Buku 5 tahun dnpi website
-
Upload
ari-adipratomo -
Category
Documents
-
view
341 -
download
3
Transcript of Buku 5 tahun dnpi website
PERUBAHAN IKLIMDAN
TANTANGAN PERADABAN BANGSA
dewan nasional perubahan iklim (dnpi)Diterbitkan Dalam Rangka Ulang Tahun Ke-5 DNPI, 4 Juli 2013
Hal Depan.indd 3 8/2/13 10:46:16 AM
perubahan iklim dan TanTanGan peradaban banGsalima Tahun dnpi 2008 – 2013 © 2013 hak cipta pada Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)ISBN : 978-602-98983-5-4
Diterbitkan sebagai publikasi perubahan iklim bagi masyarakat luasdalam rangka peringatan lima tahun DNPI Cetakan pertama : Juli 2013
Tim penyusunPENGARAH : Rachmat Witoelar, Agus Purnomo PENYELIA : Amanda Katili Niode, Murni Titi Resdiana, Agus TagorKOORDINATOR PENERBITAN : Agus Soetomo, Mariza Hamid PERANGKUM : Fachruddin M. Mangunjaya SEKRETARIS REDAKSI : Frans Toruan, Jannata GiwangkaraEDITOR : Yani SalohKOORDINATOR FOTO : M. Ridwan SolehDESAIN DAN TATA LETAK : Adeca Studio, Gita Fara
konTribuTor naskah (berdasarkan abjad): Agus Supangat l Amanda Katili Niode l Ari Muhammad l Dicky Edwin Hindarto l Doddy S. Sukadri l Farhan Helmy l Muhammad Farid l Murni Titi Resdiana l Moekti H. Soejachmoen l Nur R. Fajar l Suzanty Sitorus l Widiatmini Sih Winanti l Yani Saloh
narasumber : Balthasar Kambuaya (Kementerian Lingkungan Hidup), Satya Widya Yudha (DPR), Rachmat Witoelar (DNPI), Agus Purnomo (DNPI), Endah Murniningtyas (Bappenas), Yetti Rusli (Kementerian Kehutanan), Eddy Pratomo (Kementerian Luar Negeri), Abetnego Tarigan (Walhi), Jatna Supriatna (UI), Komaruddin Hidayat (Budayawan), Ismid Hadad (Yayasan Kehati), Aristides Katoppo (Pers).
dewan nasional perubahan iklim (dnpi) Gedung Kementerian BUMN Lantai 18
Jl. Medan Merdeka Selatan No. 13
Jakarta 10110
Telepon : +(6221) 3511400
Faximili : +(6221) 3511403
e-mail : [email protected]
http : www.dnpi.go.id
kontak : Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dipersilakan mengutip dengan menyebutkan sumbernya.
ii
Hal Depan.indd 4 8/2/13 10:46:22 AM
penGanTar Tim penyusun
rasa bahaGia dan haru menyertai puji syukur atas karunia Illahi, yang telah memungkinkan kami
menerbitkan buku ini.
Bagi kami di DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) buku ini mempunyai arti penting karena
mengabadikan sejarah dan kiprah DNPI sejak dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lima tahun
yang lalu, 4 Juli 2008. Namun, bukan makna seremonial yang kami tuju. Bukan pula binar-binar kebanggaan
yang ingin kami tampilkan meskipun DNPI adalah satu-satunya lembaga yang fokus pada soal-soal yang
berhubungan dengan perubahan iklim, dalam skala domestik nasional maupun global internasional. Justru
sebaliknya, kami berharap mampu memberikan sumbangsih berupa informasi, wacana, maupun inspirasi
untuk meningkatkan kepedulian kita semua terhadap sebab-sebab dan dampak perubahan iklim. Buku ini
memang dipersembahkan kepada masyarakat luas, apa pun latar belakangnya.
Secara spesifik kami memaparkan perjalanan lima tahun DNPI (2008 – 2013). Kiprah DNPI sejak masa-
masa awal yang menyangkut perencanaan, kajian, implementasi, aksi-aksi serta evaluasi, disajikan dengan
bahasa yang diharapkan komunikatif dengan pembaca. Fungsi koordinator dan peran DNPI di bidang
negosiasi, yang sering dinilai oleh beberapa kalangan masyarakat sebagai prestasi luar biasa, pun ditampilkan
secara seimbang.
Riset sederhana dilakukan untuk penyusunan buku, akan tetapi sesungguhnya materi utama yang
digunakan adalah karya/tulisan/pemikiran tim di DNPI baik di sekretariat, divisi maupun pokja (kelompok
kerja). Serangkaian wawancara dengan tokoh-tokoh yang kompeten pun diadakan untuk melengkapi
buku ini, agar dapat menangkap pandangan-pandangan kritis dan pemikiran yang bervariasi. Wawancara-
wawancara itu pun merupakan upaya mendapatkan masukan yang membangun untuk memperbaiki
diri di kemudian hari. Kepada kontributor dan narasumber kami mengucapkan terima kasih. Dedikasi dan
pengalaman yang mereka sampaikan sangat memperkaya buku. Selain itu, bantuan dan dukungan berbagai
pihak mengalir, memungkinkan pengerjaan buku ini semakin lancar. Pada mereka, yang namanya tidak kami
sebutkan satu persatu karena keterbatasan ruang, terima kasih tulus kami sampaikan.
Meskipun sudah direncanakan sebaik mungkin, buku ini masih jauh dari sempurna. Kritik membangun
dengan senang hati akan kami terima dan dimanfaatkan.
Selanjutnya, kami berharap masyarakat semakin mengenal dan mencintai DNPI, serta mendapatkan
informasi yang mempunyai nilai tambah mengenai perubahan iklim. Sebagaimana dimahfumi, dampak
perubahan iklim yang merugikan bumi dan manusia adalah nyata dan aktual; imbasnya pun multidimensi
di segala sektor kehidupan. Mengabaikan perubahan iklim sama artinya mengkhianati tugas mulia manusia
sebagai khalifah Tuhan untuk memelihara kehidupan. Buku ini ingin menguatkan kesadaran itu.
Jakarta, 4 Juli 2013
iii
Hal Depan.indd 5 8/2/13 10:46:29 AM
DAFTAR ISI
JUDUL iTIM PENYUSUN iiPENGANTAR TIM PENYUSUN iiiDAFTAR ISI vKUTIPAN AMANAT PRESIDEN RI SUSILO BAMBANG YUDHOYONO MENGENAI PERUBAHAN IKLIM viiPENGANTAR KETUA HARIAN DNPI RACHMAT WITOELAR ixPROLOG: PERUBAHAN IKLIM DAN PEWARISAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN xi
BAB I. COP-13 BALI: TONGGAK SEJARAH DNPI 1 1. Bermula dari KTT Bumi 4 � Perjalanan Panjang Menyelamatkan Bumi 6 2. Dari Bali untuk Bumi 8 � Bali Action Plan 13 3. Di Balik Gagasan Pendirian DNPI 14 � Tujuh Belas Kementerian dan Satu Lembaga Memperkuat DNPI 17 � Pengembangan Kebijakan dan Kelembagaan Perubahan Iklim 18 BAB II. TENTANG PERUBAHAN IKLIM 19 1. Musim yang Semakin Tidak Menentu 22 � Melaut pun Surut 25 2. Manusia dan Gas-Gas Rumah Kaca 26 � Dari mana Gas Rumah Kaca Berasal 28 3. Benarkah ada Perubahan Iklim? 34 � Petani Bingung Musim 38 � Perubahan Iklim adalah Akibat Ulah Manusia 39 4. Perubahan Iklim di Laut Nusantara 40
BAB III. KIPRAH LIMA TAHUN DNPI (2008 – 2013) 43 1. MARI BERADAPTASI 46 � Kegiatan Adaptasi 48 2. BERFOKUS PADA MITIGASI 50 � Kurva Biaya Pengurangan Emisi 53 � Dimensi Mitigasi Perubahan Iklim 54 � Aksi Mitigasi dalam Bingkai NAMAs 57 3. MENGGALANG DUKUNGAN DENGAN PENYADARAN DAN PENDIDIKAN 58 � Tanggapan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 62 � Kegiatan Penyadaran dan Pendidikan 64 4. KEHUTANAN DAN ALIH GUNA LAHAN LULUCF DARI BALI HINGGA DOHA 66 � LULUCF di Indonesia 68 5. ALIH TEKONOLOGI MENANGGULANGI TANTANGAN PERUBAHAN IKLIM 70 � Kegiatan Utama Alih Teknologi 74
v
Hal Depan.indd 7 8/2/13 10:46:30 AM
vi
daFTar isi
6. PENDANAAN UNTUK MITIGASI DAN ADAPTASI 76 l Dari Mekanisme hingga Perundingan Internasional 78 7. DNPI DAN PERDAGANGAN KARBON 84 l Apa yang Dimaksud dengan Perdagangan Karbon? 88 l Prospek dan Tantangan Pasar karbon dalam Protokol Kyoto Jilid II 88 8. PERUNDINGAN PERUBAHAN IKLIM 90 l Bagaimana DNPI Mempersiapkan Perundingan Internasional? 94 l UKK-PPI dan KaHar DNPI 96 9. KOORDINASI PENINGKATAN KAPASITAS 98 l Pekerjaan Rumah Peningkatan Kapasitas 100
bab iV. TanTanGan dan harapan 101 l Menoreh Sejarah Diplomasi Global perubahan Iklim 104 l Fungsi Koordinasi dan Sinergi 106 l Komunikator dan Campaigner Perubahan Iklim 108 l DNPI Di Mata Mitra Asing 108 l Koordinator Negosiasi Internasional 110 l Peran Unik DNPI 112 l Indonesia Climate Change Center 114 l Kerjasama DNPI-JICA 115 l Kerja Sama DNPI – UNITAR 116 l Penguatan Koordinasi dan Internal 116 l Anggaran Diperbesar 116 l Penguatan Dasar Hukum 118
bab V. epiloG 119
DAFTAR SINGKATAN 125DAFTAR PUSTAKA 128PUBLIKASI DNPI 2009-2012 130 TIM KERJA PENYUSUN BUKU 132
Hal Depan.indd 8 8/2/13 10:46:30 AM
vii
Hal Depan.indd 9 8/2/13 10:46:30 AM
“Kerusakan yang terjadi di dunia ini berawal dari hati dan pikiran kita, hati dan pikiran umat manusia, the hearts and minds of the people. Kalau hati dan pikiran kita bersih, ingin menyelamatkan bumi, tidak merusak hutan, hemat dalam penggunaan bahan bakar yang mendatangkan emisi gas rumah kaca, pandai mengelola sampah yang juga menimbulkan dampak pada lingkungan yang tidak baik dan sejumlah pikiran-pikiran yang jernih, yang bersih, insya Allah, kerusakan tidak akan terjadi.”
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Sambutan dalam Side Event UNFCCC-COP 13
Pertemuan Lintas Agama dan Perubahan Iklim, Bali, 11 Desember 2007
dewan nasional perubahan iklim (DNPI) didirikan secara resmi berdasarkan Peraturan Presiden
No. 46/2008 pada awal Juli 2008. Keberadaan DNPI adalah tepat waktu dalam menjawab tantangan yang
semakin kompleks dalam mengendalikan dan mengatasi perubahan iklim. Semakin luas dan kompleksnya
permasalahan perubahan iklim menuntut adanya koordinasi dan sinergi yang semakin kuat di tingkat
nasional sehingga tidak terjadi diskoneksi antara proses internasional dan implementasi di tingkat nasional.
Penyebarluasan informasi dan peningkatan kesadaran masyarakat serta para pihak lain menjadi salah
satu perhatian DNPI dalam kesehariannya. Hal ini terlihat dengan berbagai kegiatan termasuk pameran serta
seminar dan materi komunikasi lain termasuk film pendek mengenai perubahan iklim. Interaksi dengan
berbagai institusi pendidikan juga menjadi kekuatan yang tidak dapat dipungkiri.
Salah satu tugas utama DNPI adalah mendukung dan memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan
internasional. Hal ini telah diwujudkan dalam bentuk koordinasi dan penyiapan posisi Indonesia serta
Delegasi RI dalam perundingan internasional terkait. Peran ini telah berjalan dengan baik dan mendapatkan
dukungan serta peran aktif dari Kementerian dan Lembaga anggota DNPI maupun lembaga dan organisasi
lain termasuk LSM, sektor swasta dan perguruan tinggi. Sejak DNPI beroperasi pada tahun 2008, Indonesia
semakin aktif berperan di arena perundingan internasional dan turut pula membentuk berbagai keputusan
yang dihasilkan. Hal ini menjadi kekuatan Indonesia yang tidak henti berkiprah sejak menjadi Tuan Rumah
dan Presiden COP-13/CMP-3 di Bali pada akhir 2007.
Oleh karena itu, sudah selayaknya DNPI terus melakukan perannya guna menjawab tantangan yang
semakin besar dan berat, baik di tingkat internasional dalam hal perundingan maupun di tingkat nasional
dan lokal dalam hal implementasi aksi nyata. Keberadaan DNPI dalam lima tahun ini merupakan bukti nyata
pentingnya keberadaan satu lembaga yang terfokus pada pengendalian perubahan iklim serta berperan
dalam koordinasi dan harmonisasi berbagai kepentingan dalam negeri dengan proses yang terjadi di tingkat
internasional.
Mengacu pada perkembangan yang terjadi di dunia internasional, telah semakin banyak negara
yang membentuk kementerian, badan maupun otoritas yang secara khusus menangani perubahan iklim
dan berada langsung di bawah Kepala Pemerintah bersangkutan. Hal ini dipandang penting mengingat
semakin luasnya cakupan perubahan iklim dilihat dari sisi penyebab maupun permasalahan dan ancaman
yang ditimbulkannya. Keberadaan legislasi nasional mengenai pengendalian perubahan iklim juga semakin
menjadi kebutuhan guna memastikan keberlanjutan upaya di dalam negeri yang juga akan berpengaruh
terhadap keberlanjutan upaya global. Pada akhirnya, DNPI akan terus diperlukan dalam kancah negosiasi
iklim yang semakin kompleks di masa yang akan datang.
Jakarta, 4 Juli 2013
penGanTar
RACHMAT WITOELAR KETUA HARIAN DNPI
ix
Hal Depan.indd 11 8/2/13 10:46:37 AM
proloG
PERUBAHAN IKLIM DAN PEWARISAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN
sebaGai baGian GLOBAL COMMUNITY, Indonesia ingin secara bersama-sama dengan bangsa
lain menyelamatkan planet tercinta ini, demi anak-cucu dan generasi mendatang. Oleh sebab itulah,
Indonesia menetapkan target pengurangan emisi CO2 sebanyak 26% pada tahun 2020. Target ini merupakan
upaya dan bentuk tanggungjawab dalam berkontribusi untuk perbaikan, juga keselamatan planet bumi,
satu-satunya tempat kita tinggal.
Tanggungjawab dan komitmen tentang pewarisan lingkungan yang lebih baik ini ditegaskan atas niat
baik dan kesadaran yang serius. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan dengan Masyarakat
Indonesia di Berlin sesudah menghadiri Conference of Parties (COP) 15 di Copenhagen, tahun 2009,
mengatakan, “Kalau global warming terus terjadi dan kenaikan suhu lebih dari 2°C, maka bisa dibayangkan
permukaan air laut bisa naik lebih dari 1½ meter setelah tahun 2050. Anak-cucu kita tidak bisa dijamin
keselamatan masa depannya, berapa ribu pulau harus tenggelam dan lenyap dari peta Indonesia.”
Atas kesadaran yang tinggi tentang tanggung jawab masa depan bangsa, maka Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono, pada tanggal 4 Juli 2008 memutuskan untuk mendirikan Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI), yang kemudian diketuai sendiri oleh Presiden. Keputusan ini menunjukkan sebuah political will
yang kuat dari Pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan kepada kemaslahatan global; kepada seluruh
umat manusia, bukan hanya kepentingan nasional. Prinsip ini tentunya dibekali visi yang jauh ke depan,
sebab masalah perubahan iklim adalah tantangan jangka panjang. Tantangan ini memerlukan keahlian
disertai kesabaran, terlebih ketika berhadapan dengan argumen berbagai bangsa di forum-forum negosiasi
international.
Seperti kita sadari, bahwa akar persoalan perubahan iklim sesungguhnya ada pada manusia.
“Perubahan iklim adalah problem yang dibuat oleh manusia, anthropogenic. Maka, manusia pulalah yang
seharusnya bertanggung jawab untuk menanggulanginya,” demikian kata Rachmat Witoelar, Ketua Harian
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dalam berbagai kesempatan. Ia memang selalu mengingatkan
pentingnya upaya penanggulangan perubahan iklim sebagai tanggung-jawab bersama umat manusia atas
alam kehidupan ini.
Sebab itulah, Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup, berpendapat bahwa, keberhasilan
membawa isu perubahan iklim sebagai arus utama sudah tentu menjadi keharusan, karena perubahan iklim
sudah menjadi masalah umat semua bangsa di dunia. Balthasar Kambuaya menilai sangat penting peran
DNPI dalam negosiasi internasional perubahan iklim yang bergulir dengan cepat.
Dengan kata lain, DNPI menjadi penting dan strategis dalam upaya pengarusutamaan (mainstreaming)
isu perubahan iklim di Indonesia. “Jika dibandingkan sebelum tahun 2007, perubahan iklim kini menjadi
istilah yang sering sekali disebut dan orang jadi akrab dengan kata tersebut. Orang bahkan akrab sekali
dengan kata-kata ‘kita harus menurunkan emisi’,” tutur Agus Purnomo, Kepala Sekretariat DNPI. Menurutnya,
keberhasilan mengubah paradigma dan pemahaman tentang perubahan iklim memang sudah terjadi.
xi
Hal Depan.indd 13 8/2/13 10:46:44 AM
Pewarisan masa depan lingkungan yang lebih baik sesungguhnya bukan hanya merupakan tanggung jawab sosial, melainkan juga tuntutan agama. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, menjelaskan pentingnya menjaga keharmonisan iklim dan eksistensi manusia. Alam ini, ujarnya, disebut kosmos. Lawannya chaos. “Alam itu kosmos, artinya indah dan teratur. Kalau toh menjadi chaos, menurut ajaran agama, itu adalah karena kesalahan manusia.” Manusia harus menjaga harmoni dengan alam agar kehidupan tertata dengan baik. Berbagai peristiwa kerusakan alam yang terjadi, menurut Komaruddin Hidayat, merupakan indikasi kita tidak bisa mensyukuri dan mencintai apa yang kita peroleh dari alam. Hutan contohnya, yang kita wariskan pada anak cucu adalah kerusakan yang menumpuk. Artinya, kita tidak berpikir panjang. Di mana tanggung jawab kita? Itulah sebabnya ia mengajak kita untuk future oriented, bervisi ke depan. Visioner, demi anak cucu. Anak cucu siapa? “Anak cucu bangsa!” tegasnya.
Anggota Komisi VII DPR-RI, Satya Widya Yudha, menilai positif komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim, namun komitmen ini harus didukung oleh kebijakan anggaran yang terwujud dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran tidak cukup hanya dilihat di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) saja, melainkan harus tampak pada seluruh unsur-unsur yang mempunyai kebijakan lingkungan. Anggaran di KLH dan DNPI saat ini, kata Satya Widya Yudha, “Sangat kecil. Sehingga niatan Pemerintah untuk memajukan Indonesia untuk aplikasi green economy misalnya, masih jauh.” Keberpihakan anggaran yang konkret akan mampu mewujudkan kebijakan-kebijakan perubahan iklim, misalnya, upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. “Isu perubahan iklim memang enak didengar dan diperbincangkan, tetapi begitu sampai masalah anggaran, sulit direalisasikan,” sindir Satya. Bila semua sektor kementerian atau lembaga merasa memiliki dan ikut peduli dengan tantangan perubahan iklim, maka tandasnya, check point-nya berada pada Presiden sebagai Ketua DNPI. Presiden tinggal memeriksa berapa anggaran yang sudah dikeluarkan oleh kementerian-kementerian itu untuk implementasi program-program perubahan iklim.
Peran DNPI sebagai koordinator seperti itu juga disoroti oleh Ketua Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia, Jatna Supriatna. Ia melihat keberhasilan DNPI sebagai lembaga koordinator dapat diukur pada keberhasilan pengarusutamaan isu perubahan iklim pada kementerian dan lembaga-lembaga pemerintah. Masalahnya, kata Jatna Supriatna, “Kata-kata koordinasi itu susah diukur. Keberhasilannya ada di mana? Keberhasilannya ada di kementerian atau lembaga yang dikoordinir oleh DNPI. Kalau kementeriannya berhasil, berarti koordinasinya berhasil, artinya fungsi dan peran DNPI sebagai koordinator juga berhasil.”
Oleh karena itu, Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), sependapat dengan adanya upaya Indonesia – sebagai negara yang berperan penting dalam kancah negosiasi internasional perubahan iklim – agar memiliki Undang-undang (UU) tentang Perubahan iklim. “UU perubahan iklim menjadi satu langkah maju karena ada proses politik di dalamnya (eksekutif dan legislatif). Tidak seperti sekarang, semua masih setengah kamar (eksekutif), artinya ganti presiden, ganti menteri, maka tinggal menunggu digantinya kebijakan setengah kamar itu.” Kerisauannya beralasan, agar ada ada kepastian visi, misi, strategi anggaran, dan keberlanjutan eksistensi institusi terutama untuk menjawab tantangan perubahan iklim ini.
Buku ini mengisahkan ulang dinamika Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang telah mengemban amanah dan berkiprah selama lima tahun sejak didirikan tahun 2008 hingga tahun 2013 ini. Dalam pertumbuhan manusia, usia lima tahun sering dipandang sebagai “usia emas”, masa permulaan pertumbuhan yang penting. Walaupun masih tergolong “balita” (bawah usia lima tahun), namun ternyata DNPI sudah harus pandai berbagi dan berani mengambil tempat yang “pas” di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan dinamika bangsa di tengah arus globalisasi. Buku ini secara sadar ingin menguatkan pendapat, bahwa tantangan perubahan iklim merupakan tantangan kita kini, dan tanggung jawab untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. Bagaimanapun, pewarisan iklim dan lingkungan yang baik, merupakan prasayarat bagi kemakmuran dan pendukung cita-cita dan peradaban kita sebagai bangsa.
Selamat membaca.
xii
Hal Depan.indd 14 8/2/13 10:46:44 AM
2 I DNPI 5 TAHUN
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (earth summit) di Rio Brazil
1992 diikuti oleh 103 kepala negara. Seluruh pemimpin dunia sepakat bahwa perubahan iklim memerlukan penanggulangan
mendesak
Foto: © UN Photo/Michos Tzovaras
Bab.1 (17 x 25).indd 2 8/2/13 10:32:27 AM
4 I DNPI 5 TAHUN
Dua puluh tahun yang lalu, kesadaran kolektif
pemimpin dunia tentang terjadinya krisis lingkungan
dan perubahan iklim, telah membawa semua
pemimpin bangsa bahu-membahu membicarakan
planet bumi.
Pertemuan tersebut dikenal dengan Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi atau “Earth Summit”,
membahas Lingkungan dan Pembangunan atau
United Nations Conference on Environment
Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, Juni
1992.
Pertemuan yang dihadiri 103 kepala negara/
pemerintahan tersebut menghasilkan dokumen tidak
mengikat (legally non–binding), seperti Deklarasi
Rio tentang pembangunan yang mencakup 27
prinsip, termasuk prinsip-prinsip kehutanan, dan
Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan
manakala dunia menghadapi abad ke-21. Selain
Indonesia meratifikasi Perjanjian UNFCCC pada tanggal 23 Agustus 1994 dan sebagai negara anggota PBB, Indonesia berperan aktif dalam upaya perbaikan lingkungan global yang juga berkaitan dengan tantangan lingkungan yang tengah
terjadi di dalam negeri.
BERmuLA DARI KTT BumI
itu — yang sangat penting — pertemuan di Rio juga
mengumumkan kesepakatan tiga dokumen hukum
mengikat (legally binding), yaitu:
l Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati
(Convention on Biological Diversity /CBD)
l Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan
United Nations Convention on Combating
Desertification/UNCCD), dan
l Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan
Iklim (United Nations Framework Convention
on Climate Change), yang lebih dikenal dengan
UNFCCC.
Di antara tiga konvensi tersebut, UNFCCC menjadi
konvensi yang paling sering mengadakan pertemuan
disebabkan perannya yang sangat penting dan
mendesak. Tujuan konvensi yang sangat krusial, yakni
menstabilkan iklim planet bumi, bukanlah merupakan
target yang mudah, melainkan sangat kompleks dan
sulit, sehingga dialog dan kesepakatan harus intensif
untuk dibahas. Pertemuan perwakilan negara-negara
penanda-tangan konvensi yang disebut “Parties”,
dilakukan setiap tahun. Hingga sekarang, Conference
of Parties (COP) telah mencapai fase ke-18, yaitu
COP-18 yang diadakan di Doha, Qatar, tahun 2102. Tahun
ini, 2013, pertemuan COP ke-19, akan diadakan
di Warsawa, Polandia (Lihat Perjalanan Panjang
Menyelamatkan Bumi).
Keprihatinan dunia: mencairnya es di kutub utara.
Sum
ber
: D
okum
enta
si D
NPI
Bab.1 (17 x 25).indd 4 8/2/13 10:32:37 AM
5DNPI 5 TAHUN I
BERmuLA DARI KTT BumI
Indonesia meratifikasi Perjanjian UNFCCC pada
tanggal 23 Agustus 1994 dan sebagai negara anggota
PBB, Indonesia berperan aktif dalam upaya perbaikan
lingkungan global yang juga berkaitan dengan
tantangan lingkungan yang tengah terjadi di
dalam negeri.
Sejak UNFCCC memulai persidangan dalam COP 1,
di Berlin, Indonesia telah terlibat aktif dalam
persidangan negosiasi iklim. Kegiatan-kegiatan
tersebut pada awalnya dikoordinasi oleh Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH). Melihat tantangan perubahan
iklim yang kompleks, maka pemerintah Indonesia
manganggap bahwa perubahan iklim bukan hanya
tantangan lingkungan semata, melainkan tantangan
untuk pembangunan Indonesia. Oleh karena itu,
Indonesia selain terlibat dalam berbagai kegiatan upaya
penanggulangan lingkungan di dalam negeri, juga pro-
aktif dalam kepeloporan mencari solusi mengatasi
perubahan iklim global.
Puncak keterlibatan Indonesia sangat nyata
dalam COP 13/CMP 3 di Bali, Desember 2007. Indonesia
bukan hanya menjadi tuan rumah, tetapi mampu
menempatkan diri sebagai pimpinan agar para peserta
COP 13 mampu mengatasi deadlock dan menghasilkan
kesepakatan-kesepakatan bertaraf internasional. Hasil
pertemuan Bali menjadi landasan penting bagi
perundingan-perundingan iklim berikutnya, antara
lain COP14/CMP4 di Poznan, Polandia, pada tahun
2008 dan perundingan di Copenhagen, Denmark,
pada tahun 2009 (COP15 /CMP5).
Conference of the Parties (COP) ke-13 itu juga
berfungsi sebagai Meeting of the Parties (CMP) ke-3,
yang membahas implementasi Protokol Kyoto.
Namun, hasil terpenting adalah dokumen yang
dinamakan Bali Road Map dan Bali Action Plan. Bali
Road Map merupakan dokumen yang menjembatani
proses-proses dan jalur-jalur perundingan untuk
mencapai mufakat-mufakat internasional lebih
lanjut. Bali Road Map juga dimaksudkan sebagai
kesepakatan perjanjian internasional pasca 2012,
di mana pada saat itu periode pertama Protokol
Kyoto berakhir. Adapun Bali Action Plan merangkum
kesepakatan Para Pihak mengenai substansi dan arah
masa depan perundingan perubahan iklim yang telah
diputuskan dalam COP-13 di Bali itu. Tidak kurang 15
dokumen tertuang dalam The Bali Action Plan, namun
secara garis besar dapat dikelompokkan atas empat
bagian besar, yaitu: adaptasi; mitigasi; teknologi
(untuk adaptasi dan mitigasi); serta pendanaan untuk
adaptasi dan mitigasi.
Tatapan penuh kepercayaan. Suasana COP13 Bali. Dari kiri ke kanan: Sekjen PBB Ban Ki-Moon, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden COP13, Rachmat Witoelar.Foto: Dokumentasi DNPI
Bab.1 (17 x 25).indd 5 8/2/13 10:32:44 AM
6 I DNPI 5 TAHUN
pERJalanan panJanG MEnYElaMatKan BuMI
2005 COP-11, diadakan di Montreal, Canada.
Protocol Kyoto mempunyai kekuatan
hukum 16 Februari 2005, pertama
kali Meeting of Parties to the Kyoto
Protocol (COP/CMP-1).2009 COP-15/ CMP-5.
Copenhagen Accord.
2011 COP-17/ CMP-9 Durban
menghasilkan Durban Platform.
2006 COP-12/ CMP-2 Nairobi
Adopsi rencana aksi 5 tahun untuk
mendukung adaptasi perubahan
iklim di negara berkembang, serta
bersepakat untuk modalitas dan
prosedur pendanaan adaptasi.
2010 COP-16/ CMP-8, Cancun
menghasilkan Cancun
Agreement.
2003 COP-9 di Milan, Italia. Para pihak
menyetujui tentang peran dan
prosedur untuk CDM.
2002 COP-8 diadakan di New Delhi, India
menghasilkan Deklarasi New Delhi.
2004 COP-10 dilaksanakan di Buenos Aires,
Argentina, Para pihak bersepakat
untuk menyelesaikan COP-9.
2012 COP-18/ CMP-8 Doha. Menghasilkan
Doha Gateway, Komitmen Periode II Kyoto
Protocol.
1979
Konferensi Iklim Pertama di
Dunia. Pemerintah diminta untuk
mengawasi perubahan iklim
yang berpotensi mengganggu
kesejahteraan manusia.
1988
WMO dan UNEP
mendirikan IPCC
(Intergovernmental
Panel on Climate
Change).
1987
Brundtland
Commission
Report.
2008 COP-14/ CMP-4 Poznan.
Dewan nasional
perubahan Iklim (DnpI)
dibentuk.
2007 COP-13/ CMP-3, Bali. Menghasilkan
Bali Road Map untuk rencana Kyoto
Protocol Pasca 2012.
Bab.1 (17 x 25).indd 6 8/2/13 10:32:58 AM
7DNPI 5 TAHUN I
1990
Hasil kajian pertama laporan
IPCC dipublikasikan.
1995
Konferensi Para Pihak yang Pertama
(COP-1) di Berlin, mengadopsi
Mandat Berlin. Putaran negosiasi
baru yang mendorong adanya
sebuah protokol dan instrumen legal
lainnya.
1989
Resolusi Majelis Umum PBB
mengumumkan untuk KTT
yang membahas tentang
pembangunan dan lingkungan.
1991
Perwakilan dari 160 negara dan bangsa bernegosiasi
tentang isu-isu kunci: berkomitmen untuk target emisi.
Akan memberikan bantuan teknologi tranfer dan
pendanaan pada negara berkembang.
1994
UNFCCC berkekuatan hukum
pada 21 Maret 1994, pada tahun
2013 penanda tangan UNFCCC
menjadi 195 negara anggota.
1995
IPCC menyetujui Laporan Kajian
Kedua. Mengemukakan tentang
pentingnya kebijakan dan aksi
yang kuat.
1996 COP-2 di Jenewa mengeluarkan Deklarasi Para Menteri, yang menganjurkan suatu
langkah untuk melakukan negosiasi. Langkah mengikat secara hukum untuk
menurunkan emisi, akan dibahas pada COP berikutnya.
1998 COP-4 pertemuan di Buenos Aires
mengadopsi Buenos Aires Plan
of Action yang dirancang untuk
program mengoperasikan secara
detail Protokol Kyoto.
1997 COP-3 di Kyoto mengadopsi Kyoto
Protocol sebagai sebuah protokol
untuk UNFCCC.
