Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Edisi 1 Tahun 2015

32
Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pembangunan Kawasan Perbatasan sebagai Prioritas RPJMN 2015 - 2019 Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan 2015 – 2019 Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/Bappenas Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana Kajian Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas Internalisasi Nawacita: Membangun Kawasan Perbatasan dalam perspektif Tata Ruang dan Pertanahan Ir. Budi Situmorang, MURP Direktur Tata Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang Entikong: gerbang terdepan perbatasan Indonesia Melihat dari Dekat edisi I tahun 2015

description

Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pembangunan Kawasan Perbatasan sebagai Prioritas RPJMN 2015-2019

Transcript of Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Edisi 1 Tahun 2015

Page 1: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan42

Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pembangunan Kawasan Perbatasan sebagai Prioritas RPJMN 2015 - 2019

Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan 2015 – 2019Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi

Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/Bappenas

Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko BencanaKajian Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas

Internalisasi Nawacita: Membangun Kawasan Perbatasan dalam perspektif Tata Ruang dan PertanahanIr. Budi Situmorang, MURP

Direktur Tata Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang

Entikong: gerbang terdepan perbatasan IndonesiaMelihat dari Dekat

edis

i I ta

hun

2015

Page 2: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

Tidak terasa kita berjumpa kembali. Pada kesempatan pertama kami Keluarga Besar Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas menyampaikan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Pada edisi ini, kami menyajikan tema Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pembangunan Kawasan Perbatasan sebagai Prioritas RPJMN 2015-2019. Ada apa dengan kawasan perbatasan?. Tentu saja perhatian terhadap kawasan perbatasan bukan tanpa alasan. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu agenda prioritas yang tercantum dalam Nawacita adalah “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Dalam konteks inilah kemudian kawasan perbatasan dimaknai sebagai salah satu daerah pinggiran. Namun yang lebih penting lagi adalah adanya keinginan pemerintahan saat ini menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan atau bagian dari etalase Indonesia.

Untuk mewujudkan agenda maupun keinginan pemerintah tersebut, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah melakukan pembenahan terhadap kondisi tata ruang dan pertanahan kawasan perbatasan. Untuk meningkatkan pemahaman dan wawasan kita, Buletin TRP kali ini mengetengahkan beragam materi mulai dari wawancara dengan Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Bappenas yang selama ini mengawal pembangunan kawasan perbatasan, tulisan dari Direktur Tata Ruang Wilayah Nasional Kementerian ATR/BPN yang banyak membahas RPJMN, dan dilengkapi dengan melihat dari dekat salah satu kawasan perbatasan yang sudah sangat dikenal yaitu Entikong. Selain itu, disajikan pula Peraturan Presiden terkait RTR Kawasan Perbatasan di Provinsi NTT sebagai contoh pengaturan tata ruang kawasan perbatasan. Tidak lupa juga disertakan ringkasan buku terkait Pengembangan Kawasan Perbatasan.

Diharapkan sajian kali ini dapat menambah khasanah pengetahuan pembaca terhadap pentingnya pembangunan kawasan perbatasan dan tentunya peran tata ruang dan pertanahan dalam pembangunan kawasan perbatasan.

Akhir kata, kami selalu menantikan kritik dan saran dari para pembaca demi peningkatan kualitas Buletin TRP.

Selamat membaca. Salam

dari redaksiPelindungDeputi Bidang Pengembangan Regional dan

Otonomi Daerah

Penanggung JawabDirektur Tata Ruang dan Pertanahan

Pemimpin RedaksiSanti Yulianti

Dewan RedaksiMia Amalia

Uke M. HusseinNana Apriyana

Rinella Tambunan

EditorGina PuspitasariRini Aditya Dewi

RedaksiHernydawatiAswicaksana

Raffli NoorElmy Yasinta Ciptadi

Idham KhalikCindie RanotraRiani Nurjanah

Aulia Oktriana LafiadjiZaharatul HasanahMeddy ChandraGita Nurrahmi

Fadiah Adlina UlfaReza Nur Irhamsyah

Edi Setiawan

Desain & Tata LetakDodi Rahadian

Indra Ade Saputra

Distribusi & AdministrasiSylvia Krisnawati

Redha SofiyaPratiwi Khoiriyah

Alamat RedaksiDirektorat Tata Ruang dan

Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas

Jl. Taman Suropati No. 2Gedung Madiun Lt. 3

Jakarta 10310telp: 021 - 392 66 01

email: [email protected]: www.trp.or.id

portal: www.tataruangpertanahan.comfacebook: trp.bappenas

Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar, Isi berkaitan dengan penataan ruang dan pertanahan dan belum pernah dipublikasikan.

Panjang naskah tidak dibatasi.Sertakan identitas diri, Redaksi berhak

mengeditnya.Silakan kirim ke alamat di atas

Page 3: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 1

edis

i I ta

hun

2015

Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pembangunan Kawasan Perbatasan sebagai Prioritas RPJMN 2015 - 2019

Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan 2015 – 2019Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/Bappenas

Penyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Perspektif Pengurangan Resiko Bencana: Materi Teknis Revisi Pedoman

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai Rencana Induk Pembangunan: Lesson Learned dari Pelaksanaan RPJMN 2010-2014 Ir. Budi Situmorang, MURPDirektur Tata Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional

Entikong: gerbang terdepan perbatasan IndonesiaMelihat dari Dekat

daftar isi

koordinasi trp

sosialisasi peraturan

dalam berita

ringkas buku

1

13

20

22

27

2

15

7

19

daftar isi

Page 4: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan2

Pembangunan kawasan perbatasan harus memenuhi prinsip sustainability, prosperity, dan security. Bagaimana strategi memenuhi prinsip tersebut?

Pertama, prosperity atau kesejahteraan masyarakat perbatasan. Ini dilakukan dengan mengorientasikan agar seluruh upaya pembangunan perbatasan ditujukan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan lapangan kerja masyarakat, memberikan pelayanan sosial dasar masyarakat perbatasan, dan berkembangnya budaya dan kekerabatan masyarakat kedua Negara di perbatasan.

Kedua, prinsip security atau pertahanan dan keamanan perbatasan, dilaksanakan dengan meningkatkan intensitas dan kualitas patroli pengamanan perbatasan di darat dan laut termasuk menambah jumlah personil petugas pengamanan, meningkatkan kualitas pos-pos pengamanan perbatasan (pamtas), penegasan dan perapatan tanda batas darat, sosialisasi tanda batas laut bagi nelayan dan masyarakat penghuni pulau terluar. Prinsip terakhir adalah sustainability (keberlanjutan lingkungan). Mengingat kawasan perbatasan pada umumnya masih terjalin keseimbangan lingkungan antara kehidupan masyarakat dengan lingkungan sekitarnya, maka setiap rencana pembangunan infrastruktur, pelaksanaan investasi ekonomi, dan pelayanan dasar baik di hulu maupun hilir harus mempertimbangkan dan memperhitungkan tata kelola lingkungan kawasan sekitar, baik kawasan hutan lindung, lingkungan budidaya, dan lingkungan permukiman.

ISU DAN PERMASALAHAN KAWASAN PERBATASAN

RPJMN 2015 – 2019 telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015. Terkait dengan kawasan perbatasan, apa isu dan permasalahan di kawasan perbatasan yang ingin dijawab/diselesaikan dalam RPJMN 2015 – 2019?

1. Keterisolasian kawasan perbatasan negara merupakan isu utama perbatasan, karena keterbatasan infrastruktur dasar wilayah, yaitu transportasi, energi (listrik dan BBM), komunikasi dan informasi, menyebabkan lambannya pertumbuhan ekonomi, dan minimnya pelayanan sosial dasar, khususnya pendidikan dan kesehatan. Keterisolasian kawasan perbatasan negara, terutama terhadap 737 desa di 187 kecamatan terdepan/terluar merupakan masalah utama kawasan perbatasan sebagai akar penyebab tidak sejahteranya masyarakat perbatasan.

Keterisolasian ini menyebabkan masyarakat perbatasan menjadi bergantung kebutuhan pokoknya terhadap negara tetangga terutama perbatasan RI-Malaysia. Tidak adanya akses jalan menjadi kendala PLN untuk memasang instalasi energi di desa-desa di perbatasan. Sebagai contoh, sumber energi perbatasan Kalimantan juga masih dipasok dari negara tetangga Malaysia,

yang menunjukkan kedaulatan energi di perbatasan masih rendah.

Dari aspek telekomunikasi dan informasi juga masih mengalami krisis kedaulatan. Frekuensi termonitor di Entikong (kabupaten Sanggau) untuk siaran radio dan televisi hanya ada 3 (tiga) lembaga penyiaran Indonesia, sedangkan Malaysia ada 45 lembaga penyiaran. Minimnya akses transportasi ini juga menjadi kendala dalam pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, karena masyarakat harus berjalan kaki cukup jauh;

2. Belum efektifnya pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di perbatasan. Ditargetkan 10 (sepuluh) PKSN yang akan dipercepat perkembangannya yaitu: Paloh-Aruk (kab Sambas), Entikong (kab Sanggau), Nanga Badau (kab Kapuas Hulu), Atambua (kab Belu), Jayapura (Kota Jayapura) untuk wilayah daratan; Sabang (kota Sabang), Ranai (kab Natuna), Tahuna (kab Sangihe), dan Saumlaki (kab Maluku Tenggara Barat) untuk wilayah kepulauan;

3. Masih terdapat segmen batas wilayah negara Indonesia dengan negara tetangga yang belum disepakati (overlapping claim areas), yaitu 10 outstanding border problem (OBP) di perbatasan darat Kalimantan-Serawah dan Sabah, dan 3 (tiga) unresolved di perbatasan darat NTT-RDTL;

waw

anca

ra

Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan 2015 – 2019Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSiDirektur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/Bappenas

Kawasan Perbatasan sebagai pintu gerbang negara yang berbatasan langsung dengan negara tetangga memiliki peran dan posisi yang sangat strategis. Faktanya, masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi dan dilakukan untuk mewujudkan kawasan perbatasan sebagai

halaman depan negara yang berdaulat, berdaya saing, dan aman, sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2015 – 2019. Untuk itu, redaksi mewawancarai Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal – Bappenas, Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi, untuk mengupas lebih dalam kebijakan pembangunan kawasan perbatasan 2015 – 2019. Berikut hasil wawancara redaksi.

Sumber: Dokumentasi Direktorat TRP, Bappenas

Page 5: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 3

4. Pengamanan dan pengelolaan batas wilayah laut, darat, dan udara di kawasan perbatasan negara belum optimal, sehingga masih banyak terdapat aktivitas ilegal di wilayah perbatasan Indonesia. Terkait pengamanan ini, sarana dan prasarana pengamanan kita masih minim fasilitas terutama pos pamtas, sarana pengawasan patok batas dan pelintas batas ilegal, serta sarana patroli pengawasan laut yang masih rendah kapasitas kapalnya;

5. Pengelolaan perbatasan negara belum terintegrasi antarprogram, antarK/L, sehingga pembangunan perbatasan masih dominan dengan pendekatan parsial/sektoral atau masih jalan sendiri-sendiri antarK/L. Belum optimalnya upaya integrasi menjadi tantangan tersendiri bagi BNPP untuk semakin memperkuat instrumen integrasi melalui Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara tahun 2015-2019 dan semakin mengefektifkan mekanisme koordinasi antarK/L untuk mengintegrasikan program masing-masing K/L.

Apa penyebab keterisolasian kawasan perbatasan negara belum dapat terselesaikan hingga tahun 2014 lalu?

Penyebab keterisolasian perbatasan, terutama keterisolasian terhadap aspek transportasi di darat, adalah minimnya jalan yang dibangun untuk membuka akses kampung, desa di dalam kecamatan lokasi prioritas (LOKPRI). Disamping itu, tidak terkoneksinya antara jalan strategis nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten menuju kecamatan Lokpri tersebut. Jalan yang menuju kampung, desa pada umumnya merupakan jalan non status, dan jalan ini tidak ada yang memiliki kewenangan untuk membangunnya, karena Kementerian PU-Pera hanya memiliki kewenangan membangun jalan strategis dan jalan nasional. Hal ini perlu segera dicarikan solusi siapa yang berwenang membangun jalan non status ini. Terlebih sekarang UU 23/2014 mengamanatkan bahwa pemerintah wajib membangun infrastruktur di perbatasan negara. Demikian halnya untuk transportasi di pulau-pulau kecil, transportasi perintis disamping frekuensinya masih kurang juga kapal perintis hanya melayani sampai kota kabupaten, sedangkan yang melayani dari kota kabupaten ke pulau-pulau kecil di sekitarnya tidak ada, Jikapun diusahakan dari Pemda akan terkendala oleh minimnya anggaran untuk pengadaan kapal tersebut.

Perihal konflik perbatasan negara, bagaimana kondisinya atau peningkatan penyelesaian konflik tersebut hingga akhir 2014?

Konflik di perbatasan yang masih sering terjadi di perbatasan negara adalah antara NTT dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Konflik ini terjadi berkaitan dengan hak atas tanah antara masyarakat kedua negara. Akar penyebabnya adalah belum jelasnya beberapa segmen batas negara dan ketidakpahaman batas negara oleh masyarakat.

NAWACITA JOKOWI – JK DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN

Terdapat 9 (sembilan) agenda prioritas Jokowi – JK atau yang disebut Nawacita. Agenda ke berapa Nawacita yang mendorong pembangunan perbatasan serta berupaya mengatasi permasalahan di kawasan perbatasan?

Pembangunan kawasan perbatasan tertuang dalam Nawacita ketiga, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Ini ditunjang juga dengan Nawacita keenam dan ketujuh, yaitu meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional dan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik.

Dalam sebuah berita media cetak, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa akan menjadikan kawasan perbatasan sebagai bagian dari etalase Indonesia. Bagaimana RPJMN 2015 – 2019 menerjemahkan hal tersebut ?

Percepatan pengembangan kawasan perbatasan menjadi beranda depan negara ditempuh melalui strategi pembangunan yang tertuang dalam RPJMN yaitu: (1) pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan negara; (2) pembangunan sumberdaya manusia (SDM) yang handal; (3) pembangunan konektivitas simpul transportasi utama pusat kegiatan strategis nasional dengan desa-desa di kecamatan lokasi prioritas perbatasan dan kecamatan sekitarnya; (4) melakukan transformasi kelembagaan lintas batas negara, yaitu Custom, Immigration, Quarantine, Security (CIQS) sesuai dengan standar internasional dalam suatu sistem pengelolaan yang terpadu; (5) peningkatan kualitas dan kuantitas, serta standarisasi sarana-

Sumber: Dokumentasi Direktorat TRP, Bappenas

Page 6: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan4

prasarana pertahanan dan pengamanan perbatasan laut dan darat, serta melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengamankan batas dan kedaulatan negara; (6) penegasan batas wilayah negara di darat dan laut melalui pra-investigation, refixation, maintanance (IRM); (7) percepat penyelesaian status kewarganegaraan pelintas batas; (8) peningkatan arus perdagangan ekspor-impor di perbatasan, kerjasama perdagangan, kerjasama sosial-budaya, dan kerjasama pertahanan dan keamanan batas wilayah dengan negara tetangga; dan (9) penerapan kebijakan desentralisasi asimetris untuk kawasan perbatasan negara dalam memberikan pelayanan publik dan distribusi keuangan negara.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERBATASAN DALAM RPJMN 2015-2019

Secara singkat apa tujuan/visi yang ingin dicapai dari pengembangan kawasan perbatasan dalam RPJMN 2015 – 2019?

Sasaran yang ingin dicapai yang termuat dalam RPJMN 2015-2019 adalah: (1) berkembangnya 10 (sepuluh) PKSN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, simpul utama transportasi wilayah, pintu gerbang internasional/pos pemeriksaan lintas batas kawasan perbatasan negara, dengan 16 PKSN lainnya sebagai tahap persiapan pengembangan; (2) meningkatnya efektifitas diplomasi maritim dan pertahanan, dan penyelesaian batas wilayah negara dengan 10 (sepuluh) negara tetangga di kawasan perbatasan laut dan darat, serta meredam rivalitas maritim dan sengketa teritorial; (3) menghilangnya aktivitas illegal fishing, illegal logging, human trafficking, dan kegiatan ilegal lainnya, termasuk mengamankan sumberdaya maritim dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE); (4) meningkatnya keamanan dan kesejahteran masyarakat perbatasan, termasuk di 92 pulau-pulau kecil terluar/terdepan; dan (5) meningkatnya kerjasama dan pengelolaan perdagangan perbatasan dengan negara tetangga, ditandai dengan meningkatnya perdagangan ekspor-impor di perbatasan, dan menurunnya kegiatan perdagangan ilegal di perbatasan.

Apa arah kebijakan dan strategi yang dilakukan untuk mempercepat pengembangan kawasan perbatasan, serta mengatasi berbagai masalah yang ada?

Pengembangan kawasan perbatasan negara yang selama ini dianggap sebagai pinggiran negara, diarahkan dalam RPJMN 2015-2019 menjadi halaman depan negara yang berdaulat, berdaya saing, dan aman. Pendekatan pembangunan kawasan perbatasan terdiri: (i) pendekatan keamanan (security approach), dan (ii) pendekatan peningkatan

kesejahteraan masyarakat (prosperity approach), yang difokuskan pada 10 (sepuluh) Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dan 187 Kecamatan Lokasi Prioritas (Lokpri) di 41 Kabupaten/Kota dan 13 Provinsi .

