Buku Pend Kewarganegaraan

download Buku Pend Kewarganegaraan

of 158

Transcript of Buku Pend Kewarganegaraan

BAB I PENDAHULUANA.

Pengertian dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan kewarganegaraan sebenarnya dilakukan dan dikembangkan di

1.

seluruh dunia, meskipun dengan berbagai macam istilah atau nama. Mata kuliah tersebut sering disebut sebagai civic education, citizenship education, dan bahkan ada yang menyebut sebagai democracy education. Mata kuliah ini memiliki peran yang strategis dalam mempersiapkan warganegara yang cerdas, bertanggung jawab dan berkeadaban. Berdasarkan rumusan "Civic International (1995), disepakati bahwa pendidikan demokrasi penting untuk perturnbuhan civic culture, untuk keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan demokrasi (Mansoer, 2005). Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta surat keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikara Nasional) Nomor 43/DIKTI/Kep/2006, tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi terdiri atas mata kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian tersebut wajib diberikan di semua fakultas dan jurusan di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Dengan adanya penyempurnaan kurikulum mata kuliah pengembangan kepribadian tersebut maka pendidikan kewarganegaraan memiliki paradigma baru, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan berbasis Pancasila. Kiranya akan menjadi sangat relevan jikalau pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dewasa ini sebagai sintesis antara . "civic education", "democracy education", serta "citizenship eduction" yang berlandaskan Filsafat Pancasila, serta mengandung muatan identitas nasional Indonesia, serta muatan makna pendidikari pendahuluan bela negara (Mansoer, 2005). Hal ini berdasarkan kenyataan di seluruh negara di dunia, bahwa kesadaran demokrasi serta implementasinya harus senantiasa

1

dikembangkan dengan basis filsafat bangsa, identitas nasional, kenyataan dan pengalaman sejarah bangsa tersebut, serta dasar-dasar kemanusiaan dan keadaban. Oleh karena itu dengan pendidikan kewarganegaraan diharapkan intelektual indonesia memiliki dasar kepribadian sebagai warga negara yang demokratis, religius, berkemanusiaan dan berkeadaban.2.

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Berdasarkan Keputusan DIRJEN DIKTI No. 43/DIKTI/Kep/2006, tujuan

pendidikan Kewarganegaraan adalah dirumuskan dalam visi, misi dan kompetensi sebagai berikut. Visi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada suatu reafitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah sebagai generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religius, berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan bangsanya. Misi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah untuk membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya, agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa tanggung jawab dan bermoral. Oleh karena itu kompetensi yang diharapkan mahasiswa adalah untuk menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis, berkeadaban. Selain itu kompetensi yang diharapan agar mahasiswa menjadi warganegara yang memiliki daya saing, berdisiplin, berpartisipasi aktif dalam mernbangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila. Berdasarkan pengertian tersebut maka kompetensi mahasiswa dalam pendidikan tinggi tidak dapat dipisahkan dengan filsafat bangsa. B. Landasan Ilmiah dan Landasan Hukum 1. Landasan Ilmiah

2

a. Kewarganegaraan

Dasar Pemikiran Pendidikan Setiap warga negara dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi

negara dan bangsanya, serta mampu mengantisipasi perkembangan dan perubahan masa depannya. Untuk itu diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (Ipteks) yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral, nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai dasar tersebut berperan sebagai panduan dan pegangan hidup setiap warganegara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahasan Pendidikan Kewarganegaraan meliputi hubungan antara warganegara dan negara, serta pendidikan pendahuluan bela negara yang semua ini berpijak pada nilai-nilai budaya serta dasar filosofi bangsa. Tujuan utama Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan Kesadaran bernegara, serta membentuk sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan kebudayaan dan filsafat bangsa Pancasila. Sebagai suatu perbandingan, di berbagai negara juga dikembangkan materi Pendidikan Umum (General Education/Humanities) sebagai pembekalan nilai-nilai yang mendasari sikap dan perilaku warganegaranya.1) 2) 3)

Amerika Serikat : History, Humanity, dan Philosophy. Jepang : Japanese History, Ethics, dan Philosophy. Filipina : Philipino, Family Planning, Taxation and Land Reform, The Di beberapa negara dikembangkan pula bidang studi yang sejenis dengan

Philiphine New Constitution, dan Study of Human Rights. Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu yang dikenal dengan Civics Education. b. Kewarganegaraan Setiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah, yaitu mempunyai objek, metode; sistem dan bersifat universal. Objek pembahasan setiap ilmu harus jelas, baik objek material maupun objek formalnya. Objek material adalah bidang sasaran yang dibahds dan dikaji oleh suatu bidang atau cabang ilmu. Sedangkan objek formal adalah sudut pandang tertentu yang dipilih untuk membahas objek material Objek Pembahasan Pendidikan

3

tersebut. Adapun objek material dari Pendidikan Kewarganegaraan adalah segala hal yang berkaitan dengan warganegara baik yang empirik maupun yang nonempirik, yang meliputi wawasan, sikap dan perilaku warganegara dalam kesatuan bangsa dan negara. Sebagai objek formalnya mencakup dua segi, yaitu segi hubungan antara warganegara dan negara (termasuk hubungan antar warganegara) dan segi pembelaan negara. Dalam hal ini pembahasan Pendidikan kewarganegaraan terarah pada warga negara Indonesia dalam hubungannya dengan negara Indonesia dan pada upaya pembelaan negara Indonesia. Objek pembahasan Pendidikan Kewarganegaraan menurut Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi No. 43/DIKTI/KEP/2006 dijabarkan lebih rinci yang meliputi pokok-pokok bahasan sebagai berikut: Substansi kajian Pendidikan Kewarganegaraan mencakup :1)

Filsafat Pancasila

2) Identitas Nasional 3) Negara dan Konstitusi 4) Demokrasi Indonesia 5) Rule of Law dan Hak Asasi Manusia 6) Hak dan Kewajiban Warganegara serta Negara 7) Geopolitik Indonesia 8) Geostrategi Indonesiac.

Rumpun Keilmuan Pendidikan Kewarganegaraan dapat disejajarkan dengan Civics Education

yang dikenal di berbagai negara. Sebagai bidang studi ilmiah, Pendidikan Kewarganegaraan bersifat antardisipliner (antar bidang) bukan monodisipliner, karena kumpulan pengetahuan yang membangun ilmu Kewarganegaraan ini diambil dari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu upaya pembahasan dan pengembangannya memerlukan sumbangan dari berbagai disiplin ilmu yang meliputi ilmu politik, ilmu hukum, ilmu filsafat, ilmu sosiologi, ilmu administrasi negara, ilmu ekonomi pembangunan, sejarah perjuangan bangsa dan ilmu budaya.2.

Landasan Hukum

4

a.1)

UUD 1945 Pembukaan UUD 1945, khusus pada alinea kedua

dan keempat, yang memuat cita-cita tujuan dan aspirasi bangsa Indonesia tentang kemerdekaannya.2)

Pasal 27 (1) menyatakan bahwa "Segala warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pernerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".3)

Pasal 30 (1) menyatakan bahwa "tiap-tiap warga Pasal 31 (1) menyatakan bahwa "tiap-tiap warga Ketetapan MPR No. II/MFR/1999 tentang Garis-garis Undang-Undang No. 20 Thun 1982 tentang Ketentuan-

negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.4)

negara berhak mendapatkan pengajaran." b.c.

Besar Haluan Negara. ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Jo. UU No. 1 Tahun 1988)1)

Dalam pasal l8 (a) disebutkan bahwa hak kewajiban warga negara yang

diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan Pendahuluan Bela Negara sebagai bagian tak terpisahkan dalam sistem Pendidikan nasional.2)

Dalam pasal 19 (2) disebutkan bahwa Pendidikan Pendahuluan Bela Negara

wajib diikuti oleh setiap warga negara dan dilaksanakan secara bertahap. Tahap awal pada tingkat pendidikan dasar sampai Pendidikan menengah ada dalam gerakan Pramuka. Tahap lanjutan pada tingkat pendidikan tinggi ada dalam bentuk Pendidikan Kewiraan.d.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional dan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil belajar Mahasiswa dan Nomor 45/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi telah ditetapkan bahwa Pendidikan Agama, Pendidikan Bahasa dan Pendidikan Kewargenegaraan merupakan kelompok

5

Mata kuliah Pengembangan Kepribadian, yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi kelompok program studi.e.

