Buku apresiasi perempuan

80
Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

description

 

Transcript of Buku apresiasi perempuan

Page 1: Buku apresiasi perempuan

i

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Peluh Pembebasan:Bunga Rampai Kiprah Perempuan

Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Page 2: Buku apresiasi perempuan

ii

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Page 3: Buku apresiasi perempuan

iii

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Peluh Pembebasan:Bunga Rampai Kiprah Perempuan

Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Page 4: Buku apresiasi perempuan

iv

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Kontributor:Ahmad. SHAngel Deff tri HamriEndang HerdiantiKartiniKhalisah KhalidNisa AnisaRuwaidaSuryadiZenzi Suhadi

Cetakan Pertama, April 2011

Penerbit:Wahana Lingkungan Hidup IndonesiaJl. Tegal Parang Utara No. 14Jakarta 12790Telp. : (021) 791933, 7941672E-mail : [email protected] : www.walhi.or.id

Page 5: Buku apresiasi perempuan

v

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

PengantaR

KiTA sebenarnya memiliki banyak para pejuang perempuan dalam segala aspek dan dimensi kehidupan termasuk dalam gerakan penyelamatan lingkungan hidup yang mendorong terciptanya

keadilan ekologi. Sayangnnya sedikit sekali yang mampu kita potret sebegai sebuah gambaran yang utuh dan tidak bias dengan perspektif maskulin. Bahkan kemudian seringkali peran signifikan perempuan tersebut menjadi samar dan tidak terapresiasi sebagaimana mestinya.

WALHi sebagai organisasi gerakan lingkungan hidup dan penegakan hak asasi manusia (HAM) dalam memperjuangkan keadilan ekologi selalu berusaha menempatkan perspektif keadilan gender dalam setiap langkah geraknya. Tentunya hal ini bukan tanpa hambatan dan tantangan, termasuk di internal WALHi sendiri yang lahir dan hadir di tengah sistem masyarakat yang patriarki. Hal ini kemudian memotivasi WALHi untuk terus melakukan integrasi gender dalam berbagai aktivitas dan pengelolaan organisasinya.

Sejak tahun 2008, WALHi telah memiliki Gender internal Policy (Kertas Kebijakan Gender), sebagai sebuah panduan kerja WALHi dalam membangun gerakan lingkungan hidup yang berkeadilan gender. Dimana sampai saat ini masih harus terus diinternalisasikan dalam setiap kerja-kerja WALHi baik di level nasional maupun daerah.

Page 6: Buku apresiasi perempuan

vi

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Berbagai kegiatan untuk memfasilitasi massifnya proses internalisasi tersebut diantaranya adalah dengan mengadakan dialog publik tentang perempuan dan pengelolaan sumber daya alam, semiloka perempuan dan perubahan iklim, pembuatan panduan dan modul untuk integrasi gender bagi kelembagaan WALHi dan menerbitkan kumpulan esai tentang perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.

Buku yang ada di tangan anda saat ini juga merupakan bagian dari proses tersebut. Dalam buku ini kami mengumpulkan 20 kisah dari berbagai daerah, tentang perempuan-perempuan luar biasa yang berjuang untuk lingkungannya. Kisah-kisah inspiratif tentang perjuangan lingkungan dan apa yang dilakukan oleh perempuan dalam merebut dan mempertahankan sumber-sumber kehidupan mereka seperti jaminan kesehatan bagi perempuan dalam perkebunan sawit, menjadi relawan dalam korban bencana gunung merapi dan kisah lainnya. Berbagai kisah dalam buku ini diharapkan mampu memotivasi kita semua untuk bergerak dan berjuang bersama guna menyelamatkan sumber-sumber kehidupan agar dapat menopang kehidupan generasi saat ini maupun generasi yang akan datang secara adil tanpa membedakan laki-laki ataupun perempuan.

Sepatutnya kami mengucapkan rasa hormat dan penghargaan yang tinggi serta ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para perempuan pejuang lingkungan yang telah berjibaku untuk menyelamatkan bumi indonesia ini dari kerusakan, kehancuran dan ketidakadilan. Atas kiprah mereka jualah buku ini dapat terbit. Terima kasih juga kami ucapkan kepada kawan-kawan Eksekutif Daerah dan anggota WALHi yang telah dengan sabar dan setia mendampingi kerja-kerja advokasi pada tingkat komunitas. Terakhir kami ucapkan terimakasih kepada HiVOS yang telah bersedia mendanai terbitnya buku ini yang merupakan rangkaian program yang berjudul “Apresiasi

Page 7: Buku apresiasi perempuan

vii

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Perempuan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam,” serta kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam proses penyusunan dan penerbitan buku ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Jakarta, 11 April 2011

Berry nahdian ForqanDirektur Eksekutif Nasional WALHi

Page 8: Buku apresiasi perempuan

viii

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Page 9: Buku apresiasi perempuan

ix

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

DaFtaR ISI

Kata Pengantar v

Daftar Isi ix

Aceh Perjuangan Kak Mala untuk Hak atas Pengelolaan Sumber

Daya Alam dan Lingkungan yang Sehat 1

Marfini, Penyintas dan Relawan Tsunami Aceh 5

Sumatera Utara Ponikem : Buruh Sawit 8

Anward Nababan : Pendamping ibu-ibu Untuk Menolak Tambang 10

Riau Apo: Goresan Semangat Perempuan 14

Perlawanan Perempuan di Teluk Meranti 16

Bengkulu Perempuan Katalisator Soliditas Gerakan Rakyat Bengkulu 20

Melli Melda: “Perusahaan Tambang Harus Angkat Kaki Dari Desa Kami” 23

Maryam : Motivator dari Rawah Tambang 27

Perempuan Bengkulu dan Maknanya Dalam Soliditas Gerakan Rakyat Bengkulu 31

Page 10: Buku apresiasi perempuan

x

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Sulawesi Selatan Bagi Habibah DAS Adalah Nyawa Lingkungan 35

Werima Mananta, Berjuang dengan “Bahasa” Adat 37

Sulawesi Tengah ibu Tallo : Perempuan Penolak Tambang Galian C 40

Perjuangan Basse Daeng Manessa Mempertahankan Tanahnya 42

Sulawesi Utara Penolakan Masyarakat Wale Pineleng Terhadap Pendirian

SUTT ilegal 45

Sulawesi Tenggara Hajah Mimi : Perjuangan Melawan Kelapa Sawit 47

Jawa Tengah Kiprah Riana Dewi Bagi Korban Merapi 50

Yogyakarta Ning Riswani : Mencintai Lingkungan Lewat Lagu 53

Sutinah : Korban Penggusuran Parangtritis yang Terus Berjuang 56

Jawa Barat Neneng : Perjuangan Menentang Galian Pasir 58

Meretas Cita-Cita 60

Page 11: Buku apresiasi perempuan

1

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Perjuangan Kak Mala untuk Hak atas Pengelolaan Sumber Daya alam dan

Lingkungan yang Sehat

NURMALA HAyATi, atau yang biasa diapanggil kak Mala mulai aktif mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan yang berkaitan dengan isu perempuan dan konflik sumber daya alam sejak

Februari 2007. Diskusi-diskusi tersebut diselenggarakan oleh lembaga Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh (SP-Aceh) yang sudah lima tahun melakukan pengorganisasian di Desa Naga Umbang.

Kak Mala merupakan seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari bekerja sebagai petani dan pencari tiram di sekitar tempat tinggalnya. Sebelum peristiwa tsunami, kak Mala dan warga desanya sering menjadi korban dari kegiatan blasting (peledakaan yang dilakukan dalam proses pertambangan) dari n PT. Lafarge Cement indonesia atau LCi, yang dulu dikenal dengan nama PT. Semen Andalas indonesia (PT.SAi). Warga Desa Naga Umbang mendapat dampak yang sangat parah, karena letak desa tidak jauh dari pabrik.

01 Aceh

Page 12: Buku apresiasi perempuan

2

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Tempat pengambilan bahan baku semen pun jaraknya hanya 5 km dari Desa Naga Umbang.

Sebelum tsunami terjadi, petani Naga Umbang selalu dilarang melakukan aktivitas persawahan saat blasting PT. SAi dilakukan. Militer yang menjaga keamanan perusahaan tersebut mengusir para petani. Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat, sebab kegiatan blasting dilakukan dua kali sehari. Waktu tersebut bersamaan dengan waktu masyarakat beraktivitas ke sawah.

Tak hanya itu, akibat blasting, bangunan rumah dan cincin sumur warga menjadi retak. Seluruh kerugian tersebut rata-rata diganti rugi oleh perusahaan hanya dengan dua sak semen. Warga juga mengalami penyakit kulit akibat air sumur yang tercemar dengan debu dari kegiatan blasting.

“Padahal biaya yang kami keluarkan untuk memperbaiki rumah dan cincin sumur akibat blasting tidak cukup dengan dua sak semen, tapi pihak perusahaan tidak peduli pada kerugian kami. Ketika air sumur kami tercemar, pihak pabrik hanya mengambil sample saja, hasilnya tidak pernah disampaikan kepada kami. Ini membuat kami was-was, karena takut dapat merusak kesehatan”ujar Mala pada salah satu acara diskusi rutin SP Aceh di Desa Naga Umbang,

Kondisi tersebut selalu dibahas warga desa dengan SP-Aceh dan fasilitator dalam berbagai pelatihan yang terkait dengan isu lingkungan. Awal Juni 2009, Kak Mala bersama sembilan anggota kelompok perempuan di desanya memutuskan untuk menemui kepala Bapedalda. Mereka mengharapkan adanya dialog terkait dengan kondisi yang pernah mereka rasakan dulu.

Dialog tersebut didorong atas dasar kekhawatiran mereka akan mengalami hal yang sama seperti dulu, sebab informasi menyebutkan bahwa pada bulan September 2009 PT. SAi akan beroperasi kembali

Page 13: Buku apresiasi perempuan

3

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

pasca tsunami. Untuk itulah mereka berinisiatif menyampaikan keluhan kepada pemerintah yang bertanggung jawab atas pengelolaan lingkungan.

Tiga minggu setelah dialog, Bapedalda dan rombongan dari PT. LCi melakukan kunjungan ke lapangan. Pemerintah berjanji kepada warga, sementara realisasi pencegahan kerusakan akibat blasting tidak pernah diwujudkan. Saat ini PT. LCi kembali beroperasi dengan cara yang berbeda. Mereka tidak lagi melakukan blasting dengan menggunakan alat dinamik, melainkan dengan menggunakan peralatan anti getar.

Kak Mala juga berhasil mengajak pemangku kebijakan Desa Naga Umbang dan warganya untuk melakukan rapat dengar pendapat (hearing) dengan Bupati Kabupaten Aceh Besar terkait dengan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak pada penduduk setempat. Pada acara tersebut warga desa mengajukan keberatan atas pengambilalihan pengelolaan sarang burung walet dari warga ke kontraktor yang diperoleh pemerintah melalui tender.

Hal ini membuahkan hasil, Pemkab Aceh Besar bersedia memenuhi permintaan warga dengan catatan warga harus membuat surat tertulis kepada Bupati. Pemkab Aceh Besar juga merealisasikan beberapa

Page 14: Buku apresiasi perempuan

4

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

tindakan, seperti memberi teguran kepada kontraktor dan memberikan 2,5% dari penghasilan walet untuk dana gampong yang juga diperuntukkan untuk dana Tempat Pembuangan Akhir. Akan tetapi, permintaan pemasangan pipa untuk aliran irigasi hingga kini belum dipenuhi oleh Pemkab Aceh Besar.

Selain hal tersebut, Kak Mala juga selalu mengkampanyekan isu-isu dampak kerusakan lingkungan dan sumber daya alam bagi kehidupan perempuan di desanya. itulah sosok Nurmalahayati dalam perjalanannya memperjuangkan haknya sebagai perempuan dan haknya atas lingkungan yang sehat dan nyaman, khususnya hak asasi perempuan dalam mengelola kekayaan alamnya.*

* Dikisahkan oleh Ruwaida, Koordinator Program Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh

Page 15: Buku apresiasi perempuan

5

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Marfini, Penyintas dan Relawan tsunami aceh

Bagi Marfini dan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, tanggal 24 Desember 2004

memiliki makna yang sangat memilukan hati. Pada hari tersebut tsunami mengguncang Aceh. Banyak warga yang harus kehilangan keluarga, kerabat, saudara, sahabat, serta kehilangan aset-aset berharga. Marfini dapat dikatakan beruntung,

keluarganya sehat walafiat, tak terkena dampak tsunami, karena keluarga Marfini berdomisili di Bireun, yang kebetulan tidak mengalami kerusakan parah akhibat tsunami.

Marfini lahir di Bireun, 4 Juni 1982, sebagai anak bungsu dari sembilan bersaudara. Saat tsunami di Aceh terjadi, Marfini sedang menuntut ilmu di fakultas Pertanian, Unsyiah, Darussalam. Banda Aceh. “Saat tsunami terjadi, saya lagi kost di Darussalam. Keluarga di Bireun, Alhamdullilah keluarga baik-baik saja, karena di Bireun tidak

02 Aceh

Page 16: Buku apresiasi perempuan

6

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

terlalu mengalami kerusakan dampak trunami, namun di Daarussalam ini, kerusakannya sangat parah. Hari pertama pasca tsunami, semua korban berkumpul di masjid Darussalam, Masya Allah…. saya melihat begitu banyak orang disana” ujar Marfini sambil terisak saat mengenang kejadian tujuh tahun silam itu.

“Begitu banyak korban, kami kemudian membantu mencari pakaian untuk para korban, hari pertama sampai hari ke tiga, belum ada bantuan apapun dari luar, hanya mengandalkan bantuan dari dalam Aceh saja. Kami ambil barang dari toko-toko yang sudah rusak, dan di tinggal pemiliknya. Kami sampai bobol toko, untuk bisa dapat pakaian dalam perempuan, karena saat itu, tidak ada perlengkapan dalam perempuan yang bisa disumbangkan, pokoknya engga perduli itu barang punya siapa, kita ambil dan kita berikan sama yang butuh aja” Marfini menjelaskan.

Sebenarnya saat itu Marfini bisa saja langsung pulang ke Bireun, tanpa memperdulikan korban di Darussalam, karena Marfini memang sempat pulang ke Bireun, namun Marfini tetap bersikeras untuk kembali ke Darussalam untuk tetap mendampingi korban tsunami. “Untungnya kelurga saya juga mengijinkan saya untuk kembali lagi ke Darussalam, hati saya tergerak melihat begitu banyak korban berjatuhan. Pernah saya melihat perempuan dengan kepala bocor, terlihat bingung, dan

Page 17: Buku apresiasi perempuan

7

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

tidak bisa diajak komunikasi sama sekali, perempuan itu sepertinya mengalami depresi karena kehilangan anak dan keluarganya” tutur Marfini yang berdomisili di dusun Putoe ijo, Desa Lam isek, Kec.Peukan Bada, Aceh Besar.

Saat ini Marfini beraktivitas di Solidaritas Perempuan Aceh, sebelumnya Marfini juga aktif di Himpunan Mahasiswa islam (HMi) di Aceh. Di Solidaritas Perempuan Aceh, Marfini mendampingi korban tsunami untuk program Livelihood dan Disaster Risk Management.†

† Dikisahkan oleh Nisa Anisa, staf Eksekutif Nasional WALHi.

