Buku Mekanika Kuantum

141
Mekanika Kuantum (draft) I Wayan Sudiarta, Ph.D Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mataram 1 October, 2012

Transcript of Buku Mekanika Kuantum

Mekanika Kuantum (draft)

I Wayan Sudiarta, Ph.D

Program Studi Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Mataram

1 October, 2012

ii

Daftar Isi

Kata Pengantar iii

1 Pendahuluan 1

2 Mekanika Klasik 5

2.1 Koordinat Umum atau Generalized Coordinates . . . . . 5

2.2 Mekanika Lagrange . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7

2.3 Mekanika Hamilton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10

2.4 Transformasi Kanonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12

2.4.1 Poisson Brackets . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13

3 Fenomena-Fenomena Kuantum 15

3.1 Radiasi Benda Hitam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15

3.1.1 Radiasi Rongga dengan Teori Klasik . . . . . . . . 19

3.1.2 Radiasi Rongga dengan Teori Kuantum . . . . . . 22

3.2 Efek Fotolistrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24

3.3 Efek Compton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 27

3.4 Spectrum Hidrogen Atom . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31

3.5 Hipotesis de Broglie . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32

4 Keadaan Sistem 35

4.1 Observables . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 36

5 Persamaan Schrodinger 47

5.1 Fungsi Gelombang dengan Momentum Tertentu . . . . . 47

5.2 Persamaan Schrodinger . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 50

5.3 Sifat-Sifat Fungsi Solusi Persamaan Schrodinger . . . . 53

5.4 Konservasi Probabilitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 53

5.5 Teorema Ehrenfest . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 56

5.6 Persamaan Schrodinger Tidak Bergantung Waktu . . . . 58

6 Solusi Persamaan Schrodinger Satu Dimensi 63

6.1 Partikel Bebas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 63

6.2 Potensial Tangga . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 65

6.3 Potensial Penghalang Persegi . . . . . . . . . . . . . . . . 69

6.4 Sumur Potensial Persegi Tak Berhingga . . . . . . . . . . 74

6.5 Sumur Potensial Persegi Berhingga . . . . . . . . . . . . 78

ii Daftar Isi

7 Osilator Harmonik 83

7.1 Osilator Harmonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 83

7.2 Metode Aljabar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 85

7.3 Metode Analitik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 90

8 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum 95

8.1 Bra-Ket . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 95

8.2 Amplitudo Probabilitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 99

8.3 Fungsi Gelombang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 99

8.4 Representasi Operator dengan Matriks . . . . . . . . . . 100

8.5 Sifat-sifat Matriks dan Definisi . . . . . . . . . . . . . . . 102

8.6 Contoh Harmonik Osilator . . . . . . . . . . . . . . . . . . 104

9 Momentum Angular 107

10 Rigid Rotator 109

11 Partikel pada Sumur Potensial Kotak 3D 111

12 Atom dengan Satu Elektron 115

13 Teori Perturbasi 121

13.1 Kasus Non-degenerate . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 121

13.2 Kasus Degenerate . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 124

14 Perturbasi tergantung waktu 127

14.1 Sistem Dua Tingkat Energi . . . . . . . . . . . . . . . . . 129

14.2 Perturbasi Harmonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 129

14.3 Aplikasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 129

15 Partikel Identik 131

15.1 Prinsip Larangan Pauli . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 132

15.2 statistik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 132

Daftar Pustaka 133

Kata Pengantar

Penulis bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas probabilitas pe-

nyelesaian buku ini yang cukup besar dalam waktu yang cukup sing-

kat.

Buku ini masih dalam tahap penyusunan dan belum mencapai ting-

kat kesempurnaan yang diinginkan penulis. Walaupun demikian, bu-

ku ini tetap berguna untuk mempermudah pemahaman tentang me-

kanika kuantum.

Buku ini ditulis dalam jangka waktu yang singkat, sekitar satu se-

tengah bulan. Sudah pasti tidak semua hal dijelaskan secara detil.

Kekurangan penjelasan dan pembahasan hal-hal penting akan dileng-

kapi pada saat kuliah.

Buku mekanika kuantum ini hanya membahas teori kuantum yang

tidak relativistik.

Teori kuantum bukanlah sebuah teori yang mudah dicerna atau di-

pahami. Dari semua teori yang ada, teori kuantum selalu dianggap

paling sulit. Ada beberapa faktor yang selalu menjadi penghambat

dalam pemahaman yaitu (1) Konsep-konsep yang ada di dalam teo-

ri kuantum tidak dapat atau tidak mempunyai analogi di fisika klasik

atau yang kita jumpai sehari-hari, terkadang konsep kuantum terlihat

aneh, ajaib dan tidak masuk akal. (2) Memerlukan pemahaman mate-

matika yang lebih banyak dari teori lain, (3) Buku-buku belum banyak

tersedia yang memberi penjelasan tentang konsep-konsep dasar teori

kuantum.

Dalam mempelajari ilmu fisika, kita perlu selalu mengingatkan diri

kita bahwa teori fisika seperti teori kuantum tidaklah mudah dipelaja-

ri, sehingga memerlukan waktu yang lebih banyak untuk memahami

konsep-konsepnya. Oleh karen itu, penulis menyarankan agar setiap

bab tidak dibaca dengan cepat. Bacalah perlahan dan ingatkan bahwa

kita perlu memahami (bukan menghafalkan) dan jangan melompati

bab-bab awal sebelum memahami isinya. Di samping itu, latihan de-

ngan mencoba banyak soal-soal perlu dilakukan untuk memperkuat

pemahaman konsep.

Sebuah pernyataan yant perlu diingat yaitu:

”One doesn’t understand the physics unless one can solve problems”

dan juga,

”Just solving problems, without the capacity to lucidly discuss tho-

se problems and the attendant concepts and ideas, may also indicate

insufficient understanding”

”Quantum mechanics [is] that mysterious, confusing discipline, whi-

iv Daftar Isi

ch none of us really understands but which we know how to use. It

works perfectly, as far as we can tell, indescribing physical reality, but

it is a ”counter-intuitive discipline,” as the social scientists would say.

Quantum mechanics is not a theory, but rather a framework within

which we believe any correct theory must fit.” (Murray Gell-Mann, in

Mulvey(1981))

Terima kasih penulis ucapkan kepada semua mahasiswa yang mem-

bantu menyempurnakan buku ini dan memaklumi bahwa kesempur-

naan bisa diperoleh jika kesalahan sudah dilakukan.

Terima kasih.

Penulis

1Pendahuluan

Pada abad ke 17, fenomena-fenomena perambatan cahaya dapat di-

jelaskan oleh dua teori: (a) teori gelombang yang dikemukakan oleh

Christian Huygens menyatakan bahwa cahaya merupakan gelombang

dan (b) teori corpuscle di mana cahaya terdiri dari partikel-partikel

atau corpuscle yang dikembangkan oleh Sir Isaac Newton. Dua teo-

ri ini dapat menjelaskan fenomena perambatan cahaya yang seperti

perambatan garis lurus dan pemantulan cahaya. Tetapi fenomena in-

terferensi dan difraksi tidak dapat dijelaskan oleh teori corpuscle dan

hanya bisa dijelaskan dengan teori gelombang. Pada interferensi ca-

haya, jika dua cahaya dipadukan akan menghasilkan fenomena gelap

dan terang. Perpaduan dua cahaya menghasilkan gelap (interferensi

pelemahan) tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep par-

tikel dan hanya bisa menggunakan konsep gelombang. Pada abad ke

19, Sir James Maxwell memperkuat konsep gelombang dengan mem-

buktikan bahwa cahaya merupakan gelombang elektromagnetik.

Walaupun demikian, konsep partikel tidaklah ditinggalkan, tetapi

muncul kembali dengan penemuan fenomena fotolistrik oleh Heinri-

ch Hertz yang hanya dapat dijelaskan jika cahaya terdiri dari paket-

paket atau kuanta atau partikel (disebut foton). Eksperimen yang di-

lakukan oleh Compton menunjukkan bahwa cahaya bersifat seperti

partikel (foton) ketika bertumbukan dengan sebuah elektron.

Dua contoh eksperimen, interferensi cahaya dan hamburan Comp-

ton membuktikan bahwa cahaya memiliki dua sifat atau dualitas: sifat

partikel dan sifat gelombang. Dengan mempertimbangkan sifat dua-

litas cahaya ini, kemudian de Broglie berhipotesis bahwa sifat duali-

tas tidak hanya dimiliki oleh cahaya, tetapi juga dimiliki oleh partikel

atau materi. Fenomena gelombang untuk elektron dapat ditunjukkan

dengan eksperimen difraksi elektron pada kristal (Davisson dan Ger-

mer).

Eksperimen yang lebih menarik dan mengundang banyak perta-

2 Pendahuluan

nyaan adalah eksperimen interferensi partikel (contohnya elektron)

yang melalui celah ganda. Pada eksperimen celah ganda ini, partikel

ditembakkan satu per satu ke arah celah ganda dan hasil interferen-

si dilihat pada layar (atau detektor). Contoh hasil pada layar untuk

penembakan elektron satu per satu yang dilakukan oleh Tanamura

diperlihatkan pada Gambar 1.1 (a). Jika jumlah elektron yang ditem-

bakkan masih sedikit, tidak terlihat adanya pola interferensi. Teta-

pi jika jumlah elektron pada layar sudah cukup banyak akan terli-

hat bahwa ada pola interferensi yang ditunjukkan dengan pola gelap-

terang. Perlu disebutkan lagi bahwa elektron di sini ditembakkan satu

per satu. Jadi tidak ada hubungan antara elektron satu dengan elek-

tron yang lainnya. Hal ini menunjukkan sesuatu yang menakjubkan

bahwa elektron berinterferensi dengan dirinya sendiri! atau dengan

kata lain elektron melalui dua celah sekaligus seperti pada interfe-

rensi gelombang cahaya. Eksperimen celah ganda ini mengkonfirmasi

bahwa partikel memiliki sifat gelombang dengan panjang gelombang-

nya. Eksperimen celah ganda dengan partikel yang lebih besar seperti

atom dan molekul juga menunjukkan pola interferensi [referensi].

Gambar 1.1: Hasil eksperimen celah ganda menggunakan elektron

Eksperimen celah ganda menunjukkan secara garis besar konsep

mekanika kuantum yang akan kita pelajari di dalam buku. Dengan

mekanika kuantum kita dapat menghitung probabilitas partikel me-

numbuk layar dengan akurat sehingga menghasilkan distribusi parti-

3

kel. Walaupun demikian, kita tidak bisa tahu pasti kapan elektron ak-

an menumbuk posisi tertentu pada layar. Atau dengan kata lain, elek-

tron menumbuk secara acak atau tidak dengan urutan tertentu. Inilah

konsep kuantum yang tidak mudah dicerna/dipahami oleh mahasiswa.

Eksperimen celah ganda ini menunjukkan hasilnya yang pasti tidak

bisa diprediksi, tetapi kita bisa menentukkan probabilitas-probabilitas

hasilnya atau kejadiannya. Konsep probabilitas sangatlah berbeda de-

ngan konsep kepastian yang telah diajarkan di mekanika klasik New-

ton.

Bagaimana jika kita amati partikel (di sini elektron) yang melalui

dua celah. Cara sederhana adalah dengan melakukan dua kali ekspe-

rimen, (1) menutup salah satu celah (kita label celah A) dan kemudian

melihat hasil pada layar, (2) menutup celah yang satu lagi (label celah

B) dan kemudian mengamati hasilnya. Jika memang partikel melalui

secara pasti salah satu celah maka pola diperolehnya merupakan pen-

jumlahan dua pola dari salah satu celah tertutup. Atau dengan kata

lain, umpama probabilitas hasil yang melalui celah A adalah PA dan

yang melalui celah B adalah PB, maka jika memang partikel melalui

hanya satu celah saja, maka probabilitasnya yaitu P = PA+PB. Tetapi

kenyataannya bahwa untuk eksperimen dengan dua celah yang terbu-

ka menghasilkan P 6= PA + PB. Jadi tidak merupakan penjumlahan

probabilitas.

Penjelasan mengenai terjadinya interferensi jika kita meninjau kon-

sep amplitudo probabilitas yang biasanya direpresentasikan dengan

bilangan kompleks. Probabilitas kejadian P dihitung dengan mengku-

adratkan nilai mutlak amplitudo probabilitas ψ atau

P = |ψ|2 (1.1)

Umpamanya kita mengetahui amplitodo probabilitas partikel me-

lalui celah A adalah ψA dan celah B adalah ψB. Jika kita lakukan

eksperimen dengan salah satu celah tertutup akan menghasilkan pola

pada layar dengan probabilitas,

PA = |ψA|2 dan PB = |ψB|2 (1.2)

Jika kita lakukan eksperimen dua celah terbuka, maka yang di-

hasilkan merupakan penjumlahan amplitudo probabilitas bukan pen-

jumlahan probabilitas.

4 Pendahuluan

P = |ψA + ψB|2 6= |ψA|2 + |ψB|26= PA + PB (1.3)

2Mekanika Klasik

Pada bab ini kita akan mempelajari konsep-konsep mekanika klasik

yang berguna dalam memahami mekanika kuantum. Formulasi me-

kanika klasik dengan menggunakan konsep energi seperti fungsi La-

grange dan Hamilton digunakan sebagai langkah pertama untuk me-

mformulasikan mekanika kuantum.

Mempelajari mekanika klasik, biasanya diawali dengan belajar ti-

ga hukum Newton. Konsep yang terpenting dalam hukum Newton

adalah konsep gaya dan percepatan. Umpama ada beberapa gaya yang

bekerja pada sebuah benda, percepatan benda dapat diperoleh dengan

menentukan terlebih dahulu jumlah vektor dari gaya-gaya yang beker-

ja dan kemudian menggunakan hukum Newton. Dengan mengetahui

percepatan benda inilah kita mendapatkan persamaan gerak benda

tersebut.

Formulasi Newton untuk mekanika klasik dengan konsep gaya dan

percepatan tidaklah merupakan satu-satunya cara. Formulasi meka-

nika klasik dengan konsep energi, yang diperkenalkan oleh Lagrange

dan Hamilton, juga dapat digunakan. Pada banyak permasalahan,

menggunakan konsep energi jauh lebih mudah untuk mendapatkan

persamaan gerak benda dibandingkan dengan formulasi Newton.

2.1 Koordinat Umum atau Generalized Coordi-

nates

Hal-hal yang perlu diketahui untuk mendapatkan persamaan gerak

benda-benda dalam mekanika Newton adalah massa benda mi, posi-

si ri, kecepatan vi dan gaya-gaya yang bekerja pada benda. Hukum

kedua Newton menyatakan bahwa perubahan kecepatan benda-benda

yang dihasilkan berbanding lurus dengan jumlah gaya-gaya dan ber-

banding terbalik dengan massa benda.

6 Mekanika Klasik

Untuk N partikel yang non-relativistik dengan massa yang tetap

mi dengan indeks i = 1, · · · , N , menggunakan hukum kedua Newton

pada ruang tiga dimensi menghasilkan 3N persamaan gerak.

d2ridt2

=Fnet,i

mi

=1

mi

k

Fk,i, (2.1)

Hukum kedua

Newton di mana Fnet,i adalah gaya total (atau netto) yang bekerja pada par-

tikel ke i. Kita perhatikan persamaan di atas adalah persamaan dife-

rensial orde dua.

Kita dapat mengubah persamaan gerak menggunakan kecepatan

benda vi = dri/dt, sehingga kita memperoleh persamaan diferensial

orde satu,

dridt

= vi,

d2vi

dt=

Fnet,i

mi, (2.2)

Untuk sistem yang konservatif atau total energi mekanik konstan

(atau kekal), gaya F yang bekerja pada benda dapat diperoleh dari

sebuah potensial U(r) dengan menggunakan operasi gradien ∇ yaitu

F = −∇U(r) = −∂U(r)∂r

(2.3)

Persamaan gerak sangat mudah dihasilkan menggunakan persa-

maan Newton untuk sistem yang tidak memiliki keterikatan atau ba-

tasan sebagai contoh gerak proyektil dan gerak atom-atom. Untuk

sistem dengan batasan tertentu, seperti gerak benda pada permukaan

melengkung atau pada tali yang tidak lurus, persamaan gerak benda

tidak mudah ditentukan dengan persamaan Newton.

Sebagai contoh sederhana, perhatikan sebuah benda diikat dengan

tali dan digantung membentuk sebuah bandul sederhana. Untuk mem-

permudah kita menganggap bahwa benda bergerak dalam ruang dua

dimensi. Untuk mendiskripsikan gerak bandul ini, dengan menggu-

nakan mekanika Newton, kita membutuhkan dua variabel (atau po-

sisi) yaitu (x, y) dan benda memiliki keterikatan atau batasan gerak

bahwa benda harus bergerak dalam sebuah lingkaran dengan jari-jari

L, atau panjang tali. Keterikatan atau ketidakbebasan ini mempunyai

persamaan yaitu x2 + y2 = r2 = L2. Jika kita pertimbangkan untuk

Mekanika Lagrange 7

mengganti sistem koordinat dengan koordinat polar,(r, θ) maka persa-

maan batasan menjadi r = L, jadi pada contoh ini hanya satu variabel

yang diperlukan untuk mendiskripsikan gerak benda yaitu θ. Satu ko-

ordinat, θ, merupakan sebuah contoh koordinat umum di mana jumlah

koordinat umum (generalized coordinates) sama dengan jumlah dera-

jat kebebasan. Ingat bahwa jumlah derajat kebebasan sama dengan

F = 3N − K di mana N adalah jumlah partikel atau benda dan Kadalah jumlah persamaan keterikatan.

Umpama kita sudah memiliki koordinate umum (generalized coo-

rdinates), bagaimana menentukan persamaan geraknya? Ini mungkin

sulit ditentukan dengan menggunakan formulasi Newton. Caranya

adalah menggunakan metode Lagrange atau metode Hamilton.

2.2 Mekanika Lagrange

Umpama kita sudah memiliki koordinat umum qi yang jumlahnya sa-

ma dengan jumlah derajat kebebasan. Mekanika Lagrange menggu-

nakan sebuah fungsi L(q, q, t) dalam menentukan persamaan gerak (di

sini kita menggunakan notasi q = q1, q2, . . . , qN. Untuk sistem yang

konservatif, fungsi Lagrange atau Lagrangian, L adalah

L = T − V (2.4)

.

di mana T adalah energi kinetik dan V adalah energi potensial.

Dalam formulasi Lagrange, momentum umum didefinisikan dengan

pi =∂L

∂qi(2.5)

Kemudian persamaan gerak dapat diperoleh dengan menggunakan

persamaan Lagrange yaitu

pi =∂L

∂qi(2.6)

atau

d

dt

(

∂L

∂qi

)

− ∂L

∂qi= 0 (2.7)

Perhatikan bahwa Lmerupakan fungsi q dan terdapat bagian ddt

(

∂L∂qi

)

yang menghasikan turunan kedua pada qi. Jadi persamaan Lagrange

8 Mekanika Klasik

merupakan persamaan diferensial orde dua.

Sebagai contoh, untuk gerak sebuah partikel pada ruang satu di-

mensi di dalam sebuah potensial V (x, t), fungsi Lagrange sistem ini

yaitu

L = T − V =1

2mx2 − V (x, t) (2.8)

Prosedur untuk menuliskan fungsi Lagrange L adalah sebagai ber-

ikut,

1. Tentukan T dan V (mungkin lebih mudah dalam koordinat Kar-

tesius).

2. Tuliskan L = T − V .

3. Tulis kembali semua koordinat ke dalam koordinat umum qi dan

turunannya qi.

Sangat penting untuk menulis L dalam bentuk koordinat umum

dan kecepatan sebelum menentukan persamaan geraknya.

Untuk memahami prosedur, mari kita tentukan fungsi Lagrange

untuk sebuah benda diikat dengan tali membentuk bandul sederhana.

Gambar 2.1: Bandul sederhana.

Benda bergerak dalam ruang dua dimensi dengan posisi (x, y) pada

koordinat Kartesius. Energi kinetiknya merupakan sebuah fungsi dari

kecepatan (vx, vy),

Mekanika Lagrange 9

T =1

2mv2x +

1

2mv2y =

1

2mx2 +

1

2my2 (2.9)

Ingat bahwa vx = x dan vy = y.

V = mgy (2.10)

Sehingga,

L = T − V =1

2mx2 +

1

2my2 −mgy (2.11)

Bentuk fungsi Lagrange ini belum sesuai karena (x, y) bukan koo-

rdinat umum. Jika kita perhatikan bahwa, hanya sudut dari bandul

itu yang berubah, maka kita dapat mengubah koordinat menjadi koo-

rdinat polar, di mana

x = L sin θ

y = −L cos θ (2.12)

Kita tentukan turunannya terlebih dahulu (dengan aturan rantai),

x = Lθ cos θ

y = Lθ sin θ (2.13)

Substitusi ke persamaan (2.11), fungsi Lagrange menjadi

L =1

2mL2θ2 cos2 θ +

1

2mL2θ2 sin2 θ +mgL cos θ

=1

2mL2θ2 +mgL cos θ (2.14)

Persamaan gerak yang dihasilkan dengan substitusi fungsi Lagra-

nge ke persamaan Largrange adalah

∂L

∂θ= −mgL sin θ

∂L

∂θ= mL2θ

d

dt

(

∂L

∂θ

)

= mL2θ

mL2θ +mgL sin θ = 0 (2.15)

10 Mekanika Klasik

atau dapat disederhanakan menjadi,

θ +g

Lsin θ = 0 (2.16)

Fungsi-fungsi Lagrange yang sering akan dijumpai di dalam buku

ini yaitu

1. Fungsi Langrange untuk sebuah partikel dengan massa m berge-

rak pada ruang tiga dimensi di dalam sebuah potensial V (x, y, z),

L =1

2m(x2 + x2 + x2)− V (x, y, z) (2.17)

2. Seperti di atas dalam bentuk koordinat bola,

L =1

2m(r2 + r2θ2 + r2 sin2(θ)φ2)− V (r, θ, φ) (2.18)

3. Fungsi Lagrange untuk sebuah partikel bermuatan q berinterak-

si dengan medan elektromagnetik dengan potensial skalar φ dan

potensial vektor A.

L =1

2m(x2 + x2 + x2)− qV (x, y, z, t) + qr ·A(r, t) (2.19)

Momentum umum untuk kasus ini adalah

p =∂L

∂r= mr+ qA (2.20)

Perhatikan bahwa momentum umum belum tentu sama dengan

momentum linier.

2.3 Mekanika Hamilton

Mekanika Hamilton akan digunakan selanjutnya untuk mempelajari

mekanika kuantum yang sangat berhubungan erat dengan energi dari

suatu sistem. Dalam mekanika Hamilton menggunakan sebuah fung-

si Hamilton H(p, q, t) merupakan fungsi dari momentum umum p dan

koordinat umum q bukan q dan q.Fungsi Hamilton didapatkan dengan persamaan,

Mekanika Hamilton 11

H =

f∑

i=1

piqi − L (2.21)

dengan pi = ∂L/∂qi dan f adalah jumlah derajat kebebasan.

Persamaan gerak Hamilton yaitu

qi =∂H

∂pipi = −∂H

∂qi(2.22)

Prosedur untuk menentukan fungsi Hamilton adalah sebagai beri-

kut:

1. Tuliskan H dengan persamaan (2.21). Jika sistem yang konserva-

tif dan nonrelativistik, fungsi Hamilton dapat diperoleh dengan

H = T + V (2.23)

2. Tulis kembali fungsi Hamilton dengan menggunakan momentum

umum dan koordinat umum.

Persamaan gerak Hamilton adalah

qi =∂H

∂pi(2.24)

pi = −∂H∂qi

(2.25)

Sebagai contoh, untuk gerak sebuah partikel pada ruang satu di-

mensi di dalam sebuah potensial V (x, t), fungsi Hamilton sistem ini

yaitu

L =1

2mx2 − V (x, t) (2.26)

px =∂L

∂x= mx sehingga x =

p

m(2.27)

Setelah substitusi, diperoleh

H = T + V =1

2mx2 − V (x, t)

=p2x2m

+ V (x, t) (2.28)

Fungsi Hamilton yang penting untuk mekanika kuantum yaitu

12 Mekanika Klasik

1. Sebuah partikel dalam ruang tiga dimensi,

H =1

2mp2 + V (x, y, z) (2.29)

2. Dalam bentuk koordinat bola,

H =1

2m(p2r +

p2θr2

+p2φ)

r2 sin2(θ)+ V (r, θ, φ) (2.30)

3. sebuah partikel bermuatan q dalam medan EM,

H =1

2m[p− qA(r, t)]2 + qV (x, y, z, t) (2.31)

2.4 Transformasi Kanonik

Sebelumnya kita pelajari bahwa kita membutuhkan momentum umum

(p) dan koordinat umum (q). Banyak pilihan momentum dan koordi-

nat (p, q) yang bisa digunakan. Penentuan koordinat dan momentum

yang mana sebaiknya digunakan tidak menjadi permasalahan. Tentu-

nya kita ingin menggunakan koordinat dan momentum yang memiliki

keistimewaan tersendiri, contohnya persamaan gerak yang diperoleh

lebih sederhana. Oleh karena itu kita perlu mentransformasikan (p, q)ke momenta dan koordinat baru (P,Q) dengan struktur dinamika Ha-

milton yang sama. Koordinat transformasi ini disebut dengan tran-

sformasi kanonik.

Motivasi untuk melakukan transformasi koordinat adalah untuk

mengubah ke koordinat siklik. Variabel untuk koordinat siklik tidak

tertulis secara eksplisit dalam fungsi Hamilton. Jika fungsi Hamilton

tidak tergantung pada sebuah koordinat qs, maka persamaan Hamil-

ton mengimplikasikan momentum yang sesuai dengan qs adalah kon-

stan.

ps = −∂H∂qs

= 0 , jadi ps = kostan = αs (2.32)

Koordinat yang seperti qs disebut koordinat siklik atau dapat dia-

baikan (ignorable).

