Buletin civitas 39

20

Click here to load reader

description

 

Transcript of Buletin civitas 39

Page 1: Buletin civitas 39

ww

EDIS

I XXX

IX/F

EBRU

ARI 2

015

LPM

KE

NT

ING

AN

UN

S

Ilmiah Berpikir Merdeka Bersuara

Bimbel: Hanya Sekadar Tren?

Page 2: Buletin civitas 39

2 | edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX

Seperti tak akan pernah ada habisnya membicarakan pendidikan di negeri ini. Sistem atau kurikulum yang silih berganti, kisah klasik kualitas pendidikan, hingga yang sering mengemuka membahas biaya mahal, sara-na dan prasarana serta kualitas lulusan. Buletin Civitas kali ini mencoba membahas hal di luar hiruk pikuknya pendidikan formal. Lalu apa yang bisa ditulis? Salah sa-tunya adalah keberadaan bimbingan belajar atau bim-bel yang kian menggerus pendidikan formal.

Bimbel bak barang inelastis, tidak menggunakan jasa nya berarti tidak cukup. Nilai bagus, lulus UN, hingga masuk perguruan tinggi harus lewat bimbel dulu, kalau tidak, tidak cukup. Lalu apakah menempuh pendidikan informal macam bimbel hanyalah tren? Atau memang suatu kebutuhan yang harus dipenuhi? Pada rubrik Fokus Utama, kami mencoba mengulas ‘tren’ bimbel yang dari hari ke hari makin digemari oleh siswa mau-pun orang tua.

Dies Natalies ke-38 tahun lalu, UNS me-launching sebuah logo baru. Perubahannya: logo lama dengan tambahan border melingkar, ditambah tulisan Universi-tas Sebelas Maret dan UNS di dalamnya. Mirip stempel. UNS agaknya sudah gerah jika pejabat atau tamu dari luar menyalahartikan UNS sebagai Universitas Negeri Surakarta. Hingga buletin ini diterbitkan, penyempur-naan masih terus dilakukan. Paling anyar adalah logo UNS kembali berganti. Seperti apa logo baru itu? Kami sajikan dalam rubrik Kampusiana.

Pemandangan ‘langka’ nan menarik datang dari proyek pembangunan di UNS. Pekerja bangunan yang biasa-nya menjadi pekerjaan kaum adam, kini juga telah dila-koni oleh kaum hawa. Tidak ada batasan jenis kelamin. Itulah yang mereka ungkapkan dan kami tampilkan dalam paket foto bercerita. Kisah inspiratif juga tersaji dalam rubrik Profil. Made Ayu, dialah wirausahawan muda dengan mengangkat konsep kafe herbal dengan senjata andalan jamu. Sangat berani memang menyu-guhkan jamu di tengah macam-macam kafe gaul.

Sajian Buletin Civitas XXXIX kali ini bercorak pendidi-kan, dari Fokus Utama hingga Kolom Luar. Jadi, selamat menikmati![*]

Redaksi

Tren Positif Bimbel (?)

Page 3: Buletin civitas 39

| edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX 3

SURAT PEMBACA

EDISI SEBELUMNYAFokus Utama:Amorfabilitas MKUTerbit: Juni 2014RedaksiAlamat : Gd. Grha UKM UNS lt.2 Jalan Ir Sutami 36 A Kentingan, Jebres, Surakarta, 57126Email : [email protected] : lpmkentingan.com

PENGURUS LEMBAGA PERS MAHASISWA KENTINGAN

Pelindung: Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S Pembina: Drs. Hamid Arifin, M.Si. Pemimpin Umum: Hanputro Widyono Sekretaris Umum: Nurhayati Wasekum I: Anindita Prabawati, Meinar A Wasekum II: Henri Firmansyah, Sri Hartati, King Eden Wasekum III: Danur Lambang, Dara Ayu, Wiwin Tri A. Pemimpin Redaksi: Hesti Ratnafuri Redaktur Pelaksana Majalah: Udji Kayang A.S. Redaktur Pelaksana Bule-tin: Inang Jalaludin, Nadia Lutfiana M. Redaktur Pelaksana Website: Ainun Nisa, Puput Saputro Redak-tur Foto: Adi Putra P Redaktur Ilustrasi: Na’imatur R. Editor: Redza Dwi P, Dede S. Pemimpin Litbang: Rifqathin Ulya Staf Penelitian: Tiara Saum Staf Redaktur Layout: Rohmana K, Yunita Hap-

sari Pengembangan: Metta Rahma, Hanif Dwi Staf Personalia: M. Haekal, Husain M. Pemimpin Perusahaan: Syarafi Nur Staf Keuangan: Febryana Dwi Staf Iklan: Wiwit Putri, Nurulita P, Elza S. Staf Usaha: Any Hidayati, Noorma Luthfiana

Sejak 2012, Universitas Sebelas Maret (UNS) resmi me-nerapkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sepengeta-huan saya, UKT adalah suatu sistem pembayaran yang dibuat untuk meringankan beban mahasiswa dalam me-nempuh studinya. Biaya UKT dihitung berdasarkan total akumulasi biaya pendidikan masing-masing program studi selama delapan semester. Dengan adanya UKT, tidak ada lagi pungutan biaya untuk keperluan yang lain.

Ironisnya, untuk mengirimkan Kartu Hasil Studi kepada orang tua masing-masing setiap mahasiswa Fakultas Sastra dan Seni Rupa diminta membayar Rp5.000,00 se-bagai biaya amplop dan perangko.

Bukan masalah nominal yang hanya lima ribu rupiah, antre panjang, atau sistem rumit yang menjadi ganjalan. Namun saya hanya menanyakan konsekuensi peraturan universitas tentang UKT kepada para pemimpin yang berwenang. Apakah hal ini dibenarkan atau tidak? Saya berharap, kasus seperti ini dapat dijadikan periksa. Teri-ma kasih.

Wilda Zaki A., Sastra Indonesia UNS

UKT kok Ada Penarikan Uang Perangko?

Pemimpin Redaksi: Hesti Ratnafuri

Redaktur Pelaksana Buletin: Inang Jalaludin S.HNadia Lutfiana M.

Reporter: Lia Ristiana

Afifah NurlailaRestu Mustaqim

MaulidiahAdvent Eden

Fahrur NuzululWiwit Putri

Rohmana KurniandariTri UswatunNovi Irma

Rizka Nur Laily

Editor:Redza Dwi P

HanputroDede Suprayitno

Layout :Yunita HapsariDea Rohmah

Ilustrasi: Na’imatur Rofiqoh

Boby EHesti Ratnafuri

Desain Sampul:Ine Khusnulia

Foto:

Fajar AndiAnis ChoirunnisaBerlina Hidayati

Retia Kartika

Riset: Nurul Indah OIfada Roshida

Produksi:Yunita Hapsari

Rohmana Kurniandari

Iklan:Wiwit Putri Handayani

Page 4: Buletin civitas 39

4 | edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX

fokus utama

4

Memperoleh pendidikan yang layak merupakan hak bagi setiap individu. Namun, jika memang dianggap sebagai sesuatu yang fundamental, maka idealnya pendidikan dapat dinikmati oleh siapa saja, tanpa harus melahirkan istilah jual beli pendidikan. Lantas, bagaimana eksistensi pendidikan formal di tengah marakanya pendidikan nonformal - seperti bimbingingan belajar - yang banyak bermunculan? Apakah karena pendidikan formal tak lagi mampu memenuhi kebutuhan siswa mencapai apa yang diinginkannya? Ataukah paradigma kualitas pendidikan saat ini yang selalu linier dengan dana yang dimiliki sehingga hanya orang orang mampu saja yang dapat menikmatinya?

Bimbel: Hanya Sekadar Tren?

Foto-foto oleh : Fajar Andi/LPM Kentingan

Oleh: Afifah Nurlaila, Lia Ristiana, Restu Mustaqim

Dewasa ini kebutuhan akan pendidikan semakin tidak terelakkan lagi. Pendidikan tidak hanya di-pandang sebagai proses mencari ilmu semata,

karena dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi secara otomatis seseorang akan menunjukkan status so-sialnya di masyarakat.

