Buku Ajar Sosiolinguistik

36
Materi Sosiolinguistik (Makalah ini disusun untuk digunakan bahan bacaan matakuliah Sosiolinguistik) Dosen Pengampu: Dr. Hisyam Zaini, MA Oleh: Nur Nissa Nettiyawati 1320410213 KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2013

description

Materi Sosiolinguistik

Transcript of Buku Ajar Sosiolinguistik

Materi Sosiolinguistik

(Makalah ini disusun untuk digunakan bahan bacaan matakuliah Sosiolinguistik)

Dosen Pengampu:

Dr. Hisyam Zaini, MA

Oleh:

Nur Nissa Nettiyawati

1320410213

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN

KALIJAGA YOGYAKARTA

2013

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan bermasyarakat seseorang tidak mungkin hidup

menyendiri tanpa kehadiran orang lain atau tanpa bergaul dengan orang lain. Hal

ini membuktikan bahwa pada hakekatnya manusia memang merupakan makhluk

sosial. Manusia secara naluriah terdorong untuk bergaul dengan manusia lain,

baik untuk menyatakan keberadaan dirinya, mengekspresikan kepentingannya,

menyatakan pendapatnya, maupun untuk mempengaruhi orang lain demi

kepentingan sendiri, kepentingan kelompok, kepentingan bersama. Berkenaan

dengan hal tersebut bahasa memegang peranan yang sangat penting.

Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi, dalam arti luas. Joko

Nurkamto (2001: 205) menjelaskan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses

transaksi dinamis yang memandatkan komunikator menyandi (to code)

perilakunya, baik verbal maupun nonverbal, untuk menghasilkan pesan yang

disampaikan melalui saluran tertentu dari komunikasi. Porter dan Samovar (1996)

mensinyalir bahwa komunikasi akan lengkap apabila komunikasi yang dimaksud

mempersepsi atau memahami perilaku yang disandi, memberi makna kepada

perilaku itu, dan terpengaruh olehnya (dalam Joko Nurkamto, 2001: 205).

Memang dalam kenyataannya, bahwa keberadaan bahasa dalam kehidupan

sosial tidak dapat dianggap sebagaimana dalam “ruang hampa”. Bahasa dipakai

sebagai wahana komunikasi manusia. Dalam hal ini Dwi Purnanto menjelaskan

bahwa setidak-tidaknya harus memiliki dua ciri utama; (1) bahasa digunakan

untuk mentransmisikan pesan dan (2) bahasa merupakan kode yang pemakaiannya

ditentukan bersama oleh warga suatu kelompok atau suatu masyarakat (dalam

MIBAS, 1999: 92). Oleh karena itu, bahasa merupakan aspek gejala sosial dalam

kehidupan manusia.

Mengingat bahasa merupakan gejala sosial, serta system lambing bunyi

yang arbitrer yang digunakan masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, serta

mengidentifikasikan diri, tentu saja faktor-faktor nonlinguistik atau faktor

eksternal bahasa sangat berpengaruh terhadap pemakaian bahasanya.

Faktor-faktor nonlinguistik tersebut misalnya faktor-faktor sosial, tingkat

pendidikan, tingkat ekonomi, jenis kelamin, umur, dan sebagainya. Faktor-faktor

nonlinguistik yang lain adalah faktor situasional, yaitu siapa yang berbicara,

dengan bahasa apa pembicaraan itu diselenggarakan, kepada siapa, kapan, di

mana, dan mengenai masalah apa pembicaraan itu. Adanya kedua faktor tersebut

dalam pemakaian bahasa menyebabkan timbulnya variasi bahasa (Fishman dalam

Suwito, 1996: 3-8).

Variasi bahasa adalah bentuk-bentuk bagian atau variasi bahasa yang

masing-masing memiliki pola-pola yang menyerupai pola umum bahasa induknya

(Poedjosoedarmo, 1989: 2), sedangkan pengertian variasi bahasa yang lain

diungkapkan oleh Suwito (1996:81) bahwa variasi bahasa adalah sejenis ragam

bahasa yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa

mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang

bersangkutan. Masih berkaitan dengan variasi bahasa, Abdul Chaer dan Leonie

Agustina (1995:81) mensinyalir bahwa dalam variasi bahasa atau ragam bahasa

terdapat dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai

akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa itu.

Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya

sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.

Lebih lanjut Poedjosoedarmo (1989:2) berpendapat bahwa variasi bahasa

tidak terbatas pada pemakaian bahasa lisan tetapi bahasa tulis. Variasi bahasa

pada pemakaian bahasa informal sering dapat mencerminkan suasana akrab,

harmonis, dan santai. Dalam peristiwa kontak bahasa sehari-hari seorang

mempunyai kebebasan untuk menggunakan bahasa yang menyimpang dari kaidah

yang berlaku selama tidak menimbulkan kesalahpahaman, karena seorang penutur

terkadang tidak bisa lepas dari kedwibahasaan tersebut, bahkan seorang penutur

pun dalam menggunakan bahasanya sebagai media pencurahan ide kreatif juga

banyak dipengaruhi oleh faktor sosio-kultural yang melingkupi aktivitas

kehidupannya.

BAB II

SOSIOLINGUISTIK; ASPEK TEORETIS

Sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan antara

bahasa dengan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu. Jadi jelas

sosiolinguistik mempertimbangkan keterkaitan dua hal, yakni linguistik untuk

segi kebahasaan dan sosiologi untuk segi kemasyarakatannya. Haugen (dalam

Chaklader, 1990:2-3) mengemukakan, dalam makalahnya “Some Issues In

Sociolinguistics” dalam sebuah buku yang berjudul Issues In Sociolinguistics,

bahwa istilah sosiolinguistik pertama kali diperkenalkan oleh Haver C. Currie

yaitu seorang guru besar (Profesor) di Universitas Houston, Texas 1952. Istilah ini

kemudian dipublikasikan di Amerika oleh William Bright dan dipresentasikan

dalam sebuah kongres Linguistik Internasional VIII di Cambridge 1962,

kemudian dikembangkan lagi dalam sebuah Konferensi Internasional yang lebih

formal di Los Angles, California 1962, dan menjadi populer hingga sekarang.

Istilah sosiolinguistik yang menekankan tentang pengkajian bahasa dalam

hubungannya dengan masyarakat, ada beberapa pakar yang mengemukakannya,

Hymes dalam Chaklader (1990:2) mengemukakan bahwa, “the term

sociolinguistics to the correlations between language and societies particular

linguistics and social phenomena,” artinya ‘istilah sosiolinguistik untuk

menghubungkan antara bahasa dan masyarakat serta bahasa dan fenomena dalam

masyarakat’. Bahkan Chaklader (1990: 2) sendiri mensinyalir bahwa,

”sociolinguistics concertretes its study upon the societally patterned variation in

languange usage” artinya ‘sosiolinguistik menekankan pada pengkajian atas

variasi pola-pola masyarakat dalam penggunaan bahasa’. Hal senada juga

diungkapkan oleh Hudson (1980: 4) bahwa “sociolinguistics as the study of

language in relation to society, inplying (intentionally) that sociolinguistics is

part of the study of language” artinya ‘sosiolinguistik sebagai pengkajian bahasa

dalam hubungannya dengan masyarakat mengimplikasikan bahwa sosiolinguistik

merupakan bagian dari ilmu bahasa’.

Pendefinisian lain yang senada adalah pendapat Pride yaitu “

sociolinguistics to study every aspect of use language that relates to its social and

cultural functions” artinya ’sosiolinguistik itu untuk meneliti setiap aspek dari

penggunaan bahasa yang berhubungan dengan fungsi sosial dan fungsi budaya’

(dalam Chaklader, 1990: 2).

Suwito mengemukakan bahwa sosiolinguistik mempelajari bahasa dalam

konteks sosio-kultural serta situasi pemakainya (1996: 6). Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa bahasa tidak saja dari sudut penturnya, tetapi juga dari sudut

pendengarnya, karena pemakaian bahasa pada hakekatnya adalah proses interaksi

verbal antara penutur dan pendenganrnya. Dalam proses interaksi, baik penutur

maupun pendengar selalu mempertimbangkan kepada siapa ia berbicara, di mana,

kapan, mengenai masalah apa, dan dalam situasi bagaimana, dan sebagainya,

seperti yang telah dijelaskan oleh Fishman (1975: 2). Hal yang serupa juga

dikemukakan oleh Pateda (1987: 3) bahwa yang dipersoalkan dalam

sosiolinguistik antara lain: “who speak to speak (or write), what language (or

what language variety), to whom, when, to what end”.

Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa sosiolinguistik memandang bahasa

(language) sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian

dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Dengan demikian bahasa tidak saja

dipandang sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial. Di

dalam masyarakat, seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah

dari yang lain. Ia merupakan anggota dari kelompok sosialnya. Hal ini

menyebabkan bahasa dan pemakaian bahasa tidak diamati secara individual, tetapi

selalu dihubungkan dengan kegiatannya dalam masyarakat (Suwito, 1996: 2).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik merupakan

kajian yang bersifat interdisipliner yang mengkaji masalah-masalah kebahasaan

dalam hubungannya dengan aspek-aspek sosial, situasional, dan budaya (culture).

Oleh sebab itu apabila seseorang berbicara dengan orang lain di samping masalah

kebahasaan itu sendiri, maka harus diperhatikan orang lain juga. Dengan

memperhatikan sosiolinguistik, masalah ketidaktepatan pemakaian bahasa dalam

konteks sosialnya dapat diminimalkan. Dengan memahami prinsip-prinsip

sosiolinguistik setiap penutur akan menyadari betapa pentingnya ketepatan

pemilihan variasi bahasa sesuai dengan konteks sosial, di samping kebenaran

secara struktural gramatikal.

Pada dasarnya sosiolinguistik dan linguistik mempunyai kesamaan metode

penbahasan yang keduanya selalu didasarkan pada hasil yang dikumpulkan secara

empiris dan ketat yang diterapkan pada sebuah data. Kesimpulan ditarik secara

induktif dari hasil analisis data yang ketat pula. Meskipun keduanya mempunyai

persamaan, keduanya juga mempunyai perbedaan-perbedaan yang cukup

signifikan. Sosiolinguistik selalu memperhatikan konteks pemakaian bahasa

(sastra) di dalam bentuk arti, perubahan bahasa, maupun pemerolehan bahasa.

Sedangkan linguistik dalam analisisnya semata-mata menyoroti dari segi struktur

bahasa sebagai kode.

Pada waktu orang akan berbicara, terlebih dahulu terbentuk suatu ide

bahkan kesan di dalam kepala orang tersebut. Jika saatnya telah tiba, pesan itu

disampaikan dalam bentuk ujaran yang kemudian didengar oleh orang yang diajak

berbicara atau orang yang kebetulan hadir di dalam peristiwa bahasa tersebut.

Dalam proses tutur ini pembicara selalu memperhitungkan faktor-faktor sosio-

kultural dan sosio- situasional di samping faktor-fakror linguistik secara

gramatikal.

Komponen tutur yang dianggap sebagai konteks sosial yang banyak

dipengaruhi wujud wacana yang dituturkan oleh seseorang dalam suatu adegan

tuturan oleh Dell Hymes dalam Poedjosoedarmo (1989: 4) disebut “Speech

Component”, bahkan lebih jauh Hymes menjelaskan bahwa terdapat enam belas

komponen yang harus dikenali. Banyak komponen itu yang digabungkan menjadi

satu karena mengandung redudancies dan tumpang tindih. Untuk mempermudah

cara mengingat Hymes dalam Suwito (1992) mengusulkan formulasi Speaking

dalam bahasa Inggris yang diambil huruf-huruf awalnya, yaitu sebagai berikut:

(S): Setting dan Scene, yaitu tempat bicara dan suasana bicara (misalnya ruang

diskusi dan suasana diskusi). (P): Partisipant, yaitu pembicara, lawan bicara dan

pendengar, dalam diskusi adalah seluruh peserta diskusi. (E): End (purpose and

goal), tujuan akhiar diskusi. (A): Act, yaitu suatu suatu peristiwa di mana seorang

pembicara sedang mempergunakan kesempatan bicaranya. (K): Key (tone or spirit

of act), yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan dalam menyampaikan

pendapatnya, dan cara mengemukakan pendapatnya. (I): Instrumentalities, yaitu

alat untuk menyampaikan pendapat, misalnya secara lisan, secara tertulis, lewat

telepon dan lain sebagainya. (N): Norms (of interaction and interpretation), yaitu

aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta diskusi. (G): Genres

(bentuk dan ragam bahasa), yaitu jenis kegiatan diskusi yang mempunyai sifat-

sifat lain dari jenis kegiatan yang lain.

Menurut Poedjosoedarmo (1986: 4) berdasarkan penelitian di Jawa

memberikan patokan terhadap komponen-komponen tutur yang meliputi (1)

pribadi penutur, (2) warna emosi penutur, (3) maksud atau standart penutur, (4)

asal penutur, (asal kedaerahan, status sosial, profesi). (5) anggapan penutur

terhadap keadaan sosial serta relevansinya terhadap orang yang diajak bicara, (6)

adanya orang yang hadir di dalam percakapan, (7) adegan tutur (peristiwa tutur),

(8) pokok pembicaraan, (9) sarana tutur, (10) urutan bicara, (11) lingkaran

percakapan, (12) norma kebahasaan, (13) tipe wacana (register).

Apabila kita ingin mengerti dan memahami betul tentang arti sebuah

wacana, maka konteks tersebut di atas perlu diperhitungkan. Dengan kata lain,

pemahaman terhadap sebuah wacana sangan dipengaruhi berbagai konterks di

atas.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sosiolinguistik merupakan

cabang linguistik yang bertujuan menemukan prinsip-prinsip yang mendasar

bekerjanya bahasa dengan jalan yang lebih komprehensif dan dengan melibatkan

perhitungan pengaruh berbagai konteks sosial yang menjadi jalinannya (Labov

dalam Poedjosoedarmo, 1986).

a. Manfaat sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan studi tentang sifat-sifat bahasa, variasi bahasa,

fungsi bahasa, dan pemakaian bahasa dalam jalinan interaksi serta fungsi bahasa

dalam masyarakat. Sumbangan yang dapat diberikan sosiolinguistik dalam kajian

bahasa sastra antara lain:

1) Sosiolinguistik dapat memberikan gambaran keadaan sosial suatu

masyarakat berkaitan dengan bahasanya.

2) Sosiolinguistik dapat digunakan untuk mendeskripsikan adanya variasi-

variasi yang ada dalam masyarakat tertentu.

3) Sosiolinguistik dapat membantu untuk menentukan atau memilih variasi

bahasa mana yang akan kita gunakan yang sesuai dengan situasi dan

fungsinya.

Sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang bertujuan menemukan

prinsip-prinsip yang mendasar beberapa bahasa dengan jalan lebih komprehensif

dan dengan melibatkan perhitungan pengaruh berbagai konteks sosial (Labov

dalam Poedjosoedarmo, 1986:4). Pengkajian sosiolinguistik pada akhirnya harus

dapat menjelaskan adanya beberapa variasi bahasa, variasi tuturan seperti dialek,

gaya bahasa, ragam bahasa, tingkat tutur, membagi idiom serta mengungkapkan

relasi yang meliputi arti bahasa yang lebih mendalam. Studi tentang bahasa ada

yang dilakukan secara linguistik semata, namun ada pula yang disertai faktor

nonlinguistik. Secara linguistik dimaksudkan untuk merumuskan kaidah-kaidah

bahasa, menentukan pola-pola struktur bahasa, memberikan deskripsi tentang

bahasa serta berusaha menganalisis bahasa berdasarkan hakikat bahasa itu sendiri

sebagai objek yang mandiri.

b. Hubungan sosiolinguistik dan bahasa sastra

Bahasa bagi seorang sastrawan atau penyair merupakan sebuah media untuk

menuangkan ide-ide sekaligus sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan

tertentu pada masyarakat. Ide-ide tersebut bersumber dari dari intuisi, imaji, dan

pengalaman diri peribadi seorang sastrawan dalan masyarakatnya. Oleh karena itu

karya sastra merupakan suatu karya tulis yang intuitif, karya tulis yang imajinatif,

dan sekaligus sebagai karya seni, sebab diciptakan dengan karya kreasi sastrawan

atau penyair yang merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang berjiwa

seni. Menurut Siswo sugiarto (1996: 20) bahasa sastra dapat dimanfatkan

sedemikian rupa, sehingga dalam fungsinya bahasa sastra dapat mendukung

kemampuan daya cipta sastrawan itu sendiri. Bahkan bahasa tidak saja sebagai

media penciptaan, tetapi sekaligus merupakan bahasa yang bernilai seni.

Hubungan bahasa dan sastra yang khas adalah seperti yang terlihat dalam

drama, baik di atas pentas maupun sebagai teks untuk dibaca (Novel) (Khaidir

Anwar, 1990: 55). Di sini bahasa dipakai tidak dalam situasi wajar pemakaian

bahasa. Yaitu untuk berkomunikasi pada umumnya, untuk melakukan fungsi

interaksi sosial. B. Rahmanto (1999:74) mensinyalir bahwa unsur-unsur

kebahasaan dalam karya sastra (novel) merupakan sumber bahasa yang cukup luas

untuk dikaji dan dipelajari. Unsur-unsur yang perlu dikaji dan dipelajari antara

lain meliputi dialek, register, idiolek personal dan sebagainya. Begitu juga karya

seni dalam bentuk sastra (fiksi dan drama) menggunakan bahasa untuk

menciptakan sebuah dunia yang berbeda yang dapat disaksikan orang lain secara

nyata melalui tuturan serta adegan-adegan tokoh yang “dihidupkan” sang

sutradara.

