Camar Jonathan

21
Didik Fotunadi - Theater material, 2006 1 Untuk Jonathan Camar yang nyata Yang hidup di dalam diri kita semua Didik Fotunadi, Happening Art, lapangan Rumah Sakit INCO, August 2000 Ambil keputusan sekarang juga untuk membuat diri anda lebih berdaya serta bertanggungjawab untuk sebuah pencapaian maksimum. Meskipun tersedia pengetahuan dan alat bantu luar biasa, pengetahuan dan alat bantu itu sendiri tidak akan menciptakan perubahan. Kitalah yang harus melakukan perubahan tersebut dengan cara bertindak “Life will never be the same again” BAGIAN SATU Ketika itu pagi hari, matahari yang baru terbit membuat warna emas gemerlap di atas riak-riak laut yang tenang. Satu mil dari pantai sebuah perahu nelayan meluncur di permukaan air, dan berita untuk kawanan makan pagi menyebar di udara, sampai satu kelompok yang terdiri dari seribu ekor camar dating menukik dan berebut makanan. Itu adalah awal dari hari yang sibuk. Tetapi disana, jauh dari perahu-perahu dan pantai, Jonathan Camar sedang berlatih sendirian tanpa teman. Setinggi seratus kaki di langit dia menurunkan kakinya yang berselaput, mengangkat paruhnya, dan “strained” untuk menahan sakit dalam usaha keras untuk melengkungkan sayap-sayapnya. Lengkungan berarti dia akan terbang perlahan-lahan, dan sekarang dia melambatkan

Transcript of Camar Jonathan

Page 1: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 1

Untuk Jonathan Camar yang nyata Yang hidup di dalam diri kita semua

Didik Fotunadi, Happening Art, lapangan Rumah Sakit INCO, August 2000

Ambil keputusan sekarang juga untuk membuat diri anda lebih berdaya serta bertanggungjawab untuk sebuah pencapaian maksimum. Meskipun tersedia pengetahuan dan alat bantu luar biasa, pengetahuan dan alat bantu itu sendiri tidak akan menciptakan perubahan. Kitalah yang harus melakukan perubahan tersebut dengan cara bertindak

“Life will never be the same again”

BAGIAN SATU

Ketika itu pagi hari, matahari yang baru terbit membuat warna emas

gemerlap di atas riak-riak laut yang tenang.

Satu mil dari pantai sebuah perahu nelayan meluncur di permukaan air,

dan berita untuk kawanan makan pagi menyebar di udara, sampai satu kelompok

yang terdiri dari seribu ekor camar dating menukik dan berebut makanan. Itu

adalah awal dari hari yang sibuk.

Tetapi disana, jauh dari perahu-perahu dan pantai, Jonathan Camar sedang

berlatih sendirian tanpa teman. Setinggi seratus kaki di langit dia menurunkan

kakinya yang berselaput, mengangkat paruhnya, dan “strained” untuk menahan

sakit dalam usaha keras untuk melengkungkan sayap-sayapnya. Lengkungan

berarti dia akan terbang perlahan-lahan, dan sekarang dia melambatkan

Page 2: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 2

terbangnya sampai terpaan angin merupakan bisikan pada wajahnya, sampai laut

diam tidak bergerak di bawahnya.

Dalam konsentrasi yang keras dia menyempitkan matanya, menahan nafas,

memaksakan satu … inci … lagi … lengkungan .. kemudian bulu-bulunya tegak,

terbangnya terhenti dan jatuh.

Burung camar, seperti yang anda tahu, tidak pernah terhenti luncurannya,

tidak pernah mengalami kegagalan. Berhenti di udara bagi mereka memalukan

dan itu merupakan kehilangan kehormatan.

Tetapi Jonathan Livingston Camar bukanlah seekor burung biasa. Tanpa

malu2 dia merentangkan sayapnya, mencoba melengkungkan kembali –

melambat, melambat, dan berhenti sama sekali.

Kebanyakan dari burung camar tidak pernah repot-repot mempelajari lebih

dari cara terbang yang paling sederhana – bagaimana caranya pergi dari pantai

untuk mencari makanan dan kembali lagi. Bagi kebanyakan camar, bukan terbang

yang penting, melainkan makan. Walaupun demikian, bagi Jonathan Livingston

Camar, bukan makan yang penting, melainkan terbang. Jonathan Livingston

menyukai terbang lebih dari apapun lainnya.

Dia tahu menemukan, cara berpikir seperti ini bukanlah cara untuk

membuat dirinya disukai oleh burung2 lain. Bahkan ayah ibunya merasa kurang

senang karena ia menghabiskan seluruh harinya sendirian, melakukan perconbaan

ratusan kali luncuran dengan ketinggian rendah.

Dia tidak tahu mengapa, misalnya, tetapi kalau dia terbang pada

ketinggian kurang dari separuh rentangan sayapnya di atas permukaan air, dia bisa

tetap tinggal di udara lebih lama, dengan upaya yang lebih ringan. Luncurannya

berakhir bukan dengan ceburan kaki yang biasa dia melakukannya di laut, tetapi

dengan saputan rata yang panjang sementara ia menyentuh permukaan air dengan

kaki masih merapat ke tubuhnya. Kalau dia mulai meluncur dengan pendaratan

kaki merapat ke tubuh di pantai, kemudian meneruskan luncurannya di pasir,

kedua induknya benar-benar merasa tidak senang.

“Mengapa, Jon, mengapa?” ibunya bertanya. “Mengapa begitu sulit

bagimu menjadi seperti anggota kawanan lainnya, Jon? Mengapa kau tidak

menyerahkan saja terbang rendah kepada burung pelican, kepada burung

albatross? Mengapa kau tidak makan? Nak, kau tinggal tulang dan bulu!”

“Aku tidak peduli hanya menjadi tulang dan bulu, Mak. Aku hanya ingin

tahu apa yang bisa kulakukan dan apa yang tidak bisa kulakukan di udara, itu saja.

Aku hanya ingin tahu.”

“Coba dengar, Jonathan,” kata ayahnya, bukan dengan sikap kasar.

“Musim dingin tidak lama lagi tiba. Perahu akan sedikit sekali, dan ikan yang

biasanya tinggal dipermukaan air akan menyelam lebih dalam. Kalau kau harus

belajar, maka belajarlah tentang makanan, dan bagaimana cara mendapatkannya.

Semua urusan terbang ini memang baik sekali, tetapi ketahuilah kau tidak bisa

makan dengan kepandaian meluncur. Jangan lupa alasan mengapa kau harus

terbang adalah untuk makan.”

Jonathan menganggukkan kepala dengan patuh. Selama beberapa hari

berikutnya dia berusaha berperilaku sopan seperti camar-camar lainnya; dia

benar-benar berusaha, memekik-nekik dan berkelahi dengan anggota kawanan

lainnya di sekitar dermaga dan perahu-perahu nelayan, menukik mengejar

kepingan-kepingan ikan dan roti. Tetapi ia tidak suka akan hal tersebut.

Semua ini tidak ada gunanya, dia berfikir, sambil dengan sengaja

menjatuhkan seekor ikan teri yang baru direbutnya dengan susah payah kepada

Page 3: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 3

seekor camar tua kelaparan yang mengejarnya. Aku bisa melewatkan sepanjang

waktu ini untuk belajar terbang. Banyak sekali yang harus dipelajari!

Tak lama kemudian Jonathan Camar sudah kembali ke sifatnya semula,

jauh dari laut, lapar, bahagia, belajar.

Mata pelajarannya adalah kecepatan, dan dalam latihan seminggu dia

sudah mempelajari tentang kecepatan lebih banyak daripada burung camar yang

tercepat yang pernah hidup.

Dari ketinggian seribu kaki, dengan mengepak-ngepakkan sayapnya

dengan sekeras-kerasnya, dia mendorong tubuhnya ke penerjunan tajam secepat

kilat ke arah ombak, dan mengetahui mengapa camar tidak melakukan penerjunan

tajam dan kuat secepat kilat. Hanya dalam waktu enam detik dia meluncur dengan

kecepatan tujuh puluh mil per jam, sebuah kecepatan yang menyebabkan sayap

menjadi tidak stabil pada gerakan ke atas.

Berulang kali ini terjadi. Walaupun dia berhati-hati, berusaha dengan

puncak kemampuannya, dia kehilangan kendali pada kecepatan tinggi.

Dia naik kembali ke ketinggian seribu kaki. Dengan kekuatan penuh dia

meluncur lurus ke depan lebih dulu, kemudian mendorong tubuhnya, dengan

mengepakkan sayap, ke penerjunan vertical. Kemudian, setiap kali, sayap kirinya

mengalami kemandekan pada gerakan ke atas, dia berguling dengan keras ke kiri,

menghentikan gerakan sayap kananya untuk mengembalikan posisi, dan seperti

kilat berguling jungkir balik ke kanan.

Dia tidak bisa lebih berhati-hati pada gerakan ke atas itu. Sepuluh kali dia

mencoba, dan dalam sepuluh kali itu, sementara dia meluncur dengan kecepatan

tujuh puluh mil per jam, bulu-bulunya menjadi kacau, kehilangan kendali, dan

tercebur ke air.

Pada akhirnya dia berfikir, dengan tubuh basah kuyup, harus menahan

kedua sayapnya tetap diam pada kecepatan tinggi – mengepakkan sayap untuk

mengurangi kecepatan menjadi lima puluh mil per jam dan kemudian menahan

sayapnya agar tidak bergerak.

