Buku Ajar Komunikasi Satelit
Click here to load reader
-
Upload
lukmanul-hakim-fachrie -
Category
Documents
-
view
1.078 -
download
131
Transcript of Buku Ajar Komunikasi Satelit
Tugas Dr.Ir. Zulfajri Basri Hasanuddin, M.Eng.
\\
OLEH :RAHMANIA (P2700210019)
SAKTIANI KARIM (P27002100SRI SARNA (P27002100
DEWI ARISYANTI (P27002100
KONSENTRASI TEKNIK TELEKOMUNIKASI DAN INFORMASIPROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................
DAFTAR ISI .........................................................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................................
BAB I PENGANTAR SISKOMSAT.......................................................................
1.1 Dasar Komunikasi Satelit ..................................................................
1.2 Milestone Satelit System .......................................................................
1.3 Menentukan Ketinggian Satelit ...........................................................
1.4 Parameter Umum Sistem Komunikasi Satelit.........................................
1.5 Alokasi Frekuansi Satelit .....................................................................
1.6 Kelebihan dan Kekurangan satelit.........................................................
BAB II ORBIT DAN SATELIT..............................................................................
2.1 Jenis-Jenis Orbit Satelit .......................................................................
2.2 Jenis Satelit.............................................................................................
2.3 Pergerakan Satelit .................................................................................
B A B I I I G R O U N D S E G M E N T D A N S P A C E S E G M E N T ...
3.1 Ground Segment ...................................................................................
3.2 Space Segment ......................................................................................
BAB IV PENGHITUNGAN PARAMETER SATELIT ........................................
4.1 Pointing Antena.....................................................................................
4.2 Parameter-Parameter Siskomsat...........................................................
4.3 Satuan Pengukuran Transmisi Satelit .................................................
4.4 Jarak Pisah Satelit dilihat dari Stasion Bumi ..........................................
4.5 Menentukan Daerah Kemiringan (Slant Range) Stasion Bumi
dengan Satelit.........................................................................................
4.6 Menentukan Jarak Pisah Satelit Dilihat Dari Stasion Bumi.........................
4.7 Menentukan Gain Antena......................................................................
4.8 Menentukan Lebar Berkas (Beamwidth) θ3dB......................................
4.9 Menentukan Besarnya Side Lobe Antena Stasion Bumi...........................
BAB V LINK BUDGET.........................................................................................
5.1 Untuk Cuaca Cerah.................................................................................
5.2 Thermal Noise.........................................................................................
5.3 Signal To Noise Ratio............................................................................
5.4 Noise Antena...........................................................................................
5.5 Uplink......................................................................................................
5.6 Downlink.................................................................................................
5.7 Combined Uplink and Downlink C/N Ratio........................................
5.8 Intermodulation Noise............................................................................
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan Buku Ajar Sistem Komunikasi Satelit ini.
Penyusunan Buku Ajar ini dimaksudkan untuk mempermudah mahasiswa
dalam mempelajari materi Siskomsat dan mempermudah Dosen dalam
menyampaikan materi dalam perkuliahan. Meskipun isi dari Buku Ajar ini belum
mencakup semua materi namun diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan nilai
dengan mempelajari isi dari Buku Ajar ini.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa buku ini masih jauh dari yang
diharapkan. Oleh karena itu, tanggapan dan kritik yang sehat dan membangun dari
para pembaca demi perbaikan Diktat ini sangat penulis harapkan.
Hormat Kami,
Penulis
BAB I
PENGANTAR SISKOMSAT
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:
Mahasiswa dapat mengerti tentang dasar sistem komunikasi satelit, sejarah perkembangan satelit serta
kelebihan dan kekurangan satelit.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :
1. Memahami pengertian satelit
2. Memahami konsep tentang pergerakan satelit, penempatan satelit di orbit.
3. Memahami tentang pembagian frekuensi satelit
4. Memahami tentang kelebihan dan kekurangan satelit
1.1 Dasar Komunikasi Satelit
1.1.1 Pengertian Satelit
Satelit adalah suatu benda yang beredar di ruang angkasa dan mengelilingi bumi,
berfungsi sebagai stasiun radio yang menerima dan memancarkan atau memancarkan
memproses dan kembali dan atau menerima, memancarkan kembali sinyal komunikasi
radio. Ada dua jenis satelit yakni satelit alami dan satelit buatan. Planet bumi
yang kita tempati sekarang ini mempunyai obyek-obyek yang mengitari dirinya.
Diantara obyek-obyek tersebut adalah bulan, meteor dan benda angkasa lainya.
Masing-masing planet mempunyai jumlah satelit (bulan) yang berbeda-beda, contoh :
bumi hanya satu, venus minimal ada 4, merkurius ada 8 dll. Planet bumi itu sendiri
merupakan satelit bagi benda angkasa yang lebih besar, matahari contohnya, karena bumi
mengelilingi matahari. Ingat bahwa selain berputar pada porosnya ( rotasi yang memakan waktu
24 jam) bumi juga berevolusi yang memakan waktu 365 1/4 hari. Gambar di bawah ini akan
memperjelas uraian di atas:
Gambar 1.1 Konfigurasi Bumi, Satelit dan Matahari
Keterangan:
• Lingkaran kuning : Matahari
• Lingkaran hijau : Planet Bumi sebagai satelit matahari
• Lingkaran abu2 : Bulan sebagai satelit bumi
1.1.2 Hubungan Satelit dengan Sistem Komunikasi
Sistem Telekomunikasi yang berkembang pasca PD II masih menggunakan sistem
komunikasi hamburan troposfier sebagai media transmisi untuk menghubungkan
dua daerah yang terpisah cukup jauh. Perkembangan selanjutnya ditemukan teknologi
gelombang mikro yang memungkinkan transmisi dilakukan secara terestrial (tidak melalui
atmosfer). Selanjutnya serat optik menjadi teknologi yang diharapkan dapat menjawab
solusi untuk menyatukan dunia dalam satu sistem Telekomunikasi.
Komunikasi satelit dimulai sejak seorang penulis fiksi sains, pada bulan Mei 1945,
yang bernama Arthur C. Clarke menulis artikel yang dimuat di majalah Inggris Wireless
World yang merupakan cikal bakal konsep dari sistem komunikasi satelit yang berjudul
Extra Terrestrial Relay, yang secara singkat tulisannya sebagai berikut ;
”All these problems can be solve by the use of a chain of space-stations with an
orbital period of 24 hours, which would require them to be at a distance of 42.000
Km from the center of the earth”.
Yang diartikannya ke bahasa Indonesia adalah;
“Semua kendala komunikasi dapat diselesaikan dengan menempatkan beberapa
buah stasiun satelit (pengulang) di ruang angkasa dengan periode 24 jam sehari
dengan ketinggian 42.000 Km dari pusat bumi”.
Lebih jauh dikembangkan dalam khayalan Arthur C Clarke bahwa satelit
tersebut dapat dipergunakan sebagai repeater (pengulang) untuk keperluan komunikasi,
yaitu dengan menggunakan tiga buah satelit dengan orbit seperti diatas tetapi terpisah
120 derajat maka komunikasi antara dua tempat dari hampir seluruh dunia dapat
dilakukan, hanya sebagian kecil dari bumi yaitu daerah kutub utara dan selatan yang
tidak tercakup oleh sistem demikian.
Gambar 1.2 Ilustrasi Khayalan Arthur C Clarke
Sejak tulisan dari Arthur C. Clarke tersebut, maka para ilmuan berlomba untuk
menemukan rekaan Arthur C. Clarke tersebut. Salah satunya adalah Keppler’s Law yang
mempublikasikan konsepnya sebagai Keppler’s Law, dengan hukum tentang pergerakan
satelit, maka hukumnya sebagai berikut ;
1. Bidang orbits dari semua satelit memotong pusat bumi sama rata
2. Bumi merupakan titik pusat dari semua orbits
1.2 Milestone Satelit System
1945 : Athur Clarke menerbitkan essay tentang “Extra Terrestial Relays”
1955 : John R. Pierce menerbitkan artikel yang berjudul "Orbital Radio Relays"
1957 : Diluncurkan pertama kali satelit sputnic
1959 : Satelit cuaca pertama, Vaguard 2
1960 : Diluncurkan satelit komunikasi Refleksi ECHO
Suksesnya peluncuran satelit DELTA yang pertama
AT & T menerapkan FCC untuk ijin ujicoba satelit komunikasi
1961 : Memulai program TELSTAR, RELAY dan SYNCOM secara formal
1962 : Launching satelit TELSTAR dan RELAY
Beroperasinya satelit komunikasi (U.S.)
1963 : Diluncurkan satelit komunikasi Geostasioner SYNCOM
1964 : Terbentuknya INTELSAT
1965 : Komunikasi satelit Geostasioner komersial pertama di dunia, INTELSAT I
1969 : Seri INTELSAT III menyediakan cakupan secara global
1972 : Satelit komunikasi domestik pertama ANIK (Kanada)
1975 : INTELSAT IV merupakan satelit pertama yang menggunakan dual polarisasi
1975 : RCA SATCOM merupakan satelit pertama yang mengoperasikan body-
stabilized comm.
1976 : Satelit marisat untuk komunikasi maritim dan peluncuran PALAPA
1979 : Satelit INMARSAT terbentuk
1982 : Sistem telepon dengan satelit mobile , INMARSAT 4
1988 : Sistem satelit dengan komunikasi data dan telepon mobile, INMARSAT C
1993 : Sistem telepon denga digital satelit
1998 : Sistem satelit Global untuk Small Mobile Phones.
1999 : Peluncuran Telkom – 1
Untuk lebih lengkapnya milestone satelit dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1.1 Satelit yang Diluncurkan Pertama Kali oleh Negaranya
Order Negara Tahun Roket Satelit
1 Soviet Union 1957 Sputnik – PS Sputnik-1
2 United States 1958 Juno Explorer-1
3 France 1965 Diamant Asterix
4 Japan 1970 Lambda-4S Osumi
5 China 1970 Long March-1 Dong Fang Hong
6 United Kingdom 1971 Black Arrow Prospero X-3
7 India 1980 SLV Rohini
8 Israel 1988 Shavit Ofeq-1
- Ukraine 1992 Tsyklon-3 Strela
- Russia 1992 Soyuz-U Kosmos 2175
9 Iran 2009 Shafir-2 Omid
Tabel 1.2 Satelit yang Diluncurkan Pertama Kali oleh Negaranya maupun atas Bantuan Negara Lain
Negara Tahun Pertama
kali diluncurkan
Satelit Pertama Jumlah di Orbit
Pada Tahun 2010
Sovviet Union
Russia
1957
(1992)
Sputnik 1
(Cosmos 2175)
1437
United States 1958 Explorer 1 1099
United Kingdom 1962 Ariel 1 29
Canada 1962 Alouette 1 32
Italy 1964 San Marco 1 17
France 1965 Asterix 49
Australia 1967 WRESAT 11
Germany 1969 Azur 42
Japan 1970 Osumi 124
China 1970 Dong Fang Hong 1 108
Poland 1973 Intercosmos
Copernicus 500
1
Netherlands 1974 ANS 5
Spain 1974 Intaasat 9
India 1975 Aryabhata 45
Indonesia 1976 Palapa A1 10
Czhechoslovakia 1978 Margion 1 5
Bulgaria 1981 Intercosmos
Bulgaria 1300
1
Brazil 1985 Brasilsat A1 11
Mexico 1985 Morelos 1 7
Sweden 1986 Viking 11
Israel 1988 Ofeq 1 10
Luxemburg 1988 Astra 1A 15
Argentina 1990 Lusat 10
Pakistan 1990 Badr-1 5
South Korea 1992 Kisat A 12
Portugal 1993 Po-SAT1 1
Thailand 1993 ThaiCom1 6
Turkey 1994 Thurksat 1B 5
Ukreine 1995 Sich-1 6
Chile 1995 FaSat-Alfa 1
Malaysia 1996 Measat 4
Norway 1997 Thor2 3
Philipines 1997 Mabuhay1 2
Egypt 1998 Nilesat101 3
Singapore 1998 ST-1 2
Taiwan 1999 ROCSAT-1 9
Denmark 1999 Orsted 4
South Africa 1999 SUNSAT 2
Saudi Arabia 2000 Saudisat 1A 12
United Arab Emirates 2000 Thuraya 1 3
Morocco 2001 Maroc-Tubsat 1
Algeria 2002 Alsat 1 1
Greece 2003 Hellas Sat 2 2
Cyprus 2003 Hellas Sat 2 2
Nigeria 2003 Nigeria Sat1 2
Iran 2005 SINA-1 4
Kazakhztan 2006 KazSat1 1
Belarus 2006 BelKA 1
Colombia 2007 LiberTad1 1
Mauritius 2007 Rascom-QAF1 2
Vietnam 2008 VINASAT-1 1
Venezuela 2008 Venesat-1 1
Switzerland 2009 SwissCube-1 1
Tabel 1.3 Satelit TELKOM yang Sudah dan akan Diluncurkan
Gambar 1.3 Satelit Indonesia
1.3 Menentukan Ketinggian Satelit
Pada khayalan Arthur C. Clarke bahwa sebuah satelit yang mengorbit pada
ketinggian tertentu yang mempunyai periode sama dengan periode bumi berputar
akan sangat efektif dalam sistem komunikasi karena antena tidak perlu untuk mengikuti
pergerakan satelit ( lihat ilustrasi video). Untuk bisa menentukan ketinggian orbit satelit
yang dipakai maka diperoleh perhitungan sebagai berikut.
