BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku...

156

Transcript of BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku...

Page 1: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku
Page 2: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

1ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007

SUSUNAN PENGURUSBULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan MoneterBank Indonesia

PelindungPelindungPelindungPelindungPelindungDewan Gubernur Bank Indonesia

Dewan EditorDewan EditorDewan EditorDewan EditorDewan EditorProf. Dr. Anwar Nasution

Prof. Dr. Miranda S. GoeltomProf. Dr. Insukindro

Prof. Dr. Iwan Jaya AzisProf. Iftekhar HasanDr. M. Syamsuddin

Dr. Perry WarjiyoDr. Halim Alamsyah

Dr. Iskandar SimorangkirDr. Solikin M. JuhroDr. Haris Munandar

Dr. Andi M. Alfian Parewangi

Pimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialDr. Perry Warjiyo

Dr. Iskandar Simorangkir

Direktur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDr. Andi M. Alfian Parewangi

SekretariatSekretariatSekretariatSekretariatSekretariatToto Zurianto, MBA

MS. Artiningsih, MBA

Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomidan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisandibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukanmerupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin inipaper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi danKebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20;Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected]

Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober danJanuari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungiSeksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2,Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan:telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email: [email protected].

Page 3: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

BULETIN EKONOMI MONETERDAN PERBANKAN

Volume 12, Nomor 3, Januari 2010

Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

Triwulan IV - 2009

Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Meily Ika Permata, Yanfitri, Andry Prasmuko

Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan

Kinerja Perekonomian Indonesia

Sugeng, M. Noor Nugroho, Ibrahim, Yanfitri

Analisis Determinan Perubahan Penawaran Barang Ekspor Indonesia

Sarwedi

Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

Andry Prasmuko, Donni Fajar Anugrah

269

355

377

263

311

Page 4: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku
Page 5: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

263ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009

ANALISIS TRIWULANAN:Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,

Triwulan IV - 2009

Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

Perekonomian Indonesia di tahun 2009 menunjukkan daya tahan yang cukup kuat di

tengah krisis ekonomi global. Hal ini tercermin oleh tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia

yang sampai dengan triwulan III-2009 masih mampu tumbuh di atas 4%. Dan untuk keseluruhan

tahun 2009, Bank Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia dapat tumbuh sebesar

4,3%. Ke depan, untuk tahun 2010 dan 2011, perekonomian Indonesia diperkirakan akan

tumbuh lebih tinggi sejalan dengan tingkat pemulihan perekonomian dunia yang lebih baik,

semakin kondusifnya pasar keuangan dan perbankan yang dibarengi dengan terjaganya kondisi

fundamental domestik. Perekonomian Indonesia di tahun 2010 diperkirakan akan tumbuh

mencapai kisaran 5,0-5,5% dan pada tahun 2011 menjadi 6,0-6,5%.

Di sisi perekonomian global, Bank Indonesia memandang bahwa proses pemulihan

ekonomi global masih terus berlanjut. Pemulihan tersebut bahkan dirasakan semakin kuat dan

merata terjadi di berbagai negara dan sektor ekonomi. Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh

otoritas fiskal dan moneter selama tahun 2009 telah mampu menahan kejatuhan perekonomian

dunia yang lebih dalam. Tanda-tanda pemulihan kondisi perekonomian menguat mulai dirasakan

sejak triwulan II-2009. Motor penggerak perekonomian dunia untuk dapat terus bertumbuh di

tengah krisis adalah perekonomian di kawasan Asia, seperti China, Korea, dan India. Dampak

positif membaiknya kinerja ekonomi negara-negara tersebut dirasakan oleh negara lain di

kawasan, termasuk Indonesia, melalui meningkatnya permintaan barang-barang ekspor. Lebih

lanjut, paket stimulus yang diluncurkan pemerintah di negara maju yang disertai dengan

membaiknya sumber pembiayaan dari perbankan dan tingkat keyakinan konsumen, mendukung

perbaikan konsumsi sejak paruh kedua tahun 2009. Meski demikian, proses pemulihan ekonomi

global masih dibayangi oleh berbagai faktor risiko. Beberapa risiko tersebut diantaranya berkaitan

dengan masih tingginya tingkat pengangguran serta realisasi defisit fiskal di Amerika Serikat

yang cukup tinggi sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar terkait dengan

kesinambungan operasi keuangan AS.

Page 6: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

264 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Perbaikan pada perekonomian global juga masih tercermin pada pasar keuangan global

yang menunjukkan perkembangan positif. Meski di awal tahun intensitas tekanan di pasar

keuangan global masih tinggi, di akhir tahun 2009 tekanan tersebut mulai mereda. Hal ini

didukung oleh optimisme terkait terus berlangsungnya pemulihan ekonomi global dan

membaiknya kinerja lembaga keuangan di negara maju. Berbagai perkembangan tersebut

telah menumbuhkan persepsi positif sehingga mendorong kenaikan harga aset di pasar

keuangan global sejak triwulan II-2009. Optimisme terhadap kondisi ekonomi global tersebut

mendorong kinerja pasar keuangan dunia yang semakin baik. Indeks harga di pasar saham

global meningkat, sementara persepsi risiko terhadap aset pasar keuangan, baik di negara

maju maupun emerging markets, juga membaik sebagaimana tercermin pada credit default

swaps (CDS) yang menurun.

Berbagai dinamika perekonomian global selama tahun 2009 telah memberikan warna

pada perkembangan ekonomi Indonesia. Pemulihan yang terjadi di perekonomian global,

bangkitnya ekonomi China dan India, serta kebijakan makroekonomi yang berhati-hati di dalam

negeri telah memberi dampak positif pada perekonomian Indonesia. Di wilayah kawasan,

Indonesia merupakan negara yang menjadi ≈flavour of the day∆ karena daya tahan

perekonomiannya sepanjang tahun 2009 di tengah-tengah krisis global. Tumbuhnya

perekonomian Indonesia tersebut terutama didukung oleh kuatnya permintaan domestik.

Ekspansi ekonomi domestik pada periode tersebut lebih didukung oleh pengeluaran konsumsi

akibat tingginya pengeluaran terkait penyelenggaraan Pemilu, rendahnya inflasi, serta berbagai

stimulus fiskal untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan pengurangan pajak. Sementara

itu, seiring dengan proses pemulihan ekonomi dunia yang terus berlanjut dan semakin merata,

serta harga komoditas global yang meningkat, kinerja ekspor Indonesia menunjukkan perbaikan.

Dengan berbagai perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan 2009

diprakirakan mencapai 4,3%.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang membaik selama tahun 2009 tersebut juga

terkonfirmasi oleh hasil asesmen perekonomian daerah yang dilakukan Bank Indonesia. Secara

umum, perekonomian daerah selama tahun 2009 masih menunjukkan kuatnya konsumsi dan

ekspor sejalan meningkatnya permintaan produk primer dari China, India dan Korea Selatan.

Peningkatan ekspor dari wilayah Sumatera dan Kali-Sulampua (Kalimantan-Sulawesi-Maluku-

Papua) terutama berasal dari komoditas karet, nikel, batubara dan CPO. Membaiknya ekonomi

daerah tersebut juga tidak terlepas dari masih kuatnya konsumsi domestik terutama di

Jabalnustra, Jakarta dan mulai pulihnya aktivitas ekspor, khususnya untuk komoditas perkebunan

dan pertambangan dari Kali-Sulampua dan Sumatera, seiring dengan pulihnya ekonomi dunia.

Sementara itu, realisasi stimulus fiskal telah mencapai 36,2% dan realisasi belanja modal APBD

Page 7: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

265ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009

di Kali-Sulampua dan Jakarta, atau meningkat dibandingkan periode yang sama tahun 2008.

Hal ini memberi sedikit dampak pada membaiknya pertumbuhan investasi di daerah, meski

masih minimal. Di sisi lain, masih kuatnya konsumsi domestik dan membaiknya ekspor komoditas

primer telah direspons oleh meningkatnya aktivitas sektor utama di daerah, yaitu pertanian di

Jabalnustra dan Sumatera, pertambangan di Kali-Sulampua serta sektor tersier di Jabalnustra

dan Jakarta. Selama tahun 2009, meskipun menghadapi terpaan krisis global, kombinasi

ekonomi antara daerah yang berorientasi domestik di Jabalnustra dan Jakarta serta daerah

yang berorientasi ekspor di Sumatera dan Kali-Sulampua telah mampu mempertahankan

pertumbuhan ekonomi nasional daerah pada level yang lebih baik.

Di sisi harga, perekonomian Indonesia di tahun 2009 ditandai oleh tekanan inflasi yang

rendah. Inflasi November tercatat sebesar -0,03% (mtm), atau menurun dibandingkan bulan

sebelumnya (0,19%). Deflasi pada bulan November terutama terkait dengan kembali

terkoreksinya harga barang kebutuhan pokok. Secara tahunan inflasi IHK menurun dibandingkan

bulan sebelumnya menjadi sebesar 2,41% (yoy). Dari sisi non fundamental, terjaganya pasokan

domestik, lancarnya distribusi, dan harga komoditas internasional yang masih relatif rendah

mendukung penurunan inflasi volatile food. Di kelompok administered prices, penurunan

tekanan inflasi yang cukup tajam terkait dengan kebijakan pemerintah untuk menurunkan

harga bahan bakar minyak di awal tahun. Dari sisi fundamental, penurunan tekanan inflasi

terkait dengan faktor eksternal, yaitu penurunan inflasi mitra dagang dan nilai tukar yang

cenderung apresiasi, serta menurunnya ekspektasi inflasi masyarakat. Mencermati

perkembangan tersebut, inflasi tahun 2009 berpotensi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya

sebesar 2,9% (y-o-y).

Kinerja Neraca pembayaran Indonesia (NPI) selama tahun 2009 membaik sejalan dengan

perkembangan global yang kondusif. Perbaikan tersebut ditopang oleh kinerja transaksi berjalan

yang membaik sejalan dengan terus menguatnya pemulihan ekonomi global. Selain itu,

berlanjutnya kenaikan harga komoditas ekspor Indonesia, terutama komoditas berbasis sumber

daya alam, turut mendukung perbaikan transaksi berjalan. Surplus transaksi berjalan juga

diprakirakan tetap meningkat di tengah meningkatnya impor nonmigas. Sementara itu,

optimisme pemulihan ekonomi global, yang disertai dengan membaiknya persepsi risiko

terhadap negara emerging markets diprakirakan dapat menjaga kelangsungan arus masuk

modal asing. Sejalan dengan perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia tersebut, posisi

cadangan devisa Indonesia pada akhir November 2009 tercatat sebesar USD 65,84 miliar atau

setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran ULN pemerintah.

Page 8: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

266 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Membaiknya kinerja Neraca Pembayaran Indonesia berdampak pada kestabilan nilai tukar

rupiah sepanjang tahun 2009. Secara keseluruhan tahun, rupiah bergerak dengan

kecenderungan menguat. Persepsi positif di kalangan investor global terhadap ekonomi domestik

telah meningkatkan selera risiko (risk appetite) dari investor global terhadap aset pasar keuangan

dalam negeri. Hal ini mendorong aliran masuk modal asing terus masuk ke pasar keuangan

Indonesia. Dengan kondisi tersebut, nilai tukar rupiah mulai mengalami apresiasi sejak triwulan

II-2009 dan mencapai level Rp9.445 per dolar AS pada akhir November atau menguat 15,3%

(p-t-p) dari level Rp10.900 per dolar AS di akhir tahun 2008.

Di pasar keuangan domestik, berbagai perkembangan perekonomian tersebut telah

memberikan dampak positif. Transmisi kebijakan moneter juga membaik yang tercermin pada

respons suku bunga pasar uang dan perbankan pada BI Rate. Di pasar obligasi, transmisi

kebijakan moneter tercermin pada penurunan yield SUN untuk seluruh tenornya dengan tenor

jangka pendek mencatat penurunan yield yang paling besar. Meski demikian, untuk tenor

jangka panjang, transmisi kebijakan masih cenderung lebih terhambat. Hal ini mengindikasikan

persepsi risiko dari para investor jangka panjang yang relatif belum optimal terhadap ekspektasi

inflasi dan prospek sustainabilitas fiskal. Di pasar saham, indeks harga menunjukkan peningkatan.

Kebijakan moneter Bank Indonesia yang diimbangi oleh pemulihan ekonomi global, telah

meningkatkan minat asing pada aset di pasar keuangan emerging markets, serta indikator

makro-mikro ekonomi domestik yang cukup kondusif mendorong kinerja IHSG untuk tumbuh

lebih baik.

Di pasar uang, transmisi suku bunga di pasar uang antar bank (PUAB) semakin menunjukkan

perbaikan. Suku bunga di PUAB overnight (O/N) bergerak di sekitar BI Rate seiring dengan

diubahnya sasaran operasional kebijakan moneter ke PUAB O/N sejak Juli 2008. Penurunan

tersebut juga diikuti oleh suku bunga PUAB untuk tenor di atas O/N. Transmisi BI Rate ke suku

bunga deposito juga telah menunjukkan perbaikan. Sepanjang tahun 2009 suku bunga deposito

1 bulan menurun sebesar 337bps, atau lebih besar dari penurunan BI Rate sebesar 275bps.

Dibandingkan dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito

terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku bunga kredit, respons

penurunan BI Rate mengalami perbaikan perlahan dan secara lebih terbatas. Selama tahun

2009, suku bunga kredit secara agregat (rata-rata suku bunga KMK, KI, dan KK) menurun

sebesar 76 bps. Terbatasnya respon suku bunga kredit tersebut terkait dengan berbagai faktor,

antara lain seperti persepsi risiko perbankan terhadap kesinambungan sektor riil yang masih

tinggi. Terbatasnya respons perbankan tersebut menyebabkan sumber pembiayaan perbankan

tumbuh rendah. Hingga Oktober 2009, pertambahan kredit (termasuk channeling) baru mencatat

pertumbuhan 4,2% (y-t-d), jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu.

Page 9: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

267ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009

Ke depan, prospek perekonomian domestik di tahun 2009 dan tahun 2010 berpotensi

lebih baik dari perkiraan semula. Hal ini juga diperkirakan akan terus berlanjut di tahun 2011.

Faktor-faktor yang mendukung perbaikan tersebut adalah kondisi eksternal yang lebih kondusif

berupa pemulihan ekonomi dunia yang lebih cepat dari perkiraan semula, serta kondisi domestik

yang tetap terjaga dengan dukungan konsumsi rumah tangga yang tetap kuat. Penguatan

ekspor yang terjadi sejak akhir triwulan I-2009 diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan

pemulihan kondisi ekonomi dunia. Selain akibat perbaikan ekonomi dunia, akselerasi

pertumbuhan ekspor juga didukung oleh karakteristik barang ekspor Indonesia yang berbasis

komoditas primer yang mengalami pemulihan yang cukup cepat sejalan dengan perbaikan

permintaan di negara-negara mitra dagang. Di sisi domestik, meskipun tidak setinggi selama

periode Pemilu 2009, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diprakirakan tetap relatif kuat dan

menjadi penyumbang utama PDB. Kinerja konsumsi tersebut didukung oleh terjaganya tingkat

keyakinan konsumen, perbaikan pendapatan akibat kinerja ekspor yang menguat, serta

rendahnya laju inflasi. Dengan berbagai perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi di

tahun 2010 diperkirakan mencapai 5,0-5,5%, sementara perekonomian Indonesia di tahun

2011 diperkirakan akan tumbuh mencapai 6,0-6,5%

Di sisi Neraca Pembayaran, prospek pemulihan ekonomi global akan berdampak positif

terhadap Neraca Pembayaran Indonesia di tahun 2010. Perbaikan kinerja NPI didukung baik

oleh perbaikan transaksi berjalan maupun neraca transaksi modal dan finansial. Pemulihan

ekonomi dunia yang terus berlanjut yang disertai dengan berlanjutnya kenaikan harga komoditas

dunia akan mendorong penguatan kinerja ekspor. Impor nonmigas diprakirakan mulai meningkat

sejak semester II-2009 sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian domestik. Di sisi

transaksi modal dan finansial, perbaikan kinerja ditopang oleh kondisi domestik dan eksternal

yang lebih kondusif dibandingkan prakiraan sebelumnya.

Di sisi inflasi, tren inflasi di tahun 2010 dan tahun 2011 diprakirakan akan kembali ke

pola normalnya. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya gerak mesin perekonomian

Indonesia yang tumbuh membaik. Oleh karena itu, selama tahun 2010 dan 2011, laju inflasi

diprakirakan berada pada kisaran 5%±1%. Di sisi eksternal, prakiraan inflasi tersebut juga

disumbang oleh peningkatan inflasi mitra dagang sejalan dengan prakiraan membaiknya ekonomi

global dan meningkatnya harga-harga komoditas internasional. Sementara dari sisi domestik,

tekanan inflasi juga diprakirakan berasal dari peningkatan harga-harga administered prices. Di

sisi inflasi volatile food, gangguan pasokan akibat kemungkinan terjadinya El Nino diprakirakan

hanya akan memberikan tekanan inflasi yang minimum.

Page 10: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

268 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Dengan mempertimbangkan perkembangan-perkembangan tersebut di atas dan

mengingat bahwa tingkat suku bunga BI rate sebesar 6,50% masih konsisten dengan

pencapaian sasaran inflasi pada tahun 2010 sebesar 5%±1%, Rapat Dewan Gubernur Bank

Indonesia pada 3 Desember 2009 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level

6,50%. Stance kebijakan saat ini juga dipandang masih kondusif bagi proses pemulihan

perekonomian dan intermediasi perbankan.

Page 11: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

269Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

FENOMENA LABOR SHIFTINGDALAM PASAR TENAGA KERJA INDONESIA

Meily Ika PermataYanfitri

Andry Prasmuko1

This paper analyzes the labor shifting phenomenon in Indonesian labor market. Labor shifting

phenomenon in developing countries, including Indonesia, is considered to be the reason of stable

movement from the supply perspective. By using Sakernas data year 1998-2008, this paper analyzes the

labor shifting phenomenon, both the direction of labor movement and the characteristics of the shifting

labor.

The main conclusions obtained in this research are, first, there is no structural break in Indonesian

labor market. Second, although most of labors tend to remain in the same sector or intra-sector, the

analysis shows there is tendency for the labor to move from non formal sectors especially to Agricultural

and Trade sectors. Third, the model estimation result with a series of controlled category shows the

biggest three probability of not shifting and remaining in the same sectors are in Electricity sector (70,15%),

Financial sector (55,8%) and Mining sector (53,13%). On the other side, the biggest labor mobility

opportunity to conduct shifting is on Industry sector (80.14%), Construction sector (64.3%), and

Transportation sector (62.4%).

JEL classificationJEL classificationJEL classificationJEL classificationJEL classification: J23, J62, J64

Keywords: Demand for Labor, Job Mobility, Labor shifting, Unemployment.

1 Penulis adalah peneliti di BRE-DKM Bank Indonesia. Pandangan dan hasil yang dituangkan dalam paper ini sepenuhnya menjaditanggung jawab penulis dan tidak merefleksikan pandangan Bank Indonesia. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr. Perry Warjiyo,Dr. Iskandar Simorangkir dan Dr. Arie Kuncoro yang telah memberi masukan untuk penyempurnaan hasil penelitian ini.

Abstract

Page 12: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

270 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

I. PENDAHULUAN

Perubahan permintaan terhadap output pada suatu sektor akan menyebabkan perubahan

terhadap kebutuhan tenaga kerja di sektor tersebut yang dapat memicu terjadinya shifting dari

dan atau ke sektor lainnya. Pertumbuhan output yang tinggi di suatu sektor akan memicu

peningkatan kebutuhan akan tenaga kerja di sektor tersebut yang dapat diisi oleh angkatan

kerja baru maupun melalui shifting tenaga kerja dari sektor lainnya, demikian pula sebaliknya.

Krisis finansial global tahun 2008 yang menyebabkan terjadinya perlambatan ekonomi

dunia diikuti dengan penurunan demand yang cukup tajam. Ini memicu terjadinya penurunan

output yang cukup signifikan dan berujung pada rasionalisasi tenaga kerja. Tenaga kerja yang

kehilangan pekerjaan dapat mencari alterantif pekerjaan ke perusahaan lain di sektor yang

sama atau melakukan shifting ke sektor lain, atau justru beralih ke sektor non formal.

Krisis global baru-baru ini diperkirakan berdampak pada sekitar 30.000 yang dirumahkan

baik dilaporkan maupun tidak, hingga akhir tahun 2008. Ancaman PHK atas sekitar 200 ribu

buruh di Indonesia diperkirakan terjadi selang tahun 2009, serta diperkirakan sekitar 70-80

ribu tenaga kerja industri akan terkena PHK hingga akhir 2009 (Kadin). Menurut sumber yang

berbeda, korban PHK hingga akhir 2008 mencapai 100.000 orang dari berbagai sektor,

khususnya industri padat karya. Lebih lanjut diperkirakan sedikitnya 500 ribu sampai 1 juta

tenaga kerja terkena PHK pada tahun 2009 (APINDO). Pemerintah sendiri memperkirakan jumlah

PHK sampai Januari 2009 telah mencapai 31.660 orang.

Selain krisis keuangan global baru-baru ini, dalam kurun waktu 1998-2008 Indonesia

juga telah melalui krisis tahun 1997 yang juga berdampak luas terhadap dinamika dan struktur

ketenagakerjaan di Indonesia. Krisis 1997 ini menyebabkan shifting yang relatif besar, terutama

dari sektor formal ke sektor informal2. Pada tahun 1998 sektor informal mengalami peningkatan

share menjadi 65,4% dari 62,8% pada tahun 1997.

Meskipun pada waktu krisis 1997-1998 terjadi PHK besar-besaran, namun pada tahun

1998, penyerapan tenaga kerja mengalami peningkatan yang positif yaitu sebesar 2,7% (Tabel

II.1). Besarnya penyerapan tenaga kerja disebabkan oleh terjadinya shifting tenaga kerja ke

sektor informal yang mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 8,7%, sementara

sektor formal justru mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja (-6,6%) akibat banyaknya

PHK yang terjadi. Penurunan penyerapan tenaga kerja formal, berlangsung hampir di seluruh

2 Menurut BPS, kegiatan informal adalah berusaha atau bekerja sendiri atas resiko sendiri, berusaha dengan resiko sendiri dengandibantu oleh buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian dan non pertanian, serta pekerja yang tidak dibayar seperti mereka yangmembantu seseorang memperoleh penghasilan atau keuntungan, namun tidak mendapat upah/gaji baik berupa uang maupunbarang.

Page 13: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

271Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

sektor kecuali sektor Pertanian. Sementara itu di tahun 1998, terjadi peningkatan tenaga kerja

informal di sektor Pertanian (13,1%), Bangunan (27,2%), Perdagangan (1,2%), Pengangkutan

(6,8%) dan Jasa (0,3%).

Berdasarkan asal sektornya pengangguran terbesar berasal dari sektor Industri yaitu rata-

rata sebesar 3,33%, sektor Perdagangan sebesar 2,13%, dan sektor Jasa sebesar 2,14%.

Besarnya persentase pengangguran yang berasal dari sektor Industri cukup mengkhawatirkan

mengingat pangsa penyerapan tenaga kerja pada sektor ini dapat dikatakan relatif terbatas.

Persentase pengangguran terbanyak dari sisi jumlah berasal dari sektor industri. Ironisnya, pangsa

tenaga kerja di sektor industri itu sendiri cukup kecil. Hal ini mencerminkan lebih besarnya

kegagalan shifting dari pekerja asal sektor industri dibanding pekerja asal sektor lainnya, terutama

pada saat krisis.

Pada saat tahun 1998, persentase pengangguran yang berasal dari orang yang sebelumnya

bekerja (kena PHK) relatif tinggi. Pada tahun 1998 dan 1999, pengangguran yang berasal dari

sektor Industri merupakan yang tertinggi yaitu masing-masing sebesar 6,35% dan 4,05%.

Secara agregat, data tahun 1997-1999 menunjukkan bahwa pada masa krisis tidak terjadi

penurunan jumlah tenaga kerja, bahkan sebaliknya terjadi pertumbuhan penyerapan tenaga

kerja meskipun dengan tingkat yang relatif rendah (Grafik II.1). Namun demikian, apabila dilihat

dari sisi pertumbuhan produktivitas tenaga kerja dan pertumbuhan PDB, terjadi penurunan

yang tajam di tahun 1998 dan relatif stagnan pada tahun 1999.

Hal ini menunjukkan bahwa adanya shifting berdampak positif terhadap penyerapan

tenaga kerja yang ditandai jumlah penyerapan tenaga kerja relatif tetap bahkan bertumbuh.

Tabel II.1Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja 1997-1998

SektorSektorSektorSektorSektor FormalFormalFormalFormalFormal InformalInformalInformalInformalInformal TotalTotalTotalTotalTotalPertumbuhan Penyerapan Tenaga KerjaPertumbuhan Penyerapan Tenaga KerjaPertumbuhan Penyerapan Tenaga KerjaPertumbuhan Penyerapan Tenaga KerjaPertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja

19971997199719971997 19981998199819981998 19991999199919991999 19971997199719971997 19981998199819981998 19991999199919991999 19971997199719971997 19981998199819981998 19991999199919991999Pertanian 6,3 27,5 75,4 -4,8 13,1 -4,0 -4,7 13,3 -2,6Pertambangan 8,3 -13,2 -0,8 32,6 -39,3 27,8 16,2 -22,9 7,6Industri 5,5 -10,7 14,9 0,4 -7,0 18,9 4,1 -9,8 15,9Listrik 44,5 -37,8 34,4 19,9 -23,2 -36,6 42,1 -36,6 27,4Bangunan 13,1 -20,0 0,5 -8,9 27,2 -25,7 10,7 -15,8 -3,0Perdagangan -0,5 -3,6 6,7 13,0 1,2 2,6 7,0 -0,8 4,3Pengangkutan -0,2 -5,4 -5,7 10,4 6,8 7,4 4,8 0,7 1,3Keuangan -5,5 -5,3 0,7 30,0 -22,6 61,0 -4,6 -5,9 2,6Jasa 6,2 -1,8 -2,3 17,3 0,3 3,6 7,9 -1,4 -1,4Total 4,9 -6,6 5,7 -0,1 8,7 -1,1 1,8 2,7 1,3

Pertumbuhan Negatif Pertumbuhan Positif

Page 14: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

272 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Namun demikian, tingkat output yang dihasilkan cenderung menurun karena banyak tenaga

kerja yang bekerja pada sektor dengan tingkat produktivitas rendah. Terjadinya shifting ke

sektor yang relatif lebih rendah tingkat produktivitasnya tidak mampu mendorong terjadinya

peningkatan penciptaan output yang ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhan yang sangat rendah

bahkan negatif. Dengan begitu, pada periode 1997-1998 (masa krisis), tingginya angka

penyerapan tenaga kerja dan relatif stabilnya tingkat pengangguran tidak berkorelasi positif

dengan angka pertumbuhan ekonomi.

Grafik II.1Pertumbuhan PDB, Tenaga Kerja dan

Produktivitas Tenaga Kerja

Grafik II.2Dekomposisi Produktivitas Tenaga Kerja

Sektoral

Tabel II.2Pengangguran Berdasarkan Asal Sektornya

SektorSektorSektorSektorSektor 19981998199819981998 19991999199919991999 20002000200020002000 20012001200120012001 20022002200220022002 20032003200320032003 20042004200420042004 20052005200520052005 20062006200620062006 20072007200720072007 20082008200820082008 Rata-rataRata-rataRata-rataRata-rataRata-rata

Pertanian 0,93 0,86 1,22 1,17 1,14 0,66 0,85 0,94 1,23 1,24 1,59 1,08Pertambangan 0,32 0,23 0,15 0,09 0,09 0,09 0,15 0,07 0,15 0,24 0,14 0,16Industri 6,35 4,05 3,28 3,68 3,66 2,46 2,36 2,66 2,68 2,18 3,29 3,33Listrik 0,12 0,14 0,00 0,00 0,04 0,04 0,03 0,02 0,05 0,02 0,04 0,05Konstruksi 2,87 1,93 1,58 0,89 1,39 1,08 1,28 1,17 1,00 1,38 1,89 1,50Perdagangan 3,58 2,37 2,09 2,27 1,55 1,38 1,39 1,81 1,63 2,27 3,10 2,13Transportasi 1,16 1,19 0,56 0,90 0,59 0,45 0,60 0,43 0,64 0,78 0,83 0,74Keuangan 0,41 0,46 0,34 0,43 0,27 0,32 0,36 0,22 0,33 0,31 0,42 0,35Jasa 3,71 2,57 1,32 2,09 1,53 1,15 1,22 1,15 0,86 1,51 1,98 1,74Pengangguran dan Bukan Angkatan Kerja 78,14 82,83 86,05 85,25 86,07 89,41 88,57 88,61 88,67 88,13 84,87 86,06Bukan Usia Kerja 2,41 3,36 3,43 3,24 3,68 2,95 3,20 2,93 2,75 1,92 1,85 2,88

15

10

5

0

-5

-10

-15

-2090 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Pertumbuhan Produktivitas Tenaga KerjaPertumbuhan Tenaga Kerja

Pertumbuhan PDB

25

20

5

0

-5

-10

-15

-20

15

10

1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005

Productivity GrowthWithin EffectStatic Shift EffectDynamic Shift Effect

%

Page 15: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

273Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Bagaimana sesungguhnya fenomena labor shifiting di Indonesia merupakan subyek yang

dianalisis dalam paper ini. Isu ini sebelumnya telah diteliti oleh Permata (2008). Meski demikian

penelitian tersebut belum sampai pada gambaran terukur dalam bentuk matriks arus migrasi

tenaga kerja lintas sektor dan juga belum menjelaskan karakterisitik dan determinan dari labor

shifting tersebut. Dalam paper ini, secara khusus pertanyaan peneltian yang diangkat adalah

bagaimana perilaku labor shifting di dalam sektor yang sama atau ke sektor lain di Indonesia

antara tahun 1998 - 2008?

Bagian kedua dari paper ini mengulas gambaran permintaan dan penawaran tenaga

kerja Indonesia antar tahun, bagian ketiga berisi landasan teori adanya perpindahan tenaga

kerja dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, bagian keempat mengulas metodologi yang

digunakan dan data serta proses pembersihan data yang dilakukan peneliti untuk keperluan

analisis dan bagian kelima akan menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi terhadap

penyerapan tenaga kerja, perpindahan tenaga kerja antar sektor, perpindahan tenaga kerja

formal ke informal, serta determinan perpindahan tenaga kerja. Kesimpulan dan rekomendasi

kebijakan akan diberikan pada bagian penutup.

II. TEORI

Hubungan antara jumlah lapangan kerja (vacancy) dan tingkat pengangguran secara

empiris berbanding terbalik yang diilustrasikan dengan kurva Beveridge. Secara agregat kontraksi

perekonomian akan ditandai dengan pergerakan sepanjang kurva ke kanan bawah yakni

peningkatan pengangguran dan penurunan pembukaan lapangan kerja.

Grafik II.3Kurva Beveridge

Pengangguran

Lapangan Kerja

KontraksiUH, VL

EkspansiUL, VH

Pengangguran

Lapangan Kerja

Higher MatchingEfficiency

Lower MatchingEfficiency

Page 16: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

274 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Kurva Beveridge ini sangat sederhana namun bisa memberikan gambaran awal bagaimana

pengaruh perubahan kondisi ketenagakerjaan terhadap pasar tenaga kerja termasuk mobilitas

tenaga kerja dapat terjadi lintas sektor dan lintas industri. Kontur kurva ini sesungguhnya

menggambarkan karakterstik ketenagakerjaan dalam suatu perekonomian. Perubahan

karakterstik tersebut akan menyebabkan pergerakan kurva, baik rotasi, pergeseran bahkan

perubahan kontur. Isu labor shifting yakni pergerakan tenaga kerja lintas sektor dan lintas

region yang dibahas dalam paper ini salah satunya terkait erat dengan seberapa besar

kemungkinan bertemunya pembukaan lapangan kerja dengan pencari kerja (matching process).

Secara grafis ketika peluang kecocokan tersebut mengecil atau dengan kata lain peluang si

pencari kerja semakin kecil untuk memperoleh pekerjaan, maka kurva Beveridge di atas akan

bergeser ke kanan, demikian pula sebaliknya.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat utilisasi tenaga kerja dan mobilitas

mereka sangat banyak. Mengacu pada Parewangi, AMA (2008) 3, topologi variabel tersebut

dapat dibagi kedalam 3 kategori besar yakni (i) dari perspektif mikro perusahaan, (ii) industri

dan (iii) perspektif makro. Meski perusahaan, industri dan perspektif makro merupakan level

agregasi yang berurutan, namun dalam setiap perspektif tersebut terdapat variabel-variabel

khusus yang hanya terdapat pada level agregasi yang bersangkutan. Dalam topologi tersebut,

setiap kategori mencakup variabel-variabel yang berpengaruh terhadap permintaan dan

penawaran tenaga kerja serta faktor-faktor yang bersifat exogenous terhadap pasar tenaga

kerja tersebut.

Dari perspektif mikro perusahaan, terdapat 3 sub kategori variabel penentu yakni (i)

skala perusahaan, (ii) kemampuan perusahaan dalam mengkombinasikan input tenaga kerja,

input antara, modal dan input lain yang ia perlukan dan (iii) efisiensi penggunaan masing-

masing input. Termasuk dalam sub kategori yang ketiga ini adalah kemampuan perusahaan

untuk berinovasi yang tercermin pada koefisien teknologi atau sering diacu sebagai technological

progress. Dalam perspektif ini, kultur perusahaan, karakteristik individual perusahaan dan kualitas

manajemen internal dapat berpengaruh besar terhadap intensitas penggunaan tenaga kerja

dalam perusahaan tersebut.

Sudut pandang kedua adalah industri. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, meski

industri merupakan agregasi dari setiap perusahaan, namun dalam konteks ini variabel penentu

atas tingkat serapan tenaga kerja sektoral adalah karakteristik umum industri tersebut yang

tidak bersifat firm dependent. Termasuk dalam kategori ini adalah tingkat keterkaitan lintas

3 Parewangi, AMA, 2008, Dinamika Ketenagakerjaan: Tinjauan dari Perspektif Mikro Perusahaan, Industri dan Makro Perekonomian,modul training Fundamental Asia.

Page 17: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

275Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

sektor (downstream dan upstream), skala pasar, dan peraturan-peraturan yang berlaku spesifik

atas industri tertentu (industri specific regulation). Disini tingkat upah, elastisitas serapan dan

elastisitas penawaran tenaga kerja juga termasuk dalam kategori industri ini yang secara umum

merupakan rata-rata tertimbang dari karakteristik semua jenis perusahaan yang ada dalam

industri tersebut.

Sudut pandang yang ketiga adalah perspektif makro yang tidak bersifat industri dependent

dan juga tidak bersifat firm dependent, namun dapat berpengaruh langsung atau tidak langsung

terhadap tingkat serapan tenaga kerja. Hampir semua variabel makro seperti PDB, inflasi, nilai

tukar dan variabel lainnya termasuk dalam kategori ini. Variasi tingkat upah minimum misalnya

dapat berpengaruh terhadap pilihan lokasi kerja, termasuk peraturan-peraturan yang bervariasi

antara satu daerah dengan daerah lainnya termasuk ketentuan pemberian pesangon untuk

setiap pemutusan kerja oleh perusahaan. Gejolak makro baik domestic maupun global, juga

merupakan variabel-variabel penentu yang mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan, baik dari

sisi permintaan maupuan penawaran tenaga kerja. Integrasi dan kesepakatan global misalnya

dapat mempengaruhi mobilitas tenaga kerja lintas negara yang berpengaruh terhadap pasar

tenaga kerja domestic.

Tergantung pada kondisi ketenagakerjaan pada level perusahaan dan industri, secara

empiris dampak perubahan system makro ketenagakerjaan dapat bervariasi. Suatu kebijakan

dapat berpengaruh terhadap intensitas peggunaan tenaga kerja tanpa berpengaruh besar

terhadap pergerakan tenaga kerja lintas wilayah dan lintas industri. Niederle dan Roth (2003)

menganalisis pengaruh sistem pengalokasian (clearinghouse) dokter ahli (gastroenterologists)

terhadap intensitas dan mobilitas para dokter tersebut. Niederle dan Roth menemukan bahwa

antara sistem clearinghouse yang terdesentralisasi dan tersentralisasi tidak berdampak terhadap

lokasi parktek para dokter, dan ini menunjukkan bahwa implementasi clearinghouse yang

tersentralisasi tersebut hanya berdampak terhadap koordinasi layanan pasien dan peningkatan

cakupan layanan.

Tanpa mengurangi generalitasnya, jika diasumsikan hanya terdapat 2 input yang digunakan

oleh perusahaan f dalam industri i masing-masing Kfi dan L

fi, maka tingkat produksi perusahaan

dapat dispesifikasi mengikuti fungsi Cobb Douglas berikut:

Qfi= A

fi.K

fi α

fiL

fi β

fi (II.1)

Dari sisi perusahaan, esensi permintaan tenaga kerja mereka adalah produktivitas marginal

yang sesuai dengan upah riil yang mereka bayarkan. Proses optimisasi yang dilakukan oleh

perusahaan akan menghasilkan permintaan tenaga kerja:

Page 18: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

276 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Lfi = f ( A

fi,w

fi,r

fi,S

fi,α

fi,β

fi ) (II.2)

dimana Sfi merefleksikan skala yang dimiliki oleh perusahaan tertentu, A

fi adalah technological

progress, sementara wfi dan r

fi masing-masing adalah harga input. Dalam spesifikasi tersebut,

intensitas relatif penggunaan tenaga kerja dan modal dimungkinkan bervariasi lintas industri

dan bahkan dapat bervariasi lintas perusahaan yakni terefleksi pada αfi dan β

fi.

Input Ki dan L

isendiri dapat dipecah menjadi beberapa jenis. Untuk tenaga kerja misalnya

dapat dikategorikan lebih lanjut berdasarkan klasifikasi tertentu seperti tingkat pendidikan

sehingga Lfi menunjukkan composite labor yang dapat dispesifikasi sebagai nesting tertentu

dari serangkaian jenis tenaga kerja4. Secara teknis:

untuk Lfi = f (L

fi1, L

fi2, L

fi3, ..., L

fio) untuk o o (II.3)

Dengan sendirinya tingkat upah juga merupakan upah komposit dari masing-masing

upah setiap jenis tenaga kerja yang ada;

wfi = f ( w

fi1, w

fi2, w

fi3, ...,w

fio ) (II.4)

Spesifikasi model tersebut memungkinkan pembebanan biaya tenaga kerja yang bervariasi

sesuai dengan sistem penggajian dan variasi komponen biaya tenaga kerja yang dikeluarkan

oleh perusahaan seperti biaya tunjangan kesehatan, bonus, tunjangan transportasi, perumahan

dan komponen lainnya. Variasi pengupahan ini merupakan aspek-aspek yang bersifat firm

dependent.

Perbedaan sistem pengupahan ini merupakan salah satu faktor yang secara langsung

berpengaruh terhadap mobilitas tenaga kerja baik lintas perusahaan dalam industri yang sama

ataupun lintas industri yang berbeda. Secara empiris penelitian yang dilakukan oleh Alan

Auerbach and Laurence Kotlikoff (1998)55555 menunjukkan bahwa perusahaan yang menggaji

karyawannya lengkap dengan tunjangan, bonus dan fasilitas lainnya akan lebih cenderung

memberhentikan pekerjanya dibandingkan mengurangi jumlah jam kerja ketika perusahaan

tersebut mengalami penurunan tingkat produksi yang tajam.

Pada sisi lain, penawaran tenaga kerja oleh rumah tangga dispesifikasi tergantung pada

upah riil wio/P - , dan waktu senggang (leisure) - H. Upah riil ini dapat terdiri dari gaji pokok,

tunjangan, bonus dan komponen lain yang dapat dihitung dalam satuan uang. Dalam spesifikasi

yang lebih rumit, penawaran tenaga kerja ini dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, budaya,

umur, jenis kelamin, dan serangkaian variabel lainnya yang terangkum dalam vektor Z;

Lsio = f (w

io, P, H, Z ) (II.5)

4 Pemilihan bentuk nesting mengacu pada teori dan kesesuaian empiris, (Parewangi AMA., 2008).5 Alan Auerbach and Laurence Kotlikoff, 1998. Macroeconomics. MIT Press.

Page 19: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

277Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Spesifikasi eksplisit persamaan tersebut merupakan pertanyaan empiris. Secara makro,

jumlah populasi yang disertai dengan tingginya angka partisipasi angkatan kerja secara langsung

mempengaruhi jumlah suplai tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja ini juga dapat dipengaruhi

oleh kebijakan ketenagakerjaan seperti reservation wage yakni upah minimum yang berkorelasi

positif dengan penawaran tenaga kerja, dan unemployment insurance yang cenderung

berbanding terbalik dengan penawaran tenaga kerja. Penerima unemployment insurance

memiliki kekhawatiran yang tidak terlalu besar untuk mendapatkan pekerjaan baru dan

cenderung menolak jenis pekerjaan yang kurang sesuai.

Pada level industri, kesimbangan pasar tenaga kerja (labor market clearing) pada industri

i dapat tercipta ketika:

(II.6)

Proses market clearing ini berjalan secara stochastic. Selain itu peluang tenaga kerja untuk

menemukan perkerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka dan pada saat yang bersamaan

tersedia dan dibutuhkan oleh perusahaan, dipengaruhi oleh serangkaian faktor.6 Salah satu

faktor yang berpengaruh adalah kualitas tenaga kerja yang merupakan fungsi dari tingkat

pendidikan, keterampilan dan pengalaman kerja yang tercakup dalam vector Z pada Persamaan

5. Tenaga kerja yang memiliki keahlian lebih tinggi atau kemampuan manajerial lebih berpeluang

untuk berpindah dibandingkan tenaga kerja yang hanya memiliki kemampuan teknis. Seberapa

besar pengaruh variabel tersebut merupakan salah satu aspek yang diukur dan dianalisis dalam

paper ini.

Dalam prosesnya, produktivitas tenaga kerja dapat mengalami perubahan dan hal ini

terefleksi pada perubahan koefisien teknologi Afi (Lihat Persamaan II.2). Secara empiris, dinamika

produktivitas tenaga kerja ini dapat didekomposisi mengikuti Fagerberg (2000) atau Peneder

(2003),

(II.7)

Dimana LPTt adalah produktivitas tenaga kerja total pada suatu waktu, LP

itmenunjukkan

produktivitas tenaga kerja suatu sektor pada suatu waktu, dan Sit menunjukkan pangsa tenaga

kerja suatu sektor pada periode - t.

6 Lihat Parewangi, AMA (2008) untuk spesifikasi model yang lebih lengkap.

=ΣΟ Ο Σf F f iL ΣΟ Ο iΟLs

=Σ LP

i,t-1 (

n

i=1S

i,t1 -S

i,t-1 )+ S

i,t1 - S

i,t-1 )Σ(LP

i,t1 - LP

i,t-1 )(

n

i=1

LPT ,t-1

Growth (LP)T =

LPT ,t1

- LPT ,t-1

LPT ,t-1

Σ(LPi,t1

- LPi,t-1

)n

i=1S

i,t-1 +

Page 20: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

278 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Metode dekomposisi tersebut dapat menjelaskan sumber pertumbuhan agregat

produktivitas tenaga kerja; (i) apakah karena adanya perubahan produktivitas di tiap sektor

(within shift effect), (ii) perubahan pangsa tenaga kerja suatu sektor (static shift effect), atau

(iii) karena adanya perubahan baik itu dari sisi produktivitas dan komposisi tenaga kerja antar

sektor (dynamic shift effect).

Rata-rata produktivitas tenaga kerja dapat diukur dengan membagi total output terhadap

jumlah tenaga kerja. Dengan demikian, rata-rata produktivitas tenaga kerja akan meningkat

jika peningkatan output jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan tenaga kerja. Jika

diasumsikan within shift effect dan jumlah tenaga kerja tetap, maka shifting tenaga kerja ke

sektor yang lebih baik7 akan mengakibatkan rata-rata produktivitas tenaga kerja juga mengalami

peningkatan. Sebaliknya, labor shifting tenaga kerja ke sektor yang kurang unggul secara agregat

akan menurunkan produktivitas rata-rata tenaga kerja dan secara agregat akan menurunkan

tingkat pertumbuhan output.

Holzer (1989) mengungkapkan bahwa jenis dari labor shifting mempunyai implikasi yang

berbeda pada tingkat penyerapan tenaga kerja dan tingkat pengangguran. Sebagai contoh,

biaya dari perpindahan tenaga kerja antar wilayah akan cenderung lebih besar dibandingkan

biaya perpindahan kerja di dalam suatu wilayah yang sama. Selain itu, perpindahan tenaga

kerja antar industri yang berbeda tentunya membutuhkan tingkat penyesuaian yang lebih tinggi

terutama untuk industri yang membutuhkan tingkat keahlian yang sangat spesifik, dibandingkan

bila terjadi perpindahan tenaga kerja pada jenis industri ataupun jenis pekerjaan yang relatif

sama. Biaya untuk mendapatkan pekerjaan di daerah baru ataupun di jenis industri baru

cenderung lebih tinggi berkaitan dengan transportasi, akomodasi dan tingkat keahlian spesifik

yang dibutuhkan.

Sejalan dengan spesikasi model di atas, pergesaran permintaan terhadap industri tertentu

dapat mengakibatkan perubahan biaya relatif dalam menghasilkan produk. Fenomena ini yang

banyak dijumpai dalam literature sebagai sektoral shift. Dalam kasus PHK, pekerja yang

mengalami PHK akan berusaha untuk mencari kerja kembali baik itu pada industri dan daerah

yang sama, maupun mencari kerja ke sektor lainnya ataupun ke daerah lainnya (shifting). Kondisi

terburuk terjadi ketika pekerja tersebut tidak dapat memperoleh pekerjaan di manapun sehingga

meningkatkan angka pengangguran.

7 Sektor yang «lebih baik» atau unggulan dapat diidientifikasi dengan melihat laju pertumbuhan sektor tersebut,»output multiplier,»incomemultiplier,»forward dan backward linkage-nya.

Page 21: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

279Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Namun demikian, berdasarkan teori sektoral shift model, proses realokasi tersebut akan

membutuhkan waktu sehingga akan menyebabkan terjadinya peningkatan angka

pengangguran dan penurunan output yang bersifat temporer. Adanya lag tersebut karena

dibutuhkan waktu sebelum tenaga kerja yang di PHK tersebut mendapatkan pekerjaan di

perusahaan lain ataupun di sektor lainnya.

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan antara lain membantu

proses relokasi tenaga kerja yaitu membantu tenaga kerja yang di PHK tersebut untuk mencari

kerja di sektor lainnya. Pengambil kebijakan harus tanggap mengenai sektor yang akan

mengalami PHK besar-besaran sebelum PHK tersebut terjadi dan dapat membantu dengan

memberikan bekal keterampilan pada tenaga kerja agar dapat lebih fleksibel dalam mendapatkan

pekerjaan di sektor lainnya.

