Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong,...

161

description

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dilakukan?Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Dengan demikian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan di Indonesia.Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak dengan memperhatikan kearifan lokal.Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan. Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Transcript of Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong,...

Page 1: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan
Page 2: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

i

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Etnik Toraja Sa’dan Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan

Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanKementerian Kesehatan Republik Indonesia

2012

Page 3: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012ii

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012Etnik Toraja Sa’dan Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’danKabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Penulis :1. Weny Lestari2. Maratu Soleha3. Ismail Ibrahim4. Ruwaedah5. Betty Roosihermiatie

Editor :1. Betty Roosihermiatie

Disain sampul : Agung Dwi LaksonoSetting dan layout isi : Sutopo (Kanisius) Indah Sri Utami (Kanisius) Erni Setiyowati (Kanisius)

ISBN : 978-602-235-231-0Katalog :No. Publikasi :Ukuran Buku : 155 x 235Diterbitkan oleh : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

Dicetak oleh : Percetakan Kanisius

Isi diluar tanggungjawab Percetakan

Page 4: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

iii

Buku seri ini merupakan satu dari dua belas buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan ibu dan Anak tahun 2012 di 12 etnik.

Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.03.05/2/1376/2012, tanggal 21 Februari 2012, dengan susunan tim sebagai berikut:

Ketua Pengarah : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kese­hatan Kemkes RI

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH)Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MScSekretariat : dr. Trisa Wahyuni Putri, MKesAnggota Mardiyah SE, MM Drie Subianto, SE Mabaroch, SSosKetua Tim Pembina : Prof. Dr. Herman Sudiman, SKM, MKesAnggota : Prof. A.A.Ngr. Anom Kumbara, MA Prof. Dr. dr. Rika Subarniati, SKM Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, MKes Sugeng Rahanto, MPH, MPHMKetua tim teknis : Drs. Setia Pranata, MSiAnggota Moch. Setyo Pramono, SSi, MSi Drs. Nurcahyo Tri Arianto, MHum Drs. FX Sri Sadewo, MSiKoordinator wilayah 1. Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah : Dra. Rachmalina S Prasodjo,

MScPH2. Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo : dr. Betty Rooshermiatie,

MSPH, PhD3. Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua : Agung Dwi Laksono, SKM,

MKes4. Daerah Istimewa Yogjakarta, Jawa Timur, Bali : Drs. Kasnodihardjo

Page 5: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012iv

Page 6: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

v

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dila­kukan ?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indo nesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous know­ledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara­cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat dengan kearifan lokal masing­masing daerah. Dengan demikian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna me­nyingkap kembali dan menggali nilai­nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak dengan memperhatikan kearifan lokal.

Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan. Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam

Page 7: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012vi

penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan­Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Desember 2012

Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI

Drg. Agus Suprapto, M.Kes

Page 8: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

vii

SAMBUTANKepala Badan Litbang Kesehatan

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur kepada Allah SWT kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNya Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 ini dapat diselesaikan. Buku seri merupakan hasil paparan dari penelitian etnografi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang merupakan langkah konk-rit untuk memberikan gambaran unsur budaya terkait KIA yang berbasis ilmiah.

Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menjadi prioritas utama Program pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia. Penyelesaian masalah KIA belum menunjukkan hasil sesuai harapan yaitu mencapai target MDGs berupa penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 23/1000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Upaya medis sudah banyak dilakukan, sedangkan sisi non medis diketahui juga berperan cukup kuat terhadap status Kesehatan Ibu dan Anak. Faktor non medis tidak terlepas dari faktor­faktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada.

Melalui penelitian etnografi ini, diharapkan mampu menguak sisi budaya yang selama ini terabaikan. Budaya memiliki kekhasan tertentu, sehingga pemanfaatan hasil penelitian ini memerlukan kejelian pelak-sana atau pengambil keputusan program kesehatan agar dapat berdaya guna sesuai dengan etnik yang dipelajari. Kekhasan masing­masing etnik merupakan gambaran keragaman budaya di Indonesia dengan berbagai permasalahan KIA yang juga spesifik dan perlu penanganan spesifik pula. Harapan saya, buku ini dapat dimanfaatkan berbagai pihak untuk mema-hami budaya setempat dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mengurai dan memecahkan permasalahan KIA pada etnik tertentu.

Ucapan terimakasih khususnya kepada tim peneliti dan seluruh pihak terkait merupakan hal yang sudah selayaknya. Kerja keras dan cerdas,

Page 9: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012viii

tanpa kenal lelah, merupakan bukti integritasnya sebagai peneliti Badan Litbangkes.

Akhir kata, bagi tim peneliti, selamat berkarya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan keejahteraan masyarakat. Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Wabillahitaufik wal hidayah, wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, Desember 2012

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

DR. dr. Trihono, MSc.

Page 10: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat­Nya buku Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan bisa diselesaikan. Buku ini adalah hasil penelitian yang dilakukan dalam rangka riset khusus budaya untuk menggali kearifan lokal yang mendukung penurunan AKI/AKB di Indonesia, khususnya di Kabupaten Toraja Utara.

Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak sejak awal penelitian sampai penulisan buku ini, sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan buku ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada

1. Kepala Badan Litbangkes, Kemenkes RI;2. Kepala PHK2PM Badan Litbangkes, Kemenkes RI;3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan;4. Kepala Subbidang KIA, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Selatan;5. Departemen Antropologi Universitas Hasanuddin, Makassar;6. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara beserta seluruh

staf;7. Sekretaris Daerah Kabupaten Toraja Utara;8. Kepala Puskesmas Sa’dan Malimbong dan seluruh jajarannya;9. Camat Kecamatan Sa’dan;10. Lurah Kelurahan Sa’dan Malimbong;11. Bidan Ineften M. dan para bidan di wilayah kerja Puskesmas

Sa’dan Malimbong;12. Warga masyarakat di lingkungan To’ Barana (Ma’ Ari, Ma’ Bimo,

Ne’ Eppi, Ne’ Bualolo, Ne’ Pang, Ne’ Pika, Ne’ Ratti, Po’ Davita, Ne’ Aran, Ma’ Sondana, Ma’ Sabi, Ma’ Roni, Ma’ Dana, Ma’ Anggi, Po’ Rai, Pak Pendeta M.T. Sallubonga, Pak Tasman, Uci, Angke, Adit, Oce, Asti, Manto, Davita, Vivien, dan lain­lain),

Page 11: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012x

Sang Kombong (Ne’ Ita, Ma’ Vista, Ne’ Jaya, Appi, Ibu Berti, dan lain­lain), Tangge (Po’ dan Ma’ Nita, Ne’ Esra, Ne’ Diana, Ma’ Suadal, Rida, dan lain­lain), Minanga (Po’ dan Ma’ Windi, Po’ dan Njo’ Rain, Njo’ Roi, Njo’ Kandillo, Po’ dan Ma’ Tollin, Ma’ Reval, Kristi, Windi, Ella, Febri, Fitra, dan lain­lain), Matallo (Ibu Isna dan keluarga, Ne’ Dira, Po’ Herman) , Pulin Sangkaropi, Peawaran Ulusalu, Pebulian di wilayah Kecamatan Toraja Sa’dan Utara yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu namanya.

13. Secara khusus kepada Tim peneliti Toraja Utara dengan dina­mikanya sehingga laporan ini bisa terselesaikan.

Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga buku ini membawa manfaat bagi pengambil kebijakan dalam penanganan kese­hatan ibu dan anak yang berbasis kearifan lokal sehingga dapat menu­runkan AKI/AKB secara signifikan.

Sa’dan, Juni 2012

Tim Kabupaten Toraja Utara

Page 12: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

xi

DAfTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................................... v

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KESEHATAN ........................................................ vii

UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................................ 1 1.2 Tujuan ...................................................................................................................................................... 4 1.3 Proses Penelitian ......................................................................................................................... 4

BAB II TORAJA DAN UNSUR BUDAYANYA ................................................................................. 7

2.1 Sejarah ..................................................................................................................................................... 7 2.2 Geografi dan Kependudukan ....................................................................................... 18 2.3 Religi ........................................................................................................................................................... 23 2.4 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan ............................................................ 40 2.5 Pengetahuan .................................................................................................................................... 45 2.6 Bahasa ...................................................................................................................................................... 46 2.7 Kesenian ................................................................................................................................................. 49 2.8 Mata Pencarian ............................................................................................................................. 62 2.9 Teknologi dan Peralatan ..................................................................................................... 63

BAB III BUDAYA KESEHATAN IBU DAN ANAK ........................................................................ 69

3.1 Gambaran Kondisi Kesehatan Ibu dan Anak ............................................. 69 3.2 Budaya Kesehatan Ibu dan Anak ............................................................................. 75 3.3 Perilaku Pencarian Kesehatan (Health Seeking Behavior) ............................................................................................... 102

Page 13: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012xii

BAB IV KEPERCAYAAN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK .................................................................................................................................... 105

BAB V BUDAYA KIA DALAM KETERKAITAN KONSEP SEHAT­SAKIT DAN KEHIDUPAN­KEMATIAN BAGI ORANG TORAJA SA’DAN .... 117 5.1 Konsep Sehat dan Sakit Orang Toraja Sa’dan terkait dengan Konsep tentang Persalinan dan Anak ....................................... 117 5.2 Konsep Kematian, Kematian Ibu, dan Kematian ................................ bagi Orang Toraja Sa’dan ................................................................................................... 122 5.3 Potensi dan Kendala Budaya KIA Orang Toraja Sa’dan dalam Teori Model Perilaku Kesehatan ......................................................... 125

BAB VI SIMPULAN ................................................................................................................................................. 129

6.1 Simpulan ................................................................................................................................................ 129 6.2 Saran ......................................................................................................................................................... 130

GLOSARIUM .................................................................................................................................................................. 133

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................................... 141

Page 14: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

xiii

DAfTAR TABEL

Tabel 1.1 Urutan Ranking IPKM dan Kategori Daerah Kajian Riset Etnografi Budaya KIA 2012 ........................................................................... 3Tabel 2.2 Penduduk menurut Agama per Lembang/Kelurahan di Kecamatan Sa’dan, 2010 .......................................................................................... 38Tabel 2.3 Perbedaan Bahasa Tomina’a dengan Bahasa Toraja Biasa ...................................................................................................................................... 48Tabel 3.4 Jumlah Kematian Bayi dan Balita di Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2009-2010 .............................................................................. 70Tabel 3.5 Jumlah Kematian Ibu di Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2009 dan 2010.......................................................................................................... 70Tabel 3.6 Jumlah Tenaga Medis dan Paramedis per Puskesmas di Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2010 ....................................................... 71Tabel 3.7 Cakupan Kunjungan Bumil, Persalinan Ditolong Nakes, dan Yankes Ibu Nifas di Kabupaten Toraja Utara dan Kecamatan Sa’dan, Tahun 2010 ................................................................. 72Tabel 3.8 Bumil dan Neonatal Risti/Komplikasi Ditangani di Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2010 ....................................................... 72Tabel 3.9 Cakupan Kunjungan Neonatus di Kabupaten Toraja Utara dan Kecamatan Sa’dan, Tahun 2010 ................................................................. 73Tabel 3.10 Banyaknya Dokter, Paramedis Dan Dukun Bayi Dirinci per Lembang/Kelurahan di Kecamatan Toraja Sa’dan Utara, 2011 ...................................................................................................................................... 73Tabel 3.11 Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Sa’dan Malimbong, Tahun 2011 ................................................................................................. 74

Page 15: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012xiv

Page 16: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

xv

DAfTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta wilayah Kabupaten Toraja Utara ................................................. 15Gambar 2.2 Kompleks pemakaman Mendila di sekitar To’ Barana yang sudah tertutup rumput dan tanaman liar. Mendila adalah cikal bakal keturunan orang Toraja Sa’dan di To’ Barana Sa’dan Malimbong ............................................ 16Gambar 2.3 Sungai Sa’dan yang mengalir dari selatan ke utara Kabupaten Toraja Utara ......................................................................................... 17Gambar 2.4 Peta wilayah Kecamatan Sa’dan................................................................... 18Gambar 2.5 Ternak babi untuk tabungan upacara Rambu Solo’ ............. 22Gambar 2.6 Kerbau belang (tedong bonga) ‘untuk upacara rambu solo’ .......................................................................................................................... 23Gambar 2.7 Kompleks makam Islam dengan bangunan serupa pattane di Toraja, merupakan bukti adanya akulturasi budaya Islam dengan budaya Toraja ...................... 39Gambar 2.8 Tongkonan Galugu 2 merupakan salah satu dari Tongkonan tua di Sa’dan, yang berusia hampir lima abad ................................................................................................................................ 51Gambar 2.9 Alang (lumbung) dalam satu rumpun keluarga ...................... 52Gambar 2.10 Pattane untuk menyemayamkan jenazah keluarga sebagai tempat peristirahatan terakhir .............................................. 53Gambar 2.11 Motif paqlolo tabang, berbentuk daun tabang sebagai simbol harapan agar anak cucu sehat jasmani dan rohani serta jauh dari berbagai penyakit ........................................ 57Gambar 2.12 Motif ukir paqsalaqbiq ditoqmokki yang berbentuk pagar bambu, sebagai simbol harapan agar anak cucu terhindar dari segala wabah penyakit dan marabahaya lain ................................................................................................ 57Gambar 2.13 Tari pa’gellu yang ditarikan dalam upacara pernikahan di Toraja ................................................................................................. 60

Page 17: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012xvi

Gambar 2.14 Seorang perempuan Toraja sedang menenun kain tradisional khas Toraja .............................................................................. 64Gambar 2.15. Tawwani Sere’ (ari­ari kucing) yang digunakan to mappakianak untuk melancarkan persalinan ................... 66Gambar 2.16 Kariango yang disematkan pada bayi baru lahir untuk mengusir makhluk halus ................................................................... 67Gambar 2.17 Daun sualang dibawa ke mana-mana oleh ibu yang memiliki balita untuk menghindari gangguan makhluk halus .................................................................................................................... 68Gambar 3.18. Tanggung jawab anak yang lebih besar terhadap perawatan balita (adik dan/atau anak asuhnya) .......... 102Gambar 4.19 Antusiasme warga dalam menghadiri Posyandu yang diadakan satu bulan sekali di Peawaran Sa’dan Ulusalu (kiri) dan Minanga Sa’dan Ballopasange (kanan) ........................................................................................................................................ 108Gambar 4.20. Perjuangan tenaga kesehatan mencapai salah satu lokasi posyandu ................................................................................................ 109

Page 18: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kesehatan ibu dan anak tidak terlepas dari faktor­faktor so­sial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka berada. Disadari atau tidak, faktor­faktor kepercayaan dan pengetahuan tradisional, seperti konsepsi­konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab akibat antara makanan dan kondisi sehat­sakit, dan kebiasaan sering kali membawa dampak positif atau negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Salah satu sebab mendasar masih tingginya kematian ibu dan anak adalah budaya, selain faktor­faktor seperti kondisi geografis, penyebaran penduduk, atau kondisi sosial ekonomi.

Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial budaya. Rencana Strategi Kementerian Kesehatan RI tahun 2010­2014 tentang Program Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menyebutkan bahwa indikator tercapainya sasaran hasil tahun 2014 meliputi persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sebesar 90%, kunjungan neonatal pertama (KN1) sebesar 90%, dan persentase balita yang ditimbang berat badannya (jumlah balita ditimbang/balita seluruhnya atau D/S) sebesar 85% (Kemenkes RI, 2010).

Tujuan penelitian ini adalah menggali kearifan lokal budaya yang mendukung penurunan Angka Kematian Ibu/Angka Kematian Bayi (AKI/AKB) di Indonesia. Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan di­pilih sebagai salah satu dari 12 daerah penelitian berkenaan dengan riset etnografi budaya KIA 2012. Berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Manusia (IPKM) Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, Provinsi Sulawesi Selatan rata-rata sudah cukup baik, di atas rerata normal, yaitu <0,415987. Di Provinsi Sulawesi Selatan hanya ada dua kabupaten yang berada di bawah rerata normal IPKM, yaitu Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten

Page 19: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 20122

Tana Toraja (sebelum pemekaran, tahun 2008). Sebelum pemekaran pa­da tahun 2008, IPKM menggambarkan bahwa Toraja berada di angka 0,409028 atau sedikit di bawah rerata normal (<0.415987), namun tidak termasuk dalam ranking IPKM 20 besar terbaik maupun 20 besar terburuk. Kabupaten Tana Toraja berada di kategori tengah, yaitu kabupaten ber­masalah non kemiskinan (KaD) (Kemenkes RI, 2010).

Bila dibandingkan dengan usia harapan hidup tingkat Provinsi Su la­wesi Selatan dan tingkat nasional Indonesia, usia harapan hidup di Ka­bupaten Tana Toraja sebelum pemekaran tahun 2008 masih berada di atas rerata provinsi dan nasional, yaitu berada di angka 74,06 (Kemenkes RI, 2010). Data BPS RI tahun 2010 menunjukkan bahwa usia harapan hidup penduduk tingkat nasional diestimasikan berada pada angka 70,4 pada tahun 2007 menjadi 71,3 pada tahun 2010. Di Provinsi Sulawesi Selatan, usia harapan hidup diestimasikan berada pada angka 70,2 pada tahun 2007 menjadi 71,3 pada tahun 2010 (BPS RI, 2010).

Sementara Human Development Index (HDI) Provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 4 tahun (2004­2007) meningkat secara signifikan dari 67,8 (tahun 2004), 68,1 (tahun 2005), 68,8 (tahun 2006), hingga 69,62 (tahun 2007). Sementara HDI Kabupaten Tana Toraja (sebelum pemekaran) berada di angka 70,18 pada tahun 2007 (Kemenkes RI, 2010).

Riset Etnografi Budaya diambil berdasarkan IPKM, kecuali Kabupaten Tana Toraja (sebelum pemekaran) dan Kabupaten Pohuwato. Ke­8 daerah lain yang menjadi kajian riset merupakan daerah dengan IPKM rendah, yaitu 20 besar IPKM terbawah, ditambah 2 daerah dengan IPKM baik yang termasuk 20 besar dengan IPKM terbaik Gianyar (berada di rangking 2) dan Bantul (di ranking 5). Kategori wilayah pembagian berdasar IPKM terbagi menjadi enam kategori, yaitu:

1. KaA (Kabupaten Bermasalah Berat Miskin),2. KaB (Kabupaten Bermasalah Berat Non Miskin),3. KaC (Kabupaten Bermasalah Miskin),4. KaD (Kabupaten Bermasalah Non Miskin),5. KaE (Kabupaten Tidak Bermasalah Miskin),6. KaF (Kabupaten Tidak Bermasalah Non Miskin).

Page 20: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

3

Tabel 1.1 Urutan Ranking IPKM dan Kategori Daerah Kajian Riset Etnografi Budaya KIA 2012

No. Kabupaten IPKM Ranking Kategori Daerah1. Gianyar 0,706451 2 KaF2. Bantul 0,691480 5 KaF3. Tana Toraja (Tahun 2007

sebelum pemekaran)0,409028 379 KaD

4. Pahuwato 0,363029 419 KaA5. Murung Raya 0,352756 423 KaA6. Sampang 0,327692 426 KaA7. Mamasa 0,301325 430 KaA8. Seram Bagian Timur 0,294741 433 KaA9. Nias Selatan 0,291263 435 KaA10. Manggarai 0,283220 437 KaA11. Gayo Luwes 0,271275 439 KaA12. Pegunungan Bintang 0,247059 440 KaA

Sumber: IPKM Badan Litbang Kemenkes RI, 2010.

Pada tahun 2008, Kabupaten Tana Toraja mengalami pemekaran men jadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Antara Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara memiliki 32 aliansi masyarakat adat. Budaya Toraja yang lebih kental be-rada di wilayah Kabupaten Toraja Utara. Pengaruh modernisasi di Kabu­paten Tana Toraja kebanyakan dibawa oleh masyarakat Toraja yang me­rantau keluar wilayah Toraja.

Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Tana Toraja (laporan intern Program KIA), pada tahun 2010 di Kabupaten Tana Toraja terdapat 8 ke­matian ibu, 5 ibu meninggal karena perdarahan (3 ibu meninggal di rumah dan 2 ibu meninggal di rumah sakit) dan 3 ibu meninggal karena sebab lain, yaitu karena penyakit jantung dan keterlambatan dirujuk.

Di Kabupaten Toraja Utara, kasus kematian bayi (0­11 bulan) yang dilaporkan pada tahun 2010 sebanyak 12 bayi, dengan penyebab kematian asfiksia, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dan lain­lain. Kasus kematian balita (0­59 bulan) sebanyak 3 balita, dengan penyebab umum kematian yaitu asfiksia dan BBLR. Laporan KIA data kematian ibu di Kabupaten Toraja Utara tahun 2010 sebanyak 3 ibu, masing­masing di Puskesmas

Page 21: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 20124

Rantepao, Sopai, dan Sa’dan Malimbong. Penyebab kematian terutama akibat komplikasi yang dialami ibu selama kehamilan dan persalinan, yaitu perdarahan (Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara, 2010).

1.2 Tujuan

Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial, budaya, maupun lingkungan setempat. Orientasi budaya menggambarkan sikap, pandangan, persepsi, dan perilaku mengenai masalah kehidupan, termasuk kesehatan yang dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap status kesehatan masyarakat secara umum. Pemahaman tentang budaya masyarakat terkait dengan masalah kesehatan sangat penting untuk diperhatikan sebagai faktor penentu menuju keberhasilan program­program kesehatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup individu maupun masyarakat.

Gambaran tersebut dapat dimanfaatkan para petugas kesehatan untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami segala yang berlaku di dalam masyarakat. Berdasarkan budaya yang sudah terpantau tersebut, program kesehatan dapat dirancang untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak sesuai dengan permasalahan lokal spesifik. Dalam proses ini pendekatan budaya merupakan salah satu cara penting dan tidak bisa diabaikan.

Dari uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran aspek potensi dan kendala budaya masyarakat terkait kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Toraja Utara. Secara terperinci dijabarkan unsur budaya masyarakat Toraja Utara sebagaimana terdapat dalam gam baran kondisi alam, kependudukan, dan tempat tinggal, organisasi sosial dan sistem kekerabatan, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem mata pencarian, sistem religi, dan kesenian yang terkait dengan budaya kesehatan ibu dan anak. Gambaran tersebut akan memunculkan gambaran tentang perilaku pencarian kesehatan masyarakat Toraja dan tentang tingkat kepercayaan masyarakat setempat terhadap pelayanan KIA.

1.3 Proses Penelitian

Proses penelitian etnografi di Kabupaten Toraja Utara diawali de­ngan persiapan daerah. Peneliti mendapati bahwa Kabupaten Tana Toraja sudah mengalami pemekaran daerah pada tahun 2008 menjadi dua ka-bupaten, yaitu Kabupaten Tana Toraja yang beribukota di Makale dan Ka-

Page 22: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

5

bupaten Toraja Utara yang beribukota di Rantepao. Untuk memutuskan wilayah Toraja Utara atau Tana Toraja yang hendak dijadikan lokasi pene-litian, peneliti mendiskusikannya dengan tim peneliti teknis. Fokus diskusi adalah memilih daerah kasus KIA dengan budaya yang masih kental atau daerah dengan budaya yang sudah mulai membaur dengan modernisasi. Akhirnya tim peneliti memutuskan bahwa peneliti harus mengambil dae­rah dengan kasus KIA yang masih kental budayanya sehingga Kabupaten Toraja Utara diambil sebagai daerah penelitian. Selanjutnya, Kecamatan Sa’dan dipilih berdasarkan rujukan dari Dinas Kesehatan Toraja Utara, karena masyarakatnya masih kental dalam memegang kuat adat budaya Toraja.

Peneliti melaksanakan kegiatan dari Puskesmas Sa’dan Malimbong yang melayani seluruh wilayah Sa’dan. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan bahwa sehari­hari kami bisa melihat siapa saja yang menggunakan fasilitas layanan kesehatan, dan cara/perilaku para petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan baik di puskesmas setempat maupun di daerah pelosok yang memerlukan upaya untuk menjangkau daerah­daerah sulit di wilayah Kecamatan Sa’dan.

Tim peneliti terdiri atas empat orang peneliti. Tim ini melakukan penelitian dengan tinggal selama dua bulan di Kecamatan Sa’dan, mulai tanggal 30 April 2012 sampai dengan 28 Juni 2012. Tim mengkaji tentang unsur­unsur budaya yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak, pola pencarian kesehatan, dan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di lokasi penelitian. Kajian ini dilakukan dengan cara etnografi, yaitu tinggal bersama masyarakat dan mempelajari semua hal yang melatarbelakangi warga masyarakat melakukan apa yang mereka yakini dalam koridor budayanya. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan aktor (actor based), yakni penggalian fokus pada individu­individu dalam kelompok budaya yang berperan, mengalami, dan mela­kukan tindakan yang terkait dengan tema yang dikaji. Tim peneliti mem­bina hubungan baik (rapport) dengan cara bergaul dengan warga sekitar, mendengarkan gosip­gosip terkait tema, wawancara mendalam baik itu terstruktur (dengan pedoman wawancara) maupun non terstruktur (melalui obrolan sambil lalu sesuai tema), dan observasi partisipan, yakni metode yang peneliti gunakan dalam proses penggalian dan pengumpulan data.

Data diorganisasi dalam catatan harian (log book) masing­masing peneliti, kemudian dikategorikan sesuai tema­tema kajian, untuk menjadi

Page 23: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 20126

catatan lapangan tim dalam analisis data. Beberapa kajian literatur tentang penelitian­penelitian sebelumnya yang terkait dengan kebudayaan To­raja juga peneliti lakukan untuk melakukan analisis kajian historis dan menambah informasi yang terkait dengan tema kajian.

Analisis data dilakukan secara berkesinambungan. Dalam pengum­pulan data dilakukan triangulasi data. Analisis penulisan dijabarkan secara deskriptif dan interpretatif dalam rangka penggalian makna dan simbol budaya.

Page 24: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

7

BAB II TORAJA DAN UNSUR BUDAYANYA

2.1 Sejarah

2.1.1 Cerita di Balik Nama Toraja

Sebuah nama tak hanya menyiratkan makna, tetapi juga memiliki sejarah tersendiri. Sebelum dikenal luas hingga ke mancanegara sebagai kota wisata dunia, Toraja yang terletak di dataran tinggi Sulawesi Selatan bagian utara, dulu adalah sebuah negeri yang berdiri sendiri yang tidak saja memiliki bentang alam nan eksotis, tetapi memiliki budaya dan nama yang unik, yaitu Tondok Lepongan Bulan/Tana Matarik Allo.

Nama panjang tersebut bukan saja indah, melainkan sebuah metafora yang digunakan orang Toraja untuk menyatakan prinsip hidup mereka. Berbagai unsur dalam kebudayaan Toraja turut membentuk kepribadian masyarakatnya. Semua itu bersumber pada satu hal, yaitu aturan hidup yang menjadi pedoman yang bersumber pada ajaran kepercayaan purba nenek moyang mereka, bernama Aluk Todolo. Orang Toraja memegang teguh prinsip untuk senantiasa mengutamakan kebersamaan, kesatuan, dan kebulatan dalam tata kemasyarakatannya.

Secara harfiah kata tondok dalam Bahasa Toraja diartikan sebagai “negeri”, sedangkan lepongan berarti “kebulatan” atau “kesatuan”, dan bulan berarti “bulan”. Sementara, kata tana juga diartikan sebagai “ne­geri”, matarik berarti “bentuk”, dan allo berarti “matahari”. Jadi, Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dapat diartikan sebagai negeri dengan bentuk pemerintahan dan kemasyarakatan yang merupakan sebuah kesatuan yang bulat, bak bentuk bulan dan matahari.

Kebulatan tersebut merupakan manifestasi dari tiga prinsip utama terbentuknya wilayah kekuasaan Toraja sebagai suatu negeri. Terdapat persekutuan berdasarkan suatu agama atau keyakinan yang dianut ber­

Page 25: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 20128

sama yang dinamakan Aluk Todolo, yang ajarannya bersumber dari Negeri Marinding Banua Puan atau yang dikenal dengan Aluk Sanda Pitunna. Terdapat satu dasar adat yang digunakan bersama, yang berasal dari satu sumber. Ini diibaratkan seperti pancaran sinar bulan atau matahari. Meskipun wilayah kekuasaan ini dibangun oleh beberapa daerah adat, dibentuk oleh satu suku yang mendiami daerah pegunungan di wilayah utara Sulawesi Selatan, yakni suku Toraja.

Mengenai nama Toraja sendiri, ada tiga versi cerita tentang asal usul nama itu. Versi pertama mengatakan bahwa nama Toraja sudah terde­ngar pada permulaan abad ke­17, ketika Tondok Lepongan Bulan menjalin hubungan dengan kerajaan­kerajaan Bugis di sekitarnya, seperti Kerajaan Bugis Sidenreng, Kerajaan Bugis Bone, dan Kerajaan Bugis Luwu. Beberapa budayawan Toraja, seperti Tangdilintin dalam bukunya Toraja dan Kebu­da yaannya, pernah menyatakan bahwa penamaan Toraja diberikan oleh orang­orang Bugis terhadap negara tetangganya yang berada di daerah dataran tinggi itu. Nama tersebut seperti sebuah petunjuk yang menjelas-kan daerah asal orang­orang tersebut jika dilihat dari wilayah Tana Bugis. Kata To Riaja merupakan nama yang diberikan oleh orang Bugis Luwu. Kata ini berasal dari kata To Rajang (To = orang, Rajang = Barat), yang berarti orang dari daerah barat, karena memang Kerajaan Luwu berada di sebelah timur Tondok Lepongan Bulan (Tangdilintin, 1974).

Cerita tersebut turut dibenarkan dalam hikayat dalam syair-syair orang Toraja yang menyebutkan bahwa Kerajaan Luwu yang berada di timur disebut Kedatuan Mata Allo (kerajaan sebelah timur) dan menye-but kerajaan­kerajaan Toraja sebagai Kedatuan Matampu’ (kerajaan sebe-lah barat). Jadi, orang­orang Toraja disebut To Riajang (orang barat) oleh orang Luwu, sedangkan orang Luwu disebut To Wara’ (orang timur) oleh orang­orang Toraja.

Versi kedua mengatakan bahwa nama tersebut berasal dari cerita tentang seorang keturunan raja bernama Lakipadada yang pergi berkelana hingga tiba di Kerajaan Gowa pada akhir abad ke­13. Menurut sejarah, ia adalah cucu Puang Tomanurung Tamboro’ Langi atau anak Puang Sanda Boro dari Tongkonan (istana) Bat Boron di bagian selatan Tondok Lepongan Bulan. Menurut mitos orang Toraja, Lakipadada pergi berkelana mencari keabadian. Ia kemudian muncul di Gowa sebagai orang yang tidak diketahui pasti asal usulnya, namun tampak seperti seorang bangsawan besar. Pendapat umum di Gowa mengatakan bahwa bangsawan asing itu berasal dari sebelah selatan. Jadi, mereka menyebutnya Tau Raya

Page 26: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

9

(dalam bahasa Makassar Tau berarti “orang”, Raya berarti “selatan”) dan menyebut pula tempat asalnya sebagai Tana Tau Raya, yang kemudian menjadi Tana Toraja. Cerita di atas seperti yang diceritakan salah seorang informan, Bapak M, kepada peneliti berikut.

”Nenek pertama di Tana Toraja menurut legenda namanya Lakipadada. Bermaksud mengembara untuk mencari hidup su paya tidak bisa mati. Itu yang sejarahnya itu, Lakipadada (manusia pengembara) itu katanya ke Gowa. Lakipada katanya merantau ke Gowa, naik kerbau bule. Di Gowa ini si Lakipadada kawin di situ, begitu, melahirkan 4 orang anak. Anak­anak Lakipadada satu lari ke Luwu, nda’ tau siapa namanya tapi istilahnya namanya Payung Ri Luwu, ada lagi lari ke Bone namanya Mangkau Ri Bone, kalo yang tinggal di Gowa namanya Somba, Somba Ri Gowa, saya tidak tau laki apa perempuan. Kalo yang datang di Toraja sendiri namanya Matasak, Matasak Ri Toraja.”

Versi ketiga mengatakan bahwa nama ini sesuai dengan pengakuan sebagian besar raja­raja di Sulawesi Selatan yang menyatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Tana Toraja. Kata Toraja dianggap ber­asal dari kata To’ Raja; To berarti “orang” dan Raja berarti “raja”. Jadi, kata Toraja berarti “tempat asal nenek moyang para raja”.

2.1.2 Zaman Toraja Purba

Sejarah Toraja adalah sejarah yang tidak dituliskan, tetapi berupa narasi yang diceritakan turun­temurun di kalangan keturunan bangsawan Toraja. Tidak diketahui kapan persisnya orang Toraja mulai menghuni daerah ini. Kebiasaan orang Toraja yang menyimpan sejarahnya dalam bentuk tradisi lisan oleh sebagian besar orang, juga tidak pernah dapat menyebutkan kapan nenek moyang mereka tiba di Toraja. Namun yang jelas, mereka meyakini bahwa manusia telah diciptakan Tuhan yang me­reka sebut Puang Matua di alam ini, dan menempatkan orang Toraja di tempatnya sekarang. Namun menurut Tangdilintin (1974), beberapa se­jarawan dan budayawan menyatakan bahwa penguasa pertama Tondok Lempongan Bulan adalah penduduk yang berasal dari luar Sulawesi Selatan, yang diperkirakan datang pada abad ke­6.

Diceritakan pula bahwa pada zaman dulu, nenek moyang orang Toraja datang dari suatu tempat dengan menggunakan perahu. Mereka datang dalam jumlah yang sangat banyak dan berangsur­angsur, dengan

Page 27: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201210

kelompok­kelompok keluarga yang dinamakan arroan (kelompok manusia). Setiap armada perahu dipimpin oleh seorang pimpinan yang disebut ambe’ arroan (bapak kelompok manusia). Setiap armada ini merupakan sebuah keluarga besar. Kepindahan mereka ke daerah Toraja yang dikenal sekarang ini dalam rangka mencari daerah yang aman untuk hidup. Para pendatang tersebut datang dengan menggunakan perahu, menyusuri alur sungai. Mereka baru berhenti ketika perahu­perahu mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan. Setelah tiba, mereka kemudian naik ke darat dan mulai membangun pemukiman. Karena tidak mengetahui dengan baik daerah yang mereka datangi, mereka kemudian membawa serta perahunya ke darat untuk dijadikan tempat berlindung sementara, dengan cara digantungkan pada pohon­pohon besar.

Gelombang kedatangan para keluarga tersebut terus berlangsung. Masing­masing keluarga besar yang dipimpin para ambe’ arroan tersebut kemudian memilih daerah tempat mereka dapat membangun pemukiman, kebun, dan sawah untuk memulai kehidupan yang baru. Dalam perjalanan sejarahnya, dengan bertambahnya jumlah populasi maka beberapa kelu-arga kecil dari sebuah rumpun keluarga besar kemudian berpindah men-cari hunian baru. Keluarga­keluarga kecil tersebut dikenal dengan sebutan pararrak (penjelajah). Mereka dipimpin oleh seorang anggota keluarga yang dipandang paling berani, yang disebut Pong Pararrak (Pong = pokok atau utama). Inilah cikal bakal adanya gelar ambe yang kemudian berubah menjadi Si Ambe dan gelar Pong. Kemudian kedua istilah ini menjadi gelar kebangsawanan di Toraja. Para keturunan langsung dari Ambe dan Pong kemudian dipandang sebagai orang­orang yang berjasa bagi orang Toraja. Bahkan kemudian dua gelar tersebut menyatu pada satu orang, seperti Si­ambe Pong Tiku, salah seorang pahlawan nasional yang berasal dari Tana Toraja. Keluarga­keluarga yang merupakan pendatang awal di Tana Toraja ini hidup dalam hubungan yang damai. Agar keluarga mereka tidak terpi-sah­pisah akibat perpindahan lokasi oleh sebagian kecil keluarga, mereka membuat sebuah rumah adat yang disebut Tongkonan, yang merupakan simbol pemersatu keluarga. Tongkonan tersebut hanya dibangun sebuah saja untuk satu rumpun keluarga sehingga mereka akan selalu merasa dekat meskipun terpisah jauh.

Lama setelah kedatangan gelombang pertama keluarga­keluarga ter­sebut, datang pula kelompok lain yang juga menggunakan perahu, namun lebih besar dan tiba di daerah sekitar Gunung Bambapuang di sebelah selatan. Mereka dipimpin oleh seseorang yang mereka sebut Puang Lem­

Page 28: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

11

bang, yang berarti pemilik perahu. Berbeda dengan gelombang ke luarga­keluarga pendatang awal, mereka yang datang kemudian ini lebih agresif. Mereka gemar berperang. Beberapa dari keluarga tersebut mengajak para Ambe dan Pong untuk bergabung membentuk persekutuan agar dapat mempertahankan wilayah mereka dari serangan pihak lain. Proses ini menjadi awal dari fase berdirinya beberapa kerajaan di Tana Toraja. Dalam perjalanan proses tersebut, terbentuk sebuah tatanan sosial baru dalam masyarakat Toraja, berupa sebuah tatanan struktur sosial yang mengatur kedudukan seseorang dalam masyarakat. Posisi­posisi sosial tersebut sama dengan kasta yang ada dalam agama Hindu. Kasta­kasta yang dalam bahasa Toraja disebut Tana’ tersebut adalah sebagai berikut.

1. Tana’ Bula­an yaitu kasta para bangsawan. Mereka yang ma­suk dalam golongan kasta ini dipercaya sebagai keturunan langsung dari To Manurun. To Manurun adalah konsep yang umum ditemukan pada masyarakat di Sulawesi Selatan untuk menggambarkan orang yang tidak diketahui asal usulnya, yang kemudian dijadikan penguasa oleh masyarakat setempat karena tanda­tanda kebesaran yang mereka bawa. Mereka yang berasal dari kasta inilah yang berhak menjadi pemimpin pemerintahan dalam satu wilayah adat.

2. Tana’ Bassi, yaitu kasta bangsawan menengah. Kaum bangsa­wan dari golongan ini berasal dari keturunan bangsawan dari manusia biasa. Mereka yang tergolong dalam kasta ini biasanya membantu kasta yang ada di atasnya dalam memimpin masya­rakat. Mereka memegang jabatan sebagai To Parenge.

3. Tana’ Karurung, yaitu kasta orang­orang merdeka atau orang biasa. Mereka yang berada dalam golongan kasta ini merupakan orang yang tidak memliki kekayaan, tetapi hidupnya bebas. Mereka yang berasal dari kasta ini dapat menempati jabatan sebagai petugas atau pembina Aluk Todolo yang mengurusi Aluk Pantuoan dan Aluk Tananan. Jabatan mereka disebut To Indo atau Indo Padang.

4. Tana’ Kua­kua, yaitu kasta hamba sahaya atau budak. Mereka adalah orang yang menjadi abdi/hamba kepada golongan kasta Tana Bulaan dan Tana Bassi. Seseorang dapat digolongkan da-lam kasta ini karena mereka berhutang nyawa kepada salah satu keluarga bangsawan, memiliki hutang, atau dikalahkan dalam peperangan.

Page 29: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201212

Tana’ merupakan status yang diwariskan secara turun­temurun ke-pada anak cucu dengan mengacu pada garis keturunan dari satu tongko­nan (Tangdilintin, 1974).

2.1.3 Sejarah Pemerintahan Kabupaten Toraja Utara

Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda menyusun pemerintahan yang terdiri atas distrik bua’ dan kampung, yang masing­masing dipimpin oleh penguasa setempat (Puang Ma’dika). Setelah 19 tahun Hindia Belanda berkuasa di daerah ini, Tana Toraja dijadikan Onderrafdeling di bawah Selfberstuur Luwu di Palopo, yang terdiri atas 32 Landchaap dan 410 kampung. Controleuur yang pertama yaitu H.T. Manting. Pada tanggal 18 Oktober 1946 dengan besluit LTGG tanggal 8 Oktober 1946 Nomor 5 (Stbld Nomor 105) Onderafdeling Makale/Rantepao dipisahkan dari swapraja dan berdiri sendiri di bawah satu pemerintahan yang disebut Tongkonan Ada’.

