Buku pemanfaatan final 2012

179

Transcript of Buku pemanfaatan final 2012

  • D A T A D A N I N F O R M A S I P E M A N F A A T A N H U T A N

    T A H U N 2 0 1 2

    DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN HUTAN

    DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

    KEMENTERIAN KEHUTANANJAKARTA, DESEMBER 2012

  • Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 Page i

    KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

    karunia-Nya, sehingga Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2012 ini dapat

    tersusun dan selesai pada waktunya. Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2012

    ini adalah merupakan publikasi lanjutan dari Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan tahun

    sebelumnya.

    Materi yang disajikan dalam Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2012 ini

    meliputi peraturan perundang-undangan terkait perizinan pemanfaatan hutan, tata cara

    permohonan pencadangan dan izin pemanfaatan hutan, pemanfaatan hutan seluruh Indonesia,

    perkembangan permohonan dan penyelesaian peta areal kerja serta permohonan izin

    pemanfaatan kawasan hutan dalam 60 KPH Model yang beroperasi tahun 2012.

    Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu

    dalam penyusunan Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan ini.

    Akhirnya kami berharap semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan menjadi salah satu

    acuan dalam perencanaan pembangunan kehutanan ke depan khususnya yang terkait dengan

    perencanaan pemanfaatan hutan.

    Jakarta, Desember 2012

    Direktur Wilayah Pengelolaan dan PenyiapanAreal Pemanfaatan Kawasan Hutan

    Ir. Is Mugiono, MMNIP 19570726 198203 1 001

  • Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 Page ii

    DAFTAR ISI

    I. PENDAHULUAN......1

    A. Latar Belakang ....1

    B. Maksud dan Tujuan.2

    C. Ruang Lingkup...2

    II. DEFINISI ...3

    III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN..6

    A. Umum....6

    B. Teknis......10

    C. Pendukung.....20

    IV. TATA CARA PERMOHONAN PENCADANGAN DAN IZIN PEMANFAATAN HUTAN24

    A. Pemberian dan Perluasan Areal Kerja IUPHHK-HA/HTI/RE....24

    B. Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat

    Dalam Hutan Tanaman.....27

    C. Penetapan Areal Kerja HD.29

    D. Penetapan Areal Kerja Hkm..31

    E. Penetapan KHDTK....32

    F. Silvo Pastura...33

    V. PEMANFAATAN HUTAN INDONESIA..35

    A. Luas Kawasan Hutan Indonesia, Kawasan Hutan Yang Sudah Dibebani Izin Pemanfaatan

    dan Kawasan yang Belum di bebani Izin Pemanfaatan....35

    B. Pemanfaatan Hutan Indonesia Perprovinsi ....47

    C. Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan dalam 60 KPH Model yang Beroperasi Tahun 2012..97

    VI. PERMOHONAN IZIN PEMANFAATAN HUTAN INDONESIA S/D NOVEMBER 2012..125

    A. Perkembangan Permohonan Izin Pemanfaatan Hutan Indonesia Yang Sudah

    Mendapatkan SP 1 s/d November 2012.....125

    B. Perkembangan Permohonan dan penyelesaian Peta areal kerja (WA/SP 2) Tahun 2012.

    ...130

    C. Rekapitulasi Perkembangan Permohonan dan penyelesaian Peta areal kerja (WA/SP2)

    Tahun 2010, 2011 dan 2012.....136

    D. Permohonan Izin Pemanfaatan Hutan dalam 60 KPH Model yang Beroperasi Tahun

    2012....139

    VII. PENUTUP..145

    LAMPIRAN....146

    Peta Pemanfaatan Hutan Seluruh Indonesia S/D November 2012...146

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 1

    I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Dalam mengiringi dinamika perkembangan pembangunan Indonesia, peran kawasan

    hutan menjadi penting dalam mendukung peningkatan ekonomi bangsa. Maka sesuai

    dengan amanat undang-undang, Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan

    kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan

    kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk

    kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.

    Pemanfaatan hutan dapat dilakukan antara lain melalui pemanfaatan hasil hutan kayu

    pada Hutan Alam, Hutan Tanaman dan Restorasi Ekosistem melalui pemberian izin usaha

    pemanfaatan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Disamping itu

    pemanfaatan kawasan hutan juga diberikan dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm)

    dan Hutan Desa serta Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang penetapan dan pencadangannya

    dilakukan oleh Menteri Kehutanan.

    Dalam rangka penyiapan peta areal kerja izin pemanfaatan kawasan hutan (IUPHHK-

    HA/HTI/RE/penetapan HKm dan Hutan Desa serta pencadangan HTR, yang merupakan

    salah satu tugas pokok Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan

    Kawasan Hutan, diperlukan data dan informasi tentang areal kawasan hutan yang telah

    dibebani izin-izin pemanfaatan kawasan hutan baik yang sudah diterbitkan izinnya maupun

    yang sedang dalam proses. Data dan informasi tersebut dihimpun melalui konfirmasi dan

    klarifikasi di tingkat pusat maupun di daerah.

    Berdasarkan perkembangan pengukuhan kawasan hutan sampai dengan November

    2012, luas kawasan hutan dan perairan seluruh Indonesia adalah 134.290.240,94 ha.

    Menurut fungsinya,kawasan tersebut terdiri dari Hutan Konservasi (HK) perairan dan daratan

    seluas 27.086.910,23 ha, Hutan Lindung (HL) seluas 30.539.823,36 ha, Hutan Produksi (HP)

    seluas 30.810.790,34 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 27.967.604,50 ha dan

    Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) seluas 17.885.112,50 ha.

    Sampai dengan November 2012 luas kawasan Hutan Produksi yang telah dibebani izin

    pemanfaatan adalah 34.624.957 ha dan yang sedang dalam proses perizinan adalah

    2.677.722,79 ha sehingga Hutan Produksi yang belum dibebani izin pemanfaatan adalah

    seluas 42.038.550,34 ha.

    Sesuai amanat pasal 17 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa untuk

    memastikan fungsi-fungsi penyelenggaraan pengelolaan hutan dapat terlaksana dan tetap

    berpegang pada prinsip kelestarian hutan, maka diperlukan suatu penyelenggaraan

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 2

    pengelolaan hutan di tingkat tapak melalui pembentukan unit Pengelolaan Hutan atau

    Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Implementasi dari amanat tersebut diatas, telah

    dilakukan pembagian kawasan hutan ke dalam wilayah-wilayah KPH agar menjadi bagian

    penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi, kab/kota. Berdasarkan Pasal 28

    ayat (2) PP No 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, unit pengelolaan hutan

    terdiri dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan

    Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Setiap wilayah KPH akan

    dikelola oleh organisasi pengelola KPH yang merupakan organisasi di tingkat tapak.

    Organisasi KPHK merupakan organisasi perangkat pusat, sedangkan organisasi KPHL dan

    KPHP merupakan organisasi perangkat daerah.

    Berdasarkan SK Penetapan Wilayah, luas KPH Model seluruhnya adalah

    8.169.933,50 ha dan luas ijin pemanfaatan didalam KPH model tersebut adalah

    3.182.765,88 ha sehingga luas KPH Model yang belum dibebani izin pemanfaatan adalah

    4.987.167,615 ha.

    Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan dalam rangka mengakomodir amanat

    Permenhut No P.7/Menhut-II/2011 tentang keterbukaan informasi publik di lingkungan

    Kementerian Kehutanan maka perlu diterbitkan Buku Data dan Informasi Pemanfaatan

    Hutan.

    B. Maksud dan Tujuan

    Maksud pembuatan buku ini adalah untuk menyajikan data dan informasi yang terkait

    dengan pemanfaatan hutan. Adapun tujuan penyusunan buku ini adalah tersusunnya buku

    data dan informasi pemanfaatan kawasan hutan guna mendukung terciptanya transparansi

    pelayanan data dan informasi tentang pemanfaatan kawasan hutan.

    C. Ruang Lingkup

    Ruang lingkup penyusunan buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan tahun 2012

    ini mencakup :

    a. Peraturan perundangan terkait perizinan pemanfaatan hutan.

    b. Tata cara pemberian izin pemanfaatan hutan.

    c. Pemanfaatan hutan meliputi areal kerja izin IUPHHK-HA, HTI, RE, Pencadangan Areal

    Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD), KHDTK

    dan Silvo Pastura.

    d. Kawasan hutan yang belum dibebani izin.

    e. Pemanfaatan kawasan di wilayah KPH Model.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 3

    II. DEFINISI

    Dalam Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan ini pengertian dan istilah yang

    dipakai adalah yang terkait dengan pemanfaatan hutan untuk izin usaha pemanfaatan hasil

    hutan kayu, pencadangan areal HTR, penetapan areal kerja HKm dan HD :

    1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam

    hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

    dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

    2. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

    hutan.

    3. Hutan produksi yang tidak produktif adalah hutan yang dicadangkan oleh menteri sebagai

    areal pembangunan hutan tanaman.

    4. Hutan alam adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara

    keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya.

    5. Hutan tanaman industri yang selanjutnya disingkat HTI adalah hutan tanaman pada hutan

    produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi

    dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi

    kebutuhan bahan baku industri hasil hutan.

    6. Hutan tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan

    produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan

    kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian

    sumber daya hutan.

    7. Hutan kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat HKm adalah hutan negara yang

    pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.

    8. Hutan desa adalah hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa

    dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.

    9. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan

    jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil

    hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat

    dengan tetap menjaga kelestariannya.

    10. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan

    hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi

    pokoknya.

    11. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam yang selanjutnya disingkat

    IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 4

    memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan,

    penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu.

    12. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri dalam hutan

    tanaman pada hutan produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya

    disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman

    Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman

    Industri (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk membangun hutan tanaman pada hutan

    produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas

    hutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri.

    13. IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam adalah izin usaha yang diberikan untuk

    membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem

    penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan

    pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman,

    pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk

    mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan

    topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan

    hayati dan ekosistemnya.

