BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/JUKNIS...

58

Transcript of BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/JUKNIS...

BULETIN

HASIL KAJIANVolume 3 Nomor 03, Tahun 2013

Penanggung JawabKepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Tim PenyuntingNana SutrisnaKarsidi PermadiAgus NurawanIskandar IshaqHendi SupriyadiDian HistifarinaIkin Sadikin

Penyunting PelaksanaNadiminBambang Unggul PSSaefudin

PenerbitBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

Alamat RedaksiJalan Kayuambon No. 80, LembangBandung Barat 40391Telepon : 022-2786238Faksimile : 022-2789846E-mail : [email protected] : http//jabar.litbang.deptan.go.id

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

i

Pengantar

Buletin Hasil Kajian (BHK) merupakan satu-satunya media publikasi BPTP Jawa Barat yang disiapkan secara khusus untuk menampung karya tulis peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa. BHK diharapkan dapat mendukung peningkatan jenjang jabatan fungsional peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa. Selain itu, artikel yang terpublikasi melalui BHK juga merupakan sumbangsih ilmu dan pengalaman yang dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca dan pengguna.

Secara informal, Tim Penyunting senantiasa berusaha memacu peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa untuk menuliskan pengalamannya dalam bentuk artikel ke BHK. Akan tetapi, pendekatan informasi tersebut sangat terbatas. Karena itu, diperlukan dukungan penuh dari pejabat lingkup BPTP Jawa Barat untuk memacu semangat, membina, dan meningkatkan keterampilan peneliti dan teknisi litkayasa dalam menulis artikel khusunya untuk BHK.

Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada para peneliti dan teknisi litkayasa yang telah mengirimkan artikelnya. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada para Ketua Kelji yang telah memberikan dorongan semangat dan pembinaan kepada para peneliti dan teknisi litkayasa dalam menulis dan mengirimkan artikel ke BHK.

Kami berharap para peneliti dan teknisi litkayasa akan terus bersemangat dalam menulis artikel, didasari niat untuk beribadah dalam memasyarakatkan ilmu dan pengalaman yang dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca dan pengguna. Kepada khalayak pembaca dan pengguna, kami berharap untuk mendapatkan tanggapan umpan balik agar pengelolaan dan kinerja BHK semakin meningkat.

Penyunting

Buletin Hasil Kajian memuat karya tulis tentang kegiatan peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa serta analisis kegiatan lapangan yang disajikan secara praktis. Buletin ini merupakan terbitan ke 3 pada tahun 2013, dengan frekuensi satu kali dalam setahun.

BULETIN

HASIL KAJIANVolume 3 Nomor 03, Tahun 2013 ISSN 2252-3219

Daftar Isi

Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui Penerapan Model Pengelolaaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Di Kabupaten SubangKiki Kusyaeri Hamdani dan Sri Murtiani .... 1 - 4

Pemanfaatan Pakan Lokal untuk Meningkatkan Pertambahan Bobot Harian pada Usaha Penggemukan Sapi PotongSiti Lia Mulijanti dan Sumarno Tedy ............ 5- 9

Kajian Berbagai Produk Teknologi Pertanian dalam Mendukung Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten SukabumiIrma Noviana, Nandang Sunandar, dan Budiman ........................................................ 10 - 15

Klasifi kasi Tanah Nasional untuk Mendukung Peningkatan Produktivitas PertanianD. Subardja ................................................... 16 - 22

Penggemukan Sapi Bali Dengan Konsentrat Kulit Kakao Fermentasi dan Tongkol JagungYanovi Hendri dan Nurnayetti ...................... 23 - 28

Analisa Usaha Kambing Perah dengan Menggunakan Manajemen Pakan dalam mendukung Peningkatan Ketahanan PanganSiti Lia Mulijanti dan E. Gustiani ................. 29 - 33

Penyebaran Informasi Teknologi Hasil Penelitian Dan Pengkajian Melalui Media Cetak Setiawan, N. Sutrisna, B. Unggul dan A. Gunawan ...................................................... 34 - 38

Kajian Formula Pupuk Npk Pada Pertanaman Kentang Lahan Dataran Tinggi Di Lembang Jawa BaratNana Sutrisna dan Yanto Surdianto ............. 39 - 47

Implementasi Demonstrasi Teknologi Yoghurt(Studi Kasus pada Demonstrasi Teknologi Pembuatan Yoghurt di Kabupaten Majalengka, 2012)Titiek Maryati dan Sukmaya ......................... 48 - 52

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

ii

Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

1

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH MELALUI PENERAPAN MODEL PENGELOLAAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU (PTT)

DI KABUPATEN SUBANG Kiki Kusyaeri Hamdani dan Sri Murtiani

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Baratemail : [email protected]

ABSTRAK

Prioritas utama pembangunan nasional diantaranya adalah penyediaan pangan, terutama beras, dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau. Kabupaten Subang yang menempati urutan ketiga setelah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Karawang, memberikan kontribusi terhadap produksi padi di Jawa Barat. Walaupun Kabupaten Subang memberikan sumbangan cukup besar bagi produksi padi di Jawa Barat khususnya akan tetapi masih memiliki potensi untuk bisa ditingkatkan. Pada saat ini, inovasi teknologi melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) dapat diandalkan untuk mendukung program peningkatan produksi padi. Tujuan pengkajian ini adalah untuk meningkatkan produktivitas padi sawah dengan berbagai inovasi teknologi spesifi k lokasi melalui pendekatan PTT padi sawah. Pengkajian dilaksanakan di Kecamatan Patokbeusi, Kabupaten Subang. Waktu pelaksanaan adalah pada MK I yaitu pada bulan April – Agustus 2012. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan dan diulang sepuluh kali. Perlakuan terdiri dari : (1) varietas Mekongga + PTT, (2) varietas Ciherang + PTT, dan (3) varietas Ciherang + cara petani. Pengamatan dilakukan terhadap komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil. Data komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji DMRT 5%. Hasil kajian menunjukkan bahwa perlakuan varietas mekongga + PTT memberikan hasil tertinggi yaitu sebesar 9,30 ton GKP/ha dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

Kata Kunci : Padi, inovasi teknologi, PTT

PENDAHULUANPrioritas utama pembangunan nasional

diantaranya adalah penyediaan pangan, terutama beras, dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau. Selain merupakan makanan pokok untuk lebih dari 95% rakyat Indonesia, padi juga telah menyediakan lapangan kerja sebagian besar penduduk Indonesia. Jawa Barat dikenal sebagai salah satu wilayah lumbung beras nasional dengan menyumbang sekitar 16,32% (11.271.861 ton) pada tahun 2011 (BPS, 2012). Kabupaten Subang yang menempati urutan ketiga setelah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Karawang, memberikan kontribusi terhadap produksi padi di Jawa Barat sebesar 9,11% atau 1.059.905 ton (BPS Provinsi Jawa Barat, 2012). Walaupun Kabupaten Subang memberikan sumbangan cukup besar bagi produksi di Jawa Barat khususnya akan tetapi masih memiliki potensi untuk bisa ditingkatkan yaitu melalui penerapan inovasi teknologi di petani.

Pada saat ini, inovasi teknologi melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) dapat diandalkan untuk mendukung program peningkatan produksi padi. PTT padi sawah adalah suatu pendekatan inovatif dalam upaya peningkatan efi siensi usaha tani padi sawah dengan menggabungkan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang dan dengan memperhatikan

penggunaan sumber daya alam secara bijak agar memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman (BPTP Jawa Barat, 2011).

Penerapan PTT didasarkan pada 4 prinsip utama yaitu : (1) partisipatif, artinya PTT membutuhkan partisipasi berbagai pihak, baik fasilitator atau petugas maupun petani, (2) integritas atau terpadu, artinya PTT merupakan suatu keterpaduan pengelolaan sumberdaya lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT) dan iklim secara bijak untuk menjamin keberlanjutan proses produksi, (3) dinamis atau spesifi k lokasi, artinya PTT memperhatikan kesesuaian teknologi yang dikembangkan dengan lingkungan fi sik dan lingkungan sosial ekonomi petani, (4) interaksi atau sinergisme, artinya PTT memanfaatkan teknologi pertanian terbaik yang dihasilkan, dimaksudkan mendapatkan efek sinergisme dari interaksi akibat penerapan berbagai komponen teknologi PTT, baik ke dalam teknologi dasar maupun teknologi pilihan (BPTP Jawa Barat, 2011).

Komponen teknologi PTT terdiri dari komponen teknologi dasar atau komponen teknologi utama dan komponen teknologi pilihan. Beberapa komponen tersebut bisa saja berubah artinya komponen teknologi pilihan bisa menjadi komponen utama tergantung kebutuhan yang bersifat spesifi k lokasi. Sampai

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

2

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

saat ini transfer teknologi melalui penerapan PTT padi sawah masih terus dilakukan khususnya di Kabupaten Subang. Tujuan pengkajian ini adalah untuk meningkatkan produktivitas padi sawah dengan berbagai inovasi teknologi spesifi k lokasi melalui pendekatan PTT padi sawah.

BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di Kecamatan

Patokbeusi, Kabupaten Subang. Waktu pelaksanaan adalah pada bulan April – Agustus 2012.

Bahan-bahan yang digunakan adalah benih varietas Mekongga dan Ciherang, pupuk NPK Phonska, Urea, KCl, dan pestisida.

Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan dan diulang sepuluh kali. Penerapan teknologi melalui pendekatan PTT yang terdiri dari komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan tercantum pada Tabel 1.

Secara garis besar, tahapan kegiatan terdiri dari persiapan dan pelaksanaan pengkajian. Persiapan meliputi pemilihan lokasi dan petani yang terlibat sesuai dengan kriteria. Pelaksanaan pengkajian terdiri dari plotting, pengolahan tanah, penyemaian, penanaman, pemupukan, penyiangan, dan panen. Data dan informasi

Tabel 1. Komponen teknologi PTT padi sawah di Kecamatan Patokbeusi, Kabupaten Subang 2012

No Komponen teknologi Teknologi1 Varietas Mekongga dan Ciherang• 2 Benih Benih bersertifi kat•

Penggunaan benih 20 kg/ha• 3 Pengolahan tanah Tanah diolah sempurna dengan traktor• 4 Penanaman Bibit umur muda < 21 hari setelah semai•

Sistem tanam jajar legowo 4 : 1 dengan jarak tanam 27 x 13,5 x 54 cm•

Jumlah bibit 1-3 batang per rumpun• 5 Pemupukan Pupuk organik 500 kg/ha•

Pupuk anorganik berdasarkan PUTS • 6 Pengairan Berselang (intermitten) • 7 Pengendalian OPT Pengendalian OPT secara terpadu (tanam serempak, pengamatan hama •

dan penyakit secara rutin, pemasangan LTBS untuk hama tikus dan light trap untuk hama penggerek batang padi, dan pengendalian gulma dengan herbisida)

8 Panen Panen tepat waktu (95% malai kuning)• Menggunakan sabit bergerigi• Gabah segera dirontok dengan traktor •

dikumpulkan dari hasil pengamatan di lapangan. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi, persentase gabah isi, bobot 1000 butir, dan hasil (t GKP/ha). Data hasil diperoleh dari ubinan seluas 10,8 m2. Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji DMRT 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis tanah

Hasil analisis tanah dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) menunjukkan kadar N rendah, P sedang, K rendah dan pH agak asam (5-6). Rekomendasi pemupukan dengan menggunakan pupuk majemuk.

Komponen pertumbuhan tanaman

Komponen pertumbuhan yang meliputi tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif tercantum pada Tabel 2. Pada tabel tersebut terlihat bahwa perlakuan varietas Ciherang + PTT dan varietas Ciherang + cara petani memberikan perbedaan yang nyata dengan perlakuan varietas Mekongga + PTT untuk tinggi tanaman. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karakter pada varietas Ciherang yang memiliki

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

3

tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan varietas Mekongga jika mengacu pada deskripsi varietas padi. Sedangkan untuk jumlah anakan produktif, perlakuan varietas Mekongga + PTT berbeda nyata dengan varietas Ciherang + cara petani dengan memiliki jumlah anakan produktif paling banyak yaitu 22,45 batang per rumpun. Jumlah anakan produktif berpengaruh langsung terhadap jumlah malai yang dihasilkan sekaligus mempengaruhi tingkat hasil gabah. Semakin banyak anakan produktif, maka semakin tinggi gabah yang akan dihasilkan (Djufry, 2012).

dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Menurut Widodo et al. (2004) bahwa salah satu karakter penciri daya hasil tinggi pada tanaman padi adalah jumlah anakan produktif. Persentase gabah isi yang tinggi menunjukkan terjadinya optimalisasi proses pengisian gabah. Penerapan model PTT yang meliputi beberapa komponen teknologi mampu menghasilkan persentase gabah isi yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Ciherang + cara petani. Komponen dasar dan komponen pilihan pada PTT memungkinkan menurunkan hambatan

Tabel 2. Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)

Jumlah Anakan Produktif(batang per rumpun)

Mekongga + PTT 109,10 a 22,45 aCiherang + PTT 117,20 b 21,25 abCiherang + Cara Petani 116,28 b 19,80 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Tabel 3. Panjang malai, gabah isi, persentase gabah isi, bobot 1000 butir, dan hasil

PerlakuanPanjang Malai (cm)

Gabah Isi (butir) % Gabah Isi Bobot 1000

butir (gr)Hasil

(t GKP/ha)

Mekongga + PTT 27,07 a 155,34 a 90,44 a 27,39 a 9,30 a

Ciherang + PTT 28,09 a 149,72 a 90,14 a 27,29 a 8,45 b

Ciherang + Cara Petani 27,21 a 140,30 a 85,60 b 27,15 a 7,26 cKeterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada

taraf 5%

Komponen hasilHasil pengamatan mengenai panjang malai,

gabah isi, persentase gabah isi, bobot 1000 butir, dan hasil tercantum pada Tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa panjang malai, jumlah gabah isi, dan bobot 1000 butir pada ketiga perlakuan tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Walaupun perlakuan varietas Mekongga + PTT menghasilkan jumlah gabah isi yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, akan tetapi memiliki rata-rata jumlah gabah isi lebih tinggi yaitu 90,44 butir. Selain itu, perlakuan varietas Mekongga + PTT menunjukkan persentase jumlah gabah isi lebih tinggi yaitu sebesar 90,14% dan berbeda nyata dengan perlakuan varietas Ciherang + cara petani. Jumlah anakan produktif dan persentase gabah isi yang lebih tinggi pada perlakuan varietas Mekongga + PTT berpengaruh terhadap terhadap tingginya hasil yaitu 9,30 ton GKP/ha

tanaman pada proses pengisisan gabah (Bandjar et al., 2012). Sehingga semakin tinggi gabah isi per malai maka semakin tinggi pula hasil panen yang didapat.

KESIMPULAN1. Perlakuan varietas Mekongga + PTT

berpengaruh secara nyata terhadap jumlah anakan produktif, persentase gabah isi, dan hasil jika dibandingkan dengan perlakuan varietas Ciherang + cara petani.

2. Penerapan model PTT di Kecamatan Patokbeusi, Kabupaten Subang mampu menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi yaitu sebesar 9,30 ton GKP/ha untuk varietas Mekongga dan 8,45 ton GKP/ha untuk varietas Ciherang dibandingkan cara petani yaitu sebesar 7,26 ton GKP/ha dengan menggunakan varietas Ciherang.

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

4

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

DAFTAR PUSTAKA

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 2011. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi Sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta. hlm 7.

Badan Pusat Statistik. 2012. Data Strategis BPS. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Hal 52.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2012. Jawa Barat dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Bandung. hlm 221.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 2011. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi Sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. hlm 2.

Bandjar H, N. Sutrisna, dan W.R. Rohaeni. 2012. Kajian Penerapan Pengelolaan Tanaman terpadu (PTT) Padi Inbrida Spesifi k Lokasi di Bandung Barat. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2011. Buku 3. Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Cekaman Lingkunfan Biotik dan Abiotik. Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pertanian. hlm 931-943.

Djufry F. 2012. Keragaan Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah Pola PTT di Lima Kabupaten Provinsi Papua. Buku 3. Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Cekaman Lingkunfan Biotik dan Abiotik. Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pertanian. hlm 905-913.

Widodo, Chozin M., dan Mahmudin. 2004. Hubungan pertumbuhan dan hasil beberapa kultivar padi lokal pada tanah gambut dengan pemberian dolomit. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 6(2):75-62.

Lampiran 1. DOKUMENTASI KEGIATAN PENGKAJIAN

Pencabutan bibit

Penanaman

Pemupukan

Pengamatan

Pengambilan sampel ubinan

Panen

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

5

PEMANFAATAN PAKAN LOKAL UNTUK MENINGKATKAN PERTAMBAHAN BOBOT HARIAN PADA USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG

Siti Lia Mulijanti dan Sumarno TedyBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Jl. Kayuambon No. 80 [email protected]

ABSTRAK

Sapi potong merupakan komoditas andalan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi daging di provinsi Jawa Barat, kebutuhan daging di Jawa Barat setiap tahunnya mencapai 521.000 ekor, sementara ketersedian per tahun hanya mampu 423.000 ekor, hal ini menunjukan bahwa komoditas sapi mempunyai prospek peluang yang cukup cerah untuk diusahakan. Ternak sapi potong telah lama diusahakan oleh peternak di Jawa Barat namun terbentur oleh berbagai permasalahan. Masalah utama yang dihadapi adalah ketersedian pakan. Oleh karena itu penelitian penggunaan pakan lokal untuk penggemukan sapi PO perlu dilakukan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2011 di kelompok ternak Metal Sangkan Hurip Desa Sukajaya Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang. Ternak yang digunakan sebanyak 32 ekor dengan empat perlakuan yaitu A1 (Perlakuan hijauan tanpa fermentasi dengan tambahan konsentrat komersil), A2 (Perlakuan hijauan tanpa fermentasi dengan tambahan konsentrat campuran bahan lokal), B1 (Perlakuan hijauan dengan fermentasi dengan tambahan konsentrat komersil), dan B2 (Perlakuan hijauan dengan fermentasi dengan tambahan konsentrat campuran bahan lokal ). Data yang diamati adalah pertambahan bobot badan harian. Pengujian statistik dalam kegiatan penelitian adalah analisis beda nyata (t-test). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa PPBH ternak yang diberi perlakuan jerami fermentasi+konsentrat lokal hasilnya lebih tinggi yaitu sebesar 0,78 kg, jerami segar+konsentrat lokal PBBH rata-rata 0,70 kg, jerami fermentasi+konsentrat komersial PBBH rata-rata 0,67 kg dan jerami segar+konsentrat komerial PBBH rata-rata 0,55 kg.

Kata Kunci : Sapi potong, pakan, penggemukan

PENDAHULUAN

Latar BelakangSapi potong merupakan komoditas andalan

dalam memenuhi kebutuhan konsumsi daging di provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2005 sekitar 17,76 % produksi daging Jawa Barat (408.414 ton) berasal dari komoditas sapi. Produksi daging sapi Jawa Barat mengambil bagian 14 % dari produksi daging sapi nasional (358.704 ton) dan meningkat terus dari tahun ketahun hingga mencapai 21,99 %. Pada tahun 2008 produksi daging sapi di Jawa Barat sebesar 385.000 ton, sementara produksi daging nasional mencapai 2.070.234 ton (Dinas Peternakan, 2006). Pengembangan peternakan diarahkan untuk mewujudkan kondisi peternakan yang maju, efi sien dan tangguh yang dicirikan oleh kemampuannya menyesuaikan pola dan struktur produksi dengan permintaan pasar serta kemampuannya terhadap pembangunan wilayah, kesempatan kerja, pendapatan, perbaikan taraf hidup, perbaikan lingkungan hidup serta berperan dalam pertumbuhan ekonomi.

Faktor pendorong pengembangan sapi potong di Jawa Barat adalah permintaan pasar terhadap daging sapi makin meningkat, ketersediaan tenaga kerja cukup besar, adanya kebijakan pemerintah yang mendukung bagi upaya pengembangan sapi potong, hijauan

pakan dan limbah pertanian tersedia sepanjang tahun dan diperkirakan mampu mendukung bagi kebutuhan ternak sapi sekitar 3.370.038 ekor, (Hadiana, et al., 2007). Berkaitan dengan berbagai permasalahan tersebut maka pemanfaatan bahan pakan lokal perlu dioptimalkan sehingga dapat menekan biaya pakan tanpa mengganggu produktivitas ternak. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah memelihara ternak secara terintegrasi dengan tanaman pangan. Dengan upaya tersebut diharapkan keterbatasan pakan yang selama ini menjadi paktor pembatas dapat diatasi dengan memanfaatkan limbah pertanian, sehingga produktivitas tanaman pangan dan ternak menjadi lebih baik (Kariyasa 2005; Gordeyase et al. 2006; Utama dan Widjaja 2006; Suryana 2007). Hambatan lain yang sering ditemui dalam penerapan model ini diantaranya adalah penggunaan limbah pertanian untuk pakan belum optimal karena umumnya petani belum mengetahui teknologi pemanfaatannya secara baik dan benar sesuai kebutuhan gizi ternak. Oleh karena itu pengkajian ini dilakukan untuk menghasilkan inovasi teknologi pakan yang cocok dengan kondisi yang ada pada tingkat petani, mengingat potensi limbah pertanian di daerah lahan kering berbasis tanaman pangan (jagung, ubi-ubian, padi gogo, dan kacang-kacangan), tersedia dalam jumlah banyak dan

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

6

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan untuk pakan ternak, dilain pihak upaya perbaikan kesuburan lahan melalui pemanfaatan pupuk organik dapat diperoleh dari hasil ikutan ternak dalam bentuk pupuk kandang.

Orientasi usaha ternak sapi potong rakyat di Jawa Barat saat ini telah mengalami pergeseran, yaitu dari pola perbibitan kearah penggemukan atau kombinasi dari kedua pola usaha tersebut. Pola usaha penggemukan sapi potong oleh masyarakat pedesaan sebagian masih bersifat tradisional sehingga memiliki banyak kelemahan yaitu pertumbuhan yang relatif lambat. Adanya inovasi teknologi penggemukan sapi pada lahan kering memungkinkan untuk meningkatkan pertambahan bobot badan sapi yang akhirnya akan menambah pendapatan peternak. Besarnya pendapatan dari usaha ternak sapi potong merupakan salah satu pengukur yang penting untuk mengetahui seberapa jauh usaha ternak penggemukan sapi potong mencapai keberhasilan. Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu mengkaji pemberian pakan dengan memanfaatkan sumberdaya pakan lokal secara optimal pada penggemukan sapi PO sehingga dihasilkan pertambahan bobot badan yang optimal.

MATERI DAN METODEPengkajian ini dilakukan di kelompok

ternak Metal Sangkan Hurip Desa Sukajaya Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang, provinsi Jawa Barat selama 3 bulan dari bulan Juni – September tahun 2011 terhadap sapi jantan PO sebanyak 32 ekor yang dikelompokkan dalam 4 perlakuan. Pengamatan dilakukan terhadap respon pertumbuhan ternak pada setiap kelompok perlakuan dengan dikandangkan terus menerus selama periode penggemukan 3 bulan yang dikelompokkan dalam 4 perlakuan masing-masing 8 ekor sapi PO jantan, dengan skema perlakuan disajikan berikut pada Tabel 4.

Tabel 4. Skema Perlakuan pada Pengkajian

Peter-nak

PerlakuanPeternak

Perlakuan

A B

A1 A2 B1 B2

1 A11 A21 9 B11 B21

2 A12 A22 10 B12 B22

3 A13 A23 11 B13 B23

4 A14 A24 12 B14 B24

Peter-nak

PerlakuanPeternak

Perlakuan

A B

5 A15 A25 13 B15 B25

6 A16 A26 14 B16 B26

7 A17 A27 15 B17 B27

8 A18 A28 16 B18 B28

Jumlah 8 ekor 8 ekor Jumlah 8 ekor 8 ekor

Keterangan :A1

A2

B1

B2

:

:

:

:

Perlakuan hijauan tanpa fermentasi dengan tambahan konsentrat komersil.Perlakuan hijauan tanpa fermentasi dengan tambahan konsentrat campuran bahan lokal (dedak padi)Perlakuan hijauan dengan fermentasi dengan tambahan konsentrat komersil.Perlakuan hijauan dengan fermentasi dengan tambahan konsentrat campuran bahan lokal (dedak padi).

Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan bobot badan sapu secara individu dilakukan penimbangan setiap 2 minggu selama 3 bulan. Sebelum dilakukan percobaan ternak sapi dibiasakan dengan kondisi pakan perlakuan selama adaptasi 1 minggu, kemudian sapi diukur berat badannya pada minggu ke 3 dan di ulang setiap 2 minggu selama 3 bulan. Pengujian statistik dalam kegiatan penelitian adalah analisis beda nyata (t-test).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Konsumsi Pakan

Tingkat konsumsi pakan berkorelasi langsung dengan pertambahan berat badan ternak. Konsumsi pakan ternak yang diberi jerami fermentasi mengalami fl uktuasi, hal ini menunjukkan kecenderungan meningkat dengan semakin bertambahnya waktu (Tabel 5). Hal ini berkaitan dengan adaptasi sapi potong terhadap pakan jerami fermentasi yang semakin baik, yang ditunjukkan adanya perbaikan pertambahan bobot hidup ternak.

