Bumi Manusia dalam al-Qur’an -...

17
BUMI MANUSIA DALAM Al-QUR’AN 1 Oleh Abd Moqsith Ghazali (Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta] Email: [email protected] Pengantar Masyarakat semenanjung jazirah Arab sebelum al-Qur’an diturunkan terkonsentrasi ke dalam dua ruang, kota dan desa. Mereka yang tinggal di kota disebut Arab (al-‘arab), sedangkan yang tinggal di desa disebut A’rab (al-A’rab). Berbeda dengan masyarakat desa yang hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal, masyarakat kota cenderung menetap dan memiliki tempat tinggal sendiri. Kehidupan masyarakat desa amat tergantung kepada alam; mereka mendekati mata air untuk minum dan padang rumput untuk makanan binatang gembalaannya. Dari binatang itu, mereka memerah susu, memakan daging, dan memanfaatkan bulu-bulunya. Jika alam di sekitaran tak lagi memberikan cukup makanan, mereka akan pindah ke daerah lain dengan suasana alam yang masih perawan dan subur. Khalil Abdul Karim berkata bahwa masyarakat desa itu ( al-a’rab) tak menyukai kehidupan bercocok tanam. Mereka lebih suka berperang, berdebat, dan membunuh. Bagi mereka, rezeki hanya bisa diperoleh melalui pedang dan panah mereka. Itu sebabnya, sebagian dari mereka suka mengubur anak-anak perempuan mereka. Bukan hanya karena anak perempuan itu tak membanggakan secara sosial, melainkan juga karena tak menghasilkan secara ekonomi. Anak perempuan itu tak bisa mengangkat pedang, tak bisa memanah, dan tak pandai menunggang kuda untuk berperang. Karena itu, menurut mereka, perempuan tak pantas untuk mendapatkan waris bahkan ia adalah barang yang bisa diwariskan. Al-Qur’an pun merekam kebiasaan sebagian masyarakat desa saat itu yang suka membunuh setiap bayi perempuan yang lahir. Dalam suasana 1 Artikel ini dimuat di Jurnal ULUMUL QUR’AN, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, No. 01/XXI/2012, diterbitkan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan ICMI.

Transcript of Bumi Manusia dalam al-Qur’an -...

Page 1: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

BUMI MANUSIA DALAM Al-QUR’AN1

Oleh Abd Moqsith Ghazali

(Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta]

Email: [email protected]

Pengantar

Masyarakat semenanjung jazirah Arab sebelum al-Qur’an

diturunkan terkonsentrasi ke dalam dua ruang, kota dan desa. Mereka

yang tinggal di kota disebut Arab (al-‘arab), sedangkan yang tinggal di

desa disebut A’rab (al-A’rab). Berbeda dengan masyarakat desa yang

hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal, masyarakat

kota cenderung menetap dan memiliki tempat tinggal sendiri. Kehidupan

masyarakat desa amat tergantung kepada alam; mereka mendekati mata

air untuk minum dan padang rumput untuk makanan binatang

gembalaannya. Dari binatang itu, mereka memerah susu, memakan

daging, dan memanfaatkan bulu-bulunya. Jika alam di sekitaran tak lagi

memberikan cukup makanan, mereka akan pindah ke daerah lain dengan

suasana alam yang masih perawan dan subur.

Khalil Abdul Karim berkata bahwa masyarakat desa itu (al-a’rab)

tak menyukai kehidupan bercocok tanam. Mereka lebih suka berperang,

berdebat, dan membunuh. Bagi mereka, rezeki hanya bisa diperoleh

melalui pedang dan panah mereka. Itu sebabnya, sebagian dari mereka

suka mengubur anak-anak perempuan mereka. Bukan hanya karena anak

perempuan itu tak membanggakan secara sosial, melainkan juga karena

tak menghasilkan secara ekonomi. Anak perempuan itu tak bisa

mengangkat pedang, tak bisa memanah, dan tak pandai menunggang kuda

untuk berperang. Karena itu, menurut mereka, perempuan tak pantas

untuk mendapatkan waris bahkan ia adalah barang yang bisa diwariskan.

Al-Qur’an pun merekam kebiasaan sebagian masyarakat desa saat itu yang

suka membunuh setiap bayi perempuan yang lahir. Dalam suasana

1 Artikel ini dimuat di Jurnal ULUMUL QUR’AN, Jurnal Kebudayaan dan

Peradaban, No. 01/XXI/2012, diterbitkan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan ICMI.

Page 2: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

peperangan, tak tertutup kemungkinan anak-anak perempuan itu akan

menjadi tangkapan perang untuk selanjutnya dijadikan budak.

Tentang perlakuan kejam mereka terhadap anak perempuan itu,

disebutkan dalam al-Qur’an (al-Nahl [16]: 58-59), “apabila seseorang dari

mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah

(merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan

dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan

kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan

ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup).

Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”. Bahkan,

perlakuan buruk terhadap perempuan ini tak hanya terkonsentrasi di

desa, melainkan juga dilakukan oleh sebagian masyarakat kota. Al-

Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Jilid V, hlm. 468-469)

menyebut kebiasaan Bani Mudhar, Bani Khuza’ah, dan Bani Tamim yang

membunuh anak-anak perempuan dalam keadaan hidup.

Sedangkan masyarakat kota Arab tampak lebih maju dan

berperadaban. Orang-orang kaya dari penduduk kota itu memakai pakaian

yang halus, alas kaki impor, sorban yang berkilau, mengkonsumsi

makanan penuh gizi. Rumah mereka penuh dengan perabot mewah

seperti kristal. Mereka yang tinggal di Thaif dan Yaman tak hanya

bercocok tanam, tapi juga berbisnis. Bahkan, mereka kerap melakukan

perjalanan bisnis hingga ke luar daerah. Al-Qur’an merekam kebiasaan

pedagang-pedagang Quraish di Mekah yang suka bepergian untuk

kepentingan bisnis ke luar daerah tanpa mempedulikan musim.

