BURUH BERGERAK; SEMAUN DAN SURYOPRANOTO ...1].pdfPada tahun 1870 tanah merupakan milik elit pribumi,...
Transcript of BURUH BERGERAK; SEMAUN DAN SURYOPRANOTO ...1].pdfPada tahun 1870 tanah merupakan milik elit pribumi,...
-
BURUH BERGERAK; SEMAUN DAN SURYOPRANOTO
DALAM PERJUANGAN GERAKAN BURUH 1900-1926
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh :
NIM : 054314004 Dominikus Bondan Pamungkas
NIRM
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2010
-
ii
-
iv
Halaman Persembahan
Skripsi ini dipersembahkan kepada papa dan mama.
Penulisan ini juga disumbangkan bagi pergerakan buruh di Indonesia,
kemarin, kini dan esok.
-
v
-
vi
ABSTRAK
Universitas Sanata Dharma Dominikus Bondan Pamungkas
Yogyakarta
Skripsi yang berjudul “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” berangkat dari 3 permasalahan. Pertama, faktor-faktor yang membawa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan. Kedua, peranan Semaun dan Suryopranoto dalam gerakan perburuhan di Indonesia pada saat itu. Ketiga, faktor-faktor yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh di Indonesia pada tahun 1926.
Untuk mengkaji masalah-masalah tersebut, skripsi ini mempergunakan teori kelas Karl Marx, di mana dalam teori tersebut dibahas mengenai kemunculan kesadaran kelas. Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, diseimbangakan pula dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi dan pandangan tentang Ratu Adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Metode ini digunakan untuk melihat perspektif konflik antara kekuatan kolonial dengan masyarakat pribumi.
Penelitian ini memperoleh hasil bahwa pergerakan buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto memang terinspirasi dari kondisi ketertindasan atas nasib kaum pekerja saat itu. Dalam pergerakan buruh, Semaun terinspirasi atas gagasan Marxis yang dipelajarinya dari Sneevliet, sedangkan Suryopranoto menyadari perlunya perbaikan kesejahteraan kaum pekerja. Perjuangan mereka pada perjalanannya berhasil memberikan posisi tawar kaum buruh terhadap majikan. Namun, sifat kepemimpinan yang cenderung tunggal serta kurangnya kaderisasi serta penangkapan tokoh-tokoh gerakan buruh oleh pemerintah kolonial menjadikan gerakan ini melemah dan akhirnya ditumpas pada tahun 1926.
Kata kunci: Semaun, Suryopranoto, Pergerakan Buruh
-
vii
ABSTRACT
Sanata Dharma University Dominikus Bondan Pamungkas
Yogyakarta
Thesis entitled “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” was formulated from three problems. First, the factors that brought Semaun and Suryopranoto struggling in the labor organization. Second, the role of Semaun and Suryopranoto in the labor movement in Indonesia at that era. Third, the factors that caused labor movement in Indonesia being terminated in 1926.
For reviewing these issues, this study used Karl Marx's theory of class, which discussed about the emergence of class consciousness. In the economic practices, there is a conflict happened between classes caused by a welfare imbalance between the owners of capital and its workers. In using the class theory of Karl Marx, the other two perspectives were well balanced; the perspective of conflict between the natives and colonial government, and the view of Ratu Adil
The study resulted on that the labor movement performed by Semaun and Suryopranoto was inspired by the conditions of oppression over the labors at that era. In the labor movement, Semaun was inspired by the Marxism that he had learned at Sneevliet, while Suryopranoto realized the need to repair the welfare of the labors. Their struggles succeed to give the labors a better bargaining position against the employers. However, the nature of leadership which tended to be dependent on single figure, the lack of succession planning and the arrest of the labor movement’s figures by the colonial government made this movement to be weakened and finally terminated in 1926.
as a liberating figure and creating prosperity. This method was used in order to see the perspective of the conflict between colonial powers and natives communities.
Keywords: Semaun, Suryopranoto, the Labor Movement
-
viii
Kata Pengantar
Penulisan skripsi ini terinspirasi dari sebuah diskusi dan pembelajaran
bersama dengan aktivis Aliansi Buruh Jogjakarta (ABJ) yakni Ika Rubbi. Ia yang
banyak membantu dan menginspirasi saya dalam menuliskan serta membedah
permasalahan buruh. Hal ini tentunya berguna untuk pembelajaran bersama
gerakan buruh di Indonesia.
Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Dr. I. Praptomo Baryadi selaku
Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Penghargaan sebesar-besarnya
serta ucapan terima kasih saya sampaikan pada seluruh staf pengajar Jurusan Ilmu
Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Kepada Drs. Hb. Hery
Santosa, M. Hum, dosen sekaligus kaprodi Ilmu Sejarah; Dr. Anton Haryono, M.
Hum., dosen sekaligus pembimbing skipsi saya, Drs.Ign. Sandiwan Suharso
dosen sekaligus pembimbing akademik saya, Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno,
M. Hum dan Dr. FX Baskara T. Wardaya, SJ., keduanya selaku dosen dan peneliti
yang saya sukai, dan mendiang Prof. Dr. P. J. Suwarno , S. H. Sekali lagi saya
ucapkan terima kasih atas segala pendidikannya untuk mengajarkan saya.
Terima kasih juga kepada seluruh keluarga penulis ,kepada papa, mama,
adik, kakak serta keponakan yang selalu mengingatkan saya. Kepada rekan-rekan
saya mahasiswa prodi Ilmu Sejarah 2005 Suster Ann, S.S, Agung eko Ariestya,
Flavianus Setyawan Anggoro, Yohana, dan Haven Hafidullah. Kepada kakak-
kakak saya, Agus Budi Purwanato dan Darwin Awat yang selalu setia, sabar,
mengkritik, untuk mendorong penulis untuk tetap semangat dalam menuliskan
skripsi ini. Terima kasih juga saya ucapkan kepada kakak sekaligus pembimbing
-
ix
penulis yaitu Aditya Rahman dan Ika Rubbi. Terima kasih juga kepada Vonny
Permana Sari Simon yang senantiasa mendukung penulisan ini. Tidak lupa juga
kepada komunitas Tarekat Djuang Muda (TADJAM) atas pendidikan serta
sumbangannya dalam pola pikir penulis. Terima kasih atas kesediaan Bernadette
Steari Saraswati atas koreksi penulisan serta bantuan terjemahan bahasa Inggris
kepada saya, serta segenap Kabinet Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas
Sanata Dharma 2009-2010 yang mendukung saya untuk menyelesaikan skripsi
ini.
-
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……………………………………………………….i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………iii
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………….iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………….v
ABSTRAK………………………………………………………………….vi
ABSTRACT………………………………………………………………..vii
KATA PENGANTAR……………………………………………………...viii
DAFTAR ISI………………………………………………………………...x
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………….xiii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………..……. 1
A. Latar Belakang…………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………… 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………… 8
D. Metode Penelitian……………………………………………… 9
E. Landasan Teori………………………………………………… 11
F. Tinjauan Pustaka………………………………………………. 15
G. Sistematika Penulisan………………………………………… 17
-
xi
BAB II KONDISI PERBURUHAN DI JAWA AKHIR ABAD XIX DAN AWAL ABAD XX ….……………………………………………………. 19 A. Kereta Api………………………………………………………20
B. Peralihan Fungsi Tanah...……………………………………… 22
C. Transisi Lahan Pribumi Menjadi Lahan Swasta……………… 26
D. Hadirnya Modernisasi…………………………………………. 30
E. Awal Pergerakan Kaum Terdidik……………………………… 39
BAB III SEMAUN DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH……………………………………………...………….. 41
A. Latar Belakang Semaun……………………………………….. 41
B. Awal Karir Politik……...……………………………………… 42
C. Semaun dan Pergerakan Buruh………………..……………… 44
D. Semaun dan Sikap Politiknya…………………………………. 47
E. Semaun dan PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh)…….. 51
F. Semaun dan PKI………………………………………………... 52
G .Runtuhnya Pergerakan Politik…………………………………. 56
BAB IV SURYOPRANOTO DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH……………………………………………………...…. 62
A. Latar Belakang Suryopranoto...……………………………….. 62
B. Awal Karir Pergerakan……...…………………………………. 63
1. Suryopranoto dalam Mardi Kaskaya, Societeit Sutohardjo,
dan Boedi Oetoma................................................................... 65
-
xii
2. Suryopranoto dan Sarekat Islam..............................................66
3. Suryopranoto dan Adidarmo (Adhidharma)............................69
C. Suryopranoto dari Personeel Fabriek Bond hingga Persatuan
Pergerakan Kaum Buruh PPKB...……………..……………… 72
D. Pertentangan Suryopranoto dan Semaun……………………… 76
E. Melemahnya Gerakan Buruh............................………………... 79
BAB V KESIMPULAN………………………………………………..81
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….89
-
xiii
DAFTAR SINGKATAN
BO : Bodi Utomo
CSI : Central Sarekat Islam
HIS : Hollandsch Inlandsche Scholen
ISDV : Indische Sociaal-Democratische Vereeniging
IP : Indische Partij
PFB : Personeel Fabrieks Bond
PKI : Partai Komunis Indonesia
PPKB : Persatuan Pergerakan Kaum Buruh
PPPB : Persatuan Pergerakan Pegadaian Bumiputera
SDI : Sarekat Dagang Islam
SI : Sarekat Islam
VSTP : Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel
-
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Setelah cukup lama Indonesia dijajah oleh VOC dan kemudian oleh
Pemerintah Belanda, pada tahun 1870 muncul sebuah era baru. Sebelum 1870,
melalui Culture Stelsel, pemerintah Hindia Belanda secara monopolistik bertindak
sebagai pelaku, namun sejak 1870 dimulai sistem baru yaitu ekonomi liberal yang
memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investasi swasta asing, khususnya swasta
Belanda. Sebagai contoh, Bila sebelum 1870 usaha perkebunan dikuasai oleh
pemerintah kolonial, kini modal swasta diperbolehkan melakukan pengelolaan.
Sistem ekonomi liberal menghapuskan kerja paksa dan rodi, serta memperkenalkan
sistem kerja upahan.1
Pada era ekonomi liberal, modal swasta asing antara lain melakukan usaha
dalam bidang pertambangan, perkebunan, dan usaha-usaha lain. Namun, modal asing
ini tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat pribumi. Para
pemodal swasta oleh Soe Hok Gie disebut berada dalam free fight competition to
exploit Indonesian.
2
1Takashi Shiraishi. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta. hlm 10. 2 Soe Hok Gie. 2005. Di Bawah Lentera Merah. Bentang: Yogyakarta. hlm
11.
Meskipun mereka tidak dapat membeli lahan untuk usaha
perkebunan mereka dapat menyewanya dari pemerintah atau pribumi. Hal ini diatur
-
2
dalam Undang-Undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870 yang sangat bermanfaat untuk
membantu terlaksananya sistem ekonomi liberal.3
Penyewaan tanah seringkali dilakukan oleh pejabat desa (lurah). Sawah yang
sebelumnya adalah milik desa (tanah kas desa) dan dikelola oleh petani disewakan
kepada pihak swasta. Pihak swasta juga memanfaatkan sistem tradisional yang ada,
termasuk di dalamnya keterikatan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
Setelah tanah milik tuan tanah disewa oleh swasta para petani penggarap menjadi
buruh dalam perusahaan tersebut. Namun, untuk para buruh tani (petani penggarap)
sering sekali tidak diperhatikan kesejahteraannya untuk menekan biaya produksi
perusahaan. Sewa-menyewa tanah memposisikan para lurah seolah sebagai raja-raja
kecil.
