/dl 2-3,9
Kolesterol total
148 mg/dl 140-200
10
HDL-D 31 mg/dl 45-150
LDL-D 78 mg/dl 0-190
Trigliserid 195 mg/dl 36-165
IV. RESUME / DAFTAR MASALAH
A. Daftar Abnormalitas Anamnesis
1. Badan lemas
2. Mual muntah
3. Perut terasa nyeri di ulu hati.
4. Hipoestesi pada telapak kaki
5. Kesemutan pada kedua tangan dan kaki
6. Luka pada kaki sebelah kiri yang tak kunjung sembuh.
7. Penglihatan kabur pada kedua mata, mata kanan lebih kabur dari
mata kiri.
B. Diagnosa Fisik
1. Vital sign
2. Tekanan darah : 170/90 mmHg
Respirasi rate : 20 x/menit
Suhu : 37,30 C
Nadi : 80 x/menit
3. Pemeriksaan Kepala
Mata : Visus OD : 4/60 dan OS : 5/60,
4. Abdomen
Palpasi :nyeri tekan pada ulu hati
11
5. Ekstremitas
Inspeksi : Kaki kiri terdapat ulkus, pucat, dan kulitnya tampak kering.
C. Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan Laboratorium:
Parameter Hasil Rujukan
HDL : 31 mg/dl (45-150 mg/dL)
Hematokrit : 30,7 % ( 37-50 %)
GDS : 489 mg/dl (<140 mg/dl)
CREAT : 1,64 mg/dl (0,7-1,2mg/dl)
TG : 195 mg/dl (36-165 mg/dl)
Globulin : 4,6 g/dl (2-3,9 g/dl)
VI. ASSESMENT/ DIAGNOSIS KERJA DAN DIAGNOSIS BANDING
1. Diabetes Mellitus Kronis Tipe II
2. Gastropati ec Neuropati
3. Nefropati Diabetikum
4. Retinopati Diabetikum
5. Neuropati
6. Foot Diabetikum
12
VII. POMR (PROBLEM ORIENTED MEDICAL RECORD)
Daftar
masalah
Problem Assesment Planning
Diagnosa
Plannning Terapi Planning
Monitoring
1.Badan lemas
GDA 489
mg/dl
Riwayat DM
Hiperglikemi DM tipe 2 -HbA1c
-foto thorax
EKG
-Infuse PZ 18tpm
-actrapid insulin
Bolus Insulin
0,15xkgBB/jam =
6unit, selanjutnya
drip insulin
0,1xkgBB = 4 unit
/jam sampai GDA
200-250
-kebutuhan
kalori : 1260
kalori
-GDA
-Gejala Klinis
2.pandangan
kabur, ada
bayangan
hitam
Retinopati Retinopati
DM
-funduskopi
(kosul Sp.M)
- Konsul Sp.M Klinis
3.mual,muntah
,nyeri pada ulu
hati.
Gastropati Gastropati
DM
-inj Ranitidin 2x1
amp
-inj ondancentron
3x1 amp
Klinis
4. kesemutan di kedua kaki dan kedua tangan, hipoestesi telapak kaki
Neuropati Neuropati
DM
-Vit B1B6B12 1x1 Klinis
13
5.chreat : 1,64
LFG = 40,58
(CKD grade 3)
-170/90
mmHg
(Hipertensi
Stage 2)
Nefropati
Diabetikum
-CKD
grade III
-
Hipertensi
stage 2
-Urinalisis
-elektrolit
-Diet rendah
protein
0,8/kgBB/hari
-kontrol cairan
-amlodipin
1x10mg
-furosemide
2x20mg
Darah lengkap
- Albumin
- Ureum
- Creatinin
-Produksi urin
Vital sign
6.HDL = 31
mg/dl
TG = 195 mg/dl
Trigliseridemi
a
dislipidem
ia
Kimia darah Simvastatin
1x10mg
-klinis kimia
darah
7 luka di kaki
kiri ukuran
4x6cm, pucat
(+) nanah (-)
ulkus Foot
diabetiku
m grade 1
-Kultur bakteri
-Sensitivitas
antibiotik
-Rontgen pedis
-Rawat luka
-inj cefotaxim
3x1gr
-Inf
Metronidazole
3x500mg drip
-Clindamycin
3x300 mg
-klinis
FOLLOW UP
Tanggal 21 November 2012 Tanggal November 2012S: Mual (-), muntah (-), lemas (+), kesemutan (+) pandangan kabur (+)O: KU : lemasKesadaran: CMVS: - TD: 170/100 mmHg- N: 80x/menit-S: 36,7Oc
S: Mual (-), muntah (-), lemas (+), kesemutan (+) pandangan kabur (+)O: KU : lemahKesadaran: CMVS: - TD: 130/80 mmHg- N: 78x/menit-S: 35Oc
14
-RR: 20 x/menit.GDA: 271A: DM tipe 2P:
Infus PZ 18tpm
AI 3x10unit
Amlodipin `1x10mg
Furosemid 2x20mg
Inj. Radin 2x1 amp
Inj Ondancetron 3x1 amp
Simvastatin 1x10mg
Clindamicyn 3x300mg
Drip metronidazole 3x500mg
Inj Cefotaxim 3x1gr
Vit B1B6B12
-RR: 20 x/menit.GDA: 224A: DM tipe 2P:
Infus PZ 18tpm
AI 3x14unit
Amlodipin `1x10mg
Furosemid 2x20mg
Inj. Radin 2x1 amp
Inj Ondancetron 3x1 amp
Simvastatin 1x10mg
Clindamicyn 3x300mg
Drip metronidazole 3x500mg
Inj Cefotaxim 3x1gr
Vit B1B6B12
Tanggal 23 November 2012 Tanggal 24 November 2012S: Mual (-), muntah (-), lemas (+), kesemutan (+) pandangan kabur (+)O:KU: baikKeasadaran: CMVS: TD: 170/90- N: 82x/menit-S: 36,2Oc-RR: 20 x/menit.GDA: 183A: DM tipe 2P:
Infus PZ 18tpm
AI 3x14unit
Amlodipin `1x10mg
Furosemid 2x20mg
Inj. Radin 2x1 amp
Inj Ondancetron 3x1 amp
S: Mual (-), muntah (-), lemas (+), kesemutan (+) pandangan kabur (+)O:KU: baikKeasadaran: CMVS: TD: 170/90- N: 80x/menit-S: 37Oc-RR: 18 x/menit.GDA: 183A: DM tipe 2P:
Infus PZ 18tpm
AI 3x14unit
Amlodipin `1x10mg
Furosemid 2x20mg
Inj. Radin 2x1 amp
Inj Ondancetron 3x1 amp
15
Simvastatin 1x10mg
Clindamicyn 3x300mg
Drip metronidazole 3x500mg
Inj Cefotaxim 3x1gr
Vit B1B6B12
Simvastatin 1x10mg
Clindamicyn 3x300mg
Drip metronidazole 3x500mg
Inj Cefotaxim 3x1gr
Vit B1B6B12
BAB II
16
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin
baik absolut maupun relatif (Sudoyo Aru, 2006).
Diabetes Melitus (DM) bukan penyakit yang disebabkan oleh satu faktor,
tetapi merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor).
DM dikarakterisasi oleh hiperglikemia kronik karena penurunan kerja insulin pada
jaringan target (disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, resistensi insulin atau
