Buletin RMI Edisi II

23
Bulletin RMI edisi II Perjuangan Petani Nanggung “Upaya Untuk Mendapatkan Hak Atas Tanah & Pengelolaan Sumberdaya Alam ” MEDIA INFORMASI PUBLIK

description

Perjuangan Petani Nanggung “Upaya Untuk Mendapatkan Hak Atas Tanah & Pengelolaan Sumberdaya Alam ”

Transcript of Buletin RMI Edisi II

Bulletin RMI

edisiII

PerjuanganPetani Nanggung

“Upaya Untuk MendapatkanHak Atas Tanah & Pengelolaan

Sumberdaya Alam ”

MEDIA INFORMASI PUBLIK

Dari Redaksi

Selamat Hari Tani dan Selamat Ulang Tahun RMI, 21 tahun!

September menjadi bulan istimewa bagi petani yang juga sebagai konstituten utama RMI. Bulan yang (seharusnya) istimewa bagi petani, tapi jumlah tuna kisma terus bertambah. Petani, perempuan dan laki-laki, tua dan muda, adat dan lokal, masih terus memperjuangkan hak-hak atas tanah dan sumberdaya alam. Keterpurukan petani atas keterbatasan tanah dan sumberdaya alam merupakan bencana besar bagi petani. Tak terkecuali anak-anak dan generasi muda yang kehilangan hak atas ruang hidupnya. Potensi perubahan mata pencaharian menjadi tantangan sendiri bagi anak muda di pedesaan. Buruh pabrik atau tenaga kerja lainnya menjadi pilihan yang taktis bagi generasi muda.Sejalan dengan itu,di usianya yang ke 21 tahun, RMI terus memfasilitasi masyarakat (adat dan lokal), anak-anak dan generasi muda di kawasan ekosistem Halimun dan Gede Pangrango untuk memperjuangan hak atas tanah dan sumberdaya alamnya. Dalam situasi perkembangan negara, UUPA tahun 1960, Tap MPR No.IX/2001 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 seharusnya menjadi acuan pemerintah dalam pengelolaan tanah dan sumberdaya alam. Dan tidak sedikit kebijakan pemerintah lainnya yang menegaskan aturan adat dan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam.Pada edisi kedua ini, Petani dan Agraria menjadi tema yang diangkat dan disajikan secara apik dalam rubrik yang tersedia. Rubrik fokus akan membahas implikasi dari putusan MK No.35/PUU-X/2012 terhadap konflik-konflik agraria dan kehutanan di Indonesia. Sedangkan Opini akan mengupas refleksi perjalanan petani dalam menuju kedaulatan atas tanah dan sumberdaya alam. Sebagai pelengkap, sajian potret kasus dan perjuangan petani Nanggung melawan PT. Hevea Indonesia akan disajikan dalam rubrik catatan kaki. Anak muda dari hulu DAS Cisadane melengkapi suaranya di rubrik Suara Muda. Pada rubrik sosok, petani perempuan dari Desa Nanggung memberikan gambaran lengkap proses-proses perjuangan dalam perjuangan lahan.Edisi kali ini dilengkapi dengan tips mengelola dan memanfaatkan pekarangan dengan sayur. Foto-foto perjuangan petani Nanggung menolak perpanjangan PT. Hevea Indonesia menutup lembar bulletin edisi kedua ini.

Selamat membaca!

Tim Redaksi

• Fokus ; Bagaimana Implikasi dari Ralat Politik Hukum Agraria Kehutanan

• Opini ; Refleksi Hari Tani Nasional

• Catatan Kaki ; Proses Advokasi Petani Nanggung

• Tips ; Rumah Peka-rangan Sayur

• Sosok ; Bapak & Ibu Pejabat..Dengarkan Suara Kami...

2

Penanggung JawabNia Ramdhaniaty

Pemimpin RedaksiRatnasari

Redaktur PelaksanaFahmi Rahman

Anggota RedaksiLukmi atie, Mardha Tillah, Indra N Hatasura, Eman

Sulaeman, Asep Suryana, Rojak Nurhawan, Siti

Nursolihat

DesainLasti Fardilla

& Tata LetakErik Suhana, S. Widodo

SirkulasiSiti Nursolihat, Candra

Tresna

Daftar Isi

Catatan:• Bulletin elektronik ini bisa diperbanyak untuk kepentingan penyebaran pengetahuan

danbukanuntukkepentingankomersil.• Isitulisanmerupakantanggungjawabmasing-masingpenulis.

FokusBagaimana Implikasi dari Ralat Politik Hukum Agraria Kehutanan yang dibuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara nomor 35/PUU-X/2012 terhadap Penanganan Konflik-Konflik Agraria Kehutanan yang Kronis?

Oleh: Noer Fauzi Rachman *

3

bahwa “Negara mengakui dan menghormati kes-atuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut (halaman 168),

(D)alam ketentuan konstitusional tersebut, terdapat satu hal penting dan fundamental dalam lalu-lintas hubungan hukum. Hal penting dan fundamental tersebut adalah masyarakat hukum adat tersebut secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai “penyandang hak” yang dengan demikian tentunya dapat pula dibebani kewajiban. Dengan demikian masyarakat hukum adat adalah subjek hukum. Sebagai subjek hukum di dalam suatu masyarakat yang telah menegara maka masyarakat hukum adat haruslah mendapat perhatian sebagaimana subjek hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur, terutama mengatur dalam rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan.Ralat politik agraria yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi menimbulkan pertanyaan mengenai status dari korban-korban penggusuran dan kriminalisasi atas rakyat yang wilayah adatnya dimasukkan dalam kategori hutan negara itu. Para pelajar sejarah agraria dan kehutanan Indonesia mengetahui bahwa kriminalisasi akses rakyat atas wilayah adat yang berada di dalam hutan negara merupakan praktik kelembagaan yang “menyejarah” semenjak elite penguasa negara kolonial (dan kemudian negara paskakolonial) menetapkan penguasaan hutan oleh negara (Peluso 1992 dan Peluso dan Vandergeest 2001;

Sejak 16 Mei 2013, hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara yang berada di bawah penguasaan Kementerian Kehutanan, tapi “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Mahkamah Konstitusi memutuskan demikian dalam perkara nomor 35/PUU-X/2012, berkenaan dengan gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua anggotanya, yakni kesatuan masyarakat hukum adat Kenegerian Kuntu, dan kesatuan masyarakat hukum adat Kasepuhan Cisitu.Mereka memohon pengujian pasal 1.6, dan beberapa pasal lainnya, dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (untuk lebih lanjut lihat Arizona dkk 2013). Putusan MK atas perkara No. 35/2012 itu hadir sebagai suatu kulminasi dari perjuangan organisasi-organisasi gerakan rakyat pedesaan di Indonesia, termasuk AMAN dan para sekutu pendukungnya yang telah bekerja untuk membuat keberadaan masyarakat adat itu dapat dilihat (visible), termasuk dengan menguji “konstitusionalitas” kategorisasi hutan adat ke dalam hutan negara dan syarat-syarat penentuan keberadaan masyarakat adat.Sebagai penjaga norma konstitusi (constitutional guardian) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa selama ini Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan (yang melanjutkan praktek kehutanan di bawah UU No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan) telah salah secara konstitusional memasukkan hutan adat ke dalam kategori hutan negara, dan segala praktek pemerintah yang berdasar pada kesalahan itu telah bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 yang telah diamandemen, termasuk pasal 18B yang berbunyi

Bagaimanaberbagaimekanismeaktualyang

ditempuholehmasyarakathukumadatdalamrangkamengeluarkanwilayah

adatnyadarihutannegara?

lebih lanjut untuk sejarah kebijakan land reform Indonesia, lihat Fauzi 1999; Rachman 2012).

