Candi Wringin Lawang

25
MAKALAH CANDI WRINGIN LAWANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradaban Majapahit bukanlah sebuah dongeng ataupun legenda belaka, keberadaannya didukung dan diperkuat oleh banyaknya bukti-bukti arkeologis yang ditemukan. Setiap peninggalan kebesaran Majapahit mengandung nilai historis dan ilmu pengetahuan. Salah satu peninggalan Majapahit yang hingga sekarang masih berdiri megah adalah Gapura Wringin Lawang. Gapura ini terletak di Dukuh Wringin Lawang, desa

description

Candi Wringin Lawang

Transcript of Candi Wringin Lawang

Page 1: Candi Wringin Lawang

MAKALAH CANDI WRINGIN LAWANG

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Peradaban Majapahit bukanlah sebuah dongeng ataupun legenda belaka,

keberadaannya didukung dan diperkuat oleh banyaknya bukti-bukti arkeologis yang

ditemukan. Setiap peninggalan kebesaran Majapahit mengandung nilai historis dan ilmu

pengetahuan. Salah satu peninggalan Majapahit yang hingga sekarang masih berdiri

megah adalah Gapura Wringin Lawang. Gapura ini terletak di Dukuh Wringin Lawang,

desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Gapura Wringin Lawang sering disebut pula sebagai candi Jati Pasar. Sebutan

yang digunakan terkadang gapura, terkadang juga candi. Akan tetapi lebih tepat jika

Wringin Lawang disebut dengan gapura. Walaupun serupa dengan bangunan candi,

Page 2: Candi Wringin Lawang

namun Wringin Lawang seolah-olah dibelah menjadi dua bagian yang sama tanpa adanya

atap. Bangunan seperti ini disebut candi bentar.

Banyak terdapat spekulasi tentang fungsi Gapura Wringin Lawang ini. Para ahli

arkeologi berpendapat bahwa Gapura Wringin Lawang ini merupakan pintu gerbang

kerajaan Majapahit, meskipun pusat kerajaan Majapahit sendiri belum diketahui secara

pasti. Ada pula yang berpendapat bahwa Gapura ini adalah pintu masuk ke kediaman

Patih Gajah Mada, pendapat lain menyebutkan bahwa Gapura Wringin Lawang

merupakan tempat penyambutan tamu penting kerajaan. Namun yang pasti, Gapura

Wringin Lawang merupakan salah satu peninggalan kerajaan Majapahit yang masih

berdiri hingga kini.

Wringin sendiri berarti pohon beringin, sedangkan Lawang berarti pintu.

Bangunan ini disebut Wringin Lawang karena disekitarnya bangunan pada saat

ditemukan, banyak terdapat pohon beringin dan bangunan ini berbentuk seperti halnya

pintu. Bahan dasar Gapura Wringin Lawang adalah bata merah, yang merupakan salah

satu ciri peninggalan candi di Jawa Timur atau peninggalan kerajaan Majapahit dimana

candi-candinya menggunakan bahan dasar batu bata merah.

Gapura Wringin Lawang sampai sekarang telah banyak mengalami pemugaran.

Bahkan areal gapura pernah menjadi tempat pemakaman umum penduduk sekitar selama

bertahun-tahun. Namun kini demi melestarikan bangunan bersejarah ini, pohon-pohon

beringin banyak ditebang, dan pemakaman pun dipindahkan. Akan tetapi pemugaran

yang dilakukan pada tahun 1990 dapat dikatakan kurang sempurna karena antar bentar

kanan dengan kiri tidak sama ukurannya.

Hingga kini, situs Gapura Wringin Lawang digunakan oleh masyarakat sekitar

sebagai tempat yang dikeramatkan sehingga di bulan-bulan tertentu diadakan semacam

selamatan atau upacara-upacara ritual guna mencari berkah ataupun menghormati roh-roh

yang dipercaya sebagai penjaga desa Jatipasar.

B.     Rumusan Masalah

Dengan mendiskripsikan Gapura Wringin Lawang dan mengetahui sejarah

singkat kerajaan Majapahit, apa sebenarnya fungsi Gapura Wringin Lawang? Apakah ada

Page 3: Candi Wringin Lawang

hubungannya dengan kerajaan Majapahit? Bagaimana pendapat para ahli dan masyarakat

sekitar?

C.     Tujuan

1.      Untuk menambah pengetahuan dan wawasan, menumbuhkan kreatifitas, kearifan, dan

semangat agar kita sebagai mahasiswa dapat terus berkembang dan menciptakan

keagungan peradaban baru.