    14. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat yang selanjutnya

    disingkat IUPHHK-HTR adalah izin usaha untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu

    dan hasil hutan ikutannya pada hutan produksi yang diberikan kepada perorangan atau

    koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan

    silvikultur yang sesuai untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan.

    15. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan kemasyarakatan yang selanjutnya

    disingkat IUPHHK-HKm adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan

    berupa kayu dalam areal kerja IUPHHK-HKm pada hutan produksi.

    16. Hak pengelolaan hutan desa adalah hak yang diberikan kepada desa untuk mengelola

    hutan negara dalam batas waktu dan luasan tertentu.

    17. AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) adalah kajian mengenai dampak besar

    dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup

    yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau

    kegiatan.

    18. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang

    selanjutnya disebut UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha

    dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 5

    diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau

    kegiatan.

    19. Kawasan hutan dengan tujuan khusus yang selanjutnya disingkat KHDTK adalah kawasan

    hutan yang dikelola untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan

    latihan, serta kepentingan religi dan budaya tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

    20. Izin usaha pemanfaatan kawasan silvo pastura yang selanjutnya disingkat IUPK-SP adalah

    kegiatan kehutanan yang dikombinasikan secara proporsional dengan usaha peternakan di

    dalam kawasan hutan produksi yang meliputi pelepasliaran dan atau pengandangan ternak

    dalam rangka pengelolaan hutan lestari.

    21. Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disebut KPH adalah sebuah unit wilayah kelola,

    institusi pengelola dan unit perencanaan pengelolaan hutan di tingkat tapak, dibentuk

    dengan tujuan agar dapat dicapai pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.

    22. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung selanjutnya disebut KPHL adalah KPH yang luas

    wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri atas kawasan hutan lindung.

    23. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi selanjutnya disebut KPHP adalah KPH yang luas

    wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan produksi.

    24. KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju

    situasi dan kondisi aktual organisasi KPH di tingkat tapak.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 6

    III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

    Bab III ini disajikan dalam rangka mempermudah para pihak memahami payung hukum

    yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan khususnya terkait dengan Izin Usaha Pemanfaatan

    Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, IUPHHK-HTI pada

    Hutan Produksi dan pencadangan areal HTR serta penetapan areal kerja HKm & HD, mulai dari

    Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Instruksi Presiden (Inpres) sampai dengan

    Peraturan Menteri (Permen) yang akan dibagi menjadi 3 sub bab yaitu peraturan umum, teknis

    dan pendukung.

    A. Umum

    1. Undangundang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah

    dengan Undang-undang nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

    Pengganti Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang

    nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang.

    Pasal 4 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 mengamanatkan bahwa semua hutan di

    wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

    oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam rangka penguasaan

    tersebut negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus

    segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan. Selanjutnya pada pasal 6 diamanatkan bahwa

    pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok yaitu : hutan konservasi, hutan

    lindung dan hutan produksi.

    Pada pasal 23 diatur bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang

    optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga

    kelestariannya.

    Pasal 28 mengatur antara lain bahwa pemanfaatan hutan produksi dapat berupa

    pemanfaatan hasil hutan kayu.

    Pada pasal 29 diatur bahwa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat diberikan

    kepada perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia, Badan Usaha Milik

    Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.

    Pada pasal 30 disebutkan bahwa dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap

    Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Swasta

    Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha

    pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu diwajibkan bekerja sama dengan koperasi

    masyarakat setempat.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 7

    Pasal 31 mengatur bahwa untuk menjamin azas keadilan, pemerataan dan lestari, maka izin

    usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan

    aspek kepastian usaha.

    Pasal 32 mengatur bahwa pemegang izin berkewajiban untuk menjaga, memelihara dan

    melestarikan hutan tempat usahanya.

    Pada pasal 33 diatur bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman,

    pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Pemanenan dan

    pengolahan hasil hutan tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.

    Pasal 35 mengatur bahwa setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan dikenakan iuran

    izin usaha, provisi, dana reboisasi dan dana jaminan kinerja serta wajib menyediakan dana

    investasi untuk biaya pelestarian hutan.

    Pasal 48 mengatur bahwa pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang

    menerima wewenang pengelolaan hutan diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.

    Pasal 49 mengatur bahwa pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya

    kebakaran hutan di areal kerjanya.

    Pasal 50 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana

    perlindungan hutan. Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin

    usaha pemanfaatan, jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan

    kayu serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan

    yang menimbulkan kerusakan hutan.

    2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia PP. No. 6 tahun 2007 jo PP. No. 3 tahun 2008

    tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

    Pada pasal 31 diatur bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dilaksanakan

    berdasarkan prinsip untuk mengelola hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya dan

    dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan

    alam dan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman.

    Pada pasal 34 diatur bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam dapat

    dilakukan melalui kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu atau pemanfaatan hasil

    hutan kayu restorasi ekosistem.

    Pada pasal 35 diatur bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada

    hutan produksi meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, penanaman, pemeliharaan,

    pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah

    ditetapkan. Sedangkan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam

    hutan alam pada hutan produksi meliputi kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 8

    pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran

    satwa, pelepasliaran flora dan fauna.

    Selanjutnya pada pasal 36 diatur bahwa kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi

    ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi hanya dilakukan dengan ketentuan :

    hutan produksi harus berada dalam satu kesatuan kawasan hutan dan diutamakan pada

    kawasan hutan produksi yang tidak produktif. Dalam hal kegiatan restorasi ekosistem dalam

    hutan alam belum diperoleh keseimbangan, dapat diberikan IUPK, IUPJL atau IUPHHBK

    pada hutan produksi kepada Badan Usaha Milik Swasta (BUMS). Sedangkan jika kegiatan

    restorasi ekosistem dalam hutan alam telah diperoleh keseimbangan, dapat diberikan

    IUPHHK pada hutan produksi.

    Pada pasal 37 dan pasal 38 diatur bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan

    tanaman pada hutan produksi dapat dilakukan pada : HTI, HTR atau HTHR, meliputi

    kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan

    pemasaran. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dan HTR dalam hutan tanaman

    dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif.

    Pada pasal 40 dan pasal 41 diatur bahwa menteri mengalokasikan dan menetapkan areal

    tertentu untuk membangun HTR berdasarkan usulan KPH atau pejabat yang ditunjuk. Untuk

    melindungi hak-hak HTR, menteri menetapkan harga dasar penjualan kayu pada HTR.

    Pada pasal 42 diatur bahwa menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan IUPHHK

    pada HTI atau IUPHHK pada HTR kepada perorangan, koperasi, BUMN, atau BUMS.

    Pada pasal 48 diatur bahwa dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan pada hutan produksi,

    wajib disertai dengan izin pemanfaatan. Pemberi izin, dilarang mengeluarkan izin dalam

    wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang telah mendapat pelimpahan untuk

    menyelenggarakan pengelolaan hutan dan dalam areal yang telah dibebani izin usaha

    pemanfaatan hutan.

    Pasal 51 mengatur bahwa jangka waktu IUPHHK dalam hutan alam pada hutan produksi

    diberikan paling lama 55 (lima puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan

    evaluasi yang dilakukan setiap 5 (lima) tahun oleh menteri.

    Pasal 52 mengatur bahwa jangka waktu IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam pada

    hutan produksi diberikan jangka waktu 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperpanjang satu

    kali untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun. IUPHHK restorasi ekosistem

    dalam hutan alam dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan

    izin.

    Pada pasal 53 diatur bahwa jangka waktu IUPHHK-HTI dalam hutan tanaman pada hutan

    produksi dapat diberikan untuk jangka waktu 60 (enam puluh) tahun dan dapat

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 9

    diperpanjang satu kali untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun, serta

    dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan izin.

    Pasal 54 mengatur jangka waktu IUPHHK pada HTR dalam hutan tanaman pada hutan

    produksi dapat diberikan untuk jangka waktu 60 (enam puluh) tahun dan dapat

    diperpanjang satu kali untuk jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun, dievaluasi

    setiap 5 (lima) tahun oleh menteri sebagai dasar kelangsungan izin.

    3. Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

    Pasal 64 menjelaskan tentang :

    (1). Kawasan peruntukan hutan produksi terdiri atas :

    a. kawasan peruntukan hutan produksi terbatas;

    b. kawasan peruntukan hutan produksi tetap; dan

    c. kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi.

    (2). Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor

    kemiringan lereng, jenis tanah dan intensitas hujan dengan jumlah skor 125 (seratus

    dua puluh lima) sampai dengan 174 (seratus tujuh puluh empat).

    (3). Kawasan peruntukan hutan produksi tetap ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor

    kemiringan lereng, jenis tanah dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar

    124 (seratus dua puluh empat).

    (4). Kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi ditetapkan dengan kriteria :

    a. memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah

    skor paling besar 124 (seratus dua puluh empat); dan/atau

    b. merupakan kawasan yang apabila dikonversi mampu mempertahankan daya dukung

    dan daya tampung lingkungan.

    (5). Kriteria teknis kawasan peruntukan hutan produksi terbatas, kawasan peruntukan hutan

    produksi tetap dan kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi

    ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kehutanan.

    Pada bagian penjelasan pasal 64 PP No 26 tahun 2008, menerangkan bahwa :

    Ayat (1)

    Penerapan kriteria kawasan peruntukan hutan produksi secara tepat diharapkan akan

    mendorong terwujudnya kawasan hutan produksi yang dapat memberikan manfaat

    sebagai berikut :

    a. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan

    ekonomi sekitarnya;

    b. meningkatkan fungsi lindung;

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 10

    c. menyangga kawasan lindung terhadap pengembangan kawasan budi daya;

    d. menjaga keseimbangan tata air dan lingkungan;

    e. meningkatkan upaya pelestarian kemampuan sumber daya hutan;

    f. meningkatkan pendapatan masyarakat terutama di daerah setempat;

    g. meningkatkan pendapatan daerah dan nasional;

    h. meningkatkan kesempatan kerja terutama untuk masyarakat daerah setempat;

    i. meningkatkan nilai tambah produksi hasil hutan dan industri yang mengolahnya;

    j. meningkatkan ekspor; atau

    k. mendorong perkembangan usaha dan peran masyarakat terutama di daerah setempat.

