Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia. Edisi I Tahun...

28
Pengadaan Tanah: Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan di Indonesia Pengadaan tanah dalam upaya mendukung percepatan pembangunan infrastruktur Wawancara dengan Dr. Ir. Dedi S Priatna Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Bappenas Tanah, Pembangunan dan Reforma Agraria: Catatan Kritis atas RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Usep Setiawan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria Informasi data spasial sebagai basis untuk pengadaan tanah yang berkeadilan Ir. M. Rukhyat Noor, MM Kepala Pusat Data dan Informasi, Badan Pertanahan Nasional Ringkas Buku Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH. MCL. MPA: Kebijakan Pertanahan: Implementasi dan Permasalahannya Buletin Tata Ruang & Pertanahan edisi I tahun 2011

description

diterbitkan oleh Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas. Juli 2011

Transcript of Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia. Edisi I Tahun...

Page 1: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Pengadaan Tanah: Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan di Indonesia

Pengadaan tanah dalam upaya mendukung percepatan pembangunan infrastruktur Wawancara dengan Dr. Ir. Dedi S Priatna Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Bappenas

Tanah, Pembangunan dan Reforma Agraria: Catatan Kritis atas RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Usep Setiawan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria

Informasi data spasial sebagai basis untuk pengadaan tanah yang berkeadilan Ir. M. Rukhyat Noor, MM Kepala Pusat Data dan Informasi, Badan Pertanahan Nasional

Ringkas Buku Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH. MCL. MPA: Kebijakan Pertanahan: Implementasi dan Permasalahannya

Buletin

Tata Ruang & Pertanahanedisi I tahun 2011

Page 2: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena perkenan-Nya Buletin Tata Ruang & Pertanahan edisi 1 Tahun 2011 ini dapat terbit pada Bulan Juli 2011. Di dalam edisi ini, redaksi mengangkat tema “Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan di Indonesia”. Tema ini dipilih sebagai upaya untuk memberikan tinjauan dari berbagai sudut pandang sebagai langkah antisipasi penetapan Rancangan UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.

Bagi bangsa Indonesia, tanah adalah kekayaan nasional. Oleh karena itu tanah harus dikelola secara cermat untuk mendukung pembangunan di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Nilai strategis tanah terkait erat pula dengan hak penguasaan tanah yang dipegang oleh masyarakat. Dalam RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, kepentingan umum memiliki tingkat kepentingan yang lebih tinggi berbanding dengan kepentingan pribadi. Lebih lanjut, RUU ini memberikan panduan untuk pelepasan hak atas tanah beserta mekanisme penggantian ruginya.

Pada edisi 1 Tahun 2011 ini, kami berupaya mengupas isu potensial RUU Pengadaan Tanah ditinjau dari pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, melalui rubrik wawancara dengan Deputi Bidang Sarana dan Prasana, Bappenas, serta dari sisi kepentingan masyarakat, melalui artikel yang disusun oleh Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria. Selain itu, untuk menyambut UU Sistem Informasi Geospasial yang sangat terkait dengan pemetaan untuk kebutuhan perencanaan ruang dan sertifikasi tanah, kami menyajikan pandangan dan tanggapan ringkas tentang UU SIG tersebut dan artikel yang ditulis oleh Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Pertanahan Nasional.

Besar harapan kami Buletin Tata Ruang & Pertanahan ini dapat menjadi wadah dialog dan diseminasi isu terkini terkait Bidang Tata Ruang dan Pertanahan. Dengan demikian buletin ini dapat berkontribusi tidak hanya bagi perluasan khasanah wawasan para pelaku kegiatan bidang tata ruang dan pertanahan namun sebagai umpan balik bagi perbaikan kebijakan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan di Indonesia.

Redaksi Buletin Tata Ruang & Pertanahan

Pelindung

Penanggung Jawab

Pemimpin Redaksi

Dewan Redaksi

Editor

Redaksi

Desain & Tata Letak

Desain Sampul

Distribusi & Administrasi

Alamat Redaksi

Telp Email

Website

Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Direktur Tata Ruang dan Pertanahan

Mia Amalia

Dwi Hariyawan S Uke M. Hussein Nana Apriyana

Khairul Rizal Lusi Silviani

Hernydawati Santi Yulianti Aswicaksana Agung Dorodjatoen Raffli Noor Idham Khalik Indra Ade Saputra Micania Camillang Yovi Dzulhijjah Akhmad Gunawan Dodi Rahadian Sylvia Krisnawati Redha Sofiya Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, BAPPENAS Jl. Taman Suropati No. 2 Gedung Madiun Lt. 3 JAKARTA 10310 021 - 392 66 01 [email protected] http://landspatial.bappenas.go.id

pengantar redaksi

Page 3: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

14

Pengadaan tanah dalam upaya mendukung percepatan pembangunan infrastruktur Wawancara Dr. Ir. Dedi S. Priatna Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Bappenas

2 Tanah, Pembangunan dan Reforma Agraria Usep Setiawan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

4

2 4 9

melihat dari dekat 16

edisi I tahun 2011 daftar isi 1 ringkas buku 14

agenda 23

kajian 20

koordinasi trp 12

dalam berita 21

Buletin

Tata Ruang & Pertanahan

Sosialisasi Peraturan Pemerintah terkait Bidang Tata Ruang dan Pertanahan

Informasi data spasial sebagai basis untuk pengadaan tanah yang berkeadilan Ir. M. Rukhyat Noor, MM Kepala Pusat Data dan Informasi, Badan Pertanahan Nasional

9 18

UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

daftar isi

1

Page 4: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 2

Dr. Ir. Dedi S. Priatna Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Bappenas

D i sela kesibukannya, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Bappenas, Bapak Dr. Ir. Dedi S. Priatna (DSP) menyempatkan diri untuk meluangkan waktu menjawab

berbagai pertanyaan yang diajukan oleh redaksi Bulletin TRP mengenai pelaksanaan pembangunan infrastruktur. Berikut adalah jawaban atas berbagai pertanyaan yang diterima tim redaksi secara tertulis.

TRP: Saat ini telah ada skenario baru pembangunan nasional yaitu Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang berbasiskan pada ketersediaan infrastruktur. Menurut penilaian Bapak, bagaimana kondisi umum ketersediaan infrastruktur di Indonesia saat ini? Dan untuk mendukung percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi tersebut, infrastruktur apa saja yang diperlukan?

DSP: MP3EI berisikan arahan pengembangan kegiatan ekonomi utama yang sudah lebih spesifik, lengkap dengan kebutuhan infrastruktur dan rekomendasi perubahan/revisi maupun pemberlakuan peraturan perundang-undangan baru yang diperlukan untuk mendorong percepatan dan perluasan investasi. Selanjutnya MP3EI menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan menjadi komplementer yang khusus ditujukan untuk melakukan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi.

Strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan mengintegrasikan 3 elemen utama yaitu: (i) mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 Koridor Ekonomi Indonesia: Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua–Kepulauan Maluku; (ii) memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected); serta (iii) memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi.

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia diselenggarakan berdasarkan pendekatan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, baik yang telah ada maupun yang baru. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan mengembangkan klaster industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut disertai dengan penguatan konektivitas antarpusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan lokasi kegiatan ekonomi serta infrastruktur pendukungnya. Secara keseluruhan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan

konektivitas tersebut menciptakan Koridor Ekonomi Indonesia.

Infrastruktur itu sendiri memiliki spektrum yang luas. Satu hal yang harus mendapatkan perhatian utama adalah infrastruktur yang mendorong konektivitas antar wilayah sehingga dapat mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi Indonesia. Penyediaan infrastruktur yang mendorong konektivitas akan menurunkan biaya transportasi dan biaya logistik sehingga dapat meningkatkan daya saing produk, dan mempercepat gerak ekonomi. Termasuk dalam infrastruktur konektivitas ini adalah pembangunan jalur transportasi dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), serta seluruh regulasi dan aturan yang terkait dengannya.

TRP: Untuk pelaksanaan MP3EI tersebut, menurut Bapak peraturan apa yang dibutuhkan terkait dengan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan?

DSP: Ada banyak peraturan perundang-undangan yang perlu direvisi atau disusun baru untuk mendukung pelaksanaan MP3EI. Beberapa di antaranya yang terkait dengan bidang Tata Ruang dan Pertanahan antara lain:

▪ Perlu pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan pertanahan terutama untuk memasukkan status tanah adat/ulayat sebagai bagian dari komponen investasi, sehingga memberikan peluang kepada pemilik tanah adat/ulayat untuk menikmati pertumbuhan ekonomi di daerahnya (terkait realisasi MIFEE).

▪ Revisi UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang di dalamnya mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

▪ Percepatan revisi PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam, dan Raperpres tentang pertambangan bawah tanah dalam rangka investasi geothermal.

▪ Percepatan Penetapan RPP tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPARNAS) 2010-2025.

▪ Percepatan penerbitan regulasi tentang Moratorium Kehutanan.

▪ Penerbitan peraturan Perundang-undangan yang mendorong pembangunan infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur.

▪ Peraturan yang mengatur tentang Percepatan pelaksanaan pemanfaatan lahan-lahan terlantar.

TRP:Menurut Bapak berapa kira-kira anggaran yang diperlukan untuk mempercepat pelaksanaan penyediaan infrastruktur? Dan sejauh mana peluang pembiayaan melalui skema public-private partnership (PPP)?

DSP: Untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan sarana dan prasarana tahun 2010-2014 (berdasarkan kebutuhan minimum

Pengadaan tanah dalam upaya mendukung percepatan pembangunan infrastruktur

wawancara

Page 5: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 3

5% dari PDB), diperkirakan total investasi yang dibutuhkan sebesar Rp. 1.923,7 trilyun, dimana kemampuan pembiayaan pemerintah termasuk DAK (Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, Kementerian PU, Kementerian Kominfo, Kementerian Perumahan Rakyat serta Badan SAR Nasional) diperkirakan hanya dapat menyediakan pembiayaan sebesar Rp. 559,54 trilyun. Sementara itu, perkiraan kemampuan pembiayaan badan usaha milik pemerintah melalui BUMN sebesar Rp. 340,85 trilyun, perkiraan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah melalui APBD sebesar Rp. 355,07 trilyun), serta perkiraan investasi pihak swasta sebesar Rp. 344,67 trilyun.

Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi minimal 7% pada akhir tahun 2014, masih terdapat kesenjangan (gap) pembiayaan sebesar Rp. 323,67 trilyun. Sehingga diharapkan peran pemerintah dan swasta dapat lebih ditingkatkan. Untuk itu, perlu juga dikembangkan metode pembangunan infrastruktur sepenuhnya oleh dunia usaha yang dikaitkan dengan kegiatan produksi. Peran Pemerintah adalah menyediakan

perangkat aturan yang memberi insentif bagi dunia usaha untuk membangun kegiatan produksi dan infrastruktur tersebut secara paripurna. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan perpajakan (sistem maupun tarif), bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya, sesuai dengan kesepakatan dengan pihak dunia usaha. Perlakuan khusus

diberikan agar dunia usaha memiliki perspektif jangka panjang dalam pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Selanjutnya, Pemerintah dan pemerintah daerah harus membangun linkage semaksimal mungkin untuk mendorong pembangunan daerah sekitar pusat pertumbuhan ekonomi.

TRP: Salah satu hambatan dalam pembangunan infrastruktur adalah lambatnya pengadaan tanah. Menurut Bapak seberapa besar hambatan tersebut dan bagaimana dampaknya terhadap pembangunan infrastruktur ?

DSP: Dalam hal percepatan pembangunan infrastruktur tidak dapat dipungkiri bahwa memang permasalahan yang selalu timbul adalah dalam hal pengadaan tanah. Dengan UU Pengadaan Tanah, diharapkan kebutuhan lahan untuk infrastruktur dapat lebih mudah dipenuhi. Hal itu karena selama ini hambatan dalam pembangunan infrastruktur mulai dari jalan tol, pelabuhan, hingga bandara, terletak di pengadaan lahan yang sering kali prosesnya berlarut-larut sehingga tak dapat dipastikan kapan lahan dapat dibebaskan. Dalam suatu proyek infrastruktur perlu ada kepastian terhadap ketersediaan lahan agar tidak ada lagi pemunduran jadwal penyelesaian proyek.

TRP: Isu lain terkait dengan pengadaan tanah adalah besarnya biaya ganti kerugian dan keterlambatan dalam pembayaran ganti kerugian. Sayangnya, isu pembayaran yang tepat waktu ini tidak ada dalam klausul RUU sekarang. Sejauh yang Bapak ketahui, berapa sesungguhnya rata-rata porsi komponen biaya pengadaan tanah dalam proyek infrastruktur?

DSP: Pasal 17 A ayat (6) Perpres No. Tahun 2010 tentang Perubahan Perpres No. 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur menyatakan bahwa pengadaan tanah merupakan salah satu bentuk Dukungan Pemerintah dan dilaksanakan oleh Pemerintah sebelum proses pengadaan badan usaha. Berdasarkan pasal ini dapat disimpulkan bahwa untuk proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan skema KPS, pengadaan tanah merupakan kewajiban Pemerintah. Namun, porsi biaya pengadaan tanah untuk infrastruktur bervariasi tergantung pada jenis infrastrukturnya. Porsi komponen biaya pengadaan tanah untuk proyek jalan tol misalnya, jelas

memakan porsi yang relatif besar dari total biaya investasi, namun hal ini tidak berlaku untuk infrastruktur listrik.

Berkaca pada proyek-proyek jalan tol yang sudah ada, pengadaan tanah seringkali menjadi salah satu penghambat terbesar karena prosesnya yang berlarut-larut. Untuk mengatasi bottlenecking ini dalam Perpres 13/2010 pengadaan tanah menjadi kewajiban Pemerintah untuk menyelesaikannya. Guna mempercepat proses pengadaan tanah serta menerapkan asas keadilan bagi masyarakat yang tanahnya terkena pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur, sebaiknya dalam peraturan pelaksanaan RUU Pengadaan Tanah diatur juga mengenai jangka waktu maksimum pembayaran ganti rugi serta mekanismenya yang transparan.

TRP: Menurut Bapak apakah RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan apabila nantinya di sahkan akan mampu menghadapi bottleneck pengadaan tanah?

DSP: Ya, tanah merupakan bagian vital dalam pelaksanaan pembangunan. Harapannya RUU ini dapat mengakomodir dan mengatur lebih rinci mengenai kebutuhan dan mekanisme penyediaan tanah untuk pembangunan. RUU ini diharapkan dapat lebih memberikan rasa adil dan rasa aman bagi masyarakat sekaligus dapat mendukung pelaksanaan program pembangunan terutama dalam membangun infrastruktur – seperti jalan, bandar udara, pelabuhan, terminal, irigasi dan infrastruktur lainnya yang memerlukan tanah, yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.

TRP: Sejauh mana keberadaan peraturan perundang-undangan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang ada saat ini dapat menjamin rasa keadilan bagi masyarakat pemilik hak atas tanah?

DSP: Berdasarkan Pasal 44 ayat 1 Keputusan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007, mekanisme pembayaran ganti rugi dan jangka waktunya telah diatur dalam ketentuan tersebut. Namun ketentuan tersebut belum dapat berjalan optimal dikarenakan kurangnya koordinasi antara Panitia Pengadaan Tanah, instansi yang memerlukan tanah dan BPN sebagai lembaga pertanahan. Kurangnya koordinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian atas ganti rugi dan jangka waktu pemberiannya kepada pemilik tanah. UU yang baru ini diharapkan dapat mengatisi pemasalahan-permasalahan tersebut sehingga memberikan kepastian bagi pemilik tanah dan menjamin rasa keadilan bagi masyarakat.

TRP: Di dalam RUU disebutkan peran Bappenas sebagai Ketua Tim untuk melakukan kajian apabila ada keberatan mengenai rencana lokasi untuk pembangunan (pasal 24 ). Bagaimana peran ideal Bappenas dalam mempercepat proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur tersebut?

DSP: Sesuai dengan tupoksi Bappenas sebagai perencana pembangunan, maka seharusnya peran Bappenas dalam percepatan proses pengadaan tanah adalah sebagai think tank yang merumuskan kebijakan-kebijakan pengadaan tanah, termasuk merumuskan pengalokasian anggaran pengadaan tanah untuk infrastruktur setiap tahunnya dalam RKP.

TRP: Sebagai penutup, langkah-langkah apa yang diperlukan untuk percepatan pembangunan nasional dalam bidang infrastruktur?

DSP: Langkah-langkah yang diperlukan untuk percepatan pembangunan nasional dalam bidang infrastruktur adalah harus ada peraturan pemerintah yang kuat untuk menjamin pembiayaan bersama (co-financing). Program percepatan infrastruktur memerlukan kerjasama dengan pihak swasta. Untuk proyek infrastruktur yang sudah disepakati melalui skema PPP akan segera diproses dan untuk proyek infrastruktur yang terdapat dalam Masterplanakan segera ditindaklanjuti. Kebijakan pemberian insentif guna mendorong keterlibatan pihak swasta dipercaya dapat mempercepat pembangunan nasional di bidang infrastruktur. Namun pemberian insentif ini harus dilakukan secara selektif sesuai dengan kebutuhan dan peraturan perundangan[.]