1999 COP-5 di Bonn menargetkan
pencapaian terukur sesuai mandat
COP-6 agar Kyoto Protocol
berkekuatan hukum (entry into
force).
1992
UNFCCC dibuka untuk
ditanda tangani pada
KTT Bumi (Rio Earth
Summit)
2000 COP-6 di Den Haag gagal bersepakat
mengambil keputusan di bawah Rencana
Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan
of Action).
2001 COP-6 part II (atau COP-6b) di Bonn. Para
pihak mengadosi perintah Bonn (Plann
Agreements), mendaftarkan konsensus
politik atau isu-isu kunci di bawah
Buenos Aires Plan of Action. Para pihak
juga menyelesaikan sejumlah keputusan
yang detail namun masih menyisakan
beberapa sisa kesepakatan.
2001 COP-7 Marrakesh memfinalkan
dan mengadopsi hasil
keputusan COP-6b disebut
Marrakesh Accords.
Bab.1 (17 x 25).indd 7 8/2/13 10:33:01 AM
8 I DNPI 5 TAHUN
pERhElatan aKBaR tentang iklim yang dihadiri dan
disaksikan oleh 15 ribu peserta dari 190 negara itu,
membawa makna mendalam atas prestasi kepedulian
Indonesia pada perubahan iklim. Persidangan
berakhir dengan diketuk palu dan diluncurkannya
‘Bali Roadmap’ atau Peta jalan Bali dan Bali Action Plan,
yang terkenal itu.
Rachmat Witoelar selaku Presiden COP 13/
CMP 3, menyampaikan pidato penutup, “We have a
Roadmap! I am delighted to say that we have finally
Tepuk tangan membahana di ruang sidang COP 13/CMP-3, di Hotel Westin Bali. Wajah-wajah ceria dan penuh kepuasan tergambar pada para delegasi yang berunding secara maraton selama hampir dua minggu, karena alot dan rumitnya perundingan tersebut.
DARI BALI uNTuK BumI
achieved the breakthrough the world has been waiting
for: the Bali Roadmap!” katanya mengawali pidato
penutupan. Rachmat kemudian mengucapkan terima
kasih atas keberhasilan sidang perundingan. Ia juga
menyampaikan penghargaan atas upaya keras para
delegasi, terutama Delegasi Republik Indonesia (DELRI),
para pihak yang intensif terlibat terutama Menteri
Luar Negeri Indonesia Dr. Nur Hassan Wirayuda, juga
perhatian khusus dari Sekjen PBB Ban Ki Moon, dan
tentu saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
memberikan perhatian penuh selama persidangan, dari
awal sampai akhir.
Tentu saja, di pihak penyelenggara — tuan
rumah Indonesia — wajah-wajah lelah tergambar
sangat jelas. Begitu pula gambaran keletihan tampak
pada anggota DELRI. Kerut di dahi bertambah terlipat.
Letih dan agak pucat karena kurang tidur, sudah pasti.
Namun, perjalanan penyelenggaraan Bali COP 13/CMP
3, membawa kepuasan dan kenangan tersendiri.
Usai sidang yang gegap gempita itu, Rachmat
Witoelar dan Agus Purnomo, segera naik ke lantai lima
Hotel Westin, Bali, melapor kepada Presiden. Laporan
disampaikan dengan penuh kegembiraan dan diterima
Plenary Hall UNFCCC COP 13 Bali. Foto: Dokumentas DNPI
Bali, 15 DesemBer 2007
Bab.1 (17 x 25).indd 8 8/2/13 10:33:14 AM
9DNPI 5 TAHUN I
oleh Presiden dengan baik. Presiden pun memberi
sejumlah petunjuk arahan. Menutup pembicaraan,
Presiden SBY menyampaikan kata-kata penting yang
akan menjadi embrio berdirinya DNPI, “Saya akan
bentuk suatu komisi atau dewan tentang perubahan
iklim untuk mengawal hasil–hasil konferensi ini.”
Dari sanalah DNPI kemudian dibentuk, tepatnya
4 Juli 2008. Tak bisa dipungkiri keputusan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mendirikan dan memimpin
DNPI menunjukkan perhatian beliau yang begitu besar
dan serius dalam upaya penanggulangan perubahan
iklim.
Untuk menyelenggarakan roda organisasi, DNPI
dijalankan oleh seorang Ketua Harian, yaitu Rachmat
Witoelar yang waktu itu juga menjabat sebagai Menteri
Lingkungan Hidup. Suatu kekhasan tersendiri bagi
DNPI, dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 46/2008
tentang pembentukan DNPI, nama Rachmat Witoelar
disebutkan sebagai Ketua Harian. Uniknya lagi, dalam
DNPI, Menteri Lingkungan Hidup duduk sebagai
anggota, bersama dengan menteri-menteri anggota
yang lainnya.
Keunikan ini mungkin dapat juga disetarakan
dengan portofolio negara lain yang memberikan
perhatian dan porsi besar dengan membentuk
kelembagaan tentang iklim. Australia, misalnya,
mengangkat menteri khusus untuk perubahan iklim,
selain menteri lingkungan. Demikian pula Denmark,
menteri lingkungannya diberi jabatan baru sebagai
menteri perubahan iklim dan energi.
Liputan harian nusa Bali tentang keberhasilan COP 13. Presiden menyalami Sekjen PBB Ban Ki-Moon, disaksikan Rachmat Witoelar, Agus Purnomo, dan Amanda Katili. Sumber: Dokumentasi DNPI
Bab.1 (17 x 25).indd 9 8/2/13 10:33:34 AM
10 I DNPI 5 TAHUN
Terkait kiprah utamanya, sesuai dengan mandat
Peraturan Presiden No. 46/2008, tugas umum DNPI
adalah:
a. Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program
dan kegiatan pengendalian perubahan iklim;
b. Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan
tugas pengendalian perubahan iklim yang
meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi
dan pendanaan;
c. Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme
dan tata cara perdagangan karbon;
d. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi
implementasi kebijakan tentang pengendalian
perubahan iklim;
e. Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong
negara-negara maju untuk lebih bertanggung
jawab dalam pengendalian perubahan iklim.
Dengan wewenang itulah, DNPI memainkan
peran penting selama lima tahun dari sejak berdirinya
2008 hingga 2013. Niat Presiden SBY untuk tetap
mengawal hasil-hasil negosiasi sejak dari COP 13 Bali
tahun 2007, mendorong Indonesia, melalui DNPI, selalu
terlibat aktif dalam upaya menanggulangi tantangan
perubahan iklim. Lambat laun keberadaan DNPI
sangat dirasakan sebab peran dan keberhasilannya
dalam menjembatani, mengkoordinasikan dan
membantu kapasitas perubahan iklim di berbagai
sektor, serta perannya sebagai koordinator nasional
dalam menghadapi perundingan internasional
perubahan iklim, kian meningkat.
Tercatat pula dalam prakteknya, DNPI berperan
antara lain menjadi national focal point UNFCCC
Gembira bercampur lega, COP 13 Bali berlangsung sukses: Rachmat Witoelar disalami oleh Emil Salim Foto: Dokumentasi DNPI
Keramahan dan kehangatan khas Indonesia: Presiden Yudhoyono menuangkan air minum untuk Sekjen PBB Ban Ki-Moon dalam sidang COP 13 Bali. Foto: Dokumentasi DNPI
untuk perubahan iklim sejak tahun 2008, karena isu
perubahan iklim merupakan tantangan multisektoral
yang dapat melibatkan berbagai kementerian dan
lembaga, misalnya Kementerian ESDM, Kementerian
Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Luar
Negeri dan kementerian serta lembaga terkait lain.
Oleh karenanya, peran DNPI dalam koordinasi dan
menjembatani isu perubahan iklim, adalah sangat
penting dilakukan. Selain itu, dalam pasar karbon,
DNPI bertindak sebagai administratur yang bertugas
mendukung, memfasilitasi dan mengatur berbagai
inisiatif, termasuk ketika pasar karbon diprediksi sangat
lesu pada periode Kyoto Protocol Kedua. Disebabkan
pasar melemah, maka DNPI dapat melakukan insiatif
problem solving, misalnya menerobos kerja sama
bilateral (Lihat Prospek Pasar Karbon dalam Protokol
Kyoto Jilid II).
perhatian presiden SBYKesadaran penuh untuk menurunkan emisi
gas-gas rumah kaca di atmosfer mengharuskan
keterlibatan seluruh sektor terkait dari kementerian
maupun lembaga. Oleh karena itu, keterwakilan
Indonesia dalam forum perubahan iklim perlu
melibatkan kementerian/lembaga terkait. Indonesia,
sebelumnya memang cukup diperhitungkan dalam
kancah dialog dan kepemimpinan dalam bidang
lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup Kabinet
Pembangunan Bersatu Jilid I periode 2004-2009,
Bab.1 (17 x 25).indd 10 8/2/13 10:33:42 AM
11DNPI 5 TAHUN I
Rachmat Witoelar, bahkan sempat ditunjuk sebagai
President Governing Council United Nations Environment
Programme (UNEP) yang berbasis di Nairobi. Posisi ini
pernah dijabat oleh Prof. Emil Salim, salah seorang mantan
Menteri Lingkungan Hidup RI, yang juga pernah menjadi
President Governing Council (GC) - UNEP di samping
menjadi anggota World Comission on Environment
(1985-1987). Terpilihnya Indonesia sebagai Presiden GC-
UNEP memberikan beberapa keuntungan, antara lain
kemudahan Indonesia mendapatkan berbagai dukungan
internasional berupa pendanaan, pengembangan
sumber daya manusia, maupun teknologi pelestarian
lingkungan hidup, serta terbukanya sejumlah kerja sama
dan koordinasi yang sangat dibutuhkan sejalan dengan
berlaku efektifnya Protokol Kyoto.
Dari tigabelas hari persidangan, Presiden berada di Bali selama
sepuluh hari. Beliau memindahkan kantor
ke Bali dan hampir seluruh menteri kabinet memberikan
dukungan, turut berada di Pulau Dewata tersebut
“Saya akan bentuk suatu komisi atau dewan tentang perubahan iklim untuk mengawal hasil–hasil konferensi ini.” Foto: Dokumentasi DNPI
Indonesia dipastikan
mempunyai kesempatan
untuk menjadi negara pelopor
yang pada gilirannya dapat
mengangkat nama baik dan
harkat bangsa.
Menonjolnya kepemimpinan Indonesia di
bidang lingkungan tersebut, menyebabkan negara ini
kemudian diminta untuk menjadi tuan rumah COP-13,
Bali. Peristiwa penting konferensi iklim yang dihadiri
oleh lebih dari 15.000 peserta dan peninjau dari
berbagai negara tersebut, telah membawa Indonesia
pada kancah perundingan iklim secara intensif.
Bagi Indonesia, pertimbangan untuk menjadi
tuan rumah pun tidak mudah. Keberhasilan penye-
lenggaraan konferensi Iklim ini akan membawa nama
baik Indonesia jika berhasil, tetapi sebaliknya apabila
gagal. Tak urung pertimbangan untuk mengemban
posisi tuan rumah pun melibatkan proses di dalam
negeri yang cukup panjang.
Karena hal ini menyangkut Indonesia di mata
dunia, maka Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono
pun mulai terlibat. Agus Purnomo, ketua organizing
committee COP 13 tahun 2007 yang kini menjabat Staf
Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, menuturkan,
penyelenggaraan KTT iklim di Bali, mempunyai makna
strategis. Pertama, tentang keseriusan Indonesia
terlibat aktif dalam upaya penyelamatan lingkungan.
Dalam upaya ini, Indonesia dipastikan mempunyai
Bab.1 (17 x 25).indd 11 8/2/13 10:33:48 AM
12 I DNPI 5 TAHUN
kesempatan untuk menjadi negara pelopor yang pada
gilirannya dapat mengangkat nama baik dan harkat
bangsa. Kedua, karena diadakan di Bali, diharapkan
akan membantu peningkatan promosi dan citra wisata
di Pulau Dewata tersebut, terutama karena Bali pada
saat itu baru kena imbas Bom Bali.
Kehadiran KTT Iklim COP 13, menjadikan Bali
sebagai headline yang disiarkan CNN setiap jam untuk
meliput perjalanan sidang. “Jadi UNFCCC COP-13 juga
menjadi obat bagi industri pariwisata Indonesia,” tutur
Agus Purnomo. Demikian pentingnya acara ini, Presiden
SBY berkenan mengikuti perkembangan persidangan
dari dekat, sehingga Presiden berkantor di Bali. Dari
tigabelas hari persidangan, Presiden berada di Bali
selama sepuluh hari. Beliau memindahkan kantor ke
Bali dan hampir seluruh menteri kabinet memberikan
dukungan, turut berada di Pulau Dewata tersebut.
Persidangan COP 13, menghasilkan beberapa
kesepakatan penting antara lain yang disebut dengan
Bali Action Plan. Kesepakatan Bali ini sangat penting
sehingga proses negosiasi tentang perubahan iklim
berikutnya selalu merujuk pada butir-butir Bali
Action Plan tersebut. Melihat hal ini, Presiden SBY
mempertimbangkan tentang peran penting Indonesia
dalam kepeloporan untuk penanggulangan tantangan
iklim.
Di sela-sela kesibukan COP 13 Bali, Presiden SBY dan Ibu Ani menyempatkan menerima rombongan Bicycle for Earth Goes to Bali. Mereka bersepeda selama 21 hari (11 November – 27 Desember 2007) menempuh 1.447 km dari Jakarta ke Bali, dalam rangka sosialisasi COP 13 ke tengah-tengah masyarakat. Foto: Dokumentasi DNPI
Presiden Yudhoyono mempertimbangkan tentang peran
penting Indonesia dalam kepeloporan untuk penanggulangan
tantangan iklim
Bab.1 (17 x 25).indd 12 8/2/13 10:33:52 AM
13DNPI 5 TAHUN I
Bali Action Plan merupakan tonggak
sejarah penting proses negosiasi dalam
upaya penanggulangan perubahan iklim.
Hasil yang dibahas dalam negosiasi tersebut
mencakup beberapa tema, yaitu:
a. VISI BERSaMa untuK aKSI tInDaK lanJut
DalaM KERJa SaMa JanGKa panJanG
Rencana ini antara lain mengetengahkan visi
bersama untuk tujuan jangka panjang global dalam
upaya mengurangi emisi gas rumah kaca guna
mencapai tujuan utama konvensi. Adapun tujuan ini
harus mempertimbangkan dan memperhitungkan
prinsip tanggung jawab bersama dan kewajiban
yang berbeda (common but differentiated
responsibilities), serta kemampuan negara masing-
masing.
B. EMpat ‘BUILDING BLOCK’ pEntInG DalaM
BALI ACTION PLANBali Action Plan menancapkan tonggak
penting yang dikenal sebagai ‘building block’, yaitu:
adaptasi, mitigasi, transfer teknologi dan pendanaan,
termasuk juga shared vision (visi bersama) dalam
upaya menurunkan emisi global.
adaptasi:
Melibatkan kerja sama internasional dalam
menguji dan mendukung aneka tindakan adaptasi,
mengingat kebutuhan yang mendesak dari negara
berkembang terutama sekali untuk negara-negara
miskin atau Least Developed Countries (LDCs), dan
negara kepulauan kecil atau Small Island Developing
States (SIDS), serta negara-negara negara Afrika.
Mitigasi:
Para pihak telah menyepakati untuk
mempertimbangkan elemen-elemen berikut:
l komitmen aksi mitigasi yang memadai atau
tindakan aksi, termasuk penghitungan batasan
emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dan usaha yang
bertujuan untuk menurunkan emisi yang harus
dilakukan oleh seluruh negara maju; dan
l aksi-aksi mitigasi oleh negara negara berkembang
yang tergabung sebagai Para Pihak yang
didukung dan dimungkinkan oleh teknologi,
sumber pendanaan dan pembangunan kapasitas.
transfer teknologi:
Mekanisme yang efektif alih teknologi dari
negara maju ke negara berkembang, serta
upaya meningkatkan sumber daya yang mampu
mengurangi hambatan ketersediaan pendanaan
untuk mendorong agar negara-negara berkembang
dapat mengakses teknologi ramah lingkungan
dengan harga terjangkau.
pendanaan:
Bantuan pendanaan sangat diperlukan dalam
upaya mengurangi gas rumah kaca dan membantu
negara berkembang untuk beradaptasi menghindari
dampak perubahan iklim.
BAlI AcTIoN PlAN
Bab.1 (17 x 25).indd 13 8/2/13 10:34:00 AM
14 I DNPI 5 TAHUN
pERtIMBanGan YanG StRatEGIS inilah yang
kemudian mendorong Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk membuat lembaga khusus yang
menangani perubahan iklim. Belum hilang rasa lelah,
setelah berhasil menyelenggarakan COP 13, Presiden,
sebagaimana dituturkan oleh Agus Purnomo,
Melihat keberhasilan COP 13, dan kepemimpinan Indonesia yang menemukan momentum positif dalam negosiasi perubahan iklim, maka muncul pertanyaan, “Mungkinkah Indonesia di tingkat Internasional dapat memimpin isu climate change ini?”
memberikan arahan, “Bikin lembaga perubahan iklim
dan akan dipimpin sendiri oleh Presiden.” Lembaga itu
tentu unik, pertama karena “mengurusi iklim”, dan kedua
akan dipimpin langsung oleh Presiden. Dibuatlah proses
pembahasan untuk merealisasikannya.
Serangkaian proses administrasi dan yuridis
pun dipersiapkan. Kontak antara tokoh-tokoh COP
13, tokoh KLH, dan Sekretariat Negara berlangsung
intensif. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan
turut ambil bagian mencoret dan mengoreksi sendiri
rancangan perpres (Peraturan Presiden) untuk
diperbaiki, disempurnakan dan akhirnya Presiden pun
tanda tangan.
Hasilnya adalah sebuah Peraturan Presiden
(Perpres) No. 46/2008, tentang Pendirian DNPI. Dewan
PENDIRIAN DNPI
Di Balik gagasan
Bali COP 13 memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi iklim internasional. Foto: Dokuementasi DNPI
Bab.1 (17 x 25).indd 14 8/2/13 10:34:05 AM
15DNPI 5 TAHUN I
Presiden Yudhoyono mempimpin rapat DNPI di istana, 30 September 2011 Foto: Dokumentasi DNPI
ini Ketuanya adalah Presiden Republik Indonesia
dengan dua Wakil Ketua, yakni Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian. Di samping itu, keanggotaan
DNPI juga diperkuat oleh 17 Menteri terkait dan satu
kepala Badan yang duduk sebagai anggota.
Jika ditilik dari alasan strategis, setidaknya ada
alasan kuat mengapa Presiden melihat DNPI penting
untuk didirikan. Pertama, Presiden melihat berdirinya
DNPI merupakan satu dari sedikit kemungkinan
Indonesia bisa mengambil peran di dunia Internasional.
Dan langkah ini tepat, disebabkan track record
Indonesia dalam kepeloporan kepemimpinan
peru bahan iklim tingkat dunia, termasuk dalam
penanganan REDD dan isu iklim yang lainnya, tak
diragu kan lagi. Kepercayaan itu terus berlanjut.
Terbukti, tahun 2013 ini Presiden SBY kembali
dipercaya menjadi ketua bersama panel tingkat
tinggi PBB untuk Millenium Development Goals
(MDGs). Ketua Bersama adalah sebuah panel kolektif,
dalam hal ini Presiden SBY berada di jajaran penting
dalam forum MDGs bersama dengan Presiden Liberia
Ellen Johnson Sirleaf dan Perdana Menteri Inggris
David Cameron.
Dewan ini Ketuanya adalah Presiden Republik Indonesia dengan
Dua Wakil Ketua, yakni Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) dan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian.
Di samping itu, keanggotaan DNPI juga diperkuat oleh
17 Menteri terkait dan satu kepala Badan yang duduk
sebagai anggota.
Bab.1 (17 x 25).indd 15 8/2/13 10:34:06 AM
16 I DNPI 5 TAHUN
Dapat disimpulkan, gagasan Presiden SBY
bahwa Indonesia harus memimpin dalam perubahan
iklim itu merupakan keputusan strategis yang tepat,
jikapun tidak bisa dikatakan genius, yang membawa
bangsa Indonesia berperan besar dan penting dalam
kancah kepemimpinan perubahan iklim di tingkat
internasional.
Selain itu, alasan kedua, sejak tahun 2008,
DNPI pula yang menjadi katalisator antarsektor
yang melibatkan sektor dari kementerian lain dalam
upaya-upaya negosiasi perubahan iklim. Jadi,
pendirian DNPI merupakan gambaran serius
niat pemerintah dalam upaya menanggulangi
perubahan iklim, baik dalam skala nasional maupun
global. Karena kompleksitas masalah dan tantangan
iklim melibatkan berbagai sektor yang berbeda,
maka diperlukan sebuah tim yang kuat dalam upaya
melaksanakan tugasnya menjadi penanggungjawab
sekaligus koordinator penanggulangan perubahan
iklim secara nasional.
Track record Indonesia dalam kepelopran kepemimpinan perubahan iklim tingkat dunia, tak diragukan lagi: Presiden Yudhoyono dalam COP 15 Copenhagen tahun 2009. Foto: Dokumentasi DNPI
Jadi, pendirian DNPI merupakan gambaran serius
niat pemerintah dalam upaya menanggulangi perubahan iklim
Bab.1 (17 x 25).indd 16 8/2/13 10:34:08 AM
17DNPI 5 TAHUN I
Kompleksitas dan tantangan perubahan iklim, menjadikan DNPI sebuah lembaga yang mempunyai mandat koordinasi lintas sektoral. Dalam Perpres nomor 46 tahun 2008 diatur mengenai Struktur DNPI, diketuai oleh Presiden RI dengan Wakil Ketua 1 Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Wakil Ketua 2 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Adapun anggota-anggota DNPI, Menteri dari 17 Kementerian dan satu Kepala BMKG, sebagai berikut: :
1. Menteri Sekretaris Negara2. Menteri Sekretaris Kabinet 3. Menteri Negara Lingkungan Hidup4. Menteri Keuangan5. Menteri Dalam Negeri 6. Menteri Luar Negeri7. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 8. Menteri Kehutanan9. Menteri Pertanian10. Menteri Perindustrian 11. Menteri Pekerjaan Umum 12. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS13. Menteri Kelautan dan Perikanan14. Menteri Perdagangan15. Menteri Negara Riset dan Teknologi 16. Menteri Perhubungan17. Menteri Kesehatan 18. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
Dalam melaksanakan tugasnya DNPI dipimpin oleh Ketua Harian merangkap anggota, Rachmat Witoelar. Perpres 46 tahun 2008 mengatur adanya enam Kelompok Kerja (Pokja) dan Sekretariat, yaitu sebagai berikut:1. Kelompok Kerja Adaptasi2. Kelompok Kerja Mitigasi3. Kelompok Kerja Alih Teknologi4. Kelompok Kerja Pendanaan5. Kelompok Kerja Post Kyoto 20126. Kelompok Kerja Kehutanan dan Alih Guna Lahan. Sekretariat DNPI dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat. Untuk mendukung tugas pokok DNPI, maka Sekretariat DNPI didukung oleh beberapa Divisi sebagai berikut:1. Divisi Administrasi Umum2. Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon3. Divisi Komunikasi, Informasi, Edukasi4. Divisi Pengembangan Kapasitas dan Riset5. Divisi Monitoring dan Evaluasi
DNPI dalam melaksanakan kegiatannya mendapatkan dukungan pendanaan negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Dalam administrasi anggaran, DNPI merupakan salah satu Satuan Kerja (Satker) di dalam KLH.
TUjUH BelAs KemeNTerIAN DAN sATU lemBAgA memPerKUAT DNPI
Bab.1 (17 x 25).indd 17 8/2/13 10:34:10 AM
18 I DNPI 5 TAHUN
PeNgemBANgAN KeBIjAKAN DAN KelemBAgAN PerUBAHAN IKlIm
1994 Undang-undang No. 6/1994, Ratifikasi Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC)
1999 Komunikasi Nasional Pertama (National Communication) yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup
1997 Revisi Undang-undang 23/1997 menjadi Undang-undang 32/2009 yang memasukkan isu perubahan iklim dalam
pengelolaan lingkungan
2004 Undang-undang no. 17/2004,
ratifikasi Kyoto Protocol
2010
Pengiriman Komunikasi
Nasional ke Dua, oleh KLH.
2005 Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 206/2005, tentang Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (PNPB)
2011
Dikeluarkan Perpres No.
61 Tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi GRK
(RAN - GRK).
2007 Penerbitan Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim (RAN – PI), oleh KLH
2009
Masuk dalam Rencana Program
Jangka Menengah 2009-2014
(RPJM 2009-2014), Bappenas.
2011
Dikeluarkan Perpres No. 71
Tentang Penyelenggaraan
GRK Inventarisasi Nasional.
2010
Keputusan Presiden tentang
Satgas Persiapan Pembentukan
kelembagaanREDD+
2008 Peraturan Presiden No 46/2008, tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
Bab.1 (17 x 25).indd 18 8/2/13 10:34:18 AM
21DNPI 5 TAHUN I
Tiada badai, tiada topan kau temui...
Ikan dan udang menghampiri dirimu...
Koes Plus, 1973
“Bila ingin mengenang bagaimana bumi yang
stabil, barangkali masa yang paling ideal kondisi
bumi adalah seperti digambarkan oleh Koes Plus
pada masa tahun 1970 atau 80-an.
”Tiada badai, tiada topan kau temui...”
Bab.2 (17 x 25).indd 21 8/2/13 10:40:00 AM
22 I DNPI 5 TAHUN
Kalau ditanyaKan kepada orang tua dahulu,
mereka akan bernostalgia dan bertutur, jika anda
ke Bogor atau Bandung di tahun 1970an niscaya
harus menggunakan baju tebal atau sweater, dari
pagi hingga menjelang tengah hari. Sebab udara
sangat sejuk, apalagi kawasan sekitar Puncak, menuju
Bandung, di kiri-kanan, hutannya masih lebat.
“Bogor sudah jarang hujan dan udaranya pun seringkali panas terik. Walau di malam hari angin berhembus sedikit sejuk, tetapi tidak seperti dahulu. Bogor tidak sejuk lagi.”
musIm yAng semAkIn tAk menentu
Hujan turun di Bogor hampir setiap hari, karena
itu Bogor disebut kota hujan. Pemerintah Kolonial
Belanda, berhasil mengoleksi tanaman-tanaman
beriklim tropis dari berbagai hutan Sumatera dan
Kalimantan, dan menanamnya di Kebun Raya Bogor,
karena curah hujan yang tetap tinggi. Bogor kala itu,
sejuk dan nyaman dengan ketinggian 200 sampai 330
meter di atas permukaan laut. Temperatur udara Bogor,
berkisar paling rendah 20ºC, sedangkan rata-ratanya
adalah 26ºC, kelembaban mencapai 70%, curah hujan
tiap tahun cukup tinggi. Namun sekarang, Bogor tidak
sejuk seperti dulu lagi. “Bogor sudah jarang hujan dan
udaranya panas terik. Di malam hari angin berhembus
sedikit sejuk, tetapi tidak seperti dahulu. Kota Bogor
tidak sejuk lagi,” tulis Parlin Nainggolan, seorang warga
Ibukota yang menulis tentang kondisi lingkungan Bogor
saat ini di sebuah media online.
Rekahan tanah sawah yang retak
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
Bab.2 (17 x 25).indd 22 8/2/13 10:40:07 AM
24 I DNPI 5 TAHUN
Itulah kondisi lokal yang sekarang kita rasakan.
Pola hujan di sebagian wilayah Indonesia sudah
mengalami perubahan. Di beberapa wilayah, awal
musim hujan ada yang mundur dan ada pula yang maju.
Tercatat bahwa curah hujan di bagian selatan ekuator
— Jawa dan kawasan Indonesia Bagian Timur —
cenderung meningkat, sementara curah hujan musim
kemarau cenderung menurun. Selain itu, kemarau
di wilayah ini cenderung lebih lama. Fenomena
lingkungan seperti ini memberikan petunjuk bahwa
perubahan iklim nyata adanya. Namun, manusia ada
yang sadar dan banyak yang tidak mengetahuinya,
karena perubahan iklim berjalan sangat lamban,
sedikit demi sedikit dan bersifat global.
Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca dalam
jangka yang sangat panjang, antara 50 sampai 100
tahun, dan mencakup kawasan yang luas. Pergeseran
cuaca yang berkaitan erat dengan fenomena iklim ini
telah disadari sejak lama oleh para ilmuwan. Demikian
pula kerap terjadi perubahan iklim yang sontak dan
radikal yang dapat mengganggu kehidupan, misalnya
cuaca ekstrem, hujan badai dan angin puting beliung,
termasuk juga El Nino dan La Nina.
Daniel Murdiyarso, peneliti senior pada Center
for International Forestry Research (CIFOR) dan Guru
Besar Ilmu Atmosfer, Institut Pertanian Bogor (IPB)
menuliskan, “Karena iklim juga menjadi suatu ciri
fisik suatu kawasan, maka jika terjadi perubahan,
dampaknya terhadap komponen-komponen biotik
(hidup) dan abiotik (tak hidup) akan sangat luas.
Boleh jadi, perubahan itu bersifat permanen karena
hilangnya komponen penting dalam kawasan,
misalnya hutan sebagai ekosistem atau spesies yang
ada di dalam ekosistem hutan tersebut.” Oleh karena
itu, dampak perubahan iklim dianggap sangat
fatal dan mengerikan, karena manusia tidak bisa
mengembalikan (irreversible), apabila iklim berubah.
Para ahli kemudian melihat gejala perubahan iklim
secara lebih serius dan mengadakan pertemuan
dalam konferensi iklim pertama pada tahun 1979,
di Jenewa, Swiss. Pertemuan ilmiah tersebut pada
akhirnya membicarakan tantangan global kondisi iklim
dan kemudian menghasilkan deklarasi yang meminta
pemerintah di seluruh dunia untuk mengantisipasi
perubahan iklim.
Sejak saat itu isu-isu tentang perubahan iklim
global terus didengungkan, utamanya oleh tiga lembaga
internasional terkemuka, yaitu: Badan Meteorologi
Dunia atau the World Meteorological Organization
(WMO), Badan PBB yang menangani program
lingkungan atau the United Nations Environment
Programme (UNEP) dan Dewan Internasional
Perhimpunan Ilmiah atau the International Council of
Scientific Unions (ICSU). Di bawah badan-badan itu,
konferensi perubahan iklim mendapat perhatian dan
melibatkan pemerintahan di seluruh dunia.
Salah satu momentum penting adalah pada tahun
1988, ketika The Toronto Conference on the Changing
Atmosphere yang mengundang perdebatan masyarakat
global lebih dari 340 peserta konferensi yang berasal
dari 46 negara, bersepakat membuat sebuah kerangka
konvensi dunia untuk melindungi atmosfer.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1990, WMO
bersama-sama dengan UNEP menerbitkan laporan
tentang kenaikan temperatur dunia sejak seratus tahun
sebelumnya, yaitu setelah terjadinya revolusi industri
pada abad 18. Laporan tersebut kemudian diadopsi
oleh panel ahli perubahan iklim antarpemerintah
(Inter-governmental Panel on Climate Change, IPCC)
melalui laporan pertamanya, the First Assessement Report
(FAR). Dokumen inilah yang pada akhirnya mendasari
terbentuknya sebuah konvensi internasional yang
disebut dengan United Nations Framework Convention
on Climate Change yang biasa disingkat UNFCCC pada
tahun 1992.
Dampak perubahan iklim dianggap sangat fatal dan mengerikan, karena manusia tidak bisa mengembalikan
(irreversible), apabila iklim berubah
Bab.2 (17 x 25).indd 24 8/2/13 10:40:17 AM
25DNPI 5 TAHUN I
Penduduk pesisir dan nelayan terdampak langsung perubahan iklim. Beberapa wujud,
di antaranya pasang tinggi, abrasi kian cepat, musim tak terprediksi, serta panen ikan merosot.
