Candi Wringin Lawang
-
Upload
balingkang -
Category
Documents
-
view
154 -
download
6
description
Transcript of Candi Wringin Lawang
MAKALAH CANDI WRINGIN LAWANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradaban Majapahit bukanlah sebuah dongeng ataupun legenda belaka,
keberadaannya didukung dan diperkuat oleh banyaknya bukti-bukti arkeologis yang
ditemukan. Setiap peninggalan kebesaran Majapahit mengandung nilai historis dan ilmu
pengetahuan. Salah satu peninggalan Majapahit yang hingga sekarang masih berdiri
megah adalah Gapura Wringin Lawang. Gapura ini terletak di Dukuh Wringin Lawang,
desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Gapura Wringin Lawang sering disebut pula sebagai candi Jati Pasar. Sebutan
yang digunakan terkadang gapura, terkadang juga candi. Akan tetapi lebih tepat jika
Wringin Lawang disebut dengan gapura. Walaupun serupa dengan bangunan candi,
namun Wringin Lawang seolah-olah dibelah menjadi dua bagian yang sama tanpa adanya
atap. Bangunan seperti ini disebut candi bentar.
Banyak terdapat spekulasi tentang fungsi Gapura Wringin Lawang ini. Para ahli
arkeologi berpendapat bahwa Gapura Wringin Lawang ini merupakan pintu gerbang
kerajaan Majapahit, meskipun pusat kerajaan Majapahit sendiri belum diketahui secara
pasti. Ada pula yang berpendapat bahwa Gapura ini adalah pintu masuk ke kediaman
Patih Gajah Mada, pendapat lain menyebutkan bahwa Gapura Wringin Lawang
merupakan tempat penyambutan tamu penting kerajaan. Namun yang pasti, Gapura
Wringin Lawang merupakan salah satu peninggalan kerajaan Majapahit yang masih
berdiri hingga kini.
Wringin sendiri berarti pohon beringin, sedangkan Lawang berarti pintu.
Bangunan ini disebut Wringin Lawang karena disekitarnya bangunan pada saat
ditemukan, banyak terdapat pohon beringin dan bangunan ini berbentuk seperti halnya
pintu. Bahan dasar Gapura Wringin Lawang adalah bata merah, yang merupakan salah
satu ciri peninggalan candi di Jawa Timur atau peninggalan kerajaan Majapahit dimana
candi-candinya menggunakan bahan dasar batu bata merah.
Gapura Wringin Lawang sampai sekarang telah banyak mengalami pemugaran.
Bahkan areal gapura pernah menjadi tempat pemakaman umum penduduk sekitar selama
bertahun-tahun. Namun kini demi melestarikan bangunan bersejarah ini, pohon-pohon
beringin banyak ditebang, dan pemakaman pun dipindahkan. Akan tetapi pemugaran
yang dilakukan pada tahun 1990 dapat dikatakan kurang sempurna karena antar bentar
kanan dengan kiri tidak sama ukurannya.
Hingga kini, situs Gapura Wringin Lawang digunakan oleh masyarakat sekitar
sebagai tempat yang dikeramatkan sehingga di bulan-bulan tertentu diadakan semacam
selamatan atau upacara-upacara ritual guna mencari berkah ataupun menghormati roh-roh
yang dipercaya sebagai penjaga desa Jatipasar.
B. Rumusan Masalah
Dengan mendiskripsikan Gapura Wringin Lawang dan mengetahui sejarah
singkat kerajaan Majapahit, apa sebenarnya fungsi Gapura Wringin Lawang? Apakah ada
hubungannya dengan kerajaan Majapahit? Bagaimana pendapat para ahli dan masyarakat
sekitar?
C. Tujuan
1. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan, menumbuhkan kreatifitas, kearifan, dan
semangat agar kita sebagai mahasiswa dapat terus berkembang dan menciptakan
keagungan peradaban baru.
2. Untuk mengetahui bagaimana riwayat kerajaan Majapahit, khususnya situs Gapura
Wringin Lawang di Trowulan mengingat sudah lebih dari 700 tahun peradaban Majapahit
berlalu, kebesarannya bukanlah sebuah teori dan memori, keunggulannya diharapkan
menjadi sumber inspirasi untuk menumbuhkan semangat dan menciptakan karya yang
bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang.