Ketinggian yang diperlukan untuk orbit geostasioner dapat diturunkan dari
dinamika gerak untuk suatu orbit lingkaran pada ketinggian h diatas tanah. Jika
kelilingnya adalah 2n (a+h), di mana a = 6371 km adalah jari-jari bumi
pergerakan dalam sebuah lingkaran. Berarti bahwa kecepatan kelilingnya V adalah
konstant, karena itu waktu satu orbit adalah :
Dari mekanika gaya sentripental pada sebuah satelit dengan massa M adalah :
Dimana g’ adalah percepatan grafitasi pada ketinggian satelit dan akhirnya dihubungkan
dengan percepatan gravitasi g = 9,8 m/s pada permukaan bumi oleh persamaan :
Karena itu diperoleh :
Dengan memasukkan persamaan di atas maka diperoleh
h = ( 5075 T 2/3 – 6371 ) km
Di mana T adalah waktu dalam jam, dengan kenaikan nilai T = 24 jam diperoleh h =
38,855 km. Dan nilai h ini sebagai ketinggian dari orbit geostasioner.
1.4 Parameter Umum Sistem Komunikasi Satelit
Dalam menjalankan sistem komunikasi dalam sebuah komunikasi satelit ada dua
elemen dasar yang ikut berperan di dalamnya mereka adalah Stasion Bumi (Ground
Segment) dan Satelit (Space Segment). Stasion Bumi akan mengirimkan sinyal
informasi ke arah satelit dengan menggunakan frekuensi yang dinamakan Frekuensi Up
Link dan sebaliknya satelit sebagai repeater tunggal di luar angkasa akan meneruskan sinyal
informasi ke arah tujuan dengan menggunakan Frekuensi Down Link. Masing-masing
besaran frekuensi up link dan down link tersebut mengikuti aturan yang distandarisasi oleh
ITU-T dengan mengkategorikan besarnya frekuensi sesuai dengan Band nya seperti di
bawah ini:
Tabel 1.4 Frekuensi Uplink dan Donlink Komunikasi Satelit
BAND UPLINK (GHz) DOWNLINK (GHz) Bandwidth (MHz)
C 5.9 - 6.4 3.7 - 4.2 500
X 7.9 - 8.4 7.25 - 7.75 500
Ku 14 - 14.5 11.7 - 12.2 500
Ka 27 - 30 17 – 20 Not fixed
3 0 - 3 1 2 0 – 2 1 Not fixed
Tabel di atas memperlihatkan susunan Band frekuensi untuk up link dan down link
dari komunikasi satelit yang berlaku secara seragam di seluruh dunia. Sama seperti
aplikasi di komunikasi gelombang mikro maka pertimbangan pemilihan band
frekuensi didasarkan atas tingkat kebutuhan aplikasi satelit tersebut. Jika sistem
komunikasi satelit yang dibangun membutuhkan bandwidth yang lebar maka lebih baik
untuk memilih Band frekuensi yang besar seperti Ku atau Ka. Sedangkan untuk efisiensi
daya maka dipilih band width yang kecil. Faktor lain yang harus diperhatikan dalam
pemilihan band frekuensi adalah bahwa semakin tinggi frekuensinya maka redaman
yang diakibatkan oleh air hujan akan semakin tinggi. Satelit yang ditempatkan di atas
ruang angkasa akan menjangkau wilayah yang luas di daratan bumi. Semakin besar
daya yang dipunyai oleh satelit tersebut maka luas wilayah yang dapat dijangkau
akan semakin lebar. Jangkauan wilayah satelit tersebut sering dikenal dengan istilah
footprint.
Gambar 1.4 Footprint Sebuah Satelit
Gambar 1.5 Tipe Footprint Satelit
Gambar 1.6 Foot Print Satelit Telkom 2
1.5 Alokasi Frekuensi Satelit
Pada umumnya transmisi VSAT menggunakan frekuansi pita C dan pita Ku. Pita Ku
banyak digunakan di wilayah Amerika Utara dan Eropa dengan menggunakan pita
frekuensi sekitar 14 GHz untuk lintasan ke atas dan 12 GHz untuk lintasan ke bawah,
dengan pita frekuensi yang relatif lebih besar ini maka antena VSAT yang digunakan relatif
lebih kecil. Sedangkan pita C digunakan di Asia dan Afrika, pita frekuensi relatif lebih
kecil sehingga antena yang digunakan relatif lebih besar.
Tabel 1.5 Alokasi Penggunaan Range Frekuensi
1.6 Kelebihan dan Kekurangan Satelit
Salah satu keunggulan sistem komunikasi satelit adalah "kemampuannya
menyelenggarakan telekomunikasi yang meliputi wilayah yang lebih luas, dengan waktu
yang relatif pendek". Sistem komunikasi satelit Palapa misalnya, digelar hanya dalam
waktu sekitar dua tahun, langsung mampu meliput kawasan Nusantara dan Asia Tenggara.
Sebaliknya, kelemahan sistem komunikasi satelit, yang pernah kita alami, antara lain
peluncuran tidak mencapai orbitnya.
Tanpa diperintah, satelit meninggalkan kavlingnya, dan gangguan rutin dari matahari,
sun outage. Gangguan yang terakhir ini terjadi lamanya hanya beberapa menit, terjadinya
beberapa kali setiap tahun, sifatnya lokal, dan waktu kedatangannya dapat diramalkan
dengan perhitungan komputer. Prinsip gangguan ini sangat sederhana, terjadi bila matahari,
satelit, dan sorot antena parabola pada garis lurus.
Maka operator stasiun bumi Satelit Palapa segera mematikan perangkat penjejak
satelit otomatis, auto track-nya, agar antena parabolanya tidak mencari cari satelitnya,
karena pada saat terjadi gangguan sinyal dari satelit tersembunyi di balik derau yang besar
dari matahari.
BAB II
ORBIT DAN SATELIT
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:
Mahasiswa dapat menjelaskan tentang penempatan satelit dalam orbit, jenis orbit satelit, jenis
satelit berdasarkan layananya dan tentang pengendalian satelit.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :
1. Memahami jenis orbit satelit beserta karakteristiknya
2. Memahami konsep tentang pergerakan satelit, penempatan satelit di orbit.
3. Mengetahui karakteristik satelit berdasarkan jenis layanan dan kepentingannya
4. Memahami sistem pengendalian satelit
2.1 Jenis-jenis Orbit Satelit
2.1.1 Basic Orbit
Dalam menjangkau daerah yang amat jauh dari perkotaan, misalnya daerah pedesaan
maupun daerah terpencil lainnya, termasuk di tengah laut, maka orang merekayasa sistem
wireless access yang lain dengan menggunakan teknologi Satelit. Maka dalam Sistem
Komunikasi Satelit, basic orbit di bagi menjadi tiga jenis basic orbits, yaitu ;
1. Circular Polar Basic
Basic Orbits ini dapat menjangkau ke seluruh permukaan bumi secara merata, oleh
sebab itu orbits ini dipakai untuk setelit-satelit keperluan riset ilmu pengetahuan,
metrologi / cuaca, militer, navigasi. Namun untuk keperluan komunikasi, diperlukan
sejumlah satelit agar hubungan komunikasi tetap konstan. Berikut gambar dari Circular
Polar Orbits:
Gambar 2.1 Circular Polar Orbits
2. Elliptical Inclined Orbits
Untuk keperluan komunikasi yang konstan tentunya revolusi dari orbit ini cukup
mengganggu dimana kita dapat berhubungan setiap 12 jam. Oleh karena itu, bentuk orbits
ini unik, dimana sudut inclinasinya membentuk sudut 630 (derajat), dan untuk sekali putar
dibutuhkan 12 jam sama dengan keperluan komunikasi. Untuk membentuk komunikasi
yang kontinu perlu disusun beberapa satelit yang saling bergantian. Keuntungan dari orbits
ini adalah dapat melampaui kutub utara dan kutub selatan, sehingga orbits ini dipakai oleh
sistem komunikasi satelit Soviet.
Gambar 2.2 Elliptical Inclined Orbits
3. Circular Equitorial Orbits
Bidang orbits ini memotong bidang equtor, dan jaraknya dari permukaan bumi sejauh
35.800 Km. Satelit yang terletak di orbits ini kecepatannya sama dengan kecepatan bumi,
oleh sebab itu orbits ini disebut juga orbits Geostasioner. Karena satelit pada orbits
kecepatannya sama dengan bumi, maka untuk keperluan komunikasi dapat berlangsung
selama 24 jam. Orbits ini banyak dipakai satelit komunikasi domestik maupun
internasional. Untuk sistem INTELSAT, satelitnya berada di orbit ini.
Gambar 2.3 Circular Equitorial Orbits
2.1.2 Berdasarkan Ketinggian
Berdasarkan ketinggiannya, orbit dapat dibedakan atas :
1. Low Earth Orbit ( LEO )
Satelit jenis LEO merupakan satelit yang mempunyai ketinggian 320 – 800 km di
atas permukaan bumi. Karena orbit mereka yang sangat dekat dengan bumi, satelit
LEO harus mempunyai kecepatan yang sangat tinggi supaya tidak terlempar ke
atmosfer. Kecepatan edar satelit LEO mencapai 27.359 Km/h untuk mengitari bumi
dalam waktu 90 menit. Aplikasi dari satelit jenis LEO ini biasanya dipakai pada
sistem Remote Sensing dan Peramalan Cuaca karena jarak mereka dengan
permukaan bumi yang tidak terlalu jauh. Pada masa sekarang satelit LEO yang
mengorbit digunakan untuk aplikasi komunikasi selular. Karena jarak yang tidak
terlalu jauh dan biaya yang murah, satelit LEO sangat banyak diluncurkan untuk
berbagai macam aplikasi. Akibatnya bahwa jumlah satelit LEO sudah sangat padat,
tercatat sekarang ada 8000 lebih satelit yang mengitari bumi pada orbit LEO seperti
pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.4 Jumlah Satelit LEO yang beredar di orbit
Gambar 2.5 Orbit Satelit LEO
Berikut adalah keuntungan dan kerugian satelit LEO:
2. MEO (Medium Earth Orbit)
Satelit pada orbit ini merupakan satelit yang mempunyai ketinggian di atas 10000
km dengan aplikasi dan jenis yang sama seperti orbit LEO. Namun karena jarak yang
sudah cukup jauh jumlah satelit pada orbit MEO tidaklah sebanyak satelit pada orbit
LEO. Satelit jenis MEO ini mempunyai delay sebesar 60 – 80 ms dengan keuntungan
dan kerugian sebagai berikut:
3. GEO ( Geostationery Earth Orbit)
Satelit GEO merupakan sebuah satelit yang ditempatkan dalam orbit yang posisinya
tetap dengan posisi suatu titik di bumi. Karena mempunyai posisi yang tetap maka waktu
edarnya pun sama dengan waktu rotasi bumi. Posisi orbit satelit GEO sejajar dengan
garis khatulistiwa atau mempunyai titik lintang nol derajat.
Gambar 2.6 Orbit Satelit GEO
Satelit GEO mempunyai jarak sebesar 35786 Km dari permukaan bumi. Pada
satelit dengan orbit GEO inilah yang akan banyak dibahas dan dijadikan sebagai contoh
perhitungan soal. Keuntungan satelit orbit GEO ini salah satunya adalah dalam mentracking
antena pengendalian dari suatu stasion bumi tidak perlu mengikuti pergerakan satelit
karena satelit tersebut sama periodenya dengan rotasi bumi. Bandingkan dengan tracking
antena pada satelit LEO yang harus mengikuti pergerakan satelitnya yang tidak sama
dengan periode bumi berputar. Kerugian dari satelit orbit GEO adalah karena jarak yang
sangat jauh dari permukaan bumi maka daya pancar sinyal haruslah tinggi dan sering terjadi
delay yang cukup signifikan. Cakupan satelit GEO pun sebenarnya tidak mencakup
semua posisi di permukaan bumi. Lokasi yang berada di kutub utara dan selatan tidak
dapat terjangkau dengan menggunakan satelit GEO karena foot printnya yang terbatas
seperti gambar di bawah ini.
Gambar 2.7 Footprint satelit GEO
Selengkapnya keuntungan dan kerugian satelit GEO adalah sebagai berikut:
Orbit berikut adalah orbit khusus yang digunakan untuk mengkategorikan satelit :
Orbit Molniya, orbit satelit dengan perioda orbit 12 jam dan inklinasi sekitar 63°.
Orbit Sunsynchronous, orbit satelit dengan inklinasi dan tinggi tertentu yang selalu
melintas ekuator pada jam lokal yang sama.