Disebutkan dalam al-Qur’an (al-Quraish [106]: 1-2), “karena kebiasaan

orang-orang Quraish, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim

panas dan dingin” (li ilafi Quraish, rihlah al-syita’ wa al-shaif). Berbagai

buku sejarah mengisahkan bahwa ketika berumur sembilan tahun--ada

yang berkata 12 tahun--, Muhammad SAW bersama pamannya (Abu

Thalib) pergi bersama kafilah saudagar ke negeri Syiria. Jauh sebelum

diangkat menjadi nabi, Muhammad ibn Abdullah juga aktif berkunjung ke

luar kota untuk kepentingan bisnis Khadijah (kelak menjadi istri Nabi

Muhammad).

Berbeda dengan masyarakat desa yang sebagian besar--kalau tidak

seluruhnya--buta huruf; tidak bisa membaca dan menulis, maka

masyarakat kota sebagian sudah bisa membaca dan menulis. Masyarakat

kota dikenal pandai menggubah puisi bahkan secara spontan. Puisi-puisi

Page 3: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

yang terbaik kemudian digantung di dinding Ka’ba, disebut al-Mu’allaqat.

Yang menarik, sekalipun Jazirah Arab terhampar cukup luas, dalam

percakapan sehari-hari, mereka menggunakan bahasa yang sama, yaitu

bahasa Arab. Dengan demikian, puisi-puisi hasil gubahan para penyair

Yaman bisa dengan mudah dipahami oleh orang-orang yang ada di

Mekah. Dengan bahasa yang sama itu juga orang Mekah tak perlu

penterjemah untuk membangun komunikasi bisnis dengan orang Yaman,

Thaif, Yatsrib, dan Yamamah. Kehadiran al-Qur’an yang berbahasa Arab

itu menyebabkan al-Qur’an bisa dengan cepat tersebar ke seluruh Jazirah

Arab. Keindahan diksi al-Qur’an bisa dinikmati oleh masyarakat Arab.

Jika ditelusuri, penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an

sesungguhnya lebih merupakan alat untuk menyampaikan pesan. Artinya,

bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an itu merupakan wasilah (jalan) dan

bukan ghayah (tujuan). Oleh karena audience dari wahyu adalah

masyarakat yang berbahasa Arab, maka al-Qur’an pun hadir dalam bentuk

bahasa Arab. Bahkan, tak sedikit peminat studi ilmu al-Qur’an yang

berkata bahwa bahasa Arab al-Qur’an adalah bahasa Arab dalam dialek

Quraish, karena Nabi Muhammad sendiri keturunan suku Quraish. Allah

berfirman dalam al-Qur’an (Fushshilat [41]: 44), “Jika Kami jadikan al-

Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab, tentu mereka

(orang-orang kafir) itu akan berkata, “Apakah (mungkin al-Qur’an

dalam bahasa) bukan Arab, sedangkan dia (Nabi Muhammad) adalah

orang Arab?”. Katakan (hai Muhammad), “al-Qur’an itu adalah petunjuk

dan obat bagi mereka yang beriman. Sedangkan mereka yang tak

beriman itu, pada telinga mereka ada sumbat dan ada kebutaan pada

mata mereka. Mereka itu seolah-olah mendapat panggilan dari tempat

nun jauh (sehingga mereka tak mendengar dan tak menyadari)”.

Paparan di atas itu hanya sebagai pintu masuk untuk menegaskan

bahwa al-Qur’an turun dalam suatu konteks. Al-Qur’an berdialog dengan

masyarakat Arab yang berbahasa Arab. Artinya, ada ayat-ayat dalam al-

Qur’an yang turun sebagai respons terhadap situasi masyarakat ketika itu.

Dan tentu, ada pula ayat-ayat yang bukan merupakan respons spesifik al-

Qur’an terhadap masyarakat Arab, tapi lebih merupakan gugusan nilai-

nilai yang bersifat universal. Universalitas al-Qur’an yang menyebabkan

al-Qur’an tak hanya bermanfaat buat orang Arab, tapi juga yang non Arab

seperti Persia, Afrika, Melayu, India, dan lain-lain.

Page 4: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

Konteks Al-Qur’an

Al-Qur’an turun dalam konteks masyarakat kota saat itu. Marshall

Hodgson berkata bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad pada

esensinya bersifat kota (urban) secara radikal. Itu sebabnya, al-Qur’an tak

banyak memberi respons terhadap masyarakat desa di Jazirah Arab.

Fokus perhatian al-Qur’an lebih banyak mengarah ke pusat-pusat

peradaban di Jazirah Arab seperti Mekah, Thaif, Yatsrib (Madinah),

Yamamah, dan sebagian Arab Selatan (Yaman). Buku-buku sejarah

mencatat tentang keistimewaan kota-kota itu. Jika Mekah misalnya

dikenal sebagai pusat bisnis, maka Yamamah kesohor sebagai pusat

pertanian. Sekalipun bidang pertanian lebih menonjol di Thaif dan

Yatsrib, di dua kota itu juga berkembang bidang perindustrian atau

kerajinan. Jika di Yatsrib, berkembang kerajinan penempaan emas, maka

di Thaif banyak para pandai besi.