Tingginya tingkat kandungan komponen serat kasar akan memperlambat laju alir nutrien dalam saluran pencernaan (Stesig, et.al., 1994), sekaligus mengakibatkan makin lamanya waktu tinggal nutrien pakan dalam saluran pencernaan (Ketellars dan Tolkamp, 1992). Boleh jadi hal tersebut merupakan penyebab rendahnya tingkat konsumsi pada pengkajian ini. Kandungan serat pada perlakuan A1 berkisar antara 9,93% dari bahan kering. Newton dan ORR (1981) melaporkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan energi maka ternak berusaha untuk mengkonsumsi lebih banyak ransum. Namun demikian bahan dan bentuk ransum

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

7

yang dipergunakan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan konsumsi ransum. Rataan konsumsi BK, PK, TDN ransum masing-masing perlakuan tertera pada pada Tabel 5. Tabel 5. Konsumsi BK, PK dan TDN masing-

masing perlakuan

ParameterPerlakuan

A1 A2 B1 B2BK (kg/hari) 9,29a 11,50c 9,80b 11,24cPK (kg/hari) 0,769a 1,067b 1,026b 1,271cTDN (kg/hari) 2,54a 2,91c 2,52a 2,70b

Sumber : Data Primer diolah 2011

Hasil analisis statistik terhadap konsumsi BK menunjukkan bahwa perlakuan A2 dan B2 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B1 dan A1. Perbedaan ini salah satunya disebabkan oleh perbedaan bobot badan untuk masing-masing perlakuan, dimana bobot badan sapi perlakuan B2 dan A2 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain, semakin besar ukuran tubuh atau bobot hidup ternak maka akan semakin besar pula pakan yang dibutuhkan (Aryogi, 2004). Hasil analisis sapi PO dengan rataan bobot awal 252,13 kg dan 259 kg menghasilkan konsumsi BK ransum sebesar 11,50 kg dan 11,24 kg atau setara dengan 4,5 % dan 4,3% BB. Konsumsi BK belum mencapai yang direkomendasikan oleh Ranjhan, (1981) sebanyak 8,10 kg/ekor/hari untuk target PBBH 0,90 kg pada rataan bobot hidup yang sama.

Tingkat konsumsi akan berpengaruh terhadap nutrien lainnya, khususnya protein kasar dan energi dan sebagai kosekuensinya pertambahan bobot hidup tidak sesuai yang diharapkan , khususnya pada sapi yang mendapat pakan jerami segar dan konsentrat komersial. Konsumsi bahan kering pakan sangat dipengaruhi oleh kandungan protein kasar bahan penyusun pakan yang digunakan untuk penelitian. Pakan kualitas baik akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang relatif lebih baik dibandingkan dengan pakan kualitas rendah. Jenis pakan, komposisi kimia dan konsumsi pakan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan. Konsumsi protein dan energi yang lebih tinggi akan menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih cepat (Soeparno, 2005).

Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi bahan kering berkaitan dengan kapasitas fi sik lambung dan kondisi saluran pencernaan. Tinggi rendahnya konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor

lingkungan dan kondisi ternak serta faktor pakan (Parakkasi, 1998). Perbedaan jenis pakan yang menyusun ransum juga dapat menimbulkan perbedaan palatabilitas dan kandungan nutrisi yang pada akhirnya menyebabkan perbedaan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak (Suwignyo, 2004). PBBH sapi PO pada penelitian sama dengan penelitian Hamdan (2004) pada sapi PO dengan pakan konsentrat dan jerami padi fermentasi (JPF) menghasilkan PBBH 0,78 kg/ekor/ hari. Semakin tinggi imbangan konsentrat dibanding hijauan dalam ransum, maka akan semakin tinggi pula kandungan protein dan TDN ransum. Sapi potong mampu mengkonsumsi bahan kering (BK) pakan sebanyak 3 - 3,50% dari berat badan untuk setiap hari, sedangkan sapi potong berat 300 kg dengan PBBH 0,9 kg membutuhkan pakan dengan PK 10% dan TDN 70% (Tillman et al., 1998).

Pertambahan Bobot Badan HarianPertambahan bobot hidup adalah aktifi tas

fi siologi yang dapat dinyatakan kenaikan bobot hidup rata-rata persatuan waktu. Kecepatan pertambahan bobot hidup ini diantaranya dipengaruhi oleh jumlah konsumsi yakni makanan yang dikonsumsi (Tilman et, al., 1983). Respon bobot badan merupakan hasil yang diperoleh dari kenaikan bobot badan yang diketahui melalui penimbangan secara berulang-ulang selama penelitian yang berasal dari penimbangan bobot badan akhir dikurangi bobot badan awal dibagi dengan waktu penggemukan. Data tersebut disajikan sebagai kenaikan bobot badan harian. Untuk lebih jelasnya data pertambahan bobot badan sapi disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata bobot hidup awal, bobot

hidup akhir dan Pertambahan bobot hidup harian

Parameter A1 A2 B1 B2

Bobot Hidup Awal (kg) 186,63 252,13 210,75 259,00

Bobot Hidup Akhir (kg) 234,25 312,88 268,75 327,25

PBB (kg) 0,55a 0,70b 0,67bc 0,78c

Sumber : Data primer diolah, 2011

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa sapi yang dikandangkan secara kolektif dan diberi jerami fermentasi ditambah dengan pemberian dedak 3 kg (perlakuan B2) memberikan pertambahan bobot hidup yang lebih baik dibanding dengan ternak yang diberi perlakuan

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

8

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

jerami segar dan konsentrat komersial (A1). Hal ini sesuai dengan pendapat Tillman et.al, (1998), faktor pakan sangat menentukan pertumbuhan, bila kualitasnya dan diberikan dalam jumlah yang cukup, maka pertumbuhannya akan menjadi cepat demikian pula sebaliknya.

Pertambahan bobot hidup untuk masing-masing perlakuan dicapai pada perlakuan B2, A2, B1 dan A1 adalah 0,78 kg, 0,70 kg, 0,67 kg dan 0,55 kg. Hasil yang dicapai dalam pengkajian ini lebih tinggi dibanding dengan hasil pengamatan yang dilaporkan oleh Sugiharto (2003) dalam pengamatannya terhadap sapi potong PO pada 4 – 12 bulan Pbhh mencapai 0,34 – 0,40 kg. Demikian pula hasil pengamatan Purnomoadi et.al (2003) terhadap sapi PO yang berumur 10 bulan dengan pemberian pakan jerami fermentasi dan konsentrat yang mampu meningkatkan Pbbh sebesar 0,24. Pertambahan bobot badan 0,78 kg/ekor/hari seperti pada perlakuan B2 karena ternak tersebut diberikan konsentrat lokal berupa dedak padi yang mengandung PK lebih tinggi dari konsentrat komersial. Pemberian pakan konsentrat berbasis lokal pada perlakuan A2 dan B2 mampu meningkatkan pertambahan bobot hidup sesuai dengan target karena kandungan nutrisinya jauh lebih baik dibanding dengan konsentrat komersial.

Peluang pemanfaatan jerami fermentasi sebagai pakan hijauan ternak mulai tampak, hal ini terlihat bahwa ternak yang diberi pakan jerami fermentasi pertambahan bobot hidupnya lebih baik dibanding dengan perlakuan jerami segar. Jadi jerami padi fermentasi sangat berpeluang sebagai pakan ternak sapi potong.

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu peubah yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pakan ternak. Menurut McDonald et al (2002) pertumbuhan ternak ditandai dengan peningkatan ukuran, bobot, dan adanya perkembangan. Pengukuran bobot badan berguna untuk penentuan tingkat konsumsi, efi siensi pakan dan harga (Parakkasi, 1999). Pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa ternak yang diberi perlakuan B2 dan A2 memiliki PBB yang cenderung lebih tinggi dibanding yang mendapat perlakuan A1. Tingginya PBB ternak yang diberi perlakuan B2 dipengaruhi

oleh nilai konsumsi yang tinggi dan ransum yang diberikan memiliki kualitas yang baik. Pond et al (1995) menyatakan bahwa makin baik kualitas ransum yang dikonsumsi, maka akan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dan makin efi sien penggunaan ransumnya. Selanjutnya rataan PBB ternak yang diberi perlakuan A1 cenderung menurun dibandingkan ternak yang mendapat perlakuan A2. Hal ini kemungkinan disebabkan rendahnya kecernaan pakan akibat bentuk ransum yang halus sehingga pakan lebih cepat melewati dan meninggalkan saluran pencernaan.

KESIMPULAN

1. Tingkat konsumsi konsentrat lokal untuk penggemukan sapi potong lebih baik dibandingkan dengan konsentrat komersil, sehingga menghasilkan pertambahan berat badan yang lebih optimum dibandingkan konsentrat komersil.

2. Aplikasi pemberian jerami fermentasi dan konsentrat lokal menghasilkan PBBH rata-rata sebesar 0,78 kg atau lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan jerami segar + konsentrat komersial, jerami segar + konsentrat lokal serta jerami fermentasi + konsentrat komersial masing-masing rata-rata PBBH sebesar 0,55 kg, 0,70 kg dan 0,67 kg/ekor/hari.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Peternakan (2006), Laporan Tahunan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat Tahun 2006. Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, Bandung.

Gordeyase, I.K.M., R. Hartanto, dan W.D. Pratiwi. 2006. Proyeksi daya dukung pakan limbah tanaman pangan untuk ternak ruminansia di Jawa Tengah. J. Indon. Trop. Anim.Agric. 32(4): 285−292.

Hadiana, H., Sri Rahayu, Sondi Kuswaryan, Andre Ravianda, dan Ahmad Firman., 2007, Road Map Pengembangan Peternakan Provinsi Jawa Barat, kerja sama Fakultas Peternakan Universitas

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

9

Padjadjaran dengan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat.

Kariyasa, K. 2005. Sistem integrasi tanaman ternak dalam perspektif reorientasi kebijakan subsidi pupuk dan peningkatan pendapatan petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 3(1): 68−80.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Soebarinoto. 2000. Potensi hijauan pakan sapi perah di dataran rendah dan dataran tinggi Jawa Timur. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 25 : 89-94.

Soekarwati, . oehardjo, J.L. Dillon, and J.B. Hardaker. 1994. Ilmu Ushaatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI. Press. Jakarta.

Suryana. 2007. Pengembangan integrasi ternak ruminansia pada perkebunan kelapa sawit. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26(1): 35−40.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

10

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

KAJIAN BERBAGAI PRODUK TEKNOLOGI PERTANIAN DALAM MENDUKUNG PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DI KABUPATEN SUKABUMI

The Assesment for Technology Products in Supporting Rice Production in Sukabumi DistrictIrma Noviana1*), Nandang Sunandar1, dan Budiman1

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat*)Pos-el: [email protected]

ABSTRAK

Produktivitas padi dapat ditingkatkan melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Sinergisme antara komponen dasar dan pilihan PTT diharapkan akan mampu meningkatkan produksi padi sawah. Sejumlah produk pertanian telah banyak dihasilkan oleh Balai Penelitian, swasta, dan BUMN terkait dengan penerapan komponen PTT seperti pupuk organik (padat dan cair), pupuk majemuk, ZPT, dekomposer, pestisida dan benih varietas unggul baru (VUB) padi. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi dari lima paket produk teknologi pertanian yang dapat memberikan hasil produksi yang tinggi serta memiliki kelayakan fi nansial bagi usahatani padi. Pengkajian dilksanakan di Kabupaten Sukabumi pada Bulan April hingga Juli 2011. Pengkajian dilakukan dalam bentuk parade gelar teknologi dengan lima aplikasi paket produk teknologi pertanian yang dilaksanakan pada lahan petani seluas 8 hektar. Variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, umur 50% berbunga, hasil, dan komponen hasil. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa aplikasi produk teknologi D mampu memberikan karakter agronomis yang baik yaitu tinggi tanaman maksimum, jumlah anakan produktif dan umur 50% berbunga, serta hasil ubinan dan GKP yang lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi produk teknologi yang lainnya. Lima perlakuan A, B, D, F, H memberikan hasil tinggi dan nilai R/C yang lebih baik.

Kata kunci : Teknologi, produktivitas, padi

PENDAHULUAN

Dalam rangka peningkatan produksi padi, pemerintah telah menggulirkan program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), diantaranya melalui kegiatan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) yang telah dilaksanakan sejak tahun 2007. Pada tahun 2011 pemerintah RI menetapkan sasaran produksi padi sebesar 70,6 juta ton, sedangkan pemerintah provinsi Jawa Barat menetapkan sasaran produksi sebesar 12,5 juta ton. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi yang berkontribusi sebesar 17,6% terhadap produksi nasional.

Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat. Berdasarkan data dari Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Sukabumi (TA. 2011) menunjukkan bahwa produksi padi mencapai 742.576 ton dengan rata-rata produktivitas 6,11 t/ha. Produktivitas padi di Kabupaten Sukabumi masih dapat ditingkatkan melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Melalui PTT diharapkan akan terjadi sinergisme antara komponen PTT yang dapat meningkatkan produksi dan memperbaiki pendapatan petani.

Sinergisme antara komponen dasar PTT (varietas, bibit sehat dan bermutu, cara tanam,

pemupukan berimbang, pengendalian OPT secara terpadu) dengan komponen pilihan (bahan organik, umur bibit, irigasi berselang, pupuk cair/ZPT/biohayati/pupuk mikro, panen dan pasca panen) diharapkan akan mampu meningkatkan produksi padi sawah.

Pupuk merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produksi padi sawah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk mineral (anorganik) nyata meningkatkan produksi padi dengan tingkat respons tanaman padi terhadap pemupukan bervariasi dipengaruhi oleh tipe sawah, varietas padi, jenis tanah, iklim, dan cara tanam (Sukristiyonubowo 2007; Adiningsih 1992). Selain pupuk anorganik, pupuk organik juga sangat penting untuk memperbaiki kualitas tanah, produktivitas lahan sawah, dan kualitas hasil (Whitbread et al. 2000; Mandal et al. 2003).

Beberapa produk pertanian telah banyak dihasilkan oleh Balai Penelitian, swasta, dan BUMN terkait dengan penerapan komponen PTT seperti benih, pupuk (organik dan anorganik) baik berupa cair maupun padat, zat pengatur tumbuh (ZPT), dan pestisida telah banyak beredar di masyarakat. Namun sejauh mana pengaruh produk tersebut terhadap hasil akan sangat bergantung dari kondisi wilayah

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

11

(spesifi k lokasi). Untuk itu, perlu dilakukan suatu pengkajian untuk mengetahui pengaruh

masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Perlakuan Teknologi yang Digunakan dalam Pengkajian Desa Cibatu, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi Pada MK-I Tahun 2011.

No Perlakuan Luas Lahan(m2) Teknologi yang diterapkan

1 A 1 PTT, Petroganik, NPK (15-15-15), Urea, varietas Inpari-10 2 B 1 PTT, Pupuk Organik (Petroganik), Urea, NPK (15-15-15),

varietas Inpari-133 C 1 PTT, NPK (15:7:8), Pupuk Organik Kuda Laut, varietas

Mekongga4 D 1 PTT, pupuk kandang, varietas Inpari-10, NPK (15-15-15),

Urea, Fungisida : Virtaco, Score, Alika, Filia5 E 1 PTT, NPK Kujang (30:6:8), pupuk organik, varietas Inpari-

106 F 1 PTT + ZPT Hobsanol 5 EC, NPK Kujang (30:6:8), pupuk

organik, varietas Inpari-107 G 1 PTT, POC Biocosan, NPK (15-15-15), Urea, varietas

Inpari-108 H 1 PTT, 2o5 (Dekomposer), varietas Inpari-10

aplikasi dari beberapa produk pertanian yang dapat memberikan hasil produksi yang tinggi serta memiliki kelayakan fi nansial bagi usahatani padi khususnya di lokasi pengkajian.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di Desa Cibatu, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi pada MK-I 2011 (Bulan April) yang berada pada ketinggian ±600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Lahan yang digunakan untuk pengkajian adalah lahan petani seluas 8 ha. Pengkajian dilakukan dalam bentuk parade gelar teknologi. Kegiatan pengkajian melibatkan beberapa formulator swasta dan BUMN (sebagai perlakuan) dengan berbagai macam produk pertanian seperti pupuk organik, pupuk majemuk, dekomposer, pestisida, ZPT, dan benih VUB. Masing-masing luasan perlakuan teknologi seluas 1 ha. Varietas padi yang digunakan adalah Inpari-10 yang merupakan varietas padi hasil Badan Litbang Pertanian yang toleran terhadap keterbatasan air. Sebagai ulangan adalah petakan lahan petani pada masing-masing perlakuan yang dibuat sebanyak 4 ulangan. Teknologi yang diterapkan pada

Aplikasi pupuk organik dilakukan seminggu sebelum penanaman dengan dosis 500 kg/ha. Benih yang digunakan dalam pengkajian yaitu varietas Inpari 10 kecuali untuk lokasi PT Pertani menggunakan varietas Mekongga dan PT Petrokimia Gresik menggunakan varietas Inpari 13. Benih ditanam setelah berumur 15 hari di persemaian. Benih ditanam dengan 2 bibit per lubang, dengan cara tanam legowo 2:1 (jarak tanam 25x12,5x50 cm).

Penetapan dosis pupuk anorganik dilakukan berdasarkan hasil penetapan status hara tanah dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Penetapan status hara tanah dimaksudkan untuk memperoleh rekomendasi pemupukan berdasarkan kandungan hara tanah. Hasil analisis PUTS selengkapnya disajikan pada Tabel 8.

Pupuk majemuk NPK diaplikasikan pada awal tanam (0-7 hst), sedangkan pupuk susulan berupa urea diberikan berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD). Variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, umur 50% berbunga, hasil, dan komponen hasil. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diuji terhadap variable yang diamati dilakukan

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

12

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

analisis sidik ragam (anova) yang dilanjutkan dengan pengujian beda antar perlakuan dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan selang kepercayaan 95%. Analisis fi nansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan penerapan teknologi di lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakter Agronomis Tanaman Padi

Berdasarkan hasil analisis varians terhadap beberapa karakter agronomis tanaman yang diamati menunjukkan bahwa seluruh variable yang diamati memiliki perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) diantara perlakuan yang diuji kecuali karakter gabah isi per malai (Tabel 9). Untuk melihat keragaman diantara perlakuan yang diuji dilakukan melalui uji DMRT.Tabel 9. Analisis Varians Karakter Agronomis

pada Delapan Perlakuan Teknologi Padi Sawah di Lokasi Pengkajian Kabupaten Sukabumi Pada MK-I Tahun 2011.

No Variabel Ulangan (R)

Perlakuan (T)

1 Tinggi Tanaman tn **2 Jumlah Anakan Mak-

simum tn **

3 Umur 50% Berbunga tn **4 Hasil Ubinan (Kg) tn **5 Hasil (T/ha) tn **6 Jumlah Gabah isi Per

Malai tn tn

7 Jumlah Gabah Hampa Per Malai tn **

8 Berat 1000 Butir tn **tn) Menunjukkan berbeda tidak secara nyata pada taraf 5%

menurut uji DMRT.**) Menunjukkan berbeda secara sangat nyata pada taraf 1%

menurut uji DMRT.

Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan

Pengamatan tinggi tanaman dan jumlah anakan dilakukan sejak pertumbuhan vegetatif hingga fase generatif. Untuk mengetahui tinggi tanaman dan jumlah anakan maksimum dilakukan pengamatan pada saat fase generative (65 hst). Karakter tinggi tanaman dan jumlah anakan maksimum tanaman padi berbeda secara sangat nyata dari delapan perlakuan teknologi yang diuji. Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman fase vegetatif dan generatif di lokasi pengkajian padi sawah disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Tinggi Tanaman Maksimum dan Jumlah Anakan Produktif Delapan Perlakuan Teknologi Padi Sawah di Lokasi Pengkajian Kabupaten Sukabumi Pada MK-I Tahun 2011.

No Perlakuan Teknologi

Tinggi Tan Max/65 hst

(cm)

Jml Anakan Produktif

(btg)1 A 80,45 bc 15,38 cd2 B 83,92 abc 16,70 bcd3 C 77,31 c 13,83 d4 D 91,92 a 21,10 a5 E 80,18 bc 18,08 abc6 F 91,55 a 19,30 abc7 G 86,55 ab 19,58 ab8 H 85,18 abc 19,78 ab

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak secara nyata pada taraf 99% menurut uji DMRT

Karakter tinggi tanaman padi dapat digolongkan menjadi tiga kriteria tinggi yaitu (i) tinggi (>83,0 cm), (ii) sedang (80,0-83,0 cm), dan (iii) pendek (<80 cm). Karakter tinggi tanaman dipengaruhi oleh jenis varietas padi yang digunakan, dimana pada perlakuan C varietas padi yang digunakan yaitu Mekongga.

Tabel 8. Hasil Analisis PUTS di Lokasi Pengkajian Desa Cibatu, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi Pada MK-I Tahun 2011.

No Lokasi Status Hara Rekomendasi Pemupukan (Kg/Ha)N P K pH NPK Urea KCl

1 A Rendah Tinggi Sedang Netral 300 100 -2 B Rendah Tinggi Sedang Netral 300 100 -3 C Rendah Sedang Tinggi Netral 200 180 -4 D Rendah Tinggi Tinggi Agak Masam 300 100 -5 E Rendah Sedang Tinggi Netral 200 180 -6 F Rendah Tinggi Tinggi Agak Masam 300 100 -7 G Tinggi Tinggi Tinggi Agak Masam 150 200 -8 H Tinggi Tinggi Tinggi Agak Masam 150 200 -

Sumber : Hasil Analisis PUTS, 2011.

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

13

Sedakan varietas Inpari 13 (perlakuan B) tidak menunjukkan karakter tinggi yang signifi kan dengan varietas Inpari 10.

Hasil sidik ragam terhadap karakter jumlah anakan produktif menunjukkan adanya perbedaan keragaman yang sangat nyata diantara delapan perlakuan teknologi yang diuji. Karakter jumlah anakan produktif pada perlakuan yang diuji dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu (i) anakan banyak (20-22 batang), yang termasuk kedalam kelompok ini adalah perlakuan D, E, F, G, H dan (ii) anakan sedang (14-17 batang), yang termasuk kedalam kelompok ini adalah perlakuan A, B, dan C.

Hasil sidik ragam karakter umur 50% berbunga (Tabel 11.) menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata diantara delapan perlakuan teknologi yang diuji. Karakter umur 50% berbunga yang paling cepat yaitu perlakuan D (62,0 hst) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan C memiliki umur 50% berbunga paling lambat (78,5 hst).

Tabel 11. Umur Berbunga 50% Delapan Perlakuan Teknologi Padi Sawah di Lokasi Pengkajian Kabupaten Sukabumi Pada MK-I Tahun 2011.

No Perlakuan Teknologi

Umur Berbunga 50 %(hst)

1 A 66,3 b2 B 64,0 c3 C 78,5 a4 D 62,0 d5 E 66,0 b6 F 66,0 b7 G 66,3 b8 H 66,0 b

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak secara nyata pada taraf 1% menurut uji DMRT

Hasil Panen

Panen dilakukan pada saat 80-85% gabah menguning dengan luas ubinan 6 m2. Hasil ubinan kemudian dikonversikan ke dalam hasil gabah kering panen (GKP) (Tabel 12).

Tabel 12. Hasil Padi Sawah di Lokasi Pengkajian Kabupaten Sukabumi Pada MK-I Tahun 2011.

No Perlakuan Teknologi

Hasil Ubinan (kg)

GKP(t/ha)

1 A 4,08 abc 6,81 abc2 B 4,60 a 7,67 a3 C 3,29 c 5,49 c4 D 4,82 a 8,03 a5 E 3,30 c 5,48 c6 F 4,32 ab 7,17 ab7 G 3,55 bc 5,92 bc8 H 4,17 abc 6,67 abc

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak secara nyata pada taraf 99% menurut uji DMRT

Hasil sidik ragam karakter hasil ubinan dan GKP menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata diantara delapan perlakuan yang diuji. Karakter hasil GKP dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok hasil, yaitu (i) rendah (<5,9 t/ha), (ii) sedang (5,9-6,0 t/ha), dan (iii) tinggi (6,1-8,05 t/ha). Termasuk kedalam kelompok hasil tinggi adalah perlakuan A, B, D, F, dan H.

Data komponen hasil yang diamati dari masing-masing demplot PTT padi sawah meliputi jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, dan bobot 1000 butir. Data komponen hasil yang diamati disajikan pada Tabel 13.Tabel 13. Komponen Hasil Padi Sawah di

Lokasi Pengkajian Kabupaten Sukabumi Pada MK-I Tahun 2011.

No Perlakuan Teknologi

Jml Gabsi/malai (butir)

Jml Gabham/malai (butir)

Berat1000 butir

(g)1 A 123,15 ab 14,08 bc 28,38 b2 B 139,55 a 24,05 a 27,45 bc3 C 141,80 a 16,32 abc 26,55 c4 D 115,65 ab 8,60 c 32,52 a5 E 131,05 ab 8,30 c 28,33 b6 F 93,88 b 14,30 bc 32,95 a7 G 127,48 ab 21,15 ab 27,00 c8 H 144,58 a 10,18 c 27,38 bc

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak secara nyata pada taraf 1% menurut uji DMRT

Karakter jumlah gabah isi per malai delapan perlakuan yang diuji menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan B, C, H dengan perlakuan F. Jumlah gabah isi per malai paling

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

14

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

sedikit dihasilkan oleh perlakuan F (93,88 butir), sedangkan gabah isi per malai paling banyak adalah perlakuan H (144,58 butir) tidak berbeda dengan B (139,55 butir), dan C (141,80 butir).

Hasil sidik ragam karakter jumlah gabah hampa per malai delapan perlakuan yang diuji menunjukkan perbedaan sangat nyata, dimana perlakuan D, E, dan H memiliki jumlah gabah hampa per malai paling sedikit berturut-turut 8,6 butir, 8,3 butir, dan 10,18 butir tidak berbeda nyata dengan perlakuan A, C, dan f, namun berbeda nyata dengan perlakuan B (24,05 butir) dan G (21,15 butir).

Karakter bobot 1000 butir delapan perlakuan yang diuji memiliki perbedaan yang nyata. Bobot 1000 butir menunjukkan besarnya ukuran benih yang dimiliki. Karakter bobot 1000 butir paling berat dihasilkan oleh perlakuan D (32,52 g) dan F (32,95 g). Sedangkan bobot 1000 butir paling sedikit yaitu perlakuan C (26,55 g) dan G (27,0 g).