Orbit Polar, orbit satelit yang melintasi kutub.
Gambar 2.8 Gabungan Orbit Satelit
22
2.1.3 Orbit Berdasarkan Posisi Relatif Satelit terhadap Bumi
Ada posisi dasar orbit, tergantung posisi relatif satelit terhadap bumi :
1. Geostasioner (geostationary). Orbit ini juga dikenal sebagai geosynchronous atau
synchronous. Ketinggian orbit ini kira-kira 22.223 mil atau 1/10 jarak ke bulan.
Jalur ini juga dikenal sebagai ”tempat parkir satelit”, sebab begitu banyak satelit,
mulai dar satelit i cuaca, satelit komunikasi hingga satelit televisi. Akibatnya, posisi
masing-masing harus tepat agar tidak saling menginterferensi sinyal. Penerbangan
Space Shuttle yang terjadwal, menggunakan yang lebih rendah yang dikenal dengan
asynchronous orbit, yang berada pada ketinggian rata-rata 400 mil (644 km).
2. 70 -1.200 mil (asynchronous orbits) : digunakan oleh satelit pengamat, yang
biasanya mengorbit pada 300 -600 mil (470-970 km), berfungsi sebagai fotografer.
Misalnya satelit Landsat 7, ia bertugas untuk pemetaan, pergerakan es dan tanah,
situasi lingkungan (semisal menghilangnya hutan hujan tropis), lokasi deposit
mineral hingga masalah pertanian; satelit SAR (search-and-rescue) juga disini,
dengan tugas menyiarkan ulang sinyal-sinyal darurat dari kapal laut atau pesawat
terbang yang dalam bahaya; Teledesic, yaitu satelit yang di-backup sepenuhnya
oleh Bill Gates, memberikan layanan komunikasi broadband (high-speed), dengan
sarana satelit yang mengorbit pada ketinggian rendah (LEO, Low Earth Orbiting).
3. 3.000 -6.000 mil (asynchronous orbits) : digunakan oleh satelit sains, yang biasanya
berada pada ketinggian ini (4.700 -9.700 km), dimana mereka mengirimkan data-
data ke bumi via sinyal radio telemetri. Satelit ini berfungsi untuk penelitian
tanaman dan hewan, ilmu bumi, seperti memonitor gunung berapi, mengawasi
kehidupan liar, astronomi (dengan IAS, infrared astronomy satellite) dan fisika.
4. 6.000 -12.000 mil (asynchoronous orbits) : satelit GPS menggunakan orbit ini untuk
membantu penentuan posisi yang tepat. Ia bisa digunakan untuk kepentingan militer
maupun ilmu pengetahuan.
5. 22.223 mil (geostationary orbits) : digunakan oleh satelit cuaca, satelit televisi,
satelit komunikasi dan telepon.
Gambar 2.9 Satelit Komunikasi pada Orbit Geostasioner
2.2 Jenis Satelit
2.2.1 Jenis Satelit Berdasarkan Layananya
Dari beberapa satelit yang sudah disebutkan di atas merupakan satelit2 yang mengorbit
pada ketinggian tertentu dan dengan jenis orbit yang berbeda. Masing-masing satelit
tersebut juga didesain untuk aplikasi tertentu seperti tercantum di bawah ini:
1. Fixed Services Satellite
Merupakan satelit yang dedesain untuk melayani panggilan telepon, transmisi data
(internet) atapun untuk TV Broadcasting. Satelit model ini mempunyai daya pancar yang
rendah sekitar 10 – 20 watts per transmit carrier sehingga diperlukan antena penerima
yang mempunyai diameter cukup besar untuk dapat menangkap frekuensi downlinknya.
2. Direct Broadcast Satelit
Merupakan satelit yang didesain secara khusus untuk melayani aplikasi
broadcasting TV dan Radio sehingga memerlukan daya yang sangat besar. Daya pada
satelit DBS ini berkisar sampai dengan 10 kali lipat daya pada satelit FSS. Dengan daya
yang besar maka user yang ada di Ground Segment dapat menggunakan antena dengan
diameter yang kecil untuk menangkap siaranya.
3. Mobile Satelit Services
Merupakan satelit yang khusus diaplikasikan untuk keperluan telepon nirkabel.
Konsepnya sama dengan telepon selular hanya daerah cakupanya tidak terbatas pada sel
yang bersangkutan saja tapi seluas foot print satelit yang bersangkutan. Satelit ini
menggunakan konfigurasi frekuensi up link dan down link seperti di bawah ini:
11,6/1,5 MHz
2,1/2.0 MHz
2,6/2,5 MHz
30/20 MHz
4. Medium Power Satellite
Merupakan satelit yang mempunyai daya sekitar 50 watt. Karena dayanya berada
diantara FSS dan DBS maka penggunaan satelit ini dikhususkan untuk aplikasi umum dan
juga untuk militer. Konfigurasinya ada di gambar di bawah ini:
Gambar 2.10 Konfigurasi Umum Satelit untuk Broadcasting
2.2.2 Satelit Berdasarkan Aplikasi/Kepentingannya
Berdasarkan aplikasinya, satelit terdiri atas :
Satelit astronomi adalah satelit yang digunakan untuk mengamati planet, galaksi, dan
objek angkasa lainnya yang jauh.
Satelit komunikasi adalah satelit buatan yang dipasang di angkasa dengan tujuan
telekomunikasi menggunakan radio pada frekuensi gelombang mikro. Kebanyakan
satelit komunikasi menggunakan orbit geosinkron atau orbit geostasioner, meskipun
beberapa tipe terbaru menggunakan satelit pengorbit Bumi rendah.
Satelit pengamat Bumi adalah satelit yang dirancang khusus untuk mengamati Bumi
dari orbit, seperti satelit reconnaissance tetapi ditujukan untuk penggunaan non-militer
seperti pengamatan lingkungan, meteorologi, pembuatan peta, dll.
Satelit navigasi adalah satelit yang menggunakan sinyal radio yang disalurkan ke
penerima di permukaan tanah untuk menentukan lokasi sebuah titik dipermukaan
bumi. Salah satu satelit navigasi yang sangat populer adalah GPS milik Amerika
Serikat selain itu ada juga Glonass milik Rusia. Bila pandangan antara satelit dan
penerima di tanah tidak ada gangguan, maka dengan sebuah alat penerima sinyal satelit
(penerima GPS), bisa diperoleh data posisi di suatu tempat dengan ketelitian beberapa
meter dalam waktu nyata.
Satelit mata-mata adalah satelit pengamat Bumi atau satelit komunikasi yang
digunakan untuk tujuan militer atau mata-mata.
Satelit tenaga surya adalah satelit yang diusulkan dibuat di orbit Bumi tinggi yang
menggunakan transmisi tenaga gelombang mikro untuk menyorotkan tenaga surya
kepada antena sangat besar di Bumi yang dpaat digunakan untuk menggantikan sumber
tenaga konvensional.
Stasiun angkasa adalah struktur buatan manusia yang dirancang sebagai tempat tinggal
manusia di luar angkasa. Stasiun luar angkasa dibedakan dengan pesawat angkasa
lainnya oleh ketiadaan propulsi pesawat angkasa utama atau fasilitas pendaratan; Dan
kendaraan lain digunakan sebagai transportasi dari dan ke stasiun. Stasiun angkasa
dirancang untuk hidup jangka-menengah di orbit, untuk periode mingguan, bulanan,
atau bahkan tahunan.
Satelit cuaca adalah satelit yang digunakan untuk mengamati cuaca dan iklim Bumi.
Satelit miniatur adalah satelit yang ringan dan kecil. Klasifikasi baru dibuat untuk
mengkategorikan satelit-satelit ini: satelit mini (500–200 kg), satelit mikro (di bawah
200 kg), satelit nano (di bawah 10 kg).
Walaupun terdapat perbedaan yang sangat signifikan dari satelit-satelit tersebut
diatas, ada beberapa hal yang sama secara umum :
Semuanya terdiri dari kerangka dan badan dari metal atau komposit, yang biasanya
disebut ”bus”. Bus ini menjaga agar semua yang ada di dalamnya tetap utuh selama
dalam peluncuran dan ketika berada di angkasa luar.
Dilengkapi sumber tenaga (biasanya solar cell) dan baterai sebagai cadangan dan
penyimpan tenaga.
Dilengkapi dengan komputer untuk mengendalikan dan memonitor sekian banyak
sistem yang berbeda.
Perlengkapan transmiter/receiver radio dan antena juga digunakan untuk membantu
pengawas di bumi untuk mendapatkan informasi dari satelit dan memonitor
kesehatannya. Banyak satelit dapat dikendalikan dari bumi dengan banyak cara, dari
merubah orbit hingga memprogram ulang sistem komputer.
Ada juga perlengkapan sistem kendali letak (ACS, attitude control system), yang
berfungsi untuk menjaga arah satelit. Sebagai contoh, Hubble Space Telescope
memiliki sistem kendali yang dapat menjaga satelit pada posisi yang selalu sama
tiap hari tiap jam pada satu waktu. Sistemnya dilengkapi dengan gyroscope,
accelerometer, reaction wheel stabilization system, thrusters dan beberapa sensor
yang memperhatikan bintang-bintang sebagai penentu posisi.
2.3 Pergerakan Satelit
Satelit yang mengitari bumi pada orbitnya akan dikendalikan oleh Master Control
Station di Stasion Bumi. Pengenalian satelit yang berada puluhan ribu kilometer dari bumi
menggunakan sistem otomatis yang didasarkan atas dua sistem pengendalian sebagai
berikut:
1. Spin Stablilized Satellite
Merupakan metode pengendalian satelite dengan cara menggerakan body satelit secara
berputar untuk menuju ke suatu posisi tertentu yang diinginkan. Satelit yang secara teori
akan diam pada posisinya di orbit pada kenyataanya akan bergeser dari orbit yang
sebenarnya. Dengan metode Spin Stabillized Satellite ini dibagi atas empat kontrol dasar
yaitu:
Spin Axis Atitude Control System
Merupakan bagian yang akan mengontrol pergerakan satelit dari arah atas dan bawah
atau dengan kata lain tinggi satelit dari permukaan bumi dikendalikan melalui bagian ini.
Orbit Control System
Merupakan bagian yang akan mengontrol pergerakan satelit dari arah barat dan timur
(east – west station keeping) dan simpangan utara- selatan (north – west station keeping)
Spin Rate Control System
Merupakan bagian yang akan mengontrol kecepatan putar satelit dalam bergerak
kembali ke posisi yang diinginkan.
Active Nutation Control
Merupakan bagian yang mendeteksi posisi satelit pada bujur dan lintang yang diinginkan.
Satelit akan mengirimkan sinyal yang mendakan posisi dirinya setiap beberapa detik
sekali lewat active nutation control.
2. Three Axis Body Stabilized
Merupakan pengontrolan posisi satelit berdasarkan sumbu koordinat X, Y dan Z. Dari
ketiga sumbu koordinat tersebut akan dipetakan menjadi posisi pitch, roll dan yaw. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.11 Koordinat Satelit
Dalam mengendalikan sebuah satelit di ruang angkasa terkadang timbul beberapa
kejadian yang disebabkan oleh konfigurasi orbit dengan lingkungan sekitarnya termasuk
matahari dan bulan. Beberapa kejadian yang mengganggu kinerja sebuah satelit adalah
sebagai berikut:
1. Sun Outage
Merupakan sebuah kejadian di mana satelit berada di tengah antara bumi dan
matahari. Dengan posisi ini maka satelit akan menghalangi sinar matahari yang mengarah
ke bumi. Atau dengan kata lain bahwa pada posisi sun outage ini jarak satelit dengan matahari
mencapai jarak terdekat. Dengan jarak yang sangat dekat antara satelit dengan matahari
menyebabkan perangkat yang ada di space segment juga akan mengalami panas yang
meningkat drastis, akibatnya akan mengurangi performa atau kinerja satelit itu sendiri.
Gambar 2.12 Fenomena Sun Outage
2. Gerhana ( Eclipse )
Merupakan sebuah kejadian di mana posisi satelit terhalang oleh posisi bumi dari
sinar matahari. Akibat dari gerhana ini maka catu daya satelit yang
mengandalkan sinar matahari akan terganggu.Satelit akan mendapat catu daya dari
battere selama gerhana berlangsung. Perpindahan catuan dari solar cell ke battere
terkadang menyebabkan gangguan pada satelit.