Bagaimana implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi ini pada konflik-konflik agraria kehutanan yang berlangsung secara kronis di seantero Nusantara? Konflik agraria yang dimaksud dalam artikel ini merujuk pada pertentangan klaim yang berkepanjangan antara masyarakat hukum adat dengan badan-badan pemegang konsesi kehutanan mengenai siapa yang berhak untuk menguasai, memanfaatkan dan mengambil keputusan mengenai tanah dan kekayaan alam di atas dan di bawahnya, dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak, secara langsung maupun tidak, menghilangkan klaim pihak lain. Konflik agraria yang dimaksud dimulai oleh surat keputusan Menteri Kehutanan, atau pejabat pemerintah lain, yang memberi ijin/hak/lisensi pada badan tertentu (swasta maupun pemerintah), dengan memasukkan tanah, SDA, dan wilayah kepunyaan masyarakat hukum adat ke dalam konsesi-konsesi agraria yang bergerak dalam bidang ekstrasi, produksi, maupun konservasi dan restorasi ekosistem. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah melancarkan yang diistilahkan Plangisasi, yakni membuat plang-plang tanda klaim kepunyaan. Misalnya, seperti yang dipasang oleh warga padumaan di Kabupaten Humbahas, Sumatera Utara: “Pengumuman: Hutan Adat Padumaan

4

dan Sipituhuta Bukan Langi Hutan Negara Sesuai Keputusan MK No. 35/PUU-X/2012”. Palngisasi ini gencar dibuat oleh anggota-anggota AMAN di seantero Nusantara baik untuk wilayah adat yang berada di dalam kawasan hutan produksi maupun konservasi.Bagaimana tanggapan pemerintah? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato yang simpatik di International Workshop on Tropical Forest, di Jakarta, Kamis, 27 Juni 2013, yang secara khusus menyampaikan komitmen pribadinya (!) untuk menindaklanjuti Putusan MK itu. Pejabat-pejabat pemerintahan di Kementerian Kehutanan pun tak ketinggalan menyampaikan

komitmennya pada berbagai forum publik, termasuk Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Edaran khusus untuk para Gubernur, Bupati, dan Kepala Dinas Provinsi, Kabupaten /Kota yang membidangi kehutanan di seluruh Indonesia (Surat Edaran Nomor : SE.1 / Menhut-II/2013). Pada intinya, Kemenhut akan mengeluarkan wilayah adat

dari hutan negara apabila eksistensi masyararat hukum adat itu telah diakui oleh peraturan daerah kabupaten setempat, terdapat pengajuan kepada Kemenhut untuk pengeluaran wilayah adat itu, dan Menteri Kehutanan membuat Surat Keputusan pengeluaran itu dan pengukuhan statusnya sebagai hutan adat.

Marilah kita menelusuri lebih jauh bagaimana Putusan MK itu secara aktual berpengaruh pada pembentukan berbagai bentuk aksi kolektif baru dari rakyat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di sentero nusantara? Bagaimana pula mekanisme kebijakan dan praktik kelembagaan yang secara aktual dijalankan Kementerian Kehutanan, dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, dalam upaya menindaklanjuti deklarasi pengakuan status masyarakat hukum adat sebagai penyandang hak dan subjek hukum atas wilayah adatnya? Bagaimana berbagai mekanisme aktual yang ditempuh oleh masyarakat hukum adat dalam rangka mengeluarkan wilayah adatnya dari hutan negara?

Sumber:https://www.facebook.com/photo.php?fbid=613724321974194&set=pb.100000098964191.-2207520000.1380510080.&type=3&theater

*) Noer Fauzi Rachman, PhD adalah Direktur Sajogyo Institute, Bogor;Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); dan anggota timpengajar mata kuliah “Politik dan Gerakan Agraria” pada DepartemenSains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), FakultasEkologiManusia(FEMA),InstitutPertanianBogor(IPB).

5

Lalu, bagaimana pula visibilitas, representasi dan partisipasi kelompok-kelompok perempuan dan marjinal lainnya dalam dalam proses-proses gerakan sosial, advokasi perubahan kebijakan, dan pembentukan kembali posisi masyarakat adat nya itu? Seberapa berhasil Kementerian Kehutanan mewujudkan/menyatakan norma konstitusional yang mengeluarkan hutan adat itu dari hutan Negara, atau justru bersiasat mengelakkan diri daripada kewajiban itu? Last but Not least, siapa sajakah yang secara aktual diuntungkan dan dirugikan oleh Putusan MK itu.

Semua pertanyaan-pertanyaan empiris ini memerlukan penelitian yang serius dan seksama.

Daftar Pustaka

Arizona, Yance, Siti Rakhma Mary Herwati danErasmus Cahyadi. 2013 (akan terbit). KembalikanHutanAdatkepadaMasyarakatHukum Adat. Anotasi Putusan MahkamahKonstitusi Perkara No. 35/PUU-X/2012mengenai Pengujian Undang-UndangKehutanan. Jakarta: Epistema Institute, Perkumpulan HuMa, dan AMAN.

Fauzi, Noer. 1999. PetanidanPenguasa, PerjalananPolitik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press, bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Mahkamah Konstitusi. 2013. Putusan MahkamahKonstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=6&kat=1&cari (last accessed on 17 July 2013).

Peluso, Nancy Lee. 1992. RichForests,PoorPeople:Resource Control and Resistance in Java.Berkeley, CA: University of California Press.

Peluso, Nancy Lee, and Peter Vandergeest. 2001. Genealogies of the Political Forest and Customary Rights in Indonesia, Malaysia, and Thailand”. JournalofAsianStudies, 60, (2001) 761–812.