2.      Untuk mengetahui bagaimana riwayat kerajaan Majapahit, khususnya situs Gapura

Wringin Lawang di Trowulan mengingat sudah lebih dari 700 tahun peradaban Majapahit

berlalu, kebesarannya bukanlah sebuah teori dan memori, keunggulannya diharapkan

menjadi sumber inspirasi untuk menumbuhkan semangat dan menciptakan karya yang

bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

Page 4: Candi Wringin Lawang

BAB II

DESKRIPSI OBJEK

Candi Wringin Lawang merupakan sebuah gapura megah yang terletak di

desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi Wringin Lawang

merupakan salah satu peninggalan kerajaan Majapahit yang masih berdiri hingga kini. Di

situs ini dulunya tumbuh sepasang pohon beringin dan karena itulah disebut “Wringin

Lawang”. Begitu besar dan megahnya bangunan ini maka sering disebut candi

(sedangkan tipe bangunan yang masuk definisi candi sebenarnya adalah tempat

pemujaan). Dalam tulisan Raffles : History of Java I, 1815 disebut dengan Gapura Jati

Pasar, sementara berdasar cerita Knebel dalam tulisannya tahun 1907 menyebutnya

sebagai Gapura Wringin Lawang.[1]

A.    LOKASI

Gapura Wringin Lawang terletak di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan,

Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Tepatnya dari jalan raya Mojokerto-Jombang masuk

ke arah selatan sekitar 200 M. Jarak dari Surabaya ±68,5 KM.

Gapura Wringin Lawang ini berada di tengah-tengah pemukiman warga, sehingga

daerah disekitarnya terlihat lebih ramai dan juga terawat.

B.     UKURAN DAN BAHAN BANGUNAN

Gapura Wringin Lawang terbuat dari batu bata merah, kecuali bagian anak

tangganya yang terbuat dari batu. Bentuk gapura adalah candi bentar (candi terbelah dua)

dengan denah empat segi panjang berukuran :

         Panjang                 : 13 m

         Lebar                     : 11,5 m

         Tinggi                    : 15,50 m

Orientasi bangunan mengarah ke timur-barat dengan azimuth 279o. Jarak antara

dua bagian gapura selebar 3,5 m dengan sisa-sisa anak tangga pada sisi timur dan barat.

Diperkirakan anak tangga ini semula dibatasi oleh pipi tangga. Dari hasil penggalian

Page 5: Candi Wringin Lawang

arkeologis pada sebelah utara dan selatan gapura terdapat sisa struktur bata yang mungkin

merupakan bagian dari tembok keliling.

C.     PEMUGARAN

Pada bagian tertentu gapura telah di konsolidasi (tambal sulam). Sebelum dipugar

gapura sisi utara sebagian tubuh dan puncaknya telah hilang, tersisa tinggal setinggi 9 m.

namun gapura ini kini telah utuh kembali setelah dipugar pada Tahun Anggaran

1991/1992 s.d. 1994/1995.[2]

Adapun proses pemugaran Gapura Waringin Lawang adalah sebagai berikut:

1.      Pembongkaran bata

Pembongkaran bata dilakukan dengan cara membongkar bata yang sudah lapuk atau

rusak, kemudian diganti dengan bata merah yang baru yang warna dan ukurannya

disesuaikan dengan yang asli. Hal ini dilakukan agar bangunan terlihat lebih indah dan

lebih sempurna.

2.      Pemasangan perkuatan

Pemasangan perkuatan bertujuan untuk memperkuat dan memperkokoh bangunan

Gapura Waringin Lawang sebagai salah satu peninggalan kerajaan Majapahit.

Pemasangan perkuatan ini juga dilakukan di bangunan yang lainnya.

3.      Rekonstruksi

Rekonstruksi adalah upaya memperbaiki suatu bangunan agar menjadi lebih bagus

sebagaimana bangunan bersejarah yang memiliki arti penting. Rekonstruksi Gapura

Waringin Lawang terutama dilakukan pada salah satu sisi Gapura yang tingginya lebih

dari sisi lainnya. Jadi, setelah direkonstruksi bangunan Gapura Waringin Lawang antara

sisi kanan dengan sisi kiri terlihat simetris dan seimbang.

4.      Konservasi

Konservasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk menjaga bangunan Gapura

Waringin Lawang agar awet, terpelihara, dan tidak dirusak oleh oknum-oknum yang

tidak memiliki rasa cinta terhadap sejarah bangsanya.