    Selain hal tersebut diatas, dijelaskan juga di penjelasan pasal 64 ayat 1, yaitu :

    Penjelasan huruf a :

    Yang dimaksud dengan kawasan hutan produksi terbatas adalah kawasan hutan yang

    secara ruang digunakan untuk budi daya hutan alam.

    Huruf b

    Yang dimaksud dengan kawasan hutan produksi tetap adalah kawasan hutan yang

    secara ruang digunakan untuk budi daya hutan alam dan hutan tanaman.

    Huruf c

    Yang dimaksud dengan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi adalah kawasan

    hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi perkembangan transportasi,

    transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, industri, dan lain-lain.

    Pada pasal 65 menjelaskan tentang :

    (1). Kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan dengan kriteria kawasan yang dapat

    diusahakan sebagai hutan oleh orang pada tanah yang dibebani hak milik.

    (2). Kriteria teknis kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan oleh menteri yang tugas

    dan tanggung jawabnya di bidang kehutanan.

    B. Teknis

    1. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.50/Menhut-II/2010 jo P.26/Menhut-II/2012 tentang

    Tata cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

    (IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem atau IUPHHK Tanaman Industri

    pada Hutan Produksi.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 11

    Dalam rangka memberikan kepastian dan kemudahan berinvestasi serta untuk menghindari

    tingginya biaya investasi maka proses pemberian izin usaha pemanfaatan hutan diatur

    berdasarkan Permenhut No. P.50/Menhut-II/2010 tanggal 31 Desember 2010.

    Dalam peraturan P.50/Menhut-II/2010 ini diatur tentang ketentuan umum persyaratan areal,

    subjek pemohon, persyaratan permohonan, penilaian permohonan, persyaratan dan

    pemberian izin perluasan dan pembayaran iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH).

    Pada pasal 2 diatur bahwa areal yang dimohon adalah kawasan hutan produksi yang tidak

    dibebani izin/hak. Untuk IUPHHK-HTI dan IUPHHK-RE diutamakan pada hutan produksi yang

    tidak produktif dan dicadangkan/ditunjuk oleh menteri sebagai areal untuk pembangunan

    hutan tanaman atau untuk restorasi ekosistem.

    Pada pasal 3 diatur bahwa pemohon yang dapat mengajukan permohonan adalah

    perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia, Badan Usaha Milik Negara atau

    Badan Usaha Milik Daerah.

    Pada pasal 4 diatur bahwa persyaratan permohonan terdiri dari : akte pendirian, surat izin

    usaha, NPWP, pernyataan untuk membuka kantor cabang di provinsi atau kabupaten/kota,

    rencana lokasi dilampiri peta, rekomendasi gubernur yang didasarkan pada pertimbangan

    bupati/walikota dan analisis fungsi kawasan hutan dari kepala dinas kehutanan provinsi dan

    kepala balai pemanfaatan kawasan hutan serta proposal teknis.

    Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.50/Menhut-II/2010 jo P.26/Menhut-II/2012

    dilakukan penghapusan pada pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) tentang :

    Dalam hal pertimbangan bupati/walikota dalam waktu 10 (sepuluh hari) hari kerja sejak

    diterimanya permohonan tidak diterima oleh gubernur, maka gubernur tetap memberikan

    rekomendasi dan dalam hal Gubenur tidak memberikan rekomendasi dan setelah dimintakan

    konfirmasi 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari kerja,

    menteri memproses permohonan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pada pasal 5 diatur bahwa permohonan diajukan kepada menteri dengan tembusan kepada

    Direktur Jenderal BUK, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, gubernur, bupati/walikota

    dan kepala balai pemanfaatan kawasan hutan.

    Ketentuan pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan menghapus ayat (3) serta menambah 1

    (satu) ayat baru yaitu ayat (4), sehingga keseluruhan pasal 7 berbunyi sebagai berikut :

    (1). Dalam hal hasil penilaian proposal teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4)

    tidak lulus, Direktur Jenderal melapor kepada Menteri dan Menteri menerbitkan surat

    penolakan permohonan izin.

    (2). Dalam hal hasil penilaian proposal teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4)

    dinyatakan lulus, Direktur Jenderal melapor kepada Menteri.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 12

    (3). Berdasarkan laporan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri

    menetapkan calon pemegang izin dengan menerbitkan Surat Perintah Pertama (SP-1)

    yang berisi perintah untuk menyusun dan menyampaikan Analisis Mengenai Dampak

    Lingkungan (AMDAL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Ketentuan pasal 8 ayat (1) dihapus dan ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan

    pasal 8 berbunyi sebagai berikut :

    (1). AMDAL yang telah mendapat persetujuan atau pengesahan dari pejabat yang

    berwenang, disampaikan oleh calon pemegang izin kepada Menteri melalui Direktur

    Jenderal.

    (2). Dalam hal penilaian proposal teknis IUPHHK-RE dinyatakan lulus dan ditetapkan sebagai

    calon pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (4), calon pemegang

    izin diwajibkan menyusun UKL dan UPL sesuai dengan ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

    Diantara pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) disisipkan ayat baru yaitu ayat (2a), sehingga

    keseluruhan pasal 9 berbunyi sebagai berikut :

    (1). AMDAL sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2), diselesaikan dalam jangka waktu

    paling lama 150 (seratus lima puluh) hari kerja dan UKL-UPL sebagaimana dimaksud

    dalam pasal 8 ayat (3), diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh)

    hari kerja.

    (2). Dalam hal waktu penyelesaian AMDAL atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat

    (1) tidak terpenuhi, pemohon dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu

    kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, dengan disertai alasan keterlambatan.

    (2a) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan 2

    (dua) kali perpanjangan dengan jangka waktu masing-masing 60 (enam puluh)

    hari kerja untuk AMDAL dan 15 (lima belas) hari kerja untuk UKL-UPL.

    (3). Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat menerima atau menolak permohonan

    perpanjangan jangka waktu penyelesaian AMDAL atau UKL dan UPL, dengan

    mempertimbangkan alasan keterlambatan penyelesaian AMDAL atau UKL dan UPL.

    (4). Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian AMDAL atau UKL dan

    UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, Direktur Jenderal atas nama

    Menteri menerbitkan perpanjangan waktu penyelesaian AMDAL atau UKL dan UPL.

    (5). Dalam hal pemohon telah diberikan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

    dan pemohon tetap tidak dapat menyelesaikan kewajibannya, maka SP-1 menjadi batal

    dengan sendirinya dan tidak berlaku lagi.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 13

    Pada pasal 12 ayat 1 sampai dengan ayat 5 diatur bahwa izin perluasan IUPHHK-HA, HTI,

    RE dapat diberikan pada lokasi yang berada disekitarnya, sepanjang tidak dibebani izin

    usaha pemanfaatan hutan dengan luasan tidak melebihi izin yang telah diberikan. Izin

    perluasan juga dapat diberikan kepada pemegang IUPHHK-HA, HTI, RE dalam hutan

    produksi yang berkinerja baik dengan mengajukan permohonan dan melampirkan rencana

    lokasi dan proposal teknis kepada Menteri Kehutanan dengan tembusan kepada Direktur

    Jenderal BUK, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan kepala dinas provinsi. Dalam hal

    wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) sudah dibentuk, perluasan

    sebagaimana dimaksud diutamakan dalam wilayah KPHP yang sama.

    Pada pasal 13 diatur bahwa keputusan tentang pemberian, perluasan areal kerja IUPHHK-

    HA, HTI dan HTR diserah terimakan kepada pemohon setelah yang bersangkutan membayar

    lunas Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH).

    Ketentuan pasal 18 ayat (2) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut Permohonan

    IUPHHK-RE yang diajukan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.61/Menhut-

    II/2008 dan sudah sampai pada tingkat SP-1 (untuk membuat UKL dan UPL) atau sudah

    dinyatakan lulus uji kelayakan untuk dapat diberikan SP-1, penyelesaian izinnya diproses

    sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.61/Menhut-II/2008.

    2. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin

    Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.

    Dalam peraturan P.55/Menhut-II/2011 ini diatur tentang ketentuan penetapan areal,

    kegiatan dan pola HTR, jenis tanaman, persyaratan dan tata cara permohonan,

    kelembagaan kelompok dan pembiayaan serta hak dan kewajiban pemegang IUPHHK-HTR.

    Pada pasal 2 diatur bahwa alokasi dan penetapan areal HTR dilakukan oleh Menteri

    Kehutanan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak

    lain, berupa pencadangan areal HTR yang didasarkan pada rencana pembangunan HTR

    yang diusulkan oleh bupati/walikota atau kepala KPHP dan luas areal pencadangan

    disesuaikan dengan keberadaan masyarakat sekitar hutan. Rencana pencadangan areal HTR

    dimaksud dilampiri pertimbangan teknis dari kepala dinas kabupaten/kota atau kepala KPHP

    dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal BUK dan Direktur Jenderal

    Planologi Kehutanan. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan melakukan verifikasi peta

    usulan lokasi HTR yang disampaikan oleh bupati/walikota dan menyiapkan konsep peta

    pencadangan areal HTR serta hasilnya disampaikan kepada Direktur Jenderal Bina Usaha

    Kehutanan.

    Pada pasal 4 diatur bahwa kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (UPHHK) pada

    HTR melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan,

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 14

    dan pemasaran. Adapun tanaman yang dihasilkan dari UPHHK pada HTR merupakan asset

    pemegang izin usaha dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku.

    Dalam hal terdapat tegakan hutan alam pada areal yang dicadangkan sebagai areal

    pencadangan HTR, areal hutan alam tersebut ditetapkan sebagai areal perlindungan

    setempat dan pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK).

    Pada pasal 5 diatur bahwa pola HTR terdiri dari pola mandiri yang dibangun oleh pemegang

    IUPHHK-HTR, pola kemitraan yang dibangun oleh pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan

    mitra yang difasilitasi oleh pemerintah/pemerintah daerah dan pola developer yang

    dibangun oleh BUMN atau BUMS atas permintaan pemegang IUPHHK-HTR dan biaya

    pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HTR.

