Bull H Kajian2014jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Buletin_H... · karya tulis...
-
Upload
hoangkhanh -
Category
Documents
-
view
241 -
download
1
Transcript of Bull H Kajian2014jabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Buletin_H... · karya tulis...
BULETIN
HASIL KAJIANVolume 4 Nomor 04, Tahun 2014
Penanggung JawabDr. Ir. Nandang Sunandar, MP(Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat)
Tim PenyuntingNana SutrisnaOswald MarbunAgus NurawanSukmayaHendi SupriyadiDian HistifarinaIkin SadikinAnna SinagaYanto Surdianto
Penyunting PelaksanaNadiminSaefudin
PenerbitBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
Alamat RedaksiJalan Kayuambon No. 80, LembangBandung Barat 40391Telepon : 022-2786238Faksimile : 022-2789846E-mail : [email protected] : http//jabar.litbang.pertanian.go.id
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
i
Pengantar
Buletin Hasil Kajian (BHK) merupakan satu-satunya media publikasi BPTP Jawa Barat yang disiapkan secara khusus untuk menampung karya tulis peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa. BHK diharapkan dapat mendukung peningkatan jenjang jabatan fungsional peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa. Selain itu, artikel yang terpublikasi melalui BHK juga merupakan sumbangsih ilmu dan pengalaman yang dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca dan pengguna.
Secara informal, Tim Penyunting senantiasa berusaha memacu peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa untuk menuliskan pengalamannya dalam bentuk artikel ke BHK. Akan tetapi, pendekatan informasi tersebut sangat terbatas. Karena itu, diperlukan dukungan penuh dari pejabat lingkup BPTP Jawa Barat untuk memacu semangat, membina, dan meningkatkan keterampilan peneliti dan teknisi litkayasa dalam menulis artikel khusunya untuk BHK.
Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada para peneliti dan teknisi litkayasa yang telah mengirimkan artikelnya. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada para Ketua Kelji yang telah memberikan dorongan semangat dan pembinaan kepada para peneliti dan teknisi litkayasa dalam menulis dan mengirimkan artikel ke BHK.
Kami berharap para peneliti dan teknisi litkayasa akan terus bersemangat dalam menulis artikel, didasari niat untuk beribadah dalam memasyarakatkan ilmu dan pengalaman yang dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca dan pengguna. Kepada khalayak pembaca dan pengguna, kami berharap untuk mendapatkan tanggapan umpan balik agar pengelolaan dan kinerja BHK semakin meningkat.
Penyunting
Buletin Hasil Kajian memuat karya tulis tentang kegiatan peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa serta analisis kegiatan lapangan yang disajikan secara praktis. Buletin ini merupakan terbitan ke 4 pada tahun 2014, dengan frekuensi satu kali dalam setahun.
BULETIN
HASIL KAJIANVolume 4 Nomor 04, Tahun 2014 ISSN 2252-3219
Daftar Isi
Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan melalui Penerapanpengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (Ptt) JagungKarsidi Permadi dan Yati Haryati ...................... 1 - 4
Pewilayahan Agribisnis Komoditas Jagung Berdasarkan Agroekological Zone Skala 1:50.000 di Kabupaten SubangDarmawan, Atang Muhammad Safei dan Kiki Kusyaeri Hamdani ................................................ 5- 10
Motivasi Kerja Penyuluh Tenaga Harian Lepas - Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) dan Faktor yang Mempengaruhinya di Kabupaten BekasiAtang Muhammad Safei, Budiman dan Ratna Sari
11 - 16
Respon Konsumen Terhadap Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Berdasarkan Karakter Kualitas Gabah, Beras dan Nasi Atin Yulyatin, Susi Ramdhaniati dan IGP. Alit Diratmaja ............................................................. 17 - 20
Studi Penerapan Hazard Analisys Critical Control Point (HACCP) pada Industri Kecil Manisan Buah ManggaDian histifarina¹ .................................................. 21 - 28
Kajian Pengolahan Mie dengan Bahan Baku Tepung Terigu yang Disubstitusi Tepung CassavaDian Histifarina, Nandang sunandar dan Sukmaya¹ ............................................................... 29 - 33
Pengaruh Pendampingan SL-PTT Dalam Peningkatan Produksi Padi, Respons Petani untuk Menunjang Program P2BN di Jawa Barat Agus Nurawan, Adetiya Rachman dan Iskandar Ishaq ..................................................................... 34 - 38
Tanggapan Petani Terhadap Komponen Teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi Sawah di Kecamatan Cisalak, Kabupaten SubangSri Murtiani dan Kiki Kusyaeri Hamdani ............. 39 - 42
Rancangan Kelembagaan Penunjang Model Usahatani Integrasi Tanaman Sorgum dan Ternak Sapi di Lahan SuboptimalNana Sutrisna, Nandang Sunandar dan yanto Surdianto ............................................................... 43 - 50
Sistem Tanam Legowo dan Mina Padi Meningkatkan Pendapatan Petani Sawah di Kabupaten CianjurFyannita Perdhana, Euis Rokayah, Iskandar Ishaq .............................................................. 51 - 53
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
ii
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 4 Tahun 2014
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
1
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN PENDAPATAN MELALUI PENERAPANPENGELOLAAN TANAMAN
DAN SUMBERDAYA TERPADU (PTT) JAGUNG Karsidi Permadi dan Yati Haryati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
ABSTRAK
Dalam upaya memenuhi kebetuhan jagung dalam negeri untuk industri, pakan dan pangan maka perlu adanya suatu terobosan penggunaan teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani jagung. Oleh karena itu, budidaya jagung dianjurkan menggunakan teknologi pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Pengkajian PTT jagung dilaksanakan pada MK II 2013 dan 2014 di Kelurahan Cicurug menggunakan varietas jagung hibrida P-21, dan pada MK 2014 di Kelurahan Sindangkasih,menggunakan varietas jagung hibrida Bima-4. Kedua lokasi pengkajian ini termasuk kecamatan Majalengka, kabupaten Majalengka.Tujuan pengkajian untuk mengetahui peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani jagung yang menerapkan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT) jagung di kelurahan Cicurug terjadi peningkatan produktivitas pada MK 2013 dan MK 2014 masing-masing 0,67 t/ha (8,59%), dan 1,0 t/ha (12,82%) dan peningkatan pendapatan usahatani jagung masing-masing sebesar Rp 4.551.000,00 per ha (19,45%), dan Rp5.640.000,00 perha (24,10 %) dan di Kelurahan Sindangkasih pada MK 2014 terjadi peningkatan produktivitas3,14 t/ha (56,07%) dan peningkatan pendapatan usahatani sebesar Rp6.866.000,00 per ha (37,15%) dibandingkan dengan budidaya jagung cara petani.
Kata kunci : Produktivitas, pendapatan, PTT jagung
PENDAHULUANPenggunaan varietas unggul baru hibrida
dan komposit merupakan salah satu komponen teknologi utama PTT jagung yang mempunyai peranan penting dalam peningkatkan produktivitas dan produksi jagung.Komponen tersebut apabila diusahakan pada skala luas mampu meningkatkan produksi jagung secara nasional sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri (Permadi, 2012).Walaupun demikian, perlu juga didukung oleh komponen teknologi yang lain baik dasar maupun pilihan.
Komponen teknologi pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT) jagung terdiri dari komponen teknologidasar dan pilihan. Komponen teknologi dasar adalah komponen teknologi yang harus diterapkan, sedangkan komponen teknologi pilihan merupakan teknologi yang disesuaikan kondisi wilayah setempat (spesifi k lokasi).
Komponen teknologi dasar terdiri dari 1) Varietas unggul baru (hibrida atau non hibrida), 2) Benih bermutu dan berlabel atau bersertifi kat, populasi 66.000 - 75.000 tanaman per hektar, 3) Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Sedangkan yang termasuk komponen pilihan yaitu; 1) Penyiapan lahan, 2) Pemberian pupuk organik, 3) pembuatan saluran drainase baik padalahan kering maupun pada lahan sawah, 4)
Pembumbunan, 5) Pengendalian gulma secara mekanis atau dengan herbisida kontak, 6) Pengendalian hama dan penyakit, dan 7) Panen tepat waktu dengan pengeringan segera (BPTP Jabar, 2009, dan Litbang Pertanian, 2010).Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian untuk mengetahui peningkatan produktivitas jagung melalui penerapan komponen teknologi pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT).Penerapan komponen PTT spesifi k lokasi baik sosial maupun ekonomi diharapkan mampu meningkatkan produktifi tas dan pendapatan petani.
BAHAN DAN METODAPengkajian dilaksanakan di Kelurahan
Cicurug pada musim kemarau (MK II) 2013 dan 2014, sedangkan di Sindangkasih dimulai pada MK II 2014, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka. Pengkajian di Kelurahan Cicurug dengan melibatkan anggota Kelompok tani Jatikersa yang beranggotakan 25 orang dengan luas garapan sekitar 5 hektar dan di Kelurahan Sindangkasih di tempatkan di kelompok tani Lengo yang beranggotakan 28 orang yang terlibat dengan luas garapan sekitar 5 hektar. Komponen teknologi PTT jagung yang diterapkan yaitu: 1) Varietas jagung hibrida P-21 dan Hibrida Bima-4, 2) Pengolahan tanah minimum tillage (pengolahan sederhana), dibuatkan saluran setiap 5 baris tanaman jagung
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
2
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
yang berfungsi sebagai drainase baik untuk pengairan maupun air hujan berlebih, jerami padi hasil panen dihamparkan dintara barisan tanaman sebagai mulsa, 3) Jarak tanam 70 cm x 20 cm, satu biji/lubang, 4) Pupuk anorganik, pemupukan berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman dengan menggunakan perangkat uji tanah sawah (PUTS). Hasil pengukuran di Kelurahan Cicurug menunjukkan bahwa status hara tanah mempunyai kadar N rendah, kadar P tinggi, dan kadar K sedang. Oleh karena itu, takaran pemupukan yang harus diberikan yaitu 300 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP-36, dan 75 kg/ha KCl. Akan tetapi berdasarkan pupuk yang tersedia dilapangan menggunakan pupuk dengan takaran 300 kg/ha NPK kujang, 200 kg/ha NK, 100 kg/ha urea, dan 55 kg/ha SP-36. Sedangkan di Kelurahan Sindangkasih, hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kadar N rendah, kadar P sedang, dan kadar K tinggi. Dosis pupuk yang harus diberikan yaitu 350 kg/ha Urea, 175 kg/ha SP-36, dan 50 kg/ha KCl. Sedangkan pupuk yang tersedia dilapangan yaitu pupuk NPK Ponska, Urea, dan SP-36, sehingga dosis pupuk yang digunakanyaitu 200 kg/ha NPK ponska, 285 kg/ha Urea, 92 kg/ha SP-36. Dosis dan aplikasi pemupukan diberikan berdasarkan pertumbuhan tanaman jagung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Takaran Pemberian Pupuk Pada Setiap Fase Pertumbuhan Tanaman Jagung di Kelompok Tani Jatikersa, Kelurahan Cicurug dan Sindangkasih, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka. MK II 2013 dan 2014.
Pupuk Dosis (kg/ha)
Dosis Pupuk (kg/ha)Waktu Pemberian (HST)7-10 28-30 40-45
Kelurahan CicurugNPK kujang 300 100 200 -NK 200 70 130 -Urea 100 - - 100SP-36 55 55 - -Kelurahan Sindan-gkasihNPK Ponska 200 150 50 -Urea 285 85 100 100SP-36 92 92 - -
Pupuk organik yang digunakan kompos kotoran sapi dengan dosis 40 gram per lubang (2,0 t/ha) yang diaplikasikan pada saat tanam digunakan sebagai penutup lubang tanam, 5) Penyiangan, dilakukan dua kali yaitu pada umur 10-15 dan 25-30 Hari Setelah tanam
(HST), 6) Pembumbunan, dilakukan pada saat penyiangan kedua yaitu pada umur 25-30 HST, 7) Pengendalian hama dan penyakit berdasarkan konsep PHT, dilakukan monotoring secara terjadwal di lapangan, 8) Panen dan pasca panen, panen dilakukan pada saat biji matang fi siologis dan biji dirontokkan dengan menggunakan alat perontok dan dijemur dengan menggunakan sinar matahari dilakukan selama 5 hari.Data yang diamati meliputi produksi jagung dan usahatani jagung, data dianalisis melalui analisis deskriptif dan usahatani jagung dianalisis menggunakan analisis fi nansial.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produktivitas Jagung Hibrida
1. Kelurahan CicurugProduktivitas jagung di Kelompoktani
Jatikersa sebelum menerapkan komponen teknologi PTT jagung menunjukkan bahwa varietas jagung hibrida P-21 sebesar 7,80 t/ha pipilan kering.Hasil pengkajian pada MK 2013 menunjukkan dengan menerapkan PTT mendapatkan hasil pipilan kering sekitar 8,47 t/ha. Produktivitas jagung hibrida P-21 cukup tinggi, hal ini dapat dibandingkan dengan hasil penelitian Yulisma (2011) dengan menggunakan varietas Hibrida P-21 produktivitas jagung hanya mencapai 7,99 t/ha pipilan kering.Menurut Murni dan Yunita Barus (2008), budidaya jagung dengan menerapkan PTT mendapatkan hasil jagung tertinggi dibandingkan dengan Non PTT.
Budidaya jagung dengan menerapkan PTT terjadi peningkatan produktivitas pada MK 2013 sekitar 0,67 t/ha dan di MK 2014 sekitar 1,0 t/ha pipilan kering atau terdapat peningkatan masing-masing sekitar 8,59 dan 12,82% (Tabel 2).
Tabel 2. Produktivitas Jagung P-21 Sebelum dan Sesudah Penerapan Komponen Teknologi PTT Jagung di Kelurahan Cicurug, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, MK II 2014.
Teknologi/ Ko-moditas/Musim
Produktivitas (t/ha) Perubahan
Sebelum Sesudah t/ha %PTT Jagung pada
MK II 2013PTT Jagung pada
MK II 2014
7,80
7,80
8,47
8,80
0,67
1,0
8,59
12,82
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
3
2. Kelurahan SindangkasihProduktivitas jagung pada MK 2013 di
Kelompoktani Lengo sebelum menerapkan komponen teknologi PTT jagung dengan menggunakan varietas jagung hibrida P-21 mencapai 5,60 t/ha pipilan kering. Produktivitas jagung hibrida varietas hibrida Bima-4 dengan menerapkan komponen teknologi PTT jagung mencapai 8,74 t/hapipilan kering. Peningkatan produktivitas jagung mencapai 3,14 t/ha sehingga mengalami peningkatan sebesar 56,07%. Dengan menerapkan komponen teknologi PTT jagung produktivitas jagung mengalami peningkatan yang cukup tinggi, hal ini diduga berkaitan dengan dosis pupuk berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman, waktu dan cara yang tepat sehingga dapat memacu pertumbuhan tanaman jagung tumbuh optimal yang pada akhirnya berpengaruh terhadap produksi jagung.Tabel 3. Perubahan Produktivitas Jagung
Sebelum dan Sesudah Penerapan Komponen Teknologi PTT Jagung di Kelurahan Sindangkasih, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, MK II 2014..
Teknologi/ Komoditas/
Musim
Produktivitas (t/ha) Perubahan
Sebelum Sesudah t/ha %PTT Jagung pada MK II
20145,60 8,74 3,14 56,07
Peningkatan Pendapatan Petani
1. Kelurahan CicurugBudidaya jagung denga cara petani masih
menguntungkan walaupun belum menerapkan PTT, hal ini dapat dilihat dari nilai R/C >1. (Mantau et al., 2012). Budidaya jagung dengan menerapkan komponen teknologi PTT jagung, penggunaan tenaga dan sarana produksi sebesar Rp. 10.903.500,00 per ha, sedangkan harga jagung pipil kering Rp. 3.300,00 per kg sehingga memperoleh pendapatan sebesar Rp. 7.951.000,00 per ha. Keuntungan yang dicapai sekitar Rp 17.047.500,00 per ha dengan nilai R/C sekitar 2,56, sedangkan pada MK 2014 dengan menggunakan varietas jagung hibrida P-21 mendapatkan hasil jagung pipilan kering 8,80 t/ha. Pengeluaran biaya tenaga kerja dan sarana produksi Rp. 8.236.700,00 per ha. Harga jagung pipil kering waktu panen Rp. 3.300,00
per kg sehingga diperoleh pendapatan sebesar Rp. 29.040.000,00 per ha dengan keuntungan sekitar Rp 20.803.300,00 per ha memberikan nilai R/C 3,53. Dengan penerapan komponen teknologi PTT jagung dapat meningkatkan pendapatan petani yaitu pada MK 2013 sekitar Rp. 4.551.000,00 per ha dan MK 2014 sebesar Rp. 5.640.000,00 per ha atau peningkatan pendapatan masing-masing sebesar 19,45 dan 24,10% (Tabel 4).
Tabel 4. Perubahan Pendapatan Petani dari Hasil Usahatani Jagung P-21 di Kelurahan Cicurug, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, MK II 2014.
(Rp. 000,-)Teknologi/
Komoditas/Musim
Tingkat Pendapatan (Rp) Perubahan
Sebelum Sesudah Ton %PTT Jagung pada
MK II 2013 23.400 27.951 4.551 19,45
PTT Jagung pada MK II 2014 23.400 29.040 5.640 24,10
2. Kelurahan Sindangkasih Budidaya jagung dengan cara petani,
penggunaan tenaga dan sarana produksi sebesar Rp. 18.844.000,00 per ha dan pendapatan Rp. 18.480.000,00 per ha dengan harga jagung Rp. 3.300,00 per kg biji pipilan kering. Hal ini tidak mendapatkan keuntungan dan rugi sebesar Rp. 364.000,00 per ha sehingga nilai R/C <1,0 yaitu (0,98). Sedangkan dengan menerapkan komponen teknologi PTT jagung, penggunaan tenaga dan sarana produksi sebesar Rp. 11.575.700,00 ha dan memberikan pendapatan sebesar Rp. 25.346.000,00 per ha. Keuntungan yang diperoleh sekitar Rp. 13.482.600,00 per ha dengan nilai R/C sebesar 2,14.Dengan demikian, budidaya jagung dengan menerapkan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT) mengalami peningkatan pendapatan sebesar 37,15% (Tabel 5).Tabel 5. Perubahan Pendapatan Petani
dari Hasil Usahatani Jagung di Kelurahan Sindangkasih, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, MK II 2014..
(Rp. 000,-)
Teknolgi/Kmodtas/Musim
Tingkat Pendapatan (Rp) Perubahan
Sebelum Sesudah Rp %PTT Jagung pada MK
II 2014 18.480 25.346 6.866 37,15
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
4
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Penerapan pengolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT) jagung di dua lokasi yaitu di Kelurahan Cicurug dan Sindangkasih, Kecamatan Majalengka menunjukkan bahwa komponen teknologi PTT layak diusahakan dengan nilai R/C > 2. Dengan demikian mengalami peningkatan pendapatan petani pada MK 2014 sekitar Rp. 6.866.000,00 per ha atau terdapat peningkatan pendapatan sebesar 37,15% (Tabel 5). Menurut Margaretha dan Zubachtirodin (2010), budidaya jagung yang menerapkan PTT pada lahan sawah tadah hujan dapat meningkatkan usahatani sebesar 213%.
KESIMPULANPenerapan teknologi dengan pendekatan
PTT jagung di Kelurahan Cicurug menggunakan varietas Hibrida P-21 mengalami peningkatan produktivitas pada MK 2013 dan MK 2014 masing-masing sekitar 0,67 t/ha (8,59%), dan 1,0 t/ha (12,82%) dan peningkatan pendapatan masing-masing sebesar Rp. 4.551.000,00 per ha (19,45%), dan Rp. 5.640.000,00 per ha (24,10 %) dan Kelurahan Sindangkasih dengan menggunakan varietas Hibrida Bima-4 menggunakan Varietas Bima-4 mengalami peningkatan produktivitas pada MK 2014 sebesar 3,14 t/ha (56,07%) dan peningkatan pendapatan sebesar Rp. 6.866.000,00 per ha (37,15%).
DAFTAR PUSTAKA
BPTP Jabar. 2009. Petumjuk Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Jagung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat. 16 hal.
Litbang Pertanian. 2010. Panduan Pengelolaan Tanaman terpadu (PTT) Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kemnterian Pertanian. 24 hal.
Mantau, Z., Bahtiar., dan Aryanto. 2012. Analisis daya saing usahatani jagung di kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi utara. Jurnal Pengkajian dan pengembangan teknologi Pertanian. 15 (1):11-23.
Margaretha , S.L dan Zubachtirodin. 2010. Evaluasi penerapan system pengelolaan tanaman jagung secara terpadu pada lahan sawah tadah hujan. Iptek Tanaman pangan. 5 (2) : 159-168.
Murni, A.M., dan Yunita Barus. 2008. Pengelolaan hara tanaman jagung (Zea mays) spesifi k lokasi pada lahan kering di Lampung. Jurnal Pengkajian dan pengembangan Teknologi Pertania. 11(1): 81-93.
Permadi, K. 2012. Inovasi Teknologi Budidaya Jagung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. 30 hal.
Yulisma. 2011. Pertumbuhan dan hasil beberapa varietas jagung pada berbagai jarak tanam. Jurnal Penelitian Pertanian tanaman pangan. 30 (3): 196-203.
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
5
PEWILAYAHAN AGRIBISNIS KOMODITAS JAGUNG BERDASARKAN AGRO EKOLOGICAL ZONE SKALA 1:50.000
DI KABUPATEN SUBANG Darmawan, Atang Muhammad Safei, Kiki Kusyaeri Hamdani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Baratemail : [email protected]
ABSTRAKJagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang berpeluang sebagai sumber lapangan kerja dan pendapatan petani. Jagung menjadi sumber pangan alternatif penghasil karbohidrat setelah padi. Agribisnis jagung umumnya belum dikelola secara optimal sehingga produktivitasnya masih rendah. Pengkajian pewilayahan tanaman jagung berdasarkan Agro Ekological Zone (AEZ) di Kabupaten Subang ini bertujuan mengidentifi kasi potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan agribisnis jagung sebagai dasar pembangunan pertanian berkelanjutan. Pengkajian ini dilaksanakan pada bulan April-Desember 2013 di Kabupaten Subang. Pengkajian dilakukan dengan pendekatan desk study, pengambilan contoh tanah dan survei. Jenis tanah di wilayah pengkajian dalam tingkat ordo tergolong dalam Entisols, Inceptisols, Andisols, Alfi sols, dan Ultisols. Tanah tersebut terbagi dalam 7 sub ordo, 11 grup dan 19 subgrup. Dari hasil interpretasi Citra Foto Udara/Landsat TM 7 menghasilkan 37 unit satuan lahan. Satuan lahan yang cocok untuk budidaya jagung adalah satuan lahan nomor 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 27, 28, 29, 30, 31, 33, dan 35. Berdasarkan nilai Location Quotient (LQ), tanaman jagung cocok dikembangkan di Kecamatan Sagalaherang, Serangpanjang, Jalancagak, Ciater, Cisalak, Kasomalang, Cibogo, Kalijati, Dawuan, Cipendeuy, Patokbeusi, Purwadadi, Compreng dan Pusakanagara.
Kata Kunci : Pewilayahan, Jagung, Agroekological Zone
PENDAHULUANJagung merupakan salah satu tanaman
pangan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian nasional. Kontribusi jagung dalam perekonomian Indonesia meningkat pesat dalam kurun waktu 3 tahun (2000-2003) dari 9,4 triliun menjadi 18,2 triliun atau meningkat 95,65% (Badan Litbang Pertanian, 2005). Balitsereal, (2005) melaporkan bahwa produksi jagung terus meningkat dengan laju pertumbuhan 4,24% per tahun, dan pada tahun 2015 diharapkan dapat mencapai 17,93 ton sehingga untuk pencapaian target tersebut, perlu tambahan areal panen sekitar 1,13 juta ha dengan asumsi produktivitas rata-rata 3,5 ton/ha. Hal ini menggambarkan bahwa untuk mencapai produksi yang ditargetkan pada tahun 2015, diperlukan perluasan areal tanam. Untuk mengadakan perluasan areal tanam perlu memperhatikan kesesuaian dengan agroklimat dan rencana tata ruang dan tata wilayah suatu daerah.
Produktivitas dan mutu hasil suatu komoditas pertanian dipengaruhi oleh kondisi biofi sik, agroklimat dan sosial ekonomi. Pemanfaatan dan perluasan spektrum pertanian yang bertitik tolak dari potensi dan keragaman sumberdaya alam serta kondisi sosial ekonomi, harus memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Berbagai langkah yang ditempuh dalam pengembangan sumberdaya alam secara optimal, antara lain: (a) pengenalan
sifat dan karakteristik; (b) penetapan kesesuaian lahan dengan melakukan analisis kesesuaian antara kualitas dan karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan lahan; (c) penetapan tingkat manajemen yang diperlukan untuk setiap penggunaan lahan sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan; (d) penilaian kesesuaian lahan bagi pengembangan berbagai komoditas pertanian, serta (e) penentuan pilihan komoditas atau tipe penggunaan lahan tertentu yang secara fi sik sesuai dan secara ekonomis menguntungkan (Budianto, 2001).
Setiap wilayah dapat digolongkan dalam zona agroekologi tertentu berdasarkan kemiripan faktor-faktor alam dan kegiatan pertanian yang dilakukan pada wilayah tersebut. Dengan demikian tentu saja petani yang ada dalam suatu zona agroekologi tertentu memiliki kesamaan baik dalam permasalahan maupun kebutuhan akan teknologi, di mana permasalahan dan kebutuhan akan teknologi tersebut berbeda dengan petani yang tinggal pada zona agroekologi lainnya (Rhoades, 1987). Berbagai karakteristik dan hubungan fungsional antar unsur yang terkandung dalam suatu agroekologi merupakan kunci bagi kepentingan pengelolaan wilayah agroekologi. Oleh karena itu pengenalan terhadap ciri, perilaku dan pola hubungan antar unsur dalam suatu agroekologi mutlak diperlukan dalam pengembangan wilayah agroekologi agar dapat berfungsi optimal dan berkelanjutan.
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
6
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Pengkajian pewilayahan tanaman jagung berdasarkan AEZ ini bertujuan untuk mengidentifi kasi potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan agribisnis jagung sebagai dasar pembangunan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Subang.
BAHAN DAN METODEBahan yang digunakan terdiri atas Peta
Tanah Tinjau Pantai Utara Jawa skala 1:250.000 dari Pusat Penelitian Tanah tahun 1991, Peta Tanah Kabupaten Subang, skala 1:100.000, Peta Geologi Kabupaten dan Kemiringan Tanah Kabupaten Subang skala 1:100.000, Peta Rupa Bumi Indonesia Kabupaten Subang, skala 1:25.000, Peta Curah Hujan Kabupaten Subang, skala 1:100, Peta Kebijakan RT/RW Detail Kabupaten, skala 1:100.000. Pengkajian dilakukan pada bulan April sd Desember 2013 dengan pendekatan desk study dan survei.