Menurut K.H. Dewantara (1962), pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak. Se-hingga, pendidikan tidak terbatas pada pembelajaran formal di sekolah saja. Media-media lain dapat memper-kaya pendidikan tidak hanya sisi akademisnya, tetapi juga dari sisi nonakademisnya, seperti mengikuti sanggar seni ataupun mengembangkan hobi dan bakat juga dapat dikatakan sebagai media pembelajaran yang tidak kalah penting. Ironisnya, pengetahuan akademis ini seringkali dianggap lebih nomor satu dalam dunia pembelajaran. Terlebih lagi, dalam dunia kerja, sebagian besar perusa-

haan menuntut tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Hal-hal tersebut membuat banyak orang berlomba-lom-ba untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin.

Namun sayangnya pemerintah sebagai pihak penye-lenggara pendidikan utama di negeri ini belum mampu memberikan pelayanan pendidikan secara merata dan berkualitas. Tidak sedikit sekolah di Indonesia yang masih terkotak-kotak dalam label “sekolah favorit” dan “sekolah pinggiran”. Adanya ketimpangan ini sering di-anggap sebagai salah satu penyebab munculnya penye-lenggara pendidikan nonformal sebagai alternatif dalam penyelenggaraan pendidikan. Semua semata-mata di-lakukan demi mengejar nilai ‘terbaik’ di sekolah. Salah satunya adalah lembaga-lembaga bimbingan belajar di sekitar kita.

Antara Tuntutan dan KemampuanLembaga bimbingan belajar atau bimbel bukanlah hal

Page 5: Buletin civitas 39

| edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX 5

fokus utama

Namun, bukan tidak mungkin bahwa pada kenyataannya, banyak siswa yang menjadikan bimbel hanya sebagai tempat

pelarian sebagai akibat dari tuntutan nilai di sekolah, kelulusan UN dan SNMPTN, dan lain sebagainya, bukan untuk menambah ilmu dan wawasan sebagaimana tujuan pendidikan yang sesungguhnya

yang asing di kalangan pelajar saat ini. Sebagian besar masyarakat dan pelajar menganggap keberadaan bim-bel adalah sesuatu yang baik dan mampu membantu para siswa memahami mata pelajaran. Akibatnya, di tengah maraknya tuntutan kompetisi yang ketat dalam sekolah, kehadiran bimbel semakin diagung-agungkan. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, banyaknya lembaga bimbel saat ini baik yang ternama ataupun belum, tentu mengindikasikan adanya suatu gejala yang terjadi di da-lam sistem pendidikan kita.

Sistem pendidikan kita saat ini seringkali menjejali tuntutan-tuntutan yang berlebihan kepada para siswa. Mulai dari UN, UAS, dan berbagai macam ujian hing-ga berbagai jenis tes masuk perguruan tinggi yang menuntut siswa untuk mendapatkan nilai terbaik. Rasa tidak percaya diri, ambisi untuk meraih prestasi yang terbaik, dan alasan sejenis menjadi penguat keinginan siswa untuk mencari pengayaan di luar sekolah. Peran sekolah dalam memenuhi kebutuhan pendidikan para siswa dirasa belum mencukupi. Sekolah yang seharus-nya dapat memberi penjelasan akan materi-materi yang diberikan malah hanya menjadikannya pekerjaan rumah tambahan. Maka yang selanjutnya terjadi adalah bimbel menjadi acuan para siswa untuk mencari jawaban-jawa-ban itu. Disayangkan memang, ketika sekolah dianggap tidak mampu lagi menjawab pertanyaan yang diajukan siswa.

Promosi serta iming-iming lulus beragam ujian seakan menjadi “magnet” khusus bagi pelajar yang berada pada tingkat akhir. Bahkan akhir-akhir ini semakin sering ditemui guru-guru di sekolah yang merangkap sebagai agen promosi bimbel khususnya saat menjelang ujian akhir. Bagi sebagian pelajar golongan mampu, mengi-kuti bimbel bukanlah suatu masalah. Beragam paket bimbel bisa dipilih mulai dari kelas reguler seharga 1,5 juta rupiah hingga program bimbingan eksklusif yang mencapai lebih dari 20 juta. Bahkan ada pula program khusus menjelang SBMPTN seharga 35 juta. Demi mengejar cita-cita masuk PTN ternama, biaya mahal bisa menjadi pertimbangan kesekian. Padahal, keadaan ini justru tidak lain menandakan bahwa bimbel sendiri sudah terjebak dalam komersialisasi pendidikan.

Menelaah fenomena bimbel yang terjadi di Indonesia saat ini, kita tidak dapat memungkiri bahwa nyatanya bimbel juga memiliki pengaruh positif bagi mereka yang masih kurang dalam bidang akademis dan berkeinginan untuk memperbaiki studinya. Namun, hal ini tidak ber-laku bagi semua orang. Hanya yang mampu membayar biaya saja yang bisa mengikuti bimbel. Maka dari itu, bimbel seolah hanya diperuntukkan bagi mereka yang berkantung tebal saja. Semakin banyak uang yang dike-luarkan, maka semakin baik fasilitas yang mereka teri-ma.

Tren Cara CepatSelain alasan untuk pemahaman materi yang lebih, me-reka mengikuti bimbingan belajar agar dapat lolos selek-si masuk perguruan tinggi seperti SNMPTN, SBMPTN, atau UMB. “Soal SBMPTN itu kan menuntut kita untuk

mengerjakan soal dengan waktu yang singkat dan bim-bel itu mengajarkan solusi atau cara cepatnya ditambah dengan pengerjaan secara step by step,” jelas salah satu alumni bimbel SSC Solo, Della Fitrayani Budiono.

Hal senada juga diungkapkan alumni Neutron Yogya-karta cabang Solo Irene Patasik. Ia mengikuti bimbel untuk memperdalam materi pelajaran dalam rangka menempuh Ujian Nasional dan dapat lolos melanjut-kan pendidikan ke PTN yang diinginkan. “Alasan saya mengikuti bimbel supaya bisa lulus UN dengan hasil maksimal dan dapat diterima di PTN. Kalau hanya bela-jar di sekolah saja, itu tidak cukup,” ujar mahasiswi yang saat ini tengah menempuh pendidikan di S1 Informatika FMIPA UNS ini.

Namun sayangnya pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, metode atau cara cepat yang diajarkan oleh bim-bel tidak selamanya digunakan. Ketika di bangku perku-liahan misalnya, dalam bidang sains mahasiswa dituntut untuk tidak hanya mengetahui cara menggunakan suatu

rumus, namun juga mengerti dari mana rumus tersebut berasal. Seperti yang diterangkan oleh dosen Kalkulus II Ristu Saptono dalam perkuliahan bahwa kurangnya kemampuan analisis mahasiswa saat ini salah satunya disebabkan oleh rumus cepat atau praktis yang didapat pada jenjang pendidikan sebelumnya. Sehingga maha-siswa lebih memilih menggunakan cara cepat yang te-lah diajarkan tersebut daripada rumus aslinya.

Page 6: Buletin civitas 39

6 | edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX

fokus utamaSelain cara cepat yang diajarkan, larisnya bimbel diteng-arai sebagai suatu bisnis yang menjanjikan sekaligus me nguntungkan. Pasalnya ada dua jenis bisnis yang tidak akan pernah mati yaitu pendidikan dan kesehatan. Se-perti halnya yang dikatakan oleh pengusaha Indonesia, Sandiaga Uno bahwa bisnis pendidikan dan kesehatan relatif tahan terhadap krisis dan menjadi komoditi yang menggiurkan dan menguntungkan. Pandangan sosial yang nyatanya tumbuh di masyarakat bahwa tingginya tingkat pendidikan seseorang juga akan menaikkan kehidupan ekonominya. Begitu pula dengan keseha-tan yang menjadi faktor penting untuk dapat mencip-takan kehidupan yang lebih maju. Jika dikaitkan deng-an fenomena bimbel yang ada saat ini, maka tidaklah mengherankan jika bimbingan belajar telah tersebar di mana-mana.