    Pada pasal 7 diatur bahwa jenis tanaman pokok yang dapat dikembangkan untuk

    pembangunan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR terdiri dari jenis tanaman pokok

    sejenis yaitu tanaman hutan berkayu yang hanya terdiri dari satu jenis (spesies) dan varietas

    serta jenis tanaman pokok berbagai jenis yaitu tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan

    dengan tanaman budidaya tahunan yang berkayu (paling luas 40%) antara lain karet,

    tanaman berbuah, bergetah dan pohon penghasil pangan dan energi.

    Pada pasal 9 diatur bahwa yang dapat memperoleh IUPHHK-HTR adalah perorangan dan

    koperasi dalam skala usaha mikro kecil, menengah dan dibangun oleh masyarakat setempat

    yang tinggal di desa terdekat dari hutan dan diutamakan penggarap lahan pada areal

    pencadangan HTR.

    Pada pasal 10 diatur bahwa luas areal HTR maksimum 15 hektar untuk setiap pemegang izin

    perorangan dan maksimum 700 hektar untuk pemegang izin berbentuk koperasi didukung

    oleh daftar nama anggota koperasi yang jelas identitasnya dan letak areal harus berada

    dalam lokasi pencadangan HTR yang telah ditetapkan oleh menteri.

    Pada pasal 11 diatur bahwa persyaratan permohonan adalah foto copy KTP/akte pendirian

    koperasi, keterangan dari kepala desa dan sketsa areal/peta areal yang dimohon yang

    pembuatannya difasilitasi oleh pendamping HTR.

    Pada pasal 13 dan 14 diatur bahwa perorangan atau ketua kelompok koperasi mengajukan

    permohonan kepada bupati/walikota atau kepala KPHP melalui kepala desa dengan

    tembusan kepada kepala UPT dilampiri dengan persyaratan. Berdasarkan tembusan

    permohonan kepala desa dan kepala UPT melakukan verifikasi berkoordinasi dengan BPKH

    dan hasilnya disampaikan kepada bupati/walikota dan atau kepala KPHP. Selanjutnya

    bupati/walikota atau kepala KPHP atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan IUPHHK-HTR

    dengan tembusan kepada menteri, gubernur, Dirjen BUK, kepala dinas kehutanan provinsi,

    kepala dinas kehutanan kabupaten dan kepala UPT. Selanjutnya kepala UPT melaporkan

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 15

    kepada menteri rekapitulasi penerbitan keputusan IUPHHK-HTR secara periodik setiap

    3 bulan.

    Pada pasal 15 diatur bahwa dalam hal areal yang dimohon untuk HTR berada diluar areal

    yang telah ditetapkan oleh menteri, bupati/walikota atau kepala KPHP mengusulkan areal

    yang dimaksud kepada menteri untuk ditetapkan sebagai areal pencadangan HTR.

    Pada pasal 16 dan 17 diatur bahwa IUPHHK-HTR diberikan untuk jangka waktu 60 tahun

    dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu 35 tahun berdasarkan hasil evaluasi

    yang dilakukan setiap 2 tahun. IUPHHK-HTR tidak dapat diperjualbelikan, dipindahtangankan

    tanpa izin dan diwariskan. Dalam hal pemegang IUPHHK-HTR perorangan meninggal dunia

    salah satu ahli waris diutamakan untuk memohon IUPHHK-HTR pada areal yang sama untuk

    melanjutkan pembangunan HTR.

    Pada pasal 21 diatur bahwa pembangunan HTR dapat dibiayai melalui pola pengelolaan

    keuangan badan layanan umum, pusat pembiayaan pembangunan hutan (BLU Pusat P2H),

    perbankan maupun pihak lain yang tidak mengikat.

    Pada pasal 22 dan 23 diatur bahwa pemegang IUPHHK-HTR mempunyai hak melakukan

    kegiatan sesuai izin, mendapatkan pinjaman dana bergulir sesuai ketentuan, bimbingan dan

    penyuluhan teknis, mengikuti pendidikan dan latihan serta peluang mendirikan industri dan

    memperoleh fasilitasi pemasaran hasil hutan. Sedangkan kewajibannya adalah menyusun

    RKU PHHK-HTR dan RKT PHHK-HTR (dapat difasilitasi oleh pendamping HTR, UPT dan atau

    perguruan tinggi dibidang kehutanan), melaksanakan pengukuran dan pemetaan areal kerja.

    3. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.49/Menhut-II/2008 jo P.14/Menhut-II/2010 jo

    P.53/Menhut-II/2011 tentang Hutan Desa.

    Dalam peraturan P.49/Menhut-II/2008 jo P.14/Menhut-II/2010 jo P.53/Menhut-II/2011

    tentang Hutan Desa ini diatur tentang penetapan areal kerja hutan desa, fasilitasi, hak

    pengelolaan hutan desa, hak dan kewajiban pemegang hak, rencana kerja, pelaporan,

    pembinaan, pengendalian dan pembiayaan serta sanksi .

    Pada pasal 2 diatur bahwa penyelenggaraan hutan desa dimaksudkan untuk memberikan

    akses kepada masyarakat setempat melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumber

    daya hutan secara lestari. Penyelenggaraan hutan desa bertujuan meningkatkan

    kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan.

    Pada pasal 4 diatur bahwa kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja

    hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan

    atau izin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.

    Kriteria kawasan hutan tersebut didasarkan atas rekomendasi dari kepala KPH atau kepala

    dinas kabupaten/kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab dibidang kehutanan.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 16

    Pada pasal 5 dan 6 diatur bahwa UPT Direktorat Jenderal BPDASPS melakukan koordinasi

    dengan UPT eselon I Kementerian Kehutanan terkait dan pemerintah daerah untuk

    menentukan calon areal kerja hutan desa dan memfasilitasi pembentukan lembaga desa

    membuat permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) kepada gubernur dengan

    tembusan kepada bupati/walikota. Pada areal lain diluar areal yang dicalonkan, masyarakat

    setempat dapat mengajukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa kepada

    bupati/walikota. Selanjutnya bupati/walikota mengajukan usulan penetapan areal kerja

    hutan desa kepada menteri.

    Pada pasal 7 dan 8 diatur bahwa usulan bupati/walikota dilakukan verifikasi oleh tim yang

    dibentuk oleh menteri beranggotakan unsur-unsur eselon I terkait lingkup Kementerian

    Kehutanan yang dikoordinasikan oleh Dirjen BPDASPS. Selanjutnya Dirjen BPDASPS

    menugaskan UPT Kementerian Kehutanan untuk melakukan verifikasi ke lapangan serta

    berkoordinasi dengan pemda setempat. Berdasarkan hasil verifikasi tersebut, terhadap

    usulan yang ditolak tim verifikasi menyampaikan pemberitahuan kepada bupati/walikota

    dengan tembusan gubernur, sedangkan terhadap usulan penetapan yang diterima, menteri

    menetapkan areal kerja hutan desa dan disampaikan kepada gubernur dan bupati/walikota

    setempat.

    Pada pasal 11 diatur bahwa hak pengelolaan hutan desa bukan merupakan hak kepemilikan

    atas kawasan hutan dan dilarang memindahtangankan atau mengagunkan serta mengubah

    status dan fungsi kawasan hutan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lain diluar

    rencana pengelolaan hutan dan harus dikelola berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan

    lestari.

    Pada pasal 17 diatur bahwa hak pengelolaan hutan desa dapat diberikan untuk jangka

    waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi

    yang dilakukan paling lama setiap 5 (lima) tahun sekali oleh pemberi hak.

    Pada pasal 18 dan 19 diatur bahwa hak pengelolaan hutan desa dapat mengajukan IUPHHK

    dalam hutan desa yang terdiri dari IUPHHK-HA, HTI pada areal kerja yang berada dalam

    hutan produksi. Permohonan IUPHHK diajukan oleh lembaga desa kepada menteri. Menteri

    dapat melimpahkan wewenang penerbitan IUPHKK-HA dalam hutan desa kepada gubernur

    dan IUPHHK-HT dalam hutan desa kepada bupati/walikota.

    Pada pasal 23, 27, 28, 29, 30 dan 31 diatur bahwa pada hutan produksi pemegang hak

    pengelolaan hutan desa berhak untuk memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan,

    pemanfaatan hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu

    melalui kegiatan budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya

    lebah, penangkaran satwa atau budidaya sarang burung walet, pemanfaatan jasa aliran air,

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 17

    pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan

    perlindungan lingkungan atau penyerapan dan penyimpanan karbon, pemanfaatan rotan,

    sagu, nipah, bambu, getah, kulit kayu, daun, buah atau biji gaharu. Pemanfaatan hasil

    hutan kayu hanya dapat dilakukan setelah mendapat IUPHHK.

    Pada pasal 34 diatur bahwa pemegang hak pengelolaan hutan desa memiliki kewajiban

    melaksanakan penataan batas HPHD, menyusun rencana kerja HPHD, melakukan

    perlindungan hutan, melaksanakan rehabilitasi areal kerja hutan desa dan melaksanakan

    pengkayaan tanaman kerja hutan desa.

    Pada pasal 36 diatur bahwa dalam menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa,

    lembaga desa dapat meminta fasilitasi kepada pemerintah, pemerintah daerah atau pihak

    lain.

    Pada pasal 43 diatur bahwa pemegang HPHD menyampaikan laporan kinerja kepada

    gubernur dengan tembusan kepada menteri, bupati/walikota sedangkan pemegang IUPHHK

    hutan desa menyampaikan laporan kepada menteri dengan tembusan gubernur dan

    bupati/walikota.

    Pasal 47 diatur bahwa pembiayaan untuk pelaksanaan hutan desa dibebankan kepada kas

    desa sedangkan pembiayaan untuk fasilitasi, pembinaan dan pengendalian dalam

    penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dibebankan kepada APBN, APBD atau sumber-

    sumber yang tidak mengikat.