Dalam sasaran pembangunan kewilayahan dan antarwilayah, pengembangan kawasan perbatasan dilakukan salahsatunya melalui pengembangan pusat ekonomi perbatasan (Pusat Kegiatan Strategis Nasional/PKSN) di beberapa lokasi. Dimana saja lokasi tersebut, dan apa

saja kriteria untuk penentuan lokasi tersebut?

Pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di kawasan perbatasan untuk 2015-2019 terdapat di 10 (sepuluh) lokasi dan 16 lokasi persiapan pengembangan yang ditetapkan sesuai dengan kriteria PKSN dalam UU 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yaitu (a) pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas dengan negara tetangga; (b) pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan dengan negara tetangga; (c) pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya; dan/atau (d) pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan di sekitarnya.

Adakah skema percepatan pembangunan, terutama kawasan perbatasan?

Skema percepatan pembangunan di kawasan perbatasan dilaksanakan dengan memadukan pengembangan PKSN sebagai pusat pertumbuhan dengan lokpri-lokpri sekitarnya sebagai hinterland.

Di dalam strategi pembangunan, akankah diterapkan kebijakan khusus dan penataan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di kawasan perbatasan? Kebijakan khusus seperti apa yang akan diterapkan?

Tidak ada kebijakan khusus pada Daerah Otonom Baru (DOB) karena kawasan perbatasan negara secara definitif yang tertuang

Sumber: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Bappenas

Prioritas Pengembangan PKSN

Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara mengunjungi Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara Sumber: www.beritadaerah.co.id

Page 7: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 5

dalam UU 23/2014 adalah kecamatan-kecamatan terluar yang berbatasan langsung dengan negara lain.

Kekhususan masalah yang terjadi di kawasan perbatasan adalah status kewarganegaraan masyarakat perbatasan? Bagaimana kondisi saat ini? Dan strategi apa yang dicanangkan untuk menyelesaikan masalah tersebut?

Kondisi status kewarganegaraan masyarakat di kawasan perbatasan banyak yang memiliki status kewarganegaraan ganda, seperti yang terjadi di Miangas dan Nunukan. Dalam menangani permasalahan tersebut, sesuai dengan strategi pembangunan yang termuat dalam RPJMN Buku I akan dipercepat penyelesaian status kewarganegaraan pelintas batas melalui identifikasi, pendataan, serta verifikasi status kewarganegaraan masyarakat perbatasan.

Dalam mendukung kebijakan dan program – program, terutama untuk pengembangan kawasan perbatasan, adakah anggaran yang dialokasikan khusus untuk kawasan perbatasan? Seperti apa? Apa skema pendanaan yang digunakan?

Tidak ada alokasi khusus dalam anggaran pembangunan kawasan perbatasan. Penganggaran dilaksanakan oleh K/L terkait dalam komponen kegiatannya yang dialokasikan di kawasan perbatasan yang kemudian dimuat dalam Rencana Aksi BNPP. BNPP sendiri akan melaksanakan filling the gap bila K/L tidak dapat melaksanakan pembangunan tetapi dengan anggaran yang terbatas.

KOORDINASI LINTAS SEKTOR

Pengembangan kawasan perbatasan bersifat lintas sektor, yaitu pendidikan, kesehatan, energi, pertanian. Dari sisi perencanaan, bagaimana mengintegrasikan sektor – sektor tersebut?

Dalam pembangunan kawasan perbatasan, tidak dapat dilakukan oleh satu sektor sehingga perlu adanya koordinasi. Pembangunan

tersebut dikoordinasikan pelaksanaannya oleh Kemenko Polhukam dan BNPP serta Bappenas sebagai koordinator perencanaan, bagi Kementerian/lembaga pemerintah non kementerian (K/LPNK) yang menjadi anggota BNPP sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Peran koordinasi lintas sektor dalam pembangunan kawasan perbatasan terbagi dalam 10 (sepuluh) sasaran yang memuat aspek kesejahteraan masyarakat dan aspek keamanan di perbatasan. Sepuluh sasaran yang dikoordinasikan, yaitu: (1) penyediaan lahan dan kebijakan tata ruang; (2) percepatan penyediaan infrastruktur dasar; (3) peningkatan nilai tambah dan daya saing produk serta penyediaan sarpras, termasuk invenstasi, ekspor-impor; (4) penyediaan pelayanan pendidikan, kesehatan dan perumahan; (5) perkuatan koordinasi kelembagaan BNPP; (6) pengembangan Customs, Immigration, Quarantine, Security (CIQS) Terpadu; (7) penyusunan regulasi dan perdagangan lintas batas negara; (8) peningkatan peran serta dalam menjaga kedaulatan megara, termasuk penegasan status warga negara; (9) peningkatan koordinasi dan peningkatan sarpras hankam batas darat dan batas laut negara; dan (10) penguatan infrastruktur diplomasi dan perundingan.

Dalam hal implementasi, adakah instrumen yang disiapkan untuk mengawal komitmen seluruh sektor membangun kawasan perbatasan? Adakah instrumen peraturan perundangan?

Dalam mengawal komitmen K/LPNK dalam membangun kawasan perbatasan, instrumen yang digunakan adalah Rencana Induk Pengelolaan Kawasan Perbatasan yang ditetapkan oleh BNPP yang wajib dijadikan pedoman oleh anggotanya. Selain itu, instrumen perundangan yang digunakan adalah UU 23 Tahun 2014 pasal 361 tentang kawasan perbatasan yang menyatakan dengan tegas bahwa pembangunan perbatasan adalah kewenangan dan kewajiban pusat sehingga mengharuskan sektor berkomitmen dalam membangun perbatasan.

Sumber: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Bappenas

Page 8: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan6

KAWASAN PERBATASAN NEGARA DALAM KONTEKS TATA RUANG

Di Bidang Tata Ruang, terdapat Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) Perbatasan. Pada akhir 2014, telah ditetapkan RTR KSN Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui Perpres No. 179 Tahun 2014. Bagaimana korelasi/integrasinya antara RTR KSN Perbatasan dengan RPJMN 2015 – 2019 terkait kawasan perbatasan?

Dalam konteks tata ruang berdasarkan PP 26 Tahun 2008 Pasal 15, kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas. Kawasan perbatasan negara meliputi kawasan perbatasan darat dan kawasan perbatasan laut termasuk pulau-pulau kecil terluar.

Pembangunan kawasan perbatasan difokuskan pada Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN). Pengembangan PKSN dimaksudkan untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kegiatan masyarakat di kawasan perbatasan, termasuk pelayanan kegiatan lintas batas antarnegara. Pengembangan PKSN dilakukan dalam kerangka sistem pusat perkotaan nasional sehingga pusat perkotaan tersebut dapat dilekati fungsi pelayanan, baik sebagai PKN, PKW, maupun PKL.

Pembangunan kawasan perbatasan dalam RPJMN 2015 -2019 mengacu pada rencana tata ruang kawasan perbatasan yang berfungsi sebagai pedoman dalam: (1) penyusunan rencana pembangunan di Kawasan Perbatasan Negara; (2) pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Perbatasan Negara; (3) perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor di Kawasan Perbatasan Negara; (4) penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi di Kawasan Perbatasan Negara; (5) penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota di Kawasan Perbatasan Negara; (6) pengelolaan Kawasan Perbatasan Negara; dan (7) perwujudan keterpaduan rencana pengembangan Kawasan Perbatasan Negara dengan kawasan sekitarnya.

Konsekuensi pasal 361 UU 23 Tahun 2014?

Pada UU 23 Tahun 2014 pasal 361 ayat 2, 3 dan 7 menyebutkan bahwa pembangunan kawasan perbatasan adalah kewenangan dan kewajiban pusat, baik dari pembangunan infrastruktur, penyusunan rencana detail tata ruang, maupun izin pemanfaatan ruangnya. Harapannya, pembangunan kawasan perbatasan dapat dilakukan dengan cepat. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah membantu pembebasan, pengamanan, dan penyediaan lahannya. Sedangkan, RDTR kawasan perbatasan yang saat ini menjadi kewenangan pemerintah pusat, ini masih perlu disusun peraturan turunannya (Peraturan Pemerintah).

CONTOH KASUS KAWASAN PERBATASAN NEGARA

Baru – baru ini, Presiden RI – Joko Widodo, mengunjungi salah satu kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia, wilayah Entikong

di Kalimantan Barat. Disampaikan bahwa beliau memastikan sendiri bahwa memang sudah lebih dari 25 tahun tidak dilakukan pembangunan di kawasan tersebut dan dari segi pelayanan, terutama fisik, kondisinya sangat jauh berbeda dengan kondisi di seberangnya, Malaysia. Bagaimana pendapat Bapak terkait hal tersebut? Bagaimana RPJMN 2015 – 2019 menjawab permasalahan tersebut?

Terkait penilaian Presiden terhadap perbatasan RI-Malaysia terutama di Entikong yang jauh berbeda dengan seberang memang demikian kenyataannya. Jalan yang bagus hanya menuju ke kota Entikong Sebatik. Selebihnya itu jalan menuju kampung-kampung dan desa di kecamatan Entikong masih banyak yang buruk kondisinya. Kebanyakan hanya jalan setapak, sedangkan jalan di negara tetangga sudah dapat mengakses ke lingkungan permukiman di samping penataan lingkungan permukiman juga sudah baik. Minimnya akses jalan ini menyebabkan minimnya pelayanan kesehatan, pendidikan, dan aktivitas ekonomi masyarakat. Untuk itu, target RPJMN pada tahun 2019 jalan non status pembuka akses ke kampung dan desa harus sudah terbuka, karena akan memberikan efek kemudahan bagi seluruh pelayanan dasar dan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Bagaimana langkah strategis penyerasian penggunaan kawasan yang sama-sama penting secara nasional, untuk konservasi lingkungan dan untuk pertahanan negara seperti di Entikong?

Langkah strategis penyerasian kawasan perbatasan untuk konservasi dan pertahanan, telah didesain oleh BNPP, yaitu pada wilayah-wilayah perbatasan yang masih berupa hutan akan dibangun “ jalan inspeksi perbatasan (JIP)”. Jalan ini dibangun oleh TNI, berupa jalan setapak selebar 1-2

meter untuk keperluan patroli jalan kaki atau pasukan berkuda. Dengan demikian patroli yang intensif di kawasan hutan ini akan meminimalkan pencurian kayu pada wilayah-wilayah batas negara yang masih terisolir.

Apa harapan Bapak untuk pembangunan kawasan perbatasan ke depan?

Dari sisi kelembagaan, perlu penguatan BNPP yang rencananya akan dilakukan revisi terhadap Perpres No. 12 Tahun 2010. Dalam Perpres tersebut perlu dikaji ulang kewenangan – kewenangan instansi yang terlibat. Selain itu, diharapkan ada perubahan pemikiran yang lebih pada koordinasi dan fasilitasi karena pengelolaan kawasan perbatasan harus dikelola secara utuh.

Kawasan perbatasan harus lebih baik dari kabupatennya. Untuk itu perlu peraturan desentralisasi afirmatif yang mendukung kawasan perbatasan. Misalnya, standar biaya umum (SBU) harus disesuaikan dengan kebutuhan di kawasan perbatasannya. Alasannya, contoh kasus pengiriman vaksin, untuk sampai ke kawasan perbatasan dengan kondisi vaksi yang baik, vaksin seharusnya dikirim dengan menggunakan pesawat untuk menyesuaikan waktu dan temperatur yang dibutuhkan oleh vaksin. Tetapi dalam praktiknya di lapangan hanya bisa menggunakan kendaraan darat karena SBU hanya mengenal transportasi darat, hasilnya, vaksin sudah rusak dan tidak bisa digunakan ketika tiba di lokasi.

Pos Perbatasan Negara Republik Indonesia - Malaysia di Kalimantan Barat, Sumber: www.harianterbit.com

Page 9: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 7

Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) wajib menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang selanjutnya dilegalisasikan menjadi Peraturan Daerah (Perda). RTRW tersebut memiliki masa berlaku selama 20 tahun dan ditinjau kembali setiap 5 tahun. Dalam mendukung upaya pengurangan risiko bencana, rencana tata ruang juga perlu memasukkan kajian risiko bencana untuk mengidentifikasikan kerawanan, tingkat ancaman, tingkat kerentanan, dan tingkat kapasitas di suatu wilayah. Mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang harus menjadi prioritas Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat. Rencana tata ruang berdasarkan perspektif mitigasi bencana, sangat berguna dalam mereduksi keterpaparan jumlah penduduk, kerugian sosial, ekonomi, dan sarana prasarana (fisik) dari ancaman bencana.

Tujuan dan Ruang Lingkup

Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana disusun sebagai bahan masukan terhadap penyempurnaan pedoman-pedoman penyusunan rencana tata ruang (RTR) yang telah ada saat ini untuk mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang, khususnya: (a) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, dan (b) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Dalam mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, terdapat 3 (tiga) hal yang harus dilakukan, yaitu:

1) Integrasi dokumen/proses: mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko bencana (KRB) dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam dokumen rencana tata ruang (RTR) dalam proses penyusunan rencana tata ruang.

2) Integrasi spasial: mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko bencana (KRB) ke dalam muatan rencana tata ruang. Hal ini sudah diatur dalam Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana.

3) Koordinasi kelembagaan.

Sehubungan dengan itu, Materi Teknis ini lebih difokuskan pada integrasi proses/dokumen dan koordinasi kelembagaan, dengan tambahan pembahasan mengenai integrasi spasial/muatan yang menjadi irisan dengan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR KRB). Integrasi spasial/muatan telah dibahas secara detil dalam Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana.

Metodologi

Kajian ini dihasilkan melalui serangkaian proses yang telah menghasilkan keluaran (output):

1. Keterkaitan Kajian Risiko Bencana dengan KLHS dalam RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), pengurangan risiko bencana, Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, dan Pedoman Penyusunan RTR KSN dan dokumen-dokumen penunjang lainnya. Selain itu, juga dilakukan diskusi dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

2. Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K).

Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan tentang rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RPWP3K), pengurangan risiko bencana, dan dokumen-dokumen penunjang lainnya, serta diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

3. Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Output ini dicapai dengan melakukan desk study. Berdasarkan hasil kajian tersebut, dan diskusi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dilakukan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN.

ka

jia

nPenyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Perspektif Pengurangan Resiko Bencana:

Materi Teknis Revisi Pedoman

Sebagai negara rawan bencana, sangat penting bagi Indonesia memiliki kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana. Salah satunya, melalui upaya mitigasi bencana untuk mengurangi risiko bencana yang timbul. Undang – Undang No. 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana mengamanatkan agar setiap daerah memiliki perencanaan penanggulangan bencana. Untuk menjamin efektivitas pelaksanaannya, sangatlah penting bagi setiap daerah untuk mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana ke dalam dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Menengah, dan Rencana Tata Ruang.

IntegrasiSpasial/ Muatan

KoordinasiKelembagaan

IntegrasiDokumen/

Proses

IntegrasiSpasial/Muatan

MateriTeknis

Standar Penataan Ruangdi Kawasan Rawan

Bencana

Pedoman PenyusunanRTR KSN

Pedoman PenyusunanRTRW Provinsi

MelengkapiMelengkapi

Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN, serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan BencanaSumber: Hasil Analisis

Page 10: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan8

4. Pemetaan Kelembagaan Pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang.

Output ini dicapai melalui: (i) Hasil dari output 3; dan (ii) pengumpulan data dan informasi dalam bentuk diskusi dan wawancara dengan stakeholder yang relevan. Hasil diskusi dengan berbagai stakeholder yang relevan, dikombinasikan dengan hasil dari output 3, dilakukan pemetaan kelembagaan.

5. Penyusunan Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana.

Output ini dilakukan melalui: diskusi terarah (focus group discussion/FGD) dan lokakarya. Hasil dari FGD ini menjadi masukan dalam perumusan draf materi teknis. Lokakarya diselenggarakan untuk mendiseminasikan draf materi teknis revisi pedoman penyusunan RTR yang telah disusun dan membangun kesepakatan rencana tindak lanjut dengan mengundang berbagai stakeholder yang lebih luas.

Hasil Kajian dan Analisis

Pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dimulai sejak tahap persiapan penyusunan RTR, yaitu dengan mengkaji muatan kebencanaan yang ada di RTR. Tahap paling penting adalah tahap pengolahan dan analisis data, pada tahap ini dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana yang ada dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam analisis penyusunan RTR. Pengintegrasiannya adalah: (i) Peta Kerawanan yang sifatnya jangka panjang, dijadikan dasar perumusan tujuan, kebijakan, strategi, serta perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang; dan (ii) Peta Kerentanan, Peta Kapasitas, dan

Peta Risiko yang bersifat jangka menengah (5 tahun) dijadikan masukan bagi perumusan arahan pemanfaatan ruang (indikasi program utama). Seperti dapat dilihat pada Gambar 2.

Salah satu isu yang muncul dalam upaya pengintegrasian adalah adanya perbedaan jangka waktu antara periode Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTR, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3. Idealnya, pada saat peninjauan kembali/penyusunan RTR, RPB sudah tersedia.