5.      Penataan Lingkungan

Page 6: Candi Wringin Lawang

Penataan lingkungan dilakukan agar di sekitar bangunan Waringin Lawang. Hal ini

dilakukan dengan cara menanan tanaman hias, agar kawasan wisata sejarah Gapura

Waringin Lawang terlihat indah dan asri.

Dalam penelitian arkeologis baik dalam bentuk survey maupun penggalian di

halaman barat daya gapura ditemukan 14 buah sumur. Bentuk sumur ada dua macam

yaitu silindrik dan kubus. Dinding sumur untuk bentuk silindrik menggunakan bata

lengkung, sedang untuk dinding sumur kubus digunakan bata berbentuk kubus pula. Pada

sumur yang berbentuk silindrik dijumpai pula dinding sumur yang menggunakan jobong

yaitu semacam bis beton yang terbuat dari terakota/tanah liat bakar. Penempatan sumur di

muka rumah sampai saat ini masih banyak dijumpai di rumah-rumah tradisional.

Gapura yang diyakini sebagai pintu gerbang menuju kerajaan Majapahit ini

ditemukan dalam keadaan polos tanpa hiasan. Bangunan agung yang tersusun dari

susunan bata kini menjadi platform gapura di Jawa Timur. Sebuah ciri arsitektur

Vernakular yang bertahan berabad-abad lamanya. Gapura Wringin Lawang menempati

areal tanah seluas 616 m2.

D.    TEKHNIK PEMBUATAN

Gerbang ini lazim disebut bergaya “candi bentar” (candi terbelah dua). Gerbang

ini bukanlah candi melainkan gapura yang memang serupa benar dengan candi, akan

tetapi seolah-olah dibelah menjadi dua bagian yang sama, dari atas ke bawah sama

bentuk dan kemudian diletakkan renggang bagian atap tidak tertutup. Gaya arsitektur

seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam

arsitektur Bali.

Material pembuatan bangunan gapura ini terbuat dari batu pada bagian anak

tangganya dan bata merah pada bagian lainnya. Proses pembuatannya jauh berbeda

dengan zaman sekarang. Dalam proses pembuatannya meliputi :

         Pemilihan tempat sumber tanah liat yang diambil

         Pengayaan sampai selembut tepung

         Pencetakan

         Pembakaran juga dituntut lebih dimana warna batu bata menuntut warna yang sama,

maka kita tidak melihat warna hitam karena gosong di salah satu permukaannya

Page 7: Candi Wringin Lawang

         Setelah batu bata jadi adalah proses penyatuan batu bata menjadi struktur candi yang

meliputi penggosokan satu sama lain sehingga resiko perembesan air benar-benar

diperhatikan dan penyatuannya menggunakan campuran beberapa bahan alam antara lain

putih telur dan tetes tebu

Page 8: Candi Wringin Lawang

BAB III

GAPURA WRINGIN LAWANG DAN MAJAPAHIT

A.    SEJARAH SINGKAT KERAJAAN MAJAPAHIT

Sejarah Kerajaan masa Hindu-Budha di daerah Jawa Timur dapat dibagi menjadi 3 periode. Periode pertama adalah raja-raja dari kerajaan Kediri yang memerintah sejak abad ke 10 Masehi hingga tahun 1222 Masehi. Periode kedua dilanjutkan oleh pemerintahan raja-raja dari masa Singosari yang memerintah dari tahun 1222 Masehi hingga tahun 1293 Masehi. Periode ketiga adalah masa pemerintahan raja-raja Majapahit yang berlangsung dari tahun 1293 Masehi hingga awal abad ke 6 Masehi.[3]

Raja pertama sekaligus sebagai pendiri kerajaan Majapahit adalah Raden Wijaya.

Ia bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Pada awal pemerintahan, pusat kerajaan Majapahit

berada di daerah Tarik. Karena di wilayah tersebut banyak ditumbuhi pohon maja yang

buahnya terasa pahit, maka kerajaan yang didirikan Raden Wijaya tersebut kemudian

dinamakan “MAJAPAHIT”. Raden Wijaya memerintah dari tahun 1293 M hingga 1309

M.

Untuk memperkuat kedudukannya di atas tahta kerajaan Majapahit, Raden Wijaya

mengangkat keempat putri Raja Kertanegara sebagai permaisurinya. Keempat putrid itu

adalah Tribhuana, Narendraduhita, Pradnyaparamita, dan Gayatri.