Walau tak sebesar di Thaif, di Mekah pun tumbuh industri

modifikasi khusus kulit. Ini karena tanah yang kering dan udara yang

panas tak memungkinkan bagi tumbuhnya tanaman-tanaman hijau di

Mekah. Bukit-bukit yang menjulang di Mekah adalah tumpukan batu-batu

dan pasir tanpa tumbuhan. Al-Qur’an menggambarkan Mekah dengan “bi

wadin ghair dzi zar’in” (lembah yang tak bisa ditanami). Dalam suasana

alam yang demikian, mata pencaharian utama masyarakat Mekah adalah

berniaga. Kata “tajir” yang berarti “pedagang” memang tak disebut dalam

al-Qur’an. Namun, kata “tijarah” yang bermakna perniagaan diulang-

ulang sampai sembilan kali. Di al-Qur’an juga ada kata-kata yang terkait

dengan jual beli (syara, isytara, ba’a), pinjam-meminjam (qardh,

yuqridhu), takaran dan timbangan (mizan, mitsqal). Ini menunjukkan

bahwa perniagaan merupakan salah satu tema sentral dalam kehidupan

masyarakat Arab ketika itu. Menurut Philip K Hitti (hlm. 130), jauh

sebelum dilintasi jalur perdagangan rempah-rempah, sejak lama Mekah

telah menjadi tempat persinggahan dalam perjalanaan antara Ma’rib dan

Gazza. Di lembah Mekah yang tandus, pertanian menjadi mustahil.

Kebutuhan akan bahan pokok makanan lebih banyak diimpor dari luar.

Berbeda dengan Mekah yang kering kerontang, Thaif adalah daerah

yang subur. Thaif adalah negeri yang mendekati gambaran al-Qur’an

tentang surga (QS, Ibrahim [47]: 15). Thaif menghasilkan anggur dan

minuman beralkohol yang dikenal dengan sebutan nabidz. Sedangkan

Page 5: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

khamr yang banyak dikonsumsi masyarakat Arab dan yang kerap

didendangkan para penyair adalah produk impor dari Hauran dan

Libanon. Adalah kurma yang menjadi primadona pertanian di

Semenanjung Arab. Buah kurma sangat dikenal luas di dunia, banyak

diminati dan bernilai tinggi. Dimakan bersama susu, buah kurma

merupakan makanan utama orang-orang Arab. Bahkan, Nabi dikisahkan

pernah melakukan proses penyerbukan pohon kurma di Madinah. Para

penulis Arab menyebut ratusan jenis kurma yang terdapat di Madinah dan

sekitarnya.

Hewan yang menjadi kendaraan masyarakat Arab adalah unta,

keledai, dan kuda. Nabi diceritakan memberikan maskawin perkawinan

puluhan unta kepada Khadijah. Bagi orang-orang Arab, unta tak hanya

berfungsi sebagai “bahtera gurun”, melainkan juga karunia Tuhan yang

tiada tara. Al-Qur’an (al-Nahl [16]: 5-8) menggambarkan terutama

kelebihan binatang unta, “dan Dia telah menciptakan binatang ternak

untuk kalian; padanya ada bulu yang menghangatkan dan berbagai-

bagai manfaat, dan sebagiannya kalian makan. Dan kalian memperoleh

pandangan yang indah padanya ketika kalian membawanya ke

kandang dan ketika kalian melepaskannya ke tempat penggembalaan.

Dan ia memikul beban-beban kalian ke suatu negeri yang kalian tidak

sanggup sampai kepadanya melainkan dengan kesukaran-kesukaran

(yang memayahkan) diri. Tuhan kalian benar-benar Maha Pengasih lagi

Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal, dan

keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya perhiasan.

Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. Tentang unta,

Khalifah Umar ibn Khattab pernah berkata bahwa kemakmuran orang

Arab bergantung pada kesehatan unta-untanya. Demikian istimewanya

binatang Arab itu hingga al-Qur’an (QS, al-Ghashiyah [88]: 17) menantang

kita untuk berfikir tentang keterciptaan unta, “afala yanzhuruna ila al-ibil

kayfa khuliqat” (maka apakah mereka tidak memperhatikan unta,

bagaimana ia diciptakan).

Dengan kendaraan darat seperti unta dan kuda itu, orang-orang

lebih mudah untuk melakukan perjalanan hingga daerah-daerah terjauh di

luar Hijaz. Orang Arab disebut ‘arab karena mereka suka bergerak,

melancong ke berbagai negeri. Kata ‘arab satu akar kata dengan ‘arubah

yang berarti gerobak. Disebut demikian, karena gerobak selalu bergerak

aktif. Masyarakat Arab adalah sekumpulan orang yang tak memiliki

Page 6: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

mobilitas tinggi. Ayahanda Nabi Muhammad, Abdullah ibn Abdul

Muthalib, meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari Syam. Ia

meninggal dunia di Yatsrib, sementara Nabi Muhammad masih berumur

dua bulan dalam kandungan.

Dengan beragam aktivitas perekonomian itu, kelas menengah

tumbuh dengan pesat. Jumlah orang kaya meningkat. Namun,

ketimpangan sosial-ekonomi terjadi dimana-mana. Praktek

perekonomian yang tidak etis dan eksploitatif menyebar. Ada oligarki dan

monopoli terhadap sumber daya ekonomi. Banyak pedagang-pedagang

Mekah yang melakukan praktek riba, penumpukan komoditi, curang

dalam takar-menakar dan timbang menimbang. Akibatnya jurang pemisah

antara yang kaya dan yang miskin terus menganga. Al-Qur’an

menyinggung kebiasaan orang-orang yang suka menumpuk-numpuk harta

tersebut. Allah berfirman (QS, al-Humazah [104]: 1-3), “Kecelakaanlah

bagi setiap pengumpat lagi pencela yang mengumpulkan harta dan

menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat

mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan

dilemparkan ke dalam neraka Huthamah”. Praktek monopoli dan

oligarki ekonomi ini terus berlangsung hingga disyariatkannya ketentuan

zakat di Madinah. Zakat disyariatkan agar komoditi tak hanya berputar di

kalangan konglomerat saja (kayla yakuna duwlatan bayna al-aghniya

minkum). Zakat terutama diperuntukkan untuk melindungi orang fakir

dan miskin.

Jika dikelompokkan struktur masyarakat yang menjadi lanskap

kehadiran adalah sebagai berikut. Pertama, masyarakat komunal.