keduanya). Penurunan kerja insulin ini berhubungan dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein pada jaringan termasuk hati (Sudoyo Aru, 2006).
B. ETIOLOGI
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) disebabkan karena kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin.
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa
oleh hati. Sel β tidak mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi
defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi
insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan
perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi
terhadap glukosa (Gustaviani, 2006).
Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis Diabetes Melitus
(DM). Sel β pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi
hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat.
Kemudian setelah terjadi kelelahan sel β pankreas, baru terjadi diabetes melitus
17
klinis, yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang meningkat, memenuhi
kriteria diagnosis diabetes melitus (Gustaviani, 2006).
C. KLASIFIKASI
Menurut ADA tahun 2009, DM diklasifikasikan menjadi
I. DM tipe 1: destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut.
a. Melalui proses imunologik
b. Idiopatik
II. DM tipe 2: bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relative sampai yang predominan gangguan
sekresi insulin bersama resistensi insulin.
III. DM tipe lain:
a.Defek Genetik fungsi sel beta
b.Defek genetik kerja insulin
c.Penyakit Eksokrin Pankreas
d.Endokrinopati
e. Karena Obat atau Zat Kimia
f.Infeksi
g.Imunologi
h.Sindroma genetik lain
IV. DM Gestasional
D. PATOFISIOLOGI
Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang
rusak. Di samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi
dengan baik. Energi pada ”mesin” tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang
dimakan sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak (Suyono, 2007).
Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu
ke dalam sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar
18
melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses
ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan
yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk
selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau
hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas (Suyono, 2007).
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi otoimun yang
disebabkan oleh peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi
terhadap sel beta yang disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta)
dengan antibodi (ICA) menyebabkan hancurnya sel beta (Suyono, 2007).
Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin
lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang
kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke
dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun
anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang,
maka glukosa yang masuk akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar
(glukosa) dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini disebut sebagai
resistensi insulin (Suyono, 2007).
Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi
faktor-faktor di bahwa ini banyak berperan (Suyono, 2007) :
Obesitas terutama yang berbentuk sentral
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
Kurang gerak badan
Faktor keturunan (herediter)
E. MANIFESTASI KLINIK
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa
gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal
yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil),
polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering
19
pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu,
kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat
mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas,
dan pruritus (gatal-gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan
umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan
penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah
berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih
mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan
umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada
pembuluh darah dan syaraf.
F. DIAGNOSIS
Diagnosa DM harus didasarkan oleh pemeriksaan konsentrasi glukosa darah,
gejala khas DM , yaitu poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa
sebab yang jelas. Sedangkan gejala tidak khas Dm diantaranya lemes, kesemutan luka
yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi dan pruritus vulva, apabila
ditemukan gejala khas DM ditambah pemeriksaan gula darah abnormal satu kali saja
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Namun apabila tidak ditemukan gejala
khas DM, maka diperlukan pemeriksaan ulang gula darah abnormal.
