Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

36
Harmonisasi antar Peraturan Perundang-undangan: Konsep dan Implementasi di Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Jalan Berliku menuju Peraturan Perundang-undangan yang Harmonis: Mungkinkah? Nasrudin, S.H., M.M Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Penyelarasan RZWP-3-K dan RTRW Dr. Ir. Subandono Diposaptono, M.Eng Direktur Tata Ruang Pesisir dan Pulau Kecil, Kementerian Kelautan Perikanan Penyelarasan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Ir. Iman Soedradjat, MPM Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang Buletin Tata Ruang & Pertanahan edisi I tahun 2013

Transcript of Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Page 1: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Harmonisasi antar Peraturan Perundang-undangan: Konsep dan Implementasi di Bidang Tata Ruang dan Pertanahan

Jalan Berliku menuju Peraturan Perundang-undangan yang Harmonis: Mungkinkah? Nasrudin, S.H., M.M Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Penyelarasan RZWP-3-K dan RTRW Dr. Ir. Subandono Diposaptono, M.Eng Direktur Tata Ruang Pesisir dan Pulau Kecil, Kementerian Kelautan Perikanan

Penyelarasan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Ir. Iman Soedradjat, MPM Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum

Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang

Buletin

Tata Ruang & Pertanahanedisi I tahun 2013

Page 2: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Kata kunci penting dalam UUD 1945 untuk alokasi ruang yang efisien dan berwawasan lingkungan adalah bumi, air, kekayaan alam serta cabang produksi yang penting bagi kemakmuran masyarakat dikuasai oleh negara. Pertanyaan berikut perlu terus direnungkan dalam benak kita: apakah peraturan perundang-undangan yang ada telah menjawab, setidaknya sebagian besar, amanat konstitusi di atas? Lalu seperti apa implementasinya sejauh ini?

Salah satu peraturan perundangan paling awal disusun untuk menggantikan ‘hukum penjajahan’ (Penjelasan UU 5/1960) dan berdampak langsung pada penggunaan ruang adalah UU 5/1960 tentang Pokok Agraria. Lingkup yang diatur adalah bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. UU 5/1960 ini kemudian disusul oleh UU 4/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menegaskan bahwa seluruh aturan yang berkaitan dengan penggunaan lingkungan harus terangkum di dalam satu sistem hukum lingkungan Indonesia.

Pada Tahun 1992, disusun UU 24/1992 tentang Penataan Ruang yang dalam penyusunannya mengingat UU 5/1960 dan UU 4/1982. Dalam bagian menimbang, dengan jelas dinyatakan bahwa UU 24/1992 ini disusun untuk mengkoordinasikan pengelolaan sumberdaya alam di darat, laut dan udara dengan tetap memelihara kelestarian dan kemampuan lingkungan hidup. Selain ketiga UU tersebut yang bersifat lebih generalis, berbagai sektor menyusun UU yang bersifat specialis untuk pengelolaan sumberdaya khusus. Kata kunci yang diusung oleh UU 24/1992 – koordinasi – menjadi panglima utama untuk mengatasi konflik sektoral di seluruh Indonesia.

Desentralisasi pengambilan keputusan, pasca penetapan UU 22/1999, membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan optimasi pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman mengelola daerah administrasinya selama ini. Sejalan dengan itu, K/L yang selama ini menjalankan pengambilan keputusan sesuai dengan pengetahuan teknis dan pedoman teknis internal harus bergegas berbagi pengetahuan teknis dengan pemerintah daerah.

Peraturan-peraturan baru disusun oleh berbagai K/L dalam waktu yang sangat singkat, dengan kaca mata sektoral. Paradigma ini menutup kebutuhan berkomunikasi dengan K/L penanggung jawab sektor lain. Pemikiran utama yang muncul kemungkinan besar adalah super spesialisasi setiap K/L untuk sektor tertentu tidak membutuhkan bantuan dari K/L lain yang terspesialisasi untuk sektor lainnya.

Cara berfikir ini diuji oleh pemerintah daerah saat mereka harus melaksanakan seluruh amanat ‘sektoral’ di daerah administrasinya masing-masing. Pemerintah daerah kerap menemukan amanat satu UU bertentangan ataupun tumpang tindih dengan UU lainnya. Selain itu, tidak jarang satu UU mengamanatkan kewajiban kepada pemerintah daerah, namun tanpa didukung oleh infrastruktur yang memadai, yang sebagai besar menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Masalah lain yang mengemuka adalah penyusunan rencana pembangunan yang secara bertubi-tubi dibebankan kepada pemerintah daerah. Sebut saja rencana pembangunan (UU 25/2004), rencana tata ruang (UU 26/2007), rencana zonasi untuk pesisir dan pulau-pulau kecil (UU 27/2007), rencana pengelolaan bencana (UU 24/2007), rencana pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup (UU 32/2009) serta berbagai rencana aksi nasional yang perlu didetailkan oleh pemerintah daerah.

Melihat berbagai peraturan yang berkaitan dengan keruangan dan pertanahan, dewan redaksi Buletin TRP mengangkat salah satu materi harmonisasi peraturan perundangan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan. Tujuan utamanya adalah membuka komunikasi antar K/L pengguna dan pengatur kegiatan di dalam ruang. Outcome yang diharapkan adalah kemudahan melaksanakan seluruh amanat tersebut oleh pemerintah daerah. Beberapa titik terang yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah, untuk mengatasi aturan yang diamanatkan oleh UU 26/2007 dan UU 27/2007, disajikan dalam artikel. Dalam wawancara, kami menghimpun pendapat praktisi. Untuk menggambarkan harmonisasi antar aturan, sampul Buletin TRP berusaha memperlihatkan kondisi harmoni dalam bentuk puzzle lengkap. Beberapa bagian yang hilang menunjukkan kemungkinan disharmoni yang timbul bila beberapa UU dilaksanakan tanpa komunikasi , tanpa saling ‘mengingat’, bahwa ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya harus dialokasikan secara efisien untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan amanat UUD 1945 [ma].

Pelindung

Penanggung Jawab

Pemimpin Redaksi

Dewan Redaksi

Editor

Redaksi

Desain & Tata Letak

Desain Sampul

Distribusi & Administrasi

Alamat Redaksi

Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Direktur Tata Ruang dan Pertanahan

Mia Amalia

Dwi Hariyawan S Uke M. Hussein Nana Apriyana Rinella Tambunan

Khairul Rizal

Hernydawati Santi Yulianti Aswicaksana Agung Dorodjatoen Raffli Noor Idham Khalik Cindie Ranotra Riani Nurjanah Octavia Rahma Mahdi Chandrawulan Padmasari Gita Nurrahmi Hadian Idhar Yasaditama Dea Chintantya Indra Ade Saputra Micania Camillang Yovi Dzulhijjah

Dodi Rahadian

Sylvia Krisnawati Redha Sofiya

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas Jl. Taman Suropati No. 2 Gedung Madiun Lt. 3 Jakarta 10310 021 - 392 66 01 [email protected] http://landspatial.bappenas.go.id

dari redaksi

Page 3: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

14

Jalan Berliku menuju Peraturan Perundang-undangan yang Harmonis: Mungkinkah? Wawancara Nasrudin, SH. MM Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM

2

Penyelarasan RZWP-3-K dan RTRW Dr. Ir. Subandono Diposaptono, M.Eng Direktur Tata Ruang Pesisir dan Pulau Kecil, Kementerian Kelautan Perikanan

6

2 6 12

melihat dari dekat 16

edisi I tahun 2013 daftar isi 1

ringkas buku 20 sosialisasi peraturan

25 kajian 22

koordinasi trp 27

dalam berita 18

Buletin

Tata Ruang & Pertanahan

Penyelarasan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Wilayah Pesisir dan Laut di Dalam Peraturan Daerah RTRW Kota Batam Dr. Ir. Wan Darussalam, M.Sc Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Batam

12 14

daftar isi

1

Ir. Iman Soedradjat, MPM Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional , Kementerian Pekerjaan Umum

Page 4: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 2

Nasrudin, S.H., M.M Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM

K oordinasi adalah barang mahal dalam Bidang Tata Ruang maupun Pertanahan, terlebih dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan. Tidak hanya karena

kompleksitas perkembangan isu dan dinamika pembangunan, tetapi juga kebutuhan berbagai pihak atas pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri.

Harmonisasi menjadi tahap penting dalam upaya koordinasi tersebut. Sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Nasrudin S.H., M.M. menjelaskan kepada Redaksi Buletin TRP bagaimana proses dan upaya harmonisasi, termasuk tantangan dan kendala yang dihadapi. Beberapa solusi ditawarkan Bapak Nasrudin untuk menangani kendala proses harmonisasi disela-sela kesibukannya. Salah satu kesibukan penting Beliau adalah menyelesaikan disertasi mengenai eksistensi naskah akademik dalam pembentukan undang-undang ditinjau dari perspektif pembangunan hukum nasional. Berikut hasil wawancara Redaksi:

Ada indikasi yang terus menguat bahwa beberapa peraturan dan kebijakan di Bidang Tata Ruang dan Pertanahan berkonflik satu sama lain. Sebenarnya bagaimana peran dan prosedur yang dilakukan instansi yang Bapak pimpin, baik dalam proses penyusunan peraturan maupun harmonisasinya?

Begini, UU No. 12 Tahun 2011 sebenarnya sudah mengatur mengenai proses penyusunan peraturan perundang-undangan mulai dari hulu hingga hilir, yaitu mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan hingga penyebarluasan peraturan perundang-undangan.

Pada tahap perencanaan, terjadinya konflik antarperaturan seharusnya sudah dapat dihindari, karena pada tahap perencanaan tersebut, setiap materi yang akan disusun dalam suatu RUU harus terlebih dahulu dikaji dan diteliti, baik kajian dari aspek filosofis, sosiologis, maupun yuridisnya termasuk dilakukan pula sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Hasil kajian dan penelitian tersebut dituangkan kedalam Naskah Akademik (NA).

Tujuan dari sinkronisasi materi RUU dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait tersebut, salah satunya adalah agar UU yang dibuat tidak bertentangan atau berkonflik dengan peraturan perundang-undangan terkait lainnya yang sudah ada.

Terkait dengan peran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan termasuk harmonisasi dalam mencegah terjadinya konflik antarperaturan dapat kami jelaskan bahwa dalam proses pembentukannya, RUU yang telah disusun berdasarkan NA, yang berasal dari inisiatif pemerintah, sebelum disampaikan kepada DPR untuk dibahas bersama dengan Pemerintah, RUU tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU 12/2011 dibahas terlebih

dahulu dalam forum pembahasan antarkementerian/lembaga (PAK/L) yang diselenggarakan oleh pemrakarsa (Kementerian/Lembaga) dengan melibatkan kementerian/lembaga (K/L) terkait untuk mendapatkan kesepakatan dari segi substansi. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik kewenangan. Misalnya dalam hal pengaturan perizinan pertambangan di kawasan hutan (antara kewenangan Kementerian ESDM di bidang pertambangan dan kewenangan Kementerian Kehutanan di bidang kehutanan).

Setelah selesai dibahas dalam forum PAK/L, RUU tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (3) UU 12/2011 dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh Kemenkumham, baik harmonisasi dari aspek materiil maupun aspek formil atau teknis penyusunannya. Harmonisasi RUU dari aspek materiil meliputi harmonisasi:

a. antarperaturan, baik secara vertikal dengan UUD 1945 dan Pancasila maupun secara horisontal dengan sesama UU;

b. dengan kebijakan nasional; dan lainnya

Peran Kemenkumham dalam proses harmonisasi adalah sebagai koordinator dalam pengharmonisasian konsepsi RUU dengan melibatkan wakil dari seluruh K/L yang terkait substansi rancangan peraturan perundang-undangan yang sedang dibahas. Dalam pembahasan harmonisasi terkadang melanjutkan pembahasan yang belum tuntas ditingkat PAK/L terutama yang terkait dengan persinggungan kewenangan antarK/

L dan bila masing-masing K/L dalam pembahasan harmonisasi tetap lebih mengutamakan egosektoralnya masing-masing, maka terkadang pembahasan mengalami deadlock. Pembahasan terkadang juga menjadi kurang berjalan lancar dan memakan waktu dikarenakan perwakilan masing-masing K/L yang datang adalah orang yang kurang memiliki kewenangan untuk memutuskan perihal isu yang sedang dibahas.

Pembahasan selanjutnya, sesuai penjenjangan, dilakukan ditingkat menteri/pimpinan lembaga yang dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan HAM, apabila pembahasan di tingkat Menkumham belum tercapai kesepakatan, pembahasan dilakukan di tingkat Menteri/Pimpinan Lembaga yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator sesuai substansi yang dibahas. Demikian pula bila pembahasan ditingkat menteri koordinator masih belum tercapai kesepakatan, maka pembahasan dilakukan ditingkat Rapat Kabinet Terbatas yang dipimpin oleh Presiden.

Dengan demikian, terhadap RUU yang berasal dari Pemerintah, harmonisasi antarperaturan untuk mencegah timbulnya pertentangan

Jalan Berliku Menuju Peraturan Perundang-undangan yang Harmonis: Mungkinkah?

wawancara

dalam PAK rancangan peraturan akan dibahas dengan

K/L/BP terkait sehingga terhindar

dari konflik kewenangan

Page 5: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 3

atau konflik antarperaturan, sudah tuntas dilakukan oleh Pemerintah sebelum RUU tersebut disampaikan kepada DPR. Namun, permasalahan terkadang muncul pada saat pembahasan di DPR, karena segala upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, baik pada tahap penyusunan NA, pembahasan dalam PAK/L, maupun harmonisasi konsepsi di Kemenkumham, terkadang tidak berarti apabila berhadapan dengan kuatnya intervensi politik. Dalam bahasa yang lebih populer dapat disebutkan “energi hukum, jika berhadapan dengan energi politik akan berakibat kalahnya hukum oleh politik, sehingga produk hukum (UU) dirasakan sangat kental bernuansa kepentingan politik segelintir orang atau kelompok orang dengan mengabaikan kebaikan dan kemanfaatan bagi masyarakat luas”.

Dengan proses pembahasan yang demikian panjang, bagaimana dengan rancangan peraturan yang tiba-tiba “nyelonong” dalam antrian pembahasan proses harmonisasi, Pak?

Antrian rancangan peraturan perundang-undangan yang harus dilakukan harmonisasi memang cukup panjang, mengingat pengajuan rancangan peraturan yang akan diharmonisasikan berasal dari seluruh K/L sehingga rata-rata setiap tahunnya tidak kurang dari 200 rancangan yang harus diharmonisasikan yang terdiri atas RUU, RPP, dan Raperpres. Awalnya, dalam melakukan harmonisasi diterapkan strategi “first come first out”, namun dalam pelaksanaannya strategi ini banyak menimbulkan kelemahan, mengingat tidak semua rancangan mengandung materi yang sulit, seperti rancangan peraturan di bidang sumber daya alam yang sarat dengan konflik kewenangan beberapa sektor, sehingga nuansa egosektoral membuat pembahasan butuh waktu lama. Akibatnya, rancangan yang materinya relatif mudah yang seharusnya penyelesaiannya bisa cepat, karena masuknya belakangan, menjadi tersandera penyelesaiannya karena harus menunggu penyelesaian rancangan yang masuk terlebih dahulu meskipun butuh waktu lama. Akibatnya, terjadi penumpukan rancangan peraturan perundang-undangan yang menunggu untuk diharmonisasikan yang disebabkan oleh terjadinya ketidakseimbangan antara banyaknya permohonan yang masuk dibandingkan dengan sedikitnya produk rancangan peraturan perundang-undangan yang selesai diharmonisasikan,

sehingga muncul stigma bahwa proses pengharmonisasian di Kemenkumham seolah-olah menjadi bottle necking pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka menghilangkan stigma tersebut, sejak awal tahun 2011, dalam melaksanakan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi, Kemenkumham menggunakan beberapa strategi, antara lain dengan menggunakan sistem pembobotan materi, prioritas/urgensi, dan sistem jemput bola.

Pembobotan materi rancangan yang akan diharmonisasikan kami kelompokkan ke dalam kategori berat (materi terkait polhukam dan sumber daya alam, misalnya pertambangan, kehutanan, dll)

pembahasannya dilakukan pagi hingga siang hari; kategori sedang (materi terkait kesra, misalnya kepegawaian, kesehatan, dll) pembahasannya dilakukan siang hingga sore hari; dan kategori ringan (materi terkait keuangan dan perbankan, misalnya Penyertaan Modal Negara, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dll). Berdasarkan kategorisasi tersebut, harmonisasi dapat dilakukan secara simultan, baik terhadap permohonan yang lama (terlebih dahulu) masuk maupun yang baru.

Terkadang ada rancangan yang sangat prioritas/urgen untuk segera diselesaikan, misalnya rancangan peraturan tentang gaji 13 atau APBN yang waktunya sangat sempit, maka terhadap rancangan tertentu bisa jadi tiba-tiba nyelonong tidak perlu

... pembuatan peraturan itu seperti

proyek saja

...sudah memiliki UU Tenaga Kesehatan,

tetapi ada RUU Keperawatan;

...sudah memiliki UU Sistem Pendidikan

Nasional, tetapi ada RUU Pendidikan

Tinggi. Apakah ini berarti pendidikan

tinggi bukan bagian dari sistem pendidikan

nasional?

Page 6: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 4

menunggu antrean untuk diharmonisasikan karena rancangan tersebut harus segera ditetapkan.

Sistem jemput bola dilakukan sebagai upaya untuk menghindari agar pembahasan harmonisasi tidak perlu waktu yang lama, maksudnya suatu rancangan sebelum diajukan ke Kemenkumham untuk diharmonisasi, kami secara aktif dan intens menugaskan staf untuk mengikuti setiap pembahasan PAK/L yang diselenggarakan oleh Pemrakarsa. Dengan sistem ini, berbagai permasalahan yang berpotensi akan muncul pada saat pembahasan di harmonisasi kami upayakan untuk diselesaikan ditingkat PAK/L, sehin

gga pembahasan harmonisasi tidak memerlukan waktu atau perdebataan yang berlarut-larut yang membutuhkan waktu lama, karena pada saat pembahasan harmonisasi hanya tinggal meminta klarifikasi dari K/L terkait terhadap kesepakatan yang dicapai pada saat PAK/L.

Dengan menggunakan strategi tersebut, Alhamdulillah sekarang ini sudah tidak ada lagi tumpukan rancangan yang menunggu pengharmonisasian di Kemenkumham, bahkan meskipun UKP4 menargetkan setiap rancangan yang masuk, paling lama empat bulan harus sudah selesai harmonisasi, dalam kenyataannya sekarang sudah dapat kami selesaikan tidak lebih dari satu minggu rancangan tersebut sudah kami selesaikan harmonisasinya.

Sebenarnya bagaimana Prolegnas itu disusun dan sejauh mana Prolegnas ini ditaati secara konsisten?

Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dilakukan oleh DPR dan Pemerintah.

Penyusunan Prolegnas usul inisiatif DPR dikoordinasikan oleh Badan Legislasi DPR (Baleg) dan penyusunan Prolegnas usul inisiatif Pemerintah dikoordinasikan oleh Menkumham. Prolegnas ditetapkan

untuk jangka menengah (5 tahun) dan dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.

Berdasarkan daftar RUU yang telah ditetapkan dalam Prolegnas tersebut, baik DPR maupun Pemerintah mengajukan RUU tersebut untuk dibahas bersama.

Memang dalam perjalanannya ada RUU di luar Prolegnas yang dibahas oleh DPR bersama dengan Pemerintah, hal itu memang dimungkinkan oleh UU 12/2011 sepanjang RUU tersebut termasuk dalam kategori kumulatif terbuka yang meliputi RUU tentang: a. pengesahan perjanjian internasional; b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi; c. APBN; d. pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah provinsi

dan/atau kabupaten/kota; dan e. penetapan/pencabutan Perpu.

Selain kategori kumulatif terbuka, dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas apabila: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau

bencana alam; dan b. keadaan tertetu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional

atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan Baleg DPR dan Menkumham (cq. BPHN).

Dengan demikian, pembahasan RUU di DPR, dapat dilakukan baik terhadap RUU yang telah masuk ke dalam Prolegnas maupun RUU di luar Prolegnas yang termasuk dalam kategori kumulatif terbuka atau keadaan tertentu dan sejauh ini Prolegnas dan nonprolegnas tersebut ditaati secara konsisten.

Page 7: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 5

ada pihak yang kurang setuju, tetapi dengan keterlibatan mereka dalam membuat peraturan sehingga semua pihak merasa ikut terlibat di dalamnya, sehingga seandainya ada kepentingan yang tidak ter-cover dalam peraturan yang dibahas, maka akan diketahui bahwa keputusan yang diambil merupakan refleksi dari kepentingan yang lebih luas. Dengan demikian, ketika sebuah peraturan diundangkan, tidak ada lagi yang protes atau mengajukan judicial review, karena mereka merasa memiliki UU tersebut.

Ketiga, melalui NA, dasar-dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis mendapatkan pengkajian secara mendalam. Pada tahap penyusunannya, disusun dasar, alasan, dan pertimbangan yang tidak semata-mata politik (misalnya sebagai realisasi janji atau program pemenang pemilihan umum), akan tetapi juga memuat pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis, termasuk pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya; dan

Keempat, melalui NA, masyarakat dapat mengontrol proses penyusunan, penetapan, dan pelaksanaan instrumen hukum (UU). Dengan demikian, NA juga dapat menjamin tegaknya prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik, khususnya prinsip transparansi dan akuntabel.