Bahasa sastra yang digunakan dalam karya sastra mempunyai ciri khas

tersendiri yaitu lebih mengedepankan aspek estetis yang senantiasa bernuansa

hiburan dan sekaligus sebagai media penyampai pesan-pesan pengarang melewati

tokoh-tokoh yang “dihidupkan” di dalamnya. Novel sebagai salah satu bentuk

karya sastra disajikan oleh pengarang dengan karakteristik bahasa yang berbeda.

Perbedaan itu tergantung dari cara pengarang itu sendiri di dalam meyajikan

karyanya. Di dalam karya fiksi (novel) tersebut pengarang melewati peranan

tokoh-tokohnya menyajikan tuturan yang sesuai dengan kapasitas dan status sosial

tokoh-tokoh tersebut, sehingga dalam tuturan tokoh-tokoh tersebut banyak

dijumpai adanya peristiwa-peristiwa kebahasaan sesuai dengan perbedaan latar

belakang sosio-situasional dan sosio-kultural bahasanya. Peristiwa kebahasaan

tersebut misalnya ditemukannya alih kode, campur kode bahkan tidak jarang

adanya penggunaan struktur gramatikal dari bahasa lain (Jawa) dalam tuturan

sebuah bahasa tertentu.

Menurut Cumming dan Simons (1986:vii) karya sastra (novel) mempunyai

status khusus sebagai seni verbal, dimana bahasa sebagai inti semiotika

kemanusiaan yang merupakan aktivitas yang bermakna dalam komunitasnya.

Dengan demikian bahasa sastra atau bahasa cipta sastra dapat dikaji secara

makrolinguistik dan secara mikrolinguistik. Kajian bahasa dari segi

makrolinguistik yang bersifat interdisipliner berarti kajian bahasa yang

menggunakan beberapa bidang kajian. Kajian bahasa sastra secara sosiolinguistik

berarti kajiannya menggunakan teori sosiologi dan linguistik.

Sosiolinguistik sosiologi bahasa merupakan salah satu “pisau” analisis

kebahasaan untuk mengkaji bahasa sastra dengan memperhitungkan hubungan

antara bahasa dan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa itu. Jadi

jelas dalam hal ini, kajian sosiolinguistik mempertimbangkan hubungan antara

linguistik untuk segi kebahasaan dan sosiologi untuk segi kemasyarakatannya dan

karya sastra (seni verbal) sebagai obyek kajiannya.

Dengan demikian, kehadiran sosiolinguistik bagi sebuah bahasa sastra tidak

hanya sekedar kritik, tetapi juga memberikan kontribusi dengan berusaha

menguraikan peristiwa-peristiwa tuturan bahasa berdasarkan faktor sosio-

situasional yang dilakukan oleh para tokoh cerita dengan latar belakang sosialnya

masing-masing berdasarkan fungsi dan karakternya.

c. Bilingualisme dan diglosia

1. Bilingualisme (kedwibahasaan)

Suatu masyarakat atau daerah yang memiliki atau memakai dua bahasa,

maka masyarakat atau daerah itu disebut daerah atau masyarakat yang

berdwibahasa atau bilingual. Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut

dwibahasawan atau orang yang bilingual (berdwibahasa) (Nababan, 1993: 27).

Hal senada juga diungkapkan oleh Sinung Hartadi (2001: 48) bahwa dalam

masyarakat tutur yang terbuka tentu akan juga mengalami kontrak bahasa dengan

segala fenomena kebahsaan sebagai akibatnya. Peristiwa kebahasaan yang

mungkin terjadi sebagai akibat kontak bahasa itu antara lain disebut bilingualisme.

Ketika seseorang memakai dua bahasa dalam pergaulan dengan orang lain,

dia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan yang disebut

bilingualisme. Jadi bilingualisme adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa

dalam interaksi dengan orang lain. Jika berpikir tentang kesanggupan atau

kemampuan seseorang berdwibahasa, yaitu memakai dua bahasa, kita disebut

bilingualitas (dari bahasa Inggris “bilinguality”). Jadi orang yang “berdwibahasa”

mencakup pengertian kebiasaan memakai dua bahasa, atau kemampuan memakai

dua bahasa. Menurut Nababan (1993: 27) membedakan “kedwibahasaan” (untuk

kebiasaan) dan “kedwibahasawanan” (untuk kemampuan) dengan menggunakan

istilah “bilingualisme” dan “bilingualitas.” Selanjutnya bilingualitas merupakan

suatu kemampuan seseorang menggunakan dua bahasa atau lebih.

Weinreich (1968: 1) menjelaskan, “the practice of alternately using two

languages will be called bilingualisme, and the person involved, bilingual”

artinya ‘peristiwa pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh

seseorang penutur disebut kedwibahasaan, dan orang yang berdwibahsaan disebut

dwibahasawan’.

Hubungan logika antara bilingualisme dan bilingualitas, adalah bahwa tidak

semua yang mempunyai bilingualitas mempraktekkan bilingualisme dalam

kehidupan sehari-hari, sebab ini tergantung pada situasi kebahasaan

lingkungannya. Dapat saja orang yang tahu dua bahasa menggunakan satu bahasa

selama dia di satu tempat atau keadaan (dalam waktu yang pendek atau lama), dan

memakai bahasa yang kedua kalau dia berada di tempat atau keadaan yang lain

(dalam waktu pendek atau lama). Bilingualisme seperti ini dilaksanakan secara

berurutan yang dapat berjarak waktu yang lama.

Namun dapat juga kita mengerti bahwa tidak dapat seseorang mengerjakan

bilingualisme tanpa dia mempunyai bilingualitas. Dengan kata lain mengerjakan

bilingualisme berimplikasi pada bilingualitas: atau seorang harus mempunyai

dahulu bilingualitas sebelum dia dapat mengerjakan bilingualisme (Nababan,

1993: 28). Sementara Fishman (1975: 28) juga menggambarkan bilingualisme

(yang disebut diglossia) dan bilingualitas (yang disebut bilingualism) dalam

diagram 1 seperti berikut ini:

Diagram 1

Bilingualisme dan Bilingualitas

Bilingualisme

+ -

+

Bilingualitas

-

Segi empat 1 menunjukkan orang yang dalam kehidupan sehari-hari (secara

biasa) menggunakan dua bahasa. Segi empat 2 menggambarkan orang yang

mempraktekkan bilingualisme dengan jarak waktu yang lama, sehingga dia dapat

kita anggap sebagai “monolingual” dalam setiap kurun waktu. Segi empat 3 tidak

mungkin pada tingkat individu, sebab tidak mungkin orang mengerjakan

bilingualisme tanpa mempunyai bilingualitas; hal ini ditandai dengan

membubuhkan tanda bintang (*) di depan nomor 3. Segi empat 4 menggambarkan

orang yang hanya tahu satu bahasa; inilah bahasawan yang sejati (Nababan, 1993:

29). Fishman sebenarnya memakai diagram ini untuk suatu masyarakat, tatapi kita

pergunakan diagram ini di sini untuk individu (perorangan).

Namun pengertian tentang kedwibahasaan selalu berkembang yang

mempunyai kecenderungan meluas karena istilah kedwibahasaan bersifat nisbi

atau relatif (Suwito, 1996: 48). Pada mulanya kedwibahasaan selalu diartikan

sebagai native control of two languages (mempunyai dua bahasa seperti

menguasai bahasa ibunya) (Bloomfileld, 1968: 56), kedwibahasaan yaitu jika

kemapuan dalam kedua bahasa itu kira-kira sama maka itu disebut bilingualitas

seimbang atau disebut oleh Halliday (1964) ambilingualism atau dalam

peristilahan kita ambilingualitas (dalam Nababan, 1993: 33).

Pendapat lain tentang kedwibahasaan dijelaskan oleh Haugen dalam Suwito

(1996: 49), bahwa kedwibahasaan sebagai tahu dua bahasa (knowladge of two

languages). Ini berarti bahwa dalam hal kedwibahsaan seorang dwibahasawan

1 2

*3 4

tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi cukuplah ia mengetahui

secara pasif suatu bahasa oleh seorang penutur dapat ikut menciptakan kondisi

kebahasaan yang menyimpang dari kaidah-kaidah yang sebenarnya kurang

dikuasai. Hal itu dapat terjadi pada dwibahasawan.

Secara umum bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh

seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian

(Mackey, 1962: 12) menurut Weinreich (1974:1) praktek penggunaan bahasa

sebagai berikut:

“The practice of alternatively using two language will be called

bilingualism, and the persons involed, Bilingual. Those instances of deviation

from the norms of either language whith more than one language, i.e. as a result

of language contact, will be refered to as interference phenomena”.