BAB II
DESKRIPSI OBJEK
Candi Wringin Lawang merupakan sebuah gapura megah yang terletak di
desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Candi Wringin Lawang
merupakan salah satu peninggalan kerajaan Majapahit yang masih berdiri hingga kini. Di
situs ini dulunya tumbuh sepasang pohon beringin dan karena itulah disebut “Wringin
Lawang”. Begitu besar dan megahnya bangunan ini maka sering disebut candi
(sedangkan tipe bangunan yang masuk definisi candi sebenarnya adalah tempat
pemujaan). Dalam tulisan Raffles : History of Java I, 1815 disebut dengan Gapura Jati
Pasar, sementara berdasar cerita Knebel dalam tulisannya tahun 1907 menyebutnya
sebagai Gapura Wringin Lawang.[1]
A. LOKASI
Gapura Wringin Lawang terletak di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Tepatnya dari jalan raya Mojokerto-Jombang masuk
ke arah selatan sekitar 200 M. Jarak dari Surabaya ±68,5 KM.
Gapura Wringin Lawang ini berada di tengah-tengah pemukiman warga, sehingga
daerah disekitarnya terlihat lebih ramai dan juga terawat.
B. UKURAN DAN BAHAN BANGUNAN
Gapura Wringin Lawang terbuat dari batu bata merah, kecuali bagian anak
tangganya yang terbuat dari batu. Bentuk gapura adalah candi bentar (candi terbelah dua)
dengan denah empat segi panjang berukuran :
Panjang : 13 m
Lebar : 11,5 m
Tinggi : 15,50 m
Orientasi bangunan mengarah ke timur-barat dengan azimuth 279o. Jarak antara
dua bagian gapura selebar 3,5 m dengan sisa-sisa anak tangga pada sisi timur dan barat.
Diperkirakan anak tangga ini semula dibatasi oleh pipi tangga. Dari hasil penggalian
arkeologis pada sebelah utara dan selatan gapura terdapat sisa struktur bata yang mungkin
merupakan bagian dari tembok keliling.
C. PEMUGARAN
Pada bagian tertentu gapura telah di konsolidasi (tambal sulam). Sebelum dipugar
gapura sisi utara sebagian tubuh dan puncaknya telah hilang, tersisa tinggal setinggi 9 m.
namun gapura ini kini telah utuh kembali setelah dipugar pada Tahun Anggaran
1991/1992 s.d. 1994/1995.[2]
Adapun proses pemugaran Gapura Waringin Lawang adalah sebagai berikut:
1. Pembongkaran bata
Pembongkaran bata dilakukan dengan cara membongkar bata yang sudah lapuk atau
rusak, kemudian diganti dengan bata merah yang baru yang warna dan ukurannya
disesuaikan dengan yang asli. Hal ini dilakukan agar bangunan terlihat lebih indah dan
lebih sempurna.
2. Pemasangan perkuatan
Pemasangan perkuatan bertujuan untuk memperkuat dan memperkokoh bangunan
Gapura Waringin Lawang sebagai salah satu peninggalan kerajaan Majapahit.
Pemasangan perkuatan ini juga dilakukan di bangunan yang lainnya.
3. Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah upaya memperbaiki suatu bangunan agar menjadi lebih bagus
sebagaimana bangunan bersejarah yang memiliki arti penting. Rekonstruksi Gapura
Waringin Lawang terutama dilakukan pada salah satu sisi Gapura yang tingginya lebih
dari sisi lainnya. Jadi, setelah direkonstruksi bangunan Gapura Waringin Lawang antara
sisi kanan dengan sisi kiri terlihat simetris dan seimbang.
4. Konservasi
Konservasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk menjaga bangunan Gapura
Waringin Lawang agar awet, terpelihara, dan tidak dirusak oleh oknum-oknum yang
tidak memiliki rasa cinta terhadap sejarah bangsanya.
5. Penataan Lingkungan
Penataan lingkungan dilakukan agar di sekitar bangunan Waringin Lawang. Hal ini
dilakukan dengan cara menanan tanaman hias, agar kawasan wisata sejarah Gapura
Waringin Lawang terlihat indah dan asri.
