Bung Hatta Dan Nasionalisme (Cepu) Kita

4
BUNG HATTA DAN NASIONALISME (CEPU) KITA “saya lebih suka melihat seluruh kepulauan nusantara lenyap tenggelam di bawah laut daripada dijajah oleh tuan-tuan sekalian” [Bung Hatta, dalam pledooi di Den Haag, 1932] Emas hitam bukan hanya masalah nasional melainkan internasional. Pada era globalisasi ini persaingan semua negara memperoleh emas hitam tersebut harus berdasar pada persaingan bebas, diserahkan pada mekanisme pasar, dan akibatnya pemerintah tidak harus mencampurinya. Oleh karena itu, minyak di blok cepu harus diselesaikan dalam ranah business to business saja. Namun permasalahannya, persaingan (pasar) bebas itu tidak akan pernah ada. Akan selalu ada distorsi-distorsi didalamnya yang dilakukan demi kepentingan ekonomi dan politik disertai insting-insting predatori dan semangat hegemonic. Contoh-contoh konkret seperti peperangan (dalam segala bentuknya; ekonomi), pertarungan, clash of civilizations ( terbuka atau tersembunyi; minyak) tidak akan menghasilkan adanya persaingan yang bebas dan fair. Hal inilah yang terjadi pada komoditas minyak, perang Amerika-Afghanistan, Irak, dan mungkin yang akan datang, yaitu Iran. Semuanya itu tak lain “hanya” berangkat dari alasan ekonomi yaitu minyak dan bisnis militer semata. Menilik kisruh minyak di blok cepu ini memang sudah seharusnya dilakukan dengan government to government. Pemerintah yang sadar akan pentingnya (minyak) nasionalisme. Seperti yang dikatakan oleh Bung Karno “kita simpan dibawah tanah, sampai para insinyur kita mampu menggarapnya sendiri”. Sikap yang membatasi eksploitasi sumber daya alam oleh asing dengan sengaja inilah yang mutlak diperlukan oleh pemerintah saat ini. Lalu pertanyaan yang timbul adalah apakah kita sudah mampu untuk memanfaatkan The big giant oil field tersebut? Pertanyaan inilah yang mendasari kisruh minyak di blok cepu. Karena dihadapkan pada “ketidaksabaran” pemerintah untuk menikmati hasil dari blok tersebut, seperti, kepentingan

description

bung kami

Transcript of Bung Hatta Dan Nasionalisme (Cepu) Kita

Page 1: Bung Hatta Dan Nasionalisme (Cepu) Kita

BUNG HATTA DAN NASIONALISME (CEPU) KITA

“saya lebih suka melihat seluruh kepulauan nusantara lenyap tenggelam di bawah laut daripada dijajah oleh tuan-tuan sekalian”

[Bung Hatta, dalam pledooi di Den Haag, 1932]

Emas hitam bukan hanya masalah nasional melainkan internasional. Pada era globalisasi ini persaingan semua negara memperoleh emas hitam tersebut harus berdasar pada persaingan bebas, diserahkan pada mekanisme pasar, dan akibatnya pemerintah tidak harus mencampurinya. Oleh karena itu, minyak di blok cepu harus diselesaikan dalam ranah business to business saja.

Namun permasalahannya, persaingan (pasar) bebas itu tidak akan pernah ada. Akan selalu ada distorsi-distorsi didalamnya yang dilakukan demi kepentingan ekonomi dan politik disertai insting-insting predatori dan semangat hegemonic. Contoh-contoh konkret seperti peperangan (dalam segala bentuknya; ekonomi), pertarungan, clash of  civilizations ( terbuka atau tersembunyi; minyak) tidak akan menghasilkan adanya persaingan yang bebas dan fair. Hal inilah yang terjadi pada komoditas minyak, perang Amerika-Afghanistan, Irak, dan mungkin yang akan datang, yaitu Iran. Semuanya itu tak lain “hanya” berangkat dari alasan ekonomi yaitu minyak dan bisnis militer semata.

Menilik kisruh minyak di blok cepu ini memang sudah seharusnya dilakukan dengan government to government. Pemerintah yang sadar akan pentingnya (minyak) nasionalisme. Seperti yang dikatakan oleh Bung Karno  “kita simpan dibawah tanah, sampai para insinyur kita mampu menggarapnya sendiri”. Sikap yang membatasi eksploitasi sumber daya alam oleh asing dengan sengaja inilah yang mutlak diperlukan oleh pemerintah saat ini.

Lalu pertanyaan yang timbul adalah apakah kita sudah mampu untuk memanfaatkan The big giant oil field tersebut? Pertanyaan inilah yang mendasari kisruh minyak di blok cepu. Karena dihadapkan pada “ketidaksabaran” pemerintah untuk menikmati hasil dari blok tersebut, seperti, kepentingan untuk memenuhi suplai energi nasional yang semakin besar, mengatasi menurunnya produksi minyak nasional, kemudian mengantisipasi lonjakan harga minyak dunia, sampai tambahan pendapatan sebesar US$ 9,2 juta perhari dengan perhitungan harga minyak dunia US$60 per barrel.

Berdasar pada mendesaknya kepentingan diatas (tingginya opportunity cost jika tidak mulai ‘digarap’ sekarang). Pemerintah akhirnya “dipaksa” untuk “beristikharah” untuk memilih apakah lead operator diserahkan kepada Exxon Mobile atau Pertamina? Untuk itu, pemerintah memberikan beberapa pertimbangan kepada keduannya, diantaranya adalah kemampuan teknologi, keuangan, pembiayaan yang berimbas pada efisiensi pengoperasian blok cepu. Siapa bisa dia dapat! Tentu kita ketahui bila yang menjadi dasar adalah hal-hal tersebut maka pemerintah akan  cenderung memperpanjang izin “eksploitasi” Exxon mobile. Exxon mobile yang merupakan perusahaan MNC’s besar tentunya cenderung mempunyai semua keunggulan tersebut dibanding Pertamina.