Rachman, Noer Fauzi. 2012. LandReformdariMasakeMasa. Yogyakarta: Penerbit Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

6O

pini

Refleksi Hari Tani Nasional :

“Petani Berdaulat, Negara Maju”Oleh: Eman Sulaeman *

Terbitnya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) pada tanggal 24 September 1960 lalu, hingga kini melewati kurun 53 tahun, bukanlah waktu yang singkat untuk suatu perjalanan panjang yang harus dilalui. Namun nyatanya cita-cita dan semangat UUPA belum mampu dirasakan manfaatnya oleh warga negara, karena ada sebuah keengganan dari penyelenggara negara (rezim OrdeBaru) untuk menjalankan UUPA tersebut. Rezim Orde Baru dengan sengaja mengubur peran dan amanat UUPA, terbukti dengan keluarnya beberapa undang-undang yang pro kapitalis (UU Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri, UU Pokok Kehutanan, dll).Setelah runtuhnya kekuasan Orde Baru, lagi-lagi harapan UUPA agar menjadi pijakan untuk memberikan kesejahteraan rakyat tak kunjung terwujud. Kesewenangan, intimidasi dan lain sebagainya masih terus terjadi kepada Petani Tuna Kisma. Banyaknya aksi massa dan perjuangan petani untuk terus menyerukan hak-haknya, masih belum berbuah manis bagi petani. Terkait dengan konflik agraria yang terjadi di beberapa wilayah Republik ini terjadi juga di wilayah Masyarakat Adat Banten Kidul, dimana tanah adat mereka diklaim oleh negara dan masuk dalam areal Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Padahal jauh sebelum Republik Indonesia ini lahir, masyarakat adat yang ada di Banten Kidul tersebut sudah ada dan mengelola tanah tersebut menurut aturan dan adat istiadat yang secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Pertentangan kawasan kelola Masyarakat Adat Banten Kidul dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) bermula ketika Kementrian Kehutanan (Menteri Kehutanan) mengeluarkan SK Penunjukan SK Menhut/Kpts-II/2003, Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dari 40 Ribu Ha menjadi 113 Ribu Ha. SK Penunjukan Menhut No. 175/Kpts-II/2003 tersebut secara otomatis meminggirkan masyarakat adat dari tanah kelahirannya dan sekaligus menghilangkan salah satu identitas yang selama ini melekat erat pada mereka yaitu sebagai masyarakat yang menggantungkan seluruh kehidupannya dari tanah dan hutan adatnya. Kontroversi yang terus berlanjut tersebut memaksa masyarakat adat beserta berbagai elemen yang peduli akan keberadaan masyarakat adat terus melakukan perjuangan untuk melawan ketidak adilan yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara. Hingga melakukan Judicial Review beberapa pasal dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diprakarsai oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan 2 (Dua) komunitas adat lainnya

PerluasanKawasanTamanNasionalGunungHalimunSalakdari40RibuHamenjadi113RibuHa

7

KeputusanMKNo.35HutanAdattidaklagimenjadibagiandariHutanNegara,melainkan

menjadihutanhak

(Kasepuhan Cisitu dan Kenegerian Kuntu).Hasilnya pada tanggal 16 Mei 2013 yang lalu keluar putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Poin penting dalam putusan MK tersebut bahwa dalam Pasal 5 Ayat 1 UU 41 Tahun 1999 sebelum putusan MK menyatakan bahwa hutan adat termasuk dalam hutan Negara, setelah adanya putusan MK No. 35 Hutan Adat tidak lagi menjadi bagian dari Hutan Negara, melainkan menjadi hutan hak. Walaupun menyisakan banyak lubang yang harus ditutupi, misalnya terkait dengan aturan adat dan pendataan wilayah, dari pihak Pemerintahpun terutama Kementrian Kehutanan masih sulit untuk bisa menerima putusan MK tersebut. Hal ini karena masih banyak kepentingan yang ada di areal hutan tersebut, seperti ijin HPH, HTI, Kerjasama dengan pihak luar untuk program Adopsi Pohon dan lain sebagainya. Disamping itu pula, putusan MK ini tidak akan berarti apa-apa untuk masyarakat adat kalau Pemerintah Pusat (Presiden) tidak menerbitkan Intruksi Presiden atau Peraturan Pemerintah mengenai putusan MK tersebut. Dalam Putusan MK tersebut mensyaratkan harus ada pengakuan dari Pemeritah Daerah dalam bentuk Peraturan Daerah mengenai Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat (seperti halnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 67 ayat 2). Untuk mengakomodir syarat tersebut Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI) telah berhasil mendapatkan pengakuan dari pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten walaupun dalam bentuk SK Bupati No. 430/Kep.298/Disdikbud/2013 yang ditanda tangani oleh Bupati Lebak pada tanggal 22 Agustus 2013 yang lalu. Hal ini tentunya menjadi bukti bahwa keberadaan masyarakat adat diakui secara hukum meskipun bukti-bukti eksistensi masyarakat adat tersebut sudah ada sebelumnya seperti bahwa mereka mempunyai KTP, ikut dalam Pemilihan Umum, membayar PBB dan lain sebagainya.Kasus lainnya dialami masyarakat di Kampung Ciwaluh - Lengkong Desa Wates Jaya Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor Jawa Barat, yang lebih rentan terhadap pengusiran oleh pihak

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Masyarakat yang ada di Dua Kampung tersebut belum terorganisir dengan baik, sehingga peluang terhadap tertutupnya akses lahan yang sudah sejak lama mereka kelola, sangat besar. Disamping itu pihak TNGGP sudah pula membuat dan menetapkan Zonasi yang baru terhadap kawasan TNGGP dan areal lahan yang masyarakat kelola berada di kawasan Zona Rimba dan Zona Rehabilitasi yang menurut Permenhut No. 56 tahun 2006 tentang Zonasi, dua Zona tersebut tidak diperbolehkan ada kegiatan masyarakat. Namun proses penetapan zonasinya sendiri tidak melibatkan Masyarakat maupun tokoh masyarakat dan juga pemerintahan setempat. Hal inilah yang menyebabkan beberapa kali hampir terjadi bentrok antara masyarakat kampung Ciwaluh-Lengkong dengan petugas lapangan TNGGP, akibat kurangnya informasi dan pihak TNGGP. Demikian pula adanya pelarangan masyarakat menanam kopi oleh TNGGP dan kebun kopi masyarakat kabarnya akan dibabat oleh petugas TNGGP karena bukan tanaman endemik kawasan tersebut. Sontak membuat kemarahan masyarakat dengan cara menyandera petugas lapangan TNGGP, dan setelah adanya negosiasi antara pihak TNGGP dengan Pewakilan masyarakat akhirnya sandera tersebut dibebaskan dan masyarakatpun menuntut agar tanaman kopinya tidak boleh dibabat dengan alasan apapun. Ketika itu perwakilan TNGGP pun menyanggupi permintaan masyarakat asalkan