Page 18: Buku apresiasi perempuan

8

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Ponikem : Buruh Sawit

Ponikem, adalalah seorang Buruh Harian Lepas (BHL) di Perusahan Sawit PT. London Sumatra di Sumatra Utara. Ponikem sudah bekerja sebagai BHL semenjak tahun 2005. Dan hasil kerjanya

selama enam tahun inilah, dia dapat menyekolahkan dua anaknya ke bangku kuliah.

Pokinem, mulai bekerja pada pukul 07.00 pagi dan berakhir pukul 13.30. “Istirahatnya jam 9.00-9.30, biasanya kita sempet makan”. Pekerjaan yang dilakukan Ponikem adalah memupuk, membersihkan piringan sawit, membersihkan lahan semak, dan mengumpulkan, serta memungut brondol. “Kalau lagi mupuk, kita bisa mupuk 15 Ha dalam waktu sehari”. Pokinem bercerita. Setelah pukul 13.30 Ponikem pun pulang ke rumahnya di Desa Simpang Empat Dusun Tiga Gaharap Hilir Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Sedang Bedagai-Sumatra Utara. Di rumahnya itu juga, Ponikem membuka kios untuk menambah penghasilan untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Suami Ponikem, bekerja sebagai tukang servis barang elektronik.

Bekerja sebagai BHL memang bukan pilihan Ponikem, perempuan asli Jawa, namum lahir dan besar di Sialang Hilir ini. “Bapak saya orang Jawa Tengah, tapi engga tau tepatnya dimana, soalnya bapak kan transmigrasi udah lama disini” cerita Ponikem tentang asal usulnya. Dengan bayaran Rp. 42.000 perhari tanpa jaminan kesehatan dan keselamatan kerja sebenarnya diakui Ponikem, sangat berat. “Saya pernah tertusuk duri, kena parang dan hanya dibawa ke klinik dan dikasih obat merah aja” kenangnya.

03 Sumatera Utara

Page 19: Buku apresiasi perempuan

9

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Menurut Ponikem, klinik hanya digunakan sebagai tempat untuk sekedar melepas lelah bukan tempat yang ada layanan kesehatan, seperti selayaknya klinik umum. Tersengat lebah pun dulu sering dialami Ponikem saat dia bekerja di perkebunan, dan pengobatanpun hanya ala kadarnya.

BHL bekerja paling lama 10 hari di suatu tempat, setelah itu biasanya BHL pindah ke lokasi lain, dan setiap hari Jumat BHL diliburkan, saat penulis menanyakan alasan diliburkan, Pokinem menjawab “nggak tau, emang begitu kata perusahaan”.

Selama bekerja di perkebunan konflikpun pernah ia jumpai. “Waktu itu, saya pernah berkonflik dengan centeng (pengawas perkebunan). Awalnya begini, saya dan teman-teman lagi kerja memupuk sawit, terus ada teman saya yang sakit, saya berinisiatif minta tolong centeng ambilin minum, karena kitakan sedang kerja, sedangkan dia cuma ngeliatin aja, eh, centengnya malah marah dia bilang kau pikir, kau siapa suruh-suruh aku”. Adu mulutpun tak terelakan lagi. Mandorpun datang, dan Ponikem menjelaskan yang terjadi. Centeng tersebut menganggap Ponikem mengadu pada mandor, dan membuat si Centeng semakin marah. Ponikem kemudian dituding sebagai provokator yang menentang perusahaan.

Ponikem merasa selama ia bekerja di perusahaan sawit, kesehatan perempuan, tidak pernah menjadi hal yang diperhatikan oleh perusahaan. Karena itulah, Ponikem sering berkomunikasi dengan mandor, agar perusahaan lebih memperhatikan kesehatan reproduksi perempuan.”Kan kasian kalau perempuan lagi sakit haid, tetep disuruh kerja, dan kalau disuruh pulangpun, harusnya BHL tetep dapat upahnya full, jangan seperti sekarang dipotong upahnya”, ucap perempuan yang lahir 28 Desember 1967 ini.‡

‡ Dikisahkan oleh Nisa Anisa

Page 20: Buku apresiasi perempuan

10

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

anward nababan : Pendamping Ibu-ibu Untuk Menolak tambang

Anward Damarif Nababan yang biasa disapa Anward ini terlihat ceria saat pertama kali bertemu dengan penulis di kantor Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Saat saya

datang, dan kemudian duduk di ruang tengah, perempuan berambut ikal ini mendatangi dan menjulurkan tangannya.”Anward” dia memperkenalkan diri. Saat itu saya memang tidak sempat mengobrol panjang karena,rapat untuk advokasi perempuan tambang di kab. Dairi dan Pakpak Bharat di Sumatra Utara segera dimulai. itulah pertemuan pertama saya dengan Anward.

Rapat hari itu adalah rapat untuk menyusun rencana advokasi yang strategis untuk menghentikan aktivitas perusahaan tambang yang sedang melakukan ekplorasi seng dan timah di Kab. Dairi. Anward adalah pendamping empat orang ibu yang datang dari Kab. Dairi dan

04 Sumatera Utara

Page 21: Buku apresiasi perempuan

11

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Pakpak Bharat yang menuntut dicabutnya ijin PT. Dairi Prima Mineral (DPM) dari kabupaten tersebut.

Anward, perempuan yang lahir di Siborang-borang, 13 Januari 1984 ini, memulai kiprah dengan Persekutuan Diakonia Pelangi Kasih (PDPK) lima tahun yang lalu. Diawalli dengan menjadi guru TK di yayasan tersebut. Dua tahun kemudian, Anward mengemban tugas sebagai pendamping ibu-ibu tinggal di wilayah pertambangan. “Ibu-ibu disini awalnya tidak sadar bahwa pertambangan menimbulkan masalah, yang mereka tau sekarang ini, suami di PHK, tanah diserobot, banyak kawin kontrak”.

Berdasarkan keterangan Anward, PT. Dairi Prima Mineral mulai proses eksplorasi di tahun 1998 dengan kotrak karya emas, tapi sekarang berubah menjadi proses pertambangan timah dan seng. Akibat adanya aktivitas pertambangan ini, air semakin sulit diakses, hewan liar sering masuk lahan pertanian warga, karena hutan sudah dibuat sebagai area aktivitas tambang.

Anward dan perwakilan masyarakat dari Kab. Pakpak Bharat dan Kab. Dairi melakukan berbagai cara agar DPM menghentikan aktivitas tambang mereka. yang sudah dilakukan di tingkat lokal adalah sudah mendatangi DPRD tingkat i dan ii, melakukan audiensi dengan Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan Sumatra Utara.

Sedangkan untuk tingkat nasional, Anward bersama empat ibu dari Kabupaten Pakpak Bharat dan Kab.Dairi selama seminggu melakukan grilya di Jakarta dengan mendatangi Kementrian-kementrian terkait untuk mengadukan permasalahan mereka. Di Jakarta mereka mendatangi Kementrian Kehutanan, Kementrian Lingkungan Hidup, dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang difasilitasi oleh Eksekutif Nasional WALHi. Tentu saja, pertarungan masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Dairi ini belum berakhir, DPM masih meraktivitas di wilayah tersebut, namun warga

Page 22: Buku apresiasi perempuan

12

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

tidak pernah menyerah mereka terus berusaha agar DPM berhenti beroperasi.

PDPK juga memfasilitasi perwakilan warga untuk studi banding ke NTT, salah satunya ke Manggarai untuk bertemu langsung dengan masyarakat yang juga menolak tambang di wilayah mereka.

Anward saat ini mendampingi tiga desa, yaitu desa Laelogan, desa Laemaroma, desa Sinar Pagi. Masing-masing desa memiliki jumlah anggota berbeda di setiap kelompoknya. Di desa Laelogan, satu kelompok perempuan terdiri dari 34 orang, di desa Laemaroma, ada 12 orang dalam satu kelompok, dan di desa Sinar Pagi ada 19 orang di kelompoknya. Anggota kelompok ini adalah ibu-ibu yang mayoritas bekerja sebagai petani kopi, durian, padi, dan nilam.

Tidak mudah untuk untuk dapat masuk ke suatu desa dan membentuk kelompok perempuan disana. “Awalnya ibu-ibu ini, dilarang oleh para suami untuk ikut kegiatan kami, tapi setelah ada pendekatan dari kami, baru para bapak bisa terima, selain itu, tidak semua desa mau diorganisir, ada juga desa-desa yang menganggap program kami tidak penting, dan kemudian menolak kami”.

Banyak suka dan duka yang dialami Anward dalam pendampingan ibu-ibu ini, “Sukanya kalau ibu-ibu ini mau menerima, menghargai, dan mengikuti program kami, walaupun prosesnya juga sangat lama, karena harus memberi pemahaman, penjelasan, sedangkan kesulitannya adalah kalau harus pendampingan ke desa Sinar Pagi, karena disana tidak ada akses kendaraan, jadi menuju desanya harus jalan kaki selama lima jam, atau bisa naik ojeg, tapi biasanya kita tetep disuruh turun kalau melewati jalan yang bener-bener jelek, karena jalan disana batunya gede-gede dan berlumpur”, jelas Anward.

Anward juga mengomentari sinyal yang sangat buruk di desa Laelogan, “Saya nih, sekarang terima telephone sambil berdiri di atas

Page 23: Buku apresiasi perempuan

13

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

kursi, dan telephonenya di ikat pakai karet didinding, geser 2 cm, aja sinyalnya bisa ilang” ujar Anward sambil tertawa, “Kalau orang mungkin jadi kesel, tapi kalau saya malah suka pengen ketawa, ya, kalau emang udah seneng, kesulitan apapun jalani aja”, lanjutnya lagi.

Wawancara via telephone yang saya lakukan dengan Anward memang terasa membutuhkan perjuangan, karena suara sering terdengar putus-putus, atau bahkan tiba-tiba mati di tengah-tengah pembicaraan. Komunikasi dengan keluargapun, sulit dilakukan Anward. “Biasanya kalau saya mau ke desa, sebelumnya bilang dulu sama mama, dan keluarga, dan sekali sehari usaha cari sinyal, supaya bisa tetap komunikasi”. Ditanya mengenai dukungan keluarga, Anward menjawab “keluarga sangat mendukung, karena kan orang tua yang memang memasukkan saya ke Pendidikan Diakones HKPB, untuk seterusnya melakukan pelayanan”, tutur perempauan yang berdomisili di Jl. Gereja No. 78 Parongil Kec. Silima Punggapungga Kab. Dairi, Sumatra Utara.§

§ Dikisahkan oleh Nisa Anisa

Page 24: Buku apresiasi perempuan

14

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

apo: goresan Semangat Perempuan

Selama ini perempuan dikenal sebagai sosok yang diharuskan berada di rumah untuk mengurusi keluarga. Namun kenyataannya, perempuan mampu berkarya menciptakan

lapangan kerja, menjadi buruh perusahaan, berperan dalam kancah politik, bahkan memimpin negara sekalipun. Keberhasilan suatu negara sedikit banyak dipengaruhi oleh peran serta perempuan.

Sosok perempuan yang memiliki jiwa dan semangat tinggi tidak hanya ditemukan di perkotaan. Di desa terpencil sekalipun banyak ditemukan perempuan-perempuan yang ingin memajukan desa tanpa harus bergantung kepada laki-laki. Salah satunya adalah Apo, perempuan dari Desa Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Di desa tersebut mayoritas masyarakatnya adalah suku asli Anak Rawa yang kehidupannya masih tergolong primitif dan jauh dari kemewahan.

Apo merupakan sosok perempuan yang bercita-cita ingin memajukan desanya menjadi lebih baik tanpa harus merubah adat istiadat leluhur. Apo lahir di Lalang pada tanggal 12 Maret 1979. ia merupakan anak ke-3 dari 10 bersaudara, pasangan Bapak Kiat dan ibu Abi. Selain sebagai ibu rumah tangga, keseharian Apo diisi dengan bertani. ia juga menjadi ketua Kelompok Tani Melati yang seluruh anggotanya adalah perempuan. Apo berperan aktif di Posyandu sebagai ketua kader, menjadi wakil ketua PKK, dan aktif dalam kegiatan kerohanian.

05 Riau

Page 25: Buku apresiasi perempuan

15

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

ibu empat anak ini mempunyai pandangan ke depan mengenai perempuan indonesia, khususnya perempuan di Desa Penyengat. ia berharap perempuan tidak sekedar mengurus rumah tangga, tetapi juga memiliki segudang aktivitas di luar rumah yang bisa bermanfaat bagi masyarakat. Keprihatinannya terhadap kondisi perempuan dipicu oleh rendahnya pendidikan perempuan, sehingga semangat perempuan untuk maju sangat kecil. Keterbatasan informasi juga menjadi penghalang bagi perempuan di Desa Penyengat. Seharusnya mereka memperoleh fasilitas lebih baik dari pemerintah maupun swasta, karena letak desa yang strategis di pinggiran sungai Siak yang dilengkapi dengan pelabuhan kapal yang selalu dikunjungi banyak orang setiap harinya.

Apo, yang sempat mengikuti kelompok belajar paket B, juga berharap kemajuan pendidikan di Desa Penyengat dapat ditingkatkan agar kehidupan masyarakat di sana menjadi lebih baik. ia menambahkan, kehidupan masyarakat Desa Penyengat bergantung pada pertanian sayur dan tanaman holtikultura. Jahe yang menjadi komoditi utama diharapkan mampu memberikan keuntungan lebih baik dibanding sebelumnya. Keinginan Apo yang lain adalah berkembangnya kelompok perempuan di Desa Penyengat, sehingga mampu memberikan yang terbaik bagi kemajuan suku Anak Rawa.¶

¶ Dikisahkan oleh Suryadi, Direktur LBH Pekan Baru dan Dewan Daerah WALHi Riau.

Page 26: Buku apresiasi perempuan

16

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Perlawanan Perempuan di teluk Meranti

SELALU ada cerita baru dari kampung yang paling identik dengan isu Semenanjung Kampar, kelurahan Teluk Meranti. Perlawanan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan, dan pro-kontra di

internal masyarakat, merupakan narasi dominan yang menghiasi hari-hari masyarakat Teluk Meranti dalam merenda historisitas mereka. ini tentu saja bukan pemandangan yang biasa terjadi sebelum kehadiran PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT. RAPP) di kampung mereka.

Betapapun, pertemuan di Teluk Meranti pada awalnya tidak seorang pun perempuan yang menyampaikan aspirasi dan pemikiran mereka untuk merespon permasalahan sosial terkait kehadiran perusahaan di kampung mereka. Kebiasaan yang terjadi di kampung selama ini, memang ketika dilakukan pertemuan yang melibatkan laki-laki dan perempuan, sering para perempuan seolah-olah menyerahkan semua urusan mereka kepada laki-laki.

Masyarakat Teluk Meranti ataupun Semenanjung Kampar, seperti halnya masyarakat Melayu Riau umumnya, merupakan komunitas sosial yang memiliki sikap yang sangat tipologis terkait isu gender. Ruang publik didominasi dan dianggap sebagai wilayah laki-laki dan wilayah domestik yang merupakan domain perempuan. Pemilahan ini bahkan merupakan identitas kultural masyarakat di sini dan masyarakat Melayu Riau umumnya.