Kajian ini menggunakan metode survei dan analisis secara terintegrasi dengan pendekatan studi literatur dan survei primer yang dilengkapi dengan pengambilan sampel tanah yang dianalisis di laboratorium tanah, hasilnya membentuk peta zonasi SPT (satuan peta tanah) dari overlay peta. Selanjutnya dilakukan evaluasi lahan dengan metode komparatif, yaitu membandingkan antara kadar unsur hara yang ada dalam tanah dalam satu SPT dengan kebutuhan unsur hara bagi masing-masing tanaman dengan program ALES (Analysis Land Evaluation System). Survei sosio-kultural (struktur sosial) sebagai data pendukung pemanfaatan lahan pada beberapa SPT dominan dilakukan melalui pendekatan analisis dideskripsikan meliputi aspek infrastruktur material dan struktur sosial. Pendekatan kuantitatif dalam menetapkan kawasan pengembangan komoditas jagung menggunakan metode Analisis Location Quotient (LQ) selain itu, survei sosial ekonomi dengan teknik wawancara dengan petani di sentra produksi dan daerah potensial pengembangan (Balittanah, 2001).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi PengkajianKabupaten Subang secara administrasi
berada di wilayah Provinsi Jawa Barat mulai dari wilayah dataran pantai di sebelah utara sampai wilayah pegunungan di sebelah selatan dengan topografi beragam dari datar sampai bergunung
dengan luas wilayah kurang lebih 201.786 ha dengan jumlah 30 kecamatan, 252 desa/kelurahan. Secara geografi s wilayah Kabupaten Subang terletak antara 107º31’-107º54’ Bujur Timur dan 6º11’- 6º49’ Lintang Selatan, berada pada elevasi antara 0 sampai 2.000 m dpl.
Kabupaten Subang memiliki tipe iklim C sampai D berdasarkan iklim Oldeman dengan rata-rata curah hujan per bulan 101 mm dan jumlah hujan rata-rata 7 hari/ bulan, sedangkan jumlah bulan basah 5 bulan, bulan kering 5 bulan dan bulan pertumbuhan 2 bulan. Wilayah Kabupaten Subang berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di sebelah timur, Kabupaten Purwakarta dan Karawang di sebelah Barat, dan Kabupaten Bandung Barat di sebelah Selatan, serta berbatasan langsung dengan laut Jawa di sebelah utara.
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting dan faktor produksi dalam ekonomi pertanian. Luas wilayah Kabupaten Subang mencapai 205.176,95 hektar. Wilayah tersebut terdiri dari lahan sawah dan lahan kering masing-masing dengan luas 84,928 ha (41%) dan 120,248 ha (59%). Lahan sawah dengan irigasi teknis merupakan lahan terluas di Kabupaten Subang yaitu sebesar 57.222 ha atau sekitar 27,89% dari luas lahan di Kabupaten Subang (Tabel 1)Tabel 1. Keragaan Jenis Lahan di Kabupaten
SubangJenis Lahan Luas Lahan
(ha)Prosentase
(%)Lahan SawahA.
Teknis 57,222 27.891/2. Teknis 11,160 5.44Sederhana 4,711 2.30Non PU 4,545 2.22Tadah Hujan 7,290 3.55
Jumlah (A) 84,928 41,00Lahan Darat/KeringB.
Pekarangan 26,398 12.87Tegal, Ladang Huma 23,595 11.50Padang Rumput 122 0.06Lain-Lain 14,547 7.09Perkebunan 20,162 9.83Hutan Negara 17,218 8.39Hutan Rakyat 12,698 6.19Kolam 777 0.38Tambak 3,791 1.85Lahan Tidur 940 0.46
Jumlah (B) 120,248 59,00Total (A + B) 205,176 100,00
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Subang, 2013
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
7
Gambar 1. Peta Tanah Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat
Peta tanah daerah Kabupaten Subang menggambarkan penyebaran tanah dengan menggunakan satuan lahan sebagai unit analisisnya sehingga dapat disebut Peta Satuan Lahan. Peta ini terdiri dari 37 satuan lahan (SL) yang tersusun dari beberapa unsur satuan lahan, yaitu landform, lereng, bahan induk jenis tanah dan penggunaan lahan (Gambar 2.)
Produksi Jagung di Kabupaten Subang
Beberapa komoditas tanaman pangan di Kabupaten Subang yang diusahakan adalah padi ladang, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar. Komoditas yang mempunyai produksi terbesar adalah padi sawah yaitu dengan rata-rata produksi mencapai 1.079.780,05 ton/tahun atau 95,23% dari seluruh produksi komoditas tanaman pangan di Kabupaten Subang (Tabel 2). Tanaman jagung merupakan penyokong pangan tersebesar setelah komoditas padi dan ubi kayu. Rata-rata produksi jagung di Kabupaten Subang mencapai 1.318,4 ton atau sebesar 1,2%.Tabel 2. Rata-rata Produksi Komoditas
Tanaman Pangan Kabupaten Subang (2008-2012)
Komoditas Produksi (ton) Prosentase(%)
Padi Sawah1. 1.079.780,05 95,23Padi Ladang2. 6.908,84 0,61Jagung3. 1.3618,4 1,20Kedelai4. 5.38,35 0,05Kacang Tanah5. 2.037,45 0,18Kacang Hijau6. 208,51 0,02Ubi Kayu7. 28.279,08 2,49Ubi Jalar8. 2.520,3 0,22
Jumlah 1.133.890,98 100,00Sumber : Analisa Data Primer, 2013
Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman pangan yang dapat tumbuh subur pada lahan yang sesuai. Kondisi lahan yang sesuai dengan tanman jagung adalah tanah gembur, subur dan tidak mudah tergenang air, mempunyai cukup bahan organik, pH netral
sampai agak masam (5,5-7), kemiringan lahan tanah tidak lebih dari 8%, ketinggian tempat antara 0 -700 m dpl, jenis tanah liat berlempung, tanah lempung atau tanah lempung berpasir, areal yang mempunyai persediaan air cukup,
sinar matahari penuh (tidak ternaungi pohon atau bangunan yang tinggi).
Produksi jagung di Kabupaten Subang dari tahun 2008 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, produksi jagung berjumlah 7.621,08 ton bertambah menjadi 7.725 ton pada tahun 2009. Produksi jagung paling besar terjadi pada tahun 2010, yaitu mencapai 17.026,92 ton. Rata-rata produksi jagung di Kabupaten Subang selama 5 tahun terakhir adalah 1.3618,4 ton. Penyumbang terbesar produksi jagung di Kabupaten Subang pada tahun 2012 adalah Kecamatan Dawuan dengan produksi sebesar 1.366,75 ton. Untuk penyumbang produksi jagung terbesar selama kurun waktu 5 tahun terakhir di Kabupaten Subang adalah Kecamatan Serangpanjang dengan jumlah produksi sebesar 6.037,91 ton.
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
8
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Analisa Usaha Tani Jagung di Kabupaten Subang
Analisa usahatani diperlukan untuk melihat pengembangan usaha agribisnis ke depan. Suatu usahatani dapat berjalan dengan baik dan mempunyai peluang berjalan dengan menguntungkan jika mempunyai nilai R/C > 1. Pada usaha tani jagung di Kabupaten Subang mempunyai nilai R/C sebesar 1,84. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman jagung layak dikembangkan secara ekonomi di Kabupaten Subang. Secara rinci, analisa usaha tani tanaman jagung dapat dilihat pada tabel 3.Tabel 3. Analisa Usahatani Tanaman Jagung
di Kabupaten SubangNo Uraian Biaya Jumlah1 Sarana Produksi 1.985.0002 Tenaga kerja 5.775.000 3 Total Biaya Produksi 7.760.000 4 Pendapatan Usaha Tani 14.240.000 5 RC Usaha Tani 1,84
Sumber:Analisa data Primer, 2013
Analisis Location Quotient (LQ) Tanaman Jagung di Kabupaten Subang
Analisis Location Quotient (LQ) merupakan cara untuk mengetahui keunggulan daerah dalam produksi komoditas tertentu. Analisis LQ menyajikan perbandingan antara kemampuan suatu kegiatan produksi tanaman pangan di suatau kecamatan yang diselidiki dengan kemampuan produksi yang sama pada tingkat kabupaten dengan demikian dapat diketahui apakah suatu daerah seimbang atau belum dalam kegiatan produksi tanaman pangan. Daerah yang mempunyai LQ lebih dari 1 artinya Kecamatan tersebut mempunyai potensi sebagai wilayah supply atau penawaran dalam kegiatan produksi tanaman pangan, sedangkan daerah yang mempunyai nilai LQ kurang dari 1 mempunyai kecenderungan sebagai wilayah demand atau permintaan produksi tanaman pangan dari daerah lain.
Pada komoditas jagung, LQ yang mempunyai nilai lebih dari satu adalah terdapat di 14 Kecamatan, yaitu Sagalaherang, Serangpanjang, Jalancagak, Ciater, Cisalak, Kasomalang, Cibogo, Kalijati, Dawuan, Cipendeuy, Patokbeusi, Purwadadi, Compreng dan Pusakanagara. Kecamatan Serangpanjang
mempunyai nilai LQ paling tinggi yaitu 6,29 disusul Kecamatan Dawuan, 4,21. Secara lebih lengkap, LQ jagung dapat dilihat pada tabel 4 dan 5.Tabel 4. Nilai LQ Jagung di Wilayah Basis
Kabupaten SubangNo Kecamatan
Rata-rata Produksi Nilai LQ >1
1 Sagalaherang 653,83 1,982 Serangpanjang 1.297,73 6,293 Jalancagak 404,40 2,344 Ciater 434,85 2,655 Cisalak 427,16 1,416 Kasomalang 449,44 4,217 Cibogo 529,89 1,458 Kalijati 698,97 2,739 Dawuan 1.121,27 4,7210 Cipeundeuy 683,24 2,8711 Patokbeusi 1.183,58 1,2912 Purwadadi 896,27 3,3213 Compreng 1.724,40 1,9514 Pusakanagara 849,46 1,41
Sumber : Analisa data primer, 2013
Tabel 5. Nilai LQ Jagung di Wilayah non Basis Kabupaten Subang
No KecamatanRata-rata Produksi Nilai LQ <1
1 Tanjungsiang 194,18 0,672 Cijambe 127,42 0,303 Subang 179,18 0,574 Pabuaran 497,67 0,745 Cikaum 183,04 0,516 Pagaden 306,71 0,617 Pagaden Barat 232,18 0,608 Cipunagara 171,13 0,269 Binong 281,18 0,3310 Pamanukan 7,98 0,0211 Pusakajaya 39,12 0,0812 Legonkulon 44,12 0,12
Sumber : Analisis Data Primer, 2013
Peta Kesesuaian Lahan Komoditas JagungHasil evaluasi lahan dengan pendekatan
two stages approach, dengan membandingkan (matching) antara karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman (Djaenuddin et al., 2003), perhitungannya menggunakan program ALES model Rossiter dan Van Wambeke (1997), menunjukkan bahwa jagung sesuai dikembangkan di Kabupaten Subang, dengan kelas kesesuaian lahan seperti pada Tabel 6.
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
9
Tabel 6. Kelas Kesesuaian Lahan dan Luasan Komoditas Jagung di Kabupaten Subang
NoKelas
Kesesua-ian Lahan
Faktor Kendala
Nomor Satuan Lahan
Luas
Ha %
1 S3 (sesuai marginal)
wa/nr,tc 4,5,7,8,9, 10,11,12, 13,27,28,29, 30, 31,33,35
101,109 46,7
2 N (tidak sesuai)
eh 1,2,3,6,14, 15,16,17, 18,19,20,22,23, 24,25,26, 32,34,36,37
115,343 53,3
Total 216,451 100Sumber : Analisa Data Primer, 2013
Ket : wa=ketersediaan air, nr=retensi hara, tc=kondisi suhu, eh=bahaya Erosi,
Dalam penilaian kelas kesesuaian lahan dengan kelas S3 (sesuai marginal), parameter kualitas lahan yang dipertimbangkan terdiri atas ketersediaan air (wa), retensi hara (nr) dan rejim suhu udara (tc). Sementara untuk yang kelas tidak sesuai harus mempertimbangkan mengenai bahaya erosi (eh). Secara lebih lengkap peta kesesuaian lahan dapat dilihat pada gambar 2.
Pola Tanam di Kabupaten SubangPola tanam yang diterapkan oleh para
petani di Kabupaten Subang, didasarkan pada berbagai pertimbangan atau faktor antara lain: tradisi, permintaan pasar, ketersediaan tenaga kerja, cuaca/iklim dan modal yang dimiliki. Ada berbagai tipe pola tanam yang diterapkan pada lahan kering maupun lahan sawah, yaitu:1. Lahan sawah berpengairan teknisPadi – Padi – Kedelai : 26 Ha (0,04 %)Padi – Padi – Jagung : 917 Ha (2 %)Padi – Padi – Kacang Tanah : 4.115 Ha (7%)Padi – Padi – Kacang Hijau : 508 Ha (1%)Padi – Padi – Lainnya : 481 Ha (1 %)Padi – Padi – Kacang Panjang : 730 Ha (1%)Padi – Padi – Mentimun : 506 Ha (1%)Padi – Padi – Sayuran lainnya : 1.254 Ha (2%)Padi – Minapadi– Padi/Pal, ikan : 221 Ha (0,38 %)Padi – Padi – Bera : 28.902 Ha (50,7 %)Padi – Padi – Padi : 19.343 Ha (34%) Jumlah : 57.003 Ha (100 %)2. Lahan sawah berpengairan setengah
teknisPadi – Padi – Kedelai : 72 Ha (1 %)Padi – Padi – Jagung : 1.220 Ha (12 %)Padi – Padi – Kacang Tanah : 1.482 Ha (15 %)
Gambar 2. Peta Kesesuaian Lahan Aktual Jagung Kabupaten Subang
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
10
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Padi – Padi – Kacang hijau : 28 Ha (0,27%)Padi – Padi – Kacang panjang : 45 Ha (0,44 %)Padi – Padi – Sayuran lainya : 43 Ha (0,42 %)Padi – Padi – Bera : 6.945 Ha (68,86 %)Padi – Padi – Palawija : 65 Ha (0,64 %)Padi – Mina – Ikan : 185 Ha (2 %) Jumlah : 10.085 Ha (100 %)3 Lahan sawah berpengairan pedesaanPadi – Padi – Kedelai : 126 Ha (2,7 %)Padi – Padi – Jagung : 507 Ha (10,9 %)Padi – Padi – Kacang Tanah : 734 Ha (15,7 %)Padi – Padi – Kacang hijau : 64 Ha (1 %)Padi – Padi – Kacang panjang : 45 Ha (1 %)Padi – Padi – Sayuran lainya : 193 Ha (4 %)Padi – Padi – Bera : 2.917 Ha (63 %)Padi – Padi – Palawija : 2 4 4 Ha (5 %) Jumlah : 4.650 Ha (100 %)4. Lahan tadah hujanPadi – Kedelai – bera : 920 Ha (9,6 %)Padi – Jagung – bera : 460 Ha (4,83 %)Padi – Kacang tanah – bera : 715 Ha (4,9 %)Padi – kacang hijau – bera : 47 Ha (0,49 %)Padi – kacang panjang – bera : 45 Ha (0,47 %)Padi – mentimun – bera : 84 Ha (1 %)Padi – sayuran lainnya – bera : 35 Ha (0,36 %)Padi – bera – bera : 443 Ha (4,65 %)Padi – padi – bera : 6.772 Ha (71,1 %) Jumlah : 9.521 Ha (100 %)
Arahan Pewilayahan Komoditas Jagung di Kabupaten Subang
Karakteristik lahan, seperti landform, relief, lereng, litologi, landuse, dan hidrologi, yang dikenal sebagai atribut lahan mempunyai kaitan erat dengan kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian, sehingga digunakan sebagai parameter dalam evaluasi lahan. Hasil analisis evaluasi lahan, analisis ekonomi, analisis LQ menunjukkan bahwa komoditas jagung sesuai dikembangkan di Kabupaten Subang. Kecamatan yang mempunyai kecenderungan baik untuk pengembanga agribisnis adalah Sagalaherang, Serangpanjang, Jalancagak, Ciater, Cisalak, Kasomalang, Cibogo, Kalijati, Dawuan, Cipendeuy, Patokbeusi, Purwadadi, Compreng dan Pusakanagara.
KESIMPULAN1. Wilayah basis komoditas jagung dengan nilai
LQ>1 antara lain Kecamatan Sagalaherang, Serangpanjang, Jalancagak, Ciater, Cisalak, Kasomalang, Cibogo, Kalijati, Dawuan, Cipendeuy, Patokbeusi, Purwadadi, Compreng dan Pusakanagara dengan rata-rata produktivitas mencapai 43,21 ku/ha.
2. Nilai SPKL jagung di Kabupaten Subang masuk S3 meliputi SPT nomor 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 27, 28, 29, 30, 31, 33, dan 35. Berdasarkan hasil analisis sampel tanah tersebut, disarankan untuk pengembangan tanaman jagung melalui inovasi teknologi komponen PTT jagung terutama meningkatkan unsur-unsur hara P dan K dalam tanah.
DAFTAR PUSTAKABadan Litbang Pertanian. 2005. Rencana Aksi
Pemantapan Ketahanan Pangan Lima Komoditas 2005-2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 67 hlm.
Balai Penelitian Tanah. 2001. Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agro Ekologi (ZAE) skala 1:50.000 (Model 1). Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak Bogor
Balitsereal.2005. Highlight Balai Penelitian Tanaman Serealia 2004. Balai Penelitiann Tanaman Serealia. Maros. 36 hlm.
Budianto, J. 2001. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi Partisipatif. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. Mataram.
Djaenudin, D, Marwan H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Versi 3. 2000. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Rossiter, D.G. and A.R. Van Wambeke. 1997. ALES Version 4.65 User’s Manual. Cornell University. Dept. of Soil, Crop & Atmospheric Sciences. Ithaca, NY USA.
Rhoades, R.E., 1987. Basic Field Techniques fo Rapid Rural Appraisal. Proceeding of The 1985 International Conference on Rapid Rural Appraisal. Rural Systems Research and Farming Systems Research Projects. Khon Kaen, Thailand.
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
11
MOTIVASI KERJA PENYULUH TENAGA HARIAN LEPAS - TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN (THL-TBPP) DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
DI KABUPATEN BEKASIAtang Muhammad Safei, Budiman dan Ratna Sari
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Baratemail : [email protected]
ABSTRAKPenyuluh Tenaga Harian Lepas - Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan pertanian di Kabupaten Bekasi. Kuantitas penyuluh PNS yang semakin berkurang, membuat peran penting THL-TBPP dalam pendampingan petani semakin kuat. Kinerja optimal dapat tercapai dengan motivasi kerja yang tinggi dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai penyuluh. Pengkajian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2012 di Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Responden pengkajian ini berjumlah 23 penyuluh THL-TBPP yang berasal dari 23 Kecamatan di Kabupaten Bekasi. Metode pengambilan sampel menggunakan metode simple random sampling. Pengkajian ini bertujuan untuk (1) mengetahui motivasi kerja penyuluh THL-TBPP dalam melakukan kegiatan penyuluhan pertanian kepada petani, (2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja penyuluh THL-TBPP. Uji hipotesa menggunakan analisis uji Rank Spearman. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tingkat motivasi penyuluh THL-TBPP termasuk dalam kategori tinggi. Penyuluh THL-TBPP selalu bersifat agresif dan kreatif dalam melakukan pekerjaan. Kepuasan kerja (r=0,004), status dan tanggungjawab (r=0,146) tidak berpengaruh nyata terhadap motivasi kerja. Kompensasi yang memadai mempunyai pengaruh nyata terhadap motivasi kerja (r=0,415), Penyuluh THL-TBPP menerima penghasilan sesuai dengan beban kerja yang telah diberikan. Kondisi lingkungan kerja mempunyai pengaruh nyata terhadap motivasi kerja (r=0,761). Fasilitas kerja dan kenyamanan lingkungan kerja yang mendukung sangat membantu peningkatan motivasi penyuluh. Keinginan dan harapan pribadi mempunyai pengaruh nyata terhadap motivasi kerja (r=0,482). Penyuluh THL-TBPP mengikuti pendidikan dan pelatihan dalam bidang penyuluhan pertanian hal ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan penyuluh THL-TBPP.
Kata Kunci : Motivasi kerja, THL-TBPP, faktor yang mempengaruhi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada saat ini, penyelenggaraan penyuluhan pertanian diharapkan mampu memperkecil perbedaan antara hasil penerapan teknologi oleh petani di lapangan dengan potensi teknologi di lembaga penelitian. Penyuluh pertanian sebagai ujung tombak pembangunan pertanian berperan menterjemahkan teknologi dari lembaga penelitian dengan masyarakat tani yang sesuai dengan kondisi lingkungan. Di sisi lain, pelayanan dan kinerja dari penyuluh pertanian dianggap masih kurang memuaskan. Hasil penelitian, Abu Bakar et al (2010) menyatakan kualitas pelayanan penyuluh pertanian lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepentingan petani sehingga petani belum merasa puas dengan layanan penyuluh pertanian. Hal ini dikarenakan kualitas dan kuantitas penyuluh pertanian yang terbatas.
Menurut Hubeis, A.V (2007), produktivitas kerja penyuluh dipengaruhi oleh motivasi kerja penyuluh. Motivasi merupakan factor pendorong dalam melakukan suatu pekerjaan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang dalam bekerja yaitu pertama faktor intrinsik, yang meliputi unsur prestasi (kepuasan kerja), pengakuan,
pekerjaan (keinginan dan harapan pribadi), dan (tanggung jawab), Kedua adalah faktor ekstrinsik yaitu administrasi dan kebijakan, supervisi, gaji dan imbalan (kompensasi), hubungan interpersonal, status dan kondisi kerja (kondisi lingkungan kerja).
Pemerintah mulai menetapkan anggaran berbasis kinerja kepada Kementerian Pertanian. Hal ini berimplikasi pada peningkatan kinerja penyuluh pertanian di lapangan. Pelaksanaan tugas penyuluh pertanian dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu di antaranya adalah faktor motivasi, yaitu motivasi yang terbentuk dari sikap seseorang dalam menghadapi situasi kerja yang dapat menggerakkan pegawai agar terarah untuk mencapai tujuan kerja, budaya kerja (workplace culture), sarana dan prasarana yang membentuk kebiasaan pegawai di tempat tugas dan menjadi sikap yang tercermin dalam perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja (Siregar, dan Saridewi, 2010).
Penyuluh THL-TBPP merupakan tenaga kontrak oleh pemerintah selama 10 bulan dan setiap tahun dilakukan pembaharuan kontrak kerja. Apabila mereka mempunyai kinerja yang kurang baik, ada kemungkinan kontrak mereka tidak akan diperpanjang lagi. Motivasi dalam peningkatan kinerja penyuluh sa\ngat diperlukan.
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
12
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Widiyati (2000) menyatakan rataan pekerja yang termotivasi akan menggunakan 80-90% kemampuan dalam bekerja, sedangkan mereka yang tidak termotivasi dalam bekerja hanya akan menggunakan 20-30% kemampuannya dalam bekerja. Oleh karena itu, penilaian dan penelitian tentang motivasi penyuluh THL-TBPP dan faktor–faktor yang mempengaruhinya menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Permasalahan adalah :1. Bagaimana motivasi kerja penyuluh THL-
TBPP dalam melakukan kegiatan penyuluhan pertanian kepada petani?
2. Apakah faktor–faktor yang mempengaruhi motivasi kerja penyuluh THL-TBPP ?Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui motivasi kerja penyuluh THL-TBPP dalam melakukan kegiatan penyuluhan pertanian kepada petani.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempenga-ruhi motivasi kerja penyuluh THL-TBPP.
METODE DAN METODEPengkajian ini dilaksanakan pada bulan
Mei – Agustus 2012 di Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Responden pengkajian ini berjumlah 23 penyuluh THL-TBPP yang berasal dari 23 Kecamatan di Kabupaten Bekasi.
Populasi dalam penelitian ini adalah para penyuluh THL-TBPP lingkup Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan (BP4KKP) Kabupaten Bekasi. Dari populasi tersebut diambil beberapa responden sebagai sampel. Sampel adalah himpunan bagian dari populasi yang dapat mewakili sifat-sifat populasi. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan simple random sampling.
Data yang bersifat kualitatif dianalisis dengan cara dideskripsikan untuk menyajikan gambaran yang jelas akan variabel yang ada. Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan uji statistik non parametrik yaitu uji korelasi Range Spearman. Uji ini merupakan asosiasi yang menuntut kedua variabel diukur sekurang-kurangnya dalam skla ordinal sehingga obyek-obyek atau individu-individu yang dipelajari dapat dirangking dalam dua rangkaian berurut (Siegel,1997). Korelasi dianalisis dengan menggunakan program SPSS 20.
Uji korelasi ini digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara faktor kepuasan kerja, status dan tanggung jawab, kompensasi yang memadai, kondisi lingkungan kerja dan keinginan dan harapan pribadi dengan motivasi kerja penyuluh THL-TBPP.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
1. Karakteristik Responden berdasarkan UmurUmur responden dapat digolongkan menjadi
3 kategori. Deskripsi tentang umur responden dapat dilihat pada tabel 1.Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan
UmurNo Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)1 Muda (24-31) 12 52,172 Sedang (32-39) 4 17,393 Tua (40-47) 7 30,44
Jumlah 23 100Sumber : Analisis data Primer, 2014
Pada tabel.1 terlihat bahwa umur responden yang paling banyak adalah kriteria muda, yaitu sebesar 52,17 %. Hal ini sesuai dengan tujuan perekrutan THL-TBPP yaitu untuk mengatasi permasalahan banyaknya penyuluh PNS yang akan memasuki masa purna bakti. Dengan mayoritas usia muda, diharapkan motivasi penyuluh juga tinggi dalam melakukan penyuluhan pertanian serta mempunyai kreatifi tas tinggi dalam melaksanakan penyuluhan pertanian. Aswat (2010) menyatakan bahwa umur mempunyai hubungan yang signifi kan dengan motivasi kerja. Umur antara 24-35 tahun merupakan umur yang produktif karena pertambahan umur, peningkatan umur diharapkan terjadi pertumbuhan kemampuan motorik sesuai dengan tumbuh kembangnya yang identik dengan idealisme tinggi, semangat membara dan tenaga yang prima (Hasmoko, 2008).