jangan memperluas lahan dan jangan menebang pohon yang sudah ada sebelumnya. Permasalahan yang kerap timbul tersebut merupakan buntut dari kebijakan sepihak yang dibuat untuk membungkam masyarakat yang seharusnya dilindungi hak-haknya oleh penyelenggara negara, apalagi menurut masyarakat mereka telah ada dan mengelola tanah di areal tersebut sejak tahun 1932. Sampai saat ini belum ada kejelasan untuk masyarakat mengenai lahan garapan mereka yang bisa saja sewaktu-waktu terusir dari lahan garapannya.Di Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor, masyarakat tidak lagi mempuyai keleluasaan dalam mengakses lahan, semua serba dibatasi bahkan untuk sekedar menanam sayur-sayuran mereka harus menyewa kepada pihak perusahaan (MNC Group), karena hampir semua tanah yang ada di desa tersebut telah dikuasai oleh perusahaan MNC Group dan orang luar. Tak tanggung-tanggung yang terlibat dalam pembebasan lahan di desa ini tokoh-tokoh masyarakat , seperti ketua RT, anggota BPD, Ustad, kepala desa, bahkan ada beberapa staff desa telah menjadi speculant tanah dengan penguasaan yang begitu luas, padahal mereka bukanlah petani. Sementara petani aslinya hanya bisa mengolah lahan dengan cara menyewa kepada pemilik lahan atau menggunakan sistem paro.

Kesimpulan:Tidak terasa UU Pokok Agraria yang lahir pada 24 September 1960, kini telah memasuki usia yang ke Lima Puluh Tiga Tahun. Namun sayang, di usia yang sudah sangat dewasa itu, pengaturan dan pengurusan masalah-masalah agraria di Indonesia, spirit pembaruan agraria yang terkandung di dalam UUPA, belum dijalankan dengan baik oleh pemerintah. Bagi masyarakat Indonesia, tanah dan sumber agraria (air, hutan, tambang dll) merupakan faktor kehidupan yang sangat penting. Tanah maupun SDA tersebut bukan hanya merupakan faktor produksi dalam arti ekonomi, namun juga mengandung arti sosial, politik, budaya, bahkan mempunyai arti religius.

Masyarakattidaklagimempuyaikeleluasaandalammengakseslahan,semuaserbadibatasibah-kanuntuksekedarmena-namsayur-sayuranmerekaharusmenyewakepadapihakperusahaan

8

Tetapi di sisi lain, terjadi proses peminggiran hak-hak rakyat untuk memanfaatkan tanah dan mengelola sumber-sumber agraria dengan memfasilitasi kepentingan badan usaha skala besar (pemodal). Akibatnya, terjadi ketimpangan penguasaan atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Peminggiran dan pengingkaran hak-hak rakyat ini kemudian menyebabkan munculnya ribuan kasus sengketa dan konflik agraria yang disertai dengan pelanggaran HAM. Berbagai macam ketidakadilan masih terus berlanjut terhadap petani tuna kisma tanpa ada mekanisme kebijakan yang ditempuh. Rakyat terus menjerit atas ketidakadilan ini dan harapan atas perubahan sepertinya masih sulit terjangkau jika penyelenggara Negara masih korup dan hanya mementingkan diri dan kelompoknya. Dengan momentum hari Tani Nasional (24 September), saatnya rakyat untuk bangkit dan merebut hak-haknya sebagai warga negara dan mengakhiri semua ketimpangan ini.

“Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia.” (Soekarno, Djalannja Revolusi Kita, 1960). Referensi:• Catatan Pendampingan RMI• Wokanubun, AK. Meretas Konflik Agraria

dengan Reforma Agraria. LBH Makassar.• Majalah Pembaruan Tani. Juni 2007 (edisin 40).

Konflik Agraria dan Perjuangan Kaum Tani.

“Melaksanakanlandreformberartimelaksanakansatubagianyangmutlakdari

RevolusiIndonesia.”(Soekarno,DjalannjaRevolusi

Kita,1960)

9

*)EmanSulaeman,StafPengorganisasianMasyarakatRMI.

10

CatatanKaki

“Proses Advokasi Petani Nanggung”

Oleh: Asep Suryana *

FOTO

Konflik agararia semakin meningkat kini, dipicu oleh ketidakberdayaan Pemerintah membendung investasi pemodal besar di sector pengelolaan sumberdaya alam. Pemerintah telah menyengsarakan masyarakat dan kaum tani di daerah.Upaya untuk mendapatkan kembali ruang kelola di sektor pertanian terus dilakukan oleh petani di sejumlah wilayah, karena ketidakjelasan pemerintah dalam mengeluarkan perizinan. Kondisi tersebut memicu konflik antara masyarakat dengan pemegang izin. Pengorbanan masyarakat dalam merebut hak atas ruang kelolanya masih terus dilakukan dan tak ternilai secara materi.Begitu pula dengan petani di kecamatan Nanggung saat ini berposisi menolak perpanjangan HGU PT. Hevea Indonesia (Hevindo). Ilham (2006) menyebutkan bahwa pada dasarnya petani telah menggarap sejak lahan HGU dikelola oleh PT. Sinar Mutiara (sebelum PT. Cengkeh Zanzibar) seluas 1200 ha. Petani penggarap diberi kartu putih sebagai tanda surat garapan tumpang sari. Namun ketika beralih ke PT. Cengkeh Zanzibar petani penggarap diminta untuk berhenti menggarap dan kartu putih pun harus diserahkan. Ada masyarakat yang menyerahkan ada pula yang tidak. Masyarakat yang tidak menyerahkan kartu putih tersebut didaftarkan untuk di-PRONA-kan pada tahun 1983. Namun kemudian setelah setifikat itupun terbit tidak semuanya diserahkan kepada masyarakat yang pernah memiliki kartu putih, hanya orang-orang tertentu saja yang menerima sertifikat tersebut. Orang-orang tersebut berada pada kalangan elit desa dan elit kampung yang memliki pengaruh serta memiliki kekuatan menekan masyarakat. Sedangkan masyarakat yang benar-benar mengelola dan menguasai lahan sejak lama tidak pernah mendapatkan sertifikat tersebut hingga kini. Kartu putih merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat disekitar areal perusahaan sudah pernah diberikan hak penguasaan lahan sejak tahun 1957. Namun karena keserakahan dan kerakusan penguasa pada waktu itu, masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan haknya.Aksi massa yang dilakukan oleh masyarakat adalah salah satu bentuk protes terhadap ketidakadilan. Upaya masyarakat Nanggung dalam mempertahankan lahan kelolanya di wilayah perkebunan PT Hevea Indonesia sudah cukup panjang dan berliku. Rintangan itu bukan hanya dari luar tapi juga dari dalam. Sebagai contoh karena wilayah HGU tersebut ada di 3 desa yakni Desa Nanggung, Desa Curugbitung dan Desa Cisarua, keberpihakan Pemerintah Desa terhadap gerakan masyarakat sangat rendah dan terkadang menjadi pemicu konflik antar petani. Hal tersebut terjadi karena Pemerintah Desa sepertinya tidak begitu peduli terhadap keberlanjutan hidup kaum tani tak bertanah.Meskipun dukungan dari Pemerintah Desa sangat kecil, namun para petani tetap optimis dengan apa yang sudah dilakukan. Dari pertemuan ke pertemuan, dari diskusi ke diskusi dari pendidikan ke pendidikan kaum tani terus bersemangat dalam gerakannya.Foto:Dok.RMI/ErikSuhana