Beberapa studi empiris sebelumnya telah melakukan dekomposisi terhadap migrasi tenaga

kerja. Pack, Howard dan Christina Paxson (1999) menemukan bahwa pekerja yang pindah ke

sektor yang relatif lebih dekat dari sektor awalnya, akan bekerja lebih produktif. Kedekatan

sektor ini dapat diidentifikasi dengan melihat backward linkage, forward linkage, atau korelasi

antas sektor.

Karakteristik labor shifting dalam kondisi perekonomian normal dapat berbeda dengan

karakteristik labor shifting dalam kondisi krisis. Pada saat kondisi normal perpindahan tenaga

kerja dapat disebabkan oleh adanya perubahan produktivitas sektoral sementara dalam kondisi

krisis, perpindahan tenaga kerja cenderung bergerak ke sektor yang merupakan ≈jaring

pengaman∆ dalam perekonomian, seperti sektor informal.

Di Indonesia, terdapat beberapa penelitian empiris tentang perpindahan tenaga kerja.

Analisis labor shifting yang dilakukan oleh Permata (2008), menunjukkan bahwa pada masa

normal, tenaga kerja cenderung melakukan shifting ke sektor yang lebih menjanjikan yaitu

sektor yang relatif tinggi tingkat produktivitasnya yang tercermin dari nilai static shift effect

yang positif. Dengan demikian adanya labor shifting diharapkan membawa dampak positif

terhadap peningkatan agregat produktivitas tenaga kerja, yang pada akhirnya akan memberi

sumbangan positif pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pada tahun 1998

(masa krisis) terjadi pertumbuhan negatif pada static shift effect dan within effect sektoral.

Nilai witihin effect yang negatif menunjukkan bahwa secara umum hampir semua sektor

mengalami penurunan produktivitas tenaga kerja. Sementara nilai static shift effect yang negatif

mengindikasikan terjadinya fenomena shifting tenaga kerja ke sektor yang mempunyai tingkat

produktivitas tenaga kerja lebih rendah.

Page 22: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

280 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Perilaku shifting pada tahun 1998 (krisis) ternyata mempunyai perbedaan dengan

perilaku shifting pada tahun yang lain. Pada tahun 1998, shifting yang dilakukan merupakan

upaya untuk menghindari terjadinya pengangguran dan cenderung terjadi peralihan ke sektor

yang relatif lebih rendah produktivitasnya, sehingga sumbangan terhadap pembentukan output

cenderung kecil. Selain itu, pekerja pada sektor dengan tingkat produktivitas rendah cenderung

mendapatkan tingkat pendapatan yang juga relatif rendah, sehingga dari sisi daya beli akan

mengalami penurunan. Penurunan daya beli tersebut sedikit banyak akan berpengaruh terhadap

tingkat konsumsi masyarakat.

III. METODOLOGI

Salah satu kontribusi utama dari paper ini adalah konstruksi matriks transisi tenaga

kerja lintas sektor dan lintas formal-informal. Mengingat data ini memiliki peran penting saat

pengolahan data dan tentunya hasil estimasi yang diperoleh, maka berikut ini dijelaskan langkah-

langkah yang dilakukan.

Pertama adalah mengekstraksi data yang ada di Sakernas mencakup periode 1998-

2008. Data mentah Sakernas berisi informasi individual dari tiap responden berdasarkan jawaban

masing-masing responden untuk setiap pertanyaan dari kuesioner Sakernas. Data tersebut

tidak dapat langsung digunakan untuk keperluan analisis, oleh sebab itu, yang harus pertama

kali dilakukan adalah menyaring (filtering) data dengan mengacu pada definisi International

Labor Organization (ILO):

1. Penduduk Usia Kerja = usia 15-64 tahun

2. Angkatan kerja = penduduk usia kerja yang bekerja dan pengangguran.

3. Bukan angkatan kerja = penduduk usia kerja yang tidak termasuk angkatan kerja dan

melakukan kegiatan yaitu sekolah, mengurus rumah tangga, atau lainnya.

Memperhitungkan pengaruh dampak krisis 1998 yang lalu, maka terdapat pembedaan

definisi untuk periode sebelum dan sesudah krisis keuangan globar tersebut. Untuk data tahun

1998-1999, konsep dan definisi yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Bekerja adalah responden yang memenuhi kriteria:

1. Memiliki usia kerja dan bekerja seminggu yang lalu, atau;

2. Mempunyai pekerjaan sementara meski tidak bekerja selama seminggu yang lalu.

2. Pengangguran didefinisikan sebagai responden yang memenuhi 4 kriteria berikut:

1. Berada pada usia kerja,

2. Tidak bekerja seminggu yang lalu

Page 23: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

281Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

PENDUDUK

USIA KERJA BUKANUSIA KERJA

BUKANANGKATAN KERJA

ANGKATAN KERJA

BEKERJA SEKOLAH MENGURUSRUMAH TANGGA

LAINNYA

MENCARIPEKERJAAN

MEMPERSIAPKANUSAHA

MERASATIDAK MUNGKIN

MENDAPATKAN PEKERJAAN

SUDAH PUNYAPEKERJAAN TETAPI

BELUM MULAI BEKERJA

SEDANGBEKERJA

SEMENTARATIDAK BEKERJA

PENGANGGURANKRITIS

(<15 JAM)

SETENGAHPENGANGGURAN

(<35 JAM)

JAM KERJA NORMAL(>35 JAM)

PENGANGGURAN

3. Bukan sementara tidak bekerja dan

4. Sedang mencari pekerjaan

Sementara untuk data tahun 2000-2008 digunakan konsep dan definisi berikut:

1. Bekerja adalah responden yang memenuhi kriteria:

1. Memiliki usia kerja dan bekerja seminggu yang lalu, atau;

2. Mempunyai pekerjaan sementara meski tidak bekerja selama seminggu yang lalu.

2. Pengangguran didefinisikan sebagai berikut

1. Yakni responden yang memenuhi 4 kriteria berikut: (a) berada pada usia kerja, (b)

tidak bekerja seminggu yang lalu, (c) tidak mempunyai pekerjaan selama tidak bekerja,

dan (d) sedang mencari pekerjaan, atau;

2. Sedang mempersiapkan usaha.

3. Tidak mungkin mendapatkan pekerjaan atau sudah punya pekerjaan tapi belum

mulai bekerja.

Grafik II.4Proses Penyaringan Data Sakernas berdasarkan Definisi ILO

Page 24: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

282 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Dari seluruh data reponden yang sesuai filter diatas, selanjutnya dilakukan pengkodean

untuk dapat mendeteksi perpindahan tenaga kerja. Coding ini mengikuti logika sebagaimana

ditunjukkan dalam Grafik II.5.

Grafik II.5Recoding Labor shifting Antar Sektor

Setelah data tersebut sudah siap, langkah selanjutnya adalah melakukan tabulasi silang

terhadap data mentah Sakernas untuk menghasilkan matriks migrasi tenaga kerja antar sektor

dalam suatu periode waktu sekaligus menggali informasi mengenai jumlah penyerapan tenaga

kerja baru dan tingkat pengangguran dari tahun 1998-2008. Format hasil tabulasi ini ditunjukkan

dalam Tabel II.3.

Tabel II.3Matriks Migrasi Tenaga Kerja

UUUUU 11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999mUU mU1 mU2 mU3 mU4 mU5 mU6 mU7 mU8 mU9

m1U m11 m12 m13 m14 m15 m16 m17 m18 m19

m2U m21 m22 m23 m24 m25 m26 m27 m28 m29

m3U m31 m32 m33 m34 m35 m36 m37 m38 m39

m4U m41 m42 m43 m44 m45 m46 m47 m48 m49

m5U m51 m52 m53 m54 m55 m56 m57 m58 m59

m6U m61 m62 m63 m64 m65 m66 m67 m68 m69

m7U m71 m72 m73 m74 m75 m76 m77 m78 m79

m8U m81 m82 m83 m84 m85 m86 m87 m88 m89

m9U m91 m92 m93 m94 m95 m96 m97 m98 m99

Kond

isi

Aw

al P

ada

Perio

de -

tKo

ndis

i A

wal

Pad

a Pe

riode

- t

Kond

isi

Aw

al P

ada

Perio

de -

tKo

ndis

i A

wal

Pad

a Pe

riode

- t

Kond

isi

Aw

al P

ada

Perio

de -

t

UUUUU111112222233333444445555566666777778888899999

Kondisi Setelah Periode - tKondisi Setelah Periode - tKondisi Setelah Periode - tKondisi Setelah Periode - tKondisi Setelah Periode - t

Mulai BekerjaSebelum 31 Agustus Setelah 31 Agustus

Pernah Bekerja Sebelumnya

Ya Tidak Ya Tidak

Sektorlalu-

Tetap

Pengangguran/ BAK

STOP STOPApakah Berhenti Bekerja/Pindah Setelah 31 Agustus 2006

Ya Tidak Ya Tidak

PindahSektor

Sektor lalu-Tetap Pindah

Sektor

Pengangguran/ BAK

STOPSTOP

Page 25: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

283Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Sel mij menunjukkan perpindahan tenaga kerja dari kondisi i ke kondisi j. Untuk i, j = U

berarti pekerja berada pada kondisi menganggur, dengan demikian sel mUU

menunjukkan

kondisi status pekerja dari kondisi menganggur menjadi tetap menganggur, sementara mio

menunjukkan tenaga kerja yang awalnya bekerja di sektor kemudian menjadi menganggur.

Untuk i, j = 1, …, 9 maka mi j menunjukkan volume perpindahan tenaga kerja dari sektor - i ke

sektor -j , sementara mii misalnya menunjukkan tenaga kerja yang tetap bekerja pada sektor

yang sama yakni sektor -i .

Pengujian atas faktor-faktor yang menyebabkan perpindahan tenaga kerja (labor shifting)

dilakukan dengan teknik estimasi regresi multinomial logistic dengan spesifikasi model empiris

sebagai berikut:

P(Y =1|Xj) = β

0+β

j.X

j+ε

j (II.8)

Dimana Y menunjukkan status perpindahan tenaga kerja. Variabel dependen ini

merupakan variabel binary Y =1 dimana untuk menunjukkan responden melakukan shifting

(berpindah kerja), sementara untuk Y =0 menunjukkan responden tidak melakukan shifting

dan menjadi kategori pembanding. Vektor Xj menunjukkan serangkaian karakteristik tenaga

kerja meliputi (i) jenis kelamin dengan coding SEX = 1 untuk jenis kelamin Laki-laki dengan

kategori Perempuan SEX = 0 sebagai pembanding, (ii) usia pekerja (UMUR) yang merupakan

variabel kontinue, (iii) tingkat pendidikan8 dengan coding EDUC_CAT=1 untuk pekerja yang

memiliki tingkat pendidikan tinggi dengan kategori EDUC_CAT=0 sebagai pembanding, (iv)

status pengalaman kerja dengan coding FORMAL_CAT=0 untuk pekerja yang sebelumnya

telah memiliki pengalaman kerja di sektor formal, dengan kategori FORMAL_CAT=1 sebagai

pembanding, (v) upah dengan coding untuk upah tinggi dengan kategori upah rendah ()

sebagai pembanding, dan (v) level jabatan dengan coding untuk level manajer atau diatas

dengan kategori sebagai pembanding.

Estimasi dilakukan untuk satu periode waktu yaitu tahun 2004 yang dianggap sebagai

kondisi normal. Regresi tersebut tidak dilakukan secara panel, tetapi dalam satu periode waktu

tersebut untuk melihat bagaimana peluang perpindahan tenaga kerja didasarkan pada

karakteristiknya (jenis kelamin, umur, pendidikan, berasal dari sektor formal, upah, dan kerah

putih)9.

8 Tingkat pendidikan rendah (EDUC_CAT = 0) adalah responden dengan tingkat pendidikan maksimal SLTP.9 Alternatif spesifikasi model yang lebih kuat adalah panel logistic.

In(Nijt) = δ

i + θ

j + µ

t + β

0.Z

ijt + β

1.X

ijt + ε

ijt

dimana Nijt = jumlah tenaga kerja yang berpindah dari industri i ke industri j pada periode t, θi = set dari dummy variabel untuk

industri asal, ϑj = set dari dummy variabel untuk industri tujuan, µ

t = dummy variabel untuk waktu, Z

ijt = Kedekatan antar sektor

(industy proximity), Xijt

= Karakteristik tenaga kerja (usia, tingkat pendidikan, formal/informal, white/blue collar) yang berpindah dariindustri i ke industri j pada periode t.

Page 26: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

284 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Metode Paired Sample Test juga diaplikasikan untuk mengidentifikasi apakah terjadi

structural break pada struktur ketenagakerjaan di Indonesia. Per definisi, structural break diartikan

sebagai perubahan besar baik dalam tingkat serapan maupun mobilitas tenaga kerja, antara

satu titik waktu tertentu dengan titik waktu lainnya.

IV. HASIL DAN ANALISIS

4.1. Structural Break pada Pasar Ketenagakerjaan di Indonesia

Identifikasi struktur ketenagakerjaan dengan menggunakan Paired Sample Test

menunjukkan bahwa tidak ada perubahan struktur dalam pasar tenaga kerja Indonesia selang

periode 1998-2008 yang diobservasi (lihat Tabel II.4). Terdapat beberapa alasan yang diduga

melatarbelakangi hasil tersebut, pertama adalah adanya undang-undang tenaga kerja yang

melindungi para pekerja sehingga biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk melakukan

pengurangan tenaga kerja menjadi mahal. Kedua, turnover pekerja lama dengan pekerja baru

mencapai kurang lebih 20-30 tahun dimana perubahan struktur dapat terjadi pada rentang

waktu tersebut. Ketiga, adanya keterbatasan skill dari tenaga kerja di Indonesia sehingga

menyulitkan para pekerja untuk berpindah. Point terakhir ini akan diuji dalam model faktor-

faktor yang mempengaruhi perpindahan tenaga kerja.

Tabel II.4Hasil Analisis Paired Sample Test

Pair 1 TH1998 - TH1999 -,00030 ,008222 ,001012 -,00232 ,00172 -,299 65 ,766Pair 2 TH1999 - TH2000 -,01281 ,065595 ,008688 -,03021 ,00460 -1,474 56 ,146Pair 3 TH2000 - TH2001 -,0011 ,00920 ,00122 -,0035 ,0014 -,864 56 ,391Pair 4 TH2001 - TH2002 ,0005 ,01061 ,00133 -,0022 ,0031 ,354 63 ,725Pair 5 TH2002 - TH2003 ,0007 ,01176 ,00143 -,0021 ,0036 ,516 67 ,608Pair 6 TH2003 - TH2004 -,0005 ,00567 ,00070 -,0018 ,0009 -,652 65 ,517Pair 7 TH2004 - TH2005 ,0006 ,00551 ,00068 -,0007 ,0020 ,893 65 ,375Pair 8 TH2005 - TH2006 ,0005 ,00445 ,00055 -,0006 ,0015 ,830 65 ,410Pair 9 TH2006 - TH2007 ,0005 ,00874 ,00102 -,0015 ,0026 ,532 73 ,596Pair 10 TH2007 - TH2008 ,0008 ,00612 ,00068 -,0006 ,0021 1,097 79 ,276

Paired DifferencesPaired DifferencesPaired DifferencesPaired DifferencesPaired Differences95% Confidence95% Confidence95% Confidence95% Confidence95% Confidence

Interval of theInterval of theInterval of theInterval of theInterval of theDifferenceDifferenceDifferenceDifferenceDifference

Std.Std.Std.Std.Std. Std.Std.Std.Std.Std.MeanMeanMeanMeanMean DeviationDeviationDeviationDeviationDeviation Error Error Error Error Error

MeanMeanMeanMeanMeanLowerLowerLowerLowerLower UpperUpperUpperUpperUpper

ttttt dfdfdfdfdf Sig.Sig.Sig.Sig.Sig.(2-tailed)(2-tailed)(2-tailed)(2-tailed)(2-tailed)

Page 27: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

285Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Dalam periode tahun 1997-2008 tersebut, terdapat beberapa periode yg berpotensi

memberikan perubahan besar dalam pasar tenaga kerja di Indonesia, pertama adalah periode

tahun 1997-1998 yang ditandai dengan terjadinya krisis keuangan Asia, namun tetap disertai

dengan kenaikan jumlah tenaga kerja; kedua adalah periode tahun 2000-2004 yang relatif

stabil dan dapat dikategorikan sebagai kondisi normal; ketiga adalah periode tahun 2005 dan

2008 dimana terjadi mini krisis, yang disertai dengan penurunan jumlah tenaga kerja; dan

keempat adalah periode tahun 2006-2007 yang ditandai dengan peningkatan jumlah tenaga

kerja.

Meski secara statistik hasil paired sample test di atas menunjukkan tidak ada structural

break, namun pengaruh dari gejolak domestik dan eksternal tetap memberikan dinamika tingkat

penyerapan tenaga kerja dan mobilitas lintas sektor dalam pasar ketenagakerjaan di Indonesia.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pada saat krisis 1997-1998 telah terjadi PHK besar-besaran

namun pada tahun 1998, penyerapan tenaga kerja justru mengalami peningkatan yang positif

yaitu sebesar 2,7% (Tabel II.1). Ini berarti secara agregat tingkat serapan tenaga kerja pada saat

krisis berlangsung relatif tetap dan yang terjadi adalah perpindahan tenaga kerja khususnya ke

sektor informal. Hal ini sejalan dengan uji paired sample di atas.

Pada saat krisis 1997-1998 tersebut, shifting tenaga kerja ke sektor informal tercatat

sebesar 8,7% yang berlangsung pada hampir seluruh sektor kecuali sektor Pertanian.

Sebagaimana diilustrasikan sebelumnya pada bagian Pendahuluan, peningkatan tenaga kerja

informal di sektor Pertanian adalah sebesar 13,1%, Bangunan 27,2%, Perdagangan 1,2%,

Pengangkutan 6,8% dan sektor Jasa sebesar 0,3%.

Krisis kedua yang dialami Indonesia terjadi pada tahun 2008 dengan skala yang lebih

kecil. Dengan menggunakan data primer melalui survey yang dilakukan oleh Bank Indonesia10,

Hasil survei DSM menunjukkan terjadinya penurunan pertumbuhan tenaga kerja dari tahun

2007 - Triwulan I 2009, bahkan mengalami pertumbuhan negatif yakni minus 2.48% pada

Triwulan I 2009 (Grafik II.6).

Dari Grafik II.7 terlihat bahwa sebagian besar tenaga kerja yang digunakan perusahaan

adalah tenaga kerja tetap11 (59.06%). Akan tetapi komposisi tenaga kerja kontrak, apabila

10 Survei Khusus Sektor Riil (SKSR) dilakukan Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter (DSM), Bank Indonesia, terhadap 256 perusahaandi sektor Pertanian, pertambangan, industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan.

11 Definisi yang digunakan: NAKER TETAP adalah tenaga kerja memiliki jam kerja yang tetap setiap hari dan memperoleh jaminanpension, NAKER KONTRAK adalah tenaga kerja yang diikat berdasarkan kontrak / proyek tertentu dan tidak memperoleh jaminanpensiun dan NAKER TIDAK TETAP adalah tenaga kerja dengan jam kerja tertentu dan tanpa jaminan pensiun atau fasilitas perusahaan.

Page 28: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

286 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

dibandingkan tahun 2006-2008, mengalami peningkatan tiap tahun. Hal tersebut menunjukkan

bahwa perusahaan mencoba berusaha mengurangi biaya tenaga kerja yang besar yang timbul

bila perusahaan melakukan pemberhentian tenaga kerja.

Grafik II.6Pertumbuhan Tenaga Kerja Tahun 2007 -

Triwulan I 2009

Grafik II.7Status Tenaga Kerja yang Digunakan

Perusahaan

Sementara akibat krisis global pada tahun 2008 ini, terdapat sebanyak 9.77% perusahaan

yang melakukan pengurangan jam kerja pada Triwulan-4 dan 8.59% perusahaan melakukan

pengurangan pada Triwulan-1 2009 (Grafik II.8). Sebagian besar perusahaan melakukan

pengurangan jam kerja secara berturut-turut pada tahun 2008 dan 2009 dengan rata-rata 1

shift.

Grafik II.8Pengurangan Jam Kerja (Shift)

Grafik II.9Pengurangan Tenaga Kerja

530

525

520

515

510

505

500

495

490

485

Jumlah (Ribuan)

2006 2007 2008 TW I 2009

4

3

2

1

0

-1

-2

-3

% yoy

Jumlahyoy

500

514

524

511

2.75

1.92

TK Kontrak(11.25 %)

TK Tetap(50.06 %)

TK Tidak Tetap(29.69 %)

9.77%

90.23%

Tidak melakukan penguranganPengurangan jam Kerja TW 4 2008

8.59%

91.41%

Pengurangan jam kerja TW I-2009Tidak melakukan pengurangan jam kerja

Pengurangan berturut2Pengurangan tidak berturut2

38.29%

61.71% 84.38%

15.62%

Tidak melakukan pengurangan tenaga kerjaPengurangan tenaga kerja TW 4-2008

78.52%

21.48%

Tidak melakukan pengurangan tenaga kerjaPengurangan tenaga kerja TW 1-2009

Page 29: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

287Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Pengurangan tenaga kerja terbesar yang dilakukan oleh perusahaan adalah sebesar

15,62% yang terjadi pada Triwulan 4-2008 dan 21.48% pada Triwulan 1-2009 (Grafik II.8).

Tenaga kerja yang dikurangi sebagian besar merupakan tenaga kerja kontrak, dengan sifat

pengurangan adalah permanen (PHK) baik di tahun 2008 maupun 2009. Hal tersebut sejalan

dengan teori yang dikemukanan bahwa perusahaan cenderung mensubstitusi tenaga tetapnya

dengan tenaga kerja kontrak untuk mengurangi komponen biaya upah selain gaji pokok.

Berdasarkan hasil survey, alasan utama perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja

adalah efisiensi biaya (37,61%), penurunan permintaan luar negeri (34,19%), dan penurunan

permintaan dalam negeri (19,66%). Mayoritas perusahaan yang melakukan pengurangan tenaga

kerja adalah perusahaan dengan orientasi penjualan ekspor. Saat krisis tersebut, ekspor mengalami

pertumbuhan negatif sejak bulan November 2008 hingga Juli 2009 (lihat Grafik II.10).

Grafik II.10Nilai Ekspor (Milyar USD)dan Pertumbuhannya (%)

Dari sisi penawaran tenaga kerja, selang periode tahun 1990 √ 2008 angkatan kerja

Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 2.30% per tahun (Grafik II.11).

Pertumbuhan angkatan kerja sempat turun menjadi -0.46% pada tahun 2003. Secara rata-

rata sebagian besar angkatan kerja berada pada usia 20-29 tahun (31%), usia 30-39 tahun

(24%), dan 39-40 tahun (18%) seperti terlihat pada Grafik II.12. Komposisi yang besar pada

kedua rentang usia tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki penduduk yang produktif

untuk bekerja.

0

2

4

6

8

10

12

14

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

50

60

milyar USDyoy %

JanJul1997

JanJul1998

JanJul1999

JanJul2000

JanJul2001

JanJul2002

JanJul2003

JanJul2004

JanJul2005

JanJul2006

JanJul2007

JanJul2008

JanJul2009

PertumbuhanEkspor

Page 30: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

288 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Grafik II.11Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja

1990-2008

Grafik II.12Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja

1990-2008 Berdasarkan Usia

Rata-rata pertumbuhan jumlah tenaga kerja (yoy) dari tahun 1997-2009 adalah sebesar

1,90% (grafik II.10). Sementara itu penyerapan tenaga kerja terbesar terjadi pada sektor

Pertanian (45,39%), kemudian diikuti oleh sektor perdagangan (18,62%), dan sektor Jasa

(12,51%) seperti pada Grafik II.13.

Grafik II.13Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja

Tahun 1990-2008

Grafik II.14Perkembangan Jumlah Tenaga KerjaTahun 1990-2008 Berdasarkan Sektor

10

5

0

-5

-10

-15

120

100

80

60

40

0

20

Angkatan KerjaPertumbuhan AK

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

% Juta Orang %

100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

01990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

15-19 20-29 30-39 40-49 50-59 > 60 tahun

120

100

80

60

40

0

20

BekerjaPertumbuhan Bekerja

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

% Juta Orang

8

6

0

2

4

4

2

%

100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

01990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Agriculture, Forestry and FisheryManufacturing IndustryConstructionTransportation, Storage and Communication

Mining and QuarryingElectricity, Gas and WaterWholesale/Retail Trade, Restaurant, HotelsFinance, Insurance, Real Estate & Business

Page 31: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

289Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Rata-rata pertumbuhan jumlah pengangguran Indonesia pada tahun 1990-2008 adalah

10,50% (Grafik II.15). Pada masa-masa krisis, terjadi peningkatan pengangguran, yaitu pada

tahun 1998 dan 2005. Sebagian besar pengangguran merupakan tenaga kerja dengan tingkat

pendidikan yang rendah yaitu SD √ SMU (Grafik II.16).

Grafik II.15Perkembangan Pengangguran Indonesia

1990-2008

Grafik II.16Perkembangan Pengangguran Indonesia

2004-2008 Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Deskripsi dari sisi penawaran tenaga kerja ini menunjukkan bahwa penduduk yang masuk

usia produktif pada masa krisis cenderung menjadi pengangguran karena tidak adanya lapangan

pekerjaan yang baru. Sementara tenaga kerja yang lama cenderung akan melakukan

perpindahan lintas sektor, terutama perpindahan menuju sektor informal untuk

mempertahankan keberadaan mereka di dalam pasar tenaga kerja. Fenomena ini cukup sejalan

dengan hasil paired sample test yang menunjukkan tidak ditemukannya structural break dalam

pasar ketenagakerjaan di Indonesia.

4.2. Determinan Perpindahan Tenaga Kerja

Hasil perhitungan matriks tenaga kerja menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja

tidak melakukan perpindahan sektor atau melakukan perpindahan lintas sektor. Alasan paling

utama yang melatarbelakangi adalah keterbatasan skill/kemampuan tenaga kerja tersebut di

sektor yang lain. Sektor yang memiliki persentase tenaga kerja yang relatif tetap bekerja di

sektor tersebut adalah sektor Pertanian dengan rata-rata persentase sebesar 97,8%.

12

1

8

6

4

2

PengangguranBekerja

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

% Juta Orang

8

6

0

-2

-4

4

2

2004 2005 2006 2007 2008

Juta Orang

6

5

2

1

0

4

3

Feb Nov Feb Agust Feb Agust

<SD SMP SMU Diploma/Akademi Universitas

Page 32: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

290 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Terlihat bahwa tahun 1999 (krisis) persentase tenaga kerja yang tidak berpindah pada

beberapa sektor relatif lebih rendah yang mengindikasikan relatif besarnya migrasi tenaga

kerja ke sektor lain ataupun yang menjadi pengangguran (Tabel II.5 dan Grafik II.17). Dari

matriks transisi tahun 1998-2008 (Lampiran) terlihat bahwa matriks transisi cenderung tidak

bersifat simetris yang mengindikasikan ketidakseimbangan dalam pola migrasi tenaga kerja

lintas sektor.

Tabel II.5Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang Tidak Berpindah dari Sektornya (%)

SektorSektorSektorSektorSektor 19981998199819981998 19991999199919991999 20002000200020002000 20012001200120012001 20022002200220022002 20032003200320032003 20042004200420042004 20052005200520052005 20062006200620062006 20072007200720072007 20082008200820082008 Rata-rataRata-rataRata-rataRata-rataRata-rata

Pertanian 97 97 97 99 99 99 99 97 97 97 96 98Pertambangan 90 91 94 94 95 96 95 96 95 92 92 94Industri 90 91 94 94 94 95 95 94 94 92 91 93Listrik 86 84 94 96 92 95 97 96 94 94 93 93Konstruksi 86 87 91 93 92 94 93 93 93 91 90 91Perdagangan 96 96 96 96 97 98 98 97 97 95 94 96Transportasi 95 95 96 96 96 98 97 97 96 94 94 96Keuangan 90 86 93 93 93 94 93 95 94 91 89 92Jasa 94 95 96 95 96 97 96 96 96 95 94 95

Grafik II.17Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang

Tidak Berpindah

Hasil pengujian inferensial atas fenomena labor shifting dengan menggunakan binomial

logistic diberikan dalam Tabel II.6 sementara penghitungan lebih lanjut menghasilkan marginal

effect dari setiap regressor yang hasilnya diberikan dalam Tabel II.7. Estimasi dilakukan secara

parsial sebagaimana ditunjukkan dalam kolom sektor yang berkesesuaian. Hal ini dilakukan

dengan tujuan melihat secara langsung pengaruh masing-masing karakteristik yang dimiliki

tenaga kerja terhadap peluang perpindahan mereka.

82

84

86

88

90

92

94

96

98

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

%

PertambanganIndustriListrikKonstruksiKeuangan

Page 33: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

291Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Secara umum hasil estimasi menunjukkan bahwa perbedaan faktor pendidikan

(EDUC_CAT) berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja kecuali pada sektor

Listrik dan Transportasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka peluang perpindahan tenaga

kerja akan semakin besar dari sektor Perdagangan dan sektor Keuangan. Sebaliknya, pada

sektor Pertanian, Pertambangan, Industri dan Listrik, pekerja yang berpendidikan rendah memiliki

peluang lebih kecil untuk keluar dan berpindah dari sektor-sektor tersebut.

Variabel jenis kelamin (SEX) hanya berpengaruh pada perpindahan tenaga kerja di sektor

Pertanian, Pertambangan, Industri, Konstruksi dan Listrik. Pada sektor-sektor ini, tenaga kerja

laki-laki memilik peluang perpindahan yang lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja

perempuan, dan marginal effect terbesar terdapat di sektor Transportasi dimana probablilita

pekerja Laki-laki untuk berpindah kerja, lebih besar 21,9% dibandingkan tenaga kerja

perempuan.

Sementara itu usia pekerja (UMUR) tidak memilik pengaruh signifikan terhadap

kecenderungan perpindahan tenaga kerja. Pengaruh usia yang secara statistik terbukti signifikan

hanya terdapat pada sektor Industri namun dengan nilai marginal effect yang sangat kecil

yakni hanya 0,12%.

Perbedaan tingkat upah (WAGE_CAT) hanya berpengaruh signifikan pada sektor Pertanian,

Industri, Transportasi, Keuangan dan Jasa. Pada sektor ini, pekerja dengan upah tinggi memiliki

kecenderungan yang lebih kecil untuk berpindah terutama pada sektor Keuangan dan Industri

dengan marginal effect masing-masing sebesar -0,137 dan -0,197. Ini berarti pekerja dengan

upah tinggi memiliki peluang perpindahan yang lebih kecil masing-masing 13,7% dan 19,7%

dibandingkan pekerja dengan upah rendah.

Pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAT_CAT) sangat berpengaruh terhadap

peluang perpindahan tenaga kerja dan berlaku pada semua sektor. Menarik untuk mencermati

bahwa pekerja yang telah memiliki pengalaman kerja di sektor formal memiliki kecenderungan

rata-rata untuk berpindah 45% dibandingkan pekerja yang tidak memiliki pengalaman kerja

formal tersebut. Bahkan pada sektor Industri, pekerja dengan pengalaman kerja formal tersebut

memiliki kecenderungan berpindah 66,4% lebih tinggi dan merupakan marginal effect terbesar

diantara 9 sektor yang diteliti.

Analisis lebih lanjut atas hasil pengujian inferensial ini dilakukan dengan

mengkonfrontasikan kondisi sektoral dan persepsi responden atas berbagai kondisi

ketenagakerjaan yang mereka rasakan.

Page 34: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

292 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Sektor Konstruksi (b5) merupakan sektor dengan persentase tenaga kerja yang melakukan

perpindahan terbesar antar waktu yaitu rata-rata sebesar 4,6% dan diikuti dengan sektor

Pertambangan dengan rata-rata sebesar 3,9% dan sektor Listrik sebesar 3,7% (Tabel II.8 dan

Tabel II.6Hasil Estimasi Model Peluang Perpindahan Tenaga Kerja

1. Sektor1. Sektor1. Sektor1. Sektor1. Sektor 2. Sektor2. Sektor2. Sektor2. Sektor2. Sektor 3. Sektor3. Sektor3. Sektor3. Sektor3. Sektor 4. Sektor4. Sektor4. Sektor4. Sektor4. Sektor 5. Sektor5. Sektor5. Sektor5. Sektor5. Sektor 6. Sektor6. Sektor6. Sektor6. Sektor6. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 8. Sektor8. Sektor8. Sektor8. Sektor8. Sektor 9. Sektor9. Sektor9. Sektor9. Sektor9. SektorPertanianPertanianPertanianPertanianPertanian PertambanganPertambanganPertambanganPertambanganPertambangan IndustriIndustriIndustriIndustriIndustri ListrikListrikListrikListrikListrik KonstruksiKonstruksiKonstruksiKonstruksiKonstruksi PerdaganganPerdaganganPerdaganganPerdaganganPerdagangan TransportasiTransportasiTransportasiTransportasiTransportasi KeuanganKeuanganKeuanganKeuanganKeuangan JasaJasaJasaJasaJasa

Constant -3,24164* -4,12619* -3,74457* -4,22396* -3,80427* -3,49798* -4,0437* -4,07752* -3,53118*UMUR -0,00108 0,001959 -0,00067 -0,00513 -0,00495* 0,002101 -0,00034 -0,00485 0,002225EDUC_CAT -0,33363* -0,2539** -0,1336** 0,080468 -0,20646* 0,119588** 0,047819 0,570363* -0,08274WAGE_CAT 0,346283* 0,160391 0,669032* 0,020468 0,274938* 0,183175* 0,188146* -0,04253 0,281982*JOB_CAT -0,18475* 0,049521 -0,4289* 0,099896 0,091564 -0,03583 -0,1528** -0,5498* -0,21861*FORMAL_CAT 1,489618* 1,705862* 2,657704* 1,396568* 1,64088* 1,623373* 1,605011* 2,06662* 1,998386*SEX 0,325428* 0,270156** 0,209467* NA 0,746603* 0,089385 0,863927* -0,02985 0,029078

Keterangan: Estimasi dilakukan dengan teknik refresi logistic. Dependent variabel: Y=1 (shifting) dan Y=0 (non-shifting).*t) Signifikan pada ? = 1%, **) Signifikan pada ? =10% , ***) Untuk sektor Listrik, variabel SEX dikeluarkan karena respon variabel yang berkesesuaian sempurna dengan variabeldependen. Kolom i menunjukkan hasil estimasi untuk sektor yang bersangkutan.

Tabel II.7Marginal effect

1. Sektor1. Sektor1. Sektor1. Sektor1. Sektor 2. Sektor2. Sektor2. Sektor2. Sektor2. Sektor 3. Sektor3. Sektor3. Sektor3. Sektor3. Sektor 4. Sektor4. Sektor4. Sektor4. Sektor4. Sektor 5. Sektor5. Sektor5. Sektor5. Sektor5. Sektor 6. Sektor6. Sektor6. Sektor6. Sektor6. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 8. Sektor8. Sektor8. Sektor8. Sektor8. Sektor 9. Sektor9. Sektor9. Sektor9. Sektor9. SektorPertanianPertanianPertanianPertanianPertanian PertambanganPertambanganPertambanganPertambanganPertambangan IndustriIndustriIndustriIndustriIndustri ListrikListrikListrikListrikListrik KonstruksiKonstruksiKonstruksiKonstruksiKonstruksi PerdaganganPerdaganganPerdaganganPerdaganganPerdagangan TransportasiTransportasiTransportasiTransportasiTransportasi KeuanganKeuanganKeuanganKeuanganKeuangan JasaJasaJasaJasaJasa

Constant -0,81041* -1,03155* -0,93614* -1,05599* -0,95107* -0,8745* -1,01093* -1,01938* -0,88279*UMUR -0,00027 0,00049 -0,00017 -0,00128 -0,00124* 0,000525 -8,60E-05 -0,00121 0,000556EDUC_CAT -0,08341* -0,06348** -0,0334** 0,020117 -0,05162* 0,029897** 0,011955 0,142591* -0,02069JOB_CAT 0,086571* 0,040098 0,167258* 0,005117 0,068734* 0,045794* 0,047037* -0,01063 0,070496*WAGE_CAT -0,04619* 0,01238 -0,10723* 0,024974 0,022891 -0,00896 -0,0382** -0,13745* -0,05465*FORMAL_CAT 0,372404* 0,426466* 0,664426* 0,349142* 0,41022* 0,405843* 0,401253* 0,516655* 0,499596*SEX 0,081357* 0,067539** 0,052367* NA 0,186651* 0,022346 0,215982* -0,00746 0,00727

Keterangan: Marginal effect dihitung sesuai prosedur standar dengan menggunakan distribusi logistik. Dengan coding Y = 0 untuk kategori Non-Shifting, maka nilai marginal effectini menunjukkan pengaruh marginal dari regressor terhadap peluang perpindahan tenaga kerja. Nilai marginal effect = 1 menunjukkan peluang perpindahan yang pasti atau 100%.Script program tersedia pada penulis.

Tabel II.8Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang Berpindah Antar Sektor (%)

SektorSektorSektorSektorSektor 19981998199819981998 19991999199919991999 20002000200020002000 20012001200120012001 20022002200220022002 20032003200320032003 20042004200420042004 20052005200520052005 20062006200620062006 20072007200720072007 20082008200820082008 Rata-rataRata-rataRata-rataRata-rataRata-rata

Pertanian 0,6 0,4 0,4 0,4 0,5 0,4 0,5 0,4 0,6 0,9 1,1 0,55Pertambangan 5,6 5,4 2,8 4,6 3,2 2,4 3,0 2,5 2,6 5,4 4,9 3,86Industri 3,8 3,4 2,3 2,4 2,1 1,7 1,9 1,8 1,7 3,2 3,4 2,50Listrik 7,9 9,0 1,0 3,0 5,5 2,0 1,8 1,5 2,1 3,5 3,8 3,75Konstruksi 6,9 6,6 5,0 4,1 4,0 3,3 3,3 3,1 3,6 5,2 4,8 4,55Perdagangan 1,1 1,3 1,1 1,4 0,9 0,7 0,7 0,7 0,9 1,6 2,0 1,13Transportasi 2,9 2,4 1,9 2,3 2,6 1,1 1,4 1,7 2,1 3,8 3,4 2,33Keuangan 3,8 5,4 2,6 3,1 3,1 2,7 2,7 2,2 2,7 4,2 5,4 3,46Jasa 2,2 2,0 1,6 1,9 1,6 1,1 1,3 1,1 1,1 1,8 2,3 1,65

RegressorRegressorRegressorRegressorRegressor

RegressorRegressorRegressorRegressorRegressor

Page 35: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

293Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Grafik II.18). Terlihat bahwa tingkat migrasi tenaga kerja relatif tinggi di tahun 1998 ,1999,

2007 dan 2008, dimana pada tahun tersebut terjadi guncangan dalam perekonomian Indonesia.

Grafik II.18Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang

Berpindah Antar Sektor

Hasil estimasi menunjukkan kecuali tingkat upah (WAGE_CAT), semua variabel lain

berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja pada sektor Konstruksi12. Pada sektor

ini, pekerja Laki-laki memiliki peluang lebih besar 18,7% untuk berpindah kerja ke sektor lain.

Untuk pekerja manajer atau dengan tingkatan yang lebih tinggi, peluang perpindahan kerjanya

6,87% lebih besar dibandingkan tenaga buruh. Hasil estimasi juga menunjukkkan tenaga kerja

yang berpendidikan memiliki peluang berpindah kerja lebih kecil 5,1% dibandingkan tenaga

kerja yang tidak berpendidikan. Karakteristik tenaga kerja yang berpengaruh besar terhadap

peluang perpindahan ke sektor lain adalah pengalaman kerja sebelumnya; bagi pekerja yang

sebelumnya telah bekerja di sektor formal, maka peluang untuk berpindah dari sektor Konstruksi

lebih besar 41,02%.

Berdasarkan data Sakernas, sektor yang menjadi tujuan utama migrasi tenaga kerja dari

sektor Konstruksi adalah sektor Pertanian dengan rata-rata 1998-2008 sebesar 2,35% dan

disusul oleh sektor Pedagangan (0,77%). Pada tahun 1998 dan 1999, persentase tenaga kerja

sektor Konstruksi yang melakukan migrasi ke sektor Pertanian mencapai sebesar 4,1% dan

3,1%. Sementara itu, secara rata-rata, dapat dikatakan bahwa migrasi tenaga kerja dari sektor

Konstruksi ke sektor Listrik dan sektor Keuangan sangatlah kecil.

12 Perlu dicatat bahwa hasil estimasi tersebut adalah untuk periode 2005. Potensi dinamika pengaruh variabel lintas waktu (timevarying effect) tidak diperhitungkan dalam paper ini.

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

%

PertambanganIndustriListrikKonstruksiKeuangan

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Page 36: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

294 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Hasil survey menunjukkan alasan utama tenaga kerja yang pindah atau berhenti dari

sektor Konstruksi adalah akibat tidak adanya permintaan/berhenti usaha dengan rata-rata selama

tahun 1998-2007 sebesar 41,6% (Grafik II.19). Alasan kurang memuaskan juga menjadi salah

satu faktor yang menjadi alasan tenaga kerja melakukan pindah/berhenti kerja dari sektor ini,

namun faktor ini kurang berlaku pada tahun 1998. Sementara itu faktor PHK terlihat cukup

tinggi pada tahun 1998 dan 1999.

Grafik II.19Alasan Utama Tenaga Kerja Pindah/Berhenti

Bekerja Pada Sektor Konstruksi

Pada tahun 1998 dan 1999, sektor Pertanian merupakan sektor tujuan migrasi terbesar

dari sektor lainnya. Sebaliknya jumlah tenaga kerja yang bermigrasi dari sektor Pertanian ke

sektor lainnya cenderung lebih kecil. Sektor yang menjadi tujuan utama migrasi tenaga kerja dari

sektor Pertanian dengan rata-rata persentase yang relatif besar tahun 1998 adalah sektor Industri,

sektor Perdagangan dan sektor Konstruksi dengan persentase masing-masing sebesar 0,15%,

0,13% dan 0,12%. Bahkan bisa dikatakan bahwa migrasi tenaga kerja dari sektor Pertanian ke

sektor Listrik dan sektor Keuangan sangat sedikit.

Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang berpengaruh besar terhadap perpindahan tenaga

kerja pada sektor Pertanian adalah status pekerjaan sebelumnya. Bagi pekerja yang sebelumnya

telah bekerja di sektor formal, maka kecenderungan untuk meninggalkan sektor Pertanian lebih

besar 37,2% dibandingkan pekerja yang awalnya berasal dari sektor non-formal. Pekerja di sektor

Pertanian yang berpendidikan tinggi memiliki peluang berpindah 8,3% lebih rendah dibandingkan

dengan pekerja berpedidikan rendah. Untuk pekerja dengan tingkat upah tinggi, juga memiliki

kecenderungan berpindah yang lebih kecil yakni 4,6% dibandingkan pekerja dengan upah rendah.

%

100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

01998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Lainnya

Tidak cocok denganlingkungan kerja

Pendapatan kurangmemuaskanTidak adapermintaan/usaha berhenti

PHK

Page 37: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

295Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Secara umum, pekerja laki-laki yang berumur 35 tahun13, berpendidikan tinggi, memiliki

level manajer, memiliki upah tinggi, dan sebelumnya telah bekerja di sektor formal memiliki

peluang 40,92% untuk tetap bekerja dalam sektor Pertanian. Semakin tua si pekerja maka

peluang untuk tetap di sektor Pertanian akan semakin besar. Berdasarkan hasil survei Sakernas,

proporsi rata-rata responden tahun 1998-2008 yang berpindah kerja karena alasan pendapatan

yang kurang memuaskan adalah sebesar 21,5%. Perpindahan karena alasan tidak adanya

permintaan atau bangkrutnya usaha sebesar 21,98% sementara alasan faktor lainnya adalah

sebesar 47,4% (lihat Grafik II.20).

Sektor Pertanian merupakan tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor Pertambangan.

Sementara itu, migrasi tenaga kerja dari sektor Pertambangan ke sektor Listrik dan sektor

Keuangan sangat kecil. Hasil estimasi menunjukkan hanya variabel Jenis Kelamin, Pendidikan

dan pengalaman kerja dari pekerja yang berpengaruh signifikan terhadap peluang perpindahan

tenaga kerja dari sektor Pertambangan, sementara faktor umur, tingkatan jabatan dan upah

tidak berpengaruh terhadap perpindahan tenaga kerja pada sektor Pertambangan ini.

Pada sektor Pertambangan, pekerja yang sebelumnya telah memiliki pengalaman kerja

di sektor formal memiliki peluang perpindahan kerja 42,6% lebih besar. Tingkat pendidikan

sendiri berpengaruh negatif dalam pengertian pekerja yang memiliki tingkat pendidikan tinggi

justru memiliki peluang lebih kecil 6,3% lebih rendah untuk berpindah dari sektor Pertambangan.

13 Penentuan umur 35 tahun ini didasarkan pada rata-rata umur responden pada 2 kategori variabel independent. Meski demikianbesaran usia lain dapat dipilih untuk melihat kecenderungan perpindahan tenaga kerja pada usia yang dipilih.

Grafik II.20Alasan Utama Tenaga Kerja Pindah/Berhenti

Bekerja Pada Sektor Pertanian

%

100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0

Lainnya

Tidak cocok denganlingkungan kerja

Pendapatan kurangmemuaskanTidak adapermintaan/usaha berhenti

PHK

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Page 38: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

296 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Secara umum, pekerja laki-laki di sektor Pertambangan yang berusia 35 tahun,

berpendidikan tinggi, sebelumnya telah memiliki pengalam kerja formal, memiliki upah tinggi

dengan jabatan manajer, akan memiliki peluang untuk berpindah kerja , memiliki peluang

yang lebih besar 53,14% untuk tetap bekerja pada sektor pertambangan. Semakin tua si pekerja,

maka peluang untuk tidak berpindah akan semakin besar. Alasan utama yang menyebabkan

tenaga kerja dari sektor Pertambangan berhenti atau pindah kerja adalah faktor lainnya sebesar

26,57% dan tidak ada permintaan atau bangkrutnya usaha sebesar 23,8%.

Untuk sektor Industri, tenaga kerja yang melakukan migrasi ke sektor lainnya cenderung

lebih besar dibandingkan dengan yang masuk. Sektor yang merupakan tujuan utama migrasi

tenaga kerja dari sektor Industri adalah sektor Pertanian dan sektor Perdagangan, terutama

pada tahun 1998, 1999 dan 2008. Penelusuran hasil estimasi dapat memberikan penjelasan

tentang fenomena ini.

Semua variabel kecuali usia, berpengaruh signifikan terhadap peluang perpindahan tenaga

kerja dari sektor Industri. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pekerja dengan upah tinggi memiliki

kecenderungan berpindah kerja 10,7% lebih kecil dibandingkan pekerja dengan upah rendah.