06 Riau

Page 27: Buku apresiasi perempuan

17

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Tapi situasi ini kini telah sedikit mengalami pergeseran. Migrasi identitas kultural terkait isu gender dalam masyarakat di kampung ini menjadi sesuatu tak terelakkan. Kalangan perempuan yang sebelumnya hanya memasrahkan penyelesaian masalah-masalah sosial kemasyarakatan mereka di kampung kepada para suami, kini berada di barisan yang sama dengan tempat dimana para suami mereka berdiri, alasannya, “untuk memperjuangkan hak-hak kito dari perusahaan, laki betino memang harus monyatu, supayo perjuangan kito berhasil”, begitu Erni salah seorang warga beralasan.

Kehadiran perusahaan yang berambisi mengeksploitasi hutan tanah mereka memang menjadi pendorong utama untuk melampaui batas-batas tradisi. Menurut sohibul hikayah, pada bulan Mei 2009 pemerintah menerbitkan Surat Keputusan No 327/Menhut-ii/2009 tentang izin konsesi seluas sekitar 56 ribu hektar kepada RAPP di Semenanjung Kampar. Perusahaan bubur kertas ini, sebagaimana yang mereka lakukan ditempat lain, berencana membangun HTi (hutan tanaman industri), di areal yang dipastikan memiliki kedalamaan gambut lebih dari 3 meter ini, dan sebagian merupakan areal peladangan warga secara turun temurun.

Teluk Meranti, sebuah kampung berstatus kelurahan, dengan populasi sekitar 3000 jiwa ini menampilkan respon yang berbelah menyikapi rencana RAPP. Sedikitnya respon masyarakat dapat dikelompokkan kedalam tiga kategorisasi. Sebagian kecil masyarakat menyatakan menerima dengan senang hati kehadiran korporasi di kampung mereka; sementara sebagian besar lainnya bersikap resisten. Menurut informasi, kelompok yang secara tegas menyatakan menolak sekitar 80 % orang dewasa. Di luar dua kelompok itu, adalah kelompok yang hingga saat masih bersikap abu-abu atas kehadiran perusahaan. Jumlah kelompok yang disebut terakhir ini sangat sedikit, diperkirakan tidak melebihi angka setengah dari jumlah yang menyatakan menolak.

Page 28: Buku apresiasi perempuan

18

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Tapi suatu hal yang penting disebutkan di sini adalah kemunculan perempuan-perempuan di kampung, yang kini berdiri di samping para lelaki, dengan bahasa yang sama: menggelorakan perlawanan terhadap perusahaan. Omak-omak Teluk Meranti turun gunung ikut protes atas kehadiran perusahaan di kampung mereka.

Salah satu omak-omak yang sangat berpengaruh dalam per-ubahan dan gerakan di kelurahan Teluk Meranti itu adalah ibu Desmidarti biasa dipanggil bu Upik. Lahir di Penyalai tahun 1961.

Jejak protes omak-omak di Teluk Meranti terhadap keha-diran perusahaan sejauh yang terekspresikan di ruang publik dapat ditelusuri saat kunjungan Menteri Kehutanan, ke desa itu sekitar pertengahan Februari 2010 lalu. Keterlibatan omak-omak ter-

kait protes atas kehadiran perusahaan terjadi ketika masyarakat Teluk Meranti melakukan sweeping terhadap orang-orang yang mengenakan kaos yang bernada dukungan terhadap operasi perusahaan.

Kehadiran Menteri Kehutanan merupakan titik perubahan pola pikir para perempuan Teluk Meranti. Migrasi identitas kultural kiranya sangat tepat menggambarkan situasi ini. Melawan batas-batas kultural yang selama ini menabukan keterlibatan perempuan dalam ranah publik, apalagi hal-hal yang berkaitan dengan soal konflik.

Peristiwa ini bukan merupakan aksi spontanitas atau pun terjadi diluar kesadaran para omak-omak di kampung itu. Tanggal 10 Maret 2010 lalu, saat Komisi iV DPR Ri melakukan kunjungan kerja ke Teluk

Page 29: Buku apresiasi perempuan

19

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Meranti, omak-omak menyampaikan protes keras atas kehadiran perusahaan di kampung mereka. Pada akhir 2009 lalu, sekitar 300 orang yang hampir semuanya perempuan mendatangi kamp Greenpeace dan menyatakan dukungan terhadap NGO internasional ini saat kepolisian menghentikan aktivitas mereka karena sangkaan melakukan aksi illegal di Semenanjung Kampar.

Di atas itu semua, perlawanan para perempuan di Teluk Meranti ini merupakan pertanda bahwa transformasi kesadaran atas permasalahan sosial masyarakat di Teluk Meranti kini sudah mulai menguat, dan perempuan di Teluk Meranti mengambil bagian yang sangat strategis dalam memelopori pergerakan perlawanan terhadap ketidak-adilan dan perampasan hak-hak pertanahan mereka. **

** Dikisahkan oleh Suryadi, Direktur LBH Pekanbaru dan Dewan Daerah WALHi Riau

Page 30: Buku apresiasi perempuan

20

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Perempuan Katalisator Soliditas gerakan Rakyat Bengkulu

Saya lelah, capek dan lapar… Tapi PTPN VII Talo-Pino harus kembalikan tanah kami…

RAUT muka perempuan kurus, lusuh termakan usia ini tidak berubah, seuntai senyum khas seorang istri sekaligus sosok seorang ibu yang dilahirkan dari rahim desa tetap

menghiasi bibirnya ketika hakim pengadilan negeri Seluma mengetok palu menyatakan suami dan 19 petani desanya terbukti bersalah menghalang-halangi aktivitas PT. Perkebunan Negara Vii unit Talo Pino, Jum’at pagi, 18 Februari 2011.

Matanya tidak basah apalagi derai air mata yang jatuh, dia tetap tegar walapun perjuangannya selama hampir sepuluh tahun terakhir bersama petani desa sekitar perusahaan dalam mempertahankan

07 Bengkulu

Page 31: Buku apresiasi perempuan

21

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

ladang perkebunan warisan dari orang tuanya berakhir miris ketika Negara memenjarakan sang suami tercinta dan petani lainnya.

Pia namanya, perempuan yang dilahirkan di Pering Baru, Kabupaten Seluma, 40 tahun lalu. “Saya tidak merelakan suami saya dipenjara, tanah itu milik kami, kenapa kami yang harus menderita karena mempertahankan tanah warisan orang tua kami, sebelum Indonesia merdeka, orang tua kami lebih dulu berkebun ditanah itu, kenapa kami yang dihukum ketika kami mempertahankan hak milik kami,” ungkap Pia untuk tetap tegar selesai hakim membacakan vonis pengadilan.

Pia mencoba meyakini, bila pengorbanan sang suami dan petani korban arogansi PTPN Vii bisa dijadikan langkah kedepan dalam menyelesaikan konflik PTPN Vii. ia berharap dengan ditangkapnya sang suami dan petani yang lainnya dalam mempertahankan hak milik mereka, dapat membuka mata pejabat pemerintah kabupaten seluma dan menaruh kepedulian terhadap persoalan yang sedang mereka hadapi.

Sebuah simbol perlawanan bahwa perjuangan belum berakhir, Maret 2010, ketika dia berkenalan dengan Wahana Lingkungan Hidup Bengkulu, tak ada yang berubah dari dirinya. “WALHI adalah kami, petani Pering Baru, Petani Taba, Petani Bengkulu,” ucapnya ketika banyak suara miring yang dibisikkan ke keluarganya tentang keberadaan WALHi. Bendera warna putih itu dikibarkan olehnya didepan halaman rumah, dibantu sang suami dan petani desanya. “PTPN VII harus tau, bahwa kami petani masih bersama WALHI” ucapnya lantang dalam menjawab isu-isu yang mengatakan bahwa karena WALHi, suami, anak, saudara dan petani lainnya dipenjara.

Kebenaran dan kejujuran khas perempuan desa menjadi motivasi kuat dalam memperjuangkan hak yang dimilikinya, harapan akan diakuinya hak atas tanah peninggalan orang tua oleh Negara terus didengungkannya, mulai dari melakukan pertemuan kelompok

Page 32: Buku apresiasi perempuan

22

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

perempuan desa, turun melakukan aksi demontrasi turun kejalan, sampai melakukan pertemuan dengan para wakil rakyat, maupun instansi terkait.

Tubuhnya seakan tak pernah letih mencari keadilan. Untuk kesekian kalinya ibu dari tiga anak itu hadir, ketika kelompok perempuan desa mendatangi kantor PTPN Vii wilayah provinsi Bengkulu selama 3 hari berturut-turut, pada tanggal 7, 8 dan 9 Maret 2011. Bila PTPN Vii berpikir dengan jatuhnya vonis pengadilan negeri Tais akan berakibat pada berhentinya perlawanan petani, “kalian salah besar, vonis itu bukanlah akhir dari perjuangan saya” ujarnya dengan suara khas, ketika salah seorang polisi meminta kelompok perempuan petani tersebut membubarkan diri.

WALHi bersama masyarakat akan tetap berjuang mencari keadilan, melakukan sesuatu walaupun kecil untuk disuarakan dalam mendapatkan kembali tanah masyarakat yang diserobot oleh PTPN Vii, kembalinya tanah petani dari klaim sepihak PTPN Vii Talo Pino akan menjadi symbol keberpihakan Negara terhadap petani.††

†† Dikisahkan oleh Defftri Hamri, aktivis WALHi Bengkulu

Page 33: Buku apresiasi perempuan

23

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Melli Melda:

“Perusahaan tambang Harus angkat Kaki Dari Desa Kami”

“PeRUSAHAAN tambang harus angkat kaki dari desa kami”, kalimat tegas dan jelas yang terucap dari mulut perempuan yang terlahir dari kehidupan desa, Melli biasanya dia dipanggil

masyarakat desanya. Sosok yang terlahir 30 tahun silam ini dibesarkan oleh adat istiadat dua desa, karena dilahirkan di desa Pasar Talo dan membangun keluarganya di desa Penago Baru, kabupaten Seluma.

Harapan warga desa untuk memiliki kesamaan hak dengan masyarakat lainnya dibumi indonesia, harapan yang dibunuh secara paksa oleh perusahan tambang, “Kehidupan kami berubah drastis semenjak Perusahaan Tambang Famiaterdio Nagara (PTFN) masuk kedaerah kami, debu-debu dan asap pabrik dari aktivitas perusahaan sangat mengganggu kami. Tidak cuma itu, semenjak 2006 ketika PTFN telah beroperasi, remis yang biasanya sangat mudah kami temui dan dijadikan salah satu sumber makanan didesa kami hilang bak ditelan bumi, penjajah Belanda saja

08 Bengkulu

Page 34: Buku apresiasi perempuan

24

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

mempunyai sebuah rencana untuk membalas budi terhadap kaum pribumi, tapi perusahaan tambang ini lebih gila dari sang kompeni” jelasnya, dengan raut muka geram menahan marah.

Sosok ini menjadi simbol dari pergerakan kelompok perempuanperempuan dalam menyelamatkan lingkungan desanya dari ancaman perusahaan tambang dan pejabat pemerintah rakus uang, sosok yang sangat mudah dikenali dalam aksi demonstrasi tolak tambang, dengan ikat kepala merah bertuliskan KMPL (kelompok masyarakat peduli lingkungan) sambil menggendong anaknya yang masih kecil, berteriak lantang menjelaskan kenapa perusahaan tambang harus angkat kaki dari desanya.

Dimulai dari tahun 2006, empat tahun lamanya dia berjuang bersama masyarakat desa lainnya menuntut berhentinya aktifitas pertambangan PTFN, halangan rintangan bahkan ancaman pihak perusahaan yang didapati tidak pernah membuatnya patah arang, mundur kebelakang tak ada dalam kamus hidupnya. Bahkan sogokan uang sebesar 150 juta yang ditawari pihak perusahaan ditolak secara mentah-mentah oleh ibu dari tiga orang anak: Joko (11 tahun), Atik (9 tahun), dan Agung (5 tahun).“Uang tak dapat memberi jaminan bagi masa depan ketiga anak saya, uang tidak memberi jaminan kepastian hidup putra-putri desa kami, Keselamatan desa Penago Baru dan Desa Rawa indah yang menjadi penopang utama kehidupan masyarakat kami, jadi pergilah kalian perusahaan tambang PTFN dari desa kami.” ucapnya berapi-api ketika pihak perusahaan menemui keluarganya.

Perusahaan pertambangan PTFN menurutnya tidak pernah memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. “Keberadaan PTFN bisanya cuma memecah belah persatuan warga desa, tidak ada sumbangsih nyata seperti yang digembar-gemborkan oleh pemerintah dalam membantu mensejahterakan warga” katanya lirih kepada media ketika memberi penjelasan tentang keberadaan pertambangan PTFN.

Page 35: Buku apresiasi perempuan

25

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Melli meyakini, bahwa telah terjadi konspirasi antara PTFN dan pemerintah kabupaten dalam melakukan aktivitas pertambangan didesanya, sama sekali tak ada tanggapan dari pemerintah kabupaten. “Jangankan berbicara memihak kepentingan masyarakat, mendengarkan keluhan masyarakat saja mereka tak ingin. Pemerintah kabupaten pura buta pura tuli” selorohnya ketika masyarakat menemui pemerintah kabupaten.

Perlahan dan pasti, awan hitam aktivitas pertambangan yang menyelubungi desa Penago Baru dan Rawa indah mulai terhembus angin, Gerbang keberhasilan perjuangan masyarakat desa berhasil digapai ketika di awal tahun 2010, perusahaan tambang menutup aktivitas pertambangan di desa Penago Baru, “Kekuatan persatuan masyarakat desa bersama WALHI berhasil menutup aktivitas pertambangan PTFN, kami berhasil menyelamatkan desa, menyelamatkan anak cucu masa depan kami dari ancaman bahaya tambang” ucapnya bersemangat.

Page 36: Buku apresiasi perempuan

26

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Tak ada yang berubah dari dirinya, ketika pertama kali berjumpa dengan WALHi lima tahun silam. Sosok ibu desa sederhana, yang mampu memelihara kobar semangat perlawanan perempuan desa dalam memperjuangkan hak untuk hidup, hak manusia merdeka yang hidup dan cinta kepada desanya.‡‡

‡‡ Dikisahkan oleh Defftri Hamri, aktivis WALHi Bengkulu.

Page 37: Buku apresiasi perempuan

27

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Maryam : Motivator dari Rawah tambang

“Keberhasilan kami mengusir aktivitas perusahaan tambang akan menjadi contoh bagi masyarakat lainnya dalam memperjuangkan hak-hak yang wajib dipenuhi oleh Negara”

PiNGGiR pantai Seluma, Rawa indah di penghujung tahun 2008. Terlihat Maryam sangat cekatan dan terlatih, tangan itu sibuk menurunkan tandan buah sawit dari atas mobil ke timbangan,

lalu memisahkan tandan sawit berdasarkan ukuran buah sawit. Tetes keringat jelas terlihat, dan sekali kali diseka dengan pakaian lusuh yang digunakan membalut tubuhnya. Tak ada keluhan yang terlontar dari bibir hitamnya ketika tangannya tertusuk duri, atau kakinya yang tertimpa tandan sawit yang terlepas rengkuhan tangannya. Mak Merry, begitu ia dipanggil oleh orang sekitar desanya, bersama suami tercinta telah dari tahun 2004 menekuni pekerjaan sebagai pengumpul buah sawit dari perkebunan warga desanya.