Analisis Usahatani

Analisis usahatani dihitung untuk setiap perlakuan. Variabel yang dianalisis meliputi biaya sarana produksi, tenaga kerja, nilai produksi, dan keuntungan. Untuk mengetahui kelayakan usahatani dari masing-masing

teknologi yang diuji, maka dihitung melalui analisis R/C. Hasil analisis usahatani secara lengkap disajikan pada Tabel 14.

Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa penerapan teknologi pada perlakuan D memberikan nilai total biaya produksi paling tinggi (Rp.5.850.000,-) dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan penerapan teknologi berimbas pada besarnya nilai biaya sarana produksi dan tenaga kerja yang harus dikeluarkan. Teknologi yang diterapkan pada perlakuan D adalah aplikasi 4 jenis pestisida hingga enam kali penyemprotan, sehingga menambah biaya tenaga kerja dan saprotan. Walaupun perlakuan D memberikan nilai hasil tinggi (8,03 t/ha), namun nilai R/C masih dibawah perlakuan A, B, F, dan H. Pada umumnya, semua perlakuan penerapan teknologi memiliki nilai R/C>1, yang berarti teknologi layak untuk diterapkan.

KESIMPULAN

1. Aplikasi produk teknologi D mampu memberikan karakter agronomis yang baik yaitu tinggi tanaman maksimum, jumlah anakan produktif dan umur 50% berbunga, serta hasil ubinan dan GKP yang lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi produk teknologi yang lainnya.

Tabel 14. Analisis Usahatani Padi Sawah di Lokasi Pengkajian Kabupaten Sukabumi Pada MK-I Tahun 2011.

No Demon-strator

Biaya Sarana

Produksi *) (Rp)

Biaya Tenaga Kerja **)

(Rp)

Total Biaya (Rp)

Produktivi-tas (T/H) ***)

Nilai Produksi

(Rp)

Keuntungan (Rp)

Nilai R/C

1 A 1.385.000 3.490.000 4.875.000 6,80 20,400,000 15,525,000 4.182 B 1.400.000 3.490.000 4.890.000 7,67 23,010,000 18,120,000 4.713 C 1.060.000 3.490.000 4.550.000 5,49 16,470,000 11,920,000 3.624 D 2.240.000 3.610.000 5.850.000 8,03 24,090,000 18,240,000 4.125 E 1.620.000 3.490.000 5.110.000 5,48 16,440,000 11,330,000 3.226 F 1.340.000 3.490.000 4.830.000 7,17 21,510,000 16,680,000 4.457 G 1.918.000 3.490.000 5.408.000 5,92 17,760,000 12,352,000 3.288 H 1.266.800 3.490.000 4.756.800 6,67 20,010,000 15,253,200 4.21

Keterangan :*) Sarana produksi yang digunakan di masing-masing lokasi demonstrator**) Jumlah rata-rata kebutuhan tenaga kerja per ha***) Konversi dari hasil ubinan (GKP)

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

15

2. Kelima perlakuan paket produk teknologi (A, B, D, F, dan H) selain memberikan hasil tinggi juga menunjukkan nilai R/C yang lebih baik dari perlakuan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, J.S. 1992. Peranan Efi siensi Penggunaan Pupuk untuk Melestarikan Swasembada Pangan. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Mandal, U.K., G. Singh, U.S. Victor and K.L. Sharma. 2003. Green manuring: its effect on soil properties and crop growth under rice-wheat cropping system. Europ. J. Agron. 19(2): 225-237.

Sukristiyonubowo. 2007. Nutrient Balances for Wetland Rice Farming. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol (1) No.4. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Whitbread, A.M., G.J. Blair and R.D.B. Lefroy. 2000. Managing legume leys, residues and fertilizers to enhance

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

16

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

KLASIFIKASI TANAH NASIONALUNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PERTANIAN

D. Subardja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan PertanianBadan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian

Jalan Tentara Pelajar No. 12 Cimanggu-Bogor 16114E-mail: [email protected].

ABSTRAKKlasifikasi tanah merupakan pengelompokan tanah berdasarkan sifat-sifatnya yang sama atau hampir sama, kemudian diberikan nama secara sistimatik agar mudah dikenal dan dibedakan satu dengan lainnya. Dengan mengenal dan memahami suatu Jenis Tanah maka akan mudah untuk mengetahui karakteristik, potensi dan kendala penggunaannya untuk pengembangan suatu komoditas pertanian. Di Indonesia dikenal dua sistem klasifikasi tanah, yaitu Taksonomi Tanah dari USDA dan Klasifikasi Tanah Nasional yang dikembangkan oleh Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Sistem Klasifikasi Tanah Nasional merupakan perbaikan dari Sistem Klasifikasi Tanah terdahulu. Sebagian nama tanah baru menggunakan istilah dari Soil Taxonomy, USDA dan Soil Unit FAO. Pendekatan yang digunakan dalam klasifikasi tanah ini adalah morfogenesis, yaitu berdasarkan morfologi dari penampang tanah (profil) dan proses pembentukannya, dimana pengaruh faktor bahan induk tanah sangat dominant terhadap sifat-sifat tanah yang terbentuk. Di Indonesia telah dikenal lama nama-nama tanah seperti Organosol, Aluvial, Andosol, Latosol, Grumusol, Mediteran, Podsolik Merah Kuning dan Podsol. Nama-nama tanah baru seperti Kambisol, Molisol, Oksisol, dan Nitosol merupakan pecahan dari Podsolik Merah Kuning dan Latosol. Semua jenis tanah kecuali Podsol telah banyak dimanfaatkan untuk pertanian. Dalam makalah ini akan dibahas lebih rinci tentang konsep Klasifikasi Tanah Nasional serta sifat penciri dari masing-masing jenis tanah tersebut.

Kata kunci: Klasifikasi tanah, produktivitas lahan, pertanian.

PENDAHULUAN

Klasifi kasi tanah adalah cara untuk mengumpulkan dan mengelompokkan tanah berdasarkan sifat dan ciri morfologi, mineralogi, fi sika dan kimia tanahnya yang sama atau hampir sama, kemudian diberi nama agar mudah dikenal, diingat, difahami dan digunakan serta dapat dibedakan satu dengan lainnya. Tanah yang diklasifi kasikan adalah benda alami yang terdiri dari padatan (bahan mineral dan bahan organik), cairan dan gas, yang terbentuk dipermukaan bumi dari hasil pelapukan bahan induk tanah oleh interaksi faktor iklim, relief, organisma dan waktu, berlapis-lapis dan mampu mendukung pertumbuhan tanaman, sedalam 2 m atau sampai batas aktifi tas biologi tanah (Soil Survey Staff, 2010). Setiap jenis tanah mempunyai sifat dan ciri tertentu dan nyata berbeda dengan lainnya, memiliki potensi, kendala dan memerlukan input teknologi tertentu untuk suatu jenis penggunaan pertanian dan atau non-pertanian. Tanah perlu dikelola dengan baik, sesuai karakteristik dan potensi, kendala dan input teknologi yang diperlukan agar diperoleh produktivitas pertanian yang optimal dan berkelanjutan melalui pendekatan pemahaman klasifi kasi tanah.

Tujuan utama membangun klasifi kasi tanah pada awalnya diperlukan untuk pertanian, namun kemudian berkembang juga untuk keperluan non-pertanian. Selain itu klasifi kasi

tanah juga diperlukan sebagai alat komunikasi antar para pakar dan praktisi tanah di Indonesia maupun di dunia internasional, transfer teknologi pengelolaannya, alat pemersatu dan ciri budaya bangsa, serta merupakan cermin tingkat kemajuan dan penguasaan iptek tanah di suatu negara. Untuk tujuan itu, klasifi kasi tanah perlu dibangun dan dimiliki oleh setiap negara sesuai kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanah. Sistem klasifi kasi tanah nasional yang telah ada dibuat sesederhana mungkin agar mudah dipahami dan diterapkan oleh para praktisi lapang di bidang pertanian. Sementara itu, Sistem Taksonomi Tanah (USDA) yang merupakan milik dunia internasional dan sudah digunakan oleh para peneliti dan staf pengajar di Perguruan Tinggi di Indonesia dapat dilanjutkan penggunaannya sebagai referensi tanah untuk alat berkomunikasi khususnya dengan para pakar tanah di dunia luar.

Dalam petunjuk teknis klasifi kasi tanah ini akan dijelaskan juga mengenai perkembangan klasifi kasi tanah di Indonesia, permasalahan dalam penerapan Sistem Taksonomi Tanah di Indonesia, serta upaya penggunaan kembali klasifi kasi tanah nasional yang telah ada dan dimiliki oleh Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian untuk keperluan survei tanah, pewilayahan komoditas dan praktek pertanian di lapangan. Perbaikan sistem dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi dan

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

17

kebutuhan pengguna serta perkembangan iptek tanah di Indonesia dan di dunia internasional.

PERKEMBANGAN KLASIFIKASI TANAH DI INDONESIA

Klasifi kasi tanah di Indonesia mulai diperkenalkan oleh Dudal & Soepraptohardjo (1957). Sistem ini telah berkembang luas dan banyak digunakan secara nasional oleh para praktisi lapang/penyuluh pertanian serta Instansi teknis di daerah dan pusat (a.l. Dinas Pertanian, BPN) . Kemudian direvisi oleh Soepraptohardjo (1961), dan terakhir oleh Suhardjo dan Soepraptohardjo (1981) untuk keperluan survei tanah mendukung Proyek Transmigrasi di luar Jawa. Perbaikan klasifi kasi tanah yang terakhir ini telah disesuaikan dengan perkembangan ilmu tanah di Indonesia yang telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanah dunia.

Pada tahun 1974 dan 1975, mulai diperkenalkan sistem klasifi kasi tanah dunia, yaitu “Soil Unit” dari FAO/UNESCO (1974) dan “Soil Taxonomy” dari USDA (1975). Praktis sejak tahun 1975 berkembang tiga sistem klasifi kasi tanah di Indonesia. Sistem “Soil Taxonomy” dinilai oleh para pakar memiliki banyak kelebihan sehingga lebih banyak dipelajari dan dipromosikan oleh para peneliti dan staf pengajar perguruan tinggi lulusan dari Amerika Serikat dan Eropa untuk diterapkan pada kegiatan pemetaan tanah di Indonesia. Gencarnya promosi penggunaan “Soil Taxonomy” di lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi serta kebutuhan mendesak untuk tujuan survei tanah, maka pada Kongres Nasional V Himpunan Ilmu Tanah Indonesia di Medan tahun 1989 telah memutuskan penggunaan “Soil Taxonomy” sebagai sistem klasifi kasi tanah yang formal digunakan secara nasional untuk keperluan survei tanah, pendidikan ilmu tanah di perguruan tinggi dan praktek-praktek pertanian di Indonesia (Hardjowigeno, 1993). Sejak saat itu penggunaan klasifi kasi tanah nasional (sistem D&S) mulai dilupakan. Sejak tahun itu pula di Pusat Penelitian Tanah (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian) menerapkan “Soil Taxonomy”, khususnya selama kegiatan pemetaan tanah tinjau P. Sumatera (Proyek LREP-I, 1986-1990) dan pemetaan tanah tingkat semidetil di daerah pengembangan di 18 provinsi di luar P. Sumatera (Proyek LREP-II, 1992-1996), serta kegiatan-kegiatan pemetaan

tanah sampai saat ini. Dalam Kongres Nasional Himpunan Ilmu Tanah 2011 di Surakarta, para pakar telah sepakat untuk menggunakan kembali Sistem Klasifi kasi Tanah Nasional.

Sistem “Soil Taxonomy” merupakan sistem klasifi kasi tanah yang dibangun oleh para pakar ilmu tanah dunia, secara komprehensif, sistimatik dan menggunakan pendekatan morfometrik (kuantitatif). Sistem ini menuntut data yang lengkap dengan metode analisis yang baku. Tata nama dibuat dari bahasa Latin dan atau Inggris. Revisi buku panduan dilakukan sangat cepat hampir setiap 2 tahun sekali. Kondisi ini menghambat perluasan penggunaan sistem tersebut serta menyulitkan pengguna data. Versi terakhir dari publikasi buku “Soil Taxonomy” adalah Edisi-11 tahun 2010. Klasifi kasi tanah dibagi dalam 6 kategori, yaitu Ordo, Sub-Ordo, Great group, Sub-Group, Famili dan Seri (Soil Survey Staff, 2010). Secara umum “Soil Taxonomy” juga membagi tanah berdasarkan asal bahan induknya menjadi 2 bagian, yaitu tanah organik (Histosol) dan tanah-tanah mineral. Di Indonesia telah diinventarisir sebanyak 10 Ordo tanah dari 12 Ordo tanah yang ada di dunia, sebagai anugerah kekayaan alam Indonesia, yaitu: Histosol, Entisol, Inceptisol, Andisol, Mollisol, Vertisol, Alfi sol, Ultisol, Spodosol, Oxisol. Hanya dua Ordo tanah yang tidak dijumpai di Indonesia yaitu: Aridisol, tanah pada daerah iklim sangat kering (aridik), dan Gelisol, tanah pada daerah sangat dingin (gelik, es)

Sistem klasifi kasi tanah nasional yang telah dimiliki cukup mudah dipelajari dan sudah dikenal dan digunakan selama lebih dari 50 tahunan. Nama-nama jenis tanah yang digunakan sudah cukup dikenal pengguna dan sangat mudah diingat. Sistem ini dibangun berdasarkan pendekatan morfogenesis (kualitatif) yang terdiri dari sifat morfologi dan proses pembentukan tanah terutama faktor bahan induk tanah sangat berpengaruh besar. Berdasarkan asal bahan pembentuk tanahnya, tanah di alam dibedakan atas tanah organik (tanah gambut) dan tanah mineral. Tanah organik dibedakan lebih rinci berdasarkan tingkat dekomposisi, komposisi bahan penyusun dan kedalaman tanahnya. Sedangkan tanah mineral dibedakan berdasarkan perkembangan morfologinya, terdiri atas: (1) Tanah-tanah dangkal atau belum berkembang seperti Litosol, Ranker, Renzina, Aluvial, Regosol, Grumusol; (2) Tanah-tanah yang sudah berkembang, seperti Podsolik

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

18

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

Merah Kuning, Mediteran, Latosol, Andosol. Tanah Aluvial terbentuk dari bahan endapan muda hasil dari aktivitas sungai (aluvium), pada profi lnya masih tampak jelas adanya lapisan-lapisan tanah yang baru terbentuk. Tanah ini tersebar sepanjang jalur aliran sungai atau pada dataran aluvial. Podsolik Merah Kuning dikenal sebagai tanah masam yang terbentuk dari batuan sedimen masam (batuliat, batupasir, batuan volkan masam), umumnya bertekstur halus (berliat), terdapat kenaikan liat yang nyata dan agak memadat di lapisan bawah, struktur gumpal bersudut sedang sampai besar dan teguh. Mediteran berkembang dari batuan sedimen bersifat basa (batukapur, batuliat berkapur), yang memiliki sifat morfologi tanah mirip Podsolik, namun berbeda pada sifat kimia tanah, terutama pada kejenuhan basa tinggi. Sedangkan Latosol berkembang dari batuan atau bahan volkanik bersifat intermedier sampai basa (andesitik-basal), dan Andosol dari bahan volkan muda (abu volkan dan tufa) yang umum dijumpai pada dataran tinggi volkan dengan ketinggian tempat diatas 1000 m dpl.

Meskipun sistem klasifi kasi tanah D&S tidak digunakan lagi oleh para pakar ilmu tanah, namun kenyataannya sistem tersebut masih tetap digunakan oleh para praktisi lapang/penyuluh pertanian serta instansi teknis terkait di daerah terutama untuk tujuan pertanian, sementara sistem klasifi kasi tanah yang baru : “Soil Taxonomy” hampir tidak dikenalnya. Oleh karenanya, suatu sistem klasifi kasi tanah yang sederhana, mudah difahami dan dipraktekan oleh para pengguna kiranya sangat diperlukan keberadaannya sebagai alat pembangunan pertanian, alat komunikasi antar/inter pakar tanah dan pengguna, dan juga sebagai ciri budaya bangsa dan cerminan tingkat kemajuan perkembangan ilmu tanah di suatu negara. Sistem klasifi kasi tanah nasional perlu dimiliki dan dibangun oleh setiap bangsa sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu tanah di Indonesia. Dalam Kongres Nasional HITI tahun 2011 di Surakarta telah disepakati oleh para pakar tanah untuk menggunakan kembali sistem klasifi kasi tanah nasional dan secara bertahap sistem tersebut perlu disempurnakan untuk memenuhi kebutuhan pengguna sesuai dengan kondisi sumberdaya tanah yang ada dan perkembangan iptek tanah di Indonesia.

KONSEP DASAR KLASIFIKASI TANAH NASIONAL

Konsepsi dasar membangun sistem klasifi kasi tanah pada awalnya lebih ditujukan untuk keperluan pertanian dalam arti luas. Namun akhir-akhir ini klasifi kasi tanah tidak hanya untuk pertanian tetapi juga untuk tujuan non-pertanian, antara lain untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan jalan dan bangunan gedung (enginering), pemukiman, safty tank, bahan tambang, bahan industri, dll. Sistem klasifi kasi tanah nasional yang dibangun harus sederhana, bermanfaat bagi masyarakat luas, mudah difahami dan dipraktekkan oleh para pengguna terutama petani di perdesaan, serta secara ekonomi relatif murah. Hal lain yang sangat penting lagi adalah bahwa semua jenis tanah yang ada di Indonesia dapat ditampung dalam sistem tersebut.

Sistem klasifi kasi tanah yang telah dikenal dan digunakan secara luas untuk keperluan pemetaan tanah dan praktek pertanian di Indonesia sebelumnya dikenal sebagai sistem Dudal & Soepraptohardjo (1957), dan kemudian direvisi oleh Soepraptohardjo (1961, 1978) dan terakhir oleh Suhardjo dan Soepraptohardjo (1981) untuk mendukung Proyek Transmigrasi di luar Jawa. Sistem ini dibangun dengan pendekatan kualitatif berdasarkan morfogenesis tanah, yaitu sifat morfologi tanah dan proses pembentukannya (genesis) terutama faktor bahan induk tanah mempunyai pengaruh yang sangat dominan.

Berdasarkan asal bahan induk pembentuknya, tanah dibedakan dalam 2 kelompok besar, yaitu tanah organik (tanah gambut) dan tanah mineral. Tanah organik dapat dibedakan lebih rinci berdasarkan tingkat dekomposisi atau kematangannya. Sedangkan tanah mineral dibedakan berdasarkan tingkat perkembangannya menurut susunan horison yang terbentuk, terbagi atas (1) Tanah-tanah yang belum berkembang, memiliki susunan horison (A)-R dan atau A-C, dan (2) Tanah-tanah yang sudah berkembang, memiliki susunan horison lengkap A-B-C. Tata nama tanah terbagi dalam 2 tingkatan/kategori, yaitu Jenis Tanah dan Macam Tanah. Nama-nama Jenis Tanah mengacu pada nama-nama tanah yang telah diperkenalkan sebelumnya dalam sistem klasifi kasi D&S dengan sedikit modifi kasi dan penambahan yang disesuaikan dengan perkembangan klasifi kasi tanah dunia.

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

19

Sedangkan pada tingkat/kategori Macam Tanah, sebelumnya menggunakan warna tanah pada horison penciri bawah (B-warna). Hasil kajian beberapa peneliti menyimpulkan bahwa pemberian warna tanah pada Macam Tanah kurang mencerminkan karakteristik dan potensi tanah yang sesungguhnya. Oleh karena itu kemudian, Suhardjo dan Soepraptohardjo (1981) menggunakan nama-nama atau istilah dari sifat atau horison penciri dari Sistem Taksonomi Tanah dan atau Unit Tanah FAO/UNESCO.

SISTEM KLASIFIKASI TANAH NASIONAL

Sistem klasifi kasi tanah nasional yang akan digunakan dalam mendukung pewilayahan komoditas pertanian mengacu kepada sistem klasifi kasi tanah yang telah ada (Suhardjo dan Soepraptohardjo, 1981) yang merupakan penyempurnaan dari sistem Dudal & Soepraptohardjo (1957, 1961). Sistem klasifi kasi tanah didasarkan pada morfogenesis, bersifat terbuka dan dapat menampung semua jenis tanah di Indonesia. Struktur klasifi kasi tanah terbagi dalam 2 tingkat/kategori, yaitu Jenis Tanah dan Macam Tanah. Pembagian Jenis Tanah didasarkan pada susunan horison utama penciri, proses pembentukan (genesis) dan sifat penciri lainnya. Pada tingkat Macam Tanah digunakan sifat tanah atau horison penciri lainnya. Tata nama pada tingkat Jenis Tanah lebih dominan menggunakan nama Jenis Tanah yang lama dengan beberapa perubahan nama baru (Umbrisol, Molisol, Oksisol). Sedangkan pada tingkat Macam Tanah sepenuhnya menggunakan nama/istilah yang berasal dari Unit Tanah FAO/UNESCO dan atau Sistem Taksonomi Tanah. Perbaikan/penyempurnaan sistem dapat dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kebutuhan pengguna dan perkembangan iptek tanah sesuai dengan kondisi sumberdaya tanah di Indonesia. Klasifi kasi tanah dilakukan mengikuti Kunci Penetapan Jenis Tanah sebagaimana disajikan pada Tabel 15. dan Lampiran 1.

PENGGUNAAN KLASIFIKASI TANAH DALAM PEMETAN TANAH UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN PERTANIAN

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian mempunyai tugas nasional untuk melakukan pemetaan tanah di seluruh wilayah daratan kepulauan Indonesia yang diperkirakan

seluas 188 juta ha untuk tujuan pertanian. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Balai Besar, kegiatan pemetaan tanah yang telah, sedang dan akan dilakukan terdiri dari 3 tingkatan pemetaan sesuai dengan tujuan pemetaan, yaitu tingkat pemetaan tanah eksplorasi, skala 1:1.000.000 untuk keperluan perencanaan tingkat nasional, pemetaan tanah tingkat tinjau, skala 1:250.000 untuk perencanaan di tingkat provinsi, dan pemetaan tanah tingkat semi detil (skala 1:50.000) dan atau tingkat detil (skala 1:25.000 atau lebih besar) untuk perencanaan di tingkat kabupaten dan atau untuk tujuan khusus penggunaan lahan, antara lain untuk mendukung pewilayahan komoditas pertanian, proyek transmigrasi, pembukaan lahan untuk pengembangan tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Sampai saat ini pemetaan tanah tingkat eksplorasi skala 1:1.000.000 telah selesai di kerjakan dan hasilnya disajikan berupa Atlas Peta Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, yang telah dpublikasikan pada tahun 2000. Sedangkan pemetaan tanah tingkat tinjau, skala 1:250.000 diperkirakan telah diselesaikan sekitar 90% dari wilayah daratan Indonesia. Wilayah-wilayah yang belum dipetakan antara lain di sebagian wilayah Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Sementara itu, pemetaan tanah tingkat semidetil dan atau detil diperkirakan baru diselesaikan kurang dari 50% dari wilayah daratan Indonesia. Ke depan, selain menyelesaikan kegiatan pemetaan tanah tingkat tinjau, juga akan semakin banyak pekerjaan pemetaan yang harus dikerjakan karena setiap kabupaten di Indonesia meminta untuk dipetakan wilayahnya pada skala 1:50.000 untuk mendukung Tata Ruang Daerah Kabupaten/Kota, pewilayahan komoditas serta pemanfaatan sumberdaya lahan yang optimal mendukung ketahanan pangan dan antisipasi perubahan iklim global.

Pemetaan tanah di Indonesai sampai sekarang menggunakan pendekatan satuan lahan (land unit). Pendekatan satuan lahan memerlukan informasi klasifi kasi tanah yang sesuai dengan tingkatan/skala atau tujuan pemetaan tanah. Pada pemetaan tanah tingkat eksplorasi sebaiknya menggunakan Jenis Tanah atau Ordo Tanah dalam Sistem Taksonomi Tanah, pada tingkat tinjau menggunakan Macam Tanah atau Great Group pada Taksonomi Tanah dan pada tingkat semi detil menggunakan Macam Tanah plus sifat penciri lainnya atau Sub Group dalam Sistem Taksonomi Tanah.

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

20

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

Dengan digunakannya Sistem Klasifi kasi Tanah Nasional maka akan sangat membantu dalam percepatan pemetaan tanah di Indonesia, terutama dalam mendukung pembangunan pertanian dan peningkatan produktivitas lahan secara berkelanjutan di daerah provinsi dan atau kabupaten/kota.

KESIMPULAN

1. Sistem Klasifikasi Tanah Nasional perlu dibangun sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan iptek tanah di Indonesia. Sistem klasifikasi tanah yang ada dan telah lama dikenal secara luas di Indonesia sebagai satu-satunya Sistem Klasifikasi Tanah Nasional perlu dikembangkan dan digunakan dalam mendukung pembangunan pertanian yang berkelanjutan dan tujuan-tujuan praktis dalam pemanfaatan sumberdaya tanah untuk pertanian dan non-pertanian.

2. Sistem Klasifikasi Tanah dengan menggunakan Taksonomi Tanah (USDA) dan sistem klasifikasi tanah lainnya (FAO/UNESCO) dapat digunakan sebagai referensi dan alat berkomunikasi dengan para pakar tanah di dunia internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Dudal, R and M. Soepraptohardjo. 1957. Soil Classifi cation in Indonesia. Cont. Gen.

Agric. Res. No. 148. Bogor.FAO/UNESCO. 1974. Soil Map of the World.

Vol. I. Legend. UNESCO, Paris.Hardjowigeno, S. 1993. Klasifi kasi Tanah

dan Pedogenesis. Edisi Pertama. Akademika

Pressindo, Jakarta.Soepraptohardjo, M. 1961. Sistim Klasifi kasi

Tanah di Balai Penyelidikan Tanah.Kongres Nasional Ilmu Tanah (KNIT) I.

Bogor.Soil Research Institute. 1978. National Soil

Classifi cation System. Dok. CSR, Bogor.

Soil Survey Staff. 1975. Soil Taxonomy. USDA. Agr. Handbook 436. Washington, D.C.

Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. NRCS-USDA. Washington, D.C.

Suhardjo, H dan M. Soepraptohardjo. 1981. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk

Keperluan Survai dan Pemetaan Tanah Daerah Transmigrasi. Publ. No. 28/1981.

Proyek P3MT, Pusat Penelitian Tanah. Bogor.

Tabel 15. Kunci Penetapan Jenis Tanah berdasarkan Perkembangan Horison Tanah

Kelompok Tanah Susunan Horison Jenis TanahTANAH ORGANIK H ORGANOSOLTANAH MINERAL I. TANPA PERKEMBANGAN

(A)R LITOSOLAC ALUVIAL

REGOSOLGRUMUSOLUMBRISOL RENZINA

II. DENGAN PERKEMBANGANA(B)C ARENOSOLABwC ANDOSOL

LATOSOLMOLISOL KAMBISOL

ABgC GLEISOLABtC NITOSOL

PODSOLIKMEDITERAN

ABtgC PLANOSOLABsC PODSOLABxC OKSISOL

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

21

Lampiran 1.

KUNCI PENETAPAN JENIS TANAH

Tanah yang mempunyai horison H, setebal 50 cm atau lebih (jika bahan organik terdiri dari spaghnum atau lumut 60 cm atau lebih atau mempunyai bulk density kurang dari 0,1) dari permukaan tanah, atau kumulatif 50 cm di dalam 80 cm dari lapisan atas.

ORGANOSOL

Tanah lain yang berada pada batuan kukuh sampai kedalaman 20 cm atau kurang dari permukaan tanah.

LITOSOL

Tanah lain yang berkembang dari bahan endapan muda, tidak mempunyai horison penciri (kecuali tertimbun oleh 50 cm atau lebih bahan baru) selain horison A okrik, horison A umbrik (tidak berada diatas batuan kukuh dan dalam lebih dari 25 cm), horison H histik atau sulfurik, berkadar pasir dan debu kurang dari 60% pada kedalaman antara 25-100 cm atau mempunyai susunan berlapis.

ALUVIAL

Tanah lain yang tidak mempunyai horison penciri, tidak bertekstur kasar dari bahan albik atau horison apapun (kecuali jika tertimbun 50 cm atau lebih bahan baru) selain horison A okrik, horison A umbrik (tidak berada diatas batuan kukuh dan dalam lebih dari 25 cm), horison H histik atau sulfurik serta berkadar pasir dan debu 60% atau lebih pada kedalaman antara 25-100 cm.

REGOSOL

Tanah lain yang mempunyai horison A umbrik dan tidak lebih dalam dari 25 cm, tidak mempunyai horison penciri lainnya (kecuali jika tertimbun oleh 50 cm atau lebih bahan baru).

UMBRISOL

Tanah lain yang mempunyai horison A molik dan dibawahnya langsung batukapur berkadar CaCO3 lebih dari 40 % (bila horison A mengandung pecahan CaCO3 halus banyak, warna horison A molik dapat menyimpang).

RENZINA

Tanah lain setelah 20 cm dari lapisan atas dicampur, kadar liat 30 % atau lebih sampai sekurang-kurangnya 50 cm dari permukaan, mempunyai peluang cukup untuk terjadinya retakan tanah sekurang-kurangnya lebar 1 cm pada kedalaman 50 cm jika tidak mendapat pengaruh pengairan dan mempunyai satu atau lebih ciri berikut: bentukan gilgai, bidang kilir atau struktur membaji yang jelas pada kedalaman antara 25-100 cm dari permukaan.

GRUMUSOL

Tanah lain bertekstur kasar dari bahan albik yang terdapat pada kedalaman sekurang-kurangnya 50 cm dari permukaan, atau memperlihatkan ciri mirip horison B argilik, kambik atau oksik, tetapi tidak memenuhi syarat karena faktor tekstur, tidak mempunyai horison penciri (kecuali tertimbun 50 cm atau lebih bahan baru) selain horison A okrik.

ARENOSOL

Tanah lain yang mempunyai horison A molik atau umbrik dan mungkin terdapat diatas horison B kambik, atau horison A okrik dan horison B kambik, tidak mempunyai horison penciri lain (kecuali jika tertimbun 50 cm atau lebih bahan baru), pada kedalaman sampai 35 cm atau lebih mempunyai satu atau kedua-duanya dari: (a) bulk density pada kandungan air 1/3 bar dari fraksi tanah halus (< 2 mm) kurang dari 0,85 g/cm3 dan komplek pertukaran didominasi oleh bahan amorf, (b) >60% abu volkan vitrik, abu, atau bahan piroklastik vitrik yang lain dalam fraksi debu, pasir dan kerikil.

ANDOSOL

Tanah lain yang mempunyai distribusi klei tinggi, remah sampai gumpal, gembur dan warna homogen pada penampang tanah dalam dengan batas horison terselubung, kejenuhan basa < 50% (NH4OAc) sekurang-kurangnya pada beberapa bagian dari horison B di dalam penampang 125 cm dari permukaan, tidak mempunyai horison penciri (kecuali jika tertimbun 50 cm atau lebih bahan baru) selain horison A umbrik, atau horison B kambik, tidak memperlihatkan gejala plintit di dalam penampang 125 cm dari permukaan, dan tidak mempunyai sifat vertik.

LATOSOL

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

22

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

Tanah lain yang mempunyai distribusi klei tinggi, remah sampai gumpal, gembur dan warna homogen pada penampang tanah dalam dengan batas horison terselubung, kejenuhan basa 50% atau lebih (NH4OAc) , tidak mempunyai horison penciri (kecuali jika tertimbun 50 cm atau lebih bahan baru) selain horison A molik atau horison B kambik, tidak memperlihatkan gejala plintit di dalam penampang 125 cm dari permukaan, dan tidak memiliki sifat vertik.

MOLISOL

Tanah lain yang mempunyai horison B kambik tanpa atau dengan horison A okrik, umbrik atau molik, tanpa memperlihatkan gejala hidromorfi k di dalam penampang 50 cm dari permukaan.

KAMBISOL

Tanah lain yang memperlihatkan sifat hidromorfi k di dalam penampang 50 cm dari permukaan, tidak mempunyai horison penciri (kecuali jika tertimbun 50 cm atau lebih bahan baru) selain horison A, horison H, horison B kambik, kalsik atau gipsik.

GLEISOL

Tanah lain yang mempunyai horison B argilik dengan penyebaran kadar klei tinggi dengan penurunan kadar klei kurang dari 20% terhadap klei maksimum di dalam penampang 150 cm dari permukaan, kandungan bahan mudah lapuk kurang dari 10% di dalam penampang 50 cm dari permukaan, tidak mempunyai plintit sampai 125 cm dari permukaan, tidak mempunyai sifat vertik dan ortoksik.

NITOSOL

Tanah lain yang mempunyai horison B argilik, mempunyai kejenuhan basa kurang dari 50% (NH4OAc) sekurang-kurangnya pada beberapa bagian dari horison B di dalam penampang 125 cm dari permukaan dan tidak mempunyai horison albik yang berbatasan langsung dengan horison argilik atau fragipan.

PODSOLIK

Tanah lain yang mempunyai horison B argilik dan tidak mempunyai horison albik yang berbatasan langsung dengan horison argilik atau fragipan.

MEDITERAN

Tanah lain yang mempunyai horison E albik diatas suatu horison dengan permeabilitas lambat (horison B argilik atau natrik yang memperlihatkan perubahan tekstur nyata, klei berat, fragipan) di dalam penampang 125 cm dari permukaan, memperlihatkan ciri hidromorfi k sekurang-kurangnya sebagian lapisan dari horison E.

PLANOSOL

Tanah lain yang mempunyai horison B spodik.

PODSOL

Tanah lain yang mempunyai horison B oksik.

OKSISOL

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

23

PENGGEMUKAN SAPI BALI DENGAN KONSENTRAT KULIT KAKAO FERMENTASI DAN TONGKOL JAGUNG

1Yanovi Hendri dan 2Nurnayetti 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat,

Jalan Raya Padang-Solok km 40, Sukarami, Solok 27366. Telp. (0755) 31122, 31564, Faks. (0755) 31138, E-mail: [email protected]. [email protected].

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

ABSTRAKPenggemukan sapi bali pada peternakan rakyat mengalami pertambahan berat badan yang masih rendah mengingat manajemen pakan hanya mengandalkan rumput alam tanpa pemberian konsentrat. Pengkajian ini dilaksanakan untuk mengetahui pertambahan berat badan dan analisa ekonomi sapi Bali yang diberikan konsentrat kulit kakao fermentasi dan tongkol jagung. Materi penelitian adalah 12 ekor sapi Bali jantan yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan dan dipelihara selama 150 hari. Perlakuan adalah : (i) R0 (Pola Petani), (ii) R1(Rumput + 20% kulit kakao fermentasi (KKF) dalam komponen konsentrat), dan (iii) R2 (Rumput + 40% tongkol jagung dalam komponen konsentrat). Parameter yang diamati adalah pertambahan berat badan (PBB), nilai R/C ratio dan Nilai Keuntungan Bersih (NKB). Hasil pengkajian memperlihatkan sapi Bali yang mendapat perlakuan R1 menghasilkan pertambahan berat badan lebih tinggi dari pola petani, begitu juga dengan perlakuan R2. Penggemukan sapi Bali dengan pemberian menghasilkan nilai R/C ratio ˃ 1, artinya konsentrat layak secara ekonomi digunakan sebagai pakan sapi bali. Keuntungan bersih yang diperoleh dengan perlakuan penggemukan sapi Bali dengan konsentrat mencapai 300% lebih tinggi dibandingkan pola petani. Berdasarkan hasil pengkajian maka disimpulkan bahwa penggemukan sapi Bali dengan pemberian konsentrat meningkatkan pertambahan berat badan dan pendapatan peternak.

Kata kunci : sapi Bali, konsentrat, kulit kakao fermentasi, tongkol jagung, produksi, ekonomi

PENDAHULUAN

Kebutuhan daging sapi di Indonesia meningkat seiring pertambahan penduduk dan tingginya kesadaran masyarakat mengkonsumsi makanan bergizi. Namun peningkatan populasi ternak tidak sebanding laju permintaan sehingga hampir 42% konsumsi daging domestik berasal dari sapi-sapi impor (Luthan, 2009). Sensus ternak pada tahun 2011 memperlihatkan total populasi sapi potong di Indonesia yang mencapai 14,82 juta ekor (Ditjen PKH 2012), potensi lokal ini harus dapat diberdayakan untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap sapi-sapi impor.

Sapi Bali (Bos Sandaicus) adalah sapi indigenous yang populer sebagai ternak pemasok daging yang pengembangbiakannya mendapat perhatian serius. Populasi sapi Bali cukup besar yaitu mencapai 3,5 juta ekor atau 25% dari total sapi potong di Indonesia (Ditjennak, 2011). Berdasarkan sebaran populasi, hampir 82% sapi Bali tumbuh dan berkembangbiak di luar propinsi Bali seperti propinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan pulau Sumatera (Anonimus, 2004). Di propinsi Sumatera Barat, pemerintah mengintroduksi ribuan ekor sapi Bali melalui Proyek IFAD di awal tahun 1990-an.

Sapi Bali di Sumbar diusahakan oleh peternakan rakyat mengandalkan penggembalaan dan hijauan berdasarkan ketersediaan rumput alam. Hal ini mengakibatkan konsumsi rumput tidak memenuhi kebutuhan nutrisi membuat pertumbuhan ternak hanya berkisar antara 0,1-0,3 kg/hari. Mathius (2008) menyatakan bahwa konsumsi nutrisi yang tidak sesuai kebutuhan mengakibatkan bobot potong sapi Bali kurang dari 250 kg/ekor, padahal secara genetik bobot hidup sapi Bali bisa mencapai 350 kg/ekor. Berdasarkan kondisi demikian, dalam rangka memacu produktifi tas sekaligus daya saing diperlukan terobosan teknologi pakan yaitu dengan cara memberikan konsentrat dengan jumlah yang cukup terhadap sapi Bali yang digemukkan oleh peternakan rakyat.

Menurut Sugeng (2000), konsentrat merupakan komposisi dari beberapa macam bahan pakan yang dikomposisi secara seimbang sehingga memiliki konsentrasi protein tinggi, serat kasar rendah dan mudah untuk dicerna. Keberadaan konsentrat sebagai komponen ransum bisa meningkatkan kualitas pakan yaitu dengan cara memperkaya nilai gizi bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah. Kualitas konsentrat berbeda-beda tergantung dari jenis bahan pakan yang digunakan dan biasanya berasal dari biji-bijian atau hasil/sisa pertanian dan perkebunan.

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

24

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

Semakin tinggi kualitas konsentrat maka akan semakin efi sien kemampuannya untuk memacu produksi daging yang direfl eksikan dengan pertambahan berat badan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertambahan berat badan dan analisa ekonomi penggemukan sapi Bali dengan pemberian pakan konsentrat kulit kakao fermentasi dan tongkol jagung.

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kelompok Tani “Tunas Muda” pada bulan Juli sampai November 2010. Lokasi penelitian adalah Kenagarian Sungai Durian, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman, Propinsi Sumatera Barat.

Ternak dan Perlakuan Pakan

Penelitian menggunakan 12 ekor sapi Bali jantan berumur 1,5 – 2 tahun dengan lama pemeliharaan 5 (lima) bulan. Penimbangan berat badan sapi Bali dilakukan setiap bulan dengan menggunakan timbangan digital. Rancangan penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan adalah sebagai berikut :

R0 = Pola Petani (Rumput tanpa konsentrat) R1 = Rumput + 20% kulit kakao fermentasi

(KKF) dalam komponen konsentrat R2 = Rumput + 40% tongkol jagung dalam

komponen konsentrat

Kebutuhan konsumsi hijauan sapi Bali dihitung menurut menurut standar bahan kering (BK). Mengingat rata-rata berat badan Sapi Bali ± 165 – 183 kg, maka kebutuhan konsumsi rumput per hari sebesar 4% dari bobot badan (Kearl, 1982). Formulasi konsentrat dan konsumsi rumput per hari sapi Bali selama penelitian bisa dilihat pada Tabel 16. Pemberian konsentrat terhadap sapi Bali adalah sebanyak 2 kg/hari, diberikan setiap pagi hari sebelum sapi mengkonsumsi hijauan.

Tabel 16. Formulasi konsentrat dan konsumsi rumput (kg/hari)

No. Bahan Pakan RS0 RS1(%)

RS2(%)

A. Formulasi konsentrat

Dedak - - 50 28,5Kulit kakao - fermentasi

- 20 -

Tongkol jagung- - 40Bungkil kelapa - - 15 30Jagung - - 5 -Tepung ikan- - 5 -Mineral- - 4 0,25Probiotik (Starbio)- - - 0,75Urea- - - 0,25Garam- - 1 0,25Jumlah 100 100Protein (%) 12 12 Harga/kg (Rp) 2000,- 1600,-

B. Konsumsi rumputPemberian (kg/hari)- 23 22,5 24,5Biaya (Rp)- 2.300,-* 2.250,-* 2.450,-*

*Harga rumput per kg Rp. 100,-

Pengelolaan Ternak dan Pemberian Pakan

Pada awal penelitian ternak diberi obat cacing mengantisipasi terdapatnya parasit di saluran pencernaan. Ternak dialokasikan secara acak untuk menerima salah satu perlakuan pakan. Tempat pakan terbuat dari papan dan tempat minum menggunakan baskom. Adaptasi pakan terhadap ternak dilakukan selama 15 hari, kemudian pemberian pakan dilanjutkan selama 150 hari. Pertambahan berat badan dilakukan setiap bulan menggunakan timbangan digital yang berkapasitas 2 ton.

Kulit kakao diperoleh bersamaan dengan panen kakao oleh anggota kelompok, kulit kakao yang telah terkumpul kemudian dicincang dengan chopper. Kulit kakao yang telah dicincang kemudian difermentasi secara aerob dengan menggunakan fermentor RAGUR 100 selama 6 hari. Hasil fermentasi kemudian dikeringkan dan digiling menggunakan hammer mill sehingga menjadi membentuk partikel yang lebih halus sehingga mudah dicampur secara homogen dengan bahan pakan lain.

Pemberian pakan selama kegiatan penelitian ini dilaksanakan sebanyak tiga kali sehari. Pemberian konsentrat pada pagi hari kira-kira

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

25

2 jam sebelum pemberian ½ porsi rumput dan pemberian ½ porsi rumput lagi di sore hari. Air minum disediakan secara adlibitum, penggantian air minum setiap pagi dan sore. Parameter yang diamati diuraikan sebagai berikut :

1. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)Pengukuran pertambahan bobot badan har-ian menggunakan rumus Bogart dan Taylor yaitu :

Dimana:

PBBH = pertambahan bobot badan harian (kg/hari)

W1 = bobot badan awal (kg)W2 = bobot badan akhir (kg)T1 = waktu awal penimbangan (hari)T2 = lama pemeliharaan (hari)

1. Total Biaya ProduksiTotal biaya produksi atau total pengeluaran yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk, diperoleh dengan cara menghitung : biaya bakalan, biaya kandang (sewa kandang), biaya pakan, biaya obat-obatan, biaya tenaga kerja dan lain-lain.

2. Total Hasil ProduksiTotal hasil produksi atau total penerimaan yaitu seluruh produk yang dihasilkan dalam kegiatan ekonomi diperoleh dengan cara menghitung penjualan sapi (jumlah sapi yang dijual/ harga/kilogram) dan pendapatan dari pupuk kandang.

3. Keuntungan Keuntungan diperoleh dengan cara menghitung selisih antara total penerimaan (total reserve) dan total pengeluaran (total

cost).4. R/C Ratio

R/C ratio diperoleh dengan cara membagikan total hasil produksi dengan cara membagikan total hasil produksi dengan total biaya produksi atau dituliskan :

Apabila = R/C ratio > 1 : Efi sien R/C ratio = 1 : Impas

R/C ratio < 1 : tidak efisien5. NKB (Nilai Keuntungan Bersih) NKB = KB PB

KBPG

KBPB = Kuntungan bersih perlakuan pakan pola petani

KBPG = Keuntungan bersih perlakuan pakan dengan konsentrat

Analisa Data :Analisa data menggunakan analisis

sidik ragam, jika perlakuan memberikan pengaruh signifi kan maka dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan di taraf kesalahan 5%

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertambahan Bobot Badan Harian

Hasil Pengkajian (Tabel 18.) memperlihatkan rata-rata pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi Bali yang digemukkan dengan perlakuan pakan pola petani dan konsentrat berkomponen 20 persen kulit kakao fermentasi dan 40 persen tongkol jagung.

Perlakuan pakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap pertambahan berat badan harian (PBBH) sapi Bali. Penelitian menunjukkan bahwa sapi Bali yang digemukkan

Tabel 17. Rataan PBBH sapi Bali yang digemukkan dengan perlakuan pakan pola petani dan konsentrat berkomponen 20 persen kulit kakao fermentasi dan 40 persen tongkol jagung (g/hari)

Perlakuan Penimbangan PBBHBulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan 5RS0 346 200 -171 267 160 160 aRS1 608 508 246 400 417 436 bRS2 321 396 496 75 158 289 ab

Keterangan : CV 57,7. Kolom dengan huruf berbeda, berbeda nyata secara statistik (P>0.05).

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

26

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

dengan konsentrat berkomponen 20 persen kulit kakao fermentasi (RS1) menghasilkan PBBH tertinggi. Hasil ini menjelaskan meskipun pada kulit buah kakao fermentasi masih terdapat racun theobromin namun konsentrat masih dalam batas aman untuk dikonsumsi dan tidak bersifat toksik yang dapat mengganggu produktifi tas sapi Bali. Sebaliknya, kandungan protein yang terdapat pada kulit kakao fermentasi bersinergi dengan bahan pakan lain dalam rangka menghasilkan pertambahan berat badan sapi Bali yang lebih baik.

Ismartoyo (2000) menyatakan bahwa kandungan nutrisi pada kulit buah kakao secara kualitatif tergolong lengkap yakni memiliki kandungan protein yang kaya dengan asam-asam amino essensial. Padang (2009) menyatakan bahwa protein merupakan zat makanan yang berguna untuk membentuk sel-sel baru, membesarkan ukuran sel sebagai penyebab dari pertambahan bobot badan ternak. Wirdahayati et al., (2010) melaporkan bahwa penggunaan kulit kakao fermentasi dalam komponen ransum sapi potong mampu meningkatkan pertambahan bobot badan. Ransum dengan komponen kulit kakao fermentasi hingga 8 kg memberikan pertambahan berat badan harian sebesar 915 g/hari dengan nilai R/C ratio sebesar 1,54.

Perlakuan pakan konsentrat berkomponen 40 persen tongkol jagung (RS2) memberikan pertambahan berat badan harian sapi Bali yang tidak berbeda (P<0.05). Hal tersebut menjelaskan bahwa probiotik yang terdapat pada konsentrat secara biologis mampu meningkatkan kandungan nutrisi namun tidak daya cerna tongkol jagung. Dengan demikian zat-zat makanan pada bahan pakan tersebut tidak terserap secara sempurna sehingga banyak yang terbuang menjadi kotoran. Oke et al., (2007) dan Ademeye dan Familade (2003) menyatakan bahwa pengolahan dengan metode biologis dengan mikroorganisme tertentu meningkatkan nutrisi tongkol jagung. Dilain pihak, Yuliastiani et al., (2011) melaporkan pengolahan tongkol jagung dengan cara fermentasi tidak bisa meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik dari tongkol jagung.

Analisa Ekonomi Penggemukan Sapi Bali

dengan Konsentrat

Analisa ekonomi sapi Bali yang digemukkan dengan perlakuan pakan pola petani dan perlakuan konsentrat berkomponen kulit kakao fermentasi dan tongkol jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Perbandingan analisis ekonomi sapi Bali yang digemukkan dengan perlakuan pakan pola petani dan perlakuan konsentrat berkomponen kulit kakao fermentasi dan tongkol jagung, layak ditinjau secara ekonomi. Hal tersebut dilihat dari nilai R/C ratio yang lebih besar dari 1, sehingga nilai produksi lebih tinggi dari nilai biaya yang dikeluarkan. Sodiq dan Abidin (2002) menyatakan nilai R/C ratio bisa menggambarkan efi siensi atau kelayakan pengembangan suatu usaha. Apabila nilai R/C ratio > 1 artinya usaha menguntungkan atau layak bila ditinjau secara ekonomi. Semakin besar nilai R/C ratio maka semakin rendah nilai biaya dan semakin tinggi nilai produksi.

Berdasarkan analisa ekonomi (Tabel 18), diketahui bahwa sapi Bali yang mendapat perlakuan konsentrat berkomponen 20 persen kulit kakao fermentasi memerlukan tambahan biaya produksi sekitar Rp. 607.500,- jika dibanding sapi Bali yang diberi perlakuan pakan pola petani. Dengan kelebihan tambahan biaya produksi, perlakuan pakan mampu memberikan tambahan pendapatan sebesar Rp. 841.500,- serta nilai keuntungan bersih (NKB) sekitar 8,2. Hal tersebut menjelaskan bahwa sapi Bali yang digemukkan dengan konsentrat berkomponen 20 persen kulit kakao fermentasi bisa meningkatkan pendapatan sebesar 8,2 kali jika dibandingkan sapi Bali yang digemukkan dengan perlakuan pakan pola petani. Sedangkan, kelebihan biaya produksi sapi Bali yang digemukkan dengan konsentrat berkomponen tongkol jagung hanya bisa menghasilkan nilai keuntungan bersih (NKB) sebesar 3,4 kali.

Napitupulu dan Prawitra (1990) menyatakan pendapatan merupakan penciptaan barang-barang secara efektif dalam suatu periode berkaitan dengan penilaian kuantitas sehingga menghasilkan penerimaan penjualan. Pengeluaran atau ongkos produksi yang tidak efi sien akan mengakibatkan penerimaan dari penjualan yang tidak sesuai dengan harapan.

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

27

Mathius (2008) dan Tangendjaja (2009) menyatakan biaya pakan merupakan komponen tertinggi (60-70%) dari seluruh total biaya produksi, oleh sebab itu setiap pengeluaran untuk ongkos produksi hendaklah berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan.

Nilai titik impas produksi (TIP) dan titik impas hasil (TIH) (Tabel 18) memperlihatkan bahwa sapi Bali yang digemukkan dengan konsentrat berkomponen 20 persen kulit kakao fermentasi memiliki nilai TIP dan TIH lebih rendah dari hasil yang telah dicapai. Artinya selama 150 hari pemeliharaan, sepanjang pertambahan berat badan sapi Bali tidak kurang dari 41 kg dan harga per kg berat hidup tidak kurang dari Rp. 24.656,-, maka peternak tidak akan mengalami kerugian. Sedangkan, nilai TIP dan TIH (Tabel 18) sapi Bali yang digemukkan dengan konsentrat berkomponen tongkol jagung juga lebih rendah dari hasil yang telah dicapai. Artinya sepanjang pertambahan berat badan sapi Bali tidak kurang dari 33,8 kg dan harga per kg berat hidup tidak kurang dari Rp. 32.353,-, maka peternak juga tidak akan berpotensi merugikan peternak sapi Bali.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian maka disimpulkan

bahwa penggemukan sapi Bali dengan konsentrat memberikan pertambahan berat badan lebih baik dan meningkatkan pendapatan peternak. Konsentrat berkomponen kulit kakao fermentasi dan tongkol jagung dapat direkomendasikan untuk penggemukan sapi Bali.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian melalui Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat atas bantuan dana penelitian yang diberikan. Ucapan terima kasih kepada Bapak Prof (R) Dr. Abdullah M Bamualim, MSc atas bantuannya menyempurnakan tulisan ini, rekan-rekan peneliti dan teknisi Agusviwarman SPt, Nasril dan Supriyadi atas kerjasama yang baik selama penelitian.

DAFTAR PUSTAKAAdeyemi, O.A. and F.O. Familade. 2003.

