Buku Sejarah Kurikulum SMP

201
EDISI 2010 PERKEMBANGAN KURIKULUM SMP ( DARI MASA HINDIA BELANDA, PENDUDUKAN JEPANG DAN ZAMAN KEMERDEKAAN ) SAID HAMID HASAN 2010

Transcript of Buku Sejarah Kurikulum SMP

EDISI 2010 

Reviewers: 1. Benny Karyadi

2. Mujiyem

3. Achmad Riyanto

4. Agus Suhardono

5. Juandanilsyah

UCAPAN TERIMAKASIH

Buku ini mencapai bentuknya seperti sekarang melalui banyak uluran tangan dan

kebijakan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada

pengambil kebijakan dan pemberi uluran tangan dalam menyempurnakan buku

yang ada di hadapaan pembaca.

Pengambil kebijakan yang sangat menentukan kehadiran buku ini adalah

pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Mansyur Ramly. Buku ini dimunginkan

hadir karena program kerja Balitbang yang beliau pimpin . Oleh karena itu ucapan

terimakasih penulis sampaikan kepada beliau disertai harapan semoga buku ini

memenuhi tujuan program yang dikembangkan.

Pengambil kebijakan yang juga sangat menentukan kehadiran buku ini adalah

pimpinan Pusat Kurikulum (PUSKUR) yaitu Ibu Dra Diah Harianti, M.Pd. Secara

programatik keberadaan buku ini disebabkan oleh program langsung yang

dikembangkan Puskur. Dalam proses penulisan kebijakan pimpinan Puskur dalam

mengendalikan kegiatan penulisan baik pada pertemuan awal ketika

memformulasikan pokok pikiran, pengendalian waktu penulisan dan pertemuan

agar penulisan dapat selesai pada waktunya, dan pengendalian berbentuk masukan

selama masa penulisan. Oleh karenanya, ucapan terimakasih penulis sampaikan

kepada beliau dengan penuh hormat dan dari hati penulis yang paling dalam.

Selain Ketua Puskur, pimpinan Puskur lainnya banyak berkontribusi dalam

penulisan ini. Mereka adalah Dr Herry Widyastono yang secara langsung

mengatur pertemuan untuk kepentingan penulisan, Erry Utomo, Ph.D, Drs

Sutjipto, M.Pd, Drs.N.S.Vijaya,M.Ed., dan ibu Dr Sumiyati. Nama yang

terakhir ini bahkan secara teknis mengatur segala keperluan penulisan baik dalam

bentuk pertemuan, melengkapi dokumen yang diperlukan, serta hal-hal lain yang

sangat membantu memperlancar pekerjaan penulisan. Staf Puskur lain yang

banyak memberikan bantuan dalam kegiatan ini adalah Dra Neda Kasim dan Dra

Veronika. Secara khusus pak Ujang yang telah banyak membantu penulis dalam

i

proses menemukan naskah/dokumen kurikulum. Kepada mereka semua penulis

ingin menyampikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus.

Kepada tema-teman sesama penulis untuk kurikulum SD, SMA, SMK, PAUD

yang telah bahu membahu membantu mengatasi berbagai kesulitan penulisan,

penulis ucapkan banyak terimakasih dari hati yang paling dalam. Demikian pula

dengan teman di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS-UPI yang telah membantu

mencarikan, meminjamkan, dan mengkopikan berbagai sumber penulis

sampaikan ucapan terima kasih. Secara khusus mereka adalah Prof. Dr Rochiati

Wiraatmadja, Prof. Dr. Helius Sjamsuddin, Prof. Dr. Dadang Supardan, M.Pd.,

Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum, Drs Sjarief Moeis, Dr Nana Supriatna, Dra.

Erlina ,M.Pd, Dra. Yani Kusmarni, M.Pd.

Kepada teman dari Nagoya University, Jepang yaitu Prof. Dr Mina Hattori dan Dr

Murni Ramly penulis menyampaikan terimakasih yang mendalam. Mereka yang

banyak membantu dalam penyediaan dokumen pendidikan di masa Pendudukan

Jepang yaitu dokumen yang diberi nama “Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô,

Kurasawa” sangat berharga dalam penulisan ini.

Teman-teman yang mereviu tulisan awal yaitu Benny Karyadi, Mujiyem, Achmad

Riyanto, Agus Suhardono dan Juandanilsyah memberikan sumbangan yang

berharga untuk penyempurnaan penulisan buku ini. Kepada mereka penulis

sampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Kepada mereka yang namanya tak tersebutkan tetapi banyak memberikan

kontribusi dalam penyempurnaan buku, penulis menyampaikan rasa hormat dan

terimakasih yang sama nilainya dengan yang telah disebutkan di atas.

Semoga amal dan bantuan tersebut mendapatkan limpahan rahmatNya. Amin.

Bandung, Desember 2010

Penulis

ii

KATA SAMBUTAN KEPALA BALITBANG

iii

KATA SAMBUTAN KEPALA PUSAT KURIKULUM

iv

KATA PENGANTAR

Buku ini disusun sebagai upaya untuk memberikan gambaran perkembangan

pemikiran kurikulum SMP yang pernah dilakukan selama masa Penjajahan

Belanda, Pendudukan Jepang, dan Masa Kemerdekaan. Masa Kemerdekaan

adalah masa yang paling panjang dilihat dari kurun waktu dan jumlah naskah

kurikulum SMP yang pernah dikembangkan. Pengembangan Kurikulum pada

Masa Kemerdekaan yang dikaji dimulai dari awal kemerdekaan bangsa Indonesia

ketika suasana kehidupan kenegaraan Indonesia masih berada dibawah ancaman

agresi meliter Belanda, dilanjutkan dengan pengembangan kurikulum SMP pada

masa Pemerintahan Parlementer, Masa Orde Lama, Masa Orde Baru, dan diakhiri

pada masa Reformasi. Kerangka perkembangan kehidupan kebangsaan Indonesia

digunakan sebagai periodesasi kajian pengembangan kurikulum SMP karena

pengembangan keberlakuan suatu kurikulum selalu dipengaruhi oleh kebijakan

politik selain faktor-faktor yang bersifat akademik dan perkembangan di bidang

ilmu dan teknologi.

Gambaran perkembangan kurikulum selama masa yang dikemukakan di atas

terutama diutamakan pada kajian terhadap dokumen kurikulum. Kajian ini paling

dimungkinkan mengingat ketersediaan sumber informasi dalam hal ini dokumen

kurikulum. Dimensi kurikulum yang lain yaitu implementasi kurikulum yang

disebut juga dengan istilah “implemented curriculum”, “observed curriculum”

atau “taught curriculum” tidak dikaji mengingat ketersediaan sumber yang dapat

dikatakan sangat tidak memungkinkan membangun rekonstruksi yang dapat

memberikan gambaran yang adil. Laporan, hasil evaluasi, atau pun hasil

penelitian tentang implementasi kurikulum hanya berkenaan dengan kejadian

yang terbatas pada suatu wilayah tertentu. Untuk menghindari gambaran yang

tidak adil maka buku ini tidak melakukan kajian mengenai dimensi implementasi

kurikulum.

Dimensi kurikulum yang ketiga yaitu hasil tidak pula dikaji dalam buku ini

sehingga gambaran mengenai kualitas tamatan SMP dari setiap dokumen

kurikulum yang dikaji tidak direkonstruksi dalam buku ini. Alasan yang sama

v

dengan ketiadaan kajian terhadap dimensi kedua kurikulum, implementasi

kurikulum, berlaku pula bagi ketiadaan kajian dimensi hasil kurikulum. Hasil-

hasil yang diperoleh peserta didik dari ujian nasional baik yang dinamakan

Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional

(EBTANAS), Ujian Akhir Nasional (UAN) mau pun Ujian Nasional (UN)

memiliki kelemahan mendasar dalam validitas kurikulum. Soal-soal ujian yang

dikembangkan untuk evaluasi nasional tersebut tidak memiliki validitas

kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan walau pun memiliki validitas isi

yang dapat dipertanggungjawabkan.1

Dalam analisis yang dilakukan untuk setiap kurikulum diupayakan untuk

mengungkapkan landasan filosofis dan teoritik yang digunakan dalam

pengembangan kurikulum. Keberlanjutan dan perubahan yang terjadi dalam

landasan filosofis dan teoritik memberikan gambaran tentang terjadinya

perbedaan dalam struktur, organisasi konten kurikulum, beban belajar, dan juga

format dokumen kurikulum yang dikembangkan. Dari analisis yang dilakukan

tersebut berbagai hal yang terkait dengan masalah miskonsepsi diungkapkan agar

pembaca buku dapat mengambil makna dan memberikan penilaian yang lebih

baik terhadap kurikulum.

Dilihat dari aspek kelembagaan yang telah mengembangkan kurikulum pada masa

kemerdekaan, pengembangan kurikulum pada masa kemerdekaan dapat dibagi

atas tiga periode yaitu periode pengembangan oleh lembaga teknis, periode

pengembangan lembaga pengembang kurikulum khusus yaitu Puskur, dan periode

dimana pengembangan kurikulum menjadi wewenang satuan pendidikan . Sampai

tahun 1968, kurikulum SMP dikembangkan oleh lembaga teknis yang sekarang

bernama Direktorat SMP. Kurikulum SMP 1975 adalah kurikulum pertama yang

dikembangkan oleh lembaga yang didirikan dengan tugas khusus untuk

pengembangan kurikulum yang sekarang dikenal dengan nama Pusat Kurikulum

1 Validitas kurikulum berkenaan dengan pengukuran kualitas tamatan yang dinyatakan dalam tujuan kurikulum, bukan hanya terbatas pada aspek pengetahuan. Kualitas dalam kemampuan intelektual, afektif dan psikomotor yang tercantum dalam tujuan kurikulum tidak terujikan dalam ujian nasional yang disebutkan di atas. Validitas konten dalam ujian nasional yang disebutkan di atas terbatas pada pokok bahasan yang diujikan dan pada tujuan dlam aspek pengetahuan dari pokok bahasan terkait.

vi

(PUSKUR). Periode ini berlangsung sampai tahun 2004 yaitu ketika pusat ini

berhasil mengembangkan kurikulum yang awalnya bernama Kurikulum Berbasis

Kompetensi pada tahun 2001 dan naskah terakhir dinamakan Kurikulum 2004.

Pada masa Reformasi pengembangan kurikulum menjadi tanggungjawab

Pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan. Kurikulum tingkat

nasional yang dikembangkan Pemerintah berbentuk Struktur Kurikulum berlaku

secara nasional. Pemerintah daerah memiliki kewenangan mengawasi dan

memberikan arahan terhdap pengembangan kurikulum di tingkat satuan

pendidikan. Kurikulum lengkap dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan dan

diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

vii

DAFTAR ISI

Halaman

Ucapan Terimakasih.............................................................................. i

Sambutan Kabalitang. ........................................................................... iii

Sambutan Ka Puskur ............................................................................. iv

Kata Pengantar ...................................................................................... v

DAFTAR ISI......................................................................................... viii

DAFTAR TABEL................................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xii

DAFTAR FOTO ................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN............................................................... 1

A. Istilah Kurikulum Sebagai Pengganti Leerpla .................... 1

B. Perubahan Nama SMP dari MULO, Shoto Chu Gakko,

SLTP, SMP ......................................................................... 4

C. Kurikulum Sebagai “Public Policy” dan “Academic/

Educational Innovation”...................................................... 6

D. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan

Kurikulum ........................................................................... 9

BAB II KURIKULUM SMP (MULO) PADA MASA HINDIA

BELANDA ......................................................................... 15

A. Kelahiran MULO Dalam Sistem Persekolahan Zaman

Hindia Belanda................................................................... 15

B. Tujuan Pendidikan MULO ................................................. 21

C. Mata Pelajaraan dalam Leerplan MULO............................ 21

viii

BAB III KURIKULUM SMP (SHOTO CHU GAKKO) PADA

MASA PENDUDUKAN JEPANG .................................... 26

A. Kebijakan Pendidikan Masa Pemerintahan Pendudukan

Jepang.................................................................................. 26

B. Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum Shoto Chu

Gakko .................................................................................. 27

BAB IV KURIKULUM SMP PADA MASA AWAL

KEMERDEKAAN.............................................................. 33

A. Perkembangan dalam Kebijakan Pendidikan ..................... 33

B. Daftar Pelajaran .................................................................. 43

BAB V KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN

KABINET PARLEMENTER ............................................. 49

A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ................................ 49

B. Filsafat Kurikulum SMP 1954............................................ 52

C. Tujuan Kurikulum SMP 1954 ............................................ 53

D. Rencana Pelajaran SMP 1954............................................. 63

E. Komponen Rencana Pelajaran SMP 1954.......................... 65

BAB VI KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE

LAMA................................................................................. 71

A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ................................ 71

B. Kurikulum SMP Gaya Baru................................................ 74

C. Tujuan Pendidikan SMP ..................................................... 81

D. Mata Pelajaran Kurikulum SMP Gaya Baru ...................... 81

ix

BAB VII KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN

ORDE BARU ..................................................................... 85

A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ................................ 85

B. Kurikulum SMP 1968......................................................... 87

C. Kurikulum SMP 1975......................................................... 95

D. Kurikulum SMP 19841....................................................... 26

E. Kurikulum SMP 19941....................................................... 44

BAB VIII KURIKULUM SMP PADA MASA REFORMASI............ 155

A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ................................ 155

B. Kurikulum 2004.................................................................. 157

C. KTSP................................................................................... 156

BAB IX MENATAP KURIKULUM SMP MASA DEPAN............... 187

DAFTAR BACAAN............................................................................. 193

x

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Leerplan MULO.................................................................... 22

Tabel 3.1 Mata Pelajaran dan Jam Pelajaran Kuriku Shoto Chu Gakko 29

Tabel 3.2 Hari Libur Sekolah................................................................ 30

Tabel 3.3 Buku Pelajaran Untuk Shoto Chu Gakko di Jakarta ............. 32

Tabel 4.1 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1947-

1950....................................................................................... 45

Tabel 5.1 Kelompok dan Tujuan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran

SMP 1954.............................................................................. 57

Tabel 5.2 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1954 . 63

Tabel 6.1 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1962 . 82

Tabel 7.1 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1968 . 91

Tabel 7.2 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1975 ............. 114

Tabel 7.3 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1984 ............. 133

Tabel 7.4 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1994 ............. 151

Tabel 8.1 Struktur Program Kurikulum SMP/Madrasah Tsanawiyah

2001 ...................................................................................... 169

Tabel 8.2 Struktur Kurikulum SMP dan Madrasah Tsanawiyah 2004 . 171

Tabel 8.3 Struktur Kurikulum SMP/MTs dalam Standar Isi ................ 180

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Sistem Pendidikan dan Persekolahan Hindia-Belanda......... 22

Gambar 2 Heirarki Tujuan Pendidikan ................................................. 100

xii

DAFTAR FOTO

Foto 1 Gedung MULO................................................................................... 15

Foto 2 Gedung Shoto Chu Gakko .................................................................. 26

Foto 3 Gedung Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ........................................ 43

Foto 4 Sekolah Menengah Pertama ................................................................ 150

xiii

PENDAHULUAN

 

 

A. ISTILAH KURIKULUM SEBAGAI PENGGANTI LEERPLAN

(RENCANA PELAJARAN)

Istilah kurikulum merupakan istilah baru dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Ketika bangsa Indonesia baru merdeka dan menyatakan dirinya berdaulat atas

wilayah yang dulunya dinamakan Hindia Belanda dunia pendidikan di Indonesia

belum menggunakan istilah kurikulum. Istilah yang digunakan pada awal

kemerdekaan sampai dengan tahun enampuluhan adalah rencana pelajaran dan

daftar mata pelajaran sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda leerplan dan

leervak. Memang tidak dapat disangkal bahwa literatur kurikulum menyebutkan

daftar mata pelajaran (list of courses) sebagai salah satu makna awal dari istilah

kurikulum. Istilah kurikulum baru digunakan di Inggeris pada awal abad ke 19

(1820) oleh Galsgow University dari bahasa Latin curere ( Tanner dan Tanner,

1980; Henderson dan Gornik, 2007:2) yang secara harfiah artinya adalah lari

tetapi pada awal abad ke 19 tersebut berubah maknanya menjadi daftar mata

pelajaran. Istilah kurikulum mulai mendapatkan tempat yang luas pada awal abad

ke 201 (Tanner dan Tanner, 1980:4) setelah mengalami perubahan makna yang

sangat berbeda dari pengertian kurikulum sebagai daftar mata pelajaran.

Istilah kurikulum mulai masuk ke dalam dunia pendidikan Indonesia dari literatur

kependidikan Amerika Serikat menjelang akhir tahun 60-an abad ke 20. Menurut

Longstreet dan Shane (1993:21) istilah kurikulum di Amerika baru dikenal umum

pada awal abad ke 20 walau pun seperti mereka akui bahwa filosof Jerman Johann

Friedrich Herbatt telah mengembangkan pikiran tentang kurikulum sebagai “a

systematic approach to the organization and selection of content as well as to

instructional delivery” pada pertengahan abad ke 19. Di Amerika Serikat,

pemikiran tentang kurikulum pada mulanya berkembang pada akhir abad ke 19

                                                            1 Sebelum istilah kurikulum digunakan istilah paedagogy atau pedagogiek adalah  istilah umum yang digunakan  bersamaan dengan istilah didaktik. 

  1

dengan pembentukan Committee of Ten yang antara lain diketuai oleh Charles

Eliot dari Harvard University (Longstreet dan Shane, 1993: 22-23). Pada tahun

1918 tokoh pendidikan Amerika Serikat yang bernama Franklin Bobbitt dari

University of Chicago menerbitkan buku yang berjudul The Curriculum, buku

pertama yang menggunakan judul kurikulum. Pada tahun 1924 Bobbitt

menerbitkan buku baru yang diberi judul How to Make a Curriculum (Longstreet

dan Shane, 1993:29). Pada tahun 1927 National Society for the Study of

Education (NSSE) menerbitkan buku tahunan ke 26 organisasi ini dengan nama

Curriculum Making:Past and Present yang menurut kedua penulis tadi (Longsreet

dan Shane, 1993:32) kebangkitan awal bidang studi kurikulum sebagai suatu

pekerjaan profesional. Dalam buku tahunan NSSE, Harold Rugg sebagai editor

menyatakan tugas pengembangan kurikulum adalah (1) menentukan objektif

kurikulum, (2) seleksi materi dan aktivitas yang sesuai, dan (3) menentukan

organisasi dan tata urut materi dan aktivitas (Longstreet dan Shane, 1993:32).

Secara implisit buku tersebut menuntut adanya studi yang ilmiah dalam

pengembangan rencana dan evaluasi menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk

menentukan efektivitas kurikulum.

Meski pun Bobbitt dianggap bapak kurikulum di Amerika Serikat, tokoh

pendidikan seperti John Dewey (1916) dan terutama Ralph Tyler (1942) dianggap

oleh banyak akhli sebagai pelopor pemikir kurikulum modern dalam dunia

pendidikan di Amerika Serikat. Dalam bukunya yang berjudul Basic Principles of

Curriculum and Instruction, Tyler mengubah makna kurikulum secara mendasar

dan membedakannya secara mendasar pula dari pengertian kurikulum sebagai

daftar mata pelajaran atau pun sebagai pengalaman belajar. Tyler (1942)

memperbaiki komponen kurikulum yang dikembangkan oleh Harold Rugg dengan

mengemukakan empat komponen yang terkait dengan kurikulum yaitu tujuan,

konten, organisasi konten, dan penilaian hasil belajar. Komponen penilaian hasil

belajar merupakan penyempurnaan yang dilakukan Tyler terhadap pemikiran

Harold Rugg. Sejak itu berbagai definisi kurikulum dirumuskan oleh mereka

yang secara khusus mendalami dan mengembangkan bidang studi kurikulum

  2

tetapi keempat komponen yang dikemukakan Tyler tetap menjadi fokus

pengembangan utama kurikulum dalam setiap konstruksi dokumen kurikulum.

Pada tahun 50-an dan 60-an banyak akhli pendidikan Indonesia belajar buku-buku

pendidikan dari Amerika Serikat dan Inggeris dan banyak pula di antara mereka

melanjutkan studi di bidang pendidikan di Amerika Serikat. Mereka membaca

buku-buku dari belahan dunia yang berbahasa Inggeris tersebut dan berkenalan

dengan istilah kurikulum. Istilah kurikulum mulai masuk menjadi istilah teknis

dalam literatur dunia pendidikan Indonesia tetapi secara resmi, istilah kurikulum

di Indonesia baru digunakan pada tahun 1968 (Dokumen Kurikulum 1968)

ketika pemerintah mengumumkan adanya kurikulum 1968 menggantikan

kurikulum yang berlaku sebelum 1964 yang masih berjudul Rencana Pelajaran

(Dokumen Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru). Sejak 1968, istilah kurikulum

digunakan secara meluas dalam berbagai kebijakan pendidikan dan literatur

pendidikan di Indonesia. Berbagai akhli kurikulum yang secara akademik belajar

tentang bidang ini mulai dimiliki bangsa Indonesia memperkaya kelompok yang

telah berpengalaman dalam mengembangkan Rencana Pelajaran (kurikulum).

Kehadiran Pusat Pengembangan Kurikulum dan Alat Pendidikan, yang ketika

naskah ini ditulis bernama Pusat Kurikulum, serta kehadiran program studi

Kurikulum di berbagai IKIP memperkuat kelompok yang bekerja dan melakukan

studi akademik dalam bidang kurikulum.

Meski pun demikian, harus diakui bahwa meninggalkan makna kurikulum sebagai

daftar mata pelajaran bukanlah sesuatu yang mudah. Dalam realita pengembangan

kurikulum dan kebijakan kurikulum seringkali masih dikungkung oleh makna

kurikulum sebagai daftar mata pelajaran walau pun ada usaha nyata yang

dilakukan dalam kurikulum 1954. Dalam pelaksanaan atau implementasi

kurikulum di sekolah, kurikulum masih diperlakukan sebagai daftar mata

pelajaran. Memang mengubah sebuah kerangka berpikir dan pola tindakan bukan

merupakan sesuatu yang mudah, perlu kesadaran tinggi tentang makna baru secara

konsisten dan membangun pola tindakan baru yang sesuai dengan makna baru itu

  3

merupakan perubahan yang seringkali baru terjadi dalam waktu yang panjang

apabila diupayakan secara konsisten.

Pada saat sekarang, secara resmi kurikulum diartikan sebagai “seperangkat

rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang

digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk

mencapai tujuan pendidikan tertentu” (UU RI nomor 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat

(19)). Rumusan pengertian kurikulum yang digunakan dalam UU RI nomor 20

tahun 2003 tersebut menyatukan tiga dimensi utama kurikulum yaitu dimensi

rencana (curriculum as intended, planned, document) dan dimensi proses

(implementasi) dan kurikulum sebagai hasil (product) dalam satu kesinambungan.

 

B. PERUBAHAN NAMA SMP DARI MULO, SHOTO CHU GAKKO, SLTP,

SMP

Sejak kemerdekaan, nama Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengalami

perubahan nama beberapa kali. Pada zaman penjajahan Belanda ada sekolah yang

bernama MULO2 (untuk mereka yang sudah menyelesaikan pendidikan di HIS3,

HCS, dan ELS4), serta HBS5 (untuk lanjutan tamatan ELS dan HCS).

Pada masa Pendudukan Meliter Jepang dikenal adanya Shoto Chu Gakko6. Shoto

Chu Gakko adalah sekolah yang dianggap sederajat dengan MULO dan yang pada

masa awal kemerdekaan dan sekarang dikenal dengan nama SMP. Perbedaan

yang mendasar dengan Mulo adalah Shoto Chu Gakko boleh menggunakan

bahasa Indonesia tetapi bahasa Belanda dilarang. Meski pun demikian, nama

                                                            2 MULO = Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Pendidikan Rendah yang Diperluas), bahasa pengantar Bahasa Belanda 3 HIS = Hollandsch Inlandsche School (Sekolah Dasar untuk pribumi), bahasa pengantar Bahasa Belanda 4 ELS = Europesche Lagere School (Sekolah Dasar untuk orang Eropa), bahasa pengantar Bahasa Belanda 5 HBS = Hogere Burger School (Sekolah Lanjutan Tinggi) untuk mereka yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi dikembangkan dari seksi B Gymnasium Koning Willem III pada tahun 1867 di Jakarta (Nasution,1983:130; Djumhur dan Danasaputra, 1974:128). 6 Gunawan (1986), Kebijakan‐Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta. Bina Aksara 

  4

MULO tetap tercantum dalam salah satu dokumen Jepang tentang pendidikan di

pulau Jawa yang berjudul “Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô”.

Setelah Indonesia berdiri sebagai negara merdeka, nama Sekolah Menengah

Pertama (SMP) mengalami berbagai pergantian. Barangkali dapat dikatakan

bahwa perubahan nama SMP yang terjadi di Indonesia menunjukkan dinamika

yang lebih tinggi dibandingkan negara mana pun di dunia, apalagi jika diingat

bahwa SMP sebagai suatu satuan pendidikan yang berdiri sendiri merupakan

suatu yang unik Indonesia. Pewarisan sistem persekolahan dari zaman penjajahan

Belanda yang kemudian diteruskan oleh pendudukan meliter Jepang dan

diformalkan dalam berbagai ketetapan legal di Indonesia memberikan dasar

hukum yang kuat bagi esksistensi SMP sebagai satuan pendidikan yang mandiri.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1950, sekolah yang disebut dengan

istilah Mulo atau pun Shoto Chu Gakko, disebut dengan nama Sekolah Menengah

Umum Tingkat Pertama disingkat SMP. Kata atau istilah umum pada nama SMP

digunakan karena sampai tahun 1973 Indonesia masih mengenal adanya sekolah

kejuruan seperti Sekolah Teknik Tingkat Pertama (STP), Sekolah Menengah

Ekonomi tingkat Pertama (SMEP), Sekolah Menengah Pertanian Pertama

(SMPP), Sekolah Kepandaian Keputrian Pertama (SKKP), dan sekolah menengah

keguruan yaitu Sekolah Guru B (SGB). Nama-nama sekolah kejuruan dan

keguruan tersebut sangat eksplisit sehingga sangat kecil menimbulkan salah

persepsi bahwa sekolah-sekolah tersebut berkenaan dengan persiapan peserta

didik dalam satu vokasi tertentu. Untuk SMP adanya kata umum memperjelas

posisi sekolah tersebut sebagai sekolah yang tidak dirancang untuk

mengembangkan pendidikan dalam vokasi. Dalam UU RI nomor 20 tahun 2003

Pasal 17 ayat (2) SMP adalah singkatan dari Sekolah Menengah Pertama, sudah

tidak lagi menggunakan kata umum di dalam nama penuhnya.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 nama SMP diubah menjadi

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) walau pun pada waktu Indonesia

  5

hanya memiliki satu jenis sekolah pada jenjang ini. Jadi, SLTP adalah nama diri

sekolah seperti halnya SMP, dan bukan nama kelompok sekolah/satuan

pendidikan di jenjang lanjutan pertama. SMA yang dalam undang-undang yang

sama diubah menjadi SMU (Sekolah Menengah Umum) sebagai anggota dari

SLTA atau Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sebagai nama kelompok satuan

pendidikan. Anggota lain dari SLTA adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Perubahan nama SLTP terjadi lagi sebagaimana ditetapkan dalam Undang-

Undang nomor 20 tahun 2003 yaitu ketika SLTP kembali menjadi SMP,

singkatan dari Sekolah Menengah Pertama (UU nomor 20 tahun 2003, Pasal 17)

tanpa ada kata umum. Sedangkan sekolah dibawah Departemen Agama yang

sederajat dengan SMP dan diakui oleh Undang-Undang nomor 20 tahun 2003

adalah Madrasah Tsanawiyah (MTs). Undang-Undang nomor 20 tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memberikan nama kelompok satuan

baik untuk jenjang menengah pertama mau pun menengah atas.

C. KURIKULUM SEBAGAI “PUBLIC POLICY” DAN “ACADEMIC/

EDUCATIONAL INNOVATION ”

Kurikulum adalah suatu kebijakan publik karena kurikulum yang dinyatakan

berlaku oleh pemerintah berdampak kepada kehidupan sebagian terbesar

masyarakat langsung atau tidak langsung, berdampak kepada pembiayaan (cost)

yang harus dikeluarkan pemerintah dan masyarakat, berdampak kepada

kehidupan bangsa di masa mendatang, dan memiliki keterikatan dengan tata

kehidupan masyarakat yang dilayani kurikulum secara langsung. Oleh karena itu

kurikulum tidak mungkin menjadi suatu keputusan/kebijakan pendidikan apabila

tidak mendapat dukungan politik (politically viable) bangsa. Aspek kurikulum

yang paling banyak berkenaan dengan unsur politik adalah aspek ide kurikulum.

Aspek ini menyatakan secara filosofis kualitas generasi muda bangsa yang akan

dikembangkan melalui pengembangan potensi setiap individu peserta didik.

  6

Aspek ide kurikulum merupakan ketentuan tentang filosofi, teori serta model

kurikulum untuk mengembangkan potensi peserta didik. Artinya, jika pendidikan

untuk seluruh bangsa Indonesia adalah pendidikan dasar 9 tahun (Wajib Belajar 9

Tahun) maka kualitas minimal yang harus dimiliki setiap anak bangsa Indonesia

mereka miliki setelah mengikuti proses pendidikan selama 9 tahun (SD/MI dan

SMP/MTs). Oleh karenanya, kurikulum pendidikan dasar harus mampu

mengembangkan materi dan proses pendidikan dimana setiap peserta didik

memiliki kesempatan dan kemampuan mengembangkan potensi dirinya menjadi

kualitas yang dimaksudkan. Posisi yang menempatkan kurikulum pendidikan

dasar menyandang peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik

menjadi kualitas dasar bagi seluruh manusia Indonesia, menjadikan kurikulum

SD/MI dan SMP/MTs sebagai suatu kebijakan pendidikan yang kritikal dan

fundamental. Kegagalan dalam upaya mengembangkan potensi menjadi kualitas

yang diperlukan akan menimbulkan dampak yang sangat mungkin tidak

diinginkan, dalam kehidupan pribadi yang bersangkutan dan bangsa di berbagai

dimensi kehidupan pribadi, kemasyarakatan, dan kebangsaan. Pendidikan

menengah apalagi pendidikan tinggi tidak dalam posisi yang kritikal dan

fundamental sebagaimana kurikulum pendidikan dasar karena pendidikan

menengah dan tinggi tidak dalam posisi untuk mengembangkan kualitas minimal

yang dipersyaratkan bagi seluruh bangsa Indonesia tapi bagi mereka yang terpilih

berdasarkan kemampuan dan minat yang dimiliki seseorang warganegara. Tentu

saja suatu bangsa memerlukan warga yang memiliki kualitas dasar, kualitas

lanjutan, dan kualitas tinggi dan karenanya secara keseluruhan pendidikan

menengah dan pendidikan tinggi sangat diperlukan bangsa.

   Kurikulum sebagai kebijakan publik dituangkan dalam bentuk dokumen,

direalisasikan dalam bentuk dimensi proses kurikulum yaitu pembelajaran, dan

diwujudkan dalam bentuk hasil belajar. Dimensi dokumen dikembangkan sebagai

rancangan bagi landasan pengembangan dimensi proses kurikulum sedangkan

dimensi hasil adalah bentuk kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai hasil

langsung dari pengalaman belajar mereka dalam dimensi proses pembelajaran.

Keempat dimensi kurikulum tersebut yaitu sebagai “curriculum ideas, a written

  7

plan where the ideas are planned and documented, the experiences the students

have as teachers realize the ideas in the document into reality or learning

process, and the product, outcomes or the competencies the students have as the

direct result from the experiences ( Hasan, 2009) merupakan satu keseluruhan

proses pengembangan kurikulum (curriculum development).

Kurikulum adalah suatu hasil pemikiran inovatif para pengembang sebagai

jawaban terhadap apa yang diperlukan masyarakat (hasil dari “need analysis”).

Seperti dikemukakan Oliva (1992) curriculum is a product of its time. . .

Curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions,

psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at

its moment in history. Oleh karena setiap terjadi perkembangan dalam masyarakat

yang berdampak luas dan menghendaki adanya kualitas baru dari anggota

masyarakatnya maka diperlukan suatu kurikulum baru. Kurikulum adalah

jawaban atau hipotesis pendidikan terhadap kebutuhan pengembangan potensi

peserta didik menjadi kualitas baru yang diperlukan untuk kehidupan dirinya

sebagai warganegara.

Dalam jawaban tersebut yaitu kurikulum baru selalu terkandung suatu inovasi.

Ruang lingkup atau “magnitude” inovasi suatu kurikulum baru beragam, dapat

berkenaan dengan sesuatu yang besar dan meliputi aspek filosofis, teoritik, model

sampai ke berbagai komponen dokumen kurikulum. Ruang lingkup inovasi

kurikulum baru tersebut dapat pula merupakan sesuatu yang sangat kecil dan

hanya berkenaan dengan satu komponen kurikulum tapi memiliki nilai pendidikan

yang signifikan. Semakin rumit dan luas kualitas baru yang dibutuhkan

masyarakat maka semakin besar pula ruang lingkup inovasi suatu kurikulum baru.

  8

D. FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENGEMBANGAN

KURIKULUM

Suatu kurikulum diganti, diubah atau dipertahankan tergantung pada tiga

kelompok utama faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan kurikulum. Ketiga

faktor tersebut adalah perubahan politik, perkembangan ilmu dan teknologi, dan

perkembangan sosial-budaya-ekonomi. Ketiga kelompok faktor tersebut

berpengaruh terhadap kebijakan kurikulum sebagai kebijakan publik/pendidikan

di negara mana pun, dan ketika salah satu dari ketiga faktor tersebut berubah

terutama faktor politik maka kurikulum sebagai suatu kebijakan publik/

pendidikan akan berubah.

1. Faktor Politik

Sebagaimana telah dikemukakan di bagian atas, kurikulum di Indonesia

mengalami perubahan mendasar pada tahun 1966 karena adanya perubahan

kekuatan politik dari kehidupan politik yang semulanya didominasi oleh

kekuatan komunis ke kekuatan politik yang didominasi kekuatan anti

komunis. Ketika terjadi perubahan kekuatan politik tersebut maka pemerintah

segera mengeluarkan kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum 1968

menggantikan kurikulum sebelumnya yaitu Rencana Pelajaran SMP Gaya

Baru tahun 1964. Penggantian kurikulum Gaya Baru menjadi kurikulum 1968

bersifat sementara untuk mengatasi masalah ideologi komunis, demokrasi

terpimpin dan ekonomi terpimpin yang dianggap sudah tidak sesuai untuk

kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada

dasarnya secara teknis perubahan tersebut terjadi hanya dengan menghapus

bagian-bagian tertentu konten kurikulum yang berkenaan dengan ajaran

komunisme. Perubahan tersebut memang membuktikan adanya pengaruh

politik yang sangat jelas dan tak mungkin dipungkiri terhadap kurikulum

(Appel, 1979: 13; Giroux, 1981: 21-22; Waring, 1981: 20). Kurikulum adalah

isi dan jantungnya pendidikan (Klein, 2000:54) dan oleh karena itu kekuatan

yang mampu mempengaruhi kurikulum berarti mampu menguasai proses

pendidikan dan hasil pendidikan. Kepedulian kekuatan politik dapat berupa

  9

kekuatan resmi yang dipegang oleh pemerintah (pusat, daerah) tetapi juga

dapat berupa kekuatan politik yang riil di masyarakat dan secara langsung

berpengaruh terhadap kurikulum sebagai suatu proses pendidikan.

Kekuatan politik dikembangkan menjadi kemauan politik. Kemauan politik

dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki wewenang sebagai pengambil

kebijakan di bidang kurikulum (presiden, menteri, BSNP, kepala

sekolah/komite sekolah). Kemauan politik dimiliki pula oleh sejumlah orang

yang berhasil mempengaruhi pengambil kebijakan dalam menentukan

kurikulum. Sekelompok orang yang berhasil mempengaruhi pengambil

kebijakan itu mungkin para politisi, “pressure groups”, akademisi, orang tua,

atau komunitas tertentu di masyarakat.

Pengaruh politik atau kekuatan politik (termasuk tekanan sosial) tidak dapat

dilepaskan atau pun diabaikan dalam proses pengembangan kurikulum mana

pun dan di negara mana pun. Pengaruh politik atau kekuatan politik paling

kecil adalah pengaruh terhadap kurikulum akademik perguruan tinggi karena

lembaga perguruan tinggi dilindungi dan dikembangkan sebagai lembaga yang

memiliki otonomi penuh di bidang akademik. Berbeda dari kurikulum

akademik, kurikulum profesi dan vokasional yang dikembangkan di perguruan

tinggi sangat dipengaruhi oleh kekuatan masyarakat yang menjadi pemegang

profesi dan tergabung dalam organisasi profesi.

Untuk mengurangi pengaruh politik dan masyarakat terhadap pengembangan

kurikulum di jenjang pendidikan dasar dan menengah, di berbagai negara

kurikulum perekolahan dikembangkan oleh perguruan tinggi. Kebijakan

tersebut tidak menyebabkan para pengembang kurikulum dapat melepaskan

diri dari pengaruh politik dan kekuatan masyarakat. Pengaruh politik dan

masyarakat paling kecil adalah dalam bentuk apa yang tidak boleh

dikembangkan kurikulum baik terutama dalam komponen konten, proses

pendidikan atau pun penilaian hasil belajar. Pengaruh tersebut menyebabkan

suatu kurikulum hanya dapat digunakan oleh satuan pendidikan jika

  10

kurikulum tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan politik dan

masyarakat (politically viable).

2. Pengaruh ilmu dan teknologi

Ilmu dan teknologi merupakan faktor kuat yang banyak berpengaruh terhadap

perubahan kurikulum. Termasuk dalam disiplin ilmu yang dimaksudkan di

sini adalah disiplin ilmu seperti biologi, kimia, fisika, matematika, sejarah,

geografi, ekonomi, sosiologi,antropologi, politik dan ilmu pendidikan. Sudah

sejak awal, sejak istilah kurikulum belum digunakan, perkembangan ilmu

selalu berpengaruh terhadap kurikulum (Benjamin, 1939; Taba, 1962; Saylor

dan Alexander, 1967; Kliebard, 1965; Henderson dan Kesson, 2004)

Perkembangan materi suatu disiplin ilmu baik materi substantif mau pun

materi ketrampilan, terutama materi disiplin ilmu yang langsung menjadi

materi mata pelajaran tentu akan mengharuskan terjadinya perubahan

kurikulum. Contoh dalam dunia pendidikan Indonesia misalnya adalah ketika

matematika memperkenalkan apa yang dinamakan matematika modern. Mata

pelajaran yang dulunya namanya aljabar, ilmu ukur dan ilmu pasti menjadi

matematik. Ilmu Tumbuh-tumbuhan, Ilmu Hewan, Ilmu Tubuh Manusia

digabungkan menjadi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Perkembangan dalam teknologi mengubah kurikulum baik dalam konten mau

pun dalam proses pembelajaran. Perkembangan teknologi informasi dan

komunikasi akhir-akhir ini menunjukkan kebutuhan akan pentingnya

perubahan kurikulum. Teknologi informasi dan komunikasi memberikan

peluang besar dalam penerapannya dalam kurikulum untuk memudahkan

peserta didik mengakses sumber informasi, berbagai jenis informasi tetapi

juga menuntut agar peserta didik menguasai berbagai ketrampilan teknis yang

terkait dengan aplikasi alat-alat teknologi informasi dan komunikasi.

Perkembangan dalam dunia ilmu pendidikan termasuk filsafat berpengaruh

terhadap perubahan kurikulum. Filosofi kurikulum sebagaimana dikatakan

  11

oleh Schubert (1986:113) adalah jantung pengembangan kurikulum. Ia

mengatakan:

Philosophy lies at the heart of educational endeavor. This is perhaps more evident in curriculum domain than in any other, for curriculum is a response to the question of how to live a good life. . . . John Dewey (1916) supported this emphasis when he suggested that education is the testing ground of philosophy itself

Pendapat serupa dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980) dan Oliva

(1997). Tanner dan tanner (1980: 103) bahkan menyatakan bahwa filosofi

kurikulum berpengaruh dan menjadi sumber dalam proses pengembangan

kurikulum. Sedangkan Oliva (1997:190) mengatakan bahwa setiap

pengembang kurikulum harus sadar filosofi yang berpengaruh pada dirinya

ketika mereka mengembangkan ide dan dokumen kurikulum. Sebagai contoh,

filosofi kurikulum essensialisme dan perenialisme sangat menekankan pada

pandangan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu

mengembangkan kemampuan intelektual dan berpikir rasional. Atas dasar

filosofi ini, kurikulum harus mengembangkan pendidikan disiplin ilmu

sehingga konten kurikulum adalah konten disiplin ilmu dan tentu saja setiap

perkembangan yang terjadi dalam konten disiplin ilmu menghendaki

perubahan kurikulum. Ketika filosofi lain seperti eksperimentalisme,

humanisme dan rekonstruksi sosial menjadi landasan pengembangan

kurikulum maka pengetahuan dan ketrampilan yang berasal dari disiplin ilmu

tetap diperlukan. Pengetahuan dari disiplin ilmu berupa fakta, konsep,

generalisasi atau juga teori merupakan persyaratan awal untuk mengenal dan

memahami ketrampilan atau pun nilai yang akan dikembangkan. Pengetahuan

merupakan sesuatu yang diperlukan otak untuk mengembangkan kemampuan

kognitif tetapi juga kegiatan kognitif memberikan hasil berupa pengetahuan

baru. Kemampuan kognitif seperti memahami, menggunakan/ menerapkan,

menganalisis, dan mengevaluasi menjadi dasar kuat bagi seseorang untuk

mengembangkan kemampuan kognitif tertinggi yaitu menghasilkan suatu

pengetahuan baru atau produk baru dalam berbagai bentuk.

  12

3. Perkembangan sosial-budaya-ekonomi

Sosial-budaya adalah landasan pengembangan suatu kurikulum. Pewarisan

nilai-nilai budaya adalah salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya

perubahan kurikulum sebab pada dasarnya kurikulum adalah salah satu

landasan pengembangan kurikulum (Smith, Stanley, dan Shores, 1957; Taba,

1962). Perkembangan fokus dan unsur nilai yang harus diwariskan pendidikan

kepada generasi muda akan memberikan dasar yang kuat untuk suatu

kurikulum berubah. Ketika fokus dan unsur nilai berhimpit dengan

kepentingan politik maka perubahan pada fokus dan unsur nilai semakin tinggi

frekuensinya. Pada saat itu maka adanya perubahan kurikulum semakin tinggi

pula.

Kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu masyarakat selalu berubah. Pengaruh

politik, ilmu, dan teknologi akan lebih mempercepat perubahan yang terjadi

dalam kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu masyarakat. Perubahan yang

terjadi melahirkan berbagai kebutuhan akan kemampuan baru yang harus

dimiliki anggota masyarakat. Kemampuan baru yang dituntut oleh perubahan

kehidupan sosial-budaya-ekonomi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan

baru, ketrampilan kognitif baru, sikap baru, nilai baru, dan kebiasaan baru.

Hal-hal baru itu merupakan tambahan, penyempurnaan atau bahkan

mengganti hal-hal lama yang sudah ada. Ketrampilan baru yang dihasilkan

oleh hal-hal baru merupakan dorongan atau faktor yang kuat untuk mengubah

kurikulum.

Perubahan yang dipengaruhi oleh perubahan dalam kehidupan sosial-budaya-

ekonomi tak bisa dihindari kurikulum. Kurikulum mempunyai peran yang

sangat penting untuk melayani kepentingan masyarakat (Taba, 1962; Saylor

dan Alexander, 1974). Dinamika masyarakat adalah dinamika kurikulum dan

masyarakat berkembang jika kurikulum memberikan hasil dengan kualitas

peserta didik yang mampu mengembangkan masyarakat. Pada gilirannya,

masyarakat memerlukan kualitas baru akibat dari kemajuan atau

perkembangan yang mereka miliki. Oleh karena itu apa yang terjadi di

  13

masyarakat akan berpengaruh terhadap kurikulum dan sebaliknya apa yang

diberikan kurikulum kepada masyarakat akan menimbulkan perubahan-

perubahan baru dalam masyarakat.

 

 

  14

KURIKULUM SMP (MULO) PADA ZAMAN HINDIA BELANDA

 

 

Foto 1: MULO di Bandung pada tahun 1919 Sumber: Foto dari Priambodo, tersedia pada http://djawatempodoeloe.multiply.com/photos/album/190

A. KELAHIRAN MULO DALAM SISTEM PERSEKOLAHAN ZAMAN

HINDIA BELANDA

Pendidikan barat di Indonesia sudah diperkenalkan sejak masa awal

kekuasaan Portugis di Indonesia yaitu dengan pendirian sekolah seminari di

Ternate pada tahun 1536 (Nasution, 2008:4; Djumhur dan Danasaputra, 1976:

115). Tujuan dari pendirian sekolah itu adalah untuk menyebarkan agama

Katolik, sesuai dengan semboyan “gold, glory, and gospel” ketika bangsa

Portugis menjelajah dan menjajah wilayah di luar benua Eropa. Pendidikan

  15

barat dalam skala yang lebih luas dari sekolah seminari, diperkenalkan

kongsi dagang Belanda yang bernama “Vereenigde Oost-Indische

Compagnie” (VOC) di Ambon pada tahun 1607 (Nasution, 2008:4; Djumhur

dan Danasaputra, 1976:116). Ajaran agama yang diperkenalkan adalah Kristen

Protestan (Calvinisme, Lutherian) yang telah berkembang di Eropa sejak awal

abad ke 16 termasuk Belanda dan di Indonesia secara resmi dinamakan

Kristen untuk membedakannya dari Katolik. Baik Portugis mau pun Belanda

(VOC) berkonsentrasi mendirikan sekolah di daerah Maluku di masa awal

kekuasaan mereka karena Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah

yang terkenal di Eropa pada masa itu, dan menjadi daerah tujuan utama

Portugis dan Belanda ke Indonesia. Kurikulum pada waktu itu

mengembangkan proses pembelajaran yang berkenaan dengan ajaran-ajaran

agama.

Setelah VOC menduduki Jayakarta, mengubah namanya menjadi Batavia,

VOC mulai membangun sistem administrasi pemerintahan dan perdagangan.

Untuk itu VOC memerlukan tenaga kerja trampil terutama di bidang

administrasi. Pada tahun 1630 VOC membuka sekolah di Jakarta dengan

pelajaran yang utama adalah membaca, menulis, berhitung ditambah dengan

pendidikan agama Kristen seperti “memupuk rasa takut kepada Tuhan, dasar-

dasar agama Kristen, berdo’a, bernyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang tua,

penguasa dan guru” (Nasution, 2008:5). Kurikulum seperti itu adalah sesuatu

yang umum pada masa itu dan untuk sekolah VOC ditetapkan oleh lembaga

pimpinan tertinggi VOC yang dinamakan De Heeren XVII.

Kebijakan pendidikan VOC pada masa itu tidak sepenuhnya memisahkan

sekolah untuk anak-anak Eropa dengan pribumi terpilih. Mereka bersekolah

bersama terutama disebabkan karena jumlah anak-anak Eropa masih terbatas

dan misi untuk menyebarkan agama Kristen (Nasution, 2008:6; Djumhur dan

Danasuparta, 1976:116) yang ditujukan kepada anak Indonesia7. Pada bulan

Desember 1799 VOC dibubarkan dan kekuasaan di Indonesia langsung berada

                                                            7 Nama Indonesia dan pribumi digunakan silih berganti dengan pengertian yang sama karena pada masa VOC nama Indonesia belum dikenal/digunakan. 

  16

di bawah parlemen Belanda. Pemerintahan Belanda di Indonesia dinamakan

Pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Berbagai kebijakan

pendidikan baru pun dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk

anak-anak keturunan Eropa, Cina, dan pribumi dengan sekolah yang berbeda

pula. Pendidikan untuk anak pribumi (inlands onderwijs) dikembangkan

khusus dengan jenis sekolah yang berbeda dari anak-anak keturunan Eropa

yang bersekolah di dalam sistem pendidikan Eropa (Europees Onderwijs)

(Poeze, 1982: xx). Pada tahun 1817 sekolah pertama bagi anak-anak Belanda

dan Eropa lainnya dibuka di Jakarta diikuti dengan pendirian sekolah serupa

di berbagai kota di pulau Jawa (Nasution, 2008:9). Sedangkan untuk anak

Indonesia didirikan sekolah Kelas Dua (Tweede Klasse-school = sekolah

ongko loro), Sekolah Desa (Dessa-school), dan Sekolah Rakyat (Vervolg-

school). Ketiganya adalah dalam kelompok sekolah dasar (lager onderwijs).

Secara keseluruhan sistem persekolahan tingkat dasar dan menengah

tergambarkan pada Gambar 1 sebagaimana dikemukakan oleh Poeze

(1982:xx)

Politik Etis dan pengaruh faham liberal yang berkembang di Belanda

membuka kesempatan pendidikan barat yang lebih besar bagi anak Indonesia.

Tekanan politik dalam negeri menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda

membuka kesempatan kepada anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan

yang lebih luas tetapi baik politik Etis mau pun faham liberal tidak

memberikan kesempatan yang sama antara anak Indonesia dengan anak

Belanda. Pemisahan pendidikan terjadi pada jalur dan jenjang. Pada jenjang

pendidikan dasar terjadi pemisahan pendidikan untuk anak pribumi (inlands

onderwijs), dan anak Eropa (Europees onderwijs) dan anak Cina. Dalam

jangka waktu yang cukup panjang bagi anak Indonesia hanya tersedia sekolah

pada jenjang pendidikan dasar sedangkan bagi anak Belanda tersedia sekolah

pada jenjang pendidikan menengah. Anak Indonesia yang cerdas dan jumlah

mereka semakin banyak tetapi mereka tidak memiliki melanjutkan studinya ke

jenjang pendidikan menengah. Beberapa anak priyayi tinggi dan terpilih

memang dibolehkan melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah.

  17

Kesempatan itu baru terbuka ketika Pemerintah Hindia Belanda membuka

Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), pendidikan dasar yang diperluas.

Gambar 1: Sistem Pendidikan dan PersekolahanHindia-Belanda

EE.L.

oplM.U.L.

MM

KKKK

Kw

Hoger Onderwijs

Inlands Onderwijs Europese Onderwijs

Sumber: Poeze (1982:xx)

Middelbaar Onderwijs

Lager Onderwijs

InheemseM.U.L.O4 jr

Opl.Volkson‐Derwijzer2 jr

Normaal‐School3 jr

Tweede‐Klasse‐School5/6 jr

Dessa‐School3 jr

Vervolg‐school2/3 jr

Schakel‐school5 jr

H.I.S7 jr

E.L.S7 jr

Voorklas  1 jr

M.U.L.O3 jr

H.B.S3/5 jr

A.M.S3 jr

Midd.Landb.school  3 jr

Mosvia 

2jr 

Stovia  6 jr

Bestuursscchool 

2 jrl

Rechtsch. 3 jr

Kweeksch. 