2. Karakteristik Responden berdasarkan Jenis KelaminDeskripsi tentang jenis kelamin responden
dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut :Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan
Jenis KelaminNo Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)1 Laki – laki 16 69,562 Perempuan 7 30,44
Jumlah 23 100,00Sumber : Analisis data Primer, 2014
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
13
Mayoritas responden adalah laki – laki (69,56 %) sedangkan perempuan berjumlah 7 orang atau 30,44% dari total responden. Secara rata-rata dapat dikatakan bahwa jumlah penyuluh THL-TBPP yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada jumlah penyuluh perempuan. Ilyas (2001) menyatakan bahwa jenis kelamin akan memberikan dorongan yang berbeda, jenis kelamin laki-laki mempunyai dorongan yang lebih besar dari pada wanita karena tanggung jawab laki-laki lebih besar.3. Karakteristik Responden berdasarkan
Status Pernikahan
Deskripsi tentang status pernikahan responden dapat dilihat pada Tabel 3. berikut ini Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan
Status PernikahanNo Status Jumlah (orang) Persentase (%)1 Menikah 19 82,612 Belum Menikah 4 17,39
Jumlah 23 100,00Sumber : Analisis data Primer, 2014
Mayoritas responden adalah sudah menikah (82,61%). Pegawai yang telah menikah akan termotivasi untuk bekerja lebih baik dibandingkan pegawai yang belum menikah dan telah bercerai. Pernikahan menyebabkan peningkatan tanggung jawab dan pekerjaan tetap menjadi lebih berharga dan penting. Mayoritas pekerja yang loyal dan puas terhadap pekerjaannya adalah pekerja yang telah menikah (Buick dan Thomas, 2001)4. Karakteristik Responden berdasarkan
tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan responden dapat digolongkan menjadi 4 kategori. Deskripsi tentang tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada tabel 4 berikut :
Tabel 4 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)1 SPMA 7 30,432 Diploma III 1 04,353 Strata I 15 65,21
Jumlah 23 100,00Sumber : Analisis data Primer, 2014
Berdasarkan tingkat pendidikan menunjuk-kan Berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa responden yang mempunyai
latar belakang pendidikan strata I (65,21%) lebih mendominasi dibandingkan dengan SPMA dan Diploma III. Responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi lebih mudah untuk termotivasi karena sudah mempunyai wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan orang yang lebih rendah tingkat pendidikannya.
MOTIVASI PENYULUH TENAGA HARIAN LEPAS – TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN (THL-TBPP) DI KABUPATEN BEKASI
Hasil analisa data primer dengan menggunakan teknik penskalaan Likert’s Summated Rating (LSR) menunjukkan bahwa motivasi penyuluh THL-TBPP yang termasuk dalam kategori sangat tinggi berjumlah 17,39%, kategori tinggi mencapai 47,82%. Tidak ada penyuluh THL-TBPP yang tergolong kategori rendah (Tabel 5). Penyuluh THL-TB di Kabupaten Bekasi dalam melakukan pekerjaan selalu bersifat agresif dan kreatif.Tabel 5 Rataan Skor Motivasi Penyuluh THL-
TBPP
No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)
1 Sangat tinggi (42-50) 4 17,392 Tinggi (34-41) 11 47,833 Cukup tinggi (26-33) 8 34,784 Rendah (18-25) - -5 Sangat rendah (10-17) - -
Jumlah 23 100Sumber : Analisis data Primer, 2014
Dalam rangka mewujudkan tugas pokok dan fungsi THL-TBPP, mereka berusaha selalu meningkatkan mutu pekerjaan dengan belajar secara intens dengan penyuluh PNS yang lebih senior. Mereka selalu mematuhi jam kerja kantor. Setiap hari datang ke kantor tepat pada waktunya sebelum terjun ke lapangan untuk mendampingi petani dan atau kelompok tani binaan di wilayah kerjanya.
Menurut Hodgetts (1998), ciri-ciri khusus orang yang mempunyai kebutuhan berpretasi tinggi adalah :1. Senang memikul tanggung jawab dalam
bekerja karena kemampuan melaksanakan pekerjaan menjadi ukuran prestasi bagi orang tersebut (personal responsibility).
2. Senang mengelakkan pekerjaan beresiko namun tidak mau pekerjaan yang terlalu tinggi resikonya maupun yang terlalu rendah.
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
14
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Lebih memilih resiko yang moderat dimana dia mempunyai peluan untuk berhasil karena tergantung kemampuannya (moderat risk taking).
3. Senang pada informasi sebagai umpan balik pada hasil kerjanya karena ia dapat memperbaiki hasil kerjanya apabila kurang berhasil (feedback on result).
4. Penghargaan dalam bentuk uang tidak terlalu penting tetapi pengakuan akan dirinya itulah yang ia cari (accomplishment).
5. Senang bekerja sendiri sampai selesai, jarang meninggalkan pekerjaan yang belum selesai. Orang ini sangat realistis, tidak ingin membuat tujuan yang tidak mungkin dicapainya (task preopccupation)Motivasi yang tinggi dari penyuluh THL-
TBPP ini juga dapat terlihat dari kemauan dan keinginan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan atasan (Koordinator BP3K) sesuai dengan kemampuan mereka. Bahkan, mereka berusaha untuk melebihi dari target pekerjaan yang diberikan oleh Koordinator BP3K. Penyuluh THL-TBPP juga beranggapan dengan adaya insentif yang memadai akan menjadi pendorong prestasi kerja mereka.
Hubungan antara penyuluh THL-TBPP dengan koordinator BP3K dan penyuluh yang lain sangat harmonis. Mereka saling membantu, mengingatkan, memberi saran dan masukan untuk perbaikan kegiatan masing-masing di BP3K. Penyuluh THL-TBPP sangat memperhatikan nilai-nilai kesetiaan dan kejujuran dalam bekerja, terutama dalam mengidentifi kasi potensi wilayah masing-masing wilayah kerja. Informasi yang akurat menentukan arah kebijakan pembangunan pertanian. Kesetiaan dan pemberian informasi akurat oleh penyuluh THL-TBPP kepada Koordinator BP3K merupakan indikasi adanya motivasi yang tinggi dari penyuluh THL-TBPP.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI KERJA PENYULUH TENAGA HARIAN LEPAS-TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN
Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi penyuluh THL – TBPP ada 5 faktor yaitu kepuasan kerja, status dan tanggungjawab, kompensasi yang memadai,
lingkungan kerja, keinginan dan harapan pribadi. Dari hasil uji rank spearman, faktor yang berpengaruh secara nyata adalah kompensai yang memadai, lingkungan kerja, dan keinginan dan harapan pribadi. Kepuasan kerja, dan status dan tanggung jawab tidak berpengaruh nyata. Secara lebih lengkap, korelasi hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja penyuluh THL-TBPP dapat dilihat pada tabel 6.Tabel 6 Korelasi Faktor - faktor yang
Mempengaruhi Motivasi Kerja Penyuluh THL-TBPP
No Faktor yang Mempen-garuhi Motivasi
NilaiCorrelation Coeffi cient
Nilai Signifi -kansi
1 Kompensasi yang memadai
0,415 0,049*
2 Lingkungan kerja 0,761 0,000**3 Keinginan dan harapan
pribadi0,482 0,020*
4 Kepuasan kerja 0,004 0,984ns5 Status dan tanggung
jawab0,146 0,506ns
Sumber : Analisis data Primer, 2014
1. Kompensasi yang MemadaiHubungan antara kompensasi yang
memadai dengan motivasi penyuluh THL-TBPP cukup kuat atau berpengaruh nyata (r=0,415, sign=0,049). Kompensasi adalah sesuatu yang diterima karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa mereka pada perusahaan (Rivai, 2004).
Kompensasi yang diberikan oleh atasan atau pemerintah kepada penyuluh THL-TBPP mampu meningkatkan motivasi kerja. Penyuluh THL-TBPP menerima penghasilan yang diperoleh sesuai dengan beban kerja yang telah diberikan. Kontrak kerja THL-TBPP hanya 10 bulan dalam setahun. Untuk mengatasi kekurangan 2 bulan, Pemerintah Kabupaten Bekasi telah menganggarkan honor kepada penyuluh THL-TBPP. Hal ini ternyata bisa member dampak positif pada peningkatan motivasi kerja penyuluh THL-TBPP. Pelayanan dan pendampingan kepada petani atau kelompok tani di lapangan menjadi lebih baik.
Menurut Mathis dan Jackson (2006), penghargaan nyata yang diterima karyawan karena bekerja adalah dalam bentuk gaji dan insentif, dan tunjangan. Hal yang penting terhadap retensi karyawan adalah mempunyai kompensasi kompetitif artinya harus dekat dengan apa yang diberikan oleh perusahaan
Sumber : Analisis data Primer, 2014
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
15
yang lain dan apa yang diyakini oleh karyawan sesuai dengan kapabilitas, pengalaman dan kinerjanya, apabila tidak dekat perputaran akan lebih tinggi.
Penyuluh THL-TBPP di Kabupaten Bekasi berpendapat bahwa pemberian honor sesuai dengan pekerjaan yang diberikan oleh atasan. Biaya perjalanan dinas untuk ke lapangan juga sesuai dengan jumlah hari dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut. Atasan penyuluh THL-TBPP juga memberikan insentif atas keberhasilan atau pencapaian prestasi kerja penyuluh THL-TBPP. Penerimaan kompensasi pada penyuluh THL-TBPP yang kompetitif ini membuat kinerja penyuluh menjadi tinggi serta mereka tidak mempunyai pikiran untuk mencari pekerjaan lagi.
2. Kondisi Lingkungan KerjaHubungan antara kondisi lingkungan
kerja dengan motivasi kerja penyuluh THL-TBPP adalah tinggi atau berpengaruh nyata (r=0,761, sign=0,000). Hal ini mengindikasikan bahwa cukup eratnya hubungan antara kondisi lingkungan kerja dengan motivasi penyuluh THL-TBPP. Lingkungan kerja merupakan keadaan atau kondisi “di luar” pribadi penyuluh THL-TBPP. Akan tetapi lingkungan kerja sangat mendukung keberlangsungan kinerja pegawai. Kondisi lingkungan kerja yang kurang nyaman dalam melakukan aktivitas pekerjaan akan membuat produktivitas pegawai menurun, dan kurangnya motivasi pegawai dalam melakukan tugas dan pekerjaan serta tingkat kepuasan kerja pegawai akan berada pada posisi yang rendah.
Lingkungan kerja adalah keseluruhan sarana dan prasarana kerja yang ada di sekitar karyawan yang sedang melakukan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Lingkungan pekerjaan meliputi tempat bekerja, fasilitas dan alat bantu pekerjaan, kebersihan, pencahayaan, ketenangan, termasuk juga hubungan kerja antara orang-orang yang ada di tempat tersebut (Gustiyah, 2009).
Motivasi kerja penyuluh THL-TBPP yang tinggi dalam melakukan pekerjaan didukung oleh adanya suasana tempat bekerja yang kondusif, bersih dan sehat. Kondisi ruang kerja di BP3K yang bersih, pencahayaan, pertukaran udara yang cukup baik menciptakan rasa nyaman bagi penyuluh untuk melaksanakan aktivitas dan menyelesaikan tugas secara efektif dan efi sien.
Fasilitas kerja yang memadai serta kenyamanan lingkungan kerja yang mendukung, sangat membantu dalam peningkatan motivasi penyuluh THL-TBPP. Kemudahan dalam mendapatkan sarana pekerjaan dapat memperlancar pekerjaan dan membuat penyuluh THL-TBPP menjadi lebih mudah dalam menyelesaikan pekerjaan. Hubungan yang harmonis antara penyuluh THL-TBPP dengan atasan juga dapat meningkatkan motivasi penyuluh THL-TBPP. Koordinator BP3K sebagai atasan penyuluh THL-TBPP sering menjadi tempat tukar pikiran baik yang berhubungan dengan pekerjaan atau kekeluargaan.
3. Keinginan dan harapan pribadiHubungan antara keinginan dan harapan
pribadi dengan motivasi penyuluh THL-TBPP adalah cukup dan berpengaruh nyata (r=0,482, sign: 0,020). Keinginan dan harapan pribadi yang tercapai bersama dengan terselesaikannya pekerjaan penyuluh THL-TBPP meningkatkan motivasi penyuluh THL-TBPP dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Menurut Handoko (1992), karakteristik orang yang mempunyai motivasi berprestasi adalah : (1) Mempunyai tujuan yang jelas dan cukup merupakan tantangan untuk dicapai dengan baik dan tepat. (2) Mereka senang dengan pekerjaan yang membutuhkan keahlian, ketrampilan dan upaya pribadinya.(3) Merasa sangat berkepentingan dengan keberhasilannya sendiri, khususnya dalam mencari solusi dari masalah- masalah yang dihadapinya. (4) Senang mendapat umpan balik terhadap hasil kerja yang telah dilakukan.
Keinginan dan harapan pribadi dalam diri penyuluh THL-TBPP adalah untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan dalam bidang penyuluhan pertanian. Untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan ini, penyuluh THL-TBPP mengikuti beberapa pendidikan dan pelatihan dalam bidang penyuluhan pertanian. Dengan adanya pelatihan dan pendidikan ini, penyuluh THL-TBPP menjadi lebih percaya diri dalam melakukan pendampingan kepada petani sekaligus menumbuhkan motivasi yang tinggi dalam bekerja. Koordinator BP3K juga memberikan kesempatan yang sama pada semua penyuluh lingkup BP3K untuk setiap kebijakan – kebijakan menyangkut proses kegiatan perkantoran ataupun pendampingan kepada petani dan kelompok tani.
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
16
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
KESIMPULAN
1. Motivasi kerja penyuluh Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) di Kabupaten Bekasi berada dalam kategori tinggi. Dalam melaksanakan tugas, mereka selalu bertindak agresif dan kreatif. Penyuluh THL-TBPP selalu berkeinginan menyelesaikan tugas dengan baik.
2. Kompensasi yang memadai, kondisi lingkungan kerja, keinginan dan harapan pribadi berpengaruh nyata terhadap motivasi kerja penyuluh THL-TBPP di Kabupaten Bekasi.
DAFTAR PUSTAKAAbubakar, dan Amelia Nani Siregar, 2010,
Kualitas pelayanan penyuluh pertanian dan kepuasan petani dalam penanganan dan pengolahan hasil Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). Jurnal Penyuluhan Pertanian. Hasil penelitian terapan bidang social ekonomi dan pertanian.5(1):1-9.
Aswat, B.2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi kerja perawat di unit rawat inap RSUD Puri Husada Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir Riau. Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Buick, I., dan Thomas, M. 2001. Why do middle manager in hotel burnout?. International journal of contemporary hospitality management, 13(6), 304-309. Maret 5, 2010. ABI/INFORM Global (Proquest) database.
Handoko, M. 1992. Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta:Kanisius.p.22
Hasmoko, E.V. 2008. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja klinis perawat berdasarkan penerapan sistem pengembangan manajemen kinerja klinis (spmkk) di ruang rawat inap
rumah sakit wilasa citarum semarang. Tesis Prodi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit. Universitas Dipenogoro Semarang.
Hodgett, R. 1998. Management. San Diego:Brace Publ.p.291
Hubeis, Aida V. 2007. Motivasi, Kepuasan Kerja dan Produktivitas Penyuluh Pertanian Lapangan: Kasus Kabupaten Sukabumi. Jurnal Penyuluhan 3(2):90-99.
Ilyas, Yasis. 2001. Kinerja Teori, Penilaian dan Penelitian. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI. Depok.
Mathis, Robert L dan John H. Jackson, 2006. Human Resource Management, Penerbit Salemba Empat. Jakarta
Gustisyah, Raika.2009. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Penyuluh Perindustrian pada Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Medan. USU Repository. Medan
Siegel,S.1997. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu – Ilmu Sosial. Jakarta.
Siregar, Amelia N dan Saridewi, Tri N. 2010.Hubungan Antara Motivasi dan Budaya Kerja dengan Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan Pertanian. Hasil penelitian terapan bidang social ekonomi dan pertanian.5(1):24-35.
Rivai, Veithzal . 2004. Performance Appraisal : System Yang Tepat Untuk Menilai Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Edisi 1. Jakarta.
Widiyati, Kurnia. 2000. Analisis Produktivitas tenaga kerja dan faktor yang mempengaruhinya di PT. Saung Mirwan, Cisarua, Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
17
RESPON KONSUMEN TERHADAP BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI BERDASARKAN KARAKTER KUALITAS GABAH, BERAS DAN NASI
(Studi Kasus di Salah Satu Instansi Litbang Pertanian di Jawa Barat)
Atin Yulyatin, Susi Ramdhaniati dan IGP. Alit DiratmajaBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
ABSTRAKBeberapa faktor penghambat adopsi varietas unggul baru antara lain: pasar beras belum mengacu kepada varietas, kriteria pelepasan varietas sebaiknya memasukkan preferensi konsumen, atau subjektifi tas pemulia dikurangi dalam persilangan penciptaan galur-galur yang akan dipilih untuk uji selanjutnya. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui respon konsumen terhadap varietas unggul baru padi sebelum menyebarkan informasi tersebut ke petani, mengubah selera ataupun kebiasaan makan nasi dari varietas unggul baru yang telah lama dilepas seperti IR64 maupun Ciherang. Pengumpulan data dilakukan melalui metode survey terhadap 31 orang responden pegawai BPTP Jawa Barat secara acak. Uji Preferensi meliputi karakteristik mutu gabah, beras dan nasi yang diamati adalah ukuran gabah, warna gabah, bentuk gabah, ukuran beras, warna beras, bentuk beras, tekstur nasi, warna nasi, rasa nasi, dan aroma nasi. Responden cenderung menyukai varietas Inpago 4, Inpago 5 dan Mekongga berdasarkan penilaian terhadap karakter gabah maupun beras. Berdasarkan rasa nasi, tekstur nasi, warna nasi dan aroma nasi respon konsumen cenderung bervariasi seperti Inpago 5, Sintanur beras aromatik, dan Mekongga. Diharapkan preferensi konsumen menjadi salah satu kriteria penilaian dalam pelepasan varietas.
Kata Kunci : varietas unggul baru, strata
PENDAHULUANSalah satu hasil penelitian Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) dibawah Kementerian Pertanian adalah varietas unggul. Penyebaran Varietas Unggul Baru (VUB) diharapkan dapat menggeser varietas-varietas yang sudah lama dipakai oleh petani, agar terjadi pergiliran varietas. Pemakaian varietas yang sama dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan resistensi varietas terhadap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) tertentu.
Varietas-varietas unggul yang dilepas oleh Balitbangtan sebagian besar memiliki karakteristik yang hampir sama, sehingga petani sulit membedakan keunggulan dari tiap varietas padi tersebut. (Ruskandar, 2006) beberapa faktor penghambat adopsi varietas unggul baru antara lain: pasar beras belum mengacu kepada varietas, kriteria pelepasan varietas sebaiknya memasukkan preferensi konsumen, atau subjektifi tas pemulia dikurangi dalam persilangan penciptaan galur-galur yang akan dipilih untuk uji selanjutnya.
BPTP Jawa Barat sebagai salah satu perpanjangan tangan dari kementrian pertanian mempunyai tugas untuk mendiseminasikan hasil teknologinya ke petani (BBP2TP, 2010) dalam upaya mendukung percepatan penyebaran dan adopsi varietas-varietas unggul baru yang telah dihasilkan. Balitbangtan, terutama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS), mempunyai
peran penting dalam penyediaan benih sumber (benih dasar/benih pokok). UPBS mempunyai tugas ganda, yaitu (a) memproduksi benih sumber dari varietas unggul yang baru dilepas dan belum dikenal petani, dan benih varietas unggul komersial yang ketersediaannyaa terbatas, untuk mendukung sektor perbenihan formal/komersial, serta (b) diseminasi varietas unggul spesifi k lokasi untuk agroekosistem sub-optimum, seperti lahan sawah tadah hujan, ladang, dan rawa untuk mendukung sektor perbenihan informal.
Pegawai mayoritas mengkonsumsi beras dalam jumlah besar. Pegawai dalam mengkonsumsi beras biasanya hanya berdasarkan nama merk dagang, seperti beras Setra Ramos, beras IR tetapi tidak mengetahui varietas yang digunakan. Mungkin beras dengan merk Setra Ramos tersebut sebenarnya dari varietas Inpari atau Ciherang. Bentuk yang serupa, rasa nasi yang hampir sama membiaskan sebenarnya varietas yang digunakan.
Melalui uji preferensi ini diharapkan pegawai dapat mengetahui karakteristik mutu gabah, beras dan nasi dari tiap-tiap varietas padi yang diujikan, sehingga pegawai lebih pandai dalam memilih beras. Dengan demikian diharapkan dapat berdampak untuk pemulia sehingga dalam menghasilkan suatu varietas unsur konsumen diperhatikan. Mengubah selera ataupun kebiasaan makan nasi dari varietas unggul baru yang telah lama dilepas seperti IR64 maupun Ciherang, serta mengetahui
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
18
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
minat/kecenderung pegawai akan mutu gabah, beras dan nasi.
BAHAN DAN METODEBenih yang digunakan diambil dari Gudang
UPBS BPTP Jawa Barat pada bulan Juni 2014. Mesin penggilingan beras yang digunakan adalah GBN-80 standar Q/20715618-8-4.2.RH 80% dan suhu 26oC. Benih vub yang digunakan adalah Batutegi, Inpago 4, Inpago 5, Inpago 8, Inpari 14, Inpari 16, Sarinah, Mekongga, Sintanur, Inpari 18. Deskripsi varietas benih padi disajikan pada lampiran 1.
Pengumpulan data dilakukan melalui metode survey terhadap 31 orang responden pegawai di BPTP Jawa Barat secara acak. Uji Preferensi meliputi karakteristik mutu gabah, beras dan nasi. Karakter yang diamati adalah ukuran gabah, warna gabah, bentuk gabah, ukuran beras, warna beras, bentuk beras, tekstur nasi, warna nasi, rasa nasi,dan aroma nasi.
Penilaian yang digunakan berdasarkan skoring dengan kriteria, yaitu 1) tidak suka, 2) kurang suka, 3) agak suka, 4) suka, 5) sangat suka. Data dianalisis secara non parametrik dengan uji chi-squre, dengan asumsi data terditribusi normal dan acak.
Hipotesis dari pengkajian ini adalah :• Ho : minat pekerja terhadap vub adalah
sama• H1 : minat pekerja terhadap vub adalah
berbeda
HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu komponen PTT (pengelolaan tanaman terpadu) adalah pergiliran varietas. Vub memiliki peran dalam peningkatan produksi. Pengenalan vub ke pada petani diharapkan dapat menggeser varietas lokal padi yang biasa digunakan oleh petani. Pembentukan tipe baru telah dilakukan sejak tahun 1995 melalui persilangan buatan dan seleksi dengan galur-galur PTB asal IRRI. Vub memiliki ciri rata-rata berumur genjah, potensi hasil tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit (HPT) tertentu.
Taraf uji adalah 0,05 Ho ditolak bila nilai uji signifi kansi (Sig.) lebih kecil dari 0,05. Dari tabel 1. Diperoleh bentuk gabah memiliki nilai Sig. < 0,05, maka Ho ditolak, artinya minat responden terhadap kesepuluh varietas unggul baru itu adalah berbeda (tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata Penilaian Responden terhadap Karakter Gabah
No Varietas Bentuk Gabah
Ukuran Gabah
Warna Gabah
1 Batutegi 23,0b 9,7b 34,0b
2 Inpago 4 35,7c 38,0b 23,6c
3 Inpago 5 25,9c 26,9b 32,9c
4 Inpago 8 5,9d 21,3b 19,2b
5 Inpari 14 12,5c 1,8c 12,7b
6 Inpari 16 24,1c 26,3d 22,4b
7 Sarinah 9,7c 9,6b 13,0b
8 Mekongga 28,87b 37,9d 22,4b
9 Sintanur 14,0d 9,5c 22,6c
10 Inpari 18 12,3c 17,4b 6,3c
Varietas Inpago 4 dan Mekongga cenderung lebih disukai dibandingkan varietas lain berdasarkan bentuk gabahnya. Inpago 4 dan Mekongga juga relatif disukai berdasarkan ukuran gabah, sedangkan Inpari 14 kurang disukai. Berdasarkan warna gabah, varietas Batutegi, Inpago 4, Inpago 5 relatif lebih disukai sedangkan Inpari 18 kurang diminati. Dari bentuk, ukuran dan warna gabah, varietas yang relatif disukai adalah Inpago 4, inpago 5, Inpari 16 dan Mekongga. Keempat varietas tersebut memiliki karakter bentuk gabah lonjong, ramping, warna gabah kuning jerami. Sedangkan Batutegi sudah banyak dikenal oleh pegawai dengan bentuk bulat sedang dan warna gabah kuning bersih.
Gambar 1. Penilaian Responden Terhadap Karakter Gabah
Taraf uji adalah 0,05, Ho ditolak bila Nilai Uji Signifi kansi (SIG) lebih kecil dari 0,05. Bentuk beras memiliki nilai Sig. < 0,05, maka Ho ditolak, artinya minat responden terhadap kesepuluh varietas unggul baru itu adalah berbeda.Umumnya responden menyukai berdasarkan bentuk gabah, hal ini diduga karena bentuk beras dari kesepuluh varietas tersebut hampir sama, sehingga responden merata memberi penilaian terhadap kesepuluh varietas
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
19
kecuali Inpago 8. Berdasarkan ukuran beras varietas Inpago 4, Inpago 5 sedangkan Inpago 8 kurang disukai. Warna beras yang disukai adalah Inpago 4 dan Inpago 5, sedangkan Sintanur kurang disukai (tabel 2).Tabel 2. Rata-rata penilaian Responden
terhadap karakter beras
No Varietas Bentuk Beras
Ukuran Beras
Warna Beras
1 Batutegi 8,9b 5,0b 12,4b
2 Inpago 4 36,7b 28,2b 45,9b
3 Inpago 5 24,1b 18,9b 24,1c
4 Inpago 8 3,8c 2,4c 16,6b
5 Inpari 14 14,7b 15,1b 15,9b
6 Inpari 16 6,3b 11,9b 12,5c
7 Sarinah 12,5b 13,3b 17,2b
8 Mekongga 12,7b 14,8b 13,3c
9 Sintanur 12,7b 12,7b 10,9c
10 Inpari 18 9,9b 9,9b 11,9c
Inpago 4, Inpago 5 cenderung lebih disukai oleh responden, sedangkan Batutegi dan Inpago 8 kurang diminati. Penyimpanan gabah sangat berpengaruh terhadap kualitas beras yang dihasilkan (gambar 2).
Gambar 2. Penilaian Responden Terhadap Beras
Taraf uji adalah 0,05, Ho ditolak bila nilai uji signifi kansi (Sig.) lebih kecil dari 0,05. Diperoleh bentuk beras memiliki nilai Sig. < 0,05, maka Ho ditolak, artinya minat responden terhadap kesepuluh varietas unggul baru itu adalah berbeda (tabel 3).
Tabel 3. Penilaian Responden Terhadap Nasi
No Varietas Rasa Nasi Tekstur Nasi
Warna Nasi
Aroma Nasi
1 Batutegi 14,0b 12,1b 23,6b 2,0b
2 Inpago 4 14,6b 26,6b 20,5b 19,5c
3 Inpago 5 20,5c 32,9c 46,0b 11,2d
4 Inpago 8 16,6c 15,8c 20,5b 15,1d
No Varietas Rasa Nasi Tekstur Nasi
Warna Nasi
Aroma Nasi
5 Inpari 14 8,1c 2,4d 20,1c 1,8b
6 Inpari 16 15,3b 13,7b 7,1b 6,8d
7 Sarinah 2,0d 2,0d 17,1b 8,6d
8 Me-kongga 18,7c 11,2c 17,1b 22,6d
9 Sintanur 18,6b 16,6b 16,6c 21,7c
10 Inpari 18 5,9d 1,6d 9,6b 14,3d
Berdasarkan peubah rasa nasi, tekstur nasi, warna dan aroma nasi Inpago 4, Inpago 5 dan Inpago 8 cenderung disukai. Varietas dengan Aroma nasi yang wangi seperti Sintanur cenderung disukai. Mekongga cenderung disukai oleh responden (gambar 3).
