Buku walhi kalsel menggali kubur sendiri batubara

61
  Cover

description

 

Transcript of Buku walhi kalsel menggali kubur sendiri batubara

ÂÂ Cover

MENGGALIÂKUBURÂSENDIRIPenulis:Editor:Desain dan tata letak:

Penerbit

DaftarÂIsi

Bolong

BersamaÂDesentralisasi,ÂÂ

MenggaliÂKuburÂSendiri

Pada masa reformasi, demokratisasi ditandai berbagai tuntutan agenda. Selain soal kebebasan pers, agenda reformasi lain yang digulirkan terkait dengan pengurusan wilayah adalah desentralisasi dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk secara otonom memiliki kewenangan mengurus wilayahnya sendiri melalui Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22/1999 dan direvisi dalam Undang-Undang No. 32/2004.

Euphoria demokrasi begitu dirasakan, khususnya pada pemerintah daerah yang puluhan tahun berada dalam genggaman kekuasaan pemerintah pusat. Kondisi ini melahirkan kesenjangan sosial ekonomi yang cukup tinggi, salah satunya dalam pengelolaan kekayaan alam yang diurus terpusat. Ini ditandai begitu massifnya peraturan daerah dibuat pemerintah provinsi maupun kabupaten atau kota, termasuk yang mengatur keluarnya ijin eksploitasi sumber daya alam. Tuntutan memenuhi PAD menjadi stimulan penguasa daerah berlomba-lomba “menjual” kekayaan alamnya, sebagai sandaran utama pembangunan ekonomi daerah.

Paska itu, ternyata kondisinya jauh berbeda dari harapan. Laju kerusakan lingkungan terus meningkat seiring krisis yang menyertainya, dalam bentuk konflik dan pemiskinan di berbagai daerah. Khususnya wilayah kaya sumber daya alam, macam Kalimantan Selatan. Desentralisasi disini ditafsirkan sebagai bagi-bagi “kue”, sehingga kawasan terbagi habis untuk perijinan industri ekstraksif. Akibatnya, lahan pertanian dan produktivitas rakyat makin mengerut.

Banyak pihak menilai desentralisasi dinilai kebablasan, jika tidak mau dikatakan gagal dalam implementasinya. Pun oleh gerakan sosial khususnya gerakan lingkungan. Buku ini paling tidak menyampaikan kritik terhadap desentralisasi dalam pengelolaan kekayaan alam, khususnya

pengurusan batubara di Kalimantan Selatan, yang melahirkan berbagai dampak ekologi, ekonomi, social dan budaya. Meskipun sesungguhnya, di masa reformasi, gerakan lingkungan mendorong desentralisasi dalam pengelolaan kekayaan alam, yang bertujuan mendekatkan mekanisme akses dan kontrol rakyat terhadap sumber-sumber kehidupannya.

Belakangan, desentralisasi berujung sama, menjadi alat pemodal meneruskan cengkramannya. Pertanyaannya kritisnya, apakah desentralisasi - khususnya dalam pengelolaan kekayaan alam menjadi sebuah pilihan yang gagal?

ÂÂ AlirÂEnergiÂKapitalSejak lama, sistem ekonomi global mendominasi pembangunan ekonomi Indonesia lewat kebijakan-kebijakan masa orde baru, yang melahirkan banyak kebijakan eksploitatif. Kebijakan tersebut diawali keluarnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing No. I Tahun 1967. Inlah pangkal saluran penguasaan kekayaan alam Indonesia dimotori kekuatan Trans National Corporation/Multi National Corporation.

Dan itu berlanjut hingga masa reformasi lewat disyahkannya Undang-Undang Penanaman Modal

No. 25 Tahun 2007. Terbukti, kekuatan ekonomi kapitalis selalu masuk dalam kekuatan politik siapapun yang berkuasa, dan memanfaatkan ruang-ruang yang menguntungkan agar kekuasaan politik modal mereka langgeng. Termasuk melalui euang desentralisasi.

Desentralisasi dalam pengelolaan kekayaan alam yang bertujuan mulia, dibajak. Masih dengan cara yang lama; mengintervensi penyusunan Undang-Undang. Karenanya, tak mengherankan jika desentralisasi harus dilengkapi dengan syarat-syarat yang diharuskan para aktor global. Antara lain pemerintah yang bersih dan keterwakilan masyarakat.

Ternyata, lebih mudah bagi pemodal memanfaatkan penyebaran birokrasi hingga tingkat daerah. Tawar menawar perijinan misalnya, justru lebih mudah dilakukan. Inilah pelajaran pentingnya, desentralisasi yang didorong, tak disertai peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Kalaupun ada, itu ditujukan agar meberikan pelayanan terbaik bagi pemodal di daerah. Daerah yang dipuji-puji adalah daerah yang busa memproses cepat perijinan industri di daerahnya.

Tujuannya bisa diduga, desentralisasi didorong menjadi jalan penguasaan kekayaan alam, yang berujung memasok kebutuhan negara-negara industri. Cara ini melanggengkan dominasi mereka terhadap ekonomi politik dunia. Dimulai dengan menguasai kekuatan politik daerah melalui program-program pembuatan Peraturan Daerah, hingga Peraturan Desa, dan kemudian menguasai kawasan yang kekayaan alamnya bisa dikeruk habis.

Sayangnya, desentralisasi sedang mereduksi tujuan utamanya sendiri, yakni mendekatkan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber-sumber kehidupannya. Karenanya sangat wajar, jika otonomi daerah dan pembangunan demokratisasi yang berjalan saat ini seolah tak ada urusannya dengan agenda keselamatan, kesejahteraan dan produktifitas rakyat.

ÂÂ MenggaliÂKuburÂKalimantanÂSelatanApa yang terjadi di Kalimantan Selatan dalam cerita pengerukan batubara, menggambarkan begitu sempurnanya sistem ekonomi kapitalisme masuk ruang-ruang penyusunan kebijakan di daerah. Lewat jalur otonomi daerah, yang berujung penguasaan pasokan bahan enrgi untuk negara industri.

Sekian puluh tahun lamanya, kekayaan batubara dikelola pemerintah pusat, desentralisasi seolah angin segar bagi pemerintah daerah. Tapi lagi-lagi, aktor ekonomi politik dominan masuk, memanfaatkan momen tersebut. Ijin pertambangan yang semula dikeluarkan pemerintah pusat melalui PKP2B kepada industri tambang batubara asing skala besar. Kini pemerintah daerah mengeluarkan kuasa pertambangan (KP) dengan luasan kecil dengan jumlah berjibun.

Mekanisme keluarnya ijin, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sama menguntungkan negara-negara industr maju. Sebab, disanalah alir energi capital bergerak lewat pasokan batubara yang masuk ke negara mereka.

Batubara menjadi komoditas utama pemerintah daerah di pulau Kalimantan. Ini dapat dilihat dari 73 persen produksi batubara Kalimantan Selatan dipasok untuk kebutuhan asing. Sisanya, 27 persen hingga 29 persen utuk kebutuhan pulau jawa, Bali dan Sumatera. Sementara hanya 1,69 persen untuk kebutuhan domestiknya.

Buku ini akan mengantarkan kita memahami bagaimana praktek-praktek alir energi kapitalisme ini dimulai. Dikeruk dengan berbagai modus operandi, yang berujung pengabaian keselamatan, produktifitas dan jaminan keberlanjutan jasa layanan alam.

Jika membaca kesejarahan penguasaan batubara di Kalimantan Selatan, sejak awal kolonialisme Belanda hingga reformasi, kawasan ini sudah dibidik untuk dikuasai kekayaan alamnya oleh negara-negara industri. Aktor-aktornya terlibat melalui elit yang

sedang berkuasa secara politik, jalur primordial di masa kerajaan, sentralistik di masa orde baru. Dan kini mendompleng reformasi, melalui desentralisasi dan otonomi daerah, dengan cara membangun persekutuan dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten. Mereka mendapatkan konsesi-konsesi eksploitasi tambang batubara, penebangan kayu dan perkebunan skala besar, yang sama-sama memiliki daya rusak yang tinggi.

Janji kesejahteraan digunakan pemerintah daerah meninabobokan warganya. Dan industri keruk seolah satu-satunya jalan bagi rakyat, yang memiliki cadangan batubara kedua setelah Kalimantan Timur ini, untuk meraih kesejahteraan. Namun kenyataannya berbeda, masyarakat tidak mengalami kenaikan perbaikan kualitas hidup yang signifikan. Belum lagi kehancuran lingkungan yang semakin meningkat, dan sumber-sumber produksi akibat konversi lahan-lahan produktif, seperti lahan-lahan pertanian yang berubah menjadi lubang-lubang luas menganga.

Kalimantan Selatan dengan batubaranya hanyalah satu dari sekian banyak daerah yang mengandalkan industri keruk sebagai modal utama dalam pertumbuhan ekonomi daerahnya. Pilihan ini harus disadari resikonya, mengingat daya rusak pengerukan batubara tidaklah kecil. Angka kerusakan lingkungan hidup beriringan naik dengan angka kemiskinan di sana. Sehingga menjadi tidak ada urusan antara harga batubara dunia, yang membuat pemerintah tergiur mengeruk cepat batubaranya, dengan Indeks Human Development dan angka pengangguran di bumi Antasari ini.

Tidak cukup disitu, dampak lainnya, pengerukan batubara melahirkan krisis lain yakni hancurnya tatanan sosial masyarakat. Hampir dapat dipastikan, dalam setiap pembukaan industri ekstraktif, akan selalu dibarengi masuknya “pasar” yang melahirkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Ini seringkali menempatkan masyarakat pada sebuah pilihan yang mendukung industri, yang dalam waktu cepat bisa memenuhi pola konsumsinya. Inilah salah satu realitas sosial masyarakat di tengah gempuran investasi. Masyarakat akan meresponnya diluar yang sering dibayangkan oleh aktifis, atau gerakan lingkungan.

Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup, di Kalimantan Selatan khususnya yang terjadi hingga hari ini, semestinya dibaca dalam logika kompleks antara pertumbuhan yang diagung-agungkan,

ketidakpahaman atas perubahan lingkungan, dan pengabaian biaya yang ditanggung warga dalam sejarah pembangunan. Biaya tersebut adalah kemiskinan struktural yang menghasilkan kerawanan pangan serta krisis air bersih dan energi, yang menjadi kebutuhan dasar manusia.

Cerita yang sama terjadi di hampir semua daerah di Indonesia, yang sedang berlomba-lomba mengeruk kekayaan alamnya besar besaran. Umumnya, dengan praktek-praktek dan aktor-aktor yang sama. Terlebih saat ini, Pilkada menjadi momen yang menguntungkan investor membangun kekuatan politik di daerah. Caranya beragam, membiayai ongkos politik calon-calon pemimpin daerah.

Tentu tidak ada yang gratis. Konsesi politik siap menunggu, ijin-ijin baru antri disetujui. Dan ujungnya, lagi-lagi rakyat berkorban atas jargon kesejahteraan dan pembangunan.

Jared Diamond dalam teori collapse-nya mengatakan runtuh dan berkembangnya satu entitas dalam satuan lingkungan bukan ditentukan oleh kondisi geografik alaminya saja. Pilihan untuk bertahan atau collapse jatuh pada entitas manusia yang tinggal di dalamnya. Entitas pada konteks tertentu ditentukan oleh pilihan pemimpinnya. Tampaknya pemimpin entitas manusia di Kalimantan Selatan memilih jalan menuju collapse dengan membiarkan bencana terjadi dengan intensitas yang meningkat dari tahun ke tahun.

Pada bagian penutup, buku ini memberi tawaran berupa resolusi-resolusi bagi banyak pihak. Mestinya, resolusi yang didorong mampu melampaui daya rusak tambang batubara itu sendiri, salah satunya dengan tidak terkungkung pada hal-hal teknis administrative atau mengikuti alur skema-skema yang dibangun sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri.

Yang pasti, tantangan dan tugas dari gerakan social menjadi lebih berat. Untuk mengembalikan lagi semangat utama desentralisasi pengelolaan kekayaan alam, dimana dengan desentralisasi dapat menjamin akses dan kontrol rakyat dapat terpenuhi.

Tim Penulis

DimulaiÂdenganÂmenguasaiÂkekuatanÂpolitikÂdaerahÂmelaluiÂprogram-programÂpembuatanÂPeraturanÂDaerah,ÂhinggaÂPeraturanÂDesa,ÂdanÂkemudianÂmenguasaiÂkawasanÂyangÂkekayaanÂalamnyaÂbisaÂdikerukÂhabis.Â

DalamÂmasaÂsepuluhÂtahun,ÂsejakÂ1994ÂhinggaÂ2004,ÂeksploitasiÂbatubaraÂdiÂKalimantanÂÂSelatanÂÂnaikÂdelapanÂkaliÂlipat.ÂDariÂjumlahÂ7,04ÂÂjutaÂtonÂtahunÂ1994,ÂnaikÂmenjadiÂ54,54ÂÂjutaÂtonÂpadaÂ2004.ÂAngkaÂiniÂmenyumbangÂsekitarÂ41,21%ÂÂtotalÂproduksiÂbatuÂbaraÂnasionalÂpadaÂ2004,ÂperingkatÂkeÂduaÂsetelahÂKalimantanÂTimur,ÂÂsebagaiÂdaerahÂpenghasilÂbatuÂbaraÂterpentingÂdiÂIndonesia.ÂPeningkatanÂiniÂterjadiÂsejakÂpemerintahÂOrdeÂBaruÂmenetapkanÂUUÂPokokÂPertambanganÂdanÂPenanamanÂModalÂAsingÂpadaÂtahunÂ1967.

MenggaliÂKuburÂSendiri|4

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Pengerukan batubara banyak dilakukan dikawasan-kawasan hulu sungai, dan kawasan tangkapan air utama di Kalimantan Selatan telah meningkatkan resiko terjadinya bencana banjir, longsor hingga krisis air karena terganggunya daerah tangkapan air.

Kebijakan otonomi daerah pasca lengsernya Suharto, tak membuat eksploitasi batu bara surut. Dalih meningkatkan pendapatan daerah, para bupati bahkan mengeluarkan lebih banyak lagi izin-izin penambangan, meski dengan skala yang lebih kecil dibanding rezim sebelumnya melalui izin-izin penambangan milik asin. Belum lagi, tumbuh maraknya pertambangan-pertambangan batu bara tanpa izin setelah tahun1998 yang produksinya ditaksir juga tidak kecil. Dengan kecenderungan ini, diperkirakan eksploitasi batu bara di Kalimantan Selatan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang.

Tulisan ini bermaksud menggambarkan apa saja biaya-biaya sosial, ekonomi, dan lingkungan yang harus diatanggung penduduk dan pemerintah daerah, siapa-siapa saja pihak yang terlibat dan paling diuntungkan dari usaha ini, serta bagaimana respon masyarakat dan pemerintah menjawabnya. Dengan melihat praktek eksploitasi batu bara selama ini, cukup beralasan bila kita mengajukan pertanyaan: Apakah benar kebijakan desentralisasi di sektor pertambangan, khususnya batu bara, akan memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi rakyat di bumi Antasari, hal mana yang sering dijadikan alasan oleh sebagian pihak yang mendorong lahirnya kebijakan ini. Pertanyaan yang sama juga patut diajukan kepada pemerintah di tingkat nasional yang memfasilitasi peningkatan investasi modal besar dalam eksploitasi tambangan ”emas hitam” ini, di Indonesia.

Akan diperlihatkan bagaimana pengerukan batu bara di Kalimantan Selatan ini bisa diibaratkan seperti orang yang sedang ”menggali kuburannya sendiri.” Pernyataan ini bukan tanpa alasan karena kerusakan akibat kegiatan pertambangan batubara seringkali tidak terpulihkan. Pengerukan batubara banyak dilakukan dikawasan-kawasan hulu sungai, dan kawasan tangkapan air utama di Kalimantan Selatan telah meningkatkan resiko terjadinya bencana banjir, longsor hingga krisis air karena terganggunya daerah tangkapan air. Di masa depan kondisi ini akan memburuk, jika cadangan batubara dikawasan pegunungan Meratus menjadi sasaran pengerukan berikutnya. Kawasan tersebut merupakan kawasan tangkapan air yang tersisa dan secara fisik memiliki lereng-lereng curam rawan longsor. Selain itu, pengerukan batubara:

1. Menyebabkan hancurnya eksistem sungai, yang merupakan urat nadi bagi kehidupan dari sebagian besar masyarakat Kalimantan Selatan.

2. Menyebabkan krisis air bersih, akibat tercermarnya sumber-sumber air dan penurunan muka air tanah yang mengeringkan sumur-sumur penduduk

3. Mengancam tingkat ketahanan pangan dan ekonomi rakyat, karena rusaknya lahan pertanian, terutama sawah baik akibat dari krisis air, maupun pencemaran air, dan perubahan fungsi lahan-lahan pangan produktif. Selain itu, polusi debu juga telah menyebabkan menurunnya produktivitas tanaman pertanian dan perkebunan rakyat di sekitar jalan-jalan yang dilalui truk-truk pengangkut batu bara.

4. Meningkatkan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh warga akibat polusi debu oleh truk-truk pengangkut batu bara. Ini berarti, beresiko meningkatkan biaya pemerintah mensubsidi dana kesehatan masyarakat, lewat Puskesmas dan rumah sakit.

5. Meningkatkan biaya hidup penduduk karena meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok

6. Meningkatkan biaya perbaikan jalan-jalan rusak akibat truk-truk pengangkut batu bara. Selain itu, kepadatan jalan ini telah meningkatkan angka kecelakaan jalan raya.

7. Meningkatkan potensi timbulnya wabah panyakit, seperti misalnya malaria karena bekas galian yang dibiarkan terbuka yang digenani air menjadi tempat subur bagi perkembangan nyamuk

8. Meningkatkan ketegangan dan konflik antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan aparat, masyarakat dengan swasta dan pemerintah, dan konflik diantara sektor-sektor dalam pemerintah dan antara daerah dan pusat.

9. Menyuburkan korupsi dan penyimpangan-penyimpangan, sejak mulai perizinan hingga pungutan-pungutan tidak resmi, baik dijalan, alur sungai, maupun pelabuhan.

Semua ongkos sosial, ekonomi, dan kerusakan lingkungan yang mesti ditanggung akibat dari operasi pertambangan, tidaklah sebanding dengan manfaat finansial yang selalu dijadikan alasan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor ini.

Dalam tulisan ini, diperlihatkan sejumlah alasan mengapa mendorong pertumbuhan industri pertambangan batubara merupakan strategi pembangunan yang rapuh bagi Kalimantan Selatan, khususnya dan Indonesia pada umumnya. Ada beberapa alasan yang dikemukakan:

1. Komoditi batu bara adalah komoditi tidak terbarukan. Dengan tingkat eksploitasi yang tinggi dan semakin meningkat, seperti sekarang ini diperkirakan dalam tiga dekade ke depan cadangan batubara di Kalimantan Selatan akan habis. Apa lagi yang akan tersisa bagi rakyat ketika semua cadangan ini habis?

2. Sebagian besar produksi batu bara Kalimantan Selatan diekspor ke luar propinsi ini. Artinya produksi batu bara lebih banyak memenuhi kebutuhan pertumbuhan industri dan perekonomian daerah atau

SemuaÂongkosÂsosial,Âekonomi,ÂdanÂkerusakanÂlingkunganÂyangÂmestiÂditanggungÂakibatÂdariÂoperasiÂpertambangan,Â

tidaklahÂsebandingÂdenganÂmanfaatÂfinansialÂyangÂselaluÂdijadikanÂalasanÂpemerintahÂuntukÂmendorongÂ

pertumbuhanÂsektorÂini.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

negara tujuan eksport batubara. Dalam hal ini, Jawa dan negara-negara pengekspor lainya seperti Jepang, China, dan India. Dengan kata lain, Kalimantan Selatan hanya daerah pemasok bahan baku, sementara penduduk Kalsel tak lebih dari konsumen produk dan barang-barang yang dihasilkan oleh industri, yang bahan baku energinya berasal dari tambang-tabang batubara Kalimantan Selatan. Sementara mayoritas penduduk Kalsel menanggung resiko dan biaya yang paling besar akibat dari operasi pertambangan batu bara, masyarakat di negara-negara dan daerah pengekspor, sebaliknya. Mereka menikmati keuntungan besar, karena tingginya pertumbuhan ekonomi mereka. Ironis, membayangkan Kalimantan Selatan, salah satu lumbung batubara, yang memasok energi listrik di daerah lain, sementara penduduknya justru berhadapan dengan persoalan giliran mati lampu, karena kurangnya pasokan listrik.

3. Meningkatnya sumbangan sektor ini pada pendapatan daerah, ternyata tidak berkorelasi langsung dengan membaiknya tingkat kesejahteraan rakyat. Ini terlihat dari nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam sepuluh tahun terakhir, yang justru menurun. Selain penelitian Luthfi dkk (2007) juga menunjukkan bahwa nilai tambah ekonomi yang kecil dibanding dengan sektor pertanian. Sektor pertambangan selain rendah penyerapan tenaga, juga rendah penciptaan tenaga kerja. Ini sangat berbeda dengan sektor pertanian, yang menjadi mayoritas perekonomian rakyat di propinsi ini.

Dengan demikian, tidak banyak orang yang sebenarnya diuntungkan industri tambang batu bara ini. Sebaliknya, orientasi eksploitasi batu bara di Kalimantan Selatan malah menciptakan budaya konsumtif, yang ditunjukkan antara lain lewat meningkatnya biaya kebutuhan hidup, meningkatnya pertumbuhan mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan, meningkatnya pembelian mobil mewah, meningkatnya kredit motor, meningkatnya teman-tempat hiburan dll. Bayangkan apa yang akan terjadi ketika cadangan batu bara habis? Kebangkrutan ekonomi Kalsel bukan lah suatu mimpi yang tidak mungkin terjadi!

Dengan demikian, bukannya tanpa alasan bila dikatakan bahwa pilihan pemerintah daerah di bumi Antasari mendorong pertumbuhan industri pertambangan batu bara berpotensi menjadi bumerang. Selain tidak seimbangnya antara manfaat dan biaya yang harus , baik oleh negara maupun rakyat akibat kerusakan yang terjadi, alasan untuk meningkatkan PAD itupun patut dipertanyakan. Sebab manfaatnya tidaklah pasti nyata-nyata untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan kesejahteraan rakyat luas. Apalagi sudah menjadi rahasia umum sejak masa pasca-Suharto hampir dibanyak tempat praktek korupsi justru semakin meluas dan dilakukan secara berjamaah. Meski dalam studi ini tidak dilakukan investigasi secara mendalam tentang aspek ini, namun tidak tertutup kemungkinan aliran uang yang besar justru lebih banyak masuk ke kantong-kantong pribadi para pejabat negara di berbagai tingkat. Jadi siapa yang sesungguhnya yang lebih diuntungkan dari operasi pertambangan batu bara di Kalsel ini?

Tanpa ada upaya yang serius pemerintah maupun rakyat di propinsi ini, untuk menata kembali industri pengerukan batu bara di Kalsel, maka pemerintah dan rakyat Kalsel harus siap-siap menghadapi masalah serius akibat dari ekonominya yang mengalami kebangkrutan dan menyempitnya ruang hidup mereka dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Untuk mencegahnya, semua pihak perlu melakukan tindakan tegas.

Dengan temuan-temuan di atas, tak berlebihan bila rekomendasi yang ditawarkan studi ini berupa anjuran kepada pemerintah dan penduduk Kalimantan Selatan untuk mendorong langkah-langkah dilakukannya moratorium eksploitasi batubara di propinsi ini. Adapun langkah-langkah yang patut segera di ambil adalah sebagai berikut:

Menghentikan keluarnya izin-izin penambangan baru dilokasi-lokasi kawasan lindung dan kawasan-kawasan pegunungan dan tempat-tempat yang punya nilai , seperti daerah resapan dan tangkapan air. Untuk izin-izin tambang yang terlanjur dikeluarkan, perlu dilakukan evaluasi kembali terkait hal yang sama.

Baik pemerintah propinsi maupun kabupaten perlu segera membuat strategi pembangunan ekonomi yang lebih memberikan nilai tambah pada rakyat banyak. Itu artinya, perlu dibuat strategi transisi agar bisa keluar dari jebakan spiral kemiskinan akibat industri tambang, yang selain tak berkelanjutan (karena

cadangan suatu masa akan habis), juga nilai kerugiannya (sosial, ekonomi, budaya) jauh lebih besar dari pada nilai manfaatnya.

Dalam memaparkan temuan-temuan hingga rekomendasi, buku ini dibagi dalam 8 bab. Dalam bab dua akan digambarkan kondisi alam dan lingkungan Kalimantan Selatan yang, memerlukan perhatian khusus dalam menglolanya. Dalam bab ini akan dijabarkan dengan lebih rinci alasan utama mengapa kawasan ini perlu dilindungi dari kerusakan serius yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan batu bara.

Bab tiga bertujuan untuk menggambarkan sejarah eksploitasi batubara dalam berbagai kurun waktu dengan tujuan untuk menggambarkan bagaimana orientasi kebijakan pemerintah dan produksi tambang ini dalam konteks ekonomi politik yang berbeda-beda sejak masa kolonial Belanda.

Sementara pada bab selanjutnya, yaitu bab empat, pembahasan ditujukan untuk memberikan gambaran yang lebih rinci tentang bagaimana eksploitasi batubara di Kalimantan Selatan ini perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas yaitu eksploitasi sumberdaya alam yang diawali dengan penebangan hutan dalam skala besar, pembangungan perkebunan padat modal, serta bagaimana kaitannya dengan pertumbuhan pertambangan batubara.

Dalam bab lima akan dijabarkan dengan lebih jelas bagaimana naiknya angka produksi batubara di Kalimantan Selatan ini pada kenyataan tidaklah berbanding lurus dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan dari masyarakatnya.

Sedangkan dalam bab enam akan digambarkan dengan lebih jauh dampak-dampak lainnya seperti ancaman terhadap krisis pangan, meningkatnya ancaman longsor dan banjir, ancaman terjadinya krisis air, ancaman terhadap kesehatan dan meningkatnya hama penyakit, serta rusaknya pelayanan publik, yang semuanya ini ditimbulkan dari adanya pertambangan batubara.

Bab tujuh secara khusus akan membahas tentang respon rakyat selama ini terhadap kegiatan pertambangan. Digambarkan pula bagaimana kegiatan pertambangan ini telah memicu munculnya konflik yang tidak jarang mendorong terjadi kekerasan.

Bab delapan memuat kesimpulan diskusi yang diperoleh dari hasil lokakarya yang diselenggarakan di Banjarmasin pada Mei 2008. Hasil-hasil inilah yang kemudian dijadikan salah satu bahan untuk mempertajam rekomendasi dari studi ini.

TanpaÂadaÂupayaÂyangÂseriusÂpemerintahÂmaupunÂÂrakyatÂdiÂpropinsiÂini,ÂuntukÂmenataÂkembaliÂindustriÂpengerukanÂbatuÂbaraÂdiÂKalsel,ÂmakaÂpemerintahÂdanÂrakyatÂKalselÂharusÂsiap-siapÂmenghadapiÂmasalahÂseriusÂakibatÂdariÂekonominyaÂyangÂmengalamiÂkebangkrutanÂdanÂmenyempitnyaÂruangÂhidupÂmerekaÂdalamÂkurunÂwaktuÂyangÂtidakÂterlaluÂlama.ÂUntukÂmencegahnya,ÂsemuaÂpihakÂperluÂmelakukanÂÂtindakanÂtegas.ÂÂ

BicaraÂKalimantanÂSelatan,ÂtakÂbolehÂmelupakanÂMeratusÂdanÂsungai-sungainya.ÂMeratusÂkerapÂdisebutÂUma.ÂÂDalamÂbahasaÂbanjarÂhulu,ÂUmaÂberartiÂIbu.ÂIaÂbagaikanÂibuÂyangÂmemberikanÂairÂsusunyaÂuntukÂpendudukÂKalimantanÂselatan.ÂDanÂsebagianÂbesarÂsungai-sungaiÂdiÂKalimantanÂSelatanÂberpangkalÂdisini.ÂItulahÂkenapaÂdetakÂnadiÂsosial,ÂbudayaÂdanÂekonomiÂpropinsiÂiniÂbergantungÂpadaÂsungai-sungaiÂyangÂmengalirÂmembelahÂhampirÂsetiapÂibukotaÂkabupaten.Â

Sungai,ÂKerangkaÂMeratus|4

02

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Kalimantan Selatan beribukota di Banjarmasin. Ada 11 Kabupaten dan 2 Kota, yaitu Kabupaten Tanah Laut, Kotabaru, Batola, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong, Balangan dan Tanah Bumbu serta Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru. Propinsi ini memiliki 1.947 desa dan 119 kecamatan, luasnya mencapai 37.530,52 Km2 atau 3,75 juta ha. Hanya 5,05 persen luas Pulau Kalimantan.

Bagian tengahnya, dari utara ke selatan terbentang gugusan pegunungan Meratus. Daerah ini dipisahkan menjadi Meratus timur bagian timur dengan topografi bergelombang berat dan ringan. Daerah pantai dan daerah bergunung berbukit di tengah dengan luas sekitar 2,1 juta hektar. Umumnya ditumbuhi hutan rimba, semak belukar dan padang alang-alang. Sementara bagian barat, terbentang dataran rendah alluvial yang subur dan daerah rawa pasang surut, rawa monoton dan daerah banjir. Padang alang-alang merupakan daerah kritis, sebagian besar terletak di sepanjang kaki gunung Meratus, yaitu di antara daerah pegunungan dengan daerah alluvial di bagian barat. Juga antara daerah pegunungan dengan daerah pantai di sebelah timur. Luas padang alang-alang diperkirakan mencapai 834.546 Ha atau 22,2 % luas propinsi.

Kawasan propinsi ini, setidaknya dialiri 64 sungai yang membentuk 15 Sub Daerah Aliran Sungai (DAS). Sungai besar dan penting, antara lain Sungai Barito, Sungai Martapura, Sungai Nagara, Sungai Riam Kanan, Sungai Riam Kiwa, Sungai Balangan, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit, Sungai Tapin, Sungai Kurau, Sungai Pelilingkau, Sungai Kintap, Sungai Batu Licin, Sungai Sampanahan. Hampir seluruh sungai-sungai tersebut berpangkal di Pegunungan Meratus dan bermuara di Laut Jawa dan Selat Makasar. Ini sumber-sumber air terbesar yang memasok kebutuhan air bersih penduduk.

Gambar. Peta Kawasan Hutan Propinsi Kalimantan Selatan

Keterangan: HL = Hutan Lindung, HP = Hutan Produksi, HPK = Hutan Produksi Konversi, HPT = Hutan Produksi Terbatas, CA = Cagar alam. Sumber: Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan 2006

ÂÂ MeratusÂ

Bisa dibilang, kawasan Meratus adalah jantung Kalimantan Selatan. Pegunungan Meratus sudah menjadi perhatian khusus Gubernur Jenderal Belanda sejak 1928. Melalui peraturan Gouvernements Besluit (GB) No.10 dan 11 tanggal 10 Pebruari 1928. Melalui GB No. 10, kawasan ini ditetapkan menjadi hutan cadangan untuk pengaturan tata air (hidrologis). GB No 10 untuk kawasan Hutan Meratus Pasir di Wilayah Kotabaru, sedangkan GB No. 11 menetapkan kawasan hutan Meratus Hulu Sungai di wilayah Hulu Sungai. Kedua kawasan inil yang kemudian dikenal sebagai kawasan hutan lindung Pegunungan Meratus - dalam TGHK Propinsi Kalimantan Selatan tahun 1984, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan Selatan 1996 dan SK. Menhutbun No. 453/Kpts-II/1999 Tanggal 17 Juni 1999.Pada tahun 1981, areal Pegunungan Meratus luasnya sekitar 246.250 ha, membentang dari Kabupaten

02

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Tabalong hingga Hulu Sungai Selatan. Ia bahkan diusulkan Organisasi Pangan Dunia - FAO menjadi kawasan konservasi Cagar Alam Meratus Hulu Barabai dengan luas 200 ribu ha, dan Cagar Alam Meratus Hulu Tanjung dengan luas 46.250 ha1. Kemudian Balai Konservasi Sumber daya Alam V Banjarbaru, mengusulkan dua kawasan tersebut sebagai calon kawasan konservasi2.

Sepanjang 1984 – 1987, sebagian kecil kawasan itu mengalami pembalakan oleh perusahaan Hak Penguasaan Hutan PT. Fass Forest3. Lokasinya di sekitar Desa Batu Perahu, Gunung Tiranggang dan Gunung Periuk. Perusahan ini mendatangkan banyak masalah bagi masyarakat dayak yang tinggal di sekitarnya. Mulai urusan ganti rugi lahan dan tanaman pohon hingga masalah pencemaran lingkungan. Bersama kelompok masyarakat sipil yang mendukungnya, masyarakat dayak mendesak pembalak kayu itu berhenti. Dan berhasil. Pada 1987, perusahaan hengkang.

Penilaian Potensi Calon Kawasan Konservasi Meratus Hulu Barabai baru dilakukan tahun 1997 oleh Balai Konservai Sumber Daya Alam V Banjarbaru. Ini meliputi upaya mengumpulan data dan infomasi mengenai potensi sumber daya alam dan ekosistem calon kawasan konservasi Meratus Hulu Barabai. Hasilnya akan menjadi pertimbangan memutuskan status Meratus Hulu Barabai - sebagai kawasan konservasi. Kawasan ini lantas diusulkan menjadi Taman Nasional, yang luasnya sekitar 18.350 ha. Ia akan meliputi Gunung Sipapan di Utara hingga Gunung Haung-haung dan Gunung Mapagang di Selatan membentang sepanjang 25 km.

Pada tahun 1997, BKSDA V Banjarbaru mengusulkan penunjukkan definitif sebagai kawasan Taman Nasional kepada Departemen Kehutanan. Surat itu mendapat dukungan Gubenur, Bupati Hulu sungai tengah, Hulu Sungai Selatan dan Kotabaru 4. Namun hingga saat ini usulan tersebut belum terwujud.

Sementara upaya perlindungan menunggu keputusan pemerintah pusat, kawasan Meratus diancam alih fungsi. Salah satunya pada 1999, sebagian kawasan akan dialih fungsi menjadi Hutan Produksi terbatas, yang kemudian bisa diusahakan oleh sebuah perusahaaan berijin Hak Penguasaan Hutan, yaitu PT. Kodeco Timber5. Namun, alih fungsi itu mendapat penolakan keras masyarakat Suku Dayak, lembaga Swadaya Masyarkat, akademisi dan pemerhati lingkungan.

Akhirnya Departemen Kehutanan menarik kembali surat keputusan tersebut. Akhirnya mereka bersepakat membentuk tim terpadu untuk mengkaji pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang berkaitan dengan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutanvi. Tim terpadu menilai peran hutan lindung pegunungan Meratus-Sungai Amandit sangat penting dibandingkan mengubahnya menjadi hutan produksi terbatas.

Bentang pegunungan Meratus berupa daerah berbukit-bukit yang sangat beragam tingkataannya, dari sedang, terjal hingga sangat terjal. Ketinggiannya berkisar dari 100 m dpl (di atas permukaan laut) hingga 1.892 m dpl. Formasi ekosistemnya pun beragam. Berdasarkan kisaran ketinggian tempatnya, Meratus Hulu Barabai ini mewakili 3 tipe ekosistem sekaligus, yaitu hutan dataran rendah - ketinggian 100 hingga 500 m dpl, hutan pegunungan rendah - ketinggian 500 hingga 1.000 m dpl dan hutan pegunungan tinggi - ketinggan 1.000 m dpl ke atas.

Kawasan ini juga memiliki tipe ekosistem karst (bentang alam kapur) dan gua-gua alam. Sebagian kawasannya masih ditutupi hutan alami, mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Hutannya didominasi formasi hutan campuran dipterocarpaceae perbukitan bawah-atas dan hutan hujan pegunungan. Kawasan ini meliputi 10 Kabupaten di Propinsi Kalimantan Selatan.

Keragaman hayati Meratus sangat tinggi. Data Tim Ekspedisi Meratus 2005, yang dilakukan Yayasan

Cakrawala Hijau Indonesia bersama masyarakat adat, minimal dicatat 78 jenis dari 21 suku mamalia atau sekitar 35,14% mamalia Kalimantan, Avifauna sebanyak 316 jenis dari 47 suku atau sekitar 88.27% dari jumlah jenis burung di pulau Kalimantan yang mencapai 358 jenisvii. Ada juga 130 jenis dari 20 suku Herpetofauna, 65 jenis ikan jenis dari 25 suku, dan 408 jenis serangga 408 dari 54 suku – dimana 173 jenis diantaranya adalah kupu-kupu.

Dari jumlah diatas, ada 116 jenis satwa yang dilindungi Undang-undang. Mereka diantaranya Macan Dahan (Neofelis nebulosa), Owa owa (Hylobates albibarbis), Hirangan (Presbytis frontata) Bekantan (Nasalis larvatus), Lutung Merah (Presbytis rubicunda), Ayam Hutan (Lophura ignita) dan Cukias (Lophura bulweri), Betet-kelapa Filipina (Ciconia stormi), Elang Walacea (Spizaetus nanus), Biawak (Varanus salvator) Ular Sendok (Naja sumatrana), King Cobra (Ophiophagus hannah), Jelawat (Tor tambra), Trogonoptera brookiana albescens, dan Troides amphyrisus thomsonii. Tingkat endemisitas satwa atau hanya dijumpai dikawasan tersebut - cukup tinggi, sekitar 75 jenis.