‘Praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian disebut bilingualisme

dan orang yang terlibat di dalamnya disebut bilingual. Sedangkan contoh

penyimpangan dari norma-norma bahasa yang terjadi dalam ujaran para bilingual

sebagai akibat dari familiaritas mereka dengan bahasa lebih dari satu, yaitu

sebagai akibat kontak bahasa dikenal sebagai fenomena interferensi’.

Harimurti Kridalaksana (1985: 26) membagi kedwibahasaan (bilingualisme)

kedalam tiga kategori: Pertama, bilingualisme koordinat (coordinate

bilingualism), dalam hal ini penggunaan bahasa dengan dua atau lebih sistem

bahasa yang terpisah. Seseorang bilingual koordinat, ketika menggunakan satu

bahasa, tidak menampakkan unsur-unsur dari bahasa lain. Pada waktu beralih ke

bahasa yang lain tidak terjadi percampuran sistem. Kedua, Bilingualisme

majemuk (compound bilingualism) di sini penutur bahasa menggunakan dua

sistem atau lebih yang terpadu. Seorang bilingual majemuk sering “mengacaukan”

unsur-unsur dari kedua bahasa yang dikuasainya. Ketiga, bilingualisme sub-

ordinat (sub-ordinate bilingualism), fenomena ini terjadi pada seseorang atau

masyarakat yang menggunakan dua sistem bahasa atau lebih secara terpisah.

Seseorang yang bilingual sub-ordinat masih cenderung mencampuradukkan

konsep-konsep bahasa pertama ke dalam bahasa kedua atau bahasa asing yang

dipelajarinya.

Dari penjelasan di atas dapat dicermati bahwa kedwibahasaan

memperlihatkan beberapa ciri antara lain sebagai berikut:

1. Kedwibahasaan terjadi akibat adanya kontak bahasa, karena kontak bahasa

merupakan gejala bahasa (langue) yang selayaknya nampak dalam

kedwibahasaan yang merupakan gejala tutur (parole) dan langue adalah

sumber parole.

2. Kedwibahasaan erat kaitannya dengan dwibahasawan, karena keberadaan

dwibahasawan menentukan ada tidaknya kedwibahasaan.

3. Kedwibahasaan merupakan pemakaian dua bahasa secara bergantian oleh

seorang penutur, dapat meliputi pemakaian dua variasi bahasa, sehingga

dalam kedwibahasaan paling tidak harus ada dua bahasa dan boleh lebih.

4. Kedwibahasaan bukan merupakan gejala bahasa (langue) tetapi sifat atau

karakter penggunaan bahasa, ia bukan ciri kode parole, kedwibahasaan

milik individu tidak seperti bahasa yang merupakan pengungkapan atau

ekspresi, bukan bagian langue tetapi bagian dari milik kelompok.

5. Kedwibahasa ditandai dengan dipergunakannya dua bahasa atau lebih oleh

seseorang, tetapi keduanya itu mempunyai peranan sendiri-sendiri di

dalam masyarakat pemakai bahasa.

d. Diglosia (diglossia)

Selain kedwibahasaan, terdapat pula peristiwa yang menyangkut pemakaian

dua bahasa atau lebih yang dipergunakan oleh seseorang atau sekelompok orang

di dalam suatu masyarakat, yakni yang disebut dengan istilah diglosia. Robins

(1992: 497) menyatakana bahwa istilah diglosia mengacu kepada keadaan yang

relatif stabil di mana sebuah bahasa atau salah satu ragam bahasa yang bergengsi

tinggi tumbuh berdampingan dengan bahasa lain, masing-masing dengan

fungsinya yang khusus dalam komunikasi.

Diglosia merupakan gejala sosial. Suatu masyarakat yang mempergunakan

dua bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi disebut masyarakat yang diglosik.

Menurut Suwito (1996: 61-62), di dalam masyarakat diglosik terdapat

kecenderungan adanya penilaian terhadap bahasa yang “tinggi” dan bahasa yang

“rendah”. Pertama yang digunakan dalam situasi formal dan berkesan

bermartabat, sedang yang kedua dipergunakan dalam situasi informal yang kurang

bermartabat. Meski kelas pemilihan pemakaian antara keduanya, makin stabil

situasi diglosik dalam masyarakat yang bersangkutan.

Istilah diglosia pertama kali dikemukakan oleh seorang guru besar bahasa

Inggris di Texas, sekitar tahun 30-an. Kemudian pada tahun 1958 seorang sarjana

Stanford C.A Fergusson mengutarakan ke dalam sebuah simposium. Fergusson

dalam artikelnya yang berjudul “Diglossia” mendefinisikan diglosia sebagai

berikut:

“Diglossia is a relatively stable language situation in which, in addition to

the primary dialects of the language (which may include a standard or regional

standards), there is very divergent highly condifeid (often gramatically more

complex) superposed variety, the vehicle of a large and respected body of written

literature, either of an earlier period or in another speech community, which is

learned largely by formal education and is used for must written and formal

spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary

conversation” (dalam Hudson, 1980: 54).

‘Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil, di mana selain dari

dialek-dialek utama satu bahasa (yang mungkin mencakup satu bahasa baku atau

bahasa-bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat

terkodifikasikan (sering secara gramatik lebih komplek) dan lebih tinggi, sebagai

wahana dalam keseluruhan kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati,

baik pada kurun waktu terdahulu maupun pada masyarakat ujaran lain, yang

banyak dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam

tujuan-tujuan oleh masyarakat apapun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa’

(dalam Alwasilah, 1989: 123).

Pemahaman Fergusson berawal dari fakta pembicara sering menggunakan

lebih dari dari satu variasi bahasa dalam suatu suasana tertentu dan menggunakan

variasi yang lain dalam kondisi yang lain pula. Dia juga mencatat bahwa terdapat

kasus dua variasi bahasa hidup berdampingan dalam masyarakat, dengan masing-

masing bahasa itu memiliki peranan tertentu. Kasus tersebut disebut diglosia.

Pengertian diglosia juga mempunyai kecenderungan meluas, seperti kata

Fishman (1975: 73), “Initally it was used in conection with a society that

recognized two (or more) languages for into a societally communication.”

Artinya ‘pada hakekatnya adalah suatu yang dipergunakan untuk menyebut suatu

masyarakat yang mengenal dua bahasa atau lebih untuk berkomuniksi di antara

anggotanya’.

Dalam Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistic

(1996: 22) dikemukakan bahwa “When two languages or languange varieties

exist side by side in community and each one is used for different pueposses, this

called diglossia,” artinya ‘terdapat dua bahasa yang hidup berdampingan dalam

satu masyarakat yang sama tetapi masing-masing bahasa memiliki fungsi atau

peranannya itu adalah masyarakat yang diglosik’. Dalam diglosia ini terdapat

bahasa yang digunakan dalam situasi yang bersifat resmi, sedangkan yang lainnya

bisa digunakan dalam situasi yang tak resmi.

Dari uraian di atas terlihat bahwa diglosia tidak lagi terbatas pada

pemakaian dua variasi dari satu bahasa di dalam suatu masyarakat seperti yang

dikemukakan oleh Fergusson, tetapi termasuk juga pemakaian dua dialek atau dua

logat dalam masyarakat yang sama. Jadi diglosia merupakan gejala sosial. Suatu

masyarakat disebut diglosik apabila di dalam masyarakat itu dipergunakan dua

bahasa atau lebih sebagai alat berkomunikasi yang masing-masing bahasa tersebut

mempunyai fungsi yang berbeda-beda pula. Secara garis besar dapat dikemukakan

ciri-ciri dari diglosia yang merupakan refleksi dari pengertian-pengertian di atas

sebagai berikut: Pertama, digunakannya dua variasi dari satu bahasa atau dua

bahasa yang hidup berdampingan dalam suatu masyarakat. Ciri ini menunjukkan,

bahwa dua variasi atau lebih hidup berdampingan yang digunakan oleh suatu

kelompok masyarakat tertentu. Kedua, kedua variasi atau bahasa itu mempunyai

peranan sendiri-sendiri di dalam masyarakat pemakainya. Ciri ini menunjukkan

bahwa pemakaian variasi atau bahasa ini tidak dapat secara sembarangan dalam

penggunaannya. Dengan kata lain, penggunaan variasi bahasa ini sangat

tergantung pada tempat, lawan bicara, situasi, dan keperluannya. Bahasa yang satu

digunakan dalam situasi yang bersifat resmi, sedang yang lainnya biasa digunakan

dalam situasi yang tak resmi.

c. Hubungan sinergis bilingualisme dan diglosia

Kedwibahasaan dan diglosia pada hakekatnya adalah peristiwa yang

menyangkut pemakaian dua bahasa yang dipergunakan oleh sekelompok orang di

dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, antara kedua peristiwa tersebut

nampak adanya hubungan yang sinergis yang mewarnai sifat masyarakat tuturnya.