Kriteria ntuk mendiagnosis Diabetes Militus
1. Adanya gejala DM dan ditambah dengan konsentrasi gl darah sewaktu 11
mmol/l (200mg/dl)
2. Gula darah puasa 7mmol/l atau 126mg/dl
3. Gula darah 2 jam 11 mol/l (200mg/dl) diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral
20
Toleransi glukosa diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan FPG :
(1) gula darah puasa <5,6 mmol / L (100 mg / dL) dianggap normal;
(2) gula darah puasa = 5,6-6,9 mmol / L ( 100-125 mg / dL) didefinisikan sebagai
IFG, dan
(3) gula darah puasa 7.0 mmol / L (126 mg / dL) diagnosis DM.
Berdasarkan TTGO, IGT didefinisikan sebagai kadar glukosa plasma antara
7,8 dan 11,1 mmol / L (140 dan 199 mg / dL) dan diabetes didefinisikan sebagai
glukosa > 11,1 mmol / L (200 mg / dL) 2 jam setelah 75 -g beban glukosa oral .
Beberapa individu memiliki keduanya IFG dan IGT. Induvidu dengan IFG dan / atau
IGT, baru-baru ini ditetapkan pra-diabetes oleh american Diabetes Associaton
(ADA), berada dalam resiko cukup besar untuk menjadi DM tipe 2 (25-40% resiko
selama 5 tahun beroikutnya) dan memiliki peningkatan resiko penyakit
kardiovaskular.
Kriteria saat diagnosis DM menekankan bahwa gula darah puasa adalah tes
yang paling dapat diandalkan untuk mengidentifikasi DM pada individu yang tidak
menunjukkan gejala. Sebuah plasma konsentrasi glukosa 11,1 mmol / L (200 mg /
dL) disertai dengan gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, penurunan berat badan)
sudah cukup untuk diagnosis DM . Pengujian toleransi glukosa oral, meskipun masih
alat yang valid untuk mendiagnosis DM, tidak dianjurkan sebagai bagian dari
perawatan rutin.
Diagnosis DM memiliki implikasi yang mendalam bagi seorang individu dari
kedua sudut pandang medis dan keuangan. Dengan demikian, kriteria diagnostik
harus puas sebelum menetapkan diagnosis DM. Kelainan pada tes skrining untuk
diabetes harus diulang sebelum membuat diagnosis definitif DM, kecuali
derangements metabolik akut atau glukosa plasma meningkat nyata hadir. Kriteria
direvisi juga memungkinkan untuk diagnosis DM harus ditarik dalam situasi di mana
glukosa darah puasa akan kembali normal.
21
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti Biasa
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
4. Diberikan glukosa 75 g (orang dewasa), Atau 1,75 g/Kg BB (anak-anak),
dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai
22
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
7. Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
Diabetes Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006).
Tujuan penatalaksanaan
A. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
B. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.
C. Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.
Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor
genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas,
maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi
harus tercermin pada langkah pengelolaan.
D. Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (PERKENI, 2006)
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :
- Perjalanan penyakit DM
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
- Penyulit DM dan risikonya
- Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
23
- Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik
oral atau insulin serta obat-obatan lain
- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
- Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau
hipoglikemia
- Pentingnya latihan jasmani yang teratur
- Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan)
- Pentingnya perawatan diri
- Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
2. Terapi gizi medis (TGM)
- Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai target terapi
- Prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
3. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit
yang sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive Endurace
training ).
- Continous
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa
henti. Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien
melakukan jogging tanpa istirahat.
24
- Rytmical
Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot
berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.
- Interval
Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh
: jalan cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb.
- Progressive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas
ringan sampai hingga mencapai 30-60 menit.
Sasaran Heart Rate = 75-85 % dari Maksimum Heart Rate
Maksimum Heart Rate = 220-umur
- Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi,
seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan
bersepeda.
4. Terapi Farmakologis
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan TGM dan latihan jasmani (Sudoyo Aru, 2006).
1. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan
(Sudoyo Aru, 2006) :
A. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis : metformin
D. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α
25
Cara pemberian OHO terdiri dari (PERKENI, 2006) :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal
Sulfonilurea generasi I & II : 15 – 30 menit
sebelum makan
Glimepiride : sebelum / sesaat
sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat
sebelum makan
Metformin : sebelum / pada
saat / sesudah makan karbohidrat
Acarbose : bersama suapan
pertama makan
Tiazolidindion : tidak bergantung
pada jadwal makan
Tabel 2 . Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia
Golongan Generik Mg/tab Dosis
harian
Lama
kerja
Frek/hari Waktu
Klorpropamid 100-250 100-
500
24-36 1
Glibenklamid 2,5 - 5 2,5 -
15
12-24 1 – 2
Sulfonilurea Glipizid 5 - 10 5 – 2- 10-16 1 – 2 Sebelum
Glikuidon 30 30 -
120
6 - 8 2 – 3 makan
Glimepirid 1,2,3,4 0,5 - 6 24 1
26
Glinid Repaglinid 0,5,1,2 1,5 - 6 - 3
Nateglinid 120 360 - 3
Tiazolidindion Rosiglitazon 4 4 - 8 24 1 Tdk
bergantung
Pioglitazon 15,30 15 - 45 24 1 jadwal
makan
Penghambat
glukosidase α
Acarbose 50-100 100-
300
3 Bersama
suapan
pertama
Biguanid Metformin 500-850 250-
3000
6-8 1-3 Bersama/
sesudah
makan
Sumber : Sudoyo Aru, 2006
2. INSULIN (Sudoyo Aru, 2006)
Insulin diperlukan pada keadaan :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
- Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Efek samping terapi insulin :
- Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
27
- Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
H. KOMPLIKASI
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
(Sudoyo Aru, 2006).
I. Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang
harus ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah
angka kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.
Ketoasidosis diabetik
Hiperosmolar nonketotik
Hipoglikemia
II. Penyulit menahun
1. Makroangiopati, yang melibatkan :
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
3. Neuropati
1. Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik (ND) merupakan kelainan degeneratif vaskuler
ginjal dan merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes
mellitus (Sukandar, 2006; Sunaryanto, 2010). Penyakit ini terjadi 0-5 tahun
sejak diagnosis DM ditegakkan (Lubis, 2006).
28
Nefropati diabetik merupakan manifetasi mikroangiopati pada ginjal
yang ditandai dengan adanya proteinuri yang mula-mula intermiten kemudian
persisten, penurunan LFG, peningkatan tekanan darah yang perjalanannya
progresif menuju stadium akhir berupa gagal ginjal terminal. (Arsono, 2009)
Patogenesis penyakit ini bermula dari kelebihan gula darah yang memasuki
glomerulus melalui fasilitas glucose transporter (GLUT), terutama GLUT1,
yang menyebabkan aktivasi beberapa mekanisme seperti polyol pathway,
hexomanine pathway, Protein Kinase C (PKC) pathway dan penumpukan zat
yang disebut sebagai advanced glication end-product (AGEs). Kadar TGF-β
juga ditemukan meningkat. Keadaan-keadaan tersebut menyebabkan
terjadinya peningkatan progresifitas dari penyakit nefropati diabetik (Lubis,
2006).
Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada glomerulus. Oleh karena
terjadi kerusakan glomerulus maka sejumlah protein darah diekskresikan ke
dalam urin secara abnormal. Protein utama yang diekskresikan adalah albumin
(Sunaryanto, 2010). Penelitian dengan menggunakan micro-puncture
menunjukkan bahwa tekanan intra glomerulus meningkat pada pasien DM.
bahkan sebelum tekanan darah sistemik meningkat. Perubahan hemodinamik
ginjal ini diduga terkait dengan aktivitas berbagai hormone vasoaktif, seperti
angiotensin-II (A-II) dan endotelin. (Lubis, 2006).
Diagnosis nefropati diabetik dimulai dikenalinya albuminuria pada
pasien DM, baik tipe 1 maupun tipe 2. Bila jumlah protein atau albumin di
dalam urine sangat rendah sehingga sulit dideteksi dengan metode
pemeriksaan urine yang yang biasa, akan tetapi sudah >30 mg/24 jam ataupun
20 µg/menit, disebut juga sebagai mikroalbuminuria.
Nefropati diabetik dapat dibedakan menjadi dua kategori utama
berdasarkan jumlah albumin yang hilang pada ginjal, yaitu (Sunaryanto,
2010):
1. Mikroalbuminuria
29
Terjadi kehilangan albumin dalam urine sebesar 30-300 mg/hari.
Mikroalbuminuria juga dikenal sebagai tahapan nefropati insipien.
2. Proteinuri
Terjadi bila terjadi kehilangan albumin dalam urine lebih dari 300 mg/hari.
Keadaan ini dikenal sebagai makroalbuminuria atau nefropati overt.
Sedangkan secara lebih rinci, derajat nefropati akibat penyakit DM dibagi
menjadi 5 derajat, antara lain:
1. Derajat 1 (Hiperfiltrasi)
Pasien mengalami peningkatan LFG sampai 40% dan terjadi
pembesaran ginjal
Besar kliren kreatinin >150 ml/menit/1,732 m2
2. Derajat II (The Silent Stage)
Terjadi perubahan struktur ginjal tapi LFG masih tinggi
Besar kliren kreatinin >150 ml/menit/1,732 m2
3. Derajat III (Mikroalbuminuria)
Tahap awal nefropati yang nyata, terjadi penebalan membrane
basalis, LFG masih tinggi, tekanan darah meningkat
Besar kliren kreatinin >150 ml/menit/1,732 m2
4. Derajat IV (Makroalbuminuria)
Pasien mengalami proteinuria nyata dengan LFG turun dari normal
dan tekanan darah meningkat
Dibagi dalam dua stadium berdasar besar kliren kreatinin:
o Ringan : Kliren kreatinin sebesar 160 ml/menit/1,732 m2
o Berat : Kliren kreatinin sebesar 130 ml/menit/1,732 m2
5. Derajat V (Uremia)
Terjadi gagal ginjal, syndrome uremik dan membutuhkan terapi
hemodialisis
Besar kliren kreatinin <15 ml/menit/1,732 m2 (Lubis, 2006).