Sangat disayangkan apabila penyusunan NA dilakukan hanya sekedar untuk melengkapi persyaratan administratif agar RUU tersebut dapat dimasukkan dalam daftar prolegnas. Saat ini seringkali NA disusun setelah RUU dibuat, sehingga NA bukan sebagai dasar penyusunan RUU tapi NA hanya dijadikan pelengkap untuk memenuhi persyaratan saja. Artinya UU yang dibuat tidak berdasarkan kajian.

Aspek proses penyusunan NA, yaitu bagaimana proses penyusunan NA untuk menghasilkan NA yang baik dan berkualitas. NA yang baik dan berkualitas adalah NA yang disusun secara obyektif tidak ada intervensi kepentingan tertentu, independen, dan memuat uraian yang mengandung penjelasan tersebut di atas.

Aspek penggunaan NA. Jika suatu NA disusun sebelum perumusan RUUnya dan penyusunannya dilakukan dengan baik sehingga menghasilkan NA yang berkualitas, maka aspek berikutnya adalah NA tersebut seharusnya wajib digunakan, baik sebagai dasar penyusunan RUU, referensi pembahasan RUUnya di DPR, maupun

Agar penyusunan Prolegnas lebih komprehensif dan lebih efektif untuk ditaati secara konsisten, dalam Raperpres yang sedang disusun sebagai amanat UU 12/2011, akan diatur bahwa Prolegnas yang disusun akan disesuaikan dengan RPJPN dan RPJMN sebagai arahan pembangunan nasional untuk mewujudkan cita-cita kondisi Indonesia mendatang. Harapannya jika hal ini sudang inline maka penyusunan UU sekaligus NA tidak akan sembarangan lagi.

Jadi, bagaimana peranan naskah akademik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya dalam proses harmonisasi?

Pentingnya peranan Naskah Akademik (NA) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, secara prosedural saat ini, adalah sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi apabila suatu RUU akan dimasukkan ke dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahunan. Tanpa dilengkapi NA, suatu RUU tidak dapat dimasukkan ke dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahunan.

Bagaimana peran NA dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, ditentukan oleh beberapa aspek, yaitu aspek waktu penyusunannya, aspek proses penyusunannya, dan aspek penggunaannya.

Aspek waktu penyusunan NA, adalah kapan sebaiknya NA itu disusun.

Suatu NA memuat uraian yang mengandung penjelasan mengenai:

a. latar belakang, tujuan, dan urgensi peraturan itu dibuat;

b. akibat atau konsekuensi (cost and benefit) dari aturan yang akan diberlakukan;

c. sasaran yang ingin diwujudkan serta jangkauan dan arah pengaturan;

d. kesesuaiannya dengan kearifan lokal, agama, pluralisme, dan humanisme;

e. sinkronisasi dengan peraturan terkait yang sudah ada; dan

f. pendapat publik atau para pemangku kepentingan.

Ditinjau dari materi kandungan NA tersebut, seharusnya NA itu disusun terlebih dahulu

dibandingkan RUUnya, artinya, RUU disusun harus berdasarkan NA, bukan sebaliknya. Secara umum, urgensi (pentingnya) kehadiran NA dalam pembentukan UU ada empat hal, yaitu:

Pertama, melalui NA, perancang RUU atau pembentukan UU (yang bertindak sebagai pengambil atau penentu kebijakan) akan mendapatkan informasi yang memadai dalam pengambilan keputusan. Dengan kata lain, NA berfungsi sebagai acuan bagi perancang untuk dapat menentukan apa yang akan diatur dan diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dengan bahasa yang jelas, tegas, dan tidak multi tafsir;

Kedua, melalui NA, aspirasi, harapan, dan keinginan masyarakat dapat diserap secara maksimal. Bisa jadi dalam konsultasi publik

...jangan dipisah antara tata ruang wilayah darat dan wilayah

pesisir

...mempertimbangkan inefisiensi, dapat

digabung menjadi satu perda dengan

mengakomodir kedua UU tersebut

...secara prosedur hukum, menetapkan

berbagai substansi yangsaling terkait tidak

akan ada masalah Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan meliputi: a. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan c. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kawasan yang dapat ditetapkan menjadi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan harus memenuhi persyaratan: a. berada di dalam dan/atau di luar kawasan

peruntukan pertanian; dan b. termuat dalam Rencana Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sumber: PP No.1 Tahun 2011, Pasal 4 dan Pasal 9

Tahukah Anda???

bersambung ke hal 8

Page 8: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 6

juga merupakan rencana tata ruang. Namun demikian, terdapat perbedaan peristilahan dalam pembagian kawasan pola ruang yang perlu dipahami agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran dalam implementasinya.

Dalam UU No. 26 Tahun 2007 misalnya, pola ruang meliputi kawasan budidaya dan kawasan lindung. Sedangkan dalam UU No. 27 Tahun 2007, pola ruang meliputi kawasan pemanfaatan umum dan kawasan konservasi. Menurut penjelasan Pasal 10 UU No. 27 Tahun 2007, kawasan pemanfaatan umum setara dengan kawasan budidaya dalam UU No. 26 Tahun 2007. Sementara itu, kawasan konservasi dalam UU No. 27 Tahun 2007 setara dengan kawasan lindung dalam UU No. 26 Tahun 2007.

Dalam pembagian zona di dalam kawasan, juga terdapat perbedaan istilah. Misalnya kawasan lindung yang didefinisikan dalam UU No. 26 Tahun 2007, pembagiannya meliputi kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan cagar budaya, kawasan rawan bencana, serta kawasan lindung geologi. Sedangkan kategori dalam kawasan konservasi, menurut UU No. 27 Tahun 2007, meliputi kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil, kawasan konservasi maritim dan atau kawasan sempadan pantai. Pembagian zona dalam kawasan konservasi tersebut meliputi zona inti, zona pemanfaatan terbatas dan zona lainnya.

Pembedaan istilah tersebut sebenarnya bukan tanpa alasan. UU No. 26 Tahun 2007 hanya membagi ruang dalam dua kepentingan, yakni

budidaya dan lindung. Dengan demikian, tidak ada kegiatan budidaya dalam kawasan lindung. Sebaliknya, karena karakteristik alami dan tipe sumberdayanya, perairan laut tidak dapat diberlakukan secara sama. Penetapan kawasan konservasi masih memungkinkan kegiatan pemanfaatan baik yang ekstraktif maupun nonekstraktif dengan pengaturan-pengaturan tertentu sesuai dengan tujuan

ditetapkannya kawasan konservasi. Dengan kata lain, pengaturan ruang laut tidak dapat menggunakan terminologi yang sama dengan pengaturan ruang di darat.

Perbedaan lain, di dalam UU No. 26 Tahun 2007 dikenal istilah alur pelayaran. Sedangkan di dalam UU No. 27 Tahun 2007 dikenal dengan istilah alur laut yang tidak hanya mengatur alur pelayaran, tetapi juga alur migrasi ikan, pipa dan kabel bawah laut. Penggunaan definisi ini sesuai fakta bahwa di laut tidak hanya terdapat alur pelayaran tetapi juga alur migrasi ikan, migrasi biota, pipa dan kabel bawah laut. Di sini jelas sekali bagaimana UU No. 27 Tahun 2007 melengkapi dan mengisi kekosongan yang tidak diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007. Bahkan untuk kepentingan perlindungan kawasan migrasi biota laut, kawasan tersebut dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Hal ini tentu saja tidak akan dapat dilakukan apabila hanya mengacu pada alur pelayaran sesuai dengan definisi dalam UU No. 26 Tahun 2007.

Sesuai dengan pertimbangan karakteristik dan cakupan kepentingan

L ahirnya dua Undang-Undang (UU); yakni UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil merupakan

tonggak sejarah bagi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu di Indonesia. Kedua produk hukum tersebut menjadi payung hukum yang mengatur penataan ruang baik di darat maupun di laut. Kedua UU tersebut saling melengkapi dan memungkinkan adanya penataan ruang yang terpadu antara daratan dan perairan laut di wilayah pesisir, dimana hal tersebut selama ini tidak pernah dapat diwujudkan.

Pasal 6 ayat 5 UU No 26/2007 mengatakan, ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang sendiri. Khusus untuk ruang laut yang dimaksud dalam UU tersebut tentunya adalah UU No. 27 Tahun 2007. Ruang lingkup pengaturan UU No. 27 Tahun 2007 meliputi ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai yang didefinisikan sebagai cakupan wilayah pesisir.

RZWP-3-K dan RTRW

Sesuai dengan UU No. 27 Tahun 2007, terdapat tiga struktur yang menyusun pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yakni:

Perencanaan;

Pemanfaatan; serta

Pengawasan dan pengendalian.

Khusus struktur perencanaan memuat perencanaan yang bersifat spasial (keruangan), yaitu rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP-3-K).

Walaupun UU No. 27 Tahun 2007 tidak secara eksplisit menyebut tata ruang laut, namun perencanaan spasial tersebut diistilahkan dengan RZWP-3-K. Perbedaan ini perlu disosialisasikan lebih lanjut untuk meningkatkan pemahaman pemerintah daerah dan masyarakat bahwa UU No. 27 Tahun 2007 sebagai instrumen penataan ruang di perairan laut.

Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 pada Bab I Pasal 1 disebutkan, rencana zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya setiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan, yang memuat kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Pengertian ini mirip dengan definisi tata ruang yang tersurat dan tersirat pada Bab I Pasal 1 dalam UU No. 26 Tahun 2007.

Menurut UU No. 26 Tahun 2007, tata ruang adalah wujud struktur dan pola ruang. Sementara itu, rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

Dengan demikian, berdasarkan pengertian yang terdapat dalam kedua UU tersebut, sejatinya dapat dikatakan bahwa rencana zonasi adalah

...kawasan pemanfaatan

umum setara dengan

kawasan budidaya

...kawasan konservasi

setara dengan kawasan

lindung...

Penyelarasan RZWP-3-K dan RTRW Dr. Ir. Subandono Diposaptono, M.Eng

Direktur Tata Ruang Pesisir dan Pulau Kecil, Kementerian Kelautan Perikanan

artikel

Page 9: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 7

pengelolaan sumberdaya laut yang dinamis dan saling terkait tersebut, penulis mengusulkan, untuk perairan laut di wilayah pesisir menggunakan rezim UU No. 27 Tahun 2007. Dengan demikian sesuai UU tersebut, dalam RZWP-3-K di perairan laut wilayah pesisir menggunakan istilah pola ruang yang ada dalam UU No. 27 Tahun 2007. Sedangkan dalam RZWP-3-K di daratan wilayah pesisir menggunakan istilah pola ruang yang ada dalam RTRW sesuai UU No. 26 Tahun 2007.

Pertimbangan lainnya adalah UU No. 27 Tahun 2007 adalah aturan lex specialis dibandingkan dengan UU No. 26 Tahun 2007. Maka dasar hukum penataan ruang laut menggunakan UU No. 27 Tahun 2007. Namun demikian, sesuai dengan amanat UU No. 27 Tahun 2007, RZWP-3-K harus diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan RTRWP/K.

Tindak Lanjut Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK)1 , upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah melakukan penyusunan kajian dalam bentuk Naskah Akademik. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penyusunan RUU Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 khususnya berkenaan dengan HP-3, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, dan peran serta masyarakat di wilayah pesisir.

Upaya penyusunan RUU Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah sejak tahun 2012 hingga saat ini, melalui penetapan program legislasi KKP2. Lebih lanjut, untuk kepentingan pembahasan RUU Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) telah dikeluarkan Surat dari Presiden Republik Indonesia kepada Ketua DPR-RI3 yang menyampaikan RUU Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 serta penugasan pembahasan RUU tersebut kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Khusus perubahan konsepsi HP-3 menjadi izin serta keterkaitan dengan dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dalam RUU Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 telah ditambahkan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang di perairan pesisir dalam bentuk izin lokasi dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir.

RUU Perubahan UU No. 27 Tahun 2007 menyebutkan bahwa setiap pemanfaatan perairan pesisir wajib memiliki izin lokasi yang diberikan dalam luasan dan waktu tertentu dengan berdasarkan pada RZWP-3-K Provinsi dan RZWP-3-K Kabupaten/Kota. Termasuk ke dalam Izin

lokasi tersebut adalah izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir yang berupa kegiatan produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, serta kegiatan survei dan pengangkatan benda muatan kapal tenggelam. Sedangkan untuk perizinan pemanfaatan perairan pesisir selain kegiatan-kegiatan tersebut dan pada wilayah masyarakat hukum adat, tetap dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan sesuai dengan kewenangan masyarakat hukum adat setempat.

Pemberian izin lokasi wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat hukum adat, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing. Sedangkan untuk pemberian izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat hukum adat, dan kepentingan nasional. Khusus untuk izin lokasi, tidak dapat diberikan di zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.

Kewenangan pemberian izin lokasi dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dilaksanakan sesuai dengan kewenangan di wilayah perairan pesisir. Untuk wilayah kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam pemberian izin lokasi dan izin pemanfaatan

sumber daya perairan pesisir dilakukan di wilayah perairan pesisir lintas provinsi, Kawasan Strategis Nasional, dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Sedangkan untuk wilayah perairan pesisir provinsi dan kabupaten/kota, diberikan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Konsepsi izin lokasi dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

dalam RZWP-3-K sejalan dengan fungsi izin lokasi dalam Perda tentang Rencana Tata Ruang (RTRW) dan Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang diamanatkan penyusunannya dalam UU No. 26 Tahun 2007. Dengan kesetaraan muatan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang pemerintah daerah perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang RZWP-3-K yang berfungsi sebagai perisai legitimasi peruntukan ruang, dokumen formal perencanaan pembangunan daerah, pemberian kekuatan hukum, rujukan konflik pemanfaatan ruang, acuan pemberian izin pemanfaatan ruang, dan alat penyerasian rencana pembangunan dalam dokumen spasial. Putusan MK tidak berimplikasi pada dokumen RZWP-3-K.

Cakupan Rencana Zonasi Pulau-Pulau Kecil Terluar

Berdasarkan Perpres No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPPKT), pulau kecil terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2.000 km2 yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografi yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Setidaknya terdapat 92 pulau kecil terluar di Indonesia, yang berbatasan dengan 10 negara tetangga4 ataupun dengan laut lepas. Pulau-pulau kecil terluar tersebar di 20 provinsi dan 38 kabupaten, sekitar 50% diantaranya berpenduduk, dengan luasan pulau antara 0,02 – 200 km2.

PPKT memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang tinggi, serta mempunyai peran strategis dalam menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kawasan ini di satu sisi menyediakan sumber daya alam yang produktif seperti terumbu

pemerintah daerah

perlu menetapkan

Peraturan Daerah

tentang RZWP-3-K yang

berfungsi sebagai perisai

legitimasi peruntukan

ruang putusan MK tidak

berimplikasi pada

dokumen RZWP-3-K.

Potensi sumber daya dan ancaman di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sumber: KKP, 2012

Page 10: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 8

karang, padang lamun, hutan mangrove, perikanan dan kawasan konservasi, namun di sisi lain sangat penting untuk kepentingan pertahanan dan keamanan karena berada di beranda depan NKRI. Selain memiliki potensi yang begitu besar PPKT memiliki permasalahan sebagai berikut:

Rawan pengaruh ideologi, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan;

Degradasi kualitas lingkungan dan ekosistem, yang diantaranya disebabkan oleh reklamasi dan penggalian pasir;

Tertinggal dan terisolir;

Kesenjangan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan dengan negara tetangga;

Terancam bencana alam, terutama sea level rise, badai tropis, dan tsunami sehingga perlu dipikirkan upaya antisipasinya;

Rawan konflik dengan negara tetangga di 12 pulau kecil terluar yang menjadi prioritas dalam penanganannya yaitu Pulau Rondo, Sekatung, Nipa, Berhala, Marore, Miangas, Marampit, Batek, Dana, Fanildo, Fani, dan Bras.

Dalam Pasal 3 PP No. 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Terluar, PPKT merupakan Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT). Selanjutnya dalam Pasal 4, ayat (1), pemanfaatan PPKT dilakukan berdasarkan Rencana Zonasi yang ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan menteri/pimpinan lembaga pemerintah non kementerian terkait. Dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa pemanfaatan PPKT hanya dapat dilakukan untuk 3 hal:

Pertahanan dan keamanan;

Kesejahteraan masyarakat; dan/atau

Pelestarian lingkungan.

Pembagian zona dalam Rencana Zonasi PPKT disesuaikan dengan ketiga peruntukan tersebut di atas dengan memperhatikan:

Keterpaduan antara kegiatan Pemerintah dengan pemerintah daerah, antarpemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat;

Kepekaan ekosistem suatu kawasan yang berupa daya dukung lingkungan, dan sistem tata air suatu pulau kecil;

Kondisi ekologis yang mencakup fungsi perlindungan dan konservasi;

Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat;

Kondisi politik yang mencakup fungsi pertahanan, keamanan, dan kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia;

Penggunaan teknologi ramah lingkungan;

Kondisi budaya dan hak masyarakat adat, masyarakat lokal, serta masyarakat tradisional.

Arahan pemanfaatan ruang daratan PPKT diatur dalam RTRW dan RDTR, sedangkan arahan pemanfaatan ruang di perairan disekitarnya akan diatur dalam Rencana Zonasi PPKT. Cakupan wilayah perencanaan PPKT hingga ke batas teritorial NKRI (sampai paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai). Pembagian kawasan dan zona dalam Rencana Zonasi PPKT sama dengan pembagian kawasan dan zona dalam RZWP-3-K

Masa Berlaku dan Periode Revisi RZWP-3-K

RZWP-3-K dan Rencana Zonasi Rinci (RZR) Kawasan ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan berlaku selama 20 tahun terhitung mulai sejak ditetapkan dan dapat ditinjau kembali setiap lima tahun. Penyerasian, penyelarasan, dan penyeimbangan dengan RTRW dilakukan pada saat proses penyusunan RZWP-3-K khusus untuk perbatasan alokasi ruang daratan – perairan dan alokasi ruang pesisir daratan (kecamatan pesisir).

Saat ini, guna menghindari tumpang tindih pengaturan ruang maka alokasi ruang daratan pesisir dalam RZWP-3-K mengacu pada perda RTRW. Apabila terdapat perbedaan hasil rencana dari hasil kajian RZWP-3-K pada alokasi ruang pesisir daratan RTRW diperlukan proses integrasi pada saat peninjauan kembali perda RTRW. Dalam hal perda RTRW sedang disusun maka, hasil kajian RZWP-3-K dapat memberi masukan dalam menentukan alokasi ruang pesisir daratan RTRW.

Kelengkapan muatan RZWP-3-K di perairan laut adalah prasyarat minimum kajian dan arahan yang diperlukan dalam rangka melengkapi hasil RZWP-3-K di perairan laut yang disusun. Kelengkapan ini meliputi diversifikasi ekonomi sumberdaya, multifungsi penggunaan ruang laut, dan mediasi konflik.

Salah satu variabel analisa ekonomi yang digunakan untuk menyusun RZWP-3-K di perairan laut adalah alokasi sumberdaya secara efisien. Hasil analisis ini mempengaruhi variasi jangka waktu kegiatan ekonomi dan pelestarian yang berbasis sumberdaya. Pengalihan fungsi suatu kegiatan pascaproduksi suatu sumberdaya perlu termuat pula dalam dokumen RZWP-3-K. Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang tinggi

mengakibatkan semakin banyaknya sektor-sektor yang akan mengembangkan kegiatannya dan memanfaatkan ruang laut. Diperlukan kesepakatan multi sektor yang terlibat.

Sampai dengan saat ini baru dua provinsi dan 6 kabupaten/kota yang telah mempunyai Perda dimaksud. Bisa dibayangkan dampak yang terjadi. Apabila kondisi ketidakpastian hak pengelolaan dibiarkan, maka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak dapat diharapkan untuk menyejahterakan masyarakat. Dikhawatirkan investasi yang telah ditanamkan akan terbuang percuma. Saat ini menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah daerah untuk merumuskan kebijakan pengaturan atas pemanfaatan ruang laut yang berbatasan dengan pantainya melalui pembuatan tata ruang laut berupa RZWP-3-K. Dengan demikian, konflik dapat dihindari, kepastian bagi investor akan meningkat untuk bermitra dengan masyarakat lokal.

Potensi sumberdaya

kelautan dan perikanan

yang tinggi

mengakibatkan semakin

banyaknya sektor-sektor

yang akan

mengembangkan

kegiatannya dan

memanfaatkan ruang

laut. Kesempatan multi

fungsi penggunaan

ruang laut perlu melalui

kesepakatan multi sektor

yang terlibat.

1) Putusan MK Nomor 3/PUU – VIII/2010 Tanggal 16 Juni 2011. 2) Ditetapkan 9 April 2012 dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.15/MEN/2012 tentang Program Perencanaan Penyusunan Peraturan

Perundang-Undangan Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2012 dan kemudian ditindaklanjuti kembali dalam program legislasi KKP pada tahun 2013 yang ditetapkan pada tanggal 20 Februari 2013 melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5/KEPMEN-KP/2013 tentang Program Legislasi Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2013.

3Nomor R-22/Pres/05/2013 tanggal 27 Mei 2013. 4Australia, Malaysia, Singapura, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Papua New Guinea, dan Timor Leste.

Page 11: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 9

rujukan bagi Hakim Konstitusi dalam mempertimbangkan putusannya pada saat melakukan uji materi suatu UUnya. Artinya, hasil kajian yang mendalam yang dituangkan ke dalam NA menjadi dasar dalam perumusan pasal dan ayat yang dituangkan ke dalam RUU. Karena pasal dan ayat dalam RUU merupakan hasil kajian, seyogyanya pembahasan di DPR tidak perlu diperdebatkan lagi, jika dianggap perlu perdebatan seharusnya argumen yang dikemukakan juga harus berdasarkan pada kajian pasal atau ayat tersebut, bukan pendapat sesaat yang tidak memiliki landasan yang kuat.