Adapun pelaksanaannya berdasarkan surat Keputusan

Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Nomor 43/DIKTI/Kep/2006, yang memuat rambu-rambu pelaksanaan kelompok Mata kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.

6

BAB II FILSAFAT PANCASILAA. Pengertian Filsafat Dalam wacana ilmu pengetahuan sebenarnya pengertian filsafat adalah sangat sederhana dan mudah dipahami. Filsafat adalah satu bidang ilmu yang senahtiasa ada dan menyertai kehidupan manusia. Dengan lain perkataan selama manusia hidup, maka sebenarnya ia tidak dapat mengelak dari filsafat, atau dalam kehidupan manusia senantiasa berfilsafat. Jikalau seseorang hanya berpandangan bahwa materi merupakan sumber kebenaran dalam kehidupan, maka orang tersebut berfilsafat materialisme. Jikalau seseorang berpandangan bahwa kenikmatan adalah merupakan nilai terpenting dan tertinggi dalam kehidupan maka orang tersebut berpandangan filsafat hedonisme, demikian juga jikalau seseorang berpandangan bahwa dalam kehidupan masyarakat dan negara adalah kebebasan individu, maka arang tersebut berfilsafat liberalisme, jikalau seseorang memisahkan antara kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan dan kehidupan agama, maka orang tersebut berfilsafat, sekulerisme, dan masih banyak pandangan filsafat lainnya. Sebelum dipahami lebih lanjut tentang pengertian filsafat maka dipandang penting untuk terlebih dahulu memahami istilah dan pengertian "filsafat". Secara etimalogis istilah "filsafat" berasal dari bahasa Yunani "philein" yang artinya "cinta" dan "sophos" yang artinya "hikmah" atau "kebijaksanaan" atau "wisdom" (Nasution, 1973). Jadi secara harfiah istilah filsafat adalah mengandung makna cinta kebijaksanaan. Hal ini nampaknya sesuai dengan sejarah timbulnya ilmu pengetahuan, yang sebelumya di bawah naungan filsafat. Jadi manusia dalam kehidupan pasti memilih apa pandangan dalam hidup yang dianggap paling benar, paling baik dan membawa kesejahteraan dalam kehidupannya, dan pilihan manusia sebagai suatu pandangan dalam hidupnya itulah yang disebut filsafat. Pilihan manusia atau bangsa dalam menentukan tujuan hidupnya ini dalam rangka untuk mencapai kebabagiaan dalam kehidupannya.

7

Jikalau ditinjau dari lingkup pembahasannya, maka filsafat meliputi banyak bidang bahasan antara lain tentang manusia, masyarakat, alam, pengetahuan, etika, logika, agama, estetika dan bidang lainya. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka muncul dan berkembang juga ilmu filsafat yang berkaitan dengan bidang-bidang ilmu tertentu, misalnya filsafat sosial, filsafat hukum, filsafat politik, filsafat bahasa, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat lingkungan, filsafat agama dan filsafat yang berkaitan dengan bidang ilmu lainnya. Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam sebagai berikut: Pertama : Filsafat sebagai produk mencakup pengertiana.

Pengertian filsafat yang mencakup arti-arti filsafat sebagai jenis

pengetahuan, ilmu, konsep dari para filsuf pada zaman dahulu, teori, sistem atau pandangan tertentu, yang merupakan hasil dari proses berfilsafat dan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.b.

Filsafat sebagai suatu jenis problema yang.dihadapi oleh manusia sebagai

hasil dari aktivitas berfilsafat. Filsafat dalam pengertian jenis ini mempunyai ciri-ciri khas tertentu sebagai suatu hasil kegiatan berfilsafat dan pada umumnya proses pemecahan persoalan filsafat ini diselesaikan dengan kegiatan berfilsafat (dalam pengertian filsafat sebagai proses yang dinamis). Kedua : Filsafat sebagai swim proses mencakup pengertian Filsafat yang diartikan sebagai bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objek permasalahannya. Dalam pengertian ini filsafat merupakan suatu sistem pengetahuan yang bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian ini tidak lagi hanya merupakan sekumpulan dogma yang hanya diyakini ditekuni dan dipahami sebagai suatu sistem nilai tertentu, tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat, suatu proses yang dinamis dengan menggunakan suatu cara dan metode tersendiri. B. Pengertian Pancasila sebagai Suatu Sistem

8

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud dengan sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh, sistem lazimnya memiliki ciriciri sebagai berikut : 1) Suatu kesatuan bagian-bagian2)

Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem) Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich, 1974:22). Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila setiap sila

3) Saling berhubungan, saling ketergantungan4)

5)

pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri tujuan tertentu, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. lsi sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Dasar filsafat negara Indonesia terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan suatu asas peradabab: Namun demikian sila-sila Pancasila itu bersama-sama merupakan suatu kesatuan dan keutuhan, setiap sila menupakan suatu unsur (bagian yang mutlak) dari kesatuan Pancasila. Maka dasar filsafat negara Pancasila adalah merupakan suatu kesatuan yang bersifat majemuk tunggai (majemuk artinya jamak) (tunggal artinya satu). Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri terpisah dari sila yang lainnya. Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafaf pada hakikatnya menupakan suatu kesatuan organis. Antara sila-sila pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Sila yang satu senantiasa dikualifikasi oleh sila-sila lainnya. Secara demikian ini maka Pancasila pada hakikatnya merupakan sistem, dalam pengertian bahwa bagian-bagian, sila-silanya saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh. Pancasila sebagai suatu sistem juga dapat dipahami dari pemikiran dasar yang terkadung dalam Pancasila,, yaitu pemikiran tentang manusia dalam

9

hubungannya dengan Tuhan yang Maha Esa, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilainya telah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan suatu sistern dalam pengertian kefilsafatan sebagaimana sistern filsafat lainnya antara lain materliasisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, sosialisme dan sebagainya. Kenyataan Pancasila yang demikian itu disebut kerryataan abjektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada Pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain, atau terlepas dari pengetahuan orang. Kenyataan objektif yang ada dan terlekat pada Pancasila, sehingga Pancasila sebagai suatu sistern filsafat bersifat khas dan berbeda dengan sistemsistem filsafat yang lainnya misalnya liberalisme, materialisme, komunisme dan aliran filsafat yang lainnya. Hal ini secara ilmiah disebut ciri khas secara objektif (Notonagoro, 1975:14). Misalnya kita mengamati jenis-jenis logam tertentu, emas, perak, tembaga dan lainnya. Kesemua jenis (ogam tersebut memiliki ciri khas tersendiri, antara lain meliputi berat jenis, warna, sifat molekulnya dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan suatu sifat objektif yang dimiliki oleh logam-logam tertentu sehingga disebut emas, perak, maupun tembaga. Jadi ciri khas yang dimiliki oleh sesuatu itu akan menunjukkan jati diri, atau sifat yang khas dan khusus yang tidak dimiliki oleh sesuatu hal lainnya. Oleh karena itu Pancasila sebagai suatu sistem filsafat akan memberikan ciri-ciri yang khas, yang khusus yang tidak terdapat pada sistern filsafat lainnya.C. 1.