Formasi vegetasi utama di Pegunungan Meratus adalah hutan perbukitan campuran Dipterocarpaceae

(Hill Mixed Dipterocarps) dan dilanjutkan dengan formasi hutan pegunungan bawah dimana merupakan kesatuan yang mendukung keragaman jenis berbagai jenis satwa (Payne, 1985).

Kawasan ini habitat penting bagi jenis-jenis flora yang dilindungi dan endemik, seperti; beberapa jenis Tengkawang (Shorea amplexicaulis, Shorea mecistopteryx, dan Shorea pinanga. (lihat Newman et. al., 1999), berbagai jenis anggrek, diantaranya adalah Arachnis breviscapa, Calanthe crenulata, Dendrobium olivaceum, Paphiopedilum hookerae, dan Paphiopedilum supardii (lihat Chan et.al., 1994).

Berdasarkan ketinggian dari permukaan laut, sebagian besar kelompok Hutan Lindung Pegunungan Meratus dapat dikelompokan sebagai hutan pegunungan bawah (Lower montane tropical rain forets) (Whitemore 1984 dalam Whitten, 1997).

Berdasarkan hasil survei mikro pada tahun 1984 (Badan Intag, 1984), jenis pohon pohon yang dominan adalah Meranti putih (Shorea spp), Meranti merah (Shorea spp), Agathis (Agathis spp), Kanari (Canarium dandiculatum BI), Kempas (Koompassia sp), Belatung (Quercus sp), Durian (Durio sp), Gerunggang (Croloxylon arborescen BI), Nyatoh (Palaquium spp), dan Medang (Litsea sp).

Secara geomorphologi kawasan ini terletak di lereng atas Meratus. Ia memiliki bahan induk batuan beku, yang terbentuk di jaman Jura (Jurassic) tengah hingga Kapur akhir�.

Berdasarkan Klasifikasi Tanah USDA, kawasan ini berjenis tanah Ultisol - setara dengan Podsolik Merah

Macan dahan (Neofelis nebulosa); salah satu penghuni hutan Meratus. Sumber www.insurancebroadcasting.com/031607-p3.jpg

TahunÂ1999,ÂkawasanÂMeratusÂdiancamaÂalihÂfungsiÂmenjadiÂHutanÂProduksiÂterbatas,ÂyangÂkemudianÂbisaÂdiusahakanÂolehÂsebuahÂperusahaaanÂberijinÂHakÂPenguasaanÂHutan,ÂyaituÂPT.ÂKodecoÂTimber.ÂNamun,ÂalihÂfungsiÂituÂmendapatÂpenolakanÂkerasÂmasyarakatÂSukuÂDayak,ÂlembagaÂSwadayaÂMasyarkat,ÂakademisiÂdanÂpemerhatiÂlingkungan.

Paphiopedilum supardii, jenis endemik Kawasan Meratus, sumber www.orchidspecies.com/orphotdir/paphsupardii.jpg

02

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Kuning�. Jenis tanah lainnya yang dijumpai adalah Inceptisol - setara dengan Planosol. Jenis pertama merupakan tanah tua, sedangkan yang kedua relatif muda. Diantara keduanya, tanah Podsolik Merah Kuning mendominasi sebagian besar wilayah. Tanah jenis ini telah mengalami proses pelapukan dan pencucian lanjut sehingga kesuburannya rendah. Tanah ini mempunyai kedalaman cukup tebal, yaitu berkisar 1 hingga 2 meter. Pada umumnya pada profil tanah nampak ada agregat-agregat pasir yang terikat besi dan konkresi besi. Jenis tanah ini mempunyai pH antara 4,5 – 6,5, sangat miskin hara mineral - terutama Nitrogen, Phospor dan Kalium, dan memiliki kepekaan erosi tinggi. Penduduk disekitar hutan sebagian besar mengusahakan tanah jenis ini untuk berladang gilir balik dan menanam tanaman keras.

Topografi pada berbagai titik sangat bervariasi. Mulai kelerengan kurang dari 20 %, yang berupa perbukitan lebih rendah - terutama di sebelah timur Pegunungan Meratus. Hingga puncak pegunungan, dan kelerengan lebih dari 70% pada beberapa tempat di bagian tengah dan yang lebih tinggi. Gambaran kelerengan pada sebagian daerah dimaksud dapat dilihat dari tabel berikut:Sumber : Diinterpretasi Dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50.000

Catatan : Pada kawasan hutan yang tertutup awan, tingkat kelerengannya diekstrapolasi dari wilayah sekitarnya

Masa orde baru, hingga tahun 1995/1996, jumlah HPH di Kalimantan Selatan ada 11 buah, yng menguasai wilayah seluas 1.054.240 Ha10. Dimana sebagian besar kawasan tersebut berada di sekitar wilayah Meratus. Menurut Transtoto Handadhari11, sebanyak 30% hutan di Pegunungan Meratus telah hilang per periode 2000. Sebagai dampak dari maraknya pembalakan dan pertambangan liar di kawasan tersebut. Sejurus hancurnya kawasan ini, data dari Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan menyatakan bahwa jumlah luasan lahan kritis di dalam kawasan hutan lindung mencapai 187.384,59 Ha. (Lihat Lampiran)

Ke depan pengrusakan wilayah ini akan semakin besar seiring diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 pada 4 Pebruari 2008 yang lalu. Melalui PP ini dimungkinkan penggunaan kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar, hanya dengan membayar Rp 1,8 juta-Rp 3 juta per hektarnya.

Sumber : SK Menhutbun No. 453/Kpts-II/1999 tentang penunjukan kawasan hutan & perairan di provinsi Kalimanta Selatan

Setelah pembalakan kayu dan perkebunan, ancaman Meratus berikutnya adalah pertambangan. Kerakusan sektor pertambangan ini bahkan sudah merangsek jauh ke kawasan hutan lindung itu sendiri. Paling tidak ada 280 perusahaan pemegang Kuasa Pertambangan di kawasan hutan ini dengan konsesi area seluas 553.812 Ha, jumlah ini belum termasuk Kuasa Pertambangan yang masih dalam proses pinjam pakai kawasan hutan (terdapat 97 buah KP) dan 14 perusahaan pemegang Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) seluas 50.278,59 Ha. Sebagian besar kawasan tambang berada di daerah aliran sungai penting. Selain masuk ke kawasan hutan, pertambangan juga merengsek ke kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 264.052 Ha12. Dapat dibayangkan betapa superior dan mengguritanya sektor ini, sehingga dengan cepat dan mudahnya mendapatkan izin dalam melakukan bisnis pertambangan.

Yang lebih parah, pengerukan batubara yang dilakukan banyak menggunakan cara tambang terbuka dengan mengupas permukaan tanah bagian atas13. Akibatnya bisa dibayangkan, kerusakan tidak hanya selama kegiatan pengerukan, namun hingga tambang selesai.

Pembabatan hutan besar-besaran dan terus menerus di permulaan periode pengerukan bahan tambang, akan mengakibatkan terbukanya lahan secara besar-besaran. Hal yang terjadi kemudian adalah menurunnya kerapatan tegakan hingga mencapai angka nol. Tak hanya tumbuhan bernilai ekonomi tinggi yang rusak, banyak jenis tumbuhan yang memiliki fungsi sosial ekologis juga akan musnah. Kehilangan ini berlanjut terhadap terganggunya habitat kehidupan liar. Akibat pembukaan lahan di kawasan hutan akan mengganggu kelangsungan hidup satwa, terutama yang tinggal diatas tanah dan pohon. Dalam rangkaian kehidupan, satwa-satwa tersebut berperan penting menebarkan biji-bijian. Perusakan habitat satwa ini juga, serta-merta, akan memicu konflik perebutan wilayah hidup antara manusia dan satwa.

Selain itu, perusakan hutan Pegunungan Meratus oleh pertambangan akan menggangu siklus hidrologi. Hutan hujan akan menahan dan menyerap air yang datang dari hujan. Sebagian air hujan mengisi pori tanah, selebihnya di alirkan ke sungai-sungai. Jika hutan hujan ditebangi, uap air yang masuk ke atmosfer

KelasÂVIÂ(E)

KelasÂVÂ(D)

KelasÂIVÂ(C)

KelasÂIIIÂ(B)

KemiringanÂlerengÂ(%) JumlahÂgarisÂkonturÂtiapÂcm LuasÂ(Ha)

SangatÂCuramÂ;Â>40 >Â8 ±Â5.210

CuramÂ;Â25Â-Â40 5Â-Â8 ±Â14.930

AgakÂCuramÂ;Â15Â-Â25 3Â-Â5 ±Â27.020

LandaiÂ;Â8Â-Â15 2Â-Â3 ±Â6.840

Kelas lereng

175.565 ha

554.139Âha

155.268Âha

688.884Âha

265.638Âha

Kawasan Suaka Alam dan KawasanPelestarian Alam (Darat dan Perairan)

Kawasan Lindung

Kawasan Produksi Terbatas

Kawasan Produksi Tetap

Kawasan yang dapat dikonversi

Total Luas Hutan1.839.494 ha

Tabel Luas Kawasan hutan

02

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

akan semakin berkurang, dan hujan yang diturunkan pun turut berkurang, bahkan terkadang hingga menyebabkan kekeringan. Sebaliknya, pada musim penghujan akan terjadi banjir karena penahan air hilang. Jika hutan Meratus rusak, semua air hujan yang mencapai 4.000 ml/tahun akan menjadi air permukaan. Aliran air itu akan memperbesar erosi dan mempunyai daya rusak tinggi terhadap apa saja yang menghambat alirannya ketempat yang lebih rendah. Dari sinilah banjir berasal.

Dulunya, di kawasan Meratus, banjir hanya terjadi per sepuluh tahunan. Namun saat ini menjadi agenda tahunan. Dalam catatan Walhi Kalimantan Selatan, pada kurun waktu 2004 hingga 2008, hanya Kotamadya Banjarmasin yang tidak pernah mengalami banjir. Dam banjir ini telah memakan korban jiwa dan harta, memaksa ribuan masyarakat menjadi pengungsi.

Datangnya banjir dan longsor tersebut bukannya sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan keberadaan pertambangan batubara di wilayah tersebut. Terlebih lagi, pada sebagian besar titik-titik banjir itu adalah hasil perusakan gabungan dari konsesi tambang dan perkebunan besar kelapa sawit. Ketika curah hujan yang tinggi menggerus permukaan tanah di wilayah bukaan tambang. Air permukaan yang mengalir tidak terserap dan tertampung, walaupun disekitar areal bukaan tersebut terdapat ribuan hektar kelapa sawit. Sebab kelapa sawit sendiri bukanlah tanaman yang banyak menyerap air, walau disatu sisi kelapa sawit merupakan tanaman yang rakus air. Dia hanya menyerap untuk keperluannya saja. Air yang tak tertampung akan terus mengalir melewati wilayah perkebunan menuju areal pertanian perumahan dan lainnya. Banjir tahunan ini terjadi di wilayah Satui, Kintap dan Pamukan. Inilah kawasan pusat pengeruka batubara dan pembukaan kebun sawit.

Pun demikian dengan tanah longsor, walaupun mencapai kondisi ini diperlukan beberapa prasyarat. Secara teoritis kontribusi pengurangan kuat geser tanah pada lereng alam yang mengalami longsor, disebabkan faktor alam itu sendiri. Yang kesemuanya erat kaitannya dengan kondisi geologi wilayah tersebut. Antara lain jenis tanah, tekstur (komposisi) dari tanah pembentuk lereng, bentuk butiran tanah, pelapisan tanah, geomorfologi (kemiringan daerah), iklim, terutama hujan dengan intensitas tinggi atau sedang, dengan jangka waktu lama.

Pada batuan, pengurangan kuat geser dapat diakibatkan oleh diskontinuitas, sifat kekakuan, arah bedding joint, orientasi lereng, derajat sementasi batuan misalnya konglomerat, batuan pasir, breksi, dan lain-lain. Disamping itu, pengaruh fisik dan kimia juga berpengaruh terhadap pengurangan kuat geser. Pengaruh fisik antara lain lemahnya retakan-retakan yang terjadi pada tanah lempung, hancurnya batuan breksi

(disintegrasi) akibat perubahan temperatur, proses terkait dengan meningkatnya tegangan air pori, dan oversaturation lapisan tanah berbutir halus (loess). Sedangkan pengaruh kimia dapat diakibatkan oleh larutnya bahan semen dalam batuan pasir dan konglomerat.

Faktor lain yang berpengaruh adalah bertambah berat beban pada lereng dapat berasal dari alam itu sendiri, antara lain air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah pada bagian lereng yang terbuka (tanpa tanaman penutup) menyebabkan kandungan air dalam tanah meningkat, tanah menjadi jenuh, sehingga berat volume tanah bertambah dan beban pada lereng makin berat. Pekerjaan timbunan di bagian lereng tanpa memperhitungkan beban lereng, dapat memicu terjadinya longsor.

Kawasan Pegunungan Meratus memiliki tekstur dan jenis tanah dengan tingkat erodibilitas tinggi atau kemampuan terkikisnya tinggi. Kandungan bahan organiknya tinggi namun mudah tercuci. Tingkat kelerengan curam hingga sangat curam. Juga memiliki curah hujan yang sangat tinggi. Secara alami kawasan ini mudah longsor.

Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lereng-lereng yang terbuka akibat kegiatan manusia. Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan. Pengerukan oleh industri tambang, lebih parah terjadi. Lahan-lahan pada kondisi lereng sangat miring, menjadi terbuka dan rawan longsor. Sedikit gangguan saja, kemugkinan terjadi longsor diikuti banjir, sangat tinggi.

ÂÂ Sungai-sungai

Dulunya,ÂdiÂkawasanÂMeratus,ÂbanjirÂhanyaÂterjadiÂperÂsepuluhÂtahunan.ÂNamunÂsaatÂiniÂmenjadiÂagendaÂtahunan.ÂDalamÂcatatanÂWalhiÂKalimantanÂSelatan,ÂpadaÂkurunÂwaktuÂ2004ÂhinggaÂ2008,ÂhanyaÂKotamadyaÂBanjarmasinÂyangÂtidakÂpernahÂmengalamiÂbanjir.ÂDamÂbanjirÂiniÂtelahÂmemakanÂkorbanÂjiwaÂdanÂharta,ÂmemaksaÂribuanÂmasyarakatÂmenjadiÂpengungsi.

Tambang di tengah kebun HTI di Tanah Bumbu. Dok. Walhi Kalsel

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i Sejak dulu, ketika kita berbicara tentang Banjar, maka salah satu keunikan geografis yang mencuat terhadap daerah ini adalah sungai-sungainya. Dengan menyesuaikan pada kondisi lingkungan yang ada, maka tidaklah mengherankan jika pemusatan penduduk di Kalimantan Selatan berbasis di tepian sepanjang sungai-sungai yang ada. Dengan keadaan seperti inilah, kehidupan sungai menjadi salah satu ciri yang menonjol dari masyarakat Banjar

(Bambang Sugiyanto: 2004) 14.

Berdasarkan tipologi alamnya, secara Kalimantan Selatan bisa dibagi kedalam empat daerah dengan ciri-ciri fisik tertentu. Pertama adalah daerah pegunungan atau hutan yang terletak di sepanjang Pegunungan

Meratus, Kusan, dan Babaris yang luasnya kurang lebih 2,1 juta ha. Kedua, daerah rawa yang terdiri dari daerah-daerah rawa pasang surut di sepanjang Sungai Barito dan rawa monoton di daerah sepanjang lembah-lembah Sungai Barito dan Sungai Negara terus ke utara, hingga Tanjung seluas lebih 800 ribu ha. Ketiga, daerah dataran rendah alluvial di kaki Pegunungan Meratus dengan luas sekitar 200 ribu ha. Keempat daerah alang-alang yang terdapat diantara pegunungan dan daerah dataran alluvial, juga antara pegunungan dengan daerah pantai sebelah timur seluas lebih 800 ribu ha.

Kawasan ini banyak dialiri sungai-sungai. Sebagian besar juga digunakan untuk sarana transportasi. Tiap hari, terlihat hilir mudik jukung, rakit, kapal, maupun sungai Barito, Sungai Martapura dan anak-anak sungainya.

Diantara anak-anak sungai penting kawasan Meratus adalah Riam Kanan dan Riam Kiwa, Sungai Negara dan cabang-cabangnya, dan beberapa sungai lainnya, antara lain Sungai Kurau, Sungai Palingkan, Sungai Kusan, dan Sungai Kintab. Sungai yang hanya bisa digunakan sebagai sarana transportasi air dengan menggunakan rakit adalah hulu-hulu sungai berjeram, seperti Sungai Amandit, Sungai Pitap, Sungai Niwani, Sungai Tampaan, Sungai Kinapin.

Bisa dibilang, sungai adalah rangka perangkai ke empat tipologi bentang alam Kalimantan Selatan. Mulai dari puncak gunung, hingga lembah alang-alang dan rawa.

Sebagai daerah yang banyak dialiri sungai, kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya penduduknya sangat dipengaruhi sungai-sungai tersebut. Interaksi antara penduduk dengan sungai ini dikenal dengan budaya sungai. Menurut alur sejarah, budaya sungai sudah mendarahdaging bagi penduduk Kalimantan Selatan. Jukung sebagai alat transportasi perairan sudah menjadi alat transportasi penting dalam penyebaran penduduk dari pesisir menuju pedalaman Kalimantan. Bahkan lebih jauh sebelum ‘lahirnya’ suku Banjar itu sendiri. Sebagaimana dipaparkan oleh Erik Petersen dalam bukunya tentang jukung yang berjudul “Jukung Boats From The Barito Basin”, diterbitkan oleh Banjarmasin Post Group pada tahun 2001.

Menurut Bambang Sudibyto (2006), sungai-sungai di Kalimantan Selatan telah berfungsi secara integratif mendukung kehidupan penduduknya - jauh sebelum abad ke-16. Baik fungsi ekonomi, ekologi, sosial budaya, politik, pertahanan, bahkan religi. Dalam fungsi ekonomi, sungai menjadi sarana pengangkutan yang menghubungkan pedalaman Kalimantan Selatan dengan komunitas perdagangan internasional.

Dewasa ini budaya sungai telah mengalami degradasi, terutama pada penggunanan alat transportasi. Ini diperparah dengan berkurangnya fungsi sungai karena pencemaran sampah, pendangkalan akibat erosi,

Pasar Terapung Lok Baintan Kalimantan Selatan.

02

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

penyempitan badan sungai akibat desakan pertumbuhan pemukiman, pencemaran dari limbah domistik, dan lain sebagainya.

Pemukiman penduduk di Kalimantan Selatan pada awalnya adalah linier mengikuti alur sungai. Pola pemukiman itu melahirkan pasar-pasar apung tradisional yang masih bertahan, dengan bentuknya yang lebuh modern. Sebut saja Pasar Martapura, Pasar Lama, Pasar Marabahan, dan Pasar Paringin. Semua pasar ini tidak jauh dari sungai. Sungai menyediakan akses transportasi perdagangan.

Pemukiman di sekitar sungai, memudahkan masyarakat memenuhi kebutuhan airnya. Selain untuk kebutuhan harian, seperti mandi dan mencuci, air sungai juga dikonsumsi. Semuanya tanpa tenaga dan biaya yang besar.

Sungai juga lahan pangan, khususnya gudang protein hewani seperti ikan. Baik untuk memenuhi kebutuhan keluargai maupun untuk dijual. Di daerah pasang surut, sungai digunakan untuk mengairi sawah-sawah penduduk.

Seiring perkembangan jaman dan gencarnya pembangunan Kalimantan Selatan, hampir semua transportasi perairan tergantikan transportasi darat. Namun fungsi sungai lainnya, mulai fungsi mukim, penyedia sumber air dan sebagai lahan usaha masih tetap berlaku.

Paparan diatas memberikan gambaran, betapa pentingnya sungai bagi penduduk Kalimantan Selatan. Dan gangguan terhadap sungai akan mengganggu kondisi sosial ekonomi penduduknya..

Pertambangan adalah indutri yang beresiko mengganggu sungai. “Kegiatan pertambangan banyak menutup Daerah Aliran Sunga, sehingga membuat genangan air. Bahkan pertanian dan perkebunan warga

selalu dikalahkan jika ada lahan yang mengandung tambang mineral,” demikian diungkapkan sejumlah peserta seminar pengembangan tambang mineral di Balangan Kamis (3/8/2006), di gedung SKB Paringin.

Air yang tercemar akan meracuni biota yang ada disekitarnya. Logam berat dari limbah tambang memang tak akan seketika membunuh. Tapi penumpukannya (bioakumulasi) didalam tubuh dalam jangka panjang lebih mengkhawatirkan akibatnya. Resiko penyakit kulit, saraf dan gangguan reproduksi  sangat potensial  dialami masyarakat sekitar yang  mengkonsumsi  air tersebut. Kasus matinya ribuan ikan setiap tahun di

Hilir mudik tongkang batubara di Sungai Barito

SungaiÂBaritoÂTercemarBanjarmasin Post. Jumat, 21 Januari 2005 23:47:45

Marabahan, BPostPuluhan tongkang batu bara yang setiap hari melayari perairan Sungai Barito,disinyalir telah

mencemari sungai serta ekosistem perairan yang ada. Salah satu yang bisa dilihat secara kasat

mata terjadinya abrasi di tepian sungai, akibat gelombang tongkang batu bara yang melewati

sungai ini.

Bupati Batola H Eddy Sukarma MSi mengungkapkan hal ini, usai rapat dengan muspida, tokoh

masyarakat, dinas instansi terkait serta LSM di Marabahan, Kamis (20/1). Eddy mengatakan,

mereka sepakat membentuk tim pengkajian terhadap dampak negatif pengangkutan batu

bara yang melalui Sungai Barito.Ditambahkannya, dari 17 kecamatan di wilayahnya, 13 kecamatan di antaranya yang dilintasi

Sungai Barito telah terkena dampak negatif, dari pengangkutan batu bara menggunakan

kapal tongkang tanpa penutup tersebut. Antara lain, berupa rusaknya ekosistem perairan

Sungai Barito, abrasi pada pinggiran sungai yang semakin parah dan pencemaran lingkungan.Meski begitu Eddy mengakui, pihaknya belum memiliki data konkrit atas kerusakan yang

ditimbulkan oleh pengangkutan batu bara tersebut, walaupun secara kasat mata bisa dilihat.”Tim pengkajian segera bekerja, guna mengumpulkan bukti-bukti terjadinya dampak negatif,

dari pengangkutan batu bara yang melewati Sungai Barito di wilayah Batola tersebut,” paparnya.

Jika data tentang dampak negatif belum dimiliki, Eddy mengaku akan kesulitan untuk mengajukan tuntutan kompensasi atau dalam bentuk lain, kepada perusahaan pertambangan

batu bara yang memanfaatkan Sungai Barito untuk mengangkut produksinya itu.Pada rapat tersebut, Camat Marabahan, Ardiansyah SSos mengungkapkan, Sungai Barito saat

ini tercemar batu bara. Hal itu terjadi, terutama saat air hujan menyiram tongkang pengangkut

yang keadaannya terbuka dan membawa material batu bara hingga mengalir ke perairan

Sungai Barito.Padahal sungai itu selain menjadi sumber mata pencaharian bagi para nelayan, airnya juga dikonsumsi warga setempat, disamping memenuhi kebutuhan mandi, mencuci dan

kebutuhan sehari-hari lainnya.Sementara kontribusi yang diberikan perusahaan pertambangan batu bara, PT Adaro Indonesia (AI), yang memanfaatkan Sungai Barito tersebut untuk pengangkutan produksinya,

selama 2004 diungkapkan hanya sekitar Rp600 juta. Nilai tersebut dinilai terlalu sedikit. ”Dana

Community Development (CD) tersebut terlalu sedikit,” tandas satu peserta rapat. dwi/ant

02

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Riam Kiwa, diduga berkaitan dengan kegiatan penambangan di kawasan hulu sungai. Sehingga ketika hujan mengguyur kawasan perbukitan rembesannya jatuh ke Sungai Riam Kiwa, ribuan ikan di sungai tersebut lemas dan mengapung. Peristiwa acapkali terjadi di saat musim kemarau tiba.

Selain pencemaran, gangguan terhadap fungsi sungai juga disebabkan oleh pengangkutan batubara. Menurut Ketua Tim Pengkajian Batubara Bata, Anwlehar Ansyari SH saat penyampaian hasil penelitian kajian kegiatan lalu lintas batubara di wilayah Kabupaten Barito Kuala�. Ada sejumlah pekerjaan masyarakat pesisir Sungai Barito yang terancam hilang selama berlangsungnya lalu lintas angkutan batubara melalui sungai. Sebelum angkutan batubara lalu lalang, penghasilan para pencari ikan di sungai itu lebih banyak. Namun setelah angkutan batubara ramai, ikan-ikan yang hidup di Sungai Barito berkurang.

Bukan hanya itu. Nelayan juga tak leluasa lagi mencari dan menangkap ikan. Begitu tongkang batubara lewat, air yang ada di sekitarnya tongkang seolah tersedot. Hasil sementara telaah di sektor perikanan, getaran air di permukaan tersebut membuat ikan-ikan menjadi kurang cepat berkembang biak. Bahkan ikan yang dulunya ramai berlarian mencari tempat yang lebih nyaman, kini ekosistemnya terganggu. Lebih lanjut disinyalir bahwa runtuhnya siring Marabahan erat kaitannya dengan tekanan arus bawah yang ditimbulkan oleh tongkang-tongkang batu bara.

ÂÂ TumpangÂTindihÂLahanBerbicara tentang ruang hidup yang terganggu akibat dari sebaran kegiatan pengerukan dan deposit batu bara di Kalimantan Selatan, sangat menarik jika ditinjau dari tumpang tindih penggunaan lahan. Baik antara perkebunan dengan kehutanan, perkebunan dengan pertambangan, maupun kehutanan dengan pertambangan. Termasuk persoalan tumpang tindih semua kegiatan tersebut dengan pemukiman penduduk.

Di kabupaten Tabalong misalnya, sekitar 90% penduduk tinggal dalam kawasan konsesi HPH, pertambangan dan kawasan konservasi. Artinya tidak ada ruang hidup rakyat yang bebas dari eksploitasi kehutanan dan tambang. Dari sudut pandang Departemen Kehutanan, keberadaan masyarakat dalam areal yang diklaim negara sebagai “kawasan hutan” tersebut adalah ilegal, sementara dari sisi Departemen Energi Sumber Daya Mineral, masyarakat yang tinggal disana harus rela digusur dan lahannya di alih fungsi menjadi tambang. Menurut Kepala Dinas Pertambangan Kalsel tahun 2006, Sukardi ”Kecuali rawa dan sungai, Kalsel nyaris habis dikapling untuk pertambangan,”17

Salah satu isu tentang pengeluarkan izin KP oleh Bupati adalah persoalan tumpang tindih konsesi baik antara KP dengan KP lainnya, antara KP dengan PKP2B, termasuk pula tumpang tindihnya dengan kehutanan dan perkebunan. Dalam kutipan Kompas, sekitar 300 izin KP itu lokasi tambangnya tumpang tindih dengan kawasan kehutanan, perkebunan, pertanian, areal pertambangan milik PKP2B, dan dengan pemegang KP lainnya18.

Pesatnya eksploitasi sumber daya alam menyebabkan tumpang tindih maupun rebutan lahan. Belum berakhirnya episode HPH secara tuntas perkebunan dan pertambangan mulai marak. Begitu pula Hutan Tanaman

Peta tumpang tindih lahan

02

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Industi, belum selesai ditanami sudah ada blok-blok konsesi pertambangan di kawasan tersebut. Begitu pula antara perkebunan dan pertambangan saling berebutan lahan.

Menurut data dari dinas kehutanan tahun 2006, kawasan tambang yang tumpang tindih dengan kawasan pengusahaan hutan baik itu HPH maupun HTI sedikitnya 18.101 Ha. Lima perusahaan HTI yang tumpang tindih dengan tigabelas perusahaan tambang PKP2B maupun KP. Empat perusahaan HPH dari lima perusahaan HPH aktif yang tumpang tindih dengan sembilan perusahaan tambang PKP2B maupun KP.

Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan Kalsel, 290 ribu ha HTI tumpang tindih dengan lahan batu bara. ”Itu tersebar di berbagai wilayah Kalsel,” kata Kadishut Ir Sony Partono. HTI tersebut ada yang sudah digarap, ada yang belum. ”Kita meminta kuasa pertambangan (KP) yang melakukan pinjam pakai lahan atau mengubah fungsi untuk melengkapi persyaratannya,” kata kepala dinas kehutanan ini. Salah satu perusahaan yang harus memenuhi persyaratan Departemen Kehutanan adalah PT Gunung Antang.

Dari data kawasan hutan yang dilepas menjadi perkebunan pada tahun 2001, terjadi tumpang tindih kawasan perkebunan dengan kawasan pertambangan, seperti yang diperlihatkan tabel di bawah ini :

Perusahaan Perkebunan Jumlah Perusahaan

Tambang

POLA Luas (Ha)

AREAL PENGGANTI PT. SINAR KENCANA INTI PERKASA 3 PBSN 968,5875

PT. BERSAMA SEJAHTERA SAKTI 5 PBSN 7279,727

PT. BUANA KARYA BHAKTI 3 HTP-PIK 1989,075

PT. BUMI PONDOK AIR 5 PBSN 3073,085

PT. CAKRADENTA AGUNG PERTIWI 2 PBSN 3408,13

PT. CAKUNG PERMATA NUSA 2 PBSN 8376,739

PT. CIPTA DEKA PUTRA MANUNGGAL 1 PBSN 1592,435

PT. INTI GERAK MAJU 8 PBSN 9008,866

PT. KODECO/BANJARMASIN AGROJAYA 2 767,6889

PT. LAGUNA MANDIRI 1 PBSN 370,6969

PT. LANGGENG MUARA MAKMUR 1 PBSN 170,0579

PT. PARIPURNA SWAKARSA 2 PBSN 5846,706

PT. PERKEBUNAN PAMUKAN 3 PIR-SUS 24259,49

PT. PERKEBUNAN PELAIHARI 4 PIR-TRANS 1250,394

PT. PERKEBUNAN XVII 1 PIR-SUS 14399,93

PT. PERKEBUNAN XVIII (BATULICIN) 7 PIR-SUS 17181,75

PT. SAPTO ARGO UNGGUL 1 PBSN 278,6528

PT. SINAR KENCANA INTI PERKASA 13 PBSN 9252,892

PT. SWADAYA ANDIKA 1 PBSN 1925,502

Jumlah 65 111400,4

Data diolah bersumber dari Peta Pelepasan Areal Hutan Untuk Budidaya Pertanian. Departemen Kehutaan RI tahun 2001

Salah satu kasus yang muncul ke publik mengenai tumpang tindih kawasan perkebunan dengan

pertambangan adalah Konflik PT Gawi Makmur Kalimantan (PT GMK) dan CV Putra Parahyangan Mandiri (PPM). PT. GMK merupakan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan izin Hak Guna Usaha (HGU) di Desa Sekapuk, Setarap, Batu Barat Jombang, dan Sungai Danau, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu. Sedangkan CV. PPM merupakan perusahan pertambangan yang memiliki KP, perusahaan ini kemudian mengontrakan lahannya ke PT Usaha Kawan Sejati . PT. GMK melaporkan CV. PPM dengan tuduhan melakukan penambangan di wilayah HGU mereka dan menuntut Bupati Tanah Bumbu19 untuk membatalkan SK Bupati Tanah Bumbu No 545/53-EX/KPD.PE tentang pemberian kuasa pertambangan eksploitasi (TB.04 JUNPR 49) atas nama CV Putra Parahayangan Mandiri20.

Maraknya persoalan tumpang tindih lahan ini, tidak terlepas dari semangat otonomi daerah yang kelewatan. Bagai kejar tayang, segala sumberdaya alam dijadikan lahan investasi, yang harus segera dikelola tanpa memperhitungkan persoalan lingkungan, sosial dan keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. lucunya, tiap dinas atau nstansi yang ada, berlomba-lomba menawarkan program-program mengatas namakan pembangunan dan kesejahteraan rakyat pada satu wilayah yang notabene sama. Dan diperparah hal ini sering tidak didasari pada rencana tata ruang wilayah propinsi atau menguji silang keberadaan wilayah yang akan dikelola tersebut di lapang.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

SejarahÂpengerukanÂbatubaraÂdiÂnegeriÂiniÂbermulaÂdiÂKalimantanÂSelatan.ÂDisinilahÂdibukaÂperusahaanÂtambangÂbatubaraÂpertamaÂdiÂjamanÂkolonialÂÂBelanda,ÂnamanyaÂOranjeÂNassau.ÂNamaÂNassauÂdiberikanÂsebagaiÂpenghormatanÂbagiÂkerajaanÂBelanda.

SejarahÂBentangÂEmasÂHitam|4

03

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Tapi, propinsi ini tak hanya kaya emas hitam, julukan untuk batubara. Ia juga kaya sumber daya alam lain, termasuk bentangan hutan dan bahan tambang. Bab ini akan membantu kita memahami, bagaimana kondisi eksploitasi sumber daya alam dan bagaimana peran industri pertambangan batubara mempengaruhi sejarah Kalsel.

Ada tiga periode pembabakan yang akan dipaparkan. Pertama, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang hingga masa awal kemerdekaan. Kedua, masa rejim Orde Baru; dan; ketiga, era Reformasi. Pembagian periode ini mempertimbangkan kenyatan terjadi peningkatan kerukan batubara. Khususnya setelah pemerintahan orde baru berkuasa. Ini ditandai dengan pengesahaan Undang Undang Pokok Pertambangan dan UU Penanaman Modal Asing di tahun 1967. Setelah rejim Suharto berganti – dikenal kemudian dengan era reformasi, kebijakan pertambangan batubara juga berubah. Ini kemudian dikenal sebagai era otonomi daerah. Masa ini ditandai dengan desentralisasi kekuasaaan ke daerah. Dengan alasan untuk menaikkan PAD dari bidang pertambangan, para bupati diberbagai kabupaten mengeluarkan izin pertambangan banyak-banyak. Khususnya tambang batubara skala kecil hingga menengah.

ÂÂ DariÂKolonialÂkeÂAwalÂMerdekaPengerukan batubara skala besar, telah dimulai sejak kolonial Belanda. Tapi hingga awal kemerdekaan, pertengahan 1960an, pertumbuhannya di Kalimantan Selatan – juga Kalimantan pada umumnya, bisa dikatakan statis, cenderung rendah. Situasi ini dipengaruhi kondisi ekonomi politik masa-masa itu.

Di masa kolonial Belanda, pengerukan batubara berkait erat dengan terjadinya revolusi Industri di Eropa pada abad ke-181. Pada masa itu, ditemukan kapal yang bisa dijalankan dengan mesin uap. Pertengahan abad berikutnya, Belanda sudah mengganti armada kapal layarnya menjadi kapal uap. Mula-mula kapal uap ini roda berputar di bagian sisi kiri kanannya, hingga yang paling akhir, memakai baling-baling biasa. Kapal-kapal ini memakai batu bara untuk sumber penggeraknya. Saat itu mereka mengimpornya dari Eropa.

Semakin banyak kapal uap dan industri di Eropa beralih memakai batu bara. Permintaan emas hitam ini terus naik. Namun batubara hasil tambang-tambang di Eropa dibutuhkan untuk memasok kebutuhan industri mereka sendiri. Akibatnya, pasokan batubara dari Eropa ke Hindia sering tersendat. Ini salah satunya, yang mendorong dibangunnya tambang batubara di Hindia Belanda. Awalnya untuk memenuhi kebutuhan kapal-kapal uap yang mengangkut hasil pertanian dan rempah-rempah kei Hindia Belanda. Tingginya permintaan batubara di Eropa, mendorong Belanda membuka tambang batubara pertama di Kalimantan Selatan. Namanya Oranje Nassau.

OranjeÂNassau

Pada 28 September 1849, Gubernur Jenderal Rochussen datang ke Pengaron, wilayah kerajaan Banjar. Ia akan meresmikan pembukaan tambang Batubara Oranje Nassau , yang berarti Bentang Emas2. Pada waktu itu, kerajaan Banjar dipimpin oleh Sultan Adam Al Wasik Billah.

Kerajaan Banjar saat itu menganut sistem tanah Apanase. Ini istilah lokal untuk tanah milik kerajaan banjar yang diberikan konsesi pengelolaannya kepada perseorangan atau kelompok. Apanase berjalan antara tahun 1826 hingga 1860. Sistem ini memberikan kuasa pada Sultan untuk mengatur produksi yang dihasilkan dari penggarapan tanah. Tanah apanase diberikan kepada keturunan dan sanak saudara kerajaan, sebagai pengganti pembayaran gaji mereka. Cara ini membuat pemerintah Belanda, tidak bisa secara langsung menguasai tanah untuk dikeruk batubaranya. Untuk itu, mereka menyewa tanah milik pangeran Mangkubumi Kencana. Biaya sewanya sebesar 10 ribu Gulden setahun.

Sebagai orang luar, bagaimana bisa Belanda mendapatkan tanah Apanase? Ternyata ceritanya panjang. Sebelumnya, Belanda telah melakukan berbagai upaya campur tangan.