Nelayan Krui, Lampung Barat, punya kisah. Nelayan generasi sekarang tak bisa menebak musim. Dulu nenek
moyang mereka paham betul isyarat langit, posisi bintang. Hanya dengan membaca posisi bintang selatan
(berbentuk ikan pari), mereka mengetahui awal musim barat dan timur.
Data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) tahun 2008 menunjukkan,
hari melaut nelayan rata-rata hanya 180 hari atau 6 bulan. Akibatnya, keluarga nelayan pun kian terjerat utang.
Kisah nelayan di atas sejalan dengan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
”Kondisi berubah di laut empat tahun terakhir dan itu merata,” kata Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG.
(Sumber: KOMPAS, Kamis 3 Desember 2009)
Apakah perubahan iklim itu nyata?Simak kata para nelayan ini:
melAut pun surut
Bab.2 (17 x 25).indd 25 8/2/13 10:40:20 AM
26 I DNPI 5 TAHUN
MANUSIA &
Planet Bumi yang kini dihuni oleh tujuh miliar
manusia ini, merupakan satu-satunya planet yang
sangat ideal untuk kehidupan. Suhu rata-rata global
bumi adalah 150C. Kondisi ini terjadi karena bumi
dilapisi oleh atmosfer yang ideal. Atmosfer yang
letaknya di tepi permukaan bumi adalah ibarat selimut.
Lapisan yang berada di kulit terluar bumi ini berasal
dari gas yang sering disebut ‘gas-gas rumah kaca’
(GRK) dalam konsentrasi yang memadai. Gas rumah
kaca yang tetap memelihara kehidupan tersebut
merupakan ‘selimut’ yang selalu menghangatkan.
Pemanasan global terjadi akibat gas-gas
Efek rumah kaca terjadi ketika energi dari sinar matahari tiba di permukaan Bumi, dan menghangatkan bumi. Ketika itu, permukaan Bumi akan menyerap panas, namun sebagian panas memantulkan kembali sisanya
mAnusIA & gAs-gAs rumAh kAcA
rumah kaca (GRK) semakin hari semakin menumpuk
dan mempertebal selimut bumi tersebut. Kenaikan
konsentrasi gas-gas rumah kaca akan membuat selimut
bumi bertambah tebal, dan panas yang seharusnya
keluar dari atmosfer sebagian lebih banyak terperangkap
dan kembali ke bumi. Ibarat berada di rumah kaca, bumi
akan mengalami kenaikan suhu akibat banyaknya panas
— yang berasal dari sinar matahari — terperangkap oleh
selimut atmosfer yang semakin tebal oleh penumpukan
gas-gas rumah kaca.
Lebih jelasnya, efek rumah kaca terjadi ketika
energi dari sinar matahari tiba di permukaan Bumi, dan
menghangatkan bumi. Ketika itu, permukaan Bumi akan
menyerap panas, namun sebagian panas memantulkan
kembali sisanya.Tidak semua panas menghilang, karena
sebagian tetap terperangkap di atmosfer bumi.
Banyak nya panas yang terperangkap ini adalah akibat
menumpuknya jumlah gas gas rumah kaca antara lain
uap air, karbon dioksida dan metana yang menjadi
“selimut” sehingga sukar ditembus. Kondisi inilah yang
mengakibatkan permukaan bumi semakin panas.
Analoginya adalah seperti kita tidur dengan selimut
tanpa pendingin udara. Semakin tebal selimutnya, maka
akan semakin panas suhu udara yang kita rasakan.
Sum
ber
: D
okum
enta
si D
NPI
Bab.2 (17 x 25).indd 26 8/2/13 10:40:22 AM
27DNPI 5 TAHUN I
Peternakan adalah salah satu penyumbang terbesar emisi gas
rumah kaca
Foto: Murni Titi Resdiana
Bab.2 (17 x 25).indd 27 8/2/13 10:40:24 AM
28 I DNPI 5 TAHUN
PenamBangan Batu Bara
PemBangKit listriK Bahan BaKar fosil/ BatuBara
Proses industri
industri PeternaKan
Bab.2 (17 x 25).indd 28 8/2/13 10:40:32 AM
29DNPI 5 TAHUN I
laPisan es mencair
PemBaKaran ladang
KeBaKaran hutan
PemBuangan samPah
transPortasi darat
transPortasi udara
PemuPuKan
ProduKsi minyaK
dari mana gas rumah kaca berasal?
Ilustrasi diadopsi dari Al Gore, Our Choice (2011)
Bab.2 (17 x 25).indd 29 8/2/13 10:40:40 AM
30 I DNPI 5 TAHUN
Enam jenis Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat
menimbulkan pemanasan global dan dibicarakan di
UNFCCC adalah: karbon dioksida (CO2), metan (CH
4),
nitrat oksida (N2O), dan gas-gas yang mengandung
fluor, seperti hydrofluorocarbon (HFCs), perfluorocarbon
(PFCs), dan sulphur hexafluorida (SF6). Dari keenam gas-
gas rumah kaca tersebut, karbon dioksida mengambil
porsi terbesar, yaitu sekitar 75%. Oleh karena
itulah maka jumlah GRK selalu disetarakan dengan
kandungan CO2 yang ada di atmosfer.
Ke-enam jenis gas rumah kaca tersebut
mempunyai daya potensi penyebab pemanasan
global (global warming potential-GWP) yang berbeda-
beda. Karbon dioksida, walaupun jumlahnya paling
Ini juga berarti bahwa mengurangi emisi gas metana
sebanyak 1 ton setara dengan mengurangi emisi
karbondioksida sebanyak 21 ton.
Singkatnya, dalam bahasa sederhana,
sesungguhnya pemanasan global terjadi akibat proses
penebalan atmosfer di permukaan bumi dikarenakan
konsentrasi gas-gas rumah kaca yang terus bertambah
akibat ulah manusia dan menjadi polusi yang terus
membumbung ke udara. Sayangnya, kegiatan manusia
yang dianggap menjadi biang keladi pemanasan
global tersebut merupakan penunjang vital di zaman
modern ini, misalnya pembangkit energi listrik, industri,
pertanian, pemanfaatan hutan, dan transportasi.
Karbon dioksida merupakan polutan utama yang
kita harus menjaga konsentrasi karbon dioksida pada konsentrasi tidak melebihi 450 bagian persejuta volume CO
2
(ppm), supaya tidak menimbulkan dampak negatif perubahan iklim
banyak, ternyata adalah gas rumah kaca (GRK) dengan
daya potensi penyebab pemanasan global terendah
dibandingkan dengan lima jenis GRK lainnya. Jika
membandingkan karbondioksida GWP = 1, maka
metana mempunyai GWP sebesar 21. Berarti 1 ton
metana mempunyai potensi penyebab pemanasan
global 21 kali lebih kuat daripada 1 ton karbondioksida.
paling umum masuk ke atmosfer akibat pembakaran
batu bara (atau pembangkit energi yang berasal dari
bahan fosil lain) untuk pembangkit listrik. Selama ini,
Indonesia sangat bergantung pada bahan bakar minyak
dan gas (BBM), yaitu energi yang juga berasal dari bahan
fosil.
Dalam upaya mencegah terjadinya perubahan
iklim yang berkelanjutan, para ilmuwan terkemuka
mengatakan, bahwa kita harus menjaga konsentrasi
karbon dioksida pada konsentrasi tidak melebihi 450
bagian persejuta volume CO2 (ppm), supaya tidak
menimbulkan dampak negatif perubahan iklim.
Dalam skenarionya para ahli menjelaskan bahwa
bila konsentrasi CO2 yang ada di atmosfer melebihi
450 ppm, maka akan terjadi kenaikan suhu udara lebih
dari dua derajat celcius, yaitu ambang batas kenaikan
temperatur di atmosfer yang memungkinkan makhluk
hidup di bumi masih dapat bertahan hidup dengan baik
dan aman. Kenaikan di atas angka tersebut dianggap
akan menimbulkan bencana kehidupan di muka
bumi. Masalahnya adalah, kenaikan konsentrasi GRK
Jenis-jenis gas rumah kaca dan gWP (global Warming Potential).
dalam 100 tahun
Jenis
Karbondioksida (CO2)
Metana (CH4)
Nitroksida (N2O)
Perfluorokarbon (PFCs)
Hydrofluorokarbon (HFCs)
Sulfur heksafluorida (SF6)
Potensi Pemanasan
global (gWP)
1
21
310
6500 – 9200
140 – 11.700
23.900
Bab.2 (17 x 25).indd 30 8/2/13 10:40:41 AM
31DNPI 5 TAHUN I
ini bagaikan deret ukur sejak seratus tahun terakhir,
mengkhawatirkan bagi kehidupan.
Masa depan semua makhluk di bumi akan sangat
suram apabila tidak ada tindakan berarti dalam upaya
menahan-atau biasa diistilahkan dengan mitigasi-laju
emisi GRK yang terus meningkat. Laporan Bank Dunia
(2012), memberikan gambaran, bahwa jika kita (warga
bumi) tetap tidak melakukan tindakan apa-apa atau
Business As Usual (BAU) maka akan terjadi peningkatan
suhu hingga 4°C, dan hal ini akan mengakibatkan
dampak yang mengerikan: kota-kota pesisir terancam
banjir, produksi pangan terancam turun yang tentu
saja akan meningkatkan kasus malnutrisi disebabkan
banyak kawasan kering yang akan semakin kering,
dan kawasan basah menjadi lebih basah. Selain itu
dampak buruk lain dapat terjadi dengan banyaknya
kawasan yang akan mengalami ge lombang panas,
terutama di daerah tropis: banyak kawasan akan
mengalami kelangkaan air, siklon tropis akan semakin
sering dan keanekaragaman hayati, termasuk ekosistem
terumbu karang yang menjadi tempat tinggal ikan, pun
terancam punah. Hal ini tentunya akan berpengaruh
besar pada perekonomian negara termasuk Indonesia.
(Lihat: Dampak Perubahan Iklim di laut Nusantara)
Hasil pengamatan atas konsentrasi GRK yang
dimonitor di Gunung Mauna Loa di Hawaii pada bulan
Mei 2013 lalu telah mencapai 400 ppm. Konsentrasi ini
meroket melampaui hampir tujuh ppm, dari 393,14
ppm pada bulan Januari satu tahun sebelumnya, dan
lima ppm dari angka 395,55 pada Januari 2013 (Gambar
2). Maka upaya berbagai negara sekarang adalah
bagaimana mencegah emisi yang terus berlanjut dan
upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan untuk
mengurangi emisi karbon dioksida dan emisi gas rumah
kaca yang lainnya. Oleh karena itulah maka kesepakatan
UNFCCC sangat penting untuk terus dijalankan.
para ahli menjelaskan bahwa bila konsentrasi CO2 yang
ada di atmosfer melebihi 450 ppm, maka akan terjadi kenaikan suhu udara lebih dari dua derajat celcius
Gambar 2: Grafik Konsentrasi CO2 di Mauna Loa Observatory, Hawaii Mei 2013. Konsentrasi GRK mencapai 400 ppm
TAHUN
PPM
Jun
i 201
3
Sum
ber:
mau
nalo
a.co
m
Bab.2 (17 x 25).indd 31 8/2/13 10:40:42 AM
32 I DNPI 5 TAHUN
Perkembangan laporan ilmiahPenjelasan tentang terjadinya fenomena
perubahan iklim dibuktikan secara ilmiah. Saat ini,
telah tergabung sekitar 2.500 orang pakar dan peneliti
di seluruh dunia yang bekerjasama bahu membahu
dalam Inter-govermental Panel on Climate Change
(IPCC) yang terlibat meneliti tentang perubahan
iklim. IPCC adalah badan ilmiah yang tugas utamanya
melakukan kajian hasil-hasil riset tentang informasi
teknologi, sosial dan ekonomi yang terkait dengan
perubahan iklim di seluruh dunia.
Pada dasarnya IPCC tidak memonitor data
atau parameter perubahan iklim. IPCC juga tidak
mengeluarkan rekomendasi aksi untuk menghadapi
perubahan iklim, akan tetapi IPCC melakukan analisa,
kajian dan membeberkan fakta-fakta tentang sebab
akibat yang akan terjadi terkait dengan perubahan
iklim. Para ilmuwan IPCC melaporkan hasil analisanya
kepada para anggotanya, yang saat ini berjumlah lebih
dari 190 negara. Laporan IPCC disampaikan secara
berkala setiap lima sampai tujuh tahun sekali. Namun
di antara jangka waktu tersebut, atas permintaan
UNFCCC, IPCC juga mengeluarkan beberapa laporan
khusus yang disebut Special Report, misalnya Special
Report on LULUCF, Technical Paper, dll. Laporan terakhir
IPCC, Assessment Report 4 (AR4) diterbitkan dalam
tahun 2007, dan saat ini masih menunggu AR5 yang
rencananya akan dikeluarkan pada tahun 2014. Peran
IPCC sangat krusial dan kredibel, oleh karena itu
lembaga tersebut menjadi tulang punggung basis
ilmiah yang kemudian digunakan sebagai pijakan
untuk berbagai kegiatan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim di seluruh dunia.
menurunkan yang terlanjur naik
Sumber emisi gas gas rumah kaca (GRK)
sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan manusia
di atas permukaan bumi, yang berasal dari sektor
industri, energi, transportasi, pertanian, kehutanan,
pertambangan, dan yang lainnya. Emisi ini disebut
dengan anthropogenic emission. Ketergantungan
manusia pada sektor energi, seperti listrik, industri
dan kendaraan bermotor berbahan dasar fosil,
mengakibatkan sekitar 80% sumber emisi dunia berasal
dari bahan bakar fosil (fossil fuels burning). Sedangkan
sisanya sebesar lebih kurang 20%, dikarenakan oleh
kegiatan alih guna lahan dan degradasi di kehutanan.
Dari 20% ini, kegiatan pembukaan lahan dan hutan
sebagian besar terjadi di kawasan hutan hujan tropis
yang merupakan 75% bagian aktivitas di wilayah ini. Oleh
karena Indonesia merupakan negara yang memiliki luas
hutan tropis terbesar ketiga di dunia, maka perhatian
dunia juga banyak tertuju kepada Indonesia.
Pemanasan global terjadi, dan cenderung
meningkat dari waktu ke waktu. Inilah yang kemudian
mendorong para pihak di United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) secara rutin
melakukan rangkaian perundingan perubahan iklim.
Tujuan UNFCCC tertuang dalam Pasal 2 konvensi
perubahan iklim tersebut, yaitu:
“Tujuan akhir dari konvensi ini dan instrumen legal
yang diadopsi oleh Para Pihak adalah dalam upaya
mencapai, sesuatu yang relevan dengan tujuan konvensi
yaitu, menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK)
di atmosfer pada tingkat yang dapat mencegah bahaya
akibat ulah manusia (antropogenik) terhadap sistem iklim.
Tingkat konsentrasi GRK tersebut, harus dicapai dalam
jangka waktu yang efisien yang memungkinkan ekosistem
dapat beradaptasi secara alami terhadap perubahan iklim,
memastikan bahwa produksi pangan tidak terancam dan
memungkinkan pembangunan ekonomi dapat berjalan
secara berkelanjutan.”
Berdasarkan pada konvensi tersebut, maka tujuan
konvensi adalah menstabilkan emisi GRK di atmosfer.
Dengan kata lain, pada hakekatnya semua negara
Pihak yang meratifikasi konvensi dan tergabung dalam
UNFCCC berusaha untuk mencari solusi terhadap tiga
sekitar 80% sumber emisi dunia berasal dari bahan bakar fosil (fossil fuels burning)
Bab.2 (17 x 25).indd 32 8/2/13 10:40:44 AM
33DNPI 5 TAHUN I
hal: Pertama, mencari cara bagaimana mengurangi emisi
global secara ambisius dan signifikan dari berbagai
kegiatan manusia (ambisius target of anthropogenic
emission reduction by sources) agar konsentrasi GRK setara
CO2 yang ada di atmosfer tidak melebihi 450 ppm. Kedua,
mengupayakan peningkatan kapasitas serapan karbon
dari atmosfer (increasing capacity of carbon removal by
sinks) yang dapat dilakukan dengan intervensi teknologi,
dukungan kebijakan, dan peraturan-peraturan. Ketiga,
menambah dan memelihara/mempertahankan daya
simpan GRK yang berhasil diserap (increasing and
conserving carbon sink and storage) melalui berbagai
inisiatif kegiatan konservasi, mitigasi dan adaptasi, dan
juga melibatkan intervensi teknologi dan kebijakan.
Ketiga tujuan di atas, menjadi bahan dalam upaya
perundingan iklim antar bangsa.
Bab.2 (17 x 25).indd 33 8/2/13 10:40:48 AM
34 I DNPI 5 TAHUN
PeruBahan iKlim yang terjadi di Indonesia pada
umumnya diindikasikan dengan adanya perubahan
terhadap temperatur harian rata-rata, pola curah
hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim, misalnya
El Nino dan La Nina. Perubahan ini memberikan
dampak yang serius terhadap berbagai sektor di
Indonesia, termasuk sektor kesehatan, pertanian,
perekonomian, dan lain-lain. Beberapa kajian yang
dilakukan oleh berbagai institusi baik dari dalam
maupun luar negeri menunjukkan bahwa iklim di
Dunia pertanian mengalami gangguan langsung akibat perubahan musim yang tidak menentu
BenArkAh AdA peruBAhAn IklIm?
Indonesia telah mengalami perubahan sejak tahun
1960, meskipun analisis ilmiah maupun data-datanya
masih terbatas.
Kajian dnPiDNPI telah melakukan kajian di Provinsi Sumatera
Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Kepulauan Riau
dan menemukan adanya peningkatan suhu, curah hujan
dan Tinggi Muka Air Laut (TMAL). Berdasarkan catatan
DNPI, di Sumatera Utara dalam 100 tahun terakhir telah
terjadi peningkatan suhu sebesar 0,3oC di sebagian
wilayah Sumatera Utara. Adapun laju peningkatan curah
hujan secara umum berkisar antara 0,02 mm hingga 0,4
mm pertahun, dengan laju tertinggi terjadi di bagian
Pantai Barat.
Berdasarkan analisis Tinggi Muka Air Laut (TMAL)
dengan menggunakan skenario kenaikan TMAL +19 cm
untuk tahun 2025 dan TMAL +38 cm untuk tahun 2050,
kawasan ini tidak memberikan dampak yang signifikan
terhadap kehilangan wilayah pesisir.
Selain itu, untuk Sulawesi Selatan, dari
kecenderungan observasi tanpa mempertimbangkan
kontribusi peningkatan laju emisi gas rumah kaca
(GRK), rata-rata peningkatan suhu udara di kawasan ini
diproyeksikan sebesar 0,2°C pada tahun 2020 dan 0,7°C
pada tahun 2050. Sementara, dengan pertimbangan
Pohon meranggas bukan pada waktunya
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
Bab.2 (17 x 25).indd 34 8/2/13 10:40:52 AM
35DNPI 5 TAHUN I
BenArkAh AdA peruBAhAn IklIm?
Foto: BMKG (atas), Puncak Jaya1936 difoto oleh JJ Dozy 1936, USGS (kiri bawah),
Pemandangan Puncak Jaya sekarang 2012, oleh BMKG (kanan bawah)
adanya laju emisi GRK, maka rata-rata perubahan suhu
pada tahun 2020 dan 2050, dapat mencapai 0,44°C dan
1,02°C.
Menurut analisis pola curah hujan di Sulawesi
Selatan yang menggunakan data 37 stasiun hujan,
analisis tren curah hujan tahunan di Sulawesi Selatan
menunjukkan adanya peningkatan sekaligus
penurunan curah hujan di stasiun yang berbeda (Lihat:
Petani Bingung Musim). Kisaran laju TMAL di Sulawesi
Selatan sebesar 5,5 mm per tahun, dengan asumsi
bahwa laju tersebut konsisten tanpa pertimbangan
skenario perubahan emisi dan perubahan iklim, maka
Mencairnya salju di puncak Pegunungan Jayawijaya, Papua
Bab.2 (17 x 25).indd 35 8/2/13 10:40:54 AM
36 I DNPI 5 TAHUN
diproyeksikan akan terjadi peningkatan TMAL lebih
dari 50 cm dalam 100 tahun ke depan.
Lain lagi hasil Kajian DNPI di Provinsi Gorontalo
dan Sulawesi Utara yang menunjukkan adanya tren
peningkatan curah hujan. Peningkatan curah hujan
dengan periode pengamatan tahun 2001 – 2009
menunjukkan laju sebesar 49,4 mm per tahun. Data
observasi stasiun iklim di Gorontalo periode tahun 1973
– 2009 tidak menunjukkan adanya tren peningkatan
suhu nyata, namun peluang kejadian suhu ekstrem
cukup besar di mana pada periode tahun 2000 – 2009
peluang kejadian suhu ekstrem di atas 35oC, cukup
tinggi dibanding periode tahun sebelumnya.
Dengan pertimbangan adanya laju emisi GRK,
rata-rata perubahan suhu di Provinsi Gorontalo pada
tahun 2020 dan 2050, masing-masing mencapai
0,43oC dan 1,0oC dan untuk skenario dengan emisi
GRK, yaitu 0,49oC dan 1,39oC. Adapun laju peningkatan
TMAL rata-rata seluruh Sulawesi sekitar 6,3 mm per
tahun. Khusus untuk Provinsi Gorontalo, terpetakan
mengalami laju peningkatan TMAL rata-rata sebesar
6,7 mm per tahun.
Peningkatan temperatur rata-rata harian
berpengaruh secara signifikan terhadap pola curah
hujan yang pada umumnya ditentukan oleh sirkulasi
monsun Asia dan Australia. Dengan sirkulasi monsun,
Indonesia memiliki dua musim utama yang berubah
setiap setengah tahun sekali (musim penghujan
dan musim kemarau). Perubahan temperatur rata-
rata harian juga dapat mempengaruhi terjadinya
perubahan pola curah hujan secara ekstrem. UK Met
Office mencatat adanya kekeringan maupun banjir
yang parah di sepanjang tahun 1997 hingga 2009.
Analisis data dari satelit TRMM (Tropical Rainfall
Measuring Mission) dalam ICCSR (Indonesian Climate
Change Sectoral Roadmap; Bappenas, 2010) untuk
periode tahun 2003-2008 memperlihatkan adanya
peningkatan peluang kejadian curah hujan dengan
intensitas ekstrem, terutama di wilayah Indonesia
bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) serta
Papua. Salah satu fenomena yang mengkonfirmasikan
terjadinya peningkatan temperatur di Indonesia adalah
melelehnya es di Puncak Jayawijaya, Papua.
Di samping mengakibatkan terjadinya kekeringan
atau banjir yang ekstrem, peningkatan temperatur
permukaan atmosfer juga menyebabkan terjadinya
peningkatan temperatur air laut yang berujung pada
ekspansi volume air laut dan mencairnya gletser serta es
pada kutub. Pada tahap selanjutnya, tinggi muka air laut
mengalami kenaikan yang berisiko terhadap penurunan
kualitas kehidupan di pesisir pantai. Secara global,
kenaikan rata-rata tinggi muka laut pada abad ke-20
tercatat sebesar 1,7 mm per tahun, namun kenaikan
tersebut tidak terjadi secara seragam. Bagi Indonesia
yang diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik, kenaikan
tinggi muka laut yang tidak seragam dapat berpengaruh
pada pola arus laut. (lihat: Perubahan Iklim dan Laut
Nusantara).
Selain perubahan terhadap pola arus, kenaikan
tinggi muka laut yang tidak seragam juga meningkatkan
potensi terjadinya erosi, perubahan garis pantai,
mereduksi wetland (lahan basah) di sepanjang pantai,
dan meningkatkan laju intrusi air laut terhadap aquifer
daerah pantai. Perubahan iklim di Indonesia berdampak
cukup besar terhadap produksi bahan pangan, seperti
jagung dan padi. Produksi bahan pangan dari sektor
kelautan (ikan maupun hasil laut lainnya) diperkirakan
akan mengalami penurunan yang sangat besar dengan
adanya perubahan pada pola arus, temperatur, tinggi
muka laut, umbalan, dsb. Dampaknya, Indonesia bahkan
digolongkan berada pada peringkat sembilan dari 10
negara paling rentan dari ancaman terhadap keamanan
pangan akibat dampak perubahan iklim pada sektor
perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012). Sedangkan
akibat dampak perubahan iklim dan pengasaman laut
(ocean acidification) pada ketersediaan makanan hasil
laut, Indonesia berada pada peringkat 23 dari 50 negara
paling rentan berdasarkan kajian yang sama.
Perubahan iklim sudah berlangsung di Indonesia dan diketahui menimbulkan dampak multisektor
Bab.2 (17 x 25).indd 36 8/2/13 10:40:56 AM
37DNPI 5 TAHUN I
Kekeringan dan BanjirKajian mengenai kekeringan di Indonesia akibat
perubahan iklim terutama pada skala nasional masih
kurang. Namun peluang banjir di Indonesia akan
meningkat seiring dengan peningkatan pada tinggi
muka laut, intensitas gelombang ekstrem, curah hujan
yang sangat tinggi dan kejadian La Nina. Bencana
banjir yang ekstrem utamanya akan terjadi pada daerah
pesisir yang umumnya merupakan lokasi kota-kota
strategis seperti DKI Jakarta. Bencana ini membawa
dampak yang buruk bagi jalannya perekonomian serta
ancaman terhadap kesehatan masyarakat.
Dari beberapa kajian yang telah ada hingga
saat ini, beberapa indikator menunjukkan bahwa
perubahan iklim sudah berlangsung di Indonesia.
Perubahan tersebut diketahui memberikan dampak
multisektor meskipun kajian maupun data yang
tersedia masih terbatas. Di samping itu, proyeksi
iklim selalu mengandung ketidakpastian. Tantangan
terbesar adalah bagaimana melakukan kuantifikasi
terhadap ketidakpastian tersebut untuk meningkatkan
kedayagunaannya dalam pengambilan keputusan.
Pada dasarnya, perubahan iklim bukan
merupakan penyebab tunggal dari bencana alam
yang saat ini semakin sering terjadi, namun perubahan
iklim berkontribusi dalam membuat fenomena atau
bencana alam hidro-meteorologi ini menjadi ekstrem
atau luar biasa. Pemerintah Indonesia telah melakukan
beberapa kajian tentang perubahan iklim yang dapat
menjadi titik awal dari suatu program yang bermanfaat
bagi penguatan basis ilmiah perubahan iklim yang
terkoordinasi bagi sektor-sektor yang ada di Indonesia.
Mencegah banjir merupakan keharusan karena bukan hanya berdampak ekologis, melainkan mulisektor dan berantai Foto: Dokumentasi DNPI
Bab.2 (17 x 25).indd 37 8/2/13 10:41:00 AM
38 I DNPI 5 TAHUN
PeTANI bINgUNg mUsIm
Dunia pertanian mengalami gangguan
langsung akibat perubahan musim yang
tidak menentu. Klimatolog dari Universitas
Lampung, Tumiar Katarina Manik, seperti dikutip
Antara (30 Juni 2012), mengatakan perubahan iklim
yang terjadi saat ini membuat petani bingung untuk
menentukan pola tanam.
“Iklim sekarang ini tidak seperti dulu.
Sebelumnya pasti setiap enam bulan sekali musim
kemarau dan hujan, sehingga musim tanam dapat
terpola dengan baik,” ujarnya. Dikatakannya bahwa
musim kemarau yang terjadi adalah kemarau basah.
Fenomena ini ditandai dengan masih turunnya
hujan saat musim kemarau, namun intensitasnya
rendah, tidak sesering pada saat musim hujan.
Ranggu (52 tahun), seorang petani yang
berada jauh di Ngata Tompu, Sulawesi Tengah,
menuturkan panen jagungnya gagal akibat
cuaca dan musim yang tidak menentu. “Kami gagal
panen karena kami tidak memahami pola musim.
Kami memang biasa menghitung, tapi siklus musim
sekarang tidak bisa dipastikan,“ katanya. Ranggu dan
para petani di kawasan itu kerap salah menghitung,
kapan harus memulai bercocok tanam.
”Pada mulanya kami menduga, musim kemarau
pendek saja, ternyata yang terjadi musim kering
yang berkepanjangan. Walaupun saya memakai
perhitungan dengan melihat bintang, panen tetap
gagal. Saya bingung kenapa musim berubah-ubah
seperti ini?” keluh Laciu, petani lain kawan Ranggu di
Ngata Tompu.
Petani galau menentukan pola tanam, panen gagal Sumber: DNPI
Ranggu (52 tahun) petani di desa Ngata Tompu, Sulawesi Tengah, mengeluhkan panen jagungnya yang gagal akibat musim yang tidak menentu.Foto: Dokumentasi DNPI
Jatna Supriatna, akademisi dari UI mengata-
kan, dampak perubahan iklim pada sektor
pertanian bukan hanya menimpa pertanian
padi, tetapi juga sektor-sektor lain, misalnya per-
kebunan cocoa, manggis, dan lain-lain. Baru-baru
ini Jatna mendapatkan kabar bahwa di Tasikmalaya,
kampung asal-usulnya, perkebunan-perkebunan
manggis di sana terkena dampak perubahan iklim
yang luar biasa. Manggis Tasik terkenal berukuran
besar, berkualitas baik dan merupakan komoditas
ekspor. Tahun ini (2013), pekebun di sana hanya bisa
mengekspor 40% karena produksinya kecil-kecil,
tidak memenuhi standar ekspor. Kemudian ada suatu
riset untuk mengantisipasinya, sehingga mereka
berharap banyak pada musim hujan. Ternyata pada
waktu musim hujan, bunga-bunga manggis gugur.
Perkebunan mereka betul-betul hancur. Mereka
tidak bisa antisipasi, mereka tidak siap.
Bab.2 (17 x 25).indd 38 8/2/13 10:41:02 AM
39DNPI 5 TAHUN I
Petani galau menentukan pola tanam, panen gagal Sumber: DNPI
Perubahan iklim merupakan fenomena evolu-
sioner yang berjalan lamban. Perubahan yang
terjadi tidak dijumpai dalam waktu pendek,
lima atau sepuluh tahun, tetapi gejala tersebut dapat
dibaca dalam puluhan bahkan ratusan tahun. Adapun
kuncinya adalah akibat adanya emisi gas-gas rumah
kaca yang semakin mempertebal ‘selimut bumi’.
Panas di bumi semakin banyak terperangkap dan
mengakibatkan suhu meningkat. Lazimnya, panas
matahari kembali ke udara, namun kini terperangkap
lebih banyak di permukaan bumi. Akibat atmosfer
diselimuti oleh gas rumah kaca yang semakin
menebal, maka suhu bumi semakin meningkat.
Proses penebalan atmosfer yang diakibatkan
oleh gas karbon dioksida (CO2) yang disebabkan
oleh bahan bakar berasal dari fosil, nampak terjadi
sejak dimulainya revolusi industri abad ke-18 dan
awal abad ke-19. Kala itu, revolusi industri bergerak
karena pembakaran mesin industri termasuk kereta
uap yang menggunakan banyak sekali batubara.
Penggunaan batubara sebagai pembangkit energi
masih berjalan hingga sekarang. Batubara digunakan
sebagai pembangkit listrik untuk menggerakkan
industri di berbagai negara. Kebutuhan energi yang
besar, memaksa industri untuk terus menggunakan
bahan bakar berbasis fosil, termasuk bahan bakar
minyak, seperti solar dan premium. Maka, emisi GRK
semakin menumpuk.
Kejadian pelepasan emisi, diperparah lagi oleh
Perubahan Iklim adalah Akibat Ulah manusia
lepasnya kemampuan tumbuhan dan lahan-lahan
yang ditebang, sebab dengan cara ini, kemampuan
daya serap karbon (sequestrasi) akan lenyap. Maka
karbon dioksida pun semakin menebal di atmosfer.
Indikasi penebalan gas rumah kaca tercatat dengan
semakin meningkatnya tumpukan CO2 dari
hanya 300ppm selama 800 ribu tahun, kemudian
meningkat drastis menjadi 350 ppm bahkan
sekarang menjadi 400 ppm pada Mei 2013 ini (lihat:
Manusia dan Gas gas Rumah Kaca). Maka sangatlah
jelas, bahwa perubahan iklim disebabkan oleh
manusia (antropogenik), dan pada tempatnyalah
masalah tersebut harus diselesaikan oleh manusia.