1. Keterkaitan Kajian Risiko Bencana dengan KLHS dalam RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Terkait dengan kebencanaan, Permen LH No. 09 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum KLHS tidak secara eksplisit menunjukkan keterkaitannya dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Namun, secara substansial 7 (tujuh) isu-isu pokok yang dipertimbangkan dalam penapisan KLHS sangat relevan dengan komponen-komponen kebencanaan. Hal ini mengindikasikan bahwa KLHS sejalan dengan perencanaan penanggulangan bencana. Keterkaitan penapisan KLHS (7 isu pokok) dengan perencanaan penanggulangan bencana

tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Untuk RTRW, tidak perlu melalui tahap penapisan, tetapi langsung ke tahap pelaksanaan KLHS. Pada tahap pelaksanaan KLHS, tahap pertama adalah mengkaji pengaruh Kebijakan, Rencana, dan/atau Program terhadap kondisi lingkungan hidup di wilayah perencanaan dimana salah satu tahapnya adalah identifikasi isu pembangunan berkelanjutan. Aspek kebencanaan adalah salah satu isu strategis dalam pembangunan berkelanjutan. Isu stategis terkait kebencanaan tersebut antara lain dapat dilihat dari historical data, misalnya di suatu kawasan terjadi banjir terus menerus setiap tahun dan memiliki kecenderungan semakin parah dampaknya dan semakin luas lingkupnya1. Maka banjir di daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai isu strategis, dan karenanya menjadi salah satu hal yang dikaji dalam pelaksanaan KLHS.

Penyelenggaraan KLHS bertujuan memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Melalui KLHS, potensi dampak dan/atau risiko lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh suatu kebijakan, rencana, dan/atau program, sebelum pengambilan keputusan dilakukan, dapat diantisipasi. Dengan demikian, melalui KLHS dapat diminimalkan timbulnya dampak negatif suatu kebijakan, rencana, dan/atau program. Hal ini tentunya sejalan dengan atau bahkan menguatkan upaya mitigasi bencana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aspek kebencanaan sangat relevan dengan KLHS dalam penataan ruang.

1 Diskusi dengan Rima Yulianti, Kasubdit KLHS, Kementerian Lingkungan Hidup, 23 April 2014

Gambar 2 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTRSumber: Hasil Analisis

Page 11: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 9

2. Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP3K).

Dalam menyusun perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memuat mitigasi bencana yang merupakan bagian dari Rencana Penanggulangan Bencana (RPB). Muatan aspek kebencanaan dalam setiap dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:

i. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP3K) wajib memuat isu, visi, misi, strategi, kebijakan, dan program yang memasukkan mitigasi bencana.

ii. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) wajib mempertimbangkan peta rawan bencana dan peta risiko bencana yang disusun dan ditetapkan oleh instansi yang berwenang (BNPB atau BPBD). RZWP3K provinsi dibuat dalam peta dengan skala 1:250.000 atau lebih besar. Jangka waktu berlakunya RZWP3K selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. RZWP3K ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

iii. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K) wajib memasukkan rencana mitigasi bencana. Rencana mitigasi bencana tersebut menjadi bagian dari Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPB Daerah). Bila RPB Daerah belum ditetapkan, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi kelautan dan perikanan menyusun rencana mitigasi bencana untuk dimasukkan ke dalam RPWP3K. RPWP3K berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya sebanyak 1 (satu) kali. RPWP3K ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

iv. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP3K) wajib memasukkan kegiatan mitigasi bencana yang ada dalam Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB). Bila RAD PRB belum ditetapkan, SKPD yang membidangi kelautan dan perikanan menyusun kegiatan mitigasi bencana untuk dimasukkan ke dalam RAPWP3K. Kegiatan mitigasi bencana meliputi kegiatan struktur/fisik dan/atau non struktur/non fisik mitigasi bencana yang berdampak langsung dalam pengurangan risiko. RAPWP3K provinsi atau kabupaten/kota berlaku selama 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) tahun dan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

3.a. Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi.

Untuk 8 (delapan) provinsi yang penyusunan RTRWnya sudah mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum, maka sebaiknya segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko

bencana dengan mengacu pada RPB Provinsi 2012-2016 sebelum RTRW menjadi Perda. Apabila pengintegrasian dilakukan menunggu sampai dilakukan peninjauan kembali akan terlalu lama. Mengingat hampir semua provinsi tersebut masuk dalam kelas risiko tinggi, maka sebaiknya pengintegrasian dilakukan segera.

Mengingat RPB Provinsi yang ada mempunyai jangka waktu 2012-2016, sementara sekarang sudah tahun 2014, maka hal ini akan menjadi masalah. Alternatifnya adalah: (i) Pengintegrasian segera dilakukan walau hanya untuk 2 tahun terakhir (2014-2016); (ii) Pengintegrasian dilakukan setelah RPB yang baru disusun (jangka waktu 2017-2022); atau (iii) SKPD segera menyusun pengkajian risiko bencana yang baru berkoordinasi dengan BPBD dengan jangka waktu yang disesuaikan dengan penyusunan atau peninjauan kembali RTRW.

Untuk saat ini mungkin dapat dilakukan kombinasi dari (i) dan (iii), dengan pertimbangan (a) Peta Kerawanan dan peta ancaman bersifat jangka panjang, sehingga peta kerawanan dan peta ancaman yang ada dapat digunakan untuk acuan perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta indikasi arahan peraturan zonasi; (b) Sedangkan peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko bersifat jangka menengah, sehingga perlu diperbaharui oleh SKPD sesuai waktu berkoordinasi dengan BPBD. Peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko yang telah diperbaharui digunakan untuk acuan perumusan indikasi program utama sebagai arahan pemanfaatan ruang untuk 5 tahun berikutnya; (c) Sebelum waktu peninjauan kembali, sebaiknya RPB yang baru sudah disusun dengan memperhatikan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi tersebut.

Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana ini, maka BKPRN perlu mempertimbangkan untuk memasukkan kajian risiko bencana menjadi salah satu muatan yang harus ada dalam rencana tata ruang, dan dikaji kualitasnya pada saat proses persetujuan substansi, seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Integrasi pada saat peninjauan kembali RTRW Provinsi

Untuk 25 RTRW Provinsi yang sudah menjadi Perda, pengintegrasian kajian risiko bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali RTRW tersebut. Untuk itu, diperlukan penyesuaian periode antara RPB dengan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi. Mengingat adanya keterbatasan kapasitas BNPB/BPBD, maka penyesuaian penyusunan RPB ini dilakukan dengan pemrioritasan berdasarkan kelas risikonya, semakin tinggi kelas risiko provinsi yang bersangkutan, semakin diprioritaskan penyusunannya. Apabila hal tersebut tidak dimungkinkan, maka SKPD, berkoordinasi dengan BPBD, menyiapkan pengkajian risiko bencana secara mandiri yang jangka waktunya disesuaikan

Gambar 3, Waktu Pengintegrasian PRB ke dalam RTR, Sumber: Hasil Analisis

Page 12: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan10

dengan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi. Pengkajian risiko bencana secara mandiri ini dilakukan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Pengintegrasian pengurangan risiko bencana memiliki fungsi strategis dan berkaitan dengan peninjauan kembali rencana tata ruang. BKPRN perlu membahas hal tersebut dan mempertimbangkan apakah peninjauan kembali dapat dilakukan segera untuk mengantisipasi kejadian bencana alam dan sebagai upaya pengurangan risiko bencana, terutama di daerah-daerah dengan kelas risiko tinggi. Hal ini sangat signifikan mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan 204 juta (80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan pemrioritasan berdasarkan kelas risiko suatu daerah. Semakin tinggi kelas risikonya semakin diprioritaskan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam rencana tata ruangnya untuk dapat segera dilakukan. Saat ini, dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013, kabupaten/kota dibedakan menjadi kelas risiko tinggi, sedang, dan rendah, dimana 322 kabupaten/kota (65%) memiliki kelas risiko tinggi, dan 174 kabupaten/kota (35%) memiliki kelas risiko sedang, dan tidak ada yang memiliki kelas risiko rendah. Dengan demikian perlu dilakukan perumusan ulang kelas risiko bencana yang lebih rinci untuk kebutuhan perumusan prioritas tersebut di atas. Penyusunan kajian risiko bencana (KRB) didasarkan pada tiga hal utama, yakni: a) jumlah jiwa terpapar; b) kerugian (rupiah); dan c) kerusakan lingkungan (ha). Ketiganya merupakan komponen penyusun KRB yang kemudian diterjemahkan ke dalam kelas risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah sesuai dengan dampak yang terjadi.Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dirumuskan ulang kelas risikonya yang lebih rinci, untuk kebutuhan perumusan prioritas.

Apabila RTRW sedang dalam proses penyusunan, maka pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dapat segera diintegrasikan. Namun, bila RTRW sudah menjadi Perda, maka hal ini tidak mudah bagi Pemerintah Daerah. Karena tidak mudah membuat Perda, terutama terkait dengan hal-hal yang bersifat non-teknis. Dalam Lokakarya Materi Teknis – Bappenas-SCDRR II yang diselenggarakan pada tanggal 30 Juni 2014, ada usulan dari daerah, bahwa untuk RTRW yang sudah Perda, sebaiknya kajian risiko bencana dilakukan dengan memasukkannya sebagai addendum. Apabila perubahan dibuat dalam bentuk addendum, maka tidak perlu melibatkan DPRD lagi. Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa upaya pengurangan risiko bencana tidak hanya terbatas pada tahap analisis, yaitu dengan melakukan kajian risiko bencana, tetapi hasil analisis tersebut harus diterjemahkan ke dalam kebijakan, strategi, rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta rencana pemanfaatan ruang secara sinkron dengan alur yang jelas.

3.b. Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Sama seperti pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi, tantangan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR KSN adalah kesesuaian jangka waktu antara Rencana Penanggulangan Bencana yang ada dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTR KSN.

Integrasi pada saat proses penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)

Untuk RTR KSN yang belum menjadi Perpres atau masih dalam proses penyusunan, perlu segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana. Sehubungan dengan itu perlu ada koordinasi antara BKPRN dengan BNPB/BPBD dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam penyusunan RTR KSN, dengan memperhatikan jangka waktunya.

Untuk RTR KSN yang sudah dalam proses penyusunan: (a) Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota sudah ada dan jangka waktunya sesuai, maka kajian risiko bencana dapat segera diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR KSN;dan (b) Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada atau jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD untuk: (i) Segera diintegrasikan ke dalam proses penyusunan RTR KSN; atau (ii) Diintegrasikan pada saat peninjauan kembali RTR KSN tersebut, tergantung sudah seberapa jauh tahap penyusunan RTR KSN tersebut, misal Raperpes.Pengkajian dilakukan oleh K/L dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Untuk RTR KSN yang belum disusun, maka dalam penyusunannya nanti langsung dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana sesuai dengan kebutuhan masing-masing tipologi.

Sumber: disadur dari “Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia” dengan perubahan.

Isu-isu Pokok Penapisan KLHS(Permen LH 09/2011)

Perencanaan Penanggulangan Bencana(PP 21/2008)

1. Perubahan iklim • Perubahan Iklim berpotensi untuk menimbulkanbencana “Hydrometrology” yang meliputi: banjir,kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, tanahlongsor, abrasi dan cuaca ekstrim.

2. Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati

• Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah.• Hal tersebut juga dapat merupakan salah satu

dampak negatif kerusakan lingkungan yangditimbulkan oleh bencana

3. Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan

• Merupakan peningkatan ancaman bencana banjir,longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan danlahan yang merupakan komponen ancaman dalamKRB.

4. Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam

• Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah

5. Peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan

• Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah terhadapancaman bencana banjir, tanah longsor, dankekeringan

6. Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat

• Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah. Hal inijuga mengindikasikan peningkatan indeks jiwaterpapar dan kerugian harta benda dari bencana.

7. Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia

• Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah.

Tabel 1Keterkaitan Penapisan KLHS dengan Perencanaan Penanggulangan Bencana

Page 13: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 11

Integrasi pada saat peninjauan kembali RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)

Untuk RTR KSN yang telah menjadi Perpres, maka pengintegrasian kajian risiko bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali. Langkah-langkah sebagai berikut: (i) Periksa apakah RPB Provinsi/Kabupaten/Kota sudah ada dan apakah jangka waktunya sesuai. Bila sesuai, maka dapat langsung diintegrasikan; (ii) Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana; (iii) Bila jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dengan memperhatikan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang sudah ada.

Dalam konteks pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, dapat dilakukan langkah-langkah berikut ini:a. Membuat pemrioritasan. Kabupaten/kota/kawasan yang memiliki

kelas risiko tinggi diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi risikonya semakin diprioritaskan pembuatannya. Prioritas utama adalah untuk membuat peta skala 1:25.000 untuk kota-kota dengan kelas risiko tinggi, dan peta skala 1:10.000 untuk kawasan-kawasan dalam kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko tinggi. Hal ini juga bukan merupakan hal yang mudah karena berdasarkan IRBI 2013 terdapat 322 kabupaten/kota (65%) dengan kelas risiko tinggi, sementara sisanya 174 kabupaten/kota (35%) memiliki kelas risiko sedang. Kabupaten/kota dengan kelas risiko semakin tinggi, perlu semakin diprioritaskan pembuatan peta dasarnya. Contohnya, Kabupaten Cianjur yang memiliki kelas risiko tertinggi di Indonesia dengan skor 250. Perlu ada kesepakatan antara BNPB dan BKPRN mengenai kabupaten/kota dan kawasan-kawasan yang perlu diprioritaskan pembuatan petanya.

b. Perlu adanya koordinasi antara BKPRN dan BNPB dalam menetapkan kawasan-kawasan yang perlu diprioritaskan pembuatan peta dasar skala 1:5.000, 1:2.000, 1:1.000 untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan rawan bencana.

c. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan peta bahaya yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa peta-peta tersebut, peta risiko tidak dapat dibuat. Dan sementara ini peta yang ada, misalnya dari Badan Geologi, baru ada peta skala 1:250.000.

Untuk daerah yang belum memiliki peta dasar, maka dapat menggunakan Citra Tegak Resolusi Tinggi2. Citra Tegak Resolusi Tinggi ini memiliki kedetilan skala submeter. Peta Citra Tegak Resolusi Tinggi tersebut masih memiliki banyak kesalahan, sehingga perlu dikoreksi dulu, yaitu dengan koreksi: (i) Radiometrik, koreksi dilakukan oleh LAPAN; dan (ii) Geometrik, koreksi dilakukan oleh BIG.Peta yang telah dikoreksi dapat digunakan oleh daerah sebagai peta dasar. Pemerintah Daerah dapat mengirim surat ke BIG untuk meminta agar penyusunan peta untuk daerahnya diprioritaskan.

4. Pemetaan Kelembagaan Pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang.

Kerangka Regulasi

Saat ini peraturan perundang-undangan yang ada sudah banyak, namun masih berjalan sendiri-sendiri. Untuk penyusunan rencana tata ruang mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang dan peraturan turunannya, sedangkan untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana, termasuk penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), mengacu pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan peraturan turunannya. Saat ini belum ada peraturan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang.Peraturan yang menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang, dalam hal ini RTRW Provinsi dan RTR KSN, adalah Permen PU No. 15/PRT/M/2009 dan Permen PU No. 15/PRT/M/2012. Namun peraturan tersebut belum secara jelas memberikan arahan bagi penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN yang berbasis pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana). Namun demikian, perlu dikemukakan pula bahwa saat ini Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum sedang menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (sudah pada tahap legal drafting).

Sehubungan dengan hal tersebut, langkah-langkah berikut ini dapat dijadikan alternatif solusi:

1. Diperlukan satu pedoman yang dapat menjadi acuan bagi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Saat ini sudah terdapat upaya-upaya untuk merumuskan pedoman tersebut, antara lain:

a. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan Georisk Jerman dan Badan Geologi yang sedang menyusun pedoman penerapan informasi kebencanaan geologi untuk penyusunan rencana tata ruang;

b. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, berkoordinasi dengan BNPB, yang telah menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR-KRB) dan saat ini telah mencapai proses legal drafting; dan

c. Upaya yang dilakukan oleh Bappenas dengan dukungan SCDRR II yang tengah menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana, khususnya untuk RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional.

2. Apabila daerah akan melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, maka sebaiknya pada saat melakukan penyusunan atau peninjauan kembali RTRW sudah tersedia pedoman yang dapat digunakan sebagai acuan. Pedoman tersebut harus jelas dan dapat diimplementasikan. Oleh karenanya, sebaiknya dibuat satu pedoman saja mengenai upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang yang mengkombinasikan antara pedoman yang telah dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri. Selain itu, perlu dipertimbangkan bahwa pedoman tersebut tidak hanya menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN, tetapi juga rencana tata ruang lainnya (RTRW Kabupaten dan RTRW Kota, serta rencana rinci lainnya).

Sehubungan dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang ini, ada kekhawatiran dari Daerah terkait banyaknya arahan-arahan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat sehingga membingungkan buat Daerah. Diperlukan integrasi arahan tersebut, salah satunya antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Dalam Negeri. Sudah saatnya norma-norma yang ada di Kementerian Pekerjaan

2 BIG, dalam Diskusi Terarah Materi Teknis - SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.

Page 14: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan12

Umum dan Kementerian Dalam Negeri diintegrasikan dan disinkronkan, sehingga tidak membingungkan buat daerah.