09 Bengkulu

Page 38: Buku apresiasi perempuan

28

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Senyum puas terlihat jelas terlihat ketika aktivitas sehari-harinya telah selesai dikerjakannya, sapa lembut namun melihatkan ketegasannya dalam bersikap keluar dari mulutnya dan mulai membuat coretan di buku sakunya lalu memberikan lembaran uang kepada penjual buah sawit yang juga tersenyum puas. Tak ada paksaan tak ada tekanan dari proses jual beli yang terjadi didesa ini, desa yang dianggap udik bagi sebagian masyarakat, desa yang dianggap tertinggal dan musti dibangunkan oleh sebagian kalangan.

Suasana desa yang sangat jauh dari intrik antar warga, berubah ketika perusahaan tam-bang PTFN mulai melakukan aktifitas pertambangan. War-ga terbelah menjadi dua kubu, warga yang pro dengan PTFN karena dijanjikan akan dipekerjakan, dan kelompok anti tambang, karena menganggap

PTFN tidak pernah memberikan efek positif kepada desa secara umumnya. “Saya menginjakkan pertama kali ke desa Rawa Indah ini tahun 1994, tak ada yang bisa diandalkan dari desa ini, jauh dari perhatian pemerintah kabupaten.” ujar ibu dari tiga anak ini, Merry (20 tahun), Desy (16 tahun) dan Agus (14 tahun).

Dengan ketekunan warga, dan sikap prinsip senasib sepenanggungan, karena mayoritas warga di desa Rawa indah adalah pendatang, denyut kehidupan desa Rawa indah mulai berdetak, roda perekonomian masyarakat mulai berputar dan memberikan kontribusi positif pada peningkatan ekonomi warga desa. “PT Famiaterdio Nagara mengambil ketentraman kami, perusahaan tambang itu tak pernah bertemu dengan kami dan tiba-tiba saja datang menghancurkan pesisir

Page 39: Buku apresiasi perempuan

29

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

pantai kami.” ungkapnya pertama kali ketika bertemu dengan WALHi Bengkulu. ikut duduk bercerita dengan kelompok pemuda dan bapak-bapak desa Rawa indah ketika berdiskusi, sesekali menyela diskusi, berbagi informasi yang diketahuinya, sekaligus memberikan solusi dan pendapatnya mencari jalan penyelesaian permasalahan yang sedang dialami masyarakat desanya.

Bersama sang suami, Pak Jaya (ketua Front Selatan yang dibangun masyarakat bersama WALHi Bengkulu), mulai bahu membahu bersama warga lainnya, mendiskusikan tindakan-tindakan nyata yang harus diambil untuk menghentikan proses penambangan PTFN. “Kita harus bersatu, PTFN harus bertanggung jawab kepada warga, yang membangun daerah ini kita bersama-sama bukan mereka. Tolak PTFN dan kelompok-kelompok yang ingin menghancurkan keharmonisan warga kita” sebut Maryam berapi-api, dengan raut muka menahan marah. ya, Maryam namanya, sosok yang dilahirkan di Lumajang, Jawa Timur, 37 tahun silam.

Segala bentuk intimidasi lansung, berupa ancaman, teror kepada keluarganya, atau bahkan janji pemberian sejumlah uang oleh pihak perusahaan untuk menghentikan proses penolakan warga terhadap keberadaan tambang dianggap angin lalu. “Itu cara mereka untuk memecah belah warga, mereka menghalalkan semua cara untuk mengganggu konsentrasi kita, sudah harga mati, perusahaan tambang itu harus angkat kaki dari desa ini, tak ada tawar menawar dalam hal ini.” sela Maryam, ketika mengadakan diskusi desa menyikapi tawaran-tawaran yang diberikan oleh PTFN kepada suami dan pemuda desa Rawa indah dan Penago baru yang menolak keberadaan tambang.

Memelihara semangat bermodalkan keinginan kuat tetap menjaga desanya, salah satu upaya yang dilakukan maryam adalah aksi turun kejalan, menyuarakan aspirasinya tentang penolakan perusahaan tambang PTFN. Dengan ikat kepala merah, bertuliskan KMPL (Kelompok

Page 40: Buku apresiasi perempuan

30

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Masyarakat Perduli Lingkungan) dengan tinju tangan kiri menjulang ke angkasa “Pemerintah kabupaten harus segera menutup tambang, bila bupati takut, kami yang akan menutup paksa aktivitas pertambangan PTFN” orasinya tegas terdengar, membangkitkan semangat warga dalam melawan rezim korup pemerintah kabupaten.

Maryam sosok perempuan yang datang dari negeri lain, yang menjadi ikon perempuan desa dalam mempertahankan desanya dari ancaman perusahaan tambang penjarah kekayaan alam desa, dan dijadikan symbol keberhasilan perjuangan perempuan. “ya, bila pendatang saja ingin mempertahankan keselamatan desa kita dari perusakan perusahaan tambang PTFN, kenapa kita penduduk asli desa hanya diam berpangku tangan, tolak aktivitas penghancuran alam desa kita!” celetuk warga dalam berbagai kesempatan rembug desa.

“Kami akan tetap mempertahankan desa, memperjuangkan hak kami sebagai warga Negara, keberhasilan kami mengusir aktifitas perusahaan tambang akan menjadi contoh bagi masyarakat lainnya dalam memperjuangkan hak-hak yang wajib dipenuhi oleh Negara” ungkap Maryam, ketika PTFN akhirnya menutup aktivitas pertambangan di desa Penago Baru dan Rawa indah kabupaten Seluma.§§

§§ Dikisahkan oleh Deff Tri Hamri, aktivis WALHi Bengkulu

Page 41: Buku apresiasi perempuan

31

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Perempuan Bengkulu dan Maknanya Dalam Soliditas gerakan Rakyat Bengkulu

SELAiN nama, Melda Penago, Maryam Rawa indah dan Pi’a Pering baru, ada puluhan perempuan luar biasa lainnya di Bengkulu yang menyeruak diantara 7900 anggota Front Selatan

Komunitas Hijau Rakyat Bengkulu. Seperti halnya 75 Perempuan gigih dari Desa Pasar Seluma yang beberapa kali menjadi penyelamat kelompok laki-laki, pejuang perempuan yang dikepung ratusan aparat TiMSUS Polda Bengkulu menyulap keterpukulan KMPL Seluma dari trauma kriminalisasi menjadi bangga menjadi pahlawan yang harus dipenjarah, yang mampu mengumpulkan berton ton beras dan uang dari setiap cangkir kepala keluarga yang mereka datangi untuk menopang kehidupan keluarga enam terdakwa kasus kriminalisasi warga Desa Pasar Seluma oleh PT. Famiaterdio Nagara.

Komunitas Perempuan yang baru membentuk organisasi formal pada Januari 2011 telah menunjukan peran strategis dalam menguatkan advokasi, lihat saja bagaimana peran mereka yang gigih menyelamatkan 78 laki-laki desa Pasar Seluma yang terkepung oleh ratusan anggota Timsus Polda pasca kerusuhan di lokasi tambang pasir besi PT. Famiatedio Nagara. selain itu lingkar belajar komunitas perempuan Pasar Seluma yang membentuk wadah bernama Sinar Harapan ini juga berhasil mementahkan upaya Perusahaan tambang dan aparat kepolisian dalam pelemahan sikap warga Seluma penolak

10 Bengkulu

Page 42: Buku apresiasi perempuan

32

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

tambang pasir besi dengan cara kriminalisasi tokoh sentral anti tambang. Semangat advokasi warga menyelamatkan kawasan hutan pantai dari eksploitasi pasir besi sempat menurun setelah ditahannya enam warga oleh Polres Seluma pasca bentrok antara warga dengan preman perusahaan.

Daya lenting komunitas Pasar Seluma baru muncul setelah kelompok Sinar Harapan berinisiatif mengumpulkan iuran uang dan beras sumbangan dari setiap keluarga per minggu untuk keluarga dari yang ditahan, serta biaya pendampingan hukum. Kondisi keluarga korban kriminalisasi yang ditopang oleh warga satu desa membuat kriminalisasi tidak lagi menjadi momok menakutkan bagi warga pesisir Seluma. Sikap ini menjadi sangat penting untuk keberlanjutan dan penyelamatan kawasan pesisir Seluma dalam jangka panjang.

Tidak saja berhasil mengendalikan psikologis kolektif desa, kelompok Sinar Harapan juga memainkan peran penting dalam penegakan hukum terhadap enam warga seluma yang dijadikan terdakwa. Selama persidangan para terdakwa yang dituduh melakukan tindakan pengeroyokan dan perusakan bersama-sama ini, kelompok inar Harapan mampu mengkondisikan atmosfer persidangan dengan melakukan “penghakiman social” terhadap saksi-saksi palsu perusahaan. Sidang pemeriksaaan saksi sempat ditunda hingga sampai

Page 43: Buku apresiasi perempuan

33

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

empat kali karena orang yang ditunjuk jaksa menjadi saksi perusahaan keberatan untuk hadir di ruangan sidang. Mereka takut masuk ke ruangan yang dipenuhi oleh ibu-ibu dari kelompok Sinar Harapan, “Ada hakim virtual yang menghukum saksi secara psikologis,” ujar Musri Nauli SH. penasehat hukum keenam terdakwa.

Mencermati sepak terjang dan peran strategis yang dimainkan oleh Sinar Harapan, dapat dilihat bahwa peran dominan dalam kondisi kritis dapat diambil oleh sosok-sosok yang selama ini dianggap lemah dan emosional, seperti halnya pernyataan Pak Razi tokoh sentral warga Seluma ‘’Di suku Serawai, kami prialah yang mengambil keputusan, tetapi perempuan yang menentukan keputusan itu bisa bisa dijalankan atau tidak.”

Dan bila hadir di kantong-kantong solidaritas basis pesisir Seluma, kita tidak akan bisa lupa dengan satu sosok Nenek Wahina, yang jarang bicara di forum tapi akan selalu mengejutkan dengan aksinya. Nenek Wahina sosok pribadi sederhana yang mengekspresikan suara perjuangannya lewat nyanyian, yang menari di kerumunan blokade aparat untuk menegaskan kekuasaan rakyat dicelah popor senapan.

Hidup dan pernah berada diantara pergolakan perjuangan rakyat Bengkulu adalah sebuah kehormatan, karena mendapatkan kepercayaan dan loyalitas yang tak dapat ditakar dengan nyawa.

Page 44: Buku apresiasi perempuan

34

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Berdiri diantara barisan pejuang rakyat Bengkulu adalah kesedihan, kesedihan melihat kepikunan pemerintah yang telah sekian jauh terseret dalam kesalahan kaprah.

Dan, Berdiri mendengar gemuruh suara seluruh komunitas perlawanan rakyat Bengkulu adalah saat dimana keyakinan perjuangan rakyat akan terlihat.¶¶

¶¶ Dikisahkan oleh Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Daerah WALHi Bengkulu

Page 45: Buku apresiasi perempuan

35

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Bagi Habibah DaS adalah nyawa Lingkungan

Habibah, perempuan kelahiran Seriti Sulawesi Selatan, adalah seorang aktivis dari Forum DAS (Daerah Aliran Sungai) Lamasi (FDL) yang gigih berjuang untuk kelestarian lingkungan di

Luwu (Palopo) Sulawesi Selatan. Hati Habibah sangat sedih melihat keadaan hutan di wilayah dia tinggal, dimana sering terjadi illegal logging yang menyebabkan semakin hilangnya fungsi hutan sebagai penyelaras alam.

Semakin rusaknya keadaan alam disana, berdampak pada buruknya DAS Lamasi. Air di DAS tersebut menjadi keruh, padahal 97% petani sangat tergantung pada sungai Lamasi.Karena itulah Habibah tergugah hatinya untuk menginisiasi masyarakat di daerahnya untuk mengusulkan Perda DAS Lamasi. Poin utama dari Perda ini adalah perintah untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.

Sebelum inisiasi Perda di dorong, Habibah bersama rekan-rekan di Forum DAS Lamasi memberi pemahaman pada warga sekitar mengenai pentingnya suatu Perda dibuat.

Habibah mengakui proses yang dilakukan adalah pertarungan yang panjang, inisiasi Perda ini didorong pada tahun 2005, dan disahkan menjadi Perda No.9 Tahun 2006 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Wilayah DAS Lamasi.

11 Sulawesi Selatan

Page 46: Buku apresiasi perempuan

36

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Awalnya respon pemerintah daerah sangatlah tidak bagus, “mereka nggak suka, dan kayaknya malu, karena harusnya kan mereka yang punya inisitif melestarikan lingkungan”. ujar Habibah. Negosisi, diskusi publik, dan presentasi tentang urgensi adanya Perda mengatur DAS Lamasi gencar dilakukan Habibah dan rekan-rekannya kepada para pemerintah daerah. Anak bungsu Habibah yang sekarang masih berumur enam bulan, menjadi saksi proses hearing dan lobi dengan pemerintah daerah. “Saya kan masih menyusui, jadi anak saya selalu bawa waktu hearing“ tambahnya lagi.

Berbagai tantangan dialami Habibah dalam proses tersebut, watak keras pembuat kebijakan tidak pernah menyurutkan semangat ibu tiga anak ini. “Perda DAS Lamasi adalah Perda DAS pertama di Indonesia“ tuturnya dengan bangga.

Habibah sebelum memulai aktivitasnya di FDL, sudah mengawal aktivisme di bangku kuliahnya di institut Agama islam Negeri (iAiN) Makassar, jurusan Filasafat. Beliau pernah menjadi Koordinator Himpunan Mahasiswa islam (HMi) tahun 1993, dan di tahun 1995 menjadi Ketua Cabang ikatan Mahasiswa Muhamaddiyah (iMM).Perempuan yang lahir di Seriti, 31 Desember 1972 ini, sehari-harinya masih aktif sebagai pendamping masyarakat bersama FDL.***

*** Dikisahkan oleh Nisa Anisa berdasarkan rekomendasi dari Perkumpulan Bumi Sawerigading, lembaga anggota WALHi Sulsel di Palopo, Sulsel.

Page 47: Buku apresiasi perempuan

37

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Werima Mananta, Berjuang dengan “Bahasa” adat

“Oh tanah nuha, tanah airku, tanah tumpah darahku”.

SEBAiT lagu diatas dinyanyikan ibu Werima Mananta ketika kami berjalan-jalan mengelilingi kampung masyarakat adat Dongi Karonsi’e di Sorowako Sulawesi Selatan, sembari menceritakan

keindahan dan kekayaan tanah adat Dongi. Suku Karonsi’e merupakan salah satu suku pertama yang mendiami bumi Sorowako Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan.