3 jr

Hoogere 

Kweek. 2 jr

Mulo atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Pendidikan Dasar yang

Diperluas) didirikan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914 (Djumhur

  18

dan Danasuparta, 1959:137; van der Wal, 1963:224). Sebelumnya sudah ada

bentuk kursus lanjutan yang dinamakan mulocursussen (Van der Wal,

1963:228) dan tergabung pada ELS (sekolah dasar untuk orang Belanda)

untuk mereka yang bersekolah di ELS. Van der Wal (1963:224) menyebutkan

bahwa pendirian MULO didasarkan atas surat Direktur Pendidikan dan

Agama ( Directeur van onderwijs en eredienst, G.A.J Hazeu) kepada

Gubernur Jenderal Hindia Belanda (A.W.F. Idenburg, 1909-1916) pada

tanggal 17 Maret 1913. Sebelum menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda,

A.W.F. Idenburg menjadi Menteri Tanah Jajahan (1902-1905; 1908-1909) dan

sesudah menjadi Gubernur Jenderal kembali menjadi Menteri Tanah Jajahan

(1918-1919). Adanya keinginan yang besar di kalangan pribumi tamatan HIS

yang cerdas untuk melanjutkan studi lebih lanjut setelah menyelesaikan studi

HIS mereka merupakan salah satu pertimbangan yang dikemukakan dalam

surat Direktur Pendidikan dan Agama Hazeu kepada Gubernur Jenderal

Idenburg untuk membuka MULO sebagai lembaga yang berdiri sendiri (als

een zelfstandig instituut). Pribumi tamatan HIS yang cerdas tersebut tidak

mungkin melanjutkan ke mulocursussen yang bagian ELS dan tidak pula ke

HBS, karena keduanya diperuntukkan bagi orang Eropa.8

Pada tahun 1914 kursus-kursus tersebut disetujui untuk dikembangkan

menjadi Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) sebagai sekolah yang

berdiri sendiri, lepas dari ELS. Pendirian MULO tersebut dikukuhkan

berdasarkan Ind. Stbl.9 1914 nomor 447 junto nomor 672 dan 687 tentang

Reglement op de openbare scholen van voortgezet en uitgebreid lager

onderwijs in Netherlands Indie” (Van der Waal, 1963:230). Istilah meer

uitgebreid (lanjutan lebih luas) memberikan indikasi tentang kedudukan

                                                            8 Dalam kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda dipisahkan sekolah untuk orang Eropa, Cina,  dan  Indonesia  yang  dinamakan  pribumi  (istilah  orang  atau  bangsa  Indonesia  belum digunakan). Untuk anak pribumi disediakan inlands onderwijs sedangkan untuk Eropa disediakan europees onderwijs (Poeze,1982:xx) 9  Ind.  Stbl  adalah  singkatan  Indische  Staatblad  yang  masih  berlaku  dalam  sistem  hukum Indonesia, dinamakan  Lembar Negara yang mencatat  sebuah undang‐undang. Sebuah undang‐undang baru dinyatakan resmi berlaku setelah tercatat dan diundangkan dalam Lembar Negara. Lembar Negara ditandatangani oleh Sekertaris Negara (dulu oleh Menteri Kehakiman) dan diberi nomor khusus.  

  19

sekolah yang semula kursus dan bagian dari sekolah dasar tersebut, demikian

pula dengan istilah onderwijs (pendidikan) dan bukan school yang digunakan,

seolah-olah pelaksanaan pendidikan dilakukan bukan oleh lembaga

pendidikan yang dinamakan sekolah.

Lama belajar MULO yang semula 2 tahun ketika masih menjadi kursus dan

bagian dari ELS, dikembangkan menjadi 3 tahun setelah menjadi MULO yang

lepas dari ELS10. MULO terbuka bagi anak Indonesia yang sudah

menyelesaikan HIS (Hollandsch Inlandsche School = Sekolah Pribumi

berbahasa Belanda). Sejak berdiri sendiri, Mulo menjadi lembaga/sekolah

resmi sesudah sekolah dasar dan menjadi persyaratan untuk memasuki AMS

(Algemeene Middlebare School) yang setelah Indonesia merdeka disebut

SMA.

Berbeda dari ELS, HIS, apalagi HBS, MULO tidak didasarkan pada model

sekolah Eropa (Nasution, 2008:123; Poeze, 1982:XIX). Dalam struktur

persekolahan di Belanda dan di banyak negara Eropa, tidak ada sekolah pada

jenjang menengah yang berdiri sendiri seperti MULO. Di berbagai negara

Eropa, sekolah menengah diorganisasikan dalam satu manajemen dan terdiri

atas program menengah junior (setara SMP) dan menengah senior (setara

SMA). Pada masa kemudian, tamatan MULO dapat melanjutkan pelajaran

ke sekolah kejuruan tingkat menengah (hogere vakscholen) dan ke AMS

(Algemeene Middlebare School) 3 tahun. Seperti juga MULO, menurut Poeze

AMS merupakan bentuk khusus sekolah menengah (awal) di daerah Hindia

Belanda (de specifiek Indische vorm van voorbereidend hoger onderwijs).

Tamatan MULO dapat juga melanjutkan studi mereka ke Stovia (School tot

Opleiding van Indische Artsen 6 tahun = Sekolah Dokter Jawa), Mosvia

(Middlebare Opleidingsschool vor Indische Ambtenaaren = Sekolah Menegah

Pamong Praja Pribumi 2 tahun), Rechtschool (Sekolah Hukum 3 tahun),

                                                            10 Menurut  Poeze    (1982:  20)  ada MULO  yang merupakan  sekolah  dalam  sistem  pendidikan Belanda  (3  tahun) dan ditambah satu  tahun   bagi anak  Indonesia yang melanjutkan sekolah  ini dari  Schakel‐school  dan  ada  MULO  Pribumi  (Imheese  MULO)  yang  masuk  dalam  sistem pendidikan pribumi (Inlands Onderwijs) yang lamanya 4 tahun. 

  20

Kweekschool (Sekolah Guru 3 tahun), dan Middle Landsbouw School

(Sekolah Menengah Pertukangan 3 tahun).

B. TUJUAN PENDIDIKAN MULO

Tujuan pendidikan MULO adalah untuk menghasilkan tamatan yang mampu

bekerja dalam administrasi pemerintahan Kolonial Belanda, melanjutkan

pendidikan ke sekolah kejuruan (Sekolah Pertanian, Sekolah Pamong Praja,

Sekolah Guru, Sekolah Hukum, Sekolah Kedokteran), dan ke sekolah menengah

umum yang lebih tinggi (AMS).

 

C. MATA PELAJARAN DAN LEERPLAN MULO

 Bahasa instruksional yang digunakan dalam proses belajar di MULO adalah

bahasa Belanda. Oleh karena itu tamatan HIS diterima di MULO karena HIS

menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa instruksional. Selain digunakan

sebagai bahasa instruksional, bahasa Belanda adalah mata pelajaran yang harus

dipelajari setiap peserta didik. Keseluruhan mata pelajaran yang terdapat pada

Rencana Pelajaran Mulo adalah:

Tabel 2.1. Leerplan (Rencana Pelajaran) MULO

KELAS DAN JAM MATA PELAJARAN

I II III

Membaca 3 3 2

Bahasa Belanda (Taal) 5 4 4

Aljabar (Algebra) 6 7 5

Ilmu Ukur (Geometri, Stereometri) 2 2 2

Ilmu Alam (Natuurkunde) 3 3 4

Ilmu Hayat (Plant-en Dierkunde) 3 3 3

Sejarah (Volks geschiedenis, Vaderlanse

geschiedenis)

1 1 2

Sejarah Umum (Algemene geschiedenis) 1 1 1

  21

KELAS DAN JAM MATA PELAJARAN

I II III

Ilmu Bumi (Aarderijkskunde) 3 3 3

Olahraga (Gymnastik) 2 2 2

Menggambar (Tekenen) 2 2 2

Bahasa Perancis11 2 2 4

Bahasa Inggeris (Engels) 4 4 3

Bahasa Jerman (Deutsch) 4 3 4

Bahasa Melayu (elektif) 1 1 1

Menyanyi (Zingen)(elektif) 1 1 1

Sumber: Pelaku (peserta didik) dan Nasution (2004)

Dalam ilmu bumi peserta didik MULO belajar terutama geografi negara Belanda,

Eropa, dan sedikit mengenai Hindia-Belanda (Indonesia). Pengetahuan tentang

letak negara, bentuk dan karakteristik permukaan tanah, nama dan letak kota (peta

buta), dan bahkan nama-nama gedung penting serta alamatnya di berbagai kota di

Belanda merupakan pengetahuan penting dan harus menjadi pengetahuan siap

(paratekennis) yaitu pengetahuan hafalan. Pengetahuan hafalan (paratekennis)

adalah pengetahuan yang harus dimiliki peserta didik dan mereka harus selalu

siap dengan jawaban di luar kepala apabila ditanyakan. Pada saat sekarang, walau

pun nama pengetahuan siap sudah tidak digunakan, dunia pendidikan Indonesia

masih mengandalkan pengetahuan siap. Soal-soal yang dibuat untuk ulangan dan

ujian berpijak pada pemikiran dasar bahwa peserta didik harus memiliki

pengetahuan siap untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.

Sama halnya dengan ilmu bumi adalah mata pelajaran sejarah. Pengetahuan

sejarah yang diutamakan adalah pengetahuan sejarah tentang kerajaan Belanda

dan dinasti Oranye, asal-usul dinasti Oranye beserta raja dan ratu yang berkuasa,

perjuangan bangsa Belanda dalam percaturan kekuatan politik negara-negara

Eropa, keunggulan Belanda sebagai bangsa serta perjuangan bangsa Belanda

                                                            11 Bahasa Perancis nantinya dihapus ketika Belanda tidak lagi dikuasai Louis Bonaparte, 

  22

memerdekakan dirinya dari kekuasaan Jerman. Pengetahuan sejarah juga

mencakup pengetahuan tentang pelayaran bangsa Belanda ke Indonesia, pendirian

VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), tokoh-tokoh VOC yang berjasa

dalam membangun kekuasaan Belanda di Indonesia, pembentukan kekuasaan dan

pemerintah Belanda di Nederlandsche Indie (Hindia Belanda = Indonesia). Para

tokoh yang berkedudukan sebagai gubernur jenderal (wakil pemerintah Belanda

di wilayah Hindia-Belanda), usaha pemerintah Hindia Belanda mengembangkan

kekuasaan dan pengaruh di wilayah Nusantara (Indonesia) terutama dalam

memepertahankan kekuasaan dari para “pemberontak” (pemimpin Indonesia yang

melawan pemerintahan Hindia Belanda dalam mempertahankan wilayah

kekuasaan para pemimpin/raja tersebut ). Sejarah kekuasaan Belanda di Indonesia

diikuti dengan berbagai tindakan pemerintah Hindia Belanda dalam membangun

berbagai aspek kehidupan lain seperti budaya dan ekonomi termasuk program-

program kemanusiaan untuk masyarakat pribumi (Indonesia). Politik Etis (Etische

Politiek) pemerintah Hindia Belanda menjadi pokok bahasan penting karena

melalui pokok bahasan poliitik etis yang dianggap sebagai program kemanusiaan,

Pemerintah Belanda membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang “lebih

baik” terutama dalam membangun sekolah untuk menghasilkan golongan

terpelajar dan tenaga terlatih bangsa Indonesia.

Mata pelajaran sejarah umum untuk MULO mengajarkan mengenai asal-usul

peradaban dunia yang dimulai dengan asal-usul peradaban bangsa-bangsa Eropa

yaitu peradaban bangsa Yunani dan Romawi. Pelajaran tentang kebudayaan

bangsa Yunani dan Romawi berkenaan dengan budaya, seni dan pemerintahan

serta kekuasaan sampai kepada dongeng dan mitologi para dewa yang dikenal

dalam teologi kepercayaan Yunani dan Romawi sangat penting. Peserta didik

MULO sangat hapal mengenai pengaruh kedua peradaban tua tersebut terhadap

peradaban Eropa dan dunia barat. Peradaban bangsa Belanda dan bangsa-bangsa

Eropa lainnya yang mereka miliki sekarang memang banyak dipengaruhi

kebudayaan Yunani dan Romawi, oleh karena itu mempelajari kedua kebudayaan

tersebut memiliki makna yang penting bagi orang Belanda dan Eropa lainnya.

  23

Mata pelajaran Ilmu Alam berkenaan dengan berbagai hukum alam yang telah

dihasilkan oleh para sarjana Eropa dan menjadi dasar dari ilmu pengetahuan

modern. Berbagai teori yang sampai sekarang masih dibahas dalam khasanah ilmu

alam seperti hukum Archimedes, Boyle dan sebagainya merupakan pelajaran

penting dalam Ilmu Alam. Tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dari belahan dunia lain

apalagi dari dunia Asia tak tersentuhkan bahkan hingga saat kini ketika Indonesia

sudah merdeka selama 65 tahun materi pelajaran IPA masih tidak banyak berubah

dari apa yang telah diperkenalkan Belanda. Dari pelajaran Ilmu Alam, peserta

didik MULO mengenal dan dilatih dalam cara berpikir empirik dan rasional. Hal-

hal yang tidak terkait dengan alam nyata dan tidak dapat dibuktikan secara

empirik dinyatakan sebagai tahayul dan dianggap bertentangan dengan cara

berpikir manusia modern.

Bahasa Melayu tidak diajarkan pada waktu kursus MULO didirikan pada tahun

1910, dan tidak juga ketika MULO sudah memiliki status sebagai sekolah

menengah (lanjutan) yang berdiri sendiri (Nasution,2008:123). Selanjutnya

Nasution (2008:124) mengatakan bahwa mata pelajaran Bahasa Melayu baru ada

dalam kurikulum MULO pada tahun 1919. Pembelajaran bahasa Melayu dalam

kurikulum MULO memberikan pengaruh yang kuat terhadap pada kelompok

terpelajar Indonesia dalam membangun dan mengembangkan semangat

kebangsaan. Ketika para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi

pemuda daerah (Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatra Bond, Jong Sunda, Jong

Celebes, dan sebagainya) berkongres di Jakarta, mereka menetapkan bahasa

Indonesia sebagai bahasa persatuan untuk bangsa yang mereka cita-citakan. Pada

waktu Indonesia mengeluarkan undang-undang pendidikan pertama dan

dikokohkan dalam undang-undang pendidikan sesudahnya, aspirasi para pemuda

tersebut dikukuhkan dalam bentuk keputusan bahwa bahasa Indonesia adalah

bahasa instruksional dalam setiap jenjang pendidikan di Indonesia.

 

 

 

  24

KURIKULUM SHOTO CHU GAKKO (SMP) PADA MASA PENDUDUKAN

JEPANG

Foto 2: SMPN 1 Yogya, pada tanggal 11 September 1942 didirikan oleh Pemerintah Pendudukan Militer Jepang sebagai Shoto Chu Gakko (SMP) Sumber: Website SMP N 1 Yogyakarta

A. KEBIJAKAN PENDIDIKAN PENDUDUKAN JEPANG

Pada masa pendudukan militer Jepang, wilayah Indonesia dibagi atas 3 wilayah

administratif yang terpisah dan memiliki jurisdiksi sendiri yaitu pulau Jawa,

Sumatera, dan wilayah Indonesia lainnya (termasuk Kalimantan dan Sulawesi).

Meski pun bukan pemerintahan sipil, pemerintahan militer Jepang memberikan

perhatian kepada pendidikan. Dari pendidikan Pemerintahan Pendudukan Militer

Jepang mempersiapkan generasi baru Indonesia yang mendukung kekuasaan

Jepang dan menghasilkan mereka yang terlatih dalam kemiliteran.

Kebijakan Jepang tentang pendidikan, terutama kebijakan pendidkan di pulau

Jawa dapat diketahui dari berbagai sumber tetapi yang utama adalah dokumen

yang dinamakan Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô (Kebijakan Pendidikan Jepang

  25

di pulau Jawa)(Kurasawa, 1991:16). Menurut Kurasawa dokumen tersebut adalah

dokumen rahasia yang dikumpulkan oleh personil militer Jepang, dan berisikan

doktrin, ideologi, prinsip dasar serta petunjuk pelaksanaan kebijakan pendidikan

Jepang di pulau Jawa. Dokumen serupa berkenaan dengan wilayah lain di

Indonesia merupakan sesuatu yang masih perlu ditelusuri untuk dapat

membandingkan kebijakan pendidikan Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang.

Pada masa kekuasaan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang, sekolah-sekolah

untuk rakyat yang didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda (volks

school dan vervolg school) dihapus, digantikan dengan sekolah bergaya Jepang

yang dinamakan kokumin gakkô dengan masa belajar 6 tahun. MULO diganti

dengan Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu GakkO) dan didirikan di banyak

kota di Indonesia. Di pulau Jawa terdapat Shoto Chu Gakko di Serang (1 sekolah),

Jakarta (3 sekolah), Bogor (1 sekolah), Bandung (1 sekolah), Garut (1 sekolah),

Cirebon (1 sekolah), Pekalongan (1 sekolah), Kediri (1 sekolah), Jember (1

sekolah), Pamekasan (1 sekolah), Jogja (2 sekolah), Solo (2 sekolah), Magelang

(1 sekolah), Purwokerto (1 sekolah), Semarang (2 sekolah), Pati (1 sekolah),

Malang (1 sekolah), Bojonegoro (1 sekolah), Madiun (1 sekolah), dan Surabaya

(2 sekolah). Selain itu ada Sekolah Menengah Pertama Poetri di Jakarta, Bandung,

Jogja, Solo, Semarang, Malang, dan Madiun. Sekolah Menengah Pertama Putri

menerima siswa khusus putri dan memiliki kurikulum yang sedikit berbeda dari

Sekolah Menengah Pertama biasa (Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô).

B. MATA PELAJARAN

Mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum Shoto Chu Gakko mencerminkan

kebijakan pendidikan Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang untuk

menjepangkan bangsa Indonesia. Selain mata pelajaran yang bersifat eksakta

materi mata pelajaran lain disesuaikan dengan kepentingan pendudukan Jepang di

Indonesia termasuk menarik hati bangsa Indonesia. Mata pelajaran bahasa

Belanda dihapus dan digantikan oleh mata pelajaran Bahasa Jepang. Selain

mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Jepang, dalam kurikulum Shoto Chu

Gakko ditambahkan mata pelajaran Pendidikan Semangat (Moral) dan bahasa

  26

Indonesia menjadi mata pelajaran resmi. Olahraga atau Latihan Badan

mendapatkan tempat yang penting sehingga diberikan jam pelajaran yang cukup

besar yaitu 5 jam per minggu. Kedudukan penting Latihan Badan ini mudah

dipahami karena militer Jepang memerlukan pemuda dengan badan yang sehat

dan terlatih secara fisik. Senam pagi dilakukan sebelum sekolah dimulai dengan

menghadap ke arah matahari terbit. Selain latihan fisik mereka juga diajar lagu

kebangsaan Jepang (Kimigayo) serta berbagai doktrin mengenai kedudukan

Jepang sebagai pemimpin dunia (Hakko ichi U) dan pemimpin Asia.

Tambahan mata pelajaran dalam kurikulum adalah Kaligrafi. Kedudukan tulisan

indah (kaligrafi) huruf kanji sangat dihargai oleh masyarakat dan budaya Jepang.

Tradisi yang turun temurun dalam kaligrafi dimaksudkan untuk diwariskan juga

bagi bangsa Indonesia yang juga tidak asing dengan tradisi kaligrafi huruf Arab.

Tulisan indah huruf Arab telah berkembang sejak awal Islam masuk ke Indonesia

dan oleh karena itu adanya mata pelajaran kaligrafi dalam kurikulum Shoto Chu

Gakko bukan sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia. Unsur barunya adalah

kalau sebelumnya yang digunakan untuk tulisan indah itu huruf Arab maka pada

masa ini huruf yang ditulis indah itu huruf kanji yang masuk dalam kelompok

huruf gambar (pictograph)12.

Tabel 3.1. mencantumkan mata pelajaran, kelas dan jam pelajaran untuk masing-

masing mata pelajaran di setiap kelas.

Tabel 3.1.: Mata Pelajaran dan Jam Pelajaran Dalam Kurikulum                                                             12  Pictograph  adalah  huruf    yang   menggunakan  gambar  (picto)  untuk mewakili  suatu    pokok pikiran/ide  karena  itu  disebut  juga  ideograph.  Tulisan  ini  berkembang  di  Cina  dengan    nama  hanzi, di  Mesir dengan  nama hieroglyph, di Sumeria dengan  nama  tulisan  paku. Tulisan Hanzi masih  digunakan  sampai  hari  ini  di  Cina,  Korea  dan  Jepang  bahkan  seluruh  negara  Cina  yang memiliki banyak bahasa dipersatukan  dalam komunikasi tulisan melalui huruf Hanzi. Huruf Hanzi  di Jepang dinamakan Kanji. 

  27

Shoto Chu Gakko

Kelas dan Jam pelajaran

Mata Pelajaran 1 2 3

Pendidikan Semangat (Moral) 1 1 1

Bahasa Jepang (Nippon) 9 9 9

Bahasa Indonesia 6 6 6

Ilmu Pasti 6 6 6

Ilmu Bumi 2 2 1

Latihan Badan (Pend. Jasmani) 5 5 5

Sejarah 2 1 1

Gambar Tangan (Menggambar) 2 2 2

Ilmu Alam - 2 3

Kesenian 1 1 1

Kaligrafi (Jepang) 2 2 2

Jumlah jam pelajaran 36 37 37

Sumber: diadaptasi dari Ramli, 2010, halaman 70 Dari beban belajar atau jam belajar untuk mata pelajaran Bahasa Jepang 9 jam per

minggu, Bahasa Indonesia 6 jam per minggu serta Ilmu Pasti juga 6 jam per

minggu menunjukkan pikiran pokok kurikulum yang ingin menghasilkan

“manusia baru” yang bebas dari pengaruh pendidikan Belanda. Memang jam

belajar Ilmu Pasti sedikit berkurang dari kurikulum MULO tetapi pengurangan

tersebut tidak membawa dampak yang berarti bagi kualitas manusia tamatan SMP

yang diinginkan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang.

Penghapusan bahasa Inggeris dan bahasa Jerman memperkuat ide kurikulum yang

ingin menhapuskan pengaruh budaya Belanda khususnya dan barat umumnya.

Memang menarik bahwa bahasa Jerman dihapus sedangkan bangsa Jepang pada

waktu itu bersekutu dengan bangsa Jerman. Tampaknya, kerjasama militer dalam

perang antara pemerintah Jerman dan Jepang di masa Perang Dunia II tidak

berpengaruh terhadap kebijakan pendidikan SMP di masa pendudukan militer

  28

Jepang di Indonesia. Pentingnya pelajaran bahasa yang mengajarkan ketrampilan

berkomunikasi dan cara berpikir berdasarkan nilai-nilai budaya yang

menghasilkan bahasa tersebut disadari benar Pemerintah Pendudukan Militer

Jepang. Oleh karena itu adanya pelajaran bahasa Jerman apalagi bahasa Belanda

akan menjadikan generasi muda Indonesia berpikir seperti orang barat dan mereka

akan tercabut dari akar budayanya. Selain itu cara berpikir barat akan

menimbulkan masalah politik bagi misi pendudukan Jepang di Indonesia.

Berdasarkan dokumen Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, sekolah dimulai setiap

tanggal 1 April setiap tahun. Kantor Pengajaran (Bunkyo Kyoku) setiap Syuu

berwewenang menetapkan buku pelajaran yang digunakan untuk setiap mata

pelajaran dan hari libur sekolah. Berdasarkan dokumen yang sama, hari libur

untuk sekolah ditetapkan untuk jangka waktu satu tahun ajaran. Hari besar agama

mendapatkan porsi utama sebagai hari libur sekolah.

Pada umumnya sekolah libur pada hari besar agama Islam sebagaimana

dikemukakan dalam tabel 3.2 berikut ini:

Tabel 3.2.: Hari Libur Sekolah

HARI LIBUR LAMANYA LIBUR Mi’raj Nabi 1 hari Puasa 40 hari Grebeg Besar (pulau Jawa) 7 hari Asyura 1 hari Maulud Nabi 14 hari Tahun Baru Cina 1 hari Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, p 38

Dari ketetapan mengenai hari libur di atas ada kesan kuat bahwa kekuasaan

pendudukan Jepang di pulau Jawa sangat memperhatikan agama mayoritas

penduduk. Mayoritas penduduk pulau Jawa beragama Islam dan oleh karenanya

hari libur sekolah adalah hari besar yang terkait dengan agama Islam termasuk

perayaan Grebeg Besar. Perayaan Grebeg Besar di Yogyakarta, Surakarta dan

Cirebon berkenaan dengan Maulud Nabi Muhammad dan oleh karenanya

ditetapkan secara menjadi hari libur. Sementara itu hari libur puasa dan perayaan

  29

Idul Fitri ditetapkan selama 40 hari, hari raya Idul Adha tidak ditetapkan sebagai

hari libur. Hal ini mungkin saja terkait dengan pandangan budaya di banyak tempat

di pulau Jawa yang beranggapan bahwa Idul Adha adalah hari raya bagi orang-

orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Dengan adanya pandangan budaya

yang demikian maka tentu saja idul adha bukan hari libur bagi anak sekolah yang

pada umumnya belum melaksanakan ibadah haji.13

Perhatian yang sangat besar terhadap hari besar agama Islam tersebut bukan saja

bersifat realistik karena pendidikan berakar pada budaya dan agama serta

lingkungan terdekat peserta didik tetapi juga merupakan upaya politis Pemerintah

Pendudukan Jepang untuk menarik simpati masyarakat. Masyarakat yang

mendapatkan keleluasaan merayakan hari-hari besar tersebut akan merasa senang.

Penetapan tahun baru Cina sebagai hari libur tidak terlepas dari upaya untuk

menarik simpati masyarakat Cina di Indonesia. Kebijakan tersebut sukar diukur

keberhasilannya mengingat masa pendudukan Jepang yang singkat tetapi libur

bulan Ramadhan dan idul Fitri selama 40 hari berlangsung sampai masa

pemerintahan Orde Baru, dan baru disesuaikan pada tahun 80-an.

Buku merupakan sumber materi pelajaran yang penting dan ditetapkan oleh Kepala

Bagian Buku-buku pada Kantor Pengajaran (Bunkyô Kyoku). Untuk Kantor

Pengajaran Jakarta, Kepala bagian Buku-buku, Sadarjoen pada tanggal 11

Desember 2603 (1944) mengeluarkan daftar buku pelajaran sebagai berikut:

Tabel 3.3. Buku Pelajaran untuk kurikulum Shoto Chu Gakko di Jakarta

Mata pelajaran Buku Yang Digunakan Bahasa Indonesia Matahari Terbit Ilmu Tumbuh-tumbuhan Ilmu Tumbuh-tumbuhan I Ilmu Alam Ilmu Alam I

Ilmu Aljabar I, kelas 1 Ilmu Aljabar 2, kelas 2

Ilmu Aljabar

Ilmu Aljabar 3, kelas 3 Ilmu Ukur 1, kelas 1 dan 2 Ilmu Ukur Ilmu Ukur 2, kelas 2 dan 3

Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô 

                                                            13 Pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa Idul Adha adalah hari raya bagi mereka yang sudah haji masih terdapat di banyak kelompok tertentu di pulau Jawa.    

  30

 

Sayangnya daftar buku di atas tidak disertai dengan nama pengarangnya. Suatu

yang jelas, buku Matahari Terbit digunakan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia

sampai pada masa awal pemerintahan Orde Baru walau pun penulis buku sudah

berbeda dari buku dengan judul yang sama pada tahun 50-an.

Kebijakan tentang buku pelajaran memberikan keuntungan bagi pemerintah

Pendudukan Militer Jepang untuk mengontrol kualitas bahan pelajaran dan isi dari

materi pelajaran. Pemerintah Pendudukan Militer Jepang harus mengawasi apa

yang terjadi di sekolah dan jangan sampai materi pelajaran menjadi “boomerang”

bagi kekuasaan mereka di Indonesia pada waktu itu. Isi buku pelajaran tidak boleh

memuat bahan yang mengecam atau menimbulkan permusuhan kepada Pemerintah

Pendudukan Militer Jepang. Hal ini wajar dan berlaku di banyak negara sampai hari

ini tetapi keadaannya tentu lebih sensitif untuk pemerintah pendudukan dan

penjajahan dibandingkan untuk pemerintah nasional.

  31

KURIKULUM SMP PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN

 

 

A. PERKEMBANGAN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Perhatian pemerintah Indonesia terhadap pendidikan diberikan terus menerus

sejak awal kemerdekaan. Kedudukan pendidikan yang dianggap teramat penting

oleh para pendiri bangsa, mereka adalah sekelompok kecil anak bangsa yang

beruntung dapat mengenyam pendidikan di masa penjajahan Belanda dan

pendudukan Jepang, menyebabkan mereka berpandangan bahwa pendidikan

adalah sesuatu yang tak boleh ditelantarkan dan harus menjadi hak setiap

warganegara. Oleh karena itu selang beberapa bulan setelah kemerdekaan

diproklamasikan walau pun bangsa yang muda ini masih menghadapi tantangan

agresi militer Belanda, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-

KNIP) mengusulkan adanya pembaharuan pendidikan (Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, 1996:73).

Berbagai pikiran dikemukakan BP-KNIP kepada Kementrian Pendidikan,

Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) agar ada perubahan pikiran dan visi yang

mendasar dari pendidikan pada zaman Belanda ke pendidikan untuk bangsa

Indonesia yang baru merdeka. Diantara pikiran yang dikemukakan dalam

pandangan BP-KNIP dinyatakan bahwa pendidikan liberal yang mengagungkan

kemampuan intelektual semata harus diubah menjadi pendidikan yang

mengutamakan “kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi” (Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:73).

Pengertian kesusilaan pada waktu itu sangat luas dan mencakup apa yang pada

saat sekarang dikenal dengan istilah karakter. Dengan tujuan ini maka diharapkan

pendidikan mengembangkan kepribadian yang berdasarkan kemanusiaan yang

tinggi dan warganegara yang bertanggungjawab. Pikiran bahwa pendidikan adalah

hak setiap warganegara dan nantinya dikenal dengan istilah demokratisasi

pendidikan tertuang dalam usulan agar hanya ada satu macam sekolah yang

  32

terbuka untuk setiap orang tanpa ada perbedaan dalam gender, latar belakang

budaya, sosial dan ekonomi. Dalam usulan itu dihendaki agar pendidikan

pesantren diakui sebagai bagian dari pendidikan nasional walau pun

kurikulumnya berbeda dari sekolah pemerintah dan swasta (non pesantren). Posisi

pesantren tersebut baru nantinya mendapat pengakuan hukum yang lebih tegas

pada tahun 2003 setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik

Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Berdasarkan usulan BP-KNIP agar ada peraturan tentang pendidikan dan

pengajaran, Menteri PPK, Mr Soewardi membentuk Penitia Penyelidik

Pendidikan Pengajaran (Sjamsuddin, Kosoh, dan Hasan, 1993:11) yang diketuai

oleh Ki Hajar Dewantara dengan sekertaris Soegarda Poerbakawatja pada tahun

1946. Tugas panitya adalah untuk meninjau ulang “dasar-dasar, isi, susunan dan

seluruh usaha pendidikan/pengajaran (Djumhur dan Danasuparta, 1959:202).

Berdasarkan hasil kerja panitya, ditetapkan pedoman dasar-dasar pengajaran bagi

guru-guru di Indonesia (Pewarta PPK nomor 2 tahun 1951):

1. Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa

2. Perasaan cinta kepada alam

3. Perasaan cinta kepada negara

4. Perasaan cinta dan hormat kepada ibu dan bapak

5. Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan

6. Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan

dan kekuatannya

7. Keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang tak terpisah dari keluarga dan

masyarakat

8. Keyakinan bahwa orang hidup dalam masyarakat harus tunduk pada tata

tertib

  33

9. Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya sehingga

sesama anggota masyarakat harus saling menghormati, berdasarkan rasa

keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri

10. Keyakinan bahwa negara memerlukan warganegara yang rajin bekerja,

mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan tindakan.

Jelas bahwa pandangan pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Soegarda

Poerbakawatja sangat berpengaruh dalam kesepuluh rumusan yang telah

dihasilkan. Pemahaman keduanya yang mendalam tentang pendidikan telah

diterjemahkan dengan baik dalam posisi seorang peserta didik sebagai dirinya,

anggota keluarga, anggota masyarakat, warganegara, dan ummat manusia. Oleh

karena itu, kesepuluh prinsip yang dirumuskan tersebut sangat menekankan pada

karaktervorming yang meliputi seluruh potensi kemanusiaan seorang peserta

didik.

Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang dikeluarkan

pada tahun 1946 oleh Menteri Mr Soewandi yang memuat 10 tujuan pendidikan

yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai keputusan awal yang

berkenaan dengan kurikulum. Tentu saja keputusan itu lebih banyak berkenaan

dengan dimensi ide kurikulum dan dinyatakan dalam istilah pedoman dasar-dasar

pengajaran. Pedoman dasar-dasar pengajaran yang ditetapkan Menteri PPK

memuat berbagai landasan pendidikan yang masih aktual bahkan untuk masa

sekarang walau pun harus diakui bahwa dalam kenyataan kurikulum pada masa-

masa akhir abad ke- 20 dan awal abad ke-21 banyak dasar-dasar pengajaran yang

telah dikemukakan tersebut dilupakan. Perubahan yang semakin lama semakin

memperkuat kedudukan filosofi pendidikan disiplin ilmu (esensialisme dan

perenialisme) sebagai ide dari kurikulum, menyebabkan kurikulum makin

meninggalkan dasar-dasar pengajaran yang tercantum dalam pedoman tahun 1946

tersebut. Hal ini memang sangat disayangkan karena sebagaimana dirumuskan

dalam pedoman pengajaran tahun 1946 pendidikan seharusnya berkenaan dengan

memanusiakan manusia, membudayakan manusia, menjadikan manusia sebagai

  34

mahluk religious, sosial, ekonomi, politik, ilmu, seni, dan teknologi, bukan

sekedar hanya mengembangkan kemampuan ingatan dan pemahaman semata.

Kedua kemampuan ranah kognitif tersebut penting tetapi manusia tidak bisa hidup

hanya dengan kedua kemampuan kognitif itu.  

Meski pun situasi negara penuh dengan peperangan melawan agresi militer

Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara dan panitya

yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan berhasil

menyelesaikan pekerjaan mereka dengan penuh pikiran dan visi yang mendalam

mengenai pendidikan bangsa. Kesepuluh ketetapan yang telah dikemukakan di

atas menunjukkan kerja panitya yang sangat sungguh-sungguh dan mengena pada

hakiki pendidikan. Hasil kerja itu, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya

telah disahkan dengan Keputusan Menteri PKK untuk digunakan di sekolah.

Sayangnya, hasil kerja panitya yang dipimpin Ki Hajar Dewantara tidak dapat

langsung dinikmati oleh bangsa Indonesia karena situasi kehidupan bangsa yang

masih belum aman dari ancaman agresi militer Belanda.

Dalam keadaan negara dan bangsa yang terancam, kepeduliaan pemerintah dan

bangsa Indonesia terhadap pendidikan tak pernah terputus. Pada tanggal 4-7

Maret 1947 diadakan Kongres Pendidikan Indonesia di bawah pimpinan Prof.

Sunaryo Kolopaking (Djumhur dan Danasuparta, 1959: 202) untuk mengkaji

berbagai masalah pendidikan nasional yang muncul di masyarakat. Kongres

Pendidikan ini dapat dikatakan sebagai kongres pendidikan pertama yang

diadakan pada tingkat nasional. Hasil Kongres dijadikan masukan untuk

memperkaya hasil kerja tim yang dipimpin Ki Hajar Dewantara. Kongres

mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah memiliki undang-undang pendidikan

sebagai landasan bagi kebijakan pendidikan dalam masa-masa mendatang.

Sebagai jawaban atas perhatian rakyat terhadap pendidikan dan sebagai tindak

lanjut dari hasil Kongres Nasional Pendidikan maka pada tahun 1948 Menteri

PPK, Mr Ali Sostroamidjojo, membentuk “Panitia Pembentukan Rencana

Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran”. Ki Hajar Dewantara

  35

kembali dimintakan jasanya untuk memimpin panitia baru ini. Berbagai pemikiran

yang telah dikembangkan dalam kerja paniitia pada tahun 1946 dan berbagai

masukan dari kongres dijadikan dasar untuk mengembangkan naskah undang-

undang pendidikan. Pada tahun 1948 itu juga panitia telah dapat menyelesaikan

tugasnya menyusun rancangan undang-undang pokok pendidikan dan pengajaran,

hasilnya dijadikan naskah dasar untuk dibahas dalam rapat BP-KNIP.

Pembahasan dalam sidang BP-KNIP dilakukan secara rutin dalam semangat

kebangsaan dan kepedulian terhadap pendidikan yang tinggi. Pada tahun 1948

pembahasan naskah dasar pendidikan dan pengajaran sudah hampir selesai tetapi

terhalang oleh kondisi bangsa dalam menghadapi agresi militer Belanda. Oleh

karena itu tindak lanjut dari hasil rapat BP-KNIP ditunda untuk sementara dan

ibukota negara dipindahkan ke Yogyakarta.

Pada tahun 1949 diadakan Kongres Pendidikan di Yogyakarta (Djumhur dan

Danasuparta, 1974:203) . Ini adalah kongres pendidikan kedua yang dilakukan

ketika suasana negara masih belum aman, sebagaimana halnya kongres yang

pertama. Semangat dan harapan bangsa yang besar terhadap pendidikan tidak

mengendur dan menyebabkan keinginan membahas dunia pendidikan dalam satu

kongres nasional dilaksanakan. Serangan militer Belanda ke Yogya menyebabkan

hasil kerja kongres tidak langsung dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ketika

keadaan sudah memungkinkan maka BP-KNIP melanjutkan pembahasan

mengenai hasil kerja Panitia Pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok

Pendidikan dan Pengajaran di Yogyakarta ditambah dengan masukan dari hasil

Kongres Pendidikan Yogya. Sidang pertama dihadiri oleh 22 orang anggota

diketuai oleh Mr Assaat serta Menteri PP dan K yaitu S. Mangunsarkoro yang

menggantikan Mr Ali Sostroamidjojo. Pada tanggal 17 Oktober 1949 rapat

pertama membahas kembali naskah undang-undang pokok pendidikan dimulai

oleh BP-KNIP. Pemerintah memasukan naskah yang sudah direvisi berdasarkan

masukan-masukan dari anggota BP-KNIP sebelumnya dan kongres.

  36

Pembahasan yang dilakukan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia

Pusat (KNIP)14 terhadap rancangan yang telah dihasilkan panitia yang dipimpin

Ki Hajar sangat kritis. Berbagai isu yang dianggap penting untuk kemajuan

pendidikan dibahas dengan berbagai argumentasi. Penekanan tujuan pendidikan

pada pembentukan manusia susila, misalnya, dianggap sangat penting dan

demikian pula dengan kualitas sebagai warganegara yang demokratis. Perhatian

terhadap tujuan pendidikan menghasilkan perdebatan yang amat menarik untuk

masa itu karena para pemimpin tersebut adalah mereka yang mempunyai latar

belakang pendidikan yang jauh di atas rata-rata anggota masyarakat kebanyakan.

Meski pun mereka adalah golongan yang dinamakan intelekktual, mereka tidak

beranggapan bahwa intelektualitas semata menjadi kualitas utama yang harus

dimiliki bangsa Indonesia. Dalam tujuan yang mereka namakan karaktervorming

maka susila, demokratis, dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan

masyarakat adalah kualitas yang penting untuk dimiliki setiap warganegara.

Selain perdebatan mengenai tujuan untuk menghasilkan manusia yang susila,

perdebatan yang sengit mengenai Rencana Undang-Undang Pendidikan dan

Pengajaran terjadi pula mengenai tujuan pendidikan dan pengajaran menghasilkan

warganegara yang demokratis, status pendidikan agama, dan penggunaan bahasa

daerah sebagai bahasa pengantar. Ketidaksepahaman mengenai pengertian

manusia susila, ketidaksetujuan mengenai kehadiran pendidikan agama dan

penggunaan bahasa daerah diperdebatkan dan dipertanyakan oleh beberapa

anggota BP KNIP. Sekelompok anggota setuju bahwa pendidikan menghasilkan

manusia susila, sebagian mempertanyakan kejelasan pengertian manusia susila

dan sebagian lain menentang.

Dr D.S. Diapari, salah seorang anggota KNIP dari Serikat Sekerja Indonesia

mendukung manusia susila menjadi tujuan pendidikan bahkan mengatakan

”bahwa untuk pembangunan negara yang terutama sekali, ialah peribudi dan

akhlak pada umumnya dan bukan kepintaran” (ejaan disesuaikan dengan EYD;

                                                            14 KNIP adalah  lembaga yang dibentuk berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum DPR yang sesungguhnya terbentuk. 

  37

dokumen notulen pembicaraan rapat, 1954). Mohd. Sjafei, tokoh pendidik yang

terkenal dengan sekolah Kayu Tanamnya, menyetujui tujuan pendidikan yang

menghasilkan manusia susila tetapi ia mengingatkan bahwa pekerjaan itu

bukanlah pekerjaan mudah dan memerlukan biaya besar. Kobarsih, anggota dari

Buruh tidak setuju dengan tujuan menghasilkan manusia susila karena

ketidakjelasan pengertian susila yang dimaksudkan. Kobarsih beranggapan bahwa

pengertian susila bersifat multi makna dan tidak seharusnya menjadi tujuan

pendidikan persekolahan.

Perbedaan pendapat tersebut berlangsung lama dan Kobarsih tetap

mempertahankan pendapatnya sehingga tampaknya tidak akan mencapai kata

sepakat. Hal inilah yang menyebabkan Ketua Sidang menanyakan kepada anggota

yang hadir apakah ada yang mendukung pendapat Kobarsih yang tidak setuju

pendidikan menghasilkan manusia susila. Ada beberapa orang menyatakan

dukungannya dan ada beberapa yang menolak pandangan Kobarsih sehingga

Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada anggota BP-KNIP lainnya

menyatakan pendapat mereka. Tanggapan kemudian diberikan oleh M.L. Latjuba,

Sadjarwo, Mr Sartono, Mr Kasman Singodimedjo yang mendukung

dicantumkannya kata susila. Asarudin menolaknya, demikian pula dengan

Kobarsih tetap menolak pencantuman kata susila. Untuk menyelesaikan

perbedaan pendapat tersebut, Ketua Sidang, Mr Assaat melakukan pemilihan

suara pada tanggal 26 Oktober 1949. Hasil pemilihan suara adalah 6 suara setuju

tujuan menghasilkan manusia susila dihapus sedangkan 15 suara setuju untuk

dipertahankan. Oleh karena itu tujuan pendidikan menghasilkan manusia susila

menjadi keputusan sidang.

Pembahasan rencana undang-undang yang dilakukan di Yogya dimulai pada

bulan Oktober tahun 1949, sebelum Konperensi Meja Bundar, dan keputusan-

keputusan kesepakatan BP-KNIP baru dapat diselesaikan pada bulan Desember

1949, dan ditetapkan sebagai undang-undang di Jogjakarta pada tanggal 2 April

1950. Ketika itu, berdasarkan persetujuan Konperensi Meja Bundar, Republik

Indonesia menjadi salah satu negara bagian di dalam negara yang dinamakan

  38

Republik Indonesia Serikat. Oleh karena itu, Undang-Undang ini ditandatangani

oleh Presiden Republik Indonesia Mr Assaat15 dan Menteri Pendidikan,

Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia S. Mangunsarkoro, di ibukota

negara RI di Yogyakarta. Setelah disahkan dengan nama Undang-Undang nomor

4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah maka

undang-undang itu dimasukkan ke dalam Lembaran Negara dan diundangkan oleh

Menteri Kehakiman Republik Indonesia, A.G. Pringgodigdo, pada tanggal 5 April

1950 serta dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia (yang

hanya meliputi pulau Sumatera, Jawa, dan Madura).

Pada tahun itu juga, 1950 bertepatan dengan perayaan kemerdekaan tanggal 17

Agustus 1950, RIS dibubarkan dan negara Indonesia kembali kepada bentuk

negara kesatuan. Dengan bubarnya RIS tidak ada lagi negara bagian yang

bernama Republik Indonesia atau pun negara bagian lainnya karena semuanya

menjadi satu negara kembali yaitu Republik Indonesia. Undang-Undang nomor 4

tahun 1950 yang dihasilkan oleh negara ‘Republik Indonesia Dahulu” dan

dinyatakan berlaku untuk wilayah “republik Indonesia Dahulu” dibahas oleh

DPR-RI dan disetujui untuk diberlakukan sebagai undang-undang pendidikan bagi

seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 27 Januari

1954. Pada tanggal 12 Maret tahun 1954, UU pendidikan tahun 1950 itu

ditandatangi oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Menteri PP dan K

Muhammad Yamin di ibukota negara yang sudah kembali ke Jakarta.

Diundangkan dalam Lembaran Negara nomor 38 tahun 1954 tanggal 18 Maret

1954 dan ditandatangani Menteri Kehakiman Djody Gondokoesoemo, sebagai

Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-

Undang No. 4 Tahun 1950 Dari Republik Indonesia Dahulu Tentang Dasar-Dasar

Pendidikan dan Pengajaran Disekolah Untuk Seluruh Indonesia

                                                            15 Pada waktu Undang‐Undang ini mulai dirancang oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat  (BP‐KNIP)  pada  pertengahan  bulan  Oktober  1949,  Mr  Assaat  adalah  ketua  BP‐KNIP. Rancangan  Undang‐Undang  itu  adalah  draft  baru  yang  diusulkan  oleh  Menteri  Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada waktu  itu S. Mangunsarkoro berdasarkan  ingatan pada draft yang  telah  dibuat  dan  dibahas  setahun  sebelumnya  tetapi  hilang  ketika  terjadi  aksi  meliter Belanda 

  39

Undang-undang tentang dasar-dasar pendidikan dan kebudayaan menetapkan

tentang tujuan lembaga pendidikan. Ketetapan dalam pasal 7 dalam UU nomor 4

1950 junto UU nomor 12 tahun 1954 menyebutkan :

1. Pendidikan dan pengajaran taman kanak-kanak bermaksud menuntun tumbuhnya rokhani dan jasmani kanak-kanak sebelum ia masuk sekolah rendah

2. Pendidikan dan pengajaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rokhani dan jasmani kanak-kanak memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-masing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuannya, kecakapannya, dan ketangkasannya, baik lahir maupun bathin

3. Pendidikan dan pengajaran menengah (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan disekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam pelbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat dan/atau mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengajaran tinggi.

4. Pendidikan dan pengajaran tinggi bermaksud memberi kesempatan kepada pelajar untuk mendjadi orang yang dapat memberi pimpinan didalam masyarakat dan yang memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan.

5. Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberi pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan baik jasmani maupun rokhaninya supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir bathin yang layak.

Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar terkecuali di TK dan kelas

1, 2, dan 3 Sekolah Dasar (Sekolah Rakyat). TK dan ketiga kelas awal SD boleh

menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Pasal 9 secara tegas

mencantumkan mengenai pendidikan jasmani. Tertulis pada pasal ini ”pendidikan

jasmani yang menuju kepada keselarasan antara tumbuhnya badan dan

perkembangan jiwa dan merupakan suatu usaha untuk membuat bangsa Indonesia

menjadi bangsa yang sehat dan kuat lahir bathin, diberikan pada segala jenis

sekolah”. Selain pendidikan jasmani yang secara tegas menjadi mata pelajaran

dalam kurikulum di setiap sekolah mata pelajaran lain yang dinyatakan secara

tegas adalah pendidikan agama. Pasal 20 menyatakan ”dalam sekolah-sekolah

Negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya

  40

akan mengikuti pelajaran tersebut”. Pendidikan campuran (co-education) diterima

sebagai suatu keharusan untuk sekolah negeri terkecuali sekolah khusus yang

menghendaki hanya peserta didik laki-laki atau perempuan saja maka pendidikan

campuran tidak dilakukan (separated education).

Undang-undang tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran menetapkan pula

mengenai wajib belajar. Dalam Bab VII Pasal 10 ayat (1) ditetapkan “semua anak-

anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun

diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya”. Pengertian wajib

belajar dalam pasal ini lebih dekat dengan pengertian “compulsory education” dan

bukan kepada pengertian pendidikan minimal (basic education) yang ddigunakan

dalam Wajib Belajar 9 Tahun. Meski pun demikian adanya ketetapan ini

memperlihatkan semangat demokratisasi pendidikan yaitu pendidikan bagi semua

warganegara dan bukan bagi sekelompok orang yang dianggap memiliki

keistimewaan untuk mendapatkan pendidikan. Dasar pemikiran demokratisasi

pendidikan masih tetap diberlakukan dalam kebijakan pendidikan pemerintah

sampai saat kini.

Foto 3: SMP Negeri 1 Jakarta berdiri pada tahun 1947, sedangkan bangunan yang digunakan merupakan bangunan bekas EERSTE SCHOOL D yang dibangun pada tahun 1907. EERSTE SCHOOL D merupakan sekolah milik pemerintah Hindia-Belanda untuk orang pribumi pertama yang ada di Batavia.Tahun 1947, Pemerintah Republik Indonesia

  41

mengambil alih gedung tersebut untuk digunakan sebagai Sekolah yang bernama SMP Negeri 1 Djakarta (ejaan pada saat itu).

Sumber: available at http://blog-smpn1.blogspot.com/

B. MATA PELAJARAN DALAM RENCANA PELAJARAN SMP 1947 - 1950

Daftar Pelajaran adalah istilah yang digunakan untuk kurikulum, menggantikan

istilah Rencana Pelajaran sejalan dengan berlakunya Undang-Undang nomor 4

tahun 1950. Mata pelajaran yang terdapat dalam Daftar Pelajaran tersebut tidak

jauh berbeda dari SMP pada masa Jepang terkecuali bahasa Jepang tidak lagi

diajarkan. Menulis indah yang semulanya diarahkan untuk menulis indah huruf

kanji digantikan dengan menulis indah huruf latin. Bahasa Inggeris kembali

diajarkan. Sejarah diajarkan dengan menghilangkan peristiwa yang terkait dengan

sejarah bangsa Jepang dan digantikan dengan peristiwa pendudukan Jepang di

Indonesia. Sebaliknya materi sejarah yang terkait dengan peristiwa sejarah

Indonesia dan sudah diajarkan pada Rencana Pelajaran SMP di masa Jepang,

diperbesar dengan berbagai peristiwa sejarah Indonesia yang dinyatakan sebagai

peristiwa dalam sejarah nasional. Selain ada mata pelajaran sejarah (Indonesia) di

SMP dikenal ada mata pelajaran sejarah dunia yang befokus pada sejarah Eropa

dan Asia.

Apa yang terjadi dengan mata pelajaran sejarah terjadi pula dengan mata pelajaran

geografi dimana bagian-bagian dari geografi Jepang dihilangkan sedangkan

materi pelajaran wilayah geografis Indonesia ditambah dari yang sudah ada pada

masa Jepang. Mata pelajaran moral diganti dengan mata pelajaran budi pekerti

sedangkan mata pelajaran seperti pekerjaan tangan, olahraga dan kesenian tetap

dipertahankan. Bahasa Melayu yang terkadang pada dokumen lain disebutkan

dengan bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu tidak

lagi diajarkan karena Indonesia sudah secara resmi menempatkan bahasa

Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi.