Gambar3. Penilaian Responden Terhadap Nasi
Pegawai sebagai salah satu konsumen yang mempunyai pangsa pasar sendiri. Pasar beras sebaiknya mengacu kepada varietas sehingga ditingkat petani terdapat penggunaan varietas yang bervariasi. Kriteria pelepasan varietas sebaiknya memasukkan preferensi konsumen, sehingga varietas-varietas yang dilepas cepat diadopsi oleh petani.
KESIMPULANBerdasarkan penilaian terhadap karakter
gabah dan beras, responden cenderung menyukai varietas Inpago 4, Inpago 5 dan Mekongga, sedangkan berdasarkan penilaian terhadap karakter nasi, responden cenderung menyukai Inpago 4, Inpago 5, Sintanur beras aromatik, dan Mekongga).
Preferensi akan varietas umumnya lebih dominan dipengaruhi oleh warna beras dan rasa nasi, tekstur nasi, warna nasi dan aroma nasi. Sedangkan berdasarkan penampilan gabah semua inbrida padi irigasi (Inpari) memiliki deskripsi yang cenderung sama sehingga ada kecenderungan bahwa varietas padi yang memiliki nama inbrida padi irigasi (Inpari)
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
20
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
memiliki karakteristik yang sama. Maka Diharapkan preferensi konsumen menjadi salah satu kriteria penilaian dalam proses pelepasan varietas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, B., dkk. 2005. Pembentukan Varietas Unggul Tipe Baru Fatmawati. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol. 24. No. 1. : 1-7
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2010. Petunjuk Pelaksanaan Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS). BBP2TP. Bogor
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2003. Pedoman Umum Pengelolaan Benih Sumber Tanaman. Kementrian Pertanian. Jakarta
Ishaq, dkk. 2012. Deskripsi padi varietas unggul spesifi k Jawa Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Barat
Ruskandar, Ade. 2006. Varietas Unggul Baru Padi Yang Banyak Ditunggu Petani. Tabloid Sinar Tani. 26 Juli 2006
Santoso, S. 2012. Aplikasi SPSS pada statistik non parametrik. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. 247 hal.Lampiran 1. Deskripsi Varietas Padi
Lampiran 1. Deskripsi Varietas PadiKarakteristik
varietas Batutegi Inpago 4 Inpago 5 Inpago 8 Inpari 14 Inpari 16 Sarinah Mekongga Sintanur Inpari 18
Bentuk gabah bulat sedang Lonjong Ramping Panjang Ramping Ramping ramping Ramping
panjang sedang Panjang/ramping
Warna gabah kuning bersih Kuning jerami Kuning Kuning
jeramiKuning-bersih
Kuning-bersih
kuning bersih
Kuningber-sih
kuning bersih Kuning
tekstur nasi pulen Pulen Sangat pulen Pulen Pulen Pulen pulen Pulen pulen Pulen
Kadar amilosa 22,3% 21,9% 18 % 22,3 % 22,5 % 22,7 % 23,3% 23% 18% 18,0 %
Potensi hasil 6,0 t/ha 6,1 t/ha 6,2 t/ha 8,1 t/ha 8,2 t/ha 7,6 t/ha 8,0 t/ha 6 t/ha 7,0 t/ha 9,5 t/ha
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
21
STUDI PENERAPAN HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP) PADA INDUSTRI KECIL MANISAN BUAH KERING
Dian Histifarina1)
1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa BaratJl. Kayu Ambon No. 80, Lembang - Bandung Barat
ABSTRAKTuntutan jaminan keamanan pangan terus berkembang sesuai dengan persyaratan konsumen yang terus meningkat dan seirama dengan kenaikan kualitas hidup manusia. Jaminan akan keamanan pangan adalah merupakan hak azasi konsumen. Konsumen sudah menyadari bahwa mutu, khususnya keamanan pangan hasil pertanian tidak dapat dijamin hanya dengan hasil uji produk akhir dari laboratorium. Produk yang aman dikonsumsi diperoleh dari bahan baku yang baik, ditangani secara baik dan benar, serta diolah dan didistribusikan secara baik, sehingga pada akhirnya dihasilkan produk yang baik. Berdasarkan hal tersebut, maka studi penerapan HACCP (Hazard Anlysis Critical control Point) pada industri kecil manisan mangga kering dilakukan mulai dari bahan baku yang digunakan hingga proses pengolahan dan pengemasan. Agar HACCP dapat berfungsi dengan baik dan efektif, perlu diawali dengan melakukan identifi kasi bahaya pada setiap bahan yang digunakan serta pada setiap tahapan proses pengolahan produk pangan dan juga penetapan titik kendali kritis (Critical Control Point/CCP). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa titik kendali kritis (CCP) pada industri olahan manisan mangga kering adalah penyortiran, pencucian, pengeringan dan pengemasan , sedangkan untuk titik kontrol poin pada industi manisan mangga kering adalah pada saat proses pengirisan mangga dan perendaman dalam larutan gula yang akan mempengaruhi mutu manisan mangga kering.
Kata Kunci : HACCP, pengolahan, mangga kering.
PENDAHULUAN Jaminan keamanan pangan merupakan
suatu jaminan terhadap pangan yang diolah dan atau dimakan oleh konsumen tidak akan membahayakan dan sesuai dengan peruntukkannya. Faktor keamanan pangan ini sangat berkaitan dengan tercemar tidaknya pangan oleh cemaran mikrobiologis, logam berat dan bahan kimia yang membahayakan (Kemendy, 2002). Tuntutan adanya jaminan mutu dan keamanan pangan tersebut tidak hanya untuk produk pangan yang dihasilkan oleh industri besar, namun juga produk pangan yang dihasilkan oleh industri kecil..
Buah mangga merupakan salah satu jenis komoditas hortikultura yang bersifat musiman dan tergolong perishable foods (mudah rusak). Untuk meningkatkan nilai tambah buah mangga dan memperpanjang daya simpannya serta dapat dikonsumsi diluar musim, buah mangga dapat diawetkan dengan menggunakan teknologi pengeringan dan penambahan gula. Menurut Hadziyev & Steele (1979), kerusakan yang dapat terjadi pada produk kering adalah terjadinya reaksi oksidasi, baik selama proses pengolahan maupun penyimpanan. Hal ini ditandai oleh adanya perubahan warna, aroma fl avor maupun nilai gizinya. Dengan demikian, pencegahan kontaminasi oleh mikroorganisme pada produk olahan manisan mangga kering selama masa konsumsi merupakan salah satu
upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya keracunan akibat makanan telah terkontaminasi.
Salah satu sistim pengendalian mutu yang dapat menjamin keamanan pangan adalah sistim HACCP (Hazard Analytical Critical Control Point). HACCP merupakan suatu sistem jaminan mutu keamanan pangan yang berdasarkan kesadaran bahwa bahaya masih dapat timbul pada setiap tahap produksi, namun dapat dikendalikan melalui pencegahan dan pengendalian titik-titik kritis. HACCP pada implementasinya juga disertai tindakan pencegahan untuk mengendalikan bahaya, dengan tujuan untuk menjamin keamanan makanan. Sistem pengontrolan ini dapat diterapkan pada seluruh rantai produksi pengolahan mulai dari tahapan proses awal sampai tahapan konsumen akhir. Menurut Bryan (1992), sistim HACCP lebih menjamin keamanan pangan daripada pendekatan yang lain, misalnya kontrol kualitas secara tradisional melalui uji produk akhir. Monitoring terhadap titik kontrol kritis membutuhkan biaya yang lebih sedikit dan lebih efektif dari pada analisis sampel dan inspeksi terhadap prosesing.
Walaupun penerapan HACCP sudah menjadi suatu persyaratan untuk menjamin keamanan pangan, namun penerapannya di industri pangan, terutama yang berskala kecil menengah masih merupakan hal yang cukup
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
22
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
berat. Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang zero-risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya keamanan pangan (Winarno dan Surono, 2004; Pierson dan Corlett, 1992 dalam Theheer, 2005).
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis tingkat bahaya dan menentukan titik kritis (CP) serta titik kendali kritis (CCP) pada proses pengolahan manisan mangga kering.
BAHAN DAN METODE
Obyek PenelitianPengkajian dimulai dari bulan Mei hingga
Desember 2011 di kelompok tani Usaha Bersama Bunga Mawar di Desa Kasmaran, Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu. Metodologi pendekatan yang dilakukan yaitu metode deskriptif melalui kegiatan studi penerapan HACCP.
Tahapan PengkajianLangkah awal yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah membuat identifi kasi titik-titik kritis yang terjadi pada proses pengolahan manisan mangga kering dengan menggunakan panduan penyusunan rencana HACCP (BSN-Pedoman 1004-1999). Alat bantu yang digunakan adalah diagram alir proses pembuatan manisan mangga kering dan proses penerapan HACCP pada industri manisan mangga kering mengikuti tujuh prinsip yang telah direkomendasikan oleh SNI 01-4852-1998 yang dikeluarkan oleh BSN (1999), meliputi :1. Prinsip 1 : Analisis bahaya dan pencegahan-
nya
2. Prinsip 2 : Identifikasi CCP (Critical Control Point)/ Titik Kendali Kritis dalam proses.
3. Prinsip 3 : Menetapkan batas kritis yang harus dicapai untuk setiap Critical Control Point (CCP)
4. Prinsip 4 : Menetapkan sistem pemantauan/pengendalian (monitoring) dari CCP dengan cara pengujian dan pengamatan
5. Prinsip 5 : Menetapkan tindakan koreksi
6. Prinsip 6 : Menyusun prosedur
7. Prinsip 7 : Menetapakan prosedur pencatatan atau dokumentasi
Tahap Analisis Hasil Pengamatan dilakukan terhadap analisis
bahaya yang mungkin terjadi pada setiap tahapan proses pengolahan manisan mangga kering serta bahan baku. Bahaya yang teridentifi kasi kemudian disusun pada sebuah tabel disertai asal bahaya, tingkat resiko dan cara pencegahannya. Tingkat resiko ditentukan berdasarkan seberapa jauh akibat yang ditimbulkan oleh bahaya yang muncul dan seberapa sering bahaya tersebut dapat terjadi. Penentuan CCP didasarkan pada pertimbangan tingkat resiko; dan cara pengendaliannya agar tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Setiap bahan baku dan tahapan proses ditentukan termasuk CCP atau tidak, atau hanya CP melalui pertimbangan tingkat resiko dan brdasarkan jawaban atas pertanyaan dari CCP decision tree (Gambar 1). Tahapan proses yang tidak termasuk CCP, dapat termasuk Control Point (CP), yang berarti tahapan tersebut apabila tidak dikendalikan dengan baik dapat menyebabkan kecacatan dari segi kualitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Bahaya Dan Penetapan CCPAnalisis bahaya dan penetapan CCP pada
proses manisan mangga kering dilakukan berdasarkan 7 prinsip HACCP. Tujuan analisis bahaya adalah untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu identifi kasi bahaya, penetapan tindakan pencegahan dan penentuan kategori resiko atau signifi kan suatu bahaya.
CCP (Critical Control Point) yaitu tahapan dari rangkaian proses produksi yang memungkinkan terjadinya kontaminan atau kerusakan produk, sehingga perlu dikontrol untuk dapat dikendalikan (Bryan, 1992). Sedangkan menurut Yamani, dkk. (1997), CCP merupakan suatu titik, langkah, atau prosedur dimana kontrol dapat dilakukan dan bahaya terhadap keamanan pangan dapat dicegah, dieliminasi atau direuksi sampai pada titik yang dapat diterima.
Berdasarkan hasil analisis bahaya dan titik kritis pada pengolahan manisan mangga kering, maka diagram alir pengambilan keputusan CCP disajikan pada Gambar 1.Keteranga : P = Pertanyaan
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
23
CCP = Critical Control Point/Titik kendali kritis
Gambar 1. Pohon Keputusan CCP
Penetapan analisis bahaya dan CCP pada proses pengolahan manisan mangga kering, yaitu terlebih dahulu mendaftar keterangan atau karakteristik produk, mengidentifi kasi tujuan penggunaan produk, menyusun bagan alir proses dan penerapan prinsip HACCP (7 prinsip).
Tahapan untuk penetapan analisis bahaya (identifi kasi bahaya) dan CCP secara rinci adalah sebagai berikut :
1. Karakteristik produkJenis produk yang diolah adalah manisan
mangga kering, yang terbuat dari bahan baku mangga dengan tingkat kematangan ± 80%, bahan pembantu lainnya yaitu gula pasir dan natrium metabisulfi t yang penggunaannya sebesar 2 gr/liter. Metode pengawetan dengan pengeringan dan dikemas menggunakan kemasan plastik dengan masa kadaluarsa ± 8 bulan dan dapat dikonsumsi secara langsung.
2. Tujuan penggunaan produkManisan mangga kering merupakan
makanan siap untuk dikonsumsi secara langsung oleh konsumen.
3. Penyusunan bagan alir
prosesDiagram alir proses pembuatan
manisan mangga kering dapat dilihat pada Gambar 2. Pada diagram alir tersebut dituliskan tahapan proses yang termasuk ke dalam CP (control point/titik kendali) dan CCP (critical control point/titik kendali kritis). Kriteria yang dipakai dalam menentukan Critical Control point adalah waktu, suhu, kelembaban, aktivitas air, bahan additif, viskositas dan klorin bebas.
Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Manisan Mangga Kering
4. Jenis Bahaya, Penetapan Titik Kendali Kritis (CCP) dan Titik Kritis (CP)Menurut Purwadi (2008), jenis bahaya yang
dapat mencemari makanan yang diolah dapat berasal dari jenis biologis (bakteri, kapang dan khamir), bahaya kimia (logam berat, bahan tambahan makanan, limbah pertanian atau industri, bahan pengemas, bahan/alat pengolahan, bahan pembersih), serta bahaya fi sik (rambut manusia dan bulu binatang, batu, benang, besi, dll.). Analisis bahaya dilakukan terhadap bahan baku dan bahan tambahan makanan (Tabel 1) serta terhadap tahap proses
Adakah tidakan pencegahan
Ya Tidak Lakukan modifikasi tahapan
dalam proses atau produk
Adakah pencegahan pada tahap ini perlu kemananan Ya
Tidak Bukan CCP Berhenti*
Apakah tahapan dirancang secara spesifik untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang mungkin terjadi sampai tingkatan yang dapat
diterima?
Tidak
Ya
Dapatkah kontaminasi dengan bahaya yang diidentifikasi terjadi melebihi tingkatan yang dapat diterima atau dapatkah ini meningkat
sampai tingkatan yang tidak dapat diterima?
Ya Tidak Bukan CCP Berhenti*
Akankah tahapan berikutya menghilangkan atau mengurangi bahaya yang teridentifikasi sampai tingkatan yang dapat diterima?
Ya Tidak
Bukan CCP Berhenti*
CCP
P1
P2
P3
P4
Buah mangga
Pemeraman
Penyortiran ..........................CCP1
Pembersihan/Pencucian.................CCP2
Pengupasan
Pengirisan (ketebalan ±0,5cm)………………..CP1
Perendaman dalam larutan sulfit 2gr/liter selama 15 menit
Pencucian
Penirisan
Penyusunan pada tray
Pengeringan…………………CCP3
Kondisioning
Pengemasan………………….CCP4
Larutan gula (1:1)
Perendaman (t = ± 18 jam) …………..CP2
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
24
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
produksi manisan mangga kering (Tabel 2).
Tabel 1. Analisa Resiko Bahaya dan Cara Pengendaliannya pada bahan baku pada Produk Manisan Mangga Kering
No. Bahan Baku Bahaya Penyebab
BahayaTindakan Pen-
gendalian1. Mangga Kimia
dan
Mikro-biologi
Residu pesti-sida dan fungi/kapang yang menempel pada buah
Penerapan - GAP dan GHPSortasi- Pencucian - mangga den-gan bersihPengupasan - kulit
2. Natrium meta-bisulfi t
Kimia Dosis tidak tepat/berlebihan serta kadaluarsa
Mening den-- gan telitiMemer-- iksa tanggal kadaluarsa
3. Air Mikro-biologi
Bakteri Coli-form, shigella sp., vibrio chol-erae
Menggu-- nakan air bersih untuk larutan per-endamMerebus - air hingga matang
4. Gula Kimia dan fi sik
Kualitas gula pasir yang rendah
Mengguna-- kan kualitas gula pasir yang baik
Berdasarkan tabel 1, terlihat bahwa bahan baku yang digunakan pada proses pembuatan manisan mangga kering adalah mangga, sulfi t, air dan gula. Untuk buah mangga titik kritisnya adalah terjadinya kontaminan selama di pertanaman mupun penanganan pasca panen yaitu adanya jamur yang menempel pada buah. Selain itu jenis mangga yang digunakan adalah jenis mangga yang tidak berserat., sehingga untuk menghasilkan kualitas/mutu manisan mangga kering yang baik, keseragaman jenis mangga dan tingkat kematangannya harus menjadi perhatian. Cara pengendaliannya adalah dengan melakukan sortasi dan proses pemeraman yang benar.
Bahan baku kedua adalah pengawet natrium metabisulfi t. Dosis bahan tambahan makanan harus sesuai anjuran yaitu sebesar 2 gram/liter, apabila berlebihan akan mengganggu kesehatan dan bila dibawah dosis anjuran dikhawatirkan kurang berfungsi optimal.
Bahan baku ketiga adalah air, yang digunakan sebagai bahan pencuci peralatan
maupun buah dan sebagai larutan perendam. Bahaya yang mungkin timbul adalah dari mikrobiologi, apabila air yang digunakan tidak bersih atau sudah tercemar oleh mikroba. Oleh sebab itu air yang digunakan sebaiknya diperiksa terlebih dahulu dan memenuhi standar sebagai bahan proses produksi. Selain itu sebaiknya menggunakan air sumur atau PAM, daripada air permukaan. Menurut Waryat dkk. (2004), air sumur dan air PAM lebih sedikit tercemar oleh mikroba dibandingkan dengan air permukaan dan dalam penggunaannya harus selalu melalui pemasakan/perebusan terlebih dahulu.
Bahan baku yang keempat adalah gula pasir. Menururt Widaningrum dan Winarti (2007), adanya logam berat dan kotoran pada gula dapat menjadi bahaya kimia dan fi sik pada gula pasir. Kontaminasi tersebut disebabkan oleh kualitas gula pasir yang jelek (grade rendah). Cara pengendaliannya dapat dilakukan dengan menggunakan gula pasir yang berkualitas baik dan tidak mengandung kotoran terutama kontaminan fi sik.
Analisis bahaya untuk proses produksi dilakukan sesuai dengan urutan proses pada diagram alir seperti pada Gambar 2. Proses dimulai dengan pemeraman, penyortiran, pencucian, pengupasan, pengirisan, perendaman dalam larutan sulfi t, perendaman dalam larutan gula, penirisan, penyusunan, pengeringan, kondisioning dan pengemasan.
Pada tahapan pemeraman, hal yang harus diperhatikan adalah keseragaman jenis buah mangga, tingkat kematangan, serta cara/tehnik pemeraman. Pada tahap sortasi dapat menimbulkan bahaya mikrobiologi berupa kontaminasi mikroba dan fi sik. Demikian pula pada tahap pencucian, pengupasan, dan pengirisan dapat menimbulkan bahaya biologi. Oleh karena itu, tahapan tersebut harus dilakukan secara higienis baik dari bahan baku maupun peralatan yang digunakan serta operatornya.
Proses perendaman, bahan kimia yang digunakan dapat beresiko tinggi terhadap kesehatan apabila dosis yang digunakan berlebih dan kurang teliti pada saat penimbangan. Sedangkan pada tahap perendaman dalam larutan gula, akan mengakibatkan kontaminasi mikroba patogen, apabila air yang digunakan tidak bersih dan matang serta konsentrasi gula yang digunakan tidak cukup untuk menghindari tumbuhnya mikroba yang dapat tumbuh pada konsentrasi gula tinggi. Tahap selanjutnya
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
25
untuk penyusunan dalam tray dan proses pengeringan, harus dilakukan secara higienis untuk menghindari kontaminasi dari debu atau kotoran. Selama proses pengeringan harus dijaga suhu dan waktu pengeringan, sehingga kadar air akhir manisan kering dapat tercapai untuk mencegah tumbuhnya kapang/khamir selama penyimpanan. Setelah kering, manisan harus segera di kondisioning untuk menghilangkan panas dan membentuk tekstur. Selanjutnya langsung dikemas untuk menghindari terjadinya kontaminan dari fi sik maupun serangga. Oleh sebab itu pada setiap tahapan proses baik mulai dari bahan baku, peralatan dan operatornya harus mempertimbangkan masalah keamanan pangan. Menurut Wai (2004), keamanan pangan tidak dapat dipertimbangkan sesuai dengan besar kecilnya bisnis, karena investasi dalam sistem penerapannya akan membuat lebih bersifat komersial bahkan untuk kelas industri kecil dan menengah.
Tabel 2. Analisis Bahaya pada Proses Produksi Manisan Mangga Kering dan Cara Pengendaliannya.
Tahapan Proses Bahaya Jenis Bahaya Tehnik Pengen-
dalianPemera-man
Fisik Tingkat kema-tangan tidak seragam
diupayakan - tingkat kema-tangan pada saat diperam sama
kondisi ruan-- gan pemera-man harus diperhatikan
Sortasi Fisik dan mikrobio-logi
Busuk pangkal
Adanya mik-roba patogen (salmonella, pen
Tehnik sortasi dilakukan secara teliti dan benar
Pencucian Biologi Mikroba dan serangga
Air yang - digunakan air bersihSanitasi yang - baik di tempat pencucianOperator - pencuci menggunakan masker dan tutup kepala
Tahapan Proses Bahaya Jenis Bahaya Tehnik Pengen-
dalianPengu-pasan dan
Pengirisan
Biologi Mikroba dan serangga
Kebersihan - di tempat pengupasan dan pengirisan harus dijagaAlat yang di-- gunakan harus bersihOperator harus - menjaga higie-nitas dengan cara mencuci tangan dan menggunakan masker, sarung tangan serta harnet (tutup kepala)Limbah kulit - dan biji9 di-buang secara teratur dan diwadahi
Perenda-man dalam larutan sulfi t
Kimia Penggunaan bahan kimia sulfi t yang tidak tepat/do-sis berlebihan atau kurang
Perendaman dilakukan oleh operator yang sudah terlatih, dan disertai pen-catatan
Perenda-man dalam larutan gula
Mikrobi-ologi
Mikroba pato-gen pada air yang diguna-kan sebagai perendam
Air yang diguna-kan sebagai perendam harus bersih dan ma-tang
Penyusu-nan dalam tray
Fisik Debu, kotoran Operator penyu-sunan dalam tray menggunakan masker dan sarung tangan.
Pengerin-gan
Fisik dan mikrobi-ologi
Fisik : Debu,kotoran
Mikrobiologi: kapang/kha-mir
Oven penge-- ring segera ditutup dan tidak dibuka selama proses pengeringanKontrol suhu - dan waktu pengeringan
Kondision-ing
Kimia Pencoklatan - Pendinginan cepat untuk menghentikan pemanasan
Penge-masan
Fisik , biologi
Debu/kotoran
Mikroba dan serangga
Operator - pengemasan menggunakan sarung tangan dan maskerPengemasan - dilakukan den-gan higienisPlastik ke-- masan segera disealer
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
26
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Menurut Setyadjit dkk. (2005), penetapan CCP pada proses harus melewati tiga pertanyaan pada decision tree, yaitu (P1) Apakah tahap ini khusus ditujukan untuk menghilangkan/mengurangi bahaya sampai batas aman? Bila “ya” CCP, bila “tidak” dilanjutkan pertanyaan (P2) Apakah kontaminasi bahaya dapat terjadi/meningkat sampai melebihi batas? Bila “tidak” bukan CCP, bila “ya” dilanjutkan pertanyaan (P3) Apakah tahap proses selanjutnya dapat menghilangkan bahaya sampai batas aman? Bila “tidak” CCP, bila “ya” bukan CCP.
Berdasarkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut pada setiap tahapan proses produksi manisan mangga kering, maka ditetapkan yang termasuk CCP adalah proses penyortiran, pencucian, pengeringan dan pengemasan. Sedangkan yang termasuk dalam CP (Control point) yaitu tahap pengirisan dan perendaman. Tahap penyortiran merupakan CCP, karena kontaminan kapang yang terbawa dari pertanaman dapat mengakibatkan manisan yang dihasilkan tercemar oleh mikroba dapat staphylococcus aureus. Tahap kritis selanjutnya adalah pencucian dengan air mengalir yang bersih (CCP 2). Menururt Acar (1998) dan Sydenham (1995) dalam Anonim (2003) menyatakan bahwa proses pencucian dengan menggunakan tekanan tinggi dan penyemprotan (pada skala pengolahan di tingkat industri) dapat menghilangkan separuh dari patulin yang terdapat pada buah-buahan. Tahap pengeringan menjadi CCP karena tahap ini yang akan menentukan kualitas akhir dari manisan mangga kering. Apabila kadar air hasil pengeringan melebihi standar, produk akan mudah ditumbuhi jamur/kapang. Parameter yang harus diperhatikan adalah suhu dan waktu pengeringan. Menurut Muljoharjo (1987), cepat lambatnya proses pengeringan sangat dipengaruhi oleh faktor dari dalam bahan (struktur bahan) serta dari luar bahan (distribusi aliran udara, suhu, kelembaban serta kecepatan udara). Selanjutnya Chung dan Chang (1982) menyatakan bahwa melalui proses pengeringan, kandungan air suatu bahan dapat dikurangi sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba maupun reaksi kimia lainnya.
Proses pengemasan menjadi CCP karena dapat terjadi kontaminasi silang dari lingkungan sekitar dan setelah proses pengemasan tidak ada lagi proses yang dapat menghilangkan kontaminasi tersebut. Batas kritisnya adalah kemasan harus tertutup rapat dan tidak ada kebocoran.