4
Sejak 1870 jalur kereta api sebagai sarana pengangkutan bertumbuh pesat,
terutama di daerah Semarang dan Vorstenlanden. Dalam kurun waktu lima tahun
jumlah barang dagangan yang dapat diangkut dengan kereta api naik hingga 270
persen. Kondisi ini menyatakan betapa tingginya pembangunan jalur transportasi
guna pengangkutan barang perusahaan. Sejak tahun 1870-an pula meningkat secara
3Bambang Sulistiyo. 1995. Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. PT
Tiara Wacana Yogyakarta, hlm 12. Tanah pribumi tidak diperjualbelikan melainkan dapat di sewa. Akibat dari harga sewa yang sangat murah dan para pemilik tanah beserta masyarakat sekelilingnya kehilangan alat produksi, secara terpaksa menjadi buruh dari industri tersebut, dengan pendapatan yang kurang dari penghasilan mereka bila mengolah lahan sebelum disewakan.
4 Soe Hok Gie. op. cit., hlm 12.
-
3
drastis jumlah tanah di daerah vorstenlanden yang disewakan kepada pihak swasta.5
Pertumbuhan pesat lahan tebu menciptakan penderitaan baru bagi masyarakat
pribumi, seiring dengan terjadinya perubahan fungsi lahan pangan menjadi lahan
industri. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis bahan pangan, sehingga berdampak
pada naiknya harga. Kesengsaraan pribumi semakin bertambah karena pengusaha
senantiasa memegang prinsip untuk menekan upah sekecil-kecilnya guna
menghasilkan keuntungan sebesar-bersarnya, yang antara lain diwujudkan dalam
upah buruh yang rendah.
Hal ini turut mendorong pergerakan buruh kereta api dan pabrik gula dari tahun 1917
hingga tahun 1926.
Kondisi perekonomian Indonesia paska 1870 mengalami pertumbuhan sangat
cepat karena masuknya investasi swasta asing secara besar-besaran. Namun hal ini
juga berdampak pada kaum pribumi.
6
Tahun 1870 merupakan permulaan dari kolonialisme modern di Indonesia.
Bila sebelumnya kekuasaan dilakukan dengan dominasi teritorial melalui kekuatan
Kondisi buruk atas kelangkaan serta naiknya harga bahan
pangan dan upah buruh yang sedemikian rendah memicu rasa ketidaksenangan
masyarakat pribumi terhadap pemilik modal.
5 Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 11. Pada tahun 1870 tanah merupakan milik
elit pribumi, dan ketika tanah tersebut disewakan pada swasta asing maka tidak hanya tanah namun juga para pekerja yang ada di dalamnya ikut tersewa.
6 Bambang Sulistyo. op. cit. hlm 12.Teori Adam Smith (1723-1790), ilmuan
ekonomi asal Inggris. Teori ekonomi inilah yang kemudian secara bersama dipergunaan kelompok pemodal guna menjalankan usaha dengan prinsip-prinsipnya. Para penganut ajaranya di sebut Smithcian.
-
4
bersenjata serta pendudukan fisik, maka sejak 1870 sistem yang berkembang adalah
eksploitasi dan penguasaan ekonomi oleh pemodal-pemodal swasta besar asing.
Selain sumber daya alam, eksploitasi pemodal Belanda juga dilakukan atas sumber
daya manusia, yakni kaum pribumi Indonesia.
Kritik terhadap praktik ekonomi liberal pun muncul, dan akhirnya kemudian
lahir gagasan-gagasan etis, yang salah satunya adalah pentingnya pemerintah kolonial
memberikan pendidikan dan pengajaran secara luas kepada penduduk pribumi.7
Meskipun demikian, kesempatan menempuh jalur pendidikan yang hanya
sebatas pada segelintir orang ternyata mampu melahirkan tokoh pergerakan nasional
dikemudian harinya, termasuk penggerak kaum buruh. Semaun
Namun dalam praktiknya, hanya anak-anak dari keluarga kaum elite pribumi sajalah
yang mampu mendapatkan pendidikan dan pengajaran itu. Lagi pula, program Politik
Etis ini kemudian bergulir tidak pertama-tama dalam rangka menciptakan pendidikan
yang layak (berkualitas) melainkan terutama menciptakan buruh modern lokal yang
murah. Penyelenggaraan pendidikan berubah dari upaya mencerdaskan, menjadi
kepentingan ekonomi perusahaan swasta asing untuk memenuhi standar penguasaan
alat-alat produksi industri modern.
8 dan Suryopranoto9
7 Takashi Shiraishi . op. cit., hlm 35. 8 Dalam beberapa buku penulisan nama yang digunakan adalah Semaoen,
namun dalam penulisan ini digunakan ejaan Semaun. 9Dalam beberapa buku penulisan nama yang digunakan adalah Soerjopranoto,
namun dalam penulisan ini digunakan ejaan Suryopranoto.
adalah contohnya. Keduanya sempat menjadi siswa sekolah Belanda, bahkan Semaun
-
5
sempat belajar di negeri Belanda, sedangkan Suryopranoto lulus hingga sekolah
tinggi Belanda untuk pribumi di Hindia Belanda. Keduanya merupakan produk dari
Politik Etis, namun mereka mampu memanfaatkan pendidikan itu untuk mensiasati
ketertindasan kaum pribumi, terutama buruh.
Meningkat pesatnya usaha-usaha swasta Barat di Indonesia pada tahun 1900-
1915 berdampak pada bertambah besarnya jumlah buruh pribumi. Pada masa ini
mulai berkembang organisasi-organisasi maupun serikat-serikat yang berpihak pada
kaum buruh, diantaranya adalah Sarekat Islam di Semarang pada saat kepemimpinan
Semaun dan Adhi Darmo yang kemudian berkembang menjadi Personeel Fabrieks
Bond yang digagas oleh Suryopranoto.10
Semaun, setelah kongres SI Semarang pada tanggal 6 Mei 1917, saat berusia
19 tahun, resmi menjadi presiden Sarekat Islam Semarang. Pada era
kepemimpinannya berfokus pada situasi sosial yang relevan bagi kaum pribumi, yaitu
persoalan buruh. Besarnya jumlah buruh di Semarang memberikan ruang kegiatan
bagi SI Semarang antara lain berupa advokasi dan upaya-upaya pensejahteraan, baik
melalui bantuan, aksi politik, pendidikan buruh, hingga mogok kerja guna menuntut
perbaikan kesejahteraan buruh. Semaun dalam pemikirannya banyak dipengaruhi
oleh Henk Sneevliet
11
10 Budiawan. 2006. Anak Bangsawan Bertukar Jalan, LKiS: Yogyakarta. hlm
13. 11 Soe Hok Gie. op. cit., hlm 18-20.
, seorang penganut komunis dari Belanda. Perjumpaan dengan
-
6
Sneevliet membawanya tertarik dengan gagasan komunisme, yang dianggapnya
sesuai dengan kondisi pribumi saat itu.12
Berbeda dengan Semaun, Suryopranoto merupakan anak bangswan
Yogyakarta.
13 Ia berhasil menyelesaikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum
pribumi hingga tingkat akhir di Jawa. Kedekatannya dengan buruh dimulai sejak ia
menjadi kleine Ambtenaar, Assisten Wedono Sentono serta perjumpaan secara
langsung dengan kondisi perburuhan yang tidak layak di Jawa. Ia berjuang dengan
inisiatif pribadi dan pandangan ke-Jawa-an yang diajarkan ayahnya bahwa tugas para
priyayi adalah membantu serta menolong sesama masyarakat yang tertindas. Hampir
serupa dengan Semaun, ia juga memiliki panutan dari dunia pewayangan, yakni Bimo
dan Kokrosono. Suryopranoto memimpikan dirinya dapat mendobrak masyarakat
pribumi menuju kehidupan yang lebih baik.14
Semaun maupun Suryopranoto berpandangan bahwa hak atas kaum buruh
tidak terpenuhi, sehingga mereka mengeluarkan sebuah sikap serta tindakan melalui
pergerakan. Semaun bergerak melalui organisasi SI cabang Semarang guna
membangun kesadaran buruh untuk melakukan perlawanan bilamana hak mereka
tidak terpenuhi. Suryopranoto pun demikian, ia melakukan pendidikan serta
membentuk lembaga-lembaga bantuan bagi kaum buruh
15
12 Soewarsono. 2000. Bebareng Bergerak. LKiS. Yogyakarta. hlm 5. 13 Budiawan. op. cit., Hlm 17. 14 Ibid., hlm 45. 15 Ibid., hlm 78-97.
.
-
7
Melalui penelitian ini, hendak dicoba dilakukan sebuah kajian perbandingan
antara pemikiran Semaun dan Suryopranoto. Keduanya adalah tokoh gerakan buruh
sejaman tetapi dengan ideologi yang berbeda, meskipun latarbelakang kondisi sosial
dan ekonomi yang dihadapi sama, masing-masing memiliki metode dan pemikiran
tentang gerakan buruh yang berbeda. Semaun yang berhaluan Marxis menyatakan
sebuah pergerakan massa secara politis revolusioner (bahkan dengan kekerasan
sekalipun), sedangkan Suryopranoto yang berangkat dari realitas dan pemikiran ke-
Jawa-an memilih pendidikan dan aksi massa tanpa perlu dengan tujuan politis.16
Hipotesis awal dari penelitian ini adalah belum terbangunnya kesadaran
masyarakat atas posisi dan alat produksinya
17
16Ibid., hlm 102. 17Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2001. hlm 113. Dalam hal ini buruh hidup dari upah, kaum pemiliki modal hidup dari laba (modal), dan tuan tanah hidup dari rente tanah. Alat produksi dalam pengertiannya adalah media yang mampu menciptakan sebuah produk yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Dalam konteks kolonial di Indonesia alat produksi yang di maksud merupakan sawah ataupun lahan (semula di miliki petani pribumi namun terpaksa di sewakan akibat tekanan-tekanan tertentu) serta mesin industri. Tidak dimiliki dan dirampasnya alat produksi masyarakat pribumi pada tahun 1900-an menyebabakan terjadinya ketergantungan ekonomi yakni buruh dengan pemilik alat industri ataupun pemilik modal.
. Hal ini menyebabkan tidak
terbangunnya kesadaran kelas yang digagas oleh kaum Marxis Eropa, yang cita-
citanya menjadi dasar pedoman Semaun dan juga Suryopranoto. Kondisi ini
menciptakan pergerakan yang amat tergantung pada tokoh. Setelah sang tokoh atau
organisasi pergerakan diberhentikan, maka gerakan buruh pun akan terhenti.