Hasil penelitian para ilmuwan IPCC dalam
Assessement Report Empat (AR4) tahun 2007
selama berpuluh tahun tentang perubahan iklim,
menyimpulkan:
Most of the observed increase in globally
averaged temperatures since the mid-20th century
is very likely due to the observed increase in
anthropogenic greenhouse gas concentrations.
(Dari hasil observasi temperatur global rata-
rata sejak abad 20, maka kemungkinan yang terjadi
adalah akibat karena adanya kenaikan konsentrasi
gas-gas rumah kaca yang dibuat manusia.)
Dalam terminologi IPCC, apabila dikatakan,
“very likely” artinya probabilitas kejadiannya lebih
dari 90 persen, sedangkan bila dikatakan “likely”
berarti probabilitasnya lebih dari 66 persen.
Pembalakan liar menyebabkan kerusakan alam Sumber: DNPI
Bab.2 (17 x 25).indd 39 8/2/13 10:41:12 AM
40 I DNPI 5 TAHUN
aKhir-aKhir ini, kerap dijumpai berita bencana
dengan tajuk seperti: “Gelombang Tinggi, Nelayan
Tidak Melaut,” atau “Angin Puting Beliung Merusak
Puluhan Rumah.” Tidak kalah pentingnya, sepanjang
waktu, dari tahun ke tahun semakin sering kita jumpai
bencana banjir yang parah dan membawa korban,
juga kekeringan yang panjang. Fenomena bencana,
dan kejadian-kejadian ekstrem di atas merupakan
fakta atas terjadinya perubahan iklim.
Peningkatan intensitas pemanasan global,
memicu kenaikan suhu permukaan, tinggi muka
laut, dan mencairnya es baik di Antartika maupun
di Greenland. Di samping berdampak langsung
Berkaitan dengan kenaikan suhu iklim global maka dampaknya adalah intensitas siklon tropis kuat menjadi tinggi.
peruBAhAn IklIm dI lAut nusAntArA
terhadap kenaikan tinggi muka laut, pemanasan
global juga menyebabkan terjadinya perubahan iklim,
yang berdampak pada sektor kesehatan, pertanian,
kehutanan (karena dapat mengakibatkan kebakaran),
dan transportasi. Beberapa kejadian cuaca ekstrem
beberapa tahun terakhir ini, dipastikan akibat
pengaruh pemanasan global yang semakin meningkat.
Pemanasan global yang intensif mengakibatkan
intensitas terjadinya El Nino dan La Nina semakin
meningkat (Timmermann et al.,1999; Timmerman
2001). El Nino adalah sebuah fenomena musim
kering (kemarau) yang sangat panjang sehingga
mengakibatkan gagal panen atau kesulitan memulai
musim tanam, serta kebakaran hutan. Sedangkan La
Nina, adalah kondisi curah hujan mengalami peningkatan
yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan banjir dan
juga gagal panen.
Torrence and Compo (1999), mencatat, bahwa
pada umumnya El Nino terjadi antara dua tahun sampai
tujuh tahun sekali, tetapi sejak tahun 1970, frekuensi
El Nino dan La Nina menjadi dua tahun sampai empat
tahun. Tahun 1997-1998, Indonesia berpengalaman
buruk dengan El Nino, ketika hampir seluruh negeri
mengalami musim kering yang panjang, mengakibatkan
Sumber: Dokumentasi DNPI
Bab.2 (17 x 25).indd 40 8/2/13 10:41:22 AM
41DNPI 5 TAHUN I
peruBAhAn IklIm dI lAut nusAntArA
Rob di Jakarta Utara Foto: Dokumentasi DNPI
puluhan juta hektar hutan terbakar dan mengakibatkan
kegoncangan stok pangan akibat gagal panen. Adapun
saat La Nina tahun 1999, Indonesia mengalami kenaikan
curah hujan yang tinggi, air laut naik setinggi 20 cm
sampai 30 cm, menyebabkan banjir di sebagian besar
wilayah Indonesia, terutama di wilayah pesisir.
Berkaitan dengan kenaikan suhu iklim global
maka dampaknya adalah intensitas siklon tropis kuat
menjadi tinggi. Adapun rata-rata kekuatan siklon tropis
di Samudera Atlantik, menguat dengan kecepatan
peningkatan angin maksimum sebesar 0,4m/detik/
tahun (Elsner et.al, 2008). Webster dan kawan-kawan
(2005) menjelaskan bahwa meningginya frekuensi dan
intensitas dari siklon terkuat tahunan disebabkan oleh
pemanasan global. Ilmuwan ini juga mencatat bahwa
jumlah dan durasi hari kejadian siklon menurun di
semua samudera selama satu dekade terakhir ini, kecuali
di Atlantik Utara. Belum terdapat kejelasan tentang
mekanisme fisis penyebab menurunnya jumlah dan
durasi hari kejadian siklon tersebut. Namun, kedua
ilmuwan di atas berpendapat, bahwa hal ini mungkin
disebabkan oleh lebih banyaknya tahun-tahun El
Nino dibandingkan dengan La Nina pada beberapa
dekade terakhir ini.
gelombang Pasang dan Kenaikan Permukaan laut
Dalam hal fenomena gelombang pasang,
telah dipahami bahwa secara global, kenaikan
tinggi muka laut (TML) terjadi sekitar 3,1mm/tahun,
sementara rata-rata kenaikan tinggi muka laut pada
abad ke-20 hanya 1,7mm/tahun. Penyebabnya, lebih
dari sepertiga tingkat kenaikan permukaan laut
diakibatkan oleh mencairnya es baik di Greenland,
Antartika maupun es glacier. Beberapa riset terakhir
menunjukkan bahwa proses mencairnya es semakin
Bab.2 (17 x 25).indd 41 8/2/13 10:41:43 AM
42 I DNPI 5 TAHUN
meningkat seiring dengan makin intensifnya
pemanasan global. Apabila proses pemanasan dan
mencairnya es berlangsung seperti pada lima tahun
terakhir ini, maka diprediksi kenaikan tinggi muka
air laut pada tahun 2100 akan berkisar antara 80 cm
sampai 180 cm (Vermeer and Rahmstorf, 2009).
Iklim di Indonesia pada dasarnya ditentukan
oleh apa yang disebut sirkulasi monsun (monsoon)
Asia dan Australia, yang mempunyai karakter
perubahan arah sistem angin dekat permukaan,
hampir sekitar setengah tahun sekali. Perubahan
tersebut menyebabkan pula peralihan musim yang
utama, yakni musim penghujan dan musim kemarau.
Dalam literatur, mengenai monsun Asia (misalnya,
Johnson, 1992), dikenal dengan adanya summer
monsoon dalam periode Juni-Juli-Agustus (JJA) dan
winter monsoon dalam periode Desember-Januari-
Februari (DJF). Periode ini kurang lebih sama dengan
apa yang dikenal masyarakat awam di Indonesia
dengan istilah “musim Timur“, yang identik dengan
musim kemarau dan “musim Barat“ untuk musim
penghujan (khususnya di Pulau Jawa).
Analisis awal terhadap data tersebut
menunjukkan bahwa pada periode monsun Asia
rata-rata tinggi gelombang maksimum di perairan
Indonesia berkisar antara satu meter sampai enam
meter. Gelombang maksimum yang mencapai
ketinggian enam meter ini berada di Samudera Pasifik
sebelah utara Papua. Sedangkan tinggi gelombang
maksimum di laut Jawa berkisar antara tiga sampai
3,5 meter, terutama pada bulan Januari dan Februari
dengan tinggi gelombang maksimum mencapai 3,5
meter. Tinggi gelombang ini berpotensi menaikkan
risiko banjir di Pantai Utara Jawa, karena bertepatan
dengan puncak musim penghujan. Tinggi gelombang
maksimum di Pantai Selatan Jawa mencapai 3,5 meter
sampai empat meter pada bulan Februari. Dampak dari
perubahan ini, sangat berarti bagi keselamatan nelayan
yang mencari ikan di laut dan juga sektor transportasi
yang mengantar barang dan jasa ke berbagai pelabuhan
di perairan Indonesia. Selain risiko banjir, tingginya
gelombang ekstrem seperti ini juga menghambat
arus barang antarpulau yang menggunakan sarana
transportasi laut.
Apabila demikian halnya, maka pemanasan
global akan sangat berdampak pada kegiatan ekonomi
sekaligus mengganggu kehidupan sosial masyarakat
dan mendatangkan bencana bencana atas ekologi
secara umum. Perubahan iklim global telah nyata
berdampak pada masyarakat kecil, seperti nelayan
yang tidak dapat melaut, maupun dampak umum lain
misalnya, kenaikan harga barang akibat kelangkaan stok
karena transportasi terhambat.
Secara ekonomi, Stern Review (2007), memprediksi
bahwa perubahaan iklim dapat menimbulkan kerugian
ekonomi yang berarti secara global. Apabila tidak
dilakukan tindakan apa-apa, atau Business As Usual (BAU),
di mana pemerintah negara-negara maju tidak berupaya
melakukan penurunan emisi (melakukan mitigasi
perubahan iklim) atau negara yang terkena dampak
tidak melakukan adaptasi—dan jika semua nilai pasar
dan nilai non pasar diperhitungkan—maka kerugian
akibat perubahan iklim dapat mencapai 14 persen dari
produk domestik bruto (PDB) global pada abad ke 21.
Gelombang ekstrem menghambat arus barang antar pulau: perahu sembako di Pulau Panggang – Kepulauan Seribu Foto: Agoes Soetomo
Bab.2 (17 x 25).indd 42 8/2/13 10:41:54 AM
45DNPI 5 TAHUN I
Rumah panggung di Balikpapan: Salah satu contoh klasik dalam
upaya adaptasi
Foto: BLHD Kota Balikpapan
BAB 3-1-3-.indd 45 8/2/13 8:39:43 AM
46 I DNPI 5 TAHUN
tantangan bagaimana negara kepulauan terbesar di
dunia --- dengan panjang garis pantai lebih dari 81
ribu km – terselamatkan. Selain itu, Indonesia dikenal
sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman
hayati laut terbesar di dunia serta memiliki ekosistem
pesisir seperti mangrove, terumbu karang dan padang
lamun.
Kata kunci untuk kegiatan adaptasi adalah
penguatan kapasitas adaptasi. Oleh sebab itu
penguatan kapasitas adaptasi menjadi hal yang sangat
penting. Kuat atau lemahnya kapasitas adaptasi
dapat dilihat dari sisi eksternal: meliputi daya dukung
ekosistem dan lingkungan saat ini, juga sisi internal
yang dilihat dari kesiapan perangkat regulasi dan
kelembagaan, anggaran serta sumber daya manusia.
Pengarusutamaan Arah strategis penanganan perubahan iklim
DNPI adalah mewujudkan pembangunan rendah
emisi karbon dan pembangunan berkelanjutan yang
mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Oleh
karenanya, program dari Pokja Adaptasi diarahkan
pula untuk mendukung kebijakan strategis DNPI,
yaitu diprioritaskan pada upaya penguatan kapasitas
adaptasi pada tingkat nasional dan daerah. Pada
tingkat daerah, fokusnya adalah perhatian terhadap
pengembangan kegiatan adaptasi dalam perencanaan
pembangunan daerah. Peran yang dijalankan dimaknai
sebagai katalisator untuk mengintegrasikan rencana
Banjir dan kekeringan yang berakibat pada kegagalan panen, longsor serta curah hujan yang ekstrem merupakan bencana yang sering terjadi akhir-akhir ini. Kejadian-kejadian tersebut dipercepat dengan persoalan klasik.
MARI BERADAPTASI
PERUBAHAN IKLIM menyebabkan semua
bangsa diminta melakukan adaptasi. Kamus Bahasa
Indonesia, memberikan pedoman tentang istilah
adaptasi sebagai upaya untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan. Dalam hal perubahan
iklim, adaptasi dapat digambarkan sebagai upaya
menyesuaikan diri dalam mengatasi perubahan iklim
dan lingkungan.
Ancaman perubahan iklim akan membawa
kerentanan tersendiri bagi Indonesia. Oleh karena
itu manusia Indonesia akan berhadapan dengan
Evakuasi dan tanggap darurat bencana
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
BAB 3-1-3-.indd 46 8/2/13 8:39:46 AM
47DNPI 5 TAHUN I
dan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh sektor-
sektor yang bertanggungjawab langsung dengan
lingkup program, kegiatan dan aktivitasnya. Dengan
demikian, isu strategis yang muncul adalah menem-
patkan peran, tugas dan fungsi kelompok kerja yang
mampu mengkoordinasikan dan mengharmonisasi-
kan kebijakan sektor yang terkait dengan strategi
menghadapi ancaman dan dampak perubahan
iklim. Maka, langkah yang harus dilakukan kelompok
kerja adalah mempersiapkan kerangka kerja yang
menjadi prioritas dengan capaian kerja yang terukur.
Peran fasilitasi inisiatif daerah untuk memasuk-
kan perubahan iklim ke dalam kebijakan lokal menjadi
peran yang juga dilakukan oleh pokja adaptasi.
Adanya urgensi kebutuhan, muncul menjadi salah
satu keinginan kuat daerah. Karakteristik geografi,
demografi dan topografi masing-masing wilayah
menjadi alasan adanya pendekatan yang berbeda.
Peluang lebih dekat untuk mengetahui iklim mikro
lebih mudah untuk dilakukan dan validitas kebijakan
yang dirumuskan lebih dapat dipertanggungjawabkan
karena didasari oleh data proyeksi iklim mikro di
wilayah atau daerah tersebut. Dengan demikian upaya
adaptasi lebih merupakan tindakan proaktif dari
kecenderungan yang akan terjadi.
Sampai saat ini, informasi dan pemahaman yang
terintegrasi dan menyeluruh terkait bencana dan
adaptasi akibat perubahan iklim di Indonesia masih
merupakan sesuatu yang langka dalam pengelolaan
bencana atau kebijakan perubahan iklim. Informasi
dan pemahaman banyak yang masih terkotak-kotak
dan terpisah (partial) sehingga derajat kapasitas
penanggulangan bencana dan adaptasi disikapi
secara berbeda-beda. Kondisi ini berpengaruh pada
strategi penanggulangan bencana dan adaptasi yang
diberlakukan atau akan menjadi rencana kebijakan
pembangunan nasional atau daerah.
Oleh sebab itu dalam kerangka pengintegrasian
persoalan penanggulangan bencana, dibutuhkan
adanya pemahaman yang utuh antara adaptasi
perubahan iklim di satu sisi dengan prosedur serta
sistem penanggulangan bencana di sisi lain. Hal
ini dapat dilakukan melalui kemampuan untuk
mengidentifikasi praktek pengurangan risiko
dan dampak bencana dalam kerangka adaptasi
perubahan iklim. Dengan demikian, proyek adaptasi
sepatutnya turut memberikan pemikiran dan konsep
tentang penanggulangan bencana dalam bingkai
adaptasi perubahan iklim. Hal tersebut meliputi
upaya menyusun strategi kampanye dan pendidikan
mengenai perubahan iklim serta penanggulangan
bencana di daerah masing-masing.
Perbaikan Kanal: Salah satu cara beradaptasi adalah membenahi sistem drainaseFoto: Dokumentasi DNPI
BAB 3-1-3-.indd 47 8/2/13 8:39:52 AM
48 I DNPI 5 TAHUN
Kotak 3.1.1Lima Tahun Kegiatan Adaptasi
(ilustrasi: dokumen-dokumen kebijakan, cover buku yang dikeluarkan oleh Pokja Adaptasi --- minta ke mas Egi. Kapan cover diserahkan pada mas Ady?)
(to mas Ady : tolong buatkan kartun dengan plang per periode)Program adaptasi yang dilaksanakan dalam waktu kurun lima tahun sejak dibentuknya DNPI, dapat dijelaskan dalam dua
kelompok periode, yaitu tahun 2008 – 2010, dan 2011 – 2013. Periode pertama boleh dikatakan masa persiapan, sedangkan
periode berikutnya merupakan tahap pelaksanaan.
Kegiatan Adaptasi
Periode 2008-2010
Peran yang dijalankan DNPI selama periode ini idealnya memerlukan partisipasi aktif dari semua stakeholder
terutama sektor-sektor terkait --- instansi, lembaga, dan kementerian --- dalam kelompok kerja (pokja) adaptasi, khususnya sektor yang memiliki peran strategis dalam merespon dampak perubahan iklim. Keterlibatan sektor dalam hal ini memudahkan penerimaan isu adaptasi perubahan iklim dan mendorong kerjasama antar kementerian/lembaga. Esensi yang ingin dibangun dari keterlibatan stakeholder ini adalah agar kebijakan dan program yang disepakati mudah dijalankan.
Dalam prakteknya, tidak mudah menghadirkan semua stakeholder secara tetap ikut terlibat di dalam pokja adaptasi. Namun, melalui komunikasi secara langsung dengan beberapa personal dan bidang/unit/program yang dinilai memiliki kapasitas, perhatian dan aktif mengikuti kegiatan adaptasi perubahan iklim, pada akhirnya pokja mampu menggalang keterlibatan aktif stakeholder tersebut.
Adapun program kegiatan awal pada kurun waktu tahun 2008 – 2010 tersebut lebih menekankan kepada 3 (tiga) hal. Pertama, penyampaian dan penyebaran informasi melalui diskusi pokja adaptasi, seminar, atau lokakarya (workshop). Kedua, sosialisasi hasil perundingan dan negosiasi adaptasi perubahan iklim kepada kementerian/kelembagaan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta mempersiapkan posisi Indonesia dalam setiap perundingan dan negosiasi di bawah UNFCCC. Ketiga, melakukan studi dan kajian dampak, kerentanan, dan adaptasi perubahan iklim.
Dalam kurun waktu ini pula, pokja adaptasi mulai mengembangkan kerjasama dan komunikasi dengan komunitas dan pelaku isu Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Pada saat Platform Nasional (Planas) untuk pengurangan risiko bencana, pokja adaptasi DNPI terlibat di dalamnya untuk menyampaikan perkembangan isu kebijakan, program dan rencana aksi perubahan iklim di tingkat nasional dan daerah, khususnya dalam merespon ancaman dan dampak perubahan iklim. Dalam konteks pengintegrasian Adaptasi Perubahan Iklim (API) dan PRB, telah diselenggarakan seminar nasional di Jakarta yang pesertanya sebagian besar adalah para pelaku dan pegiat PRB yang bertujuan untuk mengintegrasikan API ke dalam strategi PRB.
Di akhir periode ini, tahun 2010, kebutuhan terhadap Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) sangat penting dan mendesak untuk mensinergikan kebijakan dan program adaptasi yang telah dan sedang dibuat oleh berbagai kementerian dan lembaga. Selain menjadi pedoman nasional, RAN API dimanfaatkan untuk membantu pemerintah daerah dalam menyusun strategi adaptasi perubahan iklim. Kebutuhan ini direspon oleh pokja adaptasi melalui serangkaian kegiatan diskusi dan pertemuan antar stakdeholder dengan menempatkan lima sektor sebagai fokus, yaitu: 1). sektor pertanian; 2). sektor pesisir, kelautan, perikanan dan pulau-pulau kecil; 3). sektor kesehatan; 4). sektor permukiman dan perkotaan, serta 5). sektor sumber daya air.
BAB 3-1-3-.indd 48 8/2/13 8:39:54 AM
49DNPI 5 TAHUN I
Periode 2011-2013
Diselesaikannya seluruh rangkaian kegiat an penyusunan RAN API berarti diperolehnya dokumen yang berisi
gambaran mengenai kebijakan dan program yang telah, akan, dan sedang disiapkan dan dilaksanakan oleh beberapa kementerian/lembaga yang dinilai paling terdampak oleh perubahan iklim, termasuk DNPI. Namun demikian, keberadaan dokumen ini dinilai kurang mendapat pertimbangan dan dukungan basis ilmiah. Padahal, kajian ilmiah yang lengkap, sistematis dan menciptakan kemanfaatan, sangat fundamental artinya dalam upaya memasukkan RAN API dalam perencanaan pembangunan nasional. Oleh sebab itu, maka Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) berinisiatif untuk menyusun RAN API di luar yang telah dirumuskan sebelumnya oleh DNPI.
Dengan pertimbangan bahwa pada masa-masa sebelumnya sudah diterbitkan beberapa dokumen terkait adaptasi di Indonesia yang diinisiasi dan dikeluarkan kementerian/lembaga, seperti Rencana Aksi Nasional mengenai Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim/RAN MAPI (oleh KLH, 2007), Rencana Pembangunan Nasional: Respon Indonesia terhadap Perubahan iklim (oleh Bappenas, 2007), Peta Jalan Sektor dalam Mengantisipasi Perubahan Iklim (oleh Bappenas, 2010) dan dokumen terakhir yang diterbitkan oleh DNPI, maka dokumen-dokumen tadi menjadi pendukung dan pelengkap dari isi yang hendak dirumuskan dalam RAN API yang ‘baru’ tersebut. Melalui kesepakatan, maka Bappenas, KLH dan DNPI serta BMKG ditempatkan sebagai kelompok inti dalam proses dan fasilitasi penyusunan RAN API.
Kegiatan ini didahului oleh kajian ilmiah yang dilakukan oleh dua tim ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Teknologi Bandung (ITB), serta serangkaian diskusi
dengan mengundang kementerian/lembaga dan lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi. Dokumen RAN API bersifat terbuka untuk dikoreksi dan disempurnakan dalam rangka merespon perkembangan dari isu perubahan iklim.
Pada periode ini (2010-2013) juga dilaksanakan penyusunan buku panduan pelatihan mengenai adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana. Melalui kerjasama dengan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) – Nadhlatul Ulama (NU) dan WWF Indonesia, disepakati uji coba modul adaptasi di dua wilayah, yaitu Jogjakarta dan Surabaya; sebelum buku panduan pelatihan ini dipublikasikan secara resmi. Uji coba modul tersebut dimanfaatkan oleh DNPI untuk memperkenalkan lembaga DNPI dan isu adaptasi perubahan iklim kepada stakeholder yang selama ini giat dan aktif dalam isu kebencanaan di kedua wilayah tersebut.
Awal tahun 2012, dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengetahui sejauh mana
kegiatan adaptasi perubahan iklim ber-kembang di Indonesia, Pokja Adaptasi DNPI mengumpulkan infomasi kegiatan adaptasi yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh kementerian/lembaga, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi. Tujuan lebih spesifik dari pengumpulan informasi kegiatan tersebut adalah mengidentifikasi dan memetakan kegiatan adaptasi, sehingga dapat dimanfaatkan oleh institusi pegiat dan pelaku serta donor dalam membantu/mengembangkan program adaptasi. Diharap-kan, dengan melihat peta kegiatan adaptasi ini, pengembang/pelaksana program dapat menghindari kegiatan yang sama di satu lokasi, dan sebaliknya mengisi kebutuhan sebagai tindak lanjut kegiatan yang telah dilaksanakan atau melakukan kegiatan di lokasi yang memang belum dilirik/disentuh oleh stakeholder.
BAB 3-1-3-.indd 49 8/2/13 8:39:55 AM
50 I DNPI 5 TAHUN
minimizing adverse effect on the economy, on pulbic
health and the quality of environment, the project
measures untertaken by them to mitigate or adapt
to climate change.”
Maka dalam implementasinya, Pokja
Mitigasi, telah berfokus pada tiga aspek, yaitu: 1).
pengembangan ilmu pengetahuan, 2). pengem -
bangan kebijakan dan 3). mendorong adanya
investasi. Secara rinci, skenario yang akan dikem-
bangkan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Ilmu pengetahuan dibangun untuk memahami
dan menjawab berbagai macam ketidak pastian
akibat adanya perubahan iklim serta dalam
upaya mendapatkan gambaran yang memadai
guna mempersiapkan skenario yang lebih baik
di masa depan.
2. Kebijakan yang ditopang ilmu pengetahuan
yang kuat merupakan prakondisi bagi
implementasi aksi komprehensif dan efektif
serta didukung oleh proses yang inclusive.
3. Investasi dilakukan guna menghasilkan budaya
yang sehat dan benar dalam inisiasi investasi
ramah lingkungan (green investment) yang
berkelanjutan.
Mitigasi merupakan salah satu aksi menanggulangi perubahan iklim secara nyata, yaitu berupaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim dengan cara mengurangi emisi gas-gas rumah kaca yang beresiko terus mempertebal atmosfer dan mengakibatkan pemanasan global.
BerfoKus PADA MItIgAsI
adaPun salah satu jalan dalam
melakukan mitigasi perubahan iklim ini, diarahkan
dengan selalu mempertimbangkan program-
program yang pro kepada kebijakan ekonomi,
sosial dan lingkungan yang relevan dengan aksi
perubahan iklim, berasaskan komitmen yang
dinyatakan pada pasal 4 (f ) konvensi UNFCCC:
“Take climate change consideration into
account, to the extent feasible in their relevant social,
economic and environmental policies, and employ
appropriate method, for example impact assessment,
formulated and determined nationallly, with a view to
Polusi emisi dari sektor transportasi.
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
BAB 3-1-3-.indd 50 8/2/13 8:39:59 AM
51DNPI 5 TAHUN I
Program mitigasi selalu mempertimbangkan
kegiatan-kegiatan yang pro kepada kebijakan ekonomi, sosial dan
lingkungan yang relevan dengan aksi perubahan iklim.
Foto: Dokumentasi DNPI
BAB 3-1-3-.indd 51 8/2/13 8:40:03 AM
52 I DNPI 5 TAHUN
Pendalaman ketiga aspek tersebut diatas,
selain akan memperkuat posisi Indonesia di
dalam negosiasi international, juga akan mampu
mendorong implementasinya di tingkat nasional.
Hal ini perlu dilakukan dengan maksud agar potensi
aksi mitigasi dapat dielaborasi secara efektif dan
efisien serta mampu mendorong partisipasi para
pihak dalam implementasinya di lapangan.
Secara nasional, Indonesia telah menjadi satu
negara berkembang pertama yang mengumumkan
target pengurangan emisi sukarela dalam negeri
sebesar 26% dari tingkat Business As Usual (BAU)
pada tahun 2020 dan hingga 41%, dengan bantuan
internasional. Pengumuman tersebut disampaikan
oleh Presiden Yudhoyono pada pertemuan
G20 tahun 2009 dan kembali disebutkan pada
pidatonya di KTT COP 15, diikuti dengan submisi
Indonesia kepada UNFCCC pada 19 Januari 2010
yang menegaskan area/sektor fokus awal 26%
pengurangan emisi Indonesia.
Terkait dengan hal diatas submisi yang telah
disampaikan Ketua Harian DNPI, Rachmat Witoelar,
kepada UNFCCC, berisikan identifikasi tujuh area
dan sektor fokus awal yang akan menjadi prioritas
dalam upaya mitigasi secara nasional di Indonesia: 1).
manajemen lahan gambut yang berkelanjutan, 2).
penurunan tingkat deforestasi dan degradasi lahan
hutan, 3). pengembangan penyerapan karbon pada
kehutanan dan pertanian, 4). promosi efisiensi dan
penghematan energi, 5). pengembangan sumber
energi alternatif dan terbarukan, 6). manajemen
limbah padat dan cair, serta 7). pengalihan ke moda
transportasi rendah karbon. Butir ini kemudian
disebut juga sebagai NAMAs Indonesia (Lihat: Aksi
Mitigasi Dalam Bingkai NAMAs Indonesia)
Adapun elemen-elemen penting dalam
mitigasi, secara sederhana diuraikan pada gambar
dimensi aksi mitigasi perubahan iklim (halaman
54-55). Skema tersebut menggambarkan bahwa
mitigasi perubahan iklim memerlukan identifikasi
persoalan, kemudian adanya upaya pelibatan
kebijakan dan program, pelibatan para sektor dan
para pelaku dalam ikut andil untuk melakukan
mitigasi tersebut serta upaya-upaya respon yang
dapat mencakup upaya penyerapan CO2 dan
pengurangan CO2 yang meliputi: pencegahan
penebangan hutan, efisiensi energi dan manajemen
lahan gambut.
Selain itu, dalam upaya mendukung negosiasi
perubahan iklim, maka dilakukan berbagai pendekatan
sebagai berikut:
1. Pengembangan pedoman untuk negosiasi dalam
hal mitigasi perubahan iklim (MRV),
2. Pengembangan kapasitas untuk Skenario
Pembangunan Rendah Karbon (LEDS),
3. Pengembangan inisiatif dan inovasi forum Green
Investment, Innovation and Productivity.
Dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan mitigasi,
telah dikembangkan pula berbagai jejaring dengan
para pihak terkait untuk mendorong proses–proses
yang terbuka serta melibatkan partisipasi yang luas
dari para pihak.
Status Kebijakan Aksi Mitigasi Indonesia
Status aksi mitigasi Indonesia dapat dipotret
dalam tiga elemen yang saling berkaitan satu sama lain
yaitu: adanya aksi, tata kelola dan mekanisme. Proses
integrasi kegiatan elemen itu sedang berlangsung
saat ini, yang diharapkan terintegrasi koheren dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan serta mem-
pertimbangkan dinamika yang terjadi baik global,
nasional dan sub-nasional.
Oleh karena itu, secara rinci status mitigasi
Indonesia, dapatlah diuraikan sebagai berikut:
l Pada tingkat aksi, telah dihasilkan suatu basis
institusi yang kuat didalam mendorong skenario
pembangunan rendah karbon (low carbon
development) yang efektif dan efisien, melalui
penerbitan Perpres 61/2011 tentang Rencana Aksi
Nasional/Daerah untuk Gas Rumah Kaca (RAN/
RAD-GRK). Aturan ini mencakup sekitar 70 program
yang langsung berkaitan dengan penurunan emisi
(program) maupun program pendukung yang
tidak langsung dengan penurunan emisi. Selain
itu telah disusun target pada tingkat sub nasional
di lebih dari 32 provinsi yang aksinya tersebar dan
disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.
l Tatakelola yang kokoh dibangun melalui
penerbitan Perpres 71/2011 tentang Sistem
Inventarisasi GHG Nasional (SIGN), sistem ini
menjadi basis dalam mengukur, melaporkan dan
memverifikasi pencapaian target penurunan
emisi. Selain itu melalui proses tersebut diatur pula
aliran informasi yang terintegrasi dan transparan
baik dari pusat ke daerah maupun sebaliknya.
BAB 3-1-3-.indd 52 8/2/13 8:40:03 AM
53DNPI 5 TAHUN I
Kurva Biaya Pengurangan Emisi (Abatement Cost Curve)
DNPI pada tahun 2010 melakukan
studi biaya pengurangan GRK yang
mengestimasikan emisi GRK tahunan
Indonesia sekaligus menentukan biaya
pengurangan emisi yang disebabkan oleh
enam sektor yang dianggap menjadi emiter
terbesar serta potensi pengurangannya.
Keenam sektor tersebut terdiri dari bangunan,
semen, pertanian, transportasi, daya,
kehutanan dan lahan gambut. Penelitian ini
menghasilkan perkiraan emisi yang sedikit
berbeda untuk tingkat emisi tahun 2020
(3.30 Gt CO2e), tetapi membuat kesimpulan
bahwa alih guna lahan; dan kehutanan serta
lahan gambut, merupakan dua sektor utama
yang akan berkontribusi besar pada emisi
Indonesia di masa depan.
Kurva biaya telah mengidentifikasi
langkah bagi Indonesia untuk mengurangi
emisi sebesar 2.3 Gt CO2e pada tahun 2030
dengan menggunakan teknologi yang ada.
Dengan kata lain, grafik ini mengidentifikasi
langkah tertentu untuk memotong sebanyak
70 % emisi Indonesia pada tahun 2030. Sekitar
150 langkah berbeda yang dapat dieksekusi
oleh pemerintah, sektor swasta, dan
masyarakat telah diidentifikasi. Jika seluruh
langkah tersebut diimplementasikan, hal
tersebut akan dapat meningkatkan hingga 70%
dari total pengurangan emisi pada tahun 2030.