Dalam penelitian arkeologis baik dalam bentuk survey maupun penggalian di
halaman barat daya gapura ditemukan 14 buah sumur. Bentuk sumur ada dua macam
yaitu silindrik dan kubus. Dinding sumur untuk bentuk silindrik menggunakan bata
lengkung, sedang untuk dinding sumur kubus digunakan bata berbentuk kubus pula. Pada
sumur yang berbentuk silindrik dijumpai pula dinding sumur yang menggunakan jobong
yaitu semacam bis beton yang terbuat dari terakota/tanah liat bakar. Penempatan sumur di
muka rumah sampai saat ini masih banyak dijumpai di rumah-rumah tradisional.
Gapura yang diyakini sebagai pintu gerbang menuju kerajaan Majapahit ini
ditemukan dalam keadaan polos tanpa hiasan. Bangunan agung yang tersusun dari
susunan bata kini menjadi platform gapura di Jawa Timur. Sebuah ciri arsitektur
Vernakular yang bertahan berabad-abad lamanya. Gapura Wringin Lawang menempati
areal tanah seluas 616 m2.
D. TEKHNIK PEMBUATAN
Gerbang ini lazim disebut bergaya “candi bentar” (candi terbelah dua). Gerbang
ini bukanlah candi melainkan gapura yang memang serupa benar dengan candi, akan
tetapi seolah-olah dibelah menjadi dua bagian yang sama, dari atas ke bawah sama
bentuk dan kemudian diletakkan renggang bagian atap tidak tertutup. Gaya arsitektur
seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam
arsitektur Bali.
Material pembuatan bangunan gapura ini terbuat dari batu pada bagian anak
tangganya dan bata merah pada bagian lainnya. Proses pembuatannya jauh berbeda
dengan zaman sekarang. Dalam proses pembuatannya meliputi :
Pemilihan tempat sumber tanah liat yang diambil
Pengayaan sampai selembut tepung
Pencetakan
Pembakaran juga dituntut lebih dimana warna batu bata menuntut warna yang sama,
maka kita tidak melihat warna hitam karena gosong di salah satu permukaannya
Setelah batu bata jadi adalah proses penyatuan batu bata menjadi struktur candi yang
meliputi penggosokan satu sama lain sehingga resiko perembesan air benar-benar
diperhatikan dan penyatuannya menggunakan campuran beberapa bahan alam antara lain
putih telur dan tetes tebu
BAB III
GAPURA WRINGIN LAWANG DAN MAJAPAHIT
A. SEJARAH SINGKAT KERAJAAN MAJAPAHIT
Sejarah Kerajaan masa Hindu-Budha di daerah Jawa Timur dapat dibagi menjadi 3 periode. Periode pertama adalah raja-raja dari kerajaan Kediri yang memerintah sejak abad ke 10 Masehi hingga tahun 1222 Masehi. Periode kedua dilanjutkan oleh pemerintahan raja-raja dari masa Singosari yang memerintah dari tahun 1222 Masehi hingga tahun 1293 Masehi. Periode ketiga adalah masa pemerintahan raja-raja Majapahit yang berlangsung dari tahun 1293 Masehi hingga awal abad ke 6 Masehi.[3]
Raja pertama sekaligus sebagai pendiri kerajaan Majapahit adalah Raden Wijaya.
Ia bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Pada awal pemerintahan, pusat kerajaan Majapahit
berada di daerah Tarik. Karena di wilayah tersebut banyak ditumbuhi pohon maja yang
buahnya terasa pahit, maka kerajaan yang didirikan Raden Wijaya tersebut kemudian
dinamakan “MAJAPAHIT”. Raden Wijaya memerintah dari tahun 1293 M hingga 1309
M.
Untuk memperkuat kedudukannya di atas tahta kerajaan Majapahit, Raden Wijaya
mengangkat keempat putri Raja Kertanegara sebagai permaisurinya. Keempat putrid itu
adalah Tribhuana, Narendraduhita, Pradnyaparamita, dan Gayatri.
Banyak pemberontakan yang terjadi pada awal pemerintahan Raden Wijaya yang
dilakukan oleh teman-teman seperjuangannya. Para pemberontak tidak puas atas
kedudukan atau jabatan yang diberikan kepadanya. Para pemberontak itu diantaranya
Sora, Ranggalawe, dan Nambi. Akan tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan.
Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309 M, dan dimakamkan dalam dua
tempat, yaitu dalam bentuk jina (Budha) di Antapura dan dalam bentuk Wisnu-Syiwa di
Candi Simping (dekat Blitar).[4]
Pemerintahan kemudian digantikan oleh Kaligemet yang merupakan putra Raden
Wijaya dengan Parameswari. Pada saat itu, Kaligemet masih relative muda. Ia bergelar
Jayanegara. Pada masa pemerintahannya banyak pula pemberontakan yang terjadi. Dan
pada akhirnya, pada tahun 1328 M Jayanegara terbunuh oleh tabib pribadinya yang
bernama Tanca.
Kekuasaan selanjutnya dipegang oleh Dyah Gayatri yang dijuluki Baginda Raja
Raja Patni, yaitu istri Raden Wijaya yang merupakan salah satu putri Raja Kertanegara
dari Singosari.[5] Bersama patihnya Gajah Mada, ia berhasil menegakkan kembali
wibawa Majapahit dengan menumpas pemberontakan yang banyak terjadi. Raja Patni
kemudian mengundurkan diri sebagai raja dan menjadi pendeta Budha, dan kemudian
wafat pada 1350 masehi. Tampuk pemerintahan kemudian diserahkan kepada anaknya
yang bernama Tribhuana Wijaya Tunggadewi. Dalam menjalankan pemerintahannya, ia
dibantu oleh Patih Gajah Mada dengan ikrarnya yang dikenal dengan “Sumpah Palapa”.
Majapahit tumbuh menjadi negara yang besar dan termasyur, baik di kepulauan nusantara
maupun luar negeri.
Tribhuana Tunggadewi mengundurkan diri pada 1350 M. pemerintahan
dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahannya,
kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan. kemuliaan Raja Hayam Wuruk layaknya
“matahari” yang memanasi jagat raya, sehingga beliau disejajarkan “bagai matahari
dalam memusnahkan musuhnya”. Musnahnya para musuh menyebabkan rakyat
Majapahit sentosa, kebenaran tegak, semua tunduk, dan menyerahkan upeti pada Baginda
Raja.[6] Namun ketika Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389 M, terlebih patih
Gajah Mada juga meninggal pada tahun 1365 M negara Majapahit mengalami
kegoncangan akibat konflik saudara yang saling berebut kekukasaan.
Meninggalnya patih Gajah Mada meringkihkan persatuan dan kesatuan kerajaan
Majapahit. Negarakertagama memberitakan setelah Gajah Mada meninggal diadakan
perundingan untuk memilih seorang tokoh yang pantas menggantikan jabatannya sebagai
patih Majapahit. Tidak ada seorangpun yang berani menggantikan kedudukan patih
Gajah Mada.[7]
Pengganti Hayam Wuruk adalah putrinya yang bernama Kusumawardhani yang
menikah dengan Wikramawardhana. Sementara itu, Wirabhumi, yaitu putra Hayam
Wuruk dari selir menuntut juga tahta kerajaan. Untuk mengatasi konflik tersebut,
Majapahit kemudian dibagi menjadi 2 bagian, yaitu wilayah timur dikuasai oleh
Wirabhumi dan wilayah barat diperintah oleh Wikramawardhana bersama
Kusumawardhani. Namun ketegangan diantara keduanya masih berlanjut hingga
kemudian terjadi perang “Paregreg” pada tahun 1403-1406 M. prang tersebut
dimenangkan oleh Wikramawardhana yang kemudian menyatukan kembali wilayah
Majapahit. Ia kemudian memerintah hingga tahun 1429.[8]
Wikramawardhana kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama Suhita yang
memerintah dari tahun 1429 M hingga 1447 M. Suhita adalah anak kedua
Wikramawardhana dari selir. Selir tersebut merupakan putrid Wirabhumi. Diharapkan
dengan diangkatnya Suhita menjadi raja akan meredakan persengketaan. Ketika Suhita
wafat, kekuasaan digantikan oleh Kertawijaya yang merupakan putra Wikramawardhana.
Pemerintahannya berlangsung singkat hingga tahun 1451 M. Pamotan kemudian menjadi
raja dengan gelar Sri Raja Sawardhana dan berkedudukan di Kahuripan. Masa
pemerintahannya sangat singkat hingga tahun 1453 M.