Seperti di Amerika, pembahasan UU tidak begitu alot. Sifatnya hanya konfirmasi, setuju atau tidak setuju. Mereka harus dengan sangat hati-hati apabila ingin menanggapi pasal-pasalnya, karena pasal tersebut merupakan hasil dari sebuah kajian yang dalam dan mempunyai dasar (evidence) yang kuat. Jika ingin menanggapi tentunya harus dengan kajian yang dasarnya harus lebih kuat lagi.

Di Indonesia menurut hemat saya seharusnya juga demikian. Apabila suatu RUU disusun berdasarkan NA yang baik dan berkualitas, pembahasan di DPR tidak perlu lama, karena jika ingin menanggapi pasal yang dirumuskan berdasarkan hasil kajian yang dituangkan dalam NA, tentunya dalam menanggapi pasal tersebut juga harus berdasarkan pada kajian juga, tidak hanya berdasarkan opini lepas. Ini merupakan contoh penggunaan naskah akademik yang baik. Jika penyusunan NAnya baik, insya Allah hasilnya juga akan baik. Demikian juga dalam uji materi, Hakim MK bisa menggunakan naskah akademik sebagai rujukan. Namun kondisi saat ini kan tidak atau belum seperti itu. Sebuah RUU diajukan untuk kepentingan yang sifatnya parsial dan jangka pendek, NA hanya sebagai pelengkap bukan sebagi dasar penyusunan RUU. Mohon maaf saja, bikin sebuah UU saat ini kan hanya seperti proyek saja untuk kepentingan jangka pendek. Padahal seyogyanya suatu UU bersifat visioner untuk jangka waktu panjang.

Mengingat pentingnya naskah akademik, apakah ada lembaga yang khusus membuat naskah akademik secara independent?

Naskah Akademik (NA) yang baik dan berkualitas adalah NA yang disusun berdasarkan penelitian dan kajian yang mendalam dan dilakukan secara obyektif. Untuk menghasilkan NA yang baik dan berkualitas tersebut, seyogyanya penyusunan NA dilakukan secara independen terlepas dari kepentingan individu, kelompok, atau golongan, dan penyusunan NA tersebut semata-mata untuk kepentingan masyarakat luas.

Hasil dari kajian terhadap suatu masalah yang akan diselesaikan dengan pembentukan peraturan yang dituangkan dalam NA, apabila dilakukan secara obyektif, belum tentu menghasilkan rekomendasi untuk pembentukan undang-undang, kemungkinan rekomendasinya adalah cukup diatur dalam peraturan pemerintah atau peraturan Presiden atau bahkan tidak perlu pengaturan karena sudah ada pengaturannya, permasalahannya hanya pada pelaksanaannya.

Apabila tugas penyusunan NA tersebut diserahkan kepada Pemrakarsa (K/L), sulit dihindari untuk bebas dari kepentingan sektoral, sehingga tidak ada jaminan bahwa NA tersebut disusun secara obyektif, meskipun Pemrakarsa dalam menyusun NA terkadang menugaskan pula pihak perguruan tinggi atau pihak lain, namun pihak perguruan tinggi atau pihak lain tersebut yang mendapatkan penugasan cenderung tidak mampu bersikap independent karena dipengaruhi oleh kehendak yang menugaskannya yaitu Pemrakarsa sehingga NA yang dihasilkannya jauh dari obyektif, karena sarat dengan unsur subyektifitas pemrakarsa.

Untuk mengatasi masalah tersebut, menurut hemat kami, perlu ada suatu lembaga yang diberi kewenangan untuk membuat NA, yaitu suatu lembaga yang independent yang tidak terkooptasi oleh kepentingan tertentu dari pihak pemrakarsa. Lembaga tersebut tidak harus lembaga yang baru sama sekali atau lembaga yang berada di luar Pemerintah, sepanjang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independent dan tidak dapat dipengaruhi oleh instansi pemrakarsa. Oleh karena itu, lembaga tersebut harus memiliki mekanisme kerja sendiri dan mengelola anggaran penyusunan NA sendiri.

Lembaga tersebut dalam melaksanakan tugas penyusunan NA dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi atau pihak lain di bawah bimbingan ahli sebagai guru besar suatu perguruan tinggi dan NA yang disusun oleh lembaga tersebut tidak hanya NA yang diprakarsai oleh Pemerintah akan tetapi termasuk pula NA yang diprakarsai oleh DPR atau DPD.

Lembaga yang sudah ada yang selama ini mempunyai tugas melakukan pengkajian di bidang hukum adalah Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Dengan demikian, lembaga BPHN tersebut dapat diperkuat untuk mengemban tugas penyusunan NA bagi seluruh RUU, baik yang berasal dari Pemerintah, DPR, maupun DPD.

Kita sering mendengar mengenai istilah UU payung, apakah masih ada UU payung dalam sistem hukum kita saat ini?

Dalam ketentuan UU 10/2004 yang telah dicabut dan diganti dengan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak mengenal istilah UU payung, karena sesuai hierarkinya semua UU mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada satu UU yang memayungi UU lainnya. Hierarki peraturan perundang-undangan sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, terdiri atas: a. UUD 1945; b. Ketetapan MPR; c. UU/PERPU; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

wawancara...

Tahukah Anda???

Tanah terlantar dan/atau tanah bekas kawasan hutan yang telah dilepas dapat ditetapkan menjadi Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan harus memenuhi persyaratan: a. tidak dalam sengketa; b. status kepemilikan dan penggunaan tanah yang sah;

dan c. termuat dalam Rencana Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.

Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka:

a. pengadaan tanah untuk kepentingan umum; atau b. terjadi bencana.

Sumber: PP No.1/2012, Pasal 31 dan Pasal 35

Page 12: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 10

Berdasarkan hierarki tersebut, tidak ada ketentuan yang menyatakan adanya UU payung, karena kedudukan semua UU adalah sama. Meskipun terdapat pengaturan dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf b bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU dapat berisi perintah suatu UU untuk diatur dengan UU, namun bukan berarti UU tersebut memayungi UU yang diperintahkan dan menurut hemat kami klausul tersebut bukan berupa perintah tapi hanya berupa informasi bahwa suatu materi karena pengaturannya tidak sesuai untuk diatur secara rinci dalam UU tersebut, maka UU tersebut hanya menginformasikan bahwa materi tersebut akan diatur dalam suatu UU tersendiri, karena materi muatan yang akan diatur tersebut termasuk materi yang harus diatur dengan UU namun substansinya berbeda, namun bukan berarti UU yang memerintahkan tersebut sebagai payung dari UU yang diperintahkan. Contoh: 1. UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah beberapa

kali terakhiir dengan UU Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia, dalam ketentuan: Pasal 11, menginformasikan, bahwa ketentuan dan tata cara

pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari APBN diatur dengan UU tersendiri RUU Jaring Pengaman Sistim Keuangan (JPSK); dan

Pasal 34 ayat (1), menginformasikan, bahwa tugas pengawasan Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan UU UU Nomor tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

2. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dalam ketentuan Pasal 48 ayat (2), menginformasikan, bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan diatur dengan UU UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

UU 26/2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) memang tidak menyebut secara eksplisit sebagai UU payung. Namun, jika melihat substansinya mencakup banyak sektor, misalnya kehutanan, pertanian, wilayah pesisir dan pulau kecil. Menurut Bapak, apakah UUPR ini berperan sebagai undang-undang payung?

Sebagaimana telah saya kemukakan sebelumnya, bahwa saat ini tidak dikenal istilah UU payung. Memang UUPR secara substansi menjadi acuan bagi UU lainnya sehingga seolah-olah menjadi UU payung, namun, yang diatur dalam UUPR hanya dari aspek penataan ruangnya saja, sedangkan yang diatur dalam UU sektor adalah substansi selain tata ruang, yaitu substansi terkait bidangnya masing-masing.

Dalam UU lain, baik UU Kehutanan, UU Pertanian, maupun UU Wilayah Pesisir, apabila akan mengatur terkait pemanfaatan ruang, UU tersebut harus mengacu pada UUPR, karena apabila UU lain juga mengatur mengenai penataan ruang, yang akan terjadi adalah tumpang tindih pengaturan bahkan dapat saling bertentangan sehingga akan timbul ketidak harmonisan antarperaturan. Oleh karena itu, apabila UU sektor memerlukan substansi yang mengatur pemanfatan ruang cukup dengan mengacu atau menyesuaikan dengan UUPR dan sekali lagi hal itu bukan berarti UUPR sebagai payung UU sektor.

Jika demikian kondisinya, bagaimana dengan UUPR dan UU Kehutanan atau UU sektoral lain yang “specialis” mengatur sektor-sektor tertentu? Contohnya mengenai definisi dari hutan lindung, UUPR dengan UU Kehutanan memiliki perbedaan. Bagaimana menyikapi hal ini?

Dalam menyikapi masalah tersebut, perlu dicermati penggunaan definisi oleh masing-masing UU. Dalam UU Kehutanan, memang sejak sebelum UU No. 41/1999 tentang Kehutanan sudah membagi kawasan hutan menjadi kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan produksi, pembagian tersebut memang diperlukan dalam rangka perlindungan, pemanfaatan, dan penggunaaan kawasan hutan. Berbeda dengan UUPR yang membagi kawasan menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya, namun kawasan hutan lindung tidak sama persis dengan kawasan lindung menurut UUPR, karena untuk kegiatan tertentu di dalam kawasan hutan lindung, masih bisa dilakukan kegiatan budidaya pertambangan, misalnya di dalam kawasan hutan lindung masih diperbolehkan melakukan kegiatan tambang bawah tanah. UUPR tidak dapat menentukan status kawasan lindung atau budidaya dalam kawasan hutan, kecuali setelah adanya pelepasan kawasan hutan menjadi tanah negara oleh Menteri Kehutanan.

Dengan demikian, kedua UU tersebut memang beda rezim, namun, bukan berarti saling bertentangan atau tumpang tindih. Dapat dikatakan bahwa UU Kehutanan sebagai lex specialis-nya dari UUPR yang berlaku sebagai lex generalis. Terjadinya tumpang tindih antara UUPR dan UU Kehutanan hanya karena masalah teknis dilapangan, yaitu akibat belum semua kawasan hutan selesai ditetapkan tata batasnya, sehingga batasan kawasan hutannya belum jelas, karena tidak jelasnya batas tersebut, banyak daerah yang telah menetapkan tata ruangnya dan mengeluarkan perizinan pemanfaatan didalamnya setelah dilakukan tata batas ternyata kawasan tersebut merupakan kawasan hutan yang perizinannya baru dapat diberikan setelah mendapatkan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.

Untuk mengatasi terjadinya tumpang tindih kawasan hutan dan tata ruang, pada kawasan tertentu yang diperkirakan sebagai kawasan hutan, karena belum jelas batas-batasnya, maka dalam pengaturan tata ruang untuk kawasan tersebut dituangkan dalam peta sebagai lampiran peraturannya dilakukan pengarsiran dan belum ditetapkan status kawasannya sebelum ada penetapan batas kawasan hutannya. Dengan demikian diharapkan ke depan tidak akan ada lagi tumpang tindih kawasan hutan dan tata ruang.

UU yang berlaku nasional sering memerintahkan adanya pengaturan lebih lanjut dalam sebuah Perda, termasuk UUPR. Bagaimana saran Bapak terhadap banyaknya amanat UU untuk pembentukan Perda, sedangkan substansi yang diatur terkadang kurang lebih sama atau sangat beririsan?

UUPR tidak mungkin mengatur tata ruang semua daerah, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota, mengingat kebutuhan tata ruang masing-masing sangat berbeda, baik karena perbedaan topografi maupun perbedaan sosial budaya dan ekonominya. Oleh karena itu, selain ada tata ruang nasional, maka untuk memenuhi kebutuhan masing-masing daerah yang berbeda-beda tersebut, UUPR mendelegasikan pengaturan tata ruang kepada daerah dengan peraturan daerahnya masing-masing, namun, daerah dalam menyusun dan menetapkan tata ruangnya harus mengacu pada tata ruang nasional.

Memang rencana tata ruang daerah mencakup materi muatan yang sama, yaitu tujuan, kebijakan, dan strategi, rencana struktur & pola ruang, serta arahan pemanfaatan dan pengelolaan ruang, namun substansi yang diatur tentunya berbeda-beda sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerahnya masing-masing. Pengaturan tata ruang di daerah dengan peraturan daerah juga sebagai perwujudan dari adanya otonomi daerah. Akan tetapi dengan mempertimbangkan efisiensi, risiko terjadinya tumpang tindih pengaturan dan tidak adanya pelanggaran secara prosedur dalam

Page 13: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 11

penyusunannya, materi muatan peraturan daerah yang memiliki substansi sama atau bahkan beririsan yang merupakan amanat dari masing-masing UU yang berbeda, dapat saja disusun dalam satu peraturan daerah.

Melihat dinamika dalam proses harmonisasi peraturan perundang-undangan, saran apa atau langkah apa yang sudah dan/atau akan dilaksanakan selama Bapak bertugas sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan?

Pengharmonisasian konsepsi peraturan perundang-undangan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dilakukan setelah peraturan perundang-undangan tersebut dibahas dalam panitia antarkementerian/lembaga terkait (PAK/L) yang diselenggarakan oleh pemrakarsa.

Tujuan dari pembahasan PAK/L adalah agar substansi peraturan perundang-undangan terhindar dari pengaturan yang mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kewenangan antarsektor. Dengan demikian, hasil dari PAK/L seharusnya sudah merupakan suatu kesepakatan antarsektor terkait. Setelah substansi peraturan perundang-undangan tersebut disepakati oleh sektor terkait, pemrakarsa menyampaikan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsinya.

Obyek pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Kemenkumham meliputi aspek konsepsi materi muatan dan aspek teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.

Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi dari aspek materi muatan peraturan perundang-undangan diarahkan pada pengharmonisasian materi muatan yang akan dibentuk dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, UUD NRI 1945, peraturan perundang-undangan lainnya, baik secara vertikal maupun horisontal, yurisprudensi, terutama terkait dengan Putusan MK atau MA atas permohonan uji materi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan, konvensi/perjanjian internasional, RPJPN/kebijakan terkait, hukum atau norma yang tidak tertulis, seperti norma agama, kesusilaan, sopan santun, dan sebagainya, dan pasal atau ayat dalam rancangan peraturan perundang-undangaan itu sendiri.

Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi dari aspek teknis penyusunan peraturan perundang-undangan diarahkan pada pengharmonisasian dengan teknis penyusunan sebagaimana tertuang dalam Lampiran UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terutama yang terkait dengan sistimatika peraturan perundang-undangan, hak khusus, ragam bahasa, bentuk peraturan perundang-undangan, dan hal lainnya. Ragam bahasa juga dibahas agar peraturan perundang-undangan yang disusun tidak multitafsir.

Berdasarkan obyek yang dibahas, terdapat perbedaan antara obyek yang dibahas dalam PAK/L yang difokuskan pada aspek kewenangan antarK/L terkait dan obyek yang dibahas dalam harmonisasi yang difokuskan pada aspek harmonisasi materi muatan dengan peraturan perundang-undangan lainnya dan aspek teknis penyusunannya.

Namun dalam kenyataannya, pada saat rancangan peraturan perundang-undangan disampaikan oleh pemrakarsa ke kemenkumham untuk diharmonisasi, masih menyisakan masalah terkait kewenangan antarK/L akibat masing-masing K/L terkait lebih mengutamakan egosektoralnya dibandingkan berpikir secara kesisteman, sehingga pembahasan menjadi alot dan berlarut-larut.

Langkah yang sudah dilakukan untuk mengatasi dinamika pengharmonisasian tersebut adalah apabila pembahasan sengketa kewenangan menjadi berlarut-larut, maka pertama, isu krusial yang masih belum disepakati, kami bahas secara bilateral ditingkat pejabat Eselon I dari K/L terkait, kedua, apabila pembahasan tingkat Eselon I masih belum tercapai keputusan, pembahasan dilakukan ketingkat menteri/pimpinan lembaga terkait yang dipimpin oleh Menteri Koordinator sesuai bidangnya, ketiga, apabila pembahasan di tingkat menteri/pimpinan lembaga terkait juga masih belum dapat diputuskan, hal ini sering terjadi, maka permasalahan diserahkan pembahasannya di tingkat Rapat Kabinet Terbatas yang dipimpin oleh Presiden.

Langkah yang akan dilakukan, dalam rangka menghindari berlarut-larutnya pembahasan ditingkat harmonisasi, adalah dengan memperketat persyaratan pengajuan pengharmonisasian dari pemrakarsa ke Kemenkumham, yaitu pengajuan harus disertai dengan rancangan peraturan perundang-undangan, Surat Keputusan Pembentukan Panitia AntarK/L, paraf persetujuan substansi terkait antarkewenangan K/L. Khusus untuk RUU selain persyaratan tersebut di atas, pengajuan juga harus disertai dengan Naskah Akademik. Untuk meyakinkan bahwa terkait kewenangan antar K/L sungguh-sungguh sudah disepakati, akan kami terapkan pula sistem jemput bola, yaitu kami terlibat secara langsung dan intens dalam setiap pembahasan PAK/L sebelum disampaikan ke Kemenkumham untuk diharmonisasi, agar masalah sengketa kewenangan tersebut tidak dimunculkan lagi pada saat pembahasan pengharmonisasian.

Apabila langkah tersebut dapat terlaksana, pembahasan pengharmonisasian dapat terfokus pada aspek harmonisasi materi muatan dan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan saja, sedangkan terkait substansi kewenangan hanya bersifat klarifikaasi dari K/L terkait. Dengan demikian, pengharmonisasian di Kemenkumham tidak membutuhkan waktu yang lama [kr/oc].

Tahukah Anda???

Sumber Pembiayaan adalah segala sumber pendanaan baik yang berasal dari anggaran Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, badan usaha maupun masyarakat yang diperoleh dalam rangka penyelenggaraan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kegiatan pengembangan intensifikasi yang dibiayai meliputi: a. peningkatan kesuburan tanah; b. peningkatan kualitas dan penyediaan benih/bibit; c. pendiversifikasian tanaman pangan; d. pencegahan dan penanggulangan hama tanaman; e. pengembangan irigasi; f. pemanfaatan teknologi pertanian; g. pengembangan inovasi pertanian; h. penyuluhan pertanian; dan/atau i. jaminan akses permodalan. Pembiayaan kegiatan pengembangan intensifikasi dan ekstensifikasi merupakan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sumber: PP No.30/2012, Pasal 1, 10, dan 11

Page 14: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 12

S ejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penyelesaian rencana tata ruang wilayah (RTRW) menjadi salah satu agenda yang menjadi

perhatian Pemerintah dan pemerintah daerah. UU 26/2007 mengamanatkan penyesuaian RTRW provinsi dalam dua tahun dan RTRW kabupaten/kota dalam tiga tahun sejak diberlakukannya undang-undang tersebut, namun penetapan RTRW menjadi sebuah peraturan daerah masih terkendala di sebagian daerah di Indonesia.

Sampai dengan awal tahun 2013, masih ada lebih kurang empat puluh persen provinsi, kabupaten dan kota yang belum menetapkan perda RTRW. Konflik pemanfaatan ruang dan proses padu serasi kehutanan yang membutuhkan waktu yang cukup panjang menjadi faktor yang cukup mempengaruhi kecepatan proses penyusunan RTRW. Kondisi ini menunjukkan bahwa RTRW yang diharapkan menjadi matra spasial pembangunan wilayah, masih dihadapkan pada masalah kelembagaan dan koordinasi lintas sektor.

Penguatan koordinasi lintas sektor sangat dibutuhkan untuk penyelarasan pemahaman atas berbagai peraturan perundang-undangan di Bidang Penataan Ruang untuk menghindari multitafsir dalam pelaksanaannya. Salah satu hal yang hendak disoroti dalam tulisan ini adalah penyelarasan pengaturan antara ruang darat dan ruang laut (termasuk wilayah pesisir). Sebagaimana dijelaskan dalam UU 26/2007 bahwa ruang adalah wadah yang tidak hanya meliputi ruang darat, namun juga ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu-kesatuan wilayah. Dengan penjelasan tersebut seharusnya tidak terdapat dikotomi antara ruang darat dan ruang laut. Namun pada kenyataanya pengaturan ruang untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara spesifik diatur oleh Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 yang disebut sebagai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

Beberapa pertanyaan yang muncul terhadap dualism pengaturan ruang dalam UU 26/2007 dan UU 27/2007 adalah:

bagaimana menyelaraskan antara RTRW dengan RZWP3K;

apakah ditetapkan terpisah dalam Peraturan Daerah (Perda) RTRW dan Perda RZWP3K, atau dapat ditetapkan dalam satu Perda RTRW karena bukankah pada saat pembahasan di Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu anggotanya?

Pertanyaan lainnya adalah bagaimana mekanisme penetapan

RZWP3K? Apakah sama seperti RTRW yang harus melalui pembahasan di BKPRN karena RZWP3K juga mengatur ruang bagi berbagai sektor?

Bagaimana kelembagaan di daerah? Apakah akan membentuk badan seperti BKPRD?

Selain berbagai pertanyaan di atas yang, perbedaan penggunaan istilah dalam kedua undang-undang tersebut juga memerlukan penyelarasan makna. Sebagai contoh penggunaan istilah:

Rencana Detail Tata Ruang dan Rencana Zonasi Rinci;

Alur Pelayaran - Zona Alur.