    4. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 jo P.18/Menhut-II/2009 jo

    P.13/Menhut-II/2010 jo P.52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan.

    Dalam peraturan P.37/Menhut-II/2007 jo P.18/Menhut-II/2009 jo P.13/Menhut-II/2010 jo

    P.52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan ini antara lain diatur tentang azas dan

    prinsip penetapan areal kerja, perizinan, hak dan kewajiban serta pembiayaan HKm.

    Pada pasal 2 diatur bahwa penyelenggaraan HKm berazaskan manfaat, musyawarah

    mufakat dan keadilan dengan prinsip tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan,

    pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman,

    meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai pelaku utama dan partisipatif dalam

    pengambilan keputusan.

    Pada pasal 6 diatur bahwa kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan

    kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan

    ketentuan belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber

    mata pencaharian masyarakat setempat.

    Pada pasal 8 diatur bahwa UPT Direktorat Jenderal BPDASPS melakukan koordinasi dengan

    UPT eselon I Kementerian Kehutanan terkait dan pemerintah daerah untuk menentukan

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 18

    calon areal kerja hutan kemasyarakatan dan memfasilitasi masyarakat setempat untuk

    membuat permohonan izin hutan kemasyarakatan kepada bupati/walikota. Pada areal lain

    yang dicalonkan, masyarakat setempat dapat mengajukan permohonan penetapan areal

    kerja hutan kemasyarakatan kepada bupati/walikota. Selanjutnya bupati/walikota

    mengajukan usulan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan kepada menteri.

    Pada pasal 11 s.d 14 diatur bahwa perizinan dalam hutan kemasyarakatan dilakukan melalui

    tahapan fasilitasi dan pemberian izin. IUPHKm bukan merupakan hak kepemilikan atas

    kawasan hutan dan dilarang dipindahtangankan, diagunkan atau digunakan untuk

    kepentingan lain diluar rencana pengelolaan yang telah disahkan serta dilarang merubah

    status dan fungsi kawasan hutan. IUPHKm dapat diberikan kepada kelompok masyarakat

    setempat yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai

    areal kerja HKm dengan surat keputusan menteri.

    Pada pasal 15 dan 17 diatur bahwa IUPHKm yang berada pada hutan produksi meliputi

    kegiatan pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa

    lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan

    kayu melalui kegiatan budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur,

    budidaya lebah, penangkaran satwa atau budidaya sarang burung walet, pemanfaatan jasa

    aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati,

    penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau penyerapan dan penyimpanan karbon,

    pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, getah, kulit kayu, daun, buah atau biji gaharu.

    Pada pasal 20 s.d 22 diatur bahwa kelompok masyarakat yang telah memiliki IUPHHK dan

    akan mengajukan permohonan IUPHHK-HKm kepada menteri wajib membentuk koperasi

    dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah diberikan izin. Menteri dapat menugaskan

    penerbitan IUPHH-HKm kepada gubernur. IUPHH-HKm diberikan untuk jangka waktu 35

    tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 (lima) tahun. IUPHHK-

    HKm hanya dapat dilakukan pada hutan produksi untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan

    tanaman berkayu yang merupakan hasil penanamannya.

    Pada pasal 24 diatur bahwa pemegang IUPHHK-HKm berhak menebang hasil hutan kayu

    yang merupakan hasil penanamannya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sesuai dengan

    rencana kerja tahunan dan rencana operasional serta mendapatkan pelayanan dokumen

    sahnya hasil hutan sesuai ketentuan.

    Pada pasal 25 diatur bahwa pemegang IUPHHK-HKm memiliki kewajiban membayar provisi

    sumber daya hutan, menyusun rencana kerja pemanfaatan hasil hutan kayu, melaksanakan

    penataan batas areal kerja, melakukan pengamanan areal tebangan antara lain pencegahan

    kebakaran, melindungi pohon-pohon yang tumbuh secara alami/tidak menebang pohon

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 19

    yang bukan hasil tanaman dan menyampaikan laporan kegiatan pemanfaatan HKm pada

    pemberi izin.

    Pada pasal 37 diatur bahwa pembiayaan penyelenggaraan HKm dapat bersumber dari APBN,

    APBD dan atau sumber sumber lain yang tidak mengikat

    5. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.63/Menhut-II/2009 tentang Tata cara pemberian izin

    usaha pemanfaatan kawasan silvo pastura pada hutan produksi

    Pada pasal 2 tentang persyaratan areal untuk silvo pastura mengatur bahwa areal untuk

    usaha pemanfaatan kawasan silvo pastura tersebut adalah Hutan Produksi yang telah

    dibebani ijin IUPHHK HTI dengan luas maksimal 500 ha dan yang belum dibebani IUPHHK

    atau izin usaha lainnya dengan luas maksimal 5 ha.

    Pada pasal 3 tentang persyaratan pemohon menerangkan bahwa untuk pemohon IUPK-SP

    pada areal yang telah dibebani izin HTI khusus diperuntukkan bagi pemegang IUPHHK-HTI

    yang bersangkutan.

    Pemohon IUPK-SP pada areal yang belum dibebani izin, yang dapat mengajukan

    permohonan adalah perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI)

    dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

    Pada pasal 4 mengatur bahwa persyaratan permohonan IUPK-SP yang telah dibebani

    IUPHHK-HTI adalah fotocopy SK pemberian izin IUPHHK-HTI dan izin usaha lainnya, peta

    permohonan, rekomendasi gubernur, proposal teknis.

    Sedangkan persyaratan permohonan IUPK-SP yang belum dibebani IUPHHK-HTI atau izin

    usaha lainnya adalah :

    Rekomendasi gubernur apabila areal yang diusulkan berada pada lintas kabupaten, tidak

    dibebani hak-hak lain dan dilampiri Peta lokasi skala 1: 100.000

    Rekomendasi bupati/balikota apabila areal yang diusulkan berada pada satu wilayah

    kabupaten/kota, tidak dibebani hak-hak lain dan dilampiri peta lokasi skala 1: 100.000

    Pernyataan bersedia membuka kantor cabang di provinsi dan atau kabupaten/kota

    Akte pendirian Koperasi atau Badan Usaha beserta perubahan-perubahannya yang telah

    disahkan oleh pejabat yang berwenang

    Bergerak di bidang usaha kehutanan/pertanian/perkebunan, peternakan

    Surat izin usaha dari instansi yang berwenang

    Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

    Proposal teknis yang berisi antara lain : kondisi umum areal dan perusahaan serta usulan

    teknis kegiatan yang terdiri dari tujuan dan perencanaan.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 20

    Rekomendasi gubernur atau bupati/walikota sebagaimana harus didasarkan analisa fungsi

    kawasan oleh dinas kehutanan dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) antara lain

    analisis izin-izin kehutanan, izin penggunaan kawasan hutan dan mutasi kawasan yang

    dituangkan dalam data spatial.

    Pada pasal 10 mengatur bahwa jangka waktu IUPK-SP pada hutan produksi diberikan paling

    lama 25 (dua puluh lima) tahun sesuai dengan jenis usahanya dan dapat diperpanjang.

    Pada pasal 13 menerangkan bahwa dalam hal areal pada hutan produksi telah ditetapkan

    tata hutannya dalam 1 (satu) KPH, maka areal/lokasi permohonan izin baru atau perluasan

    areal UPK-SP harus berada pada hutan produksi.

    C. Pendukung

    1. Instruksi Presiden No.10 tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata

    Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

    Dalam rangka menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya

    dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui

    penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, presiden menginstruksikan kepada

    menteri terkait agar :

    a. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan

    masing-masing untuk mendukung penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan

    lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan

    produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area

    penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam peta indikatif penundaan izin baru. b. Penundaan pemberian izin baru sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama berlaku

    bagi penggunaan kawasan hutan alam primer dan lahan gambut, dengan pengecualian

    diberikan kepada :

    1) Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan.

    2) Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital yaitu : geothermal, minyak

    dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu.

    3) Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang

    telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku dan

    4) Restorasi ekosistem.

    Selanjutnya presiden pada diktum ketiga memberikan instruksi khusus kepada :

    A. Menteri Kehutanan agar :

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 21

    1) Melakukan penundaan terhadap penerbitan izin baru pada hutan alam primer dan

    lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan

    produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi)

    berdasarkan peta indikatif penundaan izin baru.

    2) Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin usaha

    pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.

    3) Meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan memperhatikan kebijakan

    tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain melalui restorasi ekosistem.

    4) Melakukan revisi terhadap peta indikatif penundaan izin baru pada kawasan hutan

    setiap 6 (enam) bulan sekali.

    5) Menetapkan peta indikatif penundaan izin baru hutan alam primer dan lahan gambut

    pada kawasan hutan yang telah direvisi.

    B. Menteri Lingkungan Hidup agar melakukan upaya pengurangan emisi dari hutan dan

    lahan gambut melalui perbaikan tata kelola pada kegiatan usaha yang diusulkan pada

    hutan dan lahan gambut yang ditetapkan dalam peta indikatif penundaan izin baru

    melalui izin lingkungan.

    C. Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap gubernur dan

    bupati/walikota dalam pelaksanaan instruksi presiden ini.

    D. Kepala Badan Pertanahan Nasional melakukan penundaan terhadap penerbitan hak-hak

    atas tanah antara lain hak guna usaha, hak pakai pada areal penggunaan lain

    berdasarkan peta indikatif penundaan izin baru.

    E. Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional :

    melakukan percepatan konsolidasi peta indikatif penundaan izin baru ke dalam revisi peta

    tata ruang wilayah sebagai bagian dari pembenahan tata kelola penggunaan lahan

    melalui kerja sama dengan gubernur, bupati/walikota dan ketua satuan tugas persiapan

    pembentukan kelembagaan REDD+ atau ketua lembaga yang dibentuk untuk

    melaksanakan tugas khusus di bidang REDD+.