11

Upaya yang dilakukanPertemuan untuk menyamakan persepsi terhadap berbagai pihak yang terkait terus dilakukan, seperti dengan BPN Kab Bogor. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menyampaikan cara pandang, bahwa lahan yang diserahkan Pemerintah kepada Perusahaan tidak dikelola dengan baik. Sehingga lahan yang diterlantarkan oleh perusahaan sejak tahun 1996 itu dikelola oleh masyarakat yang berada di sekitar perusahaan.Selain dengan BPN Kabupaten Bogor, audiensi dengan BPN Kawil Jawa Barat pun dilakukan untuk memperkuat dan memperjelas posisi masyarakat. Namun secara sepihak Pemerintah Kabupaten Bogor mengeluarkan surat tentang petunjuk teknis dan diversifikasi tanaman tanpa melakukan assessment lapangan terlebih dahulu. Surat terebut memicu kemarahan kaum tani yang dilampiaskan dengan menggelar aksi massa di alun-alun komplek Pemerintah Daerah kabupaten Bogor.Upaya memperkuat dukungan dari pihak luarpun terus dilakukan dengan berkomunikasi dan berdiskusi aktif dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsen pada issu reforma agraria. Hal ini dilakukan untuk menambah pengetahuan terhadap hak atas tanah dan hak warga Negara dari koridor hokum positif.Kaum tani Nanggung dalam mempertahankan hak atas tanah dan ruang hidupnya terus dilakukan dengan langkah-langkah konkret, seperti SMP Satu Atap 1 Nanggung yang dibangun pada pertengahan tahun 2008 dan diresmikan oleh Bupati Bogor pada bulan September 2009. Pembangunan fisik seperti ini menjadikan posisi masyarakat atas argumentasinya semakin kuat. Sehingga bukan saja sekolah namun pemukiman dan fasilitas ibadahpun dibangun.Langkah ini merupakan sebuah upaya mempertegas bahwa masyarakat lebih membutuhkan lahan tersebut. Secara ekonomi lahan ini sangat membantu perekonomian rumahtangga, secara sosial lahan tersebut mampu membangkitkan kembali semangat kebersamaan, serta bermanfaat juga secara ekologis karena sebagian besar lahan yang dikuasai oleh masyarakat ditanami dengan tanaman keras yang memiliki nilai ekonomi dan ekologi.Pada pertengahan bulan April 2013 yang lalu pihak perusahaan bekerjasama dengan Jawara melakukan intimidasi kepada masyarakat pengelola lahan HGU, sehingga masyarakat merasa resah dan ketakutan serta tidak bisa bertidak apa-apa. . Masyarakat yang tergabung dalam Organisasi Tani Lokal yaitu AMANAT (Aliansi Masyarakat Nanggung Transformatif) yang didampingi oleh beberapa NGO yang fokus pada issu Agraria mengadukan kejadian perusakan tanaman masyarakat yang berada dilahan HGU kepada KOMNAS HAM. Pengaduan ini dilakukan karena masyarakat merasa haknya telah dirampas.Hingga saat ini perjuangan para petani Nanggung untuk mendapatkan hak atas tanah masih berlangsung, tekanan dan upaya pecahbelahpun semakin deras ditujukan kepada para penggerak dilapangan, namun itu tidak menyurutkan semangat para petani.

SelaindenganBPNKabupatenBogor,

audiensidenganBPNKawilJawaBarat

pundilakukanuntukmemperkuatdan

memperjelasposisimasyarakat.

*)AsepSuryana,StafPengorganisasianMasyarakatRMI.

Foto:Dok.RMI/Widodo

Tips

Bertanam sayuran di pekarangan rumah berfungsi sebagai sumber gizi keluarga yang sehat, segar dan bebas dari residu pestisida kimia. Bertanam sayuran dipekarangan juga membantu kita dalam menghemat pengeluaran pangan keluarga karena pastinya tanaman yang ditanam akan kita konsumsi sendiri atau bahkan bisa kita jual kepada tetangga ataupun warung-warung terdekat. Beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dalam bertanam sayuran di pekarangan rumah diantaranya:1. Memiliki nilai estetika atau keindahan sehingga selain dapat

dikonsumsi, sayuran yang ditanam dapat mempercantik halaman rumah. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan memilih jenis, bentuk dan warna tanaman yang sesuai dengan kondisi lingkungan rumah.

2. Model yang digunakan mudah dipindahkan, untuk mengantisipasi pemanfaatan dan penataan pekarangan. Model yang digunakan dapat berupa vertikal atau vertikultur dan budidaya dalam pot.

3. Hampir semua jenis tanaman sayur dapat ditanam di pekarangan rumah dengan sistem vertikultur dan pot, seperti: bayam, kangkung, sawi, selada, kenikir, kemangi, kucai, seledri, cabai, tomat, terong, pare, kacang panjang, timun, oyong dan masih banyak lagi.

Tahap-tahap bertanam sayur di pekarangan rumah:1. Penyiapan wadah penanaman (pot). Pot dapat berupa pot

plastic, ember, kaleng, pot gerabah, polybag, dll. Lakukan pelubangan pada bagian dasar pot guna mengatur kelebihan air penyimpanan.

2. Penyiapan media tanam. Media tanam yang digunakan merupakan campuran tanah, pupuk kandang/ kompos dan sekam bakar yang telah disaring dengan komposisi sama.

3. Pembibitan. Pembibitan dilakukan untuk benih-benih yang berukuran kecil dan berharga relative mahal seperti sawi, selada, cabai, tomat, dll.

4. Penanaman. Penanaman dilakukan setelah bibit memiliki daun sempurna 3-5 helai.

5. Pemupukan. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang atau kompos.

6. Penyiraman. Penyiraman dilakukan 1 sampai 2 kali sehari, dan dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan alat siram berupa gembor atau selang plastic.

7. Pengendalian hama dan penyakit.8. PanenOptimalisasi pekarangan akan menjamin ketersediaan pangan yang bergizi secara terus menerus. Jika ketahanan pangan keluarga terpelihara maka dengan sendirinya akan terwujud ketahanan pangan nasional di tengah krisis kenaikan harga BBM, inflasi serta kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.