Untuk Kota Batam yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan laut, pertanyaan di atas sangat penting untuk dijawab dalam penyusunan RTRW Kota Batam.

Jauh sebelum diterbitkannya UU 27/2007, Pemerintah Kota Batam melalui Peraturan Daerah Kota Batam No. 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam telah berupaya memadukan pengaturan pemanfaatan ruang wilayah darat dan wilayah laut. Lahirnya Perda No. 2/2004 merevisi Perda No. 20/2001 tentang RTRW Kota Batam Tahun 2001-2011 yang pada saat itu hanya mengatur wilayah darat. Dasar perubahan ini antara lain karena adanya pemikiran dan kesadaran akan perlunya mengatur pemanfaatan ruang laut sehingga tercipta perencanaan yang terintegrasi antara wilayah darat dan wilayah laut di Kota Batam.

Pemikiran untuk mengintegrasikan perencanaan wilayah darat dan wilayah laut di dalam RTRW Kota Batam merupakan hal yang wajar mengingat kondisi Kota Batam yang memiliki lebih dari 370 buah pulau yang seluruhnya merupakan pulau-pulau kecil. Beragamnya aktivitas ekonomi menyebabkan peluang terjadinya konflik pemanfaatan ruang tidak hanya di wilayah darat tetapi juga antara wilayah darat dengan wilayah laut dan pesisir. Sebagai contoh kegiatan industri bidang perkapalan (shipyard, ship building, ship repair) dan pendukung industri lepas pantai yang membutuhkan wilayah pesisir sebagai persyaratan lokasinya memiliki potensi konflik dengan kegiatan perikanan yang juga membutuhkan wilayah pesisir dan perairannya. Contoh lainnya adalah jaringan utilitas yang tidak hanya berada di wilayah darat, tetapi juga melewati wilayah laut, seperti jalur pipa gas bawah laut Batam-Singapura yang juga perlu digambarkan dalam peta yang terintegrasi.

Pengembangan pulau-pulau kecil yang memiliki sumber daya alam dan jasa lingkungan merupakan potensi yang dapat dijadikan sebagai modal dasar pelaksanaan pembangunan di Kota Batam. Kawasan perairan pulau-pulau kecil di Kota Batam menyediakan sumber daya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun (seagrass), hutan bakau (mangrove), perikanan dan kawasan konservasi. Pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang besar karena keindahan alam yang dimilikinya dapat menggerakkan

Wilayah Pesisir dan Laut dalam Peraturan Daerah RTRW Kota Batam

artikel

Dr. Ir. Wan Darussalam, M.Sc Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Batam

Indonesia memiliki lokasi yang strategis karena dilewati oleh

salah satu Sea Lane of Communication (SLoC)

yaitu Selat Malaka yang menempati

peringkat pertama dalam jalur pelayaran

kontainer global.

Page 15: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 13

industri pariwisata bahari. Kolaborasi antara wilayah daratan dan wilayah laut di beberapa gugusan pulau-pulau kecil ini, bila direncanakan dengan baik dan terintegrasi, memiliki potensi pariwisata yang luar biasa. Di samping itu, hubungan antara pulau kecil dengan perairannya merupakan hubungan yang sangat erat, bahkan tidak dapat dilepaskan. Perubahan yang terjadi pada wilayah daratan pulau kecil akan memberi pengaruh langsung pada ekosistem wilayah perairannya. Untuk itu, perencanaan kawasan pulau-pulau kecil ini sudah seharusnya tidak memisahkan antara wilayah daratan (pulau kecil) dengan wilayah pesisir dan perairannya.

Sebagai peraturan daerah yang mengatur RTRW Kota Batam, Perda No. 2/2004 tidak hanya menentukan struktur dan pola ruang wilayah daratan, akan tetapi merencanakan struktur dan pola ruang yang terintegrasi antara wilayah darat dan wilayah laut. Untuk itu pola ruang kawasan lindung yang direncanakan tidak hanya

kawasan lindung wilayah darat, akan tetapi turut merencanakan kawasan lindung bagi wilayah pesisir dan perairan laut seperti kawasan perlindungan terumbu karang, kawasan perlindungan bakau, kawasan taman laut daerah, dan kawasan perlindungan pulau-pulau kecil. Sedangkan untuk kawasan budidaya tidak hanya

merencanakan pemanfaatan ruang bagi kawasan perumahan, kawasan komersial, kawasan pariwisata, kawasan pertanian, kawasan perikanan darat, akan tetapi turut merencanakan untuk pengembangan kawasan budidaya di wilayah pesisir dan perairan laut seperti kawasan pengembangan pantai (reklamasi), kawasan penangkapan ikan (penangkapan ikan jalur I dan kawasan penangkapan ikan dengan alat statis), kawasan budidaya akuakultur, kawasan pariwisata laut dan ekowisata serta kawasan pengembangan industri kelautan.

Rencana tata ruang yang terintegrasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam di dalam Perda 2/2004 tidak lagi memandang wilayah darat dan wilayah laut sebagai wilayah yang terpisah, melainkan sebagai suatu kawasan yang menyatu, saling berhubungan dan saling memberi pengaruh. Karena itu sudah selayaknya kita memandang UU 26/2007 dan UU 27/2007 sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan tidak melihatnya secara sektoral. Alasannya karena pada hakikatnya pengaturan pemanfataan wilayah darat dan wilayah laut seharusnya menyatukan kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible). Pandangan tersebut sangat penting dalam penyusunan RTRW di daerah yang memiliki ciri wilayah kepulauan seperti Kota Batam. Tentunya hal ini menjadi tugas besar bagi BKPRN sebagai badan yang mengkoordinasikan pemaduserasian berbagai peraturan perundang-undangan terkait penyelenggaraan penataan ruang untuk dapat menjembatani berbagai perbedaan yang ada dalam UU 26/2007 dengan UU 27/2007.

Pelaksanaan Koridor Ekonomi Indonesia

dilakukan untuk mempercepat dan

memperluas pembangunan ekonomi

Indonesia

Perbedaan Perda 20/2001 yang hanya mengatur pemanfaatan ruang wilayah laut dengan Perda 2/2004 yang mengintegrasikan pemanfaatan ruang wilayah darat dan wilayah laut Kota Batam

Page 16: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 14

penyusunan beberapa dokumen yaitu Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3K), Rencana Zonasi WP3K (RZWP3K), Rencana Pengelolaan WP3K (RPWP3K), dan Rencana Aksi WP3K (RAWP3K). Jika menilik definisinya, dokumen perencanaan pengelolaan WP3K yang dapat dikatakan bersifat spasial adalah RZWP3K. Dalam Pasal 1 UU No 27 Tahun 2007 disebutkan bahwa Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan lain yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.

Dari definisi tersebut, dimana RZWP3K menetapkan struktur dan pola ruang,maka sebagai sebagai suatu produk rencana RZWP3K menjadi tumpang tindih dengan RTRW provinsi dan RTRW kabupaten/kota. Perbedaannya RZWP3K ini khusus menetapkan struktur dan pola ruang pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bukan pada keseluruhan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara seperti RTRW.

Jika dikaji lebih lanjut, RZWP3K ini juga disebutkan memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Dari sisi UUPR, hal terkait boleh-tidak boleh dan boleh dengan syarat tersebut dimuat dalam Peraturan Zonasi. Dalam penjelasan UU No 27 Tahun 2007 Pasal 36, Peraturan Zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang. Dalam Pasal 36 juga disebutkan bahwa Peraturan Zonasi ini ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

Adapun RZWP3K sebagai produk perencanaan yang berkaitan dengan ruang WP3K, sesuai Pasal 9 UU No 27 Tahun 2007 disebutkan sebagai arahan pemanfaatan sumber daya di WP3K pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota (Ayat 1), dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Ayat 5). Dalam hal ini berarti terdapat ketidaksetaraan antara RZWP3K dan Peraturan Zonasi dari sisi tingkat

Pengaturan di wilayah pesisir dan laut di dalam Perda RTRW, sesuai amanat UU 26/2007

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) telah mengatur satu kesatuan sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Salah satu produk dari penataan ruang yang paling strategis adalah rencana tata ruang, yang secara khusus merupakan hasil dari proses perencanaan tata ruang. Penataan ruang antara lain diklasifikasikan berdasarkan wilayah administratif yaitu penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUPR. Mengingat wilayah administrasi provinsi dan kabupaten/kota dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi, dan sepertiga (1/3) dari wilayah kewenangan provinsi atau maksimal 4 (empat) mil untuk kabupaten/kota, maka wilayah lingkup pengaturan RTRW juga sesuai batas tersebut.

Lebih lanjut dalam UUPR Pasal 6 ayat (4), penataan ruang provinsi dan kabupaten/kota tersebut meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang dalam bumi yang sejalan dengan definisi ruang dalam UUPR. Oleh karena itu RTRW memuat ketentuan penataan ruang baik tujuan, strategi, kebijakan,rencana struktur dan pola ruang, maupun arahan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, untuk seluruh wilayah provinsi dan kabupaten/kota, baik di darat maupun di laut.

Pihak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagai penyusun RTRW melaksanakan tugasnya dengan memperhatikan kebutuhan pengaturan wilayahnya. Daerah dengan wilayah perairan yang cukup luas seperti Kabupaten Karimun, telah mengatur dengan lebih terperinci penataan ruang lautnya dalam Perda Nomor 7 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Karimun.

Adapun dalam Pasal 6 ayat (5) UUPR juga disebutkan bahwa untuk ruang laut dan udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini menggambarkan bahwa ruang laut dan ruang udara memerlukan ketentuan pengaturan pengelolaan tersendiri sesuai karakteristik ruang tersebut.

Identifikasi peran dari RZWP3K sebagai arahan spasial bagi wilayah laut dan pesisir

Lahirnya Undang-Undang 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengamanatkan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui

Penyelarasan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

artikel

Ir. Iman Soedradjat, MPM Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum

Gambar 1. Peta Rencana Pola Ruang Laut Kabupaten Karimun

Kabupaten Karimun, telah mengatur

dengan lebih terperinci penataan

ruang lautnya dalam Perda Nomor 7 Tahun

2012 tentang RTRW Kabupaten Karimun

Page 17: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 15

pemerintahan yang berwenang menyusun. RZWP3K ditetapkan dengan perda provinsi dan/atau kabupaten/kota, sementara Peraturan Zonasi ditetapkan dengan perda kabupaten/kota.

Berdasarkan kondisi di atas, RZWP3K dapat berperan sebagai dokumen tersendiri yang memuat alokasi detail dari kawasan laut di provinsi dan kabupaten/kota. Sesuai muatan Pasal 10 dan Pasal 11 UU No. 27 Tahun 2007, pengalokasian ruang dalam RZWP3K terbagi untuk Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan

Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan Alur Laut. Dari penjelasan pasal ini, disebutkan bahwa Kawasan Pemanfaatan Umum disetarakan dengan Kawasan Budidaya dalam RTRW dan Kawasan Konservasi dengan Kawasan Lindung. Adapun alur laut merupakan perairan yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut, sedangkan Kawasan Strategis Nasional Tertentu ditetapkan dengan memperhatikan beberapa kriteria seperti batas maritim kedaulatan Negara dan situs warisan dunia. Menilik kategorisasi dan penjelasan pasal ini dapat dilihat bahwa pembagian kawasan laut telah lebih detail dan sesuai dengan kebutuhan sektoral perikanan dan kelautan. Untuk itu RZWP3K dapat menjadi rencana zonasi untuk kawasan laut, yang kemudian dapat menjadi masukan bagi untuk proses penyusunan atau peninjauan kembali RTRW provinsi kabupaten/kota, tepatnya untuk ruang laut.

Posisi wilayah pesisir dalam konteks penyusunan RZWP3K dan RTRW

Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, demikian definisi wilayah pesisir dalam Pasal 1 UU No. 27 Tahun 2007. Untuk itu, wilayah pesisir meliputi bagian daratan dan lautan. Dalam RTRW

yang disusun berdasarkan batas administratif, wilayah pesisir diatur penataan ruangnya dalam RTRW Provinsi dan RTRW kabupaten/kota sesuai status administratif wilayah pesisir tersebut. Penyusunan rencana tata ruang sendiri dilakukan harus dengan memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan. Oleh karena itu untuk untuk kawasan pesisir walaupun penataan ruangnya dilakukan sesuai batas admnistrasi, namun muatan penataan ruangnya memperhatikan keterkaitan antara wilayah daratan dan wilayah perairan.

Untuk RZWP3K, sesuai muatan Pasal 2 UU No. 27 Tahun 2007, ruang lingkup pengaturannya adalah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

yang meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah adminsitrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai. Lebih lanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2007, RZWP3K diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan RTRW provinsi atau kabupaten/kota. Untuk itu pengaturan ruang darat di wilayah pesisir mengikuti muatan penataan ruang dalam RTRW kabupaten/kota yang sesuai secara administratif. Sementara seperti yang disebutkan di atas, untuk wilayah perairan, RZWP3K berposisi sebagai dokumen pengelolaan tersendiri yang memuat alokasi detail dari kawasan laut sesuai kebutuhan pengelolaan WP3K.

pembagian kawasan laut telah lebih detail

dan sesuai dengan kebutuhan sektoral

perikanan dan kelautan

RZWP3K berposisi sebagai dokumen

pengelolaan tersendiri yang memuat alokasi

detail dari kawasan laut sesuai kebutuhan

pengelolaan WP3K, yang kemudian dapat

menjadi masukan bagi untuk proses

penyusunan atau peninjauan kembali

RTRW provinsi kabupaten/kota,

tepatnya untuk ruang laut

Tahukah Anda???

Petani Pangan yang selanjutnya disebut Petani adalah setiap warga negara Indonesia beserta keluarganya yang mengusahakan lahan untuk komoditas pangan pokok di Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Insentif adalah pemberian penghargaan kepada Petani yang mempertahankan dan tidak mengalihfungsikan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Jaminan penerbitan sertipikat hak atas tanah pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diwujudkan melalui program sertipikasi tanah pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Program sertipikasi tanah pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan pendaftaran tanah secara sporadik dan sistematik yang diselenggarakan oleh instansi yang membidangi urusan pertanahan.

Sumber: PP No.30/2012, Pasal 1, 10, dan 11

diatur dengan Perda ruang laut: - 12 mil laut provinsi - 4 mil laut untuk

kabupaten/kota

Page 18: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 16

Aceh

melihat dari dekat

D alam kurun waktu beberapa tahun terakhir, Redaksi Buletin TRP beberapa kali singgah di Aceh, diantaranya dalam rangka penyelesaian proses penelitian terpadu kehutanan dan juga

penilaian Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk Anugerah Pangripta Nusantara Tahun 2013. Berikut cerita kami mengenai Aceh.

Secara geografis, Aceh mencakup luas wilayah 57.956,00 km2 atau sekitar 12,26 persen dari luas pulau Sumatera. Posisi Aceh yang berada di ujung barat laut Indonesia dan berbatasan dengan beberapa Negara tetangga menjadikan wilayah Aceh strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan nasional dan internasional.

Aceh saat ini tengah menjadi sorotan dunia internasional karena beredarnya isu tidak berdasar tentang pengurangan 1,2 juta hektar kawasan hutan melalui Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (Raqanun RTRW). Permohonan perubahan kawasan hutan Aceh mulanya diajukan ke Menteri Kehutanan pada tanggal 6 Juli 2010. Menurut SK Kemenhut No. 170/Kpts-II/2000, luas kawasan hutan dan perairan Aceh adalah 3.549.813 Ha dan diusulkan

perubahannya pada Raqanun RTRW Aceh 2010-2030 menjadi 3.862.249,26 Ha, dengan penambahan terbesar pada kawasan hutan lindung seluas ± 998.242,86 Ha (Dishutbun Aceh, 2010).

Usulan penambahan kawasan hutan ini ditentang oleh 7 kabupaten/kota, yaitu Aceh Besar, Bener Meriah, Aceh Tengah, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Kota Subulussalam (Harian Serambi, 19

Juli 2010) karena pembagian wilayah hutan dengan wilayah budidaya di daerahnya belum sesuai dengan permintaan kabupaten/kota. Ketujuh kabupaten ini memiliki kawasan lindung di atas 50 persen dari total luas wilayahnya, bahkan Aceh Selatan mencapai lebih dari 90 persen.

Melalui Surat Gubernur Aceh Nomor 522/64030 pada tanggal 22 Oktober 2010, Pemerintah Aceh mengajukan revisi atas usulan sebelumnya dan mengusulkan perubahan kawasan hutan menjadi seluas 4,063,130 Ha.

Pada akhir Tahun 2010, setelah dilakukan peninjauan lapangan, Pemerintah Provinsi kemudian melakukan pembahasan internal dengan kabupaten/kota untuk menyepakati luasan kawasan hutan yang akan diajukan perubahan peruntukan dan fungsinya. Hingga pertengahan Tahun 2011 belum ada titik temu, dengan BKPRN disepakati bahwa proses penelitian terpadu akan diteruskan terlebih dahulu.

Pada Desember 2011 RTRW Aceh dibahas di BKPRN dan mendapat persetujuan Menteri PU pada tanggal 4 Januari 2012. Untuk perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, usulan akhir perubahan kawasan hutan Aceh menjadi seluas 3.306.382 Ha. Pada bulan Desember 2012, kajian tim terpadu (Timdu) kemudian dilanjutkan kembali dengan mengacu pada usulan baru tersebut.

Pada Maret 2013, diselenggarakan uji konsistensi yang ditujukan sebagai forum konsultasi publik untuk menyampaikan rekomendasi sementara Timdu atas usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan Aceh; dan menjaring masukan serta tanggapan dari daerah maupun pemegang hak untuk penyempurnaan hasil Timdu yang akan diajukan ke Menhut. Uji konsistensi ini terdiri dari 2 tahapan, yaitu:

Penyampaian tanggapan daerah atas rekomendasi sementara Timdu. Sebagian besar menyampaikan keberatan atas rekomendasi Timdu dan memohon pencermatan ulang terhadap poligon-poligon usulan yang disampaikan melalui provinsi karena

Penelitian Terpadu untuk Perubahan Peruntukan dan Fungsi Hutan Aceh

Aceh saat ini tengah menjadi sorotan dunia

internasional karena beredarnya isu tidak

berdasar tentang pengurangan 1,2 juta hektar kawasan hutan

melalui Rancangan Qanun Rencana Tata

Ruang Wilayah (Raqanun RTRW).

Page 19: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 17

Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Hak guna bangunan terjadi karena: (a) mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh

Negara : karena penetapan pemerintah; dan (b) mengenai tanah milik : karena perjanjian yang

berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.

Pihak yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah: (a) Warga Negara Indonesia; dan (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Tahukah Anda???

motivasi usulannya terutama untuk mengakomodir permukiman dan perkebunan masyarakat yang telah ada sejak lama.

Setelah itu, daerah menyampaikan catatan perbaikan dan kelengkapan data sebagai bahan bagi Timdu untuk penyempurnaan rekomendasi. Perumusan rekomendasi oleh Timdu dilakukan berdasarkan kajian biofisik, legal dan sosial ekonomi. Oleh karena itu, ketersediaan data menjadi faktor penentu yang sangat penting sebagai koridor bagi Timdu untuk menentukan apakah usulan perubahan kawasan hutan tertentu dapat disetujui atau ditolak.

Setelah dilakukan pencermatan ulang atas delineasi dan luasan rekomendasi sementara Timdu, pada tanggal 14 Maret 2013 diselenggarakan ‘Ekspose Hasil Penelitian Terpadu terhadap Usulan Perubahan Kawasan Hutan dalam revisi RTRW Aceh’. Dari luas kawasan hutan awal (hutan darat dan perairan) 3.615.231 Ha atau 61,44 persen dari luas total wilayah Aceh, Gubernur Aceh mengajukan usulan perubahan peruntukan seluas 119.202 Ha, usulan perubahan fungsi seluas 174.057 Ha dan usulan penunjukan baru (penambahan kawasan hutan) seluas 31.284 Ha.

Berdasarkan hasil kajian, Tim Terpadu kemudian direkomendasikan perubahan peruntukan seluas 79.179 Ha, perubahan fungsi seluas 145.982 Ha dan penunjukan kawasan hutan (penambahan kawasan hutan) seluas 26.465 Ha sehingga luas kawasan hutan darat Aceh menjadi 3.562.517 Ha atau 60,54 persen dari luas total wilayah Aceh (berkurang seluas ± 52.714 Ha atau 0,90 persen).

Pada tanggal 27 Maret 2013, Gubernur Aceh mengirimkan surat kepada Menhut sebagai tanggapan atas hasil ekspose tersebut dengan catatan bahwa “pada prinsipnya dapat menerima hasil penelitian terpadu dimaksud dengan sedikit penyesuaian yang diperlukan”. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan penyesuaian, hasil kajian ini dilaporkan oleh Ketua Timdu Aceh kepada Menteri Kehutanan untuk

ditindaklanjuti dengan penetapan SK Menhut (untuk perubahan kawasan hutan yang menjadi kewenangan Menhut) dan pengajuan perubahan yang bersifat DPCLS kepada DPR RI [mc].

“pada prinsipnya dapat menerima hasil

penelitian terpadu dimaksud dengan

sedikit penyesuaian yang diperlukan”

0 20 40 60 80 100

Perda RTRW Kabupaten

Perda RTRW Kota

Perda RTRW Provinsi

Perpres RTR KSN

Perpes RTR Pulau dan Kepulauan

2010 2011 2012 2013 Target Selesai

%

Status Penetapan Peraturan Perundang-undangan Bidang Penataan Ruang Tahun 2013

Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.