Dari ketinggian dua ribu kaki dia mencoba lagi, berguling untuk terjun,

paruh lurus ke bawah, sayap terentang penuh dan stabil sejak saat dia melewati

kecepatan lima puluh mil per jam. Diperlukan tenaga yang luar biasa besarnya,

kali ini dia berhasil. Dalam waktu sepuluh detik dia tampak kabur dalam

kecepatan sembilan puluh mil per jam. Jonathan telah membuat rekor kecepatan

bagi burung camar.

Tetapi kemenangannya berumur pendek. Pada saat dia memulai tarikan,

pada saat dia mengubah sudut sayapnya, dia terseret ke dalam bencana yang tak

terkendali mengerikan, dan pada kecepatan sembilan puluh mil per jam bencana

ini menghantamnya seperti dinamit. Jonathan Camar berantakan di udara dan

terhempas ke permukaan laut yang kini sekeras batu bata.

Setelah dia sadarkan diri kembali, hari sudah lewat senja, dan dia

terapung-apung dalam sinar bulan di permukaan samudra. Saypnya seperti

cabikan-cabikan batangan timah, tetapi beban kegagalan bahkan lebih berat pada

punggungnya. Dia menginginkan, dengan lemah, bahwa bobot badanya cukup

berat sehingga bisa menyeretnya pelahan ke dasar laut, dan mengakhiri segala-

galanya.

Sementara dia tenggelam tidak terlalu dalam di air, suara aneh yang

kosong berbunyi pada di dalam dirinya. Tidak ada cara untuk menghindarinya.

Page 4: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 4

Aku seekor burung camar. Aku terbatas dalam sifat-sifatku. Seandainya aku bisa

belajar lebih banyak tentang terbang, aku seharusnya punya peta untuk otakku.

Seandainya aku bisa terbang dengan kecepatan lebih tinggi, aku seharusnya punya

sayap elang yang pendek, hidup dengan makan tikus bukannya ikan. Ayahku

benar. Aku harus melupakan ketololan ini. Aku harus terbang pulang ke

kelompokku dan merasa puas sebagai diriku sendiri, sebagai burung camar yang

serba terbatas.

Suara ini menghilang, dan Jonathan sependapat. Tempat bagi seekor

burung camar di malam hari adalah di pantai, dan sejak saat ini dan seterusnya,

dia bersumpah, dia akan menjadi camar yang normal. Itu akan membuat siapa saja

lebih berbahagia.

Dia mendorong tubuhnya dengan kelelahan dari air yang gelap yang gelap

dan terbang menuju daratan, merasa bersyukur untuk apa yang telah dipelajarinya

tentang terbang rendah yang menghemat tenaga.

Tetapi tidak, pikirnya. Aku sudah mengakhiri cara-cara yang kulakukan

dulu, aku sudah mengakhiri segala hal yang kupelajari. Aku seekor burung camar

seperti setiap burung camar lainnya, dan aku akan terbang seperti burung camar.

Maka dia naik dengan susah payah ke ketinggian seratus kaki dan mengepak-

ngepakkan sayapnya lebih keras, tergesa-gesa menuju pantai.

Dia merasa lebih baik dalam keputusannya hanya menjadi salah satu dari

Kawanan. Sekarang tidak akan ada ikatan dengan daya yang mendorong untuk

belajar, tidak akan ada lagi tantangan dan tidak akan ada lagi kegagalan. Dan ini

menyenangkan sekali, hanya berhenti berfikir, dan terbang menembus kegelapan,

menuju lampu-lampu di atas pantai.

Gelap ! Suara kosong ini terdengar lagi dalam ketakutan. Burung camar

tidak pernah terbang dalam gelap!

Jonathan tidak siap mendengarkan suara itu. Ini bagus sekali, pikirnya.

Bulan dan cahaya yang berkedip-kedip dipermukaan air, memantulkan berkas

cahaya mercusuar yang kecil-kecil di malam hari., dan semua terasa begitu damai

dan tenang …

Turun! Burung camar tidak pernah terbang dalam gelap! Kalau kau

diciptakan untuk terbang dalam gelap, kau akan punya mata seekor burung hantu!

Kau harus punya peta untuk otakmu! Kau harus punya sayap yang pendek burung

elang! Di sana dalam kegelapan malam, setinggi seratus kaki di udara, Jonathan

Livingstone Camar –mengedip-ngedipkan matanya. Rasa sakitnya, tekadnya,

semuanya lenyap

Sayap pendek.Sayap pendek Burung Elang!

Itulah jawabannya! Sungguh bodoh aku selama ini! Yang kuperlukan

hanyalah sayap yang kecil, yang kuperlukan hanya melipat sayapku dan terbang

hanya dengan ujung sayapku saja! Sayap pendek!

Dia naik ke ketinggian dua ribu kaki di atas permukaan laut yang hitam,

dan tanpa sesaat pun memikirkan kegagalan dan kematian, dia merapatkan

pangkal sayapnya erat-erat ketubuhnya, hanya menyisakan ujung sayapnya yang

sempit seperti pisau belati terjulur ke angin, dan dia jatuh meluncur tegak lurus ke

bawah.

Angin menderu mengerikan di kepalanya. Tujuh puluh mil perjam,

sembilan puluh, seratus dua puluh, dan terus semakin cepat. Ketegangan sayapnya

sekarang pada kecepatan seratus empat puluh mil perjam tidak sekeras

sebelumnya pada kecepatan tujuh puluh mil perjam, dan dengan sedikit pilinan

Page 5: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 5

pada ujung sayapnya dia meredakan penerjunan dan meluncur di atas ombak,

bagaikan peluru meriam kelabu di bawah sinar bulan.

Dia memejamkan mata menjadi celah sempit terhadap angin dan

bersukacita. Seratus empat puluh mil per jam! Dan dibawah kendali! Seandainya

aku terjun dari ketinggian lima ribu kaki dan bukannya dua ribu kaki, aku ingin

tahu secepat apa……

Sumpahnya sesaat sebelumnya terlupakan, tersapu lenyap dalam tipuan

angin yang kencang. Namun dia merasa tidak bersalah, melanggar janji yang

dibuatnya untuk diri sendiri. Janji seperti itu hanya untuk burung camar yang

menerima hal-hal yang biasa. Burung camar yang mencapai keunggulan dalam

belajar tidak memerlukan janji seperti itu.

Pada saat matahari terbit, Jonathan Camar berlatih lagi. Dari Ketinggian

lima ribu kaki beberapa perahu nelayan hanya tampak seperti noktah-noktah kecil

di permukaan air biru yang rata. Kawanan Makan Pagi hanya kelihatan seperti

awan debu yang samara-samar, berputar-putar.

Dia hidup, bergetar sedikit dengan rasa suka cita, bangga karena rasa

takutnya kini di bawah kekuasaanya. Kemudian tiba-tiba dia merapatkan pangkal

sayapnya, menjulurkan ujung sayapnya yang pendek dan menekuk, dan menukik

langsung ke arah laut. Pada saat dia melalui ketinggian empat ribu kaki dia

mencapai kecepatan puncak, angin merupakan dinding suara yang padat yang

memukulnya dan dia tidak bisa bergerak lebih cepat melawannya. Dia sekarang

terbang lurus ke bawah, dengan dua ratus empat belas mil per jam. Dia menelan

ludah, tahu bahwa kalau sayapnya tidak dilipat pada kecepatan setinggi itu dia

akan menjadi camar yang tercabik-cabik menjadi sejuta kepingan. Tetapi

kecepatan adalah kekuatan, kecepatan adalah rasa senang, dan kecepatan adalah

keindahan sejati.

Dia menahan diri pada ketinggian seribu kaki, ujung sayapnya meletup

dan kabur dalam angin kencang, perahu dan kelompok burung camar naik dan

membesar dengan kecepatan meteor, langsung di jalan yang ditempuhnya.

Dia tidak bisa berhenti, dia bahkan tidak tahu bagaimana harus membelok

pada pada kecepatan setinggi itu.

Tabrakan akan merupakan kamatian seketika.

Maka dia memejamkan mata.

Maka peristiwa ini terjadi pada pagi itu, tepat setelah matahari terbit,

ketika Jonathan Livingstone Camar meluncur langsung menembus Kawanan

Makan Pagi, dengan kecepatan dua ratus dua belas mil per jam, dalam lengkingan

keras angin dan bulu. Camar keberuntungan tersenyum kepadanya kali ini, dan

tidak ada satupun yang tewas.

Pada waktu dia mengangkat paruhnya lurus ke langit dia masih meluncur

terus dengan kecepatan seratus enam puluh mil perjam. Setelah dia melambat ke

kecepatan dua puluh mil perjam dan akhirnya merentangkan sayap lagi, perahu

tampak seperti seserpih remah roti di laut, empat ribu kaki di bawahnya.

Yang dipikirkan adalah kemenangan. Kecepatan puncak! Seekor burung

camar dengan kecepatan dua ratus empat belas mil per jam! Itu merupakan

terobosan, satu saat yang paling hebat dalam sejarah kawanan. Dan pada saat itu

sebuah zaman baru terbuka bagi Jonathan camar. Sambil terbang ke tempat

latihannya yang terpencil, melipat sayapnya untuk penerjunan dari ketinggian

delapan ribu kaki, dia seketika mempersiapkan dirinya untuk menemukan

bagaimana caranya membelok.

Page 6: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 6

Dia mendapatkan bahwa sehelai bulu ujung sayap, yang bergerak

sepersekian inci, memberikan lengkungan sapuan yang mulus pada kecepatan

yang luar biasa. Walaupun demikian, sebelum dia mempelajari ini, dia

mendapatkan bahwa menggerakkan lebih dari sehelai bulu pada kecepatan

setinggi itu akan memutarnya seperti peluru senapan… dan Jonathan telah

melakukan aerobatic pertama oleh burung camar manapun di dunia.