Kesatuan Sila-Sila Pancasila Susunan Pancasila yang bersifat Hierarkis dan Berbentuk Piramidal

Susunan Pancasila adalah hierarkis dan mempunyai bentuk piramidal. Pengertian matematika piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhi silasila dari Pancasila dalam urut-urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal sifatsifatnya (kwalitas). Kalau dilihat dari intinya, urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi-sifatnya, merupakan pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya. Jika urut-urutan lima sila dianggap mempunyai maksud demikian, maka di antara lima sila ada hubungan yang mengikat yang satu kepada yang lain sehingga Pancasila suatu kesatuan keseluruhan yang bulat. Andai

10

kata urut-urutan itu dipandang sebagai tidak mutlak. Di antara satu sila dengan sila lainnya tidak ada sangkut-pautnya, maka Pancasila itu menjadi terpecah-pecah, oleh karena itu tidak dapat dipergunakan sebagai suatu asas kerokhanian bagi Negara. Jikalau tiap-tiap sila dapat diartikan dalam bermacam-macam maksud, sehingga sebenarnya lalu sama saja dengan tidak ada Pancasila. Dalam susunan hierarkhis dan piramidal ini, maka Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-sila lainnya. Dengan demikian dimungkinkan penyesuaian dengan keperluan dan kepentingan keadaan, tempat dan waktu, artinya sesuai dengan keperluan dan kepentingan keadaan, tempat dan waktunya, dalam pembicaraan kita berpokok pangkal atau memusatkan diri dalam hubungannya hierarkhis piramidal semestinya. Secara ontologis kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal adalah sebagai berikut : bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa Prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (Sila 1). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (Sila 2). Maka negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (Sila 3). Sehingga terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Maka rakyat pada hakikatnya merupakan unsur negara di samping witayah dan pemerintah. Rakyat sdalah sebagai totatitas Individu-individu dalam negara yang bersatu (Sila 4). Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam hidup bersama atau dengaln lain perkataan keadilan sosial (sila 5) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara (lihat Notonagoro, 1984:61 dan 1975: 52,57).

11

2. Kesatuan Sila-sila Pancasila yang saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi Sila-sila Paneasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam rangka hubungan hierarkhis piramidal tadi. Tiap-tiap sila seperti telah disebutkan di atas mengandung empat sila lainnya, dikualifikasi oieh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan dari hubungan kesatuan keseluruhan dari sila-sila Pancasala dipersatukan dengan rumus hierarkhis tersebut di atas.1.

Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

berkemanusiaan yang adi) dan-beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan 2. permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila kedua : kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam yang Berketuhan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan Indonesia.3.

permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Sila ketiga : persatuan Indonesia adalah persatuan yang berke-

Tuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perm usyawaratan/perwakiIan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.4.

Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratanlpenwakilan, adalah kerakyatan yang Berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosiai bagi seluruh rakyat Indonesia.5.

Sila kelima : keadiian sosial bagi seluluh rakyat Indonesia adalah

keadilan yang Berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. (Notonagoro, 1975:43,44)

12

D.

Kesatuaa Sila-sila Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan

kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Sebagaimaga dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal, digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalarn urut-urutan luas (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalarn arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhis dalam hal kuantitas juga dalarn hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila (Notonagoro, 1984:52 dan 1975:52,57). Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem fisafat memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme dan lain paham filsafat di dunia.1.

Dasar Ontologis Sila-sila Pansila Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang

menyangkut sila-silanya saja melainkan juga meliputi kikat dasar dari sila-sita Pancasila atau secara filosofis merupakan dasar ontologis sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar onzologis Pansila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokbk sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusayawaratan /perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro, 1975: 23 ). Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat negara bahwa Pancasila

13

adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok aegara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri, sehingga tepatlah jikalau dalam filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar untropotogis sila-sita Pancasila adalah manusia. Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa jasmani dan rokhani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang lainnya (Notonagoro, 1975 :53). Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab adapun negara adalah sebagai akibat. Sebagai suatu sistem filsafat landasan sila-sila Pancasila itu dalam hal isinya menunjukkan suatu hakikat makna yang bertingkat ( Notonagora, tanpa tahun: ?), serta ditinjau dari keluasannya memiliki benl tuk piramidal.2.

Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan

suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila dalam pengertian seperti yang demikian ini telah menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan (belief system) yang telah menyangkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berarti filsafat telah menjelma menjadi ideologi (Abjulgani, 1998). Sebagai suatu ideologi maka

14

Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari pendukungnya yaitu : 1) logos yaitu rasionalitas atau penalarannya, 2) pathos yaitu penghayatannya, dan 3) ethos yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996: 3). Sebagai suatu sistem filsafat serta ideologi maka Pancasila harus memiliki unsur rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan. Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilainilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila (Soeryanto, 1991: 50). Oleh karena itu dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996: 32 ). Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yatu : pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia (Titus, 1984 : 20). Persoalan epistemologi dalam hubungannya dengan Pancasila dapat dirinci sebagai berikut : Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana dipahami bersama bahwa sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari banga lain, bukannya hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Dengan lain perkataan bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki nilai-nilai adat-istiadat serta kebudayaan dan nilai religius, maka diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila dengan Pancasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.

15

Berikutnya tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, dimana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya serta sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila-sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua serta mendasari dan menjiwai sila-sila keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga serta mendasari dan menjiwai sila kelima, adapun sila kelima didasari dan dijiwai sila-sila pertama, kedua, ketiga dan keempat. Demikianlah maka susunan sila-sila Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila. Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal yaitu: pertama, isi arti Pancasila yang umum universal yaitu hakikat sila-sila Pancasila. Isi arti sila-sila Pancasila yang umum universal ini merupakan inti sari atau, esensi Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak derivasi baik dalam pelaksanaan pada bidang-bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan kongkrit. Kedua, isi arti Pancasila yang umum kotektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia. Ketiga, isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat yang khusus kongkrit serta dinamis (lihat Nota nagoro, 1975 : 36,40): Pembahasan berikutnya adalah pandangan Pancasila tentang pengetahuan manusia. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa masalah epistemology Pancasila diletakkan dalam kerangka bangunan filsafat manusia. Maka konsepsi dasar ontoltigis sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar pijak epistemologi Pancasila. Menurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rokhani). Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsur-unsur : fisis anorganis, vegeratif, animal. Adapun unsur

16

jiwa (rokhani) manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa manusia yaitu ; akal, yaitu suatu potensi unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan kebenaran pengetahuan manusia. Rasa yaitu unsur potensi jiwa manusia dalam tingkatan kemarnpuan estetis (keindahan). Adapun kehendak adalah unsur potensi jiwa manusia dalam kaitannya dengan bidang moral atau etika. Menurut Notonagoro datam skema potensi rokhaniah manusia terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan akal manusia merupakan sumber daya cipta manusia dan dalam kaitannya dengan upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar terdapat tingkat-tingkat pemikiran sebagai berikut : memoris reseptif, kritis dan kreatif. Adapun potensi atau daya untuk meresapkan pengetahuan atau dengan lain perkataan transformasi pengetahuan terdapat tingkatan sebagai berikut : demonstrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham (Notonagoro, tanpa tahun : 3). Berdasarkan tingkatan tersebut di atas maka Pancasila mengakui kebenaran rasio yang bersumber pada akal manusia. Selain itu manusia memiliki indra sehingga dalam proses reseptif indra merupakan alat untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan yang bersifat empiris. Maka Pancasila juga mengakui kebenaran empiris terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan manusia yang bersifat positif. Potensi yang terdapat dalam diri manusia untuk mendapatkan kebenaran terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan positif Pancasila juga mengakui kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak hal ini sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi. Kebenaran dalam pengetahuan manusia adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi yaitu kebenaran mutlak. Selain itu dalam sila ketiga yaitu persatuan Indonesia, sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Adapun sesuai

17

dengan tingkatan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal maka kebenaran konsensus didasari oleh kebenaran wahyu serta kebenaran kodrat manusia yang bersumber pada kehendak. Sebagai suatu paham epistemologi maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.3.

Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila Sila-sila Pancasila sebagai sutau sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan

dasar aksiologisnya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masingmasing dalam menentukan tentang pengertian nilai dan hierarkhinya. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan pada dua macam sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia, hal ini bersifat subjektif namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu itu memang pada dirinya sendiri memang bernilai, hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme. Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak pandangan tentang nilai terutama dalam menggolong-golongkan nilai dan penggolongan tersebut amat beraneka ragam tergantung pada sudut pandangnya masing-masing. Max-Scheler misalnya mengemukakan bahwa nitai pada hakikatnya berjenjang, jadi tidak sama tingginya dan tidak sama luhurnya. Nilai-nilai itu dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bilamana dibandingkan satu dengan lainnya. Sejalan dengan pandangan tersebut,

18

Notonagoron merinci nilai di samping bertingkat juga berdasarkan jenisnya ada yang bersifat material dan nonmaterial. Dalam hubungan ini manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada sekelompok orang mendasarkan pada orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai yang nonmaterial. Bahkan sesuatu yang nonmaterial itu mengandung nilai yang bersifat mutlak bagi rnanusia. Nilai-nilai material relatif lebih mudah diukur yaitu menggunakan indra maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar, luas dan sebagainya. Dalam menilai hal-hal yang bersifat rokhaniah yang menjadi alat ukur adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indra manusia yaitu cipta, rasa, karsa serta keyakinan manusia. Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai Pancasila termasuk nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematikhierarkhis, di mana sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya (Darmodi-ardjo, 1978). a. Teori Nilai Terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian serta hierarkhi nilai. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dan penggolongan tersebut amat beranekaragam, tergantung pada sudut pandang dalam rangka penggolongan itu. Sebagaimana dijelaskan di muka, Max Scheler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih tinggi

19

dan ada yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan sebagai berikut :1)

Nilai-nilai kenikmatan : dalam tingkat ini terdapat

deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan (Die Wertreihe des Angnehmen und Unangehmen), yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.2)

Nilai-nilai kehidupan : dalam tingkat ini terdapatlah

nilai-nilai yang penting bagi kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens) misalnya kesehatan.3)

Nilai-nilai kejiwaan : dalam tingkat ini terdapat nilai-

nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini ialah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.4)

Nilai-nilai

kerokhanian

:

dalam

tingkat

ini

terdapatlah modalitas nilai dari yang suci dan tak suci (wermodalitas des Heiligen und Unheiligen). Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi (Frondizi, 1963; Driyarkara, 1978 : Walter G.Everet menggolong-golongkan nilai-nilai manusiawi ke dalam delapan kelompok yaitu : 1) Nilai-nilai ekonomis (ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli) 2) Nilai-nilai kejasmanian (membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan). 3) Nilai-nilai hiburan (nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan).4) 5)

Nilai-nilai sosial ( berasal mula dari berbagai bentuk perserikatan manusia). Nilai-nilai watak (keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang Nilai-nilai estetis (nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni) Nilai-nilai intelektnal (nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran).

diinginkan).6) 7)

8) Nilai-nilai keagamaan.

20

Notonagoro membagi nilai menjadi tiga yaitu : 1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.2)

Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani Nilai

mengadakan kegiatan atau aktivitas.3)

kerokhanian ini dapat dibedakan atas empat macam. a) Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.b)

Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, gevoel, rasa) manusia. Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, Wollen, karsa) rnanusia.

c)

d) Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia. Masih banyak lagi cara pengelompokan nilai, misalnya seperti yang dilakukan N. Recher, yaitu pembagian ini berdasarkan pembawa nilai, hakikat keuntungan yang diperoleh, dan pula dengan pengelompokan nilai menjadi nilai instrinsik dan ekstrinsik, nilai objektif dan nilai Subyektif nilai positif dan nilai negatif (siisvalue), dan sebagainya. Dari berbagai macam teori nilai diatas, dapat dikemukakan pula bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berwujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud nonmaterial atau immaterial. Bahkan sesuatu yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material relatif lebih mudah diukur, yaitu dengan menggunakan alat indera maupun alat pengukur seperti berat, panjang, luas dan sebagainya. Sedangkan nilai kerokhanian/spiritual lebih sulit mengukurnya. Dalam menilai hal-hal kerokhanian/spiritual, yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indra, cipta, rasa, karsa dan keyakinan manusia. Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui adanya nilai material dan

21

nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang sistematis-hierarkhis, yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai `dasar' sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai `tujuan' (Darmodiharjo, 1978). b. Nilai-nilai Pancasila sebagai Suatu Sistem Isi arti sila-sila Pancasila pada hakikatnya dapat dibedakan atas, hakekat Pancasila yang umum universal yang merupakan substansi sila-sila Pancasila, sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan negara yaitu sebagai dasar negara yaitu bersifat umum kolektif serta aktualisasi Pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit dalam berbagai bidang kehidupan. Hakikat sila-sila Pancasila (substansi Pancasila) adalah merupakan nilai-nilai, sebagai pedoman negara adalah merupakan norma, adapun aktuatisasinya merupakan realisasi kongkrit Pancasila. Substansi Pancasila dengan kelima silanya yang terdapat pada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Prinsip dasar yang mengandung kualitas tertentu itu merupakan cita-cita dan harapan atau hal yang ditujukan oleh bangsa Indonesia untuk diwujudkan menjadi kenyataan real dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Namun di samping itu, prinsip-prinsip dasar tersebut sebenarnya juga diangkat dari kenyataan real. Prinsip-prinsip tersebut telah menjelma dalam tertib sosial, tertib masyarakat dan tertib kehidupan bangsa Indonesia, yang dapat ditemukan dalam adat istiadat, kebudayaan dan kehidupan keagamaan atau kepercayaan bangsa Indonesia. Secara demikian pula sesuai dengan isi yang terkandung di dalam Pancasila itu, yang mengandung tiga masalah pokok dalam kehidupan manusia Indonesia yaitu bagaimana `seharusnya' manusia itu terhadap Tuhan, dirinya sendiri dan segala sesuatu di luar dirinya, maka dalam hal ini dapat diketahui adanya implikasi nilainilai moral. Dengan demikian substansi Pancasila itu merupakan nilai, yang harus dijabarkan lebih lanjut ke dalam suatu norma dan selanjutnya direalisasikan dalam kehidupan nyata.

22

Nilai-nilai yang terkandung dalam sila I sampai dengan sila V Pancasila merupakan cita-cita, harapan, dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Sejak dahulu kala nilai-nilai itu selalu didambakan, dicitacitakan bangsa Indonesia agar terwujud dalam masyarakat yang tata tentram, karta raharja, gemah ripah loh jinawi, dengan penuh harapan diupayakan terrealisasi dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia. Namun seperti yang telah diuraian pada bagian-bagian sebelumnya, Pancasila yang pada tahun 1445 secara formal diangkat menjadi das Sollen bangsa Indonesia, sebenarnya dianggap dari kenyataan real yang berupa prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam adatistiadat, kebudayaan dan kehidupan keagamaan atau kepercayaan bangsa Indonesia. Driyarkara menyatakan bahwa bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan Sein im Sollen la merupakan harapan, cita-cita, tetapi sekaligus adalah kenyataan bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia dalam hal ini merupakan pendukung nilai-nilai (subscriber of values) Pancasila. Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang, perpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukumg nilai, bangsa Indonesia itulah yang menghargai, mengakui, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penghargaan dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau penghargaan itu telah menggejala dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia dan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dan bobot yang berbeda, namun nilai-nilai itu tidak saling bertentangan. Akan tetapi nilai-nilai itu saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai suatu substansi, Pancasila itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, atau kesatuan organik (organic whole). Dengan demikian berarti nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh pula. Nilai-nilai itu saling berhubungan secara erat dan nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan dari nilai

23

yang lain. Atau nilai-nilai yang ada itu, dimiliki bangsa Indonesia, yang akan memberikan pola (patroon) bagi sikap, tingkah laku dan perbuatan, bangsa Indonesia (Kodhi, I994). Pengertian Pancasila itu merupakan suatu sistem nilai dapat dilacak dari sila-sila Pancasila yang merupakan suatu sistem. Sila-sila itu merupakan kesatuan organik. Antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan secara erat, bahkan saling mengkualifikasi. Adanya sila yang satu mengkualisikasi adanya sila yang lainnya. Secara demikian, Pancasila itu merupakan suatu sistem dalam pengertian umum, dalam artian bahwa bagian-bagiannya (sila-silanya) saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh. Dari uraian mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila itu pula, tampak dengan jelas bahwa nilai-nilai yang termuat dalam Pancasila termasuk dalam tingkatan nilai yang tinggi, dengan urutan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menduduki tingkatan dan bobot nilai tertinggi, karena secara jelas mengandung nilai religius. Pada tingkatan di bawahnya adalah keempat nilai manusiawi dasar. Apabila keempat nilai manusiawi dasar itu akan diberikan tingkatan dan bobot nilainya, maka nilai kemanusiaan, tingkatan dan bebot nilainya layak dinyatakan berada di bawah nilai ketuhanan. Nilai keadilan sebagai salah satu nilai manusiawi dasar, dalam hubungannya dengan tingkatan dan bobot nilai kiranya harus diletakkan dalam tempat ketiga di bawah nilai kemanusiaan. Namun sesuai dengan sifat dasar bangsa Indonesia yang sangat menekankan kerukunan, maka nilai persatuan mempunyai tingkatan dan bobot nilainya, kiranya nilai persatuan mempunyai tingkatan dan bobot yang lebih tinggi dari nilai kerakyatan, karena nilai kerakyatan iebih merupakan sarana yang perlu untuk mencapai persatuan. Suatu hal yang diberikan penekanan lebih dahulu yakni meskipun nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dan bobot nilai yang berbeda yang berarti ada 'keharusan' untuk menghormati nilai yang lebih tinggi, nilai-nilai yang berbeda tingkatan dari bobot nilainya itu tidak saling berlawanan atau bertentangan, melainkan saling melengkapi.