30
Evaluasi
Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan adanya
penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah
menjalani pengobatan rutin. (Hendromartono,2007). Pemantauan yang
dianjurkan oleh American Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksaan
terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens
kreatinin. Untuk mempermudah evaluasi, perhitungan laju filtrasi glomerulus
dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault yaitu :
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan *)
72 x kreatinin serum
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 3. Pemantauan fungsi ginjal pada pasien diabetes
Tes Evaluasi awal Follow-up
Penentuan
mikroalbuminuria
Sesudah pengendalian
gula darah awal
(dalam 3 bulan
diagnosis ditegakkan)
DM tipe 1 : tiap tahun
setelah 5 tahun
DM tipe 2 : tiap tahun
setelah diagnosis
ditegakkan
Klirens kreatinin Saat awal diagnosis
ditegakkan
Tiap 1-2 tahun sampai laju
filtrasi glomerulus
<100/ml/menit/1.73m2,
kemudian tiap tahun atau
lebih sering
Kreatinin serum Saat awal diagnosis
ditegakkan
Tiap tahun atau lebih
sering tergantung dari laju
penurunan fungsi ginjal
31
(Hendromartono,2007).
Terapi
Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan
apakah masih normoalbuminuria, mikroalbuminuria atau makroalbuminuria.
Tetapi pada prinsipnya pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah
melalui :
1. Pengendalian gula darah dengan olahraga, diet, obat anti diabetes.
2. Pengendalian tekanan darah dengan diet rendah garam, obat antihipertensi.
3. Perbaikan fungsi ginjal dengan diet rendah protein, pemberian Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensin Receptor Blocker
(ARB).
4. Pengendalian faktor-faktor ko-morbiditas lain seperti pengendalian kadar
lemak, mengurangi obesitas (Hendromartono,2007).
2. Retinopati Diabetik
Definisi
Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditanai
oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus, meliputi arteriol
prekapiler retina, kapiler-kapiler dan vena-vena.
Patofisiologi Retinopati DM
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati
DM dan terjadi melalui beberapa jalur.Pertama, hiperglikemia memicu
terbentuknya Reactive Oxygen Intermediates (ROIs) dan Advanced Glycation
End-products (AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan endotel
pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric
oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin
yang akan memperparah kerusakan. Kedua, hiperglikemia kronik
mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi dan ekspresi aldose
32
reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi
sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan
disfungsi enzim endotel. Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal
intraseluler protein kinase C (PKC). Vascular endothelial growth factor
(VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF
menstimulasi ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang
memicu terbentuknya ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah.
Ikatan tersebut menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis
dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan
sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi
faktor angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang pembentukan
pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada membran basalisnya,
defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah perisit.
Akibatnya, terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina
dan vitreous.
Diagram Komplikasi hiperglikemia
33
Gejala dan Tanda Retinopati DM
Sebagian besar penderita retinopati DM, pada tahap awal tidak
mengalami gejala penurunan tajam penglihatan. Apabila telah terjadi
kerusakan sawar darah retina, dapat ditemukan mikroaneurisma, eksudat lipid
dan protein, edema, serta perdarahan intraretina. Selanjutnya, terjadi oklusi
kapiler retina yang mengakibatkan kegagalan perfusi di lapisan serabut saraf
retina sehingga terjadi hambatan transportasi aksonal. Hambatan transportasi
tersebut menimbulkan akumulasi debris akson yang tampak sebagai gambaran
soft exudates pada pemeriksaan oftalmoskopi. Kelainan tersebut merupakan
tanda retinopati DM nonproliferatif. Hipoksia akibat oklusi akan merangsang
pembentukan pembuluh darah baru dan ini merupakan tanda patognomonik
retinopati DM proliferatif. Kebutaan pada DM dapat terjadi akibat edema
hebat pada makula, perdarahan masif intravitreous, atau ablasio retina
traksional.
Diagnosis Retinopati DM
Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer dilakukan
melalui pemeriksaan funduskopi direk dan indirek. Dengan fundus
photography dapat dilakukan dokumentasi kelainan retina.9 Metode
diagnostik terkini yang disetujui oleh American Academy of Ophthalmology
(AAO) adalah fundus photography. Keunggulan pemeriksaan tersebut adalah
mudah dilaksanakan, interpretasi dapat dilakukan oleh dokter umum terlatih
sehingga mampu laksana di pelayanan kesehatan primer. Selanjutnya,
retinopati DM dikelompokkan sesuai dengan standar Early Treatment
Diabetic Retinopathy Study (ETDRS). Di pelayanan primer pemeriksaan
fundus photography berperanan sebagai pemeriksaan penapis. Apabila pada
pemeriksaan ditemukan edema makula, retinopati DM nonproliferatif derajat
berat dan retinopati DM proliferatif maka harus dilanjutkan dengan
34
pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata. Pemeriksaan mata
lengkap oleh dokter spesialis mata terdiri dari pemeriksaan visus, tekanan bola
mata, slit-lamp biomicroscopy, gonioskop, funduskopi dan stereoscopic
fundus photography dengan pemberian midriatikum sebelum pemeriksaan.
Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan optical coherence tomography (OCT)
dan ocular ultrasonography bila perlu. OCT memberikan gambaran
penampang aksial untuk menemukan kelainan yang sulit terdeteksi oleh
pemeriksaan lain dan menilai edema makula serta responsnya terhadap terapi.
Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi retina bila visualisasinya
terhalang oleh perdarahan vitreous atau kekeruhan media refraksi.
Tabel 4. Sistem Klasifikasi Retinopati DM Berdasarkan ETDRS
Klasifikasi Tanda pada pemeriksaan mata retinopati DM
Derajat 1 Tidak terdapat retinopati DM
Derajat 2 Hanya terdapat mikroaneurisma
Derajat 3 Retinopati DM non-proliferatif derajat ringan - sedang
yang ditandai oleh mikroaneurisma dan satu atau lebih
tanda: Venous loops, Perdarahan, Hard exudates, Soft
exudates, Intraretinal microvascular abnormalities
(IRMA), Venous beading
Derajat 4 Retinopati DM non-proliferatif derajat sedang-berat
yang ditandai oleh:
• Perdarahan derajat sedang-berat
• Mikroaneurisma
• IRMA
Derajat 5 Retinopati DM proliferatif yang ditandai oleh
neovaskularisasi dan perdarahan vitreous.
35
Tata Laksana Retinopati DM
Tata laksana retinopati DM dilakukan berdasarkan tingkat keparahan
penyakit. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun
sekali. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema
makula yang nyata harus menjalani pemeriksaan rutin setiap 6-12 bulan. Retinopati
DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan edema makula signifikan
merupakan indikasi laser photocoagulation untuk mencegah perburukan. Setelah
dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu dievaluasi setiap 2-4 bulan.
Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk menjalani
panretinal laser photocoagulation, terutama apabila kelainan berisiko tinggi untuk
berkembang menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita harus dievaluasi setiap 3-4
bulan pasca tindakan. Panretinal laser photocoagulation harus segera dilakukan pada
penderita retinopati DM proliferatif. Apabila terjadi retinopati DM proliferatif disertai
edema makula signifikan, maka kombinasi focal dan panretinal laser
photocoagulation menjadi terapi pilihan.
3. Neuropati (Hendromartono, 2007)
Polineuropati sensorimotor
Serabut saraf panjang akan terpengaruh untuk tingkat yang lebih besar
daripada yang lebih pendek, karena kecepatan konduksi saraf diperlambat proporsi
panjang saraf. Penurunan sensasi dan hilangnya refleks terjadi pertama di jari kaki
kemudian meluas ke atas. Hal ini biasanya digambarkan sebagai kehilangan sensori,
dysesthesia dan nyeri waktu malam. Rasa sakit bisa terasa seperti terbakar, sensasi
tertusuk, pegal. Pin dan jarum sensasi adalah umum
Otonom neuropati
Sistem saraf otonom menginervasi jantung, sistem pencernaan dan sistem
genitourinari. Neuropati otonom dapat mempengaruhi salah satu sistem organ.
Disfungsi otonom paling umum dikenal pada penderita diabetes adalah hipotensi
36
ortostatik. Hal tersebut dikarenakan kegagalan jantung dan arteri untuk tepat menjaga
darah terus menerus dan sepenuhnya mengalir ke otak.
Manifestasi saluran pencernaan termasuk gastroparesis, mual, kembung, dan
diare. Karena banyak penderita diabetes minum anti diabetik oral, penyerapan obat
ini sangat dipengaruhi oleh pengosongan lambung tertunda. Hal ini dapat
mengakibatkan hipoglikemia ketika agen diabetes oral diambil sebelum makan dan
tidak diserap sampai berjam-jam, atau beberapa hari kemudian, ketika gula darah
normal atau rendah gerakan lamban dari usus halus dapat menyebabkan pertumbuhan
bakteri yang berlebihan, diperparah dengan kehadiran hiperglikemia. Hal ini
menyebabkan kembung, gas dan diare.
4. Kaki Diabetes Melitus
a. Definisi
Kaki diabetes adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan
komplikasi kronik diabetes mellitus. Suatu penyakit pada kaki penderita diabetes,
dengan gejala dan tanda sebagai berikut:
a. Sering kesemutan (asimptomatik)
b. Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermiten)
c. Nyeri saat istirahat
d. Kerusakan jaringan (nekrosis, ulkus)
b. Faktor Risiko Terjadinya Kaki Diabetes
Berkurangnya sensasi rasa nyeri setempat (neuropati) membuat pasien tidak
menyadari bahkan sering mengabaikan luka yang terjadi karena tidak dirasakannya.
Luka timbul spontan sering disebabkan karena trauma misalnya kemasukan pasir,
tertusuk duri, lecet akibat pemakaian sepatu atau sendal yang sempit bahkan keras.
Mulanya hanya kecil dan meluas dalam waktu yang tidak begitu lama. Luka akan
menjadi borok dan menimbulkan bau yang disebut gas gangren. Jika tidak dilakukan
perawatan akan sampai ke tulang (osteomyelitis).
37
Sirkulasi darah ketungkai menurun dan kerusakan pembuluh darah.
Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM berupa penyempitan dan
penyumbatan pembuluh darah perifer akibatnya perfusi jaringan bagian distal
menjadi kurang baik dan timbul ulkus kemudian berkembang menjadi
nekrosis/gangren. Gangguan mikrosirkulasi akan menyebabkan berkurangnya aliran
darah dan hantaran oksigen pada serabut syaraf. Keadaan ini akan menyebabkan
neuropati. Ulkus diabetes, kaki DM 50% akan mengalami infeksi akibat munculnya
lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya bakteri patogen. Karena
kekurangan suplai oksigen bakteri-bakteri akan tumbuh subur terutama bakteri
anaerob. Hal ini karena plasma darah penderita DM mempunyai kekentalan
(viskositas) yang tinggi sehingga aliran darah melembat akibatnya nutrisi dan oksigen
jaringan tidak cukup. Ini menyebabkan luka sukar sembuh dan kuman anaerob
berkembangbiak. Berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hal ini karena
kemampuan sel darah putih memakan dan membunuh kuman berkurang pada kondisi
kadar gula darah di atas 200 mg%.
Risiko tinggi mengalami masalah kaki karena diabetes, yaitu:
a. Mengalami kerusakan saraf kaki
b. Mempunyai penyakit pembuluh darah di kaki
c. Pernah mepunyai borok di kaki
d. Bentuk kaki berubah
e. Adanya callus
f. Buta atau penglihatan buruk, penyakit ginjal terutama gagal ginjal kronis
g. Para lansia, terutama yang hidup sendirian
h. Orang-orang yang tidak bisa menjangkau kaki mereka sendiri untuk
membersihkannya
i. Kontrol kadar gula darah yang buruk
j. Berkurangnya indra perasa di kaki
38
c. Patofisiologi dan Patogenesis Kaki Diabetes
Terjadi masalah kaki diabetes diawali adanya hiperglikemia pada penyandang
DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang
kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki
dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap
infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran
darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki
diabetes.
Diabetes sering kali menyebabkan penyakit vaskuler perifer yang
menghambat sirkulasi darah. Terjadi penyempitan disekitar arteri menyebabkan
penurunan sirkulasi yang signifikan dibagian tungkai dan kaki. Sirkulasi yang buruk
ikut berperan dalam menurunkan jumlah oksigen dan nutrisi yang disuplai ke kulit
maupun jaringan sehingga menyebabkan luka tidak sembuh.
Berbagai kelainan seperti neuropati, angiopati yang merupakan faktor endogen.
Sedangkan trauma dan infeksi merupakan faktor eksogen yang berperan dalam
terjadinya kaki diabetik.
Angiopati diabetik disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik, metabolik
dan faktor resiko lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) mempunyai dampak
terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang dapat menimbulkan
pengapuran dan penyempitan pembuluh darah (ateroskeloris) akibatnya terjadi
gangguan peredaran pembuluh darah besar dan kecil yang mengakibatkan sirkulasi
darah kuarang baik, pemberian makanan dan oksigenasi kurang dan penyumbatan
aliran darah terutama daerah kaki.
Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya
kemampuan untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Adanya luka yang tidak
disadari akibat adanya insensitivitas.
39
d. Kaki diabetik dikategorikan menjadi 2 golongan:
a. Kaki diabetik akibat angiopati (penyempitan dan penyumbatan)
Penderita hiperglikemia lama akan menyebabkan perubahan patologi pada
pembuluh darah. Ini dapat mengakibatkan penebalan tunika interna “hiperplasi
membran basalis arteria”, oklusi (penyumbatan) arteria, dan abnormaliatas trombosit
sehingga menghantarakan perlekatan (adhesi) dan pembekuan (agregasi).
Selain itu, hiperglikemia juga menyebabkan leukosit DM tidak normal
sehingga fungsi kemotoksis dilokasi radang terganggu. Demikian fungsi fagosit dan
bakterisid intrasel menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme (bakteri) sukar
untuk dimusnahkan oleh sistem phagositosis bakterisid intraseluler. Bertambahnya
aktivitas trombosit akan menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah sehingga
sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya trobosit pada dinding
arteria yang sudah kaku hingga akhirnya terjadi gangguan aliran darah.
b. Kaki diabetes akibat neuropati
Neuropati perifer pada kaki akan menyebabkan terjadinya kerusakan syaraf
sensoris dan otonom. Kerusakan sensoris akan menyebabkan penurunan sensasi
nyeri, panas dan raba sehingga penderita mudah terkena trauma akibat keadaan kaki
yang tidak sensitif ini. Gangguan syaraf otonom oleh karena kerusakan serabut syaraf
simpatis mengakibatkan hilangna tonus vaskuler berkurang dan produksi keringat
berkurang, kulit menjadi kering dan pecah-pecah mudah kena infeksi.