    F. Kepala Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional agar melakukan pembaharuan

    peta tutupan hutan dan lahan gambut sesuai peta indikatif penundaan izin baru pada

    kawasan hutan dan areal penggunaan lain setiap 6 (enam) bulan sekali melalui kerja

    sama dengan Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Ketua Satuan

    Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ atau ketua lembaga yang dibentuk

    untuk melaksanakan tugas khusus di bidang REDD+.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 22

    G. Para gubernur agar melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru

    pada kawasan hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan peta

    indikatif penundaan izin baru.

    H. Para bupati/walikota agar melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi

    baru pada kawasan hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan

    peta indikatif penundaan izin baru.

    Selanjutnya pada diktum kelima diinstruksikan bahwa penundaan pemberian izin baru,

    rekomendasi dan pemberian izin lokasi dilakukan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak

    instruksi presiden ini dikeluarkan.

    2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.3803/Menhut-VI/BRPUK/2012 tentang Penetapan

    Indikatif pencadangan kawasan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu

    menetapkan peta indikatif pencadangan kawasan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan

    hasil hutan kayu seluas 22.908.130 ha.

    Luas indikatif pencadangan kawasan hutan tersebut adalah :

    a. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk hutan alam seluas 6.516.711 ha.

    b. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu untuk restorasi ekosistem seluas 4.982.708 ha.

    c. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman yatui hutan tanaman industri

    (HTI) dan atau hutan tanaman rakyat (HTR) seluas 11.075.592 ha.

    d. Hutan Desa (HD) atau hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 333.119 ha.

    Dalam hal pengajuan permohonan untuk izin usaha pemanfaatan hasil hutan yang tidak

    sesuai dengan pencadangan maka kawasan yang dimohon wajib dilakukan analisis makro

    dan atau analisis mikro sesuai dengan kiteria yang telah ditetapkan.

    3. Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.6315/Menhut-VII/IPSDH/2012 tentang penetapan

    peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan dan

    perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain (Revisi III).

    Menetapkan peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan

    hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain Revisi II yang

    meliputi : izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, izin

    penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan.

    Penundaan pemberian izin baru ini tidak berlaku dalam perubahan peruntukan kawasan

    hutan terkait dengan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.

    Peta indikatif ini tidak berlaku terhadap lokasi yang telah mendapat persetujuan prinsip dari

    Menteri Kehutanan pada kawasan hutan yang telah diterbitkan sebelum intruksi presiden

    nomor 10 tahun 2011 dan perizinan atau titel hak dari pejabat berwenang sesuai dengan

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 23

    peraturan perundang-undangan pada areal penggunaan lain (APL) atau bukan kawasan

    hutan yang diterbitkan sebelum intruksi presiden nomor 10 tahun 2011.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 24

    IV. TATA CARA PERMOHONAN PENCADANGAN

    DAN IZIN PEMANFAATAN HUTAN

    Guna memperlancar proses permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada

    Hutan Alam dan Hutan Tanaman Industri serta Restorasi Ekosistem, Pencadangan Areal HTR,

    Penetapan Areal Kerja HKM dan HD, pada bab ini disajikan secara jelas tata cara pemberian izin

    pemanfaatan, pencadangan areal HTR dan penetapan areal kerja HKm & HD dimaksud sebagai

    berikut :

    A. Pemberian dan Perluasan Areal Kerja IUPHHK-HA/HTI/RE

    Dasar : Permenhut No. P.50/Menhut-II/2010 jo P.26 Menhut II/2012

    Gambar 1 : Skema tata cara pencadangan areal kerja areal kerja IUPHHK-HA, IUPHHK-

    HTI dan IUPHHK-RE sesuai dengan Permenhut No. P.50/Menhut-II/2010 jo

    P.26 Menhut II/2012

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 25

    1. Pemohon yang dapat mengajukan permohonan IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI dan IUPHHK-

    RE adalah :

    a. Perorangan.

    b. Koperasi.

    c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI).

    d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

    e. Badan Usaha Milik Daerah.

    Dalam hal permohonan IUPHHK-HTI perorangan tidak diperbolehkan mengajukan

    permohonan.

    2. Permohonan IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE mengacu pada areal yang

    telah dialokasikan dan dapat dilihat dalam website www.dephut.go.id

    a. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan.

    dengan alamat

    Bina Usaha Kehutanan. Permohonan diajukan dengan tembusan kepada :

    b. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan.

    c. Gubernur.

    d. Bupati/Walikota.

    e. Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan.

    dengan melengkapi persyaratan seperti rekomendasi gubernur, pertimbangan

    bupati/walikota, pertimbangan teknis dinas kehutanan kabupaten/kota, analisis fungsi

    kawasan hutan dari dinas kehutanan dan balai pemanfaatan kawasan hutan dan peta

    lokasi serta proposal teknis. Permohonan tersebut diajukan dengan tembusan kepada

    Direktur Jenderal BUK, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, gubernur, bupati/walikota

    dan kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan.

    3. Direktorat Jenderal BUK memeriksa kelengkapan persyaratan yang diajukan oleh

    pemohon. Jika permohonan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, Direktur Jenderal

    BUK atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan surat penolakan, jika syarat-syarat

    permohonan lengkap, Direktur Jenderal BUK memeriksa proposal teknis dengan tenggang

    waktu 10 (sepuluh) hari kerja dan hasilnya disampaikan kepada Menteri Kehutanan.

    Apabila satu areal telah dimohon dan memenuhi kelengkapan persyaratan, maka dalam

    tenggang waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak pemohon pertama menyampaikan

    permohonan dan lengkap persyaratan, diberi kesempatan kepada pemohon lain untuk

    mengajukan permohonan pada areal yang sama.

    4. Berdasarkan hasil penilaian proposal teknis terhadap pemohon yang dinyatakan lulus dan

    diterima Menteri Kehutanan, Direktur Jenderal BUK atas nama Menteri Kehutanan

    menerbitkan Surat Perintah Pertama (SP-1) kepada pemohon untuk menyusun dan

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 26

    menyampaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL yang telah

    mendapatkan persetujuan atau pengesahan dari pejabat yang berwenang diteruskan

    untuk disampaikan oleh pemohon kepada Menteri Kehutanan melalui Direktur Jenderal

    BUK. Dalam hal penilaian proposal teknis IUPHHK-RE dinyatakan lulus, pemohon harus

    menyusun UKL dan UPL. AMDAL harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 150

    (seratus lima puluh) hari kerja dan UKL-UPL harus diselesaikan dalam jangka waktu

    paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. Dalam hal waktu penyelesaian AMDAL atau UKL

    dan UPL tidak terpenuhi, pemohon dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu

    kepada Menteri Kehutanan c.q Direktur Jenderal BUK dengan disertai alasan

    keterlambatan. Dalam hal pemohon telah diberikan perpanjangan sebagaimana

    dimaksud, pemohon tetap tidak dapat menyelesaikan kewajibannya maka SP-1 menjadi

    batal dengan sendirinya dan tidak berlaku lagi.

    5. Berdasarkan AMDAL atau UKL dan UPL yang diterima, Direktur Jenderal BUK atas nama

    Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Perintah kedua (SP-2) kepada Direktur Jenderal

    Planologi Kehutanan untuk menyiapkan peta areal kerja (working area/WA) paling lambat

    15 (lima belas) hari kerja dan menyampaikan hasilnya kepada Direktur Jenderal BUK.

    6. Berdasarkan peta areal kerja (working area/WA) yang disampaikan oleh Dirjen Planologi

    Kehutanan, Direktur Jenderal BUK menyiapkan dan menyampaikan konsep keputusan

    Menteri Kehutanan tentang pemberian IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE

    kepada Menteri Kehutanan melalui Sekretaris Jenderal.

    7. Sekretaris Jenderal menelaah aspek hukum terhadap konsep Keputusan Menteri

    Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya

    konsep tersebut dan menyampaikan hasil telaahan kepada menteri.

    8. Berdasarkan konsep keputusan yang diterima, Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan

    tentang pemberian IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 27

    B. Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman

    Rakyat dalam Hutan Tanaman

    Dasar : Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011

    Gambar 2 : Skema tata cara pencadangan areal HTR berdasarkan Permenhut

    No. P.55/Menhut-II/2011

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 28

    1. Pencadangan areal HTR didasarkan kepada usulan rencana pembangunan HTR oleh

    bupati/walikota atau kepala KPHP dengan dilampiri oleh pertimbangan teknis dari kepala

    dinas kabupaten/kota atau kepala KPHP yang memuat :

    - Informasi kondisi areal dan penutupan lahan, informasi (kawasan atau areal) tumpang

    tindih perizinan, tanaman reboisasi dan rehabilitasi.

    - Daftar nama-nama masyarakat calon pemegang izin IUPHHK-HTR yang diketahui oleh

    camat dan kepala desa/lurah sesuai KTP setempat.

    - Pernyataan bahwa aksesibilitas areal yang diusulkan tidak sulit.

    - Peta usulan rencana pembangunan HTR skala 1: 50.000 atau skala 1: 100.000.

    2. Bupati/walikota/kepala KPHP menyampaikan permohonan tersebut kepada Menteri

    Kehutanan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal BUK dan Direktur Jenderal

    Planologi Kehutanan.

    3. Berdasarkan usulan bupati/walikota/kepala KPH maka Direktur Jenderal BUK dan Direktur

    Jenderal Planologi Kehutanan melakukan verifikasi rencana pembangunan HTR dari aspek

    teknis dan administratif sebagai berikut :

    - Direktur Jenderal Planologi Kehutanan melakukan verifikasi peta usulan lokasi HTR

    yang disampaikan oleh bupati/walikota dan menyiapkan konsep peta pencadangan

    areal HTR serta hasilnya disampaikan kepada Direktur Jenderal BUK.

    - Direktur Jenderal BUK melakukan verifikasi rencana pembangunan HTR yang

    disampaikan oleh bupati/walikota dari aspek teknis dan administratif, kemudian

    menyiapkan konsep keputusan menteri tentang penetapan/alokasi areal HTR dengan

    dilampiri konsep peta pencadangan areal HTR dan mengusulkan melalui Sekretaris

    Jenderal kepada Menteri Kehutanan untuk ditetapkan.