24

E.

Pancasila sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara Dasar Fitosofes Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa

Republik Indonesia 1.

Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sebagai suatu dasar filsafat maka sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Oleh karena merupakan suatu sistem filsafat maka kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendirisendiri, melainkan memiliki esensi makna yang utuh. Dasar pemikiran filosofis dari sila-sila Pancasila sebagai dasar filsafat negara adalah sebagai berikut: Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia, mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari suatu pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan dalam hidup manusia (legal society) atau masyarakat hukum. Adapun negara yang didirikan oleh rnanusia itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga dari negara sebagai persekutuan hidup adalah berkedudukan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Negara yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya atau makhluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk tervvujudnya suatu negara sebagai organisasi hidup manusia maka harus membentuk persatuan ikatan hidup bersama sebagai suatu bangsa (hakikat sila ketiga). Terwujudnya persatuan dalam suatu negara akan melahirkan rakyat sebagai suatu bangsa yang hidup dalam suatu wilayah negara tertentu. Sehingga dalam hidup kenegaraan itu haruslah mendasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan asal-mula kekuasaan negara. Maka merupakan suatu keharusan bahwa negara harus bersifat demokratis hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin baik sebagai individu maupun secara bersama

25

(hakikat sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai tujuan bersama dari seluruh warga negaranya maka dalam hidup kenegaraan harus mewujudkan jaminan perlindungan bagi seluruh warganya, sehingga untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial) (hakikat sila kelima). Nilai-nilai inilah yang merupakan suatu nilai dasar bagi kehidupan kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Dalam hubungannya dengan pengertian nilai sebagaimana tersebut di atas maka Pancasila tergolong nilai kerokhanian, akan tetapi nilai kerokhanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital karena pada hakikamya menurut Pancasila bahwa negara adalah jasmani rokhani. Selain itu dalam Pancasila yang merupakan nilai-nilai kerokhanian itu di dalamnya terkandung nilai-nilai lainnya secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, vital, kebenaran (Kenyataan), estetis, etis maupun nilai religius. Hal ini dapat dibuktikan pada nilai-nilai Pancasila yang tersusun secara hierarkhis piramidal yang bulat dan utuh. Selain itu secara kausalitas bahwa nilai-nilai Pancasila adalah bersifat objektif dan juga subjektif. Artinya esensi nilai-nilai Pancasila adalah bersifat universal yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Sehingga dimungkinkan dapat diterapkan pada negara lain walaupun barangkali namanya bukan Pancasila. Artinya jikalau suatu negara menggunakan prinsip filosofi bahwa negara Berketuhanan, Berkemanusiaan, Berpersatuan, Berkerakyatan dan Berkeadilan, maka negara tersebut pada hakikatnya menggunakan dasar filsafat dari nilai sila-sila Pancasila. Nilai-nilai Pancasila bersifat objektif dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya hakikat maknanya yang terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai.2.

Inti nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam ke-

hidupan bangsa Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.

26

3.

Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut

ilmu hukum memenuhi syarat sebagai pokok kaidah yang fundamental negara sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu dalam hierarkhi suatu tertib hukum Indonesia berkedudukan sebagai tertib hukum yang tertinggi. Maka secara objektif tidak dapat diubah secara hukum sehingga terlekat pada kelangsungan hidup negara. Sebagai konsekuensinya jikalau nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu diubah maka sama halnya dengan pembubaran negara Proklamasi 1945, hal ini sebagaimana terkandung dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 diperkuat Tap. No. V/MPR/l973. Jo. Tap. No. IX/MPR/1978. Sebaliknya nilai-nilai subjektif Pancasila dapat diartikan bahwa keberadaan nilai-nilai Pancasila itu bergantung atau terlekat pada bangsa Indonesia sendiri. Pengertian itu dapat dijelaskan sebagai berikut:1.

Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa

Indonesia sebagai kausa materialis. Nilai-nilai tersebut sebagai hasil pemikiran, penilaian kritis, serta hasil refleksi filosofis bangsa Indonesia. 2. Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia sehingga merupakan jati diri bangsa, yang diyakini sebagai sumber nilai atas kebenaran, kebaikan, keadilan dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara.3.

Nilai-nilai Pancasila di dalamnya terkandung ketujuh nilai-nilai

kerokhanian yaitu nitai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, etis, estetis dan nilai religius, yang manifestasinya sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa (lihat Darmodihardjo, 1996). Nilai-nilai Pancasila itu bagi bangsa Indonesia menjadi landasan, dasar serta motivasi atas segala perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam kehidupan kenegaraan. Dengan perkataan lain bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan das Sollen atau cita-cita tentang kebaikan yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan atau das Seirr.

27

2.

Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya

merupakan suatu sumber dari hukum dasar dalam negara Indonesia. Sebagai suatu sumber dari hukum dasar, secara objektif merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum, serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan, serta watak bangsa Indonesia, yang pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dipadatkan dan diabstraksikan oleh para pendiri negara menjadi lima sila dan ditetapkan secara yuridis format menjadi dasar filsafat Negara Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan No. XX/MPRS/l960. Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis memiliki kedudukan sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Adapun Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya memuat nilai-nilai Pancasila mengandung Empat Pokok Pikiran yang bilamana dianalisis makna yang terkandung di dalamnya tidak lain adalah merupakan derivasi atau penjabaran dari nilai-nilai Paneasila. Pokok Pikiran pertama menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi seperti paham golongan maupun perseorangan. Hal ini merupakan penjabaran sila ketiga. Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkwajiban mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh warga negara. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pokok pikiran ini sebagai penjabaran sila kelima. Pakok Pikiran ketiga menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat. Berdasarkan atas kerakyatan dan pennusyawaratan/perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi yaitu kedaulatan di tangan rakyat. Hal ini sebagai penjabaran sila keempat. Pokak Fikiran keempat menyatakan bahwa, negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini mengandung arti bahwa negara Indonesia menjunjung tinggi keberadaban semua

28

agama dalam pergaulan hidup negara. Hal ini merupakan penjabaran sila pertama dan kedua. Hai itu dapat disimpulkan bahwa keempat pokok pikiran tersebut tidak lain merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila. Pokok pikiran ini sebagai dasar fundamental dalam pendirian negara, yang realisasi berikutnya perlu diwujudkan atau dijelmakan lebih lanjut dalam pasal-pasal UUD 1945. Dengan perkataan lain bahwa dalam penjabaran sila-sila Pancasila dalam peraturan perundangan-undangan bukanlah secara langsung dari sila-sila Pancasila melainkan melalui Pemhukaan UUD 1945. Empat pokok Pikiran dan barulah dikongkritisasikan dalam pasal-pasal UUD 1945. Selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan serta hukum positif di bawahnya. Dalam pengertian seperti inilah maka sebenarnya dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan dasar yang fundamental bagi negara Indonesia terutama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Selain itu bahwa nilai-nilai Pancasila juga merupakan suatu landasan moral etik dalam kehidupan kenegaraan. Hal ini ditegaskan dalam pokok Pikiran keempat yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini mengandung arti bahwa kehidupan kenegaraan harus didasarkan pada moral etik yang bersumber pada nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa dan menjunjung moral kemanusiaan yang beradab. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila yang dituangkan dalam pokok Pikiran keempat ini merupakan suatu dasar fundamental moral dalam kehidupan kenegaraan. Konsekuensinya dalam segala aspek kehidupan negara, antara lain pemerintahan negara, pembangunan negara, pertahanan dan keamanan negara, potitik negara serta pelaksanaan demokrasi harus senantiasa berdasarkan pada moral Ketuhanan dan kemanusiaan. Selain itu dasar fundamental moral dalam kehidupan kenegaraan tersebut juga meliputi moralitas para penyelenggara negara dan seluruh warga negara. Bahkan dasar fundamental moral yang dituangkan dari nilai-nilai Pancasila tersebut juga harus mendasari moral dalam kaitannya dengan politik luar negeri Indonesia.