Hal ini sejalan dengan data survey yang menunjukkan faktor pendapatan yang kurang

memuaskan hanya memiliki proprosi lebih dari 16,6% dari seluruh responden.

Pada sisi lain, pekerja dengan level white collar memiliki peluang untuk berpindah kerja

4,0% lebih besar dibandingkan pekerja buruh. Pekerja sektor Manufaktur yang memiliki tingkat

pendidikan tinggi memiliki peluang yang lebih kecil 3,34% lebih kecil dibandingkan pekerja

dengan tingkat pendidikan rendah. Secara total, pekerja laki-laki di sektor Industri yang berumur

Grafik II.21Alasan Utama Tenaga Kerja Pindah/Berhenti

Bekerja Pada Sektor Industri

%

100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0

Lainnya

Tidak cocok denganlingkungan kerja

Pendapatan kurangmemuaskanTidak adapermintaan/usaha berhenti

PHK

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2008

Page 39: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

297Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

35 tahun, berpendidikan tinggi, memiliki jabatan manajer, memiliki tingkat upah tinggi dan

sebelumnya telah bekerja di sektor formal lainnya, akan memiiki peluang yang lebih besar 19,86%

untuk tetap di sektor Industri ini. Ini berarti pekerja dengan karakteristik tersebut memiliki peluang

yang lebih besar 80,14% untuk meninggalkan sektor Industri. Peluang perpindahan ini

merupakan yang terbesar diantara 9 sektor yang diteliti. Di sektor Industri ini, alasan utama

perpindahan kerja adalah karena adanya PHK yakni mencapai 41,3% pada tahun 2005.

Untuk sektor Perdagangan, bersama dengan sektor Pertanian sektor ini merupakan sektor

yang menjadi tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor lainnya. Pada tahun 1998, 1999

dan 2008, persentase tenaga kerja yang melakukan migrasi ke sektor ini dari sektor Keuangan

relatif besar yaitu masing-masing sebesar 2,3%, 1,9% dan 1,9%. Selain faktor lainnya, alasan

utama tenaga kerja melakukan migrasi tenaga kerja dari sektor ini adalah karena alasan

pendapatan yang kurang memuaskan (rata-rata 1998-2008 sebesar 29,32%).

Hasil estimasi menunjukkan bahwa diantara semua variabel penjelas yang diinternalisasi

kedalam model, hanya variabel tingkat pendidikan (EDUC_CAT), level jabatan (JOB_CAT), dan

pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAL_CAT) yang berpengaruh signifikan terhadap

peluang perpindahan tenaga kerja dari sektor Pertambangan ke sektor lain.

Pada sektor Perdagangan ini, pekerja yang sebelumnya telah memiliki pengalaman kerja

di sektor formal memiliki peluang berpindah yang lebih besar 40,58%. Pekerja white collar

memiliki peluang 4,58% lebih besar untuk berpindah sementara pekerja dengan tingkat

pendidikan tinggi juga memiliki peluang berpindah yang lebih besar 2,99% dibandingkan pekerja

berpendidikan rendah. Secara agregat, pekerja laki-laki yang bergelut di sektor Perdagangan,

berumur 35 tahun, berpendidikan tinggi dan memiliki upah tinggi, memiliki jabatan manajer

dan sebelumnya telah memiliki pengalaman kerja di sektor formal, akan memiliki kecenderungan

yang lebih besar 36,12% untuk tetap di sektor Perdagangan. Ini berarti, pekerja dengan

karakterstik tersebut memiliki peluang yang lebih besar 63,88% untuk berpindah dari sektor

Perdagangan. Sepintas hasil estimasi tersebut cukup menarik mengingat perpindahan dari sektor

Perdagangan relatif kecil karena pekerja cenderung menekuni sektor Perdagangan.

Sektor Transportasi memiliki karakteristik yang relatif sama dengan sektor Perdagangan.

Pekerja yang sudah berkecimpung dalam sektor ini, relatif akan tetap berada dalam sektor

tersebut. Berdasarkan hasil estimasi, hanya usia (UMUR) dan tingkat pendidikan pekerja

(EDUC_CAT) yang tidak berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja dari sektor

Transportasi.

Setelah variabel pengalamn kerja formal (FORMAL_CAT), marginal effect terbesar kedua

adalah jenis kelamin (SEX) dimana tenaga kerja sektro Transportasi laki-laki memiliki peluang

Page 40: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

298 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

lebih besar 21,59% lebih besar dibandingkan perempuan. Pekerja level manajer sendiri hanya

memiliki peluang perpindahan kerja 4,7% dibandingkan pekerja buruh.

Dari sejumlah responden yang beralih dari sektor transportasi ini, alasan utama

perpindahan tersebut adalah faktor pendapatan yang kurang memuaskan dengan proporsi

rata-rata sebesar 35,98% untuk selang periode 1998-2008. Secara statistik pengujian inferensial

menunjukkan bahwa pekerja dengan tingkat upah rendah memiliki peluang berpindah yang

lebih besar 3,82% lebih tinggi dibandingkan pekerja dengan upah tinggi. Besaran marginal

effect dari upah di sektor Transportasi ini merupakan yang terbesar ke-5 setelah sektor Keuangan,

Industri, Jasa dan sektor Pertanian.

Untuk sektor Jasa, tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor ini adalah sektor Pertanian

dan sektor Pedagangan. Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang paling berpengaruh terhadap

fenomena labor shifting pada sektor Jasa adalah pengalaman kerja formal sebelumnya

(FORMAL_CAT) dengan marginal effect sebesar 49,9%. Dalam sektor ini, jenis kelamin tidak

berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja sebagaimana sektor Keuangan dan

sektor Perdagangan yang cenderung bukan sex-dependent sebagaimana setkor Pertambangan,

Konstruksi, Industri dan Pertanian.

Umur dan tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga

kerja di sektor Jasa. Pekerja dengan tingkat upah tinggi cenderung memiliki peluang 5,46%

lebih kecil dibandingkan pekerja dengan upah rendah. Hal ini sedikit kontradiktif dengan hasil

survey Sakernas bahwa alasan utama tenaga kerja pindah/ berhenti dari sektor Jasa adalah

karena faktor lainnya dan faktor pendapatan yang kurang memuaskan dengan proporsi rata-

rata sebesar 22,34% selang 1998-2008. Pada sisi lain, pekerja level menajer atau lebih tinggi

memiliki kecenderungan 7,05% lebih besar untuk meninggalkan sektor Jasa dibandingkan

dengan pekerja buruh.

Sektor Keuangan merupakan sektor yang paling dinamis diantara 9 sektor yang ada.

Sektor yang menjadi tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor ini adalah sektor Perdagangan

(1,22%), sektor Jasa (0,56%), sektor Industri (0,49%) dan sektor Pertanian (0,49%). Bahkan

pada tahun 1998, 1999 dan 2008 persentase tenaga kerja dari sektor ini yang melakukan

migrasi ke sektor Perdagangan sebesar 2,3%, 1,9% dan 1,9%.

Penyebab utama tenaga kerja pindah/berhenti dari sektor ini adalah akibat PHK terutama

pada tahun 1998 dan 1999 yang mencapai 49,5% dan 53,3% (Grafik II.22). Faktor pendapatan

yang kurang memuaskan juga menjadi salah satu alasan migrasi, namun alasan ini tidak berlaku

pada masa krisis.

Page 41: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

299Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Untuk pekerja sektor Keuangan berjenis kelamin laki-laki, berumur 35 tahun,

berpendidikan tinggi, memiliki jabatan manajer dengan upah tinggi dan telah memiliki

pengalaman kerja formal sebelumnya, akan memilik peluang 55,8% lebih besar untuk tetap di

sektor Keuangan. Lebih lanjut, pekerja Laki-laki dengan umur 35 tahun, namun berpendidikan

rendah, tergolong buruh (blue collar), memiliki upah rendah dan sebelumnya belum pernah

bekerja di sektor formal akan memilki peluang pasti (100%) untuk tetap di sektor ini. Selain

sektor Keuangan, karakteristik terakhir ini hanya dimiliki oleh sektor Listrik.

Variabel penjelas yang sangat berpengaruh terhadap kecenderungan perpindahan tenaga

kerja dari sektor Keuangan adalah pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAL_CAT),

pendidikan (EDUC_CAT), dan tingkat upah (WAGE_CAT) masing-masing dengan marginal effect

51,67%, 14,26% dan 13,75%. Pengaruh tingkat pendidikan dan tingkat upah terhadap peluang

perpindahan tenaga kerja ini merupakan pengaruh yang terbesar diantara semua sektor yang

diobservasi. Pada sisi lain marginal effect dari variabel pengalaman kerja formal pada sektor

Keuangan, merupakan yang terbesar kedua setelah sektor Industri. Karakteristik seperti ini

menegaskan dinamisnya pergerakan tenaga kerja di sektor keuangan, ditambah dengan

karakteristik tingginya tingkat exposure sehingga mudah terpengaruh oleh guncangan. Secara

relatif, sektor Keuangan ini mencatat tingkat pengangguran terbesar kedua yakni 3,00% setelah

sektor Konstruksi (3,08%), dan lebih besar dibandingkan sektor Industri (2,54%). Lihat Tabel

II.9 dan Grafik II.23.

Grafik II.22Alasan Utama Tenaga Kerja Pindah/Berhenti

Bekerja Pada Sektor Keuangan

%

100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0

Lainnya

Tidak cocok denganlingkungan kerja

Pendapatan kurangmemuaskanTidak adapermintaan/usaha berhenti

PHK

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Page 42: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

300 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Paper ini telah mengulas fenomena labor shifting di Indonesia sekaligus mengukur faktor-

faktor yang mempengaruhi kecenderungan atau peluang perpindahan tenaga kerja tersebut.

Kesimpulan pertama yang diperoleh dari paper ini adalah tidak ada perubahan struktur dalam

pasar tenaga kerja Indonesia. Meskipun tidak terdapat perubahan struktur dalam pasar tenaga

kerja di Indonesia, namun pengaruh gejolak domestik dan eksternal memberikan dinamika

dalam penyerapan TKI dan mobilitas lintas sektor dalam pasar ketenagakerjaan.

Kesimpulan kedua, sebagian besar tenaga kerja tidak melakukan perpindahan sektor.

Diantara 9 sektor yang diteliti, sektor pertanian melakukan perpindahan paling sedikit. Hal

tersebut disinyalir karena keterbatasan skill untuk tenaga kerja di sektor tersebut yang didukung

Tabel II.9Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang Menjadi Pengangguran

SektorSektorSektorSektorSektor 19981998199819981998 19991999199919991999 20002000200020002000 20012001200120012001 20022002200220022002 20032003200320032003 20042004200420042004 20052005200520052005 20062006200620062006 20072007200720072007 20082008200820082008 Rata-rataRata-rataRata-rataRata-rataRata-rata

Pertanian 0,15 0,21 0,26 0,26 0,23 0,16 0,23 0,28 0,36 0,23 0,39 0,25Pertambangan 3,02 2,90 2,88 0,78 1,17 1,26 1,44 0,96 1,89 1,41 1,28 1,72Industri 3,71 3,05 2,27 2,44 2,70 2,02 2,07 2,59 2,48 2,09 2,47 2,54Listrik 4,29 5,37 0,00 0,00 2,12 2,46 1,11 1,16 2,32 1,17 1,68 1,97Konstruksi 4,62 4,67 3,58 1,87 2,87 2,48 2,73 2,95 2,31 2,55 3,22 3,08Perdagangan 1,34 1,24 0,94 1,11 0,89 0,79 0,76 1,22 0,96 1,13 1,42 1,07Transportasi 1,67 2,47 1,00 1,62 1,37 0,88 1,08 0,89 1,24 1,25 1,27 1,34Keuangan 3,71 5,78 2,97 2,93 2,41 2,27 3,02 2,25 2,65 2,40 2,64 3,00Jasa 1,75 1,82 1,11 1,49 1,28 1,11 1,14 1,32 0,84 1,06 1,42 1,30

Grafik II.23Persentase Tenaga Kerja Asal Sektoral yang

Menjadi Pengangguran

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

%

0

1

2

3

4

5

6

7

IndustriKonstruksiKeuangan

Page 43: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

301Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

oleh negatifnya faktor Pendidikan terhadap peluang perpindahan tenaga kerja dari sektor

Pertanian. Dalam sektor Pertanian ini, pekerja yang berpendidikan tinggi memiliki peluang

berpindah 8,34% lebih rendah dibandingkan dengan pekerja berpedidikan rendah. Untuk

pekerja dengan tingkat upah tinggi, juga memiliki kecenderungan berpindah yang lebih kecil

yakni 4,6% dibandingkan pekerja dengan upah rendah.

Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan relatif kecilnya marginal effect dari

pengalaman kerja formal sebelumnya dari pekerja dibandingkan sektor lain yang diteliti. Bagi

pekerja yang sebelumnya telah bekerja di sektor formal, maka kecenderungan untuk

meninggalkan sektor Pertanian lebih besar 37,2% dibandingkan pekerja yang awalnya berasal

dari sektor non-formal. Secara rata-rata untuk seluruh sektor, bagi pekerja yang telah memiliki

pengalaman kerja di sektor formal akan memiliki kecenderungan berpindah 45% lebih besar

dibandingkan pekerja yang tidak memiliki pengalaman kerja formal tersebut. Bahkan pada

sektor Industri, kecenderungan berpindah ini 66,4% lebih tinggi.

Kesimpulan ketiga, sektor Industri merupakan sektor yang mengalami pengurangan

tenaga kerja yang konstan dan tidak diikuti migrasi tenaga kerja ke sektor tersebut. Selain itu

sebagian besar pengangguran juga berasal dari sektor Industri. Perpindahan tenaga kerja

sebagian besar disebabkan karena adanya pendapatan yang kurang memuaskan, PHK, usaha

terhenti, dan karena memperoleh pendapatan yang sama dibandingkan pekerjaan sebelumnya

. Hal ini didukung oleh hasis estimasi model yang menunjukkan bahwa bagi pekerja berjenis

kelamin laki-laki, berumur 35 tahun, berpendidikan tinggi, memiliki jabatan manajer dengan

upah tinggi dan telah memiliki pengalaman kerja formal sebelumnya, maka 3 peluang terbesar

untuk tidak shifiting dan tetap berada disektor yang sama terdapat pada sektor Listrik dengan

peluang 70,15% lebih besar, sektor Keuangan (55,8%) dan sektor Pertambangan (53,13%).

Pada sisi lain, peluang perpindahan tenaga kerja untuk melakukan shifting, terbesar ada pada

sektor Industri (80,14%), Konstruksi (64,3%) dan Transportasi (62,4%).

Kesimpulan keempat, perpindahan tenaga kerja cenderung ke arah sektor Pertanian dan

perdagangan. Sektor ini dapat merupakan jaring pengaman pada saat terjadi pengurangan

tenaga kerja yang banyak. Di sisi lain, sektor Pertanian juga mampu menyerap pengangguran

dan bukan angkatan kerja.

Kesimpulan kelima, faktor pendidikan tidak berpengaruh terhadap peluang perpindahan

tenaga kerja pada sektor Listrik dan Transportasi. Untuk sektor Perdagangan, semakin tinggi

tingkat pendidikan maka peluang tenaga kerja untuk berpindah kerja dari sektor tersebut akan

semakin tinggi 2,98%. Hal yang sama berlaku untuk sektor Keuangan dengan peluang lebih

tinggi 14,26%. Marginal effect pada sektor Keuangan ini merupakan yang tertinggi diantara

semua sektor.

Page 44: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

302 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Kesimpulan keenam, variabel jenis kelamin (SEX) hanya berpengaruh pada sektor

Pertanian, Pertambangan, Industri, Konstruksi dan Listrik yang relatif dapat dikategorikan sebagai

sex-dependent sektor. Pada sektor-sektor ini, tenaga kerja laki-laki memilik peluang perpindahan

yang lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja perempuan, dan kecenderungan yang

terbesar terjadi di sektor Transportasi dengan peluang 21,9% lebih besar dibandingkan tenaga

kerja perempuan.

Kesimpulan ketujuh, usia pekerja tidak memilik pengaruh signifikan terhadap

kecenderungan perpindahan tenaga kerja. Pengaruh usia yang secara statistik terbukti signifikan

terdapat pada sektor Industri namun dengan nilai marginal effect yang sangat kecil yakni hanya

0,12%.

Kesimpulan kedelapan, tingkat upah hanya berpengaruh signifikan pada sektor Pertanian,

Industri, Transportasi, Keuangan dan Jasa. Pada sektor ini, pekerja dengan upah tinggi memiliki

kecenderungan yang lebih kecil untuk berpindah terutama pada sektor Keuangan dan Industri

dengan marginal effect masing-masing sebesar -0,137 dan -0,197. Ini berarti pekerja dengan

upah tinggi memiliki peluang perpindahan yang lebih kecil masing-masing 13,7% dan 19,7%

dibandingkan pekerja dengan upah rendah.

Kesimpulan kesembilan, sektor Keuangan merupakan sektor yang paling dinamis diantara

9 sektor yang ada, dengan target migrasi terbesar ke sektor Perdagangan (1,22%), sektor Jasa

(0,56%), sektor Industri (0,49%) dan sektor Pertanian (0,49%). Variabel penjelas yang sangat

berpengaruh terhadap kecenderungan perpindahan tenaga kerja dari sektor Keuangan adalah

pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAL_CAT), pendidikan (EDUC_CAT), dan tingkat

upah (WAGE_CAT) masing-masing dengan marginal effect 51,67%, 14,26% dan 13,75%.

Pengaruh tingkat pendidikan dan tingkat upah terhadap peluang perpindahan tenaga kerja ini

merupakan pengaruh yang terbesar diantara semua sektor yang diobservasi. Pada sisi lain

pengaruh pengalaman kerja formal terhadap peluang shifting pada sektor Keuangan, merupakan

yang terbesar kedua setelah sektor Industri.

Paper ini membuka peluang untuk penelitian lebih lanjut yakni pengembangan pemodelan

menjadi panel logistic baik dengan memperhitungkan variasi lintas sektor (cross sectional

variation) dan lintas waktu (time varying effect) dari variabel penjelas. Selain itu, pemodelan

dapat dikembangkan untuk dapat menginternaliasasi faktor-faktor structural seperti ukuran

dan pertumbuhan sektoral, tingkat exposure masing-masing sektor, serta variabel lain yang

memiliki landasan kuat dan atau keterkaitan empiris yang erat dengan fenomena labor shifiting.

Page 45: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

303Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Auerbach, Alan dan Laurence Kotlikoff. 1998. ≈Macroeconomics∆. MIT Press.

Blanchard, Olivier. 2005.≈Macroeconomics∆. Prenctice Hall.

Holzer, Harry J. 1989. ≈Employment, Unemployment and Demand Shifts in Local Labor

Market∆.∆NBER Working Paper Series 2858.

Jovanovic, B. 1978. ≈Job-Matching and the Theory of Turnover.∆∆Ph.D. Thesis. University of

Chicago.

Lilien, David M. 1982. ≈Sektoral Shift and Cyclical Unemployment∆. Journal of Political Economy

No. 4.

Lee, Donghoon dan Kenneth I. Wolpin. 2006.≈Intersektoral Labor Mobility and The Growth of

The Service Sektor∆. Econometrica Vol. 74 No. 1.

Mincer, Jacob dan Boyan Jovanoic. 1982. ≈Labor Mobility and Wages∆. NBER Working Paper

No. W0357.

Niederle, M. dan Roth Alvin E., 2003, Unraveling Reduces Mobility in a Labor Market:

Gastroenterology with and without a Centralized Match, Journal of Political Economy,

Vol.111 No.6.

Permata, Meily Ika. 2008. ∆Labor Productivity Growth : Labor shifting or Sektoral Productivity

Growth∆.∆Laporan Hasil Penelitian. Bank Indonesia.

Pack, Howard dan Christina Paxson. 1999.∆∆Inter-industri labor mobility in Taiwan, China.

Policy∆∆Research Working Paper Series 2154. World Bank.

Parewangi, AMA, 2008,

Dinamika Ketenagakerjaan: Tinjauan dari Perspektif Mikro Perusahaan, Industri dan Makro

Perekonomian, modul training Fundamental Asia, mimeo.

Shrek, James. 2008.∆Job to Job Transitions: More Mobility and Security in The

Workforce∆∆Center For Data Analysis 08-06.The Heritage Foundation.

Page 46: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

304 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

33.971.710 14.983 58.939 0 32.323 44.313 23.984 0 21.466 53.771 1.896 121.192 63.640 436.29917.217 558.143 1.684 318 2.334 7.879 2.599 0 2.301 18.650 0 2.704 2.280 1.227

159.337 4.648 8.875.428 617 32.754 103.877 30.810 2.661 38.017 366.277 1.953 148.142 62.117 42.1985.458 1.503 0 142.913 3.186 2.311 0 0 609 7.111 0 1.224 1.456 0

145.537 7.753 20.007 0 3.096.868 31.441 25.525 925 16.958 165.651 1.993 14.813 37.457 16.88880.849 1.833 20.068 0 18.581 14.749.254 19.693 295 25.006 206.354 3.827 138.997 37.807 111.82339.833 7.933 9.458 0 9.578 34.990 3.807.345 1.181 12.968 66.947 0 3.102 12.462 8.0743.899 0 2.389 0 280 14.329 547 570.377 2.750 23.374 704 7.534 2.539 1.547

113.002 2.273 30.629 0 23.108 71.751 26.745 874 11.503.044 214.157 4.883 95.642 81.431 43.413

561.788 11.712 119.100 0 19.154 112.186 12.653 0 76.560 139.010 2.843.969 179.653 390.381 29.331.158

8.372.886 22.728.593 4.840.348 434.317 536.869 2.409 234.469 995.230 159.233 28.551 469.746 4.509.898 1.808.779 51.859

Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja

BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus

RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga

LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya

111112222233333444445555566666777778888899999

11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

ja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja

Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi

33.156.354 16.029 24.070 0 12.462 37.249 13.428 0 19.568 72.927 3.852 133.688 50.197 469.66319.086 623.192 2.840 0 924 7.874 1.770 826 3.798 19.804 0 1.665 1.470 0

135.228 4.244 10.245.619 0 24.421 118.657 39.289 2.485 54.571 342.567 2.573 151.931 41.872 51.9798.283 0 1.041 183.912 2.713 4.770 711 0 2.188 11.762 0 1.037 2.545 0

121.699 2.896 31.017 0 3.040.719 35.598 21.575 0 16.995 163.150 774 17.438 29.001 16.25675.710 0 45.098 0 22.077 15.454.187 22.847 881 41.339 200.615 4.995 119.958 36.773 125.79334.883 2.635 18.888 0 1.959 26.693 3.861.291 1.269 13.694 100.841 1.269 3.389 10.339 8.1344.684 0 8.010 0 1.269 13.063 5.498 584.719 4.427 39.190 0 11.574 4.152 1.805

96.334 613 33.709 539 23.314 54.536 24.171 2.711 11.289.871 217.113 1.899 84.572 54.193 49.361

58.213 539.902 8.896 152.268 0 15.249 113.362 9.759 0 55.421 283.714 2.752.644 160.267 258.884

28.566.966 8.142.446 22.315.681 4.328.816 485.939 618.232 3.129 229.884 1.042.186 161.699 29.104 461.574 7.004.468 1.769.466

Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja

BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus

RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga

LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya

111112222233333444445555566666777778888899999

11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999

Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi

Lampiran: Matriks Transisi Tenaga Kerja lintas Sektor

Tahun 1998

Tahun 1999

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

ja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja

Page 47: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

305Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

33.870.491 14.121 39.894 0 20.202 38.161 19.458 531 21.763 89.735 0 107.783 42.676 39.89321.794 821.923 3.524 0 0 0 0 0 14.763 6.791 475 3.976 0 0

106.922 1.437 10.823.328 0 20.777 80.792 24.968 1.817 35.024 282.054 185 131.073 27.994 25.8690 588 0 134.147 1.136 291 2.184 0 0 0 0 0 854 0

65.454 2.656 16.385 0 3.386.364 30.578 16.522 947 15.524 67.990 841 7.052 5.807 11.75368.509 4.416 44.384 1.746 24.916 15.123.545 28.784 5.446 44.892 173.804 3.907 114.217 26.818 22.04032.919 4.792 13.566 0 6.751 33.751 4.097.100 0 5.117 69.398 0 5.562 13.022 2.1203.642 0 13.159 0 1.758 5.519 4.188 1.044.167 6.393 33.037 2.143 9.172 4.032 766

70.050 5.736 33.929 0 23.257 52.496 17.784 4.719 10.169.157 160.239 706 98.165 49.956 50.166

404.655 11.269 113.450 0 13.303 84.162 11.384 185 51.885 248.289 2.819.413 119.984 256.072 28.322.509

417.317 6.538.941 8.071.566 24.228.413 2.756.026 57.008 4.216.049 987.149 723.624 4.643 276.496 1.451.484 189.586 56.518

Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja

BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus

RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga

LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya

111112222233333444445555566666777778888899999

11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999

Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi

36.259.963 6.417 50.164 0 27.627 33.846 14.519 0 17.744 95.190 1.159 120.118 26.153 539.5996.979 385.991 2.740 0 0 711 962 0 0 11.804 0 1.022 0 0

95.483 962 10.566.920 0 19.666 89.351 31.921 2.674 22.803 256.037 2.576 113.875 35.569 55.7650 0 0 68.689 704 0 0 0 0 0 0 3.516 0 0

74.905 0 25.611 0 3.128.963 32.180 26.826 1.323 10.029 123.411 0 1.296 8.982 14.42368.936 2.833 34.857 1.337 16.126 16.819.056 33.191 3.034 29.656 163.294 1.968 111.717 27.263 144.09220.794 0 5.266 0 5.801 38.161 4.214.866 1.337 12.559 43.700 0 3.474 32.090 9.3083.195 2.137 0 0 962 6.742 4.178 820.456 5.592 26.273 0 3.312 7.994 2.505

44.366 0 25.705 0 14.496 43.795 12.268 6.112 8.893.861 103.398 0 74.914 52.443 36.958

408.802 2.098 102.906 0 14.084 65.158 17.919 1.323 56.214 267.766 2.765.521 91.591 278.377 27.875.284

4.308.188 498.864 576.602 0 220.686 682.756 158.681 37.461 360.663 6.726.636 7.982.191 22.397.998 972.733 45.367

Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja

BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus

RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga

LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya

111112222233333444445555566666777778888899999

11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999

Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi

Tahun 2001

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

ja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

ja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja

Tahun 2000

Page 48: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

306 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

46.551 13 92 0 32 44 18 1 19 110 1 131 62 2916 895 4 1 2 3 3 0 1 11 1 199 3 12.844 1 29 80 28 7 37 369 135 41 102 0 4 216 0 4 1 0 2 5 1 1 0

104 3 27 1 4.687 34 21 2 12 146 6 31 756 1 44 1 16 20.478 25 11 44 187 6 109 29 1842 3 25 0 17 33 5.423 5 24 78 1 8 15 36 1 3 0 4 23 6 1.508 7 39 12 10 0 634 35 1 20 64 29 9 13.734 184 2 87 63 44 518

10 103 0 19 100 8 0 58 388 3.704 154 260 92.745

5.068 1.503 653 6 325 1.465 247 51 443 10.225 11.860 33.463 2.215 62

Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja

BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus

RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga

L a i n n y aL a i n n y aL a i n n y aL a i n n y aL a i n n y a

111112222233333444445555566666777778888899999

11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999

Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi

39.348.575 13.622 46.452 0 42.971 30.350 12.803 1.766 12.295 62.292 0 52.914 14.985 13.9309.037 680.725 2.484 0 1.064 1.512 2.989 0 0 8.945 0 1.546 2.420 283

53.476 2.591 11.009.325 3.132 24.286 62.448 22.604 3.705 25.774 232.982 452 68.627 23.596 8.2842.575 0 0 145.093 0 0 0 146 386 3.757 0 194 444 0

77.764 0 14.033 0 3.868.493 17.421 15.992 3.104 10.037 102.469 430 7.173 12.644 6.42342.147 1.254 22.125 589 10.908 16.240.012 12.827 2.463 15.326 130.869 1.797 44.609 13.797 8.78717.598 1.372 5.082 0 9.216 13.187 4.746.875 1.760 5.639 42.577 0 799 7.780 1716.589 0 2.984 0 3.148 15.390 3.709 1.262.165 4.430 30.555 146 7.156 5.623 3.917

36.339 848 17.529 2.612 8.274 25.363 16.226 3.189 9.522.612 108.791 88 39.389 22.839 21.204

237.038 3.939 56.074 0 3.599 50.436 8.805 2.661 27.862 278.669 2.717.598 132.432 174.334 27.464.983

3.890.057 1.173.004 90.747 405 34.626 261.425 57.526 13.040 68.079 8.454.963 8.761.266 27.563.295 549.121 16.192

Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja

BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus

RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga

LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya

111112222233333444445555566666777778888899999

11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999

Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

ja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

ja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja

Tahun 2002

Tahun 2003

Page 49: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

307Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

36.405.915 20.163 32.167 0 49.981 34.890 23.954 2.286 15.463 82.892 922 84.236 40.671 35.79018.305 966.492 315 0 3.843 2.569 2.716 0 2.716 14.590 0 2.671 1.464 060.522 827 10.561.890 1.580 22.474 65.027 25.093 2.317 28.150 230.635 0 70.861 31.851 13.921

375 0 1.112 221.378 0 0 2.680 0 0 2.522 0 0 0 081.773 7.262 11.931 0 4.274.037 30.876 9.825 245 11.001 125.014 0 4.367 13.084 6.84643.905 670 22.604 0 6.759 17.712.480 17.726 3.457 27.338 136.354 388 50.631 14.065 3.12928.658 3.114 12.283 0 7.346 19.256 5.282.695 1.104 6.707 58.781 157 2.236 16.032 5.3853.848 315 8.994 85 1.596 7.547 4.548 1.082.694 4.619 35.211 252 8.450 4.767 2.53054.293 1.497 19.960 1.626 4.625 40.279 10.302 4.689 10.028.201 119.074 135 72.973 41.668 29.424

271.261 3.536 64.857 0 8.545 66.477 9.181 0 42.675 313.056 2.834.987 128.366 189.586 29.694.780

127.779 8.661.744 8.746.091 28.461.281 818.753 13.882 3.724.198 1.072.867 136.946 1.890 110.517 512.408 46.222 18.203

Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja

BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus

RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga

LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya

111112222233333444445555566666777778888899999

11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999

Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi

37.433.969 16.064 32.634 0 30.833 32.745 23.514 1.768 17.451 108.969 1.274 111.899 34.334 577.8369.857 822.578 1.798 572 2.027 3.663 1.577 0 2.255 8.215 0 0 2.881 4.54160.293 549 11.180.158 0 31.739 69.845 31.741 1.839 21.038 307.433 1.479 96.613 32.191 38.578

520 0 1.228 182.790 667 0 489 0 0 2.221 0 0 2.415 41290.609 2.021 8.685 530 4.250.763 20.099 15.625 0 5.227 134.786 466 5.782 18.218 16.77747.324 6.279 26.311 0 13.449 16.607.708 8.574 8.254 18.462 208.734 1.315 100.199 16.898 115.42434.597 1.862 11.454 0 11.551 27.524 5.342.400 759 6.703 49.255 1.285 4.610 13.205 12.9436.189 1.193 3.979 0 0 8.285 1.045 1.055.392 4.221 25.100 1.820 3.547 0 2.70242.339 0 11.005 0 8.584 37.541 10.171 3.641 9.715.928 133.273 0 76.185 32.644 34.392

295.055 2.662 56.727 0 16.175 47.927 6.736 717 33.194 338.638 3.653.017 135.099 218.451 30.340.813

422.140 35.337 495.525 51.278 164.518 512.212 162.241 10.338 4.060.784 761.667 293.830 10.246.105 9.921.287 28.061.906

Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja

BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus

RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga

LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya

111112222233333444445555566666777778888899999

11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999

Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

ja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rjaBe

kerja

Beke

rja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

jaAn

gkat

an K

erja

Angk

atan

Ker

ja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

Usia

Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja

Tahun 2004

Tahun 2005

Page 50: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

308 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

36.373.563 26.798 53.643 1.354 35.693 42.394 28.381 1.790 18.865 132.920 3.410 179.227 52.926 459.22411.804 819.780 674 0 1.312 3.962 1.605 0 3.348 16.364 641 2.407 2.162 2.67160.486 2.260 11.012.175 513 21.868 65.524 21.515 1.261 20.508 289.478 1.110 118.087 27.189 50.7791.269 0 504 216.246 0 1.144 0 0 1.993 5.319 0 2.694 383 086.352 5.289 18.433 1.182 4.369.185 31.115 14.390 3.716 10.376 108.003 0 8.011 17.491 7.84551.823 2.243 30.516 0 22.273 17.796.258 32.086 6.707 23.905 175.504 5.474 80.046 24.394 108.36733.122 6.614 21.489 0 13.882 24.189 5.357.609 2.602 12.675 69.452 616 7.481 17.190 12.7375.564 855 3.653 0 1.937 7.874 4.977 1.251.650 11.365 35.457 0 9.588 2.456 2.16040.580 1.050 23.934 819 11.972 36.012 9.097 1.498 10.621.217 92.585 1.737 91.773 35.979 45.978

262.927 8.673 60.373 0 5.608 67.654 10.481 1.484 40.754 296.413 3.524.476 105.014 204.780 9.385.829

335.029 9.559.990 9.992.696 29.202.196 438.884 39.864 4.214.510 622.441 369.611 5.822 170.344 546.081 122.616 45.316

Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja

BukanBukanBukanBukanBukanUs iaUs iaUs iaUs iaUs iaKer jaKer jaKer jaKer jaKer ja

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

P e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a n S e k o l a hS e k o l a hS e k o l a hS e k o l a hS e k o l a hM e n g u r u sM e n g u r u sM e n g u r u sM e n g u r u sM e n g u r u s

R u m a hR u m a hR u m a hR u m a hR u m a hT a n g g aT a n g g aT a n g g aT a n g g aT a n g g a

L a i n n y aL a i n n y aL a i n n y aL a i n n y aL a i n n y a

111112222233333444445555566666777778888899999

11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999

Bekerja

Bekerja

Bekerja

Bekerja

Bekerja

Angka

tan Ke

rjaAn

gkatan

Kerja

Angka

tan Ke

rjaAn

gkatan

Kerja

Angka

tan Ke

rja

Usia K

erjaUsi

a Kerja

Usia K

erjaUsi

a Kerja

Usia K

erja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja

Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi

36.624.593 22.503 92.314 496 96.458 94.404 38.836 2.945 31.053 120.302 5.849 280.252 66.336 547.71923.765 886.959 4.205 0 5.827 7.822 4.070 344 2.024 11.899 860 3.790 5.641 3.992120.017 3.758 11.186.265 1.583 36.578 98.336 32.798 7.748 35.793 304.833 10.724 215.771 39.605 50.1831.513 277 288 163.733 804 906 1.037 567 414 3.616 0 255 1.323 401

142.816 8.810 28.700 2.154 4.746.556 49.665 21.619 1.522 15.607 161.882 2.968 13.299 41.171 19.914116.593 4.335 64.255 306 35.352 18.589.627 42.420 16.565 48.416 257.735 15.551 226.979 41.538 161.19661.584 5.420 26.803 85 30.071 48.086 5.521.695 5.153 22.363 73.127 6.099 14.167 20.758 20.4695.996 559 6.903 642 4.506 20.836 8.078 1.266.421 6.362 38.993 3.043 15.711 5.893 5.19792.726 3.926 34.893 620 14.492 70.803 24.299 8.951 11.211.887 171.370 19.914 184.066 54.235 42.090

384.966 7.347 88.744 64 19.388 93.465 13.184 2.123 38.202 201.579 3.297.997 184.678 252.683 30.480.872

8.603.517 10.414.328 27.925.073 4.141.489 680.218 424.076 36.770 564.926 4.455 212.717 65.277 371.068 738.306 173.849

Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja

BukanBukanBukanBukanBukanUs iaUs iaUs iaUs iaUs iaKer jaKer jaKer jaKer jaKer ja

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

P e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a n S e k o l a hS e k o l a hS e k o l a hS e k o l a hS e k o l a hM e n g u r u sM e n g u r u sM e n g u r u sM e n g u r u sM e n g u r u s

R u m a hR u m a hR u m a hR u m a hR u m a hT a n g g aT a n g g aT a n g g aT a n g g aT a n g g a

L a i n n y aL a i n n y aL a i n n y aL a i n n y aL a i n n y a

111112222233333444445555566666777778888899999

11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999

Bekerja

Bekerja

Bekerja

Bekerja

Bekerja

Angka

tan Ke

rjaAn

gkatan

Kerja

Angka

tan Ke

rjaAn

gkatan

Kerja

Angka

tan Ke

rja

Usia K

erjaUsi

a Kerja

Usia K

erjaUsi

a Kerja

Usia K

erja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja

Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi

Tahun 2006

Tahun 2007

Page 51: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

309Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia

36.977.787 35.341 99.083 318 115.085 100.594 44.541 5.147 35.807 149.471 5.383 330.696 95.762 529.01525.241 949.020 5.089 73 6.299 6.710 4.496 309 2.319 13.177 494 7.669 6.545 2.768113.639 4.899 11.413.852 402 52.906 150.633 45.427 10.902 44.349 308.206 5.894 233.092 56.268 55.0072.028 869 742 190.953 128 2.691 325 0 1.105 3.459 321 321 2.273 772

112.662 7.537 36.436 610 4.960.259 54.341 26.944 4.418 21.669 176.916 3.443 26.195 47.929 13.659126.530 6.056 84.450 775 47.940 19.283.645 48.030 17.386 81.641 290.365 15.629 221.990 59.999 150.02553.405 3.826 23.610 817 28.479 66.348 5.759.310 5.653 23.946 77.632 2.931 21.134 21.320 15.18011.853 422 6.092 0 7.645 28.827 10.494 1.328.691 15.768 39.277 3.723 23.485 6.805 5.36293.186 4.999 53.587 904 15.784 95.955 29.272 7.382 12.255.901 185.799 8.392 225.959 49.749 45.507

337.722 8.866 82.872 67 16.259 110.748 15.740 2.064 47.962 173.570 3.602.852 210.219 285.652 31.305.998

327.968 7.954.034 9.577.004 28.129.408 4.264.221 636.941 304.286 30.998 396.682 4.584 137.182 579.729 118.195 43.968

Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja

BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus

RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga

LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya

111112222233333444445555566666777778888899999

11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999

Bekerja

Bekerja

Bekerja

Bekerja

Bekerja

Angka

tan Ke

rjaAn

gkatan

Kerja

Angka

tan Ke

rjaAn

gkatan

Kerja

Angka

tan Ke

rja

Usia K

erjaUsi

a Kerja

Usia K

erjaUsi

a Kerja

Usia K

erja

PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran

Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja

Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja

Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi

Tahun 2008

Page 52: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

310 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 53: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

311Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

PENGARUH DINAMIKA PENAWARANDAN PERMINTAAN VALAS TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH

DAN KINERJA PEREKONOMIAN INDONESIA

SugengM. Noor Nugroho

IbrahimYanfitri 1

Abstraksi

This study examines the influence of forex demand and supply interaction on Rupiah's exchange

rate. Estimation results show that the movement of rupiah is influenced by the forex supply and demand,

where the foreign players are dominating. Furthermore, the demand and supply of foreign exchange is

asymmetric.

This paper also shows the impact of exchange rate movements on output is only in the short term

with a more significant influence to the import, while the depreciation of Rupiah has a larger impact than

its appreciation.

Keywords: Foreign exchange, inflation, exchange rate.

JEL Classification: E31, F31

1 Sugeng ([email protected]), M. Noor Nugroho ([email protected]), Ibrahim ([email protected]) dan Yanfitri ([email protected]) adalahpeneliti di Biro Riset Ekonomi - DKM Bank Indonesia. Penulis berterima kasih kepada Bapak Made Sukada, Dr. Iskandar Simorangkirdan seluruh peneliti lain atas komentar dan masukan dalam paper ini.

Page 54: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

312 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

I. PENDAHULUAN

Nilai tukar merupakan indikator ekonomi penting yang memiliki peran strategis dalam

suatu perekonomian. Pergerakan nilai tukar berpengaruh luas terhadap berbagai aspek

perekonomian, termasuk perkembangan harga (inflasi), kinerja ekspor-impor yang pada

gilirannya berpengaruh pada output perekonomian. Selain berpengaruh luas, pergerakan nilai

tukar bagaikan pedang bermata dua, misalnya, pada saat terjadi depresiasi pihak eksportir

diuntungkan karena harga relatif produk ekspor Indonesia yang menjadi lebih murah. Sebaliknya,

depresiasi rupiah merugikan importir dan debitur utang luar negeri dengan meningkatnya

biaya impor dan beban pembayaran utang LN (ekivalen dalam mata uang domestik). Depresiasi

juga meningkatkan tekanan inflasi dimana apabila inflasi meningkat cukup signifikan akan

berdampak negatif bagi seluruh perekonomian. Dampak akhirnya akan sangat bergantung

pada perbandingan besarnya dampak positif dan negatif dari depresiasi rupiah. Pada kasus

apresiasi rupiah akan berlaku sebaliknya.

Indonesia sebagai penganut perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar

mengambang juga menghadapi dilema di atas, terlebih saat rupiah bergerak sangat fluktuatif

seperti yang terjadi pada triwulan terakhir 2008 setelah krisis keuangan global. Hal ini berdampak

negatif terhadap pasar keuangan domestik dan perekonomian secara keseluruhan.

Mengingat pergerakan nilai tukar rupiah yang cukup volatile dan dampak negatifnya

yang luas bagi perekonomian, upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah merupakan tantangan

yang tidak mudah bagi Bank Indonesia di tengah perekonomian yang sangat terbuka dengan

sistem devisa bebas dan regim nilai tukar mengambang. Stabilitas rupiah menjadi semakin

krusial terkait dengan pencapaian target inflasi mengingat dampak nilai tukar terhadap inflasi

dan ekspektasi inflasi yang cukup besar (Kurniati, 2007, Kurniati dkk, 2008).

Dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar perlu terlebih dahulu dikenali faktor-faktor

yang mempengaruhi pergerakannya. Banyak kajian telah dilakukan untuk menyusun model

nilai tukar yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta mengukur

signifikansi dan besarnya pengaruh masing-masing faktor tersebut. Di Bank Indonesia, beberapa

kajian mengenai nilai tukar rupiah dengan menggunakan pendekatan fundamental

makroekonomi juga telah dilakukan, seperti model behavioral equilibrium exchange rate (BEER)

yang menunjukkan bahwa pergerakan nilai tukar rupiah riil secara signifikan dipengaruhi oleh

faktor risiko dan beberapa variabel makroekonomi, yaitu interest rate differential, terms of

trade, produktivitas dan net foreign asset. Kajian tersebut menunjukkan bahwa pergerakan

rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor risiko daripada variabel makroekonomi. Selain

untuk keperluan evaluasi atau asesmen pergerakan rupiah, model BEER ini juga dimanfaatkan

Page 55: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

313Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

untuk proyeksi nilai tukar rupiah. Model lain yang juga dikembangkan - sebagai pembanding

model BEER - adalah model fundamental equilibrium exchange rate (FEER) dan effective real

exchange rate yang juga menggunakan pendekatan makroekonomi.

Dalam praktek penelitian, memodelkan nilai tukar merupakan salah satu topik yang sangat

sulit untuk dilakukan. Akibatnya, jarang sekali ditemukan model nilai tukar yang dapat

menjelaskan fenomena pergerakan nilai tukar dengan sangat memuaskan, terlebih untuk

keperluan forcasting. Suatu model mungkin dapat menjelaskan dengan baik perkembangan

nilai tukar di suatu negara dan dalam suatu periode tertentu, namun di saat yang lain, dengan

model yang sama mungkin tidak dapat ladi digunakan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut

banyak ekonom dan praktisi (dan juga bank sentral) membangun beberapa model alternatif

sehingga model-model tersebut dapat saling melengkapi untuk dapat menjelaskan pergerakan

nilai tukar secara akurat.

Dengan memperhatikan berbagai hal di atas, kajian ini ditujukan untuk memberikan

model nilai tukar alternatif (serta dengan pendekatan alternatif) agar dapat menjelaskan

pergerakan nilai tukar rupiah dengan lebih baik. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

penawaran dan permintaan valuta asing (valas) di pasar valas domestik. Secara teoritis, interaksi

antara permintaan dan penawaran valas - sebagai komoditi yang diperdagangkan di pasar

valas - akan membentuk harga yang dalam hal ini adalah nilai tukar rupiah (rupiah terhadap

dolar AS). Mengacu pada teori tersebut, model nilai tukar yang akan dihasilkan oleh penelitian

ini diharapkan dapat menjelaskan pengaruh dinamika penawaran dan permintaan valas terhadap

pergerakan nilai tukar rupiah. Selain mengukur pengaruhnya terhadap nilai tukar, lebih jauh

lagi akan diukur pengaruhnya terhadap harga dan output perekonomian.

Untuk lebih memperkaya pemahaman tentang dinamika penawaran dan permintaan di

pasar valas domestik sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dari model nilai tukar yang

dihasilkan, penelitian ini juga akan menganalisis struktur pasar valas yang mencakup pelaku

pasar, karakteristiknya dan transaksi valas yang dilakukannya, serta dampaknya terhadap

perkembangan nilai tukar rupiah.

Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa hal yang memiliki pengertian yang

sangat luas atau bahkan spesifik. Pasar valas dapat diartikan sebagai terjadinya pertukaran

atau jual-beli antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Oleh karena itu, transaksi

valas yang terjadi antar satu orang dengan orang lainnya tanpa memperhatikan tempat

transaksinya, seperti transaksi valas di pedagang valuta asing (money changer), di bank, dan

transaksi valas antar bank, dapat diartikan sebagai pasar valas. Dalam penelitian ini pasar valas

dibatasi hanya pada transaksi valas yang terjadi di perbankan domestik (bank berfungsi sebagai

Page 56: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

314 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

pasar valas), dan dilaporkan oleh bank ke Bank Indonesia melalui Laporan Harian Bank Umum

(LHBU) yang mencakup (i) individual, (ii) korporasi, (iii) bank domestik dan (iv) pihak luar negeri.

Bank sebagai pasar valas, karena perannya yang berfungsi sebagai intermediasi untuk

mempertemukan penawaran dan permintaan. Bank dapat dipersamakan sebagai pasar valas

oleh karena bank cenderung netral, walaupun bank juga dapat melakukan transaksi untuk

kepentingannya sendiri dan mengambil posisi long atau short valas. Namun demikian, posisi

bank relatif terbatas (mendekati netral) oleh karena:

" Manajemen risiko bank akan mengarahkan bank pada posisi netral untuk menghindari

risiko nilai tukar, dan

" Apabila bank mengambil risiko dengan mengambil posisi long/short valas, bank dibatasi

oleh ketentuan posisi devisa neto.