3. Agar dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L dalam melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, maka pedoman tersebut harus memiliki kerangka regulasi yang cukup kuat. Alternatif yang dapat dilakukan:

a. Membuat Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen PU, Kemendagri, dan BNPB) tentang Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang. SEB ini dibuat agar pedoman pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dapat segera disusun dan menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L. Dengan demikian pengarusutamaan PRB dapat segera dilakukan. SEB ini bersifat sementara.

b. Pada saat yang sama dimulai proses penyusunan Peraturan Menteri PU tentang Pedoman Pengurangan Risiko Bencana dalam Rencana Tata Ruang. Dengan demikian pedoman tersebut nantinya memiliki dasar hukum yang lebih kuat.

4. Materi Teknis yang disusun ini dapat digunakan sebagai masukan dalam penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang tersebut di atas. Diharapkan muatannya sudah sesuai dengan kebutuhan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk memberikan masukan bagi penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang. Selain itu, dalam penyusunan Materi Teknis ini juga sudah memperhatikan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draf) yang sedang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga muatannya dapat saling melengkapi.

Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota).Berarti masih ada 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD.Untuk kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD, tugas dan fungsi penanggulangan bencana dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan fungsi penanggulangan bencana.

Di kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD, bentuk kelembagaan kebencanaan dapat berbeda-beda, baik dari segi SKPD penanggungjawab maupun eselonnya.Di suatu kabupaten/kota kelembagaan kebencanaan ini dapat berada di bawah eselon 2, 3, atau 4. Mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan bahwa 204 juta (sekitar 80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana3, maka sebaiknya semua kabupaten/kota memiliki BPBD.

Sehubungan dengan hal tersebut, prioritas utama adalah menyegerakan pembentukan BPBD di 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD saat ini. Setelah BPBD terbentuk, tantangan berikutnya adalah masalah kapasitas BPBD. Bila dibandingkan dengan BKPRD yang sudah terbentuk cukup lama, maka kapasitas BPBD merupakan salah satu isu yang penting diperhatikan. Isu kapasitas ini antara lain terkait dengan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta anggaran yang dimiliki oleh BPBD. Kapasitas BPBD perlu diperkuat antara lain agar mampu menyusun

Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) sendiri yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan rencana tata ruang sehingga dapat diintegrasikan.

Kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Struktur BPBD yang ada saat ini dirasakan sudah cukup untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah, hanya perlu dioptimalkan lagi dalam hal sumber daya manusia dan anggarannya.Dirasakan sumber daya manusia yang ada saat ini masih sangat kurang kapabilitasnya dalam penanggulangan bencana, khususnya untuk aspek pencegahan dan mitigasi bencana (perencanaan), karena saat ini fokusnya masih lebih pada hal-hal yang operasional (kesiapsiagaan dan tanggap darurat)4.

Dalam pembentukan dan penguatan BPBD ini, sebaiknya pemerintah daerah juga mempertimbangkan karakteristik fisik daerahnya, misalnya provinsi kepulauan seperti NTT atau kota kepulauan seperti Ternate. Sebagai wilayah kepulauan, maka sarana dan prasarana evakuasi menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan.

Penguatan BKPRD terkait Kebencanaan

Sehubungan dengan belum masuknya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam salah satu tugas BKPRD dan tidak masuknya kelembagaan bencana, BPBD, sebagai anggota BKPRD, maka tantangannya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas BKPRD terhadap kebencanaan, terutama dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang. Ada beberapa alternatif yang dapat diambil: (i) Memasukkan kelembagaan bencana, dalam hal ini BPBD, sebagai salah satu anggota BKPRD; atau (ii) Memasukkan BPBD ke dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang pada saat penyusunan rencana tata ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang pada saat rencana tata ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap implementasi; atau (iii) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan bencana.

3 Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, “Isu-isu Strategis Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang”, Kedeputian Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BNPB, Keynote Speech dalam Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.4 Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.

trp.bappenas

Page 15: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 13

Dalam rangka evaluasi pelaksanaan tugas Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) selama 5 tahun terakhir, Kementerian PPN/Bappenas selaku Sekretariat BKPRN menyelenggarakan rapat koordinasi tingkat Eselon II, untuk mengonfirmasi laporan kegiatan BKPRN 2009 – 2014 sekaligus menjaring masukan dan perbaikan dari seluruh perwakilan anggota Kelompok Kerja (Pokja) BKPRN terkait.

Penyusunan laporan BKPRN tersebut sesuai dengan amanat penyusunan laporan pada Keppres No. 4 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) Pasal 10, yang menyebutkan “BKPRN melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden secara berkala setiap 6 (enam) bulan.”Selanjutnya, Kementerian Perekonomian selaku Ketua BKPRN akan melaporkan pelaksanaan tugas BKPRN secara tertulis kepada Presiden, hal ini sesuai dengan Permenko No. Per-02/M.EKON/10/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja BKPRN Pasal 6 “Ketua BKPRN melaporkan pelaksanaan tugas BKPRN secara tertulis kepada Presiden secara berkala setiap 6 (enam) bulan.”Laporan Kegiatan BKPRN Semester 2 Tahun 2014 mencakup kegiatan BKPRN periode tahun 2009 – 2014 yang mengacu kepada: (i) Pelaksanaan Agenda Kerja BKPRN sejak tahun 2009 hingga 2014; (ii) Laporan Semester kepada Presiden; dan (iii) Penugasan lain sesuai dengan isu penataan ruang yang berkembang.

Adapun beberapa hal yang dibahas dalam laporan tersebut meliputi: (i) Struktur, Capaian, dan Tantangan; (ii) Fasilitasi

Penyelesaian Peraturan Perundangan Bidang Penataan Ruang; (iii) Penguatan Kelembagaan Penataan Ruang Nasional dan Daerah; (iv) Pendayagunaan Penataan Ruang Nasional dan Daerah; serta (v) Penyelesaian sengketa dan konflik pemanfaatan ruang.

Kelembagaan BKPRNKehadiran Kementerian Agraria dan Tata Ruang di akhir tahun 2014 telah memberi warna baru bagi bidang tata ruang dan memunculkan pemikiran untuk meninjau bentuk keberadaan BKPRN sebagai badan koordinasi tata ruang selama ini. Pada prinsipnya, keberadaan BKPRN seyogyanya tidak merupakan duplikasi terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian ATR/BPN. Kita tunggu hasil peninjauan tersebut [ay].

Ko

ord

ina

si

Rapat Koordinasi Eselon II BKPRN: Penyelesaian Laporan BKPRN 2009 – 2014

Pembahasan Pendayagunaan Tanah Wakaf

sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN Bappenas menghadiri pertemuan terkait pendayagunaan tanah wakaf yang diselenggarakan oleh Direktorat Permukiman dan Perumahan, Kementerian PPN/Bappenas, bertempat di Ruang SG-5, Bappenas. Rapat dihadiri oleh Perum Perumnas, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia, dan Dompet Dhuafa. Tujuan pertemuan adalah untuk menentukan lokasi pilot project pendayagunaan tanah wakaf dalam pembangunan perumahan rakyat tahun 2015.

Pendayagunaan tanah wakaf untuk pembangunan perumahan rakyat masuk dalam kegiatan Quick Wins dan akan dialokasikan anggarannya dalam APBN-P 2015. Untuk itu, akan dipilih 5 (lima) lokasi untuk pilot project kegiatan tersebut. Mengemuka pula dalam pertemuan bahwa telah tersusun kriteria penetapan lokasi tanah wakaf untuk perumahan sesuai ketentuan Perumahan Nasional (Perumnas). Ketentuan lain yang perlu diperhatikan adalah (a) status tanah clean and clear; (b) nadzir jelas, merupakan orang atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut; (c) target penerima manfaat jelas. Untuk luasan tanah diusulkan luasnya kurang dari 5.000 m2 agar mudah terlaksana pada tahun 2015.

Pada kesempatan tersebut, forum menyepakati bahwa pada tahun 2015 pelaksana pembangunan perumahan dari tanah wakaf adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR). Kementerian PU-PR perlu segera merumuskan tipologi disain rusunawa dengan memperhatikan faktor target penerima manfaat. Di sisi lain, Perum Perumnas perlu memikirkan skema pembiayaan yang dapat digunakan dan menyusun disain pembangunan area komersial pada rusunawa yang akan dibangun sebagai alternatif dalam implementasi skema wakaf produktif dan mempertimbangkan peran investasi Perumnas.

Lebih lanjut, akan ditetapkan Kelompok Kerja (Pokja) lintas K/L untuk menetapkan lokasi tanah wakaf dan pelaksanaan kegiatan tersebut. Pilot project pendayagunaan tanah wakaf masih kekurangan 2 (dua) lokasi sehingga perlu diidentifikasi dari data yang dipunyai Direktur Pemberdayaan Wakaf, Kementerian Agama sesuai kriteria yang telah disusun.

Ke depan, perlu dilakukan pengecekan status pemanfaatan lahan di lokasi yang diusulkan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah di Perda-kan dan penyusunan Standar Operation Procedure (SOP) dan tahapan yang jelas pelaksanaan kegiatan pilot project pendayagunaan tanah wakaf dalam pembangunan perumahan rakyat [rn/sy].

Page 16: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan14

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan menghadiri pembahasan rencana pelaksanaan Stocktaking dalam mendukung kebijakan One Map Policy yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Pertemuan ini merupakan pertemuan perdana yang bertujuan membahas rencana pelaksanaan stocktaking (audit) terkait peta pemanfaatan ruang. Sekaligus persiapan Rapat Koordinasi Kementerian Bidang Ekonomi terkait dengan kebijakan One Map Policy. Dengan adanya stocktaking ini, kedepan diharapkan akan tersedia data dan peta tematik tunggal pemanfaatan ruang di Indonesia dan rekomendasi penyelesaian masalahnya.

Pada tahun 2009, Ditjen Penataan Ruang - Kementerian PU pernah melaksanakan stocktaking peta pemanfaatan ruang (kehutanan, pertambangan, pertanian/perkebunan, transmigrasi, dan status tanah) di Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian tahun 2010 dilaksanakan pada 7 provinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Hasil stocktaking ini dapat digunakan sebagai dasar awal dalam pelaksanaan one map policy dalam tata ruang.

Rencana Pelaksanaan Stocktaking dalam Mendukung Kebijakan One Map Policy

Pada kesempatan tersebut, BIG menyampaikan bahwa pihaknya sudah menyusun peta dasar secara resmi seluruh Indonesia dengan skala 1:25.000 dan 1:50.000 (bervariasi per pulau), namun ada yang perlu diperbaharui. Untuk mendukung hal tersebut, LAPAN juga memiliki beberapa data yang dapat dimanfaatkan untuk penyusunan peta skala 1:50.000, dapat diakses di bdpjn-catalog.lapan.go.id. Bersamaan dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan anggaran bantuan dari Asian Development Bank (ADB) sudah pernah memetakan garis pantai yang sesuai antara darat dan laut untuk 15 provinsi (skala 1:250.000) dan 42 kabupaten/kota (skala 1:50.000).

Pihak Kementerian Pertanian juga menyampaikan bahwa mereka memiliki peta sawah eksisting, dengan skala 1:5.000 di Pulau Jawa dan skala 1:10.000 diluar Pulau Jawa. Keseluruhan lahan sawah yang terpetakan adalah seluas 8,1 juta Ha. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri ditugaskan untuk melaksanakan fasilitasi one map policy di 5 propinsi pilot. Secara prinsip, BIG menyediakan peta dasar skala 1:50.000, dan K/L menyiapkan peta tematik berdasarkan peta dasar BIG [as/sy].

Implementasi Konsep Nawacita dalam Peninjauan Kembali RTRWNDalam rangka menampung pemikiran dan ide-ide konstrukstif dalam upaya mempertegas peran dan fungsi RTRWN sebagai kebijakan spasial pembangunan kewilayahan dan sektoral yang mengikat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, menyelenggarakan FGD Implementasi Konsep Nawacita dalam Peninjauan Kembali RTRWN. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan turut berpartisipasi dalam FGD yang dilaksanakan selama dua hari, pada 13 – 14 Januari 2015.

Dalam sambutannya, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan, menyebutkan bahwa materi kemaritiman dalam RTRWN perlu diperkaya untuk mendukung perwujudan poros maritim, dan mewujudkan keterpaduan infrastruktur sehingga mempermudah pergerakan barang dan jasa, sekaligus mengurangi biaya logistik. Selain itu, perlu dilaksanakan pemerataan pembangunan antarwilayah, terutama desa, kawasan timur indonesia, dan kawasan perbatasan.

Urgensi Peninjauan Kembali RTRWNTerdapat 4 (empat) nilai penting RTRWN untuk ditinjau kembali, di antaranya: a) RTRWN berfungsi sebagai pedoman penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Kedua Pasca 2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional periode 2015-2019, sehingga harus memperhatikan kondisi objektif saat ini dan menjawab kesenjangan terhadap kondisi yang diharapkan; b) RTRWN adalah pedoman pemanfaatan ruang di wilayah nasional yang menjadi acuan pembangunan sektoral sehingga dapat menghindari terjadinya konflik pemanfaatan ruang antarsektor; c) RTRWN merupakan upaya untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan

antarwilayah provinsi, yang sifatnya saling melengkapi (komplementaritas) dan tidak bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota; serta d) RTRWN adalah acuan dalam penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, sehingga ada kepastian peruntukan fungsi masing-masing kawasan untuk investasi bagi dunia usaha dan investasi publik.

Empat Agenda Prioritas NAWACITA dalam RTRWNAdapun empat agenda prioritas Nawacita dalam RTRWN antara lain: 1) Kedaulatan Maritim dan Pembangunan Infrastruktur Jalan Baru, Pelabuhan Baru, Bandara Baru, Kawasan Industri Baru; 2) Pemerataan Pembangunan AntarWilayah terutama Desa, Kawasan Timur Indonesia, dan Kawasan Perbatasan; 3) Kedaulatan Pangan dan Energi; dan 4) Membangun Infrastruktur untuk Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Indonesia.

Ke depan, pembangunan kawasan industri baru harus dapat terintegrasi dengan pembangunan kawasan pemukiman dan bisnisnya diprioritaskan untuk luar Jawa dan Bali, dimulai dari wilayah pesisir di sepanjang Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), wilayah perbatasan, dan pulau-pulau kecil yang cocok. Selain itu, penyusunan tata ruang wilayah di tingkat Kabupaten/Kota dan Propinsi harus berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS). Penyusunan zonasi wilayah pesisir (ke arah darat: batas paling hulu/atas kecamatan pesisir, dan ke arah laut 12 mil dari garis pantai) untuk setiap Kabupaten/Kota pesisir perlu dilakukan, minimal 30 persen total luas wilayah pesisir untuk kawasan lindung (preservation and conservation zones) dan 70 persennya untuk kawasan pembangunan [ma/rt/ri/oc/ay].

Page 17: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 15

Internalisasi Nawacita:Membangun Kawasan Perbatasan dalam perspektif

Tata Ruang dan Pertanahan

Ir. Budi Situmorang, MURPDirektur Tata Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional

Nawa Cita: Membangun Kawasan PerbatasanSeperti kita ketahui bersama, pemerintahan baru Joko Widodo dan Jusuf Kalla menyertakan sembilan agenda prioritas untuk mewujudkan visi misi pemerintahan 5 (lima) tahun ke depan. Sembilan agenda prioritas itu disebut sebagai Nawa Cita. Dalam konteks membangun Kawasan Perbatasan Negara, agenda prioritas yang perlu dicermati adalah agenda ketiga. Agenda ketiga tersebut adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Salah satu daerah “pinggiran negara” di dalam Nawa Cita adalah kawasan perbatasan negara. Kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia di kawasan perbatasan serta memperkuat daya saing ekonomi Indonesia secara global.

Lebih lanjut dalam Nawa Cita, salah satu program aksi sebagai upaya dalam rangka perbaikan menuju berdikari ekonomi adalah membangun tata ruang dan lingkungan yang berkelanjutan, salah satunya melalui pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan perbatasan.

RTR Kawasan Perbatasan: Perspektif Pengembangan Kawasan PerbatasanKawasan perbatasan negara memiliki peran sangat penting dan strategis, karena merupakan batas kedaulatan negara dan merupakan wilayah yang mencerminkan beranda depan suatu

negara. Sebagai batas kedaulatan, batas yuridiksi dan territorial negara berada di Kawasan Perbatasan Negara. Oleh karena itu, fungsi pertahanan dan keamanan sangat melekat di Kawasan Perbatasan Negara. Sebagai beranda depan negara, Kawasan Perbatasan Negara dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi perdagangan dengan negara tetangga, sehingga tidak hanya fungsi pertahanan dan keamanan saja, tapi fungsi kesejahteraan atau ekonomi juga sangat melekat di Kawasan Perbatasan Negara.

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mempertimbangkan dengan tegas peran penting kawasan perbatasan tersebut. Sebagai beranda depan negara, kawasan perbatasan negara ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan 10 (sepuluh) kawasan perbatasan negara sebagai KSN dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan, dengan 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) sebagai pusat utama perbatasan negara dan atau sebagai pintu gerbang ke negara tetangga. Dalam prosesnya, kemudian diambil kebijakan untuk menyusun 9 (sembilan) rencana tata ruang (RTR)

Art

ike

l U

tam

a

Page 18: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan16

Kawasan Perbatasan Negara. Kesembilan RTR tersebut, yaitu RTR Kawasan Perbatasan Negara di Aceh dan Provinsi Sumatera Utara, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Sulawesi Utara-Provinsi Gorontalo-Provinsi Sulawesi Tengah-Provinsi Kalimantan Timur-Kalimantan Utara, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua Barat, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Papua, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur, serta RTR Kawasan Perbatasan Negara dengan Laut Lepas.