Banyak pemberontakan yang terjadi pada awal pemerintahan Raden Wijaya yang

dilakukan oleh teman-teman seperjuangannya. Para pemberontak tidak puas atas

kedudukan atau jabatan yang diberikan kepadanya. Para pemberontak itu diantaranya

Sora, Ranggalawe, dan Nambi. Akan tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan.

Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309 M, dan dimakamkan dalam dua

tempat, yaitu dalam bentuk jina (Budha) di Antapura dan dalam bentuk Wisnu-Syiwa di

Candi Simping (dekat Blitar).[4]

Pemerintahan kemudian digantikan oleh Kaligemet yang merupakan putra Raden

Wijaya dengan Parameswari. Pada saat itu, Kaligemet masih relative muda. Ia bergelar

Jayanegara. Pada masa pemerintahannya banyak pula pemberontakan yang terjadi. Dan

Page 9: Candi Wringin Lawang

pada akhirnya, pada tahun 1328 M Jayanegara terbunuh oleh tabib pribadinya yang

bernama Tanca.

Kekuasaan selanjutnya dipegang oleh Dyah Gayatri yang dijuluki Baginda Raja

Raja Patni, yaitu istri Raden Wijaya yang merupakan salah satu putri Raja Kertanegara

dari Singosari.[5] Bersama patihnya Gajah Mada, ia berhasil menegakkan kembali

wibawa Majapahit dengan menumpas pemberontakan yang banyak terjadi. Raja Patni

kemudian mengundurkan diri sebagai raja dan menjadi pendeta Budha, dan kemudian

wafat pada 1350 masehi. Tampuk pemerintahan kemudian diserahkan kepada anaknya

yang bernama Tribhuana Wijaya Tunggadewi. Dalam menjalankan pemerintahannya, ia

dibantu oleh Patih Gajah Mada dengan ikrarnya yang dikenal dengan “Sumpah Palapa”.

Majapahit tumbuh menjadi negara yang besar dan termasyur, baik di kepulauan nusantara

maupun luar negeri.

Tribhuana Tunggadewi mengundurkan diri pada 1350 M. pemerintahan

dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahannya,

kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan. kemuliaan Raja Hayam Wuruk layaknya

“matahari” yang memanasi jagat raya, sehingga beliau disejajarkan “bagai matahari

dalam memusnahkan musuhnya”. Musnahnya para musuh menyebabkan rakyat

Majapahit sentosa, kebenaran tegak, semua tunduk, dan menyerahkan upeti pada Baginda

Raja.[6] Namun ketika Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389 M, terlebih patih

Gajah Mada juga meninggal pada tahun 1365 M negara Majapahit mengalami

kegoncangan akibat konflik saudara yang saling berebut kekukasaan.

Meninggalnya patih Gajah Mada meringkihkan persatuan dan kesatuan kerajaan

Majapahit. Negarakertagama memberitakan setelah Gajah Mada meninggal diadakan

perundingan untuk memilih seorang tokoh yang pantas menggantikan jabatannya sebagai

patih Majapahit. Tidak ada seorangpun yang berani menggantikan kedudukan patih

Gajah Mada.[7]

Pengganti Hayam Wuruk adalah putrinya yang bernama Kusumawardhani yang

menikah dengan Wikramawardhana. Sementara itu, Wirabhumi, yaitu putra Hayam

Wuruk dari selir menuntut juga tahta kerajaan. Untuk mengatasi konflik tersebut,

Majapahit kemudian dibagi menjadi 2 bagian, yaitu wilayah timur dikuasai oleh

Wirabhumi dan wilayah barat diperintah oleh Wikramawardhana bersama

Page 10: Candi Wringin Lawang

Kusumawardhani. Namun ketegangan diantara keduanya masih berlanjut hingga

kemudian terjadi perang “Paregreg” pada tahun 1403-1406 M. prang tersebut

dimenangkan oleh Wikramawardhana yang kemudian menyatukan kembali wilayah

Majapahit. Ia kemudian memerintah hingga tahun 1429.[8]

Wikramawardhana kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama Suhita yang

memerintah dari tahun 1429 M hingga 1447 M. Suhita adalah anak kedua

Wikramawardhana dari selir. Selir tersebut merupakan putrid Wirabhumi. Diharapkan

dengan diangkatnya Suhita menjadi raja akan meredakan persengketaan. Ketika Suhita

wafat, kekuasaan digantikan oleh Kertawijaya yang merupakan putra Wikramawardhana.

Pemerintahannya berlangsung singkat hingga tahun 1451 M. Pamotan kemudian menjadi

raja dengan gelar Sri Raja Sawardhana dan berkedudukan di Kahuripan. Masa

pemerintahannya sangat singkat hingga tahun 1453 M.