Penawaran dan permintaan valas dalam penelitian ini merupakan penawaran dan

permintaan efektif, karena telah terealisasikan dalam bentuk transaksi valas. Penawaran atau

permintaan valas dibedakan dari sudut pandang bank - sebagai pasar valas - berdasarkan

aliran valas yang terjadi akibat dari transaksi valas yang dilakukan oleh bank.

Penawaran valas adalah aliran valas masuk ke pasar, sehingga transaksi valas yang

merepresentasikannya adalah transaksi beli valas (jual rupiah) oleh bank dimana bank menerima

valas dari counterpart (lawan transaksi) dan sebagai lawan transaksinya, bank menyerahkan

rupiah kepada counterpart dengan jumlah yang ekivalen.

Sebaliknya, permintaan adalah aliran valas keluar dari bank yang direpresentasikan oleh

transaksi jual valas oleh bank. Akumulasi dari seluruh transaksi beli dan jual valas oleh seluruh

bank akan menunjukkan posisi bank sebagai net beli (transaksi beli lebih besar dibandingkan

dengan transaksi jual) atau net jual yang juga dapat dipersamakan dengan excess supply atau

excess demand.

Bagian kedua dari paper ini mengulas teori yang mendasari penelitian ini, bagian ketiga

membahas data dan metodologi yang digunakan. Bagian keempat mengulas hasil estimasi

dan analisis sementara kesimpulan dan saran akan menjadi penutup.

II. TEORI

II.1. Teori Permintaan dan Penawaran

Di pasar terdapat dua kekuatan utama yang saling berinteraksi, yaitu permintaan dan

penawaran, sehingga terbentuk keseimbangan yang dicerminkan pada level harga dan kuantitas

Page 57: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

315Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

dimana kurva permintaan dan penawaran bertemu. Hukum penawaran menghubungkan

berbagai titik kombinasi antara jumlah barang (atau jasa) dan tingkat harga yang ditawarkan.

Semakin tinggi harga, akan semakin tinggi kuantitas yang ditawarkan - atau sebaliknya jika

harga turun - dengan asumsi ceteris paribus, sehingga terdapat hubungan yang positif antara

harga dan penawaran.

Dalam konteks pasar valas, komoditi yang diperdagangkan adalah valuta asing dan

harganya adalah nilai tukar. Untuk pasar US dollar di Indonesia, harga dari US dollar adalah

nilai tukar rupiah per US dollar, misalnya dengan kuotasi Rp9.000/USD; apabila kuotasinya

meningkat berarti harga USD1 yang dibeli dengan mata uang rupiah menjadi lebih mahal.

Kondisi ini disebut rupiah terdepresiasi (nilai rupiah menurun) atau US dollar terapresiasi.

Sebaliknya, apabila kuotasinya menurun maka terjadi apresiasi rupiah (depresiasi US dollar).

Sebagaimana di pasar lainnya, excess demand terhadap US dollar mengakibatkan harganya

naik (rupiah terdepresiasi), dan sebaliknya, excess supply menjadikan harga US dollar jatuh

(rupiah terapresiasi). Model nilai tukar dengan pendekatan microstructure menggunakan prinsip

yang sama, yaitu mengukur pengaruh 'excess demand' - menggunakan data order flow -

terhadap pergerakan nilai tukar.

Order flow adalah perintah atau permintaan untuk melakukan transaksi valas dari satu

pihak kepada dealer valas yang dalam hal ini berfungsi sebagai market maker atau pasar. Oleh

karena berfungsi sebagai market maker, dealer dapat menerima order jual atau pun order beli.

Dalam konsep order flows, order jual dan beli valas dibedakan dengan memberikan sign positif

(+) untuk order beli valas (dealer menjual valas kepada pihak pemberi order) dan sign negatif

(-) untuk order jual valas. Akumulasi order flow tersebut secara empirik dibuktikan oleh Evan

dan Lyons (2005) mempengaruhi nilai tukar.

Penjelasan utama terhadap explanatory power tersebut adalah order mengandung

berbagai informasi yang berpotensial mempengaruhi nilai tukar. Sebelum memberikan order,

pemberi order telah memperoleh informasi, termasuk informasi fundamental makroekonomi

(Rime, 2007), dari berbagai sumber, dan mengolah (menganalisis) informasi tersebut yang

pada akhirnya menciptakan ekspektasi nilai tukar ke depan. Berdasarkan ekspektasi tersebut,

pemberi order menyampaikan order transaksi valas dengan tujuan memperoleh keuntungan.

Oleh karena order datang dari berbagai kalangan yang memiliki informasi yang sangat bervariasi,

akumulasi order flow merupakan sintesa dari berbagai informasi, sehingga dapat menjelaskan

arah pergerakan nilai tukar.

Pemberian tanda untuk membedakan arah transaksi valas tersebut menjadikan order

flow sering disebut sebagai varian 'excess demand'. Berdasarkan hal ini diketahui hubungan

Page 58: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

316 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

antara order flow dan nilai tukar, yaitu semakin tinggi order flow (excess demand) akan semakin

memberikan tekanan depresiatif terhadap nilai tukar. Bentuk umum persamaan order flow

adalah sebagai berikut:

∆Pt = f(X, I, Z) + ε

t

dimana ∆Pt adalah perubahan nilai tukar, X adalah order flow, I adalah cadangan valas yang

dimiliki market maker, dan Z adalah indikator mikro lainnya.

Kajian dengan pendekatan permintaan dan penawaran juga pernah dilakukan di Bank

Indonesia oleh Husman (2005). Penelitian ini menggunakan model komposit (hybrid) yang

memadukan permintaan dan penawaran valas dengan variabel fundamental ekonomi untuk

menjelaskan pergerakan nilai tukar rupiah. Persamaan model nilai tukar komposit dimaksud

adalah sebagai berikut:

st = α

0 + (p

t - p*

t) + α

1(i

t - i*

t) + α

2sdv

t + α

3tot

t + α

4poil + u

t

dimana st adalah nilai tukar rupiah, pt - p*

t adalah price differential, i

t - i*

t adalah interest

rate differential, sdvt adalah rasio penawaran dan permintaan valas luar negeri, tot

t adalah term

of trade dan poil adalah harga minyak dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel

permintaan dan penawaran berpengaruh signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.

II.2. Nilai Tukar, Inflasi dan Jalur Transmisi Kebijakan Moneter

Pergerakan nilai tukar sebagaimana disinggung pada latar belakang berpengaruh luas

terhadap perekonomian, termasuk harga. Nilai tukar dalam mempengaruhi harga dapat melalui

berbagai jalur transmisi:

• Direct passthrough

• Indirect passthrough

• Inflation expectation

Dalam direct passthrough, perubahan nilai tukar mempengaruhi harga impor barang

(dalam mata uang domestik) yang tercermin pada indeks harga impor. Permasalahan utama

yang terkait isu passthrough effect adalah pengaruh depresiasi nilai tukar yang secara langsung

meningkatkan beban biaya impor yang harus ditanggung importir sehingga menyebabkan

kenaikan harga impor. Selanjutnya, importir atau pedagang eceran yang menjual barang impor

ke konsumen memiliki alternatif untuk menanggung sendiri beban kenaikan biaya tersebut

atau membebankannya ke konsumen dalam bentuk kenaikan harga konsumen. Dalam hal

importir ingin mempertahankan keuntungannya, maka beban depresiasi rupiah akan dibebankan

Page 59: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

317Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

kepada konsumen sehingga harga konsumen meningkat. Namun, seandainya importir bersedia

menanggungnya - untuk alasan mempertahankan pangsa pasar - maka dampak depresiasi

rupiah akan minimal pada harga konsumen.

Dampak perubahan nilai tukar melalui indirect passthrough adalah melalui shifting orientasi

pemasaran dari pasar domestik menjadi pasar internasional. Depresiasi menjadikan harga barang

ekspor menjadi lebih murah sehingga mendorong ekspor. Bagi produsen di dalam negeri, hal

ini merupakan potensi keuntungan yang lebih besar sehingga akan lebih menguntungkan jika

barang yang diproduksinya dijual ke luar negeri dibandingkan dijual di dalam negeri. Akibat

perubahan investasi pasar tersebut, harga barang tersebut di dalam negeri menjadi lebih mahal

(inflasi). Sementara itu, jalur ekspektasi menjelaskan bahwa depresiasi nilai tukar akan

menyebabkan harga di masa yang akan datang cenderung meningkat. Ekspektasi ini

direalisasikan oleh produsen dan retailer untuk melakukan tindakan antisipatif penyesuaian

harga (menaikkan harga). Akibatnya, inflasi cenderung meningkat.

Dalam kajian ini akan diestimasi pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap harga

(inflasi) melalui direct passthrough. Oleh karena itu, estimasinya akan dibagi dalam 2 tahap;

tahap pertama atau first round effect adalah pengaruh perubahan nilai tukar terhadap harga

impor, dan second round effect, pengaruh harga impor terhadap harga konsumen. Model

persamaan yang digunakan mengacu pada Kurniati (2007) dengan persamaan sebagai berikut:

Pm = f(e

t, P

int'l, P

oil, Y); first round effect

P = f(Pm, P

oil, Y

t); second round effect

dimana P adalah IHK, Pm adalah harga impor, e adalah nilai tukar, P

int'l adalah indikator harga

negara mitra dagang, Poil adalah harga minyak dunia, dan Y adalah PDB.

II.3. Determinan Kinerja Ekspor dan Impor

Ekspor dan impor merupakan implementasi dari sistem perekonomian terbuka dimana

suatu negara melakukan perdagangan dengan negara-negara lain. Dinamika ekspor dan impor

akan mempengaruhi neraca pembayaran dan juga output perekonomian secara keseluruhan.

Nilai tukar terkait erat baik dengan ekspor maupun impor dimana pergerakan nilai tukar

mempengaruhi daya saing (competitiveness) produk ekspor (dalam hal harga relatif). Depresiasi

nilai tukar suatu negara terhadap mata uang negara lainnya menjadikan daya saing produk

ekspor negara tersebut meningkat, sehingga ekspor meningkat. Di saat yang sama, impor

menjadi lebih mahal bagi negara tersebut, sehingga impor cenderung menurun. Kombinasi

Page 60: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

318 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

peningkatan ekspor dan penurunan impor memperbaiki kondisi neraca pembayaran, dan lebih

jauh lagi akan meningkatkan pendapatan. Dampak sebaliknya terjadi jika nilai tukar terapresiasi,

yaitu kinerja neraca pembayaran dan pendapatan nasional memburuk.

Selain nilai tukar, ekspor dan impor juga dipengaruhi oleh terms of trade, sisi pasokan

barang ekspor dan sisi permintaan (ekspor dan impor). Terms of trade yang membaik akan

berdampak positif terhadap ekspor, namun berdampak negatif terhadap impor. Bagi negara

pengekspor, ketersediaan pasokan barang dapat tercermin pada produksinya. Di sisi permintaan,

permintaan barang dicerminkan oleh pendapatan.

Dengan demikian, persamaan ekspor dan impor dapat diekspresikan sebagai berikut:

X = f(e, TOT, IP*)

M = f(e, TOT, Y)

dimana X adalah ekspor, M adalah impor, e adalah nilai tukar, TOT adalah terms of trade,

IP* adalah industrial production index, negara mitra dagang yang merepresentasikan

pendapatan.

Selanjutnya, ekspor dan impor mempengaruhi pendapatan nasional sebagaimana

ditunjukkan oleh persamaan identitas domestic output dalam sistem perekonomian terbuka:

Y = C + I + G + (X - M)

dimana Y adalah PDB, C adalah konsumsi, I adalah investasi, G adalah pengeluaran

pemerintah, dan X - M adalah net ekspor (Ekspor - Impor).

III. METODOLOGI

Metode analisis dibedakan menjadi dua, pertama analisa deskriptif pasar valas perbankan

domestik untuk mengetahui struktur mikro pasar valas, termasuk meneliti para pelaku pasar

dan karakteristiknya, perkembangan permintaan dan penawaran dan nilai tukar, serta pola

transaksi. Bagian kedua merupakan analisis mengaplikasikan teknik estimasi ekonometrik

persamaan simultan. Berdasarkan model yang dibangun dilakukan simulasi guncangan yang

terjadi baik pada permintaan maupun pada penawaran valas. Simulasi ini juga dilakukan untuk

mempertajam analisis dan menguji robust tidaknya model.

Page 61: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

319Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

III.1. Model Empiris

Kerangka model empiris yang dibangun dalam penelitian ini merupakan system persamaan

simultan. Model persamaan simultan yang akan diestimasi terdiri dari 5 persamaan perilaku

(behavioral equation) dan 1 persamaan identitas:

et

= b10

+ b11

SD_LNt + b

12SD_LN

t-1 + b

13SD_DN

t + b

14SD_DN

t-1 +

b15

RISKt + b

16NEER

t + u

1t (III. 1)

Xt

= b20

+ b21

et + b

22TOT

t + b

23IP*

t + u

2t (III. 2)

Mt

= b30

+ b31

et + b

32TOT

t + b

33Y

t + u

3t (III. 3)

Yt

= Ct + I

t + G

t + X

t - M

t (III. 4)

Pmt

= b40

+ b41

et + b

42P*

t + b

43P

oilt + b

44Y

t + u

4t (III. 5)

Pt

= b50

+ b51

Pmt + b

52P

oilt + b

53Y

t + u

5t (III. 6)

dimana e adalah nilai tukar nominal, SD_LN dan SD_DN adalah net permintaan dan

penawaran valas dari pihak luar negeri dan dalam negeri, RISK adalah faktor risiko, NEER

adalah nilai tukar komposit beberapa mata uang global, X adalah ekspor, TOT adalah term of

trade, IP* adalah industrial production index negara mitra dagang, M adalah impor, Y adalah

pendapatan/output domestik, C adalah konsumsi, I adalah investasi, G adalah pengeluaran

pemerintah, Pm adalah harga impor, P* adalah harga luar negeri, Poil

adalah harga minyak

dunia, dan P adalah harga konsumen.

Mengingat persamaan-persamaan di atas bersifat satu arah pengaruhnya (et

mempengaruhi Pmt , P

t , X

t dan M

t, dan selanjutnya X

t dan M

t mempengaruhi Y

t) dan tidak

terdapat looping atau pengaruh sebaliknya atau saling mempengaruhi, maka estimasi

persamaan-persamaan tersebut akan dilakukan secara parsial. Selanjutnya, hasil estimasi parsial

dimaksud akan digabungkan dalam satu sistem persamaan simultan. Dengan metode tersebut

diharapkan estimasi menjadi efisien dan dapat dihasilkan persamaan yang konsisten.

Persamaan pertama adalah persamaan nilai tukar yang konsisten dengan pendekatan

order flow yang dikembangkan oleh Lyons (2001), yakni:

∆Pt = b

0 + b

1X

t + b

2I

t + b

3Z

t + ε

t

dimana ∆Pt adalah perubahan nilai tukar rupiah (Rp/USD), X

t adalah order flow, I

t adalah

cadangan valas yang dimiliki market maker, dan Zt adalah indikator lainnya. Indikator lain yang

akan dimasukkan dalam persamaan adalah faktor risiko dan nilai tukar global.

Page 62: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

320 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Variabel Xt - net beli valas oleh bank - diharapkan berpengaruh negatif terhadap nilai tukar;

apabila net beli atau excess supply (lihat penjelasan di bawah) meningkat, rupiah akan terapresiasi

(kuotasi Rp/USD turun). Sebaliknya, penurunan net beli mengakibatkan rupiah terdepresiasi.

Cadangan valas It juga diharapkan berpengaruh negatif terhadap nilai tukar. Cadangan valas bank

yang tinggi akan mendorong bank yang bersangkutan untuk melepas valas.

Dalam penelitian ini, data order flow digantikan oleh transaksi spot yang terjadi di

perbankan domestik (bank ∪ dealer dalam konsep market microstructure). Untuk itu beberapa

istilah penyebutan perlu diperjelas:

- Bank dipersamakan dengan dealer dalam hal perannya sebagai pasar valas terkait dengan

beberapa persamaan yang krusial, yaitu:

• Bank dapat melakukan transaksi 2 arah (jual dan beli) sehingga dapat mempertemukan

permintaan dan penawaran valas, serta mendistribusikan excess supply/demand ke

seluruh pasar.

• Netralitas; bank cenderung netral -excessive supply/demand valas diteruskan ke pelaku

pasar lain- oleh karena bank cenderung risk averse dan - apabila bank mengambil

posisi (long/short valas) - posisi bank dibatasi oleh prudential regulation Posisi Devisa

Neto.

- Penawaran valas, merupakan transaksi valas yang dilakukan oleh bank yang menimbulkan

konsekuensi aliran valas masuk ke bank, yaitu transaksi beli valas (jual valas dari sisi

counterpart bank).

- Permintaan valas, merupakan transaksi valas yang dilakukan oleh bank yang menimbulkan

konsekuensi aliran valas keluar dari bank, yaitu transaksi jual valas (beli valas dari sisi

counterpart bank).

- Apabila transaksi beli (penawaran) diberikan tanda positif dan transaksi jual (permintaan

diberikan tanda negatif, maka akumulasi transaksi tersebut adalah net beli - jika positif

berarti bank mengalami excess supply dari transaksinya dengan counterpart-nya, atau

sebaliknya, negatif berarti bank mengalami excess demand.

Persamaan III.5 dan persamaan III.6 merupakan persamaan harga impor dan persamaan

harga konsumen. Estimasi pengaruh nilai tukar terhadap harga (exchange rate passthrough)

mengacu pada kajian yang telah ada yang disusun oleh Kurniati (2007). Dalam penelitian

dimaksud, diukur pengaruh perubahan nilai tukar terhadap harga melalui jalur langsung (direct

passthrough). Sebelum mempengaruhi harga konsumen, pengaruh perubahan nilai tukar akan

ditransmisikan melalui harga impor. Peningkatan biaya impor akibat perubahan harga akan

mendorong importir untuk menjual harga barang impornya di pasar domestik dengan harga

yang lebih tinggi untuk mempertahankan keuntungannya.

Page 63: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

321Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

Selain akibat perubahan nilai tukar, harga impor juga secara langsung dipengaruhi oleh

perkembangan harga di negara asal barang impor, harga minyak, dan pendapatan domestik.

Perubahan harga barang impor di negara asalnya secara langsung berdampak pada biaya

impor yang harus ditanggung oleh importir, sehingga kenaikan harga di negara mitra dagang

berpengaruh positif terhadap harga impor. Harga minyak dapat mempengaruhi harga impor -

meskipun harga barang impor tersebut tidak ada keterkaitan langsung dengan minyak - melalui

kenaikan biaya produksi mengingat hampir seluruh proses produksi membutuhkan sumber

energi (minyak). Kenaikan harga minyak dengan demikian akan meningkatkan harga impor.

Harga minyak juga berdampak pada kenaikan biaya produksi dalam negeri yang pada gilirannya

menaikkan harga barang secara umum. Sementara itu, pendapatan domestik juga berpengaruh

kuat terhadap permintaan impor dan juga permintaan produk domestik, sehingga harga impor

dan harga konsumen. Mengacu pada uraian ini maka Persamaan 5 menunjukkan first round

effect sementara persamaan III.6 menunjukkan second round effect.

Persamaan III.2 dalam model simultan di atas menunjukkan persamaan ekspor, sementara

persamaan III.3 merepresentasikan persamaan impor. Nilai tukar berpengaruh langsung terhadap

kinerja ekspor dan impor suatu perekonomian melalui efek price competitiveness. Depresiasi

menjadikan harga barang domestik relatif lebih murah sehingga memberikan insentif bagi

konsumen luar negeri untuk membeli lebih banyak yang berarti meningkatkan ekspor. Namun,

nilai tukar bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi ekspor. Ekspor ditentukan oleh

interaksi antara sisi permintaan yang pada umumnya diwakili oleh pendapatan negara mitra

dagang yang dalam hal ini - oleh karena estimasi menggunakan data bulanan - diwakili oleh

Industrial Production Index AS.

Di sisi lain, impor negara tersebut menerima dampak yang berkebalikan dengan ekspor

sebagaimana dijelaskan di atas. Jika depresiasi menguntungkan ekspor, impor justru tertekan

oleh karena harga barang impor relatif menjadi lebih mahal. Akibatnya, impor menurun dengan

terdepresiasinya mata uang domestik. Namun, dampak akhirnya tergantung dari kuatnya

permintaan domestik atas barang impor yang direpresentasikan oleh pendapatan domestik.

Semakin tinggi pendapatan domestik, semakin tinggi permintaan impor. Faktor lain yang

mempengaruhi impor, dan juga ekspor, adalah term of trade, namun pengaruhnya sangat

tergantung pada kondisi ekspor dan impor.

Efek perubahan nilai tukar - dalam hal ini apresiasi - terhadap peningkatan ekspor dan

penurunan impor pada gilirannya akan meningkatkan trade balance, neraca pembayaran, dan

lebih jauh lagi output - apabila Marshall-Lerner condtion terpenuhi.

Page 64: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

322 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Untuk menutup sistem persamaan tersebut, digunakan satu buah persamaan identitas

yakni pendapatan nasional; Y = C + I + G + (X - M). Secara visual, keterkaitan simultan antar

seluruh variabel yang terlibat diilustrasikan dalam bagan berikut:

Skema III.1.Model Persamaan Simultan

III.2. Identifikasi Awal

Pengujian endogenitas (endogeneity test) dan order and rank condition of identification

(atau juga dikenal dengan order condition) terlebih dahulu dilakukan untuk mengidentifikasi

model simultan. Hasil Granger causality test menunjukkan bahwa terdapat endogeneity pada

seluruh persamaan (Lihat Tabel III.7). Pengujian order condition dilakukan dengan mengikuti

prosedur Gujarati (1995) yakni K - k ⊕ m - 1 ; dimana K adalah jumlah variabel predetermined

dalam model, k adalah jumlah variabel predetermined dalam persamaan tertentu, m adalah

jumlah variabel endogen dalam persamaan tertentu. Apabila (K - k) = (m - 1) maka persamaan

dikatakan exactly identified atau terindentifikasi dengan tepat, dan apabila (K - k) > (m - 1)

persamaan dikatakan over identified. Sebaliknya, apabila (K - k) < (m - 1) persamaan tersebut

dikatakan under identified dan tidak dapat diestimasi.

Pada sistem persamaan simultan di atas terdapat 11 variabel predetermined dan 6 variabel

endogen. Mengikuti prosedur identifikasi order condition, keseluruhan persamaan tersebut

adalah over identified.

Dengan menggunakan formulasi lain - yaitu (K-M) > (G-1), dimana K adalah jumlah

variabel yang digunakan dalam sistem (17), M adalah jumlah variabel dalam persamaan tertentu

(6), dan G adalah jumlah persamaan (6), sehingga (17-6) > (6-1) - juga diperoleh kesimpulan

NILAITUKAR

NET S-DLUAR NEGERI

NET S-DDALAM NEGERI

RISK

REGIONALCURRENCY

IMPOR

EKSPOR

HARGAIMPOR

GDP

INFLASI

KONSUMSI INVESTASI

HARGAEKSPOR

DEMANDLUAR NEGERI

Oil Price

Page 65: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

323Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

yang sama, yaitu over identified. Oleh karena hasil estimasi order condition menunjukkan bahwa

persamaan parsial dalam sistem persamaan simultan over identified, maka estimasinya akan

menggunakan metode Two Stage Least Square. Hasil estimasi untuk masing-masing persamaan

ini dibahas berikut ini.

Rangkuman Hasil Endogeneity Test

ERSDLNSDDNRISKNEERP INTERNASIONALOIL PIP DOMESTIKP IMPORPEKSPORTOTIP INTERNASIONALIMPOR

E RE RE RE RE R SDLNSDLNSDLNSDLNSDLN SDDNSDDNSDDNSDDNSDDN RISKRISKRISKRISKRISK NEERNEERNEERNEERNEER P INTERNASIONALP INTERNASIONALP INTERNASIONALP INTERNASIONALP INTERNASIONAL OIL POIL POIL POIL POIL P IP DOMESTIKIP DOMESTIKIP DOMESTIKIP DOMESTIKIP DOMESTIK P IMPORP IMPORP IMPORP IMPORP IMPOR PPPPP EKSPOREKSPOREKSPOREKSPOREKSPOR T O TT O TT O TT O TT O T IP INTERNASIONALIP INTERNASIONALIP INTERNASIONALIP INTERNASIONALIP INTERNASIONAL IMPORIMPORIMPORIMPORIMPOR

Y Y Y YY Y Y Y Y YY Y Y Y Y Y

Y Y Y Y Y Y Y Y YY Y Y Y Y Y Y

Y Y Y Y Y YY Y Y Y Y Y Y Y Y Y

Y Y Y YY Y Y Y Y

Y Y Y Y YY Y Y Y Y YY Y Y Y Y Y

Y YY Y Y

III.3. Data

Dengan memperhatikan berbagai model persamaan di atas yang akan diestimasi maka

data yang akan digunakan adalah:

- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (IDR), sumber Bloomberg,

- Transaksi beli (supply) dan jual (demand) valas, sumber LHBU,

- Rasio aset LN terhadap kewajiban LN bank (FA/FL), sumber DSM,

- Indeks EMBIG sebagai indikator risiko (Risk), sumber JP Morgan-Chase,

- Nilai tukar beberapa mata uang mitra dagang untuk diolah menjadi indeks komposit

Nilai tukar nominal (NEER), sumber Bloomberg,

- Indeks harga konsumen (CPI), sumber DSM,

- Indeks harga impor (Pm), sumber DSM

- Inflasi negara mitra dagang, sumber CEIC

- Harga minyak dunia, sumber Bloomberg

- PDB, sumber BPS,

- Term of trade, sumber DSM,

- Industrial Production Index AS, sumber CEIC.

Page 66: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

324 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Estimasi model akan menggunakan data bulanan sepanjang periode pengamatan Januari

2004 s.d. Desember 2008. Khusus untuk analisis bedah pasar valas akan menggunakan data

harian transaksi valas dengan periode pengamatan Januari 2004 - April 2009.

IV. HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS

IV.1. Telaah Pasar Valas

Berdasarkan analisis struktur mikro pasar valas terdapat beberapa temuan menarik dari

perkembangan, karakteristik dan perilaku dari pasar valas dan para pelaku pasar di dalamnya.

Temuan dimaksud antara lain adalah perkembangan pasar valas yang kurang berimbang

(balance), pelaku luar negeri yang meskipun transaksinya bukan yang terbesar namun mampu

mempengaruhi pelaku pasar lainnya, indikasi 'hot money' dana pelaku luar negeri yang masuk

ke pasar valas (capital inflows), dampak asimetrik dari inflows dan outflows terhadap pergerakan

nilai tukar, dan pola transaksi antar pelaku pasar. Temuan-temuan tersebut akan diuraikan

lebih lanjut di bawah ini.

IV.1.1. Perkembangan Pasar Valas

Pasar valas berkembang cukup baik dan mampu mendukung aktivitas perekonomian

terutama yang terkait dengan perdagangan internasional dan cross-border investment. Volume

transaksi pasar valas rata-rata meningkat sekitar 25,9% (yoy, dalam periode 2004 - 2008),

Grafik III.1.Pertumbuhan PDB, Ekspor, Impor

dan Volume Pasar Valas

Grafik III.2.Perkembangan Transaksi Valas

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

-5

0

5

10

15

20

25

% %

GDP Export Import Fx Market Volume (rhs)

Mar Jun Sep Dec2005

Mar Jun Sep Dec2006

Mar Jun Sep Dec2007

Mar Jun Sep Dec2008

0

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

70,000

80,000

USD million

FOREX MARKETTRANSACTION

Jan May Sep2004

Jan May Sep2005

Jan May Sep2006

Jan May Sep2007

Jan May Sep2008

Jan2009

SPOT

FORWARD

SWAP

Page 67: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

325Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

sementara ekspor dan impor tumbuh rata-rata tumbuh 11,1% dan 11,5% (Grafik II.1). Namun,

perkembangan yang pesat hanya terjadi pada segmen transaksi spot dimana volume transaksi

bulanannya sempat mencapai USD72 miliar (September 2008) atau rata-rata per hari sebesar

USD3,3 miliar, sebelum menurun drastis saat meledaknya krisis finansial global pada Oktober

2008 (Grafik III.2).

Berkembangnya transaksi spot, terutama di 2008, juga terlihat pada peningkatan nilai

dan frekuensi (jumlah transaksi) transaksi spot. Nilai dan frekuensi transaksi spot masing-masing

meningkat sebesar 10,3% dan 80,6% (dibanding tahun 2007) menjadi USD506,6 miliar dan

3,4 juta kali transaksi. Sementara itu, meskipun nilai transaksi spot cenderung menurun pada

akhir 2008, secara keseluruhan tahun 2008 transaksi rata-rata harian meningkat 12,2% menjadi

USD2,1 miliar

Sementara itu, transaksi swap dan forward relatif stagnan (Grafik III.2). Volume transaksi

swap menurun drastis sejak diberlakukannya pembatasan transaksi swap yang tidak dilandasi

oleh aktivitas ekonomi pada pertengahan 2005. Pangsa ketiga segmen pasar tersebut adalah

sekitar 77% transaksi spot, 19% transaksi swap, dan 4% transaksi forward.

Perkembangan yang kurang berimbang juga terjadi pada transaksi valas berdasarkan

mata uang yang diperdagangkan. Transaksi perdagangan US dollar (USD) terhadap rupiah

mendominasi pasar dengan rata-rata pangsa pasar mencapai 76% (Grafik III.3). Perdagangan

mata uang kuat lainnya, seperti euro dan yen Jepang, hanya memiliki share masing-masing

sebesar 1%. Komposisi tersebut sejalan dengan perdagangan internasional Indonesia yang

Grafik III.3.Perkembangan Komposisi Transaksi Valas

Berdasar Mata Uang

Tabel III.1Komposisi Transaksi Ekspor-Impor

Berdasarkan Mata Uang

Ekspor nonmigasUSD - US$ 93.3SGD - SINGAPORE $ 2.0EUR - EURO 1.7JPY - JAPANESE YEN 1.6lainnya 1.4

Impor nonmigasUSD - US$ 83.7SGD - SINGAPORE $ 4.8JPY - JAPANESE YEN 4.6EUR - EURO 4.1lainnya 2.9

KeteranganKeteranganKeteranganKeteranganKeterangan Jenis Mata UangJenis Mata UangJenis Mata UangJenis Mata UangJenis Mata UangPangsa (%)Pangsa (%)Pangsa (%)Pangsa (%)Pangsa (%)

60

65

70

75

80

85

90

95

100USD EUR GBPJPY SGD

SHARE of FOREX TRANSACTIONby CURRENCY

%

Jan Apr Jul Oct2006

JanJan Apr Jul Oct2007

Jan Apr Jul Oct2008 2009

Page 68: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

326 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

sebagian besar (93% dari total ekspor dan 83,7% dari total impor) menggunakan mata uang

dolar AS untuk pembayarannya (Tabel III.1). Selain itu, komposisi utang LN Indonesia juga

didominasi oleh mata uang US dollar. Pangsa utang luar negeri swasta per Februari 2009

dalam bentuk US dollar mencapai 88% atau setara dengan USD53 miliar. Sementara proporsi

terbesar kedua adalah dalam Yen sekitar 9%.

4.1.2. Pelaku Pasar

Pelaku pasar valas pada dasarnya dapat dipisahkan ke dalam 2 kelompok besar, yaitu (1)

market maker yang berperan sebagai pasar dan (2) pelaku pasar yang berperan sebagai

counterpart yang melakukan transaksi valas dengan market maker. Market maker dalam lingkup

kajian ini adalah bank yang dikelompokkan menjadi Bank Persero, BUSN Devisa, BUSN Non-

Devisa, BPD, Bank Campuran dan Bank Asing. Bank berfungsi sebagai pasar oleh karena sifatnya

yang cenderung netral terhadap posisi long/short valas. Netralitas bank disebabkan oleh

manajemen risiko bank yang cenderung risk averse, prudential regulation posisi devisa neto

(PDN) yang membatasi posisi valas bank, dan bank menerima order pembelian/penawaran

valas sehingga dapat mendistribusikan permintaan dan penawaran ke seluruh pasar. Sementara

itu, counterpart bank dapat dikelompokkan menjadi korporasi, nasabah individual (perorangan),

dan pelaku luar negeri.

Pelaku pasar yang dianggap penting atau significant player adalah pelaku pasar yang

memiliki peran khusus di pasar valas. Untuk kelompok market maker Bank Asing merupakan

significant player oleh karena memiliki jaringan transaksi terluas, termasuk menjadi pintu gerbang

Grafik III.4.Pangsa Pasar Kelompok Bank

Grafik III.5.Perkembangan Pangsa Pasar

Foreign BankJoint BankState BankReg.Devl. BankPrivate Fx BankPrivate Non-Fx Bank

Forex Transaction by Bank Group

41%

13%

17%

0.13%

27%

2%

0

10

20

30

40

50

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

BANK ASINGBUSN DEVISA

BANK PERSEROBANK CAMPURAN

%

Page 69: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

327Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

bagi pelaku asing untuk masuk ke pasar keuangan domestik. Jaringan yang luas menjadikan

Bank Asing menguasai market share sebesar 41% dari total transaksi (Grafik II.4). Perkembangan

pangsa pasar Bank Asing relatif stabil di atas 40% sejak tahun 2003. Pangsa pasar BUSN

Devisa cenderung menurun dan digantikan oleh Bank Persero dan Bank Campuran yang

pangsanya meningkat (Grafik III.5).

Meskipun bank asing memiliki market share tertinggi, market share tertinggi secara

individual bank adalah Bank Mandiri (bank persero) dengan market share 8,7% dari total

transaksi valas tahun 2008. Bank Asing yang memiliki market share signifikan adalah Standard

Chartered Bank, Citibank, HSBC, ABN Amro Bank, Deutsche Bank dan JP Morgan Chase.

Untuk kelompok counterpart bank, kelompok pelaku luar negeri (offshore) merupakan

significant player meskipun market share-nya (25%) lebih rendah dibanding transaksi interbank

(35%) dan korporasi (28%) (Grafik III.6). Predikat significant player lebih disebabkan oleh

transaksi pelaku LN yang relatif besar dengan rata-rata nilai transaksi sepanjang periode

pengamatan sebesar USD1,6 juta (dibanding pelaku domestik yang hanya USD242 ribu per

transaksi). Hal ini menjadikannya mampu mempengaruhi nilai tukar dan membentuk ekspektasi

nilai tukar yang pada gilirannya dapat mempengaruhi transaksi valas pelaku pasar lainnya.

Transaksi valas kelompok pelaku luar negeri terkonsentrasi dengan Bank Asing sebagai partner

utama dengan pangsa mencapai sekitar 80% dari total transaksi pelaku LN (Grafik III.7).

Satu hal yang perlu diperhatikan dari struktur pelaku pasar valas ini adalah adanya dominasi

dari sebagian kecil pelaku pasar. Di kelompok market maker, pasar valas dikuasai hanya oleh

beberapa bank dimana 10 besar bank menguasai sekitar 62% dari total transaksi di pasar

Grafik III.6.Pangsa Pasar Counterpart Bank

Grafik III.7.Pangsa Transaksi Bank menurut Partner

(rata-rata tahun 2006-2008)

INTERBANK

CORPORATION

INDIVIDUAL

OFFSHORE

Forex Transactionby Group of Counterpart

35%

28%12%

25%

120

80

60

40

20

0

%

PartnerLuar Negeri

PartnerDalam Negeri

Bank Asing BankCampuran

BUSNDevisa

Bank Asing BankCampuran

BankPersero

BUSNDevisa

Page 70: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

328 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

valas. Apabila daftar bank terbesar tersebut diperpanjang menjadi 20 bank terbesar, pangsanya

meningkat menjadi 87% dari total transaksi valas. Serupa dengan kelompok market maker,

transaksi valas di kelompok pelaku LN juga didominasi oleh beberapa pelaku saja, dimana 10

dan 20 pelaku LN dengan nilai transaksi valas terbesar memiliki pangsa 56% dan 73% dari

total transaksi valas pelaku LN. Di kelompok korporasi relatif lebih merata dimana 10 korporasi

dengan nilai transaksi valas terbesar memiliki porsi sebesar 29%, dan 20 korporasi terbesar

market share-nya sekitar 34%. Namun demikian, pada kelompok ini justru terdapat 1 pelaku

pasar yang sangat dominan, yaitu Pertamina.

4.1.3. Karakteristik Pelaku Pasar

Pelaku pasar valas memiliki perilaku dan peran yang berbeda. Salah satu faktor yang

menjadi pembeda karakteristik pelaku pasar adalah motivasinya dalam melakukan transaksi

valas. Sebagian pelaku pasar melakukannya dalam rangka mendukung atau terkait dengan

aktivitas bisnisnya, misalnya eksportir secara rutin menjual valas hasil ekspor yang dilakukannya,

importir membeli valas untuk membayar barang-barang yang diimpornya, debitur utang LN

membeli valas untuk melunasi utangnya, perusahaan PMA yang menjual valas yang bersumber

dari dana operasional yang berasal dari perusahaan induknya di luar negeri, dan sebagainya.

Transaksi dengan motivasi ekonomi seperti ini sering disebut genuine demand atau genuine

supply. Implikasi dari motivasi transaksi genuine ini pada perilaku pelaku pasar adalah

kecenderungan transaksi yang satu arah (jual saja atau beli saja) secara persisten, sehingga

selisih antara transaksi jual dan beli valas (net transaksi secara absolut) yang dilakukannya

mendekati total transaksi (jual + beli).

Di sisi lain, sebagian pelaku pasar melakukan transaksi valas untuk memperoleh

keuntungan dari transaksi 2 arah - jual dan beli - yang dilakukannya dalam periode waktu yang

singkat, bahkan dalam satu hari (intraday). Transaksi seperti ini sering disebut trading dan

kental dengan nuansa spekulatif. Implikasinya pada transaksi valas adalah total transaksi relatif

tinggi - frekuensi jual dan beli relatif tinggi - namun posisi akhirnya cenderung square (beli ?

jual). Oleh karena tidak dilandasi oleh underlying aktivitas ekonomi tertentu yang sifatnya

permanen, transaksi valas pelaku LN menjadi sangat fleksibel - dapat berganti peran dengan

cepat dari net supply menjadi net demand, atau sebaliknya - dalam rangka memaksimalkan

keuntungan.

Page 71: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

329Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

Mengacu pada pembedaan karakter pelaku pasar di atas, perilaku pelaku luar negeri

relatif sama, yaitu transaksi valas yang mengarah untuk trading. Hal ini ditunjukkan oleh rasio

antara net beli terhadap transaksi total yang mendekati nol, bahkan sebagian besar (84%) dari

total transaksi valas pelaku asing berada pada range rasio terendah, yaitu kurang dari 10%

(Grafik III.8). Perilaku yang serupa dari para pelaku luar negeri disebabkan oleh karena hampir

seluruh pelaku luar negeri yang aktif melakukan transaksi valas adalah lembaga keuangan

internasional atau institutional investors yang tujuan utamanya adalah untuk investasi di pasar

keuangan domestik.

Grafik III.8.Indikasi Trading oleh Pelaku LN

Grafik III.9.Indikasi Trading oleh Korporasi

83.9

7.42.7 1.5 0.1 0.6 0.6 0.2 0.3 2.8

0

20

40

60

80

100

0-10 20-30 40-50 60-70 80-9010-20 30-40 50-60 70-80 90-100

FOREX TRANSACTIONby OFFSHORE PLAYERS

Ratio of NetForex Sell-Buy toTotal Transaction

Trading GenuineTransaction

%

0%-10% 20%-30% 40%-50% 60%-70% 80%-90%10%-20% 30%-40% 50%-60% 70%-80% 90%-100%

FOREX TRANSACTIONby CORPORATION

Ratio of NetForex Sell-Buy toTotal Transaction

TradingGenuine

Transaction

0

10

20

30

40

10.3

2.2

20.817.6

1.8 1.5 1.42.9 3.8

37.9

Page 72: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

330 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Kelompok korporasi terpecah dua dengan proporsi yang hampir berimbang, 53%

korporasi cenderung melakukan trading dan 47% lainnya cenderung melakukan transaksi valas

karena genuine demand/supply (Grafik III.9). Korporasi yang transaksi valasnya didorong oleh

genuine demand/supply pada umumnya adalah yang bergerak di sektor riil (misalnya Pertamina,

PLN, dan Indofood), sedangkan yang melakukan trading adalah lembaga keuangan.

Sementara itu, nasabah individual tidak dapat diidentifikasi karakternya oleh karena sifat

datanya yang agregat (tidak tersedia data individual).

Dengan memperhatikan bahwa hampir seluruh pelaku luar negeri dan 50% korporasi

melakukan trading maka transaksi di pasar valas didominasi oleh transaksi trading dengan

proporsi yang cukup besar. Di satu sisi, transaksi trading menjadikan pasar valas lebih likuid,

namun di sisi lain potensial meningkatkan gejolak nilai tukar. Tingginya transaksi trading

pelaku luar negeri mengindikasikan bahwa capital inflows didominasi oleh hot money.

Besarnya aliran hot money dikonfirmasi oleh struktur financial account di neraca pembayaran

yang didominasi oleh aliran portfolio investments, sehingga pasokan valas yang lebih permanen

relatif kecil. Karakteristik portfolio investment sebagai investasi jangka pendek menjadikan

pasar valas dan pasar keuangan domestik menjadi sangat rentan terhadap risiko capital

reversal.

Karakter spesifik lain dari pelaku pasar adalah pelaku luar negeri yang berperan sebagai

market movers. Transaksi valas yang dilakukan asing cenderung diikuti oleh pelaku domestik,

(meskipun dengan arah yang berlawanan oleh karena perbedaan base currency), oleh karena:

1. Nilai transaksinya relatif besar (sebagaimana dijelaskan sebelumnya) sehingga mampu

mempengaruhi atau menciptakan ekspektasi nilai tukar rupiah ke depan. Hal ini

mendorong pelaku domestik untuk mengikutinya melakukan transaksi valas untuk

memperoleh keuntungan.

2. Pelaku luar negeri yang merupakan lembaga keuangan atau institutional investor

dipercaya melakukan analisis komprehensif dengan memanfaatkan berbagai metode

analisis dan informasi yang relevan sebelum memutuskan untuk melakukan transaksi.

Oleh karena sebagian besar pelaku domestik tidak dapat melakukan hal tersebut,

pelaku domestik cenderung mengikuti transaksi yang dilakukan oleh pelaku luar

negeri.

Page 73: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

331Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

Grafik III.10.Perkembangan Net Capital Flows dan

Volatilitas Rupiah

Untuk mendukung hipotesa di atas dilakukan Granger causality test dengan menggunakan

sampel data harian untuk periode Januari 2004 - April 2009 dan data intraday (transaksi menit

ke menit) untuk beberapa periode yang mewakili kondisi tertentu di pasar valas. Pertama

adalah periode Mei 2007 yang merepresentasikan kondisi dimana pasar valas mengalami net

capital inflows dalam jumlah besar. Periode April 2008 dipilih untuk mewakili kondisi normal

pasar valas dimana rupiah bergerak dengan stabil (volatilitasnya rendah). Sebaliknya, periode

Oktober 2008 dipilih untuk merepresentasikan kondisi pasar valas disaat krisis, yaitu pada saat

meledaknya subprime mortgage crisis di AS (Grafik III.10).

Perkembangan transaksi di pasar valas pada ketiga periode khusus tersebut ditunjukkan

oleh Tabel III.2. di bawah ini. Secara umum, nilai transaksi valas pelaku luar negeri (dengan

bank) jauh lebih kecil dibanding nilai transaksi pelaku dalam negeri, namun nilai rata-rata per

transaksinya jauh lebih besar dibanding pelaku dalam negeri. Satu hal yang menarik adalah

pergerakan nilai tukar rupiah yang stabil sepanjang April 2008 didukung oleh permintaan dan

penawaran valas dari luar negeri (net supply) dan dalam negeri (net demand) yang relatif

berimbang (hanya ekses supply sebesar USD39 juta). Sementara nilai tukar rupiah sepanjang

periode Mei 2007 diwarnai oleh net supply dari pelaku luar negeri relatif besar (USD1,9 miliar)

sehingga rupiah cenderung menguat. Berbeda dengan kedua periode tersebut, periode Oktober

2008 merupakan periode krisis dengan nilai tukar yang bergejolak. Kondisi permintaan dan

penawaran valas pada saat itu terjadi excess demand - baik dari pelaku dalam maupun luar

negeri - yang besarnya mencapai USD2,4 miliar.

0

20

40

60

80

100

120

140

160

-4,000,000

-3,000,000

-2,000,000

-1,000,000

0

1,000,000

2,000,000

3,000,000

4,000,000Net Flows Volatilitas

Volatility,%USD thousand

Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar

2007 2007 2009

Page 74: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

332 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Hasil uji untuk periode panjang (Januari 2004 - April 2009) menunjukkan bahwa transaksi

valas yang dilakukan oleh pelaku luar negeri menyebabkan terjadinya transaksi oleh pelaku

domestik. Pada periode stabil dan krisis, transaksi pelaku luar negeri tetap menjadi pendorong

transaksi pelaku domestik, meskipun dengan tingkat keyakinan 10%. Hanya pada periode

dimana terjadi inflows dalam jumlah besar transaksi pelaku domestik justru mempengaruhi

transaksi pihak luar negeri - juga dengan rentang keyakinan 10%.

Tabel III.3Hasil Uji Kausalitas: Transaksi Pelaku Luar Negeri Transaksi dan Pelaku Domestik

Jan04 s/d Apr09Jan04 s/d Apr09Jan04 s/d Apr09Jan04 s/d Apr09Jan04 s/d Apr09 Mei 2007Mei 2007Mei 2007Mei 2007Mei 2007 Apr 2008Apr 2008Apr 2008Apr 2008Apr 2008 Okt 2008Okt 2008Okt 2008Okt 2008Okt 2008

Konsep Netto (supply/demand)LN DN 2.47574 0.00453 0.38775 0.88729 1.403 0.09995 2.44601 0.08681DN LN 1.72918 0.06206 1.99501 0.06298 1.142 0.29166 0.54828 0.57800

F-StatF-StatF-StatF-StatF-Stat Prob.Prob.Prob.Prob.Prob. F-StatF-StatF-StatF-StatF-Stat Prob.Prob.Prob.Prob.Prob. F-StatF-StatF-StatF-StatF-Stat Prob.Prob.Prob.Prob.Prob. F-StatF-StatF-StatF-StatF-Stat Prob.Prob.Prob.Prob.Prob.