-
8
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan beberapa permasalahan
yang akan di bahas antara lain:
1. Mengapa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan?
2. Bagaimana Semaun dan Suryopranoto berperan dalam gerakan perburuhan di
Indonesia pada saat itu ?
3. Apa yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh yang dilakukan oleh
Semaun dan Suryopranoto di Indonesia pada 1926?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan akademis dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan dan menganalisis munculnya pergerakan perburuhan yang
dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis metode yang dilakukan oleh Semaun dan
Suryopranoto dalam pergerakan buruh.
3. Menganalisis faktor penyebab terhentinya pergerakan buruh yang dipimpin
oleh Semaun dan Suryopranoto di Indonesia pada 1926.
Sementara itu tujuan praktisnya adalah melihat sebuah sistem pergerakan
buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto sehingga mampu
mempengaruhi massa buruh pada 1915-1926.
-
9
Manfaat dari penulisan ini, yaitu:
1. Diketahuinya metodologi Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh
di Indonesia yang sesungguhnya berbeda dengan negara Eropa.
2. Tersedianya refrensi metodologis organisasi pergerakan buruh, serta
menjadikanya sebuah referensi bagi pergerakan buruh bagi pergerakan buruh
saat ini.
D. Metode Penelitian
Melakukan sebuah rekonstruksi sejarah bukan pekerjaan mudah karena
peristiwa masa lalu tidak terekam secara utuh dan objektif. Dalam penulisan sejarah
tidak dapat dipungkiri adanya faktor subjektif seorang penulis dalam melihat
peristiwa melalui cara pandangnya secara pribadi. Cara pandang setiap orang
berbeda-beda, dan dari perbedaan pandangan ini diharapkan muncul gagasan yang
maksimal dalam membedah peristiwa tersebut.18
Dalam penulisan sejarah dikenal adanya langkah-langkah metodis, yang
merupakan tahapan umum penyusunan historiografi. Secara berurutan sebagai
berikut: pemilihan topik, pengumpulan sumber, kritik sumber, analisa, dan yang
18 Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia., hlm 27-28.
-
10
terakhir adalah penulisan atau historiografi.19 Berdasarkan sistematisasi tersebut,
penelitian ini menentukan topik perbandingan gagasan Semaun dan Suryopranoto
tentang pergerakan buruh. Setelah topik ditentukan, langkah berikutnya adalah
mengumpulkan sumber sejarah (heuristik), baik yang bersifat primer maupun
sekunder. Sumber primer adalah sumber-sumber yang berasal dari pelaku langsung
atau berupa dokumen (surat, karya tulis dan sejenisnya) dari situasi tersebut.20
1. Karya tulis, artikel di media massa, dan surat Suryopranoto yang dirangkum
dalam buku Anak Bangsawan Bertukar jalan karya Budiawan.
Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari seseorang yang tidak terlibat dari
peristiwa itu namun mampu menjelaskan serta mendokumentasikan data sumber
primer. Penelitian ini berupa kajian pustaka yang didapatkan dari karya tulis, catatan
dokumentasi maupun laporan penelitian dari, Semaun dan Suryopranoto dalam hal
pergerakan buruh.
Setelah data-data tersebut terkumpul dilakukanlah kritik sumber baik secara
eksternal maupun internal. Pemilihan sumber didasarkan pada kesesuaiannya dengan
topik penulisan. Langkah berikutnya adalah analisis terhadap sumber yang telah teruji
dan melalui analisis inilah kemudian ditentukan gagasan-gagasan yang terangkum.
Tahap terakhir adalah penulisan.
Beberapa contoh sumber primer yang digunakan adalah:
19 Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang
Budaya., hlm 91. 20 Louis Gottschalk. op. cit., hlm 35-37.
-
11
2. Hasil wawancara antara Soe Hok Gie dengan Semaun yang terangkum dalam
buku Lentera Merah
3. Kumpulan tulisan, artikel di media massa, dan surat Semaun dalam buku
Bebareng Bergerak karya Soewarsono.
4. Kumpulan data-data baik luas peralihan tanah dari petani kepada penguasaha
swasta di beberapa tempat di Jawa Tengah, panjang rel serta jumlah beban
angkutan kereta api di Semarang, jumlah produksi gula di Yogyakarta dan
jumlah sekolah beserta muridnya dari tahun 1862-1920 dalam buku Zaman
Bergerak karya Takashi Shiraishi.
Beberapa contoh sumber sekunder yang digunakan adalah:
1. Surat dan foto semaun di Belanda yang sudah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dan ejaan modern dalam buku Di Negeri Penjajah karya Harry A.
Poeze.
2. Hasil penelitian Soe Hok Gie mengenai Semaun dan SI.
3. Hasil penelitian dan sumber-sumber kajian mengenai Semaun karya
Soewarsono.
4. Hasil penelitian dan sumber-sumber kajian mengenai Suryopranoto karya
Budiawan.
E. Landasan Teori
Sebuah kajian sejarah yang bersifat analitis membutuhkan alat analisis berupa
teori dan konsep yang dipinjam dari ilmu sosial. Penggunaan teori dan konsep ilmu
-
12
sosial dalam penelitian tentang perbandingan gagasan Semaun dan Suryopranoto
dalam pergerakan buruh berguna untuk menguji ataupun mengklarifikasi atas kondisi
dari peristiwa yang diteliti.21
Dalam pembahasan mengenai perbandingan gagasan Semaun dan
Suryopranoto dalam pergerakan buruh, dipergunakan teori yang mempengaruhi
kedua tokoh tersebut, yaitu: teori kelas Karl Marx. Dalam teori ini diungkapkan
terjadinya perbedaan kelas antara pemilik modal dengan tenaga kerja. Dalam
pemahamannya, Marx menyatakan tentang klaim negara bahwa ia mewujudkan
kepentingan umum padahal ia tidak lebih dari sekedar melayani kepentingan kelas
berkuasa.
22
21 Louis Gottschalk. op. cit., hlm 183. 22 Franz Magnis Suseno. op. cit., hlm 110.
Adanya sebuah pertentangan di balik saling keterlibatan antara buruh dan
majikan. Buruh memiliki kemampuan tenaga kerja namun tidak memiliki alat
produksi sehingga tidak berkuasa atas produknya. Sedangkan di sisi lain kaum
pemodal yang merupakan pemilik alat produksi memerlukan buruh untuk
menjalankan mesin dengan keahlian tertentu untuk mendapatkan produk dan
menghasilkan keuntungan. Namun, dalam pelaksanaannya tidak terjadi sebuah
hubungan yang baik antara buruh dengan majikan, di mana majikan menekan upah
buruh agar biaya produksi sedikit dan keuntungan banyak, di sisi lain buruh merasa
-
13
tertindas dengan upah yang minim sedangkan mereka telah bekerja keras dan
memberikan keuntungan bagi pemilik modal.23
Dalam praktik ekonomi terjadi pertentangan kelas. Ketidak-berimbangan
kesejahteraan antara apa yang dinikmati oleh pemilik modal dan buruh adalah faktor
utamanya. Pada satu sisi buruh tetap ingin bekerja demi memenuhi kebutuhan
dirinya, namun pada sisi lain mereka tidak mendapatkan upah yang cukup. Sementara
itu perusahaan (pemilik modal) amat diuntungkan karena hasil produksi mereka.
Kesenjangan yang terjadi inilah yang melahirkan pemahaman bahwa peranan buruh
sangat vital dalam perindustrian, sehingga para tokoh buruh memanfaatkan pemikiran
Marx untuk diaplikasikan guna melakukan pembacaan terhadap kolonialisasi
ekonomi dan penghisapan di tingkat buruh.
24
Menurut Marx, kondisi para buruh yang buruk dan tereksploitasi telah
menciptakan sebuah kesadaran, yang kemudian dikenal dengan kesadaran kelas.
25
23 Ibid., hlm 112-115. 24 Linda Smith dan William Raeper. 2000. Ide-Ide Filsafat dan Agama, dulu
dan sekarang. Yogyakarta: Kanisius. hlm116-120. 25 Franz Magnis. op. cit., hlm 120-121.
Buruh memiliki keyakinan akan kebenaran dan vitalnya posisi mereka dalam industri.
Namun, pemahaman terhadap gagasan Marxis ini baru muncul setelah gerakan buruh
di Indonesia mengenal Sneevliet serta pemikirannya. Selain itu, pemahaman akan
Marxisme di era gerakan buruh tidak dipahami secara utuh, dan hanya menjadi
inspirasi saja. Dalam pengertiannya, Marx menyatakan bahwa kelas hanya akan
muncul ketika ada sebuah kesadaran akan alat produksi, meningkatnya kesadaran
-
14
akan alat produksi akan melahirkan kesadaran kelas, dan hal inilah yang
menyebabkan terjadinya pertentangan kelas di Eropa.
Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, akan dicoba menyeimbangkan
dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi
dan pandangan tentang Ratu Adil26
26 Dalam konsepnya gagasan Ratu Adil lahir dari sebuah tekanan sosial
masyarakat, di mana terjadi sebuah kolonialisme dan tidak adanya peranan dari elit pribumi untuk melindungi masyarakat. Terjadi sebuah transformasi ekonomi, di mana sebelumnya penguasaan ada di tangan elit pribumi, kini berada pada swasta asing. serta terlepasnya perlindungan dari kelompok elit pribumi atas rakyatnya meyebabkan sebuah konflik struktural antara masyarakat dan kolonial.
Terjadinya pemungutan pajak, penyewaan tanah dan kondisi perburuhan yang memprihatinkan. Pada kondisi tersebut hadir harapan pembebasan yang didorong oleh sosok Semaun dan Suryopranoto mengajak masyarakat bergerak untuk bebas serta melawan penindasan kolonial dan swasta asing.
. Dalam perspektif konflik antara kekuatan
kolonial dengan masyarakat pribumi, pemerintah kolonial dianggap sebagai institusi
yang bertanggung jawab atas terampasnya alat produksi masyarakat pribumi.
Munculnya pemilik modal swasta Barat merupakan sebuah gagasan mengenai
konflik kolonialisme. Masyarakat pribumi memandang tidak ada perbedaan antara
pemerintah kolonial dan swasta Belanda dalam hal penindasan dan eksploitasi.
Gagasan yang kemudian muncul di masyarakat mengenai nasib buruh yang sengsara,
adalah bahwa kesengsaraan itu disebabkan oleh para pemilik modal adalah kaum
kolonial Belanda. Hal ini menyebabkan secara langsung maupun tidak langsung
-
15
pergerakan buruh menjadi pergerakan nasionalistis yang menentang penindasan kaum
Belanda terhadap rakyat pribumi.27
Selain pandangan tentang konflik antara pemerintah kolonial dengan pribumi,
muncul juga pandangan mengenai ratu adil sebagai tokoh yang membebaskan dan
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Banyak tokoh buruh di kalangan buruh
sendiri dianggap sebagai ratu adil, kemudian setelah tokoh tersebut berjuang ternyata
keadilan tidak pernah terwujud sempurna sesuai harapan. Namun harapan akan
terciptanya sebuah kesejahteraan dan keadilan bagi buruh tetap melekat hingga saat
itu. Hal ini menginspirasikan kaum buruh, bahwa ratu adil yang diharapkan bukanlah
sosok jasmani tetapi sebuah gagasan tentang kesejahteraan buruh. Konsepsi ini juga
diungkapkan oleh Emmanuel Subangun dalam perpektifnya tentang Ratu Adil, yang
dipahaminya sebagai cita-cita. Ketika fisik, pikiran, dan tindakan sudah tidak lagi
mampu menandingi pihak kolonial serta penjajahan senantiasa berlangsung, maka
ratu adil bukan lagi cita-cita melainkan sebuah harapan belaka yang senantiasa
dinantikan.