Tahapan yang termasuk dalam CP adalah proses pengirisan dan perendaman. Tahap ini juga sangat berpengaruh terhadap kualitas manisan mangga kering yang dihasilkan, karena tidak higienisnya peralatan maupun operator dapat menimbulkan kontaminan. Tahap tersebut tidak menjadi CCP karena pada tahap selanjutnya yang dapat mengendalikan kontaminan yang timbul yaitu tahap pengeringan. Pengirisan Matriks CCP dan CP disajikan pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Matriks CCP pada Proses Produksi Manisan Mangga Kering
Tahap Proses
CCP No. Bahaya Batas
KritisPeman-tauan
Tindakan Koreksi
Sortasi 1 Mikro-biologi
< 1% kapang yang ada pada buah
Obsevasi secara vi-sual setiap kali proses
Buah yang memiliki persentase kapang >1% dibu-ang
Alat yang diguna-kan harus bersih dan prosedur pemeriksa-an diting-katkan
Pencu-cian
2 Mikro-biologi
Buah bersih, tidak ada yang busuk/memar
Setiap proses, buah dicuci dengan air bersih yang mengalir
Proses pencucian dilakukan berulang kali
Penge-ringan
3 Biologi Suhu : 50-60°C
Waktu ±15-18 jam
Penguku-ran suhu dan waktu setiap saat
Proses dilanjutkan apabila kadar air belum ses-uai standar
Penge-masan
4 Biologi Tidak bocor
Periksa apakah hasil sealer rapat atau tidak bocor
Apabila tidak rapat, kemasan diganti
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
27
Tabel 4. Matriks CP (Control Point) pada Proses Pengolahan Manisan Mangga Kering
Tahap Proses
CP No.
Ba-haya Batas Kritis Peman-
tauan
Tin-dakan
KoreksiPen-girisan secara manual
1 Mik-robi-ologi
Potongan seragam dan biji dipisahkan
Pisau yang di-gunakan diperiksa secara berkala
Buah dibuang atau sortasi dilaku-kan secara ulang
Peren-daman dalam larutan gula
2 Mik-robi-ologi
Air untuk - mer-endam harus direbus matang
Tidak ada - kotoran yang masuk pada saat mer-endam buah dalam larutan gula
Setiap proses dicek secara visual
Irisan buah yang terkena kotoran, dll yang secara visual tidak normal tidak diguna-kan untuk manisan kering
Verifi kasi dan Dokumentasi
Proses verifi kasi mencakup berbagai aktivitas seperti inpeksi, pengunaan metode mikrobiologis dan kimiawi dalam menguji pencemaran pada produk akhir untuk memasttikan hasil pemantauan dan menelaah keluhan konsumen. Sedangkan proses dokumentasi (penyimpanan data) berfungsi untuk meyakinkan bahwa informasi yang dikumpulkan selama instalasi, modifi kasi dan operasi sistem akan dapat diperoleh oleh siapapun yang terlibat dalam proses maupun dari pihak luar (auditor). Penyimpanan data kan membantu bahwa sistem akan tetap berkesinambuangan dalam jangka panjang (Sudarmadji, 2005).
Proses verifi kasi dan dokumentasi pada tingkat industri kecil dapat dilakukan oleh penyuluh dari Dinas Instansi terkait, karena keterbatasan sumber daya manusia. Agar penerapan HACCP bermanfaat, sebaiknya dilakukan uji pencemaran (kandungan mikroorganisme) secara berkala yang dilakukan oleh petugas penyuluh Dinas Instansi terkait.
KESIMPULAN
1. Titik kendali kritis (CCP) pada industri olahan manisan mangga kering adalah penyortiran, pencucian, pengeringan dan pengemasan , sedangkan untuk titik kontrol poin pada industi manisan mangga kering adalah pada saat proses pengirisan mangga dan perendaman dalam larutan gula yang akan mempengaruhi mutu manisan mangga kering.
2. HACCP merupakan suatu pendekatan sistem dalam pengamanan makanan. Melalui pendekatan HACCP, maka pengawasan keamanan produk makanan hasil olahan dapat lebih terjamin. Implementasi proses penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) harus mulai dilakukan tidak saja pada industri besar, namun juga harus dimulai dari industri kecil atau industri skala rumah tangga, dengan model yang cukup sederhana. Namun demikian dalam pelaksanaannya, penerapan HACCP harus dimonitoring oleh Dinas terkait setempat minimal 4 bulan sekali untuk menjamin kelangsungan mutu produk yang dihasilkan, sehingga aman dikonsumsi oleh konsumen..
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2003. Manual on the application of the HACCP system in mycotoxin prevention and control. FAO/IAEA Training and Reference Centre for Food and Pesticide Control. Rome.2001.13p.
Badan Standar Nasional. 1999. SNI Sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis (HACCP) serta pedoman penerapannya.
Bryan, 1992. Hazard Analysis Critical Control Point Evaluations. World Health Organization. Geneva.
Chung, D.S. and D.I. Chang. 1982. Principles of food dehydration. J.Food. Protec.45 (5): 475-478
Kemendy, E. 2002. Implementasi jaminan keamanan pangan dalam industri. PT Unilever Indonesia Tbk, Jakarta.
Miskiyah, 2006. Studi penerapan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada makanan jajanan. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. Vol.2 hal 12-2.
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
28
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Muljoharjo, M. 1987. Pengeringan bahan pangan. Makalah yang Disampaikan Dalam Kursus Singkat Pengeringan Bahan Pangan, PAU Pangan-Gizi UGM, di Yogyakarta tanggal 14-31 Desember 1987.
Schmitt, R., Bryan F.L. Jermini, M., Chilufya, A.N., Hakalima, A.T. Zyuulu, M. Mfume, E. Mwande, C. Mullungshi, E. dan Lubasi D. 1997. Hazard and Critical Control Point of Food Preparation in Homes in Which Person Had Diarrrhea in Zambia. J. Food Protein.60(2): 161-171.
Sugestia, A. Mungkinkah HACCP diterapkan di UKM (Usaha Kecil Menengah) pangan. Buletin Industri Pangan Indonesia. Edisi kesebelas. Hal 8-10.
Sudarmadji. 2005. Analisis bahaya dan pengendalian titik kritis (Hazard Analysis Critical Control Point). Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.1 (2).
Thaheer, H. 2005. Sistem manajemen HACCP. Bumi Aksara. Jakarta.
Yamani, M., Tukan, S.K. dan Abu Tayeh, S.J. 1997. Mikcrobiological quality of kunafa and the development of Hazard Analyses Critical Control Point (HACCP) plan for its product.
Winarno, F.G. dan Surono. 2004. HACCP dan penerapannya dalam industri pangan. MBRIO Press, Bogor
Waryat, T. Ramdhan dan S. Aminah. 2004. Studi HACCP pada Proses Pembuatan Minuman Tradisional Betawi ”Bir Pletok Cair”. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional. Balai Besar Pascapanen Pertanian: 98-108.
Widaningrum dan C. Winarti. 2007. Studi Penerapan HACCP pada Proses Produksi Sari Buah Apel. Jurnal Standarisasi Vol. 9. N0.3 : 94-105.
Lampiran 1. Urutan Logis Penerapan HACCP
Penetapan Dokumentasi dan Pencatatan
Pembentukan Tim HACCP
Deskripsi Produk
Identifikasi Rencana Penggunaan
Penyusunan Bagan Alir
Konfirmasi Bagan Alir di Lapangan
Pencatatan Semua Bahaya Potensial yang Berkaitan dengan Analisa Bahaya
Penentuan Tindakan Pengendalian
Penentuan Titik Kendali Kritis
Penentuan Batas Kritis untuk Setiap TKK
Penyusunan Sistem Pemantauan untuk Setiap TKK
Penetapan Tindakan Perbaikan untuk Setiap Penyimpangan yang Terjadi
Penetapan Prosedur Verifikasi
Prinsip 1
Prinsip 2
Prinsip 4
Prinsip 3
Prinsip 5
Prinsip 7
Prinsip 6
7 Prinsip HACCP
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
29
KAJIAN PENGOLAHAN MIE DENGAN BAHAN BAKU TEPUNG TERIGU YANG DISUBSTITUSI TEPUNG CASSAVA
Dian Histifarina, Nandang Sunandar dan Sukmaya 1)
1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa BaratJl. Kayu Ambon No. 80, Lembang - Bandung Barat
ABSTRAKKetergantungan Indonesia terhadap beras dan produk pangan impor seperti terigu yang tinggi, membuat ketahanan pangan nasional sangat rapuh. Dari aspek kebijakan pembangunan makro, kondisi tersebut mengandung resiko (rawan), yang juga terkait dengan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik. Salah satu kebijakan pembangunan pangan dalam mencapai ketahanan pangan adalah melalui diversifi kasi pangan, yang dimaksudkan untuk memberikan alternatif bahan pangan sehingga mengurangi ketergantungan terhadap beras dan terigu. Salah satu produk pangan yang sangat tergantung pada tepung terigu adalah produk mie. Perkembangan konsumsi mie cukup pesat dan mie merupakan jenis makanan yang sesuai dengan kebutuhan atau preferensi konsumen di Indonesia. Alternatif jenis tepung dari umbi-umbian dapat mensubstitusi terigu dalam pembuatan mie. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui pengaruh substitusi terigu pada proses pengolahan mie cassava. Pengkajian dilakukan di laboratorium Mutu Hasil BPTP Jawa Barat dari bulan Juli hingga Oktober 2013. Formulasi substitusi terigu yang digunakan antara 70-100%. Data yang diamati meliputi kadar air, kadar abu, protein, warna, dan sifat organoleptik (warna, rasa, fl avor, tekstur dan penampilan keseluruhan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa formulasi mie dengan komposisi 30% tepung cassava dan 70% tepung terigu merupakan formulasi terbaik dengan mutu mendekati mie terigu 100% dan sesuai SNI mie.
Kata Kunci : mie cassava, tepung terigu, tepung cassava, sifat fi siko-kimia, mutu.
PENDAHULUANMie merupakan jenis makanan yang berasal
dari daratan Cina.Hal ini dapat dilihat dari budaya bangsa Cina yang menyajikan mie pada perayaan ulang tahun sebagai simbol untuk umur yang panjang (Juliano dan Hicks, 1990). Dalam perkembangannya, mie merupakan produk yang sangat dikenal di berbagai belahan dunia. Mie di Indonesia, bahkan telah menjadi pangan alternatif utama setelah nasi. Beragam jenis mie telah dikenal masyarakat, namun mie instan merupakan ragam mie yang paling popular. Mie di Asia dijual dalam bentuk mentah, basah, kering atau instan. Warna, sifat pemasakan, tekstur, dan rasa merupakan faktor penting yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap mutu mie di Asia (Nagao dkk., 1977 dalam Widaningrum, 2005). Menurut Asenstorfer dkk. (2006), mie di Asia dibuat dari tepung terigu dan digolongkan ke dalam dua kelas yang didasarkan pada bahan tambahan yang digunakan yaitu WSN (White Salted Noodles) yang dibuat dari tepung, sodium klorida, dan air, dan YAN (Yellow Alkaline Noodles) yang terbuat dari tepung, garam alkaline seperti sodium dan potasium karbonat dan air.
Saat ini pembuatan mie sangat tergantung dari terigu, yang merupakan produk komoditas impor. Menurut Hidayat (2008), untuk mengurangi ketergantungan terhadap terigu, salah satu bahan alternatif yang dapat
dikembangkan sebagai bahan baku mie adalah pati ubi kayu atau tepung ubi kayu. Mie ubi kayu adalah produk makanan berbentuk untaian mie yang terbuat dari pati ubi kayu. Tepung cassava merupakan tepung yang dihasilkan dari ubi kayu yang diproses melalui proses fermentasi dengan menggunakan enzim. Proses ini akan menghasilkan tepung cassava dengan karakteristik mirip terigu sehingga dapat digunakan sebagai pengganti terigu atau campuran terigu 30-100% dan dapat menekan biaya konsumsi tepung terigu 20-30%. Hasil penelitian Lina, dkk. (2012), tepung cassava terbaik dihasilkan pada proses fermentasi selamatiga hari dengan bakteri Saccharomyces cereviseae.
Beberapa hasil penelitian tentang mie dari tepung ubi-ubian selain tepung terigu telah banyak dihasilkan. Sarastani (2011) telah mengembangkan mie kering dari ubi jalar. Proses pembuatan mie kering ini memerlukan bahan pengisi dan pengikat berupa campuran terigu dan tapioka/sagu sebesar 30%. Kadar air dan protein mie ubi ungu telah memenuhi standar SNI nomor 01-3551-2000 untuk mie Instan. Selanjutnya menurut Ritthiruangdej et.al. (2011) menyatakan bahwa formula yang menghasilkan mie terbaik adalah 20.45% tepung pisang, 47.72% tepung terigu, 20.45% air, 2.04% garam, 1.02% sodium carbonate, 6.82% tepung telur, 0.14% polyphosphate and 1.36% propylene glycol.
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
30
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Tujuan penelitian adalah untuk menghasilkan formulasi campuran tepung/pati cassava dan tepung terigu yang dapat menghasilkan mie kering terbaik.
BAHAN DAN METODEPenelitian dilaksanakan di Laboratorium
Mutu Hasil BPTP Jawa Barat dari Juli hingga Oktober 2013. Bahan baku yang digunakan adalah ubikayu varietas Mangu. Metode penelitian menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap dan 3 ulangan. Perlakuan yang dicoba yaitu 1. Kontrol (A0), 2. Perlakuan formulasi tepung cassava 10%;90% terigu, 3. Perlakuan formulasi tepung cassava 10%;90% terigu, 4. Perlakuan formulasi tepung cassava 20%;80% terigu, 5. Perlakuan formulasi tepung cassava 30%;70% terigu, 6. Perlakuan formulasi pati cassava 10%;90% terigu,dan 7. Perlakuan formulasi pati cassava 20%;80% terigu, dan 8. Perlakuan formulasi pati cassava 10%;70% terigu. Setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 8 x 3 = 24 unit perlakuan. Bahan yang digunakan adalah tepung cassava, pati singkong, mentega, kuning telur, CMC, garam alkali dan air. Parameter pengamatan meliputi sifat kimia (kadar air, kadar abu, dan kadar protein), sifat fi sik (warna) serta sifat organoleptik (tekstur, warna, rasa, aroma dan penampilan keseluruhan). Kadar air menggunakan metode oven, kadar abu menggunakan metode abu total, protein dengan metode Kjedahl (SNI, 1992), dan warna menggunakan chromameter. Uji organoleptik dilakukan terhadap 25 orang panelis agak terlatih dengan skor penilaian sebagai berikut : untuk parameter tekstur ( 1 = lembek, 2 = Agak lembek, 3 = netral, 4 = Agak kenyal, 5 = kenyal); untuk parameter warna (1 = kuning coklat, 2 = kuning agak coklat, 3 = kuning pucat, 4 = kuning merata, 5 = kuning bersih mengkilat); untuk parameter rasa (1 = Tidak enak, 2 = agak tidak enak, 3 = netral, 4 = agak enak, 5 = enak) dan untuk parameter aroma (1 = aroma khas mie, 2 = aroma menyimpang).
Tahapan proses pembuatan mie sebagai berikut: tepung komposit (campuran tepung/pati cassava dan tepung terigu) ditambahkan dengan garam, mentega, telur, dan asam sitrat kemudian diaduk selama 10-20 menit hingga kalis, lalu diistirahatkan selama 10 menit. Setelah itu dilakukan pemipihan/pelempengan adonan, pencetakan adonan dengan alat pencetak mie, lalu mie dilumuri dengan mentega/minyak
goreng, kemudian dikukus dan dilumuri minyak goreng kembali. Proses ini menghasilkan mie basah. Proses selanjutnya adalah pengeringan untuk menghasilkan mie kering.
Analisis data menggunakan analisis statistik dengan uji Duncan/BNT (Gomez andGomez, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Formulasi Mie KeringPengolahan mie kasava menggunakan
bahan baku tepung dan pati kasava untuk membandingkan jenis tepung terhadap produk mie yang dihasilkan. Teknologi pengolahan yang diintroduksikan yaitu substitusi tepung terigu dengan tepung kasava dan pati kasava. Perlakuan yang diimplementasikan pada pembuatan mie kasava yaitu:1. A0 : formulasi 100% tepung terigu
(kontrol)2. A11: formulasi 10% tepung kasava : 90%
tepung terigu3. A12: formulasi 20% tepung kasava : 80%
tepung terigu4. A13: formulasi 30% tepung kasava : 70%
tepung terigu5. A21: formulasi 10% pati kasava : 90%
tepung terigu6. A22: formulasi 20% pati kasava : 80%
tepung terigu7. A23: formulasi 30% patikasava : 70%
tepung terigu
Tujuan penggunaan tepung terigu adalah pertimbangan kandungan protein terigu [glutenin dan gliadin] yang membentuk gluten dan akan menyumbang karakter elastik–kenyal pada produk mie.
Untuk menghasilkan mie dengan mutu yang baik, maka dari campuran formula tepung/pati cassava dengan tepung terigu, kemudian diperkaya dengan penambahan telur 5% atau 10%, dan garam 2%. Telur digunakan untuk meningkatkan nutrisi mie, juga diharapkan dapat memberikan karakter mie lebih kenyal, kompak, dan tidak lengket. Hasil percobaan pendahuluan menunjukkan bahwa mie yang diperkaya dengan telur 10% memberi tekstur lebih kenyal dan tidak lengket dibandingkan mie yang diperkaya dengan telur 5%. Penambahan garam pada adonan mie menghasilkan mie dengan sifat rehidrasi yang baik. Selanjutnya berdasarkan
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
31
percobaan pendahuluan formulasi akhir untuk bahan tambahan pada pembuatan mie adalah 10% telur dan 2% garam. Pembuatan mie dari tepung/pati ubi kayu berdasarkan hasil penelitian Hidayat (2008) yaitu mie dibuat dengan cara mencampurkan tepung/pati cassava dengan terigu (sesuai perlakuan), lalu ditambah air panas, pengulenan hingga terbentuk adonan yang kompak, pencetakan untaian mie menggunakan alat pencetak mie sistem press, perebusan untaian mie dalam air panas yang telah ditambahkan minyak makan dan garam, dan penirisan sehingga diperoleh produk mie.
2. Sifat Fisik dan Kimia Mie Kering
Mie kering adalah jenis mie yang tidak menMie kering adalah jenis mie yang tidak mengalami proses pemasakan lanjut ketika benang mie telah dipotong, tetapi merupakan mie segar yang langsung dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10% Pengeringannya biasanya dilakukan melalui penjemuran. Karena bersifat kering, daya simpannya juga relatif panjang dan mudah penanganannya.
Hasil analisis kimia terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein nilai warna dari mie cassa disajikan pada Tabel 1. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar air mie cassava yang dihasilkan pada kisaran 7,43 - 8,367%,; kadar abu pada kisaran 3,62-4,89% dan kandungan protein mie pada kisaran 6,64%-11,41%. Komposisi kimia mie cassava ini bila dibandingkan dengan standar SNI mie menunjukkan bahwa mie cassava yang dihasilkan telah memenuhi standar SNI baik mutu 1 maupun mutu 2, kecuali mie cassava yang dihasilkan dari penambahan tepung cassava 10 dan 20% menghasilkan kandungan protein < dari 8% dan untuk kadar abu juga belum sesuai standar (>4). Hal ini menunjukkan mie yang diproses dengan penambahan tepung atau pati kasava mampu menghasilkan mutu yang sama dengan mie yang dihasilkan dari 100% tepung terigu dan memenuhi standar SNI yang ditetapkan untuk mie kering. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Sarastani (2011) yang menghasilkan mie dengan kadar air masih diatas standar yaitu 11.34% bb. dan kandungan protein juga dibawah standar SNI yaitu 6,68% bb.
Warna mie yang dihasilkan menunjukkan tingkat kecerahan (L) yang tidak jauh berbeda dengan mie yang dihasilkan dari 100% tepung terigu. Perlakuan yang menghasilkan kecerahan warna yang mendekati mie dari 100% tepung terigu yaitu perlakuan 30% pati kasava, tetapi
secara umum warna yang dihasilkan tidak berbeda.Tabel 1. Kadar Air, Kadar Abu, Protein dan
Warna Mie Kasava
Perlakuan Air (%)
Abu (%)
Pro-tein(%)
Warna
L a b
100% terigu 8.36 4.32 11.27 80.68 -3,14 25,2610% tepung kasava 7.54 4.89 6.76 69.22 0.91 18.4220% tepung kasava 7.85 4.31 6.64 71.16 1.01 20.2530% tepung kasava 8.18 4.37 9.30 76.01 0.45 18.6310% pati kasava 7.43 4.26 11.41 70.60 0.06 18.6220% pati kasava 7.52 3.62 11.20 73.28 -0.14 19.8830% pati kasava 7.70 3.81 8.78 78.52 -0.71 16.64SNI 01-2974-1996 mutu I
maks 8,00
maks. 3
min. 11
- - -
SNI 01-2974-1996 mutu II
maks 10,00
maks. 3
min. 8 - - -
Sifat OrganoleptikSifat organoleptik merupakan pengujian
terhadap tingkat penerimaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Pengujian organoleptik ini ada beberapa cara yaitu menggunakan uji kesukaan, uji banding maupun uji beda. Pada penelitian ini, uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan. Parameter mutu yang diuji meliputi warna, aroma, rasa, tektur dan penampilan secara keseluruhan. Hasil uji tingkat kesukaan panelis terhadap mie berbahan baku tepung dan pati kasava dapat dilihat pada Gambar 1. Pada Gambar 1., terlihat bahwa penerimaan panelis terhadap parameter rasa mie cassava yang dihasilkan dari seluruh perlakuan formulasi tepung/pati cassava 10-30% memberikan penilaian yang sama dengan mie yang dibuat dari 100% tepung terigu. Hal ini menunjukkan konsumen memberikan penilaian yang sama tingkat kesukaannya terhadap warna mie yang dihasilkan baik yang menggunakan cassava maupun yang hanya menggunakan tepung terigu. Warna mie kasava dari 100% tepung terigu dan mie berbahan baku substitusi tepung dan pati kasava dapat diterima dengan baik oleh konsumen dengan skor 3,3 – 3,9 atau cukup suka hingga suka. Perlakuan terbaik dalam hal ini adalah formulasi substitusi tepung terigu 30% dengan jenis tepung atau pati kasava.
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
32
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Sedangkan untuk parameter aroma dan tekstur, terlihat bahwa mie yang dibuat dari campuran formulasi tepung/pati cassava 10-30% dengan terigu (70-90%) memberikan penilaian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mie yang dihasilkan dari 100% tepung terigu. Hal ini menunjukkan substitusi tepung/pati kasava 10-30% mampu meningkatkan penerimaan/preferensi konsumen terhadap tekstur dan aroma mie yang dihasilkan. Aroma yang disukai dari mie cassava adalah akibat tepung cassava yang digunakan merupakan proses hasil fermentasi, sehingga dapat menghasilkan aroma dan sita rasa yang khas. Sarpina dkk. (2007) melaporkan bahwa granula pati akan mengalami hidrolisis menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-asam organik, terutama asam laktat. Senyawa asam ini bercampur dalam tepung, sehingga ketika tepung tersebut diolah akan menghasilkan aroma dan cita rasa yang khas yang dapat menutupi cita rasa dari ubi kayu yang cenderung tidak disukai oleh konsumen. Selanjutnya hasil penelitian Mariyani (2014) melaporakan bahwa formula mie kering dengan komposisi mocal 40 % dan tepung terigu 60% dengan fermentasi spontan formula terbaik yang memiliki karakteristik mendekati mie kering dari tepung terigu 100%.
Gambar 1. Diagram Batang Penerimaan Konsumen Produk Mie dari Tepung dan Pati Kasava
Rendemen, Nilai Tambah dan Analisis Finansial Mie Kering Cassava
Nilai rendemen produk mie merupakan salah satu pengukuran sifat fi sik dari produk mie.
Sedangkan nilai tambah (value added) adalah selisih penjualan dan biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku dan pembelian material pendukung. Nilai tambah merupakan cara yang cukup bermanfaat untuk mengaplikasikan konsep rantai nilai (Value Chain). Rendemen dan nilai tambah pengolahan tepung dan pati ubikayu serta produk olahannya dapat dilihat pada Tabel 2.Tabel 2. Nilai Tambah Pengolahan Tepung
dan Pati Ubikayu serta Produk Olahannya
No. JenisHarga awal
(Rp/kg)
Rende-men (%)
Harga jual (Rp)
Sat-uan
Nilai tam-bah
1 Mie tepung kasava
6,000 150% 15,000 kg 225%
2 Mie pati kasava
8,000 150% 15,000
kg 169%
Berdasarkan data Tabel 2, tampak bahwa nilai rendemen produk mie kering yang dihasilkan adalah 150%, nilai tambah mie tepung kasava dapat mencapai 225% dengan nilai rendemen 150%, sementara untuk mie pati kasava lebih rendah yaitu hanya mencapai 169% dengan nilai rendemen 150%. Sedangkan hasil analisis fi nansial pembuatan mie cassava
yang disubstitsi dengan tepung terigu pada formulasi terbaik (30%tepung cassava dan 70% tepung terigu) memperoleh nilai R/C sebesar 1,27 (Tabel 3).
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
33
Tabel 3. Hasil Analisis Finansial Pembuatan Mie Cassava yang Disubstitusi dengan Tepung Terigu
Parameter JumlahNilai satuan
(Rp)Mie (Rp)
Biaya Produksi
Bahan baku
Tepung kasava 6 kg 6.000 36.000 Tepung terigu 14 kg 8.000 112.000
Mentega 1 kg 50.000 50.000
Garam alkali 0,4 60.000 24.000
Telur 1 kg 20.000 20.000
Bahan Penunjang
Gas 1 tbg 18.000 18.000
Tenaga kerja :
Tenaga Kerja 1 OH 25.000 25.000
Jumlah Biaya
Produksi
283.000
Penerimaaan :
Mie (basah) 36 kg 10.000 360.000
R/C 1.27
KESIMPULANFormulasi campuran tepung cassava 30%
dan tepung teriu 70% menghasilkan mutu mie mendekati mie terigu 100% dengan nilai kadar air 8,18%; kadar abu 4,37%; kadar protein 9,30% dan nilai L 76.01 denan tingkat kesukaan disukai (3,5-4,0).
DAFTAR PUSTAKAAsenstorfer, R.E., Y. Wang dan D.J. Mares.
2006. Chemical structure of fl avonoid compounds in wheat (Triticum aestivum L.) fl our that contribute to the yellow color of Asian alkaline noodles. J. Cereal Sci. 43(1): 108–119.
Badan Standardisasi Nasional [BSN]. 1992. Standar Mutu Mie Kering. SNI 1-2987-1992. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Hidayat, B., 2007. Pengembangan formulasi produk mie berbahan baku pati ubi kayu. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Juliano, B.O. dan P.A. Hicks. 1990. Utilization of rice functional properties to produce rice food products with modern processing technologies. International Rice Commission Newsletter. 39: 163-178.
Mariyani, N. 2014. Studi pembuatan mie kering berbahan baku tepung singkong dan mocal (modifi ed cassava fl our). Jurnal Sains Terapan. ww.diploma.ipb.ac.id di upload tanggal 17 Desember 2014.
Ritthiruangdej, P., S. Parnbankled, S. Donchedee dan R. Wongsagonsup, 2011. Physical, Chemical, Textural and Sensory Properties of Dried Wheat Noodles Supplemented with Unripe Banana Flour.Kasetsart J. (Nat. Sci.) 45 : 500 - 509.
Sarastani, D. 2011. Mie kering berbahan baku ubi jalar (formulasi, proses produksi, karakteristik produk). Jurnal Sains Terapan.