Peperangan antar suku dan kabilah kerap terjadi. Dalam hukum primitif

gurun, darah harus dibayar dengan darah; tidak ada hukum yang harus

diterapkan selain pembalasan yang setimpal. Bahkan, tidak jarang

peperangan bisa meletus karena soal-soal sepele seperti berebut mata air,

tersinggung dengan perlakun suku lain. Menurut Philip K Hitti dalam

bukunya History of The Arab (hlm. 111-112), salah satu peperangan antara

suku-suku badui yang paling awal dan paling terkenal adalah perang

Basus yang terjadi pada akhir abad ke kelima antara Bani Bakr dan

keluarga dekat mereka dari Bani Taghlib di Arab sebelah timur laut. Kedua

suku itu beragama Kristen dan mengklaim sebagai keturunan Wa’il.

Konflik di antara mereka muncul karena seekor unta kepunyaan suku Bakr

yang bernama Basus dilukai oleh kepala suku Taghlib. Perang itu

Page 7: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

diperkirakan menelan waktu 40 tahun dengan kerugian yang tak sedikit

dari kedua belah pihak. Perang baru berhenti setelah masing-masing

merasa kelelahan dalam berperang.

Perang lain yang tak kalah tenarnya adalah perang Dahis dan al-

Ghabra. Perang itu melibatkan ‘Abs dan suku saudara perempuannya,

Dzubyan di Arab tengah. Wangsa Ghathafan adalah leluhur kedua suku

itu. Peristiwanya dipicu oleh tindakan curang orang-orang Dzubyan dalam

sebuah balapan antara kuda yang bernama Dahis milik kepala suku ‘Abs

(Qais ibn Zuhair) dan keledai yang bernama al-Ghabra milik kepala suku

Dzubyan (Hudaifah ibn Badar). Lalu Asadi atas perintah Khudaifah

memukul wajah Qais dan meletuslah perang. Ribuan orang meninggal

dalam peperangan ini. Peperangan itu terjadi pada abad ke enam, tidak

terlalu lama dari ditandatanganinya kesepakatan damai Basus, dan

berhenti selama beberapa dekade hingga datang Islam.

Bahkan, ketika baru berumur 15 tahun, Nabi Muhammad

dikisahkan pernah terlibat dalam Perang Fijar. Perang ini melibatkan

beberapa suku. Suku Quraish, Kinanah, dan Asad dalam satu kelompok

melawan suku Hirah yang dipimpin Num’man ibn al-Mundhir pada

kelompok yang lain. Perang ini berlangsung selama empat tahun dan baru

berhenti setelah ditempuh jalan perdamaian; bahwa yang memiliki korban

manusia lebih kecil harus membayar ganti rugi sebanyak jumlah kelebihan

korban itu kepada pihak lain. Ada yang berkata, bahwa tugas Muhammad

dalam perang ini adalah mengumpulkan anak-anak panah dari pihak

lawan untuk diberikan kepada paman-pamannya. Muhammad Husain

Haikal menceritakan bahwa beberapa tahun sesudah kenabiannya, Nabi

Muhammad berkata, “aku mengikutinya (Perang Fijar) bersama paman-

pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu; aku tidak suka

kalau tidak ikut melaksanakan”.

Suku-suku di Jazirah Arab tersebar di mana-mana. Yang satu

dengan yang lain tak saling memiliki hubungan. Yang kerap terjadi di

antara mereka adalah perang. Suku-suku itu terpecah-pecah dan saling

bermusuhan. Karena itu, perang di antara mereka tak terhindarkan hingga

berdirinya negara Madinah yang tak didasarkan pada basis kesukuan dan

kabilah melainkan negara yang bertumpu pada agama atau keyakinan.

Jika sebelum Islam, mereka bangga dan fanatik dengan gelar kesukuan

seperti al-Taimi, al-‘ady, dan al-najjary, maka setelah Islam datang

mereka lebih bangga dengan gelar yang berhubungan dengan moral

Page 8: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

seperti al-shiddiq (yang jujur), al-faruq (pembeda antara yang benar dan

yang salah), dan lain-lain. Dalam konteks itulah, ayat al-Qur’an (al-

Hujurat [49]: 10) menegaskan bahwa seluruh orang beriman adalah

bersaudara (innama al-mukminun ikhwatun).

Dengan dasar ayat ini, Nabi Muhammad banyak

mempersaudarakan umat Islam, misalnya Abdurrahman dipersaudarakan

dengan Sa’ad ibn Rabi’, Abu Bakar dengan Kharijah ibn Zaid, Umar ibn

Khattab dengan Utsman ibn Malik, Utsman ibn Affan dengan Aus ibn

Tsabit, Ammar ibn Yasir dengan Khudaifah ibn al-Yaman, Thalhah ibn

Abdullah dengan Ka’ab ibn Malik, Hamzah ibn Abdul Muthalib dengan

Zaid ibn Haritsah. Tidak kurang dari 80 sampai 90-an orang yang

dipersaudarakan Nabi Muhammad. Secara umum, Nabi

mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Itu sebabnya,

fanatisme tak lagi bersandar pada suku (tribalism) dan darah, melainkan

pada agama dan keyakinan Islam. Ajaran Islam yang dibawa Nabi

Muhammad adalah titik temu seluruh orang beriman saat itu.

Ketika Islam hadir, peperangan antar suku mereda, tapi perang

antara kaum musyrik Mekah dengan orang Islam dan antara umat Islam

dan pengikut Yahudi di Madinah terus terjadi. Dalam konteks itulah, ayat-

ayat yang berbicara tentang jihad dan perang melawan orang kafir Mekah

dan Yahudi Madinah terus turun. Bahkan, sebagian besar isi dan

kandungan surat Bara’ah dalam al-Qur’an adalah tentang perang. Buku-

buku sejarah dan al-Qur’an sendiri mencatat terjadinya sejumlah

peperangan yang melibatkan umat Islam. Di antaranya adalah Perang

Badar, Perang Uhud, Perang Hunain, Perang Khandaq, dan lain-lain.