Pada saat pemerintah Indonesia berbentuk serikat (Republik Indo­nesia Serikat) tahun 1946, Tongkonan Ada’ diganti dengan suatu peme­rintahan darurat yang beranggotakan 7 orang, dibantu oleh satu badan yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI) yang beranggotakan 15 orang. Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 482, pemerintah darurat dibubarkan dan pada tanggal 21 Februari 1952 dilakukan serah terima pemerintahan Kepada Pemerintahan Negeri (KPN) Makale/Rantepao, yaitu kepada Wedana Andi Achmad. Pada saat itu wilayah yang terdiri atas 32 distrik dan 410 kampung diubah menjadi 15 distrik dan 133 kampung.

Berdasarkan Undang­Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1957 diben­tuklah Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja dan diresmikan pada tanggal 31 agustus 1957. Bupati Kepala Daerah pertama bernama Lakitta. Pada tahun 1961, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 2067 A, administrasi pemerintahan berubah dengan adanya penghapusan sistem distrik dan pembentukan pemerintahan kecamatan. Pada waktu itu Kabupaten Tana Toraja terdiri atas 15 distrik dengan 410 kampung, berubah menjadi 9 kecamatan dengan 135 kampung. Kemudian dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 450/XII/1965 tanggal 20 Desember 1965 diadakanlah pembentukan desa gaya baru.

Berdasarkan petunjuk surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sula­wesi Selatan tentang pembentukan desa gaya baru tersebut, ditetapkan

Page 30: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

13

surat keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tana Toraja Nomor 152/SP/1967 tanggal 7 September 1967 tentang pembentukan desa gaya baru dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja sebanyak 65 desa gaya baru yang terdiri atas 186 kampung, dengan perincian sebagai berikut.

1. Kecamatan Makale, 7 desa 20 kampung.2. Kecamatan Sangalla’, 4 desa 8 kampung.3. Kecamatan Mengkendek, 6 desa 20 kampung.4. Kecamatan Saluputti, 10 desa 25 kampung.5. Kecamatan Bonggakaradeng, 4 desa 15 kampung.6. Kecamatan Rantepao, 4 desa 18 kampung.7. Kecamatan Sanggalangi’, 9 desa 40 kampung.8. Kecamatan Sesean, 11 desa 18 kampung.9. Kecamatan Rindingallo, 10 desa 22 kampung.

Berdasarkan Undang­Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok­Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang­Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan Pelaksanaannya, 65 desa gaya baru tersebut berubah lagi menjadi 45 desa dan 20 Kelurahan. Dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 168/XI/1982, wilayah Kabupaten Tana Toraja terdiri atas 9 kecamatan dan 22 kelu rahan serta 63 desa.

Berdasarkan Surat Keputusan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 1988 tanggal 26 September 1988, dibentuk wilayah kerja Pembantu Bupati Kepala Daerah Wilayah Utara yang menjadi cikal bakal Kabupaten Toraja Utara, dipimpin oleh seorang Wedana Pembantu Bupati Wilayah Utara yang meliputi Kecamatan Rantepao, Kecamatan Sanggalangi’, Kecamatan Sesean, dan Kecamatan Rindingallo.

Setelah keluarnya Surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 954/XI/1998 tanggal 14 Desember 1998, wilayah Kabupaten Tana Toraja terdiri atas 9 kecamatan definitif, 6 perwakilan kecamatan, 22 kelurahan, dan 63 desa. Dengan berlakunya Undang­Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, dan ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2000 tanggal 29 De­sember 2000, 6 perwakilan kecamatan menjadi definitif sehingga jumlah kecamatan seluruhnya menjadi 15 kecamatan. Selanjutnya dengan terbitnya Peraturan daerah Nomor 2 Tahun 2001 tanggal 11 April 2001, keseluruhan desa yang ada berubah nama menjadi lembang.

Page 31: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201214

Setelah ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2001 tentang perubahan Pertama Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2000, Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan Kedua Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2000, serta Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2005 tentang perubahan Ketiga peraturan Daerah Nomor 18 tahun 2000, wilayah Kabupaten Tana Toraja menjadi 40 kecamatan, 87 kelurahan, dan 223 lembang.

Kemudian berdasarkan Undang­Undang Republik Indonesia No­mor 28 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara, Kabupaten Tana Toraja dimekarkan menjadi dua kabupaten. Kabupaten pemekarannya disebut dengan nama Kabupaten Toraja Utara, yang terdiri atas 21 kecamatan, 40 kelurahan, dan 111 lembang (desa).

Berikut 21 kecamatan yang ada di Kabupaten Toraja Utara: 1. Kecamatan Rantepao2. Kecamatan Sesean3. Kecamatan Nanggala4. Kecamatan Rinding Allo5. Kecamatan Buntao’6. Kecamatan Sa’dan7. Kecamatan Sanggalangi’8. Kecamatan Sopai9. Kecamatan Tikala10. Kecamatan Balusu11. Kecamatan Tallunglipu12. Kecamatan Dende’ Piongan Napo13. Kecamatan Buntu Pepasan14. Kecamatan Baruppu’15. Kecamatan Kesu’16. Kecamatan Tondon17. Kecamatan Bangkelekila18. Kecamatan Rantebua19. Kecamatan Sesean Suloara20. Kecamatan Kapala Pitu21. Kecamatan Awan Rante Karua. (http://www.torajautarakab.go.id/ix/en/sejarah­pemerintahan.

html, akses 20 April 2012)

Page 32: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

15

Gambar 2.1 Peta wilayah Kabupaten Toraja Utara. (Sumber: www.torajautarakab.go.id)

2.1.4 Sejarah Kecamatan Sa’dan

Sa’dan atau masero berarti “bersih”. Pada zaman dulu kala, konon kehidupan masyarakatnya sangat bersih sehingga menjadi sebuah kecamatan yang saat ini bernama Kecamatan Sa’dan. Ibukota kecamatan terletak di Kelurahan Malimbong. Kecamatan Sa’dan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 78/II/1995 tanggal 6 Februari 1995 (http://www.torajautarakab.go.id/ix/en/kecamatan­sadan.html, akses 20 April 2012).

Dulu Kecamatan Sa’dan merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Sesean, sebelum Toraja Utara menjadi kabupaten dan masih tergabung dalam Kabupaten Tana Toraja. Setelah pemekaran menjadi Kabupaten Toraja Utara, Kecamatan Sa’dan terpisah dari Kecamatan Sesean dan tergabung dengan Kecamatan Sa’dan Balusu. Kemudian Kecamatan Sa’dan Balusu dimekarkan menjadi dua, yaitu Kecamatan Sa’dan dan Kecamatan Balusu.

Page 33: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201216

Ibukota Kecamatan Sa’dan berada di Sa’dan Malimbong. Sa’dan Ma limbong adalah sebuah desa yang dulu merupakan salah satu pusat kebangsawanan Sa’dan. Oleh orang­orang tua di Sa’dan Malimbong, disebutkan sebuah nama bangsawan pertama yang membangun Sa’dan Malimbong, yaitu Puang Tolla yang diberi gelar Parapak Langi’. Parapak Langi’ membangun Sa’dan di suatu daerah tepian sungai yang bernama Sungai Sa’dan. Daerah tepian Sungai Sa’dan ini dikenal orang­orang se­tempat dengan nama To’ Barana.

Puang Tolla diyakini oleh penduduk Malimbong sebagai keturunan pertama di Tongkonan To’ Barana, yang berasal dari Tongkonan Palipangan yang dihuni oleh Ne’ Tangangalulun yang menikah dengan Njo’ Panibak. Ne’ Tangangalulun sendiri merupakan keturunan kesekian dari Raja (Arung) Enrekang, hasil pernikahannya dengan salah satu keturunan bangsawan di Tongkonan Punti di Minanga yang bernama Sa’ti Bulawan (Lewaran, 2011).

Sementara, keturunan pertama dari Arung Enrekang dan Sa’ti Bu­lawan dikenal oleh warga di lingkungan To’ Barana dengan nama Mendira

Gambar 2.2 Kompleks pemakaman Mendila di sekitar To’ Barana yang sudah tertutup rumput dan tanaman liar. Mendila adalah cikal bakal keturunan orang Toraja Sa’dan

di To’ Barana Sa’dan Malimbong. (Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Page 34: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

17

atau Mendila, yang makam tuanya berada di dekat Tongkonan To’ Barana. Mendila adalah cikal bakal atau nenek moyang keturunan bangsawan masyarakat Toraja Sa’dan masa kini. Kompleks pemakamannya sudah tidak terawat lagi, ditumbuhi rumput dan tanaman­tanaman liar, namun masih dianggap keramat oleh keturunannya.

Cerita tentang Mendila diceritakan oleh Ne’ B ber ikut ini.

”Saya mendengar cerita tentang Mendila dari pendahulu­pendahulu saya, makamnya ada di samping rumah, merupakan makam keramat. Mendila merupakan keturunan dari Arun Enrekang dengan Sa’ti Bulawan dari Sa’dan. Begitu dewasa Mendila menemui ayahnya di Enrekang. Untuk membuktikan bahwa dia keturunan raja atau bukan dia diberi pilihan untuk memilih benda­benda kerajaan yang berharga. Mendila memilih sebuah senjata berupa tombak trisula dan memilih sebuah kain pusaka. Diyakini bahwa hanya yang benar­benar keturunan rajalah yang akan memilih pusaka berharga dari kerajaan Enrekang. Akhirnya Mendila kembali ke Sa’dan dan membangun kehidupan di Sa’dan. Kami adalah keturunan­

Gambar 2.3 Sungai Sa’dan yang mengalir dari selatan ke utara Kabupaten Toraja Utara.

(Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Page 35: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201218

keturunannya. Dan pusaka­pusaka dari Mendila disimpan dan dijaga oleh keturunannya sampai sekarang, tidak pernah keluar dari Sa’dan. Karena apabila keluar dari Sa’dan, akan membawa kemalangan bagi keturunannya.”

Karena berada di sekitar Sungai Sa’dan (Gambar 2.3) maka daerah tersebut dinamai Sa’dan. Menurut keterangan beberapa informan, sa’dan berarti “bening”. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa air yang mengalir memang bening dan jernih adanya. Konon, sebelum ditemukan oleh Parapak Langi’ sebagai tempat hidup, daerah Sa’dan Malimbong merupakan daerah yang menyerupai telaga. Itulah sebabnya dinamakan Sa’dan Malimbong.

2.2 Geografi dan Kependudukan

2.2.1 Luas Wilayah

Gambar 2.4 Peta wilayah Kecamatan Sa’dan. (Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Page 36: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

19

Kecamatan Sa’dan memiliki luas wilayah 80,49 km2. Koordinat geografis berada pada 2 derajat 53’ 8” Lintang Selatan dan 119 derajat 56’ 39” Bujur Timur. Batas­batas wilayah Kecamatan Sa’dan: di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Luwu Utara, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bangkelekila dan Sesean, di sebelah ti­mur berbatasan dengan Kecamatan Sa’dan Balusu, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Buntu Pepasan.

2.2.2 Topografi

Kecamatan Sa’dan meliputi wilayah pegunungan dan dataran. Jarak tempuh dari ibukota Kecamatan Sa’dan Malimbong ke ibukota Kabupaten Toraja Utara, yaitu Rantepao, adalah 10,5 km. Kecamatan Sa’dan meliputi 10 wilayah desa yang terdiri atas 8 lembang dan 2 kelurahan, yaitu

1. Lembang Sa’ Dan Andulan, 2. Lembang Sa’ Dan Ballopasange, 3. Lembang Sa’ Dan Liku Lambe, 4. Lembang Sa’ Dan Pebulian,5. Lembang Sa’ Dan Pesondongan, 6. Lembang Sa’ Dan Sangkaropi, 7. Lembang Sa’ Dan Tiroallo, 8. Lembang Sa’ Dan Ulusalu, 9. Kelurahan Sa’ Dan Malimbong, dan10. Kelurahan Sa’ Dan Matallo. (http://organisasi.org/daftar­nama­kecamatan­kelurahan­

desa-kodepos-di-kota-kabupaten-toraja-utara-sulawesi-selatan, akses 22 Maret 2012).

Sa’dan Malimbong merupakan ibukota Kecamatan Sa’dan di Kabu­paten Toraja Utara. Dulu Sa’dan Malimbong merupakan satu desa, ber-sama dengan Pebulian dan Sangkaropi. Desa itu kemudian dimekarkan menjadi Kelurahan Sa’dan Malimbong, Lembang Pebulian, dan Lembang Sangkaropi. Wilayah Lembang/Kelurahan Sa’dan Malimbong memiliki topografi datar, dengan luas area 4,83 km2, berjarak 25 km dari ibukota kabupaten (Rantepao), dan memiliki ketinggian 800 m dari permukaan air laut. Di Sa’dan Malimbong ada tiga lingkungan, yaitu Malimbong, Tangge, dan Sang Kombong. Jumlah penduduk di Sa’dan Malimbong total 1.128 jiwa, terdiri atas 560 jiwa laki-laki dan 568 perempuan. Sementara seluruh jumlah penduduk di Kecamatan Sa’dan berjumlah 14.923 jiwa.

Page 37: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201220

2.2.3 flora dan fauna

Vegetasi hutan yang tumbuh di sekitar desa adalah berbagai tanaman kayu dan semak hutan, seperti kayu uru, cendana, pinus, buangin, natoh, palem, taro, mayana, bayam-bayaman, dan bambu. Kayu-kayu tersebut di gunakan untuk membuat rumah tongkonan, sedangkan bambu digu­nakan untuk membuat pondok pada saat upacara rambu solo’.

Penduduk menanam berbagai macam buah­buahan dan sayur­sa­yuran di halaman, di antaranya jambu air, jambu biji, manggis, jeruk bali, durian, avokad, cokelat, kopi, sirsak, pepaya, pisang, nangka, kelapa (jarang), ubi, labu, cabai rawit, tomat, dan kecapi (ketapi). Cokelat dan kopi merupakan komoditas yang penting. Biasanya penduduk menjual cokelat dan kopi ke pasar di sekitarnya. Sementara tanaman mayana digunakan untuk keperluan memasak makanan khas Toraja, yaitu pa’piong (daging dicampur dengan daun mayana, dimasukkan ke dalam bambu, lalu dibakar). Jenis padi yang ditanam bervariasi, ada yang putih, merah atau cokelat, dan hitam. Padi atau beras yang terkenal di wilayah Toraja Sa’dan yang merupakan varietas lokal Toraja adalah Cinta Nur.

Binatang ternak yang dipelihara oleh penduduk terutama adalah babi dan kerbau atau tedong dalam bahasa Toraja (Gambar 2.5 dan 2.6). Babi dan kerbau merupakan hewan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena diperlukan untuk penyelenggaraan upacara rambu solo’ (pesta upacara kematian). Kerbau belang (tedong bonga) adalah hewan khas yang sering dijumpai di Toraja. Kerbau ini memiliki dua warna kulit, yaitu abu­abu dan putih. Tedong bonga ini merupakan simbol status sosial yang tinggi bagi orang yang menyembelihnya pada saat upacara Rambu Solo’. Harga tedong bonga berkisar puluhan hingga ratusan juta, tergantung corak belang di kulitnya dan bentuk fisik kerbau tersebut. Seperti yang dituturkan oleh seorang informan, Ne’ E, yang akan mengadakan upacara rambu solo’ ibu mertuanya pada bulan Juli.

”Harga tedong bonga bisa mencapai harga mobil mewah merk tertentu. Yang ada di kandang depan rumah itu harganya cuma Rp70.000.000,00 beberapa waktu yang lalu dibeli untuk acara Rambu Solo’ nenek. Dibeli oleh sepupu, dibeli saat tedong ma­sih muda dan dipelihara. Anak­anak dan cucu­cucu nenek yang lain juga sedang membeli tedong untuk acara ini. Harga tedong bervariasi ada yang puluhan juta ada juga yang ratusan juta. Memilih tedong juga harus dilihat secara menyeluruh, dari corak kulit, besar tubuh, panjang tanduk, dan lain­lain.”

Page 38: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

21

Rambu Solo’ memang membutuhkan banyak kerbau. Oleh karena itu, ada pembiakan kerbau di daerah sekitar Toraja. Menurut penuturan seorang informan, Bapak L, tedong bonga sering lahir di daerah Morante.

Sering kerbau belang lahir di Morante. Kalau lahir albino di Toraja pasti buta. Kalau bunting dari daerah lain bisa lahir tidak buta. Tapi kalau kawin di Toraja pasti buta. Kalau orang Toraja memakan kerbau albino akan mengalami kore ngan. Tapi sekarang yang albino dimakan. Kerbau belang yang diagungkan tidak sembarang, dipotongkan hanya oleh yang high class.

Jenis kerbau lain yang memiliki nilai tinggi adalah kerbau balian. Kerbau balian adalah kerbau jantan berwarna hitam yang telah dikebiri sehingga memiliki tanduk yang panjang. Kerbau ini berharga puluhan juta rupiah. Kerbau (tedong) untuk upacara rambu solo’ memiliki berbagai macam varian yang juga menentukan status sosial pembelinya.

Ayam juga dipelihara untuk dijadikan ayam aduan maupun untuk keperluan sehari­hari (untuk makanan). Ada juga ayam peliharaan, yaitu ayam tertawa. Ayam ini memiliki bentuk tubuh yang pendek seperti ayam kate, namun berekor agak panjang. Suaranya khas, seperti suara orang tertawa terbahak­bahak. Jenis ayam ini tidak bisa dipelihara di tanah, harus diletakkan di atas pijakan yang tidak langsung menyentuh tanah. Binatang liar yang hidup di Desa Sa’dan Malimbong di antaranya berbagai jenis burung, termasuk burung elang yang sering dijumpai terbang di atas areal persawahan.

Hewan babi (bai) juga merupakan hewan yang sangat penting ba­gi orang Toraja. Setiap rumah tangga selalu memiliki peliharaan babi be be rapa ekor, yang dimaksudkan sebagai simpanan tabungan untuk acara rambu solo’. Terkait binatang piaraan warga, informan, yaitu Ma’ A menjelaskan sebagai berikut.

”Saya ada piaraan beberapa ekor babi di rumah, rencana untuk Rambu Solo’ Ne’ J bulan Juli besok. Karena dulu waktu bapaknya anak­anak meninggal, keluarga Ne’ J menyumbang babi. Kalau disumbang tedong saya tidak mau, karena berat mengembalikannya kelak.”

Harga seekor babi berkisar antara Rp1.500.000,00 sampai dengan Rp6.000.000,00, tergantung pada ukuran babi. Ukuran babi biasanya di­

Page 39: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201222

ukur dari lingkar dada, semakin besar ukuran lingkar dada semakin mahal harga babi.

Dalam sumbang­menyumbang babi atau kerbau antarkelompok ke­luarga dalam upacara Rambu Solo’ atau upacara pemakaman yang hanya satu hari kemudian dimakamkan, Ma’ D menjelaskan dengan istilah “menabung” di keluarga­keluarga tersebut. Berikut keterangan Ma’ D.

”Bapak saya saat ini sudah menulis wasiat, bahwa apabila nanti meninggal dari kesebelas anaknya berapa-berapa saja tedong yang harus dipotong, siapa kebagian berapa ekor. Yang pada intinya bapak saya nanti ketika meninggal tidak mau memberatkan anak­anaknya. Dan saya juga saat ini sering menabung dengan menyumbang babi ke keluarga­keluarga yang ada upacara. Sehingga ketika nanti kami ada upacara saya sudah tidak punya hutang di keluarga yang memberi kepada saya.”

Gambar 2.5 Ternak babi untuk tabungan upacara Rambu Solo’. (Sumber: Dokumen Penelitian, 2012)

Page 40: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

23

Gambar 2.6 Kerbau belang (tedong bonga) untuk upacara rambu solo’. (Sumber: Dokumen Penelitian, 2012)

2.3 Religi

2.3.1 Aluk Todolo sebagai Sebuah Kepercayaan dan Falsafah Hi dup bagi Orang Toraja

Sebelum orang Toraja memeluk agama lain, seperti Kristen atau Islam, nenek moyang orang Toraja telah memiliki sistem kepercayaan yang dikenal dengan sebutan Aluk Todolo. Secara harfiah aluk berarti “aturan/agama”, todolo berarti “leluhur”. Jadi, Aluk Todolo berarti “agama leluhur” atau “agama purba”.

Sebuah kepercayaan tidak hanya memuat seperangkat aturan ber­kenaan dengan cara­cara melakukan ritual peribadatan, namun juga merupakan pandangan hidup yang mengandung konsepsi tentang ruang dan waktu, serta panduan perilaku bagi penganutnya. Pandangan hi­dup tersebut akan menjadi acuan bagi segala aktivitas para penganut kepercayaan itu, termasuk di antaranya cara mereka mengatur ruang tempat mereka hidup dan bermukim.

Page 41: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201224

Aturan­aturan dalam sebuah kepercayaan selain meliputi hubungan manusia dengan Sang Pencipta, juga mengatur hubungan­hubungan so sial di antara manusia dan hubungan manusia dengan alam tempat ia tinggal dan hidup serta mencari penghidupan. Demikian pula halnya dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Toraja, Aluk Todolo. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja, mereka dituntun oleh sebuah pandangan hidup yang mengatur tentang tata hubungan antara Tuhan (Sang Pencipta) dengan manusia sebagai ciptaan, dan hubungan manusia dengan lingkungan tempat mereka hidup dan mencari nafkah.

Namun berbeda dengan ajaran dalam kepercayaan agama di Indone-sia pada umumnya, selain mengenal Tuhan, dalam Aluk Todolo kehidupan manusia juga dipengaruhi oleh para dewa dan roh leluhur mereka. Jadi, konsep Tuhan hanyalah sebagai Pencipta pertama kehidupan.

Meskipun dalam kondisi kekinian para generasi muda hanya me­mandang bahwa hubungan­hubungan tersebut merupakan sesuatu yang sudah demikian adanya sejak nenek moyang mereka, dan tidak me­mahami lagi tentang Aluk Todolo, namun aktivitas keseharian mereka te­tap tak sepenuhnya lepas dari aturan tersebut. Menipisnya pengetahuan berkenaan dengan kepercayaan lama salah satunya disebabkan mereka lebih sering menerima pengajaran agama Kristen daripda kepercayaan Aluk Todolo. Pada saat ini, walaupun Aluk Todolo sudah bukan kepercayaan yang dipandang sebagai agama bagi masyarakat Toraja, nilai­nilainya masih dipegang oleh setiap anggota masyarakat.

Ajaran Aluk Todolo merupakan sebuah ajaran tentang falsafah hi­dup manusia yang sempurna di hadapan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Ketiganya memiliki kaitan yang sangat erat sehingga penjelasan atau penggambaran terhadap salah satu aspek di antaranya tidak akan sempurna tanpa mengikutkan aspek lainnya. Mereka percaya bahwa manusia atau individu hidup di dunia tidak sendirian dan kehidupan ini ada yang menguasai. Penguasa kehidupan tersebut telah memberikan kekuatan kepada manusia untuk dapat hidup di bumi. Kekuatan untuk dapat bertahan hidup tersebut bersumber atau terdapat pada alam. Jika salah satu hubungan ini lepas maka kehidupan ini tidak akan berlangsung dengan baik (Kemenbudpar RI, 2005).

2.3.2 Hubungan Manusia dengan Tuhan

Dalam Bahasa Toraja Tuhan disebut Puang Matua. Menurut masya-rakat Toraja, Puang Matua­lah yang telah menciptakan bumi beserta isinya

Page 42: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

25

dan memberikan segala sumber kehidupan bagi manusia yang hidup di bumi. Mereka meyakini bahwa sebagai mahkluk ciptaan Tuhan, mereka wajib untuk menyembah, menjaga, memanfaatkan, serta memelihara segala ciptaan yang telah diberikan. Untuk mewujudkan hubungan antara manusia dan Puang Matua, selain dilakukan dengan cara berdoa sesuai dengan agama yang mereka yakini saat ini, mereka juga melakukan pemujaan dan persembahan sesuai petunjuk falsafah Aluk Todolo. Ketika mereka melakukan pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta, mereka harus melakukannya dengan mengurbankan sejumlah besar hewan, berupa kerbau, babi, dan ayam sebagai persembahan. Ketiga hewan tersebut harus ada dalam setiap upacara adat karena ketiga hewan tersebut dalam falsafah Aluk Todolo, seperti yang digambarkan dalam ukiran­ukiran yang ada di Tongkonan yang bergambar tedong (kerbau), manuk (ayam), dan bai (babi), masing­masing hewan melambangkan kerja keras dan kesabaran, keberanian, dan kemakmuran.

Konsep Tuhan dalam ajaran Aluk Todolo hanya diartikan sebagai pencipta awal kehidupan manusia. Sementara pemeliharaannya diper-cayakan kepada para dewa­dewa yang memiliki tugas khusus, seperti dewa yang memelihara air yang disebut Pasikambi Tetean Tampo dan dewa yang memelihara sawah yang bernama Kalimbuangboba Puang Matokko’ Sadamairi. Selain para dewa, orang Toraja juga meyakini bahwa arwah nenek moyangnya yang telah meninggal, sebelum diupacarakan masih berdiam di sekitar mereka dan belum pergi ke alam puya atau surga. Arwah nenek moyang tersebut tinggal di pohon­pohon sekitar de­sa dan mengawasi anak­cucu mereka yang masih hidup. Arwah nenek moyang tersebut dipandang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jalannya kehidupan keturunannya dengan cara memberikan atau tidak memberikan berkat. Keberuntungan adalah sebuah pertanda pemberian berkat leluhur kepada mereka.

Sebagai makhluk ciptaan, untuk menjalin hubungan yang baik de­ngan Sang Pencipta, dalam adat Toraja lama atau Aluk Todolo, para To’ Mina’a memegang peranan yang paling penting. Ia adalah manusia yang dipandang dapat menyampaikan dan menghubungkan antara manusia dengan Sang Pencipta sehingga untuk memimpin sebuah upacara, keha­dirannya adalah mutlak. Para To’ Mina’a memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat. Tidak semua orang dapat menempati posisi ini karena me­rupakan posisi yang diwariskan secara turun­temurun. Menghormatinya merupakan salah satu bentuk penghormatan dan kepatuhan pada Sang

Page 43: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201226

Pencipta. Dan pendustaan terhadapnya juga dipandang sebagai pendu-staan terhadap Sang Pencipta.

Persembahan sebagai salah satu bagian dari pemujaan menempati posisi penting dalam hubungan dengan Sang Pencipta. Persembahan me­rupakan media bagi manusia sebagai makhluk ciptaan memberikan peng­hormatan kepada Sang Pencipta atas karunia kehidupan dan kesejahteraan yang telah diberikan­Nya. Selain itu, persembahan juga menjadi perantara bagi manusia untuk meminta berkah dan kebahagiaan hidup. Akan tetapi pemujaan saja tidaklah cukup. Ritual yang telah dilakukan tidaklah berarti bila aturan­aturan lainnya tidak dilaksanakan dengan baik. Tidak menjaga hubungan dengan manusia atau melakukan tindakan yang merusak alam merupakan bentuk­bentuk pengingkaran dan penghinaan terhadap Sang Pencipta. Semua aturan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, hubungan yang baik dan harmonis dengan sesama manusia dan dengan alam merupakan bentuk pemujaan tersendiri terhadap Sang Pencipta.

2.3.3 Hubungan Manusia dengan Manusia

Dalam melaksanakan aktivitas keseharian masyarakat Toraja harus selalu menjaga hubungan baik dengan sesamanya. Setiap kali melakukan interaksi dengan sesamanya mereka selalu didasari oleh rasa kekeluargaan. Setiap orang menganggap bahwa hanya sesama yang akan memberikan bantuan dalam kehidupan sehari­hari dengan cara hidup bergotong­royong. Mereka selalu berpedoman pada aturan adat yang menyebutkan bahwa misa kada dipo tuo, pantan kada di pomate (satu kata kita hidup bersama, berbeda kita akan bercerai berai).

Kehidupan keseharian yang harmonis dengan sesama merupakan pencerminan dari ketaatan terhadap Sang Pencipta. Dan, Sang Pencipta telah memberikan kuasa pada para leluhur untuk memberikan bantuan dan memperhatikan gerak­gerik mereka. Bantuan para leluhur diberikan dalam bentuk berkat atas mereka serta keturunannya. Oleh karena itu, mereka harus melakukan pula pemujaan dan persembahan kepada le-luhur atas bantuan mereka melalui berkat yang telah diberikan.

Salah satu wujud penjelasan di atas, bahwa setiap hubungan ma-nusia yang masih hidup diperhatikan oleh para leluhur mereka, adalah dilakukannya Pemala’ Lako Tomembali Puang/Todolo. Artinya, pemujaan dan persembahan kepada Sang Pengawas manusia oleh para keturunan-nya. Bentuk acara ini adalah upacara dengan melakukan persembahan,

Page 44: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

27

yakni dengan mengurbankan salah satu hewan kurban berupa kerbau, babi, atau ayam.

Dalam beberapa upacara penting dalam setiap kegiatan adat masya­rakat Toraja selalu dilakukan ritual persembahan kurban yang disebut su­runa’ malolo tau’. Ritual ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian panjang sebuah upacara yang ditujukan untuk mensyukuri kehidupan dan kelahiran manusia. Ritual ini bertujuan untuk mengingatkan kepada setiap manusia akan pentingnya jalinan kekeluargaan yang erat di antara mereka dan sikap saling menghargai. Dalam ajaran adat terdapat sebuah falsafah keluarga yang mengajarkan kebersamaan dalam masyarakat, yaitu apabila seseorang mengalami kesulitan, kesulitan itu menjadi tanggungan seluruh anggota kerabat (Kemenbudpar RI, 2005). Kata kerabat menggambarkan keluarga luas dan bukan keluarga batih. Dengan demikian, konsep kerabat adalah mereka yang memiliki satu nenek moyang yang sama. Seperti yang diungkapkan oleh ibu A berikut ini.

”Di sini kami semua saudara, karena keturunan dari ne’pitu baku ka win antarsepupu. Rata­rata di sini kami menikah dengan saudara sepupu sendiri. Makanya ada istilah sepupu satu kali, sepupu dua kali, sepupu tiga kali untuk menjelaskan derajat keturunan ke berapa mereka saling menikah. Kalau ada acara rambu solo’ penuh semua di Sa’dan. Karena keluarga yang di rantau pada datang untuk menghadiri.”

Baku bantu (saling membantu) antara kerabat juga dijelaskan oleh informan A seperti berikut.

”Saya ditinggal sama almarhum (suami) dengan sembilan orang anak yang masih kecil-kecil, tidak akan bisa hidup kalau di Jawa atau di kota lain. Hidup di sini banyak keluarga yang membantu menyekolahkan anak­anak hingga mereka dewasa, bekerja, dan menikah.”

Hingga kini pengaturan hubungan antara manusia dalam pemerin-tahan adat masih didasarkan pada ajaran Aluk Todolo. Pemerintahan adat masih tetap dipimpin oleh seorang To Mina’a, yang fungsinya sangat vital bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Apabila terjadi konflik dalam masyarakat, To Mina’a harus datang untuk mendamaikan kedua belah pihak dengan menempuh cara­cara kekeluargaan, sebelum mereka sam-pai pada tingkatan hukum yang berlaku sebagai warga negara Indonesia.

Page 45: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201228

Kegiatan seperti menanam padi harus dilakukan secara serentak, dipimpin oleh seorang To Mina’a. Penanaman padi serentak dimaksudkan agar tan-aman padi juga bersamaan tumbuh dan berbuah. Dengan demikian, padi dapat dipanen bersama­sama. Jika padi tidak serentak ditanam, dikha-watirkan bila terjadi serangan hama tikus maka semua sawah akan rusak karena tikus dapat menghabiskan semua hasil panen dalam satu sawah. Sementara jika dilakukan penanaman padi secara serentak, hama tikus diyakini tidak akan mampu menghabiskan seluruh padi di sawah sehingga masih ada sawah yang bisa diambil hasilnya untuk digunakan bersama.

Serangan hama tikus bukan hanya dilihat sebagai kesalahan para pe tani akibat tidak mematuhi aturan penanaman serentak. Akan tetapi ketika sebuah lahan persawahan yang ditanami secara bersama diserang hama tikus maka To Mina’a akan datang ke sawah untuk melihat gejala yang dapat menunjukkan penyebabnya. Apabila kerusakan disebabkan oleh tikus, To Mina’a akan melihat cara tikus makan padi tersebut. Apabila padi yang dimakan adalah padi yang ada di bagian tengah sawah, ia akan mengambil kesimpulan bahwa sebuah kesalahan telah dilakukan oleh penguasa kampung, misalnya To Makaka, Bunga Lalan, atau Ndo Padang. Sementara, jika padi dimakan tikus mulai dari pinggir sawah kemudian ke tengah, To Mina’a akan berkesimpulan bahwa pemilik sawah yang melakukan pelanggaran, sebab biasanya bila sawah tidak ditanami bersamaan, tentunya tikus akan memulai memakan padi dari pinggir agar mudah dibawa ke sarang. Akan tetapi bila ditanam serentak, tikus hanya memakan tangkai padi yang patah atau rebah karena penjagaan petani sangat ketat.

Pada saat para petani turun ke sawah mulai menanam padi, tokoh-tokoh adat berembuk dan mengumumkan bahwa mulai saat itu, untuk jangka waktu seminggu orang tidak boleh menebang pohon. Mereka percaya bahwa para arwah leluhur yang masih berdiam di bumi dan tinggal di pohon­pohon akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas keturunannya dan memberikan berkat atas pekerjaan tersebut. Menebang pohon akan menjadikan berkat para leluhur berubah menjadi kutukan.

Secara logis dapat diterangkan bahwa menebang pohon pada saat musim tanam adalah sebuah perbuatan yang tidak bijaksana. Menebang sebatang pohon tentu memerlukan tenaga yang banyak, sementara pada saat yang sama juga dibutuhkan banyak tenaga untuk menyelesaikan proses penanaman padi. Perbuatan tersebut dipandang sebagai dosa sosial pada masyarakat. Demikian pula aktivitas membersihka pohon

Page 46: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

29

bambu pada saat masa tanam padi sampai masa panen juga dilarang. Hal ini tersebut dimaksudkan agar tikus yang bersarang pada rumpun pohon bambu tidak terganggu sehingga lari ke sawah, membuat sarang di sawah dan merusak padi (Kemenbudpar RI, 2005).

Dari penjelasan di atas dapat kita perhatikan bahwa dalam masyarakat Toraja selalu terdapat tiga pemimpin, yaitu pemimpin formal (dalam hal ini kepala lembang atau desa), pemimpin agama resmi (pendeta agama Kristen), dan pemimpin adat (To Mina’a). Meskipun ketiganya tidak bera-da dalam satu struktur institusi kelembagaan dan terpisah wilayah kerja­nya, namun ketaatan kepada To Mina’a sangat besar dibandingkan kepada kedua pemimpin lainnya.

Di Toraja Sa’dan, kedudukan sebagai ketua adat dipegang oleh seorang Puang. Namun, kedudukan sosial Puang di Sa’dan pada saat ini sedang dalam kekosongan karena dalam kelompok keluarga dan masyarakat masih belum disepakati siapa yang akan menggantikan kedudukan Puang sebelumnya yang sudah mangkat, karena jabatan sebagai pemimpin adat memiliki konsekuensi yang sangat berat di hadapan masyarakat dan leluhurnya. Seperti yang diungkapkan Ne’ P, salah satu dari keturunan Puang di Sa’dan berikut ini.

”Seorang Puang itu harus diakui oleh seluruh masyarakat bahwa dia mumpuni dalam mengemban kedudukannya, disegani, dan dihormati oleh semua. Juga harus memiliki kharisma, seperti Puang yang dulu, dice ritakan kalau dulu Puang sedang istirahat bahkan Sungai Sa’dan di depan rumah Tongkonan ini tidak berani bersuara (padahal arus sungai sangat deras terdengar menderu keras di lokasi lain).”

2.3.4 Hubungan Manusia dengan Lingkungan Alam

Bagi orang Toraja, alam bukanlah sesuatu yang dipandang statis, me lainkan dinamis. Alam juga tumbuh dan berkembang, serta berubah menyesuaikan kondisi zaman. Perubahan tersebut dipicu oleh rangsang an yang diberikan manusia kepadanya. Respons alam selalu dianggap se bagai respons yang baik, meskipun berupa bencana. Pelajaran berharga lebih di-pentingkan sebagai bahan nasihat dibandingkan melihat sisi pen deritaan yang ditimbulkan. Sebagai contoh, hubungan dengan tikus. Di kalangan masyarakat petani, hewan ini umumnya dianggap sebagai hama, namun berbeda halnya dengan masyarakat Toraja. Setiap melakukan upa cara pe-

Page 47: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201230

nanaman padi, To Mina’a selalu menceritakan kembali sejarah perjanjian antara manusia dengan tikus berkenaan dengan tanaman padi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa pada waktu nenek moyang orang Toraja dulu membuat sawah, mereka tidak memiliki benih padi yang dapat ditanam. Kemudian mereka meminta kepada Puang Matua jenis tanaman yang da-pat ditanam untuk bahan makanan. Puang Matua kemudian menjatuhkan benih padi, tetapi benih padi yang jatuh itu terus masuk ke dalam sebuah lubang batu karang sehingga sulit diambil. Banyak orang yang berusaha mencoba mengambil kembali benih tersebut, tetapi tidak berhasil. Ke-mudian datanglah nenek moyang tikus kepada manusia dan mengatakan bahwa ia dapat membantu mengambilkan biji padi itu, bila manusia me-mintanya. Setelah disetujui maka si tikus mengambil benih padi tersebut dan menyerahkannya kepada manusia tanpa mengurangi jumlah biji padi tersebut. Sebagai balasan atas kebaikan tersebut, nenek moyang orang Toraja ingin memberikan sedikit bagian kepada tikus, namun ditolak oleh tikus. Tikus menganggap bahwa pemberian sebagian padi tersebut ke-padanya sebagai pengganti upah tidak perlu karena makanan tikus dan manusia berbeda. Tikus membutuhkan yang mentah, sementara manusia memasaknya terlebih dulu. Oleh karena itu, tikus menyarankan agar benih itu ditanam di lahan sawah, dengan perjanjian jika manusia mengganggu tikus dan keturunannya, mereka akan datang mengambil kembali bagian-nya sebagai balasan. Namun jika mereka datang mengambil sedikit butir padi di sawah, mereka akan memperlihatkannya kepada manusia.

Orang Toraja percaya bahwa untuk dapat mempertahankan hidup di dunia, setiap orang harus memiliki pengetahuan tentang apa dan bagaimana cara mendapatkan sumber­sumber kehidupan, entah itu dengan cara bertani atau beternak. Alam dipandang telah menyediakan bagi manusia berbagai sumber kehidupan dan manusia diberi kekuasan oleh Sang Pencipta untuk menentukan satu dari sejumlah pilihan berkenaan dengan cara untuk mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Apakah harus dihabiskan seluruhnya sekaligus tanpa memikirkan hari esok, atau manusia harus menjaga dan melestarikan apa yang telah disediakan alam untuk kehidupan umat manusia, merupakan dua model pilihan yang diberikan.

Orang Toraja percaya bahwa alam tidak muncul dan berkembang begitu saja tanpa campur tangan Puang Matua dan para Deata. Mereka menganggap, alam yang telah memberikan kepada mereka segala sumber kehidupan merupakan anugerah dari Sang Pencipta (Puang Matua),

Page 48: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

31

sementara para dewa (Deata) merupakan pemelihara seluruh hasil ciptaan Puang Matua. Adapun para leluhur yang masih berada di antara manusia dan menempati alam ini (To Membali Puang) bertugas mengawasi gerak­gerik manusia yang masih hidup dalam mengelola dan memanfaatkan alam ini.