Pihak yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah :

(a) Warga Negara Indonesia; dan

(b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Sumber: UU 5/1960 (UUPA) Pasal 28-40

0 20 40 60 80 100

Perda RTRW  Kabupaten

Perda RTRW  Kota

Perda RTRW  Provinsi

Perpres RTR  KSN

Perpes RTR  Pulau dan Kepulauan

2010 2011 2012 2013 Target Selesai

%

Page 20: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 18

dalam berita

Januari Direktur Jenderal Penataan Ruang, Imam S Ernawi mengatakan akan mengaudit peraturan daerah rencana tata ruang wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur (Jabodetabekjur). Audit tersebut dilakukan untuk melihat kesesuaian antara kondisi di lapangan dengan perda tata ruang yang telah disahkan. Audit itu sendiri merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Undang-undang tersebut menyebutkan, pemerintah harus melakukan audit peraturan daerah tata ruang dan implementasinya rutin per lima tahun. Ia mengatakan, jika hasil audit menunjukkan adanya pelanggaran Undang-Undang Penataan Ruang, maka pihak yang melanggar akan diberikan sanksi mulai dari yang bersifat administratif hingga pidana. Sanksi tersebut bisa diberikan kepada pemilik bangunan mau pun pemberi izin pendirian bangunan yang melanggar ketentuan KDH. (Tempo, 24 Januari 2013) Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sepakat dengan rencana pemerintah pusat mengaudit tata ruang dan wilayah (RTRW) di Jakarta dan wilayah sekitarnya. "Supaya connect," ujar Jokowi di Balai Kota Jakarta, Jumat, 25 Januari 2013. Dia meminta audit dilakukan atas enam wilayah Jakarta, yaitu Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Kepulauan Seribu. "Ya, semuanya. Targetnya sama. Akhir tahun ini saya kira rampung," katanya.(Tempo, 25 Januari 2013) Berbagai persoalan yang melanda wilayah Jakarta tidak akan habis jika diurai satu persatu. Mulai dari banjir, sampah, hingga transportasi. Pengamat tata kota, Marco Kusumawijaya, dan pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, sepakat hal utama yang harus dilakukan adalah membenahi tata ruang kota. Menurut dia, percuma angkutan umum dibenahi, jika tata kota tidak dilakukan. "Di Singapura yang menggunakan transportasi publik 15-20 persen, Hongkong 5 persen, sedangkan Indonesia menargetkan 60 persen dalam mengurangi kemacetan. Itu tidak masuk akal karena yang paling utama adalah pembenahan tata kota," katanya. Pernyataan Marco ditimpali Andrinof. Menurut dia, problem kemacetan yang terjadi di Jakarta, tidak hanya karena kurangnya transportasi publik yang dimiliki, melainkan juga karena tata kota yang kurang bagus.(Tempo, 31 Januari 2013) Maret Gubernur Aceh Zaini Abdullah dikhawatirkan bakal jadi kambing hitam usai masa jabatannya selesai empat tahun mendatang. “Beliau akan disalahkan karena besarnya kerugian ekonomi akibat banyaknya bencana yang terjadi,” kata Graham Usher, Lanscape Protection Specialist dalam konferensi pers kepada wartawan di Jakarta, Selain banjir, ancaman bencana lainnya adalah tanah longsor serta konflik manusia dan hewan. Potensi bencana ini akan terjadi dan meningkat,

kata Graham yang selama 30 tahun meneliti hutan di Aceh, apabila pemerintah saat ini mengesahkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Aceh. Menurut Graham, satu hingga dua tahun setelah RTRW diputuskan, para pengusaha tambang dan perkebunan dari luar Aceh berbondong-bondong masuk ke Bumi Serambi Mekkah. Saat ini saja, pengusaha Malaysia merambah kawasan Singkil. (Tempo.co, 14 Maret 2013) Sejumlah aktivis lingkungan dan LSM menolak Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh yang berpotensi menghilangkan 1,2 juta hektar hutan di provinsi tersebut. Namun, Kementerian Kehutanan tetap akan mengesahkan usulan yang diajukan Pemerintah Aceh itu. Menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, seusai memberikan kuliah umum di Kampus Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, pihaknya segera menandatangani Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh tersebut. Saat ini, pengesahan RTRW memasuki babak final. Beberapa waktu lalu, Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan beberapa bupati dari Aceh menyerahkan rancangan RTRW Aceh kepada Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Saat disampaikan, ada satu kabupaten yang masih keberatan dengan rancangan RTRW tersebut, yaitu Aceh Barat Daya. Namun, Zulkifli mengabaikan. Zulkifli mengatakan, konversi lahan boleh saja dilakukan asalkan tak melanggar aturan. Misalnya, taman nasional dijadikan kebun sawit.(Kompas, 20 Maret 2013) Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Hendarman Supandji, mengemukakan pada tahun 2012 BPN telah menyelesaikan kasus pertanahan sebanyak 4.291 kasus (60 persen) dari total 7.196 kasus. "Selain itu, BPN juga membentuk tim 11 yang bertugas menyelesaikan 38 kasus yang bersifat strategis dan sensitif di seluruh Indonesia," kata Hendarman Supandji saat membuka seminar "Tanah Untuk Kesejahteraan, Kemakmuran Rakyat, dan Ketahanan Pangan" yang diselenggarakan LSM Pancanaka, di Jakarta. Program legalisasi aset yang merupakan salah satu program strategis BPN, selama tahun 2012, telah disertifikatkan sebanyak 45.234.490 bidang tanah (52,72 persen) dari 85.803.826 bidang tanah. Pada Tahun 2012 ditargetkan sertifikasi tanah sebanyak 1.908.283 bidang tanah yang dibiayai PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dan bidang yang dibiayai rupiah murni. Dikatakannya, untuk tahun 2013 BPN targetkan akan disertifikatkan sebanyak 1.930.965 bidang tanah yang dibiayai PNBP dan yang dibiayai oleh pemerintah. (Republika, 20 Maret 2013) Pemprov DKI Jakarta akan bekerja sama dengan konsultan arsitektur asal Singapura untuk membuat tata ruang Jakarta yang berkelas internasional. Namun Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, ingin pembuktian dengan proyek percontohan di satu lokasi di Jakarta terlebih dahulu. Jokowi merencanakan proyek percontohan tersebut akan dimulai pada Agustus mendatang. Sehingga pertengahan tahun depan dapat

Pada awal Tahun 2013, berita media cetak tentang tata ruang dan pertanahan banyak diwarnai dengan berita mengenai rencana audit tata ruang wilayah Jakarta. Hal ini tak lepas dengan bencana banjir yang melanda ibu kota dan kesalahan penerapan tata ruang disinyalir menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu juga terdapat berita terkait rencana tata ruang wilayah Aceh yang ditentang oleh sejumlah aktivis lingkungan dan LSM karena dianggap berpotensi akan menghilangkan 1,2 juta hektar hutan di provinsi tersebut. Sedangkan untuk pertanahan timbul desakan kepada pemerintah untuk membuat land banking dan dibentuknya pengadilan pertanahan. Kemudian juga ada pernyataan bahwa BPN telah berhasil menyelesaikan sekitar 60 persen permasalahan pertanahan yang ada di tahun 2012 . Berikut ringkasan beberapa berita tentang tata ruang dan pertanahan .

Page 21: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 19

rampung. "Setelah selesai percontohan, nanti Jakarta akan kita garap seperti itu," ujarnya di Balai Kota, di Medan Merdeka Selatan Dalam proyek tata ruang tersebut Jokowi ingin pembangunan prohijau, pro-air, dan prolingkungan. Untuk tata ruang Jakarta, dia mengaku tidak mencontoh dari mana pun. "Kita harus berani melakukan seperti itu, jangan nanggung-nanggung," ujarnya. (Republika, 26 Maret 2013) Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi meminta Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan wakilnya, Deddy Mizwar, agar serius mengawasi tata ruang di wilayahnya. Alasannya, jumlah penduduk Jawa Barat adalah yang terbesar di Indonesia, mencapai 39,9 juta jiwa. Sementara itu, luas wilayahnya hanya 35 ribu kilometer persegi. "Investasi terus tumbuh. Investor yang menanamkan modalnya akan menggusur lahan-lahan pertanian," kata Gamawan saat melantik keduanya di Gedung Merdeka Bandung. Menanggapi hal itu, Ahmad Heryawan mengatakan, dalam waktu dekat, seluruh kabupaten/kota akan memiliki perda soal tata ruang. Dalam perda itu tercantum kawasan lahan basah untuk pertanian, yang tidak boleh diubah. "Perubahan tata ruang itu sanksinya denda Rp 5 miliar dan/atau kurungan maksimal 5 tahun," kata dia. Wahana Lingungan Hidup (Walhi) Jawa Barat menilai Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Barat 2009-2029 mementahkan harapan Gamawan Fauzi. "Sebab, potensi alih fungsi lahan dengan aturan itu selama 20 tahun bisa mencapai 200 ribu hektare," kata Ketua Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan.(Tempo, 14 Juni 2013) Mengantisipasi melonjaknya harga tanah dan rumah, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mendesak pemerintah membuat peraturan yang bisa memayungi pemerintah pusat dan daerah dalam membuat bank tanah (land banking). Desakan untuk mewujudkan bank tanah semakin menguat. Desakan tersebut disampaikan Ketua Umum Apersi Eddy Ganefo kepada Wakil Presiden Boediono di Istana Wakil Presiden. Menurut Eddy, sudah lama Apersi "meneriakkan" adanya regulasi untuk memayungi lahirnya bank tanah. Sebab, bank tanah bisa menjadi stabilisator dari harga tanah. Ujung-ujungnya, harga rumah bisa stabil dan tidak sepenuhya dikuasai pasar. Namun, kata Eddy, hingga kini usulan itu masih belum ditanggapi pemerintah. Eddy menjelaskan, dengan adanya regulasi bank tanah, maka pemerintah pusat dan daerah berani membeli tanah di suatu kawasan yang cukup luas. Selanjutnya, tiga atau lima tahun kemudian tanah itu dijual kepada para pengembang yang akan membangun rumah untuk rakyat miskin.(Kompas, 14 Juni 2013) Masalah Banjir di Jakarta adalah bukti kegagalan politik Pemerintah Jakarta akan penataan tata ruang. Pakar Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna mengungkapkan hal itu dalam diskusi 'Banjir Jakarta: Persoalan Lingkungan atau Politik?' di The Indonesian Institute. Kegagalan tata ruang Jakarta dalam hal banjir, adalah kesalahan dalam menjaga dan melindungi fungsi ekosistem lingkungan. "Pemerintah DKI telah gagal mensejahterakan warganya dengan melalaikan fungsi kekuasan politiknya di tata ruang, dan akibatnya warga Jakartalah yang menjadi korban," ujar Yayat. Kekuasaan pemerintah itu, adalah kewenangan untuk menindak, melarang, menghentikan semua perubahan fungsi lahan yang terus terjadi. Kenyataannya, Pemerintah Jakarta sangat kompromistis terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan wilayah sehingga aturan tata ruang seringkali diabaikan. Yayat mencontohkan pembangunan Mall dan berbagai pasar modern yang berserakan di Jakarta yang melanggar wilayah terbuka hijau.

Selain itu, selama ini, menurut Yayat, penyelesaian banjir di Jakarta seringkali hanya struktural sebagai flood control. Yaitu pembangunan proyek besar-besaran penanganan banjir seperti reklamasi, drainase dan berbagai proyek lain. Sedangkan, papar Yayat, penyelesaian banjir yang non struktural seperti kebiasaan tertib masyarakat, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), perbaikan tata guna lahan, dan pengembangan komunitas daerah banjir kurang terjamah. (Republika, 20 Juni 2013) Komisi Pemerintahan DPR mengusulkan dibentuknya peradilan pertanahan. Peradilan ini ditujukan khusus untuk menyelesaikan sengketa pertanahan. "Peradilan ini sifatnya khusus pertanahan," kata Ketua Panitia Kerja RUU Pertanahan Abdul Hakam Naja di komplek Parlemen. Peradilan ini, kata Hakam, mengingat persoalan pertanahan yang tak tuntas. "Selama ini ribuan kasus pertanahan tidak tuntas," ujar dia. Peradilan ini diharapkan dapat menghasilkan keputusan sengketa pertanahan dengan lebih tuntas dan komprehensif. (Tempo, 25 Juni 2013) Juli Kepala Badan Pertanahan Nasional Hendarman Supanji mengatakan, lembaganya sudah menetapkan jutaan hektare tanah telantar yang siap dibagikan kepada masyarakat miskin. Namun pembagian tanah telantar tersebut terkendala aturan. "Kami kesulitan membuat peraturan pemerintah karena ada keterkaitan antar-semua sektor, tetapi semua belum sepaham bagaimana caranya," kata Hendarman saat berdiskusi dengan wartawan di Hotel Arista, Palembang. Misalnya, kata dia, membangun irigasi ke lokasi maupun jalan. "Perlu diperjelas siapa penanggungjawabnya," kata Hendarman. BPN berharap program ini diatur dalam Undang-Undang Pertanahan, bukan peraturan pemerintah, sehingga jelas penanggungjawabnya. Di samping itu, Hendarman menghendaki BPN berubah menjadi kementerian. Dari 30 surat keputusan soal tanah telantar tersebut, ada 11 SK seluas 34,3 ribu hektare digugat ke pengadilan tata usaha negara oleh pihak perusahaan. Menurut Hendarman, gugatan ini juga menjadi kendala tanah telantar belum dibagikan kepada masyarakat miskin. (Tempo, 01 Juli 2013) Pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) masih menunggu pengajuan Perda tentang ruang bawah tanah. Pemprov DKI Jakarta tetap menggunakan Perda No 167 tahun 2012 tentang Tata Ruang. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan pembangunan fisik MRT harus sesuai dengan Permen. Pihaknya masih membahas mengenai pembagian kepemilikan antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta. "Berapa meter ke bawah yang jadi milik pemerintah pusat mana yang milik kita," kata wakil gubernur yang biasa dipanggil Ahok ini di Balai kota Jakarta. (Republika, 04 Juli 2013)

Banjir di Jakarta

Page 22: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 20

ringkas buku:

B uku Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang ini hadir untuk menggali dan memahami konteks penataan ruang dari segi praktik dan proses

perencanaan, yang tidak hanya berbasiskan pada fisik atau kawasan, tetapi juga pada pengaturan dan penegakannya (hukum). Hukum di sini mengarahkan agar penatagunaan tanah atau penataan ruang ditaati dan dipatuhi oleh warga masyarakat-termasuk oleh negara-untuk menciptakan suatu kawasan yang tertib dan untuk dapat menjadikan kehidupan lebih berkualitas. Buku ini mengulas mengenai konsepsi, orientasi, karakteristik, landasan dan pola penerapan kebijaksanaan Tata Guna Tanah. Selain itu, diuraikan pula secara normatif keterkaitan Tata Guna Tanah dengan Penataan Ruang dalam konteks kebijaksanaan dan hukum. Dalam ringkasan ini, kebijaksanaan selanjutnya dituliskan sebagai kebijakan sesuai dengan definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Bab 1 Kebijakan: (Konsepsi, Orientasi, dan Karakteristik). Bab ini menjelaskan tentang definisi dan konsep kebijakan. Disebutkan bahwa kebijakan adalah tindakan sebagai wujud kewenangan pemerintah atau dengan kata lain pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan hanya mencakup produk kewenangan politik bukan pada proses pembuatan keputusan. Sementara itu hubungan antara hukum dan kebijakan pemerintah adalah bahwa hukum sebagai acuan pemerintah untuk melaksanakan wewenangnya yang diwujudkan dalam kebijakan. Jadi hukum dan kebijakan adalah unsur penting dalam perkembangan politik. Kebijakan tidak sama dengan rencana pembangunan, dalam rencana pembangunan akan diperhatikan berbagai macam aspek, sedangkan kebijakan hanya memperhatikan satu aspek saja.

Kebijakan bertujuan untuk menyelesaikan masalah tertentu pada satu wilayah dan kurun waktu tertentu. Penyusunan kebijakan mempertimbangkan sumber dana, sumber daya alam, dan sarana yuridis pemerintah sehingga bila ada kendala dapat diperoleh solusi. Kebijakan publik memiliki kekuatan besar yang bersifat mengikat setiap warga negara, baik perorangan maupun kelompok, dan memiliki konsekuensi hukum atas pelanggaran yang dilakukan (sanksi).

Bab 2 Konsepsi dan Arah Kebijakan Pertanahan. Arah kebijakan pembangunan Bidang Pertanahan tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok Agraria atau UUPA yang

merupakan penjabaran langsung dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945, sebagai basis/landasan kekuatan demokrasi ekonomi yang sedang dikembangkan dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat. Prinsip-prinsip yang yang terkandung dalam UU tersebut antara lain: kesatuan hukum agraria, penghapusan pernyataan dokumen negara, fungsi sosial hak atas tanah, pengakuan hukum agraria nasional berdasarkan hukum adat dan pengakuan hak ulayat, persamaan derajat warga Indonesia, pelaksanaan performa hubungan antara manusia Indonesia di

tanah atau bumi air dan ruang angkasa, rencana umum penggunaan persediaan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, prinsip rasionalitas.

Melaksanakan UUPA secara murni dan konsekuen berarti melaksanakan salah satu kebijakan terpenting dalam demokrasi ekonomi karena merupakan aktualisasi dari salah satu segi penting demokrasi Pancasila.

Dengan berkembangnya peraturan perundang-undangan, tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional masih banyak menjalankan fungsi administrasi yaitu program pengelolaan pertanahan dan masih kurang memiliki otoritas kebijakan yang mandiri. Hal ini kurang menguntungkan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat terutama masyarakat kecil dimana mereka sangat mendambakan keadilan penguasaan dan kepemilikan atas tanah serta jaminan kepastian hukum.

Bab 3 Hukum dalam Konteks Perubahan Sosial. Pada bab ini dinyatakan bahwa hukum dapat dipandang sebagai dimensi logis yang memberikan nilai, fenomena sosial yaitu sebagai sarana menata kehidupan bersama masyarakat, perintah, kewenangan dan berfungsi untuk mengatur masyarakat. Selain itu disebutkan pula pokok-pokok pemikiran mengenai hukum dari beberapa ahli hukum dunia. Aliran hukum sendiri terdiri atas banyak jenis dimana setiap jenis memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Beberapa contoh aliran hukum yaitu positivisme hukum, aliran rasionalisme dan aliran empirisme/sociological jurisprudence.

Konsep hukum yang diharapkan oleh bangsa Indonesia adalah konsep hukum yang lebih luas dan utuh dibandingkan dengan konsepsi hukum yang selama ini sudah berkembang. Tujuan akhirnya adalah pemenuhan kesejahteraan lahir dan batin. Seyogyanya, hukum dan masyarakat tidak dapat dipisahkan karena hukum berfungsi mengatur kehidupan masyarakat. Namun kehidupan masyarakat yang kompleks dan memiliki banyak kepentingan maka sering kali terjadi pertentangan dan perselisihan. Pertentangan dan perselisihan masyarakat ini dapat

Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang

Prof. Dr. H. Muchsin, S.H. Imam Koeswahyono, S.H., M.Hum.

...dalam rencana pembangunan

akan diperhatikan berbagai macam aspek, sedang di dalam kebijakan

hanya memperhatikan satu aspek saja...

Page 23: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 21

diatasi apabila segala peraturan perundangan dikembalikan pada general norm (Pancasila).

Untuk itu, eksistensi hukum di tengah masyarakat sangat penting mengingat fungsi hukum untuk menegakkan keadilan, menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, serta dapat digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat sehingga kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.

Bab 4: Landasan dan Pola Penerapan Kebijakan Tata Guna Lahan. Bab ini menjelaskan landasan kebijakan pembangunan nasional di Bidang Pertanahan yang sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1960. UU ini adalah penjabaran dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Arah dan kebijakan pembangunan nasional di bidang pertanahan digariskan dalam

Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Kebijakan penatagunaan tanah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah telah menjawab perintah yang

sebagaimana termaktub pada Pasal 14 dan berlanjut dalam Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1960 tentang kewajiban pemerintah untuk menyusun perencanaan penggunaan, penguasaan, dan pemilikan lahan tanah dalam suatu peraturan pemerintah. Sejalan dengan tujuan negara yaitu pencapaian sebesar-besar kemakmuran rakyat, yaitu masyarakat yang adil dan makmur maka tujuan penatagunaan tanah yaitu: mengatur dan mewujudkan penguasaan, penggunaan, dan

pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);

mewujudkan tertib pertanahan; serta menjamin kepastian hukum masyarakat yang mempunyai

hubungan hukum dengan tanah sesuai RTRW yang telah ditetapkan.

Bab 5: Kebijakan Manajemen Tanah Perkotaan Sebuah Keniscayaan. Bagian ini menjelaskan kebijakan pertanahan yang merupakan salah satu wujud dari campur tangan negara dalam pemanfaatan, perencanaan, pemilikan, harga dan keuntungan yang akan diperoleh dari tanah sebagai suatu proses dalam pembangunan. Negara melakukan pengendalian arah pembangunan karena sesungguhnya cukup banyak instrumen pengelolaan kota yang terkait dengan pengelolaan tanah, namun belum difungsikan secara optimal. Pengelola kota cenderung tidak memahami hakikat dan tujuan pengelolaan tanah perkotaan, sehingga banyak implementasi instrumen pengelolaan kota yang justru menyebabkan distorsi pasar tanah perkotaan.