Tabel III.2Komposisi Transaksi Ekspor-Impor Berdasarkan Mata Uang

Transaksi JualBank VS LN

Total Nilai Transaksi (USDribu) 4.378.078 6.111.802 5.135.634Rata-rata per transaksi (USDribu) 3.491 4.192 3.401Jumlah Transaksi (frekuensi) 1.254 1.458 1.510

Bank VS DNTotal Nilai Transaksi (USDribu) 25.330.557 19.960.854 19.708.011Rata-rata per transaksi (USDribu) 2.192 1.751 1.947Jumlah Transaksi (frekuensi) 11.556 11.397 10.121

Transaksi BeliBank VS LN

Total Nilai Transaksi (USDribu) 7.533.516 6.492.548 3.342.554Rata-rata per transaksi (USDribu) 3.198 2.498 1.789Jumlah Transaksi (frekuensi) 2.356 2.599 1.868

Bank VS DNTotal Nilai Transaksi (USDribu) 24.093.852 19.618.986 19.054.528Rata-rata per transaksi (USDribu) 2.151 1.732 1.862Jumlah Transaksi (frekuensi) 11.199 11.330 10.236

NettoBank VS LN (USDribu) 3.155.438 380.745 -1.793.079Bank VS DN (USDribu) -1.236.705 -341.868 -653.482Total Netto (USDribu) 1.918.734 38.877 -2.446.562

Mei-07Mei-07Mei-07Mei-07Mei-07 Apr-08Apr-08Apr-08Apr-08Apr-08 Okt-08Okt-08Okt-08Okt-08Okt-08

Note : transaksi spot valas antara jam 8.00-17.00Tanda transaksi netto minus (-) berarti net demand

Bank VS LNJumlah transaksi (frekuensi) 1.841Nilai per transaksi (USDribu) 3.095

Bank VS DNJumlah transaksi (frekuensi) 10.973Nilai per transaksi (USDribu) 1.939

Rata-rata keseluruhanRata-rata keseluruhanRata-rata keseluruhanRata-rata keseluruhanRata-rata keseluruhan(Tiga Periode)(Tiga Periode)(Tiga Periode)(Tiga Periode)(Tiga Periode)

Page 75: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

333Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

4.1.4. Permintaan dan Penawaran di Pasar Valas

Permintaan dan penawaran valas dapat dilihat menurut kelompok pelaku pasar. Kelompok

korporasi cenderung sebagai excess atau net demand valas hampir sepanjang waktu periode

pengamatan. Excess demand korporasi terutama disebabkan oleh relatif besarnya permintaan

valas sebagian korporasi untuk mendukung aktivitas bisnisnya (genuine demand), misalnya

untuk pembiayaan impor dan pembayaran utang LN, dibandingkan pasokan valas dari sebagian

korporasi lainnya. Oleh karena kebutuhan valas tersebut bersifat permanen maka excess demand

yang ditimbulkannya juga cenderung persisten.

Serupa dengan korporasi, nasabah individu juga cenderung mengalami net demand.

Namun kelompok ini sedikit lebih fleksibel sehingga frekuensi terjadinya net supply pada

kelompok ini sedikit lebih sering dibanding korporasi (Grafik III.11). Market size kelompok

nasabah individu juga relatif kecil dibandingkan kelompok korporasi.

Grafik III.11.Net Supply-Demand Valas Pelaku Domestik

Grafik III.12.Net Supply-Demand Pelaku Asing dan

Indeks EMBIG

Karakteristik kelompok korporasi yang cenderung ekses demand tidak terlepas dari

motivasi transaksi valas yang sebagian merupakan genuine demand/supply sehingga

menjadikannya tidak fleksibel. Motif transaksi genuine demand/supply relatif berimbang dengan

motif trading yang lebih fleksibel. Transaksi kelompok nasabah individu, meskipun tidak dapat

diidentifikasi dengan jelas, namun terdapat indikasi bahwa nasabah individu cenderung lebih

ke arah trading.

-3,5

-3

-2,5

-2

-1,5

-1

-5

0

5

1

1,5

USD million

Corporations

IndividualsAll Domestic

DOMESTIC NET FOREX SUPPLY-DEMAND

Jan May Sep2004

Jan May Sep2005

Jan May Sep2006

Jan May Sep2007

Jan May Sep2008

Jan2009

Jan May Sep2004

Jan May Sep2005

Jan May Sep2006

Jan May Sep2007

Jan May Sep2008

Jan2009

0

100

200

300

400

500

600

700

800

-5

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

5

OFFSHORE PLAYERS

USD million

OFFSHORE NET FOREX SUPPLY-DEMAND

EMBIG

Page 76: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

334 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Dibalik efek positif pasokan valas LN juga terdapat permasalahan yang melekat dengan

pasokan valas dari LN ini, yaitu karakter aliran dana asing yang merupakan hot money. Dana

milik pelaku LN tersebut ditempatkan pada aset keuangan rupiah yang sangat likuid (portfolio

investment), seperti SBI, SUN dan saham. Grafik III.14 menunjukkan perkembangan dan besarnya

net capital flows yang relatif sama dengan investasi portofolio asing di 3 aset keuangan rupiah,

yaitu SBI, SUN dan saham. Alternatif lainnya bagi investor asing untuk investasi di Indonesia

adalah ditempatkan di pasar uang atau digunakan untuk trading valas.

Karakter hot money sebagai investasi jangka sangat pendek terlihat pada grafik di bawah

dimana inflows dan outflows terjadi saling bergantian dalam jumlah yang relatif sama. Misalnya,

net inflows yang terjadi dalam periode Maret 2007 - Mei 2007 sebesar USD6,0 miliar diikuti

oleh periode net outflows dengan jumlah yang hampir sama sebesar USD5,5 miliar.

Berbeda dengan kelompok pelaku DN, pelaku LN lebih banyak berperan sebagai net

supplier valas sehingga berfungsi sebagai penyeimbang net demand di sisi pelaku DN. Perannya

sebagai penyeimbang berdampak positif bagi pergerakan nilai tukar rupiah yang cenderung

menguat dan lebih stabil. Meskipun pasar valas secara keseluruhan masih mengalami excess

demand, adanya pasokan valas dari LN dapat mendorong apresiasi rupiah.

Grafik III.13.Net Supply-Demand Valas dan Nilai Tukar

Rupiah

Grafik III.14.Net Capital Flows dan Investasi Portfolio

Asing

7.000

8.000

9.000

10.000

11.000

12.000

13.000-5

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

5

USD million Rp/USD

Jan MaySep2004

Jan May Sep2005

Jan May Sep2006

Jan MaySep2007

Jan MaySep2008

Jan2009

Domestic Net S-DOffshore Net S-DOverall Net S -DIDR/USD

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

SBI SUN Saham

USD juta

Net Flows

Jan May Sep2004

Jan May Sep2005

Jan May Sep2006

Jan May Sep2007

Jan May Sep2008

Jan2009

Page 77: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

335Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

Akibatnya dari sifatnya sebagai penempatan jangka pendek, investor asing dapat menarik

dananya setiap saat sebagaimana terjadi pada beberapa periode dimana faktor risiko meningkat.

Pada saat terjadi outflow, rupiah terdepresiasi dan pergerakannya lebih fluktuatif. Berdasarkan

Grafik III.15Net Capital Flows dan Investasi Portfolio Asing

# of Events 708 601Offshore's Net Fx S-D (avg, $ mio) 97,449 -98,761Domestic Net Fx Supply-Demand

Domestic Net Fx Supply 12.99% 56.41%# of Events 92 339Amount (avg, $ mio) 33.46 78.62

Domestic Net Fx Demand 87.01% 43.59%# of Events 616 262Amount (avg, $ mio) -101.48 -56.63

Exchange Rate NovementsAppreciation 66.08% 29.29%

# of Events 450 169Average 0.43% 0.28%

Depreciation 33.92% 70.71%# of Events 231 408Average -0.26% -0.50%

Exch. Rate Volatility (avg) 10.25% 12.14%

Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows

EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT

# of Events 708 601Offshore's Net Fx S-D (avg, $ mio) 97.449 -98.761Domestic Net Fx Supply-Demand

Domestic Net Fx Supply 12,99% 56,41%# of Events 92 339Amount (avg, $ mio) 33.46 78.62

Domestic Net Fx Demand 87,01% 43,59%# of Events 616 262Amount (avg, $ mio) -101,48 -56,63

Exchange Rate NovementsAppreciation 66,08% 29,29%

# of Events 450 169Average 0,43% 0,28%

Depreciation 33,92% 70,71%# of Events 231 408Average -0,26% -0,50%

Exch. Rate Volatility (avg) 10,25% 12,14%

Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows

EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT

Tabel III.4Perkembangan Pasar Valas pada Periode Inflows

dan Outflows

# of Events 708 601Offshore's Net Fx S-D (avg, $ mio) 97,449 -98,761Domestic Net Fx Supply-Demand

Domestic Net Fx Supply 12.99% 56.41%# of Events 92 339Amount (avg, $ mio) 33.46 78.62

Domestic Net Fx Demand 87.01% 43.59%# of Events 616 262Amount (avg, $ mio) -101.48 -56.63

Exchange Rate NovementsAppreciation 66.08% 29.29%

# of Events 450 169Average 0.43% 0.28%

Depreciation 33.92% 70.71%# of Events 231 408Average -0.26% -0.50%

Exch. Rate Volatility (avg) 10.25% 12.14%

Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows

EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT

# of Events 670 639% change (avg) 0,36% -0,41%Exch. Rate Volatility (avg) 10,76% 11,50%Domestic Net Fx Supply-Demand

Domestic Net Fx Supply 15,97% 0,70%# of Events 107 324Amount (avg, $ mio) 45,46 76,75

Domestic Net Fx Demand 84,03% 49,30%# of Events 563 315Amount (avg, $ mio) -102,95 -61,53

Capital Flows (Offshore Net S-D)Capital Inflows 71,19% 36,15%

# of Events 477 231Avg., $ mio 117,96 55,09

Capital Outflows 28,81% 63,85%# of Events 193 408Average -68,35 -113,15

AppreciationAppreciationAppreciationAppreciationAppreciation DepreciationDepreciationDepreciationDepreciationDepreciation

EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT

Tabel III.5Perkembangan Pasar Valas pada Periode

Apresiasi dan Depresiasi

-400

-200

0

200

400

600

800

1,000

-200

-100

0

100

200

300

400

500

USD millionUSD million

Jan Mar May Jul Sep Nov2007

Jan Mar May Jul Sep Nov2008

Jan Mar2009

Net Flows (rhs) Outflows Inflows

Page 78: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

336 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

data historis, pada saat terjadi inflows terdapat 66% peluang rupiah akan terapresiasi dan

apresiasi yang terjadi relatif smooth sehingga volatilitas yang ditimbulkannya rata-rata hanya

sebesar 10%. Namun pada saat terjadi outflows, peluang rupiah terdepresiasi sedikit lebih

besar (71%) dan level depresiasinya lebih tajam sebagaimana tercermin pada rata-rata volatilitas

pada periode outflow yang mencapai sekitar 12%. Dari deskripsi di atas terlihat adanya

assymetric impact dari kejadian inflows dan outflows. Salah satu faktor yang menyebabkan

terjadinya assymetric tersebut adalah kondisi permintaan dan penawaran domestik yang

cenderung excess demand. Sehingga pasokan valas dari luar negeri terlebih dahulu harus

menambal excess demand domestik sebelum mendorong apresiasi rupiah.

4.1.5. Pola Transaksi Antar Kelompok Pelaku Pasar

Transaksi valas yang dilakukan oleh pelaku pasar valas membentuk suatu pola umum

yang relatif persisten dalam periode penelitian. Selain itu, meskipun tidak dapat mengidentifikasi

terjadinya segmentasi pasar, pola transaksi tersebut menunjukkan pasar dikuasai hanya oleh

sebagian kecil pelaku pasar. Di kelompok market maker, pasar dikuasai oleh bank asing (hanya

oleh 6 bank), bank pemerintah (3 bank) dan sedikit bank dari kelompok bank campuaran (1

bank) dan BUSN devisa. Bank-bank tersebut menguasai sekitar 86% market share, sisanya

diperebutkan oleh lebih dari 100 bank domestik lainnya.

Terkait dengan pola transaksi, bank asing menjadi kelompok bank yang memiliki akses

terbesar ke seluruh pelaku pasar. Bahkan, lebih dari 80% transaksi bank dengan pelaku LN

dilayani oleh bank asing, sehingga bank asing menjadi 'gate' pelaku LN untuk masuk ke pasar

keuangan domestik. Dalam kondisi normal, pelaku LN menjadi pemasok valas bagi bank asing

dan kelompok bank lainnya. Selain itu, bank asing juga menerima pasokan valas yang lebih

besar dari korporasi. Pasokan valas tersebut hampir seluruhnya didistribusikan oleh bank asing

ke bank lainnya, terutama bank persero dan BUSN devisa. Secara keseluruhan bank asing

mengalami excess demand yang cukup besar.

Bank persero, selain menerima pasokan valas dari pelaku asing (secara langsung) dan

bank asing, juga memperoleh pasokan valas dalam jumlah besar dari nasabah individu. Pasokan

valas tersebut disalurkan untuk memenuhi permintaan valas korporasi (termasuk Pertamina)

yang sangat besar, sehingga secara keseluruhan bank persero juga mengalami defisit aliran

valas.

Satu-satunya kelompok bank yang mengalami surplus pasokan valas adalah BUSN devisa.

Kelompok ini menerima pasokan valas dari seluruh kelompok bank, kecuali BUSN non-devisa,

Page 79: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

337Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

dan pelaku LN secara langsung. Pasokan valas tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi

permintaan valas korporasi dan nasabah individu, sementara kelebihannya menambah cadangan

valas kelompok bank ini.

Tabel III.6Pola Transaksi Valas Antar Kelompok Pelaku

ALL PeriodALL PeriodALL PeriodALL PeriodALL Period FOREIGNFOREIGNFOREIGNFOREIGNFOREIGN JOINT BANKJOINT BANKJOINT BANKJOINT BANKJOINT BANK STATE BANKSTATE BANKSTATE BANKSTATE BANKSTATE BANK PRIVATE FXPRIVATE FXPRIVATE FXPRIVATE FXPRIVATE FX ALL BANKALL BANKALL BANKALL BANKALL BANKBANKBANKBANKBANKBANK BANKBANKBANKBANKBANK

FOREIGN BANK 0 -756.207 3.985.576 16.813.438 20.042.807JOINT BANK 663.807 0 -1.607.367 11.019.864 10.076.304STATE BANK -3.985.576 1.551.367 0 10.361.111 7.926.902PRIVATE FX BANK -16.817.638 -11.078.014 -10.361.111 0 -38.256.763REG DEVL BANK -548.785 -1.750 193.175 588.686 231.326PRIVATE Non-FX BANK -629.034 -602.332 -454.428 -328.135 -2.013.929CORPORATION 11.404.656 5.020.344 -48.475.487 -3.142.302 -35.192.789INDIVIDUAL -2.076.875 862.379 11.558.071 -24.633.484 -14.289.909OFFSHORE 2.421.232 2.212.527 2.736.218 2.916.468 10.286.445

-9.568.213 -2.791.686 -42.425.353 13.595.646

NET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BY

NET

FO

REX

SELL

and

BU

Y B

Y

ALL PeriodALL PeriodALL PeriodALL PeriodALL Period FOREIGNFOREIGNFOREIGNFOREIGNFOREIGN JOINT BANKJOINT BANKJOINT BANKJOINT BANKJOINT BANK STATE BANKSTATE BANKSTATE BANKSTATE BANKSTATE BANK PRIVATE FXPRIVATE FXPRIVATE FXPRIVATE FXPRIVATE FX ALL BANKALL BANKALL BANKALL BANKALL BANKBANKBANKBANKBANKBANK BANKBANKBANKBANKBANK

FOREIGN BANK 0 -679.223 -1.859.500 -567.760 -3.106.483JOINT BANK 679.223 0 -1.327.475 809.148 160.896STATE BANK 1.859.500 1.327.475 0 1.929.275 5.116.250PRIVATE FX BANK 567.760 -809.148 -1.929.275 0 -2.170.663REG DEVL BANK 41.365 0 -35.060 12.150 18.455PRIVATE Non-FX BANK -46.811 -114.680 -102.200 -46.737 -310.428CORPORATION 229.960 -11.399 -2.780.567 -893.360 -3.455.366INDIVIDUAL 85.342 -23.719 425.388 -264.810 222.201OFFSHORE -2.671.868 500.799 100.839 267.014 -1.803.216

744.471 190.105 -7.507.850 1.244.920

NET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BY

NET

FO

REX

SELL

and

BU

Y B

Y

Dalam kondisi krisis, seperti yang terjadi pada triwulan terakhir 2008, arah pola aliran

transaksi valas sebagaimana dijelaskan di atas berbalik arah, sehingga kelompok bank asing

dan bank campuran justru mengalami ekses pasokan. Sementara itu, bank persero tetap

mengalami defisit (seperti dalam kondisi normal) dan BUSN devisa tetap mengalami surplus

pasokan. Kondisi ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan distribusi valas, meskipun

masih mungkin menjadi balance melalui berbagai jalur lainnya, misalnya transfer dana atau

melalui PUAB.

Page 80: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

338 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

4.2. Hasil Estimasi

4.2.1. Persamaan Nilai Tukar

Berdasarkan hasil pengolahan dengan menggunakan metode ECM diketahui bahwa

faktor-faktor yang memengaruhi nilai tukar baik dalam jangka panjang maupun pendek. Dalam

jangka panjang, net supply valas dari pelaku luar negeri merupakan satu-satunya faktor yang

memengaruhi pergerakan nilai tukar. Kenaikan 1% net supply valas dari pelaku luar negeri

akan menyebabkan apresiasi nilai tukar sebesar 0,06%.

Sementara dalam jangka pendek, faktor risiko merupakan faktor utama yang

memengaruhi pergerakan nilai tukar. Koefisien regresi faktor risiko sebesar 0,70 yang

mengimplikasikan setiap risiko memburuk dimana indeks risiko meningkat sebesar 1% akan

menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 0,70%. Hasil pengolahan tersebut

menunjukkan sentimen pelaku pasar terhadap pasar valas masih mendominasi.

Faktor kedua yang berpengaruh signifikan adalah pergerakan nilai tukar regional sebesar

0,46. Adapun indeks nilai tukar regional tersebut merupakan indeks komposit dari mata uang

negara Jepang, Euro, dan Singapura yang mewakili nilai tukar regional. Nugroho dkk (2008)

menunjukkan bahwa pergerakan keempat mata uang tersebut memiliki korelasi yang kuat

dengan pergerakan rupiah, sebagaimana terlihat pada grafik berikut.

Grafik III.16.Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

dan Euro

Grafik III.17.Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan

Singapore Dollar

Selain itu faktor permintaan dan penawaran memengaruhi nilai tukar secara signifikan,

dengan komposisi sebagai berikut:

1.3

1.2

1.1

1

0.9

0.8

0.7

0.6

EUR IDR Thousand

13

12

11

10

9

8

72000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

EUR/USDIDR/USD

1.8

1.7

1.6

1.5

1.4

1.3

SGD IDR Thousand

13

12

11

10

9

8

72000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

SGD/USDIDR/USD

left side

right side

Page 81: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

339Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

a. Permintaan dan penawaran luar negeri berpengaruh dengan koefisien sebesar 0,06 di

masa saat ini dan 0,04 di masa lalu. Pengaruh sesaat dari permintaan dan penawaran

tersebut lebih besar di masa sekarang. Hasil tersebut sejalan dengan teori simultaneous-

trade model bahwa perilaku pelaku pasar saat ini merupakan informasi bagi pelaku

pasar selanjutnya yang selanjutnya akan melakukan perilaku yang serupa. Selain itu,

hasil ini juga sejalan dengan analisis sebelumnya yang menunjukkan bahwa adanya

pengaruh dari perilaku pelaku domestik terhadap luar negeri. Artinya koefisien yang

lebih besar saat ini merupakan akumulasi informasi saat ini dan informasi pelaku di

masa lalu untuk sesama pelaku luar negeri serta dalam negeri.

b. Permintaan dan penawaran dalam negeri berpengaruh dengan koefisien sebesar 0,05

saat ini. Perilaku masa lalu tidak memengaruhi kondisi saat ini, menunjukkan bahwa

seluruh informasi pasar sudah diserap pada periode t. Akan tetapi perlu diperhatikan,

bahwa pengaruh dari permintaan dan penawaran domestik lebih kecil dari permintaan

dan penawaran luar negeri. Pengujian ini memperjelas hasil analisis sebelumnya. Pangsa

pasar pemain asing dalam perdagangan valas dengan denominasi USD/IDR masih pada

kisaran 40% dan menggunakan bank asing di dalam melakukan transaksinya. Sementara

keterkaitan bank asing sebagai partner utama bank-bank domestik semakin meningkat.

Magnitude yang besar dari pelaku LN relatif terhadap DN juga dapat berasal dari adanya

kecenderungan perilaku trading pelaku asing, sehingga perubahan nilai tukar yang lebih

besar menunjukkan adanya expected gain/loss yang lebih besar juga bagi pelaku LN.

Sementara pelaku DN cenderung melakukan real transaction sehingga pembelian dan

penjualan valas bukan hanya dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar, tetapi kebutuhan

valas.

Tabel berikut menampilkan hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi

BLUE) dalam jangka panjang dan jangka pendek.

Tabel III8Hasil Estimasi Persamaan Nilai Tukar

SD Luar NegeriSD Luar NegeriSD Luar NegeriSD Luar NegeriSD Luar Negeri SD Luar Negeri (-1)SD Luar Negeri (-1)SD Luar Negeri (-1)SD Luar Negeri (-1)SD Luar Negeri (-1) SD Dalam NegeriSD Dalam NegeriSD Dalam NegeriSD Dalam NegeriSD Dalam Negeri SD Dalam Negeri (-1)SD Dalam Negeri (-1)SD Dalam Negeri (-1)SD Dalam Negeri (-1)SD Dalam Negeri (-1) R iskRiskRiskRiskRisk NEERNEERNEERNEERNEER

-0,07*** -0,06*** -0,04*** -0,07 -0,05*** -0,03*** 0,18 0,76*** -0,48 0,55*** -0,34***(0,02) (0,01) (0,01) (0,06) (0,02) (0,02) (0,16) (0,20) (0,31) (0,21 ) (0,17 )

Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort TermCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. of

adjusmentadjusmentadjusmentadjusmentadjusment

R-squared 84% 83%DW stat 1,72 1,56

Short RunShort RunShort RunShort RunShort Run Long RunLong RunLong RunLong RunLong Run

Page 82: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

340 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

4.2.2. Persamaan Output

Persamaan output merupakan fungsi identitas dari variabel konsumsi, investasi,

pemerintah, ekspor, dan impor. Untuk variabel konsumsi, investasi, pemerintah merupakan

variabel eksogen dalam pembentukan output, sementara variabel impor dan ekspor ditentukan

dalam model (endogen).

a. Ekspor

Sebagaimana telah dijelaskan di dalam metodologi, persamaan ekspor yang digunakan

merupakan fungsi dari nilai tukar, pendapatan partner dagang, dan terms of trade (harga

ekspor dibandingkan dengan harga impor). Pada persamaan ekspor juga dilakukan metode

pengolahan dengan menggunakan metode ECM, karena beberapa variable eksogen yang

tidak stasioner pada level tetapi memiliki kointegrasi dalam jangka panjang2 . Hasil pengolahan

dalam jangka panjang menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan partner dagang (komposit

pertumbuhan partner dagang utama Jepang, USA, dan Singapura) merupakan faktor utama

yang memengaruhi ekspor Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan fakta yang menunjukkan

bahwa ketiga negara tersebut memiliki share mencapai 44,58% dari total keseluruhan ekspor

Indonesia. Konsentrasi yang tinggi pada ketiga negara tersebut menyebabkan ketergantungan

ekspor Indonesia yang kuat juga terhadap mereka.

Sementara dalam jangka pendek, faktor yang paling memengaruhi pergerakan ekspor

adalah faktor harga yang ditunjukkan oleh term of trade, kenaikan 1% harga ekspor (relatif

terhadap harga impor) menyebabkan penurunan ekspor sebesar 2,2%.

Selanjutnya faktor yang memengaruhi ekspor adalah perubahan nilai tukar. Depresiasi

nilai tukar akan menyebabkan harga barang-barang ekspor di pasar internasional menjadi

relative lebih murah sehingga dapat meningkatkan ekspor. Adapun koefisien hasil pengolahan

data sebesar 1,185, dimana kenaikan 1% dari nilai tukar akan menyebabkan kenaikan 1,19%

pada ekspor. Persamaan ini juga menunjukkan pengaruh nilai tukar pada ekspor dapat langsung

ataupun tidak langsung. Jalur yang tidak langsung yaitu melalui harga barang impor yang

menjadi mahal akibat kenaikan nilai tukar, sehingga harga barang ekspor menjadi lebih murah

yang pada akhirnya meningkatkan ekspor.

Hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) baik dalam jangka

panjang maupun pendek dapat disimpulkan di dalam tabel berikut ini:

2 Pengujian stasioneritas, heterokedastisitas, autokorelasi, stasioneritas dan normalitas residual disajikan di dalam lampiran.

Page 83: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

341Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

Tabel III.9.Hasil Estimasi Persamaan Ekspor

Term of TradeTerm of TradeTerm of TradeTerm of TradeTerm of Trade Indeks ProduksiIndeks ProduksiIndeks ProduksiIndeks ProduksiIndeks Produksi Nilai TukarNilai TukarNilai TukarNilai TukarNilai Tukar

-0,65 -2,2* 1,91*** 0,57 0,21 1,19* -0,61***(0,56) (1,23) (0,35) (0,50) (0,18) (0,64) (0,15)

Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort TermCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. of

adjusmentadjusmentadjusmentadjusmentadjusment

b. Impor

Persamaan impor juga merupakan fungsi dari nilai tukar, terms of trade (harga ekspor

dibandingkan dengan harga impor), serta pertumbuhan Indonesia. Berdasarkan hasil pengolahan

dengan menggunakan ECM, diperoleh bahwa dalam jangka panjang, faktor yang paling

memengaruhi pergerakan impor di Indonesia adalah harga relative antara ekspor dan impor.

Kenaikan 1% terms of trade menyebabkan penurunan impor sebesar 1,25%. Sementara dalam

jangka pendek, faktor yang paling memengaruhi impor adalah perubahan nilai tukar. Depresiasi

nilai tukar sebesar 1 % menyebabkan penurunan impor sebesar 1% juga. Faktor lainnya yang

memengaruhi pergerakan impor adalah pertumbuhan ekonomi, dimana kenaikan 1 % dari

pertumbuhan ekonomi Indonesia menyebabkan kenaikan impor sebesar 0,64%. Tidak seperti

persamaan ekspor sebelumnya, yang menunjukkan adanya efek nilai tukar yang langsung ke

ekspor dan efek nilai tukar yang ditransmisikan melalui terms of trade, pada persamaan impor

ini efek nilai tukar berdampak langsung pada pergerakan impor, sementara dalam jangka

pendek tidak terdapat efek tidak langsung melalui terms of trade.

Hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) baik dalam jangka

panjang maupun pendek dapat disimpulkan di dalam tabel berikut ini:

Tabel III.10.Hasil Estimasi Persamaan Impor

Term of TradeTerm of TradeTerm of TradeTerm of TradeTerm of Trade Indeks ProduksiIndeks ProduksiIndeks ProduksiIndeks ProduksiIndeks Produksi Nilai TukarNilai TukarNilai TukarNilai TukarNilai Tukar

-1,25** 0,87 0,15 0,65*** 0,06 -1,00** -0,44***(0,56) (0,58) (0,29) (0,08) (0,30) (0,38) (0,08)

Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort TermCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. of

adjusmentadjusmentadjusmentadjusmentadjusment

R-squared 76% 86%DW stat 2,52 2,57

Short RunShort RunShort RunShort RunShort Run Long RunLong RunLong RunLong RunLong Run

R-squared 60% 64%DW stat 2,06 2,18

Short RunShort RunShort RunShort RunShort Run Long RunLong RunLong RunLong RunLong Run

Page 84: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

342 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Tabel III.11.Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor

Harga InternasionalHarga InternasionalHarga InternasionalHarga InternasionalHarga Internasional Nilai TukarNilai TukarNilai TukarNilai TukarNilai Tukar Supply StockSupply StockSupply StockSupply StockSupply Stock PDBPDBPDBPDBPDB

0,99** 0,67 0,42*** 0,33*** 0,20*** 0,21*** 0,02 0,01 -0,26**(0,39) (0,61) (0,13) (0,08) (0,03) (0,03) (0,02) (0,02) (0,12)

Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort TermCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. of

adjusmentadjusmentadjusmentadjusmentadjusment

R-squared 73% 99%DW stat 1,79 2,06

Short RunShort RunShort RunShort RunShort Run Long RunLong RunLong RunLong RunLong Run

2 Hasil penelitian Kurniati (2008) menemukan exchange rate pass through sebesar 0,.20 dalam jangka pendek pada periode paskakrisis.

4.2.3. Persamaan Hargaa. Harga Impor

Persamaan ini digunakan untuk melihat hubungan antara nilai tukar dan harga impor.

Hasil pengujian dengan menggunakan metode ECM, menunjukkan bahwa di dalam jangka

panjang, faktor yang paling memengaruhi harga impor Indonesia adalah harga-harga

internasional, yaitu sebesar 1% kenaikan harga internasional menyebabkan kenaikan harga

impor sebesar 0,99%. Faktor kedua yang berpengaruh di dalam jangka panjang adalah

perubahan nilai tukar, dengan pengaruh sebesar 0,42. Angka exchange rate pass-through ini

sejalan dengan hasil temuan Kurniati (2008) yang memperoleh pengaruh nilai tukar terhadap

harga impor sebesar 0,45 pada periode post crisis.

Sementara dalam jangka pendek, faktor nilai tukar paling memengaruhi harga impor

dengan koefisien sebesar 0,333 , yang kemudian diikuti dengan faktor supply shock (oil price)

dengan koefisien sebesar 0,20. Apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, maka

pengaruh nilai tukar terhadap pergerakan harga impor terutama di dalam jangka pendek

semakin membesar. Artinya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya akibat adanya magnitude

yang besar pada permintaan dan penawaran luar negeri terhadap nilai tukar, akan berdampak

juga pada tekanan harga impor.

Hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) baik dalam jangka

panjang maupun pendek ditunjukkan oleh tabel berikut ini:

b. Harga Konsumen

Second round effect adanya perubahan nilai tukar adalah tekanan pada harga keseluruhan.

Akibat kenaikan harga barang-barang impor menyebabkan harga keseluruhan di perekonomian

Page 85: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

343Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

menjadi meningkat. Dalam jangka panjang, faktor yang memengaruhi kenaikan harga di dalam

perekonomian adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia. Yaitu kenaikan 1% pertumbuhan

ekonomi menyebabkan kenaikan harga sebesar 0,01%. Sementara dalam jangka pendek,

perubahan harga domestik disebabkan oleh kenaikan harga barang impor, yaitu kenaikan 1%

harga barang impor menyebabkan kenaikan harga domestik sebesar 0,05%. Hasil analisis

tersebut menunjukkan adanya tingkat ketergantungan impor yang besar di dalam keseluruhan

kegiatan produksi.

Tabel III.12.Komoditas Impor Utama Indonesia, 2000-2008

1 Minyak bumi dan olahannya 28%2 Kimia organis 8%3 Besi dan baja 6%4 Mesin industri dan perlengkapannya 6%5 Mesin industri khusus 5%6 Gandum dan gandum olahan 3%7 Bahan plastik 3%8 Mesin pembangkit tenaga 3%9 Serat tekstil dan sisanya 3%10 Benang tenun, kain tekstil, dan hasilnya 3%11 Bahan kimia lainnya 3%12 Pulp dan Kertas 2%13 Logam tidak mengandung besi 2%14 Barang-barang logam lainnya 2%15 Makanan ternak 2%16 Kimia inorganis 1%17 Biji logam dan sisa-sisa logam 1%18 Bahan celup dan pewarna lainnya 1%19 Gula, olahan gula, dan madu 1%20 Hasil susu dan telur 1%

NoNoNoNoNo KomoditasKomoditasKomoditasKomoditasKomoditas Rata-rataRata-rataRata-rataRata-rataRata-rataPangsaPangsaPangsaPangsaPangsa

200-2008200-2008200-2008200-2008200-2008

Page 86: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

344 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Apabila dilihat lebih detail pada tabel II.12 di atas, barang impor utama yang masuk ke

Indonesia sebagian besar merupakan barang utama pembuatan industri, seperti minyak bumi

dan olahannya, kimia organis, besi dan baja. Barang-barang ini sebagai komoditi utama produksi

industriindustry di Indonesia, sehingga apabila ada perubahan nilai tukar yang menyebabkan

kenaikan tekanan pada harga impor, juga akan memberikan dampak yang kuat terhadap

harga domestik. Hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) selengkapnya

baik dalam jangka panjang maupun pendek dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel III.13.Hasil Estimasi Persamaan Harga Konsumen

Harga ImporHarga ImporHarga ImporHarga ImporHarga Impor PDBPDBPDBPDBPDB Supply ShockSupply ShockSupply ShockSupply ShockSupply Shock

-0,01 0,05* -0,01*** 0,00 -0,00 0,01 -0,08(0,02) (0,03) (0,00) (0,00) (0,00) (0,01) (0,20)

Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort TermCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. of

adjusmentadjusmentadjusmentadjusmentadjusment

R-squared 85% 99%DW stat 1,81 2,22

Short RunShort RunShort RunShort RunShort Run Long RunLong RunLong RunLong RunLong Run

4.2.4. Simulasi Model Simultan

Berdasarkan penggabungan model parsial diperoleh hasil kesesuaian antara baseline

dan actual seperti grafik II.18. Pada grafik tersebut terlihat bahwa sebagian besar baseline

(data hasil estimasi model parsial) dapat mengestimasi besaran angka aktual. Untuk persamaan

nilai tukar, harga impor, dan harga domestik, persamaan parsial mampu menangkap pergerakan

data aktual dengan baik. Akan tetapi pada beberapa periode, terutama untuk persamaan

ekspor, model parsial belum dapat menangkap pergerakan data aktual secara sempurna.

walaupun arah dari pergerakan data aktual relatif dapat ditangkap.

Selanjutnya dari hasil pengolahan dengan menggunakan model simultan dilakukan

beberapa simulasi terutama terkait dengan kenaikan/penurunan permintaan dan penawaran

valas luar dan dalam negeri sebagai berikut :

1. Skenario perubahan pada permintaan dan penawaran valas luar negeri berupa kenaikan

penawaran valas dan permintaan valas sebesar 20%. Simulasi kenaikan penawaran valas

yang berasal dari pelaku LN sebesar 20% menyebabkan apresiasi nilai tukar 4,44% yang

diikuti dengan perubahan beberapa variabel makro lainnya. Begitu pula ketika terjadi kenaikan

Page 87: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

345Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

Grafik III.18.Model Simultan 6 Persamaan Parsial

permintaan valas yang berasal dari LN sebesar 20% menyebabkan depresiasi nilai tukar

sebesar 4,68% yang diikuti dengan perubahan beberapa variabel makro lainnya. Berdasarkan

hasil pengolahan data, dapat dilihat bahwa dampak dari kenaikan penawaran valas LN

lebih kecil dibandingkan dengan dampak kenaikan permintaan valas LN. Hal tersebut

menunjukkan opportunity rupiah terdepresiasi lebih besar untuk setiap kenaikan permintaan

valas LN.

13000

12000

11000

10000

9000

80002004 2005 2006 2007 2008

ActualER (Baseline)

ER

2004 2005 2006 2007 2008

ActualM (Baseline)

M10000

9000

8000

7000

6000

5000

4000

3000

2000

2004 2005 2006 2007 2008

ActualP (Baseline)

P150

140

130

120

110

100

902004 2005 2006 2007 2008

ActualPM (Baseline)

PM280

240

200

160

110

120

80

2004 2005 2006 2007 2008

ActualX (Baseline)

X35000

30000

25000

20000

15000

100002004 2005 2006 2007 2008

ActualY (Baseline)

Y190000

180000

170000

160000

150000

140000

130000

120000

Page 88: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

346 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Apabila dilihat dampaknya ke variabel makroekonomi lainnya, dapat dilihat, bahwa

dampak depresiasi lebih besar berpengaruh pada variabel ekspor, sementara apresiasi lebih

besar berpengaruh pada variabel impor. Sementara variabel lain seperti PDB, harga impor,

harga domestik, memiliki pengaruh yang sama pada saat apresiasi maupun depresiasi. Secara

lengkap, hasil simulasi kedua skenario tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows

EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT

Tabel III.15.Kenaikan Permintaan LN 20%

10274 4,68%9815

8155,6 -2,98%8405,7

142,2 0,14%142

227,5 1,79%223,5

28669 2,36%28008

174989 0,52174078

E RE RE RE RE RScenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM

Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

PPPPPScenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M

Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

XXXXXScenario 98152Scenario 98152Scenario 98152Scenario 98152Scenario 98152

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY

Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

2. Skenario perubahan pada permintaan dan penawaran valas luar negeri berupa penurunan

penawaran valas 20% dan permintaan valas 20%. Berdasarkan simulasi tersebut skenario

tersebut, dapat dilihat bahwa dampak penurunan penawaran valas oleh pihak LN (yang

menyebabkan depresiasi rupiah) lebih besar dibandingkan dengan dampak penurunan

permintaan valas. Seperti halnya skenario pada point pertama, dapat dilihat bahwa dampak

depresiasi rupiah lebih berpengaruh pada ekspor sementara apresiasi rupiah lebih

berpengaruh pada impor.

Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows

EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT

Tabel III.14.Kenaikan Penawaran LN 20%

9379 4,44%9815

8667,5 3,11%8405,7

141,8 -0,14%142

219,5 -1,79%223,5

273,66 -22,9%28008

173174 -0,52%174078

E RE RE RE RE RScenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM

Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

PPPPPScenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M

Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

XXXXXScenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY

Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

Page 89: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

347Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows

EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT

Tabel III.16.Penurunan Penawaran LN 20%

10381 5,77%9815

8101,2 -3,62%8405,7

142,2 0,14%1,42

228,4 2,19%223,5

28820 2,90%28008

175195 0,64%174078

E RE RE RE RE RScenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM

Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

PPPPPScenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M

Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

XXXXXScenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY

Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows

EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT

Tabel III.17.Penurunan Permintaan LN 20%

9285 -5,40%9815

8727,8 3,83%8405,7

141,8 -0,14%142

218,6 -2,19%223,5

27225 -2,80%28008

172973 0,63%174078

E RE RE RE RE RScenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM

Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

PPPPPScenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M

Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

XXXXXScenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY

Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

3. Skenario perubahan pada permintaan dan penawaran valas dalam negeri berupa kenaikan

penawaran valas 20% dan permintaan valas 20%. Besarnya depresiasi yang disebabkan

oleh adanya kenaikan permintaan valas di DN sebesar 0,79% lebih besar dari adanya apresiasi

akibat kenaikan penawaran valas oleh pelaku DN yaitu sebesar 0,78%. Tidak seperti halnya

dampak perubahan permintaan dan penawaran valas LN yang berpengaruh pada variabel

ekspor dan impor, perubahan permintaan dan penawaran valas DN menyebabkan perubahan

yang berbeda pada harga impor, dimana pengaruh apresiasi lebih besar dibandingkan

pengaruh depresiasi nilai tukar. Sementara untuk variabel makroekonomi lainnya memiliki

pengaruh yang sama. Temuan lainnya yang juga menarik adalah besarnya pengaruh

perubahan permintaan dan penawaran valas LN yang lebih besar daripada perubahan

permintaan dan penawaran valas DN. Nilai perbedaan tersebut berkisar antara 3-4%. Hal

tersebut membuktikan bahwa pasar valas Indonesia rentan terhadap pergerakan permintaan

dan penawaran valas dari LN.

Page 90: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

348 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

4. Skenario perubahan pada permintaan dan penawaran valas dalam negeri berupa penurunan

penawaran valas 20% dan penurunan permintaan valas 20%. Skenario ini menunjukkan

bahwa walaupun secara neto memiliki perilaku yang sama, tetapi depresiasi yang ditimbulkan

oleh penurunan penawaran lebih besar daripada akibat kenaikan permintaan valas. Jadi

untuk mencegah depresiasi yang besar, adalah mencegah penurunan penawaran valas

yang besar. Begitupula dampak penurunan permintaan valas lebih besar daripada kenaikan

penawaran valas dalam mendorong apresiasi nilai tukar rupiah.

Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows

EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT

Tabel III.19.Kenaikan Permintaan DN 20%

9893 0,79%9815

8361,5 0,53%8405,7

142 0,00%142

224,1 0,27%\223,5

28121 0,40%28008

174236 0,09%174078

E RE RE RE RE RScenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM

Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

PPPPPScenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M

Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

XXXXXScenario 98152Scenario 98152Scenario 98152Scenario 98152Scenario 98152

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY

Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows

EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT

Tabel III.18.Kenaikan Penawaran DN 20%

9738 -0,78%9815

8450,3 0,53%8405,7

142 0,00%142

222,8 0,31%223,5

27895 0,40%28008

173921 -0,09%174078

E RE RE RE RE RScenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM

Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

PPPPPScenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M

Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

XXXXXScenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY

Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

Page 91: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

349Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows

EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT

Tabel III.20.Penurunan Penawaran DN 20%

9494 0,85%9414

8256,9 -0,42%8292,1

141141

230,1 0,35%229,3

27921 0,43%27802

172299 0,09%172145

E RE RE RE RE RScenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM

Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

PPPPPScenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M

Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

XXXXXScenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY

Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows

EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT

Tabel III.21.Penurunan Permintaan DN 20%

9721 -0,96%9815

8460,4 0,65%8405,7

142 0,00142

222,6 0,40%223,5

27870 -0,49%28008

173885 -0,11%174078

E RE RE RE RE RScenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM

Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

PPPPPScenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M

Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

XXXXXScenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8

BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY

Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline

Page 92: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

350 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini baik dari segmen telaah pasar maupun dari segmen analisis regresi

dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Interaksi antara permintaan dan penawaran valas secara signifikan mempengaruhi nilai

tukar rupiah, dan pengaruh permintaan dan penawaran valas dari pelaku luar negeri lebih

dominan dibandingkan dari pelaku dalam negeri.

a. Lebih dominannya pengaruh permintaan dan penawaran valas dari luar negeri

dikonfirmasi oleh hasil analisis bedah pasar valas yang menunjukkan bahwa pelaku luar

negeri merupakan pemain utama oleh karena perannya sebagai market mover dan

penyeimbang permintaan dan penawaran pelaku domestik yang cenderung excess

demand.

b. Namun demikian, permintaan dan penawaran valas luar negeri memberikan dampak

yang asimetrik terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Apabila terjadi net supply (capital

inflows) dan besarnya dapat mengimbangi net demand DN maka rupiah akan terapresiasi

secara gradual. Sebaliknya, apabila terjadi net demand rupiah oleh luar negeri akan

terdepresiasi dan gerakannya lebih volatile.

c. Pelaku LN relatif sangat fleksibel - dapat beralih dengan cepat dari net supply menjadi

net demand, atau sebaliknya - oleh karena aktivitas transaksi valasnya bersifat trading

untuk mendukung investasi jangka pendek investor asing (portfolio investment).

Sementara pelaku DN terbagi dua, sebagian untuk mendukung aktivitas bisnis di sektor

riil (genuine transaction) dan sebagian lainnya trading untuk memperoleh keuntungan.

2. Lebih jauh lagi, nilai tukar memengaruhi perkembangan harga dan output perekonomian.

Pengaruh nilai tukar pada harga pada first round effect - yaitu dari nilai tukar ke harga

impor - relatif kuat dan signifikan, namun pada second round effect-nya ke harga konsumen

lebih terbatas. Pengaruh nilai tukar ke ekspor dan impor hanya signifikan di jangka pendek

dengan pengaruh yang lebih signifikan ke impor. Ekspor dan impor selanjutnya berpengaruh

terhadap output perekonomian. Selain itu dampak asimetrik nilai tukar juga terjadi di dalam

perekonomian. Dampak depresiasi nilai tukar lebih besar dibandingkan dampak apresiasi

terutama dampak langsung terhadap ekspor dan impor. Perbedaan ini menimbulkan

akumulasi dampak terhadap perekonomian yang berbeda.

3. Dengan demikian, pasar valas menghadapi beberapa permasalahan yang berpotensi

mempengaruhi nilai tukar rupiah, yaitu:

Page 93: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

351Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

a. Ketergantungan pasar valas dan nilai tukar terhadap pasokan valas dari pihak luar negeri

cukup tinggi, dan selama ini dipenuhi oleh pasokan valas yang bersifat jangka pendek.

b. Tingginya aktivitas trading - oleh hampir seluruh pelaku LN dan sebagian pelaku DN -

mengindikasikan tingginya spekulasi terhadap nilai tukar rupiah.

c. Perkembangan pasar valas kurang seimbang dimana hanya pasar spot yang berkembang,

sementara pasar forward dan swap stagnan. Pasar forward dan swap yang tidak

berkembangnya menjadikan hedging tidak efisien, padahal hedging sangat diperlukan

dalam kondisi pasar didominasi oleh aktivitas spekulasi. Selain itu, kebutuhan untuk

melakukan transaksi forward atau swap pada gilirannya menjadi beban bagi pasar spot.

Permasalahan di atas menjadikan pasar valas dan nilai tukar sangat rentan terhadap

capital reversal dan koreksi nilai tukar apabila pergerakannya karena transaksi spekulatif tidak

sejalan dengan faktor fundamental perekonomian.

V.2. Rekomendasi Kebijakan

Permasalahan yang terjadi di pasar valas berpotensi menjadikan nilai tukar tidak stabil

dan lebih jauh lagi berdampak pada laju inflasi, ekspor dan impor, serta output. Untuk

meminimalisir dampak negatif dapat dilakukan beberapa langkah kebijakan sebagai berikut:

Menyeimbangkan Permintaan dan Penawaran Valas

1. Upaya menyeimbangkan harus diawali dengan pemantauan perkembangan permintaan

dan penawaran di pasar valas, termasuk aktifitas significant players, untuk mengantisipasi

terjadinya imbalances dan gejolak nilai tukar. Apabila terjadi ketidakseimbangan yang

signifikan perlu dilakukan upaya penyeimbangan.supply-demand valas dengan cara:

a. meningkatkan penawaran valas DN atau mengurangi permintaan valas DN,

Langkah untuk mengurangi permintaan valas relatif terbatas oleh karena Bank Indonesia

tidak memiliki wewenang untuk membatasinya. Yang dapat dilakukan BI adalah tidak

melakukan intervensi untuk menyerap valas dari pasar, dan berkoordinasi dengan

Pemerintah untuk menghimbau agar pembelian valas oleh BUMN dibatasi atau diatur

timing-nya, misalnya pada saat terjadi capital inflows dalam jumlah besar. Sebaliknya, BI

dapat melakukan upaya untuk meningkatkan pasokan valas, yaitu dengan intervensi

jual valas. BI perlu melanjutkan intervensi jual valas yang telah dilakukan secara rutin

dengan tetap mempertimbangkan tingkat kebutuhan (yaitu untuk memenuhi genuine

demand) dan waktu pelaksanaannya (yaitu pada saat terjadi outflows dan rupiah

tertekan).

Page 94: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

352 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

b. menarik lebih banyak pasokan valas dari LN, terutama yang lebih permanen (seperti FDI,

hasil ekspor yang ditempatkan di luar negeri, worker remittance, pengeluaran wisatawan

asing, dan sebagainya), atau mencegah terjadinya capital reversal.