Gambar 2.13 Fenomena Gerhana pada Satelit
BAB III
GROUND SEGMENT DAN SPACE SEGMENT
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:
Mahasiswa dapat menjelaskan tentang konfigurasi Ground Segment dan Space Segment
serta dapat mengetahui dasar manajemen transponder.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :
1. Memahami konfigurasi Ground Segment beserta bagian-bagianya.
2. Memahami konfigurasi Space Segment beserta bagian-bagianya.
3.1 Ground Segment
Stasiun Bumi adalah peralatan yang berfungsi untuk komunikasi. Secara sederhana
konfigurasi stasiun bumi dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 3.1 Blok Diagram Stasiun Bumi secara Umum
Adapun Keterangan dari masing-masing subsistem di atas adalah :
a. Antena Parabola
Antena Parabola berfungsi sebagai penguat daya dan mengubah dari gelombang
RF terbimbing menjadi gelombang RF bebas dan sebaliknya.
b. HPA (High Power Amplifier)
HPA merupakan penguat akhir dari sinyal RF sebelum dipancarkan ke satelit
melalui antenna parabola, input dari HPA adalah sinyal RF dari Up converter dengan
daya rendah sehingga dikuatkan oleh HPA sinyal RF tersebut mempunyai daya
yang cukup untuk diberikan ke antena selanjutnya dapat dipancarkan ke satelit
dengan harga EIRP yang telah disyaratkan.
b. LNA (Low Noise Amplifier)
Adalah suatu penguat pada arah terima yang berfungsi untuk mempurkuat sinyal yang
diterima dari antenna parobola, LNA harus ditempatkan sedekat mungkin dengan
antena, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan G/ T (Gain to Noise Temperature
Ratio) lebih baik.
c. Up/ Down Converter
Up/ Down Converter terdiri dari dua bagian yaitu bagian Up converter yang
berfungsi mengubah sinyal IF 70 Mhz menjadi sinyal RF 6 Ghz, sedangkan bagian
Down Converter berfungsi mengubah sinyal RF 4 Ghz menjadi sinyal IF 70 Mhz.
Kedua bagian tersebut menggunakan common transponder synthesizer 5 Ghz.
Sehingga up/ down converter ini dapat dioperasikan pada transponder yang
diinginkan.
d. Perangkat IF
Perangkat IF berfungsi untuk memodulasi sinyal suara atau data menjadi sinyal IF 70
Mhz dan sebaliknya, biasa perangkat ini disebut MODEM (Modulator
Demodulator), adapaun jenis-jenis modem tersebut adalah tergantung dari sistem
yang digunakan, sebagai contoh :
— Untuk sistem SCPC : MODEM SCPC.
— Untuk sistem IDR : MODEM IDR
— Untuk sistem VSAT : MODEM VSAT
Penentuan besarnya sinyal yang diterima oleh suatu pesawat penerima secara
garis besar bergantung kepada faktor-faktor berikut :
3.1.1 Penerima
Dalam sistem komunikasi satelit dipakai istilah G/T yang menyatakan:
Dimana apabila dinyatakan dalam dB , maka :
Dengan memasukkan faktor ini ke rumus daya yang diterima, diperoleh :
Dimana :
PT = daya keluaran pemancar (dBw)
GT, GR = gain atau faktor penguat antena-antena pemancar,penerima
T = temperatur derau dari sistem penerima (system noise temperature)
L = Kehilangan lainnya
Seperti biasa, nilai C/T ini penting karena menentukan kualitas penerimaan suatu
hubungan radio, yaitu daya yang diterima berapa besar dibanding derau yang ada, yang
biasa dinyatakan dalam perbandingan:
C/N = C/kTB atau signal to noise ratio atau Eb/No = (C/Rs)/kT.
Jadi terlihat bahwa C/N ini sangat bergantung pada GR/T antena penerima,
sehingga faktor ini digunakan sebagai spesifikasi teknis suatu stausiun bumi.
Untuk mencapai G/T yang diperlukan, ukuran diameter antena dipilih dengan
memperhitungkan hubungan yang optimal antara besarnya penguatan dan temperature
derau daripada sistem stasiun bumi.
Temperature derau stasiun bumi berasal dari berbagai sumber derau, seperti :
i. Derau dari pesawat penerima
ii. Derau yang diakibatkan oleh kerugian daya dalam tapis dan peralatan
lainnya antara antena dengan pesawat penerima.
iii. Derau antena yang datangnya dari sumber-sumber derau yang berada di
angkasa luar dan atmosfir bumi, seperti:
Benda-benda angkasa seperti bintang, bulan dan matahari
Uap air, gas-gas O2 dan N2 di udara.
Mesin-mesin dan alat-alat listrik yang menimbulkan bunga api dan
gelombang elektromagnetik.
Besarnya antena noise temperature ini bergantung pada sudut dan frekuensi.
3.1.2 Antena
Banyak sekali macam/tipe gelombang mikro yang dapat digunakan untuk stasiun
bumi, besarnya penguatan (gain) dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan:
Dimana :
G = Faktor penguat antena
D = Diameter antena
λ = Panjang gelombang sinyal
η = Efisiensi dari antena yang bergantung kepada ketelitian bentuk
permukaan dan kekasaran permukaan reflektor antena (harganya
biasanya berkisar antara 0,54 dan 0,65)
Sebagai contoh dari besarnya penguatan tersebut, untuk stasiun-stasiun bumi yang
beroperasi dengan satelit PALAPA A1, diperlukan daya antena sebesar 50,7 dB untuk 4
GHz (penerima) dan 53,1 (pemancar), dengan diameter dari antena 10 m.
Pada stasiun-stasiun bumi yang mempunyai G/T yang tinggi, selain antena yang
besar diameternya, juga pesawat penerima harus didinginkan untuk memperoleh G/T
yang lebih besar dari 40,7 dB/oK.
Dalam menentukan besarnya antena dari stasiun bumi, selain faktor G/T, ada hal
lain yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. Side lobe
Makin kecil antena, makin besar side lobe dari antena tersebut. Side lobe ini
penting sekali untuk memperhitungkan pengaruh dari/ke gelombang mikro
lainnya baik teresterial amupun satelit, tambahan derau dari bumi yang panas
serta badan-badan angkasa lainnya.
b. Lebar dari berkas antena
Makin kecil antenanya, makin besar/lebar berkas antenanya. Secara
pendekatan, lebar berkas suatu antena adalah θ3dB = 70 λ/D (o), dimana, θ3dB =
lebar sudut yang membatasi berkas – 3 dB relatif.
Beberapa bentuk dasar antena yang memenuhi syarat-syarat untuk dipakai di
stasiun bumi antara lain :
a. Antena paraboloid (Focal Feed)
Pemancaran gelombang radio ke ruang bebas dimulai pada titik fokus reflektor
antena.
Kelemahan :
Mempunyai “sistem noise” yang relatif tinggi terutama pada sudut elevasi
yang tinggi, karena pancaran dari “side lobe” primary feednya menuju
bumi yang “panas”.
Transmision line antara penerima dan antena menjadi panjang, sehingga
kehilangan yang diakibatkannya besar.
Kelebihan :
Bentuk sangat sederhana. Karena sifat ini, tepat dipakai untuk stasiun bumi yang
transportable dengan G/T yang kecil.
b. Cassegrain antena
Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan dari paraboloid antena, dipakai sistem
dengan dua reflektor yang disebut cassegrain antena (menurut nama William
Cassegrain, yang pada tahun 1672 menggunakan konsep dua reflektor untuk
teleskop). Ada dua reflektor yaitu raflektor utama (main reflector) berbentuk
parabola dan reflektor kedua (sub reflektor) berbentuk hiperbola.
Kelebihan:
Mempunyai imbuhan derau dari “side lobe” yang relatif lebih kecil,
karena pancaran dari side primary feednya menuju angkasa yang dingin.
Panjang “bumbung gelombang” untuk feed lebih pendek.
Flexible dalam design “feed”-nya.
“feed system” secara mekanis lebih stabil sehingga pengarahan antena
lebih tepat.
Kekurangan :
Pemancar terhalang oleh sub reflektor dan bagian-bagian
penyangganya.
Karena sub reflektor dimensinya kecil, “feed system” harus lebih
terarah.
c. Horn reflektor
Pada dasarnya, antena ini adalah offset reflektor parabola dengan “horn feed”.
Ujung berimpitan dengan titik api reflektor parabola.
Keuntungan :
“side lobe”-nya relatif kecil sekali, jika dibandingkan dengan reflektor parabola.
Kelemahan :
Konstruksinya berat dan kompleks, tatpi dalam kemajuan teknologi akhir-akhir
ini beberapa perusahaan mengintrodusir konstruksi yang ringan, misalnya dibuat
dari fiberglass.
d. Type reflektor bentuk khusus
Untuk mengurangi blockage oleh primary feed dan meninggikan efisiensi, dibuat
feed yang di offset ke samping tetapi bentuk reflektor disesuaikan tidak lagi
betul-betul parabola, agar “ sinar” dari feed tetap terpantul dari reflektor secara
paralel. Dengan cara ini efisiensi dapat ditingkatkan sampai 65%.
e. Antena yagi
Untuk sistem penerimaan sinyal APT dari satelit cuaca digunakan antena Yagi
karena menggunakan frekuensi VHF (136 – 137,5 MHz). Antena Helical juga
sering dipakai.
f. Sistem penjejakan (tracking)
Penjejakan adalah pengarahan antena stasiun bumi agar selalu dapat mengikuti
posisi dari suatu satelit. Khusus untuk stasiun bumi, digunakan penjejakan pasif
dimana pemancar beacon dari satelit dipakai sebagai sumber penjejakan. Ada
beberapa cara penjejakan yang digunakan untuk stasiun bumi, diantaranya
conical scanning dan sistem monopulse.
g. Antena helix
Antena helix dapat berbentuk uniform, tapered, variable pitch, envelop, dan lain
sebagainya. Adapun model helix ada yang digunakan sebagai saluran transmisi
(mode transmisi) dan ada yang berfungsi sebagai antena (mode radiasi).
Penggunaan helix sering dilakukan dengan cara disusun dalam suatu array yang
berfungsi untuk menaikkan gain antena.
h. Antena Conical horn
Terbagi atas dua yaitu ractangular horn dan circular horn. Circular horn terdiri
dari exponentially tapered, conical, TEM biconical, TE01 biconical.
i. Antena microstrip ring
Dapat berbentuk square, disk, rectangular, ellipse, pentagon, ring, equilateral
triangle, dan semi disk.
3.1.3 Diplexer
Karena digunakan hanya satu antena baik untuk pengiriman maupun penerimaan,
diperlukan suatu pengatur sehingga sinyal dari pemancar hanya pergi ke antena dan
sinyal dari pemancaar hanya pergi ke LNA. Untuk membedakan sinyal kirim dan
terima, dimanfaatkan perbedaan frekuensi (6 dan 4 GHz) dan polarisasi, sehingga
diplekser ini disebut juga OMT (Ortho Mode Transduser).
Rangkaian ini biasanya terdiri dari gabungan rangkaian-rangkaian tapis dan hibrid
yang terdiri dari komponen-komponen bumbung gelombang.
3.1.4 Rangkaian Pemancar
Sinyal yang masuk ke stasium bumi biasanya sudah berupa sinyal IF yang sudah
siap untuk dipancarkan. Jadi seluruh proses multiplexing, preemphasis, modulasi dan
lain-lain dianggap sudah dilaksanakan sebelumnya.
Terutama untuk stasiun-stasiun bumi kecil memang seluruh proses, mulai dari
sinyal baseband masukan sampai siap dipancarkan berlangsung dalam unit yang kecil,
tetapi prinsipnya sama, yaitu sinyal IF yang masuk mula-mula dinaikkan frekuensinya
ke frekuensi RF di upconverter (U/C).
Untuk pemancar-pemancar besar, tahap akhir biasanya dilengkapi dengan
rangkaian pengukur untuk pengamatan (monitoring) dan kontrol dari pemancarnya.
Pemilihan frekuensi pemancaran dilakukan pada tahap terakhir penguatan.
3.1.5 Sistem RFE dan VSAT
Rangkaian pengiriman/penerimaan yang digunakan dalam suatu VSAT umumnya
lebih kompak dan biasa disebut RFE (Radio Frequency Equipment).
Untuk RFE yang bekerja secara Full-Duplex di daerah C-Band dengan daerah
frekuensi yang bergerak dari 5,925 GHz sampai 6,425 GHz untuk arah stasiun bumi ke
satelit dan frekuensi 3,7 sampai 4,2 GHz untuk arah satelit ke stasiun bumi,
peralatannya dari salah satu tipe RFE terdiri dari beberapa bagian :
a. LNA (low Noise Amplifier)
LNA dalam arah penerimaan berfungsi untuk memperkuat sinyal yang sangat
lemah yang diterima dari satelit. Sinyal radio yang diterima dalam daerah
frekuensi 5,925 – 6,425 GHz diperkuat di LNA dengan faktor penguat antara
40 sampai dengan 60 dB baru diteruskan ke unit ODU.
b. Indoor Unit (IDU)
IDU yang berfungsi untuk :
- Mengubah frekuensi IF transmit 70 MHz yang datang dari peralatan
komunikasi VSAT, ke 185 MHz untuk diteruskan ke ODU.
- Mengubah frekuensi IF penerima dengan frekuensi 1040 MHz dari ODU
ke 70 MHz untuk diteruskan ke VSAT.
- Membangkitkan frekuensi 10 MHz untuk referensi ke synthesizer di ODU.