Bimbel sebagai fenomena pendidikan di Indonesia da-pat dipandang sebagai tren. Bertahan atau tidaknya tren ini sangat tergantung pada faktor-faktor pendukungnya.

UN dan SNMPTN yang selama ini menjadi an-dalan promosi bimbel, jika sampai dihapus oleh pemerintah akan memiliki dampak yang tidak kecil bagi mereka. Sehingga, bukan suatu hal yang mustahil jika suatu saat nanti bisnis bimbel ini akan meng-alami penurunan jika apa yang diharapkan siswa sudah tidak harus ditemukan di bimbel. Salah satu contohnya jika pemerintah sudah mengganti sistem pen-didikan Indonesia.

Seperti halnya yang diungkapkan oleh koordinator Prog-ram Boarding School MAN 1 Surakarta, Achmad Wardi-min bahwa selama pemerintah masih mengadakan UN dan ujian masuk perguruan tinggi negeri, maka bimbel masih akan tetap ada. Akan tetapi jika pemerintah sudah menghapuskan keduanya atau ujian masuk perguruan tinggi negeri saja maka dimungkinkan siswa sudah tidak antusias lagi mengikuti bimbingan belajar. Sistem dan Paradigma yang SalahPengamat pendidikan sekaligus Dekan Fakultas Kegu-ruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS, Furqon Hidayatul-lah memandang bimbingan belajar tidak lain dari bentuk pengembangan diri siswa yang menginginkan materi lebih dari apa yang telah ia peroleh di sekolah. Lebih lan-jut, ia mengungkapkan bahwa jika orientasi siswa seko-lah mengikuti bimbel adalah untuk memperoleh nilai UN yang bagus, maka penting kiranya untuk memberdaya-kan kondisi belajar di sekolah.

Di negara-negara maju ketika orang tua siswa bertemu dengan guru, hal yang mereka tanyakan adalah, “Apa

yang dapat saya lakukan? Apa kekurangan anak saya?” Sementara di Indonesia, orang tua malah bertanya, “Anak saya ranking berapa?” Begitulah cara pandang masyarakat terhadap pendidikan menurut Furqon. Ternyata tidak sedikit masyarakat kita yang masih berpikiran bahwa kepandaian seorang anak diukur dari nilainya di sekolah. Padahal kepandaian tidak terbatas pada hal-hal yang ber-sifat akademik saja.

Namun, bukan tidak mungkin bahwa pada kenyataan-nya, banyak siswa yang menjadikan bimbel hanya seba-gai tempat pelarian sebagai akibat dari tuntutan nilai di sekolah, kelulusan UN dan SNMPTN, dan lain sebagainya, bukan untuk menambah ilmu dan wawasan sebagaimana tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Realitanya, tidak sedikit bimbel yang memasukkan janji kelulusan UN dan perguruan tinggi favorit dalam promosinya. Sekolah bu-kan lagi menjadi tempat belajar, namun hanya menjadi sarana untuk memperoleh ijazah. Sementara di bimbel lah, siswa-siswi ini baru benar-benar belajar.

Humas Neutron Yog-yakarta cabang Solo, Dodi Irawan, saat dita-nya mengenai alasan siswa masuk bimbel menerangkan bahwa sebagian besar dari mereka merasa kurang puas jika hanya bela-jar di sekolah. Kadang siswa mengikuti bimbel karena ingin menjawab pertanyaan sekolah. Oleh karena itu, mun-cullah lembaga-lemba-ga bimbingan belajar yang menjembatani siswa untuk menam-

bah frekuensi belajarnya.

Furqon sendiri menyatakan bahwa pendidikan Indonesia masih dalam proses menuju perbaikan. Mengubah para-digma berarti mengubah sistem. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memahami kondisi murid dan memiliki metode atau pendekatan yang tepat. Sayangnya, masih banyak sekolah di Indonesia yang belum sanggup memenuhi kedua hal ini. Menurutnya, jika sistem peni-laian sekolah di Indonesia juga banyak memperhatikan aspek-aspek lain selain kognitif, maka hal ini akan ber-pengaruh besar terhadap keberadaan bimbel. “Mengapa soal UN bocor? Karena (siswa-siswa sekolah, red) hanya butuh nilai,” jelasnya. Selain itu ia pun menambahkan bahwa afektif yang kuat diperlukan sebagai landasan kognitif dan psikomotor.

Pada akhirnya, ambisi untuk masuk PTN ternama, rasa tidak percaya diri menghadapi UN dan ujian sekolah, serta alasan sejenis menjadi ladang empuk bagi bimbel. Biaya yang tidak sedikit menjadi masalah yang kesekian bagi orang tua siswa.[*]

Page 7: Buletin civitas 39

| edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX 7

kritika

Ilustrasi oleh: Bobby E

HU

KUM

NEW

TON

4:

UA

NG

=PR

ESTA

SI

Page 8: Buletin civitas 39

8 | edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX

kilas kita

Pelaksanaan27 September - 13 Oktober 2014

Jumlah sampel279 pelajar dari SMAN 3 dan SMAN 5 Surakarta

Metode yang digunakanAksidental sampling

Sampling error 2 %

Bimbel, Angin Segar Bagi Pelajar

Sebagian besar pelajar menilai bimbingan belajar atau bimbel telah memberikan kontribusi besar dalam proses pemahaman materi di sekolah.

Meskipun kekurangan juga masih dirasa cukup ban-yak, bimbel tetap menjadi pilihan pelajar sebagai pen-damping materi di sekolah. Hal ini dibuktikan dengan minat pelajar yang cukup tinggi untuk mengikuti lem-baga penyedia jasa pendidikan seperti bimbel.

Bimbingan belajar yang menjamur di kota Solo ber-banding lurus dengan jumlah pelajar yang menggu-nakan jasa ini. Mayoritas responden (82%) mengaku pernah mengikuti lembaga belajar. Mereka menilai manfaat dari mengikuti bimbel cukup besar, hal ini senada dengan penawaran yang bimbel tawarkan; seperti nilai rapor bagus, kelulusan, hingga diterima di perguruan tinggi favorit.

Proses pembelajaran yang diberikan bimbel dinilai lebih variatif dan komunikatif sehingga memberikan pemahaman yang lebih terhadap pelajar ketimbang di sekolah. Pemahaman materi yang diberikan bim-bel menunjukan angka yang cukup tinggi, materi yang cukup mudah ditangkap pelajar. Hal ini juga didukung oleh penilaian pelajar terhadap kom-petensi yang dimiliki oleh pengajar di bimbel, lebih dari setengah jumlah responden menyatakan mereka berkompeten.

Sementara itu, hasil polling juga menunjukkan persepsi lain terhadap lembaga bimbingan belajar di kota Solo. Tak seperti managemen bimbel, sebagian pelajar menyayangkan manajemen kelas dan pem-belajaran yang kurang memuaskan di sekolah. Pela-jar juga banyak mengeluh tentang kelas yang ramai, penentuan jadwal yang berantakan, jam belajar yang terlalu singkat dan berubah-ubah, hingga pengajar yang kurang kompeten. Ditambah dengan fasilitas fisik seperti ruang kelas yang kurang memadai jika di bandingkan dengan jumlah pelajar sehingga ber-dampak pada suasana yang kurang kurang kondusif.

Minat yang tinggi oleh pelajar dalam mengikuti bim-bel merupakan angin segar dunia pendidikan dilihat dari semangat pelajar untuk belajar. Oleh karena itu, eksistensi bimbel dalam memberikan pelayanan di-harapkan mampu memenuhi hasrat belajar bagi pela-jar dewasa ini.[*]

Jika kamu diminta menggu-nakan jasa bimbel, apa alasan yang mendasari kamu mengi-kuti bimbingan belajar di luar sekolah?

Seberapa paham kamu mengenal materi pelajaran yang diberikan oleh bimbel?