Replacement of maize by rumen fi ltrate fermented corn-cob in layer diets. Bioresour. Technol. 90: 221-224.

Anonimus, 2004. Pengembangan sistem breeding sapi Bali. Laporan Penelitian.

Tabel 18. Analisa ekonomi sapi Bali yang digemukkan perlakuan pakan pola petani dan konsentrat berkomponen 20 persen kulit kakao fermentasi dan 40 persen tongkol jagung

No. Uraian

R0 R1 R2Jumlah Satuan

Harga Satuan (Rp)

Nilai (Rp) Jumlah Satuan

Harga Satuan (Rp)

Nilai (Rp) Jumlah Satuan

Harga Satuan (Rp)

Nilai (Rp)

1. Pembelian Bakalan 168 kg 35.000 5.880.000 163 kg 35.000 5.705.000 181 kg 35.000 6.335.0002. Biaya Tetap

P- enyusutan kandangPenyusutan alat-

5 bln5 bln

20.00025.000

100.000125.000

5 bln5 bln

20.00025.000

100.000125.000

5 bln5 bln

20.00025.000

100.000125.000

3. Biaya PakanRumput- Konsentrat (KSF)- Konsentrat-

3.300 kg--

100--

330.000--

3.375 kg300 kg

-

1002.000

-

337.500600.000

-

3.675 kg-

300 kg

100-

1.200

367.500-

360.0004. Biaya obat-obatan 50.000 50.000 50.0005. Tenaga kerja 5 bln 80.000 400.000 5 bln 80.000 400.000 5 bln 80.000 400.000

*Biaya Produksi (I) 1.005.000 1.612.500 1.402.500Hasil Produksi (II) 1.121.250 2.570.250 1.798.500Keuntungan 116.250 957.750 396.000R/C ratio 1,1 1,6 1,3NKB - 8.2 3.4TIP (kg) 21,5 41 33,8 TIH (Rp) 41.875 24.656 32.353*Tidak termasuk biaya bakalan

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

28

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

Kerjasama Teknisi antara Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya dengan Proyek Peningkatan Produksi Peternakan Tahun Anggaran 2004. Malang

Dirjennak. 2011. Rilis Hasil Awal PSPK-2011. Kementerian Pertanian dan BPS. Jakarta.

Ditjen PKH. 2012. Dukungan pemerintah dalam pengembangan integrasi sawit-sapi. Makalah disampaikan pada Rountable Discussion (RTD) 8 Juni 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Ismartoyo, 2000. Degradasi dan fermentasi bahan pakan ruminansia oleh mikroba rumen dalam sistim consecutive batch culture (CBC). Buletin Ilmu Peternakan Dan Perikanan, VII (2), Desember, 2000.

Kearl, L.C. 1982. Nutrient Requirement of Ruminants in Developing Coutries. International Feedstuffs Institute. Utah State University. Logan. Utan. USA.

Luthan, F. 2009. Implementasi program integrasi sapi dengan tanaman : padi, sawit dan kakao di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaaan Sistem Integrasi Ternak-Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor

Mathius, I W. 2008. Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2): 206-224.

Napitupulu, S dan Pawitra B., 1990. Biaya Produksi. Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia. Jakarta.Oke, D.B., M.O. Oke and O.A. Adeyemi. 2007.

Infl uence of dietary fermented corn-cobs on the performance of broiler. J. Food Technol. 5: 290-293.

Padang, 2009. Respon fi siologis kambing kacang yang diberi kulit buah kakao fermentasis setelah melalui perendaman dan tanpa perendaman dalam larutan KOH. Disertasi, Pascasarjana Fakultas Peternakan. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Sodiq, A dan Z. Abidin. 2002. Penggemukan Domba: Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Sugeng, B. 2000. Sapi Potong, Pemeliharaan, Perbaikan Produksi, Prospek Bisnis dan Analisis Penggemukan. Cet, ke-7. Penebar Swadaya

Tangendjaja. 2009. Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian 2(3): 192-207.

Wirdahayati R.B., Y. Hendri, A. Bamualim, Ratna A.D., J.M. Muis, R. Wahyuni, Ermidias dan Asmak. 2011. Pendampingan PSDS/K melalui inovasi teknologi pakan lokal sapi potong berbiaya murah memanfaatkan kulit kakao fermentasi. Laporan hasil pengkajian BPTP Sumatera Barat TA 2011.

Yuliastiani, D., W. Puastuti, E. Wina dan Supriati. 2011. Pengaruh Berbagai Pengolahan terhadap nilai nutrisi tongkol jagung : komposisi kimia dan kecernaan In Vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 17(1):59-66.

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

29

ANALISA USAHA KAMBING PERAH DENGAN MENGGUNAKAN MANAJEMEN PAKAN DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN

Siti Lia Mulijanti dan E. GustianiBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Jl. Kayuambon No. 80 [email protected]

ABSTRAKPengkajian ini bertujuan untuk mengetahui biaya produksi pemeliharaan kambing perah dengan menggunakan bahan pakan lokal. Pengkajian on farm research dilakukan di kelompokternak Simpay Tampomas Desa Cibeureum Wetan dengan menggunakan kambing perah laktasi sebanyak 10 ekor. Biaya pakan di hitung dari harga pakan yang diberikan, produksi susu dihitung dari produksi total selama masa laktasi dibagi 150,. Hasil pengkajian menunjukan bahwa biaya pakan adalah Rp. 12.355,- per ekor per hari yang terdiri atas 6 kg hijauan pakan ternak dan 1 kg konsentrat. Rata-rata produksi susu 1,5 – 2 liter per ekor per hari. Berdasarkan hasil pengkajian dapat disimpulkan bahwa manajemen pakan di Desa Cibeureum Wetan telah dapat menghasilkan produksi susu kambing dengan income over feed cost mencapai Rp. 27.645,- per ekor per hari dan R/C 2,83Kata Kunci : manajemen, susu kambing, pakan

PENDAHULUAN

Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional perlu dimulai dalam skala rumah tangga. Usahaternak kambing PE merupakan salah satu usaha yang dapat dilaksanakan oleh rumah tangga tani. Pertama, karena beternak kambing PE tidak memerlukan lahan yang luas. Kedua, kambing PE memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, relatif tahan akan penyakit sehingga mudah dipelihara dan dikembangkan. Ketiga, untuk berkembang biak kambing PE tidak memerlukan waktu yang lama. Keempat, bahan pakan kambing PE relative murah dan mudah didapatkarena dapat memanfaatkan rumput lapang, tanaman leguminosa dan limbah pertanian.

Pangsa pasar kambing tergolong baik, karena disamping sangat dibutuhkan masyarakat sebagai sumber pangan dan gizi, juga peluang ekspornya masih terbuka. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Indonesia mempunyai peluang untuk mengekspor kambing 3 juta ekor setiap tahunnya ke Malaysia dan Timur Tengah.

Kambing PE merupakan salah satu jenis kambing dengan dua tujuan pemeliharaan, yaitu sebagai penghasil daging dan susu. Susu kambing , dikenal sebagai bahan pangan yang mempunyai kandungan gizi tinggi, dibutuhkan manusia pada berbagai lapisan usia. Susu sangat bermanfaat dan essensial untuk manusia karena susu sebagai sumber protein hewani mempunyai

peran dalam meningkatkan kesehatan dan kecerdasan. Manfaat susu kambing yang cukup banyak dari segi kesehatan dan jumlahnya yang masih sangat terbatas menyebabkan harga susu kambing cukup tinggi dipasaran, yaitu Rp 15.000,- sampai dengan Rp.20.000,- per liternya (Agrina.on.line.com).

Tujuan pemeliharaan ternak Kambing PE di Desa Cibeureum Wetan, Kabupaten Sumedang selain untuk menghasilkan daging juga air susu yang dapat mencapai 1-2 liter/ekor/hari. Untuk dapat menghasilkan produksi susu yang optimum diperlukan input produksi berupa pakan yang berkualitas dan manajemen pemberian pakan yang sesuai dengan tujuan pemeliharaan ternak. Manajemen pemberian pakan di usahaternak kambing rakyat umumnya masih sangat sederhana karena keterbatasan pengetahuan, modal dan keterampilan, lain halnya dengan manajemen pakan di kelompokternak Simpay Tampomas yang telah memberikan pakan berkualitas sehingga diharapkan dapat memberikan produksi yang optimum.

Input usahaternak yang optimum diharapkan dapat memberikan produksi yang maksimum sehingga dapat memberikan pendapatan yang sesuai dengan in put usahatani yang diberikan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian ekonomi usahatenak kambing perah agar dapat diketahui tingkat keuntungan usahaternak yang diperoleh.

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

30

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

METODE PENGKAJIAN

Pengkajian dilakukan dengan metode on farm research di Kelompok ternak Simpay Tampomas Desa Cibeureum Wetan Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang pada tahun 2009. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disusun. Pemilihan responden dilakukan secara purposive, yaitu peternak kambing perah di Kelompok Ternak Simpay Tampomas..

Data primer yang dikumpulkan terdiri atas data produksi susu kambing selama masa laktasi dengan menggunakan kambing perah laktasi sebanyak 10 ekor yang diberi perlakuan (pemberian pakan konsentrat, hijauan pakan ternak dan Urea Molases Blok)

Analisis data menggunakan analisis deskriptif serta analisis ekonomi yang menggambarkan pendapatan usaha pemerahan kambing PE kemudian dihitung income over feed cost. Dalam pengkajian ini pendapatan yang dihitung adalah pendapatan atas biaya tunai, yaitu selisih antara penerimaan tunai dengan biaya tunai. Penerimaan merupakan hasil perkalian antara produksi yang dihasilkan dengan harga produk (Soekartawi, 1995). Keuntungan dapat didefi nisikan sebagai selisih antara penerimaan total dan biaya total atau dapat dirumuskan sebagai berikut :

π =TR – TC

dimana : π : Keuntungan (benefi t)TR : Penerimaan total (total revenue)TC : Biaya total (Total cost)

Untuk mengetahui berapa besar penerimaan yang akan diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan oleh peternak dalam kegiatan usaha kambing perah dapat dilakukan analisisi fi nansial dengan menentukan R/C rasio. (Gray, et. al., 1997).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pakan Kambing Perah

Pakan merupakan factor terpenting dalam usaha ternak kambing PE. Pemberian pakan pada dasarnya tergantung pada jenis pakan dan

cara pemberiannya yang disesuaikan dengan umur dan kondisi ternak. Pakan yang diberikan harus cukup protein, karbohidrat, vitamin dan mineral, mudah dicerna, tidak beracun dan disukai ternak, murah dan mudah diperoleh. Pada dasarnya ada dua macam makanan, yaitu hijauan (berbagai jenis rumput dan leguminosa) dan makan tambahan/konsentrat yang berasal dari kacang-kacangan, tepung ikan, bungkil kelapa, vitamin dan mineral. ( kambingetawa.org 2013)

Hijauan makanan ternak merupakan salah satu bahan makanan ternak yang dengan komposisi yang paling besar, karena relative lebih murah dan mudah didapat. Perkembangan usahaternak kambing PE di Desa Cibeureum Wetan berkembang dengan baik karena di dukung oleh ketersediaan hijauan pakan (HMT) ternak yang tumbuh di lahan bekas galian pasir. Hijauan pakan ternak yang ditanam adalah Glirisidia (Cebreng), kaliandra, lamtoro, afrika, dan sebagian kecil rumput gajah. Apabila dilihat dari segi kualitas pakan yang diberikan sudah cukup baik

Lahan kritis bekas galian pasir (Galian C) disekitar kawasan perkandangan seluas 5 ha dapat menjadi hijau kembali dengan budidaya tanaman leguminosa, terutama Glirisidia (cebreng), lamtoro dan kaliandra, yang menjadi sumber hijauan pakan ternak di Desa Cibeureum. Tanaman glirisidia dapat tumbuh subur pada lahan bekas galian pasir di dataran rendah hingga ketinggian 1500 m dpl, karena leguminosa toleran terhadap tanah yang kurang subur, dapat tumbuh cepat dan berbintil akar sehingga mampu menahan erosi tanah dan air. Penanaman glirisidia pada tanah-tanah yang kurang produktif dapat menekan pertumbuhan gulma. Selain itu tanaman ini dapat digunakan sebagai tanaman penahan erosi dan penyubur tanah.

Manfaat glirisidia pada makanan ternak adalah sebagai bank protein, karena kandungan protein pada daun glirisidia lebih tinggi dibandingkan rumput lapangan. Hal ini sangat menunjang kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan. Kandungan Protein dan Serat Kasar pada bahan pakan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 19.

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

31

Tabel 19. Kandungan Protein dan Serat Kasar pada Hijauan Pakan Ternak

Bahan Pakan Protein (%)

Serat Kasar (%)

HijauanRumput Gajah 9.1 38.2Rumput Lapangan 6.7 44.7Rumput Benggala 8.7 29.9Alang-alang 6.5 37.3Daun Lamtoro 22.3 14.4Daun Kaliandra 24.0 -Daun Turi 29.6 15.4Daun Gliricidia 19.1 18Jerami Kacang Tanah 14.7 30Jerami Padi 3.7 35.9Jerami Kacang Kedele 16.6 28.8

Produktivitas ternak akan meningkat apabila kualitas dan kuantitas pakan mencukupi. Pemberian hijauan pakan ternak akan memenuhi sebagian besar kebutuhan ternak akan serat kasar, sedangkan kebutuhan protein masih terbatas. Oleh karena itu untuk meningkatkan nilai gizi pakan, perlu diberikan pemberian pakan tambahan berupa konsentrat. Konsentrat dapat terdiri atas campuran dedak, kacang kedelai, jagung, tepung tulang, garam dan mineral mix.

Manajemen Pakan

Pakan memegang peranan sangat penting dalam usaha budidaya kambing PE. Factor makanan memegang kendali hampir 90% dari usaha ini. Makanan yang bisa menjadikan hasil susu bisa maksimal terdiri dari makanan yang bersifat alami atau makanan tambahan (ekstra fooding). Makanan alami biasanya terdiri dari berbagai macam daun, yaitu daun Turi, daun kaliandra, dll. Pemberian daun ini tidak perlu terlalu banyak, tetapi harus ada disaat pemberian makanan kambing. Selain daun, makanan eksternal (ektra fooding) yang bisa mendongkrak produksi susu terdiri dari makanan yang memiliki kandungan berprotein tinggi, seperti kedelai, kulit kedelai, ampas bir, ampas tahu dan kulit gandum (polard). Semakin banyak pemberian makanan ini maka semakin banyak pula jumlah produksi susu yang akan dikeluarkan kambing PE. (kambingetawa.blogspot.com)

Jenis pakan yang diberikan umumnya sebagian besar terdiri atas hijauan pakan dan konsentrat. Hijauan pakan ternak yang diberikan antara lain glirisidia dan rumput lapang. Potensi rumput lapang dan pohon glirisidia yang tersedia di kawasan kehutanan sekitar kandang ternak memberikan kemudahan peternak dalam pemberian pakan. Pemberian hijauan diberikan satu kali pada sore hari dengan jumlah rata-rata 5 kg/ekor/hari. Pemberian konsentrat dilakukan dengan komposisi pakan yang diracik sendiri menggunakan sumber pakan lokal yang tersedia di lokasi pengkajian, antara lain kacang kedelai, jagung dan dedak padi. (Tabel 20.)Proses pembuatan konsentrat yaitu dengan cara merebus biji kacang kedelai dan jagung pipil kurang lebih 1 jam, kemudian hasil rebusan dan sisa air rebusannya dicampur dengan dedak padi, sambil terus diaduk hingga tercampur rata sehingga menghasilkan konsentrat basah. Campuran ini ditambahkan garam dan mineral untuk selanjutnya diberikan pada ternak dengan takaran rata-rata 1 kg/ekor/hari. Pemberian konsentrat diberikan pada pagi hari, setelah selesai pemerahan pertama.

Tabel 20. Komposisi konsentrat Kambing PE (perlakuan) di Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang

No Bahan Pakan %1 Kedelai 252 Jagung 153 Dedak 454 Garam 105 Mineral 5Jumlah 100

Pemberian hijauan pakan ditambah dengan konsentrat telah dapat menghasilkan produk susu kambing yang cukup optimum di tingkat peternak, yaitu mencapai 1,5 – 2 liter/ekor/hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Devendra dan Mc Leroy (1982) bahwa kualitas hijauan di daerah tropis rendah sehingga jumlah hijauan yang dikonsumsi tidak mampu memenuhi kebutuhan ternak akan energi di luar kebutuhan hidup pokok ternak. Selanjutnya Tillman et al (1986) menyatakan bahwa ketersediaan karbohidrat mudah terlarut pada hijauan rendah. Oleh karena itu, seplementasi konsentrat yang

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

32

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

mengandung campuran bahan-bahan sumber energi, protein serta mineral merupakan salah satu solusi untuk dapat meningkatkan produk fermentasi rumen yang pada giliran berikutnya dapat menyediakan nutrien yang cukup untuk pembentukan air susu.

Kandungan protein dalam konsentrat yang diberikan petani di Desa Cibeureum Wetan sebesar 18,90%. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas susu yang dihasilkan ternak kambing. Berdasarkan hasil analisis proximat, kandungan nutrisi yang terdapat pada pakan ternak yang diberikan disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Hasil Analisa Proximat Pakan Ternak di Desa Cibeureum Wetan

No Uraian Kandungan (%)1. Air 8.012. Abu 11.673. Protein Kasar 18.904. Serat Kasar 17.085. Lemak Kasar 3.746. BETN 48.617. TDN 67.58

Sumber : Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fapet-UNPAD

Produksi Susu Kambing

Manajemen pakan yang baik akan meningkatkan produktivitas ternak. Pemberian hijauan pakan, konsentrat ditambah UMB terbukti telah dapat mengoptimalkan produksi susu kambing. Produksi susu kambing hasil pengkajian menunjukkan rata-rata produksi per hari 1,5 liter per ekor induk laktasi. Produksi harian ini sesuai dengan pendapat Suwardhi (1993) bahwa pada kondisi peternakan rakyat dengan perawatan kambing yang baik dapat mencapai produksi susu 1,5 – 2 liter/ekor/hari pada masa laktasi. Masa laktasi kambing berlangsung antara 7-10 bulan dengan masa kering kandang 2-3 bulan, selanjutnya Sutama, dkk (1997) menyatakan bahwa produksi susu kambing PE masih bervariasi, yaitu berkisar 1,5 – 3,52 l/hari pada kondisi stasiun percobaan.

Analisa Usaha Pakan

Biaya pakan merupakan biaya produksi yang palling berpengaruh dari seluruh input produksi usahaternak, karena pakan memberikan

kontribusi langsung pada produksi ternak yang pada gilirannya akan memberikan pengaruh langsung pada pendapatan usahaternak.

Biaya pakan dihitung dari harga pakan yang diberikan. Harga pakan pada saat pengkajian yaitu Kedelai Rp 6.000/kg, Dedak Rp1.500/kg, biji Jagung Rp. 4.000/kg. Harga susu Rp 20.000,- per liter. Biaya pemberian konsentrat dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Biaya satuan dan komposisi konsentrat Kambing PE (dihitung per 10 ekor ternak)

No Bahan Pa-kan

Jumlah (Kg) Harga/kg Biaya

(Rp)1 Kedelai 4 6.000 24.0002 Jagung 3 4.000 12.0003 Dedak 6 1.500 9.0004 Garam 1,0 200 2505 Mineral 0,5 150 500Jumlah 45.750,-Biaya konsentrat/ekor

4.750,-

Komposisi pakan yang diberikan kepada kambing perah mengandung protein tinggi yang berasal dari kacang kedelai dan hijauan leguminosa sehingga mencukupi kebutuhan protein kambing perah yang pada akhirnya dapat menghasilkan susu sebanyak 1.5 - 2 liter/ekor/hari. Hasil penjualan susu kambing dapat memberikan tambahan pendapatan harian anggota sehingga dapat meningkatkan semangat anggota usahaternak. Analisa usaha pemeliharaan kambing perah dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Analisa Usaha Pemeliharaan kambing perah/ekor/hari

No Uraian Nilai SatuanHarga Satuan (Rp)

Jumlah (Rp)

A. BIAYA1 Konsentrat 1 kg 4.575 4.5752 Hijauan 6 Kg 400 2.3003 UMB 0.03 kg 16.000 4803 Tenaga Kerja 0,5 HOK 10.000 5.000

Jumlah Biaya 12.355B. PENDAPATAN

Susu 1,75 ltr 20.000 35.000C. PENERIMAAN

(B - A)22.645

R/C Ratio 2,83

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

33

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui biaya produksi pemeliharaan kambing perah mencapai Rp. 12.355,- per ekor per hari, berarti usahaternak kambing perah dapat menghasilkan income over feed sebesar Rp. 22.645,- per ekor per hari, R/C mencapai 2,83 yang berarti manajemen pakan kambing PE menguntungkan untuk dilaksanakan.

KESIMPULAN

1. Income over feed yang dihasilkan dari usahaternak kambing perah di Desa Cibeureum Wetan Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang sebesar Rp. 22.645,- per ekor per hari dengan R/C ratio 2,83

2. Penanaman hijauan pakan ternak dapat memberikan manfaat ganda sebagai sumber hijauan pakan dan reklamasi lahan galian pasir.

3. Manajemen pakan yang dilakukan di kelompok ternak Simpay dapat meningkatkan produksi susu kambing.

DAFTAR PUSTAKA

Devendra, C and G.B. Mc Leroy. 1982. Goat and Sheep Production In The Tropic (Intermediate Tropical Agricultural Series), Longham, London and New York.

Gray Clive, P. Simanjuntak, L.K. Sobur, P.F.L. Maspaitella dan R.C.G. Varley, 1997. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Kedua . PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

http//www//kambingetawa.org 2013

Soekartawi. 1995. Analisisi Usahatani. UI Pres. Jakarta.

http//www//Kambingetawa.blogspot.2012

Tillman, A.D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S.Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Fakultas Peternakan Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Sutama, I.K. dan Budi Arsana. 1997. Kambing Peranakan Etawa, Penghasil Susu Sebagai Sumber Pertumbuhan Baru – Sub Sektor Peternakan di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Suwardhi., J. Babihoe dan C.J.S. Momual. 1993. Peranan Ternak Kambing dalam Usahatani Pola Pekarangan Zona Alluvial Naibonat. Proyek P3NT. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Bogor

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

34

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

PENYEBARAN INFORMASI TEKNOLOGI HASIL PENELITIAN DAN PENGKAJIANMELALUI MEDIA CETAK

Setiawan, N. Sutrisna, B. Unggul dan A. Gunawan(Balai Pengkajian Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat)

ABSTRAKPembangunan yang berhasil dapat diartikan kalau terjadi pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi dan sekaligus terjadi perubahan masyarakat tani dari yang kurang baik menjadi yang lebih baik. Perhatian pemerintah, Badan Litbang Pertanian pun terus berupaya untuk menanggulangi atau dan memecahkan masalah di sektor pertanian. Visi BBP2TP “Pada tahun 2014 menjadi lembaga pengkajian dan pengembangan inovasi pertanian spesfik agroekosistem bertaraf internasional”. Visi ini kemudian idealnya dapat dijabarkan oleh BPTP yang ada di seluruh propinsi. Dalam melakasnakan misi tersebut BPTP juga memproduksi dan menerbitkan media cetak maupun elektronik sebagai alat publikasi teknologi yang disebarkan ke seluruh pengguna baik instansi pemerintah, swasta, atau perorangan. Bagaimana respon pengguna terhadap sebaran lipleat, brosur, juknis yang diterima. Evaluasi sampai seberapa jauh tugas dan misi yang telah dilaksanakan dalam kiprahnya di dunia pertanian adalah merupakan langkah bijak dalam mengevaluasi hasil yang dicapai umumnya, khusnya dalam produksi maupun penyebaran teknologi guna menunjang keberhasilan pertanian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013 di Kabupaten Indramayu yaitu di instansi BP4K dan BPP dengan melakukan kunjungan dan wawancara kepada para petugas penyuluh lapangan dengan metode RRA, Rapid Rural Appraisal , pedoman pemahaman pedesaan singkat untuk mendapatkan data primer. Penetapan wilayah Indramayu ini sebagai lokasi penelitian sebagaimana dikemukakan di muka sebagai sentra produksi padi Jawa Barat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa : (1)Penggunaa media cetak informasi teknologi dalam juknis dan kleaflet masih merupakan media yang paling disukai dan praktis digunakan dalam promosi sampai ke tingkat petani, (2) Distribusi media teknologi yang dihasilkan masih sedikit jumlah, yaitu hanya sampai tingkat Kabupaten yang mestinya distribusi sampai ke BPP dan terakhir petani, (3) Penyebaran teknologi melalui media cetak belum disesuaikan agroekositem di setiap wilayah, yang umumnya komoditas antara satu tempat dengan lainnya berbeda. (4) Disarankan bahwa lembaga penelitian labih banyak menghasilkan teknologi terapan untuk meningkat kecepatan adopsi maupun dalam produksi maupun pendapatan usaha tani. Kata Kunci : penyebaran, media cetak, teknologi pertanian

PENDAHULUANPeranan teknologi di bidang pertanian

hingga kini masih dianggap sebagai “motor penggerak” dalam upaya peningkatan poduksi pertanian dan kesejahteraan petani, kecepatan motor tergantung pada pemilik dalam menjalankannya. Revolusi hijau dilaporkan Fagi dkk. (2009) telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi padi nasional. Dengan menggunakan varietas unggul, pada tahun 1968 produktivitas padi hanya 2,2 ton per hektar, pada tahun 2007 meningkat menjadi 4,7 ton. Peningkatan produksi dengan masukan biaya produksi tinggi meski cukup berhasil mendongkrak produksi hasil panen, tetapi dapak negatif ketergantungan pupuk kimia dan pestisida, ancaman kehilangan varietas lokal tradisional, dorongan penggunaan masukan secara tidak tepat dan takaran berlebihan dapat mengganggu kelestarian. Padahal Soekartawi (1995) pembangunan yang berhasil dapat diartikan kalau terjadi pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi dan sekaligus terjadi perubahan masyarakat tani dari yang kurang baik menjadi yang lebih baik

Ini adalah salah satu contoh gambaran permasalahan yang perlu mendapat perhatian

khusus dalam kegiatan penelitian maupun pengkajian di masa mendatang. Perhatian pemerintah, Badan Litbang Pertanian pun terus berupaya untuk menanggulangi atau dan memecahkan masalah di sektor pertanian. Visi BBP2TP “Pada tahun 2014 menjadi lembaga pengkajian dan pengembangan inovasi pertanian spesfi k agroekosistem bertaraf internasional”. Visi ini kemudian idealnya dapat dijabarkan oleh BPTP yang ada di seluruh propinsi. Sampai seberapa jauh kiprah BPTP yang kini hampir berusia 18 tahun dalam dunia pertanian umumnya, khususnya dalam mensejahterakan petani.