- Membangkitkan tegangan DC untuk digunakan di IDU dan ODU.
c. Outdoor Unit
Penguat (Solid State Power Amplifier, SSPA) 10 W ODU berfungsi untuk :
- Mengubah frekuensi pemancaran dari 185 MHz ke 5925 MHz – 6425
MHz, untuk kemudian diperkuat menjadi 10 watt sebelum dipancarkan ke
arah satelit lewat antena parabola.
- Mengubah frekuensi penerimaan dari 3700 MHz sampai 4200 MHz
menjadi Frekuensi IF 1040 MHz sebelum diteruskan ke unit IFM.
Prinsip yang sama juga berlaku untuk VSAT yang berbeda di daerah KU band.
d. Diplexer
Berfungsi untuk meneruskan sinyal transmit ke horn dan sinyal receive hanya
ke LNA. Diplexer terdiri dari tapis mode (mode-filter) yang berupa bandpass
dan bandreject,yang beroperasi yang berdasarkan perbedaan frekuensi dan
polarisasi serta perta medan (mode) dalam salurannya.
3.1.6 Fungsi
Dalam sistem satelit, fungsi stasiun bumi dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu stasiun bumi pengendali dan stasiun bumi pengirim-penerima.
a. Stasiun bumi pengendali
Tipe stasiun bumi yang pertama melakukan pengukuran parameter-parameter
dari satelit dari jarak jauh yang disebut telemetering. Tugasnya adalah mengikuti
gerakan-gerakan satelit (penjejakan = tracking) baik selama transisi, antara
peluncuran sampai dengan kedudukan lintasan yang telah ditentukan, maupun
selama satelit bergerak pada orbit yang ditentukan.
b. Stasiun bumi komunikasi
Tipe stasiun bumi kedua adalah stasiun-stasiun bumi yang bertindak sebagai
stasiun pengirim dan/atau penerima sinyal-sinyal gelombang radio, sesuai
dengan misi sitem satelit tersebut.
c. Stasiun bumi lainnya
Dalam sistem satelit observasi, termasuk sistem cuaca dan sumber alam, terdapat
sebuah atau lebih stasiun bumi yang berfungsi untuk menangkap dan mengolah
data-data yang dikirimkan oleh DPC (Data Collection Platform) lewat satelit.
d. Closed user group
Dalam daerah pancaran sebuah satelit, ada kalanya dibangun suatu jaringan
komunikasi yang “tertutup”. Jaringan ini khusus hanya untuk berkomunikasi
antar sesamanya dengan menggunakan sebagian atau satu transponder dari
satelitnya. Jadi, jaringan ini seolah-olah membentuk suatu sub network.
3.2 Space Segment
3.2.1 Fungi Satelit pada Space Segmen
Satelit merupakan suatu microwave repeater Station (stasiun pengulang gelombang
mikro) yang berfungsi untuk memperkuat sinyal yang berasal dari stasiun bumi serta
memproses translasi frekuensi dari Uplink frequency yang terletak pada lebar bidang
frekuensi mulai dari 5,925 Ghz sampai dengan 6,425 Ghz menjadi Downlink frequency dari
3,7 Ghz sampai dengan 4,2 Ghz. Secara sederhana blok diagram fungsi satelit digambarkan
seperti pada gambar berikut:
Gambar 3.2 Diagram Fungsi Satelit
Sinyal-sinyal RF dari stasiun bumi dengan frekuensi pancar 6 Ghz setelah diterima
oleh antenna akan dilewatkan pada Band Pass Filter (BPF) untuk melewatkan
frekuensi yang dikehendaki saja dan terjadi proses pemisahan sinyal komado dari sinyal
komunikasi.
Sinyal komunikasi yang mempunyai lebar bidang frekuensi 5925 Mhz – 6425 Mhz
setelah diperkuat oleh Low Noise Amplifier (LNA) kemudian dicampur dengan
frekuensi 2225 Mhz yang dihasilkan oleh Local Oscillator (LO) sehingga keluaran mixer
merupakan sinyal yang mempunyai lebar bidang frekuensi antara 3700 Mhz – 4200 Mhz.
Sebelum sinyal tersebut dipancarkan kembali ke bumi, terlebih dahulu diperkuat oleh High
Power Amplifier (HPA) dan dilkakukan dalam sebuah Band Pass Filter bersama-sama
dengan sinyal yang berasal dari telemetry transmitter yang berisi antara lain data kondisi
peralatan satelit.
Sedangkan sinyal komando akan diproses oleh Command Receiver, sehingga
dapat diditeksi apa isi perintah dari stasiun bumi pengendali utama. Sinyal komando ini
dimaksudkan untuk kegiatan pemeliharaan dan atau perbaikan peralatan satelit, posisi
satelit dan lain sebagainya.
3.2.2 Subsistem pada Satelit
Secara garis besar seluruh peralatan yang ada dalam satelit contohnya satelit palapa
A maupun satelit palapa B dapat dikategorikan sebagai berikut :
- Peralatan komunikasi (Communication Subsystem)
- Peralatan catudaya (Power Subsystem)
- Peralatan Komando dan Telemetry (Command and Telemetry Subsystem)
- Peralatan pengontrol satelit
Hubungan antara subsistem tersebut dapat dilihat pada gambar 2.2
Gambar 3.3 Blok Diagram Subsistem Satelit
Sedangkan fungsi serta manfaat dari masing-masing peralatan seperti gambar di
atas adalah sebagai berikut :
a. Peralatan komunikasi
Peralatan komunikasi satelit palapa terdiri dari :
1. Antena yang berfungsi untuk menerima dan memancarkan sinyalsinyal komunikasi
bersama dengan sinyal telemetry dari stasiun bumi dan memancarkan kembali sinyal
komunikasi bersama dengan sinyal telemetry ke Stasiun Bumi.
Antena satelit ada dua jenis yaitu antenna reflector parabola dengan gain
(penguatan) yang tinggi digunakan untuk komunikasi maupun untuk kontrol, dan
pengendali pada saat satelit berada pada posisi tetap di kedudukan yang telah
ditentukan, dan sebuah antena omnidirectional yang ditempatkan pada ujung
atas dari antenna parabola berfungsi untuk pengiriman maupun penerimaan
sinyal komando dan telemetry pada saat satelit belum pada posisi stasioner. Antena
satelit harus diam tak berputar (despun), sedangkan badan (body) satelit terus
menerus berputar (spinning), maka dari itu antena satelit yang diam dan badan satelit
yang berputar dihubungkan dengan peralatan rotary join.
2. Microwave repeater yang berfungsi untuk menerima, memperkuat serta
mentranslasikan sinyal-sinyal dari stasiun bumi, untuk selanjutnya
dipancarkan kembali ke stasiun bumi yang dituju.
b. Peralatan catu daya (power subsystem)
Peralatan catu daya dalam suatu satelit terdiri atas sel surya (solar cell) yang
dipasang pada sisi luar badan satelit, battery, bus limiter, battery charge, reconditioning
unit serta peralatan pengontrol. Sel surya sebagai sumber utama untuk catu daya satelit
tetapi pada saat terjadi gerhanan dimana bayangan bumi mengenai satelit (dalam 1 tahun
rata-rata terjadi gerhana 2 kali dan lama waktu terjadinya gerhana antara 5 – 72 menit),
maka catu daya satelit hanya disangga oleh battery.
c. Peralatan komando dan telemetry
Peralatan komando dan telemetry pada satelit terdiri dari pesawat penerima
komando (Command Receiver) dan pesawat pemancar telemetry (telemetry
Transmitter). Antena bicone (bicone antenna) digunakan pada satelit berada pada
transfer orbit, sedangkan pada saat satelit berada pada posisi orbitnya digunakan antena
grid reflector, bersamaan dengan sinyal komunikasi dan selanjutnya antena bicone
digunakan sebagai back up. Peralatan telemetry berfungsi untuk memberikan data
informasi ke stasiun pengendali tentang status kondisi, posisi dan attitude (sikap) satelit serta
di gunakan untuk keperluan ranging tone pada saat satelit berada pada kedudukan transfer
orbit, sebelum mencapai kedudukan stasioner. Peralatan komando terdiri dari 2 set
peralatan yang identik, redundant dan bekerja secara bersamaan untuk menerima,
mendemodulasi serta mendekodekan sinyal-sinyal komando dari bumi untuk keperluan
pemeliharaan dan perbaikan bagian-bagian yang rusak pada satelit.
d. Peralatan kontrol reaksi
Peralatan kontrol reaksi (Reaction Control Subsystem / RCS) berfungsi untuk
memperbaiki/ memelihara posisi satelit pada posisi sesuai dengan spesifikasi yang telah
ditentukan.
Peralatan unit terdiri dari tangki-tangki propellant (Hydrazine), jet-jet (Hydrazine
thruster), propellant filter, pressure transducer serta pengontrol temperatur. Jet-jet
tersebut berfungsi untuk melakukan maneuver (pengaktifan thruster) jika ada
perintah dari MSC dalam rangka memperbaiki posisi satelit.
3.2.3 Pembagian Transponder Pada Satelit
Lebar bidang frekuensi yang digunakan dalam sistem komunikasi satelit khusus pada
satelit Palapa generasi A dan B adalah sebesar 500 Mhz, yaitu pada arah pancaran dari
stasiun bumi (arah pancaran satelit) adalah 3.700 - 4.200 Mhz. Sifat dari gelombang
elektromagnetik adalah mempunyai dua polarisasi yakni polarisasi horizontal yaitu jika
medan listrik dari gelombang elektromagnetik searah dengan perambatannya dan
polarisasi vertical jika medan listriknya tegak lurus dengan arah perambatannya, kedua
polarisasi tersebut dimanfaatkan dalam sistem komunikasi satelit dengan menggunakan
suatu alat pada subsistem antena yang disebut polarizer (alat untuk memilih polarisasi),
sehingga dalam komunikasi satelit mempunyai dua polarisasi.
Lebar bidang frekuensi dalam satu transponder sebesar 40 Mhz, maka sesuai
dengan lebar bidang frekuensi yang digunakan pada satelit terdapat 18 transponder
dengan polarisasi vertical dan 18 transponder dengan polarisasi horizontal dengan
demikian jumlah keseluruhannya ada 36 transponder. Namun demikian dalam operasinya
lebar bidang frekuensi transponder yang digunakan sebesar 36 Mhz, 2 Mhz disisi kiri dan
kanan dari spektrum lebar bidang frekuensi transponder merupakan frekuensi gap
(guard band frequency) yang dimaksudkan untuk pengamanan agar tidak
terjadi interferensi antar transponder.
Gambar 3.4 Pembagian Transponder pada Sistem Komunikasi Satelit
Catatan :
BW tiap XPDR 36 MHz
Guard Band 4 MHz
Beacon 4199.875 MHz (Hor)
Beacon 3701.75 MHz (Ver)
BAB IV
PENGHITUNGAN PARAMETER SATELIT
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:
Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Pointing Antena Stasion Bumi, serta dapat
menghitung parameter lain yang dibutuhkan pada sistem komunikasi satelit.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :
1.Menghitung sudut Azimuth dan Elevasi
2.Menghitung parameter umum dalam sistem komunikasi satelit
3.Menggunakan satuan transmisi satelit dengan benar
4.1 Pointing Antena
Untuk komunikasi satelit, agar komunikasi berlangsung dengan optimal, antena
stasiun bumi harus benar-benar terarah ke satelitnya. Biasanya harus diketahui sudut-sudut
azimuth dan elevasi stasiun terhadap satelitnya.
Sudut elevasi dihitung dari arah horisontal sedang sudut azimuth dihitung dari arah
utara sesuai dengan arah jarum jam. Besarnya harga sudut elevasi dan azimuth tergantung
kepada latitude stasiun bumi dan beda longitude antara titik sub-satelitnya (titik equator
yang persis berada di bawah satelitnya). Biasanya titik sub satelit ini disebut sebagai posis
parkir satelitnya.
4.1.1 Sudut Azimuth dan Elevasi
Sebagaimana telah diketahui sebelumnya bahwa satelit pada orbit
geostasioner tampak relatif tetap bila dilihat dari bumi, oleh karena itu bila stasion bumi
berada di daerah cakupan satelit, maka dapat saling berkomunikasi dengan cara
mengarahkan antena pengirim atau penerima ke satelit.
Posisi stasion bumi baik stasion bumi pemancar ataupun penerima
memegang peranan penting dalam komunikasi satelit, sedangkan satelit hanya berperan
sebagai pengulang (repeater ) untuk itu stasion bumi harus diletakan pada posisi yang
tepat dan berada pada daerah cakupan satelit agar sinyal yang dikirim dapat diterima
satelit dan dipancarkan kembali pada station penerima.
Untuk meletakan station bumi pada posisi yang tepat agar bisa
berkomunikasi dengan satelit, harus diketahui sudut elevasinya sehingga rugrugi
yang mungkin terjadi khususnya rugi-rugi pancaran antena dapat
diminimalkan dan daya yang dipancarkan atau yang diterima bisa optimal.