Menurut kamu, seberapa kom-peten atau tidakkah pengajar-pengajar dalam lembaga bimbel?

Jika kamu pernah mengikuti bimbel, apakah kamu merasakan manfaatnya?

Adakah kekurangan atau tidak dari lembaga bimbingan belajar yang kamu ikuti?

A : YaB : Tidak

A :Keinginan diri sendiriB : Ikutan TemanC : Anjuran Orang TuaD : Lainnya

A : Sangat pahamB : PahamC : Kurang PahamE : Tidak Paham

A : SangatB : KompetenC : KurangE : Lainnya

A : BermanfaatB : Ragu-raguC : TidakD : Lainnya

A : AdaB : TidakC : Lainnya

Apakah kamu pernah atau tidak menggunakan jasa bimbel?

1.

2.

3.

4.

5.

B18%

A82%

6.

A62%

B4%

C9%

D25%

C4%

E19%

A7%

B70%

C5%

E15% A

10%

B68%

B29%

C19%

A52%

Oleh: Tim Litbang LPM Kentingan UNS

A72%

A72%

D18%

C2%

B8%

Page 9: Buletin civitas 39

| edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX 9

memo

Rizka Nur Laily MuallifaMahasiswa yang bercita-cita

menulis sampai mati

Tentang Penulis:

Menggugat Kebebasan BelajarSedikit bernostalgia sewaktu anak-anak dulu, kita sering berkata demikian: rasane

aku wis pengen ndang lulus kuliah. Kalimat itu bisa dikatakan sebagai bentuk gugatan terhadap masa kecil.

Padahal mereka ingin bermain, bele-potan tanah liat dan pasir. Mereka in-gin dibiarkan berlama-lama di bengkel untuk bongkar-pasang onderdil sepe-da. Atau mungkin mereka ingin bera-da di atas panggung untuk berteater sampai subuh.

Biarkan para siswa merancang ulang sendiri sekolah mereka. Begitulah salah satu kalimat dalam buku Summerhill School (A S Neill, 2007). Buku tersebut menceritakan tentang sebuah sekolah di Inggris yang membebaskan dan meniadakan aturan-aturan layaknya kementrian pendidikan setempat. Di sana anak-anak bebas melakukan apa saja yang ingin mereka lakukan: bermain sepak bola sepanjang ta-hun, menjahit sepanjang hari, melukis sepanjang malam, maupun melakukan kegiatan-kegiatan praktis lainnya.

Lebih dari itu, sekolah Summerhill me-nyediakan semua fasilitas penunjang untuk kegiatan-kegiatan praktis di atas. Sekolah itu tidak memiliki kurikulum yang sistematis dan banyak menuntut siswa layaknya sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Neill, pendiri sekolah Summerhill memegang teguh keya-kinannya terhadap sistem swa-atur untuk mengelola sekolahnya. Baginya pendidikan tidak boleh mengandung unsur paksaan dari luar, melainkan berasal dari dalam diri masing-masing manusia. Manusia tidak perlu dididik dan dibudayakan untuk mengatur dirinya sendiri karena pada dasarnya sejak lahir manusia merupakan insan terdidik dan berbudaya.

Konsep pendidikan yang ditawarkan

sekolah Summerhill sangat sinkron dengan kebutuhan anak-anak terh-adap pendidikan. Anak-anak senang terhadap hal-hal praktis yang sifatnya konkret, sedangkan teori abstrak san-gat membosankan bagi mereka. Neill menjelaskan bahwa sekolah yang me-nyuruh anak-anak nan aktif sekadar duduk di bangku selama berjam-jam untuk mendaras pelajaran-pelajaran yang kebanyakan tak berguna itu adalah sekolah yang buruk. Sekolah semacam itu hanya cocok bagi mer-eka yang tak kreatif dan ingin selaras dengan peradaban masa kini yang pa-rameter keberhasilannya adalah uang (A S Neill, 2007:42).

Konsep swaatur Summerhill juga mengharamkan dinding-dinding kelas karena hal itu pasti membatasi pan-dangan guru dan menghalanginya untuk melihat esensi pendidikan yang sesungguhnya. Jika dinding-dinding kelas diberlakukan, guru hanya akan mengurusi anak sebatas leher ke atas saja, sehingga ranah emosi seba-gai bagian vital anak justru menjadi wilayah yang asing bagi para guru. Nampaknya kebanyakan pihak belum ingin menyadari secara penuh bahwa pelajaran sekolah itu tidak penting. Yang dibutuhkan anak adalah mem-baca, menulis, matematika, tanah liat, teater, cat, dan ‘kebebasan’ (A S Neill,

Yang dibutuhkan anak adalah membaca, menulis, matematika, tanah liat, teater, cat,

dan ‘kebebasan’. (A. S. Neill, 2007)

Secara psikologis, usia anak-anak hingga remaja adalah usia yang memiliki intuisi tinggi untuk meliarkan pikiran yang berujung pada kreativitas se-sungguhnya. Ini harusnya menjadi perhatian para penggagas sistem pen-

didikan di Indonesia. Sayangnya, konsep pendidikan yang berlaku di Indonesia justru menghendaki anak-anak dikurung dalam ruangan kotak yang sempit dan melulu belajar teori-teori. Parahnya, mereka juga diwajibkan mengikuti ber-bagai ujian, mulai ujian per bab, “semesteran” hingga ujian nasional. Semuanya menuntut siswa memiliki pemahaman tinggi terhadap teori-teori.“

2007).

Tak bisa! Mereka tidak bisa melaku-kan itu karena sistem pendidikan kita. Jadi, tak mengherankan jika perguruan tinggi di Indonesia sesak oleh maha-siswa-mahasiswa teoritis dan apatis. Diri mereka tertancap paku doktri-nasi bahwa ‘kuliah semata-mata untuk mengejar Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)’.

Padahal sejatinya, untuk mendapat nilai bagus berpredikat cumlaude, mereka harus rela membatasi potensi lain dalam diri mereka. Suatu kesialan kalau potensi yang dikubur itu ternya-ta berpengaruh besar untuk masa de-pannya.

Perlu segera kita sadari bahwa IPK ha-nya akan mengantarkan lulusan pergu-ruan tinggi pada meja wawancara. Itu kata Anies Baswedan dalam orasinya menyambut mahasiswa baru Univer-sitas Paramadina pada Agustus 2014. Banyak sumber juga mengatakan bahwa sarjana-sarjana yang semasa kuliahnya hanya sibuk mengejar IPK cenderung memiliki skill komunkasi yang buruk dan perusahaan manapun akan dirugikan bila mempekerjakan orang-orang sedemikian rupa. [*]

Ilustrasi : Hesti Ratnafuri

Page 10: Buletin civitas 39

10 | edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX

bidik

10 | edisi April 2013 | Civitas

Sejak Agustus lalu, pemandangan kesibukan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta bertambah. Di sudut-sudut kampus, ter-lihat para pekerja bangunan terus berusaha menyelesaikan pem-

bangunan perpustakaan tujuh lantai, proyek renovasi gedung, juga merampungkan pembangunan trotoar untuk para pedestrian. Sebuah pekerjaan berat—kalau tak mau dibilang kasar—yang biasa dikerjakan kaum adam. Namun nyatanya, di antara pekerja laki-laki itu “terselip” beberapa pekerja perempuan. Mereka di sana bukan untuk menyiap-kan teh sebagai pelepas dahaga atau makan siang, melainkan ikut serta dalam pembangunan infrastruktur yang tampak terus digalakkan oleh kampus hijau ini.

Figur perempuan yang identik dengan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan ringan yang tidak memerlukan banyak tenaga tak terlihat da-lam sosok perempuan-perempuan perkasa ini. Seperti terlihat pada

diri Samiyati (55), perempuan paruh baya tersebut bekerja dari pukul 08.00 s.d. 16.00, menunaikan kewajiban yang sama dengan para pekerja lelaki: me-ngaduk semen, mengangkat batu, me-nyaring pasir, dan menyiapkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan untuk menyelesaikan trotoar yang mengitari Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR).