29

Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia dalam era reformasi dewasa ini seharusnya bersifat rendah hati untuk mawas diri dalam upaya untuk memperbaiki kondisi dan nasib bangsa ini hendaklah didasarkan pada moralitas yang tertuang dalam pokok Pikiran keempat tersebui yaitu moral Ketuhanan dan kemanusiaan agar kesengsaraan rakyat tidak semakin bertambah.F.

Pancasila sebagai ideologi Bangsa dan Negara Indonesia Istilah ideologi berasal dari kata `idea' yang berarti `gagasan, konsep,

pengertian dasar, cita-cita' dan 'logos' yang berarti `ilmu'. Kata `idea' berasal dari kata bahasa Yunani `eidos' yang artinya `bentuk'. Di samping itu ada kata `idei' yang artinya `melihat'. Maka secara harafiah, ideologi berarti ilmu pengertianpengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari, `idea' disamakan artinya dengan `citacita'. Cita-cita yang dimaksud adalah cita-cita yang bersifat tetap yang harus dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetap itu sekaligus merupakan dasar, pandangan atau faham. Memang pada hakikatnya, antara dasar dan cita-cita itu sebenarnya dapat men:pakan satu kesatuan. Dasar ditetapkan karena atas suatu landasan, asas atau dasar yang telah ditetapkan pula. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tetang idea-idea, pengertian dasar, gagasan dan cita-cita. Sebagai suatu idealogi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain didunia, namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara, dengan lain perkataan unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis (asal bahan) Pancasila. Unsur-unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oieh para pendiri negara, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa, dan bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari bangsa lain. Selain itu

30

Pancasila juga bukan hanya merupakan ide-ide atau perenungan dari seseorang saja, yang hanya memperjuangkan suatu kelompok atau golongan tertentu, melainkan Pancasila berasal dari nilai-nilai yang dimiliki oteh bangsa sehingga Pancasila pada hakikatnya untuk seluruh lapisan serta unsur-unsur bangsa secara komperhensif. Oleh karena ciri khas Pancasila itu maka memiliki kesesuaian dengan bangsa Indonesia.G.

Makna Nilai-nilai Setiap Sila Paneasila Sebagai suatu dasar filsafat negara maka sila-sila Pancasila merupakan suatu

sistem nilai, oleh karena itu sila-sila Pancasila itu pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Meskipun dalarn setiap sila terkandung nilai-nilai yang memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya namun kesemuannya itu tidak lain merupakan suatu kesatuan yang sistematis. Oleh karena itu meskipun dalarn uraian berikut ini menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalarn setiap sila, namun kesemuannya itu tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sila-sila lainnya. Konsekuensinya realisasi setiap sila atau derivasi setiap sila senantiasa, dalarn hubngan yang sistemik dengan sila-sila lainnya. Hal ini berdasarkan pada pengertian bahwa makna sila-sila Pancasila senantiasa dalam hubungannya sebagai sistem filsafat.Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut.1.

Ketuhanan Yang Maha Esa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa-ini nilai-nilainya meliputi danmenjiwai

keempat sila iainnya. Dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa terkandung nijai-bahwa negara yang didirikan adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bahkan moral negara, moral penyelenggara negara, politik negara, pemerintahan negara, hukum dan peraturan perundang-undangan negara, kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

31

Demikianlah kiranya nilai-nilai etis yang terkandung dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa yang dengan sendirinya sila pertama tersebut mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya. 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Sila Kemanusiaan yang adil dan Beradab secara sistematis didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, serta mendasari dan menjiwas ketiga sila berikutnya. Sila kemanusiaan sebagai - dasar fundamental dalam kehidupan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan. Nilai-kemanusiaan ini bersumber pada dasar filosofis antropologis bahwa hakikat manusia adalah susunan kodrat rokhani (jiwa) dan raga, sifat kodrat individu dan makhluk sosial; kedudukan kodrat makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Oleh karena itu dalam kehidupan kenegaraan terutama dalam peraturan perundangundangan negara harus mewujudkan tercapainya tujuan ketinggian harkat dan marcabat manusia, terutama hak-hak kodrat manusia sebagai hak dasar (hak asasi) harus dijamin dalarn peraturan perundang-undangan negara. Kemanusiaan yang adi) dan beradab adalah mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya balk terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungannya. Nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya bermorai dan beragama. Dalam kehidupan kenegaraan harus senantiasa dilandasi oleh moral kemanusiaan antara lain dalam kehidupan pemerintahan negara, politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, pertahan dan keamanan serta dalam kehidupan keagamaan. Oleh karena itu dalam kehidupan hersama dalam negara harus dijiwai oleh moral kemanusiaan untuk saling menghargai sekalipun terdapat suatu perbedaan karena hal itu merupakan suara bawaan kodrat manusia untuk saling menjaga keharmonisan dalam kehidupan bersama.

32

Nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beadab harus berkodrat adil. Hal ini mengandung suatu pengertian bahwa hakikat manusia harus adil dalam hubungan dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap 'I`uhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya nilai yang terkandung dalam Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menghargai atas kesamaan hak dan derajat tanpa membedakan suku, ras, keturunan, status sosial maupun agama. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tenggang rasa, tidak semenamena terhadap sesama manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (Darmodihardjo, 1996). Demikianlah kerttudian berikutnya nilai-nilai tersebutharus dijabarkan dalam segala aspek kehidupan negara termasuk juga dalam berbagai kebijakan negara sebagai realisasi pembangunan nasional. 3. Persatuan Indonesia Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak dapat dipisahkan, dengan keempat sila lainnya karena selurtth sila merupakan suatu kesatuan yang bersifat sistematis. Sila Persatuan Indonesia didasari dan dijiwai Web sila Ketuhanan yang Maha Esa dan Keaanusiaan yang adii dan beradab serta mendasari dan dijiwai sifa Keikyatan yang Dipimpin oieh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama di antara elemen-elemen yang membentuk negara yang berupa, suku, ras, kelompok, golongan maupun kelompok agama. Oleh karena itu perbedaan adalah merupakan bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas elemen-elemen yang membentuk negara. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi satu, mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam suatu seloka

33

Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan bukannya untuk diruncingkan menjadi konflik dan permusuhan melainkan diarahkan pada suatu sintesa yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama sebagai bangsa. Negara mengatasi segala paham gotongan, etis, suku, ras, individu maupun golongan agama. Mengatasi dalam arti memberikan wahana atas tercapainya harkat dan martabat seluruh warganya. Negara memberikan kebebasan atas individu, golongan, suku, ras maupun golongan agama untuk merealisasikan seluruh potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat integral. Oleh karena itu tujuan negara dirumuskan untuk meiindungi segenap warganya dan seluruh tumpah darahnya, memajukan kesejahteraan umum (kesejahteraan seluruh warganya) mencerdaskan kehidupan warganya serta dalam kaitannya dengan pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia untuk. mewujudkan suatu ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Nilai persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil Dan Beradab. Hal ini terkandung nilai bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionallisme religius. Yaitu nasionalisme yang bermoral Ketuhanan yang Maha Esa, nasionalisme yang humanistik yang menjunjung tinggi harkat dan rnartabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Oleh karena itu nilai-nilai nasionalisme ini harus tercermin dalam segala aspek penyetenggaraan negara termasuk dalam era reformasi dewasa ini. Proses reformasi tanpa mendasarkan pada moral Ketuhanan, Kemanusiaan dan rnemegang teguh persatuan dan kesatuan, maka bukan tidak mungkin akan membawa kehancuran bagi bangsa Indonesia seperti halnya telah terbukti pada bangsa lain misalnya Yugoslavia, Srilangka dan lain sebagainya.4.