Sudut elevasi (E) adalah sudut yang dihasilkan oleh arah utara sebenarnya dari titik
yang akan kita pasang antena dengan arah vertikal antara satelit dengan antena. Sudut
azimut A teoritis berada diantara 0 dan 360°, tergantung dari lokasi station bumi
dengan mengambil titik acuan pada titik subsatelit, sudut azimut didapat:
1.Sebelah Utara Khatulistiwa
Stasiun bumi berada di barat satelit : A = 180° - A’
Stasiun bumi berada di timur satelit : A = 180 + A’
2.Sebelah Selatan Khatulistiwa
Stasiun bumi berada di barat satelit : A = A’
Stasiun bumi berada di timur satelit : A = 360 – A’
Dengan A’ adalah sudut positif, untuk menghitung A’:
Menghitung Sudut Elevasi
Sudut Azimuth dan Elevasi diperlukan untuk membantu mengarahkan posisi antena
stasion bumi ke arah antena satelit, sehingga tidak terjadi pointing loss. Nilai sudut elevasi
ini akan dicari untuk masing-masing posisi yang memungkinkan untuk ditempatkanya
stasion bumi. Besarnya sudut elevasi dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana :
h = orbit satelit geostasioner (35786 km)
Re = jari-jari bumi (6378)
cos = selisish longitude stasiun bumi dengan satelit
cos∆ = nilai latitude dari stasion bumi
Dimana :
l = latitude VSAT (o)
L= longitudinal difference of satellite with VSAT (o)
E = elevation angle of satellite thru’ VSAT (o)
4.2 Parameter-Parameter Siskomsat
4.2.1 Noise
Noise secara umum didefenisikan sebagai bentuk signal yang tidak
diinginkan pada sirkuit telekomunikasi. Ada 4 (empat) kategori noise yang perlu kita
ketahui :
Thermal noise
Intermodulation noise
Crosstalk
Impulse noise
2.2.1.1 Thermal Noise
Thermal noise adalah noise yang muncul pada setiap media transmisi dan pada
setiap perangkat telekomunikasi sebagai akibat dari gerakan elektron secara acak.
Niose ini mempunyai sifat menyebar merata ke seluruh band frekuensi. Setiap
komponen pada perangkat dan setiap media transmisi selalu memberikan kontribusi
thermal noise pada sistem, jika bekerja pada temperatur di atas temperatur mutlak.
Besaran noise ini biasanya dinyatakan dalam derajat Kelvin. Karena penyebarannya
merata pada seluruh band frekuensi, maka noise ini dinamakan White noise.
Besarnya thermal noise dirumuskan sebagai berikut:
P n = k . T (W/Hz)
Di mana :
K = konstanta boltzman = 1,3803 x 10 –23 J/°K
T = temperatur mutlak = K
Rumus di atas menyatakan bahwa thermal noise berbanding lurus dengan bandwidth
dan temperatur. Pada bandwidth tertentu thermal noise menjadi :
Pn = k . T . B Watt
Contoh :
Suatu amplifier mempunyai effective noise temperatur 100° K pada bandwidth 10 MHz.
Berapa besarnya thermal noise dari amplifier tersebut ?
Pn = 10 log 1,3803 x 10 –23 + 10 log 100 + 10 log 107
= -228,6 + 20 + 70
= - 138,6 dBw
4.2.1.2 Intermodulation noise
Intermodulation noise ditimbulkan oleh intermodulation product. Jika kita
memasukkan 2 frekuensi, f1 dan f2 pada sebuah komponen non linier, maka pada
output akan terdapat frekuensi spurious. Frekuensi spurious ini dapat muncul di
dalam atau di luar frekuensi perangkat yang bersangkutan.
Second order : f1 ± f2
Third order : f1 ± 2f2 ; 2f1 ± f2
Fourth order : 2f1 ± 2f2 ; 3f1 ± f2
Misal :
f1 = 100 ; f2 = 101
f 1 + f2 = 201 2f 1 – 2f2 = 2
f2 – f1 = 1 3f1 + f2 = 401
2f 1 + f2 = 301 3f 1 – f2 = 199
2f 1 – f2 = 99 f 1 + 2f2 = 302
2f 1 + 2f2 = 402 f 1 – 2f2 = 102
Intermodulasi muncul jika :
• Level setting salah (level input terlalu tinggi).
• Dengan level input yang tinggi, maka bekerjanya perangkat akan
dikemudikan pada daerah non linier.
• Salah adjustmen sehingga perangkat bekerja pada daerah non linier.
Gambar 4.1 Intermodulation noise
Dampak fatal akibat intermodulasi :
Terjadi crosstalk
Broken call atau pembicara terputus tiba-tiba
Penurunan kualitas kanal
Penurunan SCR
Gangguan pada transponder yang berdekatan
4.2.1.3 Crosstalk
Crosstalk adalah pengkopelan yang tidak kita inginkan pada jalur signal. 3 macam
penyebab crosstalk, yaitu :
Electrical coupling antar media trasmisi, contoh : electrical coupling antar kabel
voice.
Frekuensi respon yang buruk sebagai akibat rusaknya filter atau disain filter
yang jelek
Non linierity pada sistem multi channel (FDM).
Crosstalk ada 2 macam, yaitu :
Near end crosstalk
Far end crosstalk
Kedua crosstalk tersebut besarnya harus > 43 dB untuk Long Distance Circuit dan > 58
dB untuk kabel dari langganan ke sentral.
(Ref. CCITT Rec. G 151 D)
4.2.2 Signal to noise ratio (S/N)
Teknisi transmisi lebih sering berurusan dengan signal to noise ratio (S/N)
dibandingkan dengan kriteria lain.
S/N adalah perbandingan level signal dengan level noise yang dinyatakan dalam dB.
dB
Atau :
S/N (dB) = level signal (dBm) – level noise (dBm)
Contoh :
Level noise = 5 dBm ; Level signal 20 dBm
S/N = 20 – 5 = 15 dB (lihat jelas gambar berikut)
Untuk memperbesar S/N dapat dilakukan dengan cara :
Memperbesar daya signal
Memperkecil daya derau (noise)
Meperbesar daya signal sekaligus memperkecil daya derau
Gambar 4.2 Sinyal to Noise
4.2.3 G/T (Figure of Merite)
Gain to Noise Temperatur Ratio (G/T) merupakan ukuran penampilan baik buruknya
(peformance) sistem penerimaan pada suatu SB. Secara matematik G/T dirumuskan
sebagai berikut :
(dB/oK)
Di mana :
G = penguatan antena Rx
T = temperature sistem (antena / LNA / recevier)
Semakin besar G/T, berarti semakin sensitif dan semakin baik kualitas
penerimaannya. Untuk mendapatkan harga G/T yang besar dapat dilakukan dengan
cara :
Memperbesar penguatan antena
Menggunakan penerima dengan temeratur derau yang rendah (semakin kecil
temperatur LNA, semakin baik mutu penerimaannya)
4.2.4 EIRP (Effectife Isotropic Radiated Power)
EIRP adalah besarnya daya suatu carrier yang dipancarkan oleh suatu antena,
satuannya dinyatakan dalam dB Watt. Harga EIRP adalah hasil penjumlahan
antara daya keluaran HPA dengan penguatan antena dikurangi dengan redaman IFL
(Interfacility Link).
Besarnya EIRP dapat dirumuskan sebagai berikut :
EIRP = P out HPA (dBw) + G antena (dB) – loss IFL (dB)
Harga EIRP dapat diperkecil atau diperbesar dengan cara :
Memperkecil/memperbesar output HPA
Memperkecil/memperbesar penguatan antena
Memperpanjang/memperpendek IFL
Contoh perhitungan EIRP :
Output HPA = 30 Watt; Gain antena = 43 dB; Loss IFL = 1,5 dB. Berapakah besarnya
EIRP ?
EIRP = 14,7 dBw + 43 dB – 1,5 dB = 56,2 dBw
4.2.5 Noise figure
Seperti yang diuraikan di atas setiap sirkit pasif dan aktif pada setiap media
trasmisi menyumbangkan noise pada sistem transmisi.
Noise figure adalah perbandingan antara noise yang dihasilkan perangkat dalam
kenyataan dibandingkan dengan noise pada perangkat ideal. Untuk perangkat linier,
noise figure (NF) dinyatakan :
Dalam dB : NF = S/N in (dB) – S/N out (dB)
Contoh (menghitung S/N in) :
Recevier dengan : NF = 10 dB dan S/N out = 50 dB
NF = S/N in – S/N out
10 = S/N in – 50
S/N in = 60 dB
4.3 Satuan Pengukuran Transmisi
4.3.1 Desibel (dB)
Suatu saluran menyatakan besaran perbandingan logaritnik daya keluar dengan daya
masuk dimana daya tersebut merupakan harga relatif. Dari defenisi tersebut, misalkan suatu
peralatan mempunyai penguatan 2 kali (input = 1 W, output 2 W), bila dinyatakan dalam
dB, maka penguatan tersebut = 3 dB. Harga tersebut didapat dari penurunan rumus :
= 10 log 2/1
= 3,0103 dB
Misalkan suatu peralatan mempunyai redaman 1/1000 kali (input = 1000 W,
output = 1W), bila dinyatakan dalam dB, maka penguatan tersebut = - 30 dB. Harga
tersebut didapat dari penurunan rumus :
= 10 log 1/1000
= -30 dB
Karena hasilnya negatif, peralatan tersebuut bukan penguatan, tetapi redaman sebesar 30
dB.
4.3.2 dBm
Satuan harga mutlak suatu perbandingan daya terhadap daya 1 miliwatt yang
dituliskan dengan rumus :
contoh :
Suatu amplifier mempunyai penguatan 1 mW, berapa dBm besar penguatan tersebut ?
Daya (dBm) = 1/1 = 0 dBm
Jadi 1 mW = 0 dBm
4.3.3 dBW
Satuan harga mutlak suatu daya terhadap daya 1 Watt
Contoh :
Misal diketahui daya 13 Watt, berapa dBw daya tersebut ? Daya
Daya (dBw) = 10 log 13/1 W
1 W
= 11,13 dBw
4.3.4 dBmo
dBmo adalah satuan harga mutlak suatu daya dalam dBm yang mengacu kepada 0 TLP
(Zero test level point). 0 TLP setiap titik mempunyai nomial level yang berbeda-beda dan
dinyatakan dalam level dBr (dB referensi) sebagai misal ; nominal level TX VF = -16 dBr
= - 16dB. Hubungan antara dBm, dBm0 dan dBr dapat dinyatakan dalam rumus sebagai
berikut :
dBm = dBm0 + dBr
Contoh :
- 26 dBm - 16 dBm
Suatu titik pengukuran terukur level –26 dBm, di mana level nominal referensi
dari titik ukur tersebut adalah – 16 dBm, maka harga pengukuran tersebut bila
dinyatakan dalam dBm0 adalah – 10 dBm0 yang artinya level pada titik pengukuran
tersebut 10 dB di bawah nominal level.
4.4 Jarak Pisah Satelit
Meskipun telah diketahui jarak pisah antara satelit Telkom 2 dengan Thaicom
dan posisi derajat masing-masing satelit dalam derajat, namun belum diketahui jarak
sebenarnya antara kedua satelit dalam kilometer. Untuk menentukan jarak tersebut
menggunakan rumus berdasarkan gambar 4.1 berikut ini:
d2 = 2 r 2 − 2 r 2 COS , 8 = 2 r 2 (1− COS , 8 )
Parameter-parameter di atas didefinisikan dengan:
0 = jarak pisah antara dua buah satelit dilihat dari antena stasion bumi
R = jarak pisah antara dua buah satelit dilihat dari selisih longitudenya
di = slant range antara stasion bumi dengan satelit
r = orbit geostasioner yang panjangnya 42164 km
d = jarak pisah antara dua buah satelit dalam km.
Dari rumus di atas maka dapat dicari jarak pisah antara satelit Thaicom dengan
satelit Telkom 2 sebagai berikut:
- Longitude Thaicom 120 °
- Longitude Telkom 2 118°
d2 = 2 x 421642 (1 – cos R)
d2 = 2165197,98
d = 1471 km
Hasil perhitungan teknis ini akan selalu berubah-ubah karena satelit akan selalu
bergerak menurut orbitnya sehingga jarak pasti pada suatu waktu akan sangat sulit
ditentukan.
Gambar 4.4 Jarak Pisah Dua Buah Satelit dilihat dari Stasiun Bumi
4.5 Menentukan Daerah Kemiringan (Slant Range) Stasion Bumi dengan Satelit.
Daerah kemiringan (slant range) antara stasion bumi dengan satelit adalah jarak
sebenarnya yang diukur dari stasion bumi ditarik garis lurus menuju posisi satelit di atas.
Nilai slant range menggunakan rumus sebagai berikut:
Di mana:
h = orbit satelit geostasioner (35786 km)
Re = jari-jari bumi (6378 km)
cos = selisish longitude stasiun bumi dengan satelit
cos ∆ = nilai latitude dari stasion bumi
Nilai slant range diperlukan untuk menghitung lebih lanjut sudut
toposentris antara dua satelit yang dilihat dari stasion bumi. Nilai slant range yang
dihitung mengarah pada slant range ke satelit Telkom 2 dan slant range ke satelit Thaicom
untuk masing-masing posisi stasion bumi yang akan diletakkan.