Perang ini terpaksa dilakukan Nabi Muhammad dan umat Islam sebagai

upaya pertahanan diri dari serangan orang-orang Musyrik Mekah.

Kedua, masyarakat pagan, penyembah berhala. Al-Qur’an

menceritakan kebiasaan orang-orang Arab yang suka menyembah berhala.

Ada berbagai sesembahan mereka. Al-lata yang berarti “Sang Dewi” adalah

kuil dari batu karang besar yang disembah oleh suku Tsaqif di Thaif.

Orang Thaif berthawaf mengelilingi al-Lata. Di Nakhlah (terletak antara

Mekah dan Thaif), ada berhala al-Uzza berupa pohon milik Bani Ghatafan.

Berhala orang-orang Yatsrib adalah adalah al-Manat, terbuat dari batu

hitam yang ditempatkan dalam bangunan khusus yang dipahat

menyerupai tubuh perempuan. Upacara pemujaan tak diselenggarakan di

rumah-rumah, melainkan datang ke tempat dipancangkannya berhala-

Page 9: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

berhala itu. Kaum pagan Arab memandang bahwa berhala-berhala itu

adalah puteri-puteri Tuhan (banat Allah). Allah berfirman dalam al-

Qur’an (al-Najm [53]: 19-20), “apakah patut kalian (orang-orang Musyrik)

menganggap al-Lata, al-Uzza, dan al-Manat yang ketiga yang terkemudian

(sebagai anak-anak perempuan Allah). Berhala-berhala itu tak dibangun

dengan desain dan arsitektur yang indah. Semuanya dibangun dengan

sangat sederhana.

Sesembahan lain yang diagungkan masyaralat pagan Arab adalah

Hubal. Berhala itu berbentuk manusia yang tangan kanannya patah dan

terbuat dari batu akik merah. Ia dibawa pertama kali dibawa oleh ‘Amr ibn

Luhay al-Khuzai dari kota Ma’arib. Ada riwayat yang mengisahkan bahwa

Hubal pernah diletakkan di dalam Ka’bah sebagai simbol berhala terbesar.

Dengan perantaraan Hubal, masyarakat Arab meminta keberkahan dan

keselamatan dari berbagai musibah. Di samping menyembah Hubal,

masyarakat Arab pagan juga menyembah Ba’al yang berasal dari

peradaban Israel purba, yaitu abad ke 13 SM. Semuanya jenis berhala itu

menumpuk di sekitar Ka’bah. Berbagai buku tarikh menceritakan bahwa

ketika terjadi penaklukan kota Mekah (fathu Makkah), Nabi Muhammad

mendapati 360 patung di sekitar Ka’bah termasuk Hubal.

Jika merujuk pada al-Qur’an, orang-orang Arab ketika itu bukan

tak percaya kepada Allah. Mereka mempercayai keberadaan-Nya. Disebut

dalam al-Qur’an (al-Zumar [39]: 38 bahwa apabila ditanya kepada mereka

tentang pencipta langit dan bumi, mereka akan menjawab Allah. Kaum

pagam Arab juga mengenal Allah sebagai pemilik Ka’bah, Rabb al-Bayt

(QS, al-Quraish [106]: 3]. Ini sebagai bukti bahwa jejak tauhid yang

diajarkan para nabi sebelum Muhammad masih terasa hingga beberapa

tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi. Jika Nabi Ismail

berdakwah di sekitaran Mekah, maka Nabi Syuaib diutus ke Madyan dan

Nabi Hud diutus kepada kaum ‘Ad yang tinggal di Ahqaf, daerah dekat

Hadramaut Yaman. Nabi Shaleh diutus kepada kaum Tsamud yang

bermukim di al-Hijr, daerah antara Hijaz dan Tabuk sekarang.

Berbeda dengan kepercayaan monoteisme Islam, orang-orang Arab

pagan itu memandang Allah sebagai Tuhan Tertinggi yang didampingi

oleh tuhan-tuhan kecil atau dewa-dewa yang lebih rendah. Dalam kondisi

yang terdesak, mereka biasanya mengesakan Allah dengan penuh

ketulusan. Disebut dalam al-Qur’an (al-Ankabut [29]: 65), “apabila

mereka menaiki sebuah bahtera (yang sedang digulung ombak), mereka

Page 10: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Tetapi,

tatkala Allah menyelematkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka

(kembali) mempersekutukan (Allah)”. Dalam suasana normal, masyarakat

Arab pagan itu menyembah berhala-berhala dan ketika kondisi darurat

mereka akan menyembah Allah. Bagi mereka, Allah terlalu tinggi tak

terjangkau sehingga membutuhkan berhala-berhala sebagai perantara.

Ketika dikecam, mereka berkata bahwa dirinya tak sedang menyembah

berhala. Menurut mereka, berhala itu hanya sarana pendekatan diri

kepada Allah. Allah merekam ungkapan mereka itu dalam al-Qur’an (al-

Zumar [39]: 3), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya

mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.

Dengan demikian, kehadiran Islam sesungguhnya hendak

mentauhidkan Tuhan yang sudah ada dalam keyakinan masyarakat Arab

pagan tersebut. Juga untuk mengukuhkan ajaran para nabi yang telah

lama tumbuh di sebagian masyarakat Arab. Kelompok Hanifiyah di Mekah

adalah orang-orang yang mengikuti ajaran tauhid yang dibawa Nabi

Ibrahim dan Nabi Ismail. Di antara mereka adalah Waraqah ibn Naufal,

Qus ibn Saidah al-Ayadi, Umayyah ibn Abi Shalt al-Tsaqafi, Utaibah ibn

Rabiah al-Tsaqafi, Umair ibn Jundub al-Juhni, Khalid ibn Sinan ibn Qais,

Ka’ab ibn Luay ibn Ghalib al-Qurashi (salah seorang kakek-buyut Nabi

Muhammad), dan lain-lain. Ajaran Taurat Nabi Musa menyebar di

Khaibar, Taima, Wadi al-Qura, Yatsrib, dan Fadak. Sementara agama

Nashrani menyebar di bagian selatan seperti di Najran, Ma’arib, Shan’a,

Aden. Karena itu kehadiran Nabi Muhammad dengan al-Qur’annya tak

mendapat resistensi dari tokoh-tokoh awal agama Yahudi, Nashrani, dan

kelompok Hanifiyah. Ini karena apa yang terkandung dalam al-Qur’an

lebih banyak merupakan afirmasi terhadap apa yang mereka yakini.

Dalam al-Qur’an (al-A’la [87]: 18-19) sendiri disebutkan, “inna hadza lafi

al-shuhuf al-ula, shuhuf Ibrahim wa Musa” (sesungguhnya (isi) al-Qur’an

ini telah terkandung dalam kitab-kitab terdahulu, yaitu kitab-kitab Nabi

Ibrahim dan Nabi Musa).

Ketiga, masyarakat patriarkhi. Masyarakat Arab adalah sekelompok

orang yang lebih mengunggulkan laki-laki ketimbang perempuan.

Masyarakat Arab menentukan silsilah keturunan berdasarkan jalur ayah.

Perempuan tak pernah dicantumkan sebagai nama marga betapapun

hebatnya si perempuan. Kedudukan seseorang dalam strata sosial amat

ditentukaan oleh tinggi-rendahnya garis keturunan ayahandaanya. Jika

Page 11: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

sang ayah dari kelas bangsawan, maka tinggilah status sosial anak-

anaknya. Sebaliknya, jika si ayah dari kelas sosial rendahan, maka

rendahlah kelas sosial anak-anaknya. Untuk menjaga kelas sosial

seseorang, maka sejak zaman pra-Islam telah diterapkan konsep kafa’ah

(kesetaraan) dalam perkawinan. Itu sebabnya, perkawinan dengan budak

tak diperkenankan. Budak laki-laki hanya boleh menikah dengan budak

perempuan. Tidak jarang dijumpai perempuan yang tak menikah sampai

tua karena tak ditemukan laki-laki yang setara secara sosial dengan

dirinya.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan berumah tangga, masyarakat

patriarkhi lebih memberikan kewenangan kepada laki-laki daripada

perempuan dalam pengambilan keputusan. Laki-laki juga pada umumnya

lebih diberi peluang untuk mengejar prestasi ketimbang perempuan. Laki-

laki diposisikan sebagai pemimpin dalam keluarga, sementara perempuan

adalah makhluk yang dipimpin. Efek kepemimpinan dalam rumah tangga

ini adalah: ayah diberi hak untuk menjadi wali nikah buat anak gadisnya;

laki-laki punya hak berpoligami bahkan tanpa batas, laki-laki adalah ahli

waris tunggal. Berbeda dengan laki-laki, perempuan sebelum Islam

umumnya lebih banyak diposisikan sebagai obyek ketimbang subyek.

Bahkan, Mazdak di Persia pada abad ke-5 pernah menganjurkan

kepemilikian perempuan secara kolektif. Ia beranggapan bahwa

keburukan kerap terjadi akibat egoisme laki-laki yang ingin memonopoli

perempuan. Menurutnya, perempuan sebaiknya adalah milik bersama

seluruh laki-laki.

Sampai al-Qur’an diturunkan dominasi laki-laki atas perempuan

masih tetap terlihat. Di antaranya adalah firman Allah dalam al-Qur’an

(al-Nisa’ [4]: 34), “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena

Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang

lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”

(al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’ bima fadhdhala Allah ba’dhahum ‘ala

ba’dhin wa bima anfaqu min amwalihin). Ayat ini sekedar

mendeskripsikan tentang tradisi masyarakat Arab yang cenderung

mengangkat suami sebagai pemimpin keluarga. Tentu ayat ini tak

menjelaskan seluruh relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga Arab

saat itu. Sebab, kerap dikisahkan bahwa di sebagian keluarga saat itu

terdapat beberapa orang istri yang mengambil kedudukan lebih tinggi

ketimbang suami. Leila Ahmed menempatkan Khadijah sebagai istri yang

Page 12: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

menduduki tempat penting dalam keluarga Nabi Muhammad.

Menurutnya, kekayaan melimpah yang dimiliki Khadijah telah

membebaskan Nabi Muhammad dari urusan mencari nafkah dan

memungkinkannya menempuh kehidupan kontemplasi sebelum

Muhammad diangkat menjadi nabi.

Kehadiran Islam banyak mengubah kedudukan perempuan. Tak

sebagaimana sebelumnya, al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan

punya hak untuk mendapatkan warisan walau tak sebanyak bagian laki-

laki. Jika zaman pra-Islam, perempuan tak mendapatkan warisan, maka

pada zaman Islam perempuan (anak perempuan, istri, saudari

perempuan) adalah ahli waris sebagaimana laki-laki. Begitu juga, jika

periode sebelum Islam, laki-laki bisa menikahi perempuan dalam jumlah

yang tak terbatas, maka dalam periode Islam dibatasi dengan maksimal

empat perempuan atau istri. Jika sebelum Islam, perempuan boleh

dibunuh, maka al-Qur’an menegaskan keharamannya untuk membunuh

jiwa. Ditegaskan dalam al-Qur’an, barangsiapa yang membunuh satu jiwa,

maka sama dengan membunuh semua jiwa. Dan barangsiapa

menghidupkan satu jiwa, maka sama dengan menghidupkan semua jiwa.

Bagaimana Memahaminya Kini?

Penjelasan demi penjelasan di atas menyampaikan kita pada

sebuah kesimpulan umum bahwa al-Qur’an turun dalam suatu konteks

kesejarahan. Dalam ilmu al-Qur’an, konteks yang melatari kehadiran al-

Qur’an itu disebut asbab al-nuzul, yaitu sebab-sebab yang mengitari

turunnya al-Qur’an. Al-Wahidi, sebagaimana dikutip al-Suyuthi dalam al-

Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, berkata bahwa tak mungkin seseorang bisa

mengerti makna al-Qur’an tanpa mengetahui kisah dan sebab

kehadirannya (la yumkinu ma’rifat tafsir al-ayat duna al-wuquf ‘ala

qishshatiha wa bayan nuzuliha). Ibn Taymiyah juga berkata bahwa

mengetahui sebab turunnya suatu ayat akan membantu seseorang dalam

memahami makna dan pengertian ayat tersebut (ma’rifat sabab al-nuzul

yu’inu ‘ala fahm al-ayat).

Asbab al-nuzul sendiri, ada yang bersifat personal-individidual dan

ada yang bersifat sosial, yaitu menyangkut struktur dan relasi-relasi sosial-

ekonomi-politik masyarakat Arab ketika al-Qur’an itu turun. Itu sebabnya,

al-Syathibi mempersyarakatkan seorang mujtahid adalah orang yang

mengerti adat-kebiasaan bahkan sosio linguistik masyarakat Arab. Dengan

Page 13: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

perkataan lain, seorang mujtahid tak cukup hanya mengerti peristiwa-

periswa personal yang menyertai turunnya al-Qur’an melainkan juga perlu

mengerti peristiwa-peristiwa struktural yang menjadi lanskap kehadiran

al-Qur’an. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, al-Qur’an misalnya

turun dalam konteks masyarakat pagan, masyarakat patriarkhi,

masyarakat komunal-tribal dalam suasana Mekah yang tandus-kering dan

Madinah yang sedikit lebih subur.

Konteks-konteks itu, suka atau tidak, terekam dengan baik dalam

kitab suci al-Qur’an dan tentu saja menjadi sebab kehadirannya. Itu

sebabnya tak keliru ketika seseorang berkata bahwa al-Qur’an dalam

beberapa hal merupakan cerminan dari kondisi dan adat istiadat yang

berkembang ketika itu. Ketika al-Qur’an berkata bahwa Allah mengutus

setiap Rasul melalui “lisan kaumnya” (bi lisani qawmihi, QS, 14: 4), itu

merupakan justifikasi doktrinal atas gagasan bahwa pesan wahyu telah

diadaptasikan pada lingkungan budaya, sejarah, dan linguistik manusia.

Dari berbagai adat kebiasaan masyarakat Arab itu ada yang dimodifikasi

dan dilanjutkan oleh Islam. Tapi, ada juga yang dibuang karena sudah tak

relevan dengan konteks zaman dan capaian peradaban. Salah satu contoh

dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang dimodifikasi untuk kemudian

dilanjutkan oleh Islam adalah kebiasaan masyarakat berthawaf di Ka’bah,

sa’i, dan berkemah di sekitar bukit Arafah. Sementara tradisi masyarakat

Arab yang dibuang sama sekali adalah tradisi menyembah berhala dan

patung. Ungkapan Arab yang relavan adalah al-muhafazhah ‘ala al-qadim

al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama

yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Islam tak menentang tradisi, tapi Islam menolak kecenderungan

sekelompok orang yang menuhankan tradisi. Al-Qur’an mengkritik

kebiasaan masyarakat yang menempatkan tradisi leluhur sebagai sesuatu

yang benar tanpa perlu ada kritik. Kecenderungan masyarakat Arab yang

menuhankan tradisi leluhur itu dideskripsikan al-Qur’an (al-Zuhruf [43]:

23-24, “Demikianlah, Kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum

engkau (Muhammad) seorang pemberi peringatan (Rasul) dalam suatu

negeri, melainkan orang yang hidup mewah di negeri itu berkata,

“sesungguhnya kami telah mendapatkan leluhur kami berjalan di atas

suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti jejak mereka”. Dia (Rasul) itu

berkata, “Apakah (kalian akan mengikuti mereka) sekalipun aku datang

kepadamu semua dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan

Page 14: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

leluhurmu berada di atasnya?”. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami

menolak apa yang menjadi tugasmu itu”.

Dalam pandangan al-Qur’an, tak seluruh unsur dalam tradisi itu

baik. Karena itu, bersikap kritis terhadap tradisi sangat dibutuhkan

terutama untuk kepentingan transfomasi sosial. Al-Qur’an pun tak

menutup mata terhadap tindakan tidak manusiawi dan diskriminatif

terhadap perempuan. Kehadiran al-Qur’an bahkan untuk menata relasi

sosial laki-perempuan yang berkeadilan. Al-Qur’an pun memberikan kritik

sangat keras terhadap ketimpangan ekonomi di Semenanjung Arabia saat

itu. Al-Qur’an tak membiarkan masyarakat Arab pagan yang menyembah

berhala. Kehadiran al-Qur’an justru untuk merombak keyakinan

masyarakat Arab yang tak rasional itu. Dengan itu, ada perubahan praktek

dan ritus peribadatan, dari menyembah berhala ke menyembah Allah

SWT. Jika dalam politeisme setiap tuhan merepresentasikan satu wajah

personal, maka Tuhan dalam monoteisme yang dibawa al-Qur’an adalah

Allah Yang Satu dengan kuasa yang mutlak-tak terbatas.

Semangat transformasi al-Qur’an yang demikian itu, saya kira perlu

terus diletastarikan dengan beberapa cara berikut. Pertama, al-Qur’an tak

cukup hanya dibaca untuk kepentingan ritual ibadah. Makna-makna

terdalam al-Qur’an harus diungkap demi kerja perlindungan terhadap

kelompok yang tertindas baik secara ekonomi maupun sosial-politik.

Pengungkapan terhadap makna al-Qur’an itu bisa dilakukan dengan

penghampiran yang bersifat historis. Menurut Sachiko Murata dan

William C. Chittick, ketika orang ingin menyatakan bahwa al-Qur’an bisa

dipahami dengan kondisi-kondisi hostoris, para mufasir al-Qur’an bisa

berkata bahwa lingkungann historis itu dengan sendirinya merupakan

ayat-ayat Allah. Yang satu adalah ayat Tuhan yang terakumulasi dalam

kitab suci, sedangkan yang lain merupakan ayat Tuhan yang terhampar

dalam masyarakat.

Kedua, kita perlu mengetahui jenis-jenis transformasi yang

ditempuh al-Qur’an. Suatu waktu al-Qur’an menempuh perubahan secara

radikal, dan pada waktu yang lain perubahan itu dilakukan secara

bertahap. Politeisme dalam semua bentuknya seperti penyembahan

berhala dikomplain al-Qur’an sejak awal. Konsep tauhid yang

dikampanyekan al-Qur’an tak dinegosiasikan dengan tradisi penyembahan

patung dan berhala yang sedang berlangsung di lingkungan masyarakat

Arab ketika itu. Bahkan, disebut dalam al-Qur’an bahwa dosa syirik adalah

Page 15: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

dosa yang tak terampuni. Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Nisa’ [4]:

116), “Sesungguhnya Allah tak mengampuni dosa menyekutukan (sesuatu)

dengan Dia (Allah), dan Dia (Allah) mengampuni dosa yang selain syirik

itu bagi siapa saja yang dikendakinya. Barangsiapa yang

mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya yang

bersangkutan telah tersesat sejauh-jauhnya”.

Namun, terhadap perilaku dan tindakan sosial yang tak terkait

dengan tauhid, al-Qur’an melakukan perubahan secara gradual. Misalnya,

praktek meminum khamr yang sudah berlangsung lama bahkan telah

menjadi tradisi masyarakat Arab secara kolektif tak diharamkan al-Qur’an

secara sekaligus. Al-Qur’an mengawali responsnya dengan menjelaskan

sisi-sisi negatif dari minuman khamr, lalu tak diperkenankannya

menimum khamr ketika hendak shalat hingga dinyatakan bahwa

meminum khmar itu adalah haram. Pengaharaman khamr jauh

belakangan, hanya beberapa tahun sebelum Rasulullah meninggal dunia.

Ini karena sejak awal telah dipahami bahwa mengubah kebiasaan

masyarakat yang sudah berurat-berakar membutuhkan proses penahapan

untuk mengubahnya.

Penahapan aturan seperti yang dilakukan al-Qur’an ini saya kira

amat diperlukan dalam konteks pembuatan kebijakan publik atau undang-

undang dalam dunia modern sekarang. Artinya, setiap pembuat kebijakan

publik perlu memperhatikan kondisi obyektif dan tingkat kesiapan

masyarakat sekiranya sebuah undang-undang hendak diterapkan.

Kebijakan publik atau undang-undang yang dibuat tanpa memperhatikan

keadaan masyarakat yang menjadi obyek kebijakan itu hanya akan

mengantarkan produk perundangan tersebut berupa tumpukan kata-kata

yang tak berguna.

Ketiga, hermeneutika perlu dipertimbangkan sebagai salah satu

metodologi untuk membaca teks al-Qur’an. Hermeneutika biasanya

dipahami sebagai ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah

kata atau peristiwa di masa lalu bisa dipahami dan tetap bermakna secara

eksistensial dalam konteks situasi sekarang. Rudolf Bultmann berkata,

biasanya hermeneutika dipakai untuk menjembatani jurang antara masa

lalu dan masa kini. Banyak para penafsir al-Qur’an kontemporer

berpendapat bahwa dimensi-dimensi baru dari sebuah teks lama termasuk

teks al-Qur’an akan bisa ditemukan jika sang penafsir menggunakan

hermeneutika.

Page 16: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

Hermeneutika tentu tak perlu diposisikan sebagai metode tunggal

dan pokok untuk membaca al-Qur’an. Ia harus kita letakkan sebagai

pelengkap dari metode penafsiran al-Qur’an yang sudah ada dalam Islam

seperti ushul fikih. Sebab, banyak kata dan kalimat yang tak bisa ditembus

dengan ushul fikih, tapi ia bisa diungkap makna terdalamnya sekiranya

kita menggunakan hermeneutika. Namun, perlu dicatat, sebagaimana

ushul fikih memiliki keterbatasan dan tak bisa diabsolutkan, maka

demikian juga halnya dengan hermeneutika. Wallahu A’lam bis Shawab.

Daftar Pustaka

Abd Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun

Toleransi Berbasis al-Qur’an, Depok: KataKita, 2009

Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Hadits, 2002.

Duncan S. Ferguson, Biblical Hermeneutics: An Introduction, London:

SCM Press, Tanpa Tahun.

Ibn Ishaq, al-Sirah al-Nabawiyah, Kairo: Quththa’ al-Tsaqafah, 1998

Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Kairo: Dar al-Hadits, 1992

Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr,

Tanpa Tahun

Jawad Ali, al-Mufashshal fi Tarikh al-‘Arab Qabla al-Islam, Beirut: Dar

al-Ilm li al-Malayin, Tanpa Tahun.

Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya dan Kekuasaan,

Yogyakarta: LKiS, 2002

Leila Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern

Debate, Yale University Press, 1992

M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW: Dalam

Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih, Jakarta: Lentera

Hati, 2011.

Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Jakarta: Paramadina, 1999

Muhammad Husain Haikal, Hayat Muhammad, Kairo Dar al-Ma’arif,

Tanpa Tahun

Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis

tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan,

Jakarta: Paramadina, 1995.

Philip K Hitti, History of the Arabs: From the Earliest Times to the

Present, New York: Palgrave Macmillan, 2002

Page 17: Bumi Manusia dalam al-Qur’an - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35792/1/BUMI... · hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal,

Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 Bumi Manusia dalam al-Qur’an

69

Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in

Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston:

Northwestern University Press, 1969.

Sachiko Murata & William C. Chittik, The Vision of Islam, Yogyakarta:

Suluh Press, 2005.