Dia tidak membuang-buang waktu hari itu untuk bicara dengan burung

camar lainnya, tetapi terbang terus sampai lewat matahari terbenam. Dia telah

menemukan gerakan simpul jerat, gulingan pelahan, gulingan meruncing, pilihan

terbaik, serudukan, putaran jentera.

Setelah Jonathan Camar bergabung dengan Kawanan di Pantai, malam

sudah tiba. Dia pusing dan sangat kelelahan. Namun dalam rasa sukacita dia

terbang dengan membuat gerakan simpul jerat untuk mendarat, dengan gulingan

cepat sebelum menyentuh tanah. Setelah mereka mendengar itu, dia berfikir

tentang Terobosan, mereka akan senang luar biasa. Betapa jauh lebih banyak

sekarang yang bisa dihayatinya dalam hidup! Bukannya sekedar terbang lambat

pulang pergi ke perahu nelayan, sekarang ada alas an untuk hidup! Kita bisa

mengangkat diri sendiri dari kebodohan, kita bisa menemukan diri kita sebagai

mahluk yang unggul, cerdik, dan punya keahlian. Kita bisa bebas! Kita bisa

Belajar terbang!

Tahun-tahun mendatang mendengung dan bersinar dengan janji

keberhasilan.

Burung-burung camar berkelompok menuju Pertemuan Dewan ketika

mendarat, dan rupanya sudah berkeplmpok beberapa waktu lamanya. Mereka,

sebenarnya, sedang menunggu.

“Jonathan Livingston Camar! Berdiri di tengah!” kata-kata Tetua

terdengar dalam suara ucapan tertinggi. Berdiri di tengah hanya berarti rasa malu

yang luar biasa atau kehormatan besar. Berdiri di Tengah untuk kehormatan

adalah cara pemimpin camar yang paling terkemuka diatandai. Tentu saja, dia

berpikir, pagi ini Kawanan Makan Pagi melihat Terobosan! Tetapi aku tidak

menginginkan kehormatan. Aki tidak ingin menjadi pemimpin. Aku hanya ingin

berbagi apa yang ku temukan, untuk menunjukkan cakrawala nun jauh di sana

untuk kita semua. Dia melangkah ke depan.

“Jonathan Livingston Camar, “kata Tetua, “Berdiri di Tengah untuk

Rasa Malu yang dilihat sesamamu burung camar!”

Rasanya seperti dipukul dengan sebilah papan. Lututnya menjadi lemah,

bulu-bulunya lemas, ada bunyi gemuruh dalam telinganya. Berdiri di tengah untuk

rasa malu? Mustahil! Terobosan! Mereka tidak mengerti! Mereka salah, mereka

salah!

“…kelancangan yang tidak bertanggung jawab,” suara yang khidmat

terdengar,”melanggar martabat dan adat istiadat keluarga Camar…”

Berdiri di tengah untuk rasa malu berarti bahwa dia harus dikucilkan

dari masyarakat camar, di usir ke kehidupan menyendiri di Tebing Jauh.

“…pada suatu kelak, Jonathan Livingston Camar, kau akan memetik

pelajaran bahwa sikap tidak bertanggung jawab tidak membuahkan imbalan.

Kehidupan adalah ketidaktahuan dan tidak akan bisa diketahui, kecuali bahwa kita

diturunkan ke dunia ini untuk makan, untuk tetap hidup selama kita bisa.”

Seekor camar tidak pernah menjawab kata-kata Kawanan Dewan, tetapi

suara Jonathan terdengar melengking. “Tidak bertanggung jawab? Saudar-

Page 7: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 7

saudaraku!” dia berseru. “Siapa yang lebih bertanggung jawab dari pada seekor

burung camar yang menemukan dan mengikuti sebuah makna, sebuah tujuan

hidup yang lebih tinggi? Selama seribu tahun kita hanya berebut kepala ikan,

tetapi sekarang kita punya alasan untuk hidup-untuk belajar, untuk menemukan,

untuk menjadi bebas! Beri aku satu kesempatan, biarkan aku menunjukkan

kepada kalian apa yang telah kutemukan…”

Kawanan tetap diam seakan-akan mereka batu.

“Persaudaraan telah dilanggar, “semua burung camar berkata bersama-

sama dan dengan satu kesepakatan mereka secara khidmat menutup telinga dan

berbalik membelakanginya.

Jonathan Camar melewatkan sisa hari-harinya sendirian, tetapi dia

terbang melampaui Tebing Jauh. Apa yang disedihkannya bukanlah kesendirian,

melainkan kenyataan bahwa cama-camar lainnya tidak mau mempercayai

kejayaan penerbangan yang menunggu mereka; mereka tidak mau membuka mata

dan melihat.

Dia belajar lebih banyak setiap hari. Dia mempelajari bahwa penerjunan

kecepatan tinggi dengan tubuh dirampingkan bisa membuat dia berhasil

menemukan ikan yang langka dan lezat yang berkelompok sedalam sepuluh kaki

di bawah permukaan samudera; dia tidak lagi memerlukan perahu nelayan dan

roti basi untuk mempertahankan kelesatarian hidup. Dia belajar tidur di udara,

menetapkan arah di malam hari melintasi angin lepas pantai, menempuh jarak

seratus mil dari matahari terbenam sampai matahari terbit. Dengan pengendalian

batin yang sama, dia terbang menembus kabut laut yang tebal dan naik ke atasnya

ke langit yang jernih menyilaukan … tepat pada saat-saat ketika setiap burung

camar lainnya berdiri di tanah, tidak mengetahui apapun selain kabut dan hujan.

Dia belajar menunggangi angin kencang di atas daratan, untuk makan serangga

yang lezat di sana.

Apa yang dulu pernah diharapkannya untuk Kawanan, sekarang

diperolehnya untuk dirinya sendiri saja; dia belajar terbang, dan tidak menyesal

untuk harga yang telah dibayarnya. Jonathan Camar menemukan bahwa

kejemuan, rasa takut dan amarah merupakan alasan mengapa kehidupan burung

camar singkat, dan setelah hal ini lenyap dari pemikirannya, dia benar-benar

menikmati umur panjang.

Kemudian mereka datang di sore hari, dan menemukan Jonathan sedang

melayang-layang dengan damai dan sendirian menembus langitnya yang tercinta.

Dua burung camar yang muncul di dekat sayapnya jernih seperti sinar bintang,

dan cahaya yang terpancar dari mereka lembut dan ramah di udara malam yang

tinggi. Tetapi yang paling indah dari semuanya adalah keahlian mereka terbang,

ujung sayap mereka bergerak persis dan tetap dalam jarak satu inci dari ujung

sayapnya sendiri.

Tanpa sepatah kata, Jonathan menguji mereka, dengan ujian yang belum

pernah lulus dijalani oleh burung camar manapun lainnya. Dia memilin sayapnya,

melambat ke kecepatan satu mil perjam dan kemungkinan berhenti. Kedua burung

yang bercahaya ini melambat bersamanya, dengan mulus, tetap terkunci pada

posisinya. Mereka mengetahi cara terbang lambat.

Dia melipat sayapnya, berguling dan jatuh dalam tukikan sampai ke

kecepatan seratus sembilan puluh mil per jam. Mereka terjun bersamanya,

menukik dalam formasi yang tanpa cacat.

Akhirnya dia membelokkan kecepatan lurus ke atas menjadi gulingan

perlahan yang panjang vertical. Mereka berguling bersamanya, sambil tersenyum.

Page 8: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 8

Dia kembali terbang mendatar dan keadaan sunyi sebentar sebelum dia

bicara. “Baiklah,”katanya, “kalian siapa?’

“Kami dari kawananmu, Jonathan. Kami saudara-saudaramu.” Kata-

katanya kuat dan tenang. “Kami datang untuk membawamu lebih tinggi, untuk

membawamu pulang,”

“Aku tidak punya tempat tinggal. Aku tidak punya kawanan. Aku anak

buangan. Dan kita sekarang terbang di puncak Angin Gunung Besar. Melampaui

ketinggian beberapa ratus kaki lagi, aku tidak bisa mengangkat tubuh tua ini lebih

tinggi.”

“Tetapi kau bisa, Jonathan. Sebab kau sudah belajar. Satu sekolah sudah

selesai, dan waktunya sudah tiba untuk memulai sekolah lainnya.”

Seakan-akan sudah terpancar kepadanya seumur hidup, pengertian pada

saat ini menyinari Jonathan Camar. Mereka benar. Dia bisa terbang lebih tinggi,

dan sekarang sudah waktunya untuk pulang.

Dia melayangkan satu pandangan terakhir melintasi langit, melintasi

daratan keperakan yang indah tempat dia belajar begitu banyak.

“Aku sudah siap,” dia berkata akhirnya.

Dan Jonathan Livingston Camar naik bersama dua camar yang

gemerlapan seperti bintang untuk lenyap kedalam langit gelap yang sempurna.

BAGIAN DUA

Jadi inilah sorga, pikirnya, dan dia tersenyum sendiri. Sama sekali tanpa

rasa hormat pada saat itu menganalisis sorga yang bisa dimasuki dengan terbang

ke dalamnya.

Sebagaimana dia datang dari Bumi yang ada di bawah sekarang, di atas

awan dan dalam formasi yang berdekatan dengan dua camar yang gemerlapan, dia

melihat tubuhnya sendiri semakin bercahaya terang seperti mereka. Benar,

Jonathan Camar muda yang sama masih ada di sana yang selalu hidup di belakang

matanya yang keemasan, tetapi bentuk luarnya sudah berubah.