Visi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat menjadi lembaga pengkajian teknologi pertanian spesifi k lokasi yang terkemuka pada tahun 2015. Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkan beberapa misi : 1. Mendukung pengembangan pertanian berorientasi pemanfaatan sumberdaya pertanian secara optimal, 2. Menghasilkan inovasi teknologi dan kelembagaan pertanian spesifi k lokasi, 3. Menghasilkan model pengembangan pertanian spesifi k lokasi dan 4. Melaksanakan pendampingan pengembangan model pertanian spesifi k lokasi dalam rangka mendukung peningkatan produktrivitas dan penpatan

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

35

petani. Dalam melakasnakan misi tersebut BPTP juga memproduksi dan menerbitkan media cetak maupun elektronik sebagai alat publikasi teknologi yang disebarkan ke seluruh pengguna baik instansi pemerintah, swasta, atau perorangan. Bagaimana respon pengguna terhadap sebaran lipleat, brosur, juknis yang diterima. Evaluasi sampai seberapa jauh tugas dan misi yang telah dilaksanakan dalam kiprahnya di dunia pertanian adalah merupakan langkah bijak dalam mengevaluasi hasil yang dicapai umumnya, khusnya dalam produksi maupun penyebaran teknologi guna menunjang keberhasilan pertanian. Lokasi daerah yang dijadikan sampel penelitian penyebaran teknologi adalah Kabupaten Indramaju yang hingga kina masih pensuplai beras nomor satu di Jawa Barat.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013 di Kabupaten Indramayu yaitu di instansi BP4K dan BPP dengan melakukan kunjungan dan wawancara kepada para petugas penyuluh lapangan dengan metode RRA, Rapid Rural Appraisal (Kasyim dan Gunawan, 1993), pedoman pemahaman pedesaan singkat untuk mendapatkan data primer. Penetapan wilayah Indramayu ini sebagai lokasi penelitian sebagaimana dikemukakan di muka sebagai sentra produksi padi Jawa Barat. Menurut catatan BPS (2007), Indramayu menempatan posisi produksi padi sawah di Jawa Barat nomor satu dengan nilai 1.006.991 ton, kemudian disusul Karawang 965.750 ton, Subang 912.828 ton, Cianjur 638.761 ton dan Sukabumi 623.293 ton. Selain itu, juga wawancara dengan cara terstruktur dengan menggunakan kuesioner yang telah disediakan sebelumnya pada petugas penyuluh pertanian. Sementara data sekunder yang menyangkut bidang pertanian diperoleh dari BPS. Selanjutnya data yang terkumpul ditabulasi dalam persen dan dianalisa secara deskriftif sederhana.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Media Cetak dalam Penyebaran Informasi

Sesuai dengan tujuan BPTP, selain untuk desentralisasi dalam bidang penelitian dan pengkajian pertanian spesifi k lokasi, juga mendukung pembangunan pertanian di daerah serta optimalisasi pemanfaatan

sumberdaya wilayah melalui berbagai kegiatan penting diantaranya adalah : 1) percepatan adopsi teknologi pertanian spesifi k lokasi, 2) mendekatkan pelayanan pengkajian dan diseminasi informasi kepada masyarakat, 3) menjaga kesinambungan pengkajian dan penyuluhan teknologi pertanian spesifi k lokasi. Soekartawi (1995) program penguasaan teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan teknologi pertanian yang mampu meningkatkan efi siensi dan produktivitas pertanian melalui penelitian.

Penyuluhan pertanian dapat juga disebut bentuk pendidikan non formal. Suatu bentuk pendidikan yang cara, bahan dan sasarannya disesuaikan dengan keadaan, kepentingan, waktu maupun tempat petani. Tujuan utamanya adalah untuk menambah kesanggupan petani dalam usahataninya. Hal ini berarti, melalui penyluhan diharapkan adanya perubahan perilaku petani, sehingga mereka dapat memperbaiki cara bercocok tanam, menggemukan ternak, agar lebih besar penghasilannya dan lebih layak hidupnya. (Mubyarto, 1995). (55) Tugas penyuluhan pertanian terutama menyangkut usaha membantu petani agar senantiasa meningkatkan efi siensi usahatani. Sedangkan bagi petani, penyyuluhan itu adalah suatu kesempatan pendidikan di luar sekolah, dimana mereka dapat belajar sambil berbuat. (Mubyarto, 1995). (55) Dalam proses penyuluhan, penyuluh merupakan jembatan antara lembaga-lembaga penemu hal hal baru (Balai-balai Penelitian, petani maju dan lain-lain) dengan petani. Mubyarto, 1995). (56).

Penyebaran informasi teknologi pertanian hasil penelitian/pengkajian BPTP Jabar dilakukan melalui pameran, expose, dan kegiatan diseminasi lainnya. Kegiatan pengembangan media informasi teknologi pertanian ndikelompokkan menjadi 3, yaitu: 1. Kelompok media tercetak (brosur, leafl et, poster, prosiding, laporan hasil penelitian 2. Kelompok media audio visual (rakaman audio, video/vcd, siaran TV). 3. Kelompok media interaktif (gelar teknologi, pertemuan aplikasi paket teknologi, temu informasi teknologi, seminar dan pameran). Hasil pengkajian tidak akan memberikan manfaat bagi masyarakat petani apabila tidak digunakan oleh pelaksana usahataninya Coulter (1983 dalam Sulaeman, 1981). Untuk itu, informasi hasil pengkajian perlu dipromosikan dan didesiminasikan baik kepada khalayak pengguna antara pengguna akhir, melalui berbagai metode penyuluhan

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

36

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

maupun media informasi yang akan dijadikan pendukung kegiatan penyluhan di daerah dan akhirnya menbantu petani meningkatkan efi siensi usahataninya.

Penyebaran media informasi teknologi pertanian yang dilakukan BPTP ini ke seluruh pengguna umumnya penyuluh pertanian di BP4K maupun BPP sebagai mediator sebelum sampai ke tingkat pengguna akhir petani. Bahan ini kemudian dijadikan sebagai media yang digunakan sebagai materi penyuluhan di tingkat desa tempat petani berusahatani. Dari penelitian ini ditemukan bahwa para penyuluh umumnya mengguna media juknis/booklet (0,49%) dan leafl et/liptan (0,51). Bentuk media informasi yang disajikan dalam bentuk booklet dan leafl et masih tetap yang paling tepat dalam promisi teknologi ke petani (Tabel 24.). Sementara media yang lain seperti internet, TV dan siaran radio tidak digunakan oleh penyuluh dalam menjalankan tugasnya penyuluhan sehari-hari, karena selain mahal dan dianggap kurang praktis penyiaran radio dan TV juga kurang diminati petani sebab membutuhkan ketersedian waktu yang tepat . Kushartanti (2000) penggunaan media tercetak seperti liptan dan brosur sangat efektif untuk mendesiminasikan teknologi jagung Bisma di Jawa Tengah. Kelsey dan Hearne (1995) untuk meningkatkan efektifi tas media cetak disarankan a) menyajikan topik yang sesuai, b) mudah dibaca, c) dapat menyelesaikan masalah dan d) sesuai dengan tingkat pendidikan

Tabel 24. Bentuk media penyebaran teknologi yang dilakukan responden melalui media cetak dan elektronik

No Media Penyebaran Teknologi Persen (%)1 Juknis/booklet 0,492 Leaflet/liptan 0,513 Melalui internet 04 Melalui TV 05 Penyiaran radio 0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa media publikasi hanya sedikit sekali dan itu pun hanya sampai tingkat BP4K tidak sampai ke penyuluh penyuluuh yang di seluruh BPP tiungkat kabvupaten sekitar 43%, sedangkan media publikasi di dapat penyuluh dari sumber yang lain seperti misalnya Perguruan Tinggi, Dinas dan swasta. Dari media informasi yang ada kemudia dijadikan sebagai bahan materi penyuluhan dengan cara diperbanyak (copy)

atau pun dilakukan modifi kasi dalam formatnya sehingga memudahkan dibaca petani (Tabel 25.). Karena keterbatasn sumber teknologi ini akibatnya yang ada adalah sangat sedikit sekali media publikasi yang disebarkan ke pengguna 22%. Sajogyo dan Pudjiwati (2002) ada beberapa petunjuk yang berguna untuk membuat efektif pengalaman belajar, apapun cara yang digunakan oleh seorang penyuluh. Petunjuk bukanlah sekedar pendapat tetapi merupakan asas asas yang mentap berdasar penemuan penemuan penelitian dan pengalaman yang luas. Karena itu petunjuk ini perlu diperhatikann oleh semua penyuluh dalam usaha mereka menyusun pengalaman belajar. Tabel 25. Pengiriman dan pemanfaatan media

cetak pada agen penyuluhan No Penerimaan Media cetak %1 Diterima 0,432 Diperbanyak 0,353 Disebarluaskan 0,22

Tanggapan Penyebaran teknologi Melalui Media Cetak

Pada umumnya responden penyuluh menyatakan bahwa publikasi yang dikirim BPTP penyajian materi mudah dipahami, tetapi media cetakan yang dikirim tergolong sedikit (Tabel 26.). Pengiriman media ini untuk tiap kabupaten biasanya “pukul rata” sama dan tidak dipilah pilah sesuai dengan agroekosistem wilayah. Misalnya teknogi sapi perah jangan dikirim ke Indramayu tapi ke wilayah Bandung dan sekitarnya. Penyebaran media publikasi teknologi yang khusus biasa ada apabila ada acara moment tertentu kegiatan gelar teknologi dan temu lapang sesuai dengan topik atau tema acara pertemuan tersebut. Soekartawi, (1995) Teknologi dalam usaha pertanian selalu berubah disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Misalnya varietas tanaman selalu berganti disesuaikan pada daya tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Pada situasi tenaga kerja pertanian yang berlebihan, maka teknologi yang dianjurkan adalah lebih baik pada teknologi padat tenaga kerja. Sementara itu teknologi baru untuk pertanian lahan kering perlu dikembangkan karena di lahan tersebut perlu dikembangkan berbagai alternatif usaha yang relatif mudah bila dibandingkan dengan lahan sawah.

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

37

Tabel 26. Tanggapan penyluh terhadap penyebaran teknologi BPTP

No Parameter Hasil (%)1 Jumlah cetakan

a. Sedikit 0,8b. Cukup 0,2c. Banyak 0

2 Penyajian materia. sulit dipahami 0,2b. cukup mudah 0,2c. mudah dipahami 0,6

3 Kesesuaian teknologia. kurang 0,4b. cukup 0,6c. sesuai 0

4 Penggunaan media interneta. tidak pernah diakses 0,4b. jarang diakses 0,2c. kadang kadang 0d. sering diakses 0,4

5 Tingkat kesulitan akses interneta. sulit 0,6b. cukup mudah 0,4c. mudah 0

Implikasi Kebijakan Media Cetak Informasi Teknologi

Jalur distribusi produk teknologi melalui media cetak dari mulai lembaga penelitian sebagai sumber teknologi, kemudian mediator penyukluh pertanian, dan kemudian petani sebagai terminal terakhir relatif tetap. Menelaah kecepatan adopsi dan di jalur mana terjadi kemacetan arus informasi, banyak para peneliti menduga dan menyimpulkan bahwa bahwa banyak teknologi yang dihasilkan lembaga penelitian hanya tersimpan di laci dinas/agen penyuluhan di tingkat kabupaten. Keadaan ini yang kemudian kiriman media cetak yang jumlahnya terbatas tidak bisa d i d i s t r u s i k a n sampai ke tingkat petani pengguna teknologi guna meningkatkan dan memperbaiki sistim usaha taninya.

Penelitian sederhana ini hanya menyangkut aspek distribusi media (informasi) teknologi dari BPTP sebagai sumber teknologi sampai ke agen penyuluhan yang ada di kabupaten, sedangkan bagaimana respon petani pengguna teknologi dalam berusaha taninya tidak dilakukan, termasuk juga bagaimana keberadaan fungsi dan tugas penyuluh dalam menjalankan misinya

dipandang dari sudut kacamata petani sendiri. Untuk itu , akan terasa sulit menilai keberhasilan penyuluhan tanpa diimbangi pula keberhasilan petani sebagai produsen. Kita paling bisa memberikan dan menyodorkan konsep murni dari teori penyuluhan, yakni adopsi teknoloogi baru tidak terjadi secara serempak. Seorang menerima lebih dari orang lain, dan pada umumnya grafi k adopsi selalu merupakan “kurva sigmoid” yang menandakan bahwa pada saat saat permulaan hanya sedikit orang yang mengadopsi, tetapi lambat laun frekuensi adopsi per satuan waktu menjadi meningkat dengan laju yang selalu lebih tinggi, kemudian diakhiri dengan non adopsi ketrika di dalam masyarakat hanya tinggal “laggards” saja. (Sajogyo dan Pudjiwati, 2002)

Menilai keberhasilan penyuluhan tidak bisa dikaji secara parsial tetapi komprehensif, yaitu mulai dari lembaga penelitian sebagai sumber teknologi, penyuluh sebagai agen mediator dalam menyampakan ke petaani, dan petani sendiri. Mubyarto, (1995). Penyuluhan dapat dianggap berhasil kalau : 1. Pengetahuan petani mengenai sesuatu yang

berguna bertambah2. Ada penerimaan (adopsi) petani terhadap

hal hal yang dianjurkan penyuluh3. Petani bersedia bekerjasama dengan

penyuluh4. Petani bersedia memberi sesuatu balas jasa

kepada penyluh5. Penyuluh dapat mengubah sikap petani yang

merugikan 6. Pengetahuan praktis yang ada pada penyuluh

bertambah7. Penyuluh dapat memberitahukan sesuatu

yang berguna di luar tujuan proyek tertentu8. Ada perkembangan keinginan pada kedua

pihak untuk mempertahankan hubungan.Di Indonesia pada umumnya penyuluhan

pertanian belum dapat dikatakan berhasil, karena jumlah penyuluh masih terlalu sedikit yaitu hanya sampai pada tingkat kecamatan. (Mubyarto, 1995). Alat penyuluhabn dan pengangkutan yang sangat kurang, pendidikan para penyuluh yang kurang memadai, gaji penyuluh yang rendah dan lain-lain lebih menyulitkan lagi pencapaian tujuan-tujuan penyyuluhan tersebut. (Mubyarto, 1995).

Yang menjadi titik fokusnya adalah seandainya lembaga penelitian mampu

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

38

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

menciptakan banyak teknologi yang manfaat dan lebih bersifat terapan serta mampu menjawab keadaan kesulitan atau petani dalam berusahatani. Sebab kemasan media cetak informasi teknologi yang dibungkus dengan baik tak akan mampu memberikan hasil produksi petani yang baik pula. Gambaran ini dapat kita lihat dari pernyataan. Soekartawi (1995) penurunan secara relatif jumlah rumah tangga pertanian yang paling besar terjadi di Jawa ini mungkin disebabkan karena penggusuran lahan oleh pabrik-pabrik atau pembangunan industri, jalan dan sebagainya, sehingga secara relatif jumlah rumah tangga pertanian ini turun sebesar 0,8% pertahunnya. Petani kecil di Jawa keberadaannya terancam oleh derasnya pengembangan sektor nonpertanian seperti industri, tranportasi dan sebagainya. (Soekartawi, 1995) Dengan mudahnya memperoleh akses informasi maka perubahan teknologi akan berjalan semakin cepat. Tejknologi pertanian yang sederhana secara perlahan akan tergantikan dengan teknologi baru seperti teknologi jaringan, pertanian hidroponik dan sebagainya. (Soekartawi, 1995)

Survey yang diadakan oleh SAE pada tahun 1968/1969 mengutarakan bahwa kira-kira hanya 35% dari seluruh petani pada delapan propinsi di Indonesia yang sudah berhubungan dengan para penyuluh pertanian. Persentase tertinggi adalah Sumatera Utara (44%), sedang yang terendah di lampung (24%). (Mubyarto, 1995). Dari surevey ini ditemukan pula bahwa poenyuluh pertanian yang efektif kepada siapa petani menaruh kepercayaan terbesar bukanlah pada Mantri Pertanian yang jumlahnya sangat sedikit itu, tetapi para petugas pertanian desa (kemakmuran atau ulu-ulu), kepala desa dan anggota angota pamong desa lainnya. Dari 631 petani, 404 (64%) menyetakan bahwa para pejabat desa ini adalah penyuluh yang lebih banyak membantu usahatani meraka. (Mubyarto, 1995). Hal ini mudah dimengerti karena mereka itu adalah petani juga yang dapat memelopori adopsi penemuan teknologi baru dan selalu ada disana apabila petani di desa menjumpai kesulitan dan menanyakan sesuatu persoalan yang timbul dan dihadapi petani. (Mubyarto, 1995).

Kesimpulan dan Saran1. Penggunaan media cetak informasi teknologi

dalam juknis dan leaflet masih merupakan media yang paling disukai dan praktis

digunakan dalam promosi sampai ke tingkat petani.

2. Distribusi media teknologi yang dihasilkan masih sedikit jumlah, yaitu hanya sampai tingkat Kabupaten yang mestinya distribusi sampai ke BPP dan terakhir petani

3. Penyebaran teknologi melalui media cetak belum disesuaikan agroekositem di setiap wilayah, yang umumnya komoditas antara satu tempat dengan lainnya berbeda.

4. Disarankan bahwa lembaga penelitian labih banyak menghasilkan teknologi terapan untuk meningkat kecepatan adopsi maupun dalam produksi maupun pendapatan usaha tani.

DAFTAR PUSTAKA

Ban, A.W van den dan H.S. Hawkins, 1999. Penyuluhan Pertanian (terjemahan). Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hal : 212.

Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat, Jawa Barat DalamAngka 2007, BPS Prop. Jawa Barat, Bandung. Hal. 220

Fagi, A.M, C.P. Marmaril dan M. Syam, 2009. Revolusi hijau : Peranan dan Dinamika Lembaga Riset. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi-Subang. Hal : 27-28.

Kasyim, H. dan A. Gunawan, 1993. Penyampaian hasil penelitian dan umpan baliknya di Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian dan Umpan Balinya. Pusat Perpustakaan dan Komunikasi Hasil Penelitian. Bogor

Kushartanti, 2000. Kajian efektivitas media cetak dalam diseminasi dan adopsi teknologi Jagung Bisma di K a b u p a t e n Semarang. Tesis Pasca Sarjana 2000. UGM Yogyakarta.

Mubyarto, 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. Edisi III, Cetakan keempat. Penerbit PT Pustaka LP3ES. Jakarta. Hal : 55 - 57

Sulaiman, A.H. 1981. Media audio visual untuk pengajaran, penerangan dan penyuluhan. Penerbit Gramedia. Jakarta.

Soekartawi, 1995. Pembangunan pertanian. Cetakan pertama. Penerbit PT Raja Grafi ndo Persada. Jakarta. Hal : 1 - 58

Sajogyo dan S. Pudjiwati, 2002. Sosiologi Pedesaan (Kumpulan Bacaan). Jilid I, Cetakan 13. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal : 59 - 148

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

39

KAJIAN FORMULA PUPUK NPK PADA PERTANAMAN KENTANG LAHAN DATARAN TINGGI DI LEMBANG JAWA BARAT

Nana Sutrisna dan Yanto SurdiantoBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

Jl. Kayuambon No. 80 Lembang, Bandung, E-mail: [email protected]

ABSTRAK Pupuk merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usahatani kentang. Berbagai jenis pupuk telah banyak dihasilkan, namun yang sesuai dengan kondisi wilayah dan dapat meningkatkan produktivitas kentang masih perlu dilakukan penelitian. Tujuan penelitian adalah memperoleh formula dan takaran pupuk majemuk NPK untuk pertanaman kentang lahan dataran tinggi di Lembang, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan di Desa Mekarwangi, Kecamatan Lembang. Kegiatan dimulai sejak bulan Juli sampai dengan November 2012. Percobaan menggunakan faktorial 2x2x3 dengan rancangan lingkungan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan di ulang 3 kali. Faktor pertama adalah jenis bahan baku utama pupuk NPK yang terdiri atas 2 taraf, yaitu: (1) berbasis Urea dan (2) berbasis Amonium Nitrat. Faktor kedua adalah formula pupk N-P-K Kujang yang terdiri atas 2 taraf, yaitu: (1) NPK dengan formula 16-11-11 dan (2) NPK dengan formula 16-16-16. Faktor ketiga adalah dosis atau takaran pupuk yang terdiri atas 3 taraf, yaitu: (1) 12,6 g/pohon, (2) 14,7 g/pohon, dan (3) 16,8 g/pohon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) formula pupuk NPK majemuk berbasis amonium nitrat relatif lebih baik terhadap pertumbuhan tanaman kentang dan meningkatkan produktivitas kentang lahan dataran tinggi di Lembang, Bandung sebesar 11,5% dibandingkan dengan formula pupuk NPK berbasis Urea. (2) Produktivitas tanaman kentang tertinggi diperoleh pada takaran pupuk NPK berbasis amonium nitrat formula (16-16-16) sebesar 16,8 g/pohon atau 700 kg/ha, yaitu 14,687 t/ha, 13,28% dari takaran pupuk 12,6 g/pohon dan 7,01% dari takaran lain pupuk 14,7 g/pohon.

Kata kunci: Formula pupuk, kentang, dataran tinggi, Solanum tuberosum

ABSTRACTFertilizer is one of the critical success factors of potato farming. Various types of fertilizers have been produced, but it is in accordance with the conditions of the area and it can improve the productivity of potato research still needs to be done. The research objective is to obtain a formula and compound NPK fertilizer for upland crop potatoes in Lembang, West Java. The experiment was conducted in the village of Mekarwangi, Lembang district. Activities began from July to November 2012. Experiments used a 2x2x3 factorial randomized design with environmental design (RBD) and it was in repeated 3 times. The first factor is the main raw materials of NPK fertilizer consisting of two levels, namely: (1) based Urea and (2) based on Ammonium Nitrate. The second factor is the NPK formula pupuk Kujang consisting of two levels, namely: (1) 16-11-11 NPK formula and (2) 16-16-16 NPK formula. The third factor is dose of fertilizers consisting of three levels, namely: (1) 12.6 g/tree, (2) 14.7 g/tree, and (3) 16.8 g/tree. The results showed that formula NPK fertilizer ammonium nitrate-based compound is relatively better on potato plant growth and increase the productivity of potato land plateau in Lembang, Bandung by 11.5% compared with urea-based NPK fertilizer formula and (2) Highest productivity of potato plants obtained in NPK fertilizer ammonium nitrate-based formula (16-16-16) of 16.8 g/plant or 700 kg/ha, which is 14.687 t/ha, an increase of 13.28% from 12.6 fertilizer g/tree and 7.01% from other fertilizer dose of 14.7 g/tree

Keywords: Formula fertilizer, potato, highland, Solanum tuberosum

PENDAHULUAN

Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan bahan pangan terpenting ke empat setelah gandum, jagung dan padi (Ashari, 1995). Kentang merupakan sumber kalori dan mineral penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Kebutuhannya setiap tahun terus meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan industri makanan, sehingga produksi dan produktivitasnya harus ditingkatkan.

Pasar modern membutuhkan produk kentang dengan kualitas tinggi. Oleh karena itu, agar dapat masuk ke pasar-pasar modern, seperti supermarket petani harus meningkatkan produktivitas, efesiensi dan kualitas. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan tatalaksana budidaya yang baik/Good Agricultural Practices (GAP) diikuti dengan Standar Operasional

Prosedur (SOP). Penerapan SOP/GAP merupakan kunci keberhasilan peningkatan produktivitas dan mutu serta memiliki daya saing tinggi, sehingga bisa masuk ke pasar-pasar modern dan ekspor. Salah satu komponen GAP adalah pemupukan berimbang.

Diantara beberapa jenis tanaman sayuran yang responsif terhadap pemupukan adalah kentang. Menurut Rahayu (2000) tanaman kentang dalam siklus hidupnya membutuhkan sekitar 100-150 kg N/ha, 100-150 kg P205/ha dan 150 kg K

20/ha. Hasil penelitian lainnya

menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan NPK berimbang berpengaruh terhadap jumlah buah maupun bobot buah per tanaman pada tanaman kentang (Sahat, 1990; Gunadi, 2009). Menurut Sumiati (2005), bobot umbi kentang nyata meningkat sebesar 72,94 persen oleh aplikasi pupuk NPK I5-I5-15 dosis 1 t/

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

40

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

ha dikombinasikan dengan Pupuk Pelengkap Cair (PPC) konsentrasi 4,5 ml/l dibandingkan dengan hanya menggunakan pupuk NPK 15-15-15 dosis 1 t/ha.

Lahan dataran tinggi Lembang berada pada ketinggian sekitar 1.400 m dari permukaan laut (dpl). Keadaan iklimnya menurut Oldeman (1975) termasuk Zone Agroklimat C2, yaitu daerah dengan bulan kering (bulan dengan curah hujan < 100 mm) selama 3-4 bulan dan bulan basah (bulan dengan curah hujan > 200 mm) selama 5-6 bulan. Suhu berkisar antara 16,0° C sampai dengan 25,0° C dengan rata-rata 17,1° C. Menurut Adisarwanto (1990), suhu sekitar 17° C cocok untuk budidaya kentang, karena pada suhu tersebut sangat memungkinkan kentang membentuk umbi dengan baik.