Dalam hubungan ini Fishman dalam (Suwito, 1983: 58 dan Alwasilah, 1989: 144)

menyebutkan bahwa terdapat empat jenis masyarakat tutur yang menunjukkan

hubungan timbal balik seperti itu, yaitu:

Pertama, Masyarakat yang diglosik dan dwibahasawan (diglossia and

Bilingualism), masyarakat tutur yang diglosik dan dwibahasawan merupakan

msyarakat tutur yang secara keseluruhan menggunakan dua bahasa sebagai alat

berkomuniksi, tetapi di dalam masyarakat itu kedua bahasa tersebut dipergunakan

sesuai dengan fungsinya masing-masing. Contohnya bangsa Paraguay (yang

menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Gurani sebagai bahasa asli dan bahasa

Spanyol sebagai bahasa peninggalan penjajahan), Amerika Serikat, India, dan

Switzerland.

Kedua, masyarakat yang diglosik tetapi tidak dwibahasawan (Diglossia

Without Bilingualism) adalah masyarakat tutur yang ditandai dengan adanya dua

atau lebih masyarakat tutur yang secara politis, ekonomis, dan religius

dipersatukan kedalam satu kesatuan namun perbedaan sosiokultural tetapi

memisahkannya. Gejala semacam ini tampak di Eropa sebelum perang dunia

pertama, pada waktu sebelum perang dunia pertama di Eropa terdapat dua

masyarakat tutur yaitu masyarakat orang-orang elit Eropa yang biasanya

menggunakan bahasa “tinggi” untuk tujuan-tujuan tertentu dalam hubungan intra

kelompoknya dan masyarakat kebanyakan yang tidak mempunyai kebiasaan

demikian menggunakan bahasa lain dalam hubungan intra kelompoknya. Karena

sebagian besar kaum elit tidak pernah berinteraksi langsung dengan sebagian

besar msyarakat orang kebanyakan, maka kedua kelompok masyarakat tersebut

tidak pernah membentuk satu masyarakat tutur tersendiri. Kedua kelompok

tersebut tetap merupakan dua masyarakat tutur yang terpisah. Komunikasi yang

dilakukan di antara mereka selalu menggunakan penerjemahan sebagai pertanda

adanya ekabahasawan intra kelompok. Dalam masyarakat yang demikian ini tidak

terdapat adanya kedwibahasaan dan dwibahasawan.

Ketiga, masyarakat yang dwibahasawan tetapi tidak diglosik (Bilingualism

without Diglossia), keadaan masyarakat tutur yang dwibahasawan dan tidak

diglosik terdapat dalam masyarakat yang menggunakan dua bahasa sebagai alat

berkomunikasi. Kedua bahasa tersebut tidak menunjukkan adanya pembagian

fungsi dan penggunaannya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bahasa tersebut

dapat dipakai untuk keperluan apapun, kepada siapapun, dimanapun, serta dalam

situasi bagaimanapun. Contohnya adalah masyarakat tutur di Montreal (Kanada)

yang mempergunakan bahasa Inggris dan Perancis secara bersama-sama.

Keempat, masyarakat yang tidak diglosik dan tidak dwibahasawan (Neither

Diglossia nor Bilingualism). Keadaan masyarakat yang demikian ini agak langka

dan tidak begitu jelas. Lebih jelasnya tentang hubungan antara bilingualisme dan

diglosia seperti tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1

Hubungan antara bilingualisme dan diglosia

BILINGUALISM

+ _

DIGLOSIA

+

-

1. Diglosia and

Bilingualisme

2. Diglossia without

bilingualism

G

_

3. Bilingualism without

diglossia

4. Neither diglossia nor

bilingualism

BAB III

PERISTIWA KONTAK BAHASA

Bahasa yang bertemu dengan bahasa lain pasti terjadi kontak. Mac Key

(1968: 554) menjelaskan bahwa kontak bahasa adalah pengaruh bahasa yang satu

dengan bahasa yang lain secara langsung ataupun secara tidak langsung. Dalam

kegiatan sehari-hari kita tidak biasa lepas dari proses komunikasi dengan bahasa,

maka tidak jarang timbul peristiwa interferensi. Kontak bahasa yang

menimbulkan interferensi sering dianggap peristiwa negatif, karena masuknya

unsur-unsur bahasa pertama ke dalam bahasa kedua kedua atau sebaliknya

menyimpang dari kaidah bahasa masing-masing. Weinreich (1953: 1) mensinyalir

bahwa interferensi adalah penyimpangan kaidah salah satu bahasa pada seorang

dwibahasawan akibat pemakaian bahasa lebih dari satu.

Proses terjadinya kontak bahasa dalam suatu interaksi linguistik harus

mengetahui hubungan peran yang ada di antara peserta percakapan. Hal penting

yang perlu diperhatikan adalah bahwa kontak bahasa itu merupakan hasil bersama

(joint production). Salah satu implikasinya para pemakai bahasa harus saling

memperhatikan pembicaraan dalam kontak tersebut (Abdul Syukur Ibrahim, 1993:

171). Pengetahuan tentang hal itu diperoleh bersamaan atu sekaligus dengan

pengetahuan dasar bahasa pertama atau bahasa ibu. Pengetahuan tersebut juga

merupakan bagian dari norma-norma serta perilaku kemasyarakatan yang

merupakan dasar bagi berdirinya suatu masyarakat bahasa. Eksistensi suatu

masyarakat bahasa banyak bergantung pada norma-norma serta perilaku sosial.

Peristiwa kontak bahasa terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi di

mana seseorang belajar bahasa kedua di dalam masyarakatnya. Dalam situasi

seperti itu dapat dibedakan antara situasi belajar bahasa, proses pemerolehan

bahasa, dan orang yang belajar bahasa (Suwito, 1983: 39). Dalam interaksi sosial

terjadi kontak bahasa saling pengaruh dan mempengaruhi. Orang yang lebih aktif

dalam berbicara, akan banyak mendominasi dalam proses interaksi tersebut. Tak

heran apabila suatu bahasa sering dipakai dalam berkomunikasi, maka

kemungkinan besar bahasa tersebut akan mengalami perkembangan dalam

pemakaiannya.

Dari uraian di atas, lingkungan bahasa juga mempunyai peranan yang sangat

penting pada hasil belajar bahasa seseorang. Lingkungan menunjuk pada kontak

anak. Kontak bahasa yang berhubungan dengan lingkungan dapat dijelaskan

dengan pengertian bahwa semakin banyak kontak bahasa dilakukan dengan

berbagai lingkungan (domain), akan semakin baik hasilnya (Herman J. Waluyo,

1987: 85).

Lingkungan kontak bahasa dapat dibagi menjadi delapan macam, yaitu

sebagai berikut:

a. Lingkungan tempat anak tinggal (rumah tangga) yaitu apabila seseorang anak

tinggal dalam keluarga terpelajar dan mampu membimbing, mengarahkan dan

membantu anak belajar bahasa target akan memiliki kemampuan berbahasa

yang lebih baik dan komunikatif dari pada anak yang tinggal dalam keluarga

yang tidak terpelajar.

b. Lingkungan tempat anak berinteraksi sosial dan bermasyarakat yaitu

linkungan yang kondusif dan dapat memberikan keleluasaan belajar bahasa

target. Lingkungan ini sangat mendukung dalam memberi kemudahan belajar

anak sehingga menghasilkan anak yang berkemampuan berbahasa lebih baik.

Lingkungan kota yang menyediakan berbagai macam fasilitas belajar bahasa

lebih baik akan menghasilkan anak yang berkemampuan berbahasa lebih baik

dari pada lingkungan desa.

c. Lingkungan tempat seseorang bekerja yang memungkinkan seseorang banyak

mempergunakan bahasa target dalam aktivitas keseharian akan

mempermudah seseorang belajar bahasa target.

d. Lingkungan tempat anak belajar (sekolah) yaitu bahwa sekolah yang

memberikan fasilitas, kemudahan, dan keleluasaan belajar bahasa akan

menghasilkan siswa yang berkemampuan berbahasa yang lebih baik. Begitu

pula sekolah yang memiliki disiplin dalam menggunakan bahasa Indonesia,

baik sebagai pengantar pngajaran maupun alat komunikasi; akan

menghasilkan siswa yang berkemampuan berbahasa lebih baik.

e. Lingkungan tempat anak bersuku bangsa adalah bahwa anak yang berasal

dari daerah yang berbahasa ibu sama/memiliki kesamaan dengan bahasa

target akan lebih mudah mempelajari bahasa target dari pada anak yang

berasal dari daerah lain.

f. Lingkungan tempat anak bermain yaitu bahwa lingkungan anak bermain

berpengaruh pada tindak berbahasa anak. Anak banyak mendapat pengalaman

berbahasa lingkungannya. Anak banyak mendapat pengalaman berbahasa

lingkungannya. Lingkungan yang menciptakan interaksi anak sebaya,

berpendidikan lebih tinggi atau interaksi yang mungkin terjadi antara anak

yang berbahasa ibu bahasa Indonesia dan bukan akan berpengaruh pada

tindak berbahasa tersebut. Di samping pengalaman yang banyak di dapat,

interaksi pada lingkungan anak bermain dapat merangsang anak untuk

mencoba/meningkatkan kemampuan berbahasa.

g. Lingkungan tempat anak mengikuti siaran radio, televisi, dan membaca surat

kabar ialah anak yang memiliki kesempatan mengikuti siaran tersebut di atas

dan mencoba akan memiliki bekal ilmu pengetahuan lebih banyak dan hasil

belajar yang lebih baik.

h. Materi bacaan yang dibaca siswa, hal ini dimaksudkan bahwa semakin

banyak bacaan yang dibaca siswa maka hal ini akan banyak membantu siswa

dalam mengembangkan referensi dalam berbahasa.