Dalam kerangka mengeksploitasi sumber daya alam untuk kebu­tuhan manusia, orang Toraja berpandangan bahwa jika sumber­sumber tersebut hanya dieksploitasi terus-menerus tanpa memikirkan untuk mengembangkan dan melestarikannya, kelak ketika anak cucu mereka menginginkannya kembali, sudah tidak mungkin diperoleh karena sudah habis dimanfaatkan oleh orang tuanya. Sementara, penciptaan alam di percaya hanya dilakukan Sang Pencipta sekali saja. Oleh karena itu manusia ditugaskan untuk menjaga dan memeliharanya, bukan hanya mengeksploitasi sumber daya yang dibutuhkan. Ajaran ini memperlihatkan bahwa kearifan manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam me-rupakan hal yang sangat penting. Tanggung jawab pelestarian tersebut bukan hanya dibebankan pada masa mereka membutuhkan alam, te-tapi juga untuk masa depan, demi keberlanjutan kehidupan manusia. Keyakinan dan pandangan ini sekaligus membuktikan bahwa ajaran Aluk Todolo merupakan agama alam. Salah satu bukti yang dapat dikemukakan adalah bahwa bahan untuk melakukan semua bentuk upacara dalam masyarakat Toraja seluruhnya berasal dari unsur alam, dalam takaran yang telah ditetapkan. Tidak dibenarkan mengurangi apalagi melebihkan unsur atau bahan yang dibutuhkan tersebut. Dengan demikian, nilai­nilai negatif seperti ketamakan sangat dijauhkan, sementara nilai penghematan dan efisiensi merupakan nilai yang ditonjolkan.

Penggunaan semua unsur alami dalam ritual tersebut mengandung arti yang sangat mendalam. Hal tersebut mengisyaratkan bukan saja peng­hematan sumber daya, melainkan juga sebuah gerakan penghematan mas sal yang dilakukan secara bersama dalam kurun waktu hidup masing­masing orang. Kerusakan alam diyakini akan mengakibatkan rusaknya semua hubungan lain, yaitu hubungan antara manusia dengan Sang Maha Pencipta, hubungan antara manusia dengan sesamanya manusia, dan tentunya hubungan manusia dengan alam. Bila sumber daya alam hilang atau rusak maka unsur­unsur alami yang seharusnya digunakan dalam sebuah upacara adat yang sangat penting dan harus dilakukan juga akan hilang. Sementara, unsur­unsur alam tersebut merupakan syarat utama dalam sebuah ritual. Oleh karena itu, bila unsur alam hilang, upacara

Page 49: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201232

persembahan tidak akan dapat dilakukan. Implikasinya, seseorang atau satu rumpun keluarga sebagai pihak yang seharusnya melakukan penye­lenggara upacara dipandang telah melakukan pengingkaran terhadap Sang Pencipta. Bila upacara persembahan tidak dilakukan, ia bukan ha­nya membahayakan kehidupannya bersama keluarga yang dimilikinya, tetapi juga kehidupan dan keturunan orang lain. Untuk itu, setiap orang wajib memelihara alam dengan senantiasa selalu melakukan upacara pamala lako deata, yang artinya pemujaaan dan persembahan kepada sang pemelihara alam. Dalam upacara ini babi dan ayam kampung yang merupakan unsur-unsur dari alam harus dikurbankan.

Pemeliharaan alam dilakukan sama halnya dengan ketika mereka menjaga harta yang ada di dalam rumah mereka masing­masing. Bahkan seorang petani yang memang hanya mengandalkan kemurahan hati alam untuk memberinya rezeki, akan meluangkan waktu lebih banyak untuk merawat sawah atau kebunnya dibandingkan waktu yang diberikan dan diluangkan bersama dengan keluarganya di rumah. Meskipun kita dapat mengatakan bahwa mungkin mereka telah berpikir ekonomi produksi, namun dalam kenyataan keseharian masyarakat Toraja di Toraja, segala sesuatu yang dapat memiliki nilai ekonomi di pasar akan tetap mereka pelihara dengan baik dan mereka jaga agar tidak cepat habis atau musnah dari bumi ini (Kemenbudpar RI, 2005).

2.3.5 Pemujaan, Persembahan, dan Upacara Adat

Dalam sistem kepercayaan orang Toraja, pemujaan dan persembah-an menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari­hari. Dalam Aluk Tod­olo pemujaan dilakukan kepada tiga unsur, yaitu Puang Matua (penguasa semesta), Deata­Deata (para pemelihara alam), dan Tomembali Puang/Todolo (para leluhur) yang menjadi pengawas dan pemberi berkat bagi keturunannya.

Segala proses pemujaan dan upacara telah diatur berdasarkan Sukaran aluk atau Aluk Todolo. Hingga kini aturan atau aluk tersebut masih dijalankan di berbagai wilayah Tana Toraja, meskipun telah mengalami pergeseran­pergeseran. Sebagian daerah bahkan tidak lagi menjalankan Aluk Todolo tersebut secara penuh. Masuknya agama dari luar, seperti Katolik, Protestan, dan Islam cukup berpengaruh dalam transformasi pengetahuan tentang kepercayaan pada lintas generasi di Toraja. Meskipun demikian, faktor lain, seperti sosial ekonomi turut mempengaruhi bentuk­bentuk pelaksanaan upacara persembahan. Misal yang terjadi pada

Page 50: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

33

upacara rambu solo’, yakni upacara kematian, dijadikan sebagai media negosiasi ulang status sosial dalam masyarakat Toraja dewasa ini, dengan mengeluarkan biaya hingga mencapai miliaran rupiah untuk menyediakan ratusan hewan kurban dengan jenis dan kelas yang langka sekalipun. Saat ini salah satu upacara yang fenomenal adalah rambu solo’ yang dilakukan oleh salah satu klan dengan persembahan mencapai sekitar 400 ekor tedong (kerbau), dan satu ekor tedong biasa seharga Rp80.000.000,00­Rp100.000.000,00 lebih, sedangkan satu ekor tedong bonga (kerbau belang) bisa mencapai Rp300.000.000,00­Rp1.000.000.000,00.

Jauh sebelum itu, dalam pelaksanaan upacara dan pemujaan, masyarakat Toraja mengacu pada asas pemujaan yang terdiri atas Aluk Simuanne Tallang, Lesoan Aluk, Pemali Sukaran Aluk, dan Pakikki’ yang menjadi dasar pelaksanaan segala bentuk upacara menurut Aluk Todolo.

Lesoan Aluk adalah semacam ketetapan yang mengatur jumlah persembahan dan proses yang harus dijalankan dalam semua upacara ataupun pemujaan, sejak dijalankannya aluk sanda pitunna hingga aluk saratu’. Tiap daerah adat memiliki lesoan aluk masing­masing. Semua itu ditentukan melalui Tongkonan Pesio’ Aluk di setiap daerah, menyesuaikan dengan kondisi di daerahnya. Sebagai contoh, di daerah adat bagian timur (Padang Di Ambe’i), digunakan dua ekor kerbau sebagai persembahan utama dalam proses upacara pemujaan kepada Puang Matua, yang disebut Tananan Bua’. Sementara di daerah tengah (Padang di Puangngi), jumlah kerbau untuk kurban utama mencapai 24 ekor dan di bagian barat (Padang di Ma’dika) hanya mengunakan satu ekor kerbau sebagai kurban utama.

Selain Lesoan Aluk, dalam asas pemujaan juga dikenal istilah pemali (larangan) untuk menghindari pertentangan­pertentangan demi tertibnya pelaksanaan sukaran aluk. Ada empat golongan pemali, yaitu sebagai berikut.1. Pemalinna Aluk Ma’lolo Tau (larangan menyangkut aturan aga ma

untuk kehidupan manusia) yang terbagi dalam tiga macam, yaitu (a) pemali Unromok Sapen Tabang atau larangan yang membatasi manusia pada saat pelaksanaan upacara keselamatan, (b) Pemali Unromok/Umpisik Parda Dibolong atau larangan pada saat pelak­sanaan upacara kematian, dan (c) Pemali Unnola Tangsalunna, atau larangan di luar pelaksanaan upacara atau larangan dalam hubungan sosial masyarakat, seperti dilarang mengacau di pasar, dilarang mencuri, dilarang bercerai dalam perkawinan, dilarang kawin dengan

Page 51: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201234

wanita yang lebih tinggi kastanya, dilarang menipu, dan sebagainya. 2. Pemalinna Aluk Patuoan (larangan dan aturan dalam pemeliharaan

ternak), misalnya dilarang menyembelih hewan bersama dengan anaknya.

3. Pemalinna Aluk Tananan (larangan berkaitan dengan tanaman), se­perti dilarang menanam pada malam hari.

4. Pemalinna Aluk Bangunan Banua (larangan berkaitan dengan pembangunan dan pemakaian rumah), seperti larangan menaikkan orang yang sudah meninggal ke atas rumah yang belum dibuatkan upacara selamatan.

Hukuman untuk pelanggaran dibagi menjadi tiga, sesuai dengan be­sarnya pelanggaran. Pertama, mengaku­aku, yakni hukuman yang meng­haruskan dilakukannya pengakuan dosa atau berupa persembahan kurban. Untuk pelanggaran ringan, hukumannya adalah denda berupa kurban babi atau ayam. Sementara, untuk pelanggaran berat dikenakan denda berupa kurban kerbau dan babi. Jumlah denda disesuaikan menurut jenis pelanggaran. Kedua, hukuman yang mengharuskan seseorang membayar sejumlah harta bendanya, misal ternak. Ketiga, hukuman yang bernama disisarakan/dirampanan, yang berlaku bagi pelanggaran yang berkaitan dengan kesusilaan dan urusan moral, misalnya hubungan inses. Mereka yang bersalah diputuskan dari keluarganya dengan beberapa cara, seperti disasarakan (pemutusan hubungan keluarga), diali’ (diusir), dilabu (ditenggelamkan), dan ditunu (dibakar hidup­hidup). Dalam masalah hubungan sosial, misalnya terjadi perselisihan, persoalan diputuskan dalam peradilan adat untuk menentukan hukuman yang harus dijalani.

Atas setiap hewan kurban, ada ketentuan mengenai bagian tubuh hewan yang akan diambil untuk sajian persembahan. Bagian­bagian tersebut dikenal dengan istilah pakikki’ atau pantiti’. Dalam sajian per-sembahan, orang Toraja umumnya menggunakan daging kerbau, babi, ayam, dan beras pulut yang dilemang sebagai sajian utama, serta tuak (ballo’) sebagai minumannya.

Masyarakat Toraja mengenal aturan tentang upacara persembahan hewan kurban yang disebut Aluk Simuanne Tallang (aturan upacara agama yang bersifat berpasangan). Aturan tersebut terbagi dua, yaitu sebagai berikut.1. Aluk rambu tuka’/rampe matallo, yakni upacara persembahan yang

bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur, seperti syukuran

Page 52: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

35

atas kelahiran (suru’na ma’lolo tau) atau berkembangnya hewan ternak. Aluk rambu tuka’ yang sering diadakan terutama kurban­kurban yang dinamakan suru’na aluk patoan, keberhasilan panen (terutama untuk tanaman pangan), serta syukuran atas selesainya pembangunan rumah. Semua prosesi dilakukan di sebelah timur rumah atau tongkonan dan dilaksanakan pada waktu matahari mulai naik.

2. Aluk rambu solo’/rampe matampu’, yakni upacara pemujaan untuk menghormati leluhur yang meninggal dunia (pemakaman). Segala prosesi dilakukan di sebelah barat rumah, dan upacara dimulai pada saat matahari mulai terbenam.

Selain upacara pemujaan dan persembahan hewan kurban, juga terdapat aturan adat tentang pelaksanaan upacara yang tidak menggu­nakan kurban, seperti upacara perkawinan (rampanan kapa’). Acara-acara adat lainnya yang dilaksanakan di Toraja di antaranya sebagai berikut.1. Ma’ barata dalam rambu solo’, yakni pengurbanan untuk menghor­

mati seorang bangsawan atau pejuang yang amat berjasa. Acara adat ini tidak termasuk dalam Aluk, namun hanya kebiasaan atau adat sehingga pada masa pemerintahan kolonial, kebiasaan ini dilarang karena melanggar perikemanusiaan, dengan mengurbankan manusia sebagai persembahan.

2. Upacara membalika tomate (upacara pemakaman).3. Upacara ma’nene’, yaitu upacara khusus mengenang dan mem­

peringati arwah leluhur (Tomembali Puang). Pelaksanaannya tidak ditentukan waktunya, tergantung kemampuan keluarga.

4. Upacara ma’pakande tomatua atau manta’da, yaitu upacara khusus mengurbankan persembahan untuk sebuah persaksian yang telah dihajatkan.

2.3.6 Agama Kristen di Toraja

Agama Kristen di Toraja masuk bersamaan dengan kolonialisme Be landa, pada awal abad ke­19. Agama Kristen Protestan dibawa para misionaris (Zending) Belanda ke Toraja pada tahun 1913. Pada tahun 2013 akan dirayakan 100 tahun keberadaan agama Kristen Protestan di Toraja.

Gereja Kristen Klasis Sa’dan berada di perbatasan Desa Malimbong, tepatnya di Palato. Gereja megah berada di atas kontur tanah yang ber­bukit, dikelilingi pagar putih. Di samping gereja ada sebuah rumah tinggal

Page 53: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201236

seorang pendeta laki­laki berusia sekitar 40 tahun, yang kami jadikan informan yang berkenaan dengan religi, khususnya tentang agama Kristen dan nilai­nilai keagamaan terkait dengan adat Toraja. Informan itu menetap di Sa’dan sejak bulan Juli tahun 2008 dan berasal dari Tikala, Toraja.

2.3.7 Penanaman Nilai-nilai Kristen

Menurut keterangan informan, Gereja Klasis Sa’dan melakukan penanaman nilai kepada jemaat melalui ibadat rutin yang diadakan setiap hari Minggu. Ibadat Minggu dilakukan dua kali, yaitu pada jam 06.00 dan 09.00 WITA. Hal itu agar jemaat yang memiliki kesibukan pada siang hari bisa mengikuti kebaktian sebelum menjalankan kesibukannya. Kenyataannya, ibadat pagi lebih banyak pengunjungnya. Kebaktian pagi tersebut diadakan sejak keberadaan informan, yaitu pendeta setempat.

Selain ibadat Minggu, berbagai macam ibadat yang rutin dilaksanakan pihak gereja adalah (1) Sekolah Minggu untuk anak kecil dan remaja, (2) tahun­tahun gerejawi khusus pembinaan anak, remaja dan ibu, yang diberikan sesuai tema yang dibutuhkan jemaat, dan (3) ibadat rumah tangga yang diadakan setiap Hari Senin, Rabu, dan Kamis di rumah jemaat secara bergiliran.

Gereja Klasis Sa’dan mempunyai jemaat sebanyak 249 kepala ke­luarga, yang mencakup seluruh Malimbong, sebagian Sangkaropi, dan sebagian Matallo. Ada delapan jemaat cabang di klasis ini, yaitu jemaat Sa’dan, jemaat Tetewai, jemaat Bunturanu, jemaat Sangkaropi, jemaat To’au, jemaat To’ Balatanga, jemaat Morante, dan jemaat Pebulian. Cabang kebaktian di Gereja Klasis Sa’dan adalah Cabang Malimbong, dengan satu tempat kebaktian Tanete. Dalam satu klasis atau gereja wilayah, terdapat 4 orang rekan majelis, dan 1 pendeta, dan 31 majelis jemaat.

Di dalam jemaat ada beberapa kategori kelompok organisasi gerejawi, yang termasuk dalam empat intra gerejawi, yaitu sebagai berikut.1. Persekutuan Kaum Bapak (PKB), diadakan setiap hari Sabtu, ber­

tempat di rumah setiap anggota jemaat secara bergiliran.2. Persekutuan Wanita Gereja Toraja (PWGT), diadakan setiap hari

Sabtu­Minggu, bertempat di rumah setiap anggota jemaat secara bergiliran.

3. Persekutuan Pemuda Gereja Toraja (PPGT), diadakan setiap hari Sabtu, bertempat di rumah setiap anggota jemaat secara bergiliran.

4. Persekutuan Sekolah Minggu Toraja (PS), diadakan setiap hari Minggu jam 7 pagi, di gereja.

Page 54: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

37

Ada empat pundi persembahan dalam setiap ibadat rutin yang dilaksanakan. Persembahan tersebut digunakan untuk biaya­biaya sebagai berikut 1. Biaya pelayanan rutin gereja.2. Pusat.3. Diakonia, digunakan untuk membantu orang­orang tidak mampu,

seperti janda dan anak yatim.4. Untuk permintaan bantuan dari luar, sebagai contoh adalah untuk

bantuan bencana alam.

Dalam ibadat mingguan di gereja, empat pundi persembahan ini diwujudkan dalam empat buah kantong beludru berwarna merah dan ungu yang diedarkan pada setiap jemaat di gereja. Besaran sumbangan tidak ditentukan, hanya menurut kerelaan anggota jemaat.

Pada upacara penguburan jenazah, pihak gereja turut berperan serta pada upacara adat setempat, seperti rambu solo’ atau upacara penguburan biasa. Upacara penguburan jenazah didahului ibadat yang dipimpin oleh pendeta, kemudian dilakukan upacara penguburan sesuai adat. Jika ada warga jemaat yang meninggal, gereja mengadakan ibadat tiga kali selama tiga hari berturut­turut di rumah duka, untuk memberi penghiburan ke-pada anggota keluarga yang ditinggalkan. Ibadat ini di hadiri oleh anggota jemaat gereja setempat. Dalam acara kedukaan (rambu solo’), dari pihak keluarga biasanya ada sumbangan kerbau atau babi untuk persembahan di gereja. Upacara diawali dengan pertemuan keluarga dengan mengun-dang majelis jemaat dan pendeta, kemudian berdoa bersama.

Dalam upacara pernikahan, gereja turut berperan serta dalam pembinaan calon mempelai. Bagi mereka yang hendak melangsungkan pernikahan, ada pembinaan pendewasaan iman yang disebut dengan istilah katekisasi. Setiap calon mempelai wajib melewati fase katekisasi ini, setelah itu baru bisa melangsungkan pernikahan dengan pemberkatan di gereja. Sebelum pemberkatan nikah juga ada pembimbingan mengenai harta dan hidup bersama, dan lain­lain, selama dua hari sampai dengan satu minggu.

Beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi oleh calon mempelai untuk melakukan pernikahan dengan pemberkatan di gereja yaitu (1) harus sudah mengikuti katekisasi sehingga bisa mendapatkan “surat CD” (surat resmi telah mengikuti pembinaan pendewasaan iman), (2) sudah dibaptis, dan (3) sudah mendapatkan surat pernyataan gereja bahwa

Page 55: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201238

kedua calon pengantin belum pernah menikah (diberkati) di gereja mana pun, karena pemberkatan pernikahan di gereja hanya dilakukan satu kali seumur hidup. Pemberkatan pernikahan di gereja akan diumumkan sebelumnya dalam ibadat Minggu, selama dua minggu. Apabila tidak ada jemaat yang keberatan atas rencana pernikahan itu maka pemberkatan akan resmi dilaksanakan.

2.3.8 Agama-agama di Toraja

Di wilayah Toraja secara umum dan Kecamatan Sa’dan secara khusus, agama Kristen Protestan adalah agama yang dipeluk oleh sebagian besar warga Toraja Sa’dan. Namun ada beberapa agama besar lain yang dipeluk oleh sebagian kecil warga Toraja Sa’dan, seperti agama Kristen Katolik, Islam, dan Hindu. Agama Hindu merunut pada agama lama (Aluk Todolo) yang secara administratif pemerintahan dimasukkan dalam kategori agama Hindu. Akan tetapi, dalam pelaksanaan ritualnya tentu sangat berbeda dengan agama Hindu pada umumnya. Komposisi jumlah pemeluk agama di Kecamatan Sa’dan dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2.2 Penduduk menurut Agama per Lembang/Kelurahan di Kecamatan Sa’dan, 2010

No.Lembang/Kelurahan

Islam Katolik Protestan Hindu Buddha Jumlah

1. Sa’dan Andulan 10 82 748 0 0 840

2. Sa’dan Tiroallo 18 331 1.097 36 0 1.482

3. Sa’dan Amatallo 22 348 726 24 0 1.120

4. Sangkaropi 13 232 2.056 11 0 2.312

5. Sa’dan Malimbong 27 432 754 8 0 1.221

6. Sa’dan Pebulian 8 194 947 16 0 1.165

7. Sa’dan Ballo Pasange 11 360 835 21 0 1.227

8. Sa’dan Likulambe’ 9 231 1.534 24 0 1.798

9. Sa’dan Pesondongan 10 227 1.396 76 0 1.709

10. Sa’dan Ulusalu 9 463 1.346 78 0 1.896

Jumlah 137 2.900 11.439 294 0 14.770

Sumber: BPS Profil Kecamatan Sa’dan 2010

Page 56: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

39

Agama Islam masuk ke Toraja karena pengaruh hubungan kerajaan pada zaman dulu dengan Kerajaan Luwu dan Bugis. Selain itu juga akibat hubungan perkawinan dengan etnik selain Toraja. Enkulturasi antara budaya Toraja dengan agama Islam tampak pada bentuk kompleks pemakaman Islam di Toraja, dengan bentuk yang hampir serupa dengan pattane (seperti tampak pada gambar 2.7).

Toleransi antar umat beragama di Toraja Sa’dan sangat tinggi. Hal ini dialami sendiri oleh peneliti yang berbeda agama dengan sebagian besar masyarakat Toraja Sa’dan. Dalam setiap pesta, masyarakat di sana selalu bertanya terlebih dulu apabila hendak menyuguhkan makanan kepada peneliti. Mereka selalu memberi tahu bahwa makanan tersebut mengandung bahan yang tidak bisa dikonsumsi oleh peneliti karena larangan agama. Dalam pesta perkawinan yang digelar secara modern pun, sajian makanan selalu terdiri atas dua versi, yakni sajian makanan untuk undangan Muslim dan non Muslim.

Gambar 2.7 Kompleks makam Islam dengan bangunan serupa pattane di Toraja,merupakan bukti adanya akulturasi budaya Islam dengan budaya Toraja.

(Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Page 57: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201240

2.4 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan

2.4.1 Sistem Sosial Masyarakat Toraja

Sistem kekerabatan orang Toraja bersifat patrilineal, yaitu mengambil garis keturunan dari pihak bapak sebagai kepala keluarga. Namun sistem tesebut tidak sepenuhnya diterapkan dengan pemakaian nama keluarga. Pada kenyataannya, stratifikasi sosial juga turut mempengaruhi. Misalnya, jika status sosial ibu lebih tinggi daripada bapak, biasanya nama marga yang digunakan diambil dari garis keturunan ibu.

Dalam istilah kekerabatan orang Toraja, seorang ayah disebut ambe’ dan ibu disebut indo’, meskipun saat ini dalam kehidupan sehari-hari orang Toraja, penyebutan bapak dan mamak tidak kalah populer. Saat ini cukup sulit mencari seseorang dengan nama aslinya, jika orang itu sudah berkeluarga dan memiliki anak. Di kalangan orang Toraja, biasanya seorang ayah atau ibu dipanggil dengan sebutan lain, dan bukan namanya. Misalnya, ayah dari seorang anak bernama Pirman akan dipanggil Pa’ Pirman (Bapaknya Pirman). Demikian pula ibunya, dikenal dengan nama Ma’ Pirman. Seorang lelaki disebut dengan istilah Po’ di depan namanya dan perempuan mendapat panggilan Lae’ di depan namanya.

Pada tingkat yang lebih kecil, yaitu tingkat marga dalam masyarakat, dikenal dua macam bentuk keluarga, yaitu keluarga batih dan keluarga luas. Keluarga batih terdiri atas bapak, ibu, nenek, dan anak­anaknya. Sementara keluarga besar terdiri atas beberapa keluarga batih yang masih memiliki satu nenek moyang atau masih memiliki satu garis silsilah. Sebagai simbol hubungan kekerabatan sebuah marga dalam masyarakat Toraja, mereka membangun sebuah bangunan adat yang mereka sebut tongkonan, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Dalam sebuah keluarga Toraja, kepala keluarga masih dipanggil dengan sebutan ambe’ ataupun pong. Peran setiap kepala keluarga berbeda­beda. Seorang kepala keluarga batih berperan sebagai pencari nafkah bagi keluarga dan mewakili keluarga pada setiap pertemuan yang diselenggarakan masyarakat atau pertemuan adat. Sementara, kepala keluarga luas berperan sebagai pemimpin masyarakat yang mewakili suatu marga dalam perundingan­perundingan dengan marga lainnya, dan sebagai pemimpin pemerintahan.

Page 58: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

41

2.4.2 Sistem Pemerintahan Adat

Sebelum pemerintah kolonial Belanda secara resmi menguasai se­luruh Tana Toraja pada akhir tahun 1906, seluruh daerah adat Toraja merupakan wilayah kekuasaan yang otonom, dipimpin oleh masing­masing bangsawan penguasa adat yang disebut Ada’ atau To Ada’ (pemerintah). Meskipun bersifat otonom, mereka terikat dalam satu ikatan adat besar yang dinamakan Kombongan Basse Lepongan Bulan (Badan Musyawarah Besar Tana Toraja).

Sejak terciptanya aluk sanda pitunna sebagai landasan pembagian wilayah adat di Toraja, terdapat tiga daerah adat besar, yaitu sebagai berikut.1. Daerah adat bagian timur yang dinamakan daerah adat Padang di

Ambe’ atau sekarang dinamakan daerah adat Pekamberan. 2. Daerah adat bagian tengah yang dinamakan daerah adat Padang di

Puangngi atau sekarang dinamakan daerah adat Kepuangan. 3. Daerah adat bagian barat yang dinamakan daerah adat Padang di

Ma’dikai atau sekarang dinamakan daerah adat Kama’dikaan.

Masing­masing Kombongan Ada’ memiliki pemerintahan kecil di bawahnya, yang disebut Lembang. Lembang dikuasai oleh seorang pe­nguasa lembang, yang memiliki gelar disesuaikan dengan nama kom­bongannya, seperti gelar Ambe’ untuk penguasa lembang di Kombongan Pekamberan, Puang untuk Kapuangan, dan Ma’dika untuk Kama’dikaan. Sistem pemberian gelar seperti itu juga berlaku untuk tingkatan peme­rintahan lainnya, seperti Lembang, Bua, hingga Penanian.

Dalam menjalankan pemerintahannya, penguasa kombongan di ting kat lembang dibantu oleh beberapa daerah pemerintahan yang lebih kecil di dalamnya. Pemerintahan ini disebut Bua’. Di bawahnya masih ada lagi tingkatan yang setara dengan desa. Pemerintahan ini disebut Penanian. Setiap Bua’ terdiri atas sekurang­kurangnya empat Penanian. Setiap Penanian diperintah oleh suatu dewan pemerintahan yang terdiri atas seorang ketua dan tiga orang anggota. Mereka memiliki sebutan yang berlaku umum di seluruh Penanian yang ada di Toraja, yakni To Parenge’. Gelar To Parenge’ berarti orang yang memikul tangung jawab. Di dalam Penanian, terdapat empat daerah kelompok kerja yang disebut Tepo’ Tondok atau Tepo’ Padang. Masing­masing unit kerja memiliki koordinator yang bertugas memimpin warga untuk bekerja secara bergotong­royong menyelesaikan setiap pekerjaan desa. Jabatan koordinator yang bergelar

Page 59: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201242

Ambe’ Saroan (saroan= abdi) ini bukan merupakan jabatan adat dan sewaktu­waktu bisa diganti.

Setiap permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat harus dike­tahui oleh penguasa setempat. Penyelesaian masalah diupayakan pada tingkatan terendah terlebih dulu. Jika masalah itu tidak bisa diselesaikan akan diteruskan ke tingkatan yang lebih tinggi.

Setelah penguasaan Kolonial Belanda, sistem pemerintahan adat masih berlaku, namun mengalami beberapa pergeseran. Beberapa peru­bahan mengenai nama dan wewenang mulai direvisi dan disesuaikan dengan sistem Pemerintahan Belanda, seperti lembang diganti menjadi distrik/kecamatan. Gelar penguasa lembang pun diseragamkan menjadi To Parenge’, yang berarti orang yang memikul tanggung jawab (sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan oleh distriknya). Namun status ini tidak lagi menjadi status penguasa yang memiliki kewenangan adat. Daerah Bua’ diganti menjadi Onder Distrik yang dikepalai oleh seorang kepala distrik muda. Sementara daerah penanian diganti menjadi desa atau kampung. Hanya, dewan pemerintahan adat tetap ada dan menjalankan tugas­tugasnya, sebab to parenge’ ini bersifat otonom, meskipun pemerintah Belanda tetap mengangkat satu orang kepala desa untuk menjalankan pemeritahannya di tingkatan tersebut. Hingga saat ini, istilah to parenge’ masih bertahan dan dikenal di perkampungan Toraja.

Dalam masyarakat Toraja, dikenal gelar­gelar lain di luar gelar jabatan, yaitu gelar untuk mengindikasikan golongan, seperti sebagai berikut.1. To Makaka (orang yang lebih tua/tetua): gelar golongan bangsawan,

baik bangsawan Tana’ Bulaan maupun Tana’ Bassi. 2. Bulo di A’pa’: gelar untuk golongan rakyat atau orang yang merdeka.

Kedua gelar di atas biasanya ditujukan kepada to parenge’, terlepas dari hubungannya dengan gelar to parenge sebagai pejabat pemerin­tahan adat.

3. Ora Tongkon: gelar yang disematkan pada orang­orang yang memiliki keahlian (seorang yang pandai), seperti ahli bahasa dan sastra, ahli sejarah, ahli agama, seniman, pembicara, dan sebagainya.

Selain mengenal pemimpin pemerintahan dengan strata bangsawan, masyarakat Toraja juga mengenal pemimpin kepercayaan lokal. Mereka adalah para pendeta yang memimpin penyelenggaraan upacara­upacara adat dan sebagai penghubung antara manusia dengan Sang Pencipta. Para pendeta ini merupakan pemimpin kepercayaan tua di Toraja, yang

Page 60: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

43

disebut Aluk Todolo. Lembaga kepercayaan ini disebut Kombongan Ada’ yang mempunyai tugas antara lain melakukan pembinaan terhadap penduduk yang menganut kepercayaan Aluk Todolo. Anggota Kombongan Ada’ terdiri atas para pendeta yang juga memiliki strata tersendiri, yaitu sebagai berikut.1. To mina’a (imam/penghulu) sebagai pemimpin pembina Aluk Todolo.

Imam ini terbagi atas tiga tingkatan, yaitu Tomina’a Burake (imam ahli yang tidak boleh menikah), Tomina’a Sando (imam pembina), dan Tomina’a (imam pelaksana).

2. To Indo atau Indo Padang yang memimpin Aluk Patuan dan aluk pantanan.

3. To Mebalun atau Ma’ Kayo, yaitu orang yang khusus mengatur pema­kaman dan membungkus orang mati.

2.4.3 Organisasi Sosial Kemasyarakatan di Toraja Sa’dan

Dewasa ini, etnik Toraja sudah masuk dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang terdiri atas 32 komunitas adat. Ada empat komunitas adat di Toraja, yaitu sebagai berikut.1. Kelompok selatan: wilayah sampai dengan Enrekang, dipimpin oleh

Puang.2. Kelompok barat: dipimpin oleh Ma’Dika.3. Kelompok tengah dan timur: dipimpin oleh Siambe’ dan Sindo’.

Untuk Sindo’: perempuan bisa memegang jabatan tersebut.4. Kelompok utara: wilayah Sa’dan, dipimpin oleh To’Parenge (pengayom

masyarakat) dan Puang (bangsawan).

Di Toraja Sa’dan sendiri ada Puang sebagai pemimpin, karena menurut sejarah, Sa’dan dulu memiliki kekerabatan dengan Luwu, juga intervensi dari Gujarat dan Bone. Kombong Kalua (ketua komunitas adat) mengharapkan ada pengaturan daerah untuk dibuat perda tentang ke­ber adaan masyarakat adat di Toraja. Ketua masyarakat adat masih di-dengarkan oleh masyarakat daripada pemimpin lembang.

Di Toraja Sa’dan, sebagian besar orang Sa’dan menduduki posisi pen­ting di pemerintahan baik di tingkat yang paling bawah setingkat desa sampai tingkatan di kabupaten. Sebagian besar orang Toraja Sa’dan masih memiliki hubungan kekeluargaan satu dengan yang lain akibat hubungan keturunan dan perkawinan antarkerabat.

Page 61: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201244

Wilayah administrasi di Toraja Sa’dan, pemerintahan terkecil adalah lembang dan kelurahan. Ada delapan lembang dan dua kelurahan. Lem­bang adalah daerah administrasi setingkat desa, dipimpin oleh seorang ketua lembang yang dipilih langsung oleh warga masyarakat, dengan status bukan pegawai negeri sipil. Sementara kelurahan adalah daerah administrasi setingkat desa yang dipimpin oleh seorang lurah, yang dipilih oleh pemimpin daerah setempat dengan status sebagai pegawai negeri sipil. Di bawahnya ada kepala lingkungan, setingkat dusun, yang biasanya memiliki pengaruh dan kharisma lebih besar daripada pemimpin desa sendiri karena faktor keturunan dan senioritas dalam rumpun keluarga luasnya.

Kepemimpinan adat dipegang oleh seorang Puang. Puang terakhir di Sa’dan Malimbong sudah meninggal beberapa tahun lalu. Untuk menjadi seorang Puang, seseorang harus memiliki kriteria tertentu yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Dia harus bisa mengayomi, memiliki kharisma, dan bisa memberi solusi bagi permasalahan yang dihadapi warganya. Seorang Puang juga dipilih berdasarkan keturunan, kemurnian darah ke bangsawanannya. Proses pemilihan Puang panjang, harus mendapat pengakuan dari seluruh kelompok, bahkan dari saudara­saudara sendiri dari satu keturunan tongkonan. Hingga saat ini belum ada pengganti Puang di Sa’dan Malimbong.

2.4.4 Kelompok Saroan

Menurut keterangan salah seorang informan, dewasa ini Kelompok Saroan hanya berfungsi untuk acara rambu solo’. Ada istilah kobbu’­kobbu’ (kelompok­kelompok), yang mengatur kelompok satu tidak bisa masuk dalam kelompok yang lain. Hubungan kekerabatan tidak menjamin dalam satu kelompok sehingga antarsaudara bisa jadi tidak berada dalam satu saroan. Informan S menjelaskan, bahwa saroan dewasa ini hanya sekitar urusan upacara rambu solo’, seperti berikut.

”Karena urusan daging, menurut penilaian saya pribadi tidak baik ka. Hanya urusan duku’ sangira (Satu irisan daging), daging hanya satu iris tapi iri saja. Saudara antarsaudara meski tidak satu saroan karena yang satu tidak ada apa-apanya (miskin), tidak dianggap karena yang lain ada apa-apanya, adat yang bikin begitu, bukan pemerintah. Fungsinya cuma itu mi hanya daging satu iris. Darah dengan tulang ditinggalkan (hubungan kekerabatan), yang kuat adalah saroan.”

Page 62: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

45

Yang mengatur saroan tidak ada, tapi maunya masing-masing karena adanya barangnya, ada imbal baliknya nanti. Contoh saya dapat rambu solo’ mama’ saya, dalam saroan akan mem­bawa kerbau atau babi.Yang baku bawa kerbau dan bai (babi) hanya dalam satu kelompok.

Dalam rambu tuka’ masih kekeluargaan, kalau pengantin masih ada musyawarah dalam keluarga, ditanggung bersama.

Mantunu­tunu (pengerjaan pondokan untuk rambu solo’) dalam 1 saroan. Meski bersaudara kalau bikin pesta rambu solo’ bukan saroannya pasti malu untuk datang dalam bebe-rapa prosesi.

Prosesi dalam rambu solo’1. Pembukaan2. Penerimaan tamu (saudara di luar saroan masih bisa

datang)3. Matandu’ (daging babi dibagi­bagi dalam saroan, yang bu­

kan saroan meski sebagai saudara malu kita untuk datang)4. Mantawa (pembagian daging kerbau, juga malu datang,

meski saudara kalau bukan kita punya saroan)5. Penguburan (saudara pasti datang karena rara dengan

duku (darah dengan tulang).

Ada istilah sirri’ (tidak mungkin laksanakan tapi tidak dapat daging, memakan daging, tapi tidak sanggup balas)–masirri’-sirri’.

Tidak enaknya saroan tidak baku bantu mi orang, dalam hal orang bikin pondok. Hanya muncul 1 hari, yang berperan hanya dalam 1 saroannya saja, meski saudara tidak baku bantu.

2.5 Pengetahuan

2.5.1 Pengetahuan Tentang Tradisi

Di Toraja pengetahuan mengenai tradisi dialihkan melalui penge­tahuan yang dibagi (shared knowledge) dari generasi ke generasi. Awal pengetahuan tradisi dari masyarakat Toraja berasal dari kepercayaan Aluk Todolo. Secara harfiah Aluk berarti “aturan/agama”, Todolo berarti

Page 63: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201246

“leluhur” (orang terdahulu), jadi Aluk Todolo berarti “agama leluhur”. Sebuah kepercayaan tidak hanya memuat seperangkat aturan berkenaan dengan cara­cara melakukan ritual peribadatan, namun juga merupakan sebuah pandangan hidup yang mengandung konsepsi tentang ruang dan waktu, serta sebagai panduan berperilaku bagi penganutnya. Pandangan hidup tersebut akan menjadi acuan bagi segala aktivitas para penganut kepercayaan itu, termasuk di antaranya cara mereka mengatur ruang tem pat mereka hidup dan bermukim. Aturan-aturan dalam sebuah ke-percayaan, selain meliputi hubungan manusia dengan Sang Pencipta, juga mengatur hubungan­hubungan sosial di antara manusia, serta mengatur bagaimana seharusnya manusia bersikap terhadap alam tempat ia tinggal dan hidup serta mencari penghidupan.

2.5.2 Pengetahuan Modern (Pendidikan Tinggi)

Bagi orang Toraja Sa’dan pendidikan sangat penting. Suatu kebang-gaan tersendiri bagi orang tua apabila anak­anaknya bisa mengenyam pendi dikan hingga tingkat akademi atau perguruan tinggi. Pada hampir setiap rumah di Toraja Sa’dan, terpampang deretan foto anak­anak dan keluarga di ruang depan. Pada keluarga yang memiliki anak yang sudah lulus sarjana, sudah pasti ada foto anaknya itu saat diwisuda sarjana dan berbaju toga.

Setiap kali ditanya, mereka akan menjawab dengan ekspresi kebang­gaan bahwa si ini lulusan universitas ini, bekerja di instansi ini, sedangkan si itu lulusan akademi itu, bekerja di instansi itu. Setiap ada undangan upacara rambu solo, orang tua akan menelepon anak­anaknya tersebut yang sebagian besar berada di perantauan, agar mengirim uang untuk membayar hutang babi atau kerbau pada masa lalu.

2.6 Bahasa

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Toraja, dengan Toraja Sa’dan sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi yang digunakan masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Toraja. Bahasa Indonesia hampir dikuasai oleh seluruh masyarakat Toraja baik yang berusia muda maupun yang sudah tua. Hal ini karena pengaruh pe­nyebaran agama Kristen yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai media proses penyampaian pesan­pesan keagamaan.

Page 64: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

47

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’, Talondo’, Toala’, dan Toraja­Sa’dan, yang termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasaAustronesia. Pada mulanya, sifat geografis Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Dialek Toraja Sa’dan sendiri menurut informan, yakni Ibu I, cukup berbeda dengan Toraja yang lain. Ia mengungkapkan sebagai berikut.

”Orang Sa’dan itu dialeknya hampir sama dengan orang Batak, yang cepat dan keras dalam berbicara. Cara ngomong seperti orang teriak­teriak, mungkin mi karena daerah Sa’dan adalah pegunungan jadi harus bicara keras agar orang yang diajak bicara di seberang atau di bawah sana bisa terdengar.”