Tubuhnya masih terasa seperti tubuh seekor burung camar, tetapi dia

sudah terbang jauh lebih baik daripada yang dilakukan oleh tubuhnya yang lama.

Wah, hanya dengan upaya separuhnya, pikirnya, aku akan mendapatkan

kecepatan dua kali lipat, kemampuan dua kali lipat hari-harinya yang terbaik di

Bumi!

Bulu-bulunya sekarang bersinar putih cemerlang, demikian pula sayapnya

halus dan sempurna seperti lembaran perak yang dipoles. Dengan rasa senang dia

mulai mempelajari tentang sayapnya, untuk menekankan kekuatan ke dalam

sepasang sayapnya yang baru.

Pada kecepatan dua ratus lima puluh mil per jam dia merasakan bahwa dia

hampir mencapai kecepatan terbang maksimum. Pada kecepatan dua ratus tujuh

puluh tiga mil per jam dia merasa dia sudah terbang paling cepat yang bisa

dilakukannya, dan dia samar-samar merasa kecewa. Ada batas tentang sebanyak

apa yang bisa dilakukan oleh tubuhnya yang baru, dan walaupun ini jauh lebih

cepat daripada rekor terbang mendatarnya yang lama, rasanya itu masih

merupakan batas yang bisa dipecahkannya dengan usaha besar. Di sorga,

pikirnya, seharusnya tidak ada batas.

Awan menyibak, kedua pengawalnya berseru, “ Selamat mendarat,

Jonathan,” dan lenyap tanpa bekas.

Page 9: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 9

Dia terbang di atas laut, menuju garis pantai yang bergerigi. Beberapa ekor

burung camar sedang melawan angin menuju tebing. Jauh ke arah utara, di kaki

langit sendiri, terbang beberapa ekor burung camar lainnya. Pemandangan baru,

pemikiran baru, pertanyaan baru. Mengapa hanya sedikit burung camar? Sorga

seharusnya penuh dengan kawanan burung camar! Dan mengapa aku begitu

kelelahan, secara tiba-tiba? Burung camar di sorga seharusnya tidak kelelahan,

atau tidur.

Di mana dia pernah mendengar itu? Ingatan tentang kehidupannya di

Bumi semakin jauh. Bumi adalah tempat dia banyak belajar, tentu saja, tetapi

perinciannya kabur-sesuatu tentang berkelahi untuk berebut makanan, dan

menjadi Buangan.

Selusin burung camar di garis pantai datang menyongsongnya, tidak ada

satu pun yang mengucapkan sepatah kata. Dia hanya merasa bahwa dia mendapat

sambutan baik dan bahwa ini tempat tinggalnya. Ini hari besar baginya, hari yang

matahari terbitnya tidak lagi diingatnya.

Dia membelok untuk mendarat di pantai, mengepak-ngepakkan sayapnya

untuk berhenti sejauh satu inci di udara, kemudian menjatuhkan diri perlahan ke

pasir. Burung-burung camar lainnya juga mendarat, tetapi tidak ada satupun yang

menggerahkan barang sehelai bulu. Mereka meluncur dalam angin, sayap yang

bercahaya terentang, kemudian dengan suatu cara mereka mengubah lengkungan

bulu-bulunya sampai pada saat yang sama kaki mereka menjejak tanah. Itu

pengendalian yang indah, tetapi sekarang Jonathan terlalu kelelahan sehingga

tidak ingin mencobanya. Sambil berdiri di sana, masih tanpa mengucapkan

sepatah kata, dia tertidur.

Pada hari-hari yang menyusul, Jonathan melihat banyak sekali yang harus

dipelajari tentang terbang di tempat ini seperti dalam kehidupan yang telah

ditinggalkannya. Tetapi ada perbedaannya. Di sini terdapat burung-burung camar

dengan pemikiran yang sama seperti pemikirannya. Bagi mereka masing-masing,

hal yang paling penting dalam kehidupan adalah menjangkau dan menyentuh

kesempurnaan yang paling senang mereka lakukan, dan itu adalah terbang.

Mereka burung-burung yang hebat, mereka semua, dan mereka melewatkan jam

demi jam setiap hari berlatih terbang, menguji aeronautika yang maju.

Dalam waktu yang lama sekali Jonathan melupakan tentang dunia

tempatnya berasal, tempat Kawanan hidup dengan mata tertutup rapat-rapat

terhadap kenikmatan terbang, menggunakan sayapnya sebagai sarana untuk

mengakhiri penemuan dan berkelahi berebut makanan. Tetapi sekarang dan

kemudian, hanya sesaat, dia teringat.

Dia teringat kepada hal itu pada suatu pagi ketika dia keluar denga

instrukturnya, sementara mereka beristirahat di pantai setelah acara latihan

melakukan gulingan cepat dengan sayap terlipat.

“Di mana semua yang lain, Sullivan?” dia bertanya tanpa suara, sekarang

sudah terbiasa dengan telepati sederhana yang digunakan oleh camar-camar ini

dan bukannya jeritan dan teriakan. “Mengapa kita tidak lebih banyak lagi berada

di sini? Wah, di tempat aku berasal burung camar….”

“….berjumlah beribu-ribu. Aku tahu.” Sullivan menggelengkan

kepalanya. “Satu-satunya jawaban yang kuketahui, Jonathan, adalah bahwa kau

adalah satu dari sejuta burung yang baik sekali. Kita kebanyakan datang begitu

lambat. Kita pergi dari satu dunia ke dunia lainnya yang hampir tepat sama,

langsung melupakan tempat kita berasal, tidak mempedulikan tempat yang kita

tuju, hidup untuk satu saat. Apakah kau tahu berapa banyak kehidupan yang harus

Page 10: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 10

kita jalani sebelum kita bahkan mendapat gagasan pertama bahwa kehidupan lebih

dari hanya sekadar makan atau berkelahi, atau kekuasaan dalam kawanan? Seribu

kehidupan, Jon, sepuluh ribu kehidupan! Dan kemudian seratus kehidupan lagi

sampai kita mulai mempelajari bahwa ada yang namanya kesempurnaan, dan

seratus kehidupan lagi untuk mendapatkan gagasan bahwa tujuan hidup kita

adalah menemukan kesempurnaan itu dan menunjukkannya. Ketentuan yang sama

berlaku bagi kita sekarang, dan dunia berikutnya sama seperti yang ini, tentu saja:

kita memilih dunia kita selanjutnya melalui apa yang kita pelajari di dunia yang

sekarang. Kalau kita tidak mempelajari sesuatu, maka dunia berikutnya akan sama

dengan yang ini. Semua keterbatasan yang sama dan beban yang sama untuk

diatasi.”

Dia merentangkan sayapnya dan membelok untuk menghadapi angin. “Tetapi

kau Jon,” katanya, “belajar begitu banyak pada satu waktu sehingga kau tidak

perlu melalui seribu kehidupan untuk mencapai kehidupan ini.”

Sesaat kemudian mereka sudah terbang berrlatih kembali. Formasi berguling

menukik sulit, sebab selama dalam keadaan separuh terbalik Jonathan harus

berpikir dalam keadaan terbalik, membalikkan lengkungan sayapnya, dan

membalikkan lengkung sayapnya, dan membalikkannya tepat dalam keserasian

dengan instrukturnya.

“Mari kita coba lagi,” kata Sullivan, berulang kali. “Mari kita coba lagi.”

Kemudian, akhirnya, “Bagus.” Dan mereka mulai melatih gerakan jerat simpul ke

luar.

Pada suatu sore burung-burung camar yang tidak terbang malam berdiri

berkumpl di pasir, berpikir. Jonathan mengerahkan semua keberanian yang

dimilikinya dan berjalan menghampiri camar tertua, yang dikatakan tidak lama

lagi akan pindah meninggalkan dunia ini.

“Chiang …” katanya, sedikit gelisah.

Camar tua ini melihat kepadanya dengan sikap manis. “Ya anakku?”

Bukannya dilemahkan oleh usianya, Tetua bahkan mendapatkan kekuatan dengan

bertambahnya umur; dia bias terbang mengalahkan camar mana pun juga dalam

Kawanan, dan dia telah mempelajari keahlian yang hanya dengan cara berangsur-

angsur baru, mulai diketahui oleh yang lain-lainnya.

“Chiang, dunia ini sama sekali bukan sorga, bukan?

Tetua tersenyum dalam sinar bulan. “Kau belajar lagi, Jonathan Camar,”

katanya.

“Nah apa yang terjadi setelah ini? Ke mana kita akan pergi? Adakah tempat

yang namanya sorga?”

“Tidak, Jonathan, tidak ada tempat yang seperti itu. Sorga bukan tempat, dan

bukan waktu. Sorga adalah keadaan menjadi sempurna.” Dia terdiam sesaat. “

Kau penerbang yang cepat sekali, bukan?” “Aku…aku menyukai kecepatan,”

Jonathan berkata, terkejut tetapi bangga karena Tetua memperhatikan.

“Kau akan mulai menyentuh sorga, Jonathan, pada saat kau menyentuh kecepatan

yang sempurna. Dan itu bukanlah terbang dengan kecepatan seribu mil per jam,

atau sejuta mil per jam, atau terbang dengan kecepatan cahaya. Sebab bilangan

apa saja adalah batas, dan kesempurnaan tidak punya batas. Kecepatan yang

sempurna, anakku, adalah berada disana.”

Tiba-tiba sekali, Chiang menghilang dan muncul di tepi air sejauh lima puluh

kaki dari sana, hanya dalam sekejap mata. Kemudian dia menghilang kembali dan

Page 11: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 11

berdiri, pada milidetik yang sama, di sisi bahu Jonathan, “Ini rasanya

menyenangkan,” katanya.