Berbagai faktor sosial menentukan penggunaan bahasa penutur. Semua

penutur adalah multidialek atau multistilistik dalam pengertian bahwa mereka

mengadaptasikan gaya (style) berbicara mereka untuk menyesuaikan dengan

situasi sosial tempat bahasa tersebut digunakan (Abdul Syukur Ibrahim, 1993:

214). Anak didik merupakan mahluk sosial yang berinteraksi antar sesamanya

dengan mempergunakan bahasa. Dengan demikian, harus dianggap bahwa

anak didik adalah makhluk yang berbicara. Seorang guru bahasa Indonesia

harus tahu bagaimana latar belakang kebahasaan anak didik (Mansur Pateda,

1992: 98).

a. Campur kode (code mixing)

Campur kode merupakan penggunaan dua bahasa atau lebih atau ragam

bahasa secara santai antara orang-orag yang kita kenal dengan akrab. Dalam

situasi yang berbahasa yang formal ini, seseorang dapat mencampur kode (bahasa

atau ragam) yang mereka miliki terutama istilah-istilah yang tidak dapat

diungkapkan dalam bahasa lain (Subyakto, 1992:106).

Hal senada juga diungkapkan Nababan dalam (Sarwiji Suwandi, 2008: 87)

bahwa, suatu keadaan berbahasa apabila orang memcampur dua (atau lebih)

ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada

sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu, dalam

keadaan demikian hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaan penutur yang

dituruti; tindak bahasa yang demikian kita sebut campur kode (Nababan, 1984:

32). Salah satu ciri yang menonjol dalam campur kode adalah penggunaannya

dalam keadaan santai atau situasi informal. Campur kode jarang digunakan dalam

ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai itu, sehingga perlu

memakai kata atau ungkapan bahasa asing (Nababan, 1984: 32).

Ciri lain dari campur kode adalah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-

variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi

sendiri. Unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara

keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam konteks yang maksimal

campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguistics convergence) yang

unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah

meninggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya (Suwito,

1996: 88-89).

Menurut Thalender dalam Suwito (1996: 89) unsur-unsur bahasa yang

terlibat dalam “peristiwa campur kode” (code co-occurance) itu hanya terbatas

pada tingkat klausa. Apabila dalam suatu tuturan terjadi percampuran atau

kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda di dalam satu klausa yang sama,

maka peristiwa itu disebut campur kode. Klausa-klausa yang berisi campuran dari

beberapa variasi yang berbeda disebut klausa baster.

1. Ciri-ciri campur kode

Campur kode terjadi akibat pemakaian suatu bahasa dari satu bahasa ke

bahasa yang lain, untuk itu campur kode mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

a) Adanya aspek saling ketergantungan yang ditandai dengan adanya timbal

balik antara peranan dan fungsi kebahasaan.

b) Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasi yang menyisipi dalam bahasa

lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri, melainkan menyatu dengan

bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan mendukung satu fungsi.

c) Wujud dan komponen tutur tidak pernah sampai berwujud kalimat,

melainkan hanya berwujud kata, frasa, idiom, bentuk baster, perulangan

kata, dan klausa.

d) Pemakaian bentuk campur kode tertentu kadang-kadang bermaksud

untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam

masyarakat.

e) Campur kode dan kondisi yang maksimal merupakan konvergensi

kebahasaan yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang

masing-masing telah meninggalkan fungsinya dan mendukung fungsi

bahasa yang disisipinya. Unsur tersebut bisa berbentuk campur kode ke

dalam (inner code-mixing) dan campur kode keluar (outer code-mixing).

2. Latar belakang terjadinya campur kode

Apabila seorang penutur dalam tuturannya bercampur kode, maka harus

ditanyakan lebih dahulu siapakah dia. Dalam hal ini sifat-sifat khusus penutur

(latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan, dan sebagainya)

sangat penting. Sifat-sifat khusus penutur akan mewarnai campur kodenya. Di

pihak lain fungsi kebahasaan menentukan sejauh mana bahasa yang dipakai oleh

si penutur memberi kesempatan untuk bercampur kode.

Menurut Suwito (1996: 90-91), latar belakang terjadinya campur kode pada

dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu: pertama, tipe yang berlatar

belakang sikap (atitudinal type) dan kedua, tipe yang berlatar belakang

kebahasaan (linguistic type). Kedua tipe ini saling bergantung dan tidak jarang

bertumpang tindih (overlap). Atas dasar latar belakang sikap dan kebahasaan yang

saling bergantung dan bertumpang tindih seperti itu, dan kita identifikasikan

beberapa alasan atau penyebab yang medorong terjadinya campur kode. Alasan

itu antara lain, (1) identifikasi peranan, (2) identifikasi ragam, dan (3) keinginan

untuk menyelesaikan dan menafsirkan.

Campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peran

penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar

belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk

mendukung fungsi-fungsi tertentu pula. Pemilihan bentuk campur kode demikian

dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas kepribadiannya dalam

masyarakat.

c. Klasifikasi bentuk campur kode

Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat dalam campur kode,

Suwito (1996: 92-94) membedakan campur kode menjadi enam macam sebagai

berikut.

1) Penyisipan unsur-unsur berwujud yang kata. Kata yang dimaksudkan

adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri dari morfem tunggal

atau gabungan morfem (Kridalaksana, 1993: 87).

2) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa. Yang dimaksud dengan

frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak

predikatif, gabungan kata itu dapat rapat dan dapat renggang

(Kridalaksana, 1993: 59)

3) Penyisipan unsur-unsur yang berbentuk baster. Baster adalah hasil

perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda yang membentuk satu

makna.

4) Penyisipan unsur-unsur yang berbentuk perulangan kata. Perulangan

kata yang dimaksud adalah kata yang dihasilkan dari proses

reduplikasi.

5) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom. Idiom

yang dimaksudkan adalah konstruksi dari unsur-unsur yang saling

memilih, masing-masing anggota memiliki makna yang ada karena

bersama dengan anggota yang lain (Kridalaksana, 1993: 80).

6) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa. Klausa adalah satuan

gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya

terjadi dari subyek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi

kalimat (Kridalaksana, 1993: 110).

5. Alih kode (code switching)

Alih Kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain

dalam pemakaian bahasa. Namun karena di dalam suatu kode terdapat beberapa

kemungkinan variasi bahasa (variasi regional, kelas sosial, ragam, gaya, maupun

register) maka peristiwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, alih

gaya, atau alih register. Peralihan demikian dapat diamati lewat tingkat tata bunyi,

tata bentuk, tata kalimat, maupun tata wacana (Suwito, 1996: 80).

Dalam alih kode penggunaana dua bahasa (atau lebih) itu ditandai dengan

(1) masing-masing bahasa mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan

konteksnya, (2) fungsi bahasa masing-masing disesuaikan dengan situasi yang

relevan dengan perubahan konteks, tanda-tanda yang demikian itu oleh Kacru

disebut dengan unit-unit kontekstual (contextual units). Ciri-ciri ini menunjukkan

bahwa di dalam alih kode masing-masing bahasa masih mendukung fungsi

tersendiri secara eksplisit, dan peralihan kode menunjukkan suatu gejala adanya

saling ketergantungan anatar fungsi kontekstual dan fungsi relevansial dalam

pemakaian dua bahasa atau lebih. Appel memberikan batasan alih kode sebagai

gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi.

Menurut Poedjosoedarmo variasi bahasa atau bahasa yang terpakai itu

memiliki arti sendiri-sendiri, maka alih kode sebenarnya juga memiliki arti yang

sesuai dengan arti kode yang ditujunya. Dengan kata lain alih kode itu tidak

berjalan secara arbitrer, melainkan ada arti yang sesuai dengan arah peralihan

kode serta arti dari masing-masing kode itu (1986: 13). Pada umumnya orang

berganti kode dari kode yang satu ke kode yang lain tidak seenaknya saja,

melainkan mengikuti pola-pola tertentu (Anwar, 1990: 41).