Setiap hari, ia berangkat bekerja dengan menaiki bis dari Karangpandan, Karang-anyar bersama anaknya yang juga memi-lih profesi serupa dengannya. Perempuan yang penuh canda tersebut mengaku senang dengan pekerjaan barunya. Upah Rp 45.000 per hari, baginya cukup besar dan menjadi alasan untuk meninggalkan profesi lamanya sebagai petani. Walau-pun sudah memasuki usia senja, Sumi-yati dan beberapa perempuan pekerja bangunan lainnya tetap berusaha untuk memperjuangkan hidup, tanpa menge-luh, tanpa pilih-pilih kerja. Setidaknya agar dapur di rumah tetap mengepul.[*]

Perempuan-Perempuan dalam Proyek Pembangunan Kampus

Foto-foto oleh : Tim Foto LPM Kentingan Teks oleh : Fajar Andi Baihaqi

Page 11: Buletin civitas 39

| edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX 11

bidik

Civitas XXXV | edisi April 2013 |11

Walaupun sudah memasuki usia

senja, Sumiyati dan beberapa perempuan pekerja bangunan lainnya tetap berusaha untuk memperjuangkan hidup, tanpa mengeluh, tanpa pilih-pilih kerja.

Page 12: Buletin civitas 39

12 | edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX

kampusianakampusiana

Menanti Legalisasi Logo BaruOleh : Maulidiah, Fahrur Nuzulul, Advent Eden

Normalnya, sebuah instansi hanya memunyai satu logo yang menjadi identitasnya. Pergantian logo dianggap wajar sebagai suatu cara memperbarui identitas atau menghilangkan kesan-kesan lama yang telah melekat. Kalau sudah begitu, biasanya logo yang lama ditanggalkan. Namun, hal ini tidak berlaku di UNS.

Baru-baru ini, Universitas Sebelas Maret (UNS) memiliki rancangan logo baru, lagi. Padahal sebe-lumnya (11/3), bertepatan dengan ulang tahun

yang ke-38, UNS sudah me-launching sebuah logo.

Rancangan logo baru tersebut pada dasarnya sama saja dengan logo UNS yang lama. Perbedaannya terletak pada tambahan tulisan Universitas Sebelas Maret dan UNS yang melingkari logo. Satu hal yang patut menjadi catatan adalah rancangan logo baru itu tidak dimaksud-kan untuk mengganti logo lama. Tujuannya sederhana saja: memperjelas bahwa UNS adalah Universitas Sebelas Maret, bukan Universitas Negeri Sebelas Maret apalagi Universitas Negeri Surakarta.

“Logo yang baru sifatnya hanya untuk memberikan ke-jelasan. Selama ini logo kita tidak ada tulisannya ‘Uni-versitas Sebelas Maret’ sehingga dengan penambahan tersebut orang bisa tahu kalau UNS itu Universitas Sebe-las Maret. Kalau tidak begitu, nanti orang akan mengar-tikan UNS dengan arti yang macam-macam. Lha wong menteri saja salah ngomong Universitas Negeri Sebelas Maret kok,” jelas Sekretaris Senat, Soentoro Wongso At-mojo.

Penyempurnaan tampilan logo baru dari logo yang di-launching sebelumnya tetap memicu berbagai komen-tar dari kalangan civitas akademika UNS. “Logo yang di-launching kemarin itu diganti soalnya jelek. Kalau yang baru sudah saya setujui,” tutur Rektor UNS, Ravik Karsidi. Komentar hampir senada muncul dari mahasiswi Pen-didikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNS, yang menga-takan, logo baru masih kelihatan seperti stempel. Cuma, yang baru ini inti logonya lebih kelihatan. Kalau yang kemarin di-launching itu kelihatan penuh dan inti logo-nya nggak terlalu menonjol. Sebaliknya, mahasiswi Pen-didikan Geografi UNS, Naimah Ramadhani menyatakan, logo dengan border melingkar yang di-launching pada dies natalis lalu lebih bagus daripada logo baru yang

Logo yang di-launching kemarin itu

diganti soalnya jelek. Kalau yang baru sudah saya setujui,” tutur Rektor UNS, Ravik Karsidi.

“foto: Adi Putra/LPM Kentingan

Page 13: Buletin civitas 39

| edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX 13

kampusianakampusiana

...komposisi merupakan permasalahan yang menjadi perhatian dalam tampi-

lan baru logo UNS. Logo baru UNS terlihat seperti memunyai frame di dalam frame.

sekarang.

Aplikasi Logo-Logo UNSDalam surat keputusan (SK) rektor tentang jati diri dan tata upacara baku Universitas Sebelas Maret (SK baru tentang pengubahan logo belum diberi nomor dan disahkan –red), ada tiga jenis tampilan logo yang digunakan oleh UNS, yaitu logo UNS yang lama, logo dengan border segi lima, dan logo baru dengan tulisan UNIVERSITAS SEBE-LAS MARET dan UNS.

Logo lama UNS digunakan untuk asesoris toga, lencana/pin, kop su-rat, dan sampul buku resmi yang sudah disertai nama Universitas Sebelas Maret. Sedangkan logo

“Logo digunakan pada stempel/cap dinas.

dengan border segi lima diguna-kan sebagai cap atau stempel. Logo baru yang disertai tulisan Univer-sitas Sebelas Maret dan singkatan UNS digunakan untuk keperluan publikasi yang tidak menyertakan tulisan Universitas Sebelas Maret, seperti bendera, pataka, dan seba-gainya. Dengan kata lain, logo baru tidak digunakan untuk skripsi, tugas akhir, maupun cover makalah.

Rencananya, tidak akan ada launch-ing lebih lanjut mengenai logo yang baru ini. Peresmian dan pengap-likasiannya hanya menunggu Surat Keputusan Rektor. Namun Soentoro belum tahu mengenai waktu kepas-tiannya, yang jelas, sudah tidak akan ada pembaharuan logo UNS lagi.

“Harus ada launching. Kalau tidak ada launching, bagaima-na orang-orang bisa pada tahu adanya logo baru tersebut? Su-rat edaran saja tidak cukup, Soalnya surat edaran itu hanya menjangkau beberapa kalangan saja.“ usul dosen Advertising FISIP

UNS, Bambang Nugroho.

Bukan Hal Sepele Berangkat dari komentar-komentar miring perihal bentuk logo UNS yang baru, Civitas menanyakan pan-dangan dua praktisi desain grafis di Surakarta, Aries B.M dan Taufik Mur-tono. Ketika ditanya apakah logo baru tersebut dapat mewakili citra UNS, mereka sepakat bahwa logo baru UNS itu tidak dapat digunakan sebagai pencitraan.

“Kalau untuk pencitraan, tidak. Soalnya nggak mengikuti tren logo sekarang. Sekarang ini kan perkem-bangan informasi dan variasi logo sangat banyak. Maka logo yang paling memikat adalah yang paling simpel,” tutur Taufik Murtono. Se-

mentara Aries B.M menambahkan, komposisi merupakan permasala-han yang menjadi perhatian da-lam tampilan baru logo UNS. Logo baru UNS terlihat seperti memunyai frame di dalam frame.

“Logo yang baru seperti diadaptasi dari stempel UNS, cuma ada peng-hilangan tulisan Kemendikbud dan ditambahi UNS. Seharusnya peruba-hannya disayembarakan, biar sama-sama merasa memiliki logo. Nggak cuma petinggi-petinggi saja yang merasa memunyai, semua warga UNS juga harus,” tandas Bambang.

Penghilangan border melingkar tidak berarti mengubah kompo-sisi logo. Menurut Bambang, tidak ada perbedaan antara logo baru yang sebelumnya dengan yang sekarang. Keduanya tetap terlihat seperti stempel. Syarat logo yang simple masih belum terpenuhi oleh logo baru. Dikarenakan tidak simpel itulah, dia memandang tidak ada hal unik dari logo baru yang akan segera disahkan itu.[*]

Logo digunakan pada Bendera, Pa-taka dan sebagainya.

Logo yang di-launching pada Dies Natalies ke-38.

Logo UNS yang digunakan untuk menyertai semboyan budaya kerja “Active”.

Page 14: Buletin civitas 39

14 | edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX

profil

Made Ayu dan Reina CafeOleh: Wiwit Putri Handayani, Rohmana Kurniandari

Reina Café, sekilas café yang berdiri di antara banyaknya bangunan di Jalan Ronggowarsito, Surakarta itu tampak seperti cafe-cafe biasa: bangunan berarsitektur elegan, bangku-bangku nyaman untuk duduk dan ngobrol berjam-jam, serta layanan hotspot gratis yang membuat pengunjung enggan meninggalkan tempat duduknya. Begitu kami masuk dan melihat daftar menu di Reina Cafe, terutama bagian minumannya, dahi kami pun mengernyit karena sajian tak biasa yang ditawarkan: jamu! Tak hanya itu, kami juga dibuat terpukau melihat bahan-bahan yang digunakan untuk meramu jamu tersimpan rapi dalam toples-toples kecil di ujung ruangan, seperti kunyit, asam, temu lawak, dan lain sebagainya.

Ide penyajian jamu dengan format yang berbeda itu muncul

dari benak perempuan berdarah Jawa-Bali, Made Ayu Aryani. Keinginan kuat itu tak lepas dari keakraban Ayu, begitu ia biasa dipanggil, dengan minuman klasik khas jawa yang satu ini. Sejak kecil ia sudah sering dicekoki jamu beras kencur dan kunir asem oleh ibunya karena susah makan. Akhirnya, kebiasaan mi-

num dua jamu itu bertahan hingga sekarang, ketika bis-nis café impiannya telah berjalan.

Reina Café, itulah nama café herbal yang dibuka Ayu sejak April 2012. Nama “Reina” berasal dari tiga nama anggota keluarga Ayu, re untuk Retno, Ibu sekaligus sebagai professional herbalis; in untuk Indra, adik yang membantu mendesain logo dan marketing; dan a untuk Ayu sendiri sebagai konseptor ide dari awal.

Rasa tak biasa yang notabene merupakan salah satu kekhasan jamu, membuatnya tidak disukai oleh sebagian orang, terutama sekali kalangan muda. Barangkali, jenis jamu yang paling populer bagi mereka dan masih layak minum hanyalah kunir asem dan beras kencur. Kedua jenis jamu itu dulu sering dijajakan oleh mbok-mbok penjual jamu keliling yang berbusana kebaya khas jawa, berjajar bersama jenis-jenis jamu lain dalam rinjing yang digendongnya ke mana-mana. Dengan ingatan seperti ini, jamu pun kemudian bercitra usang, kuno, dan ter-lebih: hanya konsumsi untuk orang-orang tua pesakitan. Pada akhirnya, jamu perlahan kehilangan pamornya

dibanding minuman-minuman lain dalam kemasan me-narik dan rasa yang bermacam-macam, yang juga diklaim memiliki khasiat tertentu.

Namun Ayu tidak sepakat dengan pandangan demikian. Kecintaannya terhadap Indonesia, terutama keindahan, kekayaan alam, serta budayanya membuat Ayu ingin mengenali Indonesia lebih jauh. “Dimulai dari hal-hal yang bisa dikembangkan dari Indonesia yang mulai di-tinggalkan masyarakat, khususnya jamu yang sebenarnya sudah tidak familiar,” jelas perempuan alumni SMA Ne-geri 3 Surakarta ini.

Dari sekian daftar menu yang disajikan Reina Café, sari pegagan (sehat segar) dan karoten menjadi menu fa-vorit pengunjung. Sari pegagan merupakan campuran pegagan, temulawak dan meniran, sedangkan karoten adalah ekstrak wortel yang dicampur madu. “Pengunjung café kadang rame, kadang gak. Ya karena memang dari segmentasi pasar, jadi berbeda dibanding dengan yang mainstream,” tutur Ayu.

Kesuksesan dalam menjalankan bisnis jamu ini tidak diperoleh Ayu begitu saja. Perempuan dengan paras se-ayu namanya ini, memiliki prinsip kerja yang selalu ia terapkan dengan sungguh-sungguh, yaitu action, selalu berinovasi, dan konsisten. “Action mengandung makna kita belajar darimanapun, kapanpun dan siapapun. Ba-nyak ide yang terlintas di kepala, tapi tidak ada action-nya, percuma. Nah, di sini kita harus take actions. Kedua, berinovasi. Kalau sudah memunyai usaha harus sering berinovasi. Seiring berkembangnya waktu, pasti ada kom-petitor-kompetitor yang bermunculan. Jika tidak berino-vasi, akan berhenti di situ dan menjadi ide kreatif doang. Konsisten pada setiap usaha yang dibangun dari awal, pastinya ada jatuh bangun dan merasa tidak mendapat apa-apa. Tapi kita harus tetap konsisten sama apa yang dijalani. Mungkin saja ke depannya lebih bagus. Jika tidak konsisten ganti ini-itu pastinya harus ada mo-dal ini-itu

Foto dilansir dari terasolo.com

Page 15: Buletin civitas 39

| edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX 15

profil

juga modal awal lagi, orang berbisnis aja sampai berpuluh-puluh tahun biar jadi maju,” jelasnya. Aktivitas Bisnis hanyalah salah satu dari ban-yak kegiatan yang diikuti perempuan yang suka mencicipi berbagai kuliner khas daerah, travelling, dan network-ing ini. Selain tengah menyelesaikan studinya di pascasarjana magister profesi psikologi (Industri Organisasi) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yo-gyakarta, perempuan yang lahir 30 tahun lalu itu pun masih disibukkan dengan kegiatan organisasi yang aktif ia ikuti hingga saat ini, yaitu Junior Chamber Internasional (JCI) dan scholar4id. Keduanya merupa-kan organisasi non-profit yang berg-erak untuk mengembangkan potensi anak-anak Indonesia melalui bimbin-gan dan beasiswa.

Ternyata, pendidikan dan kegiatan-kegiatan yang dilakoni itu masih berkaitan dengan bisnis jamunya. Perkuliahan yang ia tekuni memberi banyak manfaat dalam mengem-bangkan bisnis tersebut, terutama dalam melihat dan mempelajari pe-rilaku konsumen, melakukan recruit-ment, membuat sistem dalam bisnis,

dan mengedukasi masyarakat tentang jamu.

Dari JCI, Ayu bisa menjalin hubungan (networking) baik dalam dan luar neg-eri dengan bermacam-macam kegia-tan mulai dari enterpreneur, kegiatan sosial, dan budaya. Berkat JCI pula, Ayu mendapatkan penghargaan Cre-ative Young Enterpreneur Award of Indonesia 2012 serta Ten Outstanding Young Person of Indonesia 2014. Dari scholar4id, ia juga mendapat banyak pengalaman melalui kegiatan sosial, menjalin networking, serta bertang-gung jawab terhadap anak-anak yang mereka asuh.

Tiga kegiatan sekaligus tentu sudah sangat menyibukkannya. Namun, ia juga masih mempunyai satu bisnis lagi yang bergerak di bidang fashion, sebut saja de’Ar. Butik ini berdiri satu tahun sebelum ia memutuskan untuk membuka bisnis herbal cafe, tepat-

nya pada November 2011. Bisnis ini pun bermula dari kesukaannya men-desain baju untuk diri sendiri. Serta banyak dari temannya yang memiliki animo tinggi terhadap desain baju-nya, akhirnya ia pun memutuskan untuk membuka butik sendiri. Baju-baju yang ditawarkan di butiknya pun bukan sembarang baju, melainkan baju-baju berbau batik khas nusan-tara. Bisnis ini pun berkembang cu-kup pesat berkat usahanya hingga sukses mengikuti berbagai fashion show tingkat nasional dan interna-sional. Di tingkat nasional, Made Ayu berkesempatan mengikuti event busana bergengsi Indonesia Fash-ion Week. Di tingkat Internasional, ia pun menjadi perwakilan JCI Indonesia dalam acara JCI World Conggres di Rio de Janeiro, Brazil pada Septem-ber 2013. Hal tersebut membuktikan bahwa prinsip action, selalu berino-vasi, dan konsisten yang dipegangnya memang berbuah manis.[*]

Foto oleh: Retia/ LPM Kentingan

Banyak ide yang terlintas di kepala, tapi tidak ada action-nya, percuma.

Nah, di sini kita harus take actions.

Page 16: Buletin civitas 39

16 | edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX

resensi

Ketika Buku Hanya Dilihat Dari Sampulnya

Kalimat “Jangan menilai buku dari sampulnya” tentu sudah tak asing lagi di telinga kita. Kita pun pasti su-dah hafal di luar kepala arti kalimat itu. Pertanyaan-

nya, apakah kita sudah benar-benar mengerti makna slo-gan tersebut?

Rambut gondrong sering dianggap sebagai simbol per-lawanan. Pemuda yang berambut gondrong dicap negatif oleh masyarakat. Mengapa? Bukankah kita tidak boleh me-nilai manusia hanya dari penampilannya?

Dilarang Gondrong! karya Aria Wiratma Yudhistira ini me-nyajikan bagaimana awal mula rambut gondrong dianggap menjadi sesuatu yang negatif. Hal ini bermula dari negara barat pada masa setelah Perang Dunia II. Banyak pemuda menganggap kampus sebagai tempat yang mengekang sehingga mereka mencari cara lain untuk mengungkapkan kebebasan. Muncullah golongan hippies dengan salah satu ciri khas rambut gondrongnya. Gaya hidup mereka seperti merokok, mengonsumsi narkotika maupun freesex diang-gap sebagai suatu hak asasi tentang kebebasan.

Budaya ini dengan cepat masuk ke negara kita akibat kema-juan di bidang teknologi informasi. Masyarakat perkotaan paling cepat menerima dampaknya. Berbeda dengan para pemuda barat, pemuda di negara kita menganggap hip-pies sebagai sebuah tren. Mereka tidak meniru habis-ha-bisan gaya hidup hippies seperti yang ada di barat, hanya mengambil beberapa hal yang menurut mereka menarik misalnya saja gaya rambut gondrong.

Anehnya pemerintah seperti menganggap serius masalah rambut gondrong ini. Bahkan pada siaran TVRI hari Senin, 1 Oktober 1973, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro menya-takan bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi bersikap acuh tak acuh. Bukankah aneh, seorang berpang-kat tinggi mengatakan hal sepele tentang rambut di acara tv nasional. Pernyataan tersebut bisa dikatakan sebagai titik mula terhadap serangkaian razia yang dilakukan terhadap orang-orang berambut gondrong. Media pun sepertinya turut andil dalam pencitraan negatif orang gondrong de-ngan menggembar-gemborkan bahwa tersangka-tersang-ka kriminal mayoritas berambut gondrong.

Dalam tulisannya di Kompas, 22 Juni 1968, Arief Budiman, salah satu sastrawan kondang angkatan 66, menyatakan kekecewannya terhadap sikap Ali Sadikin dalam menindak persoalan rambut gondrong. Ali Sadikin merupakan sosok gubernur yang dikagumi oleh Arief Budiman. Meski begi-tu, menurutnya tindakan yang dilakukan terhadap rambut gondrong itu perbuatan yang menyeramkan. Menyeram-kan, ketika rambut gondrong dikatakan tidak sesuai dengan norma-norma umum, kemudian permasalahan tersebut diarahkan kepada persoalan kepribadian nasional. Pada-hal menurut Arief, rambut gondrong adalah permasalahan selera, bukan permasalahan yang mengganggu ketentra-man umum. Bila selera umum dianggap sebagai hukum sah untuk menindak selera khusus maka yang terjadi bukan lagi demokrasi, melainkan semacam “diktator kolektif”

Permasalahan rambut gondrong merupakan sebuah ironi yang berlangsung hingga sekarang. Mayoritas masyarakat mengkonotasikan rambut gondrong sebagai sesuatu yang negatif. Padahal apa yang terlihat di luar belum tentu meng-gambarkan apa yang sebenarnya ada di dalam. Seperti kata pepatah “jangan menilai buku dari sampulnya”, sudah tak asing di telinga masyarakat namun masih belum dipahami sepenuhnya.

Terlepas dari semua itu, buku Dilarang Gondrong! ini sangat menarik untuk dibaca. Sebuah buku mengangkat segenap permasalahan terkait rambut gondrong, yang menjadi ironi tersendiri di masyarakat hingga kini. Selain itu penulis de-ngan apik menggabungkan beberapa info sejarah menjadi sebuah alur cerita yang meski tak selalu runtut, tapi tetap menarik untuk disimak. Ternyata sejarah bisa dipelajari se-cara menyenangkan.[*]

Menyeramkan, keti-ka rambut gondrong dikatakan tidak se-

suai dengan norma-norma umum, kemudian permasala-han tersebut diarahkan ke-pada persoalan kepribadian nasional.

Judul : Dilarang Gondrong!Penulis : Aria Wiratma YudhistiraPenerbit : Marjin KiriNo ISBN : 978-979-1260-07-7Tebal : 161 hlm + xxiiTahun : 2010

Foto oleh: Anis Cho/ LPM Kentingan

Oleh: Novi Irma

Page 17: Buletin civitas 39

| edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX 17

resensi

Ketika Buku Hanya Dilihat Dari Sampulnya

The Taqwacores:Ketika Islam Berpadu dengan Punk

Cerita dimulai ketika Yusef Ali (Bobby Naderi), seorang muslim Pakistan mengawali hidupnya sebagai maha-siswa teknik di Buffalo, New York. Di Amerika, Yosef

tinggal di sebuah rumah kontrakan bersama kawan punk muslimnya lengkap dengan musik, dan alkohol. Meskipun terkesan sebagai rocker anarkis pelanggar aturan, namun Umar (Nav Mann), Ayyub (Volkan Eryaman), Fasiq (Ian Tran), atau Jahengir (Dominic Rains) masih memegang erat keyakinan sebagai seorang muslim. Dari beberapa adegan digambarkan bahwa Umar dan kawan-kawannya tidak seka-lipun meninggalkan salat lima waktu. Mereka yang terikat dalam The Taqwacores-sebuah perkumpulan punk muslim Amerika- juga berinisiatif untuk menjalankan salat Jumat di rumah karena merasa masjid sudah tidak menerima mereka yang “berbeda”.

Rabeya (Noureen de Wulf) hadir dalam film ini sebagai so-sok wanita yang merindukan kebebasan. Dirinya tidak mau menerima mentah-mentah segala yang telah diwahyukan Tuhannya di dalam kitab suci. Wanita penganut feminis yang mengenakan burkak ini memperlihatkan coret-core-tannya dalam kitab suci ketika ia bercakap-cakap bersama Yusef. Dengan terang Rabeya menyatakan ketidaksetujuan-nya terhadap ayat yang mengatakan bahwa seorang suami boleh memukul istrinya. Secara tegas ia berkata bahwa hal itu merupakan sebuah penindasan bagi perempuan.

Hidup dalam keberagaman membuat mereka tak dapat mengelak dari berbagai konflik. Yusef, seperti muslim ke-banyakan masih merasa terkejut dengan perbedaan eks-trem dalam memaknai Islam. Keadaan ini diperparah ketika Yusef yang naif berhadapan dengan godaan seksual dari seorang tetangganya yang cantik. Rabeya yang ikut melon-tarkan pernyataan bahwa bukan seorang pria sejati jika pria itu belum pernah melakukan hubungan seksualitas turut memperburuk keadaan bagi Yusef.

Hidup dalam keberagaman dalam satu rumah mem-

buat mereka tak dapat mengelak dari berbagai konflik.

Di akhir cerita, Jehangir berhasil mengadakan konser musik yang dihadiri oleh beberapa band punk rock Islam dari West Coast America. Tak disangka, di antara ramainya konser itu terdapat satu band yang berisi orang-orang konservatif dan radikal, bernama “Bilal’s Boulder”. Konser ini sangat ramai, meskipun tak berjalan sesuai dengan rencana.

Punk, muslim, dan Amerika, tentu menjadi tiga konsep berbeda yang coba untuk diangkat. Eyad Zahra tidak mau menyebut film yang diadaptasi dari novel berjudul sama

karya Michael Muhammad Knight sebagai film Islam. Ba-gaimanapun sang sutradara telah berani menggabungkan unsur punk rock dengan Islam dan menyuguhkannya men-jadi sebuah karya epik. Melalui The Taqwacores, penyampa-ian pesan mengenai penyatuan perbedaan antara punk dan Islam dikemas dengan apik. Punk yang lahir karena adanya ketidakpuasan terhadap kondisi moral dan keadaan sosial dapat dipadukan dengan konsep Islam yang merupakan agama berkonsep ketuhanan.

Yusef, yang dianggap sebagai tokoh sentral mempunyai dua konflik berbeda. Pertama adalah konfliknya dengan anggota The Taqwacore yang dimaksudkan sebagai konflik utama dalam film ini. Ketika tokoh Rabeya muncul, konflik utama terlihat bertumpuk dengan konflik Yusef dan Rabeya mengenai kebebasan perempuan dalam Islam melalui sudut pandang feminis. Konflik yang bertumpuk ini di beberapa bagian dapat membuat penonton kebingungan dalam me-mahami situasi yang terjadi karena sebenarnya pemusatan film dalam satu konflik saja sudah cukup.

Agaknya, penonton harus meluangkan waktu lebih lama untuk menikmati suguhan The Taqwacores. Pendeskripsian tokoh dalam cerita dibuat terlalu panjang, sehingga film berjalan lambat. Penonton akhirnya mendapat gambaran cerita yang begitu kentara sehingga tidak mendapat keju-tan ketika film berakhir. Teknik bercerita yang terlalu detail rasa-ranya tidak perlu untuk penonton dewasa. Meski be-gitu, The Taqwacores sangat dianjurkan bagi orang-orang yang ingin memandang Islam dengan lebih luas. Sayang, film ini hanya diputar secara terbatas di Kanada dan Ameri-ka karena dianggap terlalu propokatif. [*]

Judul Film : The TaqwacoresJenis Fim : DramaSutradara : Eyad ZahraPemeran : Bobby Naderi, Nav Mann, Dominic Rains, Noureen DewulfProduser : Rummani FilmworksTahun : 2010Durasi : 83 menit

Oleh: Tri Uswatun Hasanah

Foto: impawards.com

Page 18: Buletin civitas 39

18 | edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX

kolom

Ilustrasi oleh: Hesti Ratnafuri

Pendidikan Pemasok Buruh

Bicara soal pendidikan di Indo-nesia, perombakan kurikulum sudah sering terjadi. Tujuannya

adalah agar instansi-instansi mampu melahirkan para lulusan yang profe-sional salah satunya dalam bidang ekonomi kreatif. Jika berbicara dari sudut pandang kapitalisme, institusi pendidikan kini menjadi lahan bis-nis dengan memperlakukan manusia sebagai “pasokan” untuk memenuhi kebutuhan SDM perusahaan. Pendek kata, sistem semacam inilah yang membentuk buruh berijazah sarjana.

Negara berkembang seperti Indone-sia memang sangat sulit menghindari kapitalisme. Apalagi ketika lapangan kerja Indonesia yang harus bersifat padat karya karena besarnya popu-lasi di negara ini. Ketika kapitalisme masuk dalam ranah pendidikan, con-toh yang mudah kita lihat adalah ke-tika universitas mematok biaya studi yang mahal terhadap mahasiswanya. Selain itu diskriminasi terhadap kaum miskin yang dikemas apik oleh Insti-tusi pendidikan melalui pengelom-pokkan biaya pendidikan juga terjadi.

Mahalnya biaya kuliah di beberapa universitas ternama di Indonesia yang didasarkan atas pendapatan orang tua, jalur masuk perguruan tinggi, dan jurusan yang diambil, bisa meng-indikasikan adanya sistem kapitalistis. Dengan kebijakan demikian, secara tidak langsung, mahasiswa pintar de-ngan pendapatan orang tuanya yang tergolong besar akan lebih diprioritas-kan daripada mahasiswa pintar namun orang tuanya berpendapatan kecil.

Berbeda jalur masuk perguruan tinggi dan jurusan yang diambil pun akan berbeda beban finansial yang dite-

Ketika kapitalisme masuk dalam ranah pendidikan, contoh yang

mudah kita lihat adalah ketika universitas mematok biaya studi yang mahal terhadap mahasiswanya.

Tentang Penulis:Satya SetyokozMahasiswa Sastra Inggris yang tak henti menggali hakekat kehidupan

rima oleh para mahasiswa. Selain itu, ketidakadilan fasilitas yang didapatkan mahasiswa antara jurusan satu dan lainnya semakin menguatkan bahwa besar kecilnya uang adalah penentu hak anak bangsa untuk mendapat-kan pendidikan yang layak. Padahal, pendidikan adalah hak setiap warga negara dan hal ini tercantum dalam pasal 31 ayat (1) pada bab XIII UUD 1945 amandemen ke-4 yang menya-takan bahwa setiap warga negara behak mendapatkan pendidikan. Pada dasarnya, kapitalisme dalam dunia pendidikan tidak hanya dapat

dilihat dari mahalnya biaya pendidi-kan. Namun bisa juga dilihat dari sistem perkuliahan yang berada dalam otoritas masing-masing perguruan tinggi dalam memproyeksikan lulu-sannya dan mendiskriminasikan ma-hasiswa terkait penggunaan fasilitas.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa agar dapat bersaing dan memaju-kan institusinya, tidak sedikit per-guruan tinggi yang bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan ter-tentu untuk “memasarkan” lulusan-nya. Seperti yang diungkapkan se-cara terang-terangan oleh salah satu ekonom dari IIGC (Indonesian Institute for Global Capitalism), Julian Anta-larga, “Mahasiswa adalah komoditas yang terbarukan. Selama pemerin-tah tidak mewajibkan program KB, saya kira kita tidak perlu takut akan kehabisan stok mahasiswa

meskipun jumlahnya saat ini harus dilipatgandakan. Kita jadikan para mahasiswa ini komoditas ekspor,”Jika dipandang dalam jangka waktu yang pendek, hal ini memang terlihat sangat menguntungkan bagi para lulu-san terutama sarjana perguruan tinggi yang ingin cepat bekerja. Akan tetapi dalam jangka waktu yang panjang, sistem seperti ini akan mengubah cara pandang para sarjana menjadi lebih sempit dan akan menyebabkan keter-gantungan terhadap lapangan peker-jaan yang seolah-olah hanya ber-sumber dari perusahaan. Cepat atau

lambat, para sarjana akan menjadi tenaga kerja yang tidak mandiri dima-na mereka tidak mampu melepaskan ketergantungan terhadap perusahaan-dan bagi mereka yang kalah bersaing atau yang tidak memenuhi standar perusahaan, akan tersisih dan akan menumpuk sebagai pengangguran baru. Dengan demikian, jumlah peng-angguran akan semakin bertambah.

Campur tangan pemerintah yang adil, berproses, berintegritas, dan penga-wasan masyarakat yang kritis terh-adap jalannya sistem pendidikan di Indonesia sangat diperlukan. Jangan sampai aset sekaligus penerus bangsa yang sejatinya berhak mendapatkan pendidikan sesuai bakat dan minat menjadi terhambat atau menjadi ob-jek keuntungan oleh golongan berke-pentingan yang tidak bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa.[*]

Page 19: Buletin civitas 39

| edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX 19

Page 20: Buletin civitas 39

20 | edisi Februari 2015 | Civitas XXXIX