Widaningrum, S. Widowati dan S.T. Soekarto. 2005. Pengayaan Tepung Kedelai Pada Pembutan J.Pascapanen 2(1) 2005: 41
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
34
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
PENGARUH PENDAMPINGAN SL-PTT DALAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI, RESPONS PETANI UNTUK MENUNJANG PROGRAM P2BN DI JAWA BARAT
Agus Nurawan, Adetiya Rachman dan Iskandar IshaqBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
Jl. Kayu Ambon No. 80, Lembang - Bandung Barat
ABSTRAKDalam rangka meningkatkan produktivitas padi dan menunjang program P2BN di Jawa Barat, dilakukan pendampingan SL-PTT Padi sawah di Desa Mekar Pananjung, Desa Kertajaya, Kecamatan Padalarang Kabupaten Bandung Barat pada MT.II 2012. Pengkajian pendampingan seluas 3 ha dengan pola Denfarm dan dibandingkan dengan kebiasaan petani. Komponen teknologi PTT Padi Sawah yang diterapkan terdiri atas 1) pengukuran kebutuhan pupuk menggunakan perangkat PUTS, 2) peggunaan varietas unggul baru (VUB) 3) penggunaan pupuk organik, 4) tanam jajar legowo 2 :1, 5) penggunaan BWD, 6) pengendalian OPT dengan konsep PHT 7) penyiangan dengan kombinasi gasrok dan herbisida, 8) panen tepat waktu, 9) perontokan gabah dengan segera setelah panen. Metodologi pengkajian menggunakan pendekatan perbandingan (with) dengan tanpa perlakuan/kebiasaan eksisting petani (without), sebelum (before) dan sesudah (after) untuk penilaian minerjanya. Pengkajian pendampingan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi dan memperkenalkan varietas unggul baru (VUB: Inpari 13). Dalam kegiatan ini melibatkan 14 orang petani yang bergabung dalam kelompok tani. Hasil kegiatan pendampingan ini menunjukkan, bahwa petani yang didampingi produksinya lebih tinggi yaitu 8,50 t GKP/ha dibandingkan cara petani yang hanya 6,60 t GKP/ha. Tingkat pendapatan dan keuntungan masing-masing Rp.26.333.333 dan Rp.19.062.000,- Dari hasil pendampingan di tingkat kelompok tani ternyata ada perubahan-perubahan perilaku yang positif terhadap teknologi yang diterapkan. Adapun respons petani terhadap komponen teknologi yang diaplikasikan menunjukkan bahwa tidak seluruhnya komponen PTT padi sawah dapat diterapkan, respons yang sangat baik adalah terhadap VUB, penggunaan bibit muda dan PHSL (Pemupukan Hara Spesifi k Lokasi). Perubahan perilaku terhadap komponen teknologi pada umumnya perubahan yang sangat positif.
Kata Kunci : SL-PTT, padi sawah, pendampingan, Jawa Barat..
PENDAHULUAN Program Peningkatan Produksi Beras
Nasional (P2BN) yang telah digulirkan oleh pemerintah perlu didukung dengan berbagai cara, agar produktivitas padi dapat ditingkatkan. Di Jawa Barat telah dilakukan pendampingan dengan melaksanakan SL-PTT padi sawah dengan memilih lokasi-lokasi yang produktivitasnya belum optimal. Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi yang memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi beras nasional dengan kontribusi rata-rata 17,6% selama kurun waktu delapan tahun terakhir (2001-2008) atau kontribusi produksi rata-rata 17,3% pada 3 tahun terakhir (2006-2008) (BPS Jawa Barat. 2009 dan Diperta Jabar, 2008 dalam Ishaq, 2012). Hasil pengkajian menunjukkan, bahwa pendampingan dengan model pendekatan PTT padi sawah dapat meningkatkan produksi gabah kering giling (GKG) antara 15-20%. Mengingat pentingnya peran inovasi teknologi, maka Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah menetapkan pengawal/pendamping teknologi mendukung kegiatan SL-PTT padi, jagung dan kedelai berdasarkan surat keputusan (SK) Kepala Badan Litbang Pertanian Nomor 09/Kpts/KP.440/I/01/2012, tanggal 19 Januari 2012 tentang Pengawalan/Pendampingan Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, dan Kedelai sebagai lanjutan SK Kepala Badan Litbang Pertanian No. 48/Kpts/KP.340/I/02/2011, tanggal 16 Februari 2011 tentang Pengawalan/Pendampingan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung dan Kedelai dan Keputusan Kepala Badan Litbang Pertanian No. 30.1/Kpts/KP.340/1/2/2008 tentang perubahan Keputusan Kepala Badan Litbang Pertanian No.21/Kpts/KP.340/J/2/2007 tentang Penugasan Pendamping Pencapaian Sasaran P2BN. Selain komoditas tersebut juga komoditas yang cukup strategis untuk dikembangkan disebelah selatan Kabupaten Bandung Barat yaitu padi sawah, jagung dan kacang-kacangan. Luas lahan pertanian di Kabupaten Bandung Barat terdiri dari lahan basah (sawah dan kolam) seluas 12.168 Ha, lahan darat seluas 118.409 Ha, wilayah Kecamatan yang memiliki luas tanam paling banyak yaitu Kecamatan Gunung Halu seluas 3.804 Ha, selanjutnya Kecamatan Cipatat, Sindangkerta, Rongga dan Cihampelas (BPS Bandung Barat, 2011). Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan pendampingan kepada petani untuk merubah perilaku dan sikap dalam penyempurnaan teknologi PTT Padi sawah, meningkatkan produktivitas padi, meningkatkan pendapatan petani, dan merubah sikap/perilaku petani dalam melakukan budidaya padi.
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
35
BAHAN DAN METODEPengkajian pendampingan dilakukan
di Desa Kertajaya, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat paa MT.II 2012. Luas demplot untuk gelar teknologi dengan luas 3 ha, melibatkan 14 orang petani. Pengkajian dalam kegiatan pendampingan teknologi mendukung SL-PTT dilakukan melalui beberapa pendekatan dengan (with) dan tanpa (without) serta sebelum (before) dan sesudah (after). Teknologi yang diterapkan adalah menggunakan PTT padi sawah, jarak tanam 25 x 12,5 x 50 cm dengan sistem tanam jajar legowo, rekomendasi pemupukan berdasarkan analisis tanah seperti tabel 1. Pemberian N dilakukan 3 kali, yaitu 1-2 minggu setelah tanam (MST), 3-5 MST dan 6-7 MST, varietas yang digunakan Inpari 13. Pengendalian OPT dan gulma dilakukan sejak dari pesemaian sampai dengan menjelang panen, sesuai dengan SOP pengendalian PT.FMC.
Tabel. 1. Hasil analisis Tanah Lokasi Pengkajian Desa Kertajaya, Kec.Padalarang.
Unsur Hara Status Hara Rekomendasi pemupukan
(kg/ha)N Sedang 200P Sedang 100 (potensi hasil > 6 t/ha)K Tinggi 0 + jerami 5 t/ha
Semai benih dilaksanakan pada tanggal 8 April 2012 dan penanaman dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 April 2012 atau pada saat umur persemaian 19-20 hari. Pengamatan pertumbuhan tanaman pada gelar teknologi dibagi berdasarkan jumlah anggota petani peserta. Tiap petani peserta gelar teknologi diharapkan dapat mengamati setidaknya 5 rumpun tanaman padinya. Total pengamatan rumpun padi pada gelar teknologi yaitu 5 X 14 Petani = 70 rumpun tanaman padi pada luasan 3 Ha. Pengamatan dilaksanakan oleh petani peserta gelar teknologi dan didampingi oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL)
Penerapan teknologi sebelum dan sesudah kegiatan yang di evaluasi terdiri atas : penggunaan varietas, banyaknya rumpun per lubang, jarak tanam, sistem tanam, pemupukan, pemeliharaan tanaman, panen dan pasca panen. Kinerja penerapan teknologi yang dievaluasi berdasarkan indikator yang diperlihatkan seperti cara mengetahui kesuburan tanah, teknik pemupukan, jenis pupuk, penerapan dosis pupuk, pengetahuan terhadap mutu benih, sumber informasi legowo, umur bibit dan lain-lain. Hal-hal teknis yang diamati terdiri atas
tinggi tanaman, banyaknya anakan, produksi padi dan analisis usahatani. Data dianalisis dan dibandingkan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASANPetani kooperator dari Kelompoktani
Mekar Pananjung dengan lokasi berada di Desa Kertajaya Kecamatan Padalarang. Poktan Mekar Pananjung memiliki 46 anggota dengan luas sawah mencapai 25 Ha lebih. Sebelum pelaksanaan gelar teknologi PTT dilakukan kajian pemahaman masalah dan peluang (PMP) tentang kondisi penerapan komponen teknologi PTT yang sudah diadopsi (check adopsi teknologi), baik pada petani pelaksana maupun petani sekitarnya. Hasil PMP sebelum dan sesudah kegiatan inovasi penerapan teknologi PTT padi sawah disajikan pada Tabel 2. Pada umumnya petani di kelompok tersebut menunjukkan perubahan yang positif, seperti penggunaan varietas, penggunaan benih, penggunaan bibit per lubang tanam, sistem tanam, jarak tanam dan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Penggunaan varietas (VUB) umumnya yang berubah adalah pada petani pelaksana Gelar Teknologi (Getek), sedangkan petani yang berada di sekitar lokasi (non koperator) Getek tetap bertahan menggunakan varietas Ciherang. Begitu juga dengan sistem tanam dan jarak tanam petani non koperator masih bertahan dengan sistem tegel dengan jarak tanam 25 x 25 cm.
Tabel 2. Penerapan Teknologi pada Lokasi Gelar Teknologi PTT Padi Sawah pada MT 2 di Desa Kertajaya, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat
No UraianPetani Pelaksana Petani Sekitar
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah1 Varietas Ciherang INPARI 13 Ciherang Ciherang2 Penggu-
naan Benih (kg/ha)
20 15 20 20
3 Pengola-han Tanah
Sempurna sempurna Olah tanah seder-hana
Sempur-na
4 Peng-gunaan jumlah bibit per rumpun
> 5 3 - 5 >5 3-5
5 Sistem Tanam
Tegel Legowo 2 Tegel Tegel
6 Jarak Tanam (cm)
25 x 25 12,5x25x50 25 x 25 25 x 25
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
36
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
No UraianPetani Pelaksana Petani Sekitar
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah7 Jumlah
Populasi Tanaman per ha
160.000 212.000 160.000 160.000
8 PupukJenis- Majemuk+
tunggalTunggal Maje-
muk+ tunggal
Maje-muk+ tunggal
Dosis (kg/- ha)
NPK 200 kg
TSP 200 kg
KCl 200 kg
Urea 200 kg
TSP 100 kg
NPK 200 kg
TSP 200 kg
KCl 200 kg
NPK 200 kg
TSP 200 kg
KCl 200 kg
Waktu ap-- likasi
2x : 2 MST, 6 MST
3x : 1-2 MST, 3-5 MST, 6-7 MST
2x : 2 MST, 6 MST
3x : 1-2 MST, 3-5 MST, 6-7 MST
9 Penyian-gan
Intensitas - (kali)
3 x 2 x 3 x 2 x
Cara- gasrok Herbisida + gasrok
gasrok Herbisida + gasrok
10 Pengenda-lian OPT
Cara- Kebiasaan petani
PHT Kebi-asaan petani
PHT
Bahan- Pestisida kimia
Kombinasi pestisida kimia+nabati
Pestisi-da kimia
Kom-binasi pestisida kimia+nabati
Waktu- Setelah terjadi serangan luas
Pence-gahan + penang-gulangan dini
Setelah terjadi serangan luas
Pence-gahan + penang-gulangan dini
11 PanenCara- manual manual manual manualAlat- Arit AritWaktu - (umur)
120 HST 102 HST 120 HST 120 HST
12 Perontok-kan
manual manual manual manual
Cara- gebot gebot gebot gebotAlat- Alat gebot Alat gebot,
alas terpalAlat gebot
Alat ge-bot, alas terpal
Waktu - (hr stlh panen)
2 – 5 1 - 2 2 – 5 1 - 2
13 Pengerin-gan
Cara- dijemur dijemur dijemur dijemurAlat- terpal terpal terpal terpalWaktu - (hr stlh panen)
5 – 7 3 - 5 5 – 7 3 - 5
Demfarm dalam bentuk gelar teknologi PTT Padi Sawah pada lahan seluas 3 Ha. Gelar teknologi dilaksanakan pada 2 hamparan sawah yang berbeda dengan luas masing-masing 2,3 dan 0,8 Ha. Varietas yang digunakan untuk gelar teknologi yaitu INPARI 13. Anggota kelompok tani peserta gelar teknologi berjumlah 14 orang, nama dan luasan masing-masing peserta dapat dilihat pada Tabel 3:Tabel 3. Anggota Kelompoktani dan Luasan
Peserta Gelar Teknologi PTT Padi Sawah BPTP Jawa Barat di Kabupaten Bandung Barat pada MT.II 2012/2013.
No. Nama Petani Luasan (m2)1. Ganda 20002. Ambi 10003. Bah Uju 35004. Bu Ini 14005. Itas 12606. Adin 56007. Maman 20008. Ayi 16809. Ujang 168010. Iman 168011. Sumpena 168012. Damat 350013. H. Cece 126014. Andih 2800
1. Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan.
Pada umumnya pertumbuhan tanaman padi yang menggunakan pendekatan PTT padi sawah pertumbuhan dan anakannya lebih baik, lebih kokoh bila dibandingkan dengan cara petani. Pengkajian Wibowo,et.al. (2011), penerapan PTT padi sawah memberikan dampak yang lebih baik terhadap pertumbuhan tanaman padi, dan pertumbuhan gulma ditekan seminimal mungkin sehingga unsur hara dapat dimanfaatkan secara optimal oleh tanaman padi. Hasil pengamatan keragaan tinggi tanaman hingga minggu ke-8 (60 HST) tanaman tertinggi 89 cm dan terendah 50 cm dapat dilihat pada Gambar 1. Keragaan jumlah anakan hingga minggu ke-8 (60 HST), anakan terbanyak berjumlah 38 anakan dan terendah 18 anakan dapat dilihat pada Gambar 2. Hal ini sejalan dengan penelitian Nurawan, (2007), Variabel tinggi tanaman, dari hasil pengamatan yang dilakukan pada umur 65 HST ternyata yang tertinggi adalah yang dilakukan pendampingan dan berbeda dengan perlakuan tanpa pendampingan. Tanaman tertinggi 119,50 cm dan terendah 110,50 cm. Hal ini sejalan dengan deskripsi dari varietas Ciherang, yang mempunyai bentuk tanaman tegak dan tinggi tanaman berkisar antara 107 – 120 cm.(BB Tanaman
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
37
Padi 2006). Pertumbuhan/tinggi tanaman merupakan respons pemberian pupuk terhadap tanah dan tanaman, karena yang digunakan adalah Varietas unggul dan bermutu, sehingga pertumbuhannya lebih baik bila dibandingkan dengan varietas yang dihasilkan sendiri oleh petani. Berdasarkan hasil penelitian Aribawa dan Kariada, (2005) bahwa sistem tanam legowo 2 : 1 memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dibandingkan dengan legowo 4 :1 dan tegel. Sedangkan untuk jumlah anakan, hasil penelitian Haryati dan Agus (2007), di daerah pantura desa Playangan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon untuk varietas Ciherang yang ditanam pada Musim Kemarau II (MK.II) menghasilkan rata-rata jumlah anakan produktif 21,67 rumpun, jumlah malai 20,67 dan panjang malai 24,90 cm.
Gambar 1. Keragaan Tinggi Tanaman Gelar Teknologi PTT Padi Sawah hingga 60 HST
Gambar 2. Keragaan Jumlah Anakan Gelar Teknologi PTT Padi Sawah hingga 31 HST
Hasil pengkajian Thamrin dan Yanter,(2011) hasil pendampingan dengan pendekatan PTT padi sawah di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan menunjukkan, bahwa hasil pendampingan mempunyai vigor tanaman yang lebih baik. Hasil panen hasil pendampingan menunjukkan produksi yang tinggi yaitu untuk varietas Inpari 1: 6,72 ton/ha GKG, Mekongga : 5,92 ton/ha, Cimelati :5,36 ton/ha, Angke 5,12 ton/ha, bila dibandingkan dengan teknologi petani yang menggunakan varietas Ciherang hanya 3,6 ton/ha GKG.
2. Kinerja pendekatan PTT padi Sawah di Desa Pananjung, Kec.Padalarang, Kab. Bandung Barat MT.II 2012.
Kinerja penerapan PTT padi sawah yang dievaluasi berdasarkan wawancara dan evaluasi pada musim berikutnya yang terlihat di lapangan. Hasil pengamatan menunjukkan, bahwa cara untuk mengetahui kesuburan tanah yang awalnya hanya berdasarkan penglihatan dan perabaan setelah kegiatan walaupun dibantu oleh PPL sudah menggunakan PUTS yang sudah tersedia di BP3K setempat. Begitu juga tentang penggunaan jenis pupuk, dosis serta cara pemupukan seperti terlihat pada Tabel.4. yaitu sebelumnya lebih banyak mengunakan pupuk tunggal, dosis pupuk berdasarkan kebiasaan dan cara pemupukannya dengan cara disebarkan dari pematang. Sesudah kegiatan sudah mulai menggunakan pupuk majemuk, dengan dosis yang sesuai dengan hasil pengukuran dengan PUTS dan cara memupuknya diaplikasikan diantara jarak tanam legowo 2 : 1. Begitu juga sebelum melakukan pemupukan, dilakukan penyiangan dengan menggunakan alat gasrok.Tabel 4. Kinerja Penerapan Pendekatan PTT
Padi Sawah pada Lokasi Gelar Teknologi Tahun 2012 (MTII) di Kabupaten Bandung Barat.
No Indikator Kinerja
KeteranganSebelum Sesudah
1. Cara mengeta-hui kesuburan tanah
dari warna dan pera-
baanPUTS Ceramah,
Praktek
2. Pengetahuan teknik pemu-pukan
Kebiasaan PHSL Praktek
3. Cara pemupu-kan Disebar dari
pematang
Diaplikasi diantara legowo
Praktek
4. Jenis pupuk yang sering digunakan
tunggal majemuk Teori dan praktek
5. Penerapan dosis pupuk
Berdasar kebiasan
Penguku-ran PUTS
praktek
6. Pengetahuan terhadap VUB kurang
Mengenal dari buku deskripsi
Ceramah, praktek
7. Pengetahuan terhadap benih bermutu
kurang Mengenal ciri-cirinya praktek
8. Sumber infor-masi tentang sistem legowo
Diantara petani Dari PPL
9. Penerapan sistem legowo legowo 4:1 legowo 2:1 Praktek
10. Penerapan umur bibit 25 HSS 18 HSS Praktek
11. Penggunaan bahan organik
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
38
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
No Indikator Kinerja
KeteranganSebelum Sesudah
Jenis bahan - organik
Kandang/kompos
pabrikan Ceramah
Dosis - seadanya 1 t/ha Praktek dan, ceramah
Waktu ap-- likasi Saat pengo-
lahan tanah
Saat pen-golahan
tanah
Praktek dan, ceramah
12. Pengairan basah-kering berselang (PBKB)
Tidak dilakukan
Pemahaman - tentang PBKB
Belum ada faham
Penerapan - PBKB
Tidak diter-apkan
Tidak diter-apkan
13. Pengendalian OPT dan Gulma
Hama- Pestisida tanpa per-hitungan ambang kendali
Konsep PHT
Praktek dan, ceramah
Penyakit- Pestisida tanpa per-hitungan ambang kendali
Konsep PHT
Praktek dan, ceramah
Gulma- Manual Herbisida Praktek14. Panen
Penentuan - waktu panen yang tepat
ManualMelihat deskripsi dan visual
Praktek dan, ceramah
Cara panen - Disabit Disabit Praktek15. Pascapanen
Waktu peron-- tokkan Langsung Langsung Ceramah
Alat perontok- Digebot digebot16. Produktivitas
(t/ha) 6,60 8,50 Pengamatan
17. Penerimaan Usahatani (Rp) 26.333.333 Hasil
Perhitungan
Pengetahuan tentang VUB yang semula hanya dari kios sarana tani yang informasinya terbatas, setelah seringkali dilakukan pertemuan kelompok tani dan display varietas, maka petani sudah mulai sadar tentang manfaat VUB yang dapat mendongkrak produksi kurang lebih 10 %, sehingga petani mulai memilih VUB yang sesuai dengan keinginan dan cocok ditanam di lahannya. Terakhir yang cukup menonjol adalah dalam pengendalian OPT semula melakukan pengendalian OPT tanpa ada pengamatan terlebih dahulu, sesudah dilakukan gelar teknologi aplikasi pestisida berdasarkan konsep PHT yaitu dilakukan pengamatan terlebih dahulu tentang jenis OPT dan ambang ekonomi untuk pengendalian. Hasil pengkajian Wasito dan Khairiah, (2011), perubahan perilaku petani dalam mengadopsi komponen teknologi PTT padi sawah
perubahannya cukup signifi kan, yaitu dari 80 orang petani, ada 62,5% yang mengadopsi PTT padi sawah setelah dilakukan gelar teknologi di Desa Sipare-pare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Batubara, Propinsi Sumatera Utara.
KESIMPULAN• Pendampingan pendekatan SL-PTT padi sawah
terhadap penyuluh pertanian di Kabupaten Bandung Barat dapat meningkatkan kinerja penerapan inovasi teknologi PTT padi sawah.
• Penerapan inovasi teknologi PTT Padi sawah dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan, petani yang didampingi produksinya lebih tinggi yaitu 8,50 ton GKP/ha dibandingkan cara petani yang hanya 6,60 t GKP/ha dan tingkat keuntungan masing-masing Rp.26.333.333 dan Rp.19.062.000,-
• Varietas Unggul Baru (VUB) yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian dijadikan pilihan di Kecamatan Padalarang, Kabupoaten Bandung Barat.
DAFTAR PUSTAKANurawan, A. 2007. Peningkatan produksi padi dengan
pendekatan model PTT, analisis usahatani dan respons petani terhadap komponen teknologi PTT padi. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN.Buku 1. BB Penelitian Tanaman Padi. Hal. 255- 264.
Badan Pusat Statistik. 2010. Bandung Barat dalam Angka. Pemda Kabupaten Bandung Barat.
Haryati dan Agus N. 2007. Pengenalan Varietas Unggul Baru (VUB) dalam mendukung peningkatan produksi padi. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. BBSDLP. Hal. 191-198.
Ishaq, I. 2012. Laporan akhir pendampingan SL-PTT di Jawa Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat.
Khairiah dan Wasito, 2011. Perilaku petani dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan Agroindustri padi (Kasus Prima Tani Sipare-pare, Kabupaten Batubara. Prosiding seminar ilmiah hasil penelitian padi nasional 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Hal. 875-882.
Thamrin, T dan Yanter, H., 2011. Peningkatan produktivitas pada sawah irigasi melali pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Prosiding seminar ilmiah hasil penelitian padi nasional 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Hal. 1219-1230.
Wibowo, S, M, Chary S., dan Dadang R. R. 2011. Kajian penerapan PTT dan teknik imunisasi untuk meningkatkan produktivitas padi sawah dan kualitas gabah yang dihasilkan. Prosiding seminar ilmiah hasil penelitian padi nasional 2010. Hal. 859-871.
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
39
TANGGAPAN PETANI TERHADAP KOMPONEN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU (PTT) PADI SAWAH DI KECAMATAN
CISALAK, KABUPATEN SUBANGSri Murtiani dan Kiki Kusyaeri Hamdani
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa BaratJl. Kayu Ambon No. 80, Lembang - Bandung Barat
ABSTRAKDalam rangka meningkatkan produktivitas padi dan menunjang program P2BN di Jawa Barat, dilakukan pendampingan SL-PTT Inovasi teknologi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman padi terus dihasilkan sebagai solusi untuk mengantisipasi berbagai kendala di tingkat lapangan khususnya di petani diantaranya komponen teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi sawah. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan petani terhadap komponen teknologi PTT padi sawah. Pengkajian dilakukan di Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang pada bulan Oktober 2013. Pengkajian menggunakan metode survei dan pengumpulan data dari responden melalui teknik wawancara dengan menggunakan kuisioner. Data dianalisis secara diskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan statistik non parametrik. Analisis data secara kuantitatif dilakukan melalui Uji keselarasan (konkordansi) Kendall dan Chi Square pada taraf 5%. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tanggapan responden (petani) di Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang terhadap komponen teknologi PTT padi sawah adalah menyatakan setuju dan sangat setuju dengan persentase 68%-87%. Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah merupakan komponen teknologi PTT padi sawah dipilih paling banyak oleh responden dengan persentase 87%. Responden mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap komponen teknologi PTT padi sawah.
Kata Kunci : Tanggapan petani, PTT, padi sawah
PENDAHULUANInovasi teknologi untuk meningkatkan
produksi dan produktivitas tanaman padi terus dihasilkan sebagai solusi untuk mengatisipasi berbagai kendala di tingkat lapangan khususnya di petani diantaranya komponen teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). PTT merupakan suatu pendekatan dalam upaya mengelola lahan, air, tanaman, OPT dan iklim secara terpadu yang dapat diterapkan secara berkelanjutan dengan tujuan untuk memecahkan masalah khususnya dalam meningkatkan produksi tanaman. PTT padi sawah adalah suatu usaha untuk meningkatkan hasil padi sawah dan pendapatan petani melalui efi siensi usaha tani dengan menggabungkan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang dan memperhatikan penggunaan sumberdaya alam secara bijak agar memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman.
Komponen PTT padi sawah terdiri dari : 1) komponen teknologi dasar yaitu varietas unggul baru, benih bermutu dan berlabel, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, pengendalian OPT dengan pendekatan PHT, pengaturan populasi tanaman secara optimum, dan pemberian bahan organik; 2) komponen teknologi pilihan yaitu pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, penanaman bibit muda (<21 hari), tanam 1-3 batang per rumpun, pengairan secara efektif dan efi sien,
penyiangan menggunakan landak/gasrok, panen tepat waktu, dan perontokan gabah sesegera mungkin (BPTP Jawa Barat, 2011).
Menurut Abdulrachman (2007), peningkatan hasil tanaman yang diperoleh dengan pendekatan PTT dapat mencapai 16-37% sesuai tingkat dan skala luasan usaha. Perlakuan PTT padi memberikan hasil paling tinggi dibandingkan dengan dengan perlakuan cara petani (Supriyadi dan Sunandar, 2011). Keberhasilan program P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional) yang diimplementasikan sejak 2007 tentu tidak dapat dipisahkan dari pengembangan PTT padi sawah. Sampai saat ini, Badan Litbang Pertanian terus berupaya mengembangan inovasi teknologi padi dengan pendekatan PTT. Akan tetapi, terlepas dari keberhasilan tersebut, penerapan PTT padi sawah masih belum berjalan secara optimal. Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai tanggapan petani terhadap PTT padi sawah sebagai umpan balik. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan petani terhadap komponen teknologi PTT padi sawah.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilakukan di Kecamatan
Cisalak, Kabupaten Subang pada bulan Oktober 2013. Pengkajian menggunakan metode survei dan pengumpulan data dari responden melalui teknik wawancara dengan menggunakan kuisioner. Responden diambil secara stratifi ed random sampling sebanyak 28 orang petani.