Majapahit mengalami “Interregnum”[9] yang mengakibatkan lemahnya

pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Pada tahun 1456 M, Bhre Wengker

kemudian tampil memegang pemerintahan. Ia adalah putra Raja Kertawijaya. Pada tahun

1466 M, ia meninggal dan kemudian digantikan oleh Bhre Pandan Salas yang bergelar

Singhawikramawardhana. Namun pada tahun 1468 M, Kertabumi menyatakan dirinya

sebagai penguasa Majapahit yang memerintah di Tumapel, sedangkan

Singhawikramawardhana kemudian menyingkir ke Daha. Pemerintahan

Singhawikramawardhana digantikan oleh putranya yang bernama Rana Wijaya yang

memerintah dari tahun 1447 M hingga 1519 M. Pada tahun 1478 M, ia mengadakan

serangan terhadap Kertabumi dan berhasil mempersatukan kembali kerajaan Majapahit

yang terpecah-pecah karena perang saudara. Rana Wijaya bergelar Grindrawardhana.

Kondisi kerajaan Majapahit yang telah rapuh dari dalam dan disertai munculnya

perkembangan baru pengaruh islam di daerah pesisir utara Jawa, pada akhirnya

menyebabkan kekuasaan Majapahit tidak dapat dipertahankan lagi.

B.     KRATON MAJAPAHIT

Istana Majapahit amat megah layaknya matahari bersinar di siang hari, bagai

bulan bersinar di malam hari. Berpagar batu bata merah amat tinggi dan kokoh, di

sebelah barat pintu gerbang (Pura Waktra) menghadap lapangan luas dilingkari parit yang

Page 11: Candi Wringin Lawang

dalam. Pohon beringin ditata berjajar dengan berbagai bentuk, dan di sini tempat para

petugas secara bergiliran menjaga balairung istana. Di sebelah utara gapura dengan pintu

besi berukir, di sebelah utara agak ke selatan terletak pasar. Di sebelah timur panggung

menjulang tinggi, terasnya berwarna putih, sedangkan di selatan ada jalan simpang empat

yang luas tempat berkumpulnya para prajurit di bulan Maret-April.

Halaman depan istana alun-alun berbentuk segi empat dengan bangunan ruang

terbuka di tengah-tengah, di sebelah utara bangunan balai penghadapan para pendeta dan

para Menteri duduk berkumpul, di timur tempat para Pendeta Siwa Budha mendiskusikan

ilmu pengetahuan berbagai jenis upacara penyucian negeri bila terjadi gerhana pada

bulan Palguna (Februari-Maret) agar negeri tetap aman dan berhasil.[10]

Kemudian di sebelah timur terdapat tempat upacara kurban api (Pahoman)

berderet tiga-tiga di tengah-tengah tenpat pemujaan Siwa amat tinggi, disusul di sebelah

selatan tempat para pendeta utama ditata berjenjang, di halamannya terdapat teras tempat

melakukan kurban. Selanjutnya, di utara tempat Pendeta Siwa Budha, bangunannya

bersusun tiga dengan puncak berukir indah, disertai bunga-bungaan yang mekar, harum

semerbak menambah indahnya Kraton Majapahit.

Di bagian dalam sebelah selatan alun-alun bersekat pintu terdapat Balirung yang

teratur, diapit bangunan indah berderet ke jalan arah barat penuh bunga-bungaan. Di

bagian barat bersekat pula, sebelah selatan panggung dengan berjenis bangunan mengitari

tepi, di tengah-tengah halaman yang amat luas terdapat Pendopo tempat berjenis-jenis

burung berkicau. Di dalamnya lagi ada Paseban memanjang ke selatan menuju pintu

gerbang kedua pura. Semua bangunan dasarnya amat kuat dengan tiang balok dan kasau

tak tercela. Di sini penuh prajurit yang menghadap secara bergantian sambil bersendau-

gurau.

Pelataran bagian dalam pintu kedua halamannya datar dan luas, indah, dan asri,

penuh dengan bangunan serta ruang terbuka tempat orang-orang mengahadap di istana, di

timurnya sebuah bangunan mengaggumkan tinggi dan indah lengkap dengan

peralatannya tempat Baginda Raja Majapahit menerima para pengahadap. Singgasana

raja dihias indah, Raja Singa Wardhana di istana selatan bersama Permaisuri serta putra

putrinya, di utara Baginda Raja Kertha Wardhana, laksana di Sorga Loka.