Contoh perhitungan :
Posisi stasion bumi di kota Bogor:
Latitude: 6,57°
Longitude: 106,75°
Slant Range Thaicom : D2 =
D = 35978,3 km
Slant Range telkom2 : D2 =
D = 36033,2 km
4.6 Menentukan Jarak Pisah Satelit Dilihat Dari Stasion Bumi
Jarak pisah sebesar 2° antara satelit Thaicom dan Telkom 2 merupakan jarak pisah
antara satelit dalam lingkup orbit geostasioner. Sedangkan jarak pisah antara dua buah
satelit tersebut dilihat dari stasion bumi dicari berdasarkan Gambat 4.1 di atas. Besarnya
nilai jarak pisah kedua satelit (bila dilihat dari stasion bumi) dengan koordinat tertentu
adalah:
Besarnya nilai sudut toposentris tersebut akan berbeda-beda sesuai dengan posisi
stasiun buminya. Sudut Toposentris ini akan berguna untuk menentukan besarnya side
lobe antena yang mengarah ke satelit Thaicom. Untuk daerah yang terdapat dalam 4
kawasan tersebut akan mempunyai nilai yang berbeda yang akan berpengaruh
terhadap nilai interferens terhadap kedua satelit tersebut. Sebagai contoh, di bawah
ini merupakan hasil perhitungan nilai sudut toposentris untuk masing-masing daerah dalam
pembagian seperti di atas:
1) Daerah dalam kawasan Utara Khatulistiwa dan di sebelah barat satelit.
- Nama Kota : Medan
- Slant Range (118) : 36221,67
- Slant Range (120): 36311,51
- Nilai Sudut Toposentris (θ) =
= 2,32093°
2) Daerah dalam kawasan Utara Khatulistiwa dan di sebelah timur satelit
- Nama Kota : Manado
- Slant Range (120) : 35816,62
- Slant Range (118) : 35843,56
- Nilai Sudut Toposentris (θ) =
= 2,3532°
3) Daerah dalam kawasan Selatan Khatulistiwa dan di sebelah barat satelit
- Nama Kota : Bogor
- Slant Range (120) : 35978,3
- Slant Range (118) : 36033,2
- Nilai Sudut Toposentris (θ) =
= 2,34048 °
4) Daerah dalam kawasan Selatan Khatulistiwa dan di sebelah timur satelit
- Nama Kota : Ambon
- Slant Range (120) : 35888,4
- Slant Range (118) : 35930,05
- Nilai Sudut Toposentris (θ) =
= 2,342°
4.7 Menentukan Gain Antenna
Mencari nilai penguatan (gain) antena dimaksudkan untuk mengetahui
karakterisitik antena yang dipergunakan stasion bumi sehingga dapat dicari nilai side
lobe-nya. Gain antena dicari dengan menggunakan rumus 3.9 dengan mengasumsikan
nilai ri adalah sebesar 0,6 dan frekuensi yang digunakan adalah frekuensi up link untuk C-
Band sebesar 6 Ghz. Parameter diameter antena akan ditentukan mulai dari antena sebesar
2,4 m sampai dengan antena sebesar 1,7 meter.
- Untuk antena dengan diameter 2,4 maka nilai Gmax akan bernilai:
Gmax = 10 log η(πDf/c)2
= 10 log 0,6(3,14 x 2,4 x 6x 109 / 3x 108)2
= 41,344 dBi
- Untuk antena dengan diameter 2,2 maka nilai Gmax akan bernilai:
Gmax = 10 log 0,6 (3,14 x 2,2 x 6x 109 / 3x 108)2
= 40,589 dBi
- Untuk antena dengan diameter 2,1 maka nilai Gmax akan bernilai:
Gmax = 10 log 0,6 (3,14 x 2,1 x 6x 109 / 3x 108)2
= 40,185 dBi
Tabel 4.1 Nilai Gain Antena berdasarkan Diameter
Diameter Antena Nilai Gmax
1. Antena 2,4 Meter 41.334 dBi
2. Antena 2,2 Meter 40,589 dBi
3. Antena 2,1 Meter 40,185 dBi
1. Antena 2 Meter 39,76 dBi
4. Antena 1,8 Meter 38,846 dBi
5. Antena 1,7 Meter 38,35 dBi
4.8 Menentukan Lebar Berkas (Beamwidth) θ3dB
Lebar berkas suatu antena sering disebut dengan beam width θ3dB. Harga ini berarti
harga penguatan pada posisi sudut sesuai pengarahan di mana gain akan bernilai
setengah dari nilai maksimumnya. Semakin lebar diameter antenanya maka nilai
θ3dB akan semakin kecil, artinya berkas sinyal yang dipancarkan akan semakin
kohern. Hasil perhitungan besarnya lebar berkas berdasarkan diameter antena adalah
sebagai berikut:
θ3dB = 70(λ/D) = 70(c/fD) (derajat)
Tabel 4.2 Nilai Lebar Berkas Antena berdasarkan Diameter
Diameter Antena Nilai θ3dB
2,4 m 1,458°
2.2 m 1,59°
2.1 m 1,67°
2 m 1,75°
1,8 m 1,94°
1,7 m 2,05°
4.9 Menentukan Besarnya Side Lobe Antena Stasion Bumi
Untuk menentukan besarnya level side lobe antena stasion bumi digunakan
rumus 3.12 dengan asumsi bahwa hasil perhitungan tersebut tidak boleh melebihi
ketentuan dari ITU-T yang mengacu pada rumus 3.15. Besarnya nilai side lobe tersebut
tidak boleh melebihi ketentuan dari ITU-T yaitu sebesar G = 29 – 25 logo (Rec.ITU-R
S.580-5) berlaku untuk nilai sudut toposentris 0 lebih dari1 °. Sebelumnya terdapat
aturan yang lama sebesar G = 32 – 25 loge (Rec. ITU-R S.580-5) berlaku untuk nilai
sudut toposentris 0 lebih dari 1° untuk antena yang terpasang sebelum tahun 1995.
Besarnya nilai side lobe dicari pada setiap posisi stasion bumi yang akan diletakan
sehingga diketahui level interferens ke satelit Thaicom. Semakin kecil diameter antena
yang dipakai maka semakin besar nilai sidelobe-nya. Fenomena ini harus dihindari
supaya tidak menimbulkan interferens bagi satelit di dekatnya. Salah satu contoh
hasil perhitungannya adalah sebagai berikut:
Posisi Stasion Bumi : Medan
Sudut Toposentris : 2,32093°
Diameter antena : 2,4 m
G(θ)dBi = Gmaz,dBi - 12 (θ/θ3dB)2 (dBi)
= 41,334 – 12 ( 2,32093 / 1,458 )2
= 10.936 (dBi)
Jika kita melihat hasil perhitungan sudut toposentris maka terlihat rata-rata nilai
sudut tersebut berkisar pada nilai 2,3°, oleh karena itu jika aturan dari ITU-T diaplikasikan
maka:
G(θ) = 29 – 25 log 2,3°
= 19,96 dBi
Artinya bahwa nilai side lobe maksimal yang diperbolehkan dipasang pada suatu
wilayah menggunakan antena jenis apapun nilainya tidak boleh melebihi 19,96 dBi.
Apabila diperhatikan lebih lanjut pada tabel hasil perhitungan, maka diameter antena 2 m
– 2,4 m aman digunakan karena level side lobenya kecil, sedangkan untuk antena dengan
diameter <_ 1,9 m akan sangat riskan digunakan karena side lobenya sudah melebihi
ketentuan dari ITU-T. Pada kenyataanya di lapangan antena dengan diameter tersebut di
atas masih banyak digunakan sehingga kemungkinan menginterferensi satelit terdekat
akan sangat besar.
BAB V
LINK BUDGET
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:
Mahasiswa dapat menghitung link budget dan merencanakan suatu sistem telekomunikasi.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :
1. Mahasiswa dapat menghitung rugi-rugi yang terdapat pada sistem komunikasi satelit.
2. Mahasiswa dapat menghitung daya-daya baik daya pancar maupun daya terima pada
sistem komunikasi satelit.
3. Mahasiswa dapat menghitung parameter-parameter pada lintasan uplink dan downlink.
Pada bab ini akan dibahas mengenai persamaan-persamaan dalam menghitung link
budget dalam suatu komunikasi satelit.
5.1 Untuk Cuaca Cerah
Rugi-rugi untuk kondisi cuaca cerah diberikan oleh persamaan berikut:
[LOSSES] = [FSL] + [RFL] + [AML] + [AA] + [PL]
Persamaan daya yang diterima dalam decibel menjadi :
[PR] = [EIRP] + [GR] – [LOSSES]
Dimana :
[PR] = Daya yang diterima, dBW
[EIRP] = Equivalent Isotropic Radiated Power, dBW
[FSL] = Free Space Loss, dB
[RFL] = Receiver Feeder Loss, dB
[AML] = Antenna Misalignment Loss, dB
[AA] = Atmospheric Absorbtion, dB
[PL] = Polarization Loss, dB
5.2 Thermal Noise
Thermal noise adalah noise yang terjadi pada semua media transmisi dan dalam
semua peralatan komunikasi yang timbul dari pergerakan elektron secara acak. Thermal
noise proporsional terhadap bandwidth dan temperature.
Pn = kT (W/Hz)
Dimana : kT = Konstanta Boltzman = 1,3803 . 10-23 J/K
T = Temperature mutlak untuk termal noise (oK)
Pada temperatur ruang, T = 17o C atau 290o K
Pn = 4,00 . 10-21 W/Hz of bandwitdh
= - 204 dBW/Hz
= - 174 dBm/Hz
Untuk sistem dengan bandwidth specific (sistem terbatas bandwidth)
Pn = kTB (W)
B merefer disini kepada apa yang dinamakan noise bandwidth (Hz). Pada 0oK.
Pn = - 228,6 dBW/Hz
Untuk sistem dengan bandwidth spesific :
Pn = -228,6 dBW = 10 log T + 10 log B
5.3 Signal to Noise Ratio
Jika signal to Noise Ratio di ekpresikan dalam dB maka dapat dilihat pada gambar
berikut :
Gambar 5.1 Signal to Ratio
Signal 1000 Hz mempunyai SNR 10 dB. Level noise adalah 5 dBm dan signal, 15 dBm.
S/NdB = levelsignal(dBm) – levelnoise(dBm)
System Noise
Sumber utama noise listrik pada peralatan adalah yang muncul dari gerakan elektron-
elektron secara acak pada berbagai peralatan resistive dan active pada penerima. Thermal
noise juga dibangkitkan dari komponen-komponen antenna yang mengalami lossy.
Daya noise (noise power) dari sumber noise thermal diberikan oleh:
PN = kTNBN
Dimana : TN = equivalent noise temperature
BN = equivalent noise bandwidth
K adalah konstanta Boltzman (1,38 . 10-23 J/K)
Karakteristik utama noise thermal adalah bahwa ia memiliki flat spektrum frekuensi;
yang berarti bahwa, Daya noise (noise power) per unit bandwidth adalah sebuah konstan.
Noise power per unit bandwidth disebut kepadatan spectral daya noise atau the noise power
spectral density dan dinotasikan sebagai :
Temperatur noise berhubungan secara langsung dengan temperatur fisik. Dari sumber
noise, tetapi tidak selalu sama dengannya.
Contoh:
An antenna has noise temperature of 35 K, and is matched into a receiver which has a
noise temperature of 100 K. Calculate (a) the Noise Power Density and (b) the noise power
for a bandwidth of 36 MHz.
Jawab :
(b) N0 = (35 + 100) x 1,38 x 10-23 = 1,86 x 10-21 J
(c) PN = 1,86 x 36 x 106 = 0,067 pW
5.4 Noise Antena
Noise antena bisa secara luas diklasifikasikan ke dalam dua grup: noise yang berasal
dari rugi-rugi antena (antenna losses) dan sky noise. Sky noise adalah term yang digunakan
untuk menggambarkan radiasi gelombang mikro yang terdapat pada alam semesta.
5.4.1 Amplifier Noise Temperature
Gambar 5.2 Amplifier Noise
Input Noise energi dari antena adalah :
N0,ant = kTant
Output noise energy adalah: N0,out = GN0,out ditambah kontribusi yang dihasilkan oleh
amplifier. Semua noise Amplifier, yang terjadi pada amplifier merujuk kepada equivalent
input temperatur noise (equivalent input noise Temperature, T1. Output noise menjadi :
N0,out = Gk(Tant + Te)
Total noise pada input :
Te bisa didapat dari pengukuran , tipikal nilainya berada pada range 35 sampai 100 K.