Lebih lanjut Ne’ B menjelaskan tingkatan dalam percakapan Bahasa Toraja sehari­hari, sebagai berikut.

”Ada tingkatan yang digunakan dalam bahasa Toraja sehari-hari, seperti bahasa daerah lainnya, bahasa Toraja ada juga yang bahasa sopan atau halus untuk orang­orang yang setara atau lebih tinggi tingkatannya dalam masyarakat. Dan ada juga bahasa kasar untuk orang yang tingkatnya lebih rendah.”

Setelah ada pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama adanya keragaman dalam bahasa Toraja. Dialek Toraja Sa’dan digunakan di beberapa daerah, seperti Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu’), dan Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa­Pana).

Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah mem­buat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh peristiwa kehilangan seseorang. Hal tersebut kadang­kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

Sebagaimana daerah lain, orang Toraja mempunyai bahasa sendiri, yakni bahasa Toraja yang biasa digunakan sebagai alat komunikasi di rumah atau pergaulan hidup sehari­hari, selain bahasa nasional Indonesia.

Page 65: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201248

Menurut Layuk (2011), bahasa Toraja terdiri atas dua jenis, yaitu bahasa Toraja biasa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari­hari dan bahasa Tomina’a yang sering digunakan dalam upacara adat Toraja.

Bahasa Tomina’a berbeda dengan bahasa Toraja yang biasa digunakan oleh masyarakat Toraja pada umumnya sebagai alat komunikasi sehari­hari. Kada­kada Tomina’a disebut bahasa Toraja tingkat tinggi karena kemampuan untuk menyampaikan bahasa ini hanya dimiliki oleh orang tertentu saja dan penyampaiannya tidak boleh menyimpang dari situasi atau acara adat yang sedang berlangsung.

Berikut tabel contoh perbedaan bahasa Toraja biasa, bahasa Tomina’a, dan artinya dalam bahasa Indonesia.

Tabel 2.3 Perbedaan Bahasa Tomina’a dengan Bahasa Toraja Biasa

Bahasa Toraja Biasa Bahasa Tomina’a Bahasa IndonesiaBaine Simbolong manik PerempuanPare Tallu bulinna Padi

Tedong Sanglamba’ bulunna KerbauSiulu’ku Rendeng loloku Saudara kandung

Sumber: Layuk, 2011

Contoh lain yang membedakan bahasa Tomina’a dengan bahasa lain adalah susunan suku kata. Agar pengucapan kada­kada Tomina’a enak didengar, setiap satu rangkaian kata harus terdiri atas delapan suku kata. Misalnya “Tabe’ ambe’ tabe’ indo, siman angga sola nasang”, yaitu Ta­be’ am­be’ ta­be’ in­do’, si­man ang­ga so­la na­sang.

Dalam pengungkapannya, bahasa Tomina’a menggunakan gaya allegoris dengan menggunakan kiasan atau lambang­lambang sehingga ada sebagian orang yang tidak memahaminya. Misalnya, ungkapan duka dalam acara rambu solo’ “Susi to na siok langkan, na timpayo manuk-manuk” artinya “Bagaikan disambar elang, dimangsa burung­burung”. Mak na sebenarnya adalah ungkapan duka yang sangat mendalam karena orang yang diupacarakan meninggal secara tiba­tiba.

Bagi orang yang tidak memahami budaya Toraja, bila mendengar secara langsung Kada­kada Tomina’a baik dalam upacara rambu solo’ maupun rambu tuka’ mungkin beranggapan bahwa apa yang disampaikan oleh Tomina’a hanyalah rangkaian kata­kata biasa yang tidak memiliki arti sama sekali. Namun bagi masyarakat Toraja, Kada­kada Tomina’a

Page 66: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

49

mengandung makna yang sangat mendalam. Pesan­pesan yang terdapat dalam Kada­kada Tomina’a bukan sekadar pesan biasa tanpa mengandung arti, akan tetapi Kada­Kada Tomina’a tersebut disampaikan dengan maksud dan tujuan tertentu (Layuk, 2011).

Pada umumnya orang Toraja Sa’dan menggunakan bahasa Toraja dalam kehidupan sehari­hari. Namun ketika bercakap­cakap dengan orang yang tidak memiliki frame bahasa Toraja, mereka dengan lugas meng gunakan bahasa Indonesia. Bahkan mereka yang berumur di atas 70 tahun pun cukup cakap menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tentu merupakan sebuah fenomena kebahasaan yang sangat berbeda dari daerah lain, khususnya di Sulawesi Selatan. Menurut keterangan informan, pengaruh masuknya agama Nasrani yang dalam menyampaikan ajaran Tuhan menggunakan bahasa Indonesia merupakan salah satu faktor utama dalam pembentukan bahasa Indonesia ini menjadi bagian dari budaya orang Toraja dan dipahami oleh hampir semua kalangan di Toraja Sa’dan.

2.7 Kesenian

2.7.1 Seni Bangunan dan Ukiran

2.7.1.1 Tongkonan

Hingga saat ini tongkonan merupakan salah satu wujud kebudayaan Toraja yang penting dan sulit dipisahkan dari kehidupan orang Toraja di mana pun berada. Bagi orang Toraja, tongkonan bukan saja sebuah tempat tinggal, melainkan juga memiliki fungsi dan peranan penting sebagai pusaka dan identitas keluarga. Tongkonan dimaknai sebagai yang ditempati duduk untuk membicarakan dan menyelesaikan segala permasalahan penting. Tongkonan berasal dari kata tongkon yang berarti “duduk”.

Pada masa lampau, dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja, se-seorang yang memegang kekuasaan dan menjadi tetua adat di suatu wilayah selalu didatangi di rumahnya untuk dimintai petunjuk setiap kali ada masalah. Di rumah penguasa adat itulah segala permasalahan penting diputuskan. Di tempat ini pulalah orang­orang berdatangan untuk menerima perintah dan petuah dari sang penguasa adat. Inilah yang menjadi cikal bakal digunakannya kata tongkonan untuk menamai rumah tempat tinggal seorang penguasa adat (tempat menerima petuah dan perintah).

Page 67: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201250

Para bangsawan lalu menjadikan tongkonan sebagai istana yang berfungsi sebagai sumber kekuasaan dan pemerintahannya, selain tetap berfungsi sebagai hunian bagi keluarganya. Setiap keturunan yang lahir dari tongkonan ini memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga tongkonan sebagai sebuah pusaka keluarga. Dengan cara demikianlah semua anggota keluarga memelihara kedudukan dan kekuasaan tongkonannya secara bersama-sama.

Seiring perkembangan, pembangunan beberapa tongkonan yang be-rada dalam satu lokasi tongkonan keluarga mulai berkembang, mengingat pertambahan jumlah anggota dalam keluarga. Meski demikian, hanya ada satu tongkonan yang berfungsi sebagai rumah adat. Selebihnya difungsi-kan sebagai tempat tinggal biasa bagi keturunan tongkonan tersebut. Se-perti contoh di Tongkonan To’ Barana Sa’dan, yang merupakan salah satu dari tongkonan­tongkonan tua yang ada di Sa’dan. Puang dalam Tongko­nan To’Barana mempunyai tujuh orang anak yang dikenal dengan sebu-tan Ne’ Pitu (Tujuh Nenek). Tujuh nenek ini memiliki keturunan-keturunan yang saling kawin. Beberapa dari keturunan ini akhirnya membangun tongkonan sendiri, untuk satu rumpun keluarga mereka.

Dalam perkembangan selanjutnya, tongkonan juga dibangun oleh orang­orang yang bukan dari keturunan penguasa adat. Mereka mem­bangun tongkonan keluarganya sendiri sebagai pusat tempat tinggal untuk membina keturunan serta memelihara warisan/pusaka keluarga. Hingga saat ini, tongkonan masih digunakan sebagai penanda untuk mengetahui hubungan­hubungan keluarga di antara orang Toraja, misalnya saat seseorang ingin mencari kerabatnya, biasanya menanyakan tongkonan keluarganya.

Ada tiga tingkatan tongkonan yang dikenal di Toraja, yakni sebagai berikut. 1. Tongkonan Layuk, yaitu tongkonan yang menjadi sumber perintah dan

kekuasaan serta menjadi tempat dibuatnya aturan kemasyarakatan yang pertama kalinya di Toraja. Tongkonan yang dimaksud adalah Tongkonan Pesio’ Aluk.

2. Tongkonan Pekaindoran/Pekamberan, yaitu tongkonan yang diba­ngun oleh penguasa­penguasa di masing­masing daerah untuk mengatur pemerintahan berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’ Aluk.

3. Tongkonan Batu A’riri (tiang batu), yaitu tongkonan yang tidak me­miliki peranan dan fungsi politis, tetapi hanya berfungsi sebagai

Page 68: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

51

pertalian satu rumpun keluarga yang menjadi turunan pendiri tongkonan tersebut untuk memelihara persatuan keluarga dan me­melihara warisan tongkonan tersebut.

Meski berbeda tingkatan, fungsi, dan peranan, ketiga tongkonan ini dibangun dengan bentuk yang sama, yaitu menyerupai perahu layar. Hal ini berkaitan dengan sejarah asal muasal nenek moyang orang Toraja. Menurut sejarah, perahu awalnya menjadi tumpangan mereka, lalu dijadikan tempat tinggal. Rumah­rumah ini ditempatkan di daerah­daerah yang tinggi, terutama rumah milik penguasa adat. Beberapa tongkonan yang dikenal adalah Tongkonan Pesio’ Aluk atau Tongkonan Penyusun Aluk. Selain dalam hal tingkatan dan fungsinya, perbedaan yang lainnya terdapat dalam upacara selamatan (upacara wajib yang bernama Mangrara Banua Di Tallung, khusus untuk Tongkonan Aluk dan Tongkonan Pekamberan), dan jumlah tanduk kerbau yang melambangkan persembahannya, serta ukiran yang digunakan di tongkonan.

Gambar 2.8 Tongkonan Galugu 2 merupakan salah satu dari Tongkonan tua di Sa’dan, yang berusia hampir lima abad.

(Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Page 69: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201252

Fungsi tongkonan sangat beragam, yakni sebagai lambang sumber kekuasaan adat dan pemerintahan adat, tempat bermusyawarah, serta tempat membina persatuan keturunan dan harta warisan keluarga. Hal ini turut membentuk kepribadian dan kebudayaan orang Toraja yang senantiasa memegang prinsip kesatuan, kekeluargaan, serta kegotong­royongan, dan setiap manusia Toraja terikat di dalamnya. Inilah sebabnya tongkonan menjadi sangat penting artinya bagi orang Toraja. Tongkonan keluarga bisa dilihat pada Gambar 2.8.

2.7.1.2 Alang

Pembangunan rumah tongkonan akan selalu disertai dengan pem­bangunan alang (lumbung) (lihat Gambar 2.9), yang arahnya berhadapan dengan Tongkonan. Menurut keterangan informan, Bapak S, alang merupakan simbolisasi dari laki­laki. Fungsi sebelumnya adalah untuk menyimpan padi, namun dalam perkembangannya akhir­akhir ini, banyak alang yang dibiarkan kosong, dan hanya digunakan sebagai simbol keter­kaitan kekerabatan dengan rumah tongkonan.

Gambar 2.9 Alang (lumbung) dalam satu rumpun keluarga. (Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Page 70: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

53

”Itu alang, kalau dibangun rumah tongkonan harus dibangun itu. Itu tongkonan (perempuan) itu alang (laki­laki), pasangannya. Kaku kalau dibuat tongkonan saja tanpa alang. Dua tongkonan dibangun juga dibangun dua alang. Dulu penuh padi di atas, tapi sekarang kosong. Harus pasangan, tongkonan dan alang. Siapa bangun tongkonan, tinggal usul siapa bangun alang. Siapa kasih berdiri itu alang. Itu juga bikin rumah tongkonan.

Tidak sembarang masuk bikin tongkonan di situ, kalau tidak ada hu bungan nenek di situ. Itu tanah tongkonan istilahnya pangarapuan, harus ada kaitannya. Harus tau siapa neneknya ... silsilah harus jelas. Ada saudara yang tau jelas mengenai silsilah itu.”

2.7.1.3 Pattane

Pattane adalah sebuah bangunan rumah batu untuk menyemayam-kan jenazah, sebagai tempat peristirahatan terakhir setelah dilakukan upacara rambu solo’. Pada zaman dulu, pattane berupa batu besar yang dilubangi untuk menyimpan jenazah.

Gambar 2.10 Pattane untuk menyemayamkan jenazah keluarga sebagai tempat peristirahatan terakhir.

(Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Page 71: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201254

2.7.1.4 Ukiran Toraja

Kesenian ukir Toraja biasa digunakan pada ukiran kayu panel­panel rumah tongkonan dan alang. Setiap panel ukiran melambangkan niat baik, menunjukkan konsep keagamaan dan sosial. Orang Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya pa’ssura (tulisan/ukiran). Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motif ukiran biasanya hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air, seperti gulma air dan hewan, seperti kepiting dan kecebong, yang melambangkan kesuburan. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang­barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk mendapatkan hasil yang baik.

Keteraturan dan ketertiban merupakan motif umum dalam ukiran kayu Toraja. Selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar ukiran Toraja karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat ornamen geometris. Ornamen (hiasan bangunan) yang terdapat pada rumah­rumah adat sebagian besar mempunyai arti. Arti tersebut biasanya berhubungan dengan adat istiadat yang masih dipertahankan. Selain itu ada ornamen yang merupakan hiasan semata­mata, misalnya sumbang dan ketombe, yakni sirip-sirip kayu berukir pada tiap­tiap sudut rumah adat. Ornamen (hiasan) ini dibagi dalam beberapa macam, masing­masing sebagai berikut.1. Ornamen binatang kerbau, yakni binatang yang hampir selalu ada

(disembelih) dalam setiap upacara adat. Banyak bagian badan ker­bau dipergunakan sebagai model ukiran, misalnya tanduk dan kepala (tiruannya). Selain itu, motif kerbau juga ada dalam ukiran di dinding papan rumah adat. Kepala kerbau (tiruan dari kayu) biasanya dipasang pada ujung­ujung balok lantai bagian depan (pata sere).

2. Tanduk kerbau disusun pada tiang utama (tulak­sonba), artinya menyatakan jumlah generasi yang pernah tinggal di rumah adat tersebut. Ayam jantan, sebagai lambang kasta Tana’ Bulaan (ksatria) diukirkan pada bagian depan/belakang rumah, juga pada pintu. Babi

Page 72: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

55

sebagai lambang binatang sajian. Ornamen senjata, seperti keris dan pedang, diukirkan sebagai lambang kasta Tana Bulaan (ksatria).

3. Ornamen tumbuh­tumbuhan. Daun sirih dan bunga diukirkan pada tiang utama tulak somba, rinding (dinding), langit­langit lumbung sebagai ruang tamu, juga pada pintu. Ornamen ukiran kayu menggunakan kayu uru.

4. Ornamen lukisan diukir, kemudian dipasang di tempat. Penyelesaian lukisan biasanya menggunakan zat pewarna yang dibuat dari tanah, tuak atau arang, cuka, dan air.

Ukiran Toraja bukanlah gambar yang diciptakan begitu saja untuk menghiasi suatu bentuk atau benda ataupun tongkonan. Seluruh macam ukiran itu lahir dari pengertian masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita­cita kehidupan masyarakat sehingga seluruh ukiran yang ada sekarang mempunyai arti yang dalam. Menurut sejarah, pada awalnya hanya dikenal empat bentuk dasar gambar (lambang), yaitu lambang empat pokok kehidupan manusia, yang kemudian diaplikasikan pada rumah tongkonan dengan maksud agar tetap menjadi perhatian dan selalu diingat oleh masyarakat. Oleh karena itu, ukiran tidak diletakkan secara sembarangan pada bangunan tongkonan atau rumah, tetapi dipasang menurut pandangan dan falsafah hidup Toraja (Aluk Sanda Pitunnna). Keempat dasar ukiran tersebut disebut garonto’ passura’ (pokok ukiran), yaitu pa’ barre’ allo, pa’ manuk londong, pa’ tedong, dan pa’ sussu’. Sampai saat ini dalam masyarakat Toraja dikenal empat golongan passura’ berdasarkan peranan dan arti passura’ (ukiran), yaitu sebagai berikut.1. Garonto’ passura’ (pokok­pokok ukiran) yang merupakan simbol da­

sar kehidupan orang Toraja, yaitu pa’ barre’ allo, pa’ manuk londong, pa’ tedong, dan pa’ sussu’

2. Passura’ todolo (ukiran tua), yaitu ukiran yang menyangkut peralatan upacara yang dianggap berkhasiat bagi pemakainya, yaitu pa’ erong, pa’ ulu karua, pa’ doti langi’, pa’ kadang pao, pa’ barana’, pa’ bai, pa’ lolo tabang, pa’ daun bolu, pa’ daun paria, pa’ bombo wai, pa’ kapu’ baka, pa’ tangke lumu’, pa’ bungkang tasik, pa’ lolo paku, pa’ tangki’ pattung, pa’ bulintong, pa’ katik, pa’ talinga tedong, dan lain-lain.

3. Passura’ malolle’ (ukiran kemajuan dan perkembangan), yaitu ukir­an yang sering digunakan pada bangunan yang tidak mempunyai peranan adat (tongkonan batu a’riri). Ukiran ini digunakan sebagai simbol sikap dan tingkah laku sosial atau pergaulan dengan dibatasi

Page 73: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201256

oleh pranata etika dan moral. Ada kalanya ukiran ini memiliki pertalian arti dan makna dengan ukiran passura’ todolo, yaitu pa’ sala’bi’, pa’ tanduk ra’pe, pa’ tukku pare, pa’ bunga kaliki, pa’ poya munda, pa’ bulintong siteba’, pa’ bulintong situru’, pa’ karrang longa, pa’ papan kandaure, pa’ passulan, pa’ sepu’ torongkong, dan lain-lain.

4. Ukiran pa’ barrean (ukiran kesenangan), merupakan ukiran yang terdiri atas potongan­potongan yang berbentuk sama, ada yang lurus dan ada pula yang berupa lengkungan, yaitu pa’ bannangan, pa’ barra’­barra’, pa manik bu’ku’, pa’ ara’ dena’, pa’ komba kalua’, pa’ bua kapa’, pa’ gayang, dan lain-lain.

Untuk mengukir ukiran Toraja, digunakan warna yang terdiri atas warna alam, yang mengandung arti dan makna tersendiri bagi masyarakat Toraja, yaitu sesuai dengan falsafah hidup dan perkembangan hidup manusia Toraja. Oleh karena itu, warna pada ukiran tersebut tidak bo­leh diganti/diubah. Bahan warna passura’ (ukiran) disebut litak, yang merupakan warna dasar bagi masyarakat Toraja. Warna­warna ini meliputi warna merah (litak mararang), warna putih (litak mabusa), warna kuning (litak mariri), dan warna hitam (litak malotong).

Warna merah dan putih merupakan warna darah dan tulang ma­nusia yang melambangkan kehidupan manusia. Warna tersebut dapat dipergunakan di mana saja pada waktu ada upacara adat maupun dalam kehidupan sehari­hari. Warna kuning merupakan warna kemuliaan, se­bagai lambang ketuhanan, yang dipergunakan pada waktu upacara ram­bu tuka’, demi keselamatan manusia. Warna hitam merupakan lambang kematian atau kegelapan, dipakai pada waktu upacara rambu solo’ (upa­cara kematian). Arti warna hitam pada dasar setiap passura’ (ukiran) adalah bahwa kehidupan setiap manusia diliputi oleh kematian. Menurut pandangan Aluk Todolo, dunia ini hanya tempat bermalam saja atau tem-pat menginap sementara.

Semua warna passura’ tersebut merupakan warna alam karena ber-bahan tanah, kecuali warna hitam diambil dari arang belanga. Bahan alami ini lebih tahan lama terhadap pengaruh cuaca dan iklim dibandingkan dengan warna dari bahan sintetis (http://budayatoraja.tripod.com/Ukiran.htm, akses 08 Juni 2012).

Motif ukiran yang terkait dengan kesehatan adalah motif paqlolo tabang (lihat Gambar 2.11) yang berbentuk daun tabang. Daun tabang melambangkan harapan agar anak cucu sehat jasmani dan rohani serta

Page 74: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

57

Gambar 2.11 Motif paqlolo tabang, berbentuk daun tabang sebagai simbol harapan agar anak cucu sehat jasmani dan rohani serta jauh dari berbagai penyakit.

(Sumber: Foto Ukiran Toraja)

jauh dari penyakit. Juga ada motif paqsalaqbiq ditoqmokki (lihat gambar 2.12) yang berbentuk pagar bambu, sebagai simbol harapan agar anak cucu terhindar dari segala wabah penyakit dan marabahaya lain.

Gambar 2.12 Motif ukir paqsalaqbiq ditoqmokki yang berbentuk pagar bambu, sebagai simbol harapan agar anak cucu terhindar dari segala wabah penyakit dan marabahaya lain.

(Sumber: Foto Ukiran Toraja)

Page 75: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201258

2.7.2 Seni Tari, Cerita, dan Nyanyian Rakyat di Toraja Sa’dan

2.7.2.1 Tarian

Beberapa tarian yang masih dikembangkan dan diajarkan di sanggar seni pimpinan Ibu M di Sa’dan Malimbong antara lain sebagai berikut.

Tarian Pajaga

Tarian pajaga adalah sebuah tari tradisional yang hanya dapat ditarikan di wilayah Sa’dan Balusu dan sekitarnya. Tarian ini ditarikan pada upacara syukuran rumah tongkonan, yang disebut merok, namun biasanya juga ditarikan pada upacara rambu tuka’ (syukuran) yang lain. Tarian yang hanya ditarikan oleh laki­laki ini didominasi gerakan kaki dan tangan sambil bergeser maju berlawanan arah, diiringi irama lagu tradisional. Lirik lagu menyangkut rumah yang diupacarakan, mulai dari lokasi, po­sisi rumah tongkonan bagian paling bawah misalnya batu alas, tiang, sampai yang paling atas, yaitu bubungan (atap rumah). Tarian Pajaga ini memiliki makna bahwa seluruh bagian rumah diharapkan menjadi simbol kesejahteraan.

Tarian Bone Balla

Bone balla berarti “pesta rumah”. Tarian bone balla ditarikan pada acara pesta rumah, syukuran rumah tongkonan, yang merupakan puncak upacara syukuran yang disebut merok. Tarian ini dapat pula ditarikan pada acara rambu tuka’ yang lain, seperti upacara perkawinan dan upacara menyambut tamu­tamu penting. Tarian ini ditarikan oleh beberapa orang gadis dengan kostum dan ornamen Toraja asli, misalnya gayang (keris emas), kandaure + sa’pi kepala + sa’pi tangan, lola emas (gelang) Toraja, mani kata/manik alla emas (kalung) Toraja, dan masaktura emas (kalung) Toraja. Tari ini didukung oleh satu alat, yaitu gendang sebagai penentu gerakan. Tarian bone balla mengikuti irama gendang yang ditabuh oleh seorang pria. Gerakan yang dominan adalah gerakan tangan sambil meng­gerakkan destar (passapu). Setiap gerakan merupakan simbol yang me­ngandung nilai filosofis kehidupan.

Gerakan bunyi gendang ke 1.1. Mesiman ma’ pamula, merupakan ungkapan rasa hormat kepada

hadirin.2. Maliamba passapu, merupakan gerakan untuk menyatakan rasa ber­

syukur kepada Tuhan.

Page 76: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

59

3. Mabenan passapu, merupakan gerakan untuk mengumumkan ke setiap penjuru tentang upacara merok.

4. Ma’kale’pe passapu.5. Ma’pori passapu (mengikat destar), berarti terciptanya kata sepakat

antarkeluarga tongkonan untuk melaksanakan upacara.6. Ma’rimbakan passapu (mengibaskan destar), makin banyak orang

lain mengetahui tentang upacara syukuran tersebut.7. Ma’basse passapu (meletakkan destar di atas bahu), berarti segala

persiapan.

Gerakan bunyi gendang ke 2.1. Unnondo, bergerak maju mundur sambil lenggang tangan, berarti

upacara sudah dimulai.2. Ma’ tanduk tedong, sebagai simbol status ekonomi yang tinggi.3. Massiri, merupakan simbol “bersih” dari silang sengketa, baru upa­

cara merok dapat dilakukan.4. Ma’temme awak, merupakan simbol kelegaan menikmati hasil usaha

keras.5. Ma’langkan­langkan, merupakan simbol rasa puas atas pelaksanaan

upacara Merok.6. Messiman sule, merupakan tanda selesainya upacara.

Tarian Ondo Samalele

Tarian ondo samalele ditarikan secara massal setelah tari bone balla pada saat upacara syukuran rumah tongkonan atau syukuran rumah yang disebut merok. Tarian ini juga dapat ditarikan pada upacara rambu tuka’ lain, seperti ulang tahun kabupaten dan upacara menyambut tamu penting. Tarian ini ditarikan secara massal hanya oleh kaum perempuan, keluarga pemilik rumah (rapu talangna), dari anak kecil sampai orang tua, baik yang memakai ornamen maupun tidak. Ornamen ini merupakan usungan setiap keluarga, berbentuk seperti gayang (keris emas). Jumlah yang dipakai bervariasi antara 1­10 gayang, menurut status sosial ekonomi mereka. Tarian ondo samalele ini didukung oleh gendang yang ditabuh oleh tiga orang pria. Model tampilannya melingkar mengelilingi gendang yang ditabuh.

Tarian Kellu Tunggari Sa’dan

Kellu Tunggari adalah tarian asli dari Sa’dan yang dilakukan pada upacara rambu tuka’, antara lain syukuran rumah, upacara perkawinan,

Page 77: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201260

dan penyambutan tamu­tamu penting. Merok adalah puncak upacara rambu tuka’. Tarian ini ditarikan secara bergiliran oleh wanita dari ketu­runan leluhur pemilik tongkonan yang diupacarakan. Penari mengikuti irama gendang, lagu, dan syair (sengo) yang ditabuh dan dinyanyikan oleh sekelompok laki­laki. Lirik lagu/sengo berbeda antara seorang penari dengan penari yang lain karena isinya meyangkut status sosial dan taraf penghidupan setiap penari.

Klasifikasi status sosial dan taraf penghidupan setiap penari dibagi sebagai berikut.1. Status sosial taraf penghidupan lebih tinggi.2. Status sosial taraf penghidupan menengah.3. Status sosial taraf penghidupan rendah.4. Status anak yatim/piatu (yatim piatu).5. Status anak-anak.

Tarian Pa’gellu

Tari Pa’gellu adalah salah satu tarian Toraja yang dibawakan oleh para gadis untuk mengekspresikan suka cita. Tarian ini biasanya dibawakan pada acara rambu tuka’, seperti pernikahan (Gambar 2.13). Di pertengahan tarian, penonton akan menghampiri penari untuk memberikan uang yang diselipkan di antara hiasan kepala si penari (ma’ toding) (Bendon, 2007).

Gambar 2.13 Tari pa’gellu yang ditarikan dalam upacara pernikahan di Toraja. (Sumber: Foto Olivia Bendon, 2007; http://obendon.multiply.com, akses 08 Juni 2012)

Page 78: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

61

Selain tarian­tarian di atas, ada tarian­tarian lain yang berkaitan dengan ritus rambu solo’, seperti pa’badong, pa’dondi, pa’randing, pa’ka­tia, pa’papanggan, passailo, dan pa’pasilaga tedong.

2.7.2.2 Nyanyian

Seni musik dan nyanyian yang digunakan dalam upacara rambu solo’ antara lain Pa’pompang, Pa’dali­dali, dan Unnosong. Selain itu, nyanyian lain yang populer adalah sebagai berikut.

Menani pare

Lagu ini dinyanyikan ketika akan menanam padi, sebagai simbol harapan kepada Yang Mahakuasa agar padi yang ditanam bisa tumbuh subur dan panen melimpah.

Lagu Nina Bobo

Lagu ini merupakan lagu Toraja Sa’dan untuk meninabobokan anak yang dinyanyikan orang lain pada saat orang tuanya tidak ada di rumah. Syairnya adalah sebagai berikut.

Pua’ pua’ dede (Ayun­ayun dan ditepuk­tepuk)Umba injo’mu (Dimana ibumu)Male sau pasa’ (Pergi ke pasar) Apa nabawangko (Apa yang dibawakan dari pasar)Piso piso polo (Pisau kecil buntung)Diapai pisau polo (Mau diapakan pisau kecil buntung)Diapai tala tala (Dipakai tebang bambu kecil)Di passumparan pao (Untuk dipakai solok mangga)Umbami pao­pao (Mana mangganya)Mangka nakanje bai lookol (Sudah dimakan babi)

Penanian/nyanyian dolong-dolong

Dolong­dolong passaran kayu (Wadah yang terbuat dari kayu) Dipalojoi utan battae (Wadah kayu itu di pakai untuk tempat sayur

ubi)Utan Battae mammi’ di kanje (Sayur ubi itu enak di makan)Dipasitollo lada katokkon (Dimasak sama lombok katokkon)

2.7.2.3 Cerita Rakyat Anak

Cerita anak pengantar tidur meliputi sebagai berikut.

Page 79: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201262

1. Tulang didi daya para: menceritakan anak tiri yang disembunyikan di atas para, lalu ada ayam yang ingin berusaha mengungkapkan.

2. Bulu para: tanda bulu pada telapak tangan.

2.8 Mata Pencarian

Sebelum Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng­lereng gunung. Bahan makanan pen-dukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga diha-biskan masyarakat Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam, yang terutama dibutuhkan untuk upacara pengorbanan dan sebagai ma kanan.

Satu­satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, kopi Toraja. Sejak Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan multinasional membuka usaha baru di Indo-nesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpin-dah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk bekerja di perusahaan kayu dan minyak, ke Papua untuk pertambangan, dan kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.

Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata, ber awal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat To raja mem-peroleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pe mandu wisata, atau menjual cinderamata. Pada akhir 1990­an timbul ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia (termasuk berbagai konflik agama di Su-lawesi). Hal ini menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Kemudian Toraja dikenal sebagai tempat asal kopi Indonesia. Perdagangan kopi arabika terutama dijalankan oleh pengusaha kecil (Putra, 2012).

Pada masa sekarang, orang Toraja Sa’dan yang menetap di Sa’dan, khususnya di Sa’dan Malimbong sebagai ibukota kecamatan, sebagian besar bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Pegawai negeri sipil, seperti di beberapa daerah lain Indonesia, masih menjadi pekerjaan primadona di kalangan masyarakat Toraja Sa’dan, menjadi kebanggaan tersendiri. Hal ini tampak ketika seseorang anggota keluarga berhasil diterima menjadi PNS di daerahnya atau daerah lain di seluruh Indonesia. Selebihnya adalah para pensiunan, anak­anak, dan yang lainnya adalah perantau. Anak-anak (pia’­pia’) yang ikut dalam keluarga lain untuk bisa bersekolah sampai jenjang tinggi biasanya bekerja sebagai pengurus rumah tangga atau penggembala kerbau dan pemasak sayur babi.

Page 80: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

63

Mata pencaharian sebagian besar orang Toraja Sa’dan dari yang anak­anak hingga orang tua adalah sebagai penggembala kerbau (pakambi’), pegawai negeri sipil, pedagang, petani (padi, kopi, cokelat, sayur ubi), pengrajin tenun, buruh bangunan/serabutan, penambang batu dan pasir sungai, dan pensiunan. Sumber penghasilan utama lainnya dalam keluarga adalah kiriman dari perantauan, yang menggerakkan perekonomian di Toraja pada umumnya.

Potensi unggulan yang bisa mengangkat perekonomian Toraja dan masih perlu dikembangkan lebih intensif antara lain kain tenun khas Toraja, pertambangan (tambang biji nikel dan tambang golongan C), pariwisata (keindahan alam, rumah adat tongkonan, upacara rambu solo’, dan tradisi lainnya), pertanian (padi), budi daya ikan mas, penggemukan kerbau, dan peternakan (babi).

2.9 Teknologi dan Peralatan

Dewasa ini orang Toraja Sa’dan, seperti di daerah lain di Indonesia, mengikuti perkembangan teknologi dan peralatan yang sudah mengglobal. Teori dunia yang semakin tanpa batas juga terjadi di Toraja Sa’dan. Apalagi dengan hadirnya teknologi modern dan sistem informasi yang bisa diakses siapa pun, seperti televisi, internet, dan telepon seluler. Alat­alat yang su-dah modern digunakan untuk mempermudah pekerjaan baik dalam ru-mah maupun di luar rumah, seperti membajak sawah dengan traktor atau memotong pohon dengan gergaji modern. Namun tetap ada beberapa pekerjaan tertentu yang masih menggunakan peralatan tradisional, yakni peralatan yang diturunkan dari generasi ke generasi dan berusia ratusan tahun, seperti alat tenun tradisional dan alat pemintal kapas.

Tradisi menenun diturunkan dari generasi ke generasi di kalangan perempuan. Tenun adalah simbolisasi pekerjaan yang identik dengan perempuan. Alat tenun biasanya berada di luar rumah, seperti di kios­kios tenun yang tersedia atau di kolong rumah panggung. Beberapa nenek perempuan berusia di atas 70 tahun sudah menenun kain khas Toraja berpuluh­puluh tahun lamanya, walaupun ada generasi baru penenun tradisional berusia 25­40 tahun yang juga menenun motif­motif tradisional Toraja. Mereka biasa melakukan pekerjaan menenun dari siang hingga sore hari sebelum matahari terbenam. Sekitar pukul 5 sore, bila peralatan tenun berada di luar ruangan, peralatan tersebut sudah digantung dan ditutup terpal atau kain tebal agar tidak terkena pias hujan.

Page 81: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201264

Gambar 2.14 Seorang perempuan Toraja sedang menenun kain tradisional khas Toraja. (Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Teknologi dan Peralatan terkait Kesehatan Ibu dan AnakAda beberapa peralatan tradisional yang digunakan oleh orang

Toraja Sa’dan dalam penanganan kelahiran dan perawatan bayi baru lahir, di antaranya adalah sebagai berikut.

Billa (sembilu) adalah alat untuk memotong tali pusar bayi, yang terbuat dari bambu tajam yang baru dipotong. Alat ini sering digunakan oleh to mappakianak (dukun beranak) dan/atau ibu melahirkan sendiri dan/atau kerabat yang membantu menolong proses kelahiran. Selain itu, dewasa ini beberapa to mappakianak sering juga menggunakan alat potong lain, seperti silet yang disterilkan dengan cara direndam air panas atau gunting yang juga sudah disterilkan secara tradisional. Beberapa to mappakianak yang sudah bermitra dengan bidan juga sudah dibekali dengan alat potong medis yang disterilkan.

Ma’bekke (setagen), berupa kain panjang yang digunakan untuk membebat perut ibu yang baru melahirkan agar kencang kembali. Kain tersebut bukan kain khusus, bisa berupa kain apa saja asalkan panjang. Ibu yang baru saja melahirkan biasa menggunakan setagen selama satu minggu.

Page 82: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

65

Lampin/duc (tampon/popok kain untuk nifas), yaitu kain atau han-duk yang digunakan untuk ibu nifas. Namun dalam perkembangannya, sekarang sudah ada tampon sekali pakai yang bisa dibeli di toko, atau bi-asanya sudah diberikan sebagai satu paket pelayanan persalinan, jika ibu melahirkan di tempat praktik bidan.

Gurita, digunakan untuk mengikat perut bayi baru lahir, sampai tali pusarnya mengering dan lepas. Beberapa ibu sudah tidak menggunakan-nya lagi, karena menurut mereka, ada yang memberi tahu bahwa secara medis memasang gurita pada bayi tidak baik untuk kesehatannya.

Bantal dari kain panjang agar kepala bayi tetap bulat. Di Toraja Sa’dan ada seorang ibu yang menggunakan teknik tertentu yang dipelajari dari suaminya, agar kepala bayi bagus dan bulat. Berikut penjelasan Njo’R.

Bantal bayi yang saya buat ini dari kain panjang, cara bikinnya saya diajari oleh suami saya, biar kepala bayi bagus dan bundar, tidak lonjong. Caranya begini, kain panjang digulung dari sisi atas dan bawah ketemu di tengah, kemudian ujung­ujungnya dilipat ke dalam. Dan di tengah gulungan ketemu dua sisi dibuka dibuat cekungan untuk tempat kepala bayi.

Perre’ (ayunan bayi), terbuat dari kain panjang yang digantungkan pada balok di atap rumah. Alat ini digunakan untuk mengayun­ayun bayi ketika hendak tidur.

Tawwani serre, adalah ari­ari kucing yang melahirkan pada malam Jumat, yang dikeringkan. Tawwani serre (Gambar 2.15) digunakan oleh to mappakianak (bidan kampung) untuk membantu melancarkan proses kelahiran. Salah seorang to mappakianak menjelaskan sebagai berikut.

Tawwani serre (ari­ari kucing) didapatkan dari kucing hitam yang melahirkan pada malam Jumat di genting rumah, diambil ari­ari kucingnya sebelum dimakan oleh induk kucingnya. Kemudian dikeringkan dan di­bungkus dengan kain. Fungsinya untuk membantu kelancaran proses melahirkan dengan cara dicelupkan pada air dan kemudian air diminumkan ke ibu dan sebagian diusapkan ke perut ibu.

Page 83: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201266

Gambar 2.15. Tawwani Sere’ (ari­ari kucing) yang digunakan to mappakianak untuk melancarkan persalinan.

(Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Selain benda­benda di atas, masyarakat Toraja Sa’dan sering kali menggunakan benda­benda tertentu untuk mengusir makhluk­makhluk halus yang akan mendekati ibu hamil, ibu melahirkan, dan bayi. Orang Toraja Sa’dan meyakini bahwa ibu hamil, ibu baru melahirkan, dan bayi baru lahir memiliki bau harum yang dapat mengundang hadirnya makhluk­makhluk halus yang bisa mengganggu kesehatan ibu dan bayi. Oleh karena itu, ibu hamil, ibu yang baru melahirkan, dan bayi harus menggunakan beberapa benda untuk mengusir hal­hal yang dianggap mengganggu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh beberapa informan, seperti ibu M, Njo’ R, Ma’ S, dan Njo’ S. Benda­benda tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.

Kariango, yaitu tanaman khas Toraja, semacam umbi bengle yang hidup di air. Biasanya kariango digunakan oleh ibu hamil dan bayi baru lahir dengan cara disematkan dengan peniti pada baju. Tujuan pemakaian kariango ini adalah untuk mengusir makhluk halus yang ingin mencelakai ibu dan bayi (Gambar 2.16).

Page 84: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

67

Gambar 2.16 Kariango yang disematkan pada bayi baru lahir untuk mengusir makhluk halus. (Sumber: Dokumen Penelitian)

Daun jeruk, dipasang di sekeliling rumah ibu yang baru bersalin. Bau daun jeruk dipercaya tidak disukai makhluk halus.

Cuka asam, disiramkan di sekeliling rumah. Baunya juga tidak disukai oleh makhluk halus.

Garam, ditebarkan di sekeliling rumah supaya tidak didekati makhluk halus.

Daun sualang (Gambar 2.17), selalu dibawa ibu yang memiliki anak dari bayi usia 0 bulan hingga balita, ketika berada di luar rumah, seperti pergi ke Posyandu, ke pasar, atau ke mana saja. Dengan membawa daun sualang, diyakini dapat menghindarkan anak dari sakit/penyakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus.