28
F. Tinjauan Pustaka
Buku yang membahas tentang pergerakan buruh yang dilakukan oleh
Semaun dan Suryopranoto, antara lain Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa
27 Aloliliweri, M.S. 2005. Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya
Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKiS. hlm 270-271. 28 Emmanuel Subangun, "Tidak Ada Messias dalam Pandangan Hidup Jawa"
dalam Prisma No. 1 Januari 1977 Tahun VI., 1977
-
16
1912-1926, karya Takashi Shiraishi29. Posisi penting buku ini adalah mampu
memberikan data-data mengenai luas lahan yang disewakan, gaji buruh, serta tingkat
pembakaran lahan perusahaan yang dilakukan oleh para buruh saat berunjukrasa serta
beberapa data lainnya. Hampir serupa dengan Zaman Bergerak, buku Pemogokan
Buruh Sebuah Kajian Sejarah karya Bambang Sulistyo30, memberikan data-data
mengenai jumlah hasil gula serta peranan Semaun dan Suryopranoto dalam
pergerakan buruh. Di Bawah Lentera Merah, karya Soe Hok Gie31
Buku lainnya bersifat biografis dan pemikiran Semaun yakni Bebareng
Bergerak karya Soewarsono, penerbit LkiS Yogyakarta. Dalam buku ini digambarkan
latar belakang, biografi, pemikiran serta perjuangan Semaun dalam membela hak
buruh. Buku ini juga disertai surat, artikel dan catatan-catatan Semaun saat berjuang
bersama SI, Suryopranoto dan PKI. Buku lainnya merupakan biografi dan pemikiran
Suryopranoto, yakni Anak Bangsawan Bertukar Jalan, karya Budiawan. Buku ini
berisi mengenai perjalanan hidup Raden Mas Suryopranoto, pergerakan dalam
organisasi-organisasi yang mendukung kesejahteraan buruh, dan perseteruan
Suryopranoto dengan Semaun. Dalam buku ini juga tertulis catatan pribadi, surat, dan
tulisan Suryopranto di berbagai artikel.
juga memuat data-
data tentang luas tanah, biaya sewa dan perseteruan pergerakan buruh dengan
pemerintah Belanda maupun antar gerakan (Semaun dan Suryopranoto).
29 Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 10-147. 30 Bambang Sulistiyo. op. cit.,hlm 9-159. 31 Soe Hok Gie. op. cit., hlm 19-51.
-
17
Untuk melihat kondisi perburuhan pra Semaun dan Suryopranoto secara
umum digunakan beragam buku pembantu seperti buku Di Negeri Penjajah karya
Harry A. Poeze32
G. Sistematika penulisan
yang memuat catatan dan artikel asli dari Semaun saat berada di
negeri Belanda.
Berdasarkan buku-buku tersebut, penelitian yang memperbandingkan gagasan
Semaun dan Suryopranoto ini diharapkan dapat memberikan pandangan serta gagasan
mengenai gerakan buruh yang terjadi. Secara umum belum ada upaya ilmiah yang
dengan tegas memperbandingkan pemikiran Semaun dan Suryopranoto, bukan untuk
melihat siapa yang unggul melainkan melihat metode yang mereka gunakan. Studi
perbandingan ini penting mengingat Semaun dan Suryopranoto berada pada waktu
yang sama dan pernah berjuang bersama. Menarik untuk disimak mengapa keduanya
kemudian saling bertentangan ketika kekuatan massa buruh sedang dalam masa
matang, dan setelah 1926 keduanya saling tersingkir dari pergerakan perburuhannya
sendiri.
Hasil dari penelitian ini dituangkan dalam tulisan dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang berisiskan latar belakang dan hal-hal
yang mendorong penelitian ini.
32 Harry A. Poeze, Cees van Djik, Van der Meulen. Di Negeri Penjajah
Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. hlm 184-188.
-
18
Bab II berisiskan latar belakang yang mempengaruhi Semaun dan
Suryopranoto untuk melakukan pergerakan buruh.
Bab III berisikan biografi, pemikiran, peranan, serta perjumpaan dan konflik
dalam pergerakan buruh yang dialami oleh Semaun.
Bab IV berisikan biografi, pemikiran, peranan, serta perjumpaan dan konflik
dalam pergerakan buruh yang dialami oleh Suryopranoto.
Bab V merupakan sebuah kesimpulan dan pernyataan dari penulis mengenai
kekuatan, kelemahan, ancaman serta peluang dari gerakan buruh yang diprakarsai
oleh Semaun dan Suryopranoto.
-
19
BAB II
KONDISI PERBURUHAN DI JAWA AKHIR ABAD XIX DAN AWAL ABAD
XX
Banyak hal yang memicu lahirnya pergerakan buruh. Dalam konteks ini
adalah munculnya ekonomi liberal. Setelah ekonomi liberal dimunculkan pada tahun
1870, terjadi perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat Semarang dan
Yogyakarta pada khususnya. Hal ini membawa dampak pada sektor industri, tanah
dan tentunya buruh.
Hindia Belanda berubah menuju arah modernitas secara sistematis. Hal ini
ditunjukkan dengan diperkenalkannya sistem gaji pada pribumi. Proses produksi yang
sebelumnya dikuasai oleh negara kini dipercayakan kepada pihak swasta. Selain itu
diatur pula alat produksi yaitu tanah dengan munculnya Undang-Undang Agraria
tahun 1870 yang memuat aturan penyewaan tanah dan Undang-Undang Pajak Kepala
1882 yang kemudian menjadi pendorong lahirnya pasar tenaga kerja bebas (wage
labourer), sampai sistem mengenai hasil produksi swasta yang setiap tahunnya
meningkat hingga eksport ke Eropa, perbaikan infrastruktur berupa pelabuhan dan
jalan.1
Perubahan menuju modernitas juga terlihat dari watak kolonial yang mulai
memperhatikan permasalahan penyesuaian penduduk pribumi dalam sistem modern
1Soewarsono, Bebareng Bergerak. LKiS. Yogyakarta. hlm 10-11.
-
20
kolonial, meskipun sesungguhnya pengenalan sistem modern tersebut adalah upaya
menciptakan buruh yang mampu menjalankan dan memperkenalkan mesin-mesin
modern. Berdasarkan laporan Mindere Welvaart Commissie, terjadi penurunan
tingkat kemakmuran pribumi pada akhir abad XIX, sehingga memberikan solusi agar
pemerintah kolonial membangun sistem modern ini yang kemudian dikenal dengan
Politik Etis.2
Modernitas juga tampak dari lahirnya kelompok kelas menegah (middle class)
pribumi yang jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya. Kelompok ini merupakan
masyarakat prakapitalis yang menyandarkan penghidupannya dari gaji. Meski
demikian, fungsi awal dari kelompok ini adalah pengisi pasar tenaga kerja yang
memiliki keahlian. Namun kemudian, masyarakat kelas menengah yang sebagian
besar adalah kaum terpelajar ini yang mengawali perubahan sosial dengan
dilakukannya pergerakan.
3
A. Kereta Api
Perubahan sosial dalam masyarakat pribumi salah satu penyebabnya adalah
munculnya kereta api. Pesatnya pertumbuhan kereta api menjadi salah satu acuan
modernisasi di Hindia Belanda terutama di pulau Jawa. Media transportasi
merupakan sarana pendukung pertumbuhan ekonomi pengusaha lokal maupun
Belanda. Pertumbuhan industri kereta api jalur Semarang-Vorstenlanden merupakan
2Ibid., hlm 11. 3Ibid.
-
21
contohnya. Semakin luas jarak tempuh dan meningkatnya jumlah angkutan membuat
industri kereta api semakin membutuhkan banyak pekerja.
Fungsi lain dari hadirnya angkutan kereta api adalah sebagai sarana penunjang
ekonomi dalam mengangkut barang. Dengan peningkatan jumlah barang maupun
hasil bumi, maka diperlukan pula jalur kereta api yang memadai.
Tabel berikut ini adalah data untuk melihat perkembangan luas areal kereta
api dan peningkatan jumlah angkutan baik manusia maupun barang. Data-data
diperoleh dari Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916.4
Tahun
Tabel II.1 Peningkatan Jumlah Penumpang dan Barang Dalam Angkutan Kereta Api
Kilometer Penumpang Penghasilan dari
Penumpang
(dalam ribu gulden)
Barang
(dalam ribu gulden)
1895 1.319 5.759.000 3.054 6.588
1900 1.609 9.738.000 4.022 9.743
1905 1.704 13.361.000 4.979 10.216
1910 2.174 28.420.000 8.825 15.738
1915 2.448 42.579.000 13.685 22.194
Sumber: Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916
4Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta. hlm 11. Data diperoleh dari buku Zaman Bergerak yang mempergunakan sumber Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916.
-
22
B. Peralihan Fungsi Tanah
Pada tahun 1880-1915, produk terpenting dalam pertanian pribumi adalah
beras atau padi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat lokal
mengkonsumsi nasi yang berasal dari padi. Selain itu, kondisi geografis serta iklim
mendukung tanaman ini, sehingga para petani pribumi memilih padi sebagai tanaman
pokok.
Ketertarikan pemodal swasta untuk menanam tebu di Hindia Belanda guna
mendapatkan keuntungan besar dalam pasar Eropa didukung oleh pemerintah
kolonial. Pada awal tahun 1910-an pemerintah kolonial memunculkan kebijakan
berupa ketentuan harga maksimal pembelian padi dari petani dan ketentuan jumlah
maksimal padi yang disimpan. Tentunya kondisi ini sangat menyudutkan petani, baik
dari segi penghasilan maupun pemenuhan kebutuhan.5
Di lain pihak kebijakan ekonomi kolonial semakin menguntungkan pengusaha
gula swasta. Dilakukannya perluasan lahan tebu mempersempit lahan pertanian padi.