Lima peluang terbesar untuk mengurangi
emisi adalah mencegah deforestasi (570 Mt),
mencegah kebakaran pada lahan gambut
(310 Mt), mencegah oksidasi lahan gambut
melalui manajemen dan rehabilitasi air (250
Mt), mengimplementasikan dan menegakkan
manajemen hutan berkelanjutan (240 Mt), serta
penanaman kembali hutan-hutan marginal
dan hutan-hutan terdegradasi (150 Mt).
Pengelolaan lahan Indonesia yang lebih
baik memegang kunci untuk mengurangi
emisi dan meningkatkan perencanaan
eko nomi. Hal tersebut menawarkan
kemungkinan mengurangi emisi hingga
1.9 Gt CO2e pada tahun 2030.
Studi ini dan studi-studi lainnya
yang keluar pada awal tahun 2000an
memperlihatkan bahwa, sebagian besar emisi
GRK Indonesia saat ini berasal dari sektor
kehutanan dan penggunaan lahan, Indonesia
juga tengah bergantung pada bahan bakar
energi berbasis fosil, terutama batubara dan
minyak, yang dapat meningkatkan emisi
industri berbasis fosil di Indonesia hingga
5 sampai 6 kali dari tingkat saat ini pada
tahun 2030.
Proyeksi Emisi Indonesia Tahun 2005-2030
BAB 3-1-3-.indd 53 8/2/13 8:40:04 AM
56 I DNPI 5 TAHUN
Adanya sistem ini diharapkan dapat menghasilkan
pelaporan yang terintegrasi baik untuk nasional
hingga sub nasional.
l Dukungan untuk mengimplementasikan ber-
bagai aksi mitigasi memerlukan adanya suatu
mekanisme pendanaan dengan mengintegrasikan
berbagai instrumen baik pasar, maupun non pasar.
Selain itu adanya mekanisme ini akan mendorong
peningkatan ambisi dalam pencapaian berbagai
target yang telah ditetapkan maupun berbagai
peluang melalui berbagai pendanaan yang dapat
dimobilisasi melalui mekanisme global, bilateral
maupun domestik. Berbagai uji coba sedang
dilakukan baik secara nasional maupun berbasis
proyek, diantaranya Indonesia Climate Change
Trust Fund (ICCTF), Joint Credit Mechanism, Fund for
REDD+ in Indonesia (FREDDI), serta instrumen fiskal
untuk pendanaan perubahan iklim.
Kajian Makro Skenario Pembangunan rendah Karbon (LEDS)
Dalam kerangka pembangunan rendah
emisi karbon (LEDS) dimungkinkan pertumbuhan
ekonomi didorong dengan berbagai aksi yang
tingkat emisinya rendah. Untuk itu DNPI melakukan
inisiasi bekerjasama dengan berbagai lembaga inter-
nasional yang kompeten untuk mengembangkan
berbagai macam skenario pembangunan dengan
melihat proyeksi potensi emisi di berbagai sektor.
Diantaranya telah dilakukan berbagai kajian baik
pada tingkat makro maupun tingkat uji coba
pada tingkat propinsi. Untuk kajian tingkat makro,
telah disusun laporan cost curve (kurva biaya),
serta penyusunan skenario pertumbuhan rendah
emisi karbon (LCGS-low carbon growth strategy) di
tiga provinsi: yaitu Jambi, Kalimantan Timur dan
Kalimantan Tengah.
Pada tingkat makro pula pengembangan kurva
biaya telah mengidentifikasi peringkat lebih dari
150 kegiatan yang feasible dari segi biaya dan pen-
capaiannya. Dokumen ini kemudian dijadikan dasar
dalam pengarusutamaan skenario pemba ngunan
rendah emisi karbon dalam rencana pembangunan
nasional maupun propinsi. Berbagai kajian aksi yang
diidentifikasi telah memberikan pilihan atas berbagai
skenario yang kemudian menjadi salah satu rujukan
rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah
kaca (Lihat: Kurva Biaya Pengurangan Emisi)
Di samping itu, dilakukan juga berbagai kajian
makro untuk melihat dinamika dan dampak sosial
ekonomi akibat adanya perubahan iklim. Diantaranya
DNPI bersama kalangan dunia usaha, lembaga donor, pemimpin redaksi dan media mendialogkan Green Investment, Innovation, and Productivity, di Jakarta, Maret 2013.
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
BAB 3-1-3-.indd 56 8/2/13 8:40:30 AM
57DNPI 5 TAHUN I
Aksi Mitigasi Dalam Bingkai Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Indonesia mengumumkan target
pengurangan emisi sukarela dalam
negerinya pada tahun 2009, berkomitmen
untuk mengurangi emisi GRK secara sukarela
sebesar 26% dari tingkat bisnis seperti
biasa pada tahun 2020 dan mencapai 41%
dengan dukungan internasional. Sementara
janji tersebut tidak pernah secara formal
dikategorikan sebagai NAMAs, (Nationally Appropriate Mitigation Actions, namun,
Indonesia menjadi salah satu pendukung
utama Bali Action Plan dan juga Copenhagen
Accord yang mana NAMAs merupakan salah
satu pilar utamanya. Pada awal tahun 2010,
Indonesia mengajukan submisi tujuh bidang
potensi aksi mitigasi yang dapat digolongkan
NAMAs. (Lihat: Berfokus pada Mitigasi).
Secara domestik, Indonesia sudah
membuat langkah untuk mengarus-
utamakan aksi mitigasi ke dalam kebijakan
pembangunan, dan diterjemahkan ke dalam
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca (RAN-GRK) serta diterjemahkan
oleh lebih dari 31 propinsi kedalam rencana
aksi daerah (RAD-GRK). Sebagai bagian dari
komitmen untuk mendukung implementasi
NAMAs, pada tahun 2012—sebelum COP
18 di Doha-- Indonesia telah mendaftarkan
NAMAs di bidang transportasi dengan judul
“Sustainable Urban Transport Initiative”.
Progam ini mendorong terwujudnya
transportasi perkotaan yang berkelanjutan
dan rendah emisi karbon. Sebagai upaya
untuk mendukung potensi aksi mitigasi
menjadi NAMAs nasional, DNPI menjadi focal
point UNFCCC NAMA Registry Nasional untuk
memfasilitasi berbagai submisi potensi aksi
mitigasi guna diusulkan menjadi NAMAs.
studi tentang Dinamika Kependudukan dan peru bahan
iklim yang dilakukan DNPI, BKKBN dan UNFPA (2012),
yang menghasilkan Policy Memo, berjudul “Population
Dynamics and Climate Change in Indonesia”.
Beberapa kesimpulan dari kajian tersebut
disebutkan antara lain:
l Perbaikan besar dapat dilakukan dengan baik
di bidang efisiensi energi di daerah perkotaan
berbasis bukti intervensi perencanaan spasial
yang terkait.
l Revitalisasi program keluarga berencana nasional
dapat memberikan kontribusi besar untuk
Indonesia dalam upaya mitigasi GRK selama 40
tahun ke depan.
l Investasi besar-besaran dalam pendidikan anak
muda saat ini merupakan komponen penting dari
strategi sukses mitigasi dan kelancaran transisi
menuju ekonomi hijau.
l Banyak yang dapat dilakukan untuk mem pro-
mosikan manfaat pilihan hidup ramah lingkungan
dan berkelanjutan untuk membantu meredam
kenaikan emisi karbon nasional.
Status dan T
Melibatkan Industri SwastaUpaya implementasi aksi mitigasi tidak cukup
disandarkan pada upaya pemerintah saja, peran aktif
berbagai swasta didalam mendorong berbagai upaya
perlu dilakukan. Hal ini dilakukan, selain dalam rangka
pencapaian target penurunan emisi tetapi untuk mem-
berikan suatu signal dukungan terhadap berbagai
inisiatif pembangunan yang ramah lingkungan (green
initiative). Upaya tersebut dilakukan diantaranya
dengan membentuk green investment, innovation and
productivity, yang merupakan upaya yang diinisiasi
oleh DNPI bekerjasama dengan sektor swasta,
lembaga donor, yang kemudian dikembangkan lebih
jauh bersama media. Inisiatif ini merupakan langkah
penting dalam upaya menggugah kalangan swasta
sekaligus upaya penggalangan penyadaran tentang
pentingnya inovasi dan investasi yang berorientasi
pada emisi rendah karbon.
BAB 3-1-3-.indd 57 8/2/13 8:40:30 AM
58 I DNPI 5 TAHUN
dan Edukasi (pendidikan) yang memiliki tugas
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat luas
dan kerjasama pemangku kepentingan terhadap isu
perubahan iklim, serta memberikan edukasi dalam
upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Guna mendukung tugas pokok dan fungsi
di atas, maka DNPI merancang strategi komunikasi
agar para pemangku kepentingan isu perubahan
iklim memperoleh Informasi yang tepat dan akurat
terhadap isu perubahan iklim maupun program
yang dijalankan DNPI. Salah satu strategi komunikasi
tentang perubahan iklim ini adalah masyarakat perlu
mendapatkan informasi yang memadai dan mudah
dipahami.
Selain itu, dijajaki kemungkinan mengemas
pesan perubahan iklim dalam produk budaya pop.
Masyarakat haus akan informasi soal pemanasan
global, yang dapat dipahami dalam kehidupan
sehari-hari.
Kepedulian dan pemahaman akan permasalahan
perubahan iklim diharapkan dapat menggerakkan
masyarakat untuk secara bersama menyikapi
perubahan iklim. Adanya wadah pendidikan iklim
bagi komunitas dapat menciptakan komunitas yang
resilient, atau memiliki daya lenting.
Perubahan perilaku menjadi kata kunci dalam menghadapi perubahan iklim.
PENYADARAN DAN PENDIDIKAN
AKSI MENGATASI PERUBAHAN IKLIM tidak dapat dilakukan secara parsial, atau sepihak,
namun tantangan bersama yang harus mendapatkan
dukungan pemerintah dan masyarakat. Dukungan
ini merupakan sebuah ‘modal sosial’ yang perlu
ditumbuhkan. Perubahan iklim adalah persoalan
yang tidak mudah dipahami. Oleh karena itu, DNPI
mempunyai sebuah Divisi Komunikasi, Informasi
Salah Satu Booth Pameran DNPIFoto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
BAB 3-1-3-.indd 58 8/2/13 8:40:34 AM
MENGGALANG DUKUNGANDENGAN
59DNPI 5 TAHUN I
Adapun upaya penyadaran dan pendidikan
masyarakat, merupakan salah satu implementasi
dari mandat Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim (UNFCCC) diratifikasi oleh Indonesia,
menjadi UU No.6/1994. Pasal 6 konvensi tersebut
membahas isu pendidikan, pelatihan dan kesadaran
masyarakat terkait perubahan iklim. Melalui Pasal
ini, UNFCCC mengajak pemerintah untuk mendidik,
memberdayakan dan melibatkan semua pemangku
kepentingan dan kelompok-kelompok utama yang
terkait dengan perubahan iklim.
Dalam upaya menerapkan konvensi UNFCCC,
terkait dengan Pasal 6 UNFCCC, para Pihak (negara)
diharapkan dapat melaksanakan 6 (enam) elemen
kegiatan, yaitu: pendidikan, pelatihan, kesadaran
masyarakat, akses terhadap informasi, partisipasi
masyarakat dan kerjasama internasional.
Elemen pendidikan, upaya bekerja sama dalam
promosi, fasilitasi, pengembangan dan pelaksanaan
program pendidikan dan pelatihan menargetkan
kaum muda pada khususnya, termasuk pertukaran
atau penempatan personil untuk melatih para ahli.
Sedangkan pelatihan, untuk personil ilmiah, teknis
dan manajerial di tingkat nasional dan, jika perlu, sub-
regional, regional dan internasional.
Kesadaran masyarakat dapat dilakukan dengan
bekerja sama dalam promosi, fasilitasi, pengembangan
dan pelaksanaan program-program kesadaran
masyarakat tentang perubahan iklim dan dampaknya
di tingkat nasional dan, sebagaimana layaknya, tingkat
sub-regional, regional dan internasional dengan hal
yang dapat dilakukan antara lain, mendorong
kontribusi dan tindakan individu dalam menangani
perubahan iklim, mendukung kebijakan ramah-
iklim dan mendorong perubahan perilaku, termasuk
dengan menggunakan media populer.
Akses terhadap informasi, berupa fasilitasi
akses masyarakat terhadap data dan informasi, dengan
menyediakan informasi tentang inisiatif perubahan
iklim, kebijakan dan hasil dari aksi yang dibutuhkan oleh
masyarakat umum dan pemangku untuk memahami,
menangani dan menanggapi perubahan iklim.
BAB 3-1-3-.indd 59 8/2/13 8:40:36 AM
60 I DNPI 5 TAHUN
Kegiatan perubahan iklim, tidak dapat berjalan
tanpa adanya partisipasi masyarakat. Karenanya
perlu promosi partisipasi publik dalam mengatasi
perubahan iklim dan dampaknya untuk memperoleh
tanggapan yang memadai.
Pada ujungnya, sebagai isu global, maka
kerjasama internasional perlu dilakukan. Kerjasama
subregional, regional dan internasional untuk
melaksanakan kegiatan dalam lingkup program
kerja yang dapat meningkatkan kemampuan kolektif
para Pihak untuk mengimplementasikan Konvensi,
dan upaya organisasi antar pemerintah dan non-
pemerintah yang juga dapat berkontribusi terhadap
pelaksanaannya. Kerjasama tersebut dapat lebih
meningkatkan sinergi antara berbagai konvensi
dan meningkatkan efektivitas dari semua upaya
pembangunan berkelanjutan.
Film Perubahan IklimFilm adalah prasarana komunikasi yang
sangat menarik dan dapat diterima oleh berbagai
lapisan masyarakat. Karenanya DNPI setiap tahun
membuat film pendek berdurasi antara 24 – 40 menit
yang digunakan untuk pendidikan dan sosialisasi
perubahan iklim.
Film dokumenter Lakukan Sekarang Juga (2009)
memberikan informasi mengenai bukti bahwa peru -
bahan iklim telah terjadi di Indonesia, dampak yang
ditimbulkan dan upaya adaptasi dan mitigasi yang
dapat dilakukan oleh masyarakat ataupun individu.
Perubahan Iklim di Halaman Kita, dokumenter (2010)
yang menceritakan bagaimana masyarakat di Jakarta,
Papua dan Sulawesi beradaptasi terhadap dampak
pe rubahan iklim. DNPI juga membuat film untuk anak
bertema perubahan iklim dengan judul Bumiku.
Edukasi perubahan iklim melalui pendekatan kultural: Wayang Beber DNPIFoto: Dokumentasi DNPI
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
BAB 3-1-3-.indd 60 8/2/13 8:40:38 AMUntitled-1 1 8/3/13 5:01:45 AM
61DNPI 5 TAHUN I
Secara keseluruhan, materi sosialisasi yang diluncurkan
untuk Bumiku, berbentuk : 1). Film Anak Bumiku
berdurasi 30 menit, 2). Buku Pegangan Guru tentang
Perubahan Iklim, 3). Buku Pegangan Siswa tentang
Perubahan Iklim yang dikemas dengan menarik agar
mudah dipahami anak-anak. Selain itu juga diproduksi
film pendek Senandung Bumi untuk remaja dengan
tujuan 1). Memberikan pemahaman yang benar
mengenai Perubahan Iklim terhadap masyarakat
luas khususnya remaja., 2). Memperkenalkan kepada
masyarakat luas terutama remaja tentang langkah-
langkah adaptasi serta mitigasi yang bisa dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari dalam menghadapi
perubahan iklim, 3). Menciptakan media edukasi yang
menarik serta menghibur bagi remaja dalam mem-
pelajari serta memahami tentang Perubahan Iklim.
Kampanye di Media Nasional dan Internasional
Untuk dapat secara efektif mengatasi dan
mencegah dampak perubahan iklim yang terjadi
diperlukan gerakan Mega Komunitas, yang melibatkan
pemerintah, sektor swasta dan masyarakat madani.
Upaya peningkatan kesadaran masyarakat membutuh-
kan suatu program sistematis yang terus menerus,
sehingga tujuan dari rencana tersebut tidak hanya dapat
tercapai tapi juga dapat dievaluasi dengan baik.
Tujuan dari kegiatan kampanye nasional yang
terstruktur adalah untuk menginformasikan bahwa
perubahan iklim memang terjadi di Indonesia dan
dapat menjadi ancaman bagi pembangunan nasional.
Untuk itu diperlukan suatu dukungan massal yang
dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat,
BAB 3-1-3-.indd 61 8/2/13 8:40:46 AM
62 I DNPI 5 TAHUN
Tanggapan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim
Pada tahun 2011 DNPI mengadakan
dialog interaktif dan survei di 19 provinsi
untuk mengetahui pemahaman serta
respon terhadap permasalahan perubahan
iklim di masyarakat umum dan pelajar.
Kegiatan dilakukan di wilayah-wilayah
terpilih, yaitu di Jakarta dan beberapa provinsi
di Indonesia guna mendukung rencana
pemerintah dalam menurunkan emisi gas
rumah kaca nasional.
Berdasarkan hasil pelaksanaan secara
umum, timbul harapan besar dari masyarakat
agar pemerintah lebih banyak lagi melakukan
kegiatan-kegiatan sosialisasi dampak peru-
bahan iklim dalam berbagai bentuk dan
menjangkau berbagai kalangan masyarakat
luas. Direkomendasikan agar kegiatan
sosisalisasi dan pendampingan dapat dilak-
sana kan secara rutin dan terprogram dengan
pertimbangan semakin banyak dan semakin
kompleksnya permasalahan yang timbul
sebagai dampak perubahan iklim yang perlu
direspons secara tepat oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Pelibatan pemerintah daerah, perguruan
tinggi serta berbagai pemangku kepentingan
di daerah dapat lebih di tingkatkan sehingga
membuka peluang lebih banyak informasi
dan berbagai fenomena lokal yang dapat
memberikan gambaran perubahan iklim
dengan lebih mudah.
Kajian tanggapan menunjukkan bahwa
masyarakat secara umum mendukung dan
berkomitmen untuk turut serta dalam
pelaksanakan Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas rumah Kaca (RAN GRK).
Besarnya dukungan masyarakat tersebut
harus dipandang sebagai tuntutan dan
pengawasan agar Pemerintah bersungguh-
sungguh dalam melaksanakan RAN GRK.
Pemerintah dapat menjadikan dukungan
masyarakat luas sebagai dasar untuk
melaksanakan berbagai program dan gerakan
nasional yang melibatkan seluruh masyarakat
dalam menghadapi perubahan iklim.
akademia, industri dan individu untuk bersama
melakukan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca
dan meningkatkan kapasitas lokal untuk menghadapi
dampak perubahan iklim.
DNPI memandang pentingnya kampanye
perubahan iklim di media internasional sebagai
informasi komitmen sukarela yang telah dilaksanakan
di Indonesia. Kegiatan ini juga diharapkan dapat
menggalang komitmen bersama menurunkan
emisi gas rumah kaca global dan mensukseskan
perundingan pengganti Protokol Kyoto.
Kampanye perubahan iklim di media
internasional dilaksanakan bulan November-
Desember 2011 dan terdiri dari beberapa kegiatan:
l Pengembangan 3 (tiga) versi TVC berdurasi 30 detik.
TVC ini berisikan pesan bahwa Indonesia tidak
melihat isu perubahan iklim sebagai sesuatu yang
membuat depresi, namun merupakan tantangan
untuk mengembangkan solusi. Indonesia
mengundang semua pihak untuk memiliki cara
pandang yang sama. TVC ini ditayangkan di media
internasional, yaitu: Bloomberg dan CNN.
l Pengembangkan 3 disain media cetak yang
berisikan pesan yang sama dengan TVC. Print ad ini
juga ditayangkan di dua media cetak internasional:
Newsweek dan Time. (*)
Mantan Wakil Presiden AS, Al Gore, memberikanpelatihan untuk masyarakat tentang perubahan iklim
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
BAB 3-1-3-.indd 62 8/2/13 8:40:49 AM
63DNPI 5 TAHUN I
Ketua Harian DNPI Rachmat Witoelar mengajak masyarakat memulai aksi pengurangan emisi GRK melalui program penanaman pohon di kampus Unhas, MakassarFoto: Dokumentasi DNPI
BAB 3-1-3-.indd 63 8/2/13 8:40:51 AM
64 I DNPI 5 TAHUN
KEgIATAN PENyADArAN DAN PENDIDIKAN
2009-2012. Melalui
kerja sama dengan
DNPI, sampai saat ini
terdapat 225 orang
Indonesia yang menjadi
climate leader The
Climate Reality Project
(TCRP) yang telah
dilatih secara langsung
oleh Al Gore.
2010, penyertaan
delegasi anak dan
pemuda ke
konferensi PBB
untuk Perubahan
Iklim.
2009-2013,
Pengembangan film
dokumenter, film
anak-anak dan film
remaja mengenai
perubahan iklim.
BAB 3-1-3-.indd 64 8/2/13 8:40:55 AM
65DNPI 5 TAHUN I
2011-2013, acara
tahunan berupa
Forum Pendidikan dan
Pameran Perubahan
Iklim (Indonesia Climate
Change Education
Forum & Expo – ICCEFE)
di Balai Sidang Jakarta
Convention Center
2011 – Lomba foto
perubahan iklim bagi
pelajar dilaksanakan di
lima kota, yaitu Jakarta,
Pekanbaru, Palangkaraya,
Surabay dan Denpasar.
Foto-foto terbaik
diterbitkan dalam buku
Soulview on Climate
Change
2011 & 2012 – Pelaksanaan
Youth Camp for Climate
Change, diikuti oleh
300 oleh pemuda
antaragama dari s
eluruh Indonesia
2011 & 2012 –
Indonesia Pavilion.
Guna mendukung soft
diplomacy Indonesia
dalam perundingan
perubahan iklim
internasional, DNPI
menyelenggarakan
kegiatan seminar,
lokakarya dan pameran
di sela-sela Konferensi
PBB untuk Perubahan
Iklim.
BAB 3-1-3-.indd 65 8/2/13 8:41:00 AM
66 I DNPI 5 TAHUN
AdAptAsi
Land Use, Land Use Change, and Forestry (LULUCF) atau secara mudah diartikan sebagai alih guna lahan dan kehutanan.
LULUCF, dAri BaLi HinggA Doha
IPCC (2007), LULUCF (agriculture and forestry combined)
memberikan sumbangan emisi sebesar 31%, dan ini
lebih besar dibandingkan energi dan fossil fuel supply
yang hanya 26%.
Emisi dari LULUCF ini sebagian besar
disumbangkan oleh negara-negara berkembang
yang masih memerlukan pembukaan dan konversi
hutan untuk pembangunan, sarana dan prasarana,
pemukiman, perluasan lahan pertanian, perkebunan
dan pemekaran wilayah. Menurut studi DNPI (2010),
emisi dari LULUCF pada tahun 2005 di Indonesia
adalah sekitar 85% dari total emisi nasional, dan
diskenariokan akan tetap merupakan sumber emisi
Foto
: Yan
i Sal
oh
LULUCF merupakan salah satu isu kunci dalam
masalah perubahan iklim. Alasannya karena sektor
LULUCF berpotensi besar dalam mengeluarkan emisi
maupun menyerap dan menyimpan karbon. Menurut
Lahan gambut
KeHutAnAn dAn AliH gunA lAHAn
BAB 3-4-6.indd 66 8/2/13 10:53:59 AM
67DNPI 5 TAHUN I
Foto
: ICC
C
utama sampai tahun 2030. Hal yang sebaliknya terjadi
di negara maju, dengan tataguna lahan yang relatif
telah stabil, tidak banyak berubah, sehingga khusus
untuk kawasan hutan yang dikelola, misalnya, lebih
banyak berperan sebagai ‘carbon removal’ daripada
sebagai sumber emisi GRK.
LULUCF berpotensi besar dalam
mengeluarkan emisi maupun menyerap
dan menyimpan karbon
BAB 3-4-6.indd 67 8/2/13 10:54:07 AM
68 I DNPI 5 TAHUN
LULUCF di Indonesia
Karena 71% dari luas daratan Indonesia secara de-jure telah ditunjuk sebagai kawasan hutan tetap (Kemenhut
2010), maka bagi Indonesia hutan menjadi bagian penting dalam LULUCF. Di Indonesia, LULUCF terkait erat dengan masalah-masalah alih guna lahan hutan, konversi hutan untuk penggunaan perkebunan, tambang, dan lain-lain. Selain itu, LULUCF juga terkait erat dengan masalah akses pemanfaatan lahan, tata-kelola hutan, land tenure, dan hak masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Upaya mitigasi perubahan iklim melalui LULUCF di Indonesia terkait dengan tiga hal (Draft Stranas REDD, 2011), yaitu: 1). Keren tanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim; 2). Meru pakan transisi menuju pembangunan ekonomi rendah karbon; dan 3). Memberikan kesempatan melakukan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut.
Sampai tahun 2020, emisi dari kehutanan dan lahan gambut menjadi kontribusi yang paling besar di Indonesia. Dalam perspektif
LULUCF, maka kehutanan dan lahan gambut tidak lain adalah alih guna lahan yang terjadi di sebagian besar lahan hutan dan gambut. Proyeksi emisi GRK indonesia, menurut Perpres 61 tahun 2011 ditunjukkan dalam gambar berikut:
Untuk memenuhi kebutuhan pem-bangunan di masa datang, kawasan hutan Indonesia akan dikurangi secara bertahap. Dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030 disebutkan bahwa pe-manfaatan kawasan hutan ke depan akan diarahkan kepada enam tujuan utama, yaitu: untuk tujuan konservasi, perlindungan hutan alam dan lahan gambut, rehabilitasi lahan kritis pada Daerah Aliran Sungai (DAS), pengusahaan hutan skala besar, pengusa-haan hutan skala kecil, dan untuk tujuan penggunaan non kehutanan. Untuk tujuan ini, total luas hutan negara akan dikurangi dari sekitar 130 jutaan hektar yang saat ini telah ditetapkan, menjadi sekitar 112 juta hektar dalam duapuluh tahun ke depan.
Gambar Profil emisi GRK Indonesia sampai 2020
Proyeksi emisi business as usual Juta ton emisi CO
2 PertanianIndustri
Energi dan Transportasi
Hutan dan Gambut (=69%)
202020052000
2,9503,0
2,5
2,0
1,5
1,0
0,5
0
BAB 3-4-6.indd 68 8/2/13 10:54:07 AM
69DNPI 5 TAHUN I
Walaupun kawasan hutan telah diarahkan demikian, tantangan yang dihadapi pemerintah masih cukup besar. Land tenure masih tetap merupakan masalah klasik yang belum kunjung tuntas sampai sekarang. Kebijakan desentralisasi yang memberikan kewenangan lebih besar kepada Kepala Daerah Kabupaten juga masih merupakan tantangan. Pertambangan liar yang semakin meningkat menjadi hambatan bagi pemerintah dalam mengatur tata guna lahan. Pemanfaatan kawasan bergambut untuk hutan tanaman industri, perkebunan, dan lain-lain juga belum diatur dengan baik. Contoh-contoh tersebut perlu diselesaikan dengan sebaik-baiknya agar emisi dari LULUCF yang selama ini meru-pakan sumber emisi terbesar bagi Indonesia bisa dikendalikan dengan sebaik-baiknya.
Sebagai konsekuensi Indonesia yang menjadi anggota UNFCCC, maka kebijakan pemerintah yang dibuat juga perlu disesuaikan dengan ketetapan dan petunjuk yang disepakati melalui UNFCCC. Dalam masalah LULUCF, IPCC telah mengeluarkan
petunjuk khusus untuk penggunaan lahan secara global. IPCC membagi enam kategori besar dalam penggunaan lahan yaitu forest land, grassland, wetland, cropland, settlement, and other land. Pemerintah Indonesia (Kementerian Kehutanan) kemudian mem-buat kesetaraan antara enam katagori lahan tersebut menjadi 23 bagian.
LULUCF di Indonesia harus diimple-mentasikan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda dengan mem pertimbangkan porsi tutupan hutan yang ada dan potensi pembangunan (ke seimbangan antara upaya konservasi dan pembangunan). Kebijakan yang terkait LULUCF harus tetap menjadi prioritas pemerintah agar diarahkan guna mencapai pembangunan yang rendah karbon. Terlepas dari ancaman LULUCF yang semakin meningkat, harus diupayakan agar LULUCF dapat memberikan peranan yang penting untuk menunjang pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen, sambil tetap memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi 26%.
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
Asap di hutan Pekanbaru
BAB 3-4-6.indd 69 8/2/13 10:54:09 AM
70 I DNPI 5 TAHUN
dalam mengatasi dampak langsung perubahan iklim
yang terjadi di negara-negara miskin dan negara
berkembang. Adapun klausul yang mendukung
tentang adanya alih teknologi dalam Konvensi
UNFCCC, adalah berbunyi sebagai berikut:
“The developed country Parties and other
developed Parties included in Annex II shall take
all practicable steps to promote, facilitate and
finance, as appropriate, the transfer of, or access
to, environmentally sound technologies and
know-how to other Parties, particularly developing
country Parties, to enable them to implement
the provisions of the Convention. In this process,
the developed country Parties shall support the
development and enhancement of endogenous
capacities and technologies of developing country
Parties. Other Parties and organizations in a
position to do so may also assist in facilitating the
transfer of such technologies.” (Paragraf 4.5.)
Upaya menurunkan dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), juga didorong dan difasilitasi dengan pendekatan teknologi.
PerUBahan ikLim
AliH teKnologi MenAnggulAngi tAntAngAn
Dengan kata Lain, teknologi merupakan salah
satu kata kunci yang diharapkan dapat terus membawa
peradaban manusia agar tetap berkelanjutan. Oleh
karena itu upaya fasilitasi, harus dilakukan oleh negara
maju yang merupakan Para Pihak UNFCCC, terutama
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
BAB 3-4-6.indd 70 8/2/13 10:54:16 AM
71DNPI 5 TAHUN I
Teknologi harus ditemukan atau diadopsi
Jared Diamond,penulis buku “Collapse”.
Foto Dokumentasi DNPI
BAB 3-4-6.indd 71 8/2/13 10:54:23 AM
72 I DNPI 5 TAHUN
Inti dari klausul tersebut adalah, negara
maju dan para pihak yang termasuk dalam aneks
II (lampiran dalam UNFCCC), harus berupaya
mempromosikan, memfasilitasi dan mendanai
dengan cara yang memadai proses transfer
atau akses atau pengembangan teknologi yang
ramah lingkungan ke negara berkembang.
Dorongan untuk penggunaan teknologi
tersebut, juga disebutkan pula pada Paragraf
4.7:
“The extent to which developing country
Parties will effectively implement their commitments
under the Convention will depend on the effective
implementation by developed country parties of
their commitments under the Convention related
to financial resources and transfer of technology
and will take fully into account that economic and
social development and poverty eradication are
the first and overriding priorities of the developing
country parties.”
Klausul ini mendorong adanya komitmen
negara maju dalam membantu tranfer teknologi
dan sumber pendanaan dengan mengutamakan
pada pemberantasan kemiskinan yang menjadi
prioritas pada negara berkembang. Adapun
perundingan terkait Pengembangan dan Alih
Areal Embung di Kalimantan Foto: Prihasto Setyanto, Kementerian Kehutanan
BAB 3-4-6.indd 72 8/2/13 10:54:26 AM
73DNPI 5 TAHUN I
Teknologi mencapai konsensus pada COP 7 di
Marrakesh yaitu untuk mengadopsi kerangka
kerja dan aksi yang efektif dalam mendukung
terimplementasinya paragraph 4.5. Untuk
mendukung hal tersebut, maka pada saat itu
dibentuklah Expert Group on Technology Transfer
(EGTT) dan diputuskan untuk penyediaan
pendanaan untuk alih teknologi melalui Global
Environmental Facility (GEF) climate change focal
area dan the special climate change fund (SCCF).