  42

Hakekat kurikulum tetap berorientasi pada aplikasi dan pemanfaatan apa yang

sudah dipelajari untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan filosofi

rekonstruksi sosial dan humanisme untuk kurikulum tetap digunakan sampai pada

kurikulum tahun 1954 dan kemudian digantikan oleh filosofi kurikulum yang

lebih berorientasi pada pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan

berpikir rasional (esensialisme dan perenialisme). Sejak kurikulum 1954 terlebih-

lebih sejak kurikulum 1975, filosofi esensialisme dan perenialisme mendominasi

raancangan kurikulum di Indonesia. Untuk SMP, sejak Kurikulum 1975 filosofi

perenialisme lebih banyak digunakan dibandingkan filosofi esensialisme.

Selain Daftar Pelajaran (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:99),

kurikulum SMP pada masa ini mengenal pembagian jurusan di kelas III yaitu

bagian A (sosial-ekonomi) dan bagian B (Ilmu Pasti). Pembagian jurusan di kelas

III SMP tersebut berjalan terus sampai tahun 1962 ketika ada pandangan atau ide

baru mengenai tujuan pendidikan SMP.

Tabel 4.1: STRUKTUR DAN MATA PELAJARAN

RENCANA PELAJARAN SMP 1947-1950

Kelas dan JamPelajaran Kelompok Mata Pelajaran

I II IIIA IIIB

Bahasa Indonesia 5 5 6 5

Bahasa Inggeris 4 4 4 4

Bahasa Daerah 2 2 2 1

I

Bahasa

Sub Jumlah 11 11 12 10

Berhitung dan Aljabar 4 3 2 4

Ilmu Ukur 4 3 - 4

II

Ilmu Pasti

Sub Jumlah 8 6 2 8

Ilmu Alam/Kimia 2 3 2 2

Ilmu Hayat 2 2 2 2

III

Pengetahuan Alam Sub Jumlah 4 5 4 4

IV Ilmu Bumi 2 2 3 3

  43

Kelas dan JamPelajaran Kelompok Mata Pelajaran

I II IIIA IIIB

Sejarah 2 2 2 2 Pengetahuan Sosial Sub Jumlah 4 4 5 5

Hitung Dagang - 1 2 -

Pengetahuan Dagang - - 2 -

V

Pelajaran Ekonomi

Sub Jumlah - 1 4 -

Seni Suara 1 1 1 1

Menggambar 2 2 2 2

Pek. Tangan/Ker. Wanita 2 2 2 2

VI

Pelajaran Ekspresi

Sub Jumlah 5 5 5 5

VII Pendidikan Jasmani 3 3 3 3

VIII Budi Pekerti (bukan mata pelajaran berdiri sendiri tapi terintegrasi dalam kegiatan semua mata pelajaran dan kegiatan sekolah)

IX Agama 2 2 2 2

Jumlah 37 37 37 37

Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:100)

Daftar Pelajaran di atas menampilkan karakteristik kurikulum yang berbeda dari

kurikulum MULO atau pun Shoto Chu Gakko. Pendidikan SMP pada masa

kemerdekaan mengenal adanya penjurusan pada kelas terakhir yaitu jurusan A

(sosial-ekoonomi) dan B (ilmu Pasti). Pembagian ini memposisikan kurikulum

SMP sebagai dasar untuk melanjutkan pelajaran ke SMA, dan SMA pada masa itu

sudah sejak awal dibedakan dalam jurusan sehingga dikenal adanya SMA-A,

SMA-B, dan SMA-C.

Mereka yang lulus dari jurusan A di kelas III SMP boleh melanjutkan pelajaran ke

SMA A (Bahasa) atau ke SMA C (ekonomi) sedangkan mereka yang lulus dari

jurusan B (Ilmu Pasti) boleh masuk ke SMA B (Ilmu Pasti) dan pada masa

kemudian boleh pula melanjutkan ke SMA C. Pada masa tersebut nama jurusan

yang sebenarnya merupakan jalur program studi menjadi nama unik sekolah

  44

karena satu SMA dibedakan dari SMA lainnya berdasarkan jurusan yang

dibinanya (SMA-A, SMA-B, SMA-C). Penjurusan pun sudah dilakukan pada

waktu peserta didik mendaftar untuk masuk ke SMA. Tentu saja pemisahan SMA

yang demikian sudah tidak dikenal pada masa sekarang karena juruan-jurusan

yang ada (IPA, IPS, Bahasa) adalah program dalam satu SMA dan penjurusan

baru dilakukan di tahun kedua ketika peserta didik naik kelas XI.

Konsep kurikulum yang menarik dari Daftar Pelajaran SMP pada masa ini adalah

pelajaran Budi Pekerti yang tidak diajarkan sebagai suatu mata pelajaran terpisah

tapi diintegrasikan ke dalam semua kegiatan mata pelajaran lain dan kegiatan

sekolah. Konsep ini menggambarkan pemahaman materi kurikulum yang

mendalam dan penerapannya dalam suatu desain kurikulum yang sesuai dengan

karakteristik materi kurikulum. Konten/materi kurikulum terdiri atas pengetahuan,

ketrampilan (intelektual, motorik, sosial) dan nilai/moral/sikap. Materi pelajaran

Budi Pekerti bukan hanya sekedar pengetahuan tetapi sarat dengan

nilai/moral/sikap yang harus dikembangkan dalam cara berpikir, bertindak,

berkomunikasi, dan melakukan kegiatan sehari-hari seorang peserta didik.

Materi pelajaran yang demikian, sebagaimana halnya dengan materi ketrampilan,

harus dikembangkan secara konsisten dan berkelanjutan selama seorang peserta

didik belajar di sebuah satuan pendidikan atau jenjang pendidikan. Tidak seperti

pengetahuan yang dapat dipelajari dan dikuasai dalam setiap pertemuan kelas,

materi pelajaran dalam ranah nilai/moral/sikap memerlukan penguatan yang terus

menerus baik secara sekuensial dari suatu mata pelajaran mau pun penguatan

horizontal dari berbagai mata pelajaran. Penguatan-penguatan itu dilakukan baik

dalam proses interaksi di kelas tetapi juga dalam proses interaksi sesama teman,

dengan guru dan pegawai sekolah di lingkungan sekolah (luar kelas). Konsep

pendidikan nilai yang demikian telah diterapkan dalam mata pelajaran Budi

Pekerti pada kurikulum SMP di awal masa kemerdekaan.

Pemahaman mengenai prinsip pendidikan nilai/moral/sikap dan karakteristik

materi nilai/moral/sikap tersebut dirancang dan diterapkan dengan baik untuk

  45

berbagai mata pelajaran dalam Daftar Pelajaran SMP tahun 1950. Sayangnya,

materi pelajaran agama yang juga sarat dengan nilai/moral/sikap dikembangkan

dengan tidak menggunakan prinsip untuk materi nilai/moral/sikap tersebut

sehingga pendidikan agama cenderung menjadi mata pelajaran tentang

pengetahuan agama. Materi mata pelajaran agama yang didominasi oleh materi

pengetahuan menjadikan pelajaran agama lebih mengutamakan hafalan dan

kurang pada pengembangan perilaku beragama. Semestinya, prinsip yang sama

sebagaimana digunakan untuk pendidikan Budi Pekerti dapat juga diterapkan

pada pendidikan agama sehingga materi pelajaran mengenai pengetahuan tentang

berbagai ajaran, kaedah dan ketrampilan dalam menjalan ibadah dikembangkan

melalui mata pelajaran agama sedangkan aspek perilaku beragama dikembangkan

melalui mata pelajaran agama dan mata pelajaran lainnya.

Kondisi pendidikan agama yang terjadi pada masa awal kemerdekaan masih

berlanjut sampai masa kini. Kondisi yang ada pada masa itu adalah pendidikan

agama bukan wajib bagi seluruh peserta didik (Bab XII Pasal 20 undang-undang

pendidikan nomor 12 tahun 1954) dan materi pendidikan agama dikembangkan

oleh Kementerian Agama, terpisah dari pengembangan materi mata pelajaran lain.

Kedua hal ini kiranya menjadi penyebab perilaku beragama tidak menjadi materi

mata pelajaran lain di luar mata pelajaran agama. Pada saat sekarang kebijakan

tentang pendidikan agama sudah berubah dan pendidikan agama menjadi

pendidikan wajib bagi seluuruh peserta didik. Kiranya, perencanaan kurikulum

SMP masa kini sudah dapat menerapkan prinsip pengembangan konten kurikulum

yang membedakan organisasi konten pengetahuan, nilai dan ketrampilan.

 

 

 

 

 

  46

KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN KABINET

PARLEMENTER

A. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Di akhir tahun 1949 terjadi persetujuan antara pemerintah Belanda dengan

pemerintah Republik Indonesia dalam pertemuan yang dinamakan Konperensi

Meja Bundar (KMB). Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan negara Republik

Indonesia dan tidak lagi melakukan agresi militer tetapi Indonesia menjadi negara

serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Republik Indonesia

Serikat terdiri atas Republik Indonesia dan berbagai kerajaan yang ada di

Nusantara dan yang dibentuk Belanda. Negara Republik Indonesia Serikat tidak

bertahan lama dan dalam bulan Agustus 1950, negara Republik Indonesia Serikat

dibubarkan, negara Republik Indonesia kembali menjadi negara kesatuan tetapi

dasar hukum negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945 diganti dengan Undang-

Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD 1950, sistem pemerintahan berubah dari

pemerintahan presidensiil ke pemerintahan parlementer. Dalam sistem

parlementer, Presiden adalah kepala negara dengan wewenang pemerintahan yang

sangat terbatas. Pemimpin pemerintahan adalah perdana menteri. Pada masa

pemerintahan parlementer ini, bangsa Indonesia berhasil melaksanakan pemilihan

umum pertama yang dianggap sebagai pemilihan umum yang paling demokratis

dan bersih. Pada masa ini juga bangsa Indonesia berhasil menyelenggarakan

konperensi yang bertarap Internasional yaitu Konperensi Asia Afrika yang sangat

besar pengaruhnya terhadap gerakan kemerdekaan di banyak negara di benua Asia

dan Afrika.

Pada masa antara 1954 – 1959 adalah masa di mana bangsa Indonesia mulai

menerapkan Undang-undang nomor 20 tahun 1954 tentang Dasar-dasar

Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang merupakan pemberlakuan kembali

Undang-undang nomor 4 tahun 1950. Nomor baru yaitu Nomor 12 tahun 1954

diberikan untuk menyatakan berlakunya Undang-undang nomor 4 tahun 1950 di

wilayah seluruh Indonesia setelah melalui proses persetujuan di DPR RI dan

ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada tanggal 12 Maret 1954. Oleh karena

  47

itu masa antara 1954 – 1959 adalah masa yang penting bagi kehidupan pendidikan

di Indonesia dan bagi perkembangan kurikulum. Kurikulum yang sudah

digunakan pada tahun 1947 untuk SMP (Departemen Pendidikan Nasional, 2009)

diganti dengan kurikulum baru yang dilaksanakan sejak 1954/1955 tetapi

diundangkan secara resmi pada tahun 1954 yaitu setelah dilaksanakan selama 3

tahun. Walau pun dilaksanakan mulai tahun ajaran 1954/1955 karena

diundangkan pada tahun 1954 kurikulum ini dikenal dengan nama Rencana

Pelajaran 1954.

Pada masa antara 1954 – 1959 Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan

Kebudayaan (PP dan K) baru memiliki bagian-bagian yang berkenaan dengan

pelayanan tetapi belum memiliki bagian yang berkenaan dengan penelitian dan

pengembangan. Oleh karena itu tidak ada lembaga/kantor khusus yang bertugas

untuk penelitian dan pengembangan kurikulum (istilah yang digunakan masih

Rencana Pelajaran). Rencana Pelajaran SMP 1954 diterbitkan dan diundangkan

oleh Jawatan Pendidikan Umum, Kementerian PP dan K. Kurikulum SMP 1954

yang dihasilkan pada masa ini yaitu Rencana Pelajaran SMP 1954 dikembangkan

dan dihasilkan oleh para inspektur SMP, sebagai hasil kerja mereka dalam sebuah

konperensi yang dilaksanakan di Bandung pada tahun 1953.

Ketiadaan lembaga khusus yang memiliki tugas resmi mengembangkan

kurikulum, seperti Pusat Kurikulum (PUSKUR) pada masa kini, tidak harus

berarti mereka memiliki keterbatasan dalam wawasan teoritik pengembangan

kurikulum. Pada masa itu para inspektur dianggap orang yang paling

berpengalaman dalam dunia pendidikan (SMP) dan oleh karenanya dianggap

kelompok yang paling mampu untuk mengembangkan rencana pelajaran baru

sesuai dengan undang-undang pendidikan yang baru. Pengalaman mereka yang

panjang dalam dunia pendidikan menjadi dasar kuat dalam wawasan dan

kemampuan pengembangan kurikulum. Kebebasan berpikir yang dipayungi oleh

kehidupan politik parlementer masa itu menyebabkan para inspektur memiliki

kebebasan dalam memikirkan dan merencanakan rencana pelajaran yang baru.

Kelompok pengembang tersebut bebas dari pengarahan dari para atasan termasuk

dari menteri PP dan K.

  48

Kurikulum yang dikembangkan dalam Rencana Pelajaran 1954 dapat dikatakan

memang masih terbatas baik dalam dimensi ide mau pun dalam pengembangan

rincian komponen serta format/model yang digunakan. Meski pun demikian,

dasar-dasar dan komponen penting yang harus dimiliki sebuah dokumen

kurikulum sebagai rencana telah tertuang dalam rumusan yang singkat dan padat.

Ide tentang pembelajaran setiap mata pelajaran dirumuskan dalam maksud dan

tujuan, petunjuk didaktik (cara mengajar) serta pokok bahasan yang terpisah.

Tampaknya, kesederhanaan dalam pemikiran dan format/model adalah

kecenderungan masa itu. Lagipula dapat dikatakan bahwa kesederhanaan

mencerminkan nilai yang tinggi dalam sistem nilai budaya bangsa Indonesia pada

waktu itu. Oleh karenanya, kesederhanaan dalam format dianggap sebagai standar

yang baik pula. Hal lain yang jelas ialah apa yang telah dirumuskan dalam

rencana pelajaran sangat mewakili kualitas pemahaman para pengembang

Rencana Pelajaran tentang suatu ide serta tradisi pendidikan yang berlaku saat itu.

Pokok-pokok bahasan setiap mata pelajaran diirinci dalam bentuk suatu tabel

yang berisikan kolom mengenai informasi tentang jumlah jam pelajaran dalam

satu minggu untuk suatu pokok bahasan, pokok bahasan yang dinamakan

pokok/bagian, pelajaran yang merupakan rincian materi pokok bahasan

(pokok/bagian), dan keterangan. Buku yang harus digunakan guru sebagai

pegangan dalam pembelajaran dan buku yang harus dibaca peserta didik untuk

setiap kelas ditetapkan di bagian bawah tabel. Rancangan tersebut memiliki

keterbacaan yang tinggi, didukung oleh penggunaan istilah yang umum dan

dikenal dengan baik oleh guru.

Keuntungan lain dari rencana pelajaran yang dikembangkan oleh para inspektur

adalah kemudahan dalam sosialisasi dan implementasi. Keterpautan emosional

para inspektur terhadap kelompok yang telah menghasilkan kurikulum tersebut,

menyebabkan mereka memiliki dedikasi yang tinggi untuk menjaga keberhasilan

pelaksanaan rencana pelajaran yang telah dihasilkan kelompok inspektur menjadi

suatu kenyataan di kelas. Apalagi inspektur adalah mereka yang memiliki

wewenang formal dan “kekuasaan” untuk memonitor dan membantu kesulitan

guru dalam pelaksanaan implementasi rencana pelajaran.

  49

B. FILOSOFI KURIKULUM SMP 1954

Pada masa pemerintahan Kabinet Parlementer, Pemerintah Indonesia

menghasilkan kurikulum yang dikenal dengan nama Rencana Pelajaran SMP

1954. Dari tujuan yang dirumuskan untuk setiap mata pelajaran dapat dikatakan

adanya indikasi yang kuat bahwa filosofi kurikulum yang dianut adalah gabungan

antara filosofi experimentalisme-rekonstruksi sosial (Tanner dan Tanner, 1980).

Setiap tujuan yang dirumuskan menekankan pada kegunaan praktis dari materi

mata pelajaran bagi peserta didik agar dapat digunakan ketika mereka masuk

menjadi anggota masyarakat yang aktif. Walau pun berorientasi pada

pemanfaatan praktis yaitu digunakan dalam kehidupan sehari-hari, suatu

kenyataan yang harus diingat bahwa orientasi praktis tersebut tidak mengabaikan

pengembangan aspek intelektualitas peserta didik.

Posisi filosofi gabungan antara experimentalisme-rekonstruksi dan essensialisme

adalah sesuatu yang wajar dan mudah dipahami jika diingat bahwa kurikulum

SMP 1954 dihasilkan berdasarkan undang-undang pertama pendidikan Indonesia

yang sangat kuat dalam pandangan bahwa pendidikan adalah alat untuk

mensejahterakan masyarakat. Pendidikan yang hanya berfokus pada

pengembangan intelektual atau pun kemampuan berpikir rasional semata ditolak

oleh para penentu undang-undang tersebut yaitu anggota Badan Pekerja Komite

Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ketika merumuskan UU nomor 4 tahun

1950, yang nota bene adalah generasi pertama pendiri bangsa ini, dan oleh

anggota DPR-RI ketika UU nomor 4 tahun 1950 ditelaah kembali dan kemudian

diundangkan sebagai UU nomor 12 tahun 1954.

Dalam Rencana Pelajaran SMP 1954, pelajaran bahasa Indonesia ditujukan untuk

mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan menimbulkan keinsyafan

peserta didik sebagai bangsa warga bangsa Indonesia, bahasa Inggeris ditujukan

untuk mampu menggunakan bahasa tersebut dalam hubungan dengan dunia luar

baik secara aktif mau pun pasif, ilmu pasti untuk membentuk jiwa yang kritis serta

memupuk kebiasaan bersih, teliti, tabah, dan tanggungjawab dalam kehidupan

sehari-hari dan dalam menyelesaikan pekerjaan. Pelajaran pengetahuan alam

  50

ditujukan untuk mengenal dan memperhatikan alam di sekitar peserta didik dan

menambah pengetahuan mereka tentang gejala-gejala alam serta menggunakan

pengetahuan tersebut dalam praktek kehidupan keseharian. Untuk kelompok

Pengetahuan Sosial ( mata pelajaran ilmu bumi dan sejarah) tujuannya adalah agar

dapat membangun keinsyafan pada peserta didik sebagai warganegara yang

demokratis, bebas dari segala perasaan kebangsaan yang sempit. Sedangkan

tujuan pelajaran ekonomi adalah mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan

pelajaran dan untuk hidup di masyarakat dengan pengetahuan yang berguna dalam

pembangunan ekonomi nasional.

C. TUJUAN MATA PELAJARAN

Istilah tujuan yang digunakan dalam Rencana Pelajaran 1954 adalah Maksud dan

Tujuan. Maksud menggambarkan apa yang diinginkan sedangkan tujuan

menyatakan apa yang akan dicapai/dimiliki. Kedua kata tersebut menjadi satu

istilah teknis yang digunakan kurikulum 1954 dan sebelumnya untuk

menggambarkan apa yang dimaksudkan dengan istilah tujuan yang dipakai

kurikulum pada masa kini. Rencana Pelajaran SMP 1954 tidak mencantumkan

tujuan yang akan dicapai oleh kurikulum.

Kurikulum 1954 atau lebih tepatnya dinamakan Rencana Pelajaran SMP yang

diimplementasikan pada 1954/1955 untuk kelas I SMP (tahun 1955/1956 untuk

kelas II dan tahun 1956/1957 untuk kelas III. Dokumen Rencana Pelajaran SMP

1954 diterbitkan oleh Jawatan Pendidikan Umum Kementerian PP dan K pada

tahun 1958. Rencana Pelajaran atau kurikulum 1954 tersebut disusun berdasarkan

Konperensi Inspektur-inspektur SMP tahun 1953 di Bandung. Ide kurikulum

belum tampak sebagai kesatuan tetapi sudah ada dalam bentuk pikiran tentang

setiap mata pelajaran, sebelum rincian materi ajar (pokok bahasan) suatu mata

pelajaran untuk setiap kelas. Dokumen kurikulum terdiri dari hanya satu buku

yang berisikan struktur mata pelajaran dan dinamakan ikhtisar daftar jam

pelajaran diikuti dengan ide/pikiran kurikulum untuk setiap mata pelajaran, dan

kemudian rincian bahan ajar untuk setiap kelas.

  51

Ide kurikulum (mata pelajaran) berisikan pokok-pokok pikiran tentang tujuan

(diistilahkan dengan maksud dan tujuan), dan petunjuk didaktik (istilah yang

diwarisi dari bahasa Belanda). Petunjuk didaktik terdiri atas strategi dan proses

pencapaian tujuan (bagaimanakah mencapai tujuan), dan pokok-pokok materi

pelajaran.Dalam strategi dan proses pencapaian tujuan dikemukakan peran guru,

aspek-aspek kemampuan belajar peserta didik yang harus diperhatikan guru, dan

kegiatan yang harus dilakukan peserta didik (istilah yang digunakan pada waktu

itu adalah murid).

Dalam kurikulum 1954 mata pelajaran dibagi dalam 6 kelompok dan 3 mata

pelajaran berdiri sendiri (tidak masuk kelompok). Kelompok-kelompok tersebut

adalah kelompok bahasa, ilmu pasti, pengetahuan alam, pengetahuan sosial,

pelajaran ekonomi, pelajaran ekspresi. Sedangkan mata pelajaran yang tidak

membentuk kelompok dan berdiri sendiri adalah mata pelajaran pendidikan

jasmani, budi pekerti, agama. Mata pelajaran agama bukan mata pelajaran wajib

karena Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 pasal 20 ayat (1) menyebutkan

bahwa pelajaran agama diberikan di sekolah negeri tetapi orang tua memiliki hak

menentukan apakah anaknya ikut pelajaran agama atau tidak. Dalam struktur

kurikulum ditentukan pula jumlah jam pelajaran untuk tahun pertama, tahun

kedua, dan tahun ketiga.

Kurikulum SMP tahun 1954 memiliki jalur atau jurusan. Peserta didik harus

mengikuti pelajaran yang sama selama 2 tahun dan pada kenaikan ke kelas 3

ditentukan apakah seseorang naik ke kelas III A (bahasa, ekonomi, sosial) atau ke

kelas III B (Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam). Nilai rapor peserta didik dalam

mata pelajaran terkait menentukan apakah seseorang naik ke kelas A atau B.

Mereka yang memiliki nilai rapor yang memenuhi syarat untuk mata pelajaran

kelompok bahasa, ekonomi dan sosial akan naik ke kelas III A sedangkan mereka

yang memiliki nilai yang memenuhi syarat untuk mata pelajaran kelompok Ilmu

Pasti dan Pengetahuan Alam naik ke kelas III B.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam dokumen Rencana Pelajaran

SMP 1954 tidak merumuskan tujuan kurikuler atau pun tujuan instruksional

  52

umum. Model (kurikulum) yang berlaku pada masa itu belum mengenal

“nomenclature” tujuan rencana pelajaran (tujuan kurikulum) . Pada masa itu

pengertian kurikulum sebagai daftar mata pelajaran masih sangat kuat dan oleh

karenanya istilah yang dikenal adalah tujuan mata pelajaran. Mata pelajaran lah

yang memiki materi pelajaran dan dengan demikian maka mata pelajaran pulalah

yang memiliki tujuan. Rencana pelajaran adalah rencana dari setiap mata

pelajaran dan bukan merupakan satu kesatuan rencana yang ditopang oleh

berbagai materi yang dikemas dalam mata pelajaran, sebagaimana yang dikenal

dalam pengembangan kurikulum (modern).

Disamping tujuan mata pelajaran, Rencana Pelajaran SMP 1954 juga memiliki

tujuan kelompok mata pelajaran. Beberapa mata pelajaran dijadikan satu dalam

kelompok seperti kelompok Ilmu Pasti, Pengetahuan Alam, dan Pengetahuan

Sosial. Hakekat pengelompokkan ini adalah adanya kesamaan antara satu mata

pelajaran dengan mata pelajaran lain. Bahasa Indonesia, bahasa Inggeris, dan

bahasa daerah masing-masing mata pelajaran memiliki tujuan dan tidak ada

rumusan tujuan untuk kelompok bahasa. Tampaknya hal tersebut disebabkan

karena posisi dan karakter materi pelajaran bahasa Indonesia berbeda dari bahasa

Inggeris sebagai bahasa asing, dan bahasa daerah yang berlaku hanya untuk

daerah tertentu. Sedangkan mata pelajaran berhitung, aljabar, dan ilmu ukur dalam

kelompok ilmu pasti karena memiliki persamaan posisi teoritik keilmuan dan

karakter materi pelajaran sehingga ada tujuan kelompok mata pelajaran sedangkan

tujuan mata pelajaran disebut dengan istilah tujuan khusus. Dalam kelompok

Pengetahuan Alam ada mata pelajaran ilmu alam, ilmu kimia, ilmu hayat, dan

hanya ada tujuan kelompok pengetahuan alam sedangkan tujuan khusus untuk

setiap mata pelajaran tidak ada. Untuk kelompok Pengetahuan Sosial yang terdiri

dari mata pelajaran ilmu bumi dan sejarah ada tujuan kelompok dan tujuan

masing-masing mata pelajaran. Jadi terdapat ketidakajegan (inkonsistensi) dalam

konseptualisasi rencana pelajaran.

Ketidakajegan dalam merumuskan tujuan tampaknya disebabkan karena masing-

masing kelompok dikembangkan oleh kelompok inspektur yang khusus dan

  53

masing-masing kelompok inspektur memiliki kebebasan dalam mengembangkan

rencana pelajaran untuk kelompoknya. Meski pun demikian, sesuatu yang

disepakati ialah adanya komponen tujuan yang dinamakan maksud dan tujuan.

Keseragaman hanya terjadi bahwa mereka (tim inspektur) merumuskan rencana

pelajaran dalam aspek kelas, jam per minggu, pokok/bagian mata pelajaran,

materi pelajaran yang diistilahkan dengan pelajaran dan keterangan dalam suatu

bangunan tabel atau matriks.

Dari dokumen yang diterbitkan oleh Jawatan Pendidikan Umum Kementerian PP

dan K, maksud dan tujuan setiap mata pelajaran dirumuskan sebagai berikut:

Tabel 5.1: Kelompok, Maksud dan Tujuan Rencana Pelajaran SMP 1954

Kelompok Mata Pelajaran dan

Mata Pelajaran Maksud dan Tujuan

Bahasa Indonesia A.membentuk penguasaan bahasa yang sedemikian hingga murid2 dengan teliti dan lancar dapat mengeluarkan pikiran dan perasaan mereka serta dengan teliti dan lancar pula dapat memahami orang lain B. harus menimbulkan di hati murid2 keinsyafan sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai bahasa persatuan dan bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia, yang harus dipelihara sebaik-baiknya dan dihargai setinggi-tingginya

Bahasa Inggeris A.Tujuan umum mempelajari bahasa Inggeris ialah memperoleh suatu alat hubungan dengan dunia luar (dalam lapangan politik, kebudayaan, pengetahuan, ekonomi, dan sebagainya). Oleh karena bagian besar di dunia mempergunakan bahasa Inggeris, maka pentinglah bagi kita untuk menguasai bahasa ini sebaik-baiknya. B.Tujuan khusus pelajaran bahasa Inggeris pada sekolah menengah pertama ialah supaya murid dapat mempergunakan bahasa Inggeris yang sederhana baik pasif mau pun aktif.

Bahasa Daerah

Kelompok Ilmu Pasti

1. Mengajar berpikir secara logis, agar terbentuklah jiwa yang kritis 2. Memupuk kebiasaan untuk menyelesaikan tiap pekerjaan dengan kebersihan, ketelitian, ketabahan hati serta penuh

  54

Kelompok Mata Pelajaran dan

Mata Pelajaran Maksud dan Tujuan

1.Berhitung 2.Aljabar 3. Ilmu Ukur

rasa tanggung jawab 3. Mengajar mempergunakan segala kecakapan dan kebiasaan itu dalam kehidupan sehari-hari ----------------------------------------------------------------------- a.Memelihara dan mempertinggi ketangkasan dan ketelitian terutama mengenai berhitung angka b. Membantu pelajaran Aljabar dan Ilmu Ukur ------------------------------------------------------------------------ a.Memberi pengetahuan dasar tentang Ilmu Aljabar dan penggunaannya berhubung dengan Ilmu Ukur, Ilmu Bumi, Ilmu Hayat, dan lain-lain b.Meletakkan dasar-dasar pengertian dan pokok pengetahuan tentang aljabar agar murid2 dapat mengikuti pelajaran sebaik-baiknya di SLA ------------------------------------------------------------------------- a.Memberi pengetahuan dasar tentang Ilmu Ukur dan penggunaannya berhubung dengan Ilmu Bumi, Ilmu Hayat, Menggambar, dan lain-lain b.Meletakkan dasar-dasar pengertian dan pokok pengetahuan tentang Ilmu Ukur, agar murid2 dapat mengikuti pelajaran sebaik-baiknya di SLA c.Belajar menyusun suatu uraian yang logis, singkat dan tepat

Kelompok Pengetahuan Alam

1.umumnya bertujuan mengenal dan memperhatikan alam di sekitar kita dan menambah pengetahuan dan pengertian tentang gejala-gejala dalam alam, berdasarkan sifat-sifatnya dan hukum-hukunya yang tertentu 2.memberikan pengertian tentang alat-alat dan sebagainya yang dipergunakan dalam praktek hidup sehari-hari yang kerjanya berdasarkan hukum-hukum alam tersebut. 3.pada umumnya untuk menarik perhatian murid-murid akan alam di sekitar kita dan memberi dasar untuk pelajaran pada SLA

Kelompok Pengetahuan Sosial

1.Memberi pengetahuan dan pengertian dasar tentang cara hidup manusia berhubung dngan keadaan alam sekelilingnya, perkembangan dan susunan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia khususya, dan negara-negara lain umumnya 2.Memberi pengetahuan dasar tentang kebudayaan bangsa

  55

Kelompok Mata Pelajaran dan

Mata Pelajaran Maksud dan Tujuan

Ilmu Bumi Sejarah

Indonesia dan bangsa lain 3.Membangun akan keinsyafan kewarganegaraan dalam suatu negara yang demokratis dan membangun keinsyafan nasional, bebas dari segala kebangsaan yang sempit 4.Memberi pengertian tentang perhubungan antara bangsa dengan bangsa yang lain yang menjadi syarat mutlak untuk menuju ke arah pelaksanaan kemakmuran dan kesejahteraan bersama ------------------------------------------------------------------------- 1.Memberi pengetahuan dan pengertian tentang keadaan geografis indonesia dan negara-negara lain di dunia ini yang menentukan keadaan dan perkembangan cara hidup manusia dalam segala lapangan 2.Memperbesar kecakapan murid-murid untuk mempergunakan alat-alat Ilmu Bumi (peta, globe, angka-angka, statistik, gambar2, grafik-grafik) agar dapat memberi manfaat kepadanya dalam kehidupannya sehari-hari ------------------------------------------------------------------------- 1.Memberi pengertian elementer tentang pertumbuhan dan perkembangan di dalam kehidupan manusia pada umumnya dan bangsa sendiri pada khususnya; atau dengan kata-kata lain: memberi sekedar pengertian tentang terjadinya masyarakat dan susunannya dewasa ini 2.Menarik pelajaran-pelajaran yang berguna dari peristiwa-peristiwa luhuran budi dan sifat dari pada orang-orang yang besar yang berjasa dalam sejarah 3.Mempertinggi budi-pekerti murid2 dengan jalan menunjukkan kejadian yang telah terjadi di waktu yang lampau 4.Membangkitkan dan memelihara serta memupuk rasa cinta akan bangsa dan tanah air 5.Memahami cara dan susunan pemerintahan di negeri kita dan di samping itu juga di negeri lain

Kelompok Pelajaran Ekonomi

1.Memperkenalkan murid-murid dengan gejala-gejala dalam lapangan ekonomi yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari 2.Memberi pengetahuan pokok tentang hal yang tersebut di atas dan ketangkasan2 di dalam soal-soal hitung dagang untuk mempersiapkan murid:

  56

Kelompok Mata Pelajaran dan

Mata Pelajaran Maksud dan Tujuan

Hitung Dagang Pengetahuan Dagang

a.melanjutkan pelajaran ke jurusan ekonomi b.memasuki masyarakat di hari kelak dengan pengetahuan yang berguna dalam pembangunan ekonomi nasional ------------------------------------------------------------------------ 1.Memberi pengetahuan dasar tentang menghitung hal-hal yang terpenting dalam transaksi perdagangan 2.Menambah kecakapan berhitung terutama untuk keperluan Perdagangan ------------------------------------------------------------------------ 1.Mempersiapkan murid untuk melanjutkan pelajaran ke jurusan ekonomi 2.Memberi pengetahuan dan pengertian pokok tentang hal- hal yang terdapat dalam dunia ekonomi dan perdagangan, supaya murid dapat mengerti dalam garis besar, apa yang terjadi dalam dunia ekonomi di sekitar mereka

Kelompok Mata Pelajaran Ekspresi Seni Suara Menggambar

1.Mendidik dan membimbing murid-murid untuk menyetakan perasaan dan fikiran dengan bebas dan untuk mencipta sesuatu yang sesuai dengan kewajibannya (aktif kreatif) 2.Membangun dan mengembangkan rasa keindahan dan mendidik murid menghargai ciptaan orang lain khusus karena sifat keindahannya 3.Memberi pendidikan yang menjamin keseimbangan antara pendidikan fikiran (intelek), perasaan (emosi) dan jasmani 4.Memberikan perintang waktu 5.Melatih murid dalam ketangkasan ------------------------------------------------------------------------ a.Mengembangkan perasaan dan membangun minat terhadap Seni-Suara (vokal dan instrumental), dapat menghargai dan mengikuti ciptaan seni suara b.Memberi pengetahuan dasar dan melatih murid menyanyi lagu-lagu sederhana dengan tepat dan suara murni c.Turut menghidupkan perasaan kebangsaan, persatuan dan persaudaraan d.Sedapat mungkin murid harus dapat mempergunakan alat musik atau gamelan ------------------------------------------------------------------------- 1.Mendidik mengamat-amati alam sekitarnya dengan teliti 2.Mengembangkan perasaan tentang perbandingan antara benda-benda dan bagian-bagiannya 3.Melatih murid dalam ketangkasan

  57

Kelompok Mata Pelajaran dan

Mata Pelajaran Maksud dan Tujuan

Pekerjaan Tangan

4.menggambar untuk mata pelajaran lain (Ilmu Bumi, Sejarah, Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan sebagainya) 5.Mengembangkan perasaan keindahan dan keseimbangan warna dan bentuk ------------------------------------------------------------------------ 1. Mendidik murid untuk mewujudkan perasaan dan fikiran dalam rupa yang berukuran tiga 2. Membangunkan dan mengembangkan aktivitas dan daya cipta murid2 3. Memupuk rasa indah 4. Menghidupkan hasrat kerja praktis 5. Memperkuat rasa tata tertib dan susunan teratur 6. Mengadakan keseimbangan (harmoni) antara rohani dan jasmani 7. Memberikan perintang waktu yang berfaedah bagi murid2

Budi Pekerti (terjalin dalam semua mata pelajaran dan dalam semua usaha sekolah)

1. Mendidik murid-murid agar menjadi anggota masyarakat yang bersifat dan berperasaan sosial 2. Mendidik murid2 menjadi manusia yang berakhlak baik 3. Mendidik murid2 menjadi warganegara yang baik dan Bertanggungjwab

Agama Dibuat oleh Kementerian Agama

Keterangan:

Hasrat = kemauan Keinsyafan = kesadaran Ketangkasan=Ketrampilan Perintang waktu = penggunaan waktu senggang Ilmu Alam = Fisika Ilmu Bumi = Geografi Ilmu Hayat = Biologi

Dari setiap rumusan maksud dan tujuan pada kurikulum SMP 1954 yang

dikemukakan dalam Tabel 5.1 di atas terdapat petunjuk yang jelas bahwa apa

yang sudah dipelajari peserta didik di sekolah harus berguna bagi kehidupan

sehari-hari peserta didik. Masalah yang terjadi di masyarakat digunakan sebagai

pokok kajian/bahasan.

  58

Pemanfaatan suatu ketrampilan untuk mata pelajaran lain dinyatakan secara

eksplisit. Ketrampilan dalam ilmu ukur, misalnya, digunakan untuk menggambar,

geografi dan biologi sedangkan kemampuan menggambar digunakan untuk

geografi, sejarah, biologi, dan fisika. Konsep keterkaitan ketrampilan yang

dikembangkan oleh satu mata pelajaran dan terkait dengan mata pelajaran lain

memberikan petunjuk bahwa para pengembang rencana pelajaran tersebut

memahami secara mendalam karakteristik materi kurikulum/pelajaran yang

dinamakan ketrampilan. Pemahaman yang mendalam mengenai karaktersitik

materi nilai ditunjukkan oleh pernyataan mengenai budi pekerti dimana

disebutkan pendidikan budi pekerti “terjalin dalam semua mata pelajaran dan

dalam semua usaha sekolah”. Sementara penguasaan pengetahuan yang bersifat

berbeda dari materi ketrampilan dan nilai tidak dijalin dengan mata pelajaran lain

karena memang sifat dari pengetahuan yang spesifik dan sulit digunakan untuk

mempelajari materi pengetahuan mata pelajaran lain yang juga bersifat spesifik.

Dari apa yang tersurat pada maksud dan tujuan, selain mencerminkan pemahaman

yang mendalam dari para pengembang Rencana Pelajaran SMP 1954 tetapi juga

mencerminkan konsep kurikulum modern. Indikasi yang ditunjukkan oleh maksud

dan tujuan pada Rencana Pelajaran tersebut mencerminkan pengertian kurikulum

bukan lagi sekedar daftar mata pelajaran. Jadi walau pun istilah yang digunakan

adalah Rencana Pelajaran tetapi pengertian kurikulum yang digunakan adalah

pengertian modern kurikulum. Dalam pengertian modern, kurikulum adalah suatu

rancangan pendidikan yang dikembangkan dalam bentuk rencana, dilaksanakan

dalam berbagai proses interaksi, untuk mempersiapkan peserta didik bagi

kehidupannya sebagai anggota masyarakat/bangsa dan sebagai dirinya. Sedangkan

mata pelajaran hanyalah sekedar organisasi materi kurikulum yang karena terlalu

luas maka diikat dalam suatu kesatuan organisasi yang dinamakan mata pelajaran.

Oleh karena itu, secara hakiki setiap mata pelajaran adalah bagian integral

kurikulum dan bersifat saling menunjang antara satu mata pelajaran dengan mata

pelajaran lainnya. Organisasi konten kurikulum dalam kemasan mata-mata

pelajaran itu menyebabkan proses pembelajaran menjadi terkendali (manageable)

dan terencana dengan baik.

  59

Perlu dikemukakan bahwa dalam setiap mata pelajaran terdapat materi kurikulum

yang sifatnya spesifik untuk suatu mata pelajaran dan materi kurikulum yang

sifatnya umum dan untuk semua mata pelajaran. Materi kurikulum yang bersifat

spesifik adalah pengetahuan. Pengetahuan terdiri atas pengetahuan tentang fakta,

istilah, kategori atau klasifikasi, prinsip, generalisasi, teori, model, strukture,

prosedur, cara-cara, pendapat, dan menggunakan sesuatu.Materi kurikulum yang

bersifat umum dan menjadi milik semua mata pelajaran berkenaan dengan

kemampuan berpikir, berkomunikasi, menerapkan ketrampilan, cara kerja, nilai

dan sikap, serta kebiasaan (Airasian, 2001). Prinsip yang digunakan dalam

rumusan tujuan dan maksud pada tabel 5.1 di atas jelas memperlihatkan

penerapan kedua kelompok materi kurikulum yang dikemukakan sebelumnya

dengan baik. Berbagai ketrampilan dan nilai diterapkan pada berbagai mata

pelajaran sedangkan pengetahuan yang spesifik mata pelajaran menjadi materi

kajian untuk mata pelajaran terkait.

Pendekatan yang digunakan untuk menyatakan keterkaitan itu dapat dilakukan

dengan berbagai cara. Pendekatan yang dilakukan oleh Rencana Pelajaran SMP

1954 menempatkan keterkaitan antar mata pelajaran dalam rumusan maksud dan

tujuan. Format lain yang dapat digunakan adalah merumuskan keterkaitan itu

dalam elemen pengorganisasian (organizing element) seperti konsep, tema,

ketrampilan dan nilai, atau lainnya.

D. STRUKTUR RENCANA PELAJARAN DAN MATA PELAJARAN

Struktur dan mata pelajaran yang terdapat dalam Rencana Pelajaran SMP tahun

1954 tercantum pada tabel berikut:

Tabel 5.2: Ikhtisar Daftar Jam Pelajaran Rencana Pelajaran SMP Tahun 1954

  60

Kelas dan JamPelajaran Kelompok Mata Pelajaran

I II IIIA IIIB

Bahasa Indonesia 5 5 6 5

Bahasa Inggeris 5 4 5 4

Bahasa Daerah 2 2 2 1

I

Bahasa

Sub Jumlah 12 11 13 10

Berhitung dan Aljabar 4 3 2 4

Ilmu Ukur 3 3 - 4

II

Ilmu Pasti

Sub Jumlah 7 6 2 8

Ilmu Alam/Kimia 2 4 2 5

Ilmu Hayat 2 2 2 2

III

Pengetahuan Alam

Sub Jumlah 4 6 4 7

Ilmu Bumi 2 2 3 2

Sejarah 2 2 3 2

IV

Pengetahuan Sosial

Sub Jumlah 4 4 6 4

Hitung Dagang - 1 2 -

Pengetahuan Dagang - - 2 -

V

Pelajaran Ekonomi

Sub Jumlah - 1 4 -

Seni Suara 1 1 1 1

Menggambar 2 2 2 2

Pek. Tangan/Ker. Wanita 2 2 2 2

VI

Pelajaran Ekspresi

Sub Jumlah 5 5 5 5

VII Pendidikan Jasmani 3 3 3 3

VIII Budi Pekerti (bukan mata pelajaran berdiri sendiri tapi terintegrasi dalam kegiatan semua mata pelajaran dan kegiatan sekolah)

IX Agama 2 2 2 2

Jumlah 37 37 39 39

Rencana pelajaran SMP 1954 menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa

mendapatkan alokasi waktu yang paling banyak (46 jam), diikuti oleh kelompok

Ilmu Pasti (23 jam), Ilmu Alam (21 jam), Ekspresi (20 jam) dan Pengetahuan

Sosial (18 jam). Alokasi waktu untuk bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris

bahkan lebih tinggi dari mata pelajaran lainnya, lebih dari dua kali dari kelompok

  61

lainnya.. Alokasi waktu tersebut dapat dimaknai sebagai prioritas yang diberikan

terhadap pendidikan bahasa terutama bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris. Posisi

bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional amat penting dalam mengembangkan

jati diri bangsa peserta didik dan oleh karenanya mereka harus memiliki

kesempatan yang luas dalam menguasai bahasa persatuan tersebut. Bahasa

Inggeris digunakan untuk memberi kesempatan kepada peserta didik

berkomunikasi dengan bangsa lain.

Suatu yang mengundang pertanyaan adalah posisi bahasa daerah. Mata pelajaran

bahasa daerah memang tidak berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia tetapi

bahasa daerah adalah wahana bagi peserta didik untuk mengenal dirinya dan

masyarakat terdekat lebih baik. Berdasarkan prinsip pendidikan yang

dikemukakan Ki Hajar Dewantara (1977) maka pendidikan harus berakar pada

budaya dan agama. Artinya, peserta didik seharusnya mendapatkan keleluasaan

belajar bahasa daerah lebih besar dari alokasi waktu yang tercantum dalam

struktur kurikulum SMP 1954. Memang jika prinsip pendidikan yang

dikemukakan Ki Hajar Dewantara ingin diterapkan maka pelajaran kebudayaan

daerah yang didalamnya terdapat bahasa daerah, budaya dan nilai) menjadi nama

mata pelajaran menggntikn nama bahasa daerah.

Kelompok mata pelajaran ilmu pasti, pengetahuan alam, ekspresi, dan

pengetahuan sosial diberikan alokasi waktu yang berimbang. Perbedaan antara

satu dengan lainnya dalam keempat kelompok tersebut tidak terlalu mencolok jika

dibandingkan dengan perbedaan keempatnya dengan kelompok mata pelajaran

bahasa. Posisi kelompok ekspresi memang menarik karena kelompok ini

diharapkan dapat mengembangkan kreativitas, kecerdasan emosional, rasa indah

serta membangun keseimbangan antara ketiganya dengan kemampuan intelektual,

kessimbangan antara perkembangan jasmani dan rokhani, memberi kesempatan

bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan vokasional dan

menggunakan waktu dengan kegiatan yang berguna. Oleh karena itu kelompok

ekspresi mendapat alokasi waktu yang cukup. Ketiga kelompok lainnya, secara

tradisional berkenaan dengan pengembangan kemampuan intelektual walau pun

  62

pandangan itu tidak lagi dianut secara ketat oleh para pengembang kurikulum

SMP 1954.

E. KOMPONEN RENCANA PELAJARAN SMP 1954

Struktur Rencana Pelajaran SMP 1954 mirip dengan Rencana Pelajaran 1950.

Sebagaimana sebelumnya, pendidikan SMP di kelas I dan II adalah pendidikan

dasar tingkat menengah pertama kemudian dilanjutkan di kelas III dengan

pendidikan spesialisasi yang dinamakan jurusan. Di kelas III dikenal ada jurusan

A (sosial-ekonomi) dan B (Ilmu Pasti), sama seperti Rencana Pelajaran

sebelumnya. Perubahan dalam ide kurikulum sangat sedikit. Perbedaan yang

mendasar terutama dalam pemberian makna terhadap pendidikan jurusan dan

konsekuensinya dalam beban belajar jurusan. Dalam pandangan tersebut untuk

jurusan A diperlukan penguasaan bahasa Inggeris yang lebih baik sehingga jam

pelajaran bahasa Inggeris untuk jurusan A ditambah dari 4 menjadi 5 jam.

Demikian pula pelajaran sejarah untuk jurusan A ditambah dari 2 menjadi 3 jam.

Sementara itu untuk jurusan B dirasakan perlu penambahan jam pelajaran untuk

bidang terkait dengan jurusan B (Pasti-Alam) yaitu Ilmu Alam/Kimia ditambah

dari 2 menjadi 5 jam sedangkan materi ilmu bumi dianggap tidak perlu terlalu

banyak sehingga dikurangi dari 3 menjadi 2 jam.

Konsekuensi dari pandangan yang berbeda tentang pendidikan jurusan

menyebabkan beban belajar untuk kelas III lebih besar dibandingkan dari

pendidikan dasar di kelas I dan II SMP. Tampaknya bagi para pengembang

kurikulum, pendidikan spesialisasi dipandang sebagai pendidikan yang

memerlukan pendalaman tertentu yang terkait dengan jurusan tersebut.

Berdasarkan pandangan tersebut pula maka untuk setiap jurusan diberikan

tambahan mata pelajaran baru yang dianggap perlu untuk memperkuat

kemampuan peserta didik di masing-masing jurusan. Untuk jurusan A (Sosial-

ekonomi) ada penambahan mata mata pelajaran Pengetahuan Dagang sedangkan

pada jurusan B (Ilmu Pasti) ada penambahan mata pelajaran Ilmu Kimia yang di

kelas I dan II dimasukkan dalam pelajaran Pengetahuan Alam tetapi di kelas III B

ilmu Kimia diajarkan sebagai mata pelajaran berdiri sendiri. Pandangan mengenai

  63

perlunya kajian yang lebih mendalam untuk beberapa mata pelajaran dan perlu

adanya mata pelajaran baru menyebabkan jumlah jam belajar di kelas III menjadi

lebih besar dibandingkan di kelas I dan II.

Dalam Rencana Pelajaran SMP 1954 ditetapkan jam belajar sebagai berikut:

jumlah jam belajar satu minggu untuk untuk kelas I dan II adalah 37 jam

pelajaran terdiri atas hari Senin – Rabu diberikan 7 jam pelajaran, hari Kamis dan

Sabtu 6 jam pelajaran, sedangkan hari Jum’at hanya diberikan 4 jam pelajaran.

Sedangkan jumlah jam belajar untuk kelas III adalah 39 jam terdiri atas 7 jam

pelajaran untuk hari Senin – Kamis dan Sabtu sedangkan untuk hari Jum’at tetap

4 jam pelajaran. Setiap hari disediakan 2 kali jam istirahat, masing-masing 15

menit kecuali pada hari Jum’at hanya disediakan satu kali jam istirahat.

Rencana Pelajaran SMP 1954 menyediakan petunjuk pelaksanaan pembelajaran

setiap kelompok mata pelajaran dan mata pelajaran, dan dinamakan Petunjuk

Didaktik. Dalam petunjuk tersebut dikemukakan apa yang diharapkan dilakukan

oleh para peserta didik dan bagaimana guru harus berbuat sehingga perilaku yang

diharapkan dari peserta didik tadi dapat diwujudkan. Misalkan untuk kelompok

bahasa maka peserta didik diharapkan dapat “mengeluarkan pikiran dan perasaan

secara lisan, ialah bercakap-cakap, bercerita, berpidato, menguraikan sesuatu,

bersoal-jawab, menilpon dan sebagainya”. Untuk itu guru harus memimpin prose

belajar di kelas dengan:

a. Memberikan kesempatan kepada murid untuk berlatih mengeluarkan pikiran dan perasaan secara lisan

b. Latihan ini hendaklah berisi pula latihan percaya akan diri sendiri dan berani mengucapkan sesuatu sehingga tumbuh suatu peribadi yang bebas dan tahu harga diri

c. Isi daripada yang diucapkan itu hendaklah tersusun secara logis sehingga ucapan itu menjadi teliti dan jelas. Bentuk ucapan itu (susunan kalimat dan pemakaian kata-kata) seperti yang lazim dalam Bahasa Indonesia

d. Lancar atau tidak keluarnya ucapan itu tergantung pada latihan yang cukup e. Hal yang dijadikan pokok pembicaraan dapat diambil dari lapangan

kehidupan masyarakat. Syarat yang harus dipenuhi ialah bahwa murid tahu betul-betul seluk-beluknya, sehingga murid biasa mengucapkan pikiran dan perasaan secara teliti dan lancar (Djawatan Pendidikan Umum Kementerian P.P dan K, 1954:6)

  64

Petunjuk didaktik untuk ketrampilan berbahasa tulis dikemukakan adalah sebagai

berikut: “mengeluarkan pikiran dan perasaan secara tulisan ialah pada hakekatnya

mengarang, yang terdiri dari membuat ceritera pendek, membuat laporan sesuatu

kejadian, membuat surat, membuat ikhtisar, menyusun iklan, menyusun tilgram,

dan sebagainya”.

a. Secara teliti dan lekas menuliskan buah pikiran, baru dapat setelah melewati

latihan yang banyak. Berikan murid2 kesempatan yang cukup untuk berlatih b. Isi karangan hendaklah logis dan tersusun baik sehingga terang segala yang

dimakud untuk membaca. Pakailah kalimat yag sederhana c. Bentuknya harus menurut jalan Bahasa Indonesia dan tertulis dalam ejaan

yang teratur. Orientasi kurikulum pada kehidupan keseharian dan pemanfaatan apa yang sudah

dipelajari terungkapkan dengan jelas dalam petunjuk didaktik setiap kelompok/

mata pelajaran. Dalam pelajaran bahasa Indonesia kegiatan belajar membuat surat,

menyusun iklan dan menyusun telegram (pada masa itu telegram adalah

komunikasi tertulis tercepat) menunjukkan orientasi kurikulum terhadap

kehidupan keseharian. Dalam pelajaran bahasa Inggeris ada 9 petunjuk didaktik

yaitu “intonation”, “pronounciation”, kepercayaan diri peserta didik16,

penggunaan gambar, cerita pendek, perbendaharaan kata yang terkait dengan

kehidupan sehari-hari peserta didik, kata digunakaan dalam konteks dan demikian

juga tes, terjemahan dilakukan dari bahasa Inggeris ke bahasa Indonesia, dan

pengenalan budaya. Jelas 9 petunjuk tersebut menekankan pada pemanfaatan

bahasa dan kemampuan berbahasa keseharian. Lagipula kepercayaan peserta didik

bahwa mereka mampu berbahasa Inggeris menjadi suatu dasar didaktik yang

sangat kuat dan masih perlu dikembangkan pada masa kini. Banyak peserta didik

yang sudah merasa tidak mampu ketika diminta membaca atau berbicara dalam

                                                            16  Kepercayaan  diri  dalam  berbahasa  asing  adalah modal  dasar  untuk mampu  berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Setiap orang yang mau  mengungkapkan pikirannya dalam bahasa asing harus diawali dengan kepercayaan diri, dan berdasarkan kepercayaan diri yang dimilikinya   yang bersangkutan menata  pikirannya  dalam    struktur  kalimat  yang  sesuai  dengan  kaedah  bahasa terkait.  Dengan  kepercayaan  diri  itu  pula  yang  bersangkutan  memiliki  “keberanian”  untuk mengucapkan kalimat yang ada pada pikirannya. Oleh karena  itu membangun kepercayaan diri peserta  didik  untuk  mampu  berbahasa  Inggeris  adalah  petunjuk  didaktik  yang  sangat fundamental, dan perlu diberlakukan bagi setiap orang yang belajar bahasa di luar bahasa ibunya. 