Dalam suatu proyek infrastruktur perlu ada

kepastian terhadap ketersediaan lahan agar

tidak ada lagi pemunduran jadwal

penyelesaian proyek.

Page 6: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 4

Tanah, Pembangunan dan Reforma Agraria : Catatan Kritis atas RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Usep Setiawan

Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Pemerintah dan parlemen telah bersepakat untuk menyusun sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan. Kesepakatan ini tertuang dalam Program Legislasi Nasional 2010-2014.

Pandangan dan sikap apa yang tepat untuk ditunjukkan terhadap inisiatif tersebut? Untuk sampai pada jawabannya, kita terlebih dahulu perlu menelusuri konteks sosial, ekonomi dan politik yang melatarbelakangi lahirnya agenda legislasi ini. Secara lebih luas, perlu dicermati kaitan masalah tanah, pembangunan dan reforma agraria.

Tulisan ini memberi sejumlah catatan kritis terhadap beragam konteks yang melatari penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan sekaligus komentar terhadap substansi draf RUU tersebut. Pada bagian akhir, disampaikan kesimpulan, saran, langkah dan agenda yang penting untuk dikedepankan.

Konteks Sosial, Ekonomi dan Politik

Munculnya rencana penyusunan RUU tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, tidak terlepas dari dinamika sosial, ekonomi dan politik yang melingkupinya. Secara umum, kesulitan para investor di bidang infrastruktur dalam pembebasan tanah masyarakat yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur menjadi salah satu alasan utama perlunya keberadaan RUU ini. Para investor sudah berulang kali mengeluh kepada Pemerintah karena proyek-proyek mereka kerap terhambat. Rumitnya proses pengadaan tanah membuat sejumlah investor mengaku kehilangan banyak waktu dan (artinya juga) dana pada tahap pembebasan tanah ini.

Pada tahun 2005, Pemerintah bersama Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menggelar Infrastructure Summit, salah satunya menghasilkan desakan perlunya kebijakan yang mempermudah pengadaan tanah bagi pembangunan infrastruktur. Tak lama setelah itu, Presiden SBY menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 (Perpres 36/2005) tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang kemudian menuai badai protes dari sejumlah kalangan, termasuk DPR RI kala itu.

Tidak hanya sebatas protes, bahkan sejumlah organisasi non-pemerintah mengajukan gugatan hukum ke Mahkamah Agung untuk membatalkan “perpres penunjang penggusuran” ini melalui uji materi (judicial review). Belum sempat keluar keputusan dari Mahkamah Agung, Pemerintah segera melakukan revisi, yang kemudian menjadi Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 (Perpres 36/2006)dengan berbagai perubahan di beberapa bagian namun tetap mempertahankan paradigmanya.

Di tahun 2009, Pemerintah kembali menggandeng Kadin untuk menggelar pertemuan besar yang kali ini disebut sebagai National Summit. Sekali lagi, melalui forum ini para investor di bidang infrastruktur mendesak Pemerintah untuk segera membuat regulasi

yang lebih kuat untuk mengatur ‘tanah untuk kepentingan pembangunan’ atau ‘tanah untuk kepentingan umum’. Setelah itu, sejumlah pejabat ramai-ramai mendorong RUU menjadi bagian dari Program Legislasi Nasional 2010-2014. Diantaranya, tercatat Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perindustrian, Menko Perekonomian, bahkan Wakil Presiden Boediono telah menyampaikan pernyataan tentang urgensi dari keberadaan RUU ini.

Wakil Presiden Boediono menjelaskan, dalam UU itu akan diatur soal pembebasan lahan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan jalan tol. Tujuan UU itu adalah untuk menghilangkan hambatan-hambatan pembebasan lahan untuk kepentingan umum yang ada selama ini. Menurut Boediono, "Arahnya untuk menghilangkan hambatan karena sekarang ini prosesnya kok mandek. Bahkan, di negara yang paling liberal atau neolib pun, hal semacam ini sudah diatur". Asas dari UU itu adalah keadilan, baik bagi pemilik tanah maupun untuk kepentingan umum. Jika sudah untuk kepentingan umum, kepentingan pribadi harus tunduk. Namun, UU ini akan diusahakan seadil mungkin agar jangan sampai kepentingan umum jauh lebih besar daripada kepentingan pribadi. Sebaliknya, jangan sampai kepentingan pribadi mendominasi kepentingan umum. (Tempo Interaktif, 9/11/09)

Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan, pemerintah akan mengintegrasikan seluruh aturan pengadaan lahan dalam satu undang-undang untuk menjamin kepastian hukum sehingga memberikan kemudahan berinvestasi di Indonesia. Rancangan itu ditargetkan rampung dan akan diajukan ke DPR dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden SBY. "Ini untuk menjebol sumbatan dan hambatan sehingga dalam 100 hari nanti, ibarat pipa yang tersumbat, bisa segera selesai," kata Hatta. (Tempo Interaktif, 9/11/09)

Belajar dari pengalaman Perpres 36/2005, kita layak mengingat sejumlah kritik terhadap kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan. Gelombang aksi massa, penggalangan opini publik dan sejumlah gerakan lain yang pada intinya menolak

“penggusuran tanah rakyat” dan menolak “pencabutan hak atas tanah rakyat” secara semena-mena walaupun dengan mengatasnamakan “kepentingan pembangunan” atau untuk “kepentingan umum” telah menjadi salah satu dinamika sosial politik yang turut menghebohkan panggung politik pada tahun 2005 lalu.

Sekarang, penyusunan RUU ini memicu kontroversi serupa dengan saat Perpres 36/2005 terbit. Kontroversi ini menyangkut konteks paradigma, konteks ekonomi-politik, dan konteks substansi hukum. Selain itu, kontroversi juga muncul karena proses, prosedur dan

artikel

Tujuan UU itu adalah untuk menghilangkan hambatan-hambatan

pembebasan lahan untuk kepentingan

umum yang ada selama ini...

Page 7: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 5

mekanisme penyusunannya dinilai tidak cukup membuka ruang yang leluasa bagi publik untuk terlibat aktif –misalnya melalui konsultasi publik yang luas.

Dalam konteks ekonomi-politik, rencana penerbitan UU ini disinyalir merupakan refleksi dari arah dan orientasi pembangunan yang sedang dijalankan pemerintah dalam kerangka ekonomi politik neo-liberal yang kapitalistis. Dalam hal ini, kebijakan pertanahan dan keagrariaan diarahkan untuk mempermudah masuknya investasi skala besar melalui pintu pembangunan infrastruktur yang memang dibutuhkan oleh kalangan pemodal besar, baik dalam maupun luar negeri.

Neoliberalisme menjadi dewa yang diagungkan oleh sementara pihak karena dinilai lebih patuh dan ramah terhadap kepentingan pemilik modal besar dalam menanamkan investasinya di Tanah Air kita. Dengan investasi inilah, konon akan membawa implikasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Dengan pertumbuhan dan pekerjaan maka kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat. Inilah argumen ’baku’ yang kerap dijadikan senjata kaum neoliberal kapitalis dalam melancarkan pembangunan infrastruktur.

Dengan demikian, sementara pihak menyakini bahwa pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, bandar udara, bendungan besar, dan berbagai prasarana lainnya menjadi prasyarat yang mutlak dibutuhkan bagi masuk dan berkembangnya investasi di negeri kita. Persis untuk kepentingan inilah, rakyat diminta untuk rela ’mengalah’ dalam bentuk ’menyerahkan’ sebagian tanahnya untuk ’kepentingan pembangunan’ atau bagi ’kepentingan umum’.

Sementara itu, kita memahami bahwa masyakarat Indonesia pada umumnya, kini membutuhkan pengakuan dan penguatan haknya atas tanah, dan bahkan bagi sebagian besar yang lain lebih mendasar dari itu, yakni membutuhkan ’tanah untuk kehidupan’. Kaum tani di pedesaan dan kaum miskin di perkotaan mayoritas berlahan sempit dan tidak punya tanah sama sekali, padahal rakyat miskin membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan mencari sumber penghidupannya. Petani butuh tanah untuk bertani, bercocok tanam dan mengembangkan kehidupannya sebagai masyarakat.

Kebijakan untuk ’menyediakan tanah bagi rakyat miskin’ sejalan dengan upaya merombak dan menata ulang struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Kebijakan ini sering disebut sebagai reforma agraria atau pembaruan agraria (agrarian reform). Pada titik paling atas, kehendak dan keberanian presiden dalam menjalankan reforma agraria harus dikongkretkan dan diperkuat. Perpaduan antara keutuhan konsep, dukungan politik dan pemrograman dari instansi terkait, dan arahan dari presiden kepada seluruh jajaran pemerintahan akan memecah kemandekan pelaksanaan reforma agraria secara keseluruhan.

Persis dalam konteks politik semacam inilah RUU tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan menyeruak ke permukaan. Jika memang reforma agraria benar-benar akan dijalankan oleh pemerintahan SBY pada periode kedua kekuasaannya (2009-2014) ini, kenapa tidak segera disusun RUU tentang Pelaksanaan Reforma Agraria?

Apabila merujuk konsisten kepada TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, sebenarnya pemerintah dan DPR mestinya tak perlu ragu untuk menyusun agenda legislasi terkait pelaksanaan pembaruan agraria. Kenyataan sosial berupa ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah, maraknya konflik agraria dan sengketa pertanahan, serta degradasi kualitas lingkungan hidup hendaknya menjadi konteks dari perlunya pengaturan tentang pelaksanaan reforma agraria.

Agar pengaturannya lebih kuat dan mengikat segenap komponen bangsa, serta taat azas pada dasar negara dan konstitusi, maka penyusunan UU Pelaksanaan Reforma Agraria menjadi keharusan sejarah. Kita paham, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” hanya dapat diwujudkan jika ’bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat’. Jika tanah, air dan kekayaan alam dikuasai elite (apalagi oleh bangsa lain), maka ketidakmakmuran dan ketidakadilan sosial akan kita saksikan sebagai masalah bangsa yang tak terpecahkan.

Untuk itu, legislasi dan regulasi operasional pelaksanaan reforma agraria penting didahulukan. Substansi RUU ini akan mengatur secara detail mengenai objek-objek atau tanah yang dapat dijadikan objek reforma agraria yang akan didistribusikan atau diredistribusikan kepada rakyat. Demikian halnya dengan subjek-subjek berupa kriteria masyarakat yang layak menjadi subjek reforma agraria. Secara keseluruhan, legislasi bagi pelaksanaan reforma agraria hendaknya mengatur tentang: argumen pentingnya reforma agraria; pengertian, tujuan dan arah reforma agraria; objek dan subjek reforma agraria; mekanisme pelaksanaan; kelembagaan pelaksana; program pendukung; pembiayaan; dan, jadwal pelaksanaan.

Konteks Paradigmatis: Pasar Tanah dan Komoditisasi Tanah?

Problem paradigmatis tercermin dari dinamika sosial-politik yang melingkupinya. Jika ditelusuri, wacana ’tanah untuk pembangunan’ berakar pada paradigma ’tanah sebagai komoditas’ atau barang dagangan. Dengan mengusung ekonomi sebagai penglima pembangunan, rezim pembangunan menghendaki jaminan kuat secara legal formal atas pengadaan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah untuk pembangunan. Dalam konteks ini, penyusunan RUU tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan patut diduga merupakan aspek legalisasi dari skenario besar politik pembangunan yang mendewakan investor asing sekaligus tanda digencarkannya kembali pembangunan yang kapitalistis.

Telah dimaklumi, ekspansi kapitalisme global senantiasa butuh infrastruktur yang memungkinkan pemilik modal lebih mudah menyedot sumber daya dan lebih gampang memasarkan berbagai produk mereka. Dengan infrastruktur yang mantap, maka penyedotan sumber daya kian kuat dan pemasaran produk mereka makin deras membanjiri negeri-negeri konsumen.

Seorang wanita berjalan di atas tanah sengketa dekat lokasi konstruksi jalan tol PT Jasa Marga di Semarang, Rabu , 23 Desember 2009. Jalan tol enam jalur ini hanya berjarak 200 meter dari sawah milik Nur Salim. Jalan tol yang dibutuhkan untuk mempelancar pengangkutan minyak sawit dan kayu ke pelabuhan serta pakaian dan suku cadang mobil ke kota-kota dan pabrik di pulau Jawa terhenti karena petani menginginkan ganti rugi yang layak atas sawah mereka yang tidak lebih besar dari lapangan tenis

Dimas Ardian/Bloomberg via Getty Images

Page 8: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 6

Pembangunan infrastruktur biasanya dibiayai dari pinjaman luar negeri. Berbagai syarat mestilah dibingkai dalam pagar kepentingan pemberi pinjaman. Setelah infrastruktur tersedia, para pemilik modal akan berbondong-bondong datang untuk menancapkan modalnya dan merasuki industri yang bergerak di pelbagai lini, semisal, industri manufaktur, substitusi impor, barang konsumsi, perakitan mobil dan sepeda motor, mesin-mesin, alat listrik, elektronika, perminyakan, pertambangan, kehutanan, perkebunan, pariwisata, perbankan, dan sebangsanya.

Tujuan manis yang kerap disodorkan proyek pembangunan infrastruktur ialah guna menyerap tenaga kerja, memangkas pengangguran, mengurangi kemiskinan, sekaligus membantu tumbuhnya ekonomi Indonesia. Hal ini menimbulkan kesan seakan-akan tiada yang keliru dengan itu semua.

Namun, investasi lazimnya mencerabut sejumlah hak tanah rakyat melalui mekanisme pasar maupun campur tangan pemerintah. Masuknya kapital ke negeri ini diprediksi akan kian mendorong pemusatan penguasaan tanah dan menjadikan sebagian besar rakyat makin kehilangan akses atas tanah. Kebijakan menuju komoditisasi tanah terus bergulir melalui Proyek Administrasi Pertanahan (land administration project-LAP) yang didanai pinjaman Bank Dunia. LAP

jadi instrumen modal internasional untuk menguasai Tanah Air kita secara harfiah. Kemudahan mendapat sertifikat tanah serta iming-iming kredit bank jadi siasat pemodal untuk menguasai tanah rakyat melalui mekanisme pasar.

Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim (1996) menganalisis fenomena pertumbuhan kapitalisme Orde Baru. Mereka menunjukkan adanya fenomena tergesernya petani dari pemilikan dan penguasaan tanah dan meningkatnya konflik pertanahan terjadi karena watak kapitalisme yang cenderung terus melakukan eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi kapital di atas kesenjangan struktur pemilikan faktor- faktor produksi, termasuk tanah dan distribusi pendapatan (hlm. x-xi). Patut diwaspadai, pembangunan infrastruktur yang digiatkan sekarang merupakan lanjutan dari skenario pembangunan kapitalistik Orde Baru yang sempat terinterupsi ’krisis’ maupun ’reformasi’.

Jika gelagat ini terbukti, dipastikan ketimpangan sosial akan melebar dan mencabik-cabik harmoni sosial bangsa. Dalam suatu seminar di Jakarta, Prof Sediono MP Tjondronegoro (1999) mengingatkan bahwa penataan ulang struktur agraria yang timpang dan tidak adil diperlukan guna menghindari revolusi sosial yang anarkis.

Lantas, siapakah yang paling diuntungkan dari pembangunan infrastruktur? Hemat penulis, pemodal besarlah yang akan meraup keuntungan terbesar. Dengan infrastruktur yang lebih baik, maka pembangunan yang dimotori pemodal besar yang cenderung eksploitatif, akumulatif, dan ekspansif akan berjalan lebih mulus. Pembangunan infrastruktur sejatinya jembatan menuju penguatan gurita kapitalisme global.

Pembangunan mungkin meningkatkan pendapatan nasional secara makro. Namun, kesuksesan ini semu belaka karena akan menyisakan ketimpangan sosial-ekonomi, terkurasnya aneka sumber daya, kerusakan lingkungan, diskriminasi jender, ketidakadilan multidimensi pemicu krisis, dan pemantik konflik sosial. Hal yang tepat dipikirkan sekarang ialah menemukan model pembangunan ekonomi yang bertumpu pada kekuatan bangsa sendiri. Industrialisasi nasional hendaknya berpangkal tolak pada sumber daya sendiri.

Presiden dan DPR hendaknya menindaklanjuti amanat Ketetapan MPR No V/2003 untuk: "menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil, mulai dari persoalan hukumnya sampai dengan implementasinya di lapangan…" serta "mempercepat pembahasan RUU pelaksanaan pembaruan agraria, RUU penataan struktur agraria, serta RUU penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam".

Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur sebaiknya digencarkan setelah penataan ulang struktur agraria dijalankan terlebih dahulu. Keadilan agraria akan meningkatkan taraf hidup mayoritas rakyat, menjadi dasar stabil dan kokoh bagi pembangunan, serta merangsang pembentukan modal dalam negeri yang melandasi industrialisasi nasional.

Penyediaan infrastruktur yang paling dibutuhkan oleh mayoritas rakyat yang mestinya diutamakan. Misalnya, kepentingan umum di perdesaan bagi kepentingan petani adalah penyediaan tanah, modal, teknologi, dan sarana produksi serta pasar pertanian. Bagi kaum miskin kota ialah tempat tinggal layak dan pekerjaan manusiawi. Bagi kaum buruh adalah upah wajar dan jaminan sosial yang menyeluruh. Bagi masyarakat adat di pelosok pedalaman perlu pengakuan kedaulatan atas wilayah dan hukum adatnya.

Pemerintah ditantang untuk menyediakan infrastruktur penunjang produktivitas dan kesejahteraan mayoritas rakyat yang memperkuat golongan ekonomi lemah dan membela kaum yang paling memerlukan

Sumber: RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan (draf 15 Desember 2010)

Sesuai dengan rencana pembangunan dan RTRW

Menyusun rencana pengadaan tanah berdasarkan studi kelayakan

PERENCANAAN

Pemberitahuan rencana Pendataan awal (subyek & obyek tanah) Konsultasi publik Penetapan lokasi

PERSIAPAN

Lembaga Pertanahan menyerahkan tanah hasil pengadaan kepada Instansi yang memerlukan tanah

Mendaftaran tanah yang diperoleh

PENYERAHAN

Identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah

Penilaian ganti kerugian

Musyawarah

Pembayaran

PELAKSANAAN

Tahapan dalam Pengadaan Tanah dalam RUU Pengadaan Tanah

Page 9: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 7

pertolongan. Kebijakan pertanahan (agraria) pun akan sangat ideal jika diabdikan bagi kepentingan mereka, yang notabene menjadi pemilih terbanyak dari pasangan persiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum yang demokratis lalu.

Sekelumit Komentar terhadap Substansi RUU

Secara khusus, penulis mencoba untuk memberikan komentar substansi terhadap draf RUU tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, yang naskahnya sudah disiapkan pemerintah. Sayangnya, sampai saat ini tidak diketahui adanya Naskah Akademik dari RUU ini, sehingga ada kesulitan untuk menilai sebab-sebab munculnya bagian-bagian substansi dan latar belakang munculnya klausul-klausul yang tercantum dalam draf RUU yang ada. Padahal asal-usul dan latar belakang ini penting untuk memahami secara persis maksud dan konteks dari setiap bagian yang ada di dalam RUU ini. Satu hal yang pasti, penulis menenggarai RUU ini isinya tak jauh berbeda dengan Perpres 65/2006 sebagai revisi atas Perpres 36/2005.

Terkait dengan fungsi social tanah sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA), di satu sisi fungsi ini mestilah dimaksudkan untuk mencegah eksploitasi atas tanah, dan di sisi lain menghindari eksploitasi manusia oleh manusia lain melalui penguasaan tanah secara berlebihan. Dalam hal spekulasi tanah, apakah hal ini dikaitkan dengan kecenderungan komoditisasi dan komersialisasi tanah? Kita ingat, hampir semua krisis di berbagai negara hampir selalu disebabkan oleh karena tanah dijadikan komoditas komersial yang melahirkan spekulasi.

Perihal ketentuan umum, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai batasan dan kriteria kepentingan yang dimaksud di sini, sehingga terkesan longgar dan luas. Padahal, mestinya ada penegasan bahwa ’kepentingan umum’ mestilah bukan kepentingan bisnis golongan tertentu. Peran pemerintah sebagai pengelola negara mestinya memastikan bahwa kepentingan umum ini tidak boleh ditunggangi kepentingan lain yang berpotensi merugikan rakyat dan negara.

Mengenai pokok-pokok kebijakan pengadaan tanah, dengan dimungkinkannya badan hukum swasta untuk masuk menjadikan klausul ini membuka peluang lebar bagi masuknya kalangan bisnis dengan kedok ’pembangunan’. Pada kenyataannya, selama ini pemerintah sering menyerahkan pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur kepada pihak lain (swasta).

Terkait ganti rugi, ketentuan ‘konsinyasi’ semacam ini dikhawatirkan jadi modus dalam ‘memaksa’ rakyat untuk melepaskan tanahnya. Ada nuansa otoritarianisme agraria yang kuat di sini. Terlepas dari setuju atau tak setuju atas sebuah rencana proyek ‘pembangunan’, rakyat tetap harus menerima ganti rugi yang ditetapkan secara sepihak. Jika berusaha menolak, pada akhirnya rakyat tetap harus melepaskan hak atas tanah mereka, dengan uang ganti rugi yang dititipkan di pengadilan. Oleh karena itu, perlu mekanisme dan prosedur penetapan ganti rugi yang lebih membuka ruang negosiasi setara dan musyawarah untuk mufakat.

Mengenai penegasan hapusnya hak atas tanah, istilah hapusnya hak di sini memang terkesan lebih lembut ketimbang ‘pencabutan hak’ atau ‘pengabilalihan hak’ atas tanah rakyat. Namun perlu diatur lebih rinci mengenai prosedur penghapusan hak ini agar benar-benar mempertimbangkan kepentingan dan keterikatan rakyat atas tanah. Harus pula dipastikan bahwa kehidupan rakyat yang dihapuskan haknya itu jadi lebih baik dari sebelumnya. Pemerintah harus adil dalam menjalankan konsepsi ‘hak menguasai dari Negara’ dengan ‘hak memiliki dari rakyat’ agar seimbang dan tak saling menegasikan.

Perlu diingatkan bahwa eksistensi UU No. 20/1961 disusun untuk kebutuhan pelaksanaan landreform sebagaimana semangat yang terkandung dalam UU No.5/1960 (UUPA). Adalah berbeda konteks antara ‘pencabutan hak atas tanah’ untuk kepentingan pengadaan tanah bagi rakyat dalam rangka landreform, dengan ‘pencabutan hak atas tanah’ untuk kepentingan pengadaan tanah bagi pembangunan infrastruktur yang berkedok ‘kepentingan umum’.

Perihal asas keadilan, sepintas ketentuan ini sangat ideal. Namun pada prakteknya selama ini, kondisi ’adil’ semacam ini jarang bahkan tak pernah terjadi. Pada umumnya kondisi kehidupan rakyat yang tanahnya ’diambil’ untuk kepentingan infrastruktur selalu menjadi lebih buruk, hanya sebagian kecil saja yang membaik dan yang tetap seperti sedia kala. Penerapan asas keadilan perlu didorong dengan senantiasa mengutamakan kepentingan rakyat yang lemah dan memastikan konsep ’ganti untung’ yang terjadi, bukan sebaliknya ’ganti rugi’: diganti tapi rakyat tetap merugi.

Mengenai besarnya kewenangan presiden patut dikhawatirkan menjadi kesewenang-wenangan presiden dalam menetapkan proyek-proyek pembangunan di luar ketentuan yang sudah diatur ketat dalam batang tubuh RUU ini. Untuk itu perlu dipertegas perbedaan kriteria ’kepentingan umum’, kriteria kepentingan bisnis/swasta, dan kriteria ’kepentingan negara’ yang dikategorikan kepentingan nasional strategis.

Perlu juga mewaspadai kepentingan kalangan pemodal besar (asing dan domestik) atas penyusunan RUU ini. Tendensi keterlibatan pihak donor tertentu yang mensponsori RUU ini memperjelas dan mempertegas kuatnya pengaruh kepentingan kapitalisme internasional di balik penyusunan RUU yang mengatasnamakan ’pembangunan untuk kepentingan umum’ ini. Sementara itu, posisi institusi pemerintah yang mengurus pertanahan di sini tampak hanya sekedar menjadi ’penerima order’ dari kekuatan lain yang masuk lewat pintu ’infrastruktur’ maupun ’perindustrian’ dan ’perdagangan’.

Penerapan asas keadilan perlu didorong dengan

senantiasa mengutamakan

kepentingan rakyat yang lemah dan memastikan konsep “ganti untung”

yang terjadi, bukan sebaliknya...

Seorang petugas dari Pemerintah Daerah Jakarta mengarahkan traktor pada saat penggusuran sekitar 100 rumah di Jakarta pada 2 Oktober 2003. Ratusan penghuni di daerah kumuh seluas 15,6 ha tersebut protes karena mereka telah tinggal di lokasi tersebut selama bertahun-tahun.

BAY ISMOYO/AFP/Getty Images

Page 10: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 8

Mengikuti pernyataan sikap Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah, telah menjadi salah satu tugas sejarah rakyat Indonesia untuk menata struktur agraria yang timpang melalui pelaksanaan pembaruan agraria, bukan justru membuat aturan yang menambah ruwet persoalan pertanahan, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil lewat pengavelingan dan privatisasi, serta menjauhkan negara memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Oleh karena itu, koalisi ini mendesak Pemerintah agar menjalankan kewajiban untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, diantaranya melalui penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan kekayaan alam sehingga menjadi lebih merata untuk massa rakyat.

Secara khusus, koalisi ini juga mendesak kepada Pemerintah dan Legislatif agar: (1) Membatalkan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan karena bertentangan dengan semangat pasal 33 UUD 1945 dan semangat Reforma Agraria, dan (2) Menjalankan kewajiban dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan kekayaan alam sehingga menjadi lebih merata untuk rakyat (Jakarta, 24 Maret 2011).

Penutup

Setelah mempertimbangan peta persoalan sosial, ekonomi dan politik yang melatari penyusunan RUU tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, dan setelah menyisipkan sekelumit catatan substanti atas draft RUU ini, maka sampailah kita pada kesimpulan dan saran. Pertama, mengingat reforma agraria yang dimaksudkan untuk menata ulang struktur agraria yang timpang belum dijalankan, karena salah satunya belum ada dasar hukum yang operasional, maka penyusunan RUU tentang Pelaksanaan Reforma Agraria hendaknya didahulukan dan diutamakan sebelum legislasi lainnya.

Kedua, dalam hal penyusunan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, hendaknya dijawab terlebih dulu, pembangunan untuk siapa? Dan dijalankan dengan cara bagaimana? Jika pembangunan lebih diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur yang menopang kepentingan kaum pemodal besar dengan mengesampingkan golongan ekonomi lemah atau rakyat miskin dengan ’membenarkan’ praktek-praktek penggusuran tanah rakyat, maka RUU ini layak untuk ditolak secara tegas.

Ketiga, jika RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan diperlukan, maka penyusunannya harus menunggu RUU pelaksanaan reforma agraria –termasuk penyelesaian konflik agraria dan perlindungan rakyat miskin (petani, masyarakat adat, nelayan, kaum miskin kota, dan rakyat kecil pada umumnya) dituntaskan dan dijalankan secara konsisten. Secara proses, penyusunan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan membutuhkan konsultasi publik yang luas dari tingkat kampung hingga kampus, yang mencakup kepentingan sebanyak mungkin kelompok masyarakat yang kemungkinan besar akan menerima dampaknya kelak.

Beberapa agenda dan langkah strategis yang patut dikedepankan adalah sebagai berikut. Pertama, perlu perumusan ulang makna ’pembangunan’ dan ’kepentingan umum’ dengan prinsip memberi kewenangan kepada negara untuk mengatur tanah dan kekayaan alam lainnya tanpa harus mengorbankan hak-hak warga negara atas hak-hak miliknya. Harus dipertegas bahwa kepentingan umum itu bukanlah kepentingan bisnis kalangan tertentu, dan hak-hak rakyat atas tanah harus dilindungi maksimal.

Kedua, perlu prosedur dan mekanisme pengadaan tanah yang memungkinkan untuk berjalan secara demokratis, emansipatif dan manusiawi dengan cara menempatkan rakyat sebagai subjek pelaku pembangunan yang turut terlibat dan menentukan arah serta bentuk kegiatan pembangunan. Ketiga, perlu mengembangkan orientasi dan praktek pembangunan ekonomi yang mendorong semangat kolektif bangsa dalam menggalang kekuatan sosial-ekonomi internal sebagai batu pijak bagi pembangunan sistem ekonomi kerakyatan yang kokoh, adil dan berkelanjutan. Keempat, perlu pembangunan infrastruktur yang benar-benar dibutuhkan oleh golongan ekonomi lemah sekaligus dapat memicu pembangunan ekonomi rakyat yang berlandaskan pada kekuatan sendiri, demi kedaulatan dan kemandirian bangsa.

Dengan kesimpulan, saran, agenda dan langkah strategis tadi, maka sulit bagi kita untuk mengelak dari keharusan menjalankan penataan struktur agraria terlebih dahulu sebelum menjalankan pembangunan. Merombak tatanan lama yang tak adil merupakan fondasi bagi pembangunan semesta yang hakiki. Pelaksanaan reforma agraria sejatilah yang mestinya mendahului agenda yang lain-lain [.]

Uraian Perpres 36/2005 dan Perpres 65/2006 RUU Pengadaan Tanah

Penilaian ganti kerugian (sebagai dasar musywarah)

Oleh lembaga/tim penilai independen yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota/Gubernur

Oleh Penilai Independen yang ditetapkan oleh Lem-baga Pertanahan

Keberatan atas hasil musyawarah

Bentuk dan besar ganti kerugian ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah

Bentuk dan besar ganti kerugian final diputuskan oleh Pengadilan Negeri

Lembaga pengadaan tanah Panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Bupati/Walikota/Gubernur/Mendagri

Lembaga Pertanahan

Penerapan batas waktu Hanya untuk tahap musyawarah jika lokasi pembangunan tidak dapat dipindah (120 hari)

Hampir di semua tahapan pengadaan dengan batasan waktu yang beragam (7 hari – 2 bulan)

Pengadaan tanah swasta Tidak diatur Diatur

Lingkup kepentingan umum Kaku, terbatas pada 7 jenis kepentingan umum Fleksibel, mencakup 17 jenis kepentingan umum

Page 11: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 9

artikel

Tanah memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hernando de Soto bahkan menyebutkan bahwa tanah merupakan jalan bagi orang miskin untuk keluar dari jebakan kemiskinan. Meskipun tanah itu sendiri sudah merupakan kapital, jika tanah telah terhubung ke dalam sistem ekonomi formal maka tanah tersebut akan lebih meningkat produktivitasnya.

Disinilah peran penting administrasi pertanahan. Sistem administrasi pertanahan yang kuat dan di dukung oleh penegakan hukum yang tegas akan mampu mengintegrasikan tanah dengan sistem ekonomi formal. Salah satu efek positifnya adalah tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap hak atas tanah. Dukungan sistem hukum yang kuat sangat dibutuhkan karena pada dasarnya hak atas tanah adalah suatu hubungan antara tanah dengan manusia yang memerlukan pengakuan dari negara dan dapat dibuktikan keabsahannya. Sebaliknya, sistem administrasi pertanahan yang lemah berpotensi menciptakan sengketa antar masyarakat dan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak kecil.

Hingga saat ini pendaftaran tanah telah mencapai 45 persen dari estimasi 86 juta bidang tanah di seluruh Indonesia. Ketersediaan data yang sedemikian besar memunculkan isu tentang manajemen data pertanahan. Pengelolaan data memerlukan manajemen yang spesifik, karena

data pertanahan sebagai objek pengelolaannya memiliki karakteristik yang spesifik pula, yaitu:

1. Intensitas pemutakhiran (updating) data dilakukan setiap hari melalui pelayanan kepada masyarakat dalam suatu alur kerja.

2. Data yang dihadapi meliputi data tekstual dan data spasial dalam skala besar. Dalam proses pemutakhiran data tidak boleh dihapus sampai batas waktu tertentu untuk menjaga riwayat data suatu bidang tanah.

3. Semua dokumen meliputi dokumen pra-pendafataran tanah dan dokumen untuk melakukan peralihan suatu hak atas tanah harus disimpan dengan aman.

Bencana alam, konflik horisontal dan juga kelalaian manusia sering kali mengakibatkan data yang ada menjadi tidak aman. Tsunami di Banda Aceh tahun 2004, Banjir di Jakarta, kebakaran beberapa kantor pertanahan antara lain di Buleleng dan Cianjur mengakibatkan hilangnya data pertanahan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, BPN mulai melakukan digitalisasi pelayanan, data dan juga dokumen pertanahan (warkah).