Untuk mencegah terjadinya capital reversal perlu dilakukan upaya untuk menjaga kondisi

atau iklim investasi portofolio di Indonesia agar tetap menarik bagi investor asing. Langkah

yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga stabilitas rupiah, mempertahankan

kebijakan makro yang prudent dan transparan, serta berkoordinasi dengan pemerintah

untuk mendorong diterbitkannya instrumen investasi baru (menambah alternatif outlet

investasi). Sementara untuk menarik lebih banyak pasokan valas melalui FDI, worker

remittance dan wisatawan asing, perlu diupayakan bersama pemerintah untuk

menciptakan iklim investasi yang kondusif, mendorong lebih banyak tenaga kerja

Indonesia di luar negeri (terutama yang terlatih dan terdidik) dan meningkatkan daya

tarik obyek wisata di Indonesia.

Menyiasati Tingginya Trading Valas dan Mendorong Perkembangan Hedging Market

2. Ditengah tingginya aktivitas trading yang cenderung spekulatif, perlu dilakukan upaya untuk

melindungi genuine demand/supply, terutama yang terjadual seperti pembayaran impor,

penerimaan ekspor dan pembayaran utang LN, dengan mengembangkan pasar hedging

(forward dan swap). Langkah yang dapat dilakukan BI adalah lebih mengaktifkan intervensi

valas melalui transaksi forward dan swap, serta menjadikan fasilitas re-swap hedging yang

telah ada agar menjadi lebih menarik bagi bank.

Page 95: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

353Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

Evans, Martin D.D., dan Richard K. Lyons. 2005. "Understanding Order Flow""Understanding Order Flow""Understanding Order Flow""Understanding Order Flow""Understanding Order Flow". Working Paper

#11748, NBER, Massachusetts.

Husman, Jardine A. 2005. "Estimasi Nilai Tukar Paska Krisis: Pendekatan Model Komposit""Estimasi Nilai Tukar Paska Krisis: Pendekatan Model Komposit""Estimasi Nilai Tukar Paska Krisis: Pendekatan Model Komposit""Estimasi Nilai Tukar Paska Krisis: Pendekatan Model Komposit""Estimasi Nilai Tukar Paska Krisis: Pendekatan Model Komposit".

Bank Indonesia Working Paper 07/2005. Jakarta.

Kurniati, Yati, Tri Yanuarti dan Yanfitri. 2008. "Dampak Nilai Tukar terhadap Harga Impor dan"Dampak Nilai Tukar terhadap Harga Impor dan"Dampak Nilai Tukar terhadap Harga Impor dan"Dampak Nilai Tukar terhadap Harga Impor dan"Dampak Nilai Tukar terhadap Harga Impor dan

Inflasi Inti"Inflasi Inti"Inflasi Inti"Inflasi Inti"Inflasi Inti". Bank Indonesia, Catatan Riset 10/6/DKM/BRE/CR.

Kurniati, Yati, 2007 "Exchange Rate Pass-Through In Indonesia"

Lyons, Richard K. 2001. "The Microstructure Approach to Exchange Rates""The Microstructure Approach to Exchange Rates""The Microstructure Approach to Exchange Rates""The Microstructure Approach to Exchange Rates""The Microstructure Approach to Exchange Rates". MIT Press,

Cambridge, Massachusetts.

Rime, Dagfinn, Lucio Sarno, dan Elvira Sojli. 2007. "Exchange Rate Forecasting, Order Flow,"Exchange Rate Forecasting, Order Flow,"Exchange Rate Forecasting, Order Flow,"Exchange Rate Forecasting, Order Flow,"Exchange Rate Forecasting, Order Flow,

and Macroeconomic Information"and Macroeconomic Information"and Macroeconomic Information"and Macroeconomic Information"and Macroeconomic Information". Oslo ANO 2007/2.

DAFTAR PUSTAKA

Page 96: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

354 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 97: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

355Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

ANALISIS DETERMINANPERUBAHAN PENAWARAN BARANG EKSPOR INDONESIA

Sarwedi1

Abstract

This study analyzes the effects of structural economic movement on the change of indonesia»s

exports and examines the validity of the ignacy theory concerning structural economic movement in

relation to the changes of of export composition. The study utilize an ordinary mechanism of WLS, namely

the Wald model,

The estimation resulted through the combination of ECM and WLS shows that the price of export

goods/merchandises has a positive effect and is significant in the short-term. Yet, over the long-term

period, the increase in export commodity price causes the decrease in export volumes. Meanwhile, the

relationship between export volume and inflation is not significant, either in the short-term or long-term.

Foreign exchange interestingly has a positive and significant relationship with the export volume over a

short-term period, but in the long-term it has a reverse effect, that is, it decreases export volume. Foreign

investment has a positive and significant relationship with export volume in the long-term, the significance,

however, weakens over the short-term period.

The structural economic movement has a positive and significant relationship over a short-term

period with export volume, but over long-term period the relationship is not statistically strong. Thus, the

structural economic movement towards more on the growth of industry sector could stimulate the growth

in export aggregately. This evidence provides further support on the Ignacy theory (1980) if it is applied

on Indonesian international economy, especially for the period of 1983-1997.

JEL Classification: C32, F14, O24

Keyword: Weighted Least Square, Error Correction Model, Structural Economic Movement, Export Change

1 Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Jember dan Ketua ISEI Pengurus Cabang Jember; sebelumnya adalah dekan FE Unej;[email protected].

Page 98: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

356 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

I. PENDAHULUAN

Hampir setiap negara berkembang dewasa ini telah menjadikan pembangunan sebagai

komitmen bangsa untuk mengejar ketertinggalannya dalam berbagai aspek kehidupan. Salah

satu aspeknya adalah pembangunan ekonomi yang merupakan bagian integral dari

pembangunan nasional suatu negara. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang

menyebabkan pendapatan per kapita penduduk meningkat dalam jangka panjang yang dapat

mendorong perbaikan kesejahteraan ekonomi masyarakat miskin. Untuk mewujudkan

pembangunan ekonomi tersebut, Indonesia melakukan pembangunan di segala sektor ekonomi.

Salah satu sektor ekonomi yang mendapat perhatian adalah sektor perdagangan yang membawa

konsekuensi pada keterbukaan ekonomi domestik terhadap perkonomian internasional.

Menurut pandangan kaum klasik dan neo-klasik, alasan utama terjadinya perdagangan

internasional adalah terciptanya keuntungan bagi kedua negara yang melakukan perdagangan.

Perdagangan suatu negara dengan negara lainnya terjadi tidak lain karena kedua negara tersebut

mengharapkan untuk saling memperoleh keuntungan berupa peningkatan efisiensi produksi.

Oleh karena itu dengan melakukan perdagangan, suatu negara dapat membeli dengan harga

yang lebih rendah dibandingkan apabila memproduksi sendiri dan mungkin dapat menjual ke

luar negeri pada tingkat harga yang relatif tinggi.

Perdagangan internasional yang dilakukan oleh suatu negara juga berkaitan dengan

corak pergeseran struktur ekonominya. Sedangkan corak pergeseran struktur ekonomi

ditentukan oleh perubahan komposisi produksi (primary oriented), sektor industri (industry

oriented), atau keseimbangan kedua sektor tersebut. Corak pergeseran struktur ekonomi juga

ditentukan oleh perbedaan faktor timing dimana pergeseran strukturekonomi berlangsung.

Dengan demikian, terlihat adanya hubungan yang relatif erat antara pergeseran struktur ekonomi

dengan corak perdagangan suatu negara.

Beberapa studi empiris yang berkaitan dengan ekspor adalah: The Supply and Demand

for Exports: A Simultaneous Approach (Goldstein dan Khan, 1979: 278-286), Export Demand

and Supply for Group of Non Oil Developing Countries (Bond, 1985: 56-77), An Econometric

Study of Primary Commodity Exports from Developing Countries Region to the World (Bond,

1987: 191-227), India»s Manufactured Export: An Analysis of Supply Factors (Ali, 1987: 152-

163), The Demand for LCD Export of Manufactures: Estimates from Hong Kong (Riedel, 1988:

138-148), dan Demand and Supply Factors in the Determinants of NIE Export: A Simultaneous

Error-Correction Model for Hong Kong (Muscatelli et al., 1992: 1467-1477).

Dengan mendasarkan pada studi empiris sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai

penulis adalah untuk mengetahui dampak pergeseran struktur ekonomi terhadap perubahan

Page 99: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

357Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

ekspor Indonesia, serta menguji validitas teori Iqnacy tentang pergeseran struktur ekonomi

dalam kaitannya dengan komposisi ekspor; menganalisis dampak perubahan nilai tukar terhadap

perubahan ekspor Indonesia, dan menguji tesis Poot, Kuyvenhoven, dan Jansen (1991) tentang

peranan penting nilai tukar terhadap perubahan ekspor; menganalisis dan menguji dampak

investasi asing terhadap perubahan ekspor Indonesia sebagaimana diungkapkan oleh Booth

and Cawley (1982); menganalisis dan menguji teori penawaran ekspor tentang dampak

perubahan harga ekspor terhadap perubahan ekspor Indonesia; menganalisis dampak perubahan

inflasi yangb bercirikan cost push inflation (Indrawati, 1996) terhadap perubahan ekspor

Indonesia; menganalisis dampak pergeseran struktur ekonomi, perubahan nilai tukar, investasi

asing, perubahan harga ekspor, dan inflasi secara bersama-sama terhadap perubahan ekspor

Indonesia. Namun demikian fokus utama dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara kuantitas

ekspor dengan pergeseran struktur ekonomi dengan menggunakan dasar pemikiran Iqnacy

(1980).

II. TEORI

Teori Iqnacy pada dasarnya mengarah pada analisis dengan menggunakan empat sektor

ekonomi, yaitu: sektor yang menghasilkan mesin-mesin dan peralatan-peralatan (sektor M),

sektor yang menghasilkan mineral, bahan baku pertanian, dan input seperti pupuk, baja (sektor

Gambar IV.1 Hubungan Empat Sektor Ekonomi,Pasar Luar Negeri, Industri dan

Perkembangan Ekonomi

Sumber : Iqnacy (1980): 105.

I(KN) E(KN)

E(M) I(M)

E(KL) I(KL)

KNt/KNm

Rt/RmM

KLt/KLm

I(R)E(R

Page 100: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

358 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

R), sektor yang menghasilkan barang kebutuhan konsumen utama, seperti makanan (sektor

KN), dan sektor yang menghasilkan kebutuhan konsumen lain yang bersifat mewah atau sektor

KL (Iqnacy, 1980: 103-105). Di samping itu, Iqnacy juga membuat dikotomi pada sektor R, KN,

dan KL dalam subsektor tradisional (t) dan modern (m).

Teori mengenai pergeseran struktur pada mulanya timbul dari para ekonom aliran Neo

Klasik. Fisher (1939) mengemukakan teori tentang pola pergeseran struktur ekonomi dan

didukung oleh kajian data statistik oleh Clark (1940). Teori ini berfokus pada perubahan produksi

dan penggunaan faktor produksi yang digunakan dengan hipotesis akan terjadi perubahan

nilai produksi dan penggunaan faktor produksi tenaga kerja dengan semakin berkembangnya

suatu perekonomian. Pembahasan yang sistematis tentang pergeseran struktur produksi dan

struktur kesempatan kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi dimulai oleh Fisher dengan

memperkenalkan konsep tentang produksi ke dalam kegiatan primer, sekunder dan tersier.

Kegiatan primer meliputi kegiatan ekonomi pada sektor pertanian, peternakan dan pada

beberapa versi termasuk pertambangan. Kegiatan sekunder meliputi kegiatan ekonomi pada

sektor manufaktur yang pada umumnya menyangkut sektor pertambangan dan konstruksi.

Sedang kegiatan tersier meliputi kegiatan ekonomi pada sektor-sektor transportasi dan

komunikasi, perdagangan besar dan kecil, pemerintah, jasa-jasa domestik dan personal.

Teori lain mengenai pergeseran struktural yang terkenal adalah teori pola-pola

pembangunan dari Chenery. Chenery melakukan studi di banyak negara dan hasil studinya

menyimpulkan bahwa pembangunan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perubahan

yang dapat diamati dimana ciri-cirinya hampir sama untuk semua negara. Pergeseran struktur

ekonomi dalam proses pembangunan di suatu negara dapat dibedakan berdasarkan pada

persentase tenaga kerja yang berada di sektor primer, sekunder dan tersier. (Syrquin, 1988:212)

Taylor dan Chenery (1968) membagi struktur produksi ke dalam sektor primer (pertanian dan

pertambangan), sektor industri (industri pengolahan dan bangunan) dan sektor jasa (terdiri

dari sisanya). Syrquin dan Chenery (1975) membagi struktur produksi ke dalam empat sektor,

yang terdiri dari : sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor industri, sektor unitily

(listrik, gas, air minum, pengangkutan dan komunikasi) dan sektor jasa. Selain dari jumlah dan

banyaknya sektor, perbedaan lain antara model Chenery dan Syrquin dengan model Chenery

dan Taylor terletak pada jumlah dan jenis variabel yang menjelaskan tentang pola pergeseran

struktur produksi dengan variabel yang mempengaruhinya.

Clark (1949), mengumpulkan data statistik mengenai persentase tenaga kerja yang bekerja

di ketiga sektor diatas. Data yang dikumpulkan itu menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan

per kapita suatu negara, semakin kecil peranan sektor pertanian dalam menyediakan kesempatan

kerja. Sebaliknya, sektor industri semakin penting peranannya dalam menampung tenaga kerja.

Page 101: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

359Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

Lewis, Fei, Ranis dan Todaro (1969) mengemukakan teori yang sering disebut dengan

teori tentang dualisme ekonomi (economic dualism) atau teori tentang interaksi dua sektor

(two-sectors interaction). Pada dasarnya teori-teori ini mengelompokan perekonomian ke dalam

dua sektor atau bagian yaitu : (i) sektor tradisional/pedesaan/pertanian disatu sisi dan (ii) sektor

modern/perkotaan/ industri pada sisi yang lainnya (Ranis, 1988: 76-85; Stiglitz, 1988: 105-

135). Dalam teori ini ditekankan bahwa proses perkembangan ekonomi akan terjadi interaksi

antara kedua sektor atau bagian tersebut dan sekaligus mengakibatkan akan terjadinya

perubahan peranan masing-masing sektor dalam perekonomian. Kecenderungan umum yang

terjadi adalah semakin berkembang suatu perekonomian, semakin cenderung didominasi oleh

peranan sektor modern. Landasan pokok dari teori ini adalah asumsi yang menyatakan bahwa

tenaga kerja disektor pertanian tidak terbatas (unlimited of labor). Tenaga kerja dari sektor ini

akan berpindah ke sektor modern jika terdapat perbedaan insentif dimana tingkat upah melebihi

tingkat upah subsisten di sektor tradisional.

Kuznets (1965) dan beberapa penulis lainnya, telah mengadakan penelitian lebih lanjut

mengenai pergeseran struktur ekonomi dalam proses pembangunan. Kuznets bukan saja

menyelidiki tentang perubahan persentase penduduk yang bekerja di berbagai sektor dan sub

sektor, melainkan juga menunjukkan perubahan sumbangan berbagai sektor kepada produksi

nasional (Chenery dan Srinivasan, 1988: 198). Sementara untuk mengetahui bagaimana corak

perubahan dalam struktur ekonomi pada masa yang lalu, Kuznets mengumpulkan data

mengenai sumbangan berbagai sektor kepada produksi nasional di 13 negara, yang sekarang

ini termasuk dalam kelompok negara-negara maju. Kesimpulan yang diperoleh adalah peranan

sektor pertanian menurun selama proses pembangunan, sektor industri dalam menghasilkan

produksi nasional meningkat, sumbangan sektor-sektor jasa dalam menciptakan produksi

nasional mengalami perubahan yang berarti dan bersifat tidak konsisten.

Chenery dan Syrquin (1975), menggambarkan bagaimana corak pergeseran struktur

ekonomi yang terjadi dalam proses pembangunan di negara-negara berkembang. Teori ini

berkaitan dengan transformasi sektoral pada suatu perekonomian yang sedang berkembang,

yang didukung oleh bukti empirik berdasarkan kajian mereka sendiri. Pada dasarnya kajian

tersebut menyatakan bahwa dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita suatu negara

akan disertai oleh perubahan komposisi output secara sektoral (Syrquin, 1988: 205-214). Corak

perubahan komposisi output sektoral tersebut adalah dengan semakin meningkatnya

pendapatan per kapita meliputi : (i) proporsi produksi bersih sektor primer cenderung menurun,

(ii) proporsi produksi sektor industri cenderung semakin meningkat, (iii) proporsi produksi sektor

jasa cenderung semakin meningkat dengan kecepatan yang lepih lambat dibandingkan dengan

kecepatan peningkatan pada sektor industri.

Page 102: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

360 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Dua strategi industri penting yang terkait dengan perdagangan adalah produksi barang

untuk pasar dalam negeri untuk pengganti barang impor (import substituting industrialization)

dan produksi barang untuk pasar luar negeri (export-oriented industrialisation). Banyak negara

sedang berkembang mengawali proses industrialisasinya dengan menerapkan industri substitusi

impor (ISI), menurut Nafzieger(1997 : 506-508) alasan mengapa negara sedang berkembang

menerapkan import substituting industrialization adalah untuk:

1. Menghemat penggunaan devisa;

2. Memperbaiki Neraca Pembayaran;

3. Memenuhi kebutuhan sendiri akan berbagai barang industri;

4. Mengembangkan kegiatan ekonomi dalam negeri.

Kebijakan orientasi ekspor timbul karena kegagalan strategi ISI. Kaum Neo≠ Klasik

mengemukakan bahwa penerapan strategi orientasi ekspor akan memberi hasil yang lebih

unggul, dalam arti efisiensi alokasi dan pertumbuhan ekonomi (Gammel, 1994: 102-103).

Studi yang dilakukan mulai dari Tyler (1981), Jung dan Marshall (1985), Basmani-Oskooee

dan Alse (1993), Dodaro (1993) dan pakar ekonomi lainnya yang mendukung hipotesis bahwa

ekspor sebagai lokomotif pembangunan ekonomi suatu negara. Kegiatan dan peningkatan

ekspor merupakan suatu insentif bagi pertumbuhan dan kemajuan sektor-sektor lain.

Pertumbuhan ekspor menimbulkan permintaan baru di negara-negara pengekspor baik bagi

input dalam pertukaran produksi maupun sebagai hasil peningkatan pendapatan faktor-faktor

peroduksi. Perluasan ekspor mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi melalui rangsangan

permintaan terhadap sektor lain (Balassa, 1985; Wong, 1986; Sprout dan Weaver, 1993).

Krugman (1994) menyatakan bahwa tujuan suatu negara melakukan perdagangan

internasional adalah untuk mendapatkan keuntungan dan mencapai skala ekonomis (economies

of scale) dalam produksi. Perdagangan dapat menciptakan keuntungan dengan memberikan

peluang untuk mengekspor barang-barang yang diproduksi dengan sumber daya yang

melimpah. Perdagangan juga memungkinkan setiap negara melakukan spesialisasi produksi

pada barang-barang tertentu untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dan skala produksi

yang besar.

Merujuk problematika perdagangan tersebut, teori Heckscher-0hlin (H-0) sering menjadi

obyek pengujian empiris untuk memperkirakan dampak perdagangan terhadap distribusi

pendapatan dan pola perdagangan. Berdasarkan intensitas faktor produksi, H-O (1933)

mengemukakan model dua faktor produksi dari dua negara dengan dua komoditas, yaitu

komoditas padat karya dan komoditas padat modal. Kekayaan relatif akan modal fisik akan

menyebabkan produksi dan ekspor didominasi oleh barang padat karya/tenaga kerja. Disamping

Page 103: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

361Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

itu suatu negara yang mempunyai tenaga trampil akan mempunyai keunggulan komparatif

dalam produksi dan ekspor komoditas padat keahlian (Ballasa, 1988: 10).

Hipotesis technological gap diajukan oleh Postner tahun 1961, dengan menggunakan

rangkaian inovasi dan imitasi yang mempengaruhi ekspor. Ketika produk baru berkembang

dan mulai menguntungkan di pasar domestik, perusahaan yang melakukan inovasi untuk

sementara waktu memperoleh keuntungan monopoli. Sehingga dengan mudah memasuki

pasaran internasional karena masalah entry lag. Keuntungan yang kian meningkat pada

gilirannya akan merangsang imitasi di negara lain, terutama kalau inovasinya telah didesimilasi.

Untuk memiliki keunggulan dalam mengekspor, negara yang bersangkutan harus selalu

mengusahakan terjadinya inovasi. Sebagaimana tesis Linder, hipotesis Postner secara implisit

dapat dikategorikan sebagai teori spillover, yakni ekspor baru akan terjadi kalau konsumsi

domestik telah terpenuhi. Banyak bukti menunjukkan bahwa pola sedemikian tidak selalu terjadi.

Kelemahan lainnya, baik Postner maupun Linder tak dapat memberikan alasan tentang tahap-

tahap sejak dari inovasi hingga imitasi dan lamanya proses tersebut (Basri, 1991: 23).

Selanjutnya, Vernon menjeneralisasi pemikiran tersebut dalam Product Life Cycle Theory

(PLC). Teori ini tidak menganggap variabel dalam perekonomian sebagai fixed dan exogeneous,

tetapi variabel-variabel tersebut senantiasa berubah dan perubahannya terjadi di dalam model

dan menggunakan perubahan variabel≠ variabel tersebut sebagai driving motives timbulnya

perdagangan internasional, karena itu teori PLC disebut sebagai teori dinamik.

III. METODOLOGI

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

berbagai lembaga dan instansi, antara lain berasal dari Nota Keuangan Rencana Anggaran dan

Belanja Negara, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia-BI, Statistik Indonesia-BPS, dan

International Financial Statistics-IMF serta berbagai penerbitan lain yang mendukung dan

berhubungan dengan penelitian ini. Semua data yang diambil adalah data runtut waktu

(time series) kuartalan untuk periode pengamatan tahun 1983 kuartal I hingga 1997 kuartal IV.

Spesifikasi model empiris penawaran ekpor diformulasikan sebagai berikut:

X = β0 + β

1 PX + β

2 INF + β

3 ER + β

4 TSE + β

5 INV + εt

Page 104: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

362 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Keterangan:

X = nilai ekspor barang;

PX = harga barang ekspor;

INF = Inflasi;

ER = kurs valuta asing;

TSE = variabel pergeseran struktur ekonomi

INV = Investasi Asing (PMA)

et = error term

Kecuali variable inflasi, semua variable dalam persamaan di atas diberikan dalam bentuk

logaritma natural. Transformasi tersebut membawa beberapa keuntungan, antara lain, dari

derivasi tingkat pertama dapat diketahui angka elastisitas, yang nilainya sebesar koefisien variable

yang bersangkutan, dan kentungan kedua, akan memperbaiki pengujian statistik yang dilakukan.

Sebagai catatan, variabel INF tidak termasuk dalam variabel yang ditransformasikan dalam

bentuk logaritma natural karena inflasi merupakan bentuk perubahan dari variabel harga, yang

mungkin bernilai negatif sehingga tidak akan mungkin dilogaritmakan.

Teknik estimasi yang dapat digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS) apabila asumsi

linearitas, homoscedasticity, tidak adanya serial korelasi dan multikolinearitas dapat terpenuhi

(Engle and Granger, 1987; Mukherjee and Naka, 1995; Masih and Masih, 1996). Dalam kondisi

asumsi tersebut gagal terpenuhi, contohnya terdapat kasus heteroscedasticity, maka teknik

estimasi Weighted Least Square (WLS) menjadi pilihan untuk diterapkan.

Sebelum estimasi dilakukan, pengujian stasioneritas dilakukan untuk setiap variabel yang

terlibat dalam model, dengan menggunakan metode Dickey-Fuller (DF) dan metode Phillip-

Perron (PP). Sesuai dengan sifat alamiah dari variabel yang bersangkutan, pengjian stasioneritas

dapat berbentuk memiliki pengaruh trend atau ADF (T,n), hanya memiliki konstanta ADF (C,n),

dan adanya white-noise error term atau ADF (N,n) (Gujarati, 1995: 718). Dalam kondisi variabel

tidak stastioner, maka prosedur standar yang dapat dilakukan adalah dengan mendiferensiasi

variabel tersebut, hal ini berguna untuk menghindari terjadinya spurious regression.

Terdapat kemungkinan bahwa variabel-variabel yang tidak stasioner dalam level, mungkin

memiliki hubungan jangka panjang. Dalam hal ini, variabel-variebel tersebut dikatakan

terkointegrasi. Pengujian kointegrasi ini dapat dilakukan dengan uji Engle-Granger Cointegration

Regression Durbin-Watson (CRDW). Jika derajat diferensiasi setiap variabel tersebut sama, maka

spesifikasi model dapat mengarah pada Error Correction Model (ECM) untuk satu variabel

dependen atau Vector Error Correction Model (VECM) untuk serangkaian persamaan dengan

jumlah variabel dependen yang lebih dari satu. Dengan lain perkataan, uji kointegrasi dapat

Page 105: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

363Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

dijadikan dasar penentuan estimasi persamaan yang digunakan memiliki keseimbangan dalam

jangka panjang atau tidak. Apabila persamaan estimasi lolos dari uji ini maka persamaan estimasi

tersebut memiliki keseimbangan jangka panjang (Thomas, 1997: 425).

Masih terkait dengan aspek stasioneritas ini, kemungkinan lainnya adalah ketika setiap

variabel yang terlibat dalam model ternyata stasioner pada derajat diferensiasi yang berbeda.

Dalam kondisi ini, maka alternative model yang dapat diterapkan adalah Autoregressive

Distributed Lag (ARDL). Model ini juga dapat dikembangkan menjadi model ARDL-ECM untuk

lebih mengkaji perbedaan karakteristik keseimbangan jangka pendek dan jangka panjang dari

variabel-variabel yang diteliti.

Validasi atas model dapat dilakukan dengan pengujian CUSUM yang menguji stabilitas

model. Selain itu, validasi model juga dapat dilakukan dengan melihat kemampuan model

tersebut dalam mereplikasi kejadian aktual (model fitting), daya prediksi atas kejadian masa

lampau (backcasting) dan kemampuannya untuk melakukan peramalan masa mendatang

(forecasting).

IV. HASIL DAN ANALISIS

Pengujian stasioneritas menunjukkan bahwa variabel memiliki derajad stasioneritas yang

berbeda-beda. Sebagimana disebutkan sebelumnya, perbedaan derajad stasioneritas ini dapat

saja mengakibatkan persamaan estimasi OLS tetap memiliki sifat stasioneritas dalam persamaan

(Gujarati, 1995: 726-727). Oleh sebab itu, langkah selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi,

yaitu uji stasioneritas pada persamaan estimasi.

Tabel IV.1.Hasil Uji Kointegrasi Engle-Granger

VariableVariableVariableVariableVariable CoefficientCoefficientCoefficientCoefficientCoefficient t-Statistict-Statistict-Statistict-Statistict-Statistic Prob.Prob.Prob.Prob.Prob.

Keterangan: Angka statistik CRDW 1% = 0.511; 5% =0.38; 10% = 0.322

CCCCC 6.7181 8.6270 0.000LPXLPXLPXLPXLPX 0.1430 2.1381 0.037INFINFINFINFINF 0.0004 0.0716 0.943LERLERLERLERLER 0.0223 0.2816 0.779LTSELTSELTSELTSELTSE 1.6393 11.8601 0.000LINVLINVLINVLINVLINV 0.0284 1.0695 0.289R-squared 0.971 F-statistic F-statistic F-statistic F-statistic F-statistic 356.90Adjusted R-squaredAdjusted R-squaredAdjusted R-squaredAdjusted R-squaredAdjusted R-squared 0.967 Prob(F-statistic) Prob(F-statistic) Prob(F-statistic) Prob(F-statistic) Prob(F-statistic) 0.000Durbin-Watson statDurbin-Watson statDurbin-Watson statDurbin-Watson statDurbin-Watson stat 0.458

Page 106: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

364 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Tabel IV.1 menunjukkan bahwa persamaan OLS LX= f (LPX,INF,LER,LTSE, LINV)

menunjukkan adanya kecenderungan terkointegrasi pada taraf 5%. Kesimpulan tersebut

didasarkan pada angka statistik Durbin-Watson persamaan estimasi yang sebesar 0,458. Dengan

demikian, persamaan LX= f(LPX,INF,LER,LTSE, LINV) merupakan persamaan keseimbangan jangka

panjang yang memiliki bentuk persamaan:

Dalam pengujian kointegrasi, terdapat sedikit perbedaan antara model kointegrasi Engle-

Granger CRDW dengan Johansen. Model Johansen lebih memfokuskan diri pada kointegrasi

pada sistem persamaan (system equation) dan bukan pada persamaan tunggal (single equation)

sebagaimana Engle-Granger CRDW. Dibandingkan dengan Engle-Granger CRDW, model

Johansen tidak menuntut adanya sebaran data yang normal (Phillips, 1991; Mukherjee and

Naka, 1995).

Dari hasil pengujian kointegrasi Johansen dengan menggunakan berbagai asumsi, terlihat

bahwa hasil tersebut memiliki konsistensi dari sisi ada atau tidaknya kointegrasi. Secara ringkas

hasil pengujian kointegrasi Johansen dapat dilihat pada Tabel IV.2.

LX = 6.718 + 0.143LPX + 0.0004INF + 0.022LER + 1.639LT SE + 0.028LINV

(8.63) (2.14) (0.07) (0.28) (11.86) (1.07)

(p=0.00) (0.04) (0.94) (0.78) (0.00) (0.29)

Tabel IV.2.Rekapitulasi Uji Kointegrasi Johansen

Type Kointegrasi Johansen H0: No Cointegration Ha: CointegrationEstimation Estimation

Keterangan: Angka statistik CRDW 1% = 0.511; 5% =0.38; 10% = 0.322

Test assume no deterministic trend indata: no intercept or trend in CE

Test assume no deterministic trend indata: with intercept (no trend) in CE

Test allows for linear deterministic trendin data: intercept (no trend) in CE

Test allows for linear deterministic trendin data: intercept (no trend) in CE

Test allows for quadratic deterministictrend in data: intercept and trend in CE

Reject

Reject

Reject

Reject

Reject

Do not reject(2 cointegrating equation)

Do not reject(2 cointegrating equation)

Do not reject( 2 cointegrating equation)

Do not reject(1 cointegrating equation)

Do not reject(1 cointegrating equation)

Page 107: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

365Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

IV.1. Hasil Perhitungan Error Correction Model (ECM)

Model dinamis yang dalam beberapa tahun terakhir mendapat perhatian besar dari

kalangan ekonom adalah model koreksi kesalahan (the error correction model/ECM). Dalam

dunia nyata terlihat bahwa pelaku ekonomi bereaksi tidak spontan dalam menanggapi aksi.

Hal ini merupakan alasan dibentuknya model dinamis khususnya model koreksi kesalahan.

Eksistensi koreksi kesalahan menghasilkan koefisien koreksi kesalahan yang menunjukkan adanya

fenomena dikoreksinya penyimpangan menuju ekuilibrium. Dengan ECM dapat diketahui

apakah variabel-variabel yang diamati berkointegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan error correction

term yang signifikan, atau dengan kata lain model koreksi kesalahan sahih (valid) dan variabel

yang diamati berkointegrasi. Hasil perhitungan dengan menggunakan ECM adalah sebagai

berikut:

Dari hasil penghitungan ECM dapat disimpulkan bahwa model ECM tersebut memiliki

kelemahan dalam pengujian diagnostiknya. Khususnya untuk uji normalitas Jarque-Bera dan

uji heteroskedastisitas White.

Dugaan yang dapat dibuat berdasarkan kelemahan uji diagnostik tersebut adalah adanya

indikasi kuat tidak terpenuhinya asumsi homoschedasticity, sebagaimana model dasar OLS

sebagaimana ditunjukkan pada bagian terdahulu. Dengan demikian, sebagaimana pemecahan

persoalan heteroschedasticity, maka akan digunakan prosedur WLS untuk kedua model ECM

tersebut.

Page 108: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

366 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

IV.2. Weighted Least Square Pada Model ECM

Dari indikasi yang terlihat bahwa model estimasi ECM juga mengalami gejala

heteroschedasticity, maka model ECM akan dilakukan dengan menggunakan prosedur WLS

untuk mengeliminasi efek dari heteroschedaticity. Hasil estimasi dengan menggunakan WLS

untuk model ECM adalah sebagai berikut:

Interpretasi hasil perhitungan ECM dengan penimbang dapat dilakukan dengan

pembedaan interpretasi antara jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek

interpretasi difokuskan pada variabel analisis yang diderivasi pada tingkat pertama, yaitu d(LPX),

d(INF), d(LER), d(LTSE), dan d(LINV). Sedangkan untuk jangka panjang dapat dilihat dari variabel

yang diperlakukan sebagai backward lag operator, yaitu LPX(-1), INF(-1), LER(-1), LTSE(-1) dan

LINV(-1). Namun, khusus untuk jangka panjang, koefisien yang akan ditafsir harus terlebih

dahulu di bagi dengan koefisien ECT.

Dalam jangka pendek hasil perhitungan ECM dengan penimbang dapat diinterpretasikan

sebagai berikut:

- Apabila variabel tingkat harga ekspor mengalami perubahan sebesar 1% akan berdampak

pada peningkatan volume ekspor sebesar 0.42% (inelastis) dengan seignifikansi 0% (kuat)

Page 109: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

367Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

- Apabila variabel inflasi domestik mengalami penurunan sebesar 1% tidak akan banyak

berpengaruh pada volume ekspor karena koefisien sangat kecil dan signifikansinya sangat

lemah (79%)

- Apabila terjadi penurunan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar sebesar 1% maka akan

terjadi peningkatan volume ekspor sebesar 0.847 % (inelastis) dengan signifikansi yang

kuat (0%)

- Apabila terjadi pergeseran struktur ekonomi sebesar 1% dalam artian perubahan sektor

industri lebih besar 1% dibandingkan dengan sektor pertanian, maka akan berdampak

sangat kuat pada peningkatan volume ekspor sebesar 0.899% (elastis) dengan signifikansi

yang kuat (0%)

- Sedangkan variabel perubahan investasi asing berpengauh positif terhadap kuantitas ekspor

namun pengaruhnya secara statistik sangan lemah (98%)

Dalam jangka panjang ECM dengan penimbang dapat diformulasikan sebagai berikut:

Perhitungan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

- Apabila terjadi peningkatan harga produk ekspor sebesar 1% maka volume ekspor akan

meningkat sebesar 0.425%

- Apabila terjadi peningkatan inflasi sebesar 1% maka volume ekspor akan menurun sebesar

0.994%

- Apabila terjadi peningkatan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar (apresiasi) maka volume

ekspor akan menurun sebesar 0.239%

- Apabila terjadi perubahan struktural yang diakibatkan oleh kenaikan sektor industri 1%

lebih besar daripada sektor pertanian, maka volume ekspor akan meningkat 0.108%

- Variabel investasi asing menunjukkan pengaruh positif dan signifikan pada taraf 8%. Bila

investasi naik 1% maka akan mengakibatkan kenaikan jumlah ekspor sebesar 0.54%

IV.3. Pembahasan

Hubungan ekspor dengan tingkat harga ekspor dalam jangka pendek menunjukkan

hubungan positif, dapat diartikan dalam jangka pendek kenaikan harga di pasar internasional

akan membawa dampak peningkatan jumlah ekspor. Peningkatan jumlah ekspor ini

dimungkinkan terjadi karena kenaikan harga dapat lebih cepat terjadi dibandingkan dengan

perubahan variabel lain yang mungkin berdampak sebaliknya, sehingga diperlukan waktu untuk

Page 110: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

368 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

mencapai keseimbangan baru. Dalam jangka panjang terdapat kecenderungan peningkatan

harga akan menurunkan perubahan ekspor. Temuan ini menunjukkan bahwa pasar internasional

sangat kuat dibandingkan dengan posisi tawar menawar eksportir.

Tingkat inflasi berperan besar dalam perkembangan volume ekspor. Apabila inflasi sebagai

perubahan indeks harga konsumen, maka faktor pendorong menurunnya ekspor adalah demand

domestic pull. Bila terjadi kenaikan permintaan domestik yang lebih tinggi daripada kenaikan

permintaan luar negeri maka terdapat kecenderungan komoditi akan memenuhi pasaran

domestik. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadinya kenaikan relatif permintaan

domestik terhadap permintaan luar negeri maupun produksi komoditi akan menyebabkan

kenaikan harga komoditi tersebut di dalam negeri. Adanya kecenderungan terjadinya kekakuan

harga upah, yang merupakan elemen penting dalam produksi, maka kenaikan harga komoditi

tersebut tidak diikuti oleh kenaikan ongkos produksi. Dengan demikian margin keuntungan

produsen akan semakin lebar di pasaran domestik. Margin keuntungan domestik tersebut

dianggap sebagai dorongan bagi produsen untuk meningkatkan penawarannya di pasar

domestik. Keterbatasan kapasitas produksi dalam jangka pendek untuk mengikuti

perkembangan pasar menyebabkan peningkatan penawaran di pasar domestik hanya akan

tercapai bila mengurangi penawaran ekspor komoditi tersebut. Inilah penyebab penurunan

ekspor dalam jangka pendek.

Dalam jangka panjang, dampak inflasi dapat dianggap sebagai faktor yang akan

meningkatkan tingkat biaya produksi, dengan telah terpengaruhnya tingkat upah dan variabel

input lainnya. Peningkatan biaya produksi tersebut diartikan sebagai peningkatan dalam harga

komoditi, dengan demikian, dalam jangka panjang insentif harga domestik tidak dapat

dipertahankan lagi. Bila produsen akan meningkatkan kembali aksesnya di pasar internasional,

maka produsen berhadapan dengan harga yang relatif lebih tinggi daripada sebelumnya.

Uraian tersebut menyisakan pertanyaan penting, yaitu bila harga ekspor √ volume ekspor,

dalam jangka pendek menunjukkan hubungan positif mengapa dalam hubungan antara inflasi

√ volume ekspor menunjukkan hubungan negatif, padahal inflasi berpengaruh positif atau

akan mendorong kenaikan harga. Penjelasannya adalah sebagai berikut, dalam jangka pendek

terdapat asumsi kemampuan produsen untuk meningkatkan kapasitas produksi terbatas karena

adanya unsur kekakuan perubahan harga maupun kuantitas penggunaan input tambahan,

namun fleksibilitas peningkatan kapasitas produsen dapat dicapai bila produsen bekerja dalam

kapasitas yang lebih besar daripada permintaan. Dengan kata lain, produsen menerapkan reserve

capacity yang dijadikan sebagai cara untuk mengantisipasi perubahan permintaan konsumen

yang bersifat mendadak. Pada waktu yang bersamaan, ketika harga internasional naik dan di

dalam negeri terdapat peningkatan inflasi maka produsen akan memiliki kemampuan untuk

Page 111: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

369Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

menyesuaikan kapasitas produksi secara cepat tanpa mendapat kesulitan karena faktor kekakuan

harga guna meningkatkan pasokan domestik dan sekaligus pasokan internasional.

Hubungan ekspor dengan perubahan nilai tukar dalam jangka panjang adalah negatif.

Dampak negatif merosotnya nilai tukar rupiah terhadap US Dollar dirasakan oleh produsen bila

barang input yang dimiliki banyak tergantung pada barang impor. Karena depresiasi nilai rupiah,

produsen membayar lebih banyak uang dalam bentuk rupiah daripada sebelumnya. Kesulitan

memperoleh input yang berasal dari luar negeri inilah yang pada akhirnya akan menghambat

pengembangan produksi. Namun hambatan terhadap ekspor tersebut terjadi pada jangka

panjang, karena produsen menikmati murahnya mata uang rupiah selama produsen memiliki

persediaan input impor. Perubahan yang terjadi dalam jangka pendek pada nilai tukar berdampak

pada daya saing harga dari produk-produk ekspor Indonesia. Bila nilai tukar rupiah menurun

terhadap US Dollar, maka harga produk ekspor Indonesia ke luar negeri dalam bentuk US

Dollar, menghasilkan rupiah yang lebih besar. Mekanisme ini berdampak positif bagi eksportir

karena rupiah yang diperolehnya dapat mendorong kemampuan produksi. Dampak ini hanya

berjangka pendek karena pasar akan sampai pada keseimbangannya yang baru.

Grafik IV.1 , memperlihatkan time lag perubahan nilai tukar dengan perubahan volume

ekspor. Pada tahun 1983 ketika rupiah terapresiasi dalam kurun waktu kurang lebih satu semester

nilai ekspor meningkat tapi tidak terlalu tinggi kemudian mengalami penurunan yang cepat

pada 1984-1986. Tahun 1986, ketika pemerintah mendevaluasi rupiah, volume ekspor tidak

otomatis meningkat namun membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan untuk bereaksi.

Kurang lebih enam bulan kemudian volume ekspor berada pada posisi rata-rata. Pada saat itu

Grafik IV.1 Hubungan Antara Variabel Ekspordengan Nilai Tukar

-1000

-500

0

500

1000

1500

83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97

D(X) D(ER)

Sumber:BPS, Statistik Indonesia.

Page 112: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

370 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

pasar input domestik telah bereaksi terhadap perubahan. Disamping itu, persediaan input

impor telah kehilangan pengaruh positifnya terhadap volume ekspor karena produsen membeli

input yang berasal dari impor dengan harga rupiah yang baru.

Rendahnya tingkat signifikansi pergeseran struktur ekonomi dalam mempengaruhi volume

ekspor dapat diartikan sebagai tidak berartinya perubahan volume ekspor dalam jangka panjang.

Dugaan yang dapat dibuat berdasarkan fakta jangka panjang tersebut adalah banyak output

industri yang juga dilempar ke pasar domestik. Semakin tingginya pendapatan masyarakat,

sebagai akibat pergeseran struktur ekonomi tersebut, masyarakat akan mengkonsumsi jumlah

output industri yang lebih banyak. Pergeseran struktur ekonomi yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah pergeseran sektoral yang terjadi pada pendapatan kotor nasional dari sisi produksi.

Pergeseran yang terjadi pada perekonomian Indonesia adalah pergeseran dari dominasi sektor

pertanian terhadap GDP menjadi dominasi sektor industri.

Pergeseran struktur ekonomi tersebut membawa dampak jenis komoditas yang diekspor

maupun yang diimpor. Banyak negara yang menggunakan sektor industri sebagai jalan menuju

ke percepatan pertumbuhan ekonomi. Pilihan tersebut didasarkan pada alasan bahwa output

yang dihasilkan oleh sektor industri memiliki nilai tambah yang relatif besar bila dibandingkan

dengan sektor pertanian. Tingginya nilai tambah sktor industri tersebut maka semakin banyak

output sektor industri yang dihasilkan maka akan semakin tinggi pula GDP akan terbentuk.

Karena alasan serupa maka output sektor industri juga diarahkan ke pasaran luar negeri

atau ekspor, terdapat hubungan positif antara pergeseran struktur ekonomi, yang secara lebih

spesifik dapat disebut industrialisasi, dengan volume ekspor. Semakin tinggi bagian GDP yang

berasal dari sektor industri, akan semakin tinggi output sektor industri yang akan dilempar ke

pasar ekspor yang berarti pula ekspor didominasi sektor industri.

Kebijakan investasi yang mampu mendorong ekspor non-migas, yang kemudian dikenal

dengan Paket 6 Mei, efektif diumumkan pada tahun 1986. Paket 6 Mei tersebut pada dasarnya

memiliki beberapa point penting, yaitu mendorong usaha yang sekurang-kurangnya 85%

outputnya diekspor dalam bentuk pengadaan input impor dengan biaya murah melalui subsidi,

memberikan fasilitas pinjaman dana bank bila sekurang-kurangnya 75% equity dimiliki oleh

orang Indonesia, bila sekurang-kurangnya 51% equity ditawarkan di Jakarta Stock Exchange,

dan bila sekurang-kurangnya 51% equity dimiliki oleh orang Indonesia plus sekurang-kurangnya

51% equity yang ditawarkan 20% diantaranya ditawarkan di Jakarta Stock Exchange (Poot,

Kuyvenhoven, Jansen, 1991: 236-238).

Setelah melalui berbagai revisi kebijakan investasi tersebut, dapat terlihat bahwa sejak

periode 1986 terjadi peningkatan realisasi investasi. Sebagaimana terlihat pada Grafik III.2 ,

Page 113: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

371Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

peningkatan laju pertumbuhan realisasi investasi asing (PMA) maupun PMDN terjadi sejak periode

1985/1987. Periode sebelum adanya kebijakan investasi hanya tumbuh 19,43% untuk PMDN

dan 4,26% untuk PMA maka dalam periode setelah adanya kebijakan Paket 6 Mei, yang

diasumsikan benar-benar efektif terjadi setelah satu tahun berjalan, PMDN tumbuh 18,91%

pada satu tahun setelah kebijakan dan PMA tumbuh dengan 27,12%. Peningkatan tersebut

berlanjut hingga mencapai puncaknya pada tahun 1989/1991, PMDN tumbuh dengan 92,63%

dan PMA tumbuh dengan 42,17%.

Dampak kebijakan Paket 6 Mei adalah meningkatnya nilai ekspor. Hasil perhitungan

mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut direspon positif oleh para investor, khususnya investor

sektor industri, karena investor menginginkan pemerintah memberikan prioritas pada sektor

tersebut sebagai leading sektor.

Perkembangan ekspor periode 1983-1985 mengalami kelesuan karena perkembangan

ekonomi internasional yang dihadapi Indonesia tidak mendukung bagi perkembangan ekspor

andalan Indonesia, yaitu migas. Harga migas mengalami kejatuhan pada tahun 1984/1985,

yang mengakibatkan ekspor migas menurun secara drastis pada rentang waktu 1986 √ 1989.

Tercatat penurunan ekspor migas tersebut mencapai ±10% per-tahun dalam kurun waktu lima

tahun (1984 √√ 1989). Hal inilah yang mendorong pemerintah untuk mengembangkan ekspor

non-migas, yang hanya dapat tercapai bila terdapat peningkatan investasi untuk sektor non-

migas, terutama sektor industri.

Grafik IV.3 terlihat bahwa terdapat kebangkitan sektor diluar migas dalam bentuk

peningkatan ekspor. Dampak dari kebijakan investasi terhadap peningkatan ekspor memang

Grafik IV.2 : Perkembangan Realisasi PMAdan PMDN (% dari Total Investasi)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100PMDNPMA

83/85 85/87 87/89 89/91 91/93 93/95 95/97 97/99

Sumber: Bank Indonesia, SEKI.

Page 114: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

372 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

tidak dapat berlangsung seketika. Faktor perbedaan waktu antara kebijakan dan hasil yang

dicapai yang hanya sekitar 1 √ 2 tahun dapat dijadikan indikator bahwa sektor industri yang

cepat bereaksi terhadap peningkatan investasi adalah sektor industri yang tidak padat modal

atau padat teknologi. Hal ini dapat dibuktikan dengan peningkatan yang tajam untuk sektor

industri kelompok barang SITC-6, sektor industri menurut bahan, yang didalamnya terdapat

komoditas plywood dan tekstil.