Rum

ah P

ekar

anga

n Sa

yur

Bertanamsayurandipekaranganrumah

mungkinbukanhalyangbarulagibagikita,tapi

apakahkitasemuasudahmulaimempraktekannya?

Banyakdarikitabelummemanfaatkanarea

kosongdihalamanrumahsebagaisumberpangan,

padahaldisadariatautidakpemanfaatanpekarangan

yangproduktifadalahdenganbertanamsayuran

12

Oleh: Siti Nursolihat *

*)SitiNursolihat,StafKeuanganRMI.

13SosokBAPAK DAN IBU PAJABAT…

DENGARKAN SUARA KAMI……

oleh: Lukmi Atie *

Pribadinya sangat sederhana, ramah dan apa adanya. Seorang ibu ini bernama Siti Reni Mulyani, orang di sekitarnya biasa memanggilnya Eni. Bu Eni merupakan salah satu perempuan yang saat ini tengah memperjuangkan lahan terlantar di kampungnya, Kampung Cibitung Desa Nanggung, yang saat ini tengah menjadi perebutan dengan salah satu perusahaan perkebunan. “Kami sudah menggarap lahan ini sejak tahun 1994 yang lalu, karena tanah ini terlantar dan di biarkan saja, maka masyarakat di sini berinisiatif untuk manggarapnya”, begitu di jelaskannya ketika di tanyakan tentang asal usul tanah terlantar yang saat ini di perjuangkan . “Tanah kami sangat terbatas dan sempit sekali, sementara kami harus membiayai anak-anak sekolah dan memberi mereka makan setiap hari, ujar perempuan berusia 37 tahun ini. Meskipun hidup di kampung yang lumayan terpencil dari pusat kota, Bu Eni memiliki keahlian dan wawasan cukup luas. Pendidikan formal yang hanya di ikutinya sampai SD, tidak membuatnya kesulitan untuk memperoleh ilmu di luar sekolah. Berbagai kegiatan yang bisa meningkatkan keahliannya aktif dia ikuti. Salah satunya adalah keahliannya memelihara tanaman. Berbagai ragam tanaman yang cukup variatif memenuhi sebidang kebunnya yang tidak terlalu luas. Bu Eni sudah bisa memilah-milah tanaman yang di sesuaikan dengan kecukupan kebutuhan pangan keluarganya. Variasi tanaman sudah di rancang dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan harian, mingguan, bulanan hingga tahunan. Semuanya terencana dengan baik dan teratur. “Saya ingin kebutuhan pangan keluarga bisa tercukupi oleh keluarga saya sendiri, tanpa membeli apalagi merepotkan orang lain. Demikian juga kebutuhan pendidikan untuk anak-anak. Saya ingin anak-anak saya bisa menamatkan sekolah sampai minimal SLTA, tidak seperti saya” begitulah ujar ibu dari 4 anak ini. Semangatnya yang tinggi untuk menggapai mimpinya untuk bisa menunaikan ibadah haji patut menjadi panutan bagi perempuan yang lain.Bu Eni terlahir dan di besarkan di lingkungan keluarga petani. Menurutnya modal dasar petani adalah tanah. “Bagaimana mungkin kita bisa menghasilkan sesuatu atau bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan kalau tanah saja kita tidak punya? Lahan kami sangat sempit jadi harus bisa mengoptimalkan agar bisa menghasilkan yang lebih banyak dan cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari” Seloroh ibu yang punya hobi membaca dan belajar agama Islam ini.Keinginan yang kuat untuk bisa terus memenuhi kebutuhan keluarganya, istri dari Bapak Utis ini berjuang untuk bisa terus menggarap lahan PT. Hevindo yang saat ini menjadi perebutan.Ia prihatin melihat kondisi masyarakat di kampungnya yang saat ini memiliki akses terhadap lahan sangat sempit sementara kebutuhan semakin meningkat. Sebagai bentuk kepedulian, Bu Eni senantiasa berupaya untuk mempertahankan lahan terlantar PT.Hevindo untuk tetap bisa di kelola oleh warga setempat. Menurutnya lahan tersebut adalah kehidupan bagi dia dan warga kampung di situ.

Nama Lengkap : Siti Reni Mulyani

Umur :37 tahun

Pekerjaan :Petani dan Ibu Rumah Tangga

Anak :4 orang

Alamat :Kampung Cibitung RT 01/06 Desa Nanggung Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor

Pendidikan :SD

Cita-cita :Ingin pergi haji

Hobby :Memelihara tanaman

Bu Eni dan keluarganya sudah menggarap lahan itu selama kurang lebih dua puluh tahun. Dengan menggarap lahan tersebut, selain bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari Bu Eni juga mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga SLTA, bahkan mampu membeli sepeda motor. Bu Eni tidak bisa membayangkan jika lahan yang sudah menjadi kehidupan masyarakat setempat selama bertahun-tahun di ambil oleh pihak perkebunan. Dia menuturkan “kalau pihak perkebunan kan duitnya banyak, masih bisa hidup nyaman meskipun tidak mengambil tanah ini, tapi kami warga di sini bagaimana bisa menghidupi keluarga kalau lahan sumber kehidupan kami harus di ambil, kemana lagi kita mencari sumber kehidupan”.Kekhawatiran serta ketakutan Eni dalam mempertahankan lahan ini acap kali menjadi cerita sedih. Seringkali para penggarap termasuk Eni mendapat intimidasi dari preman-preman perwakilan pihak perkebunan. Yang tragis pada bulan April 2013 yang lalu tanaman yang siap dipanennya dibabat habis oleh kaki tangan pihak perkebunan. Ketakutan-ketakutan selalu menghantui Eni dan masyarakat di desa ini. Kejadian-kejadian yang menyedihkan seperti ini, memacu Eni bersama warga lainya membentuk kelompok penggarap untuk bersama sama berjuang dengan petani di tiga desa lainya yaitu Cisarua, Curungbitung dan Nanggung yang tergabung di AMANAT (Aliansi Masyarakat Nanggung Transpormatif). Sebuah organisasi rakyat yang di bentuk untuk memperjuangkan lahan di Kecamatan Nanggung. Negosiasi demi negosiasi dilakukan mulai dengan Kepala Desa, Bupati Bogor, hingga Kepala BPN Kabupaten Bogor untuk meminta dukungan. Bahkan masyarakat juga telah mengadukan masalah yang dialaminya kepada KOMNASHAM. Diskusi-diskusi efektif dengan beberapa LSM yang peduli dengan nasib mereka juga dilakukan. Pada tanggal 22 April bertepatan dengan hari tani Eni bersama lebih dari 900 orang warga dari ke tiga desa tersebut melakukan demo di Pemda Cibinong. Dari 900 orang tersebut lebih dari 200 orang adalah kelompok perempuan.Upaya untuk memperjuangkan lahan ini memang banyak di lakukan oleh kelompok laki-laki. Namun support kelompok perempuan termasuk yang di lakukan oleh Eni dan perempuan lain di kampung sangat berperan dalam memberikan semangat kepada para suami mereka untuk terus berjuang. Di saat kelompok laki-laki berjuang, Eni bersama kelompok perempuan lainnya tetap terus mengelola serta merawat tanaman dilahan garapan mereka dengan tuma’ninah. Bagi Eni serta perempuan-perem-puan lain, apabila diperlukan mereka siap untuk melakukan aksi dan ikut bernegosiasi dengan pihak terkait demi untuk mendapat hak atas tanah tersebut.