Distribusi tempat terjadinya kaki diabetik secara anatomik:
a. 50% ulkus pada ibu jari
b. 30% pada ujung plantar metatarsal
c. 10-15% pada dorsum kaki
d. 5-10% pada pergelangan kaki
e. Lebih dari 10% adalah ulkus multipel
40
Klasifikasi penyakit kaki pada penderita diabetes melitus:
a. Tingkat 0 : Risiko tinggi mengalami penyakit kaki, belum ada borok
b. Tingkat 1 : Borok permukaan yang tidak terinfeksi
c. Tingkat 2 : Borok lebih dalam, sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan
d. Tingkat 3 : Borok dalam yang melibatkan tulang dan formasi abscess
e. Tingkat 4 : Kematian jaringan tubuh terlokalisir, seperti di ibu jari kaki,
bagian depan kaki atau tumit
f. Tingkat 5 : Kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki
Tabel 5. Derajat kaki diabetik
d. Diagnosis Kaki Diabetes
Untuk mendiagnosis dan menangani kerusakan saraf kaki dilakukan beberapa
tes antara lain:
a. Merasakan sentuhan ringan
b. Kepekaan pada suhu
41
c. Sensasi pada getaran
d. Efisiensi saraf untuk mengirim pesan ke dan dari otak
Gambar 4. Test Diagnostik Neuropati Perifer Diabetika
e. Pengelolaan Kaki Diabetes
Dalam pengelolaan kaki diabetes, ada berbagai hal yang harus
ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat
digolongkan sebagu berikut:
a. Kontrol Metabolik
Kadar glukosa darah harus diusahakan agar selalu senormal
mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia
yang dapat menghambat penyembuhan luka. Insulin diperlukan untuk
menormalisasikan kadar gula darah. Status nutrisi, kadar albumin
serum, Hb, dan derajat oksigen juga perlu diperhatikan. (Hiatt, 2001).
b. Kontrol Vaskuler
Keadaan vaskuler yang buruk tentu akan menghambat
penyembuhan luka. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat
dikenali dengan warna dan suhu kulit. Pengelolaan untuk kelainan
pembuluh darah perifer yaitu berupa:
42
c. Modifikasi faktor risiko: memperbaiki faktor resiko yang terkait
arteroskeloris (hiperglikemia, hipertensi, disiplidemia) dan latihan
kaki.
d. Terapi farmakologis: aspirin dosis rendah (80 - 325 mg) dapat
dianjurkan untuk diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah
mempunyai penyulit makro-angiopati.
e. Revaskularisasi: operasi bedah dapat memperbaiki vaskularisasi
daerah distal.
f. Terapi hiperbarik: bermanfaat untuk memperbaiki vaskularisasi dan
oksigenasi jaringan luka pada kaki diabetes (Hiatt, 2001).
f. Kontrol Luka
Perawatan luka sejak pasien pertama kali datang yaitu
dilakukan debridemen. Penggunaan dressing yang mengandung
komponene zat penyerap.seperti carbonated dressing, alginate
dressing akan bermanfaat pada keadaan luka yang masih produktif.
Hydriphilic fiber dressing akan bermanfaat untuk luka yang produktif
dan terinfeksi. Terapi topikal untuk mengurangi mikroba pada luka
seperti cairan salin untuk membersihkan luka. Berbagai saran
penemuan baru dapat dimanfaatkan untuk wound control seperti:
dermagraft, apligraft, growth factor, protease inhibitor untuk
mempercepat kesembuhan luka (Hiatt, 2001).
g. Kontrol Infeksi
Data mengenai pola kuman umumnya didapatkan infeksi
bakteri yang multipel anaerob dan aerob. Pola kuman yang
polimikrobial campuran gram positif dan gram negatif serta kuman
anaerob untuk luka dalam dan berbau. Lini pertama pemberian
antibiotik harus diberikan antibiotik dengan spektrum luas mencakup
43
kuman gram positif dan gram negatif (seperti misalnya golongan
sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap
kuman anaerob (seperti misalnya metronidazol) (Hiatt, 2001).
h. Kontrol Tekanan
Tekanan terus-menerus pada kaki diabetes dapat menimbulkan
ulkus. Oleh karena itu, pada penderita diabetes (terutama neuropatik)
perlu dilakukan pembuangan kalus secara teratur dan memakai sepatu
yang pas sehingga tekanan pada kaki dapat berkurang (Hiatt, 2001).
i. Kontrol Edukasi
Edukasi pasien diabetes harus dilakukan terus menerus dan
rinci dan teratur. Adapun edukasi yang harus dilakukan adalah:
Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan
di air.
Periksa kaki setiap hari, dan laporkan pada dokter apabila
ada kulit terkelupas atau daerah kemeraha atau luka
Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya
Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, mengoleskan
krim pelembab ke kulit yang kering (Hiatt, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
44
Gustaviani Reno. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 1857-9.
Hendromartono. 2007. Nefropati Diabetik: dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1898-1901.
Hiatt WR,. 2001. Medical Treatment of Peripheral Arterial Disease and
Claudication. N Engl J Med. 344;1608-1621.
Mansjoer Arif, dkk. 2001. Kapita selekta kedokteran ed III jl I. Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta : 2001
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2002. Konsensus Pengelelolaan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, Jakarta: hal 1-19
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus Pengelolaan Diabetes
Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Semarang.
Powers C Alvin. 2005. Harrison’s Principle of Internal Medicine 16th.
Medical Publishing Division Mc Graw-Hill. North America.
Soegondo S. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 4 jl 2. Perhimpunan
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Hal 1974-80.
Soegondo S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th . Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: Hal 1860-3.
Subekti I. 2004. Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Hal 217-23.
Sudoyo Aru.W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Supartondo, Waspadji S. 2003. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: hal 375-7.
Suyono S. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Hal 7-14
Yunir Em, Soebardi Suharko. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Pusat
45
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: 1864-7.
46