Karonsi’e sendiri berarti lumbung utama. Sebelum ada industri pertambangan di sana, wilayah Dongi Karonsi’e begitu subur dan selalu menghasilkan panen padi melimpah. Sayangnya kampung Dongi yang diceritakan oleh ibu Werima tinggal kenangan, dan telah berganti rupa menjadi kawasan tambang dengan segala pendukungnya.

PT. inco Ltd, perusahaan nikel asal Kanada yang memiliki wilayah tambang di tiga provinsi di Sulawesi yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara dengan luasan mencapai kurang lebih 6,6 juta hektar melalui Kontrak Karya yang ditandatangani tahun 1968. Lima tahun kemudian PT. iNCO membangun sarana tambang dan mengambil tanah yang dulunya didiami oleh masyarakat.

Nampaknya PT. iNCO memanfaatkan kampung yang kosong ditinggalkan oleh warga akibat situasi politik dan keamanan yang

12 Sulawesi Selatan

Page 48: Buku apresiasi perempuan

38

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

memanas kala itu. PT. iNCO telah merampas tanah adat orang Karonsi’e dan semua peninggalan-peninggalan adat istiadat. Lahan-lahan orang Karonsi’e diambil alih secara tidak adil. Permukiman warga kampung berubah menjadi lapangan golf, sementara sawah, kebun dan sungai sudah ditimbun oleh PT. iNCO dan tidak lagi bisa menjadi sumber penghidupan warga.

Adalah Werima Mananta, perempuan yang lahir di Dongi Karonsi’e tanggal 25 Juli 1947 ini masih terus semangat dan menjadi bagian penggerak perjuangan hak atas tanah adat dan sumber-sumber kehidupan masyarakat adat Dongi Karonsi’e yang telah dirampas oleh PT. Sejak tahun 1976-1996, satu demi satu orang Dongi Karonsi’e kembali ke kampungnya, dan pada tahun 2000 bersama komunitas masyarakat adat Dongi Karonsi’e, ibu Werima melakukan reklaiming dan membangun ulang kampung Dongi. Mulai kembali berkebun dan juga melakukan revitalisasi pengetahuan adat Dongi Karonsi’e yang telah ikut dihilangkan bersamaan dengan hadirnya PT. iNCO.

Bagi Werima, tanah kelahiran adalah entitas ruang hidup, bukan komoditas yang bisa dijual-beli, apalagi dipertukarkan. itulah yang mendasari mengapa tubuhnya yang mulai renta dimakan usia melakukan reklaiming dan berkebun di atas tanah nenek moyangnya yang telah diokupasi oleh PT. iNCO. Dengan kebersahajaannya, tersimpan kecerdasan luar biasa dan nilai hidup yang jauh begitu mulia dalam memaknai ruang hidupnya.

Werima juga tidak pernah gentar, meskipun dalam setiap perjuangannya, harus berhadapan dengan aparat kpolisian yang juga

Page 49: Buku apresiasi perempuan

39

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

sering kali bersikap represif didalam menghadapi aksi-aksi massa melawan PT. iNCO. Hingga saat ini, tidak kurang 50 (lima puluh) kali perundingan dilakukan oleh warga dengan PT. iNCO, namun sayangnya belum ada keputusan yang memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat adat Dongi Karonsi’e. Karena itulah, ibu Werima bersama dengan komunitasnya, tidak kenal lelah terus memperjuangkan hak atas tanahnya.

Ketika ditanya apakah dia lelah karena perjuangannya yang begitu lama belum juga berhasil mendapatkan keadilan? Dengan tenang ibu Werima menjawab bahwa dia tidak kenal lelah dan apalagi menyerah. Karena baginya, baginya dan perempuan adat Dongi Karonsi’e, apa yang diperjuangkan bukan untuk mereka, melainkan untuk generasi yang akan datang.

Karena selain merampas tanah orang Dongi Karonsi’e, PT. iNCO juga telah mengancam keberlangsungan hidup generasi mendatang dengan buangan limbah dan asap Penelitian kesehatan yang dilakukan pada tahun 2003-2005 oleh Tracy Glynn dari Canada University, menyebutkan bahwa terjadi gangguan kesehatan pada perkampungan di sekitar iNCO, antara lain penyakit iSPA terutama pada anak-anak.

Walaupun dengan bahasa yang sederhana dan sering kali tidak terdengar, Werima yang memiliki 3 (tiga) orang anak dan 8 (delapan) cucu ini akan terus berjuang dan memperlihatkan kepada kita semua bahwa perempuan sebagai korban yang lebih rentan, sesungguhnya memiliki kekuatan dan bisa memperjuangkan hak-haknya dengan cara yang diyakininya dengan pengalaman yang khas sebagai perempuan adat. Merebut tanah dengan membangun kampung halaman serta melakukan revitalisasi terhadap aset-aset adat dan pengetahuan adat secara turun-temurun menjadi pilihan sadar yang ditempuh Werima bersama dengan perempuan-perempuan Dongi Karonsi’e lain.†††

††† Dikisahkan oleh Khalisah Khalid, anggota Dewan Nasional WALHi.

Page 50: Buku apresiasi perempuan

40

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Ibu tallo : Perempuan Penolak tambang galian C

DALAM kesehariannya, ibu Tallo adalah seseorang yang aktif melakukan berbagai kegiatan untuk keluarga dan komunitasnya. Pada kurun waktu 2002-2003, dia mengikuti diskusi yang

diselenggarakan oleh salah satu LSM yang bergerak di bidang isu tambang. Dari sinilah dia mulai belajar dampak galian tambang bagi wilayah sekitar, namun ia mesti dihadapkan pada situasi masyarakat yang tidak mendukung. Mereka mengejek bahkan mengintimidasi ibu Tallo yang aktif terlibat dalam aksi-aksi penolakan tambang galian C yang selama ini beroperasi di desanya.

Hadirnya penggalian tambang C di Desa Loli Oge banyak menimbulkan dampak terhadap masyarakat, terutama perempuan. Akses dan kontrol terhadap tanah sebagian sudah tidak dimiliki lagi oleh masyarakat Desa Loli Oge. Tanaman tidak lagi tumbuh baik seperti dulu, contohnya buah serikaya. Dulunya buah serikaya di Desa Loli Oge dapat tumbuh besar, tapi semenjak ada galian tambang, pertumbuhan buah menjadi kerdil dan hitam.

ibu Tallo terlibat aksi penolakan tambang galian C bersama dengan beberapa lembaga yang bergerak dalam isu lingkungan seperti yayasan Pendidikan Rakyat dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). ibu Tallo yang berdomisili di Desa Loli Oge, Kec. Banawa, Kab. Donggala SULTENG ini juga sempat tergabung dalam Aliansi masyarakat Korban

13 Sulteng

Page 51: Buku apresiasi perempuan

41

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Tambang (TERKAM). ibu Tallo juga merupakan anggota Solidaritas Perempuan Palu dan seorang comunity organizer di desanya.

Gerakan yang dilakukan ibu Tallo merupakan upayanya untuk keluar dari berbagai masalah yang terjadi di lingkungannya. Perempuan yang lahir di Loli Oge, 23 Juli 1970 ini memiliki kepekaannya terhadap lingkungan dan perempuan, hal ini yang menjadikan ibu Tallo sebagai tempat pengaduan dan berdiskusi bagi masyarakat sekitar dan masyarakat terpinggirkan.

Pada tahun 2008 ibu Tallo memberikan testimoni pada kongres Solidaritas Perempuan di Jakarta. ia merupakan perempuan penambang tradisional yang tanahnya diambil alih oleh pertambangan.

Dalam ruang publik ibu Tallo berani mengeluarkan pendapatnya. ia sering menjadi penengah dalam konflik tanah yang terjadi di Desa Loli Oge. Tak jarang ibu Tallo memimpin kelompok yang menyampaikan protes kepada pemerintah atau perusahaan tambang. Salah satu contohnya adalah saat ia memperjuangkan air bersih sejak tahun 2002, hingga pada tahun 2008 air bersih pun mengalir ke lingkungannya.

Pada satu kesempatan ibu Tallo meminta Kepala Desa Loli Oge menuntut perusahaan tambang menghentikan pengerukannya di daerah gunung. Bagi sebagian masyarakat Loli Oge, gunung dianggap keramat. ia mengatakan, ”Tanah adalah ibu kami, jika kami menjual tanah sama saja menjual diri kami”.

Pada situasi yang lainnya ibu Tallo dan perempuan Loli Oge berinisiatif mendirikan sekolah bagi perempuan, karena masih banyak perempuan di Loli Oge yang tidak bisa membaca dan menulis. Sekolah tersebut kemudian diberi nama ’Sikoa Sintuvu Besi.’ Dari sekolah ini perempuan Loli Oge diharapkan belajar banyak hal, terutama hak-hak perempuan.‡‡‡

‡‡‡ Dikisahkan oleh Endang Herdianti, Koordinator Program Solidaritas Perempuan Palu

Page 52: Buku apresiasi perempuan

42

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Perjuangan Basse Daeng Manessa Mempertahankan tanahnya

“SAyA ingin tanah saya 2 Ha yang di belakang pabrik kembali, biar mereka tebang dan ambil

sawitnya dan kembalikan tanah saya” ucap Basse Daeng Manessa (46 tahun), yang berasal dari Kampung Moilong, Desa Moilong Kecamatan Moilong Kabupaten Luwuk Banggai Sulawesi Tengah.

Kalimat tersebut terucap, siang hari di awal Maret 2011 saat

mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional di Jakarta. Di dampingi oleh WALHi, Konsorsium Pembaharuan Agraria dan Sawit Watch, Basse Daeng Manessa hadir bersama 11 petani lainnya dari Banggai, serta suaminya M Arif Bennu (61 tahun) yang pada 30 Desember 2010 lalu divonis 3 tahun 6 bulan oleh hakim Pengadilan Negeri Luwuk Banggai. Arif Bennu divonis karena didakwa pasal 160 KHUP jo Pasal 55 ayat 1, sebab dianggap menghasut warga dalam tindak pengerusakan.

Kedatangan Basse Daeng Manessa ke Jakarta, selain untuk mendampingi suaminya dalam proses hukum, beliau juga ingin memperjuangkan tanahnya yang dirampas dan diserobot oleh PT. KLS.

14 Sulawesi Tengah

Page 53: Buku apresiasi perempuan

43

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Basse Daeng Manessa tinggal di lokasi HGU, di Simpang Tiga, dimana beliau membuka warung makan bersama menantu dan anak sulungnya. Dua anaknya yang lain masih duduk di bangku kuliah, sedangkan anak bungsunya saat ini masih di sekolah menengah. “Suami saya masuk organisasi petani sejak 2007 untuk demo bukan anti sawit, demonya untuk meluruskan harga sawit yang berpihak pada kami petani” tandasnya.

“Sejak suami saya sering demo, pernah kami mendapatkan tekanan yang luar biasa (September 2009) saya diminta dalam waktu seminggu untuk membongkar tempat tinggal. Saya waktu itu ada di kampung Moilong yang berjarak jauh dengan lokasi HGU, anak menantu saya dan iparnya tinggal di sana dan mengabarkan saya untuk segera naik karena rumah mau di bongkar paksa. Saya meminta untuk jangan membongkar sebelum suami saya kembali dari Luwuk,” ucap Basse Daeng Manessa menerangkan.

“Keesokan harinya polisi banyak berjaga dan hadir juga H Murad Husein (pemilk PT. KLS), bahkan saling tantang dengan suami saya dan H Murad memerintahkan untuk membongkar rumah, karena kami katanya membangun tempat tinggal di atas tanah milik PT KLS. Sejak itu pula, sawit saya oleh H Murad di larang untuk di beli oleh pabriknya PT KLS, padahal jumlahnya 2 Ha”.

Basse Daeng Manessa, bersama 11 petani dari Banggai Sulawesi Tengah, selama bulan Maret 2011 berada di Jakarta. Berkeliling dari instansi satu ke lainnya hanya untuk bertanya guna mendapatkan kejelasan dan menjelaskan bahwa mereka hanya petani yang meminta Negara bertanggung jawab. Bertanggungjawab terhadap hidup mereka yang terkikis dan di gilas oleh perusahaan sawit.

Page 54: Buku apresiasi perempuan

44

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Berdiri dan berteriak di depan istana presiden pun mereka lakoni selama di Jakarta. Berkampanye dan mengabarkan kepada khalayak nasib mereka dan mewakili ratusan keluarga di Banggai.§§§

§§§ Sebagaimana dikisahhkan oleh Ahmad SH, Manager Penguatan Regional dan Kaderisasi Eknas WALHi.

Konflik Tanah Antara Warga Vs PT.KLS

Pada tahun 1982 tanah sudah dimiliki oleh masyarakat Moilong,

kemudian 1986 ditanami tanaman keras, kakao, kemiri serta jambu

mente. Sejak 1997 bersama warga desa lainnya tanah sudah kami

sertifikatkan kurang lebih seluas 140 Ha.

Sejak tahun 2001, PT. Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS) juga mengklaim

memiliki Hak Guna Usaha (HGU) seluas 6.010 hektar, yang ditanami

Kakao (4.000 ha) dan Kelapa Sawit (2.010 ha). Investigasi lapangan oleh

Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah menemukan fakta

bahwa PT. KLS tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan atas lahan yang

diklaim. Juga kawasan yang diklaim ada di atas tanah hak milik warga

dengan sertifikat sah. Tindakan melawan hukum ini telah dilaporkan ke

Polres Banggai oleh petani bersama LBH Sulawesi Tengah dengan Laporan

Polisi Nomor: LP/655/XI/2009/SPK tertanggal 12 November 2009.

Sejak bulan April 2010, polisi telah menetapkan Murad Husen sebagai

tersangka, namun tidak ditahan. FRAS Sulteng telah mengadukan resmi

diskriminasi dan tidak profesionalnya aparat polisi dalam pengusutan

kasus ini, khususnya atas dua laporan Polisi yang sudah dilakukan.

Penangkapan dan penahanan malah ditujukan pada kepada aktivis

Eva Susanti (34) Koordinator FRAS Sulawesi Tengah, bersama dua

pimpinan petani yaitu Nasrun Mbau (40) Ketua Persatuan Petani Singkoyo

(PEPSI) dan anggotanya M. Arif , oleh Polres Banggai pada tanggal 27

Mei 2010, menunjukan diskriminasi hukum dan masih kuatnya budaya

Polri menjadi alat untuk melindungi pengusaha/investasi yang merusak

lingkungan. Eva Susanti dan para petani ditangkap dengan tuduhan

terlibat aksi pengerusakan kamp dan kantor PT KLS pada aksi tanggal

26 Mei 2010. Selain tiga aktivis tersebut, polisi juga menangkap 14

orang petani lainnya.

Page 55: Buku apresiasi perempuan

45

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Penolakan Masyarakat Wale Pineleng terhadap Pendirian SUtt Ilegal

PLN merupakan salah satu lermbaga BUMN yang bertugas memenuhi kebutuhan listrik di suatu wilayah. Namun ironisnya, PLN secara sepihak mendirikan sebuah tower Saluran Udara

Tegangan Ekstra Tinggi (SUTT) ilegal di atas pemukiman penduduk di Perumahan Ware Pineleng, Sulawesi Utara.

ivone Helena Putong (38), salah seorang warga, menyebutkan pembangunan SUTT dilakukan sekitar Bulan Februari tahun 2010.