Jonathan merasa sangat takjub. Dia lupa menanyakan tentang sorga.

“Bagaimana kau melakukan itu? Seperti apa rasanya? Sejauh apa kau bisa pergi?”

“Kau bisa pergi ke tempat mana pun juga dan ke waktu mana pun juga yang

ingin kau datangi,” kata Tetua. “Aku sudah ppergi ke tempat manapun juga dan

waktu mana pun juga yang bisa kupikirkan.” Dia melihat melintasi laut. “Ini aneh.

Burung-burung camar yang mencemoohkan kesempurnaan demi perjalanan tidak

pergi kemana pun juga, dengan lambat. Mereka yang mengesampingkan

perjalanan demi kesempurnaan pergi kemana saja, seketika. Ingat Jonathan, sorga

bukanlah tempat atau waktu, sebab tempat dan waktu sangat tidak berarti. Sorga

adalah…”

“Dapatkah kau mengajarkan kepadaku tentang terbang seperti itu?” Jonathan

Camar bergetar ingin menaklukan ketidaktahuan lainnya.

“Tentu saja, kalau kau ingin belajar.”

“Aku ingin. Bilamana kita bisa mulai?”

“Kita bisa mulai sekarang juga, kalau kau mau.”

“Aku ingin belajar terbang seperti itu,” Jonathan berkata, dan cahaya aneh

bersinar dalam matanya. “Katakan kepadaku apa yang harus kulakukan.”

Chiang bicara perlahan-lahan dan mengawasi burung camar yang lebih

muda ini dengan cermat. “Untuk bias terbang secepat pikiran ke mana saja,” dia

berkata, ”kau harus mulai dengan mengetahui bahwa kau sudah tiba…”

Taktiknya, menurut Chiang, adalah agar Jonathan berhenti memandang

dirinya terperangkap di dalam sesosok tubuh yang terbatas, yang punya rentang

sayap sepanjang 42 inci dan unjuk kerja yang bias dirancang di atas sebuah peta.

Taktiknya adalah mengetahui bahwa hakikatnya yang sejati hidup, sesempurna

bilangan yang tidak tertulis, ke mana-mana seketika melintasi ruang dan waktu.

Jonathan terus memperhatikannya, dengan tekun, hari demi hari, sejak

matahari terbit sampai lewat tengah malam. Dan untuk semua upayanya dia tidak

beranjak barang selebar sehelai bulu dari tempatnya.

“Lupakan tentang keyakinan!” Chiang berkata berulang kali. “Kau tidak

memerlukan keyakinan untuk terbang, kau hanya memerlukan pemahaman

tentang terbang. Ini sama saja. Sekarang coba lagi…”

Kemudian pada suatu hari Jonathan, yang berdiri di pantai, memejamkan

matanya, memusatkan perhatian, dan secepat kilat memahami apa yang di

katakana Chiang kepadanya. “Wah, ini benar! Aku burung camar yang sempurna,

tidak punya batas!” Dia merasakan kejutan besar rasa sukacita.

“Bagus!” kata Chiang, dan ada kemenangan di dalam suaranya.

Jonathan membuka matanya. Dia berdiri sendirian bersama Tetua di tepi

laut yang sama sekali berbeda – pohon-pohon merunduk ke tepi air, matahari

kembar yang kuning bergerak di atas kepala.

“Akhirnya kau mendapatkan gagasannya,” kata Chiang, “tetapi

pengendalianmu masih perlu sedikit garapan…”

Jonathan tertegun. “Kita ada di mana?”

Sama sekali tidak terkesan oleh keadaan sekitar yang aneh, Tetua

mengesampingkan pertanyaannya. “Kita berada di suatu planet, jelas sekali,

dengan langit hijau dan sepasang bintang sebagai mataharinya.”

Page 12: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 12

Jonathan membuat pekikan kegirangan, bunyi pertama yang di

keluarkannya sejak dia meninggalkan Bumi. “INI BERHASIL!”

“Nah, tentu saja ini berhasil, Jon,” kata Chiang. “Ini selalu berhasil, kalau

kau tahu apa yang kau lakukan. Sekarang tentang pengendalianmu…”

Pada waktu mereka kembali, hari sudah gelap. Burung-burung camar

lainnya melihat kepada Jonathan dengan pancaran kagum dalam mata mereka

yang keemasan, sebab mereka telah melihat dia lenyap dari tempatnya berada

begitu lama.

Dia menerima ucapan selamat dari camar lainnya dalam waktu kurang dari

satu menit. “Aku pendatang baru di sini! Aku baru saja mulai! Akulah yang harus

belajar dari kalian!”

“Aku meragukan itu, Jon,” kata Sullivan, yang berdiri tidak begitu jauh.

“Kau punya rasa takut yang lebih sedikit untuk belajar dibandingkan dengan

burung camar mana pun juga yang pernah kulihat dalam sepuluh ribu tahun.”

Kawanan terdiam, dan Jonathan gelisah dalam rasa malu.

“Kita bisa mulai bekerja dengan waktu kalau kau menghendaki,” kata

Chiang, “sampai kau bisa terbang ke masa lalu dan masa mendatang. Dan

kemudian kau akan siap untuk memulai yang paling sulit, yang paling kuat, yang

paling menyenangkan dari segala-galanya. Kau akan siap untuk terbang ke atas

dan mengetahui makna kebaikan hati dan cinta.”

Waktu satu bulan berlalu, atau satu jangka waktu yang rasanya seperti

sebulan, dan Jonathan belajar dengan kecepatan yang luar biasa. Dia selalu belajar

cepat dari pengalaman yang luar biasa, dan sekarang, sebagai murid istimewa

Tetua, dia menerima banyak gagasan baru seperti sebuah komputer berbulu yang

ramping.

Tetapi kemudian tibalah hari ketika Chiang menghilang. Dia baru saja

bicara dengan suara perlahan kepada mereka semua, mendorong mereka untuk

tidak berhenti belajar, berlatih dan berjuang untuk memahami lebih banyak

prinsip semua kehidupan yang tidak kasat mata dan sempurna. Kemudian,

sementara dia berbicara, bulunya menjadi semakin terang dan semakin terang

sampai akhirnya begitu gemerlapan sehingga tidak ada burung camar yang bisa

melihatnya.

“Jonathan,” katanya, dan ini adalah kata-kata terakhir yang

diungkapkannya, “terus berusaha memahami cinta.”

Setelah mereka bisa melihat kembali, Chiang sudah lenyap.

Sementara hari-hari berlalu dengan cepat, Jonathan mendapatkan dirinya

berulang kali memikirkan Bumi tempatnya berasal. Seandainya ketika itu dia

mengetahui sepersepuluhnya saja, seperseratusnya saja, dari apa yang

diketahuinya disini, betapa kehidupan akan jauh lebih berarti! Dia berdiri di pasir

dan bertanya-tanya dalam hati apakah ada seekor burung camar di sana yang

mungkin sedang berjuang mendobrak keluar dari keterbatasannya, untuk melihat

makna penerbangan melampaui cara bepergian untuk mendapatkan seserpih

remah roti dari sebuah perahu dayung. Mungkin bahkan ada satu yang dijadikan

Buangan karena mengatakan kebenaran di hadapan Kawanan. Dan semakin

banyak Jonathan mengamalkan pelajaran tentang kebaikan hati, dan semakin

banyak dia berusaha memahami hakikat cinta, semakin besar keinginannya untuk

kembali ke Bumi. Sebab walaupun masa lalunya dilewatkan dalam rasa kesepian,

Jonathan Camar dilahirkan untuk menjadi instruktur, dan caranya sendiri

memperagakan cinta adalah memberikan sesuatu yang benar yang telah dilihatnya

Page 13: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 13

kepada seekor burung camar yang hanya meminta kesempatan untuk melihat

kebenarannya sendiri.

Sullivan, yang sekarang sudah cakap dalam hal penerbangan dengan

kecepatan pikiran dan membantu lain-lainnya belajar, merasa penuh keraguan.

“Jon, kau sudah pernah menjadi Buangan. Mengapa kau berpikir ada

burung camar dari masa lalumu yang akan mendengarkan kata-katamu sekarang?

Kau mengetahui pepatahnya, dan itu benar: Burung camar melihat paling jauh

yang terbang paling jauh. Burung-burung camar dari tempat asalmu berdiri di

tanah, memekik-mekik dan berkelahi antara sesamanya. Mereka sejauh seribu mil

dari sorga – dan kau mengatakan ingin menunjukkan kepada mereka sorga dari

tempat mereka berdiri! Jon, mereka bahkan tidak bisa melihat ujung sayapnya

sendiri. Tetaplah tinggal disini. Bantulah camar-camar yang baru di sini, yang

cukup tinggi untuk melihat apa yang akan kau katakan kepada mereka.” Dia

terdiam sejenak dan kemudian berkata, “Bagaimana kalau Chiang kembali ke

dunianya yang lama? Dimana kau akan berada hari ini?”

Butir terakhir adalah yang mengungkapkan kebenaran, dan Sullivan benar.

Burung camar melihat paling jauh yang terbang paling tinggi.

Jonathan tetap tinggal dan bekerja dengan burung-burung yang baru

datang, yang semuanya sangat cerdas dan cepat menerima pelajarannya. Tetapi

perasaan yang lama kembali lagi, dan dia tidak mau berpikir bahwa mungkin ada

dua ekor burung camar di bumi yang juga akan bisa belajar. Betapa jauh lebih

banyak yang di ketahuinya sekarang seandainya Chiang dating kepadanya pada

hari dia menjadi Buangan!

“Sully, aku harus kembali,” kata Jonathan akhirnya. “Murid-muridmu

maju pesat. Mereka bisa membantumum mengajar para pendatang baru.”