Tegasnya rasionalitas dalam kebijakan tanah perkotaan adalah dengan keyakinan bahwa kebijakan tanah akan mengurangi inefisiensi dan memperbaiki ketidakadilan. Namun kebijakan tanah perkotaan belum dilakukan secara utuh di Indonesia sehingga wajar bila fenomena kasus pertanahan maupun spasial secara umumnya merupakan persoalan laten.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai kekhawatiran akan status tanah Tahun 2007 di sembilan kota besar Indonesia yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, Banjarmasin, Pontianak,

Makassar, dan Manado, sebagian besar masyarakat tersebut khawatir akan jaminan kepastian hak walaupun telah memiliki surat tanda bukti hak atas tanah (sertipikat). Masalah jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah merupakan suatu keniscayaan dalam kerangka keadilan agraria yang dicoba akan dipecahkan melalui program landreform plus yang merupakan kebijakan yang memberikan akses secara luas kepada masyarakat, khususnya kelompok miskin melalui market based landreform, yakni penataan kembali penguasaan dan pemilikan tanah dengan membuka pasar tanah.

Bab 6: Epilogi Sisi Kefilsafatan dan Teori Hukum Pengaturan Penataan Ruang. Persoalan tata ruang harus diteropong dengan sudut pandang filsafat khususnya filsafat hukum agar penataan ruang tersebut memiliki dasar pijakan yang kokoh. Fakta empiris yang ditemukan membuktikan bahwa di dalam mengatur permasalahan penataan ruang sangat tidak mudah, karena didalamnya banyak bermain kepentingan: individu-kelompok; ekonomi kuat-ekonomi lemah; negara-rakyat; pemerintah pusat-daerah; dan masa sekarang-masa mendatang.

Norma yang menjadi asas penataan ruang yang dapat dikaji dari sisi filsafat hukum adalah mengenai hukum dan keadilan, sedangkan dasar filosofi yang melingkupi penatagunaan tanah adalah ketuhanan yang mengakui bahwa bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam di dalam tubuh bumi merupakan karunia Allah.

Berdasarkan sisi filsafat hukum tersebut maka dalam konteks penataan ruang dan penatagunaan tanah setidaknya memerlukan mekanisme kontrol yang bertanggung jawab kepada publik. Selain itu dalam mengambil kebijakan publik, pemerintah harus memilih satu prinsip tunggal yaitu prinsip keadilan, karena keadilan lebih bersifat universal daripada utilitarian.

Dengan mempertimbangkan banyak kasus pertanahan yang berpangkal pada sengketa batas kawasan, maka penyusunan Peraturan Daerah seharusnya dilakukan dengan pola penyusunan peraturan daerah berbasis masyarakat. Artinya, model penyusunan tata ruang wilayah kabupaten/kota yang selama ini dilakukan dan dirancang oleh perencana, harus dipadukan untuk dicari titik temu dengan konsep penataan ruang yang dikehendaki oleh masyarakat. Penyusunan rencana penatagunaan sumber daya tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya hendaknya juga harus memperhatikan faktor yang mempengaruhi ketersediaannya antara lain faktor meteorologi, klimatologi,

geofisika, dan ketersediaan prasarana sumber daya. Kemudian terakhir disimpulkan bahwa penatagunaan tanah merupakan subsistem dari penataan ruang [rn/cr/dc]

Program landreform plus merupakan

kebijaksanaan yang memberikan akses secara luas kepada

masyarakat, khususnya kelompok

miskin melalui market based landreform,

yakni penataan kembali penguasaan dan pemilikan tanah

dengan membuka pasar tanah.

Penatagunaan tanah merupakan

subsistem dari penataan ruang.

Page 24: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 22

Latar Belakang

P elaksanaan pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan tertib

administrasi pertanahan. Secara hukum pendaftaran tanah (sertifikasi tanah) merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) terutama Pasal 19 yang menyatakan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum pertanahan, Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah dan atas tanah yang telah didaftarkan selanjutnya diberikan tanda bukti hak atas tanah, yang merupakan alat bukti yang kuat mengenai kepemilikan tanah. Selanjutnya sebagai pelaksanaan dari UUPA telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Namun keberadaan peraturan pemerintah tersebut dirasakan belum memenuhi kebutuhan di lapangan sehingga peraturan ini diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Berdasarkan PP tersebut, pendaftaran tanah dilaksanakan melalui dua cara, yaitu: pertama, secara sistematik yang meliputi wilayah satu desa/kelurahan/sebagiannya yang terutama dilakukan atas prakarsa Pemerintah; dan kedua, secara sporadik yaitu pendaftaran bidang-bidang tanah atas permintaan pemegang atau penerima hak yang bersangkutan secara individual atau massal.

Munculnya berbagai kasus pertanahan disinyalir terkait dengan pendaftaran tanah seperti ketidaktahuan masyarakat mengenai kewajiban atas pendaftaran tanah, adanya perebutan tanah karena ketidakjelasan mengenai batas-batas wilayah, adanya dua atau lebih sertifikat atas wilayah tanah yang sama, dan sengketa tanah lainnya mengindikasikan bahwa belum tercapainya tujuan hukum agraria nasional. Selain itu, masalah keabsahan sertifikat tanah dalam kaitannya dengan status tanah yang dijaminkan dalam perjanjian hutang-piutang. Hal ini berkaitan dengan kepastian hukum bagi pihak pemberi jaminan dan pihak ketiga lainnya yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu perjanjian hutang-piutang.

Untuk mendorong percepatan pelaksanaan sertifikasi tanah, telah diinisiasi berbagai program dan proyek, baik yang didanai pemerintah, mitra pemerintah dan swadaya atau dibiayai sendiri oleh masyarakat antara lain: Program Nasional Agraria (Prona), Land Administration Project (LAP), Land Management and Policy Development Project (LMPDP), Reconstruction of Aceh Land Administration System (RALAS), Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA), Sertifikasi tanah lintas Kementerian/Lembaga (yang diperuntukkan bagi petani, nelayan, pelaku usaha kecil menengah/UKM, transmigran dan masyarakat berpenghasilan rendah/MBR).

Pendaftaran tanah merupakan langkah awal bagi masyarakat agar mempunyai akses terhadap sumber daya produktif (acces reform) seperti permodalan, pendampingan, dan pemberdayaan. Dengan adanya akses terhadap sumber permodalan diharapkan terjadi pertumbuhan ekonomi wilayah dan memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Berbagai program dan

kegiatan telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan sertifikasi tanah, namun sampai saat ini belum cukup signifikan untuk penyelesaian sertifikasi tanah atas seluruh bidang tanah yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka mempercepat pendaftaran tanah diperlukan evaluasi terhadap pelaksanaan sertifikasi tanah yang dilaksanakan saat ini (eksisting). Selain itu, diharapkan tersusunnya desain strategi untuk mempercepat pelaksanaan sertifikasi tanah di masa mendatang.

Tujuan kajian ini adalah untuk mengevaluasi pelaksanaan sertifikasi tanah yang telah dilaksanakan saat ini dan menyusun strategi untuk

mempercepat penyelesaian sertifikasi tanah.

Lokasi yang menjadi obyek penelitian meliputi tiga Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota (Kantah) yaitu: Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar di Provinsi Jawa Tengah, Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Barat di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kantor Pertanahan Bandar Lampung di Provinsi Lampung. Daerah-daerah tersebut ditentukan berdasarkan representasi daerah perdesaan dan perkotaan serta banyaknya program sertifikasi tanah yang ada di wilayah kerja kantor pertanahan tersebut.

Hasil Kajian

Hasil evaluasi program sertifikasi tanah memperkirakan sampai saat ini terdapat sekitar 85 juta bidang tanah di seluruh Indonesia yang perlu didaftar (disertifikatkan). Dari jumlah tersebut diketahui bahwa sampai dengan tahun 2011 sekitar 38.662.620 bidang (45,49 persen) yang sudah terdaftar dan sisanya sekitar 46.337.380 bidang (54,51 persen) belum terdaftar (Djuita, 2011). Data mengenai jumlah buku tanah yang aktif di BPN sampai dengan Juni 2012 berjumlah 26.675.743 bidang. Data mengenai jumlah buku tanah aktif tersebut merupakan data mengenai jumlah bidang tanah yang telah tersertifikasi dari sekitar 85 juta bidang tanah yang diperkirakan ada di seluruh Indonesia.

Jumlah sertifikasi bidang tanah pada Kabupaten Karanganyar telah mencapai 88,5 persen dari luar keseluruhan yaitu 440.792 bidang, Kantah Lombok Barat sebesar 53.834 bidang dan Kantah Bandar Lampung sebesar 345.322 bidang atau diperkirakan sekitar 45,38 persen dari total bidang tanah yang ada.

Hasil diskusi mendalam yang dilakukan pada lokasi kajian juga menunjukan bahwa dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, dokumen yang paling sulit dipenuhi masyarakat antara lain adalah: (1) Surat Keterangan Waris (SKW) karena adanya kesulitan dari pemohon untuk mendatangkan ahli waris yang diluar kota sehingga perlu

Evaluasi strategi sertifikasi tanah di Indonesia

kajian

“Berbagai program dan kegiatan telah

dilaksanakan oleh pemerintah untuk

mempercepat pelaksanaan sertifikasi

tanah, namun sampai saat ini belum cukup

signifikan untuk penyelesaian sertifikasi

tanah atas seluruh bidang tanah yang ada

di Indonesia”

Page 25: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 23

waktu dan biaya dari pemohon sendiri; (2) bukti pemilikan/alas hak karena biaya pembuatan terlalu besar dan kebanyakan segala transaksi yg mereka lakukan dibuat secara lisan; dan (3) fotokopi KTP penjual karena pada saat proses pendaftaran tanah penjual sudah tidak diketahui keberadaan atau tempat tinggalnya.

Kendala umum yang dihadapi dalam pelaksanaan pendaftaran tanah pada lokasi penelitian antara lain antara lain: (1) faktor internal, yaitu minimnya ketersediaan SDM dan petugas ukur, peta dasar pendaftaran tanah yang belum tersedia di seluruh wilayah, dan kurangnya sarana dan prasarana pendukung lainnya; dan (2) faktor eksternal, yaitu alas hak/bukti kepemilikan yang tidak ada atau hilang, pemahaman masyarakat mengenai pentingnya sertifikat masih lemah, pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan/BPHTB untuk pendaftaran tanah pertama kali dirasakan memberatkan masyarakat mengingat masyarakat sebagian besar berpenghasilan rendah.

Proyek Operasi Nasional Agraria merupakan program pendaftaran tanah yang merupakan amanat dari Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189 Tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria,

yang berlaku mulai tanggal 15 Agustus 1981. Prona merupakan kegiatan sertifikasi tanah yang bersifat kolektif atau massal bagi masyarakat ekonomi lemah. Lokasi pelaksanaan Prona ditentukan oleh BPN Pusat berdasarkan usulan atau rekomendasi dari Kantor Pertanahan (Kantah) melalui Kantor Wilayah (Kanwil) BPN di tingkat Provinsi (bottom up). Sejak awal pelaksanaan PRONA pada tahun 1981 hingga tahun 2010, penerbitan sertifikat melalui Prona mencapai 4.979.920 bidang tanah dan

khusus tahun 2010 mencapai 222.652 bidang tanah (BPN, 2011). Sedangkan dari target untuk tahun 2011 yang mencapai 560.160 bidang tanah.

Evaluasi pada tahun 2012 di 3 Kantah lokasi kajian terdapat 66 persen dari jumlah pendaftaran tanah di Kantah Karanganyar merupakan sertifikasi Prona, sedangkan sertifikasi Prona mencakup 89 persen jumlah pendaftaran tanah di Kantah Lomobok Barat dan sertifikasi Prona di Kantah Bandar Lampung mencakup 50 persen dari jumlah pendaftaran tanah di Bandar Lampung.

Secara umum pelaksanaan kegiatan Prona di masing-masing Kantah sudah baik dengan realisasi setiap tahun yang berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Namun terdapat beberapa kendala, yaitu : (1) penentuan lokasi yang menjadi target kegiatan PRONA tidak menggunakan metode spasial sehingga sasaran kegiatan dapat saja ditujukan pada daerah yang berkategori tidak miskin; (2) Pada beberapa daerah, masyarakat yang melakukan jual beli (perpindahan hak) tanah tidak memiliki bukti tertulis mengenai adanya jual beli tersebut sehingga kerap kali menemui kesulitan dalam proses pemberkasan; (3) Jumlah BPHTB yang ditetapkan melalui masing-masing peraturan daerah paling rendah sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak, sehingga sangat membebani masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Sertifikasi Tanah Massal Swadaya (SMS) merupakan salah satu program pendaftaran tanah yang dilakukan dengan

mengikutsertakan/melibatkan banyak orang dan dengan kekuatan sendiri. Dalam pelaksanaan SMS, BPN secara proaktif mendatangi masyarakat yang menjadi target dan dilakukan secara sporadik. Pelaksanaan SMS ini lebih ditekankan kepada inisiatif warga untuk melakukan sertifikasi atas bidang tanah yang dimiliki secara swadaya dan bersama-sama dengan jumlah bidang tanah minimal sesuai dengan ketentuan Kantah setempat. Program SMS hanya dilaksanakan di Kantah Lombok Barat yaitu sejak tahun 2003 dan Kantah Bandar Lampung sejak tahun 2007.

Pelaksanaan program SMS mengalami beberapa kendala, antara lain : (1)Ketidakjelasan sasaran penerima manfaat program PRONA dan SMS, karena kriteria sasaran program SMS yang ditetapkan oleh kantah sama dengan kriteria sasaran program PRONA yaitu masyarakat miskin; (2)Ketidakjelasan target dan realisasi pelaksanaan SMS oleh masing-masing Kantah, karena target pelaksanaan SMS akan menjadi bagian dari capaian dari kegiatan sertifikasi swadaya; (3)Biaya sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh masyarakat melalui program SMS tidak lebih murah dari yang diharapkan sebelumnya; (4)Waktu yang diperlukan untuk penyelesaian sertifikat juga belum tentu lebih cepat dibandingkan dengan sertifikasi yang dilakukan oleh masyarakat sendiri.

Sertifikasi Tanah Lintas K/L merupakan program pendaftaran tanah yang dikordinasikan secara langsung melalui beberapa kementerian terkait seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Transmigrasi. Pelaksanaan program pendaftaran tanah melalui Kementerian/Lembaga ini telah berlangsung cukup baik. Adapun yang menjadi tujuan dari kegiatan ini adalah peningkatan akses permodalan dan sumber pembiayaan lainnya serta jaminan kepastian hak atas tanah. Program sertifikasi tanah lintas K/L dilaksanakan disetiap lokasi penelitian dengan jumlah program terbanyak yaitu di Kantah Lombok Barat, yaitu 4 program dari kementerian terkait. Sedangkan di Kantah Karanganyar terdapat 1 program dan Kantah Bandar Lampung dengan 2 program.

Beberapa kendala yang ditemui di lokasi penelitian dalam pelaksanaan program sertifikasi tanah lintas K/L antara lain: (1)Ketiadaan alas hak yang dimiliki oleh pemohon dan kebanyakan merupakan transaksi/jual beli yang dilakukan secara lisan; (2)Obyek tanah yang menjadi target program tidak clean and clear menurut BPN; (3)Dalam kegiatan pemberkasan, terdapat pungutan biaya di desa/kelurahan dan tidak terdapat standarisasi pajak; (4)Pasca pelaksanaan sertifikasi, penerima program tidak serta merta langsung dapat mengakses permodalan karena pihak perbankan umumnya mengharuskan persyaratan tertentu yang kadang-kadang sulit dipenuhi oleh masyarakat.

Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (Larasita) merupakan salah satu terobosan dibidang pertanahan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 18 Tahun 2009 Tentang Larasita Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, secara umum Larasita mempunyai tugas pokok dan fungsi sama dengan Kantor Pertanahan. Pelaksanaan Larasita menggunakan kendaraan bermotor atau alat transportasi lainnya dan memanfaatkan teknologi informasi yang terhubung melalui satelit menggunakan fasilitas internet dan wireless communication system sehingga terhubung dengan Kantor Pertanahan setempat. Selain kegiatan sertifikasi tanah, Larasita juga melaksanakan beberapa layanan dibidang pertanahan seperti penyuluhan, identifikasi tanah terlantar, kegiatan rutin (one day service).

Pada kurun waktu tahun 2007-2012, Kantah Karanganyar melalui Larasita secara keseluruhan telah menerbitkan sertifikat sebanyak 6.283 bidang tanah. Berbeda halnya dengan Kantah Lombok Barat

Masalah yang dihadapi adalah: ketersediaan

SDM dan petugas ukur, peta dasar pendaftaran

tanah, alas hak/bukti kepemilikan,

pemahaman masyarakat, Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Page 26: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 24

dan Kantah Bandar Lampung, program Larasita hanya dilaksanakan pada tahun tertentu dengan capaian program yang juga sangat kecil yaitu 48 bidang di Kantah Lombok Barat dan 10 bidang di Kantah Bandar Lampung. Tingginya capaian Larasita di Kabupaten Karanganyar dikarenakan kabupaten tersebut merupakan lokasi ujicoba pertama kali pada tahun 2006.

Berdasarkan hasil kajian terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Larasita antara lain: (1) Sinyal jaringan provider berupa GPRS yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan sering tidak berfungsi (off line); (2) Terbatasnya sumber daya manusia yang mampu mengoperasikan tekhnologi yang digunakan Larasita; (3) kendaraan operasional Larasita belum menjangkau daerah-daerah pelosok dan pegunungan; (4) Kurangnya penyuluhan atau pengenalan Larasita; (5) Masyarakat menganggap biaya pendaftaran di Larasita masih tinggi; (6) Aparat desa/kelurahan lebih menerima Prona daripada Larasita; (7) Berkas belum lengkap; dan (8) Adanya sengketa batas dan kepemilikan.

Strategi Percepatan Pendaftaran Tanah

Berbagai permasalahan yang ditemui dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah seperti yang telah disebutkan di atas, mengindikasikan perlunya dilakukan peninjauan kembali atas berbagai pengaturan pendaftaran tanah yang ada selama ini. Prinsip kepastian hukum atas tanah adalah kepastian yang meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subyek hak dan kepastian obyek hak. Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah tersebut di atas, antara lain sebagai berikut: (i) Meninjau kembali sistem pendaftaran tanah yaitu sistem negatif yang selama ini berlaku di Indonesia dengan melihat unsur efektifitas sistem tersebut dalam rangka kepastian hukum atas tanah bagi masyarakat; (ii) Adanya prosedur pengumpulan data penguasaan tanah yang dipertegas, dipersingkat dan disederhanakan; (iii) Upaya optimalisasi dan maksimalisasi penggunaan teknologi modern seperti GNSS-CORS (Global Navigation Satellite System-Continuously Operating Reference Stations) dalam rangka pemetaan bidang tanah seluruh wilayah Indonesia. Termasuk pengukuran, pengolahan dan penyimpanan data; (iv) Dimungkinkan adanya suatu mekanisme yang wajar dalam proses pendaftaran tanah bagi tanah-tanah yang data fisik/data yuridisnya belum lengkap. Hal ini menjadi solusi atas permasalahan mendasar dari proses pendaftaran tanah yang masyarakat sering kesulitan untuk penyiapan alas haknya; (v) Mempertegas alur kordinasi dan kerjasama antara instansi yang berwenang dalam pendaftaran tanah terutama terkait dengan program sertifikasi tanah lintas K/L; (vi) Melaksanakan kembali

program pendaftaran tanah secara sistemik sebagaimana yang diamanatkan dalam PP No.24 tahun 1997, seperti yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh BPN melalui Land Administration Program (LAP 1) dengan membentuk tim adjukasi; dan (vii) Kepastian atas subyek dan obyek hak yang akan didaftar, agar tidak terjadi tumpang tindih antara satu program dengan program yang lainnya dan efisiensi anggaran yang dikeluarkan oleh negara.

Berkaitan dengan strategi percepatan pendaftaran tanah dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:

Pendaftaran secara sistemik dengan menggunakan tim ajudikasi yang terbukti dapat menaikkan jumlah sertifikasi tanah, memiliki kendala pada pendanaan yang cukup besar . Oleh karena itu, perlu dirumuskan kembali mengenai strategi kegiatan pendaftaran tanah ini khususnya berkaitan dengan ketersediaan dana.

Pendaftaran tanah secara sporadik, hendaknya dilengkapi dengan insentif yang akan diberikan kepada masyarakat yang melakukan program ini. Seperti pembebasan biaya BPHTB dan pembebasan biaya pendaftaran tanah untuk seluruh proses yang harus dilaluinya.

Pendaftaran tanah secara swadaya, hendaknya melibatkan Kantah setempat dan pihak-pihak yang terkait dalam

kegiatan sosialisasi agar masyarakat memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh dari kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan.

Penentuan target subyek dan obyek pendaftaran tanah, hendaknya menggunakan data dan metode spasial (skema geographical information system/GIS). Misal untuk program pendaftaran tanah Prona, yang memiliki kelompok sasaran masyarakat ekonomi lemah (miskin) dan program Larasita yang memiliki sasaran berupa daerah terpencil. Maka penentuan target dapat dilakukan dengan melihat sebaran masyarakat miskin (Prona) dan daerah terpencil (Larasita) pada suatu wilayah secara spasial yang kemudian ditetapkan daerah prioritasnya. Contoh model penggunaan data dan metode spasial untuk pendaftaran tanah program Prona dan Larasita dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. 

....tujuan dari kegiatan

Sertifikasi Tanah Lintas

K/L adalah peningkatan

akses permodalan dan

sumber pembiayaan

lainnya serta jaminan

kepastian hak atas

tanah.