Upaya petani di lahan dataran tinggi Lembang untuk meningkatkan produktivitas kentang antara lain dengan pemupukan, baik pupuk organik maupun anorganik. Penggunaan pupuk kandang (ayam, kambing dan sapi) memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produktivitas kentang. Sejalan dengan hasil penelitian Lynch et al. (2008), pemberian berbagai jenis bahan oraganik tersebut dapat meningkatkan kesuburan tanah serta dapat meningkatkan hasil tanaman kentang. Aplikasi pupuk kandang sapi pada tanaman kentang menghasilkan umbi dengan kandungan pati dan protein paling tinggi, demikian juga kandungan hara P, K, Ca, Mg, dan Zn pada umbi dan batang tanaman kentang (Islam dan Nahar, 2012). Hasil penelian Subhan (1990), produktivitas kentang yang dihasilkan dengan menggunakan pupuk organik (kandang 30 ton/ha) dan pupuk anorganik pupuk N (180 kg/ha atau 400 kg Urea), pupuk fosfat 250 kg TSP/ha dan 300 kg KCI/ha sebesar 30 t/ha.

Namun demikian, tekstur tanah di lahan dataran tinggi Lembang banyak mengandung pasir karena terbentuk dari aktivitas volkanic. Akibatnya kapasitas tukar kation menurun, sehingga kemampuan tanah untuk menjerap P dan mempertahankan K di dalam tanah menurun.

Uraian di atas menunjukkan bahwa formula dan takaran pupuk N, P, dan K yang tepat pada tanaman kentang, baik dalam bentuk pupuk tunggal maupun majemuk mutlak diperlukan. Namun saat ini petani cenderung memilih pupuk NPK majemuk daripada pupuk tunggal, karena lebih praktis pada saat aplikasi di lapangan.

Berbagai jenis dan merk pupuk NPK majemuk sudah banyak diproduksi oleh beberapa perusahaan, baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Agar petani dapat memilih jenis pupuk dengan formula yang sesuai dan dengan takaran yang tepat untuk budidaya tanaman kentang, maka perlu dilakukan penelitian.

Tujuan pengkajian adalah memperoleh formula dan takaran pupuk majemuk NPK untuk pertanaman kentang lahan dataran tinggi di Lembang, Jawa Barat.

Hipotesis penelitian ini adalah (1) pupuk NPK berbasis Ammonium Nitrat lebih baik dibandingkan dengan berbasis Urea pada pertanaman kentang lahan dataran tinggi Lembang, Jawa Barat; (2) formula pupuk NKP 16-16-16 berbasis Amonium Nitrat lebih baik dibandingkan dengan formula pupuk lainnya pada pertanaman kentang lahan dataran tinggi di Lembang, Jawa Barat; (3) takaran pupuk NPK 16-16-16 berbasis Amonium Nitrat 16,8 g/pohon memberikan hasil tertinggi dibandingkan dengan takaran pupuk lainnya pada pertanaman kentang lahan dataran tinggi di Lembang, Jawa Barat, dan (4) terdapat interaksi anatar jenis bahan baku, formula pupuk NKP, dan tarakan pupuk terhadap produktivitas kentang.

BAHAN DAN METODEKegiatan dimulai sejak bulan Juli sampai

dengan November 2012. Penelitian dilaksanakan di lahan milik petani di Desa Mekarwangi, Kecamatan Lembang.

Lokasi penelitian berada pada posisi geografi s 06°45′16′′-06°53′12′′ LS dan 107°35′30′′-107°44′58′′ BT, beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin monson. Pembentuk tanah sebagian besar berasal dari batuan gunung berapi, yaitu volkan dan sebagian dari batuan sedimen. Kedua bahan tersebut mempunyai kenampakan yang nyata. Bahan volkan membentuk tanah dengan tekstur sedang sampai halus, tanahnya berwarna kuning kecoklatan, dan mempunyai berat jenis relatif rendah, sedangkan tanah yang terbentuk dari batuan sedimen bertekstur halus sampai sangat halus, berwarna coklat kemerahan, dan berat jenisnya relatif tinggi.

Percobaan menggunakan faktorial 2x2x3 dengan rancangan lingkungan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan di ulang 3 kali. Faktor pertama adalah jenis bahan baku utama pupuk NPK yang terdiri atas 2 taraf, yaitu:

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

41

(1) berbasis Urea; kode perlakuan (B1)(2) berbasis Amonium Nitrat; kode perlakuan

(B2)Faktor kedua adalah formula pupk N-P-K

Kujang yang terdiri atas 2 taraf, yaitu: (1) NPK dengan formula 16-11-11; kode

perakuan (F1)(2) NPK dengan formula 16-16-16; kode

perlakuan (F2)Faktor ketiga adalah dosis atau takaran

pupuk yang terdiri atas 3 taraf, yaitu:(1) 12,6 g/pohon; kode perlakuan (T1)(2) 14,7 g/pohon; kode perlakuan (T2)(3) 16,8 g/pohon; kode perlakuan (T3)

Dasar penetapan takaran pupuk adalah rekomendasi pupuk NPK Mutiara (15-15-15) yang sudah banyak beredar di kios sarana produksi dan digunakan oleh petani kentang di Lembang. Takaran pupuk yang biasa digunakan petani berkirar 650-700 kg/ha atau 13,7-14,7 g/pohon dengan jarak tanam 70 x 30 cm (populasi tanaman sekitar 47.619 pohon). Oleh karena itu, takaran yang digunakan pada perlakuan ada yang lebih rendah dan lebih tinggi daripada yang biasa diterapkan oleh petani.

Varetas kentang yang digunakan adalah Granola, karena varietas tersebut sering ditanam oleh petani pada lahan dataran tinggi termasuk di Lembang, Jawa Barat. Umbi bibit varitas

unggul kentang dipilih bersertifi kat G3 (berasal dari umbi produksi berbobot 30-50 gram, umur 150-180 hari, dan tidak cacat). Ukuran umbi sedang dan memiliki 3-5 mata tunas.

Lahan diolah sedalam 30-40 cm dan biarkan selama 2 minggu. Kemudian dibuat bedengan dengan lebar 140 cm; untuk 2 jalur tanaman kentang dan tinggi 30 cm. Diantara bedengan dibuat saluran pembuangan air sedalam 50 cm dan lebar 50 cm. Plot percobaan berukuran 4,0 x 4,0 m, sehingga luas per plot sekitar 16,0 m2. Dengan demikian, luas lahan yang diperlukan 16,0 m2 x 30 perlakuan = 480 m2 atau sekitar 600 m2 dengan galengan luar dan saluran drainase.

Sebelum tanam disebar pupuk kandang secara larikan pada baris tanaman dengan takaran 2,5 t/ha. Selain pupuk kandang ditambah kapur pertanian (Dolomite) dengan takaran 75-150 kg per 1000 m2 pada pH tanah 5-6. Untuk mengurangi/menjaga kelembaban dan mengendalikan gulma dipasang mulsa plastik perak. Setelah tunas ± 2 cm, bibit ditanam pada lubang tanam yang sudah dipersiapkan dengan jarak tanam 70 x 30 cm.

Pemberian pupuk dilkukan dua kali, yaitu (1) sebelum tanam dengan cara di rorak disekitar lubang tanam sebanyak 40% dari jumlah takaran keseluruhan per tanaman dan (2) pada umur 45 hari setelah tanam bibit. Formula dan takaran yang diteliti, secara rinci disajikan pada Tabel 1.

Tabel 27. Formula dan takaran pupuk sebagai perlakuan (Formulas and dose of fertilizer as the treatment)

Jenis bahan baku utama pupuk NPK (Kind of

main row material NPK fertilizer)

Formula pupuk NPK (Formu-las of NPK fertilizer)

Takaran pupuk (g/pohon) (dose of fertilizer) (g/tree)

Per hektar (Per hectare)

Per tanaman (Per planting)

Pupuk pertama (First fertilizer)

Pupuk kedua (Second fertilizer)

Basis Urea(Urea Base) NPK 16-11-11 600 kg 12,6 5,04 7,56

700 kg 14,7 5,88 8,82800 kg 16,8 6,72 10,08

NPK 16-16-16 600 kg 12,6 5,04 7,56700 kg 14,7 5,88 8,82800 kg 16,8 6,72 10,08

Berbasis Amonium Nitrat(Base Ammonium NPK 16-11-11 600 kg 12,6 5,04 7,56Nitrate) 700 kg 14,7 5,88 8,82

800 kg 16,8 6,72 10,08NPK 16-16-16 600 kg 12,6 5,04 7,56

700 kg 14,7 5,88 8,82800 kg 16,8 6,72 10,08

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

42

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

Pemeliharaan tanaman meliputi: penyulaman, penyiangan, pengendalian hama/penyakit, dan pemberian air, serta pemangkasan tunas tidak produktif.

Penyulaman dilakukan 3-5 hari setelah tanam kemudian disiram air. Penyiangan dan pengendalian hama/penyakit dilakukan sesuai kondisi di lapang. Penyiangan dilakukan untuk membersihkan gulma/rumput liar. Pengendalian hama/penyakit mengacu pada konsep pengendalian hama terpadu (PHT).Pemberian air (irigasi) dilakukan jika tanama kekurangan air terutama pada musim kemarau. Cara pemberian dengan disiram dan volume pemberian disesuaikan fase pertumbuhan tanaman.

Kentang dipanen setelah berumur 100 hst. Secara fi sik daun tanaman kentang sudah berwarna kekuning-kuningan, batang tanaman telah berwarna kekuningan (agak mengering), dan kulit umbi lekat sekali dengan daging umbi, sehingga tidak cepat mengelupas bila digosok dengan jari.

Pegumpulan data dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: (1) pengambilan contoh tanah, kemudian dianalisis di laboratorium tanah Balai Penelitian Sayuran dan (2) pengukuran dan pengamatan komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil.

Pengamatan dilakukan terhadap: (1)

karakteristik tanah tempat penelitian; (2) komponen pertumbuhan yang meliputi: tinggi tanaman dan jumlah cabang pada umur 60 hari setelah tanam (HST); 3) Komponen hasil yang meliputi: jumlah umbi dan bobot umbi per tanaman, serta produktivitas umbi per hektar. Jumlah tanaman yang diamati sebanyak 10 tanaman per petak.

Data tersebut selanjutnya dianalisis sidik ragam (Anova). Untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar perlakuan dilakukan uji pembeda dengan uji BNT pada taraf 5% (Gomez and Gomez, 1984).

HASIL DAN PEMBAHASANKarakteristik Tanah Tempat Penelitian

Kedalaman tanah bervariasi dari sangat dangkal sampai sangat dalam, namun secara umum didominasi oleh kelas dalam (100-150 cm), kelas sangat dangkal sampai dangkal dijumpai di wilayah dinding kaldera, kerucut volkan, dan lereng volkan atas atau setempat di daerah bawahnya yang mempunyai batuan yang muncul ke permukaan tanah.

Tingkat kesuburan tanah di lokasi penelitian tergolong sedang, dimana pH tanah masam, kandungan P rendah, namun Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan kandungan basa (Ca dan Mg) tergolong tinggi. Hasil analisis tanah secara lengkap disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28. Hasil analisis tanah di lokasi penelitianNo Jenis analisis (Type of analysis) Satuan (unit) Nilai (Value) Kriteria*) (Criteria*))

Sifat Kimia1. pH- H2O -log H 5,2 Masam (Acid)2. pH-KCl -log H 4,6 Masam (Acid)3. C-organik (walkley&Black) (%) 6,95 Sangat tinggi (Very high)4. N-total (Kjeldhal) (%) 0,41 Sedang (Medium)5. P (Bray I (ppm) 14,1 Rendah (Low)6. Basa-basa (N NH4OAc pH 7

Ca me/100 g 12,37 Tinggi (High)Mg me/100 g 5,04 Tinggi (High)K me/100 g 0,17 Rendah (Low)Na me/100 g 0,22 Rendah (Low)

7. Kapasitas Tukar Kation (KTK) me/100 g 35,08 Tinggi (High)8. Kejenuhan Basa (KB) (%) 50,74 Sedang (Medium)9. Al (N KCl) me/100 g 0,38 Sangat rendah (Very Low)10. H (N KCl) me/100 g 0,32 Sangat rendah (Very Low)11. Sifat Fisik (Tekstur)

Pasir• (%) 47,61Debu• (%) 36,40Liat• (%) 15,99

Keterangan: *) = Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994 (Laporan Teknis No. 7, Versi 1,0 April 1994; LREP-II/C)

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

43

Tabel 28 juga menunjukkan bahwa pH tanah tergolong masam, namun tanaman kentang tumbuh baik pada tanah ber-pH 4,9-5,7 (Asandhi dan Gunadi 1989; Suhardi, 2002). Kandungan unsur hara N, P dan K tanah juga tergolong rendah, sehingga pemberian pupuk NPK baik tunggal maupun majemuk harus dengan takaran tinggi. Hasil peneitiam Sumiati (2005), tanaman kentang membutuhkan pupuk NPK majemuk mutiara dengan formula 15-15-15 sebanyak 1 ton untuk menghasilkan kentang 21 t/ha. Dengan demikian, pembuatan formula NPK manjemuk yang sesuai dengan kondisi tanah setempat sangat diperlukan.

tanaman berumbi seperti kentang karena akan memudahkan umbi untuk berkembang. Menurut Suhardi (2006), tanaman kentang menyukai tanah yang gembur seperti lempung berpasir, selain umbi kentang mudah berkembang juga berdrainase baik.

Pengaruh Formulasi Pupuk NPK Kujang terhadap Pertumbuhan Kentang di Lahan Dataran Tinggi Lembang.

Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis bahan baku utama, formula, dan takaran pupuk NPK majemuk memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman kentang

B2F2T3

Tabel 29. Pengaruh formula pupuk NPK majemuk terhadap tinggi tanaman kentang pada umur 60 HST (Effect of NPK compound formula fertilizer for the high of plant potatoes at age 60 days after planting)

Perlakuan (Treatment) Takaran pupuk NPK (g/pohon) (Dose of NPK fertilizer) (g/tree) Rata-rata (Average)

Jenis bahan (Material type)

Formula (Formula) 12,6 14,7 16,8

Jenis Ba-han (Material

type)

Formula For-mula

--------------------------------- cm --------------------------------Urea 16-11-11 40,73 40,23 41,90 40,93a 16-11-11

16-16-16 39,30 41,00 42,42 41,20aA. Nitrat 16-11-11 39,30 41,70 43,33 41,71a 16-16-16

16-16-16 40,70 42,23 42,97 41,40aRata-rata takaran NPK (The average dose of NPK)

40,01A 41,29A 42,65B

Berdasarkan hasil analisis tekstur pasir, debu, dan liat kemudian mengggunakan segi tiga tekstur, maka tanah di lokasi penelitian tergolong ke dalam lempung berpasir. Tekstur tanah lempung berpasir sangat cocok untuk

Gambar 1. Keragaan pertumbuhan tanaman (Ferformance of potato growth)

(Gambar 1). Hasil pengamatan tinggi tanaman pada umur 60 HST (Tabel 3) menunjukkan bahwa jenis bahan baku utama dan formula pupuk NPK tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman kentang, sedangkan takaran pupuk NPK berpengaruh nyata.

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

44

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

Nilai tengah yang diikuti huruf besar (arah baris) dan huruf kecil (arah kolom) yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji BNT pada nyata 5% (uppercase followed middle (line direction) and lower case (column direction) are not signifi cantly different according to BNT test at 5% signifi cance)

Tabel 29. juga menunjukkan terdapat interaksi antara bahan baku utama, formula, dan takaran pupuk NPK majemuk terhadap tinggi tanaman. Takaran pupuk NPK 16,8 g/pohon merupakan yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Sementara itu, Tabel 30. menunjukkan bahwa jenis bahan baku utama, formula, dan takaran pupuk NPK majemuk tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang dan tidak terdak terdapat interaksi dari ketiga faktor tersebut.

Meskipun demikian, umbi kentang sudah cukup besar namun kulit buahnya masih muda, sehingga mudah terkelupas seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Keragaan umbi saat panen (Performance of tuber at harvest)

Hasil pengukuran jumlah umbi pada setiap perlakuan menunjukkan bahwa pemberian pupuk NPK berbasis ammonium nitrat menghasilkan jumlah umbi komersial yang lebih banyak sekitar 5% dibandingan dengan NPK majemuk berbasis Urea (Tabel 31).

Tabel 30. Pengaruh Formula Pupuk NPK Majemuk terhadap Jumlah Cabang Tanaman Kentang pada Umur 60 HST (Effect of NPK Compound Fertilizer Formula for Total Branch Plant Potatoes at Age 60 DAP Effect of NPK Compound Fertilizer Formula for Total Branch Plant Potatoes at Age 60 DAP)

Perlakuan (Treatment) Jumlah Cabang (Total Branch Plant)

Jenis bahan (Material type) : Urea 4,12: Asam Nitrat 4,43

Formula Pupuk (Fertilizer Formula) : 16-11-11 4,24: 16-16-16 4,31

Takaran pupuk NPK (g/pohon) (Dose of NPK fertilzer) (g/tree)

: 12,6 3,94

: 14,7 4,07: 16,8 4,83

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata (non signifi cans)

Hal ini karena kandungan unsur hara N pada kedua formula pupuk NPK baik berbasis urea maupun amonium nitrat sama, yaitu 16%. Selain itu, pemberian bahan organik yang dapat menambah ketersediaan N dalam tanah diberikan dengan takaran yang sama, yaitu 2,5 t/ha pupuk kandang.

Pengaruh Formulasi Pupuk NPK Kujang terhadap Komponen Hasil dan Produktivitas Tanaman Kentang di Lahan Dataran Tinggi Lembang

Pertumbuhan tanaman menjelang fase generatif cukup baik, meskipun diawal pertumbuhan dan menjelang pematangan umbi mengalami kekurangan air. Akibatnya pemanenan dilakukan lebih awal, yaitu berumur 103 hari, 12 hari lebih cepat dari waktu panen normal kentang varietas granola (115 hari).

Hal ini diduga karena unsur hara P dan K pada formula pupuk NPK majemuk berbasis ammonium nitrat tidak mudah tercuci oleh air dan proses larutnya juga bertahap sehingga menjamin kebutuhan unsur hara tanaman pada tiap fase pertumbuhan. Berbeda halnya dengan formula pupuk NPK majemuk berbasis urea yang mudah tercuci oleh air hujan atau menguap akibat penyinaran, sehingga unsur hara yang terserap tanaman tidak sesuai dengan dosis yang diberikan akibat kehilangan pencucian zat hara tersebut terutama unsur hara K .

Hanson (1984) mengemukakan selain erosi masalah yang paling serius di daerah tropik basah adalah tingginya kehilangan hara terutama K melalui pencucian. Curah hujan yang tinggi berhubungan dengan rasio perkolasi yang tinggi dan kapasitas tukar kation tanah yang rendah dapat meningkatkan kehilangan unsur hara.

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

45

Kehilangan unsur hara melalui erosi lebih besar dibandingkan dengan yang terangkut tanaman (Jones et. al., 1991). Dekkers dan van der Werff (2001) menambahkan bahwa penggunaan pupuk anorganik yang tinggi pada tanah yang porous (banyak mengandung pasir) akan mendorong hilangnya hara, polusi lingkungan, dan rusaknya kondisi alam.

Tabel 31. juga menunjukkan bahwa formula pupuk NPK 16-16-16 lebih baik meningkat

Ca dan unsur hara mikro Mo, Cu, B, Zn, Fe, dan Mn. Unsur hara yang sangat mempengaruhi produktivitas kentang adalah unsur P dan K. Unsur hara tersebut diperoleh dari dalam tanah (tersedia) dan melalui pemupukan. Pemupukan NPK merupakan salah satu upaya penambahan unsur hara makro NPK ke dalam tanah dengan harapan unsur hara lainnya sudah tersedia di dalam tanah dan diperoleh melalui pemberian pupuk kandang dan kapur (dolomit).

Tabel 31. Pengaruh Formula Pupuk NPK Majemuk terhadap Jumlah Umbi Tanaman Kentang Kelas Komersial (Effect of NPK Compound Fertilizer Formula for Total Commercial Grade Potato Tuber Crops)

Perlakuan (Treatment) Takaran pupuk NPK (g/pohon) (Dose of NPK fertilizer) (g/tree) Rata-rata (Average)

Jenis bahan (Material type)

FormulaFormula 12,6 14,7 16,8

Jenis ba-han (Material

type)

Formula For-mula

------------------------- umbi/petak ((tube/plot) ----------------------Urea 16-11-11 23.30 34,33 36,67 33,78a 16-11-11

16-16-16 33,33 39,00 37,33 33,56aA. Nitrat 16-11-11 30,00 35,00 42,33 39,06b 16-16-16

16-16-16 39,67 46,67 40,67 39,28bRata-rata takaran NPK (The average dose of NPK)

31,25A 38,75B 39,25C

Nilai tengah yang diikuti huruf besar (arah baris) dan huruf kecil (arah kolom) yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji BNT pada nyata 5% (uppercase followed middle (line direction) and lower case (column direction) are not signifi cantly different according to BNT test at 5% signifi cance)

Tabel 32. Pengaruh Formula Pupuk NPK Majemuk terhadap Bobot Umbi Tanaman Kentang Kelas Komersial, Lembang, 2012.

Perlakuan (Treatment) Takaran pupuk NPK (g/pohon) (Dose of NPK fertilizer) (g/tree) Rata-rata (Average)

Jenis bahan (Material type)

FormulaFormula 12,6 14,7 16,8

Jenis ba-han (Material

type)

Formula For-mula

----------------------------- kg/petak (kg/plot) ---------------------------Urea 16-11-11 2,94 3,40 4,60 3,76a 16-11-11

16-16-16 2,62 3,51 5,49 4,27aA. Nitrat 16-11-11 3,40 5,36 5,91 4,87b 16-16-16

16-16-16 4,17 4,73 5,66 6,36bRata-rata takaran NPK (The average dose of NPK)

3,28A 4,25B 5,42C

Nilai tengah yang diikuti huruf besar (arah baris) dan huruf kecil (arah kolom) yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji BNT pada nyata 5% (uppercase followed middle (line direction) and lower case (column direction) are not signifi cantly different according to BNT test at 5% signifi cance)

2,4% dibandingkan dengan formula 16-11-11 baik berbasis amonium nitrat maupun berbasis urea. Tanaman kentang memerlukan zat-zat makanan atau unsur hara makro N, P, K, S, Mg,

Dengan demikian formula P dan K yang tinggi kandungannya pada pupuk majemik NPK lebih baik untuk tanaman kentang di lahan dataran tinggi seperti Lembang.

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

46

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

Selain itu, pemberian pupuk organik dapat menambah ketersediaan unsuh hara P dan K dalam tanah serta menghambat hilangnya unsur hara P yang terjerap oleh koloid tanah. Wild (2001) menyatakan bahwa unsur hara fosfor dalam senyawa kompleks di dalam tanah akan terlarutkan oleh kelompok pelarut fosfat seperti asam organik sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Menurut Danilchenko, Dris, and Niskanen. (2005), bahan organik dengan nisbah C/N rendah, bermutu tinggi karena lebih mudah terdekomposisi dan cepat menyediakan hara tanpa menimbulkan immobilisasi hara. Sedangkan pupuk yang berbasis mineral jika cepat tersedia akan cepat hilang terutama unsur hara N dan K jika ada drainase.

Takaran pupuk NPK sebanyak 16,8 g/pohon menghasilkan jumlah umbi tertinggi dibandingkan dengan takaran pupuk lainnya atau meningkat 13,28% dari takaran pupuk 12,6 g/pohon dan 7,01% dari takaran lain pupuk 14,7 g/pohon. Demikian juga terhadap bobot umbi kentang per tanaman, seperti ditunjukkan pada Tabel 32.

Formula pupuk NPK 16-16-16 berbasis amonium nitrat dengan takaran 16,8 sudah tepat untuk memberikan hasil kentang tertinggi. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah umbi ukuran komersial paling banyak dan merata, seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Data hasil penelitian pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 33.

Sejalan dengan hasil penelitian Jaipaul et al. (20110, kombinasi antara pupuk organik dengan pupuk anorganik NPK akan menghasilkan umbi kentang (ukuran komersial) paling banyak, demikian juga jumlah umbi per tanaman. Selanjutnya hasil penelitian Taheri et al. (2012) menunjukkan bahwa kompos dan pupuk kandang yang dikombinasikan dengan pupuk fosfat dan pupuk mikro Zn menghasilkan paling banyak umbi kentang yang berukuran besar.

Agar efektif, pemberian pupuk disesuaikan dengan fase pertumbuhan tanaman, dan teknik budidaya yang diterapkan. Pupuk NPK dapat diberikan sebagai pupuk susulan yang dapat dilakukan sekaligus atau bertahap, tergantung pada teknik yang diterapkan. Pada teknik budidaya mulsa plastik hitam perak, pupuk

Tabel 33. Pengaruh Formula Pupuk NPK Majemuk terhadap Produktivitas Tanaman Kentang Kelas Komersial, Lembang, 2012.