Sullivan menghela nafas, tetapi dia tidak membantah. “Kurasa aku

kehilangan kau Jonathan,” hanya itulah yang dikatakannya.

“Sully, sikapmu memalukan !” kata Jonathan sebagai teguran, “dan jangan

bodoh! Apa yang kita coba untuk kita amalkan setiap hari? Kalau persahabatan

kita tergantung pada hal-hal seperti ruang dan waktu, maka setelah akhirnya kita

mengatasi ruang dan waktu, kita akan merusak persaudaraan kita sendiri! Tetapi

atasilah ruang dan yang tersisa bagi kita adalah di Sini. Atasilah waktu dan yang

tersisa bagi kita adalah Sekarang, dan di tengah-tengah di Sini dan Sekarang,

bukankah kau berpikir bahwa kita mungkin akan saling bertemu satu atau dua

kali?”

Sullivan Camar tertawa walaupun perasaannya kurang senang. “Kau

burung gila,” katanya dengan sikap manis. “kalau ada siapa saja yang bisa

menunjukkan kepada lainnya di tanah bagaimana caranya melihat sejauh seribu

mil, itu adalah Jonathan Livingstone Camar.” Dia melihat ke pasir “ Selamat

berpisah Jon sahabatku.”

“Selamat berpisah Sully. Kita akan bertemu lagi.” Dan setelah mengatakan

itu, Jonathan dalam pikirannya punya bayangan tentang kawanan burung camar

yang besar di pantai pada waktu yang lain, dan dia tahu dengan mudah karena

kemampuannya sudah terlatih bahwa dia bukanlah tulang dan bulu, melainkan

gagasan yang sempurna dari kebebasan dan penerbangan, yang tidak dibatasi oleh

apapun juga.

Fletcher Lynd Camar masih muda sekali, tetapi dia sudah tahu bahwa

tidak ada burung lainnya yang pernah diperlakukan begitu kasar oleh Kawanan

manapun, atau dengan ketidakadilan yang begitu besar.

Page 14: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 14

“aku tidak peduli dengan apa yang mereka katakana,” pikirnya keras-

keras, dan banyangannya kabur ketika dia terbang menuju Tebung Jauh. “Tidak

ada apa pun mengenai terbang yang melebihi sekedar mengepakkan sayap dari

satu tempat ke tempat lainnya! Seeokor…seekor … nyamuk pun melakukan itu!

Hanya satu gulingan di dekat Camar Tetua, hanya untuk bersenang-senang, dan

jadilah aku Buangan! Apakah mereka buta? Tidakkah mereka melihat? Tidak

dapatkan mereka memikirkan kejayaan setelah kita benar-benar belajar terbang?

“Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan. Aku akan menunjukkan pada

mereka apa terbang itu! Aku akan menjadi penjahat sejati, kalau itu cara mereka

menginginkannya. Dan aku akan membuat mereka menyesal sekali…”

Suara itu timbul di dalam pikirannya sendiri, dan walaupun itu lembut

sekali, dia begitu terkejut sehingga gerakannya terhendi dan di terjungkal di

udara.

“Jangan terlalu keras pada mereka. Fletcher Camar. Dalam membuangmu,

camar-camar lainnya hanyalah menyakiti diri sendiri, dan pada suatu hari kelak

mereka akan menyadari ini, dan pada suatu hari kelak mereka akan melihat apa

yang bisa kau lihat. Maafkan mereka, dan Bantu mereka supaya bisa memahami.”

Sejauh satu inci dari sayapnya terbang burung camar putih yang paling

gemerlapan di seluruh dunia, meluncur dengan mudahnya di udara, tanpa

menggerakkan sehelai bulu pun, dengan kecepatan yang hampir merupakan

kecepatan tertinggi Fletcher

Sesaat terjadi kekalutan di dalam hati si burung muda

“apakah yang terjadi? Apakah aku sudah gila? Apakah aku sudah mati?

Apa ini?”

Rendah dan tenang, suara terdengar lagi di dalam pikirannya menuntut

jawaban. “Fletcher Lynd Camar, apakah kau ingin terbang”

“YA, AKU INGIN TERBANG”

“Fletcher Lynd Camar, apakah kau begitu ingin terbang sehingga kau mau

memaafkan Kawasnan dan belajar, dan kembali pada mereka suatu hari kelak dan

bekerja untuk membantu mereka mengerti?”

Tidak mungkin bisa berbohong kepada makhluk yang sangat ahli ini, tidak

peduli betapapun sombong atau sakit hati burung yang bernama Fletcher Camar

ini.

“Aku mau,” katanya perlahan

“Kalau begitu Fletch,” makhluk gemerlap ini berkata padanya, dan

suaranya lembut sekali, “Mari kita mulai dengan penerbangan datar …”

BAGIAN TIGA

Jonathan mengawasi berkeliling perlahan-lahan di atas Tebing Jauh.

Flethcer Camar muda yang masih kasar ini adalah siswa penerbangan yang

sempurna. Dia kuat, ringan dan cepat di udara, tetapi yang jauh lebih penting, dia

punya semangat yang berkobar-kobar untuk belajar terbang.

Dia dating saat ini, bentuk kelabu yang kabur yang menderu dalam

penerjun, berkelabat dengan kecepatan seratus lima puluh mil per jam melewati

instrukturnya. Dia menahn diri tiba-tiba untuk mencoba lagi melakukan putaran

perlahan vertical enam belas poin, dengan menyebutkan poinnya keras-keras.

“ … delapan … sembilan … sepuluh … lihat-Jonathan-aku-meluncur-

melampaui kecepatan udara … sebelas … aku-ingin berhenti-mendadak-dengan-

Page 15: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 15

baik-seperti-kau … dua belas … tetapi-sialan-aku-tidak-berhasil … tiga belas …

tiga-poin yang-terakhir-ini … tanpa … empat be … aaakk”

Kemandekan Fletcher di puncak semakin diperburuk oleh kekesalan dan

kemarahannya karena gagal. Dia terjengkang ke belakang, jungkir balik, berputar-

putar, dan akhirnya berhasil memulihkan posisinya, dengan nafas terengah-engah,

seratus kaki dibawah ketinggian instrukturnya.

“Kau membuang-buang waktumu, Jonathan! Aku terlalu bodoh! Aku

terlalu tolol! Aku berusaha dan berusaha terus, tetapi aku tidak akan berhasil”

Jonathan Camar melihat kebawah, kepada Flecther dan mengangguk.

“Kau tidak akan berhasil selama kau menahan diri begitu keras. Fletcher, kau

kehilangan empat puluh mil per jam ketika kau baru mulai! Kokoh tetapi mulus,

ingat?”

Jonathan menjatuhkan dirinya ketingkat ketinggian camar yang lebih

muda. “ Mari kita coba bersama-sama sekarang, dalam formasi. Dan perhatikan

caramu menahan diri. Kau harus melakukannya dengan mulus, dengan enak.”

Pada akhir tiga bulan Jonathan sudah punya enam murid lainnya,

semuanya Buangan, namun penuh perhatian kepada gagasan baru terbang yang

aneh ini, untuk kenikmatan terbang.

Walaupun demikian lebih mudah bagi mereka untuk memprkatekkan

performa tingkat tinggi dibandingkan memahami alasan di baliknya.

“Kita masing-masing kenyataannya adalah sebuah gagasan dari Camar

Agung, gagasan kebebasan tanpa batas,” Janathan mengatakan setiap sore hari

dipantai, “dan ketepatan terbang adalah satu langkah menuju pernyataan hakikat

kita yang sesungguhnya. Itulah sebabnya kita melakukan praktek kecepatan

tinggi, kecepatan rendah dan aerobatic …”

Dan murid-muridnya tertidur, kehabisan tenaga karena terbang seharian.

Mereka menyukai latihan, karena dilakukan dengan cepat dan menyenangkan

serta memuaskan dahaga akan belajar dan makin meningkat setiap pemberian

pelajaran. Tetapi tidak ada satupun diantara mereka, bahkan Fletcher Lynd Camar

pun tidak, yang bisa sama nyatanya dengan terbangnya angin dan bulu.

“Seluruh tubuhmu, dari satu ujung sayap sampai ke ujung sayap lainnya,”

kata Jonathan pada kesempatan lainnya, “tidak lebih dari pemikiranmu sendiri,

dalam bentuk yang bisa kau lihat. Putuslah rantai pemikiranmu, dank au juga akan

memutus rantai tubuhmu …”Tetapi tidak peduli bagaimana cara dia

mengatakannya, dan mereka memerlukan waktu untuk tidaur.

Hanya sebulan kemudian Jonathan mengatakan sudah tiba waktunya untuk

kembali kepada kawanan.

“Kami belum siap!” kata Henry Calvin Camar. “Kami tidak akan disambut

baik! Kami Buangan! Kami tidak bisa memaksa diri sendiri untuk pergi ketempat

kami dan tidak akan disambut baik, bukan?”

“Kita bebas untuk pergi kemana saja yang kita inginkan dan menjadi diri

kita seperti apa adanya,” jawab Jonathan, dan dia mengangkat darinya dari pasir

dan membelok ke timur, menuju tanah kediaman Kawanan.

Ada penderitaan sejenak dikalangan para muridnya, sebab merupakan

Hukum Kawanan bahwa Buangan sama sekali tidak boleh kembali, dan Hukum

belum pernah dilanggar barang sekali dalam sepuluh ribu tahun. Hukum tetap

bertahan; Jonathan mengatakan pergi; dan sekarang dia sudah sejauh satu mil

melintasi air. Kalau mereka menunggu lebih lama, dia akan sampai ke tempat

Kawanan yang penuh permusuhan sendirian dan kebencian.