Transformasi Kanonik 13

2.4.1 Poisson Brackets

Sebelumnya kita sudah memformulasikan dinamika yang disesuaik-

an dengana koordinat yang dipilih. Mungkin lebih baik jika formulasi

teori tanpa menentukan sistem koordinat. Formulasi yang tidak ter-

gantung pada sistem koordinat menggunakan Poisson bracket.

Poisson bracket untuk dua fungsi u dan v terhadap variabel kano-

nik (q, p) adalah

[u, v]P =

f∑

s=1

[

∂u

∂qs

∂v

∂ps− ∂u

∂ps

∂u

∂qs

]

(2.33)

sebagai contoh, jika v = qj atau v = pj , kita memperoleh,

[u, qj ]P = − ∂u

∂pj(2.34)

[u, pj]P =∂u

∂qj(2.35)

Poisson bracket yang penting adalah ketika mensubstitusi u = qidan u = pi, kita memperoleh

[qi, qi]P = 0, [pi, pi]P = 0, [qi, pi]P = δij (2.36)

Poisson brackets dapat digunakan untuk menuliskan persamaan

gerak yang tidak tergantung koordinat untuk fungsi f ,

df

dt=∂f

∂t+ [f,H ]P (2.37)

Konsequensi dari ini adalah

dH

dt=∂H

∂t(2.38)

karena [H,H ]P = 0Kita juga memperoleh,

qi = [qi, H ]P (2.39)

dan

pi = [pi, H ]P (2.40)

3Fenomena-Fenomena Kuantum

Sejak abad ke 19, banyak fenomena fisika yang tidak dapat dijelask-

an oleh teori fisika klasik (mekanika newton dan teori untuk gelom-

bang elektromagnetik). Teori fisika klasik terbentuk dari pengamatan-

pengamatan yang bersifat makroskopik. Fenomena-fenomena mikros-

kopik yang tidak bisa dijelaskan oleh fisika klasik antara lain:

1. Spektrum radiasi benda hitam.

2. Efek fotolistrik

3. Efek Compton

4. Spektrum garis atom hidrogen.

5. Eksperimen Frank-Hertz

6. Eksperimen Stern-Gerlach, Momentum Angular dan Spin

7. Eksperimen difraksi elektron

8. Interferensi celah ganda

Pada bab ini kita akan mempelajari beberapa fenomena fisika dan

konsep-konsep fisika kuantum yang dapat menjelaskan fenomena ter-

sebut. Terutama kita memulai mempelajari konsep kuantum dengan

mempertimbangkan radiasi benda hitam.

3.1 Radiasi Benda Hitam

Pada bagian ini kita akan membahas mengenai radiasi termal (panas)

yang dipancarkan oleh benda-benda. Radiasi termal adalah radiasi

yang dipancarkan oleh benda-benda yang dihasilkan oleh benda kare-

na benda itu mempunyai suhu. Semua benda memancarkan radiasi

16 Fenomena-Fenomena Kuantum

termal ke lingkungan dan menyerap radiasi dari lingkungan. Umpa-

manya untuk benda dengan suhu lebih tinggi dari lingkungan akan

memancarkan lebih banyak radiasi termal daripada menyerap energi

dari lingkungan. Sehingga lebih banyak energi yang keluar benda dan

suhu benda akan turun. Ketika kesetimbangan termal dicapai, radia-

si diemisikan dan diserap sama, suhu benda dan lingkuangan menjadi

sama.

Benda-benda dalam keadaan terkondensasi (seperti zat padat dan

zat cair) memancarkan spektrum radiasi yang kontinyu. Secara detail

dari spectrum radiasi hampir tidak tergantung pada jenis materi teta-

pi tergantung besar dari suhunya. Pada suhu biasa atau suhu kamar,

semua benda terlihat tidak dari cahaya yang dipancarkan melainkan

dari cahaya yang dipantulkan. Jika tidak ada cahaya maka benda ti-

dak akan terlihat. Benda-benda akan memancarkan cahaya sendiri

pada suhu yang sangat tinggi, suhu di atas beberapa ribu kelvin.

Bentuk yang detil dari spektrum dari radiasi termal yang diemisik-

an benda tergantung pada komposisi benda. Eksperimen menunjukk-

an bahwa ada sebuah tipe benda yang mempunyai bentuk karakter

yang universal. Tipe benda ini dinamakan benda hitam. Tipe benda

ini menyerap sempurna semua radiasi termal diterimanya. Ini arti-

nya benda tidak merefleksikan cahaya, seperti halnya benda hitam.

Terlihat hitam jika suhunya masih rendah dan belum memancarkan

cahaya dengan panjang gelombang yang bisa dilihat dan dengan inte-

sitas masih rendah. Ditemukan bahwa semua benda hitam pada suhu

yang sama memancarkan radiasi termal dengan spektrum yang sama.

Hal ini bisa dimengerti dari konsep termodinamika tentang tempera-

ture yang sama.

Untuk mempelajari radiasi benda hitam, kita menggunakan notasi

R untuk daya emisi total dari benda hitam. R merupakan fungsi dari

temperature dan frekuensi atau panjang gelombang. Pada tahun 1879,

J. Stefan menemukan rumus empiris untuk daya emisi total R yang

tergantung pada temperatur,

R(T ) = σT 4 (3.1)

di mana σ = 5, 67×10−8Wm−2K−4 adalah konstanta Stefan-Boltzmann.

Kita beri notasi R(λ, T ) untuk spektrum daya dan R(λ, T )dλ meru-

pakan daya yang diemisikan per satuan luas untuk suhu absolut T dan

panjang gelombang antara λ dan λ+ dλ.

Daya emisi total merupakan integral dari R(λ, T ) yaitu

Radiasi Benda Hitam 17

Gambar 3.1: Spektrum radiasi termal benda hitam.

R(T ) =

∫ ∞

0

R(λ, T )dλ (3.2)

Nilai panjang gelombang dengan daya emisi tertinggi (nilai mak-

simum pada spektrum radiasi termal) bergeser berbanding terbalik

dengan suhu. Pergeseran frekuensi ini dinamakan hukum pergeseran

Wien

λmax ∝ 1

T(3.3)

atau

λmaxT = konstanta (3.4)

18 Fenomena-Fenomena Kuantum

dengan konstanta yang ditemukan (dinamakan konstanta Wien)

bernilai 2, 898× 10−3mK

Gambar 3.2: Sebuah rongga dengan sebuah lubang celah kecil.

Sebuah contoh benda hitam yang sangat penting untuk dipertim-

bangkan yaitu sebuah benda dengan rongga yang memiliki celah atau

lubang kecil (lihat Gambar 3.2). Cahaya yang masuk ke lubang kecil

ini akan dipantulkan dan diserap berkali-kali oleh dinding rongga dan

tidak ada atau sangat sedikit sekali cahaya yang keluar dari lubang

kecil itu. Jadi seluruh cahaya yang masuk ke lubang kecil itu diserap.

Jadi lubang itu terlihat gelap. Lubang ini bersifat sama dengan benda

hitam. Banyak benda hitam di dalam eksperimen dibuat seperti ini.

Jika rongga di panaskan pada suhu tertentu, dinding rongga akan

memancarkan radiasi dan memenuhi rongga. Sebagian dari radiasi

di dalam rongga dapat keluar dari rongga melalui lubang kecil dan

memancarkan radiasi termal. Karena lubang memiliki sifat benda

hitam, maka spektrum yang dikeluarkan melalui lubang merupakan

spektrum benda hitam. Karena radiasi dari lubang merupakan sebuah

sampel dari radiasi di dalam rongga, maka kita dapat menyimpulkan

radiasi dalam rongga juga merupakan radiasi benda hitam. Spektrum

radiasi rongga ini merupakan karakteristik spektrum untuk benda de-

ngan suhu tertentu. Ini berarti bahwa untuk mempelajari spektrum

radiasi benda hitam kita juga dapat mempelajari spektrum radiasi

Radiasi Benda Hitam 19

rongga dan distribusi spektrum lebih bagus dipelajari dengan kera-

patan energi ρ(λ, T ) pada rongga. Spektrum benda hitam ditemukan

sebanding dengan spektrum benda hitam,

ρ(λ, T ) =4

cR(λ, T ) (3.5)

Radiasi di dalam sebuah rongga dengan dinding pada temperature

T mempunyai karateristik yang sama dengan radiasi yang pancarkan

oleh sebuah permukaan benda hitam. Lebih mudah melakukan eks-

perimen untuk menghasilkan spektrum benda hitam dengan menggu-

nakan rongga di dalam benda dipanaskan. Juga lebih mudah secara

teoritis mempelajari radiasi benda hitam dengan menganalisa radiasi

rongga, karena lebih mungkin memprediksi sifat radiasi rongga secara

umum.

Pada tahun 1893, W. Wien menunjukkan bahwa fungsi ρ(λ, T ) de-

ngan argumentasi termodinamika mempunyai bentuk,

ρ(λ, T ) =1

λ5f(λT ) (3.6)

3.1.1 Radiasi Rongga dengan Teori Klasik

Lord Rayleigh dan J. Jeans mencoba menggunakan model sebagai beri-

kut. Pertimbangkan sebuah rongga (agar lebih mudah kita akan meng-

gunakan rongga berbentuk kubus dengan panjang sisi a) dengan din-

ding metalik dipanaskan pada suhu T , dinding memancarkan radiasi

gelombang elektromagnetik. Karena dinding berupa permukaan me-

talik, radiasi di dalam rongga akan membentuk gelombang berdiri de-

ngan simpulnya pada dinding rongga. Karena dua sisi dinding sejajar

dan sumbu-sumbu yang kita gunakan saling tegak lurus, maka tiga

komponen radiasi (sesuai dengan arah sumbu koordinat) tidak saling

mempengaruhi maka kita dapat menganalisa secara terpisah. Ini bia-

sanya dinamakan dengan metode pemisahan variabel.

Ex(x, t) = E0 sin(kxx) sin(2πνt) (3.7)

kx = 2π/λx (3.8)

λν = c (3.9)

Sesuai dengan syarat batas menghasilkan,

20 Fenomena-Fenomena Kuantum

2a/λ = nx, nx = 1, 2, 3, . . . (3.10)

atau

λx = 2a/nx, nx = 1, 2, 3, . . . (3.11)

Gambar 3.3: Sebuah rongga berbentuk kubus dengan panjang sisi-

sisinya adalah a.

Dengan cara yang sama untuk komponen dengan arah sumbu y dan

z,

Ey(y, t) = E0 sin(kyy) sin(2πνt) (3.12)

ky = 2π/λy (3.13)

λy = 2a/ny, ny = 1, 2, 3, . . . (3.14)

Ez(z, t) = E0 sin(kzz) sin(2πνt) (3.15)

kz = 2π/λz (3.16)

λz = 2a/nz, nz = 1, 2, 3, . . . (3.17)

Radiasi Benda Hitam 21

Bilangan gelombang, k,

k =√

k2x + k2y + k2z =π

a

n2x + n2

y + n2z (3.18)

atau

2a

λ=√

n2x + n2

y + n2z (3.19)

atau untuk frekuensi ν

ν =c

λ=

c

2a

n2x + n2

y + n2z (3.20)

Jumlah frekuensi yang diperbolehkan antara ν dan ν + dν adalah

sama dengan berapa banyak titik-titik latis antara r dan r + dr,

N(ν)dν = N(r)dr (3.21)

r =√

n2x + n2

y + n2z =

2a

cν (3.22)

N(r)dr sama dengan volume dalam satu kulit dikalikan dengan ke-

rapatan titik-titik latis.

N(r)dr =1

84πr2dr =

1

2πr2dr (3.23)

N(ν)dν =π

2

(

2a

c

)3

ν2dν (3.24)

Hasil ini kita kalikan dengan 2, karena setiap frekuensi terdapat

dua polarisasi, maka

N(ν)dν = π

(

2a

c

)3

ν2dν (3.25)

Prediksi termodinamika klasik, dengan menggunakan prinsip eku-

ipartisi, setiap derajat kebebasan memiliki energi rata-rata sebesar

kT/2. Untuk kasus gelombang berdiri energinya sebesar dua kalinya,

maka

E = kT (3.26)

atau dengan anggapan bahwa energi bisa bernilai berapa saja dari

0 sampai ∞

22 Fenomena-Fenomena Kuantum

E =

∫∞0ǫ exp−βǫdǫ

∫∞0

exp−βǫdǫ =1

β= kT (3.27)

Kerapatan energi per satuan volume untuk frekuensi antara ν dan

ν+dν adalah energi rata-rata tiap gelombang berdiri dikalikan dengan

jumlah gelombang berdiri dibagi dengan volume a3,

ρ(ν, T )dν =8πkT

c3ν2dν (3.28)

ingat

ν = c/λ |dν| = c/λ2dλ (3.29)

atau

ρ(λ, T )dλ =8πkT

λ4dλ (3.30)

Inilah rumus Rayleigh-Jeans untuk radiasi benda hitam.

Tetapi jika kita integralkan untuk mendapatkan total energi,

ρ(T ) =

∫ ∞

0

ρ(λ, T )dλ = ∞ (3.31)

yang bernilai tak hingga, ini karena jika λ → 0, ρ(λ, T ) → ∞. Ini

dinamakan katastrofi ultraviolet.

3.1.2 Radiasi Rongga dengan Teori Kuantum

Untuk mengatasi permasalahan pada teori Rayleigh-Jeans, Planck pa-

da tahun 1900 mempostulatkan bahwa energi osilator dengan frekuen-

si ν tidak dapat bernilai sembarangan antara 0 dan tak-hingga mela-

inkan bernilai diskrit, nǫ0, di mana n adalah bilangan bulat positif.

Jadi energi rata-rata osilator menjadi,

E =

∑∞n=0 nǫ0 exp(−βnǫ0)∑∞

n=0 exp(−βnǫ0)(3.32)

= − d

[

ln

∞∑

n=0

exp(−βnǫ0)]

(3.33)

= − d

[

ln

(

1

1− exp(−βǫ0)

)]

(3.34)

=ǫ0

exp(βǫ0)− 1(3.35)

Radiasi Benda Hitam 23

Gambar 3.4: Perbandingan antara teori Planck dan Rayleigh-Jeans

dengan eksperimen pada suhu 1600 K. (ref?)

sehingga diperoleh,

ρ(λ, T ) =8π

λ4ǫ0

exp(ǫ0/kT )− 1(3.36)

Agar sesuai dengan hukum Wien, ǫ0 harus berbanding lurus dengan

frekuensi, ν.

ǫ0 = hν =hc

λ(3.37)

ρ(λ, T ) =8π

λ4hc/λ

exp(hc/λkT )− 1(3.38)

ρ(λ, T ) =8πhc

λ51

exp(hc/λkT )− 1(3.39)

Dengan melakukan pendekatan dengan deret Taylor, dapat dibuk-

tikan bahwa untuk nilai panjang gelombang yang besar,

ρ(λ, T ) → 8πkT

λ4(3.40)

Untuk panjang gelombang yang pendek λ → 0, ρ → 0 karena ada-

nya faktor penyebut exp(hc/λkT )− 1.

24 Fenomena-Fenomena Kuantum

Secara fisis artinya sebagai berikut. Untuk panjang gelombang

yang panjang, energi ǫ0 = hc/λ jauh lebih kecil dari kT atau efek disk-

rit dari energi bisa dianggap kontinyu. Sedangkan untuk panjang ge-

lombang pendek, atau energi ǫ0 = hc/λ sebanding dengan kT sehingga

efek diskrit dari energi tidak bisa diabaikan atau dianggap kontinyu.

Dari spektrum Planck dapat diturunkan bahwa panjang gelombang

dengan nilai spektrum maksimum adalah

λmaxT =hc

4, 965k(3.41)

Kerapatan energi total,

ρTot = aT 4 a =8π5k4

15h3c3(3.42)

konstanta Stefan-Boltzmann,

σ =2π5k4

15h3c2(3.43)

Catatan tentang konstanta Planck, h. Mempunyai satuan J.s. Di-

mensi untuk konstanta Planck adalah [energi][waktu] atau [panjang][momentum].

Dimensi ini dinamakan [aksi] atau [action]. Konstanta Planck dikenal

dengan fundamental quantum action.

3.2 Efek Fotolistrik

Pada tahun 1886 dan 1887, Heinrich Hertz melakukan eksperimen

tentang gelombang EM. Hertz menemukan bahwa discharge elektron

antara dua plat elektroda lebih mudah terjadi ketika sinar ultraviolet

mengenai permukaan salah satu elektroda. Lenard mengikuti eks-

perimen Hallwachs menunjukkan bahwa elektron keluar dari katoda

ketika disinari dengan sinar UV. Fenomena ini disebut dengan efek

fotolistrik.

Ilustrasi alat yang digunakan dalam eksperimen fotolistrik diperli-

hatkan pada Gambar 3.5 dan 3.6. Cahaya ultraviolet disinarkan pada

plat katoda (C) dan elektron keluar dari plat yang kemudian meng-

enai plat anoda (A) sehingga menghasilkan arus I pada rangkaian.

Arus yang dihasilkan diukur dan pengaruh potensial (V) dipelajari.

Hasil eksperimen fotolistrik menunjukkan hubungan antara tegangan

V dan I pada Gambar 3.7. Ketika V bernilai positif, elektron ditarik

Efek Fotolistrik 25

Gambar 3.5: Efek fotolistrik.

Gambar 3.6: Efek fotolistrik.

menuju anoda. Ketika tegangan V dinaikkan, arus I meningkat sam-

pai nilai saturasi pada tenggangan yang cukup besar. Jika tegangan

bernilai negatif, arus I tetap bisa teramati. Pada tegangan −V0 dite-

mukan arus menjadi nol yang mengindikasikan bahwa tidak ada lagi

elektron yang diemisikan. Dari hasil ini diperoleh bahwa nilai maksi-

mum kinetik energi adalah

26 Fenomena-Fenomena Kuantum

Kmax = eV0 (3.44)

Di samping itu, arus I diamati oleh Lenard sebanding dengan inten-

sitas cahaya ultraviolet yang digunakan. Einstein pada tahun 1905 da-

pat menjelaskan fenomena fotolistrik dengan mempostulatkan bahwa

cahaya tidak berupa gelombang tetapi berupa partikel ”foton” dengan

energi diskrit yang tergantung pada frekuensi cahaya sesuai yang di-

temukan oleh Planck.

E = hν (3.45)

Karena energi pada foton selurunya ditransfer ke elektron, maka

kinetik energi elektron ketika keluar dari plat logam adalah

K = hν −W (3.46)

dengan W adalah fungsi kerja dari plat logam.

Gambar 3.7: Efek fotolistrik.

Untuk nilai maksimum kinetik energi menjadi

Kmax = eV0 = hν −W0 (3.47)

dan dihasilkan

V0 =h

eν − W0

e(3.48)

Dengan mengukur tegangan ”stopping” dan frekuensi cahaya dapat

diperoleh koefisien h/e. Hubungan ini dikonfirmasi oleh eksperimen

yang dilakukan oleh R.A. Millikan pada tahun (1914-1916). Hasil eks-

perimen itu diperlihatkan pada Gambar 3.8. Persamaan linier pada

grafik V0 vs ν, konstanta h/e bisa didapatkan. Karena muatan elektron

sudah diketahui maka nilai konstanta Planck h dapat ditentukan.

Efek Compton 27

Gambar 3.8: Efek fotolistrik.

3.3 Efek Compton

Sebelumnya, Planck menyatakan bahwa energi radiasi tidak bernilai

sembarangan atau kontinyu, melainkan dalam bentuk diskrit. Einste-

in dalam menjelaskan efek fotolistrik menggunakan cahaya merupak-

an kumpulan foton yang memiliki energi tertentu, E = hν. Jadi cahaya

dapat berprilaku seperti partikel. Konfirmasi bahwa cahaya berupa

partikel ditunjukkan oleh eksperimen yang dilakukan oleh Compton

pada tahun 1923. Pada eksperimen Compton, seberkas cahaya sinar-x

dengan panjang gelombang tertentu disinarkan/ditembakkan pada se-

buah target grafit dan kemudian intensitas sinar-x yang dihamburk-

an diukur sebagai fungsi panjang gelombang. Walaupun sinar-x yang

digunakan memiliki satu panjang gelombang, hamburan sinar-x mem-

punyai intensitas dengan puncak pada dua panjang gelombang, satu

panjang gelombang yang sama dengan sinar-x yang digunakan dan

satu lagi memiliki panjang gelombang yang lebih besar dari digunak-

an dengan pergeseran panjang gelombang (∆λ). Adanya puncak yang

berbeda tidak dapat dijelaskan menggunakan sifat radiasi yang beru-

pa gelombang elektromagnetik. Ini karena, jika elektron dipengaruhi

oleh gelombang elektromagnetik, elektron akan berosilasi dan meman-

carkan gelombang dengan frakuensi atau panjang gelombang yang sa-

ma. Compton dan juga Debye dapat menjelaskan pergeseran intensi-

tas hamburan sinar-x ini jika cahaya bersifat seperti partikel. Dalam

hal ini terjadi proses tumbukan antara foton dengan energi hν dan

elektron bebas.

28 Fenomena-Fenomena Kuantum

Gambar 3.9: Efek Compton.

Gambar 3.10: Efek Compton.

Mari kita bahas mengenai proses tumbukan antara foton dan elek-

tron bebas yang dalam keadaan diam.

Radiasi dari sinar-x memiliki energi sebesar (sesuai dengan yang

dikemukakan Planck)

E = hν (3.49)

Energi relativistik total untuk benda bermassa adalah

Efek Compton 29

E = m0c2/√

1− v2/c2 (3.50)

Kita ketahui bahwa kecepatan cahaya adalah c dengan energi hν,

dan massa diam untuk foton adalah nol. Jadi foton dapat dipertim-

bangkan sebagai partikel dengan massa diam nol dan semua energi-

nya adalah energi kinetik.

Momentum foton dapat diturunkan dari persamaan umum untuk

energi dan momentum relativitas,

E2 = c2p2 + (m0c2)2 (3.51)

Karena massa diam foton adalah nol, maka

E = pc p (3.52)

atau

p = E/c = hν/c = h/λ (3.53)

Untuk menganalisa tumbukan, kita menggunakan hukum keke-

kalan energi dan kekekalan momentum. Momentum foton pada awal

dan akhir tumbukan adalah p0 dan p1, dan momentum elektron pa-

da akhir tumbukan adalah p. Sketsa proses tumbukan diperlihatkan

pada Gambar 3.10.

Dari hukum kekekalan momentum, diperoleh dua persamaan (un-

tuk dua arah, sumbu x dan y)

p0 = p1 cos(θ) + p cos(φ) atau p0 − p1 cos(θ) + p cos(φ) (3.54)

dan

p1 sin(θ) = p sin(φ) (3.55)

Kuadrat kedua sisi persamaan di atas, dihasilkan,

(p0 − p1 cos(θ))2 = p2 cos2(φ) (3.56)

dan

p21 sin2(θ) = p2 sin2(φ) (3.57)

Setelah persamaan di atas dijabarkan dan kemudian dijumlahkan,

diperoleh

p20 + p21 − 2p0p1 cos(θ) = p2 (3.58)

30 Fenomena-Fenomena Kuantum

Dari hukum kekekalan energi kita mendapatkan persamaan

E20 +m0c

2 = E1 +K +m0c2 (3.59)

atau

E0 − E1 = K (3.60)

Menggunakan hubungan energi dan momentum untuk foton,

c(p0 − p1) = K (3.61)

Menggunakan persamaan (3.51) untuk K +m0c2,

(K +m0c2)2 = c2p2 + (m0c

2)2 (3.62)

setelah penjabaran, diperoleh

K2 + 2Km0c2 = c2p2 (3.63)

Substitusi nilai K dari persamaan (3.61) dan p2 dari persamaan

(3.58),

(p0 − p1)2 + 2m0c(p0 − p1) = p20 + p21 − 2p0p1 cos(θ) (3.64)

Setelah manipulasi,

m0c(p0 − p1) = p0p1(1− cos(theta)) (3.65)

atau

1

p1− 1

p0=

1

m0c(1− cos(θ)) (3.66)

Menggunakan momentum foton, p = h/λ, dihasilkan pergeseran

panjang gelombang,

∆λ = λ1 − λ0 =h

m0c(1− cos(theta)) (3.67)

∆λ = λ1 − λ0 =h

m0c2 sin2(θ/2) (3.68)

Nilai konstanta pengali pada sisi kanan persamaan di atas dina-

makan panjang gelombang Compton,

λC = h/m0c = 2, 43× 10−12m = 0, 0243A (3.69)

Spectrum Hidrogen Atom 31

Kita perhatikan persamaan di atas, pergeseran Compton tidak ter-

gantung pada panjang gelombang tetapi pada sudut hamburan elek-

tron. Perhatikan hasil yang diperoleh Compton, semakin besar sudut

hamburan, semakin besar pergeserannya.

Gambar 3.11: Efek Compton.

Dengan menggunakan software pengolahan citra untuk mengukur

pergeseran Compton pada Gambar 3.11. Hasil pengukuran tersebut

ditampilkan pada Gambar 3.12.

3.4 Spectrum Hidrogen Atom

Spektrum cahaya yang dipancarkan oleh gas atom hidrogen menun-

jukkan spektrum yang diskrit atau garis-garis spektrum. Garis-garis

itu memiliki keteraturan, J Balmer menemukan bahwa garis-garis

spektrum (Hα, Hα, Hα, . . .) dapat diperoleh dengan persamaan

λ =Cn2

n2 − 4(3.70)

di mana C = 3646A.