Perlakuan (Treatment) Takaran pupuk NPK (g/pohon) (Dose of NPK fertilizer) (g/tree) Rata-rata (Average)

Jenis bahan (Material type)

FormulaFormula 12,6 14,7 16,8

Jenis ba-han (Material

type)

Formula For-mula

--------------------------------- t/ha --------------------------------Urea 16-11-11 11,074 12,033 12,444 12,924a 16-11-11

16-16-16 12,818 14,348 14,826 12,961aA. Nitrat 16-11-11 13,519 13,048 15,640 14,410b 16-16-16

16-16-16 13,248 15,155 15,840 14,372bRata-rata takaran NPK (The average dose of NPK)

12,667A 13,646B 14,687C

Nilai tengah yang diikuti huruf besar (arah baris) dan huruf kecil (arah kolom) yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji BNT pada nyata 5% (uppercase followed middle (line direction) and lower case (column direction) are not signifi -cantly different according to BNT test at 5% signifi cance)

Gambar 3. Keragaan umbi pada perlakuan B2F2T3 (Per-formance of treatment B2F2T3)

kimia dapat diberikan sekaligus dan waktu pemupukannya adalah 3-7 hari sebelum tanam. Apabila budidaya tanpa mulsa plastik hitam perak pemberian pupuk dilakukan 4 kali, yaitu pupuk dasar 3-7 hari sebelum tanam, sebagai pupuk susulan1 diberikan 7-10 hari setelah tanam, pupuk 2 diberikan setelah 21-24 hari setelah tanam dan pupuk 3 diberikan setelah 35-38 hari setelah tanam.

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

47

KESIMPULANBerdasarkan hasil percobaan dapat

disimpulkan sebagai berikut :1. Formula pupuk NPK majemuk berbasis

amonium nitrat relatif lebih baik terhadap pertumbuhan tanaman kentang dan meningkatkan produktivitas kentang lahan dataran tinggi di Lembang, Bandung sebesar 11,5% dibandingkan dengan formula pupuk NPK berbasis Urea.

2. Produktivitas tanaman kentang tertinggi diperoleh pada takaran pupuk NPK berbasis amonium nitrat formula (16-16-16) sebesar 16,8 g/pohon atau 700 kg/ha, yaitu 14,687 t/ha, 13,28% dari takaran pupuk 12,6 g/pohon dan 7,01% dari takaran lain pupuk 14,7 g/pohon.

DAFTAR PUSTAKAAdisarwanto, T.W. 1983. Pembentukan Umbi

Kentang di Tiga Ketinggian Tempat di Jawa Timur. Tesis Magister Fakultas Pascasarjana Istitut Pertanian Bogor. Bogor.

Asandhi, A.A. dan Nikardi Gunadi. 1989. Syarat Tumbuh Tanaman Kentang. dalam Kentang. Edisi kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Sayuran. Lembang. Hal. 22-29

Danilchenko, V., R. Dris, and R. Niskanen. 2005. Infl uence of organic and mineral fertilization on yield, composition and processing quality of potatoes. J. Food Agric. Environ. 3:143-144

Dekkers and van der Werff (2001), for maize (one of the main staple crops) production. J. Agriculture Environment Ethics, 14(4), 391-424. [2].

Gomez, K., A. and A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. The International Rice Research Institutes. Los Banos. 698 p.

Hanson JB. 1984. The functions of calcium in plant nutrition, p. 149–208. In: P.B.

Tinker and A. La¨uchli (eds.). Advances in plant nutrition. Praeger, New York.

Islam, M.R. dan B.S. Nahar. 2012. Effect of Organic Farming on Nutrient Uptake and Quality of Potato. J. Environ. Sci. & Natural Resources, 5(2): 219-224 2012.

Jaipaul, J., S. Sharma, A.K.Sharma. 2011. Effect of organic fertilizers on growth, yield and quality of potato under rainfed conditions of central himalayan region of uttarakhand. Potato J (2011) 38 (2): 176-181.

Lynch, D.H., Z.Zhong, B.J. Zebarth dan R.C.Martin. 2008. Organic amendment effects on tuber yield and quality, plant N uptake and soil mineral N under organic potato production. Renewable Agriculture and Food Systems, 23(3), pp. 250-259.

Oldeman, L.R. 1975. An Agroclimatic Map of Java. Contr. Rest. Inst. Agric. 17. Hal. 1-21.

Rahayu. 2000. Pengaruh Penggunaan Pupuk Nitrogen dan Fosfat terhadap Mutu Umbi Kentang. Bul. Penel. Hort. XV (1). Hal. 72-78.

Subhan. 1990. Pemupukan dan Hasil Kentang (Solanum tuberosum L.) Kultivar Granola dengan Pupuk NPK (15-15-15) dan Waktu Pemberiannya. Bull. Penel. Hort. 19 (4). Halaman 27-39.

Sumiati, E. 2005. Pertumbuhan dan hasil kentang dengan aplikasi NPK 15-15-15 dan pupuk pelengkap cair di Dataran Tinggi Lembang. J. Hort. 15 (4) hal. 270-278

Taheri,N., H.H. Sharif-Abad, K. Yousefi dan S. Roholla-Mousavi. 2012. Effect of compost and animal manure with phosphorus and zinc fertilizer on yield of seed potatoes. Journal of Soil Science and Plant Nutrition, 2012, 12 (4), 705- 714.

Wild, A., 2001, Soils and the Environment, Cambridge University Press, Canbridge, UK (p 68-88)

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

48

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

IMPLEMENTASI DEMONSTRASI TEKNOLOGI YOGHURT (Studi Kasus pada Demonstrasi Teknologi Pembuatan Yoghurt

di Kabupaten Majalengka, 2012)

Titiek Maryati S. dan SukmayaBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

Jl. Kayuambon No. 80 Lembang, Bandung, E-mail: [email protected]

ABSTRAK Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP/FEATI) merupakan salah satu upaya yang ditempuh untuk mempercepat penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Program FEATI dilakukan dengan metode kegiatan penyuluhan yang dikelola oleh petani sendiri (Farmer Managed Extension Activities/FMA). Salah satu upaya pendampingan yang dilakukan oleh BPTP untuk meningkatkan kinerja FMA dalam mengelola pembelajaran agribisnis dilakukan dengan kegiatan demonstrasi teknologi pembuatan yoghurt. Tujuan utama demonstrasi teknologi pembuatan yoghurt adalah 1) mendemonstrasikan teknologi pembuatan yoghurt sebagai upaya mendukung pengembangan model sistem usahatani (farming system), dan 2) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kelompok tani/petani pelaksana tentang teknologi pembuatan yoghurt. Kegiatan demonstrasi teknologi pembuatan yoghurt dilaksanakan di FMA Mekar mulya, Desa Giri mulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka. Metode yang dikembangkan meliputi pertemuan dalam ruangan, diskusi, pelaksanaan demonstrasi (praktik), dan evaluasi. Hasil demonstrasi teknologi pembuatan yoghurt sebagai berikut: 1) yoghurt strowberry merupakan sampel terbaik yang dihasilkan dalam kegiatan demonstrasi; 2) 55,20% petani menyatakan susu segar sapi lebih baik dijual dalam bentuk produk olahan; pembuatan yoghurt penting (70,3%) dilakukan dan yoghurt menjadi produk yang siap dikonsumsi perlu dilakukan sebesar 70,8%. dan 3) berdasarkan sifat inovasi teknologi: 100% berpendapat bahwa kegiatan pembuatan yoghurt lebih menguntungkan dan sesuai dengan potensi yang ada di wilayahnya dan tidak merugikan, 92,3% menyatakan pembuatan yoghurt tidak sulit dilaksanakan, dan 100% menyatakan teknologi pembuatan yoghurt mudah dicoba, mudah diamati, dan memberikan keterampilan baru.Kata kunci: FEATI, FMA, demonstrasi, teknologi, yoghurt

PENDAHULUANUndang-Undang Republik Indonesia Nomor

16 Tahun 2006 tentang “Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan” menyebutkan antara lain pembangunan pertanian yang berkelanjutan merupakan suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan dan bahan baku industri, memperluas lapangan kerja dan lapangan berusaha serta meningkatkan kesejahteraan petani (Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, 2010).

Untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan pertanian diperlukan SDM Pertanian yang berkualitas dan andal yang dicirikan oleh motivasi, dedikasi dan etos kerja yang tinggi dilandasi dengan kejujuran. Salah satu upaya yang ditempuh untuk mempercepat penyelenggaraan penyuluhan pertanian adalah melalui kebijakan Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP/FEATI).

Ruang lingkup kegiatan FEATI disebut juga dengan komponen program meliputi: a) Penguatan Sistem Penyuluhan Kabupaten yang Sesuai dengan Kebutuhan Petani, b) Penguatan Kelembagaan dan Kemampuan Petugas, c) Peningkatan Kapasitas BPTP dalam Pengkajian dan Diseminasi Teknologi Pertanian, d) Perbaikan Pelayanan Informasi dan Teknologi untuk Petani, e) Penguatan dan Perbaikan

dukungan Kebijakan dan Manajemen Pusat (Marbun, 2007).

Program FEATI dilakukan dengan metode kegiatan penyuluhan yang dikelola oleh petani sendiri (Farmer Managed Extension Activities/FMA). Untuk mencapai sasaran pemberdayaan petani melalui FMA tersebut, maka kegiatan pembelajaran lebih menitikberatkan pada pengembangan kapasitas manajerial, kepemimpinan dan kewirausahaan petani dalam melaksanakan usaha agribisnis yang berbasis inovasi teknologi. Dengan demikian diharapkan mereka mampu mengembangkan usaha agribisnisnya mulai dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan melestarikan lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Salah satu upaya pendampingan yang dilakukan oleh BPTP Jawa Barat untuk meningkatkan kinerja FMA dalam mengelola pembelajaran agribisnis dilakukan dengan kegiatan pengolahan hasil produk pertanian skala rumah tangga untuk meningkatkan nilai tambah melalui kegiatan demonstrasi teknologi pembuatan yoghurt. Suprapto (1999) menyatakan bahwa nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan, atau penyimpanan dalam suatu produksi. Reni Kustiari (2011) menambahkan bahwa nilai tambah dalam proses

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

49

pengolahan dapat didefi nisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja. Sedangkan marjin adalah selisih antara nilai produk dan harga bahan bakunya saja. dalam marjin tercakup komponen faktor produksi yang digunakan yaitu tenaga kerja, input lainnya, dan balas jasa pengusaha pengolahan.

Tujuan utama demonstrasi teknologi pembuatan yoghurt adalah 1) mendemonstrasikan teknologi pembuatan yoghurt sebagai upaya mendukung pengembangan model sistem usahatani (farming system), dan 2) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kelompok tani/petani pelaksana tentang teknologi pembuatan yoghurt.

BAHAN DAN METODEKegiatan demonstrasi teknologi pembuatan

yoghurt dilaksanakan di FMA Mekar mulya yaitu Kelompok wanitatani “Mekar mulya”, Desa Giri mulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka. Kegiatan dilaksanakan dalam rangka pendampingan proposal UP-FMA oleh BPTP Jawa Barat. Metode yang dikembangkan meliputi pertemuan dalam ruangan, diskusi, pelaksanaan demonstrasi (praktik), dan evaluasi. Pertemuan dalam ruangan meliputi penyampaian materi teknologi pembuatan yoghurt yang terdiri dari tujuan pembuatan yoghurt, bahan dan alat yang digunakan dalam pembuatan yoghurt, proses pembuatan yoghurt, dan contoh kemasan yang dapat digunakan untuk yoghurt.

Bahan utama yang digunakan dalam demonstrasi pembuatan yoghurt adalah susu segar (ternak sapi). Bahan pembantu lainnya yang digunakan adalah biakan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococus thermophillus, gula pasir, esence (tergantung selera) strowberry, coklat dan vanilla serta kemasan plastik. Sedangkan alat yang digunakan adalah panci email, pengaduk, saringan plastik, thermometer, kompor, almari panas (inkubator), cup dan tutupnya serta gelas ukur.

Data yang dikumpulkan dalam kegiatan demonstrasi pembuatan yoghurt meliputi tingkat pengetahuan awal petani tentang pembuatan yoghurt, preferensi konsumen terhadap produk yoghurt hasil demonstrasi, tanggapan petani terhadap teknologi pembuatan yoghurt, serta sifat inovasi dan penilaian umum teknologi pembuatan yoghurt. Selanjutnya data yang terkumpul dianalisis secara sederhana dengan

memeriksa kembali data mentah, disusun dalam kelompok atau kategorisasi, mengedit data, mengkode, dan mentabulasi data (Siegal, 1998) untuk dianalisa dan diinterpretasikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Pengetahuan Awal Petani terhadap Teknologi Pembuatan Yoghurt

Yoghurt adalah produk olahan susu yang diperoleh melalui proses fermentasi dengan menggunakan biakan campuran Lactobacillus bulcaricus dan Streptococus thermophillus sehingga menghasilkan bentuk campuran seperti “pudding” dengan rasa asam. Yoghurt merupakan salah satu alternatif untuk menyimpan lebih lama jika dibandingkan dalam bentuk segar dan peluang usaha yang dapat memberikan nilai tambah bagi peternak/Kelompok Wanitatani. Evaluasi awal telah dilaksanakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan petani terhadap informasi teknologi pembuatan yoghurt sebelum pelaksanaan demonstrasi (Tabel 34.).Tabel 34. Tingkat Pengetahuan Petani Sebelum

Implementasi Demonstrasi Teknologi Pembuatan Yoghurt

No. Uraian Ya (%) Tidak (%)

1. Mendapatkan pelatihan pembuatan yoghurt sebelumnya

30,0 70,0

2. Melakukan pengolahan susu se-gar (karamel, kerupuk susu, dodol susu)

76,0 24,0

3. Mengetahui informasi yoghurt 92,3 7,74. Melakukan pembuatan yoghurt 0 1005. Pembuatan yoghurt dapat mening-

katkan nilai tambah70,0 30,0

Sumber: Analisis Data Primer, 2012

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar atau 70% petani peserta demonstrasi belum pernah mendapatkan pelatihan tentang pembuatan yoghurt dan 76% menyatakan sudah pernah melakukan pengolahan susu segar yaitu karamel, kerupuk susu dan dodol susu. Informasi tentang pembuatan yoghurt sudah diketahui oleh peserta sebanyak 92,3%, meski sudah banyak yang mengetahui informasi tersebut namun belum ada yang membuatnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa materi yang disampaikan dalam kegiatan demonstrasi adalah tepat karena anggota KWT belum pernah mempraktikan tentang pembuatan yoghurt. Walaupun seluruh petani peserta demonstrasi belum memiliki pengalaman dalam melakukan pembuatan yoghurt, akan tetapi

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

50

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

70,0% petani berpendapat bahwa pembuatan yoghurt dapat meningkatkan nilai tambah. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Bachman (1981) bahwa pengembangan agribisnis di perdesaan merupakan basis pertumbuhan ekonomi perdesaan melalui peningkatan nilai tambah produk pertanian. Selain itu agribisnis merupakan kegiatan pasca panen yang bertujuan untuk menyelamatkan produk pertanian agar tidak terlantar yang lama kelamaan akan menjadi limbah (Bachman, 1981).

Preferensi terhadap Produk YoghurtYoghurt yang dihasilkan dari kegiatan

demonstrasi dibuat dengan selera yang berbeda-beda yaitu strowberry, coklat dan vanila. Untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap produk yoghurt yang dihasilkan telah dilakukan uji organoleptik terhadap 25 orang panelis. Uji organoleptik menggunakan 7 skala secara berturut-turut dari angka 1 yaitu sangat tidak suka sampai angka 7 yaitu amat sangat suka. Atribut mutu yang diujikan dalam kuesioner preferensi konsumen adalah warna, tekstur, rasa, kekentalan, dan penampilan umum yoghurt. Hasil uji organoleptik terhadap produk yoghurt hasil demonstrasi disajikan pada Tabel 35.Tabel 35. Nilai Tingkat Kesukaan Yoghurt (%)

Jenis sampel Yoghurt Srowberry

Yoghurt Coklat

Yoghurt Vanilla

Warna (%) Amat sangat Suka - 4 0 4Sangat suka- 4 12 4Suka- 92 60 56Agak suka- 0 24 4Agak tidak suka- 0 0 4Tidak suka- 0 4 28Sangat tidak suka- 0 0 0

Tekstur (%)Amat sangat Suka - 0 0 0Sangat suka- 20 20,8 20Suka- 68 62,5 60Agak suka- 12 16,7 16Agak tidak suka- 0 0 4Tidak suka- 0 0 0Sangat tidak suka- 0 0 0

Rasa (%)Amat sangat Suka - 0 0 0Sangat suka- 0 4 0Suka- 29 28 52Agak suka- 38 36 16Agak tidak suka- 13 16 16Tidak suka- 20 16 16Sangat tidak suka- 0 0 0

Kekentalan (%)Amat sangat Suka - 27 0 0

Jenis sampel Yoghurt Srowberry

Yoghurt Coklat

Yoghurt Vanilla

Sangat suka- 34,7 24 24Suka- 23 36 32Agak suka- 7,7 20 24Agak tidak suka- 3,8 12 8Tidak suka- 3,8 4 8Sangat tidak suka- 0 4 4

Penampilan Umum (%)Amat sangat Suka - 4 4 4Sangat suka- 48 44 44

Jenis sampel Yoghurt Srow-berry

Yoghurt Coklat

Yoghurt Vanilla

Suka- 32 36 32Agak suka- 12 16 16Agak tidak suka- 4 0 0Tidak suka- 0 0 0Sangat tidak suka- 0 0 4

Sumber: Analisis Data Primer, 2012.

Warna merupakan karakteristik utama dari sebuah produk dan menentukan penerimaan konsumen terhadap sebuah produk. Dony dalam Juanda, dkk. (2009) mengungkapkan bahwa warna suatu produk dapat menyebabkan seseorang menerima atau sebaliknya menolak produk tersebut, memberikan kenyamanan atau ketidaknyamanan, bahkan dapat mempengaruhi nafsu makan. Rata-rata nilai preferensi konsumen terhadap warna yoghurt menunjukkan perbedaan untuk setiap jenis sampel. Warna yoghurt yang lebih disukai oleh peserta demonstrasi ditunjukkan oleh sampel yoghurt strowberry dengan nilai 92%, dilanjutkan oleh sampel yoghurt coklat (60%) dan vanilla (56%).

Rasa merupakan organoleptik penting pada suatu produk makanan yang menentukan enak atau tidaknya suatu produk bahan pangan. Dari segi rasa, produk yoghurt yang dihasilkan untuk setiap sampel yoghurt memiliki perbedaan, yang disukai oleh petani peserta demonstrasi adalah sampel yoghurt vanilla sebesar 52%, sedangkan sampel yoghurt starwberry dan coklat hampir sama, berturut-turut 29 % dan 28%.

Rata-rata penilaian konsumen terhadap kekentalan yoghurt sangat suka dihasilkan oleh sampel yoghurt strowberry yaitu sebesar 34,7% dan suka dihasilkan oleh sampel yoghurt coklat sebesar 36%. Sedangkan kekentalan yoghurt sangat tidak suka dihasilkan oleh sampel yoghurt coklat dan vanilla yaitu sebesar 4%.

Berdasarkan penilaian secara umum, nilai tertinggi diperoleh sampel yoghurt strowberry yaitu sebesar 48% yang berarti disukai konsumen, sedangkan nilai untuk sampel yoghurt coklat dan vanilla yaitu sebesar 44%.

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

51

Berdasarkan hasil uji organoleptik, sampel yoghurt strowberry merupakan yoghurt terbaik yang dipilih oleh peserta demonstrasi/konsumen, meski untuk rasa yoghurt peserta demonstrasi menyatakan suka sebesar 52% pada sampel yoghurt vanilla. Hal ini disebabkan karena menurut peserta sampel yoghurt vanilla lebih diterima di lidah dibandingkan sampel lainnya.

Tanggapan Petani terhadap Teknologi Pembuatan Yoghurt

Tanggapan petani terhadap teknologi pembuatan yoghurt adalah 55,20% menyatakan susu sapi lebih baik dijual dalam bentuk produk olahan dan 45,80% lainnya menyatakan lebih baik dijual dalam bentuk segar. Walaupun tanggapan petani terhadap produk susu sapi lebih baik dijual dalam bentuk produk olahan dan bentuk segar berbeda 10 %, namun 70,3% petani menyatakan bahwa pengolahan susu segar sapi penting dilakukan. Selain itu, sebagian besar atau 70,8% petani juga menyatakan bahwa pengolahan susu segar sapi menjadi produk yang siap dikonsumsi perlu dilakukan (Tabel 36).Tabel 36. Tanggapan Petani terhadap Teknologi

Pembuatan Yoghurt

No. UraianTanggapan (%)

Segar Produk Olahan

Sangat Penting Penting Kurang

PentingSangat Perlu Perlu Kurang

Perlu1. Susu segar sapi lebih baik dijual

dalam bentuk45,8 55,2 - - - - - -

2. Seberapa penting pengolahan susu segar sapi

- - 29,7 70,3 - - - -

3. Pengolahan susu segar sapi menjadi produk yang siap dikonsumsi

- - - - - 29,2 70,8 -

Sumber: Analisis Data Primer, 2012

Sikap petani terhadap kegiatan pembuatan yoghurt cukup bagus, yang ditunjukkan dengan sebagian besar peserta demonstrasi menyatakan setuju bahwa dengan adanya pengolahan susu segar sapi, petani memiliki aktivitas dan keterampilan baru dan akan mengembangkan pembuatan yoghurt menjadi skala kelompok. Tahap perubahan sikap dimulai dari pengenalan, keinginan untuk memilih, dan selanjutnya memasuki tahap tanggap yang menimbulkan keyakinan dan kemauan untuk mengikuti. Seiring berjalannya keyakinan menimbulkan penghayatan yang berujung kepada penerapan yang terus-menerus (Van den Ban, dkk., 2003).

Sifat Inovasi Teknologi Pembuatan YoghurtBerhasil tidaknya pengembangan teknologi

ditentukan oleh mau tidaknya petani mengadopsi

teknologi yang dianjurkan (Tri Pranadji, 1984). Sedangkan keputusan untuk mengadopsi suatu teknologi bagi petani dipengaruhi oleh sifat teknologi itu sendiri. Sifat inovasi teknologi pembuatan yoghurt berdasarkan pendapat responden disajikan pada Tabel 37.Tabel 37. Sifat Inovasi Teknologi Pembuatan

Yoghurt

No. Uraian Ya (%)

Tidak (%)

1. Kegiatan pembuatan yoghurt lebih menguntungkan dibandingkan den-gan kegiatan pengolahan lainnya

100 -

2. Kegiatan pembuatan yoghurt sesuai dengan potensi yang ada di wilayah dan tidak merugikan

100 -

3. Kegiatan pembuatan yoghurt sulit dilaksanakan

7,7 92,3

4. Kegiatan pembuatan yoghurt mudah untuk dicoba oleh petani

100 -

5. Kegiatan pembuatan yoghurt mudah diamati dan memberikan keterampi-lan baru

100 -

Sumber: Analisis Data Primer, 2012

Petani responden sebanyak 100% berpendapat bahwa kegiatan pembuatan yoghurt lebih menguntungkan dan kegiatan ini sesuai

dengan potensi yang ada di wilayahnya dan tidak merugikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sifat kompabilitas dari teknologi pembuatan yoghurt termasuk dalam kriteria tinggi. Berdasarkan sifat kompleksitas, teknologi pengolahan bawang merah termasuk kedalam kriteria sederhana. Hal tersebut ditunjukkan oleh pendapat petani responden, dimana 92,3% menyatakan pengolahan bawang merah tidak sulit dilaksanakan.

Selain itu, berdasarkan sifat triabilitas termasuk kedalam kriteria mudah digunakan karena 100% petani responden menyatakan teknologi pembuatan yoghurt mudah dicoba. 100% petani responden juga menyatakan bahwa hasil dari kegiatan pembuatan yoghurt mudah diamati dan memberikan keterampilan baru. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

52

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

kemudahan pengamatan pembuatan yoghurt termasuk kedalam kriteria mudah diamati.

KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil uji organoleptik, yoghurt

strowberry merupakan yoghurt terbaik yang dihasilkan dalam kegiatan demonstrasi.

2. Tanggapan petani terhadap teknologi pembuatan yoghurt adalah 55,20% menyatakan susu segar sapi lebih baik dijual dalam bentuk produk olahan. Selain itu, pembuatan yoghurt penting dilakukan (70,3%) dan yoghurt menjadi produk yang siap dikonsumsi perlu dilakukan sebesar 70,8%.

3. Berdasarkan sifat inovasi teknologi, 100% berpendapat bahwa kegiatan pembuatan yoghurt lebih menguntungkan dan sesuai dengan potensi yang ada di wilayahnya dan tidak merugikan, 92,3% menyatakan pembuatan yoghurt tidak sulit dilaksanakan, dan 100% menyatakan teknologi pembuatan yoghurt mudah dicoba, mudah diamati, dan memberikan keterampilan baru.

DAFTAR PUSTAKA

Bachman, M.R., 1981. Technology Appropiate to Food Preservation in Developing Countries. In Thorne (Ed). Development in Food Preservation Book I. Applied Science Publisher. London.

Dony. 2009. Psikologi Warna dan Marketing. Dalam: Juanda, Cut Erika, dan Hanum Meilliza. Studi preferensi konsumen terhadap roti tawar labu kuning (Cucurbitamoschata). Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

Marbun, O. dan Budiman, 2007. Deptan Luncurkan Program FEATI untuk Pemberdayaan Petani, Buletin Diseminora, Volume 04 Tahun 2007.

Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, 2010. Petunjuk Pelaksanaan Penilaian UP-FMA Berperestasi Lokasi Program P3TIP/FEATI Tahun 2010. Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian.

Siegal S. 1998. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. PT. Gramedia Jakarta.

Tri Pranadji. 1984. Partisipasi Petani dalam Program Pengembangan Teknologi Tanaman Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor. 3: 28 - 35.

Van den Ban, A.W dan Hawkins H.S. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.

Teknologi Pengolahan Susu menjadi Yoghurt, Balai Penelitian Ternak Bogor. 2007.

Reni Kustiari, 2011. Analisis Nilai Tambah dan Balas Jasa Faktor Produksi Pengolahan Hasil Pertanian. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Petani dan Pembangunan Pertanian di Bogor, 12 Oktober 2011.

Suprapto, A. 1999. Pengembangan agribisnis Komoditas Unggulan dalam Memasuki Pasar Global. Makalah disampaikan dalam Lokakarya nasional Musyawarah Nasional V POPMASEPI di medan, 16 Maret 1999.

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

53

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

54

Buletin Hasil Kajian Vol. 3, No. 03 Tahun 2013