Pada COP 14 di Poznan, program GEF
Strategic Program for Transfer Technology mulai
beroperasi melalui Poznan Strategic Program
for Transfer Technology yang memberikan
pendanaan untuk implementasi alih teknologi
dalam Pilot Project for Transfer Technology dan
pendanaan untuk penyusunan Technology
Needs Assessment (TNA), yaitu kajian kebutuhan
teknologi untuk adaptasi dan mitigasi GRK di
Negara berkembang sebagai basis kegiatan Alih
teknologi.
Pada COP 15 di Copenhagen, Mekanisme
Teknologi telah disetujui yang terdiri dari
Technology Executive Committee (TEC) dan Climate
Technology Center & Network (CTC-N), dimana TEC
berfungsi memberikan arahan kepada CTC-N yang
merupakan badan yang beroperasi secara nyata
dalam Alih teknologi, dimana TEC telah dapat
dibentuk dan mulai beroperasi sejak COP 16.
Isu yang belum disepakati pada pertemuan
COP 16 di Cancun, dilanjutkan perundingannya
pada beberapa pertemuan sampai pertemuan
COP 17 di Durban dan COP 18 Doha, yang
bertujuan untuk mengupayakan adanya
Mekanisme Teknologi yang beroperasi secara
penuh pada tahun 2012. Pada COP 18 Doha,
CTC-N telah melalui proses lelang, maka UNEP
bersama sebelas konsorsium terpilih sebagai
CTC-N.
Dalam konteks Indonesia, prioritasi
kebutuhan teknologi Mitigasi dan Adaptasi
perubahan iklim dalam rangka alih teknologi
pada beberapa sektor terkait adalah sebagai
berikut:
Sektor
Energi
Kehutanan
dan Tata
guna lahan
Limbah
Teknologi Mitigasi
• Energi surya
• Regenerative burner
combustion system (RBCS)
• Transportasi massa (MRT)
• Pengukuran dan
monitoring penyerapan
emisi karbon.
• Re-mapping lahan
gambut.
• Pengelolaan air pada
lahan gambut
• Mechanical biological
treatment.
• Invessel composting
• Low solid anaerobatic
digestion
Sektor
Ketahanan
Pangan
Sumber
Daya Air
Kerentanan
Pesisir
Teknologi Adaptasi
• Tanaman padi yang tahan
kering dan banjir.
• Pengembangan marikultur
• Pengembangan budidaya
sapi potong
• Teknologi pemanenan air
hujan.
• Daur ulang limbah
domestik
• Modeling sumber daya air
dan proyeksi potensinya.
• Teknologi tembok laut dan
dinding laut.
• Teknologi reklamasi pantai.
Prioritas Kebutuhan Teknologi Mitigasi dan Adaptasi di Indonesia
BAB 3-4-6.indd 73 8/2/13 10:54:27 AM
74 I DNPI 5 TAHUN
Kegiatan Utama Alih Teknologi
Dalam kurun waktu lima tahun, kelompok kerja Alih Teknologi sudah melakukan berbagai kegiatan sesuai
dengan tugas dan fungsinya. Kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan mengacu pada fungsinya sebagai wadah think tank untuk mempersiapkan draft ataupun melakukan perbaikan kebijakan terkait Alih Teknologi di Indonesia. Secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kegiatan utama, yaitu:1. Membuat dokumen kebutuhan
teknologi atau Technology Needs Assessment (TNA)
Kajian kebutuhan teknologi atau Technology Needs Assessment (TNA) merupa-kan serangkaian kegiatan yang dilakukan di masing-masing negara dalam identifikasi dan penentuan prioritas teknologi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Secara umum, TNA juga merupakan salah satu pendukung dan referensi dalam pembangunan rendah emisi karbon.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dalam TNA terdapat prioritasi teknologi yang teridentifikasi berdasarkan masukan dari pemangku kepentingan terkait, yang kemudian disusun dalam rencana aksi teknologi atau Technology Action Plans (TAPs). TNA dan TAPs tersebut digunakan sebagai dasar dalam implementasi Alih Teknologi perubahan iklim dari negara maju kepada negara berkembang. Didalam dokumen TAPs terdapat beberapa gagasan proyek teknologi yang dibutuhkan dan layak untuk masuk kedalam tahapan implementasi.
TNA untuk kebutuhan mitigasi perubahan iklim dibagi menjadi tujuh sektor prioritas, yaitu: sektor energi, transportasi,
industri, kehutanan, pertanian, kelautan, dan sektor limbah. Dari ketujuh sektor tersebut, tiga sektor yang dijadikan prioritas untuk implementasi Alih Teknologi adalah sektor energi (termasuk untuk sektor transportasi), kehutanan dan limbah. Ketiga prioritas sektor tersebut memiliki potensi penurunan emisi yang besar apabila dilakukannya Alih Teknologi dibandingkan sektor-sektor lain. Berikut adalah tiga prioritas opsi teknologi untuk mitigasi:l Sektor energi (termasuk sektor
trans portasi): sel surya, Regenerative Burner Combustion System (RBCS), dan Mass Rapid Transportation (MRT).
l Sektor kehutanan: perhitungan dan pemantauan sekuestrasi dan emisi karbon, pemetaan kembali lahan gambut, dan manajemen ketinggian air di lahan gambut.
l Sektor limbah: perlakuan limbah secara biologis dan mekanis, in vessel composting, dan low solid anaerob digestion.
Adapun untuk kebutuhan adaptasi perubahan iklim, isu-isu yang dianalisis dalam TNA tersusun dengan langsung merujuk kepada tiga isu prioritas untuk diperdalam. Ketiga isu tersebut adalah isu kerentanan pesisir, ketahanan pangan, dan sumberdaya air. Ketiganya merupakan isu yang ter-identifikasi dan menjadi prioritas melalui berbagai pertemuan konsultatif dengan para pemangku kepentingan dan pemangku kebijakan terkait. Berikut ini adalah tiga prioritas opsi teknologi untuk adaptasi:l Sektor kerentanan pesisir: teknologi dinding
laut (seawall) dan tanggul penahan (sea revetment), reklamasi pantai, dan teknologi Gryone untuk menanggulangi abrasi.
l Sektor ketahanan pangan: bibit padi unggul yang tahan kering dan banjir, budi daya di sumberdaya perairan, dan peningkatan produksi daging hewan.
l Sektor sumberdaya air: teknologi pema-nenan air hujan, daur ulang limbah air domestik, dan pemodelan dan proyeksi sumberdaya air.
BAB 3-4-6.indd 74 8/2/13 10:54:29 AM
75DNPI 5 TAHUN I
2. Implementasi Gagasan Proyek Alih Teknologi melalui Program Facilitating Implementation and Readiness for Mitigation (FIRM)
Menindak lanjuti beberapa gagasan yang teridentifikasi ke arah implementasi, DNPI bekerjasama dengan BPPT melaksanakan program FIRM (Facilitating Implementation and Readiness for Mitigation) bersama dengan beberapa negara berkembang lain. Program FIRM ini merupakan program dalam peningkatan kapasitas nasional untuk memformulasikan strategi pembangunan rendah emisi karbon serta identifikasi peluang mitigasi dalam konteks pembangunan ber-kelanjutan nasional dan Rencana Aksi Mitigasi nasional di tujuh negara berkembang di tiga regional wilayah Afrika, Asia dan Amerika Latin.
Dalam melaksanakan program ini, kelompok kerja Alih Teknologi DNPI bekerjasama dengan BPPT telah mengadakan serangkaian pertemuan konsultasi dengan beberapa pemangku kepentingan terkait. Program FIRM difokuskan pada kegiatan sektor energi, industri dan transportasi. Untuk sektor energi, kegiatan difokuskan dalam mendukung pengembangan industri teknologi sel surya nasional, sedangkan untuk sektor industry dan transportasi adalah implementasi Regenerative Burner Combustion System (RBCS) dan biojet fuel.
Dalam mendukung implementasi dari inisiatif pembangunan industri sel surya di Indonesia, sampai dengan saat ini telah mulai dilakukan identifikasi dan evaluasi kebijakan ekonomi dan fiskal untuk mendukung dan mengamankan produksi dan pasar dari sel surya di Indonesia. Sedangkan untuk gagasan proyek sektor industri (implementasi RBCS) dan transportasi (pengembangan biojet fuel) masih dalam tahapan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam identifikasi status penggunaan RBCS dan
pengembangan biojet fuel di Indonesia serta identifikasi kendala dan hambatan dalam alih teknologinya. Keseluruhan rumusan dan rekomendasi yang dikembangkan merupakan sebuah jembatan penghubung antara kebutuhan di lapangan dengan proses tata kelola atau kebijakan pemerintah yang akan mendukungnya.3. Menyiapkan pembentukan National
Designated Entity (NDE) untuk implementasi Alih Teknologi dibawah mekanisme teknologi UNFCCC.
Dalam rangka alih teknologi di Indonesia, perlu dibentuk NDE, suatu institusi yang akan bekerjasama dengan Climate Technology Center & Network (CTCN) dalam implementasi alih teknologi di Indonesia. Fokal poin dari NDE berada di DNPI, dengan Komite pengarah dan tim teknis yang berasal dari pemangku kepentingan terkait.
Adapun fungsi dari NDE adalah sebagai berikut:l Mengelola proses pengajuan proposal
nasional untuk CTCN. l Mengidentifikasi prioritas teknologi dan
kapasitas pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan nasional, strategi iklim dan desain program kolaboratif dengan CTCN, yang juga mengacu pada hasil TNAs, LED, RAN/RAD GRK dan kegiatan lain yang relevan.
l Memfasilitasi proses konsultasi dalam meningkatkan koordinasi dan kolaborasi pihak pemerintah/sektor swasta dalam kebijakan strategi teknologi untuk tujuan adaptasi dan mitigasi.
l Mendukung kegiatan pemerintah yang terkait dengan CTC dan Jaringannya.
l Memonitor dan mengevaluasi proses im-plementasi alih teknologi yang di usulkan.
l Memberikan umpan balik kepada CTC dan berkomunikasi terkait dengan kualitas bantuan dan prosedur dari CTCN. (*)
teknologi merupakan salah satu yang diharapkan dapat terus membawa peradaban manusia agar terus
berkelanjutan
BAB 3-4-6.indd 75 8/2/13 10:54:29 AM
76 I DNPI 5 TAHUN
Foto
: Dok
umen
tasi
BLH
D k
ota
Balik
pap
an
menjadi lebih penting lagi bagi negara berkembang
seperti Indonesia karena masalah perubahan iklim
telah menggerogoti anggaran untuk pembangunan;
pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi dinilai sebagai
kebutuhan ekstra yang juga perlu diupayakan dari
sumber-sumber swasta dan internasional. Kondisi ini
menyebabkan kuatnya dimensi internasional dalam
isu pendanaan.
Dalam kurun waktu lima tahun, Pokja Pendanaan
telah mengeksplorasi berbagai isu terkait pendanaan,
mulai dari kebutuhan, sumber, mekanisme, hingga
instrumen pendanaan (Lihat: Dari Mekanisme Hingga
Perundingan Internasional). Pendanaan langsung
semata dinilai tidak cukup, oleh karena itu Pokja
Pendanaan juga menangani isu-isu yang terkait de-
-
ngan penyediaan insentif, termasuk yang berasal dari
perdagangan karbon. Pokja Pendanaan juga meng-
-
upayakan pengembangan model pembiayaan—
merupakan unsur yang sangat
penting untuk menjamin pelaksanaan upaya-upaya
mengatasi perubahan iklim. Besar atau kecilnya aksi
mitigasi dan adaptasi tergantung pada ketersediaan
dan penyaluran pendanaan—apakah memadai,
efektif dan sesuai dengan kebutuhan. Isu pendanaan
Ibarat darah, pendanaan merupakan unsur penting yang menjadi penggerak sebuah kegiatan.
PENDANAANUNTUK MITIGASI DAN ADAPTASI
Rumah panggung di atas pantai sebagai upaya adaptasi
BAB 3-4-6.indd 76 8/2/13 10:54:36 AM
PENDANAAN
77DNPI 5 TAHUN I
melalui proyek percontohan dan pendanaan nyata—
untuk menjelaskan suatu kecenderungan yang sangat
kuat namun tidak mudah untuk dipahami secara
teoritis belaka, yaitu pendanaan berbasis hasil.
Dimensi internasional mengemuka dalam
kaitannya dengan komitmen di bawah UNFCCC
yang harus dipenuhi oleh negara industri maju
untuk mendukung kegiatan mitigasi dan adaptasi
di negara berkembang, antara lain melalui
penyediaan pendanaan dalam bentuk hibah dan
pinjaman lunak di luar bantuan luar negeri untuk
kebutuhan pembangunan negara berkembang
secara umum. Setelah 20 tahun Konvensi diadopsi,
pendanaan dirasakan masih terbatas. Dalam keter-
batasan di tingkat multilateral tersebut, Pokja
Pendanaan juga terlibat dalam inisiatif bilateral dan
regional untuk meningkatkan pendanaan perubahan
iklim dari negara maju ke negara berkembang.
Rekayasa tambak bandeng dengan penanaman mangroveFoto: Dokumentasi DNPI
BAB 3-4-6.indd 77 8/2/13 10:54:44 AM
78 I DNPI 5 TAHUN
HINGGA PERUNDINGAN INTERNASIONAL
.
.
.
Kebutuhan pendanaan dan mekanisme pendanaan
yang efektif untuk kegiatan mitigasi di Indonesia
bekerjasama dengan Sekretariat UNFCCC sebagai
bagian dari inisiatif global untuk penjajagan
kebutuhan pendanaan di tingkat nasional.
Peluang dan kebijakan—khususnya insentif—
untuk mendorong kegiatan mitigasi di sektor
industri manufaktur dan transportasi, bekerjasama
dengan Bank Dunia.
Pendanaan jangka pendek yang disediakan oleh
negara-negara maju kepada Indonesia dalam
periode 2010-2012: studi dimulai tahun 2011 dan
akan diselesaikan tahun 2013 sesudah negara
maju memasukkan laporan terakhirnya kepada
Sekretariat UNFCCC pertengahan tahun 2013.
Beberapa pertemuan konsultatif dengan
pemangku kepentingan dilaksanakan untuk
mendiskusikan upaya bersama untuk menangani
masalah-masalah yang diidentifikasi, terutama dalam
hal efektivitas pemanfaatan pendanaan perubahan
iklim dari sumber internasional dan peningkatan
peran swasta dalam pendanaan perubahan iklim.
Berkembangnya kesadaran dan pemahaman
masyarakat Indonesia mengenai perubahan iklim
diikuti dengan berkembangnya mekanisme dan skema
DALAM KURUN LIMA TAHUN, Pokja
Pendanaan telah melakukan beberapa kegiatan
penting bersama para pemangku kepentingan di
dalam negeri dan mitra kerjasama internasional,
didukung dengan pendanaan APBN dan bantuan
luar negeri. Beberapa kegiatan penting tersebut
mencakup berbagai aktivitas berikut ini:
1. Pengembangan Mekanisme, Instrumen dan Insentif Pendanaan
Pada intinya, upaya ini dilakukan melalui
pelaksanaan kajian, konsultasi dan koordinasi. Berbagai
kajian yang dilakukan, antara lain mengenai:
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
Pertemuan Konsultatif dengan Pemangku KepentinganTerkait
BAB 3-4-6.indd 78 8/2/13 10:54:54 AM
DARI MEKANISME
79DNPI 5 TAHUN I
Berkembangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat
Indonesia mengenai perubahan iklim perlu diikuti
dengan perkembangan mekanisme dan skema
pendanaan
BAB 3-4-6.indd 79 8/2/13 10:55:00 AM
80 I DNPI 5 TAHUN
pendanaan yang dikembangkan baik oleh lembaga
pemerintah maupun swasta. Untuk itu, sejak tahun
2010, Pokja Pendanaan menyelenggarakan pertemuan
konsultasi dan koordinasi dengan lembaga-lembaga
keuangan nasional untuk memperjelas posisi dan
peran berbagai mekanisme dan skema tersebut
sehingga dapat saling mendukung.
Dalam hal mekanisme pendanaan, masih
diperlukan upaya peningkatan peran lembaga
keuangan baik pemerintah maupun pemerintah, bank
maupun bukan bank, untuk mendukung program
dan proyek perubahan iklim. Terkait hal tersebut,
Pokja Pendanaan menjalin koordinasi dan kolaborasi
dengan beberapa lembaga, antara lain: . Bekerjasama dengan Bappenas untuk mendukung
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)
mendapatkan akreditasi dari Adaptation Fund
sebagai National Implementing Entity di Indonesia.. Mendukung Bank Indonesia dalam penyiapan
konsep “Green Banking” yang akan mendorong
peningkatan peran perbankan nasional dalam
pengelolaan dana perubahan iklim.. Mempromosikan lembaga keuangan nasional baik
pemerintah, BUMN, LSM dan swasta dalam jejaring
regional dan internasional yang peduli dengan
peningkatan akses dana perubahan iklim oleh
lembaga keuangan nasional.
2. Eksplorasi Pengembangan Pendanaan untuk Adaptasi.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia,
adaptasi merupakan tantangan terbesar karena
kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim—
secara ekonomi dan sosial—sangat tinggi, sementara
sumber daya yang dimiliki masih diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, adaptasi
merupakan masalah yang kompleks karena tidak
hanya menyangkut aspek fisik tapi juga sosial. Meski
dampak perubahan iklim sudah sangat terasa,
namun tidak mudah untuk menilai dari jumlah uang
(monetisasi) berapa besar dampak dan risiko yang
akan ditanggung akibat perubahan iklim. Kegiatan
adaptasi berhimpitan dengan kegiatan pembangunan
secara umum dan oleh karena itu sering menimbulkan
masalah metodologis dalam penghitungan seberapa
besar dana yang dibutuhkan untuk melakukan
adaptasi.
Dengan tantangan seperti tersebut di atas,
Pokja Pendanaan telah melakukan upaya untuk
meningkatkan pemahaman para pemangku
kepentingan mengenai pendanaan adaptasi dengan
campuran berbagai sumber pendanaan. Kegiatan
yang telah dilakukan antara lain:. Studi tentang peran industri asuransi nasional untuk
mendukung pendanaan adaptasi perubahan
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
Pertemuan Pembahasan Efekti�tas Pemanfaatan Pendanaan Perubahan Iklim
BAB 3-4-6.indd 80 8/2/13 10:55:06 AM
81DNPI 5 TAHUN I
iklim khususnya bagi kelompok masyarakat paling
terdampak seperti petani dan nelayan kecil. Studi
yang dilaksanakan atas kerjasama antara DNPI dan
UKAID ini mencakup kajian literatur dan diskusi
kelompok terfokus dengan para pelaku industri
asuransi nasional. Studi ini menyimpulkan bahwa
minat industri asuransi sangat tinggi namun
pengembangan skema asuransi perubahan iklim
masih menghadapi kendala data ilmiah mengenai
dampak perubahan iklim dan insentif dari
pemerintah.
l Studi untuk menguji kemungkinan penggunaan
beberapa metodologi penghitungan kebutuhan
adaptasi, termasuk cost-benefit analysis, cost-effectiveness analysis, dan multi-criteria analysis. Studi tersebut difokuskan untuk mengetahui
kemungkinan penggunaan beberapa metologi
tersebut untuk menghitung biaya adaptasi di
tingkat sub-nasional.
3. Mendorong Keterlibatan Swasta
Pemerintah Indonesia telah menyusun
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas
Rumah Kaca (RAN-GRK) yang telah dikukuhkan
kerangka hukumnya melalui Peraturan Presiden No
61 tahun 2011. Rencana tersebut bertujuan untuk
mendukung target pengurangan emisi yang telah
ditetapkan oleh Presiden RI pada tahun 2009, yaitu
26 persen dengan sumber daya sendiri dan hingga
41 persen dengan bantuan internasional pada tahun
2020 dihitung dari proyeksi business as usual. Daftar
kegiatan yang diidentifikasi dalam RAN-GRK umumnya
berasal dari sektor publik (kementerian pemerintah)
dan belum mencakup bagaimana peran sektor swasta
dalam pencapaian target tersebut. Pentingnya pihak
swasta dilibatkan cukup besar, apalagi mengingat
kebutuhan dana publik untuk pemenuhan kebutuhan
pembangunan mendasar, masih cukup besar.
Pokja pendanaan DNPI telah melakukan
upaya untuk meningkatkan pemahaman mendalam
mengenai model-model pembiayaan yang
memanfaatkan skema kerjasama publik dan swasta,
mekanisme pasar dan kebijakan insentif. Kegiatan
yang telah dilakukan antara lain:
l Serangkaian diskusi pada tahun 2011, yang
difokuskan pada pertemuan tersebut difokuskan
bagi kalangan pemerintah untuk meningkatkan
pemahaman mengenai skema public-private
partnership dalam proyek perubahan iklim.
l Diskusi terfokus mengenai “peran sektor swasta
dalam pembiayaan aksi mitigasi dengan
pendekatan pasar dan non pasar” pada tahun
2012. Hasil diskusi tersebut dan diskusi informal
lainnya memberi masukan bagi DNPI dalam
kegiatan- kegiatan terkait selanjutnya, termasuk
pengembangan model pendanaan berbasis hasil
yang melibatkan pihak swasta.
4. Model Pendanaan Berbasis Hasil dan Swasta
Untuk mendukung kesiapan Indonesia
dalam pembiayaan perubahan iklim berbasis hasil
yang melibatkan sektor swasta, Pokja Pendanaan
bekerjasama dengan Bank Pembangunan Jerman KfW
sejak tahun 2011 mulai menjajaki pengembangan
proyek percontohan “Carbon-Linked Incentive Scheme
(CLS)”. Melalui skema CLS, perusahaan peserta
proyek—usaha kecil dan menengah (UKM)—akan
mendapatkan pinjaman lunak untuk kegiatan
pengurangan emisi dan akan mendapatkan insentif
atas pengurangan emisi yang telah dicatat secara
terukur dan dapat diverifikasi.
Pendanaan untuk proyek percontohan tersebut
di dukung oleh European Union Commission melalui Asia
Investment Facility yang pada akhir 2012 menyetujui
pemberian hibah untuk bantuan teknis dan insentif
yang akan diberikan kepada UKM. Sementara itu,
KfW akan menyediakan pinjaman lunak kepada UKM
yang bersedia menjadi peserta proyek percontohan
tersebut. Skema ini diharapkan akan beroperasi pada
tahun 2014 dan dikelola oleh lembaga keuangan
nasional yang akan diidentifikasi pada tahun 2013.
Tujuan utama CLS adalah menyiapkan
infrastruktur untuk skema pembiayaan pengurangan
emisi berbasis hasil yang melibatkan dunia usaha
dengan kerangka pengukuran, pelaporan dan
verifikasi (MRV) dan yang dikaitkan dengan target,
kebijakan dan aturan pemerintah. Termasuk dalam
infrastruktur tersebut adalah kesiapan lembaga
finansial lokal dalam pembiayaan proyek-proyek
hijau (green project financing). Hal ini penting untuk
mengantisipasi trend ke depan dimana peran
lembaga keuangan nasional akan meningkat dalam
pengelolaan dana perubahan iklim dari sumber-
sumber internasional.
BAB 3-4-6.indd 81 8/2/13 10:55:07 AM
82 I DNPI 5 TAHUN
5. Mendukung Perundingan Internasional
Di tingkat internasional, dalam lima tahun
terakhir, isu pendanaan perubahan iklim merupakan
salah satu topik terpenting dan paling banyak
mengundang perhatian dan kontroversi. Negosiasi
di UNFCCC sejak COP13 di Bali (2007) menekankan
bahwa salah satu aksi yang perlu ditingkatkan
adalah penyediaan pendanaan dari negara maju ke
negara berkembang. Di satu sisi, negara berkembang
bersikeras bahwa tanpa pendanaan tersebut, aksi yang
akan dilakukan di negaranya tidak dapat maksimal. Di
sisi lain, sebagian besar negara maju mengalami krisis
finansial yang cukup parah sehingga memberikan
berbagai dalih untuk menunda komitmennya.
Dalam mendukung fungsi DNPI sebagai focal
point UNFCCC dan forum internasional lain terkait
perubahan iklim, Pokja Pendanaan memimpin berbagai
diskusi untuk mempersiapkan Delegasi RI yang akan
menegosiasikan isu pendanaan. Berbagai pertemuan
koordinasi dilaksanakan untuk merumuskan posisi
Indonesia. Selain itu, untuk memberikan penjelasan
kepada para pemangku
kepentingan kunci di
Indonesia mengenai
p e r k e m b a n g a n
isu-isu pendanaan
yang dibahas dalam
negosiasi multi lateral,
Pokja Pendanaan
m e m a n f a a t k a n
pertemuan, media
massa dan juga
penerbitan buku
khusus.
Kiprah internasional Indonesia dalam isu
perubahan iklim tidak berhenti setelah menjadi tuan
rumah COP13. Dalam isu pendanaan, delegasi dari
Indonesia diminta menjadi pimpinan sidang (Co-Chair
atau Co-Facilitator) yang membahas berbagai agenda
pendanaan. Selama tahun 2011-2012 Sekretaris Pokja
Pendanaan mendapatkan kepercayaan untuk menjadi
Co-Facilitator negosiasi pendanaan di bawah Ad-Hoc
Working Group on Long-term Cooperative Action
(AWG-LCA) yang mengupayakan tercapainya agreed
outcome untuk penyelesaian putaran perundingan
pendanaan di bawah AWG-LCA. Di samping itu, selama
tahun 2012-2013, Sekretaris Pokja Pendanaan diminta
menjadi Co-Chair untuk persidangan Subsidiary
Body for Implementation (SBI), terkait berbagai isu
pendanaan. Selain pertemuan UNFCCC, juga terdapat
beberapa pertemuan internasional, regional dan
bilateral lain mengenai perubahan iklim dimana Pokja
Pendanaan DNPI sebagai wakil pemerintah Indonesia
memainkan peran penting.
Keterwakilan dan kontribusi Indonesia dalam
kelembagaan pendanaan internasional juga telah
diwujudkan dengan menempatkan wakil dari
Indonesia sebagai anggota Board of the Green Climate
Fund (GCF) sejak pertengahan 2012. GCF adalah dana
multilateral baru yang dibentuk oleh UNFCCC melalui
keputusan COP16 di Cancun, Meksiko pada tahun 2011.
Indonesia diwakili oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan yang juga merupakan Ketua
Pokja Pendanaan DNPI. Selain GCF, Pokja Pendanaan
DNPI juga telah berhasil menempatkan Wakil Ketua
Pokja Pendanaan sebagai anggota Executive Board
dari Clean Development Mechanism, untuk periode
2013-2014. (*)
BAB 3-4-6.indd 82 8/2/13 10:55:11 AM
83DNPI 5 TAHUN I
Meski dampak perubahan iklim sudah sangat terasa, namun tidak mudah untuk menilai dari jumlah uang
berapa besar dampak dan risiko yang akan ditanggung
akibat perubahan iklim
BAB 3-4-6.indd 83 8/2/13 10:55:12 AM
84 I DNPI 5 TAHUN
Kegiatan KonKret dalam mitigasi perubahan
iklim adalah mengurangi emisi GRK yang dilepaskan
akibat kegiatan manusia. Berbagai kegiatan dapat
digolongkan sebagai mitigasi perubahan iklim,
di antaranya: menggunakan energi bersih yang
terbarukan, menghemat pemakaian listrik, memelihara
hutan, dan lain-lain. Pasar karbon sendiri adalah alat
(policy tool) untuk memberikan insentif bagi kegiatan
mitigasi perubahan iklim dengan memanfaatkan
suatu instrumen ekonomi.
DNPI, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor
46 Tahun 2008, mempunyai tugas yang sangat jelas
dalam pengembangan pasar karbon di Indonesia.
Adapun tugas tersebut adalah “merumuskan kebijakan
pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan
karbon”. Perdagangan karbon secara langsung
adalah akibat dari prinsip “common but differentiated
responsibilities”, yaitu adanya perbedaan tanggung
jawab antara pihak yang berkewajiban menurunkan
emisi dengan pihak yang tidak mempunyai kewajiban
secara langsung untuk menurunkan emisi gas rumah
kacanya.
Dalam hal ini, sebagai negara, Indonesia tidak
mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi
sesuai dengan Protokol Kyoto, sehingga dimungkinkan
untuk memperjualbelikan sertifikat pengurangan
emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim
antara Indonesia dengan negara maju atau Annex
I. Perdagangan karbon juga dapat dilakukan antara
perusahaan Indonesia yang tidak wajib melakukan
penurunan emisi dengan perusahaan di luar atau
di dalam negeri yang mewajibkan dirinya untuk
melakukan kegiatan penurunan emisi. Mekanisme
AdAptAsi
Pasar karbon terbilang komoditas baru di Planet Bumi yang muncul sebagai upaya menstabilkan kondisi iklim saat ini. Upaya ini merupakan salah satu bentuk pendanaan mitigasi perubahan iklim yang menggunakan prinsip dan kaidah pasar dalam melakukan pembiayaannya.
DNPI DaN PerDagaNgaN KarboN
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
Pemanfaatan biogas limbah cair pabrik tapioka: pengurangan emisi 61.469 t CO2 pertahun
BAB 3-7-9.indd 84 8/2/13 10:27:47 AM
85DNPI 5 TAHUN I
CDM merupakan salah satu solusi yang ditawarkan
dalam rangka penurunan emisi GRK, dimana negara
maju menanamkan modalnya di negara berkembang dalam
proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurangan
emisi GRK.
BAB 3-7-9.indd 85 8/2/13 10:27:52 AM
86 I DNPI 5 TAHUN
perdagangan karbon yang dapat melibatkan
pemangku kepentingan Indonesia sekarang ini hanya
ada 2 (dua) jenis pasar, yaitu Clean Development
Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan
Bersih, yaitu mekanisme di bawah Protokol Kyoto, dan
pasar karbon sukarela, yang dilakukan antar pelaku
usaha.
Dalam Protokol Kyoto, negara maju/industri
diharuskan untuk menurunkan emisi gas rumah
kaca (GRK) minimal 5% dari tingkat emisi tahun 1990,
dalam periode tahun 2008 – 2012. Dalam hal ini, CDM
merupakan salah satu solusi yang ditawarkan dalam
rangka penurunan emisi GRK, dimana negara maju
menanamkan modalnya di negara berkembang dalam
proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurang
emisi GRK, dengan imbalan berupa certified emission
reductions (CER). CER merupakan satuan jumlah
emisi GRK setara satu ton karbondioksida yang
bisa diperjualbelikan sebagai kredit karbon untuk
kemudian diperhitungkan sebagai pemenuhan
kewajiban negara pembeli dalam menurunkan emisi
GRK-nya.
Semenjak meratifikasi Protokol Kyoto melalui
Undang-undang No.17/2004, maka Indonesia dapat
berpartisipasi dalam CDM yang merupakan salah
satu peluang pendanaan yang mendukung program-
program pembangunan rendah karbon. Dalam
prosedur pengusulan proyek CDM secara umum
mengikuti alur sebagai berikut: penyusunan proposal
proyek, validasi proposal oleh badan independen,
pendaftaran (registration) di CDM Executice Board
– UNFCCC, verifikasi penurunan emisi oleh badan
independen, dan penerbitan CER sebagai kredit
karbon.
Sebagai salah satu syarat agar suatu proyek
dapat didaftarkan sebagai proyek CDM di UNFCCC,
proyek bersangkutan perlu mendapat persetujuan
negara tuan rumah oleh otoritas nasional yang disebut
Designated National Authority (DNA). DNA negara tuan
rumah memberikan persetujuan proyek berdasarkan
kontribusi proyek tersebut terhadap pembangunan
nasional yang berkelanjutan. Di Indonesia, DNA adalah
Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih
(KNMPB) yang dibentuk oleh Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 206 Tahun 2005 dan kemudian
diperbarui dengan Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup No. 522 Tahun 2009 tentang Komisi Nasional
Mekanisme Pembangunan Bersih.