Page 12: Candi Wringin Lawang

Di timur bersekat dengan halaman depan istana  Raja Wengker bersama Rani

Daha sanat mengagumkan, Baginda Raja Mutahun bersama Rani Lasem berdampingan

berada di dalam, dan tak terlalu jauh di selatan tempat pemukiman Baginda Raja

Majapahit sangat indah dan asri. Di utara agak di utara pasar ada bangunan besar indah

tempat adinda Raja Wengker amat setia sebagai Patih Daha bergelar Bathara Narapati,

dan di timur laut Wisma Patih Gajah Mada. Di selatan istana adalah perumahan para

Dharma, di timur perumahan Siwa Budha serta perumahan para bangsawan, arya, dan

ksatria. Demikian secara singkat penataan istana Majapahit amat indah bercahaya laksana

matahari dan bulan.[11]

C.     SPEKULASI FUNGSI ASLI GAPURA WRINGIN LAWANG

Dugaan mengenai fungsi asli Gapura Wringin Lawang masih mengundang

banyak spekulasi, diantaranya adalah :

1.      Penafsiran paling popular menyebutkan bahwa Gapura Wringin Lawang merupakan

pintu gerbang untuk memasuki kompleks keratin kerajaan Majapahit.

2.      Penafsiran yang kedua adalah menyebutkan bahwa gapura Wringin Lawang merupakan

tempat penyambutan tamu penting kerajaan Majapahit.

3.      Penafsiran yang ketiga adalah menyebutkan bahwa gapura ini merupakan jalan masuk ke

kediaman Maha Patih Gajah Mada.

Dalam makalah ini kami akan mengkaji penafsiran yang paling populer terlebih

dahulu mengenai Gapura Wringin Lawang sebagai pintu gerbang untuk memasuki

kompleks keraton kerajaan Majapahit. Spekulasi mengenai hal ini masih menjadi

perdebatan, mengingat pusat centris kerajaan Majapahit belum ditemukan secara pasti.

Jika Gapura Wringin Lawang merupakan pintu masuk pusat keraton Majapahit

tentunya jarak bangunan satu dengan yang lain berjauhan, minimal dapat dilewati dua

kereta kuda sekaligus dan tentunya kita akan berpikir dimana posisi pejalan kakinya.

Selain itu undak-undakan anak tangga tentunya khusus pejalan kaki. Dengan demikian

untuk seukuran keraton Majapahit yang daerah kekuasaannya sanpai di daerah Kamboja

sedikit aneh memiliki gapura sekecil itu untukk ukuran cakupan daerah kekuasaan.

Page 13: Candi Wringin Lawang

Anggapan Gapura Wringin Lawang adalah tempat penyambutan tamu kerajaan.

Hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Jika daerah ini merupakan tapal batas negoro dengan monco negoro, maka apabila

ada tamu raja yang hendak ngabulu bekti atau melaporkan hal-hal penting, tentunya

proses ini tidak berjalan cepat. Dahulu pasti dilakukan oleh sekelompok orang yang

mengendarai kereta kuda dari jauh bersama para pengikutnya, ada yang naik kuda,

bahkan ada juga yang berjalan kaki. Jika hal itu kita gambarkan kita dapat 

membayangkan betapa ributnya saat itu untuk sebuah kompleks Trowulan yang dihitung

sebagai kompleks kerajaan yang diukur dengan 9x11 Km, lalu bagaimana apabila ketika

itu ada upacara besar dimana dihadiri semua raja telukan. Mungkin Gapura Wringin

Lawang ini merupakan tempat penyambutan resmi raja keluar dan kembali dari monco

nagari. Hal ini didukung juga dengan adanya undak-undak atau tangga digerbang

tersebut. Dengan demikian tidak semua orang diperkenankan memasuki tempat diantara

kedua bangunan tersebut, dan tentunya disamping-samping gapura tersebut terdapat jalan

yang lebar dengan struktur sama modernnya dengan teknik pembuatan gapura tersebut.

Penafsiran yang ketiga adalah mengenai gerbang itu merupakan jalan masuk ke

kediaman Maha Patih Gajah Mada. Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti sebagai berikut :

Pada suatu kompleks kerajaan besar, pada umumnya keraton terletak disebelah

utara dan sebelah selatan untuk pemukimam rakyatnya, jika Gapura Wringin Lawang

dihubungkan dengan gapura masuk ke ibu kota Majapahit yang terletak disebelah utara .