Menurut Hymes (dalam Suwito, 1996: 81) berdasarkan pengertian kode,

bahwa alih kode terjadi mungkin antar bahasa, antar varian, (baik rasional maupun

sosial), antar register, antar ragam, atau antar gaya. Bertolak dari sini

kemungkinan dapat terjadi peristiwa alih kode dengan wujud alih varian, alih

ragam, alih register, atau alih gaya. Peralihan ini dapat diperhatikan melalui

tingkat-tingkat tata bunyi, tata bentuk, tata kata, tata kalimat, dan tata wacana.

a. Ciri-ciri alih kode

Ada dua hal yang merupakan ciri dalam alih kode yang dapat diperhatikan

dalam pertuturan sehari-hari. Ciri alih kode tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, adanya saling ketergantungan (language dependency) dalam

masyarakat multilingual. Maksudnya tidak mungkin dalam masyarakat

multilngual terjadi pemakaian satu bahasa secara mutlak dan murni oleh seorang

penutur tanpa memanfaatkan bahasa lain. Hal ini menyebabkan dalam alih kode

masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan

konteksnya. Fungsi-fungsi bahasa tersebut disesuaikan dengan situasi yang

relevan dengan peralihan kodenya. Dengan demikian dalam alih kode terjadi

adanya suatu gejala ketergantungan antar fungsi kontekstual dan situasi relevan

dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

Kedua, dalam peristiwa alih kode mungkin terjadi kontinum, yaitu

“peralihan antar” dari kode yang satu ke kode yang lain. Ini sering terjadi pada

alih kode yang sifatnya intern dan dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan

situasi agar dalam peralihan kode itu tidak terasa mengejutkan. Hal ini biasanya

disertai dengan kata-kata sapaan tertentu.

Alih kode intern (inner code switching) adalah alih kode yang terjadi antar

bahasa daerah dalam satu bahasa nasional, antar dialek dalam satu bahasa daerah,

atau antar ragam dalam satu dialek bahasa. Sedangkan alih kode ekstern (outer

code switching) terjadi antara bahasa asli dengan bahasa asing. Dalam

kenyataannya alih kode intern dan ekstern dapat terjadi dalam satu peristiwa bila

fungsi kontekstual dan situasi relevansialnya dirasa cocok oleh penutur.

b. Latar belakang terjadinya alih kode

Alih kode merupakan peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh faktor-

faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor yang sifatnya sosio-situasional

kontekstual. Menurut Endang Nurhayati dalam (Sosiohumanika, 2001: 75-76)

menjelaskan bahwa alih kode terjadi karena seseorang memahami beberapa

bahasa, variasinya, dan fungsi kemasyarakatannya. Adapun faktor-faktor

penyebab terjadinya alih kode menurut Suwito (1996: 85-87) adalah sebagai

berikut:

1) Penutur (O1) kadang dengan sadar berusaha beralih kode dengan lawan

bicaranya karena suatu maksud. Misalnya seorang penutur yang sering

menggunakan bahasa asing dalam percakapan dengan maksud agar kelihatan

lebih ekslusif/terpelajar.

2) Lawan tutur (O2). Karena tiap penutur ingin mengimbangi lawan tutur, maka

tiap penutur akan beralih kode sebanyak yang dilakukan oleh lawan tutur.

Lawan tutur biasanya terbagi menjadi dua, yaitu (1) O2 yang berlatar belakang

kebahasaan sama dengan O1, menyebabkan terjadinya alih kode dengan wujud

alih varian, alih ragam, alih gaya, alih register. (2) O2 yang berlatar belakang

lain dengan O1, yang mungkin mengakibatkan alih kode dari bahasa daerah

satu ke bahasa daerah lain yang dikuasainya, dari bahasa daerah ke bahasa

nasional, atau mungkin dari bahasa keduanya ke bahasa asing.

3) Hadirnya penutur ketiga (O3). Bila dalam situasi tutur terdapat tiga orang yang

berasal dari daerah yang sama maka menggunakan bahasa daerahnya dalam

beralih kode, tetapi sebaliknya bila ketiganya, berasal dari daerah yang

berbeda, maka O1 dan O2 akan beralih menggunakan bahasa yang dikuasai

oleh ketiganya, hal ini dilalukan untuk menetralisir keadaan sekaligus

menghormati O3.

4) Pokok pembicaraan (topik). Pokok pembicaraan merupakan faktor dominan

dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan ada dua yaitu: (1)

pokok pembicaraan formal, seperti mengenai masalah kedinasan, yang

mengakibatkan pembicaraan menggunakan ragam bahasa baku, gayanya netral

dan disampaikan secara serius; (2) Pokok pembicaraan informal, seperti

masalah kekeluargaan, persaudaraan, kesetiakawanan, yang mengakibatkan

pembicaraan menggunakan ragam bahasa tak baku, gaya sedikit emosional,

dan serba seenaknya.

5) Untuk membangkitkan rasa humor. Untuk mengubah suasana satu ke suasana

yang lain yang lebih menyegarkan biasanya digunakan alih kode yang

berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya, bicara, dan sebagainya. Biasanya

hal ini dilakukan oleh seorang guru dalam kelas, pelawak, pemimpin rapat, dan

sebagainya.

6) Untuk sekedar gengsi. Sebagai penutur ada yang beralih kode untuk bergengsi.

Hal ini dilakukan bila faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor-faktor

sosio-kultural kontekstual yang lain tidak mengharuskan ia beralih kode.

Dengan kata lain baik fungsi kontekstual atau pun situasi relevansinya tidak

mendukung untuk beralih kode.

Di samping hal di atas yang secara umum lazim dikemukakan sebagai faktor

penyebab terjadinya alih kode, sesungguhnya masih banyak faktor atau variabel

lain yang dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Penyebab itu biasanya

berkaitan dengan verbal repertoire yang terdapat dalam suatu masyarakat tutur

serta bagaimana status sosial yang ditentukan oleh para penutur terhadap bahasa-

bahasa atau ragam-ragam bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu.

Wardhaugh (1986: 102-103) membedakan alih kode menjadi dua macam

yaitu situasional dan metaforis. Alih kode situasional terjadi apabila bahasa yang

dipergunkan berganti sewaktu pembicara sadar bahwa situasi tertentu mereka

menggunakan bahasa tertentu, sedang pada situasi yang lain dipergunakan bahasa

yang lain juga, tetapi topik pembicaraan tidak berubah. Alih kode metaforis terjadi

apabila pergantian dua bahasa (atau lebih) itu disebabkan oleh perubahan topik

pembicaraan. Alih kode metaforis mempunyai dimensi afektif: kode beralih

apabila situasinya berubah, misalnya dari formal ke nonformal, dari resmi ke

personal, dari serius ke humor, atau dari sopan ke solider.

6. Perbedaan campur kode dan alih kode

Berdasarkan uraian di atas maka perbedaan antara campur kode dan alih

kode sebagaimana tergambar dalam tabel 2 berikut ini:

Tabel 2

Perbedaan antara campur kode dan alih kode

N

o

.

Campur Kode Alih Kode

1

.

2

.

CK adalah suatu keadaan

berbahasa ketika orang

mencampur dua atau lebih

bahasa atau ragam bahasa

dalam suatu tindak bahasa

tanpa ada sesuatu dalam situasi

berbahasa itu yang menuntut

percampuran bahasa.

Ciri CK adalah bahasa yang

tercampur tidak menduduki

fungsi tersendiri, melainkan

telah menyatu dengan fungsi

bahasa yang disisipinya.

Berdasarkan bahasa sumbernya

Alih kode (AK) adalah peristiwa

peralihan dari satu kode (bahasa)

ke kode yang lain.

Pada AK tiap-tiap bahasa masih

mendukung fungsi tersendiri sesuai

dengan konteksnya dan fungsi tiap-

tiap bahasa di sesuaikan dengan

perubahan konteks.

3

.

4

.

5

.

maka CK dibedakan menjadi

dua yaitu CK intern (inner

code mixing) dan CK ektern

(outer code Mixing).

Berdasarkan unsur-unsur

kebahasaan yang terlibat di

dalamnya, CK dapat dibagi

atas kata, frase, idiom, kata

ulang, dan klausa.

Berdasarkan latar belakang

terjasdinya CK dapat

disebakkan identifikasi

peranan, identifikasi ragam,

dan keinginan untuk

menjelaskan dan menafsirkan.

Berdasarkan bahasanya, AK dibagi

menjadi dua macam yaitu AK

intern (inner code switching) dan

ektern (outer code switching).

Faktor penyebab AK antara lain

penutur, lawan tutur, hadirnya

orang ketiga (O3), topik

pembicaraan, untuk menimbulkan

rasa humor, dan hanya sekedar

bergengsi.