  65

bahasa Inggeris dan tentu saja sikap yang demikian penjadi penghambat dalam

belajar bahasa dan belajar mata pelajaran mana pun.

Dalam petunjuk didaktik mengenai Aljabar dikemukakan 4 pedoman. Pedoman

nomor 3 menyebutkan “taraf terakhir dalam pelajaran aljabar adalah pemecahan

persamaan2 tersamar. Hendaklah dipilih soal-soal yang mengenai kehidupan

sehari-hari dengan tidak terlalu hipotetis”. Sedangkan dalam petunjuk didaktik

keempat (d) dikemukakan “hendaknya ada hubungan yang rapat antara aljabar

dengan matapelajaran2 lainnya (umpamanya membaca grafik dalam aljabar

merupakan suatu soal yang penting, karena besar hubungannya dengan

matapelajaran2 lainnya). Orientasi pada kehidupan keseharian juga jelas

terungkap pada petunjuk didaktik kelompok Pengetahuan Alam yang

mengemukakan 8 petunjuk. Tujuh petunjuk berkenaan dengan cara belajar akkti

dimana peserta didik belajar menemukan dalam suasana “mmenarik perhatian,

menimbulkan minat terutama untuk pengamatan dan penyelidikan sendiri”.

Petunjuk didaktik kedua menyebutkan “bahan pelajaran disusun sedemikian rupa

sehingga murid-murid mengetahui penggunaannya dalam prraktek hidup sehari-

hari”. (Dokumen Rencana Pelajaran SMP, hal40).

Dalam kelompok Pengetahuan Sosial terdapat petunjuk didaktik yang terpisah

untuk mata pelajaran Ilmu Bumi dan Sejarah. Ilmu Bumi memiliki petunjuk

sebanyak 4 buah sedangkan sejarah memiliki petunjuk sebanyak 13 buah.

Petunjuk Ilmu Bumi yang pertama berkenaan dengan keeterkaitan antara Ilmu

Bumi dan Sejarah dimana dikatakan “ilmu sejarah mempelajari riwayat hidup

manusia, ilmu Bumi mempelajari keadaan manusia pada suatu waktu. Oleh karena

itu kedua mata pelajaran ini harus diajarkan dalam hubungan yang erat”.

Tampaknya istilah “hubungan yang erat” sama maksdunya dengan “correlated

curriculum content”.

Tidak seperti mata pelajaran kelompok bahasa, ilmu pasti dan ilmu alam yang

menyatakan secara keterkaitan dan pemanfaatan mata pelajaran dalam kehidupan

sehari-hari peserta didik secara eksplisit, tidak demikian halnya dengan petunjuk

didaktik ilmu bumi. Tidak ada pernyataan eksplisit tentang hal tersebut dan

mungkin hal ini disebabkan karena dalam makksud dan tujuan sudah dinyatakan

  66

bahwa kelompok Pengetahuan Sosial “membangun akan keinsyafan

kewarganegaraan dalam suatu negara yang demokratis dan membangun

keinsyafan nasional, bebas dari segala perasaan kebangsaan yang sempit”.

Pernyataan ini tampaknya sudah cukup mewakili orientasi pelajaraan sosial

kepada kehidupan keseharian.

Dalam petunjuk didaktik mata pelajaran sejarah terdapat pernyataan yang

menunjukkan perlunya keterkaitan mata pelajaran sejarah dengan kehidupan

sehari-hari. Dalam petunjuk didaktik nomor 2 disebutkan “harus diinsyafi oleh

murid2 bahwa nasib dan kebahagiaan tanah air dan bangsa kita bergantung kepada

sifat-sifat dan cita2 mereka (pelaku sejarah, pen.), dengan kata-kata lain: kita

bertanggung jawab dan ikut serta dalam pembentukan masyaraat dikemudian

hari”, dan pada petunjuk didaktik nomor 5 dikatakan “sejarah bukan rentetan

fakta-fakta belaka, tetapi harus diinsyafi sebab-musabab dan akibatnya bagi

masyarakat”. Oleh karena itu pendekatan rekonstruksi yang selalu mengkaitkan

pendidikan dengan masalah sosial dan kehidupan peserta didik di masyarakat

sangat kental digunakan dalam kurikulum SMP 1954.

Setiap kelompok mata pelajaran atau mata pelajaran memiliki tujuan dan petunjuk

didaktik, diikuti dengan tabel atau matriks yang berisikan kolom kelas, jumlah

jam pelajaran per minggu, pokok/bagian dari pelajaran, pelajaran dan keterangan.

Walau pun berbeda dan terutama ketiadaan kolom evaluasi atau asesmen hasil

belajar pada dasarnya format ini mirip dengan format Garis-Garis Besar Program

Pengajaran (GBPP) yaang digunakan kurikulum 1975, 1984 dan 1994. Dalam

kolom keterangan terdapat informasi mengenai buku yang digunakan untuk

pokok/bagian dan pelajaran tertentu.

  67

KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE LAMA

(1959 – 1965)

A. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Pada tahun 1959 Indonesia mengalami perubahan politik yang sangat mendasar

ketika UUD tahun 1950 dinyatakan tidak lagi berlaku dan Indonesia kembali

menggunakan UUD 1945. Proses pengembalian penggunaan UUD 1945 tersebut

dinyatakan dalam dekrit Presiden Soekarno pada tahun 1959. Bersamaan dengan

kembali ke UUD 1945 Presiden Soekarno memperkenalkan konsep kehidupan

bangsa yang baru yaitu Manipol Usdek (Manipol = Manifesto Politik ; USDEK =

Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,

Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Dengan Manipol Usdek maka

semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan haruslah

disesuaikan dengan konsep baru itu termasuk pendidikan.

Menanggapi perubahan politik yang terjadi maka Menteri Muda Pendidikan,

Pengajaran dan Kebudayaan, Dr Prijono (Priyono) mengeluarkan instruksi pada

tanggal 17 Agustus 1959 yang terkenal dengan nama Sapta Usaha Tama (Tujuh

Usaha Utama). Dalam konsideran instruksi Sapta Usaha Tama disebutkan

“sesudah Presiden/Panglima Tertinggi pada tanggal 5 Juli 1959 mendekritkan,

bahwa bangsa Indonesia kembali kepada Undang-undang Dasar ’45, maka sudah

sewajarnyalah, bahwa kaum pendidik dan para pelajarnya wajib memiliki kembali

semangat dan jiwa proklamasi untuk dapat memberi contoh kepada seluruh

masyarakat” (Sastradinata, Sjamsuddin, Hasan, 1993:200).

Selanjutnya dikatakan bahwa “para pendidik harus sanggup menjadi pelopor dari

perubahan jiwa dan sikap bangsa”. Kemudian ditetapkan “untuk menjelmakan

maksud di atas saya umumkan tindakan-tindakan jangka pendek yang segera

harus dikerjakan dalam lingkungan Kementerian P.P. dan K. dan dalam

masyarakat, yang saya namakan SAPTA USAHA TAMA, sebagai berikut:

1. penertiban aparatur dan usaha-usaha Kementerian P.P. dan K.

  68

2. menggiatkan kesenian dan olah raga

3. mengharuskan “usaha halaman”,

4. mengharuskan penabungan,

5. mewajibkan usaha-usaha koperasi,

6. mengadakan “Klas masyarakat”

7. membentuk “Regu Kerja” di kalangan SLA dan universitas

(Sastradinata, Sjamsuddin, Hasan, 1993:200-201)

Sapta Usaha Tama adalah program jangka pendek Menteri. Sekolah sudah harus

menerapkan kegiatan nomor 2, 3, 4 dan 5 untuk SD dan SMP sedangkan SMA

dan universitas ditambah dengan Usaha Tama nomor tujuh. Dua tahun setelah itu

terjadi perubahan kabinet dan Dr Prijono menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan

Kebudayaan. Dalam Kabinet Kerja III, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan

Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan dengan

Prof Dr Prijono sebagai menterinya.

Selanjutnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan17 Dr Prijono

mengeluarkan instruksi baru yang dinamakan yaitu Instruksi Menteri Pendidikan

Dasar dan Kebudayaan nomor 2 yang dikenal dengan nama Panca Wardhana

(Pantja Wardhana) pada tanggal 17 Agustus 1961. Panca Wardhana adalah tindak

lanjut dari instruksi Sapta Usaha Tama. Dalam instruksi tentang Panca Wardhana

tahun 1961 tersebut, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK)

menegaskan:

(1) Pantjasila dengan Manipol sebagai pelengkapnja, sebagai asas pendidikan nasional

(2) Menetapkan Pantja Wardhana sebagai sistem pendidikan yang berisikan prinsip-prinsip:

                                                            17  Pada  waktu    itu  terdapat  2  kementerian  yaitu    Kementerian  Pendididkan  Dasar  dan Kebudayaan  dan  Kementerian  Perguruan  Tinggi  dan  Ilmu  Pengetahuan.  Dr  Prijono  adalah Menteri  Pendidikan  Dasar  dan  Kebudayaan  sedangkan  Prof.Dr.  Ir.  Thajib  Hadiwidjaja  adalah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. 

  69

a. perkembangan tjinta bangsa dan tanah-air, moral nasional/internasional/ keagamaan;

b. perkembangan ketjerdasan; c. perkembangan emosil-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir-

batin, d. perkembangan keprigelan atau keradjinan tangan; e. perkembangan djasmani.

(3) Menjelenggarakan ”hari Krida” atau hari untuk kegiatan-kegiatan dalam lapangan kebudayaan, kesenian, olahraga dan permainan pada tiap-tiap hari Sabtu.

Terlepas dari suasana dan pengaruh politik yang melahirkan instruksi Pantja

Wardhana tersebut tetapi apa yang dinyatakan dalam ketetapan titik 2.a, 2.b, 2.c,

2.d, dan 2.e instruksi tersebut merupakan inti ketetapan yang sarat dengan

pemikiran pendidikan, bersesuaian pula dengan konsep cipta, rasa, dan karsa yang

dianjurkan Ki Hajar Dewantara. Berbagai potensi peserta didik (kecerdasan,

emosional, ketaqwaan, ketrampilan, dan kesegaran jasmani) menjadi kepedulian

pendidikan. Cinta tanah air dan bangsa pada generasi baru bangsa dan yang

nantinya menjadi warganegara sudah seharusnya menjadi tugas pendidikan yang

sama dengan tugas mengembangkan potensi peserta didik dalam ranah lainnya.

Sedangkan ketetapan dalam titik 3 memberikan kesempatan yang luas kepada

peserta didik untuk mengembangkan minat mereka dalam seni, budaya, dan

berbagai permainan tetapi juga memberi kesempatan kepada peserta didik untuk

menerapkan berbagai ketrampilan dan sikap yang diperoleh di kelas. Sebaliknya,

sikap dan nilai-nilai yang diperoleh peserta didik dari kegiatan seni, budaya dan

permainan (sebagai produk budaya) akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar

mereka di kelas dan sekolah. Antara kedua wilayah tersebut terjadi

kesinambungan yang saling memperkuat yang memperkuat pengembangan sikap

dan nilai serta ketrampilan seni dan pengetahuan tentang nama, peraturan, dan

cara main.

  70

B. RENCANA PELAJARAN SMP GAYA BARU

Sejalan dengan perubahan politik dan kebijakan pendidikan yang telah

dikemukakan di atas maka terjadi perubahan kurikulum SMP (juga kurikulum SD

dan SMA). Pada bulan Agustus 1962 pemerintah menetapkan kurikulum baru

untuk SMP menggantikan kurikulum SMP 1954. Kurikulum SMP tahun 1962

dihasilkan oleh Rapat Kerja Para Pengawas SMP seluruh Indonesia di Tugu dari

tanggal 3 – 10 Juli 1962 (Dokumen Rentjana Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964).

Pertemuan para pengawas SMP seluruh Indonesia tersebut dilakukan di Yogya (1-

9 Oktober 1961), pertemuan kedua di Tugu (21 Nopember – 4 Desember 1961),

pertemuan ketiga di Yogya (15 -25 Januari 1962) dan pertemuan keempat di Tugu

(3 – 10 Juli 1962). Pertemuan terakhir di Tugu dianggap menghasilkan naskah

final kurikulum baru (1962) untuk SMP dan wajib dilaksanakan di seluuruh

Indonesia mulai tanggal 1 Agustus 1962.

Pada tanggal 7 – 13 Juli 1963 dilakukan Rapat Kerja Pengawas SMP seluruh

Indonesia di Tawangmangu. Rapat kerja Tawangmangu membahas Rencana

Pelajaran baru SMP dan pelaksanaannya di seluruh Indonesia selama tahun ajaran

1962/1963. Selain membahas laporan pelaksanaan kurikulum SMP yang

dihasilkan di Tugu pada tahun 1962, Rapat Kerja Para Pengawas SMP di

Tawangmangu masukan dari Pembantu Menteri bidang Pendidikan, Direktorium

Jawatan Pendidikan Umum, gagasan dari Urusan Pendidikan Menengah Umum

Tingkat Pertama, saran dari para pengawas SMP, dan saran dari berbagai urusan

di lingkungan Jawatan Pendidikan Umum. Rapat Kerja para pengawas SMP

seluruh Indonesia di Tawangmangu tersebut menghasilkan dokumen Rencana

Pelajaran SMP Gaya Baru. Kata Pengantar Dokumen Rencana Pelajaran SMP

Gaya Baru ditandatangani oleh Kepala Urusan Pendidikan Menengah Umum

Tingkat Pertama, Zainuddin, di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1963 (Dokumen

Rentjana Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964)

Selain perubahan politik, perubahan dalam pandangan mengenai fungsi

pendidikan yang dilaksanakan suatu sekolah pada jenjang tertentu turut

menentukan perubahan kurikulum. Tentu tidak dapat disangkal bahwa perubahan

politik memberikan pengaruh terhadap pandangan pendidikan yang harus

  71

dikembangkan dan pada gilirannya kedua faktor tersebut berpengaruh terhadap

kurikulum. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada kejadian dimana faktor

politik tidak berpengaruh terhadap pandangan pendidikan dan kedua faktor

tersebut (politik dan pandangan pendidikan) secara bersama-sama tidak

memberikan dampak terhadap terjadinya perubahan kurikulum. Oleh karena itu

kenyataan perubahan politik dan perubahan pandangan pendidikan berpengaruh

terhadap perubahan kurikulum adalah suatu keadaan yang tak mungkin dihindari

dalam konteks politik mana pun di negara mana pun. Dalam Dokumen Rentjana

Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964 disebutkan bahwa perubahan kurikulum tersebut

disebabkan adanya TAP MPRS nomor II/MPRS/1960, instruksi Menteri

Pendidikan Dasar dan Kebudayaan tentang Sapta Usaha Tama dan Panca

Wardhana, dan Haluan Negara.

Kurikulum SMP 1962 dan kemudian diperbaiki menjadi Kurikulum SMP Gaya

Baru berubah dalam struktur kurikulum dibandingkan Kurikulum SMP 1954.

Perubahan pertama adalah penghapusan terhadap penjurusan yang dikenal dalam

kurikulum SMP 1954 dan sebelumnya. Pembagian jurusan di kelas III SMP yang

terbagi atas jurusan A (sosial-budaya) dan B (ilmu Pasti) pada kurikulum SMP

1954, ditiadakan oleh kurikulum SMP Gaya Baru. (Kosoh, Sjamsuddin, Hasan,

1993:96). Penghapusan jurusan A dan B pada kelas III SMP didasarkan pada

pandangan pedagogik bahwa pendidikan SMP bukan pendidikan disiplin ilmu dan

lagipula masyarakat belum memerlukan tenaga kerja tamatan SMP yang memiliki

spesialisasi yang dikembangkan pada jurusan di kelas III SMP. Tamatan SMP

yang bekerja tidak ditempatkan berdasarkan jurusan yang mereka ikuti pada

waktu SMP. Oleh karena itu, adanya jurusan tersebut tidak memberikan nilai apa

pun bagi peserta didik baik dari segi keilmuan mau pun dari pemanfaatan di

masyarakat. Lagipula, pada tingkat SMP dikenal adanya berbagai sekolah

kejuruan yang memberikan berbagai ketrampilan vokasional yang diperlukan

masyarakat (Sekolah Kepandaian Keputrian Pertama = SKKP; Sekolah Teknik =

ST; Sekolah Menengah Ekonomi Pertama = SMEP, dan sebagainya).

  72

Struktur kurikulum SMP Gaya Baru didasarkan pada konsep Panca Wardhana.

Struktur kurikulum terdiri atas kelompok dasar, cipta, rasa/karya, dan krida.

Kelompok dasar adalah untuk mengembangkan wardhana pertama yaitu

pengembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional/ internasional/

keagamaan; kelompok cipta untuk mengembangkan wardhana kecerdasan;

kelompok rasa/karya untuk mengembangkan wardhana emosional-artistik atau

rasa keharuan dan keindahan lahir-batin; kelompok krida untuk mengembangkan

wardhana keprigelan atau kerajinan tangan; sedangkan pendidikan jasmani untuk

mengembaangkan wardhana perkembangan jasmani. Pengelompokkan ini diikuti

dengan pengelompokkan mata pelajaran.

Masa antara 1959 – 1965 atau disebut juga Masa Orde Lama adalah awal

pengaruh politik yang semakin kuat dalam pendidikan di Indonesia, melebihi

pengaruh politik terhadap kurikulum yang terjadi pada masa sebelumnya. Pada

masa ini ideologi negara menjadi mata pelajaran dalam kurikulum setiap sekolah

dengan tujuan untuk membekali peserta didik dengan dasar-dasar filosofi bangsa

dan ideologi politik yang dianut oleh pemerintah. Mata pelajaran civics

diperkenalkan dan menjadi mata pelajaran utama, menjadi mata pelajaran yang

memiliki tugas untuk mengemban amanat pendidikan ideologi bangsa,

dikelompokkan dalam kelompok wardhana pertama yaitu perkembangan cinta

bangsa dan tanah air, moral nasiona/internasional/keagamaan. Dalam mata

pelajaran civics dibahas ideologi politik pemerintah sebagai landasan manusia

baru Indonesia sehingga civics harus ditempatkan dalam wardhana pertama dan

menjadi mata pelajaran bagi seluruh peserta didik (dari SD sampai ke sekolah di

atas SMP).

Selain mata pelajaran Civics, dalam kelompok wardhana pertama yang disebut

Kelompok Dasar, terdapat mata pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah Kebangsaan,

Ilmu Bumi Indonesia, Pendidikan Agama/Budi Pekerti (Sejarah Nasional

Indonesia jilid VI:278; Kosoh, Sjamsuddin, dan Hasan, 1993:96; Departemen

Pendidikan Nasional, 1996:129). Mata pelajaran Pendidikan Jasmani/Kesehatan

dimasukkan sebagai bagian dari Kelompok Dasar walau pun pendidikan jasmani

berkenaan dengan pengembangan wardhana kelima. Jelas tujuan kelompok

  73

pertama wardhana yaitu Kelompok Dasar adalah untuk membangun kesadaran

sebagai satu bangsa dan pengetahuan serta kesadaran akan ideologi bangsa.

Bangsa baru haarus memperhatikan generasi muda yang akan meneruskan

perjuangan ideologi para pemimpin bangsa pada waktu itu.

Dalam Kelompok Cipta terdapat mata pelajaran Bahasa Daerah, Bahasa Inggeris,

Ilmu Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi Dunia, Sejarah Dunia, dan ilmu

Administrasi. Kelompok Cipta adalah kelompok yang memberikan pengetahuan

untuk mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik. Pengetahuan yang

dipelajari dalam berbagai mata pelajaran dalam Kelompok Cipta merupakan

bahan utama untuk menggerakkan kemampuan otak dalam ranah kognitif

(mengingat, memahami, mengaplikasi, menganalisis, menilai, dan menciptakan

pengetahuan baru). Suatu hal yang tidak jelas adalah alasan mengapa mata

pelajaran Bahasa Daerah masuk dalam Kelompok Citra dan bukan dalam

kelompok Dasar padahal bahasa Daerah merupakan medium pendidikan yang

dapat mengembangkan rasa kebangsaan menjadi lebih kuat. Mungkin ada

kekhawatiran bahwa pengajaran Bahasa Daerah disalahgunakan untuk

pengembangan perasaan kedaerahan yang berlebihan sehingga dapat

membahayakan persatuan nasional. Pertimbangan lainnya mungkin karena hanya

beberapa daerah saja di Indonesia yang menghendaki adanya pengajaran Bahasa

Daerah sehingga akan sangat janggal apabila Bahasa Daerah ada dalam Kelompok

Dasar yang berlaku untuk seluruh peserta didik dan di wilayah atau komunitas

masyarakat mana pun. Apalagi jika diingat bahwa SMP di daerah perkotaan

melayani masyarakat yang berasal dari berbagai kelompok etnis dan pemakai

bahasa daerah yang beragam sehingga akan menimbulkan banyak kesulitan

teknis.

Dalam kelompok Cipta mata pelajaran matematika tidak dikenal. Secara

tradisional, sebagaimana diwariskan Belanda yang dikenal adalah kelompok ilmu

Pasti bukan matematika. Dalam kelompok ini terdapat mata pelajaran ilmu

Aljabar dan ilmu Ukur. Pemikiran bahwa pendidikan haruslah berdasarkan

disiplin ilmu dan diberi label sebagaimana label disiplin ilmu (menurut pandangan

filosofi esensialisme) belum berkembang sepenuhnya. Pada masa belakangan

  74

ketika pandangan filosofis perenialisme semakin kuat pengaruhnya dalam

pengembangan kurikulum maka pemikiran pendidikan disiplin ilmu semakin

menjadi andalan sejak dari SD sampaai ke SMA. Sesuai dengan pandangan

perenialisme maka label untuk pendidikan disiplin ilmu tidak perlu menggunakan

nama resmi disiplin ilmu yang bersangkutan dan penggabungan beberapa disiplin

ilmu diperkenankan. Pendekatan perenialisme yang memperkenankan

penggabungan berbagai disiplin melahirkan label mata pelajaran seperti IPA dan

IPS.

Dalam kelompok Rasa/Karsa terdapat mata pelajaran Menggambar, Kesenian,

Prakarya, dan Kesejahteraan Keluarga. Kelompok mata pelajaran ini jelas

bertujuan mengembangkan perasaan yang halus dan kemampuan berkreasi yang

tinggi. Keejahteraan Keluarga tidak terbatas pada kesejahteraan ekonomi tetapi

teutama pada kesejahteraan batin, kesehatan, dan pembinaan generasi muda dalam

membentuk kperibadian. Oleh karena itu adalah wajar jika Kesejahteraan

Keluarga menjadi mata pelajaran dalam kelompok Rasa/Karsa. Sedangkan

kedudukan mata pelajaran lain seperti Menggambar, Kesenian, Prakarya dalam

kelompok Rasa/Karsa adalah amat jelas.

Dalam kelompok wardhana keempat yaitu Ketrampilan terdaapat mata pelajaran

Krida. Mata pelajaran Krida memberikan kesempatan yang luas kepada peserta

didik SMP untuk mengembangkan diri dan kepribadiannya. Banyak nilai yang

dapat dikembangkan dalam mata pelajaran Krida.

Perbedaan ide kurikulum yang berbeda antara kurikulum SMP Gaya Baru dengan

kurikulum SMP tahun 1950 dan 1954 adalah mengenai posisi mata pelajaran

dalam kurikulum. Dalam kurikulum sebelumnya kurikulum tidak dianggap

identik dengan daftar mata pelajaran dan mata pelajaran adalah organisasi konten

kuurikulum berdasarkan kedekatan materi/bahan ajar. Oleh karena itu suatu mata

pelajaran dapat mengembangkan materi ajar dari mata pelajaran lain seperti

materi budi pekerti yang tidak dijadikan mata pelajaran tetapi materi budi pekerti

dikembangkan dalam setiap mata pelajaran lain. Pemikiran yang mmendasari ide

kurikulum SMP tahun 1954 mencerminkan pandangan kurikulum modern, tidak

lagi dianut dalam kurikulum SMP Gaya Baru atau terkadang disebut juga dengan

  75

nama kurikulum Panca Wardhana. Setiap mata pelajaran memiliki materi

pelajaran yang hanya dikembangkan oleh mata pelajaran tersebut dan tidak

berbagi dengan mata pelajaran lain. Materi pelajaran budi pekerti yang dekat

dengan pendidikan Agama digabungkan menjadi satu mata pelajaran dengan

menggunakan label Pendidikan Agama/Budi Pekerti. Materi kesehatan yang

seharusnya dapat dikembangkan dalam berbagai mata pelajaran menjadi

tanggungjawab mata pelajaran pendidikan Jasmani sehingga dinamakan

Pendidikan Jasmani/Kesehatan.

Tampaknya pandangan kurikulum yang demikian masih berlaku sampai kini.

Konten kurikulum yang terdiri atas pengetahuan, kemampuan kognitif,

kemampuan afektif, dan kemampuan psikomotorik tidak mendapat perlakuan

yang seimbang. Konten kurikulum yang mendaptkan pertimbangan utama adalah

konten pengetahuan ( tentang fakta, istilah, lambang, prosedur, kemampuan,

nilai, sikap dan sebagainya) dan bersifat sangat spesifik milik suatu disiplin ilmu

atau gabungan disiplin ilmu yang dijadikan mata pelajaran. Konten yang bersifat

ketrampilan (kognitif, afektif, dan psikomotorik) yang bersifat dasar/fundamental

dan tidak spesifik milik disiplin ilmu tidak mendapatkan perlakuan yang

selayaknya. Padahal, pada hakekatnya konten kurikulum yang bersifat

ketrampilan akan menyebabkan peserta didik mampu belajar sepanjang hayat,

berpikir kritis dan kreatif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, kebiasaan belajar

yang tinggi, sikap yang positif dan produktif, dan menjadi kemampuan dasar

yang mampu mendorong seseorang untuk mengembangkan potensi dirinya

sepanjang hayat.

Konten kurikulum yang demikian memberikan kemampuan kepada peserta didik

mengolah berbagai informasi yang terdapat pada pengetahuan dan menghasilkan

pengetahuan baru dari hasil olahan kemampuan kognitif. Konten kurikulum yang

demikian memberikan pula dorongan kepada peserta didik untuk

mengembangkan rasa ingin tahu, kebiasaan membaca dan belajar. Dengan

konten kurikulum seperti itu menjadikan peserta didik manusia yang mampu

mengembangkan segala potensi kemanusiaannya dan bukan mesin penghapal

pengetahuan.

  76

Oleh karena perubahan ide kurikulum yang terjadi pada kurikulum SMP Gaya

Baru terkait pada pengaruh aspek politik dan juga berkenaan dengan aspek

akademis ide kurikulum. Penciutan pengertian konten kurikulum hanya pada

aspek pengetahuan menyebabkan desain dan organisasi konten kurikulum menjadi

terbatas pada desain kurikulum akademik dan organisasi konten yang teoritik

keilmuan. Pengaruh lebih lanjut adalah pada pengertian hasil belajar yang

terkerdilkan menjadi hapalan tentang pengetahuan, ketrampilan, dan sikap bukan

pada perilaku yang didasarkan pada sikap yang harus dikembangkaan kurikulum

mau pun pada ketrampilan dalam menerapkan berbagai prosedur, kemampuan

memecahkan masalah, berkomunikasi, kebiasaan membaca, rasa ingin tahu, dan

ketrampilan belajar.

C. TUJUAN PENDIDIKAN SMP

Dalam Dokumen Rentjana Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964 disebutkan tujuan

pendidikan SMP adalah sebagai berikut:

Pendidikan di SMP harus menyiapkan anak-didik menjadi warganegara patriotik, manusia susila, bertanggungjawab, supaya menjadi potensi pembangunan masyarakat Sosialis Indonesia, masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Dasar idiologis tujuan pendidikan di atas adalah bahwa “pendidikan harus

berazaskan Pancasila dengan pelengkapnya Manipol” (Dokumen Rentjana

Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964). Revolusi masih dianggap belum selesai dan

dalam suasana yang demikian maka tujuan pendidikan sebagaimana yang

dirumuskan di atas merupakan suatu yang sangat beralasan.

D. MATA PELAJARAN RENCANA PELAJARAN SMP GAYA BARU

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, mata pelajaran dalam kurikulum SMP

Gaya Baru dikelompokkan berdasarkan kelompok ranah wardhana yang terdapat

pada Panca Wardhana kecuali kesehatan jasmani yang disatukan dalam kelompok

Dasar atau cinta bangsa tanah air, moral nasional/internasional/keagamaan.

Sesuai dengan Panca Wardhana, selain kelompok Dasar dikenal adanya kelompok

  77

Cipta dan kelompok Krida. Kelompok Cipta merupakan kelompok paling besar

baik dalam pengertian jumlah mata pelajaran mau pun dalam beban belajar.

Kelompok Dasar adalah kelompok kedua terbesar sedangkan kelompok krida

adalah kelompok yang memiliki mata pelajaran tunggal.

Selengkapnya, struktur dan pesebaran mata pelajaran serta beban belajar

kurikulum SMP Gaya Baru adalah sebagai berikut:

Tabel 6.1: Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru

Kelas dan JamPelajaran Kelompok Mata Pelajaran

I II III

Civics 2 2 2

Bahasa Indonesia 5 5 5

Sejarah Kebangsaan 1 1 1

Ilmu Bumi Indonesia 1 1 1

Pendidikan Agama/Budi Pekerti 2 2 2

Pendidikan Jasmani/Kesehatan 2 2 2

A

Kelompok

Dasar

Sub Jumlah 13 13 12

Bahasa Daerah 2 2 2

Bahasa Inggeris 4 4 4

Ilmu Aljabar 3 3 3

Ilmu Ukur 3 3 3

Ilmu Alam 2 2 2

Ilmu Hayat 2 2 2

Ilmu Bumi Dunia 1 1 1

Sejarah Dunia 1 1 1

Ilmu Administrasi 1 1 1

Sub Jumlah 19 19 19

B

Kelompok

Cipta

C Kelompok Menggambar 2 2 2

  78

Kelas dan JamPelajaran Kelompok Mata Pelajaran

I II III

Kesenian 1 1 1

Prakarya 2 2 2

Kesejahteraan Keluarga 1 1 1

Rasa/Karya

Sub Jumlah 6 6 6

D

Krida

Krida 2 2 2

Jumlah 40 40 40

Orientasi kurikulum yang kuat pada kepentingan politik telah menyebabkan

kurikulum tidak mampu mengembangkan berbagai prinsip pendidikan yang dasar

dan telah diggunakan serta dikembangkan dalam kurikulum sebelumnya (Rencana

Pelajaran SMP 1954). Keterkaitan antar materi pelajaran, terutama materi

kelompok ketrampilan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain

sudah tidak lagi menjadi pendekatan yang digunakan dalam kurikulum SMP

1962. Materi suatu mata pelajaran dirancang hanya untuk mata kuliah tersebut dan

tidak dikaitkan dengan mata pelajaran lainnya.

Pendekatan konten kurikulum suatu mata pelajaran yang khusus dan terpisah dari

mata pelajaran lainnya yang dilakukan kurikulum SMP 1962 menjadi awal dalam

sejarah pengembangan kurikulum SMP. Pendekatan yang demikian dianggap

sebagai pendekatan terbaik oleh banyak para akhli ilmu pengetahuan (Tanner dan

Tanner, 1980; Unruh dan Unruh, 1984). Pendidikan berfungsi untuk

mengembangkan kemampuan berpikir intelektual dan kemampuan berpikir

rasional. Kedua kemampuan ini hanya dapat dikembangkan melalui pendidikan

disiplin ilmu karena disiplin ilmu memiliki cara berpikir intelektual yang rasional

dan sistematis. Disiplin ilmu pula yang dapat membebaskan orang dari cara

berpikir dan orientasi berpikir yang tidak logis.

  79

Filosofi esensialisme yang menyatakan bahwa pendidikan disiplin ilmu dalam

dunia pendidikan harus dilaksanakan sesuai dengan hakekat ilmu itu sendiri.

Nama mata pelajaran pun harus disesuaikan dengan nama disiplin ilmu.

Penggabungan beberapa disiplin ilmu menjadi nama satu mata pelajaran sangat

ditentang oleh filosofi esensialisme walau pun diperkenankan oleh filosofi

perenialisme. Nama-nama mata pelajaran yang terdapat dalam Kurikulum SMP

1962 sseperti sejarah, ilmu bumi, ilmu aljabar, ilmu alam, ilmu hayat dan

sebagainya jelas menunjukkan orientasi kurikulum pada filosofi esensialisme.

Pengaruh politik yang kuat terlihat pada mata pelajaran kelompok dasar terutama

mata pelajaran civics, sejarah, ilmu bumi. Untuk mata pelajaran Civics peserta

didik mempelajari berbagai pidato Presiden, manusia sosialisme Indonesia,

Manipol, revolusi Indonesia termasuk musuh-musuh revolusi. Materi mata

pelajaran sejarah berkewajiban untuk “mewujudkan dan memperteguh cita-cita

revolusi bangsa Indonesia. Oleh karena itu pengajaran Sejarah Kebangsaan

haruslah (a) Proklamasi- sentris dan (b) ber-eskatologi masyarakat sosialis

Indonesia. Dalam kewajiban untuk mewujudkan dan memperteguh cita-cita

revolusi Indonesia, materi pelajaran ilmu bumi Indonesia bertujuan mewujudkan

masyarakat sosialisme Indonesia.

  80

KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE BARU

(1967 – 1994)

A. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Masa Pemerintahan Orde Baru adalah masa yang ditandai oleh berbagai kebijakan

pendidikan yang disesuaikan dengan tuntutan politik Orde Baru yang anti

komunisme, perkembangaan dalam teori belajar yang menekankan pada kegiatan

ssiwa yaang aktif dalam belajar, pendekatan kurikulum yaang digabungkan

dengan model desain instruksional. Perkembangan politik dan akademik yang

demikian menghasilkan berbagai kurikulum selama masa hampir 30 tahun

tersebut. Dimulai dengan kurikulum 1968 sebagai kurikulum yang dirancang

untuk mengikis pengaruh komunisme dalam dunia pendidikan dan merupakan

awal penggunaan istilah kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia,

dilanjutkan dengan kurikulum 1975 yang merupakan kurikulum pertama di

Indonesia yang secara resmi memperkenalkan istilah pendekatan “integrated

curriculum” yang melahirkan mata pelajaran IPA sebagai pengganti kelompok

Ilmu Alam dan mata pelajaran IPS yang menggantikan mata pelajaran

Pengetahuan Sosial dalam Rencana Pelajaran 1954.

Pada kurun waktu hampir 10 tahun Kurikulum 1975 digantikan oleh Kurikulum

1984 yang menggunakan model kurikulum yang sama dengan kurikulum SMP

sebelumnya tetapi mengalami perubahan pada kurikulum SMA dimana

pendekatan “discrete disciplinary approach diperkenalkan kembali. Sepuluh tahun

kemudian yakni pada tahun 1994, kurikulum SMP diganti dengan kurikulum baru

yang dinamakan Kurikulum 1994. Beberapa perubahan dalam pendekatan

kurikulum terjadi tetapi masih menyesisakan berbagai masalah terkait jika dilihat

dari organisasi konten kurikulum yang menggunakan pendekatan integrated dan

posisi pendidikan ketrampilan (skills) masih belum mendapatkan tempat yang

sesuai dengan karakteristik materi ketrampilan yang bersifat “developmental”.

Demikian pula halnya dengan materi yang termasuk kategori nilai/sikap masih

belum berhasil dikembangkan sesuai dengan hakekat nilai/sikap yang juga

termasuk kelompok “developmental content”.

  81

Dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun, Pemerintahan Orde Baru telah berhasil

mengembangkan 4 kurikulum untuk SMP dan sekolah lainnya. Keempat

kurikulum yaitu Kurikulum 1968, 1975, 1984 dan 1994. Hampir menjadi tradisi

bahwa setiap 10 tahun terjadi perubahan kurikulum. Kenyataan semacam itu dapat

dikatakan sebagai suatu kejadian yang berlangsung sampai akhir Pemerintahan

Orde Baru. Upaya untuk menjadikan kurikulum responsi terhadap perkembangan

kehidupan mayarakat di bidang sosial-budaya-politik-ilmu-teknologi-seni-

ekonomi menyebabkan masa sepuluh tahun merupakan masa yang cukup panjang

untuk menjawab tantangan perkembangan kehidupan masyarakat.

Dilihat dari ruang lingkup pengembangan kurikulum (curriculum development)

yang meliputi pengembangan ide dan rancangan pembelajaran (curriculum

construction) yang terwujud dalam bentuk dokumen kurikulum, sosialisasi dan

implementasi kurikulum (curriculum implementation) serta evaluasi kurikulum

(curriculum evaluation) maka sangat adekuat untuk dikatakan bahwa tidak

keseluruhan pekerjaan pengembangan kurikulum tersebut terlaksana.

Implementasi kurikulum yang merupakan pekerjaan yang rumit dan memerlukan

strategi implementasi yang harus meliputi keragaman kualitas dan kesiapan

sekolah merupakan aspek pengembangan yang sangat terabaikan. Sama halnya

dengan implementasi adalah pekerjaan evaluasi kurikulum yang sistematis dan

terus-menerus (kontinyu) memberikan informasi baik kepada pengembangan

kurikulum ketika dokumen disiapkan apalagi pada waktu implementasi

merupakan dimensi pekerjaan pengembangan kurikulum yang tidak terlaksana

sebagaimana seharusnya maka waaktu sepuluh tahun untuk perubahan kurikulum

terasa amat singkat. Berdasarkan laporan yang tersedia terjadi suatu kenyataan

yang cukup memperihatinkan karena belum lagi suatu rancangan kurikulum

(dokumen) terlaksana maka sekolah sudah harus melaksanakan kurikulum baru

yang nota bene tidak juga mampu mereka laksanakan. Kelemahan dalam

sosialisasi dan pelatihan yang harus diterima guru dalam pengetahuan,

pemahaman, dan ketrampilan melaksanakan kurikulum menyebabkan mereka

berada dalam posisi yang tidak siap melaksanakan kurikulum baru.

  82

Selain faktor politik, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap perubahan

kurikulum pada masa ini adalah perkembangan dalam berbagai teori belajar,

model dan orientasi kurikulum, serta kemajuan dalam teknologi yang berdampak

pada aplikasinya dalam dunia pendidikan membawa berbagai pemikiran baru

dalam kurikulum. Inovasi berbagai aspek kurikulum dilakukan dalam setiap

perubahan kurikulum tersebut terutama sejak Kurikulum 1975. Oleh karena itu

masa Pemerintahan Orde Baru merupakan masa yang sangat penting dalam

sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia bukan saja dilihat dari banyaknya

kurikulum yang dihasilkan pada masa ini tetapi terlebih dari pemikiran-pemikiran

baru pendidikan yang diperkenalkan dalam setiap kurikulum. Pada masa ini dapat

dikatakan Indonesia mengalami dinamika pengembangan kurikulum yang cukup

signifikan dalam menjawab perkembangan masyarakat walau pun ada jurang yang

cukup luas antara pemikiran kependidikan yang dikembangkan para

pengembangan kurikulum dengan pengelola dan pelaksana kurikulum.

Kesenjangan yang demikian memang disayangkan dan menyebabkan

pengurangan nilai responsif para pemikir kurikulum.

B. KURIKULUM SMP 1968

Perkembangan kehidupan politik dan ketatanegaraan Indonesia pada tahun 1968

sudah mulai membaik, pemerintahan sudah mulai stabil walau pun bahaya

komunis masih dianggap pemerintah dan rakyat masih sebagai bahaya “latent” .

Upaya penumpasan gerakan yang secara resmi dikenal dengan nama G.30.S/PKI

dianggap sudah dianggap mencapai titik yang dapat memberikan peluang bagi

bangsa untuk memikirkan berbagai hal yang terkait dengan berbagai aspek

kehidupan lain di luar keamanan. Dalam penataan kehidupan kebangsaan

pendidikan dianggap menjadi ujung tombak untuk mengikis pengaruh dan

penyebaran paham komunisme. Generasi muda harus mendapatkan perlindungan

dari ancaman bahaya “latent” komunisme. Untuk itu, Pemerintah mengeluarkan

kurikulum baru untuk SMP yang dikenal dengan nama Kurikulum SMP 1968

sebagai pengganti Kurikulum SMP 1964. Kurikulum SMP 1968 dikeluarkan oleh

  83

Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

1.Perkembangan Kebijakan Pendidikan

Perubahan politik yang mendasar terjadi pada tahun 1965 terutama diakibatkan

oleh peristiwa yang dikenal dengan nama Pemberontakan G30S/PKI. Peralihan

kekuasaan dari pemerintah Presiden Soekarno kepada mandataris Surat Perintah

11 Maret (Supersemar) kepada Major Jenderal Soeharto dan kemudian

pengangkatan beliau sebagai presiden Republik Indonesia oleh MPRS mengubah

banyak kebijakan pendidikan masa sebelumnya. Ajaran Manipol dan ajaran

komunis dilarang, dan dengan demikian kurikulum sekolah harus bebas dari

upaya memperkenalkan dan menyebarkan ajaran-ajaran tersebut. Pada tahun

1966, MPRS mengeluarkan ketetapan TAP XXVII/MPRS/1966. Dalam TAP

tersebut dinyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk ”menghasilkan

manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang

dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan isi Undang-

Undang Dasar 1945”.

Dengan adanya TAP tersebut maka arah dan tujuan pendidikan Indonesia berubah

dari menghasilkan ”manusia susila yang cakap dan warganegara yang demokratis”

menjadi manusia Pancasila sejati. Perubahan ini sangat fundamental dilihat dari

pandangan pendidikan karena tujuan pendidikan sebelumnya adalah untuk

menghasilkan manusia revolusioner berdasarkan ajaran MANIPOL-USDEK

sedangkan tujuan yang ditetapkan oleh MPRS adalah untuk mengikis tujuan

tersebut. TAP MPRS ini memang merupakan manifestasi adanya pengaruh politik

yang kuat sebagai reaksi pengaruh politik Orde Lama. Meski pun demikian,

haruslah diingat bahwa pengaruh politik terhadap pendidikan bukan merupakan

sesuatu yang unik dan ekslusif Indonesia tetapi sesuatu yang terjadi di berbagai

negara di dunia lagipula perubahan politik yang terjadi sangat fundamental dan

dapat dianggap sebagai suatu tuntutan kebutuhan masyarakat (politik) yang baru.

Oleh karena itu perubahan kurikulum adalah sesuatu yang tak terhindarkan.

  84

2. Struktur Dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1968

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, MPRS menetapkan perubahan kebijakan

pendidikan di Indonesia yang menghapus pendidikan tentang Manipol-Usdek dari

kurikulum sekolah. TAP MPRS nomor XXVII tahun 1966 Bab II Pasal 4

menetapkan isi pendidikan sebagai berikut:

(1) Mempertinggi mental modal budi pekerti dan memperkuat keyakinan

beragama;

(2) Mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan;

(3) Membina/memperkembangkan physik yang kuat dan sehat.

Isi pendidikan di atas dapat dianggap sebagai rincian dari manusia Pancasila sejati

yang dinyatakan sebagai tujuan pendidikan Indonesia dan dinyatakan dalam Pasal

3 pada Bab II dari TAP MPRS tersebut. Berdasarkan TAP MPRS itu maka

disusunlah kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum 1968 menggantikan

Kurikulum 1964. Dalam sejarah kurikulum di Indonesia, Kurikulum 1964 dapat

dikatakan sebagai kurikulum yang paling singkat masa berlakunya.

Struktur Kurikulum SMP 1968 berbeda dari Kurikulum SMP Gaya Baru (1962)

atau pun dari Kurikulum SMP 1954. Struktur Kurikulum SMP 1968 lebih

sederhana dibandingkan kedua kurikulum yang mendahuluinya. Struktur

Kurikulum SMP 1968 terdiri atas Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila,

Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar, dan Kelompok Pembinaan Kecakapan

Khusus. Adanya kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila disesuaikan dengan tujuan

pendidikan ”menghasilkan manusia Pancasila sejati” yang telah ditetapkan oleh

MPRS, menggantikan Kelompok Dasar yang ditetapkan dalam Kurikulum SMP

Gaya Baru. Jumlah mata pelajaran dalam kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila

lebih sedikit dibandingkan jumlah mata pelajaran Kelompok Dasar Kurikulum

SMP Gaya Baru. Demikian pula dengan beban belajar untuk kelompok

Pembinaan Jiwa Pancasila lebih sedikit yaitu 11 jam dibandingkan 13 jam pada

kelompok Dasar Kurikulum SMP Gaya Baru. Mata Pelajaran Sejarah Kebangsaan

dan Ilmu Bumi Indonesia dihilangkan dari kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila

  85

sementara itu mata pelajaran Civics (Kewargaan Negara) diantikan oleh

Pendidikan Kewargaan Negara yang didalamnya terdapat unsur Sejarah

Indonesia, Ideologi Negara Pancasila, Politik dan Tata Hukum Indonesia.

Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar adalah kelompok mata pelajaran yang

memberikan pengetahuan dasar dalam bahasa, ilmu pasti, ilmu alam, dan

pengetahuan sosial. Kelompok ini menjadi dasar bagi mereka yang akan

melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (SMA) dan dasar untuk

berbagai ketrampilan yang diperlukan masyarakat. Pada kelompok ketiga yaitu

Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus adalah kelompok untuk

mengembangkan keckapan khusus yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja

tertentu tetapi juga untuk mengembangkan minat seseorang yang dapat digunakan

dalam mengembangkan pekerjaan yang lepas dari “formal vocation” di

pemerintah mau pun swasta. Pada dasarnya Kelompok Pembinaan Kecakapan

Khusus dalam Kurikulum SMP 1968 mirip atau bahkan dapat dikatakan sama

dengan kelompok Rasa/Karsa dalam Kurikulum SMP Gaya Baru.

Sebagaimana dengan kurikulum Kurikulum SMP Gaya Baru, Kurikulum SMP

1968 tidak mengenal adanya penjurusan pada kelas III SMP. Pendidikan SMP

adalah pendidikan umum dan oleh karenanya kurikulum SMP tidak perlu

menyiapkan peserta didik dalam spesialisasi pendidikan keilmuan (disiplin ilmu)

yang khusus. Pandangan bahwa pendidikan di jenjang SMP ini merupakan bagian

dari pendidikan umum bagi banga Indonesia dianut sampai sekarang bahkan

diperkuat posisinya dalam program Wajib Belajar 9 Tahun (WAJAR 9 Tahun)

yang dicanangkan Pemerintah sejak 1984.

Tabel 7.1. di bawah ini menggambarkan keseluruhan struktur kurikulum, mata

pelajaran, beban belajar serta distribusinya untuk setiap kelas. Sebagaimana

kurikulum sebelumnya masa belajar belajar satu tahun akademik dibagi dalam

kuartal dan beban belajar untuk setiap kuartal sama. Distribusi beban belajar

nantinya berbeda ketika sistem semester digunakan menggantikan sistem kuartal.

Tabel 7.1: Struktur dan Mata Pelajaran

  86

Rencana Pelajaran SMP Tahun 1968

KELAS KELOMPOK MATA PELAJARAN

I II III

1.Pendidikan Agama 3 3 3

2.Pendidikan Kewargaan Negara 3 3 3

3.Bahasa Indonesia (I) 3 3 3

A

Pembinaan

Jiwa Pancasila

4.Olahraga 2 2 2

Sub Jumlah 11 11 11

1.Bahasa Indonesia (II) 2 2 2

2.Bahasa Daerah 2 2 2

3.Bahasa Inggeris 3 3 3

4.Ilmu Aljabar 3 3 3

5.Ilmu Ukur 3 3 3

6.Ilmu Alam 3 3 3

7.Ilmu Hayat 2 2 2

8.Ilmu Bumi 2 2 2

9.Sejarah 2 2 2

B

Pembinaan

Pengetahuan

Dasar

10.Menggambar 2 2 2

Sub Jumlah 24 24 24

1.Administrasi 1 1 1

2.Kesenian 2 2 2

3.Prakarya 2 2 2

C

Pembinaan

Kecakapan

Khusus 4.Pendidikan Kesejahteraan Keluarga 1 1 1

Sub Jumlah 6 6 6

Jumlah 41 41 41

Jumlah mata pelajaran dalam Kurikulum SMP 1968 (18) lebih sedikit

dibandingkan kurikulum SMP Gaya Baru.(19). Perbedaan jumlah satu mata

pelajaran tidak menyebabkan beban belajar peerta didik berkurang. Pada

  87

kurikulum SMP Gaya Baru jumlah beban belajar keseluruhan peserta didik 40

jam seminggu sedangkan dalam kurikulum SMP 1968 dengan jumlah mata

pelajaran lebih sedikit tetapi jumlah jam belajar lebih banyak yaitu 41 jam

seminggu. Penambahan jam terjadi dengan memberikan jam belajar yang lebih

besar kepada Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewargaan Negara masing-

masing dari 2 jam menjadi 3 jam.

Dalam kelompok kedua, penambahan jam belajar terjadi pada mata pelajaran

bahasa Inggeris dan Ilmu Alam masing satu jam. Sedangkan mata pelajaran lain

tidak bertambah atau pun tidak berkurang. Organisasi konten yang dinamakan

mata pelajaran pun berubah terutama untuk mata pelajaran bahasa Indonesia,

Sejarah, dan Ilmu Bumi. Mata pelajaran Bahasa Indonesia yang semula terdiri

atas satu mata pelajaran dalam kurikulum SMP Gaya Baru dalam kurikulum SMP

1968 dipecah menjadi 2 yaitu bahasa Indonesia I dan bahasa Indonesia II dan

keduanya ditempatkan dalam kelompok yang berbeda. Bahasa Indonesia I masuk

dalam kelompok Pembinaan Jiwa Paancasila sedangkan Bahasa Indonesia II

masuk dalam kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar.