Page 85: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201268

Gambar 2.17 Daun sualang dibawa ke mana-mana oleh ibu yang memiliki balita untuk menghindari gangguan

makhluk halus. (Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Page 86: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

69

BAB III BUDAYA KESEHATAN IBU DAN ANAK

3.1 Gambaran Kondisi Kesehatan Ibu dan Anak

3.1.1 Keadaan Mortalitas

3.1.1.1 Kasus Kematian Bayi

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kematian bayi, tetapi tidak mudah menentukan faktor yang paling dominan dan yang tidak dominan. Faktor­faktor tersebut di antaranya ketersediaan tenaga medis terampil, kesediaan masyarakat untuk mengubah perilaku tradisonal ke arah modern, dan faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap kematian bayi, seperti keadaan geografis, akses ke sarana pelayanan kesehatan, dan lain­lain. Menurut laporan Dinas Kesehatan Toraja Utara, Data SDKI menunjukkan Angka Kematian Bayi (AKB) menurun dari 46 per 1.000 kelahiran hidup (KH) pada tahun 1997 menjadi 34 per 1.000 KH pada tahun 2007. Pada tahun 2009 dilaporkan tidak ada atau nihil kasus kematian bayi (0­11 bulan) di Kabupaten Toraja Utara, sedangkan pada tahun 2010 sebanyak 12 kematian bayi. Penyebab kematian meliputi asfiksia, berat badan lahir rendah (BBLR), dan lain­lain (Dinas Kesehatan Toraja Utara, 2010­2011).

3.1.1.2 Kasus Kematian Balita

Kematian balita yaitu kematian anak berumur 0­4 tahun (0­59 bulan) per 1.000 KH. Banyak faktor yang mempengaruhi kematian balita, seperti keadaan sosial ekonomi, lingkungan, penyakit, dan sebagainya. Susenas tahun 2001 menunjukkan AKABA sebesar 64 per 1.000 KH, sedangkan menurut SDKI tahun 2002-2003 di Sulawesi Selatan AKABA sebesar 72 per 1.000 KH. Pada tahun 2009 di Kabupaten Toraja Utara tidak didapatkan kasus kematian balita (0­59 bulan), sedangkan pada tahun 2010 sebanyak

Page 87: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201270

3 kematian balita dengan penyebab umum yaitu asfiksia dan BBLR (Dinas Kesehatan Toraja Utara, 2010­2011).

Tabel 3.4 Jumlah Kematian Bayi dan Balita di Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2009-2010

TahunKematian

JumlahBayi Balita

2009 0 0 02010 12 3 15

Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Toraja Utara tahun 2010 dan 2011

3.1.1.3 Kasus Kematian Ibu

Pada tahun 2009 kematian ibu di Kabupaten Toraja Utara, berdasar-kan laporan KIA, sebanyak 2 ibu meninggal, masing­masing di Puskesmas Ta’ba’ dan Puskesmas Pasang. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai komplika-si yang dialami ibu selama kehamilan dan persalinan, yaitu perdarahan. Sementara, pada tahun 2010 sebanyak 3 ibu meninggal, masing­masing di Puskesmas Rantepao, Sopai, dan Sa’dan Malimbong. Penyebab kema-tian sama, yakni akibat komplikasi yang dialami ibu selama kehamilan dan akibat persalinan, yaitu perdarahan (Dinas Kesehatan Toraja Utara, 2010­2011).

Tabel 3.5 Jumlah Kematian Ibu di Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2009 dan 2010

Tahun Ibu Hamil Ibu Bersalin Ibu Nifas Jumlah

2009 0 0 2 22010 0 0 3 3

Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Toraja Utara tahun 2010 dan 2011

3.1.2 Keadaan Sarana Kesehatan dan Tenaga Medis

Data Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara menunjukkan, ter-dapat 22 Puskesmas yang berada di 22 kecamatan wilayah Kabupaten Toraja Utara.

Page 88: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

71

Tabel 3.6 Jumlah Tenaga Medis dan Paramedis per Puskesmas di Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2010

No. PuskesmasJumlah

Dokter UmumJumlah

Dokter GigiJumlah Bidan

Jumlah Perawat

1. Rantepao 2 1 4 72. Laang Tarduk 1 1 5 103. Tallunglipu - - 5 74. Tikala 1 1 5 55. Buatallulolo 1 - 4 56. Sopai 1 - 6 57. Tombang Kalua 1 - 6 88. Tondon 1 - 4 59. Nanggala - - 6 710. Buntao 1 1 3 711. Rantebua - - 3 612. Rante Pangli 1 1 4 813. Bangkelekila 1 - 3 314. Lempo 1 - 1 715. Sa’dan Malimbong 1 1 2 916. Balusu 1 - 4 717. Paseng - 1 3 818. Pangala - - 3 519. Kapala Pitu 1 - 4 420. Awan Rante Karua 1 - 2 521. Baruppu’ - - 4 522. Ta’ba - - 5 5

Sumber: Profil Kesehatan 2010 Provinsi Sulawesi Selatan

Tabel 3.6 menunjukkan, penyebaran tenaga kesehatan di beberapa wilayah kerja Puskesmas dinilai masih kurang karena tidak ada tenaga dokter umum. Beberapa daerah memiliki kondisi wilayah yang sulit dijangkau sehingga dibutuhkan tenaga kesehatan yang selalu berada di lokasi agar dapat dijangkau oleh masyarakat sekitar.

Page 89: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201272

3.1.3 Cakupan Kunjungan Ibu Hamil dan Neonatus

Tabel 3.7 Cakupan Kunjungan Bumil, Persalinan Ditolong Nakes, dan Yankes Ibu Nifas di Kabupaten Toraja Utara dan Kecamatan Sa’dan,

Tahun 2010

WilayahIbu

hamilK1 (%)

K4(%)

Ibu Bersalin

Ditolong nakes (%)

Ibu Nifas

Mendapat Yankes (%)

Kabupaten Toraja Utara 5.232 4.717

(90.2)4.238 (81.0) 4.994 4.071

(81.5) 4.994 399(8.0)

Kecamatan Sa’dan 336 235

(69.9)194

(57.7) 321 188 (58.6) 321 0(0)

Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Toraja Utara, 2010

Di Kabupaten Toraja Utara masih ada ibu hamil yang belum meme­riksakan kehamilannnya di fasilitas pelayanan kesehatan. Demikian pula ketika bersalin, tidak dibantu oleh tenaga kesehatan. Pelayanan kesehatan ibu nifas sangat rendah.

Di Kecamatan Sa’dan, cakupan ibu hamil yang memeriksakan keha­milannya secara rutin di pelayanan kesehatan hanya 69,9 persen pada kunjungan pertama dan menurun menjadi 57,7 persen pada kunjungan keempat. Ibu yang bersalin dengan pertolongan tenaga kesehatan hanya 58,6 persen. Sisanya kemungkinan besar melahirkan dengan pertolongan to mappakianak (dukun beranak) dan/atau memilih melahirkan sendiri.

Tabel 3.8 Bumil dan Neonatal Risti/Komplikasi Ditangani di Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2010

WilayahIbu

Hamil

Bumil risti/

komplikasi

Bumil risti/ komplikasi ditangani

(%)

Jumlah lahir

hidup

Perkiraan neonatal

risti/komplikasi

Neonatal risti/komplikasi ditangani

(%)

Kabupaten Toraja Utara 5.232 1.046 604

(57.7) 4.146 622 74(11.9)

Kecamatan Sa’dan 336 67 38

(56.5) 203 30 39(128.1)

Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2010

Seperti pada Tabel 3.8, di Kabupaten Toraja Utara penanganan ibu hamil risiko tinggi yang ditangani di sarana pelayanan kesehatan se ki­tar 57,7 persen, sedangkan neonatal risiko tinggi yang ditangani di sa­rana pelayanan kesehatan hanya sekitar 11,9 persen dari perkiraan. Di

Page 90: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

73

Kecamatan Sa’dan, ibu hamil risiko tinggi/komplikasi yang ditangani di sarana pelayanan kesehatan sebanyak 56,5 persen. Adapun neonatal risiko tinggi/komplikasi yang ditangani mencapai 128,1 persen.

Tabel 3.9 Cakupan Kunjungan Neonatus di Kabupaten Toraja Utara dan Kecamatan Sa’dan, Tahun 2010

WilayahJumlah

Bayi Lahir

Kunjungan Neonatus 1 kali (KN1)

(%)

Kunjungan Neonatus 3 kali (KN Lengkap)

(%)

KabupatenToraja Utara 3.782 3.220

(85.1)2.538(67.1)

Kecamatan Sa’dan 182 201

(110.4)190

(104.4)

Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Toraja Utara, 2010

Tabel 3.10 Banyaknya Dokter, Paramedis dan Dukun Bayi Dirinci per

Lembang/Kelurahan di Kecamatan Toraja Sa’dan Utara, 2011

NoLembang/ Kelurahan

Dokter ParamedisDukun

BayiAhli Gigi Umum Jumlah Perawat Bidan Jumlah

1. Sa’dan Andulan 0 0 0 0 0 1 1 1

2. Sa’dan Tiroallo 0 0 0 0 0 1 1 1

3. Sa’dan Amatallo 0 0 0 0 0 1 1 1

4. Sangkaropi 0 0 0 0 2 1 3 2

5.Sa’dan Malimbong

0 1 0 1 0 2 2 1

6. Sa’dan Pebulian 0 0 0 0 0 1 1 1

7.Sa’dan Ballo Pasange

0 0 0 0 2 0 2 1

8. Sa’dan Likulambe’ 0 0 0 0 0 0 0 2

9. Sa’dan Pesondongan

0 0 0 0 0 0 0 2

10. Sa’dan Ulusalu 0 0 0 0 0 1 1 3

Jumlah 0 1 0 1 4 8 12 15

Sumber: Data Puskesmas Sa’dan Malimbong Tahun, 2012

Page 91: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201274

Di Kabupaten Toraja Utara cakupan Kunjungan Neonatus Pertama (KN1) 85,1 persen, tetapi cakupan KN lengkap hanya 67,1 persen. Kesadaran ibu untuk membawa bayinya ke pelayanan kesehatan di Kecamatan Sa’dan sangat baik, dilihat dari Kunjungan Neonatus Pertama (KN1) mencapai 110,4 persen dan Kunjungan Neonatus Lengkap (KN lengkap) mencapai 104,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang melahirkan sendiri dan/atau dengan pertolongan selain petugas kesehatan juga membawa bayinya ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan imunisasi lengkap.

Persebaran jumlah tenaga kesehatan di Kecamatan Sa’dan masih kurang dibandingkan dengan wilayah kerjanya yang luas, yakni meliputi 8 lembang dan 2 kelurahan dan dengan kondisi geografis yang rata­rata berbukit­bukit serta kondisi jalan yang kurang baik sehingga membutuhkan waktu tempuh yang lama.

Puskesmas Sa’dan sering melayani keluhan penyakit di bawah ini. Sebaran penyakit yang sering ditangani di Puskesmas Sa’dan adalah batuk, Infeksi Saluran Pernafasan Akut, dan dermatitis.

Tabel 3.11 Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Sa’dan Malimbong, Tahun 2011

No. PenyakitKunjungan

TotalLaki-laki Perempuan

1 Batuk 649 608 1.2572 Ispa 507 704 1.2113 Dermatitis 542 623 1.1654 Demam 565 560 1.1255 Influenza 153 353 5066 Mialgia 263 243 5067 Sakit kepala 215 234 4498 Diare 213 231 4449 Gastritis 293 115 40810 hipertensi 100 108 208

Jumlah 3.500 3.779 7.279

Sumber: Data Puskesmas Malimbong, 2012

Page 92: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

75

3.2 Budaya Kesehatan Ibu dan Anak

3.2.1 Prahamil

3.2.1.1 Remaja Masa remaja cukup berbeda antara perempuan dan laki-laki, da-

lam hal pengetahuan dan nilai­nilai yang dipelajari tentang kesehatan reproduksi. Pelajaran kesehatan reproduksi didapatkan di sekolah dalam pelajaran biologi dan dari peer group (kelompok) yang saling bercerita tentang pengalaman masing­masing, lawan jenis, alat reproduksi, men­struasi, dan sebagainya. Sementara dari keluarga atau keluarga patron yang ditinggali, anak sekolah/pia­pia tidak pernah mendapatkan penjelas­an mengenai kesehatan reproduksi dan pergaulan. Seperti yang ditutur-kan dua informan remaja, yaitu A (remaja putri) dan J (remaja laki­laki) berikut ini.

”A tidak memikirkan pacaran dulu, karena ingin selesai sekolah dan bekerja dulu baru pacaran. Tidak ada waktu buat pacaran atau telpon-telponan, karena HP dimatikan dari jam 19.00-07.00 pagi. Pendapatnya tidak boleh pacaran, tidak ada waktu untuk pacaran, namun A pacaran sampai 11 kali. Hanya pada level pegang­pegang tangan saja. Kalau ada cowoknya yang mau melakukan hal yang dianggap negatif, akan diancam untuk diputuskan.”

”Di rumah J diajarkan yang baik, tidak boleh mencuri, berbuat tidak senonoh (berhubungan seks) pada perempuan, berbo-hong. Tapi kalau ciuman dengan cewek biasa­biasa saja.”

Para remaja yang cukup aktif di gereja atau perkumpulan pemuda gereja akan mendapatkan ajaran tentang nilai­nilai pergaulan dan proses pedewasaan diri. Seperti yang diungkapkan bapak S dan D berikut ini.

”Persatuan Pemuda Gereja Toraja/ PPGT (pembinaan ge­re ja pada remaja), sudah terbentuk sejak lama, dengan Po’ D berada dalam tubuh majelis yang mengurusi tentang pembinaan remaja. Untuk remaja ada kegiatan­kegiatan seperti ibadat rumah tangga setiap hari Sabtu, bergiliran di setiap rumah. Ada juga hari minggu tergantung pengumuman. Yang hadir banyak, cuma susahnya agak malam, dianjurkan gereja jam 16.30 WITA tapi tidak pernah tepat waktu. Ada juga

Page 93: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201276

diadakan untuk syukuran kelulusan SMA. Biasa jam 16.00 WITA tapi banyak agak lambat, mulai baru jam 18.00 WITA. Sudah dinasihati supaya jangan disamakan dengan di kota karena penerangan jalan di sini gelap, yang laki-laki sih tidak apa-apa, tapi khawatir dengan yang cewek-cewek. Tapi sering mereka terlambat meski berkali­kali diberitahu oleh pihak gereja. Da­lam acara perkumpulan remaja biasanya berisi tentang iman, pergaulan, tentang bagaimana menghadapi hidup ini, disaat­saat sekarang ini banyak yang curhat tentang sekolah. Tentang bagaimana nanti masa berpisah denga orang tua, bagaimana mandiri.”

Pak S dan Pak D menjelaskan lebih jauh mengenai kegiatan remaja di gereja.

”Disampaikan juga tentang pergaulan lawan jenis, jangan sam pai menjerumuskan seperti narkoba, dan lain-lain. Hasil konseling di Jakarta kemarin ternyata sekian persen remaja perempuan di kota sudah tidak perawan lagi. Kalau di pedesaan sini sepertinya tidak terlalu. Pengawasan orang tua kalo di kota-kota kurang. Kalau di sini, kegiatan­kegiatan di gereja mereka cukup aktif. Anak-anak sekitar, yang sulit dijangkau umumnya anak laki­laki, kalau remaja perempuan gampang. Sehingga pendekatan dilakukan di ibadat pemuda, ada datang makan, tapi molor waktunya. Kalau terlambat datang lebih baik ga usah masuk, karena kalau ditanyakan alasannya banyak. Anak laki­laki kurang mendengarkan nasihat, kebebasannya merasa terhalangi. Kegiatan untuk mendekati mereka remaja laki-laki melalui kegiatan olahraga.”

”Masih banyak kekurangan gereja, tips-tips untuk mendekati remaja, malah mohon masukan kepada peneliti. Menurut be rita yang saya baca ada penelitian di koran bahwa di kota-kota 67% tidak gadis lagi, saya berharap semoga di sini tidak terjadi. Yang pacar-pacaran jangan sampai malam. Disayangkan kenapa yang banyak disoroti yang remaja putri, padahal bisa saja yang laki­laki lebih banyak. Kecenderunagn pergaulan remaja di sini, masih dalam taraf biasa­biasa saja. Tidak sampai menjurus ke hal-hal yang negatif. Selama di sini belum pernah terjadi, mudah-mudahan tidak.”

Page 94: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

77

”Kedekatan remaja dengan pihak gereja, ada 1­2 curhat ter­utama dalam bimbingan katekisasi, disana mereka mengung­kapkan masalah mereka. Yang dicurhatkan masalah hubungan imani, pergaulan, jodoh. Ada institusi yang jalan dalam kateki­saasi, mereka mengajukan pertanyaan, pembimbing tidak langsung memberikan jawaban, namun dibahas dalam kelom­pok. Biasa nya kalau mereka bisa memberikan nasihat sendiri dan mem beri jalan keluar. Kayak di sekolah itu ada CBSA. Kalau mereka memberi nasihat pada orang lain masak mereka mau melanggar nasihatnya sendiri, menasihati diri sendiri.”

”Kesempatan­kesempatan belajar dari gereja, dari rumah dan orang tua, juga di sekolah pendidikan agama. Seperti na sihat baik­baik dijalan, Bergaul dengan baik, berdoa, jangan mem­bawa keributan tapi membawa damai. Dari Alkitab ajarkanlah itu berulang-ulang baik ketika tidur, bangun ataupun di jalan.”

3.2.1.2 Pernikahan

Menurut keterangan pendeta setempat, bagi pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan ada pembinaan pendewasaan iman yang di­sebut katekisasi. Katekisasi merupakan syarat wajib bagi pasangan yang hendak menikah. Sebelum pemberkatan nikah juga ada bimbingan dulu mengenai harta dan hidup bersama, dan sebagainya, selama 2 hari sam-pai 1 minggu. Beberapa syarat untuk pernikahan dengan pemberkatan di Gereja dijelaskan berikut ini oleh informan Pendeta S.

Untuk bisa menikah dengan pemberkatan Gereja pertama harus sudah selesai mengikuti katekisasi sehingga bisa dikeluarkan surat CD, kedua sudah dilakukan pembaptisan, ketiga harus keluar surat pernyataan gereja bahwa calon pengantin belum pernah menikah (diberkati) di Gereja, dan ke empat, pemberkatan pernikahan di gereja akan diumumkan selama 2 minggu, 2 kali dalam setiap minggu diumumkan kepada jemaat, apabila tidak ada jemaat yang keberatan, maka pemberkatan akan dilaksanakan.

Sementara, di luar persyaratan gereja, menurut tradisi Toraja ada pantangan­pantangan dalam melakukan pernikahan untuk pihak laki­laki dan perempuan. Pantangan­pantangan tersebut antara lain perempuan Toraja tidak boleh menikahi laki­laki dari kasta (tana’) di bawahnya. Sebaliknya, untuk laki­laki boleh. Seperti yang diungkapkan oleh informan bapak M berikut ini.

Page 95: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201278

”Dalam hal pernikahan, secara adat, perempuan dari tana’ yang lebih tinggi tidak boleh menikah dengan tana’ yang ada di bawahnya. Kalau laki­laki dia boleh sembarang menikah dengan tana’ yang di bawahnya (ungkendeki).”

Selain pantangan menikah dengan kasta yang tidak seimbang, ada juga pernikahan antarsaudara yang seharusnya tidak diperbolehkan pada zaman dulu. Namun sekarang banyak juga yang melakukan, seperti yang diungkapkan informan Ne’ E berikut ini.

”Silsilah secara hierarki nenek, seharusnya tante tidak boleh dinikahi,sepupu 1 kali, ibunya bersaudara kandung bisa, tapi harusnya tidak. Yang afdol sebaiknya adalah menikah dengan sepupu 2 kali, atau sepupu 3 kali.”

3.2.1.3 Tradisi Perjodohan Antar Keluarga

Di Toraja Sa’dan masih banyak dijumpai pasangan muda yang dijo­dohkan oleh keluarga dengan orang yang masih mempunyai hubungan keluarga, baik dengan sepupu satu kali, dua kali, tiga kali, atau empat kali. Beberapa tradisi perjodohan ini masih dilakukan oleh para orang tua untuk mempertemukan anak-anaknya dalam perkawinan. Namun dewasa ini perjodohan ini lebih fleksibel karena masing­masing pasangan yang dijodohkan mempunyai hak untuk menolak perjodohan tersebut, apabila dalam pertemuan terdapat ketidakcocokan. Pada masa lampau tradisi perjodohan dilakukan untuk menjaga kemurnian darah kebangsawanan (puang) dan untuk menghasilkan keturunan yang murni serta jelas silsilah ke-puang-annya.

Seperti yang pernah diceritakan Bapak Y tentang perjodohan dirinya dengan 2 orang perempuan bersaudara kandung. Karena menjadi perebutan dua orang saudara kandung, Bapak Y memilih untuk tidak memilih salah satu dari keduanya.

”Saya pada awal dijodohkan juga dengan sepupu, saya mau saja karena daripada cari-cari terus tidak cocok. Saya disuruh pulang untuk berkenalan. Ternyata ada 2 kakak beradik yang mau, saya jadi bingung disuruh milih salah satu. Takut kalau milih akan melukai yang lainnya, ya lebih baik saya tidak me-milih dua­duanya, dengan memberi syarat yang saya yakin mereka berdua tidak bisa, jadi tidak menjadi pertengkaran. Dan saya kemudian dijodohkan lagi dengan sepupu.”

Page 96: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

79

Ibu S juga menceritakan tentang perjodohan dalam perkawinannya sekarang, sebagai berikut.

”Waktu menikah usia saya 24 tahun. Waktu dulu menikah ke­temu suami dijodohkan karena masih keluarga. Saya ketemu suami masa kecil saja. Suami kerja di Makasar pulangnya tidak tentu anak ke 4 dari 7 bersaudara. Suami usianya 30 tahun selisih 2 tahun. Kalau perjodohan di Toraja laki­laki dikenalkan dengan pihak perempuan tetapi jika tidak suka bisa saja diba-talkan.”

Ibu I bercerita juga tentang perjodohan dalam perkawinan dan ter­kait dengan status sosial seseorang dalam masyarakat. Ia bercerita juga mengenai usia pernikahan yang baik bagi perempuan Toraja, sebagai berikut.

”Usia pernikahan yang bagus bagi perempuan ketika ber-umur 20­35 tahun. Usia ini dianggapnya masa subur bagi perempuan dan dianggap perempuan cukup kuat untuk hamil dan melahirkan. Bagi ibu I, kelak jika anaknya menginjak usia ini dia menginginkan anaknya dijodohkan saja dengan pria yang seiman, memiliki pekerjaan, pengertian dan kalau boleh sekampung.”

Terkait dengan status sosial di Toraja Sa’dan, masih sering diper tim­bangkan masalah strata keturunan dari seorang calon suami atau istri, dan dari mana mereka berasal. Seperti yang diungkapkan oleh ibu I berikut ini.

”Suaminya kalo boleh yang setingkat saja dengan status kami, takut saya, anakku dipandang sebelah mata ji nanti, disuruh-suruhmi apa, makanya anakku harus punya kerja juga. Banyak di sini itu, laki-laki ato perempuan tidak menikah karena status sosialnya. Takut ki bercampur darahnya.”

3.2.1.4 Pasangan Usia Subur Belum Mempunyai Anak

Anak bagi orang Toraja Sa’dan memiliki nilai yang sangat berarti, yaitu anak adalah garis keturunan yang akan meneruskan tradisi dan me­nanggung semua biaya tradisi atau upacara keluarga (rambu tuka’ dan, terutama, rambu solo’). Oleh karena itu, apabila pasangan yang sudah

Page 97: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201280

menikah belum memiliki anak, mereka akan mendapat sorotan dari ling­kungan sosial keluarga dan sekitarnya. Oleh karena itu, ada cara­cara lokal yang dilakukan untuk bisa segera memiliki keturunan.

Informan menjelaskan bahwa tidak ada tradisi khusus yang dilakukan agar bisa mendapatkan keturunan. Tradisi diurut oleh dukun beranak (to’ mapakianak) dilakukan oleh beberapa informan yang diwawancarai. Selain itu, mengangkat anak dari keluarga luas untuk dipelihara sebagai pancingan. Berikut ibu B menjelaskan.

”Setelah menikah tidak langsung mendapat keturunan selama 2 tahun, oleh sebab itu saya berusaha mencari pengobatan melalui diurut ke dukun beranak dan berkonsultasi dengan dokter kandungan. Oleh keluarga, saya disarankan mengangkat seorang anak. Setelah satu tahun memelihara anak dari kelu­arganya saya hamil.”

Seorang informan lain, yaitu ibu S mendapat nasihat dari sanak keluarga agar mengangkat seorang anak. Lingkungan terdekat teman dan keluarga pada umumnya membantu secara moral dengan menenangkan dan memberikan saran­saran ketika kecemasan menghantui pasangan usia subur yang belum dikaruniai anak.

”Tanggapan masyarakat terhadap orang yang belum mem­punyai anak, mereka bertanya sampai kapan bisa mendapatkan ke turunan? orang orang sekitar bertanya. Saran banyak dari teman­teman dan keluarga. Mereka merasa kasian makanya ada kata-kata seperti itu sampai kapan? Dalam hati ada pe-rasaan was­was dan menunggu.”

Usaha lain untuk mendapatkan anak yang dilakukan informan, yaitu Ibu S adalah dengan minum berbagai ramuan dari tanaman.

”Pengobatanya dengan daun­daun benalu daun kopinghong (Binahong), teratai (daunnya direbus, bisa daun bisa bunga) untuk mengobati penyakit dalam untuk membersihkan kista-nya terus saya coba juga benalu kopi ada juga yang hidup di batu direbus kemudian diminum. Kopinghong (binahong) bentuk daunnya seperti love yang warnanya ungu tanamannya merambat. Dapat dari tetangga khasiatnya sama untuk tumor dan coba juga daun sirsak tapi tidak boleh terlalu banyak karena saya punya penyakit darah rendah.”

Page 98: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

81

Berbagai dedaunan digunakan untuk mengobati penyakit kista yang dideritanya, sedangkan untuk menambah kesuburan informan ini mema-kan beberapa jenis tanaman obat, seperti kutipan penuturan Ibu S berikut.

”Tradisi Toraja yang membuat wanita lebih subur anjurannya banyak makan toge. Ada juga daun sejenis rumput yang daunya agak bulat. Rumput yang merambat. Daunnya direbus gunanya untuk menyuburkan. Saya sudah makan hampir satu bulan kalau di Toraja namanya daun “lesoan”. Ada yang pohonnya kayak pohon beringin ngambilnya susah namanya daun “Tina” untuk luka­luka dalam kalau ada infeksi atau tumor. Ada juga di pinggir sungai pohonnya kayak jagung jenisnya seperti rumput cuma agak tinggi. Ada juga semak yang buahnya yang kayak manik­manik warna hijau kalau sudah masak mengarah ke warna ungu banyak di pinggir sungai gunanya menyuburkan. Kalau daun palan bahasa Indonesianya daun jarak.”

3.2.1.5 Nilai Anak berdasarkan Jenis Kelamin dan Jumlah Anak yang dimiliki

Ada sedikit perbedaan pandangan mengenai nilai jenis kelamin seorang anak dalam keluarga. Beberapa informan menyebutkan lebih memilih atau menyukai anak laki­laki dibandingkan anak perempuan karena dalam adat istiadat Toraja kedudukan anak laki­laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Ibu Sr menjelaskan sebagai berikut.

”Saya dibesarkan di desa M dari keluarga petani. Perbedaan perlakuan anak laki dan perempuan tugas anak laki­laki ambil kayu yang perempuan cuci piring sejak SD sudah bantu­bantu. Dari SD sudah bantu mencuci baju, jaga adik,(sejak SD kelas 4). Tugas anak laki­laki cari kayu, cari rumput. Iya anak perempuan dan laki sering di larang­larang tapi anak laki­laki sering mem­bantah. Contoh dilarang main sampai malam. Perempuan di larang pergi­pergi sampai malam. Sejak SD sudah bisa bantu potong padi dan tanam padi (di sekolah diajarkan) . Dulu kalau laki­laki mencangkul perempuan menanam tradisi itu sekarang sudah mulai hilang karena sudah pakai traktor dan orang yang menanam digaji. Kalau habis tanam padi orang istirahat sebelum masa panen, nah disitulah waktunya bermain. Kalau makan bersama kalau siang siapa yang duluan pulang itu yang

Page 99: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201282

makan sedangkan yang terakhir pulang sekolah makanannya disimpankan. Larangan untuk anak perempuan tidak ada ke-cuali kalau hamil tidak boleh makan durian.”

Demikian juga yang diutarakan informan Po’ dan Ma’ M kepada pe­neliti, bahwa anak laki­laki sangat diharapkan. Oleh karenanya, meski pun sudah memiliki lima anak perempuan, pada usia 42 tahun tersebut, Ma’ M memutuskan untuk hamil lagi, dan berharap bahwa bayi yang dikan dungnya adalah anak laki­laki. Saat peneliti bertemu dengan keluarga tersebut Ma’ M sudah hamil lebih dari sembilan bulan, siap untuk melahirkan. Seperti ibu­ibu di Toraja Sa’dan pada umumnya, Ma’ M ingin melahirkan di rumah orang tua kandungnya di kota Palopo. Di Sa’dan Ma’M tinggal bersama keluarga suami, dan menurut bidan kehamilannya berisiko karena faktor usia. Ma’ M pulang ke Palopo melewati jalur yang terkenal dengan kelok tujuhnya yang curam, dengan waktu tempuh selama tujuh jam. Tidak lama kemudian terdengar kabar bahwa Ma’ M sudah melahirkan di RS Palopo, dengan kondisi yang cukup membahayakan. Persalinan dilakukan melalui operasi caesar, dan karena kondisi rahimnya, akhirnya dokter memutuskan untuk mengangkat rahimnya demi keselamatan si ibu. Bayi yang dilahirkan ternyata juga perempuan.

Nilai anak bagi orang Toraja Sa’dan sangat penting. Memiliki banyak anak masih menjadi pandangan utama bagi sebagian besar penduduk Sa’dan. Program Keluarga Berencana (KB) dari pemerintah yang meng­arahkan dua anak lebih baik tidak berlaku bagi orang Toraja Sa’dan. Istilah KB bagi orang Toraja Sa’dan diubah menjadi “keluarga besar”, untuk menunjukkan banyaknya jumlah anak yang mereka miliki. Bahkan seorang yang terpandang di Toraja menceritakan bahwa dua bukan dua orang, namun dua pasang (empat orang) untuk menunjukkan anak yang beliau miliki. Ketiadaan seorang anak bagi orang Toraja Sa’dan merupakan hal yang masiri’ (malu) dalam keluarga, dianggap lemah, dan dikasihani oleh keluarga luas. Bahkan, sekalipun sudah memiliki anak, tetapi baru satu, keluarga tersebut masih dianggap belum lengkap. Hal ini sesuai dengan penjelasan beberapa informan, yang menyatakan bahwa satu anak masih dipandang kurang oleh keluarga luas, sehingga harapan untuk memiliki banyak anak adalah harapan setiap orang yang sudah menikah.

”Dikka (terj. Kasihan) ... W itu anaknya cuma satu, pasti berat nanti anaknya menanggung sendirian hutang-hutang keluarga, kalau anak banyak kan bisa ditanggung sama­sama.

Page 100: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

83

A, anaknya cuma satu, anaknya laki­laki di rantau sudah menikah tapi belum juga mempunyai anak sampai sekarang, kasian, istrinya sudah berumur. Generasinya bisa habis kecuali dicerai dan menikah lagi.”

”Saya dulu habis menikah tidak langsung memiliki anak sampai dua tahun usia pernikahan kami. Hampir saja saya pisah dengan suami karena keluarga suami menuntut adanya keturunan. Sehingga kami terus berdoa, sampai­sampai doanya itu seperti ini, “gak apa-apa, Tuhan meskipun kami diberi anak yang cacat sekalipun, asalkan dikaruniai anak.” Puji syukur akhirnya kami diberi keturunan, sampai delapan orang, dan syukur normal semua tidak ada yang cacat. Malah yang terakhir akan digugurkan oleh dokter karena alasan sudah terlalu banyak dan faktor usia saya yang berisiko, namun oleh bapaknya gak boleh, anak itu anugrah Tuhan, dulu kami minta diberi keturunan, begitu diberi banyak kok mau digugurkan.”

Terkait dengan pentingnya nilai anak dan keturunan, di Toraja Sa’dan menganut nama panggilan seseorang dengan panggilan nama anak atau nama cucu, sebagai harapan akan keturunan yang berkelanjutan. Seperti dijelaskan oleh Ne’ B berikut ini.

”Ketika seseorang belum menikah sampai dengan menikah, namun belum mempunyai anak maka akan dipanggil dengan nama aslinya. Ketika seseorang sudah mempunyai anak per-tama, nama panggilan berubah menjadi ma’ (ibu) atau po’ (bapak) diikuti dengan nama anak pertama.

Saat anak pertama menikah dan belum dikaruniai momongan, maka nama panggilan orang tua berubah menjadi ne’ (kakek/nenek) diikuti dengan nama anak bungsu, dengan harapan agar segera dikaruniai seorang cucu dari anak yang sudah menikah.

Ketika sudah mendapat cucu pertama maka nama panggilan orang tua berubah menjadi ne’ (kakek/nenek) diikuti dengan nama cucu pertama.”

Kini di bagian Sa’dan yang dekat dengan kota kabupaten, yaitu Sa’dan Malimbong, keluarga muda rata­rata memiliki 3­5 anak. Sementara, pada

Page 101: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201284

generasi sebelumnya jumlah anak dalam satu keluarga rata­rata 7­15 orang. Di wilayah Sa’dan yang lain, seperti Ballopasange, Sangkaropi, dan Ulusalu keluarga muda masih memiliki banyak anak, 5­10 orang. Usia per­kawinan juga relatif sangat muda, ibu­ibu biasanya menikah pada usia belasan, di wilayah pegunungan yang jauh dari kota kabupaten, sehingga ada ibu yang pada usia 25 tahun sudah memiliki 5 orang anak. Ada juga ibu berusia 35 tahun baru saja memiliki cucu dari anak pertamanya yang berusia 21 tahun. Sementara, di wilayah yang relatif dekat dengan kota kabupaten, rata-rata umur menikah perempuan adalah 20 tahun, untuk laki­laki sekitar 25­30 tahun. Dewasa ini, ketika ada orang yang sudah cukup usia menikah namun belum menikah, orang tua dan keluarga besar (kerabat) akan turut berpartisipasi memberikan pilihan jodoh untuk mereka, baik dari kalangan keluarga sendiri maupun dari kalangan lain.

Memiliki anak dalam jumlah banyak masih menjadi idaman sebagian besar warga masyarakat Toraja Sa’dan. Apalagi bila kelak anak­anaknya bisa bersekolah setinggi mungkin dan mendapatkan pekerjaan yang baik dan mempunyai penghasilan besar, dianggap akan meringankan pekerjaan orang tua dalam tanggung jawab kepada keluarga besar, seperti dalam pesta upacara rambu solo’ dan pembangunan tongkonan keluarga. Bapak N menjelaskan sebagai berikut.

”Pak N berharap bisa memiliki anak yang banyak. bagus kalau banyak anak, kalau sudah besar­besar dia bisa bantu kita kerja­kerja, tapi itu juga, sekolahnya ... seandainya ada orang yang mau bilang ... iyo nanti saya yang tanggung sekolahnya ... yah ... nda apa­apa ... kita bikin saja.”

Keluarga Ibu dan Pak N tergolong keluarga sederhana bila dilihat dari kondisi rumah orang tua dan rumah keluarganya yang merupakan rumah kayu berlantai semen. Namun, di depan rumah orang tuanya berdiri megah alang (lumbung padi) keluarga yang masih baru, dengan ukiran dan warna khas Toraja. Dikatakan Pak N bahwa pendirian Alang tersebut menghabiskan dana sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Alang keluarga dibangun secara patungan seluruh anggota keluarga, menggantikan alang keluarga lama yang biasa, tidak berukir, dan bercat (yang pada zaman dulu menandakan strata keluarga tersebut). Dengan memiliki banyak anak seperti keluarga Ibu N, menjadi ringan ditanggung ketika ada pembangunan tongkonan keluarga atau alang sebagai simbol status keluarga tersebut.

Page 102: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

85

Ketiadaan seorang anak juga bisa mendorong pasangan untuk melakukan perceraian, seperti cerita tentang X berikut.

”X pernah menikah dengan sepupu dua kalinya, namun karena setiap mempunyai anak, anak-anaknya selalu meninggal, X memutuskan untuk bercerai dengan suaminya dan menikah de­ngan saudara sepupu yang lain di keluarganya. Namun dengan suami keduanya ia tidak juga dikaruniai anak. Sehingga dia berpisah lagi dengan suami keduanya. Dan menikah untuk yang ketiga kalinya, dengan laki-laki yang juga masih ada hubungan keluarga. Dengan suami yang terakhirnya ini akhirnya X me­miliki 3 orang anak yang sehat, memutus anggapan orang sekitar dan sekaligus pembuktian bahwa anak keturunannya bukanlah keturunan yang rapuh.”

3.2.2 Hamil

Dewasa ini perawatan kehamilan pada masyarakat Toraja Sa’dan su-dah mengalami pergeseran akibat pengaruh luar (agama dan hubungan dengan pihak luar). Perawatan orang hamil dan melahirkan sudah berubah dengan masuknya pengaruh agama Kristen dan Katolik yang dibawa oleh orang Belanda, juga agama Islam karena pengaruh intervensi dari Gujarat dan Bone. Banyak hal yang sudah tidak dilakukan lagi. Pada masa lalu, menurut Ketua Komunitas Adat, ketika informan L masih kecil, sekitar 50 tahun lalu, masih dijumpai pantangan­pantangan untuk orang hamil.

”Ada ritual-ritual yang dilakukan seperti cuka dari aren dipasang pada kolong rumah untuk mengusir roh­roh jahat (sekarang tidak dilakukan lagi). Dulu dilarang makan terlalu banyak, dipercaya kalau lambung besar, anaknya bisa kecil. Dilarang makan banyak daging.”

Yang diharuskan: harus banyak makan belut dan lele biar anak bisa pintar. (masih dilakukan sampai sekarang).

Namun menurut informan lain, Ibu M, ada beberapa pantangan ibu hamil yang masih dilakukan dan dipercaya oleh beberapa warga ma­sya rakat di Toraja Sa’dan terkait dengan masa kehamilan. Pantangan­pantangan atau larangan­larangan tersebut biasanya didapatkan dari mimpi oleh seorang yang dianggap mumpuni, terkait dengan masalah ke hamilan dan pengobatan, seperti seorang to mappakianak (dukun

Page 103: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201286

beranak). Ibu M menceritakan hal yang terkait dengan pantangan karena mertua beliau mengajarkan dan menyuruh untuk menjauhi pantangan­pantangan tersebut ketika beliau mengandung anak­anaknya. Berikut cerita ibu M.

”Ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh ibu hamil demi keselamatan kandungan dan kelancaran da­lam proses melahirkan. Waktu hamil, ibu hamil tidak boleh memakaikan sarung dari bawah ke atas, memakainya harus dari atas ke bawah agar bayi bisa keluar dengan lancar. Pada saat hendak dan selesai mandi, handuk tidak boleh dililitkan di leher selama kehamilan sembilan bulan, agar bayi pada saat lahir tidak terlilit plasenta, tujuan untuk keselamatan kelahiran. Ada juga larangan duduk di depan pintu, agar bayi lancar keluarnya tidak terhalang. Lebih baik duduknya di luar atau di dalam sekalian, tidak di tengah pintu.Tidak boleh memakan jantung pisang, bisa menyebabkan anak sakit jantung. Namun kata dokter, jantung pisang malah me­ngandung vitamin. Kata dokter jantung pisang dan ubi boleh dikonsumsi dan baik untuk kesehatan.Jangan makan daging anjing, agar anak perbuatannya tidak seperti anjing. Harus duduk di atas parang baru boleh makan anjing. Yang makan anjing bisa timbul penyakit. Harus yakin, karena keturunan bangsawan tidak makan anjing. Biasanya sehabis makan daging anjing, maka akan sakit, tidak sadar, gemetar, keluar air liur, dan pingsan (seperti ayan).Enam bulan kehamilan jangan terlalu banyak bekerja, namun setelah memasuki bulan ke­8 ke atas malah harus bekerja keras, bawa barang berat, mengepel, biar bayi cepat keluar.Ketika sesudah 3 bulan ke atas, dan memasuki bulan ke-9 di-larang tidur siang (jam 8-10 pagi), diyakini nanti bayi bisa sulit keluar, dan jangan banyak duduk, biasanya akan dioperasi caesar.”