Proses digitalisasi pelayanan dalam rangka menciptakan e-government bukanlah sesuatu yang mudah sehingga hasilnya bisa diperoleh secara instan. Hernando de Soto dalam GIM International bahkan menyatakan

bahwa perangkat lunak yang bekerja dengan baik di Amsterdam belum tentu bekerja di Jakarta. Hal ini disebabkan karena sistem administrasi pertanahan adalah sangat spesifik untuk suatu wilayah. Administrasi pertanahan sangat dipengaruhi oleh sejarah, budaya, dan geografis suatu wilayah. Oleh karenanya, merumuskan bagaimana pengelolaan data pertanahan yang sesuai dengan cita rasa lokal namun tetap berpegang pada standar dan inisiatif internasional yang telah disepakati oleh ilmuwan dari seluruh dunia adalah tantangan tersendiri.

Perspektif Internasional dalam Pengelolaan Data Pertanahan (Cadastre 2014)

Berbicara mengenai pengelolaan data pertanahan, Cadastre 2014 adalah sebuah visi yang paling berpengaruh di dunia. Cadastre 2014 dipublikasikan pada tahun 1994 oleh Federasi Surveyor Internasional (FIG) berisi tentang bagaimana kadaster akan beroperasi 20 tahun mendatang sejak dipublikasikan. Berdasarkan Cadastre 2014, maka kadaster seharusnya menganut prinsip sebagai berikut:

1. Hak atas tanah baik milik perorangan maupun publik (negara) didaftar dengan pola yang sama, termasuk juga restriksi.

2. Tidak merubah sistem kepemilikan tanah (land tenure).

3. Title registration disarankan sebagai pengganti deed registration.

4. Mengikuti 4 prinsip pendaftaran tanah yaitu: pembukuan, penyerahan, spesialistis dan publisitas.

5. Mengikuti prinsip legal independence, yaitu setiap objek tanah yang diatur oleh aturan perundang-undangan yang berbeda harus diorganisasi dalam layer terpisah.

6. Menggunakan batas tetap (fixed boundary) yang berarti bahwa setiap batas objek ditentukan dengan koordinat, bukan dengan diskripsi (general boundary).

7. Penggunaan sistem koordinat geografis sehingga kombinasi antar legal independence objek dapat dilakukan.

Selain prinsip, Cadastre 2014 juga berisi enam pernyataan, empat diantaranya berkaitan langsung dengan pengelolaan data pertanahan, yaitu:

Pernyataan I: Kadaster 2014 akan menampilkan situasi legal yang lengkap tentang tanah, termasuk kepemilikan tanah dan restriksi.

Pernyataan II: Pemisahan antara peta dan register tidak akan ada lagi

Pernyataan III: Pemetaan kadaster akan ditinggalkan, digantikan dengan pemodelan

Pernyataan IV: Kadaster manual akan ditinggalkan

Dari empat pernyataan tersebut, pernyataan ke-3 sebenarnya merupakan akar dari tiga pernyataan lainnya. Dengan adanya model

Ir. M. Ruchyat Noor, MM Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional

Informasi Data Spasial sebagai Basis Data untuk Pengadaan Tanah yang Berkeadilan

Ketersediaan data yang sedemikian

besar memunculkan isu tentang

manajemen data pertanahan

Page 12: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 10

sengketa, nilai hak tanggungan dan lain-lain dapat dilakukan dengan cepat pada level nasional, propinsi dan kabupaten. Urun data (data sharing) dengan instansi lain dapat dilakukan melalui satu pintu

Keamanan data

Bencana alam yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, kebakaran maupun kelalaian sering kali mengakibatkan data fisik dan elektronik ikut rusak atau hilang. Dengan sistem yang terpusat lebih memudahkan untuk melakukan backup data untuk seluruh kantor pertanahan. Namun demikian, basis data yang telah terpusat tersebut tetap harus di-backup di tempat yang lain sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya bencana yang menimpa pusat basis data.

Komponen Utama Sistem dan Data Pertanahan Di Indonesia

Secara garis besar, ada tiga komponen utama dalam aplikasi pelayanan pertanahan yang dibangun oleh BPN yaitu Workflow Management System (WfMS) atau Sistem Manajemen Alur Kerja, Geospatial Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografi, dan Document Management System (DMS) atau Sistem Manajemen Dokumen . Ketiganya dibangun menggunakan Online Transaction Processing (OLTP) secara bersama.

1. Sistem Manajemen Alur Kerja (WfMS)

Sistem manajemen alur kerja adalah aplikasi berbasis jaringan internet untuk memantau alur pekerjaan/layanan pertanahan yang sedang diproses. Aplikasi pelayanan pertanahan dengan WfMS saat ini telah memasuki tahap uji coba dengan concurent user yang cukup besar

untuk mendapatkan data awal mengenai konfigurasi perangkat keras, perangkat lunak dan jaringan komunikasi yang harus disiapkan. Pada Tahun 2011 dikalkulasi akan ada minimal sejumlah 12x156 concurent user ke dalam sistem. Menyambut 2014 dimana visi Cadastre 2014 sudah harus dicapai, di tahun tersebut BPN akan memiliki minimal 440 x 20 concurent user.

Alur kerja disesuaikan dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 1/2010. Alur kerja dibangun berbasis jaringan internet (web service) sehingga memungkinkan dikonsumsi oleh beberapa tipe aplikasi. Sebagai contoh, workflow service dikonsumsi oleh webform untuk pengguna loket pelayanan dan dikonsumsi oleh aplikasi pemetaan untuk pelaksana pemetaan.

2. Sistem Informasi Geografi (SIG)

Seperti halnya WfMS, aplikasi SIG dibangun dengan konsep berbasis jaringan internet untuk memudahkan urun data dengan instansi lain dalam kerangka JDSN. Layanan peta berbasis jaringan internet yang dibangun didasarkan pada spesifikasi Open Geospatial Consortium (OGC) untuk meminimalkan ketergantungan pada vendor tertentu. Harapannya adalah layanan peta yang disediakan tersebut dapat diakses dengan standar terbuka (open standard) oleh instansi pemerintah lainnya dalam kerangka JDSN.

SIG yang dibangun BPN untuk sistem terpusat ini didasarkan pada LADM. Data tekstual dan spasial dimutakhirkan melalui proses pelayanan maupun proses pemutakhiran data sehingga data selalu terkini dan mencerminkan kondisi riil di lapangan.

Penerapan layanan berbasis internet pada semua aplikasi di BPN ditujukan untuk mengantisipasi perkembangan ke depan bilamana urun data telah menjadi kebutuhan dan kewajiban setiap instansi

yang kuat, maka situasi legal yang lengkap tentang tanah dapat diakomodir di dalam model. Model yang baik tentunya tidak akan memisahkan peta dan register dan tentunya akan mendukung operasional kadaster secara digital. Dua pernyataan kadaster 2014 selanjutnya dapat dikatakan sebagai konsekuensi logis dari kadaster yang dilakukan secara elektronis.

Pengembangan kegiatan Komputerisasi Kantor Pertanahan sejak awal telah mengadopsi pernyataan dari Cadaster 2014 bahkan pada pengembangan kegiatan Komputerisasi Kantor Pertanahan sejak tahun 2010 BPN-RI telah mengadopsi Standar data model pengelolaan pertanahan berdasarkan ISO TC 211 yang dikenal dengan Land Administration Domain Model (LADM). Pembahasan LADM sendiri rencananya akan selesai pada tahun 2011 mendatang.

Perspektif BPN-RI Mengenai Pengelolaan Data Spasial Pertanahan

Mengingat besarnya kuantitas dan arti pentingnya data pertanahan dan dalam rangka mencapai tingkat akurasi yang tinggi, keamanan data, kemudahan penyebaran informasi dan efektivitas pengolahan data maka BPN melakukan langkah-langkah strategis sebagai berikut:

1. Adopsi standar internasional yang berlaku

Tujuan yang ingin dicapai dalam adopsi standar internasional antara lain melakukan globasisasi terhadap hal-hal spesifik yang ada dalam sistem administrasi pertanahan di Indonesia. BPN telah melakukan kajian terhadap draf LADM dan memasukkan country profile ke dalam draf LADM, terutama mengenai hak tanggungan. Heterogenitas suku dan adat di Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi para ilmuwan administrasi pertanahan untuk menguji validitas LADM dalam berbagai kondisi terutama hak-hak atas tanah adat. Sebaliknya BPN juga belajar dari standar tersebut agar pengelolaan data pertanahan dapat lebih efektif. Standardisasi ini sangat penting mengingat visi kadaster di tahun 2034 antara lain adalah membuat kadaster di tingkat nasional dapat dioperasikan di tingkat regional maupun global, dan sebaliknya.

2. Penggunaan teknologi informasi

BPN telah memulai penggunaan teknologi informasi sejak dimulainya Proyek Komputerisasi Kantor Pertanahan pada 1998. Selanjutnya, sejak 2000 BPN melakukan digitalisasi data tekstual dan spasial secara sistematik dan mulai pada 2002 kedua data tersebut telah mulai diintegrasikan. Saat ini BPN sedang melakukan sentralisasi sistem administrasi pertanahan. Alasan utama untuk melakukan sentralisasi sistem adalah:

Efesiensi anggaran

Kantor pertanahan (Kantah) BPN tersebar diseluruh wilayah kepulauan Indonesia dari perkotaan sampai dengan daerah baru pemekaran. Efesiensi sistem terpusat sangat terasa di daerah-daerah yang masih jauh dari kota besar dalam hal pemeliharaan perangkat keras, perangkat lunak, dan sistem.

Kemudahan pengelolaan data dan perangkat lunak

Dengan sistem terpusat, aplikasi terpasang dipusat sehingga kantorpertanahan tidak perlu melakukan update jika ada perubahan aplikasi yang sering kali diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain karena upgrade database, perubahan peraturan atau kesalahan aplikasi.

Kemudahan akses informasi

Dengan aplikasi terpusat, data pertanahan dari seluruh kantor pertanahan disimpan dalam satu basis data pertanahan nasional. Pencarian informasi mengenai jumlah tanah terdaftar, pemilik, nilai transaksi pertanahan, tanah terlantar, tanah yang sedang dalam

Alur kerja dibangun berbasis jaringan

internet (web service) sehingga

memungkinkan dikonsumsi oleh

beberapa tipe aplikasi

Page 13: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 11

pemerintah. Sampai saat ini, hanya layanan perpetaan berbasis internet (Geo Web Service) yang telah di ekspose ke luar BPN-RI untuk kepentingan JDSN dan Unit Kerja Presiden IV. Selain itu, layanan perpetaan berbasis internet digunakan secara internal untuk memproses basis data geografis dari beberapa unit kerja kedeputian yang lokasinya terletak pada beberapa gedung yang terpisah.

3. Sistem Manajemen Dokumen (DMS)

BPN-RI memiliki jumlah dokumen pertanahan (warkah) yang sangat besar mengingat jumlah data bidang tanah terdaftar lebih dari 40 juta bidang dan jumlah transaksi pertanahan pertahun lebih 3 juta transaksi. Setiap transaksi pertanahan yang terjadi memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kenaikan jumlah warkah pertanahan. Dokumen pertanahan meliputi semua dokumen pertahanan yang tersimpan di setiap Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah, dan Kantor Pusat seluruh Indonesia mulai tahun 1920

sampai sekarang. Saat ini sebagian besar warkah tersebut masih dalam format analog. Sebagian warkah pertanahan tersebut berkaitan dengan kegiatan pertanahan sehari-hari.

Untuk meningkatkan efisiensi layanan pertanahan dan menjamin keamanan semua dokumen pertanahan, BPN-RI sedang mengembangkan dan menerapkan sistem pengelolaan dokumen pertanahan. Sistem Manajemen Dokumen ini kemudian akan menjadi

sistem yang terintegrasi dengan Sistem Manajemen Alur Kerja dan Sistem Informasi Geospasial. Semua dokumen pertanahan tersebut secara bertahap akan dikonversi ke format digital dan dapat diakses untuk pengguna internal atau pengguna yang telah terdaftar melalui layanan internet.

Tantangan

Sistem pegelolaan data pertanahan di BPN-RI sampai saat ini sedang dalam tahap penyelesaikan seluruh aplikasi untuk melayani keperluan internal pengelolaan data dari tingkat Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah, dan Kantor Pusat. Portofolio aplikasi yang sedang dikembangkan adalah integrasi sistem dan data menuju komputerisasi BPN-RI melalui pengembangan dua program strategis yaitu Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan Sistem Informasi Pengelolaan Administrasi Ketatausahaan Terpadu (SIMPADU). Kedua program strategis ini akan mengacu pada arsitektur sistem, apllikasi dan perangkat keras secara terpusat.

Pengembangan aplikasi selanjutnya adalah pemanfaatan web 2.0 kepada masyarakat agar dapat berinteraksi secara langsung dengan BPN-RI untuk meningkatkan transparansi pelayanan publik dalam kerangka implementasi e-gov, meningkatkan keakurasian data pertanahan, dan meningkatkan kepercayaan public dalam pengelolaan aset masyarakat dan negara.

Beberapa layanan pertanahan daring (online) yang akan disiapkan kepada masyarakat antara lain pendaftaran layanan pertanahan, informasi mengenai pengumuman pendaftaran bidang tanah berikut sanggahannya (jika ada), pemetaan berbasis masyarakat (community mapping), pengecekan sertifikat dan layanan khusus lainnya untuk pihak-pihak yang berkepentingan dengan data pertanahan seperti PPAT, bank, dan instansi pemerintah lainnya

Pengembangan arsitektur sistem perngelolaan pertanahan secara terpusat memerlukan tersedianya sarana komunikasi internet dan keamanan jaringan yang sangat memadai. Diharapkan Pemerintah (Menkominfo) beserta penyedia jasa telekomunikasi dapat menyediakan infrastruktur komunikasi ini secara merata di seluruh wilayah Indonesia dengan lebar bandwidth yang memadai.

Peluang

Google Earth yang diluncurkan sejak Juni 2005 rupanya mendapat sambutan hangat dari para pengguna internet. Keberhasilan ini diikuti oleh beberapa penyedia layanan daring lainnya seperti Microsoft Virtual Earth, Yahoo Map, Nokia Ovi Map, ataupun Blackberry Map sehingga dikenal istilah ‘Virtual Earth’ untuk layanan internet yang berbasis peta. Kemunculan virtual earth yang dimotori oleh pemain teknologi informasi raksasa tersebut bisa dipastikan karena adanya pangsa pasar data spasial yang sangat besar.

Dari potensi pasar yang besar tersebut, BPN-RI melihat perlunya mengembangkan sistem pengelolaan data pertanahan untuk memenuhi kepentingan tiga segmen pengguna data pertanahan yaitu pengguna yang berasal dari BPN sendiri, publik maupun instansi pemerintah lainnya. Data dan informasi pertanahan yang tersedia diharapkan dapat memenuhi keperluan dalam hal:

- Pengambilan keputusan yang tepat dalam menetapan arah kebijakan pertanahan meliputi penetapan nilai tanah, pengadaan tanah, konsolidasi tanah, tanah terlantar, daerah rawan sengketa, reforma agrarian.

- Manajemen aset pemerintah, swasta dan individu. Manajemen aset sangat penting dilakukan untuk inventarisasi kekayaan negara, pelacakan kekayaan, reformasi agraria, ataupun penyelesaian kasus-kasus pidana dan perdata.

- Perencanaan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan, irigasi, dan rusunami. Hambatan yang sering dihadapi oleh pemerintah dalam pembangunan infrastruktur adalah masalah besarnya nilai ganti rugi tanah dan pola kepemilikan tanah di lokasi pembangunan. BPN mencatat nilai tanah dan juga nilai transaksi tanah, sehingga diharapkan data tersebut dapat membantu pengambilan keputusan secara tepat.

- Sebagai informasi awal untuk melihat pola ruang dalam rangka penelitian kesehatan seperti flu burung dan malaria, konservasi lingkungan, analisa ekonomi untuk kepentingan pemasaran produk, analisis dampak bencana, pengentasan kemiskinan, dan politik.

Daftar Pustaka

De Soto, H. 2000, The Mystery of Capital (edisi bahasa Indonesia), penerbit Qalam.

De Soto, H. 2010, Majalah GIM International, Oktober 2010, volume 24 nomor 24.

ISO 19152/TC 211, Geographic information -- Land Administration Domain Model (LADM).  

Jürg Kaufmann dan Daniel Steudler FIG commission 7, Cadastre 2014 - A vision for a future cadastral system.

… informasi pertanahan yang

tersedia diharapkan dapat memenuhi

keperluan dalam hal perencanaan

pembangunan infrastruktur dan

pengadaan tanah.

Page 14: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 12

koordinasi trp

K egiatan sertifikasi tanah merupakan kegiatan untuk memberikan pengakuan kepada pemilik tanah yang sah atas tanah yang dimilikinya. Kegiatan sertifikasi ini sebagai langkah

untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah karena merupakan alat bukti yang sangat penting bagi subjek hukum hak atas tanah.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mempercepat sertifikasi tanah melalui beberapa skema. Pertama adalah kegiatan sertifikasi tanah bersubsidi bagi rakyat miskin atau dikenal dengan nama Program Nasional Agraria (PRONA). Kedua adalah peningkatan

layanan pendaftaran tanah bergerak (mobile) untuk menjangkau daerah-daerah terpencil, atau dikenal dengan nama Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (Larasita). Ketiga adalah kegiatan sertifikasi tanah untuk sektor-sektor produktif di bawah pembinaan beberapa kementerian/lembaga terkait, atau dikenal dengan kegiatan sertifikasi tanah lintas sektor.