Terdapat 5 (lima) RTR Kawasan Perbatasan Negara yang telah terbit, yaitu Perpres No. 179 Tahun 2014 tentang RTR Kawasan Perbatasan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Perpres No. 31 Tahun 2015 tentang RTR Kawasan Perbatasan di Kalimantan, Perpres No. 32 Tahun 2015 tentang RTR Kawasan Perbatasan di Provinsi Papua, Perpres No. 33 Tahun 2015 tentang RTR Kawasan Perbatasan di Provinsi Maluku, dan Perpres No. 34 Tahun 2015 tentang RTR Kawasan Perbatasan di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua Barat.

Sedangkan 3 (tiga) RTR Kawasan Perbatasan Negara, yaitu RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Sulawesi Utara-Provinsi Gorontalo-Provinsi Sulawesi Tengah-Provinsi Kalimantan Timur-Kalimantan Utara, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Aceh dan Provinsi Sumatera Utara, dan RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau masih dalam bentuk Rancangan Perpres. Sementara RTR Kawasan Perbatasan Negara dengan Laut Lepas masih dalam proses penyusunan materi teknis.

Muatan RTR Kawasan Perbatasan Negara sendiri terkait erat dengan nilai strategis nasional yang dimilikinya, serta hal-hal spesifik di luar kewenangan pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Oleh karena itu, RTR Kawasan Perbatasan menjadi dasar dalam penyusunan program sektoral serta pelaksanaan pembangunan oleh Kementerian/Lembaga di Kawasan Perbatasan Negara.

Di dalam RTR Kawasan Perbatasan Negara yang telah disusun, tersurat pendekatan pengembangan Kawasan Perbatasan Negara yang mengedepankan 4 (empat) aspek, yaitu: i) aspek peningkatan pertahanan dan keamanan negara; ii) aspek pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat; iii) aspek lingkungan hidup; serta iv) aspek sosial.

Dalam aspek pertahanan dan keamanan, RTR Kawasan Perbatasan Negara tidak hanya terkait dengan peningkatan fasilitas pertahanan dan keamanan saja tapi juga dengan penegakan kedaulatan negara seperti penetapan dan penegasan garis batas negara, termasuk pulau-pulau kecil terluar.

Dalam aspek ekonomi atau kesejahteraan, RTR Kawasan Perbatasan Negara menetapkan sebaran kawasan peruntukan yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kawasan peruntukan untuk kemandirian pangan masyarakat, kawasan peruntukan untuk pertumbuhan ekonomi antarwilayah, dan kawasan peruntukan untuk peningkatan ekonomi yang berdaya saing (ekspor/impor).

Aspek lingkungan hidup terkait dengan pemertahanan kawasan lindung Kawasan Perbatasan Negara, seperti eksistensi garis pantai yang memiliki titik-titik garis pangkal terluar, kawasan lindung lintas negara, dan ekosistem penting yang berada di Kawasan Perbatasan Negara.

Dalam aspek sosial, RTR Kawasan Perbatasan Negara terkait dengan penyediaan prasarana dasar di Kawasan Perbatasan Negara, termasuk prasarana untuk meningkatkan hubungan

kekerabatan antarmasyarakat (adat) di Kawasan Perbatasan Negara.

Pendekatan pengembangan Kawasan Perbatasan Negara di atas pada dasarnya menunjukkan arah kebijakan pengembangan Kawasan Perbatasan Negara untuk mempercepat pembangunan kawasan perbatasan di berbagai bidang, baik keamanan, ekonomi dan sosial yang terintegrasi dan berwawasan lingkungan.

Lebih lanjut, RTR Kawasan Perbatasan Negara juga menetapkan pusat-pusat permukiman sebagai pusat pelayanan yang berhirarki. Pusat pelayanan kawasan perbatasan negara terdiri atas pusat pelayanan utama, pusat pelayanan penyangga, dan pusat pelayanan pintu gerbang.

Pusat pelayanan utama merupakan pusat kegiatan utama dalam peningkatan pelayanan pertahanan dan keamanan negara serta pendorong pengembangan kawasan perbatasan negara yang berupa PKSN.

Sementara pusat pelayanan penyangga adalah pusat kegiatan penyangga pintu gerbang peningkatan pelayanan pertahanan dan keamanan negara, keterkaitan antara pusat pelayanan utama dan pusat pelayanan pintu gerbang, serta kemandirian pangan

Konsep Sistem Pusat Pelayanan Kawasan Perbatasan Negara

Page 19: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 17

masyarakat di kawasan perbatasan negara. Sedangkan pusat pelayanan pintu gerbang merupakan pusat kegiatan terdepan dalam peningkatan pelayanan pertahanan dan keamanan negara serta kegiatan lintas batas di kawasan perbatasan negara. Kebijakan RTR Kawasan Perbatasan Negara ini berarti bahwa menempatkan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga.

Dari penjabaran di atas, dapat dikatakan bahwa kebijakan tata ruang di kawasan perbatasan negara sejalan dengan Nawa Cita, kawasan perbatasan negara diarahkan menjadi halaman depan negara yang berdaulat, aman serta berdaya saing.

Salah satu manfaat perlunya disiapkan RTR Kawasan Perbatasan Negara adalah dapat menjadi dasar penyusunan program sektoral dan pelaksanaan pembangunan oleh kementerian/lembaga. Disinilah letak tantangan dalam implementasi RTR Kawasan Perbatasan Negara, yaitu upaya sektor menjadikan RTR Kawasan Perbatasan Negara ini sebagai acuan dalam penyusunan program dan pembangunan di kawasan perbatasan negara.

Program Utama PKSN sebagai Pusat Pelayanan Utama Kawasan PerbatasanBerdasarkan RTR Kawasan Perbatasan Negara, terdapat indikasi program utama untuk PKSN sebagai pusat pelayanan utama kawasan perbatasan negara, antara lain: pengembangan prasarana dan sarana pertahanan, promosi, investasi, pemasaran, simpul transportasi, dan/atau kepabeanan, imigrasi, karantina, dan keamanan; pengembangan industri pengolahan dan industri jasa hasil pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan; pengembangan pariwisata; pengembangan prasarana dan sarana air minum, jaringan air limbah, drainase, dan pengelolaan sampah; pengembangan

prasarana dan sarana pelayanan tenaga listrik, telekomunikasi, fasilitas sosial, dan fasilitas umum; serta pengembangan atau pemantapan jaringan jalan arteri primer, kolektor primer, dan jaringan jalan strategis nasional untuk meningkatkan aksesibilitas PKSN.

Tahun 2015, beberapa PKSN dan atau pusat pelayanan pintu gerbang yang menjadi prioritas pengembangan antara lain PKSN Entikong, PKSN Nangabadau, PKSN Paloh-Aruk, PKSN Nunukan, PKSN Atambua, Motaain, Motamasin, dan Skow.

Terkait program pengembangan infrastruktur, terdapat beberapa contoh yang menjadi prioritas untuk tahun 2015-2019, antara lain:

1. Pada kawasan perbatasan di Kalimantan: (i) pengembangan jaringan jalan arteri primer Balai Karangan-Entikong-Batas Negara: (ii) pengembangan jaringan jalan kolektor primer Aruk-Teberau-Rasau-Sepulau-Nanga Badau dan Nanga Badau-Lanjak-Mataso-Tanjung Kerja-Putussibau; (iii) pengembangan dan peningkatan jaringan jalan strategis nasional PKSN Nunukan - Pelabuhan Tunon Taka-Bandar Udara Nunukan; (iv) peningkatan pengelolaan sumber air dari daerah Aliran Sungai (DAS) Sambas; (v) pengembangan Irigasi di Sanggau; (vi) pembangunan Embung Sanggau dan Embung Bolang; (vii) pengembangan Waduk Bilal; (viii) pengembangan sistem pengamanan pantai di Pulau Sebatik; (ix) pengembangan SPAM dan sistem drainase di Paloh-Aruk, Entikong, Nanga Badau, Nunukan; (x) pengembangan prasarana dan sarana dasar Kawasan PPLB Aruk; (xi) pengembangan Tempat Pemprosesan Akhir (TPA) di Nangabadau dan Nunukan; (xii) peningkatan dan pemantapan Bandar Udara Paloh; dan (xiii) pengembangan depo minyak dan gas bumi Tanjung Api.

2. Pada kawasan perbatasan di Provinsi NTT: (i) peningkatan dan pemantapan jaringan jalan arteri primer Kefamenanu-Maubesi-Nesam/Kiupukan-Halilulik-Atambua-Lahafeham-Motoain; (ii) peningkatan dan pemantapan jaringan jalan strategis nasional

Kawasan Perbatasan di Kec. Lumbis Ogong, Kab. Nunukan, Prov. Kalimantan Utara. sumber: citizendaily.net

Page 20: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan18

Batuputih-Panite-Kalbano-Boking-Wanibesak-Besikama-Motamasin; (iii) pengembangan Embung Haekrit; (iv) peningkatan dan pemantapan Daerah Irigasi (DI) Haliwen, DI Haekesak, DI Maubusa, DI Holeki, DI Halileki, DI Nobelu; (v) pengembangan dan peningkatan SPAM jaringan perpipaan di Atambua; (vi) pengembangan dan peningkatan sistem jaringan drainase di Atambua; (vii) pengembangan TPA di Kecamatan Kakuluk Mesak; (viii) pengembangan dan peningkatan Pelabuhan Wini; (ix) pengembangan dan peningkatan Bandar Udara Haliwen; (x) pengembangan depo minyak dan gas bumi pada PKSN Atambua; dan (xi) pengembangan jaringan satelit untuk melayani pusat pelayanan kawasan perbatasan negara.

3. Pada kawasan perbatasan di Provinsi Papua: (i) pengembangan jaringan jalan arteri primer (4 Jalur) yang menghubungkan Sentani-Abepura-Hamadi-Jayapura-Koya-Skow untuk melayani Skow; (ii) pengembangan sumber air permukaan pada Danau Sentani; (iii) pengembangan DI Koya; (iv) pengembangan sistem pengaman pantai di Distrik Jayapura Utara dan Distrik Muaratami di Kota Jayapura; (v) pengembangan intake dan jaringan pipa transmisi air baku di Kabupaten Keerom, Kota Jayapura, dan Kabupaten Jayapura; (vi) pengembangan SPAM non perpipaan di desa rawan air/pesisir/terpencil di distrik yang belum terjangkau SPAM dan/atau Pos Pengaman Perbatasan yang berada di distrik Muara Tami di Kota Jayapura, distrik Towe, distrik Senggi, distrik Waris, dan distrik Arso Timur di Kabupaten Keerom; (vii) pengembangan dan peningkatan sistem jaringan air limbah terpusat di Jayapura; (viii) penataan kawasan (kawasan perdagangan, fasilitas CIQS, permukiman petugas, fasilitas pertahanan dan keamanan) di sekitar pos lintas batas skow dan Waris; (ix) pengembangan Pelabuhan Jayapura; (x) pemantapan Bandar Udara Sentani; (xi) pengembangan PLTU PLTU Jayapura-Skouw; dan (xii) pengembangan Jayapura (Skyland)-Sentani.

Dukungan Pertanahan untuk Perwujudan Kawasan Perbatasan NegaraTerkait pertanahan, setidaknya terdapat 4 (empat) bentuk dukungan untuk perwujudan kawasan perbatasan negara. Pertama, pemberian sertifikat hak atas tanah di kawasan perbatasan negara dan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Upaya ini selain sebagai pengakuan atas wilayah negara, juga sebagai upaya modal ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan negara dan PPKT. Pemberian hak atas tanah tersebut harus sesuai dengan peruntukan lahan yang ditetapkan dalam RTR. Kedua, neraca tanah sebagai dasar pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan izin lokasi investasi. Ketiga, evaluasi hak atas tanah sebagai penegasan tertib penataan ruang

di kawasan perbatasan khususnya yang menyimpang dari RTRW. Keempat, pemberian hak komunal bagi masyarakat adat yang telah bertempat tinggal selama 10 (sepuluh) tahun sebagai hak pengakuan negara.

Perlu digarisbawahi beberapa hal sebagai tindak lanjut, tidak hanya bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN saja, namun juga bagi semua stakeholders terkait, antara lain:

1. percepatan penyelesaian RTR Kawasan Perbatasan Negara khususnya RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Sulawesi Utara-Provinsi Gorontalo-Provinsi Sulawesi Tengah-Provinsi Kalimantan Timur-Kalimantan Utara, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Aceh dan Provinsi Sumatera Utara, dan RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau;

2. partisipasi masyarakat/dunia usaha sangat dibutuhkan tetapi kegiatan harus sesuai dengan RTR dan manajemen pertanahan yang efektif dan berkelanjutan;

3. khusus pembangunan infrastruktur di kawasan perbatasan negara adalah hal utama dan pertama untuk mengejar ketertinggalan yang ada.

Gapura yang Membatasi Wilayah Indonesia dan Papua Nugini sumber: www.kabarpapua.net

Gerbang perbatasan Skouw-Wutung antara Indonesia dengan Papua Nugini sumber: www.kanalsatu.com

Page 21: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 19

Kecamatan Entikong merupakan kecamatan perbatasan yang berlokasi di ujung utara kabupaten Sanggau yang berbatasan langsung dengan Serawak – Malaysia. Kecamatan Entikong memiliki luas 506, 89 km2, yang terdiri dari 5 desa dan 28 dusun, dengan jumlah penduduk ±13.514 jiwa (tahun 2012). Sebagian besar penduduk Entikong bermata pencaharian sebagai petani.

Di dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Entikong menjadi salah satu Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) yang berada di pintu perbatasan darat Indonesia, dengan sudut kepentingan pertanahan dan keamanan, dan menjadi Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) Propinsi Kalimantan Barat. Pengembangan PKSN dimaksudkan untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kegiatan masyarakat di kawasan perbatasan, termasuk pelayanan kegiatan lintas batas antarnegara. Berdasarkan rancangan Rencana Tata Rinci (RTR) Kawasan Perbatasan Kalimantan, PKSN Entikong ini berfungsi sebagai: (i) pintu gerbang utama; (ii) pusat pelayanan kepabeanan, imigrasi, karantina, dan keamanan; (iii) pusat kegiatan hankam negara; (iv) pusat perdagangan dan jasa; (v) pusat industri; dan (vi) pusat pelayanan sistem angkutan umum penumpang.

Sementara, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 3 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Kalimantan, PKSN dan PKW Entikong akan dikembangkan sebagai pusat industri pengolahan hasil perkebunan (kelapa sawit dan karet), hasil hutan, dan hasil pertanian. Selain itu, fungsinya ditingkatkan sebagai pusat kegiatan pertanahan keamanan negara, pertumbuhan ekonomi, pintu gerbang internasional dan simpul transportasi kawasan perbatasan.

Pada tahun 2013, Ditjen Cipta Karya – Kementerian PU telah menyusun masterplan dan DED (Detail Engineering Design) di kawasan PLBN (Pos Lintas Batas Negara) Entikong. Tujuannya adalah untuk menciptakan kawasan perbatasan (border area) yang representatif dan tertata dengan baik, yang nantinya akan menjadi panduan terukur dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Sebagaimana dapat dilihat pada rencana struktur ruang lokasi prioritas (lokpri) Entikong, berdasarkan evaluasi dan peninjauan kembali Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perbatasan Entikong Tahun 2012, pusat primer bertumpu pada PBLN Entikong dan memiliki pusat sekunder dan tersier sebagai buffer zone.

Dibandingkan dengan kawasan perbatasan lainnya, Entikong sudah memiliki Custom, Immigration, Quarantine, and Security (CIQS) dengan kondisi yang cukup baik, dan termasuk dalam PLBN Tipe A. PLBN Tipe A, yaitu gerbang lintas batas negara yang dilengkapi dengan CIQ dan status keimigrasianya dinyatakan sebagai Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI), bagi para pelintas batas diwajibkan menggunakan dokumen paspor atau pas lintas batas bagi penduduk kecamatan perbatasan. PLBN ini bersifat internasional,

yang dilengkapi dengan sedikitnya 5 (lima) jenis pemeriksaan, yaitu: (i) C (Custom), pemeriksaan bea dan cukai; (ii) I (Imigration), pemeriksaan imigrasi; (iii) Q1 (Quarantine-1, pemeriksaan Kesehatan Manusia; (iv) Q2 (Quarantine-2), pemeriksaan kesehatan Hewan/tumbuhan; (v) Q3 (Quarantine-3), pemeriksaan kesehatan ikan. Unsur S (Security), yang meliputi pemeriksaan keamanan melalui jajaran TNI/POLRI merupakan unsur pelayanan pendukung yang sangat penting dan sebagai back up atas unsur pelayanan utama PLBN (CIQ).