Kerakyatan yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Nilai yang terkandung dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

Permusyawaratan/Perwakilan kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan didasari oleh sila Ketuhanan

34

yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serka Persatuan Indonesia, dan mendasari serta menjiwai sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Nilai filosofis yang terkandung di dalamnya adalah bahwa hakikat negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah negara. Rakyat adalah merupakan subjek pendukung pokok negara. Negara adalah dari oieh dan untuk rakyat, oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup negara. maka nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam sila kedua adalah (l) adanya kebebasan yang harus disertai dengan tanggung jawab baik terhadap masyarakat bangsa maupun secara moral terhadap Tuhara yang Maha Esa. (2) Menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. (3) Menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama. (4) Mengakui atas perbedaan individu, kelompok, ras, suku, agama, karena perbedaan adalah merupakan suatu bawaan kodrat manusia. (5) Mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu, keiompok, ras, suku maupun agama. (6) Mengarahkan perbedaan dalam suatu kerja sama kemanusiaan yang beradab. (7) Menjunjung tinggi asas musyawarah sebagai moral kemanusiaan yang beradab. (8) Mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan sosial agar tercapainya tujuan bersama. Demikianlah nilai-nilai yang terkandung dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Seterusnya nilai-nilai tersebut dikongkritisasikan dalam kehidupan bersama yaitu kehidupan kenegaraan baik menyangkut aspek moralitas.kenegaraan, aspek politik, maupun aspek hukum dan perundang-undangan. 5. Keadilan Soseal bagi Selnruh Rakyat Indonesia Nilai yang terkandung dalarn sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia didasari dan dijiwai oleh sita Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan

35

yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratanlperwakilan. Dafam sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalarn hidup bersama. Maka di dalam sila kelima tersebut terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalarn kehidupan bersama (kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negaranya serta hubungan manusia dengan Tuhannya. Konsekuensinya nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam hidup bersama adalah meliputi (1) keadilan distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara negara terhadap warganya, dalarn arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalarn bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalarn hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban. (2) keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara dan dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalarn bentuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalarn negara. (3) keadilan "komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secara timbal balik. Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalarn hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan negara yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya. Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antar negara sesama bangsa di dunia dan prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antar bangsa di dunia`dengan berdasarkan smM prinsip kemerdekaan lagi setiap bangsa, perdamaian abadi serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).H.

Pancasila sebagai Basar Kehidnpan Berbangss dan Bernegara .

36

Setiap bangsa di dunia senantiasa memiliki suatu cita-cita serta pandangan hidup yang merupakan suatu basis nilai dalam setiap pemecahan masalah yang dihadapi oleh bangsa tersebut. Bangsa yang hidup dalam suatu kawasan negara bukan terjadi secara kebetuian meIainkan meialui suatu perkembangan kausalitas, dan hal ini menurut Ernest Renan dan Hans Khons sebagai suatu proses sejarah terbentuknya suatu langsa, sehingga unsur kesatuan atau nasionalisme suatu bangsa ditentukan juga oleh sejarah terbentuknya bangsa tersebut. Meskipun bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses penjajahan bangsa asing, namun tatkala akan mendirikan suatu negara telah memiliki suatu landasan filosofis yang merupakan suatu esensi kultural religius dari bangsa Indonesia sendiri yaitu berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan. Hal inifah yang oleh Notonagoro bangsa Indonesia disebut sebagai kausa materialis Pancasila (Notonagoro, 1975). Teksd untuk menentukan bahwa filsafat Pancasila sebagai dasar filosofis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini telah mendapatkan legitimasi yuridis taikala `the founding feathers' kita mengesahkan dalam konstitusi UUD 1945 18-8-1945. Konsekuensinya selama bangsa Indonesia memiliki kehendak bersama untuk membangun bangsa di atas dasar fitosofis nilai-nilai Pancasila, seharusnya segala kebijakan dalam negara terutama dalam mefakukan suatu pembaharuanpembaruan dalam negara dalam proses reformasi dewasa ini nilai-nilai Pancasila merupakan suatu pangkal toiak derivasi baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum serta kebijakan hubungan internasional dewasa ini. Hal inilah dalam wacana ilmiah dewasa ini diistilahkan bahwa Pancasila sebagai paradigma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Istilah Paradigma' pada awalnya berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan, tenrtama dalam kaitannya dengan filsafai ilmu pengetahuan. Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah tersebut yaitu Thomas S. Khun dalam bukunya yang bertitei The Structure of Scientific Revolution (1970: 49). Inti sari pengertian Paradigma' adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi- asumsi teroeetis yang umum yang merupakan suatu sistim nilai. Konsekuensinya hal itu merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu

37

pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. llmu pengetahuan sifatnya sangat dinamis hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya hasil-hasil penetitian manusia, sehingga dalam perkembangannya terdapat suatu kemungkinan yang sangat besar ditemukannya kelemahankelemahan pada teori yang telah ada, dan jikalau demikian maka ilmuwan akan kembali pada asnensi-asumsi dasar serta aseimsi teoretis, sehingga dengan demikian pengembangan ilmu pengetahuan kembali mengkaji paradigma dari ilmu pengetahuan : tersebut atau dengan lain perkataan ilmu pengetahuan harus mengkaji dasar ontologis dari ilmu itu sendiri. Misalnya dalam ilmu sosial manakala suatu teori yang mendasarkan suatu hasil penclitian ilmiah yang-mendasarkan pada suatu metode kuantitatif yang mengkaji ma-nusia dan masyarakat pada sifat-sifat yang parsial, terukur, korelatif dan positivistik, maka ternyata hasil dari ilmu pengetahuan tersebut secara epistemologis hanya mengkaji satu aspek saja dari manusia sebagai objek ilmu pengetahuan. Berdasarkan hakikatnya manusia dalam kenyataan objektivnya bersifat ganda bahkan multidimensi. Atas dasar kajian ilmu pengetahuan sosial tersebut kemudian dikembangkanlah metode baru berdasarkan hakikat dan sifat paradigma ilmu tersebut, maka berkembanglah metode kualitatif. Istilah ilmiah tersebut kemudian berkembang dalam berbagai bidang kehidupan manusia serta itmu pengetahuan lain, misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang-bidang lainnya. Dalam masalah yang populer ini istilah "Paradigma" berkembang menjadi suatu terminologi yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir, orierrtasi dasar, sumber asas arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk dalam bidangkehidupan kenegaraan dan kebangsaan. ` Oleh karena itu untuk mencapai tujuan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan terutama dalam. melaksanakan pembangunan dan pembaharuan- rrtaka harus mendasarkan pada suatu kerangka pikir, sumber nilai serta arahan yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Secara filosofis kedudukan Pancasila sebagai paradigma kehidupan kenegaraan dan kebangsaan mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek kehidupan kenegaraan dan kebangsaan mendasarkan