32 Fenomena-Fenomena Kuantum

Gambar 3.12: Efek Compton.

Pada tahun 1889, J.R. Rydberg menemukan bahwa rumus yang le-

bih berguna yaitu

1

λ= RH

(

1

22− 1

n2

)

(3.71)

dengan konstanta Rydberg, RH = 109677, 58 cm−1.

Rumus yang lebih umum untuk semua jenis garis spektrum hidro-

gen adalah

1

λ= RH

(

1

n2a

− 1

n2b

)

(3.72)

[Teori atom Bohr di sini. untuk sementara baca foto copian]

3.5 Hipotesis de Broglie

Maurice de Broglie asal Francis (fisika eksperimen), memberitahu sau-

daranya Louis de Broglie tentang fenomena cahaya yang bisa berprila-

ku seperti gelombang dan partikel. Louis de Broglie kemudian mengu-

sulkan bahwa sifat dualisme partikel-gelombang tidak hanya dimiliki

Hipotesis de Broglie 33

oleh cahaya tetapi juga materi. Hipotesis keberadaan gelombang ma-

teri dikemukakan de Broglie pada tesis doktoral di tahun 1924. Sifat

dualisme ini merupakan simetri dari alam.

Gelombang EM atau cahaya dengan frekuensi ν dan panjang ge-

lombang λ memiliki sifat partikel dengan energi:

E = hν (3.73)

dan momentum

p = h/λ (3.74)

Konsep partikel berhubungan dengan kuantitas energi dan momen-

tum, sedangkan konsep gelombang berhubungan dengan kuantitas pan-

jang gelombang dan frekuensi. Dari persamaan (3.74, materi juga

mempunyai sifat gelombang dengan panjang gelombang de Broglie:

λ = h/p (3.75)

Seperti halnya sifat gelombang, dua fenomena yang sering diamati

adalah difraksi dan interferensi. Eksperimen yang digunakan untuk

menunjukkan sifat gelombang materi adalah dengan melakukan eks-

perimen difraksi. Pada eksperimen Davidson dan Germer, elektron di-

tembakkan ke sebuah kristal dan kemudian pola difraksinya diukur.

Pada difraksi kristal, distribusi intensitas persamaan Bragg:

nλ = 2d sin(φ) (3.76)

4Keadaan Sistem

Keadaan sistem kuantum dideskripsikan oleh fungsi gelombang atau

fungsi keadaan atau juga vektor keadaaan. Tiga sebutan ini akan

digunakan silih berganti yang disesuaikan dengan konteksnya tan-

pa menimbulkan ketidakmengertian. Sebagai contoh untuk sistem

yang terdiri dari satu partikel fungsi gelombangnya dinotasikan de-

ngan Ψ(r, t). Fungsi gelombang tergantung pada posisi r dan waktu

t. Semua informasi mengenai sistem diberikan oleh fungsi-gelombang.

Sifat-sifat fisis sistem dapat diperoleh dari fungsi gelombang.

Untuk menyederhanakan pembahasan, untuk beberapa bab awal

buku ini akan mengggunakan sistem satu partikel saja. Sistem de-

ngan partikel banyak akan dijelaskan kemudian. Jadi tanpa menye-

butkan kembali bahwa sistemnya adalah satu partikel saja, jika hanya

ada satu posisi saja r, maka sistem adalah sistem dengan satu partikel

saja.

Perubahan atau evolusi dari fungsi gelombang diberikan oleh per-

samaan gerak atau persamaan gelombang, untuk sistem yang tidak

relativistik diberikan oleh persamaan Schrodinger.

Fungsi gelombang dari suatu sistem berkaitan dengan probabilitas

menemukan partikel pada suatu daerah tertentu dengan hubungan,

P (r, t)d3r = |Ψ(r, t)|2d3r (4.1)

Tentuknya probabilitas menemukan partikel memiliki kondisi nor-

malisasi yaitu

S

P (r, t)d3r =

S

|Ψ(r, t)|2d3r = 1 (4.2)

Batas integrasi pada persamaan di atas disesuaikan dengan sis-

temnya, biasanya integrasi pada seluruh ruang (S). Pada kasus terten-

tu di mana partikel terkekang di dalam sebuah volume maka integrasi

dalam satu volume saja.

36 Keadaan Sistem

Dua konsep penting yang perlu diingat dalam mekanika kuantum

yaitu (1) Posisi partikel pada waktu tertentu tidak dapat ditentukan

secara pasti, yang bisa kita peroleh adalah probabilitas lokasi partikel.

Walaupun sistem berada pada keadaan tertentu, kita hanya tahu pro-

babilitasnnya saja. (2) Konsep probabilitas ada hubungannya dengan

konsep observables (apa yang bisa di observasi atau dilihat). Fung-

si gelombang Ψ(r, t) tidak dapat di observasi atau dilihat, walaupun

demikian fungsi gelombang memainkan peranan yang paling penting.

Perlu dimengerti bahwa fungsi gelombang memenuhi sifat superpo-

sisi, sedangkan probabilitas tidak memenuhi. fungsi gelombang dise-

but pula dengan amplitudo probabilitas. Sifat superposisi: Dua fungsi

gelombang dapat dijumlahkan menghasilkan fungsi gelombang baru.

Ψ(r, t) = ΨA(r, t) + ΨB(r, t) (4.3)

Sedangkan probabilitas tidak memenuhi sifat superposisi.

P (r, t) 6= PA(r, t) + PB(r, t) (4.4)

Fungsi gelombang memiliki fase tertentu, ada dua jenis keadaan:

pure state (keadaan murni) dan mixed state (keadaan campuran). [Je-

laskan lagi perbedaan keduanya]

Buku ini hanya membahas keadaaan murni atau pure state saja.

Keadaan campuran akan dibahas di buku statistika kuantum.

4.1 Observables

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa sifat-sifat fisis suatu sistem di-

peroleh dari fungsi gelombangnya. Bagaimana caranya? Sebelum

mengenal itu, kita perlu mengenal terlebih dahulu tentang pengerti-

an ”observables” apa yang bisa diamati atau dilihat. Sifat-sifat fisis

seperti posisi partikel, momentum, energi, momen dipol, yang dapat

diukur secara eksperimental adalah merupakan variabel-variabel ob-

servables. Kunci kata yang perlu diingat untuk observables adalah

sesuatu yang bisa diukur atau pengukuran atau yang bisa dilihat.

Dalam fisika klasik, sesuatu sudah bisa ditentukan, artinya me-

miliki nilai yang pasti dan ditentukan dengan melihat nilai variabel-

nya. Sedangkan pada teori kuantum, kita tidak bisa secara langsung

mengetahui sifat-sifat fisis, tetapi kita harus melakukan semacam pe-

ngukuran dengan menggunakan operator. Dengan kata lain suatu ob-

servable direpresentasikan oleh sebuah operator. Untuk mendapatkan

Observables 37

sifat fisis suatu sistem, kita harus mengoperasikan operator yang se-

suai pada fungsi gelombangnya.

Suatu operator jika dioperasikan pada sebuah fungsi gelombang

akan menghasilkan sebuah fungsi gelombang yang baru. Sebagai con-

toh sebuah operator Ω (dinotasikan dengan tanda topi (hat)) untuk ope-

rator dari observable Ω dioperasikan pada fungsi gelombang Ψ(r, t) ak-

an menghasilkan sebuah fungsi gelombang, sebagai contohnya Φ(r, t),

ΩΨ(r, t) = Φ(r, t) (4.5)

Perlu diingat notasi yang kita gunakan disini, variabel tanpa tanda

topi, Ω merupakan observable, sedangkan jika diberikan tanda topi

berarti sebuah operator, Ω.

Sekarang bagaimana menentukan suatu operator yang sesuai un-

tuk observable?

Tentunya sudah pasti operator tidak bisa diturunkan dari variable

dalam fisika klasik karena fisika klasik tidak kompatible dengan teori

kuantum. Tetapi ada teknik atau resep yang sudah terbukti sebagai

jembatan antara fisika klasik dan teori kuantum. Ditemukan bahwa

operator yang sesuai untuk posisi r dan momentum p adalah

r = r (4.6)

p = −i~∇. (4.7)

Perlu diingat bahwa i adalah bilangan imaginer i =√−1 dan ~ =

h/(2π) di mana h adalah konstanta Planck. ∇ adalah operator gradien.

Penggunaan representasi dua operator ini disebut dengan representasi

koordinat. Cara lain adalah dengan representasi momentum di mana

p = p dan r = i~∇. Buku ini akan menggunakan hanya representasi

koordinat.

Operator dengan sendirinya tidak memiliki sifat apapun dan ha-

nya berguna ketika dioperasikan pada suatu fungsi gelombang. Ingat

bahwa operator r merupakan operasi perkalian dengan r.

rψ(r, t) = rψ(r, t) (4.8)

sedangkan untuk operator momentum,

pψ(r, t) = −i~∇ψ(r, t) (4.9)

38 Keadaan Sistem

Secara umum operator untuk observable merupakan sebuah fung-

si dari operator r dan p atau operator dari fungsi F dapat diperoleh

dengan,

F = F (r, p) = F (r,−i~∇) (4.10)

Sebagai contoh untuk operator energi kinetik, di mana T = 1/2mv2 =p2/(2m), maka dengan melakukan penggantian variabel p dengan ope-

rator p diperoleh,

T =p.p

2m=

[−i~∇].[−i~∇]

2m= − ~

2

2m∇2 (4.11)

Operator untuk energi sistem yang ditentukan oleh fungsi Hamil-

tonian H untuk sistem dengan potensial yang tidak tergantung pada

kecepatan partikel adalah

H = T + V (r) = − ~2

2m∇2 + V (r) (4.12)

Hubungan antara sifat observable dan fungsi gelombang diperoleh

dengan menghitung nilai ekspektasi/harapan yaitu

〈Ω〉 =∫

ψ∗(r, t)Ωψ(r, t)d3r (4.13)

Persamaan ini menjadi dasar membandingkan prediksi dari ha-

sil mekanika kuantum dengan hasil eksperimen. Posisi atau urutan

operator pada persamaan di atas tidak boleh diubah, terkecuali pada

kasus tertentu yang memang bisa diubah. Karena hasil dari operasi

operator tergantung pada urutan operasinya. Sebagai contoh, untuk

operator momentum p = −i~∇,

ψ∗(r, t)pψ(r, t) 6= pψ∗(r, t)ψ(r, t) (4.14)

Kita perhatikan nilai ekspektasi untuk operator posisi:

〈r〉 =∫

ψ∗(r, t)rψ(r, t)d3r

=

r|ψ(r, t)|2d3r

=

rP (r, t)d3r (4.15)

Observables 39

Ini sesuai dengan rumus nilai rata-rata untuk distribusi P (r, t). Ni-

lai ekspektasi observable posisi r menghasilkan posisi rata-rata mene-

mukan partikel.

Observable seperti posisi, momentum, dan energi adalah bernilai

nyata, jadi nilai ekspektasi harus juga bernilai nyata untuk fungsi ge-

lombang manapun.

〈Ω〉 = 〈Ω〉∗∫

ψ∗(r, t)Ωψ(r, t)d3r =

ψ(r, t)[Ωψ(r, t)]∗d3r∫

ψ∗(r, t)Ωψ(r, t)d3r =

[Oψ(r, t)]∗ψ(r, t)d3r (4.16)

Ini menunjukkan bahwa sebuah operator tidak boleh berbentuk

apa saja tetapi harus memenuhi syarat di atas. Operator yang meme-

nuhi syarat di atas untuk semua fungsi gelombang disebut Hermitian

atau self-adjoint. Perlu ditekankan lagi bahwa setiap operator untuk

observable harus Hermitian.

Di samping Hermitian, operator observable juga harus linier,

Ω[c1ψ1(r, t) + c2ψ2(r, t)] = c1Ωψ1(r, t) + c2Ωψ2(r, t) (4.17)

Kondisi Hermitian juga berlaku untuk dua keadaaan atau fungsi

gelombang,

φ∗(r, t)Ωψ(r, t)d3r =

[Ωφ(r, t)]∗ψ(r, t)d3r (4.18)

Kita perhatikan setiap pengukuran atau operasi operator mengha-

silkan nilai ekspektasi yang berbeda karena fungsi gelombang tergan-

tung pada waktu.

Apakah ada fungsi keadaan yang menghasilkan nilai pengukuran

yang selalu sama?

Untuk mengetahui ini, kita lihat dengan cara menentukan nilai

penyebaran nilai observable Ω, yang didefinisikan

40 Keadaan Sistem

[∆Ω]2 =

ψ∗(r, t)[Ω− 〈Ω〉]2ψ∗(r, t)d3r

=

ψ∗(r, t)[Ω− 〈Ω〉][Ω− 〈Ω〉]ψ(r, t)d3r

=

([Ω− 〈Ω〉]ψ(r, t))∗[Ω− 〈Ω〉]ψ(r, t)d3r

=

|[Ω− 〈Ω〉]ψ(r, t))|2d3r (4.19)

Kita memperoleh hasil yang selalu sama artinya nilai penyebaran-

nya ∆Ω = 0 atau

|[Ω− 〈Ω〉]ψ(r, t))|2d3r = 0 (4.20)

atau

[Ω− 〈Ω〉]ψ(r, t) = 0 (4.21)

Ωψ(r, t)) = 〈Ω〉ψ(r, t) = ωψ(r, t) (4.22)

Ingat ω = 〈Ω〉 adalah sebuah bilangan nyata.

Persamaan ini menunjukkan bahwa ada keadaan atau fungsi ge-

lombang yang jika dioperasikan dengan sebuah operator Ω akan meng-

hasilkan fungsi gelombang yang sama yang dikalikan dengan sebuah

konstanta ω. Persamaan ini dinamakan persamaan eigen. Fungsi ge-

lombang yang memenuhi kondisi ini disebut dengan fungsi eigen atau

keadaan eigen dari operator Ω. Sedangkan nilai konstanta pengalinya

ω disebut dengan nilai eigen. Jadi jika sistem dalam keadaan atau de-

ngan fungsi gelombang yang merupakan fungsi eigen suatu operator

Ω, maka pengukuran observable Ω akan menghasilkan nilai eigen ωdari operator tersebut.

Umpama kita sudah mengetahui solusi persamaan eigen, dan mem-

peroleh semua fungsi eigen ψn dan nilai eigen ωn untuk operator

Ω,

Ωψn(r, t) = ωnψn(r, t) (4.23)

di mana ωn dan ψn(r, t) adalah nilai dan fungsi eigen dari operator

Ω, n = 1, 2, 3, ... dan ωn 6= ωm untuk n 6= m. Artinya tidak ada nilai eigen

yang sama.

Observables 41

Jika kita kalikan persamaan (4.23) dengan ψ∗m(r, t) dari sebelah

kanan dan integralkan, kita memperoleh

ψ∗m(r, t)Ωψn(r, t)d

3r = ωn

ψ∗m(r, t)ψn(r, t)d

3r (4.24)

Jika kita kompleks konjugat kedua sisi dan kemudian menukar in-

deks n dan m, menghasilkan

ψn(r, t)[Ωψm(r, t)]∗d3r = ωm

ψ∗m(r, t)ψn(r, t)d

3r (4.25)

Dari sifat operator Hermitian, diperoleh

ψ∗m(r, t)Ωψn(r, t)d

3r = ωm

ψ∗m(r, t)ψn(r, t)d

3r (4.26)

Dari persamaan (4.24) dan (4.26) digabungkan menjadi,

ωm

ψ∗m(r, t)ψn(r, t)d

3r = ωn

ψ∗m(r, t)ψn(r, t)d

3r (4.27)

atau

(ωm − ωn)

ψ∗m(r, t)ψn(r, t)d

3r = 0 (4.28)

Karena ωn 6= ωm, maka haruslah kita mempunyai,

ψ∗m(r, t)ψn(r, t)d

3r = 0 (4.29)

Kondisi ini disebut sifat orthogonalitas. Artinya fungsi ψm dan ψn

adalah orthogonal.

ψ∗m(r, t)ψn(r, t)d

3r = 0 jika ωm 6= ωn (4.30)

Sebagai analogi, kita dapat membayangkan sebagai operasi perka-

lian vektor ”dot” atau skalar. Jika dua vektor orthogonal atau tegak

lurus maka perkalian dot atau skalar sama dengan nol.

Jika kita pertimbangkan sebuah vektor pada ruang tiga dimensi,

kita mengetahui bahwa vektor apa saja bisa dibentuk kedalam pen-

jumlahan komponen vektor basis. Seperti contohnya a = axi+ayj+azkdibentuk dengan komponen vektor basis (i, j, k). Seperti halnya vektor,

fungsi gelombang apa saja juga dapat dibentuk dari kombinasi linier

semua fungsi basis dalam hal ini fungsi eigen,

42 Keadaan Sistem

φ(r, t) =

∞∑

n=1

cnψn(r, t) (4.31)

di mana proyeksi φ(r, t) ke basis atau fungsi eigen,

cn =

φ∗(r, t)ψn(r, t)d3r (4.32)

Fungsi-fungsi eigen dari suatu operator dapat mempunyai nilai ei-

gen yang sama (atau yang disebut degenerate). Umpama dua fungsi

eigen yang memiliki nilai eigen yang sama (ω1 = ω2 = ω) yaitu ψ1 dan

ψ2, maka kombinasi linier dari dua fungsi eigen ini φ = c1ψ1+c2ψ2 juga

merupakan solusi persamaan eigen dengan nilai eigen yang sama ω.

Ωφ = c1Ωψ1 + c2Ωψ2 (4.33)

Ωφ = c1ω1ψ1 + c2ω2ψ2 (4.34)

karena ω1 = ω2 = ω atau degenerate maka

Ωφ = ω(c1ψ1 + c2ψ2) = ωφ (4.35)

Jadi terbukti bahwa kombinasi liniernya juga merupakan solusi

persamaan eigen.

Jika ada s banyaknya fungsi eigen yang independen linier yang me-

miliki nilai eigen yang sama, di sebut dengan degenerate s-lipatan.

Fungsi-fungsi eigen dinyataan independen linier maksudnya ada-

lah fungsi-fungsi eigen memenuhi persyaratan berikut ini.

s∑

n=1

cnψn(r) = 0 untuk semua r (4.36)

dan solusinya hanya c1 = c2 = c3 = · · · = cs = 0.

Fungsi-fungsi eigen yang degenerate tidak harus ortogonal satu sa-

ma lain. Tetapi kita dapat membentuk fungsi-fungsi baru dari kombinasi-

kombinasi linier fungsi-fungsi eigen tersebut sehingga fungsinya men-

jadi ortogonal.

Di samping itu pula, fungsi eigen tidak harus ternormalisasi kare-

na perkalian konstanta sembarang pada fungsi eigen juga merupakan

solusi persamaan eigen. Jadi kita bisa memilih agar fungsi eigen yang

didapatkan sehingga ternormalisasi dan saling ortogonal satu sama

lain atau memenuhi kondisi berikut,

Observables 43

ψ∗mψnd

3r = δmn (4.37)

di mana kita menggunakan kronecker delta yang didefinisikan se-

bagai,

δmn =

1 if m = n,0 if m 6= n

(4.38)

Fungsi gelombang yang memenuhi sifat ini disebut ortonormal.

Sifat penting dari sebuah operator Hermitian Ω adalah semua fungsi-

fungsi eigen solusi dari persamaan eigen yang ortonormal membentuk

sebuah kumpulan/himpunan yang komplit/lengkap. Ini berarti bah-

wa fungsi gelombang apa saja bisa dibentuk dengan kombinasi linier

fungsi-fungsi eigen atau ekspansi ke fungsi basis.

φ(r, t) =∑

n=1

cnψn(r, t) (4.39)

Koefisien ekspansi diperoleh dari proyeksi φ(r, t) ke basis atau fung-

si eigen,

cn =

φ∗(r, t)ψn(r, t)d3r (4.40)

Di sini kita berasumsi bahwa kumpulan/himpunan nilai eigen ωn

adalah diskrit.

Sekarang kita perhatikan penggunaan ekspansi ini untuk menda-

patkan nilai ekspektasi dari Ω dalam fungsi gelombang ψ(r, t),

〈Ω〉 =∫

ψ∗Ωψd3r (4.41)

Ekspansi ψ dan ψ∗ dengan persamaan (4.39), kita mendapatkan

44 Keadaan Sistem

〈Ω〉 =∫

[

m=1

c∗mψ∗m

]

Ω

[

n=1

cnψn

]

d3r

=∑

m=1

n=1

c∗mcn

ψ∗mΩψnd

3r

=∑

m=1

n=1

c∗mcnωn

ψ∗mψnd

3r

=∑

m=1

n=1

c∗mcnωnδmn

=∑

n=1

ωn|cn|2 (4.42)

Ingat di sini kita menggunakan Ωψn = ωnψn dan persamaan (4.37).

Sekarang kita ingin menginterpretasikan hasil yang kita peroleh.

Untuk itu kita menganggap untuk sementara bahwa sistem yang ki-

ta bahas adalah sistem yang non-degenerate yang artinya pengukuran

dari observable Ω dengan operator Ω pada fungsi eigen ψn(r, t) meng-

hasilkan nilai ekspektasi ωn. Kita bisa interpretasikan persamaan di

atas bahwa

〈Ω〉 =∑

n=1

ωnP (ωn) (4.43)

atau

Artinya pengukuran dari observable Ω pada sistem dengan ψ mem-

punyai probabilitas P (ωn) = |cn|2 yang menghasilkan nilai ωn. Interp-

retasi ini sesuai dengan sifat probabilitas bahwa∑

n=1 P (ωn) = 1 yang

dapat dibuktikan dari sifat normalisasi fungsi ψ,

ψ ∗ ψd3r =∫

[

m=1

c∗mψ∗m

][

n=1

cnψn

]

d3r

=∑

m=1

n=1

c∗mcn

ψ∗mψnd

3r

=∑

m=1

n=1

c∗mcnδmn

=∑

n=1

|cn|2 = 1 (4.44)

Observables 45

Hasil ini menunjukkan sifat diskrit dari hasil pengukuran untuk

Ω. Pengukuran yang menghasilkan nilai selain ωn tidak pernah ter-

jadi. Kesimpulan ini merupakan akibat dari fungsi-fungsi eigen dari

observable membentuk himpunan yang komplit. Konsep diskrit ini ti-

dak ditemukan pada teori klasik yang selalu menghasilkan sifat yang

kontinyu. Inilah perbedaan mendasar dari teori kuantum dan klasik.

Seperti yang ditunjukkan dari spektrum atom hidrogen yang berupa

garis-garis spektrum.

Sebelumnya kita menganggap bahwa sistem adalah non-degenerate.

Sekarang kita ingin tahu bagaimana jika ada sejumlah s fungsi eigen

yang degenerate dengan nilai eigen ωk+1 = ωk+2 = · · · = ωk+s = ωd.

Probabilitas menemukan ωd dalam pengukuran untuk sistem dengan

fungsi gelombang ψ adalah jumlah dari semua probabilitas masing-

masing fungsi eigen degenerate,

P (ωd) =k+s∑

n=k+1

|cn|2 (4.45)

Seandainya kita melakukan pengukuran pada sistem non-degenerate

dengan ψ(r, t) untuk observable Ω dan menemukan hasilnya adalah

ωm. Ini menunjukkan setelah dioperasikan dengan operator Ω dipero-

leh fungsi gelombang,

Ωψ(r, t) → ψm(r, t) (4.46)

Jika dilakukan pengukuran kedua langsung setelah pengukuran

pertama akan menghasilkan nilai yang sama ωm. Jadi dengan kata

lain, setelah pengukuran yang menghasilkan ωm, sistem berada pa-

da keadaan dengan fungsi gelombang ψm. Pengukuran di sini menye-

babkan ”collapse of wavefunction”, fungsi gelombang yang menyem-

pit. Artinya sebelum pengukuran, fungsi gelombangnya adalah psi,tetapi setelah pengukuran fungsi gelombangnya psin. Fungsi gelom-

bang sistem mengalami perubahan drastis (diskrit) yang disebabkan

oleh pengukuran/pengamatan. Jika kita perihatikan bahwa fungsi ge-

lombang berevolusi (perubahan terhadap) secara kontinyu, tetapi me-

miliki perubahan yang diskontinyu jika pengukuran dilakukan. Kon-

sep ”collapse of wavefunction” karena pengukuran tidak bisa dijelask-

an dan dimengerti. Walaupun kita bisa membuat formulasi kuantum

yang dapat menjelaskan hasil eksperimen, tetapi kita tidak mampu

mengerti implikasi dari teori kuantum.

46 Keadaan Sistem

Jika sistem mempunyai fungsi eigen yang degenerate untuk ope-

rator Ω, maka fungsi gelombang yang dihasilkan untuk energi yang

degenerate pada pengukuran adalah

Ωψ(r, t) →k+s∑

n=k+1

cnψn(r, t) (4.47)

5Persamaan Schrodinger

5.1 Fungsi Gelombang dengan Momentum Ter-

tentu

Sebelum mengkaji persamaan Schrodinger, mari kita meninjau terle-

bih dahulu sebuah fungsi gelombang untuk sebuah partikel dengan

momentum tertentu. Untuk itu kita menggunakan energi partikel

yang berkaitan dengan prinsip kuantisasi Planck yaitu

E = hν (5.1)

dan momentum partikel yang berhubungan dengan panjang gelom-

bang,

p =h

λ(5.2)

Selain menggunakan frekuensi (ν) dan panjang gelombang (λ) un-

tuk menuliskan energi dan momentum, kita akan sering juga meng-

gunakan frekuensi sudut ω,

ω = 2πν (5.3)

dan bilangan gelombang k,

k =2π

λ(5.4)

dan

konstanta Planck yang terreduksi (~),

~ =h

2π(5.5)

48 Persamaan Schrodinger

Dengan frekuensi sudut dan bilangan gelombang, energi dan mo-

mentum menjadi

E = ~ω dan p = ~k (5.6)

Sekarang kita pertimbangkan sebuah partikel bebas bergerak ke

arah sumbu x positif dengan momentum p = pxx di mana px > 0. Da-

lam buku ini kita menggunakan notasi vektor satuan untuk koordinat

kartesius, x, y, dan z.