Bila demikian tentunya ambang gapura harus menghadap utara-selatan. Sedangkan arah

hadap Gapura Wringin Lawang ini timur-barat, sehingga diduga merupakan pintu masuk

menuju kepatihan. Sebab lain menghadap timur-barat, letaknya dekat dengan pasar dan

terpisah dari keraton. Selain itu disekitar situs ini pernah ditemukan tera kota topeng yang

bentuknya menyerupai wajah Patih Gajah Mada.

D.    FILOSOFI GAPURA WRINGIN LAWANG

a.       Bentuknya yang menyerupai puncak gunung, merupakan perlambangan dari gunung

“Mahameru” yang diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa.

b.      Terbelah menjadi dua, kanan-kiri, atas-bawah, terang-gelap lambang laki-laki dan

perempuan, lambang kesuburan, penciptaan dan adanya konsep dualisme (keseimbangan)

Page 14: Candi Wringin Lawang

c.       Pada gapura jikalau dilihat dari sisi luar, terdapat gapura kecil menempel pada bagian

induk. Gapura kecil digambarkan sebagai gerbang yang dimiliki rakyat dan yang lebih

besar merupakan gerbang milik raja. Dengan demikian arti yang terkandung adalah

kebijaksanaan raja jauh lebih besar daripada kekuasaan rakyat namun rakyat seutuhnya

dibawah perlindungan kekuatan dan kebijaksanaan raja.

E.     PERBANDINGAN GAYA LANGGAM CANDI DI JAWA TENGAH DAN JAWA

TIMUR SERTA KAITANNYA DENGAN GAPURA WRINGIN LAWANG

Skala gigantris dari gapura ini mengakibatkan banyak orang menafsirkan sebagai

candi, yang menunjukkan kredibilitas kerajaan yang memunculkan nama tenar seperti

Hayam Wuruk dan Tribuana Tunggadewi.

Kitab Negarakertagama menyebutkan 27 buah percandian[12], tetapi hanya

beberapa diantaranya yang masih dapat kita kenali hingga saat ini seperti candi Singosari,

candi Kidal, candi Jago, candi Jawi dan candi Simping. Ciri yang menyertai percandian

Majapahit adalah kaki candi yang tinggi bertingkat dengan tubuh candi dibalut bingkai

melingkar dan atap candi yang tinggi menyita atap candi. Sedangkan arsitektur Majapahit

dari bangunan profan (bukan bersifat religius) adalah gapura, pentirtaan dan kolam,

seperti halnya Gapura Wringin Lawang.

Menurut Dr. W.F Stutterheim dan Dr. H.J Kroen nama candi merupakan

kependekan dari “candika” yaitu salah satu nama dari Dewi Durga. Perbandingan gaya

atau langgam candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah sebagai berikut :

No Langgam Jawa Tengah Langgam Jawa Timur

1 Bentuk bangunan tambun Bentuk bangunan ramping

2 Atapnya berundak-undakAtapnya merupakan perpaduan

tingkatan

3 Puncaknya berbentuk Ratna/stupa Puncaknya berbentuk kubus

4 Gawang pintu dan relung berhiaskan Makara tidak ada, pintu dan relung

Page 15: Candi Wringin Lawang

kala makara atas diberi kepala kala.

5Reliefnya timbul agak tinggi dan

lukisannya naturalis

Reliefnya timbul sedikit saja dan

lukisannya simbolis menyerupai

wayang kulit

6Letak candi di tengah halaman.

Kebanyakan menghadap ke timur.

Letak candi agak di bagian belakang.

Kebanyakan menghadap ke barat.

7 Bahan candi batu andesit Bahan candi kebanyakan dari bata

Page 16: Candi Wringin Lawang

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Situs Trowulan merupakan satu-satunya situs perkotaan masa klasik di Indonesia.

Situs yang luasnya 11x9 Km, cakupannya meliputi wilayah Kecamatan Trowulan dan

Soko di Kabupaten Mojokerto serta Kecamatan Mojoagung dan Mojowarno di

Kabupaten Jombang.

Situs bekas kota kerajaan Majapahit ini dibangun di sebuah dataran yang

merupakan ujung penghabisan dari tiga jajaran gunung yaitu, Gunung Penanggungan,

Gunung Welirang, dan Gungung Anjasmara. Sedangkan kondisi geografis daerah

Trowulan mempunyai kesesuaian lahan sebagai daerah pemukiman dengan topografi

landai dan air tanah yang relative dangkal. Ratusan ribu peninggalan arkeologis dijumpai

di situs ini, salah satunya adalah Gapura Wringin Lawang.