Yang pertama, Belanda campur tangan mengatur penentuan tata batas Kerajaan Banjar. Ini dilakukan dua

UsulanÂdokÂphoto:-Âbudaya,ÂadatÂistiadatÂatauÂkehidupanÂsosialÂmasyarakatÂbanjar/ÂkeratonÂbanjarÂ-Âdll.....

03

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

kali, tahun 1826 dan 18 Maret 1845.

Setelah berhasil menaklukkan keraton Banjar di Banjarmasin pada 1826, Belanda membuat aturan mengenai daerah mana saja yang masuk wilayah kerajaan Banjar. Mereka menentukan tata batas kerajaan dan membaginya menjadi wilayah-wilayah berdasar batas-batas alam, seperti daerah sungai, sungai dengan cabang-cabangnya, danau, sungai di pedalaman, gunung-gunung, pegunungan.

Namun untuk keperluan penguasaan daerah-daerah khusus, seperti daerah pertambangan. Belanda membuat kontrak baru dengan kerajaan Banjar pada 18 Maret 1845, isinya ketentuan batas-batas wilayah kerajaan Banjar yang baru. Luas kerajaan ini mengecil dibanding perjanjian 1826. Setelah 1845, hanya daerah inti Kerajaan Banjar sajalah yang masuk wilayah kerajaan.

Berdasar perjanjian tahun 1826 dan 1845, hampir semua daerah pesisir dikuasai Belanda. Penguasan wilayah pesisir sangat menguntungkan, mengingat cadangan batubara kawasan itu cukup besar. Tidak diperoleh informasi apakah penguasaan terhadap wilayah pesisir ini terkait dengan tingginya deposit batubara di wilayah ini.

Campur tangan kedua, terkait dengan kepentingan Belanda mempengaruhi penentuan pimpinan kerajaan Banjar. Tentu Belanda mendukung pribumi yang loyal dan kooperatif dengan mereka. Tak jarang, pergantian tampuk pimpinan kerajaan atau kesultanan diwarnai pertikaian diantara keluarga raja.

Semasa Sultan Adam berkuasa, ada tiga orang yang berpotensi mengganti sang sultan. Mereka adalah pangeran Tamjidilah, Hidayatullah dan Anom. Sayangnya, mereka berseteru sehingga membuat keluarga kerajaan terbelah tiga kubu. Sultan Tamjidilah adalah keturunan tertua Sultan Muda Abdurahman, ibunya keturunan China. Menurut garis keturunan, ia berhak dinobatkan menjadi Sultan. Namun penobatannya ditentang kaum keraton. Alasanya, sang pangeran bukanlah seorang “tutus”, atau turunan yang lahir dari seorang ibu yang bukan orang banjar. Sementara Sultan Hidayatullah adalah anak ke dua Sultan Muda Abdurahman, ibunya keturunan keraton. Sedangkan Sultan Anom merupakan anak Sultan Adam, namun karena sifatnya yang buruk, ia tak didukung kaum keraton dan ulama banjar.

Pertikaian itu menguntungkan Belanda. Mereka menilai, dari ketiga kelompok yang berseteru, hanya Pangeran Tamjidillah-lah yang dapat diharap kerjasamanya. Mereka berharap, sang pangeran memberikan konsesi untuk tambang batu bara. Atas dasar itu, pada 8 Agustus 1852, Belanda mengangkat Tamjidillah menjadi Sultan Muda merangkap Mangkubumi. Setelah sultan Adam meninggal, Tamjidilah didukung Belanda menjadi sultan Kerajaan Bajar. Lewat bantuan Sultan, Belanda berhasil mendapat tanah apanase di Pengaron untuk membuka tambang.

Tersingkirnya Pangeran Hidayatullah memicu pergolakan di kerajan Banjar. Maklum, sang pangeran didukung penuh kaum ulama dan keraton. Apalagi sultan Adam juga mendukungnya. Belanda mencoba mengatasinya. Ia mengangkat Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi pada 9 Oktober 1856. Tapi itu tidak gratis. Sang pangeran harus menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batubara untuk Belanda. Perjanjian ini dibuat pada 30 April 1856. Sang pangeran tak berdaya menolaknya. Apalagi Belanda telah menempatkan serdadunya di pusat-pusat tambang batu bara mereka.

Taktik licik juga dijalankan Belanda untuk mendapatkan buruh murah yang mau bekerja di tambang itu.

Residen yang berkedudukan di Banjarmasin ditugaskan mencari buruh murah3. Caranya? Membuat orang dililit utang dan menjadikannya budak. Dalam hukum yang berlaku di Kerajaan Banjar, orang punya utang, statusnya sama dengan setengah budak 4. Dengan status itu, terpaksa ia mau menjadi buruh murah. Di masa itu, berbagai tipu muslihat dilakukan agar orang dililit utang. Cara lainnya dengan mendatangkan buruh dari Pulau Madura.

Selain Oranje Nassau, ada dua buah tambang lain yang di buka Belanda disekitar Martapura. Namanya Julia Hermina dan Delft5. Sayang, tak banyak informasi tersedia mengenai dua tambang itu.

Oranje Nassau ditutup sekitar Juni 18596, setelah beroperasi kurang lebih 10 tahun. Penyebab ditutupnya tambang ini diduga karena pertimbangan bisnis. Ia tidak mampu bersaing dengan tambang batubara Ombilin di Sumatra (Erwiza, pers. Comm., 2007). Dugaan lainnya adalah imbas dari perang Banjar yang bermula sejak 18 April 1859. Peperangan yang terjadi disekitar wilayah tambang ini, sebenarnya dipicu

03

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

perseteruan antar anggota kerajaan Banjar. Oleh karena Belanda memihak salah satu kubu, pihak lawan melakukan penyerangan ke kawasan pertambangan.

Penutupan tambang ini, dimulai dari reaksi petani yang dikenal dengan gerakan Muning – ini titik awal perang Banjar. Penyerangan terhadap Oranje Nassau dipimpin oleh Pangeran Antasari dibantu oleh Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan - dengan persetujuan Pangeran Hidayatulah. Dalam perang ini, Belanda melibatkan sekitar 165 buruh tambang. Banyak buruh tambang yang mati, termasuk 20 orang Belanda. Diantara para korban, ada Wijnmalen direktur tambang batu bara Kalangan, Ir. Motley, Opzichter School Boodt dan lain-lain.

PoeloeÂLaoet

Kejadian di Pengaron tak mengecilkan semangat para pengusaha Belanda menanamkan modalnya di Kalimantan Selatan. Walaupun di pasaran harus bersaing dengan batubara dari Inggris, Belanda tak surut menanamkan investasinya di bidang ini. Rasa percaya diri pengusaha ini beralasan. Kapal-kapal mereka memiliki daya angkut yang besar, sehingga ongkos angkut dari Hindia Belanda ke Eropa bisa ditekan. Apalagi jalur pelayaran perdagangan dari dan ke Eropa semakin lancar, cepat, dan murah, setelah dibukanya terusan Suez.

Pertambangan batubara berikutnya dilakukan De Steenkolen-Maatschappij ‘Poeloe Laoet’. Tambangnya ada di Semblimbingan, Pulau Laut. Tambang ini didirikan tahun 1903. Modal yang semula direncanakan hanya 180 ribu gulden dinaikkan menjadi 2 juta gulden. Di lokasi ini dilakukan riset intensif tentang situasi geologi daerah. Laporan riset ini membuat banyak investor tertarik menanamkan modalnya di Pulau Laut. Untuk sarana angkut hasil tambang, pemerintah Belanda membangun jalan sepanjang 5 kilometer ke Pelabuhan Stagen7.

Pada 1905, produksi batubara Pulau Laut mencapai 80 ribu ton per tahun. Produksi ini terus naik. Jumlah tenaga kerja juga ikut bertambah. Dari 1500 kuli menjadi 2300 kuli pada 1910. Dua tahun berikutnya, produksi meningkat dua kali lipat lebih, mencapai 165 ribu ton per tahun8.

Sebelum 1909, setidaknya tiga perlima hasil tambang pulau Laut diekspor ke luar Hindia Belanda, diantaranya ke Jerman dan banyak dipakai oleh Norddeutscher Lloyd., Bremen. Keberhasilan tambang ini didukung, antara lain oleh letak pelabuhan Stagen yang strategis, mudah dilalui kapal-kapal besar dari Makasar.

Pasca Perang Dunia I, ada tiga perusahaan tambang Eropa mengeruk batubara di Kalimantan Selatan. Ada De Steenkolen-Maatschappij ‘Poeloe Laoet’, Oost Borneo Maatschappij (OBM) dan Parapattan Baru di Sambaliung. Ketiganya bersaing, baik dalam kapasitas produksi, jumlah buruh yang bekerja, maupun keuntungan yang diperoleh perusahaan. Pada 1919 hingga I922, Tambang Pulau Laut menyaingi pesaingnya. Namun di tahun-tahun berikutnya, keuntungan mereka menurun terus. Dan merugi hingga 260 ribu gulden. Akhirnya, delapan tahun kemudian tambang ini ditutup.

Salah satu penyebab kerugian adalah tingginya persaingan negara-negara produsen di pasaran dunia. Saat itu pasar batubara tak menentu akibat krisis ekonomi yang melanda dunia tahun 1930-an9. Kondisi

ini tak hanya membangkrutkan perusahaan tambang, tapi banyak juga perusahaan perkebunan skala besar swasta di Hindia Belanda gulung tikar.

Di masa penjajahan Jepang, operasi pertambangan batubara di Kalimantan Selatan tidak mengalami perubahan yang berarti. Pemerintah Jepang tak berupaya mengoperasikan kembali tambang batubara di Kalimantan Selatan.

Pengerukan batubara di Kalimantan Selatan tak langsung berubah di awal kemerdekaan. Di masa kemerdekaan, presiden Soekarno menutup dan menasionalisasi semua perusahaan milik Belanda. Akibatnya, banyak tambang jaman kolonial yang ditinggalkan ketika Indonesia merdeka, banyak tidak terurus lagi. Meski di beberapa negara lain industri tambang batubara mengalami booming10, namun arahan kebijakan Soekarno yang lebih nasionalis, menolak investasi asing disektor sumberdaya alam. Hal ini menyebabkan tambang batubara di Kalimantan Selatan tidak dikeruk lagi. Baru ketika pemerintahan Soekarno diganti rejim Orde Baru, yang lebih bersahabat dengan investor asing, pengerukan batubara kembali marak.

ÂÂ OrdeÂBaruÂhinggaÂReformasiIni masa dimulainya pengerukan sumber daya alam besar-besaran. Tepatnya setelah berkuasanya pemerintahan Suharto. Di awali keluarnya Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS tahun 1966 tentang Pembaharuan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Perubahan kebijakan ekonomi ini memberi jalan masuknya pinjaman Bank Dunia dan investasi asing. Targetnya, mendorong peningkatan eksploitasi sumberdaya alam termasuk hutan, minyak, dan hasil tambang. Ini diharapkan meningkatkan pundi-pundi devisa untuk membiayai pembangunan nasional.

UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi pintu bagi investor asing mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia. Peraturan itu diperkuat dengan UU No 5 tahun 1967 tentang Kehutanan, yang memberi landasan pemerintah untuk mengklaim lebih sepertiga luas total wilayah Indonesia menjadi kawasan hutan negara. Kawasan ini dipilah dalam tiga kelompok besar: hutan produksi, konversi, konservasi dan perlindungan.

Ekploitasi kayu dari kawasan hutan diserahkan pemerintah kepada pihak swasta asing dan dalam negeri. Sementara untuk pertambangan, investasi asing didorong masuk dengan segala kemudahan perijinan.

Seperti tempat lain di Indonesia, penetapan kawasan hutan di Kalsel, awalnya ditetapkan sepihak oleh Departemen Kehutanan lewat proses Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada pertengahan 1980an. Penetapan ini membuat hampir seluruh wilayah Kalsel berstatus kawasan Hutan. Terakhir, penetapan itu dilakukan berdasar putusan Menteri Kehutanan Nomor 453/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 . Luasnya sekitar 1.839.494 ha atau 49% dari luas total lahan di propinsi ini.

Namun, lewat proses padu serasi dan Perda No. 9 Tahun 2000, pemerintah daerah menetapkan kawasan hutan seluas 1.659.003 ha. Luas ini lebih rendah dari yang ditetapkan Departemen Kehutanan. Lihat tabel di bawah ini tentang perincian luas dan klasifikasi Kawasan hutan :

GerakanÂMuningÂadalahÂgerakanÂperlawananÂPetaniÂBanjarÂmelawanÂkonsesiÂpertambanganÂOranjeÂNassauÂmilikÂBelanda.ÂGerakanÂiniÂbertujuanÂuntukÂmenutupÂtambangÂyangÂdipimpinÂlangsungÂolehÂPangeranÂAntasari,ÂdibantuÂolehÂPembekalÂAliÂAkbar,ÂMantriÂTemengÂYudaÂPanakanÂdanÂdisetujuiÂolehÂPangeranÂHidayatullah.ÂGerakanÂinilahÂyangÂakhirnyaÂmemicuÂPerangÂBanjar.

ArahanÂkebijakanÂSoekarnoÂyangÂlebihÂnasionalis,ÂmenolakÂinvestasiÂasingÂdisektorÂsumberdayaÂalam.ÂHalÂiniÂmenyebabkanÂtambangÂbatubaraÂdiÂKalimantanÂSelatanÂtidakÂdikerukÂlagi.ÂBaruÂketikaÂpemerintahanÂSoekarnoÂdigantiÂrejimÂOrdeÂBaru,ÂyangÂlebihÂbersahabatÂdenganÂinvestorÂasing,ÂpengerukanÂbatubaraÂkembaliÂmarak.

03

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

FungsiÂKawasanLuasÂ(Ha)

SKÂMenhutPersenÂ(%) LuasÂ(Ha)ÂPerda

PersenÂ(%)

Kawasan Konservasi (HAS & HPA) 175.565 9,54 67.902 4.09

Kawasan Hutan Lindung (HL) 554.139 30,12 627.627 37.83

Kawasan Hutan Produksi· Hutan Produksi Terbatas (HPT)· Hutan Produksi Tetap· Hutan Produksi yang dapat Dikonversi

(HPK)

1.109.790 155.268

688.884 265.638

60,338,44

37,4514,44

963.429176.615574.637212.177

58.0710.6534.6412.79

TotalÂLuasan Â1.839.494Â 100 1.659.003 100

Dalam perkembangannya, luasan lahan hutan di Kalimantan Selatan sejak tahun 1984 hingga sekarang mengalami penyusutan (lihat lampiran)

Pemerintah mengundang Penanam modal asing melalui serangkaian kegiatan. Diawali dengan mengundang investasi asing untuk pengembangan pertambangan timah pada 1966, disusul tambang emas dan Nikel sejak tahun 1967 dan 1968, dan selanjutnya pengembangan batubara pada 197811.

Khusus Kalimantan, masuknya investasi swasta asing berawal di kehutanan. Misalnya di Kalimantan Selatan, yang dimulai tahun 1968. PT Kodeco dan PT. Valgoson mendapat ijin Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Namun, dengan alasan mendorong pengusahaan hutan oleh perusahaan dalam negeri, pemberian izin untuk perusahan asing dibatasi. Sejak pertengahan 1970an, eksploitasi hutan secara besar-besaran di Kalimantan dilakukan perusahaan-perusahaan HPH dalam negeri.

Di Kalimantan Selatan, pada awal pelita II – sekitar tahun 1974, terdapat 10 perusahaan HPH yang beroperasi. Jumlah ini mengalami lonjakan pada akhir pelita II menjadi 21 perusahaan HPH. Akibat penebangan hutan ini, terjadi penyusutan luas tutupan hutan di Kalimantan.

Berdasar peta RePProt dari 1985 hingga 1997 - hanya 8 tahun, hutan di Kalimantan Selatan menyusut 44,4% selama dua belas tahun. Luasan yang hilang ini mencapai 769.713 ha, atau mencapai 3,7% per tahun. Angka ini melampaui laju rata-rata deforestrasi nasional sebesar 1,5%12.

Menurut Ir. Santoso N dari Kantor Wilayah Kehutanan Kalsel, pada 1997, dari total luas lahan HPH di Kalsel yang mencapai 868 ribu ha, tersisa 150 ribu ha yang masih baik13. Sedangkan tahun 1993 hingga 2004, laju deforestasi mencapai angka 90, 75 ribu ha per tahun. Analisis citra landsat tahun 2003, tutupan hutan alam Kalsel hanya seluas 136.597 ha atau hanya 3% dari total luas wilayah propinsi ini.

Menyusutnya hutan, membuat jumlah HPH berkurang. Hingga di penghujung tahun 2005, dari 12 perusahaan pemegang HPH dan 1 pemegang IPK, yang masih aktif tinggalempat perusahaan. Mereka adalah PT. Inhutani II (Pulau Laut), PT. Sumpol Timber, PT. Kodeco Timber, dan PT. Aya Yayang Indonesia14.

Tapi untuk urusan eksploitasi, pemerintah tak kurang akal. Susutnya ketersediaan kayu hutan alam membuat pemerintah beralih membangun Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk memasok keperluan industri perkayuan. Saat ini ada 19 perusahaan HTI di Kalimantan Selatan (lihat lampiran)15. Selain eksploitasi hutan skala besar, pengerukan bahan tambang meningkat, terutama batubara. Juga perkebunan skala besar, khususnya kelapa sawit.

Pada pertambangan, kegiatan swasta mengeruk batubara dimulai keluarnya Kepres No. 49/1981 mengenai Kontrak Pengusahaan Batubara Generasi I atau yang lebih dikenal dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara atau PKP2B. Di Kalimantan Selatan terdapat 3 perusahaan tambang asing yang mendapat PKP2B, yaitu PT. Arutmin, PT Adaro dan PT. Chong Hua OMD16. Ketiga kontraktor ini mendapat total areal tambang sekitar 230 ribu ha. Lokasi tambang Arutmin berada di Kabupaten Kota Baru, sementara Adaro di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Tabalong, sedangkan Chung Hua OMD di Kabupaten Banjar. PT Arutmin dan Adaro kemudian berpatungan dengan Broken Hill Property (BHP), perusahaan tambang batu bara dari Australia.

Peta Konsesi Kalimantan

03

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Pada tahun 1993, jumlah perusahaan tambang PKP2B bertambah dengan keluarnya Kontrak Karya Batubara (KKB) Generasi II lewat Kepres No. 21/1993. Ada 5 perusahaan yang mendapatkannya yaitu PT. Bahari Cakrawala Sebuku, PT Bantala CM, PT Antang Gunung Meratus, PT Jorong Barutama Greston, PT Borneo Indobara.

Selanjutnya Kontak Karya Batubara Generasi III di keluarkan lewat Kepres No. 75/1996. Ada 11 perusahaan - mulai PT. Mantimin Coal Mining, PT Bara Pramulya Abadi, PT. Generalindo Prima Coal, PT Wahana barata Mining, PT Ekasatya Yanatama, PT Lianganggang Cemerlang, PT Sinarindo Barakarya, PT Adibara Bansatra, PT Bukit Kalimantan Indah, PT. Senamas Energindo Mulai, PT. Kalimantan Energi Lestari.

Perusahaan HPH membutuhkan jalan membelah wilayah-wilayah hutan yang tadinya terisolasi. Jalan yang dibangun HPH ini memberikan keuntungan pada sebagian perusahaan pertambangan, yang datang kemudian. Jalan angkut untuk hasil penebangan kayu yang dibuat PT. Sumpol Timber, memberikan kemudahan kepada PT. Arutmin. Perusahaan tambang ini bisa mengangkut batubaranya dari Satui ke pelabuhan, selanjutnya untuk dieksport. Jalan rintis yang dibuat perusahaan HPH PT. Alam Unda juga berguna bagi pemilik Kuasa Pertambangan kecil maupun Penambang Tanpa Ijin (PETI) sebagai jalan angkut baru baranya.

Antara 1998 hingga 2000, sebelum otonomi daerah, pemerintah pusat masih mengeluarkan 37 buah ijin Kuasa Pertambangan baru. Luasannya mencapai 131.258 ha.

Ada perbedaan cukup besar tentang skala, juga kebijakan di masa sebelum dan sesudah otonomi daerah tahun 2001. Sejak Dirjen Pertambangan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 75/2001, kewenangan mengeluarkan perijinan Kuasa Pertambangan (KP) diberikan kepada bupati.

Model tambang skala kecil, yang sudah dikembangkan sejak 1990, dikuatkan melalui Keppres RI No. 127 tahun 2001 tentang Bidang atau Jenis Usaha yang dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/ Jenis Usaha yang terbuka untuk usaha menengah atau besar dengan syarat kemitraan. Salah satu kegiatannya adalah pertambangan skala kecil. Inilah salah satu pendorong pesatnya ijin kuasa pertambangan di masa otonomi daerah. Berbagai kemudahan ditawarkan, salah satunya di Kalimantan Selatan. Pemda memberi fasilitas jalan negara menjadi jalan angkut batu bara.

Sejak itu setiap kabupaten di Kalimantan Selatan mengobral ijin KP. Banyak yang berukuran kecil sekitar 100 hektar-an17.

Tiga tahun lalu saja, enam bupati di Kalimantan Selatan mengeluarkan ijin Kuasa Pertambangan (KP) untuk 326 perusahaan18. Namun data mengenai siapa, berapa luasan dan dimana lokasi pertambangannya, sulit untuk diperoleh. Menurut Dinas Pertambangan Propinsi, bulan November 2004 sedikitnya ada 267

perusahaan telah mendapat izin KP. Dan hingga akhir 2007, untuk perijinan Batubara saja sudah terdapat 3 perusahaan pemegang Kontrak Karya, 23 perusahaan pemegang PKP2B, dan 349 perusahaan pemegang Kuasa Pertambangan (lihat lampiran)19.

Selain ratusan ijin KP diterbitkan para Bupati, penambangan batu bara tak berijin, atau dikenal dengan istilah PETI (Penambangan Tanpa Ijin), marak terjadi. Skala operasinya beragam dan yang pasti, jumlahnya sulit dihitung. Salah satu sumber memperkirakan pada tahun 1997, jumlah PETI batu bara mencapai 197 buah. Angka itu naik terus dari tahun ke tahun. Pada 2000 jumlahnya menjadi 445 unit, empat tahun berikutnya menjadi 842 unit20. Kebanyakan PETI dilakukan pada lokasi-lokasi dengan kemudahan akses transportasi dan pemasaran. Di lapang, sulit memisahkan penambangan yang berijin dan yang tidak. Kadang PETI dan perusahaan yang berijin berkolaborasi. Setidaknya, hasil dari kegiatan penambangan PETI di jual ke para pengusaha yang berijin angkut dan mengapalkan batu bara.

03

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Tambang skala besar berizin PKP2B dinilai sedikit memberikan kontribusi kepada daerah. Oleh karenanya, pada 2003, Bupati Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), memutuskan melakukan moratorium atau penghentian sementara pertambangan batubara bagi perusahaan PKP2B yang telah berproduksi. Langkah ini ditentang Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Menurut Bupati, pertambangan oleh perusahaan legal maupun ilegal sudah merusak lingkungan dan sarana publik, seperti pembangunan jalan.

Menurut perhitungan pemerintah kabupaten HSS, diperkiraan biaya kerugian yang dialami mencapai lebih Rp 500 juta. Sementara royalti dan penerimaan daerah dari pengerukan tambang hanya Rp 50 juta. Menurut Pemkab HSS, perusahaan yang sudah mengantongi ijin sekalipun, sebenarnya belum siap melakukan eksploitasi. Beberapa perusahaan PKP2B itu akhirnya memanfaatkan Koperasi Unit Desa untuk memasok batubaranya�. Moratorium ini bertujuan mencari model lain, selain PKP2B dan memberikan kontribusi lebih besar pada daerah. Pola PKP2B menurut bupati HSS, hanya memberikan kontribusi Rp 2.850 per ton kepada pemerintah daerah dan pembayarannya juga selalu tertunda dan banyak di sunat sana-sini.

Penting kiranya diingat, bahwa sikap jor-joran para bupati memberi izin eksploitasi sumberdaya alam, tidak hanya terjadi di sektor pertambangan semata. Saat ini, perkebunan skala besar juga jadi arena meningkatkan PAD. Tak heran jika propinsi ini terjadi peningkatan pemberian izin perkebunan sawit skala besar dan menengah.

Pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memicu daaerah untuk membiayai pembangunan daerah dari PAD. Untuk meningkatkan PAD, banyak pemerintah daerah mengembangkan agro industri yang dianggap sebagai salah satu sumber potensial PAD�.

Tapi hal ini juga dipicu oleh keputusan di tingkat pusat, yaitu keputusan bersama Menteri pertanian dan Menteri negara penggerak dana investasi/ ketua badan koordinasi penanaman modal No. 72 dan 04 tahun 1998 tentang penanaman modal asing dibidang perkebunan kelapa sawit. Tujuannya mendorong iklim investasi perkebunan kelapa sawit hingga tingkatan daerah. Baik itu penanam modal dari dalam negeri atau penanam modal asing.

Tak terkecuali di Kalimantan Selatan, investasi kelapa sawit memiliki potensi yang cukup bagus. Selain memiliki areal yang masih luas, kemudahan juga didukung dengan banyaknya perusahaan perbankan yang siap menyalurkan kredit untuk sektor ini. Cadangan luas lahan yang bisa dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit ini mencapai 955.085 hektar, yang tersebar di 8 Kabupaten. Sampai tahun 2004 di Kalimantan Selatan telah dikembangkan lahan perkebunan kelapa sawit sebesar 318.551 hektar�. Dan seperti juga pertambangan, areal perkebunan juga merengsek ke wilayah hutan. Tercatat 431.125,47 ha, kawasan hutan yang dipakai oleh sektor perkebunan yang sebagian besar merupakan perkebunan kelapa sawit. Dan angka tersebut termasuk 6.219,67 ha lahan Suaka Alam dan 5.385,67 ha lahan hutan lindung�.

Saat ini pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit merupakan investasi modal besar yang mendominasi penguasaan lahan di Kalimantan Selatan.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

MengerukÂBumiÂAntasariÂÂ

DiÂbangkuÂSekolahÂDasar,ÂkitaÂdikenalkanÂdenganÂPangeranÂAntasari,ÂPahlawanÂNasionalÂdariÂKalimantanÂSelatan,ÂyangÂgigihÂmelawanÂBelandaÂpadaÂmasaÂPerangÂBanjarÂ(1859–Â1863).ÂPangeranÂiniÂbekerjaÂsamaÂdenganÂparaÂpetani.ÂDuaÂtokohÂpimpinanÂkaumÂpetaniÂsaatÂituÂPanembahanÂAlingÂdanÂSultanÂKuning,ÂmembantunyaÂmelancarkanÂseranganÂbesar-besaranÂkepadaÂjantungÂpenjajahÂdiÂbumiÂKalimantan,ÂpertambanganÂbatubaraÂOrranjeÂNassauÂdanÂpos-posÂmisionaris.Â

AmericaÂUtaraÂ1,2%2ÂmillionÂton AsiaÂ88%

140ÂmillionÂton

AustraliaÂPacificÂ0,4%650.000Âton

AmericaÂSelatanÂ0,35%550.000Âton

EropaÂ10%Â18ÂmillionÂton

AfrikaÂ0,1%170.000Âton

|4OrranjeÂNassau,ÂsebuahÂtambangÂbatubaraÂkolonialÂBelandaÂpertamaÂkaliÂdiÂBumiÂKalimantan,ÂmenjadiÂsimbolÂpenguasaanÂsumberdayaÂolehÂkaumÂkapitalisÂBelanda.ÂIronisnya,ÂÂdisekitarÂsisa-sisaÂtambangÂOrranjeÂNassauÂkini,Âberibu-ribuÂhektarÂlahanÂmenjadiÂwilayahÂpenambanganÂbatubaraÂterbukaÂyangÂkembaliÂdikuasaiÂolehÂkapitalis,ÂatauÂmemasokÂkebutuhanÂkapitalis.ÂSudahÂribuanÂtonÂbatubaraÂdikerukÂdariÂwilayahÂini,ÂyangÂkembaliÂakanÂmenyisakanÂkesengsaraanÂ,ÂbagiÂmasyarakatnya.ÂSepertiÂmasaÂlalu.

04

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

ÂÂ CadanganÂdanÂSebaranÂEmasÂHitamÂMenurut perhitungan Asosiasi Persatuan Batubara Indonesia (APBI), sumber daya batu bara Indonesia jumlahnya 57,8 miliar ton, cadangannya mencapai angka 6,9 miliar ton. Dari angka itu, ada 49% termasuk dalam batubara berkalori rendah (low rank coal), sekitar 29% berkalori menengah dan hanya 1% termasuk kategori kalori sangat tinggi (high rank coal). Konon, jumlah itu cukup untuk dikeruk lebih 150 tahun mendatang. Cadangan batu bara empat kali lebih banyak dari cadangan minyak bumi dan gas yang dimiliki Indonesia.

Ada tiga daerah di Indonesia yang memiliki cadangan deposit batubara terbesar, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan2.

Pada 2006, Sumatera Selatan, mempunyai sumber daya batubara sebesar 23,2 juta ton dan cadangan sebesar 2,7 juta ton. Kalimantan Timur sebesar 21,1 juta ton dengan cadangannya sebesar 2,1 juta ton. Sedangkan Kalimantan Selatan memiliki 9,1 juta ton dan 1,8 juta ton berupa cadangan. (Lihat Lampiran). Walau tidak memiliki cadangan batubara terbesar, namun Kalimantan Timur dan Selatan menyumbang produksi terbesar.

Di Kalimantan Selatan batubara tersebar hampir di seluruh kabupaten, mulai Kabupaten Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, Tanah Bumbu, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Balangan, Tapin dan Tabalong. Sebaran potensinya terbagi dalam dua kelompok besar yaitu, kelompok sebelah Timur dan sebelah Barat Pegunungan Meratus.

Bila dilihat kualitasnya, sebagian besar berkadar kalori sedang.

Sebagaimana sebaran potensi batubara di Kalimantan Selatan, pola pengerukan batubara membujur disepanjang pegunungan meratus, tepatnya di sisi sebelah barat dan Timur Pegunungan Meratus. Mudahnya akses transportasi menuju pelabuhan di kawasan sebelah timur Pegunungan Meratus berdampak meningkatnya pengerukan batubara oleh para penambang tanpa izin/illegal (PETI) di kawasan ini. Semua kegiatan pertambangan dilakukan dengan cara terbuka (open pit), tak perlu teknologi rumit dan investasi tinggi, dibanding tambang bawah tanah (under ground). Hal ini dimungkinkan karena umumnya batubara di sini terletak di lapisan tanah permukaan.

a.ÂPKP2BÂ(PerjanjianÂKaryaÂPengusahaanÂPertambanganÂBatubara)

Pada awalnya perijinan penambangan emas hitam ini berupa Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), yang dikeluarkan pemerintah pusat, tepatnya melalui Departemen Pertambangan dan Energi. Ini Izin khusus untuk perusahaan tambang asing. Hingga pertengahan tahun 2006, terdapat 23 ijin PKP2B yang dikeluarkan sejak 1981 sampai 2005. Namun tidak semua pemegang izin PKP2B ini sudah sampai tahap produksi. Sampai tahun 2005, baru 15 perusahaan saja yang sudah memasuki tahap produksi sepert terlihat dalam tabel ini.

Jumlah PKP2B Kalimantan Selatan 1994 – 2005

Status Kontrak Jumlah perusahaan Tahun keluar ijin Luas TotalGenerasi 1 2 1981 -1983 105.315Generasi 2 5 1994 - 1997 120.053Generasi 3 16 1997 - sekarang 321.418Generasi 4 3 546.786

Sumber : Statistik Mineral & Batubara Indonesia tahun 2005. Departemen ESDM

Peta Sebaran Potensi Batu bara di Kalimantan Selatan

PKP2B berdasarkan tahapan kegiatannya:

Tahapan Jumlah Perusahaan Luas (Ha)Penyelidikan Umum 3 164.200Eksplorasi 4 194.127Eksploitasi 1 2.091Produksi 15 186.368Total 23 546.786

Sumber : Statistik Mineral & Batubara Indonesia tahun 2005. Departemen ESDM

04

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

b.ÂKuasaÂPertambanganÂ&ÂKoperasi

Sejak Otonomi daerah tahun 2001, izin Kuasa Pertambangan (KP) lebih banyak dikeluarkan Bupati. Kecuali apabila KP-KP tersebut mencakup dua wilayak kabupaten, maka perijinan KP ada di tangan Gubernur. Apabila KP tersebut meliputi lebih dari satu wilayah propinsi, maka kewenangan mengeluarkan ijinnya ada di tangan Menteri ESDM cq. Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi. Dasar argumentasi yang dipakai adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom dan Peraturan Pemerintah No. 75 tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.

Ketika kewenangan berada di tangan Bupati, dampak utama yang terasa adalah banyaknya ijin-ijin KP yang diterbitkan. Seolah terjadi perlombaan antara para Bupati dalam mengeluarkan ijin pertambangan. Sangat sulit menentukan angka tepat, berapa jumlah KP yang dikeluarkan Bupati. Hampir semua Bupati di Kalimantan Selatan tak bersedia melaporkan hal itu secara terbuka dengan alasan kewenangan otonomi daerah di tangan pemerintah Kabupaten/Kota. Bahkan pemerintah propinsi dan pusat belum tentu mendapatkan laporan akurat tentang itu.

Kesimpangsiuran data ini terbukti dari penuturan beberapa sumber yang dapat dikutip di bawah ini. Menurut Deputi Operasi Mabes Polri Irjen Didi Widayadi di Tempo interaktif3, terdapat 95 perusahaan KP yang diterbitkan Bupati Kotabaru, disusul Bupati Tanah Laut sebanyak 64 izin KP, Bupati Tanah Bumbu mengeluarkan 44 izin KP, Bupati Banjar mengeluarkan 15 izin KP. Sementara Bupati Tabalong dan Tapin, masing-masing dengan 14 dan 4 ijin KP. Dari berita Tempo ini, terdapat 236 total izin KP yang dikeluarkan oleh Bupati di enam kabupaten, hingga 2005.

Data LIPI (2004) lain lagi. Sebelum pemekarannya pada April 2003, Kabupaten Kotabaru telah mengeluarkan sedikitnya 117 izin KP. Sedang menurut Rachmadi Kurdi, kepala Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah provinsi Kalimantan Selatan yang dikutip harian Kompas, menyebut terdapat 326 perusahaan dengan ijin KP yang dikeluarkan enam bupati di Kalsel4.

Data paling baru Dinas Pertambangan Kalsel yang dikutip Radar Banjarmasin (2007)5 menyebutkan total KP mencapai 379 buah. Rincian masing-masing ijin di tiap kabupaten: Tanah Bumbu ada 152 ijin, Tanah Laut ada 93 ijin, Kota Baru 55 buah ijin, Kabupaten Banjar 30, Tapin 26, Tabalong 19, Hulu Sungai Selatan 3, Balangan 2, dan Hulu Sungai Tengah 1. Data inipun ternyata berbeda dengan data milik Kepala Dinas Pertambangan Propinsi Kalimantan Selatan dalam sebuah semiloka pertambangan yakni jumlah KP di Kalimantan Selatan adalah 349 buah6

Tabel rekapitulasi ijin Kuasa Pertambangan batubara Kalimantan Selatan hingga 30 April 2008.

Sumber : Dinas Pertambangan Kalsel

Tabel ?

04

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Sebagian izin KP juga bisa dikeluarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Total izin KP yang dikeluarkan Departemen ESDM sebanyak 28 buah, yakni di Kabupaten Kotabaru 17 buah, Kabupaten Banjar 6 buah, Tabalong dan Kabupaten Tapin dan Tanah Bumbu, masing-masing 1 buah. Bisa dilihat, izin KP yang dikeluarkan pemerintah pusat lebih rendah dari jumlah izin KP yang dikeluarkan Bupati.

Sejak akhir 1980an, Direktorat Jenderal Pertambangan Umum bersama Kantor Wilayah Pertambangan Kalimantan Selatan mengembangkan pola pertambangan skala kecil berbentuk KUD (Koperasi Unit Desa)7. Pemberian ijin kepada KUD ini berlanjut setelah reformasi. Hingga tahun 1999 diperkirakan ada 30 ijin KUD.

Penggolongan usaha batubara, meliputi PKP2B, KP, hingga berdasar perizinan pemerintah. Di luar itu, masih banyak kegiatan pertambangan batubara skala kecil yang diusahakan rakyat, maupun skala menengah yang beroperasi tanpa izin pemerintah, dikenal sebagai PETI (Penambang tanpa ijin). Untuk melindungi kepentingannya, beberapa pemilik kuasa pertambangan, sekitar tahun 2000 membentuk ASPERA atau Asosiasi Penambang Rakyat. ASPERA mengklaim organisasi mereka bertujuan melindungi kepentingan pengusaha tambang rakyat berskala kecil dan menengah, baik yang berizin maupun yang illegal.

Sejurus hal diatas, tahun 2005 kabupaten Tanah Bumbu mendirikan Asosiasi Masyarakat Pertambangan Tanah Bumbu, disingkat AMP Tanbu. Sebuah asosiasi pengusaha tambang pertama di Kalimantan Selatan. Sebagian besar anggotanya adalah pengusaha tambang batubara. Khususnya yang memiliki tambang di sana8. Perbedaan dengan ASPERA, anggota AMP Tanbu semuanya adalah penambang rakyat yang memiliki izin9.