Isu – isu yang mengemuka di kawasan PLBN Entikong, antara lain: (i) masih terdapat beberapa wilayah yang belum dapat dijangkau dengan transportasi darat (kawasan terisolir); (ii) rentan terhadap infiltrasi karena keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki terutama dalam hal pengawasan dan pengamanan wilayah; (iii) pembangunan dilakukan secara parsial dan temporal sehingga pembangunan yang dilaksanakan selama ini kurang sinergis dan terpadu; dan (iv) belum ada peraturan pelaksanaan terkait pengelolaan kawasan perbatasan yang menyangkut Badan Pengelola Perbatasan Negara sehingga hal ini mengakibatkan kurangnya koordinasi antarinstansi – instansi terkait di tingkat daerah maupun pusat.

Banyak masalah yang harus diatasi, untuk itu secara bertahap pembangunan fasilitas di kecamatan Entikong terus ditingkatkan, baik oleh pemerintah kabupaten Sanggau, pemerintah provinsi, maupun pemerintah pusat. Beberapa kegiatan skala besar yang sudah dilaksanakan, antara lain: (i) pembangunan perumahan taman perbatasan indah Entikong; (ii) Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa); (iii) Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong; (iv) Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Entikong; (v) Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Entikong; (vi) Jalan batas kabupaten Entikong – Suruh Tembawang; (vii) pasar tradisional Entikong; (viii) Balai Latihan Kerja (BLK) Entikong; (ix) perkantoran stasiun karantina ikan, tumbuhan dan kesehatan; dan (x) pembangunan sarana dan prasarana bea dan cukai entikong (perbatasan).

Sebagaimana janji Presiden Joko Widodo, “wilayah perbatasan akan dijadikan etalase Indonesia”, maka pembangunan kawasan perbatasan menjadi prioritas 5 (lima) tahun mendatang. Hal ini dibuktikan dengan alokasi dana Rp 1 triliun lebih untuk pembangunan perbatasan Entikong, salah satunya melalui pembangunan dry port yang akan memudahkan kegiatan ekspor – impor [gp].

sumber: diolah dari berbagai sumber

Secara geografis, Indonesia berbatasan darat dengan negara Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini sepanjang 3092,8 km. Titik perbatasan tersebar di 3 (tiga) pulau, 4 (empat) Provinsi, dan 15 Kab/Kota dengan karakteristik yang berbeda. Buletin TRP kali ini melihat lebih dekat salah satu kawasan perbatasan yang menjadi titik awal pembangunan perbatasan di era Presiden Joko Widodo,

yaitu kecamatan Entikong, kabupaten Sanggau, provinsi Kalimantan Barat.

me

lihat

dar

i de

kat

Entikonggerbang terdepan perbatasan Indonesia

Page 22: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan20

So

sia

lis

as

i P

era

tura

n

Penataan Wilayah Pertahanan Nasional (Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2014)

Wilayah Pertanahan terdiri atas: a) pangkalan militer atau kesatrian; b) daerah latihan militer; c) instalasi militer; d) daerah uji coba peralatan dan persenjataan militer; e) daerah penyimpanan barang eksplosif dan berbahaya lainnya; f) daerah disposal amunisi dan

peralatan pertahanan berbahaya lainnya; g) obyek vital nasional yang bersifat strategis; dan/atau h) kepentingan pertahanan udara. Wilayah pertahanan tersebut dapat ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan.

DEFINISI• Wilayah Pertahanan adalah wilayah yang ditetapkan untuk

mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan keutuhan bangsa dan negara.

• Rencana Wilayah Pertahanan (RWP) adalah hasil perencanaan wilayah yang mengindikasikan lokasi Wilayah Pertahanan untuk kepentingan pertahanan negara.

• Rencana Rinci Wilayah Pertahanan (RRWP) adalah jabaran dari perencanaan wilayah yang mengindikasikan lokasi Wilayah Pertahanan, sesuai matra TNI Angkaran Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara yang dibuat secara rinci untuk kepentingan pertahanan negara.

Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) KSN dari sudut kepentingan pertanahan dan keamanan dilakukan oleh pemangku kepentingan tingkat nasional dengan melibatkan peran serta masyarakat. Dalam proses persiapan penyusunan, melibatkan unsur TNI. Dalam merumuskan konsepsi rencana, paling sedikit harus mengacu pada: i) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); ii) Rencana Wilayah Pertahanan (RWP); iii) kebijakan umum pertahanan negara; iv) kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara; dan v) pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang dan pertanahan. RTR tersebut harus memuat tujuan, kebijakan, strategi, dan konsep pengembangan KSN. RWP dan RRWP yang dihasilkan dari perencanaan wilayah pertahanan, digunakan sebagai salah satu masukan dalam menyusun RTRWN dan RTR KSN.

Rencana Wilayah Pertahanan (RWP)RWP disusun dengan memperhatikan: i) kebijakan dan strategi pertahanan negara; ii) sistem pertahanan negara; iii) ketersediaan sumber daya dan sarana prasarana nasional; iv) kesejahteraan dan kepentingan masyarakat; dan v) RTRW beserta rencana rincinya. RWP memuat lokasi wilayah pertahanan yang digambarkan dalam peta skala 1: 1.000.000. RWP (yang memuat lokasi wilayah pertahanan poin (d) s/d (h)) ditetapkan dengan Keputusan Menteri, berlaku selama 20 (dua puluh) tahun, dan ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Peninjauan kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 tahun dapat dilakukan, jika terjadi: i) bencana berskala nasional; ii) perubahan batas teritorial yang ditetapkan dengan Undang – Undang; dan c) perubahan kebijakan nasional di bidang pertahanan.

Rencana Rinci Wilayah Pertahanan (RRWP)RRWP merupakan alat operasionalisasi RWP dan sebagai dasar untuk mengembangkan sarana dan prasarana pertahanan, terdiri atas: a) RRWP darat; b) RRWP laut; dan c) RRWP udara. Rencana ini disusun oleh masing – masing Kepala Staf Angkatan secara teringtegrasi dan terkoordinasi antarmatra darat, laut, dan udara. RRWP ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah memperhatikan saran dari Panglima TNI.

Pemanfaatan Wilayah Pertahanan dilakukan dengan tidak mengganggu fungsi lingkungan hidup dan ekosistem alami, serta memerhatikan peningkatan nilai tambah bagi Wilayah Pertahanan yang bersangkutan. Pemanfaatan di luar fungsi pertahanan harus mendapat ijin Menteri.

Untuk pembangunan atau pengembangan wilayah pertahanan, dilaksanakan pengadaan tanah. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib menyediakan lahan, dan penyediaan lahan dilakukan atas usul Menteri. Jika diperlukan lahan untuk daerah latihan militer, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib menyediakan

lahan bagi satuan TNI dari tingkat latihan perorangan sampai dengan tingkat latihan gabungan TNI.

Daerah latihan militer pada skala nasional terdiri atas 3 (tiga) daerah latihan gabungan TNI; pada skala provinsi, terdiri atas 1 (satu) daerah latihan gabungan TNI setingkat: a) batalyon TNI Angkatan Darat; b) gugus tempur laut; dan/atau c) skuadron udara atau batalyon Paskhas TNI Angkatan Udara; sedangkan pada skala kabupaten, terdiri atas 1 (satu) daerah latihan TNI setingkat kompi.

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah juga menyiapkan wilayahnya untuk digunakan sebagai daerah latihan militer yang bersifat sementara. Penyiapan wilayah dilakukan atas permintaan pimpinan satuan TNI sesuai kewenangannya paling rendah setingkat satuan komando kewilayahan setempat. Penyiapan wilayah tersebut, meliputi: aspek geografi, demografi, serta infrastruktur pendukung penyelenggaraan kepentingan pertahanan. Sedangkan untuk penggunaan wilayah, harus memerhatikan hak masyarakat, nilai sosial budaya masyarakat, dan keseimbangan ekosistem, dengan berkoordinasi dengan instansi terkait [gp].

Kawasan Indonesia Peace and Security Center (IPSC) SentulSumber: www.beritadaerah.co.id

Page 23: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 21

Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Peraturan Presiden No. 179 Tahun 2014)

Tujuan dan KebijakanPenataan ruang kawasan perbatasan negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bertujuan untuk mewujudkan: a) kawasan berfungsi pertahanan dan keamanan negara yang menjamin keutuhan, kedaulatan, dan ketertiban wilayah negara yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia; b) kawasan berfungsi lindung di kawasan perbatasan negara yang lestari; dan c) kawasan budidaya ekonomi perbatasan yang mandiri dan berdaya saing. Untuk mewujudkan kawasan berfungsi pertahanan dan keamanan negara yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia, strategi yang dilakukan adalah:

1. penegasan dan penetapan batas wilayah negara demi terjaga dan terlindunginya kedaulatan negara dan keutuhan wilayah negara;

2. pengembangan prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan negara yang mendukung kedaulatan dan keutuhan batas wilayah negara; dan

3. pengembangan sistem pusat permukiman perbatasan negara sebagai pusat pertahanan dan keamanan negara di kawasan perbatasan negara.

Strategi penegasan dan penetapan batas wilayah negara, antara lain: (i) menegaskan titik koordinat dari Barat; (ii) menetapkan titik – titik koordinat di bagian Barat; (iii) menegaskan titik – titik garis pangkal kepulauan di PPKT (Pulau – Pulau Kecil Terluar); (iv) menegaskan titik – titik garis pangkal dari Timur; (v) menetapkan batas laut Teritorial; (vi) menetapkan batas yuridiksi pada batas Landas Kontinen Indonesia dan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE); dan (vii) meningkatkan kerjasama dalam rangka gelar operasi keamanan.

Pengembangan prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan negara yang mendukung kedaulatan dan keutuhan batas wilayah negara, dilaksanakan melalui: (i) pengembangan pos pengamanan perbatasan dengan jarak 20 km atau sesuai kondisi fisik dan potensi kerawasan di sepanjang garis batas wilayah negara dan di sepanjang pesisir dan PPKT; dan (ii) pengembangan infrastruktur penanda di PPKT. Sedangkan, strategi pengembangan sistem pusat permukiman perbatasan negara, meliputi: (i) pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) sebagai pusat pelayanan utama; (ii) pengembangan kota kecamatan sebagai pusat pelayanan penyangga; dan (iii) pengembangan pusat pelayanan pintu gerbang, yang merupakan bagian dari rencana struktur ruang.

Rencana Struktur RuangRencana struktur ruang kawasan perbatasan negara ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan pusat kegiatan, kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana, serta fungsi Kawasan Perbatasan Negara sebagai beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rencana struktur ruang yang merupakan sistem pusat permukiman perbatasan negara, terdiri atas: i) pusat pelayanan utama yang merupakan PKSN; ii) pusat pelayanan penyangga yang merupakan kota kecamatan; dan iii) pusat pelayanan pintu gerbang yang merupakan kawasan perkotaan.

PKSN ditetapkan di PKSN Kalabahi di kabupaten Alor, PKSN Atambua di kabupaten Belu, dan PKSN Kefamenanu di kabupaten

DEFINISI• Garis Batas Klaim Maksimum adalah garis batas maksimum

laut yang belum disepakati dengan Negara Timor Leste dan Negara Australia atau yang berbatasan dengan laut lepas (high seas) yang diklaim secara unilateral oleh Indonesia dan telah digambarkan dalam peta NKRI.

• Pos Lintas Batas (PLB) adalah tempat pemeriksaan lintas batas bagi pemegang pas lintas batas dan paspor.

Timor Tengah Utara. Sedangkan pusat pelayanan penyangga ditetapkan di Haekesak di kabupaten Belu dan Wemasa di kabupaten Malaka. Sementara, pusat pelayanan pintu gerbang ditetapkan di 8 (delapan) lokasi, yaitu: Maritaing, Motaain, Turiskain, Motamasin, Wini, Napan, Haumeni Ana, dan Oepoli.

Rencana Pola RuangRencana pola ruang Kawasan Perbatasan Negara di provinsi NTT ditetapkan dengan tujuan mengoptimalkan pemanfaatan ruang sesuai dengan peruntukannya sebagai Kawasan Lindung dan Kawasan Budi Daya secara berkelanjutan, dengan prinsip keberimbangan antara pertanahan dan keamanan negara, kesejahteraan masyarakat, serta kelestarian lingkungan.

Kawasan lindung ditetapkan dengan tujuan, salah satunya untuk mempertahankan PPKT, dengan kriteria, yaitu kawasan hutan lindung di PPKT dan pulau kecil berpenghuni dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, atau intensitas hujan. Kawasan yang merupakan kawasan hutan lindung di PPKT, meliputi: Pulau Batek di kecamatan Amfoang Timur – kabupaten Kuang; Pulau Dana di kecamatan Raijua – kabupaten Sabu Raijua; dan Pulau Mangudu di kecamatan Karera – kabupaten Sumba Timur.

Zona Budidaya di provinsi NTT, terdiri atas zona budidaya dan zona perairan. Zona perairan terbagi dua, yakni: i) zona perairan mulai batas Laut Teritorial Indonesia hingga garis pantai atau hingga perairan dengan jarak 24 mil laut dari garis pangkal kepulauan, yang berfungsi pemertahanan wilayah kedaulatan negara dan perlindungan titik – titik pangkal kepulauan dari abrasi (Zona A1); dan ii) zona perairan mulai batas Laut Teritorial Indonesia hingga batas Landas Kontinen Indonesia dan/atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang berfungsi pemanfaatan sumber daya alam sesuai potensi lestari (Zona A2). Zona A1 ditetapkan di perairan Selat Ombai, Laut Sawu, Laut Timor, dan Samudera Hindia. Sedangkan, Zona A2 berada di perairan Selat Ombai, Laut Timor, dan Samudera Hindia [gp].

Gerbang Perbatasan Indonesia dengan Timorleste di Mota’ainSumber: www.nttprov.go.id

Page 24: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan22

Kli

pin

g B

eri

ta

Januari - Juni 2015

Di awal Januari 2015, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019. RPJMN yang juga berisi visi, misi, dan agenda Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden

Muhammad Jusuf Kalla merupakan pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dalam lima tahun ke depan. Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, sasaran pembangunan nasional dalam RPJMN 2015-2019 ditekankan pada peningkatan daya saing bangsa di berbagai bidang.

JANUARIPemanfaatan tata ruang Laguna Segara Anakan yang memisahkan daratan Pulau Jawa dan Samudra Indonesia di kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, belum memiliki landasan aturan yang jelas. Akibatnya, kerusakan ekosistem laguna bertambah parah tanpa penanganan efektif. Padahal, kawasan ini telah dimasukkan dalam kawasan strategis nasional. Kerusakan ekosistem diperparah penyusutan luas hutan bakau dari 15.000 hektar pada 1980-an menjadi 8.000 hektar. Kedalaman laguna kini 1-1,5 meter. Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah No.26/2008, pemerintah pusat telah menetapkan Laguna Segara Anakan sebagai Kawasan Strategis Nasional dalam jejaring Pancangsanak. Kawasan itu meliputi Pangandaran-Kalipuncang-Segara Anakan-Nusakambangan. (Kompas, 15 Januari 2015)Pemerintah akan membentuk badan yang berfungsi sebagai bank tanah. Badan itu akan membantu penyediaan tanah untuk proyek infrastruktur, termasuk perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Menteri PPN/Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago mengatakan bank tanah berfungsi mengoreksi harga tanah yang terus membumbung. Harga rumah yang mahal akibat harga tanah yang sangat tinggi. Saat ini, kekurangan 13,5 juta rumah merupakan masalah yang sangat serius. Padahal, setiap tahun setidaknya ada satu juta rumah tangga baru yang membutuhkan rumah dan sebagian besar kesulitan mendapatkan rumah karena harganya yang sangat tinggi. (Kompas, 15 Januari 2015)Berbagai sektor di pemerintahan pusat dan daerah memerlukan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Namun, perencanaan itu belum didukung citra satelit beresolusi tinggi. Hanya 3,5 persen wilayah yang punya citra satelit resolusi tinggi. Dari 1,9 juta km2 luas wilayah Indonesia, hanya 68.000 km2 yang punya citra resolusi tinggi di bawah 60 cm. Dari 1,9 juta km2 setelah dikurangi kawasan hutan, data yang jadi prioritas pencitraan resolusi tinggi 500.000 km2. Untuk mendapat citra resolusi tinggi bagi daerah prioritas seluas 500.000 km2 butuh dana 5 juta euro atau 9 juta dollar AS atau Rp 112,5 miliar. (Kompas, 30 Januari 2015).

FEBRUARIPemerintah berjanji mengurai satu per satu hambatan bidang pertanahan dan perumahan. Satu contoh yang sedang dibahas serius Kementerian Agraria dan Tata Ruang adalah rencana penghapusan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sebagai tahap awal, rencana ini berlaku bagi rumah tinggal, rumah ibadah, dan rumah sakit. PBB dan BPHTB tetap dipungut bagi properti komersial, seperti hotel, restoran dan warung, serta properti dengan luas di atas 200 m. (Kompas.com)

Pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah kian terabaikan setelah Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat gagal masuk prioritas Program Legislasi Nasional 2015. Kondisi itu tak sejalan dengan Nawa Cita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk melindungi hak-hak masyarakat adat.Komitmen pemerintah untuk membentuk satuan tugas nasional pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat belum terwujud. Padahal, satgas itu bertugas menyiapkan kerangka pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. (Kompas, 20 Februari 2015)Pemerintah membuka lahan pertanian seluas 9 juta hektar untuk menumbuhkan pusat ekonomi baru berbasis pertanian dan perkebunan, terutama di kawasan perbatasan. Pemerintah akan membagikan lahan tersebut kepada 4,5 juta petani marjinal. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, kebutuhan 9 juta hektar lahan itu berasal dari area penggunaan lain di bawah otoritas BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan kawasan hutan produksi yang dikonversi menjadi lahan pertanian. (Kompas, 28 Februari 2015)

MARETPulau Jawa saat ini dinilai sangat kritis jika dilihat dari buruknya daya dukung lingkungan dan tingginya konflik agraria. Namun, izin penambangan masih terus diberikan dengan mengonversi daerah tangkapan air, hutan, dan kawasan pertanian. Laporan penelitian Jaringan Advokasi Tambang hingga 2013, izin tambang karst di pulau Jawa mencapai 76 izin, mencakup 23 kabupaten, 42 kecamatan, dan 52 desa dengan total konsesi tambang karst 34.944,90 hektar. Pulau Jawa tak hanya dibebani industri ekstraktif.