Berbeda dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata pelajaran Sejarah dan Ilmu

Bumi yang dalam kurikulum SMP Gaya Baru terpisah dalam dua mata pelajaran,

dalam kurikulum SMP 1968 masing-masing dijadikan satu mata pelajaran. Mata

Pelajaran Sejarah Kebangsaan dan Sejarah Dunia digabungkan menjadi mata

pelajaran Sejarah. Mata pelajaran Ilmu Bumi Indonesia dan Ilmu Bumi Dunia

digabungkan menjadi satu dengan nama mata pelajaran Ilmu Bumi.

Penggabungan kedua mata pelajaran tersebut tidak mengubah jam pelajaran

karena jika sebelumnya terdiri atas 1 jam masing-masing untuk Sejarah

Kebangsaan dan Sejaarah Dunia sekarang menjadi 2 jam pelajaran untuk mata

pelajaran Sejarah. Demikian pula dengan mata pelajaran Ilmu Bumi Indonesia

yang digabungkan dengan Ilmu Bumi Dunia menjadi Ilmu Bumi dengan jam

belajar yang juga digabungkan sehingga menjadi 2 jam.

  88

Perbedaan lain untuk kedua mata pelajaran tersebut yaitu penempatannya dalam

kelompok. Jika dalam kurikulum SMP Gaya Baru mata pelajaran Sejarah

Kebangsaan dan Ilmu Bumi Indonesia dimasukkan dalam kelompok Dasar

sedangkan Sejarah Dunia dan Ilmu Bumi Dunia dalam kelompok Cipta maka

setelah digabungkan mata pelajaran Sejarah dan Ilmu Bumi masuk dalam

kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar. Hal ini mencerminkan adanya

pemikiran kurikulum yang berbeda antara pengembang kurikulum SMP Gaya

Baru dengan SMP 1968.

Ide para pengembang kurikulum SMP 1968 tidak lagi memandang mata pelajaran

Sejarah Kebangsaan dan mata pelajaran Ilmu Bumi Indonesia sebagai bagian dari

dasar pembentukan kebangsaan atau Jiwa Pancasila. Tampaknya penggabungan

itu didasarkan pada pemikiran bahwa materi Sejarah Kebangsaan dan Ilmu Bumi

Indonesia tidak berbeda dari materi Sejarah Dunia dan Ilmu Bumi Dunia yaitu

bagian dari pendidikan akademik. Oleh karenanya, materi masing-masing kedua

mata pelajaran tersebut dapat digabungkan dan fungsinya menjadi mata pelajaran

akademik semata. Para pengembang kurikulum SMP 1968 mungkin saja lupa

bahwa persyaratan untuk menjadi warganegara Indonesia adalah memiliki

pengetahuan dan pemahaman mengenai sejarah nasional, ilmu bumi (geografi)

Indonesia, bahasa Indonesia dan ideologi negara. Oleh karena itu menjadikan

materi Sejarah Kebangsaan (nasional) dan Ilmu Bumi Indonesia menjadi materi

kajian akademik tampaknya melupakan persyaratan warganegara tersebut. Tentu

saja orang dapat berargumentasi bahwa yang terpenting adalah peserta didik dapat

mempelajari dan memiliki pengetahuan mengenai materi Sejarah kebangsaan dan

Ilmu Bumi Indonesia bagaimana pun keduanya diorganisasikan dan ditempatkan

dalam struktur kurikulum. Pandangan demikian melemahkan makna dan fungsi

dari kelompok mata pelajaran dalam struktur kurikulum karena pembagian mata

pelajaran dalam kelompok tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai

tujuan dan fungsi struktur yang ada.

  89

Perubahan kelompok terjadi dengan mata pelajaran Ilmu Administrasi yang dalam

kurikulum SMP Gaya Baru masuk dalam kelompok Cipta sedangkan dalam

kurikulum SMP 1968 dimasukkan dalam kelompok Pembinaan Kecakapan

Khusus. Berbeda dari mata pelajaran Sejarah dan Ilmu Bumi, perubahan

kelompok menyebabkan nama mata pelajaran nya pun berbeda yaitu dari Ilmu

Administrasi yang masuk kelompok Cipta menjadi Administrasi yang masuk

kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus. Dalam hal ini, perubahan kelompok

tidak menimbulkan permasalahan dalam struktur kurikulum karena mater

pelajaran administrasi sebagai ilmu berbeda dari materi pelajaran administrasi

sebagai ketrampilan.

C. KURIKULUM SMP 1975

Kurikulum 1968 dianggap sudah mulai usang. Perkembangan kehidupan politik,

sosial, budaya, teknologi dan terutama ekonomi dianggap sudah tidak sesuai lagi

dengan kurikulum yang ada. Sementara itu keberadaan lembaga resmi di

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Badan Pengembangan Pendidikan

dimana ada bagian Pengembangan Kurikulum memberikan arahan pengembangan

kurikulum yang lebih fokus, sistematis, dan sesuai dengan perkembangan ilmu

pendidikan terutama kurikulum. Pakar yang belajar khusus dalam kurikulum

menambah kekuatan bangsa Indonesia dalam memikirkan kurikulum lebih serius.

Pada tahun 1975 Pemerintah mensyahkan kurikulum baru untuk SMP yang diberi

nama Kurikulum SMP 1975.

Hasil kajian penilaian telah menunjukkan bahwa kualitas tamatan SMP

sebagaimana yang dikembangkan dalam Kurikulum SMP 1968 sudah dianggap

tidak lagi sesuai dengan tuntutan masyarakat. Masyarakat menghendaki tamatan

SMP yang mampu belajar aktif, menjadi manusia yang mampu mencari,

mengolah, dan mengembangkan pengetahuan baru. Untuk itu peserta didik tidak

lagi menjadi orang yang pasif menerima berbagai informasi yang disajikan guru

dan buku teks tetapi sudah harus menjadi subjek yang mampu membelajrkan

dirinya dengan cara belajar aktif.

  90

Untuk mendukung posisi peserta didik sebagai subjek dalam belajar berbagai

inovasi pendidikan telah tersedia. Inovasi dalam proses pembelajaran yang

mengarah kepada pendekatan teknologi pembelajaran yang terencana, terarah dan

jelas memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk menguasai pengetahuan,

kemampuan, nilai, dan sikap yang harus mereka miliki. Inovasi pembelajaran

dengan menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional dianggap

lebih efisien dan efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu

Pemerintah telah menyelesaikan penulisan buku-buku pelajaran yang memerlukan

kurikulum baru karena berbagai pokok bahasan dan informasi baru yang terdapat

pada buku-buku tersebut.

1.Perkembangan Kebijakan Pendidikan

Perubahan dalam tujuan pendidikan pada masa pemerintahan Orde Baru terus

berkembang. Dapat dikatakan hampir pada setiap sidang MPR lima tahunan

menghasilkan tujuan pendidikan baru. Dalam Sidang Umum MPRS pada tahun

1973 MPRS menghasilkan TAP MPR Nomor IV/MPR/1973 yaitu mengenai

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam bagian mengenai Pendidikan,

Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembinaan Generasi Muda dinyatakan bahwa

“pembangunan dibidang pendidikan didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila

dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber-

Pancasila dan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan

rokhaninya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dapat mengembangkan

kreaktivitas dan tanggung-jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh

tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi

pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai

dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.”

(Dokumen TAP MPRS No. IV Tahun 1973; Gunawan, 1986: 52).

Istilah manusia Pancasila sejati tidak lagi digunakan. Situasi politik pada tahun

1973 kiranya sudah lebih stabil dibandingkan tahun 1966 dalam menangkal

  91

pengaruh negatif faham dan gerakan komunis di Indonesia. Oleh karena itu kata-

kata Pancasila sejati dalam tujuan pendidikan tidak perlu dinyatakan secara

ekspilisit. Sebagai gantinya jargon politik yang populer pada waktu itu adalah

manusia pembangunan. Semua kegiatan diarahkan untuk pembangunan dan

suasana pembangunan fisik dan non fisik mendominasi kehidupan kebangsaan.

Pembentukan manusia pembangunan sesuai dengan kebijakan politik pada waktu

itu yang menempatkan pembangunan sebagai jargon politik penting dalam

kehidupan bangsa. Sesuai dengan arah pembangunan bangsa maka pendidikan

sebagai salah satu upaya pembangunan bangsa harus menghasilkan manusia

sesuai dengan ciri kehidupan bangsa pada waktu itu.

Perubahan lain yang cukup menonjol dari rumusan tujuan dalam TAP MPRS IV

tahun 1973 dibandingkan TAP MPR sebelumnya adalah pada TAP MPRS IV

tahun 1973 posisi pengetahuan dan ketrampilan cukup penting dibandingkan

rumusan TAP MPRS nomor XXVII/MPRS/1966. Penempatan posisi pengetahuan

dan ketrampilan memang sudah sewajarnya karena adalah suatu kenyataan yang

tak dapat disangkal bahwa manusia memang tidak mungkin hidup tanpa ilmu

pengetahuan. Tujuan pendidikan yang dirumuskan TAP MPRS IV tahun 1973

memperlihatkan tugas pendidikan yang cukup mendasar dalam mengembangkan

potensi peserta didik di berbagai bidang untuk menjadi manusia yang “sehat

jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dapat

mengembangkan kreaktivitas dan tanggung-jawab, dapat menyuburkan sikap

demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang

tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai

sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang

Dasar 1945.”

Dalam tujuan yang dirumuskan TAP MPRS nomor IV Tahun 1973 manusia

Indonesia adalah manusia yang selain sehat jasmani dan rokhani, memiliki

pengetahuan dan ketrampilan tetapi memiliki pula berbagai kualitas afektif yang

  92

masih tetap aktual untuk masa kini. Sikap demokrasi dan tanggungjawab adalah

sesuatu yang masih diperlukan hingga saat kini dan untuk masa panjang selama

negara Indonesia dan bangsa Indonesia menegakkan kehidupan kebangsaannya

atas dasar demokrasi, sesuatu yang tidak saja dominan tetapi juga menjadi

alternatif terbaik dalam kehidupan kebangsaan. Cara merumuskan yang

memberikan keseimbangan antara kemampuan kognitif dan afektif (demokrasi

dan bertanggungjawab) digunakan pula dalam rumusan berikutnya. Kualitas

kognitif yaitu kecerdasan yang tinggi diseimbangkan dengan kualitas afektif yaitu

budi pekerti yang luhur. Prinsip keseimbangan digunakan pula dalam rumusan

mengenai usaha pendidikan untuk menghasilkan manusia yang mencintai

bangsanya dan juga sesama manusia untuk tidak menimbulkan sikap chauvinistis

atau nasionalisme yang sempit.

Untuk merealisasikan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, TAP MPRS

Nomor IV tahun 1973 telah pula menetapkan mata pelajaran Pendidikan Moral

Pancasila sebagai pengganti Civics atau Kewargaan Negara pada kurikulum

sebelumnya. Pada bagian Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Tenologi dan

Pembinaan Generasi Muda titik 2 TAP MPRS tersebut dirumuskan arah bagi

kurikulum TK sampai Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA). Dalam titik 2 itu

dirumuskan sebagai berikut: “untuk mencapai cita-cita tersebut maka kurikulum

disemua tingkat pendidikan, mulai dari Taman kanak-kanak sampai perguruan

Tinggi baik negeri maupun swasta harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila

dan unsur unsur yang cukup untuk meneruskan Jiwa dan Nilai-nilai 1945 kepada

Generasi Muda”. Kedudukan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sebagai

mata pelajaran wajib berlaku sampai saat kini walau pun nama mata pelajaran ini

mengalami perubahan nama beberapa kali, disesuaikan dengan TAP-TAP MPR

pada masa berikutnya.

Disamping perubahan politik yang terutama dalam keputusan mengenai tujuan

pendidikan nasional terjadi pula berbagai pemikiran baru tentang kurikulum.

Kehadiran beberapa sarjana yang memfokuskan dirinya pada bidang

  93

pengembangan kurikulum dan bidang studi kurikulum memperkenalkan berbagai

pemikiran baru untuk kurikulum 1975. Berbagai teoori dan pemikiran mengenai

pengembangan kurikulum (curriculum development) yang mereka pelajari dan

dianggap bermanfaat bagi dunia pendidikan Indonesia mereka aplikasikan dalam

pekerjaan pengembangan Kurikulum 1975. Mereka memperkenalkan pikiran

inovatif mengenai desain kurikulum, posisi peserta didik dalam belajar, proses

pembelajaran, dan evaluasi atau asesmen hasil belajar. Desain kurikulum yang

mengarah kepada model pendekatan tujuan menghasilkan struktur tujuan lebih

jelas dan keterkaitan antara berbagai jenjang tujuan dinyatakan secara eksplisit.

Jika dalam Kurikulum SMP 1954 tujuan setiap mata pelajaran dirumuskan

terpisah dari materi yang dipelajari maka pada Kurikulum SMP 1975 dirumuskan

dalam sebuah matriks sehingga jelas keterkaitan antara tujuan kurikuler dan

tujuan instruksional. Selain itu, Kurikulum SMP 1975 memperlihatkan keterkaitan

yang jelas antara Tujuan Kurikuler, Tujuan Instruksional Umum, materi, metode,

dan penilaian hasil belajar. Kurikulum sebelumnya tidak memperlihatkan

keterkaitan berbagai komponen itu dalam satu matriks.

Pemikiran inovatif yang juga dikembangkan dalam Kurikulum SMP 1975 adalah

adanya penjelasan mengenai berbagai hal yang dianggap inovatif atau pun yang

merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dilaksanakan seebelumnya. Diantara

pikiran-pikiran itu penggunaan model Prosedur Pengembangan Sistem

Instruksional (PPSI) dan sistem penilaian yang berkelanjutan merupakan aspek

inovasi, pedoman pelaksanaan kurikulum banyak berpengaruh terhadap

pengembangan kurikulum berikutnya. Sebagian dari pemikiran inovatif yaitu

pengunaan filosofi perenialisme masih dipertahankan untuk jenjang pendidikaan

dasar sedangkan penerapan filosofi perenialisme untuk kurikulum SMA

mendapatkan tantangan politis yang kuat sehingga pada tahun 1984 Kurikulum

SMA kembali dikembangkan berdasarkan filosofi esensialisme sampai hari ini.

Tentang tujuan, Kurikulum 1975 menggunakan pendekatan hierarkis antara tujuan

pendidikan nasional, tujuan pendidikan institusional, tujuan pendidikan kurikuler,

tujuan pendidikan instruksional umum, dan tujuan pendidikan instruksional

  94

khusus. Keterkaitan antar tujuan tersebut masih berlangsung sampai kurikulum

1994 dan menjadi petunjuk kuat mengenai keterkaitan antara apa yang

dikehendaki bangsa Indonesia dengan apa yang dikembangkan kurikulum. Secara

diagramatik keterkaitan itu digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2: Heirarki Tujuan Pendidikan

    TUJUAN PENDIDIKAN    NASIONAL  

TUJUAN KURIKULER 

TUJUAN KURIKULER 

TUJUAN KURIKULER 

      TIU       TIU        TIU        TIU        TIU        TIU 

TUJUAN INSTITUSIONAL (LEMBAGA) 

Di bawah setiap TIU terdapat sejumlah TIK yang harus dirumuskan guru.

Hierarchi keterkaitan tujuan pendidikan tersebut berdasarkan asumsi bahwa

apabila tujuan pendidikan di bawah dirumuskan dengan benar dan tercapai maka

tujuan pendidikan di atasnya akan tercapai. Artinya, jika kualitas hasil belajar

yang dirumuskan guru dalam TIK tercapai maka TIU yang menjadi dasar

pengembangan TIK tersebut diasumsikan tercapai. Jika berbagai kualitas hasil

  95

belajar yang dirumuskan dalam berbagai TIU tercapai maka Tujuan Kurikuler

untuk bidang tudi tersebut tercapai. Jika kualitas hasil belajar yang dirumuskan

dalam berbagai Tujuan Kurikuler dimiliki peserta didik maka tamatan SMP akan

memiliki kualitas hasil belajar yang dirumuskan dalam Tujuan Institusional

(SMP) tersebut. Apabila semua tujuan institusional semua lembaga pendidikan

tercapai maka kualitas manusia Indonesia yang dirumuskan dalam Tujuan

Pendidikan Nasional tercapai pula.

2. Tujuan Institusional SMP

Dalam bab III Buku I Kurikulum SMP 1975 ditetapkan adanya Tujuan Umum dan

Tujuan Khusus. Tujuan Umum menggambarkan tujuan pendidikan SMP yang

terdiri atas tiga tujuan yang mencakup wewenang yang dimiliki seorang tamatan

pendidikan SMP. Ketiganya adalah menjadi “warganegara yang baik sebagai

manusia yang utuh, sehat, kuat lahir dan batin; menguasai hasil pendidikan umum

yang merupakan kelanjutan dari hasil pendidikan di Sekolah Dasar; dan memiliki

bekal untuk melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan

untuk terjun ke masyarakat”. Tujuan nomor satu jelas merupakan tujuan yang

dirancang untuk menjadi kualitas peserta didik yang belajar dari kurikulum SMP

sehingga kurikulum SMP diharapkan mampu mengembangkan berbagai

pengetahuan, ketrampilan dan nilai untuk menjadi warganegara yang baik. Tujuan

nomor dua menggambarkan keterkaitan antara kurikulum SD – SMP sehingga

ketiga kualitas yang dirumuskan dalam tujuan pertama merupakan suatu upaya

lanjutan dari apa yang sudah dikembangkan dalam kurikulum SD. Sedangkan

tujuan ketiga menggambarkan apa yang dapat dilakukan peserta didik dari hasil

yang dirumuskan pada tujuan pertama dan kedua yaitu peserta didik dapat

menggunakan kemampuan yang sudah dimiliki untuk melanjutkan pendidikan

mereka ke jenjang yang lebih tinggi atau menjadi anggota masyarakat yang

memiliki keutuhan kemampuan serta sehat lahir-batin.

Tujuan khusus pendidikan SMP menjadi tujuan yang secara operasional harus

terjamin ketercapaiannya dalam rancangan dokumen kurikulum, dalam proses

  96

implementasi kurikulum berupa kegiatan proses belajar-mengajar, dan terbukti

dalam informasi yang dikumpulkan oleh asesmen hasil belajar dan bahkan

evaluasi kurikulum. Tujuan khusus tersebut mencakup bidang pengetahuan,

ketrampilan, dan nilai. Ketiga ranah ini merupakan ranah penting karena

pengetahuan adalah landasan untuk mengembangkan ketrampilan (belajar,

berpikir, kinestetik, estetika, kesehatan, kepemimpinan, dan vokasional), dan

untuk mengembangkan nilai yang berkenaan dengan ideologi dan dasar hukum/

filosofi negara, agama, kemanusiaan; sikap demokratis dan tenggang rasa,

tanggungjawab, apresiasi budaya dan karya, percaya diri, rasa ingin tahu (minat),

disiplin dan patuh, jujur, mandiri, berinisiatif, kreativitas, kritis, rasional, objektif,

menghargai pekerjaan ; kebiasan hidup hemat, produktif, sehat dan berolahraga,

menghargai waktu.

Dari tujuan khusus yang dirumuskan dalam Buku I Bab III Pasal 5 jelas

menunjukkan pemahaman para pengembang kurikulum dalam berbagai teori

tentang intelegensia, sikap dan nilai, serta tujuan. Rumusan tujuan khusus tersebut

jelas membedakan ranah pengetahuan dari kemampuan/ketrampilan dan nilai.

Pada masa belakangan para pelaksana kurikulum dan pengambil kebijakan dalam

kurikulum tidak memberikan perhatian yang sungguh dalam mengembangkan

ranah kemampuan/ketrampilan serta sikap dan nilai tetapi terfokuskan pada

pengembangan pengetahuan. Ranah kemampuan/ketrampilan yang meliputi

berbagai aspek inteleligensia yang lebih luas dibandingkan “multiple

intelligences” Howard Gardner tidak mendapatkan perhatian dan pengembangan

yang seharusnya. Ranah sikap dan nilai terabaikan dalam kadar yang sama dengan

ranah kemampuan/ketrampilan. Kedua ranah yang disebutkan belakangan ini

diperlakukan seperti ranah pengetahuan sehingga proses belajar dan materi

pelajaran kedua ranah tersebut dikerdilkan menjadi ranah pengetahuan.

Ketrampilan dan nilai serta sikap yang dikembangkan Kurikulum 1975 masih

relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia masa kini dan masih relevan

dengan kebijakan pendidikan Pemerintah akhir-akhir ini yang diterjemahkan

dalam kebijakan pendidikan budaya dan karakter bangsa, belajar aktif, mandiri-

  97

kreatif dan kewirausahaan. Pelajaran yang muncul dari pengalaman Kurikulum

SMP 1975 adalah kekurangan dalam perhatian dan kemampuan mengembangkan

proses belajar yang dapat membangun kemampuan, sikap dan nilai yang telah

dirumuskan sebagai tujuan menjadi perilaku peserta didik. Kelemahan dalam

mengembangkan proses pembelajaran dan keterpurukaa proses pembelajaran

kemampuan (skills), sikap dan nilai menyebabkan pengembangan ranah

ketrampilan intelektual dan afektif tersebut menjadi pengembangan pengetahuan

sehingga peserta didik mengenai apa yang dimaksudkan dengan berbagai

ketrampilan, sikap dan nilai yang dibahas di kelas tapi mereka tidak mampu

melakukannya dalam perilaku keseharian mereka di sekolah dan masyarakat.

Kelemahan lain adalah dalam penilaian hasil belajar peserta didik yang

sebagaimana halnya dengan proses pembelajaran terfokuskan dan terpuruk pada

upaya mencari informasi tentang kemampuan peserta didik dalam ranah

pengetahuan. Pengaruh dari asesmen hasil belajar yang terpuruk pada

pengetahuan maka proses pembelajaran semakin memusatkan perhatiannya pada

upaya pengembangan pengetahuan. Sayangnya, kelemahan ini berlanjut pada

kurikulum SMP berikutnya. Kenyataan ini merupakan pelajaran terbaik agar

bangsa ini tidak lagi dan lagi mengulang kesalahan yang sama.

3. Prinsip Yang Melandasi Pengembangan Kurikulum SMP 1975

Prinsip yang digunakan dalam mengembangkan Kurikulum SMP 1975 adalah

sebagai berikut:

- Prinsip Fleksibilitas Program - Prinsip efisiensi dan efektivitas - Prinsip berorientasi pada Tujuan - Prinsip Kontinuitas - Prinsip Pendidikan Seumur Hidup

Kelima prinsip tersebut digunakan dalam aspek pengembangan kurikulum yang

berbeda. Prinsip fleksibilitas program memberikan kemungkinan bagi sekolah

untuk menyelenggarakan pendidikan ketrampilan yang berbeda baik pendidikan

ketrampilan wajib mau pun pilihan. Sekolah harus menentukan proram

pendidikan mana yang akan dikembangkan disesuaikan dengan fasilitas yang

  98

dimiliki sekolah dan kebutuhan masyarakat akan ketrampilan yang ada pada

program yang ditawarkan kurikulum. Sekolah harus menghindari kejenuhan yang

terjadi di masyarakat akan kebutuhan suatu ketrampilan tertentu sehingga peserta

didik dapat memanfaatkan ketrampilannya untuk mencari pekerjaan.

Prinsip efisiensi dan efektivitas digunakan untuk memanfaatkan waktu yang

tersedia di kelas dengan sebaik-baiknya dan kemampuan belajar peserta didik

diukur dari beban tugas yang harus dilakukannya. Kurikulum mendesain agar

proses belajar-mengajar di kelas tidak menghabiskan waktu belajar untuk

menyalin materi pelajaran dari papan tulis. Penerapan prinsip efisiensi dan

efektiitas kedua adalah dengan cara mengurangi jam belajar per minggu dari 42

jam menjadi 36. Pengurangan jam belajar tersebut dilakukan dengan landasan

pikiran bahwa jam belajaar yang terlalu padat tidak memberikan peluang bagi

peserta didik untuk mencernakan materi pelajaran dengan baik karena jenuh, dan

memungkinkan peserta didik menggunakan waktu untuk mengembangkan

kreativitas di luar kegiatan kelas.

Prinsip berorientasi pada tujuan digunakan untuk mengembangkan proe belajar-

mengajar sehingga setiap guru dan peserta didik memahami apa yang akan

mereka capai dengan materi pelajaran yang ada. Berdasarkan tujuan yang akan

dicapai dan materi pelajaran maka guru haru dapat menentukan proses belajar

yang paling efektif.

Prinsip kontinuitas dirancang dan dikembangkan dalam pengertian bahwa adanya

kontinuitas antara apa yang sudah dipelajari di SD dengan apa yang dipelajari di

SMP dan juga dasar untuk melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi.

Prinsip ini merapakan prinsip kurikulum yang cukup penting yang sering

diistilahkan dengan “vertical organization”. Kontinuitas dalam “vertical

organization” tidak saja berkenaan dengan materi pengetahuan (knowledge) yang

sudah dipelajari di sebuah jenjang pendidikan tetapi juga kontinuitas antara materi

ketrampilan (intelektual, emosional, sosial, psikomotorik) dan materi afekti (nilai

dan sikap) dari kelas/sekolah ke kelas/sekolah yang lebih tinggi.

Prinsip pendidikan seumur hidup menyatakan bahwa apa yang sudah dipelajari di

sekolah dapat digunakan dan dikembangkan lebih lanjut ketika eseorang sudah

  99

tidak lagi belajar di jalur sekolah atau pun luar sekolah. Ia memiliki kemandirian

untuk belajar terus bagi pengembangan kemampuan dan kepribadian dirinya.

Sebetulnya untuk bisa belajar sepanjang hiddup seseorang memerlukan

ketrampilan belajar, kebiasaan dan ketrampilan membaca, rasa ingin tahu yang

tinggi serta disiplin. Sayangnya, nilai-nilai ini yang juga dinatakan dalam tujuan

kurikulum tidak dikembangkan sebagaimana seharusnya. Tneu saja dengan

demikian, belajar sepanjang hidup tidak tampak dalam realita kehidupan peserta

didik di sekolah dan masyarakat.

4. Pikiran Pokok Kurikulum 1975

Pada tanggal 17 Januari tahun 1975, melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan nomor 008-D/U/1975, Pemerintah menetapkan kurikulum baru untuk SMP

dan dinamakan Kurikulum 1975, sesuai dengan tahun penetapan berlakunya kurikulum

tersebut. Dapat dikatakan bahwa Kurikulum 1975 memberikan landasan baru bagi

kebijakan pengembangan kurikulum di Indonesia. Kurikulum 1975 merupakan kurikulum

pertama di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan teori, model, dan desain kurikulum

modern. Pikiran teoritik tentang peserta didik, proses pembelajaran, penilaian hasil

belajar dijadikan dasar-dasar utama dalam pemikiran pengembangan kurikulum. Model

pembelajaran yang dikenal dengan nama Perencanaan Sistem Instruksional menjadi

model baru dalam dunia pendidikan Indonesia.

Dalam kegiatan pengembangan kurikulum 1975 pikiran teoritik dan prosedur

pengembangan kurikulum modern dilaksanakan dalam pengembangan ide kurikulum,

rancangan pembelajaran dan pedoman pelaksanaan. Ide kurikulum memuat landasan

filosofis, teoritis dan model kurikulum dan sebenarnya adalah jawaban kependidikan

Pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat sebagaimana yang dipersepsi oleh para

pengambil keputusan dalam bidang pendidikan dan terjemahan dari kebijakan tersebut

oleh para pengembang kurikulum secara teknis. Ide kurikulum tersebut dirancang

sedemikian rupa dan ditulis dalam Buku I dokumen kurikulum yang dinamakan

Ketentuan-ketentuan Pokok. Rancangan pembelajaran yang dinamakan Garis-Garis Besar

Program Pengajaran (GBPP) untuk setiap mata pelajaran dikembangkan dalam Buku II.

Untuk melaksanakan Kurikulum 1975 dikembangkan Pedoman Pelaksanaan Kurikulum

berkenaan dengan hal khusus dan model satuan pelajaran, penilaian, bimbingan dan

  100

penyuluhan, serta administrasi dan supervisi dalam Buku III. Model pengembangan

dokumen kurikulum yang terdiri atas 3 buku ini nantinya dilanjutkan terus pada

pengembangan kurikulum berikutnya dan baru berubah ketika kebijakan pendidikan

memberikan wewenang pengembangan kurikulum kepada daerah dan sekolah.

Buku I Kurikulum 1975 memuat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

nomor 008-D/U/1975 tentang pikiran-pikiran pokok (curriculum ideas) dari

Kurikulum 1975. Pikiran pokok tersebut berisikan ketentuan umum, dasar dan

tujuan pendidikan , tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan SMP, susunan

kurikulum (struktur kurikulum), susunan program pengajaran dan metode

penyampaian, dan strategi implementasi yang dinyatakan dalam bagian lain-lain/

penutup. Dalam bagian umum dirumuskan berbagai istilah yang digunakan dalam

kurikulum seperti GBPP, model satuan pelajaran, jam pelajaran, semester,

program pendidikan umum, program pendidikan akademis, pendidikan

ketrampilan pilihan terikat, pendidikan ketrampilan pilihan bebas, lama waktu

belajar di SMP, dan guru bidang studi (Kurikulum SMP 1975 menggunakan

istilah bidang studi dan bukan mata pelajaran dan oleh karena itu maka guru pun

adalah guru bidang studi dan bukan lagi guru mata pelajaran. Beberapa dari istilah

tersebut merupakan istilah yang sudah dikenal dan diartikan sama dengan

pengertian yang sudah dikenal kepala sekolah, guru, dan masyarakat. Beberapa

istilah adalah istilah baru yang dikembangkan dan digunakan oleh Kurikulum

1975.

Rumusan istilah-istilah yang digunakan dalam kurikulum baik yang sudah umum

mau pun yang baru, memiliki makna yang penting. Rumusan itu menyampaikan

pengertian yang digunakan oleh para pengembang ketika mereka mendesain dan

mengembangkan dokumen kurikulum (curriculum as a written plan). Pengertian

tersebut mengikat dan menjadi patokan bagi kepala sekolah, guru dan pengawas

sehingga terjadi kesamaan bahasa dalam komunikasi antara para pelaksana

kurikulum dengan pengembang kurikulum. Kesamaan bahasa antara para

pengembang dan pelaksana dipersyaratkan dalam banyak literatur tentang

pengembang kurikulum karena kesamaan bahasa tersebut menjadi satu kunci

  101

keberhasilan pelaksanaan kurikulum. Meski pun demikian harus diingat bahwa

adanya rumusan istilah yang telah dilakukan para pengembang kurikulum

bukanlah pengganti sosialisasi sebagai salah satu strategi implementasi

kurikulum. Rumusan yang telah dikembangkan menjadi titik berangkat dalam

membangun persamaan bahasa dalam sosialisasi. Lagipula, sosialisasi mempunyai

fungsi untuk membangun pemahaman dan mengembangkan ketrampilan baru

yang diperlukan guru bidang studi. Sayangnya, kelemahan dalam sosialisasi untuk

implementasi terutama berkenaan dengan aspek ketrampilan yang harus dimiliki

guru seperti pengembangan PPSI, merumuskan tujuan instruksional khusus

berdasarkan kaategori atau taksonomi tujuan pendidikan Bloom (Taxonomy of

Educational Objectives), pengembangan tes objektif, dan bahkan ketrampilan

dalam belajar dengan Cara Belajar Siswa Aktif serta pengembangan strategi dan

proses pembelajaran yang menyebabkan peserta didik belajar aktif, menjadi

faktor yang cukup menentukan kelemahan kalau tidak dapat disebut sebagai

kegagalan implementasi Kurikulum SMP 1975. Pelatihan yang dilakukan tidak

sampai kepada setiap guru dan tidak mampu mengembangkan ketrampilan yang

diperlukan guru. Lagipula, banyak dari pelatihan tersebut dilakukan sepanjang

perjalanan implementasi dan bukan di awal tahun sebelum implementasi di kelas I

dilakukan.

Dalam Ketentuan Umum Kurikulum 1975 istilah baru yang diperkenalkan

Kurikulum SMP 1975 yaitu Garis Besar Program Pengajaran (GBPP), model

satuan pelajaran yang nantinya menggunakan model Program Pengembangan

Sistem Instruksional (PPSI), semester sebagai pengganti sistem kuartalan, guru

bidang studi sebagai pengganti guru mata pelajaran, tujuan instruksional (umum

dan khusus). Garis Besar Program Pengajaran dirumuskan sebagai “ikhtisar dari

pada keseluruhan program pengajaran yang terdiri atas tujuan-tujuan kurikuler,

tujuan-tujuan instruksionil (sic!) dengan ruang lingkup bahan-bahan pengajaran

yang diatur dan disusun secara berurutan menurut semester dan kelas”. Secara

khusus GBPP dikembangkan sebagai dokumen khusus untuk setiap bidang studi

yang ada dalam struktur Kurikulum 1975 berisikan rumusan tujuan kurikuler,

  102

tujuan isntruksional umum (TIU), pokok-pokok bahasan, dan tata urut

penyampaian bahasan (sequence) di setiap semester, dan dari satu semester ke

semester berikutnya. Guru berkewajiban mengembangkan GBPP menjadi satuan

pelajaran untuk setiap TIU dan pokok bahasan yang perlu dipelajari untuk

menguasai kemampuan yang tertuang dalam rumusan TIU18. Setiap rumusan TIU

mengandung komponen peserta didik, kemampuan/ketrampilan (intelektual,

afektual, psikomotorik), dan aspek substantif yang harus dipelajari dan dikuasai

peserta didik. Aspek substantif dipelajari dan digunakan untuk melatih peserta

didik dalam menguasai aspek kemampuan tetapi aspek kemampuan/ketrampilan

juga digunakan dalam mempelajari aspek substantif sehingga peserta didik

mencapai tingkat mahir dalam menggunakan kemampuan/ketrampilan. Kedua

proses tersebut bersifat timbal balik dan menyebabkan terjadinya proses belajar

bermakna.

Model satuan pelajaran dirumuskan sebagai “pedoman tentang proses belajar-

mengajar yang meliputi tujuan-tujuan instruksionil (khusus), pokok-bahasan,

uraian kegiatan belajar-mengajar murid dan guru, alat/media pelajaran, dan alat

evaluasi yang digunakan”. Sebagaimana dikemukakan di atas model satuan

pelajaran yang diperkenalkan Kurikulum SMP 1975 dinamakan Program

Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Model PPSI dikembangkan dari

wilayah Desain Instruksional (Instructional Design) dan bukan bidang kurikulum.

Meski pun demikian, PPSI cukup efektif untuk mengimplementasi kurikulum

sebagai dokumen menjadi kurikulum sebagai suatu proses. Pemanfaatan PPSI

sebagai salah satu aspek inovatif yang diperkenalkan Kurikulum SMP 1975                                                             18 Dalam Buku  I Kurikulum SMP 1975  titik 2.3 di halaman 21 dikatakan bahwa “pokok bahasan yang telah disusun secara berurutan ini selanjutnya perlu dikembangkan menjadi suatu program instruksionil  yang  jelas  sasarannya  (dalam  bentuk  rumusan  tujuan  instruksionil  yang  lebih khusus),  perincian  pokok‐pokok  bahasan,  alat‐alat  pelajaran  yang  harus  disediakan  dan digunakan, cara mengajar dan belajar yang harus ditempuh, lamanya pelajaran itu diadakan, alat evaluasi  yang  perlu  disusun  untuk mengukur  tingkat  pencapaian  tujuan  para  siswa.  Petunjuk tersebut  agak  “menyesatkan”    karena  model  yang  digunakan  adalah  pendekatan  tujuan sebagaimana dinyatakan dalam buku yang sama di halam 17  (prinsip berorientasi pada  tujuan) dan pada halaman 21  tentang kedudukan  tujuan. Dengan pendekatan tujuan maka seharusnya TIK  dirumuskan  sebagai  operasionalisasi  TIU  terutama  yang  berkenaan  aspek  kemampuan intelektual,  afektif,  dan  psikomotorik  dan  rincian  materi  pembelajaran  dari  materi  TIU  yang sesuai dengan materi pokok bahasan.   

  103

memiliki dampak yang cukup positif dalam perkembangan pendidikan di

Indonesia. Memang harus diakui bahwa model PPSI memberikan keterbatasan

dalam arti pencapaian tujuan yang sangat terbatas tetapi hal tersebut dapat

dihindari jika rumusan TIU dan terutama rumusan TIK tidak diarahkan kepada

persyaratan pandangan behavioristik Mager yang dikenal dengan persyaratan

ABCD (audience, behavior, conditions, degree). Sayangnya, rumusan ABCD ini

merupakan salah satu aspek inovatif yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP

1975 dalam merumuskan TIK.

Bersamaan dengan penerapan PPSI maka diperkenalkan pula istilah instruksional

umum (TIU) dan instruksional khusus (TIK) sebagai upaya membedakan dengan

pengertian tujuan kurikuler yang digunakan dalam Garis Besar Program

Pengajaran. Selain sebagai pembeda yang disebabkan oleh fungsi dan ruang

lingkup yang berbeda antara tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum dan

tujuan instruksional khusus, penggunaan istilah instruksional umum dan khusus

memberikan landasan pengembangan yang lebih jelas. Tujuan kurikuler

merumuskankan kualitas hasil belajar/kemampuan yang akan dicapai peserta

didik dari sebuah bidang studi, tujuan instruksional umum merumuskan kualitas

hasil hasil belajar/kemampuan yang akan dicapai peserta didik dari beberapa

pokok bahasan sebuah bidang studi sedangkan TIK merumuskan kualitas hasil

belajar/kemampuan peserta didik setelah mempelajari suatu pokok bahasan.

Pikiran pokok lain yaang dikembangkan Kurikulum SMP 1975 mengenai sistem

penilaian. Kurikulum SMP 1975 menghendaki adanya perubahan dari pandangan

lama bahwa penilaian hanya dapat dilakukan pada akhir catur wulan/kuartalan

atau pada akhir tahun maka Kurikulum SMP 1975 dilaksanakan pada akhir setiap

satuan pelajaran. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah frekuensi pengukuran

pencapaian hasil belajar menjadi lebih sering sehingga peserta didik mengikuti tes

atau ulangan untuk ruang lingkup materi yang lebih terbatas. Lagipula, ketika

asesmen itu dilakukan pada setiap saat peserta didik membahas suatu pokok

bahasan maka daya ingat akan lebih kuat dan segar dibandingkan apabila tes atau

ulangan itu dilakukan pada beberapa saat setelah materi pelajaran itu dikaji.

  104

Semakin lama suatu pengetahuan bersifat asing atau tidak menjadi bagian integral

dari schema seseorang dan semakin lama jarak waktu antara saat ketika materi

tersebut dipelajari dengan saat ulangan/tes maka semakin banyak pengetahuan itu

tersimpan dalam memori dan sukar dipanggil untuk menjawab pertanyaan yang

ada dalam tes/ulangan.

Semakin sering sebuah pengetahuan digunakan maka semakin mudah tinggi

tingkat kemampuan untuk memanggilnya. Pengetahuan yang digunakan setiap

hari menjadi pengetahuan yang selalu siap dipanggil setiap saat dan dengan

demikian ia akan tersimpan dalam memori di tempat yang mudah terjangkau. Jika

alat asesmen hasil belajar digunakan tidak saja untuk mengumpulkan informasi

tentang kemampuan peserta didik tetapi juga menjadi fasilitas bagi peserta didik

untuk mengakses pengetahuan dan menggunakannya maka semakin sering

diadakan ulangan/tes semakin tinggi tingkat pemanfaatan pengetahuan dan pada

gilirannya semakin mudah memanggil pengetahuan yang bersangkutan. Dari

suudut pandang teoritis ini maka pikiran yang dikembangkan Kurikulum SMP

1975 merupakan suatu pendekatan yang memiliki kemampuan tinggi dalam

mengatasi kelemahan peserta didik dalam menghafal.

Dalam bidang penilaian hail belajar Kurikulum SMP 1975 memperkenalkan dua

jenis penilaian yaitu penilaian formatif dan sumatif. Keduanya memiliki fungsi

yang berbeda. Penilaian formatif dilakukan untuk memperbaiki kemampuan

peserta didik sedangkan penilaian sumatif digunakan untuk menentukan tingkat

keberhasilan belajar peserta didik. Istilah formatif dan sumatif diperkenalkan oleh

Michael Scriven tahun 1967 untuk bidang evaluasi kurikulum dan oleh Benjamin

Bloom dan kawan-kawannya untuk bidang evaluasi hasil belajar. Sejak

diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975 kedua istilah itu menjadi nomenclature

yang dikenal oleh guru, masyarakat pendidik, dan juga orang tua terkadang dalam

penggunaan makna yang salah. Kesalahan yang terjadi ialah penilaian formatif

tidak digunakan untuk memperbaiki kemampuan peserta didik yang rendah baik

kemampuan kelas (dengan adanya ketentuan lebih dari 75% peserta didik di suatu

kelas menguasai kurang dari 75% kemampuan yang dirumuskan dalam tujuan

  105

instruksional khusus) apalagi secara individual dimana guru harus melakukan

analisis jawaban peserta didik secara khusus untuk menentukan kelemahan yang

masih dimiliki seorang peserta didik. Kalaulah tradisi penilaian formatif ini

berjalan sebagaimana seharusnya dan berkelanjutan sampai masa kini banyak

kelemahan proses pembelajaran dapat diperbaiki dan peserta didik akan selalu

mendapatkan bantuan belajar yang diperlukannya.

Hal lain yang berkenaan dengan asesmen hasil belajar ialah asesmen itu harus

menckup keseluruhan aspek tingkah laku. Artinya, asesmen yang dilakukan tidak

boleh hanya membatasi diri pada upaya mendapatkan informasi mengenai

penguasaan pengetahuan semata tetapi juga aspek lain dari kemampuan yang

harus dimiliki peserta didik. Asesmen harus berkenaan dengan kemampuan/

ketrampilan intelektual, afeksi, dan juga psikomotor. Prinsip menyeluruh dalam

asesmen hasil belajar diaplikasikan oleh Kurikulum SMP 1975 dan ini hanya

dapat dilakukan jika guru paham dan memiliki ketrampilan menerapkannya.

Kembali masalah sosialisasi jadi masalah sehingga guru tidak memiliki

ketrampilan yang cukup untuk melaksanakan kurikulum.

Prinsip belajar tuntas merupakan pikiran pokok yang dikembangkan dalam

Kurikulum SMP 1975 adalah mengenai pendekatan belajar tuntas. Dalam

pedoman dinyatakan bahwa apabila 75% peserta didik tidak menguasai 75%

kemampuan yang dirumuskan dalam TIK maka guru harus mengulang

pembelajaran pokok bahasan tersebut. Prinsip belajar tuntas mengatakan bahwa

setiap peserta didik dapat menguasai kemampuan dan pengetahuan apa pun yang

dikehendaki kurikulum asalkan mereka diberi waktu yang sesuai dengan tingkat

kecepatan belajar mereka. Metode mengajar dapat membantu peserta didik dapat

memperpendek waktu untuk menguasai kemampuan dan pengetahuan asalkan

dilakukan dalam suatu proses pembelajaran yang tepat bagi seorang peserta didik.

Penerapan prinsip dan pendekatan belajar tuntas tidak saja memerlukan perubahan

kemampuan pada diri guru tetapi terlebih lagi perubahan dalam cara pandang

mengenai belajar dan posisi peserta didik dalam belajar. Pendekatan belajar tuntas

  106

menhendaki suatu keyakinan pada diri guru bahwa setiap peserta didik akan

mampu menguasai kemampuan yang dirumuskan dalam tujuan. Mengubah cara

pandang guru lebih sulit dibandingkan dengan mengembangkan ketrampilan baru

dan tentu saja lebih sulit lagi dibandingkan dengan penguasaan pengetahuan.

Pikiran pokok yang dikembangkan Kurikulum 1975 yang telah dikemukakan di

atas memberi petunjuk yang kuat bahwa Kurikulum 1975 mencoba mengubah

banyak tradisi yang sudah berakar dalam dunia pendidikan Indonesia. Model

kurikulum yang berorientasi pada tujuan, model penerapan proses pembelajaran

yang juga berorientasi pada tujuan serta asesmen yang mengukur pencapaian

kemampuan yang terumuskan dalam tujuan menjadikan Kurikulum 1975 sebagai

tonggak pengembangan kurikulum modern di Indonesia. Kurikulum 1975

dikembangkan untuk mengubah berbagai tradisi dengan hal-hal baru.

5. Struktur Kurikulum dan Bidang Studi

Buku I Pasal 6 dan 7 menetapkan struktur Kurikulum SMP 1975 terdiri atas

program pendidikan umum, program pendidikan akademis, dan program

pendidikan ketrampilan. Program Pendidikan Umum harus diikuti oleh eluruh

peserta didik. Demikian pula dengan program Pendidikan Akademis yang akan

menjadi dasar bagi mereka yang akan melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.

Program Ketrampilan terdiri atas dua kelompok yaitu Program Ketrampilan

pilihan terikat yang berkenaan dengan berbagai ketrampilan vokasional dan

Program Ketrampilan pilihan bebas yang berkenaan dengan berbagai kegiatan

keilmuan, olahraga, kesenian dan kesehatan. Dua kelompok proram Ketrampilan

yang dikembangkan Kurikulum SMP 1975 memberikan keleluasaan kepada

peserta didik untuk mendapatkan ketrampilan yang berguna untuk

mengembangkan minat mereka untuk memasuki dunia kerja berbekal ketrampilan

vokasional yang bersifat pilihan terikat dan ketrampilan untuk memperdalam

suatu bidang minat tertentu. Keterkaitan dengan TAP MPRS tahun 1973 yang

memberikan perhatian khusus kepada ketrampilan diterjemahkan dalam bentuk

kedua pilihan ketrampilan ini.

  107

Tabel 7.2 Struktur dan Bidang Studi Kurikulum SMP 1975

K E L A S

I II III Program Pendidikan

No. Bidang Studi

Semester 1 2 3 4 5 6

Pendidikan Umum

1.Pendidikan Agama

2.Pendidikan Moral Pancasila

3.Olahraga dan Kesehatan

4.Pendidikan Kesenian

2

2

3

2

2

2

3

2

2

2

3

2

2

2

3

2

2

2

3

2

2

2

3

2

Pendidikan Akademis

5. Bahasa Indonesia

6. Bahasa Daerah

7. Bahasa Inggeris

8. Ilmu Pengetahuan Sosial

9. Matematika

10.Ilmu Pengetahuan Alam

5

(2)

4

4

5

4

5

(2)

4

4

5

4

5

(2)

4

4

5

4

5

(2)

4

4

5

4

5

-

4

4

5

4

5

-

4

4

5

4

Pendidikan Ketrampilan

11.Pilihan terikat

12.Pilihan bebas

6

-

-

6

6

-

-

6

6

-

-

6

Jumlah jam pelajaran per minggu 37 37 37 37 37 37

(39) (39) (39) (39)

Struktur dan bidang studi Kurikulum 1975 memiliki beberapa perubahan dari

Kurikulum 1968 SMP. Perubahan pertama adalah pada label nama kelompok

yaitu nama Pembinaan Jiwa Pancasila sudah tidak digunakan dan digantikan

dengan Pendidikan Umum. Perubahan nama atau label ini jelas memperlihatkan

orientasi keilmuan yang lebih kuat pada Kurikulum 1975 dibandingkan

Kurikulum 1968. Penggantian nama yang sangat bersifat politis dan sensitif

tersebut tentu saja sudah berdasarkan analisis kondisi masyarakat dan

pemerintahan pada waktu itu yang sudah lebih dapat menerima tidak

digunakannya istilah Pancasila. Kajian terhadap rumusan tujuan pendidikan dalam

TAP MPRS nomor IV tahun 1973 yang sudah mengganti istilah manusia

  108

Pancasila sejati (TAP MPRS XXVII tahun 1966) menjadi manusia pembangunan

yang ber-Pancasila menunjukkan adanya sikap yang lebih akomodatif terhadap

penggunaan istilah lain selain Pancasila.

Dalam kelompok Pendidikan Umum bahasa Indonesia tidak lagi menjadi

anggotanya karena Bahasa Indonesia menjadi bidang studi dalam kelompok

Pendidikan Akademis. Artinya, dengan perubahan posisi ini maka pendidikan

Bahasa Indonesia bukan lagi merupakan salah satu landasan pokok, bersamaan

dengan Pendidikan Agama dan Pancasila, untuk pendidikan kewargaannegara.

Kebijakan serupa terjadi ketika Kurikulum 1954 digantikan oleh Kurikulum 1962,

1964 dan 1968 dimana mata pelajaran sejarah Indonesia diubah posisinya menjadi

menjadi mata pelajaran akademis semata. Padahal untuk menjadi warganegara

seseorang harus mengetahui ideologi negaranya, sejarah bangsanya, wilayah,

tatanegara dan bahasa nasional/bahasa resmi. Untuk warganegara yang dilahirkan

dan dibesarkan di Indonesia pendidikan, dalam hal ini kurikulum, adalah upaya

untuk mengembangkan wawasan dan kesadaran kewarganegara- annya. Oleh

karena itu perubahan posisi Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 1975 dan mata

pelajaran Sejarah Indonesia serta Ilmu Bumi/Geografi Indonesia menjadi bidang

kajian akademis jelas didasarkan pada pertimbangan ilmu dan bukan didasarkan

pada konsep kewargaannegaraan yang dimaksudkan.

Kelompok Pengetahuan Dasar dalam Kurikulum 1968 diganti namanya menjadi

kelompok Pendidikan Akademis. Penggantian nama kelompok ini jelas

menunjukkan konsep Kurikulum 1975 yang didasarkan pada pemikiran kurikulum

pendidikan disiplin ilmu. Dalam kelompok ini maka bidang studi yang tercantum

memiliki fungi utama untuk mengembangkan kemampuan akademis peserta didik

dalam cara berpikir, bersikap, rasa ingin tahu, dan belajar. Meski pun demikian,

ada hal yang rancu yaitu bidang studi Bahasa Daerah yang dimasukkan sebagai

bidang kajian akademis. Sebagaimana halnya dengan Bahasa Indonesia, Bahasa

Daerah dalam kurikulum diarahkan untuk mengembangkan kemampuan

berbahasa dan apresiasi terhadap karya sastra yang dihasilkan dalam bahasa

daerah. Dengan memaukkan Bahasa Daerah sebagai bidang studi dalam kelompok

  109

Pendidikan Akademis tentu saja mengurangi tujuan yang dimaksudkan. Meskipun

disadari bahwa pada waktu Kurikulum 1975 digunakan, SMP belum menjadi

bagian dari pendidikan dasar karena pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SMP) baru

ditetapkan dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan

Nasional yaitu pada Penjelasan Pasal 13 ayat (1) sedangkan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1950 Dari Republik Indonesia Terdahulu Tentang Dasar-dasar Pendidikan

dan Pengajaran Disekolah Untuk Seluruh Indonesia menetapkan SMP sebagai

pendidikan menengah dan bukan bagian dari pendidikan dasar, dan mungkin ini

yang memberikan justifikasi memasukkan bidang studi Bahasa Daerah sebagai

anggota kelompok Pendidikan Akademis.