Kegiatan sertifikasi lintas sektor ini pada awalnya merupakan inisiatif dari beberapa kementerian/lembaga yang melaksanakan kegiatan sertifikasi tanah secara sendiri-sendiri. Beberapa kementerian/lembaga tersebut adalah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Pertanian, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perumahan Rakyat. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya tumpang tindih kegiatan dan untuk menjaga kesederhanaan program dan kegiatan pembangunan, maka Bappenas mengkoordinasikan kegiatan sertifikasi tanah lintas sektor di bawah program Pengelolaan Pertanahan. Pemberian istilah lintas sektor hanya untuk menunjukkan bahwa kegiatan ini tidak diselenggarakan oleh satu

instansi saja, dalam hal ini BPN, tetapi merupakan kegiatan bersama dengan sektor/kementerian/lembaga lain.

Apa yang membedakan kegiatan sertifikasi lintas sektor ini dengan PRONA? Salah satu perbedaannya adalah subyek dari kegiatan ini ditentukan oleh sektor atau lembaga terkait . Misalnya identifikasi dan kualifikasi nelayan skala kecil oleh Kementerian/Dinas Kelautan dan Perikanan, petani oleh Kementerian/Dinas Pertanian, dan seterusnya. Berdasarkan hasil seleksi yang dikoordinasikan oleh sebuah Pokja, Kantor Pertanahan melakukan verifikasi dan menetapkan pesertanya.

Kegiatan sertifikasi lintas sektor ini terdiri dari tiga tahap, yaitu prasertifikasi, sertifikasi, dan pascasertifikasi. Prasertifikasi dan pascasertifikasi dilaksanakan oleh sektor terkait bersama dengan Kantor Pertanahan. Sedangkan tahapan sertifikasi dilaksanakan oleh BPN. Tahapan prasertifikasi dilaksanakan pada tahun sebelumnya (T-1) untuk menginventarisasi dan menyeleksi calon peserta yang memenuhi syarat untuk disertifikatkan pada tahun berikutnya. Sedangkan tahapan pascasertifikasi merupakan kegiatan fasilitasi peserta untuk memperoleh akses ke sumber-sumber permodalan.

Tingkat keberhasilan kegiatan sertifikasi tanah lintas sektor dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: dukungan data subyek dan obyek tanah yang akurat dari kementerian/dinas terkait; dukungan pemda dalam memberikan insentif berupa keringanan BPHTB; serta dukungan K/L dan pemda dalam membuka akses bagi masyarakat ke sumber daya permodalan.

Berdasarkan data BPN tahun 2010, kegiatan sertifikasi tanah lintas sektor berhasil mensertifikatkan 77.451 bidang (89,8%) dari target 86.237 bidang tanah. Hampir seluruh provinsi dapat mencapai target yang ditetapkan kecuali tiga provinsi yaitu Maluku, Jambi dan Sematera Barat. Untuk lebih mengoptimalkan pencapaian target pada tahun 2011 maka koordinasi di dalam Pokja sertifikasi lintas sektor perlu ditingkatkan lagi [rn].

Sertifikasi Tanah Lintas Sektor

Pada tahun 2010, kegiatan sertifikasi tanah lintas sektor

berhasil mensertifikatkan

77.451 bidang (89,8%) dari target 86.237

bidang tanah.

Page 15: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 13

H ajatan akbar Musrenbang 2011 baru saja usai. Banyak pihak menilai Musrenbang 2011 tampil beda dibandingkan dengan Musrenbang tahun-tahun sebelumnya. Apa saja

sesungguhnya yang berbeda dan yang terpenting apakah perbedaan itu memang penting dilakukan atau sekedar ingin tampil beda saja? Tulisan ini akan mengupas secara ringkas perubahan yang dilakukan untuk lebih memaknai istilah Revitalisasi Musrenbang 2011. Tulisan ini tentu saja bukan untuk mengoreksi konsep Revitalisasi Musrenbang yang telah disusun, namun untuk memperkaya konsep tersebut setidaknya dari perspektif Tim Materi Musrenbang 2011, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan.

Salah satu tantangan dalam Musrenbang 2011 adalah bagaimana mengakomodasi materi pembahasan yang sangat banyak dan rinci hingga ke level indikator dalam format acara yang tepat. Tim materi akhirnya memutuskan untuk merubah format pembahasan dari format sidang kelompok menjadi format meja trilateral yang mempertemukan Kementerian/Lembaga (K/L), Pemerintah Provinsi dan Mitra Kerja K/L di Bappenas. Salah satu

keunggulan format meja trilateral adalah forumnya yang kecil sehingga pembahasan dapat dilakukan secara mendalam dan efektif. Dengan hanya melibatkan sekitar 6-8 orang per meja, pembahasan dapat dilakukan per indikator dan mempercepat proses untuk mencapai kesepakatan yang mencakup target capaian, alokasi anggaran dan lokasi dari indikator yang dibahas.

Tantangan lainnya adalah pengaturan format pembahasan untuk 33 provinsi dan 46 K/L yang memiliki dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (D/TP). Pilihan untuk mempertemukan 33 provinsi dan 46 K/L sekaligus memerlukan sebuah forum yang sangat besar dan forum yang terlalu besar akan sulit diorganisasikan sehingga membuat pembahasan menjadi kurang efektif. Oleh karena itu, ide untuk membagi peserta provinsi ke dalam 5 kelompok wilayah

S istem perencanaan pembangunan di Indonesia diatur dalam UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang.

Kedua aturan ini memiliki keterkaitan yang semestinya dapat saling terintegrasi. Namun, saat ini banyak Kementerian dan Lembaga (K/L) yang mengeluarkan kebijakan dan peraturan tentang penyusunan dokumen perencanaan yang terkait dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Dokumen-dokumen perencanaan tersebut berada di luar kedua mainstream tersebut di atas.

Kondisi seperti ini kemudian menimbulkan ketidakserasian perencanaan pembangunan bagi seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Untuk memformulasikan integrasi antar rencana tersebut, Bappenas berkerja sama dengan DSF (Decentralization Support Facility) – The World Bank melakukan kegiatan Institution Building for the Integration of National-Regional Development and Spatial Planning yang berupa kegiatan pendampingan serta pelatihan bagi tiga Pemerintah Provinsi dan enam Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengintegrasian kedua rencana tersebut.

Dari hasil kegiatan tersebut, diketahui bahwa masalah keintegrasian antara perencanaan spasial dengan perencanaan pembangunan dan sektor merupakan hal yang cukup berpengaruh bagi pembangunan daerah. Oleh karena itu, kegiatan pendampingan dan pelatihan seperti ini menjadi kegiatan yang penting dan dibutuhkan oleh sebagian besar Pemerintah Daerah. Secara rinci, beberapa kesimpulan penting dari kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: (a) disepakati bersama bahwa posisi RTRW sangat strategis, baik nasional, provinsi, kab, kota, untuk menjadi acuan bagi rencana-rencana sektor; (b) posisi RPJPD dengan substansi perencanaan pembangunan umum penting untuk melengkapi RTRW yang fokus pada substansi spasial; (c) integrasi horizontal adalah permasalahan bersama yang dialami oleh pemerintah daerah sehingga kegiatan ini memiliki manfaat yang besar dan dapat dikembangkan menjadi forum kerjasama antardaerah; (d) peran dan kualitas sumberdaya manusia aparat pemerintah daerah akan memiliki kontribusi yang besar di dalam pengintegrasian perencanaan; (e) diperlukan pedoman untuk penguatan peran Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang dapat berperan dalam integrasi rencana tata ruang dan pembangunan [yd].

pembahasan menjadi pilihan yang realistis. Di samping dapat memecah ukuran forum, pembagian provinsi ke dalam kelompok wilayah dimana hanya satu kelompok wilayah yang dibahas setiap hari memberikan keleluasaan waktu yang cukup (sekitar 50 menit per K/L) untuk melakukan pembahasan secara mendalam.

Sejauhmana strategi yang diterapkan panitia berhasil mengatasi tantangan yang dijelaskan diatas? Untuk menjawab pertanyaan ini, panitia menyiapkan kuesioner untuk menjaring umpan balik dari peserta pembahasan: Pemerintah

Provinsi, K/L maupun Bappenas. Hasilnya cukup memuaskan. Untuk format pelaksanaan, hampir semua peserta (89%) lebih memilih format pembahasan meja trilateral dibandingkan dengan format pembahasan sidang kelompok (8%). Sisanya menganjurkan format pembahasan lainnya, namun tidak menspesifikasi format lainnya yang dimaksud. Untuk waktu pembahasan yang tersedia, sebagian besar peserta (79%) merasa cukup dengan waktu yang disediakan. Sisanya (21%) berpendapat perlu penambahan waktu 60 hingga 90 menit per K/L.

Walaupun strategi ini dinilai cukup berhasil, ke depan masih perlu dilakukan beberapa perbaikan terutama yang menyangkut materi pembahasan. Sampai dengan saat ini, materi Musrenbang masih menggunakan format sandingan antara Usulan Pendanaan Pemerintah Daerah (UPPD) dengan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja K/L). Survey menunjukkan bahwa jumlah peserta yang merasa kurang puas dengan materi yang ada dinilai masih cukup tinggi, yaitu mencapai 43%. Alasan yang dikemukakan antara lain menyangkut materi yang tidak terbaca karena ukuran huruf yang terlalu kecil, kurang lengkap (kolom Renja K/L banyak yang tidak terisi), kolom yang terlalu kecil untuk melakukan pencatatan, dan jumlah kolom yang terlalu banyak dan sering membuat bingung juga menjadi keluhan peserta. Untuk pelaksanaan musrenbang ke depan, aspek materi ini sepertinya perlu mendapat perhatian serius [kr].

Musyawarah Perencanaan Pembangunan 2011

Integrasi Perencanaan Tata Ruang dan Pembangunan

Page 16: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 14

B uku Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi ini sebenarnya merupakan bunga rampai kumpulan tulisan-tulisan Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH. MCL. MPA

tentang regulasi pertanahan dan implementasinya di Indonesia yang telah dimuat pada surat kabar harian Kompas periode Tahun 1993 hingga Tahun 2003. Buku ini telah dicetak ulang sebanyak lima kali dengan menambahkan beberapa kebijakan pertanahan yang diterbitkan Pemerintah, meliputi: (i) TAP MPR-RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam; (ii) Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum; (iii) Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Perpres No. 35 Tahun 2005.

Sebagaimana ditulis dalam paragraph pertama Kata Pengantar cetakan pertama: ‘Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas … Perkembangan yang dinamis tersebut, dikehendaki atau tidak, mendorong ke arah perlunya pemikiran konseptual dalam rangka mengisi dan mengantisipasi perkembangan hukum tanah secara bertanggung jawab’.

Buku ini menjadi menarik ketika beberapa contoh kasus aktual saat itu dibahas dengan landasan teori kebijakan dan hukum pertanahan sehingga konsep dan ide yang ditampilkan menjadi utuh dan komprehensif. Beberapa kasus nasional aktual yang dibahas, antara lain kasus Jenggawah, Kedung Ombo, dan relokasi pasca bencana Tsunami 26 Desember 2004. Pemahaman utuh tersebut menjadi penting, terutama bagi para penentu kebijakan dalam memahami latar belakang beberapa peristiwa nasional yang benar-benar terjadi di lapangan. Berikut adalah ringkasan setiap bab buku tersebut.

Bab 1: Kebijakan Pertanahan menguraikan tentang Kebijakan Pertanahan yang dimulai dengan dua kutub reaksi pemahaman atas dinamika kebijakan, dimana dijelaskan bahwa: (i) pendekatan legalistik, yaitu pemahaman konservatif yang cenderung menolak perkembangan baru dengan alasan tidak ditunjuk secara eksplisit pada suatu undang-undang tertentu; (ii) pendekatan fungsional yang cenderung akomodatif dalam menerima perubahan-perubahan atas nama kemanfaatan hal-hal baru tersebut. Kemudian dalam upaya memahami lebih lanjut konsep kebijakan itu sendiri, dapat dipergunakan dua metode besar: metode interpretasi dan metode analogi.

Dalam menyikapi kebutuhan tanah bagi pembangunan, pengembangan konsep Bank Tanah dapat menjadi pilihan Indonesia. Beberapa pengalaman negara-negara lain seperti Amerika Serikat yang mengarahkan pada penyediaan bagi kegiatan khusus, sedangkan Swedia dan Belanda adalah contoh-contoh konsep bagi penyediaan kegiatan umum. Kasus seperti Jenggawah secara jelas mempertegas pentingnya akses tanah untuk rakyat, yang tantangan terbesarnya adalah tanah absentee (tanah terlantar).

Bab 2: Tanah Negara dan Hak Ulayat. Saat meningkatnya kebutuhan tanah bagi pembangunan dan dimana tanah negara tidak banyak tersedia lagi, isu tentang eksistensi hak ulayat perlu mendapat pemikiran yang proporsional. Pengakuan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), Pasal 3, terhadap Hak Ulayat dibatasi hanya pada aspek eksistensi namun sayangnya UUPA tidak memberi penjelasan eksplisit yang memadai mengenai pelaksanaannya. Sedangkan tanah negara adalah tanah yang tidak dilekatkan padanya suatu hak apapun, meliputi: (a) tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya; (b) tanah hak yang berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang; (c) tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris; (d) tanah terlantar; dan (e) tanah yang diambil untuk kepentingan umum sesuai tatacara UU No. 20 Tahun 1961 yang diatur dalam Kepres No. 55 Tahun 1993.

Hak Ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam maupun ke luar.

Bab 3: Pengadaan Tanah. Salah satu di antara beberapa isu pokok yang sering dipermasalahkan di masa lalu adalah definisi mengenai kepentingan umum. Dalam Keppres No.55 Tahun 1993, kepentingan umum didefinisikan sebagai kepentingan seluruh masyarakat, sedangkan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dibatasi pada kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah, serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Pengertian ini kemudian dalam Perpres No.36 Tahun 2005 menjadi multi tafsir, sebagaimana disampaikan oleh Menteri PU (Kompas, 13/4/2005) bahwa dibuka kemungkinan pengadaan tanah oleh swasta difasilitasi oleh Pemerintah, sedangkan biayanya dibebankan kepada swasta/investor.

Mudah ditebak bahwa Perpres No. 36 Tahun 2005, utamanya dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum kemitraan antara Pemerintah dan swasta, khususnya dalam proyek-proyek pembangunan insfrastruktur yang pendanaannya sulit dipenuhi Pemerintah sendiri. Keikutsertaan swasta dapat berupa dana pengadaan tanah maupun pengusahaannya, misal melalui BOT atau KSO. Pemilikannya baru dapat dinikmati Pemerintah

setelah berakhirnya perjanjian kerja sama operasi, yang pada umumnya setelah 30 tahun.

Hal lain yang menarik adalah masalah penitipan uang ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri (PN) pada Pasal 10, bila lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, namun musyawarah tidak

ringkas buku:

Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan Implementasi

Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH. MCL. MPA Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Sebenarnya di balik tuntutan ganti kerugian

yang dinilai terlalu tinggi, seyogyanya

dipahami bahwa masyarakat

mengharapkan ganti kerugian yang adil, yang

memungkinkan membangun kembali

kehidupannya di tempat baru

Page 17: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 15

mencapai hasil setelah berlangsung selama 120 hari kalender (sebelumnya 90 hari). Ternyata penerapan lembaga penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan pada PN yang diatur dalam Pasal 1404 KUH Perdata keliru diterapkan dalam Perpres ini.

Pengadaan tanah adalah perbuatan Pemerintah/pemerintah daerah yang termasuk dalam ranah hukum administrasi, sedangkan lembaga penawaran pembayaran dalam Pasal 1404 KUH Perdata mengatur hubungan hukum keperdataan di antara para pihak.

Sebenarnya di balik tuntutan ganti kerugian yang dinilai terlalu tinggi, seyogyanya dipahami bahwa masyarakat mengharapkan ganti kerugian yang adil, yang memungkinkan membangun kembali kehidupannya di tempat baru. Merupakan tugas Tim Penilai Harga Tanah untuk memberi taksiran nilai ganti kerugian, berdasarkan NJOP atau harga nyata atau faktor lain, yang hasil akhirnya dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memperoleh penggantian yang setara dengan hak atas tanah yang dilepaskannya.

Bab 4: Pengurusan Hak Atas Tanah. Di negara-negara yang menganut system Common Law memang tidak mustahil memperoleh hak atas tanah selama 99 tahun (estate for years). Tetapi di Indonesia kiranya perolehan hak selama itu tidak dapat diberlakukan. Sebab dalam hubungan antara Negara dan tanah, Indonesia menganut konsep hak menguasai negara (the right of disposal). Negara bukan pemilik (owner) tanah, tetapi di dalam kedudukannya sebagai personifikasi rakyat/bangsa Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu.