Majapahit mengalami “Interregnum”[9] yang mengakibatkan lemahnya
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Pada tahun 1456 M, Bhre Wengker
kemudian tampil memegang pemerintahan. Ia adalah putra Raja Kertawijaya. Pada tahun
1466 M, ia meninggal dan kemudian digantikan oleh Bhre Pandan Salas yang bergelar
Singhawikramawardhana. Namun pada tahun 1468 M, Kertabumi menyatakan dirinya
sebagai penguasa Majapahit yang memerintah di Tumapel, sedangkan
Singhawikramawardhana kemudian menyingkir ke Daha. Pemerintahan
Singhawikramawardhana digantikan oleh putranya yang bernama Rana Wijaya yang
memerintah dari tahun 1447 M hingga 1519 M. Pada tahun 1478 M, ia mengadakan
serangan terhadap Kertabumi dan berhasil mempersatukan kembali kerajaan Majapahit
yang terpecah-pecah karena perang saudara. Rana Wijaya bergelar Grindrawardhana.
Kondisi kerajaan Majapahit yang telah rapuh dari dalam dan disertai munculnya
perkembangan baru pengaruh islam di daerah pesisir utara Jawa, pada akhirnya
menyebabkan kekuasaan Majapahit tidak dapat dipertahankan lagi.
B. KRATON MAJAPAHIT
Istana Majapahit amat megah layaknya matahari bersinar di siang hari, bagai
bulan bersinar di malam hari. Berpagar batu bata merah amat tinggi dan kokoh, di
sebelah barat pintu gerbang (Pura Waktra) menghadap lapangan luas dilingkari parit yang
dalam. Pohon beringin ditata berjajar dengan berbagai bentuk, dan di sini tempat para
petugas secara bergiliran menjaga balairung istana. Di sebelah utara gapura dengan pintu
besi berukir, di sebelah utara agak ke selatan terletak pasar. Di sebelah timur panggung
menjulang tinggi, terasnya berwarna putih, sedangkan di selatan ada jalan simpang empat
yang luas tempat berkumpulnya para prajurit di bulan Maret-April.
Halaman depan istana alun-alun berbentuk segi empat dengan bangunan ruang
terbuka di tengah-tengah, di sebelah utara bangunan balai penghadapan para pendeta dan
para Menteri duduk berkumpul, di timur tempat para Pendeta Siwa Budha mendiskusikan
ilmu pengetahuan berbagai jenis upacara penyucian negeri bila terjadi gerhana pada
bulan Palguna (Februari-Maret) agar negeri tetap aman dan berhasil.[10]
Kemudian di sebelah timur terdapat tempat upacara kurban api (Pahoman)
berderet tiga-tiga di tengah-tengah tenpat pemujaan Siwa amat tinggi, disusul di sebelah
selatan tempat para pendeta utama ditata berjenjang, di halamannya terdapat teras tempat
melakukan kurban. Selanjutnya, di utara tempat Pendeta Siwa Budha, bangunannya
bersusun tiga dengan puncak berukir indah, disertai bunga-bungaan yang mekar, harum
semerbak menambah indahnya Kraton Majapahit.
Di bagian dalam sebelah selatan alun-alun bersekat pintu terdapat Balirung yang
teratur, diapit bangunan indah berderet ke jalan arah barat penuh bunga-bungaan. Di
bagian barat bersekat pula, sebelah selatan panggung dengan berjenis bangunan mengitari
tepi, di tengah-tengah halaman yang amat luas terdapat Pendopo tempat berjenis-jenis
burung berkicau. Di dalamnya lagi ada Paseban memanjang ke selatan menuju pintu
gerbang kedua pura. Semua bangunan dasarnya amat kuat dengan tiang balok dan kasau
tak tercela. Di sini penuh prajurit yang menghadap secara bergantian sambil bersendau-
gurau.
Pelataran bagian dalam pintu kedua halamannya datar dan luas, indah, dan asri,
penuh dengan bangunan serta ruang terbuka tempat orang-orang mengahadap di istana, di
timurnya sebuah bangunan mengaggumkan tinggi dan indah lengkap dengan
peralatannya tempat Baginda Raja Majapahit menerima para pengahadap. Singgasana
raja dihias indah, Raja Singa Wardhana di istana selatan bersama Permaisuri serta putra
putrinya, di utara Baginda Raja Kertha Wardhana, laksana di Sorga Loka.