Pada masa sekarang, ibu hamil sering tidak memperhatikan atau meng abaikan pantangan­pantangan tersebut sehingga sering terjadi gang guan kehamilan. Akibatnya banyak yang dioperasi caesar atau susah melahirkan.

Page 104: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

87

Masyarakat Toraja Sa’dan mengenal beberapa makanan dan ramuan tradisional yang harus dikonsumsi pada masa kehamilan, yang dipercaya dapat menguatkan kandungan dan melancarkan persalinan. Hal tersebut diceritakan oleh informan ibu M berikut ini.

”Mertua perempuan saya dulu memberikan makanan khusus sesuai tradisi Toraja untuk kehamilan muda kepada saya, setelah menikah kemudian mengandung 1­2 bulan, keluarga mem buat nasi ketan (sokko=dari ketan dan kelapa). Yang hamil mencicipi dulu, baru diberikan kepada seluruh anggota keluarga. Hal ini memiliki tujuan agar dengan memakan nasi ketan bisa membuat kehamilan muda yang masih rawan agar kuat hingga sampai saatnya melahirkan.Ada juga makanan yang dipercaya bisa untuk melancarkan kelahiran yaitu ekor belut (masappi), diambil pada malam Jumat, dipotong ekornya lalu dibakar, dan dimakan. Belut yang bersifat licin disimbolkan untuk harapan bisa memperlancar proses kelahiran.”

Berikut cerita pengalaman kehamilan oleh Ibu N yang baru melahirkan di fasilitas kesehatan, yaitu di Puskesmas Sa’dan Malimbong dan ditolong tenaga kesehatan serta diantar dan ditunggui oleh to’ mapakianak (bidan kampung/dukun beranak), yaitu Ibu S pada saat dilakukan penelitian ini.

”Pada masa kehamilannya, Ibu N masih mengerjakan pekerjaan ru mah sebagaimana halnya sebelum ia hamil. Terkecuali pada saat hamil muda ia berusaha untuk tidak melakukan hal-hal berat seperti mencuci atau mengangkat air. Setelah menginjak usia empat bulan ia kemudian sudah melakukan aktivitas sebagaimana biasanya, ia sudah mencuci pakaian anak dan suaminya meskipun katanya harus nyicil tiap harinya. Saran dari orang tuanya untuk tidak melakukan aktivitas yang berat­berat diindahkan karena ia berpikir pekerjaan rumah akan menumpuk jikalau ia tidak turun tangan. Alasan lainnya adalah sewaktu ia mengandung pertama iapun melakukan hal serupa dan itu tidak membuatnya sakit atau cedera. Me-nurutnya, dengan banyak gerak itu akan mempermudah proses persalinan karena otot­ototnya akan bisa rileks.””Sewaktu hamil pertama dan kedua ia menyerahkan sepenuh­nya pada dukun yang merawatnya. Bisa dibilang bahwa ham­

Page 105: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201288

pir tiap bulan ia sebisa mungkin “dipegang­pegang” oleh sang dukun. Dengan mempercayakan sepenuhnya ke dukun ia ke­mudian jarang memeriksakan kehamilannya di Puskesmas atau Bidan. Hanya dua kali memeriksakan kehamilan di Posyandu, dan satu kali di dokter spesialis kandungan di kota kabupaten karena pernah mengalami perdarahan saat mengandung anak keduanya tersebut.”

Ibu I yang juga seorang bidan, ketika hamil masih menggunakan tradisi­tradisi lokal, dengan melakukan yang diharuskan dan menghindari pantangan­pantangan, termasuk pengharapan agar persalinannya mudah dan mendapatkan jenis kelamin anak yang diinginkannya.

”Sewaktu hamil, ibu I, seorang bidan, hal­hal tradisonal terkadang dipraktikkan olehnya, misalnya untuk mempermudah proses kelahirannya pengetahuan akan larangan membuka sarung ke arah atas itu tidak dila kukannya pada saat mengandung anak pertamanya. Hal lain yang dilakukannya adalah pada saat kehamilan keduanya di saat ia mendambakan seorang anak laki­laki. Katanya untuk mendapatkan anak laki­laki se­bisa mungkin pada saat makan duduk di atas wase (kapak), mungkin karena bentuknya yang memanjang makanya wa se itu itu diduduki. Pengetahuan-pengetahuan seperti itu dida-pat kannya dari orang tua yang ada di sekitarnya. Lain halnya ketika menginginkan anak perempuan, Ibu I menjelaskan pa-da saat hamil pertama ia menginginkan anak perempuan ka­rena katanya anak perempuan akan menjaga orang tuanya kelak jika tua nanti. Selama ia hamil katanya, menurut orang-orang tua dulu untuk mendapatkan anak perempuan, jika menemukan kacang sambil berjalan kupas kulitnya begitupun ketika menemukan pisang buka kulitnya sambil berjalan.”

3.2.3 Persalinan dan Nifas

Dalam perawatan persalinan, masyarakat Toraja Sa’dan mengalami standar ganda antara penanganan tradisional dan medis, semua digunakan untuk saling melengkapi, asalkan ibu dan bayi dapat lahir dengan selamat. Bahkan petugas kesehatan pun melakukannya, untuk menangani proses persalinannya sendiri. Ibu I menjelaskan sebagai berikut.

Page 106: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

89

”Ibu I, pengalaman tiga kali persalinan, anak pertama lahir normal, anak ke­2 dan ke­3 operasi caesar. Melakukan urut pijat waktu selama kehamilan pada dukun beranak.

Anak pertama mengalami kesulitan melahirkan dari jam 5 pagi sampai jam 9 malam baru lahir. Dibawa ke RS Kabupaten, dirujuk ke RS lain di kabupaten yang sama, karena tidak ada dokter kandungan yang akan melakukan operasi di ke 2 RS tersebut, maka akan dirujuk ke Palopo di RS yang lebih besar. Namun sebelum itu dipanggilkan Nek Rt (dukun khusus untuk orang yang kesulitan melahirkan). Melakukan ritual tradisional di kamar RS, semua orang yang ikut menemani proses melahirkan Dv dilarang berpindah dari posisi masing­masing selama Nek Rt melakukan doa, doa yang diucapkan ke air dalam botol. Ketika selesai botol air tersebut didoakan kemudian diminumkan 3 kali kepada ibu I, dan diusapkan 3 kali ke perut. Tak lama kemudian setelah minum air dari nek Rt lahirlah Dv dengan berat 3,8 kg dengan normal, sebelum sempat dirujuk ke RS di Palopo.”

Keberadaan dukun laki­laki yang berfungsi menolong kelancaran kelahiran juga disebutkan oleh ketua adat setempat. Dukun laki­laki, yaitu Ne’ R, dianggap mumpuni di kalangan masyarakat Toraja Sa’dan. Ia sudah sejak lama menangani kelahiran yang sulit. Ketika seorang ibu kesulitan melahirkan maka dukun laki­laki ini sering dipanggil untuk mendampingi proses kelahiran, demi kelancaran kelahiran. Seorang informan bercerita sebagai berikut.

”Ada dukun laki­laki khusus untuk orang yang susah melahirkan. Ada di daerah Palung Tipu, cuma dikasih air saja maka sudah bisa melahirkan. Ada juga dukun beranak yang menangani urut kehamilan.”

Makanan dan ramuan tradisional yang dimakan dan diminum pada masa persalinan dan pascamelahirkan dalam kepercayaan adat masyarakat Toraja memiliki makna dan tujuan tertentu. Makanan dan ramuan ini diketahui dan dilakukan oleh beberapa ibu hamil dan melahirkan. Beberapa makanan atau ramuan juga diberikan oleh to mappakianak (dukun bayi) yang sedang merawat kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan, seperti yang diungkapkan oleh Ibu M berikut ini.

Page 107: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201290

”Untuk ibu yang hendak melahirkan diberi minum ramuan dari ari­ari kucing yang melahirkan pada malam Jumat. Pada malam Jumat, diambil tawwani serre’ (ari­ari kucing) dan air ketubannya dikeringkan, diberikan minum kepada yang hen­dak nadale (melahirkan). Yang memberikan ramuan adalah to’ map pakianak (dukun beranak). Juga dengan harapan untuk melancarkan kelahiran.”

”Sesudah melahirkan meminum air daun lombok (lada bani) tiga lembar dimasak, biar darah yang membeku di dalam ber­sih, dan membunuh kuman pada masa nifas (mak baturara). Diminum selama tiga hari setelah melahirkan. Ada juga pisang mengkal dimasak, supaya jangan sakit perut setelah melahir­kan. Pisang dibikin seperti pisang goreng di pasar. Pisang de-ngan kulitnya (punti sanggara) dimasak dengan air, airnya di­minum satu jam setelah melahirkan. Tujuan sama, agar tidak terjadi sakit perut setelah melahirkan. Selain itu kuncup­kun­cup bunga tabang (kamboja merah), 3 lembar kuncup bunga ditambah beras 3 biji direbus, diminumkan agar darah­darah mengering. Tujuannya agar menghilangkan darah kotor seha­bis melahirkan. Dan untuk melancarkan ASI makan sayur daun ubi, tapi jangan terlalu banyak, bisa menyebabkan sakit maag. Sayur dengan zat besi tinggi, daun ubi dan pakis.”

Ada beberapa ritual yang juga harus dilakukan ibu baru melahirkan dan bayinya untuk mengusir roh­roh jahat yang dianggap akan mengganggu bayi baru lahir dan ibu hamil. Masyarakat Toraja Sa’dan mempercayai bahwa ibu hamil dan bayi baru lahir berbau harum, yang menarik roh­roh jahat untuk mengganggu sehingga bisa menyebabkan sakit atau kemalangan (kematian). Ibu M menceritakan sebagai berikut.

”Ibu baru melahirkan harus menghamburkan garam, cuka, daun jeruk besar ditaruh di samping rumah supaya harum dan barang­barang halus keluar. Dan sebisa mungkin kasih nyala api di luar, untuk yang sudah hendak melahirkan. Dan untuk perawatan ibu bisa mengunyah kariango, untuk sakit perut disembur ke pusarnya. Juga minum air mentah dari daun talas untuk orang yang mau melahirkan, dibasuhkan juga dari atas ke bawah, tidak boleh dari bawah ke atas agar proses melahir­kannya lancar.”

Page 108: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

91

Berikut cerita pengalaman persalinan oleh Ibu N yang baru melahir-kan di fasilitas kesehatan, Puskesmas Sa’dan Malimbong, yang ditolong oleh tenaga kesehatan, dan diantar dan ditunggui oleh To’ Mapakianak (bidan kampung/dukun beranak) pada saat penelitian ini dilakukan.

”Ibu N, persalinan keduanya akhirnya diserahkan ke bidan. Hal ini diakibatkan karena adanya saran dari dukun yang me­rawatnya di akhir usia kehamilannya. Pada saat persalinan anak pertamanya ia dibantu oleh dukun beranak yang merupakan keluarganya sendiri yang bernama Ma’ G. Namun pada persalinan keduanya ini, berhubung Ma’ G sedang berada di luar daerah dan kemungkinan besar tidak bisa berada pada saat persalinan akhirnya Ma’ G menyarankan kepada ibu N untuk meminta dukun lain untuk membantunya. Atas usulan Ma’ G ia kemudian menyarankan Ma’ S untuk membantu per­salinan Ibu N. Ma’ S sendiri masih merupakan keluarga dari Ibu N dan juga merupakan keluarga dari Ma’ G. Dikarenakan Ma’ S adalah dukun beranak terlatih yang merupakan mitra bidan akhirnya Ibu N dirujuk ke Puskesmas Malimbong untuk persalinan. Menurut Ibu N, Ma’ S yang menyarankan ia mela­hirkan di Puskesmas karena Ma’ S tunduk pada peraturan yang berlaku sekarang, bahwa dukun tidak boleh membantu se-penuhnya persalinan tanpa sepengetahuan bidan atau dokter.

Ibu N akhirnya dirujuk ke Puskesmas dua hari sebelum ia melahirkan. Ia ditemani oleh suami, mertua, tante, sepupu, dan tentunya Ma’ S sebagai dukun yang dipercayainya untuk membantu persalinannya. Sebagaimana prediksi Ma’ S sehari sebelum Ibu N melahirkan, akhirnya tengah malam Ibu N menjalani proses persalinan anak keduanya. Ia melahirkan seorang bayi laki-laki dengan selamat meskipun harus melewati proses panjang untuk sampai pada bukaan terakhir.”

Untuk perawatan pascamelahirkan, masyarakat Toraja Sa’dan biasan-ya memilih untuk pulang ke rumah ibunya (orang tua sendiri) agar mem-bantu perawatan bayi dan dirinya selama belum kuat melakukan aktivitas berat. Seperti halnya yang dilakukan Ibu N, diceritakan berikut ini.

”Semenjak pulang dari melahirkan di Puskesmas Ibu N tinggal di kediaman orang tuanya, karena masih belum merasa kuat.

Page 109: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201292

Pada hari ke-4 setelah melahirkan, tidak ada perawatan khusus untuk ibu­bayi yang baru lahir. Hanya menggunakan selendang panjang untuk membebat perut biar tidak ke mana-mana. Setelah enam hari tidak dipakai lagi.”

Terkait dengan to’ mapakianak (bidan kampung/dukun beranak), Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara sudah melakukan program dukun mitra untuk meminimalkan persalinan yang ditolong oleh dukun beranak. Di Kecamatan Sa’dan sendiri, Puskesmas Sa’dan Malimbong sudah melakukan pelatihan kemitraan kepada 15 dukun beranak yang ada di wilayah Sa’dan.

”Dukun mitra yang membantu mengantar persalinan di fasilitas kesehatan mendapat kompensasi uang dari dinas kesehatan setempat sebesar Rp50.000,00 s.d. Rp100.000,00, sesuai de­ngan kesepakatan yang ditandatangani dukun sebagai mitra bidan.”

Persalinan Risiko Tinggi

Pandangan masyarakat Toraja Sa’dan mengenai persalinan yang su-lit, yang mungkin berisiko terhadap kematian ibu dan/ atau bayi, terkait de ngan dunia batin orang Toraja Sa’dan yang memiliki falsafah hidup yang berlandaskan ajaran Aluk Todolo. Mereka meyakini keseimbangan hubungan manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan alam. Karena menganut pada konsep keseimbangan, setiap kemalangan yang diderita akan dirujukkan pada pencarian keseimbangan dalam dunia diri dan dunia kosmosnya. Dalam hal persalinan sulit yang berisiko tinggi terhadap kematian maka mereka akan menghubungkannya dengan hal­hal yang terkait dengan pelangga-ran pantangan­pantangan dalam pemahaman logis pada keseimbangan dunia diri dan dunia kosmosnya.

Cerita tentang persalinan yang menyebabkan kematian bayi diceri­takan oleh salah seorang informan, yakni Ma’ R, yang pernah kehilangan bayinya berikut ini.

”Saya pernah hamil meninggal bayinya waktu hamil tujuh bulan. Tiba-tiba saja keluar bayinya, karena saya dari sungai di atas jam enam sore. Setelah pulang dari sungai langsung merintih kesakitan, padahal sebelumnya tidak dirasa ada tanda apa-apa. Kemudian langsung, tiba-tiba lahiran. Bayinya laki-

Page 110: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

93

laki tapi mati, waktu itu ditolong sama sepupu saya, tidak ke RS atau Puskesmas, hanya seperti lahiran biasa. Yang sekarang ini [anaknya yang sekarang berusia tiga bulan] waktu hamil saya ga berani lagi ke sungai di atas jam empat sore.”

Kesulitan melahirkan juga dikaitkan dengan istilah air, mengingat Sungai Sa’dan sebagai sumber kehidupan bagi orang Toraja Sa’dan. Seperti istilah rindu wai (kembar air), yang mempunyai arti pada saat melahirkan bayi, yang keluar menyertai bayi adalah air yang banyak disertai rasa sakit. Hal ini juga disebabkan oleh ibu hamil yang melanggar pantangan untuk tidak mandi pada malam hari atau ke sungai pada malam hari, seperti yang diungkapkan Ibu S berikut ini.

”Saya juga pembukaannya karena kurang jalan waktu melahir­kan sakit keluar air sedikit sedikit sebelum air ketuban keluar, kalau orang kampung bilang rindu wai rasanya sakit sekali, mungkin waktu hamil mandi malam. Seperti saya tadi malam kalau sudah itu keluar baru enak sakitnya hilang.”

Persalinan lain yang berisiko kematian bayi pernah terjadi, namun disebabkan oleh faktor kelelahan, dengan pembenaran medis, seperti yang diceritakan oleh Ibu Y yang pernah melahirkan dengan bayi yang meninggal di Rumah Sakit Kabupaten karena eklampsia.

”Umur lima bulan diopname tiga malam di rumah kemudian keluar darah lagi kemudian ke dokter kandungan tapi kata dokter kandungan baik bayinya tapi keluar darah ditakutkan letak plasenta di bawah. Biasanya tensinya normal sehari­hari waktu hamil pertama juga tensinya normal mungkin karena kecapekan karena di atas sini ada pesta (orang mati) siang malam nggak tidur. Hamil, terakhir haid bulan ke-9. 1-5 bulan ndak rasa apa­apa nggak pusing nggak capek, tekanannya normal tensinya paling tinggi 140. Bulan ke-5 ada pesta, ba-nyak orang belanja ke warung saya, jadi kurang tidur, paling tidur hanya 1 jam kalau siang bantu keluarga, capek lagi nggak tidur siang nggak tidur malam. Bulan ke-5 tensi terus naik. Karena pesta sorenya pusing ke dokter tensi 200. Kemudian be­soknya bantu lagi tetangga capek. Menurut dokter janin tidak berkembang akibat mengalami preeklamsi dengan tekanan darah tinggi 210/110.”

Page 111: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201294

Di daerah dengan kondisi geografis yang sulit, ketika ada ibu bersalin yang kesulitan melahirkan akan ditandu oleh warga masyarakat menuju puskesmas. Dari puskesmas akan dirujuk ke rumah sakit di kota kabupaten. Seperti yang diungkapkan oleh informan A, yang pernah bekerja di daerah Sa’dan Ulusalu.

”Saya bekerja di atas karena memasang turbin air untuk pa­sokan listrik, banyak dukun beranak di sana karena jauh dari sarana kesehatan. Masyarakat di atas punya pengobatan sendiri dengan daun-daunan, seperti daun kayu. Kalau ada persalinan yang sulit maka penduduk di atas membuat tandu, dan ibu dibawa turun ke sini (puskesmas), dan kalau tidak bisa ditangani akan dibawa ke RS oleh puskesmas.”

3.2.4 Menyusui

Sebagaimana masyarakat lain, orang Toraja Sa’dan juga menyusui bayi baru lahir dengan Air Susu Ibu (ASI).

3.2.4.1 Cara Menyusui

Menurut informan Ibu R dan Ibu K, menyusui bayi untuk pertama kalinya harus air susu yang bersih yang berwarna putih. Jadi, air susu yang keluar berwarna kuning dianggap kotor, harus dibuang dulu, diperas sampai keluar warna putih, barulah disusukan kepada bayinya. Hal ini berbeda dengan anggapan medis bahwa air susu pertama kali yang keluar berwarna kuning yang mengandung kolostrum adalah susu yang menyehatkan karena mengandung zat­zat pendukung imunitas untuk menjaga daya tahan tubuh bayi dari serangan penyakit.

3.2.4.2 Lama Pemberian ASI

Dalam kasus Ibu N, ASI diberikan kepada anak pertama sampai anak keduanya lahir. Jarak anak pertama dan anak kedua adalah dua tahun, tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Berikut cerita Ibu N.

”N (2 tahun) dan adik barunya memperoleh ASI. Ibu N berhenti memberikan ASI untuk anak pertamanya, N, saat kehamilan anak keduanya sudah semakin besar.”

Pemberian ASI kepada anak­anak di Toraja Sa’dan secara tidak langsung merupakan KB alamiah yang tidak disadari oleh para ibu, dalam pengaturan jarak kelahiran. Jarak usia anak­anak yang dilahirkan oleh

Page 112: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

95

beberapa ibu di Toraja Sa’dan rata­rata berkisar antara 2­3 tahun, dan selama itu ibu terus menyusui anak-anaknya.

3.2.4.3 Perawatan Payudara dan Cara Melancarkan ASI

Ibu­ibu di Toraja Sa’dan mengetahui cara alami membuat ASI lan­car. Mereka mengonsumsi sayur­sayuran yang memang dalam menu ke seharian sudah mereka konsumsi. Demi memperlancar ASI, mereka mengonsumsi sayur­sayuran dalam jumlah yang lebih banyak dan/atau lebih sering. Selain itu juga melakukan beberapa pantangan untuk tidak makan jenis makanan tertentu, untuk mendapatkan kualitas ASI yang baik. Njo’ R menjelaskan sebagai berikut.

”Seluruh anaknya diberi ASI. Kalau ada orang yang tidak keluar ASI-nya adalah yang tidak makan hangat-hangat. Kata Njo’ R bahwa agar ASI keluar lancar harus makan hangat­hangat, dan payudara harus dikompres dengan air hangat. Masak sayur-sayur hangat, seperti daun singkong, direbus daunnya dan diminum airnya. Tidak makan daun yang pahit-pa hit, nanti ASI­nya pahit. Tidak makan daun kangkung, membuat badan menjadi lemas.”

Tips agar produksi ASI lebih banyak, makan sayur banyak­banyak. Sayur buah pepaya baik untuk ibu yang menyusui biar produksi ASI jadi lancar. Selain sayur pepaya, saya biasa mengonsumsi sayur yang ada dan mudah diperoleh, seperti sayur daun ubi (yang memang ditanam untuk keperluan ma­kanan babi.)

3.2.4.4 Pandangan tentang Makanan Pendamping ASI dan/atau Susu formula

Susu formula bagi keluarga yang memiliki bayi dianggap sebagai sesuatu yang bagus, namun bagi sebagian keluarga dengan kondisi ekonomi kurang susu formula tidak terbeli. Oleh karena itu, ibu yang tidak memiliki dana untuk membeli susu formula untuk bayinya akan berusaha keras agar ASI­nya bisa berproduksi dengan lancar untuk memenuhi kebutuhan bayinya. Usaha keras yang dilakukan yaitu dengan melakukan perawatan payudara dan memakan sayur­sayuran agar dapat membantu memperlancar keluarnya ASI. Selain itu, ada anggapan di kalangan warga bahwa ibu yang tidak bisa menyusui bayinya sendiri akan menghasilkan

Page 113: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201296

bayi yang lemah dan gampang sakit­sakitan. Dijelaskan oleh ibu K berikut ini.

”Saya mi kalau ada uang cukup untuk beli susu kaleng akan saya beli untuk anak saya seperti ibu-ibu mi yang ekonominya cukup seperti di televisi (iklan susu formula). Karena itu saya mi cukup kasih ASI saja buat anak­anak saya, biar ASI­nya banyak saya kasih makan sayur-sayuran seperti kata orang tua-orang tua kita dulu. Sebagai ibu juga harus bisa menyusui anaknya sendiri, biar bayinya kuat dan gak gampang sakit­sakitan.”

Sementara, makanan tambahan selain ASI, secara tradisi sudah di-berikan pada saat bayi baru lahir, seperti meminumkan sedikit seduhan kopi untuk mengeluarkan lendir­lendir bayi pada saat baru lahir. Diceritakan oleh Ibu M berikut ini.

”Minum kopi tanpa gula untuk ibu dan bayi, biar keluar semua lendir-lendir. Air kencing bayi diminumkan ke bayi, agar tidak kena “mata tinggi” (mata melihat terus ke atas, seperti step), dan lendir-lendir bisa keluar, diminumkan tiga kali.”

Ada bayi berumur tiga bulan sudah diberi bubur, karena si ibu kha-watir kalau­kalau bayinya kelaparan karena ASI yang diberikan dianggap tidak mencukupi. Ma’ R menjelaskan alasannya berikut ini.

”Anak saya, saya beri ASI, susu formula, dan bubur bayi tam­bahan, karena saya melihat kalau ASI saja sepertinya anak saya yang sudah berumur tiga bulan tidak cukup untuk kebutuhannya. Anak saya lahir di rumah sakit di Jakarta, kami pulang ke Toraja ketika anak saya berumur sebulan. Untuk merawatnya saya dibantu oleh keponakan saya yang masih kelas 5 SD.”

Namun petugas kesehatan yang sudah terpapar pengetahuan ten­tang ASI eksklusif memberikan kepada anak­anaknya ASI eksklusif selama enam bulan, seperti yang diceritakan Ibu I berikut ini.

”Dv itu pake ASI sampai umur sembilan bulan, anakku itu, saya tidak kasi susu botol, kecuali kalo saya mau sapi, baru saya kasi susu botol. Disapi, dipisahkan (nakua ma’sarakki), lepas dari ASI, jadi Dv pas sembilan bulan, saya mau ke Palopo kembali baru saya kasi. Kalo Dn tujuh bulan, tujuh bulan baru minum

Page 114: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

97

susu botol. Bubur kalo enam bulan ke atas mi saya kasi mi bubur mi. Waktu Dv empat bulan ke atas, bubur mi.”

3.2.5 Neonatus dan Bayi

Bayi baru lahir yang belum memiliki nama biasanya dipanggil dengan sebutan Bato’ untuk bayi laki-laki dan Lai atau Laili untuk sebutan bayi perempuan, sampai sang bayi memiliki nama sendiri.

Perawatan tradisional untuk bayi baru lahir yang masih dilakukan oleh beberapa anggota masyarakat Toraja Sa’dan di antaranya adalah meminumkan kopi. Selain itu juga meminumkan air kencing bayi baru lahir untuk mengeluarkan lendir. Ada juga yang menyematkan rimpang kariango di baju bayi untuk menghindarkan dari gangguan makhluk halus karena bayi masih berbau harum. Diceritakan oleh ibu M berikut ini.

”Saat ibu baru melahirkan bayi disarankan minum kopi tanpa gula untuk ibu dan bayi, biar keluar semua lendir­lendirnya. Baik lendir yang ada di perut ibu, maupun lendir yang ada dalam pernapasan bayi akibat proses kelahiran. Ada juga yang mengharuskan air kencing bayi diminumkan ke bayi, agar tidak kena “mata tinggi” (mata melihat terus ke atas, seperti step), dan lendir-lendir bisa keluar, diminumkan tiga kali. Selain itu juga menaruh rimpang kariango (semacam tanaman bangle yang ditaruh di peniti dibungkus kain, disematkan ke baju orang yang sedang hamil dan bayinya (ketika sudah lahir). Untuk mencegah gangguan makhluk­makhluk halus. Bayi yang baru lahir (berumur 1­3 bulan) biasanya berbau “harum” untuk makhluk halus.”

Semua pengetahuan mengenai perawatan tradisional bayi baru lahir didapatkan dari orang­orang tua yang selalu mengajarkan tentang apa yang harus dan pantang dilakukan. Pengetahuan tersebut lebih sering datang dari orang tua yang dianggap memiliki kelebihan dalam pengobatan dan perawatan bayi, yang bisa juga berprofesi sebagai pengobat tradisional atau to mappakianak (bidan kampung). Ibu M menceritakan sebagai ber­ikut.

”Almarhumah ibu mertuanya, dan juga suaminya adalah peng­obat yang masih menggunakan obat­obat tradisional yang didapat di alam, dan ramuan biasa didapatkan dari mimpi, bukan magis. Seperti minyak goreng yang dibuat sendiri untuk

Page 115: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 201298

bahan oles, untuk mengobati anak yang sakit almarhum ibu mertua turun ke berbagai sumber air (sumur) digunakan sebagai obat, daun pisik, daun palan untuk panas (gomang=putih di lidah).”

Perawatan bayi baru lahir yang dilahirkan di sarana kesehatan (pus­kesmas setempat) juga masih bernuansa tradisional/lokal, meskipun dilakukan sesuai standar medis. Seperti yang tampak di Puskesmas Sa’dan berikut ini.

”Tampak bayi berada di bawah, digulung dengan selimut, dan tidur dalam posisi dimiringkan. Dan ibu bayi duduk bergelesot di samping bayinya, ditemani oleh suami dan A (anak sekolah yang membantu di rumah). Ibu, ayah, dan si bayi tampak keli­hatan baik dan segar bugar. Hanya A yang duduk bersandar di tembok tampak terlihat kuyu dan kurang tidur (kelihatannya A yang paling disibukkan dalam proses kelahiran ini, daripada yang lainnya).

Si ibu sudah bisa duduk bersila di bawah, tidak tampak seperti habis melahirkan, sudah mengenakan celana 3/4, dan terlihat cerah, seperti sudah istirahat dengan cukup.

Datanglah para nenek untuk menjenguk si bayi yang baru berusia sehari tersebut (Nek B, Nek E, Mak A), menyambut anggota keluarga baru keturunan tongkonan leluhur.

Bidan I, yang juga masih sepupu, memberikan vaksin hepatitis kepada sang bayi. Saat selimut dibuka si bayi tubuhnya meng­gigil kedinginan. Kemudian disuntikkan vaksin, bayi pun menangis. Bidan I menenangkan si bayi dengan bujukan su­paya si bayi diharapkan kuat terhadap udara dingin di To­raja. Kemudian dengan dibungkus selimut saja bayi pun diam kembali, dan dibaringkan miring kembali.

Peralatan kelahiran, hanya terlihat botol susu formula yang terbuka masih ada susunya tergeletak juga di bawah. Ada termos, dan sedikit tas keperluan pakaian. Di kaki meja ada sebotol anggur untuk orang melahirkan. Sementara A di ujung ruang tersebut tetap kuyu dan lelah.”

Page 116: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

99

3.2.5.1 Perawatan Bayi Baru Lahir, antara Tradisi dan Modern

Keluarga muda modern (sudah mendapat pengaruh pendidikan dan hubungan dengan pihak lain), seperti Ma’ S dan Pak S, juga masih menggunakan beberapa tradisi suku dan agama dalam hal perawatan bayi baru lahir, seperti menyematkan rimpang kariango di baju bayi dan juga ada pembaptisan. Ada beberapa tradisi yang sudah ditinggalkan dengan alasan kepraktisan dan sesuai anjuran puskesmas dan dinas kesehatan, seperti tidak melahirkan di rumah namun di fasilitas kesehatan. Seperti dijelaskan oleh Ma’ S berikut ini.

”Anak ke­3 Ma’ S adalah seorang laki­laki yang lahir pada pertengahan Mei 2012, dengan berat 3,1 kg, di puskesmas. Suatu hari peneliti mengunjungi lagi bato’ yang sudah diberi nama Tr dan sudah berumur 10 hari.

Akan dilakukan pembaptisan apabila nanti berbarengan de-ngan ibadat syukur di gereja pada saat panen padi. Untuk si kakak dan adiknya bapak dan ibu baptis adalah orang tua si anak sendiri. Bapak dan ibu baptis bisa orang lain apabila orang tua si anak belum melakukan pemberkatan nikah.

Bayi Tr di bajunya disematkan kariango yang disemat dengan peniti, dengan tujuan untuk menghalau gangguan makhluk-makhluk halus. Kariango yang digunakan bayi Tr adalah kari­ango bekas milik kakaknya yang kebetulan ditemukan lagi dan belum terbuang dan masih disimpan oleh Mama’ S. Sementara, milik anak pertama pasangan ini, yang meninggal pada saat masih balita karena sakit tidak ada lagi.

Ma’ S yang bekerja di lingkungan kesehatan, cuti 3 bulan karena melahirkan. Tidak ada pemeriksaan lanjut pascapersalinan, hanya menunggu posyandu di puskesmas tanggal 21 bulan depan. Dan vaksin hepatitis yang diberikan pada saat hari per-tama bayi Tr lahir tidak diketahui vaksin apa yang diberikan kepada anaknya. Hanya tahu bahwa vaksin itu diberikan ke­pada bayi sesaat setelah kelahirannya.

Tali pusat bayi Tr sudah lepas pada hari keenam setelah ke­lahirannya. Disimpan dalam plastik disatukan dengan tali pusar milik kakaknya S, dengan harapan antara kakak dan adik saling menyayangi.

Page 117: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012100

Mama’ S masih kebingungan setelah habis cuti 3 bulan siapa yang akan mengasuh. Kalau ada pembantu akan pindah ke kota kabupaten karena pekerjaan keduanya berada di kota, namun masih belum tau bagaimana nanti saja. Di Sa’dan Malimbong adalah rumah mertuanya. Menurut Ma’ S, sekarang melahirkan tidak boleh lagi di rumah, harus di fasilitas kesehatan, minimal di puskesmas.”

3.2.5.2 Perawatan Ari-Ari

Masyarakat Toraja Sa’dan memiliki tradisi perawatan ari­ari dengan cara ditanam di dalam tanah atau digantung di pohon enau. Dalam pe­rawatan ari­ari, menurut keterangan tiga informan (Po’ M, Ma’ M, dan Nek T) ada yang dicuci dulu, ada yang langsung dibungkus. Ari­ari dibungkus dengan daun enau, ada yang dibungkus dengan baju ayah atau ibunya, dengan harapan ada ikatan kasih sayang di antara orang tua dan anak. Kemudian ari-ari dimasukkan ke dalam anyaman bambu atau ke dalam kaleng bekas susu, kemudian digantung di atas pohon enau. Keluarga yang memiliki bayi, yang ari­arinya digantung di pohon enau maka me­reka, khususnya ayah si bayi, tidak akan meminum ballo yang disadap dari pohon tersebut. Hal tersebut merupakan pantangan, karena bagian dari anaknya berada di pohon tersebut, untuk kelancaran hidup si bayi. Tradisi perawatan ari­ari yang digantung di pohon juga bertujuan agar ari­ari tidak diganggu oleh anjing atau binatang buas lainnya.

Perawatan ari­ari yang ditanam dalam tanah, dilakukan dengan cara yang sama, yaitu dibungkus dan dimasukkan ke dalam anyaman bambu atau kaleng bekas susu. Kemudian ari­ari ditanam di halaman, ditimbun, dan ditimpa/diberati dengan batu, kemudian diberi pagar bambu di se­kelilingnya. Tujuannya sama, agar tidak diganggu anjing atau hewan liar lainnya. Ari­ari ditanam bersama dengan buku, pulpen, kamus, uang, dengan harapan agar anak menjadi pintar dan bisa mencari uang. Ada juga ari­ari yang dibungkus dengan baju dalam bapaknya, dengan harapan agar lengket dengan bapaknya (ada ikatan kasih sayang antara anak dengan orang tua).

3.2.6 Anak Balita

3.2.6.1 Perawatan Anak Balita

Dalam pola makan untuk anak balita tidak ada batasan khusus, apa yang harus dan apa yang tidak boleh dikonsumsi balita. Cerita pengalam­

Page 118: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

101

an informan terkait hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh ibu I ber­ikut ini.

”Sebagian anak balita yang dijumpai selama penelitian ini di-lakukan, tidak satu pun yang terlihat terkekang dalam hal me-ngonsumsi makanan. Seorang anak dengan serta merta bisa mengonsumsi jajanan, bahkan tidak sedikit orang tua yang dengan sengaja membelanjakan uangnya un tuk membelikan jajanan, seperti permen atau makanan ringan yang secara kesehatan kurang dianjurkan dikonsumsi oleh seorang anak da lam masa pertumbuhannya. Proses pembelajaran untuk mengonsumsi makanan yang bergizi secara sepintas tidak terekam dalam keseharian pola pengasuhan anak di Sa’dan Malimbong ini, meskipun secara sadar para orang tua merasa hal yang dilakukannya itu bertentangan dengan pengetahuan kesehatan (gizi). Dalam hal mengonsumsi permen, misalnya, ibu I, seorang ibu yang memiliki latar belakang pendidikan medis sangat jarang memberikan larangan kepada anaknya yang masih balita untuk mengonsumsi permen. Menurutnya itu tidak akan merusak gigi sepanjang seorang anak yang mengonsumsi permen diajarkan untuk menggosok giginya setelah mengonsumsi per­men tersebut. Lebih lanjut ibu I berpendapat, sepanjang me­ngonsumsi jajanan itu tidak mengganggu pola makan sehari-hari anak itu tidak masalah. Hal yang paling ibu I anjurkan kepada anaknya adalah silakan mengonsumsi jajanan selama perut tidak kosong.”

Di daerah Toraja Sa’dan, perawatan anak balita pada umumnya sudah tidak menjadi tanggung jawab ibu sepenuhnya. Namun perawatan dan pemeliharaannya dibagi dengan kakak­kakak yang lebih tua. Untuk keluarga yang memiliki anak sekolah atau pia­pia (istilah untuk anak­anak yang membantu dalam suatu keluarga dan disekolahkan oleh keluarga yang ditempati), tanggung jawab perawatan anak balita dibantu sepenuhnya oleh anak sekolah/pia-pia.

Anak usia sekolah, bahkan yang masih kecil sudah terbiasa mengasuh bayi atau balita yang lebih muda darinya. Peneliti pernah menjumpai anak kecil yang belum genap tujuh tahun sudah menggendong adiknya yang berusia satu tahun pergi ke Posyandu bersama ibunya yang sedang hamil (Gambar 3.18).

Page 119: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012102

Gambar 3.18. Tanggung jawab anak yang lebih besar terhadap perawatan balita (adik dan/atau anak asuhnya).

(Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

3.2.6.2 Tradisi Sunat di Toraja Sa’dan

Tradisi sunat berlaku hanya untuk anak laki­laki, dengan alasan kesehatan dan kebersihan. Namun, metode menyunatnya agak berbeda, tidak dipotong kulitnya melainkan hanya di gunting vertikal, dilipat ke atas kemudian dijahit. Menurut bidan setempat, metode sunat seperti ini lebih baik karena saraf­saraf yang ada di sekitarnya tidak terpotong. Jika terpotong, menurut literatur yang pernah dibaca bidan tersebut, dapat mengakibatkan impotensi. Sunat dilakukan oleh petugas kesehatan di puskesmas atau dilakukan secara massal di desa tertentu, dengan men­datangi lokasi sunatan massal. Sunatan massal di desa dikenakan biaya Rp50.000,00 per orang. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya tenaga ke­sehatan di desa tersebut. Pada umumnya sunat dilakukan pada saat anak-anak sedang liburan sekolah. Sunat dilakukan pada usia anak sekolah SD kelas 4­5 atau saat anak berusia 10 tahun. Di Toraja tidak ada tradisi ataupun upacara yang dilakukan saat seseorang di sunat.

3.3 Perilaku Pencarian Kesehatan (Health Seeking Behavior)

Perilaku pencarian kesehatan pada masyarakat menurut Notoatmodjo (2003:179­208), ada beberapa hal, seperti berikut. 1. Tidak bertindak apa­apa (no action).2. Tindakan mengobati sendiri (self treatment).3. Mencari pengobatan ke fasilitas­fasilitas pengobatan tradisional

(traditional remedy).

Page 120: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

103

4. Mencari pengobatan dengan membeli obat­obat di warung obat (chemist shop).

5. Mencari pengobatan ke fasilitas­fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga­lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.

6. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diseleng­garakan oleh dokter praktik (private medicine).

Cara orang Toraja Sa’dan berperilaku dalam pencarian kesehatan sehari­hari, khususnya dalam pencarian kesehatan yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak bisa dijelaskan berikut ini. Secara umum orang Toraja Sa’dan menginginkan panjang umur dan sehat agar bisa mencari penghasilan sebanyak­banyaknya sebagai tabungan bila meninggal di kemudian hari, dan tanggungan membayar hutang keluarga kepada ke­luarga lain dalam upacara pesta rambu solo’. Ne’ P mengungkapkan berikut ini.