Posisi strategis industri plywood dan tekstil dalam pengembangan ekonomi suatu negara.

Industri tersebut, khususnya industri tekstil, memiliki backward linkage dan forward linkage

yang panjang, merupakan daya tarik untuk dikembangkan di negara sedang berkembang.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab terdahulu dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Berdasarkan metode analisis yang dikembangkan, yaitu Error Correction Model yang

dioperasikan dengan menggunakan Weighted Least Square diperoleh hasil variabel harga

ekspor (PX) dalam jangka pendek menunjukkan pengaruh positif dan signifikan untuk

menjelaskan perubahan volume ekspor agregat. Sedangkan dalam jangka panjang variabel

harga ekspor justru berpengaruh negatif (dan signifikan) terhadap volume ekspor agregat

Hasil ini menunjukkan posisi eksportir Indonesia sebagai penerima harga (price taker). Hasil

pengamatan jangka panjang menunjukkan kesesuaian hasil dengan pengamatan Marian

E. Bond (1987).

GGGGGambar IV.3. Perkembangan VolumeEkspor Non-Migas

-600

-400

-200

0

200

400

600

800

84 86 88 90 92 94 96

D(X)

Sumber: Biro Pusat Statistik.

Page 115: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

373Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

2. Variabel tingkat inflasi dalam jangka pendek tidak dapat menjelaskan perubahan yang dialami

oleh volume ekspor agregat, sedangkan inflasi dalam jangka panjang memiliki pengaruh

negatif yang kuat untuk mempengaruhi perubahan volume eskpor sebagaimana temuan

Goldstein and Khan (1978). Temuan ini dapat diartikan bahwa peningkatan inflasi akan

menurunkan ekspor melalui mekanisme peningkatan harga produksi yang berakibat pada

penurunan daya saing produk ekspor.

3. Variabel perubahan nilai tukar dalam jangka pendek memiliki pengaruh positif dan signifikan

sedangkan dalam jangka panjang memiliki pengaruh negatif. Penurunan nilai tukar mata

uang domestik (depresiasi) akan mendorong ekspor dalam jangka pendek sedangkan dalam

jangka panjang penurunan nilai tukar (depresiasi) justru akan menurunkan perubahan ekspor.

Dalam pengamatan jangka pendek sesuai dengan hasil pengamatan Bond (1978); Riedel

(1988).

4. Berbeda dengan studi-studi tentang pergeseran struktur ekonomi yang lain, penelitian ini

mengungkapkan persoalan yang relatif baru yaitu peranan pergeseran struktur ekonomi

dalam mendorong perubahan ekspor. Variabel pergeseran struktur ekonomi membawa

dampak positif terhadap perubahan volume ekspor dalam jangka pendek. Sedangkan dalam

jangka panjang dampaknya mulai tidak signifikan meskipun masih bersifat positif. Temuan

ini menunjukkan bahwa proses industrialisasi yang terjadi di Indonesia memiliki peranan

yang penting bagi peningkatan ekspor, dan sekaligus mendukung hipotesis Iqnacy tentang

perkembangan struktur perekonomian.

5. Variabel penanaman modal asing (PMA) membawa dampak positif tetapi hanya memiliki

signifikansi pada jangka panjang bagi perubahan volume ekspor. Hasil pengamatan ini sesuai

dengan pengamatan Ali (1987).

6. Dari beberapa contoh kasus yang diestimasi dengan menggunakan model yang sama, terlihat

adanya perbedaan hasil untuk setiap komoditas ekspor. Fakta ini menunjukkan bahwa setiap

komoditas ekspor memiliki sifat yang unik, yang berbeda dengan komoditas lain.

Dari hasil estimasi dan problematika yang dihadapi dalam penelitian ini, peneliti ingin

mengajukan saran yang dapat digunakan bagi para peneliti lain untuk bidang analisis yang

sama, dan bagi para pengambil keputusan tentang perdagangan luar negeri di Indonesia,

yaitu:

1. Perlunya melakukan modifikasi model estimasi yang memiliki perspektif jangka panjang

dan jangka pendek dengan model estimasi yang mampu mengatasi problema ketidak

sesuaian data dengan tuntutan asumsi linear klasik. Untuk itu perlu dipertimbangkan adanya

model analisis Error Correction Model yang dioperasionalkan dengan metode Maximum

Likelihood yang tidak menuntut asumsi yang ketat untuk data analisis.

Page 116: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

374 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

2. Di samping itu juga disarankan untuk secara lebih intensif mengamati perilaku komoditas

ekspor sebagai sebuah kasus. Hal ini diperlukan mengingat dari hasil estimasi yang telah

dilakukan tiap komoditas memiliki kecenderungan untuk bersifat unik.

Page 117: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

375Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Ali, I. , 1987, ≈India»s Manufactured Export: An Analysis of Supply Factors∆, The Developing

Economics Journal, Juni 1987, XXV(2), hal.152-163.

Balassa, B., 1985, ≈Exports, Policy Choices, and Economic Growth in DevelopingCountries

After the 1973 Oil Shock∆, Journal of Development Economics, 1985, 18, hal. 23-35.

Ballasa, B., 1988,

≈Essay in Development Strategy∆, San Fransisco International Center for Economic Growth.

Working Paper. 1988.

Bond, M., E., 1985, ≈Export Demand and Supply for Group of Non Oil Developing Countries∆,

IMF Staff Paper, vol. 32: 56-77, 1985.

Bond, M.E., 1987,

≈An Econometric Study of Primary Commodity Exports from Developing Countries Region to

the World∆, IMF Staff Paper, hal. 191-227, 1987

Chenery, H.B., 1978,

Structural Change and Development Policy, Oxford University Press, London.

Chenery, H.B. dan Keesing, D,B., 1979, ≈The Changing Composition of Developing Countries

Exports∆, World Bank Staff Working Paper, No. 3/4, January 1979.

Chenery, H.B. dan M, Syrquin, 1975, Patern of Development 1950-1970, Oxford .University

Press, London.

Dodaro, S., 1993, ≈Exports and Growth: A Reconsideration of Causality∆, The Journal of

Developing Areas, 1993, 27, hal. 227-244.

Engle, R.F. dan C.W.J Granger, 1987, ≈Cointegration and Error Correction; Representation,

Estimation, dan Testing∆, Econometrica, 1987, 55(2). Hal. 251-276.

Gemmell, N. 1994, Ilmu Ekonomi Pembangunan; Beberapa Survai, terjemahan, LP3ES, Jakarta.

Goldstein, M. dan M.S. Khan., 1979,

≈The Supply and Demand for Exports: A Simultaneous Approach∆, The Review of Economics

and Statistics, 1979, 60, hal. 278-286.

Gujarati, D., 1995, Basic Econometrics, McGraw Hill Inc, New York.

Indrawati, S.M., 1996, ≈Sumber-Sumber Inflasi di Indonesia∆, Makalah Seminar ISEI Jaya 18

Januari 1996.

Page 118: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

376 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Krugman dan Obstfeld. 1994, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijaksanaan terjemahan,

Rajawali Pers, Jakarta.

Mukherjee, T.K. dan A. Naka., 1995, ≈Dynamic Relations Between Macroeconomic Variables

and The Japanese Stock Market: An Application of A Vector Error Correction Model∆. The

Journal of Financial Research, 1995, XVIII (2), hal. 223-237.

Muscatelli, V. A., T.G. Srinivasan, dan D. Vines., 1992, ≈Demand and Supply Factors in the

Determinants of NIE Export: A Simultaneous Error-Correction Model for Hong Kong∆. The

Economic Journal, 1992, 102, hal. 1467-1477.

Nafziger, E.W., 1997, The Economics of Developing Countries. Prentice-Hall, New Jersey.

Poot, H., A. Kuyvenhoven, dan J. Jansen, 1991, Industrialisation and Trade in Indonesia. Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta.

Ranis, G., 1988, Analytics of Development: Dualism, dalam (Chenery, H. and T.N. Srinivasan,

eds.). Handbook of Development Economics. Elsevier Science Publishers.

Riedel, J., 1988, ≈The Demand for LCD Export of Manufactures: Estimates from Hong Kong∆.

The Economic Journal, 1988, 98, hal. 138-148.

Stiglitz, J.E., 1988, Economic Prganization, Information, and Development, dalam (Chenery, H.

and T.N. Srinivasan, eds.). Handbook of Development Economics. Elsevier Science Publishers.

Syrquin, M., 1988, Patterns of Structural Change, dalam (Chenery, H. and T.N. Srinivasan,

eds.). Handbook of Development Economics. Elsevier Science Publishers.

Wong, C.M., 1986, ≈Models of Export Instability and Empirical Test for Less-Developed

Countries∆. Journal of Development Economics, 1986, 20, hal. 263-285.

Page 119: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

377Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBALTERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH

Andry PrasmukoDonni Fajar Anugrah1

Abstract

This paper discusses the impact of global financial crisis to the Indonesia»s economy by using the

simultaneous macro model approach.The analysis and simulation results of such model show that the

impact of the global financial crisis is dominantly distributed through the trade line, which decreases the

regional output.To the components of aggregate demand, the movement of exchange rate has major

effect to the exports and imports, whereas to the consumption and investment, it gives relatively small

effect.The impact of external shock, which causes the depreciation of Rupiah, is relatively small to the

increase of inflation.

JEL classificationJEL classificationJEL classificationJEL classificationJEL classification: C32, E44

Keywords: Financial crisis, simultaneous model, Indonesia.

1 Andry Prasmuko ([email protected]) dan Donni Fajar Anugerah ([email protected]) adalah peneliti di BRE-DKM Bank Indonesia. Kesimpulandan argumentasi dalam paper ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan bukan merupakan pandangan resmi dariBank Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih terima kasih Dr. Iskandar Simorangkir, Meily Ika Permata, Yanfitri, referee, sertaseluruh pihak yang telah membantu dalam studi ini.

Page 120: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

378 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

I. PENDAHULUAN

Krisis keuangan global sebagai dampak yang dipicu oleh tragedi subprime mortgage di

Amerika, selanjutnya mendorong penurunan perekonomian di beberapa negara maju.

Rambatan dari krisis tersebut melalui jalur keuangan (financial channel) serta perdagangan

(trade channel). Pada jalur keuangan, krisis yang terjadi mendorong peningkatan dana yang

akan digunakan untuk kegiatan yang terduga (precautionary saving), diiringi dengan turunnya

harga asset yang mengakibatkan pelemahan sentiment konsumen sehingga menarik belanja

konsumen. Selanjutnya kedua hal tersebut bersama-sama mengakibatkan kontraksi aktivitas

perekonomian domestik, yang pada akhirnya menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB). Selain

itu krisis keuangan global juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi sentimen para

investor untuk segera menarik penanaman di sektor keuangan, yang tentunya akan berpengaruh

juga terhadap penurunan PDB.

Krisis yang melanda mengakibatkan perlambatan ekonomi terutama di negara maju,

selanjutnya berdampak pada penurunan permintaan baik dari luar maupun domestik. Hal ini

didorong oleh kurangnya permintaan ekspor, sehingga perusahaan cenderung menurunkan

produksinya. Selain itu juga terjadi pengurangan kegiatan re-ekspor yang selanjutnya menggeser

turun perdagangan jasa yang berhubungan dengan aktivitas tersebut. Disisi lain terjadi juga

penurunan aktivitas yang berhubungan dengan jasa pariwisata. Turunnya kegiatan ekspor dan

pariwisata serta kegiatan yang berhubungan dengan hal tersebut, mengakibatkan terjadi

pengurangan belanja investasi yang selanjutnya memberi dampak pada penurunan PDB.

Sementara itu, kondisi perekonomian yang tidak kondusif serta adanya pengurangan

belanja investasi akan mendorong perusahaan untuk melakukan pemotongan upah,

pengurangan jam kerja serta pemutusan hubungan kerja. Tentunya hal tersebut berakibat pada

penurunan pendapatan yang dapat mempengaruhi terjadinya pelemahan minat belanja dari

Tabel V.1Pertumbuhan Ekonomi Sisi Permintaan

Total Konsumsi 5,5 5,5 6,3 6,4 7,2 6,3Konsumsi Rumah Tangga 5,7 5,5 5,3 4,8 5,8 4,8Konsumsi Pemerintah 3,6 5,3 14,1 16,41 9,2 17,0PMTB 13,7 12,0 12,2 9,1 3,5 2,7Ekspor barang & jasa 13,6 12,4 10,6 1,8 (19,1) (15,7)Impor barang & jasa 18,0 16,1 11,0 (3,5) (24,1) (23,9)Produk Domestik Bruto 6,2 6,4 6,4 5,2 4,4 4,0

Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09

Sumber: BPS, diolah

Page 121: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

379Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

konsumen, selanjutnya berpengaruh pada turunnya pengeluaran konsumen domestik secara

keseluruhan. Penurunan tersebut pada akhirnya berdampak pada turunnya pertumbuhan PDB,

lihat Tabel V.1.

Perekonomian nasional mengalami penurunan yang signifikan sejak triwulan IV-2008

yang diduga sebagai dampak dari penurunan ekspor karena melemahnya perekonomian mitra

dagang, sementara itu pertumbuhan konsumsi domestik juga mengalami perlambatan diduga

merupakan akibat dari turun akses pembiayaan dan upah. Seiring dengan hal tersebut investasi

juga mengalami penurunan berbarengan dengan perlambatan permintaan domestik maupun

eksternal. Perlambatan ini mengakibatkan komoditas impor barang modal, konsumsi dan bahan

baku cenderung mengalami penurunan.

Sementara itu dari sisi penawaran, terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi sejak

triwulan 4-2009 kecuali sektor listrik, gas dan air serta sektor transportasi. Hal ini terkait dengan

masih tingginya ketidakpastian perekonomian global sehingga membuat pelaku usaha melakukan

penundaan investasi dan ekspansi usaha. Pertumbuhan sektor industri pengolahan terus

mengalami perlambatan yang diduga terkait dengan belum membaiknya permintaan terutama

permintaan ekspor. Lemahnya permintaan ini berdampak pada tidak optimalnya pemanfaatan

kapasitas yang tersedia, sehingga mendorong perusahaan untuk menunda kegiatan investasinya.

Apabila dilihat dari strukturnya, distribusi penurunan terbesar sektor industri pengolahan berasal

dari subsektor alat angkutan, mesin dan peralatannya, subsektor makanan, minuman dan

tembakau serta subsektor kimia dan barang dari karet. Lihat Tabel V.2.

Sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) terus melambat terutama yang diduga

disebabkan oleh menurunnya permintaan karena melemahnya daya beli masyarakat akibat

turunnya penghasilan dan masih meningkatnya jumlah PHK, serta menurunnya kinerja impor.

Tabel V.2Pertumbuhan Ekonomi Sisi Penawaran

Pertanian 6,3 4,8 3,4 4,7 5,3 2,4Pertambangan (1,7) (0,5) 2,1 2,1 2,4 2,4Industri Pengolahan 4,3 4,2 4,3 1,8 1,5 1,5Listrik, Gas & Air 12,3 11,8 10,4 9,3 11,4 15,4Bangunan 8,0 8,1 7,6 5,7 6,3 6,4Perdag,, Hotel & Rest, 6,9 8,1 8,4 5,6 0,5 (0,1)Transportasi 18,3 17,3 15,5 15,8 17,1 17,5Keuangan 8,3 8,7 8,6 7,4 6,3 5,3Jasa-jasa 5,9 6,7 7,2 6,0 6,8 7,4PDB 6,2 6,4 6,4 5,2 4,4 4,0

Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09

Sumber: BPS, diolah

Page 122: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

380 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Sebagian besar kelompok komoditas menunjukkan tren perlambatan terutama untuk barang

tahan lama, demikian halnya dengan rata-rata tingkat hunian hotel di Jakarta dan Bali yang

juga mengindikasikan adanya perlambatan. Sementara itu kredit perbankan yang telah disalurkan

pada sektor perdagangan juga tumbuh melambat.

Perlambatan di sektor pertanian diperkirakan karena telah berlalunya musim panen raya,

hal ini juga dipengaruhi oleh subsektor perkebunan yang mengalami perlambatan terkait dengan

turunnya permintaan ekspor dan menurunnya harga komoditas perkebunan. Sementara itu,

perlambatan terbesar sektor pertanian berasal dari subsektor tanaman bahan makanan, demikian

halnya kinerja subsektor perkebunan, kecuali kelapa sawit.

Penurunan pertumbuhan PDB, tidak terlepas dari dinamika naik turunnya pertumbuhan

ekonomi daerah, mengingat Indonesia terdiri dari beberapa propinsi yang masing-masing

tentunya memiliki karakteristik yang relatif berbeda. Oleh sebab itu, dampak dari krisis keuangan

global pada perekonomian daerah diduga mempengaruhi variabel ekonomi daerah sesuai kondisi

perekonomian di daerah tersebut. Selain itu, adanya beberapa faktor ekonomi maupun non

ekonomi yang berbeda antar daerah tentunya sangat mempengaruhi intensitas dampak

dimaksud pada tiap-tiap daerah.

Terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi nasional yang cukup tajam dimulai triwulan

III-2008, hal ini terjadi hampir di semua wilayah baik Sumatra, Jakarta, Jabalnustra maupun

Kalisulampua. Untuk wilayah Sumatera penurunan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah

Tabel V.3Pertumbuhan Ekonomi (yoy, %)

NasionalNasionalNasionalNasionalNasional 6,06,06,06,06,0 6,66,66,66,66,6 6,66,66,66,66,6 5,85,85,85,85,8 6,26,26,26,26,2 6,46,46,46,46,4 6,46,46,46,46,4 5,25,25,25,25,2 4,44,44,44,44,4 4,54,54,54,54,5SumateraSumateraSumateraSumateraSumatera 4,34,34,34,34,3 5,55,55,55,55,5 5,45,45,45,45,4 4,74,74,74,74,7 4,94,94,94,94,9 4,94,94,94,94,9 4,84,84,84,84,8 3,93,93,93,93,9 3,13,13,13,13,1 3,23,23,23,23,2 21,621,621,621,621,6

Sumatera Bag, Utara 3,4 6,3 5,5 2,1 3,0 1,8 1,8 3,1 2,0 2,9 7,1Sumatera Bag, Tengah 4,8 4,5 5,1 5,5 5,2 7,1 6,8 5,4 4,0 3,1 9,0Sumatera Bag, Selatan 4,6 6,1 5,8 6,7 7,1 5,4 5,4 2,6 2,7 3,7 5,5

JakartaJakartaJakartaJakartaJakarta 6,36,36,36,36,3 6,36,36,36,36,3 6,46,46,46,46,4 6,76,76,76,76,7 6,36,36,36,36,3 6,16,16,16,16,1 6,16,16,16,16,1 6,26,26,26,26,2 5,25,25,25,25,2 5,15,15,15,15,1 17,717,717,717,717,7JabalnustraJabalnustraJabalnustraJabalnustraJabalnustra 5,75,75,75,75,7 6,26,26,26,26,2 6,06,06,06,06,0 6,36,36,36,36,3 6,26,26,26,26,2 5,25,25,25,25,2 6,36,36,36,36,3 5,05,05,05,05,0 4,54,54,54,54,5 4,44,44,44,44,4 45,545,545,545,545,5

Jawa Bag, Barat 5,7 6,2 6,4 7,1 7,0 4,5 6,6 4,8 4,4 4,1 18,1Jawa Bag, Tengah 4,4 6,1 5,7 5,7 6,0 5,2 6,4 4,0 4,1 4,7 9,4Jawa Bag, Timur 5,5 6,2 6,3 6,4 6,0 6,3 6,2 5,4 4,5 4,5 15,3Bali-Nusa Tenggara 13,0 6,1 2,2 2,5 3,3 3,7 4,8 6,6 6,4 5,1 2,7

KalisulampuaKalisulampuaKalisulampuaKalisulampuaKalisulampua 5,95,95,95,95,9 6,26,26,26,26,2 3,43,43,43,43,4 3,43,43,43,43,4 3,53,53,53,53,5 4,84,84,84,84,8 7,37,37,37,37,3 5,95,95,95,95,9 5,45,45,45,45,4 5,85,85,85,85,8 15,015,015,015,015,0Kalimantan 2,4 3,2 3,6 4,8 5,7 5,9 5,4 2,8 1,7 2,9 8,8Sulawesi-Papua 11,3 10,7 3,0 1,4 0,3 3,2 10,1 10,4 11,0 9,9 6,2

Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II

Sumber: BPS, diolah

Pangsa

(rata-rata)

2007 2008 2009

Page 123: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

381Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

Sumatera bagian Selatan dan Tengah, hal ini ditengarai sebagai akibat penurunan ekspor dan

konsumsi rumah tangga. Penurunan ekspor terutama terjadi untuk komoditas primer seperti

minyak kelapa sawit, karet, migas dan hasil tambang lainnya. Selain itu terjadi penurunan

harga komoditas ekspor, sehingga semakin mendorong turunnya pendapatan yang pada

akhirnya berdampak pada turunnya konsumsi.

Kinerja perekonomian seluruh daerah mengalami pertumbuhan yang melambat.

Perlambatan pertumbuhan terjadi di sebagian besar provinsi, termasuk provinsi-provinsi yang

memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, seperti Jawa Barat, Sumatera

Utara, Riau, dan Kalimantan Timur. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara nasional

tumbuh melambat. Walaupun secara umum dampak krisis dapat dirasakan, namun masih

terdapat provinsi yang memiliki pertumbuhan yang tinggi, seperti Sulawesi Tengah dan

Kepulauan Riau.

Krisis keuangan global yang berlangsung sejak semester II- 2008 telah memperlambat

kinerja ekspor dan konsumsi di daerah sehingga mempengaruhi perlambatan pertumbuhan

ekonomi. Daerah-daerah yang perekonomiannya bertumpu pada ekspor selanjutnya mengalami

imbas akibat turunnya permintaan dunia dan harga komoditas. Perlambatan pertumbuhan

ekspor terutama terjadi di daerah Sumatera, Kalimantan, Papua, dan sebagian Jawa sehingga

menyebabkan pendapatan masyarakat mengalami penurunan. Kondisi ini semakin diperburuk

dengan melambatnya dukungan pembiayaan konsumsi di daerah, khususnya untuk kredit

konsumsi.

Grafik V.1Perkembangan Nilai Ekspor Wilayah

%, yoyJuta US$

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

2007 2008 2009

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5(60)

(40)

(20)

0

20

40

60

80

100

120

Nasional gSumatera (rhs) gJakarta (rhs)

gJabalnusra (rhs) gKali-Sulampua (rhs)

Page 124: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

382 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Konsumsi rumah tangga juga melambat yang ditandai dengan turunnya penjualan

kendaraan bermotor dan pertumbuhan impor barang konsumsi. Hal ini seiring dengan masih

adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga tekanan terhadap daya beli masyarakat

diperkirakan masih berlanjut. Namun demikian, penghasilan yang bersumber dari musim panen

pada akhir triwulan I-2009 dan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) ke-13, serta pengeluaran

menjelang Pemilu Pilpres diperkirakan menahan perlambatan konsumsi masyarakat. Sejalan

dengan hal tersebut, beberapa indikator konsumsi menunjukkan perbaikan di Jabalnustra,

Jakarta dan Sumatera sebagaimana terlihat dari indikator penjualan eceran di Jakarta, Bandung,

Semarang dan Surabaya. Selain itu dari hasil survei konsumen, seluruh wilayah menunjukankan

Grafik V.2Perkembangan Volume Ekspor menurut Wilayah

Grafik V.3Perkembangan Indeks Riil Penjualan Eceran

Grafik V.4Indeks Keyakinan Konsumen

%, yoyRibu Ton

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

Total Ekspor gSumatera (rhs) gJakarta (rhs)

gJabalnusra (rhs) gKali-Sulampua (rhs)

2007 2008 2009

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5(60)

(40)

(20)

0

20

40

60

80

100

%,yoy

JakartaBandung

SemarangSurabaya

(40,0)

(30,0)

(20,0)

(10,0)

0,0

10,0

20,0

30,0

2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4*) 5*)

Indeks

50

60

70

80

90

100

110

120

130

2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6

Jabalnustra

Jakarta

Kali-Sulampua

Sumatera

Page 125: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

383Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

keyakinan konsumen cenderung menguat sejak awal 2009 karena didukung oleh ekspektasi

perbaikan penghasilan dan membaiknya ketersediaan lapangan kerja.

Secara kasat, uraian di atas mendeskripsikan dampak yang terjadi pasca krisis. Paper ini

melakukan pengujian inferensial tentang signifikan tidaknya pengaruh krisis global ini terhadap

kondisi makro perekonomian Indonesia sebagaimana ilustrasi di atas. Lebih dari itu, paper ini

juga menguji signifikansi dan tingkat keterkaitan antara besaran makro yang satu dengan

lainnya dalam satu kerangka model makro simulatn. Riset yang dilakukan difokuskan pada

analisis dampak krisis pada perekonomian nasional dan beberapa daerah ditinjau dari sisi output

dan komponen pembentuknya yaitu konsumsi, investasi, ekspor, dan impor, serta inflasi. Data

yang digunakan merupakan data triwulan dengan periode waktu dari triwulan I/1993 sampai

dengan triwulan IV/2008.

Bagian berikut dari paper ini menjelaskan dasar teori dan bagian ketiga membahas

methodologi penelitian dan data yang digunakan. Hasil estimasi dan analisis diberikan dalam

bagian keempat sementara kesimpulan dan rekomendasi menjadi penutup.

II. TEORI

Permintaan terhadap output perekonomian suatu negara dengan ekonomi terbuka berasal

dari konsumsi (C), investasi (I) , belanja pemerintah (G), ekspor (X) dan impor (M). Bagian ini

akan mengulas teori dasar yang mempengaruhi masing-masing komponen agregat tersebut.

Teori konsumsi Keynes menyebutkan bahwa konsumsi dipengaruhi terutama oleh

disposable income atau pendapatan disposable (Mankiw, 2003). Pendapatan disposable

merupakan pendapatan dikurangi pajak, TYYd −= dimana pajak merupakan faktor eksogen

atau faktor yang sudah ditentukan.

Dalam analisis inter-temporal, perilaku konsumsi juga dipengaruhi oleh tingkat suku bunga

(i). Suku bunga yang tinggi akan mendorong pengurangan konsumsi karena masyarakat

cenderung menggeser konsumsinya ke periode mendatang. Sebaliknya, ketika suku bunga

turun masyarakat memilih untuk berbelanja daripada menabung. Model empiris yang dapat

digunakan dengan mempertimbangkan kedua variabel tersebut adalah:

Ct = α

t + βY

dt + λi

t + e

t

Dimana it adalah suku bunga riil dan α

t menunjukkan konsumsi dasar yang tidak terpengaruh

oleh tingkat pendapatan. Slope dari pendapatan disposable merupakan variasi dari pendapatan

yang bersifat permanen dengan transitory (Friedman, 1957).

Page 126: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

384 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Komponen agregat yang kedua adalah investasi yang sangat bergantung pada biaya

modal atau suku bunga riil (Mankiw, 2003). Namun beberapa penelitian lain, memasukan

beberapa variable lain di dalam persamaan investasi. Stiroh (2000) menyatakan bahwa output

mempengaruhi investasi. Investasi merupakan konsumsi dalam bentuk barang modal (pabrik

dan peralatan), bangunan, dan persediaan barang (inventory) yang meningkatkan stok barang

modal (capital stock). Dalam penentuan investasi, pengusaha akan mempertimbangkan suku

bunga pinjaman, dimana bila suku bunga pinjaman tinggi pengusaha akan mengurangi

permintaan kredit. Sebaliknya, bila suku bunga pinjaman turun, pengusaha akan meningkatkan

permintaan kreditnya (Ehrman dkk, 2001). Menurut Mojon2 suku bunga pinjaman atau suku

bunga pasar dipengaruhi oleh suku bunga acuan central bank atau otoritas moneter. Faktor

lain yang juga mempengaruhi investasi yaitu faktor kondisi perekonomian yang tercermin dari

output (PDB atau PDRB). Dalam kondisi ekonomi yang baik, perusahaan akan melakukan investasi

lebih banyak. Formulanya sebagai berikut:

It = α

t + βi

t + λcr

t +λY

t + e

t

Dimana It = Investasi, i

d = suku bunga riil, cr = country risk dan Y adalah output sebagaimana

notasi sebelumnya.

Country risk suatu negara mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap prospek

perekonomian negara yang bersangkutan, yang tercermin dari keputusan keputusan investasi

yang akan dilakukan di negara tersebut. Tingginya resiko akan menurunkan kepercayaan investor

asing dan akan memberikan tekanan negatif terhadap investasi.

Adapun belanja pemerintah yang dinotasikan dengan simbol G merupakan faktor eksogen

yang sudah ditentukan. Konsumsi pemerintah merupakan alat yang sangat penting dalam

mempengaruhi output, inflasi dan pengangguran dalam jangka pendek karena memiliki efek

multiplier yang lebih besar daripada konsumsi rumah tangga. Konsumsi pemerintah sangat

tergantung dari jumlah pendapatan yang diperoleh dari pajak (ekspor dan penghasilan) serta

pembiayaan. Dalam penelitian ini, pengeluara pemerintah ditempatkan sebagai variabel eksogen

dengan pertimbangan bahwa variabel tersebut sangat tergantung pada keputusan pemerintah

dan tidak ditentukan dalam sistem.

Bila perekonomian suatu negara atau daerah bersifat terbuka, maka perdagangan antar

negara atau daerah akan terjadi. Sehingga faktor ekspor dan impor akan turut mempengaruhi

output perekonomian negara atau daerah tersebut. Ekspor yang berarti pengiriman atau

penjualan barang dari dalam negeri atau daerah ke luar negeri atau daerah itu. Nilai ekspor

akan ditentukan oleh tingkat perekonomian Negara atau daerah tujuan. Faktor output luar

2 Mojon, B, ≈Financial Stucture and the Ineterest Rate Channel of ECB Monetary Policy ∆, ECB Working Paper No. 40, 2000.

Page 127: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

385Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

negeri akan berpengaruh positif, dimana peningkatan output luar negeri akan meningkatkan

permintaan ekspor dalam negeri.

Faktor nilai tukar juga memiliki peran dalam mempengaruhi permintaan ekspor. Depresiasi

nilai tukar dalam negeri akan membuat harga produk dalam negeri menjadi murah, sehingga

daya saing produk dalam negeri juga meningkat. Sehingga penurunan nilai tukar akan diikuti

dengan peningkatan ekspor dan berdampak juga pada peningkatan output (Hallwood and

MacDonald, 2000).

Selain itu, faktor output negara lain juga mempengaruhi ekspor. Ketika output suatu

negara (negara A) menurun, maka daya beli negara A akan menurun dan berakibat pada

pengurangan impor negara tersebut. Sementara itu, negara B yang merupakan pengeskpor

utama ke negara A akan terkena imbasnya berupa penurunan ekspornya. Jadi penurunan

output negara lain dapat berakibat pada penurunan ekspor negara kita, terutama bila negara

tersebut merupakan negara tujuan ekspor utama dari negara kita, misalnya USA, Jepang, dan

China.

Berkaitan dengan peran minyak dunia dalam kegiatan perdagangan internasional yang

cukup besar, maka variabel harga minyak dunia turut mempengaruhi besaran ekspor, terutama

negara kita yang termasuk pengekspor minyak. Jadi persamaan ekspor dapat dituliskan sebagai

berikut:

Xt = α

t + βe

t + λY

t *+ δoil

t + µD

t + e

t

Dimana X = ekspor, e = nilai tukar (Rp/USD), Y* = output US, oil = harga minyak dunia dan D

adalah variabel dummy krisis.

Sedangkan impor lebih dipengaruhi oleh perekonomian dalam negeri, dimana pendapatan

mencerminkan daya beli masyarakat. Nilai impor juga dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar.

Apresiasi nilai tukar akan diikuti oleh naiknya permintaan akan impor, terutama untuk impor

barang konsumsi. Hal tersebut disebabkan apresiasi nilai tukar berarti harga barang impor

akan lebih murah, sehingga permintaan akan barang tersebut akan meningkat. Persamaan

impor dapat dijabarkan sebagai berikut:

Berbeda dengan ekspor, impor memiliki marginal propensity to import sehingga sangat

dipengaruhi oleh perekonomian dalam negeri. Besarnya impor dibandingkan dengan ekspor

merupakan bentuk konsumsi domestik yang mengalir ke luar negeri sehingga memperkecil

output perekonomian. Selain output domestik, impor juga dipengaruhi oleh pergerakan nilai

tukar. Apresiasi nilai tukar akan diikuti oleh naiknya permintaan akan impor, terutama untuk

impor barang konsumsi. Hal tersebut disebabkan apresiasi nilai tukar berarti harga barang

impor akan lebih murah, sehingga permintaan akan barang tersebut akan meningkat, seperti

Page 128: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

386 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

yang dijabarkan pada persamaan berikut:

Mt = α

t + βe

t + λY

t + δ P

t *+ µD

t + e

t

Dimana

M = impor, e = nilai tukar (Rp/USD), Y = output nasional, P*= CPI US dan D = dummy krisis.

Secara agregat, dalam kondisi terbuka, output perekonomi dari sisi permintaan mengikuti

identitas berikut:

Y = C + I + G + X √ M

Model inflasi berdasarkan teori Philips Curve (Mankiw, 2003) dengan memasukan variabel

ekspektasi inflasi, output gap dan supply shock. Untuk variabel ekspektasi inflasi akan digunakan

variabel proxy yaitu inflasi lag 1 bulan dengan asumsi masyarakat melakukan ekspektasi inflasi

saat ini berdasarkan inflasi 1 bulan sebelumnya (teori adaptive inflation). Output gap merupakan

selisih antara PDRB aktual dan PDRB potensial, dimana variabel PDRB potensial berupa trend

PDRB. Sedangkan variabel supply shock akan diwakilkan oleh harga BBM atau nilai tukar rupiah

terhadap US dollar. Formulanya sebagai berikut:

πt = π

t e + β (Y

t - Y

t ) + v

t

Dimana π = inflasi, π e = ekspektasi inflasi, Y = output aktual, Y = output potensial dan v =

supply shock

Krisis keuangan dunia berpengaruh pada perekonomian dalam negeri, termasuk

perekonomian daerah di dalamnya. Krisis keuangan ditandai dengan gejolak pada pasar saham

dan pasar valas. Dalam pasar valas, dapat dirasakan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US

dollar berdampak langsung pada ekspor dan impor. Sementara itu, penurunan pertumbuhan

ekonomi dunia yang ditandai dengan turunnya GDP pada hampir semua negara di dunia

mendorong penurunan permintaan akan ekspor. Dari dalam negeri penurunan perekonomian

berimbas pada turunnya konsumsi dan investasi.

III. METODOLOGI

III.1 Teknik Estimasi

Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrik yaitu simultaneous equations atau

lebih dikenal dengan istilah model simultan. Model simultan akan digunakan untuk menangkap

setiap perubahan variabel yang dipengaruhi oleh krisis keuangan dunia dalam bentuk simulasi.

Hasil simulasi ini diharapkan dapat menjelaskan dampak krisis terhadap perekonomian di

Indonesia.

Page 129: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

387Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

Sistem persamaan simultan merupakan himpunan persamaan di mana variabel dependen

dalam satu atau lebih persamaan juga merupakan variabel independen dalam beberapa

persamaan lainnya. Secara ringkasnya, variabel dalam model simultan dapat berperan ganda,

baik sebagai variabel independen, maupun variable dependen (Gujarati, 2003).

Identifikasi struktur model merupakan langkah awal dalam menyusun model simultan

yang menentukan apakah estimasi parameter dapat diselesaikan atau tidak. Secara umum,

terdapat tiga kondisi dari hasil identifikasi yaitu:

1. Exactly identified, kondisi dimana nilai parameter diperoleh yang unik yaitu hanya ada satu

nilai untuk setiap koefisien parameter struktural.

2. Over identified, kondisi dimana nilai parameter persamaan struktural yang diperoleh lebih

dari satu.

3. Under identified, dimana nilai parameter persamaan struktural tidak dapat diperoleh karena

kondisinya tidak memenuhi persyaratan untuk penghitungan minimal salah satu

parameternya.

Proses identifikasi dapat menggunakan dua metode yaitu Order Condition dan Rank

Condition (Enders, 2004), dimana prosedur order condition saja tidak cukup dan perlu

ditambahkan prosedur rank condition sebagai syarat kecukupan (sufficient). Agar sebuah sistem

persamaan simultan dengan M persamaan struktural dapat diidentifikasi, maka setidaknya

harus memiliki (M-1) variabel endogen.

Untuk sejumlah m variabel endogen dalam model, K total variabel penjelas

(predetermined), k jumlah variabel penjelas pada persamaan tertentu, maka order condition

mengikuti ketentuan berikut:

a. Jika (K√k) = (m√1) maka persamaan tersebut dikatakan√exactly identified.

b. Jika (K√k) > (m√1) maka persamaan tersebut over identified.

c. Jika (K√k) < (m√1) maka persamaan tersebut under identified.

Jika suatu persamaan over identified atau exactly identified maka persamaan tersebut

dapat diselesaikan.

Terdapat 3 teknik estimasi yang dapat digunakan, (i) Indirect Least Squares (ILS); metode

ini digunakan pada persamaan struktural yang tepat terindentifikasi (exactly identified); (ii)

Ordinary Least Square (OLS); metode ini digunakan pada persamaan struktural yang over

identified, namun dengan kondisi tidak terdapat endogenity problem. Dengan kata lain tidak

terdapat keterkaitan antar persamaan satu dengan lainnya. Dalam kondisi ini, estimasi persamaan

simultan akan memberikan hasil yang sama ketika masing-masing persamaan diestimasi secara

terpisah. Bila terdapat masalah endogeneity, maka metode yang digunakan sebaiknya Two

Page 130: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

388 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Stages Least Squares (TSLS); (iii) Teknik yang ketiga adalah Two Stages Least Squares (TSLS).

Teknik ini digunakan untuk memperoleh nilai parameter struktural pada persamaan yang

teridentifikasi berlebih (over identified) dan memiliki endogeneity problem.

Pemilihan teknik estimasi yang lebih tepat didasarkan pada 2 hal, (i) identifikasi

perbandingan jumlah variabel endogen dan eksogen sebagaimana telah dijelaskan di atas, dan

(ii) permasalahan endogenitas yang terdapat dalam persamaan strukturalnya3. Secara teknis,

permasalahan endogenitas ini dapat tercermin pada struktur matriks kovarian galat antar

persamaan yang pengujiaannya dapat dilakukan menggunakan Hausman specific test.

III.2 Model Empiris Persamaan Simultan

Persamaan-persamaan yang selanjutnya digunakan di dalam pembentukan model simultan

adalah sebagai berikut:

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Keterkaitan simultan antar variabel dan lintas keenam persamaan tersebut digambarkan

di dalam bagan berikut:

Grafik V.5Flow Chart

3 Lihat Hamilton (1994) untuk penjelasan yang lebih rinci.

3t t dt t tC Y i eα β λ −= + + +

4 4 4t t t t t tI i cr Y eα β λ γ− − −= + + + +

*t t t t t t tX er Y oil D eα β λ δ µ= + + + + +

1 *t t t t t t tM er Y P D eα β λ δ µ−= + + + + +

Yt =Ct +It +Gt +Xt – Mt

_

( )ett t t tY Y er eπ π β= + − + +

Krisis Keuangan Dunia

Y* e P*

Oil

G X M

CR

id

C I

Y

TT

Yp

T

Page 131: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

389Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

Dengan menggunakan prosedur order condition dan rank condition, keenam persamaan

struktural tersebut adalah over-identified. Dengan demikian persamaan-persamaan yang ada

dapat diselesaikan dengan metode OLS dan TSLS. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, salah

satu kelemahan penggunaan metode OLS pada persamaan simultan yaitu masalah endogeneity,

yang bila dalam persamaan tersebut mengandung endogeneity problem maka penggunaan

metode OLS akan menghasilkan parameter dugaan yang tidak efisien.

Dari hasil pengujian dengan Hausman specific test diperoleh bahwa persamaan konsumsi,

investasi, dan impor mengandung endogenity problem. Oleh karena itu, ketiga persamaan

tersebut harus menggunakan TSLS untuk meraih hasil yang tidak bias dan konsisten. Sementara

itu, persamaan ekspor dan inflasi menggunakan metode OLS dalam estimasinya. Setiap

persamaan diestimasi secara parsial dengan asumsi error pada satu persamaan tidak berkorelasi

dengan error pada persamaan lainnya. 4

Model makro simultan di atas, diaplikasikan pada data nasional. Data yang digunakan

dalam penelitian ini berupa data triwulanan mencakup 1996Q1 s.d 2008Q4. Untuk periode

data tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 dilakukan interpolasi dari data tahunan menjadi

data triwulanan, karena keterbatasan data. Struktur model yang sama juga diaplikasikan secara

independen pada masing-masing daerah, mencakup Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera

Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara. 5

Aplikasi model pada masing-masing daerah disesuaikan dengan karakteristik daerah yang

bersangkutan. Salah satu bentuk penyesuaian yang dimaksud adalah pemilihan indikator untuk

mewakili variabel tertentu seperti permintaan asing (didekati dengan PDB negara asing) yang

berbeda untuk beberapa daerah sesuai dengan karakteristik daerah tersebut. Sumber data

dari BPS dan CEIC Data. Data yang digunakan mencakup periode tahun 1993-2008.

IV. HASIL DAN ANALISIS

IV.1 Estimasi Persamaan Konsumsi

Sejalan dengan teori dasar Keynes, hasil estimasi model konsumsi dengan pendekatan

TSLS menunjukkan positifnya pengaruh disposable income terhadap konsumsi. Lebih lanjut

tingkat suku bunga memiliki pengaruh yang negatif terhadap konsumsi, sejalan dengan

membesarnya opportunity cost dalam membelanjakan uang. Hasil estimasi diberikan sebagai

berikut:

4 Kami memahami bahwa asumsi ini terlalu kuat. Pelepasan asumsi ini akan menjadi target penelitian mendatang.5 Dilakukan oleh masing-masing KBI yakni KBI Medan, KBI Padang, KBI Palembang, KBI Bandung, KBI Semarang, KBI Surabaya, KBI

Banjarmasin, dan KBI Manado.

Page 132: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

390 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Seluruh variabel diestimasi dalam bentuk logaritma natural. Hasil estimasi tersebut

menunjukkan autonomous consumption yang memiliki nilai positif dan signifikan sesuai sesuai

dengan teori. Marginal Propensity to Consume (MPC) sebesar 0.63 untuk skala nasional

menunjukkan perubahan konsumsi sebesar 0.63% untuk setiap 1% perubahan disposable

income. Dibandingkan periode sebelum krisis, 1986-1996, besaran MPC Indonesia ini menurun

sedikit dari angka 0,63. Secara relatif, MPC di Indonesia relatif hampir sama dengan Korea dan

Jepang masing-masing 0,634 dan 0,620. Kecenderungan mengkonsumsi ini lebih tinggi

dibandingkan Cina (0,540) dan Singapura (0,478), namun lebih rendah dibandingkan Philipina

(0,835) dan Hong Kong (0,846)6.

Penelusuran lintas propinsi yang diobservasi menunjukkan besaran MPC yang yang sedikit

berbeda dibandingkan MPC nasional. MPC tertinggi dimiliki Propinsi Sumatera Utara yaitu

sebesar 0.94 (Tabel IV.4). Sebaliknya Propinsi Sumatera Selatan memiliki MPC terendah yaitu

sebesar 0.40. Hal ini terkait dengan karakteristik masing-masing daerah yang berbeda.

(0.36)*** (0.04)*** (0.002)*

2R R2= 0.92, DW = 1.23, Instrument list:

Tabel V.4Marginal Prospensity to Consume Regional

1 Sumatera Utara 0.942 Sumatera Barat 0.883 Sumatera Selatan 0.404 Jawa Barat 0.825 Jawa Tengah 0.666 Jawa Timur 0.867 Kalimantan Selatan 0.898 Sulawesi Utara 0.77

NoNoNoNoNo PropinsiPropinsiPropinsiPropinsiPropinsi Disposabale Income Disposabale Income Disposabale Income Disposabale Income Disposabale Income

Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI

Terhadap variabel tingkat suku bunga, hasil estimasi menunjukkan respon konsumsi yang

relatif kecil terhadap perubahan tingkat suku bunga. Elastisitas konsumsi terhadap tingkat

suku bunga adalah sebesar -0,003 yang berarti peningkatan suku bunga sebesar 10%, hanya

6 Estimasi negara-negara ini menggunakan data peride 1985-1996. Dokumen ini dapat didownload dari http://www.gsid.nagoya-u.ac.jp/project/apec/outcomes/paper99/27/Appendix1.pdf

37.1 2 0.6 3 0.003

t d t t tC Y i e

-= + - +

Page 133: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

391Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

direspon dengan penurunan konsumsi sebesar 0,03%. Secara teoritis, peningkatan suku bunga

deposito akan meningkatkan biaya penggunaan uang periode sekarang sehingga mendorong

konsumen untuk mengurangi konsumsi dan mengalihkannya ke periode mendatang. Hasil

estimasi yang menunjukkan kecilnya respon konsumsi tersebut sangat potensial diakibatkan

oleh taraf hidup masyarakat yang masih rendah dan bergulat pada pemenuhan kebutuhan

dasar.

IV.2 Estimasi Persamaan Investasi

Persamaan investasi menggunakan variabel suku bunga riil dan output sebagai variabel

utama, serta memasukan variabel resiko suatu negara (country risk) yang telah mencakup resiko

politik, ekonomi, dan keuangan. Hasil persamaan regresi dengan metode TSLS sebagai berikut:

442.290.020.580.03tttttIiYcre+++

(1.72) (0.008)** (0.14)*** (0.005)***

R2 = 0.52, DW=0.77, Instrument list:

Dari hasil regresi tersebut diperoleh bahwa suku bunga riil berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap investasi, dimana hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan hubungan

antara suku bunga riil dan investasi riil berlawanan arah (Mankiw, 2003). Kenaikan suku bunga

riil akan menyebabkan penurunan invetasi, namun pengaruhnya relatif kecil, dimana koefisiennya

sebesar minus 0.019 berarti bahwa kenaikan suku bunga riil sebesar 1% akan menyebabkan

penurunan investasi sebesar 1.9%. Sebaliknya, bila suku bunga riil turun sebesar 1% maka

akan diikuti dengan kenaikan investasi sebesar 1.9%.

Di Indonesia dan umumnya negara berkembang, besarnya biaya modal (cost of capital)

dan aksessibilitas atas modal tersebut masih menjadi kendala yang dominan. Bersamaan dengan

melemahnya permintaan eksternal serta adanya faktor ketidakpastian perekonomian global

telah memperlambat pertumbuhan investasi sejak triwulan IV-2008. Hal ini diindikasikan oleh

indikator penuntun investasi yang berada pada siklus kontraksi serta menurunnya indikator

pertumbuhan impor barang modal. Perlambatan investasi terutama terjadi di Sumatera dan

Jabalnustra terutama disebabkan adanya penurunan investasi non-bangunan terkait dengan

masih rendahnya daya serap eksternal dan belum membaiknya risiko ketidakpastian global.