Di timur bersekat dengan halaman depan istana Raja Wengker bersama Rani
Daha sanat mengagumkan, Baginda Raja Mutahun bersama Rani Lasem berdampingan
berada di dalam, dan tak terlalu jauh di selatan tempat pemukiman Baginda Raja
Majapahit sangat indah dan asri. Di utara agak di utara pasar ada bangunan besar indah
tempat adinda Raja Wengker amat setia sebagai Patih Daha bergelar Bathara Narapati,
dan di timur laut Wisma Patih Gajah Mada. Di selatan istana adalah perumahan para
Dharma, di timur perumahan Siwa Budha serta perumahan para bangsawan, arya, dan
ksatria. Demikian secara singkat penataan istana Majapahit amat indah bercahaya laksana
matahari dan bulan.[11]
C. SPEKULASI FUNGSI ASLI GAPURA WRINGIN LAWANG
Dugaan mengenai fungsi asli Gapura Wringin Lawang masih mengundang
banyak spekulasi, diantaranya adalah :
1. Penafsiran paling popular menyebutkan bahwa Gapura Wringin Lawang merupakan
pintu gerbang untuk memasuki kompleks keratin kerajaan Majapahit.
2. Penafsiran yang kedua adalah menyebutkan bahwa gapura Wringin Lawang merupakan
tempat penyambutan tamu penting kerajaan Majapahit.
3. Penafsiran yang ketiga adalah menyebutkan bahwa gapura ini merupakan jalan masuk ke
kediaman Maha Patih Gajah Mada.
Dalam makalah ini kami akan mengkaji penafsiran yang paling populer terlebih
dahulu mengenai Gapura Wringin Lawang sebagai pintu gerbang untuk memasuki
kompleks keraton kerajaan Majapahit. Spekulasi mengenai hal ini masih menjadi
perdebatan, mengingat pusat centris kerajaan Majapahit belum ditemukan secara pasti.
Jika Gapura Wringin Lawang merupakan pintu masuk pusat keraton Majapahit
tentunya jarak bangunan satu dengan yang lain berjauhan, minimal dapat dilewati dua
kereta kuda sekaligus dan tentunya kita akan berpikir dimana posisi pejalan kakinya.
Selain itu undak-undakan anak tangga tentunya khusus pejalan kaki. Dengan demikian
untuk seukuran keraton Majapahit yang daerah kekuasaannya sanpai di daerah Kamboja
sedikit aneh memiliki gapura sekecil itu untukk ukuran cakupan daerah kekuasaan.
Anggapan Gapura Wringin Lawang adalah tempat penyambutan tamu kerajaan.
Hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Jika daerah ini merupakan tapal batas negoro dengan monco negoro, maka apabila
ada tamu raja yang hendak ngabulu bekti atau melaporkan hal-hal penting, tentunya
proses ini tidak berjalan cepat. Dahulu pasti dilakukan oleh sekelompok orang yang
mengendarai kereta kuda dari jauh bersama para pengikutnya, ada yang naik kuda,
bahkan ada juga yang berjalan kaki. Jika hal itu kita gambarkan kita dapat
membayangkan betapa ributnya saat itu untuk sebuah kompleks Trowulan yang dihitung
sebagai kompleks kerajaan yang diukur dengan 9x11 Km, lalu bagaimana apabila ketika
itu ada upacara besar dimana dihadiri semua raja telukan. Mungkin Gapura Wringin
Lawang ini merupakan tempat penyambutan resmi raja keluar dan kembali dari monco
nagari. Hal ini didukung juga dengan adanya undak-undak atau tangga digerbang
tersebut. Dengan demikian tidak semua orang diperkenankan memasuki tempat diantara
kedua bangunan tersebut, dan tentunya disamping-samping gapura tersebut terdapat jalan
yang lebar dengan struktur sama modernnya dengan teknik pembuatan gapura tersebut.
Penafsiran yang ketiga adalah mengenai gerbang itu merupakan jalan masuk ke
kediaman Maha Patih Gajah Mada. Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti sebagai berikut :
Pada suatu kompleks kerajaan besar, pada umumnya keraton terletak disebelah
utara dan sebelah selatan untuk pemukimam rakyatnya, jika Gapura Wringin Lawang
dihubungkan dengan gapura masuk ke ibu kota Majapahit yang terletak disebelah utara .
Bila demikian tentunya ambang gapura harus menghadap utara-selatan. Sedangkan arah
hadap Gapura Wringin Lawang ini timur-barat, sehingga diduga merupakan pintu masuk
menuju kepatihan. Sebab lain menghadap timur-barat, letaknya dekat dengan pasar dan
terpisah dari keraton. Selain itu disekitar situs ini pernah ditemukan tera kota topeng yang
bentuknya menyerupai wajah Patih Gajah Mada.