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
40
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Data yang dikumpulkan meliputi data umur dan pendidikan responden, pemahaman responden, dan tanggapan responden terhadap PTT padi sawah. Data dianalisis secara diskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan statistik non parametrik. Pengolahan dan dan analisis data menggunakan Microsoft Offi ce Excell 2007 dan SPSS versi 20
Skala Likert digunakan sebagai dasar pemberian nilai skor untuk masing-masing jawaban yaitu 1 = tidak setuju, 2 = ragu-ragu, 3 = setuju, dan 4 = sangat setuju. Cara menghitung persentase penggolongan skor penilaian yaitu :
Jumlah skorX 100%
Skor ideal
Ket : Jumlah skor = jumlah skor skala penilaian 1 sampai dengan 4 (untuk setiap skor = frekwensi x bobot nilai)
Skor ideal (skor tertinggi) = jumlah responden x bobot nilai tertinggi
Kriteria interpretasi skor berdasarkan persentase kelompok responden :
angka 0% - 25% - = Tidak setujuangka 26% - 50%- = Ragu-raguangka 51% - 75%- = Setujuangka 75% - 100%- = Sangat setuju
Analisis data secara kuantitatif mengguna-kan uji keselarasan (konkordansi) Kendall. Uji ini menghasilkan rangking/urutan peringkat nilai rata-rata jawaban seluruh responden (mean rank) terhadap komponen teknologi PTT padi sawah yang dipilih oleh responden dan koefi sien Kendall yang menunjukkan nilai keselarasan antar responden dalam melakukan penilaian terhadap pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner. Koefi sien Kendall (W) diperoleh dengan menggunakan rumus :
W = s1/12 (k2 (N3 - N))
Keterangan :s = jumlah kuadrat deviasi observasi dari mean
Ri k = jumlah responden N = jumlah pertanyaan (Siegel, 1994)
Untuk mengetahui keselarasan pendapat responden dilakukan Uji Chi Square terhadap Koefi sien Kendall (W). Nilai Chi Square (X2) dihitung menggunakan rumus :
X2 = k(N – 1)WKeterangan :k = jumlah respondenN = jumlah pertanyaanW = Koefi sien KendallHipotesis :Ho = Konsumen mempunyai penilaian yang
sama terhadap komponen teknologi PTT padi sawah
Hi = Konsumen mempunyai penilaian yang berbeda terhadap komponen teknologi PTT padi sawah
Dasar pengambilan keputusan :Membandingkan antara X2 hitung dengan X2 ta-bel pada tingkat kepercayaan 95%.• Jika X2 hitung < dari X2 tabel, maka Ho
diterima• Jika X2 hitung > dari X2 tabel, maka Ho
ditolak
Dengan melihat angka probabilitas, dengan ketentuan : • Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima• Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak
HASIL DAN PEMBAHASANKarakteristik responden terdiri dari umur
dan tingkat pendidikan. Gambar 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki umur 15-64 tahun dengan jumlah 85,71% dan sisanya yaitu responden berumur 65 ke atas sebanyak 14,29%. Rata-rata umur responden adalah 53 tahun. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa sebagian besar responden termasuk dalam usia produktif yaitu umur 15-64 tahun dimana pada usia produktif seseorang memiliki kemampuan fi sik yang optimal dan memiliki respon yang baik dalam menerima hal-hal baru untuk perbaikan usahataninya. Umur 0 – 14 tahun merupakan kelompok umur belum produktif, umur 15 – 64 tahun merupakan kelompok umur produktif, dan umur 65 tahun keatas adalah kelompok umur sudah tidak produktif (Mantra, 2003). Menurut Mardikanto (1993), semakin tua (berusia 50 tahun ke atas) umur seseorang, biasanya semakin lambat mengadopsi suatu inovasi.
Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa jumlah responden terbanyak menurut tingkat pendidikan secara berurutan yaitu
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
41
sebanyak 71,43% berada pada tingkat pendidikan SD, SMP (10,71%), dan SMA (17,86%). Dilihat dari pemahaman terhadap PTT padi sawah, responden yang menjawab belum paham secara berturut-turut yaitu yang memiliki tingkat pendidikan sampai SD
1
sebanyak 36,84%, SMP (25%) dan SMA (20%). Tingkat pendidikan sangat menentukan tingkat pemahaman teknologi dan usahatani padi sawah dan penerimaan adopsi teknologi.
Hasil interpretasi skor berdasarkan persentase kelompok responden menunjukkan bahwa semua responden menjawab sangat setuju dan setuju terhadap komponen teknologi PTT padi sawah dengan persentase 68%-87% (Tabel 1). Hasil mean rank uji Kendal menunjukkan bahwa pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah merupakan komponen teknologi PTT padi sawah yang menempati urutan pertama (Tabel 2) karena dipilih paling banyak oleh responden dengan persentase skor penilaian sebesar 87% (Tabel 1). Hal tersebut diduga komponen teknologi tersebut sangat dirasakan dapat meningkatkan produktivitas padi sawah. Pemupukan sesuai dengan rekomendasi (berdasarkan status hara tanah) merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi (Azwir dan Ridwan, 2009). Sedangkan perontokkan gabah sesegera mungkin menempati urutan terakhir dengan persentase sebesar 68% (Tabel 1). Kendala utama untuk melakukan perontokan gabah sesegera mungkin di lokasi pengkajian adalah diakibatkan oleh faktor jumlah tenaga kerja yang terbatas terutama pada saat panen serempak. Sementara di sisi lain petani belum menggunakan mesin perontok yang tidak menggunakan menggunakan banyak tenaga
kerja serta proses perontokannya lebih cepat. Penundaan perontokan juga menjadi alasan agar padi lebih mudah digebot. Selain dapat meningkatkan kehilangan hasil, penundaan perontokan juga menyebabkan kehilangan dalam hal mutu (Nugraha, 2008b).
2
Tabel 1. Interpretasi Tanggapan Responden terhadap Komponen Teknologi PTT Padi Sawah
No Pertanyaan Skor Persen-tase Interpretasi
1 Penggunaan varietas unggul baru (VUB)
91 81 Sangat setuju
2 Penggunaan benih bermutu dan berlabel
93 83 Sangat setuju
3
456
7
89
101112
Penggunaan jumlah bibit 1-3 batang/rumpun per lubang tanam Penggunaan bibit muda (< 21 HST)Penggunaan Bagan Warna Daun (BWD)Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanahPenggunaan pupuk organik (pupuk kandang atau kompos jerami)Cara tanam jajar legowoPengairan/irigasi berselang (Intermitten)Pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT)Pengendalian/penyiangan gulma menggunakan landak atau gasrokPanen tepat waktu (90-95 % gabah berwarna kuning)
88
908097
92
89838786
93
79
807187
82
79747877
83
Sangat setuju
Sangat setujuSetujuSangat setuju
Sangat setuju
Sangat setujuSetujuSangat setujuSangat setuju
Sangat setuju
13 Perontokan gabah sesegera mungkin
76 68 Setuju
2Gambar 1 dan 2. Distribusi Umur dan Tingkat Pendidikan Responden
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
42
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Tabel 2. Mean rank Jawaban Responden tentang Komponen Teknologi PTT Padi Sawah
No Pertanyaan Mean Rank Peringkat
1 Penggunaan varietas unggul baru (VUB)
7,61 5 (lima)
2 Penggunaan benih bermutu dan berlabel
7,96 3 (tiga)
3
456
7
89
1011
12
Penggunaan jumlah bibit 1-3 batang/rumpun per lubang tanam Penggunaan bibit muda (< 21 HST)Penggunaan Bagan Warna Daun (BWD)Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanahPenggunaan pupuk organik (pupuk kandang atau kompos jerami)Cara tanam jajar legowoPengairan/irigasi berselang (Intermitten)Pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT)Pengendalian/penyiangan gulma menggunakan landak atau gasrokPanen tepat waktu (90-95 % gabah berwarna kuning)
6,91
7,455,188,91
7,63
7,115,776,686,61
8,04
8 (delapan)
6 (enam)12 (duabe-las) 1 (satu)
4 (empat)
7 (tujuh)11 (sebelas) 9 (sembilan)10 (sepuluh)
2 (dua)
13 Perontokan gabah sesegera mungkin
5,16 13 (tigabe-las)
N 28Koefi sien Kendall’s (W) 0,183Chi Square 61,477 Df 12 Asymp. Sig. 0,000
Pada Tabel 2 juga diperoleh nilai koefi sien Kendal (W) sebesar 0,183. Nilai X2 hitung adalah 61,477 sedangkan nilai X2 tabel adalah 21.026 ( X2 hitung > dari X2 tabel, maka Ho ditolak) artinya responden mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap komponen teknologi PTT padi sawah. Nilai asymp. sig. 0,000 < 0,05, maka H
0 ditolak
artinya sama dengan keputusan sebelumnya yaitu responden mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap komponen teknologi PTT padi sawah. Dari keputusan tersebut dapat diketahui bahwa tanggapan responden terhadap komponen teknologi PTT padi sawah tidak selaras diantara para responden.
KESIMPULAN1. Tanggapan responden (petani) di Kecamatan
Cisalak, Kabupaten Subang terhadap komponen teknologi PTT padi sawah adalah menyatakan setuju dan sangat setuju terhadap komponen teknologi PTT padi sawah dengan persentase 68%-87%.
2. Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah merupakan komponen teknologi PTT padi sawah dipilih paling banyak oleh responden dengan persentase 87%.
3. Masing-masing responden mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap komponen teknologi PTT padi sawah.
DAFTAR PUSTAKA
Azwir dan Ridwan. 2009. Peningkatan Produktivitas Padi Sawah dengan Perbaikan Teknologi Budidaya. Akta Agrosia, 12 (2) : 212-218. Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu.
Abdulrachmman, S. 2007. Implementasi PTT. Lokakarya Inovasi Padi Untuk Mendukung P2BN. Bala Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi 7-8 Maret 2007.
BPTP Jawa Barat. 2011. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi Sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat.
Ida Bagus Mantra . 2003. Demografi Umum. Edisi ke-2. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. UNS Press. Surakarta.
Nugraha, S. 2008b. Penentuan Umur Panen dan Sistem Panen. Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Padi Indonesia 2008. Badan Litbang Pertanian.
Siegel, S. 1994. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Gramedia. Jakarta.
Supriyadi, H dan Sunandar, N. 2011. Peningkatan Produktivitas Padi Inbrida Melalui Aplikasi Inovasi PTT Padi Inbrida. Prosiding Seminar Nasional tentang Implementasi Teknologi Budidaya Tanaman pangan Menuju Kemandirian Pangan Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah, Purwokerto.
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
43
RANCANGAN KELEMBAGAAN PENUNJANG MODEL USAHATANI INTEGRASI TANAMAN SORGUM DAN TERNAK SAPI DI LAHAN SUBOPTIMAL
Nana Sutrisna, Nandang Sunandar, Yanto SurdiantoiBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
Jl. Kayu Ambon No. 80, Lembang - Bandung BaratE-mail: [email protected]
ABSTRAKElemen kelembagaan, dalam proses produksi pertanian sering berada dalam posisi marginal. Sejauh ini upaya peningkatan produksi pertanian senantiasa dikaitkan dengan penerapan dan jenis teknologi, padahal peran lembaga dan kelembagaan pertanian dalam proses penyebaran dan adopsi inovasi teknologi pertanian serta pemasran hasil masih sangat kuat. Dengan demikian penelitian kelembagaan dan perannya dalam proses pengembangan model usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi di lahan sub optimal menjadi penting. Penelitian bertujuan menginventarisasi dan mengidentifi kasi lembaga pertanian eksisting di sekitar lokasi pengkajian dan lingkungan sekitarnya sekaligus merancang alternatif lembaga dan kelembagaan pertanian yang dapat menunjang pengembangan model usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi. Penelitian menggunakan metode survei dan Focus Group Discussion (FGD) dengan pakar kelembagaan. Data yang dikumpulkan merupakan informasi kuantitatif dan kualitatif yang bersumber pada kelembagaan, kelembagaan organisasi dan kelembagaan individu tokoh kunci. Pengumpulan data menggunakan External Factor Checklist untuk mengetahui keragaman variabel lingkungan, ketersediaan teknologi, tekanan eksternal, dan sumber daya eksternal kelembagaan pertanian eksisting. Data dan informasi yang diperoleh kemudian dianalisis deskriptif, dijabarkan, dan diinterpretasikan menurut alur logika pendekatan sistem. Titik tolak analisis adalah dinamika kelembagaan usaha tani dalam tiap segmen kegiatan dalam siklus produksi tahunan dan dalam setiap subsistem dari model usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) kelembagaan eksisting yang dapat menunjang pengembangan model usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi di ahan suboptimal. Berdasarkan 4 (empat) kelembagaan eksisting, ditambah kelembagaan pemasaran, kemudian dirancang sebagai sub model kelembagaan usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi di lahan suboptimal. Kelembagaan tersebut merupakan sebuah kelembagaan agribisnis, yang terdiri atas: kelembagaan usahatani/usaha ternak, kelembagaan penyediaan sarana produksi, kelembagan pengolahan hasil dan limbah, dan kelembagaan pemasaran hasil..
Kata Kunci : Kelembagan, model usahatani integrasi, sorgum, sapi, sub optimal
PENDAHULUANLahan suboptimal berupa lahan kering
tersedia cukup luas di Jawa Barat, namun selama ini belum dimanfaatkan secara optimal karena inovasi teknologi yang tersedia belum mampu memberikan keuntungan yang memadai bagi petani. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat telah menghasilkan model usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi. Model tersebut secara teknis sesuai dengan kondisi agroekosistem lahan kering dan secara fi nansial dapat meningkatkan pendapatan petani.
Usahatani sorgum mendapat respons positif dari petani sejak diperkenalkan melalui uji adaptasi varietas sampai pada skala pengembangan. Petani kooperator secara terus menerus mengembangkan sorgum, ditanam dua kali dalam satu tahun. Luas lahan yang diusahakan terus berkembang mulai dari luasan 3 hektar pada musim tanam ke-2 MT II tahun 2013, kemudian pada MT I tahun 2013/2014 berkembang menjadi 5 hektar, dan pada MT II tahun 2014 bertambah menjadi 10 ha.
Sorgum juga sudah mulai banyak ditanam oleh petani di luar kelompok tani binaan (non
kooperator) di luar desa, bahkan melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat di kembangkan ke kabupaten lain, yaitu di Kabupaten Cianjur bagian selatan. Luas lahan sorgum yang sudah dikembangkan oleh petani non kooperator di baik di Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran dan Kecamatan Cikadu, Kabupaten Cianjur lebih dari 5 ha.
Usaha ternak sapi yang memanfaatkan limbah sorgum berupa berangkasan sebagai pakan sangat direspons oleh peternak sapi potong. Penerapan teknologi pakan dengan membuat silase atau fermentasi limbah sorgum dapat membantu petani dalam penyediaan pakan terutama pada musim kemarau. Tidak kalah pentingnya lagi, dengan model usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi dipeproleh limbah ternak sapi yang sangat bermanfaat untuk memperbaiki sifat fi sik dan kesuburan tanah di lahan kering yang miskin hara bahkan ada yang sudah tergolong marjinal.
Sejalan dengan program pemerintah dalam mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan, maka pengembangan model usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi sangat
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
44
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
perlu dan penting untuk ditingkatkan. Namun dalam pengembangannya, sebagai dampak positif penerapan teknologi dan input lainnya muncul berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pascapanen (pengolahan produk), penyimpanan, dan pemasaran. Sejauh ini proses penanganan pasca panen dan pemasaran lebih mengutamakan pada kemampuan dan keterampilan individu, baik pengurus bahkan petugas lapang. Proses yang melibatkan kelembagaan, baik dalam bentuk lembaga organisasi maupun kelembagaan norma dan tata pengaturan, belum terlihat perannya. Padahal fungsi kelembagaan pertanian sangat beragam, antara lain adalah sebagai penggerak, penghimpun, penyalur sarana produksi, pembangkit minat dan sikap, dan lain-lain.
Elemen kelembagaan yang berperan adalah kelembagaan dalam bentuk lembaga organisasi dan kelembagaan norma. Dalam hal ini diambil konvensi Norman, Uphoff (1992) dan Fowler (1992) dalam Sadikin et.al., (2004) tentang kelembagaan dan lembaga organisasi: “an institution is a complex norms and behaviors that persists over time by serving some socially valued purpose, while an organization is a structure of recognized and accepted roles”. Selanjutnya Sadikin et.al. (2004) menyatakan bahwa salah satu penampilan (manifestasi) kelembagaan pertanian lokal yang mampu menjangkau petani kecil di wilayah pedesaan Indonesia adalah lembaga penyalur sarana produksi informal dalam bentuk penjaja dan kredit keliling. Lembaga ini merupakan lembaga non-organisasi dan dioperasikan oleh individu individu yang mampu menjalin kepercayaan pengambil kredit dengan berbagi norma dan perilaku yang diterima secara sosial. Kondisi saling mempercayai ini merupakan jaminan akan kelancaran penyaluran kredit, pembayaran kembali, penjualan hasil pertanian dan proses alih informasi dan teknologi.
Berdasarkan uraian di atas maka pengkajian kelembagaan usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi di lahan suboptimal sangat perlu dan penting dengan tujuan: (1) menginventarisasi dan mengidentifi kasi kelembagaan pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan guna mendukung pengembangan usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi dan (2) merancang sub model kelembagaan yang mendukung usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi di Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran..
BAHAN DA METODEKegiatan dilaksanakan di lokasi pengkajian
model usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi di lahan sub optimal Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Juli tahun 2014.
Kegiatan diawali dengan menginventarisasi lembaga-lembaga pertanian eksisting yang ada di sekitar lokasi pengkajian dan di luar lokasi pengkajian kabupaten/kota, namun masih berkaitan dengan kegiatan usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi. Lembaga tersebut kemudian diidentifi kasi untuk memperoleh gambaran kondisi eksisting dan peluang pengembangannya berkaitan dengan usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi.
Pengkajian menggunakan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Pemahaman Partisipatif Kondisi Pedesaan, yaitu pendekatan yang melibatkan masyarakat secara bersama-sama menganalisis masalah dalam rangka merumuskan perencanaan dalah hal ini adalah masalah kelembagaan usahatani.
Sementara itu, metode pengkajian yang digunakan adalah survei dan Focus Group Discussion (FGD). Survei dilakukan dengan wawancara secara terbuka dengan lembaga/instansi Dinas Pertanian; Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian Peternakan dan Kehutanan (BP4K) di Kabupaten Pangandaran; Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (BP3K) di Kecamatan Cimerak; dan petani/tokoh petani.
Pemilihan sumber informasi dilakukan secara terarah (purposeful sampling technique) dengan penekanan pada sumber informasi kunci. Sumber informasi kunci adalah tokoh kunci dan lembaga formal, informal dan non-formal di lokasi penelitian. Tokoh kunci formal adalah pimpinan wilayah dan/atau kelembagaan formal. Kelembagaan formal adalah lembaga pemerintahan dari berbagai hierarki, yaitu tingkat kantor kecamatan, kantor desa, dinas setempat, dan lain-lain serta norma formal yang berlaku (peraturan, tata tertib organisasi, hukum, undang undang, dan lain-lain). Kelembagaan informal dan non-formal antara lain kelembagaan adat lokal (norma, tabu, aturan tidak tertulis, dan lain-lain) dan tokoh kunci lokal atau tetua adat (datuk, pesirah, dan lain-lain).
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
45
Data yang dikumpulkan merupakan informasi kuantitatif dan kualitatif yang bersumber pada kelembagaan, kelembagaan organisasi dan kelembagaan individu tokoh kunci. Pengumpulan data menggunakan External Factor Checklist untuk mengetahui keragaman variabel lingkungan, ketersediaan teknologi, tekanan eksternal, dan sumber daya eksternal kelembagaan pertanian eksisting.
Data dan informasi yang diperoleh kemudian dianalisis deskriptif, dijabarkan, dan diinterpretasikan menurut alur logika pendekatan sistem. Titik tolak analisis adalah dinamika kelembagaan usaha tani dalam tiap segmen kegiatan dalam siklus produksi tahunan dan dalam setiap subsistem dari model usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum menguraikan hasil pengkajian, untuk memudahkan pemahaman pembaca akan diuraikan pengertian lembaga dan kelembagaan
Pengertian Lembaga Huntington (1980) menyatakan bahwa
lembaga merupakan pola perilaku yang selalu berulang bersifat kokoh dan dihargai oleh masyarakat. Organisasi dan prosedur memiliki berbagai tingkatan dalam proses pelembagaan. Pelembagaan merupakan sebuah proses dimana organisasi dan prosedur mendapatkan nilai dan kemantapan dan menurut Uphoff (1986) Lembaga merupakan sekumpulan norma dan perilaku telah berlangsung dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencapai tujuan bersama.
Sebuah lembaga yang dimaksud disini bukanlah sebuah bangunan , bukan sekelompok orang dan juga bukan sebuah organisasi. Lembaga (institution) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dianggap penting, atau secara formal sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia (Hill, 1999). Selanjutnya dikemukakan lembaga adalah proses-proses terstruktur (tersusun) untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu. Lembaga tidak mempunyai anggota tetapi mempunyai pengikut. Lembaga selalu merupakan sistem gagasan dan perilaku yang terorganisasi yang ikut serta dalam perilaku itu.
Lembaga adalah sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat. Dalam defi nisi ini nilai-nilai umum mengacu pada cita-cita dan tujuan bersama, prosedur umum adalah pola-pola perilaku yang dibakukan dan di ikuti dan sistem hubungan adalah jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku tersebut.
Lembaga muncul sebagai produk kehidupan sosial yang sungguh tidak direncanakan. Orang mencari-cari cara yang praktis untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menemukan beberapa pola yang dapat dilaksanakan yang menjadi kebiasaan yang baku karena terus menerus diulangi. Dari waktu kewaktu orang mungkin bergabung untuk mengkodifi kasikan dan melegalisasikan praktek-praktek tersebut karena terus berkembang dan berubah .Dengan cara itulah lembaga tumbuh.
Pengertian KelembagaanKelembagaan adalah suatu jaringan yang
terdiri dari sejumlah orang dan lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur. Ada tiga kata kunci dalam konteks kelembagaan, yaitu: norma, perilaku, kondisi dan hubungan sosial. Signifi kansi ketiga kata kunci tersebut dicerminkan dalam perilaku dan tindakan, baik dalam tindakan tindakan individu, maupun dalam tindakan kolektif. Setiap keputusan yang diambil selalu akan terkait atau dibatasi oleh norma dan pranata sosial masyarakat dan lingkungannya.
Kelembagaan terdiri dari penetapan norma-norma yang pasti yang menentukan posisi status dan fungsi peranan untuk perilaku. Kelembagaan mencakup penggantian perilaku spontan atau eksperimental dengan perilaku yang diharapkan,dipolakan,teratur dan dapat diramalkan. Seperangkat hubungan sosial akan melembaga apabila sudah dikembangkan suatu sistem yang teratur tentang status dan peran serta sistem harapan status dan peran sudah umum diterima oleh masyarakat.
Dalam kontek kelembagaan pertanian, pemahaman terminologi ”lokal” diinterpretasikan sebagai suatu yang memiliki karakteristik tersendiri yang berkaitan dengan kondisi setempat. Terminologi lokal dimaksud meliputi dasar-dasar untuk melakukan tindakan kolektif, energi untuk melakukan konsensus,
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
46
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
koordinasi tanggung jawab; serta menghimpun, menganalisis dan mengkaji informasi.
Dalam kasus kelembagaan usaha, Susanty (2005) memaparkan bahwa kelembagaan usaha atau kelembagaan kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi atau digunakan dalam kegiatan usaha kesejahteraan sosial. Melalui kelembagaan itu pula hubungan antar manusia diatur oleh sistem norma dan organisasi sosial yang mengatur hubungan manusia tersebut.
Sementara dalam hal hubungan dan perilaku yang terjadi dalam suatu organisasi sosial, Rahayuningsih (2005) mengatakan bahwa di dalam suatu kelompok terdapat pengaruh dari perilakuorganisasi (kelompok) terhadap perilaku perorangan. Sebaliknya perilaku perorangan juga memberikan pengaruh terhadap norma dan sistem nilai bersama yang biasanya menjadi perilaku kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian kelembagaan, dapat disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan suatu sistem yang syarat dengan nilai dan norma yang bertujuan mengatur kehidupan manusia di dalam kelembagaan pada khususnya maupun manusia di luar kelembagaan pada umumnya.
Norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat memiliki tingkatan kekuatan mengikat tersendiri. Seperti yang dipaparkan Soekanto (2004) dalam Sosiologi sebagai Pengantar bahwa untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut dikenal adanya empat pengertian, yaitu:a. Cara (usage)b. Kebiasaan (folksway)c. Tata kelakuan (mores), dand. Adat istiadat (custom)
Setiap tingkatan di atas memiliki kekuatan memSetiap tingkatan di atas memiliki kekuatan memaksa yang semakin besar mempengaruhi perilaku seseorang untuk menaati norma. Begitu pula yang dipaparkan oleh Soemardjan dan Soelaeman (1974) bahwa setiap tingkatan tersebut menunjukkan pada kekuatan yang lebih besar yang digunakan oleh masyarakat untuk memaksa para anggotanya mentaati norma-norma yang terkandung didalamnya.
Dalam konteks model sistem usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan agribisnis, dikenal delapan bentuk kelembagaan yaitu:
(1) kelembagaan penyediaan input usahatani, (2) kelembagaan penyediaan permodalan, (3) kelembagaan pemenuhan tenaga kerja, (4) kelembagaan penyediaan lahan dan air
irigasi, (5) kelembagaan usahatani/usahaternak, (6) kelembagaan pengolahan hasil pertanian, (7) kelembagaan pemasaran hasil pertanian,
dan (8) kelembagaan penyediaan informasi
(teknologi, pasar, dll).
Potensi Kelembagaan Pertanian Eksisting yang Mendukung Usahatani Integrasi Tanaman Sorgum dan Ternak Sapi
Keberhasilan usahatani tidak hanya didukung oleh penerapan inovasi teknologi, akan tetapi terkait erat dengan sistem kelembagaan pendukung. Kelembagaan yang berkembang dan berjalan sesuai tugas dan fungsinya dengan sendirinya akan memacu peningkatan produksi yang akhirnya berpengaruh pada peningkatan nilai tambah ekonomi rumah tangga petani (Pranadji, 2004).
Kelembagaan pendukung tersebut sangat menentukan dalam upaya menjamin terciptanya integrasi agribisnis dalam mewujudkan tujuan pengembangan usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi. Inovasi kelembagaan yang akan dikembangkan diharapkan dapat menjawab masalah yang dihadapi petani dan sesuai dengan kondisi biofi sik dan lingkungan, sosial ekonomi, serta sosial budidaya setempat.