Gambar 1. Skema GIS untuk program Prona Gambar 2. Skema GIS untuk program Larasita

bersambung ke hal. 26

Page 27: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 25

sosialisasi peraturan

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang

format dan informasi yang digunakan untuk analisis penataan ruang.

Sistematika PP No. 8 Tahun 2013 terdiri dari 6 (enam) bagian utama, yaitu: (1) ketentuan umum, (2) perencanaan tata ruang, (3) ketelitian peta, (4) pengelolaan data dan informasi geospasial rencana tata ruang, (5) pembinaan teknis, serta (6) penutup.

Perencanaan Tata Ruang Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan: Rencana Umum Tata Ruang atau Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW); dan Rencana rinci tata ruang.

Rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang termasuk rencana tata ruang kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan lainnya, dituangkan dalam peta rencana tata ruang. Peta rencana tata ruang yang dimaksud meliputi: Peta rencana struktur ruang yang meliputi unsur: sistem

perkotaan, sistem jaringan transportasi, sitem jaringan energi, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, dan sistem jaringan prasarana wilayah lainnya.

Sistem jaringan tersebut kemudian digambarkan pada satu

PP No. 8 Tahun 2013 merupakan produk hukum yang diturunkan dari UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. PP ini bertujuan untuk mewujudkan kesatuan sistem peta rencana tata ruang yang akurat. Kesatuan sistem yang dimaksud di sini yaitu mengacu pada single reference/georeferensi tunggal yang ditetapkan oleh BIG, sedangkan akurat berarti bahwa peta-peta rencana tata ruang disusun berdasarkan informasi geospasial dasar dan tematik yang dapat dipertanggungjawabkan.

PP No. 8 Tahun 2013 merupakan perubahan dari PP No. 10 Tahun 2000, dimana perbedaan diantara keduanya meliputi dasar hukum, paradigma, serta lingkup aturan.

PP No. 10 Tahun 2000 berinduk pada UU No. 24 Tahun 1992, sedangkan PP No. 8 Tahun 2013 mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007.

Terdapat perubahan paradigma produk peta tata ruang, dari peta cetak kepada data dan informasi geospasial.

PP No. 8 Tahun 2013 lebih mengatur tentang keseragaman

Penataan ruang merupakan upaya pengalokasian ruang bagi kegiatan pembangunan untuk menjaga keberlanjutan fungsi ruang. Pada tahun 2011 ini, telah dihasilkan tiga Perpres tentang RTR KSN Perkotaan, yaitu: RTR Kawasan Perkotaan Sarbagita (Perpres No.45/2011), RTR Kawasan Perkotaan Mamminasata (Perpres No.55/2011) dan RTR Kawasan Perkotaan Mebidangro (Perpres No.62/2011). Penerbitan ketiga Perpres tersebut ditujukan untuk mewujudkan harmonisasi dan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang pada kawasan perkotaan.

...mengacu pada single reference/georeferensi

tunggal yang ditetapkan oleh BIG.

UU No. 26 Tahun 2007Tentang Penataan Ruang

UU No. 4 Tahun 2011Tentang Informasi Geospasial

Pasal 14 ayat 7:Ketentuan lebih lanjut mengenaitingkat ketelitian peta rencana tataruang diatur dengan peraturanpemerintah

Pasal 57:Badan melakukan pembinaan terhadappenyelenggaraan IGT.Pembinaan meliputi:- Pengaturan dalam bentuk pedoman, standar,

dan spesifikasi teknis ser ta sosialisasinya- pemberian bimbingan, supervisi, dan

konsultasi pelaksanaan penataan ruang.

PP No. 10 Tahun 2000Tentang Tingkat Ketelitian Peta

Untuk Rencana Tata RuangWilayah

PP No. 8 Tahun 2013 Tentang Ketelitian PetaRencana Tata Ruang

Page 28: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 26

Rekomendasi

Rekomendasi Umum ditujukan kepada Badan Pertanahan Nasional dan instansi terkait di tingkat pusat seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian/Lembaga yang melaksanakan program pendaftaran tanah lintas K/L sebagai pemangku kewenangan pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia. Rekomendasi tersebut antara lain sebagai berikut: (1) Percepatan penyediaan peta dasar pendaftaran tanah; (2) Kriteria masyarakat penerima program perlu diperluas untuk masyarakat menengah; (3) Penambahan dan pengembangan keahlian sumber daya manusia (SDM) yang ada di kantor pertanahan khususnya juru ukur; (4) BPN perlu melakukan monitoring dan evaluasi yang secara berkala dan terpadu terhadap program pendaftaran tanah; (5) Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan sertifikasi tanah; (6) Pembebasan BPHTB untuk pendaftaran tanah pertama kali; (7) Meningkatkan koordinasi antara Kantah, Kanwil dan BPN Pusat dalam penetapan target sertifikasi tanah; dan (8) Segera merumuskan RUU tentang Pertanahan.

Rekomendasi Khusus diberikan kepada Kantah yang menjadi daerah kajian dalam pelaksanaan kegiatan evaluasi pendaftaran tanah ini yaitu pada Kantah Bandar Lampung dan Kantah Lombok Barat perlu melakukan identifikasi dan pemetaan jumlah bidang tanah di wilayahnya sebagai dasar untuk proses pendaftaran tanah sehingga kemudian dalam perencanaan untuk percepatan sertifikasi tanah selanjutnya dapat diarahkan pada daerah yang belum bersertifikat [ik].

cakupan peta wilayah secara utuh. Dalam hal diperlukan, dapat pula digambarkan pada peta tersendiri. Peta rencana pola ruang yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Peta rencana pola ruang harus digambarkan dalam bentuk deliniasi, apabila tidak memungkinkan digambarkan dalam bentuk deliniasi, maka penggambaran dapat disajikan dalam bentuk simbol. Peta penetapan kawasan strategis.

Ketelitian Peta Tingkat ketelitian peta pada peta rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang meliputi: Ketelitian geometris yang meliputi: sistem referensi geospasial, skala, dan unit pemetaan. Ketelitian muatan ruang yang meliputi: kerincian kelas unsur dan simbolisasi.

Pengelolaan data dan informasi geospasial peta rencana tata ruang Pengelolaan data Peta rencana tata ruang disusun dalam sistem pengelolaan basis Data Geospasial. Pengelolaan dilakukan sejak pengumpulan data sampai dengan tersusunnya Peta rencana tata ruang. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan data Peta rencana tata ruang diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Pembinaan teknis

Badan melakukan pembinaan teknis perpetaan dalam penyusunan rencana tata ruang yang dilakukan oleh instansi Pemerintah dan pemerintah daerah. Pembinaan dilaksanakan dalam bentuk: a. penerbitan pedoman, standar, dan spesifikasi teknis serta sosialisasinya; b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi; c. pemberian pendidikan dan pelatihan; d. perencanaan, penelitian, dan pengembangan; dan e. pemantauan dan evaluasi [yd].

… pelayanan berskala internasional serta

penggerak utama di KTI

...Rencana umum tata ruang dan rencana

rinci tata ruang termasuk rencana tata

ruang kawasan perkotaan, kawasan

perdesaan, dan kawasan lainnya,

dituangkan dalam peta rencana tata ruang.

kajian...

Page 29: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 27

Rencana kerja Kementerian/Lembaga(Renja K/L) merupakan dokumen perencanaan yang berisi program dan kegiatansuatu Kementerian/Lembaga sebagai penjabaran dari Rencana Strategis K/L(Renstra K/L) yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran. Penyusunan RenjaK/Loleh Kementerian/Lembaga dilaksanakan setelah dikeluarkannya surat yangditandatangani oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas bersama Menteri Keuangantentang Pagu Indikatif Kementerian/Lembaga yang merupakan pagu anggaranyang didasarkan atas kebijakan umum serta tema dan prioritas pembangunannasional.Pagu Indikatif tersebut merupakan batas tertinggi alokasi anggaran yangdirinci menurut program dan kegiatan prioritas yang pendanaannya terdiri atasrupiah murni, PHLN, PNBP, BLU, PDN dan SBSN.

Rencana Kerja (Renja) K/L hasil kesepakatan trilateral meeting yang disampaikan kepada Bappenas harus sudah keluar dengan lokasi kegiatan sebagai bahan pembahasan trilateral desk dalam Pra Musrenbangnas. Penyusunan program dan target pembangunan Tahun 2014 harus disesuaikan dengan tema RKP 2014 yaitu Memantapkan Perekonomian Nasional untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat yang Berkeadilan. Penyusunan RKP dan Renja K/L harus memperhatikan evaluasi pencapaian target RPJMN 2010-2014 dan Direktif Presiden 2014. Hasil midterm review RPJMN 2010-2014 menunjukkan dari 11 Prioritas Nasional dan 3 Prioritas Nasional Lainnya tergambar bahwa: 62 persen target sudah sesuai, 26 persen perlu kerja keras, dan 12 persen sangat sulit tercapai di Tahun 2014.Penyusunan RKP dan Renja K/L juga harus memperhatikan isu strategis provinsi dengan kriteria signifikan,

berdampak luas, bersifat pengungkit, dan dapat selesai di Tahun 2014.

Dalam rangka koordinasi perencanaan program dan kegiatan tersebut, Bappenas mengadakan kegiatan trilateral meeting untuk membahas Pagu Indikatif Tahun Anggaran 2014 antara Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 12 April 2013 bertempat di

Hotel Ambhara, Jakarta yang dihadiri oleh Direktur Tata Ruang dan pertanahan, Bappenas, Direktur Anggaran IIC, Kementerian Keuangan dan Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, BPN.

Dalam kegiatan trilateral meeting ini BPN mempunyai beberapa arah kebijakan perencanaan program dan anggaran Tahun 2014 yaitu : (i) Pengamanan program dan kegiatan Prioritas Nasional; (ii) Keberlanjutan, penguatan dan pengembangan sasaran kinerja

tahun sebelumnya ; (iii) Memprioritaskan Program-program Strategis BPN RI (Pemantapan pelaksanaan Reforma Agraria, Percepatan legalisasi aset tanah, Penertiban tanah dan pendayagunaan terlantar, Percepatan penanganan kasus pertanahan, Optimalisasi pelaksanaan dan peningkatan manfaat Larasita); (iv) Penguatan dan pengembangan kelembagaan pertanahan; dan (v) Pemberdayaan partisipasi masyarakat (Optimalisasi PNBP).

Oleh karenanya, BPN memerlukan tambahan anggaran untuk pembangunan gedung-gedung kantor dimana beberapa kantor pertanahan masih berstatus sebagai pinjaman daerah atau bahkan berstatus sewa. Keterbatasan anggaran dengan sumber dana Rupiah Murni menyebabkan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana kantor menjadi lambat. Selain itu terdapat kenaikan target legalisasi aset masyarakat secara swadaya (PNBP) di Tahun 2014 menjadi sebesar 1.337.810 bidang. Selanjutnya, terdapat usulan inisiatif baru untuk kegiatan pemetaan tanah ulayat di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan usulan anggaran Rp. 77,5 Milyar. Selain itu juga diperlukan tambahan rupiah murni untuk membiayai kegiatan yang belum dianggarkan sebesar Rp. 782,1 Milyar.

Berdasarkan hasil exercise yang dilakukan, terdapat perubahan alokasi anggaran per program yaitu antara Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya dengan Program Pengawasan dan Peningkatan Akuntabilitas Aparatur BPN. Perubahan alokasi tersebut tanpa merubah alokasi total pagu indikatif yang telah ditetapkan dengan Surat Bersama (SB) Menteri PPN/Bappenas dan Menteri Keuangan [sy/gn].

Berdasarkan status tanahnya, apartemen digolongkan:

(1) Tanah Negara;

(2) Tanah Hak Milik; dan

(3) Tanah Pengelolaan.

Jika apartemen didirikan di atas tanah negara maka status pengelolaan oleh developer menjadi HGB (Hak Guna Bangunan) Murni, jika berdiri ditanah hak milik maka hak pengelolaan oleh developer menjadi HGB Hak Milik sedangkan jika developer hanya diberi kuasa untuk membangun apartemen ditanah pihak ketiga maka statusnya HGB Pengelolaan Lahan.

Jadi ada 3 status kepemilikan oleh developer yaitu:

(1) HGB Murni;

(2) HGB Hak Milik (SHM = Sertifikat Hak Milik); dan

(3) HGB HPL.

koordinasi trp

Trilateral Meeting Pagu Indikatif TA 2014 antara Bappenas – Kemenkeu – Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Tahukah Anda???

...Pengamanan program dan kegiatan Prioritas

Nasional, penguatan dan pengembangan sasaran

kinerja, Program-program Strategis BPN RI,

kelembagaan pertanahan, Pemberdayaan partisipasi

masyarakat.

Page 30: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 28

Sesuai dengan agenda rutin bersama antara BKPRN dan BKPRD, pada tanggal 11 April 2013 di Padang, Provinsi Sumatra Barat diselenggarakan Rapat Kerja Regional BKPRD dalam rangka percepatan penyelesaian Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia. Raker BKPRD Tahun 2013 yang bertema Optimalisasi Kelembagaan Penataan Ruang Daerah yang dibuka oleh Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri (mewakili Menteri Dalam Negeri)dan Gubernur Provinsi Sumatera Barat dan dihadiri oleh para pejabat Eselon I Kementerian/Lembaga anggota BKPRN, para Sekretaris Daerah, Kepala Bappeda, dan dinas-dinas terkait dari Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Pada pelaksanaan Rakerda BKPRD dilakukan 2 kali sidang Komisi dan didapat identifikasi permasalahan serta tindak lanjut dari permalasahan tersebut. Pada hasil sidang Komisi I yang dipimpin oleh Ir. H Riadil Akhir Lubis, M.Si dibahas beberapa isu strategis mengenai i) Mekanisme dan Tata Kerja BKPRD ii) Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang penataan ruang iii) Peran dan fungsi BKPRD sebagai wadah koordinasi penataan ruang daerah, iv) Peran BKPRD dalam pengendalian pemanfaatan ruang daerah, v) Penguatan kelembagaan dalam sisi finansial, instrumen, SDM yang didukung oleh komitmen Kepala Daerah. Dalam pembahasan permasalahan tersebut teridentifikasi beberapa permasalahan seperti: 1. Terbatasnya dukungan anggaran kegiatan BKPRD, 2. Terbatasnya kapasitas SDM di bidang penataan ruang, 3. Kurangnya kaderisasi dan pelatihan anggota BKPRD 4. Belum kuatnya komitmen Kepala daerah segabai motor

penggerak dan perlunya upaya sinkroniosasi program SKPD

dalam penataan ruang 5. Belum jelasnya peran, tugas dan kemewangan BKPRD dalam

penataan ruang daerah. 6. Belum adanya petunjuk pelaksanaan/teknis pengedalian

pemanfaatan ruang yang operasional bagi daerah.

Menindak lanjuti permasalahan tersebut maka sebagai kesimpulan dari pelaksanaan sidang Komisi I BKPRD disepakati beberapa tindak lanjut sebagai berikut:

1. Perlu adanya pedoman tata kerja (SOP) BKPRD yang dapat dijadikan acuan bagi BKPRD.

2. Perlu adanya pelatihan bagi anggota BKPRD untuk meningkatkan kualitas SDM di dalam BKPRD.

3. BKPRN perlu menfasilitasi pembinaan terhadap aparat BKPRD melalui pelaksanaan klinik, konsultasi, sosialisasi dan bimbingan teknis terkait penyelenggaraan penataan ruang di daerah.

4. Perlu optimalisasi fungsi kelompok kerja pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam penyusunan instrument pengendalian.

5. Perlu adanya petunjuk teknis bagi BKPRD dalam melakukan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi, kabupaten dan kota.

6. Perlu adanya pemberian reward and punishment yang terkait pelaksanaan kinerja BKPRD

7. Perlu adanya instrumen perpetaan, finansial, dan regulasi untuk mengoptimalkan peran dan fungsi BKPRD [ri].

Rapat Kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah di Padang

- Rapat Teknis Pelaksanaan Kegiatan Reforma Agraria Nasional (Eselon II)

- Penyusunan dan Penyampaian Laporan Progress Kerja Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional Kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas

Oktober 2013 - Sosialisasi Review RTRWN (Internal Bappenas) - Rapat Koordinasi Penyusunan Mekanisme Pelaksanaan Access

Reform di Provinsi Jawa Tengah dan Bangka Belitung - Survey dan Kunjungan lapangan pada lokasi sasaran

pelaksanaan kegiatan access reform - Studi Lapangan Pelaksanaan Pilot Project Sertipikasi

Kawasan Hutan November 2013 - Breakfast Meeting Tingkat Eselon II dan III Pasca Rakernas

BKPRN - Finalisasi Penyusunan Laporan Akhir Kegiatan Bidang Tata

Ruang dan Pertanahan - Konsinyasi Pembahasan Laporan Akhir Pelaksanaan Kegiatan

Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional - Workshop/Seminar “Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan

Pertanahan Melalui Reforma Agraria” Desember 2013 - Penyerahan Laporan Akhir Pelaksanaan Kegiatan Koordinasi

Strategis Reforma Agraria Nasional - Penentuan Prioritas Program dalam Koordinasi Strategis

Reforma Agraria Tahun Anggaran 2014

Juli 2013 - Rapat Teknis BKPRN terkait Rakernas 2013 - Rapat Koordinasi Pelaksanaan Program Agraria Daerah

Provinsi Kalimantan Timur - Analisis dan Kompilasi Data Hasil Identifikasi Peta Dasar

Pertanahan Nasional Agustus 2013 - Rapat Koordinasi Tingkat Eselon II dalam rangka membahas

Ra Rakernas BKPRN 2013 - Konsinyering Penyusunan Laporan Kelompok Kerja (Pokja) III

Sekretariat BKPRN - Rapat Persiapan Pelaksanaan Sidang BKPRN Semester I

Tahun 2013 - Konsinyasi Pembahasan Progress Kerja Tim Koordinasi

Strategis Reforma Agraria Nasional - Penyusunan Daftar Isi (outline) Laporan Progress Kerja Tim

Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional September 2013 - Rapat koordinasi tingkat Eselon II BKPRN mengenai

sosialisasi SOP dan eBKPRN - Rapat Serial Discussion Review Kelembagaan BKPRN

(strutkur pokja, keppres dan turunannya) - Seminar Implementasi UU No. 26 Tahun 2007 dan UU No. 26

Tahun 2007 - Kick off meeting pameran Rakernas BKPRN 2013 - Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kegiatan Reforma Agraria

Nasional (Es-I)

agenda

Page 31: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 29

Pada akhir Mei 2013 telah terjadi perubahan besar di Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional – BKPRN. Sebuah portal resmi BKPRN diluncurkan yang menandai langkah awal organisasi ini menuju organisasi yang modern dan profesional. Portal ini disebut sebagai eBKPRN.

BKPRN merupakan badan adhoc lintas sektoral yang mengkoordinasikan penataan ruang di Indonesia. Badan yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2009 mempunyai tugas mengkoordinasikan seluruh aspek penyelenggaraan penataan ruang nasional, mulai dari penyiapan kebijakan penataan ruang nasional, pelaksanan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, penanganan masalah penataan ruang, penyebarluasan informasi, peningkatan kapasitas, dan lain sebagainya. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan koordinasi adalah belum adanya

media berbagi data dan informasi yang terintegrasi antaranggota BKPRN. Hal ini menyebabkan peluang terjadinya gap informasi yang diterima oleh setiap anggota BKPRN semakin besar, yang berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, ketidaksepahaman, dan

inkonsistensi dalam pengambilan keputusan dan bahkan ketidakharmonisan dalam penyusunan program kerja bersama. Dengan karekteristik kelembagaan yang adhoc dan lintas kementerian/lembaga seperti itu, kehadiran suatu media bersama yang tidak hanya dapat memfasilitasi berbagi data dan informasi tetapi juga sebagai media komunikasi dan sekaligus media kerja bagi para anggota BKPRN menjadi penting dan mendesak. Keberadaan media seperti ini setidaknya akan mengurangi hambatan-hambatan dalam berkoordinasi, mempercepat diseminasi data dan informasi, dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja BKPRN secara keseluruhan.

Dalam era yang semakin digital seperti sekarang ini, bentuk komunikasi dan pelayanan publik semakin cenderung dilakukan secara daring (online). Banyak lembaga yang sudah menerapkan sistem daring ini, mulai dari perbankan, universitas, perusahaan ritel, penerbangan, dan lain sebagainya. Di sektor pemerintahan sesungguhnya sistem daring juga sudah dan didorong untuk diterapkan, terutama setelah terbitnya UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun sejauh ini, penerapan sistem daring di sektor pemerintahan belum seintensif sektor swasta.

eBKPRN

Dalam satu instansi saja penerapan sistem daring masih belum optimal, apalagi yang sifatnya lintas-instansi seperti BKPRN. Padahal, jika digarap dengan serius, fasilitas sistem daring dapat meningkatkan pelayanan dan informasi publik jauh lebih efisien.

Namun demikian, perlu dipahami bahwa tidak semua informasi publik dapat disebarluaskan kepada publik. Oleh karena itu, sistem daring yang dibangun hendaknya dapat menyediakan fasilitas kepada publik untuk memperoleh akses pelayanan dan informasi seluas-luasnya namun tetap memberikan akses khusus bagi setiap anggota BKPRN untuk berbagi informasi yang sifatnya belum untuk konsumsi publik.

Bappenas selaku Sekretaris BKPRN mempunyai tugas membantu Ketua BKPRN dalam mengkoordinasikan seluruh kegiatan BKPRN termasuk menjalankan fungsi-fungsi kesekretariatan seperti perencanaan dan tata laksana, kehumasan serta data dan informasi. Untuk menjalankan fungsi kesekretariatan tersebut sekaligus menjawab tantangan sebagaimana dijelaskan di atas, Bappenas memandang perlu untuk membangun suatu media daring yang dapat mengoptimalkan koordinasi dan komunikasi kerja BKPRN serta meningkatkan pelayanan dan komunikasi publik. Media daring ini yang kemudian disebut e-BKPRN.