Kondisi ini menciptakan kesulitan baru bagi masyarakat pribumi. Harga beras yang
rendah, membuat para pengusaha swasta melirik tebu sebagai solusi. Kondisi berbeda
Kebijakan lainnya adalah
dilakukannya monopoli pembelian dan penjualan padi sehingga mempersempit
peluang pribumi kelas menengah untuk membangun pertumbuhan ekonomi. Hal ini
membuktikan adanya sebuah upaya mencabut secara tidak langsung hak pribumi
guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
5 Ibid.
-
23
dirasakan masyarakat pribumi yang kebutuhan hidup secara ekonomi ditempuh
dengan menanam padi secara terpaksa lahannya disewakan sehingga terjadi
kelangkaan padi yang berdampak pada naiknya harga beras. Para petani padi yang
awalnya mengelola padi tetapi kemudian beralih menjadi buruh tebu, ternyata
mendapatkan upah yang tidak mampu mencukupi pemenuhan atas naiknya harga
beras di pasar. Di lain pihak, kurangnya bahan makanan berupa beras, tidak
mempengaruhi kehidupan bangsa Barat di Indonesia kala itu. Hal inilah yang
menyebabkan pemerintah kolonial tidak merasa perlu untuk mempertahankan
ataupun memperluas areal tanaman padi. 6
Kehidupan petani pada masa ini tidak lebih daripada saat mengelola lahan
pertaniannya sendiri. Areal perkebunan swasta yang makin lama semakin meluas
mengakibatkan penderitaan bagi petani pribumi, dari rendahnya penghasilan hingga
krisis pangan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kehidupan petani semakin
terpuruk.
7
Peralihan fungsi lahan padi menjadi lahan tebu menjadikan harga beras naik.
Para petani padi yang bekerja pada kelas menengah lokal beralih menjadi buruh di
perkebuan tebu dengan gaji yang rendah sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan
untuk membeli beras yang semakin langka dan harganya terus melonjak. Pada tahun
6 Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. op. cit., hlm
61. 7 Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah. Bentang. Yogyakarta., hlm 12.
-
24
1918, akibat kelangkaan dan harga beras yang tinggi, di banyak tempat di Jawa
muncul keadaan di mana masyarakat harus antri saat membeli beras. Di Pekalongan
antrian terjadi sepanjang kira-kira satu kilometer, tidak jarang pula terjadi perkelahian
dalam antrian karena berebut tempat untuk lebih dahulu mendapatkan beras.8
Kondisi tersebut juga menyebabkan terjadinya kematian semakin meluas
pada tahun 1919. Sulitnya mendapatkan beras dan makanan layak mengakibatkan
masyarakat terpaksa mengkonsumsi palawija, sayur-mayur dan bahkan ada yang
memakan bonggol pisang. Secara umum, karena kesulitan ekonomi, buruh dan petani
kecil banyak yang hanya makan satu kali sehari.
9
Di samping kematian, hal lainnya adalah terjadinya penyakit akibat
kekurangan gizi seperti beri-beri, TBC, dan influenza. Kondisi terburuk terjadi di
Vorstenlanden terutama Yogyakarta,yang pada tahun 1919 angka kematiannya
mencapai 25.956 jiwa. Pada tahun tersebut penduduk Yogyakarta berjumlah
1.313.486 orang. Untuk melihat angka kematian penduduk Yogyakarta pada kuartal
pertama tahun 1919 bisa diliihat pada tabel berikut ini .
10
8 Bambang Sulistyo, op. cit., hlm 62. 9 Ibid., hlm 62. Data dan informasi diambil dari surat kabar Neratja 8
November tahun 1919. Media ini merupakan Organ dari Sarekat Islam Cabang Jakarta. Weltevvreden.
10 Ibid. Data diperoleh dari buku Bambang Sulistyo didapatkan dari surat
kabar Sri Mataram tahun Yogyakarta 4 September 1919.
-
25
Tabel II. 2 Jumlah Kematian Penduduk
Afdeeling Jumlah Penduduk Angka Kematian
Yogyakarta 755.472 10.623
Kulonprogo 281.216 5.436
Gunungkidul 276.798 9.897
Sumber: surat kabar Sri Mataram Yogyakarta 4 September 1919
Pada tabel II.2, meningkatnya angka kematian di Yogyakarta disebabkan
karena kekurangan gizi yang disebabkan kurangnya jumlah beras dan munculnya
wabah penyakit seperti beri-beri, TBC, dan influensa.
Pada kuartal kedua tahun 1919 terjadi penurunan jumlah kematian, hal ini
desbabkan karena wabah penyakit telah mereda. Data selanjutnya adalah hasil
penelitian kuartal kedua tahun 1919 berupa perbandingan antara jumlah angka
kelahiran dan kematian di daerah yang sama, seperti pada tabel berikut:11
Afdeeling
Tabel II.3 Jumlah Kelahiran dan Kematian Penduduk
Angka kematian Angka Kelahiran
Yogyakarta 7.238 4.759
Kulonprogo 2.241 1.255
Gunungkidul 3.089 1.680
11 Ibid.
-
26
Sumber: surat kabar Sri Mataram Yogyakarta 4 September 1919
Melalui data mengenai jumlah angka kelahiran dan kematian pada tabel II.2
dan II.3 dapat memperlihatkan terjadinya peningkatan jumlah kematian masyarakat
pribumi. Surat kabar Sri Mataram Yogyakarta pada 4 September 1919 melampirkan
data tabel Tabel II. 2 berdasarkan penelitian pada kuartal pertama tahun 1919,
sedangkan Tabel II.3 berdasarkan penelitian pada kuartal kedua tahun 1919.
Meningkatnya kematian penduduk disebabkan karena daerah potensial penghasil
pangan yakni Jogjakarta mulai beralih menjadi lahan perkebunan. Kulonprogo dan
Gunungkidul merupakan daerah yang bergantung pada pasokan hasil pangan dari
Yogyakarta. Namun, karena terjadi peralihan fungsi lahan di Yogyakarta dari lahan
persawahan menjadi gula maka terjadi penurunan hasil pangan sehingga Kulonprogo
dan Gunungkidul terkena dampak yakni krisis pangan.
Tentunya meningkatnya jumlah kematian masyarakat pribumi ini tidak dapat
dilepaskan dari permasalahan kelangkaan bahan pangan dan kondisi kesejahteraan
yang tidak layak. Krisis pangan yang terjadi menyebabkan gizi buruk dan masyarakat
mudah terjangkit penyakit, yang paling mengenaskan adalah kondisi pada kuartal
pertama tahun 1919 karena krisis pangan yang bersamaan dengan datangnya wabah
penyakit.
C. Transisi Lahan Pribumi Menjadi Lahan Swasta
Fenomena kemunculan pabrik gula di Hindia Belanda dipengaruhi oleh
kondisi di Eropa. Setelah konvensi Brussels tahun 1902 Eropa mulai membuka
-
27
pasaran dunia bagi tebu.`12
Terbukanya pasar gula di Eropa menyebabkan pertumbuhan perkebunan tebu
di Hindia Belanda meningkat secara signifikan. Banyak pengusaha swasta Belanda
mengalihkan lahan perkebunan mereka dari non tebu menjadi tebu. Pertumbuhan ini
pun kemudian menggusur lahan-lahan pertanian padi, sehingga berdampak pada
kurangnya hasil padi guna kebutuhan pangan masyarakat pribumi. Berdasarkan data
dari Koloniaal Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911 terjadi peningkatan jumlah
produksi gula di karesidenan Surakarta, Boyolali, Klaten, Sragen, Mangkunegaran
dan Wonogiri.
Hal ini membuat para pengusaha swasta Belanda tertarik
dengan keuntungan dari potensi Hindia Belanda yang mampu menghasilkan tebu
dengan kualitas baik.
13
Tahun
Tabel berikut ini menunjukkan adanya peningkatan produksi gula
secara bertahap.
Tabel II.4
Peningkatan Jumlah Produksi Gula
Kota / Gula (dalam ribuan pikul)
Surakarta Boyolali Klaten Sragen Wonogiri Mangkunegaran
1890 - 103 203 26 - 48
1900 66 41 520 98 - 102
12Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 15. 13Ibid., hlm 16. Satu pikul sebanding dengan 61,76 kilogram. Data yang
diambil dari Takashi Shiraisi bersumber dari Koloniaal Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911.
-
28
1910 91 112 829 183 - 195
Sumber: Koloniaal Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911
Kondisi pertumbuhan perkebunan tebu juga berdampak pada perluasan lahan
pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan tebu. Data berikut ini bersumber dari
angka-angka sejak tahun 1862 hingga 1864 yang diambil dari Rossenschon, “De
Westerse op Java,” halaman 450. Angka-angka dari tahun 1875 dan seterusnya
berasal dari Koloniaal Verslag 1876, 1881, 1891, 1901, 1911, 1916 dan 1921. 14
Tabel II.5 Jumlah Tanah Yang Disewakan di Yogyakarta
Pada data tersebut diperlihatkan sebuah kenaikan jumlah tanah yang
disewakan secara signifikan. Bila melihat dari tahun 1880 sampai 1890 terjadi
14Ibid., hlm 14.
Tahun Dalam bau
1880 88.000
1890 93.000
1895 93.000
1900 89.000
1905 85.000
1910 95.000
1915 97.000
1920 102.000
-
29
kenaikan penyewaan lahan sejumlah 5000 bau. Meskipun jumlah ini tetap hingga
tahun 1895 dan turun sejumlah 4000 bau pada tahun 1900 dan kembali turun kembali
sejumlah 4000 bau pada 1905. Namun pada tahun 1905 sampai tahun 1910 terjadi
kenaikan sejumlah 10.000 bau bahkan pada tahun 1920 terjadi kenaikan hingga 7000
bau.
Berdasarkan data jumlah tanah yang disewakan oleh masyarakat pribumi
(yang secara umum difasilitasi oleh lurah) diketahui bahwa luas tanah milik pribumi
yang dikelola secara subsisten guna kebutuhan pribumi sendiri semakin kecil.
Berdasarkan data tersebut juga diketahui bahwa pertumbuhan swasta asing semakin
meningkat.15
Salah satu faktor yang menyebabkan meningkat dan mudahnya penyewaan
lahan pertanian kepada pihak swasta Belanda menjadi perkebunan tebu adalah
melalui peranan lurah. Dengan cara menyuap para lurah dengan uang 2,50 gulden
untuk setiap baunya terjadi kemudahan untuk mendapatkan lahan. Karena “suap”
inilah di desa-desa banyak terjadi pemaksaan penyewaan tanah.
16
Dalam masyarakat agraris tradisional, tanah sering dikonsepsikan sebagai
milik raja. Tanah bukan semata-mata sebagai sumber nafkah namun juga sumber
15Soe Hok Gie, op. cit., hlm 12. Dalam buku Di Bawah Lentera Merah
terdapat pernyataan bahwa pada tahun 1919, para pengusaha perkebunan memberikan premi 2,50 Gulden untuk setiap bau kepada lurah yang dapat menyewakan tanah pertanian.
16Ibid., hlm 13. Dalam pernyataannya Soe Hok Gie juga menambahkan bahwa
untuk mendapatkan kajian lengkap mengenai peran “suap” yang dilakkan lurah dapat dilihat di Human Bondage in Southeast Asia (Chapel Hill, 1950) karya Bruno Lasker.
-
30
kekuasaan bagi pegawai raja (priyayi).17
Namun, dari data atas tingkat kematian, jumlah produksi gula hingga luas
lahan yang beralih fungsi menunjukkan sejumlah besar tanah milik masyarakat adat
sepenuhnya telah disewa oleh pihak swasta. Luas tanah pertanian pangan yang
semakin sempit, dan luas perkebunan tebu yang semakin membengkak berakibat pada
terjadinya kelangkaan pangan (krisis pangan) dan meningkatnya jumlah kematian
penduduk pribumi.