ÂÂ DariÂmanaÂModalÂdatangYang juga sulit ditelusuri adalah darimana sumber modal usaha-usaha tambang batubara ini, terutama yang skala menengah dan kecil. Selain modalnya dari perorangan dan bukan dana publik yang diperdagangkan di pasar-pasar saham, tak ada kewajiban dari perusahaan-perusahaan ini untuk menginformasikan darimana saja sumber dana usaha mereka dan berapa jumlahnya. Namun, bila melihat dari program kucuran kredit yang ditawarkan pihak perbankan, baik lokal dan nasional, tidak tertutup kemungkinan perbankan lokal dan nasional terlibat dalam upaya pengucuran dana kredit di bidang ini. Dana perorangan ini tak selalu dari dalam negeri saja. Beberapa sumber di masyarakat menyebut investor-investor pribadi dari mancanegara ikut mendanai pengerukan batubara di Kalsel. Kegiatan mereka seringkali sulit dilacak karena beberapa transaksi dilakukan tidak lewat bank, tapi diberikan tunai.

Berbeda dengan usaha pertambangan dengan kepemilikan lokal, investasi asing yang masuk secara resmi di bidang ini lebih mudah terlacak. Baik melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) maupun BKPM Pusat. Jumlah investasi asing yang mengalir bertambah setiap tahunnya, seiring meningkatnya permintaan batubara dunia.

Masuknya permodalan asing ke Kalsel membiayai pengerukan batubara bermula 1980-an. Waktu itu, pemerintah Soeharto membuka keran lebar-lebar bagi investor asing. Ia mengundang investor asing mengembangkan potensi batubara di Kaltim dan Kalsel. Untuk mendukung itu, keluarlah Keppres No. 49/1981 tentang Kontrak Kerjasama Batubara atau KKB. Dengan Keppres tersebut, mereka melakukan kontrak kerjasama pengusahaan batubara dengan Pemegang Kuasa Pertambangan Batubara PT. Tambang Batubara Bukit Asam (PT BA).

Tercatat 11 perusahaan yang menandatangani KKB dengan PT Bukit Asam, yaitu PT Kendilo Coal, PT Kaltim Prima Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, PT Allied Indo Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Tanito Harum, PT Indominco Mandiri, dan PT Chung Hua Mining Development, PT Adaro Indonesia , dan PT Arutmin Indonesia. Setelah ramainya investasi asing (PMA) dibidang Batubara, pada tahun 1993 pemerintah mencabut Keppres No 49/1981 dengan Keppres No 21/1993. Keppres 21/1993 ini memungkinkan Perusahaan Swasta Nasional (PMDN) untuk terlibat dalam pengusahaan batubara nasional.

Sejak itu, sebagian besar cadangan batubara Kalsel dikuasai perusahaan-perusahaan skala besar asing, melalui perijinan PKP2B. Salah satunya adalah PT. Arutmin Indonesia, yang sahamnya dikuasai BHP Biliton Australia, namun saat ini saham PT. Arutmin dikuasai PT. Bumi Resource. Lahan konsesinya seluas 59.217 hektar, meliputi tiga kabupaten, yaitu Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut. PT Adaro di Kabupaten Tabalong dan Balangan juga tak kalah luas. Konsesi mereka seluas 35.782 hektar.

ÂÂ ProduksiÂBatubaraÂProduksi batubara nasional terus berkembang signifikan. Pada 1992 sebesar 22,951 juta ton, naik hingga 152,722 juta ton tahun 2005. Asosiasi Pertambangan Indonesia (APBI) sendiri memperkirakan produksi batubara Indonesia bisa mencapai 234 juta ton pada 2008 atau naik 8,84 persen dibanding tahun 2007, yang diperkirakan 215 juta ton10. Dengan pola kenaikan yang konstan, diperkirakan tahun 2010 produksinya mencapai 277 juta ton. Proyeksi ini berbeda dengan angka yang diberikan pemerintah, yakni sebesar 240 juta ton tahun 201011. Sedangkan tahun 2025, oleh pemerintah diyakini produksi batubara akan menyentuh angka 380 juta ton.

04

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Potret batubara diatas tak jauh beda dengan potret pengerukannya di Kalsel. Dalam 10 tahun terakhir, sejak 1994 hingga peningkatannya pesat. Kenaikan produksi rata-rata 77,43% pertahun. Pada 1994, produksinya sebesar 7,04 juta ton, sepuluh tahun berikutnya mencapai 54,540 juta ton12. Tahun 200213 kontribusi Kalsel terhadap total produksi batubabara nasional hanya 16,36%, naik menjadi 40,35% tahun 2003 dan menjadi 41,21% di 2004. Pada 2005 naik menjadi 41 % lebih, disaat produksi batubara nasional mencapai 150 juta ton. Angka ini diperkirakan terus meningkat lebih 200 juta ton menjelang tahun 201014.

Enam tahun lalu, Kalsel menduduki peringkat ke tiga, setelah Kaltim dan Sumsel, sebagai daerah penyumbang terbesar produksi batubara nasional. Namun semenjak 2003, berangsur-angsur produksi batubara Kalimantan Selatan meningkat pesat. Hingga 2006, produksinya melampaui Sumatera Selatan. Padahal cadangan batubara Kalimantan Selatan kurang dari setengah cadangan Sumatera Selatan.

Hingga sekarang, perusahaan PKP2B merupakan produsen batubara terbesar, yaitu sekitar 96,25% dari jumlah produksi batubara Kalimantan Selatan, sisanya dipenuhi pemegang KP. PT. Arutmin dan PT. Adaro Indonesia mendominasi produksi hingga 83,77% total produksi batubara Kalsel15. Angka itu menyumbang 40,35% total produksi nasional, atau sekitar 114,3 juta ton pada 2003. Tahun berikutnya, dari sekitar 132, 4 juta ton batubara produksi nasional, sumbangan Kalsel naik menjadi 41,21% total produksi nasional. Sebagian besar produksi batubara ini diekspor.

Dari total produksi batubara nasional, tak semuanya berasal dari kegiatan pertambangan yang mendapat izin pemerintah. Sayangnya, tidak ada data pasti berapa batubara yang dihasilkan oleh PETI. Tapi Asosiasi Penambang Rakyat atau Aspera Kalsel memperkirakan angkanya mencapai 10 juta ton16 empat tahun lalu.

Tapi PT. Arutmin Indonesia memperkirakan angkanya jauh lebih besar. Dari tiga situs mereka yang dikeruk PETI dalam tiga tahun mencapai 28 juta ton atau 40 ribu ton/hari17. Dinas Pertambangan dan Energi Kalsel juga mempunya angka berbeda, angkanya bisa lebih dari 31 juta ton18. Jika angka terakhir benar maka 23,4% produksi batubara di Kalsel berasal dari PETI. Ini bukanlah angka yang kecil.

Aspera mengklaim setidaknya 25 persen total produksi batubara di Kalsel adalah sumbangan pertambangan rakyat, atau rata-rata 2.500 ton per bulan. Dengan demikian, operasi penertiban pemerintah terhadap penambang rakyat ini - klaim Aspera, juga berpengaruh pada pasokan batubara ke perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Jawa-Bali 19.

Selain arah kebijakan nasional yang berorientasi ekspor dan alasan menaikkan PAD, gabungan faktor lainnya yang mendorong kenaikan produksi ini adalah naiknya konsumsi batubara dan naiknya harga batubara dunia.

ÂÂ KonsumsiÂbatubaraAda perminataan ada pasokan, demikian hukum ekonomi. Batubara Kalimantan Selatan di produksi karena ada permintaan dalam negeri dan luar negeri, yang terus meningkat. Saat ini, pasar batubara di dalam negeri meliputi PLTU, industri semen, industri menengah hingga industri kecil dan rumah tangga. Dengan rencana pemanfaatan batubara melalui pengembangan teknologi UBC, gasifikasi, dan pencairan, maka diproyeksikan pada 2025 kebutuhan batubara dalam negeri mencapai 220 juta ton20. Menurut kajian PLN, kebutuhan listrik bertambah rata-rata 6% hingga 7% per tahun sehingga di tahun 2010, kebutuhan energi   2 kali lebih tinggi dibanding sepuluh tahun sebelumnya.

Batubara memasok 58% total produksi listrik nasional. Pada 2004, kebutuhan batubara untuk PLTU mencapai 24,3 juta ton. Dan saat ini, kebutuhan pasokan batu bara untuk PLTU sekitar 30 juta ton. Diprediksi tahun 2020, kebutuhan batubara PLN sekitar 71,9 juta ton yang diperuntukkan bagi PLTU program kemitraan 4,4 juta ton, daerah kritis 2 juta ton, IPP baru 9,7 juta ton, percepatan program PLN 26,7 juta ton, dan existing 29,1 juta ton21.

Pasokan batu bara untuk keperluan pabrik semen cenderung tidak banyak berubah, yaitu 6 juta ton pada tahun 2004 dan tahun ini sebesar 6,9 juta ton. Namun, setelah tahun 2008 akan terjadi peningkatan kebutuhan batubara cukup besar bersama rencana pembangunan beberapa pabrik semen baru. Diantaranya Orascom Construction Industries (OCI), produsen semen terbesar di Timur Tengah, dengan menggandeng perusahaan lokal PT. Yanda Prima Listrik (YPL) akan mendirikan dua pabrik semen di Kecamatan Tawangrejo, Kabupaten Grobogan, Jateng22. Selain itu, terdapat tiga produsen semen internasional, yakni Lafarge, Holcim dan Siam Cement dan satu produsen lokal yang akan membangun pabrik baru di tahun 2008 . Lafarge berencana membangun pabrik barunya di Kabupaten Langkat dan Aceh Utara, Holcim di Tuban dan Siam Cement di Sukabumi. Sedangkan produsen lokal PT. Semen Gresik Tbk., sebagaimana yang diungkap oleh sekretaris Perusahaan, anas Rosjidi, mengalokasikan Rp. 3 triliun untuk pabrik baru mereka, tanpa menyebutkan lokasi pabrik itu rencananya berdiri23. Bahkan PT. Freeport Indonesia dan Pemerintahan Propinsi Papua juga merencanakan pembangunan pabrik semen untuk memasok kepentingan berbagai proyek kontruksi di wilayah Papua24. Bagi industri semen, harga batubara dianggap cukup kompetitif dibanding  sumber energi lain.

Batu bara untuk keperluan industri lainnya juga naik. Industri tekstil yang dulunya tidak menggunakan batubara sebagai bahan bakar produksinya, sejak tahun 2003 sudah mulai menggunakannya. Bahkan tahun 2005 terjadi lonjakan signifikan dari 381.440 ton di tahun 2004 menjadi 1.307.610 ton tahun 2005. Atau mengalami peningkatan sebesar 300%.(lihat tabel)

PeningkatanÂpengerukanÂbatubaraÂbatuÂbaraÂdiÂKalselÂÂsebagianÂbesarÂuntukÂtujuanÂekspor,ÂmelayaniÂkebutuhanÂdunia.Â

04

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Informasi lain menyebutkan, dalam kurun waktu 1998 hingga 2005, konsumsi batubara di dalam negeri berkembang 13,29%. Pada tahun 2005 konsumsi batubara tercatat 35,342 juta ton. Dari jumlah tersebut, ada 71,11% dikonsumsi PLTU, sekitar 16,84% dikonsumsi industri semen, dan 6,43% dikonsumsi industri kertas25.

Di pasar domestik pun, akan terjadi peningkatan kebutuhan batubara sebesar 32,2 juta ton. Peningkatan akan terjadi pada 2007 seiring PLTU Tanjung Jati-B serta PLTU Cilacap beroperasi secara penuh. Bahkan untu tahun 2008, Kebutuhan batubara untuk tujuh buah pembangkit listrik PLN mencapai setidaknya 22 juta ton26. PT Kaltim Prima Coal akan menjadi pemasok terbesar jika rencana memasok batubara PLTU Tanjung Jati B terlaksana. Sedangkan PLTU Cilacap kemungkinan akan dipasok PT Adaro, PT Jorong Barutama dan PT Kideco Jaya Agung. Kedua PLTU tersebut menggunakan batu bara sejak tahun 200627.

Dari informasi di atas terlihat kenaikan konsumsi batubara dalam negeri antara lain dipicu kebijakan energi listrik yang meningkatkan penggunaan batubara.Namun, kebutuhan batu bara dalam negeri sebenarnya jauh lebih rendah dari total produksi batubara saat ini, yang telah mencapai 150 juta ton. Menurut perhitungan, kebutuhan batubara nasional pada 2010 hanya akan berkisar 40 juta hingga 45 juta ton per tahun. Ini sudah meliputi keseluruhan kebutuhan untuk PLTU, pabrik semen, serta industri lainnya28.

Sementara pada tahun 2005 kebutuhan batubara untuk sektor kelistrikan untuk Jawa-Bali diperkirakan sebesar 20,958 juta ton, Sumatera sekitar 1,199 juta ton, Kalimantan 6,709 juta ton, dan Sulawesi sekitar 0,043 juta ton. Adapun pemasok utama kebutuhan batubara nasional ini adalah tambang-tambang batubara di Kaltim, Kalsel dan Sulsel. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa untuk pulau Jawa-Bali kebutuhan energi listriknya sangat tergantung dari pulau-pulau itu.

Grafik Pertumbuhan Produksi dan Penjualan 1992 – 2005 29

Pertumbuhan konsumsi batu bara dalam negeri rata-rata naik 9% per tahun. Pemerintah berharap angka pertumbuhan konsumsi itu terus bertambah. Hingga saat ini, kontribusi batu bara dalam energi mix nasional masih sangat terbatas - hanya 13% dari total pemakaian energi dalam negeri. Pemakaian batu bara terbesar masih didominasi PLTU, yang mencapai 20 juta ton, diikuti industri semen sebesar 4,2 juta ton, dan industri lainnya sebesar 1,1 juta ton.

Naiknya produksi batubara nasional hingga 4 kali lipat dari 1994 hingga 2004 (lihat grafik di atas), bukan karena memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi untuk tujuan ekspor. Tahun berikutnya, dari total produksi 152,722 juta ton sejumlah 70,15% nya dikirim keluar negeri, barulah sisanya memasok permintaan dalam negeri30.

Sementara di Kalsel, pada 2003 menunjukkan penjualan batubara dalam negeri mencapai 13,2 juta ton dan ekspornya mencapai 32,8 juta ton. Hampir 3 kali lipat yang diekspor. Tahun berikutnya, penjualan dalam negeri meningkat menjadi 14,6 juta ton dan ekspornya meningkat 2,5 kali lipatnya, atau sebesar 34,5 juta ton31. Sedangkan realisasi ekspor batubara Kalsel per Januari hingga September 2005 mencapai volume 39,5 juta ton, atau naik sekitar 12,71 persen pada periode sebelumnya32.

Pada tingkat perusahaan tambang juga terlihat, hanya sebagian kecil produksi mereka yang memasok kebutuhan dalam negeri. Misalnya PT Adaro dalam Annual Review tahun 2005 menyebutkan hanya menjual 33,7% dari total produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. PT. Bahari Cakrawala Sebuku hanya 3,92% untuk kebutuhan dalam negeri, begitu pula PT. Arutmin hanya 6,25% pada tahun 2004.

Angka-angka diatas, menunjukkan dengan jelas – peningkatan pengerukan batubara batu bara di Kalsel sebagian besar untuk tujuan ekspor, melayani kebutuhan dunia.

Permintaan pasar dunia memang naik. Jika tahun 1997, kebutuhan batu bara dunia mencapai 2,29 miliar ton, maka pada tahun 2002 meningkat hingga 2,96 miliar ton. The Institut of Energy Economics Jepang memperkirakan kebutuhan batu bara dunia tahun 2020 sekitar 6,9 miliar ton33. Dari data statistik Mineral & Batubara Indonesia tahun 2005, disebutkan produksi batubara Kalsel memasok 0,6 % total kebutuhan dunia di tahun 1997 dan 0,9 % pada tahun 2002. Kemana saja batubara Kalsel pergi, bisa dilihat di tabel berikut.

Tabel Negara Tujuan Eksport Batu Bara Kalimantan Selatan 2001-2005

No Negara Tujuan Total Volume Persentase %)1 Jepang 39.789.155.092 20,692 India 26.862.121.578 13,973 Thailand 15.597.792.076 8,114 Hongkong 15.222.834.949 7,925 Taiwan 14.191.901.743 7,386 Malaysia 12.653.026.224 6,587 Spanyol 11.473.217.276 5,978 Philipina 10.583.622.894 5,509 Korea Selatan 9.816.807.224 5,11

10 Italy 7.275.786.468 3,7811 Belanda 6.665.004.358 3,4712 China 4.662.266.322 2,4213 Amerika Serikat 4.262.860.402 2,22

Lainnya 13.241.397.933 6,89Total 192.297.794.539

Sumber : Deperindag 2006

Dan setiap tahun jumlah produksi dan nilai eksport batu bara dari Kalimatan Selatan juga meningkat. Ini dipengaruhi oleh penurunan sementara pasokan batubara akibat China menutup keran eksportnya. Mereka mengutamakan pasokan dalam negeri mereka34.

grafik?

04

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

ÂÂ HargaÂdiÂpasarÂduniaHarga batubara yang lebih tingi di luar negeri, juga menjadi kendala pengembangan industri batubara dalam negeri. Produsen batu bara dalam negeri lebih suka menjual produknya ke luar negeri. Kenaikan harga di pasar internasional juga mendorong jumlah barubara yang dikeruk dan diekspor.

Naiknya harga itu setidaknya dipicu oleh dua hal. Pertama, meningkatnya permintaan batubara dari negara-negara di Asia yang mengalami pertumbuhan ekonomi. Kedua, terkait dengan kebijakan pemerintah Cina yang menghentikan ekspor batubaranya untuk melindungi pasokan dalam negerinya. Pada 2004, produksi batubara China mencapai 1,95 miliar ton. Dan hanya 86,63 juta ton yang diekspor35. Pesatnya pertumbuhan ekonomi China - yang penduduknya lebih 1,2 miliar ini, menyebabkan kebutuhan batubara naik. China kekuarangan pasokan batubara. Akhirnya, mereka mengimpor 18,36 juta ton lagi.

Yang menarik, dengan peningkatan produksi sebesar 340 juta ton, China justru mampu mengurangi ekspornya dan menaikkan pemakaian batu bara di dalam negeri. Ketersedian energi listrik melalui PLTU, justru mampu mengangkat Negri Bambu Kuning ini mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 9,6 persen per tahun.

Sumber: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK 200736

Sayang, pemerintah tak tertarik meniru China atau negara maju lainnya, untuk mengamankan pasokan energi domestiknya dalam jangka panjang. Jika begitu, bisa dipastikan produksi batu bara akan terus meningkat. Apalagi diperkirakan konsumsi batubara dunia tak akan turun. Berdasar laporan Statistical Review of World Energy yang dirilis perusahaan migas asal Inggris itu disebutkan konsumsi batubara dunia dua tahun lalu meningkat 6,9%. Angka ini lebih tinggi dibanding konsumsi minyak, yang hanya meningkat 2,1% dan gas alam 2%. Pangsa pasar batubara terhadap total pasokan energi dunia juga meningkat dari 25% pada 2002 menjadi 26% tahun berikutnya37.

ÂÂ KebutuhanÂKalselJangan heran jika Kalimantan Selatan, ada giliran pemadaman listrik rutin. Meskipun mampu memasok 0,6% kebutuhan batubara dunia, Kalsel hanya memiliki satu pembangkit listrik batubara. Namanya PLTU

Asam-asam, konsumen terbesar batubara di Kalsel. Tahun 2001, jumlah konsumsi batubaranya 868.545 ton, sebesar 56,2 % di antaranya digunakan oleh PLTU ini. Setiap tahun kebutuhan batu bara untuk PLTU ini terus naik.

Tabel Konsumsi Batubara PLTU Asam-asam Kalsel

Tahun Tingkat Konsumsi Batubara (Ton) Prosentase dari total konsumsi Kalsel2002 568.436 78,54%2003 568.000 67,82%2004 554.307 60,08%2005 600.000 62,24%

Sebagian besar kebutuhan batubara PLTU Asam-asam dipasok PT Surya Sakti Dharma Kencana (SSDK) dan PT Jorong Barutama Greston (JBG), dan beberapa pemasok lainnya.

Melihat tabel diatas, sangat sedikit batu bara yang digunakan penduduk Kalsel. PLTU Asam-asam dengan kekuatannya yang hanya 230 MW, menggunakan 0,023 persen produksi batubara Kalsel, tahun 2001. Sementara jumlah rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik di Kalimantan Selatan terus meningkat, dari 475.452 rumah tangga tahun 2002 menjadi 556.465 rumah tangga tahun 2006. Itu belum termasuk angka pelanggan untuk usaha, industri dan umum, yang totalnya 42.422 pelanggan38.

Pengguna terbesar kedua batubara Kalsel adalah pabrik semen. Kebutuhannya sebesar 380.398 ton atau 43,80 % total konsumsi batu bara Kalsel. Tahun 2002 kebutuhannya turun menjadi 155.300,89 ton atau 21,46% total konsumsi. Dan kembali naik tahun berikutnya, menjadi 269.564,60 ton atau 32,18% total konsumsi. Pada 2004 kebutuhannya naik menjadi 368.413,20 ton atau 39,92% total konsumsi, tapi menurun tahun berikutnya menjadi 364.017,75 ton atau 30,76% total konsumsi39.

WALHI Kalsel40 memperkirakan penggunaan batubara untuk kebutuhan propinsi ini hanya berkisar 1,69% dari total produksi batubaranya. Penduduk Kalsel, bahkan hanya menggunakan 1,02% untuk kebutuhan listriknya. Inipun dibagi dengan propinsi tetangganya Kalimantan tengah – sama-sama dipasok listriknya oleh PLTU Asam-asam. Dan hanya 0,68% nya untuk memasok industri semen di Kalsel.

Ditaksir kebutuhan Batubara Kalsel meningkat tajam tahun-tahun mendatang, seiring rencana pembangunan berbagai industi maupun pembangkit tenaga listrik. Dari sektor pertambangan, akan dibangun 2 industri pengolahan biji besi - yang pasti membutuhkan banyak energi. Setidaknya 2 industri kertas & pulp juga akan dibangun. Belum lagi kebutuhan batubara untuk PLTU Asam-asam, yang dipastikan juga meningkat.

Selain PLTU Asam-Asam, pemerintah berencana membangun PLTU Mulut Tambang, dengan kapasitas terpasang sebesar 110 MW. Rencana ini telah di tawarkan ke sejumlah investor melalui Indonesian Infrastruktur Summit. Lokasinya direncanakan di kabupaten Balangan. Selain PLTU, penggunaan briket batu bara akan meningkat seiring rencana mengurangi penggunaan minyak tanah ditingkat rumah tangga.

Namun bila hampir semua perusahaan batu bara lebih suka menjual batubaranya keluar negeri, apakah rencana-rencana diatas akan berjalan?

Lebih dari 73 % produksi batubara di Kalsel dipasok untuk kebutuhan luar negeri, sisanya yaitu 27% hingga 29% digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, memasok konsumsi energi dan industri di Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Sendiri41. Saat ini, setiap hari penduduk dipaksa untuk mengalami giliran mati lampu karena kurangnya pasokan listrik. Propinsi ini mengorbankan pemenuhan penduduknya, demi memenuhi kebutuhan asing.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

MenjauhnyaÂKesejahteraan

KesejahteraanÂjadiÂkataÂyangÂdiucapÂberulang-ulangÂolehÂpemerintahÂdanÂpelakuÂtambang,ÂsaatÂmembicarakanÂpenerukanÂbatubara.ÂMerekaÂbilangÂpeningkatanÂproduksiÂbatubaraÂakanÂmeningkatkanÂpemasukanÂasliÂdaerahÂ(PAD)ÂdariÂsektorÂini.ÂNaiknyaÂPADÂseringkaliÂdiasumsikanÂdenganÂnaiknyaÂtingkÂatÂkesejahteraanÂrakyat.ÂNamunÂapakahÂklaimÂiniÂbenarÂadanya?Â

|5

Dokumen foto dapat diganti

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Kalimantan Selatan kaya sumberdaya ekonomi yang potensial dikembangkan. Sumberdaya ekonomi tersebut melimpah dari kawasan hutan daratan hingga ke perairan laut serta kandungan perut bumi di bawahnya. Pada Tabel 1 disajikan 9 sektor ekonomi yang dominan mempengaruhi perekonomian Kalimantan Selatan ditinjau dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).

Table 1.Pertumbuhan PDRB Kalimantan Selatan atas dasar Harga Konstan menurut Sektor tahun 2001 – 2005 (dalam persen)

No Sektor EkonomiTahun

2001 2002 2003 2004 20051 Pertanian 7,41 1,76 5,41 6,09 5,302 Pertambangan dan penggalian 3,52 6,82 2,81 4,14 4,523 Industri pengolahan -0,09 -2,06 0,68 1,39 -1,984 Listrik, gas, dan air minum 10,54 11,74 1,71 5,10 3,305 Bangunan 4,94 6,32 8,06 6,95 8,286 Perdagangan, hotel, dan restoran 3,66 1,32 2,94 4,12 4,567 Angkutan dan komunikasi 3,35 6,37 6,72 7,63 8,018 Keuangan, persewaan, dan jasa -25,14 0,25 42,69 10,55 17,829 Jasa-jasa 8,02 4,44 3,84 6,48 6,91

Sumber: RPJP Provinsi Kalimantan Selatan 2008.

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kurun waktu tersebut rata-rata pertumbuhan PDRB adalah 4,24%1 (). Sektor keuangan merupakan penyumbang terbesar. Sektor pertanian, listrik-gas-air, bangunan, angkutan –komunikasi, dan jasa merupakan sektor yang menyumbang cukup dominan, yaitu di atas 5%. Sementara ada sektor yang pertumbuhannya di bawah 5%, salah satunya adalah pertambangan.

Dengan pertumbuhan di atas, dan tingkat pertumbuhan angkatan kerja rata-rata tercatat 1,63% per tahun, sementara penyerapan tenaga kerja rata-rata 1,19% per tahun, artinya tingkat pengangguran belum dapat diselesaikan. Dengan demikian tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan masih tinggi.

Indikator Gini Rasio juga masih rendah, cenderung menurun yaitu 0,270 pada tahun 2004 menjadi 0,239 (angka sementara tahun 2006). Batas ketimpangan rendah untuk Gini Rasio adalah 0,4. Ini menunjukkan bahwa ada ketimpangan yang sangat tinggi terhadap distribusi pendapatan.

PADÂ&ÂKemiskinanÂ

Pendapatan sektor pertambangan diatur dalam UU No. 25/1999, yang menyebutkan penerimaan iuran tetap pertambangan umum untuk pusat sebesar 20% dan 80% untuk daerah (16% propinsi dan 64% kabupaten/kota), penerimaan iuran eksplorasi dan eksploitasi pertambangan umum terdiri dari 20% untuk pusat dan 80% untuk daerah ( 16% untuk propinsi, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, 32% untuk kabupaten lainnya). Namun kebijakan ini tidak cukup memuaskan daerah karena penyerahan cenderung terlambat dan ketidak pastian jumlah yang diterima2.

Selain itu, untuk mendapatkan dana iuran ini teranyata tak mudah. PT. Arutmin Indonesia menunggak sampai 3 tahun yang mencapai USD 13 juta atau setara Rp 13 miliar ke Pemprov Kalsel. Tunggakan PT Arutmin itu merupakan akumulasi dari perhitungan royalti tahun 2004 dan tahun 2005. Termasuk denda yang dikenakan atas keterlambatan pembayaran royalti tersebut.

Sebelumnya total tunggakan royalti perusahaan itu mencapai USD 30 juta. Rupanya, tunggakan ini terus berlanjut tahun 2004 mencapai USD 29 juta, hingga dibayar tahun 2005 sebesar USD 23 juta, sehingga tersisa USD 5 juta. Ternyata, tunggakan itu berlanjut lagi tahun 2005 hingga besarannya mencapai USD 16 juta. PT Bahari Cakrawala Sabuku sempat menunggak royalti hingga 2005 mencapai USD 4,5 juta. Kemudian, PT Antang Gunung Meratus sempat ’ngutang’ USD 714 ribu. Hal serupa juga dilakoni PT Sumber Kurnia Buana sempat menunggak royalti sebesar USD 3,7 juta, PD Baramarta sebesar USD 5,9 juta, PT Tanjung Alam Jaya USD 583 ribu, dan PT Baramulti Sukses Sarana USD 321 ribu3.

Kabupaten Tanah Laut yang dikenal sebagai daerah kaya batubara ternyata mendapatkan royalti batubara tahun 2005 adalah Rp. 8,014 milyar, sumbangan Pihak ketiga sebesar Rp.10,321 milyar sehingga total pendapatannya menjadi Rp. 18,336 milyar. Sedangkan tahun 2006 (data sampai dengan Juli) sudah diperoleh Rp. 10,145 milyar 4. Tanah laut berupaya mencari peluang meningkatkan pendapatannya dari sektor batubara dengan meningkatkan besaran sumbangan pihak ketiga pengusaha batubara, dari Rp 1000 menjadi Rp 2000 untuk setiap ton batubara yang dikeruk. Selain itu, sumbangan diharapkan dari didapat dari pengalihan wewenang pembuatan surat keterangan asal barang (SKAB) dari gubernur kepada bupati5. Peluang lainnya dari bidang transportasi dan pelabuhan melalui Perda 7/2003, tentang ragam pungutan (retribusi) atas seluruh kegiatan kepelabuhan. Di antaranya, retribusi jasa tambat, jasa labuh, jasa pemanduan, jasa penumpukan barang, dan jasa sewa perairan. Nominal retribusi jasa alur sesuai Perda nomor 7 yaitu Rp7.500 per ton batubara6.

Tapi, dana pungutan batubara juga diduga disimpangkan oleh pemerintah, misalnya pungutan pihak ketiga yang dilakukan Pemprov Kalsel dan Pemkot Banjarmasin terhadap angkutan batubara. Menurut Ketua Umum KAPPERA Kalsel Syafrianor kebocoran tersebut diduga setelah diketahui ketidakseimbangan setoran dana pungutan batubara yang dilakukan pemprov dan pemkot ke kas daerah. “Ketidak seimbangan ini, dapat dilihat dari pungutan yang dipatok pemprov dan Pemkot Banjarmasin. Untuk setiap truk dan kapal yang mengangkut emas hitam itu, pemprov mematok pungutan sebesar Rp 4 ribu sampai Rp 5 ribu per ton batubara yang dikapalkan. “Sedangkan pemkot mematok Rp 30 ribu untuk setiap truk batu bara yang melewati kawasan Lingkar Selatan,” tambahnya. Dari kedua pungutan tersebut, menurut Syafrianoor, kas daerah memasang target setoran setiap tahun sebesar Rp 3,5 miliar, untuk setiap tim. Tapi yang terjadi, Pemkot Banjarmasin setiap tahun “cuma” menyetor ke kas daerah sesuai target kas. Sedangkan pemprov setiap tahun “hanya” menyetorkan uang hasil pungutan ke kas daerah Rp 1,9 miliar7.

Dokumentasi Kemiskinan

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Lain lagi Kabupaten Kotabaru, kalangan LSM dan SPSI Buruh Bongkar Muat Pelabuhan Khusus Batubara di sana menduga ada penyipangan nilai Sumbangan Pihak Ketiga sekitar 2 Milyar. Data yang mereka kumpulkan selama tahun 2003, terdapat sekitar 4,2 juta ton batubara yang dikirim keluar Kotabaru. “Kalau dikalikan Rp 20.000 per ton saja, berarti kontribusi yang bisa masuk ke daerah semestinya Rp8,4 miliar namun data Pemerintah menurut Kabid Penataan Pertambangan Ir Armadi Tamadjoe ada 77 KP eksplorasi. Ada 28 KP diantaranya ditingkatkan menjadi KP eksploitasi, namun hanya ada 25 perusahaan saja yang menjalankan KP-nya. Produksi batubara tahun 2003 sebesar 3.081.967.870 ton, dengan SP-3 yang terhimpun dari jumlah tersebut adalah Rp 6.16 Miliar, namun ia berdalih bahwa kemungkinan adanya pengiriman yang tidak terdata oleh pihaknya, yakni batubara yang dikirimkan oleh para penambang tanpa izin (peti) 8

RAPBD 2006 Kalimantan Selatan, telah mengalokasikan anggaran sebesar 1 milyar rupiah untuk penanggulangan PETI dan pengelolaan dampak PETI. Dana ini dinilai terlalu sedikit dibanding pos biaya pengadaan kendaraan pemerintah propinsi yang mencapai Rp. 5 milyar. Alokasi untuk Pengawasan pertambangan dan energi sebesar Rp. 78 juta.

Bagaimana realisasi pembangunan? Pembangunan desa di Kotabaru selama tahun 2003 berdasarkan jenis, yaitu untuk kegiatan produksi 1 buah pada satu kecamatan, Perhubungan 74 proyek pada tiga kecamatan, sosial 13 proyek pada tiga kecamatan dengan total keseluruhan proyek senilai Rp 2.059.622.155. Jika melihat perbandingan dengan kecamatan penghasil batubara, misalnya Kecamatan Satui (64.5%) yang mendapat 26 proyek (terdiri dari 1 proyek produksi, 22 jalan dan 3 sosial) dari 88 proyek yang ada dengan total 771.338.074 atau 37.45% dana yang tersedia, dan merupakan angka yang terbesar. Namun Batulicin (36.5%) yang merupakan daerah penghasil batubara tidak mendapatkan apa apa. Jika dana pembangunan desa di seluruh kabupaten ini sebesar 2 milyar didanai hasil produksi pada tahun......, maka duit yang dipakai hanyalah 3%-nya saja dari total duit yang dihasilkan dari produksi pertambangan, yang umumnya berada di pedesaan.

Di Kabupaten Banjar, pemerintah tak cukup puas dengan pendapatan yang ada. Untuk itu mereka membuat peraturan daerah seperti Perda Nomor 06 Tahun 2005 tentang Penerimaan Sumbangan dari Pihak Ketiga yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2006. Para pengusaha batubara akan memberikan sumbangannya sebesar Rp2.000/ton batu bara yang diproduksi.

Berdasarkan kebijakan Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis PNBP dana royalti dari pertambangan batubara yang diterima daerah penghasil adalah sebesar 13,5%. Dana royalti tersebut berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang dipungut dari kegiatan pertambangan yang besarnya 13,5% produksi. Berdasarkan ketentuan ini, jumlah penerimaan daerah penghasil batubara tidak terlalu besar.

Hingga kini, ekspor batubara Kalsel selalu mengalami peningkatan, walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini penertiban PETI terus galak dilakukan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalsel menyebutkan ekspor “emas hitam” tahun 2007 ini sebanyak 52,1 juta ton lebih, tahun sebelumnya hanya 48,47 juta ton lebih. Ada peningkatan 7,53% selama setahun dengan kenaikan nilai ekspor mencapai 13,06 persen – dari sekitar USD 1, 46 juta menjadi USD 1,65 juta9. Ini angka yang sanat berarti, apabila meningkatnya produksi dan ekspor dibarengi meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun, kenyataannya peningkatan nilai ekspor batubara Kalsel tidak seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hingga kini, jumlah penduduk miskin Kalsel sekitar 987.792 atau 30 persen dari jumlah penduduk Kalsel10. Ini bukan angka yang sedikit, angka ini juga berarti hampir

sepertiga masyarakat Kalsel berada dalam jeratan kemiskinan. Jumlah angka di atas jauh dari target yang ingin dicapai Pemerintahan Rudy Ariffin di tahun 2006 sebesar 205.857 jiwa dalam Sasaran Arah Kebijakan Umum Tahun 200611.

Pertanyaan yang muncul, jika hampir sepertiga penduduk Kalimantan Selatan tetap berada dalam lingkaran kemiskinan, apa yang disumbangkan peningkatan produksi dan ekspor batubara bagi masyarakat Kalsel secara luas. Angka pertumbuhan ekonomi kalsel tahun 2006 hanya sebesar 4,13%, jauh dibawah angka patokan yang ingin dicapai 5,3% sebagaimana yang diamanatkan dalam RPJMD 200612.

Demikian pula jika mengacu pada Indeks Pembangunan Manusia Kalsel. Berdasar laporan UNDP, badan PBB untuk Pembangunan, mengenai Pembangunan Manusia Indonesia (PMI) 2001 yang memberikan suatu analisa terinci terhadap tingkat pembangunan manusia di seluruh pelosok Indonesia. Dalam analisa tersebut digunakan tolok ukur khusus yang disusun UNDP yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM ini merupakan ukuran yang menggabungkan ukuran tingkat pendapatan, usia harapan hidup dan pendidikan terakhir. Kalimantan Selatan berada pada peringkat 21 dari 26 Propinsi yang ada dengan rincian Usia harapan hidup 61 tahun, 93 % melek huruf usia dewasa, Rata-rata lama pendidikan 6.6 tahun, Pengeluaran per kapita Rp. 577.000 dan IPM 62.2.