    4. Sekretaris Jenderal menelaah aspek hukum terhadap konsep Keputusan Menteri

    Kehutanan yang diusulkan oleh Dirjen BUK dan menyampaikan hasil telaahan tersebut

    kepada menteri.

    5. Menteri Kehutanan menerbitkan pencadangan areal untuk pembangunan HTR yang

    nantinya akan disampaikan kepada bupati/walikota atau kepala KPHP dengan tembusan

    kepada gubernur .

    6. Berdasarkan pencadangan areal HTR, bupati/walikota atau kepala KPHP melakukan

    sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi dapat dilakukan oleh lembaga swadaya

    masyarakat yang ada di Jakarta, provinsi atau kabupaten/kota.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 29

    C. Penetapan Areal Kerja Hutan Desa

    Dasar : Permenhut No.P.49/Menhut-II/2008 jo Permenhut No.P.14/Menhut-II/2008 jo

    Permenhut No.P.53/Menhut-II/2008

    Gambar 3 : Skema tata cara penetapan hutan desa berdasarkan Permenhut

    No.P.49/Menhut-II/2008 jo Permenhut No.P.14/Menhut-II/2008 jo Permenhut

    No.P.53/Menhut-II/2008 jo Permenhut No.P.53/Menhut-II/2011

    1. Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai calon areal kerja hutan desa

    adalah

    a) Hutan lindung atau hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin

    pemanfaatan.

    b) Berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.

    c) Calon areal kerja yang dimohon harus didasarkan atas rekomendasi dari kepala KPH

    atau kepala dinas kabupaten/kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 30

    bidang kehutanan.

    Pada areal lain di luar areal yang dicalonkan, masyarakat setempat melalui kepala desa

    dapat mengajukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa kepada bupati/walikota

    dengan melampirkan :

    a) Sketsa lokasi areal yang dimohon.

    b) Surat usulan dari kepala desa/lurah.

    c) Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga desa jika sudah

    terbentuk yang diketahui oleh camat dan kepala desa/lurah.

    2. Bupati/walikota mengajukan usulan penetapan areal kerja hutan desa kepada menteri

    dengan melengkapi :

    - Peta digital lokasi calon areal kerja hutan desa dengan skala paling kecil 1: 50.000.

    - Deskripsi wilayah, antara lain keadaan fisik wilayah, sosial ekonomi dan potensi

    kawasan.

    - Surat usulan dari kepala desa/lurah.

    - Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga desa jika sudah

    terbentuk yang diketahui oleh camat dan kepala desa/lurah.

    3. Usulan bupati tersebut dilakukan verifikasi oleh tim verifikasi yang beranggotakan unsur-

    unsur eselon I Kementerian Kehutanan dengan penanggung jawab Direktur Jenderal

    BPDASPS. Tim verifikasi ini terdiri dari BPKH dan BPDAS.

    4. Jika verifikasi tersebut ditolak maka tim verifikasi atas nama menteri memberitahukan

    kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada gubernur.

    5. Jika verifikasi diterima maka menteri dapat mengeluarkan keputusan penetapan hutan

    desa.

    6. Selanjutnya penetapan areal kerja disampaikan kepada gubernur dan bupati/walikota

    untuk disosialisasikan kepada masyarakat.

    7. Hasil dari sosialisasi tersebut adalah pembentukan lembaga desa yang dituangkan dalam

    peraturan desa. Lembaga desa inilah yang dapat mengajukan hak pengelolaan hutan

    desa kepada gubernur melalui bupati/walikota.

    8. Selanjutnya gubernur akan melakukan verifikasi, jika hasil verifikasi memenuhi syarat,

    gubernur memberikan hak pengelolaan hutan desa dalam bentuk SK pemberian hak

    pengelolaan hutan desa.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 31

    D. Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan

    Dasar : Permenhut No.P.37/Menhut-II/2007 jo Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009 jo

    Permenhut No.P.13/Menhut-II/2010 jo Permenhut No.P.52/Menhut-II/2011.

    Gambar 4 : Tata cara penetapan HKm dan permohonan IUPHHK-HKm sesuai dengan

    Permenhut No.P.37/Menhut-II/2007 jo Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009 jo

    Permenhut No.P.13/Menhut-II/2010 jo Permenhut No.P.52/Menhut-II/2011.

    1. Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai calon areal kerja hutan

    kemasyarakatan adalah :

    a) Hutan lindung atau hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin

    pemanfaatan.

    b) Menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 32

    Pada areal lain di luar areal yang dicalonkan masyarakat melalui ketua kelompok/kepala

    desa/tokoh masyarakat dapat mengajukan IUPHKm kepada bupati/walikota dengan

    melampirkan :

    a) Sketsa lokasi areal yang dimohon.

    b) Daftar nama masyarakat setempat calon kelompok hutan kemasyarakatan yang

    diketahui oleh camat dan kepala desa/lurah.

    2. Permohonan masyarakat setempat diajukan oleh ketua kelompok atau kepala desa atau

    tokoh masyarakat kepada bupati/walikota. Permohonan awal ini akan diverifikasi tahap

    pertama oleh tim yang dibentuk oleh gubernur atau bupati/walikota.

    3. Berdasarkan hasil verifikasi ini maka tim dapat menolak atau menerima permohonan

    penetapan areal hutan kemasyarakatan. Terhadap permohonan yang ditolak, tim

    verifikasi melaporkan kepada gubernur atau bupati/walikota. Terhadap permohonan yang

    diterima, tim verifikasi menyampaikan rekomendasi kepada gubernur dan atau

    bupati/walikota.

    4. Berdasarkan hasil verifikasi, gubernur atau bupati/walikota menyampaikan usulan

    penetapan areal hutan kemasyarakatan kepada Menteri Kehutanan dilengkapi peta calon

    areal kerja hutan kemasyarakatan dilengkapi dengan peta calon areal kerja hutan

    kemasyarakatan dengan skala 1: 50.000 serta deskripsi wilayah antara lain keadaan fisik

    wilayah, sosial ekonomi dan potensi kawasan sesuai petunjuk teknis pemetaan oleh

    BPKH/BPDAS.

    5. Hasil rekomendasi tim verifikasi yang telah dilampiri dengan peta calon areal HKm

    tersebut kemudian akan diverfikasi oleh tim yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan

    dengan penanggung jawab Direktur Jenderal BPDASPS dengan menugaskan UPT terkait.

    6. Jika verifikasi tersebut ditolak maka tim verifikasi menyampaikan pemberitahuan

    penolakan tersebut kepada gubernur dan/atau bupati/walikota.

    7. Jika verifikasi diterima maka menteri dapat menetapkan areal kerja hutan

    kemasyarakatan dan bupati dapat menerbitkan IUPHHK-HKm.

    E. Tata cara permohonan izin KHDTK

    Dasar : UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP no 12 Tahun 2010, dan saat ini

    sedang dipersiapkan Permenhut yang mengatur tentang KHDTK.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 33

    F. Tata cara pemberian Izin usaha pemanfaatan silvo pastura pada hutan

    produksi

    Dasar : Permenhut No. P.63/Menhut-II/2009

    Gambar 5 : Tata cara pemberian izin usaha pemanfaatan silvo pastura pada hutan

    produksi sesuai dengan Permenhut no P.63/Menhut-II/2009

    1. Penetapan Izin Usaha Pemanfaatan Silvo Pastura didasarkan dari usulan permohonan :

    Pemohon IUPK-SP pada areal yang telah dibebani izin HTI khusus diperuntukkan bagi

    pemegang IUPHHK-HTI yang bersangkutan.

    Pemohon IUPK-SP pada areal yang belum dibebani izin, yang dapat mengajukan

    permohonan adalah perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia

    (BUMSI) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

    Persyaratan areal untuk silvo pastura mengatur bahwa areal untuk usaha pemanfaatan

    kawasan silvo pastura tersebut adalah Hutan Produksi yang telah dibebani ijin IUPHHK

    HTI dengan luas maksimal 500 hektar dan yang belum dibebani IUPHHK atau izin usaha

    lainnya dengan luas maksimal 5 hektar.

    2. Persyaratan permohonan IUPK-SP yang telah dibebani IUPHHK-HTI adalah :

    Fotocopy SK pemberian izin IUPHHK-HTI dan izin usaha lainnya.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 34

    Peta permohonan.

    Rekomendasi Gubernur.

    Proposal teknis.

    3. Sedangkan Persyaratan permohonan IUPK-SP yang belum dibebani IUPHHK-HTI atau izin

    usaha lainnya adalah :

    Rekomendasi Gubernur apabila areal yang diusulkan berada pada lintas Kabupaten,

    tidak dibebani hak-hak lain dan dilampiri Peta lokasi skala 1: 100.000.

    Rekomendasi Bupati/Walikota apabila areal yang diusulkan berada pada satu wilayah

    Kabupaten/Kota, tidak dibebani hak-hak lain dan dilampiri Peta lokasi skala 1: 100.000.

    Pernyataan bersedia membuka kantor cabang di provinsi dan atau kabupaten/kota.

    Akte pendirian Koperasi atau Badan Usaha beserta perubahan-perubahannya yang

    telah disahkan oleh pejabat yang berwenang.

    Bergerak di bidang usaha kehutanan/pertanian/perkebunan, peternakan.

    Surat izin usaha dari instansi yang berwenang.

    Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

    Proposal teknis yang berisi antara lain : kondisi umum areal dan perusahaan serta

    usulan teknis kegiatan yang terdiri dari tujuan dan perencanaan.

    4. Rekomendasi gubernur atau bupati/walikota sebagaimana harus didasarkan analisa fungsi

    kawasan oleh dinas kehutanan dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) antara lain

    analisis izin-izin kehutanan, izin penggunaan kawasan hutan dan mutasi kawasan yang

    dituangkan dalam data spatial.

    5. Jika semua syarat terpenuhi, maka Menteri memerintahkan Dirjen Planologi Kehutanan

    untuk membuat Peta areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan Silvo Pastura.