Berdasarkan pengertian tersebut, Belanda
yang datang dan melakukan kolonialisme mempergunakan sistem tersebut untuk
menguasai tanah, yakni menguasai para raja dan secara sistematis tanah yang berada
di bawah kekuasaan raja akan dikuasai oleh Belanda.
18
D. Hadirnya Modernisasi
Bersamaan dengan dimulainya abad ke XX, hadir sebuah zaman baru di
Hindia Belanda, yakni zaman etis. Dalam periode ini muncul kata-kata “kemajuan”,
seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling (perkembangan), dan
opvoedening (pendidikan).
Pada awal bulan Agustus 1899 Conrad Theodor van Deventer menulis sebuah
artikel berjudul “Een Eereschlud” (“Hutang Budi”). Artikel ini diterbitkan oleh
17Anton Haryono, “Dari Rakyat Legitimasi Dibangun, Kepada Rakyat
Eksploitasi Diarahkan: Indonesia Pra-Kolonial, Kolonial, dabn Pasca-Kolonial”. Dalam Silverio R.L. Aji Sampurno dkk. 2003. Indonesia lternatif, Rakyat Sebagai Pemegang Kedaulatan ekonomi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. hlm 6.
18 Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah. op. cit., hlm 17.
-
31
majalah De Gids. Melalui artikel tersebut dinyatakan bahwa bangsa Belanda telah
memperoleh keuntungan dari bangsa Indonesia (Jawa) sejak 1867 hingga 1899 kira-
kira sejumlah 200 juta gulden. Bagi van Deventer hal ini merupakan sebuah hutang
kehormatan, sebuah hutang harus dibayarkan. Menurut van Deventer hutang tersebut
dapat dibayarkan melalui cara memperbaiki kehidupan ekonomi dan memperhatikan
nasib rakyat Hindia Belanda. berdasarkan pengamatannya, sejak 1885 penduduk
bumiputera mengalami proses pemiskinan yang kian mendalam. Usulan van
Deventer dalam artikel tersebut adalah mengembalikan utang melalui program
pendidikan dan pembangunan ekonomi bumiputera.19
Kritik van Deventer hanyalah salah satu dari sekian kritik bagi pemerintah
Belanda kala itu. Hal ini kemudian direspon oleh parlemen Belanda dengan
memutuskan sikap melalui program Politik Etis. Hadirnya zaman etis ditandai dengan
bermunculannya sekolah-sekolah. Kritik yang melahirkan Politik Etis ini awalnya
berasal dari internal negeri Belanda, sebagai bentuk keprihatinan terhadap
ketidaklayakan sikap pemerintah kolonial atas penduduk pribumi. Berdasarkan kritik
tersebut, parlemen Belanda memutuskan untuk membentuk sebuah program balas
budi. Namun, seiring berjalannya waktu, langkah kolonial ternyata tidak sebatas pada
upaya balas budi yang beritikad baik, tetapi memanfaatkan program etis sebagai
media pemenuhan tenaga kerja murah .
.
20
19Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. op. cit., hlm
36.
Lagi pula, kelompok yang dapat
20Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 35-39.
-
32
mengenyam pendidikan praktis terbatas pada kaum menengah yang umumnya
memiliki cukup uang.
Awal pelaksanaan Politik Etis dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah sekolah
bagi masyarakat pribumi. Merebaknya sekolah secara tidak langsung juga
dimanfaatkan oleh pihak swasta Belanda untuk mendapatkan buruh-buruh
perindustrian yang dapat mengoperasikan teknologi modern. Pada 1893 pemerintah
membentuk dua jenis sekolah dasar untuk bumiputera, Eerste Klass Inladsche
Scholen (Sekolah Bumi Putera Angka Satu) untuk anak-anak priyayi , dan Tweede
Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bumi Putera Angka Dua) untuk anak-anak
pribumi dari kelas sosial yang lebih rendah.21
21Ibid., hlm 37.
Meluasnya sekolah bagi pribumi juga meningkatkan jumlah murid pribumi di
dalamnya. Sekolah bagi kaum pribumi yang awalnya dibentuk guna menghasilkan
tenaga kerja murah ini kemudian secara bertahap melahirkan kaum terdidik yang
kritis terhadap kebijakan kolonial dan bersedia melakukan usaha-usaha pembangunan
kesadaran pada masyarakat pribumi. Jumlah kaum terdidik yang bersekolah pada
sekolah Belanda setiap tahun jumlahnya semakin meningkat.
-
33
Jumlah sekolah Bumiputera Angka Dua dan jumlah murid, berdasarkan data
dari S. L. van der Wal, ed, Het Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-
1940 (Groningen: J.B. Wolters, 1963) dinyatakan sebagai berikut.22
Jumlah Sekolah
Tabel II.6 Jumlah Sekolah dan Jumlah Murid di Sekolah Negara dan Swasta
Jumlah Murid
Tahun Negara Swasta Total Negara Swasta Total
1900 551 836 1.387 64.742 36.431 98.173
1905 674 1.286 1.942 95.075 66.741 161.816
1910 1.021 2.106 3.127 133.425 99.204 232.629
1915 1.202 2.198 3.400 186.300 134.644 320.974
1920 1.845 2.368 4.213 241.414 116.556 357.970
Sumber: Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-1940 (Groningen: J.B.
Wolters, 1963).
Sedangkan berdasarkan data dari Koloniaal Verslag tahun 1896, 18906,
18911, dan 1916. Jumlah Sekolah Dasar Bumiputera di Jawa dan Madura sebagai
berikut.23
22Ibid. Data yang dipergunakan oleh Takashi Shiraishi berasal dari data dari S.
L. van der Wal, ed, Het Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-1940 (Groningen: J.B. Wolters, 1963).
23Ibid. data yang diperoleh Takashi Shiraishi berasal dari Koloniaal Verslag
tahun 1896, 1906, 1911, dan 1916.
-
34
Tabel II.7 Jumlah Sekolah Dasar Bumiputera di Jawa dan Madura
Tahun Jawa/Madura Surakarta Yogyakarta
1895 391 15 13
1905 722 19 40
1910 1.088 41 111
1915 1.237 61 109
Sumber: Koloniaal Verslag tahun 1896, 1906, 1911, dan 1916
Pada tahun 1900, Hoofden Scholeen yang mendidik para calon pegawai
priyayi pribumi disempurnakan menjadi Opleiding School Voor Inladsche
Ambtenaren (OSVIA). Pada waktu yang bersamaan, sekolah untuk dokter Jawa yakni
Indische Arsten dikembangkan menjadi Opleiding van Indische Arsten atau STOVIA.
Pada 1902, di Bogor didirikan sekolah pertanian menegah untuk pribumi bernama
Inlandsche Lanbouw School. Pada 1907, jumlah sekolah dasar dengan sistem
pendidikan Barat berjumlah 675 sekolah, namun karena desakan kaum priyayi
pribumi maka pemerintah kolonial menyatakan akan membangun lagi 700 sekolah.
Pada tahun 1907, Sekolah Angka Satu atau Eerste Klasse School dikembangkan
menjadi Hollandsch Inlandsche Scholen (HIS) dengan lama pendidikan 7 tahun.24
23Bambang Sulistyo., op. cit., hlm 39.
-
35
Jumlah sekolah dengan pendidikan tradisional tanpa pelajaran bahasa Belanda yang
tercatat pada tahun 1912 sejumlah 2.500 buah.25
Program pokok Politik Etis adalah Irigasi, Transmigrasi dan Edukasi. Dalam
konsepnya ketiga program tersebut merupakan upaya untuk peningkatan ekonomi,
mendistribusikan kepadatan penduduk, dan penerapan pendidikan. Meskipun
demikian, ternyata program-program tersebut juga hanya menjadi perpanjangan
tangan perusahaan swasta. Program irigasi dalam implementasinya hanya
menguntungkan perkebunan swasta bukan pribumi, transmigrasi (umumnya dari
Jawa ke Sumatra dan Kalimatan) cenderung sebagai upaya pemenuhan tenaga kerja
buruh perusahaan swasta daripada upaya distribusi kepadatan penduduk, dan edukasi
secara umum dipandang sebagai usaha untuk mengenalkan teknologi industri kepada
calon buruh. Namun, dari ketiga program itu, edukasi nampak mengalami kemajuan
yang cepat.
26
Meningkatnya jumlah sekolah dan terbukanya pendidikan bagi masyarakat
pribumi, meskipun masih sebatas kaum golongan atas dan menengah saja,
memberikan harapan baru bagi masyarakat. Dampak program pendidikan tidak
sebatas pada masyarakat bisa membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga
munculnya menjadi pegawai-pegawai administrasi kolonial dari kalangan pribumi
25Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia. Terjemahan. hlm 50-
99. 26Bambang Sulistyo., op. cit., hlm 39
-
36
baik di pemerintahan maupun perusahaan swasta. Program etis juga memunculkan
kesadaran baru bagi masyarakat pribumi.
Pendidikan bagi publik memperkenalkan sebuah pandangan baru. Orang-
orang pribumi mulai sadar dan peka apa yang disebut kolonialisme. Mereka semakin
menyadari bahwa cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Hindia
Belanda sesungguhnya merupakan bentuk penindasan, yang oleh masyarakat Eropa
sendiripun kolonalisme pada masa itu ditolak. Melalui pendidikan yang semakin
meluas inilah kemudian masyarakat pribumi menemukan cara baru dalam melakukan
perlawanan terhadap pemerintah kolonial.27
Dengan menjamurnya sekolah dan makin bertambahnya kaum terdidik, maka
kesadaran masyarakat pun meningkat. Berdasarkan catatan yang diperoleh dari
perkebunan tebu, terjadi penurunan angka protes dengan cara membakar lahan tebu
menjadi protes melalui jalur keorganisasian, menjemur diri dan mogok kerja sebagai
ungkapan perlawanan buruh terhadap majikan. pada tahun 1907, di luar daerah
Vorstenlanden aksi pembakaran tercatat 2.300 kali, dengan areal yang dibakar seluas
4.700 bau lebih. Pada 1912 aksi serupa tercatat 2.700 kali dengan areal yang
dirugikan sejumlah 6.650 bau. Setelah lahirnya organisasi serikat pekerja, aksi
pembakaran mengalami penurunan. Pada 1913 jumlah aksi pembakaran turun
menjadi 1.900 kali pada areal seluas 5.300 bau, kemudian pada 1914 turun lagi
27Bambang Sulistyo., Ibid., hlm 40.
-
37
menjadi 1.500 kali aksi dengan luas areal 4.100 bau. Jumlah ini terus menurun hingga
pada 1917 hanya terjadi 886 kali pada areal seluas 1.925 bau.28
Dengan hadirnya era modernisasi inilah muncul kelompok menengah
pribumi, melalui cara mendidik para calon tenaga kerja yang terlatih.
Dalam catatan perusahaan gula dinyatakan bahwa sejak hadirnya SI terjadi
penurunan aksi. Lahirnya organisasi serupa bernama Boedi Utomo, dan sejenisnya
(termasuk SI) menanamkan sikap baru dalam menyampaikan aksi. Mereka umumnya
mengawali dengan menggunakan negosiasi. Bila hal yang diinginkan tidak terwujud,
maka barulah aksi massa dikerahkan. Lahirnya organisasi-organisasi pergerakan awal
ini merupakan embrio bagi lahirnya gerakan nasionalisme.