Kondisi diatas tidak jauh beda didapat pada penilaian IPM tahun 2006, dimana Kalsel berada pada peringkat 26 dari 33 propinsi di Indonesia. Bahkan pertumbuhan ekonomi Kalsel tahun 2006, hanya 4,7 persen atau di bawah rata-rata nasional yang mencapai 6 persen. Angka itu juga lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi Kalsel tahun 2005, yang mencapai 5 persen13. Bila dicermati lebih jauh, sejak tahun 1999 hingga 2005, ranking IPM Kalsel secara konstan menurun. Urutan 21 pada tahun 1999, kemudian berada pada urutan 23 di tahun 2002, 24 di tahun 2004 dan urutan 26 di tahun 2005 14.

Apa yang terjadi di tataran propinsi juga terjadi di tataran kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Kabupaten Tanah Bumbu, yang notabene sumbangan sektor pertambangan selama tiga tahun terakhir PDBR berlaku rata-rata di atas 35% (tertinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di kalsel) ternyata IPM Kabupatennya berada pada urutan 10 dari 13 Kabupaten/kota lainnya. Bahkan sangat jauh dibandingkan dengan IPM Banjarbaru yang nyaris hanya mengandalkan sektor jasa dan perdagangan dalam PDBRnya15

BatubaraÂ&ÂEkonomiÂBerkelanjutanÂ

Luthfi, Imansyah, Udiansyah, and Khairuddin (2007) dalam hasil penelitiannya merekomendasikan untuk melihat lebih jauh peran sektor pertambangan dalam perekonomian

...ÂjikaÂhampirÂsepertigaÂpendudukÂKalimantanÂSelatanÂtetapÂberadaÂdalamÂlingkaranÂkemiskinan,ÂapaÂyangÂdisumbangkanÂpeningkatanÂproduksiÂdanÂeksporÂbatubaraÂbagiÂmasyarakatÂKalselÂsecaraÂluas

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Kalimantan Selatan, maka perlu dilihat output, nilai tambah, investasi, dan ratio nilai tambah/output. Ratio nilai tambah dan output ini merupakan indikator yang dapat digunakan untuk melihat sektor mana yang baik untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah khususnya dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dengan dasar bahwa sektor tersebut memberikan proporsi nilai tambah yang lebih besar untuk setiap nilai outputnya. Tabel 3 menyajikan output, nilai tambah, investasi, dan ratio nilai tambah dan output.

Nilai tambah merupakan tambahan nilai pendapatan yang diterima dari upah sebagai buruh dan modal yang ditanamkan pada kegiatan produksi. Jumlah nilai tambah yang dihasilkan di Kalimantan Selatan adalah 25,9 Trilliun (T) rupiah, yang terdiri dari 8,5 T rupiah perolehan nilai tambah untuk tenaga kerja dan 17,4 T rupiah untuk nilai tambah modal. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa “pemodal” menciptakan nilai tambah ekonomi yang jauh lebih besar. Pemodal berarti pemilik perusahaan. Dan sudah pasti ini akan berpengaruh kepada distribusi pendapatan.

Tabel 3 mengindikasikan bahwa, nilai tambah pertambangan batubara (gabungan tambang besar dan kecil) 3,0 T rupiah berkontribusi terbesar ketiga pada nilai tambah Kalimantan Selatan. Hasil perhitungan selanjutnya menunjukkan bahwa 0,9 T rupiah tenaga kerja dan 2,1 T rupiah pengembalian modal. Sementara nilai tambah pertanian 5,0 T, 1,3 T tenaga kerja 3,7 T modal.

Sementara, jika dibandingkan antara perusahaan kecil dan besar, ternyata perusahaan kecil lebih intensif dalam hal permodalan. Situasi ini hal yang tidak lumrah. Dasar pengukurannya adalah rasio modal dan tenaga kerja, perusahaan kecil 3,6 dan perusahaan besar 1,9. Hal ini dikarenakan perusahaan kecil terbatas lahan untuk eksploitasi, sehingga mereka tidak dapat mencapai luas yang optimal.

Tabel 3. Output, nilai tambah, investasi, dan rasio nilai tambah dan output pada masing-masing Sektor ekonomi dalam perekonomian Provinsi Kalimantan Selatan (dalam juta rupiah)

No Sektor Ekonomi Output(O)

Nilai Tambah (VA) Ratio VA/O Investasi

1 Pertanian 9,706,105 4,954,619 0.510 819,916

2 Minyak bumi 1,513,169 1,353,845 0.895 256,262

3 Tambang Besar 8,640,060 1,891,040 0.219 1,331,010

4 Tambang Kecil 3,779,128 1,075,416 0.285 332,752

5 Tambang lainnya 192,711 166,987 0.867 49,433

6 Pendulangan 394,529 320,779 0.813 73,141

7 Agroindustri 4,801,572 1,265,302 0.264 6,719

8 Industri 11,024,693 4,005,420 0.363 2,253,617

9 Industri logam 2,513,448 205,446 0.082 39,189

10 Listrik 243,416 75,690 0.311 7,631

11 Air minum 676,433 659,896 0.976 726

12 Konstruksi 3,395,520 1,789,982 0.527 42,819

13 Perdagangan 6,891,976 610,630 0.089 90,543

14 Perhotelan 6,126,139 322,721 0.053 873

15 Restoran 1,326,910 991,370 0.747 13,237

16 Transportasi Jalan 1,372,918 396,692 0.289 35,346

17 Transportasi Sungai 614,443 293,211 0.477 3,897

18 Transportasi Laut 1,166,827 322,836 0.277 22,474

19 Transportasi Udara 259,377 152,632 0.588 7,664

20 Jasa travel 212,687 175,270 0.824 2,549

21 Komunikasi 841,065 793,560 0.944 5,636

22 Jasa 3,430,114 2,494,052 0.727 97,659

23 Lain-lain 2,729 1,554 0.569 89

Jumlah 69,125,971 1,330,526 5,493,181

Sumber: The Impacts of Coal Mining on the Economy and Environment of South Kalimantan Province Indonesia, 2007. http://www.eepsea.org/11782639711 Luthfi_Final_Scientific_Report

Tabel 3 ini dapat diperhitungkan bahwa jumlah output Provinsi Kalimantan Selatan adalah 69,1 T rupiah. Jika dikombinasikan antara perusahaan besar dan kecil pertambangan batubara, maka sektor ini merupakan yang tertinggi kontribusinya yaitu 12,4 T rupiah (18 %). Fakta ini mengindikasikan pertambangan batubara sangat dominan dalam perekonomian Kalimantan Selatan. Masyarakat dapat melihat dengan jelas bagaimana panjangnya konvoi truk di jalan utama, areal pertambangan, jumlah stock file, danau-danau bekas pertambangan.

Batubara dan Kesejahteraan

Sesungguhnya, berdasarkan Ilmu Ekonomi suatu investasi idealnya harus membawa efek penciptaan lapangan kerja dan efek ganda lainnya yang positif, sebagaimana argumentasi yang selalu disampaikan para bupati saat mereka akan mengeksplotasi sumberdaya alam di daerah mereka. Argumentasi itu mereka kemukakan karena mereka tidak pernah tuntas menyelesaikan masalah pengangguran. Padahal agar suatu investasi dapat mencapai keadaan tersebut banyak syarat dan konsekuensi lain yang harus diperhatikan. Hal ini tampaknya tidak terjadi dalam investasi tambang batubara. Investasi pertambangan batubara tidak akan mensejaterakan masyarakat, kalau hanya ditinjau dari keuntungan penciptaan lapangan kerja dan efek ganda. Karena investasi bisa saja ditanam pada sektor ekonomi lain bukan pertambangan batubara, dan sudah pasti juga akan menciptakan lapangan kerja dan efek ganda lainnya. Dengan demikian argumentasi penciptaan lapangan kerja dan efek ganda tersebut sangat kurang tepat.

Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari serapan tenaga kerja. Sebagaimana disebutkan terdahulu, masalah pengangguran belum tuntas di Kalimantan Selatan. Dari 3.250.100 orang penduduk Kalimantan Selatan (Data Tahun 2005), 1.468.590 orang diantaranya bekerja atau sekitar 45%.

Sektor yang paling tinggi menyerap tenaga kerja adalah pertanian, yang menyerap 741.298 orang atau 51 persen tenaga kerja. Sektor pertambangan yang sangat dominan dalam menghasilkan nilai tambah (rangking 2), output (rangking 1), dan investasi (rangking 2), ternyata hanya mampu menyerap tenaga kerja 33.738 orang atau dua persen. Tenaga kerja inipun kebanyakan berasal dari luar desa bahkan banyak dari mereka berasal dari luar provinsi.

Kemudian, Tabel 3 sangat jelas memperlihatkan skor Rasio Nilai Tambah Output sektor pertambangan sangat kecil, yaitu 0,219 untuk pertambangan skala besar dan 0,285 untuk skala kecil. Nilai ini jauh lebih kecil dari sektor air minum (0,976), komunikasi (0,944), dan pertanian (0,510). Skor ini sangat berguna bagi pengambil keputusan jika mereka ingin memilih, sektor apa yang dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi skor tersebut semakin baik untuk dikembangkan karena semakin berdampak baik kepada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Sehubungan dengan Indek Gini Rasio, terlihat pertambangan batubara lebih menguntungkan rumah tangga bukan petani dan cenderung menguntungkan rumah tangga yang berpenghasilan tinggi. Tabel 4 menunjukkan bahwa berdasarkan efek distribusi pendapatan dari pertambangan, ditemukan kecenderungan semakin kaya seseorang, dia akan memperoleh distribusi pendapatan semakin besar. Rumah tangga petani yang tidak mempunyai lahan, mempunyai skor terkecil yaitu 0,051 sementara rumah tangga non petani yang berpenghasilan tinggi mempunyai skor yaitu 0,325. Sehingga pertambangan

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

batubara tidak akan dapat berperan secara signifikan dalam mensejahterakan masyarakat Kalimantan Selatan. Karena perlu dicatat, jumlah rumah tangga petani sangat dominan di Kalimantan Selatan.

Tabel 4. Distribusi pendapatan pada pertambangan batubara berdasarkan kategori rumah tanggaNo Rumah Tangga Pertambangan Besar Pertambangan Kecil Rata-rata

1 Petani tidak punya lahan 0,052 0,050 0,051

2 Petani yang punya lahan kecil 0,092 0,090 0,091

3 Petani yang punya lahan besar 0,184 0,179 0,182

4 Bukan petani yg ber-peng-hasilan rendah 0,251 0,243 0,247

5 Bukan petani yg ber-peng-hasilan sedang 0,227 0,220 0,224

6 Bukan petani yg ber-peng-hasilan tinggi 0,306 0,299 0,303

7 Bukan petani yg ber-peng-hasilan sangat tinggi 0,321 0,328 0,325

Sumber: The Impacts of Coal Mining on the Economy and Environment of South Kalimantan Province Indonesia, 2007.http://www.eepsea.org/11782639711 Luthfi_Final_Scientific_Report

Faktor lain yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat sehubungan dengan pertambangan batubara adalah kebocoran (leakage). Bedasarkan penelitian Luthfi, Imansyah, Udiansyah, dan Khairudin (2007) menyebutkan bahwa jumlah output total dari perusahaan besar pertambangan batubara di Kalimantan Selatan adalah 8,64 triliun rupiah. Dari jumlah tersebut lebih dari 70 % dari output tersebut mengalir ke luar daerah. Demikian juga perusahaan kecil, outputnya 3,78 triliun rupiah dan dijual di luar daerah 2,76 triliun atau 73 % dari nilai jumlah output.

Untuk besarnya persentasi kebocoran pertambangan, data dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebocoran mencapai hampir 40% untuk pertambangan besar dan lebih dari 50% untuk pertambangan kecil. Kondisi ini menyebabkan kesejahteraan masyarakat melalui pertambangan batubara sulit untuk terwujud. (Bagaimana penjelasan leakage dengan kesejahteraan?)

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

EksploitasiÂbesar-besaranÂbatubaraÂdiÂKalimantanÂSelatanÂyangÂterusÂmeningkat,ÂtidakÂsebandingÂdenganÂpenurunanÂmutuÂhidupÂyangÂdialamiÂmasyarakatÂ.ÂPeningkatanÂluasanÂarealÂKuasaÂPertambangan,ÂbukanÂhanyaÂberdampakÂpadaÂpenguranganÂluasanÂhutanÂdiÂKalimantanÂSelatan,ÂnamunÂjugaÂmenggerusÂluasanÂlahan-lahanÂproduktifÂmasyarakat.ÂTidakÂsedikitÂluasanÂkebunÂdanÂsawahÂyangÂdulunyaÂsecaraÂkontinyuÂdapatÂmemberikanÂpenghasilanÂkepadaÂpemiliknya,ÂkiniÂmenjadiÂhamparanÂlubang-lubangÂbekasÂgalianÂpertambanganÂyangÂgersang.

DayaÂRusakÂPengerukan |6

Ada yang lebih serem lagi gak dokumentasinya?Close up Lobang tambangnya...

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Misran, tukang becak di kawasan pelambuan terpaksa akrab dengan debu-debu yang berterbangan dari truk-truk batubara yang hilir mudik di jalan hitam, tempatnya biasa mangkal. Bahkan, tempat tinggal Misran, di Jalan Ir PM Noor, Gang Sampurna, relatif dekat, hanya 1 kilometer dari lokasi stockpile batubara. Keakrabannya dengan debu batubara itu, akhirnya membuat tubuhnya harus terbaring di kasur rumah sakit. Untungnya, Misran punya kartu askeskin, sehingga tetap dilayani oleh pihak rumah sakit. 08180272323584

Menurut Misran, cairan kehitam-hitaman dalam lambungnya itu diduga berasal dari partikel batubara yang lama-kelamaan mengumpul. Misran mungkin hanya salah satu dari korban debu batubara yang bertebaran di “langit” Pelambuan. Menurutnya, banyak penduduk yang juga merasakan hal sama, yakni gangguan pada perut dan pernafasan yang sesak, akibat menghirup debu batubara saban hari. (Radar Banjar. Kamis, 25 Oktober 2007)

Eksploitasi besar-besaran batubara di Kalimantan Selatan yang terus meningkat, tidak sebanding dengan penurunan mutu hidup yang dialami masyarakat . Peningkatan luasan areal Kuasa Pertambangan, bukan hanya berdampak pada pengurangan luasan hutan di Kalimantan Selatan, namun juga menggerus luasan lahan-lahan produktif masyarakat. Tidak sedikit luasan kebun dan sawah yang dulunya secara kontinyu dapat memberikan penghasilan kepada pemiliknya, kini menjadi hamparan lubang-lubang bekas galian pertambangan yang gersang.

Pengurangan luasan tutupan hutan sudah tentu berdampak pada berkurangnya kemampuan alam melayani manusia, yaitu penyerapan air dan perekatan tutupan tanah . Hilangnya fungsi ini berakibat tingginya tingkat erosi dan lajunya aliran air permukaan. Banjir dan tanah longsor kemudian menjadi ancaman.

Pun demikian, ketika debu-debu batubara berpolutan dengan udara sebagai hasil kegiatan penggalian dan pengangkutan, masyarakat tidak dapat memilah lagi mana udara yang masih bersih dan mana yang berpolutan. Kondisi ini sudah tentu mengancam tingkat kesehatan, masyarakat menjadi rentan terhadap penyakit infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA).

Dan ironisnya, segala peningkatan - Kuasa Pertambangan, produksi dan ekspor – ini tidak berdampak pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalimantan Selatan, sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat.

ÂÂ A.ÂBatubaraÂ&ÂKrisisÂPanganÂPertambangan industri yang rakus lahan. Meningkatnya pengerukan batubara dalam sepuluh tahun terakhir artinya kebutuhan lahan untuk dikeruk tentunya juga meluas. Lahan-lahan itu, termasuk lahan produktif. Banyak lahan produktif, yang dulunya berupa sawah, ladang, sungai bahkan pemukiman beralih menjadi kawasan tambang. Tak sedikit desa yang kemudian hilang dari peta beralih jadi kawasan tambang. Kedepan, Alih fungsi lahan ini akan menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan warga setempa, mengingat kawasan - tersebut adalah penghasil pangan warga setempat.

“Kegiatan pertambangan juga banyak menutup sungai, sehingga mengakibatkan genangan air. Bahkan pertanian dan perkebunan warga selalu dikalahkan jika ada lahan yang mengandung tambang mineral”1.

Kutipan media lokal ini menegaskan bagaimana prioritas pemerintah dan daya rusak pertambangan. Sektor pertambangan dianggap lebih menguntungkan untuk dijadikan sumber pendapatan asli daerah.

Dan dalam kurun waktu 10 tahun, dari 1994 hingga 2004, sudah ada 42 perusahaan yang melakukan kegiatan pengerukan batubara di Kalsel. Luas konsesi mereka diatas 100 hektaran dan terus bertambah produksinya. Kenaikan produksi mereka rata-rata mencapai 77,43% pertahun. Pada 1994, produksi batubara yang tercatat mencapai 7,04 juta ton, meningkat hingga 54,540 juta ton sepuluh tahun kemudian2.

Hingga tahun 2005 setidaknya ada 1,2 juta ha lebih daratan Kalimantan Selatan yang punya ijin pertambangan3.Harian Radar Banjar mengutip Dinas Pertambangan Kalsel menyatakan hingga tahun 2007, terdapat 400 lebih izin usaha pertambangan di Kalsel. Dengan rincian 23 izin PKP2B yang diterbitkan pemerintah pusat, dan 379 izin KP yang diterbitkan para bupati4.

Percepatan tumbuhnya sektor ini berdampak semakin luasnya kebutuhan lahan untuk dikeruk . Dengan arti lain, lahan-lahan untuk fungsi-fungsi lainnya seperti pertanian, perkebunan, pemukiman dan kawasan lindung terancam alih fungsi menjadi kawasan keruk.

Itu baru dari sisi ancaman alih fungsi lahan. Belum lagi ancaman daya rusaknya dari sisi pembongkaran permukaan bumi. Penambangan batubara umumnya dengan cara penambangan terbuka, dikenal dengan metode stripping line. Caranya dengan memangkas permukaan tanah pucuk (top soil) – bahkan hingga mencapai kedalaman 7 meter, lantas mengeruk batubaranya. Dalam beberapa kasus, digunakan pula cara

KetikaÂdebu-debuÂbatubaraÂberpolutanÂdenganÂudaraÂsebagaiÂhasilÂkegiatanÂpenggalianÂdanÂpengangkutan,ÂmasyarakatÂtidakÂdapatÂmemilahÂlagiÂmanaÂudaraÂyangÂmasihÂbersihÂdanÂmanaÂyangÂberpolutan.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

“mountain top removal”. Caranya membongkar lapisan atas dengan peledakan dinamit. Pengerukan seperti dua model diatas, tak saja merusak sistem ekologi namun juga sistem hidrologi tanah. Akibatnya sirkulasi dan ketersediaan air bagi kawasan sekitarnya terganggu.

Gambar: Bagaimana penambangan batubara di pegunungan dan dampaknya bagi lingkungan5

kecamatan Kintap di Tanah Laut dan kecamatan Satui di Tanah Bumbu, sedikitnya terdapat 27 perusahaan pertambangan dengan luasan konsesi lebih dari 111.000 ha - di daerah hulunya7.

Banjir dan limbah batubara adalah masalah tersendiri. Warga Martapura Timur yang persawahannya berada disekitar Sungai Riam Kiwa – kabupaten Banjar, kini mengeluhkan jika terjadi banjir padinya tidak tahan genangan air hujan dalam waktu lama. Padahal biasanya, padi mereka bisa bertahan, jikapun sawahnya tergenang banjir hingga seminggu lebih. Hal ini terjadi sejak 2 tahun terakhir, dimana terjadi pengerukan besar-besaran batubara di hulu sungai Riam Kiwa. Menurut warga, air banjir yang berwarna kehitaman bercamur limbah batubara mengakibatkan padi-padi mereka lebih cepat busuk dan mati begitu sawah tergenang8. Limbah yang diduga berasal dari pencemaran akibat pertambangan batubara ini juga dikeluhkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)Intan Banjar dalam mengolah air baku yang berasal dari Sungai Riam Kiwa, menjadi air minum9.

ÂÂ B.ÂBatubaraÂ&ÂKrisisÂairÂTak hanya rakus lahan. Pengerukan batubara juga rakus air. Pola penambangan terbuka tidak saja mengganggu sistem hidrologi tanah tetapi juga seluruh kegiatan warga yang bergantung pada sungai. Pengerukan batubara mengakibatkan sungai menjadi hilang juga meningkatkan pendangkalan badan sungai. Lokasi penimbunan atau stockpile batubara yang biasanya ada didekat kawasan sungai berpotensi mencemari air sungai.

Krisis air adalah keniscayaan bagi warga sekitar pertambangan batubara. Warga disekitar industri pertambangan selalu mengeluhkan sulitnya mendapatkan air bersih saat kegiatan pertambangan berlangsung. Pelajaran ini bisa kita dapat dari beberapa kasus tambang galian.

Warga Buyat pantai misalnya, terpaksa menggunakan air yang disediakan perusahaan tambang emas Newmont, sejak air sumur disekitar sungai tak lagi bisa dikonsumsi. Hal yang sama juga dikeluhkan oleh warga disekitar tambang Newmont lainnya di Sumbawa dan juga warga Rupit di sekitar pertambangan PT Laverton Gold di Sumatera Selatan. Hal yang sama dirasakan oleh masyarakat dayak Paser di sekitar tambang batubara Kideco Jaya Agung di Kalimantan Timur.

Krisis air menjadi masalah tersendiri bagi perempuan. Peran domestik perempuan, menuntut mereka sering bersentuhan dengan air, mulai untuk memasak, mencuci pakaian dan peralatan rumah tangga hingga memandikan anak. Mereka, biasanya bertanggung jawab terhadap penyediaan air itu. Saat air tak layak dikonsumsi kaum perempuan harus berjalan beberapa kilometer untuk mendapatkan air bersih. Dan akan

Kawasan-kawasan lumbung padi yang tersebar dari kabupaten Tanah Bumbu hingga Tabalong, saat ini diserbuan industri batubara. Dikawasan-kawasan tersebut tak hanya mengalami alih fungsi lahan pertanian besar-besaran, tetapi juga rusaknya badan sungai yang memasok air bagi lahan-lahan pertanian sekitar.

Perusakan badan sungai salah satu akibat pengerukan batubara. Mulai hilangnya badan sungai karena dikeruk hingga dirubah jalur sungainya karena masuk kawasan tambang. Ada juga karena pendangkalan dan tercemar air pencucian batubara. Akibatnya kualitas air irigasi pertanian menurun.

Berbeda dengan kondisi diatas, kawasan-kawasan yang belum diserbu pertambangan batubara sumber pangan pokoknya lebih mandiri dan terjamin. Salah satu contohnya adalah kawasan Loksado. Meskipun ada beberapa ijin pertambangan di kawasan tersebut, namun belum satupun yang beroperasi. Di sini masyarakat dayak Loksado biasa menyimpan beras untuk 5 hingga 10 tahun berikutnya di lumbung. Hal ini dimungkinkan dengan tersedianya lahan pertanian produktif di kawasan tersebut.

GagalÂPanenÂ&ÂBanjir

Bulan Juni 2006, banjir menyapu empat kabupaten, yaitu kabupaten Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru. Hasil analisa citra LAPAN menunjukkan banjir itu disebabkan beberapa faktor, yaitu 1) curah hujan yang relatif tinggi, 2) posisi topografi yang rawan bencana banjir dan 3) kondisi penutup atau penggunaan lahan yang telah banyak menjadi lahan-lahan terbuka, baik pada daerah hilir maupun hulu6. Yang kesemuanya terkait dengan pengerukan batubara. Pada daerah yang dilanda banjir, seperti

KrisisÂairÂmenjadiÂmasalahÂtersendiriÂ

bagiÂperempuan.ÂPeranÂdomestikÂperempuan,Â

menuntutÂmerekaÂseringÂbersentuhanÂ

denganÂair,ÂmulaiÂuntukÂmemasak,ÂmencuciÂ

pakaianÂdanÂperalatanÂrumahÂtanggaÂhinggaÂ

memandikanÂanak.ÂMereka,ÂbiasanyaÂ

bertanggungÂjawabÂterhadapÂpenyediaanÂ

airÂitu.ÂSaatÂairÂtakÂlayakÂdikonsumsiÂkaumÂperempuanÂ

harusÂberjalanÂbeberapaÂkilometerÂ

untukÂmendapatkanÂairÂbersih.ÂDanÂakanÂ

menjadiÂlebihÂjauhÂjaraknyaÂketikaÂmusimÂ

kemarauÂtiba.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

menjadi lebih jauh jaraknya ketika musim kemarau tiba. Di kawasan-kawasan pengerukan bahan tambang, rakyat harus bersaing mendapatkan air bersih - yang digunakan perusahaan batubara untuk mengekstraksi bahan tambang dan konsumsi air karyawan perusahaan, yang tak sedikit jumlahnya. Krisis air disekitar kawasan pertambangan notabene akan meningkatkan beban kerja perempuan. Tidak salah jika dinyatakan bila air bersih menjadi barang langka dikawasan pertambangan batubara.

Sebagai gambaran, di daerah Sungai Danau - kabupaten Tanah Bumbu, tepatnya di kawasan sekitar tambang PT Arutmin. Dulunya warga menggunakan air “guntung”, sebutan untuk sungai-sungai kecil disana untuk kebutuhan air harian. Saat ini warga harus membuat sumur sejak guntungnya rusak. Demikian pula dengan warga desa Sungai Cuka - kecamatan Satui, semenjak air sumur mereka kering. Mereka harus membeli pipa agar bisa mengambil air dari lubang bekas tambang milik Arutmin yang ditelantarkan dan terisi oleh air hujan. Jarak lubang tambang dari pemukiman hanya sekitar 25 hingga 30 meter.

Saat kemarau adalah persoalan tersendiri bagi perempuan. Salah satunya dialami perempuan di Ambakiang, Kecamatan Halong Kabupaten Tabalong. Dimana terdapat kegiatan pengerukan batubara oleh PT Bentala coal Mining. Sejak mereka mengeruk batubara, air sumur menjadi kering. Kaum perempuan terpaksa mencari sumber air lainnya. Tidak ada pilihan lain, mereka terpaksa mengambil air untuk minum dan keperluan rumah tangga lainnya dari lubang tambang yang telah ditinggalkan. Untuk itu, mereka harus berjalan sekitar satu kilometer dan menuruni lubang tambang. Melalui tangga untuk mencapai kedalaman 2 meter dari bibir lubang. Padahal, dengan melihat dari warna airnya yang berwarna kebiruan saja, secara fisik air itu sebenarnya tak layak dikonsumsi.

Pada beberapa daerah pengerukan batubara lainnya seperti daerah sekitar pertambangan PT Adaro, PT Bentala Coal Mining, PT Arutmin di Muara Satui, Sungai Cuka hingga di PT Strait Resources di pulau Sebuku, warga terpaksa memakai air yang disediakan perusahaan dalam tong-tong didepan rumah mereka. Mereka yang semula bebas menggunakan air, kini bergantung pasokan air yang disediakan perusahaan. Tong-tong berjejer dirumah didepan rumah menjadi pemandangan biasa di salah satu desa kecamatan Paringin kabupaten Balangan. Disana ada tambang milik PT Adaro. Entah apa jadinya dikemudian hari, ketika perusahaan tambang tersebut sudah menutup dan mengakhiri kegiatan pertambangannya. Siapa yang akan mengisi tong-tong air tersebut diatas, sementara tidak ada lagi sumber air yang bagus.

KemarauÂdanÂKrisisÂAirÂ

Pada musim kemarau, kekeringan adalah masalah lain yang dihadapi warga disekitar pertambangan. Salah satunya yang tinggal di sekitar PT Tanjung Alam Jaya dan Perusahaan Daerah Baramarta. Sumur-sumur warga di Kecamantan Sungai Pinang - Kabupaten Banjar mengalami kekeringan. Mereka lantas mencoba membuat sumur lebih dalam lagi, hingga mencapai kedalaman 60 meter. Namun hasilnya tetap nihil, tak ada air keluar. Akhirnya warga harus merogoh kocek sebesar Rp 8 ribu untuk memperoleh satu drum air 10.

Hal yang sama dialami Desa Ambakiyang, Piyait dan Tundakan, Kecamatan Awayan - Kabupaten Balangan. Kekeringan makin terasa pada musim kemarau, khususnya pada warga yang tinggal kurang lebih satu kilometer dari lubang bekas tambang batu bara PT Bantala Coal Mining. Disaat kemarau tiba, sumur-sumur menjadi kering dan mereka kesulitan mendapatkan air11.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Krisis air juga terjadi di pinggiran kecamatan Paringin, dekat lokasi tambang PT. Adaro. Warga terpaksa membeli air bersih dari tangki milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) seharga Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu untuk setiap tangki berisi 3 ribu liter12. Mungkin terdengar ironis, karena disatu sisi pemerintah memberi restu dirusaknya sumber-sumber air melalui pemberian ijin batubara. Dan disisi lain pada akhirnya, melalui PDAM - warga harus membeli air kepada pemerintah.

Ada cerita miris lagi di Desa Sebuli, Kecamatan Senakin - Kota baru . Desa itu lenyap dari peta, tergusur pengerukan batubara PT Arutmin. Dulunya, warga memenuhi kebutuhan airnya dari sungai-sungai disekitarnya. Selama PT Arutmin melakukan penambangan, sungai berubah keruh dan tak tak bisa lagi digunakan. Perusahaan dituntut membuat sumur-sumur bor dan menyediakan pompa-pompa untuk menyedot air dari lapisan tanah yang lebih dalam. Warga merasa hidup semakin hari terasa semakin susah. Disamping kesulitan mendapatkan air bersih, mereka juga tidak betah berada di tengah-tengah kawasan pengerukan batubara. Apalagi perusahaan selalu menawarkan membeli lahan mereka untuk dikeruk. Akhirnya bisa ditebak. Lambat laun warga pindah satu persatu, keluar Desa Sebuli.

ÂÂ C.ÂLubang,ÂJalanÂRayaÂ&ÂÂKesehatanÂDi sekitar kawasan pengerukan batubara, warga mengeluhkan penyakit yang tak pernah ada sebelumnya. Ia muncul sejak adanya lubang-lubang tambang yang ditinggal begitu saja. Ada ratusan lubang tambang yang tersebar diberbagai kabupaten penghasil batubara. Selain air didalam lubang beresiko mengganggu kesehatan warga jika dikonsumsi, lubang bekas galian tambang tersebut menjadi tempat bersarangnya nyamuk Malaria dan nyamuk Demam Berdarah serta Keong.

Menurut dr Zairullah Ashar, kepala Dinas Kesehatan Propinsi Kaliman Selatan (kini Bupati Kabupaten Tanah Bumbu), potensi penyakit yang ditimbulkan oleh lubang-lubang tersebut adalah Malaria, demam berdarah, elephantisis, pastiulos buski dan penyakit lainnya yang disebabkan oleh nyamuk malaria dan keong13.

Jika di daerah hulu, warga terancam karena resiko penyakit yang muncul akibat lubang tambang yang dibiarkan begitu saja. Maka dikawasan hilir, khususnya sepanjang jalan yang dilintasi truk batubara menuju tempat penampungan batubara atau stockpile, tercatat meningkatnya penderita gangguan pernafasan akut atau ISPA. Munculnya penyakit-penyakit ini tentu mengakibatkan biaya kesehatan warga meningkat. Tak hanya itu, jumlah kecelakaan akibat lalu lalang transportasi batubara di jalan umum naik angkanya.

Secara umum penyakit yang ditimbulkan disepanjang jalan angkutan batubara berasal dari partikel debu batubara yang bertebaran bersama hilir mudiknya transportasi batubara. Debu batubara menjadi bahan pencemar dan gas beracun bagi tubuh manusia. Dampak yang terasa adalah iritasi mata dan gangguan pada pernapasan. Cemaran debu akan mengakibatkan terjadinya proses fibrosis pada jaringan paru dengan akibat klinis yang parah. Kelainan atau penyakit yang ditimbulkan oleh debu yang tertimbun dalam paru-paru yang dikenal dengan nama Pneumokoniosis. Akhirnya akan menimbulkan penyakit paru-paru berupa Emphysema, Bronkhitis menahun dan Bronkhietase14 .

Ongkos Lubang-lubangBegitu batubara usai dikeruk, kawasan itu tak bernilai ekonomis lagi. Umumnya perusahaan meninggalkan lubang tambangnya begitu saja. Siapa yang bertanggung jawab? Pertanggungjawaban terhadap kerusakan lingkungan, kekuatiran terhadap kesehatan manusia dan biaya untuk membersihkannya adalah isu penting saat sebuah pertambangan akan berakhir.

Lubang-lubang tambang yang dibiarkan terbuka, akan terisi air hujan yang lama-kelaman berpotensi memiliki keasaman yang sangat tinggi dan beracun. Hujan lebat di kawasan tersebut beresiko meluapkan air dari dalam lubang tambang ke kawasan lebih rendah, hingga ke sumber-sumber air yang biasa dikonsumsi warga. Dari sinilah masalah berikutnya lahir, gangguan kesehatan.

Makin banyak ijin, makin banyak lubang digali. Jumlah lubang-lubang tambang akibat pengerukan batubara, jumlahnya meningkat seiring pesatnya pemberian ijin KP batubara oleh Pemda setempat. Apalagi tak sulit mendapatkan ijin pertambangan. Bahkan pengusaha batubara mendapat kemudahan membayar dana jaminan reklamasi. Ini dapat dilihat dari komponen biaya reklamasi yang sangat kecil.

MakinÂbanyakÂijin,ÂmakinÂbanyakÂlubangÂdigali!

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Menurut Dinas pertambangan Kalsel, biaya reklamasi lahan pertambangan batubara hanya Rp 60 juta per hektar atau Rp 500 - Rp 2000 per ton batubara yang digali. Tidak jelas darimana munculnya nilai besaran biaya reklamasi lahan tersebut. Tidak ada perhitungan terhadap ganti rugi yang mesti dibayarkan pengusaha akibat rusaknya fungsi ekologi lahan tersebut. Jika angka itu kita bandingkan dengan biaya penanganan lubang-lubang tambang yang harus dikeluarkan pemerintah di negara lain. Akan terlihat betapa jumlah tersebut tak ada artinya.

Di Australia, CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation) menyebut Air Asam Tambang (Acid Mine Drainage = AMD) suatu bom waktu ekologis. Dr Graham Taylor menyatakan ongkos yang dibutuhkan sekarang untuk memelihara AMD di tambang-tambang yang masih berjalan adalah AUD$ 60juta per tahun. Itu sekitar Rp 420 Milyar. Sementara untuk tambang yang sudah ditinggalkan, ongkos itu meningkat menjadi kira-kira AUD$100,000 per hektar.

Ironisnya, uang jaminan reklamasi yang diserahkan kepada pemda setempa, dianggap telah menggantikan tugas dan tanggung jawab perusahaan melakukan reklamasi lahan bekas pertambangan. Pada akhirnya banyak pengusaha yang memilih membayar dana jaminan reklamasi dan meninggalkan begitu saja lubang tambangnya. Sementara pemerintah, tak cukup dana dan keahlian untuk mengurus lubang-lubang itu.

Kacau-balaunya masalah dana reklamasi ini tergambar dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengendalian Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Batubara pada Pemerintahan Kabupaten Tapin oleh Perwakilan BPK-RI di Banjarmasin15. Dalam laporan tersebut terdapat beberapa poin penting terkait masalah ini. Diantaranya, jaminan Reklamasi belum dikenakan kepada pemegang Kuasa Penambangan, namun hanya didasarkan atas kesadaran dan kemauan dari pemegang KP. Akibatnya dari 10 perusahaan CV, 1 koperasi dan 5 Koperasi Unit Desa (KUD) yang telah memiliki ijin KP Tahap Eksploitasi, hanya satu koperasi dan satu KUD yang menyerahkan Jaminan Reklamasi yaitu KUD Tuntung Pandang sebesar Rp 625 juta dan Koperasi Bangun Prima Mandiri sebesar Rp30 juta, sedangkan 14 pemegang KP tidak menyerahkan Jaminan Reklamasi 16. Padahal tata aturan mengenai ini sudah ada sejak disahkan Perda No. 05 Tahun 2002 tentang Pertambangan Batubara di Kabupaten Tapin dan SK Bupati Tapin Nomor 56 Tahun 2003 tentang Jaminan Reklamasi pada tanggal 1 Mei 200317. Lima tahun bukanlah waktu sebentar untuk sebuah kelalaian, mungkin istilah pembiaran lebih tepat.

Buruknya, jaminan reklamasi sebesar Rp 655 juta, dari penjumlahan Rp 625 juta plus Rp 30 juta, yang diterima Pemerintah Kabupaten Tapin tersebut ternyata disimpan dalam bentuk Rekening Giro Nomor 006.00.003001.9 atas nama Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tapin, bukan dalam bentuk 34 deposito berjangka atas nama Bupati Tapin qq. pemilik Kuasa Pertambangan bersangkutan atau dalam bentuk lainnya sesuai ketentuan yang berlaku.