D. FILOSOFI GAPURA WRINGIN LAWANG
a. Bentuknya yang menyerupai puncak gunung, merupakan perlambangan dari gunung
“Mahameru” yang diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa.
b. Terbelah menjadi dua, kanan-kiri, atas-bawah, terang-gelap lambang laki-laki dan
perempuan, lambang kesuburan, penciptaan dan adanya konsep dualisme (keseimbangan)
c. Pada gapura jikalau dilihat dari sisi luar, terdapat gapura kecil menempel pada bagian
induk. Gapura kecil digambarkan sebagai gerbang yang dimiliki rakyat dan yang lebih
besar merupakan gerbang milik raja. Dengan demikian arti yang terkandung adalah
kebijaksanaan raja jauh lebih besar daripada kekuasaan rakyat namun rakyat seutuhnya
dibawah perlindungan kekuatan dan kebijaksanaan raja.
E. PERBANDINGAN GAYA LANGGAM CANDI DI JAWA TENGAH DAN JAWA
TIMUR SERTA KAITANNYA DENGAN GAPURA WRINGIN LAWANG
Skala gigantris dari gapura ini mengakibatkan banyak orang menafsirkan sebagai
candi, yang menunjukkan kredibilitas kerajaan yang memunculkan nama tenar seperti
Hayam Wuruk dan Tribuana Tunggadewi.
Kitab Negarakertagama menyebutkan 27 buah percandian[12], tetapi hanya
beberapa diantaranya yang masih dapat kita kenali hingga saat ini seperti candi Singosari,
candi Kidal, candi Jago, candi Jawi dan candi Simping. Ciri yang menyertai percandian
Majapahit adalah kaki candi yang tinggi bertingkat dengan tubuh candi dibalut bingkai
melingkar dan atap candi yang tinggi menyita atap candi. Sedangkan arsitektur Majapahit
dari bangunan profan (bukan bersifat religius) adalah gapura, pentirtaan dan kolam,
seperti halnya Gapura Wringin Lawang.
Menurut Dr. W.F Stutterheim dan Dr. H.J Kroen nama candi merupakan
kependekan dari “candika” yaitu salah satu nama dari Dewi Durga. Perbandingan gaya
atau langgam candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah sebagai berikut :
No Langgam Jawa Tengah Langgam Jawa Timur
1 Bentuk bangunan tambun Bentuk bangunan ramping
2 Atapnya berundak-undakAtapnya merupakan perpaduan
tingkatan
3 Puncaknya berbentuk Ratna/stupa Puncaknya berbentuk kubus
4 Gawang pintu dan relung berhiaskan Makara tidak ada, pintu dan relung
kala makara atas diberi kepala kala.
5Reliefnya timbul agak tinggi dan
lukisannya naturalis
Reliefnya timbul sedikit saja dan
lukisannya simbolis menyerupai
wayang kulit
6Letak candi di tengah halaman.
Kebanyakan menghadap ke timur.
Letak candi agak di bagian belakang.
Kebanyakan menghadap ke barat.
7 Bahan candi batu andesit Bahan candi kebanyakan dari bata
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Situs Trowulan merupakan satu-satunya situs perkotaan masa klasik di Indonesia.
Situs yang luasnya 11x9 Km, cakupannya meliputi wilayah Kecamatan Trowulan dan
Soko di Kabupaten Mojokerto serta Kecamatan Mojoagung dan Mojowarno di
Kabupaten Jombang.
Situs bekas kota kerajaan Majapahit ini dibangun di sebuah dataran yang
merupakan ujung penghabisan dari tiga jajaran gunung yaitu, Gunung Penanggungan,
Gunung Welirang, dan Gungung Anjasmara. Sedangkan kondisi geografis daerah
Trowulan mempunyai kesesuaian lahan sebagai daerah pemukiman dengan topografi
landai dan air tanah yang relative dangkal. Ratusan ribu peninggalan arkeologis dijumpai
di situs ini, salah satunya adalah Gapura Wringin Lawang.