Saat ini melalui Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1992 ditegaskan bahwa HGU diberikan untuk jangka waktu 35 tahun, dapat diperpanjang sampai dengan 25 tahun, serta dapat dimohonkan pembaruannya selama 35 tahun dan dapat diperpanjang lagi sampai dengan 25 tahun. Dengan demikian HGU dapat berlaku secara kumulatif selama 120 tahun, namun

tidak diperoleh secara otomatis. Kiranya redefinisi ketentuan tentang HGU dalam UUPA tersebut cukup bijaksana. Tidak perlu UUPA dirombak atau direvisi, karena hal ini tidak relevan untuk dilakukan. Asas-asas yang berlaku dalam UUPA masih relevan untuk saat ini, dan sesuai dengan sifat UUPA sebagai undang-undang pokok, maka peraturan-peraturan pelaksanaannya yang perlu dilengkapi dan/atau disempurnakan.

Bila dikaitkan dengan pembangunan subway, kembali ke UUPA Pasal 4, maka ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu : (i) bila subway dibangun, dimiliki, dan dioperasikan oleh Pemerintah, maka dapat diberikan hak pengelolaan/HPL Bawah Tanah (BT); (ii) bila subway dibangun, dimiliki, dioperasikan oleh pihak swasta, maka Pemerintah mempunyai HPL (BT) dan di atas HPL itu dapat diberikan HGB (BT) kepada pihak swasta; (iii) bila subway dibangun oleh Pemerintah, tetapi dikelola dan dioperasikan oelh pihak swasta, maka Pemerintah mempunyai HPL (BT) pada pihak swasta; (iv) untuk penggunaan lain dapat diberikan HGB (BT), hak pakai (BT), hak sewa (BT), bahkan hak milik (BT) sebagai analog dengan hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA.

Bab 5: Peralihan dan Pembebanan Hak Atas Tanah. Debat antara dua pendapat tentang “Strata Title”, antara Prof. Boedi Harsono dengan Menpera sebenarnya terjadi karena masing-masing melihat dari perspektif yang berbeda. Dari dasar masing-masing perspektif kedua pendapat dapat dibenarkan, namun demikian Prof. Maria

tampaknya sependapat dengan Menpera dengan argument bahwa penjualan “Strata Title” pada awal proses jual-beli lebih cenderung tunduk pada asas Hukum Perjanjian dan bukan pada Hukum Tanah Nasional.

Di samping perlu diupayakan adanya sertifikat hak atas tanah, seorang pemegang hak seyogyanya melakukan upaya tertentu untuk menunjukan penguasaan tanahnya secara nyata dengan misalnya mengusahakan pemberian tanda batas yang jelas dan meninjaunya sewaktu-waktu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Merupakan suatu ironi bahwa seorang pembeli yang beritikad baik dan telah memiliki sertifikat, masih dapat digugat oleh pihakm lain. Hal ini menimbulkan tanda tanya berkenaan dengan perlindungan hukum kepada pemegang sertifikat.

Bab 6: Hak Atas Tanah Orang Asing. Salah satu peraturan pelaksanaan UUPA yang belum terwujud adalah PP tentang Hak Pakai. Dalam rangka penyusunan RPP tentang Hak Pakai, khususnya tentang kemungkinan pemberian Hak Pakai bagi WNA, paling tidak harus diperhatikan perkembangan dari segi yuridis, politis, serta ekonomis.

Bagaimana dengan kemungkinan bagi WNA untuk memiliki satuan rumah susun? Jika rumah susun didirikan di atas HGB atau Hak Milik, jelas WNA tidak dapat memiliki satu rumah susun yang berdiri di atasnya, karena hak miliknya akan menjadi satu dengan tanah bersama rumah susun di atasnya. Dengan demikian, satu-satunya kemungkinan bagi WNA adalah memiliki satuan rumah susun di atas tanah Hak Pakai.

Pada tanggal 17 Juni 1996 terbit peraturan pemerintah, yaitu (i) PP No.40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai (HP) atas Tanah, dan (ii) PP No.41 Tahun 2006 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia.

Bab 7: Tanah, Hak Asasi, dan Keadilan. Keputusan Mahkamah Agung (MA) mengenai Peninjauan Kembali Kasus Kedung Ombo telah dijatuhkan pada tanggal 24 Oktober 1994. Apapun persepsi dan reaksi orang mengenai hal tersebut, namun sebagai warga negara yang baik, keputusan tersebut harus dihormati dan diterima tanpa prasangka, karena dilandasi pada keyakinan bahwa hakim dituntun oleh kearifan dan keadilan dalam memutus suatu perkara. Dalam bahasa awam, keadilan dalam memberi ganti kerugian diterjemahkan sebagai mewujudkan penghormatan kepada seorang yang haknya dikurangi dengan memberi imbalan berupa sesuatu yang setara dengan keadaan sebelum hak tersebut dikurangi atau diambil, sehingga yang bersangkutan tidak mengalami degradasi kesejahteraan.

Dalam kasus tanah Kedung Ombo dan Irian Jaya, tampaknya cara berpikir reaktif yang dominan dan sebagai pilihan yang relatif aman, paling tidak dilihat dari pendekatan legalistik-formalistik. Namun, masalahnya tidaklah berhenti pada pembenaran dari segi yuridis formal belaka.

Mewujudkan krativitas berpikir dan bertindak konsekuen dengan memadukan antara kemampuan nalar dan hati nurani memerlukan sikap mental tertentu. Paling tidak hal itu dapat disederhanakan dengan terpenihinya empat persyaratan yang disingkat dengan 4C, yakni : (i) Comprehension, (ii) Competence, (iii) Courage. (iv) Compassion. Dari keempat syarat itu tampaknya Courage atau keberanian yang paling sulit dipenuhi. Resiko disebut sebagai orang kontroversial memang terkadang terasa tidak mengenakan. Tetapi jika yang dimaksudkan dengan keputusan yang kontroversial itu justru bermaksud menegakan keadilan dan kebenaran, maka hal itu berarti bahwa pendapat yang salah kaprah itulah yang harus diluruskan. Bagaimanapun, menegakan keadilan dan keberanian untuk mewujudkannya merupakan tugas berat yang tidak akan pernah selesai [umh].

Negara bukan pemilik (owner) tanah, tetapi di

dalam kedudukannya sebagai personifikasi

rakyat/bangsa Indonesia mempunyai

kewenangan-kewenangan tertentu

Page 18: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 16

melihat dari dekat:

K ali ini, tim Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan berada di Kota Gorontalo, salah satu kota yang sedang berkembang pesat di daerah timur Indonesia. Kunjungan kerja ke Kota

Gorontalo menjadi salah satu pengalaman yang sangat menarik mengingat bahwa kota ini sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang diharapkan menjadi pusat pertumbuhan di kawasan Sulawesi bagian utara.

Kota dengan luas 64.79 Km2 dan terdiri dari 6 kecamatan ini memiliki penduduk sebanyak 184.185 jiwa (Sensus Penduduk, 2010) dengan kepadatan 2.842 jiwa/km2. Dari segi perekonomian, tercatat tingkat pemulihan yang cukup signifikan setelah krisis ekonomi (RPJP Kota Gorontalo Tahun 2008-2027, 2008). Peningkatan ini sejalan dengan komitmen kebijakan ekonomi daerah yang mampu mendorong terbukanya peluang pengembangan usaha masyarakat secara lebih luas. Adapun dari sisi struktur perekonomian, telah terjadi perkembangan dari tahun 2002-2007 yang merujuk pada penguatan ciri perekonomian perkotaan dengan kontribusi terbesar di sektor tersier. Penguatan ciri perekonomian ini semakin memperkokoh peran dan fungsi Kota Gorontalo sebagai kota perdagangan dan jasa. Oleh sebab itu, arah perkembangan ekonomi banyak diarahkan untuk peningkatan sektor perdagangan, perhubungan dan transportasi, sementara sektor lainnya seperti pertanian dan perikanan diarahkan untuk mendukung sektor tersier.

Dilihat dari topografi wilayah, Kota Gorontalo berada pada ketinggian antara 0-500 m di atas permukaan laut dengan kondisi permukaan tanah yang relatif datar (RPJP Kota Gorontalo Tahun 2008-2027,

2008). Adapun dari sisi letak, Kota Gorontalo berbatasan langsung dengan Teluk Tomini dan pegunungan, dan dilalui oleh tiga buah sungai, yaitu Sungai Bone, Sungai Bolango, dan Sungai Tamalate yang semuanya bermuara di Teluk Tomini. Karena karakteristik fisik

ini, maka persoalan yang sering dihadapi oleh Kota Gorontalo adalah bencana alam banjir sebagai dampak dari luapan ketiga sungai tersebut di saat musim penghujan dan juga bencana alam longsor di wilayah perbukitan. Hal ini menjadi semakin parah karena wilayah pegunungan yang ada sebagian besar kondisinya sangat tandus dan kurang subur dan juga adanya penambangan galian C secara tradisional.

Penggundulan kawasan hutan ini kemudian menyebabkan semakin lenyapnya Danau Limboto karena mengalami sedimentasi dan pendangkalan yang cukup parah. Dulu, danau ini merupakan danau tadah hujan yang berfungsi sebagai tempat bermuaranya aliran 23 sungai yang ada di Provinsi Gorontalo. Sejak lama, Danau Limboto telah menjadi sumber air tawar; penyangga kehidupan dan tata air bagi masyarakat di sekitarnya; serta menjadi pengendali banjir bagi sebagian besar kawasan di Provinsi Gorontalo, termasuk Kota Gorontalo. Melihat semua peran dan fungsinya yang sangat penting itu, dapat dikatakan bahwa Danau Limboto memegang peran esensial bagi keseimbangan alam dan ekosistem wilayah. Oleh karena itu, upaya pengamanan lingkungan dengan menjaga fungsi konservasi kawasan lindung kemudian menjadi salah satu agenda utama pemerintah kota dan dilakukan beberapa kegiatan diantaranya pengembangan kawasan konservasi hutan seluas 120ha, pemberdayaan masyarakat sekitar wilayah pegunungan, serta penerapan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan dan pembangunan berwawasan lingkungan.

Perencanaan pembangunan di Kota Gorontalo dilandasi oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang ditetapkan melalui Perda Nomor 9 Tahun 2008 tentang RPJPD Kota Gorontalo 2008-2027 yang kemudian juga dijabarkan dalam Perda Nomor 15 Tahun 2008 tentang RPJMD Kota Gorontalo 2008-2013 yang merupakan turunan dari target capaian untuk lima tahun pertama sebagaimana yang terdapat dalam RPJPD Kota Gorontalo.

Kota Gorontalo Keserasian Rencana Pembangunan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah

Peta Rencana Pola Ruang Kota Gorontalo (Raperda RTRW Kota Gorontalo 2009-2029)

Danau Limboto yang semakin dangkal (Sumber: http://novinda-baruadi.ueuo.com)

Page 19: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 17

Saat ini telah disusun juga Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Gorontalo yang pada saat ini sudah mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri PU dan sedang dalam proses legalisasi di DPRD Kota Gorontalo. Untuk lebih meningkatkan fungsi dan peran

RTRW sebagai arahan dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kota, Pemerintah Kota Gorontalo juga telah menyusun Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) yang meliputi seluruh wilayah Kota Gorontalo. Proses penyusunan RTRW beserta RDTRK oleh Pemerintah Kota Gorontalo juga selalu diupayakan agar dapat menjawab visi dan misi serta

strategi yang termuat di dalam RPJPD Kota Gorontalo, sehingga secara substansi, rencana tata ruang (RTRW dan RDTR) Kota Gorontalo sinkron dengan muatan rencana pembangunan (RPJPD) Kota Gorontalo. Dengan adanya integrasi dan konsistensi antara RTRW dan RPJP Kota Gorontalo, di masa depan diharapkan akan terwujud tata ruang Kota Gorontalo yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan [as/mc].

Status Penyelesaian Peraturan Daerah RTRW Provinsi

KETERANGAN: : Proses Revisi : Proses Persetujuan Substansi

B1 : Proses Persetujuan Substansi Teknis PU

B2 : Proses Persetujuan Substansi Kehutanan

: Memperoleh Persetujuan Substansi

C1 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri PU

C2 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri Kehutanan

: Pembahasan DPRD

: Evaluasi di Kementerian Dalam Negeri

: Penetapan Perda RTRW

Sekretariat BKPRN, 8 Juli 2011

No. Provinsi A B C

D E F B1 B2 C1 C2

1. NAD

2. Sumatera Utara

3. Sumatera Barat

4. Riau

5. Jambi

6. Bengkulu

7. Sumatera Selatan

8. Lampung

9. Kep. Riau

10. Kep. Bangka Belitung

11. DKI Jakarta

12. Banten

13. Jawa Barat

14. Jawa Tengah

15. DI Yogyakarta

16. Jawa Timur

17. Bali

18. Nusa Tenggara Barat

19. Kalimantan Barat

20. Kalimantan Tengah

21. Kalimantan Selatan

22. Kalimantan Timur

23. Sulawesi Utara

24. Sulawesi Tengah

25. Sulawesi Selatan

26. Sulawesi Tenggara

27. Sulawesi Barat

28. Gorontalo

29. Nusa Tenggara Timur

30. Maluku

31. Maluku Utara

32. Papua Barat

33. Papua

JUMLAH 33 32 33 27 13 13 10 9

A

B

C

D

E

F

Pemerintah Kota Gorontalo juga telah menyusun Rencana

Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) yang meliputi

seluruh wilayah Kota Gorontalo

TRP di Kantor Gubernur Provinsi Gorontalo (Dokumentasi, 2010)

LANDSPATIAL BAPPENAS on

Page 20: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 18

sosialisasi peraturan

Tanggapan atas UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial

UU IG secara garis besar telah memberikan pedoman, meskipun masih harus dipertegas dan diperinci pada peraturan pelaksanaannya, untuk (1) pengelolaan SDA yang berkelanjutan, (2) pengurangan konflik pertanahan, (3) standardisasi kualitas data dan informasi, serta (4) peningkatan akses data dan informasi.

Banyak kasus di Indonesia menunjukkan bahwa pemetaan SDA selama ini kurang memperhatikan referensi proyeksi, sistem

koordinat, serta skala peta dasar yang seharusnya menjadi acuan. Konflik pertanahan sering muncul karena tidak adanya referensi geospasial yang pasti dan baku pada batas-batas status tanah, yang bisa diakses dan dipahami oleh pemilik tanah tersebut.

Pengaturan terkait IG Dasar telah cukup dibahas dalam UU IG, akan

tetapi untuk IG tematik masih memerlukan pendalaman. IG Tematik meliputi (1) IG Tematik Dasar seperti peta tanah dan peta geologi, dan (2) IG Tematik Sintesis yang diturunkan dari satu atau beberapa IG Tematik Dasar, misalnya peta kesesuaian lahan, peta rencana pola dan struktur ruang.

Standardisasi kualitas data menjadi sangat penting karena IG Tematik Sintesis mengakumulasikan berbagai kesalahan yang harus bisa dikuantifikasi dalam bentuk meta data. Diperlukan standar nilai akurasi minimal untuk setiap IG masukan agar proses penurunan IG Tematik Sintesis dapat dikendalikan dari sisi kualitas.

Peningkatan akses IG juga perlu diperhatikan dari dua sisi. Pertama, pengaturan jenis informasi yang boleh diakses bebas dan yang memerlukan verifikasi ditinjau dari segi keamanan. Kedua, hak publik untuk memiliki kemudahan akses terhadap IG yang relevan, dikaitkan dengan kemudahan untuk mengoreksi dan memberikan masukan. Ini terutama untuk penggunaan IG Tematik dalam rangka perencanaan wilayah. Karena itu perlu dipikirkan dengan lebih matang tentang jenis data, siapa, dan bagaimana akses yang bisa diberikan agar peningkatan akses ini tidak bersifat kontraproduktif bagi pembangunan nasional.

U U No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (UU IG) ini patut kita sambut dengan gembira, di tengah semakin maraknya pembuatan, penggunaan dan penyebaran berbagai

macam IG untuk berbagai keperluan di Indonesia yang secara langsung maupun tidak telah dipicu oleh perkembangan teknologi informasi. Itu semua diperlukan agar (a) berbagai jenis IG yang ada dapat bermanfaat sesuai dengan tujuan pembuatan, kualitas, serta spesifikasinya; (b) pertukaran dan penyebarluasan IG tetap memperhatikan keamanan nasional; (c) masyarakat dapat memperoleh manfaat dari aturan dan kemudahan yang dibuat; dan (d) masyarakat profesi mempunyai acuan bersama yang dapat digunakan untuk berkoordinasi dalam perencanaan pembangunan, terkait ruang dan pemanfaatannya.