Konsep dari e-BKPRN ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama adalah sistem komunikasi internal atau yang disebut sebagai e-Office. e-Office ini akan memfasilitasi sistem informasi persuratan, persidangan, dan informasi lainnya yang perlu dibagi (shared) ke setiap unit dalam organisasi BKPRN. Mekanismenya sederhana, yaitu dengan menggunakan sistem folder bersama. Setiap unit organisasi BKPRN mengunggah dokumen yang ingin dibagi ke unit lain ke folder tersebut, dengan demikian unit lain dapat mengakses dokumen tersebut dengan menggunakan password masing-masing untuk menjamin keamanannya. Kumpulan dokumen internal yang telah diunggah oleh unit organisasi BKPRN kemudian dipilah berdasarkan kelayakannya untuk dikonsumsi oleh publik. Informasi yang dinilai layak dikonsumsi oleh publik akan dimuat ke dalam portal eksternal yang disebut sebagai e-Public Relation atau eHumas. E-BKPRN ini dapat diakses di http://e.bkprn.org [kr].

...akan mengurangi hambatan-hambatan

dalam berkoordinasi, mempercepat diseminasi

data dan informasi...

Page 32: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 30

Status Penyelesaian Peraturan Daerah RTRWP

Proses Revisi

Proses Persetujuan Substansi

B1 : Proses Persetujuan Substansi Teknis PU

B2 : Proses Persetujuan Substansi Kehutanan

Memperoleh Persetujuan Substansi

C1 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri PU

C2 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri Kehutanan

Pembahasan DPRD

Evaluasi di Kementerian Dalam Negeri

Penetapan Perda RTRW

Sekretariat BKPRN, 20 Maret 2012 [mc]

No. Provinsi A B C

D E F B1 B2 C1 C2

1. NAD 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Bengkulu 7. Sumatera Selatan 8. Lampung 9. Kep. Riau

10. Kep. Bangka Belitung 11. DKI Jakarta 12. Banten 13. Jawa Barat 14. Jawa Tengah 15. DI Yogyakarta 16. Jawa Timur 17. Bali 18. Kalimantan Barat 19. Kalimantan Tengah 20. Kalimantan Selatan 21. Kalimantan Timur 22. Sulawesi Utara 23. Sulawesi Tengah 24. Sulawesi Selatan 25. Sulawesi Tenggara 26. Sulawesi Barat 27. Gorontalo 28. Nusa Tenggara Barat 29. Nusa Tenggara Timur 30. Maluku 31. Maluku Utara 32. Papua Barat 33. Papua JUMLAH 33 33 33 33 17 17 14 15

A

B

C

D

E

F

Sekretariat BKPRN kembali membuat sejarah. Terhitung per tanggal 14 Maret 2013 Sekretariat BKPRN secara resmi memiliki sebuah pedoman tata kerja kesekretariatan. Ide penyusunan pedoman sebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan sudah ditetapkan menjadi salah satu agenda BKPRN melalui Rakernas BKPRN di Manado pada 2011 lalu. Setelah melalui proses pembahasan di semua tingkatan BKPRN dan proses legalisasi yang cukup memakn waktu, akhirnya pedoman ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas selaku Sekretaris BKPRN Nomor Kep. 46/M.PPN/HK/03/2013. ‘Jika mau profesional, BKPRN harus punya SOP dan SOP ini harus diterapkan secara konsekuen’ ujar Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas selaku Kepala Sekretariat BKPRN.

Secara garis besarnya, pedoman ini secara teknis mengatur mengenai beberapa kegiatan kesekretariatan BKPRN, meliputi pengaturan sidang menteri BKPRN, mekanisme rapat koordinasi unit organisasi BKPRN termasuk rapat kerja nasional dan regional, tata cara persuratan, alur dan penyusunan laporan, penataan dokumentasi, sistem informasi dan kehumasan.

Ada beberapa prinsip yang mendasari tata kerja sekretariat BKPRN ini. Pertama adalah prinsip subsidiarity. Artinya, pengambilan keputusan sedapat mungkin berada pada jenjang organisasi terendah. Hal ini untuk menghindari terjadinya bottleneck keputusan di tingkat pimpinan. Selain itu, prinsip subsidiarity ini bertujuan untuk menyaring isu-isu yang masuk ke BKPRN sehingga hanya yang sifatnya strategis yang dibahas dalam sidang tingkat menteri. ‘Isu-isu teknis sebaiknya selesai di tingkat pokja atau tim pelaksana’, kepala Sekretariat BKPRN menambahkan. Prinsip kedua adalh musyawarah dan mufakat. Karena BKPRN adalah badan yang lintas kementerian/lembaga, pedoman ini mengedepankan prinsip musyawarah dan mufakat dalam setiap pengambilan keputusannya. Namun, mengedepankan musyawarah dan mufakat bukan berarti mentolerir terjadinya pengambilan keputusan yang berlarut-larut. Setiap pertemuan atau rapat harus jelas tujuan dan keluarannya dan dibatasi jumlahnya. Ini untuk menjamin efektivitas dan efisiensi yang menjadi prinsip ketiga dari tata kerja ini. Sebagaimana disebutkan di atas, BKPRN adalah organisasi lintas kementerian/lembaga. Oleh karena itu, prinsip keempat tertib organisasi menjadi dasar penting dalam tata kerja ini. Artinya, tata kerja ini dirancang berdasarkan struktur organisasi BKPRN dan disesuaikan dengan kewenangan dan tupoksi masing-masing kementerian/lembaga yang menjadi anggotanya. Prinsip yang terakhir adalah tata kelola yang baik dengan mengadopsi pilar-pilar akuntabilitas, keterbukaan informasi dan partisipasi dari semua stakeholders dalam tata kerja sekretariat BKPRN.

Dengan menerapkan kelima prinsip tersebut BKPRN sekarang mempunyai mekanisme dan jadwal yang baku dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai contoh, jika dulu kurang ada keterkaitan yang kuat antara raker nasional, raker regional, dan sidang menteri, kini keterkaitan tersebut sudah diperjelas melalui pedoman tata kerja ini. Begitu juga mengenai alur informasi, termasuk alur pelaporan dan alur rapat koordinasi, semuanya diatur secara jelas di dalam pedoman ini. Jadwal umum BKPRN juga diatur sedemikian sehingga menghindari menumpuknya kegiatan di waktu tertentu.

Sebagai sekretaris BKPRN, tugas Bappenas adalah memastikan pedoman tata kerja ini diterapkan dalam business process BKPRN. Untuk memastikan hal tersebut, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan selaku penggerak Sekretariat BKPRN telah mengembangkan sebuah aplikasi berbasis internet sebagai penjabaran tata kerja ini kedalam bentuk online. Harapannya, selain tata kerja menjadi operasional, juga untuk efisiensi [kr].

Pedoman Tata Kerja Sekretariat

Page 33: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 31

B appenas sebagai institusi yang mengkoordinasikan penyusunan rencana pembangunan nasional bertanggungjawab untuk mengembangkan proses

perencanaan yang baik, meningkatkan kapasitas dan kemampuan perencanaan yang baik dan yang pada akhirnya akan menghasilkan produk rencana yang baik pula. Dalam kerangka tersebut Menteri PPN/Kepala Bappenas atas nama Pemerintah sejak tahun 2011 memberikan tanda penghargaan tertinggi kepada daerah yang telah berhasil menyusun dokumen rencana pembangunan secara baik serta melahirkan inovasi-inovasi serta terobosan-terobosan dalam proses perencanaannya. Penghargaan tersebut dinamakan “Anugerah Pangripta Nusantara”.

Trofi Anugerah Pangripta Nusantara memiliki arti Anugerah Perencanaan Pembangunan Terbaik di Tingkat Nasional. Tujuan pemberian Anugerah Pangripta Nusantara adalah (i) mendorong setiap daerah untuk menyusun dokumen rencana pembangunan secara lebih baik, konsisten, komprehensif, terukur dan dapat dilaksanakan; (ii) menciptakan inovasi yang memperkuat terciptanya perencanaan yang bermutu, serta (iii) sekaligus menciptakan insentif bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan perencanaan yang lebih baik dan berkualitas.

Penilaian di tahun 2013 dilaksanakan terhadap RKPD provinsi Tahun 2013 yang seluruhnya dilakukan oleh Tim Penilai Pusat; dan untuk pertama kali, pemberian Anugerah Pangripta Nusantara juga

diberikan kepada pemerintah Kabupaten/Kota dengan perencanaan RKPD terbaik. Pemerintah Provinsi sebagai wakil Pemerintah melaksanakan penilaian seluruh Kabupaten/Kota yang berada di wilayah masing-masing, untuk mendapatkan nominasi satu kabupaten/kota terbaik untuk diajukan ke tingkat nasional. Seleksi selanjutnya untuk

penetapan Kabupaten/Kota di tingkat nasional dilaksanakan oleh Tim Penilai Pusat.

Tim Penyelenggara melibatkan Tim Penilai Independen untuk melaksanakan seluruh penilaian. Tim Penilai Independen beranggotakan para ahli dari berbagai latar belakang ilmu dan profesi.

Penilaian dilaksanakan melalui tiga tahap dengan kriteria sebagai berikut: 1. Penilaian Tahap I, yaitu penilaian terhadap dokumen Rencana

Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang telah disusun dengan kriteria: (1) Keterkaitan; (2) Konsistensi; (3) Kelengkapan dan kedalaman; dan (4) Keterukuran.

2. Penilaian Tahap II, yaitu penilaian terhadap proses perencanaan, dengan melaksanakan cek dan klarifikasi di daerah kepada semua stakeholders yang seyogyanya terlibat dalam proses perencanaan, menggunakan kriteria: (1) Proses Perencanaan Dari Bawah (bottom-up); (2) Proses Perencanaan Dari Atas (top-down); (3) Proses Perencanaan Teknokratik; dan (4) Proses Perencanaan Politik.

3. Penilaian Tahap III, yaitu penilaian dan klarifikasi terhadap Kepala Bappeda sebagai kepala tim perencanaan di daerah, melalui presentasi dan wawancara.

Pangripta Nusantara tahun 2013 me-recognise kapasitas perencana di tingkat provinsi dalam menyusun perencanaan, dengan membagi wilayah provinsi ke dalam: Kelompok A, yaitu daerah dengan kriteria sumber daya cukup

besar untuk menyusun perencanaan pembangunan yang berkualitas.

Kelompok B, yaitu daerah dengan kriteria sumber daya belum optimal namun mempunyai kemampuan potensial untuk menyusun perencanaan pembangunan yang berkualitas.

Penghargaan Pangripta Nusantara tahun 2013 diberikan ke dalam: Pangripta Nusantara Utama, diberikan kepada daerah dengan

hasil perencanaan terbaik. Pangripta Nusantara Pratama, diberikan kepada daerah dengan

hasil perencanaan baik.

Adapun klasifikasi pembagian pemenang untuk tingkat kabupaten/kota mengikuti pembagian kelompok di tingkat provinsi, dengan memperhatikan tugas Provinsi sebagai wakil Pemerintah dalam koordinasi perencanaan seluruh kabupaten/kota, untuk mendorong kualitas perencanaan di tingkat kabupaten/kota [as].

...mendorong setiap daerah untuk menyusun

dokumen rencana pembangunan secara

lebih baik, konsisten, komprehensif, terukur dan

dapat dilaksanakan.

Anugerah Pangripta Nusantara Tahun 2013

UTAMA PRATAMA

KELOMPOK A

Terbaik I Prov. Jawa Barat Prov. Jawa Timur

Terbaik II Prov. DI Yogyakarta Prov. DKI Jakarta

Terbaik III Prov. Jawa Tengah Prov. Bali

Terbaik I Prov. Sumatera Barat Prov. Sumatera Selatan

Terbaik II Prov. Kepulauan Riau Prov. Kep. Bangka Belitung

Terbaik III Prov. N T B Prov. Aceh

KELOMPOK B

Pemenang Anugerah Pangripta Nusantara 2013 Tingkat Provinsi

UTAMA PRATAMA

KELOMPOK A

Terbaik I Kab. Deli Serdang Kabupaten Bekasi

Terbaik II Kab. Kepulauan Talaud Kabupaten Badung

Terbaik III Kab. Gunungkidul Kota Cilegon

Terbaik I Kab. Sarolangun Kab. Bengkulu Selatan

Terbaik II Kab. Karimun Kab. Maluku Tengah

Terbaik III Kota Baubau Kab. Pidie Jaya

KELOMPOK B

Pemenang Anugerah Pangripta Nusantara 2013 Tingkat Kab/Kota

Page 34: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 32

S alah satu bagian penting dari penyelenggaraan Musrenbangnas 2013 adalah Pameran Perencanaan Pembangunan 2013 dengan tema ‘Mewujudkan Indonesia

Sejahtera: Entaskan Kemiskinan’ dalam rangka mendukung perencanaan pembangunan nasional, sesuai dengan arahan Bapak Presiden RI. Pameran diselenggarakan pada tanggal 29-30 April 2013 dan diikuti oleh 33 peserta dari K/L, pemerintahan Provinsi, BUMN dan pelaku UMKM. Pameran dibuka oleh Bapak Wakil Menteri PPN/Wakil Kepala Bappenas pada hari pertama dan ditinjau oleh Bapak Presiden RI pada hari kedua.

Dalam penyelenggaraan pameran disusun jalan cerita (storyline) yang bertujuan agar peserta pameran dapat melihat pameran secara terstruktur. Pameran dimulai dengan penjelasan umum dari Kementerian PPN/Bappenas yang disampaikan dalam bentuk jalan cerita grafis. Peserta dibagi berdasarkan Kelompok Integrasi, yaitu empat klaster program pengentasan kemiskinan (23 peserta) dan Kelompok Pembelajaran (10 peserta). Di samping itu, pameran juga dilengkapi dengan zona data dan informasi yang menampilkan data base dan publikasi dari TNP2K, Simpadu, P3BM dan informasi beasiswa dari Bappenas. Di akhir pameran Bappenas kembali menjelaskan apa yang dapat ditawarkan dari Indonesia untuk program pengentasan kemiskinan di negara lain serta transformasi berbagai program nasional di masa yang akan datang.

Dalam pameran tahun ini, dilaksanakan juga Diskusi Interaktif yang dilaksanakan melalui kolaborasi dengan TNP2K, yang menghadirkan narasumber, baik dari unsur pemerintah, universitas dan lembaga riset serta swasta yang telah berkontribusi aktif dalam pengentasan kemiskinan [as].

Pameran Perencanaan Pembangunan 2013

T anah merupakan kekayaan alam yang harus dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Namun pada kenyataannya, masih

banyak permasalahan di bidang pertanahan yang lebih jauh dapat berimplikasi pada kondisi sosial, ekonomi, politik, dan pertahanan keamanan sehingga pada akhirnya belum bisa memberi kesejahteraan pada masyarakat.

Sesuai arahan Menteri PPN/Kepala Bappenas untuk melakukan kajian cepat (rapid assessment) menanggapi banyaknya permasalahan bidang pertanahan tersebut, selanjutnya ditemukenali beberapa akar permasalahan maupun rencana intervensi kebijakan yang kelak akan digunakan sebagai bagian dari upaya perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional atau yang lebih dikenal dengan istilah reforma agraria dalam artian luas.

Intervensi kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan hanya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) selaku lembaga negara yang menangani bidang pertanahan karena terbatasnya kewenangan BPN sehingga diperlukan sebuah koordinasi strategis dengan stakeholder terkait. Berkenaan dengan fungsi koordinasi, Kementerian PPN/Bappenas memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan koordinasi dan sinkronisasi dalam perbaikan sistem pengelolaan pertanahan yang melibatkan sektor-sektor terkait.

Berdasarkan kebutuhan tersebut, sebagai upaya inisiasi maka dibentuk Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional melalui Surat Keputusan Menteri PPN/Bappenas Nomor Kep.55/M.PPN/HK/03/2013 tanggal 28 Maret 2013. Secara umum tim ini memiliki tugas untuk mengkoordinasikan tim pelaksana dalam upaya

memperbaiki sistem pengelolaan pertanahan nasional yang pada permulaan di tahun 2013 ini terdiri dari beberapa sektor utama terkait seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Kehutanan dan Bappenas. Beberapa intervensi kebijakan yang perlu dilakukan meliputi: (i) Perubahan kebijakan pendaftaran tanah dari Stelsel Negatif menjadi Stelsel Positif; (ii) Pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan; (iii) Kebijakan Pembentukan Bank Tanah; (iv) Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform; serta (v) Kebijakan Perbaikan Proporsi Sumber Daya Manusia (SDM) Bidang Pertanahan.

Sebagai langkah awal sebagaimana fungsinya sebagai koodinator, tim koordinasi telah melakukan sosialisasi Pembentukan Sekretariat Reforma Agrarian Nasional kepada pihak terkait pada bulan Maret 2013. Selain itu, untuk tahun 2013 Tim Koordinasi akan melaksanakan beberapa kegiatan antara lain: (i) Penyusunan draf panduan (TOR-Term of Reference) Redistribusi dan Access Reform, TOR Pembentukan Pengadilan Pertanahan, TOR Pembentukan Bank Tanah, dan TOR Pilot Project Sertipikasi Hutan. Kesemuanya akan dilakukan pembahasan lebih lanjut untuk finalisasi. Selain itu akan dilakukan pembuatan peta cakupan peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah yang bersertifikat. Tim juga akan melakukan koordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terkait dengan pelaksanaan sertipikasi tanah transmigrasi dan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur berkenaan dengan rencana Program Agraria Daerah (PRODA). [hi/gt/dc/es/ik/rn].

Peluncuran Sekretariat Reforma Agraria Nasional Tahun 2013

Wakil Menteri PPN sedang memberi penjelasan tema pameran kepada Bapak Presiden dan Wakil Presiden

Page 35: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Buletin Tata Ruang & Pertanahan 33

Bapak Deddy Koespramoedyo, atau akrab disapa Pak Deddy, lahir di Trusmi, Cirebon pada 31 Mei 1956. Selama dua puluh tujuh tahun bekerja, beliau pernah memegang beberapa jabatan struktural di Bappenas. Jabatan pertama beliau adalah Kepala Sub-Bagian

Pembangunan Kawasan Timur II yang dijabat sejak Juli 1994 selama kurang lebih dua tahun. Pada tahun 1996, beliau diangkat sebagai pejabat sementara Kepala Bagian Pembangunan Wilayah Timur I sampai dengan tahun 2000. Dalam tiga tahun setelahnya, Pak Deddy

sempat beberapa kali memegang jabatan setingkat Eselon III sebelum diangkat menjadi Direktur Otonomi Daerah pada tahun 2004. Tiga tahun menangani otonomi daerah, Pak Deddy kembali bertukar jabatan menjadi Direktur Tata Ruang dan Pertanahan sejak November 2007

hingga akhir hayatnya.

Semasa hidupnya, Pak Deddy dikenal sebagai sosok yang penuh semangat dalam bekerja. “Jangan mudah mutung” . Inilah kalimat yang pernah diucapkan Pak Deddy yang sekaligus menjadi pesan buat kami di Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan. Ucapan tersebut jelas tercermin dalam perilaku beliau sehari-hari selaku Direktur yang berusaha memberi contoh bagi semua stafnya. Mengingat kompleksitas

pekerjaan yang dihadapi, prinsip ‘jangan mudah mutung’ ini terlihat cukup ampuh menjawab tantangan pekerjaan yang ada, dalam kondisi tersulit sekalipun. Upaya beliau untuk mempertemukan para pihak untuk mencapai kesepahaman patut kita acungkan jempol. Inisiatif terakhir beliau adalah mempertemukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait isu dualisme penataan ruang

kelautan.

Pak Deddy juga dikenal banyak orang sebagai pribadi yang cepat akrab dengan siapapun, sudah barang tentu dengan seluruh stafnya. Pengakuan seperti ‘senang kerja dengan Pak Deddy’, ‘gak pernah marah’, dan ‘enak diajak ngobrol’ menjadi bukti betapa beliau disenangi

banyak orang. Ini juga yang membuat orang banyak kehilangan setelah kepergian beliau. Dari pengalaman tugas terakhir menyelenggarakan pameran perencanaan pembangunan dalam Musrenbangnas 2013 misalnya, salah seorang peserta pameran yang baru mengenal beliau

dalam pameran tersebut turut haru dengan mata berkaca-kaca saat mendengar berita kepergian beliau untuk selamanya.

Sebagai penggemar sepak bola, Pak Deddy punya klub favorit, Manchester United (MU). Selain setia mengikuti hampir semua pertandingan MU, mengoleksi beberapa aksesoris MU, beliau juga mencatatkan dirinya sebagai anggota klub penggemar tim yang berjuluk si Setan Merah.

Sewaktu pemakaman, terlihat beberapa perwakilan MU fans club hadir memberikan doa dan penghormatan terakhir.

Sisi lain yang sudah banyak diketahui orang adalah sisi religiusitas Pak Deddy. Walaupun ini adalah hak-Nya untuk menilai, kami yakin dan berdoa semoga ibadah beliau diterima di sisi-Nya.

Selamat jalan Pak Deddy, semoga Bapak tenang di alam barzakh dan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Amiin ya rabbal’alamin. [kr].

Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc

in memoriam

Page 36: Buletin TRP Edisi I Tahun 2013

Runa Tarna