“Pada dasarnya warga tidak mengetahui PLN mendirikan tower SUTT di wilayah mereka. Malahan informasi pembangunan SUTT kami peroleh dari pekerja-pekerja PLN yang ditugaskan secara langsung mendirikan tower SUTT tersebut. Sejak itu warga resah serta berinisiatif menghentikan pembangunan tower.”

Jumlah warga yang menolak atas pembangunan SUTT ini sekitar 16 KK dan kemungkinan besar jumlahnya akan bertambah. “Kasus ini juga kami serahkan kepada LSM untuk pendampingan. Kami mendapat banyak masukan dari WALHI Sulut dan LBH Manado mengenai aturan dan ketentuan pembangunan serta kewajiban PLN dan hak kami sebagai warga,” tambah ivone.

Menurutnya, warga menolak pembangunan tower SUTT berdasarkan dari segi psikis dan segi ekonomis.“Struktur tanah di wilayah kami

15 Sulawesi Utara

Page 56: Buku apresiasi perempuan

46

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

merupakan tanah yang labil dan tepat di bawah tower yang akan dibangun, sehingga akan mempengaruhi kesehatan.” ujarnya.

Sedangkan dari segi ekonomis, ivone menyebutkan, warga tidak bisa menjual bangunan dengan harga normal, karena jaraknya tak jauh dari tower yang akan dibangun.

Target lokasi pembangunan SUTT adalah Lotana hingga Teling, jadi sudah melewati beberapa kabupaten dan kota. Sedangkan untuk target lokasi dari Amurang-Malalayang-Winangun, PLN diharuskan membuat jaringan bawah tanah jika ingin masuk Winangun. Tapi kenyataannya PLN tidak membangun lewat Malalayang dan Winangun, melainkan masuk dari Koha-Sea-Pineleng. Dengan alasan penghematan, PLN membangun tower.

“yang menjadi pertanyaan kami apa yang ingin dihemat? Kami harap pihak PLN transparan dalam menyampaikan anggaran yang disiapkan,” tambah ivone.

Hingga kini warga Ware Pineleng sudah melaporkan tindakan PLN tersebut kepada Polsek Pineleng, POLDA, Sulut dan mengajukan surat ke BLH Pemprov. Warga juga meminta PLN untuk tidak melanjutkan pembangunan di wilayah mereka lagi.

“Kami juga mengirim surat kepada gubernur sebagai tindak lanjut SK gubernur mengenai Rancangan eksekutif Atas Pembangunan Tower. Di situ dinyatakan, jika ada pihak yang melanggar (PLN atau Kontraktor) atau tidak mentaati SK yang sudah di tetapkan, maka itu izin harus dicabut. Kami minta gubernur bertindak tegas dan melaksanakan sanksi tersebut.”

Warga Ware Pineleng juga telah membangun dua posko di sekitar lokasi sebagai upaya penjagaan jika sewaktu-waktu PLN mencoba melanjutkan proses pembangunan tersebut.¶¶¶

¶¶¶ Dikisahkan oleh Angelin Palit, aktivis WALHi Sulawesi Utara

Page 57: Buku apresiasi perempuan

47

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Hajah Mimi : Perjuangan Melawan Kelapa Sawit

HJ. MiMi, yang memiliki nama lengkap Nurjaniah Gazali, berjuang melawan

perkebunan kelapa sawit di Konawe Sulawesi Tenggara sejak tahun 2008. ini diawali dengan keprihatinan Hj. Mimi dengan lokasi Konawe yang semua ditanami sawit. Tanah yang diserobot oleh perusahaan kelapa sawit PT. Sultra Prima Lestari (SAL) tersebut adalah tanah

adat masyarakat Konawe. “Tanah ini warisan dari bapak saya, yang merupakan pejuang di sini, di lahan ini juga ada perkuburan dan monumen bersejarah” papar Hj. Mimi yang juga merupakan pemimpin masyarakat adat Sambandete Walandawe (Sambawa)

Walau masyarakat sudah mengklaim kedapa pemerintah bahwa tanah tersebut adalah tanah adat, namun tidak ada respon positif dari pemerintah. Karena sudah berkali-kali Hj.Mimi melaporkan masalah penyerobotan tanah adat tersebut, dan tidak pernah digubris, membuat Hj. Mimi dan masyarakat mencabuti kelapa sawit di lahan tersebut pada bulan Maret 2008.

16 Sulawesi Tenggara

Page 58: Buku apresiasi perempuan

48

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Faktor lain yang membuat warga marah adalah karena pihak perusahaan yang selalu ingkar janji. Padahal sudah ada surat perjanjian yang ditanda tangani perusahaan dan masyarakat yang isinya bahwa perusahaan akan menghentikan aktivitas perkebunan kelapa sawit. Di bulan Juni 2008, masyarakat kembali tersulut emosi karena perusahan kambali ingkar janji, masyarakat kembali mencabuti sawit. Bulan Februari 2010, Mimi dan masyarakat melakukan pembakaran terhadap tanamanan sawit karena janji yang diingkari lagi oleh perusahaan. Pembakaran ini berujung pada gugatan perdata kepada Hj. Mimi, yang dituntut ganti rugi Rp. 5 milyar, dengan mobil dan rumahnya sebagai jaminan yang dimintakan untuk disita oleh pengadilan.

Hj. Mimi juga pernah dilaporkan ke polisi dengan tuduhan merusak tanaman sawit, namun Hj. Mimi tak mau tinggal diam, beliau balik melaporkan perusahan dengan tuduhan penyerobotan tanah adat. Perusahaan pernah menawarkan damai, pada Mimi. “Saya nggak mau damai, kita terusin aja ke pengadilan” katanya.

Page 59: Buku apresiasi perempuan

49

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Aksi menolak sawit, ini dilakukan dalam berbagai cara yaitu; demonstrasi di DPRD, demonstrasi di Polres, dan demonstrasi di perusahaan, dengan estimasi massa 200 orang.

“Sampai dunia kiamat, tanah tak akan kami lepaskan, karena ini tanah leluhur” ucap Hj. Mimi bersemangat. Semangat yang berapi-api ini adalah karena perasaan memiliki yang sangat dalam terhadap tanah tersebut, dan Mimi tak rela tanah tersebut jatuh ke tangan perusahaan. “Tanah ini adalah tanah adat, bukan tanah perusahan, tapi tanah untuk generasi kami” kata Mimi yang lahir di Konawe Utara, tanggal 9 Mei 1955 ini.

“Jangan pikir, karena saya perempuan maka saya tak berani,” ungkap ibu 4 anak dan 12 cucu ini, tentang perjuangannya. Saat ditanya tentang aktivitas PT. SAL, beliau menjawab “mereka sudah tidak ada aktivitas lagi”. Hj. Mimi adalah seorang ibu rumah tangga, suaminya adalah anggota DPRD, dan sekarang Hj. Mimi berdomisili di Jl.Ohaeo 161, Kab. Konawe Sulawesi Tenggara.

Page 60: Buku apresiasi perempuan

50

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Kiprah Riana Dewi Bagi Korban Merapi

RiANA Dewi sehari-harinya adalah seorang ibu rumah tangga, namun setelah

terjadi erupsi Merapi, beliau mulai serius untuk menekuni kegiatan sosial dan lingkungan. ibu dua anak yang akrab disapa mbak Dewi ini, menginisiasi terbentuknya Salatiga FB Community Care (SCC). SCC merupakan komunitas sosial yang siap tanggap terhadap berbagai bencana dan juga mengakomodir dana serta mendistribusikan bagi yang membutuhkan.

“Saya dan teman-teman tergerak saat terjadi erupsi Merapi, saya dan teman-teman ngobrol-ngobrol dan tergerak ingin membantu, saya bersama teman-teman adalah yang pertama berinisiatif ngamen di jalan untuk menggalang dana untuk korban merapi, kami sewa sound system, sewa penyanyi lokal, dan kami tim SCC bantu joged-joged” papar Dewi sambil tertawa. “Kami ngamen di jalanan di depan DPRD, dan depan Pasaraya Salatiga, hari itu kita berhasil ngumpulkan uang 4 juta” sambungnya lagi. Aksi ngamennya itu ternyata menginspirasi

17 Jawa Tengah

Page 61: Buku apresiasi perempuan

51

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

masyarakat Salatiga lainnya untuk melakukan aksi yang sama untuk menggalang dana.

“Saya itu, komunikasi aktif dengan WALHI Jateng, untuk tau daerah mana saja yang belum mendapat bantuan, perlengkapan apa yang belum ada di pengungsian, saya seneng banget kerjasama dengan WALHI, karena mereka bener-bener turun ke lapangan untuk memberi bantuan pada para korban. Dari info-info yang diberikan WALHI Jateng pada saya, selalu saya sebarkan lagi pada teman-teman saya, saya juga menghimpun dana dan bantuan untuk para pengungsi lewat Facebook. Teman-teman di Facebook, yang dari Kalimantan dan Jakarta juga ikut partisipasi”. Dewi menjelaskan panjang lebar.

Menurut pengakuan Dewi, kedua anaknya pernah beberapa kali protes tentang kegiatannya ibundanya yang sering berpergian, namun kedua anaknya pun mengerti saat Dewi memberi penjelasan. Dewi, bahkan mengajak anaknya saat melalukan kegiatan sosial, contohnya seperti tanggal 27 Maret 2011 lalu, SCC memberi santunan pada Panti Asuhan islam Sudirman Pinggir Salatiga. SCC memiliki agenda rutin memberikan santunan rutin setiap tiga bulan sekali.

Di pengungsian Merapi, Dewi melihat banyak pengungsi yang tertekan karena harus kehilangan rumah. Selain itu, banyak anak-anak yang juga terlihat sedih, untuk menghibur mereka, Dewi dan rekan-rekan SCC berusaha menghibur mereka dengan bernyanyi bersama, sedangkan untuk anak, ada tim SCC yang berprofesi sebagai MC yang menceritakan cerita lucu pada anak-anak. Beragam profesi yang bersatu dalam SCC membuat, organisasi yang berdiri sejak 30 Oktober 2010 ini, semakin kaya akan kebergaman yang dapat digali. “Ada yang penyiar radio, ada yang fotografer, ada yang PNS, ada yang juru rias penganten, pokoknya banyak profesi deh”ucap Dewi lagi.

Setelah pengungsi kembali ke rumah, Dewi kembali mendatangi rumah mereka, dan memberikan santunan sederhana, yaitu member

Page 62: Buku apresiasi perempuan

52

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

sayuran, lauk pauk, dan tahu. Menurut penjelasan Dewi, para pengungsi makan mie instant setiap harinya, dan membuat mereka menderita diare. “Karena itulah kami bawakan tahu dan sayuran saat mereka tiba di rumah, karena para pengungsi pasti kangen dengan makanan kampung”.

Rencana Dewi dalam waktu dekat ini adalah kunjungan ke Megelang, bersama yayasan Pearl yang memiliki fokus memerangi human trafficking. “Di Magelang kan karena lahar dingin, ada empat desa hilang, dan mereka juga menjadi miskin, karena itu mereka harus dikasih sosialisasi, bahwa walau miskin dan engga bisa makan jangan sampai deh terjebak dalam trafficking” lanjut Dewi.

Kendala yang dihadapi Dewi dalam aktivitas sosial lingkungannya adalah masalah dana. “Karena sekarang mau pemilihan Walikota, kita harus hati-hati dalam mengelola dana jangan sampai terjebak dalam jalur politik” ungkap Dewi lagi.

Untuk menghadapi masalah yang dialaminya, Dewi memiliki motto “Kesulitan apapun akan indah pada waktunya”. inilah yang selalu didengungkan perempuan yang berdomisili di Kompleks Perumahan Candi Rejo Permai, Jl. Angsana no. 39, RT. 07/RW.06 Kelurahan Jombor, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang ini.****

**** Dikisahkan oleh Nisa Anisa

Page 63: Buku apresiasi perempuan

53

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

ning Riswani: Mencintai Lingkungan Lewat Lagu

“Setiap hari ku pergi ke sawah,Menanam padi, sayuran dan buahTak pernah lupa ku siram slalu, riang hatikuSmua tumbuh subur

Ku besar nanti, ku ingin bertaniMerubah semua tanah jadi suburAgar tak ada lagi kelaparanSmua anak tumbuh sehat kuat”

Lagu diatas merupakan salah satu lagu yang diciptakan oleh Ning Riswani, pada tahun 2008. Lagu yang berjudul “Anak Petani” ini tercipta karena keprihatinan Ning terhadap keenganan anak-

anak sekarang untuk bertani.

Ning Riswani adalah seorang apoteker di instalasi Farmasi Rumah Sakit Bethesda yang berlokasi di Jl. Jend. Sudirman 70, yogjakarta. Beliau memiliki keperdulian yang sangat dalam pada permasalahan lingkungan.

ide menciptakan lagu sendiri diawali tahun 2008, saat anak-anaknya yang duduk di bangku SMP dan SD ingin ikut kontes menyanyi di televisi. “Nggak boleh ikut kontes-kontes kaya gitu, soalnya lagu-lagunya juga lagu dewasa, mending kita buat lagu sendiri” ungkapan Ning itu,

18 Yogyakarta

Page 64: Buku apresiasi perempuan

54

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

disambut gelak tawa anak-anaknya yang meragukan kemampuan Ning menggubah lagu. Namun ternyata Ning bisa menciptakan banyak lagu anak-anak yang inspiratif bertema lingkungan, dari tahun 2008-2010 sudah 50 lagu yang tercipta, namun hanya 15 yang diaransemen. “Soalnya aransemen ke musisi kan mahal, satu lagu, bisa 300-400 ribu, sedangkan saya juga ga punya uang ,jadi saya pinjem ke kakak saya untuk bisa aransemen lagu” Ning memaparkan.

Dari lagu-lagu inilah Ning mulai berkenalan dengan WALHi yogyakarta. “Saya ngobrol dengan mas Parlan (Direktur Eksekutif Daerah WALHi yogyakarta), gimana caranya mempublikasikan lagu-lagu saya, mas Parlan kasih usul untuk bertemu dengan Radio Anak Jogja (RAJ).”

Langkah yang kemudian dilakukan Ning adalah meminta anak-anaknya untuk menyanyikan lagu-lagu ciptaannya yang sudah diaransemen, kemudian direkam dan ditawarkan ke RAJ. Setelah itu, barulah tercetus ide membuat kontes nyanyi, dan moment inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Forum Keluarga Anak Cinta Lingkungan (Fokal).

Perempuan kelahiran Klaten, 17 November 1960 ini, sekarang disela-sela kesibukannya sebagai apoteker juga tetap meluangkan waktu untuk menjadi koordinator Fokal. Fokal yang dibentuk tahun 2010 ini, diawali dengan diselenggarakannya kontes bernyanyi untuk anak. Lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu ciptaan Ning. Pasca kontes menyanyi ini, barulah mengalir kegiatan-kegiatan Fokal lainnya.