Page 16: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 16

“Nah, kita tidak harus mematuhi hokum kalau kita bukan lagi bagian dari

Kawanan, bukan?” Fletcher berkata, agak malu-malu. “Lagi pula, seandainya

terjadi perkelahian, kita akan mendapatkan jauh lebih banyak bantuan disana

daripada di sini.”

Dan demikianlah mereka terbang dari barat pagi itu, mereka berdelapan

dalam formasi intan ganda, ujung sayap hamper saling bersentuhan. Mereka

datang melintasi Pantai Dewan Kawanan dengan kecepatan seratus tiga puluh mil

per jam, Jonathan memimpin didepan, Fletcher dengan mulus terbang di ujung

sayap kanannya, dan Henry Calvin bergerak dengan mudah disisi kirinya,

kemudian seluruh formasi berguling dengan perlahan-lahan ke kanan, sementara

seekor burung … mendatar … kemuidan … berbalik …kemuidan … mendatar,

angina melecut mereka semua.

Pekikan dan kotekan kehidupan sehari-hari dalam kawanan terpotong

seakan-akan formasi ini sebilah pisau raksasa, dan delapan ribu mata camar

mengawasi, tanpa dikedipkan sekali pun. Satu demi satu masing-masing dari

kedelapan burung menukik dan melayang keatas dalam gerakan jerat simpul

penuh dan terbang berkeliling ke pendaratan berdiri yang sangat lambat nyaris

berhenti sama sekali di atas pasir. Kemudian seakan-akan hal seperti itu terjadi

setiap hari, Jonathan Camar memulai kritikya terhadap penerbangan.

“Pertama sekali,” katanya sambil tersenyum masam, “kalian semua agak

terlambat pada gerakan bergabung…”

Semua ini terjadi secepat kilat di dalam Kawanan. Semua burung itu

adalah Buangan! Dan mereka kembali! Dan itu… itu tidak boleh terjadi! Ramalan

Fletcher tentang pertempuran meleleh dalam kekalutan Kawanan.

“Ya, tentu saja, oke, mereka memang buangan,” kata beberapa ekor

camar yang lebih mudah,”tetapi, hai, Kawan, di mana mereka belajar terbang

seperti itu?”

Diperlukan waktu hampir satu jam untuk memungkinkan Sabda Tetua

beredar ke seluruh Kawanan: Jangan pedulikan mereka. Burung camar yang

bicara kepada buangan dia sendiri adalah Buangan. Burung camar yang melihat

kepada Buangan melanggar Hukum Kawanan.

Punggung-punggung berbulu kelabu dibalikkan menghadap kepada

Jonathan sejak saat itu dan seterusnya, tetapi dia tampaknya tidak

memperhatikan. Dia melangsungkan acara pemberian latihannya langsung di atas

Pantai Dewan dan untuk pertama kalinya mulai memaksa murid-muridnya

mencapai batas kemampuan mereka.

“Martin Camar!” dia berseru melintasi langit. “Kau mengatakah kau

tahu terbang dengan kecepatan rendah. Kau tidak tahu apa-apa sebelum kau

membuktikannya. TERBANG!”

Begitu lama Martin William Camar terdiam, terkejut menerima

berondongan dampratan instrukturnya, mengejutkan dirinya dan menjadi jagoan

terbang dengan kecepatan rendah. Dalam angin yang pelahan sekali dia bias

melengkungkan bulu-bulunya untuk mengangkat dirinya tanpa satu kepakan

sayap pun dari tanah naik kea wan dan turun kembali.

Dengan gerakan yang sama Charles-Ronald Camar terbang dalam Angin

Gunung Besar ke ketinggian empat ribu kaki, turun dengan tubuh berwarna biru

dari udara dingin yang tipis, takjub dan bahagia, bertekad akan lebih tinggi lagi

besok pagi.

Fletcher Camar, yang menyukai aerobatic jauh melebihi siapa pun juga

lainnya, menaklukkan kesulitan gulingan pelahan vertical enam belas poin dan

Page 17: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 17

pada hari berikutnya mengakhirinya dengan jungkir balik tiga kali, bulu-bulunya

memantulkan sinar matahari yang putih ke pantai tempat lebih dari satu mata

melihat dengan mencuri-curi.

Setiap jam Jonathan berada di sana di sisi setiap muridnya, melakukan

peragaan, memberikan saran menekan, membimbing. Dia terbang bersama

mereka menembus kegelapan malam serta kabut dan badai, hanya untuk

bersenang-senang, sementara Kawanan berkumpul berdekatan dalam keadaan

menyedihkan di tanah.

Setelah penerbangan dilakukan, para muridnya beristirahat di pasir, dan

pada waktunya mereka mendengarkan kata-kata Jonathan lebih cermat. Dia

mempunyai beberapa gagasan gila yang tidak bisa mereka pahami, tetapi

kemudian dia punya beberapa gagasan yang bagus dan mereka bisa mengerti.

Secara berangsur-angsur, di malam hari, lingkaran lainnya terbentuk

mengelilingi lingkaran para murid-lingkaran burung burung camar yang ingin

tahu dan mendengarkan dalam gelap sampai berjam-jam, tidak ingin dilihat dan

saling melihat lainnya, menyelinap pergi sebelum fajar merekah.

Sebulan setelah kedatangan kembali burung camar pertama dalam

Kawanan melintasi garis dan minta belajar bagaimana caranya terbang. Karena

permintaannya, Terrence Lowell Camar menjadi burung yang dikutuk, diberi cap

Buangan; dan diapun menjadi murid kedelapan Jonathan.

Pada malam berikutnya dari Kawanan datang Kirk Maynard Camar,

berjalan terseok-seok melintasi pasir, menyeret sayap kirinya, dan tak berdaya di

dekat kaki Jonathan. “Tolonglah aku,” katanya pelahan sekali, berbicara seperti

burung yang hampir sampai ajalnya. “Aku ingin terbang melebihi apapun lainnya

di dunia…”

“Kalau begitu ikutlah dengan kami, “kata Jonathan. “Naiklah bersamaku

meninggalkan tanah, dan kita akan mulai.”

“Kau tidak mengerti. Sayapku. Aku tidak bisa menggerakkan sayapku.”

“Maynard Camar, kau punya kebebasan untuk menjadi dirimu, dirimu

yang sesungguhnya, di sini dan sekarang juga, dan tidak ada apa pun yang bisa

menghalangi jalanmu. Itu adalah Hukum Camar Agung, Hukum yang Ada.”

“Apakah kau mengatakan aku bisa terbang?”

“Aku mengatkan kau bebas.”

Hanya semudah dan secepat itu, Kirk Maynard Camar merentangkan

sayapnya, tanpa susah payah, dan naik ke udara malam gelap. Kawanan terkejut

bangun dari tidur oleh pe-kikannya, sekeras dia bisa menjeritkannya, dari

ketinggian lima ratus kaki: “Aku bisa terbang! Dengar! AKU BISA TERBANG!”

Pada saat matahari terbit hampir terdapat seribu ekor burung berdiri di

luar lingkaran para murid, melihat dengan penuh perhatian kepada Maynard.

Mereka tidak peduli apakah mereka dilihat atau tidak, dan mereka mendengarkan,

berusaha memahami ajaran Jonathan Camar.

Dia bicara tentang setiap hal yang sederhana-bahwa merupakan hal yang

benar bagi seekor burung camar untuk terbang , bahwa kebebasan adalah hakikat

dari keberadaan itu sendiri, bahwa apapun yang menghalangi kebebasan harus

disingkirkan, apakah itu ritual atau tahayul atau ketebatasan dalam bentuk apapu

juga.

“Disingkirkan,” datang suara dari kelompok, “bahkan seandainya itu

Hukum Kawanan?”

“Satu-satunya hukum yang sejati adalah yang membimbing ke kebebasan

,” kata Jonathan . “ Tidak hukum yang ada lainnya.”

Page 18: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 18

“Bagaimana kau mengharapkan kami bisa terbang seperti caramu

terbang?” dating perkataan lainnya. “Kau istimewa, berbakat dan memiliki

keagungandi atas burung-burung lainnya.”

“Lihatlah Fletcher! Lowell! Charles-Roland! Judy Lee! Apakah mereka

juga berbakat dan memiliki keagungan? Tidak lebih dari kalian, tidak lebih dari

aku. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa mereka mukai memahami apa

sesungguhnya diri mereka dan mulai mengamalkannya.”

Murid-muridnya, kecuali Fletcher, menggeserkan tubuhnya dengan

gelisah. Mereka tidak menyadari bahwa inilah yang mereka lakukan.

Kelompok burung bertambah besar setiap hari, datang untuk

mengagungkan, dan juga untuk mencemooh.

“Mereka mengatakan dalam Kawanan bahwa kalau kau bukan Putra

Camar Agung Sendiri,” Fletcher mengatakan kepada Jonathan pada suatu pagi

setelah latihan kecepatan lanjutan, “maka kau seribu tahun mendahului

zamanmu.”

Jonathan menghela napas. Harga yang harus dibayar untuk

kesalahpahaman, pikirnya. Mereka menyebutmu Tuhan. “Bagaimana

pendapatmu, Fletch? Apakah kita mendahului Zaman kita?

Lama sekali mereka terdiam. “ Yah, jenis penerbangan ini selamanya

sudah ada disini untuk dipelajari oleh siapa pun juga yang ingin menemukannya;

itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan zaman. Kita mendahului dalam

gaya, barangkali. Mendahalui dalam cara sebagian besar camar terbang.”