Suatu kenyataan menarik dalam kelompok Pendidikan Akademis adalah

pemikiran para pengembang kurikulum untuk menggunakan organisasi “broad-

fields” yaitu dengan menggabungkan mata pelajaran Aljabar dan Ilmu Ukur

menjadi bidang studi Matematika, mata pelajaran Ilmu Alam dan Ilmu Hayat

menjadi Ilmu Pengetahuan Alam serta mata Ilmu Bumi dan mata pelajaran

Sejarah menjadi bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial. Perkembangan pemikiran

kurikulum sekolah menengah ketika upaya memperkenalkan pendekatan ini untuk

kurikulum perguruan tinggi dianggap berhasil mengembangkan kemampuan

berpikir mahasiswa yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak (Tanner dan Tanner,

1980:428; Longstreet dan Shane, 1993:82). Keberhasilan tersebut menarik

perhatian para pengembang kurikulum sekolah menengah dan sekolah dasar di

Amerika Serikat (Longstreet dan Shane, 1993:82) dan pada saat sekarang dunia

menyaksikan bahwa organisasi “broad-fields” menjadi pendekatan yang banyak

dilakukan untuk kurikulum sekolah dasar dan menengah di berbagai negara

(NIER, 1999; O’Donnel dkk, 2002). Walau pun di Indonesia terjadi

perkembangan baru dalam pemikiran pengembang kurikulum dan pengambil

kebijakan pendidikan di Indonesia dengan membatasi penerapan organisasi

“broad-fields” terbatas pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP), apa yang

sudah diperkenalkan Kurikulum 1975 merupakan titik awal sejarah perkembangan

  110

kurikulum di Indonesia dalam menerapkan pemikiran organisasi konten “broad-

fields”.

Organisasi “broad-fields” pada dasarnya adalah pendekatan dalam pendidikan

disiplin ilmu. Pada saat sekarang pendekatan ini telah berkembang sedemikian

rupa dan dianggap merupakan titik berangkat untuk mengembangkan kemampuan

berpikir komprehensif, analitik, evaluatif dan sintesis/mencipta sehingga

memberikan kemungkinan untuk mengembangkan kreativitas peserta didik.

Keleluasaan dalam berpikir dan melihat masalah yang tidak terbatasi oleh

dinding-dinding ilmu yang “discrete” memberikan dasar yang kuat untuk

mengembangkan kreativitas.19 Oleh karena itu pendekatan “broad-fields”

mengubah tradisi kurikulum di Indonesia yang sebelumnya selalu berdasarkan

pendekatan “discrete disciplinary” sesuai dengan pandangan essensialisme.

Permasalahan yang muncul adalah ketika pendekatan ini diperkenalkan

Kurikulum SMP 1975, guru yang ada di sekolah dididik untuk mengembangkan

materi dan proses pembelajaran berdasarkan pendekatan “discrete disiciplinary”.

Pada tahun-tahun awal implementasi kurikulum dan bahkan untuk waktu 5 tahun

setelah Kurikulum SMP 1975 dinyatakan resmi berlaku masih banyak di antara

guru yang mengajar bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Ilmu

Pengetahuan Alam (IPA) secara terpisah. Guru yang terdidik dalam bidang

geografi mengajar geografi, guru yang terdidik dalam sejarah tetap mengajar

sejarah, dan guru yang terdidik dalam ekonomi mengajarkan materi pelajaran

ekonomi. Hal yang sama terjadi pula dengan bidang studi IPA yang terdiri atas

komponen materi terutama berasal dari biologi dan fisika. Masing-masing guru

biologi dan fisika mengajar bidang studi IPA dengan cara mengajar materi

masing-masing disiplin ilmu secara terpisah.

                                                            19 Dalam revisi yang dilakukan oleh Airisian dan kawan‐kawan terjadi pemberian makna baru dan restrukturisasi taksonomi tujuan pendidikan ranah kogniti yang dikembangkan Bloom dan kawan‐kawan. Dalam revisi ini kemampuan synthesis ditetapkan sebagai kemampuan kognitif tertinggi, di atas kemampuan evaluasi yang ditetapkan sebagai kemampuan di bawah sintesis tetapi yang hasil  evaluasi  itu  diperlukan  untuk  membangun  sinthesis.  Istilah  sinthesis  diganti  menjadi “create” kemampuan menciptakan yang merupakan kemampuan untuk menghasilkan kreativitas.  

  111

Kenyataan bahwa guru IPS dan IPA masih mengajar dengan menggunakan

pendekatan “discrete disciplinary” dapat dikatakan sebagai indikator yang

menyebabkan ketidakberhasilan upaya Kurikulum SMP 1975 memperkenalkan

pendekatan ini. Tampaknya, sosialisasi kurikulum yang kurang mampu

mempersiapkan lapangan dalam melaksanakan pendekatan ini dan kurangnya

koordinasi yang lebih baik dan terarah antara para pengembang kurikulum dan

pengambil kebijakan kurikulum dengan lembaga pendidikan tenaga kependidikan

kurang berhasil. Pikiran-pikiran baru yang akan dikembangkan oleh sebuah

kurikulum baru sudah sepatutnya dikomunikasikan dan mesti dibicarakan dengan

lembaga penghasil tenaga kependidikan secara menyeluruh dan mendalam

sehingga lembaga pendidikan tenaga kependidikan dapat mengembangkan

wawasan baru dan ketrampilan baru yang dikehendaki kurikulum dalam program

pendidikan calon guru yang dibina dalam bentuk pendidikan pra-jabatan dan

kepada guru yang sudah ada di lapangan dalam bentuk pendidikan dalam jabatan.

6.Satuan Pelajaran dan Taksonomi Tujuan Pendidikan

Implementasi atau penerapan Kurikulum SMP 1975 di sekolah melalui

perenanaan yang dilakukan guru yaitu dengan mengembangkan Satuan Pelajaran

(Satpel). Satuan pelajaran pada dasarnya adalah rencana guru dalam

mengembangkan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) menjadi

kurikulum guru dalam bentuk rencana tertulis guru. Satuan pelajaran yang harus

dikembangkan guru masih terbatas pada pengembangan satu pokok bahasan yang

terdapat pada GBPP dan belum menjadi rencana pembelajaran guru untuk satu

semester. Pemikiran bahwa implementasi kurikulum dilakukan melalui

perencanaan guru dalam bidang studi secara terpisah masih mendominasi

pemikiran para pengembang kurikulum. Oleh karena itu Satuan Pelajaran dibuat

oleh guru bidang studi tersebut baik yang dilakukan guru secara individual mau

pun dalam kelompok Musyawarah Kerja Guru Bidang Studi. Guru bidang studi

IPS mengembangkan Satuan pelajaran untuk kelas yang diajarnya demikian pula

guru bidang studi IPA, Matemateka, Bahasa Inggeris dan seterusnya. Pada waktu

pertemuan di Musyawarah Kerja Guru Bidang Studi mereka berkelompok pada

  112

kelas yang diajar oleh guru dari berbagai sekolah dan menghasilkan Satuan

Pelajaran untuk bidang studi kelas yang menjadi tanggungjawab mereka.

Sebagaimana kurikulum sebelumnya, pemikiran bahwa kurikulum adalah

kurikulum sekolah dan bidang studi atau pun mata pelajaran adalah bagian dari

kurikulum sekolah belum menjadi fokus perhatian para pengembang kurikulum.

Konsekuensi dari pemikiran bahwa kurikulum adalah kurikulum sekolah

menghendaki perencanaan dokumen kurikulum yang menggambarkan adanya

keutuhan tersebut. Oleh karena itu materi kurikulum yang masuk dalam kategori

ketrampilan (ketrampilan kognitif, ketrampilan sosial, ketrampilan kinestetik, dan

sebagainya), dan materi kurikulum yang masuk dalam kategori nilai dan sikap

harus diorganisasikan sebagai materi kurikulum yang dikembangkan melalui

materi pengetahuan yang diorganisasikan dalam label mata pelajaran atau bidang

studi. Pemikiran semacam itu pernah dimunculkan dalam rancangan kurikulum

berbasis kompetensi dengan label kompetensi lintas kurikulum. Label itu salah

nama karena tidak ada kurikulum mata pelajaran tetapi label itu dapat dimengerti

karena tradisi ebelumnya memperlakukan mata pelajaran sebagai

kurikulum.Sayangnya pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan

kompetensi lintas kurikulum adalah pendekatan induktif padahal seharusnya

dilakukan di awal proses pengembangan/konstruksi dokumen kurikulum.

Sejalan dengan kebijakan mengenai Satuan Pelajaran dan penggunaan tes objektif

yang bersifat terukur, rumusan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) yang terukur

dan spesifik dengan persyaratan ABCD yang dikemukakan Mager maka

diperkenalkan juga taksonomi tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh

Benjamin Bloom, dan kawan-kawan (1957). Istilah teknis yang mulai

diberlakukan adalah kognitif, afektif, dan psikomotor sesuai dengan istilah yang

digunakan. Istilah teknis ini berkembang sampai saat kini walau pun dalam

penggunaannya banyak kalangan yang mencampuradukkan antara pengetahuan

dengan kognitif, antara nilai dan sikap dengan jenjang afektif, dan antara gerak

motorik dengan ketrampilan psikomotorik. Tidak jarang terdengar para pengambil

keputusan atau pelaksana pendidikan menyamakan pengetahuan dengan kognitif.

  113

Pengetahuan adalah unsur subtantif yang dihasilkan oleh ilmu dan kegiatan

lainnya terdiri atas pengetahuan tentang istilah, konsep, teori, prosedur, nilai,

moral, ketrampilan (intelektual dan motorik). Kognitif adalah kemampuan akal

dalam memeroses pengetahuan dalam berbagai jenjang kemampuan kognitif20

sehingga menghasilkan pengetahuan baru. Demikian pula menyamakan

nilai/moral/sikap dengan jenjang afektif padahal nilai/moral/sikap adalah materi

yang dikembangkan dalam berbagai jenjang afektif (menerima, merespon,

menilai, mengorganisasikan, dan menjadikan kebiasaan). Gerak motorik adalah

gerak yang harus dilakukan otot dengan kendali psikologis dan kognitif untuk

mencapai jenjang psikomotorik yang paling tinggi.

Rumusan TIK yang dikembangkan guru dalam menyusun TIK dan butir soal

menggunakan kata kerja yang terkait dengan kemampuan kognitif, afektif, dan

psikomotor. Kata kerja tersebut dikenal dengan istilah Kata Kerja Operasional

(KKO) digunakan untuk merinci perilaku terukur dalam rumusan TIK dari kata

kerja yang masih bersifat umum yang terdapat pada rumusan Tujuan Instruksional

Umum (TIU). Pemanfaatan Kata Kerja Operasional (KKO) dalam

mengembangkan tujuan masih menjadi tradisi dalam penerapan kurikulum masa

kini. Orientasi pengukuran dalam penilaian hasil belajar masih cukup dominan

dan oleh karena itu rumusan TIK yang terukur dan butir soal yang terkait dengan

keterukuran perilaku peserta didik masih merupakan tuntutan yang harus dipenuhi

guru dalam melaksanakan kurikulum.

7. Asesmen Hasil Belajar

Ada beberapa prinsip yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975 berkenaan

dengan asesmen hasil belajar. Pertama diperkenalkan adanya asesmen formatif                                                             20 Jenjang kognitif yang dikembangkan Bloom dan kawan dan diterbitkan dalam buku yang berjudul Taxonomy of Educational Objectives direvisi oleh Airasian, dan  kawan‐kawan dimana untuk menghilangkan kesalahpahaman maaka pengetahuan digambarkan secara terpisah dari kognitif, sintesis ditempatkan sebagai jenjang  kognitif tertinggi, dan label untuk setiap jenjang diganti menjadi mengingat (remember), memahami (understand), menerapkan (apply), menilai  (evaluate), mencipta (create).    

  114

dan sumatif. Kedua adanya kebijakan mengenai frekuensi asesmen yang

dilakukan terus menerus setiap suatu pokok bahasan selesai dipelajari sehingga

prinsip asesmen modern yaitu asesmen dilakukan secara kontinu diperkenalkan

oleh Kurikulum SMP 1975. Melalui penerapan prinsip ini maka dapat dikatakan

peserta didik selalu berada dalam keadaan siap belajar dan mengikuti asesmen

bahkan ada kesan bahwa peserta didik belajar untuk tes.

Secara teoretik, asesmen formatif adalah asesmen untuk mengenal kekuatan dan

kelemahan peserta didik dalam menguasai pengetahuan dan kemampuan tertentu.

Berdasarkan informasi mengenai kelemahan yang dimiliki peserta didik guru

melakukan berbagai tindakan perbaikan (remedial) sehingga peserta didik yang

bersangkutan dapat memiliki pengetahuan dan kemampuan yang diharapkan.

Asesmen sumatif berfungsi untuk menentukan tingkat keberhasilan peserta didik

baik dalam bentuk kenaikan kelas atau pun keberhasilan menyelesaikan

pendidikannya di sebuah satuan pendidikan. Kedua fungsi asesmen ini saling

melengkapi tetapi asesmen formatif lebih penting bagi membantu peserta didik

dalam keberhasilan belajar. Sayangnya, dalam pelaksanaan kurikulum asesmen

sumati lebih dominan dibandingkan asesmen formatif.

Tentu saja praktek yang lebih mementingkan asesmen sumatif kesan tersebut

tidak menguntungkan karena dengan menerapkan fungsi formatif dalam asesmen

hasil belajar maka guru dan peserta didik memiliki banyak kesempatan untuk

memperbaiki penguasaannya. Melalui penerapan fungsi formatif maka dari hasil

tes atau ulangan guru dan juga peserta didik mendapat informasi tentang materi

pelajaran yang belum mereka kuasai dan guru serta peserta didik dapat

menggunakan informasi tersebut untuk memperbaiki tingkat penguasaan.

Memang kebijakan ini memberikan tugas yang tidak ringan kepada para guru

tetapi memberikan keuntungan edukatif yang tinggi kepada peserta didik.

Perpindahan kajian dari satu pokok bahasan ke pokok bahasan berikutnya dapat

dilanjutkan tanpa ada akumulasi ketidakmampuan yang dimiliki peserta didik

pada akhir satu semester.

  115

Dalam Buku III B tentang Pedoman Penilaian, Kurikulum SMP 1975

memperkenalkan inovasi lain yaitu tes objektif dan pendekatan norms-referenced

pada pengolahan data asesmen. Pengembangan butir soal objektif merupakan

sesuatu yang baru karena sebelumnya guru menggunakan soal uraian. Perubahan

dari tes uraian yang dianggap terlalu banyak mengandung hal-hal yang subjektif

ke tes objektif menghendaki ketrampilan baru yang harus dimiliki guru. Guru

harus memiliki kemampuan dalam menyusun kisi-kisi soal yang didalamnya

melibatkan berbagai keputusan mengenai tingkat kesulitan butir soal dan tes,

bentuk-bentuk butir soal serta kemampuan yang diukur soal tersebut, dan

proporsi kemampuan yang diukur oleh tes. Penentuan setiap komponen yang

tercantum dalam kisi-kisi memerlukan pertimbangan pedagogis dan profesional

guru yang hanya diperoleh jika guru mendapatkan pelatihan dalam jabatan

(inservice). Sayangnya, pelatihan yang diterima guru dalam mengembagkan tes

objekti dan menyusun soal objektif hanya berkenaan dengan aspek teknis-

administratif tetapi tidak cukup adekuat untuk memberikan ketrampilan terlatih

dalam mnentukan pertimbangan pedagogis. Akibatnya, apa yang terjadi terutama

terkait dalam kemampuan guru dalam menyusun kisi-kisi soal secara teknis dan

memenuhi berbagai persyaratan dari sudut pandang tes tetapi tidak dari sudut

pandang pedagogis kependidikan.

Kemampuan lain yang mendasar dan diperlukan guru adalah kemampuan

mengkontruksi butir soal objektif dalam ragam yang banyak digunakan yaitu

pilihan ganda (multiple choice), benar – salah (true-false), dan menjodohkan

(matching). Konstruksi soal-soal dalam kelompok butir soal objektif, baik dalam

merekonstruksi pernyataan (statement) mau pun dalam pilihan (options)

memerlukan ketrampilan khusus yang hanya diperoleh melalui pelatihan yang

cukup. Guru yang akan melaksanakan Kurikulum 1975 sudah harus memiliki

ketrampilan yang diperlukan dalam mekonstruksi butir soal objektif sebelum

mereka mengimplementasikan kurikulum tersebut. Kiranya tak perlu dikatakan

bahwa ketidakmampuan guru dalam merekonstruksi butir soal dan tes objektif,

karena mereka tidak mendapatkan pelatihan, menyebabkan keampuhan alat

  116

asesmen ini dalam menghasilkan informasi yang diperlukan dan valid menjadi

masalah besar. Butir soal yang dikonstruksi tanpa mengindahkan persyaratan yang

standar akan menghasilkan informasi yang menyesatkan. Strategi implementasi

yang lemah dan yang menyebabkan guru sebagai pelaksana utama kurikulum

dalam posisi yang tidak siap untuk merealisasikan rancangan yang tercantum

dalam dokumen menjadi suatu kenyataan atau proses pembelajaran yang

diharapkan akan menimbulkan berbagai masalah kurikulum, guru dan

masyarakat/bangsa yang menggunakan kurikulum tersebut.

Kebijakan lain mengenai asesmen hasil belajar yang dianjurkan Kurikulum SMP

1975 yaitu penerapan prosedur norms-referenced dalam menentukan nilai bagi

peserta didik. Melalui pendekatan “norms-referenced assessment”, nilai seorang

peserta didik ditentukan berdasarkan posisi skornya dibandingkan kelompok

“norms”nya yaitu teman sekelasnya. Pendekatan “norms-referenced assessment”

menyebabkan guru harus menghitung angka rata-rata matematis kelas (means)

dan simpangan baku (standar deviasi) kelas yang dijadikan kelompok “norms”.

Atas dasar hitungan angka rata-rata dan simpangan baku guru harus membangun

tabel sigma untuk mengkonversikan skor individu yang diperoleh seorang peserta

didik menjadi nilai peserta didik yang bersangkutan. Cara ini menyebabkan

seorang peserta didik di suatu kelas atau sekolah menjadi sangat sulit

mendapatkan nilai baik jika kelompok “norms”nya adalah kelompok peserta didik

yang cemerlang. Cara ini pula menyebabkan seorang peserta didik di suatu kelas

atau sekolah menjadi mudah mendapatkan nilai baik jika kelompok “norms”nya

terdiri atas peserta didik dengan kemampuan rendah. Oleh karena itu nilai

seseorang peserta didik dari suatu kelas atau sekolah tertentu yang sama dengan

seseorang peserta didik dari suatu kelas atau sekolah lain tidak memiliki makna

bahwa kualitas hasil belajar kedua peserta didik tersebut sama atau “comparable”.

8. Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP)

Inovasi lain yang tak kalah pentingnya yang diperkenalkan Kurikulum SMP 1975

adalah buku khusus yang disebut Buku II Garis-Garis Besar Program Pengajaran

  117

(GBPP). Buku II berkenaan dengan aspek didaktik dari suatu mata pelajaran.

Untuk SMP ada GBPP bidang studi Pendidikan Agama (Islam, Kristen-Protestan,

Katolik, Budha, Hindu), Pendidikan Moral Pancasila, Ilmu Pengetahuan Sosial

(IPS), Bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggeris), Olahraga dan Kesehatan,

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Matematika, Kesenian (Seni Tari, Seni Rupa, Seni

Musik), Ketrampilan (Jasa, Teknik, Kerajinan, Pendidikan Kesejahteraan

Keluarga, Pertanian, dan Maritim). Ketrampilan Maritim merupakan ketrampilan

baru yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975 dan merupakan ketrampilan

penting bagi masyarakat dan peserta didik di banyak wilayah Indonesia yang

terdiri dari banyak pulau dan memiliki garis pantai terpanjang di dunia .

Dalam GBPP setiap bidang studi dan mata pelajaran terdapat komponen tujuan

kurikuler, tujuan instruksional, bahan pengajaran (pokok bahasan dan uraian),

program (kelas, semester, jam pelajaran), metode, sarana/sumber, penilaian dan

kolom keterangan. Secara prinsip GBPP adalah pengembangan lebih lanjut dari

pedoman dalam Rencana Pelajaran SMP 1954 meski pun format yang digunakan

berbeda. GBPP yang digunakan Kurikulum SMP 1975 sepenuhnya berbentuk

matriks sedangkan untuk rencana Pelajaran SMP 1954 terdiri atas deskripsi dan

matriks. Perbedaan kedua adalah jika pada Renana Pelajaran SMP 1954 petunjuk

yang diberi judul Rencana Pelajaran bersatu dengan struktur kurikulum dan mata

pelajaran yang dinamakan Ikhtisar Daftar Jam Pelajaran maka pada Kurikulum

SMP 1975 GBPP yang diberi judul Buku II terpisah dari Buku I yang berisikan

ketentuan-ketentuan pokok dan di dalamnya terdapat struktur dan mata pelajaran.

Inovasi GBPP dirancang agar rincian program pengajaran untuk setiap bidang

studi dan mata pelajaran menjadi lebih jelas. Guru dengan mudah dapat

mengembangkan Satuan Pelajaran dari GBPP masing-masing bidang studi.

Sayangnya, guru kemudian terpaku pada GBPP sehingga mereka melupakan

Buku I yang merupakan aspek ide dari kurikulum. Aspek ide kurikulum sangat

penting untuk memahami dan mengembangkan wawasan mengenai GBPP. GBPP

yang merupakan tabel yang lebih mudah untuk digunakan guru tetapi karena ide

kurikulum dalam Buku I tidak dipelajari dan dipahami guru maka kurikulum tidak

  118

berhasil diterjemahkan dengan baik. Ketika guru mengembangkan GBPP menjadi

Satuan Pelajaran mereka mampu menterjemahkannya secara teknis tetapi

kehilangan roh kurikulum. Posisi GBPP yang demikian terfokus pada hal teknis

menyebabkan banyak guru yang bahkan hanya memperhatikan GBPP untuk kelas

yang diajarkannya, bukan lagi GBPP bidang studi yang mencakup program

pengajaran kelas I – III (7 – 9) SMP. Kenyataan yang demikian berlanjut untuk

kurikulum yang menggantikan Kurikulum SMP 1975.

D. KURIKULUM SMP 1984

Adanya berbagai perkembangan baru dalam masyarakat dan dunia pendidikan

menyebabkan pada tahun 1984 Pemerintah mengganti Kurikulum SMP 1975

dengan Kurikulum SMP 1984. Berbeda dari Kurikulum SMP 1975 yang

diberlakukan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,

keberlakuan Kurikulum SMP 1984 tidak berdasarkan Keputusan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan. Dasar yang digunakan adalah Keputusan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 tertanggal 22 Oktober 1983

tentang perlunya perbaikan Kurikulum SMP 1975 disebabkan adanya kebijakan

tentang Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa; penyesuaian tujuan dan struktur

program; pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian antara matra

kognitif, afektif dan psikomotorik; pembelajaran yang mengarah kepada belajar

tuntas; dan program studi baru untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja masa

kini dan masa mendatang (Dokumen Kurikulum 1975: Landasan, Program, dan

Pengembangan, halaman 2)

Selain disebabkan oleh berbagai kebijakan yang dinyatakan dalam keputusan

menteri di atas, enggantian ini disebabkan adanya berbagai faktor yang bersifat

eksternal atau makro. Faktor eksternal atau makro adalah faktor politik, sosial,

budaya, ekonomi, teknologi, ilmu yang berkembang di masyarakat.

Perkembangan yang terjadi di masyarakat tersebut menyebabkan terjadinya

kesenjangan antara “program kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dan

  119

pembangunan” (Kurikulum 1984 SMP: Landasan, Program, dan Pengembangan:

hal 1).

1.Perubahan Kebijakan Pendidikan

Ketika suasana politik sudah lebih kondusif, MPRS sudah diganti dengan MPR

sebagai lembaga tertinggi negara yang anggotanya terdiri atas anggota DPR,

perwakilan daerah, dan perwakilan golongan/profesi. Dalam sidang tahun 1978 di

bawah pimpinan Adam Malik sebagai ketua didampingi oleh wakil ketua yang

terdiri atas K.H. Masykur, R. Kartidjo, H.Achmad Lamo, Mh Isnaeni, MPR

menghasilkan TAP MPR nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan

Negara (GBHN) untuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA) Ketiga. Keadaan

negara pada waktu itu dianggap sudah lebih baik sebagaimana dinyatakan dalam

TAP MPR nomor IV/MPR/1978 bahwa “Setelah Pemberontakan G-30-S/PKI

pada tahun 1965 dapat digagalkan, berkat lindungan dan Rakhmat Tuhan Yang

Maha Esa serta berkat kesadaran dan keteguhan Rakyat pada landasan Falsafah

Pancasila, maka Orde Baru dengan perjuangan yang sungguh-sungguh telah

berhasil menciptakan stabilitas Nasional, baik di bidang ekonomi maupun di

bidang politik, untuk selanjutnya melakukan serangkaian Pembangunan Nasional

yang harus dilaksanakan secara terus-menerus, menyeluruh, terarah dan terpadu,

bertahap dan berencana, sebagai satu-satunya jalan untuk mengisi kemerdekaan

serta mencapai tujuan Nasional”.

Dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1978 tujuan pendidikan dirumuskan sesuai

dengan nilai kehidupan bangsa yang didasarkan pada Pancasila, dan bukan pada

program politik atau ekonomi pemerintah semata. TAP MPR nomor

IV/MPR/1978 menetapkan tujuan pendidikan adalah untuk ”meningkatkan

ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, ketrampilan,

mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat

kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat

membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas

pembangunan bangsa”. Dibandingkan dengan rumusan tujuan pendidikan dalam

TAP sebelumnya rumusan tujuan pendidikan dalam TAP MPR nomor

  120

IV/MPR/1978 ini lebih sederhana tetapi idealisme bahwa pendidikan adalah untuk

menghasilkan manusia yang dicita-citakan oleh bangsa masih terpelihara.

Rumusan yang sama kemudian digunakan ketika lima tahun kemudian MPR

menghasilkan TAP MPR nomor II/MPR/1983.

Selain merumuskan tujuan pendidikan nasional, TAP MPR nomor IV/MPR/1978

memutuskan pula tentang Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Moral Pancasila.

Dalam bagian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial,

Budaya ditetapkan bahwa “dalam rangka melaksanakan pendidikan nasional perlu

diambil langkah-langkah yang memungkinkan penghayatan dan pengamalan

Pancasila oleh seluruh lapisan masyarakat”. Selanjutnya ditetapkan “Pendidikan

Pancasila termasuk pendidikan moral Pancasila dan unsur unsur yang dapat

meneruskan dan mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda

dimaksudkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari Taman Kanak-

kanak sampai universitas,baik negeri maupun swasta”. Ketetapan ini tentu saja

membawa konsekuensi adanya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila

sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila dalam kurikulum dan tentu saja

termasuk kurikulum SMP.

Lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1983 MPR kembali melakukan sidang

lima tahunan sebagai awal dari sidang MPR baru yang terpilih dari hasil

pemilihan umum. Pada tahun 1983 itu yang menjadi Ketua MPR adalah H. Amir

Machmud, dibantu Wakil Ketua M. Kharis Suhud, Haji Amir Murtono, SH, Drs.

Hardjantho Sumodisastro, H. Nuddin Lubis, dan H. Soenandar Prijosoedarmo.

Tap tentang GBHN berubah nomornya dari IV menjadi II yaitu TAP MPR nomor

II/MPR/1983. Sebagaimana telah dikemukakan di ata rumuan tujuan pendidikan

nasional dalam TAP MPR nomor II/MPR/1983 tidak berbeda dari TAP MPR

nomor IV/MPR/1978 yaitu “pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan

bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian

dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-

  121

manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-

sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”.

2. Tujuan Institusional SMP

Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam dokumen kurikulum tentang

Landasan, Program, dan Pengembangan maka terjadi perubahan tujuan

institusional SMP. Penekanan pada menghasilkan manusia pembangunan, sesuai

dengan tujuan pendidikan nasional menjadi kepedulian utama pendidikan SMP

selainmemberikan bekal untuk melanjutkan studi dan bekerja di masyarakat.

Secara konseptual, sejak Kurikulum 1975 pendidikan di SMP selalu

menempatkan lembaga pendidikan ini sebagai lembaga pendidikan dengan model

“comprehensive school” dan bukan lagi sekedar pendidikan umum. Pemikiran

demikian memang dirasakan perlu mengingat pada jenjang sekolah menengah

sistem persekolahan Indonesia sudah tidak lagi mengenal adanya sekolah-sekolah

kejuruan sehingga SMP harus mengambil alih fungsi mengembangkan pendidikan

vokasional tersebut. Berikut adalah tujuan yang dinyatakan dalam dokumen yang

disebutkan di atas.

Pertama, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan mendidik siswa

untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warganegara Indonesia yang

berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Sekolah

Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan memberikan bekal kemampuan

yang diperlukan siswa untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke lembaga

pendidikan yang lebih tinggi. Ketiga, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama

bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar untuk memasuki kehidupan di

masyarakat, khususnya bagi siswa yang tidak melanjutkan pendidikannya setelah

tamat SMP.

  122

3. Pikiran Pokok Kurikulum SMP 1984

Kurikulum SMP 1984 dikembangkan sebagai penyempurnaan dari Kurikulum

1975 berdasarkan tiga pertimbangan yaitu politik, perkembangan sosial, dan

akademik.. Perubahan dalam kebijakan politik ditetapkan oleh TAP MPR nomor

II/MPR/1983 dimana dinyatakan adanya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa

sebagai mata pelajaran wajib di semua jenjang dan jalur pendidikan menyebabkan

kurikulum 1975 harus diubah untuk menampung keputusan politik tersebut.

Ketetapan MPR adalah suatu keputusan politik yang lebih tinggi bahkan dari

keputusan pada tingkat presiden apalagi menteri. Secara politis dan hukum

ketatanegaraan, Ketetapan (TAP) MPR merupakan perwujudan dari suara rakyat

Indonesia. Secara operasional TAP MPR 1983 tersebut dijabarkan dalam

Keputusan Menteri nomor 0461/U/1983 tertanggal 22 Oktober 1983 yang

menyatakan perlunya perbaikan kurikulum dan perbaikan tersebut harus

mencakup:

a. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa

b. Penyesuaian tujuan dan struktur program kurikulum yang berpola Program

Inti dan program Pilihan

c. Pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian antara matra

kogniti, afektif, dan psikomotorik

d. Melaksanakan pengajaran yang mengarah pada belajar tuntas dan

disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-masing anak didik

e. Mengadakan program studi baru yang merupakan usaha untuk memenuhi

kebutuhan lapangan kerja masa kini mau pun masa mendatang.

Faktor kedua yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum adalah hasil

evaluasi makro terhadap perkembangan kehidupan masyarakat dan bangsa

Indonesia pada awal dekade delapanpuluhan itu. Perkembangan kehidupan yang

  123

mulai memanfaatkan teknologi informasi, perkembangan kehidupan politik yang

sudah mulai tidak lagi sensitif terhadap bahaya komunisme, menyebabkan

kurikulum SMP 1975 dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan

masyarakat Indonesia pada awal dekade delapanpuluhan. Perkembangan lain

yang cepat dalam masyarakat terutama dalam bidang ilmu dan teknologi

menghendaki adanya berbagai penyempurnaan terhadap Kurikulum SMP 1975.

Faktor ketiga yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum adalah hasil

evaluasi terhadap kurikulum 1975 yang dilakukan pada tahun 1981. Hasil evaluasi

tersebut menunjukkan “ belum sesuainya materi kurikulum berbagai mata

pelajaran dengan taraf kemampuan belajar siswa, dan terlalu beratnya materi

pelajaran untuk beberapa mata pelajaran tertentu. Dengan demikian

pengembangan kurikulum SMP (Sekolah Menengah Umum Pertama) perlu

berorientasi pada landasan pada pendekatan proses belajar-mengajar yang

diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk memeroses perolehannya”

(Dokumen Kurikulum 1984:1).

Kemampuan untuk memeroses perolehan tersebut dikenal dengan nama

Ketrampilan Proses. Pendekatan Ketrampilan Proses menggantikan pendekatan

yang dikenal dengan nama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang diperkenalkan

oleh Kurikulum SMP 1975. Pada dasarnya, kedua pendekatan itu memiliki

langkah-langkah yang tidak jauh berbeda karena keduanya menghendaki peran

aktif peserta didik dalam mencari, mengolah, dan mengkomunikasikan hasil

belajarnya. Melalui pendekatan ini peserta didik diposisikan sebagai subjek dalam

belajar dan mereka mengembangkan kemampuan belajar melalui kegiatan

merumuskan masalah yang diidentifikasikan dari suatu pokok bahasan, mencari

berbagai sumber informasi yang diperlukan, melakukan analisis sumber untuk

mendapatkan informasi yang diperlukan, mengolah informasi yang telah

dikumpulkan dari sumber, dan merekonstruksi hasil olahan informasi sehingga

menghasilkan pengetahuan (baru bagi peserta didik). Sayangnya, pendekatan

Ketrampilan Proses sebagaimana pendekatan CBSA tidak terlaksana dengan baik

di lapangan.

  124

Ketidakberhasilan pelaksanaan Ketrampilan Proses, dan juga CBSA, di lapangan

disebabkan oleh paling tidak tiga faktor. Faktor pertama adalah kemampuan guru

yang tidak terlatih untuk melaksanakan pendekatan tersebut. Faktor kedua,

fasilitas belajar yang diperlukan seperti buku dan sumber lainnya tidak tersedia di

sekolah. Faktor ketiga, pengertian konten kurikulum yang dianut masih terpaku

pada pengertian tradisional dan hanya menganggap pengetahuan sebagai konten

kurikulum. Ketrampilan yang perlu dipelajari dan dikuasai peserta didik untuk

mampu memeroses informasi tidak dianggap konten kurikulum dan tidak

diajarkan pada peserta didik. Dalam keadaan demikian, peerta didik tidak

memiliki ketrampilan yang diperlukan bagi dirinya untuk merumuskan

pertanyaan/masalah, mencari dan mengumpulkan sumber informasi, mempelajari

sumber informasi untuk mendapatkan inormasi yang diperlukan, mengolah

informasi untuk menjawab pertanyaan/masalah yang diajukan, dan untuk

menyusun inormasi menjadi sebuah bentuk komunikasi.

4.Struktur Dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1984

Struktur Kurikulum SMP 1984 sama dengan struktur Kurikulum SMP 1975 yaitu terdiri

dari Pendidikan Umum, Pendidikan Akademis, dan Pendidikan Ketrampilan. Meski pun

demikian, beban belajar setiap semester berbeda karena Kurikulum SMP 1984

menggunakan pemikiran bahwa beban belajar di kelas lebih tinggi harus lebih rendah

dibandingkan kelas sebelumnya (kelas I 38/40, kelas II 37/39, kelas III 36/38).

Tabel 7.3 Struktur Kurikulum dan Bidang Studi

Kurikulum SMP 1984

KELAS/SEMESTER

I II III PROGRAM

JAM PELAJARAN

BIDANG STUDI 1 2 3 4 5 6

JUMLAH

PENDIDIKAN UMUM

1.Pendidikan Agama

2.Pendidikan Moral Pancasila

3.Pendidikan Sejarah Perjuang-

2

2

-

2

2

2

2

2

-

2

2

2

2

2

-

2

2

2

12

12

6

  125

KELAS/SEMESTER

I II III PROGRAM

JAM PELAJARAN

BIDANG STUDI 1 2 3 4 5 6

JUMLAH

an Bangsa

4.Pendidikan Olahraga dan

Kesehatan

5.Pendidikan Kesenian

3

2

3

2

3

2

3

2

3

2

3

2

18

12

PENDIDIKAN AKADEMIS

6. Bahasa Indonesia

7. Bahasa Daerah*)

8. Bahasa Inggeris

9. Ilmu Pengetahuan Sosial

10.Matematika

11.Ilmu Pengetahuan Alam

a. Biologi

b. Fisika

5

(2)

4

4

6

3

3

5

(2)

4

4

4

3

3

5

(2)

4

4

6

2

3

5

(2)

4

4

4

2

3

5

(2)

4

3

6

2

3

5

(2)

4

3

4

2

3

30

(12)

24

22

30

14

18

PENDIDIKAN KETRAMPILAN

12.Pendidikan Ketrampilan**)

4

4

4

4

4

4

24

JUMLAH JAM PELAJARAN PER MINGGU

38 40

38 40

37 39

37 39

36 38

36 38

222 234

*) Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah **) Pada setiap semester dipilih 1 (satu) Paket Bahan Pengajaran

Ada dua bidang studi yang membedakan antara Kurikulum SMP 1975 dengan

Kurikulum SMP 1984 yaitu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan

pemisahan Ilmu Pengetahuan Alam menjadi mata pelajaran Biologi dan Fisika.

Adanya bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa didasarkan pada

TAP MPR Nomor II/MPR/1983 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan nomor 0461/U/1983. Berdasarkan TAP MPR nomor II/MPR/1983

bidang studi ini adalah bagian dari Pendidikan Pancasila bersama-sama dengan

  126

Pendidikan Moral Pancasila. Dengan demikian maka bidang studi Pendidikan

Sejarah Perjuangan Bangsa adalah bagian dari pendidikan kewargaan negara dan

bukan kajian akademis. Oleh karena itu maka Pendidikan Sejarah Perjuangan

Bangsa dikelompokkan sebagai bidang studi dan Program Pendidikan Umum.

Kata sejarah dalam bidang studi ini menggambarkan bahwa materi utama sebagai

bahan ajar terdiri atas berbagai peristiwa sejarah nasional yang dimulai dengan

kebangkitan perjuangan kebangsaan. Tampaknya, keberadaan bidang studi ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa dipersyaratkan setiap warganegara

memiliki pengetahuan mengenai sejarah kelahiran dan perkembangan kehidupan

bangsanya untuk membentuk memori kolektif sebagai warganegara, ideologi dan

tatanegara, bahasa Indonesia, dan geografi Indonesia. Materi sejarah dalam

Program Pendidikan Akademis yang diorganisasikan dalam bidang studi Ilmu

Pengetahuan Sosial tampaknya dianggap belum cukup untuk memenuhi

persyaratan tersebut. Oleh karena itu bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan

Bangsa bukan dianggap sebagai pendidikan akademis sejarah tetapi sebagai

pendidikan kewargaannegara.

Konsep Program Pendidikan Umum sebagai pendidikan kewargaannegara sangat

menarik tetapi tampaknya tidak dikembangkan dalam satu kesatuan yang utuh.

Jika Program Pendidikan Umum dimaksudkan sebagai pendidikan

kewargaannegara, pernah dikembangkan maka bahasa Indonesia dan Geografi

Indonesia seharusnya dimaksukkan ke dalam kelompok Program Pendidikan

Umum. Apabila materi pendidikan Geografi Indonesia dikemas dalam bidang

studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bersamaan dengan materi Sejarah Indonesia

maka sudah sepantasnya jika IPS menjadi bagian dari kelompok Pendidikan

Umum ebagaimana ditetapkan dalam Dasar dan Tujuan Pendidikan yang

tercantum dalam Buku I tentang Ketentuan Pokok. Tampaknya, ide kurikulum

tersebut tidak diterjemahkan secara utuh dalam struktur kurikulum dan

pengelompokkan bidang studi.

  127

Kedudukan IPS sebagai bidang studi dalam kelompok Program Pendidikan

Akademis memang tidak diarahkan untuk pendidikan kewargaannegara walau pun

terjadi ketidaksinambungan antara tujuan dan fungsi bidang studi IPS

sebagaimana dinyatakan dalam GBPP Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial.

Dalam GBPP disebutkan bahwa bidang studi IPS bertujuan “untuk

mengembangkan cara berpikir kritis dan kreatif siswa dalam melihat hubungan

manusia dengan lingkungan hidupnya”. Rumusan tujuan tersebut jelas

memperlihatkan posisi bidang kajian akademis yaitu kemampuan berpikir dalam

melihat fenomena bidang kajian (hubungan manusia dengan lingkungan

hidupnya).

Warna akademik yang dinyatakan dalam tujuan bidang studi IPS bersesuaian

dengan pendekatan yang dirumuskan dalam dua pendekatan yaaitu (1)

“pendekatan integratif sesuai dengan realita kehidupan”, dan (2) “pendekatan

struktural untuk meningkatkan pengertian konsep-konsep dari generalisasi secara

luas dan mendalam”. Terlepas dari adanya konflik dalam berpikir antara

pendekatan integrati dan pendekatan struktural tetapi kedua pendekatan tersebut

merupakan aplikasi kurikulum dari pendidikan disiplin ilmu. Artinya, IPS dalam

posisi sebagai bidang studi dalam kelompok Program Pendidikan Akademis

memang dirancang sebagai pendidikan akademis, bukan pendidikan

kewargaannegara (bukan kewarganegaraan yang menjadi label mata pelajaran).

Landasan berpikir demikian menyebabkan kelahiran bidang studi Sejarah

Pendidikan Perjuangan Bangsa dalam kelompok Program Pendidikan Umum

merupakan sesuatu yang wajar walau pun menimbulkan masalah dalam ide

kurikulum tentang pendidikan kewargaannegara.

Sikap mendua dalam organisasi konten kurikulum yang diberi label bidang studi

Ilmu Pengetahuan Alam tetapi dipecah menjadi dua yaitu biologi dan fisika

dengan masing-masing beban belajar berbeda, mencerminkan adanya tarik ulur

dalam konsep pendidikan ilmu alamiah (science). Secara filosofis tampak ada

tarik ulur antara pengembang kurikulum yang beraliran perenialisme yang

memperkenankan adanya pendidikan disiplin ilmu yang terintegrasi dengan label

  128

berbeda dari label disiplin ilmu dengan mereka yang beraliran esensialisme yang

kokoh dalam posisi bahwa pendidikan disiplin ilmu harus sesuai dengan kaedah

disiplin ilmu termasuk nama mata pelajaran. Menurut pandangan perenialisme

pendidikan biologi, fisika, kimia dapat disatukan dalam sebuah organisasi konten

kurikulum yang dinamakan IPA (science). Bagi pengikut esensialisme

penggabungan dengan label seperti IPA sedangkan bagi pengikut perenialisme

penggabungan eperti IPA adalah sesuatu yang wajar dan dapat diterima.

Penyelesaian yang dilakukan dengan mencantumkan nama bidang studi IPA

dalam tradisi perenialisme (IPA) dan yang kemudian untuk memenuhi filosofi

esensialisme dibagi atas biologi dan fisika mungkin dianggap sebagai

penyelesaian terbaik. Garis-garis Besar Program Pengajaran IPA tidak merinci

mengenai pendekatan sebagaimana yang tercantum dalam Struktur Program dan

Bidang Studi Kurikulum SMP 1984. Memang sangat disayangkan ketiadaan

informasi mengenai proses yang menyebabkan terjadinya keputusan tersebut

untuk lebih dapat memahami ide kurikulum pengembangan bidang studi IPA,

apalgi hal tersebut tidak terjadi dalam bidang studi IPS. Jadi, terjadi perbedaan ide

kurikulum yang cukup mendasar antara pengembang bidang studi IPA dan IPS

yaitu bidang studi IPA menggunakan pemikiran “discrete disciplinary approach”

sedangkan IPS menggunakan pendekatan “integrated approach”.

Dalam konteks banyaknya mata pelajaran untuk Kelompok Umum dan Akademis,

Kurikulum SMP 1984 tidak lebih sederhana dibandingkan Kurikulum SMP 1975.

Dengan adanya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan IPA

yang terbagi dua atas Biologi dan Fisika maka jumlah mata pelajaran dalam

Kurikulum SMP 1984 menjadi dua lebih banyak dari Kurikulum SMP 1975.

Kesederhanaan Kurikulum SMP 1984 dibandingkan Kurikulum SMP 1975 hanya

tejadi pada mata pelajaran Ketrampilan yang hanya mengenal satu jenis

dibandingkan dua jenis pada Kurikulum SMP 1975 (pilihan wajib dan bebas).

Dalam Buku I tentang Landasan, Program, dan Pengembangan dikemukakan

bahwa mata pelajaran ketrampilan diarahkan pada ketrampilan yang terkait

dengan perkembangan terakhir yang terjadi di sekitar lingkungan sekolah. Oleh

  129

karena itu disarankan ketrampilan untuk perkotaan dalam bidang perbengkelan

otomotif dan elektronika karena semakin banyaknya mobil dan pemakaian

komputer. Sedangkan untuk daerah pedesaan disarankan ketrampilan dalam

bidang bioteknologi, kelistrikan, pembangunan desa, perkoperasian, dan

penyuluhan pertanian.

Prinsip yang mirip, walau pun tidak sama, dengan kebijakan tentang bidang studi

IPA diterapkan juga untuk IPS. Jika dalam bidang studi IPA struktur kurikulum

secara eksplisit memecah IPA dalam dua subbidang studi yaitu Biologi dan

Fisika, IPS melakukannya dalam cara yang berbeda. Dalam Buku II Ilmu

Pengetahuan Sosial Kurikulum SMP 1984 disebutkan “bidang studi Ilmu

Pengetahuan Sosial merupakan gabungan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang

terintegrasi atau terpadu, dan sejarah sebagai subbidang studi. Pelaksanaan

Subbidang Studi Sejarah mengambil waktu dari jatah waktu yang tersedia untuk

Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial sebanyak 1 jam pelajaran (sic!) per minggu

dan diberikan mulai dari kelas I sampai dengan kelas III” (Buku II, 1986:4).

Akibat dari adanya kebijakan atau ide kurikulum yang demikian, tentu saja

terjadi ketidaksinambungan (inkonsistensi) atau bahkan dapat dikatakan sebagai

suatu “contradictio in terminis” bidang studi IPS yaitu antara definisi IPS dengan

ketentuan menjadikan sejarah sebagai sub-bidang studi dengan GBPP yang

terpisah dari GBPP IPS yang berisikan materi geografi, kependudukan, ekonomi,

sosiologi dan anthropologi. Kiranya adanya pengaruh pengambil kebijakan

kurikulum yang cukup dominan dalam bidang sejarah dan menginginkan

pendidikan sejarah dalam konsep pendidikan esensialisme menyebabkan

terjadinya keputusan kurikulum yang demikian. Penyelesaian dua GBPP yaitu IPS

dan Sejarah tentu saja menyebabkan persoalan konseptual yang cukup

mengganggu mengenai pendidikan IPS yang menjadi komponen materi

Kurikulum SMP 1984. Hal yang terjadi pada bidang studi IPS dalam inkonsistensi

antara pengertian dan pemecahan subbidang studi tidak terjadi pada bidang studi

IPA karena GBPP IPA tidak menyebutkan IPA sebagai suatu bidang studi

terpadu.

  130

Ketentuan kurikulum tentang adanya mata pelajaran ketrampilan tentu memberi

kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan diri dalam berbagai

bidang kesenian, olahraga, dan vokasional yang mungkin dimaksukinya setelah

yang bersangkutan menyelesaikan pendidikan SMP dan tidak melanjutkan pada

pendidikan di atasnya. Perbedaan mata pelajaran ketrampilan yang disarankan

untuk lingkungan pendidikan yang berbeda adalah kebijakan yang mengarah

kepada diversifikasi kurikulum. Keterkaitan kurikulum dengan lingkungan

menjadi suatu yang didukung oleh mata pelajaran pilihan. Sayangnya, kebijakan

tentang mata pelajaran ketrampilan dalam Kurikulum SMP 1984, sebagaimana

kurikulum sebelumnya dan sesudahnya, tidak diikuti dengan kewajiban

penyelenggara pendidikan dan pemilik sekolah (dalam hal ini terutama

pemerintah) untuk melengkapi fasilitas yang diperlukan dalam mata kuliah

pilihan, apabila dukungan dana operasional dan pemeliharaan. Sayangnya,

kenyataan menunjukkan bahwa SMP tidak memiliki fasilitas olahraga, kesenian,

dan ketrampilan yang memadai sampai hari ini sebagaimana halnya dengan biaya

operasional dan pemeliharaan. Kebijakan kurikulum yang tidak didukung oleh

kebijakan pengadaan fasilitas belajar berkelanjutan sampai masa kini menyebab

sekolah sebenarnya tidak dalam keadaan siap untuk melaksanakan kurikulum.

Dengan perkataan lain, sekolah tidak mungkin melaksanakan apa yang telah

direncanakan dalam dokumen kurikulum (curriculum as plan) menjadi suatu

realita kurikulum (implemented, observed, atau taught curriculum).

Hal lain yang membedakan antara Kurikulum SMP 1975 dan sebelumnya dengan

Kurikulum SMP 1984 adalah dalam memberikan penawaran mata pelajaran antar

semester (alternate semester offering). Dalam konsep ini suatu mata pelajaran

tertentu diberikan pada semester tertentu dan tidak pada tiap semester. Kurikulum

SMP 1975 menerapkan konsep penawaran antar semester untuk bidang studi

ketrampilan pilihan terikat dan pilihan bebas sedangkan untuk Kurikulum SMP

1984 penawaran antar semester diberlakukan untuk bidang studi Pendidikan

Sejarah Perjuangan Bangsa. Walau pun keduanya menerapkan konsep antar

semester, konsep penawaran antar semester untuk bidang studi Ketrampilan

  131

Terikat dan Ketrampilan Pilihan (Kurikulum SMP 1975) memiliki perbedaan

dengan penawaran antar semester bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan

Bangsa (Kurikulum SMP 1984). Penawaran antar semester dalam Kurikulum

SMP 1975 didasarkan pada pemikiran bahwa bidang studi Ketrampilah Pilihan

Terikat dan Ketrampilan Pilihan Bebas memiliki materi pelajaran ketrampilan

yang dapat diselesaikan dalam satu semester sebagai satu kesatuan utuh dan tidak

berlanjut pada semester lain. Konsep demikian banyak digunakan dalam

kurikulum perguruan tinggi karena hakekat materi satu mata kuliah yang

sepenuhnya dikemas secara utuh dalam Sistem Credit System (SKS) sehingga

materi satu semester suatu mata kuliah merupakan satu kesatuan utuh (terkecuali

mata kuliah prasyarat) dan tersedianya banyaknya mata kuliah pilihan pengganti

mata kuliah yang tidak ditawarkan pada semester terkait.

Kurikulum SMP 1984 tidak menggunakan prinsip di atas dalam mengembangkan

bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa walau pun ditawarkan dalam

model antar semester. Sebagaimana bidang studi lainnya, materi bidang studi

Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa semester 4 adalah kelanjutan semester 2

dan materi semester 6 adalah kelanjutan materi semester 4 dan 2. Kembali

ketiadaan dokumen mengenai proses pengembangan ide kurikulum dan dalam hal

ini berkenaan dengan ide kurikulum bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan

Bangsa menyebabkan kesulitan kita memahami ide kurikulum yang digunakan.

Suatu hal yang jelas bahwa materi bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan

Bangsa semester 2 berkaitan dengan materi semester 4 dan materi semester 6

sehingga penawaran pembelajaran yang bersifat selang semester (alternate)

semester mengundang masalah yang berkaitan dengan prinsip tata urut

(sequence) dalam pengembangan materi kurikulum dan dalam proses

pembelajaran. Memang harus diakui bahwa untuk unit kelas atau tahun akademik

penawaran materi pembelajaran yang bersifat selang semester mungkin bukan

masalah besar tetapi harus pula diingat bahwa kurikulum bukan berkenaan dengan

kelas tapi sekolah dan keberhasilan penguasaan materi pembelajaran bersifat

menyeluruh.