Fungsi gelombang berjalan yang sesuai dengan pergerakan parti-

kel bebas ini adalah sebuah gelombang bidang yang diberikan oleh

Ψ(x, t) = A exp[i(kxx− ωt)] (5.7)

Menggunakan relasi kx = px/~ dan ω = E/hbar, gelombang bidang

menjadi

Ψ(x, t) = A exp[i(pxx−Et)/~] (5.8)

Fungsi gelombang ini, kita akan gunakan untuk memformulasikan

persamaan Schrdinger. Agar lebih paham mari kita operasikan fung-

si ini dengan melakukan derivatif atau turunan terhadap posisi dan

waktu. Operasi derivatif (atau turunan parsial) terhadap x (∂/∂x) di-

peroleh

∂xΨ(x, t) =

[

ipx~

]

A exp[i(pxx−Et)/~] (5.9)

atau dengan mengembalikan fungsi gelombangnya, dihasilkan

∂xΨ(x, t) =

[

ipx~

]

Ψ(x, t) (5.10)

Jadi, fungsi gelombang (Pers. (5.8) memenuhi persamaan diferen-

sial,

−i~ ∂

∂xΨ(x, t) = pxΨ(x, t) (5.11)

Ini menyatakan, operasi[

−i~ ∂∂x

]

pada fungsi gelombang Ψ(x, t) meng-

hasilkan nilai momentum px dikali fungsi gelombangnya.

Selanjutnya, kita operasikan turunan parsial terhadap variabel tpada Ψ atau ∂Ψ/∂t,

∂xΨ(x, t) =

[

−iE~

]

A exp[i(pxx− Et)/~] (5.12)

Fungsi Gelombang dengan Momentum Tertentu 49

atau

∂tΨ(x, t) =

[

−iE~

]

Ψ(x, t) (5.13)

atau bisa dituliskan lebih berarti yaitu

i~∂

∂tΨ(x, t) = EΨ(x, t). (5.14)

Ini menunjukkan bahwa operasi[

i~ ∂∂t

]

pada fungsi gelombang Ψ(x, t)menghasilkan nilai energi E dikali fungsi gelombangnya.

Persamaan (5.11) dan (5.14) merupakan persamaan eigen. Kita bi-

sa simpulkan dari persamaan (5.11) dan (5.14) bahwa operator[

−i~ ∂∂x

]

dan[

i~ ∂∂t

]

menghasilkan nilai momentum dan energi. Sehingga kita

dapat mendefinisikan operator momentum dan energi:

px = −i~ ∂

∂x(5.15)

dan

E = i~∂

∂t(5.16)

Fungsi gelombang bidang yang lebih umum untuk momentum p =~k dengan arah yang sembarang dan energi E adalah

Ψ(x, t) = A exp[i(p · x−Et)/~] (5.17)

Seperti prosedur sebelumnya, kita mendapatkan operator momen-

tum yang lebih umum pada ruang tiga dimensi yaitu

p = −i~∇ = −i~[

x∂

∂x+ y

∂y+ z

∂z

]

(5.18)

Operator momentum dan energi kita peroleh dengan memproses

fungsi gelombang bidang. Tentunya fungsi gelombang ini hanya sesuai

untuk partikel bebas. Untuk partikel dalam kondisi yang lebih umum,

postulat kuantum mekanik menyatakan bahwa operator yang sama

juga berlaku. Jadi dalam formulasi kuantum variabel dinamis p dan

E direpresentasikan dengan operator p dan E (pers. (5.11) dan (5.14)).

50 Persamaan Schrodinger

5.2 Persamaan Schrodinger

Supaya kita memahami lebih jelas, mari kita tinjau terlebih dahulu

prosedur untuk mendapatkan persamaan Schrodinger untuk partikel

bebas pada ruang satu dimensi. Fungsi gelombang partikel bebas di-

berikan oleh persamaan (5.8). Energi partikel bebas dalam mekanika

klasik berkaitan dengan momentum sesuai dengan relasi,

E =p2x2m

(5.19)

Jika kita kerjakan turunan parsial dua kali terhadap x pada fungsi

gelombang persamaan (5.8), kita memperoleh,

∂2

∂x2Ψ(x, t) =

[

−p2x

~2

]

Ψ(x, t) (5.20)

dan seperti sebelumnya turunan parsial terhadap t, kita menda-

patkan,

∂tΨ(x, t) =

[

−iE~

]

Ψ(x, t) (5.21)

Menggunakan relasi E = p2x/2m, kita dapat menyatukan persama-

an (5.20) dan (5.21) dengan cara sebagai berikut.

∂tΨ(x, t) =

[

− ip2x2m~

]

Ψ(x, t) (5.22)

∂tΨ(x, t) =

[

i~

2m

] [

−p2x

~2Ψ(x, t)

]

(5.23)

Substitusi dengan persamaan (5.20), kemudian dihasilkan persa-

maan akhir yaitu

∂tΨ(x, t) =

[

i~

2m

]

∂2

∂x2Ψ(x, t) (5.24)

Untuk menyederhanakan persamaan ini, kita kalikan kedua sisi-

nya dengan i~ sehingga kita peroleh

i~∂

∂tΨ(x, t) = − ~

2

2m

∂2

∂x2Ψ(x, t) (5.25)

Persamaan Schrodinger 51

Mari kita kaji persamaan ini dengan memperhatikan definisi ope-

rator momentum px dan operator energi E. Persamaan ini dapat di-

tulis kembali dengan menggunakan operator momentum dan energi

menjadi

EΨ(x, t) =1

2m[px]

2Ψ(x, t) (5.26)

Generalisasi untuk ruang tiga dimensi dapat dilakukan dengan ca-

ra yang sama dan menggunakan hubungan energi dan momentum

(mekanika klasik),

E =p2

2m(5.27)

dapat diperoleh persamaan gerak untuk partikel bebas yaitu

EΨ(r, t) =1

2mp2Ψ(r, t) (5.28)

atau

i~∂

∂tΨ(r, t) = − ~

2

2m∇2Ψ(r, t) (5.29)

di mana Laplacian ∇2,

∇2 =

[

∂2

∂x2+

∂2

∂y2+

∂2

∂z2

]

(5.30)

Generalisasi untuk sebuah partikel yang berada pada sebuah po-

tensial V (r, t) didapat dari hubungan energi,

E =p2

2m+ V (r, t) (5.31)

dan melakukan penggantian variabel klasik dengan operator, kita

dapat tuliskan persamaan geraknya,

EΨ(r, t) =

[

p2

2m+ V (r, t)

]

Ψ(r, t) (5.32)

atau

i~∂

∂tΨ(r, t) = − ~

2

2m∇2Ψ(r, t) + V (r, t)Ψ(r, t) (5.33)

Persamaan inilah yang dinamakan persamaan Schrodinger yang

bergantung waktu. Persamaan ini menentukan evolusi fungsi gelom-

bang.

52 Persamaan Schrodinger

Untuk formulasi yang lebih umum, kita perhatikan bahwa operator-

operator pada sisi kanan persamaan (5.32) adalah operator Hamilto-

nian,

H = − ~2

2m∇2 + V (r, t) = T + V (5.34)

Jadi persamaan Schodinger yang berlaku untuk semua keadaaan

adalah

i~∂

∂tΨ(r, t) = HΨ(r, t) (5.35)

Pada mekanika klasik, energi total dari suatu sistem yang dieksp-

resikan dalam bentuk variabel koordinat dan momentum disebut de-

ngan fungsi Hamiltonian dari sistemnya.

E = H(r,p, t) =p2

2m+ V (r, t) (5.36)

Dari fungsi Hamiltonian ini, operator Hamiltonian kuantum me-

kanik diperoleh dengan melakukan penggantian variabel momentum

dengan operator momentum, p → p = −i~∇ atau

H = H(r,−i~∇, t) (5.37)

Kita bisa ringkas bahwa persamaan Schrodinger yan bergantung

waktu dapat diperoleh dengan penggantian variabel-variabel klasik

dengan operator-operator kuantum.

E → E = i∂

∂t(5.38)

p → p = −i~∇ (5.39)

dan

r → r = r (5.40)

Persamaan Schodinger di atas bersifat linier dan homogen. Persa-

maan Schrodinger hanya terdapat turunan order satu terhadap vari-

abel waktu. Sehingga evolusi dari fungsi gelombang dapat diketahui

jika fungsi gelombang pada waktu tertentu t0 sudah diketahui. Fung-

si gelombang untuk waktu yang lain diperoleh dengan menyelesaikan

persamaan Schodinger.

Sifat-Sifat Fungsi Solusi Persamaan Schrodinger 53

5.3 Sifat-Sifat Fungsi Solusi Persamaan Schrodi-

nger

Jika potensial V (r, t) bersifat kontinyu pada seluruh posisi di ruang

tiga dimensi atau untuk variabel x, y dan z, maka fungsi gelombang

yang merupakan solusi persamaan Schodinger, juga harus kontinyu.

Ini berarti Ψ(r, t), ∂Ψ(r, t)/∂t dan ∇Ψ(r, t) bersifat kontinyu untuk se-

mua variabel x, y dan z.Jika potensial V (r, t) memiliki diskontinyuitas (jump) pada posisi

tertentu maka laplacian ∇2Ψ juga akan memiliki diskontinyuitas. Su-

paya ∇2Ψ tidak bernilai tak berhingga, maka ∇Ψ(r, t) harus bersifat

kontinyu untuk semua variabel x, y dan z. Jika ∇Ψ bersifat kontinyu,

maka ∂Ψ/∂t juga bersifat kontinyu.

Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa fungsi gelombang meru-

pakan probabilitas amplitudo dan dapat diperoleh probabilitas dengan,

P (r, t)d3r = |Ψ(r, t)|2d3r (5.41)

dan memenuhi sifat probabilitas,

P (r, t)d3r =

|Ψ(r, t)|2d3r = 1 (5.42)

Ini menunjukkan bahwa tidak sembarang fungsi gelombang yang

menjadi solusi persamaan Schrodinger. Jadi fungsi gelombang harus

bersifat ”square integrable” atau kuadra fungsi gelombang mempunyai

integralnya.

5.4 Konservasi Probabilitas

Fungsi gelombang untuk partikel memiliki interpretasi bahwa proba-

bilitas menemukan partikel berada pada posisi tertentu adalah

P (r, t)d3r = |Ψ(r, t)|2d3r = Ψ∗(r, t)Ψ(r, t)d3r (5.43)

Jika partikel berada pada seluruh ruang (V), probabilitas mene-

mukan partikel berada di dalam seluruh ruang adalah satu atau de-

ngan kata lain kita mempunyai kondisi normalisasi yaitu

V

|Ψ(r, t)|2d3r = 1 (5.44)

54 Persamaan Schrodinger

Fungsi gelombang yang memenuhi integral di atas atau yang da-

pat dinormalisasi dikatakan ”square integrable”. Ada beberapa fungsi

yang tidak bisa dinormalisasi dengan cara ini. Sebagai contohnya ada-

lah fungsi gelombang bidang.

Sekarang bagaimana evolusi atau perubahan probabilitas mene-

mukan partikel terhadap waktu? Tentunya karena probabilitas total

keseluruhan adalah sama dengan satu maka perubahan probabilitas

totalnya harus sama dengan nol.

∂t

V

|Ψ(r, t)|2d3r = 0 (5.45)

Kita ingin menentukan apakah kondisi ini dipenuhi oleh persama-

an Schrodinger. Mari kita perhatikan total probabilitas pada ruang

yang lebih kecil dari V, anggap itu V ′

∂t

V ′

|Ψ(r, t)|2d3r =∫

V ′

[

Ψ∗∂Ψ

∂t+∂Ψ∗

∂t

]

d3r (5.46)

Menggunakan persamaan Schrodinger dan juga kompleks konju-

gatnya,

i~∂Ψ

∂t= − ~

2

2m∇2Ψ+ V (r, t)Ψ (5.47)

−i~∂Ψ∗

∂t= − ~

2

2m∇2Ψ∗ + V (r, t)Ψ∗ (5.48)

Setelah substitusi ke persamaan (5.46), kita mendapatkan,

∂t

V ′

P (r, t)d3 =i~

2m

V ′

[Ψ∗(∇2Ψ)− (∇2Ψ∗)Ψ]d3r (5.49)

∂t

V ′

P (r, t)d3 =i~

2m

V ′

∇ · [Ψ∗(∇Ψ)− (∇Ψ∗)Ψ]d3r (5.50)

Dengan mendefinisikan arus probabilitas,

j = [Ψ∗(∇Ψ)− (∇Ψ∗)Ψ] (5.51)

Kita dapat menyederhanakan persamaann (5.50) menjadi

∂t

V ′

P (r, t)d3 = −∫

V ′

∇ · jd3r (5.52)

Persamaan ini dapat disederhaaakan lebih lanjut dengan mene-

rapkan teorema Green untuk divergensi,

Konservasi Probabilitas 55

∂t

V ′

P (r, t)d3 = −∫

S

j · da (5.53)

di mana da adalah sebuah vektor yang magnitudonya sama dengan

luas sebuah elemen dan arahnya tegaklusur keluar terhadap permu-

kaan pada V ′.Untuk membuktikan bahwa perubahan total probabilitas sama de-

ngan nol, kita memperbesar volume V ′ hingga tak terhingga dan nilai

j pada permukaan pada jarak takhingga adalah nol. Fungsi gelom-

bangnya harus ”square integrable” maka konservasi total probabilitas

dapat dibuktikan. Perlu dicatat bahwa pembuktian ini dimungkinkan

karena persamaan Schrodinger bergantung pada turunan orde satu

terhadap waktu.

Konservasi probabilitas ini berhubungan dengan sifat Hermitian

dari operator Hamiltonian, yang dapat dibuktikan sebagai berikut.

∂t

V

|Ψ(r, t)|2d3r =∫

V

[

Ψ∗∂Ψ

∂t+∂Ψ∗

∂t

]

d3r (5.54)

∂t

V

P (r, t)d3 =1

i~

V

[Ψ∗(HΨ)− (HΨ∗)Ψ]d3r = 0 (5.55)

V

[Ψ∗(HΨ)− (HΨ∗)Ψ]d3r = 0 (5.56)

atau

Ψ∗(HΨ)d3 =

(HΨ∗)Ψ]d3r (5.57)

Kondisi inilah yang dinamakan kondisi Hermitian.

Laju perubahan probabilitas pada volume V ′ sama dengan flux pro-

babilitas yang melewati permukaan S yang melingkupi volume V ′.

∂t

V ′

P (r, t)d3 +

S

j · da = 0 (5.58)

Ini merupakan persaman kontinyuitas yang sering dijumpai untuk

konservasi muatan dalam elektrodinamika atau konservasi massa da-

lam hidrodinamika.

Kerapatan arus j dapat disederhanakan menjadi

j(r, t) = Re

Ψ∗ ~

im∇Ψ

(5.59)

56 Persamaan Schrodinger

5.5 Teorema Ehrenfest

Pada bagian ini kita ingin mengaitkan mekanika kuantum dengan me-

kanika Newton. Hubungan ini sesuai dengan prinsip ”Corresponden-

ce”. Teorema ini dibuktikan oleh Ehrenfest pada tahun 1927. Kita

ingin mengetahui apakah dinamika klasik seperti hukum Newton da-

pat diperoleh dari persamaan kuantum.

Ingat lagi bahwa persamaan Newton adalah

dr

dt=

p

m(5.60)

dan

dp

dt= −∇V (5.61)

Dua persamaan ini dipenuhi oleh nilai ekspektasi atau nilai rata-

rata dari variabel yang bersangkutan.

Perhatikan laju perubahan nilai ekspektasi dari nilai posisi opera-

tor x terhadap waktu adalah sebagai berikut

d

dt〈x〉 = d

dt

Ψ∗xΨd3r

=

Ψ∗x∂Ψ

∂td3 +

∂Ψ∗

∂txΨd3 (5.62)

Menggunakan persamaan Schrodinger,

d

dt〈x〉 = (i~)−1

[∫

Ψ∗x(HΨ)d3 +

(HΨ)∗xΨd3]

= (i~)−1

[∫

Ψ∗x(− ~2

2m∇2Ψ+ VΨ)d3 +

(− ~2

2m∇Ψ∗ + VΨ∗)xΨd3

]

=i~

2m

[Ψ∗x(∇2Ψ)− (∇2Ψ∗)xΨd3r (5.63)

dan kemudian menggunakan teorema Green, kita mendapatkan,

Teorema Ehrenfest 57

(∇2Ψ∗)xΨd3r =

S

xΨ(∇Ψ∗) · da−∫

(∇Ψ∗) · ∇(xΨ)d3r

= −∫

(∇Ψ∗) · ∇(xΨ)d3r

= −∫

S

Ψ∗∇(xΨ) · da+

Ψ∗∇2(xΨ)d3r

=

Ψ∗∇2(xΨ)d3r (5.64)

Catatan: penurunan di atas menggunakan kenyataan bahwa inte-

gral permukaan sama dengan nol. Jadi laju perubahan nilai ekspekta-

si 〈x〉 adalah

d

dt〈x〉 =

Ψ∗[x∇2Ψ−∇2(xΨ)]d3r

= −i~m

Ψ ∗ ∂Ψ∂x

d3r

=1

m

Ψ ∗[

−i~ ∂

∂x

]

Ψd3r

d

dt〈x〉 = 〈px〉

m(5.65)

Ini sesuai dengan persamaan Newton.

Sekarang kita kaji perubahan nilai ekspektasi momentum terha-

dap waktu atau

58 Persamaan Schrodinger

d

dt〈px〉 =

d

dt

Ψ∗[

−i~ ∂

∂x

]

Ψd3r

= −i~[∫

Ψ∗ ∂

∂x

∂Ψ

∂td3r +

∂Ψ∗

∂t

∂Ψ

∂xd3r

]

= −∫

Ψ∗ ∂

∂x

(

−hbar2

2m∇2Ψ+ VΨ

)

d3r +

∫(

−hbar2

2m∇2Ψ∗ + VΨ∗

)

∂Ψ

∂xd3r

=~2

2m

∫[

Ψ∗(

∇2∂Ψ

∂x

)

−(

∇2Ψ∗) ∂Ψ

∂x

]

d3r −∫

Ψ∗[

∂x(VΨ)− V

∂Ψ

∂x

]

d3r

= −∫

Ψ∗[

∂x(VΨ)− V

∂Ψ

∂x

]

d3r

= −∫

Ψ∗∂V

∂xΨd3r

d

dt〈px〉 = −〈∂V

∂x〉 (5.66)

Ini juga sesuai dengan persamaan Newton.

5.6 Persamaan Schrodinger Tidak Bergantung

Waktu

Sekarang kita pertimbangkan sistem kuantum yang memiliki opera-

tor Hamilton yang tidak bergantung pada waktu secara eksplisit. Ka-

rena hal ini, fungsi gelombang yang merupakan solusi dari persamaan

Schrodinger dapat dibentuk dengan perkalian dua fungsi, fungsi ter-

hadap ruang dan fungsi terhadap waktu, atau

Ψ(r, t) = ψ(r)T (t) (5.67)

Substitusi fungsi gelombang ini ke persamaan Schrodinger meng-

hasilkan,

Persamaan Schrodinger Tidak Bergantung Waktu 59

i~∂

∂tΨ(r, t) = H(r, p)Ψ(r, t)

i~∂

∂tψ(r)T (t) = H(r, p)ψ(r)T (t)

i~ψ(r)∂

∂tT (t) = T (t)H(r, p)ψ(r)

i~1

T (t)

∂tT (t) =

1

ψ(r)H(r, p)ψ(r) (5.68)

Karena sisi kiri persamaan di atas bergantung pada variabel berbe-

da dengan sisi kanan maka kedua sisi bisa sama jika tidak tergantung

kedua variabel atau sama dengan sebuah konstanta. Konstanta yang

kita gunakan adalah E. Mengapa E? Hal ini akan lebih jelas nantinya.

Kemudian kita mendapatkan sebuah persamaan yang bergantung

pada waktu saja,

i~1

T (t)

∂tT (t) = E

i~∂

∂tT (t) = ET (t) (5.69)

dan yang bergantung pada ruang saja.

1

ψ(r)H(r, p)ψ(r) = E

H(r, p)ψ(r) = Eψ(r) (5.70)

Solusi dari persamaan untuk T (t) adalah

T (t) = C exp(−iEt/~) (5.71)

C adalah sebuah konstanta sembarang. Karena fungsi T (t) meru-

pakan bagian fungsi Ψ(r, t), maka konstanta C = 1 dapat digunakan

tanpa mengubah solusinya. Fungsi gelombang akhirnya menjadi

Ψ(r, t) = ψ(r) exp(−iEt/~) (5.72)

Persamaan (5.70) dinamakan persamaan Schrodinger yang tidak

bergantung pada waktu. Persamaan ini merupakan persamaan eigen.

Seperti yang sudah dijelaskan/dibahas sebelumnya, solusi persamaan

eigen adalah fungsi eigen dan nilai eigen tertentu.

60 Persamaan Schrodinger

Kita tinjau nilai E dengan mempertimbangkan kerapatan probabi-

litas posisi yaitu

P (r, t) = Ψ∗(r, t)Ψ(r, t)

= ψ∗(r)ψ(r) exp[−i(E − E∗)t/~] (5.73)

Integrasi terhadap ruang menghasilkan,

∂t

P (r, t)d3r = 0

[−i(E −E∗)/~]

ψ∗(r)ψ(r) exp[−i(E −E∗)t/~]d3r = 0

(E − E∗)

ψ∗(r)ψ(r) exp[−i(E −E∗)t/~]d3r = 0

(E − E∗)

Ψ∗(r, t)Ψ(r, t)d3r = 0 (5.74)

Satu-satunya cara untuk memenuhi persamaan di atas untuk sega-

la fungsi Ψ adalah dengan E = E∗ atau E merupakan bilangan nyata.

Di samping itu pula sifat probabilitas yang kekal atau konservatif, ma-

ka operator H adalah Hermitian.

Sekarang kita perhatikan nilai ekspektasi untuk energi partikel,

〈E〉 =∫

Ψ∗(r, t)HΨ(r, t)d3r

= E

Ψ∗(r, t)Ψ(r, t)d3r

= E (5.75)

Kita telah menggunakan HΨ = EΨ dan fungsi gelombang yang

sudah dinormalisasi. Ini menunjukkan bahwa nilai E adalah nilai

ekspektasi dari operator energi. Ini menunjukkan juga bahwa fung-

si gelombang yang diberikan oleh persamaan (5.35) mendiskripsikan

keadaan sistem dengan energi total tertentu. Ini berarti, pengukuran

pada ensemble sistem dalam keadaan yang sama akan menghasilkan

energi yang sama. Oleh karena itu nilai eigen E disebut eigen ener-

gi dan fungsi ψ(r) disebut fungsi eigen energi dan untuk memperjelas

nantinya kita akan memberi label, ψE(r).Sekarang perhatikan berapakah besarnya deviasi standar dari ener-

ginya. Sebelum menghitung itu, mari kita tentukkan 〈H2〉,

Persamaan Schrodinger Tidak Bergantung Waktu 61

〈E2〉 =∫

Ψ∗(r, t)H2Ψ(r, t)d3r

= E2

Ψ∗(r, t)Ψ(r, t)d3r

= E2 (5.76)

Jadi standar deviasinya adalah

σ2 = 〈H2〉 − 〈H〉2 = E2 − E2 = 0 (5.77)

Keadaan stationer,

Perhatikan kerapatan probabilitas P (r, t) untuk sistem dengan ener-

gi E,

P (r, t) = Ψ∗(r, t)Ψ(r, t)

= [ψ∗(r) exp(iEt/~)][ψ(r) exp(−iEt/~)]= ψ∗(r)ψ(r) (5.78)

Sehingga kerapatan probabilitas tidak tergantung pada waktu. Da-

ri sifat kontinyuitas kerapatan probabilitas dihasilkan

S

j · da = − ∂

∂t

V

P (r)d3 = 0 (5.79)

Begitu pula untuk nilai ekspektasi untuk semua variabel dinamika

tidak bergantung pada waktu.

〈Ω〉 =∫

[ψ∗(r) exp(iEt/~)]Ω[ψ(r) exp(−iEt/~)]d3r

=

ψ∗(r)Ωψ(r)d3r (5.80)

Oleh karena inilah jika sistem berada pada keadaan ψ(r) dinamak-

an keadaan stasioner.

Menyelesaikan persamaan eigen Hψ = Eψ akan menghasilkan fung-

si solusi yang tak berhingga banyaknya, contohnya ψ1(r), ψ2(r), ψ3(r),dan seterusnya, dengan nilai eigennya E1, E2, E3 dan seterusnya. Ini

berarti bahwa kita memperoleh fungsi gelombang (Ψn(r, t) = ψn(r) exp(−iEnt/~)yang berbeda untuk setiap tingkatan energi En. Karena persamaan

62 Persamaan Schrodinger

Schrodinger adalah bersifat linier maka kombinasi linier dari fung-

si solusi juga merupakan solusinya. Jadi setelah kita mendapatkan

solusi dari persamaan dari teknik separasi variabel, kita dapat mem-

bentuk solusi umum persamaan Schrodinger sebagai kombinasi linier

semua fungsi gelombang dari fungsi eigennya.