Tak hanya itu, dana jaminan yang seharusnya hanya cair jika perusahaan melakukan kegiatan reklamasi pasca penambangan, ternyata telah dicairkan KUD Tuntung Pandang sebelum waktunya. Pada 1 Oktober 2007, KUD Tuntung Pandang mencairkan dana jaminan reklamasinya sebesar Rp 375 juta atau sebesar 60% dari dana yang diserahkan18. Dasar pertimbangan pencairan dana tersebut adalah Berita Acara Peninjauan Lapangan yang dibuat pegawai Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tapin, setelah memeriksa

lokasi reklamasi KUD Tuntung Pandang pada 12 September 2007. KUD Tuntung Pandang dinyatakan telah melakukan kegiatan penutupan lubang bekas tambang dan penataan areal sekitar tambang, memperbaiki bekas jalan tambang yang masih dapat dimanfaatkan penduduk sekitar dan berencana melakukan kegiatan penanaman kembali (revegetasi) areal bekas tambang dengan jenis tanaman karet pada saat menjelang musim penghujan. Namun ketika dilakukan pemeriksaan oleh Tim BP (apa neh?) ke lokasi KP KUD Tuntung Pandang diketahui ternyata pelaksanaan reklamasi belum dilaksanakan sepenuhnya, antara lain masih dijumpai lubang bekas galian yang belum direklamasi dan penataan lahan belum dilaksanakan secara baik.

Tidak menutup kemungkinan praktek-praktek menyimpang seperti diatas terjadi juga di kabupaten-kabupaten lain di Kalimantan Selatan, yang jumlah pemegang kuasa penambangannya jauh lebih banyak.

Bila berpatokan pada hasil laporan pemeriksaan ini, perhitungan minimal biaya reklamasi19 berdasarkan analisa dari Proyek Revegetasi Disposal Pit PT Bhumi Rantau Energi (Oktober 2004 – Mei 2005) yang dibuat oleh kontraktor penambangan batubara dhi. PT Kalimantan Prima Persada (PT KPP) adalah sebesar Rp16.500,00/bcm (back cubic meter)20 Besaran tersebut ditetapkan dengan asumsi termasuk pengangkutan top soil, pembuangan tanah penutup, penimbunan/perataan dan top soiling serta pembebasan lahan sedangkan untuk perhitungan biaya revegetasi, diambil dari patokan biaya revegetasi yang dikeluarkan oleh PT KPP yakni sebesar Rp 27,75 juta perhektar21. Biaya tersebut meliputi pembuatan lubang tanam, penanaman, bibit tanaman, pemupukan dan pemeliharaan selama satu tahun. Kembali ditekankan disini pemeliharaan revegetasi tersebut hanya berlangsung untuk satu tahun saja.

Untuk perhitungan selanjutnya, nilai Rp. 16.500,00/bcm ini kemudian dikalikan dengan banyaknya overburden22 (jumlah tanah penutup) yang harus dipindahkan guna menutup kembali bekas tambang dalam kegiatan reklamasi23. Sekali lagi, angka inipun merupakan angka yang minimalis yang patut dipertanyakan asalnya. Namun paling tidak dengan perhitungan ini kita dapat menghitung harga lubang-lubang dan bukaan tambang yang bertebaran di Kalimantan Selatan.

JalanÂRayaÂ&ÂPenyakitJika daerah lain menggunakan jalan negara hanya untuk angkutan publik,  tidak demikian Kalimantan Selatan.  Setiap harinya, ribuan truk pengangkut batubara melewati jalanan publik. Hasilnya, tak hanya kesibukan jalan yang luar biasa, tapi juga meningkatnya kecelakaan lalu lintas dan penderita sesak napas. Banyak pihak  dirugikan, namun pemerintah tak berbuat apa-apa.

Batubara, saat ini primadona Kalimantan Selatan. Setiap tahunnya, sekitar 100 juta ton batubara diangkut dari sini. Itu separuh jumlah produksi batubara Indonesia. Sebagian besar batubara, diangkut melewati jalan negara. Padahal dalam perijinan pertambangan, perusahaan batubara harus membangun jalan angkutannya sendiri. Menurut Undang Undang No 11/1967 itu, pengusaha tambang tidak dibenarkan membawa batu bara lewat jalan umum karena ada kewajiban membangun jalan sendiri.

Kegiatan angkut-mengangkut batubara ini menggunakan jalan negara dan mengakibatkan kerusakan, pencemaran udara. Penggunaan jalan itu juga menyebabkan penurunan kualitas kesehatan penduduk yang tinggal sepanjang jalan, maupun pengguna jalannya. Penyakit yang diakibatkan oleh debu batubara menjadi ancaman serius bagi kesehatan warga di sepanjang jalur transportasi emas hitam ini.

Sekretaris Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalimantan Selatan, Drs. Tikri, mengungkapkan bahwa warga Kalsel - terutama yang daerahnya dilewati truk pengangkut atau menjadi kawasan penambangan batu bara terancam terkena penyakit paru-paru hitam. Sebuah penyakit langka yang bisa menyebabkan kematian. Penyakit ini akan menyerang bila warga yang berada di kawasan tersebut menghirup debunya terus-menerus. Dokter spesialis paru-paru, dr Isa SpP, mengatakan ancaman penyakit tersebut muncul seiring maraknya kegiatan penambangan di propinsi ini. Penyakit tersebut perlu diwaspadai karena bisa berakibat kematian. Perlu ada penanganan medis secara dini terhadap penderita,” ujarnya24.

NilaiÂRp.Â16.500,00/bcmÂdikalikanÂdenganÂbanyaknyaÂoverburden Â(jumlahÂtanahÂpenutup)ÂyangÂharusÂdipindahkanÂgunaÂmenutupÂkembaliÂbekasÂtambangÂdalamÂkegiatanÂreklamasi.ÂAngkaÂminimalisÂyangÂpatutÂdipertanyakanÂasalnya.ÂNamunÂpalingÂtidakÂdenganÂperhitunganÂiniÂkitaÂdapatÂmenghitungÂhargaÂlubang-lubangÂdanÂbukaanÂtambangÂyangÂbertebaranÂdiÂKalimantanÂSelatan.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Selain disepanjang jalur angkutan batubara, gangguan kesehatan bahkan kematian juga mengancam masyarakat yang berada di lingkungan lokasi penumpukan sementara (stockpile) batubara, di pinggiran kota Banjarmasin. Tidak cuma sekali, desakan masyarakat meminta pemerintah kota Banjarmasin untuk menutup stockpile-stockpile tersebut25.

Korban telah berjatuhan. Menurut Dinas Kesehatan banjarmasin, kematian tertinggi balita di kota Banjarmasin disebabkan Inpeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Phemonia. Parahnya lagi, justru angka pengidap dan penularan tertinggi di Indonesia, ada di Kecamatan Banjarmasin Barat yang memiliki stockpile batubara26. Tapi ini bukanlah hal yang mengherankan. Apabila kita mengutip pernyataan Kepala Dinas Tata Kota dan Keindahan Kota Banjarmasin Drs. Hamdi di media lokal. Kadar debu di Pelambuan, Kota Banjarmasin, yang banyak terdapat stockpile batubara, mencapai 976 mikrogram per normal meterkubik. Padahal, standarnya cuma 230 mikrogram normal meterkubik27. Angka yang sangat fantastik. Dapat dibayangkan bagaimana udara berpolutan tersebut langsung dihisap dan mengendap di paru-paru.

Pun demikian dengan masyarakat di sekitar tambang. Maraknya kegiatan pertambangan batubara di Kecamatan Kelumpang Hilir, Kotabaru, di Kalimantan Selatan, mengakibatan peningkatan jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA). Berdasarkan data jumlah kunjungan pasien ke Puskesmas rawat inap Serongga, Kelumpang Hilir, Kotabaru. Pada 2006 kunjungan pasien ISPA sekitar 2.500 orang. Sedangkan jumlah kunjungan pasien dengan keluhan sama hingga Juli 2007 mencapai lebih 1.500 orang.Dari jumlah tersebut, lebih 30% penderita ISPA yang berkunjung ke Puskesmas dan dirawat inap adalah balita usia 0 hingga 5 tahun. Sisanya pasien dewasa dan orang tua28. Jauh sebelumnya, hal yang sama juga sudah dikeluhkan warga Desa Batu Laki, Kecamatan Padang Batung, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, yang berada di sekitar lokasi tambang batubara29.

Dampak tidak langsung lainnya adalah tingginya kecelakaan dan kerusakan jalan yang menyebabkan biaya angkut barang akan menjadi naik. Sejak tahun 1993-1996, tak kurang 45 korban meninggal terlindas truk batu bara di jalan umum, antara kota Banjarmasin hingga kota Banjar Baru30. Data kecelakaan lalu lintas yang di himpun Walhi Kalsel sepanjang Agustus - Desember 1998, terjadi 6 kasus kecelakaan dengan korban 10 orang luka berat dan 6 orang meninggal dunia.

Sepanjang bulan April - September 1999, terjadi 14 kasus kecelakaan lalu lintas oleh truk batu bara dengan korban meninggal 14 orang, 9 luka berat dan 11 orang luka31. Sementara sejak bulan Februari - September 2000, terjadi 7 kecelakaan dengan korban 19 orang meninggal dan 22 orang luka serius.

Ongkos Jalan RusakRuas jalan yang digunakan untuk mengangkut batubara panjang, mulai dari Kabupaten Tapin, Banjar sampai dengan Banjarmasin. Di jalur timur propinsi ini, seluruh jalan pada tiga kabupaten tersebut telah menjadi jalur utama pengangkutan batu bara. Tahun 2004, panjang jalan yang dilewati itu mencapai 1056,38 kilometer, sementara sepanjang 124,37 kilometer dalam kondisi rusak berat. Namun data terbaru menyebutkan, berdasar temuan DPRD Kalsel, ruas jalan provinsi yang rusak mencapai 293 kilometer atau 27,7% dar panjang jalan negara.

Sejurus hal di atas. Dalam Laporan Akhir Perencanaan Umum Transportasi Darat dalam Mendukung Pengembangan Potensi Alam di Pulau Kalimantan tahun 2008. Dinyatakan sebagian besar jalan di Kalimantan Selatan mengalami kondisi beban lebih, terutama di kluster selatan, yakni dari Pelaihari hingga Batulicin. Hampir 50% ruas jalan yang dilaporkan dalam kondisi rusak akibat beban lebih atau overloading truk pengangkut batubara dan kelapa sawit, yang mencapai 12 hingga14 ton, bahkan 24 ton, terutama di malam hari33. Sedang untuk jalur Banjarmasin ke arah utara berlalu lalang truk pengangkut batubara dengan kapasitas angkut 4 ton. Namun kenyataannya, mereka mengangkut hingga 9 hingga 11 ton batubara dan walau dilaporkan truk tersebut hanya diperbolehkan beroperasi malam hari saja, namun kenyataannya mereka beroperasi 24 jam sehari34.

Berdasarkan pengamatan WALHI Kalsel di lintasan jalan sepanjang Kabupaten Banjar dan Banjarbaru, tingkat kepadatan angkutan batubara perharinya tak kurang 1300 truk. Sedangkan Tim Survei Penggunaan Jalan Negara dan Pelabuhan Khusus Pemerintah Provinsi Kalsel menyebutkan, beban jalan umum di

Kamis, 25 Oktober 2007

Misran, Korban Penghirup Debu Batubara Hirup Udara Pelambuan, Cairan Lambungnya Berubah Kehitaman

Bukan hanya pengguna jalan yang tewas ditabrak truk pengangkut batubara, kini satu per satu warga sekitar Jalan Ir Pangeran Muhammad Noor atau Pelambuan, merasakan dampaknya. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pun kini menghantui. IRAMA nafasnya kini berjeda agak lancar. Sebelumnya, oksigen yang dihirupnya sedikit terganggu. Perkaranya, ya perutnya terasa sakit hingga membuat dadanya kian sesak. Partikel debu kehitam-hitaman telah lama bersarang di tubuhnya yang kurus.

“Ini buktinya,” ujar Misran (38), sembari menunjukkan kantong berisi cairan dari hasil sedotan oleh tim dokter RS dr Soeharsono (dulunya dikenal dengan sebutah RS TPT) Banjarmasin, saat dikunjungi anggota DPRD Kalsel Anang Rosadi Adenansi, kemarin.

Misran mengaku, sebelum cairan hitam itu diambil dari perutnya, sakit tak terperi menerornya saban hari. Perih, bahkan bulir-bulir air mata mengalir deras dari matanya, saking tak kuat menahan rasa sakit.

Sebelum dirujuk ke RS yang terletak di Jalan Sutoyo S, Jumat (19/10) lalu, perut Misrarn terasa begitu sesak. Bahkan, makanan pun tak bisa ditelan, karena lambungnya penuh dengan cairan.

“Saya baru tahu ada cairan hitam itu, setelah dokter menunjukkan hasil penyedotan itu,” kata Misran, yang didampingi setia sang istri, Heldawati.

Sebagai penarik becak yang beroperasi di kawasan Pelambuan, Misran mungkin sangat akrab dengan debu-debu berterbangan dari truk-truk batubara yang melintas di jalan hitam. Bahkan, tempat tinggal Misran di Jalan Ir PM Noor, Gang Sampurna, relatif dekat, hanya 1 kilometer dari lokasi stockpile batubara. Keakrabannya dengan debu batubara itu, akhirnya membuat tubuhnya harus terbaring di kasur rumah sakit. Untungnya, Misran punya kartu askeskin, sehingga tetap dilayani oleh pihak rumah sakit.

Menurut Misran, cairan kehitam-hitaman dalam lambungnya itu diduga berasal dari partikel batubara yang lama-kelamaan mengumpul. Misran mungkin hanya salah satu dari korban debu batubara yang bertebaran di “langit” Pelambuan. Menurutnya, banyak penduduk yang juga merasakan hal sama, yakni gangguan pada perut dan pernafasan yang sesak, akibat menghirup debu batubara saban hari.

“Ini bukti bahwa izin HO (gangguan) yang diberikan Pemkot Banjarmasin tak bisa melindungi warganya. Izin semacam ini harus segera ditinjau ulang,” seru Anang Rosadi Adenansi, kepada Radar Banjarmasin, kemarin.

Menurut Rosadi, Misran dan warga Pelambuan khususnya, sudah terbukti banyak mengindap ISPA. “Sampel semacam itu seharusnya membuka mata dan hati baik gubernur maupun walikota. Ini akibat diizinkannya stockpile di tengah pemukiman penduduk. Bahkan, dalam radius yang terlalu dekat,” kata vokalis PKB ini.

Bagi putera tokoh pers Kalsel Anang Adenansi ini, izin HO sangat kecil jika melihat dampak yang dirasakan penduduk. Sejatinya, stockpile serta lintasan truk batubara di jalan umum mendapat pengawasan ketat. “Sudah wajib Amdal. Dampaknya terhadap pencemaran udara sangat tinggi. Apa menunggu rakyat yang terus jadi korban? Masalah ini jangan dianggap enteng, dan tidak boleh diatasi setengah-setengah,” sindir Rosadi, terhadap minimnya kepedulian Walikota Banjarmasin Yudhi Wahyuni dan Gubernur Rudy Ariffin yang terkesan tutup mata terhadap kerusakan lingkungan di Banjarmasin. “Sudah banyak penelitian dampak dari armada truk batubara, hingga stockpile batubara, mengapa masih didiamkan seperti sekarang?” sambungnya. (didi gunawan)

http://www.radarbanjarmasin.com/berita/index.asp?Berita=Metropolis&id=77026

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

berbagai kabupaten yang dilalui truk- truk pengangkut batu bara memang sudah kelebihan beban. Di ruas Pleihari Tanah Laut, dan Batulicin Tanah Bumbu, jumlah kendaraan yang lewat mencapai 9.587 unit pengangkut batu bara per hari. Demikian pula ruas jalan Kabupaten Tapin, truk batu bara yang melintas setiap harinya mencapai 23.744 unit. Adapun di ruas jalan lingkar selatan Banjarmasin, melintas 5.553 angkutan setiap harinya. Padahal, menurut aturan, jalan umum itu hanya mampu menampung 8.000 kendaraan per hari35.

Gambar: Truk batubara dan jalan yang rusak (Dok. Walhikalsel)

ÂÂ D.ÂSiklusÂBencanaÂPengerukan batubara meningkat hingga delapan kali lipat dalam sepuluh tahun- sejak 1994 – 2004. Artinya, jumlah tutupan lahan yang terbuka di propinsi ini makin meluas. Padahal, sudah sejak lama hutan disini mengalami kerusakan karena pembalakan hutan. Dalam sepuluh tahun terakhir angka deforestasi di Kalimantan Selartan mencapai sekitar 57 ribu ha pertahun. Serbuan pengerukan batubara jelas menambah buruk perusakan lahan di daerah hulu. Gambar dibawah berikut menunjukkan kondisi tutupan hutan dan sebaran perijinan batubara disekitar kawasan hutan lindung pegunungan Meratus - kawasan tangkapan air utama Kalimantan Selatan dan kalimantan tengah.

Kawasan Meratus punya peran sangat vital sebagai sistem penyangga kehidupan serta penyedia sumber air kawasan di sekitarnya. Sebagai wilayah hulu beberapa DAS, bisa dibilang Meratus adalah jantung Kalsel, disinilah kawasan resapan air utama. Hutan kawasan Meratus merupakan kawasan hulu bagi beberapa sungai penting , diantaranya yaitu sungai Amandit, Sungai Barabai, Sungai Batang Alai, dan Sungai Sampanahan serta Sungai Balangan. Bisa dibayangkan betapa besar dan pentingnya peranan kawasan hulu ini bagi sistem hidrologi di propinsi ini.

Kawasan Meratus satu-satunya jaminan kelangsungan kondisi pasokan air bagi daerah aliran sungai-sungai tersebut. Kawasan ini memiliki kelerengan curam dengan jenis tanah yang kekuatan dan kesuburannya bergantung kepada tutupan hutan diatasnya. Saat ini, kawasan ini sedang mengalami proses percepatan degradasi lingkungan.

Pengamatan di lapang menunjukkan terjadinya bencana banjir setiap tahun (paling besar tahun 1995, 1997 dan 1999), telah menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat yang tinggal di daerah yang lebih rendah - di bagian Barat dan Timur Pegunungan Meratus. Kawasan terebut adalah kota Barabai (Hulu Sungai Tengah), Amuntai (Hulu Sungai Utara), juga Tabalong dan Kotabaru.

Fakta diatas, diperkuat hasil penelitian Frans Taolin (1996), yang menyatakan bahwa tingkat erosi (erosivitas) tergolong tinggi di kawasan Mungkur Baramban . Mungkur dalam bahasa lokal berarti bukit. Angka erosi aktual yang terjadi sebesar 303,57 ton/ha/tahun atau tebal pengikisan tanah 25,0 mm/ha/tahun, tingkat aliran permukaan pun tergolong besar, rata-rata mencapai 76,68 % dari jumlah curah hujan tahunan. Akibatnya, tebal sedimentasi DAS sungai Kundan mencapai 5,51 mm/ha/tahun.

Selain itu, perubahan tataguna lahan dari Hutan Lindung menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT) menyebabkan berkurangnya keanekaragaman hayati di kawasan itu. Jenis yang terganggu itu diantaranya burung Enggang, Bekantan, dan jenis lainnya. Semenrara flora yang terganggu meliputi tumbuhan obat-obatan tradisonal, Anggrek Hutan Kalimantam, kayu Meranti, Kayu Ulin, dan lainnya.

Sepanjang lima tahun terakhir, intensitas banjir meningkat di kawasan-kawasan dimana hulunya mengalami penggundulan hutan, baik oleh industri kayu dan batubara. Kawasan itu diantaranya Banjar, Tanah Laut dan Tanah Bambu. Kerugian yang tidak sedikit harus ditanggung warga dan pemerintah akibat banjir dan bencana lonsor.

Banjir terhebat melanda Kalimantan Selatan bulan Juni 2006, yang menyapu empat kabupaten yaitu kabupaten Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru. Pemerintah mengumumkan jumlah korban mencapai 136.534 jiwa. Ada 12 orang diantaranya meninggal dunia, ribuan hektar sawah dan ribuan rumah terendam, ratusan kilometer jalan rusak dan kerugian total akibat bencana tersebut diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah.

Hasil analisa citra satelit oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa nasional (LAPAN), diketahui bahwa banjir di Kabupaten Tanah Laut, Tanah Tumbu, dan Banjar disebabkan beberapa faktor. Diantaranya, curah hujan yang relatif lebat, posisi topografis yang rawan bencana banjir dan kondisi penutup/ penggunaan lahan yang telah banyak menjadi lahan-lahan terbuka, baik pada daerah hilir maupun hulu�. Pada dua kecamatan langganan banjir, yaitu Kintap - kabupaten Tanah Laut dan Satui - kabupaten Tanah Bumbu, di daerah hulunya paling sedikit terdapat 27 perusahaan pertambangan dengan luasan konsesi lebih dari 110 ribu ha.

Karena itu, kerusakan jalan umum di Kalsel kini menjadi problem serius. Pemerintah sendiri mengaku tiap tahun harus mengeluarkan dana perbaikan jalan mencapai Rp 127 miliar. Dana itu bukan dari para penambang tentunya36, padahal dalam SK Gubernur No. 119 Tahun 2000 dinyatakan perbaikan jalan negara adalah tanggung jawab pengusaha batu bara.

Dan masalah-masalah diatas akan terus bertambah, seiring meningkatnya jumlah truk pengangkut di daerah ini, yang secara kasat mata, mayoritas digunakan mengangkut batubara. Berawal dari angka 34.128 buah truk ditahun 2002, menjadi 36.707 buah di tahun 2003 dan meningkat menjadi 44.272 buah di tahun 200437. Bahkan angka ini melonjak tahun 2005 sebesar 43,5% menjadi 63.539 buah 38.

...kerusakanÂjalanÂumumÂdiÂKalselÂkiniÂmenjadiÂproblemÂserius.ÂPemerintahÂsendiriÂmengakuÂtiapÂtahunÂharusÂmengeluarkanÂdanaÂperbaikanÂjalanÂmencapaiÂRpÂ127Âmiliar.ÂDanaÂituÂbukanÂdariÂparaÂpenambangÂtentunya36,ÂpadahalÂdalamÂSKÂGubernurÂNo.Â119ÂTahunÂ2000ÂdinyatakanÂperbaikanÂjalanÂnegaraÂadalahÂtanggungÂjawabÂpengusahaÂbatuÂbara.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Jika dibandingkan intensitas bencana banjir yang terjadi tahun sebelumnya serta besaran korbannya, banjir tahun 2006 menyebabkan kerusakan terbesar. Padahal melihat dari sisi curah hujan, maka tahun 2005 curah hujan yang turun jauh lebih besar.

Yang paling menderita tentu masyarakat sekitar. Baik di hilir dan hulu. Di hulu, eksploitasi hutan dan tambang membuat masyarakat Dayak Meratus makin miskin. Campur tangan negara berlebihan, membuat akses mereka terhadap pemanfaatan sumber daya alam sebagai sumber pendapatan, melemah. Hasil hutan baik berupa kayu dan non kayu semakin berkurang. Ini berdampak kepada rotasi penanaman padi ladang yang semakin pendek, akibat kian sempitnya lahan/wilayah pemanfaatan. Bagi masyarakat dataran rendah, khususnya daerah rawa akan terjadi perbedaan debit air yang sangat mencolok antara musim kemarau (perembesan cepat) dan musim hujan (debit air meningkat cepat). Dengan demikian waktu tanam padi menjadi sangat pendek, bahkan kadangkala banyak padi yang siap panen tiba-tiba tenggelam karena hujan beberapa kali saja.

ÂÂ E.ÂBatubaraÂ&ÂÂRasaÂAmanÂKonflik adalah hal biasa jika industri tambang masuk ke sebuah kawasan. Yang pertama muncul pada pertambangan skala besar, berijin PKP2B dan Kontrak karya Batubara (KKB), biasanya konflik horisontal antar warga yang setuju dengan setuju dan yang menolak tambang. Konflik juga muncul di tingkat warga dengan pemerintah daerah dan perusahaan tambang. Rasa tidak aman warga menjadi sangat terasa, saat pemerintah dan aparat menjadi pelindung perusahaan tambang.

Salah satu contohnya di Kabupaten Balangan, tepatnya di kawasan pengerukan PT Adaro. Perusahaan telah membuka tambangnya sejak tahun 1991. Tambang skala besar tersebut telah menggusur dua desa, yaitu Lamida Atas di Kecamatan Paringin dan Wonorejo di Kecamatan Juai. Perluasan tambang PT Adaro ditahun 2003 membuat dua desa itu lenyap dari peta. Perusahaan melakukan pembebasan lahan dan memaksa warga pindah ke desa lain setelah diganti rugi.

Beberapa infrastruktur milik pemerintah seperti sekolah dan balai desa hingga tempat ibadah juga ikut tergusur. Tak terkecuali objek wisata gunung Tutupan dan Gunung Jejer Walu yang berbatasan dengan Tabalong. Pegerukan juga banyak menutup sungai-sungai, sehingga membuat genangan air. Bahkan lahan pertanian dan perkebunan warga selalu dikalahkan jika disekitarnya mengandung tambang mineral40.

Gambar Banjir di Satui, Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2007

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Tak jarang pemukiman dan sekolah berdekatan dengan pengerukan batubara. Salah satunya Sekolah Dasar Negeri Buntu Karau 2 di desa Walatungan, Kecamatan Juai – Balangan. Proses belajar mengajarpun tak bisa lagi dilakukan dengan aman di sekitar pertambangan batubara. Sekolah itu terpaksa bubar dan digusur bangunannya karena perluasan tambang PT Adaro. Pemerintah Daerah Balangan tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka malah ikut ansil dalam mempercepat proses pembubaran sekolah itu41

Premanisme adalah fonomena lain yang harus dihadapi warga sekitar tambang. Premanisme menjamur di daerah-daerah sekitar tambang, sementara aparat keamanan cenderung membiarkan, atau terkesan tak berdaya. Salah satunya terlihat dalam konflik yang terjadi di kabupaten Tanah Bumbu dan berujung bentrok massa. Saat itu, warga dan kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendesak DPRD Kalsel menutup kegiatan PETI dan penghentian kegiatan Perusahaan Daerah (Perusda) yang dinilai merugikan mereka. Tak ayal, sekitar 600 orang yang mengaku sebagai masyarakat penambang mendatangi mereka dan terjadilah bentrok massa. Tak selesai di situ, para penambang tersebut melakukan sweeping terhadap para aktivis dari LSM yang mendampingi warga saat itu.

Contoh lain terjadi di Balangan. Seorang warga desa Sumpung nyaris tewas karena dikeroyok penambang setelah melakukan aksi penolakan terhadap kegiatan tambang KUD Rawa Subur42. Korban bersama sekitar 50 warga Desa Sumpung, Kaladan, Manduin dan Gampa Kecamatan Batumandi, Kabupaten Balangan, Kamis siang (6/1/2007) menggelar demo ke DPRD setempat memprotes kegiatan penambangan batu bara yang mencemari sawah pertanian disitu43.

Dan yang paling tragis adalah mengenai cerita tewasnya seorang guru SDN Sarigadung, Kabupaten Tanah Bumbu, yang tewas didepan kelasnya akibat diserang preman batubara. Selain Hadriansyah, seorang guru lainnya yang bernama Lami Hayadi dari SDN Mekarsari mengalami luka berat. Aksi premanisme itu sendiri terjadi karena warga Sarigadung, Kabupaten Tanah Bumbu memprotes pencemaran batu bara dengan memblokir jalan tambang di Jalan Kodeco yang tepat berada di depan SDN Sarigadung. Aksi itu tak membuahkan hasil44

Pengelolaan limbah tambang yang tidak memenuhi standar lingkungan juga mengakibatkan rasa tidak aman dan konflik sosial. Salah satunya terjadi di Kabupaten Balangan. Sekitar 50 warga perwakilan masyarakat Kecamatan Lampihong, Kabupaten Balangan, mendatangi kantor DPRD setempat guna menuntut ganti rugi tanah pertanian dan perkebunan yang tidak lagi produktif, akibat tercemar limbah batubara PT Adaro Indonesia.

Lain pula dengan cerita para nelayan di pesisir timur Kalimantan Selatan. Banyaknya pelabuhan batubara di wilayah ini, serta merta meningkatkan kegiatan di sekitar pelabuhan dan arus transportasi keluar masuk tongkang batubara. Pembangunan Pelabuhan Khusus (Pelsus) Batubara, telah membongkar wilayah hutan bakau yang menjadi tempat pemijahan secara alami beberapa jenis ikan. Demikian pula terumbu karang, banyak yang rusak akibat ceceran batubara dan bekas jatuhan jangkar tongkang-tongkang batubara. Melalui pengamatan langsung dilapangan, khususnya di sepanjang pantai Pulau Tabuan, terlihat

kepingan-kepingan batubara yang mengendap akibat frekuansi lalu lintas dan loading batubara di sekitar perairan pulau tersebut terus meningkat45

Dampaknya bagi nelayan jelas, yakni berkurangnya pendapatan nelayan diwilayah ini (sebagai dampak dari rusaknya ekologi daerah pantai) dan pada akhirnya memaksa nelayan untuk pergi menjauh dari areal ini yang mau tidak mau menambah tingginya biaya operasional mereka serta berpotensi meningkatkan konflik perebutan wilayah tangkapan diantara para nelayan sendiri46.

Jauh sebelumnya, hal yang sama juga dirasakan oleh masyarakat nelayan di pesisir Sungai Barito. Berdasarkan hasil penelitian dampak angkutan batubara di perairan Sungai Barito disebutkan bahwa pendapatan masyarakat tidak lagi bisa mengandalkan sektor perikanan sungai. Pendapatan nelayan terus menurun akibat banyaknya partikel-partikel dari ceceran batubara yang telah mengendap di dalam air47

Pengerukan batubara sebagai pilihan ekonomi utama Kalimantan Selatan telah memicu konflik di berbagai level, mulai horisontal, konflik vertikal, konflik antar departemen pemerintah, juga antara pemerintah daerah dan pusat. Selain berkonflik dengan masyarakat. Dalam bisnis pengerukan emas hitam ini, konflik acap kali juga terjadi antar perusahaan baik antara pemegang PKP2B dengan KP. Perusahaan pemegang PKP2B dengan PETI, juga perusahaan KP dengan PETI maupun antara KP sendiri.

Semisal antara PT. Arutmin Indonesia – sang pemegang PKP2B dengan pemegang KP, yaitu PT Surya Kecana Jorong Mandiri (SKJM) yang mengantongi SK Bupati Tanah Laut No 545.3.006/PU/DPE/2004. PT Arutmin Indonesia tak terima karena menganggap PT SKJM telah mencaplok lahan mereka yang kaya batubara di desa Kintap Kecil dan Desa Mulya Kecamatan Kintap, Tanah Laut. Konflik itu sendiri akhirnya diselesaikan melalui jalur hukum. Akhirnya persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banjarmasin, gugatan dimenangkan pihak PT Arutmin. Namun di tingkat berikutnya, kasasi PT SKJM dikabulkan oleh hakim PTUN. Otomatis, dengan kemenangan ditingkat kasasi itu kegiatan PT SKJM dianggap legal menurut hukum dan bisa dilanjutkan.

Tersirat, persoalan-persoalan yang telah dipaparkan mengenai tumpang tindih lahan menunjukan

PengerukanÂbatubaraÂsebagaiÂpilihanÂekonomiÂutamaÂKalimantanÂSelatanÂtelahÂmemicuÂkonflikÂdiÂberbagaiÂlevel,ÂmulaiÂhorisontal,ÂkonflikÂvertikal,ÂkonflikÂantarÂdepartemenÂpemerintah,ÂjugaÂantaraÂpemerintahÂdaerahÂdanÂpusat.ÂSelainÂberkonflikÂdenganÂmasyarakat.ÂDalamÂbisnisÂpengerukanÂemasÂhitamÂini,ÂkonflikÂacapÂkaliÂjugaÂterjadiÂantarÂperusahaanÂbaikÂantaraÂpemegangÂPKP2BÂdenganÂKP.ÂPerusahaanÂpemegangÂPKP2BÂdenganÂPETI,ÂjugaÂperusahaanÂKPÂdenganÂPETIÂmaupunÂantaraÂKPÂsendiri.Â

Gambar. Tongkang batubara yang melintas di areal tangkap nelayan Kotabaru (Dok. Walhi Kalsel)

Gambar. Pelabuhan Laut Terapung Tempat Loading Batubara dan Nelayan Tradisonal Pencari Ikan di Perairan Tj. Pemancingan Kab. Kotabaru (Dok. Walhi Kalsel)

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

bagaimana konflik terjadi di berbagai tingkatan pemerintahan. Konflik tumpang tindih lahan antara pemilik Kuasa pertambangan dengan Hutan Tanaman Industri adalah contoh nyata dari konflik antara departemen pertambangan dengan departemen Kehutanan. Demikian pula ketika terdapat tumpang tindih antara konsesi pertambangan dengan konsesi perkebunan besar kelapa sawit.

Sedangkan tumpang tindih lahan yang terjadi antara pemegang PKP2B dengan KP secara tersirat menunjukan adanya “persaingan” antara pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah. Terlebih lagi dengan adanya pembagian royalti batubara yang dirasa tidak adil oleh daerah.

Gubernur Kalsel, Rudy Ariffin memaparkan bahwa royalti batubara dari perusahaan PKP2B yang diterima dari pemerintah pusat hanya RP. 80 Milyar, jauh dari penerimaan pajak kendaraan di Kalsel yang mencapai Rp. 300 milyar.

f.ÂÂGayaÂHidupÂKonsumtif

Sebelum terjadinya booming batubara, khususnya sebelum masa reformasi, wilayah-wilayah yang kini menjadi pusat pengerukan dulunya merupakan sentra pertanian dan perkebunan. Perubahan fungsi lahan tersebut lambat laun berdampak juga pada pola produksi masyarakat di wilayah tersebut.

Banua Penuh Mobil Mewah , Beli Harrier Plus Hummer, Hummer Mulai Ditinggalkan

Kondisi perekonomian tak juga membaik. Namun, pasar otomotif justru hingar-bingar. Pada triwulan pertama 2008 ini, berdasar laporan Departemen Keuangan, daya serap kendaraan roda empat, naik dibanding periode yang sama pada tahun lalu dengan angka cukup fantastis. Mencapai 60,5 persen.

Warga Kalsel tentu menjadi bagian dari itu. Coba Anda berdiri di pinggir jalan-jalan besar di Banjarmasin. Tidak usah lama-lama. Pasti ada mobil mewah dan super mewah yang melintas.

Mobil apa saja? Sebut saja Hummer, Lexus, Hilux, dan Rolls Royce Phantom dengan harga di atas satu miliar rupiah. Mobil-mobil di bawah kelas itu lebih banyak. Toyota Harrier, Land Cruiser, dan Fortuner sering berseliweran.

Menurut Kepala UPPD (Unit Penerimaan Pajak Daerah) Banjarmasin, H Gusti Riadiansyah, jumlah mobil mewah dan super mewah yang dimiliki warga Kalsel, lebih dari 500 unit. Sayang, banyak yang berplat luar Kalsel, sehingga Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) tidak bisa mengenakan pajak terhadap mobil-mobil itu. Dia pun hanya bisa mengimbau kepada pemiliknya untuk segera memutasikan setelah tiga bulan berada di Kalsel.

Dari pengamatan BPost selama sepuluh menit di Jalan A Yani, Selasa (8/4), sekitar 10 unit mobil sekelas Land Cruiser dan Fortuner melintas ke arah luar kota. Dalam rentang waktu sama, mobil-mobil seperti Honda New CRV, Ford Escape, Everest serta Suzuki Grand Vitara lebih dari 20 unit yang melintas.

Banyaknya warga Kalsel memiliki mobil mewah dibenarkan oleh beberapa dealer mobil di Banjarmasin. Andrew Lauw, Kepala Cabang Nusantara Indah Mazda Banjarmasin kepada BPost mengatakan, warga Kalsel cukup ‘emosional’ jika membeli mobil.

Andrew mencontohkan pemilik produk Mazda terbaru seharga Rp 420 juta, lebih banyak di sini dibandingkan Jakarta. Pendapat senada dikemukakan Rini, Sales Counter CBU World yang menjadi dealer khusus mobil-mobil built-up. ”Yang paling ramai dicari itu Hilux L 200 seharga Rp 1,5 miliar, di sini sampai kehabisan barang. Hummer juga ada yang inden,” ujarnya.

Selain jenis itu, mobil mewah yang kini digandrungi adalah salah satu produk baru Toyota yakni Lexus. Harga mobil ini, Rp 1,95 miliar. Tentang keinginan membeli mobil mewah, Rini mengatakan, ada seorang pengusaha yang membeli sekaligus Toyota Harrier dan Hummer. Pengusaha yang disebut Rini adalah M Ardi Rosadi, salah seorang pengusaha batu bara. Alasannya, ingin merasakan kelebihan dari mobil-mobil itu. (ff)

Apa sebenarnya tujuan memiliki mobil mewah? Kenyamanan, hobi atau prestise? Dari beberapa pemilik mobil mewah yang ditemui BPost, umumnya mengaku karena memang suka terhadap mobil-mobil super wah tersebut.

Bahkan, karena hobi itu , uang bukan lagi perhitungan bagi mereka. Untuk mendapatkannya pun ada yang harus berburu ke luar negeri. Salah satunya adalah pengusaha batu bara asal Martapura, Banjar, Aman

Jagau. Menurutnya, saat menginginkan mobil itu, dia langsung menelepon kenalannya di Jakarta. Jika tidak ada di ibukota, dia langsung memesan ke luar negeri.