Meskipun demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam UU IG ini. Pertama, UU IG mempunyai ‘aroma lebih kuat’ dari sisi geodesi, seperti pengaturan jaring kontrol geodesi dan peta dasar. Sementara pengaturan terkait IG tematik yang isinya sangat penting bagi pengelolaan SDA justru belum banyak disinggung. Kedua, UU IG

tidak secara eksplisit menyebutkan kedudukan dan konsekuensi legal dari pemanfaatan peta dasar lain yang digunakan selama ini, misalnya peta topografi AMS dan peta topografi produksi Dinas Topografi AD. Ketiga, UU IG menyebutkan persoalan skala, di mana peta dasar berupa peta Rupabumi Indonesia (RBI) dibuat pada skala 1:1.000.000 hingga 1:1.000, sementara peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) diselenggarakan pada skala hingga 1:50.000. Pengadaan peta skala besar membawa konsekuensi besar, terutama dari sisi biaya, karena hingga saat ini penyelesaian peta pada skala yang lebih kecil juga belum selesai.

konflik pertanahan sering muncul

karena tidak adanya referensi geospasial

yang pasti dan baku.

...IG tematik yang isinya sangat penting bagi

pengelolaan SDA justru belum banyak

disinggung.

Projo Danoedoro, MSc., PhD. Ketua PUSPICS Fakultas Geografi UGM

Terbitnya UU No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial memerlukan telaah lebih mendalam tentang hal-hal yang masih perlu dicermati, belum tersentuh, dan konsekuensinya. Pembahasan ringkas ini mencoba mengidentifikasi beberapa arti penting, potensi masalah, dan perlunya tindak lanjut dalam konteks pengelolaan SDA dan pertanahan.

SIG

Page 21: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

EDISI 01/TAHUN I/2010

Buletin Tata Ruang dan Pertanahan 19

atas tanahnya dihapuskan dan ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara kecuali bagian tanah yang benar-benar diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan sesuai dengan keputusan pemberian haknya. Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar wajib dikosongkan dalam waktu satu bulan setelah diputuskan. Biaya pengosongan dibebankan kepada pemegang hak. Apabila tidak dikosongkan, maka benda yang tertinggal akan dikuasai langsung oleh negara [ma].

PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar mengatur tentang: (1) objek penertiban tanah terlantar; (2) mekanisme untuk mengidentifikasi dan meneliti tanah terlantar; (3) prosedur peringatan; dan (4) penetapan tanah terlantar dan pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar.

Dalam PP ini, objek penertiban adalah tanah terlantar yang sudah diberikan hak oleh negara baik berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Mekanisme penetapan tanah terlantar dimulai dengan penyiapan data tanah yang terindikasi terlantar oleh Kepala Kantor Wilayah. Data tersebut kemudian diteliti oleh panitia pelaksana identifikasi yang anggotanya terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan instansi terkait lainnya.

Identifikasi dan penelitian dilaksanakan tiga tahun sejak diterbitkan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai; atau sejak berakhirnya surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang. Data yang dibutuhkan untuk proses identifikasi dan penelitian tanah terlantar adalah: (1) nama dan alamat pemegang hak; (2) letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah dan keadaan fisik tanah yang dikuasai pemegang hak; dan (3) keadaan yang mengakibatkan tanah terlantar.

Kegiatan identifikasi dan penelitian meliputi: (1) verifikasi data fisik dan data yuridis; (2) pengecekan buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak; (3) keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait; (4) pemeriksaan fisik; (5) ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan; (6) analisis penyebab terjadinya tanah terlantar; (7) pelaporan hasil identifikasi dan penelitian; (8) sidang panitia; dan (9) pembuatan berita acara.

Peringatan diberikan kepada pemegang hak apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian disimpulkan bahwa tanah yang dikuasainya adalah tanah terlantar. Kepala Kantor Wilayah akan memberitahukan dan sekaligus memberikan tiga kali peringatan tertulis kepada pemegang hak, agar dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.

Penetapan tanah terlantar memuat juga pemutusan hubungan hukum serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar apabila merupakan keseluruhan hamparan, maka hak atas tanahnya dihapuskan dan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Untuk tanah yang sebagian hamparan yang diterlantarkan, maka hak

LANDSPATIAL BAPPENAS on

Page 22: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 20

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

Kajian ini dilatar belakangi oleh kondisi bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan (TRP) termasuk ke dalam informasi publik yang bersifat terbuka dan harus disampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Penyediaan informasi publik ini merupakan ekspresi dari upaya memenuhi hak atau kemerdekaan masyarakat untuk memperoleh informasi (public right to know). Sedangkan fungsi penyebaran informasi merupakan ekspresi dari kewajiban pemerintah dan negara untuk menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat (obligation to tell).

Tujuan kegiatan ini adalah untuk: (1) mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai upaya-upaya sosialisasi yang dilakukan di dalam negeri maupun di luar negeri; (2) merumuskan sistem penyebaran informasi pada kelompok-kelompok sasaran; dan (3) merumuskan jenis informasi RPJMN 2010-2014 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan (TRP) yang penting disosialisasikan pada pihak yang berkepentingan.

Kerangka Teori yang digunakan adalah teori komunikasi, teori komunikasi massa dan teori perubahan.

Metode yang digunakan di dalam kajian ini adalah: (1) studi literatur untuk mendapatkan metode sosialisasi yang telah dilaksanakan di dalam dan luar negeri; (2) wawancara terstruktur, untuk mengetahui tingkat pengetahuan objek kajian yaitu pemerintah daerah, perguruan tinggi dan masyarakat atas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Bidang TRP; (3) focus group discussion (FGD) yang dilakukan dilakukan untuk mendapatkan konfirmasi dan masukan dari ketiga objek sosialisasi atas rancangan strategi dan materi yang akan disosialisasikan.

Hasil Kajian dan Analisis dibagi menjadi hasil wawancara dan hasil FGD. Hasil wawancara memperlihatkan bahwa: (1) sebagian besar responden mengetahui istilah RPJMN dan RPJPN (90 persen), namun hanya setengahnya yang dapat menjelaskan kepanjangan dan fungsi kedua rencana tersebut; (2) Bappenas sebagai instansi yang menyusun RPJPN dan RPJMN tidak banyak dikenal oleh masyarakat, kemungkinan karena setelah otonomi daerah dilaksanakan, masyarakat lebih mengenal badan perencanaan daerah dibandingkan dengan badan perencanaan dengan lingkup nasional; (3) istilah tata ruang dikenali oleh seluruh responden sedangkan istilah pertanahan dikenali oleh 80 persen responden, namun hanya setengahnya yang dapat menjelaskan arti penataan ruang dan pertahanan dan hanya 30 persen dari responden yang mengetahui permasalahan di Bidang TRP; dan (4) tidak ada media yang dominan yang menjadi sumber informasi mengenai tata ruang dan pertanahan. Media cetak (30 persen) dan media elektronik (40 persen) bukan media yang efektif untuk sosialisasi. Internet dapat dijadikan media informasi untuk Bidang TRP karena lebih dari 60 persen responden mendapatkan informasi yang mereka perlukan melalui media ini.

Hasil FGD terhadap tiga target (masyarakat, perguruan tinggi dan pemerintah daerah), memberikan beberapa masukan yang bisa diangkat sebagai strategi. Strategi baru yang berhasil dirumuskan adalah Konsep Pemanfaatan Media Tradisional dan Karakterikstik Lokal. Pemanfaatan media tradisional dalam menunjang penyebaran informasi publik dan kebijakan pemerintah masih sangat dibutuhkan terutama untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat umum. Sifat umum media tradisional yaitu mudah diterima, relevan dengan budaya yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legitimasi, fleksibel, memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan-pesan yang dibawanya, komunikasi dua arah dan sebagainya.

Strategi Sosialisasi yang dibuat dan diujicobakan untuk sosialisasi kebijakan pembangunan jangka menengah Bidang TRP ini, antara lain adalah: (1) menciptakan identitas resmi untuk RPJMN dan untuk kegiatan sosialisasi Bidang TRP yang lebih komunikatif; (2) konsep perancangan pesan yang sederhana, jelas, dan sistematis yang disajikan lewat pesan visual dan pesan tekstual dengan tetap memperhatikan kedalaman materi-materi kebijakan pembangunan Bidang TRP yang akan disosialisasikan; (3) konsep pemasaran sosial yang mengadopsi konsep pemasaran umum dengan membuat toolkit untuk kebutuhan sosialisasi; (4) konsep jaringan komunikasi yaitu dengan melakukan penyebaran informasi melalui Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) di tiap daerah; (5) advokasi media, termasuk di dalamnya pengorganisasian dan mobilisasi masyarakat, dan penyertaan para pembuat kebijakan, antara lain melalui pemberitaan media, penulisan artikel-artikel dan jurnal tentang Tata Ruang dan Pertanahan; (6) menjalankan mekanisme pusat-daerah untuk kebutuhan penyebaran informasi dengan strategi tambahan melalui workshop regional, pelatihan, interview, dan diskusi dengan pemerintah daerah dan para perencana; (7) kerjasama dengan kalangan akademis; dan (8) pemanfaatan media tradisional dan karakterikstik lokal; (9) kolaborasi media tradisional dengan media massa modern misalnya melalui program RRI yang jangkauannya sangat luas sampai dengan perdesaan atau melalui radio swasta untuk pendengar di perkotaan.

Kesimpulan kajian strategi sosialisasi RPJMN 2010-2014 Bidang TRP adalah sebagai berikut: (1) sebagai dokumen publik, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 perlu disosialisasikan kepada semua pemangku kepentingan terkait antara lain: pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi non pemerintah dan masyarakat; dan (2) sosialisasi RPJMN 2010-2014 perlu dilakukan secara efektif dengan memilih media dan substansi materi sosialisasi yang tepat sesuai dengan kelompok sasaran sosialisasi (pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi non pemerintah dan masyarakat).

Rekomendasi kajian antara lain adalah: (1) pengembangan identitas komunikator yang baik, matang dan konsisten untuk subyek kajian ini; (2) advokasi media adalah aspek penting yang terbukti efektif untuk meningkatkan kesadaran; (3) pengembangan toolkit yang lengkap, yang berisi materi dan aplikasi diseminasi [ma].

Strategi Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Bidang Tata Ruang dan Pertanahan

kajian

Page 23: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 21

dalam berita

Desember 2010

Persoalan global yang ada saat ini harus dicari solusinya melalui berbagai kearifan lokal di tiap-ptiap daerah. Pasalnya, jika permasalahan itu dibiarkan tanpa solusi kearifan lokal, ancaman terhadap kehidupan manusia akan terus berlanjut. "’Namun, kearifan lokal di sini hendaknya dikombinasikan juga dengan temuan pengetahuan dan inovasi sehingga tetap ada keharmonisan hidup dengan alam," ungkap Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Sudjarwadi kepada Mediaindonesia.com, Senin (6/12). Pentingnya kearifan lokal itu juga ditekankan Jean-Michel Cousteau, tokoh konservasi kreatif dunia yang menjadi pembicara utama perhelatan Wisdom 2010 itu. Menurutnya, kearifan lokal tidak hanya bermanfaat pada budaya, wisata, pendidikan, dan pengetahuan saja, tetapi juga dari sisi usaha konservasi lingkungan, terutama kelautan. Namun, banyak kasus yakni masyarakat tidak punya kearifan lokal dalam menjaga lingkungan lautnya," tutur Cousteau.(Media Indonesia, 07/12/ 2010)

Kemenhut Mengaku Kecolongan: Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengaku tidak mengetahui masih beroperasinya sejumlah vila liar di Gunung Salak Endah (GSE) kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Media Indonesia,16/12/ 2010)

Perusahaan Ramah Lingkungan bakal Menuai Keringanan Pajak; Kementerian Negara Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Direktorat Pajak berencana memberikan keringanan pajak bagi perusahaan yang menggunakan teknologi ramah lingkungan. "Kami berencana memberi keringanan pajak bagi perusahaan-perusahaan yang masuk kategori 'hijau'," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta di Yogyakarta, Sabtu (18/12). (Media Indonesia18 .12. 2010)

Januari 2011

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendesak Gubernur di seluruh Indonesia untuk bertindak keras terhadap praktik usaha pertambangan dan kehutanan yang masih merusak lingkungan. Presiden sudah mengantungi wilayah di Indonesia yang rusak akibat praktik tersebut dan akan mendatanginya.(Media Indonesia, 10/11/2011)

Kementerian Keuangan Tak Tahu Soal Tarif ERP; Pelaksana Tugas Sementara Kepala Kebijakan Fiskal (BKF) Agus Suprianto mengaku tidak mengetahui ketentuan dan tarif electronic road pricing (ERP) yang akan diberlakukan di Ibu Kota tahun ini. Pernyataan ini diungkapkan Agus untuk menanggapi terancam batalnya kebijakan ERP karena terhalang di Kementerian Keuangan. “Kementerian

Keuangan belum menyelesaikan RUU-nya,” kata Deputi Gubernur Bidang Industri, Perdagangan, dan Transportasi Sutanto Soehodho. Menurut Soetanto, hal ini karena ada ketakutan bahwa kebijakan ERP juga diikuti oleh daerah lain yang karakteristik lalu lintasnya tidak sama dengan Jakarta. (TEMPO Interaktif, 11/01/2011) Kajian Greater Jakarta Disangsikan; Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo saat dihubungi Tempo, Ahad (16/1) menyebutkan, konsep perluasan Jakarta penuh dengan segudang persoalan bahkan dalam sejarahan perluasan Jakarta justru menambah persoalan baru. "Karena memang sejak awal, saat Belanda membangun Batavia, Jakarta tidak didesain untuk menampung penduduk dalam jumlah besar," katanya.

Menurut Ganjar, solusi paling masuk akal untuk menyelesaikan persolan beban Jakarta adalah dengan memindahkan pusat pemerintahan ke luar Jakarta. "Biarkan Jakarta menjadi pusat perekonomian, pusat pemerintahan dipindah ke luar Jawa, agar tidak terjadi tumpang tindih beban di Jakarta seperti sekarang," katanya. (Tempo Interaktif 16 /01/2011)

Februari 2011

Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) Suharso Monoarfa meminta pemerintah daerah (Pemda) ke depan untuk memiliki bank tanah (land banking) untuk mendukung tata ruang serta program pembangunan perumahan bagi masyarakat. “Penyediaan bank tanah atau lahan ini merupakan suatu hal yang sangat krusial dimasa mendatang. Pemda juga mampu mengimplementasikan sesuai masterplan dan detail plan untuk program perumahan maupun perkantoran karena tanah yang ada sudah dikuasai,” terangnya. “Obligasi daerah dalam hal bank tanah ini diharapkan bisa mempererat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika hal itu bisa terjadi maka masalah penyediaan tanah di Indonesia di daerah tidak lagi menjadi persoalan dikemudian hari,” katanya. (KOMPAS.com,1/02/2011)

Kelembagaan Metropolitan untuk Jabodetabek; Tommy Firman Guru Besar pada Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Kebijakan Pembangunan ITB mengungkapkan untuk tujuan pembangunan berkelanjutan, Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) se-bagai wilayah Metropolitan Jakarta harus dikembangkan dan dikelola sebagai kawasan perkotaan. Perencanaan tata ruang terpadu sangat diperlukan. Namun, yang lebih mendasar adalah kehadiran kelembagaan dan kepemimpinan kolektif para pemimpin provinsi dan kabupaten/kota terkait serta pemerintah pusat. Sebaik apa pun rencana tata ruang yang dibuat akan sangat sukar dilaksanakan apabila kelembagaannya tidak menunjang. (Kompas, 13/1/2011).

Maret 2011

Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia menilai tata ruang Indonesia dalam kondisi darurat. Kondisi darurat ini disebabkan proses perencanaan pembangunan yang inkonsistensi dan kontraproduktif terhadap perencanaan wilayah perkotaan nasional.

Villa yang merambah TNGHS (Foto: MI/Dede Susianti/ip)

Tahun 2010 akhir sampai dengan tahun 2011 berita media cetak tentang tata ruang dan pertanahan lebih banyak diwarnai dengan berita mengenai dampak lingkungan yang diakibatkan belum berfungsinya pengendalian pemanfaatan ruang dan penegakan hukum rencana tata ruang. Sedangkan umtuk pertanahan pemberitaannya lebih pada recana disusunnya UU tentang Pengadaan Tanah, terutama memberikan masukan pada muatan RUU tersebut. Sulitnya kerjasama antardaerah dalam bidang penataan ruang juga tergambarkan dalam beberapa berita. Berikut ringkasan beberapa berita tentang tata ruang dan pertanahan serta lingkungan.