Ψ(r, t) =∞∑

cn

cnψn(r) exp(−iEnt/~) (5.81)

6Solusi Persamaan Schrodinger

Satu Dimensi

The reader who has read the book but cannot do the exerci-

ses has learned nothing (J.J Sakurai)

Pada bab ini kita akan menyelesaikan persamaan Schrodinger pa-

da ruang satu dimensi (1D) untuk beberapa sistem kuantum yang me-

miliki solusi analitik. Walaupun pembahasan hanya pada ruang satu

dimensi, banyak konsep kuantum dapat dipelajari dari solusi analitik-

nya.

Catatan: Agar pembaca lebih paham tentang teori kuantum, Bab

ini perlu dibaca dan kemudian setelah paham tentang proses penye-

lesaian persamaan Schrodinger, pembaca perlu melatih menyelesaik-

an persamaannya dengan mengulangi dan menuliskan kembali proses

untuk mendapatkan solusi tanpa melihat bab ini. Usahakan setiap

langkah diberikan komentar dengan bahasa sendiri tentang hal-hal

apa yang perlu diperhatikan dan diingat.

6.1 Partikel Bebas

Bentuk yang paling sederhana dari persamaan Schrodinger adalah

persamaan untuk partikel bebas atau partikel di dalam potensial yang

konstan, V (x) = C = konstanta. Pada potensial ini tidak ada gaya

yang bekerja pada partikel karena F = −dV/dx = 0. Nilai konstan-

ta potensial C dapat dipilih berapa saja dan ini tidak akan mengubah

solusi persamaan Schrodinger. Di samping itu pula kita dapat me-

naikkan atau menurunkan nilai potensial C dengan mengubah nilai

potensial referensinya V0. Agar analisis bisa lebih mudah, kita akan

menggunakan potensial V (x) = 0 tanpa ada pengaruh pada solusinya.

64 Solusi Persamaan Schrodinger Satu Dimensi

Operator Hamiltonian untuk partikel bebas dalam ruang satu di-

mensi adalah

H = T =px

2

2m= − ~

2

2m

d2

dx2(6.1)

Persamaan Schrodinger yang tidak bergantung waktu atau inde-

penden terhadap waktu yaitu

Hψ(x) = Eψ(x)

− ~2

2m

d2ψ(x)

dx2= Eψ(x) (6.2)

Ingat bahwa fungsi gelombang Ψ(x, t) yaitu

Ψ(x, t) = ψ(x)e−iEt/~ (6.3)

untuk sistem berada pada tingkatan energi E yang stasioner.

Persamaan (6.2) ini dapat disederhanakan menjadi persamaan di-

ferensial biasa orde dua,

d2ψ(x)

dx2+

2mE

~2ψ(x) = 0 (6.4)

d2ψ(x)

dx2+ k2ψ(x) = 0 (6.5)

di mana k =√2mE/~.

Persamaan (6.5) sering ditemukan ketika kita membahas osilator

harmonik sederhana. Solusi persamaan (6.5) berbentuk,

ψ(x) = Ae+ikx +Be−ikx (6.6)

atau

Ψ(x, t) = Ae+i(kx−Et/~) +Be−i(kx+Et/~) (6.7)

Solusi persamaan (6.5) terdiri dari dua bagian, bagian pertama de-

ngan fungsi e+ikx merupakan bagian fungsi gelombang yang merambat

ke arah sumbu +x positif dan bagian kedua e−ikx merupakan gelom-

bang yang merambat ke arah sumbu −x negatif.

Supaya lebih sederhana, kita menganggap bahwa partikel bergerak

ke arah sumbu +x positif, maka nilai koefisien B = 0,

Potensial Tangga 65

ψ(x) = Ae+ikx (6.8)

Sehingga fungsi gelombang yang tergantung pada waktu menjadi

Ψ(x, t) = Aei(kx−ωt) (6.9)

di mana ω = E/~ adalah frekuensi angular. Sebuah ilustrasi ge-

lombang yang bergerak ke arah positif dan negatif x ditunjukkan pada

Gambar 6.1.

Gambar 6.1: Ilustrasi penjalaran fungsi gelombang ke arah positif dan

negatif sumbu x

6.2 Potensial Tangga

Fungsi potensial yang diberikan oleh persamaan (6.10) dan diperli-

hatkan pada Gambar 6.2 dinamakan potensial tangga. Fungsi ge-

lombang dalam penjalarannya mengalami perubahan potensial pada

posisi x = 0. Hal ini mirip dengan penjalaran cahaya yang melalui me-

dium yang berbeda. Karena adanya perubahan medium akan terjadi

pembiasan dan pemantulan cahaya. Hal yang sama juga terjadi untuk

fungsi gelombang yang melalui perubahan perubahan potensial.

V (x) =

0 jika x < 0,V0 jika x > 0

(6.10)

66 Solusi Persamaan Schrodinger Satu Dimensi

Gambar 6.2: Pembagian daerah solusi untuk potensial tangga menjadi

dua: daerah x < 0 dan x > 0.

Agar tidak membingungkan, kita akan menggunakan nilai poten-

sial V0 > 0 yang positif. Ada tiga kasus yang perlu kita pahami: (a)

energi partikel lebih kecil dari V0 atau E < V0, (b) energi partikel lebih

besar dari V0 atau E > V0 dan energi lebih kecil dari nol atau E < 0.

Penyelesaian persamaan Schrodinger dengan potensial tangga di-

lakukan dengan cara: (a) membagi solusinya menjadi dua bagian ya-

itu solusi untuk daerah I (x < 0) dan II (x > 0) (lihat Gambar 6.10),

(b) dua solusi ini nantinya kemudian disesuaikan sehingga memenuhi

sifat kontinyuitas fungsi gelombang dan turunan fungsi gelombang.

Persamaan Schrodinger pada dua daerah I dan II sebagai berikut:

− ~2

2m

d2ψ

dx2= Eψ(x) untuk x < 0 (6.11)

− ~2

2m

d2ψ

dx2+ V0ψ(x) = Eψ(x) untuk 0 < x (6.12)

Persamaan-persamaan ini kemudian kita sederhanakan menjadi,

d2ψ

dx2+

2m

~2Eψ(x) = 0 untuk x < 0 (6.13)

d2ψ

dx2+

2m

~2(E − V0)ψ(x) = 0 untuk x > 0 (6.14)

Menggunakan kI =√2mE/~ dan kII =

2m(E − V0)/~, kita mem-

peroleh,

Potensial Tangga 67

d2ψ

dx2+ k2Iψ(x) = 0 untuk x < 0 (6.15)

d2ψ

dx2+ k2IIψ(x) = 0 untuk x > 0 (6.16)

Solusi dua persamaan ini berbentuk,

ψI(x) = AeikIx +Be−ikIx x < 0 (6.17)

ψII(x) = CeikIIx +De−ikIIx x > 0 (6.18)

Koefisien A, B, C dan D akan disesuaikan sehingga fungsi gelom-

bang memenuhi sifat kontinyuitas.

Mari kita perhatikan solusi pada daerah I, fungsi ψI terdiri dari

dua fungsi gelombang yang menjalar ke arah +x (fungsi eikIx dan ke

arah −x (fungsi e−ikIx). Begitu pula untuk solusi untuk daerah II.

Kita asumsikan pada masalah ini situasi di mana partikel awalnya

bergerak ke arah +x dan kemudian mengalami refleksi dan transmisi

yang diakibatkan oleh perubahan potensial. Dengan asumsi ini, pada

daerah II hanya ada fungsi gelombang transmisi, sehingga koefisien

D = 0. Persamaan (6.17) dan (6.18) menjadi

ψI(x) = AeikIx +Be−ikIx x < 0 (6.19)

ψII(x) = CeikIIx x > 0 (6.20)

Kondisi kontinyuitas pada posisi (x = 0) untuk solusi pada daerah

I dan II adalah

ψI(0) = ψII(0)

dψI

dx

x=0

=dψII

dx

x=0

(6.21)

A+B = C

ikIA− ikIB = ikIIC (6.22)

Dengan cara substitusi atau eliminasi, kita memperoleh

68 Solusi Persamaan Schrodinger Satu Dimensi

B =kI − kIIkI + kII

A

C =2kI

kI + kIIA (6.23)

Untuk menyederhanakan solusi kita menggunakan koefisien fung-

si gelombang yang menjalar ke arah +x pada daerah I adalah A = 1.

Solusi akhirnya adalah

ψ(x) =

eikIx +(

kI−kIIkI+kII

)

e−ikIx x < 0,(

2kIkI+kII

)

eikIIx x > 0(6.24)

dengan kI =√

2m~E dan kII =

2m~(E − V0).

Mari kita perhatikan tiga kasus yang disebutkan sebelumnya yang

tergantung pada nilai energi partikel E.

1. Kasus energi lebih besar dari V0 atau E > V0

kI dan kII bernilai riil. Solusi kasus ini diberikan oleh persamaan

(6.24). Rapat arus probabilitasnya adalah

j =~

mIm

ψ∗dψ

dx

=~kIm

(1− |R|2) x < 0

=~

m|T |2RekIIe−2xImkII x > 0 (6.25)

2. Kasus 0 < E < V0

Pada kasus ini kII = iα bernilai imaginer karena E − V0 bernilai

negatif. Sehingga solusinya menjadi

ψ(x) =

eikIx +(

kI−iαkI+iα

)

e−ikIx x < 0,(

2kIkI+iα

)

e−αx x > 0(6.26)

Kita dapat lihat bahwa tidak ada fungsi gelombang yang ditrans-

misikan.

Potensial Penghalang Persegi 69

3. Kasus E < 0

Untuk kasus ini kI = iβ dan kII = iα adalah bernilai imaginer

sehingga pada fungsi gelombangnya terdapat bagian e−βx untuk

daerah x < 0. Ini menyebabkan ψ → ∞ jika x → −∞. Solusi ini

tidak sesuai dengan sifat fungsi square integrable. Jika umpama

solusinya berbentuk

ψ(x) =

Aeβx x < 0,Be−αx x > 0

(6.27)

Tetapi solusi ini tidak memenuhi sifat kontinyuitas. Jadi tidak

ada solusi yang sesuai. Hal ini sesuai ekspetasi secara klasik

bahwa E < 0 tidak bisa diakses.

6.3 Potensial Penghalang Persegi

Fungsi potensial yang menarik dan penting untuk dikaji adalah sebu-

ah potensial penghalang berbentuk persegi yang diberikan oleh persa-

maan (6.28) dan juga ditunjukkan pada Gambar 6.3.

V (x) =

0 jika x < 0 dan x > a,V0 jika 0 ≤ x ≤ a

(6.28)

Gambar 6.3: Fungsi potensial penghalang

Nilai potensial V0 > 0 selalu positif. Pada bagian ini hanya kasus

partikel yang mempunyai energi 0 < E < V0 yang akan ditinjau. Kasus

70 Solusi Persamaan Schrodinger Satu Dimensi

partikel dengan E > V0 dapat dipelajari setelah kasus 0 < E < V0dipahami.

Penyelesaian persamaan Schrodinger dengan potensial penghalang,

seperti solusi untuk potensial tangga, dilakukan dengan (a) membagi

daerah solusi menjadi tiga yaitu daerah I (x < 0), II (0 ≤ x ≤ a) dan

III (x > a) (lihat Gambar 6.3) dan (b) kemudian solusi untuk masing-

masing daerah nantinya akan disesuaikan sehingga memenuhi sifat

kontinyuitas fungsi gelombang dan turunannya.

Mengikuti proses penyelesaian sebelumnya, persamaan Schrodi-

nger pada tiga daerah I, II dan III sebagai berikut:

− ~2

2m

d2ψ

dx2+ (0−E)ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.29)

− ~2

2m

d2ψ

dx2+ (V0 − E)ψ(x) = 0 untuk 0 ≤ x ≤ a (6.30)

Persamaan-persamaan ini kemudian kita sederhanakan menjadi,

d2ψ

dx2+

2m

~2Eψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x (6.31)

d2ψ

dx2− 2m

~2(V0 −E)ψ(x) = 0 untuk 0 ≤ x ≤ a (6.32)

Menggunakan kI = kIII =√2mE/~ dan kII =

2m(E − V0)/~

d2ψ

dx2+ k2Iψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.33)

d2ψ

dx2− k2IIψ(x) = 0 untuk 0 ≤ x ≤ a (6.34)

Solusi dua persamaan ini berbentuk:

ψI(x) = AeikIx +Be−ikIx x < 0 (6.35)

ψII(x) = CekIIx +De−kIIx 0 ≤ x ≤ a (6.36)

ψIII(x) = A′eikIx +B′e−ikIx x > a (6.37)

Mari kita perhatikan solusi pada daerah I, fungsi ψI terdiri dari dua

fungsi gelombang yang menjalar ke arah +x (fungsi eikIx dan ke arah

−x (fungsi e−ikIx). Kita asumsikan pada masalah ini situasi partikel

Potensial Penghalang Persegi 71

awalnya bergerak ke arah +x dan kemudian mengalami refleksi dan

transmisi. Pada daerah III, hanya ada fungsi gelombang transmisi,

sehingga koefisien B′ = 0. Persamaan (6.35) - (6.37) menjadi

ψI(x) = AeikIx +Be−ikIx x < 0

ψII(x) = CekIIx +De−kIIx 0 ≤ x ≤ a

ψIII(x) = A′eikIx x < 0 (6.38)

(6.39)

Kondisi kontinyuitas pada posisi (x = 0) untuk solusi pada daerah

(I dan II) dan posisi (x = a) untuk solusi pada daerah II dan III adalah

ψI(0) = ψII(0)

dψI

dx

x=0

=dψII

dx

x=0

ψIII(a) = ψII(a)

dψIII

dx

x=a

=dψII

dx

x=a

(6.40)

yang menghasilkan persamaan untuk koefisien-koefisien solusi ya-

itu

A+B = C +D

ikIA− ikIB = kIIC − kIID

A′eikIa = CekIIa +De−kIIa

ikIA′eikIa = kIICe

kIIa − kIIDe−kIIa (6.41)

A+B = C +D

ikIkII

(A− B) = C −D

A′ eikIa

ekIIa= C +De−2kIIa

A′ ikIeikIa

kIIekIIa= C −De−2kIIa (6.42)

72 Solusi Persamaan Schrodinger Satu Dimensi

Eliminasi C,

A +B − ikIkII

(A− B) = 2D

A +B − A′ eikIa

ekIIa= D[1− e−2kIIa]

A+B −A′ ikIeikIa

kIIekIIa= D[1 + e−2kIIa] (6.43)

A+B − ikIkII

(A− B) = 2D

ikIkII

× [A +B − A′ eikIa

ekIIa] =

ikIkII

×D[1− e−2kIIa]

A+B −A′ ikIeikIa

kIIekIIa= D[1 + e−2kIIa] (6.44)

Eliminasi A′,

A +B − ikIkII

(A− B) = 2D

(A+B)[ikIkII

− 1] = D[ikIkII

(1− e−2kIIa)− (1 + e−2kIIa)] (6.45)

Substitusi D,

2(A+B) = [A+B − ikIkII

(A− B)]q (6.46)

p = [ ikIkII

− 1], q = [ ikIkII

(1− e−2kIIa)− (1 + e−2kIIa)]

2(A+B) = Aq +Bq − ikIkII

Aq +ikIkII

Bq (6.47)

B[2p− q − ikIkII

q] = A[−2p + q − ikIkII

q] (6.48)

B =[−2p + q − ikI

kIIq]

[2p− q − ikIkIIq]A (6.49)

Potensial Penghalang Persegi 73

Dan substitusi kembali diperoleh koefisien A′,

D =1

2(1− ikI

kII) +

[−2p+ q − ikIkIIq]

[2p− q − ikIkIIq]

(1 +ikIkII

)

(6.50)

C = A+[−2p+ q − ikI

kIIq]

[2p− q − ikIkIIq]A

− 1

2(1− ikI

kII) +

[−2p+ q − ikIkIIq]

[2p− q − ikIkIIq]

(1 +ikIkII

)

(6.51)

dan

A′ =ekIIa

eikIa[C +De−2kIIa] (6.52)

[Rumus A’ B C dan D perlu disederhanakan]

Setelah disederhanakan kita mendapatkan

B =(k2I + k2II)(e

2kIIa − 1)

e2kIIa(kI + ikII)2 − (kI − ikII)2A (6.53)

A′ =4ikIk

2IIe

−ikIaekIIa

e2kIIa(kI + ikII)2 − (kI − ikII)2A (6.54)

Koefisien refleksi dan transmisi

R =|B|2|A|2 =

(k2I + k2II)(e2kIIa − 1)

e2kIIa(kI + ikII)2 − (kI − ikII)2

2

(6.55)

R =

[

1 +4E(V0 − E)

V 20 sinh2(kIIa)

]−1

(6.56)

T =|A′|2|A|2 =

4ikIk2IIe

−ikIaekIIa

e2kIIa(kI + ikII)2 − (kI − ikII)2

2

(6.57)

T =

[

1 +V 20 sinh2(kIIa)

4E(V0 − E)

]−1

(6.58)

[perlu ditambahkan: Grafik penjalaran]

74 Solusi Persamaan Schrodinger Satu Dimensi

6.4 Sumur Potensial Persegi Tak Berhingga

Fungsi gelombang yang banyak digunakan dihasilkan dari persamaan

Schrodinger untuk sebuah partikel berada pada sebuah sumur poten-

sial persegi yang tak berhingga. Fungsi potensial untuk sistem ini

adalah

V (x) =

∞ jika x < 0 dan x > a,0 jika 0 ≤ x ≤ a

(6.59)

Bentuk fungsi potensial persegi tak berhingga ditunjukkan pada

Gambar 6.4.

Gambar 6.4:

Pada daerah yang memiliki potensial tinggi ∞, fungsi gelombang-

nya haruslah sama dengan nol atau ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a. Ini

berarti partikel tidak berada di daerah ini. Hal ini dapat dimengerti

dari persamaan Schrodinger yang memiliki bagian V (x)ψ(x). Agar ba-

gian persamaan ini mempunyai nilai (bukan tak terhingga) untuk nilai

V(x) = ∞ maka satu-satunya cara adalah dengan membuat ψ(x) = 0.

Hal ini juga dapat dimengerti dengan mempertimbangkan solusi per-

samaan Schrodinger untuk potensial tangga (persamaan (6.27) yang

memiliki sebuah faktor e−αx di mana α =√

2m(V0 − E)/~. Jika nilai

Sumur Potensial Persegi Tak Berhingga 75

V0 → ∞ maka nilai α → ∞ yang menunjukkan nilai fungsi gelombang

ψ(x) ∝ e−∞ = 0 di daerah tersebut. Di samping itu pula, pada per-

batasan dua daerah, karena sifat kontinyuitas fungsi gelombang, kita

juga harus mempunyai fungsi gelombang yang bernilai nol pada posisi

batasnya. Jadi solusi persamaan Schrodinger harus memenuhi syarat

batas yaitu ψ(0) = 0 dan ψ(a) = 0.

Pada daerah 0 ≤ x ≤ a, partikel dapat bebas bergerak. Persamaan

Schrodinger yang akan diselesaikan untuk mendapatkan nilai eigen

atau tingkat energi adalah

Hψ(x) = Eψ(x)

− ~2

2m

d2ψ(x)

dx2= Eψ(x) (6.60)

atau

d2ψ(x)

dx2+ k2ψ(x) = 0 (6.61)

di mana k2 = 2mE/hbar2 atau k = ±√

2mE/~2.

Solusi persamaan diferensial ini berbentuk,

ψ(x) = A sin(kx) +B cos(kx) (6.62)

atau

ψ(x) = C exp(+ikx) +D exp(−ikx) (6.63)

Kita akan menggunakan solusi yang dibentuk dengan fungsi sinus

dan cosinus. Koefisien A dan B ditentukan menggunakan syarat batas

pada posisi x = 0 dan x = a, ψ(x = 0) = 0 dan ψ(x = a) = 0. Dengan

menggunakan dua syarat batas, kita memperoleh,

ψ(0) = A sin(0) +B cos(0) = 0 → B = 0 (6.64)

ψ(a) = A sin(ka) +B cos(ka) = 0 → A sin(ka) = 0 (6.65)

Kita perhatikan bahwa untuk syarat batas yang kedua, persama-

an (6.65) menyatakan bahwa supaya solusinya tidak trivial (A = 0)

76 Solusi Persamaan Schrodinger Satu Dimensi

maka sin(ka) = 0. Ini menyatakan bahwa tidak semua nilai k bisa

menjadi solusi sin(ka) = 0. Atau dengan kata lain solusi persamaan

Schrodinger mempunyai tingkatan energi yang diskrit. Nilai k yang

memenuhi sin(ka) = 0 jika ka adalah kelipatan π. Jadi ka = nπ. Nilai

energi E yang menjadi solusinya adalah

2mE

~2= k2 = n2π2/a2

atau

En =n2π2

a2~2

2m=

n2h2

8ma2(6.66)

Nilai koefisien A diperoleh dengan ketentuan bahwa total probabi-

litas seluruh ruang adalah 1 atau ternormalisasi, kita memperoleh,

∫ ∞

−∞ψ∗(x)ψ(x)dx = A2

∫ a

0

sin2(nπx/a)dx

(6.67)

Agar lebih mudah, kita mengganti variabel dengan θ = πx/a dan dθ =(π/a)dx,

∫ ∞

−∞ψ∗(x)ψ(x)dx = A2 a

π

∫ π

0

sin2(nθ)dθ

= A2 a

π

1

2

∫ π

0

1− cos(2nθ)dθ

= A2 a

[

x− 1

2nsin(2nθ)

0

= A2a

2= 1

(6.68)

Sehingga koefisien normalisasi adalah

A =

2

a(6.69)

Persamaan gelombang yang dihasikan setelah dinormalisasi ada-

lah

ψn(x) =

2

asin(nπx

a

)

(6.70)

Sumur Potensial Persegi Tak Berhingga 77

Kumpulan fungsi-fungsi solusi persamaan Schrodinger ψn me-

rupakan kumpulan fungsi gelombang yang ortogonal, ternormalisasi,

dan komplit. Sifat orthogonal berarti bahwa

∫ ∞

−∞ψ∗m(x)ψn(x)dx = δmn (6.71)

Orthogonalitas dari ψn(x) dibuktikan sebagai berikut.

∫ ∞

−∞ψ∗m(x)ψn(x)dx =

2

a

∫ a

0

sin(mπx/a) sin(nπx/a)dx

(6.72)

Menggunakan substitusi variabel θ = πx/a dan dθ = (π/a)dx,

∫ ∞

−∞ψ∗m(x)ψn(x)dx =

2

a

a

π

∫ π

0

sin(mθ) sin(nθ)dθ

=2

π

1

2

∫ π

0

cos[(n−m)θ]− cos[(n+m)θ]dθ

=1

π

[

sin[(n−m)θ]

(n−m)− sin[(n +m)θ]

(n +m)

0

= 0 jika m 6= n (6.73)

Karena kumpulan fungsi ψn(x) adalah komplit maka fungsi apa

saja f(x) dapat direpresentasikan dengan fungsi-fungsi tersebut.

f(x) =

∞∑

n=1

cn

2

asin(nπx

a

)

(6.74)

dan koefisien ekspansi diperoleh dengan

cn =

∫ a

0

f(x)

2

asin(nπx

a

)

dx (6.75)

Ini sesuai dengan ekspansi Fourier atau deret Fourier untuk inte-

rval interval [0,a].

[ grafik decomposisi dengan fourier ]

78 Solusi Persamaan Schrodinger Satu Dimensi

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-0.5

0

0.5

1

1.5

2

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Gambar 6.5: Fungsi gelombang ψn(x) =√

2/a sin(nπx/a) untuk a = 1dan n = 1, 2, 3, 4

0

0.5

1

1.5

2

2.5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 10

0.5

1

1.5

2

2.5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

0

0.5

1

1.5

2

2.5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 10

0.5

1

1.5

2

2.5

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Gambar 6.6: Rapat probabilitas |ψn(x)|2 = 2 sin2(nπx/a) untuk a = 1dan n = 1, 2, 3, 4

6.5 Sumur Potensial Persegi Berhingga

Pertimbangkan sebuah partikel dalam sumur potensial yang berhing-

ga, dengan potensial yaitu

Sumur Potensial Persegi Berhingga 79

V (x) =

0 jika 0 < x < a,V0 jika x < 0 x > a

(6.76)

Gambar 6.7:

Untuk ruang satu dimensi, persamaan Schrodinger yang tidak ber-

gantung waktu diberikan oleh,

[

− ~

2m

d2

dx2+ V (x)

]

ψ(x) = Eψ(x) (6.77)

Untuk potensial Pers. (6.76), persamaan Schrdinger menjadi ben-

tuk yang berbeda untuk tiga daerah (I, II dan III).

Untuk daerah I dan III:

− ~

2m

d2ψ

dx2+ (V0 − E)ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.78)

Untuk daerah II:

− ~

2m

d2ψ

dx2+−Eψ(x) = 0 untuk 0 < x < a (6.79)

Persamaan-persamaan ini kemudian kita sederhanakan menjadi,

Untuk daerah I dan III:

d2ψ

dx2− 2m

~(V0 −E)ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.80)

80 Solusi Persamaan Schrodinger Satu Dimensi

Untuk daerah II:

d2ψ

dx2+

2m

~Eψ(x) = 0 untuk 0 < x < a (6.81)

Untuk daerah I dan III:

d2ψ

dx2− k2Iψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.82)

kI = kIII =√

2m~2(V0 − E)

Untuk daerah II:

d2ψ

dx2+ k2IIψ(x) = 0 untuk 0 < x < a (6.83)

kII =√

2m~2E

Solusi persamaan diferensial pada tiga daerah ini adalah

ψI(x) = Ae−kIx +BekIx (6.84)

ψII(x) = C sin(kIIx) +D cos(kIIx) (6.85)

ψIII(x) = A′e−kIIIx +B′ekIIIx = A′e−kIx +B′ekIx (6.86)

(6.87)

karena kI = kIII .Pertimbangkan solusi pada daerah x < 0, syarat umum untuk fung-

si gelombang adalah mempunyai sifat ”square integrable”. artinya

fungsi gelombang harus menuju nilai nol pada x yang besar. atau

ψ(x) → 0 untuk x → ±∞. Dengan kondisi ini, fungsi gelombang ψI(x)harus menuju nol jika x→ −∞, ini bisa diperoleh jika nilai A = 0. Jadi

ψI = BekIx. Kondisi ini juga harus dipenuhi oleh fungsi gelombang ψIII

untuk daerah x > a. Fungsi gelombang yang sesuai adalah jika B′ = 0,

sehingga ψIII = A′e−kIx.