“Itu hal yang bagus sekali,” kata jonathan, berguling untuk meluncur

terbalik beberapa waktu lamanya. “Itu tidak ada setengahnya keburukan yang

mendahului zaman kita.”

Itu terjadi hanya seminggu kemudian. Fletcher sedang memperagakan

unsur-unsur terbang dengan kecepatan tinggi kepada satu kelas murid baru. Dia

baru saja menahan diri dari penerjnan setinggi tujuh ribu kaki, dan sebagai

gantinya merupakan satu luncuran panjang kelabu bagaikan peluru yang

ditembakkan beberapa inci di atas panta, ketika seekor camar muda pada

penerbangannya yang pertamamelayang langsung menghalangi langsung

menghalangi jalurnya, memanggil-memanggil ibunya. Dalam waktu sepersepuluh

detik untuk menghindari si camar muda, Fletcher Lynd Camar menyentakkan

dirinya dirinya dengan keras ke kiri, dengan kecepatan lebih dari dua ratus mil per

jam, menabrak tebing batu granit keras.

Bagi Fletcher, seakan-akan batu karang itu sebuah pintu raksasa yang

keras ke dunia lain. Satu ledakan ketakutan dan guncangan serta kegelapan terasa

ketika dia terapung-apung di langit yang asing, melupakan, teringat, melupakan;

takut, sedih dan menyesal, sangat menyesal.

Sebuah suara datang kepadanya seperti pada hari pertama ketika dia

bertemu dengan Jonathan Livingston Camar.

“Rahasianya, Fletcher, adalah bahwa kita berusaha mengatasi keterbatasan

kita sendiri secara berurutan, dengan sabar. Kita baru akan mempelajari terbang

menembus batu karang nanti tidak lama lagi dalam program kita.”

“Jonathan!”

“Juga dikenal sebagai Putra Camar agung,” kata instrukrut dengan tandas.

“Apa yang kau lakukan disini? Tebing! Apakah aku belum…apakah aku

tidak…mati?”

“Ah, Fletch, sudahlah. Berpikirlah. Kalau kau bicara padaku sekarang,

maka jelas saja kau tidak mati, bukan? Yang tadi kulakukan hanyalah mengubah

Page 19: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 19

tingkat kesadanmu secara agak mendadak. Sekarang kau boleh memilih. Kau bias

tetap tinggal di sini dan belajar pada tingkat ini – yang sedikit lebih tinggi

daripada tingkat yang baru saja kautinggalkan, bagaimanapun juga – atau kau bisa

kembali dan terus bekarja bersama Kawanan. Para Tetua mengharapkan

terjadinya suatu jenis bencana, tetapi mereka terkejut karena kau mematuhi

mereka dengan begitu baik.”

“Aku ingin kembali kepada Kawanan, tentu saja. Aku hamper-hampir

belum memulai dengan kelompok yang baru!”

“Bagus sekali, Fletcher. Ingat apa yang kita katakana tentang tubuh kita

tidaklah lebih dari pemikiran kita sendiri….?”

Fletcher menggeleng-gelengkan kepala dan merentangkan sayapnya serta

membuka mata dibawah tebing, di tengah-tengah kumpulan seluruh Kawanan.

Terjadi keributan besar dalam bentuk jeritan dan pekikan dari kumpulan burung-

burung ketika dia mulai bergerak.

“Dia hidup! Dia yang sudah mati hidup!”

“Menyentuhnya dengan ujung sayap! Membuatnya hidup kembali! Putra

Camar Agung.”

“Tidak! Dia menyangkalnya! IBLIS! Datang untuk menghancurkan

kawana!”

Terdapat empat ribu burung camar dalam kumpulan, ketakutan

menyaksikan apa yang terjadi, dan seruan IBLIS! Sampai kepada mereka seperti

angin badai samudra. Dengan mata bersinar-sinar, paruh yang tajam, mereka

datang untuk menghancurkan.

“Apakah kau akan merasa lebih senang kalau kita pergi, Fletcher?” Tanya

Jonathan.

“Tentu saja aku tidak akan terlalu keberatan kalau kita melakukannya…”

Seketika mereka berdiri bersama-sama sejauh setengah mil dari sana, dan

paruh burung yang berkila-kilat mendekati udara kosong.

“Mengapa,” kata Jonathan keheranan, “hal yang paling sulit dilakukan di

dunia adalah meyakinkan seekor burung bahwa dia bebas, dan bahwa dia bisa

membuktikannya sendiri kalau dia baru saja melewatkan sedikit waktu untuk

berlatih? Mengapa itu bisa begitu sulit?”

Fletcher masih mengejap-ngejapkan mata dari perubahan pemandangan.

“Apa yang baru kaulakukan? Bagaimana kita bisa sampai ke sini?”

“Kau baru mengatakan kau ingin meninggalkan kelompok, bukan?”

“Ya! Tetapi bagaimana kau bisa…”

Seperti segala hal lainnya, Fletcher. Latihan.”

Keesokan paginya Kawanan telah melupakan kegilaannya, tetapi Fletcher

tidak. “Jonathan, ingat apa yang kaukatakan lama berselang, tentang cukup

mencintai Kawanan sehingga mau kembali kepada mereka dan membantu mereka

belajar?”

“Tentu.”

“Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa mencintai kumpulan burung

yang baru saja berusaha membunuhmu.”

“Oh, Fletch, kau tidak mencintai seperti itu! Kau tidak menyukai

kebencian dan kejahatan, tentu saja. Kau harus berlatih dan melihat burung camar

yang sesungguhnya, kebaikan dalam diri mereka masing-masing, dan membantu

mereka melihatnya di dalam diri mereka sendiri. Itulah yang kumaksudkan

Page 20: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 20

dengan cinta. Itu menyenangkan, setelah kau memiliki kemampuan tentang hal

itu.

“Aku masih ingat kepada seekor burung muda yang keras prinsipnya,

misalnya Fletcher Lynd Camar namanya. Dia baru saja dijadikan Buangan, siap

untuk berkelahi melawan Kawanan sampai mati, mulai membangun nerakanya

sendiri yang penuh kepahitan di Tebing Jauh. Dan di sinilah sebaliknya dia hari

ini membangun sorganya sendiri, dan memimpin seluruh Kawanan menuju arah

tersebut.”

Fletcher menoleh kepada instrukturnya, dan sesaat ada rasa takut dalam

matanya. “Aku memimpin? Apa maksudmu aku memimpin? Kau instruktur di

sini. Kau tidak bisa pergi!”

“Apakah aku tidak bisa? Jangan sekali-kali kau berpikir bahwa mungkin

ada kawanan lainnya, Fletcher-Fletcher lainnya, yang memerlukan instruktur

melebihi yang ini, yang sedang dalam perjalanan menuju sumber cahaya?”

“Aku” Jon, aku hanya burung camar biasa, dan kau…”

“… hanya Putra Camar Agung, aku rasa?” Jonathan menghela napas dan

melayangkan pandangan ke laut. “Kau tidak lagi memerlukan diriku. Kau perlu

terus menemukan dirimu, sedikit lebih banyak tiap hari, Fletcher Camar

memahaminya dan melatihnya.”

Sesaat kemudian tubuh Jonathan bergetar di udara, berpendar-pendar, dan

mulai tembus pandang. “Jangan biarkan mereka menyebarkan desas-desus konyol

tentang diriku, atau menjadikan diriku tuhan. Oke Fletch? Aku hanya seekor

burung camar. Aku suka terbang, mungkin…”

JONATHAN!”

“Kasihan Fletch. Jangan percaya dengan apa yang dikatakan matamu.

Yang kau lihat adalah keterbatasanmu. Lihatlah dengan pengertianmu, temukan

apa yang sudah kauketahui, dan kau akan melihat caraku terbang.”

Getaran yang berpendar-pendar berhenti. Jonathan Camar sudah lenyap

tanpa bekas.

Setelah beberapa waktu lamanya, Fletcher Camar menyeret dirinya ke

langit dan menghadapi satu kelompok murid yang baru, yang bergairah ingin

mendapatkan pelajaran pertama.

“Sebagai permulaan”, katanya dengan berat “kalian harus memahami

bahwa seekor burung camar adalah satu gagasan kebebasan, citra dari Camar

Agung, dan seluruh tubuh kalian, dari ujung sayap yang satu ke ujung sayap yang

lainnya, tidak lebih dari pemikiran kalian sendiri.”

Camar-camar muda ini melihat kepadanya kebingungan. Hai, Kawan,

mereka mulai berpikir, ini tidak kedengaran seperti cara-cara membuat gerakan

jerat simpul.

Fletcher menghela napas dan memulai lagi. “Hhm. Ah … baiklah,”

katanya, dan memandangi mereka dengan sikap mencela. “Mari kita mulai dengan

Penerbangan Datar.” Dan setelah mengatakan itu, dia memahami seketika bahwa

sahabatnya dengan sejujurnya tidak lebih agung daripada Fletcher sendiri.

Tidak ada batasnya, Jonathan? Pikirnya. Baiklah, kalau begitu, waktunya

tidak akan lama lagi ketika aku akan muncul dari ketiadaan di pantai-mu, dan

memperlihatkan satu atau dua hal tentang terbang!

Dan walaupun dia berusaha agar kelihatan benar-benar bengis kepada

murid-muridnya, Fletcher Camar tiba-tiba melihat mereka sebagai diri mereka

yang sesungguhnya, hanya sesaat, dan dia lebih dari menyukai, dia mencintai apa

Page 21: Camar Jonathan

Didik Fotunadi - Theater material, 2006 21

yang dilihatnya. Tidak ada batasnya, Jonathan? Pikirnya, dan dia tersenyum.

Pacuan untuk belajar telah dimulai.