7. Faktor-faktor sosio-situasional dan variasi bahasa

Pemakaian bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh faktor linguistik saja tetapi

juga dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistik yang berpengaruh terhadap

pemakaian bahasa misalnya status sosial, jenis kelamin, tingkat pendidikan, umur,

tingkat ekonomi dan sebagainya. Sedangkan faktor situasional yang

mempengaruhi adalah siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa,

kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.

Adanya kedua faktor itu dalam pemakian bahasa menimbulkan variasi

bahasa. Variasi bahasa adalah bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa

yang masing-masing memiliki pola-pola yang menyerupai pola variasi bahasa

induknya (Soepomo dalam Suwito, 1983: 28), istilah variasi bersifat netral, dalam

pengertian peristiwanya mungkin terdapat dalam masyarakat yang luas dan besar

dan mungkin terdapat dalam masyarakat kecil, bahkan terdapat dalam pemakaian

bahasa perorangan. Adapun wujud variasi itu dapat berupa ideolek, dialek, ragam

bahasa, register maupun unda usuk.

Wujud variasi bahasa yang berupa ideolek merupakan suatu istilah untuk

menyebut sifat-sifat khas dari penutur yang tidak memiliki penutur yang lain.

Sifat-sifat khas itu disebabkan oleh faktor fisik maupun faktor psikis yang dapat

mengakibatkan sifat khas pula dalam tuturanya. Jadi sifat khas tuturan seseorang

yang berbeda dengan tuturan orang lain dikenal dengan istilah idiolek.

Dialek adalah variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai

(Kridalaksana, 1985: 39). Sehubungan dengan istilah itu dikenal ada dua dialek

yaitu (1) dialek geografis adalah variasi bahasa yang timbul karena perbedaan asal

daerah penuturnya (regional maupun lokal) dan (2) dialek sosial atau sosiolek

adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh perbedaan kelas sosial penuturnya.

Abdul Chaer dan Leonie Agustina mensinyalir bahwa terjadinya keragaman

dan kevariasian bahasa bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak

homogen semata, tetapi juga karena aktivitas interaksi sosial masyarakat yang

mereka lakukan sangat beragam. Keragaman tersebut semakin bertambah apabila

bahasa yang digunakan oleh masing-masing penutur sangat banyak, serta dalam

wilayah atau kawasan yang sangat luas (1995: 80).

Perbedaan-perbedaan bahasa yang terjadi menghasilkan ragam-ragam

bahasa yang disebut dengan istilah–istilah yang berbeda-beda pula. Ragam bahasa

yang berhubungan dengan daerah atau lokasi geografis disebut dengan dialek;

ragam bahasa yang berhubungan dengan kelompok sosial disebut sosiolek; ragam

bahasa yang berhubungan dengan situasi berbahasa atau tingkat formalitas disebut

fungsiolek; dan ragam bahasa yang disebabkan oleh perkembangan waktu disebut

kronolek.

Keempat dimensi variasi bahasa tersebut dapat digambarkan oleh Nababan

(1993: 14) dengan diagram 3 sebagai berikut:

Diagram 3

Dimensi variasi bahasa

Dalam diagram tersebut D menggambarkan wariasi geografis (dialek), S

menggambarkan sosiologis (sosiolek), F menggambarkan variasi fungsional

(fungsioek) dan K menggambarkan variasi perjalanan waktu (kronolek).

Abdul Chaer dan Leonie Agustina (1995: 92) dan Nababan (1993: 22)

membagi variasi bahasa menjadi lima ragam bahasa yaitu:

1) Ragam baku ( frosen) adalah ragam bahasa yang paling resmi yang sering

digunakan dalam situasi khidmat dan upacara-upacara resmi.

2) Ragam resmi (formal) adalah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato

resmi, rapat dinas, atau rapat resmi.

3) Ragam usaha (consultative) adalah ragam bahasa yang sesuai dengan

pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat usaha

yang berorientasi pada hasil atau produksi.

F

K

S

D

d

4) Ragam santai (casual) adalah ragam bahasa santai antar teman dalam

berbincang-bincang.

5) Ragam akrab (intimate) adalah ragam bahasa antar anggota yang akrab dalam

keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara secara lengkap

dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan ucapan-ucapan pendek.

Abdul Chaer dan Leonie Agustina (1995: 90) menyebut adanya variasi

register. Variasi register ini berdasarkan bidang pemakaian yaitu menyangkut

bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra,

jurnalistik, militer, ilmiah, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.

Abdul Wahab. 1991. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya:

Airlangga University Press.

Abdul Syukur Ibrahim. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.

_______________________ 1995. Sosiolinguistik. Surabaya: Usaha Nasional.

Ahmad Tohari. 2001. Bekisar Merah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

_____________ 2001. Belantik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bloomfield, Leonard. 1976. Language. New York: Holt, Rine hart and Winston.

Chaedar Alwasilah. 1989. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

Chakledar, Snehamoy. 1990. Sociolinguistics, A Guide to Language Problem in

India. New delhi India: Mittal Publications.

Cummings dan R. Simmons. 1986. The Language of Leterature. England:

Peogeon Press ltd.

Dulay dkk. 1982. Language Two. New York: Oxford University.

Edi Subroto. 1976. “Hakekat Bahasa dan Realisasinya dalam Puisi,” dalam

Majalah Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa.

___________. Dkk. 1991. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Jawa. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan kebudayaan.

__________. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta:

Sebelas Maret University Press.

Endang Nurhayati dan I Dewa Putu Wijana. 2001. “Alih Kode dalam Pergelaran

Wayang Kulit di Yogyakarta.” Dalam Jurnal SOSIOHUMANIKA.

Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada

Yogyakarta.

Ervin, S.M. and Osgood, C.E. 1965. Second Language Learning and

Bilingualism. Bloomington: Indiana University Press.

Fishman, Joshua. 1975. Sociolinguistics, a Brief Introduction. Publiser Rowley,

Massachusitts.

Ganjar Harimansyah Wijaya. 2001. Kajian Stilistika Puisi Indonesia Tahun 1990-

an. TESIS. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Harimurti Kridalaksana. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

______________________ . 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende: Nusa

Indah.

Herman J. Waluyo. 1987. Penelitian Bahasa II. Surakarta: UNS Press.

Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics, Cambridge: University Press.

Joko Nurkamto. 2001. “Berbahasa dalam Budaya Konteks Rendah dan Budaya

Konteks Tinggi” dalam Jurnal Linguistik Indonesia. Jakarta:

Masyarakat Linguistik Indonesia Bekerjasama dengan Yayasan Obor

Indonesia.

Ketut Rindjin dkk. 1981. Interferensi Gramatikal Bahasa Bali dalam Pemakaian

Bahasa Indonesia Murid Sekolah Dasar di Bali. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Khaidir Anwar. 1990. Fungsi dan Peranan Bahasa: Sebuah Pengantar.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Mansur Pateda. 1987.Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Miles, Matthew B. dan A. Michael Hubermam. 1992. Analisis Data Kualitatif,

(terjemahan Tjetjep Rohendi) Jakarta: UI Press.

Nababan P.W.J. 1993. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Robins R.H. 1992. Linguistik Umum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.

Richards, Jack C. 1974. Error Analisys. London: Longman Group Limited.

Sawali Tuhusetya. 2002. “Intrik Seks di Lingkaran Kekuasaan.” Dalam Harian

Suara Merdeka, edisi 10 Maret.

Samsuri. 1982. Analisis Bahasa. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Soepomo Poedjosoedarmo. 1986. “Kode dan Alih Kode” dalam Jurnal

Widyaparwa 15. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.

________________________.1989. Perkembangan Sosiolinguistik. Yogyakarta:

Balai Penelitian Bahasa.

Soediro Satoto.1993. Metode Penelitian Sastra. Surakarta: UNS Press.

Sinung Hartadi.2001. Interferensi Gramatikal Bahasa Jawa dalam Pemakaian

Bahasa Indonesia Lisan Siswa Kelas I Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama Kabupaten Sukoharjo. TESIS. Surakarta: Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Siswo Sugiarto.1996. “Bahasa dan Sastra” dalam Majalah FILLITRA. No. 05

Edisi Juni – Oktober.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Suwito.1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta:

Henary Offset.

_____ . 1996. Sosiolinguistik. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Sutrisno Hadi. 1983. Metodologi Research. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Sutopo. H.B. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Metodologi Penelitian untuk

Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya. Surakarta: UNS PresS.

Taryono Huda. 1981. Interferensi Gramatikal Tertentu Bahasa Tulis Murid Kelas

VI SD Jawa Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa.

Teeuw. A. 1983. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

________.1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wardhaugh, Ronald. 1988. An Intrduction to Sociolinguistics. New York: Basil

Blackwell.

Weinreich, Uriel. 1974. Languages in Contact. Paris: The Hague.

Valdman, Albert (ed). 1966. Trends in Language Teaching. New York: Mc. Graw

Hill.