Kondisi batas antara daerah (I dan II) dan (II dan III) adalah

ψI(0) = ψII(0) (6.88)

dψI

dx

x=0

=dψII

dx

x=0

(6.89)

ψIII(a) = ψII(a) (6.90)

dψII

dx

x=a

=dψII

dx

x=a

(6.91)

(6.92)

Sumur Potensial Persegi Berhingga 81

B = D (6.93)

kIB = kIIC (6.94)

A′e−kIa = C sin(kIIa) +D cos(kIIa) (6.95)

kIA′ = kIIC cos(kIIa)− kIID sin(kIIa) (6.96)

(6.97)

D = B (6.98)

C =kIkII

B (6.99)

A′e−kIa =kIkII

B sin(kIIa) +B cos(kIIa) (6.100)

−A′kIe−kIa = kII

kIkII

B cos(kIIa)− kIIB sin(kIIa) (6.101)

(6.102)

A′kIe−kIa = kI

kIkII

B sin(kIIa) + kIB cos(kIIa) (6.103)

−A′kIe−kIa = kII

kIkII

B cos(kIIa)− kIIB sin(kIIa) (6.104)

(6.105)

Eliminasi A′,

[kIkIkII

sin(kIIa) + kI cos(kIIa) + kIIkIkII

cos(kIIa)− kII sin(kIIa)]B = 0

(6.106)

Supaya mempunyai solusi non-trivial, maka,

[kIkIkII

sin(kIIa) + kI cos(kIIa) + kIIkIkII

cos(kIIa)− kII sin(kIIa)] = 0

(6.107)

(kIkIkII

− kII) sin(kIIa)] = −(kI + kIIkIkII

) cos(kIIa) (6.108)

82 Solusi Persamaan Schrodinger Satu Dimensi

sin(kIIa)

cos(kIIa)=

−(kI + kIIkIkII

)

(kIkIkII

− kII)(6.109)

tan(kIIa) =−(kI + kII

kIkII

)

(kIkIkII

− kII)(6.110)

kII merupakan solusi persamaan di atas.

[Grafik tan(kIIa) dan ...]

[Grafik energi versus V0]

7Osilator Harmonik

Pembahasan pada text ini mengikuti pembahasan di buku kuantum

D.J. Griffiths.

7.1 Osilator Harmonik

Sebuah sistem osilator harmonik banyak digunakan diberbagai sis-

tem, terutama untuk sistem yang berkaitan dengan vibrasi molekul

atau atom. Ini karena sumur potensial, pada posisi sekitar titik mini-

mum, dapat didekati dengan sebuah fungsi kuadrat.

Kita akan membahas terlebih dahulu tentang gerak harmonik se-

derhana pada sistem yang berupa sebuah massa m yang terhubung

pada sebuah pegas dengan konstanta pegas k. Dengan menggunak-

an hukum Hooke, gaya pemulih adalah sebanding dengan perubahan

panjang (x) pegas dan berlawanan arah dengan perpindahan. Sesuai

mekanika klasik, persamaan gerak sistem ini diberikan oleh persama-

an Newton yaitu

F = md2x

dt2= −kx (7.1)

atau

d2x

dt2= − k

mx = −ω2x (7.2)

dengan

ω =

k

m(7.3)

Energi potensial sistem harmonik ini adalah V (x) = 12kx2.

84 Osilator Harmonik

Mungkin kita berpikir bahwa pergerakan harmonik dengan sumur

potensial V (x) = 12kx2 tidak banyak digunakan. Tentunya tidak demi-

kian. Pada kenyataannya pada sistem dengan potensial interaksi apa

saja dapat diaproksimasikan dengan sebuah potensial harmonik seki-

tar titik ekuilibrium. Mari kita kaji lebih jauh pendekatan potensial

dengan menggunakan pendekatan deret Taylor.

Kita mengaproksimasi fungsi potensial V (x) di sekitar posisi ekui-

librium (x = x0) dengan deret Taylor sebagai berikut.

V (x) = V (x0) + V ′(x0)(x− x0) +V ′′(x0)

2!(x− x0)

2 + · · · (7.4)

Karena x = x0 adalah pada titik ekuilibrium, maka V ′(x0) = 0 se-

hingga pendekatan menjadi

V (x) ≈ V (x0) +V ′′(x0)

2(x− x0)

2 (7.5)

Konstanta V (x0) dapat diabaikan tanpa mempengaruhi persamaan

gerak (ingat gaya adalah negatif turunan dari energi potensial). De-

ngan membandingkan energi potensial pegas dan energi potensial ini

kita memperoleh konstanta pegas k = V ′′(x0). Aproksimasi ini menun-

jukkan bahwa gerak harmonik sangat berguna untuk mempelajari ge-

rak vibrasi molekul dan benda-benda lainnya asalkan gerakan benda

memiliki amplitudo simpangan yang kecil.

Oleh karena pentingnya potensial harmonik, pada bab ini kita ak-

an mengkaji solusi persamaan Schrodinger untuk potensial harmonik

yang berbentuk V (x) = 12kx2 = 1

2mω2x2. Di sini kita menggunakan

x0 = 0 agar lebih sederhana dan mengabaikan V (x0) = 0.

Fungsi Hamiltonian untuk sistem osilator harmonik pada satu di-

mensi adalah

H(x, px) =1

2mv2x +

1

2mω2x2

=p2x2m

+1

2mω2x2 (7.6)

Dengan melakukan substitusi p → px ≡ −i~ ddx

dan x → x, kita

memperoleh operator Hamiltonian yaitu

H(x, px) = − ~2

2m

d2

dx2+

1

2mω2x2 (7.7)

Metode Aljabar 85

Substitusi operator Hamiltonian pada persamaan Schrodinger yang

tak bergantung waktu, kita mendapatkan persamaan diferensial,

− ~2

2m

d2ψ

dx2+

1

2mω2x2ψ = Eψ (7.8)

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan

persamaan Schrodinger ini, tetapi hanya dua metode yang akan di-

bahas di bab ini. Metode yang pertama yaitu metode aljabar dengan

menggunakan operator-operator, dan yang kedua mengunakan metode

analitik dengan deret pangkat.

7.2 Metode Aljabar

Untuk memperjelas proses dalam metode aljabar, mari kita ubah sedi-

kit persamaan Schrodinger untuk osilator harmonik di atas menjadi

1

2m

[

(

~

i

d

dx

)2

+m2ω2x2

]

ψ = Eψ (7.9)

Kita perhatikan bahwa bagian yang didalam kurung [...] memiliki

bentuk u2 + v2. Kita mengetahui bahwa u2 + v2 dapat diubah men-

jadi (u − iv)(u + iv). Dengan demikian kita dapat mengubah bagian

kiri persamaan di atas menjadi perkalian faktor-faktor. Untuk u dan vyang bernilai skalar, operasi perkalian u dan v bersifat komutatif atau

uv = vu. Tetapi sifat ini belum tentu sesuai untuk dua operator. Wala-

upun demikian tidak ada salahnya jika kita definisikan operator u− ivdan u + iv di mana u = ~

iddx

dan v = mωx. Kita mendefinisikan dua

operator, a− dan a+ yaitu

a± ≡ 1√2m~ω

(

~

i

d

dx± imωx

)

(7.10)

atau [Need to be checked]

a± ≡ 1√2m~ω

(px ± imωx) (7.11)

Sekarang kita ingin menjawab pertanyaan ”apakah perkalian ope-

rator a−a+ = (u − iv)(u + iv) sama dengan bagian kiri persamaan

Schrodinger?” Mari kita pelajari apa yang dihasilkan jika operator per-

kalian dua operator a−a+ dioperasikan pada sebuah fungsi φ.

86 Osilator Harmonik

a−a+φ =1

2m~ω

(

~

i

d

dx− imωx

)(

~

i

d

dx+ imωx

)

φ

=1

2m~ω

(

−~2d

dx2+ ~mω

d(xφ)

dx− ~mωx

dx+m2ω2x2

)

φ (7.12)

Ingat bahwa d(xφ)/dx = xdφ/dx + φ. Persamaan ini dapat diseder-

hanakan menjadi

a−a+φ =1

2m~ω

(

(

~

i

d

dx

)2

+ (mωx)2 + ~mω

)

φ (7.13)

Jadi operator a−a+ dapat dituliskan dengan

a−a+ =1

2m~ω

[

(

~

i

d

dx

)2

+ (mωx)2

]

+1

2(7.14)

atau

~ω(a−a+ − 1

2) =

1

2m

(

(

~

i

d

dx

)2

+ (mωx)2

)

(7.15)

Kita perhatikan bahwa persamaan Schrodinger dapat ditulis de-

ngan menggunakan operator a−a+ menjadi

~ω(a−a+ − 1

2)φ = Eψ (7.16)

Disamping a−a+, mari kita lihat apa yang dihasilkan jika kita meng-

gunakan urutan perkalian yang berbeda yaitu dengan operator a+a−.

Dengan cara yang sama kita dapat memperoleh

a−a+ =1

2m~ω

[

(

~

i

d

dx

)2

+ (mωx)2

]

− 1

2(7.17)

atau

~ω(a−a+ +1

2) =

1

2m

(

(

~

i

d

dx

)2

+ (mωx)2

)

(7.18)

Metode Aljabar 87

dengan menggunakan dua hasil di atas, kita mendapatkan juga,

a−a+ − a+a− = 1 (7.19)

Dengan menggunakan operator a+a−, kita juga dapat menuliskan

persamaan Schrodinger yaitu

~ω(a+a− +1

2)ψ = Eψ (7.20)

Sekarang kita sudah mendapatkan persamaan yang lebih sederha-

na dengan menggunakan operator a− dan a+. Selanjutnya kita ingin

mendapatkan solusi persamaan Schrodinger dengan bantuan operator-

operator ini. Untuk memahami caranya mari kita umpamakan kita

sudah mendapatkan solusinya yaitu ψ dengan energi E. Umpamanya

kita membentuk fungsi baru φ− dengan cara mengoperasikan operator

a− pada fungsi ψ atau φ− = a−ψ. Setelah itu kita coba memasukkan

φ− pada persamaan Schrodinger untuk melihat apakah φ− juga meru-

pakan solusi persamaan Schrodinger.

~ω(a−a+ − 1

2)φ− = ~ω(a−a+ − 1

2)a−ψ

= ~ω(a−a+a− − 1

2a−)ψ

= ~ωa−(a+a− − 1

2)ψ

= ~ωa−((a+a− +1

2)− 1)ψ

= ~ωa−(E − ~ω)ψ

= (E − ~ω)a−ψ = (E − ~ω)φ− (7.21)

Di sini kita telah menunjukkan bahwa fungsi φ− = a−ψ juga meru-

pakan solusi persamaan Schrodinger dengan energi E − ~ω.

Di samping itu, kita juga dapat membentuk fungsi baru φ+ dengan

cara mengoperasikan operator a+ pada fungsi ψ atau φ+ = a+ψ. De-

ngan cara yang sama kita memperoleh

88 Osilator Harmonik

~ω(a+a− +1

2)φ+ = ~ω(a+a− +

1

2~ω)a+ψ

= ~ω(a+a−a+ +1

2a−)ψ

= ~ωa+(a−a+ +1

2)ψ

= ~ωa+((a+a− − 1

2) + 1)ψ

= ~ωa+(E + ~ω)ψ

= (E + ~ω)a−ψ = (E + ~ω)φ+ (7.22)

Jadi, fungsi φ+ = a+ψ juga merupakan solusi persamaan Schrodi-

nger dengan energi E + ~ω.

Karena operator a± bersifat menaikkan dan menurunkan energi

sistem, maka disebut juga dengan operator tangga (ladder operators).

a+ disebut operator (raising) naik dan a+ disebut operator (lowering)

turun.

Umpamanya kita mengoperasikan operator turun (lowering) berkali-

kali, energi yang dihasilkan akan mencapai energi yang lebih kecil da-

ri nol (atau negatif). Ini tidaklah mungkin! Maka pada fungsi gelom-

bang ψ0 dengan energi terendah operasi a− harus menghasilkan nilai

nol.

a−ψ0 = 0 (7.23)

atau

1√2m~ω

(

~

i

dψ0

dx− imωxψ0

)

= 0 (7.24)

atau

dψ0

dx= −mω

~xψ0 (7.25)

Persamaan diferensial ini memiliki solusi berbentuk

ψ0 = A0 exp(−mω

2~x2) (7.26)

Jika kita substitusi ψ0 ke persamaan Schrodinger kita mendapatk-

an

Metode Aljabar 89

~ω(a+a− +1

2)ψ0 = E0ψ0

1

2~ωψ0 = E0ψ0 (7.27)

Jadi energi terendah adalah E0 =12~ω

Dengan mengetahui energi dan fungsi gelombang untuk tingkat-

an energi terendah, kita bisa mendapatkan fungsi gelombang untuk

energi yang lebih tinggi dengan menggunakan operator raising.

ψn(x) = An(a+)n exp(−mω

2~x2) (7.28)

dengan energi

En = (n+1

2)~ω (7.29)

Sebagai contoh untuk fungsi gelombang ψ1(x) diperoleh dengan

ψ1(x) = A1(a+) exp(−mω

2~x2)

= A11√

2m~ω

[

~

i

d

dx+ imωx

]

exp(−mω2~

x2)

= A11√

2m~ω

[

~

i(−mω

2~)2x exp(−mω

2~x2) + imωx exp(−mω

2~x2)

]

= A1i

2mω

~x exp(−mω

2~x2) (7.30)

x =

~

2mω(a+ + a−) (7.31)

dan

px = −i√

mω~

2(a+ − a−) (7.32)

operator N ,

N = a+a− (7.33)

[need to be reorganize may be moved to dirac notation]

90 Osilator Harmonik

7.3 Metode Analitik

Di samping metode aljabar, kita juga dapat memperoleh solusi persa-

maan Schrodinger dengan menggunakan metode analitik atau metode

deret pangkat.

Persamaan Schrodinger,

− ~2

2m

d2ψ

dx2+

1

2mω2x2ψ = Eψ (7.34)

dapat disederhanakan agar mudah dalam melakukan simulasi dengan

menggunakan variabel baru yaitu

ξ ≡√

~x (7.35)

atau dengan substitusi

x =

~

mωξ (7.36)

Turunan pertama dan kedua terhadap variabel ξ didapatkan de-

ngan menggunakan aturan rantai seperti berikut ini.

d

dx=dξ

dx

d

dξ=

~

d

dξ(7.37)

dan

d2

d2x=dξ

dx

d

[

dx

d

]

=mω

~

d2

d2ξ(7.38)

Persamaan Schrodinger menjadi

d2ψ

dξ2= (ξ2 −K)ψ (7.39)

di mana

K =2E

~ω(7.40)

Metode Analitik 91

Untuk mendapatkan solusi persamaan diferensial di atas, kita per-

timbangkan terlebih dahulu limit asimtotik untuk ξ yang sangat besar

yang mana ξ2 jauh lebih dominan daripada K. kita dapat mengaprok-

sikan dengan

d2ψ

dξ2≈ ξ2ψ (7.41)

yang memiliki solusi

ψ(ξ) ≈ Ae−ξ2/2 +Beξ2/2 (7.42)

Bagian Bex2/2 tentunya bukan merupakan solusi karena bagian ini

menjadi tak berhingga ketika |x| → ∞. Solusi asimtotik yang secara

fisis bisa diterima berbentuk

ψ(x) → (..)e−ξ2/2 untuk ξ yang besar (7.43)

Jadi bentu solusi yang kita perlukan adalah

ψ(x) = h(ξ)e−ξ2/2 (7.44)

Kita berharap setelah melakukan substitusi ke persamaan Schrodi-

nger, kita mendapatkan persamaan untuk h(ξ) yang lebih sederhana.

Dengan menggunakan turunan pertama dan kedua,

dψ(ξ)

dξ=

[

dh

dξ− ξh

]

e−ξ2/2 (7.45)

d2ψ(ξ)

dξ2=

[

d2h

dξ2− 2ξ

dh

dξ+ (ξ − 1)h

]

e−ξ2/2 (7.46)

Setelah subsitusi ke persamaan Schrodinger, kita mendapatkan per-

samaan

d2h

dξ2− 2ξ

dh

dξ+ (K − 1)h = 0 (7.47)

Untuk mendapatkan solusi persamaan ini kita akan menggunak-

an metode deret pangkat yang mana kita mengasumsikan solusinya

berbentuk

h(ξ) =

∞∑

j=0

ajξj (7.48)

Turunan pertama dan kedua dari deret ini adalah

92 Osilator Harmonik

dh(ξ)

dξ=

∞∑

j=1

jajξj−1

=

∞∑

j=0

jajξj−1 (7.49)

d2h(ξ)

ξ=

∞∑

j=2

j(j − 1)ajξj−2

=

∞∑

j=0

(j + 2)(j + 1)aj+2ξj (7.50)

Setelah substitusi kita memperoleh

∞∑

j=0

[(j + 2)(j + 1)aj+2 − 2jaj + (K − 1)aj ]ξj = 0 (7.51)

Supaya deret pangkat merupakan solusi persamaan ?? bagian di

dalam kurung persegi harus nol, sehingga kita mempunyai persamaan

untuk koefisien aj ,

(j + 2)(j + 1)aj+2 − 2jaj + (K − 1)aj = 0 (7.52)

atau

aj+2 =(2j + 1)−K)

(j + 2)(j + 1)aj (7.53)

Persamaan ini menghubungkan nilai koefisien tertentu dengan ni-

lai koefisien sebelumnya. Jika kita sudah mengetahui a0, kita akan

dapat menghasilkan nilai-nilai koefisien a2, a4, · · · atau semua koe-

fisien dengan indeks genap. Sedangkan jika kita tahu a1 kita dapat

menghasilkan semua koefisien dengan indeks ganjil.

Sekarang kita perhatikan koefisien untuk indeks j yang besar. Per-

samaan di atas dapat diaproksimasi dengan

aj+2 ≈1

j/2aj (7.54)

Metode Analitik 93

Dengan solusi berbentuk

aj ≈C

(j/2)!(7.55)

Solusi asimtotik menjadi

h(ξ) ≈ C∑ 1

(j/2)!ξj

≈ C∑ 1

j!ξ2j ≈ Ceξ

2

(7.56)

Tetapi ini lebih besar dari solusi ψ = (..)eξ2/2 yang kita peroleh sebe-

lumnya. Haruslah ada kondisi sehingga semua koefisien untuk indeks

yang besar menjadi nol. Jika kita anggap nilai tertinggi indeks yang

akan menghasilkan nilai nol adalah indeks ke n maka kondisi ini bisa

dihasilkan dengan

K = 2n+ 1 (7.57)

atau

En = (n+1

2)~ω untuk n = 0, 1, 2, · · · (7.58)

Ini menunjukkan bahwa energi terkuantisasi sesuai dengan hasil

sebelumnya tetapi diperoleh dengan cara yang berbeda.

Dengan kondisi ini kita memperoleh rumus,

aj+2 =(2j + 1)− (2n + 1))

(j + 2)(j + 1)aj

=−2(n− j)

(j + 2)(j + 1)aj (7.59)

Untuk n = 0, hanya ada satu solusi yaitu a0 dan kita harus meng-

gunakan a1 = 0.

h0(ξ) = a0 (7.60)

94 Osilator Harmonik

Tabel 7.1: Polinom Hermiteh0(x) = 1 h1(x) = 2xh2(x) = 4x2 − 2 h3(x) = 8x3 − 12xh4(x) = 16x4 − 48x2 + 12 h5(x) = 32x5 − 160x3 + 120xTambah 4 fungsi

Jadi solusinya persamaan Schrodinger untuk energi terendah ada-

lah

ψ0(ξ) = a0e−ξ2/2 (7.61)

Substitusi ξ2 = mω~x2, kita mendapatkan hasil sebelumnya yaitu

ψ0(ξ) = a0 exp(−mω

2~x2) (7.62)

Untuk n = 1, kita pilih a0 = 0 dan j = 1 maka

h1(ξ) = a1ξ (7.63)

sehingga

ψ1(ξ) = a1ξe−ξ2/2 (7.64)

untuk n = 2, j = 0 menghasilkan a2 = −2a0, dan j = 2 memberikan

a4 = 0 sehingga

h2(ξ) = a0(1− 2ξ2) (7.65)

sehingga

ψ2(ξ) = a0(1− ξ2)e−ξ2/2 (7.66)

Secara umum solusi persamaan Schrodinger untuk osilator harmo-

nik adalah

ψn(ξ) =(mω

π~

)1/4 1√2nn!

hn(ξ)e−ξ2/2 (7.67)

di mana hn(ξ) adalah polinom Hermite. Polinom-polinom Hermite

dapat dilihat pada Tabel 7.1.

[Grafik psi(x) dan P(x) ]

8Notasi Dirac dalam Mekanika

Kuantum

Bab ini memperkenalkan dan mengkaji notasi Dirac yang akan digu-

nakan pada bab-bab berikutnya. Notasi ini berguna karena menyatuk-

an secara elegan formulasi-formulasi kuantum. Di samping itu pula,

notasi Dirac memberikan pemahaman yang lebih dibandingkan notasi

lain. Dengan notasi Dirac, penulisan persamaan matematis kuantum

dapat lebih versatile, transparan dan padat, kompak.

8.1 Bra-Ket

Sebelumnya kita menuliskan fungsi gelombang ψ, sebagai contohnya

untuk tiga keadaaan (a, b dan c) dengan ψa, ψb, ψc. Dengan notasi Dirac

kita menuliskan tiga fungsi keadaan ini dengan |ψa〉, |ψb〉, |ψc〉. Atau

bisa lebih singkat dengan cara penulisan |a〉, |b〉, dan |c〉. Huruf yang

kita gunakan di sini a, b, c hanyalah merupakan label atau penan-

da keadaan sistem yang mempunyai fungsi gelombang ψa, ψb, dan ψc.

Kita juga dapat menggunakan label yang lain seperti 1, 2, dan 3 asalk-

an tidak menimbulkan ketidakjelasan. Untuk cara penulisan dengan

jumlah label yang banyak seperti untuk fungsi gelombang untuk kea-

daan partikel di dalam sumur potensial kotak 3D (lihat Bab ?) ψnx,ny,nz

dapat dinotasikan dengan |ψnx,ny,nz〉, atau yang lebih elegan dan lebih

singkat menggunakan notasi |nx, ny, nz〉.Penggunaan notasi Dirac tidak hanya menandakan fungsi gelom-

bang, tetapi juga menandakan vektor keadaan. Notasi ini mengga-

bungkan/menyamakan konsep fungsi gelombang dan vektor keadaan.

Untuk selanjutkan agar tidak membingungkan, kita akan menggu-

nakan fungsi keadaan atau vektor keadaan.

Vektor keadaan | 〉 disebut oleh Dirac dengan nama ”ket” atau ”sta-

96 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum

te ket” karena merepresentasikan fungsi keadaan atau fungsi gelom-

bang. Sebuah ket merupakan sebuah vektor pada ruang Hilbert. Se-

tiap ket memiliki ”teman” atau ”dual space partner” yaitu ”state bra”

atau ”bra” atau 〈 |. Nama ket dan bra diambil dari nama bra(c)ket

untuk penulisan 〈 〉.Dengan notasi Dirac, |m〉 = |ψm〉 dan |n〉 = |ψn〉, perkalian skalar

untuk |m〉 dan |n〉 didefinisikan dengan

〈m|n〉 = 〈ψm|ψn〉 =∫

ψ∗m(r)ψn(r)d

3r (8.1)

Dari definisi ini, jika kita tukar posisi m dan n, kita memperoleh

〈n|m〉 = 〈ψn|ψm〉 =∫

ψ∗n(r)ψm(r)d

3r

=

[∫

ψn(r)ψ∗m(r)d

3r

]∗

〈n|m〉 = 〈m|n〉∗ (8.2)

Gambar 8.1: Ilustrasi menggunaan notasi Dirac

Seperti halnya pada vektor bahwa sebuah vektor dapat dibentuk

dari superposisi dua atau lebih vektor. Misalkan dua vektor v1 dan v2,

vektor v dapat dibentuk dengan kombinasi linier dari vektor v1 dan

v2,

v = c1v1 + c2v2 (8.3)

Prinsip superposisi linier juga berlaku untuk fungsi gelombang.

Bra-Ket 97

Dirac tahu bahwa prinsip superposisi linier tidak hanya berlaku

untuk fungsi gelombang tetapi juga vektor keadaan atau keadaaan.

Maka vektor keadaan dapat dibentuk dari dua keadaan |1〉 dan |2〉.

|ψ〉 = c1|1〉+ c2|2〉 (8.4)

Perkalian skalar suatu ket |a〉 dengan sebuah ket yang dibentuk

dari dua ket misalkan |b〉 = α|m〉+ β|n〉.

〈a|b〉 = α〈a|m〉+ β〈a|n〉 (8.5)

dan juga menggunakan konjugasi kompleks.