Page 24: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

EDISI 01/TAHUN I/2010

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 22

Sejak kewenangan otonomi dibebankan kepada daerah, proses legalisasi peraturan daerah RTRW baru terlaksana di 7 propinsi, 14 Kabupaten, dan 4 kota. "Dari target 500-an Kabaputen dan Kota, baru 14 kabupaten dan 4 kota yang memiliki kepastian hukum berdasarkan UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang," katanya. Menurut dia, kondisi ini memprihatinkan karena semua proses pembangunan dilakukan di dalam ruang yang belum memiliki aturan tata ruang yang sah di mata hukum. "Dirjen Penataan Ruang tidak boleh menunda lagi proses memperdakan seluruh produk RTRW tahun 2011 ini," tegasnya. (Kompas.com. 3/03/2011)

Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan dinilai hanya menjadi alat pemilik modal merampas hak rakyat atas tanah. Rancangan undang-undang tersebut dibuat pemerintah tanpa mendasarkan pada kebutuhan masyarakat, yang membutuhkan perangkat hukum untuk dapat melindungi hak-haknya. Koalisi Rakyat Anti-Perampasan Tanah yang menggelar unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/3), menyerukan agar Dewan Perwakilan Rakyat tak lagi meneruskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria Usep Setiawan menilai upaya pemerintah agar RUU Pengadaan Tanah segera disahkan, semakin membenarkan dugaan adanya kepentingan bisnis di baliknya.(Kompas 25/03;2011)

April 2011

Lahan Terbatas, Tata Ruang Tak Jelas; pembangunan sektor perumahan dan kawasan permukiman di Indonesia hingga saat ini masih menghadapi sejumlah kendala sehingga dalam beberapa tahun ke depan, sulit diharapkan, negeri ini terbebas dari persoalan itu. Demikian penegasan Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Yoseph Umar Hadi dalam sosialisasi UU No 1/2011 tentang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, di Jakarta. Untuk itu, dalam UU No 1 Tahun 2011, lanjutnya, terdapat beberapa hal pokok yang menunjukkan adanya perhatian khusus dari pemerintah terhadap penyediaan perumahan bagi masyarakat.Selain itu, adanya kewajiban negara yang didelegasikan secara merata dari pusat sampai ke daerah, alokasi anggaran perumahan tidak hanya harus ada di APBN, tapi juga APBD, Revisi Tata Ruang, Konsolidasi Tanah dalam bentuk bank tanah, Kasiba dan Lisiba, alokasi anggaran untuk MBR, penyelenggaraan perumahan dan penyelenggaraan kawasan permukiman.(Kompas, 19/04/2011)

Menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan, menegaskan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tetap berkomitmen menjaga kawasan hutan primer Papua utuh dan tidak tereksploitasi untuk pengusahaan hutan. Meski banyak usulan membuka kawasan hutan untuk kegiatan nonkehutanan, kata Menhut di Jakarta. Kemenhut tetap membiarkan kawasan hutan primer seluas 7,3 juta hektare di Papua tak bertambah lagi. “Kalau ada yang mau tuntut silahkan saja.

Saya tegaskan Kemenhut tak akan lagi memberikan penambahan luasan HPH di manapun termasuk di Papua," katanya. (Media Indonesia, 26/04/2011)

Mei 2011

Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan dinilai tidak akan dapat menyelesaikan persoalan agraria, termasuk di dalamnya konflik-konflik tanah yang makin sering terjadi. Keinginan pemerintah agar RUU Pengadaan Tanah segera diselesaikan hanya didasari semangat kepentingan pasar dan pemodal besar serta abai terhadap kepentingan rakyat. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad mengatakan, saat ini aturan soal pengadaan tanah untuk pembangunan sudah termuat dalam UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah. ”Jika ada pernyataan bahwa regulasi baru diperlukan, sesungguhnya itu lebih mengarah pada lahirnya regulasi yang ramah terhadap kepentingan pasar, bukan untuk mengatasi persoalan pengadaan tanah,” ujar Idham di Jakarta, Kamis (5/5).(Kompas, 7/05/2011)

Juni 2011

Semua pihak terkait perlu memberikan dukungan atas keberanian Pemprov DKI untuk memberlakukan sterilisasi truk melintas di jalan tol dalam kota (JTDK) dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Langkah-langkah yang diambil Pemprov DKI guna mengatasi kemacetan lalu lintas di Ibu Kota seperti sterilisasi truk di Jalan Tol Dalam Kota (JTDK) dan menghapus parkir on street di Jl Gajah Mada dan Jl Hayam Wuruk dinilai cukup berani. Karena itu, pemprov perlu mendapatkan apresiasi dari seluruh pihak, kata pakar transportasi dari Universitas Indonesia (UI) Alvinsyah, di Jakarta, akhir pekan lalu. (Media Indonesia,7/06/2011)

Sejak 1999, setiap tahun 4 juta hektare hutan di Indonesia mengalami kerusakan. Hal ini sungguh ironis karena dunia bergantung pada kekayaan hutan Indonesia untuk menjaga ekosistem. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Padang, Senin (13/6),

mengatakan kerusakan hutan yang besar tiap tahun tersebut melebihi daya dukung alam Indonesia. "Ini sangat mengkhawatirkan”. Untuk itu, Kementerian Kehutanan berkomitmen menghentikan pemberian izin penebangan kayu secara bebas, agar kerusakan hutan bisa diminalisir. "Kita juga akan menyetop konsesi di kawasan hutan reguler dan koversi lahan gambut," tambahnya.(Media Indonesia 13/06/2011)

Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra/ip

Pembangunan jalan tol (Robert Adhi Ksp/KOMPAS)

LANDSPATIAL BAPPENAS on

Page 25: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 23

Juli 2011

Mengikuti Rapat Kerja Nasional BKPRN Tahun 2011 di Manado. Rakernas ini diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah) sebagai salah satu anggota Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Rakernas ini akan diikuti oleh instansi-instansi pusat anggota BKPRN, para Gubernur seluruh Indonesia, Bappeda tingkat Provinsi dari seluruh Indonesia, serta perwakilan dari Kabupaten/Kota terpilih.

Agustus 2011

Diskusi terfokus dengan para stakeholder dalam rangka pelaksanaan Kajian “Kebijakan Insentif dan Disinsentif Tata Ruang Dalam Pembangunan Nasional”.

Oktober 2011

Diskusi terfokus lanjutan dengan para stakeholder dalam rangka pelaksanaan Kajian “Kebijakan Insentif dan Disinsen-tif Tata Ruang Dalam Pembangunan Nasional”.

November 2011

Mengikuti peringatan Hari Tata Ruang Nasional yang diada-kan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum.

agenda

Acara seminar dan workshop Capacity Build-ing (DSF) di Hotel Sahid, Jakarta

Foto bersama dengan Ibu Menteri PPN

setelah selesai acara Pasca

Musrenbangnas 2011

Diskusi Strategi Sosialisasi Ren-cana Pemban-gunan Jangka Menengah Na-sional (RPJMN)

Bidang Tata Ruang dan Per-

tanahan

Acara Sosialisasi dan

Diseminasi Usulan Pen-

danaan Pemer-intah Daerah

(UPPD)

Tim TRP pada acara Musren-bang Nasional 2011 untuk Penyusunan RKP Tahun 2012

Page 26: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 24

Setelah masa tugasnya selesai di Direktorat TRP, Dr. Dadang Solihin sempat bekerja di sekretariat DPD RI. Saat Kedeputian Evaluasi dibentuk pada Tahun 2007, Pak Dadang, panggilan akrab beliau, kembali ke Bappenas sebagai Direktur EKPD.

Sebagai salah seorang yang bertanggung jawab melakukan evaluasi pembangunan daerah, Pak Dadang menekankan arti pentingnya evaluasi terutama di era turbulensi yang dinamis dan penuh ketidakpastian seperti yang sedang dihadapi Indonesia sekarang ini. “Dari segi perencanaan, sebenarnya Indonesia di atas kertas sudah terencana, namun pada penganggaran dan implementasinya masih banyak missing link”, kata beliau meyakinkan.

Pengalaman di TRP ternyata sangat membantu pelaksanaan tugas-tugasnya di EKPD. Bedanya, sewaktu di TRP dulu lebih banyak membahas aspek lokasi perencanaan sementara di EKPD sekarang menilai capaian atau hasil perencanaan pembangunan. “Perencanaan pembangunan daerah dan perencanaan tata ruang adalah seperti uang logam yang memiliki 2 sisi. Apa yang harus

dibangun di daerah diterjemahkan dalam RPJMD, sementara dimana dibangunnya diterjemahkan dalam RTRW”, ujar beliau.

Menanggapi pertanyaan tim buletin TRP mengenai bidang TRP dilihat dari pandangan evaluator, dengan lugas Pak Dadang menjawab. “Senjata di evaluasi hanya satu: indikatornya apa? Ketajaman dan spesifikasi indikator adalah sebagai alat untuk mengevaluasi. Dokumen perencanaan baik itu perencanaan pembangunan maupun tata ruang yang berkualitas harus bisa diukur dari 5 kriteria indikator evaluasi, yaitu: SMART (specific, measurable, achievable/attainable, relevant, timely).

Mengingat jabatan beliau sewaktu di TRP adalah Kasubdit Informasi, pesan-pesan untuk TRP juga tidak jauh dari dunia informasi. “Yang penting, teknologi IT nya harus excellent, karena Bappenas adalah sebagai center of excellence. Website TRP harus betul-betul jawaban akan kebutuhan masyarakat akan tata ruang, sehingga harus ditingkatkan terus kecanggihannya”. Tak lupa beliau mengingatkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter. “Kalau webite ternyata kalah efektivitasnya dengan jejaring sosial tersebut, ya lebih baik tidak perlu menggunakan website. Ini yang perlu dikembangkan di TRP”[.]

Dr. Dadang Solihin, MA. Direktur Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD), Bappenas.

Pernah menjabat sebagai Kasubdit Sistem Informasi Tata Ruang dan Pertanahan di Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas (2002 – 2005)

Wanita dengan nama lengkap Rinella Tambunan yang akrab disapa Bu Irin ini baru saja diberi kepercayaan untuk menangani urusan perkotaan di Direktorat Perkotaan dan Perdesaan sejak April 2011 lalu. “Apa ya....., setelah 2 bulan di direktorat Perkotaan dan Perdesaan, setidaknya saya mendapatkan teman-teman dan suasana kerja yang baru”, itulah jawabannya ketika beliau ditanya kesan

yang dirasakan selama bekerja di tempat kerja yang baru.

Walaupun secara fisik tempat kerja yang baru berbeda dengan Direktorat TRP, secara substansi Bu Irin merasa pekerjaan yang dilakukannya sekarang sangat terkait dengan lingkup kerja di TRP. “Jelas erat terkait (dengan Penataan Ruang). Rencana tata ruang merupakan acuan pembangunan perkotaan. Perwujudan sistem perkotaan nasional yang tercantum dalam RTRWN membutuhkan perangkat kebijakan pengelolaan kota, baik dalam konteks fungsi kota secara internal, maupun eksternal (pada lingkup wilayah yang lebih luas).”, ujar Bu Irin dengan sedikit serius. “Kebijakan pertanahan juga merupakan bagian penting dalam menyikapi kompleksitas isu pembangunan perkotaan. Kecenderungan meningkatnya kebutuhan tanah untuk pembangunan di kota serta dinamika pasar tanah, turut menjadi pertimbangan dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi kota yang berkualitas.”, Bu Irin menambahkan.

Lebih lanjut Bu Irin menyampaikan pandangannya tentang apa yang menjadi tantangan bidang TRP dari sudut pandang kekinian. “Pertama, percepatan penyediaan dan integrasi data spasial dari berbagai sektor pembangunan, termasuk mekanisme pemutakhirannya, merupakan hal mendasar dalam upaya meningkatkan kualitas rencana tata ruang, serta memantau dan mengendalikan pemanfaatan ruang (land use). Penyediaan data spasial yang terintegrasi akan mengurangi resiko tumpang tindih, sehingga pengalokasian dana pembangunan juga menjadi lebih efisien. Kedua, yang terkait dengan pembangunan perkotaan, tampaknya perlu dijawab bersama dengan bidang TRP, adalah bagaimana mencari titik temu antara tuntutan adanya kota bertaraf internasional dari perspektif globalisasi, dengan kebutuhan untuk tidak semakin memperlebar kesenjangan antar kota, maupun antara perkotaan dengan perdesaan dari perspektif NKRI.”, tutur Ibu berdarah Batak ini.

Lalu apa yang harus diperbaiki untuk bidang TRP, Bu? ”Perlu FGD dulu kali ya... untuk menjawab pertanyaannya”, jawab si Ibu sambil tersenyum. “Yang jelas, kebersamaan di TRP perlu terus dipelihara. Menjadi bagian inti dari panitia musrenbangnas 2011 merupakan ujian sekaligus juga bukti bagaimana kebersamaan tetap dapat menghadirkan gurauan dan tawa di tengah kepenatan dan ‘kejar tayang’. ‘Hard and fun’ terbukti tidak semata slogan”. Mungkin inilah alasan yang membuat si Ibu masih sering mampir sekedar makan siang bersama di TRP.

dimana mereka sekarang?

Ir. Rinella Tambunan, MPA. Kasubdit Perkotaan, Direktorat Perkotaan dan Perdesaan.

Pernah menjabat sebagai Kasubdit Pertanahan di Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas (2006 – 2011)

Page 27: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

EDISI 01/TAHUN I/2010

Buletin Tata Ruang dan Pertanahan 25

“A dream you dream alone is only a dream. A dream you dream together is reality”.

-John Lennon-

Dr. Ir. Sujana Royat, DEA Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Pernah menjabat sebagai Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas (2001– 2005)

Sebagai salah satu mantan pimpinan TRP yang sekarang bekerja di Kemenko Kesejahteraan Rakyat, Dr. Ir. Sujana Royat, DEA bercerita kepada tim Buletin TRP mengenai aktivitasnya saat ini dan pandangannya terhadap TRP.

Ketika ditanya mengenai kesibukannya, Pak Sujana menjelaskan bahwa tugas utamanya mengkoordinasikan seluruh program-program penanggulangan kemiskinan dan

pemberdayaan masyarakat yang dijalankan oleh kementerian dan lembaga, daerah, swasta dan organisasi masyarakat sipil. “Bekerja untuk mengabdi pada masyarakat miskin memang sudah menjadi cita-cita saya sejak lulus kuliah”, ujar alumnus Planologi ITB ini. Meskipun pekerjaan saat ini tidak terlalu terkait dengan bidang TRP, Pak Sujana mengakui bahwa jejaring yang telah dibina sejak di Bappenas sangat bermanfaat untuk menunjang kelancaran tugas-tugasnya dalam menangani kemiskinan. “Justru dimensi penataan ruang saya masukkan dalam upaya koordinasi penanggulangan kemiskinan. Dalam penataan ruang dikenal adanya klasterisasi kawasan. Klasterisasi ini yang saya terapkan dalam meningkatkan koordinasi program-program penanggulangan kemiskinan yang di dalam RPJMN dikelompokkan ke dalam 3 klaster yang saling berhubungan. Bahkan sekarang sudah bertambah satu menjadi 4 klaster”.

Meskipun sudah tidak bergelut lagi di dunia ke-TRP-an, Pak Sujana masih mengamati perkembangan tata ruang dan sempat memberikan pandangannya mengenai penataan ruang. Beliau menegaskan bahwa penataan ruang ini yang bisa menjawab dan memberi jalan keluar untuk hal-hal yang sifatnya sustainability suatu tindakan pembangunan, bahkan suatu kehidupan. Kuncinya itu keberlanjutan dan keseimbangan. Tidak mungkin ada keberlanjutan bilamana tidak ada keseimbangan dan demikian juga sebaliknya. “Semua akan mudah bila semua pihak menyadari akan hal ini dan tidak menuruti hawa nafsu untuk menguasai sebanyak-banyaknya dan tidak mengedepankan egonya sendiri-sendiri. Jadi, penataan ruang didalamnya ada pendidikan akhlak yang mulia di para pelaku dan ada dimensi pendidikan karakter bangsa lho! beranikah kita menerima tantangan ini!! kalau tidak ada yang berani ya kita pensiun saja jangan mengaku profesional!”, tantang Pak Sujana.

Setelah berada di luar TRP, tentunya ada pemikiran mengenai perbaikan apa yang harus dilakukan terhadap TRP. Beliau menggaris bawahi bahwa kita harus dudukkan penataan ruang menjadi tugas semua (sektor), bukan tugas sektor tertentu saja. “Saya kira ini tantangan mendesak yang mau tidak mau harus dihadapi.” ujarnya. Penegakan hukum yang tegas dan konsekuen juga kunci agar penataan ruang efektif. ”Mengapa sekarang belum bisa terwujud, hanya masalah political will dan nawaitu saja sebenarnya”, beliau menambahkan.

Foto: www.matanews.com

Page 28: Buletin TRP. Pengadaan Tanah : Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan Indonesia.  Edisi I Tahun 2011

Runa Tarna