Hasil inventarisasi yang kemudian diidentifi kasi diperoleh 4 (empat) kelembagaan yang ada dan diharapkan sebagai pendukung pengembangan usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi pada lahan suboptimal di Cimerak Kabupaten Pangandaran, yaitu:(1). Kelembagaan penyediaan input usahatani(2) Kelembagaan usahatani/usaha ternak (3) Kelembagaan pengolahan hasil sorgum (4) Kelembagaan penyuluhan
Keberadaan kelembagaan tersebut saat ini belum seluruhnya berjalan dengan baik, terutama kelembagaan penyediaan input usahatani dan pengolahan hasil. Petani masih bersifat individu sehingga seluruh kebutuhannya dipenuhi sendiri dari kios sarana produksi yang ada di desa atau
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
47
di kecamatan. Kelembagaan pengolahan hasil juga masih tergantung pada pesanan, belum mengembangkan sendiri produk apa yang harus dihasilkan dan dijual/dipasarkan. Sementara itu, kelembagaan usahatani dan penyuluhan sudah berjalan dengan baik, meskipun masih perlu ditingkatkan dalam aspek teknis dan kualitas penyuluhannya.
Rancangan Sub Model Kelembagaan Pendukung Usahatani Integrasi Tanaman Sorgum dan Ternak Sapi di Lahan Suboptimal
Berdasarkan hasil identifi kasi dan analisis dari kelembagaan eksisting, nampaknya masih diperlukan satu kelembagaan yang sangat menunjang model usahatani integrasi, yaitu kelembagan pemasaran hasil. Oleh karena itu dalam rancangan kelembagaan penunjang model usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi menjadi sebuah kelembagaan agribisnis, yang terdiri atas: kelembagaan usahatani/usaha ternak, kelembagaan penyediaan sarana produksi, kelembagan pengolahan hasil dan limbah, dan kelembagaan pemasaran hasil (Gambar 1).
Kelembagaan Penyediaan Input Usahatani/Usaha ternak
Sub sistem penyediaan sarana produksi menyangkut kegiatan pengadaan dan penyaluran. Kegiatan ini mencakup perencanaan, pengelolaan dari sarana produksi, teknologi dan sumberdaya agar penyediaan sarana produksi atau input usahatani memenuhi kriteria tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat mutu dan tepat produk.
Dalam pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk kegiatan sebagai berikut:1) Pembuatan aturan main yang saling
menguntungkan antara kelompoktani dengan lembaga penyedia input produksi seperti: kios saprotan baik yang ada di maupun di luar lokasi pengkajian.
2) Mengoptimalkan fungsi kios kelompok dalam penyediaan sarana produksi.
3) Mengoptimalkan peran jasa pengairan4) Mengoptimalkan peran jasa tanam
Gabungan Kelompok Tani
Klb. Usahatani/usaha ternak
Kelembagaan Penyediaan Sarana
Produksi
Ternak Sapi
Limbah SorgumBatangDaun
Limbah Ternak SapiKotoranUrin
Pengolahan Tepung
TANAMAN SORGUM
Aneka Produk Olahan
Beras Sorgum Klb. Pemasaran
Hasil
Dagimg/ Bakalan
Kemitraan Swatas
Klb. Pengolahan Limbah
Klb. Peng. Hasil
Gambar 1. Sub Model Kelembagaan Usahatani Integrasi Tanaman Sorgum dan Ternak Sapi pada Lahan Kering Suboptimal di Wilayah Jabar Selatan.
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
48
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
Kelembagaan Usahatani dan Usaha Ternak (Kelompok Tani)
Dalam proses penerapan teknologi di tingkat petani yang harus dipersiapkan terlebih dahulu adalah kemampuan petani dalam menerapkan teknologi dalam usahataninya, hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kinerja kelompoktani. Pemberdayaan petani/kelompok tani dan kelembagaannya merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi terutama yang berkaitan dengan upaya peningkatan kemampuan dalam penguasaaan teknologi, informasi, dan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan serta pemasaran. Termasuk kedalam kegiatan ini adalah perencanaan pemilihan lokasi, komoditas, teknologi, dan pola usahatani dalam rangka meningkatkan produksi primer.
Pemberdayaan dilakukan terhadap individu maupun kelompok dengan sasasaran peningkatan PSK (pengetahuan, sikap dan keterampilan) yang meliputi: aspek teknis, manajemen dan kerjasama.• Aspek Teknis:
- Target yang ingin dicapai: Meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan petani tentang teknologi yang diintroduksikan pada komoditas terpilih.
- Metoda pembinaan: dilakukan pembinaan/bimbingan sesuai petunjuk teknis melalui pendekatan individu (kunjungan ke masing-masing individu baik anggota kelompoktani maupun non anggota yang terkait dalam pembinaan petani), dan kelompok (pertemuan rutin bagi anggota kelompok tani di tempat kelompok tani, dan atau di lahan usahanya).
• Aspek Administrasi dan Manajemen Usaha- - Kegiatan yang dilakukan
dalam pembinaan administrasi dan manajemen usaha meliputi: 1) pembenahan administrasi kelompoktani (kepengurusan, dan buku-buku administrasi lainnya); 2) penyusunan rencana usaha agribisnis kelompok (rancangan dan analisis usaha agribisnis/
RUBIS); 3) pengembangan unit usaha kelompok berorientasi agribisnis dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia (lahan, gudang dan fasilitas lainnya; dan 4) pemupukan modal kelompok.
- Target yang ingin dicapai yaitu: 1) kelompoktani dan atau gabungan kelompoktani yang memiliki kepengurusan sesuai dengan tujuan usaha 2) kelompoktani dan atau gabungan kelompoktani yang memiliki pembukuan sesuai dengan kegiatan yang dilakukan serta kedisiplinan pengurus dalam melakukan pencatatan, 3) adanya rencana unit bisnis dan rencana kelompok lainnya dalam kelompoktani atau gabungan kelompoktani, 4) berkembangnya unit-unit kegiatan dalam kelompok tani atau gabungan kelompok tani dan 5) pemahaman dan penumbuhan minat petani dalam mencari sumber permodalan dan dapat mengaplikasikannya.
- Metoda pembinaan: dilakukan dengan pendekatan kelompok. Dengan melakukan bimbingan melalui pembinaan khusus tentang pengadministrasian kepada pengurus kelompok tani, diharapkan dapat mengurangi hambatan dalam usahatani yang berorientasi agribisnis ini. Pembenahan yang dilakukan yaitu: a) Pembenahan kepengurusan kelompok tani, dan b) administrasi kelompok tani.
• Aspek Kerjasama: - Membangun kerjasama antar anggota,
antar kelompok dan gabungan kelompok tani (penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil usahatani secara bersama) yang dapat meningkatkan usaha dan pendapatan petani.
- Membangun kerjasama dengan pihak lain yang saling menguntungkan (lembaga input produsi, lembaga pemasaran, lembaga permodalan, dll)Kerjasama kelompok selain ditanamkan jiwa sosial, juga diarahkan kepada
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
49
pengembangan usaha berorientasi agribisnis, tidak hanya on-farm tetapi juga dalam bentuk usaha off-farm. Pengurus dan anggota kelompoktani serta pihak-pihak terkait lain bekerjasama secara komersial dan profesional dalam pengembangan usahataninya. Secara bersama membangun kemitraan dan menyusun struktur kelembagaan tani di wilayah pengkajian dengan sistem dan usahatani berwawasan agribisnis.
- Target yang ingin dicapai, yaitu 1) terdapatnya keserasian kerjasama antar anggota, antar kelompok, dan gabungan kelompoktani, 2) kelompoktani memilki mitra usaha dengan pihak-pihak yang dapat meningkatkan usaha dan pendapatan petani.
Kelembagaan Pasca Panen dan Pengolahan Limbah
Pemberdayaan wanita tani dalam pengolahan hasil/pasca panen, dan beberapa anggota kelompok tani dalam pengolahan limbah sorgum menjadi pakan ternak dan limbah/kotoran ternak menjadi pupuk organik.
Kelembagaan Pemasaran:- Jejaring informasi pasar komoditas yang
dikembangkan dan kemitraan dengan swasta dalam hal pemasaran produk olahan sorgum, karena tanaman sorgum belum banyak dikenal oleh masyarakat.
- Adanya jalinan kerjasama antara kelompok tani/Gapoktan dalam pemasaran produk hasil pertanian dengan lembaga pasar, baik yang ada di lokasi maupun di luar lokasi pengkajian dengan aturan main yang saling menguntungkan.
- Metoda yang dilakukan adalah: (1) pertemuan partisipatif dan musyawarah kelompok, mulai dari tingkat kelompoktani hingga gabungan kelompok tani; (2) temu usaha dengan mengundang pengusaha sukses yang bergerak dalam pemasaran baik swasta maupun lembaga pemerintah (BUMN).
Kelembagaan Permodalan- Pemupukan modal usaha bersama - Pendampingan terhadap kelompoktani untuk
dapat mengakses lembaga permodalan baik lembaga pemerintah (BUMN) maupun pihak swastayang ada di lokasi maupun di luar lokasi pengkajian.
Kelembagaan penyuluhan/informasi.Fungsi utama dari kelembagaan penyuluhan
pertanian adalah sebagai wadah dan organisasi pengembangan sumberdaya manusia pertanian serta menyelenggarakan penyuluhan. Adanya kelembagaan penyuluhan pertanian diharapkan dapat menjamin terselengaranya enam aspek berikut ini:1) Fungsi perencanaan dan penyusunan
program penyuluhan di tingkat kabupaten kota dan tersusunnya programa di tingkat BPP.
2) Fungsi penyedian dan penyebaran informasi teknologi, model usaha agrobisnis dan pasar bagi petani di pedesaan.
3) Fungsi pengembangan SDM pertanian untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan.
4) Penataan administrasi dan piningkatan kinerja penyuluh pertanian yang berdasarkan kompetensi dan profesionalisme.
5) Kegiatan partisipasi petani-penyuluh dan peneliti.
6) Fungsi supervise, monitoring, evaluasi serta umpan balik yang positif bagi perencanaan penyuluhan kedepan.Kegiatan pemberdayaan kelembagaan
penyuluhan lebih ditekankan pada peningkatan kinerja lembaga penyuluhan sebagai:1) tempat menyusun programa penyuluhan
pada tingkat kecamatan yang sejalan dengan programa penyuluhan kabupaten/kota
2) tempat melaksanakan penyuluhan berdasarkan programa penyuluhan;
3) tempat menyediakan dan menyebarkan informasi teknologi, sarana produksi, pembiayaan dan pasar;
4) tempat memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha;
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
50
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
5) tempat memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swadaya, dan penyuluh swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan dan;
6) tempat melaksanakan kegiatan rembuk, pertemuan teknis, temu lapang, dan metode penyuluhan bagi pelaku utama dan pelaku usaha;
7) tempat pelaksanaan proses pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan model usaha tani bagi pelaku utama dan pelaku usaha.
Kelembagaan PendukungDilakukan dengan kegiatan advokasi, dan
koordinasi dengan Pemda setempat dalam hal ini Dinas Pertanian, BP4K, Anggota DPRD, lembaga Swasta, BUMN, BP3K, UPTD PTP3 Kecamatan, Asosiasi Petani, Camat dan Kepala Desasecara berkala atau pada saat dibutuhkan, sehingga diharapkan adanya dukungan yang diwujudkan berupa dana atau material lainnya untuk mendukung Model Usahatani Integrasi tanaman Sorgum dan Ternak Sapi - Padi Lahan Suboptimal.
KESIMPULAN
1. Terdapat empat kelembagaan eksisting yang dapat menunjang pengembangan model usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi di ahan suboptimal.
2. Berdasarkan kelembagaan eksisting, ditambah kelembagaan pemasaran, kemudian dirancang sebagai sub model kelembagaan usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi di lahan suboptimal. Kelembagaan tersebut merupakan sebuah kelembagaan agribisnis, yang terdiri atas: kelembagaan usahatani/usaha ternak, kelembagaan penyediaan sarana produksi, kelembagan pengolahan hasil dan limbah, dan kelembagaan pemasaran hasil.
DAFTAR PUSTAKAChambers. R. 1992. Rural Appraisal: Rapid,
Relaxed, and Participatory. Sussex, UK: Institute of Development Studies.
Engel, Paul G.H., Monique L. Salomon and Maria E. Fernandez.1994. RAAKS: A Participatory
Methodology for Improving Performance in Extension. WAU/CTA/IAC, Wageningen.
Fowler, A. 1992. Prioritizing Institutional Development: A New Role for NGO Centres for Study and Development. Sustainable Agricultrure Programme Gatekeeper Series SA35. IIED, London.
Hill, Michael. (ed.). 1999. The Policy Process: A Reader. New York: Harvester Wheatsheaf
Huntington, E. 1980. Huntington’s Climatic Theory of Underdevelopment. In I. Vogeler and A. de Souza (eds.) Dialectics of Third World Development, pp. 55-65. Allanheld Osmun, Montclair.
Pranadji, Tri, 2004, Transformasi Sosio Budaya Dalam Pembangunan Perdesaan, http://pse.litbang.pertanian.go.id, Akses 07 Januari 2015
Pretty, Jules N. 1994. Alternative System of Inquiry for Sustainable Agriculture. IDS Bulletin 25(2): 37-48. IDS, University of Sussex.
Rahayuningsih. (2005). “Energi Alternatif dan Kemauan Politik Pemerintah”. Bisnis Indonesia. 24 Juni 2005
Sadikin, I., Rita, N.S, dan Kedi, S. 2004. Kajian Kelembagaan Agribisnis dalam Mendukung Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Berbasis Agroekosistem. Jurnal. SOCIO-ECONOMIC OF AGRICULTURRE AND AGRIBUSINESS (SOCA) Vol. 4, No. 1. Hal 1-9.
Soekanto Soerjono. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. PT.Raja Grafi ndo Persada. Jakarta.
Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi (Kumpulan Tulisan). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Uphoff, N. 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper Series SA31. IIED, London.
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
51
SISTEM TANAM LEGOWO DAN MINA PADI MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI DI KABUPATEN CIANJUR
(Studi kasus petani demfarm SLPTT Kabupaten Cianjur)Fyannita Perdhana, Euis Rokayah dan Iskandar Ishaq
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa BaratJl. Kayu Ambon No. 80, Lembang - Bandung Barat
E-mail: [email protected]
ABSTRAKUpaya peningkatan produksi pangan, utamanya beras semakin berat dengan berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pembangunan pertanian saat ini, diantaranya laju konversi lahan sawah yang tinggi, akses petani terhadap teknologi relatif rendah, dan lain sebagainya. Melihat potensi lahan sawah irigasi yang cukup baik, maka pemanfaatan lahan secara optimal dapat dilakukan dengan menetapkan pertanian terpadu (integrated farming). Salah satu contohnya adalah sistem usahatani minapadi yaitu sistem pertanian terpadu antara budidaya padi sawah dan ikan. Mina padi dapat dilakukan secara tumpang sari (ikan bersama padi) maupun “penyelang” (saat menunggu). Sedangkan sistem tanam jajar legowo 2 :1 merupakan sistem tanam padi yang dapat menghasilkan produksi cukup tinggi, yaitu tanam padi sawah yang memberikan ruang (barisan yang tidak ditanami) pada setiap dua barisan tanam, tetapi jarak tanam dalam barisan lebih rapat yaitu 10 cm – 15 cm. Penelitian bertujuan untuk mengetahui peningkatan produktivitas padi sawah dengan system tanam jajar legowo dan mina padi sebagai upaya peningkatan pendapatan petani. Penelitian dilaksanakan di areal sawah Kelompok tani Rindu Alam, Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, dalam bentuk demfarm PTT Padi Sawah dengan system jajar legowo 2:1 jarak tanam (30x15x50) cm dan 1 kali mina padi, system tanam jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam sama (30x15x50 cm) tanpa mina padi dan untuk perbandingan juga digunakan kontrol pertanaman padi yang menggunakan sistem tanam tegel (17x20 cm) tanpa mina padi. Hasil pengkajian memberikan pengaruh terhadap peningkatan produktivitas padi sebesar 24,42% (6,918 ton/ha, rata-rata di desa Bobojong 5,560 ton/ha), dan tambahan penghasilan Rp.600.000/ha skali panen mina padi.
Kata Kunci : padi, mina padi, jajar legowo
PENDAHULUANDalam struktur perekonomian Jawa Barat
sektor pertanian menempati posisi ketiga terbesar setelah sektor industri dan perdagangan, meskipun demikian provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi yang memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi beras nasional dengan kontribusi produksi rata-rata 17,6 % selama kurun waktu delapan tahun terakhir (2001-2008) atau kontribusi produksi rata-rata 17,3 % pada tiga tahun terakhir (2006-2008) (BPS Jawa Barat, 2009; Diperta Provinsi Jawa Barat, 2008). Disamping sentra produksi padi, maka provinsi Jawa Barat juga sebagai sentra produksi palawija diantaranya kedelai, meskipun bukan senta produksi utama di Indonesia dengan produksi 60.257 ton atau 6,2% dari total produksi Indonesia (974.512 ton) pada tahun 2009 (BPS, 2009). Menurut Mardianto (2005), kebutuhan beras tingkat rumah tangga di luar konsumsi beras sebagai bahan makanan pokok rata-rata 10,01 kg/kapita/tahun atau 8,8% konsumsi beras total rumah tangga rata-rata, yakni 113,88 kg/kapita/tahun baik di tingkat perdesaan maupun di tingkat perkotaan.
Upaya pemerintah untuk mempertahankan swasembada beras yang telah dicapai semakin sulit, hal ini disebabkan semakin menyusutnya
lahan-lahan subur karena beralih fungsi menjadi pemukiman dan usaha industri, menurunnya sumber-sumber pengairan karena penggundulan hutan dan kebutuhan air yang semakin meningkat terutama untuk kebutuhan rumah tangga, dampak perubahan iklim yang tidak menentu serta meningkatnya serangan hama terutama wereng coklat dan penyakit. Grafi k peningkatan produksi terus melandai sejak tahun 1984 bahkan sangat fl uktuatif. Hal ini diduga karena adanya degradasi/penurunan tingkat kesuburan lahan yang disebabkan pemakaian lahan terlalu intensif, pemakaian pupuk kimia (an-organik) terlalu berlebihan dan lain sebagainya, sehingga dengan adanya hambatan tersebut menyebabkan penurunan tingkat produktivitas lahan dan produksi padi. Untuk mengatasi permasalahan diatas, maka pemanfaatan lahan secara optimal persatuan luas dan waktu dapat dilakukan dengan menerapkan pertanian terpadu (integrated farming). Sistem pertanian terpadu merupakan konsep pertanian dalam arti luas yaitu pertanian, peternakan, perikanan dan perkebunan, sehingga keempat sector tersebut saling melengkapi dalam suatu manajemen (Setyorini et al., 2011). Melihat lahan sawah irigasi yang cukup baik terutama adanya ketersediaan air irigasi selama masa pertumbuhan tanaman di Jawa Barat, maka penerapan system pertanian terpadu sangat
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
52
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
tepat. Salah satu contohnya adalah system usaha tani minapadi yang merupakan system usahatani terpadu antara budidaya padi dengan ikan di sawah.
Sistem minapadi mempunyai beberapa keuntungan yaitu kebiasaan ikan mengaduk-aduk tanah dan memangsa hama serta dulma jenis tertentu akan membantu menekan biaya produksi kegiatan menyiang dan pengendalian hama, dan kotoran ikan merupakan sumber hara bagi tanaman padi sehingga menghemat penggunaan pupuk anorganik (Suriapermana et al., 1994; Anonimous, 2003).
BAHAN DAN METODEPenelitian dilakukan di Kelompok Tani
Rindu Alam, Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur. Lokasi kegiatan merupakan kawasan Dem-Farm pendampingan teknologi dalam mendukung pelaksanaan SL-PTT, kegiatan dilaksanakan pada MK I 2011 bulan April – Agustus 2011.
Kegiatan dilakukan dalam bentuk Dem-Farm seluas kurang lebih 1ha. Dalam pelaksanaan tingkat lapangan BPTP bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Cianjur dalam hal ini dengan Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura beserta BP4K Kabupaten Cianjur, selain itu juga dengan Formulator sebagai produsen pupuk, pestisida dan zat pengatur tumbuh.
Bahan yang digunakan berupa benih padi sawah varietas mekongga, pupuk NPK, urea, organik,pestisida, bibit ikan ukuran 3-5 cm, pakan ikan. Alat yang digunakan diantaranya traktor, cangkul, caplak, tangki semprot, dll.
HASIL DAN PEMBAHASANTabel 1. Hasil Pengamatan Agronomis
Kegiatan Demfarm Sistem Tanam Jajar Legowo dan Mina padi
PerlakuanTinggi
Tanaman (cm)
Jumlah Anakan/rumpun
Hasil Ubinan Panen padi (kg/9 m2)
Hasil Konversi
ton/ha GKP
Legowo + Minapadi 96,24 24,06 6,93 7,70
Legowo 100,7 28,3 6,63 7,37
Tegel 90,15 29,7 6,08 6,76
Hasil pengamatan agronomis tanaman menunjukkan bahwa parameter tinggi tanaman tertinggi diperoleh pada system tanam legowo tanpa mina padi. Sedangkan untuk parameter
jumlah anakan per rumpun hasil tertinggi ditunjukkan oleh petak pertanaman system tegel yang dimungkinkan karena ruang antar pertanaman lebih lebar dibandingkan pada petak yang menggunakan system tanam legowo, baik dengan minapadi maupun tanpa mina padi. Akan tetapi hasil ubinan menunjukkan angka tertinggi diperoleh oleh petak dengan system tanam legowo+minapadi, hal tersebut dimungkinkan karena gabah isi yang diperoleh dengan system tanam legowo akan lebih banyak daripada gabah hampa selain adanya pupuk organik tambahan dari kotoran ikan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Suriapermana, et al. (1999) produktivitas padi dengan cara tanam legowo dapat meningkat 15-20% dibanding cara tanam tegel. Pernyataan tersebut sesuai dengan dengan manfaat yang diperoleh cara tanam legowo yaitu: (1) efek tanaman pinggir, (b) turbulensi udara, (c) memudahkan pengendalian OPT, dan (d) produksi lebih tinggi dibandingakan system tegel. Produktivitas tinggi pada petak system tanam legowo dapat dilihat pada tabel hasil ubinan (tabel 2).Tabel 2. Hasil Ubinan Kegiatan Demfarm
Sistem Tanam Jajar Legowo dan Mina padi
No FormulatorUbinan (kg/9m2) Rata-
Rata(kg/9m2)
Ton/ha1 2 3
1 Minapadi +legowo 6,8 7,1 6,9 6,93
6,937.700
7,7 6,5 6,6 6,93
2 Legowo 6,7 6,5 6,7 6,63 7,370
3. Tegel 7,0 7,1 6,9 7,006,08
6,761
5,8 5,0 4,7 5,17Keterangan : Varietas yg digunakan Mekongga
Sedangkan penebaran ikan untuk minapadi yang diterapkan di lokasi petak system tanam jajar legowo maupun yang tegel dengan mina padi tidak ada perbedaan, dimana minapadi dilaksanakan satu kali dalam satu musim tanam. Penebaran dilakukan pada saat tanaman padi berumur 5-7 hari dengan ukuran ikan 3-5 cm dan estimasi jumlah adalah 100-120 ekor per kg. Kapasitas untuk sekali penebaran ikan adalah 2.000 – 2.500 ekor per hektar (+ 20 kg). Harga beli ikan yang digunakan untuk budidaya minapadi adalah Rp. 28.000,- per kg. Pemeliharaan ikan memakan waktu 20 -25 hari untuk dapat dipanen dengan tambahan pakan berupa dedak 100 kg seharga Rp. 100.000,
Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 04 Tahun 2014
BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat
53
- selama pemeliharaan. Ukuran ikan panen sekitar 7 – 10 cm dengan estimasi jumlah 30-40 ekor per kg, dan harga jual Rp. 18.000,- per kg dengan hasil per ha 80 kg.Tabel 3. Analisis Usaha Tani Kegiatan
Demfarm Sistem Tanam Jajar Legowo dan Mina padi
No SistemTanam
Hasil(Ton/Ha)
Hasil(60%)
PendapatanVolume *)
(Rp)Pengeluaran Keuntungan
(Rp) R/C B/C
1 Legowo+minapadi
7.700 4.620 15.246.000 6.979.000 8.267.000 2,18 1,18
2 Legowo 7,370 4.422 14.592600 7.006.050 7.586.550 2,08 1,083 Tegel 6,761 4.057 13.388.100 8.106.400 5.281.700 1,65 0,65
Keterangan : *) : Volume + keuntungan mina padi Rp 600.000/haR/C = ≥1,5 : menguntungkan
Pada tabel usaha tani ditunjukkan bahwa nilai R/C tertinggi 2,1 diperoleh pada petak system tanam legowo+minapadi, hal tersebut dimungkinkan dari penggunaan pestisida dan pemupukan yang lebih sedikit dibandingkan petak pertanaman system tegel R/C 1,6. Karena selain penggunaan system tanam legowo juga diterapkan komponen PTT Padi Sawah yang lainnya yaitu : penggunaan pupuk berimbang (PUTS), PHT dll.
KESIMPULANUsahatani padi sawah dengan minapadi
memberikan keuntungan lebih dari hasil produksi padi dan panen ikan bagi petani sebesar Rp 600.000,- untuk hasil ikan dan peningkatan produksi padi sebesar 13,88% dari pertanaman tegel.
DAFTAR PUSTAKAAnonimous. 2003. Budidaya Ikan Sistem
Mina Menguntungkan. Majalah Demersal. Berita : Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
BPS Jawa Barat, 2009. Jawa Barat Dalam
Angka Tahun 2001. BPS Jawa Barat, Bandung.
BPS Indonesia, 2008. Produksi Padi ATAP 2007 dan ARAM II 2008. Materi disajikan oleh Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Badan Pusat Statistik dalam Rapat Monitoring
dan Evaluasi GP2BN terkait dengan Pembangunan Infrastruktur/Irigasi. Bandung, 6 Agustus 2008.
Diperta Prov. Jawa Barat. 2008a. Laporan Tahun 2007. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Bandung.
Mardianto, S. 2005. Dinamika konsumsi beras tingkat rumah tangga. Pusat Penelitian Sosial-Ekonomi Pertanian. Bogor.
Setyorini, D., D Hardini dan Z Arifi n. 2011. Pengkajian Rakitan Teknologi Usahatani Minapadi-Azolla dengan Pemanfaatan Biomass di Lahan Sawah Irigasi. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian vol.14 No.1 Maret 2011 : 19-27
Suriapermana, S., I. Nurhati dan Y.Surdianto. 1999. Teknologi padi dengan system legowo pada lahan sawah irigasi. Makalah Disampaikan Pada Simposium Tanaman Pangan IV. Bogor, 22-24 Nopember 1999.
Suriapermana, S., I. Syamsiah, P. Wardana, Z. Arifi n, AM. Fagi. 1994. Minapadi Usahatani Berwawasan Lingkungan Meningkatkan Pendapatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta