Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

download Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

of 120

Transcript of Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    1/120

    NNasionalisasiPPerusahaan

    BBelanda diIIndonesia

    Tidak mudah melihat motivasi di balik tindakan pengambilalihan yang kemudiandiikuti nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda tersebut. Apakah benar-

    benar digunakan untuk menekan Belanda, atau sebagai usaha mengangkatperekonomian negara, atau menjadi salah satu jalan yang dipakai kaum komunis

    untuk merebut kekuasaan.

    Menguatnya Peran Ekonomi Negara :

    Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia

    Bondan Kanumoyoso

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    2/120

    Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

    Bondan Kanumoyoso. Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda di

    Indonesia. Cet. 1 -- Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001 XXI, 137 hlm.: 21 cm

    ISBN 979-416-693-6

    1. Indonesia -- Keadaan Ekonomi, 1994I. Judul

    Nasionalisasi Perusahaan Belanda di IndonesiaMenguatnya Peran Ekonomi Negara

    Bondan Kanumoyoso

    2001 /SEJ/01Desain Sampul : Ibnoe WahyudiPenata Letak : Donny Kaparang

    Hak Pengarang dilindungi Undang-undangDiterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, anggota Ikapi

    Jakarta

    Cetakan Pertama, 2001Dicetak oleh. PT. Primacon Jaya Dinamika

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    3/120

    i

    Kata Pengantar

    Perubahan sistem ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional merupakanmasalah pokok dari buku ini. Titik sentralnya adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, 1957-1959.

    Terdapat tiga hal menonjol dalam buku ini. Pertama, kenyataan, memang benarpara ahli sejarah di Indonesia sangat jarang menaruh perhatian pada sejarahekonomi periode kontemporer. Padahal perubahan struktur ekonomi merupakanbagian penting dari strategi perjuangan elite politik sejak tahun 1920-an.Kemenangan politik yang diperoleh melalui perjuangan bersenjata (1945-50) danpenyerahan kedaulatan 1949, bagi kebanyakan elite politik tersebut hanyasebagian saja dari kemenangan. Maka tidaklah mengherankan kalau banyak

    kalangan dalam tahun 1950-an belum puas. Selain masalah Irian Barat, masalahekonomi juga menjadi target dari perjuangan mereka ketika itu. Keistimewaandari buku ini adalah adanya upaya untuk menjelaskan faktor-faktor apa yangakhirnya mengubah ekonomi kolonial ini menjadi ekonomi nasional.

    Keistimewaan kedua adalah metodologi eksplanasi strukturis yang digunakandalam buku ini. Pendekatan dalam ilmu sejarah yang muncul sejak tahun 1980-anitu, tidak sekedar mempelajari struktur sosial, tetapi (sejalan dengan kaidah-kaidah ilmu sejarah), mempelajari perubahannya. Mekanisme perubahan itubukan terkandung dalam struktur sosial, tetapi dalam peristiwa (tindakan individuatau kelompok) yang bersimbiose dengan struktur sosial. Tujuan dari pendekatan

    strukturis adalah menemukan causal mechanism dari perubahan struktural itu,seperti halnya peranan elite politik dan pemerintah dalam buku ini. Namundemikian perubahan sosial tidak selalu membawa hasil seperti yang diharapkan(intended results). Sangat sering perubahan sosial justru membawa hasil yangtidak diharapkan (unintended results). Buku ini menunjukkan, bahwa peristiwa-peristiwa di tahun 1950-an itu ternyata berakibat pada menguatnya peranan negaradalam ekonomi.

    Kenyataan itu menghadapkan kita pada pertanyaan, apakah situasi ekonomiIndonesia pasca-kolonial merupakan variasi dari apa yang oleh Boeke di masapenjajahan disebut sebagai ekonomi dualis, atau bahkan yang juga diartikan

    sebagai ekonomi dependensia?

    Keistimewaan ketiga dari buku ini adalah kelengkapan teknis ilmu sejarah.Penulis tidak saja menggunakan sumber-sumber sekunder (buku-buku), tetapiketerangan primer dalam kearsipan yang menjadi prasyarat utama dalampenelitian sejarah, telah dimanfaatkan dengan benar. Sumber kearsipan di ArsipNasional RI, arsip Sekneg, bahkan arsip BI, dimanfaatkan penulis sesuai metodepenelitian sejarah.

    Sehingga, selain menampilkan eksplanasi kausal dan obyektivitas yang memangdikejar dalam ilmu sejarah, buku ini juga menampilkan keterangan-keterangan

    yang orisinal (dari bahan kearsipan tersebut) dan kronologi yang konsisten.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    4/120

    ii

    Diharapkan dalam waktu-waktu mendatang penulis buku ini akan menghasilkanstudi-studi sejarah yang mutunya sama dengan buku ini, bahkan lebih baik lagi.Selain itu diharapkan pula agar lebih banyak lagi ahli sejarah Indonesiamengambil bagian dalam upaya penelitian secara ilmiah sebagai bagian dari

    upaya mencerdaskan bangsa.

    Jakarta, 13 Maret 2001

    Prof.Dr. R.Z. Leirissa

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    5/120

    iii

    Daftar Isi

    Kata Pengantar ...................................................................................................... i

    Daftar Isi ............................................................................................................... iii

    Pendahuluan.......................................................................................................... 1

    Satu

    Menuju Ekonomi Nasional................................................................................... 8Keluar dari Belenggu Kolonial ................................................................. 8Penerapan Berbagai Pola Kebijakan ....................................................... 10

    Masalah-Masalah yang harus Diatasi ..................................................... 15Dominasi Perusahaan-Perusahaan Belanda ............................................ 19Perkembangan Masalah Irian Barat ........................................................ 23

    Dua

    Pengambilalihan Perusahaan-Perusahaan Belanda ........................................ 28Kontroversi terhadap Modal Asing......................................................... 28Pengambilalihan sebagai Bentuk Kedaulatan Politik ............................. 33Meningkatnya Peranan Serikat-Serikat Buruh........................................ 38Tindakan Pengambilalihan...................................................................... 45

    Tiga

    Terbentuknya Keseimbangan yang Baru......................................................... 53Berbagai Reaksi Terhadap Pengambilalihan .......................................... 53Perkembangan Ekonomi Setelah Pengambilalihan................................. 58Pembentukan Perusahaan-Perusahaan Baru ........................................... 62Menguatnya Peranan Negara .................................................................. 67

    Penutup

    Bibliografi

    Lampiran-Lampiran

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    6/120

    1

    Pendahuluan

    Seperti kecenderungan umum yang terjadi di negara-negara yang baru lepas daribelenggu kolonialisme sekitar pertengahan abad dua puluh, Indonesia setelahmendapat kedaulatan secara penuh pada tahun 1949 juga menghadapi masalahperekonomian yang sangat mendesak untuk segera diatasi. Masalah pokok itusecara garis besar antara lain: pertama, tugas untuk merehabilitasi perekonomiannasional yang telah mengalami kerusakan besar setelah pendudukan Jepang danperang kemerdekaan; kedua, tuntutan masyarakat luas untuk merombak ekonomikolonial menjadi ekonomi nasional (Thee, 1996:4).

    Memasuki dekade 1950-an sektor ekonomi modern Indonesia masih didominasiperusahaan-perusahaan milik Belanda. perusahaan-perusahaan Belanda tersebut

    telah beroperasi sejak masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda masihberkuasa di Indonesia.

    Terkenal pada saat itu lima besar perusahaan Belanda yang disebut dengan TheBig Five, yaitu; Jacobson & van den Berg, Internatio, Borneo-SumatraMaatschappij (Borsumij), Lindeteves, dan Geo Wehry (Muhaimin, 1991:30).Keadaan itu menunjukkan tidak adanya perubahan penting yang terjadi dalamstruktur perekonomian Indonesia meskipun kemerdekaan politik telah dicapaisecara penuh.

    Menghadapi situasi semacam itu, muncul berbagai pemikiran ekonomi dari para

    tokoh pemimpin Indonesia. Muncul pandangan yang dikenal dengan ekonominasional atau nasionalisme ekonomi. Perumusan tentang aspirasi tersebut secaragaris besar mencakup tiga aspek utama. Pertama, suatu perekonomian yangberagam dan stabil, dalam arti ditiadakannya ketergantungan yang besar terhadapekspor bahan mentah. Kedua, suatu perekonomian yang berkembang dan makmuratau pembangunan ekonomi. Ketiga, suatu perekonomian pribumi, yang berartidominasi ekonomi Barat dan etnis Cina harus dialihkan kepada orang-orangIndonesia (Muhaimin, 1991: 22).

    Dari ketiga aspek di atas yang menjadi masalah ialah menentukan prioritas manayang harus didahulukan. Bila dihadapkan pada situasi untuk memilih, para

    pemimpin pada periode 1950-1957 memutuskan tidak melaksanakan kebijakanyang berkaitan dengan aspek ketiga jika hal itu pada akhirnya bertentangandengan tujuan kedua aspek yang pertama.

    Sedangkan ciri utama ekonomi pasca revolusi Indonesia di atas tingkat desadapat dikatakan sangat kuat bercorak kapitalis. Investasi modal asing masihkuat (modal Belanda yang di antaranya berupa lima perusahaan di atas, jika ditotal

    jumlahnya mencapai satu milyar dolar Amerika), namun secara politispengaruhnya jauh berkurang dibandingkan dengan masa kolonial (Kahin danKahin, 1997:46).

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    7/120

    2

    Secara umum karakteristik para pemimpin politik Indonesia pasca revolusi ialahjumlahnya yang sedikit dan latar belakang pendidikan yang pada umumnya sama.Keadaan itu menyebabkan adanya keseragaman pendekatan terhadap masalah-masalah sosial ekonomi dan sebagian besar dari mereka menganut sosialisme

    dengan varian yang berbeda. Dengan demikian dunia usaha Barat di Indonesiasaat itu harus menghadapi suatu pemerintahan yang sebagian besar pemimpinnyatidak menyenangi peningkatan modal asing dan menganut wawasan ekonomisosialis.

    Fenomena paling menonjol dalam pemerintahan Demokrasi Parlementer yangdikembangkan di Indonesia antara tahun 1950-1959, menyangkut tidak adanyakestabilan politik karena pemerintahan yang jatuh bangun. Dalam periode tersebutterdapat tujuh pemerintahan dan tidak ada satu pun yang dapat bertahan lebih daridua tahun. Meski tiga pemerintahan yang pertama dapat dinilai relatif berhasildalam bidang ekonomi, namun periode Demokrasi Parlementer diakhiri dengan

    berbagai masalah di bidang politik dan ekonomi yang sampai pada tingkat krisis(Mas'oed, 1989:30).

    Dari ketiga kabinet pertama sejak kabinet Natsir, kebijakan perekonomianIndonesia bertumpu kepada kelompok moderat atau orang-orang yang lebihmengutamakan pendekatan pragmatis terhadap masalah perekonomian. Tokoh-tokoh dari kelompok ini antara lain Soemitro Djojohadikusumo dari PartaiSosialis Indonesia (PSI), Sjarifudin Prawiranegara dan Jusuf Wibisono dariMasjumi dan Wilopo dari Partai Nasional Indonesia (PNI).

    Di pihak lain terdapat kelompok radikal yang terdiri dari para pemimpin Partai

    Komunis Indonesia dan para pemimpin nasionalis kiri yang pandangannyabertentangan dengan kelompok pragmatis terutama dalam kaitannya dengankeberadaan perusahaan-perusahaan asing (Muhaimin, 1991:22-23). Kelompokmoderat dapat menyetujui berbagai kegiatan perusahaan-perusahaan asingtersebut dengan pertimbangan-pertimbangan pragmatis dan moderat, sementarakelompok kedua lebih menghendaki perubahan struktural yang mendasar dalamperekonomian.

    Aspirasi yang menghendaki perubahan struktural yang mendasar kemudianmemperoleh kesempatan untuk lebih terartikulasi ketika tercipta momentumakibat ketegangan hubungan Indonesia Belanda dalam masalah Irian Barat.

    Dalam situasi demikian, kaitan antara perkembangan politik dan situasiperekonomian tampak sangat jelas saling mempengaruhi. Untuk memahamiproses redistribusi kekuasaan dan kekayaan setelah terjadinya nasionalisasi,analisa ekonomi-politik menekankan asumsi: karena kelangkaan sumber daya,tidak ada kebijakan politik yang bisa memuaskan semua pihak (Mas'oed,1989: xvii).

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    8/120

    3

    Sementara itu, perdebatan tentang ideologi negara yang berlarut, meningkatnyakekuatan komunis, ketidak-efektifan pemerintah pusat dalam menangani masalahdaerah, dan perpecahan dwitunggal Soekarno-Hatta, telah menyebabkanmunculnya pergolakan daerah berupa PRRI di Sumatra dan Permesta di Sulawesi.

    Semua permasalahan yang dihadapi Indonesia tersebut berpuncak padaditinggalkannya sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer Kabinet AliSastroamidjojo ke II meletakkan jabatannya pada tanggal 14 Maret 1957 dankemudian disusul dengan pernyataan keadaan darurat perang oleh PresidenSoekarno (Ricklefs, 1991:386).

    Pada saat yang sama, hubungan dengan Belanda juga terus memburuk. MasalahIrian Barat menjadi ganjalan utama dalam hubungan antara Indonesia denganBelanda. Konferensi Meja Bundar tidak menyertakan Irian Barat dalamkesepakatan wilayah kedaulatan yang diserahkan oleh Belanda. Penyelesaianmasalah tersebut menjadi berlarut-larut karena penolakan Belanda untuk

    merundingkan penyerahan Irian Barat kepada Indonesia.

    Pada akhir bulan November 1957 terjadi dua kejadian penting. Pada tanggal 29November Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) gagal mengesahkan suatu resolusiyang menghimbau agar Belanda merundingkan suatu penyelesaian mengenaimasalah Irian.

    Sedangkan pada tanggal 30 November terjadi usaha pembunuhan terhadapPresiden Soekarno dalam Peristiwa Cikini. Gagalnya resolusi masalah Irian diPBB mengakibatkan terjadinya ledakan radikalisme anti Belanda. Pada tanggal 3Desember serikat-serikat buruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai

    Nasional Indonesia (PNI) mulai mengambil alih perusahaan-perusahaan dankantor-kantor dagang Belanda.

    Gerakan tersebut menandai dimulainya nasionalisasi perusahaan-perusahaanBelanda yang didukung oleh pemerintah Indonesia. Dukungan pemerintah terlihatnyata pada tanggal 5 Desember dengan keluarnya perintah pengusiran olehDepartemen Kehakiman terhadap 46.000 warga negara Belanda yang ada diIndonesia. Pada tanggal 13 Desember pada waktu hampir semua perusahaanBelanda telah diambil alih, Angkatan Darat (AD) menetapkan penguasaan atasperusahaan-perusahaan yang telah diambil alih tersebut. Tindakan ini dilakukanAD untuk menghindarkan jatuhnya perusahaan-perusahaan tersebut ke tangan

    komunis (Dicket.al., 1999:211). Nasionalisasi menyebabkan terjadinyaperubahan fundamental dalam struktur ekonomi Indonesia.

    Selama terjadinya nasionalisasi kepemilikan dari 90% produksi perkebunanberalih ke tangan pemerintah. Demikian juga dengan 60% nilai perdagangan luarnegeri dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank-bank, perkapalandan sektor jasa (Robison, 1986:72). Semua perusahaan yang diambil alih tidakdiubah menjadi perusahaan swasta, namun menjadi perusahaan milik negara.Dalam bidang perekonomian, nasionalisasi mengakibatkan turunnya secaradrastis pengaruh Belanda dalam ekonomi Indonesia. Menjelang akhir tahun 1958pemerintah mengeluarkan peraturan resmi untuk menasionalisasikan semua

    perusahaan Belanda.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    9/120

    4

    Pada umumnya tidak ada persiapan sebelumnya untuk melakukan suatunasionalisasi yang terencana. Contoh paling jelas terlihat dalam pengambilalihanperusahaan perkapalan Belanda Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) yangdilakukan ketika kapal-kapal milik perusahaan tersebut sedang berada di laut.

    Karenanya, dengan mudah Belanda kemudian memerintahkan kapal-kapaltersebut untuk berlayar ke pelabuhan-pelabuhan terdekat yang berada di luarwilayah Indonesia.

    Ketidaksiapan untuk segera mencari pengganti kapal-kapal Belanda, menyebabkankelumpuhan sektor hubungan laut yang kemudian berdampak pada penurunanvolume perdagangan antarpulau. Kendala lainnya ialah terbatasnya tenaga ahliuntuk mengelola perusahaan-perusahaan yang telah dinasionalisasi, dan berbagaireaksi menentang dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri terhadap tindakannasionalisasi tersebut. Semua itu menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yangmembuat perekonomian Indonesia yang sudah lemah mendapat tekanan-tekanan

    yang lebih besar lagi (Kahin dan Kahin, 1997:139).

    Sampai saat ini, penulisan tentang sejarah ekonomi Indonesia yang membahasperiode pasca revolusi sampai pertengahan tahun 1960-an belum banyakdilakukan. Sementara perkembangan politik di Indonesia pasca revolusi telahmendapat perhatian yang cukup dari para peneliti, termasuk dari disiplin ilmusejarah. Ada beberapa karya penting yang menyangkut dekade 1950-an, dan salahsatu yang terpenting adalah kajian Feith tentang masa pemerintahan DemokrasiParlementer di Indonesia (Feith, 1962). Kajian lainnya yang periodenyamelingkupi periode yang dibahas dalam buku ini ialah karya Lev (Lev, 1966) yangmenekankan perkembangan politik dalam masa transisi menuju periode

    Demokrasi Terpimpin. Karya-karya lainnya ialah tentang peristiwa pemberontakanPRRI/Permesta yang periodenya melingkupi tahun 1956-1958.

    Buku ini hendak membahas keterkaitan antara masalah ekonomi dan politik diIndonesia dalam masa peralihan antara periode Demokrasi Parlementer menujuperiode Demokrasi Terpimpin, dengan fokus utama pada masalah nasionalisasiperusahaan-perusahaan Belanda antara tahun 1957-1959. Terjadinya nasionalisasi,dalam waktu singkat telah menambah secara pesat jumlah perusahaan miliknegara. Perkembangan situasi tersebut kemudian menimbulkan berbagai masalahyang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia.

    Meskipun terdapat beberapa karya lain juga menyinggung kurun periode yangdibicarakan dalam buku ini seperti yang diutarakan di atas, namun kebanyakandari karya-karya tersebut tidak secara khusus membahas masalah nasionalisasiperusahaan-perusahaan Belanda. Dengan demikian buku ini memiliki arti pentinguntuk mengisi kekosongan pembahasan masalah tersebut.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    10/120

    5

    Berdasarkan pemaparan di atas terdapat beberapa permasalahan yang akandidiskusikan dalam buku ini. Pertama, bagaimana karakteristik ekonomi Indonesiadalam dekade 1950-an? Kedua, apakah rencana program perekonomianpemerintah yang telah ditetapkan dapat dijalankan? Ketiga, bagaimana reaksi yang

    muncul dari dalam dan luar negeri terhadap nasionalisasi perusahaan-perusahaanBelanda? Keempat, apa dampak yang diakibatkan oleh nasionalisasi tersebutterhadap kondisi ekonomi dan politik saat itu?

    Sebagai kerangka teori untuk menjawab permasalahan tersebut akan digunakanmetodologi strukturis. Tujuan utama dari pendekatan strukturis (Llyod,1993) ialahmenampilkan realitas dalam bentukcausal factor yang tidak tertangkap olehpancaindera. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah sepertipemberontakan, revolusi dan perubahan sosial merupakan fenomena kasat mata.Untuk mengetahui jalannya peristiwa tersebut, orang dapat membaca dari sumberdokumen yang tersedia. Tetapi causal factoryang merupakan penyebab terjadinya

    peristiwa tersebut tidak muncul secara empiris dalam sumber sejarah, karenatersembunyi dalam struktur sosial.

    Sebagai causal, factordari suatu perubahan sosial, menurut metodologi strukturisadalah unsur yang justru berasal dari dalam struktur itu sendiri (jadi unsur intern).Secara ontologis, struktur sosial memiliki kekuatan yang mengekang danmenentukan (constraining), sedangkan individu atau kelompok sosial bertindaksebagai agent of change yang menginginkan perubahan struktural dan memilikikemampuan untuk melakukan hal tersebut (enabling). Interaksi antara agent(peristiwa) yang enabling dengan struktur sosial yang constraining adalah intipokok dari pendekatan strukturis. Sasaran utama dari proses tersebut adalah

    menemukan causal power yang obyektif.

    Untuk penelitian dan penulisan buku ini, digunakan berbagai sumber baik primermaupun sekunder yang tersedia di berbagai lembaga. Lembaga yang utama bagipenelitian sumber primer adalah Arsip Nasional Republik Indonesia. Selain itupenelitian sumber primer juga dilakukan pada; Arsip Sekretariat Negara RepublikIndonesia, Arsip Bank Indonesia dan Perpustakaan Nasional Indonesia. Sebuahkarya sejarah yang ideal harus dapat menelusuri semua sumber yang tersedia.Namun ada beberapa kesulitan untuk melakukan hal tersebut. Pertama, tidaksemua sumber primer dapat ditemukan atau dalam kondisi yang baik. Arsip-arsipperusahaan Belanda yang pernah beroperasi di Indonesia sulit ditemukan

    mengingat perusahaan-perusahaan tersebut sudah diambil alih oleh pemerintahIndonesia. Dan seperti telah dimaklumi, kesadaran tentang pentingnya arsip masihsangat lemah di antara orang Indonesia. Kedua, kesulitan mendapatkan aksesuntuk dapat meneliti arsip. Masalah birokrasi yang berlarut merupakan hambatanutama. Di salah satu lembaga yang akhirnya bisa diteliti arsipnya, pengurusan ijinmemakan waktu hampir dua bulan. Ketiga, keterbatasan waktu untuk meneliti.Meskipun sesungguhnya faktor ini merupakan tantangan yang dihadapi olehhampir semua peneliti.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    11/120

    6

    Sumber primer yang terdiri sumber tertulis seperti arsip, koran akan digabungkandengan sumber lisan yang didapatkan dari wawancara dengan beberapanarasumber yang menjadi pelaku maupun saksi dari peristiwa dan tema tersebut.Sedangkan sumber sekunder yang digunakan berupa buku-buku, artikel-artikel

    ilmiah dan prasaran-prasaran ilmiah yang berkaitan dengan tema penelitian.

    Buku ini merupakan hasil penyempurnaan dari hasil penelitian tesis S2.Sebagaimana judulnya, fokus masalah yang akan dibicarakan dalam buku ini ialahpenguatan peran ekonomi negara sebagai akibat dari pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1957-1959. Dalam bab ke-1 akan dibahasberbagai masalah yang muncul dalam ekonomi nasional pasca kemerdekaanIndonesia. Bab ke-2 akan membahas berbagai aspek yang berkaitan denganpengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda, dalam hal ini kontroversiterhadap kehadiran modal asing dan proses terjadinya pengambilalihan.Sedangkan pada bab ke-3 fokus pembahasan mengenai terbentuknya

    keseimbangan politik dan ekonomi yang baru setelah terjadinya pengambilalihan;yaitu ditandai dengan penguatan peran negara dalam ekonomi nasional.

    Penulisan buku ini berhasil diselesaikan dengan mendapat bantuan dari berbagaipihak. Penyebutan nama-nama mereka berikut ini kiranya tidak dapatmenggantikan segala kebaikan yang telah saya terima. Ucapan terima kasihpertama-tama ingin saya sampaikan kepada DR. Susanto Zuhdi yang berkenanmenjadi pembimbing sejak penyusunan rencana penelitian hingga penulisan tesis.Terima kasih juga saya haturkan kepada Prof. DR. R.Z. Leirissa, Prof. Dr. A.B.Lapian, Prof. Dr. Maswadi Rauf dan Dr. Masyhuri atas nasihat, pemikiran danbimbingannya yang sangat berharga."

    Dalam penelusuran sumber primer saya mendapat bantuan dari Bapak Hutasoityang bertugas di lembaga arsip Bank Indonesia dan Ibu Lies dari bagian arsipSekretariat Negara Republik Indonesia. Sedangkan penelusuran sumber lisanbanyak dibantu oleh kebaikan hati 'ayah' Chairul Basri yang membuka jalan untukmewawancarai beberapa narasumber yang masih dapat ditemui. Pada kesempatanini saya menyampaikan terima kasih kepada Bapak Moes Joenoes, Bapak IslamSalim, Bapak Martiman dan Bapak Soermano. Beliau-beliau tersebut telahbersedia meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.

    Kepada rekan-rekan di Jurusan sejarah FSUI saya juga mengucapkan terima kasih

    atas perhatian dan dorongannya. Demikian juga kepada teman-teman mahasiswadi Program Studi Sejarah, terima kasih atas pertemanan dan persahabatan yangtelah kita jalin.

    Buku ini tidak akan mungkin terwujud tanpa adanya kasih sayang dan pengertiandari keluarga. Karenanya, saya ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasihdari lubuk hati terdalam kepada Bapak dan Ibu. Bapak adalah sumber inspirasiyang selalu mengingatkan saya bahwa hidup seorang manusia haruslahbermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Sedangkan Ibu adalah suri teladandalam sikap kesabaran dan ketabahan.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    12/120

    7

    Saya juga menghaturkan rasa hormat dan terima kasih kepada Bapak dan Ibumertua saya. Perhatian dan kasih sayang beliau berdua merupakan dorongan yangtidak ternilai. Selama ini saya sangat beruntung karena mendapat curahan cintakasih dari seorang istri yang sangat mengerti pilihan hidup yang saya tempuh.

    Segala pengertian, kesabaran dan bantuannya merupakan sumber kekuatan bagisaya.

    Tidak lupa, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak penerbitPustaka Sinar Harapan. Terutama kepada Bapak Aristides Katoppo, Ibu StellaWarouw, dan Mbak Iswanti. Akhir kata, buku ini diterbitkan dengan harapandapat turut memberi andil bagi pengembangan penelitian dan penulisan sejarahIndonesia.

    Jakarta, Maret 2001Bondan Kanumoyoso

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    13/120

    8

    satu

    Menuju Ekonomi NasionalKegiatan Belanda dalam melakukan eksploitasi ekonomi di Nusantara dapatdikatakan telah dimulai sejak akhir abad ke-17 melalui maskapai dagang VOC.Memasuki abad ke-19 kegiatan eksploitasi dilanjutkan oleh pemerintah kolonialHindia-Belanda hingga berlakunya Undang-Undang Agraria tahun 1870. Denganberlakunya undang-undang tersebut prinsip eksploitasi masih dijalankan, namunperanan utama beralih dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda kepada pihakswasta. Secara keseluruhan sektor modern perekonomian selama periode Hindia-Belanda (abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20) dikuasai pihak Eropa

    (dalam hal ini khususnya modal Belanda) yang lemah kaitannya dengan ekonomipertanian penduduk pribumi.

    Aspirasi akan pembangunan ekonomi yang pesat sering disuarakan selamaperjuangan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan tujuan utama dari para pembuatkeputusan setelah kemerdekaan Indonesia ialah menghilangkan apa yang dikenalsebagai ekonomi kolonial. Di dalamnya juga terkandung gagasan untukmembebaskan ekonomi Indonesia dari ketergantungan yang besar sekali padasektor pertanian serta ekspor bahan mentah, dan untuk menciptakan sistemperekonomian yang lebih seimbang.

    Pengaruh dari sistem politik dan ekonomi pemerintah kolonial Belanda, telahmenyebabkan dominasi asing terhadap seluruh sumber daya ekonomi yangpenting, bahkan hingga beberapa tahun kemudian sesudah Indonesia merdeka.Dalam kondisi demikian, tidak terhindarkan muncul sentimen anti-asing dikalangan orang Indonesia. Pada perkembangan penting berikutnya, muncultekanan politik bagi pribumisasi pemilikan.

    Keluar dari Belenggu Kolonial

    Selama periode revolusi kemerdekaan (1945-1949), para pemimpin politikIndonesia telah mulai mencoba merumuskan konsep tentang ekonomi nasional

    dan mengartikulasikannya untuk menggantikan warisan ekonomi kolonial.1

    Secara sederhana, aspirasi mereka dapat dibagi dalam dua arus utama, pertamaialah para ekonom pragmatis yang berpandangan bahwa investasi asing,sementara diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Serangan merekaditujukan sebatas pada 'kapitalisme jahat' yang dilakukan para imperialis yangmengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.

    1 Konsep ekonomi nasional digunakan oleh Sukarno dan Hatta pada masa pendudukan Jepang (Sutter,

    1959: 125-128, 260-262), dan oleh semua partai politik besar pada akhir dekade 1940 (Kahin, 1952: bab10; Sutter, 1959: I 12-120).

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    14/120

    9

    Pandangan kedua mewakili sikap ekonomi yang lebih radikal. Kaum komunis dannasionalis kiri berpendapat bahwa penyitaan kekayaan pihak asing sajalah yangmampu membebaskan perekonomian Indonesia dari hambatan-hambatan kaumimperialis. Mereka berpendapat bahwa perusahaan negara menjadi sarana tepat

    untuk membangun perekonomian nasional yang terpadu.2

    Kedua pandangan utama tersebut tidak dengan sendirinya saling berlawanan,bahkan keduanya dikembangkan dengan hasil yang cukup baik selama periodedemokrasi parlementer. Kendati demikian, terdapat ketegangan antara keduanya,karena perjuangan untuk memupus dominasi ekonomi asing bertentangan denganinvestasi besar-besaran yang diperlukan untuk membangun industri-industri baru.

    Jalan keluar yang diupayakan dalam rangka meredakan ketegangan antara duapandangan tersebut ialah munculnya pendapat untuk memberikan peranan utamaharus diberikan kepada negara (Chalmers, 1996:100). Setidaknya, perusahaan-

    perusahaan negara sajalah yang pada awalnya memiliki sumber daya ekonomimaupun legitimasi politik yang diperlukan untuk menempatkan perekonomian dibawah kontrol nasional. Dalam tahun 1950-an, hampir seluruh pemimpin politikmendukung penguasaan negara atas sektor-sektor ekonomi yang vital.

    Dalam pernyataan yang menentukan mengenai kebijakan ekonomi luar negeri,pada bulan Februari 1950 Presiden Soekarno menyatakan bahwa nasionalisasimerupakan soal bagi masa depan yang jauh di muka. Dan penciptaanperekonomian nasional terlebih dahulu menuntut mobilisasi semua sumber modal,dari dalam maupun luar negeri (Sutter, 1959: 1107-1108).

    Meski demikian, terdapat keinginan yang kuat di antara para pemimpin politikuntuk terus memajukan para pengusaha pribumi. Semua kekuatan politik yang adadi Indonesia mendukung pribumisasi pemilikan sektor-sektor ekonomi yangpenting.3 Tetapi jika sampai pada cara pelaksanaannya, maka perbedaan di antarapara ekonom pragmatis yang banyak merumuskan kebijakan ekonomi akanmuncul.

    2 Pelopor dari pandangan tersebut adalah Tan Malaka melalui berbagai tulisannya dan terutama minimumprogram yang mendapat dukungan luas selama perjuangan revolusi kemerdekaan (Kahin, 1952: 172-178).

    3 Gerakan paling ekstrim yang menganjurkan kebijakan pribumisasi ekonomi secara tegas adalah gerakanrasialis yang dilancarkan pada pertengahan tahun 1950-an oleh Assaat, politisi terpandang tanpa partai.Assaat menegaskan perlunya menarik garis pemisah yang tegas antara warga negara keturunan Tionghoadan warga negara Indonesia asli, serta mendesakkan pemberlakuan undang-undang yang menetapkan

    bahwa semua perusahaan nasional harus dikelola dan didominasi pemilikannya oleh kaum pribumi (Tan,1976:34-35).

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    15/120

    10

    Kalangan moderat menyukai langkah pribumisme kredit (credit indigenism) dimana intervensi negara terbatas pada pemberian subsidi kepada para pengusahapribumi, dan tidak lebih dari itu. Sedangkan mereka yang sedikit radikal di dalamporos ekonom pragmatis lebih setuju untuk menggunakan pribumisme dekrit

    (decree indigenism) dimana intervensi negara secara langsung digunakan untukmenjatah kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu bagi para pengusaha pribumi(Anspach, 1969:123-124). Bahkan jika perlu diambil tindakan pengusiran samasekali pihak asing dari sektor-sektor ekonomi tertentu.

    Semua perbedaan paham yang terdapat di kalangan pemimpin berhaluanpragmatis menjadi lenyap di hadapan serangan-serangan dari para kritisi beraliranradikal pada paruh kedua dasawarsa 1950. Tuntutan-tuntutan yang bercoraknasionalis terus meraih kekuatan politis, terutama karena dominasi modal Belandadalam sektor ekonomi terus berlanjut. Ketidakstabilan dunia politik akibat jatuhbangunnya kabinet menyebabkan sulitnya memastikan faktor-faktor terpenting

    dalam gelombang nasionalisme ekonomi yang memuncak.

    Namun ada satu hal yang patut digarisbawahi: kehadiran perusahaan-perusahaanasing (terutama milik Belanda) yang mengeruk keuntungan terbanyak sejak masakolonial, tidak dapat dipungkiri telah menyakitkan bagi para pemimpin Indonesia.Karenanya, intervensi negara dalam dunia ekonomi tahun 1950-an, di sampingbertolak dari keinginan untuk membentuk kelas menengah pribumi yang tangguh,

    juga bersumber dari sikap antipati terhadap modal asing itu sendiri.

    Penerapan Berbagai Pola Kebijakan

    Di tahun-tahun awal setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun1945, para pemimpin nasional hanya secara sepintas memperhatikan, isu-isupembangunan. Perjuangan secara fisik maupun diplomasi untuk mempertahankankemerdekaan dan melawan Belanda telah menyerap segenap perhatian mereka.Jika pun ada pembicaraan mengenai masa depan perekonomian Indonesia,fokusnya lebih ditujukan pada upaya rehabilitasi dan rekonstruksi untukmemperbaiki kehancuran yang diakibatkan oleh perang kemerdekaan.

    Meski demikian, bukan berarti pemerintah Indonesia yang baru terbentuk samasekali tidak memiliki suatu pola kebijakan pembangunan. Menghadapi berbagaikesulitan dalam perundingan dengan pihak Belanda, telah mendorong Presiden

    Sukarno untuk membentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi pada tanggal 12 April1947 (Esmara dan Cahyono, 2000:137-138). Panitia pemikir yang dipimpin olehMohammad Hatta tersebut bertugas menyiapkan rencana dan strategi bagipemerintah Republik Indonesia dalam menghadapi perundingan dengan Belandadan penyelesaian soal-soal pembangunan negara.4

    4

    Dokumen Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (Jakarta: 1947), seperti dikutip oleh Esmara dan Cahyono,2000: 138.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    16/120

    11

    Salah satu rencana yang berhasil disusun oleh Panitia pemikir siasat ialah PlanMengatur Ekonomi Indonesia. Dalam rencana tersebut Dicantumkan upaya untukmengalihkan kebijakan ekonomi politik Indonesia dari kepentingan Belanda kearah kemakmuran rakyat Indonesia. Prioritas utama bukan lagi ekonomi ekspor,

    seperti pada zaman kolonial Hindia Belanda, melainkan memacu daya beli rakyatsebesar-besarnya. Strategi yang ditempuh untuk mencapai prioritas tersebutdengan mengintensifkan usaha produksi dalam negeri, meningkatkankesejahteraan hidup, mempertinggi kecakapan dan kecerdasan rakyat, danmeningkatkan hubungan luar negeri.

    Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir tahun 1949, masalah perekonomianyang dihadapi Indonesia telah berkembang semakin kompleks. Dalam masa kerjakabinet pertama pasca penyerahan kedaulatan, yang dipimpin oleh MohammadNatsir dari Masjumi, pemerintah pada bulan April 1951 mengumumkan mulaidilaksanakannya Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) (Chalmers, 1996:104).

    Pada mulanya RUP hanya dirancang untuk jangka waktu tiga tahun (1951-1953),tetapi kemudian diperpanjang menjadi lima tahun sampai dengan 1955.

    RUP ditujukan sebagai suatu bagian integral dari kebijakan umum di bidangekonomi, dengan maksud membimbing berbagai kegiatan pemerintah dalamsektor industri, pertanian, dan pengawasan terhadap pembentukan perusahaan-perusahaan baru. Tujuan lainnya ialah mengkonsolidasikan usaha industrialisasidengan jalan mengaitkan industri besar dengan industri-industri kecil terutama didaerah pedesaan (Muhaimin, 1991:25). Sedangkan dalam jangka panjang, rencanaini dapat dikatakan sangat bercorak nasionalistis, yaitu mengurangiketergantungan Indonesia kepada kepentingan ekonomi asing (Glassburner,

    1971:85).

    Pola kebijakan pembangunan dalam RUP, dituangkan lebih lanjut dalam programpengembangan industri di Indonesia, atau lazim disebut sebagai Rencana UrgensiPerindustrian 1951-1952 (Esmara dan Cahyono, 2000:143). Di dalam rancangantersebut, dengan tegas dikemukakan bahwa dasar pokok dari kebijakan bukanlahmemberikan proteksi bagi pembangunan industri Indonesia. Melainkan lebihditujukan untuk menghapuskan proteksi yang selama ini diberikan kepadaperusahaan-perusahaan Belanda.

    Pemikiran yang terkandung dalam rancangan tersebut, merupakan perumusan dari

    berbagai gagasan yang sudah timbul sejak masa depresi ekonomi 1929, sampaiperiode pendudukan Jepang (Siahaan, 1986:190). Di masa kolonial, Hindia-Belanda sangat bergantung pada barang luar negeri. Ketika Perang Dunia I (1914-1917) meletus, hubungan laut antara Hindia-Belanda dan Eropa terputus.Akibatnya arus ekspor dan impor terhenti.

    Kemacetan dalam sektor perdagangan luar negeri tersebut berdampak padakeguncangan pasar dalam negeri. Malapetaka tersebut nyaris mengakibatkankehancuran perekonomian Hindia-Belanda. Sampai saat itu, barang-barangkonsumsi yang dibutuhkan rakyat Hindia-Belanda masih didatangkan dari luarnegeri, sehingga menimbulkan berbagai kesulitan.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    17/120

    12

    Kemampuan untuk dapat membayar kebutuhan impor sangat bergantung padafluktuasi perekonomian dunia. Padahal persediaan bahan baku untukmemproduksi berbagai barang konsumsi tersebut dihasilkan oleh Hindia-Belanda.Pengalaman pahit tersebut telah memunculkan beberapa gagasan untuk

    mengurangi dampak pengaruh luar terhadap perekonomian Indonesia.

    Gagasan untuk membangun perekonomian Indonesia membutuhkan dukungandari suatu kelas menengah pribumi yang tangguh. Dalam rangka membangunkelas menengah pribumi tersebut, pemerintah Indonesia melaksanakan ProgramBenteng.5 Dengan mencadangkan impor barang-barang tertentu bagi kelompok-kelompok bisnis pribumi, Program Benteng dimaksudkan untuk membukakesempatan bagi para pedagang pribumi membangun basis modal di bawahperlindungan proteksi pemerintah.

    Pada tahun 1950 bank-bank mulai menyediakan kredit lunak kepada pengusaha-

    pengusaha pribumi, sementara kementrian perindustrian menggunakanwewenangnya untuk mengutamakan perusahaan-perusahaan pribumi (Chalmers,1996:103). Beberapa lembaga bank yang dapat menyediakan bantuan kredit diantaranya adalah Bank Industri Negara (BIN) yang menyediakan kredit bagibidang pertanian, pertambangan, dan proyek-proyek industri; Bank NegaraIndonesia 1946 (BNI 46) sebagai penyedia kredit bagi para pengusaha yangbergerak di sektor ekspor dan impor; serta Yayasan Kredit yang dapatmenyediakan pinjaman uang tanpa suatu jaminan (Burger, 1975: 171).

    Dalam rentang periode parlementer; secara garis besar terdapat dua fase yangmemperlihatkan perbedaan yang kontras dalam pelaksanaan Program Benteng.

    Fase pertama adalah masa kekuasaan tiga kabinet yang awal6 setelah kembali kenegara kesatuan. Karakter politik ekonomi pada fase ini lebih menitikberatkanpada rasionalitas dan juga lebih realistis dalam merencanakan program kebijakan.Kabinet-kabinet pada periode ini terutama berusaha meningkatkan efisiensidengan menekan pengeluaran dan mencoba memperkecil anggaran belanja negarasecara realistis.7

    Selain itu, dipersiapkan usaha untuk melakukan pembangunan industri sertaprogram yang mendorong agar para pengusaha Indonesia lebih banyak terjun kebidang perdagangan terutama kegiatan impor. Pada masa ini kabinet-kabinettersebut sudah harus melawan desakan kuat yang menuntut nasionalisasi terhadap

    perusahaan-perusahaan asing. Namun pemerintah memiliki alasan bahwa tindakannasionalisasi hanya akan membawa kerugian karena kurangnya tenaga profesionalIndonesia dan aksi semacam itu hanya akan mempersulit masuknya modal asing(Bartlett, 1986: 92-93).

    5 Berbagai segi dari latar belakang dan pelaksanaan Program Benteng telah dibicarakan oleh Muhaimin(1990: 31-41, 75-91). Suatu penafsiran yang baik juga dilakukan oleh Robinson (1986: 42-65).

    6 Ketiga kabinet tersebut ialah; Kabinet Mohammad Natsir (September 1950-Maret 1951), KabinetSukiman (April 1951-Februari 1952), dan Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)

    7 Lihat misalnya pernyataan yang dikemukakan oleh Hatta dalam Noer (1990: 162-163, 548-557),

    rasionalisasi pada anggaran negara tidak jarang menimbulkan ketegangan, terutama jika menyangkutpersoalan militer, masalah ini antara lain diuraikan oleh Sundhaussen (1986: 102-111)

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    18/120

    13

    Tetapi dalam suasana yang dipenuhi harapan-harapan semasa revolusi yangmenginginkan perubahan cepat, sementara keadaan perekonomian masih suram,kebijakan kelompok moderat tersebut akhirnya menimbulkan oposisi darikelompok yang berpandangan lebih radikal. Sikap tersebut menandai fase kedua

    Program Benteng yang titik tolaknya dengan terbentuknya Kabinet AliSastroamidjojo yang pertama.

    Dalam masalah luar negeri, Kabinet Ali mulai aktif menaikkan posisi Indonesiadalam perimbangan global dengan menempatkan Indonesia sebagai salah satupelopor pemimpin negara-negara dunia ketiga. Di dalam negeri, Ali mengambillangkah yang lebih tegas. Jika pada awal tahun 1953 para importir pribumi hanyamenerima 37,9 % dari total ekspor-impor, maka mereka telah menerima 80-90%pada bulan ke-14 pemerintahan Kabinet Ali. Jumlah importir pribumi jugameningkat pesat. Kelompok Benteng yang berjumlah 700 perusahaan pada awalkabinet, hingga bulan November 1954 jumlahnya telah meningkat sampai 4000-

    5000 perusahaan (Feith, 1962: 374-375).

    Namun, justru dalam masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo yangpertama, timbul inflasi serius yang mengakibatkan perekonomian menjadisemakin kurang produktif. Masalah tersebut ditambah dengan berkembangnyafavoritisme dari PNI (Partai Nasional Indonesia), partai Ali Sastroamidjojoberasal, dalam pengangkatan pegawai negeri. Sebagai akibatnya sejumlah besarpegawai negeri asal Jawa menduduki posisi yang tinggi di luar Jawa.

    Masalah-masalah tersebut masih ditambah lagi dengan suasana kampanyepemilihan umum yang pertama, dengan alokasi dana lebih banyak disalurkan ke

    Jawa yang jumlah penduduknya (pemilih) terbesar. Potensi ketegangan nasionalsemakin meningkat dan tidak terhindarkan lagi, baik secara politik maupunekonomi.

    Pada bulan Agustus 1955, Kabinet Ali Sastroamidjojo digantikan oleh KabinetBurhanuddin Harahap. Kabinet ini meskipun berusia singkat, dianggap cukupberhasil dalam mencapai sasaran-sasaran pembangunan ekonomi jangka pendek.Prestasi itu dicapai melalui perluasan pembentukan modal dengan jalanmemperbaiki Program Benteng, membentuk Lembaga Alat-Alat PembayaranLuar Negeri yang baru, tetap mengizinkan beroperasinya modal asing, sertamemberikan bantuan kepada para pengusaha pribumi (Muhaimin, 1990:38).

    Dalam bidang politik luar negeri, Kabinet Burhanuddin Harahap telahmembatalkan persetujuan Konferensi Meja Bundar pada tanggal 13 Februari 1956(Glassburner, 1971:89). Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojoyang kedua (April 1956-Maret 1957) Program Benteng hanya sedikit sekalimendapat perhatian sampai akhirnya dihentikan sama sekali pada tahun 1957.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    19/120

    14

    Pada bulan September 1956, Rencana Lima Tahun 1956-1960, yang telahdisiapkan oleh Biro Perantjang Nasional (BPN) sejak tahun 1952, disetujuipelaksanaannya oleh kabinet. Berbeda dengan RUP yang sifatnya lebih umum,Rencana Lima Tahun secara keseluruhan bersifat eksplisit, teknis dan terperinci

    dan bahkan mencakup prioritas-prioritas proyek dari yang paling rendah. Jugaterdapat perbedaan penekanan yang tidak ada di dalam RUP, yaitu perlunya suatusistem perencanaan yang terpusat dan perlunya pemerintah memainkan perananyang lebih besar dalam melaksanakannya.

    Tujuan utama dari Rencana Lima Tahun adalah mendorong industri dasar;perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan jasa dalam sektorpublik, yang hasilnya diharapkan dapat mendorong penanaman modal dalamsektor swasta (Muhaimin, 1990:39). Tiap kementrian merancang berbagai proyekpembangunan berdasarkan skala prioritas yang telah ditetapkan BPN agar dapatsegera berhasil secara maksimal. Secara keseluruhan, pelaksanaan Rencana Lima

    Tahun sangat bergantung kepada laju inflasi dan kesinambungan trend-trendproduksi yang meningkat pada tahun-tahun sebelumnya.

    Pada kenyataannya, mulai awal tahun 1957 keamanan nasional mulai memburukakibat berbagai pergolakan di daerah. Dengan terjadinya pergolakan di daerahtersebut, telah menyebabkan terputusnya hubungan antara pusat dengan daerahdan meningkatnya berbagai kegiatan penyelundupan barang ke luar negeri.Sementara itu ketidakstabilan politik,8 telah mendorong terjadinya inflasi.Perkembangan tersebut telah menciptakan keadaan yang kurang kondusif bagipelaksanaan program pembangunan.

    Dalam situasi yang demikian, tuntutan-tuntutan ekonomi yang bercorak radikalterus meraih kekuatan politis, terutama lantaran berlanjutnya dominasiperusahaan-perusahaan Belanda terhadap perekonomian. Tanpa adanyapenguasaan terhadap sektor-sektor ekonomi yang penting, para pemimpinIndonesia dapat dikatakan hanya menjalankan fungsi administratif danpengawasan belaka terhadap perusahaan-perusahaan Belanda tersebut.

    Keadaan tersebut mengakibatkan pudarnya pengaruh kaum politisi moderat yangsejauh ini telah mendominasi perencanaan ekonomi. Pandangan moderat menjadikalah karena mereka lalai menyadari bahwa selama modal Belanda tetap hadir,setiap upaya pembangunan akan digagalkan oleh pihak oposisi yang hendak

    meraih kekuasaan (Thomas dan Panglaykim, 1973: 52).

    8 Berbagai ketegangan politik dipicu oleh kinerja kabinet Ali II yang kurang memuaskan dan perdebatan-perdebatan mengenai dasar negara yang berlarut dalam konstituante. Pembahasan yang komprehensif

    mengenai kegagalan sistem demokrasi parlementer dapat ditemukan pada Feith (1962), sedangkanpembahasan tentang konstituante telah dilakukan oleh Nasution (1995).

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    20/120

    15

    Masalah-Masalah yang harus Diatasi

    Masalah paling berat yang harus dihadapi oleh pemerintahan Indonesia sepanjangkurun tahun 1950-an adalah kelemahan di bidang administrasi negara. Sejak

    periode revolusi kemerdekaan berakhir pada akhir tahun 1949, pemerintahIndonesia yang berdaulat mulai memikul kewajiban untuk meningkatkankesejahteraan rakyat. Kewajiban itu merupakan salah satu di antara tugas-tugaspemerintah yangpaling mendesak untuk segera dilaksanakan. Berbagai upayaperbaikan yang kemudian dilaksanakan memerlukan peraturan pemerintah,perencanaan dan pengawasan yang seksama, serta lembaga pelayanan umum yangcakap dan memiliki sarana yang memadai.

    Sementara itu, sebagai dampak dari pendudukan Jepang (1942-1945) danperiodeperang kemerdekaan (1945-1949) telah mengakibatkan kehancuran bagiperekonomian Indonesia. Sebagian besar fasilitas komunikasi dan transportasi,

    instalasi minyak, perkebunan, dan beberapa usaha industri yang ada sejak masasebelum perang telah rusak berat atau hancur sama sekali (Kahin dan Kahin,l997:45). Masalah tersebut masih ditambah hutang yang harus dibayar olehIndonesia berdasarkan persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) sebagai hasilpelimpahan hutang dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

    Masa pemerintahan Indonesia di awal tahun 1950-an ditandai dengan adanyaketimpangan antara harapan dengan realita yang dihadapi. Harapan-harapan untukmewujudkan kedaulatan ekonomi sebagai hasil dari kedaulatan politik yang telahdicapai, tidak dapat diwujudkan dengan segera. Tingkat kesejahteraan penduduk

    justru merosot. Pada tahun 1951, pendapatan perkapita orang Indonesia sebanyak

    28,3 gulden, yang berarti lebih rendah dari pendapatan perkapita pada masamalaise Hindia-Belanda (1930), yaitu sebesar 30 gulden (Sjahrir, 1986:73).

    Dengan demikian, program pembangunan ekonomi seperti RUP dan ProgramBenteng telah dilaksanakan dalam kondisi ekonomi dengan tingkat kemakmuranyang rendah. Masalah lainnya ialah kurangnya pengalaman dari aparatur negaradalam melaksanakan dan mengawasi rencana tersebut secara birokratis. Meskipunsetiap pemerintahan yang silih berganti berusaha mewujudkan strukturperekonomian nasional secepatnya, namun jelas pada periode DemokrasiParlementer, jalan perubahan struktur ekonomi lebih bersifat evolusionerketimbang revolusioner.

    Pada tahun 1952-1953, anggaran bagi pelaksanaan RUP ditetapkan sekitar Rp.160juta dan dimaksudkan untuk membangun perusahaan dan pabrik-pabrik secarabertahap (Muhaimin, 1991:73). Sedangkan industri kecil diberi anggaran yangtidak begitu besar, hanya Rp.30 juta. Secara umum hasil yang dicapai dalampelaksanaan RUP, sangatlah minim dan lamban.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    21/120

    16

    Pembiayaan pembangunan pabrik-pabrik industri besar yang dianggap vitaldilakukan oleh pemerintah melalui Bank Industri Negara (BIN), maupun patunganantara swasta dan pemerintah. Pengelolaan pabrik-pabrik yang dibiayai negaranantinya akan diserahkan kepada koperasi-koperasi swasta atau manajemen

    gabungan antara swasta dan pemerintah. Namun secara umum pemerintah tetapberfungsi sebagai pemilik dan bertanggung jawab bagi pelaksanaan manajemen.

    Secara keseluruhan kinerja pabrik-pabrik tersebut mengecewakan karenakurangnya tenaga profesional yang berpengalaman di bidang manajemen.Demikian juga tenaga buruh yang ada kurang memadai, karena upah yangdisediakan tidak menarik. Masalah lainnya yang membelit adalah sedikitnya ahli-ahli di bidang teknik, administrasi negara yang buruk, tidak adanya koordinasiantara jawatan pemerintah dan penurunan keuangan negara.

    Upaya mempercepat pertumbuhan industri diupayakan dalam RUP dengan jalan

    memperbaiki dan memperluas beberapa lembaga penelitian. Di antaranya ialahLembaga Penelitian Industri, Lembaga Penelitian Kimia, Lembaga PengujiBahan, Lembaga Kulit, Lembaga Tekstil dan Lembaga Keramik (Siahaan,1996:229-231). Pemerintah merencanakan agar lembaga-lembaga penelitiantersebut dapat membantu para pengusaha melakukan studi kelayakan, perhitunganteknis atau laporan keuangan. Akan tetapi kurangnya personil yang terlatih,perlengkapan dan dana yang memadai telah menyebabkan sulitnya pengoperasianlembaga-lembaga tersebut.

    Masalah yang tidak terlalu berbeda juga dialami dalam pelaksanaan ProgramBenteng. Namun dalam pelaksanaan Program Benteng, permasalahan masih

    ditambah dengan penyalahgunaan dalam mengalokasikan lisensi impor. Semuakabinet yang memerintah pada periode 1950 sampai Maret 1955 diduga telahmemberikan lisensi impor atas dasar favoritisme dan pertimbangan-pertimbanganpolitik.

    Dalam Program Benteng terlihat jelas bahwa mereka yang menerima fasilitaslisensi impor bukanlah mereka yang memiliki potensi kewiraswastaan tinggi.Melainkan cenderung mereka yang mempunyai hubungan khusus dengankalangan birokrasi yang berwenang mendistribusikan lisensi dan kredit (Sutter,1959:1052). Akibatnya, kebanyakan pengusaha yang masuk Program Bentengtidak menjalankan perusahaan-perusahaan impor yang sesungguhnya. Mereka

    hanya membeli lisensi untuk memperoleh kemudahan fasilitas dari pemerintahdan menjualnya kepada pengusaha impor yang sesungguhnya yang kebanyakanadalah keturunan Tionghoa atau peranakan.9

    9 Konsep peranakan mengacu kepada imigran-imigran yang dilahirkan di Indonesia. Lawan peranakan

    ialah totok, yaitu orang Tionghoa Indonesia yang dilahirkan di Cina. Pembahasan mengenai perbedaandi antara dua konsep itu antara lain terdapat dalam Coppel (1994:30-3G)

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    22/120

    17

    Pada awal tahun 1955, direktur Kantor Pusat Urusan Impor (KPUI), AhmadPonsen, memperkirakan hanya terdapat sekitar 50 perusahaan impor yangbonafide, sedang 200 perusahaan impor lainnya hanya perusahaan impor 'papannama' (Sutter, 1959:1018-1021). Ini berarti bahwa lebih dari 90% importir yang

    terdaftar hanyalah merupakan penjual lisensi atau yang dikenal dengan importiraktentas (Dicket.al., 1999:203).

    Berbagai masalah yang muncul dalam pelaksanaan Program Benteng telahmenunjukkan bahwa upaya membangun suatu kelas menengah pribumi yang kuatbukanlah hal yang mudah. Celah-celah kelemahan di dalam peraturan-peraturanyang dikeluarkan, telah dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politikmaupun oleh para importir aktentas. Pelaksanaan Program Benteng lebihmendorong para pengusaha pribumi untuk mengejar keuntungan yang cepat,ketimbang bekerja keras menjadi pengusaha tangguh.

    Masalah lain yang cukup berpengaruh dalam periode Demokrasi Parlementeradalah masalah ketimpangan antara pusat dan daerah. Kurang dari setahun setelahpenyerahan kedaulatan, ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat mulaitampak (Kahin dan Kahin, 1997:67). Pemerintah telah dianggap gagal dalammengambil tindakan-tindakan efektif untuk mengembangkan perekonomian didaerah-daerah luar Jawa.

    Sejak masa kolonial Hindia-Belanda, pembangunan berjalan timpang di antaraPulau Jawa dan pulau-pulau di luar Jawa. Jawa menjadi daerah yang paling majudi sektor infrastruktur pemerintahan, pendidikan, sistem perhubungan, dansebagainya. Di Jawa terdapat pemerintahan pusat dan semua lembaga

    perdagangan, keuangan, pendidikan, serta agama. Kondisi di luar Jawa sangatjauh dibandingkan dengan kondisi di Pulau Jawa. Pembangunan tidakdiperhatikan, bahkan pembangunan infrastruktur dikembangkan sejauh hanyamendukung kepentingan-kepentingan pemerintah dan perdagangan.

    Bahkan lebih dari itu, Pulau Jawa yang dihuni oleh 45% dari seluruh pendudukIndonesia ini, untuk kelangsungan hidupnya sangat tergantung pada barang-barang impor. Barang-barang tersebut dibayar dengan pendapatan devisa melaluiekspor minyak, timah, karet, dan kopra dari luar Jawa. Situasi tersebut secarapotensial telah menyulut ketegangan, karena penduduk di luar Pulau Jawa yangmenghasilkan barang ekspor merasa dieksploitasi oleh orang Jawa (Feith,

    1962:27; Lev, 1966:3).

    Pada proses perkembangan terbentuknya negara kesatuan pada tahun 1950,penentangan-penentangan terhadap pemerintah pusat muncul semakin kuat. Jurubicara daerah mengecam pusat. Di satu pihak, tidak memberi otonomi padadaerah, namun di lain pihak, tidak memberi anggaran yang cukup (Feith,1962:487-488). Mereka merasa didominasi suku Jawa yang memegang bagianbesar posisi kunci dalam pemerintahan pusat dan dalam struktur pemerintahandaerah yang diatur dari pusat.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    23/120

    18

    Kebijakan penerapan sistem devisa yang dipaksakan oleh pemerintah pusatmembawa dampak yang besar terhadap luar Jawa dan menimbulkan protes yangmeluas. Program Benteng, yang terutama menguntungkan perusahaan-perusahaandagang di Jawa, justru merugikan para eksportir dan penghasil barang ekspor di

    luar Jawa (Feith, 1962,488).

    Pada pertengahan tahun 1950-an, ketidakpuasan yang semakin besar telahmendorong para panglima daerah, terutama di Sumatera Utara dan IndonesiaTimur; melakukan penyelundupan barang-barang komoditi. Mereka mulaimengekspor hasil-hasil daerah tanpa lisensi pemerintah pusat, dan menggunakanuang hasil perdagangan untuk membiayai pembangunan daerah. Praktekpenyelundupan yang dilakukan secara terang-terangan ini telah menantangkewibawaan pemerintah.10 Walaupun pemerintah pusat berusaha menghentikankegiatan penyelundupan ini tetapi tidak berhasil.

    Perkembangan dari situasi tersebut adalah munculnya berbagai tuntutan untukmemperoleh otonomi daerah yang lebih besar, yang disampaikan ke pemerintahpusat, tetapi tuntutan tersebut tidak mendapat jawaban yang memuaskan (Leirissa,1997:10-1l). Ketegangan ini akhirnya berujung pada pergolakan daerah yangdikenal dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diSumatera, dan Perjuangan Semesta Alam (PERMESTA) di Sulawesi.

    Akibat pergolakan daerah yang terjadi tenis-menenis, akhirnya mengancamkesatuan dan persatuan wilayah Republik Indonesia. Penentangan daerah terhadapdominasi pusat bukan hanya menunjukkan ketegangan potensial antara Jawadengan luar Jawa yang telah berlangsung sejak masa kolonial Hindia-Belanda.

    Pergolakan tersebut juga menunjukkan adanya konflik politik antara tokoh-tokohdaerah dengan pemerintah pusat, dan memperlihatkan bahwa pembangunanintegrasi ekonomi nasional lebih merupakan harapan ketimbang kenyataan.

    Diharapkan, terwujudnya integrasi ekonomi nasional dapat menghilangkandikotomi antara Jawa dan luar Jawa. Tetapi selain masalah dikotomi tersebut,gagasan untuk mewujudkan ekonomi nasional menghadapi tantangan lain yang

    juga tidak kalah besarnya. Tantangan tersebut ialah dominasi modal asing,terutama modal Belanda, dalam sektor-sektor penting ekonomi Indonesia yangmenyebabkan gagasan untuk mencapai kedaulatan ekonomi menemui hambatanbesar.

    10 Masalah penyelundupan yang terkenal antara lain terjadi di Bitung (Sulawesi Utara) dan Teluk Nibung

    (Sumatera Utara). Kasus-kasus tersebut merupakan bagian dari masalah perpecahan di dalam AngkatanDarat dan puncak dari pertentangan antara pusat dan daerah (Leirissa, 1997; Harvey, 1989).

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    24/120

    19

    Dominasi Perusahaan-Perusahaan Belanda

    Kegagalan dalam upaya untuk mewujudkan ekonomi nasional secepatnya,sebagian besar ditafsirkan oleh para pemimpin Indonesia sebagai kegagalan

    mengatasi dominasi perusahaan-perusahaan Belanda. Konferensi Meja Bundaryang ditandatangani para pemimpin republik di Den Haag pada tahun 1949memuat jaminan bahwa hak-hak yang diberikan kepada modal asing akandihormati. Dengan itu berarti perusahaan-perusahaan Belanda tetapmengendalikan sektor-sektor ekonomi yang utama.

    Modal asing di Indonesia sebelum tahun 1930, sebagian besar bergerak di bidangperkebunan dan pertambangan yang memang membawa keuntungan besar(Chalmers, 1996:97). Beberapa produsen asing mulai menanamkan modalnyapada penghujung tahun 1920-an, mengawali arus investasi asing yang semakinderas masuk pada era 1930-an. Investasi yang masuk tersebut mulai merambah ke

    bidang-bidang selain perkebunan dan pertambangan.

    Modal asing yang masuk itu antara lain pabrik perakitan General Motors, duabuah pabrik British and American Tobacco, sebuah pabrik tekstil Belanda yangbesar dan sebuah pabrik kapas Jerman. Sekitar tahun 1930-an Unilever membukasebuah pabrik sabun dan margarin, perusahaan Goodyear membuka pabrik ban.Dalam periode yang sama, perusahaan besar Belanda; Lindeteves memulaiproduksi cat. Di luar itu banyak sekali investasi asing yang membangun pabrikcat, tinta, sepeda, bola, lampu, listrik, radio, kosmetika dan baterai (Soehoed,1967:66).

    Sumber utama dari investasi asing yang masuk ke Indonesia kebanyakan berasaldari negeri Belanda. Maksud pemerintah kolonial mengijinkan masuknyainvestasi tersebut untuk melayani negeri induk (Belanda) dalam perekonomian ditanah jajahan. Pada awal pecah Perang Dunia II diperkirakan negeri Belandamemiliki pangsa investasi langsung di Hindia-Belanda sekitar 63%, diikuti olehInggris (14%) dan Amerika Serikat (7%) (Hill, 1990:11). Angka-angka ini masihmerupakan perkiraan kasar.

    Sekitar 80% dari modal swasta asing bukan Belanda bergerak dalam sektorperkebunan. Sebagai contoh; Inggris pada tahun 1922 menanam modalnya disektor perkebunan sebesar 245 juta gulden (77,5%), sedang dalam industri

    pengolahan hanya sebesar 55 juta gulden (22,5%) dari nilai investasi perkebunan(Siahaan, 1996:57). Pada saat yang sama, investasi Amerika serikat dalam sektorperkebunan mencapai 28 juta gulden (70%), sedang dalam sektor industripengolahan hanya 7 juta gulden (29%). Lihat lampiran berikut, yangmenunjukkan nilai penanaman modal menurut negara asal dari tahun 1922 - 1940.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    25/120

    20

    Nilai Penanaman Modal Menurut Negara Asal Tahun 1922 dan 1940 (dalam

    jutaan gulden)Industri

    GulaPerkebunan

    Industri

    Lain,JumlahNegara

    Asal

    1922 1940 1922 1940 1922 1940 1922 1940Belanda 322 420 545 1.017 1.290 1.160 2.159 2.634

    Inggris - - 245 200 55 260 300 460

    Amerika - - 28 100 7 195 35 295

    Lain-lain 3 - 127 150 18 100 148 250

    Jumlah 325 420 945 1.497 1.370 1.715 2.642 3.639

    Investasi Pemerintah 1.250

    Investasi Swasta 2.389

    Sumber: Creutzberg, Changing Economy Indonesia, Vol.III, 1977.

    Sejak pertengahan periode tahun 1930-an, pemerintah kolonial mulaimelaksanakan kebijakan-kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada

    tahun 1933 dikeluarkan peraturan tentang pembatasan impor barang manufakturdari Jepang; pada tahun 1937 Departemen Urusan Ekonomi mulai merumuskanstrategi pembangunan jangka panjang; sedangkan pada tahun 1941 Industrie-planyang dirancang mengusulkan agar perusahaan-perusahaan negara membangunsembilan pabrik berskala besar untuk menghasilkan bahan baku industri(Chalmers, 1996:97).

    Bila pada awal abad ke-19 pertumbuhan industri pengolahan di Hindia-Belandadidorong oleh sektor pertanian seperti tembakau, gula, karet, teh, kopi dan kelapasawit, maka sejak awal abad ke-20 inisiatif pembangunan diambil alih olehberbagai perusahaan dagang.

    Merekalah yang menjadi pendorong bagi lahirnya industri modern. Namundemikian, tetap saja mayoritas perusahaan-perusahaan dagang tersebut adalahperusahaan-perusahaan Belanda.

    Perusahaan-perusahaan Belanda yang bergerak dalam bidang perdagangantersebut terdiri dari beberapa macam. Ada yang hanya merupakan kantor cabangsuatu perusahaan asing. Ada pula perusahaan lokal yang mewakili perusahaan luarnegeri atau menjadi agen tunggal. Tetapi terdapat pula perusahaan yang sudahberdiri sendiri terlepas dari perusahaan induknya di luar negeri (Siahaan,1996:72). Bahkan terdapat beberapa perusahaan berbadan hukum dan berdomisili

    di Hindia-Belanda yang sudah mempunyai beberapa anak perusahaan.

    Perusahaan-perusahaan Belanda terbesar yang dikenal dengan The Big Five,berkembang dengan amat cepat. Di antara lima perusahaan dagang Belanda yangterbesar di Hindia-Belanda,NV Internatio danNV Borsumij mempunyaiperusahaan industri yang terbanyak, masing-masing lima dan enam perusahaan.SedangkanJacobson van den Berg hanya memiliki tiga perusahaan industri.Lampiran berikut memperlihatkan kepemilikan perusahaan-perusahaan dagangBelanda yang memiliki usaha industri.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    26/120

    21

    Perusahaan Dagang yang Memiliki Usaha Industri

    NoNama Perusahaan

    DagangNama Industri

    1. Handel Mij Gutzel Archipel Brouwerij Co.

    (minuman) & Schumacher2. Jacobson van

    den Berg & Co.Ho Ho Biscuit Factory (Java) Ltd.

    (pabrik biskuit)Sigaretten fabriek Industria

    (pabrik rokok putih)Net. Indische Schrijfwaren fabriek h. Talens &

    Zonen (pabrik alat-alat kantor)

    3. G. Kolff & Co. Infabrieken H. Van Gibborn (pabrik tinta)

    4. Ned. Indische Mij. Van der Pieter Schoen & Zonen (pabrik tinta dancat ) Linde & Teves

    Nivat Vaten Fabriek (pabrik drum)

    5. R.F. Van der Mark Batavia Arak Maatschappij (pabrik

    minuman mengandung alkohol)6. Handels Vereeniging Arak Fabriek Aparak (pabrik Oost-Indie

    minuman mengandung alkohol )

    7. L.E. Tels & Cu's National Carbon Company Handel Mij(pabrik baterai)

    8. Geo Wehry & Cos Cawsey's Vruchten Producten Fabriek(pabrik pengalengan buah-buahan)Romaniet Fabriek (pabrik mesiu)

    Archipel Brouwerij Compagnie (pabrik bir)

    9. NV Internatio (InternationaleCrediet & Handels

    Vereeniging Rotterdam)

    NV Chemische Industrie & Handel Mij(pabrik asam belerang)

    NV Javasche Koolzuur Fabriek(pabrik asam arang)NV Morton Java Mij (pabrik kembang gula)

    NV Papier Fabriek Padalarang (pabrik kertas)NV Papier Fabriek Leces (pabrik kertas)

    10. NV Borsumij (BorneoSumatera Handel Mij)

    NV Pers & Stampwerfabr Ngagel(pabrik kaleng)

    NV Jacatra (pabrik kulit)NV Asbest (pabrik asbes)NV Ligvoet (pabrik ubin)

    NV Fiscal C.W. (perakitan sepeda)NV Soerabaya (pabrik aki)

    Sumber: Siahaan, I996:73.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    27/120

    22

    Perkembangan ekonomi pasca penyerahan kedaulatan tidak banyak mengalamiperubahan dari periode kolonial Hindia-Belanda. dan itu berarti perusahaan-perusahaan Belanda tetap mengendalikan sektor-sektor perekonomian yang

    utama. Para pengusaha pribumi hanya bergerak di bidang industri kerajinantangan. Sementara industri pengolahan untuk tujuan ekspor dikuasai oleh modalasing, terutama Belanda (Hill, 1991:14).

    Keunggulan manajemen dan jaringan pemasaran ke seluruh pelosok Indonesiayang dimiliki perusahaan-perusahaan Belanda tersebut, menjadi kuncikeberhasilan dalam mengendalikan sektor modern ekonomi Indonesia. Kelimaperusahaan besar itu antara lain:

    1. NV Borsumij: Kegiatannya terutama berada pada bidang perindustrianyang dapat kita lihat dari anak perusahaannya seperti; pabrik bir Oranye

    Brouwerij, pabrik tekstil Nebritex dan beberapa apotik.2. NV Jacobson van den Berg: Perusahaan ini terutama bergerak di bidangperdagangan ekspor dan impor. Kegiatan utamanya distribusi barang danpengumpulan komoditi untuk diekspor. Dengan organisasinya yang teraturdisertai keahlian yang dimiliki, perusahaan ini dapat menyalurkan barangke seluruh penjuru Indonesia.

    3. NV Internatio: Perusahaan ini titik berat kegiatannya bidang perkapalan.Beberapa perwakilan maskapai kapal dikelola oleh perusahaan ini, disamping beberapa anak perusahaan yang bergerak di bidang industri tekstildan perkebunan. Perusahaan ini memiliki 60 kantor cabang danmempunyai buruh kurang lebih 2000 orang.

    4. NV Lindeteves: Perusahaan ini bergerak di bidang perindustrian danperalatan teknik untuk keperluan industri dalam negeri. Perusahaan inimemiliki 6 kantor cabang dan membawahi kurang lebih 2000 orang buruh.

    5. NV Geo Wehry & Co: Perusahaan ini sejak tahun 1867 telah beroperasi diHindia-Belanda. Kegiatan utamanya bergerak di bidang perkebunan.Perusahaan ini mempunyai 28 perkebunan di Indonesia, dengan komoditiantara lain; teh, kina dan karet. Di samping itu perusahaan ini jugabergerak di sektor perdagangan dalam negeri.11

    Demikian luasnya bidang usaha yang digeluti oleh perusahaan-perusahaanBelanda, terutama The Big Five, maka tidaklah mengherankan bahwa sektor

    perdagangan besar yang meliputi kegiatan ekspor dan impor hampir seluruhnyamereka kuasai. Sementara dalam bidang perhubungan, sangat Sulit bagiperusahaan pelayaran pemerintah PELNI (pelayaran Nasional Indonesia) untukmengatasi monopoli Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM),12 perusahaanpelayaran milik Belanda.

    11 Daftar lima perusahaan terbesar milik Belanda yang dikenal dengan The Big Five beserta seluruhkegiatannya dapat dilihat pada Surat Kabar Mingguan Warta Niaga dan Perusahaan, 28 Maret 1959.

    12 Selain memiliki jaringan yang luas, KPM juga memiliki reputasi pelayanan yang bermutu tinggi. Kapal-kapalnya hampir semua beroperasi setelah memperhitungkan pengalaman perusahaan sehingga sesuai

    untuk trayek tertentu. Perhatian yang baik diberikan atas penanganan muatan dan klaim diselesaikansecara cepat dan memuaskan (Dick. 1990:24).

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    28/120

    23

    Di bidang produksi hasil ekspor terlihat gambaran yang tidak berbeda. Pemilikan,peranan dan penguasaan perusahaan-perusahaan Belanda masih demikian besar,seperti:Handels Vereeniging Amsterdam (HVA),Rubber Cultuur-Maatschappij

    Amsterdam (RCMA),Deli Maatschappij serta Banka en Biliton Tin Maatschappij

    (Oey, 19)1:135).

    Hingga tahun 1958, hampir 80% dari hasil-hasil perkebunan Indonesia yangmengalir ke Eropa ditampung oleh pedagang-pedagang Belanda di Amsterdamatau Rotterdam. Hal ini tidak dapat dihindari karena perkebunan-perkebunanbesar di Indonesia yang tadinya sebagian besar dikuasai oleh Belanda, mempunyaicabang atau kantor pusatnya di negeri Belanda yang bertindak sebagai pelelanghasil-hasil produksinya. Dari produksi perkebunan Indonesia tersebut, duakomoditi yang memiliki nilai terbesar ialah; tembakau ( 200 juta gulden pertahun), dan teh ( 65 juta gulden per tahun).13

    Dari paparan di atas, tampak hampir semua sektor ekonomi modern Indonesiasampai akhir tahun 1957 masih dikuasai oleh modal Belanda. Keadaan inimendatangkan rasa frustasi bagi sebagian besar pemimpin Indonesia. Upaya untukmewujudkan ekonomi nasional akan selalu terhalang selama modal asing, dalamhal ini Belanda, masih beroperasi di Indonesia.

    Salah satu jalan keluar yang dipikirkan untuk mengakhiri dominasi perusahaanBelanda ialah dengan jalan melakukan nasionalisasi. Untuk melakukannasionalisasi dibutuhkan suatu alasan kuat yang dapat dijadikan dasar legitimasi.Momentum itu didapat dengan semakin memburuknya hubungan Indonesiadengan Belanda berkaitan dengan masalah Irian Barat.

    Perkembangan Masalah Irian Barat

    Terdapat satu isu besar yang menyatukan seluruh pemimpin Indonesia sepanjangdasawarsa 1950-an, yaitu masalah Irian Barat (Kahin dan Kahin, 1997:56). HasilKonferensi Meja Bundar tahun 1949 menyatakan Indonesia mendapat penyerahankedaulatan dari Belanda. Namun masalah Irian Barat merupakan masalahtersendiri yang disepakati akan diselesaikan dalam waktu satu tahun kemudian.

    Tuntutan Indonesia terhadap Irian Barat dilandasi oleh semangat yang berakarpada masa pergerakan nasional. Selama masa pergerakan, sejumlah pemimpin

    politik termasuk Mohammad Hatta dan Sjahrir pernah diasingkan di Tanah Merah(Boven Digul). Tempat pengasingan ini terletak di Irian Barat bagian Tenggara didekat Merauke. Selain itu, selama perjuangan kemerdekaan, salah satu sloganyang sering dikumandangkan untuk mencapai kedaulatan nasional menyatakanIndonesia Merdeka dari Sabang hingga Merauke.

    13 Komoditi lainnya yang mendatangkan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan Belanda antara lain;

    minyak dan biji kelapa sawit, karet, kopi, kopra dan tapioca. Lihat Warta Niaga dan Perusahaan, 21Februari 1958.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    29/120

    24

    Sedangkan bagi Belanda, Irian Barat dalam semua segi lebih erat berkaitandengan daerah Pasifik, Oceania, dan Melanesia. Karena itu, Belandaberkesimpulan bahwa penyerahan pemerintahan Irian Barat kepada Indonesiabertentangan dengan kepentingan penduduk asli. Berdasar alasan bahwa dengan

    penyerahan pemerintahan itu secara otomatis hak menentukan nasib sendiri bagirakyat Irian Barat terabaikan. Hal itu, menurut Belanda, bertentangan denganpiagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Alasan lain yang dikemukakan, karenaIndonesia belum cukup mendidik penduduk asli baik secara ekonomi, modal,tenaga kerja dan lainnya (Pigay, 2000:178-179); dan alasan perbedaan agamayang menonjol antara penduduk asli Irian Barat dengan mayoritas rakyatIndonesia.

    Sebagai kelanjutan dari KMB, sempat diadakan beberapa konferensi antaraIndonesia dengan Belanda yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah IrianBarat.14 Dalam konferensi-konferensi tersebut Indonesia mengajukan tuntutan

    yang pada intinya ialah; Belanda harus menyerahkan kedaulatan Irian Baratkepada Indonesia. Belanda selalu menolak tuntutan tersebut.

    Dalam persepsi Belanda, Irian Barat merupakan bagian dari South PacificCommission (SPC). Lembaga tersebut dibentuk oleh negara-negara penjajah diPasifik dalam rangka memberikan kemerdekaan bagi wilayah-wilayah Melanesiadi Pasifik Selatan.15 Bagi Belanda, Irian Barat merupakan daerah Neo-landschapyang ada di bawah dan diperintah langsung oleh mahkota Belanda (Pigay,2000:174). Pembicaraan untuk menyelesaikan masalah Irian Barat telahberlangsung tanpa tercapainya suatu titik temu. Baik Indonesia maupun Belandatetap menganggap wilayah itu sebagai bagiannya. Bagi kedua belah pihak, hampir

    dapat dikatakan tidak ada kompromi.

    Pada tanggal 15 Februari 1952, saat perundingan dengan Indonesia mengenaistatus Irian Barat sedang berlangsung, parlemen Belanda secara sepihakmemutuskan untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah kerajaanBelanda (Kahin dan Kahin, 1997:57). Setelah itu, Belanda menolak mengadakansemua bentuk perundingan untuk membicarakan masalah Irian Barat danmenganggap masalah itu telah selesai.

    Target penyelesaian masalah Irian Barat yang ditetapkan KMB, diberi jangkawaktu satu tahun, namun ternyata tidak berhasil dicapai. Masalah ini akhirnya

    berkembang menjadi suatu konfrontasi yang setiap saat berpotensi untuk pecahmenjadi konflik terbuka. Untuk mendapat dukungan yang lebih besar, baikIndonesia maupun Belanda kemudian membawa masalah Irian Barat ke tingkatforum internasional.

    14 Sempat diadakan beberapa konferensi Uni Indonesia-Belanda yang dalam agendanya menyangkutpenyelesaian masalah Irian Barat. Konferensi pertama diadakan pada Maret-April 1950 di Jakarta,konferensi kedua diadakan pada Desember 1950 di Den Haag, negeri Belanda, sedangkan konferensiketiga diadakan pada bulan Desember 1951 (Pigay, 2000:177- 180)

    15 Persepsi Belanda ini sejalan dengan persepsi Australia, yang beranggapan bahwa secara budaya, etnik

    serta pandangan hidup penduduk Irian Barat lebih banyak memiliki kesamaan dengan penduduk PapuaNugini dibanding dengan penduduk Indonesia lainnya (George, 1986:222-227).

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    30/120

    25

    Sidang Umum PBB ke-9 dilaksanakan pada tanggal 21 September 1954,membuka kesempatan bagi Indonesia untuk mengajukan memorandum mengenaimasalah Irian Barat (Pigay, 2000:184). Pada sidang umum tersebut, pidatomenteri luar negeri Indonesia, Mr. Sunario, yang juga ketua delegasi Indonesia

    membela tuntutan Indonesia atas Irian Barat. Berbagai tanggapan muncul ataspidato tersebut. Dukungan terhadap Indonesia datang dari negara-negara Asia,Afrika serta beberapa negara Blok Timur. Tetapi negara-negara Amerika Latin,Eropa Barat dan Australia mendukung penuh kedudukan Belanda atas Irian Barat.

    Masalah Irian Barat kembali dibicarakan dalam Sidang Umum PBB pada tanggal10 Desember 1954. Dalam sidang tersebut resolusi Indonesia gagal mencapai 2/3target suara yang diharuskan. Maka sejak itu masalah Irian Barat dikesampingkandari persidangan-persidangan Majelis Umum PBB.

    Kegagalan resolusi tersebut, dalam parlemen Indonesia dimanfaatkan oleh Partai

    Masjumi untuk mengajukan mosi tidak percaya terhadap kebijakan pemerintahmenyangkut masalah Irian Barat (Ricklefs, 1991:373). Walaupun mosi itukemudian gagal, tetap terungkap bahwa pihak oposisi dapat mengumpulkandemikian banyak, suara. Dengan demikian hanya kerjasama dengan PartaiKomunis Indonesia (PKI) dalam parlemen yang dapat menjamin kelangsunganhidup pemerintah.

    Masalah Irian Barat yang tidak berkesudahan kemudian digunakan oleh berbagaikekuatan politik di Indonesia untuk menggalang dukungan. Pihak yang palingbanyak mengambil keuntungan dari situasi tersebut adalah PKI. Partai ini pernahdihancurkan pemerintah pada tahun 1948 dalam peristiwa Madiun. Dengan

    menonjolkan warna nasionalnya dan menjauhkan diri dari Uni Soviet dan Cina,PKI berhasil menarik simpati Presiden Sukarno.

    Kemahiran PKI dalam memainkan isu Irian Barat telah mendorong kembalikebangkitan PKI. Dalam setiap tuntutan terhadap Irian Barat, PKI selalumemberikan dukungan penuh. Melalui dukungan tersebut PKI menempatkandirinya di tengah arus semangat nasionalisme yang penuh semangat (Kahin danKahin, 1997:57). Dengan demikian PKI berusaha meraih simpati secara luas danmencapai posisi penting sebagai suatu partai politik.16

    Dalam forum internasional, setelah kegagalan di PBB tahun 1954, pemerintah

    Indonesia secara konsisten tetap mencari dukungan untuk penyelesaian masalahIrian Barat. Perjuangan tersebut diwujudkan pada konferensi Asia-Afrika diBandung, Jawa Barat, pada bulan April 1955. Dalam komunike akhir konferensitersebut, negara-negara Asia dan Afrika menyatakan mendukung tuntutanIndonesia atas Irian Barat (Pigay, 2000:186).

    16 Sebagai bukti keberhasilan PKI menarik simpati rakyat Indonesia dapat dilihat dari hasil yang dicapaiPKI Pemilihan Umum 1955. Dalam Pemilu tersebut PKI keluar sebagai partai keempat di bawah PNI.

    Masjumi, dan NU dalam perolehan suara. Tabel hasil perolehan suara Pemilu 1955 besertaprosentasenya dapat dilihat pada Ricklefs (1991:377)

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    31/120

    26

    Dari hasil komunike tersebut, terlihat bahwa dukungan terhadap Indonesia secaraluas diberikan oleh negara-negara dunia ketiga. Tetapi perjuangan untukmendapatkan Irian Barat tetap mengalami kendala besar. Sebab kekuatan utamauntuk meloloskan memorandum di PBB tidak hanya bergantung kepada negara-

    negara Asia-Afrika. Sementara dukungan dari negara-negara Blok Barat sulitdidapat.

    Amerika Serikat secara diam-diam menunjukkan sikap pro-Belanda dalammasalah Irian Barat, sekalipun selalu abstain dalam pemungutan suara di PBB.Sebuah surat bertanggal 20 Mei 1955 yang ditulis oleh Hugh Cumming, DutaBesar Amerika di Indonesia, untuk Kenneth Young, direktur biro Pilipina danurusan Asia Tenggara, mendesak pemerintah Amerika untuk mempertimbangkankembali kebijakan mereka mengenai netralitas17 dalam masalah Irian Barat(Kahin dan Kahin 1997:98).

    Namun menteri luar negeri Amerika, John Foster Dulles, tidak bersediamendukung usulan tersebut. Sikap tersebut akan dipertahankan paling tidaksampai suatu pemerintahan yang lebih baik muncul di Indonesia. Secara pribadiDulles meyakinkan pemerintah Australia, yang dengan teguh mendukung sikapBelanda mengenai Irian Barat, sekalipun "kami tidak menginginkan hubungandengan Indonesia dirusak karena harus memihak dalam pertikaian ini ... kalau

    keadaannya mendesak Amerika serikat, dalam konteks ANZUS, akan mendukung

    Australia" (Kahin dan Kahin, 1997:99).

    Kebuntuan dalam mencari jalan keluar sebagai pemecahan masalah Irian Barat,berakibat hubungan antara Indonesia dengan Belanda semakin memburuk. Pada

    tanggal 21 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap secara sepihakmembatalkan perjanjian KMB dan pembayaran hutang Indonesia kepada Belandayang tercantum di dalam perjanjian tersebut. Sikap tersebut diambil atas dasarpemikiran bahwa hutang yang dipikul Indonesia merupakan biaya perang Belandauntuk menentang revolusi kemerdekaan. Penghapusan hutang ini mendapatsambutan hangat dari rakyat Indonesia (Ricklefs, I 991:379).

    Tindakan itu secara resmi merupakan tekanan yang ditujukan terhadap pemerintahBelanda dalam rangka memaksanya untuk melanjutkan perundingan mengenaiIrian Barat (Wertheim, 1999:290). Sulit untuk dinilai apakah ini merupakan motifyang sesungguhnya atau sekedar pembenaran terhadap berbagai tindakan di

    bidang ekonomi.

    17

    Netralitas Amerika diwujudkan dengan ketidakterlihatannya dalam memasukkan masalah Irian Baratdalam agenda PBB.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    32/120

    27

    Pada bulan November 1957, ketegangan politik dalam negeri Indonesia semakinmeningkat. Pada tanggal 29 November, PBB kembali menolak resolusi Indonesiayang menghimbau agar Belanda mau merundingkan kembali masalah Irian Barat.Dengan perasaan kecewa Indonesia menerima hasil pemungutan suara resolusi

    tersebut. Amerika Serikat dengan sepuluh negara lainnya mengambil sikapabstain. Dukungan kepada Indonesia diberikan oleh negara-negara Asia-Afrikadan Blok Timur sejumlah 40 suara. Sementara 25 suara menyatakan tidak setuju.

    Sebelum pelaksanaan pemungutan suara terhadap resolusi Indonesia, PresidenSukarno telah memperingatkan bahwa Indonesia akan mengambil langkah-langkah yang akan mengguncang dunia apabila resolusi tersebut gagal (Jones,1980:184-185). Ternyata Presiden Sukarno tidak hanya menggertak saja. Padatanggal 1 Desember 1957 pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan aksimogok selama 24 jam terhadap perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia(Bartlett, 1986:100). Tindakan inilah yang mengawali aksi nasionalisasi

    perusahaan-perusahaan Belanda secara besar-besaran.

    1901Batavia Javasche BankSumber : Arsip Nasional Republik Indonesia

    1901Batavia Hoofdvertegen woordiging van de B.P.M.Sumber Foto : Arsip Nasional Republik Indonesia

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    33/120

    28

    dua

    Pengambilalihan Perusahaan-Perusahaan Belanda

    Pada masa kolonial Hindia-Belanda, sektor ekonomi modern Indonesia sebagianbesar dikuasai oleh modal asing, khususnya negeri Belanda. Sektor ekonomimodern yang dikembangkan oleh modal asing ini terutama terpusat padaperkebunan, industri ekstraktif, dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan (Hill,1990:11).

    Kegiatan ekonomi itu mengalami kemunduran pada masa pendudukan Jepang.Hal itu dikarenakan penerapan ekonomi perang oleh pemerintah pendudukanJepang yang melarang kegiatan ekspor dan impor kecuali untuk kepentinganperang. Dalam keadaan demikian tidak mengherankan jika selama masapendudukan Jepang tidak ada investasi asing yang masuk.

    Keadaan itu tidak banyak berubah sampai Indonesia mendapat penyerahankedaulatan dari Belanda pada tahun 1949. Pemerintahan Republik Indonesia yangbaru saja keluar dari kemelut revolusi kemerdekaan segera memikirkan masalahpembangunan ekonomi. Namun pelaksanaan pembangunan ekonomi menemuihambatan karena penguasaan pengusaha pribumi terhadap sektor ekonomi modern

    masih sangat terbatas. Situasi demikian menuntut pemerintah mengambil sikaptegas terhadap keberadaan modal asing yang masih tetap beroperasi.

    Kontroversi terhadap Modal Asing

    Sikap pemerintah Indonesia terhadap modal asing sepanjang tahun 1950-an sangatkuat dipengaruhi pengalaman zaman kolonial Hindia-Belanda. Pandangan yangberlaku terhadap modal asing, khususnya modal Belanda, secara umum melihatkehadiran mereka menjadi penghambat bagi terwujudnya kedaulatan di bidangekonomi. Hal ini tidak terlepas dari peranan modal asing yang sampai saat itudijalankan hanya untuk menarik keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dari

    Indonesia, tanpa turut berpartisipasi dalam perbaikan ekonomi untukmeningkatkan taraf hidup rakyat secara umum.

    Sikap tidak peduli para pemilik modal asing pada akhirnya memunculkan sikaptidak suka dari kalangan orang-orang republik. Tidak mengherankan pula jikasikap pemerintah Indonesia terhadap modal asing menjadi tidak terlalubersahabat. Apalagi hampir sepanjang kurun 1950-an sektor-sektor modernekonomi Indonesia masih dikuasai perusahaan-perusahaan Belanda. Dalam situasidemikian, mengemuka pendapat yang mendesak pemerintah Indonesia untuksecara bertahap mengurangi dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dansekaligus mendorong munculnya pengusaha-pengusaha pribumi Indonesia.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    34/120

    29

    Dalam hal ini patut disinggung pandangan dari Sjafruddin Prawiranegara, mantanmenteri keuangan dan Gubernur-Bank Indonesia, yang menganjurkan sikaptoleransi terhadap dominasi perusahaan-perusahaan Belanda. Anjuran itu didasarikenyataan bahwa jumlah pengusaha pribumi dan tenaga terampil Indonesia masih

    belum memadai (Prawiranegara, 1987:104). Sikap moderat dan pragmatis sepertiditunjukkan pandangan Sjafruddin hanya mendapat sedikit dukungan. Sedangkanmayoritas pemimpin Indonesia berhaluan lebih radikal.

    Masih bercokolnya modal asing yang kuat menguasai perekonomian Indonesiapada tahun-tahun awal setelah penyerahan kedaulatan, menjadi sangat pelik dandilematis bagi pemerintah Indonesia. Perusahaan-perusahaan asing tersebut masihtetap beroperasi karena Indonesia terikat komitmen yang tercantum dalamKonferensi Meja Bundar (KMB). Seperti telah disinggung sebelumnya isi KMBmewajibkan pemerintah Indonesia untuk menghormati legalitas keberadaanperusahaan-perusahaan asing, khususnya perusahaan-perusahaan Belanda.

    Meski demikian, tekanan politik yang kuat terus diberikan untuk mendorongpemerintah Indonesia mengambil kebijakan-kebijakan yang dapat memenuhituntutan aspirasi ekonomi nasional. Salah satu perwujudannya ialah ProgramBenteng, yang dalam pandangan Soemitro Djojohadikusumo1 ditujukan untukmengurangi dominasi perusahaan-perusahaan Belanda khususnya The Big Five(Djojohadikusumo, 1986:35).

    Jaminan terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang diberikanpemerintah Indonesia pernah pula mendatangkan kesulitan besar bagi pemerintahsendiri. Seperti yang terjadi dengan kasus Tanjung Morawa2 yang mengakibatkan

    jatuhnya Kabinet Wilopo (1952-1953). Kasus ini muncul ketika pemerintahberusaha menghentikan pendudukan liar di tanah perkebunan-perkebunantembakau milik Belanda di Sumatera Utara.

    Tindakan pemerintah itu kemudian mendapat kritikan tajam dari organisasi-organisasi petani militan yang didukung oleh kalangan pers kota Medan. Merekamenghimbau pemerintah untuk mengakhiri kebijakan agraria dari zaman kolonialdengan menasionalisasikan tanah-tanah yang dikuasai perkebunan-perkebunanasing (Pelzet; 1991:103). Tanah-tanah itu kemudian diminta untuk dibagikankepada para petani yang tidak mempunyai tanah.

    1 Soemitro Djojohadikusumo pernah menjabat beberapa kali dalam kabinet-kabinet pemerintahanDemokrasi Parlementer. Antara lain sebagai Menteri Perdagangan dan Industri dalam Kabinet Natsir(1950-1951), Menteri Keuangan dalam Kabinet Wilopo (1952-1953) dan Kabinet Burhanuddin Harahap(1955-1956). Lihat daftar kabinet-kabinet Indonesia dari penyerahan kedaulatan 1949 sampai tahun1956. (Sutter, 1959:1296-1297).

    2 Tanjung Morawa adalah suatu kecamatan yang letaknya tidak jauh dari kota Medan. Wilayah ini

    merupakan daerah perkebunan di mana kedudukan kaum buruh dan petani komunis kuat sekali (Pelzer,1991:99-101).

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    35/120

    30

    Menghadapi tuntutan tersebut Perhimpunan Perkebunan-Perkebunan Tembakau(milik Belanda) setuju untuk menyerahkan separuh dari tanah-tanahperkebunannya kepada para petani. Namun serikat-serikat buruh tani tetapmengajukan tuntutan agar seluruh tanah perkebunan tembakau dibagikan kepada

    mereka (Thee, 1996:7). Kasus ini kemudian berkembang sehingga membawakorban. Pada tanggal 14 Maret 1953, dalam suatu insiden polisi menembak matiseorang petani Indonesia dan empat petani keturunan Tionghoa. Sedangkankorban yang luka ada 17 orang (Pelzer, 1991:102). Kasus Tanjung Morawakemudian berdampak secara nasional, sehingga Kabinet Wilopo terpaksamengundurkan diri pada tanggal 2 Juni 1953 (Soebagijo I.N., 1980:122).

    Kontroversi terhadap keberadaan modal asing juga terjadi pada sektorpertambangan. Hingga menjelang pendudukan Jepang (1942), terdapat 12lapangan pertambangan minyak di Sumatera Utara, khususnya di KaresidenanSumatera Timur dan Aceh, yang menghasilkan 1.000.000 kgt (kilogram ton)

    minyak dan 240.000 kgt gas setahunnya dari sejumlah 740 pemboran.3 Untukpengolahannya,De Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) telah mendirikansebuah refinery (penyulingan) di Pangkalan Brandan.4 Sesudah kemerdekaan RI,pada tahun 1948 pemerintah mendirikan Perusahaan Tambang Minyak RepublikIndonesia Sumatera Timur untuk meneruskan pengelolaan lapangan-lapanganminyak tersebut. Ternyata, pengelolaan perusahaan tersebut tidak berjalan denganbaik, sehingga tidak dapat menjamin kehidupan buruh-buruh yang bekerja padatambang-tambang minyak tersebut. Akibatnya muncul desakan dari para buruhagar pemerintah segera mengambil tindakan nyata terhadap masalah ini.

    GenerasiBataafsche Petroleum Maatschappij dan gedung di Surabaya..

    3 Sebagian besar produksi minyak tersebut dihasilkan oleh BPM, sedangkan sisanya oleh NIAM danStandard VacuumPetroleum Maatschappij (SVPM). Lihat laporan tanggal 17 Mei 1951 yang diberikanoleh Kepala Pusat Jawatan Pertambangan; Sekitar Masalah Pertambangan Minyak di Sumatera Utara

    (ANRI: Kabinet Presiden R1, No. Inventaris 1528).4 Ibid.

  • 7/23/2019 Buku_nasionalisasi an Belanda Di Indonesia

    36/120

    31

    Terhadap tuntutan kaum buruh minyak, ketika itu muncul dua macam pokokpikiran. Yaitu antara yang setuju dan tidak setuju untuk melakukan nasionalisasitambang-tambang minyak Sumatera Utara. Bagi pihak yang setujupertimbangannya ialah sekalian sumber dan kekayaan alam yang menguasai hajat

    hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara, dieksploitasi oleh pemerintah dandipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan bagi yangtidak setuju memiliki pertimbangan Indonesia saat itu berada di tengah-tengahkeadaan yang sulit, kekurangan modal untuk ganti rugi, tidak dapat mengelolaperusahaan sehingga mendatangkan keuntungan, dan kekurangan tenaga ahli.5

    Menghadapi perbedaan pandangan tersebut, pemerintah dalam sidang DewanEkonomi dan Keuangan ke-8 tanggal 1 Maret 1951 memutuskan merujuk hasilKMB sehingga tambang minyak di Sumatera akan dikembalikan kepadapemiliknya (perusahaan-perusahaan asing).6 Setelah melakukan perundinganselama dua tahun, dengan diselingi pergantian dua kabinet, pada bulan Maret

    1954 pemerintah dan Stanvac7 mencapai suatu kesepakatan. Program investasibaru senilai $70 sampai $80 juta akan dilakukan Stanvac dari dana yang diperolehdi luar negeri.

    Untuk mempermudah investasi, Stanvac mendapatkan pembebasan biaya importerhadap semua alat modal yang diimpor. Stanvac akan melakukanIndonesianisasi terhadap stafnya sampai ke tingkat atas dari manajemen (Bartlettet.al, 1986:107). Persetujuan itu bet jangka empat tahun, meski pembebasan biayaimpor diberikan untuk sepuluh tahun. Persetujuan Stanvac itu kemudian dijadikanpola untuk persetujuan dengan perusahaan-perusahaan minyak lainnya sepertiCaltex dan Shell.

    Telah diketahui bahwa tidak ada jaminan jika sektor-sektor ekonomi yang