”Kalau ada duitnya, mengapa tidak. Saya langsung memesan ke luar negeri,” katanya, Kamis (10/4).

Di negara mana? ”Pokoknya luar negeri,” tukas suami pedangdut Cucu Cahyati ini.

Mengenai jenis mobil-mobil mewah yang dimilikinya, dia enggan menyebutkan. Aman berkilah dengan mengatakan mobil-mobilnya biasa saja. ”Ah, itu hanya mobil biasa saja,” kelitnya. Namun, dia mengaku setiap tahun harus mengeluarkan uang sebesar Rp 125 juta untuk pajak satu unit mobil. Kabarnya dia memiliki sekitar 10 mobil.

Selain itu , banyak orang mengaku melihat Aman Jagau memarkir mobil Rolls Royce Phantom di sejumlah tempat keramaian dan hotel berbintang. Lalu, untuk apa mobil mewah sebanyak itu? Pengusaha yang akrab disapa Pak Haji ini menyebutkan hanya sebatas koleksi . Hatinya senang, saat bisa membeli mobil mewah dan menikmatinya.

Pemilik mobil mewah lainnya adalah M Ardi Rosadi. Pengusaha muda ini mengaku, memiliki mobil mahal lebih dari satu unit, karena ingin merasakan kelebihan dari mobil itu.

”Saya rasa ini masalah selera saja, saya beli mobil lebih dari satu karena masing-masing mobil itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Cuma saya senang mobil Eropa karena memiliki kelebihan seperti lebih aman dan suspensi lebih bagus,” kata Ardi

Sama seperti Aman Jagau dan Ardi, pengusaha asal Banjarmasin, H Amran mengatakan memiliki mobil mewah lebih dari satu juga dikarenakan hobi, selain faktor kebutuhan. ”Saya penggemar berat otomotif, dan membeli mobil bagi saya selain hobi, juga sesuai keperluaan. Misal untuk ke tambang saya pakai Land Cruiser. Sedang dalam kota pakai jenis sedan,” ujarnya.

”Mobil pribadi saya itu ada 12 buah diantaranya, Hummer, Toyota Signus, Harrier, Honda CRV, dan beberapa mobil dobel kabin yang saya tempatkan di tambang. Saya mau beli Toyota Alphard, katanya harga tidak sampai satu miliar tapi dipakainya enak,” lanjut Amran.

Jika Aman Jagau mengaku membeli mobil mewah langsung ke Jakarta bahkan luar negeri, tak sedikit pula yang membeli mobil mewah melalui perantara pengusaha lokal. Salah satunya Hj Nila, pengusaha yang sering mendapat pesanan mencarikan mobil mewah itu.

”Pemesan rata-rata pengusaha, terutama pengusaha batu bara. Kalau pejabat hampir nggak ada. Kebetulan saya punya banyak kenalan di Jakarta, paling lama tiga hari pesanan sudah datang,” ujarnya.

Nila mengaku sudah menjual puluhan mobil mewah kepada pengusaha di Kalsel. Terbanyak jenis Hummer dengan harga minimal Rp 1,6 miliar. Namun, saat ini mobil Hummer mulai ditinggalkan konsumen di Kalsel, seiring mulai membanjirnya mobil itu di Banua.”Sekarang pengusaha batu bara beralih ke mobil mewah jenis lain, seperti Lexus, Toyota Harier dan Hilux,” ujarnya. (niz/udi/ff) Banjarmasin Post. Kamis dan Jumat, 10 dan 11 April 2008

Terlebih lagi, pendapatan di sektor pertambangan jauh lebih menggiurkan dibanding sektor pertanian. Mudahnya mencari uang dengan mengeruk batubara, membuat orang tak perlu mempertimbangkan waktu lama untuk mendapatkan atau membeli barang. Kemudahan mendapatkan uang mendorong kepada perilaku konsumtif. Warga yang mendapatkan manfaat dari pesatnya perkembangan sektor ini biasanya mudah menjadi korban iklan dan gaya hidup konsumtif.

Meningkatnya pola hidup konsumtif ini - secara simbolik dapat terlihat dari makin maraknya pameran-pameran perumahan mewah. Biasanya yang ditawarkan di sekitar Banjarmasin dan Martapura. Tidak saja pengembang lokal yang mengikuti pameran, perusahaan real estate dan pengembang dari Jakarta dan Surabaya juga ikut serta. Mereka tak hanya menawarkan perumahan mewah namun juga apartemen-apartemen, yang tidak satupun ada di Kalimantan Selatan. Ciri lainnya, banyaknya mobil-mobil mewah yang kini sangat mudah dilihat di jalan-jalan kota Banjarmasin. (Lihat Boks Kliping)

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

DiÂkawasanÂsekitarÂpertambanganÂbatubaraÂdiÂKalimantanÂTimur,ÂorangÂmengenalÂistilahÂJerat.ÂIniÂistilahÂyangÂdigunakanÂolehÂpendudukÂuntukÂmemaksaÂperusahaanÂmemberiÂgantiÂrugiÂterhadapÂrumahÂatauÂtanahÂyangÂakanÂdigusur.ÂMerekaÂpaham,ÂjikaÂtambangÂskalaÂbesarÂmasuk,ÂmerekaÂakanÂmiskinÂdanÂlingkunganÂsekitarÂmerekaÂrusak.ÂAirÂjadiÂsusahÂdiÂdapatÂ,ÂlahanÂdanÂperumahanÂtergusur.Â

JikaÂadaÂperusahaanÂtambangÂmasuk,ÂwargaÂberupayaÂmembangunÂrumahÂcepatÂatauÂfasilitasÂlainnyaÂdiÂjalurÂatauÂkawasanÂyangÂakanÂdigunakanÂperusahaan.ÂIniÂadalahÂsiasatÂmerekaÂuntukÂmendapatÂgantiÂrugiÂlebihÂbesarÂdariÂperusahaanÂÂtambang.ÂMerekaÂsadar,ÂkepentinganÂmerekaÂpastiÂdikalahkanÂolehÂpemerintahÂdanÂperusahaanÂtambang.

AkarÂyangÂTercerabut |6

Dukumentasi Adat

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Di kawasan tambang PT Arutmin terjadi hal yang sama. Perusahaan akan membangun jalan angkutan batu bara melalui desa Manggis dan Sungai Seluang, Kecamatan Kelumpang Utara, kabupaten Kotabaru. Masyarakat lantas ramai-ramai membangun rumah di sepanjang jalan itu dengan tujuan untuk dijual (baca: diganti rugi) kepada PT Arutmin. Dusun Manggis yang memiliki luas wilayah sekitar 10 km2 dan berpenduduk sekitar 856 jiwa itu akan menjadi sebuah dusun yang mati, kelak. Potret diatas salah satu cara bagaimana warga setempat menyikapi masuknya pertambangan.

Pengerukan batubara ditanggapi dengan berbagai sikap dan cara oleh masyarakat, baik warga sekitar tambang maupun warga Kalsel secara umum. Walaupun tanggapan mereka berbeda-beda, namun sebagian besar berujung kepada sebatas persoalan ganti rugi dan kompensasi oleh perusahaan tambang. Paling tidak ada beberapa model respon rakyat terhadap pertambangan batubara ini, yaitu :

• Pertama, menerima secara penuh hadirnya pertambangan batubara karena dianggap dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun karena menadapat keuntungan pribadi.

• Kedua, menerima hadirnya pertambangan batubara dengan berbagai prasyarat. Utamanya syarat seberapa besar perusahaan dapat memenuhi tuntutan masyarakat dan keuntungan yang bisa didapat masyarakat.

• Ketiga, menerima kehadiran pertambangan batubara karena terpaksa bukan atas kesediaan dan kemauan sendiri.

• Keempat, menolak hadirnya pertambangan batubara karena dianggap tidak memberikan kontribusi langsung terhadap peningkatan kesejahteraan mereka, baik pribadi maupun kelompok. Kelompok ini biasanya akan memberikan tanggapan baik jika perusahaan sudah memberi kebutuhan yang diinginkan.

• Kelima, menolak hadirnya pertambangan batubara karena dianggap mengganggu dan mengancam sistem sosial dan keberlanjutan sumber kehidupan warga.

Salah satu kasus yang menarik terkait dengan sikap masyarakat terhadap tambang batubara terjadi di Kabupaten Balangan. Ada dua desa yang lenyap bersama pengerukan batubara, yaitu desa Lamida Atas di Kecamatan Paringin dan desa Wonorejo di Kecamatan Juai. Penambangan batu bara di tempat itu telah membuat desa tersebut tergusur seiring perluasan tambang PT Adaro Indonesia.

Lima tahun lalu PT Adaro melakukan pembebasan lahan dengan membayar gantirugi. Ini membuat warga terpaksa pindah ke desa lain. Beberapa infrastruktur milik pemerintah seperti sekolah, balai desa hingga Mesjid ikut tergusur. Tak terkecuali objek wisata gunung Tutupan dan Gunung Jejer Walu yang berbatasan dengan Tabalong. Kegiatan pertambangan juga banyak menutup DAS, sehingga membuat genangan air. Bahkan pertanian dan perkebunan warga selalu dikalahkan jika ada lahan yang mengandung tambang mineral.1

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Masih di kabupaten yang sama, sekitar 50 warga perwakilan masyarakat Kecamatan Lampihong Balangan, mendatangi kantor DPRD setempat. Mereka menuntut ganti rugi tanah pertanian dan perkebunan yang tidak lagi produktif, sejak tercemar limbah batubara PT Adaro Indonesia. Keberatan dan protes warga berakhir dengan ganti rugi dan kompensasi dalam bentuk uang tunai dan juga program community development (CD) .

Di Kec. Satui, Kab Tanah Bumbu warga menuntut kepada Manajemen PT Arutmin Indonesia (AI) tambang Satui agar membuat jalan alternatif pengangkutan batubara dari tambang ke lokasi penumpukan karena warga menganggap aktivitas PT AI mengganggu lalu lintas umum.

Sejumlah warga Desa Batu Laki Kec. Padang Betung Kandangan mengeluh karena selama ini limbah bekas batubara yang turun ke Sungai Pangkulan mencemari sungai tersebut dan menyebabkan air menjadi keruh dan terasa asam dan kalat. Di Kotabaru misalnya ratusan warga Desa Gosong Panjang Kec. Pulau Laut Barat mempersoalkan pencemaran debu batubara yang ditimbulkan oleh kegiatan PT Indonesia Bulk Terminal (PT. IBT). Masyarakat minta tinjau ulang batas aman 529 meter hasil penelitian PPLH Unlam.

Ratusan warga Desa Swarangan Kec. Jorong kembali mendatangi kantor PT Jorong Barutama Greston (PT JBG). Mereka mendesak perusahaan itu agar secepatnya memenuhi tuntutan mereka. Apa tuntutannya? Mulai merehabilitasi sekolah dasar, penerangan listrik dan transportasi anak sekolah.

Tak hanya Desa Swarangan, banyak daerah yang warganya menuntut pemberian fee atas masalah-masalah yang mereka hadapi sejak tambang masuk. Diantaranya dampak kerusakan lingkungan dan pengambilan lahan mereka yang dulunya telah digarap secara turun-temurun. Itu terjadi di desa Hampang, Sungai Danau, Pulau Sebuku dan lainnya.

Masyarakat yang merasa dirugikan dan tak mendapat keuntungan dari pengerukan batubara ini ada juga yang memutuskan cara lain. Salah satunya dengan membuat portal-portal di jalan yang dilalui truk batubara dan menarik pungutan. Portal atau pos pungutan tersebut ada yang dikelola oleh desa - melalui aparat desa atau kesepakan kampung, dan ada juga yang dikelola oleh kelompok tertentu. Tidak jarang hal ini menimbulkan konflik antara para sopir angkutan batubara dengan para penarik pungutan tersebut.

ÂÂ ProtesÂÂdanÂSolidaritasÂÂWargaÂGunungDemo terbesar beberapa kampung di Pulau Sebuku terjadi tanggal 15 – 22 Februari dengan memblokade jalan utama perusahaan tambang batubara milik Straite Resources - PT. Bahari Cakrawala Sebuku. Untuk pertama kalinya aksi mereka didukung oleh Warga Dayak - Persatuan Masyarakat Adat Kalsel atau Permada Kalsel.

Aksi ini membuat perusahaan nyaris lumpuh dan terhenti. Para pemrotes harus berhadapan dengan pasukan keamanan Brimob dan tentara pengaman perusahaan. Akhirnya perundingan dilakukan, dihadiri Bupati, perwakilan Polda Kalsel dan pihak perusahaan. Setelah beberapa kali berunding dan bernegosiasi, perusahaan tetap tidak mau memenuhi tuntutan masyarakat mengenai ganti rugi lahan yang terdampak akibat masuknya PT. BCS.

Perusahaan hanya bersedia memberikan santunan sebesar 900 juta dan berjanji akan menyesaikan berbagai persoalan lainnya, seperti konflik lahan dan pencemaran lingkungan. Namun masyarakat tetap menolak. Setelah proses negosiasi tidak berhasil, pemerintah melalui Kepolisian lantas memberikan batas waktu agar pemrotes segera membubarkan diri dan menerima tawaran perusahaan. Jika tidak, mereka akan membubarkan massa aksi secara paksa tanpa kompromi.

Akhirnya masyarakat bersedia menerima tawaran dari perusahaan untuk menerima santunan sebesar 900 juta. Ini ditandai dengan pembuatan perjanjian23 dengan perusahaan yang ditandatangani wakil perusahaan, masyarakat dan Bupati Kotabaru. Sayang kesepakatan yang dibuat hanya bersifat umum, tak menjawab berbagai persoalan lingkungan, konflik lahan dan persoalan sosial lainnya.

Dokumentasi Aksi

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Pulau Sebuku adalah sebuah pulau kecil di ………… Konflik disana bermula dari masuknya sebuah perusahaan pertambangan batubara PT. Bahari Cakrawala Sebuku, sebuah perusahaan PMA yang kehadirannya menjanjikan pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Awalnya sebagian besar masyarakat setempat menaruh harapan besar terhadap hadirnya perusahaan itu. Mereka ingin kampungnya maju dan penduduknya sejahtera. Persoalan mulai muncul ketika perusahaan mulai mengkapling-kapling lahan-lahan menjadi wilayah pertambangan yang bersinggungan dengan lahan-lahan kepemilikan masyarakat, juga tempat-tempat mata pencaharian mereka.

Dalam hal ini sebagian masyarakat setempat bersedia menyerahkan lahan, juga asset yang ada diatasnya, melalui ganti rugi yang ditetapkan sepihak oleh perusahaan. Gantirugi ini mengacu kepada ketentuan pemerintah, untuk lahan berdasarkan nilai jual objek pajak/ NJOP. Sebagian masyarakat menolak harga yang telah ditetapkan dan menuntut harga lebih . Sementara sebagian kecil lainnya tetap ingin mempertahankan lahan, yang merupakan sumber ekonomi bagi kehidupan mereka. Walaupun pada akhirnya dua kelompok terakhir ini tetap tidak mampu membendung kehadiran perusahaan dalam menguasai lahan-lahan, baik karena ketidakmampuan mereka dalam melakukan perlawanan, maupun karena kuatnya tekanan perusahaan bersama aparat yang membantu mereka.

Berbagai upaya dilakukan masyarakat, seperti berkirim surat dan mendatangi perusahaan, melaporkan ke kantor Kecamatan, kantor Kabupaten dan DPRD hingga aksi di lapangan untuk menahan penggusuran. Namun pada akhirnya masyarakat terpaksa menyerahkan lahan mereka, baik secara sukarela maupun terpaksa dengan standar yang sudah ditentukan oleh perusahaan. Mereka tak punya hak menolak.

Perkembangan selanjutnya setelah beberapa tahun perusahaan mengeksploitasi , sebagian masyarakat Pulau Sebuku semakin gelisah karena berbagai dampak negatif yang kemudian bermunculan. Pada pertemuan masyarakat Pulau Sebuku yang dihadiri perwakilan kampung Kanibungan, Sarakaman, Sungai Bali, Sungai Dungun, Sekapung dan Mandin Balambus tanggal 12 November dan 5 Desember 2003, disimpulkan bahwa perusahaan pertambangan PT BCS telah mencemari lingkungan, berupa pembuangan limbah dan kebisingan. Selain itu menimbulkan hilangnya mata pencaharian masyarakat berupa kebun karet. Sementara nelayan, tangkapan ikan dan udang mereka menurun. Mereka juga mengeluhkan berkurangnya hutan mangrove tempat ikan dan udang berkembang biak. Dan setelah melewati beberapa kali pertemuan, masyarakat sepakat untuk membuat tuntuta-tuntutan pada PT BCS dan memperjuangkannya bersama-sama. Sejak itu, mereka melakukan berbagai cara, mulai dari berkirim surat ke Bupati dan DPRD, hingga tingkat menteri dan DPR RI. Hingga aksi-aksi, baik dengan mendatangi kantor Bupati dan DPRD maupun melakukan blokade di lapang.

ÂÂ UangÂDebuÂJalananPenggunaan beberapa ruas jalan umum untuk angkutan batubara jelas-jelas telah menggangu kepentingan masyarakat banyak. Kegiatan ini sangat menggangu pengguna jalan lainnya, menimbulkan banyak kecelakaan, kerusakan jalan dan jembatan yang tentunya meningkatkan biaya pemeliharaan jalan dan jembatan. Bahkan debunya telah mencemari lingkungan sekitar sepanjang jalan yang dilewati.

Disamping kerugian-kerugian yang dirasakan langsung, juga terselip bahaya yang ditimbulkan oleh debu batubara, yang dihasilkan pada saat batubara tersebut diangkut melintas di jalan-jalan umum. Bahaya tersebut diantaranya Penyakit inpeksi saluran pernapasan (ISPA), yang dalam jangka panjang akan berakibat pada kanker (baik itu kanker paru, lambung, darah) sampai nantinya adanya kemungkinan banyak bayi yang lahir cacat. Kebijakan yang membolehkan angkutan batubara lewat jalan umum ini juga melanggar ketentuan Perundangan Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang tidak membolehkan kegiatan pertambangan menggunakan jalan umum dan mewajibkan perusahaan tambang memiliki sarana dan prasarana sendiri termasuk jalan untuk tambang.

Berdasar pengamatan WALHI Kalsel di Kabupaten Banjar dan Banjarbaru tahun 2005, tingkat kepadatan angkutan batubara perhari tak kurang 1.300 truk. Bahkan menurut Data Dishub Kalsel, mencapai hampir 2.000 truk yang melintasi jalan raya untuk menuju stockpile di Banjarmasin.3 Bisa dibayangkan, kepadatan arus lalu lintas di jalan negara, yang juga diperuntukkan untuk angkutan umum dan jenis angkutan pribadi lainnya.

Banyak keluhan masyarakat sekitar yang merasa terganggu dengan aktivitas angkutan tersebut, namun sayangnya keluhan tersebut tidak mengkristal menjadi suatu tindakan nyata untuk melakukan protes atau perlawanan bersama. Berbagai kasus kecelakaan yang telah menyebabkan korban jiwa bagi masyarakat pengguna jalan lainnya direspon hanya sebatas masalah yang terjadi saat itu saja (sebatas persoalan kecelakaan) dimana walaupun sempat terjadi blokade jalan oleh masyarakat setempat namun setelah pihak perusahaan yang dibantu oleh pemerintah melakukan negosiasi maka perlawanan itupun berhenti dengan adanya kompensasi kepada pihak keluarga korban.

Dibeberapa ruas jalan umum yang dilewati oleh angkutan batubara, beberapa kelompok masyarakat melakukan aksi menutup jalan dengan alasan angkutan batubara tersebut menimbulkan kebisingan, debu dan mengganggu lalu lintas. Warga yang selama ini merasa dirugikan dan tidak mendapatkan keuntungan dari kegiatan pengangkutan batubara yang melewati daerah tersebut, lantas mengambil tindakan. Seperti di kelurahan Pelambuan di Banjarmasin, terjadi beberapa kali penutupan jalan yang berakhir dengan

......ÂdisimpulkanÂbahwaÂperusahaanÂpertambanganÂPTÂBCSÂtelahÂmencemariÂlingkungan,ÂberupaÂpembuanganÂlimbahÂdanÂkebisingan.ÂSelainÂituÂmenimbulkanÂhilangnyaÂmataÂpencaharianÂmasyarakatÂberupaÂkebunÂkaret.ÂSementaraÂnelayan,ÂtangkapanÂikanÂdanÂudangÂmerekaÂÂmenurun.ÂMerekaÂjugaÂmengeluhkanÂberkurangnyaÂhutanÂmangroveÂtempatÂikanÂdanÂudangÂberkembangÂbiak.

Dokumentasi masyarakat yang meminta dana di jalan

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

negosiasi a ”uang debu”. Tiap RT di daerah tersebut mendapat pembagian uang debu, Hal yang sama terjadi di daerah lain, yang jalan umumnya dilintasi angkutan batubara. Persoalan lingkungan berupa kebisingan, debu dan keamanan lalu lintas serta ketidakadilan direduksi menjadi persoalan kompensasi semata. Dan inipun tentunya juga tidak dinikmati oleh seluruh masyarakat penerima dampak, tetapi hanya oleh sebagian orang saja yang mempunyai pengaruh kuat.

Penutupan jalan tidak melulu berakhir pada persoalan ”uang debu”. Seratusan warga yang berdiam di 18 rukun tetangga (RT)  di Kelurahan Belitung Selatan dan Kuin Cerucuk, Kecamatan Banjar Barat, Banjarmasin, Minggu ( 22/4), sore pukul 16.00 berunjuk rasa. Mereka melarang seluruh truk batu bara dan bijih besi melewati jalan Zafri Zam-zam4.

Aksi tersebut sebagai sikap tegas menolak kegiatan pengangkutan hasil pertambangan itu melewati jalan umum dalam ibukota provinsi Kalimantan Selatan. Warga merasa, keberadaan truk batubara mengganggu ketenangan meningkatkan rasa ketidakamanan berlalulintas, menimbulkan debu batu bara berdampak pada kesehatan warga. Dan terkait dengan keberadaan rumah sakit yang ada di daerah tersebut yang juga menjadi tidak nyaman. Disamping kerusakan jalan di daerah terus dibiarkan menganga dan bertambah.

Pun demikian dengan yang dilakukan oleh warga di 13 Rukun Tetangga (RT), Kelurahan Telaga Biru di sepanjang Jalan Yos Sudarso, Banjarmasin Barat yang sepakat ruas jalan itu terlarang bagi truk angkutan batubara5. Pelarangan yang awalnya hanya diambil untuk Bulan Ramadhan saja, berlanjut pada pelarangan untuk selamanya. Alasan mereka saat itu karena lalu lalang truk pengangkut emas hitam itu dipastikan bakal mengganggu aktivitas keagamaan warga setempat selama bulan suci. Selain itu juga alasan pendukung lain yakni dampak-dampak negatif yang ditimbulkan.

Kesebalan warga tidak hanya pada truk batubara yang berlalulalang. Tapi juga kepada truk-truk batubara yang parkir memanjang di Jalan Lingkar Selatan, Basirih. Deretan truk-truk yang ”kesiangan” dibahu jalan ini mempersempit lebar jalan sehingga menjadi sumber kemacetan, terutama di jam-jam sibuk warga. Perasaan sebal itu berujung aksi unjuk rasa, yang digelar warga Kompleks UKA RT 1, 2, 3, 4, 5 dan 6, Banjarmasin pada Hari Senin, 8 September 2008 yang lalu.6

ÂÂ TimÂ9ÂMuaraÂSatui7

Kegiatan pengangkutan batubara PT. Arutmin di wilayah Muara Sungai Satui telah menimbulkan berbagai dampak negatif berupa abrasi pantai, pencemaran air, pencemaran debu, kebisingan dan bahkan menggangu mata pencaharian masyarakat sekitar, para nelayan tradisional. Selain itu juga gangguan berasal dari kegiatan pengerukan sungai setiap tahun oleh PT. Arutmin untuk memperlancar arus tongkang dan kapal tarik yang lewat. Kondisi inilah Hal ini diyakini masyarakat sekitar menjadi penyebab menurunnya tingkat pendapatan mereka yang menggantungkan hidupnya di sekitar perairan sungai Muara Satui. Mereka merasa hidup tak tenteram lagi.

Dulunya penduduk Muara Satui tidak perlu bersusah payah menangkap ikan ke tengah laut. Mereka cukup melakukannya di sungai dan sekitar muara,

PersoalanÂlingkunganÂberupaÂkebisingan,ÂdebuÂdanÂkeamananÂlaluÂlintasÂsertaÂketidakadilanÂdireduksiÂmenjadiÂpersoalanÂkompensasiÂsemata.ÂDanÂinipunÂtentunyaÂjugaÂtidakÂdinikmatiÂolehÂseluruhÂmasyarakatÂpenerimaÂdampak,ÂtetapiÂhanyaÂolehÂsebagianÂorangÂsajaÂyangÂmempunyaiÂpengaruhÂkuat.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

dengan hasil tangkapan yang cukup besar. Dulunya, mereka bisa memperoleh penghasilan antara Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu perhari atau sekitar Rp 2 juta rupiah permusim tangkap. Namun sejak 1997, PT. Arutmin menggunakan sungai Satui mengapalkan batubara mereka menggunakan ponton seberat 4 ribu hingga 7 ribu ton. Sejak itulah hasil tangkap nelayan menurun drastis, mencapai Rp 30 ribu hingga Rp 100 ribu atau sekitar Rp 500 ribu – Rp 700 ribu rupiah permusim. Mereka menuduh kegiatan lalu lalang tongkang dan tagboat batubara PT. Arutmin penyebabnya. Ini disampaikan Bapak Tarmiji, yang sehari-harinya lebih dikenal sebagai Uwa Temi, apa nih artinya? Sementara untuk menangkap ikan ke tengah laut, sulit mereka lakukan karena menggunakan perahu yang berukuran kecil dan peralatan yang tidak memadai.

Selain gangguan dari lalu lalangnya angkutan batubara, kondisi Muara Satui juga diperparah air buangan limbah settling pond pada stock pile atau daerah penimbunan batubara sebelum diangkut, yang merembes dan mengalir ke sungai, juga cemaran dari ceceran bahan bakar minyak (solar) yang digunakan tugboat penarik tongkang batubara tersebut.

Berbagai keluhan dan keberatan disampaikan warga Muara Satui, melalui Kepala Desa maupun langsung pada pihak PT. Arutmin, tidak mendapat tanggapan yang positif. Akhirnya, tanggal 18 Nopember 1999, masyarakat didampingi WALHI Kalsel melakukan unjuk rasa menutup arus transportasi yang dilalui ponton dan tugboat PT. Arutmin. Warga menyampaikan tuntutan mereka di hadapan pihak manajemen PT. Arutmin Satui Mine, yang isinya antara lain menuntut PT. Arutmin untuk memberikan bantuan perahu-perahu besar bagi warga Muara Satui dan pembuatan tanggul (siring) untuk mencegah terjadinya abrasi dinding sungai dan pantai di muara. Namun tuntutan warga dijawab oleh PT. Arutmin dengan menawarkan community development berupa pengadaan tambak udang atau ikan seluas 40 ha bagi 80 KK Muara Satui, setiap KK akan mendapatkan ½ ha lahan tambak, lokasi tambak yang berjarak sekitar 2 kilometer dari pemukiman penduduk Muara Satui. Dan itu adalah kawasan hutan mangrove.

Bagi warga, merubah hutan mangrove menjadi lahan tambak tidak semudah yang dibayangkan dan ditawarkan oleh PT. Arutmin. Berdasarkan pengalaman mereka, butuh waktu paling tidak 5 tahun untuk menetralkan air tanah dan bekas hutan nipah dan mangrove yang ada. Akhirnya, ada sebagian mereka tidak menerima tawaran PT. Arutmin dan tetap menutut perahu besar dan pembuatan siring. Bagi warga yang menolak tawaran PT. Arutmin dan tetap menginginkan adanya siring, beralasan bahwa garis tepi sungai dan pantai di muara, sejak digunakan sebagai jalur transportasi angkutan batubara telah

mengalami abrasi lebih kurang 20 meter dan bahkan sudah ada dua rumah warga yang hancur tenggelam, akibat abrasi. Dan keduanya tak mendapat ganti rugi dari PT. Arutmin.

Namun seiring berjalannya waktu, sebagian warga yang sebelumnya konsisten terhadap tuntutan mereka, lambat laun mulai goyah. Sejak dibentuknya tim 9, pada 11 Oktober 2000 atas inisiatif Kepala Desa satui Barat waktu itu, Bapak Effendi. Tugas tim ini mengawasi pembuatan tambak. Sejak itu, kepercayaan diantara warga mulai luntur dan bercuriga satu sama lain. Disinyalir pihak manajemen PT. Arutmin memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki Kepala Desa untuk memuluskan tawarannya dan melemahkan tuntutan warga. Apalagi sebagian besar warga setempat tidak punya cukup keberanian dan daya upaya menentang kebijakan Kepala Desa. Mereka hanya bisa menggerutu, tanpa bisa berbuat banyak dalam memperjuangkan tuntutan.

ÂÂ TutupÂGawangÂdiÂSimpangÂ4ÂSumpolÂ

Akibat truk-truk batu bara yang lalu lalang, kehidupan ratusan warga Simpang Empat Sumpol, Kecamatan Sungai Danau, Kab Kotabaru (setelah dimekarkan - sekarang kab Tanah Bumbu), menjadi terganggu. Mulai gangguan suara bising klakson yang membangunkan tiap tidur malam mereka, polusi debu batu bara, yang mengakibatkan puluhan warga mengeluh batuk-batuk, sesak napas dan sakit mata, sampai pencemaran air sungai.

Debu jalan dan serbuk hitam batubara yang berterbangan setiap truk yang melaintas, menjadi pemandangan tiap hari. Udara tercemar, polusi udara semakin parah. Masyarakat sepertinya bernapas dalam debu batubara. Kian hari, keluhan gangguan pernapasan, batuk-batuk dan sakit mata bertambah banyak. Dinding-dinding rumah dekat lokasi itu pun menebal oleh debu kering kehitam-hitaman. Ilalang dan rerumputan tampak kusam mengering. Celakanya lagi, air Sungai Salajuan yang dulunya bening, tempat minum warga dan untuk keperluan lainnya, kini mengering, air yang tersisapun semakin nyata mengeruh hitam kecoklat-coklatan, tak bisa digunakan lagi.

Kesabaran ada batasnya. Gejolak masyarakat Simpang Empat Sumpol yang terus merasa terhina dan dilecehkan sudah tak terbendung lagi. Akhirnya, surat minta untuk diadakan pertemuan pun dilayangkan ke pihak PT Arutmin. Pada Kamis 27 Mei 1999, diadakan pertemuan dengan pihak PT Arutmin, ditengahi unsur Muspika dan Walhi Kalsel, bertempat di rumah Pak Ujang, warga setempat. Intinya, masyarakat menuntut pertanggung-jawaban pihak PT Arutmin terhadap permasalahan yang diakibatkan truk-truk batu bara mereka selama delapan tahun. Yakni rehabilitasi Sungai Salajuan serta penyediaan sumur

Dulunya,ÂmerekaÂbisaÂmemperolehÂpenghasilanÂantaraÂRpÂ50ÂribuÂÂhinggaÂRpÂ200ÂribuÂperhariÂatauÂsekitarÂRpÂ2ÂjutaÂrupiahÂpermusimÂtangkap.ÂNamunÂsejakÂ1997,ÂPT.ÂArutminÂmenggunakanÂsungaiÂSatuiÂÂmengapalkanÂbatubaraÂmerekaÂmenggunakanÂpontonÂseberatÂ4ÂribuÂhinggaÂ7ÂribuÂton.ÂSejakÂitulahÂhasilÂtangkapÂnelayanÂmenurunÂdrastis,ÂmencapaiÂRpÂ30ÂribuÂhinggaÂRpÂ100ÂribuÂatauÂsekitarÂRpÂ500Âribu–ÂRpÂ700ÂribuÂrupiahÂpermusim.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

pompa, sarana kesehatan, uang ganti rugi kebisingan dan debu Rp.100.000/bulan selama delapan tahun, rekrutmen tenaga kerja dari warga setempat, dan menutup bak-bak truk dengan terpal atau plastik untuk meminimalkan debu batu bara.

Pertemuan itu ternyata menemui jalan buntu. Sayangnya, kebuntuan itu disebabkan kurang kompaknya warga Simpang Empat Sumpol sendiri. Waktu itu, Pak Ujang (tuan rumah) meminta warga dalam menyampaikan keluhannya tidak emosi. Karena permasalahan dan kesepakatannya masih sedang dibicarakan. Rupanya sebagian warga menanggapi lain ucap Pak Ujang itu. Lantas terjadilah aksi walk out (keluar dari ruangan) oleh sebagian warga. Kemudian dilanjutkan dengan aksi blokade (“tutup gawang” istilah mereka) terhadap truk-truk batu bara. Suasana pun seketika berubah menjadi tegang.

Beberapa tokoh masyarakat kemudian melakukan pembicaraan dengan Kapolsek, Danramil dan Camat. Keputusannya; kembali diadakan rapat. Setelah melalui pembicaraan yang cukup alot, pihak perusahaan akhirnya bersedia mengabulkan semua tuntutan masyarakat. Namun dengan syarat, ada bukti yang menyatakan bahwa PT Arutmin memang bersalah.

Maka dibentuklah tim dari beberapa lembaga independen, yakni Walhi Kalsel, Pro LH, unsur Muspika, Kabag LH Tk II Kotabaru, untuk mengumpulkan data-data dan bukti “dosa-dosa” perusahaan penambangan emas hitam itu. Pada 10 Juni 1999, langsung diadakan rapat kerja di PPLH Unlam Banjarbaru .

Dalam pertemuan itu diputuskan menggali keluhan-keluhan masyarakat Simpang Empat Sumpol terhadap permasalahan truk-truk batu bara Arutmin selama beroperasi. Puskesmas setempat juga dilibatkan mendata jumlah masyarakat yang pernah berobat akibat polusi batubara.

Mengapa dalam pertemuan itu tidak membahas masalah teknis? Hal itu memang sengaja tidak dilakukan. Karena kasusnya sudah lama terjadi, dan ada kemungkinan pihak Arutmin juga akan melakukan langkah pengurangan kebisingan dengan menyuruh sopir-sopir angkutannya untuk menjalankan truknya secara perlahan saat melalui pemukiman penduduk, serta melakukan penyiraman jalan lebih sering lagi. Belakangan hari, perkiraan ini ternyata benar.

Terhitung sekitar tiga bulan berikutnya, hampir setiap waktu jalan-jalan disiram perusahaan Bak-bak truk sudah banyak yang ditutup. Kebisingan klakson pada waktu malam berkurang. Beberapa warga pun mengakui perubahan itu. “Tapi masalahnya sekarang, jalan-jalan malah menjadi becek. Dan banyak yang mengeluh sandalnya pagat (putus, red),” tutur seorang warga.

Tanggal 15 Juni 1999, Tim lapangan Walhi kalsel bersama masyarakat mendiskusikan pengumpulan data keluhan itu. Ketika diputuskan, bahwa bagi yang mempunyai keluhan agar menuliskannya dalam selembar kertas lengkap dengan keterangan diri, warga pun dengan bersemangat menyambut carikan-carikan kertas yang diberikan. Bagi yang pernah berobat di puskesmas, pendataan dibantu oleh pihak puskesmas sendiri. Hasilnya, dari 213 responden yang menuliskan keluhan, kebisingan menempati urutan pertama, yakni sekitar adalah 78%, dengan rincian, polusi udara 73%, kesehatan terganggu 67%, kesulitan air bersih 43%, sakit mata 21%, sesak napas 10%, dan yang batuk-batuk 5%.

Hasil pengumpulan data tersebut kemudian diserahkan kepada pihak PT Arutmin bersama dengan warga masyarakat dan unsur Muspika. Namun PT Arutmin tidak terima dengan hasil data tersebut. Alasannya, data itu hanya melihat pada sisi keluhan masyarakat saja dan bukan pada permasalan teknisnya. Melihat gelagat itu, masyarakat kembali bereaksi. Turun ke jalan, “tutup gawang”.

Untuk memecahkan kebuntuan itu, tim kerja kerja II dibentuk lagi untuk mengumpulkan data yang lebih akurat. Hasilnya, secara teknis pihak PT Arutmin memang terbukti bersalah melakukan pencemaran Sungai Salajuan, menimbulkan kebisingan, serta polusi udara yang mengakibatkan kesehatan penduduk terganggu.

Setelah semua data itu diserahkan, pihak PT Arutmin tak bisa berkutik lagi, dan menyatakan siap bertanggung jawab. Maka diputuskan, pihak PT Arutmin harus menyerahkan uang ganti rugi sebesar Rp 3 milliar, dengan rincian Rp 1 milliar setiap 1 tahun, dan dikelola pihak Koperasi setempat yang baru dibentuk. Selain itu, juga menyediakan beberapa buah sumur bor untuk keperluan warga.

Dapat dibayang betapa gembiranya warga Simpang Empat Sumpol menyambut kemenangan mereka itu. Di sana sini terlihat wajah-wajah penuh suka cita. “Akhirnya perjuangan kita membuahkan hasil juga,” ucap seorang warga dengan mata berbinar-binar haru.