    6. Setelah selesai, Dirjen Planologi menyerahkan Peta Areal Kerja untuk ditelaah aspek

    hukumnya di Sekjen.

    7. Setelah semua terpenuhi, Menteri menetapkan SK Izin Usaha Pemanfaatan Silvo Pastura.

    8. Pada pasal 10 mengatur bahwa jangka waktu IUPK-SP pada hutan produksi diberikan

    paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sesuai dengan jenis usahanya dan dapat

    diperpanjang.

    9. Dalam hal areal pada hutan produksi telah ditetapkan tata hutannya dalam 1 (satu) KPH,

    maka areal/lokasi permohonan izin baru atau perluasan areal IUPK-SP harus berada pada

    hutan produksi.

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 35

    V. PEMANFAATAN HUTAN INDONESIA

    A. Luas Kawasan Hutan Indonesia, Kawasan Hutan Yang Dibebani Izin Pemanfaatan

    dan Kawasan Hutan Yang Belum Dibebani Izin Pemanfaatan Hutan

    Berdasarkan SK penunjukan kawasan hutan dan perairan sampai dengan bulan November

    2012, luas kawasan hutan Indonesia adalah 134.290.240,94 ha yang terdiri dari : Hutan

    Konservasi (KSA+KPA) 27.086.910,23 ha, Hutan Lindung (HL) 30.539.823,36 ha, total Hutan

    Produksi (HP+HPT+HPK) 76.663.507,34 ha. Sampai dengan November 2012 luas kawasan

    Hutan Produksi yang telah dibebani izin pemanfaatan adalah 34.871.041 ha sehingga Hutan

    Produksi yang belum dibebani izin pemanfaatan adalah seluas 41.770.695 ha.

    Gambar 6 : Diagram Luas Kawasan Hutan Indonesia

    Gambar 7 : Diagram Luas Kawasan Hutan Produksi Indonesia

    27.086.91020%

    30.539.82323%

    76.663.50757%

    Hutan Konservasi

    Hutan Lindung

    Hutan Produksi

    27.967.604,50 37%30.810.790,34

    40%

    17.885.112,50 23%

    HPT

    HP

    HPK

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 36

    Adapun rincian luas kawasan hutan, luas kawasan hutan yang sudah dibebani ijin pemanfaatan dan luas kawasan hutan yang belum dibebani izin sampai dengan

    November 2012 diseluruh Indonesia dapat terlihat pada tabel 1, 2 dan 3 dibawah ini.

    NO PROPINSI

    KEPUTUSAN LUAS KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN (Ha)

    Total Hutan Produksi

    Jumlah Kawasan

    Hutan

    Jumlah Kawasan

    Hutan dan Perairan

    NOMOR TANGGAL

    KAWASAN KONSERVASI

    HL

    Hutan Produksi

    Konservasi Perairan

    Konservasi Darat JUMLAH HPT HP HPK

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

    1 D. I. Aceh 170/Kpts-II/2000 29 Juni 2000 214.100,00 852.633,00 1.066.733,00 1.844.500,00 37.300,00 601.280,00 0,00 638.580,00 3.335.713,00 3.549.813,00

    2 Sumatera Utara 44/Menhut-II/2005 16 Februari 2005

    -

    477.070,00 477.070,00 1.297.330 879.270,00

    1.035.690,00 52.760,00 1.967.720,00 3.742.120,00 3.742.120,00

    3 Sumatera Barat 141/Menhut-II/2012 15 Maret 2012 37.164 769.716,00 806.880,00 792.114,00 233.157,00 360.382,00 188.257,00 781.796,00 2.343.626,00 2.380.790,00

    4 Riau (1) 173/Kpts-II/1986 06 Juni 2011 - 451.240,00 451.240,00 397.150,00 1.971.553,00 1.866.132,00 4.770.085,00 8.607.770,00 9.456.160,00 9.456.160,00

    5 Kepulauan Riau (2) - -

    -

    -

    - - - - - 0,00 0,00 -

    6 Jambi 421/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 - 676.120,00 676.120,00 191.130,00 340.700,00 971.490,00 - 1.312.190,00 2.179.440,00 2.179.440,00

    7 Bengkulu 643/Menhut-II/2011 10 Nopember 2011 - 462.965,00 462.965,00 250.750,00 173.280,00 25.873,00 11.763 210.916,00 924.631,00 924.631,00

    8 Sumatera Selatan 76/Kpts-II/2001 15 Maret 2001 17.000,00 697.416,00 714.416,00 760.523,00 217.370,00 2.293.083,00 431.445,00 2.941.898,00 4.399.837,00 4.416.837,00

    9 Kep. Bangka Belitung 357/Menhut-II/04 01 Oktober 2004

    -

    34.690,00 34.690,00 156.730,00 -

    466.090,00

    - 466.090,00 657.510,00 657.510,00

    10 Lampung 256/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 - 462.030,00 462.030,00 317.615,00 33.358,00 191.732,00

    - 225.090,00 1.004.735,00 1.004.735,00

    11 DKI Jakarta 220/Kpts-II/2000 02 Agustus 2000 108.000,00 272,34 108.272,34 44,76 - 158,35 -

    158,35 475,45 108.475,45

    12 Jawa Barat 195/Kpts-II/2003 04 Juli 2003 - 132.180,00 132.180,00 291.306,00 190.152,00 202.965,00

    - 393.117,00 816.603,00 816.603,00

    13 Banten (3) 419/Kpts-II/1999 15 Juni 1999

    51.467,000

    112.991,000 164.458,00 12.359,000 49.439,000

    26.998,000 -

    76.437,00 201.787,00 253.254,00

    14 Jawa Tengah 359/Menhut-II/04 01 Oktober 2004 110.117,00 16.413,00 126.530,00 84.430,00 183.930,00 362.360,00 -

    546.290,00 647.133,00 757.250,00

    15 D.I Yogyakarta 171/Kpts-II/2000 29 Juni 2000 - 910,34 910,34 2.057,90 - 13.851,28

    - 13.851,28 16.819,52 16.819,52

    16 Jawa Timur 395/Menhut-II/2011 21 Juli 2011 3.506 230.126,00 233.632,00 344.742,00 - 782.772,00

    -782.772,00 1.357.640,00 1.361.146,00

    17 B a l i 433/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 3.415,00 22.878,59 26.293,59 95.766,06 6.719,26 1.907,10 -

    8.626,36 127.271,01 130.686,01

    Tabel 1 Luas Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan

  • BBuku Data dan Informasi Pemanfaatan Kawasan Hutan 2012 37

    NO PROPINSI

    KEPUTUSAN LUAS KAWASAN HUTAN DAN PERAIRAN (Ha)

    Total Hutan Produksi

    Jumlah Kawasan

    Hutan

    Jumlah Kawasan

    Hutan dan Perairan

    NOMOR TANGGAL

    KAWASAN KONSERVASI

    HL

    Hutan Produksi

    Konservasi Perairan

    Konservasi Darat JUMLAH HPT HP HPK

    18 N T B 598/Menhut-II/2009 02 Oktober 2009 11.121,00 168.044,00 179.165,00 430.485,00 286.700,00 150.609,00 -

    437.309,00 1.035.838,00 1.046.959,00

    19 N T T 423/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 122.350,00 227.980,00 350.330,00 731.220,00 197.250,00 428.360,00 101.830,00 727.440,00 1.686.640,00 1.808.990,00

    20 Kalimantan Barat 259/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 187.885,00 1.457.695,00 1.645.580,00 2.307.045,00 2.445.985,00 2.265.800,00 514.350,00 5.226.135,00 8.990.875,00 9.178.760,00

    21Kalimantan Tengah 529/Menhut-II/2012 25 September 2012

    22.542,00 1.608.286,00 1.630.828,00 1.346.066,00 3.317.461 ,00 3.324.675,00 3.881.817,00 9.721.042,00 12.697.165,00 12.719.707,00

    22Kalimantan Timur 79/Kpts-II/2001 15 Maret 2001 500,00 2.164.698,00 2.165.198,00 2.751.702,00 4.612.965,00 5.121.688,00

    - 9.734.653,00 14.651.053,00 14.651.553,00

    23Kalimantan Selatan 435/Menhut-II/2009 23 Juli 2009

    -

    213.285 213.285,00 526.425,00 126.660,00 762.188,00 151.424,00 1.040.272,00 1.779.982,00 1.779.982,00

    24Sulawesi Utara (5) 452/Kpts-II/1999

    17 Juni 199989.065,00 245.249,00 334.314,00 180.833,00 217.997,00 66.507,00 14.928,00 299.432,00 725.514,00 814.579,00

    25 Gorontalo 325/Menhut-II/2010 25 Mei 2010

    -

    196.653 196.653,00 204.608 251.097

    89.879 82.431 423.407,00 824.668,00 824.668,00

    26 Sulawesi Tengah 757/Kpts-II/1999 23 September 1999 0,00 676.248,00 676.248,00 1.489.923,00 1.476.316,00 500.589,00 251.856,00 2.228.761,00 4.394.932,00 4.394.932,00

    27Sulawesi Tenggara 465/Menhut-II/2011 09 Agustus 2011 1.504.160,00 282.924,00 1.787.084,00 1.081.489,00 466.854,00 401.581,00 93.571,00 962.006,00 2.326.419,00 3.830.579,00

    28 Sulawesi Selatan 434/Menhut-II/2009 23 Juli 2009 606.804,00 244.463,00 851.267,00 1.232.683,00 494.846,00 124.024,00 22.976,00 641.846,00 2.118.992,00 2.725.796,00

    29Sulawesi Barat (4) 890/Kpts-II/1999 14 Oktober 1999

    8.458

    1.283 9.741,00 677.872 361.775

    65.001 79.735 506.511,00 1.185.666,00 1.194.124,00

    30 Maluku (7) 415/Kpts-II/1999 15 Juni 1999 9.952,68 415.599,01 425.551,69 624.059,54 910.544,94 684.261,39 1.645.211,60 3.240.017,94 4.279.676,49 4.289.629,16