5.4.2 Amplifier in Cascade
Koneksi cascade diperlihatkan pada gambar (b). Keseluruhan Gainnya adalah :
G = G1G2
Noise energi amplifier 2 merujuk pada inputnya adalah kTe2. Noise input amplifier 2
dari stage sebelumnya adalah G1k (Tant+ Te1), dan selanjutnya total noise energy merujuk
pada input amplifier 2 adalah:
N0,2 = G1k(Tant + Te1) + kTe2
Noise energy ini bisa dihubungkan dengan noise energy pada input amplifier 1
dengan membaginya dengan power gain amplifier 1,
Sistem noise temperature sekarang boleh didefinisikan sebagai Ts dengan
N0,1 = kTs
Disini dapat terlihat bahwa Ts diberikan oleh:
Dari hasil ini dapat dikembangkan untuk beberapa stages dalam cascade,
5.4.3 Noise Factor
Output noise dari amplifier adalah :
G adalah power gain amplifier, F adalah noise factor. Selanjutnya dapat ditulis
hubungan:
Noise Figure adalah merupakan noise factor F yang diekspresikan dalam decibels:
Contoh :
An LNA is connected to a receiver which has a noise figure of 12 dB. The gain of the LNA
is 40 dB and its noise temperature is 120 K. Calculate the overall noise temperature referred
to the LNA input.
Jawab :
12 dB is a power ratio of 15.85:1, and therefore
A gain of 40 dB is a power ratio of 10000:1, and therefore
5.4.4 Noise Temperature of Absorptive Networks
Jaringan absorptive adalah salah satu yang mengandung elemen-elemen resistive.
Disini akan diperkenalkan rugi-rugi oleh penyerapan energi dari sinyal dan
mengkonversikannya menjadi panas. Peredam-peredam resistive, transmission lines, dan
waveguides adalah merupakan contoh jaringan-jaringan absorptive dan juga termasuk
hujan, yang mana menyerap energi dari sinyal-sinyal radio yang melewatinya, dapat
dianggap sebagai bentuk jaringan absorptive. Oleh karena jaringan absorptive mengandung
resistance, ia membangkitkan thermal noise.
Anggap sebuah jaringan absorptive memiliki power loss L dan terhubung dengan
sumber input. Katakanlah sumbernya pada temperature Tx maka noise energinya adalah
kTx. Jaringan “power gain” adalah 1/L dan oleh karenanya kontribusi sumber terhadap
output noisenya adalah kTx/L. Selanjutnya katakanlah TNW,0 merepresentasikan noise
temperature jaringan, merujuk ke output, jadi kontribusi jaringan terhadap output noisenya
adalah kTNW,0. Total output noise selanjutnya adalah
Mari menginisialkan jaringan pada temperatur yang sama Tx sebagai sumber. Sebab
jaringan terhubung dengan sumber, energy noise pada output diberikan oleh kTx,
selanjutnya:
atau
Noise temperature dari lossy network merujuk pada inputnya,
Jika lossy network harus terjadi pada kondisi temperatur ruangan, yaitu Tx=To, maka
perbandingan persamaan (1.31) dan (1.35) menunjukkan bahwa
F = L
Ini menunjukkan bahwa pada temperatur ruangan, noise factor pada lossy network
sama dengan Power loss nya.
5.4.5 Overall System Noise Temperature
Gambar 5.3 Koneksi-Koneksi yang Digunakan untuk Menggambarkan Overall Noise
Temperature System.
Figure (a) diatas memperlihatkan tipikal sistem penerima. Sistem noise temperature
pada input :
Contoh (1) :
For the system shown in Figure (a) above, the receiver noise figure is 12 dB, the cable loss
is 5 dB, The LNA gain is 50 dB, and its noise temperature 100 K. The antenna noise
temperature is 35 K. Calculate the noise temperature referred to the input.
Jawab :
Contoh (2) :
Repeat the calculation when the system of Fig. (a) is arranged as shown in Fig. (b).
Jawab :
In this case the cable precedes the LNA and therefore the equivalent noise temperature
referred to the cable input is :
5.4.6 Carrier to Noise Ratio
Pengukuran performansi dari suatu link satelit adalah CNR pada input penerima, dan
perhitungan link budget sering berhubungan dengan penentuan ratio ini. Secara
konvensional ratio ini sering dinotasikan oleh C/N (CNR) yang mana equivalent dengan
PR/PN.
Dalam bentuk desibel :
Persamaan-persamaan di atas bisa digunakan untuk PR dan PN, menghasilkan:
Ratio G/T adalah merupakan parameter kunci dalam menentukan performansi sistem
penerima. Gain antenna GR dan sistem noise temperature TS bisa dikombinasikan dalam
persamaan di atas sebagai :
Selanjutnya persamaan link menjadi :
Rasio carrier power terhadap noise power density PR/N0 boleh jadi merupakan
kuantitas yang secara aktual dibutuhkan. Dari PN = kTNBN = N0BN maka kemudian
Dan kemudian
[C/N] adalah rasio power yang sebenarnya dalam unit decibels, dan BN dalam
decibels relatif terhadap satu hertz, atau dBHz. [C/N0] dalam dBHz.
Contoh :
In a link budget calculation at 12 GHz, the free-space loss is 206 dB, the antenna pointing
loss is 1 dB, and the atmospheric absorption is 2 dB. The receiver G/T ratio is 19.5 dB/K
and receiver feeder losses are 1 dB. The EIRP is 48 dBW. Calculate the carrier-to-noise
spectral density ratio.
Jawab:
The data are best presented in tabular form, and in fact lend themselves readily to
spreadsheet-type computations. For brevity the units are shown as decilogs and losses are
entered as negative numbers to take account of the minus sign in eq. ( 1.43). Recall that
Boltzmann’s constant equates to -228.6 decilogs., so that –[k]=228.6 decilogs as shown in
the table. Entering data in this way allows the final result to be entered in a table cell as the
sum of the terms in the rows above the cell, a feature usually incorporated in spreadsheets
and word processors. This is illustrated in the following table.
5.5 Uplink
Uplink memiliki pengertian dimana disatu sisi stasiun bumi memancarkan signal dan disisi
lain satelit menerima signal dari stasiun bumi tersebut. Pers (1.43) bisa diaplikasikan untuk
uplink dengan memberikan subscript U untukmenyatakan pengertian uplink. Persamaan
menjadi:
Pada persamaan, nilai-nilai yang digunakan adalah EIRP stasiun bumi, satellite receiver
feeder losses, dan satellite receiver G/T. Free-space loss dan losses lain yang bergantung
frekuensi, dihitung untuk frekuensi uplink.
5.5.1Saturation Flux Density
Flux density yang dibutuhkan pada antena penerima untuk menghasilkan saturasi dari
TWTA (traveling wave tube amplifier) disebut saturation flux density. Saturation flux
density adalah sebuah kuantitas yang penting dalam perhitungan link budget, dan dengan
mengetahuinya, kita dapat menghitung EIRP yang dibutuhkan pada stasiun bumi. Untuk
memperlihatkan ini, kita lihat lagi persamaan berikut:
Dalam desibel :
Untuk Free Space Loss :
λ2/4π menunjukkan dimensi area, yang pada kenyataannya adalah merupakan
effective area dari antena isotropik. Dengan menotasikannya dengan Ao memberikan:
Persamaan diatas untuk kondisi clear-sky. Dengan nilai-nilai saturasi yang
dinotasikan dengan subscript S, dapat ditulis ulang:
Contoh :
An uplink operates at 14 GHz, and the flux density required to saturate the transponder is -
120 dB(W/m2). The free space loss is 207 dB, and the other propagation losses amount to 2
dB. Calculate the earth-station [EIRP] required for saturation, assuming clear sky
conditions. Assume [RFL] is negligible.
Jawab :
Pada 14 GHz
[A0] = -(21,45 + 20 log 14) = -44,37 dB
Rugi-rugi pada propagasi adalah sebesar = 207 + 2 = 209 dB
[EIRPS]V = -120 - 44,37 + 209 = 44,63 dB.
5.5.2 Input Back-Off
Carrier to Noise Density diberikan oleh
Contoh :
An uplink at 14 GHz requires a saturation flux density of -91.4 dBW/m2 and an input back-
off of 11 dB. The satellite G/T is -6.7 dBK-1 and receiver feeder losses amount to 0.6 dB.
Calculate the carrier-to-noise density ratio.
Jawab :
5.5.3 The Earth Station HPA
High Power Amplifier dari stasiun bumi mensupplai power, ditambah dengan
transmit feeder losses yang dinotasikan dengan TFL, atau [TFL] dalam dB. Disini termasuk
waveguide, filter, dan rugi-rugi coupler antara output HPA dan antena pancar. Output
power HPA diberikan oleh:
Saturasi output power HPA diberikan oleh:
5.6 Downlink
Downlink memiliki pengertian dimana disatu sisi satelit memancarkan signal dan di
sisi lain stasiun bumi menerima sinyal yang dipancarkan tersebut. Persamaan pada uplink
bisa diaplikasikan untuk downlink, tetapi subscript D akan digunakan untuk menyatakan
downlink. Persamaan menjadi
Nilai-nilai yang digunakan pada persamaan di atas adalah EIRP satelit, RFL stasiun
bumi dan penerima G/T stasiun bumi. Free-space dan rugi-rugi lain dihitung untuk
frekuensi downlink. Hasil carrier to noise density ratio dari persamaan di atas adalah yang
muncul pada Detektor penerima stasiun bumi. Selanjutnya dengan mengasumsikan signal
bandwidth B sama dengan noise bandwidth BN:
Contoh :
A satellite TV signal occupies the full transponder bandwidth of 36 MHz, and it must
provide a C/N ratio at the destination earth station of 22 dB. Given that the total
transmission losses are 200 dB and the destination earth station G/T ratio is 31 dB/K,
calculate the satellite EIRP required.
Jawab :
5.6.1Output Back-off
Jika EIRP satelit untuk kondisi saturasi dilambangkan sebagai [EIRPS]D, maka
[EIRP]D=[EIRPS]D-[BO]o dan persamaan menjadi:
Gambar Hubungan antara Input dan Output Back-off untuk Satellit TWTA
[BO]=[BO]o + 5 dB
Contoh :
The specified parameters for a downlink are satellite saturation value of EIRP, 25 dBW;
output back-off, 6 dB; free-space loss, 196 dB; allowance for other downlink losses, 1.5
dB; and earth station G/T, 41 dB/K. Calculate the carrier to noise density ratio at the earth
station.
Jawab :
5.6.2 Satellite TWTA Output
Output power TWTA diberikan oleh
Bila [PTWTA] diketahui, saturasi output power diberikan oleh
Contoh :
A satellite is operated at an EIRP of 56 dBW with an output back-off of 6 dB. The
transmitter feeder losses amount to 2 dB, and the antenna gain is 50 dB. Calculate the
power output of the TWTA, assuming it may be required to provide the full saturated EIRP.
Jawab :
5.6.3 Downlink Rain-Fade Margin
Effective noise temperature dari hujan diberikan oleh
Dimana
Ta : apparent absorber temperature
A : rain attenuation
Total sky-noise temperature adalah temperature clear-sky ditambah temperature hujan.
Hujan selanjutnya menurunkan [C/No] yang diterima dalam 2 cara:
1. Dengan meredam gelombang carrier
2. Meningkatkan temperature sky-noise
Downlink C/N power ratio berhubungan dengan nilai clear-sky oleh :
Dimana :
CS: subscript kondisi clear-sky dan TS,
CS: system noise temperature dalam kondisi clear-sky
Contoh :
Under clear-sky conditions the downlink [C/N] is 20 dB, the effective noise temperature of
the receiving system being 400 K. If rain attenuation exceeds 1.9 dB for 0.1% of the time,
calculate the value below which [C/N] falls for 0.1% of the time. Assume Ta = 280 K.
Jawab :
1.9 dB attenuation is equivalent to a 1.55:1 power loss. The equivalent noise temperature of
the rain is therefore
TRAIN = 280(1 - 1/1.55) = 99.2 K
The new system noise temperature is 400 + 99.2 = 499.2 K. The decibel increase in noise
power is therefore [499.2] – [400] = 0.96 dB. At the same time, the carrier is reduced by 1.9
dB and therefore the [C/N] with 1.9 dB rain attenuation drops to 20 – 1.9 – 0.96 = 17.14
dB. This is the value below which [C/N] drops for 0.1% of the time.
5.7 Combined Uplink and Downlink C/N Ratio
Kombinasi noise spectral density to carrier ratio (N/C) diberikan oleh
Contoh ;
For a satellite circuit the individual link carrier to noise spectral density ratios are: uplink
100 dBHz; downlink 87 dBHz. Calculate the combined C/N0 ratio.
Jawab :
5.8 Intermodulation Noise
Intermodulation terjadi dimana sejumlah carrier melewati rangkaian dengan
karkteristik yg non linier. Dalam sistem komunikasi satelit, biasanya terjadi pada TWTA
pada satelit.Amplitudo dan fasa yang non linier dapat menyebabkan intermodulasi.
Selanjutnya dapat ditulis
Contoh :
For a satellite circuit the carrier to noise ratios are: UL 23 dB, DL 20 dB, intermodulation
24 dB. Calculate the overall CNR in decibels.
Jawab :
DAFTAR PUSTAKA