Lalu, apakah “hanya” berdasar pertimbangan tersebut, lalu dengan “semudah menjentikkan jari”, pemerintah akan memperpanjang izin eksplorasi sampai tahun 2030 kepada Exxon? Kalau memang jawabannya adalah Ya, sungguh, jiwa rakyat (elit)

Page 2: Bung Hatta Dan Nasionalisme (Cepu) Kita

terjajah masih menjadi karakter bangsa ini. Penulis menjadi ingat perkataan Bung Hatta ketika beliau menyampaikan Pleidooi di depan pengadilan Den Haag, tahun 1932.  Dalam pengadilan tersebut, majelis hakim mempertanyakan apakah bangsa Indonesia mampu mengurus diri sendiri dalam alam kemerdekaan yang dikehendaki Bung Hatta, dkk? Kemudian beliau mengatakan: “saya lebih suka melihat seluruh kepulauan nusantara lenyap tenggelam di bawah laut daripada dijajah oleh tuan-tuan sekalian”. Dianalogikan dengan hal tersebut, minyak di blok cepu memang harus dikelola oleh Pertamina. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan.

Pertama, mengenai cadangan minyak blok cepu yang sangat besar. Menurut guru besar geologi ITB, Koesoemadinata, total cadangan yang ada di blok ini mencapai lebih dari sembilan miliar barel minyak, sangat berbeda dengan apa yang diberitakan Exxon mobil, hanya 600 juta barrel, dan data dari Dept ESDM yang “hanya” 583,47  juta barrel. Dengan demikian, sesuai dengan teori ekonomi sumberdaya alam, perusahaan (Exxon) akan melakukan ekstraksi yang sangat besar mulai dari periode awal guna memburu rente ekonomi yang tinggi sehubungan dengan tingginya harga minyak dipasaran internasional. Akibat dari ekstraksi secara besar-besaran oleh exxon tersebut adalah kerusakan struktur sehingga dikhawatirkan ketika pada saat kita mengambil alih  (2030) maka cadangan minyak di blok tersebut sudah tidak ada.

Kedua, adalah letak blok cepu yang strategis, di daratan (on shore). Menurut Fadhil Hasan, direktur Indef, kedalaman sumur yang hanya 3000-6600, teknologi yang dibutuhkan relatif lebih mudah karena di daratan.  Kemudian, biaya pengeboran sumur di sekitar blok Cepu yaitu sukowati-1  hanya  US$486 per kaki, dan Mudi-1 hanya US$344 per kaki. Hal ini berderivasi pada biaya eksplorasi yang “rendah”. Karena kalaupun Pertamina mengalami “kesulitan” dalam hal pembiayaan, penulis sangat yakin akan banyak sekali institusi pendanaan yang “antri-berjejer” untuk memberikan kreditnya dengan adanya cadangan yang sampai 9 milliar barrel tersebut.   Oleh karena itu, ketiga pertimbangan pemerintah tersebut sebenarnya sudah dimiliki Pertamina. Tinggal menunggu adanya keberanian politik para elit untuk memutuskannya.

Ketiga, merunut pada pendapat mantan Dirut Pertamina, Baihaki Hakim, Pertamina yang terlanjur gemuk harus bertahan dengan ‘menyerang’ seagresif mungkin dalam perburuan ladang minyak diseluruh dunia. Selanjutnya, dengan terjadinya penurunan produksi dari lapangan pertamina, tanpa penemuan yang berarti, Pertamina akan ‘roboh’ seperti robohnya BUMN lain yang telah mendahuluinya. Jadi, blok cepu ini bisa dijadikan pijakan awal bagi Pertamina untuk menuju world class company. Pada akhirnya Pertamina akan menjadi perusahaan besar seperti Exxon di tanah air sendiri yang menggunakan sumber daya sendiri, tuan di rumah sendiri.

Tentunya ada pendapat lain yang mengatakan bahwa pemberian hak pengelolaan blok cepu kepada Pertamina adalah keputusan yang berisiko tinggi (menghasilkan kerugian yang sangat besar) mengingat bahwa elit bangsa ini, dan pertamina yang korup. Untuk menjawab pernyataan ini, penulis akan meminjam pemikiran mantan kepala Bappenas, Kwik Kian Gie. Beliau mengatakan bahwa: “…taruhan bagi bangsa Indonesia bukan karena korupsi kemudian menyerahkan  segalanya kepada asing. Tetapi yang dihadapi bangsa ini adalah mengatasi  semua kesulitan, termasuk masalah korupsi atau mati…”

Page 3: Bung Hatta Dan Nasionalisme (Cepu) Kita

Pertimbangan-pertimbangan pemerintah diatas yang cenderung untuk memperpanjang Exxon mobil untuk memperpanjang hak ‘eksploitasinya’ sampai tahun 2030 sudah sangat irrelevance. Kami hanya menunggu dan mengharapkan akan adanya keberanian politik (political courage) dan bukan hanya kemauan politik (political will) untuk menjadi bangsa yang mandiri, yang memiliki kebanggaan bahwa anak negerinya bisa mendayagunakan sumberdayanya sendiri dengan kemampuannya sendiri. Namun, penulis sangsi akan harapan penulis sendiri melihat ‘jenis’ para elit yang berunding tersebut, kecuali jika mereka melakukan shifting paradigm dan berani menghadapi ‘tekanan luar’. Itu kalau pemerintah kita berani