〈b|a〉 = α∗〈m|a〉+ β∗〈n|a〉 (8.6)

Ini menunjukkan bahwa jika vektor ket

|b〉 = α|m〉+ β|n〉 (8.7)

Maka dual spacenya vektor bra sehingga

〈b| = α∗〈m|+ β∗〈n| (8.8)

〈m|m〉 > 0 (8.9)

untuk semua fungsi gelombang ψm(r). Ini menunjukkan bahwa

fungsi gelombang harus memiliki probabilitas atau sifat ”square in-

tegrable”.

Sebuah ket sudah ternormalisasi artinya bahwa ket |m〉

〈m|m〉 = 1 (8.10)

Dua ket |m〉 dan |n〉 dikatakan orthogonal artinya bahwa perkalian

skalar menghasilkan nol.

〈m|n〉 = 0 m 6= n (8.11)

Jika satu set fungsi basis φn atau |n〉 merupakan fungsi yang

komplit dan orthogonal berarti

98 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum

〈m|n〉 = δmn (8.12)

Fungsi gelombang ψ dapat diekspansikan ke komponen-komponen

fungsi basis ψn,

ψ =

∞∑

n=1

cnψn(r) (8.13)

atau dengan notasi Dirac,

|ψ〉 =∞∑

n=1

cn|n〉 (8.14)

Perkalian skalar ψ dengan φm atau |m〉,

〈m|ψ〉 =∞∑

n=1

cn〈m|n〉 (8.15)

Karena 〈m|n〉 = δmn, maka diperoleh

cn = 〈n|ψ〉 (8.16)

Sehingga kita dapat menuliskan

|ψ〉 =∞∑

n=1

|n〉〈n|ψ〉 (8.17)

Mari kita perhatikan notasi Dirac dan dengan operator. Sebelum

itu, kita sudah pelajari sebelumnya bahwa operasi operator pada se-

buah fungsi gelombang menghasilkan fungsi gelombang yang lain ξ =Ωψ, maka

|ξ〉 = |Ωψ〉 = Ω|ψ〉 (8.18)

Jika kita operasikan perkalian skalar dengan φ atau |φ〉

〈φ|ξ〉 = 〈φ|Ωψ〉 = 〈φ|Ω|ψ〉 (8.19)

〈ξ|φ〉 = 〈Ωψ|φ〉 = 〈φ|Ωψ〉∗ = 〈φ|Ω|ψ〉∗ (8.20)

Operator Hermitian,

〈φ|Ωψ〉 = 〈Ωφ|ψ〉 (8.21)

Amplitudo Probabilitas 99

〈φ|Ω|ψ〉 = 〈ψ|Ω|φ〉∗ (8.22)

8.2 Amplitudo Probabilitas

Observabel Ω, operator Ω memiliki satu set yang komplit eigenket

|n〉, |1〉, |2〉, |3〉, . . .. dengan nilai eigen ω1, ω2, ω3, . . ..Nilai ekspektasi ˆOmega pada vektor keadaan |ξ〉 diberikan oleh

〈Ω〉ξ = 〈ξ|Ω|ξ〉 (8.23)

menggunakan

|ξ〉 =∞∑

n=1

|n〉〈n|ξ〉 (8.24)

〈Ω〉ξ =∞∑

n=1

∞∑

m=1

〈ξ|m〉〈m|Ω|n〉〈n|ξ〉

=∞∑

n=1

∞∑

m=1

〈ξ|m〉ωn〈m|n〉〈n|ξ〉

=∞∑

n=1

∞∑

m=1

〈ξ|m〉ωnδmn〈n|ξ〉

=

∞∑

n=1

ωn〈ξ|n〉〈n|ξ〉

=

∞∑

n=1

ωn|〈n|ξ〉|2 (8.25)

8.3 Fungsi Gelombang

Operator posisi r memiliki nilai eigen yang kontinyu dengan nilai eigen

r dan fungsi eigen |mathbfr〉. Fungsi eigen dan nilai eigen memenuhi

persamaan eigen,

r|r〉 = r|r〉 (8.26)

Normalisasi dan ortogonalisasi fungsi eigen,

〈r′|r〉 = δ(3)(r′ − r) (8.27)

100 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum

Setiap fungsi keadaan dapat diuraikan kebentuk komponen,

|a〉 =∫

|r〉〈r|a〉 d3r (8.28)

|〈r|a〉|2 d3r (8.29)

Merupakan probabilitas menemukan partikel di volume elemen d3r.Ini menunjukkan bahwa

ψa(r) = 〈r|a〉 (8.30)

jika kita memiliki fungsi keadaan |b〉, dan melakukan ekspansi,

|b〉 =∫

|r〉〈r|b〉 d3r (8.31)

Perkalian skalar fungsi keadaan,

〈a|b〉 =∫

〈a|r〉〈r|b〉 d3r

=

〈r|a〉∗〈r|b〉 d3r

=

ψ∗a(r)ψb(r) d

3r (8.32)

8.4 Representasi Operator dengan Matriks

Umpamanya kita sudah memiliki sebuah kumpulan fungsi yang orto-

normal dan komplit, ψn, dengan n = 1, 2, 3, . . .. Fungsi dalam satu

set ini dapat diperoleh dari penyeselsaian persamaan eigen.

Karena kumpulan fungsi ini komplit, maka fungsi apa saja Ψ dapat

diuraikan atau dibentuk dengan fungsi-fungsi ψn,

Ψ(r) =∑

n

cnψn(r) (8.33)

Koefisien cn didapat seperti sebelumnya dengan

cn =

ψ∗n(r)Ψ(r)d3r (8.34)

atau dengan notasi Dirac,

Representasi Operator dengan Matriks 101

cn = 〈ψn|Ψ〉 (8.35)

Kombinasi linier fungsi-fungsi ψn dengan koefisien cn merep-

resentasikan fungsi Ψ. Kita dapat mengatakan pula bahwa cn me-

representasikan fungsi Ψ dalam basis fungsi ψn. Kita dapat mem-

pertimbangkan bahwa satu set fungsi ini sebagai satu set sumbu ko-

ordinat dan cn sebagai sebuah vektor dalam koordinat ini. Dengan

kata lain kita dapat merepresentasikan suatu fungsi keadaan dengan

sebuah vektor pada basis tertentu.

Operasi sebuah operator pada suatu fungsi keadaan akan mengha-

silkan sebuah fungsi keadaan.

Φ = ΩΨ (8.36)

Jika kita uraikan Φ pada basis fungsi ψn atau |n〉,

Φ =∑

m

dmψm =∑

m

dm|m〉 (8.37)

Ψ =∑

n

cnψn =∑

n

cn|n〉 (8.38)

di mana

dm = 〈m|Φ〉 (8.39)

dan

cn = 〈n|Ψ〉 (8.40)

dm = 〈m|Φ〉= 〈m|ΩΨ〉=∑

n

〈m|Ω|n〉cn

=∑

n

Ωmncn (8.41)

di mana

Ωmn = 〈m|Ω|n〉 (8.42)

102 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum

atau dapat ditulis dalam bentuk matriks

d1d2d3...

=

Ω11 Ω12 Ω13 . . .Ω21 Ω22 Ω23 . . .Ω31 Ω32 Ω33 . . .

......

.... . .

c1c2c3...

(8.43)

atau dipersingkat dengan notasi huruf tebal.

d = Ωc (8.44)

Di sini terlihat bahwa operasi menggunakan operator berubah men-

jadi operasi matriks atau operasi aljabar. Persamaan di atas matriks

Ωmn menghubungkan koefisien dm dengan koefisien cn. Jadi matriks

Ωmn merepresentasikan operator Ω pada fungsi basis ψn atau vektor

keadaan |n〉.

cn = 〈n|Ψ〉 (8.45)

dn = 〈n|Φ〉 (8.46)

dan

d∗n = 〈Φ|n〉 (8.47)

Perkalian skalar

〈Φ|Ψ〉 =∑

n

d∗ncn = d†.c (8.48)

〈Φ|Ψ〉 =(

d∗1 d∗2 d∗3 . . .)

c1c2c3...

(8.49)

8.5 Sifat-sifat Matriks dan Definisi

Jika diberikan dua matriks dengan ukuran yang sama A dan B, sebu-

ah matriks C dapat diperoleh dengan penjumlahan atau pengurangan

C = A±B (8.50)

Atau dalam bentuk elemen,

Sifat-sifat Matriks dan Definisi 103

Cmn = Amn ± Bmn (8.51)

Perkalian matriks dua matriks merupakan inner product, C = AB

didefinisikan sebagai

Cmn =∑

k

AmkBkn (8.52)

Sifat Distributif : C(A+B) = CA+CB dan asosiatif (AB)C = A(BC).Secara umum AB 6= BA,

jika matriks A dan B memenuhi AB = BA maka matriks A dan B

dinyatakan komut.

Invers matriks adalah sebuah matriks yang jika dikalikan dengan

matriks awalnya menghasilkan sebuah matriks identitas.

A−1A = AA−1 = I (8.53)

Matriks identitas memiliki elemen yang bernilai 1 pada diagonal

dan bernilai 0 pada elemen lainnya atau Imn = δmn. Matriks yang

memiliki matriks invers dinamakan matriks non-singular.

Transpose sebuah matriks AT didefinisikan sebagai berikut:

(AT )mn = Anm (8.54)

Adjoin dari sebuah matriks A†,

(A†)mn = A∗nm (8.55)

Matriks dinyatakan Hermitian jika matriks itu sama dengan adjo-

intnya.

A† = A (8.56)

Amn = A∗nm (8.57)

Matriks dikatakan unitari jika

U−1 = U† (8.58)

atau

UU† = U†U = I (8.59)

104 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum

Trace dari suatu matriks didefinisikan sebagai jumlah semua dia-

gonalnya:

TrA =∑

n

Ann (8.60)

Seperti kita lihat sebelumnya bahwa fungsi gelombang dan opera-

tor dapat direpresentasikan dalam bentuk vektor dan matriks yang

sesuai dengan basis yang digunakan. Fungsi gelombang dapat direp-

resentasikan di berbagai representasi.

Generalisasi konsep yang tidak tergantung pada representasi kita

akan menggunakan konsep vektor keadaan yang dinotasikan notasi

Dirac vektor ket |Ψ〉 dan bra 〈Ψ|. Kuantitas 〈Ψ|Ψ〉 merupakan kuadrat

panjang atau norm dati vektor ket |Ψ〉.

8.6 Contoh Harmonik Osilator

Ingat operator a± yang diberikan oleh

a± ≡ 1√2m~ω

(

~

i

d

dx± imωx

)

(8.61)

Operator Hamilton dapat dibentuk dari operator a±

H = ~ω(a+a− +1

2) (8.62)

atau

H = ~ω(a−a+ − 1

2) (8.63)

Umpama |E〉 merupakan solusi persamaan Schrodinger H|E〉 =E|E〉,

Ingat bahwa :

a−|E0〉 = 0

|E1〉 ∝ a+|E0〉|E2〉 ∝ a+|E1〉|E3〉 ∝ a+|E2〉

|En+1〉 ∝ a+|En〉 (8.64)

Contoh Harmonik Osilator 105

|En+1〉 = cn+1a+|En〉 (8.65)

Normalisasi 〈En+1|En+1〉 = 1, dan a− = a†+

〈En+1|En+1〉 = |cn+1|2〈En|a−a+|En〉 = |cn+1|2(n+ 1) = 1 (8.66)

Sehingga cn+1 = (n + 1)−1/2.

Dengan cara yang hampir sama,

|En−1〉 = dn−1a−|En〉 (8.67)

Normalisasi 〈En−1|En−1〉 = 1, dan a+ = a†−

〈En−1|En−1〉 = |dn−1|2〈En|a+a−|En〉 = |dn−1|2(n) (8.68)

Sehingga dn−1 = n−1/2.

Jadi,

a+|En〉 =√n+ 1|En+1〉 (8.69)

a−|En〉 =√n|En−1〉 (8.70)

|En〉 =(an+)√n!

|E0〉 (8.71)

Dengan basis ortonormal |En〉 yang merupakan fungsi eigen dari

persamaan Schrodinger, maka diperoleh

a+ =

0 0 0 0 . . .√1 0 0 0 . . .

0√2 0 0 . . .

0 0√3 0 . . .

......

......

. . .

(8.72)

106 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum

a− =

0√1 0 0 . . .

0 0√2 0 . . .

0 0 0√3 . . .

0 0 0 0 . . ....

......

.... . .

(8.73)

a− = ~ω

1

20 0 0 . . .

03

20 0 . . .

0 05

20 . . .

0 0 07

2. . .

......

......

. . .

(8.74)

9Momentum Angular

Momentum angular sangat penting. Sifat momentum angular untuk

sistem tidak tergantung pada gaya yang bekerja? tergantung pada

simetri.

Untuk sistem satu partikel yang berada pada potensial V (r), seba-

gian fungsi gelombang ditentukan oleh momentum angular.

Dalam mekanika kuantum momentum angular direpresentasikan

dengan sebuah operator yang sesuai dengan momentum angular kla-

sik yaitu

L = r× p (9.1)

Melakukan pengganti dengan operator r dan p, operator momen-

tum angular adalah

L = r× (−i~∇) (9.2)

Sesuai dengan simetri (untuk sistem koordinat bola), maka opera-

tor untuk momentum angular dapat lebih baik dituliskan dalam koo-

rdinat bola, sferis (r, θ, φ) yaitu

x = r sin(θ) cos(φ)

y = r sin(θ) sin(φ)

z = r cos(θ) (9.3)

ingat interval jangkauan untuk variabel (r[0,∞], θ = [0, π], φ[0, 2π])

dan

L = Lx i+ Ly j + Lzk (9.4)

108 Momentum Angular

Lx = i~

(

sin(φ)∂

∂θ+ cot(θ) cos(φ)

∂φ

)

Ly = i~

(

− cos(φ)∂

∂θ+ cot(θ) sin(φ)

∂φ

)

Lz = −i~ ∂

∂φ(9.5)

kuadrat dari magnitudo dari operator momentum angular

L2 = L · L = L2x + L2

y + L2z (9.6)

L2 = −~2

[

1

sin(θ)

∂θ

(

sin(θ)∂

∂θ

)

+1

sin2(θ)

∂2

∂φ2

]

(9.7)

Kita perhatikan bahwa operator angular momentum hanya tergan-

tung pada variabel (θ, φ), dan tidak tergantung pada variabel r,

L2Y (θ, φ) = ~2λY (θ, φ) (9.8)

persamaan eigen untuk momentum angular,

−[

1

sin(θ)

∂θ

(

sin(θ)∂

∂θ

)

+1

sin2(θ)

∂2

∂φ2

]

Y (θ, φ) = λY (θ, φ) (9.9)

fungsi gelombang,

ψ(r) = R(r)Y (θ, φ) (9.10)

fungsi Y (θ, φ) adalah spherical harmonics yang diberikan oleh,

Y mℓ (θ, φ) = Nm

ℓ P|m|ℓ (cos(θ))eimφ (9.11)

dimana P|m|ℓ (cos(θ)) adalah fungsi assiciate Legendre contoh sphe-

rical harmonics,

grafiknya

10Rigid Rotator

Untuk molecul dengan dua atom, energi yang terkandung dapat ber-

upa energi rotasi. Di bagian ini kita akan mempelajari, sistem dua

atom/ molekul yang rigid (kaku), atau dengan artian jarak antara ke-

dua atom tidak berubah.

Gambar dua molekul.

Jika kita ambil pusat massa sebagai titik referensi untuk koordi-

nat, maka energi rotasinya untuk kecepatan angular ω adalah

T =1

2m1ω

2r21 +1

2m2ω

2r22

=1

2(m1r

21 +m2r

22)

=1

2Iω2 (10.1)

Momentum angular untuk sistem ini adalah

L = Iω (10.2)

Jadi kita memperoleh,

T =1

2I(Iω)2 =

1

2IL2 (10.3)

Untuk mengubah ke bentuk operator Hamiltonian, kita menggu-

nakan operator momentum,

L ≡ r× p (10.4)

Untuk potensial eksternal yang konstan dna diabaikan, persamaan

Schrodingernya menjadi,

110 Rigid Rotator

Hψ = Eψ

1

2IL2ψ = Eψ (10.5)

Jika kita mengubah variabel dan sistem koordinat ke koordinat bo-

la, persamaan Schrodinger menjadi,

−~2

2IL2ψ(θ, φ) = Eψ(θ, φ) (10.6)

menjadi persamaan diferensial,

∂2ψ

∂θ2+ cot θ

∂ψ

∂θ+

1

sin2 θ

∂2ψ

∂φ2+ l(l + 1)ψ = 0 (10.7)

Solusi persamaan ini adalah berupa fungsi ”spherical harmonics”,

ψl,m(θ, φ) = Yl,m(θ, φ) = AP|m|l (θ) exp(imφ) (10.8)

yang mana A adalah factor normalisasi, P|m|l (θ) adalah ”associated

Legendre polynomial”. Energi rotasinya adalah

EJ =J(J + 1)~2

2I(10.9)

ada 0,±1,±2, · · · ,±J , J(J + 1) dengan tingkat energi yang sama.

11Partikel pada Sumur Potensial

Kotak 3D

Sebuah partikel berada pada sumur potensial kotak (tiga dimensi). Po-

tensial kotak diberikan oleh

V =

0 jika di dalam kotak atau 0 < x < Lx, 0 < y < Ly, 0 < z < Lz

∞ di luar kotak

(11.1)

Seperti sebelumnya, fungsi gelombang bernilai nol pada daerah

yang memiliki nilai potensial tinggi atau ∞. Operator Hamilton un-

tuk partikel bebas di dalam kotak yaitu

H =p2

2m= − ~

2

2m∇2 = − ~

2

2m

[

∂2

∂x2+

∂2

∂y2+

∂2

∂z2

]

(11.2)

Persamaan Schrodinger yang tidak bergantung waktu diberikan

oleh

− ~2

2m

[

∂2

∂x2+

∂2

∂y2+

∂2

∂z2

]

ψ(x, y, z) = Eψ(x, y, z) (11.3)

Dengan menggunakan metode separasi variabel, kita mengumpa-

makan solusi persamaan Schrodinger berbentuk perkalian fungsi, ψ(x, y, z) =X(x)Y (y)Z(z). Setelah substitusi ψ(x, y, z) pada persamaan Schrodi-

nger dan pengaturan posisi fungsi X(x), Y (y) dan Z(z), kita dapat

memperoleh,

− ~2

2m

1

X

d2X

dx2= E +

~2

2m

[

1

Y

d2Y

dy2+

1

Z

d2Z

dz2

]

(11.4)

112 Partikel pada Sumur Potensial Kotak 3D

Kita perhatikan bahwa bagian sisi kiri dan sisi kanan dari persa-

maan (11.4) di atas, mempunyai variabel ruang yang berbeda. Supaya

kedua sisi dari persamaan bernilai sama maka kedua sisi haruslah

bernilai konstanta.

− ~2

2m

1

X

d2X

dx2= Ex (11.5)

E +~2

2m

[

1

Y

d2Y

dy2+

1

Z

d2Z

dz2

]

= Ex (11.6)

atau

− ~2

2m

1

Y

d2Y

dy2= (E −Ex) +

1

Z

d2Z

dz2(11.7)

Dengan cara yang sama seperti sebelumnya bahwa dua sisi me-

rupakan fungsi yang variabel yang berbeda, kita mendapatkan dua

persamaan untuk variabel y dan z.

− ~2

2m

1

Y

d2Y

dy2= Ey (11.8)

− ~2

2m

1

Z

d2Z

dz2= Ez (11.9)

Jadi kita sudah memisahkan persamaan diferensial dengan fungsi

dengan variabel yang berbeda dan menghasilkan tiga persamaan de-

ngan variabel independen.

− ~2

2m

d2X

dx2= ExX (11.10)

− ~2

2m

d2Y

dy2= EyY (11.11)

− ~2

2m

d2Z

dz2= EzZ (11.12)

(11.13)

113

dan E = Ex + Ey + Ez.

Ini merupakan persamaan yang sama dengan persaman Schrdinger

untuk potensial persegi tak berhingga satu dimensi (lihat halaman

75).

Fungsi gelombang yang dihasikan setelah normalisasi adalah

Xnx(x) =

2

Lxsin

(

nxπx

Lx

)

(11.14)

Yny(x) =

2

Ly

sin

(

nyπy

Lx

)

(11.15)

Znz(x) =

2

Lzsin

(

nzπz

Lx

)

(11.16)

Kita gabungkan solusi ini menjadi

ψ(x, y, z) =

8

LxLyLzsin

(

nxπx

Lx

)

sin

(

nyπy

Ly

)

sin

(

nzπz

Lz

)

(11.17)

dengan nilai energi eigen

Enxnynz= Ex,nx

+ Ey,ny+ Ez,nz

=h2

8m

[

n2x

L2x

+n2y

L2y

+n2z

L2z

]

(11.18)

jika Lx = Ly = Lz = a, energinya menjadi

Enxnynz=

h2

8ma2[n2

x + n2y + n2

z] (11.19)

Jika kita perhatikan, persamaan di atas, nilai tingkat energi dapat

bernilai sama untuk beberapa tingkat energi. Sebagai contoh, ting-

kat energi (2, 1, 0), (2, 0, 1), (1, 0, 2),(0, 1, 2), (0, 2, 1), dan (1, 2, 0) memiliki

energi E = 6h2/(8mL2. Keadaan tingkat energi yang energinya sama

dinamakan degenerasi.

12Atom dengan Satu Elektron

Pada bab ini kita akan membahas sebuah sistem kuantum, sebuah

atom dengan satu elektron. Ini merupakan contoh sederhana yang me-

miliki solusi analitik. Atom yang memiliki satu elektron seperti atom

hidrogen, Helium dan litium. Atom hidrogen sangat penting karena

ini merupakan sistem pertama Bohr dan Schrodinger mengaplikasik-

an teori mereka. Dengan menyelesaikan persamaan Schrodinger, kita

akan memprediksi tingkatan-tingkatan energi.

Teori Schodinger tidak hanya memprediksi tingkatan energi, tetapi

juga fungsi gelombang yang memberikan fungsi kerapatan probabili-

tas posisi elektron, orbital momentum angular, elektron spin dll.

fondasi untuk sistem multielektron.

walaupun ini satu elektron, tetapi sistem ini memiliki dua partikel

(inti atom) dan elektron.

teknik massa tereduksi;

µ =

(

M

m+M

)

m (12.1)

di mana m adalah massa elektron dan M adalah massa inti atom.

karena simetri sistem, kita akan menggunakan koordinate bola un-

tuk mempermudah penyelesaian persamaan Schrodinger.

Jadi kita dapat membahas sistem dua elektron ini dengan memper-

timbangkan elektron dengan massa tereduksi bergerak pada potensial

elektrostatik Coulomb,

V (r) =−Ze24πǫ0r

(12.2)

Persamaan Schodinger untuk sistem ini adalah

− ~2

2µ∇2ψ(r, θ, φ) + V (r)ψ(r, θ, φ) = Eψ(r, θ, φ) (12.3)

116 Atom dengan Satu Elektron

operator laplacian ∇2 dalam koordinate bola yaitu

∇2 =1

r2∂

∂r

(

r2∂

∂r

)

+1

r2 sin θ

∂θ

(

sin θ∂

∂θ

)

+1

r2 sin2 θ

∂2

∂φ(12.4)

Menggunakan metode separasi variabel, kita mnegumpamakan so-

lusi berbentuk,

ψ(r, θ, φ) = R(r)Θ(θ)Φ(φ) (12.5)

substitusi menghasilkan,

− ~2

[

1

r2∂

∂r

(

r2∂RΘΦ

∂r

)

+1

r2 sin θ

∂θ

(

sin θ∂RΘΦ

∂θ

)

+1

r2 sin2 θ

∂2RΘΦ

∂φ2

]

+ V (r)RΘΦ = ERΘΦ (12.6)

− ~2

[

ΘΦ

r2∂

∂r

(

r2∂R

∂r

)

+RΦ

r2 sin θ

∂θ

(

sin θ∂Θ

∂θ

)

+RΘ

r2 sin2 θ

∂2Φ

∂φ2

]

+ [V (r)− E]RΘΦ = 0 (12.7)

Jika kita kalikan dengan

−2µr2 sin2 θ

RΘΦ~2(12.8)

diperoleh,

sin2 θ

R

∂r

(

r2∂R

∂r

)

+sin θ

Θ

∂θ

(

sin θ∂Θ

∂θ

)

+1

Φ

∂2Φ

∂φ2

− 2µr2 sin2 θ[V (r)−E] = 0 (12.9)

Jika kita ubah posisi 1Φ

∂2Φ∂φ

sehingga menjadi

1

Φ

∂2Φ

∂φ2= −sin2 θ

R

∂r

(

r2∂R

∂r

)

− 2µr2 sin2 θ[V (r)−E]− sin θ

Θ

∂θ

(

sin θ∂Θ

∂θ

)

(12.10)

Ingat bahwa R hanya merupakan fungsi variabel r saja, begitu pu-

la Θ hanya fungsi variabel θ dan Φ fungsi variabel φ, kita perhatikan

117

bahwa disisi kiri merupakan bagian persamaan dengan hanya varia-

bel φ dan di sebelah kanan merupakan bagian dengan variable r dan

θ. Sisi kiri dan kanan merupakan fungsi dengan variable independen

yang berbeda. Supaya dua sisi bernilai sama maka tidaklah mungkin

bernilai yang tergantung pada variabel r, θ ataupun φ, Jadi haruslah

sebuah konstanta. Untuk mempermudah solusi persamaan nantinya,

kita akan menggunakan konstanta −m2ℓ ,

1

Φ

∂2Φ

∂φ2= −m2

ℓ (12.11)

∂2Φ(φ)

∂φ2= −m2

ℓΦ(φ) (12.12)

−sin2 θ

R

∂r

(

r2∂R

∂r

)

− 2µr2 sin2 θ[V (r)− E]− sin θ

Θ

∂θ

(

sin θ∂Θ

∂θ

)

= −m2ℓ

(12.13)

jika kita bagi dengan sin2 θ

1

R

∂r

(

r2∂R

∂r

)

+ 2µr2[V (r)− E] +1

Θ sin θ

∂θ

(

sin θ∂Θ

∂θ

)

=m2

sin2 θ(12.14)

Seperti sebelumnya, kita atur posisi bagian-bagiannya sehingga di

sisi kiri hanya merupakan fungsi variabel r dan kanan hanya fungsi

variabel φ,

1

R

∂r

(

r2∂R

∂r

)

+ 2µr2 sin2 θ[V (r)− E] = − 1

Θ sin θ

∂θ

(

sin θ∂Θ

∂θ

)

+m2

sin2 θ(12.15)

Dengan alasan seperti sebelumnya bahwa dua sisi dengan variabel

yang berbeda, maka haruslah sama dengan sebuah konstanta, untuk

mempermudah pengenalan solusi, kita menggunakan konstanta, ℓ(ℓ+1),

1

R

∂r

(

r2∂R

∂r

)

+ 2µr2 sin2 θ[V (r)−E] = ℓ(ℓ+ 1) (12.16)

118 Atom dengan Satu Elektron

− 1

Θ sin θ

∂θ

(

sin θ∂Θ

∂θ

)

+m2

sin2 θ= ℓ(ℓ+ 1) (12.17)

∂r

(

r2∂R

∂r

)

+ 2µr2 sin2 θ[V (r)−E]R = ℓ(ℓ+ 1)R (12.18)

− 1

sin θ

∂θ

(

sin θ∂Θ

∂θ

)

+m2

ℓΘ

sin2 θ= ℓ(ℓ+ 1)Θ (12.19)

dari manipulasi di atas kita mengubah persamaan diferensial men-

jadi tiga bagian yang berbeda,

∂2Φ(φ)

∂φ2= −m2

ℓΦ(φ) (12.20)

∂r

(

r2∂R

∂r

)

+ 2µr2 sin2 θ[V (r)−E]R = ℓ(ℓ+ 1)R (12.21)

− 1

sin θ

∂θ

(

sin θ∂Θ

∂θ

)

+m2

ℓΘ

sin2 θ= ℓ(ℓ+ 1)Θ (12.22)

Solusi khusus persamaan (1) berbentuk,

Φ(φ) = eimℓφ (12.23)

ingat bahwa fungsi gelombang harus memiliki satu nilai (single

valued function) dan variabel φ mempunyai nilai dari φ = 0 sampai

φ = 2π, dan nilai fungsi Φ(φ) harus sama ketika φ = 0 dan φ = 2π atau

Φ(0) = Φ(2π),atau

eimℓ0 = eimℓ2π (12.24)

1 = cos(2mℓ2π) + i sin(2mℓ2π) (12.25)

Kita memiliki kondisi yang harus dipenuhi oleh mℓ

119

cos(2mℓ2π) = 1 (12.26)

dan

sin(2mℓ2π) = 0 (12.27)

Nilai mℓ yang memenuhi syarat di atas adalah

|mℓ| = 0, 1, 2, 3, . . . (12.28)

Jadi kita mempunyai satu set fungsi yang memenuhi adalah

Φ(φ) = eimℓφ (12.29)

dengan mℓ harus bernilai bilangan bulat. Bilangan ini di katakan

sebuah bilangan kuantum.