38

pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Secara ontologis manusia adalah sebagai pendukung pokok negara dan manusia memiliki unsur fundamental "monopluralis", yang unsur-unsurnya metiputi susunan kodrat jasmani-rokhani, sifat kodrat individu makhluk sosial dan kedudukan kodrat makhluk pribadimakhluk Tuhan Yang Maha Esa. Negara adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia individu-makhluk sosial (Notanagoro, I975), yang senantiasa tidak dapat dilepaskan dengan lingkungan geografis sebagai ruang tempat bangsa tersebut hidup. Akan tetapi harus diingat bahwa manusia kedudukan kadranya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Iviaha Esa, oleh karena itu baik dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan tidak dapat dipisahkan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Kenyataan objektif nilai-nilai filosofis Pancasila sebagai paradigma kehidupan kenegaraan dan kebangsaan sebenarnya bukanlah hanya pada tingkatan Iegitimasi yuridis dan politis saja melainkan pada tmgkatan sosio-kuItural-religius. Bagaimanapun perubahan akan terjadi bangsa Indonesia akan senantiasa hidup dalam kehidupan keagamaannya. Dalam upaya untuk merealisasikan cita-citanya dalam negara; bangsa Indonesia iidak dapat dipisahkan secara kodrati dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Negara dan bangsa akar eksis dan berkembang dengan baik manakala dikembangkan rasa kebersamaan dalam hidup berbangsa dan bemegara. Negara akan fierkembang ke arah kehidupan yang lebih baik manakala rakyat diletakkan sebagai asal muia dan tujuan kekuasaan negara serta jaminan keadilan dalam hidup bersama. Secara lebih rinci filsafat Pancasila sebagai dasar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan adalah merupakan identitas Nasional Indonesia, Hal ini didasarkan pada suatu realitas bahwa kausa materialis atau asal nilai-nilai Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri. Konsekuensinya ciri khas sifat, serta karakter bangsa Indonesia tercermin dalam suatu sistern nilai filsafat Pancasila. Selain itu filsafat Pancasila merupakan dasar dari Negara dan Konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara) Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa Filsafat Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia, memiliki konsekuensi segala peraturan perundang-undangan dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila. Dengan lain

39

perkataan Pancasila merupakan sumber hukum dasar Indonesia, sehingga seluruh peraturan hukum positif Indonesia diderivasikan atau dijabarkan Aari nila-nilai Pancasila. Sebagai suatu negara demokrasi kehidupan kenegaraan Indonesia mendasarkan pada rule of law, karena Negara didasarkan pada sistem konstitusionalisme. Oleh karena itu dalam hubungannya dengan . pelaksanaan demoicrasi baik secara normatif maupun secara praksis, haTUS mendasarkan pada kondisi objektif bangsa yang memiliki pandangan hidup filsafat Pancasila. Filsafat Pancasila mendasarka.n core philasophynya, bahwa manusia adaiah makhtuk individu dan makhluk sosial, dan manusia adalah juga sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus berlandaskan filsafat Pancasila, dalam arti demokasi tidak bersifat-individualistik, tidak bersifat sekuler karena demokrasi di Indonesia harus ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila kedua Pancasila adalah `Kemanusiaan yang adil dan beradab', yang secara filosofis menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang beradab. Oleh karena itu dalam kehidupan negara perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, menjadi suatu keharusan. Mengingat manusia menurut Pancasila selain sifat kodrat sebagai manusia individu yang memiliki hak kodrat dan asasi, tetapi juga sebagai makhluk sosial, maka manusia juga harus memenuhi wajib asasinya dalam kehidupan negara. Selain itu manusia adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka hak asasi manusia juga tidak dapat bertentangan dengan kodrat manusia tersebut. Pancasila juga merupakan dasar dan basis geopotitik dan geostrategi Indonesia. Sebagaimana dipahami bahwa geopoIitik diartikan sebagai politik atau kebijaksanaan dan strategi nasional Indonesia, yang didorortg oleh aspirasi nasional geografik atau kepentingan yang titik beramya terletak pada pertimbangan geografi, wilayah atau terita ` rial dalam arti luas negara Indonesia, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung atau tidak langsung kepada sistem politik negara. Sebaliknya plitik negara itu, secara langsung akan berdampak kepada geografi negara yang bersangkutan (Suradinata, 2005: I1). Wawasan

40

nusantara adalah merupakan geopolitik Indonesia, karena dalam wawasan nusantara terkandung konsepsi geopolitik yaitu unsur ruang, namun; menyangkut seluruhnya (Sumiarno, 2006). Wawasan nusantara dilandasi oleh kebangsaan Indonesia, dan hal itu dilambangkan secara literal pada lima sila garuda Pancasila, serta seloka Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai konsekuensi dari konsep geopolitik Indonesia, maka Pancasila merupakan dasar filosofi geostrntegi Indonesia. Hal ini berdasarkan analisis sistematis bahwa Pancasila merupakan core philosophy dari Pembukaan UUD 1945, yang menurut ilmu hukum berkedudukan sebagai staats fundamentalnorm. Geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita prokiamasi, sebagaimana tereantum dalam Pembukaan UUD 1945, melalui proses pembangunan nasional dengan memanfaatkan geopolitik Indonesia. Dengan Pancasila sebagai dasarnya., maka pembangunan Indonesia akan memiiiki visi yang jelas dan terarah.

BAB III IDENTITAS NASIONALA. Pengertian Identitas Nasional Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi dewasa ini mendapat tantangan yang sangat kuat, terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalis Revnlutim era globalisasi dewasa ini ideologi kapitalislah yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu pasatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, sosial, politik dan kebudayaan (Berger; 1988). Perubahan global ini menurut Fukuyama

41

(1989: 48), membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari " ideologi partikular ke arah ideologi universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalimelah yang akan menguasainya. Dalam kondisi seperti ini negara nasional akan dikuasai oleh negara transnasional, yang lazimnya didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme (Rosenau). Konsekuensinya negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, ciri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi challance dan response. Jikalau challance cukup besar sementara response kecil maka, bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangsa Indian di Amerika. Namun demikian jikalau challance kecil sementara response besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis da-1am menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jatidiri dan identitas nasionat yang meru.pakan kepribadian bangsa Indonesia "sebagai dasar pengembangan kreativitas budaya globalisasi: Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional. Istilah "identitas nasional" secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian yang demikian ini maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Demikian pula hal ini juga sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara histaris. Berdasarkan hakikat pengertian "identitas nasional" sebagaimana dijelaskan di atas maka identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau lebih populer disebut sebagai kepribadian suatu bangsa. Pengertian kepribadian sebagai suatu identitas sebenarnya pertama kali muncul dari para pakar psikologi. Manusia sebagai individu sulit dipahami

42

manakala ia terlepas dari manusia lainnya. Oleh karena itu manusia dalam melakukan interaksi dengan individu lainnya senantiasa memiliki suatu sifat kebiasaan, tingkah laku secta karakter yang khas yang membedakan manusia tersebut dengan.manusia lainnya. Namun demikian pada umumnya pengertian atau istilah kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitas dari faktor-faktor biologis, psikalogis dan sosioiogis yang mendasari tingkah laku individu. Tingkah laku tersebut terdiri atas kebiasaan, sikap, sifat-sifat.serta karakter yang berada pada seseorang sehingga seseorang tersebut berbeda dengan orang yang lainnya. Dleh karena itu kepribadian adalah tercermin pada keseluruhan tingkah laku seseorang dalarn hubungan dengan manusia lain (Isrnaun, 1981: 6). Jiikalau kepribadian sebagai suatu identitas dari suatu bangsa, maka persoalannya, adaiah bagaimana pengertian suatu bangsa itu. Bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagai suatu "kesatuan nasional", Para tokoh besar ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang hakikat kepribadian bangsa tersebut adalah dari beberapa disiplin ilmu, antara lain antropologi, psikologi dan sosiologi. Tokohtokoh tersebut antara lain Margareth Mead, Ruth Benedict, Ralph Linton, Abraham Kardiner, David Riesman. MEnurut Mead dalam "Anthropology to Day" (1954) misalnya, bahwa shidi tenthng "National Character" mencoba untuk menyusun suatu kerangka pikiran yang merupakan suatu konstruksi tentang bagaimana sifat-sifat yang dibawa oleh kelahiran dan unsur-unsur ideotyncrotie pada tiap-tiap manusia dan patroon umum serta patroon individu dari proses pendewasaannya diintegrasikan dalam tradisi sosial yang didukung oleh bangsa itu sedemikian rupa sehingga nampak sifat-sifai kebudayaan yang sama, yang menonjol yang menjadi ciri khas suatu bangsa tersebut (Kroeber, 1954; Ismaun, 1981: 7). Demikian pula tokoh antropologi Ralph Linton bersama dengan pakar Psikologi