Jawa juga pulau terpadat dengan 1.057 jiwa per kilometer. Lebih dari 50 persen penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa sehingga setiap masuknya industri ekstraktif di Jawa berpotensi bersinggungan dengan masyarakat.(Kompas, 11 Maret 2015)Dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030, target luas kawasan hutan yang dialokasikan untuk usaha hutan skala

sumber: kompas.com

Page 25: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 23

kecil (oleh masyarakat) seluas 5,6 juta hektar. Itu target yang sangat kecil jika dibandingkan dengan alokasi kawasan hutan untuk usaha kehutanan skala besar yang mencapai 43,6 juta hektar. Angka tersebut mau tak mau harus direvisi. Dalam RPJMN 2015-2019 terdapat angka jelas, target pemberian hak kelola hutan kepada masyarakat seluas 2,54 juta hektar pada tahun 2015, lalu tahun 2016 seluas 5,08 juta hektar, tahun 2017 seluas 7,62 juta hektar, tahun 2018 seluas 10,16 juta hektar, dan tahun 2019 ditargetkan seluas 12,7 juta hektar. Bentuknya berupa hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat, dan hutan kemitraan. (Kompas, 16 Maret 2015)

APRILSejumlah pemukim liar merambah hutan penyangga waduk di Batam, Kepulauan Riau. Hal ini merupakan masalah yang tidak kunjung selesai di Batam.Mereka membuat rumah, berternak, serta berkebun di areal hutan penyangga Waduk Duriangkang.Selain untuk hunian, sebagian perambah hanya mengambil kayu. Dalam 3,5 bulan terakhir, sudah 10 kali Badan Pengusahaan (BP) Batam sebagai pengelola waduk Batam dan hutan penyangganya menemukan pembalakan liar. (Kompas, 15 April 2015)

Pembangunan jalan rel untuk kereta Bandar Udara Soekarno-Hatta masih menunggu pembebasan lahan. Hingga akhir April ini,

Sanksi pidana dan perdata terhadap pelanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), seperti amanat UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dinilai belum memberikan efek jera. Karena itu, diperlukan sanksi tambahan berupa pencabutan wewenang tata ruang terhadap pemerintah daerah yang melanggar aturan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota diberi waktu hingga akhir tahun ini untuk menyelesaikan peraturan daerah RTRW. Jika sampai awal 2016 mereka tidak mempunyai peraturan daerah RTRW, kewenangan memanfaatkan kawasan akan dicabut atau diambil alih pemerintah pusat. (Kompas, 27 Mei 2015)

JUNIMasalah perubahan agraria dan kemiskinan di pedesaan semakin kompleks, tetapi studi mengenai itu sangat minim. Di Indonesia, studi ini lebih minim lagi karena selama 30 tahun Orde Baru, penggunaan analisis relasi kelas dalam melihat perubahan agraria tidak dimungkinkan. Menurut Suraya Afif, pengajar Antropologi Universitas Indonesia, baru setelah era Reformasi, kajian relasi kelas digunakan. Namun, belum banyak yang menggunakannya untuk mengaji persoalan agraria. Persoalan agraria sangat penting karena lebih dari 50 persen penduduk tinggal di pedesaan dan tiga perempatnya petani kecil. Bahkan, banyak yang tidak memiliki tanah. (Kompas, 03 Juni 2015)

Laju deforestasi hutan Indonesia pada periode 2000-2009 sekitar 1,5 juta hektar per tahun (Forest Watch Indonesia). Tahun 2012, pada acara khusus forum Konferensi Pembangunan Berkelanjutan Rio+20 di Brasil, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memaklumatkan, laju deforestasi Indonesia tinggal 450.000 hektar per tahun. Angka itu masih terus jadi perdebatan karena berdasarkan metode penelitian lainnya, angkanya masih di atas 1 juta hektar. Faktanya, hutan menjadi obyek korupsi, sarat konflik antara masyarakat dan korporasi, warga dengan pemerintah, serta ada banyak soal tenurial melibatkan masyarakat adat/lokal. Bencana menjadi dampak terujung dari kekacauan tata kelola. (Kompas, 04 Juni 2015)

masih dalam masa sanggah dari warga pemilik tanah yang terkena pembebasan lahan. Setelah masa sanggah, barulah dilakukan pembayaran atas tanah yang terkena proyek ini. Pembangunan rel sepanjang 6 kilometer yang menyambungkan jalur lingkar dengan bandara serta persinyalan ini diperkirakan memakan waktu sekitar satu tahun. Adapun rute kereta bandara adalah Stasiun Manggarai-Sudirman Baru-Tanah Abang-Duri-Batu Ceper-Bandara Soekarno-Hatta. (Kompas, 15 April 2015)

MEIDalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1986 Tahun 2000, dari 110 pulau yang ada di Kepulauan Seribu, 23 pulau di antaranya milik pribadi. Bandingkan dengan 11 pulau ditinggali penduduk sebanyak 21.000 orang. Berdasarkan data Polda Metro Jaya, 66 pulau dimiliki perorangan yang tersebar di enam kelurahan. Di kelurahan Pulau Panggang terdapat 7 pulau pribadi, Pulau Kelapa 27 pulau, Pulau Harapan 23 pulau, Pulau Tidung 2 pulau, Pulau Untung Jawa 2 pulau, dan Pulau Pari 6 pulau.Potensi penyalahgunaan narkoba, misalnya, bisa terjadi karena masing-masing pemilik pulau pribadi menutup akses ke pulau tersebut. (Kompas, 28 Mei 2015)

sumber: tataruangpertanahan.com

Untuk membaca lebih lengkap seluruh berita-berita tersebut, silakan mengunjungi Portal Tata Ruang dan Pertanahan (Portal TRP) di www.tataruangpertanahan.com dan bergabung di milis Tata Ruang dan Pertanahan http://groups.google.com/group/tata-ruang-dan-pertanahan.

sumber: suaratambang.com

Page 26: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan24

Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) bertugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang, yang fungsinya, antara lain: i) perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata ruang, infrastruktur keagrariaan, pengadaan tanah, pengendalian dan pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah; dan ii) koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan adminstrasi kepada seluruh organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Sejak 27 Oktober2014, Presiden Jokowi melantik Ferry Mursyidan Baldan sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN.

Mengingat kembali ke masa lampau, Kementerian Agraria telah dibentuk pada tahun 1955 melalui Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955. Sebelum menjadi kementerian pada tahun 1955, urusan agraria diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri. Saat itu, urusan agraria belum menjadi urusan strategis sehingga cukup diselenggarakan oleh suatu lembaga di bawah kementerian.

Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada 24 September 1960. Pada saat itu, rancangan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dengan berlakunya UUPA, untuk pertama kalinya pengaturan tanah di Indonesia menggunakan produk hukum nasional yang bersumber dari hukum adat. Dengan ini pula, Agrarische Wet (undang-undang agraria dalam bahasa Belanda) dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Tahun 1960 menjadi titik berakhirnya dualisme hukum agraria di Indonesia.

Tahun 1988 terbit Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional yang menjadi tonggak bersejarah bagi hukum agraria di Indonesia. Pada saat itu, sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional yang menjadi tema

sentral proyek ekonomi – politik Orde Baru, kebutuhan akan tanah juga makin meningkat. Persoalan yang dihadapi Direktorat Jenderal Agraria bertambah berat dan rumit. Untuk mengatasi hal tersebut, status Direktorat Jenderal Agraria ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 1993, tugas Kepala BPN kini dirangkap oleh Menteri Negara Agraria. Kedua lembaga tersebut dipimpin oleh satu orang sebagai Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dalam pelaksanaan tugasnya, Kantor Menteri Negara Agraria berkonsentrasi merumuskan kebijakan yang bersifat koordinasi, sedangkan Badan Pertanahan Nasional lebih berkonsentrasi pada hal-hal yang bersifat operasional.

Penguatan lembaga agraria kembali diperkuat pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Penggabungan struktur ini diikuti dengan uraian tugas dan fungsi kelembagaan Kementerian ATR yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

Selama ini urusan penataan ruang tersebar di beberapa kementerian. Mengacu pada jenis ruang yang dimanfaatkan (darat, laut, udara) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR), penataan ruang laut dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, penataan ruang darat dilaksanakan oleh forum lintas kementerian, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), dengan peran terbesar dimiliki oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pada ruang darat sendiri, pembagian kewenangan juga dibagi dua, antara kawasan hutan dan nonhutan, dimana kawasan hutan menjadi domain Menteri Kehutanan, sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Mengacu pada tingkatan administratif, pada tingkat nasional pedoman penataan dan pemanfaatan ruang adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri PUPR. Pada tingkat daerah, penyusunan pedoman juga melibatkan Menteri Dalam Negeri [ra].

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Di awal masa pemerintahan Jokowi – JK, Presiden Joko Widodo melakukan perubahan terhadap beberapa nama kementerian/lembaga di struktur Kabinet Kerja. Salah satunya,untuk Bidang Tata Ruang dan Pertanahan, dilakukan penggabungan antara Direktorat Jenderal

Penataan Ruang – Kementerian Pekerjaan Umum dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN, dan telah ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Ferry Mursyidan Baldan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPNSumber: www.mediasionline.com

Gedung Badan Pertanahan Nasional, jl Sisingamangaraja No.2Sumber: www.bpn.go.id

Page 27: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 25

Berdasarkan hasil background study RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanahan terdapat beberapa isu strategis, yaitu: 1) perubahan sistem pendaftaran tanah stelsel negatif menjadi stelsel positif; 2) pembentukan pengadilan khusus pertanahan; 3) pembentukan bank tanah; 4) redistribusi tanah dan reforma akses; dan 5) peningkatan jumlah proporsi Sumber Daya Manusia (SDM) bidang pertanahan khusus juru ukur.

Saat ini, kondisi peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia sudah mencapai kondisi kelebihan regulasi atau dikenal dengan hyper regulation, sehingga semakin menimbulkan ketidakpastian hukum dan biaya tinggi. Untuk itu, kerangka regulasi ke depan harus diubah agar asas hukum yang berlaku menjadi mudah, murah, dan cepat. Sebagai contoh, penyelesaian kasus pertanahan di Jepang lebih banyak pada pengadilan tingkat pertama dan sedikit yang diangkat pada tingkat kasasi, sehingga penyelesaian kasus lebih murah dan tidak berlarut-larut. Kondisi ini berimplikasi pada kebutuhan SDM di bidang hukum (hakim, jaksa) yang berkualitas dalam jumlah banyak pada pengadilan tingkat pertama.

Di Indonesia, sistem hukum pertanahan yang berlaku saat ini meliputi hukum formal (positif) dan hukum non formal (hukum adat). Fakta di lapangan mencatat bahwa penanganan kasus pertanahan dapat masuk ke beberapa lingkungan peradilan. Keputusan yang dihasilkan pun dapat berbeda satu dengan lainnya sehingga keputusan peradilan tersebut tidak dapat dilaksanakan, bahkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum hak atas tanah dan menjadi sumber konflik antarmasyarakat. Selain itu, penyelesaian kasus pertanahan seringkali tidak dapat diselesaikan pada pengadilan tingkat pertama melainkan harus diselesaikan pada tingkat Mahkamah Agung (MA). Kondisi ini mendorong timbulnya pemikiran perlunya pembentukan Pengadilan Khusus yang menangani kasus-kasus pertanahan. Keputusan yang diambil pada pengadilan khusus pertanahan tersebut harus bersifat final dan mengikat sehingga penyelesaian kasus pertanahan diharapkan lebih murah, mudah, dan cepat.

Secara umum penyelesaian kasus pertanahan dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu secara formal melalui pengadilan (atau dikenal dengan litigasi) maupun informal melalui pendekatan penyelesaian oleh masyarakat sendiri (atau yang dikenal dengan pendekatan community based). Alternatif lain penyelesaian kasus pertanahan adalah melalui mediator atau dikenal dengan alternative dispute resolution (ADR) yang tidak perlu dilaksanakan di pengadilan. Berbagai pendekatan tersebut telah dilaksanakan namun masih memiliki kelemahan, misalnya pendekatan community based dan mediator sering kali tidak ditaati oleh pihak yang bersengketa sehingga keputusan tidak dapat

dilaksanakan. Bahkan pada beberapa kasus, setelah dilakukan penyelesaian melalui mediator, kembali dimasukan ke pengadilan formal.

Pembentukan Kamar Khusus (Special Chamber)Mengingat peradilan formal yang ada saat ini belum dapat menyelesaikan kasus pertanahan dengan asas murah, mudah, dan cepat, maka diusulkan pembentukan pengadilan khusus pertanahan. Namun pembentukan pengadilan khusus pertanahan akan sulit dilaksanakan karena terkendala beberapa hal, yakni:

a) pembentukan pengadilan khusus memerlukan UU khusus yang mengatur hukum acara peradilan;

b) kebutuhan SDM yang cukup banyak, khususnya hakim dengan kualifikasi tertentu dan jenjang karir yang pasti; dan

c) kebutuhan anggaran yang cukup besar.

Berdasarkan pengalaman, beberapa pengadilan khusus yang ada saat ini tidak terlalu efektif dalam menyelesaikan suatu kasus. Dengan demikian, yang paling memungkinkan adalah membentuk kamar khusus (special chambers) pertanahan pada pengadilan umum. Untuk itu, jumlah SDM dan anggaran yang dibutuhkan tidak terlalu besar.

Pada prosesnya, pembentukan kamar khusus pertanahan pada pengadilan negeri masih memerlukan assessment termasuk regulasi yang diperlukan. Selain itu, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut terkait tipe kasus dan mekanisme penyelenggaraan kasus. Kasus yang masuk dipastikan hanya tentang pertanahan dan tidak bisa masuk ke pengadilan lain. Untuk itu, diperlukan konsep-konsep yang disusun oleh pakar hukum, hakim, dan pakar bidang pertanahan yang menjelaskan kebutuhan kamar khusus pertanahan, termasuk di dalamnya substansi keputusan final dalam kerangka waktu tertentu dan identifikasi tipe kasus pertanahan [ih/ay].

Dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 - 2019, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (TRP) bersama dengan Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan dan Direktorat Hukum dan HAM-Kementerian PPN/Bappenas menyelenggarakan diskusi

terhadap isu strategis Bidang Pertanahan pada Jumat, 10 Januari 2014. Pembahasan dalam diskusi tersebut difokuskan pada Rencana Pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan.

Rancangan Kebijakan Bidang Pertanahan dalam Kerangka Regulasi

tah

uk

ah

an

da

Sumber: Undang-Undang No. 25 Tahun 2004

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan:a) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi

baik antarDaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;

c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;

d) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; e) menjamin tercapainya penggunaan

sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Page 28: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan26

tahap IV. Sehingga pada tahap III dan IV dilakukan penilaian dari awal (bobot 0%). Dikarenakan pada tahap III dan IV penilaian dilakukan oleh Tim Penilai Pusat.

Dari hasil penilaian terhadap 33 provinsi dokumen RKPD Tahun 2015, keterkaitan dokumen RKPD Provinsi dan RKP dinyatakan tercapai apabila setiap dokumen RKPD memiliki nilai 3 (tiga) atau 4 (empat) dalam skala penilaian pelaksanaan dari 0 (0% - 29%),1 (30% - 59%), 3 (60% - 79%),dan 4 (pelaksanaan lebih dari 80%).

Pemberian penghargaan Anugerah Pangripta Nusantara 2015 berbeda dengan Anugerah Pangripta Nusantara 2014 dalam kategori pemenang/penghargaan. Tahun 2014 pemenang/penghargaan diberikan berdasarkan kategori Utama dan Pratama, baik untuk pemenang Provinsi/Kabupaten/Kota. Sedangkan di Tahun 2015, kategori disusun berdasarkan pada kategori: (i) Perencana Terbaik I, II dan III untuk Provinsi/Kabupaten/Kota; (ii) Perencana Harapan Terbaik I, II dan III untuk Provinsi/Kabupaten/Kota; serta (iii) penghargaan khusus bagi Provinsi dengan peningkatanan kualitas RKPD. Tahun 2015, ternyata jumlah pemenang provinsi/kabupaten luar Jawa sudah relatif sama dengan pulau Jawa [sy].

Penghargaan Anugerah Pangripta Nusantara Tahun 2015 diberikan pada saat Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas), 29 April 2015, oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Drs. Andrinof Achir Chaniago, MSi, dan dihadiri oleh Presiden dan Wakil Presiden RI.