Solusi persamaan (2) berbentuk

Θ(θ) = sin|mℓ| θFℓ|mℓ|(cos θ) (12.30)

nilai ℓ tidak sembarangan melainkan harus bernilai tertentu yaitu,

ℓ = |mℓ|, |mℓ|+ 1, |mℓ|+ 2, . . . (12.31)

sedangkan solusi untuk persamaan (3),

Rnℓ(r) = eZr/na0

(

Zr

a0

)ℓ

Gnℓ

(

Zr

a0

)

(12.32)

dengan

a0 =4πǫ0~

2

µe2(12.33)

dan nilai n tidak sembarangan, melainkan harus, n = ℓ+1, ℓ+2, ℓ+3, . . .

En = − µZ2e4

(4πǫ0)22~2n2=A

n2(12.34)

kondisi untuk nilai n, ℓ dan mℓ

|mℓ| = 0, 1, 2, 3, . . .

ℓ = |mℓ|, |mℓ|+ 1, |mℓ|+ 2, . . .

n = ℓ+ 1, ℓ+ 2, ℓ+ 3, . . . (12.35)

120 Atom dengan Satu Elektron

Tabel 12.1: Fungsi eigen untuk atom satu elektron

n ℓ mℓ Fungsi Eigen

1 0 0 ψ100 =1√π

(

Za0

)3/2

e−Zr/a0

2 0 0 ψ200 =1

4√2π

(

Za0

)3/2 (

2− Zra0

)

e−Zr/2a0

2 1 0 ψ210 =1

4√2π

(

Za0

)3/2 (Zra0

)

e−Zr/2a0 cos θ

2 1 ±1 ψ21±1 =1

8√π

(

Za0

)3/2 (Zra0

)

e−Zr/2a0 sin θe±iφ

3 0 0 ψ300 =1

81√3π

(

Za0

)3/2 (

27− 18Zra0

+ 2Z2r2

a20

)

e−Zr/3a0

3 1 0 ψ310 =√2

81√3π

(

Za0

)3/2 (

6− Zra0

)

Zra0e−Zr/3a0 cos θ

3 1 ±1 ψ31±1 =1

81√3π

(

Za0

)3/2 (

6− Zra0

)

Zra0e−Zr/3a0 sin θe±iφ

3 2 0 ψ320 =1

81√6π

(

Za0

)3/2 (Z2r2

a20

)

e−Zr/3a0(3 cos2 θ − 1)

3 2 ±1 ψ32±1 =1

81√π

(

Za0

)3/2 (Z2r2

a20

)

e−Zr/3a0 sin θ cos θe±iφ

3 2 ±2 ψ32±2 =1

81√π

(

Za0

)3/2 (Z2r2

a20

)

e−Zr/3a0 sin2 θe±2iφ

dapat ditulis ulang menjadi

n = 1, 2, 3, . . .

ℓ = 0, 1, 2, . . . , (n− 1)

|mℓ| = −ℓ,−ℓ + 1,−ℓ+ 2, . . . , 0, . . . ,+ℓ− 2,+ℓ− 1,+ℓ (12.36)

Kita perhatikan bahwa (a) setiap nilai n, ada sejumlah n nilai ℓ, (b)

untuk setiap ℓ ada sebanyak (2ℓ+ 1) nilai mℓ dan (c) untuk setiap nilai

n , ada n2 fungsi eigen yang degenerate.

13Teori Perturbasi

Tidak banyak solusi dalam kuantum mekanik yang eksak. Banyak

pendekatan dilakukan untuk mendapatkan solusi. Banyak metode su-

dah dibuat untuk mengatasi ini. salah satunya adalah yang dibahas

di bab ini.

Di bab ini dibahas metode pendekatan, yang digunakan khususnya

untuk sistem yang sedikit berbeda dari suatu sistem yang sudah me-

miliki solusi atau dengan kata lain nilai energi eigen dan fungsi eigen

sudah diketahui.

sistem yang kita pelajari memiliki sedikit perbedaan, atau bisa di-

katakan, sistem yang sudah kita ketahui, diberikan suatu perturbasi

atau gangguan.

13.1 Kasus Non-degenerate

Pertimbangkan operator Hamiltonian untuk suatu sistem dapat dipi-

sahkan menjadi dua bagian

H = H0 + λV (13.1)

di mana H0 adalah operator Hamiltonian yang tidak memiliki gang-

guan (unperturbed) and λV adalah sebuah gangguan kecil. λ adalah

sebuah parameter riil. Menggunakan perturbasi λV dibandingkan Vsaja akan mempermudah kita dalam menentukan (”keeping track”)

orde pendekatan. Disamping itu pula, besar perturbasi dapat diva-

riasikan dengan memvariasikan λ.

Seperti yang kita asumsikan bahwa kita sudah memiliki semua ni-

lai eigen dan fungsi eigen untuk sistem tanpa perturbasi dengan ope-

rator Hamiltonian H0.

H0|ψ(0)n 〉 = E(0)

n |ψ(0)n 〉 (13.2)

122 Teori Perturbasi

Di sini Kita asumsikan H0 bahwa sistem memiliki energi yang disk-

rit dan non-degenerate. Kita akan menggunakan notasi nilai eigen

dari operator H0 dengan E(0)n dan |ψ(0)

n 〉 dengan n = 1, 2, 3, · · · . Ingat

bahwa untuk sistem yang non-degenerate, fungsi keadaan |ψ(0)n 〉 ada-

lah orthogonal. dan kita asumsikan bahwa |ψ(0)n 〉 sudah dinormalisasi.

H|ψn〉 = En|ψn〉 (13.3)

Prosedur pendekatan yang kita gunakan adalah dengan mengura-

ikan nilai eigen dan fungsi eigen menjadi pangkat λ,

En = E(0)n + λE(1)

n + λ2E(2)n + λ3E(3)

n + · · · (13.4)

|ψn〉 = |φ(0)n 〉+ λ|φ(1)

n 〉+ λ2|φ(2)n 〉+ λ3|φ(3)

n 〉+ · · · (13.5)

Ingat bahwa

λE(1)n , λ2E

(2)n , λ3E

(3)n dan seterusnya merupakan koreksi dari nilai

eigen tanpa perturbasi. dan

|φ(1)n 〉, |φ(2)

n 〉 + dan seterusnya adalah koreksi fungsi keadaan.

Kita akan berasumsi dan memilih koreksi fungsi keadaan yang or-

togonal.

〈φ(0)n |φ(1)

n 〉 = 〈φ(0)n |φ(2)

n 〉 = 〈φ(0)n |φ(3)

n 〉 = · · · = 0 (13.6)

substritusi operator dan penguraian fungsi keadaaan,

[H0 + λV ][|φ(0)n 〉+ λ|φ(1)

n 〉+ λ2|φ(2)n 〉+ · · · ] = (13.7)

[E(0)n + λE(1)

n + λ2E(0)n + · · · ][|φ(0)

n 〉+ λ|φ(1)n 〉+ λ2|φ(2)

n 〉+ · · · ] (13.8)

Persamaan ini berlaku untuk seluruh nilai λ, Jika kita kumpulkan

semua bagian yang memiliki pangkat λ yang sama, bagian tersebut

harus sama dengan nol. Atau masing-masing koefisien dari pangkat

λ secara terpisah harus habis atau nol. Bagian yang tidak memiliki λadalah bagian untuk sistem tanpa perturbasi.

kumpulkan koefisien lambda di sini:

[H0 + λV ][|φ(0)n 〉+ λ|φ(1)

n 〉+ λ2|φ(2)n 〉+ · · · ] = (13.9)

[E(0)n + λE(1)

n + λ2E(0)n + · · · ][|φ(0)

n 〉+ λ|φ(1)n 〉+ λ2|φ(2)

n 〉+ · · · ] (13.10)

Kasus Non-degenerate 123

[H0 − E(0)n ]|φ(1)

n 〉 = −(V − E(1)n )|φ(0)

n 〉 (13.11)

[H0 − E(0)n ]|φ(2)

n 〉 = −(V − E(1)n )|φ(1)

n 〉+ E(2)n |φ(0)

n 〉 (13.12)

(13.13)

Jika kita kalikan dengan 〈φ(0)n | kedua sisi,

〈φ(0)n |[H0 −E(0)

n ]|φ(1)n 〉 = −(〈φ(0)

n |V − E(1)n )|φ(0)

n 〉 (13.14)

〈φ(0)n |H0|φ(1)

n 〉 − 〈φ(0)n |E(0)

n |φ(1)n 〉 = −(〈φ(0)

n |V |φ(0)n 〉 − 〈φ(0)

n |E(1)n )|φ(0)

n 〉 (13.15)

Karena H0 bersifat Hermitian, untuk fungsi keadaan |ξ〉 dan |φ(0)p 〉

dari H0 dengan energi E(0)p , kita memperoleh,

〈φ(0)p |H0|ξ〉 = E(0)

p 〈φ(0)p |ξ〉 (13.16)

sehingga,

〈φ(0)p |H0|φ(1)

n 〉 = E(0)n 〈φ(0)

n |φ(1)n 〉 (13.17)

λE(1)n = 〈φ(0)

n |λV |φ(0)n 〉 (13.18)

Ini merupakan rumus yang penting untuk perturbasi order perta-

ma, yang menyatakan koreksi orde pertama adalah nilai ekspektasi

dari λV terhadap fungsi keadaan |φ(0)n 〉

Untuk memperoleh koreksi pertama untuk λ|φ(1)n 〉 untuk fungsi ke-

adaan |φ(0)n 〉, kita kalikan secara skalar dengan 〈φ(0)

p | untuk p 6= n,

〈φ(0)p |[H0 − E(0)

n ]|φ(1)n 〉 = −(〈φ(0)

p |V − E(1)n )|φ(0)

n 〉 (13.19)

Penguraian |φ(1)n 〉 ke komponen fungsi keadaan yang tidak tergang-

gu,

|φ(1)n 〉 =

p 6=n

anp|φ(0)p 〉 (13.20)

sehingga untuk sisi kiri kita memperoleh,

124 Teori Perturbasi

〈φ(0)p |[H0 − E(0)

n ]|φ(1)n 〉 = (E(0)

p − E(0)n )anp (13.21)

Karena |φ(0)p 〉 dan |φ(0)

p 〉 ortogonal,

−〈φ(0)p |V − E(1)

n )|φ(0)n 〉 = −〈φ(0)

p |V |φ(0)n 〉 = Vpn (13.22)

sehingga diperoleh koefisien anp,

anp =Vpn

E(0)n − E

(0)p

(13.23)

sehingga,

|φ(1)n 〉 =

p 6=n

Vpn

E(0)n −E

(0)p

|φ(0)p 〉 (13.24)

Koreksi ini membutuhkan semua fungsi keadaan untuk keadaan

tidak terganggu, sehingga membutuhkan komputasi yang banyak.

Penurunan untuk perturbasi orde dua, [tambhakan di sini]

〈φ(0)n |H0 − E(0)

n |φ(2)n 〉 = −〈φ(0)

n |V |φ(1)n 〉+ E(1)

n 〈φ(0)n |φ(1)

n 〉+ E(2)n (13.25)

E(2)n = 〈φ(0)

n |V |φ(1)n 〉 =

p 6=n

anpVnp (13.26)

λ2E(2)n =

p 6=n

λ2|Vpn|2

E(0)n − E

(0)p

(13.27)

[Contoh aplikasi]

13.2 Kasus Degenerate

Umpama operator Hamiltonian memiliki kelipatan s−fold degenerate

state, sehingga ada s fungsi eigen yang linier independent, kita meng-

gunakan notasi, |unα〉, di mana α = 1, · · · , s. Fungsi eigen ini dapat

dipilih yang ortogonal. Kita akan asumsikan bahwa fungsi eigen su-

dah ortonormal,

〈unα|unβ〉 = δαβ (13.28)

Kasus Degenerate 125

α, β = 1, · · · , sKombinasi linier dari fungsi eigen ini juga merupakan fungsi eigen

dari operator Hamilton dengan energi E(0)n . Jadi sistem keadaan yang

menjadi orde ke nol untuk penguraian metode perturbasi, tidak bisa

ditentukan secara unik, jadi merupakan kombinasi dari fungsi eigen

degenerate. Jadi ini yang perlu kita tentukan terlebih dahulu.

|ψni〉 =s∑

α=1

ciα|unα〉 (13.29)

kita harus menentukan nilai koefisien ciαProsedur pendekatan yang kita gunakan adalah dengan mengura-

ikan nilai eigen dan fungsi eigen menjadi pangkat λ,

En = E(0)n + λE(1)

n + λ2E(2)n + λ3E(3)

n + · · · (13.30)

|ψn〉 = |φ(0)n 〉+ λ|φ(1)

n 〉+ λ2|φ(2)n 〉+ λ3|φ(3)

n 〉+ · · · (13.31)

Ingat bahwa

λE(1)n , λ2E

(2)n , λ3E

(3)n dan seterusnya merupakan koreksi dari nilai

eigen tanpa perturbasi. dan

|φ(1)n 〉, |φ(2)

n 〉 + dan seterusnya adalah koreksi fungsi keadaan.

Kita akan berasumsi dan memilih koreksi fungsi keadaan yang or-

togonal.

〈φ(0)n |φ(1)

n 〉 = 〈φ(0)n |φ(2)

n 〉 = 〈φ(0)n |φ(3)

n 〉 = · · · = 0 (13.32)

substritusi operator dan penguraian fungsi keadaaan,

[H0 + λV ][|φ(0)n 〉+ λ|φ(1)

n 〉+ λ2|φ(2)n 〉+ · · · ] = (13.33)

[E(0)n + λE(1)

n + λ2E(0)n + · · · ][|φ(0)

n 〉+ λ|φ(1)n 〉+ λ2|φ(2)

n 〉+ · · · ] (13.34)

Persamaan ini berlaku untuk seluruh nilai λ, Jika kita kumpulkan

semua bagian yang memiliki pangkat λ yang sama, bagian tersebut

harus sama dengan nol. Atau masing-masing koefisien dari pangkat

λ secara terpisah harus habis atau nol. Bagian yang tidak memiliki λadalah bagian untuk sistem tanpa perturbasi.

kumpulkan koefisien lambda di sini:

[H0 + λV ][|φ(0)n 〉+ λ|φ(1)

n 〉+ λ2|φ(2)n 〉+ · · · ] = (13.35)

[E(0)n + λE(1)

n + λ2E(0)n + · · · ][|φ(0)

n 〉+ λ|φ(1)n 〉+ λ2|φ(2)

n 〉+ · · · ] (13.36)

126 Teori Perturbasi

[H0 − E(0)n ]|φ(1)

n 〉 = −(V − E(1)n )|φ(0)

n 〉 (13.37)

[H0 − E(0)n ]|φ(2)

n 〉 = −(V − E(1)n )|φ(1)

n 〉+ E(2)n |φ(0)

n 〉 (13.38)

(13.39)

φni|V |φnj〉 = φni|V |φni〉δij (13.40)

Jadi φni|V |φnj〉 adalah matriks s×s yang diagonalnya adalah φni|V |φnj〉lihat hal 170.

|ψni〉 =s∑

α=1

ciα|unα〉 (13.41)

〈unβ|V |φni〉 = E(1)ni 〈unβ|φni〉 (13.42)

s∑

α=1

〈unα|V |unα〉ciα = E(1)ni ciβ (13.43)

ini bisa ditulis dengan,

s∑

α=1

(Vβα −E(1)ni δβα)ciα = 0 (13.44)

ingat β = 1, · · · , s dan Vβα = 〈unβ|V |unα〉

det(Vβα − E(1)ni δβα) = 0 (13.45)

[Contoh aplikasi]

14Perturbasi tergantung waktu

Pertimbangkan sebuah sistem dengan operator Hamiltonian dapat di-

bagi menjadi dua bagian seperti,

H = H0 + λH ′ (14.1)

dengan H0 adalah operator Hamiltonian tanpa ada pengaruh wak-

tu, dan λH ′ mengandung perubahan terhadap waktu. Seperti sebe-

lumnya, kita menggunakan λ sebagai koefisien kecil dan mempermu-

dah pengelompokan orde pertubasinya.

Hamiltonian H0 mempunyai fungsi/vektor eigen |k〉 yang memenuhi

persaman Schrodinger,

H0|k〉 = Ek|k〉 (14.2)

di mana Ek adalah energi untuk sistem tanpa pertubasi.

Persamaan Schrodinger yang tergantung waktu adalah

i~∂

∂t|〉 = H|〉 (14.3)

Kita menggunakan ekspansi solusi persamaan ini dengan fungsi

eigen dan nilai eigen,

|〉 =∑

n

an(t)|n〉 exp(−iEnt/~) (14.4)

di mana an(t) adalah koefisien ekspansi yang tergantung waktu

yang mengandung efek dinamis.

Substitusi |〉 menghasilkan,

n

i~an(t)|n〉 exp(−iEnt/~) +∑

n

Enan(t)|n〉 exp(−iEnt/~)

=∑

n

an(t)(H0 + λH ′|n〉 exp(−iEnt/~) (14.5)

128 Perturbasi tergantung waktu

i~ak(t) exp(−iEkt/~) =∑

n

an(t)〈k|λH ′|n〉 exp(−iEnt/~) (14.6)

untuk mempermudah kita mendefinisikan frekuensi,

ωkn =Ek − En

~(14.7)

sehingga kita mendapatkan,

ak(t) =1

i~

n

〈k|λH ′|n〉an(t) exp(iωknt) (14.8)

sekarang kita melakukan aproksimasi,

ak(t) = a(0)k + λa

(1)k + λ2a

(2)k + λ3a

(3)k + . . . (14.9)

substitusi dan mengumpulkan bagian dengan pangkat λ yang sa-

ma, menghasilkan

a(0)k = 0 (14.10)

a(s+1)k =

1

i~

n

〈k|λH ′|n〉a(s)n exp(iωknt) (14.11)

Persamaan ini dapat diintegrasikan secara silihberganti (successi-

vely) untuk mendapatkan pendekatan dengan orde yang diinginkan.

a(k0) = konstan merupakan solusi order ke nol, sistem tidak tergan-

tung pada waktu, jadi tidak ada perubahan vektor keadaan.

Jika kita asumsikan bahwa hanya salah satu tingkat keadaan yang

terisi atau sistem berada pada tingkatan tertentu, umpamanya m, jadi

hanya a(0)m yang tidak nol, maka

a(1)k (t) =

1

i~

∫ t

−∞〈k|H ′|m〉 exp(iωkmt

′)dt′ (14.12)

kita gunakan a(1)k (t = −∞) = 0. Kita perhatikan bahwa untuk tran-

sisi antara tingkat energi, tergantung pada elemen matriks antara dua

keadaan 〈k|H ′|m〉.

Sistem Dua Tingkat Energi 129

14.1 Sistem Dua Tingkat Energi

14.2 Perturbasi Harmonik

14.3 Aplikasi

|ψ1(t)〉 = |u1〉e−iE1t/~ (14.13)

|ψ0〉 =∑

n

cn|un〉 (14.14)

dengan

cn = 〈un|ψ0〉 (14.15)

|ψ(t)〉 =∑

n

cn|un〉e−iEnt/~ (14.16)

yang lebih umum,

i~∂

∂t|ψ(t)〉 = H(t)|ψ(t)〉 (14.17)

pada waktu awal t = t0, sistem berada pada keadaan |ψ0〉

|ψ(t0)〉 = |ψ0〉 (14.18)

H(t) = H0 + V (t) (14.19)

15Partikel Identik

sebelum kita mempelajari sistem dengan multi-elektron, kita perlu

membahas tentang sifat penting dari sistem kuantum yang mengan-

dung partikel identik.

bagaimana mendiskripsikan sistem kuantum dengan partikel iden-

tik?

untuk sederhana kita akan menggunakan sistem dengan dua par-

tikel.

pertimbangkan dua partikel yang identik saling mendekati dan ak-

an bertumbukan. Dengan melihat pergerakan benda kita mungkin

bisa membedakan partikel dari posisinya. Dengan kata lain kita mem-

berikan label pada partikel dengan mengambil gambar snapshot,

dalam fisika klasik, partikel identik dapat dibedakan satu sama

lain dengan cara yang tidak mempengaruhi prilakunya sehingga kita

bisa memberi label pada partikel.

Dalam mekanika kuantum ini tidak bisa dilakukan karena prin-

sip ketidakpastian Heisenberg tidak mengijinkan kita melihat gerak-

an partikel tanpa merubah keadaaan atau prilaku partikel. [lihat pen-

jelaasan ketidakpastian Heisenberg]

pernyataan formal: finite extent dari fungsi gelombang untuk seti-

ap elektron menyebabkan overlap tumpang tindih yang membuat ke-

sulitan untuk membedakan fungsigelombang untuk elektron.

inilah perbedaan antara fisika klasik dan fisika kuantum.

formulasi kuantum untuk sistem dengan partikel identik, harus ju-

ga memperdulikan sifat ”indistiguishability”. Hasil yang dapat diukur

diperoleh dari kalkulasi mekanika kuantum yang akurat sebaiknya

tidak trgantung pada pemberian label untuk partikel identik.

probabilitas yang dihasilkan haruslah sama ketika penukaran ko-

ordinate partikel dilakukan.

P (x1, x2) = P (x2, x1) (15.1)

132 Partikel Identik

Tabel 15.1: Jenis Partikel dan simetriPartikel Simetri Jenis Spin

Elektron Antisimetri Fermion 1/2Positron Antisimetri Fermion 1/2Protron Antisimetri Fermion 1/2Neutron Antisimetri Fermion 1/2

Muon Antisimetri Fermion 1/2Partikel α simetri Boson 0

Atom Helium simetri Boson 0π Meson simetri Boson 0Photon simetri Boson 1

Deutron simetri Boson 1

ingat bahwa

P (x1, x2) = ψ ∗ (x1, x2)ψ(x1, x2) = |ψ(x1, x2)|2 (15.2)

|ψ(x1, x2)|2 = |ψ(x2, x1)|2 (15.3)

penukaran hanya akan menubah fase fungsi gelombang,

ψ(x1, x2) = eiα|ψ(x2, x1) (15.4)

ingat bahwa |eiα| = 1,

ada dua kemungkinan: fungsi gelombang yang simetrik (genap,

tanda +) dan anti-simetrik (ganjil, tanda −) jika penukaran partikel

dilakukan

ψ(x1, x2) = ±|ψ(x2, x1) (15.5)

15.1 Prinsip Larangan Pauli

15.2 statistik

Daftar Pustaka

1.

2.

Indeks

Newton, 3