29
Politik Etis dapat dikatakan gagal, sebagai akibat dari munculnya kerjasama
kolonial antara kekuatan ekonomi dan pemerintahan. Ekspansi dan konsentrasi
kekuatan dipegang oleh beberapa pihak saja, sehingga pengaruh pemilik modal
Meskipun
telah hadir sarana transportasi, pendidikan, dan organisasi massa bagi kaum pribumi,
namun usaha dalam bidang ekonomi masih sulit. Kondisi ini disebabkan oleh kuatnya
monopoli dan penguasaan modal oleh pihak Belanda.
28Ibid.,hlm 40. Data yang dikaji oleh Bamabang Sulistyo berdasarakan
Verslag van Algemeen Syndicaat van Suikerfabriekanten in Ned-Indie overhet 27e Jaar,1921, hlm 60-63.
29 Anton Haryono. op. cit., hlm 26.
-
38
terhadap pemegang kekuasaan cukup besar . Menjadi hal yang wajar ketika banyak
kebijakan bersifat politis namun menguntungkan kaum pemodal.30
Mendekati akhir abad XIX, yaitu pada tahun 1897, mulai bermunculan
organisasi perburuhan. Pada awalnya organisasi perburuhan ini sebagian besar
diprakarsai oleh para buruh Belanda yang bekerja di Hindia Belanda. Beberapa
organisasi tersebut adalah Cultuurbond, Handelsbond dan Zuikerbond. kemunculan
mereka disebabkan karena para pegawai Belanda di negara asalnya memiliki hak atas
pekerjaan, sehingga mereka bebas membentuk organisasi. Pada awalnya organisasi
pekerja yang dibuat oleh pegawai tinggi Belanda bersifat ekslusif. Namun kondisi
mulai berubah setelah tahun 1900-an. Pada awalnya pekerja Eropa mendominasi
serikat pekerja. Namun, semakin bertambah banyaknya jumlah pekerja pribumi dan
semakin sedikitnya jumlah pekerja dari negeri Belanda berpengaruh terhadap
organisasi serikat pekerja. Para pegawai Belanda mengangap perlunya sebuah
kesatuan yang sama serta memperkuat jumlah massa buruh dalam organisasi,
sehingga dilibatkanlah buruh-buruh pribumi di dalamnya. Kondisi ini yang kemudian
menjadi embrio bagi pergerakan buruh pribumi di Hindia Belanda.
31
Pada periode 1900-1926 pergerakan buruh yang muncul umumnya menuntut
perbaikan nasib (kesejahteraan) bagi para pekerjanya. Pada awal era Politik Etis
muncul Semaun dan Suryopranoto dalam organisasi pergerakan pribumi yang
30Ibid., hlm 27-28 . 31Sandra. Pergerakan Buruh Indonesia. hlm 7-8.
-
39
kemudian dalam perjalanannya melakukan transformasi organisasi yang bersifat
memperjuangkan nasib kaum pekerja pribumi secara politis maupun secara organisasi
massa.
E. Awal Pergerakan Kaum Terdidik
Bila pada tahun 1900 hanya kelompok priyayi yang menjadi administrator,
maka pada tahun 1914 kelompok elit baru bertambah dengan sejumlah pegawai
pemerintah, teknisi dan cendekiawan. Hadirnya kaum elit baru ini sesungguhnya
berkaitan dengan kebutuhan pemerintah kolonial akan penambahan jumlah tenaga
kerja terdidik dalam setiap bidang pekerjaan.
Lahirnya kaum terdidik menciptakan perubahan baru. Tirto Adi Suryo
seorang keturunan bangsawan yang merupakan lulusan STOVIA, tercatat sebagai
pribumi pertama yang menerbitkan surat kabar.32 Ia menerbitkan Medan Prijaji,
sebuah jurnal yang berisikan berita harian tentang kehidupan masyarakat. Namun
kemudian, karena tergerak melihat situasi sosial yang kian buruk bagi masyarakat
pribumi, ia menuliskannya dalam surat kabar tersebut. Dengan tulisan-tulisannya
yang dimuat di Medan Prijaji banyak kaum intelektual pribumi lainnya tergerak
untuk ikut dalam pergerakan. Melalui surat kabar ini, pergerakan nasional dimulai.33
32Dalam Skripsi ini digunakan ejaan Tirto Adi Suryo, sedangkan dalam buku lain dituliskan dalam ejaan Tirto Adi Soerjo. 33Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918. KITLV. hlm 128.
-
40
Tirto sendiri kemudian bergerak lebih dalam dengan membentuk Serikat
Dagang Islam di Bogor pada 1911. Pergerakan Tirto dilakukan bersama dengan
rekannya asal Surabaya yaitu H.O.S. Tjokroaminoto. Mereka berdua mendirikan SDI
(Sarekat Dagang Islam) yang kemudian berkembang pesat sebagai organisasi awal di
Indonesia.34
Selain SDI, hadir pula organisasi priyayi Jawa bernama Budi Utomo (BO) di
Jogjakarta pada 10 Oktober 1908. Organisasi ini masih bersifat kedaerahaan, namun
merupakan organisasi yang memiliki struktur yang sesuai dengan organisasi modern.
Organisasi ini terdiri dari mahasiswa asal Jawa yang berkumpul dan membicarakan
masa depan masyarakat Jawa.
35
34 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern.Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. 2005. hlm 251-252. 35 Akira Nagazumi. op. cit., hlm 95-100.
Secara umum, organisasi BO dan SDI menjadi pemicu bagi lahirnya
organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya. Termasuk
Suryopranoto yang terlahir dari BO, dan Semaun yang terlahir dari SDI yang
kemudian berubah menjadi SI. Suryopranoto dan Semaun adalah dua tokoh
pergerakan yang memfokuskan pada kajian perburuhan pribumi.
-
41
BAB III
SEMAUN,
DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH
Tahun 1900 hingga 1919 merupakan awal pergerakan buruh di Indonesia.
Kondisi ekonomi dan politik yang semakin menekan masyarakat pribumi pada
masa tersebut menjadikan rasa perlawanan terhadap kolonialisme Belanda
semakin menguat. Pada era 1900-an ini hadir pula tokoh-tokoh pergerakan buruh.
Satu diantaranya adalah Semaun.
A. Latar Belakang Semaun
Semaun dalam beberapa catatan sejarah mulai dikenal ketika ia menjabat
sebagai presiden Sarikat Islam (SI) Semarang pada tanggal 6 Mei 1917. Semaun
lahir di kota kecil Tjurah Malang, Mojokerto, Jawa Timur sekitar tahun 1899.1
Semaun merupakan anak dari seorang pegawai rendahan bernama
Prawiroatmodjo. Ayah Semaun merupakan pegawai rendah di jawatan kereta api,
tepatnya seorang tukang batu. Semaun sempat bersekolah Tweede Klas (sekolah
bumiputra kelas dua) dan memperoleh pendidikan tambahan bahasa Belanda
dengan mengikuti semacam kursus sore hari. Setelah menyelesaikan sekolah
dasar, ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Kondisi
1 Soewarsono, Bebareng Bergerak. LKiS. Yogyakarta., hlm 40.
-
42
tersebut mendorongnya untuk bekerja di Staatspoor (SS) Surabaya sebagai juru
tulis (klerk) kecil. 2
Bermula dari usia 15 tahun, Semaun muda memulai karir politiknya.
Tepatnya pada tahun 1914, Semaun mulai bergabung dalam organisasi Sarekat
Islam (SI) cabang Surabaya dan segera menjadi sekretaris cabang tersebut.
B. Awal Karir Politik
3
Dalam catatan Arnold C. Brackman dalam buku Indonesian Communism
dinyatakan bahwa ada hal lain yang sesungguhnya terjadi, yakni sebuah kesulitan
yang dihadapi oleh Sneevliet dalam melancarkan propaganda terhadap kaum
Dalam organisasi ini Semaun kemudian menjadi aktif dalam serikat buruh kereta
api. Aktivitas Semaun sebagai penggerak organisasi buruh kereta api membuatnya
tertarik pada upaya kaum revolusioner Eropa atas nama kaum buruh Indonesia
yang digerakan oleh Sneevliet. Perjumpaan Semaun diawali ketika Sneevliet
menjabat di VSTP (Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel. Melalui
perjumpaan tersebut ia kemudian bergabung dalam Indische Sociaal-
Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV)
cabang Surabaya yang didirikan Sneevliet dan Vereeniging voor Spoor-en
Tramwegpersoneel, serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) cabang Surabaya
pada tahun 1915. Satu tahun kemudian (1916), Semaun menjabat sebagai wakil
ketua cabang ISDV Surabaya, saat itu usianya 17 tahun.
2 Ibid . 3 Ruth McVey, Kemunculan Komunisme Indonesia. Komunitas Bambu.
Jakarta. 2010. Hlm 32.
-
43
pribumi, adanya kendala bahasa, agama dan ras. Sneevliet merasa perlu agar
paham Marxisme mampu menembus organisasi SI. Dengan demikian, Sneevliet
mencoba melakukan metode baru ,“bloc within” yakni keanggotaan ganda, baik
dalam ISDV maupun SI.4
Tahun 1916, Semaun meninggalkan pekerjaannya di Staatspoor. Hal ini
disebabkan karena Semaun diangkat menjadi propagandis di VSTP Semarang.
Dengan kemampuan bahasa Belanda yang baik, Semaun berhasil memperluas
hubungan dan pergaulannya melalui media massa. Kedekatan Semaun dengan
Sneevliet juga menjadikan faktor yang menyebabkan dirinya menempati posisi
penting pada organisasi tersebut.
Kondisi ini terbantu dengan hadirnya Semaun di
Semarang pada 1916.
5 Kemampuan dan kepandaian Semaun dalam
berbicara tentang organisasinya mendapatkan simpati luas dari banyak kalangan,
terutama buruh. Pada saat yang bersamaan juga mulai bermunculan anggota muda
SI yang bersimpati pada Semaun, karena selain anggota ISDV dan VSTP ia juga
merupakan anggota SI Semarang. Dengan kemampuan bicaranya serta
propaganda media massa milik organisasi SI, anggota SI bertambah jumlahnya.
Pada 1916 jumlah anggota SI 1.700 orang dan pada 1917 berlipat hingga 20.000
orang.6
4 Soewarsono, op. cit.,hlm 2. Soewarsono mengutip catatan Arnold C.
Brackman dalam bukunya Indonesian Comunism : A History, New York: Fredrick A. Praeger, 1963, hlm 7.