“Kami ada pertemuan bulanan, di minggu terakhir setiap bulan, dan temanya berbeda-beda setiap bulannya”,jelas Ning. Dalam setiap pertemuan dilakukan dua kegiatan paralel, satu kegiatan untuk anak, seperti membuat mainan dari koran bekas, kuis-kuis bertema lingkungan, serta menyanyikan lagu bertema lingkungan, yang dipandu oleh tim RAJ dan relawan WALHi Jogja. Di waktu yang sama para orang tua

Page 65: Buku apresiasi perempuan

55

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

mengikuti seminar atau diskusi mengenai penangganan sampah di rumah, bagaimana membuat kompos, narasumbernya adalah praktisi-praktisi yang memang ahli di bidangnya.

Ning sendiri,sudah satu setengah tahun lalu memiliki dan menggunakan komposter. Selain itu, Ning juga terbiasa memilah sampah kering dan basah di rumahnya, yang berlokasi di Sambilegi Lor 159, RT.06/Rw 54 Maguwaharjo, Depok, Sleman, yogjakarta.

Peserta yang mengikuti kegiatan Fokal setiap bulannya tidak selalu sama, “Minimal 12 keluaga, maksimal bisa ratusan orang yang datang ke acara bulanan kami, seperi waktu kita mengadakan kunjungan ke Green School, yang merupakan sekolah berorientasi alam. Anak-anak diajari menanam padi dan sayuran di pot”. Ungkap Ning.

Umur anak yang yang terlibat dalam kegiatan Fokal adalah 3- 10 tahun. Media yang digunakan Ning untuk member info kegiatan-kegiatan Fokal adalah sms dan disiarkan di radio RAJ, “Jadi komunitas Fokal, bisa selalu terinformasi kegiatan yang akan dilakukan”.

Harapan dari Ning, adalah lagu-lagunya dapat diaransemen dan terpublikasi ke masyarakat luas, supaya dapat menanamkan perasaan cinta lingkungan sejak dini, seperti tujuan utama Fokal.††††

†††† Dikisahkan oleh Nisa Anisa

Page 66: Buku apresiasi perempuan

56

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Sutinah: Korban Penggusuran Parangtritis yang terus Berjuang

Sutinah, adalah salah satu korban penggusuran di Mancingan Parangtritis tahun 2007, tempat tinggal dan tempatnya mangkal untuk menjajakan mie ayam buatannya digusur dengan semena-

mena oleh Pemerintah Kota Daerah istimewa yogjakarta (Diy).

Sutinah dan warga lainnya terus berusaha untuk mendapatkan kompensasi dari penggusuran tersebut. Berbagai cara dilakukan oleh Sutinah dan warga lainnya untuk memperjuangkan haknya, yaitu dengan audensi dengan Gubernur, saat audensi dengan Gubernur, Sutinah dan rekan-rekannya mendapat janji-janji manis, yaitu ;semua warga yang bersedia direlokasi akan mendapat kios asalkan tidak diperjual belikan, dan tempat yang baru juga tidak jauh dengan tempat sebelumnya, serta akan ada kompensasi sebesar satu juta rupiah.

Namun, janji hanya sekedar janji, pemerintah Diy mengingkari janji tersebut. “Tanggal 26 Maret 2011, Pemprov berjanji kita akan dipertemukan dengan Penkab, tapi engga ada buktinya tuh sampai sekarang” tutur Sutinah berapi-api. “Warga sebenernya pengen ketemu Pemkab” jelasnya lagi.

Sekarang Sutinah tinggal di Terminal Baru, blok D4, dan masih menjual mie ayam, di tempat kontakannya tersebut. ibu tiga orang anak, dengan empat orang cucu ini berkata “Warga sebenernya mau di tata, tapi jangan semena-mena”.

19 Yogyakarta

Page 67: Buku apresiasi perempuan

57

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Dalam memperjuangkan haknya untuk mendapat kompensasi, Sutinah aktif berorasi di demontrasi-demostrasi, saat ini beliau bergabung dengan Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (AMRP) dan organisasi Perempuan Mahardhika.‡‡‡‡

‡‡‡‡ Dikisahkan oleh Nisa Anisa

Thursday, 17 March 2011 10:33

Minta Ganti Rugi Penggusuran

JOGJA - Sekitar 60 orang dari Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP)

kembali berunjuk rasa di kantor Gubernur DIJ di Kepatihan, kemarin (16/3). Massa

yang mengenakan Jawa itu menanyakan soal realisasi ganti rugi tanah, rumah, dan

uang pembongkaran warga korban penggusuran di kawasan Pantai Parangtritis,

Bantul. Humas ARMP Iwan Penthol mengatakan, ketidakjelasan ganti rugi kepada warga

ini membuktikan pemerintah daerah tidak serius mengurusi rakyatnya. Keseriusan

pemerintah hanya ketika ada proyek yang menguntungkan oknum secara finansial

dan mengabaikan rakyat yang tertindas.

Pemkab Bantul, katanya, tidak pernah melakukan sosialisasi dan duduk bersama

mencari solusi terbaik bersama warga Parangtritis terkait rencana penggusuran.

Alhasil, masalah ini merupakan pengabaian hak-hak warga yang sudah puluhan

tahun mendiami dan mengelola tanah tersebut.

’’Proyek dibangun dengan penderitaan rakyat miskin yang tinggal di kawasan

parangtritis hanya diperuntukkan bagi orang-orang kaya. Rumah kami digusur yang

dianggap sebagai bangunan liar. Kami meminta ganti rugi atas penggusuran rumah

kami,’’ katanya di tengah aksi.

Massa juga menolak pemberlakuan Perda Prostitusi Kabupaten Bantul No 05

Tahun 2007 yang menjadi alasan penggusuran. Perda tersebut dinilai menghakimi

warga secara sepihak yang menilai prostitusi akibat kebejatan moral. ’’Sesungguhnya

hal itu (prostitusi) diakibatkan minimnya lapangan pekerjaan yang disediakan

pemerintah,’’ katanya lantang.

Sudah jelas, lanjut dia, rakyat miskin pasti melakukan berbagai cara untuk

mempertahankan hidup. ’’Di mana tanggung jawab negara yang seharusnya

menyediakan kehidupan yang layak bagi warga?’’ lanjutnya.

Iwan menyampaikan, proyek Parangtritis nantinya menjadi barang jualan

megaproyek kepada investor asing dengan nilai sebesar Rp 6 triliun. Rencananya

terdiri dari lapangan golf seluas 68,2 hektare, pembangunan vila 35 hektare, 9

hektare untuk hotel berbintang tiga, serta 11,5 hektare untuk taman rekreasi dan

kolam renang. (eri) Sumber : Radar Jogja

Page 68: Buku apresiasi perempuan

58

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

neneng: Perjuangan Menentang galian Pasir

NENENG seorang perempuan warga kampung Gandoang, desa Gandoang, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor adalah salah satu perempuan yang menetang adanya galian pasir di wilayah

tempatnya tinggal. Perempuan yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang kue dan nasi uduk keliling ini, memiliki keberanian yang luar biasa dalam memperjuangkan haknya untuk mendapat lingkungan hidup yang sehat.

Perjuangannya melawan koorporasi yang telah merampas ruang hidupnya yang sehat dimulai sejak tiga tahun lalu, saat perusahaan dengan nama PT. Sumber Cipta Abadi (SCA) masuk ke wilayah tinggal Neneng. SCA dalam melakukan aktivitas galian pasir berkedok hendak membangun perumahan. Ketua RT/RW yang memang setuju wilayah mereka untuk digunakan sebagai lahan untuk galian pasir, sering menawarkan uang ganti rugi untuk warga, supaya tidak memprotes kegiatan SCA. “Saya walau ditawarin 1 juta, 2 juta, tetep engga mau, yang kami mau perusahaan berenti beroperasi dan wilayah kami jadi kaya dulu lagi,” Neneng menegaskan.

Bahkan entah bagaimana SCA memiliki tanda tangan warga kampung yang menandakan bahwa mereka setuju dengan aktivitas galian pasir di wilayah mereka. “Jadi yang ada, kita perang sama pemerintah desa” ujar Neneng, karena pihak desa (baca: RT/RW) memang jelas-jelas menyetujui program tersebut.

Banyak kerugian yang dialami warga saat SCA mulai beroperasi, yaitu kekurangan air, “Di rumah saya pake pompa air, setelah ada

20 Jawa Barat

Page 69: Buku apresiasi perempuan

59

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

galian pasir, kalau kemarau, air jadi susah, paling air cuma cukup buat mandi dan nyuci aja, kalau buat minum kita beli isi ulang, yang harganya 3000, kalau beli yang mahal mah kita ngga sanggup” ujar Neneng. Menurut Neneng kualitas air yang dapat diakses warga menjadi sangat buruk, air menjadi berminyak dan berbau karat. Sedangkan untuk yang memiliki sawah, harus mengalami kerugian, karena sawah mereka sering terendam lumpur. Beberapa warga juga mengeluh gatal-gatal pasca adanya galian pasir di wilayah mereka. Bising, juga merupakan hal yang dikeluhkan Neneng. “Sebelum ada perusahaan, engga ada masalah air, sawah panen terus” ucap Neneng.

Dengan adanya berbagai permasalahan tersebut, Neneng kemudian tergerak untuk mengorganisir para perempuan yang mayoritas ibu-ibu untuk melakukan protes pada perusahaan. inisiatif ini diawali dari pertemuan-pertemuan Majelis Ta’lim di kampungnya. Neneng yang merupakan anggota majelis Ta’lim merespon keluhan, curhatan warga tentang aktivitas galian pasir dengan usulan untuk protes ke perusahaan.

Para ibu-ibu yang sudah merasakan dampak buruk galian pasirpun kemudian melakukan demontrasi ke perusahaan, “tapi pihak perusahaan biasanya ngga ada yang mau nemuiin kita, paling yang ada preman-premannya aja, pernah ada preman yang datangi rumah saya, preman itu ngancam, kata kalau masih tetep protes, awas aja bu”.

Tuntutan Neneng dan para ibu lainnya adalah adanya penutupan perusahaan SCA, dan dan perusahaan harus memperbaiki /menutup lubang-lubang akibat galian pasir. “Banyak banget, lubang-lubang di daerah saya, dalem bisa 50 meter kali, kalau ada gempa mah, kita bisa keurug§§§§“ ungkap Neneng menutup pembicaraan.¶¶¶¶

§§§§ Urug adalah bahasa Sunda, yang artinya tertimbun longsor.

¶¶¶¶ Dikisahkan oleh Nisa Anisa

Page 70: Buku apresiasi perempuan

60

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

MeRetaS CIta-CIta

SEMiLiR angin Parahiyangan menyapu wajah. Jalan aspal yang dilewati tak semulus jalan protokol di Jakarta. Kontur tanah turun naik menegaskan kampung itu kampung perbukitan.

Lembah milik masyarakat terlihat ditanami sayuran, singkong, jagung. Sekejap menyegarkan mata dengan hijau-hijauan. Lalu lalang motor ojek, mobil memadati jalanan menuju kampung Cikasimukan.

Tibalah dirumah bercat putih krem dengan pintu terbuka. Mata tertuju pada bingkai photo yang di pajang. Perempuan usia dewasa, berbaju daster keluar dengan riang dan mempersilahkan duduk di meja makan. Dis-penser, meja makan, tempat menanak nasi, piring,

sendok, semua yang ada disini, “tidak saya beli” begitu tutur Prapti Wahyuningsih. Tapi kami sering memanggil dengan nama Ningsih saja.

ia ditemukan satpam Rumah Sakit Muwardi Solo. Saat itu ada delapan bayi tanpa orang tua kandung. Tujuh Bayi yang lahir bersamaan dengan Ningsih, banyak diadopsi oleh keluarga yang belum dikarunia anak. Ada satu bayi perempuan prematur itu tak kunjung ada

21 Jawa Barat

Page 71: Buku apresiasi perempuan

61

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

yang ambil. Seorang bidan tetangga Soekinem (65) menawarkan bayi itu untuk dirawatnya. Telah 21 tahun Soekinem dan Suyanto Sastro Mulyanto tak mendapatkan anak hingga sekarang.

Ningsih dirawat dengan penuh kasih sayang oleh mereka. Kecukupan materi tak menyambangi kehidupan mereka. Usia 8 bulan ia didera sakit panas. emak membawa Ningsih ke dokter lalu diperiksa dan disuntik. Resep obat yang dicatat dalam kertas selembar oleh petugas apotik, emak bawa ke apotik untuk ditebus. Dua hari kemudian Ningsih sembuh. Namun kaki tak dapat berjalan satu. Ningsih dibawa ke dukun, “dokter mahal, “ kata emak. Ramuan asam dan garam diracik oleh sang dukun. Racikan dioleskan emak ke kaki Ningsih. Dua hari kemudian Ningsih bisa manapakkan kakinya.

Petak umpat, pasar-pasaran mainan semasa kecil Ningsih dengan teman sebayanya. “Ia suka kalah kalau main petak umpat. Ia orangnya cuek dan suka ngomong. Pokoknya seneng ngomong dia itu,” tutur Tina. Tawa riang Tina terdengar dari kabel telepon. Mengenang masa kecilnya dengan Ningsih. Rumah Tina terhalang 6 rumah dengan Ningsih. “Kami sering main bareng. Tapi sekolah kami tidak sama. Ningsih di TK Indriyana IV melanjutkan ke SDN Wonosaren II,” kenang Tina.

Suara parau, isak tangis terdengar dari kabel telepon. Ketika emak menceritakan keinginan Ningsih meneruskan SMP. “emak tak mampu membayar uang sekolah dan jajan Ningsih. SD sudah cukup. Ningsih ngambek, dia ingin masuk SMP,” cerita emak dengan nada sedih. 11 tahun usia waktu itu setelah lulus SD. “Saat itu pula Ningsih bermimpi dan bercita-cita ingin mempunyai sekolah gratis,” kata emak.

Proyek Bengawan Solo menyingkirkan kami. “Padahal tanah itu bersertifikat. Saat pindah ke lokasi baru. Rumah kami yang paling buruk. Sehingga pak RT sering menegur. Agar rumahnya dibuat jadi permanen,” cerita Ningsih dengan mata menerawang ke masa lalu.

Page 72: Buku apresiasi perempuan

62

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Kondisi itu menggerakan Ningsih kecil untuk mencari kerja. Diterimalah ia sebagai buruh CV Tugu. Perusahaan yang bergerak untuk kaleng-kaleng. Upah yang diterima dalam seminggu Rp.3.000,- . “Dibelikan beras dan minyak goreng. Tapi untuk lauknya tak kebeli hahhaha…” ia tertawa. Sendok dan piring adalah sisa barang yang tersisa. itupun ludes di tukar untuk makan. Dia pergi ke pasar Ledosari Jebres-Solo dengan jalan kaki melintasi rel kereta api. Jarak yang ditempuh 20 km pulang pergi untuk menjual barang-barang itu.

Tak ada listrik yang menerangi. Berpayung dalam rumah menjadi peneduh saat hujan tiba mengguyur bumi. “Ahhhhh…kalau itu terjadi lagi rasanya gak kuat menjalaninya lagi,” mata Ningsih berkaca-kaca. Mata memerah, kilauan cahaya dipelupuk mata. Mengantarkan ia pada tangis. Tangan mengusap air mata itu. Tapi tak mengendurkan niatnya untuk tetap berbagi cerita yang dialaminya. Doa kepadaNya menghibur hati nan lara. Dalam keheningan ia berucap.