Selesaikah sudah perjuangan masyarakat Simpang Empat Sumpol? “Belum,” jawab Ibu Diyana, tokoh perempuan setempat. “Kami masih menuntut tanggung jawab pihak perusahaan (PT Arutmin, red) atas pencemaran Sungai Salajuan yang sampai sekarang belum dipenuhi, serta sarana kesehatan Puskesmas,” Ibu Diyana juga mengingatkan, agar masyarakat Simpang Empat Sumpol tidak terlena dengan kemenangan yang telah dicapai.

ÂÂ DayakÂBalanganÂ&ÂBentalaÂSebuah surat dilayangkan kantor pusat PT Bentala Coal Mining yang ada di Jakarta. Isinya, pemberitahuan bahwa tanggal 26 Oktober 1999, perwakilan perusahaan dari Jakarta bp.Hutarjono, akan mengadakan pertemuan dengan masyarakat dikantor Camat Halong. Sekitar 40 orang wakil masyarakat berduyun-duyun mendatangi kantor kecamatan untuk membicarakan masalah kesepakatan ganti rugi kerusakan karena pembuatan jalan angkut batu bara. Tapi, setiba ditempat, masyarakat kesal karena pihak perusahaan tidak datang, pihak muspika bersama perwakilan masyarakat bersepakat untuk mendatangi ke kantor perusahaan didesa Ambakiyang, daerah tambang. Di sana, hanya ada bapak Abdurahman, salah seorang pimpinan di lapang, yang mengatakan bahwa perwakilan dari Jakarta belum datang, masih dalam perjalanan dari Balikpapan menuju pelabuhan. Dan akan segera memberitahukan jika wakil PT Bentala CM datang. Akhirnya, Muspika dan wakil masyarakat kembali ke kantor Kecamatan, menyampaikan hasilnya kepada teman-temen mereka yang menunggu dihalaman kantor kecamatan Halong. Tapi hingga jam 8 malam, wakil perusahaan belum datang juga. Masyarakat merasa kesal terhadap perlakuan perusahaan, mereka menekankan kalau tidak ada kabar kejelasan pertemuan, masyarakat menancam melakukan aksi jalanan. Mereka lantas membubarkan diri, pulang kerumah masing-masing.

Sejak tanggal 26 – 28 Oktober 1999, tidak ada pemberitahuan dari pihak perusahaan yang kabarnya akan mengadakan pertemuan dengan masyarakat. Pada 29 Oktober 1999, sekitar 15 orang wakil masyarakat sepakat mengadakan aksi kekantor perusahaan di desa Ambakiyang dari pagi jam 9 pagi. Mereka menduduki kantor tersebut, dan menyatakan ingin bertemu dengan pimpinan kantor disana, ternyata pimpina lapangpun tidak ada ditempat. Slah satu karyawan dipaksa menjemput san pimpinan. Selama 4 jam, mereka menunggu tanpa hasil. Akhirnya kekesalan memuncak, mereka menunggu dengan kesal, mereka memecahkan kaca jendela kantor perusahaan.

Karena lama menunggu, mereka memutuskan pindah ke daerah camp urin (stock file) di KM 60. Di sana mereka menduduki tempat tersebut hingga jam 7.30 malam. Akhirnya, perusahaan lagi-lagi menanggapi dengan surat undangan. Kali ini undangan berasal dari Camat setempat, isinya mengajak bertemu perusahaan di kecamatan Halong, pada 30 Oktoer 1999 jam 1 siang,

Pada 30 Oktober 1999, sekitar 90 perwakilan masyarakat mendatangi kantor kecamatan Halong. Mereka bertemu wakil perusahaan, Bapak Hutarjono, Ginting dan Abdurahman. Muspika memfasilitasipertemuan tersebut, untuk menyepakati harga ganti rugi. Masyarakat sepakat dengan harga Rp.3500/m2 untuk lahan dan tanam tumbuh. Ternyata belum ada keputusan final, wakil perusahaan menyatakan akan

”Walhi kalsel tidak bersalah, mereka adalah tempat kami untuk menyampaikan hak kami, yang telah dihancurkan perusahaan”, ujar Bapak Fido.”Walhi kalsel tidak mempunyai kesalahan, kalau perusahaan menyalahkan walhi itu berarti sama saja menyalahkan kami semua, kami ini semua walhi”, tambah lainnya.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

membawanya kepada pimpinan pusat mereka di Jakarta, dab membicarakannya para direksi perusahaan. Mereka meminta waktu 2 minggu, dan tanggal 15 November, akan memberitahukan hasilnya kepada masyarakat.

Sebelumnya, tejadi perdebatan sengit antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Manajer perusahaan, mengatakan bahwa aksi masyarakat sehingga berbuah pengrusakan kantor mereka di Ambakiyang dan Camp Urin dikarenakan mobilisasi dan provokasi WALHI Kalsel. Namun warga masyarakat langsung membantahnya. ”Walhi kalsel tidak bersalah, mereka adalah tempat kami untuk menyampaikan hak kami, yang telah dihancurkan perusahaan”, ujar Bapak Fido.”Walhi kalsel tidak mempunyai kesalahan, kalau perusahaan menyalahkan walhi itu berarti sama saja menyalahkan kami semua, kami ini semua walhi”, tambah lainnya.

ÂÂ MengeluhÂpadaÂmediaTercatat ada 63 buah buah opini singkat yang dilontarkan masyarakat melalui pesan pendek handphone terkait persoalan pertambangan batubara yang ditujukan kepada Media Massa di Kalimantan Selatan, sepanjang Januari hingga Februari 2008. Kalau dirata-rata, ada 2 keluhan yang terlontar setiap harinya. Dari lontaran mengenai debu batubara, kerusakan jalan, sawah yang tercemar hingga penolakan terhadap penggunaan jalan raya tercermin dalam keluh kesah pesan pendek itu.

Media massa tampaknya dianggap dapat lebih peka mengakomodir persoalan masyarakat terkait pertambangan batubara dibanding mengadukannya langsung ke pihak legislatif, eksekutif, maupun aparat keamanan. Berikut diantaranya yang terekam dari layanan publik Harian Banjarmasin Post Bulan September 2008.

• Berani Menertibkan? YTH. Bapak Wali Kota Banjarmasin, Anda kami tantang apa berani menertibkan para pedagang, parkir truk batu bara dan ekspedisi di Jalan Zafri Zam Zam? Bagaimana Sanggup? Jalan yang belum selesai diperbaiki, rusak sebelum sempat dinikmati masyarakat, karena truknya banyak sekali, sampai menutup jalan. (087815355xxx)

• Tertutup Truk Bara PAK Kapolda, kami tidak bisa memasukkan isi truk ke gudang, karena tertutup truk batu bara yang kesiangan, padahal barang yang kami angkut tepung terigu pesiapan lebaran. Jangan sampai terhambatnya keluar masuk truk tepung, menjadi stok langka di pasaran. Trims. (0811512xxx)

• Tidak Nyaman Lagi YANG terhormat Bapak Kapolda. Kami sekarang merasa tidak nyaman lagi bermukim di Liang Anggang, karena akhir-akhir ini banyak sekali pemain batu bara karungan. Setiap malam berisik sekali, saking banyaknya truk berisi batu bara yang menumpahkan isinya di stockfile SPA. Kami sebagai masyarakat biasa pernah protes ke pengelolanya, tapi apa jawabnya: ”Kami kan sudah setor ke Polsek, Polresta juga Polda.” Bahkan sekarang batu dari PKP2B Rm Kabupaten Tapin banyak yang ditumpah di SPA Liang Anggang menggunakan surat kirim dari stockfile 76 yang memakai atau

yang membeli dari satu CV di sana, tapi dibosi oleh orang lain. Jadi, tolong pak ditertibkan atau kami yang menertibkan sendiri. (081348291xxx)

• Berani Amat PAK Kapolsek Sei Tabuk. Kerahkan anggota anda untuk tertibkan oknum-oknum yang tak berwenang memalak truk-truk batu bara pada malam hari, di Jalan Martapura Lama. Antara desa Pejambuan dan Gudang Tengah. Dia cuma berseragam Satpam, kok berani amat. (085752248xxx)

• Kapan Berakhir? BAPAK Wali Kota Banjarmasin, kapan izin HO stockpile batu bara di Pelambuan - Pasirmas berakhir? Kami sudah tidak sabar lagi untuk menghirup udara segar, bebas dari debu batu bara. (08125005xxx)

• Lewat Kota YTH. Bapak Kapolresta Banjarbaru, tolong tangkap truk batu bara lewat Banjarbaru. Apakah mereka setor lawan bapak ataukah armada punya anak buah pian sendiri sehingga seenaknya lewat kota terutama armada guntung payung milik H.YN dengan disopiri HR, mantan polisi Polda, terima kasih. (085248113xxx)

• Portal Berdekatan KEMACETAN angkutan batu bara disebabkan adanya portal yang terlalu berdekatan, sehingga terjadi antrean panjang. Seandainya dana portal diwajibkan bayar disetopel masing masing, pasti akan mengurangi kemacetan dan polisinya tentu juga harus mengatur, bukan hanya minta uang seenaknya sama sopir.(081348222xxx)

• Makan Dabu Tarus GASAN Pelindo III di Trisakti. Ayu pang dabu bakas batu bara ampun ikam tu dibuang, jangan disamprut haja. Lucut kami bagawi, haur makan dabu tarus.(05117234xxx)

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Kalimantan Selatan sebagai Lumbung Energi Nasional. Kenyataannya, ibarat ayam yang mati di lumbung padi. Kalimantan Selatan yang menyumbang batubara kedua terbesar di Indonesia setelah Kalimantan Timur, justru tersendat pasokan energi listriknya hingga saat ini. Padahal, Kalimantan Selatan menyumbang lebih 41% produksi batubara nasional di tahun 2005, disaat produksi batubara nasional mencapai 150 juta ton. Kalimantan Selatan hanya menggunakan 1,2 persen dari jumlah produksi batubaranya. Hasilnya? krisis energi, pemadaman bergilir hampir tiap dua bulan.

Celakanya, dengan alasan memenuhi kebutuhan pasar dunia, laju usaha keruk ini digenjot oleh pemerintah. Ini dilakukan lewat pemberian konsesi berupa PKP2B maupun KP, tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan dan daya serap kebutuhan lokal maupun nasional. Bisa diramalkan, batubara Kalimantan selatan bisa terkuras habis lebih cepat dari waktu yang diramalkan.

Selama industri keruk ini berjalan, selama itu pulalah bahaya mengancam lingkungan dan masyarakat terdampak tambang. Baik ancaman kesehatan maupun ancaman keselamatan. Jalan raya bukan tempat yang aman, rumah pun tidak dapat melindungi diri dari debu-debu batubara yang bertebaran.

PaskaÂTambang,ÂMungkinkahÂSejahtera? |6

SelamaÂindustriÂkerukÂiniÂberjalan,ÂselamaÂituÂpulalahÂbahayaÂÂmengancamÂlingkunganÂdanÂmasyarakatÂterdampakÂtambang.ÂBaikÂancamanÂkesehatanÂmaupunÂancamanÂkeselamatan.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Polutan kasat mata ini sesungguhnya yang menjadi ancaman serius bagi masyarakat, khususnya anak-anak. Akankah sampai pada penurunan mutu generasi di Kalimantan Selatan, khususnya kualitas hidup mereka? Rupanya pemerintah belum punya recana untuk melihat hal tersebut lebih dalam.

Bila hutan-hutan telah habis, tanah-tanah telah dikeruk, bencana banjir selalu hadir dan tingkat keselamatan serta kesehatan telah menurun, apa yang tersisa bagi Kalimantan Selatan? Pola perubahan corak produksi sepanjang boomingnya industri keruk batubara, terutama di wilayah seputar areal pertambangan, sebenarnya telah terjadi. Tidak sedikit masyarakat yang dulunya berkebun dan bertani, kini meninggalkan lahan-lahan mereka. Kalau tidak menjadi pekerja-pekerja tambang, mereka menjadi pedagang. Kalupun masih bertahan, acapkali produktivits lahan mereka menurun.

Pengurangan luasan lahan kebun dan sawah akibat jual beli dan alih fungsi lahan serta penurunan kualitas tanah garapan akibat tercemar limbah pertambangan, menjadikan pertanian, sektor penyumbang penghasilan terbesar masyarakat Kalsel. Lambat laun akan terus menurun. Demikian pula dengan petani tambak. Yang kerap kali terkena terjangan banjir, akibat maraknya kegiatan pengerukan besar-besaran di wilayah hulu, pada akhirnya akan menyerah dari corak produksi yang ditekuninya ini.

Akan terjadi penumpukan tenaga kerja di sektor pertambangan batubara yang tidak terbarukan. Dampaknya, ketika ”emas hitam” yang selalu digadang-gadang keberadaannya mulai menipis, maka akan terjadi pengangguran besar-besaran pula sebagai efek dari pemutusan hubungan kerja. Sementara untuk kembali menjadi petani, pekebun maupun peladang, mereka telah kehilangan lahan-lahan dan keahlian bercocok tanam mereka.

Demikian pula bagi yang selama adanya pertambangan bergelut di sektor perniagaan, baik perniagaan besar maupun perniagaan kecil. Lambat laun akan kehilangan konsumennya, seiring dengan tutupnya perusahaan maupun pekerja yang bergerak di sektor ini. Bermula dengan berkurangnya para pemasok alat-alat berat, penjual-penjual batubara skala besar (yang membeli dari perusahaan-perusahaan skala kecil) dan penyedia layanan transportasi angkutan batubara. Untuk perniagaan kecil, warung-warung makan, yang selama jalannya pertambangan melayani konsumen dari para pekerja, akan kehilangan pelanggan-pelanggannya.

Dari semua itu; roda perekonomian masyarakat dan daerah akan menurun; peningkatan pengangguran dan penambahan jumlah keluarga miskin, disamping menurunnya kualitas hidup masyarakat. Bukan tidak mungkin nantinya, Kalimantan Selatan yang terkenal kaya dengan batubara, menjadi daerah yang miskin dengan wilayah yang kering dan gersang.

Siapa yang layak dipersalahkan, bila ini telah terjadi nantinya. Dalam sistem kenegaraan kita, dimana pembuat kebijakaan adalah pihak pemerintah. Maka tidak bisa tidak, pemerintah; baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, layak dipersalahkan. Karena kebijakan merekalah maka eksploitasi besar-besaran batubara di daerah ini terus terjadi. ”Mudahnya” pemberian ijin eksplorasi dan eksploitasi (Baik PKP2B, Kontrak Karya, maupun Kuasa Pertambangan), tercermin dari banyaknya ijin yang dikeluarkan, dan semakin dipermudahnya pinjam pakai wilayah hutan. Seakan-akan menjadikan sektor pertambangan batubara menjadi kuasa yang tak tersentuh.

Banyaknya perijinan, tak sebanding dengan jumlah pegawai pemerintahan yang melakukan pengawasan. Akibatnya, pengawasan terhadap kegiatan pertambangan tidak maksimal dan penuh kolusi. Bagaimana

DalamÂsistemÂkenegaraanÂkita,ÂdimanaÂpembuatÂkebijakaanÂadalahÂpihakÂpemerintah.ÂMakaÂtidakÂbisaÂtidak,Âpemerintah;ÂbaikÂpemerintahÂpusatÂmaupunÂpemerintahÂdaerah,ÂlayakÂdipersalahkan.ÂKarenaÂkebijakanÂmerekalahÂmakaÂeksploitasiÂbesar-besaranÂbatubaraÂdiÂdaerahÂiniÂterusÂterjadi.

KeberadaanÂstockpile-stockpileÂdekatÂpemukimanÂpenduduk,ÂdiÂtengahÂkotaÂ

merupakanÂsesuatuÂyangÂlayakÂdipertanyakan.ÂBaikÂdariÂsisiÂAMDALÂmaupunÂ

keluarnyaÂperijinan.

Dokumentasi stockpile yang dekat deng pemukiman

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

mungkin pemerintahan daerah dapat mengawasi lebih dari 400 perijinan hanya dengan 30an tenaga pengawas lapangan yang ada.

Minimnya tenaga teknis ini juga menghasilkan proses keluarnya perijinan, khususnya perijinan eksplorasi ke eksploitasi yang rawan kolusi dan korupsi. Proses sidang AMDAL, sebagai sarat administratif keluarnya ijin pertambangan, kadangkala hanya menjadi sidang ketok palu, berakhir diterimanya AMDAL perusahaan. Keberatan dari masyarakat ataupun NGO Lingkungan, hanya menjadi ”catatan” dalam AMDAL tersebut. Karena proses keputusan dalam sidang AMDAL diambil suara terbanyak, sementara komposisi jajaran pemerintah menjadi mayoritas dalam sidang tersebut. Hanya segelintir sidang AMDAL yang menolak AMDAL yang diajukan perusahaan, yang banyak adalah diterima dengan perbaikan. Kalaupun AMDAL ditolak, atau tidak memenuhi syarat, perusahaan masih dapat mengajukan dokumen AMDAL kembali. Pendek kata, AMDAL adalah dokumen formalitas bersyarat, yang ujungnya meloloskan perusahaan meneruskan membongkar perut bumi.

Persoalan hilir tidak jauh berbeda. Keberadaan stockpile-stockpile dekat pemukiman penduduk, di tengah kota merupakan sesuatu yang layak dipertanyakan. Baik dari sisi AMDAL maupun keluarnya perijinan. Menumpuk batubara di stockfile ibarat menumpuk debu bagi masyarakat di sekitarnya. Sayangnya, tak banyak reaksi warga Kalimantan Selatan sendiri menyikapi masalah-masalah diatas.

Satu dari yang sedikit itu adalah sebuah seminar yang digagas Walhi Kalsel, bersama Karsa, Jatam dan LUCE Foundation. Seminar bertajuk Mengurai Problematika Pertambangan Batu Bara Kalimantan Selatan di pertengahan bulan Mei 2008 yang lalu itu diadakan di Banjarbaru. Dalam seminar yang dihadiri oleh masyarakat korban, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa dan warga negara yang peduli pada isu pertambangan batubara terungkap beberapa solusi yang terlontar dari peserta; yakni:

1. Sumberdaya alam adalah semestinya milik rakyat yang dikelola oleh negara, sehingga peruntukannya pun adalah untuk rakyat. Sehingga masyarakat pun berhak untuk menolak ataupun menerima investor untuk mengelola lahan asalkan berpihak pada masyarakat.

2. Adanya kepastian tentang kepemilikan lahan, khususnya lahan masyarakat adat dan lahan yang telah dikelola masyarakat selama puluhan tahun diwilayah-wilayah yang dulunya tidak berada pada jangkauan kepemilikan hukum legal negara.

3. Terkait persoalan royalti batubara, harus diperhitungkan lagi bagaimana pembagiannya untuk pemerintahan daerah dan pemerintah pusat, dengan tetap memperhatikan daerah lain yang sumberdaya alamnya kurang, sehingga tetap harus proporsional dan transparan.

4. Adanya revisi Undang-Undang terkait persoalan pertambangan dan sumberdaya alam dan mineral ke arah yang lebih pro pada kepentingan rakyat (berpihak pada rakyat) lingkungan dan daerah. Karena tidak dapat dipungkiri, bahwa tata aturan perundangan yang ada saat ini lebih berpihak pada pemilik modal/investor.

5. Harus ada audit dalam pengunaan dana yang dialirkan oleh pengusaha pertambangan batubara kepada bakal calon eksekutif dalam pilkada. Karena boleh jadi adanya sumbangan tersebut akan terkait dengan kepentingan para pengusaha batubara itu nantinya ketika sang bakal calon terpilih menjadi Gubernur atau Bupati. Ini sebagai bentuk antisipasi politik balas jasa dalam pemerintahan daerah paska pemilihan kepala daerah secara langsung.

6. Ada pelibatan masyarakat dan LSM oleh pemerintah dalam membuat kebijakan termasuk dalam merumuskan tata kelola lahan

7. Perlu diadakan pendidikan lingkungan atau kesadaran masyarakat akan hak-haknya, termasuk hak atas lingkungan hidup sebagai bagian konvenan dari hak-hak sosial politik, ekonomi, sosial dan budaya yang telah diratifikasi pemerintah.

8. Perlu adanya suatu peratuan seperti Peraturan Daerah yang menyangkut tentang kepentingan dan hak-hak rakyat yang masuk dalam daerah lokasi tambang, yang berada disekitar wilayah tambang dan yang dilewati oleh angkutan batubara. Termasuk political will untuk mengawasi aktifitas dan kewajiban

perusahaan terhadap masyarakat, sehingga tidak ada CSR yang salah sasaran dan tidak sampai ketangan masyarakat.

9. Ketidaksiapan dan ketidakberdayaan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan teknis dilapangan, seharusnya disikapi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas aparaturnya.

10. Terkait penggunaan jalan negara sebagai jalan angkutan industri ekstratif batubara, aparatur negara hendaknya tidak mesti menggunakan aturan pertambangan semata dalam menyikapinya. Diantaranya dengan menggunakan Undang-Undang Jalan Raya maupun Undang-Undang Perhubungan.

11. Pemerintah daerah harus merubah paradigma dalam Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan dalam mengamankan royalti. Karena dalam perhitungan PAD dari sektor pertambangan batubara belum pernah ada hitung-hitungan terhadap biaya bencana dan sosial. Dan apabila hal tersebut diperhitungkan maka akan terlihat jelas, kegiatan industri pertambangan batubara tidak mempunyai kontribusi dan tidak memberikan keuntungan terhadap PAD. Demikian pula dengan paradigma pertambangan batubara akan merekrut tenaga kerja yang banyak, karena pada kenyataannnya dalam industri ekstratif, segala kerja-kerja pengerukan pengangkutan dilakukan dengan menggunakan mesin bukan dilakukan secara manual dan massal oleh tenaga manusia.

12. Penjaminan yang harus diberikan oleh pihak pengusaha pertambangan tidak saja pada penjaminan kelestarian lingkungan dan pemulihan paska tambang, namun juga harus dapat menjamin keselamatan rakyat dan pemenuhannya terhadap air, energi dan ini seharusnya menjadi hal utama bagi rakyat.

Foto lingkaran permasalah yang

timbul akibat tambang

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Setelah bertahun-tahun dicecar mengenai persoalan penggunaan jalan negara sebagai angkutan jalan transportasi batubara, baik oleh masyarakat, NGO maupun Ormas. Pada awal tahun 2008 terbitlah Peraturan Daerah dari Pemerintahan Propinsi Kalsel yang melarang angkutan tambang, khususnya batubara dan biji besi serta angkutan perkebunan sawit skala besar, melewati jalan negara. Keluarnya Perda ini bukan berarti menyelesaikan persoalan pertambangan batubara di daerah ini. Masih banyak persoalan-persoalan yang lain, khususnya persoalan lingkungan dan ekologi. Persoalan penggunaan jalan negara untuk angkutan batubara hanyalah segelintir persoalan yang menyertai.

Dalam seminar juga terlontar usulan untuk menerapkan penghentian sementara eksploitasi pertambangan, atau dikenal dengan istilah moratorium. Adanya moratorium ini bukan berarti tidak boleh ada pembukaan ataupun pengerukan lahan batubara di wilayah ini. Moratorium juga bukan berarti masyarakat Kalsel tidak boleh memanfaatkan sumberdaya alamnya yang melimpah. Namun moratorium batubara diperlukan untuk menata ulang pola dan sistem eksploitasi dan eksplorasi pertambangan batubara ke arah yang lebih baik, tertata, berkeadilan sosial dengan tetap menjaga keseimbangan ekologis. Tidak seperti sekarang ini. Batubara dikeruk, tanpa mengutamakan kebutuhan domestik jagka panjang, perijinan yang saling tumpang tindih, penambangan dilakukan melanggar batasan sungai, daerah resapan air, lahan pertanian produktif maupun hutan lindung. Ijin yang dikeluarkan terlampau banyak yang tidak sesuai dengan tenaga teknik dilapangan yang mampu mengawasi jalannya produksi. Terjadi pengerukan besar-besaran sumberdaya alam namun kebutuhan energi lokal terabaikan, dan berbagai hal buruk lainnya yang sudah diungkapkan dalam bab-bab terdahulu.

Moratorium ini tak bisa dilakukan sendiri, pemerintah daerah juga harus benar-benar menghitung apa ekonomi alternatif yang lebih berkelanjutan untuk Kalimantan Selatan. Bagaimana kebutuhan pangan dan energi provinsi ini terpenuhi secara mandiri. Moratorium pertambangan batubara hanyalah langkah awal melakukan tindakan perbaikan. Kerja keras menuju kepada ekonomi yang menyelamatkan rakyat baru dimulai.

Prinsip moratorium pertambangan batubara yang dilakukan secara berjenjang antaralain;

Menghentikan keluarnya ijin baru. Baik itu dalam bentuk PKP2B, Kontak Karya (KK) maupun Kuasa Penambangan (KP). Ataupun ijin eksplorasi maupun ijin eksploitasi. Ini merupakan tahapan awal dari moratorium. Penghentian diperlukan untuk mengerem laju degradasi alih fungsi lahan menjadi areal pertambangan batubara. Walaupun dengan dihentikannya perijinan tidak berarti laju produksi batubara dapat menurun.

Untuk itu diperlukan adanya pengurangan produksi batubara dengan kewajiban pemenuhan kebutuhan energi di Kalimantan Selatan. Pengurangan produksi sangat berkaitan dengan ”keberlanjutan” pemenuhan energi untuk generasi mendatang. Dengan pengurangan produksi berarti ”memperpanjang umur” ketersediaan batubara. Pengurangan produksi dapat dilakukan dengan membuat pembatasan produksi

tiap perusahaan pertambangan batubara dengan pemenuhan utama bagi konsumsi didaerah. Tidak seperti sekarang, yakni 97,8% dari seluruh produksinya hanya untuk pemenuhan konsumsi di luar Kalimantan Selatan.

Setelah untuk pemenuhan energi daerah, barulah hasil produksinya digunakan memenuhi permintaan nasional, sisanya baru untuk pemenuhan konsumsi pasar luar negeri. Sesuai dengan mekanisme pasar, adanya pembatasan pasokan untuk konsumsi pasar global sementara permintaan meningkat, serta merta akan meningkatkan harga jual batubara ini. Dengan demikian cerita tentang minyak bumi Indonesia tidak kembali terulang terhadap batubara. Dimana Indonesia sekarang menjadi negara pengimpor minyak, setelah dengan rakusnya menjual sumberdaya alam ini dengan kebanggaan yang aneh, sebagai negara produsen minyak bumi.

Untuk mendapatkan prosentasi yang ideal dalam pembagian hasil produksi batubara di daerah ini diperlukan studi yang mendalam untuk menghitung konsumsi daerah dan nasional secara nyata, termasuk perkembangan lonjakan permintaannya hingga 25 tahun ke depan. Studi yang dilakukan juga harus memperhitungkan dampak sosial dan ekologis yang mengiringi adanya perkembangan lonjakan konsumsi tersebut.

Sambil menunggu kondisi yang ideal tersebut, areal-areal pertambangan yang berada pada wilayah resapan/sumber air, areal pertanian dan perkebunan produktif masyarakat dan hutan termasuk juga pada areal 200 meter dari sisi sungai maupun sumber air harus segera ditutup. Jangan ada lagi kegiatan pertambangan di areal-areal tersebut.

Disamping itu diperlukan audit menyeluruh atas aktivitas pertambangan batubara yang ada. Baik itu audit lingkungan maupun audit akuntabilitas perusahaan. Audit ini terkait dengan laporan Badan Pemeriksa

MoratoriumÂbukanÂberartiÂtidakÂbolehÂadaÂpembukaanÂataupunÂpengerukanÂlahanÂbatubaraÂdiÂwilayah,ÂjugaÂbukanÂberartiÂmasyarakatÂKalselÂtidakÂbolehÂmemanfaatkanÂsumberdayaÂalamnyaÂyangÂmelimpah.ÂNamunÂmoratoriumÂbatubaraÂdiperlukanÂuntukÂmenataÂulangÂpolaÂdanÂsistemÂeksploitasiÂdanÂeksplorasiÂpertambanganÂbatubaraÂkeÂarahÂyangÂlebihÂbaik,Âtertata,ÂberkeadilanÂsosialÂdenganÂtetapÂmenjagaÂkeseimbanganÂekologis.ÂTidakÂsepertiÂsekarangÂini.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

Keuangan RI terhadap aktivitas pertambangan batubara baik yang mempunyai ijin PKP2B dan KP di Kalimantan Selatan, dimana pada laporan tersebut diantaranya ditemukan areal tambang batubara yang tidak dilakukan reklamasi dan juga adanya uang jaminan reklamasi dari perusahaan tambang batubara yang tidak disetorkan. Audit lingkungan terkait kemampuan dan kerja perusahaan pertambangan dalam melakukan reklamasi atas lahan/wilayah perusahaan yang telah selesai ditambang. Hanya perusahaan pertambangan yang mempunyai kemampuan melakukan rehabilitasi lahanlah yang layak terus beroperasi. Ini bukan berarti akan mematikan usaha pertambangan rakyat, atau hanya melindungi perusahaan tambang besar, karena pada kenyataannnya perusahaan yang memiliki ijin PKP2B juga lalai dalam melakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan area bukaan tambang mereka. Sebagaimana yang ditemukan dalam laporan BPK tersebut.

Sedangkan audit akuntabilitas sudah pasti terkait dengan semakin banyaknya praktik curang yang dilakukan perusahaan tambang dalam ”mengakali” pajak maupun royalti yang mesti mereka bayarkan kepada negara. Kasus manipulasi pajak melalui pengaturan harga ekspor (transfer pricing) yang melibatkan PT Adaro baru-baru ini, merupakan salah satu kasus terbaru dalam hal ini. Kasus ini merugikan negara hingga triliunan rupiah setiap tahunnya. Khususnya dari sisi kehilangan potensi penerimaan pajak.1 Sudah tentu ini juga berimbas kepada penerimaan yang mesti didapat daerah dimana tembang tersebut berada. Sehingga wajar saja Kalimantan Selatan, tempat PT Adaro mengeruk batubaranya, hanya mendapatkan 68 milyar rupiah saja dari royalti batubara, sedangkan kapasitas produksi batubara Adaro sendiri mencapai 50 juta ton per tahu, atau 20% dari produksi nasional.2

Sebagaimana gonjang-ganjing kasus transfer pricing-nya PT Adaro. Di paroh kedua tahun 2008 ini pula, terkait persoalan tambang batubara, masyarakat kembali dikejutkan dengan soal tunggakan royalti batubara yang dilakukan oleh enam kontraktor pertambangan, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, PT Adaro Indonesia, dan PT BHP Kendilo Coal. Padahal tunggakan ini sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu, namun entah kenapa hal ini baru terungkap sekarang. Tunggakan royalti batu bara sejak tahun 2001 hingga 2005 mencapai sekitar Rp 3,8 triliun. Sementara untuk tahun 2005 hingga 2007 yang berjumlah Rp3,2 triliun, hingga total royalti yang tertunggak mencapai 7 triliun rupiah. Padahal dampak dari tunggakan ini sangat besar. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ditjen Kekayaan Negara Soepomo yang mengatakan, karena adanya penahanan terhadap bagian pemerintah atas penjualan batu bara itu, target penerimaan APBN menjadi tidak terpenuhi sehingga perlu dicari sumber lain untuk menutupnya. Akibatnya pemerintah mesti mencari dana dari luar, termasuk mengeluarkan surat utang yang memerlukan biaya sehingga pada akhirnya menambah beban APBN juga.3 Kembali rakyat yang dikorbankan.

Walupun pemerintah kemudian melakukan pencekalan terhadap jajaran petinggi di perusahaan-perusahaan besar tersebut. Namun pada akhirnya, seperti juga kasus transfer pricing Adaro, keseriusan pemerintah terhadap kasus ini semakin berkurang. Terlalu banyak deal-deal yang dilakukan pemerintah dengan para pengusaha tersebut. Terakhir hanya dengan sudah dibayarkannya 600 milyar uang jaminan pembayaran royalti, yang sebenarnya belum mencapai 10% dari tunggakan sebenarnya dan itupun dengan waktu yang terus molor, pencekalan terhadap mereka dicabut oleh pemerintah. Seharusnya status cekal itu berlangsung selama enam bulan hingga akhir Januari 2009.4

Terkait akuntabilitas perusahaan tambang batubara, tenyata tidak berhenti hanya di dua kasus itu saja. Pada 2008 ini juga, kembali tercuat adanya kontrak penjualan jangka panjang (long term) milik enam perusahaan yang pada kontrak penjualan memuat klausul harga tetap. Artinya, kontrak yang dibuat ternyata tidak menerapkan komitmen mengikuti harga pasar. Alhasil, harga jual batubara mereka di bawah harga Indonesia Coal Index (ICI), patokan sementara yang dipakai pemerintah. Akibatnya pemerintah melarang enam perusahaan batubara lainnya untuk berlaga di pasar ekspor.

Mereka yang terkena kartu merah pemerintah ini adalah PT Antang Gunung Meratus, PT Tanjung Alam Jaya, PT Sumber Kurnia Buana, PD Baramarta, PT Kadya Caraka Mulia, dan PT Bangun Buana Persada. Mereka ini mengekspor batubara sebanyak 9,3 juta ton per tahun.5 Dan lagi-lagi perusahaan-perusahaan pertambangan terkena kasus ini adalah sebagian berasal perusahaan-perusahaan pertambangan yang

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i

mengeruk kekayaan alam Kalimantan Selatan. Seharusnya ini sudah bisa menunjukan betapa bobroknya para pengusaha pertambangan didaerah ini, pun demikian dengan pemerintah daerah yang seharusnya mengawasinya, dan jauh-jauh hari sudah mengetahuinya. Bukannya bertebal muka hingga kasusnya mencuat kepermukaan.

Yang menjadi tahapan pula dalam moratorium pertambangan batubara ini pula adalah melakukan pemulihan bagi areal-areal yang sudah hancur parah akibat kerukan batubara. Tentu bukanlah kewajiban pemerintah yang melakukannya. Namun pemerintah harus mampu menekan perusahaan yang sudah melakukan pengerukan sumberdaya alam ini. Jangan sampai ada perusahaan yang se-enak hatinya saja, setelah melakukan penggalian dan aktifitas pertambangan dengan berbagai alasan menunda atau tidak melakukan pemulihan lahan sebagi bagian dari aktifitas penutupan tambangnya.

ÂÂ SejahteraÂPascaÂTambang,Âmungkinkah?Pertanyaan inilah yang sengaja dilontarkan dipenghujung tulisan ini. Tidak saja kami para penggiat sosial dan lingkungan saja yang mesti melontarkan dan menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan ini juga harus dijawab sejujurnya oleh pemerintah, pengusaha tambang-tambang batubara, dan masyarakat secara luas. Baik yang terlibat langsung dalam pengelolaan pertambangan batubara maupun yang tidak. Baik yang mendukung penuh industri ekstraktif ini, maupun yang menolaknya. Namun harus dijawab dengan jujur dan dalam perspektif ke depan Kalimantan Selatan dengan melihat kenyataan yang ada di lapangan baik yang sudah tergambarkan pada buku ini ataupun tergambarkan pada media lainnya.

Pertama, yang belum tergambarkan dibenak kami adalah, mungkinkah pertambangan batubara ini dapat berkelanjutan hingga beberapa abad lagi? Padahal sudah jelas sekali kalau batubara merupakan sumberdaya alam yang tak terbarukan. Dengan kata lain, apabila terus dikeruk, satu saat pasti akan habis. Setelah itu apa? Sementara lapisan permukaan bagian atasnyapun sudah terkelupas. Lahan-lahan produktif pertanian, perkebunan maupun hutan sudah habis dan rusak.

Artinya, masa pengerukan batubara di Kalimantan mengingat besarnya cadangan terbukti dan jumlah pengerukannya, akan segera berakhir dalam hitungan belasan tahun. Apalagi cadangan terkira Indonesia, bukan terkumpul di Kalimantan, tapi di Sumatera.

Bisa dipastikan umur pengerukan batubara Kalsel tak akan lama. Apalagi jika dimasukkan penambangan tanpa ijin yang jumlahnya tak terekam dengan baik.

Tampaknya, paska tambang, pemerintah dan masyarakat Kalimantan Selatan mesti banting setir. Karena apalagi yang mesti diandalkan. Sumberdaya alam sudah habis, lahan pertanian dan perkebunan sudah beralih fungsi. Pengangguran dari sektor pertambangan yang sudah tidak berproduksi menumpuk. Orang miskin bertambah, kualitas sumberdaya manusia rendah, sehingga tidak ada kemampuan bersaing dengan orang-orang dari luar pulau. Pertanyaan selanjutnya banting setir jadi apa? Jadi pengekspor manusia, sebagaimana yang terjadi di wilayah Indonesia yang sumberdaya alamnya terbatas. Yang hanya bekerja menjadi budak para pemilik modal. Pun demikian dengan arah kebijakan pemerintahnya, sektor apa yang mau dijadikan sektor unggulan daerah ini nantinya. Mungkinkah masih dapat bertahan pada sektor pertanian dan perkebunan, lahan mana yang masih tersisa? Yang paling memungkinkan adalah mengunggulkan sektor perdagangan dan jasa, khususnya perdagangan manusia dan jasa penyaluran tenaga kerja.

01

ÂMen

gg

aliÂK

ub

urÂ

Sen

dir

i