5 Ibid. 6 Ruth McVey. op. cit., hlm 32-33.
-
44
Saat berada di Semarang, Semaun menjadi redaktur majalah VSTP
berbahasa Melayu. Selain itu ia juga menjadi redaktur di berbagai media massa
lainnya seperti Sinar Djawa dan Sinar Hindia (keduanya Koran Sarekat Islam
Semarang). Posisinya sebagai propagandis menjadikannya ahli dalam bidang
pengorganisasian masyarakat melalui media massa. Kejelian dan kecerdasannya
dalam melakukan kritik dan intrik serta keberaniannya berkomentar atas
kebijakan-kebijakan kolonial membuatnya semakin dikenal.7
Pada tahun 1918, Semaun menjabat sebagai dewan pimpinan di Sarekat
Islam. Kondisi perburuhan di Semarang yang umumnya sama dengan kondisi
perburuhan lainnya di pulau Jawa menjadi perhatian khusus. Keprihatinan atas
ketertindasan yang terjadi di dalam tubuh masyarakat buruh menjadikan Semaun
berupaya melakukan advokasi serta menggerakkan pemogokan buruh.
Pemogokan terbesar dan cukup berhasil dilaksanakan pada awal tahun 1918.
Peristiwa tersebut dihadiri oleh 300 pekerja industri furnitur. Pada tahun 1920,
pemogokan besar-besaran di kalangan buruh kembali terjadi, kali ini oleh para
buruh industri cetak yang melibatkan SI Semarang, yang berhasil memaksa
majikan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dan uang makan 10
persen.
8
Semaun, seorang pemuda yang sempat bekerja sebagai pegawai di
perusahaan kereta Api Surabaya, sebuah perusahaan yang membawanya
C. Semaun dan Pergerakan Buruh
7 Soewarsono. op. cit., hlm 7. 8 ibid., hlm 64.
-
45
bergabung dalam serikat pekerja. Bermula sebagai juru tulis (klerk), Semaun
mulai mengikuti organisasi pekerja. Perhatiannya pada kaum pekerja awalnya
tampak biasa-biasa saja, namun seiring dengan perjalanan waktu, di mana ia
makin dewasa dan semakin kritis terhadap persoalan-persoalan kaum pekerja,
Semaun terus bergerak aktif menyuarakan kondisi ketertindasan buruh. Semaun
dari usia 14 tahun hingga 27 tahun, secara konsisten mengabdikan dirinya guna
memperjuangkan nasib kaum buruh.9
Berdasarkan catatan Mas Marco Kartodikromo dalam tulisan “ Korban
Pergerakan Rakyat” pada surat kabar Hidoep tahun 1924 diketahui bahwa,
penampilan Semaun dalam berbicara politik adalah pada tahun 1915 di
Vergadering dari perhimpunan VSTP Logegebouw Semarang.
10
Nama besar Semaun dimulai sejak masih muda. Pada 6 Mei 1917 ketika
masih berusia 19 tahun, ia telah terpilih menjadi Presiden Sarekat Islam
Semarang. Salah satu hal yang membuat Semaun terpilih sebagai ketua SI
Semarang bermula dari permohonannya, sebagai propagandis, agar pengurus SI
Semarang mengadakan debat terbuka mengenai posisi SI Semarang terhadap
penahanan Mas Marco karena tulisan “sama rata sama rasa”. Dalam acara debat
yang dilangsungkan pada 14 Maret 1917, terjadi perdebatan antara Semaun
dengan Mohammad Joesoef selaku ketua SI Semarang di hadapan para anggota
SI. Akhir dari perdebatan bukan hanya menghasilkan sebuah sikap bahwa SI
Semarang akan mendukung Mas Marco melalui Commite voor de
9 27 tahun terhitung dengan peristiwa prambanan 1926.
10 Soewarsono. Ibid., hlm 43.
-
46
Drukpersvrijheid, namun juga menjadi faktor penting yang menghantarkan
Semaun sebagai ketua SI Semarang.11
Di bawah pimpinan Semaun banyak anggota SI yang berasal dari kaum
buruh dan rakyat kecil. Pergantian kepengurusan SI ini merupakan bagian pertama
dari pergerakan Sarekat Islam Semarang, dari pergerakan kaum menengah
menjadi gerakan kaum buruh dan tani. Hal ini menjadi penting, karena awal dari
perubahan tersebutlah yang akan membawa Indonesia menuju arah gerakan
Marxisme untuk pertama kalinya.
12
Meningkatnya sifat revolusioner Sarekat Islam Semarang tidak saja
dipengaruhi oleh pergantian kepengurusan saja, namun juga oleh kondisi sosial
kemasyarakatan yang ada di Hindia Belanda kala itu. Sejak masuknya modal
swasta asing ke tanah Hindia Belanda, maka mulai bermunculan perusahaan,
pertambangan, perkebunan, dan pabrik-pabrik asing yang menyewa tanah pribumi
dan menjadikan masyarakat di sekelilingnya menjadi buruh. Namun, hadirnya
usaha-usaha swasta Barat tidak serta merta menciptakan kemakmuran bagi
masyarakat yang bekerja sebagai buruh. Terjadinya transformasi lahan pertanian
pangan menjadi lahan bahan baku industri telah menciptakan kelangkaan sumber
pangan bagi pribumi. Kondisi memprihatinkan ini merupakan akibat dari sistem
kebijakan yang menerapkan free fight competition to exploit Indonesian yang juga
merupakan bagian dari liberalisme ekonomi. Kebijakan tersebut telah menjadikan
11 Ibid., hlm 45-46. Data diperloeh dari Soewarsono yang mempergunakan sumber dari majalah Hidoep dengan judul Marco, ”Korban Pergerakan”, halaman 17-21 tahun 1917.
12 Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Bentang, Yogyakarta 2005.
hlm 10.
-
47
Indonesia sebagai sumber bahan baku utama yang berharga dan menghasilkan
keuntungan besar. Sementara para buruh pribumi terus dipaksa bekerja demi
tuntutan produksi dan keuntungan bagi majikan-majikan Belanda. Kondisi buruk
ini mendorong Semaun dan organisasinya bertindak kritis, dan melalui berbagai
cara berusaha mensikapi ketertindasan masyarakat pribumi dan kebijakan tidak
adil pemerintah kolonial. Sikap ini ditunjukkan melalui aksi-aksi massa maupun
melalui tulisan-tulisan di media massa.13
Sejak 19 November 1917 Semaun mengambil alih kepemimpinan SI
Semarang dan pengelolaan redaksional Sinar Djawa yang dijadikannya sebagai
media propaganda. Pada 1 Mei 1918, nama Sinar Djawa diubah menjadi Sinar
Hindia. Pengambil-alihan pengelolaan redaksional media massa dilakukan untuk
memperluas gagasan, mengkritisi situasi dan mengajak bertindak melalui
organisasi SI Semarang. Hal ini bisa dikatakan berhasil. Perluasan dan
penambahan jumlah anggota SI Semarang melonjak drastis. Bila pada tahun 1916
jumlah anggota baru 1.700 orang, maka pada 1917 berlipat ganda menjadi 20.000
orang.
14
Sikap politik Semaun yang “keras” dan kepeduliannya yang tinggi
terhadap kondisi ketertindasan masyarakat, membuatnya geram dengan
perwakilan penduduk pribumi di Volksraad. Hal ini semakin menguat ketika
perwakilan pribumi dalam tubuh Volksraad yang disebut Indie Weerbaar
D. Semaun dan Sikap Politiknya
13 Soewarsono. op. cit., hlm 46. 14Ibid .
-
48
hanyalah seperti “wayang” yang dikendalikan oleh Belanda. Ungkapan yang
menyatakan bahwa Indie Weerbaar seperti “wayang”, berkaitan dengan sikap
perwakilan pribumi dalam Indie Weerbaar tidak mampu memberikan perlawanan
dan memperjuangkan nasib masyarakat Hindia Belanda dalam Volksraad.15
Peranan Semaun juga tampak dalam pertemuan Central Sarekat Islam.
Dalam setiap kongres CSI, Semaun mengutarakan gagasan-gagasannya. Dalam
kongres ke II CSI di Jakarta pada 20-27 Oktober 1917, ia menyampaikan
gagasan-gagasannya tentang Marxisme. Dalam forum tersebut Semaun bersama
dengan SI Semarang merekomendasikan perjuangan untuk melakukan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar.
16
Perjumpaan Semaun dengan para tokoh SI lainnya pun tidak selamanya
baik. Salah satu perdebatan besar pernah terjadi pada Kongres Nasional Central
Sarekat Islam ke-2 di Jakarta. Dalam kesempatan itu, Semaun dengan pandangan
Marxisnya berdebat dengan Abdul Moeis yang merupakan utusan Indie Weerbaar
tentang masa depan SI. Pada akhir kongres disepakati bahwa Sidang Kongres CSI
ke-2 mengambil jalan tengah yaitu menentang kapitalisme jahat. Dalam hal ini
berarti ada kapitalisme baik. Namun demikian dalam aturan anggaran dasar yang
disusun kongres, jelas tampak adanya pengaruh sosialisme yang merupakan
desakan dari kelompok Semaun. Hasil dari kongres CSI ke-2 berupa upaya
perlawanan terhadap kolonialisme Belanda melalui hubungan antara agama,
15 Soe Hok Gie, op. cit., hlm 32. 16 Ibid., hlm 38.
-
49
kekuasaan, dan kapitalisme.17
Pada kongres CSI ke-3 disepakati keputusan mengenai sikap menentang
kapitalisme dengan cara mengorganisasikan kaum buruh, yang disambut baik oleh
SI Semarang. Sikap ini muncul karena SI dari daerah-daerah telah membentuk
kesatuan gerakan buruh masing-masing. Kondisi ini juga memicu pertumbuhan
akar perjuangan gagasan sosialis revolusioner hingga tahun 1926.
Dalam hal ini pemikiran Semaun tetang Marxisme
telah cukup matang . Hal ini terbukti dalam banyak perjumpaan ia mampu
mempertahankan ideologinya.
18 Dalam
kongres, Semaun mengusulkan didirikannya organisasi pusat serikat buruh
(vakcentral), tujuannya adalah mempersatukan gerakan buruh di lingkungan
serikat pekerja dinas pemerintah dan serikat pekerja Eropa.19
17 Ibid., hlm 37. 18Ibid., hlm 49. 19 Soewarsono. op. cit., hlm 71.
Pada kongres CSI ke-3 yang berlangsung pada bulan Oktober 1918 di
Surabaya, terjadi perdebatan antara Semaun dengan Suryopranoto. Dalam
perdebatan, Semaun menyatakan perlunya memberikan nama dengan tertulis
“Revolutionnair”, sebagai lambang keseriusan gerakan buruh yang bersatu untuk
mewujudkan perlawanan terbuka secara politik terhadap pemerintah kolonial
Belanda. Namun hal tersebut ditolak oleh Suryopranoto, yang menurutnya
gagasan Semaun akan memicu reaksi keras Belanda dan membahayakan
organisasi. Suryopranoto menyarankan untuk mengubah nama menjadi lebih
umum namun dalam kerjanya tetap harus berpihak secara utuh terhadap buruh.
-
50
Pembentukan Vakcentral yang diusulkan oleh Semaun baru dapat
direalisasikan pada pertemuan di Jogjakarta pada 25-26 Desember 1919. Setelah
diadakan banyak pertimbangan yang dianalisa tidak hanya dari sudut pandang
pergerakan namun j