  132

Penilaian hasil belajar bidang studi yang digunakan Kurikulum SMP 1984 dalam

bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa tidak sama dengan kurikulum

perguruan tinggi yang menggunakan SKS. Suatu mata kuliah diakhiri dengan

penilaian hasil belajar yang menentukan keberhasilan seorang mahasiswa dalam

mata kuliah tersebut dan tidak lagi terkait dengan mata kuliah lain yang akan

dikontrak oleh mahasiswa yang bersangkutan. Kebijakan kurikulum di SMP

tidaklah demikian karena materi bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan

Bangsa yang dipelajari di semester 2 dan 4 akan masuk dalam ujian akhir sekolah.

Oleh karena itu sistem penawaran selang semester (alternate semester) tidak

sesuai dengan prinsip kurikulum tingkat persekolahan.

Pertimbangan yang mungkin digunakan untuk mengembangkan pembelajaran

yang bersifat selang semester untuk bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan

Bangsa adalah beban belajar keseluruhan per semester. Ada pertimbangan yang

cukup kuat agar beban belajar setiap semester tidak melebihi 38 jam untuk kelas I,

37 jam untuk kelas II, dan 36 jam untuk kelas III sehingga beban belajar

keseluruhan Kurikulum SMP 1984 sama dengan Kurikulum SMP 1975 yaitu 222

jam atau 234 bagi sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah.

Pertimbangan mengenai beban belajar semester ini berakibat pada alokasi beban

belajar bidang studi Matematika. Bidang studi Matematika menggunakan alokasi

beban belajar yang tidak sama antara semester ganjil (1,3,dan 5) dengan semester

genap (2,4, dan 6). Di setiap semester ganjil dimana Pendidikan Sejarah

Perjuangan Bangsa tidak ditawarkan maka bidang studi Matematika memiliki

beban belajar 6 sedangkan di setiap semester genap ketika bidang studi

Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa ditawarkan dengan beban belajar 2 jam

maka beban belajar bidang studi Matematika berkurang dari 6 menjadi 4 jam.

Akibatnya, distribusi jam belajar bidang studi Matematika Kurikulum SMP 1984

berbeda dari Kuurikulum SMP 1975 yang memiliki beban belajar sama di setiap

semester yaitu masing-masing 5 jam.

  133

Dalam pemikiran kurikulum beban belajar adalah sesuatu yang harus

dipertimbangkan secara serius. Peserta didik yang terlalu lelah tidak mungkin

menghasilkan kualitas belajar yang baik. Banyak studi yang menunjukkan bahwa

kelelahan merupakan faktor mediasi (mediating variable) yang berpengaruh

terhadap unjuk kerja seseorang. Meski pun demikian, pemikiran bahwa beban

belajar yang berbeda antara kelas I, II, III cukup mengundang permasalahan jika

pengurangan beban belajar dilakukan hanya untuk mempersiapkan peserta didik

untuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Oleh karena peserta

didik yang akan menempuh ujian pada jamaknya harus memiliki jam belajar yang

lebih banyak dan intensif dibandingkan sebelumnya.

Pikiran baru yang dikembangkan oleh Kurikulum SMP 1984 adalah materi

muatan lokal. Muatan lokal dalam Kurikulum SMP 1984 dimaksudkan untuk

memberi kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pengetahuan dan

ketrampilan yang diperlukan masyarakat setempat. Pemikiran tentang materi

muatan lokal didasarkan pada pemikiran bahwa kurikulum harus relevan dengan

masyarakat yang dilayani kurikulum. Pengembangan materi nasional kurikulum

untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, berlaku untuk seluruh

lapisan masyarakat dan komunitas yang berdiam di mana pun di Indonesia bahkan

di luar negeri. Sedangkan kebutuhan masyarakat setempat yang dilayani

kurikulum harus diberi alokasi dan program dalam bentuk kurikulum muatan

lokal.

Dalam kebijakan kurikulum mengenai materi muatan lokal ditentukan bahwa

keputusan mengenai mata pelajaran muatan lokal ditetapkan oleh Kepala Kantor

Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi. Kantor Wilayah

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan masukan dari Kantor

Departemen Kabupaten dan Kotamadya21. Berdasarkan pertimbangan

kepentingan daerah kabupaten dan kotamadya maka Kantor Wilayah Departemen

                                                            21  Pada masa  itu  sistem  pemerintahan  bersifat  sentralistis.  Di  setiap  propinsi  ada  perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dinamakan Kantor Wilayah untuk tingkat propinsi  dan Kantor Departemen untuk tingkat Kabupaten dan Kotamadya. Kotamadya adalah istilah yang digunakan pada masa itu dan sekarang berubah menjadi Kota. 

  134

Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan mata pelajaran untuk materi muatan

lokal. Pada umumnya penetapan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan untuk materi muatan lokal adalah bahasa daerah dan kesenian. Selain

itu mata pelajaran materi muatan lokal lainnya berkenaan dengan kemampuan

vokasional yang berkenaan dengan pekerjaan yang banyak di masyarakat seperti

pertanian, peternakan, perikanan, dan jasa.

Kebijakan mengenai materi muatan lokal yang diperkenalkan Kurikulum SMP

1984 sebenarnya dapat memberikan orientasi baru kurikulum. Dengan adanya

materi muatan lokal, terlebih materi yang berkenaan dengan ketrampilan

vokasional, Kurikulum SMP 1984 memberikan kemungkinan kepada tamatan

SMP untuk memasuki dunia kerja dengan bekal kemampuan vokasional yang

cukup sehingga dunia kerja mendapatkan tenaga kerja yang siap untuk

melaksanakan pekerjaannya. Adanya ketetapan mengenai bahasa dan kesenian

daerah sebagai mata pelajaran dalam muatan lokal memberikan dasar pendidikan

yang kuat karena peserta didik tidak tercabut dari akar budaya masyarakat

darimana mereka berasal.

Konsekuensi dari materi muatan lokal ini tentu saja sekolah harus melakukan

kajian kebutuhan (need analysis) masyarakat. Kajian tersebut untuk melihat

ketersediaan vokasi yang memerlukan tenaga kerja dan kemampuan yang

diperlukan oleh vokasi tersebut. Kajian kebutuhan ini penting agar kurikulum

tidak menyediakan tenaga kerja di bidang vokasi yang sudah jenuh atau dengan

ketrampilan yang tidak sesuai dengan tuntutan vokasi. Untuk mampu melakukan

kajian kebutuhan (need analysis) maka bagian kurikulum di setiap sekolah atau

yang bertanggungjawab dalam mengembangkan materi muatan lokal harus

terlatih untuk melalukan kajian kebutuhan.

Konsekuensi lain dari kebijakan tentang muatan lokal terutama berkenaan dengan

mata pelajaran yang sifatnya mengembangkan ketrampilan vokasional tertentu,

sekolah memerlukan fasilitas belajar yang cukup dan dari jenis yang digunakan di

masyarakat. Artinya, sekolah memerlukan dana khusus untuk pengadaan fasilitas

  135

belajar bagi vokasional tertentu karena sebelumnya SMP tidak dilengkapi dengan

fasilitas demikian. Ketersediaan fasilitas belajar untuk materi muatan lokal yang

berorientasi vokasional merupakan masalah besar bagi pemerintah. Dana yang

tersedia untuk itu dapat dikatakan terbatas sedangkan kebijakan materi muatan

lokal dalam Kurikulum SMP 1984 bersifat nasional.

E. KURIKULUM SLTP22 1994

Pada tahun 1994 Pemerintah memberlakukan kurikulum baru menggantikan

Kurikulum SMP 1984. Sesuai dengan tradisi penamaan kurikulum di Indonesia,

kurikulum baru yang diberlakukan mulai tahun 1994 dinamakan Kurikulum SMP

1994. Pemberlakuan kurikulum baru ini disebabkan paling tidak oleh tuntutan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang

menggantikan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954, TAP MPR nomor

II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993.

Undang-Undang nomor 2 tahun 1989, yaitu undang-undang kedua mengenai

pendidikan yang dihasilkan bangsa Indonesia, memperkenalkan jenjang

pendidikan dasar yang terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar (6 tahun) dan

pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (3 tahun). Pengertian Pendidikan

Dasar 9 tahun sebagaimana yang ditetapkan dalam UU nomor 2 tahun 2003

digunakan sampai saat sekarang. Konsekuensi dari pengertian pendidikan dasar

yang ditetapkan UU nomor 20 tahun 1989 maka pemikiran kurikulum untuk

Pendidikan Dasar berubah, meliputi kurikulum untuk SD dan kurikulum SLTP.

1.Perubahan Kebijakan Pendidikan

Pada tahun 1988 MPR bersidang untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan

Negara yang tercantum dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988. Mengenai

                                                            22  Berdasarkan  ketetapan  dalam    Undang‐undang  Republik  Indonesia  nomor  2  Tahun  1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, penjelasan Pasal 13  Ayat (1) disebutkan “Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 (sembilan) tahun yang diselenggarakan selama 6 (enam) tahun di Sekolah Dasar (SD) dan 3 (tiga) tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau satuan pendidikan yang sederajat”.  Istilah SLTP tidk digunakan dalam pasal‐pasal yang terdapat pada Ketetapan.  

  136

pendidikan TAP MPR nomor II/MPR/1988 merumuskan tujuan pendidikan

sebagai berikut:

a.Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada Tanah Air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial.

g.Pendidikan Pancasila termasuk Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pendidikan Moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan khususnya nilai-nilai 1945 kepada generasi muda, dilanjutkan dan makin ditingkatkan di semua jenis dan jenjang pendidikan mulaai daari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta

Titik (g) jelas menunjukkan apa yang harus ada dalam kurikulum yaitu

Pendidikan Pancasila. Dalam Pendidikan Pancasila terdapat materi P4, PMP dan

pendidikan sejarah perjuangan bangsa.

Lima tahun kemudian ketika MPR bersidang pada tahun 1993 maka TAP MPR

nomor II/MPR/1993 tentang GBHN telah merumuskan tujuan pendidikan

nasional berbeda dari apa yang telah ditetapkan dalam TAP nomor II/MPR/1988.

Pendidikan dirumuskan untuk:

mewujudkan manusia yang beriman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat, cerdas, patriotik, berdisiplin, kreatif, produktif dan profesional;makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat dan martabat manusia Indonesia, dan memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa.

Ada perbedaan yang cukup konseptual dan bukan hanya sekedar redaksional

antara tujuan yang dirumuskan TAP MPR nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR

nomor II/MPR/1993. Diantara perbedaan kualitas antara keduanya adalah

  137

semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial, kerja keras,

bertanggungjawab, mandiri, serta bertanggungjawab tidak lagi menjadi tujuan

pendidikan nasional yang dirumuskan dalam TAP MPR nomor II/MPR/1993.

Perbedaan kualitas yang diinginkan sebagai tujuan pendidikan nasional antara

kedua TAP tersebut mencerminkan adanya perubahan suasana politik yang cukup

mendasar. Pembangunan ekoonomi menjadi semakin kuat walau pun fokus pada

pembangunan pada bidang lainnya tetap menjadi perhatian, dan pendidikan adalah

salah satu fokus penting Pemerintah dalam pembangunan.

Dalam kedua TAP MPR yang disebutkan terkait dengan pendidikan, TAP MPR

nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993 di atas, nama pendidikan

sejarah perjuangan bangsa masih disebutkan. Dalam TAP MPR nomor

II/MPR/1988 sebagaimana dikutip di atas telah secara jelas menunjukkan bahwa

pendidikan sejarah perjuangan bangsa adalah bagian dari Pendidikan Pancasila.

Dalam TAP MPR nomor II/MPR/1993 pendidikan sejarah perjuangan bangsa

juga dinyatakan yaitu titik e pada bagian Pendidikan, dinyatakan sebagai berikut:

Penyelenggaraan pendidikan nasional harus mampu meningkatkan

memperluas, dan memantapkan usaha penghayatan dan pengamalan Pancasila serta membudayakan nilai-nilai Pancasila agar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di segenap lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila termasuk pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat, dan nilai kejuangan, khususnya nilai 1945, dilanjutkan dan ditingkatkan di semua jalur, jenis, danjenjang pendidikan termasuk prasekolah.

Ketetapan tersebut tidak menyatakan bahwa Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan

kewarganegaraan, dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa sebagai bidang studi

atau pun mata pelajaran. Pada masa Prof. Dr Nugroho Notosusanto yang menjabat

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan maka pendidikan sejarah perjuangan bangsa

menjadi bidang studi dan kemudian dicantumkan dalam Kurikulum SMP 1984.

Setelah beliau wafat dan digantikan Prof. Dr. Fuad Hassan, kebijakan tentang

  138

Pendidikan Pancasila berbeda dari kebijakan sebelumnya. Pendidikan Pancasila

tercantum dalam mata pelajaran di Kurikulum SMP 1994 sebagai mata pelajaran

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Unsur pendidikan moral Pancasila

dimasukkan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

tetapi unsur pendidikan sejarah perjuangan bangsa tidak menjadi bagian dari

mata pelajaran tersebut dan tidak pula menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri

walau pun TAP MPR tentang Pendidikan Pancasila tidak berubah. Memang

materi Pendidikan Pancasila tidak perlu selalu menjadi nama mata pelajaran tetapi

kebijakan yang tercantum dalam TAP MPR adalah suatu keharusan politik untuk

memuat unsur-unsur Pendidikan Pancasila sebagai materi suatu mata pelajaran

(Pendidikan Pancasila). Dengan hilangnya unssur pendidikan sejarah perjuangan

bangsa dan unssur lain dari mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan terjadi diskontinuitas antara TAP MPR dengan kebijakan

kurikulum.

Pada tahun 1989 ketika pemerintah memberlakukan Undang-Undang nomor 2

tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989 maka tujuan pendidikan nasional

mempunyai arah baru. Pendidikan dipandang sebagai suatu upaya yang memiliki

tujuan ”mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia

seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan

jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa

tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan”23 (UU nomor 2 tahun 1989).

Dari rumusan ini jelas bahwa pendidikan tidak hanya memiliki tujuan untuk

mengembangkan kualitas peserta didik semata sebagaimana yang dinyatakan

dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 atau pun Undang-Undang nomor 12

tahun 1954 atau TAP MPRS XXVI/MPRS/1966. Dokumen itu jelas menunjukkan

bahwa tujuan pendidikan berkonsentrasi pada pengembangan potensi peserta

didik sedangkan dalam UU nomor 2 tahun 1989 pendidikan memiliki dua tujuan

yaitu berkenaan dengan kehidupan bangsa dan manusia. Entah bagaimana caranya

                                                            23 Rumusan  tujuan pendidikan nasional yang ada dalam UU nomor 2 tahun 2003 berbeda dari rumusan  tujuan dalam TAP MPR nomor  II/MPR/1988 .  

  139

pendidikan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa mengembangkan

kehidupan manusia yang cerdas. Pada dasarnya, hanya kehidupan manusia yang

cerdas yang dapat membawa pada kehidupan bangsa yang cerdas.

Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tidak menganut paham bahwa kecerdasan

kehidupan bangsa hanya dapat dikembangkan melalui kehidupan manusianya.

Oleh karena itu pada tujuan pendidikan kedua yang berkenaan dengan manusia

tidak dirangkumkan sebagai kualitas kehidupan bangsa yang diinginkan. Manusia

Indonesia seutuhnya yaitu yang menyangkut kualitas keimanan dan ketakwaan,

budi pekerti, berpengetahuan dan berktrampilan, sehat jasmani dan rohani,

berkepribadian yang mantap dan mandiri tidak harus menjadikan kualitas

kehidupan bangsa berkembang. Tampaknya, rumusan itu menganut faham bahwa

kualitas kehidupan bangsa yang cerdas menjadi sesuatu yang terpisah dari kualitas

manusia yang ingin dihasilkan oleh proses pendidikan.

Pada kenyataannya, tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam UU nomor 2 tahun

1989 ini tidak pernah pula diketahui pencapaiannya. Evaluasi terhadap pencapaian

hasil pendidikan lebih diarahkan pada ketentuan mengenai kelulusan seseorang

dari suatu unit atau lembaga pendidikan tertentu. Kualitas yang harus dikuasai

seorang peserta didik tidak pula didasarkan pada tujuan pendidikan nasional

sehingga alat evaluasi nya pun tidak dikembangkan untuk mengumpulkan

informasi mengenai pencapaian tujuan pendidikan. Soal-soal yang dikembangkan

untuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA), Evaluasi Belajar Tahap Akhir

Nasional (EBTANAS), Ujian Akhir Nasional (UAN) atau pun Ujian Nasional

(UN) adalah untuk menentukan kelulusan seorang siswa, bukan untuk mengukur

pencapaian tujuan pendidikan nasioanal. Oleh karena itu sifat tujuan pendidikan

yang mendua itu pun seolah-olah tidak menimbulkan masalah kependidikan.

Dalam ketetapan pada Pasal 39 ayat (2) dan (3) Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Isi Kurikulum maka dicantumkan materi pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan sebagai materi wajib dan bahan kajian wajib. Materi Pendidikan Moral Pancasila dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur-unsur lain yang terantum dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988 tidak tercantum dalam undang-undang tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) dan

  140

(3) tidak tercantum unsur pendidikan Moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan unsur-unsur lainnya sebagai materi Pendidikan Pancasila atau pun pneididkan Kewarganegaraan. Dengan demikian terjadi disharmoniasasi ketetapan antara TAP MPR, UU Sisdiknas, dan kebijakan kurikulum. Kebijakan kurikulum hanya memperdulikan ketentuan dari UU Sisdiknas tapi tidak TAP MPR

Foto 4: Nama Sekolah ini Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), menggantikan SMP. Nama SLTP adalah nama yang digunakan UU nomor 2 tahun 1989.  Sumber: Website SMPN 8 Yogyakarta 

2.Struktur Kurikulum SLTP 1994

  141

Struktur Kurikulum SLTP 1994 lebih sederhana dibandingkan struktur kurikulum

sebelumnya. Tabel berikut, tabel 7.4 memperlihatkan Struktur Kurikulum SMP

1994

Tabel 7.4 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SLTP 1994

Kelas No. Mata Pelajaran

I II III

1. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2 2 2

2. Pendidikan Agama 2 2 2

3. Bahasa Indonesia 6 6 6

4. Matematika 6 6 6

5. Ilmu Pengetahuan Alam 6 6 6

6. Ilmu Pengetahuan Sosial 6 6 6

7. Kerajinan Tangan dan Kesenian 2 2 2

8. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan 2 2 2

9. Bahasa Inggeris 4 4 4

10. Muatan Lokal (sejumlah mata pelajaran) 6 6 6

Jumlah 42 42 42

Kesederhanaan struktur Kurikulum SMP 1994 terlihat pada penempatan semua

mata pelajaran dalam satu kelompok dan dengan demikian mata pelajaran yang

satu sama dengan mata pelaajaran lain dalam fungsinya. Mata pelajaran

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bersama-sama dengan mata pelajaran

Pendidikan Agama yang dalam kurikulum sebelumnya dimasukkan dalam

kelompok dasar atau pembinaan jiwa Pancasila. Kurikulum SMP 1994 tidak

mengenal kelompok dan dengan demikian tidak memisahkan posisi kedua mata

pelajaran tersebut dari mata pelajaran lainnya. Biasanya dalam struktur kurikulum

  142

mata pelajaran dikelompokkan berdasarkan perbedaan dalam fungsi dan tujuan

yang hendak dicapai oleh sejumlah mata pelajaran.

Kesederhanaan struktur Kurikulum SMP 1994 ditunjukkan pula oleh

penggabungan mata pelajaran/bidang studi PMP dan PSPB menjadi Pendidikan

Pancasila dan Kewarganegaraan. Penggabungan juga dilakukan antara biologi dan

fisika yang dijadikan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan alokasi

waktu yang satu yaitu 6 jam belajar. Penggabungan dalam Kurikulum SMP 1994

dilakukan juga terhadap mata pelajaran kesenian dan mata pelajaran ketrampilan

menjadi mata pelajaran Kesenian dan Kerajinan Tangan.

Kurikulum SMP 1994 tetap menggunakan filosofi perenialisme yang masih dalam

kelompok pendidikan disiplin ilmu tetapi memperoleh organisasi “broadfield”

yaitu mata pelajaran IPS dan IPA. Artinya secara filosofis tidak ada perubahan

antara Kurikulum SMP 1994 dari Kurikulum SMP 1984 walaupun haru diakui

bahwa Kurikulum SMP 1994 menerapkan filosofi perenialisme lebih utuh

dibndingkan Kurikulum SMP 1984. Dalam Kurikulum SMP 1994 mata pelajaran

Ilmu Pengetahuan Alam tidak dipecah menjadi Biologi dan Fisika seperti yangg

dilakukan Kurikulum SMP 1984.

Terlepas dari kesederhanaan yang ditunjuk dalam struktur, Kurikulum SMP 1994

memberikan beban belajar yang lebih tinggi kepada peserta didik. Dengan jumlah

mata pelajaran sebanyak 10, lebih sedikit dibandingkan Kurikulum SMP 1984

(yang terbanyak dalam bidang studi) dan Kurikulum SMP 1975, jam belajar

peserta didik dalam Kurikulum SMP 1994 lebih tinggi yaitu 42 jam setiap

semester dibandingkan Kurikulum SMP 1975 yang 37 jam setiap semester dan

Kurikulum SMP 1984 yang dimulai dengan 38 jam di kelas I kemudian menurun

ke 37 jam di kelas II dan menurun lagi menjadi 36 jam di kelas III.

Perubahan yang ditunjukkan oleh Kurikulum SMP 1994 adalah pendekatan mata

pelajaran, bukan bidang studi. Dengan pendekatan mata pelajaran maka

pendekatan bidang studi hanya digunakan oleh Kurikulum SMP 1975 dan

Kurikulum SMP 1984. Pendekatan mata pelajaran untuk organisasi konten

kurikulum memang lebih umum dan melalui Kurikulum SMP 1994 pendekatan

  143

mata pelajaran yang digunakan kurikulum SMP sebelum Kurikulum 1975

dihidupkan kembali oleh Kurikulum 1994. Mata pelajaran lebih sederhana dan

tidak mengundang tafsiran yang berbeda antara pengembang dan pelaksana

kurikulum. Pemaknaan yang sama dalam istilah kurikulum antara pengembang

dan pelaksana kurikulum sangat penting untuk keberhasilan implementasi

kurikulum. Guru sebagai pelaksana tahu secara tepat apa yang dimaksudkan

pengembang kurikulum sehingga ketika guru mengembangkan dokumen

kurikulum menjadi kurikulum sebagai suatu realita atau “observed curriculum”

maka ide pengembang kurikulum dapat dilaksanakan dengan tepat pula.

Kurikulum SMP 1994 tidak menganut paham penawaran selang semester

(alternate semester), perbedaan beban belajar semester atau kelas sebagaimana

yang digunakan Kurikulum SMP 1984. Kurikulum SMP 1994, sebagai kurikulum

sebelum 1984, mengembangkan sistem penawaran setiap semester dan beban

belajar setiap semester untuk setiap mata pelajaran. Konstruksi struktur kurikulum

yang demikian memang memberikan kemudahan kepada sekolah dalam

merencanakan implementasi terutama dalam mengatur jam pelajaran. Kesamaan

beban belajar setiap semester menyebabkan guru lebih mudah memberikan

pertimbangan mengenai kedalam materi yang akan dipelajari peserta didik setiap

semester.

Kuurikulum 1994 memiliki beban belajar/jam belajar yang lebih besar yaitu 42

jam tanpa menghitung mata pelajaran Bahasa Daerah yaitu 42 jam per semester.

Beban belajar ini lebih tinggi dari Kurikulum SMP 1984 yang memiliki jam

belajar tertinggi 38 jam dan kemudian menurun pada tahun berikutnya. Jumlah

jam 42 untuk Kurikulum SMP 1994 sama untuk seluruh kelas dan tidak ada

pengurangan jam belajar untuk mata pelajaran tertentu sebagaimana yang ada

pada Kurikulum SMP 1984. Baik mata pelajaran Matematika mau pun IPS

memiliki jam pelajaran yang sama untuk setiap tahun untuk masing-masing mata

pelajaran.

Kurikulum SMP 1994 memandang mata pelajaran Bahasa Indonesia,

Maatematika, IPA dan IPS dalam kedudukan yang sama dan mendapatkan alokasi

jam belajar yang sama yaitu masing-masing 6 jam. Sedangkan untuk kesenian dan

  144

ketrampilan tangan digabungkan dalam satu mata pelajaran dengan label mata

pelajaran Kesenian dan Kerajinan Tangan. Alokasi jam untuk mata pelajaran ini

sangat rendah dibandingkan alokasi dalam Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum

SMP 1984. Tampaknya pikiran (ide) kurikulum para pengembang Kurikulum

SMP 1994 tidak memandang pendidikan Kesenian dan Kerajinan Tangan sama

pentingnya dibandingkan pikiran (ide) para pengembang Kurikulum SMP 1975

dan Kurikulum SMP 1984.

Mata pelajaran muatan lokal yang diperkenalkan sejak Kurikulum SMP 1984

masih tetap dipertahankan dalam Kurikulum SMP 1994. Pendekatan mata

pelajaran untuk materi muatan lokal pun masih digunakan. Kebijakan bahwa

keputusan tentang mata pelajaran muatan lokal oleh Kepala Kantor Wilayah

(Kakanwil) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap dipertahankan.

Sebagaimana yang terjadi pada Kurikulum SMP 1984, penetapan materi muatan

lokal sebagai mata pelajaran wajib yang terjadi hampir di setiap daerah tidak

berbeda yaitu bahasa daerah dan kesenian daerah. Posisi mata pelajaran bahasa

daerah dan kesenian daerah sebagai mata pelajaran wajib dalam Keadaan seperti

ini masih dipertahankan pada saat pemerintah memberikan wewenang yang lebih

besar kepada sekolah untuk mengembangkan kurikulum sekolah masing-masing

dan dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

 

 

 

 

 

  145

KURIKULUM SMP PADA MASA REFORMASI (OTONOMI DAERAH)

A. PERUBAHAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis moneter yang kemudian diikuti

dengan krisis politik. Kepemimpinan Presiden Soeharto mendapat tantangan dari

masyarakat dan terutama mahasiswa. Gelombang unjuk rasa dan tuntutan agar

Presiden Soeharto mundur semakin gencar dan masif setelah terjadi pembunuhan

beberapa mahasiswa Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998. Pada tanggal 21 Mei

1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden dan Wakil Presiden

B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Pergantian kepala

pemerintahan dan kepala negara tersebut terjadi karena Presiden Soeharto

mengundurkan diri mendapatkan tekanan mahasiswa dan masyarakat yang tidak

puas lagi atas kepemimpinan Presiden Soeharto dan ketika beberapa anggota

kabinet yang melihat suasana politik yang tidak menguntungkan mengundurkan

diri, dan beberapa pimpinan masyarakat menolak untuk membantu menyelesaikan

kemelut politik. Masa pemerintahan Presiden Habibie ditandai dengan upaya

mengembalikan kehidupan demokrasi di Indonesia yang dianggap sudah tercabik-

cabik pada masa pemerintaha Orde Baru dan upaya membangun kehidupan

kenegaraan yang didasarkan pada otonomi daerah yang lebih nyata.

Pemerintahan Presiden Habibie digantikan oleh Presiden Abdurrachman Wahid

(20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) pada tahun. Tidak sampai dua tahun menjabat

sebagai Presiden Republik Indonesia, Presiden Abdurachman Wahid

dimakzulkan oleh MPR dan digantikan oleh Presiden Megawati (223 Juli 2001 –

20 September 2004). Presiden Megawati adalah presiden terakhir yang diangkat

oleh MPR dan bukan dipilih langsung oleh rakyat, SESUAI DENGAN Undang-

Undang Dasar 1945 sebelum dilakukan amandemen. Pada masa pemerintahan

Presiden Megawati dibentuk tim Reformasi Pendidikan yang merancang berbagai

reformasi di sejumlah aspek pendidikan yang dirasakan harus disesuaikan dengan

kebijakan nasional mengenai otonomi daerah. Pendidikan tidak lagi menjadi

wewenang Pemerintah (Pusat) tetapi dilimpahkan sebagai bagian dari Pemerintah

  146

Daerah. Rancangan tim Reformasi Pendidikan ini kemudian dijadikan dasar

dalam pengembangan undang-undang baru tentang pendidikan nasional.

Pada tahun 2003 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas tahun 2003) disyahkan. Undang-undang

Sisdiknas 2003 membawa perubahan tujuan pendidikan dan konsep pendidikan.

Perubahan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan Undang-undang

Sisdiknas tahun 2003 dapat dikatakan merupakan koreksi terhadap tujuan

pendidikan sebelumnya. Pemikiran baru tentang pendidikan, posisi peserta didik

dalam pendidikan dan proses pembelajaran menyebabkan pengertian pendidikan

dirumuskan sesuai dengan perkembangan baru tersebut. Perubahan sistem

pemerintahan dari sentralistis ke otonomi membawa pemikiran baru mengenai

wewenang pengembangan kurikulum. Dengan diberlakukannya Undang-Undang

nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka pendidikan

fungsi pendidikan dirumuskan untuk ”mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sedangkan tujuan pendidikan dirumuskan

untuk ”berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta

bertanggungjawab” .

Koreksi ini sangat fundamental karena menyangkut hakiki kegiatan pendidikan.

Dalam pikiran baru ini, kegiatan pendidikan berfungsi untuk mengembangkan

potensi yang ada pada peserta didik, baik potensi pengembangan pengetahuan,

ketrampilan intelektual, nilai dan sikap dan fisik. Dalam mengembangkan potensi

tersebut proses pendidikan memiliki kemampuan mengarahkannya kepada suatu

kualitas tertentu seperti keimanan, ketaqwaan, kemuliaan akhlak, kesehatan fisik,

dan sebagainya. Oleh karena itu perkembangan tujuan pendidikan di Indonesia

  147

mencapai titik yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, pedagogik,

dan politik24 .

B. KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KURIKULUM 2004)

Pada awal tahun 2000, Pemerintah mulai merintis pengembangan kurikulum baru

yang diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi. Beberapa sarjana kurikulum

yang memiliki kemampuan tinggi dalam bidang studi kurikulum dan diantaranya

baru kembali dari pendidikan di luar negeri dengan gelar tertinggi (S3) di bidang

kurikulum. Mereka belajar tentang kurikulum berbasis kompetensi dan landasan

pemikiran kurikulum berbasis kompetensi untuk kurikulum SD, SLTP, SLTA dan

SMK. Kurikulum berbasis kompetensi direncanakan untuk menggantikan

kurikulum sebelumnya yaitu Kurikulum SMP 1994 walau pun rencana tersebut

tidak dapat direalisasikan karena adanya perubahan kebijakan mengenai

wewenang penyelenggaraan pendidikan yang diberikan kepada pemerintah

daerah, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah yang menyempurnakan Undang-Undang Nomor 22 tahun

1999 tentang Pemerintah Daerah. Meski pun demikian, Kurikulum Berbasis

Kompetensi perlu dikemukakan sebagai suatu peristiwa dalam sejarah

pengembangan kurikulum di Indonesia.

Sebenarnya, pemikiran kurikulum berbasis kompetensi bukan sesuatu yang baru

di Indonesia. Di jenjang pendidikan tinggi pemikiran kurikulum berbasis

kompetensi telah dikembangkan untuk program pendidikan guru pada tahun 70-

an. Sebelumnya, kurikulum di lembaga pendidikan perhotelah telah menerapkan

kurikulum berbasis kompetensi untuk berbagai program studi yang dimilikinya.

Di program pendidikan profesi seperti kedokteran, apoteker, psikolog, insinyur,

dan sebagainya kurikulum berbasis kompetensi telah pula digunakan. Di jenjang

pendidikan menengah, kurikulum berbasis kompetensi telah diterapkan untuk

                                                            24 Pertanggungjawaban politik (political viability and accountability) dibuktikan oleh semua rumusan tujuan yang telah dibicarakan sejak 1950 yaitu dengan pencantuman tujuan tersebut dalam suatu ketetapan resmi seperti undang‐undang. Meski pun demikian sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara politk bukanlah jaminan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik atau pun pedagogic. 

  148

sekolah kejuruan. Pada tahun 2002 melalui Surat Keputusan Mendiknas nomor

045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan pengertian

kompetensi. Dalam SK tersebut dikemukakan "Kompetensi adalah seperangkat

tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat

untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di

bidang pekerjaan tertentu". Untuk sekolah umum seperti SD, SLTP, dan SLTA

memang penerapan kurikulum berbasis kompetensi masih merupakan barang

baru.

Dalam kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum 2004, kompetensi

diartikan sebagai “pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang

diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi dapat dikenali

melalui sejumlah hasil belajar dan indikatornya yang dapat diukur dan diamati.

Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan

bahan kajian dan bahan pelajaran secara kontekstual”. Lebih lanjut dikemukakan

bahwa “kompetensi dikembangkan secara berkesinambungan sejak Taman

Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal, Kelas I sampai dengan Kelas XII yang

menggambarkan suatu rangkaian kemampuan yang bertahap, berkelanjutan, dan

konsisten seiring dengan perkembangan psikologis peserta didik” (Dokumen

power point, Depdiknas, hal 4). Walau pun tidak dinyatakan secara eksplisit,

pengertian ketrampilan mencakup ketrampilan intelektual, emosional, kinestetik,

sosial, intrapersonal, komunikasi, dan sebagainya.

Kurikulum Berbasis Kompetensi mulai dikembangkan pada tahun 2000, tahun

terakhir abad ke 20. Pada tahun pertama abad berikutnya, yaitu tahun 2001, tim

pengembang sudah berhasil mengembangkan draft pertama sampai kepada buku

acuan untuk guru, orang tua dan pembina yang terdiri atas buku untuk setiap mata

pelajaran. Pada tahun akademik 2001/2002 dilakukan “mini piloting” di beberapa

sekolah di Sidoarjo, Bandung, Serang, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Sekolah

yang ikut serta dalam “mini piloting” harus memenuhi kriteria-kriteria antara lain:

1. Memiliki sumber daya manusia yang lengkap

2. Memiliki sarana pendidikan yang lengkap

3. Memiliki dana yang cukup

  149

4. Memiliki nara sumber dari luar sekolah

Dalam “piloting” tersebut menggunakan sekolah yang termasuk kriteria ideal.

Melalui “piloting” dengan kriteria sekolah yang demikian dapat diamati

kemampuan kurikulum bekerja secara maksimal sehingga berbagai masalah dapat

segera diidentifikasi sebagai masalah yang sudah “exhausted”. Sayangny,

pendekatan yang demikian hanya dapat menggambarkan kurikulum bekerja dalam

kondisi yang seharusnya sedangkan demikian banyak sekolah yang tidak memiliki

kondisi yang sama dengan kondisi sekolah “mini piloting”. Hal yang demikian

sering dilakukan dalam sejarah pengembangan kurikulum di Indonesia sehingga

pada waktu terjadi desiminasi secara nasional maka kegagalan implementasi

kurikulum secara nasional sudah dapat diprediksi, sejalan dengan banyaknya

sekolah yang memiliki persyaratan di bawah kriteria sekolah “piloting”. Keadaan

yang demikian sangat disayangkan karena akibatnya kurikulum yang telah

dikembangkan dengan baik tidak terlaksana dengan baik sehingga tidak mampu

menghasilkan tamatan sesuai dengan kualitas yang direncanakan dalam dokumen

kurikulum.

Dilihat dari prosedur dalam mengkonstruksi kurikulum (curriculum construction)

untuk menghasilkan suatu dokumen kurikulum yang baik, prosedur yang

dilakukan dalam mengembangkan dokumen kurikulum sudah memenuhi standar

prosedur. Dengan pemenuhan standar prosedur tersebut tidak pula diragukan

bahwa dokumen kurikulum yang dihasilkan adalah dokumen kurikulum yang baik

dan berkualitas. Sayangnya keberhasilan konstruksi kurikulum (curriculum

construction) baru sebagian keberhasilan pengembangan kurikulum (curriculum

development) karena masih ada satu dimensi kurikulum yang sama pentingnya

dengan konstruksi kurikulum yaitu implementasi kurikulum. Sayangnya lagi,

suatu dokumen kurikulum baru dapat memberikan hasil dengan kualitas tamatan

sebagaimana yang direncanakannya hanya apabila dokumen kurikulum berhasil

dilaksanakan dengan baik dalam bentuk proses atau implementasi kurikulum atau

“taught curricculum”. Dokumen Kurikulum 2004 tidak pernah menjadi

“implemented curriculum” atau “taught curriculum” karena kebijakan pendidikan

  150

yang memberikan wewenang pegembangan kurikulum tingkat sekolah kepada

pemerintah daerah.

1.Pemikiran Kurikulum Berbasis Kompetensi

Dalam rasional pengembangan kurikulum berbasis kompetensi dikemukakan

bahwa tuntutan GBHN 1999, perkembangan IPTEK, dan globalisasi telah

menyebabkan dan menuntut perubahan besar dalam kehidupan masyarakat. Oleh

karena itu dirasakan adanya keperluan untuk meningkatkan kualitas kehidupan

manusia dalam berbagai dimensi kehidupan sebagai sumber daya manusia yang

berkualitas dan berbudi luhur. Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang

berkualitas diperlukan kurikulum yang bersifat lebih fleksibel, dinamis, mampu

mengakomodasi keanekaragaman kemampuan peserta didik. Kebutuhan itu

disebabkan oleh kenyataan bahwa “kesejahteraan bangsa bukan lagi bersumber

pada sumber daya alam dan modal yang bersifat fisik, tetapi bersumber pada

modal intelektual, modal sosial dan kredibilitas” (Dokumen Kurikulum Berbasis

Kompetensi, 2001).

Lebih lanjut dikemukakan bahwa perkembangan yang pesat di masyarakat telah

menyebabkan tumbuhnya industri baru berbasis kompetensi tinggi. Perkembangan

industri dan masyarakat menuntur adanya sumber daya manusia dengan

kemampuan atau kompetensi tinggi pula. Untuk menjawab keperluan tersebut

maka diperlukan pendidikan dengan standar mutu yang tinggi agar bangsa

Indonesia memiliki warganegara dengan keunggulan kompetitif dan komparatif

pada tingkat nasional dan bahkan internasional (Dokumen Kurikulum Berbasis

Kompetensi, 2001). Atas dasar pemikiran demikian maka perlu dikembangkan

kurikulum baru untuk masa depan yaitu kurikulum berbasis kompetensi.

Kemudian dikatakan lebih lanjut dokumen tersebut bahwa kompetensi

dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup

dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenenentuan, ketidakpastian, dan

kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum berbasis kompetensi ditujukan untuk

menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas

budaya dan bangsanya.

  151

Selanjutnya dikemukakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi harus menjamin

pertumbuhan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

penguasaan ketrampilan hidup, akademik, seni, pengembangan kepribadian

Indonesia yang kuat dan berakhlak mulia (Dokumen Kurikulum Berbasis

Kompetensi, 2001).

Dalam proses pengembangan dokumen kurikulum (curriculum construction)

tingkat nasional maka dikembangkan buku untuk setiap mata pelajaran. Buku

tersebut diberi judul Kurikulum Berbasis Kompetensi dan diikuti dengan nama

mata pelajaran untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Dalam setiap buku

terdapat nama-nama tim pengembang, rasional, pengertian mata pelajaran, fungsi

dan tujuan, materi pokok, pendekatan dan organisasi penyajian, kompetensi

umum, dan rambu yang menjadi bagian dari bab I Pendahuluan buku. Dalam Bab

2 terdapat Kompetensi Dasar, Materi Pokok, dan Indikator Pencapaian Hasil

belajar untuk setiap kelas dan catur wulan. Pencantuman nama tim pengembang

tampaknya merupakan suatu kebijakan baru untuk memberikan tanggungjawab

yang lebih besar kepada tim pengembang.

Dalam rasional buku Kurikulum Berbasis Kompetensi disebutkan bahwa

pengembangan kurikulum dilakukan pada dua jenjang yaitu Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah. Adanya kewenangan yang diberikan kepada pemerintah

daerah dikarenakan adanya TAP MPR No. IV/MPR/1999 dan UU nomor 22/1999

tentang otonomi pemerintahan. Berdasarkan TAP dan UU maka Buku Kurikulum

Berbasis Kompetensi merupakan realisasi dari wewenang pemerintah pusat dalam

“menentukan kompetensi umum secara nasional yang berlaku di seluruh daerah”

(Buku Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2001). Berdasarkan kompetensi umum

nasional yang telah ditetapkan Pemerintah maka pemerintah daerah berkewajiban

mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah

masing-masing. Berdasarkan rambu-rambu yang ada daerah pada dasarnya diberi

wewenang mengembangkan silabus yang akan digunakan guru dalam mengelola

proses pembelajaran.

  152

Dalam bagian kedua, buku Kurikulum Berbasis Kompetensi memuat kompetensi

dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar. Dalam satu tahun/

kelas terdapat beberapa kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik kelas

tersebut. Istilah kelas tidak secara konsisten digunakan dalam dokumen

Kurikulum SLTP Berbasis Kompetensi. Kajian antara buku-buku Kurikulum

Berbasis Kompetensi menunjukkan adanya inkonsistensi dalam penamaan kelas:

pada beberapa dokumen kurikulum disebutkan kelas I, II, dan III tetapi di

beberapa dokumen kurikulum lain disebutkan kelas VII, VIII, dan IX. Tampaknya

ada kegalauan mengenai konsep kelas yang disebabkan kegalauan dalam

menempatkan posisi SLTP yang dalam UU nomor 2 tahun 1989 adalah bagian

dari pendidikan dasar 9 tahun. Jika SLTP merupakan bagian dari pendidikan dasar

9 tahun maka adalah wajar apabila penamaan kelas di SLTP merupakan

kelanjutan dari kelas di SD yaitu kelas VII, VIII dan IX. Dalam struktur

persekolahan yang dikemukakan dalam Materi Diskusi KBK berkenaan dengan

kebijakan umum penamaan kelas yaitu “ (1) Kelas 0 untuk pendidikan prasekolah,

(2) Kelas I sampai dengan Kelas VI untuk pendidikan dasar, dan (3) Kelas VII

sampai dengan Kelas XII untuk pendidikan menengah”. Walau pun bahan diskusi

tersebut belum bersifat final tampaknya para pengembang kurikulum KBK tahun

2001 tidak sepenuhnya mengikuti apa yang tercantum dalam materi tersebut.

2. Prinsip Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Dalam dokumen pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi dikemukakan

ada 12 prinsip yang digunakan dalam mengembangkan Kurikulum Berbasis

Kompetensi tahun 2001 dan prinsip yang sama tetap digunakan dalam revisi

terakhir kurikulum yang dilakukan pada akhir tahun 2003. Keduabelas prinsip

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestika Kurikulum merupakan input instrumental yang digunakan untuk menyeimbangkan pengalaman belajar yang mengembangkan etika, estetika, logika, dan kinestika.Pengembangan etika dilaksanakan dalam rangka penanaman nilai-nilai sosial dan moral termasuk menghargai dan

  153

mengangkat nilai-nilai pluralitas dan nilai-nilai universal.Pengembangan estetika menempatkan pengalaman belajar dalam konteks holistik dan total untuk memberikan ruang bagi pengalaman estetik dengan melalui berbagai kegiatan yang dapat mengekspresikan gagasan, rasa, dan karsa. Logika yang dikembangkan termasuk berpikir kreatif dan inovatif dengan keseimbangan yang nyata antara kognisi dan emosi dapatmemberikan keterampilan kognitif sekaligus dengan keterampilan interpersonal. b. Kesamaan Memperoleh Kesempatan

Setiap orang berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya. Untuk itu perlu adanya jaminan keberpihakan kepada peserta didik yang kurang beruntung dan segi ekonomi dan sosial, yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan unggul. Hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan upaya untuk menjamin persamaan memperoleh kesempatan pendidikan. c.Memperkuat Identitas Nasional

Kurikulum harus menanamkan dan mempertahankan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia melalui pemahaman terhadap pentumbuhan peradaban bangsa Indonesia dan sumbangan bangsa Indonesia terhadap peradaban dunia. Dengan demikian kunikulum harus mempertahankan keberlanjutan tradisi budaya yang bermanfaat dan mengembangkan kesadaran, semangat, dan kesatuan nasional. Materi tentang pemeliharaan identitas nasionat patriotisme, sikap nonsektarian, kemampuan untuk bertoleransi terhadap perbedaan yang ditimbulkan oleh agama, ideologi, wilayah,bahasa, dan jender perlu diperhatikan dalam kurikulum. d. Menghadapi Abad Pengetahuan

Globalisasi dalam bidang informasi, komunikasi, dan teknologi menyebabkan semakin meningkatnya fenomena perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Pasar bebas, kemampuan bersaing, serta penguasaan pengetahuan dan teknologi menjadi makin penting untuk kemajuan suatu bangsa. Sumber daya alam yang makin terbatas tidak lagi dapat menjadi tumpuan modal karena sumber kesejahteraan suatu bangsa telah bergeser dan modal fisik ke modal intelektual, pengetahuan, sosial, dan kredibilitas. Pada abad pengetahuan ini dipenlukan masyarakat yang berpengetahuan yang diperoleh dengan cara belajar sepanjang hayat. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh masyarakat sangat beragam dan berkualitas, sehingga diperlukan kunikulum yang mendorong untuk meningkatkan 4/18 kemampuan metakognitif dan kemampuan berpikir dan belajar dalam mengakses, memilih, menilai pengetahuan, dan mengatasi situasi yang membingungkan dan penuh ketidakpastian.

  154

e. Menyongsong Tantangan Teknologi Informasi dan Komunikasi

Revolusi dalam teknologi informasi dan komunikasi merupakan tantangan fundamental yang dapat mengubah masyarakat biasa ke dalam masyarakat informasi dan masyarakat pengetahuan. Teknologi informasi dan komunikasi berpotensi untuk menyediakan kemudahan belajar elektronik atau belajar dengan kabel on-line yang memperrnudah akses ke dalam informasi dan ilmu pengetahuan baru yang tidak tertulis dalam kunikulum. Oleh karena itu diperlukan kurikulum yang luwes dan adaptif terhadap berbagai pengetahuan baru sesuai dengan keadaan zaman. f. Mengembangkan Keterampilan Hidup

Pendidikan perlu menyiapkan peserta didik agar mampu mengembangkan keterampilan hidup untuk menghadapi tantangan hidup yang terjadi di masyarakatnya. Beberapa aspek utama keterampilan hidup antara lain kerurnahtanggaan, pemecahan masalah, berpikir kritis, komunikasi, kesadaran diri, menghindari stres, membuat keputusan, berpikir kreatif, hubungan interpersonal dan pemahaman tentang berbagai bentuk pekerjaan serta kemampuan vokasional disertai sikap positif terhadap kerja. Oleh karena itu, di dalam kunikulum perlu dimasukan ketenampilan hidup agar peserta didik memiliki kemampuan bersikap dan berpenilaku adaptif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan sehari-hari secara efektif.

g. Mengintegrasikan Unsur-unsur Penting ke Dalam Kurikuler

Kurikulum perlu memuat dan mengintegrasikan pengetahuan dan sikap tentang budi pekerti, hak asasi manusia, pariwisata, lingkungan hidup dan kependudukan, kehutanan, home economics, pencegahan konsumerisme, pencegahan HIV/AIDS, penangkalan penyalahgunaan narkoba, perdamaian, demokrasi, dan peningkatan konsensus pada nilai-nilai universal. Pengintegrasian unsur-unsur tensebut perlu disesuaikan dengan sifat rnata pelajaran pokok yang relevan dan perkembangan kernampuan peserta didik. h. Pendidikan Alternatif

Pendidikan tidak hanya terjadi sccara formal di sekolah tetapi juga harus terjadi di mana saja. Hal itu sangat penting terutama dalam rangka mencapai universalisasi dan demokratisasi pendidikan. Pendidikan alternatif meliputi antara lain pendidikan non-formal, pendidikan terbuka, pendidikan jarak jauh, sistem lain yang lentur yang diselenggarakan oleh pemenintah atau organisasi non-pemerintah. i. Berpusat Pada Anak Sebagai Pembangun Pengetahuan

  155

Upaya untuk memandinikan peserta didik untuk belajar, benkolaborasi, membantu teman, mengadakan pengamatan, dan penilaian din untuk suatu refleksi akan mendonong rnereka untuk membangun pengetahuannya sendiri. Dengan demikian pandangan baru akan diperoleh melalui pengalaman langsung secana lebih efektif. Dalam hal ini, peran utama guru adalah sebagai fasilitator belajar.

j. Pendidikan Multikultur dan Multibahasa

Indonesia terdiri atas masyarakat dengan beragam budaya, bahasa, dan agama. Implikasi dari hal tersebut yaitu bahwa dalam pendidikan perlu menerapkan metodik yang produktif dan kontekstual untuk mengakomodasikan sifat dan sikap masyarakat pluraristik dalam kerangka pembentukan jati diri bangsa. j. Penilaian Berkelanjutan dan Komprehensif

Kurikulum harus menanggapi kebutuhan belajar peserta didik untuk mengetahui hasil belajarnya. Hassil belajar dipandang sebagai umpan balik untuk perbaikan lebih lanjut terhadap segala kekurangan dan kelebihan peserta didik selama belajar dalam kurun waktu tertentu. Oleh karenanya penilaian berkelanjutan dan komprehensif menjadi sangat penting dalam dunia pendidikan. Hasil dan suatu penilaian umumnya tergantung pada identifikasi jenis dan alat penilaian yang digunakan serta tujuan, kritenia penilaian. dan interpretasi hasil. Relevansi, reliabilitas, dan validitas penilaian merupakan prosedur yang menentukan kualitas umpan balik. Penilaian berkelanjutan mengacu kepada penilaian yang dilaksanakan oleh guru itu sendiri dengan proses penilaian yang dilakukan secara transparan. Penilaian harus dilakukan secara komprehensif yang mencakup aspek kompetensi akademik dan keterampilan hidup. k. Pendidikan Sepanjang Hayat

Pendidikan harus berlanjut sepanjang hidup manusia dalam rangka untuk mengembangkan, menambah kesadaran, dan selalu belajar tentang dunia yang berubah dalam segala bidang. Dengan demikian, kerusakan dan keusangan pengetahuan dapat dihindari. Dalam hal ini, kurikulum harus menyediakan kompetensi dan materi yang berguna bagi peserta didik bukan hanya untuk kepentingannya di masa sekarang, tetapi juga kepentingannya di masa yang akan datang dengan memberikan fondasi yang kuat untuk inkuiri dan memecahkan masalah yang merupakan titik awal untuk menguasai cara berpikir bagaimana berpikir dan belajar sepanjang hidupnya.