“Saya berharap agar lahan garapan yang sekarang kita garap ini, dapat dimiliki oleh warga secara mutlak, semoga Pak Bupati dan bapak-bapak dan ibu-ibu yang duduk di sana mendengar suara kami, dan berpihak kepada kami sebagai masyarakat kecil”, ujar Eni berharap. Pak Bupati atau siapapun yang punya hak untuk memutuskan, tidak akan memberikan ijin kembali kepada PT. Hevindo untuk mengelola lahan ini. “Kalau pihak perkebunan kan hanya satu orang, sementara kami masyarakat kan ribuan, masa Pak Bupati atau Pak BPN akan membantu yang satu orang saja?” begitulah Eni selalu berupaya untuk bisa terus manggarap lahan ini.Dalam lubuk hatinya Eni percaya dan yakin bahwa lahan yang diperjuangkan akan menjadi milik masyarakat, dan lahan ini pasti akan di kelola oleh masyarakat dengan baik, karena lahan inilah yang saat ini menjadi sumber ekonomi masyarakat di kampungnya. Sinar mata Eni berbinar dan hati kecilnya yakin bila lahan ini tetap bisa di kelola oleh masyarakat di kampungnya pasti kondisi ekonomi

masyarakat di situ berangsur membaik dan warga akan bisa mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga serta bisa menyekolahkan anak-anaknya minimal sampai SLTA.

14

*)LukmiAtie,DeputiKeuangandanSumberdayaRMI

Foto:Dok.RMI/RojakNurhawan

Event15

Dalam rangka memeriahkan Bulan Anak Internasional :

Saksikanlah!

Pesta RakyatDongeng untuk Adik Kecil

Rangkaian Acara : - Dongeng Rakyat- Pameran Produk Masyarakat- Permainan Tradisional- Layar Tancap- Hiburan Rakyat- Aksi Tanam- Bakti Sosial

Oktober 2013

16

Jika berbicara masalah dulu dan sekarang rasanya sangat banyak perbedaan dari berbagai aspek, mulai dari Lingkungan, sosial, ekonomi maupun budaya.Setelah disahkannya sistem ekonomi global di negara kita, semakin banyak perusahaan asing yang mendirikan pabrik di Indonesia, tidak hanya di kota besar seperti jakarta, yang mengalami pembangunan dimana-mana untuk keperluan Industri, namun juga di daerah kaki gunung Gede pangrango dan Salak. Jika kita menelusuri sekitar jalan raya Sukabumi, ada banyak pabrik yang menghiasai bahu jalan. Mungkin hampir mencapai 30 pabrik, belum lagi jika kita melewati jalan alternatif, tidak terlewatkan, pabrik juga kokoh bertengger disana. Seperti yang terjadi di daerah perbatasan Kec.Caringin dan Kec.Cigombong, setelah

pabrik minuman Vit beberapa tahun beroperasi, kini ada pabrik baru yang sedang di bangun di lahan yang dulunya merupakan sawah m a s y a r a k a t di dua desa perbatasan itu, tepatnya adalah desa Muara jaya dan desa Ciadeg. Pabrik orang tua namanya.

Lokasinya sangat berdekatan satu sama lain dan dipisahkan oleh aliran sungai Cisadane. Secara ekonomi mereka membantu perekonomian masyarakat, namun anehnya tetap saja masyarakat belum sejahtera secara global. Namun dari hal tersebut pasti memberikan dampak di faktor lingkungan, sosial dan budaya di masyarakat. Tapi kita tidak akan membahas hal itu, disini saya akan membicarakan tentang dampak hal tersebut kepada anak.Akan sedikit sulit rasanya sekarang untuk mencari di mana anak-anak bermain. Pada masa kecil saya dulu anak-anak sudah memiliki tempat yang bisa dibilang, pasti anak-anak bermain di tempat itu, ada banyak lahan kosong yang bisa kita gunakan untuk bermain namun sulit untuk sekarang. Bukankah anak memiliki haknya untuk mendapatkan tempat bermain? Seperti yang pernah di bicarakan oleh mas Kiki salah satu psikolog dalam acara talkshow di Baranang siang pada tanggal 30 juni lalu

Suara Muda

Oleh: Rahma Novianti

“perubahan lingkungan itu memberikan dampak perilaku kepada anak”. Seperti yang terjadi di daerah saya, sekarang lebih banyak rumah dan tempat industri yang di bangun entah itu skala kecil ataupun besar seperti pabrik. Otomatis semakin sedikit pula tanah lapang yang biasa di gunakan untuk bermain anak-anak. Jika berbicara dengan kaca mata sosial, zaman dulu anak lebih sering berinteraksi dengan banyak orang dengan media bermain, dan permainan yang di mainkan pada saat itu merupakan permainan yang dapat membangun kepribadian anak, yang menjadikan permainan itu media belajar secara tidak langsung, seperti belajar untuk berani, membuat strategi, membangun keperdulian saling menolong, tidak mudah menyerah, menerima kekalahan, berkompetisi, mandiri dan lain-lain. Selain itu anak juga sehat, karna selain bermain mereka juga berolah raga. Anak merasa senang menjalani proses belajar pembentukan karakter itu, seakan-akan saat bermain itulah dunia mereka.Apakah teman-teman masih ingat permainan bebentengan, sondah, boyboyan, kasti, galah, gampar, macam-macam ucingan dan masih banyak lagi, semua permainan itu dilakukan di ruang terbuka. Dan yang terjadi sekarang, sangat jarang melihat permainan itu, kita akan lebih sering melihat anak bermain ps, di warnet, i-ped, main PB. Mereka bermain dengan dunia maya, dan asik dengan dunianya sendiri, memicu mereka untuk individualis dan jarang berinteraksi dengan orang banyak. Kita tidak bisa hanya menyalahkan perkembangan zaman dan tekhnologi, dan jika anak di tanya kenapa tidak melakukan permainan tradisional seperti dulu? Tak sedikit yang menjawab, “sudah tidak zaman” atau “ mau main dimana?” saya tertarik di jawaban yang kedua karna setelah di fikir memang betul, mau main dimana mereka?, sedangkan dalam kenyataannya sekarang lahan sangat terbatas. Dunia mereka sudah dijadikan tempat seperti yang diceritakan diatas sebelumya. Dari sini anak menjadi korban, Seakan-akan tempat bermain bukanlah bagian penting untuk mereka. Padahal itu merupakan modal untuk perkembangan pembentukan karakter anak.