Situs peninggalan kerajaan Majapahit yang sangat menarik ini diperoleh melalui
penelitian yang panjang. Penelitian terhadap situs Trowulan pertama kali dilakukan oleh
Wardenaar tahun 1815. Ia mendapat tugas dari Raffles untuk mengadakan pencatatan
peninggalan arkeologis di daerah Mojokerto. Hasil kerja Wardenaar dicantumkan oleh
Raffles dalam bukunya “History of Java” (1817) yang menyebutkan bahwa berbagai
objek arkeologi yang berada di Trowulan sebagai peninggalan dari kerajaan Majapahit.
Gapura Wringin Lawang terbuat dari batu untuk bagian tangganya dan bata untuk
bagian badannya. Teknik pembuatannya dengan digosokkan. Wringin artinya beringin,
lawang artinya pintu. Disebut Wringin Lawang karena dulunya di situs ini terdapat pohon
beringin. Bangunan gapura ini berbentuk candi bentar, perrnah mengalami pemugaran
pada tahun 1990an. Gapura bisa direnovasi apabila batu aslinya lebih dari 50%. Untuk
melakukan pemugaran harus memakai pedoman. Pedoman membuat pemugaran disebut
hasta kosala-kosali. Gapura Wringin Lawang bentuknya polos tidak terdapat relief karena
dihubungkan dengan pintu masuk (gapura) yang hingga kini masih menjadi spekulasi
apakah pintu masuk menuju kompleks kerajaan Majapahit ataukah gapura menuju
kediaman Maha Patih Gajah Mada (kepatihan).
DAFTAR PUSTAKA
Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Dēśa Warṇnana uthawi Nāgara Kṛtāgama Masa
Keemasan Majapahit. Jakarta:PT Kompas Media Nusantara.
Kusumajaya, I Made, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit Di Daerah Trowulan.
Dinas Pariwisata Jawa Timur
Badrika, I Wayan. 2004. Pengetahuan Sosial Sejarah. Jakarta:PT Bumi Aksara
Kartodirdjo, Sartono. 1993. 700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai
Edisi Kedua. Surabaya:Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur
Slametmulyana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:Bhratara Karya
Aksara
http://www.kebudaya.cc.cc/s1p_Candi_Waringin_Lawang_250729. diunduh pada
tanggal 19 April 2011
http://www.ads-iklan.com/artikel-1487-Candi-Waringin-Lawang-di-Mojokerto.html.
diunduh pada tanggal 19 April 2011
http://www.majanews.com/berita-146-candi-waringin-lawang--salah-satu-peninggalan-
kerajaan-majapahit.html. diunduh pada tanggal 19 April 2011
http://badailautselatan.multiply.com/journal/item/52/
MAJAPAHIT_SEKILAS_KUNJUGAN. diunduh pada tanggal 24 April 2011
[1] Drs. I Made Kusumajaya, M.Si. dkk. Mengenal Keprbakalaan Majapahit Di Daerah Trowulan. Hal. 28[2] Ibid. Hal. 28[3] I Made Kusumajaya, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. Hal. 6[4] I Wayan Badrika. 2004. Pengetahuan Sosial Sejarah. Hal. 60[5] Dalam Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit (2009), Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U. menyatakan bahwa Dyah Gayatri merupakan permaisuri utama Raja Kerta Rajasa Jaya Wardhana (Raden Wijaya). Beliau membimbing putrinya Dyah Tri Bhuwana Tungga Dewi saat bertahta di Wolwatikta (Majapahit). Baginda Raja Patni adalah Nenekda Raja Rajasa Nagara (Hayam Wuruk), dan beliau dusejajarkan dengan Bhatari Parama Bhargawati yang bertugas melindungi alam jagat raya.[6] Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U.. 2009. Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit. Hal. 33.[7] Sartono Kartodirdjo. 1993. 700 Tahun Majapahit(1293-1993), Suatu Bunga Rampai Edisi Kedua. Hal. 58[8] I Made Kusumajaya, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. Hal. 7[9] Masa peralihan kekuasaan[10] Pararaton (Padmapuspita, 1966) melalui Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit (2009), Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U. menyatakan bahwa gerhana dianggap sebagai tanda-tanda alam yang menyiratkan berbagai makna menurut pandangan masyarakat Hindu di Bali sampai saat ini. Banyak kejadian ditandai dengan “gerhana, gunung muncul, atau gunung runtuh”[11] Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U.. 2009. Nāgara Kṛtāgama Masa Keemasan Majapahit. Hal. 34-36[12] Slamet Mulyono, 1973, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya : Jakarta, Bharata Jaya Aksara