Situs peninggalan kerajaan Majapahit yang sangat menarik ini diperoleh melalui

penelitian yang panjang. Penelitian terhadap situs Trowulan pertama kali dilakukan oleh

Wardenaar tahun 1815. Ia mendapat tugas dari Raffles untuk mengadakan pencatatan

peninggalan arkeologis di daerah Mojokerto. Hasil kerja Wardenaar dicantumkan oleh

Raffles dalam bukunya “History of Java” (1817) yang menyebutkan bahwa berbagai

objek arkeologi yang berada di Trowulan sebagai peninggalan dari kerajaan Majapahit.

Gapura Wringin Lawang terbuat dari batu untuk bagian tangganya dan bata untuk

bagian badannya. Teknik pembuatannya dengan digosokkan. Wringin artinya beringin,

lawang artinya pintu. Disebut Wringin Lawang karena dulunya di situs ini terdapat pohon

beringin. Bangunan gapura ini berbentuk candi bentar, perrnah mengalami pemugaran

pada tahun 1990an. Gapura bisa direnovasi apabila batu aslinya lebih dari 50%. Untuk

melakukan pemugaran harus memakai pedoman. Pedoman membuat pemugaran disebut

hasta kosala-kosali. Gapura Wringin Lawang bentuknya polos tidak terdapat relief karena

dihubungkan dengan pintu masuk (gapura) yang hingga kini masih menjadi spekulasi

apakah pintu masuk menuju kompleks kerajaan Majapahit ataukah gapura menuju

kediaman Maha Patih Gajah Mada (kepatihan).

Page 17: Candi Wringin Lawang

DAFTAR PUSTAKA

Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Dēśa Warṇnana uthawi Nāgara Kṛtāgama Masa

Keemasan Majapahit. Jakarta:PT Kompas Media Nusantara.

Kusumajaya, I Made, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit Di Daerah Trowulan.

Dinas Pariwisata Jawa Timur

Badrika, I Wayan. 2004. Pengetahuan Sosial Sejarah. Jakarta:PT Bumi Aksara

Kartodirdjo, Sartono. 1993. 700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai

Edisi Kedua. Surabaya:Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur

Slametmulyana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:Bhratara Karya

Aksara

http://www.kebudaya.cc.cc/s1p_Candi_Waringin_Lawang_250729. diunduh pada

tanggal 19 April 2011

http://www.ads-iklan.com/artikel-1487-Candi-Waringin-Lawang-di-Mojokerto.html.

diunduh pada tanggal 19 April 2011

http://www.majanews.com/berita-146-candi-waringin-lawang--salah-satu-peninggalan-

kerajaan-majapahit.html. diunduh pada tanggal 19 April 2011

http://badailautselatan.multiply.com/journal/item/52/

MAJAPAHIT_SEKILAS_KUNJUGAN. diunduh pada tanggal 24 April 2011

[1] Drs. I Made Kusumajaya, M.Si. dkk. Mengenal Keprbakalaan Majapahit Di Daerah Trowulan. Hal. 28[2] Ibid. Hal. 28[3] I Made Kusumajaya, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. Hal. 6[4] I Wayan Badrika. 2004. Pengetahuan Sosial Sejarah. Hal. 60[5] Dalam Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit (2009), Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U. menyatakan bahwa Dyah Gayatri merupakan permaisuri utama Raja Kerta Rajasa Jaya Wardhana (Raden Wijaya). Beliau membimbing putrinya Dyah Tri Bhuwana Tungga Dewi saat bertahta di Wolwatikta (Majapahit). Baginda Raja Patni adalah Nenekda Raja Rajasa Nagara (Hayam Wuruk), dan beliau dusejajarkan dengan Bhatari Parama Bhargawati yang bertugas melindungi alam jagat raya.[6] Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U.. 2009. Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit. Hal. 33.[7] Sartono Kartodirdjo. 1993. 700 Tahun Majapahit(1293-1993), Suatu Bunga Rampai Edisi Kedua. Hal. 58[8] I Made Kusumajaya, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. Hal. 7[9] Masa peralihan kekuasaan[10] Pararaton (Padmapuspita, 1966) melalui Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit (2009), Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U. menyatakan bahwa gerhana dianggap sebagai tanda-tanda alam yang menyiratkan berbagai makna menurut pandangan masyarakat Hindu di Bali sampai saat ini. Banyak kejadian ditandai dengan “gerhana, gunung muncul, atau gunung runtuh”[11] Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U.. 2009. Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit. Hal. 34-36[12] Slamet Mulyono, 1973, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya : Jakarta, Bharata Jaya Aksara

Page 18: Candi Wringin Lawang