17

Setelahdisahkannyasistemekonomiglobaldinegarakita,semakinbanyakperusahaanasingyangmendirikanpabrikdiIndonesia,tidakhanyadi

kotabesarsepertijakarta,yangmengalamipembangunan

dimana-manauntukkeperluanIndustri,namunjugadidaerah

kakigunungGedepangrangodanSalak

Seakan-akantempatbermainbukanlahbagian

pentingbagimereka

*)RahmaNovianti,KoordinatorLindalangLindalang(LingkunganDaurUlang)adalahkelompokanakmudayangaktifdalamdaurulangsampah

Melihat fenomena munculnya konsep CSR (Corporate Social Responsibility) atau “tanggung jawab sosial perusahaan” dari berbagai perusahaan, sepatutnya kita merasa sedikit lega, sebab sudah ada tanda-tanda bahwa perusahaan mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan pembangunan sosial di masyarakat. Hal ini merupakan langkah maju yang perlu diapresiasi oleh kita semua.Selain mengapresiasi, kita pelu juga mencermati bahwa dari sekian banyak program CSR yang dikerjakan perusahaan, hanya beberapa yang benar-benar dikerjakan secara efektif dan efisien di masyarakat. Pengelolaan dana CSR sebagian masih berupa promosi dari perusahaan sendiri. Patut dipertanyakan dana iklan 1 halaman depan di harian nasional, atau seminar yang dilakukan di hotel berbintang 4 – biasanya juga dengan mengundang para wartawan mengenai hasil program apakah hal tersebut berbanding lurus dengan dengan dana yang terserap dengan baik di masyarakat.

SEKEDAR FENOMENA CSROleh: Indra N Hatasura *

Kitajugaperlumelakukanpemilihan,menghargaidanmemberikanpenilaiansecaraadilbagiprogram-programCSRperusahaan

CeritaBergambar

18

Saat ini, beberapa hal perlu diperbaiki oleh perusahaan untuk program-program CSRnya. Fenomena “jualan” atau promosi pada program CSR juga sering berhenti pada istilah “sekedar”• Kurang tepat sasaran karena tidak bisa

mengidentifikasi permasalahan yang terjadi di masyarakat

• Biasanya merupakan program yang “aman” dan bersifat karitatif (bersifat memecahkan persoalan di permukaan saja), tidak pada akar permasalahan

• Tidak dikelola secara profesional oleh perusahaan, sehingga program tidak berkembang

• Program CSR yang dikerjakan masih dalam konsep sukarela. Perusahaan masih berpikir bahwa tanggung jawab sosial bukan merupakan kewajiban, melainkan kerelaan (boleh dikerjakan, kalau dirasakan mampu).

Fenomena “sekedar” di atas jelas masih jauh dari harapan mengenai kualitas program CSR yang dikerjakan. Seharusnya dengan adanya program CSR maka masyarakat terutama yang tinggal di sekitar lingkungan perusahaan akan terbantu.Kata “tanggung jawab” masih perlu dikaji ulang oleh perusahaan. Negara Indonesia juga perlu merumuskan undang-undang atau peraturan mengenai hal ini, sebab seperti yang kita tahu, belum ada peraturan khusus yang mengatur mengenai CSR ini, semuanya hanya bersifat umum atau himbauan. Kita juga perlu melakukan pemilihan, menghargai dan memberikan penilaian secara adil bagi program-program CSR perusahaan; mana yang sudah benar-benar baik dan berdampak positif bagi masayarakat, mana yang sifatnya hanya sekedar promosi dan meluluskan kewajiban, atau mana yang benar-benar tidak tepat dan membawa dampak yang buruk bagi masyarakat.

Jadi ingat, kalau di lokasi pendampingan kami, perusahaan tambang sering memberi bantuan trophy, konsumsi untuk kejuaraan bola voli kampung. Itupun warga harus memasang umbul-umbul perusahaan. Prihatin walau memang tidak semua kegiatan CSR mereka saya tahu.

SeharusnyadenganadanyaprogramCSRmakamasyarakatterutamayangtinggaldisekitarlingkunganperusahaanakanterbantu

19

*)IndraNHatasura,ManagerUsahaRMI

Esai

Foto

20Tolak Perpanjangan

HGU PT. Hevea Indonesia!

21

Foto:FahmiRahman,StafKampanye&AdvokasiRMIErikSuhana,StafPerpustakaanRMI

Pada bulan April 2013, PT. Hevea Indonesia melakukan pengrusakan tana-man masyarakat di Nanggung.Pihak perusahaan berusaha memberikan penjelasan kepada petani peng-garap di lapangan.Gagal melakukan komunikasi dilapangan, masyarakat mengadu ke Komnas HAM.Audiensi ke BPN Kabupaten dan BPN Provinsi juga dilakukan.Tidak mendapatkan respon yang positif, akhirnya sekitar 500 orang massa dari 3 desa melakukan aksi di kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Bogor.

22

Yayasan RMIJl. Sempur No. 55 Bogor 16154, Indonesia

Phone: + 62-251-8311097, 8320253Fax: +62-251-8320253E-mail: [email protected]

Website : http//rmi-bogor.orgBlog : http//cisadaneupdate. blogspot.com

Rimbawan Muda Indonesia (RMI) The Indonesian Institute for Forest and Environment adalah sebuah lembaga nirlaba yang memfokuskan diri pada isu sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Didirikan di Bogor pada 18 September 1992. RMI bertujuan mengembangkan konservasi sumberdaya alam, melalui studi dan program aksi yang berkaitan dengan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk kesejahteraan.

23

VisiKedaulatan rakyat, perempuan & laki-laki atas tanah dan kekayaan alam untuk mewujudkan sistem penghidupan

berkelanjutan

Misi1. Memberdayakan kelompok petani, perempuan dan laki-laki dalam memperjuangkan hak-hak atas tanah dan ke-

kayaan alam untuk penghidupan berkelanjutan2. Mengawal proses-proses penyusunan kebijakan menuju kebijakan pengelolaan tanah dan kekayaan alam yang

berkeadilan dan menjamin penghidupan berkelanjutan bagi masyarakat miskin, perempuan dan laki-laki3. Menggalang aksi kolektif untuk mengakui dan menjamin hak-hak rakyat, perempuan dan laki-laki atas tanah dan

kekayaan alam4. Mengembangkan sistem pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management System) melalui proses-proses

pembelajaran akseleratif yang mampu melintasi batas-batas antara pengetahuan dan aksi