Sekretariat KNMPB berkedudukan di Dewan
Nasional Perubahan Iklim (DNPI) melakukan
penelusuran status dokumen proyek-proyek Indonesia
di CDM Executive Board setiap bulannya melalui data-
data yang tersedia di website UNFCCC dan UNEP Risoe.
Adapun status proyek Indonesia per Mei 2013 sebagai
berikut:
242 proyek Indonesia telah diusulkan ke UNFCCC;
l Izin yang telah dikeluarkan oleh KNMPB berupa
Letter of Approval/LoA) sebanyak 212 proyek;
l Dari proyek-proyek tersebut, 172 proyek berstatus
aktif dalam pipeline UNFCCC;
l Per Maret 2013, 128 proyek telah dapat terdaftar
(registered) dan 6 PoAs sebagai proyek CDM
di UNFCCC dan berpotensi menurunkan emisi
sebesar ± 143.6 juta ton-setara CO2 sampai tahun
2020;
l Dari proyek-proyek tersebut, 28 proyek telah
menurunkan emisi dan mendapatkan karbon
kredit (Certified Emission Reduction) setara dengan
± 7,9 juta ton-setara CO2;
l Untuk pasar sukarela, telah dikembangkan proyek
sebanyak 9 proyek, dengan total VER (Voluntary
Emission Reduction) yang telah tercipta sebesar
1,87 juta ton CO2.
Perkembangan perdagangan karbon ini,
masih memerlukan kesepakatan lebih lanjut melalui
perundingan-perundingan UNFCCC. Selain Protokol
DNPI melakukan persiapan penyiapan pasar karbon paska 2012 dengan melakukan peningkatan
kapasitas dan koordinasi antar lembaga pemerintah dan pelaku pasar di Indonesia.
BAB 3-7-9.indd 86 8/2/13 10:27:53 AM
87DNPI 5 TAHUN I
Kyoto II, setelah keputusan Doha Gate Way 2012
membawa perubahan signifikan terhadap skema
perdagangan karbon. (Lihat : Prospek dan Tantangan
Pasar Karbon dalam Protokol Kyoto Jilid II).
Selain CDM, saat ini DNPI juga tengah
mempersiapkan beberapa kegiatan untuk strategi
pengembangan pasar karbon paska 2012 yang
bekerja sama dengan beberapa lembaga nasional
maupun internasional. Beberapa kegiatan tersebut
sebagai berikut:
l Pasar Multilateral. Dalam hal ini, World Bank
memfasilitasi suatu dana perwalian melalui
suatu kemitraan atau partnership yang bertujuan
menyediakan dukungan keuangan dan teknis
untuk meningkatkan kesiapan negara berkembang
untuk memanfaatkan instrument pasar. Kemitraan
ini dinamakan dengan Partnership for Market
Readiness (PMR).
l Pasar Regional/Bilateral. DNPI juga melakukan
kegiatan yang disebut dengan Bilateral Offset
Crediting Mechanism (BOCM). Dalam hal ini, Jepang
dan Australia telah menawarkan kepada Indonesia
dan beberapa negara berkembang lain, untuk
melakukan perdagangan karbon model baru yang
dilakukan bukan berdasarkan multilateral, tapi
antar dua negara saja atau bilateral.
l Pasar Domestik. Di dalam negeri, DNPI melakukan
persiapan penyiapan pasar karbon paska 2012
dengan melakukan peningkatan kapasitas dan
koordinasi antar lembaga pemerintah dan pelaku
pasar di Indonesia. Dalam pembangunan rendah
karbon, DNPI mulai mengembangkan program gas
rumah kaca (GRK programme) yang merupakan
skema sertifikasi dan registrasi karbon yang ada
di Indonesia. Program ini disebut dengan Skema
Karbon Nusantara atau SKN.
Panas bumi merupakan salah satu teknologi yang dirujuk untuk menghasilkan energi terbarukan: Geothermal di Kamojang, Garut Jawa Barat Foto: Dokumentasi DNPI
BAB 3-7-9.indd 87 8/2/13 10:27:58 AM
88 I DNPI 5 TAHUN
Apa yang dimaksud Perdagangan Karbon?
Istilah “perdagangan karbon” sebenarnya sedikit
salah kaprah dan mudah memicu kesalahpahaman.
Contohnya, masih banyak masyarakat yang mengira
karbon disini adalah arang (charcoal) bukannya
karbondioksida (CO2). Kenyataannya bahkan
karbondioksida pun bukan satu-satunya yang
diperdagangkan dalam suatu perdagangan karbon.
Dalam perdagangan karbon, seperti layaknya
perdagangan lainnya yang men-syaratkan adanya
pembeli, penjual, barang (supply), harga, dan
kesepakatan. Dalam perdagangan karbon, yang
diperdagangkan sesungguhnya adalah penurunan
emisi gas rumah kaca dalam satuan setara-ton-CO2
(ton CO2 equivalent). Jenis gas rumah kaca yang
dapat diperdagangkan dalam pasar karbon umumnya
adalah enam jenis gas rumah kaca yang tercantum
dalam Protokol Kyoto.
Komoditi yang diperdagangkan dalam pasar
karbon biasanya disebut sebagai kredit karbon yang
mana adalah pengurangan emisi yang telah disertifikasi
berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang
diberlakukan dalam pasar karbon tersebut. Satu unit
kredit karbon umumnya setara dengan pengurangan
satu ton karbondioksida.
Penjual kredit karbon adalah pihak yang
mengembangkan proyek pengurangan emisi dan
pembeli kredit karbon adalah individu atau organisasi
yang akan menggunakan kredit karbon untuk
menggantikan (offset) emisi gas rumahkaca yang
diakibatkan kegiatannya.
Dengan membeli dan menggunakan kredit
karbon berarti menetralkan emisi gas rumahkaca
sejumlah kredit karbon yang dibeli, bahkan bila
jumlah kredit karbon yang digunakan untuk offset
adalah sama dengan jumlah emisi yang dilepaskan
maka emisi si empunya kredit karbon dapat dibilang
NOL/NETRAL.
Perdagangan karbon dapat dikategorikan
berdasarkan dasar pembentukannya dan mekanisme
perdagangannya. Berdasarkan dasar pembentukan-
nya, pasar karbon digolongkan menjadi dua kategori,
yaitu:
l Pasar wajib, terbentuk karena adanya kewajiban
penurunan emisi yang diberikan oleh Pemerintah
kepada emitter (capping). Hukuman atas
incompliance biasanya berupa denda yang tinggi
sehingga opsi perdagangan lebih dipilih oleh
emitter.
l Pasar karbon sukarela, terbentuk karena adanya
keinginan sukarela untuk menurunkan emisi. Selain
motivasi idealistik tersebut, ada juga motivasi
karena tuntutan pasar ataupun sebagai langkah
persiapan mengantisipasi kewajiban penurunan
emisi di kemudian hari.
Berdasarkan mekanisme perdagangannya, pasar
karbon dapat digolongkan menjadi dua kategori,
yaitu:
l Crediting, umumnya berbasis proyek dan kredit
karbonnya adalah selisih antara emisi sebelum dan
sesudah adanya proyek (ex-post), contohnya: CDM;
l Trading, memperdagangkan selisih antara batas
emisi yang diberikan (ex-ante) dengan emisi actual
yang dilepaskan, contohnya: EU-ETS.
Prospek dan Tantangan Pasar Karbon dalam Protokol Kyoto Jilid II
Perundingan Iklim atau COP 18/CMP 8 yang
telah dilaksana kan pada Desember 2012 di Doha,
Qatar, ternyata menghasil kan kesepakatan yang
kurang menggembirakan. Hasil perundingan tersebut
diperkirakan akan mempunyai dampak cukup luas
bagi Indonesia, termasuk dalam pengembangan
pasar karbon ke depan. Kondisi terakhir itu, juga
diperhitungkan akan menurunkan pengembangan
pasar karbon di Indonesia.
Salah satu alasannya adalah, bahwa perundingan
Doha tidak menambah secara nyata ambisi penurunan
emisi, sehingga pasar karbon tidak memiliki tambahan
permintaan. Lebih jauh, tidak dibolehkannya negara
Jepang, Kanada, New Zealand, dan Rusia untuk
menggunakan CDM sebagai mekanisme mitigasi
perubahan iklim, menyebabkan juga tidak adanya
tambahan permintaan CDM sampai dengan periode
komitmen kedua Protokol Kyoto berakhir.
Ada lagi yang menjadi tantangan, yaitu sejak
jauh hari European Union atau EU telah menetapkan
bahwa sejak akhir tahun 2012 EU-ETS (EU-Emission
Trading Scheme) tidak akan lagi menerima Certificate
Emission Reduction (CER) dari negara berkembang
termasuk Indonesia, dan hanya akan menerima
dari negara miskin (Least Developed Country/LDC).
Pengecualian terjadi hanya untuk proyek CDM yang
terdaftar di UNFCCC sebelum 31 Desember 2012 dan
BAB 3-7-9.indd 88 8/2/13 10:27:59 AM
89DNPI 5 TAHUN I
untuk proyek CDM jenis PoA (Program of Activities).
Adapun pasar karbon Australia, sebagai alternatif
pasar yang dibolehkan oleh COP untuk negara
berkembang, baru akan buka pada tahun 2015. Pasar
Australia, sudah melakukan linking dengan pasar EU-ETS,
sehingga apabila EU-ETS mengalami over supply, Australia
dapat membeli allowance atau CER dari EU-ETS.
Jadi, untuk pengembangan ke depan, terutama
CDM, diperhitungkan akan menurun dengan cukup
drastis. Oleh karena itu beberapa dampak dan saran
kebijakan yang harus dilakukan Indonesia terkait
keputusan dalam perundingan di bawah Kyoto
Protokol ini adalah sebagai berikut:
l Indonesia tidak akan bisa lagi menjual CER CDM
nya ke pasar EU-ETS kalau proyeknya terdaftar di
UNFCCC setelah tahun 2012. Lebih jauh Indonesia
dilarang untuk menjual CER nya ke Jepang, New
Zealand, Kanada, dan Rusia. Selama ini penjualan
CER terbesar adalah ke EU ETS dan ke Jepang,
sehingga dalam periode 2013-2020 tidak akan
ada proyek CDM baru yang akan dibangun untuk
menyuplai pasar-pasar tersebut.
l Otomatis Australia akan menjadi tujuan pasar
utama setelah tahun 2012, tepatnya setelah
pasar karbon Australia beroperasi secara penuh
pada tahun 2015. Untuk itu, DNPI akan melakukan
pendekatan yang intensif dengan pemerintah
Australia terkait kondisi ini, terutama menawarkan
proyek-proyek CDM yang terdaftar setelah 31
Desember 2012. Pendekatan ini akan menjadi
prioritas mengingat Australia juga akan menjadi
tujuan utama pasar CDM untuk seluruh negara
berkembang.
l Proyek-proyek CDM Indonesia yang sudah
terdaftar sebelum 31 Desember 2012 dan terjual
untuk jangka panjang ke Jepang, Kanada, Rusia,
dan Selandia Baru kemudian harus dinegosiasikan
ulang dan dialihkan ke Uni Eropa atau pasar
Australia. Hal ini harus dilakukan segera oleh para
pelaku pasar di Indonesia.
Perdagangan karbon adalah kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim: Penanaman mangrove oleh DNPI Foto: Dokumentasi DNPI
BAB 3-7-9.indd 89 8/2/13 10:28:02 AM
90 I DNPI 5 TAHUN
Protokol Kyoto untuk melakukan pembahasan dan
mencapai kesepakatan untuk aksi bersama.
Proses perundingan internasional pengendalian
perubahan iklim bukan hanya dilakukan di bawah Per-
serikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah UNFCCC dan
Protokol Kyoto sebagai forum yang bersifat multilater-
al tetapi juga melalui berbagai jalur lain yang bersifat
bilateral, regional dan plurilateral. Namun demikian,
proses multilateral merupakan proses utama yang
bersifat inklusif.
Membicarakan pembahasan di bawah UNFCCC
dan Protokol Kyoto tidak dapat dilepaskan dari pema-
haman mengenai berbagai proses dan jenis kegiatan
yang berlangsung sebagai bagian tidak terpisahkan.
Dengan COP serta CMP sebagai otoritas tertinggi
melakukan pertemuan secara berkala satu kali tiap
tahunnya, beberapa pertemuan lain dilaksanakan
untuk mempersiapkan materi untuk diputuskan oleh
Betapa serunya, setiap tahun, 195 negara berkumpul untuk bernegosiasi!
PeruNDINgaN PerubahaN IKlIm
Pertemuan Conference of the Parties to the UNFCCC
(COP) serta Conference of the Parties to the UNFCCC
serving as Meeting ot the Parties to the Kyoto Protocol
(CMP) diadakan setiap tahun sebagai salah satu bentuk
upaya multilateral menstabilkan konsentrasi gas
rumah kaca (GRK) pada tingkat konsentrasi yang tidak
membahayakan keberlangsungan hidup manusia
dan keberlangsungan keberadaan Planet Bumi (lihat
Bab 2: Gas Rumah Kaca dan Manusia). Pertemuan ini
merupakan wadah bagi COP sebagai otoritas tertinggi
UNFCCC dan CMP sebagai otoritas tertinggi dalam
Ketua Harian DNPI Rachmat Witoelar berbincang dengan mantan Sekjen PBB Kofi Annan
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
BAB 3-7-9.indd 90 8/2/13 10:28:06 AM
91DNPI 5 TAHUN I
COP dan CMP, maupun secara bersama oleh COP/CMP.
Pertemuan dari badan subsider permanen di bawah
COP dan CMP, yaitu Subsidiary Body for Scientific
and Technical Advice (SBSTA) serta Subsidiary Body for
Implementation (SBI) dilaksanakan dua kali setiap ta-
hunnya, dengan pertemuan kedua dilaksanakan se-
cara paralel dengan pertemuan COP dan CMP. SBSTA
merupakan badan subsider permanen yang dibentuk
dengan mandat memberikan masukan berupa infor-
masi dan nasehat (advices) mengenai aspek ilmiah
dan teknis berkaitan dengan UNFCCC dan Protokol
Kyoto; sementara itu SBI yang juga merupakan badan
subsider permanen yang melakukan kajian dan review
mengenai efektivitas implementasi UNFCCC dan Pro-
tokol Kyoto. Keduanya perangkat yang sangat penting
ini biasanya melakukan pertemuan secara paralel, dan
untuk beberapa topik yang dirasakan sangat penting
pembahasan dilakukan secara bersama dalam bentuk
joint session SBSTA/SBI.
Sementara itu, di bawah Protokol Kyoto telah
pula dibentuk satu Adhoc Working Group yaitu Ad-
hoc Working Group on Further Commitments of Annex
I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP). AWG-KP
dibentuk sebagai hasil dari CMP-1 yang dilaksanakan
di Montreal pada 2005 dengan mandat utama untuk
membahas keberlanjutan implementasi Protokol
Kyoto setelah berakhirnya Periode Komitmen Pertama
(2008-2012). Setelah melalui pembahasan yang sangat
melelahkan, pada akhirnya AWG-KP menyelesaikan
kerjanya dalam CMP-8 di Doha, 2012. Hasil dari AWG-
KP adalah kesepakatan mengenai keberlanjutan im-
plementasi Protokol Kyoto melalui Periode Komitmen
Kedua yang berlangsung sejak 1 Januari 2013 hingga
31 Desember 2020. Kesepakatan ini telah diadopsi se-
Berbagai negara anggota UNFCCC sedang mengikuti perundingan perubahan iklim di Bonn, Jerman April 2013.Foto: Dokumentasi DNPI
BAB 3-7-9.indd 91 8/2/13 10:28:09 AM
92 I DNPI 5 TAHUN
bagai Doha Amendment yang harus diratifikasi oleh
Negara Pihak Protokol Kyoto paling tidak ¾ dari 191
Negara Pihak yang ada setelah Kanada secara efektif
menyatakan keluar dari Protokol Kyoto sejak 15 Desem-
ber 2012. Sebelum ratifikasi tersebut terpenuhi, maka
amandemen belum memiliki kekuatan hukum meski-
pun berdasarkan kesepakatan Negara Pihak seluruh
upaya telah mulai dilaksanakan pada 1 Januari 2013.
Dalam perjalanannya, upaya global mengenda-
likan perubahan iklim telah mengalami perkemban-
gan. UNFCCC yang merupakan kerangka konvensi
mengikat bagi seluruh Negara Pihak yang dikelom-
pokkan dalam: 1). Negara Annex I yaitu negara maju
dan negara dengan transisi ekonomi, 2). Negara Annex
II yaitu sebagian besar dari Negara Annex I yang dibe-
rikan kewajiban tambahan dalam bentuk dukungan
pendanaan, pengembangan dan alih teknologi, serta
pengembangan kapasitas kepada negara berkem-
bang, serta 3). Negara Non-Annex I yang terdiri dari
negara berkembang termasuk negara miskin dan
negara rentan. Namun demikian, dokumen UNFCCC
tidak dilengkapi dengan kewajiban dan mekanisme
implementasinya.
Sejauh ini, COP telah menghasilkan satu kepu-
tusan yang berstatus hukum mengikat kepada semua
anggotanya, yaitu Protokol Kyoto. Protokol tersebut
sesungguhnya mengatur bagaimana negara maju
menurunkan emisinya. Sebaliknya, negara-negara
berkembang terutama negara yang rentan terhadap
dampak perubahan iklim (negara kepulauan dan
negara-negara miskin) memerlukan dukungan dari
negara maju dalam hal pendanaan dan penggunaan
teknologi serta peningkatan kapasitas sumberdaya
manusia untuk dapat menjalankan program adaptasi.
Perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evalu-
asi diserahkan kepada masing-masing negara dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan arahan dari
hasil-hasil kesepakatan dari persidangan negosiasi di
UNFCCC. Keputusan UNFCCC juga menekankan per-
hatian kepada kondisi negara (national circumstances),
Para negosiator tengah berunding tentang upaya penanggulangan perubahan iklim: Konferensi perubahan iklim di Bonn, Jerman , April 2013
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
BAB 3-7-9.indd 92 8/2/13 10:28:13 AM
93DNPI 5 TAHUN I
perundangan-undangan (national legislation) dan
kedaulatan negara (sovereignty).
Sebagai bagian dari dunia, Indonesia telah
menunjukkan kontribusi yang positif dalam kancah
negosiasi multilateral tentang perubahan iklim. Se-
cara sukarela Indonesia menjadi tuan rumah dalam
konferensi tingkat tinggi PBB perubahan iklim atau
Conference of Paries ke 13 tahun 2009 di Bali. COP
13 ini menghasilkan dua dokumen penting sebagai
kesepakatan dunia yaitu Bali Action Plan (BAP) dan Bali
Road Map.
Peran Indonesia dalam Perun dingan Internasional
Berbeda dengan negosiasi multilateral lainnya,
UNFCCC sangat unik karena banyaknya jumlah
persidangan yang dilaksanakan. Sampai tahun 2012,
pada saat full session terdapat lima persidangan utama
yaitu COP, AWG KP, AWG LCA, SBSTA dan SBI, jumlah
total agenda persidangan rata-rata mencapai 65
agenda utama.
Bagi Indonesia, beberapa topik utama yang
menjadi fokus dalam perundingan di bawah UNFCCC
hingga saat ini adalah sebagai berikut:
1. Aksi Mitigasi. Aksi mitigasi merupakan ‘jantung’
dari perundingan internasional ini. Lemahnya aksi
mitigasi akan mengakibatkan terjadinya perubahan
iklim dengan laju yang semakin cepat. Bagi
Indonesia, aksi mitigasi merupakan kepentingan
nasional bukan hanya sejalan dengan target
nasional penurunan emisi GRK melainkan juga
sejalan dengan kebutuhan pembangunan nasional
yang lebih efektif dan efisien. Untuk periode 2013-
2020, aksi mitigasi yang menjadi fokus Indonesia
dalam perundingan adalah berbagai sub-topik di
bawah NAMAs sejak dari jenis aksi mitigasi dan
sektornya, mekanisme pendaftaran, mekanisme
pemantauan, mekanisme pelaporan, dukungan
terhadap implementasi hingga pemanfaatan
berbagai pendekatan termasuk mekanisme pasar
dan non-pasar.
2. Adaptasi. Sebagai negara kepulauan dan negara
yang memiliki sektor pertanian, kehutanan dan
perkebunan yang cukup besar, Indonesia sangat
rentan terhadap dampak perubahan iklim. Adaptasi
yang selama ini lebih dimaknai sebagai reaksi atas
dampak yang terjadi harus pula dibarengi dengan
adaptasi yang bersifat antisipatif terhadap dampak
yang diperkirakan akan terjadi di masa depan.
3. Mekanisme pendanaan. Sebagai satu bentuk
means of implementation, mekanisme pendanaan
merupakan persyaratan penting terjadinya
implementasi efektif dan efisien di sisi mitigasi dan
adaptasi. Perkembangan perundingan mengenai
mekanisme pendanaan merupakan peluang
bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan akses
terhadap pendanaan internasional serta transparansi
pemanfaatannya. Pendanaan perubahan iklim tidak
hanya tergantung kepada pendanaan internasional
melainkan memerlukan pendanaan yang tidak
sedikit di sisi domestik termasuk pengembangan
mekanism pendanaan yang inovatif.
4. Pengembangan dan alih teknologi. Seperti
halnya mekanisme pendanaan, lemahnya pengem-
bangan dan alih teknologi akan menghambat
upaya global pengendalian perubahan iklim.
Pembentukan Technology Executive Committee
(TEC) diharapkan mampu menjembatani
perbedaan persepsi antara negara maju dan
negara berkembang.
5. Pengembangan kapasitas. Bentuk means of
implementation yang lain adalah pengembangan
kapasitas (capacity building) sehingga Indonesia
dapat bersaing dan menjadi tuan rumah di negeri
sendiri dalam upaya mengendalikan perubahan
iklim. Keterbatasan kapasitas kelembagaan dan
sumberdaya manusia akan menjadi tantangan
terbesar bagi Negara Pihak untuk dapat berperan
dan memanfaatkan peluang dari upaya global ini.
6. ADP. Pembahasan di bawah ADP merupakan
tantangan bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga
bagi semua negara terutama dikaitkan dengan
adanya long term goal untuk menekan kenaikan
temperatur rata-rata global tidak lebih dari 2oC
di atas temperatur rata-rata global sebelum
Revolusi Industri. Beberapa negara, khususnya
negara miskin dan negara rentan bahkan meminta
kenaikan tidak melebih 1,5 oC mengingat dampak
yang akan terjadi. Dalam berbagai perundingan
pengendalian perubahan iklim selama ini, Indonesia
menyampaikan bahwa upaya ini merupakan
tanggung jawab global dan karenanya harus
dilaksanakan oleh semua negara berdasarkan
kondisi nasional (national circumstances) dan
penuh kedaulatan (sovereignty).
BAB 3-7-9.indd 93 8/2/13 10:28:13 AM
94 I DNPI 5 TAHUN
tahun. Selama mengikuti setiap pertemuan tersebut,
DNPI melakukan persiapan melalui beberapa tahapan
yaitu:
1. Konsinyiring awal. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengidentifikasi isu-isu yang menjadi perhatian
utama delegasi Indonesia dan penyusunan draf
posisi Indonesia. Isu utama ditentukan sejalan
dengan kebijakan dalam negeri. Pada pertemuan
ini semua pemangku kepentingan termasuk
kementerian dan lembaga anggota DNPI, pihak
swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat dan
Perguruan Tinggi.
2. Konsinyiring akhir. Kegiatan ini bertujuan untuk
melakukan finalisasi posisi Indonesia. Penentuan
posisi Indonesia sangat penting sebagai arahan
delegasi dalam melakukan intervensi selama
persidangan berlangsung. Peserta dalam
konsi nyasi akhir diberikan kesempatan untuk
memberikan masukan konstruktif berdasarkan
pada pengembangan intervensi kebijakan di
masing-masing ke menterian dan lembaga untuk
menjalankan program prubahan iklim. Setelah
Delegasi RI dalam perundingan internasional tentang perubahan iklim dikoordinir oleh DNPI sebagai national focal point.
PeruNDINgaN INterNasIoNal?
BAgAimAnA dnpi mempersiApkAn
misi utama delegasi indonesia dalam
perundingan internasional adalah mengamankan
kepentingan bangsa dan mendorong komitmen
negara maju dalam upaya penurunan emisi dan
menyediakan bantuan kepada negara berkembang.
Setiap tahun UNFCCC biasanya mengadakan
perundingan internasional sebanyak tiga kali. Dua
kali pertemuan dilaksanakan untuk mempersiapkan
draf keputusan pada pertemuan COP di setiap akhir
Rapat koordinasi internal DNPI
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
BAB 3-7-9.indd 94 8/2/13 10:28:19 AM
95DNPI 5 TAHUN I
itu DNPI mengadakan rapat pleno sebelum
delegasi Indonesia berangkat pada perundingan
UNFCCC. Kementerian dan Lembaga anggota
DNPI menghadiri pertemuan ini bertujuan untuk
menginformasikan posisi dasar Republik Indonesia
dan menghimpun masukan bagi keberhasilan
perundingan.
Selain persiapan rutin setiap perundingan,
Kelompok Kerja Negosiasi juga melakukan beberapa
kegiatan yang bersifat menguatkan persiapan delegasi
Indonesia termasuk:
1. Pelatihan bagi delegasi Indonesia. Pelatihan
bertujuan untuk memperkuat kemampuan
delegasi Indonesia dalam mempersiapkan dan
melakukan negosiasi selama perundingan ber-
langsung. Tiga hal utama yang mengemuka dan
memerlukan perhatian setiap negosiator delegasi
Indonesia, yaitu: mengetahui posisi Indonesia,
membangun networking dan memperjuangkan
kepentingan Indonesia.
2. Penyusunan submisi Indonesia. Dalam rangka
mempermudah pembahasan isu-isu tertentu pada
saat perundingan berlangsung, sekertariat UNFCCC
meminta pandangan dari negara-negara anggota.
Permintaan ini dilakukan tiga bulan sebelum
perundingan berlangsung. DNPI mengundang
para pemangku kepentingan untuk membahas
beberapa isu yang berkaitan dengan kepentingan
Indonesia. Submisi pandangan sangat membantu
dalam memperkaya pertimbangan dalam pengam-
bilan keputusan terhadap posisi Indonesia. Elemen
dalam submisi menjadi dasar dalam penyusunan
pedoman dasar posisi Indonesia.
3. Menghadiri pertemuan-pertemuan di luar
UNFCCC. Banyak inisiatif regional dan multilateral
yang membahas tentang perubahan iklim. Materi
yang dibahas sangat penting untuk dicatat karena
terkait dengan perkembangan perundingan di
bawah UNFCCC.
4. Melakukan evaluasi keikutsertaan delegasi
Indonesia.
Kegiatan ini bertujuan mempersiapkan
seoptimal mungkin sehingga akan mempermudah
Delegasi Indonesia menjalankan tugasnya. Kenyataan
menunjukkan bahwa perundingan perubahan
iklim bersifat lintas sektoral, sehingga memerlukan
partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan.
Beberapa anggota Delegasi RI dalam sebuah perundingan perubahan iklim. Foto: Dokumentasi DNPI
BAB 3-7-9.indd 95 8/2/13 10:28:22 AM
96 I DNPI 5 TAHUN
UKP-PPI dan KaHar DNPI
Apa itu UKP-PPI dan KaHar DNPI dan kenapa pula disandingkan demikian? Hal ini masih sangat erat kaitannya
dengan peran Indonesia dalam perundingan internasional pengendalian perubahan iklim. UKP-PPI dan KaHar merupakan singkatan dari Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim dan Ketua Harian DNPI.
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, DNPI dibentuk pada tahun 2008 sebagai wujud dari kebutuhan akan koordinasi dalam pengendalian perubahan iklim di Indonesia, di mana salah satu tugasnya adalah dalam perundingan internasional perubahan iklim.
Semakin kompleksnya perundingan perubahan iklim di tingkat internasional mengakibatkan semakin diperlukannya kebe radaan pejabat dengan level yang tinggi untuk mewakili negara dalam perundingan. Di beberapa negara, telah dibentuk Kementerian dengan portofolio perubahan iklim seperti di Denmark sebagai Department of Climate Change, Energy and Building; di Inggris sebagai Department of Energy and Climate Change; Australia sebagai Department of Climate Change and Energy Efficiency, dan sebagainya. Sebagian besar negara lain telah secara khusus mengangkat Duta Besar untuk Perubahan Iklim seperti Selandia Baru, Australia, Venezuela, Korea Selatan, dan beberapa lainnya. Dengan adanya penugasan khusus tersebut, maka
negara bersangkutan telah memiliki wakil yang tetap dalam proses perundingan perubahan iklim.
Sejak dibentuknya DNPI pada tahun 2008, peran ini dilakukan oleh Ketua Harian DNPI yang masa itu juga menjabat Menteri Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar. Semakin kompleksnya perundingan meng-akibatkan perlunya figur yang fokus pada pengendalian perubahan iklim, sehingga pada Mei 2010 Presiden RI memberikan penugasan setingkat Menteri yang lebih fokus pada perundingan internasional tersebut kepada Rachmat Witoelar, yaitu sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI). Dengan demikian, UKP-PPI dapat hadir dan berperan aktif dalam perundingan pengendalian perubahan iklim terutama dalam berbagai sesi pertemuan informal setingkat Menteri seperti Pre-COP, Petersberg Climate Dialogue (PCD) dan Cartagena Dialogue (CD).
Dalam beberapa kesempatan perte-muan tingkat Menteri tersebut, biasanya dialog berjalan lebih terbuka dan bukan bersifat negosiasi setingkat juru runding, yang acapkali memunculkan banyak sekali hal-hal menarik dan menunjukkan betapa keterbukaan ter-sebut memberikan peluang bagi berbagai negara untuk lebih saling memahami posisi masing-masing.
BAB 3-7-9.indd 96 8/2/13 10:28:23 AM
97DNPI 5 TAHUN I
Misi utama delegasi Indonesia dalam perundingan internasional adalah mengamankan kepentingan bangsa dan mendorong komitmen negara maju dalam upaya penurunan emisi dan menyediakan
bantuan kepada negara berkembang.
BAB 3-7-9.indd 97 8/2/13 10:28:25 AM
98 I DNPI 5 TAHUN
pemerintah baik Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Pengembangan
(Litbang) di berbagai kementerian, dan badan
khusus seperti Badan Metereologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG). Beragam keahlian-keahlian tersebut
masih dapat dianggap sangat minim dibandingkan
dengan keperluan yang harus diemban oleh bangsa
dalam menanggulangi tantangan perubahan iklim.
Meskipun demikian, dengan keberadaan para ahli
tersebut, setidaknya Indonesia telah mempunyai
modalitas berupa tenaga ahli perubahan iklim.
Berbagai aksi dilakukan dalam upaya
meningkatkan kapasitas atau kemampuan semua
pemangku kepentingan dalam upaya menghadapi
tantangan perubahan iklim. Hal ini sangat penting
untuk kebutuhan-kebutuhan strategis dalam upaya
implementasi dan penetapan kebijakan tentang
perubahan iklim, antara lain:
1. Mempersiapkan NAMAs dan/atau Pemba-
ngunan Rendah Emisi Karbon. NAMAs
merupakan singkatan dari Nationally Appropriate
Mitigation Actions yaitu merujuk pada seperangkat
kebijakan dan tindakan dari negara-negara
“Kekuatan tidak datang dari kapasitas fisik, namun dari kehendak yang tangguh.”