“ya Allah saat kami tidak lapar suatu saat harus berbagi”

“ya Allah saat kami tidak dapat bersekolah suatu saat harus mendirikan sekolah gratis.”

Doa yang dipanjatkan seorang bocah 11 tahun. Saat lapar menggerayangi perutnya. Setelah berdoa, semangat dan rasa lapar itu hilang. “Aku merasa orang paling beruntung dan dicintai Allah.

Page 73: Buku apresiasi perempuan

63

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Pertolongan itu tepat pada waktunya,” sambil mendekatkan kedua tangannya kedagu.

Dia menghabiskan masa beranjak remaja dalam ruangan panas dan bising deru mesin. Bercengkrama dengan orang beda jaman. Suatu hari menyaksikan tangan seorang nenek masuk mesin. Darah mengalir deras. Didapat kabar nenek tak dapat kerja lagi. Uang pesangon diberikan alakadarnya. Ningsih meringis dan ketakutan.

Suatu hari, Ningsih bertemu seorang lelaki dalam angkutan kota. Lelaki itu bertanya ihwal kecelakaan yang menimpa nenek. ia menceritakan tanpa beban. Apa yang dilihat dan dirasakan. Esok harinya Ningsih dipanggil bos CV Tugu. “Kamu tahu gak, kamu telah mencemarkan nama baik, mau gak dibawa ke polisi,” begitu kata-kata yang keluar dari mulut seorang bosnya. Ningsih tak tahu lelaki itu wartawan. Esok harinya ia melihat lelaki itu muncul lagi. Tapi ia lari ketakutan.

“Naikkan upah buruh 100%”

“Upayakan keselamatan kerja”

Suara microphone itu jelas terdengar di jalanan. Mahasiswa berorasi bergantian. Ada juga yang menyebarkan brosur dan pamflet. Budiman Sudjatmiko muda dan gerombolannya nampak bersemangat menyuarakan hak kaum buruh. Untuk mendapatkan keadilan dan hak layak ditempat kerja.

Selembar pamflet seperti tersapu angin. Mendekat kearah Ningsih. Lalu ia baca “Hai lihat apa yang dituliskan ini sama dengan yang kita alami,” semangat Ningsih berbicara pada kawan kerjanya. “Besok datang yuk ke acara ini? tanya Ningsih kepada kawan-kawannya di pabrik.” ia pergi ke kumpulan orang-orang demonstrasi. ia diminta berbicara oleh Ririn Sefsani, seorang aktivis mahasiswa pada masa itu. ia menggeleng ”tidak bisa,” “ayo…ayo…kalau begitu ceritakan

Page 74: Buku apresiasi perempuan

64

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

pengalaman mu?” kata Ririn. Dengan gemetar Ningsih orasi. Tangan gemetar. Pengeras suarapun dibantu pegang oleh Ririn. “Aku tak tahu itu namanya orasi,“ geleng Ningsih.

Pertemuan dengan para penyuara hak buruh mengenalkan ia pada buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, Tan Malaka, Soekarno. Usianya 13 tahun ketika membaca buku Madilog dan Jas Merah.

Ketika itu Ningsih banyak bergulat dengan buku-buku. Hingga akhirnya bergabung dengan kelompok buruh, tani dan kelompok perempuan. Pengetahuan hak-hak kerja dan jaringan kian hari kian melebar dan ia semakin berani menyuarakan ketidakadilan. Apa yang ia lihat di pabrik menorehkan rasa sakit dan gemas. ia pun mengajak kawan-kawan pabrik untuk pergi ke gedung DPRD Solo. Niatnya ingin mengutarakan apa yang ia alami dengan teman-temannya. “Tapi bingung mau ngomong apa”. Akhirnya mereka rujakan depan gedung. Menginjak usia dewasa dan pengalaman sudah banyak. ia baru sadar bahwa ia telah menjadi koordinator lapangan aksi. Saat itu ia tidak tahu apa-apa.

“Aku itu pulsa habis untuk telepon kawan-kawan. Dari semua kebutuhan ku pulsa yang paling boros. Berjaringan itu wajib dalam sebuah gerakan,” tutur Ningsih . “Hidup seperti angin, kemana membawanya disitu aku akan berkreasi dan berkarya,” tahun ini usia Ningsih menginjak 32 tahun.

Mengikuti angin kemana terbang. itu yang membawa Ningsih ke kota Karawang. Kawasan yang dikembangkan oleh pemerintah dan swasta sebagai penopang industri makro. Memproduksi bahan berat hingga kebutuhan rumah tangga. Bahkan pabrik uang disini tempat produksinya. Kawasan ini dinobatkan sebagai kawasan industri terbesar se- Asia Tenggara. Berderet perusahaan lokal dan internasional.

Page 75: Buku apresiasi perempuan

65

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Siang itu Ningsih melihat seorang kakek. Berjalan ditengah terik matahari dan tidak bersandal. Jalan santai di aspal panas. Tergelitik hati Ningsih mengikutinya.

“Kek boleh ikut gak?”

“Kemana?”

“ya kerumah kakek.”

“Jauh rumahnya dari sini mah neng.”

“eunte naon-naon atuh (red: gak apa-apa dalam bahasa Sunda).”

“ya hayu.”

Ningsih menyusuri jalan setapak bersama Ki Nana. Kanan-kiri ilalang tumbuh lebat. “Tiga jam berjalan belum sampai juga,” cerita Ningsih. Ki Nana mempunyai tiga istri tinggal dalam satu rumah. Penerangan rumah dikala malam seadanya. Pemerintah tak memberikan sambungan listrik. Kawasan industri dan kampung Patapaan terhalang bukit saja. Secara administrtatif masuk ke Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang. Kampung ini terhalang bukit untuk melihat jelas ke kawasan industri terbesar karawang.

Tak ada sekolah. Anak-anak kampung Patapan cenderung tak giat bersekolah. “Kakek juga enggak sekolah istrinya tiga,” ketika Ningsih menyampaikan niat mendirikan sekolah ala kadarnya ke Ki Nana. Jajat (11) asyik menggembala kambing diareal bebas. Dia nangis kambingnya hilang satu. Datanglah Ningsih. “Ku naon nangis (red: kenapa nangis).” embe hilang satu,” isak Jajat. “emang ada berapa kambingnya?” Ningsih tanya lagi. “Gak tahu, pokoknya gak ada satu,” sahut Jajat. ini kambing yang hilang kan? Ningsih keluar sambil membawa kambing. “Makanya sekolah, biar tahu kambingnya ada berapa.” Ningsih terus mengobarkan semangat sekolah ke Jajat. “embung sakola, lieur (red: gak mau sekolah pusing).” Ningsih terus nanya, “kalau begitu kita main sekolah-sekolahan aja ya?” Ningsih terus berusaha merajuk Jajat supaya mau sekolah. “Manggut-manggut kepala Jajat.”

Page 76: Buku apresiasi perempuan

66

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Tak mudah menyebarkan virus untuk bersekolah. Atas usaha Ningsih bangunan sederhana di kampung Patapan berdiri. Fakultas membaca, menulis, menggambar itu yang digiatkan di sekolah itu. Kelak jika murid-murid sekolah itu tak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Mereka sudah mengenal jurusan yang ada di fakultas pada dunia universitas umumnya.

Tengkulak yang membeli hasil tani sering datang ke Patapan. Membeli langsung dari petani dengan harga murah dan sering di bohongi timbangannya. Para petani tidak mengerti bagaimana menimbang. Hingga para tengkulak asyik membohongi mereka. Kampung ini masuk wilayah kelola Perhutani. Tapi masyarakat mendiami kampung Patapan sudah puluhan tahun. Untuk mempertahankan tanah milik mereka. Ningsih dibantu oleh Erwin Usman aktivis WALHi yang melakukan aksi ke Badan Pertanahan Nasional. Kita menyebutnya “Advokasi Petani Ciampel,” kata Ningsih.

2006 awal mula Ningsih bersentuhan dengan WALHi. Saat itu WALHi mengadvokasi kasus sengketa lahan masyarakat Ciampel. Ningsih belajar pengetahuan soal lingkungan bersama WALHi. Membaca ataupun berdiskusi untuk memperkaya wawasan lingkungan terus dilakoninya. ia melihat indonesia sangat buruk mengelola sampah. Bertebaran dimana-mana. Padahal plastik-plastik itu bisa diolah menjadi barang yang unik dan akan mendatangkan nilai ekonomi. Pengelolaan plastik bekas bungkus deterjen, pelembit pakaian dan kopi dijadikan tempat kosmetik, tas besar. ia lakukan ketika pertama kali datang ke Ujung Berung Bandung. Tak pernah ia bayangkan akan tinggal dimana. “yang penting ada kontrakan murah,” kata Ningsih.

ia mengajak ibu-ibu tetangga rumah mengumpulkan plastik bekas. Kepiawaian menganyam ia dapatkan sejak kecil. Berbekal itulah Ningsih menularkan menganyam plastik kepada tetangganya.

Page 77: Buku apresiasi perempuan

67

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Semua orang harus bisa baca dan tulis. Mempunyai keahlian untuk menghadapi hidup melalui sekolah formal maupun alternatif. Cita-cita Ningsih sedari kecil ingin semua orang bisa membaca dan menulis. Dimanapun ia berada tetap fokusnya membangun sekolah alternatif. Guru yang mengajar pun bukan lulusan perguruan tinggi. Bisa membaca dan menulis sudah cukup untuk didaulat menjadi dosen. Pada fakultas membaca dan menulis. Sekolah Hijau namanya berdiri di Ujung Berung.

ia tak melakukan riset dan pemetaan untuk berdiam disuatu kampung. “Asal ada kontrakan rumah murah.” Maka hiduplah ia membaur dengan masyarakat kampung Cikasimukan, desa Mandala Mekar, kecamatan Cimenyan Bandung, Jawa Barat.

Eka (40) warga kampung Cikasimukan. Kepala Sekolah Hijau Cikasimukan sambil tersipu malu-malu menumpahkan rasa senang berbagi membaca dan menulis di Sekolah Hijau. “Selain mengurus anak, saya ada kegiatan mengajar, murid Sekolah Hijau ada 11 orang. Tak ada pembedaan usia untuk yang mau belajar, tua, anak-anak bahkan masih bayi boleh dibawa ke sini,” ungkap Eka.

Tanggung jawab dan disipilin, Ningsih terapkan di Sekolah Hijau. Murid-murid wajib membayar Rp.1.000,-/hari. Kalau tidak sanggup membayar dengan uang. Boleh membayar dengan singkong, beras, ketela seharga seribu. Tak boleh berhutang. Ningsih akan menagih ke rumah kalau ada murid yang tidak membayar. Tak boleh membayar sekaligus untuk sebulan.Tapi kalau telat boleh bayar lain hari, asal alasannya masuk akal.

“Aku kejam, untuk mendisiplinkan mereka, toh hasilnya untuk mereka juga,” Ningsih tertawa ngakak dengan ciri khasnya. Bangunan bilik yang berdiri diatas lahan seluas 7X8 meter persegi. Hasil gotong royong warga Cikasimukan. Ada yang memberi pintu, kaca, genteng, kunci. Para suami menyumbang tenaga untuk membangun. ibu-ibu memasak untuk menyiapkan makan siangnya.

Page 78: Buku apresiasi perempuan

68

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

Sabtu 2 April 2011 siang itu, cuaca cerah di wilayah Bandung Barat. Saya menunggu Ningsih yang sedang mempersiapkan diri. ia ada rapat kerja dengan relawan guru Sekolah Hijau. Mereka masih duduk di bangku kuliah Universitas Padjadjaran. Mereka membagi keahlian melukis, bahasa inggris dan matematika. Membangun Green University cita-cita besar mereka. Mereka mengumpulkan uang dengan kenclengan.

“Mba Ning…Mba Ning….” tiga bocah perempuan manis mengetuk pintu.”Kita mau rapat struktur organisasi hahha…anak sebesar itu sudah tahu kalimat seperti itu”. Ningsih tertawa. Para penyumbang peradaban. Peduli terhadap generasi yang akan datang. Tak melulu dilakukan oleh akademisi. Ningsih mampu menggerakan roda ekonomi dan pendidikan alternatif bagi warga sekitar tempat tinggalnya.

Nia (25) panggilan sehari-seharinya, warga Cikasimukan, merasa terbantu dengan adanya mba Ningsih. “Kami menjahit plastik-plastik itu menjadi barang yang dapat digunakan. Awalnya saya tidak bisa jahit. Bahkan memasukan jarum saja saya tidak bisa”, kata Nia. Mba Ningsih memberi mesin jahit dan memaksa saya menjahit.

Karya ibu-ibu Cikasimukan disebar Ningsih. Promosi kebeberapa teman dan jaringan. Juga dititipkan di kedai mahasiwa UNPAD. Setiap Ningsih pergi, dompet-dompet itu dipromosikan. Ketika didaulat menjadi pembicara Ningsih selalu mengobarkan zakat sampah. Dia mengambil plastik-plastik dari Sekolah Santa Angela Bandung dibawa ke Cikasimukan. Sekolah Santa Angela memberikan pinjaman tanah untuk dikelola Ningsih.”Tanah itu sedang didiamkan untuk menetralisir pestisida yang berhamburan,” kata Ningsih.

Akademisi, perusahaan, TV, koran tertarik apa yang dilakukan Ningsih. ia mendapat penghargaan A Tribute Real Women di hari Kartini 2010 dari Plaza Semanggi, Village Mall dan Kantor Berita Nasional Antara. Jepang, Singapura pernah mengundangnya untuk memberikan saran pengelolaan sampah. Unilever menawarkan

Page 79: Buku apresiasi perempuan

69

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan

kerjasama dalam bentuk iklan selama setahun. “Aku bukan sombong tak mau menerima tawaran itu. Tapi mereka tak mau juga memenuhi apa yang ku syaratkan. Minyak tanpa plastik, sabun tanpa plastik heheh.”.Ningsih tertawa.

“Gak mungkin kemana-mana wong Ningsih cuma lulusan SD,” cibiran tetangga Ningsih yang sering emak dengar di Solo. emak menangis kalau ada tetangga yang mengatakan seperti itu. Suara emak terputus karena tenggorokan tak kuasa lagi menceritakan perjalanan Ningsih. “Semoga cita-cita Ningsih membangun sekolah untuk orang tak mampu tercapai,” kata emak mengakhiri pembicaraan.

Zakat sering dikumandangkan oleh orang muslim dalam bentuk uang. Ningsih mengajak seluruh elemen masyarakat menzakatkan sampah plastik dari rumahnya.

“Apa yang dilakukan Ningsih sebuah terobosan atau pengorbanan dalam menelurkan gagasan besar tentang kemandirian masyarakat,” kata Ryan seorang staf Ahli Walikota Bandung melalui telepon.*****

***** Dikisahkan oleh Kartini Susandi, staf Eksekutif Nasional WALHi.

Page 80: Buku apresiasi perempuan

70

Peluh Pembebasan: Bunga Rampai Kiprah Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber-Sumber Kehidupan