Proses penilaian dilakukan oleh Tim yang terdiri atas Tim Penilai Utama (TPU), Tim Penilai Independen (TPI) dan Tim Penilai Teknis (TPT). Semua Tim melaksanakan tugas berdasarkan Surat Keputusan Menteri PPN/Bappenas Nomor Kep. 42/M.PPN/HK/03/2015 tanggal 18 Maret 2015.

Mekanisme penilaian melalui 3 (tiga) tahapan, yakni: (i) penilaian dokumen rencana yang terdiri atas 4 (empat) parameter (keterkaitan, konsistensi, kelengkapan dan kedalaman dokumen, serta keterukuran) dengan 16 (enam belas) indikator; (ii) verifikasi proses penyusunan dokumen rencana pembangunan berdasarkan 5 (lima) parameter (proses perencanaan top-down, bottom-up, teknokratik, politik, dan inovasi) dengan 10 (sepuluh) indikator yang dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD); dan (iii) presentasi dan wawancara terhadap para nominasi yang diwakili oleh Kepala Bappeda.

Mekanisme penilaian bagi Provinsi dilakukan oleh Tim Penilai Pusat dengan pemberian penilaian dari tahap I dan II yang berbobot 30 persen, menghasilkan 17 provinsi nominasi, sedangkan untuk tahap III yang berbobot 40 persen, mendapatkan 6 provinsi terbaik. Sedangkan pada mekanisme penilaian Kabupaten/Kota, penilaian tahap I yang berbobot 40 persen dan tahap II dengan bobot 60 persen menghasilkan Kabupaten/Kota terbaik dari masing-masing provinsi untuk mengikuti penilaian di tingkat pusat. Tetapi besaran bobot ini tidak dihitung kembali pada saat penilaian tahap III dan

Salah satu langkah untuk meningkatkan mutu rencana pembangunan adalah dengan memberikan penghargaan Anugerah Pangripta Nusantara Tahun 2015 kepada daerah yang telah berhasil menyusun dokumen rencana pembangunan secara baik. Pemberian APN

Tahun 2015 kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota bertujuan untuk mendorong setiap daerah untuk menyiapkan dokumen rencana pembangunan secara lebih baik, konsisten, komprehensif, terukur dan dapat dilaksanakan sekaligus menciptakan insentif bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan perencanaan pembangunan yang lebih baik.

Anugerah Pangripta Nusantara 2015

Daftar Penerima Penghargaan Anugerah Pangripta Nusantara 2015

Menteri PPN/Kepala Bappenas menyerahkan piala Anugerah Pangripta Nusantara. Sumber: Dokumentasi Dit. TRP

Kategori Provinsi Kategori Kabupaten/KotaTerbaik I DI. Yogyakarta Terbaik I Kab. Aceh BaratTerbaik II Kalimantan Timur Terbaik II Kab. SlemanTerbaik III Jawa Barat Terbaik III Kab. Muara EnimHarapan I Jawa Timur Harapan I Kab. Lombok UtaraHarapan II Aceh Harapan II Kab. SiakHarapan III Sulawesi Utara Harapan III Kab. BanyuwangiPenghargaan khusus bagi provinsi dengan peningkatan kualitas Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)

Kalimantan Selatan

Page 29: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 27

Kawasan perbatasan merupakan pintu masuk dan keluar arus sumber daya (barang dan jasa, serta manusia) antar negara. Sebagai pintu masuk dan keluar sumber daya antar negara maka wilayah perbatasan bisa memperoleh dampak positif maupun negatif dari arus keluar masuk sumber daya ekonomi tersebut. Sebagai akibat dari kedudukannya sebagai pintu masuk dan keluar arus sumber daya ekonomi antara negara, maka kawasan perbatasan tergolong rawan baik secara ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan. Nilai strategis faktual kawasan perbatasan dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya:

a. Aspek ideologi, kurangnya akses pemerintah pusat maupun daerah ke kawasan perbatasan dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain seperti paham komunis dan liberal kapitalis, yang mengancam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara dari rakyat Indonesia.

b. Aspek Politik, kawasan perbatasan tergolong rawan konflik politis dengan negara lain, karena adanya persinggungan batas teritorial dan yuridiksi terutama pada segmen batas yang belum disepakati. Selain itu kehidupan sosial ekonomi di daerah perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi untuk menimbulkan kerawanan di bidang politik.

c. Aspek Ekonomi, kawasan perbatasan memiliki potensi sumber daya alam di darat dan di laut yang sangat besar, serta memiliki kedekatan geografis dengan pusat kegiatan ekonomi negara tetangga. Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat dan berdampak negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan rasa nasionalisme.

d. Aspek sosial budaya, kawasan perbatasan memiliki karakteristik khas dengan adanya mobilitas lintas batas yang cukup tinggi, baik karena faktor sosial budaya maupun ekonomi. Selain itu akibat globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dapat mempercepat masuk dan berkembangnya budaya asing dalam kehidupan masyarakat

Indonesia. Masyarakat daerah perbatasan cenderung lebih cepat terpengaruh oleh budaya asing, dikarenakan intensitas hubungan lebih besar dan kehidupan ekonominya sangat tergantung dengan negara tetangga. Hal tersebut dapat mengakibatkan dekulturisasi yang dapat merusak ketahanan nasional.

e. Aspek Pertahanan dan Keamanan, Daerah perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintah, pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien. Akibatnya kawasan perbatasan sangat rawan terhadap hukum lintas batas negara dan infiltrasi asing. Wilayah perbatasan merupakan benteng utama dan terakhir dari eksistensi bangsa dari aspek wilayah sesuai konsep wawasan nusantara.

Konsep Kawasan Perbatasan

Dalam kajian pengembangan perbatasan terdapat beberapa istilah yang mengawali kata perbatasan, diantaranya adalah daerah, wilayah, dan kawasan. Dalam pandangan ilmu wilayah (regional science), daerah merujuk pada kewenangan administrasi, wilayah berkaitan dengan kesatuan unit geografis, sedangkan kawasan berhubungan erat dengan aspek fungsional (keterkaitan). Dalam kajian perbatasan, ketepatan penggunaan kata depan perbatasan tersebut berhubungan erat dengan tujuan, yaitu lebih tepat penggunaan kata ‘wilayah’ pada aspek pengamanan wilayah negara, pengelolaan batas, dan pertahanan keamanan. Sedangkan kata ‘kawasan’ tepat digunakan dalam pengembangan fungsional kawasan perbatasan, perekonomian perbatasan dan tata ruang perbatasan.

Dalam bahasa inggris perbatasan diistilahkan dengan kata boundary dan frontier, dalam geografi politik kedua pengertian tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Boundaries adalah garis garis yang mendemarkasikan batas-batas terluar dari wilayah suatu negara. Namun frontiers mewujudkan zone-zone (jalur) dengan lebar yang beraneka yang memisahkan dua wilayah yang berlainan negaranya.

Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu Negara yang memiliki peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan, dan keutuhan wilayah. Wilayah perbatasan memiliki

arti yang sangat vital dan strategis, baik dalam sudut pandang pertahanan keamanan, maupun dalam sudut pandang ekonomi, sosial, dan budaya. Masing masing wilayah perbatasan tersebut memiliki karakter sosial budaya dan ekonomi yang relatif berbeda antara satu dengan lainnya. Namun secara keseluruhan memperlihatkan adanya fenomena yang sama, yakni adanya interaksi langsung dan intensif antara warga negara Indonesia dengan warga negara tetangga, berupa hubungan sosial kultural secara tradisional, maupun kegiatan-kegiatan ekonomi moderen.

ringkas buku:

Pengembangan Kawasan Perbatasan

Rin

gkas

Buk

u

Lutfi Muta’ali

Istilah PerbatasanFaktor Pembeda

Orientasi Kekuatan Ruang Gerak

Frontier Ke Luar SentripetalIntegrasi dan penetrasi pengaruh

Boundaries Ke Dalam Sentripugal Faktor PemisahSumber: Kristof “the nature of frontier and boundaries” (1982)

Page 30: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan28

konsep penataan ruang telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dari sudut pandang pertahanan dan keamanan karena memiliki nilai strategis dalam menjaga integritas wilayah negara. Menurut Undang Undang Penataan Ruang, kawasan strategis nasional perbatasan negara memiliki batasan berikut:

1. Kawasan Perbatasan Negara termasuk pulau kecil terluar merupakan kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan;

2. Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan kemanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia;

3. Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional merupakan rencana rinci dari RTRWN , yang diatur dengan Peraturan Presiden;

Penetapan PKSN sebagai pusat kota kawasan perbatasan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 26 tentang RTWRN menetapkan 26 PKSN berdasarkan kriteria:

1. Pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas dengan negara tetangga;

2. Pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan dengan negara tetangga;

3. Pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya, dan/atau;

4. Pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan di sekitarnya.

Pengembangan PKSN di perbatasan dimaksudkan untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkam untuk mengembangkan kegiatan masyarakat di kawasan perbatasan, termasuk kegiatan pelayanan lintas bayas antarnegara. Kawasan perbatasan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional perlu didukung oleh strategi kebijakan dan berlaku untuk pengembangan PKSN sebagai pintu gerbang dengan negara tetangga di perbatasan [gn].

Pada konteks pembangunan wilayah, Bappenas menggunakan istilah perbatasan dan mendefinisikan sebagai berikut:

“wilayah perbatasan adalah wilayah geografis yang berhadapan dengan negara tetangga, dimana penduduk yang bermukim di wilayah tersebut disatukan melalui hubungan sosio-ekonomi, dan sosiobudaya dengan cakupan wilayah administratif tertentu setelah ada kesepakatan negara yang berbatasan (Bappenas, 2005)”

Dalam kajian pengembangan wilayah, keunikan kawasan perbatasan terletak pada aspek hubungan antardaerah dan atau antarnegara yang memiliki sistem politik administrasi yang berbeda sehingga terkandung beberapa prinsip hubungan transnasional seperti prinsip kesetaraan (principle of the sovereign equality), prinsip non-recognition (non – recognition principle). Asas pertahanan dan keamanan atau prinsip membela diri (self defence principle), asas kerjasama, asas keberlanjutan, asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, asas tugas pembantuan, asas keadilan, asas kemanfaatan, asas kepastian hukum, asas penggunaan teknologi, dan asas negara kepulauan.

Tipologi Kawasan Perbatasan

Tipologi pengembangan kawasan perbatasan adalah sebuah cara untuk mengelompokan karakter dan ciri perbatasan pada beberapa aspek yang memiliki kesamaan ciri maupun pendekatan sehingga dapat digunakan untuk melakukan sistem pengelolaan kawasan yang efisien sesuai dengan potensi dan permasalahan yang ada. Terdapat beberapa sistem pembagian kawasan perbatasan sebagai berikut:

a. Tipologi Geografis. Tipologi ini ditentukan berdasarkan unsur kesamaan geografis khususnya karakteristik dan letak area dipermukaan bumu, sehingga kawasan perbatasan dapat dibedakan menjadi kawasan perbatasan darat, laut dan udara. Berkaitan dengan wujud fisik batas wilayah perbatasan dapat dibedakan dalam 2 pendekatan, yaitu natural border dan artificial border.

b. Tipologi Hubungan Politis Antar Negara. Berdasarkan aspek hubungan politis antar negara di kawasan perbatasan, terdapat empat tipe perbatasan i) Alienated Borderland, yaitu suatu wilayah perbatasan yang tidak terjadi aktifitas lintas batas dikarenakan konflik, dominasi nasionalisme, dsb; ii) Coexistent Borderland, yaitu wilayah perbatasan yang konflik lintas batasnya bisa ditekan sampai ke tingkat yang bisa dikendalikan, iii) Independent borderland, wilayah perbatasan yang kedua sisinya secara simbolik dihubungkan oleh hubungan internasional yang relatif stabil; iv) Intergrated Borderland, merupakan suatu wilayah perbatasan yang kegiatan ekonominya merupakan sebuah kesatuan, nasionalisme jauh menyurut pada kedua negara, biasanya kedua negara tergabung dalam sebuah federasi;

c. Tipologi Objek Pengelolaan Kawasan, berdasarkan objek pengelolaan kawasan perbatasan pada hakekatnya terdapat tiga kegiatan utama yaitu aspek penetapan batas, pengamanan perbatasan dan pengembangan kawasan. Tiga objek pengelolaan ini berkaitan satu dengan yang lainnya dalam satu sistem manajemen.

Penataan Ruang Kawasan Perbatasan

Pembangunan kawasan perbatasan menjadi bagian integral dan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan misi pembangunan nasional, terutama untuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wiayah, pertahanan keamanan nasional, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah perbatasan. Tata ruang merupakan instrumen pembangunan yang berbasis ruang dan sangat penting dalam mewujudkan misi tersebut. Kawasan perbatasan dalam

tah

uk

ah

an

da Perencanaan tata ruang menghasilkan:

1. Rencana umum tata ruang, terdiri dari:

• Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) ditetapkan melalui PP No. 26/2008.

• Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

• Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

2. Rencana rinci tata ruang, terdiri dari:

• RTR Pulau/Kepulauan dan RTR Kawasan Strategis Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden.

• Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

• Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

Sumber: UU No.26/2007; PP No.15/2010.

Page 31: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan 29

Status Penetapan Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR)

Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) merupakan perangkat operasional dari rencana umum tata ruang. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang–Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) terdiri atas: (i) RTR pulau/kepulauan dan RTR kawasan strategis nasional (KSN); (ii) RTR kawasan strategis provinsi (KSP); dan (iii) rencana detail tata ruang (RDTR) kab/kota dan RTR kawasan strategis kabupaten/kota (KSK). RRTR disusun apabila rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala petanya memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan.

RTR pulau/kepulauan dan RTR KSN ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres). Sampai saat ini telah terselesaikan RTR KSN 14 Perpres, sisanya masih dalam proses penyelesaian. Sementara RTR kawasan strategis provinsi (KSP) dan RDTR kab/kota dan RTR kawasan strategi kabupaten/kota(KSK) ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Hingga Mei 2015, seluruh RTR pulau/kepulauan

No Daftar RTR Pulau/Kepulauan1 Perpres No. 77 Tahun 2014 tentang RTR Kepulauan Maluku

2 Perpres No. 57 Tahun 2014 tentang RTR Pulau Papua3 Perpres No. 56 Tahun 2014 tentang RTR Kepulauan Nusa Tenggara

4 Perpres No. 28 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali5 Perpres No. 13 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Sumatera

6 Perpres No. 3Tahun 2012 tentang RTR Pulau Kalimantan7 Perpres No. 88 Tahun 2011 tentang RTR Pulau Sulawesi

RTR Pulau/Kepulauan

dan 13dari 76RTR KSN telah ditetapkan. Untuk RDTR di tingkat provinsi, hanya RDTR Provinsi DKI Jakarta yang telah ditetapkan melalui Perda No. 1 Tahun 2014 dari total 73 pengajuan RDTR, dan di tingkat kabupaten, RDTR Kecamatan Kota Sumenep (Perda No. 3 Tahun 2014) dan RDTR Perkotaan Waibakul (Perda No. 8 Tahun 2013) yang telah ditetapkan dari total 1145 pengajuan RDTR.

No Sudut Kepentingan Daftar RTR Kawasan Strategis NasionalA Rehabilitasi dan

pengembangan dengansudut kepentinganekonomi

1 Perpres No. 87 Tahun 2011 tentang RTR KSN Batam Bintan Karimun

2 Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang RTR KSN Perkotaan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur)

3 Perpres No. 62 Tahun 2011 tentang RTR KSN Perkotaan Mebidangro (Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo)

4 Perpres No. 55 Tahun 2011 tentang RTR KSN Perkotaan Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Talakar)

5 Perpres No.45 Tahun 2011 jo Perpres No. 51 tahun 2014 tentang RTR KSN Perkotaan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan)

B Rehabilitasi dan pengembangan dengan sudut kepentingan lingkungan hidup

1 Perpres No. 70 Tahun 2014 tentang RTR KSN Taman Nasional Gunung Merapi

2 Perpres No. 81 Tahun 2014 tentang RTR KSN Danau Toba dan Sekitarnya

C Rehabilitasi dan pengembangan dengan sudut kepentingan sosial budaya

1 Perpres No. 58 Tahun 2014 tentang RTR KSN Borobudur dan Sekitarnya

D RTR KSN dengan sudut kepentingan pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi, serta sudut kepentingan pertahanan dan keamanan

1 Perpres No. 179 Tahun 2014 tentang RTR KSN Perbatasan Negara di Pro vinsi NusaTenggara Timur

2 Perpres No. 31 Tahun 2015 tentang RTR KSN Perbatasan Negara di Kalimantan

3 Perpres No. 32 Tahun 2015 tentang RTR KSN Perbatasan Negara di Provinsi Papua

4 Perpres No. 33 Tahun 2015 tentang RTR KSN Perbatasan Negara di Provinsi Maluku

5 Perpres No. 34 Tahun 2015 tentang RTR KSN Perb atasan Negara di Prov insi Maluku Utaradan Provinsi Papua Barat

RTR Kawasan Strategis Nasional

Page 32: Buletin Tata Ruang dan Pertanahan  Edisi 1 Tahun 2015

buletin tata ruang & pertanahan30

“Perbatasan Negara sebagai beranda depan

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”