”Seperti yang diceritakan oleh seorang nenek berusia 81 tahun kepada peneliti bahwa, nenek bekerja untuk tabungan mati, keinginannya dengan mempunyai tabungan sendiri nenek tidak ingin memberatkan anak cucunya ketika kelak nenek meninggal dan diupacarakan rambu solo’.”

Sementara, bagi perempuan Toraja Sa’dan, persalinan atau melahirkan seorang bayi dianggap sebagai hal yang biasa­biasa saja. Kehamilan ada­lah sesuatu yang wajar terjadi dalam siklus kehidupan seorang pe rem­puan yang sudah menikah. Kehamilan akan dijaga, seperti dengan tidak melanggar pantangan­pantangan, rutin memeriksakan ke posyandu atau fasilitas kesehatan, dan rutin mengurut ke to’ mapakianak (dukun ber­anak) untuk mengetahui posisi dan jenis kelamin janin. Kemudian juga memeriksakan kehamilan tersebut ke dokter spesialis kandungan untuk mengetahui kepastian jenis kelamin bayinya. Sementara, keputusan untuk melahirkan bisa sepenuhnya berada di tangan ibu hamil itu sendiri atau oleh patron yang sangat dihormati dalam keluarga besarnya, apakah me­reka akan melahirkan sendiri di rumah atau di fasilitas kesehatan. Setelah bayi itu lahir, si ibu memutuskan kembali untuk membawa bayinya periksa ke posyandu setiap bulan dan mendapatkan imunisasi lengkap.

Page 121: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012104

Kepasrahan dan kepercayaan yang tinggi kepada Tuhan dan kuasa­Nya juga ditunjukkan orang Toraja Sa’dan, tidak terlepas dari kepercayaan terdahulu, yaitu Aluk Todolo, bahwa dalam semua hal selalu ada kese-imbangan dalam hubungan manusia dengan Yang Kuasa, dengan alam, dan dengan manusia yang lain. Konsep harmoni inilah yang dipercaya oleh orang Toraja Sa’dan. Sakit terjadi bila ada ketidakseimbangan natural dan bisa sembuh dengan menyeimbangkannya kembali. Termasuk melahirkan bayi, dianggap sebagai sesuatu yang alami. Si ibu bisa melahirkan sendiri bayinya atau dengan bantuan tenaga kesehatan atau bantuan yang lain, namun proses melahirkan itu sendiri adalah proses alami. Kekuatan untuk mengejan adalah kekuatan alami si ibu, dan semua dipercayakan kepada Yang Mahakuasa.

Dari keenam tingkatan pencarian kesehatan menurut Soekidjo di atas, orang Toraja Sa’dan melakukan semua tingkatan, baik secara terpisah atau bersamaan, bergantung pada derajat kesakitan yang bisa ditanggungnya. Kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan kepada tradisi lokal, kepercayaan terhadap diri sendiri, dan kepercayaan terhadap patron yang berpengaruh sangat mempengaruhi orang Toraja Sa’dan dalam pemilihan pencarian kesehatan yang dianggap sesuai dengan kebutuhannya. Sejalan dengan pemikiran Ray (2010) maka perilaku pencarian kesehatan juga dipengaruhi oleh banyak hal yang berkaitan dengan interaksi individu dengan individu atau masyarakat yang lain, dalam pemilihan cara pengobatan, pemaknaan rasa sakit, dan keputusan dalam mencari pelayanan kesehatan.

Page 122: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

105

BAB IV

KEPERCAYAAN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN

IBU DAN ANAK

Kepercayaan masyarakat Toraja Sa’dan terkait dengan obat­obatan, dokter, dan rumah sakit secara umum terungkap dalam percakapan de­ngan seorang kepala rumah tangga, Po’ W, di sebuah desa di wilayah Sa’dan sebagai berikut.

”Ide-ide dokter kota kurang masuk, seperti kata mereka (dokter) ketika di Toraja masuk bulan Juli-Agustus di musim orang pesta katanya banyak penyakit darah tinggi, buktinya di sini tidak ada yang sakit itu.

Justru terlalu banyak obat dari dokter bisa tambah sakit, dan bisa stroke. Obat rumah sakit yang didapatkan biasanya dibuang, seperti waktu pengalaman saya di Batam dulu. Karena dianggap merusak tubuh, orang yang sering ke RS jadinya kena stroke. Terlalu banyak obat di tubuhnya.”

Masalah kepercayaan juga melingkupi seorang petugas kesehatan terhadap pelayanan kesehatan yang lebih tinggi di tingkat provinsi, terkait dengan masalah kesehatan anggota keluarganya sendiri. Mereka masih kurang percaya dengan pelayanan dokter rumah sakit di ibukota provinsi di Sulawesi, karena dianggap sering mengoperasi orang dengan coba­coba. Hal ini diungkapkan dengan sangat terbuka oleh Ibu D, seperti berikut ini.

”Ibu D menceritakan bahwa suaminya pernah mengalami sakit otot kejepit. Periksa di suatu rumah sakit di ibukota provinsi. Dokter di sana mengharuskan untuk operasi, diomongkan lang sung ke suaminya tentang kondisi itu oleh dokter tanpa

Page 123: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012106

didampingi anggota keluarga. Lalu suaminya menelepon Ibu D terkait hal tersebut. Jelas Ibu D langsung tidak setuju, ka-rena istri atau keluarga yang harus menandatangani surat persetujuan operasi, bukan pasien yang bersangkutan sendiri yang harus menandatangani. Langsung saja Ibu D meluncur ke RS untuk membatalkan niat dokter tersebut. Karena dia khawatir kalau hal tersebut dilakukan pasti lumpuh suaminya. Karena menurutnya dokter­dokter di kota provinsi suka men­coba-coba, tidak menggunakan SOP operasi. Orang sakit di-buat coba­coba.”

”Ibu D pernah mendengar cerita bahwa di sana juga pernah coba-coba buka otak pasien tapi gagal, matilah pasiennya. Akhirnya diputuskan oleh ibu D untuk dioperasi di rumah sakit di Jawa, di kota S yang memiliki dokter ahli bedah saraf yang terkenal. Di kota S, menurutnya, dokter dan perawatnya baik­baik dan sopan santun. Lembut dan menjawab semua yang ingin diketahui pasien dan keluarganya tentang perawatan yang sedang dijalani pasien. Sementara, kalau di RS provinsi, dokter memaksa pasien untuk memutuskan sendiri tindakan yang akan dokter ambil. Ibu D membayangkan kalau benar dioperasi di RS provinsi pasti lumpuh suaminya. Karena sebelum melakukan keputusan operasi dia berdoa dulu memohon untuk diberi keputusan yang terbaik untuk suaminya akan dioperasi di mana. Akhirnya hatinya lebih dimantapkan untuk membawa suaminya ke Jawa di kota S. Dan selalu berat kalau akan dioperasi di RS ibukota provinsi di Sulawesi.”

Terkait kesehatan ibu dan anak, banyak ibu sangat antusias hadir dan membawa anaknya ke posyandu yang diadakan sebulan sekali oleh pihak puskesmas. Posyandu diadakan dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 21, berkeliling ke lokasi di seluruh wilayah Kecamatan Sa’dan secara ber gantian. Dengan mengendarai sepeda motor beriring­iringan, para pe tugas menyeruak jalanan berlumpur, berbatu, dan terkadang harus ditempuh dengan jalan kaki untuk lokasi yang sulit ditempuh motor. Motor diletakkan di tempat terakhir jalan yang masih bisa dilalui, kemudian disambung dengan berjalan kaki bersama­sama dengan ibu­ibu yang juga sedang menuju posyandu. Sepanjang perjalanan, ketika sudah memasuki lokasi desa yang ditempuh, petugas akan selalu berteriak “posyanduuu!!!”

Page 124: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

107

kepada warga yang ditemui di sepanjang jalan dengan antusiasnya, untuk mengabarkan kedatangan mereka. Antusiasme petugas itu disambut dengan antusiasme ibu­ibu. Hal ini terlihat dari apa yang dikatakan oleh salah seorang informan, Ibu Y, berikut ini.

”Seorang ibu berumur 29 tahun mengaku, sebelumnya dia tidak pernah ke posyandu. Baru setelah kelahiran anak ketiga hingga anak kelimanya sekarang ia rajin ke posyandu. Katanya, tiga orang anaknya ini jadi lebih jarang sakit dibanding dua orang kakaknya. Penyakit yang sering diderita anaknya adalah demam, badan panas, dan berdahak.”

Adanya posyandu yang datang setiap bulan sebenarnya cukup membantu warga sekitar guna mengakses pelayanan kesehatan. Namun, jarak tempuh dan jalur yang sulit menuju lokasi membuat petugas kese­hatan kurang begitu maksimal dalam melakukan pelayanan, karena berkejaran dengan waktu, agar tidak terlalu malam di jalan dan tidak didahului hujan. Karena apabila hujan jalanan menjadi berlumpur dan rawan longsor batu­batuan maupun tanah lumpur. Sementara, kendaraan yang digunakan untuk mengakses ke lokasi kurang memadai untuk medan yang berat seperti itu, yang seharusnya dilalui oleh motor trail, namun petugas puskesmas memberanikan diri menggunakan motor bebek yang ada untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Jam 07.00 WITA pagi rombongan petugas posyandu bersiap melakukan pelayanan posyandu di wilayah Sa’dan, yang terjauh yaitu Sa’dan Ulusalu. Dari puskesmas berjarak sekitar 30 kilometer, namun jalanan yang harus dilalui menanjak dengan kondisi jalan yang agak sulit. Untuk sampai ke lokasi petugas memerlukan waktu hampir 4 jam, dengan menggunakan motor dan ditambah jalan kaki apabila jalanan menanjak dan berlumpur, dengan di kiri kanan jalan bertebaran sisa­sisa longsor sehabis terguyur hujan. Di wilayah Sa’dan Ulusalu tidak ada tenaga kesehatan dan juga sarana pelayanan kesehatan. Di sana hampir seluruh ibu, dalam proses persalinan, melakukan persalinan sendiri dengan dibantu oleh anggota keluarga dan/atau dukun beranak (to mappakianak). Pukul 11.00 WITA beberapa rombongan sudah sampai di lokasi yang merupakan sebuah rumah panggung, di dekat hulu Sungai Sa’dan. Dua rombongan kami tertinggal di belakang, sedang berjuang mencapai lokasi dengan berjalan kaki sejauh hampir tiga kilometer karena mengalami ban motor kempes, dan harus meninggalkan motor di lokasi kejadian, melanjutkan dengan

Page 125: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012108

jalan kaki naik ke atas. Namun pelayanan posyandu langsung dilaksanakan tanpa menunggu rekan yang tertinggal untuk mengejar waktu sebelum pukul 15.00 WITA, saat pelayanan harus diakhiri karena kondisi cuaca sedang mendung dan masih sering hujan.

Rumah panggung tersebut dipenuhi oleh ibu­ibu dan balita, warga masyarakat yang berobat, dan anak­anak kecil yang juga ikut menjaga adik bayinya. Antusiasme warga cukup besar dengan kehadiran para petugas posyandu di desanya (Gambar 4.19).

Gambar 4.19 Antusiasme warga dalam menghadiri Posyandu yang diadakan satu bulan sekali di Peawaran Sa’dan Ulusalu (kiri) dan Minanga Sa’dan Ballopasange (kanan).

(Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Posyandu juga menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengobati beberapa keluhan penyakit. Penyuluhan kader tentang gizi dilakukan de­ngan sangat cepat karena dibatasi oleh waktu. Pada pukul 13.00 WITA rekan petugas yang menempuh lokasi dengan berjalan kaki akhirnya sampai, lalu langsung melakukan pemeriksaan terhadap beberapa ibu hamil. Pukul 14.00 WITA semua pelayanan posyandu selesai, diakhiri dengan makan siang bersama, dengan bekal yang sudah disiapkan sebelumnya dan hidangan dari warga setempat. Sesudah selesai kami pulang, dan kepulangan ke puskesmas diiringi rintik hujan yang kemudian menjadi deras sehingga rombongan harus berteduh beberapa saat. Di tengah perjalanan kami juga sudah ditunggu oleh seorang bapak yang sedari tadi mengetahui bahwa saat itu adalah saat petugas kesehatan melewati rumahnya. Beliau menghadang kami karena ada anggota keluarganya yang sedang sakit, namun tidak bisa membawa ke puskesmas. Pemeriksaan dilakukan di

Page 126: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

109

rumah keluarga tersebut, disertai pemberian obat dan beberapa nasihat supaya anggota keluarga yang sakit menjadi sehat kembali. Pukul 16.00 WITA seluruh rombongan tiba kembali di puskesmas. Itulah salah satu rutinitas para petugas kesehatan di lini terdepan, untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Sa’dan. Mereka berharap ada perbaikan sarana dan prasarana kesehatan yang menunjang pelayanan kesehatan, seperti perbaikan akses, atau minimal kendaraan yang sesuai dengan medan sulit yang ditempuh setiap bulan untuk melakukan tugas­tugas dengan baik (Gambar 4.20).

Gambar 4.20. Perjuangan tenaga kesehatan mencapai salah satu lokasi posyandu. (Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Dalam hal melahirkan, kepercayaan dan kenyamanan secara psiko-logis (ketenangan, fokus dengan tindakan yang akan diambil, dan suasana tidak tertekan dalam proses kelahiran) juga menjadi pertimbangan bagi beberapa ibu sehingga memilih melahirkan sendiri bayinya di rumah daripada di sarana pelayanan kesehatan. Hal tersebut diungkapkan oleh Ibu K berikut ini.

”Tidak mau bersalin di rumah sakit, karena pengalamannya sewaktu menemani temannya bersalin di RS tidak menye-

Page 127: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012110

nangkan. “kubilang, aihh ... saya tidak mau memang ma me-lahirkan kalau di RS kalo begini, kita dimarah­marahi, diejek­ejek juga.” Perlakuan tenaga kesehatan terhadap ibu yang mau melahirkan tidak menyenangkan dan membuatnya takut. Ia menganggap bahwa justru perlakuan seperti itu yang membuat ibu yang mau melahirkan jadi stres dan persalinannya jadi se­makin sulit.”

Merasa lebih nyaman melahirkan kalau sendirian karena bisa tenang, tidak stres dan tidak banyak gangguan. Dia tidak tertarik melahirkan di rumah sakit dan tidak memanggil siapa pun termasuk bidan dan dukun untuk membantunya melahirkan karena merasa kuat dan bisa sendiri, kecuali kalau kandungannya bermasalah maka dia baru terpikir meminta bantuan orang lain, tapi sejauh ini tidak ada keluhan, prinsipnya tenang, kuatkan diri, berdoa dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Yang Mahakuasa.

Ma’ R, salah seorang informan yang lain juga menyatakan bahwa ketenangan dan kenyamanan dalam proses melahirkan sangat penting supaya dia bisa bisa berkonsentrasi dalam proses melahirkan itu sendiri.

”Dalam proses kelahiran Ma’ R lebih senang kalau tidak ada orang di sekitarnya, karena merasa lebih tenang dan lebih nyaman. Tetangga-tetangga juga tidak perlu tahu pada saat proses kelahiran anaknya, karena khawatir kalau tetangga tahu prosesnya mereka akan baku (terj. saling) cerita ke yang lain, bagaimana sedang kesakitan, berapa lamanya keluar bayi, kalau ada yang sedikit susah keluar akan dihubung­hubungkan dengan perilaku yang lain-lain. Pasti tidak menyenangkan mendengarkan orang­orang ribut di sekitar, bertanya ini itu, mengintip, melihat, suasana ramai justru membuat ibu yang akan melahirkan bayinya menjadi tidak tenang dan tidak bisa berpikir sendiri.”

Ada beberapa alasan ibu hamil di Toraja Sa’dan sedikit enggan untuk melahirkan di sarana kesehatan, meskipun sekarang ada Jaminan Persalinan (Jampersal) gratis, ditanggung pemerintah. Agar lebih jelas, peneliti mencoba menggambarkan suasana persalinan yang dilakukan seorang ibu dari wilayah Toraja Sa’dan yang datang untuk melahirkan di sarana kesehatan. Ibu H datang ke sarana pelayanan kesehatan dua hari sebelum

Page 128: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

111

kelahiran anaknya dengan menggunakan sebuah truk, diantar sebagian anggota keluarganya, yaitu suami, ibu, dan saudara perempuannya. Pada hari itu, Ibu H sudah merasakan kontraksi. Berikut adalah gambaran cerita proses melahirkan Ibu H di pelayanan kesehatan yang peneliti ikuti dari pagi hari hingga dini hari, hari berikutnya.

”Dari balik pintu kami mendengar Bidan A serius memandu persalinan Ibu H. Rupanya sudah hampir melahirkan. “bukaannya sudah sempurna tapi his­nya kurang” kata Bidan A. si pasien sudah sangat kuyu, telihat pucat, kelelahan setelah dua hari dua malam berkutat dengan kontraksi perutnya. Ia semakin gelisah, meminta ibunya memberinya minum, mengipasnya dan membasuhkan air ke jidatnya ... “malassu’na Mak ... malassu’...” katanya kepanasan. Bidan B juga sudah kelihatan lelah, dia tidak banyak biacara. Hanya Bidan C yang sedari tadi banyak berbicara, ia menegur Ibu H dan menyuruhnya berkuat, ia seperti ahli saja, ia mengomentari Ibu H yang katanya banyak tingkah. Ibu dari Ibu H jelas kelihatan tidak nyaman dan sesekali bergumam membela anaknya. Ibu H sudah sangat gelisah, sebentar minta berdiri, sebentar jongkok, terus baring lagi, terus duduk lagi. Bidan A dengan sabar memberinya arahan, kapan harus mengejan dan bagaimana cara mengejan yang baik. Ia berbicara dengan lembut namun tegas. Sambil memeriksa jalan lahir Ibu H, ia mengulang lagi arahannya tentang cara mengejan yang baik. Ia juga menyemangati Ibu H yang sudah mulai meringis kesakitan. Bidan A membebaskan si pasien mencari posisi melahirkan yang paling nyaman menurutnya. Ibu H pun menurut mengikuti arahan Bidan A.”

Karena Ibu H sudah sangat kelelahan dan tidak kuat lagi mengejan dan kontraksinya juga tidak terlalu kuat, Bidan A akhirnya memutuskan untuk memberikan injeksi, merangsang kontraksi, dan menggunting ping-gir jalan lahir si bayi. Ibu H dan ibunya menolak, tapi demi keselamatan bayi dan ibu, kata Bidan A, akhirnya pengguntingan tetap dilakukan.

”Detik-detik menjelang kelahiran si bayi, Bidan A meminta Ibu H berdoa memohon kekuatan dari Tuhan. Ia juga menenangkan diri sebentar lalu berdoa sebelum mulai lagi. “ya ... H ... kasi kuat dirimu, ikuti caraku nah ... kasi begini nanti kalau mengejan,

Page 129: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012112

jangan mengejan dulu kalo belum kontraksi ... nah ....” Bidan A memberi aba­aba sambil memperagakannya dengan ta­ngannya. Tak lama kemudian, dua kali mengejan akhirnya si bayi lahir, tepat pukul 01.00 WITA. Ternyata betul, terlilit tali pusarnya. Tangis kencang si bayi memecah ketegangan saat itu. Si bayi lalu diletakkan di perut ibunya. Dan para bidan lanjut membersihkan si ibu dan menjahitnya. Ibunya yang tadi terlihat lemas, bersemangat seketika begitu memegang bayinya. Sambil meneteskan air mata ia mengelus­elus kepala bayinya.

Begitu lahir, bayi diletakkan di perut ibunya, lalu digunting tali pusar nya. Bidan A membagi peran, dia memandu persalinan, Bidan B membantu ibu H, dan Bidan C bertugas menggunting tali pusar dan membantu Bidan A menjahit bekas guntingan di jalan lahir tadi.

Si bayi lalu dibersihkan dan ditimbang. Beratnya hanya 2,1 kg, kurang dari berat lahir normal. Tidak ada inisiasi menyusui dini. Si bayi langsung dibungkus tiga lapis sarung dan selimut bayi yang tebal lalu digendong biar hangat, kata Bidan A.”

Ibu R yang mempunyai sembilan orang anak hanya pernah satu kali bersalin di sarana kesehatan, yaitu di sebuah rumah sakit di ibukota provinsi. Saat itu karena anak pertama dan sedang berada di kota maka diputuskan untuk melahirkan di rumah sakit. Sementara, kedelapan anaknya dilahirkan sendiri dengan bantuan suami yang juga mempunyai keahlian seperti to mapakianak, namun laki­laki, hanya menolong ke­lahiran anak-anaknya sendiri. Berikut cerita ibu R.

”Putra pertamanya, R, dulu lahir di rumah sakit di ibukota pro vinsi. Waktu itu, ia dan suaminya masih menetap di sana. Persalinan pertama itu cukup sulit, karena janin terlilit tali pusarnya dua kali. Ia merasa sangat kesakitan dan tidak tenang pada saat itu meski telah ditangani oleh tenaga kesehatan. Hanya sekali itu ia melahirkan di fasilitas kesehatan dan dibantu tenaga medis. Ibu R merasa pusing dan bingung kalau melahirkan di RS, karena dilihat banyak orang, belum lagi dimarah­marahi dan disuruh ini itu oleh petugasnya. Me­rasa malu dan tidak nyaman kalau bajunya diangkat-angkat

Page 130: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

113

dan dibuka­buka, dipegang­pegang orang lain. Dan posisi melahirkan juga diatur, kalau melahirkan di RS harus tidur, sedangkan dia lebih nyaman untuk melakukan persalinan de­ngan posisi jongkok, seperti dia melahirkan sendiri kedelapan anaknya dengan lancar dan cepat.”

Pertimbangan lain adalah pertimbangan ekonomi untuk memenuhi biaya­biaya di luar cakupan Jampersal, seperti transportasi, uang makan keluarga yang menungguinya di sarana kesehatan, anak­anak kecil yang ditinggalkan, hewan­hewan ternak (pemeliharaan babi) yang menjadi tanggung jawab ibu. Pendapatan sehari­hari menjadi pertimbangan lain mengapa ibu memutuskan untuk melahirkan sendiri di rumahnya. Berikut ini adalah cerita Ibu Y dari daerah Sa’dan, yang jauh dari sarana kesehatan.

”Ibu­ibu di sini juga biasa melahirkan sendiri di rumahnya, biasanya dibantu ibu atau mertua perempuan atau tetangga. Ada juga yang dibantu oleh dukun beranak atau istilah lokalnya to mappakianak.”

Beberapa wilayah Toraja Sa’dan memang berada jauh dari sarana pelayanan kesehatan. Selain jarak yang jauh, akses warga terhadap pelayanan kesehatan dipersulit dengan kondisi jalan yang rusak. Sarana transportasi menjadi sulit dan mahal karena kondisi jalan yang rusak parah. Gambaran kondisi di wilayah Sa’dan Ulusalu, yang merupakan wilayah terujung dari Kecamatan Sa’dan, bisa dijelaskan oleh keterangan informan Bapak Y yang merupakan salah satu petugas kesehatan dari Puskesmas Sa’dan berikut.

”Selain tidak ada bidan desa di beberapa wilayah Sa’dan, pusat pengobatan atau tempat singgah untuk memperoleh pelayanan medis, utama untuk kondisi darurat seperti persalinan, belum ada. Jarak yang jauh dan medan yang berat menjadi masalah berat untuk mereka jika ingin melahirkan di puskesmas. Selain transportasi susah, biayanya juga mahal. Ongkos ojek pulang pergi sebesar Rp100.000,00. Sementara, kendaraan mobil belum bisa sampai ke sini.”

Sehubungan dengan alasan ibu hamil melahirkan sendiri bayinya, Ibu K menjelaskan kondisi yang ada selama ini, menurut pemahaman beliau.

Page 131: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012114

Meskipun Ibu K mengetahui tentang pelayanan gratis di puskesmas, banyak pertimbangan lain yang membuat Ibu K tidak melahirkan di tempat pelayanan kesehatan terdekat.

”Iya memang dibilang tidak ada dibayar kalau melahirkan di puskesmas, tapi ongkosnya ke sana, belum lagi yang mau bolak balik ambil makanan kalau kita di sana, belum lagi jalanan jelek, jauh juga ... belum obatnya ... tidak mungkin mi itu mau ditanggung semuanya, bagaimana mi kalau ternyata ada obatnya yang harus kita beli ... aih ... itu semua bikin saya berpikir kalau mau pergi melahirkan di puskesmas ... saya berdoa saja ... Tuhan pasti juga tidak akan membiarkan umatnya, itu kalau kita percaya yah.”

Kondisi yang lain dari seorang ibu yang melahirkan di rumah, yaitu Ma’ V. Ia ditolong oleh petugas kesehatan setempat karena selain rumahnya dekat dengan fasilitas pelayanan kesehatan, dia memiliki patron dalam keluarga seorang petugas kesehatan, sekaligus juga ditangani oleh to mappakianak sejak kehamilan trimester pertama hingga kelahiran. To mappakianak yang menanganinya kebetulan sudah menjadi mitra puskesmas. Diceritakan oleh Ma’ V sebagai berikut.

”Saya melahirkan V di rumah waktu itu. Namun ditolong oleh bidan, saya bersepupu sama bidan D. Waktu V mau lahir Njo’ S (To Mappakianak mitra) yang menelepon bidan D, karena nomor telepon bidan D yang saya punya sudah kehapus. Njo’ S to mappakianak yang dari awal kehamilan merawat dan memijat kandungan saya. Akhirnya siangnya bidan D datang bersama kedua bidan yang lain saya ga tau nama mereka. Bidan D memeriksa, namun katanya masih beberapa jam lagi baru lahiran. Dan bidan D kembali ke puskesmas yang hanya beberapa kilo dari rumah Ma’ V. Saya tidak bisa meninggalkan rumah (ke puskesmas) karena saya sendiri di rumah, harus memasak sayur babi paginya, suami merantau ke pulau lain dan orang tua pergi ke ladang. Menjelang kelahiran sorenya ditemani Njo’S, dan bidan rekan bidan D yang masih muda yang menolong saya. Dan sepertinya oleh Njo’ S saya dikasih minum air, untuk melancarkan kelahiran.”

Page 132: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

115

Faktor yang cukup kuat adalah kepercayaan kepada Tuhan, bahwa Dia memberi kekuatan untuk melahirkan karena anak adalah berkat dari Tuhan. Si Ibu yakin bisa melahirkan sang anak ke dunia dengan kekuatannya dan bantuan Tuhan.

Selain itu faktor jarak, kondisi alam, dan kondisi infrastruktur penunjang yang minimal sangat mempengaruhi seorang ibu dan keluarga untuk melakukan persalinan di sarana pelayanan kesehatan yang jauh dari rumahnya. Bagi ibu yang rumahnya dekat dengan sarana pelayanan kesehatan lebih dimungkinkan untuk melahirkan di sana karena biaya transportasi yang dikeluarkan untuk menjangkau sarana pelayanan kesehatan lebih murah dibandingkan dengan ibu rumahnya jauh di atas gunung. Ibu Y menceritakan kondisi di lokasinya.

”Di sini angkutan tidak ada, adanya cuma ngojek kalau mau ke puskesmas. Dan kalau dalam keadaan hamil tua naik ojek motor dengan kondisi jalan yang kurang memadai untuk bisa mencapai puskesmas, lebih membahayakan ibu dan janin. Ojek dari Ulusalu ke Malimbong pp bisa mencapai Rp100.000,00. Selain itu ibu juga punya tanggung jawab terhadap anaknya yang lain, juga ternaknya yang tidak bisa ditinggalkan dalam jangka waktu yang lama.”

Ada banyak pertimbangan budaya, seperti alokasi perekonomian yang lebih dipentingkan untuk keperluan upacara kematian rambu solo’, dan juga beban keluarga dalam menanggung hutang pemberian babi atau kerbau pada saat mengadakan upacara yang dicatat dalam sebuah buku catatan. Akibatnya, prioritas ekonomi untuk kesehatan akan berada pada posisi di bawah prioritas dalam upacara rambu solo’.

Ada pula pertimbangan kepercayaan agama tertentu yang dianut oleh sebagian masyarakat Toraja Sa’dan yang mempercayai bahwa tubuh yang diciptakan oleh Sang Pencipta adalah sempurna adanya. Oleh kare-nanya, tubuh tidak boleh diintervensi oleh hal apa pun dari luar, termasuk obat­obatan medis dan juga tindakan medis lain, seperti suntik ataupun operasi. Hal ini juga mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap per-an medis dan tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan.

Page 133: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012116

Page 134: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

117

BAB V

BUDAYA KIA DALAM KETERKAITAN KONSEP SEHAT-SAKIT DAN

KEHIDUPAN-KEMATIAN BAGI ORANG TORAJA SA’DAN

5.1 Konsep Sehat dan Sakit Orang Toraja Sa’dan terkait dengan Konsep tentang Persalinan dan Anak

Kita sering melupakan faktor persepsi atau konsep masyarakat itu sendiri tentang sakit. Ada perbedaan persepsi yang berkisar antara penyakit (disease) dengan rasa sakit (illness). Penyakit (disease) adalah suatu bentuk reaksi biologis terhadap suatu organisme, benda asing, atau luka (injury). Hal ini adalah suatu fenomena yang objektif yang ditandai oleh perubahan­perubahan fungsi tubuh sebagai organisme biologis. Sementara, sakit (illness) adalah penilaian seseorang terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang langsung dialaminya. Hal ini me­rupakan fenomena subjektif yang ditandai dengan perasaan tidak enak (feeling unwell). Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit dan tidak merasa sakit (disease but no illness) sudah barang tentu tidak akan bertindak apa­apa terhadap penyakitnya tersebut. Akan tetapi bila mereka diserang penyakit dan merasa sakit (illness with disease), baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha. Perilaku sakit dan respons terhadap rasa sakit yang terwujud dalam perilaku pencarian kesehatan (health seeking behavior) sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa, dan budaya (Notoatmojo, 2003). Sejalan dengan Notoatmodjo, Winkleman menyatakan bahwa disease adalah masalah biologis yang melibatkan ketidaknormalan pada struktur kimia atau fungsi tubuh. Illness berarti pengalaman individu atas sesuatu

Page 135: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012118

yang salah yang sedang terjadi, perasaan gangguan pada keadaan yang dianggap bisa menyebabkan disease atau sebab karena keyakinan budaya (Winkelman, 2009).

Konsep sakit menurut pandangan orang Toraja Sa’dan dijelaskan oleh salah seorang informan, yaitu Bapak R sebagai berikut.

”Tentang sakit, Bapak R mendefinisikan sakit itu sebagai per-soalan ketika ia tidak bisa bergerak lagi, tapi kalau masih bisa melakukan aktivitas ia belum merasa sakit. Bahkan ia menyarankan kalau sakit itu semakin banyak bergerak semakin bagus, karena keringat akan keluar. Tapi biasanya sakit perut itu dirasa sangat susah dikendalikan, biasanya ia ke rumah sakit kalau sakitnya tidak tertahankan atau kalau masih bisa dilakukan pengobatan sendiri ia lebih memilih untuk meramu tumbuhan seperti tanaman kariango.”

Ada dua hal dalam bahasa Toraja dalam mendefinisikan rasa sakit, yaitu massaki’ dan mappadi’. Istilah massaki’ menjelaskan tentang rasa sakit secara fisik (biologis), seperti massaki’ uluku (sakit kepalaku), sedangkan mappadi’ menjelaskan rasa sakit yang terkait dengan rasa nyeri, baik itu secara fisik (biologis) maupun secara psikologis. Mappadi’ bisa dijelaskan dalam contoh ketika seorang ibu sedang mengalami kontraksi pada menit­menit terakhir menjelang kelahiran yang peneliti lihat prosesnya sebagai berikut.

”Dia merintih kepada ibunya,” mappadi’ ... mappadi’ ... ma-ma’!!! (sakit ... sakit ... ibu!!!). Beberapa jam sebelum proses ke­lahiran, si ibu hanya mengeluh kepada ibu kandungnya bahwa kepa nasan dan minta air dan dikipasi, “malassu ... malassu ... mama’ ... minta air, dikipas­kipas!!” (panas ... panas ... ibu!!!). Ibu dan bidan memberi semangat supaya dia bisa kuat dan tidak banyak mengeluh, menyuruh berpasrah kepada Tuhan, dan Tuhan akan membantu.”

Demikian juga ketika lagu­lagu melankolis Toraja bercerita tentang rasa sakit hati karena patah hati, akan ada lirik yang menyebutkan tentang mappadi’ penangku (sakit hatiku). Jadi, konsep sakit dalam pandangan orang Toraja adalah yang terkait dengan apa yang mereka rasakan (illness), bukan terkait dengan persepsi mereka tentang penyakit (disease). Sementara, “sehat” dalam konsep bahasa Toraja disebut dengan

Page 136: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

119

kata malapu’, yang berarti sehat secara jasmani dan rohani, dan juga mempunyai arti “cantik” dan “ganteng”.

Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan pada Bab II berkenaan dengan budaya kesenian yang menggambarkan harapan konsep kesehatan orang Toraja sejak zaman nenek moyang mereka dalam falsafah ajaran Aluk Todolo, tergambar dalam motif ukiran seperti motif Paqlolo tabang yang berbentuk daun tabang sebagai simbol harapan agar anak cucu sehat jasmani dan rohani serta jauh dari penyakit. Juga ada motif Paqsalaqbiq ditoqmokki yang berbentuk pagar bambu, sebagai simbol harapan agar anak cucu terhindar dari segala wabah penyakit dan marabahaya lain.

Konsep persalinan dari setiap ibu yang peneliti temui, baik itu yang melahirkan di sarana pelayanan kesehatan maupun yang melahirkan sendiri di rumah, menganggap bahwa persalinan itu adalah suatu hal yang biasa­biasa saja. Sesuatu yang alami terjadi, tidak perlu bingung menyiapkan segala hal untuk menghadapi proses tersebut. Proses alami yang sudah sering terjadi dan sering mereka lihat serta membantu proses yang sama dari generasi sebelumnya. Seorang ibu di Sa’dan berani mengambil keputusan untuk melahirkan sendiri bayinya karena secara budaya dia sudah mendapatkan pengetahuan tentang persalinan dari generasi sebelumnya, yang diceritakan dan dilatihkan untuk menolong persalinan sendiri dalam keluarga luasnya. Bisa juga pengetahuan tersebut diperoleh dari kelompok lingkungannya yang saling bercerita berkenaan dengan proses kelahiran itu sendiri, tentang apa yang dianggap baik dan tidak baik bagi kehamilan dan proses kelahirannya. Ibu R menceritakan pengalaman pembelajaran tentang melahirkan sebagai berikut.

”Saya diajar sama nenek­nenek saya dulu, katanya besok­besok kalau mau melahirkan tutup mata, jangan buka mata kalau mau berkuat ... karena urat itu. Bisa­bisa keluar kita pu­nya mata ... itu makanya biasa ada orang bilang kalau sudah melahirkan suka keluar­keluar air matanya ... mungkin itu dia buka matanya kalau berkuat. Kan kita punya urat mata itu tat­tarik­tarik kalau kita berkuat. Sama itu juga jangan gigit bibir ... nanti bisa berdarah ... biasa-biasa saja kalau mau melahirkan, tutup mata saja.”

Page 137: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012120

Pengalaman lain tentang pengetahuan melahirkan juga diungkapkan oleh Ma’ R sebagai berikut.

”Saya mendapatkan pengalaman melahirkan dengan mende­ngarkan ibu­ibu tetangga yang sudah pengalaman melahirkan. Mereka selalu bercerita ketika kumpul-kumpul, ketika saya dulu masih gadis di kota Rantepao, senang mendengarkan mereka. Pengalaman sendiri juga saya jadikan patokan untuk melahirkan anak-anak saya yang berikutnya. Ketika saya melahirkan anak pertama saya, lahir sendiri di hutan di mess pekerja perkebunan di Malaysia pada saat itu, ketika nurse (bidan) datang, anak saya sudah keburu lahir. Akhirnya nurse cuma menolong membersihkan anak saya dan saya. Saya sehabis melahirkan disuruh langsung mandi, katanya biar langsung segar kembali tenaganya. Dan itu saya lakukan juga saat saya melahirkan anak yang berikutnya di kampung.”

Menurut pandangan para realis dari tulisan Aunger (1999), kebu-dayaan adalah informasi yang dipelajari secara sosial. Kebudayaan adalah atribut perilaku sosial manusia, dan biasanya didefinisikan dalam istilah kelakuan, kebiasaan, dan institusi yang diperolehnya. Kognisi manusia secara umum memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah dan mengetahui kelompok sosialnya. Manusia memiliki keahlian kognisi dalam berkreasi dan menggunakan simbol­simbol, yaitu linguistik simbol baik itu dalam bentuk tulisan, hitungan, dan notasi, berkreasi dalam penggunaan alat­alat dan teknologi, dan berkreasi dalam partisipasi di organisasi sosial dan institusi. Secara antropologis sulit diketahui asal muasal keahlian ma-nusia tersebut. Namun diketahui bahwa yang membuat perbedaan adalah budaya manusia. Menurut Tomasello (1999), evolusi budaya manusia ada-lah suatu proses jalannya modifikasi artifak atau praktik sosial yang dibuat secara individual ataupun antarkelompok yang bertempat tinggal sama sampai datang individu baru yang berpikir masa depan untuk membuat modifikasi lebih lanjut, sehingga proses tersebut berulang kembali den-gan modifikasi yang baru. Anak­anak belajar praktik sosial. Praktik sosial itu statis lintas generasi dan ada modifikasi dalam hal menemukan, bela-jar menirukan (merepro dan memahami) dan mengajarkan. Kognisi sosial dimulai dari keseluruhan proses yang melibatkan pemahaman orang lain sebagai agen, dan proses baru dari transmisi sosial budaya itu melibatkan pembelajaran kultural (cultural learning) yang diawali dengan peniruan

Page 138: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

121

(imitating learning). Pembelajaran kultural menciptakan ratchet effect, manusia tidak hanya mengumpulkan sumber­sumber kognisi masa kini, namun juga membangun temuan kognisi satu sama lain sepanjang masa.

Dalam budaya sebagai pengetahuan yang dibagi dalam masyarakat/society biasanya terjadi suatu consensus/kesepakatan untuk mempelajari dan mengajarkan budaya tersebut agar dapat dipahami. Apa yang dipela-jari dan diajarkan atau dibagikan kepada yang lain cenderung sama, tidak banyak berubah dikarenakan adanya kesepakatan bersama. Aan tetapi dalam budaya sebagai informasi pembelajaran sosial, individu­individu di dalamnya cenderung mengembangkan informasi yang diterimanya ke dalam bentuk yang bisa dia terima, karena masing­masing individu berbe-da­beda dalam memaknai informasi yang didapat, meskipun dalam suatu kelompok sosial yang sama, apalagi kalau itu terjadi dalam kelompok so-sial yang berbeda.

Menurut Goodenough (1994), setiap orang yang berhubungan de­ngan orang lain dari area geografis atau dari kompleks sosial yang berbeda akan menemukan banyak hal dari mereka yang berbeda. Bagaimanapun perbedaan itu ada, mereka mengalami fenomena bahwa orang­orang sa­ling bicara hampir di mana pun. Berbeda penjelasan namun mereka se-mua memperhatikan satu sama lain. Teori budaya mencoba menjelaskan bagaimana frekuensi orang berinteraksi, keberlanjutan interaksi, dan mo-tivasi orang untuk berpartisipasi membantu mempromosikan (atau mer-intangi) perkembangan dari pemahaman yang dibagi tentang aktivitas.

Menurut Caulkins (2004), yang berangkat dari Barth (2002) yang mengidentifikasikan budaya sebagai pengetahuan yang dibagi di antara populasi, dan pengetahuan itu idiosinkratis, didistribusikan secara acak, dibagi di antara subkelompok, atau dipersaingkan oleh dua atau lebih kelompok yang “tahu” hal­hal yang berbeda. Goodenough (2003) juga mengatakan bahwa banyak individu tampaknya mempunyai pengetahuan lebih dari satu kultur atau tradisi subkultur sebagai hasil dari interaksi den-gan orang lain, di kumpulan yang berbeda dengan dirinya dan masyarakat lain.