  156

Memang harus diakui bahwa beberapa dari yang dikemukakan sebagai prinsip di

atas pada dasarnya bukanlah prinsip pengembangan kurikulum. Ada diantaranya

berupa tantangan yang harus dijawab oleh kurikulum seperti mengembangkan

keterampilan hidup, menyongsong tantangan teknologi informasi dan komunikasi,

menghadapi abad pengetahuan, pendidikan sepanjang hayat dan memperkuat

identitas nasional. Beberapa yang lain memang merupakan prinsip yang harus

digunakan dalam mengembangkan kurikulum seperti penilaian berkelanjutan dan

komprehensif, pendidikan multikultur dan multibahasa, berpusat pada anak

sebagai pembangun pengetahuan, keseimbangan etika, logika, estetika, dan

kinestika. Sedangkan yang dinamakan prinsip pendidikan alternatif bukan prinsip

pengembangan kurikulum tetapi lebih mengarah kepada prinsip pengembangan

pendidikan. Mengintegrasikan unsur-unsur penting ke dalam kurikuler bukan

prinsip dan bukan pula tantangan tetapi merupakan pekerjaan yang harus

diselesaikan oleh para pengembang kurikulum. Pekerjaan yang tertinggal

demikian digunakan juga dalam Kurikulum SMP 1975 sebagai prinsip walau pun

seharusnya pengembang kurikulum tidak seharusnya memberikan pekerjaan yang

mendasar dalam pengembangan materi dan organisasi materi kurikulum kepada

para guru.

3. Visi dan Misi SMP

Kurikulum Berbasis Kompetensi memperkenalkan adanya visi dan misi yang

harus dinyatakan dalam kurikulum. Pikiran ini dikembangkan terus sampai pada

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Untuk SMP (isitlah ini digunakan walau

pun berdasarkan UU nomor 2 tahun 2003 seharusnya istilah yang digunakan

adalah SLTP) yang menjadi bagian dari pendidikan dasar maka visi dan misinya

adalah visi dan misi pendidikan dasar. Tentu saja visi dan misi lembaga menjadi

bagian penting dalam pengembangan kurikulum karena kurikulum harus

mendukung pencapaian visi dan misi tersebut.

Visi untuk pendidikan dasar dirumuskan sebagai berikut:

  157

Penyelenggaraan pendidikan dasar adalah dalam rangka

menghasilkan lulusan yang mempunyai dasar-dasar karakter,

kecakapan, keterampilan, dan pengetahuan yang kuat dan memadai

untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal sehingga

memiliki ketahanan dan keberhasilan dalam pendidikan lanjutan

atau dalam kehidupan yang selalu berubah sesuai dengan

perkembangan jaman.

Sedangkan misi pendidikan dasar dirumuskan sebagaimana tercantum di bawah

ini:

• Menanamkan dasar-dasar perilaku berbudi pekerti dan berakhlak mulia. • Menumbuhkan dasar-dasar kemahiran membaca, menulis, dan berhitung. • Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan

berpikir logis, kritis, dan kreatif. • Menumbuhkan sikap toleran, tanggung jawab, kemandirian dan kecakapan

emosional. • Memberikan dasar-dasar keterampilan hidup, kewirausahaan, dan etos

kerja. • Membentuk rasa cinta terhadap tanah air Indonesia.

Visi dan misi yang dikembangkan untuk pendidikan dasar sangat fundamental

sebagai kualifikasi minimal bangsa Indonesia. Seyogyanya warganegara

Indonesia yang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan minimal 9 tahun

memiliki kualitas yang menjadi visi dan misi pendidikan dasar sehingga mereka

dapat dan mampu berpartisipasi sebagai warganegara yang produktif,

bertanggungjawab, dan berkemampuan untuk mengembangkan diri sepanjang

hayatnya. Kurikulum sebelumnya tidak mengembangkannya dalam bentuk visi

dan misi tetapi dalam rumusan yang dinamakan tujuan yang memiliki kualitas

serupa atau mirip dengan visi dan misi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jadi

terdapat kontinuitas dalam upaya kurikulum untuk mengembangkan kualitas

manusia Indonesia walaupun terdapat pula berbagai perubahan yang disebabkan

oleh adanya untuk kehidupan di suatu periode waktu dan proyeksi kehidupan pada

periode waktu mendatang.

  158

4. Struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi SMP

Naskah awal Kurikulum Berbasis Kompetensi SMP yang dikembangkan pada

tahun 2001 memiliki struktur kurikulum sebagai berikut:

Tabel 8.1. Struktur Program Kurikulum

Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah

Alokasi Waktu Jenis dan Jumlah

Mata pelajaran Pokok Kelas VII

Kelas VIII

Kelas IX

1.Agama 2 2 2

2.Kewarganegaraan dan Sejarah 3 3 3

3.Bahasa dan Sastera Indonesia 6 6 6

4.Matematika 6 6 6

5.Sains 6 6 6

6.Ilmu Sosial 3 3 3

7.Bahasa Inggeris 4 4 4

8.Pendidikan Jasmani 2 2 2

9.Kesenian dan Kerajinan Tangan 2 2 2

Jumlah 34 34 34

Struktur Kurikulum Bebrasis Kompetensi yang ditunukkan dalam tabel 8.1 sangat

sederhana dan banyak mengurangi beban belajar. Jika pada Kurikulum SMP 1994

beban belajar setiap semester Dominasi pandangan filosofis esensialisme pada

para pengembang Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat kuat walau pun

fenomena tersebut agak mengherankan karena pada umumnya kurikulum berbasis

kompetensi tidak mendasarkan diri pada pendidikan disiplin ilmu. Sejarah

pendidikan kompetensi yang awalnya adalah mempersiapkan peserta didik untuk

memiliki ketrampilan atau kemampuan yang diperlukan dunia kerja menyebabkan

pengaruh pandangan filosofi pendidikan disiplin ilmu tidak menonjol. Kenyataan

  159

yang ditunjukkan dalam struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi pada tabel 8.1

di atas berbeda dari tradisi umum kurikulum berbasis kompetensi. Nama-nama

mata pelajaran seperti Sains dan Ilmu Sosial menggambarkan pengaruh

pendidikan disiplin ilmu yang sangat kuat. Tentu saja dominasi pendidikan

disiplin ilmu agak kurang sesuai dengan tujuan dan misi kelembagaan SMP dan

Madrasah Tsanawiyah kecuali untuk misi yang berkenaan dengan pengembangan

kemampuan berpikir logis, kritis dan kreatif. Alokasi waktu yang sangat besar

untuk mata pelajaran yang dikenal sebagai mata pelajaran yang melatih peserta

didik dalam berpikir logis, kritis, dan kreatif seperti matematika, sains menambah

kuatnya kesan ketidakajegan antara kurikulum sebagaimana yang dinyatakan

dalam struktur dengan misi kelembagaan.

Tampaknya, hasil “mini piloting” dan uji publik meredam pandangan pendidikan

disiplin ilmu yang terasa dominan pada struktur tabel 8.1. Setelah dilakukan “mini

piloting” dan taggapan masyarakat maka struktur Kurikulum Berbasis

Kompetensi sebagaimana yang tercantum pada tabel 8.1. mengalami

penyempurnaan. Jumlah SKS yang sudah lebih merata dengan mengurangi sks

untuk mata pelajaran matematika dan pengetahuan alam memberi indikasi adanya

perubahan dalam ide kurikulum para pengembang. Pandangan pendidikan disiplin

ilmu yang didasarkan pada filosofi esensialis juga mendapat koreksi yang cukup

kuat sehingga mata pelajaran sains dan ilmu sosial diubah menjadi label bidang

studi dan mata pelajaran yang lebih menyesuaikan diri dengan pandangan filosofis

perenialisme.

Hasil dari penyempurnaan struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi tercantum

pada tabel 8.2. berikut ini.

  160

Tabel 8.2. Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama Dan Madrasah Tsanawiyah

Alokasi Waktu

Kelas VII VIII IX

A.Mata Pelajaran Pendidikan Agama

Pendidikan Kewarganegaraan

Bahasa dan Sastra Indonesia

Bahasa Inggeris

Matematika

Pengetahuan Sosial

Pengetahuan Alam

Kesenian

Pendidikan Jasmani

Ketrampilan/Teknologi

Informasi dan Komunikasi

2

2

5

4

5

4

5

2

3

2

2

2

5

4

5

4

5

2

3

2

2

2

5

4

5

4

5

2

3

2

B.Pembiasaan Kegiatan pembiasaan 2 2 2

C.Muatan Lokal Kegiatan atau Mata pelajaran - - -

Jumlah 36 36 36

Adanya mata pelajaran baru yaitu Ketrampilan dalam teknologi informasi dan

komunikasi memberikan warna inovasi yang kuat pada Kurikulum SMP 2004.

Masyarakat Indonesia yang sudah sangat mengenal komputer sebagai produk

teknologi informasi sudah sepantasnya mendapat tanggapan dari kurikulum.

Sudah saatnya sekolah mempersiapkan calon warganegara produktif untuk

mengenal, mampu dan mahir menggunakan komputer beserta fasilitas internet

terutama untuk SMP dan masyarakat kota.

Untuk masyarakat dan SMP di daerah pedalamam keberadaan mata pelajaran

khusus dalam kurikulum mengundang masalah yang cukup serius. Pertama,

mereka tidak memiliki fasilitas yang diperlukan sedangkan peserta didik tidak

mungkin dapat dinyatakan telah menyelesaikan program belajar di SMP jika

  161

mereka tidak pernah mengikuti pelajaran ketrampilan Teknologi Informasi dan

Komunikasi. Dengan demikian, mereka yang tidak pernah memiliki kesempatan

untuk mengikuti pelajaran ketrampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi

tidak akan pernah dapat menyelesaikan pendidikan mereka di SMP. Ini adalah

sesuatu yang bersifat berbahaya bagi kurikulum karena dengan demikian

kurikulum sudah memberikan perlakuan yang tidak “fair” kepada seluruh peserta

didik.

Kedua, kurikulum dikembangkan berdasarkan keberpihakan kepada kelompok

peserta didik yang beruntung. Artinya, kurikulum melanggar prinsip yang

diletakkan untuk mengembangkan kurikulum itu sendiri yaitu “perlu adanya

jaminan keberpihakan kepada peserta didik yang kurang beruntung dan segi

ekonomi dan sosial, yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan unggul”.

Kalau pun mereka yang tidak mengikuti mata pelajaran ketrampilan Teknologi

Informasi dan Komunikasi boleh dinyatakan telah menyelesaikan pendidikan

mereka di SMP tetapi terjadi diskriminasi karena mereka tidak memiliki

kemampuan yang sama dengan sebaya mereka yang mengikuti mata pelajaran

tersebut padahal ketidakikutsertaan mereka bukan disebabkan oleh kemampuan

mereka yang tidak sesuai dengan materi pelajaran. Kenyataan seperti ini

merupakan pelajaran berharga dari sejarah kurikulum. Kurikulum telah

mengkianati prinsipnya dan peserta didik diperlakukan tidak adil. Sayangnya, kita

tidak belajar dari pengalaman ini dan kejadian seperti ini masih juga diulangi oleh

Kurikulum KTSP dalam struktur Kurikulum yang dinyatakan dalam Standar Isi

(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2003 tentang Standar

Isi).

Sejujurnya, ketimpangan dan ketidakajegan kurikulum dalam prinsip serta

perlakuan kurikulum yang berbeda terhadap peserta didik tidak hanya terjadi pada

mata pelajaran ketrampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Demikian pula

dengan mata pelajaran kesenian dan pendidikan olahraga dan kesehatan dimana

banyak SMP yang tak mungkin melaksanakan sesuai dengan apa yang

dikehendaki kurikulum karena ketiadaan fasilitas belajar. Lebih lanjut, jika

Standar Kompetensi Lulusan untuk setiap mata pelajaran yang diberlakukan

  162

melalui Peraturan Menteri Pendidikan dikaji maka kita akan menemui

ketimpangan yang sama yaitu adanya Standar Kompetensi Lulusan yang tidak

mungkin dikuasai peserta didik karena ketiadaan fasilitas di SMP dimana mereka

belajar. Hal yang sama ditemukan pula dalam Standar Kompetensi (SK) dan

Kompetensi Dasar (KD) pada mata pelajaran tertentu.

Permasalahan kurikulum yang dikemukakan di atas dapat dikatakan masalah

menahun yang terjadi pada setiap penggantian kurikulum baik yag menggunakan

buku sebagai sumber belajar apalagi yang memerlukan fasilitas belajar lain yang

canggih, mahal, dan sarat teknologi. Sukar untuk diingkari bahwa dengan

demikian maka hasil belajar yang dimiliki peserta didik di SMP yang demikian

adalah mereka yang dinyatakan berhasil dengan kemampuan yang kurang dari apa

yang dipersyaratkan kurikulum. Ketimpangan ini tentu saja merugikan mereka

karena mereka telah kehilangan daya saing dan berada dalam posisi yang tidak

menguntungkan ketika dunia kerja menghendaki kemampuan penggunaan

teknologi informasi dan komunikasi sebagai persyaratan.

Suatu kenyataan yang menyenangkan dari struktur kurikulum di atas ialah

Kurikulum SMP 2004 (dan kurikulum lainnya) telah mampu menyatukan SMP

dengan Madrasah Tsanawiyah karena secara hitam di atas putih dinyatakan bahwa

kurikulum adalah Kurikulum Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah

Tsanawiyah. Penyatuan ini senafas dengan berbagai pasal dalam Undang-Undang

nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengakui

kesejajaran antara SMP dengan MTs (SD dengan MI, SMA dengan MA, SMK

dengan MAK). Tentu saja untuk Madrasah Tsanawiyah yang memiliki misi

berbeda dari SMP struktur kurikulum tersebut perlu disesuaikan.

5. Buku Standar Kompetensi Mata Pelajaran

Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 untuk SMP dan MTs terdiri atas Buku

Kerangka Dasar, Buku Standar Kompetensi Bahan Kajian, Buku Standar

kompetensi Mata Pelajaran, dan Buku-Buku Pedoman. Keseluruhan dokumen

kurikulum ini menunjukkan pengembangan pikiran kurikulum yang berbeda dari

kurikulum sebelumnya walau pun secara materiil Buku Standar Kompetensi Mata

  163

pelajaran dapat dikatakan sama dengan GBPP pada Kurikulum SMP 1975, 1984,

dan 1994. Buku Kerangka Dasar berisikan landasan pengembangan, Buku Standar

Kompetensi Bahan Kajian dan Mata pelajaran berisikan struktur kompetensi,

Buku Pedoman berisikan pedoman pengelolaan KBK, kegiatan belajar-mengajar,

dan penilaian berbasis kelas.

Buku Standar Kompetensi Mata Pelajaran edisi Agustus 2001 yang berjudul

“Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran (nama mata pelajaran) Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama” mengalami revisi setelah melalui piloting (istilah

yang digunakan dalam dokumen), uji publik dan penyesuaian dengan UU nomor

20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Buku baru diberi judul

Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran (nama mata pelajaran)

Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jadi terjadi perubahan

yang mendasar dalam judul buku tidak saja berkenaan dengan nama kurikulum

dari Kurikulum Berbasis Kompetensi menjadi Kurikulum 2004 tetapi juga secara

eksplisit dinyatakan isi buku yaitu standar kompetensi. Juga secara eksplisit

dinyatakan bahwa kurikulum diberlakukan untuk dua jenis sekolah yaitu SMP

(nama yang digunakan dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas) dan

Madrasah Tsanawiyah. Ini untuk pertama kali Pusat Kurikulum menghasilkan

kurikulum yang secara eksplisit mencantumkan sekolah Kementerian Pendidikan

Nasional dan Kementerian Agama dalam sebuah dokumen kurikulum, sesuai

dengan ketetapan pada Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional.25

Buku Standar Kompetensi ditandatangani oleh Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Direktur Jenderal

Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam buku ini dikemukakan mengenai

rasional mengenai pentingnya mata pelajaran yang dimaksud, pengertian, tujuan

dan fungsi, ruang lingkup, standar kompetensi lintas kurikulum, standar

kompetensi bahan ajar, standar kompetensi mata pelajaran, dan rambu-rambu

                                                            25 Ini juga menjadi kurikulum terakhirr yang dihasilkan Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional setelah ada Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 yang memberikan wewenang mengembangkan sstruktur kurikulum kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) .  

  164

pada bagian I Pendahuluan. Bagian II menguraikan kompetensi dasar, indikator,

materi pokok mata pelajaran yang dimaksud untuk kelas VII, VIII, dan IX.

Standar Kompetensi Lintas Kurikulum adalah standar yang berlaku untuk seluruh

mata pelajaran. Seharusnya nama standar ini adalah standar lintas mata pelajaran

atau standar kurikulum karena kurikulum hanya ada satu untuk satu satuan

pendidikan, bukan untuk setiap mata pelajaran. Dalam Buku Standar Kompetensi

terdapat 9 Standar Kompetensi Lintas Kurikulum. Sedangkan pada bagian II Buku

yang sama terdapat Standar Kompetensi yang harus diselesaikan untuk kelas

tertentu. Setiap kelas memilikilebih dari satu Standar Kompetensi, beragam dalam

jumlah untuk setiap kelas dan setiap mata pelajaran.

Setiap Standar Kompetensi dirinci dalam beberapa Kompetensi Dasar, jumlahnya

beragam tergantung keluasan dari Standar Kompetensi. Satu Kompetensi Standar

memiliki sejumlah indikator yang merupakan rincian perilaku dan pengetahuan

yang harus dimiliki peserta didik. Berdasarkan indikator maka dikembangkan

Materi Pokok. Setiap Kompetensi Dasar memiliki satu materi pokok yang

dirumuskan dalam bentuk pernyataan tunggal seperti “penggunaan mikroskop” ,

“proses sosialisasi” atau dapat pula dirumuskan dalam suatu pernyataan yang

menyatakan keterkaitan antara dua konsep atau lebih seperti ‘keanekaragaman

hidup dan upaya pelestariannya”, “atmosfer dan pengaruhnya terhadap

kehidupan”. Guru dan sekolah mengembangkan silabus berdasarkan Standar

Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator, dan Materi Pokok yang terdapat pada

buku Standar Kompetensi.

C. KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

Kurikulum 2004 atau yang semula bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi

tidak pernah diimplementasikan secara nasional. Kurikulum 2004 tidk mendapat

dukungan politis karena terjadi perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan

Indonesia dari sentralistik ke otononomi daerah. Naskah terakhir Kurikulum 2004

telah mencoba mengakomodasi perubahan tersebut tetapi upaya yang

dimaksudkan tidak cukup kuat. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun

1999 tentang Otonomi Daerah, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang

  165

Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 20

thun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebabkan Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan tidak mempunyai pilihan lain terkecuali

melaksanakan ketetapan dalamundang-undang tersebut. Proses pengembangan

Kurikulum 2004 dilakukan bersamaan dengan masa pengembangan Undang-

Undang nomor 20 tahun 2000 dan masa proses Undang-Undang nomor 20 tahun

2003. Ketika Kurikulum 2004 mencapai dinyatakan sebagai kurikulum yang

sudah siap dilaksanakan, dinyatakan dapat diimplementasikan oleh evaluasi

sumatif, Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional sudah dinyatakan berlaku dan Departemen Pendidikan Nasional adalah

kementerian yang paling bertanggungjawab dalam keberhasilan pelaksanaan

undang-undang tersebut. Oleh karenanya kementerian yang paling terdepan dalam

melaksanakan undang-undang tersebut tidak memiliki pilihan lain terkecuali tidak

mengimplementasikan Kurikulum 2004 yang baru selesai dikembangkannya.

1. Perubahan Kebijakan Pendidikan

Sebagaimana telah dikemukakan di atas sejak 1999 telah terjadi perubahan

kewenangan pemerintah yang dikenal dengan nama Otonomi PemerintahDaerah.

Pendidikan dasar dan menengah adalah wewenang yang dilimpahkan dari

Pemerintah ke Pemerintah Daerah. Dalam kewenangan mengenai pengembangan

kurikulum Pasal 36 ayat (2) UU nomor 20 tahun 2003 menyebutkan “kurikulum

pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip

diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik”.

Untuk memenuhi ayat ini kurikulum tidak lagi mungkin dikembangkan pada

tingkat nasional karena adalah sangat tidak mungkin bagi pengembang kurikulum

di tingkat nasional untuk menyesuaikan dengan satuan pendidikan, potensi

daerah, dan pesert didik di satu satuan pendidikan. Keragaman yang dimiliki oleh

setiap satuan pendidikan dan daerah memberikan ruang yang sangat tipis dan

hampir dapat dikatakan tidak mungkin untuk menyusun satu kurikulum nasional.

Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional memperjelas dan memperkuat wewenang pengembangan

  166

kurikulum. Pasal tersebut menyebutkan “kurikulum pendidikan dasar dan

menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau

satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan

supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk

pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah”. Ayat (2) ini

didahului oleh ayat (1) yang menegaskaan bahwa “kerangka dasar dan struktur

kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah”.

Ketentuan ini menyebabkan Kurikulum 2004 yang telah dikembangkan

Pemerintah (Dediknas-Puskur) tidak mungkin dilaksanakan di satuan-satuan

pendidikan.

Pemerintah mengambil kebijakan untuk menyelamatkan pikiran kurikulum

kompetensi yang telah dikembangkan dalam Kurikulum 2004 dan biaya besar

yang telah dikeluarkan untuk pengembangan naskah atau dokumen kurikulum.

Oleh karena itu ide-ide tersebut dimasukkan dalam berbagai ketentuan seperti

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dimasukkan dalam Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional mengenai Standar Isi. Demikian pula halnya dengan Standar

Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi Lintas Kurikulum, dan Standar

Kompetensi Mata Pelajaran dikemas dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional. Sedangkan Struktur Kurikulum untuk SMP dan Madrasah Tsanawiyah

dikemas dalam bentuk Standar Isi.

Berdasarkan kebijakan baru maka kurikulum dikembangkan oleh setiap satuan

pendidikan dan dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP). Struktur KTSP mengacu kepada Struktur Kurikulum yang ditetapkan

oleh PeraturanMenteri Pendidikan Nasional. Dalam hal ini terjadi kerancuan

penetapan karena Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum bukan Standar Isi dan

berdasarkan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

wewenang mengembangkan standar dan kurikulum dilakukan oleh lembaga yang

berbeda. Standar dikembangkan oleh lembaga independen yang dinamakan Badan

Standar Nasional Pendidikan sedangkan kerangka dasar dan struktur kurikulum

dikembangkan oleh lembaga yang diberi wewenang secara institusional yaitu

  167

Pusat Kurikulum. Kedua produk dari kedua lembaga tersebut dinyatakan berlaku

resmi melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.

2.Struktur Kurikulum KTSP untuk SMP/MTs

Berdasarkan Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2005 yang dimaksudkan dengan

Standar Isi adalah:

1. kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman dalam penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan,

2. beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah,

3. kurikulum tingkat satuan pendidikan yang akan dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan panduan penyusunan kurikulum sebagai bagian tidak terpisahkan dari standar isi, dan

4. kalender pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Standar Isi dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang

dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005.

Pengertian di atas merupakan turunan dari apa yang telah ditetapkan dalam

Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005. Seperti yang telah dikemukakan di

atas sebenarnya ketetapan dalam PP nomor 19 tahun 2005 tersebut bertentangan

dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 dimana dinyatakan bahwa struktur

kurikulum adalah taggungjawab Pemerintah dan bukan BSNP, berdasarkan

Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan adalah tanggung jawab dan

dikembangkan BSNP, ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.

Struktur Kurikulum SMP/Madrasah Tsanawiyah ditetapkan sebagai berikut yang

ditetapkan dalam Standar Isi adalah sebagai berikut:

  168

Tabel 8.3 Struktur Kurikulum SMP /MTs dalam Standar Isi

Kelas dan Alokasi Waktu 

Komponen VII VIII IX

A. Mata Pelajaran

1. Pendidikan Agama 2 2 2

2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 2

3. Bahasa Indonesia 4 4 4

4. Bahasa Inggris 4 4 4

5. Matematika 4 4 4

6. Ilmu Pengetahuan Alam 4 4 4

7. Ilmu Pengetahuan Sosial 4 4 4

8. Seni Budaya 2 2 2

9. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan

2 2 2

10. Keterampilan/Teknologi Informasi dan Komunikasi

2 2 2

B. Muatan Lokal 2 2 2

C. Pengembangan Diri 2*) 2*) 2*)

Jumlah 32 32 32

2*) Ekuivalen 2 jam pembelajaran

  169

Ada ketidaksamaan antara struktur kurikulum SMP/Madrasah Tsanawiyah yang

ditetapkan dalam Standar Isi dengan struktur kurikulum yang ditetapkan dalam

Kuurikulum SMP/MTs 2004. Dalam pengelompokkan struktur kurikulum

SMP/MTs Standar Isi mengenal Pengembangan Diri sedangkan sturktur pada

Kurikulum 2004 tidak ada tetapi ada kelompok Pembiasaan yang dalam struktur

di atas tidak dikenal. Selain itu terjadi perubahan dalam beban belajar untuk mata

pelajaran Bahasa Indonesia (5 menjadi 4), maatematika (5 menjadi 4), IPA (5

menjadi 4), Pendidikan Jasmani (3 menjadi 2). Oleh karena itu beban belajar

keseluruhan pun menjadi lebih sedikit pada Struktur Kurikulum Standar Isi

dibandingkan Kurikulum 2004 yaitu dari 36 menjadi 32 walau pun Standar Isi

memberi kelonggaran bagi satuan pendidikan untuk menambah 4 sks setip

semester jika dianggap penting.

Semangat filosofi perenialisme dikembangkan lagi dalam struktur kurikulum pada

tabel 8.3 di atas dibandingkan struktur kurikulum 2004 pada tabel 8.2. Oleh

karena itu nama mata pelajaran Pengetahuan Sosial diganti menjadi Ilmu

Pengetahuan Sosial, Pengetahuan Alam diganti menjadi Ilmu Pengetahuan Alam,

Bahasa dan Sastra Indonesia diganti menjadi Bahasa Indonesia.

Pengembangan Diri merupakan sesuatu yang baru dari Struktur Kurikulum

SMP/MTs yang ditetapkan dalam Standar Isi. Walau pun Pengembangan Diri

diberi sks 2 tetapi pada pelaksanaannya Pengembangan Diri yang dimaksudkan

pada Struktur Kurikulum SMP/MTs Standar Isi di atas sama dengan Pembiasaan

yang tercantum dalam Struktur Kurikulum 2004. Tampaknya nama

Pengembangan Diri dianggap lebih sesuai dibandingkan Pembiasaan.

Pemikiran tentang adanya Pengembangan Diri yang dinyatakan secara eksplisit

dan terpisah dari mata pelajaran lain dalam Struktur Kurikulum SMP/MTs

berdasarkan Standar Isi memang mengundang masalah kurikulum. Sebagaimana

dikemukakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005

  170

Pengembangan  diri  bukan  merupakan  mata  pelajaran  yang  harus diasuh  oleh  guru.  Pengembangan  diri  bertujuan  memberikan kesempatan  kepada  peserta  didik  untuk  mengembangkan  dan mengekspresikan  diri  sesuai  dengan  kebutuhan,  bakat,  dan  minat setiap  peserta  didik  sesuai  dengan  kondisi  sekolah.  Kegiatan pengembangan  diri  difasilitasi  dan  atau  dibimbing  oleh  konselor, guru, atau  tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan  ekstrakurikuler.  Kegiatan  pengembangan  diri  dilakukan melalui  kegiatan  pelayanan  konseling  yang  berkenaan  dengan masalah  diri  pribadi  dan  kehidupan  sosial,  belajar,  dan pengembangan karir peserta didik. 

Permasalahan pertama adalah adanya istilah Pengembangan Diri merupakan

“contradictio in terminis” karena keseluruhan kurikulum harus merupakan

pengembangan potensi peserta didik dan setiap kuriulum harus memberikan

kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan minat, bakat,

keunggulannya serta berbagai karakter yang berkenaan dengan nilai umum dan

pribadi, sikap umum dan pribadi serta berbagai kemampuan pribadi yang

diperlukan dirinya sebagai seorang mahluk. Kegiatan pengembangan diri yang

dibatasi pada kegiatan ekstrakurikuler dan konseling memberi keterbatasan yang

tidak seharusnya terhadap pengembangan diri peserta didik oleh kurikulum.

3. Prinsip Pengembangan KTSP untuk SMP/MTs

Standar Isi memuat tujuh prinsip pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan. Ketujuh prinsip tersebut tidak khusus untuk KTSP SMP/MTs tetapi

juga untuk sekolah lainnya. Selanjutnya dikemukakan “Kurikulum tingkat satuan

pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah

dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi

serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP.” (Permendiknas

nomor 22 tahun 2005)

Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:

a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya

  171

Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.

b. Beragam dan terpadu

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.

  172

c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni

Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan

Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.

e. Menyeluruh dan berkesinambungan

Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.

f. Belajar sepanjang hayat

Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.

g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  173

Ada penyempurnaan prinsip pengembangan kurikulum yang ditetapkan dalam

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005 di atas

dibandingkan dengan prinsip pengembangan Kurikulum 2004. Selain jumlahnya

yang lebih sedikit tetapi juga ketujuh ketetapan tersebut lebih menggambarkan

pengertian suatu prinsip pengembangan kurikulum terkecuali prinsip belajar

sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat adalah suatu tujuan dalam

mengembangkan perhatian, kemauan, kemampuan untuk dapat belajar sepanjang

hayat dan oleh karenanya lebih kepada tujuan pendidikan dibandingkan prinsip

pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, konsep Belajar Sepanjang Hayat

sebaiknya menjadi landasan kriteria, bukan prinsip, untuk mengembangkan materi

kurikulum.

Salah satu prinsip pengembangan kurikulum yang baik, dari tujuh yang

dinyatakan dalam pedoman tersebut, tapi tampaknya akan sangat sulit dilakukan

yaitu keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah. Prinsip ini sangat

bagus dan harus menerus menjadi prinsip pengembangan kurikulum di Indonesia

mengingat keragaman budaya, sosial, ekonomi, historis, dan geografis masyarakat

Indonesia. Sayangnya, dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

permasalahan muncul pada pengertian keseimbangan. Apabila kepentingan

nasional diartikan sebagai apa yang telah ditetapkan dalam struktur dan isi

kurikulum dan kepentingan daerah dikembangkan dalam mata pelajaran muatan

lokal sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

nomor 22 tahun 2005, dan apabila pengertian keseimbangan dipatok dengan

ukuran sks maka sks yang telah ditetapkan pusat lebih besar dari alokasi sks untuk

muatan lokal. Dalam pengertian jumlah sks maka prinsip keeimbangan tidak

pernah dapat dilaksanakan satuan pendidikan dalam mengembangan KTSP.

Prinsip keseimbangan kurikulum akan dapat dilaksanakan dengan baik melalui

dua cara. Pertama, materi muatan lokal yang dikembangkan satuan pendidikan

dikemas tidak hanya menjadi materi mata pelajaran-mata pelajaran muatan lokal

  174

yang berdiri sendiri tetapi jugadikembangkan sebagai materi pelajaran untuk

mata pelajaran lain yang telah ditetapkan dalam struktur kurikulum. Kedua, dalam

menetapkan materi Standar Isi Pemerintah mengembangkan materi yang

dipandang penting dari sudut kepentingan nasional, bukan semua materi yang

harus dikuasai peserta didik untuk suatu mata pelajaran. Apabila Pemerintah

menempuh kebijakan tentang materi muatan lokal sebagaimana yang

dikemukakan disini maka baik Pemerintah mau pun satuan pendidikan memiliki

kemungkinan untuk menerapkan prinsip keseimbangan antara kepentingan

nasional dan daerah. Pemerintah dapat menerapkan isi dan kompetensi minimal

untuk setiap mata pelajaran sedangkan satuan pendidikan dapat menambah isi dan

kalau perlu kompetensi baru untuk mata pelajaran yang dimaksudkan. Jika satuan

pendidikan berpendapat bahwa kompetensi tidak perlu atau perlu ditambah dan

untuk menguasai kompetensi tersebut dapat ditambah dengan materi dari lokal

maka satuan pendidikan dapat memberikan pertimbangan edukatif mengenai

keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah. Orientasi lingkungan dan

penerapan prinsip pendidikan yang dimulai dari lingkungan terdekat (Ki Hajar

Dewantara) dapat diterapkan dengan pendekatan pengembangan materi lokal yang

dimasukkan ke dalam mata pelajaran yang sudah ditetapkan Pemerintah.

 

 

 

 

  175

MENATAP MASA DEPAN

Sejarah selalu terkait dengan masa lampau, masa kini, dan masa yang akan

datang. Masa lalu adalah masa dimana berbagai peristiwa sejarah terjadi, menjadi

dasar bagi lahirnya kehidupan masa kini, dan masa kini memiliki potensi

menentukan masa yang akan datang. Apa yang dialami masa kini dan bagaimana

persepsi tentang masa depan membangun berbagai kegiatan yang akan

memberikan arah kehidupan masa depan. Tiga dimensi waktu sejarah dengan

demikian akan terus berlangsung.

Pengembangan kurikulum selalu berorientasi ke masa depan. Setiap pengembang

kurikulum selalu didasarkan pada visi tentang kualitas masyarakat bangsa yang

diperlukan 12 tahun mendatang atau paling pendek untuk masa 6 tahun

mendatang. Semakin jauh masa yang dapat diperkirakan pengembang kurikulum

dan semakin akurat prediksi kuaitas manusia yang diperlukan semakin tinggi

tingkat relevansi suatu kurikulum. Pengalaman masa lampau dalam

pengembangan kurikulum, analisis mengenai kekuatan yang berpengaruh

terhadap kehidupan bangsa dan kurikulum masa kini dapat dijadikan landasan

untuk membangun kurikulum yang tinggi tingkat relevansinya dan tinggi tingkat

prediksi kualitas yang diperlukan bangsa di masa depan. Oleh karena itu berbagai

pengalaman di masa lampau memberikan pelajaran yang berharga untuk

pengembangan kurikulum masa kini dan masa mendatang.

Peristiwa dalam pengelaman pengembangan kurikulum di Indonesia terutama

sesudah masa kemerdekaan merupakan kekayaan intelektual bangsa yang tak

ternilaikan. Jatuh bangun dalam pengalaman pengembangan kurikulum adalah

pelajaran yang dapat digunakan untuk pengembangan kurikulum pada masa-masa

berikutnya. Keberlanjutan dan perubahan pemikiran (ide) kurikulum yang

disebabkan oleh berbagai faktor eksternal seperti keputusan politik, dari jenjang

paling tinggi hingga jenjang yang operasional, serta berbagai faktor internal yang

bersifat filosofis dan teoritis pendidikan dan kurikulum menghasilkan masyarakat

Indonesia yang ada pada saat kini. Kurikulum yang telah dikembangkan

memberikan hasil berupa warganegara yang memiliki kualitas sesuai dengan yang

  176

dikembangkan oleh kurikulum tertentu bertemu dengan warganegara dengan

kualitas yang dihasilkan. Interaksi antar generasi yang dihasilkan kurikulum

memberikan kesempatan kepada masing-masing untuk belajar satu sama lainnya

dan memperkaya kualitas masing-masing yang sudah dipunyai.

Tentu saja dalam kesempatan saling memberi tersebut ada yang memiliki

pengaruh yang besar terhadap lainnya tetapi sayangnya belum ada pengetahuan

dan cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai interaksi tersebut. Walau pun

demikian, faktor eksternal sering kali menjadi faktor yang lebih dominan sehingga

upaya untuk melakukan kajian tersebut tidak boleh melepaskan diri dari kajian

terhadap faktor kekuasaan (power atau pun social pressure) yang dominan pada

saat kajian dilakukan dan pada masa ketika kurikulum akan memberikan hasilnya

berupa warganegara yang berkualitas. Kualitas akhir masyarakat Indonesia adalah

hasil pertarungan berbagai kelompok generasi kurikulum dan kekuasaan.

Dari segi filosofi dan teori pengembangan kurikulum di masa depan tampaknya

akan lebih bijaksana apabila konseptualisasi kurikulum didasarkan pada kebijakan

pemerintah mengenai tujuan dan fungsi serta tujuan setiap pendidikan. Kiranya

pada masa mendatang kurikulum untuk pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs)

perlu dikembangkan dalam satu kesatuan dan berdasarkan visi pendidikan umum

yang berlaku untuk semua warganegara. Visi pendidikan umum yang

dimaksudkan adalah pendidikan dasar bukan pendidikan untuk menghasilkan

manusia dalam bidang ilmu tertentu atau beberapa jalur bidang keilmuan tetapi

untuk pengmbangan potensi kemanusiaannya. Kualitas yang diharapkan bukanlah

mereka yang unggul dalam satu bidang studi atau disiplin ilmu tetapi mereka yang

mampu mengembangkan dirinya untuk belajar sepanjang hayat dan berkonstribusi

terhadap kehidupan bangsa dalam kapasitasnya sebagai warganegara. Kualitas

yang akan dihasilkan kurikulum adalah kualitas minimal warganegara Indonesia

pendidikan dalam pengetahuan, kemampuan kognitif, nilai dan sikap, berbagai

ketrampilan motorik, dan kebiasaan yang memberi bekal kuat kepada setiap

warganegara untuk mengembangkan diri. Ketrampilan membaca, kebiasaan

membaca, rasa ingin tahu, kebiasaan dan kemampuan belajar, kemampuan

berpikir logis-kritis-analitis-kreatif, cinta tanah air dan rasa kebangsaan, mampu

  177

hidup dalam perbedaan (bhineka), religious dalam menjalankan agama merupakan

kualitas dasar bagi setiap warganegara setelah mereka menyelesaikan pendidikan

9 tahun. Pengetahuan dasar yang mampu mengembangkan memori bersama

(collective memory) sebagai bangsa, tentang wilayah tanah air, suku dan

kelompok budaya yang membentuk bangsa, potensi alam, seni dan manusia yang

menjadi kekayaan bangsa kiranya harus dimiliki peserta didik yang telah

menyelesaikan pendidikan di SMP/MTs. Kurikulum SMP masa mendatang sudah

seharusnya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menguasai

pengetahuan dasar tersebut.

Konseptualisasi kurikulum pendidikan dasar yang demikian menghendaki

penerapan berbagai filsofi kurikulum dan tidak lagi terbatas pada perenialisme.

Eklektisme filosofi dalam pengembangan kurikulum adalah suatu praktek yang

umum dilakukan dan pendekatan yang demikian memungkinkan peserta didik

untuk mengembangkan potensi intelektual, emosional dan ketrampilan mereka.

Pengembangan potensi-potensi tersebut tidak lagi terbatas pada pengetahuan dan

jenjang pemahaman tetapi sudah harus dikembangkan menjadi kebiasaan yang

mereka implementasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kurikulum SMP

melanjutkan, memantapkan, dan mengembangkan lebih lanjut kebiasaan yang

sudah dikuasai peserta didik dari kurikulum SD dan memberikan kesempatan

untuk menerapkan hasil belajar tersebut dalam prilaku keseharian mereka.

Desain konten kurikulum harus pula mengalami perubahan sesuai dengan hakekat

tujuan, karakteristik konten, proses belajar, dan asesmen hasil belajar. Tujuan

didasarkan pada tujuan pendidikan nasional dan tujuan kelembagaan secara

seimbang. Untuk tujuan kelembagaan SMP maka kualitas yang diperlukan bagi

mereka yang akan langsung menjadi warganegara aktif dan produktif berimbang

dengan kualitas yang diperlukan bagi mereka yang akan melanjutkan ke jenjang

pendidikan menengah. Kedua kualitas itu memiliki ruang singgung yang luas

terutama berkenaan dengan kualitas manusia yang memiliki kemampuan dasar

berupa kemampuan belajar, kebiasaan membaca, rasa ingin tahu, religiusitas, rasa

kebangsaan serta pengetahuan dasar yang berkenaan dengan dirinya, masyarakat,

bangsa, tanah airnya (geografis, biologis) dan negaranya (filosofi, sistem dan

  178

struktur pemerintahan, aturan/hukum, cara dan prosedur untuk berkontribusi

dalam kehidupan kenegaraan). Pengetahuan dasar ini yang akan memberikan

jawaban mengenai siapa dirinya, bangsanya, dan negaranya (memori kolektif

bangsa) sebagai hasil perkembangan yang dialami oleh generasi terdahulu.

Konten dan organisasi konten untuk kurikulum masa mendatang perlu

memperhatikan karakteristik konten. Secara kategorial konten kurikulum terbagi

atas pengetahuan, kemampuan intelektual dan manual, nilai dan sikap. Konten

pengetahuan bersifat “mastery” yaitu konten yang dapat dikuasai pada akhir suatu

pertemuan kelas. Konten kemampuan intelektual dan manual, nilai serta sikap

bersifat “developmental” dan hanya dapat dikuasai melalui suatu proses panjang

dan saling menunjang antara satu pertemuan kelas dengan pertemuan kelas

lainnya antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Apabila kualitas

pengetahuan diukur dari banyaknya pengetahuan yang harus dimiliki seorang

peserta didik dari setiap mata pelajaran dan satu satuan atau jenjang pendidikan.

Sedangkan kualitas penguasaan konten yang bersifat kemampuan intelektual,

manual, nilai, sikap bersifat selalu meningkat dari satu jenjang kemampuan ke

jenjang kemampuan yang lebih tinggi. Jenjang tertinggi yang dimiliki seorang

peserta didik adalah hasil belajar dalam aspek kemampuan, nilai, dan sikap. Hasil

ini menggambarkan kualitas dan keberhasilan pendidikan/kurikulum untuk satuan

pendidikan SMP. Oleh karena itu pengukuran keberhasilan belajar dalam

kemampuan, nilai, dan sikap tidak diukur sebagai hasil tambah sebagaimana yang

dilakukan terhadap hasil belajar pengetahuan.

Kurikulum SMP masa mendatang didasarkan pada dua prinsip yaitu kurikulum

bukan daftar mata pelajaran dan setiap peserta didik dapat memiliki pengetahuan

dasar, kemampuan dasar dan nilai serta sikap dasar yang merupakan kualitas

minimal bangsa Indonesia. Prinsip pertama menghendaki pengembangan konten

kurikulum untuk satu mata pelajaran dengan mata pelajaran dalam satu kaitan

yang saling memperkuat. Prinsip saling memperkuat ini sudah harus tercermin

dalam dokumen kurikulum secara jelas, terlaksana dalam proses pembelajaran,

dan penilaian hasil belajar. Dalam dokumen kurikulum SMP keterkaitan konten

satu mata pelajaran dinyatakan secara eksplisit dengan mata pelajaran lainnya.

  179

Dalam proses pelaksanaan, perencanaan pembelajaran dilakukan dalam suatu

rencana bersama di masing-masing SMP sebagai rencana induk satuan pendidikan

dalam pengembangan kurikulum. Dalam rencana bersama yang dapat disebut

sebagai rencana induk (grand design) satuan pendidikan, kualitas tamatan satuan

pendidikan tersebut sudah terumuskan, kaitan pengembangan konten kemampuan

intelektual, manual, nilai dan sikap sudah terencana dan tertulis. Kepala sekolah

dan guru duduk bersama sebagai komunitas pendidik (community of educators)

dalam pengembangan rencana induk pada setiap awal tahun untuk setiap

angkatan.

Pengetahuan yang dikembangkan dalam konten kurikulum SMP terdiri atas

pengetahuan tingkat nasional, daerah dan satuan pendidikan. Pengetahuan tingkat

nasional adalah pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap warganegara di

mana pun mereka bertempat tinggal. Pengetahuan nasional ini memberikan dasar

bagi pengembangan memori kolektif sebagai bangsa dan kemudahan bagi yang

bersangkutan untuk bepergian ke berbagai wilayah di negaranya, bertemu dan

berkomunikasi dengan sesama warganegara Indonesia lainnya. Pengetahuan

tentang wilayah, penduduk, kultur yang berbeda akan memberikan kenyamanan

ketika berkomunikasi dengan sesama warganegara dan memberik kemudahan

untuk mencari kehidupan di wilayah di luar propinsi.

Pengetahuan tentang daerah propinsi, kabupaten/kota di lokasi suatu SMP akan

memberikan pengetahuan yang lebih mendalam tentang kehadiran wilayah,

karakteristik wilayah, ekonomi, budaya, bahasa, seni, hasil-hasil tambang dan

pertanian yang menjadi keunggulan daerah dan memberikan kontribusi terhadap

kehidupan bangsa dan negara. Pengenalan wilayah sendiri yang mendalam

dibandingkan wilayah lainnya akan memberikan dasar untuk mengenal berbagai

fenomena alam, budaya, dan ekonomi sehingga peserta didik SMP akan memiliki

kemampuan untuk berkontribusi dalam pembangunan daerahnya lebih baik lagi.

Pengetahuan tentang daerah akan mampu membangun wawasan kebangsaan yang

lebih baik karena mereka akan bangga pada wilayahnya dan memhami kontribusi

wilayahnya terhadap kehidupan kebangsaan.

  180

Pengetahuan yang berkenaan dengan lingkungan terdekat SMP dimana peserta

didik belajar akan sangat bermanfaat untuk mengenal komunitasnya. Mereka akan

memiliki pengetahuan yang baik tentang kehadiran komunitas/masyarakat bahkan

keluarganya, karakteristik wilayah, ekonomi, budaya, bahasa, seni, transportasi,

hasil-hasil tambang dan pertanian yang menjadi keunggulan daerah di mana

peserta didik tersebut tinggal. Pengetahuan tentang lingkungan terdekat

memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyayangi, memelihara dan

mengembangkan lingkungan di sekitarnya.

Konten kemampuan intelektual dan manual dapat dikembangkan pada tingkat

nasional tetapi penerapan kemampuan pada lingkungan terdekat, propinsi, dan

nasional. Sedangkan konten yang bersifat nilai dan sikap dikembangkan

berdasarkan nilai, moral, dan sikap yang berlaku di masyarakat di sekitarnya

sehingga tidak terjadi konflik antara apa yang dipelajari di sekolah dengan

masyarakat. Nilai dan sikap itu kemudian dikembangkan kepada wilayah yang

lebih luas yaitu kota/kabupaten, propinsi dan nasional. Nilai dan sikap nasional

pada dasarnya adalah nilai dan sikap yang hidup di setiap komunitas etnis, sosial,

dan budaya bangsa Indonesia.

  181

DAFTAR BACAAN

Airasian, P.W. dkk (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. Abridges Edition. New York: Longman

Apple, M.W. (1979). Ideology and Curriculum. London: Routledge and Kegan

Paul.

Bradjanegara, S. (1956). Sedjarah Pendidikan Indonesia. Yogyakarta

Benjamin, H. (1939). The Saber-tooth Curriculum, dalam The Curriculum: Context, Design & Development.(1971)( Editor Richard Hooper). Bungay, Suffolk: The Open University

Depdikbud (1965). 20 tahun Indonesia Merdeka. VIII. Jakarta

Depdikbud (1976). Pendidikan Indonesia 1900 – 1970. Jakarta: Balitbang

Depdikbud (1983). Hasil Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983. Jakarta: Depdiknas

Depdikbud (1989). Statistik Pendidikan Menengah Umum: Sekolah, Murid, Guru dan Pembina SMP dan SMA seluruh Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikdasmen

Depdikbud (1996). Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Dinas Sejarah TNI – AD (1976). Sumbangan TNI Angkatan Darat Dalam Pemantapan Orde Baru. Bandung: Angkasa Offset

Djumhur, I dan Danasaputra (1976). Sedjarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu Bandung

Gay, G. (2000). Culturally Responsive Teaching: Theory, Research, and Practice. New York and London: Teachers College, Columbia University

Giroux, H.A. (1981). Ideology, Culture, and the Process of Schooling. Philadelphia: Temple University Press

Gunawan, A.H. (1986). Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara

Hasan, S.H. (2009). The Use of Project-Based Learning in the Implementation of the Senior Secondary Social Studies Curriculum. Makalah dipresentasi

  182

pada Seminar International tentang Social Studies Education, PPS-UPI, Bandung, January 15, 2009

Henderson, J.G. dan Kesson, K.R. (2004). Curriculum Wisdom: Educational Decisions in Democratic Society. New Jersey: Prentice-Hall

Henderson, J.G. dan Gornik, R. (2007). Transformative Curriculum Leadership. Third edition. Columbus, Ohio: Pearson Prentice-Hall.

Kartodirjo, S. dkk. (1977). Sejarah Nasional Indonesia. VI. Jakarta: Balai Pustaka

Ki Hadjar Dewantara (1977). Karya Ki Hadjar Dewantara. Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa

Kliebard, H.M. (1965). Structure of the Disciplines as an Educational Slogan, dalam Readings in Curriculum. (Second edition).(editor Glen Hass, Kimball Wiles, dan Joseph Bondi)

Klein, M.F. (1989). Curriculum Reform in the Elementary School: Creating Your Own Agenda. New York and London: Teachers College, Columbia University.

Longstreet,W.S. dan Shane, H.G. (1993). Curriculum for a New Millennium. Needham Heights. MA: Allyn & Bacon.

Mestoko, S. (1979). Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Jakarta: Depdikbud

Nasution, S. (2008). Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Jenmars

NIER (1999): An International Comparative Study of School Curriculum. Tokyo: NIER

O’Donnell, S. dkk. (2002) (Eighth ed.). International Review of Curriculum and Assessment Frameworks: Comparative tables and factual summaries – 2002. London: National Foundation for Educational Research

Poerbakawatja, S. (1970). Pendidikan Dalam Alam Terbuka. Jakarta: Gunung Agung

Poeze, H.A. (1982). Politiek-Politioneele Overzichten van Nederlandsch-Indie. Deel I 1927 – 1928. The Hague: Martinus Nijhoff

  183

Post, T.R. dkk. (1997). Interdisciplinary Approaches to Curriculum: Themes for Teaching. Columbus, Ohio: Prentice Hall, Inc.

Said, M. (1981). Pendidikan Abad Ke Duapuluh dengan Latar Belakang Kebudayaannya. Jakarta: Mutiara

Said, M. dan Dahlan Mansyur (1953). Pendidikan dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Pustaka Rakyat

Santoso, Slamet Imam (1987). Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: CV Haji Masagung

Saylor, J.G. dan Alexander, W.M. (1974). Planning Curriculum for Schools. New York: Holt, Rinehart, and Winston, Inc

Sekertariat Negara (1984). 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT Tira Indonesia

Simandjuntak, I.P. (1972). Perkembangan Pendidikan di Indonesia. Banddung: Angkasa

Sjamsuddin, H., Kosoh Sastradinata, Said Hamid Hasan (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia: Zaman Kemerdekaan (1945-1966). Jakarta: Manggala Bhakti

Smith, B.O., Stanley,W.O. dan Shores, J.H. (1957). Cultural Roots o the Currciulum, dalam The Curriculum: Context, Design & Development.(1971)( Editor Richard Hooper). Bungay, Suffolk: The Open University

Soemanto, W. (1983). Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional

Taba, H. (1962). The Development of Curriculum: Theory into Practice. New York: Hardcourt Brace and World

Tanner, D dan Tanner, L.N (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc.

Unruh, G.G. dan Unruh, A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation.

Yamin, Muhd (1954). Dasar Pendidikan dan Pengadjaran.

  184

Yunus, M. (1992). Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya

Waring, M. (1979). Social Pressures and Curriculum Innovation: A Study of the Nuffield Foundation Science Teaching Project. London: Methuen

 

 

  185

DOKUMEN

1. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah

2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran Disekolah untuk Seluruh Indonesia

3. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional 4. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional 5. Dokumen Kurikulum 1964 6. Dokumen Kurikulum 1968 7. Dokumen Kurikulum 1975 8. Dokumen Kurikulum 1984 9. Dokumen Kurikulum 1994 10. Dokumen Kurikulum 2004 11. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 12. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005 13. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2005 14. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 15. TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 16. TAP MPR Nomor IV/MPR/1973 17. TAP MPR Nomor II/MPR/1978 18. TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 19. TAP MPR Nomor II/MPR/1983 20. TAP MPR Nomor II/MPR/1988 21. Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, Kurasawa 1991

  186