Terhadap variabel country risk, hasil pengujian inferensial menunjukkan tanda yang

berlawanan atau kontradiktif dengan teori. Besaran elastisitas yang diperoleh adalah 0,03 yang

It = 2.2 9 - 0.0 2 i

t - 4 + 0.5 8Y

t - 4 + 0.03 cr

t + e

t

Page 134: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

392 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

berarti peningkatan resiko 1% justru menyebabkan peningkatan investasi sebesar 0,03%.

Anomali ini perlu dikaji lebih lanjut.

Terhadap variabel output domestic, hasil estimasi menunjukkan pengaruh positif output

terhadap investasi. Output suatu negara atau daerah yang tinggi akan mendorong peningkatan

investasi baik berupa investasi domestik maupun investasi asing. Hal ini disebabkan tingginya

output menunjukan prospek perekonomian suatu negara atau daerah sehingga menodorong

minat investor untuk berinvestasi di negara atau daerah tersebut.

Hasil regresi secara nasional menunjukan bahwa output dengan lag setahun sebelumnya

berpengaruh positif dan signifikan dengan tingkat elastisitas sebesar 0,58. Dibandingkan dengan

variabel penjelas lainnya, pengaruh output paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi

atau prospek perekonomian nasional merupakan faktor yang penting dalam penentuan investasi.

Implementasi struktur model yang sama atas delapan propinsi terpisah di Indonesia

menunjukan hasil yang signifikan pada variabel penjelas utamanya yaitu PDRB dan suku bunga

riil dengan arah sesuai dengan teori. Dari kedelapan propinsi tersebut, pengaruh output terhadap

investasi pada Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Jawa Barat relatif paling besar dengan

tingkat elastisitas masing-masing sebesar 1,29 dan 1,27. Sementara itu, tingkat elastisitas output

Propinsi Sumatera Selatan paling rendah yaitu sebesar 0.11 (Tabel V.5). Sedangkan koefisien

suku bunga riil beberapa propinsi relatif sama yaitu minus 0,01 s/d minus 0,03 yang relatif

berdekatan dengan koefisien suku bunga riil secara nasional yaitu minus 0,02 , kecuali propinsi

Jawa Tengah yang memiliki koefisien sebesar minus 0,78.

Grafik V.6Pertumbuhan Volume Impor Barang Modal

di Indonesia

Grafik V.7Pertumbuhan Kredit Riil Investasi

di Indonesia

%, yoy%, yoy

(100,0)

(50,0)

0,0

50,0

100,0

150,0

200,0

2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4

(200,0)

0,0

200,0

400,0

600,0

800,0

1000,0

1200,0

gSumatera gJabalnustra gJakarta gKali-Sulampua (rhs)

(%,yoy)

-5

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4

Kali-Sulampua

Jakarta Jabalnustra

Sumatera

Page 135: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

393Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

Pertumbuhan investasi non-bangunan cenderung melambat sejalan dengan penurunan

permintaan mesin dan perlengkapan luar negeri serta melemahnya impor barang modal.

Tertundanya penyaluran stimulus fiscal dan realisasi proyek infrastruktur juga mendorong

lemahnya tendensi bisnis pelaku usaha meskipun kondisi dalam negeri menjelang Pemilu Pilpres

relatif stabil. Indikasi ini didukung oleh adanya pertumbuhan konsumsi semen yang berangsur

menurun di Jawa dan Sumatera. Selain itu dukungan pembiayaan investasi berupa kredit investasi

riil juga diindikasikan menurun. Seiring dengan hal tersebut, minat kegiatan investasi pelaku

usaha mengalami sedikit penurunan, yang tercermin dari Indeks Tendensi Bisnis yang menurun

karena berkurangnya order barang input dan order luar negeri yang disertai penurunan harga

jual riil.

Tabel V.5Elastisitas Investasi terhadap PDRB dan Suku Bunga Riil

1 Sumatera Utara 1.29 -0.012 Sumatera Barat 0.35 -0.013 Sumatera Selatan 0.11 -0.0024 Jawa Barat 1.27 -0.015 Jawa Tengah 0.71 -0.786 Jawa Timur 0.79 -0.0017 Kalimantan Selatan 0.92 -0.038 Sulawesi Utara 0.61 -0.01

NoNoNoNoNo PropinsiPropinsiPropinsiPropinsiPropinsi PDRBPDRBPDRBPDRBPDRB Suku Bunga RiilSuku Bunga RiilSuku Bunga RiilSuku Bunga RiilSuku Bunga Riil

Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI

Grafik V.8Perkembangan Konsumsi Semen

di Indonesia

Grafik V.9Pertumbuhan Kredit Model Kerja

menurut Wilayah di Indonesia

%, yoy

(30)

(20)

(10)

0

10

20

30

40

50

2007 2008 2009

Sumatera JabalnusraJakarta Kali-Sulampua

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5

%, yoy

0

5

10

15

20

25

30

35

40

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4

2007 2008 2009

Sumatera Jakarta

Jabalnustra Kali-Sulampua

Page 136: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

394 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

IV.3 Estimasi Persamaan Ekspor

Persamaan Ekspor menggunakan variabel independen GDP USA sebagai perwakilan

pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini sangat penting mengingat tujuan utama dari penelitian

ini ingin melihat dampak krisis keuangan dunia yang diikuti dengan penurunan pertumbuhan

ekonomi dunia. Selain itu, persamaan ekspor juga memasukan variabel harga minyak dunia

dan perubahan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar. Hasil uji empirik dengan menggunakan

metode OLS diperoleh sebagai berikut:

(2.09)** (0.23)*** (0.001)*** (0.10)*** (0.06)***

R2 = 0.84; DW=1.3

Hasil regresi menunjukan bahwa perekonomian dunia yang diwakili GDP USA berpengaruh

positif dan signifikan terhadap ekspor dalam skala nasional dengan elastisitas sebesar 0.84. Hal

ini sesuai dengan teori dan besarnya elastisitas tersebut tidak terlalu mengherankan mengingat

Amerika Serikat bersama dengan Jepang, merupakan partner dagang utama Indonesia dan

negara di kawawan.

Sementara itu, harga minyak dunia berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor.

Hal ini selaras dengan masih banyaknya ekspor migas, sehingga kenaikan harga minyak akan

diikuti dengan kenaikan ekspor. Pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap US Dollar

juga positif dan signifikan. Sesuai dengan teori, depresiasi nilai tukar akan diikuti dengan

peningkatan nilai ekspor. Variabel dummy yang digunakan merupakan dummy periode krisis

1998, dimana hasilnya signifikan berpengaruh pada ekspor.

Dampak krisis keuangan global tidak hanya menimpa perekonomian nasional, namun

juga terasa dampaknya pada perekonomian daerah. Hal ini terlihat dari regresi persamaan

Tabel V.6Marginal Prospensity to Consume Regional

1 Sumatera Utara 1,26 (Japan)2 Sumatera Barat 0,05 (China)3 Sumatera Selatan 1,35 (USA)4 Jawa Barat 8,54 (USA)5 Jawa Tengah 0,73 (USA)6 Jawa Timur 0,67* (China)7 Kalimantan Selatan 1,14 (Japan)8 Sulawesi Utara 0, 69(China)

NoNoNoNoNo PropinsiPropinsiPropinsiPropinsiPropinsi GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara)

Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI

4.0 5 0.8 4 * 0.00 6 0.31 0.19t t t t t tX Y o i l e D e= + + + ∆ + +

Page 137: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

395Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

ekspor di daerah yang diwakilkan oleh delapan propinsi. Tabel II.6 menunjukan bahwa pengaruh

GDP dunia yang diwakilkan oleh tiga negara yaitu USA, China, dan Jepang berdampak positif

dan signifikan dengan tingkat elastisitas yang cukup tinggi.

Pengaruh ekonomi USA pada Propinsi Jawa Barat misalnya sangat besar, terlihat tingkat

elastisitas GDP USA terhadap ekspor Jawa Barat sebesar 8.54. Amerika Serikat merupakan

salah satu negara tujuan ekspor utama Jawa Barat, dimana penurunan 1% GDP USA akan

mendorong penurunan ekspor di Jawa Barat sebesar 8.54%. Dampak dari krisis keuangan

global di Jawa Barat ditandai dengan penurunan ekspor terutama untuk jenis mesin dan

peralatan elektronik.

Grafik V.10Nilai dan Volume Ekspor di Jabar

Besarnya pengaruh PDB partner dagang seperti Amerika Serikat juga terlihat pada wilayah-

wilayah lain yang ada di Indonesia. Hal ini kasat terlihat dari perkembangan ekspor beberapa

komoditas nonmigas unggulan terutama lemak dan minyak hewan/nabati serta karet dan barang

dari karet yang terus menurun.

Berdasarkan data yang ada, kondisi penurunan kinerja ekspro ini tidak berlangsung terus-

menerus. Memasuki tahu 2009, harga komoditas internasional dan kinerja negara mitra dagang

utama seperti India dan China semakin membaik, sementara permintaan dari negara emerging

market semakin juga mulai kembali meningkat terutama untuk komoditas CPO dan batubara,

(Lihat Grafik V.11 s.d. Grafik V.14). Indikasi pemulihan ekspor di daerah juga mengindikasikan

adanya perbaikan paling tidak penurunan yang melambat pada komoditas utama di masing-

masing wilayah, antara lain CPO, Karet (Sumatera), batu bara, tembaga (Kali-Sulampua), dan

TPT, alas kaki (Jabalnustra).

USD Juta

800

600

400

200

0

Ribu Ton

2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

60

50

40

30

20

10

0

NilaiVolume

Page 138: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

396 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Grafik V.13Perkembangan Volume Ekspor Unggulan

di Jakarta

Grafik V.14Perkembangan Volume Ekspor Unggulan

di Sumatera

Grafik V.11Perkembangan Volume Ekspor Unggulan

di Jabalnustra

Grafik V.12Perkembangan Volume Ekspor Unggulan

di Kali-Sulampua

IV.4 Estimasi Persamaan Impor

Untuk persamaan impor, penelitian ini menggunakan faktor output dalam negeri, indeks

harga dunia yang diwakilkan oleh CPI USA, nilai tukar riil dan dummy krisis. Hasil pengujian

empirik sebagai berikut:

(4.91)*** (0.15)** (0.003)*** (0.40)** (0.18)***

R2 = 0.82, DW = 1.1, Instrument list: : C dt C d

t-1 T

t C

t-1

Ribu Ton Ribu Ton

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2007 2008 2009

TPT Mebel Kulit dan Alas Kak (rhs)i

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4

Ribu Ton

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

45.000

2007 2008 2009

Batu Bara

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4

%, y-o-y

-100-50

050

100150

200250

300

350

400

450

2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4

Peralatan listrik

Besi/baja

Ikan olahan

0

100

200

300

400

500

600Karet

Minyak Sawit

2007 2008 2009

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4

114.3 0.3 2 0.00 7 * 2.2 3 0.4t t t t t tM e p Y D e−= − − − + + +

Page 139: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

397Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

Hasil regresi persamaan impor dengan menggunakan metode TSLS menunjukan bahwa

pengaruh output dengan lag satu triwulan positif dan signifikan dengan tingkat elastisitas

sebesar 2.23. Sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat output

suatu negara atau daerah akan mendorong peningkatan permintaan impor.

Sementara itu, pengaruh nilai tukar terhadap impor negatif dan signifikan dengan koefisien

sebesar minus 0.32. Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar akan diikuti dengan

penurunan impor. Hal tersebut disebabkan oleh pengurangan permintaan impor karena naiknya

harga barang impor akibat jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (US Dollar).

Hal sebaliknya terjadi bila nilai tukar terapresiasi yang berdampak pada penurunan harga barang

impor dalam bentuk rupiah, sehingga permintaan barang impor meningkat.

Harga barang luar negeri turut berpengaruh pada impor, dimana kenaikan barang luar

negeri yang terukur dengan consumer price index (CPI) luar negeri berdampak pada penurunan

impor. Sehingga hubungan antara impor dan harga barang luar negeri berlawanan arah. Hasil

regresi menyebutkan bahwa CPI USA yang mewakili harga barang luar negeri berpengaruh

negative dan signifikan dengan koefisien sebesar minus 0.007. Variabel dummy krisis juga

signifikan dari hasil pengujian tersebut.

Tercatat dari hasil pengujian empirik pada persamaan impor daerah yang diwakili delapan

propinsi, output di daerah tersebut berpengaruh positif dan signifikan. Tingkat elastisitas PDRB

pada impor di Jawa Barat terlihat paling besar dibandingkan tujuh propinsi lainnya yaitu sebesar

2.93 (Tabel V.7). Hal ini mengindikasikan perilaku konsumtif terlebih proporsi impor Jawa Barat

yang dominan adalah berupa impor barang konsumsi. Secara umum, pergerakan barang impor

pada setiap wilayah ditunjukkan dalam Grafik IV.15 s.d. Grafik V.18.

Tabel V.7Pengaruh PDRB pada Impor

1 Sumatera Utara 1,342 Sumatera Barat 2,373 Sumatera Selatan 0,604 Jawa Barat 2,935 Jawa Tengah 1,506 Jawa Timur 1,67 Kalimantan Selatan 0,948 Sulawesi Utara 1,96

NoNoNoNoNo PropinsiPropinsiPropinsiPropinsiPropinsi GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara)

Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI

Page 140: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

398 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Grafik V.15Perkembangan Volume Impor Sumatera

Grafik V.16Perkembangan Volume Impor di Jakarta

Grafik V.17Perkembangan Volume Impor Jabalnustra

Grafik V.18Perkembangan Volume Impor Kali-

Sulampua

%, yoy%, yoy

-50

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

50

2007 2008 2009

gTotal

gVol.Brg.Modal (rhs)

gVol.Brg.Konsumsi (rhs)

gVol.Bhn.Baku (rhs)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4(100)

(50)

0

50

100

150

200

250

300

%, yoy%, yoy

-60

-50

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

50

gTotal

gVol.Brg.Modal (rhs)

gVol.Brg.Konsumsi (rhs)

gVol.Bhn.Baku (rhs)

(60)

(40)

(20)

0

20

40

60

80

100

120

140

2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4

%, yoy%, yoy

-80

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

gTotal

gVol.Brg.Modal (rhs)

gVol.Brg.Konsumsi (rhs)

gVol.Bhn.Baku (rhs)(100)

(50)

0

50

100

150

200

2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4

%, yoy%, yoy

-80

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120gTotal

gVol.Bhn.Baku

gVol.Brg.Modal (rhs)

gVol.Brg.Konsumsi (rhs)

2007 2008 2009

(500)

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4

IV.5 Estimasi Persamaan Inflasi

Persamaan inflasi ini sesungguhnya mewakili sisi penawaran dalam suatu perekonomian.

Spesifikasi standar yang digunakan adalah Philips Curve dengan tiga komponen utama yaitu

ekspektasi inflasi,output gap, dan supply shock yang diwakili oleh nilai tukar rupiah terhadap

US dollar. Hasil estimasi atas sisi penawaran ini diberikan sebagai berikut:

πππππt = 0.64 πππππ

te + 0.64 (y

t - y

t ) + 0.27e

t + 19.7 D

t + e

t

(0.08)*** (0.31)** (0.09)*** (5.85)***

R2 = 0.89, DW =1.09

Page 141: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

399Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

Ekspektasi inflasi memiliki pengaruh yang signikan terhadap tingkat inflasi dengan besaran

koesifisien yang tergolong tinggi yakni 0,64. Dalam model ini perilaku agen dispesifikasi

mengikuti proses pembentukan ekpektasi yang adaptif yakni berkaca pada tingkat inflasi

sebelumnya. Dari hasil pengujian empirik persamaan inflasi pada delapan provinsi diperoleh

hasil yang relatif sama dengan hasil regresi secara nasional, dimana faktor ekspektasi inflasi

memegang peranan yang cukup penting. Bahkan koefisien ekspektasi inflasi pada beberapa

daerah di atas koefisien ekspektasi inflasi nasional. Tercatat empat propinsi memiliki koefisien

ekspektasi inflasi di atas nasional yaitu Propinsi Sumatera Utara, Propinsi Jawa Timur, Propinsi

Jawa Barat, dan Propinsi Kalimantan Selatan yang masing-masing sebesar 0,76 , 0,74 , 0,72 ,

dan 0,66 (Tabel V.8).

Tabel V.8Pengaruh Ekspektasi Inflasi terhadap Inflasi Daerah

1 Sumatera Utara 0,762 Sumatera Barat 0,403 Sumatera Selatan 0,644 Jawa Barat 0,725 Jawa Tengah 0,276 Jawa Timur 0,747 Kalimantan Selatan 0,668 Sulawesi Utara 0,49

NoNoNoNoNo PropinsiPropinsiPropinsiPropinsiPropinsi GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara)

Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI

Output gap yang merupakan selisih antara output aktual dan output natural berpengaruh

positif terhadap inflasi dengan elastisitas sebesar 0,64. Kondisi output gap yang positif secara

umum menunjukkan pergerakan roda perekonomian yang lebih cepat, dan dalam kondisi ini

tekanan inflasi mengalami peningkatan.

Aktifitas perekonomian domestik bukan satu-satunya Output gap bukan satu-satunya

penyabab infilasi. Dari sisi eksternal, pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing

juga memberikan pengaruh. Variabel nilai tukar ini diinternalisasi kedalam model empiris untuk

mewakili shock eksternal yang berpengaruh terhadap sisi penawaran.

Sebuah mata uang yang mengalami inflasi memiliki kecenderungan untuk terdepresiasi

dan sebaliknya, sebuah negara yang mata uangnya terdepresiasi akan mengalami peningkatan

daya saing, mendorong permintaan agregat dan selanjutnya memberikan tekanan peningkatan

inflasi. Hasil estimasi menunjukkan variabel tukar riil ini memiliki pengaruh signifikan terhadap

Page 142: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

400 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

kenaikan harga secara umum. Sejalan dengan teori dasar ini, setiap 1% depresiasi Rupiah

terhadap Dollar Amerika Serikat akan meningkatkan inflasi sebesar 0,27%.

Sejak triwulan IV-2008 aktivitas perekonomian tumbuh melambat seiring penurunan

permintaan. Pertumbuhan sektoral yang lebih rendah ini dapat dikonfirmasi oleh beberapa

indikator yaitu utilisasi kapasitas produksi yang turun cukup signifikan dan Indeks Tendensi

Bisnis BPS beserta seluruh faktor pembentuknya mengindikasikan adanya perlambatan. Adapun

variabel pembentuk indeks tendensi bisnis BPS yang turun adalah penggunaan kapasitas

produksi, pendapatan usaha, serta jumlah jam kerja. Selain itu terdapat indikasi jumlah

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengalami peningkatan.

Perlambatan sisi penawaran bervariasi lintas sektor dan lintas wilayah. Pada sektor

pertanian misalnya, perlambatan kredit pertanian di Sumatera telah terlihat sejak Mei 2008,

sementara hal peningkatan justru terjadi di region Kali Sulampua. Untuk industri pengolahan,

meski wilayah Sumatera dan Kali-Sulampua mengalami peningkatan, namun secara keseluruhan

sektor ini tumbuh relatif rendah akibat turunnya pertumbuhan sektor industri pengolahan di

Jabalnustra dan Kali-Sulampua, lihat Grafik V.19.

Tabel V.9Pertumbuhan Sektoral 2008-Q1 s.d. 2009-Q2

Pertanian 6,8 5,1 4,1 1,5 1,7 2,8 1,4 (0,3) 1,4 1,4 1,4 (0,4)Pertambangan (3,2) 0,4 (2,2) (0,1) (0,3) (2,2) 1,5 0,1 0,0 0,0 0,4 0,3Industri Pengolahan 3,7 3,7 5,0 3,1 0,8 2,0 4,1 3,8 3,6 3,6 1,6 (0,2)Listrik, Gas & Air 5,8 5,1 3,9 5,3 6,0 5,8 6,8 7,0 5,9 5,9 6,2 6,4Bangunan 9,7 8,3 7,9 7,9 5,6 5,3 7,5 7,6 7,8 7,8 6,3 6,5Perdag. Hotel & Rest. 6,6 6,1 7,5 6,0 5,2 5,6 6,9 6,3 5,7 5,8 3,9 4,3Transportasi 9,1 7,9 9,1 8,9 8,3 7,6 15,0 14,8 15,0 14,8 15,6 15,1Keuangan 13,3 10,9 12,2 7,2 5,0 5,9 4,1 4,2 4,8 4,8 4,3 4,4Jasa-jasa 7,5 7,2 7,4 (1,1) 7,9 7,1 6,3 6,1 5,9 5,9 5,5 5,8PDRB 4,9 4,9 4,8 3,9 3,1 3,2 6,3 6,1 6,2 6,2 5,2 5,1

SektorQ.1-08 Q.2-08 Q.3-08 Q.4-08 Q.1-09 Q.2-09 Q.1-08 Q.2-08 Q.3-08 Q.4-08 Q.1-09 Q.2-09

Sumatera Jakarta

Pertanian 11,1 (1,4) 0,9 0,8 4,0 4,8 5,8 5,6 4,2 0,1 1,6 3,6Pertambangan 3,7 (2,1) 3,9 5,6 2,3 7,0 8,3 7,5 6,2 11,8 8,3 9,2Industri Pengolahan 5,1 7,0 5,2 5,4 2,3 1,2 3,9 3,8 0,2 0,1 (0,1) 4,3Listrik, Gas & Air 5,2 5,2 2,8 4,9 2,7 7,3 7,8 6,8 8,3 5,8 8,5 6,6Bangunan 3,8 4,0 9,5 9,8 5,6 6,5 11,0 12,5 10,3 9,3 9,9 7,2Perdag. Hotel & Rest. 6,3 7,7 5,1 5,4 5,7 6,2 9,2 10,3 10,1 7,4 8,5 6,1Transportasi 4,1 5,3 6,0 5,6 9,9 8,6 10,4 10,6 10,7 9,5 8,1 4,4Keuangan 5,9 7,8 7,8 7,3 6,9 6,3 8,4 9,4 8,3 7,6 7,4 3,6Jasa-jasa 5,3 4,9 5,8 5,1 6,2 5,7 6,3 6,0 6,6 8,9 8,9 6,4PDRB 6,4 5,2 4,9 5,0 4,5 4,4 7,1 7,2 5,8 5,9 5,4 5,8

SektorQ.1-08 Q.2-08 Q.3-08 Q.4-08 Q.1-09 Q.2-09 Q.1-08 Q.2-08 Q.3-08 Q.4-08 Q.1-09 Q.2-09

Jabalnustra Kali-Sulampua

Page 143: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

401Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

Perlambatan ini terindikasi dari penurunan volume impor bahan baku, kapasitas produksi,

dan pertumbuhan riil kredit sektor industri. Faktor utama yang mempengaruhi adalah

melemahnya permintaan eksternal akibat krisis perekonomian global sehingga menurunkan

kinerja sektor industri, terutama subsektor industri yang berorientasi ekspor, seperti industri

logam dasar bukan besi, industri bambu, kayu, dan rotan, serta industri minyak dan lemak,

(Lihat Grafik V.20 dan Grafik V.21).

Grafik V.20Pertumbuhan Volume Impor Bahan Baku

Grafik 1V.21Pertumbuhan Riil Kredit Sektor

Perindustrian

Sektor pertambangan membaik didorong oleh meningkatnya produksi tambang nonmigas.

Membaiknya harga komoditas tambang dan adanya kontrak jangka panjang menjadi insentif

bagi kenaikan produksi nikel, tembaga dan batu bara di Kali-Sulampua. Meskipun sektor ini

mengalami kontraksi di Sumatera akibat menurunnya produksi migas di NAD dan Riau.

Grafik V.19Pertumbuhan Riil Kredit Sektor Pertanian

%, yoy

(10,0)

(5,0)

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

35,0

40,0gJabalnustra gSumatera gKali-Sulampua

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 42008 2009

%, yoy

(80,0)

(60,0)

(40,0)

(20,0)

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

gSumatera gJabalnustra

gJakarta gKali-Sulampua

2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4

%, yoy

(5,0)

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

35,0

40,0gSumatera gJabalnustra

gKali-Sulampua gJakarta

2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4

Page 144: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

402 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Perlambatan yang terjadi terutama disebabkan melemahnya permintaan ekspor serta

turunnya harga komoditas seperti ditunjukkan oleh perkembangan ekspor batubara, ekspor

bijih, kerak dan abu logam, serta ekspor alumunium. Selain itu, perlambatan sektor

pertambangan dan penggalian juga terkait dengan menurunnya tingkat produksi pertambangan

migas, terutama di Riau dan NAD akibat sumur-sumur pengeboran yang sudah tua.

Grafik V.22Perkembangan Harga, Produksi dan

Volume Ekspor Tembaga di Kali-Sulampua

USD/mtRibu Ton

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

Vol. Ekspor

Price Copper (rhs)

2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

9000

10000

Tabel V.10Perkembangan Harga dan Produksi Tembaga dan Emas Indonesia

Copper (millions of recoverable pounds)Production 404 200Sales 369 207Average realized price per pound $1,80 $3,82

Gold (thousands of recoverable ounces)Production 570 246Sales 521 251Average realized price per ounce $904 $932

Indonesia Mining OperationsIndonesia Mining OperationsIndonesia Mining OperationsIndonesia Mining OperationsIndonesia Mining OperationsFirst QuarteFirst QuarteFirst QuarteFirst QuarteFirst Quarte

20092009200920092009 20082008200820082008

Page 145: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

403Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

Grafik V.23Perkembangan Produksi

Minyak Bumi Sumatera (Barrel)

Grafik V.24Perkembangan Volume Ekspor Batubara

Kalimantan

Dinamika output sebagaimana analisis diatas, saling berinteraksi dengan pergerakan nilai

tukar dan ekspektasi inflasi dalam mempengaruhi tingkat inflasi aktual yang terjadi. Ketiga

variabel ini secara simultan juga memiliki interaksi dengan variabel-variabel lain yang ada dalam

persamaan konsumsi, investasi, ekspor dan persamaan impor. Persamaan yang menutup dan

merekatkan setiap persamaan parsial tersebut adalah persamaan identitas permintaan agregat;

Y = C + I + G + X √ M.

Validasi model makro simultan ini dilakukan dengan membandingkan data aktual dengan

data hasil model simultan (baseline). Grafik V.25 menunjukan bahwa antara data aktual dan

hasil baseline cukup fitted, sehingga dapat disimpulkan bahwa model simultan tersebut cukup

valid untuk digunakan dalam melakukan simulasi atau proyeksi. 7

7 Uji sensitivitas atas masing-masing parameter tidak dilakukan.

0

10.000.000

20.000.000

30.000.000

40.000.000

50.000.000

60.000.000

70.000.000

2006 2007 2008Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV

Sumbagsel

SumbagtengSumbagutTotal Sumatera

25

20

15

10

5

0

Juta Ton

Sumber : DSM-BI

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 42008 2009

Page 146: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

404 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Grafik V.25Perbandingan hasil model (baseline) dengan data aktual

Actual CONS (Baseline)

CONS

120000

160000

200000

240000

280000

320000

360000

1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

INFY

-20

0

20

40

60

80

100Actual INFY (Baseline)

1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

INV

40000

60000

80000

100000

120000

140000

160000Actual INV (Baseline)

1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

M

40000

80000

120000

160000

200000

240000

280000Actual M (Baseline)

1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

X

80000

120000

160000

200000

240000

280000

320000

360000Actual X (Baseline)

1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

Y

250000

300000

350000

400000

450000

500000

550000

600000

650000Actual Y (Baseline)

1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

Page 147: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

405Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

IV.6 Simulasi

Pada tahap selanjutnya, dalam penelitian ini dilakukan simulasi untuk melihat dampak

depresiasi nilai tukar, perubahan pertumbuhan ekonomi dunia yang diwakili oleh US dan

perubahan indeks harga barang dunia yang diwakili oleh US.

Simulasi Nilai Tukar

Pada simulasi nilai tukar dibagi dalam tiga skenario depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap

US dollar dengan prosentasi depresiasi yang berbeda. Hasil simulasi menunjukan bahwa jika

nilai tukar Rupiah depresiasi sebesar 13,5% menjadi Rp 11.000 per US dollar, konsumsi dan

investasi relatif tetap. Hal tersebut juga terjadi ketika nilai tukar terdepresiasi sampai dengan

18,6% dan 23,8% menjadi masing-masing sebesar Rp 11.500/USD dan Rp 12.000/USD. Hal

ini bisa disebabkan pengaruh nilai tukar tidak langsung berdampak pada konsumsi dan investasi.

Sementara itu, ekspor dan PDB nasional meningkat seiring dengan bertambahnya

prosentasi depresiasi nilai tukar (Tabel V.10), dimana proporsi peningkatan ekspor dan PDB

relatif sama. Sedangkan inflasi nasional yang juga terkena dampak depresiasi juga turut

meningkat namun kecil yaitu sebesar 0,1. Ketika depresiasi nilai tukar dari Rp 11.000/USD s/d

Rp 12.000/USD, kenaikan inflasi tetap hanya 0,1. Hasil ini membuktikan bahwa efek depresiasi

nilai tukar terhadap inflasi relatif kecil.

Tabel V.10Simulasi Nilai Tukar

Perubahan dibandingkan Relatif tetap Naik 0,1 Relatif tetap Turun -0,52% Naik 0.45% Naik 0,44%baseline

Skenario 1: Nilai tukar depresiasi 13.5% menjadi Rp 11.000/USD

Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP

Skenario 2: Nilai tukar depresiasi 18.6% menjadi Rp 11.500/USD

Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP

Perubahan dibandingkan Relatif tetap Naik 0,1 Relatif tetap Turun -0,93% Naik 0,82% Naik 0,79%baseline

Skenario 3 : Nilai tukar depresiasi 23.8% menjadi Rp 12.000/USD

Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP

Perubahan dibandingkan Relatif tetap Naik 0,1 Relatif tetap Turun -1,32% Naik 1,18% Naik 1,13%baseline

Page 148: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

406 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Sebaliknya, kinerja impor justru menurun dengan adanya depresiasi nilai tukar, dimana

penurunannya bertambah ketika proporsi depresiasi nilai tukar bertambah. Hal ini disebabkan

makin tingginya harga barang impor yang dikonversikan ke dalam rupiah. Kondisi ini juga

mengindikasikan bahwa impor lebih banyak pada barang konsumsi dan ekspor lebih banyak

barang yang berasal dari sumber daya alam bukan barang produksi manufaktur. Sehingga

ekspor yang meningkat atau menurun tidak selalu diikuti oleh peningkatan atau penurunan

impor.

Secara regional, beberapa hasil simulasi dengan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap

US Dollar dari 1 USD= Rp 11.000 sampai dengan 1 USD= Rp 12.000 menunjukan bahwa

pengaruh depresiasi masing-masing daerah relatif hampir sama. Tercatat penurunan nilai tukar

berdampak pada penurunan PDRB dan konsumsi, kecuali di Propinsi Sumatera Barat yang

berdampak sebaliknya. Sementara itu, dampak depresiasi Rupiah terhadap US Dollar pada

turunnya investasi dan impor di keempat propinsi (Tabel V.11). Ekspor meningkat seiring dengan

penurunan nilai tukar, kecuali Propinsi Jawa Tengah yang efeknya relatif tetap. Begitu juga

dengan dampaknya pada inflasi, ketiga propinsi lainnya menunjukan peningkatan inflasi, namun

propinsi jawa Tengah justru menurun.

Tabel V.11Hasil Simulasi Nilai Tukar Regional

PDRB Naik 0,17% Turun 0,88% Turun 0,75% Turun 3,89%Konsumsi Naik 0,05% Turun 0,72% Turun 0,51% Turun 9,33%Investasi Turun 0,33% Turun 1,83% Turun 5,23% Turun 9,87%Ekspor Naik 0,50% Naik 2,1% Relatif Tetap Naik 40,08%Impor Turun 0,31% Turun 4,24% Turun 1,13% Turun 60,3%Inflasi Naik 1,21% Naik 1,77% Turun 5,97% Naik 1,54%

PerubahanPerubahanPerubahanPerubahanPerubahan Sumatera BaratSumatera BaratSumatera BaratSumatera BaratSumatera Barat Jawa BaratJawa BaratJawa BaratJawa BaratJawa Barat Jawa TengahJawa TengahJawa TengahJawa TengahJawa Tengah Jawa TimurJawa TimurJawa TimurJawa TimurJawa Timurvariabelvariabelvariabelvariabelvariabel (Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD) (Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD) (Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD) (Rp12.000/USD)(Rp12.000/USD)(Rp12.000/USD)(Rp12.000/USD)(Rp12.000/USD)

Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI

Simulasi Pelambatan Ekonomi Dunia

Dampak langsung dari krisis keuangan global yaitu turunnya pertumbuhan ekonomi

dunia, terutama US dan beberapa negara Eropa. Bahkan diperkirakan akan tumbuh negatif

pada tahun 2009. Untuk melihat dampak pelambatan ekonomi dunia ini, maka disusun scenario

turunnya pertumbuhan GDP US menjadi tiga skenario yaitu 0,5%, 0,1% dan -1%.

Page 149: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

407Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

Tabel V.12 menunjukan hasil simulasi GDP US turun dari 1.28% menjadi 0.5% berdampak

pada turunnya ekspor dan impor, serta PDB. Sementara itu, variable makro lainnya seperti

konsumsi riil, investasi riil, dan inflasi relatif tetap. Ketika simulasi dilanjutkan dengan kondisi

pertumbuhan ekonomi US semakin menurun menjadi 0,1% dan minus 1,0%, ekspor dan

impor semakin turun. Hal tersebut juga diikuti dengan semakin menurunnya perekonomian

nasional yang ditandai dengan menurunnya PDB.

Sementara itu, hasil simulasi pada propinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Utara dengan

menggunakan skenario perekonomian China mengalami pertumbuhan yang menurun ternyata

berdampak pada pelambatan perekonomian kedua propinsi tersebut. Hal yang sama juga terjadi

pada Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Kalimantan Selatan yang merasakan dampak dari

penurunan perekonomian Jepang, dimana hasil simulasi penurunan GDP Jepang berakibat

pada penurunan PDRB kedua propinsi tersebut. Sementara itu penurunan ekonomi Amerika

Serikat akibat krisi keuangan global terasa dampaknya pada Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi

Jawa Barat, dan Propinsi Jawa Tengah (Tabel V.13).

Tabel V.12Simulasi Penurunan GDP US

Perubahan dibandingkan Relatif Tetap Relatif Tetap Relatif Tetap Turun -0,25% Turun -0,62% Turun -0,2%baseline

Skenario 1: Pertumbuhan GDP US turun dari 1,28% menjadi 0,5%

Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP

Skenario 2: Pertumbuhan GDP US turun dari 1,28% menjadi 0.1%

Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP

Perubahan dibandingkan Relatif Tetap Relatif Tetap Relatif Tetap Turun -0,39% Turun -0,9% Turun -0,28%baseline

Skenario 3 : Pertumbuhan GDP US turun dari 1.28% menjadi -1%

Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP

Perubahan dibandingkan Relatif Tetap Relatif Tetap Relatif Tetap Turun -0,98% Turun -1,86% Turun -0,52%baseline

Page 150: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

408 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

Simulasi Perubahan CPI Dunia

Untuk melihat dampak krisis keuangan global, penelitian ini melakukan simulasi perubahan

CPI dunia sebagai alat ukur perubahan harga barang dan jasa di dunia. Skenario yang digunakan

yaitu CPI USA turun dari 0,1% menjadi 0% dan -1,0%. Selain itu, simulasi juga menggunakan

scenario kenaikan harga barang dan jasa di USA yang diukur dalam bentuk kenaikan CPI US

dari 0,1% menjadi 1%.

Hasil simulasi pada dua skenario pertama yaitu CPI USA turun menjadi 0% dan -1%

menghasilkan kenaikan pada impor riil masing-masing sebesar 1,16% dan 1,83%. Imbas pada

kenaikan impor disebabkan penuruna harga barang dan jasa US membuat permintaan impor

meningkat. Semakin turun harga barang luar negeri yang dalam kasus ini diwakili oleh CPI US

berdampak semakin bertambahnya impor riil, dimana kenaikan impor riil akan diikuti dengan

penurunan output riil. PDB nasional turun masing-masing sebesar 0,48% dan 0,76%.

Skenario ketiga yaitu CPI USA naik menjadi 1% memiliki dampak yang berbeda yaitu

turunnya nilai impor sebesar 0,22% dan diikuti kenaikan output riil sebesar 0,09%. Harga

barang luar negeri yang tinggi akan mengurangi permintaan impor sehingga nilai impor akan

berkurang. Hal tersebut akan diikuti oleh kenaikan output riil, dimana scenario ketiga mencatat

kenaikan PDB riil sebesar 0,09%. Bila dilihat dari perubahan (naik/turun) impor sebagai respon

dari perubahan harga barang luar negeri (turun/naik), terdapat perbedaan prosentasi respon

impor saat naik dan turun.

Tabel V.13Hasil Simulasi Pelambatan Ekonomi Negara Lain

PDRB Turun 0,74% Turun 0,03% Turun 1,27% Turun 1,47% Turun 5,61% Turun 0,69% Turun5,01%Konsumsi Turun 0,18% Turun 0,01% Turun 0,77% Turun 1,21% Turun 3,82% Relatif Tetap Relatif TetapInvestasi Turun 9,20% Turun 0,004% Turun 0,22% Turun 1,36% Turun 4,03% Turun 0,64% Relatif TetapEkspor Turun 8,06% Turun 0,1% Turun 2,42% Turun 4,19% Turun 12,15% Turun 1,49% Turun9,75%Impor Turun 25,25% Turun 0,04% Turun 1,03% Turun 4,24% Turun 8,27% Turun 0,65% Relatif TetapInflasi - Turun 0,20% Turun 2,84% Turun 0,09% Turun77,94% Turun0,76% Relatif Tetap

Perubahanvariabel

Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI

GDP Japanmenurun(Sumut)

GDP Chinamenurun(Sumbar)

GDP USAmenurun(Sumsel)

GDP USAmenurun

(Jabar)

GDP USAmenurun(Jateng)

GDP Japanmenurun(Kalsel)

GDP Chinamenurun

(Sulut)

Page 151: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

409Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

Prosentasi penurunan impor ketika harga naik ternyata lebih kecil dibandingkan penurunan

impor ketika harga turun. Jadi meskipun harga naik, impor hanya sedikit menurun. Hal ini

menunjukan bahwa impor Indonesia lebih banyak merupakan barang yang sangat dibutuhkan

seperti bahan baku.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut:

1. Dampak krisis keuangan global berpengaruh pada perekonomian nasional dan daerah melalui

jalur perdagangan dengan luar negeri (ekspor-impor). Kinerja ekspor baik nasional maupun

daerah menurun pada akhir tahun 2008 membuktikan efek dari krisis keuangan global

langsung terasa dampaknya. Turunnya kinerja ekspor berdampak langsung pada penurunan

output nasional dan daerah. Terlihat pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah sedikit

menurun dari perkiraan semula.

2. Sementara itu, konsumsi yang sedikit menurun tetap menjadi penopang utama pertumbuhan

ekonomi. Hal ini terjadi baik dalam skala nasional maupun daerah. Tingginya jumlah populasi

turut berperan dalam mempertahankan tingginya konsumsi di Indonesia. Selain itu, konsumsi

sebagian besar dipengaruhi oleh faktor domestik seperti disposable income baik dalam

skala nasional maupun regional.

Tabel V.14Simulasi Perubahan CPI USA

Perubahan dibandingkan Relatif Tetap Relatif Tetap Relatif Tetap Naik 1,16% Relatif Tetap Turun -0,48%baseline

Skenario 1: Pertumbuhan CPI USA turun dari 0,1% menjadi 0%

Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP

Skenario 2: Pertumbuhan CPI USA turun dari 0,1% menjadi -1%

Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP

Perubahan dibandingkan Relatif Tetap Relatif Tetap Relatif Tetap Naik 1,83% Relatif Tetap Turun -0,76%baseline

Skenario 3 : Pertumbuhan CPI USA naik dari 0,1% menjadi 1%

Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP

Perubahan dibandingkan Relatif Tetap Relatif Tetap Relatif Tetap Turun -0,22% Relatif Tetap Naik 0,09%baseline

Page 152: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

410 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

3. Dari hasil simulasi diperoleh bahwa konsumsi dan investasi relatif tetap nilai tukar rupiah

terdepresiasi terhadap US dollar. Sementara itu ekspor dan impor langsung merespon

perubahan nilai tukar. Inflasi meningkat ketika rupiah terdepresiasi, namun dengan

peningkatan yang kecil mengingat efek passtrough nilai tukar terhadap inflasi relatif kecil.

4. Bila terjadi pelambatan ekonomi dunia dengan mensimulasikan penurunan GDP US dan

perubahan indeks harga barang dunia yang diwakili CPI US, perekonomian dalam negeri

terkena imbasnya. Dalam skala nasional, ekspor dan impor langsung merespon perubahan

tersebut. Hal ini disebabkan turunnya perekonomian dunia menyebabkan turunnya

permintaan ekspor. Sebaliknya bila harga barang luar negeri turun, maka permintaan impor

akan meningkat.

Dari kesimpulan yang disampaikan sebelumnya yang intinya krisis keuangan global

berdampak pada perekonomian nasional dan regional, dimana dampak tersebut sulit untuk

dihindari. Namun demikian, beberapa saran dari hasil penelitian ini untuk dapat meminimalisir

dampak tersebut sebagai berikut:

1. Pemerintah dapat berperan dengan peningkatan belanja pemerintah, dimana kegiatan ini

dapat mendorong peningkatan output mengingat secara teoritis belanja pemerintah (G)

berperan langsung dalam pembentukan PDB. Hal tersebut juga dapat dilakukan oleh

pemerintah daerah, sehingga dapat mendorong perekonomian regional.

2. Selain itu, belanja pemerintah baik di pusat dan di daerah sebaiknya dalam bentuk kegiatan

yang menciptakan lapangan kerja. Misalnya, pembangunan jalan, jembatan, dan infrastruktur

lainnya akan menciptakan suatu lapangan kerja bagi penduduk di daerah tersebut. Hal ini

dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan juga menampung tenaga kerja yang

menganggur akibat efisiensi yang dilakukan beberapa perusahaan. Pembangunan

infrastruktur juga dapat mendorong minat investor untuk berinvestasi.

3. Peran Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat berupa pelonggaran kebijakan moneter

dengan menurunkan BI rate yang menjadi acuan suku bunga bagi perbankan. Dengan

turunnya suku bunga, termasuk suku bunga kredit, diharapkan konsumsi dan investasi

dapat meningkat. Hal ini akan mendorong roda perekonomian, dimana konsumsi yang

tinggi akan mendorong produksi barang juga meningkat. Selanjutnya, sektor riil yang tumbuh

akan menarik minat investor untuk meningkatkan investasi mereka.

Page 153: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

411Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah

Ehrmann, Michael, L. Gambacorta, J. Martinez-Pages, P. Sevestre, and A. Worms,∆Financial

System and The Role of Banks in Monetary Policy Transmission in The Euro Area∆, Working

Paper European Central Bank, December 2001.

Enders, Walter, Applied Econometric Time Series, Wiley, 2004

Friedman, Milton, A Theory of the Consumption Function, First Edition, Princeton University

Press, 1957

Gujarati, Damodar, Basic Econometrics, Fourth Edition, West Point Military Academy, 2003

Hamilton, James D., Time Series Analysis, Princeton University Press, 1994

Hallwood, C. Paul and MacDonald, Ronald,International Money and Finance, Third Edition,

Blackwell Publishers Inc, 2000

Mankiw, N. Gregory, Macroeconomics, Fifth Edition, Worth Publishers, 2003

Mojon, B, ≈Financial Stucture and the Ineterest Rate Channel of ECB Monetary Policy∆, ECB

Working Paper No. 40, 2000.

Patterson, Kerry, An Introduction to Applied Econometrics: A Time Series Approach, First Edition,

Palgrave, 2000

Romer, David, Advanced Macroeconomic, Second Edition, McGraw-Hill, 2001, p.472.

Stiroh, Kevin J., ≈Investment and Productivity Growth: a Survey from the Neoclassical and New

Growth Perspectives∆, Research Publications Program Industri Canada, Occasional Paper

Number 24, June 2000

DAFTAR PUSTAKA

Page 154: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

412 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 155: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

PETUNJUK PENULISAN

1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak

melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang

dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima,

TETAP menjadi hak penulis.

2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial

sebesar Rp 2.500.000,-.

3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan

softcopy anda ke:

[email protected] (Cc. to: [email protected].)

Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan

melalui pos ke alamat redaksi berikut:

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia

Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2

Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394

4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan

ukuran font 12.

5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.

6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah

yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan

sebaliknya.

7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal

of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/

jel_class_system.html.

8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,

Page 156: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku

414 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010

I. JUDUL BABI. JUDUL BABI. JUDUL BABI. JUDUL BABI. JUDUL BAB

IIIII.1. Sub Bab.1. Sub Bab.1. Sub Bab.1. Sub Bab.1. Sub Bab

IIIII.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab

9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.

10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,

a.a.a.a.a. Publikasi buku:Publikasi buku:Publikasi buku:Publikasi buku:Publikasi buku:

John E. Hanke dan dan dan dan dan Arthur G. Reitsch, (1940), , (1940), , (1940), , (1940), , (1940), Business ForecastingBusiness ForecastingBusiness ForecastingBusiness ForecastingBusiness Forecasting, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New

Jersey.Jersey.Jersey.Jersey.Jersey.

b.b.b.b.b. Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:

Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with

Human Capital∆, Human Capital∆, Human Capital∆, Human Capital∆, Human Capital∆, Journal of Monetary EconomicsJournal of Monetary EconomicsJournal of Monetary EconomicsJournal of Monetary EconomicsJournal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416.

c.c.c.c.c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan dan dan dan dan Rose, Andrew K.

≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth

Rogoff, eds., Rogoff, eds., Rogoff, eds., Rogoff, eds., Rogoff, eds., Handbook of International EconomicsHandbook of International EconomicsHandbook of International EconomicsHandbook of International EconomicsHandbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,

hal. 397-416.hal. 397-416.hal. 397-416.hal. 397-416.hal. 397-416.

d.d.d.d.d. Kertas kerja Kertas kerja Kertas kerja Kertas kerja Kertas kerja (working papers)(working papers)(working papers)(working papers)(working papers):::::

Kremer, Michael dan dan dan dan dan Chen, Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous

Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper

No.7530, 2000.No.7530, 2000.No.7530, 2000.No.7530, 2000.No.7530, 2000.

e.e.e.e.e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain

U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.

f.f.f.f.f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan dan dan dan dan Heston, Alan, Alan, Alan, Alan, Alan

W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.

g.g.g.g.g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆,

NewsweekNewsweekNewsweekNewsweekNewsweek, April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56.

11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening

Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk

CV (curriculum vitae) lengkap.