Budaya lisan yang dianut oleh orang Toraja secara kuat telah menga-kar dalam kehidupan orang Toraja Sa’dan. Cerita yang dituturkan secara turun­temurun dari generasi ke generasi berikutnya secara tidak langsung juga membentuk karakter dan perilaku dalam pembelajaran. Demikian halnya dalam pembelajaran mengenai kelahiran dan persalinan. Pembe-lajaran dari pengalaman mereka melihat sendiri, mendengarkan cerita,

Page 139: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012122

dan mengalami sendiri akan membentuk perilaku sama yang mereka ang-gap bisa bertahan dan beradaptasi dengan keadaan yang ada. Di sini bisa diambil nilai positif budaya Toraja setempat, tentang bagaimana mereka memahami sakit dan sehat. Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh salah seorang bidan dalam mempromosikan pengaturan jarak kelahiran dengan ber­KB berikut ini.

”Saya sendiri orang Toraja, tidak mungkin saya menyuruh orang­orang untuk memiliki anak hanya dua saja cukup. Na­mun saya ketika ada ke giatan posyandu atau ibu yang datang sendiri ke puskesmas memberikan penerangan tentang KB, saya beri masukan berkaitan dengan keluhan­keluhan mereka mi. Ketika mereka mengeluh belum ada uang untuk beli beras yang dikirim dari suaminya yang merantau, di situ saya kasih tau mi ... kan susah kalau anak banyak dengan jarak yang dekat­dekat, kita yang susah ngurusin anak sendiri, sedang suami di rantau. Kita sendiri yang merasakan capeknya mi. Da­ri situ saya menyarankan mereka KB.”

”Di keluarga saya sendiri, keputusan KB atau tidak, ada di tangan saya sendiri sebagai perempuan. Saya 3 kali mempunyai anak, 1 lahir normal, 2 orang di-caesar. Kayak hidup dan mati mi, karena selalu susah saya ketika lahiran. Saat kelahiran yang ke­3 saya sudah menyuruh dokter untuk menutup saja. Suami ikut saja maunya saya, walau ketika itu suami saya disuruh tanda tangan untuk operasi penutupan indung telur, dia sempat kebingungan mi ... kalau ditutup nanti saya bagaimana? (sambil tertawa Ibu D menceritakan kelucuan karena kesalahpahaman tersebut).”

5.2 Konsep Kematian, Kematian Ibu, dan Kematian Bayi bagi Orang Toraja Sa’dan

Kematian bagi orang Toraja Sa’dan, seperti orang Toraja pada umumnya, menyatakan bahwa kematian adalah perpindahan ke tempat para leluhur sebelumnya berada. Terkait dengan dualisme alam dan keseimbangan dalam ajaran lama Aluk Todolo dalam memandang kematian, salah seorang informan, yaitu Ne’ E menjelaskan sebagai ber­ikut.

Page 140: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

123

”Tradisi kepercayaan lama Toraja (Aluk Todolo), menganut pembagian dualistik dalam alam, seperti bagian barat dan timur. Bagian barat dan timur berkaitan dengan di mana matahari terbenam dan matahari terbit. Bagian terbenamnya matahari (barat) terkait dengan kematian. Ritual rambu solo’ yang memiliki arti asap turun ke bawah (seperti matahari turun ke bawah untuk terbenam), merupakan upacara untuk kedukaan (orang yang sudah meninggal). Karenanya orang Toraja tidak akan tidur atau menghadapkan tempat tidurnya ke arah barat, karena melambangkan kematian.”

Orang meninggal yang masih disimpan dan belum dilakukan upa­cara adat rambu solo’ dianggap sebagai orang sakit (to’ makula). Jenazah akan diperlakukan seperti layaknya masih hidup, yaitu diajak berbicara, disediakan makanan dan minuman yang diganti setiap hari, dan ditempatkan di rumah tongkonan atau rumah sendiri yang ditunggui oleh anggota keluarga yang ditinggalkan sampai saat upacara rambu solo’ tiba. Selama jenazah belum dilakukan upacara rambu solo’, mereka dianggap masih berada di alam dunia, belum berpindah ke alam leluhur­leluhur sebelumnya berada (puya) sebagai tomembali puang (arwah yang berkumpul kembali dengan leluhur).

Upacara adat rambu solo’ merupakan penghormatan tertinggi bagi keturunan yang hidup dalam menunjukkan kasih sayang mereka terhadap orang tua (pendahulu/leluhur) yang sudah meninggal. Dalam pelaksanaannya, upacara ini terbagi menjadi empat tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni sebagai berikut.1. Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan

dalam satu malam.2. Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama

tiga malam dan dilaksanakan dirumah dan ada pemotongan hewan.3. Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama

lima malam dan dilaksanakan di sekitar rumah serta pemotongan hewan.

4. Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam dan setiap harinya ada pemotongan hewan

Pemakaman bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang paling bermakna, sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang

Page 141: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012124

dipersiapkan ataupun peti mati yang dipahat menyerupai hewan (erong), namun mereka juga mempersiapkan tempat peristirahatan terakhir dengan sedemikian apik, yang tentunya tidak lepas dari strata yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun ekonomi individu (http://kwatkhaysin.blogspot.com/2011/10/kajian­antropologis­suku­toraja.html, akses 15 Agustus 2012).

Pada umumnya, tempat menyimpan jenazah adalah gua atau tebing gunung atau pada masa kini dibuatkan sebuah rumah peristirahatan yang disebut pattane. Budaya ini telah diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur mereka. Adat masyarakat Toraja masa lalu menyimpan jenazah pada liang gua atau tebing, seperti di daerah Kete’ dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi. Tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat dimakan usia. Tempat penyimpanan jenazah yang lebih modern biasanya berbentuk rumah (pattane) biasa dengan berlambang salib, yang menandakan pengaruh agama Kristen. Namun, letak pattane selalu berada di tempat yang tinggi, melambangkan orang Toraja mempercayai bahwa tempat tinggi itulah yang lebih dekat dengan tujuan mereka kembali, yaitu bersama para leluhurnya.

Konsep kehidupan dan kematian bagi orang Toraja terkait dengan arah mata angin, yaitu timur­barat dan utara­selatan. Timur­barat meru-nut pada arah terbit dan tenggelamnya matahari. Timur dilambangkan se-bagai kehidupan dan barat dilambangkan sebagai kematian. Sementara, arah utara­selatan merunut pada jalannya arus Sungai Sa’dan yang men-galir dari hulu ke hilir, dari utara menuju akhir di selatan. Utara adalah awal kehidupan, yakni hulu Sungai Sa’dan tempat asal air itu mengalir, dan selatan menandakan akhir kehidupan (kematian), yakni akhir aliran Sungai Sa’dan berakhir. Karenanya, setiap bangunan di Toraja selalu mem-pertimbangkan arah mata angin tersebut, untuk mencapai keseimbangan dalam kehidupan dan keseimbangan setelah kematian.

Kematian ibu yang melahirkan dan/atau kematian bayi saat lahir dianggap sebagai suatu kepasrahan yang tinggi kepada Sang Pencipta yang menentukan kehidupan dan kematian. Karenanya, kematian ibu yang melahirkan ataupun kematian bayi yang dilahirkan yang terjadi di Toraja tidak dilakukan upacara rambu solo’ yang memerlukan waktu berhari-hari, hanya dilakukan upacara rambu solo’ yang hanya satu hari dengan memotong satu ekor kerbau sebagai pengorbanan dan langsung dilakukan penguburan pada hari yang sama.

Page 142: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

125

Pada tradisi Toraja zaman dulu, anak bayi yang lahir mati dimasukkan ke dalam pohon yang getahnya putih dianggap sebagai air susu, dengan harapan supaya anak berikutnya lahir selamat dan bertumbuh bagaikan pohon tersebut. Konsep utama dari hal ini bagi orang Toraja Sa’dan adalah selalu pada keseimbangan kosmosnya, baik itu dunia mikro diri maupun dunia makro kaitannya dengan alam dan Sang Pencipta. Tidak ada penyesalan atau mencari sebab­sebab pencetus kesalahan sehingga kematian terjadi, yang ada adalah penerimaan diri dengan keadaan yang ada, dan berusaha berupaya untuk menyeimbangkan dalam koridor budayanya.

Keseimbangan tersebut terintegrasi dalam ajaran Aluk Todolo, yang menyatakan hubungan keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan manusia. Bagi orang Toraja, alam bukanlah sesuatu yang dipandang statis, melainkan dinamis. Alam juga tumbuh dan berkembang, serta berubah sesuai kondisi zaman. Perubahan tersebut dipicu rangsangan yang diberikan manusia kepadanya. Respons alam selalu ditanggapi sebagai respons yang baik, meskipun ia merupakan bencana. Pelajaran berharga lebih dipentingkan sebagai bahan nasihat dibandingkan melihat sisi penderitaan yang ditimbulkannya.

5.3 Potensi dan Kendala Budaya KIA Orang Toraja Sa’dan dalam Teori Model Perilaku Kesehatan

Apabila dikaitkan dengan model perilaku kesehatan menurut Dunn dalam Kalangie (1994), apa yang disebut perilaku yang menguntungkan atau yang merugikan bisa dalam koridor yang disadari atau tidak disadari, sehingga menimbulkan potensi ataupun kendala terhadap kesehatan ibu dan anak, yang bisa digambarkan dalam empat kotak di bawah ini.

Sadar/tahu(S)

Tidak Sadar/Tidak Tahu (TS)

Menguntungkan (U) 1 4 Potensi /Stimulan

Merugikan (R) 2 3 Kendala

Kotak 1: Menunjukkan kegiatan manusia yang secara sengaja dilakukan untuk menjaga, meningkatkan kesehatan, dan menyembuhkan diri dari penyakit dan gangguan kesehatan. Kegiatan ini berupa tindakan­

Page 143: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012126

tindakan preventif, kuratif, dan promotif baik yang dilakukan secara tradisional maupun modern. Terkait dengan budaya KIA di Toraja Sa’dan, hal yang menguntungkan kesehatan dan merupakan perilakunya disadari antara lain sebagai berikut.1. Dalam falsafah hidup orang Toraja, kesehatan sudah menjadi prioritas

dalam kehidupan mereka, seperti yang yang ada dalam motif ukiran, seperti motif Paqlolo tabang yang berbentuk daun tabang sebagai simbol harapan agar anak cucu sehat jasmani dan rohani serta jauh dari penyakit. Juga ada motif Paqsalaqbiq ditoqmokki yang berbentuk pagar bambu sebagai simbol harapan anak cucu terhindar dari segala wabah penyakit dan marabahaya lain.

2. Ibu­ibu di Toraja Sa’dan mengerti akan pentingnya pemeriksaan kehamilan (ANC) dan pemeriksaan bayi baru lahir (KN1, KN Lengkap) sehingga datang ke posyandu dengan antusiasme tinggi untuk ke­sehatan kandungan dan bayinya.

3. Adanya pemanfaatan herbal, seperti daun tabang, kariango, dan lain­lain, secara tradisi Toraja yang digunakan untuk pengobatan penyakit dan juga berfungsi secara magis.

4. Pemberian ASI kepada bayi lebih dipentingkan daripada susu formula karena keyakinan bahwa bayi yang tidak disusui ASI akan sakit­sakitan.

5. Pengetahuan akan manfaat sayur­sayuran yang dipahami untuk melancarkan ASI.

Kotak 2: Perilaku yang berakibat merugikan atau merusak kesehatan, dan/atau bisa menyebabkan kematian, namun secara sadar atau disengaja dilakukan, antara lain sebagai berikut.1. Kendala geografis, yang di beberapa wilayah Sa’dan sulit dijangkau

membuat warga di sana beradaptasi dengan keadaan yang ada, dengan keterjangkauan akses pelayanan kesehatan yang sulit akibat kondisi alam dan sarana transportasi yang kurang.

2. Penghormatan dan penghargaan terhadap senioritas membuat petugas kesehatan (khususnya bidan) yang rata­rata masih berusia muda kurang mendapat kepercayaan dalam melakukan pelayanan kesehatan.

Page 144: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

127

Kotak 3: Mencakup semua tindakan yang baik secara tidak disadari dapat mengganggu kesehatan, antara lain sebagai berikut.1. Beberapa ibu yang melahirkan sendiri bayinya, memotong sambungan

tali pusar dengan menggunakan silet yang sudah disterilkan dengan air panas, dan memotong dengan pengetahuan budaya mereka tentang bagian mana yang seharusnya dipotong.

2. Bersalin di rumah, baik ditolong sendiri, keluarga, dan/ atau dukun beranak, akan terlambat ditangani tenaga kesehatan apabila terjadi komplikasi dalam proses persalinan.

3. Kepercayaan bahwa ASI yang berwarna kuning (kolostrum) dianggap kotor sehingga tidak disusukan untuk pertama kali kepada bayinya.

4. Risiko kehamilan, persalinan, dan masa nifas bisa terjadi pada ibu yang memiliki banyak anak.

Kotak 4: Kegiatan atau perilaku yang secara tidak disadari atau disengaja dapat meningkatkan kesehatan. 1. Kondisi geografis pegunungan di Toraja Sa’dan secara tidak langsung

membuat fisik perempuan Toraja sangat kuat. Aktivitas ibu hamil bekerja di sawah, jalan kaki mendaki dan menuruni jalan, membuat ibu menjadi lebih sehat, selain udara yang masih jauh dari polusi.

2. Potensi kekerabatan dan kegotongroyongan membantu mengatasi kesulitan bersama dalam satu lingkup kekerabatan, membuat social security network berjalan baik dalam satu lingkup etnik Toraja di mana pun mereka berada.

3. Kepercayaan kepada dukun beranak sehingga mau dirujuk untuk bersalin di puskesmas sebagai upaya meningkatkan kemitraan bidan – dukun terhadap persalinan aman.

4. Konsep-konsep ajaran menurut falsafah Aluk Todolo yang melingkupi dunia batin orang Toraja merujuk pada keseimbangan kosmos.

5. Konsep ketenangan, konsentrasi penuh, dan kepercayaan diri seorang perempuan Toraja dalam melahirkan anaknya.

6. Kepercayaan kepada Tuhan dan kepasrahan yang tinggi dan permohonan doa agar diberi kekuatan agar bisa melahirkan dengan lancar.

7. Mengutamakan pemberian ASI kepada bayi hingga jangka waktu tertentu secara tidak langsung menjadi KB alami untuk mengatur jarak kelahiran.

Page 145: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012128

8. Pemenuhan akan kebutuhan protein hewani untuk ibu hamil akan tercukupi pada saat diadakan upacara rambu solo’ yang rutin digelar pada bulan Juli hingga Desember setiap tahun.

9. Pantangan­pantangan yang diyakini orang Toraja Sa’dan selama masa kehamilan merupakan kepercayaan akan konsep sehat dan/atau harapan agar persalinan selamat.

Page 146: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

129

BAB VI SIMPULAN

6.1 Simpulan

Banyak hal yang berpengaruh dalam budaya kesehatan ibu dan anak pada orang Toraja Sa’dan yang tidak bisa diindahkan begitu saja oleh pemerintah dan pembuat kebijakan dalam upaya peningkatan derajat kesehatan dan menekan kejadian angka kematian ibu dan bayi. Ada tradisi­tradisi yang bersifat positif yang bisa menjadi potensi dan bisa juga negatif yang bisa menjadi kendala, mempengaruhi perilaku warga masyarakat dalam berperilaku kesehatan, khususnya dalam kaitan kesehatan ibu dan anak.

Perilaku pencarian kesehatan (health seeking behavior) dari individu apabila dikaitkan dengan budaya sebagai proses pembelajaran sosial kemungkinan bisa menjelaskan mengapa individu tersebut berperilaku berbeda­beda dalam merespons rasa sakit. Untuk menggambarkan awal dan batasan cara pelaku mengalaminya, sangat penting memahami terlebih dulu mengapa dan bagaimana orang melakukan hal itu. Harus selalu diingat bahwa pelayanan kesehatan adalah sistem yang menyatu ke dalam masyarakat dan individu yang apabila dicari faktor yang mem­pengaruhi maka akan ditemui cabang­cabang ilmu yang lain. Dan perilaku pencarian kesehatan juga dipengaruhi oleh banyak hal yang berkaitan dengan interaksi individu dengan individu atau masyarakat yang lain, dalam pemilihan cara pengobatan, pemaknaan rasa sakit, dan keputusan dalam mencari pelayanan kesehatan.

Kepercayaan warga masyarakat kepada petugas kesehatan dan kemauan untuk berobat di sarana pelayanan kesehatan juga dipengaruhi oleh masalah pengalaman diri, pengalaman sekitar yang diceritakan, dan berbagai faktor lain yang turut mempengaruhi secara tidak langsung namun utama, seperti sarana transportasi dan jalan yang bagus juga

Page 147: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012130

sangat dibutuhkan. Selain itu masalah senioritas juga turut berperan dalam hal kepercayaan terhadap tenaga medis. Tenaga medis yang muda dan sedikit pengalaman, sangat perlu berupaya lebih keras untuk bisa mendapat kepercayaan dari masyarakat.

6.2 Saran

1. Dibutuhkan upaya yang keras dari seluruh jajaran terkait untuk penanganan KIA dari berbagai sektor yang terkait.

2. Perbaikan jalan utama akses ke desa­desa sangat dibutuhkan dengan segera demi kelancaran/kecepatan rujukan ibu hamil risiko tinggi dan orang sakit yang membutuhkan rujukan cepat.

3. Pemenuhan fasilitas kesehatan dan alat kesehatan di puskesmas, poskesdes, dan pustu-pustu di lokasi-lokasi terjauh.

4. Pemenuhan sarana dan prasarana penunjang (ambulans yang memadai untuk kondisi medan yang berbukit­bukit, kendaraan medan berat) apabila perbaikan jalan masih membutuhkan waktu yang lama.

5. Pemeliharaan sarana penunjang yang ada oleh petugas secara berkesinambungan sehingga bisa digunakan apabila kondisi dalam keadaan baik.

6. Memperbanyak jumlah tenaga kesehatan di tempat­tempat ter­pencil dengan dibekali kemampuan membaca budaya masya­rakat setempat.

7. Kemitraan dengan dukun beranak masih diperlukan dan di­tingkatkan untuk daerah­daerah yang jauh dari sarana pelayanan kesehatan, karena masyarakat lebih percaya kepada senioritas dan pengalaman dari dukun beranak daripada kepada bidan/tenaga kesehatan muda yang masih magang dan belum menikah serta belum memiliki anak.

8. Meningkatkan tata laksana alur rujukan dengan cepat dan tepat.

9. Untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pro­mosi kesehatan ibu dan anak diperlukan cara tepat dengan me libatkan lebih intens patron (tokoh) yang berpengaruh dan disegani dalam jaringan kekerabatan, sebagai agen perubah menuju perbaikan kesehatan ibu dan anak.

10. Pengetahuan budaya kesehatan ibu dan anak yang berpengaruh positif merupakan modal utama yang bisa dikembangkan untuk

Page 148: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

131

membantu promosi program­program kesehatan melalui kearifan lokal setempat.

11. Intervensi pengetahuan tentang program KIA, terutama ten­tang risiko tinggi bisa ditransmisikan lewat kelompok­ke lom­pok perkumpulan, baik itu formal maupun informal, se perti kelompok tetangga dalam satu lingkungan, kelompok ke kera­batan, kelompok perkumpulan gereja, dan lain­lain.

Page 149: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012132

Page 150: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

133

GLOSARIUM

Glosarium di bawah ini adalah arti dan makna kata atau kalimat da-lam bahasa Toraja yang ada dalam buku Riset Etnografi Budaya Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Toraja Utara, dalam urutan abjad.

A

Alang = lumbung.Aluk Todolo = agama para leluhur atau agama purba dari suku Toraja.Aluk Simuanne Tallang = aturan upacara agama yang sifatnya ber pasangan.Aluk Rambu Tuka’/Rampe Matallo = upacara persembahan yang bertujuan

sebagai pengungkapan rasa syukur.Aluk Rambu Solo’/Rampe Matampu’ = upacara pemujaan untuk menghormati

leluhur yang meninggal dunia (pemakaman). Segala prosesinya dilakukan di sebelah barat rumah, dan upacara dimulai pada saat matahari mulai terbenam.

ambe’ = bapak.Ambe’ arroan = bapak kelompok manusia, gelar ambe yang kemudian berubah

menjadi siambe dan gelar pong. Karena itu di Toraja kedua istilah ini kemudian menjadi gelar kebangsawanan. Para turunan langsung dari ambe dan pong kemudian dipandang sebagai orang­orang yang berjasa bagi orang Toraja. Bahkan kemudian dua gelar tersebut menyatu pada satu orang saja, seperti Si ’ambe Pong Tiku, salah seorang Pahlawan nasional yang berasal dari Tana Toraja.

B

Bai = babi.Baku = saling.Ballo = minuman dari sadapan pohon enau.Bato’ = sebutan untuk bayi laki­laki yang belum bernama.Billa = sembilu, adalah alat untuk memotong tali pusar bayi dari bambu tajam

yang baru dipotong.

Page 151: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012134

Bua’ = struktur pemerintahan adat di bawah pemerintahan lembang.Bulo di a’pa’ = gelar untuk golongan rakyat atau orang yang merdeka.

C

Cinta Nur = padi atau beras yang terkenal di wilayah Toraja Sa’dan yang merupakan varietas lokal Toraja.

D

Daun sualang = daun yang selalu dibawa­bawa oleh ibu yang memiliki anak kecil dari usia bayi nol bulan hingga balita ketika mereka berada di luar rumah, seperti pergi ke posyandu, ke pasar, atau ke mana saja, untuk menghindarkan anak terkena sakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus.

Deata = dewa, merupakan pemelihara seluruh hasil ciptaan Puang Matua.Disisarakan/dirampanan = hukuman yang berlaku bagi pelanggaran yang

berkaitan dengan kesusilaan dan urusan moral, misalnya hubungan inses. Disasarakan = pemutusan hubungan keluarga.Diali’ = diusir.Dilabu = ditenggelamkan.Ditunu = dibakar hidup-hidup.Dipasang bongi = upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu

malam.Dipatallung bongi = upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam

dan dilaksanakan di rumah dan ada pemotongan hewan.Dipalimang bongi = upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam

dan dilaksanakan di sekitar rumah serta pemotongan hewan.Dipapitung bongi = upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam

dan setiap hari ada pemotongan hewan.Duku = tulang.Duku’ sangira = 1 irisan daging.

G

Garonto’ passura’ = pokok-pokok ukiran, merupakan simbol dasar kehidupan orang Toraja.

I

Indo’ = Ibu.

K

Kalimbuangboba puang matokko’ sadamairi = dewa yang memelihara sawah.Kariango = tanaman khas Toraja semacam umbi bangle yang hidup di air.

Kariango biasa digunakan oleh ibu hamil, dan juga bayi baru lahir dengan

Page 152: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

135

cara disematkan dengan peniti ke baju, bertujuan untuk mengusir makhluk halus yang ingin mencelakai ibu dan bayi.

Kedatuan mata allo = kerajaan sebelah timur.Kedatuan matampu’ = kerajaan sebelah barat, sebutan untuk kerajaan orang

Toraja, serta orang­orang toraja disebut To Riajang.Kombongan basse lepongan bulan = Badan Musyawarah Besar Tana Toraja.

L

Lae’= panggilan untuk sebutan perempuan.Lai atau Laili = sebutan bayi perempuan yang belum bernama.Lesoan aluk = semacam ketetapan yang mengatur bagaimana jumlah

persembahan dan proses yang harus dijalankan dalam semua upacara ataupun pemujaan.

Litak mararang = warna merah.Litak mabusa = warna putih.Litak mariri = warna kuning.Litak malotong = warna hitam.

M

Ma’ barata dalam rambu solo’= = pengurbanan untuk menghormati seorang bangsawan atau pejuang yang amat berjasa.

Ma’nene’ = = upacara khusus mengenang dan memperingati arwah leluhur.Ma’pakande tomatua atau manta’da = upacara khusus untuk kurban persembahan

untuk sebuah persaksian yang telah dihajatkan.Ma’pasilaga tedong = adu kerbau, yang diadakan pada acara setelah penerimaan

tamu dalam upacara rambu solo’.Mantunu­tunu = pengerjaan pondokan untuk rambu solo’.Ma’bekke = setagen, berupa kain panjang yang digunakan untuk membebat perut

ibu yang baru melahirkan agar kencang kembali.Membalika tomate = upacara pemakaman.Mengaku­aku = hukuman yang mengharuskan dilakukannya pengakuan dosa

atau berupa persembahan kurban.Merok = upacara syukuran rumah tongkonan.Misa kada dipo tuo, pantan kada di pomate = satu kata kita hidup bersama,

berbeda kita akan bercerai berai.Masappi = ekor belut, makanan yang dipercaya bisa melancarkan kelahiran.Mata tinggi = penyakit pada bayi, mata melihat terus ke atas, seperti step.

N

Nakua ma’sarakki = disapih, dipisahkan dari ASI.

Page 153: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012136

O

Ora Tongkon = gelar yang disematkan untuk orang­orang yang telah memiliki keahlian (seorang yang pandai), seperti ahli bahasa dan sastra, ahli sejarah, ahli agama, seniman, pembicara, dan sebagainya.

P

Padang Di Ambe’i = daerah adat bagian timur.Padang di Puangngi = daerah adat bagian tengah. Padang di Ma’dika = daerah adat bagian barat.Pamala lako deata = pemujaaan dan persembahan kepada sang pemelihara

alam. Dalam upacara ini harus dikurbankan babi dan ayam kampung yang merupakan unsur­unsur yang diambil dari alam.

Papiong = masakan yang terbuat dari daging babi yang dimasukkan dalam bambu dan dibakar, dicampur daun mayana yang berwarna ungu, hijau, ataupun campuran merah dan hijau.

Pararrak = penjelajah.Pakambi’ = penggembala kerbau.Pakikki’ atau pantiti’ = bagian­bagian tiap hewan kurban mempunyai ketentuan

bagian mana yang akan diambil untuk sajian persembahan. Pasikambi Tetean Tampo = dewa yang memelihara air.Pemala’ Lako Tomembali Puang/To dolo = pemujaan dan persembahan kepada

sang pengawas manusia oleh para keturunannya dalam bentuk upacara dengan melakukan persembahan dengan mengurbankan salah satu hewan kurban: kerbau, babi, atau ayam.

Pattane = sebuah bangunan rumah batu yang diperuntukkan untuk menye­mayamkan jenazah yang sudah dilakukan upacara rambu solo’.

Pa’ssura = tulisan/ukiran.Passura’ Todolo = ukiran tua, ukiran yang menyangkut peralatan upacara yang

dianggap berkhasiat bagi pemakainya.Passura’ Malolle’ = ukiran kemajuan dan perkembangan, yaitu ukiran yang sering

digunakan pada bangunan yang tidak mempunyai peranan adat (tongkonan Batu A’riri). Ukiran ini digunakan sebagai simbol sikap dan tingkah laku sosial atau pergaulan dengan dibatasi oleh pranata etika dan moral.

Pa’ Barrean = ukiran kesenangan, merupakan ukiran yang terdiri atas potongan­potongan yang sama bentuknya, ada yang lurus dan ada pula yang yang berupa lengkung.

Pemalinna Aluk Ma’lolo Tau = larangan menyangkut aturan agama untuk ke­hidupan manusia.

Pemali Unromok Sapen Tabang = larangan yang membatasi manusia pada saat pelaksanaan upacara keselamatan.

Page 154: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

137

Pemali Unromok/Umpisik Parda Dibolong = larangan pada saat pelaksanaan upacara kematian.

Pemali Unnola Tangsalunna = larangan di luar pelaksanaan upacara atau larangan dalam hubungan sosial masyarakat, seperti dilarang mengacau di pasar, dilarang mencuri, dilarang bercerai dalam perkawinan, dilarang kawin dengan wanita yang lebih tinggi kastanya, dilarang menipu, dan sebagainya.

Pemalinna Aluk Patuoan = larangan dan aturan dalam pemeliharaan ternak, misalnya dilarang menyembelih hewan bersama dengan anaknya.

Pemalinna Aluk Tananan = larangan berkaitan dengan tanaman, seperti dilarang menanam pada malam hari.

Pemalinna Aluk Bangunan Banua = larangan berkaitan dengan pembangunan dan pemakaian rumah, seperti larangan menaikkan orang yang sudah meninggal ke atas rumah yang belum dibuatkan upacara selamatan.

Penanian = struktur pemerintahan adat di bawah pemerintahan lembang dan bua’.

Perre’ = ayunan bayi, terbuat dari kain panjang yang digantungkan pada balok di atap rumah, digunakan untuk mengayun­ayun bayi ketika hendak tidur.

Pia = anak.Po’ = panggilan untuk sebutan laki­laki.Pong Pararrak = para penjelajah pokok atau utama. Puang Lembang = pemilik perahu.Puang Matua = Tuhan dalam bahasa Toraja disebut Puang Matua. Menurut

masyarakat Toraja, Puang Matua­lah yang telah menciptakan bumi ini serta isinya dan memberikan segala sumber kehidupan bagi manusia yang hidup di bumi ini.

Puya = alam tempat leluhur-leluhur sebelumnya berada. Punti sanggara = pisang dengan kulitnya.

R

Rampanan Kapa’ = upacara perkawinan. Rara = darah.

S

Saroan = abdi, unit-unit kerja di bawah koordinator kelompok kerja.Suruna’ Malolo Tau’ = ritual ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian

panjang sebuah upacara yang ditujukan untuk mensyukuri kehidupan dan kelahiran manusia. Ritual ini bertujuan untuk mengingatkan kepada setiap manusia akan pentingnya jalinan kekeluargaan yang erat di antara mereka dan sikap saling menghargai.

Page 155: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012138

Suru’na Ma’lolo Tau = syukuran atas kelahiran.Susi to na siok langkan, na timpayo manuk-manuk = bagaikan disambar elang,

dimangsa burung­burung. Makna sebenarnya adalah ungkapan duka yang sangat mendalam karena orang yang diupacarakan meninggal secara tiba­tiba, dalam bahasa yang diucapkan oleh To Mina’a.

T

Tana’ = merupakan status yang diwariskan secara turun­temurun kepada anak cucu dengan mengacu pada garis keturunan dari satu tongkonan.

Tana’ Bula­an = kasta para bangsawan. Mereka yang masuk dalam golongan kasta ini dipercaya sebagai keturunan langsung dari To Manurun.

Tana’ Bassi = kasta bangsawan menengah. Kaum bangsawan dari golongan ini berasal dari keturunan bangsawan dari manusia biasa.

Tana’ Karurung = kasta orang­orang merdeka atau orang biasa.Tana’ Kua­kua = kasta hamba sahaya atau budak, adalah orang yang menjadi

abdi/hamba kepada golongan kasta Tana Bulaan dan Tana Bassi.Tau Raya = Tau: orang, Raya: selatan (dalam bahasa Makassar), dan menyebut

pula tempat asalnya sebagai Tana Tau Raya, yang kemudian menjadi Tana Toraja.

Tawwani serre’ = ari­ari kucing yang melahirkan pada malam Jumat, yang kemudian diambil dan dikeringkan. Tawwani serre digunakan oleh to mappakianak (bidan kampung) untuk membantu melancarkan proses kelahiran.

Tedong bonga = kerbau belang, merupakan hewan khas yang sering dijumpai di Toraja. Kkerbau ini disebut belang karena memiliki dua warna kulit, yaitu abu­abu dan putih. Tedong bonga ini mempunyai simbol sebagai status sosial yang tinggi bagi orang yang menyembelihnya pada saat upacara rambu solo’.

Tepo’ tondok atau tepo’ padang = kelompok kerja di bawah struktur Penanian.To Wara’ = orang timur, sebutan untuk orang Luwu oleh orang­orang Toraja

sehingga kerajaan Luwu juga biasa disebut Kerajaan Wara’. To Raja = To: orang, Raja: raja. Tempat asal nenek moyang para raja. To Riaja = penamaan yang diberikan oleh orang Bugis Luwu. Kata ini berasal dari

kata To Rajang (To = orang, Rajang = barat) yang berarti “orang dari daerah barat”, terhubung dengan Kerajaan Luwu berada di sebelah timur Tondok Lepongan Bulan.

To Makaka = orang yang lebih tua/tetua, merupakan gelar golongan bangsawan, baik bangsawan Tana’, Bulaan, maupun Tana’ Bassi.

To Manurun = konsep yang umum ditemukan pada masyarakat di Sulawesi Selatan untuk menggambarkan orang yang tidak diketahui asal usulnya dan kemudian dijadikan penguasa oleh masyarakat setempat karena tanda­tanda kebesaran yang mereka bawa.

Page 156: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

139

To’ Mina’a = manusia yang dipandang dapat menyampaikan dan menghubungkan antara manusia dengan Sang Pencipta. Karena itu, untuk memimpin sebuah upacara, kehadirannya adalah mutlak. Para To’ Mina’a memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat. Tidak semua orang dapat menempati posisi ini karena merupakan posisi yang diwariskan secara turun­temurun.

To Membali Puang = para leluhur yang masih berada di antara manusia dan menempati alam ini bertugas mengawasi gerak­gerik manusia yang masih hidup dalam mengelola dan memanfaatkan alam ini.

To Mappakianak = dukun beranak.Tondok Lepongan Bulan/Tana Matarik Allo = negeri yang bentuk pemerintahan

dan kemasyarakatannya merupakan sebuah kesatuan yang bulat bak bentuk bulan dan matahari.

Tongkonan = rumah adat Toraja yang merupakan simbol pemersatu keluarga. Tongkonan tersebut hanya dibangun sebuah saja untuk satu rumpun keluarga sehingga mereka akan selalu merasa dekat meskipun terpisah jauh dari segi jarak.

Tongkonan Layuk = Tongkonan yang menjadi sumber perintah dan kekuasaan dan menjadi tempat dibuatnya aturan kemasyarakatan yang pertama kalinya di Tana Toraja. Tongkonan yang dimaksud adalah Tongkonan Pesio’ Aluk.

Tongkonan Pekaindoran/pekamberan = Tongkonan yang dibangun oleh penguasa­penguasa di masing­masing daerah untuk mengatur pemerintahan berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’ Aluk.

Tongkonan Batu A’riri = tiang batu, Tongkonan yang tidak memiliki peranan dan fungsi politis, tetapi hanya sebagai pertalian dari satu rumpun keluarga yang menjadi turunan dari pendiri tongkonan tersebut untuk memelihara persatuan keluarga dan memelihara warisan tongkonan itu.

W

Wase = kapak, menduduki kapak ketika sedang hamil muda adalah harapan seorang ibu yang mendambakan untuk mendapatkan anak laki­laki.

Page 157: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012140

Page 158: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

141

DAfTAR PUSTAKA

1. Aunger, R. 1999. “Culture as Consensus: Againts Idealism/Contra Con-sensus”, Current Anthropology 40 (Supplement): S93­S101.

2. Badan Pusat Statistik RI. 2010. Maternal and Child Health Profile 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik RI.

3. Badan Pusat Statistik Kabupaten Toraja Utara. 2011. Kecamatan Sa’dan Dalam Angka 2011. Tim Penyusun, Sa’dan 2011.

4. Bendon, O. 2007. Toraja Dance Pa’gellu. http://obendon.multiply.com/photos/album/175/Toraja­Dance­Pagellu?&show_interstitial=1&u=%2Fphotos%2Falbum#, akses 08 Juni 2012.

5. Caulkins, D. Douglas. 2004. “Identifying Culture as a Threshold of Shared Knowledge. A Consensus Analysis Method”, International Journal of Cul­tural Management 4(3):317­333.

6. Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara. 2010. Profil Kesehatan Kabu­paten Totaja Utara Tahun 2009. Tim Penyusun, Rantepao Juni 2010.

7. Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara. 2011. Profil Kesehatan Kabu-paten Toraja Utara Tahun 2010. Tim Penyusun, Rantepao, Juni 2011.

8. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Makassar. 2011. Profil Kes­ehatan Sulawesi Selatan 2010. Tim Penyusun, Makasar, Juni 2011.

9. Foster, G.M, dan B.G. Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta : UI Press.

10. Goodenough, W.H. 1994. “Toward a Working Theory of Culture” da-lam Robert Borofsky,ed. Assessing Cultural Anthropology. New York : McGraw_Hill, Inc. Hal.301­328.

11. Goodenough, W.H. 2003. “In Pursuit of Culture” , Annual Review of Anthropology 32: 1-12.

12. Kalangie, N.S., 1994. Kebudayaan dan Kesehatan. Jakarta: Kesaint Blanc.

Page 159: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012142

13. Kementerian Budaya dan Pariwisata RI, Asdep Urusan Tradisi Deputi Bi-dang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Kementerian Kebu-dayaan Dan Pariwisata. 2005. Inventarisasi Aspek­Aspek Tradisi Kearifan Tradisional Masyarakat Desa (Lembang) Tallung Penanian Kecamatan Sanggalangi, yang Berkaitan dengan Pemeliharaan Linkungan Alam di Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan. Jaranitra, Sulawesi Se-latan.

14. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.HK.03.01/160/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kese­hatan Tahun 2010­2014. Jakarta.

15. Layuk, A.T. 2011. Makna Pesan Kada­kada Tominaa dalam Acara Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ di Tana Toraja. Skripsi. Makasar: Universitas Has-sanudin.

16. Lewaran, E.K. 2011. Unpublished Paper tentang Sejarah Toraja Sa’dan.17. Putra, I.P.J.S. Suku Toraja Dengan Masalah Kesehatan. http://se­

maraputraadjoezt.blogspot.com/2012/06/suku­toraja­dengan­masa-lah­kesehatan.html, akses 03 Juli 2012.

19. Puskesmas Sa’dan Malimbong. 2012. Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP), Puskesmas Sa’dan Malimbong tahun 2012.

20. Puskesmas Sa’dan Malimbong. 2012. PWS KIA Tahun 2011­2012 Puske­mas Sa’dan Malimbong.

21. Puskesmas Sa’dan Malimbong. 2011­2012. DATA LB­1 tentang Sebaran Penyakit Pada Anak tahun 2011­2012 Puskemas Sa’dan Malimbong.

22. Ray, Nihar R. A Review of Health Seeking Behavior: Problems and Pros­pects. Indian Institute Of Public Health, Gandhinagar, ArticlesBase SC #825835. http://www.articlesbase.com/vision­articles/a­review­of­health­seeking­behavior­problems­and­prospects­825835.html,akses 01 Maret 2010.

23. Republik Indonesia. 2009. Undang­Undang Republik Indonesia tentang Kesehatan No.36 Tahun 2009.

24. Tangdilintin, L.E. 1974. Toraja dan Kebudayaannya. Ujung Pandang: Kan-tor Cabang II Lembaga Sejarah dan Antropologi.

25. Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakar-ta: PT.Rineka Cipta.

26. Tomassello, M. 1999. “ The Human Adaptation For Culture,” Annual Re­view of Anthropology 28: 509-529.

27. Winkelman, M. 2009. Cultural and Health Applying Medical Anthropolo­gy. San Francisco: Jossey­Bass.

Page 160: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Etnik toraja Sa’dan, dS. Sa’dan MaliMbong

Kec. Sa’dan, Kab. Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

143

28. http://organisasi.org/daftar­nama­kecamatan­kelurahan­desa­kode-pos-di-kota-kabupaten-toraja-utara-sulawesi-selatan, akses 22 Maret 2012.

29. http://kwatkhaysin.blogspot.com/2011/10/kajian­antropologis­suku­toraja.html, akses 15 Agustus 2012.

30. http://budayatoraja.tripod.com/Ukiran.htm, Ukiran Toraja, akses 08 juni 2012.

Page 161: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

buku SEri Etnografi kESEhatan Ibu dan Anak 2012144