Mahatma Gandhi
PeNINgKataN KaPasItas
koordinAsi
menurut reKaPitulasi teraKhir, ahli–
ahli tentang perubahan iklim di Indonesia — terutama
yang sifatnya lokal — tersebar di berbagai perguruan
tinggi dan lembaga negara. DNPI memperkirakan,
terdapat 138 tenaga ahli Indonesia yang terkait dengan
perubahan iklim. Keahlian mereka mencakup: mitigasi,
adaptasi, sains basis dan observasi. Mereka tersebar
di berbagai perguruan tinggi baik swasta maupun
negeri seperti, Institut Teknologi Bandung (ITB),
Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gajah Mada
(UGM), Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas
Palangkaraya, dan lain-lain. Selain itu, para ahli
tersebut juga berada di berbagai lembaga penelitian
Pengukuran arus air laut: Riset yang dilakukan para ilmuwan di perairan Indonesia
Foto
: Dok
umen
tasi
Kem
ente
rian
Ke
laut
an d
an P
erik
anan
BAB 3-7-9.indd 98 8/2/13 10:28:25 AM
99DNPI 5 TAHUN I
berkembang sebagai bagian dari komitmen
mereka untuk mereduksi emisi GRK dengan
dukungan teknologi, pendanaan, dan capacity
building. NAMAs dilakukan dengan tatacara MRV
serta disesuaikan dengan kapasitas masing-
masing.
2. Mengimplementasikan Program Adaptasi.
3. Memaksimalkan Technological Need Asses-
ments (TNAs) dan/atau beroperasi dalam
kerangka baru teknologi. TNA merupakan upaya
teknologi dalam upaya menjawab secara praktis
upaya berbagai negara guna menurunkan emisi
gas rumah kaca dan mereduksi kerentanan akibat
perubahan iklim dan berkontribusi pada tujuan
pembangunan.
4. Berjalannya MRV. Pemantauan, pelaporan dan
verifikasi (MRV) merupakan skema yang harus
dipenuhi dalam upaya menunjukkan bahwa aksi
— terutama dalam hal menurunkan emisi gas
rumah kaca -- dilakukan secara accountable dan
dapat dipertanggunjawabkan.
5. Mempersiapkan dan/atau melaksanakan
REDD dan/atau REDD+. Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation (REDD)
adalah sebuah upaya untuk menciptakan nilai
finansial atas sediaan karbon dalam hutan
dengan menawarkan insentif bagi negara- negara
berkembang untuk mereduksi emisi dari lahan
berhutan dan berinvestasi rendah karbon untuk
pembangunan berkelanjutan.
Kapasitas Penelitian dan Pengembangan 2009 – 2012
Pada periode ini dilakukan koordinasi dalam
Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan
Basis Ilmiah Perubahan Iklim di Indonesia. Ruang
lingkup yang dilakukan di antaranya adalah:
1. Berkoordinasi dengan Gugus Perubahan Iklim
dan Pelestarian Lingkungan, Dewan Perguruan
Tinggi untuk menyusun program bersama dalam
meningkatkan kapasitas riset dan pengembangan
basis ilmiah serta hubungan komunikasi, jaringan
kerja antaruniversitas di Indonesia khususnya
dalam pengembangan program-program
penelitian perubahan iklim.
2. Melakukan Monitoring dan Evaluasi kegiatan
penelitian perubahan iklim yang dilakukan oleh LIPI,
beberapa litbang seperti BMKG dan Kementerian
Kelautan dan Perikanan serta beberapa perguruan
tinggi.
3. Kerjasama antara universitas se-Indonesia.
4. Memfasilitasi kerjasama penelitian dengan
lembaga internasional seperti Monash University
(Kehutanan), CSIRO (Kerentanan air), FIO-China
(Monsun-Climate Variability), UNESCO (Coastal
resilience) dan IUCN-UNEP (Blue Carbon). (*)
Penelitian tentang perubahan iklim memerlukan kapasitas dan keahlian yang memadai
Foto
: Dok
umen
tasi
BM
KG, D
odo
Gun
awan
BAB 3-7-9.indd 99 8/2/13 10:28:27 AM
100 I DNPI 5 TAHUN
Pekerjaan Rumah Peningkatan Kapasitas
Informasi khusus tentang perubahan iklim di Indonesia sangat penting untuk terus dikaji dan disebarkan. Dalam upaya
melaku kan peningkatan kapasitas untuk penanggulangan terhadap perubahan iklim perlu dilakukan hal-hal berikut:
1. Kompilasi dan verifikasi data iklim jangka panjang masih perlu diupayakan karena kenyataannya masih sulit untuk mendapatkan data dengan cakupan spasial dan temporal yang memadai untuk analisis perubahan iklim di Indonesia. Maka, suatu proyek nasional yang terkoordinasi dengan baik dan berkelanjutan sangat diperlukan. Sebagai gambaran, untuk kompilasi data presipitasi global saja, terdapat berbagai proyek internasional yang dilakukan di berbagai negara.
2. Peningkatan variabilitas iklim dalam skala waktu antar-tahun maupun intra-musim merupakan ancaman bahaya iklim yang nyata dan perlu penanganan segera karena bisa berdampak langsung terhadap sektor kesehatan dan pertanian. Untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim dalam jangka pendek (lima sampai sepuluh tahun ke depan) kajian terhadap trend variabilitas iklim dan peningkatan kemampuan prediksi musim sangat diperlukan.
3. Informasi mengenai perubahan iklim dan dampaknya sering kali sampai kepada masyarakat secara simpang siur. Untuk mengatasi hal itu, perlu disusun suatu buku rujukan nasional mengenai perubahan iklim yang disusun oleh pakar dari dalam dan luar negeri. Buku rujukan ini perlu diperbaharui dalam setiap beberapa tahun sekali untuk mengadopsi berbagai perkembangan terbaru dalam ilmu pengetahuan iklim Indonesia.
Dalam upaya meningkatkan kapasitas, maka tantangan pengembangan kapasitas adalah:l Perlunya wadah khusus, suatu lembaga
penelitian khusus menangani perubahan iklim dengan menggabungkan beberapa lembaga penelitian yang melakukan penelitian perubahan iklim sehingga bisa sinergi
l Penyiapan Peta Jalan untuk Pembangunan Kapasitas, khususnya untuk penelitian perubahan iklim
l Penyusunan Rencana Aksi Pembangunan Kapasitas Penelitian Perubahan Iklim berdasarkan RAN GRK dan RAN API
l Mempertimbangkan kesiapan Kapasitas Indonesia untuk menghadapi isu loss and damage (terutama terhadap cuaca ekstrem dan kejadian-kejadian slow onset disaster).
BAB 3-7-9.indd 100 8/2/13 10:28:32 AM
Sejak COP 13, Indonesia melangkah maju dalam
menyikapi isu perubahan iklim. Kemajuan ditindaklanjuti dengan
diterbitkannya serangkaian kebijakan penting untuk
mewujudkan komitmen Indonesia
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
102 | DNPI 5 TAHUN
BAB-4_DNPI_OK.indd 102 8/1/13 6:56 PM
PERAN INDONESIA dalam negosiasi
perubahan iklim internasional semakin nyata
dan mendapatkan pengakuan internasional
MENOREH SEJARAH
DIPLOMASI GLOBAL PERUBAHAN IKLIMDi bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono, banyak catatan positif dan konkret yang ditorehkan Indonesia dalam berbagai hal. Presiden Yudhoyono bekerja bukan hanya untuk kepentingan nasional, tapi juga untuk kepentingan dunia. Visi kenegarawanan ini “menular” dalam arti menjadi panutan bagi jajaran pemerintahan di bawahnya, bahkan mungkin bagi individu maupun kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Salah satu “prestasi” internasional yang menonjol adalah menjadikan Indonesia sebagai pemeran penting dalam perubahan iklim global, yang menjadi legasi Presiden Yudhoyono.
yang sangat positif ketika Indonesia berhasil
meloloskan Bali Road Map (BRM) pada
pertemuan UNFCCC COP 13 di Bali, sebagai
serangkaian keputusan dan jalur negosiasi
penting untuk memperkuat aksi internasional
di bidang perubahan iklim. Keberhasilan ini
tidak terlepas dari diplomasi yang dipimpin oleh
Presiden Yudhoyono dengan dukungan dari Prof.
Rachmat Witoelar selaku Presiden COP 13 dan
Prof. Dr. Emil Salim sebagai ketua Delegasi RI. Bali
Road Map tidak hanya merupakan kristalisasi
kata-kata semata, bukan pula dokumen legal
Foto
: Dok
umen
tasi
DN
PI
104 | DNPI 5 TAHUN
BAB-4_DNPI_OK.indd 104 8/1/13 6:56 PM
internasional yang memandu perundingan
internasional perubahan iklim pada masa-masa
selanjutnya, tetapi juga mempunyai makna
mendalam karena mengadopsi konsep kearifan
lokal nusantara yang secara tradisi diwariskan
secara turun-temurun, misalnya konsep Tri
Hita Karana yang memaknai keseimbangan
hubungan manusia dengan Tuhan dan alam
sekitar yang saling terkait satu sama lain. Selain
Bali Road Map, sebagaimana uraian pada bab-
bab sebelumnya COP 13 Bali menghasilkan Bali
Action Plan. Dokumen penting ini merangkum
visi bersama dunia untuk melakukan aksi tindak
lanjut dalam bentuk kerja sama jangka panjang.
Selain itu, Bali Action Plan menjadi dokumen
shared vision (visi bersama) dalam upaya
menurunkan emisi global melalui program dan
langkah nyata adaptasi, mitigasi, alih teknologi,
dan pendanaan. Dalam pertemuan-pertemuan
tingkat tinggi internasional di bidang perubahan
iklim pada masa-masa selanjutnya, Bali Road Map
dan Bali Action Plan dijadikan rujukan, bahkan
pedoman; bukan sekadar dokumen sejarah.
Tentu saja keberhasilan besar Indonesia
dalam COP 13 bukan lahir sesaat, melainkan hasil
jerih-payah kepedulian dan perjalanan panjang
Dalam pertemuan-pertemuan tingkat tinggi internasional di bidang
perubahan iklim pada masa-masa selanjutnya, Bali Road Map dan
Bali Action Plan dijadikan rujukan, bahkan pedoman
Komitmen Indonesia terhadap antisipasi perubahan iklim dari hari ke hari semakin konkret: Presiden Yudhoyono dalam United Nations Conference on Sustainable Development, Rio de Janeiro, 2012
Foto: Dokumentasi DNPI
105DNPI 5 TAHUN |
BAB-4_DNPI_OK.indd 105 8/1/13 6:56 PM
sejarah sejak masa-masa sebelumnya. Sekadar
catatan penggali ingatan, sejak tahun 1994
ketika Indonesia mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 6/1994 berisi Ratifikasi Konvensi PBB
untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), dan kemudian
tahun 2004 Undang-Undang nomor 17/2004
tentang Ratifikasi Protokol Kyoto, diikuti undang-
undang yang lain, yaitu UU No 17/2007, tentang
RPJPN, No 30/2009, tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 31/2009,
tentang Meterologi , Klimatologi dan Geofisika,
serta UU No 30/2007, tentang energi, maka
Indonesia terus melangkah maju dan semakin
konkret dalam menyikapi isu perubahan iklim.
Langkah maju itu ditindaklanjuti dengan
diterbitkannya serangkaian kebijakan penting
untuk mewujudkan komitmen Indonesia,
antara lain dikeluarkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah (PP) dan dikeluarkan Peraturan
Presiden (Perpres) diantaranya melalui Peraturan
Presiden No 46 tahun 2008, tentang Dewan
Nasional Perubahan Iklim (DNPI), No 28/2011
tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung
untuk Penambangan Bawah Tanah, Perpres No
4/ 2010 tentang percepatan pembangunan
tenaga listrik, No 33/2011 tentang Kebijakan
Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air, serta
upaya penting dalam mewujudkan komitmen
penurunan emisi GRK 26%, melalui Rencana Aksi
Nasional (RAN), Perpres No. 61/2011 dalam upaya
menurunkan emisi GRK (RAN-GRK) serta No
71/2011, tentang penyelenggaraan inventarisasi
GRK Nasional.
Di tingkat kementerian terkait, usaha konkret
menurunkan emisi pun telah didorong, misalnya
dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan
(Permenkeu) No 21/2010 yang memberikan
fasilitas perpajakan kepabeanan untuk Kegiatan
Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan. Banyak
pihak menilai, kebijakan-kebijakan itu bernilai
sangat positif karena sangat visioner dan
futuristik mengingat perubahan iklim bersifat
jangka panjang dan berdampak multidimensi di
berbagai sektor kehidupan. Kebijakan-kebijakan
itu secara strategis bukan hanya bermakna
fundamental untuk menyerasikan koordinasi
perubahan iklim di dalam negeri, tetapi juga
menjadi pemandu langkah perundingan
internasional. DNPI ditugaskan menjadi
koordinator untuk menyerasikan langkah-
langkah itu.
Fungsi Koordinasi dan Sinergi Sejak DNPI terbentuk dan hingga kini genap 5
tahun (Juli 2013), banyak tantangan dan harapan
yang dikemukakan oleh tokoh terkait dan pelaku
kebijakan. Ismid Hadad, yang pernah menjadi
Sekretaris Delegasi RI dalam COP 13, menilai dari
beberapa tugas yang diembankan kepada DNPI,
“ada dua hal utama yang telah dilakukan dengan
baik oleh DNPI, yaitu negosiasi internasional
dan perdagangan karbon.” Bidang-bidang
lainya dilakukan oleh institusi lain yang secara
formal mempunyai kapasitas lebih baik, kata
Ismid. Ia mencontohkan perumusan kebijakan
dan koordinasi REDD+ ditangani oleh Satgas
REDD+, sementara kebijakan mitigasi ditangani
oleh Bappenas melalui RAN-GRK dan Rencana
Aksi Penurunan emisi GRK Daerah (RAN-GRD)
yang sudah diarusutamakan ke dalam rencana
pembangunan nasional jangka pendek dan
panjang. Sementara untuk isu pendanaan telah
ada Green Economy dan Badan Kebijakan Fiskal
(BKF) Kementerian Keuangan.
Menurut Ismid Hadad, di masa depan,
peran DNPI sebagai lembaga koordinator dan
perancang kebijakan terkait isu perubahan
iklim perlu semakin ditingkatkan, baik di level
nasional maupun internasional. Bersama
dengan Bappenas, DNPI diharapkan berfungsi
melakukan koordinasi kebijakan perubahan iklim
maupun hal-hal yang berhubungan dengan
RAN GRK, pelaksanaan skema REDD+ dan MP3EI.
Dalam program MP3EI, DNPI bisa berperan
sebagai jembatan untuk menyeimbangkan
pertumbuhan ekonomi dan emisi GRK yang
dihasilkan.
Eddy Pratomo, Duta Besar Indonesia untuk
106 | DNPI 5 TAHUN
BAB-4_DNPI_OK.indd 106 8/1/13 6:56 PM
DNPI dan Bappenas seperti “mata uang dengan dua sisi”, karena
DNPI juga berperan ditingkat global dan Bappenas adalah
perencana pembangunan nasional
Foto: Dokumentasi DNPI
107DNPI 5 TAHUN |
BAB-4_DNPI_OK.indd 107 8/1/13 6:56 PM
Jerman berpandangan bahwa DNPI dan
Bappenas sebagai lembaga koordinator bisa
berperan saling mengisi, karena keduanya
memiliki kekhasan tugas masing-masing.
Mengapa demikian, lanjut Eddy Pratomo, karena
DNPI dan Bappenas seperti “mata uang dengan
dua sisi”. DNPI berperan di tingkat global dan
Bappenas adalah perencana pembangunan
nasional. “Komitmen dengan masyarakat
internasional harus diterjemahkan ke dalam
program-programnya Bappenas. Selain itu,
DNPI berfungsi mulai dari menyiapkan posisi
Indonesia di tingkat nasional dan membawanya
ke meja perundingan di tingkat internasional.”
Komunikator dan Campaigner Perubahan Iklim
Wartawan senior lingkungan hidup
Aristides Katoppo mengatakan, DNPI perlu
membuat kebijakan yang efektif dan enforceable
mengarusutamakan isu perubahan iklim dan
penanganannya di masyarakat dalam skala
nasional. DNPI juga perlu membuat strategi
komunikasi yang melibatkan pers, LSM, sektor
swasta dan kalangan akademik. Hal senada
diungkapkan Direktur Eksekutif Nasional
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
Abetnego Tarigan yang berpendapat, DNPI
perlu lebih efektif meningkatkan kesadaran dan
pemahaman kepada masyarakat luas mengenai
perubahan iklim.
Lebih konkret disampaikan Jatna Supriatna,
akademisi dari UI. Ia mengatakan, karena di
antara isu-isu yang amat besar, perubahan iklim
memasuki dan mempengaruhi hampir semua
sektor kehidupan, maka harus diarus-utamakan
kepada setiap departemen, masyarakat dan
swasta, agar siap untuk antisipasi jangka panjang.
Kebijakannya perlu seperti itu. Komitmen-
komitmen internasional memang perlu, tetapi
komitmen-komitmen dalam negeri juga penting.
Banyak orang menganggap dampak perubahan
iklim itu akan terjadi nanti, padahal sekarang
sudah terjadi. Masyarakat harus disadarkan
dan diberi pemahaman. Ini harus dilakukan
campaigner-campaigner yang ahli dan ulung.
Jatna memberi contoh, orang menanam pohon,
mungkin ia tidak mengerti maknanya, tetapi
kalau diberi pemahaman mengenai carbon
foot print, berapa jejak karbon dan bagaimana
mengurangi jejak karbon tersebut, maka isu ini
menjadi semakin penting. Kampanye mengenai
hal ini harus diperbesar. Jika tidak, hanya businnes
as usual. Carbon foot print bukan hanya peduli
terhadap lingkungan, tetapi mendorong efisiensi
energi, mengurangi pemakaian-pemakaian
produk yang membahayakan lingkungan, dan
sebagainya. Peran DNPI untuk mendorong
kebijakan seperti itu agar terpadu, komprehensif,
tidak sepotong-sepotong
DNPI di Mata Mitra AsingJose Ferraris, Representative UNFPA (United
Nations Population Fund) Indonesia mengatakan
DNPI telah dengan baik melakukan koordinasi
pekerjaan terkait perubahan iklim dan dinamika
populasi kependudukan dengan kementerian
DNPI berfungsi mulai dari menyiapkan posisi Indonesia
di tingkat nasional dan membawanya ke meja perundingan
di tingkat internasional.
108 | DNPI 5 TAHUN
BAB-4_DNPI_OK.indd 108 8/1/13 6:56 PM
dan instansi pemerintah lainnya. “Berdasarkan
pengalaman saya bekerja pada isu dinamika
populasi penduduk, DNPI telah bekerja efektif
dan efisien dalam mengkoordinasikan dengan
kementerian atau lembaga terkait, dan telah
terkoneksi dengan peneliti dan akademisi yang
ada di lingkup ini. Ada mekanisme follow-up,
bukan hanya sekedar publikasi,” katanya. UNFPA
merasa sangat terbantu dengan kepemimpinan
dan koordinasi DNPI dengan lembaga
pemerintah lainnya dalam kebijakan program
pemerintah terkait perubahan iklim.
Kawanishi Masato Chief Advisor JICA (Japan
International Cooperation Agency) Project melihat
peran domestik DNPI dalam harmonisasi
pelaksanaan strategi pembangunan yang
terkait maupun tidak terkait dengan perubahan
iklim untuk mencapai pembangunan yang ber-
kelanjutan. “Perubahan iklim harus terintegrasi
dengan pembangunan, tetapi juga melingkupi
seluruh ragam agenda pembangunan. Juga
membutuhkan beberapa tingkatan dalam skala
waktu dan ruang, dari tingkat nasional sampai
daerah. Tingkatan yang berbeda, waktu yang
berbeda, ruang/wilayah yang berbeda, agenda
yang berbeda. Hal tersebut mungkin kritis untuk
negara yang sedang berkembang, negara yang
cepat berkembang, seperti Indonesia,” katanya.
DNPI mempunyai keunggulan sebagai
focal point yang ditunjuk pemerintah dalam
hal isu perubahan iklim, sehingga dapat
mengkoordinasikan kementerian/lembaga
terkait mengintegrasikan isu perubahan iklim
dan pembangunan.
DNPI juga diharapkan bisa menjelaskan
kemajuan negosiasi internasional terkini dan
dampak negosiasi tersebut dengan bahasa
popular kepada masyarakat luas. “Saya percaya
bahwa DNPI, dengan jaringan yang kuat dengan
LSM, akan menjadi jembatan yang kuat antara
Keteguhan prinsip dan ketelitian menjadi keharusan dalam perundingan perubahan iklim:Rachmat Witoelar dan Agus Purnomo beserta para peserta COP 13, Bali, 2007
Foto: Dokumentasi DNPI
109DNPI 5 TAHUN |
BAB-4_DNPI_OK.indd 109 8/1/13 6:56 PM
negosiasi perubahan iklim yang semakin rumit
di satu sisi, dengan masalah-masalah masyarakat
di kehidupan nyata tentang perubahan iklim di
sisi lainnya. Itulah beberapa harapan saya untuk
DNPI ke depan,” kata Kawanishi.
Koordinator Negosiasi Internasional
DNPI berperan sebagai koordinator
nasional terkait perubahan iklim untuk
negosiasi kepentingan Indonesia di dunia
internasional. Sebagai satu-satunya lembaga
yang menjembatani kepentingan nasional dan
merepresentasikan posisi Indonesia di negosiasi
internasional secara maksimal, peran DNPI bukan
hanya sangat penting tetapi juga strategis.
Namun Eddy Pratomo melihat tantangan
DNPI dalam mengkoordinasikan para pemangku
kepentingan perubahan iklim. Hal tersebut
bisa dimaklumi karena banyaknya stakeholder
yang terlibat, mulai dari kementerian, lembaga
pemerintah, ilmuwan, akademisi hingga elemen
masyarakat sampai dengan kalangan bisnis.
Pertemuan perubahan iklim pun beragam
mulai dari pertemuan teknis, politis, sampai
skala pertemuan berupa bilateral, regional,
sampai multilateral. Dalam hal itu, DNPI harus
menjadi koordinator di tingkat nasional yang
dapat memberikan arahan dan masukan dari
hasil-hasil persidangan di tingkat internasional,
dan bagaimana implementasinya pada tingkat
nasional.
Eddy Pratomo juga menyoroti adanya
hambatan yang dialami Delegasi RI ketika
bernegosiasi pada level internasional, yaitu
soal keterwakilan tiap kementerian dan
lembaga pemerintah pemangku kepentingan
perubahan iklim. “Keterwakilan ada tetapi tidak
pada posisi pengambilan keputusan, sehingga
kadang-kadang Delegasi RI ketika menghadapi
sidang sering mengalami hambatan. Meskipun
hambatan dapat diselesaikan dengan kebijakan
Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan
Iklim atau Ketua Harian DNPI, Ketua Delegasi,
para penasehat, namun harapan kita, di masa
depan sisi ini diperkuat. DNPI juga bisa berperan
lebih aktif hingga pada tataran implementasi
komitmen internasional pada tingkat nasional,”
kata mantan Dirjen Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri itu.
Sedangkan Endah Murniningtyas, Deputi
Menteri Bidang SDA dan Lingkungan Hidup,
Bappenas, mengatakan sesuai dengan fungsi
dan peran yang tidak dapat dilakukan oleh
lembaga pemerintah lainnya, yaitu fokus pada
proses negosiasi, maka DNPI sudah sangat baik
menjalankan fungsi dan peran perundingan.
“Personil DNPI yang merupakan SDM yang sudah
sering mengikuti kegiatan nasional maupun
Harapan kami adalah bahwa
DNPI dapat lebih baik lagi
mengkoordinasikan persiapan
posisi Indonesia dalam
negosiasi perubahan iklim di
tingkat internasional, dengan
memperhatikan rencana
kerja seluruh kementerian/
lembaga. Dengan demikian,
dapat tercipta sinergitas antara
kegiatan di tingkat nasional
dengan proposal negosiasi
yang kita tawarkan di tingkat
internasional
110 | DNPI 5 TAHUN
BAB-4_DNPI_OK.indd 110 8/1/13 6:56 PM
DNPI di dunia internasional fokus pada masalah negosiasi, ke dalam negeri melakukan fungsi koordinasi serta edukasi perubahan iklim: Presiden Yudhoyono dan ibu Ani dalam kegiatan penanaman pohon
di desa Sarongge Bogor, Januari 2013Foto: Abror/Istana Negara RI
BAB-4_DNPI_OK.indd 111 8/1/13 6:56 PM
global, memiliki kemampuan dan waktu untuk
fokus kepada penyiapan proses negosiasi dan
komunikasi secara kontinyu dengan pihak luar,”
katanya.
DNPI memiliki posisi strategis untuk
fokus pada koordinasi untuk negosiasi/
komunikasi dengan masyarakat global dalam
memperjuangkan posisi Indonesia di kancah
global. Untuk peran itu, DNPI beranggotakan
wakil-wakil dari Kementerian/Lembaga terkait
dengan perubahan iklim, sehingga update
kebijakan pemerintah dalam perubahan iklim
akan tetap terjaga.
Untuk memperkuat peran tersebut, maka
DNPI perlu melakukan peningkatan kapasitas
negosiasi secara berkesinambungan, melakukan
kajian untuk menyusun dasar negosiasi termasuk
dampaknya, melengkapi dengan kelompok
ahli hukum yang mengerti masalah perubahan
iklim dan masalah internasional, dan sebagai
focal point untuk jaringan komunikasi Indonesia
dengan masyarakat global.
Dukungan senada disampaikan Menteri
Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya yang
mengingatkan bahwa dinamika negosiasi
bergulir dengan cepat, maka, “...Harapan
kami adalah bahwa DNPI dapat lebih baik
lagi mengkoordinasikan persiapan posisi
Indonesia dalam negosiasi perubahan iklim di
tingkat internasional, dengan memperhatikan
rencana kerja seluruh kementerian/lembaga.
Dengan demikian, dapat tercipta sinergitas
antara kegiatan di tingkat nasional dengan
proposal negosiasi yang kita tawarkan di tingkat
internasional,” katanya.
Peran Unik DNPI Staff Ahli Bidang Lingkungan dan Perubahan
Iklim Kementerian Kehutanan, Yetti Rusli melihat
keberadaan DNPI untuk mengkoordinir isu
perubahan iklim merupakan hal yang luar biasa.
“Perjalanan perubahan iklim di Indonesia selama
ini tidak mungkin dapat sebaik ini, jika tidak ada
DNPI. Perubahan iklm adalah sesuatu yang baru
dan mengalami perkembangan sangat cepat,
dan tidak dapat ditangani secara biasa saja,”
katanya.
Contoh nyata peran DNPI dalam dunia
internasional adalah pernyataan Presiden SBY
kepada dunia tentang komitmen Indonesia
untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dan
41 persen dengan bantuan internasional. Meski
kondisi di dalam negeri kebijakan penurunan
emisi belum bisa dilaksanakan optimal karena
perubahan iklim merupakan hal yang baru, baik
dalam skala nasional bahkan skala internasional,
namun komitmen tersebut meningkatkan
apresiasi dunia internasional terhadap Indonesia.
Meski perubahan iklim merupakan hal yang
baru, Indonesia telah menjadi global leader
untuk penanganan perubahan iklim dengan
pernyataan komitmen penurunan emisi, dan
kemudian dijabarkan dalam RAN-GRK dan RAD-
GRK, serta kebijakan lain seperti adanya Satgas
REDD+.
Agar lebih efektif dan berdampak luas, DNPI
telah melibatkan Kementerian/Lembaga untuk
bekerja sama dengan pihak luar negeri, seperti
pembahasan kerjasama perdagangan karbon
bilateral atau Joint Credit Mechanism (JCM)
dengan melibatkan Kementerian Koordinator
Perekonomian. DNPI juga bisa membantu
mempromosikan mencari partner kegiatan
ekonomi hijau di Indonesia, seperti masyarakat
Aceh yang mengembangkan hutan mangrove,
dan hasil stok karbonnya bisa diperdagangkan
melalui JCM atau multilateral. “Sektor
kehutanan banyak menyimpan kesempatan
bersama masyarakat untuk ditawarkan dalam
perdagangan karbon,” katanya.
Kerjasama InternasionalSelain fungsi koordinator, DNPI bertugas
melakukan kerjasama internasional terkait isu
perubahan iklim dengan badan atau negara lain.
Salah satu kerja sama tersebut adalah dengan
pemerintah Jepang melalui Japan International
Cooperation Agency (JICA). Kawanishi Masato,
112 | DNPI 5 TAHUN
BAB-4_DNPI_OK.indd 112 8/1/13 6:56 PM
84 I DNPI 5 TAHUN
Chief Advisor JICA Project mengatakan kerja sama
JICA dengan DNPI dalam bidang perubahan
iklim berlangsung positif.
“Perubahan iklim adalah masalah global
bagi kita semua. Perlu kemitraan lintas negara/
perbatasan untuk mengatasi masalah itu.
JICA telah aktif dan akan terus seperti itu
dalam bekerjasama dengan Indonesia dalam
bidang perubahan iklim,” katanya. Kawanishi
mengatakan Indonesia dipandang sebagai salah
satu negara besar yang memiliki kontribusi besar
dalam penanganan perubahan iklim dan dapat
memimpin perundingan internasional.
“Kontribusi Indonesia dalam diskusi dan
negosiasi internasional mengenai perubahan
iklim sudah cukup substansial. Menjadi tuan
rumah COP ke-13 dengan keberhasilan
mengadopsi Bali Action Plan adalah salah satu
contohnya. Dan juga pernyataan komitmen
secara sukarela untuk mengurangi emisi sebesar
26% pada tahun 2020 juga berpengaruh
secara positif pada aspirasi negosiasi iklim
internasional,” katanya.
Indonesia juga bisa menjadi contoh bagi
negara lain dalam penanganan perubahan iklim
melalui strategi pembangunan seperti RAN-
GRK dan RAD-GRK. “Tanpa ragu peran dari DNPI
sangat signifikan,” ujar Kawanishi.
Perjalanan perubahan iklim di Indonesia selama ini tidak mungkin
dapat sebaik ini, jika tidak ada DNPI. Perubahan iklim adalah
sesuatu yang baru dan mengalami perkembangan sangat cepat,
dan tidak dapat ditangani secara biasa saja
DNPI memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan tingkat tinggi perubahan iklim: Rachmat Witoelar bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Erka Pangestu, dan Presiden AS Barack Obama
Foto: Dokumentasi DNPI
113DNPI 5 TAHUN |
BAB-4_DNPI_OK.indd 113 8/1/13 6:56 PM
DNPI memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan tingkat tinggi perubahan iklim: Rachmat Witoelar bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, dan Presiden AS Barack Obama
Foto: Dokumentasi DNPI
BAB 3-4-6.indd 84 8/1/13 11:23:49 AM
Indonesia Climate Change Center
Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI), bertujuan untuk
meningkatkan koordinasi dalam
pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan
untuk memperkuat posisi Indonesia di forum
internasional dalam pengendalian perubahan iklim.
Sebagai upaya menyokong kebijakan berbasis
ilmu pengetahuan, maka DNPI mengidentifikasi
kebutuhan akan adanya suatu institusi yang
menjadi wadah dalam menghasilkan kajian-kajian
ilmiah untuk mendukung ranah science-to-policy.
Pada tahun 2010, melalui rapat koordinasi DNPI
yang dipimpin oleh Wakil Ketua 1 DNPI, yaitu
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat,
DNPI ditugaskan untuk mengembangkan suatu
Regional Center, yang diharapkan menjadi sentra
think tank perubahan iklim dan menjadi partner
bagi pemerintah dalam menghasilkan kebijakan
perubahan iklim.
Pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia
dan Amerika Serikat menghasilkan kesepakatan
kerjasama US-Indonesia Comprehensive Partnership,
yang terdiri dari enam Working Group, yaitu
Working Group on Democracy and Civil Society;
Working Group on Education; Working Group on
Climate and Environment; Working Group on Trade
and Investment; Working Group on Security; dan
Working Group on Energy. Sejalan dengan adanya
kerjasama tersebut, di bawah payung Working
Group on Climate and Environment, maka DNPI
melakukan pertemuan dengan pihak United States
Forest Service (USFS) untuk mengembangkan
suatu think tank di Indonesia khususnya dalam hal
science to policy.
Usulan tersebut disambut baik oleh pihak
Amerika Serikat yang menyatakan kesediaaan
untuk mendukung pengembangan konsep
kelembagaan dan program think tank tersebut.
Konsep Regional Center kemudian mengalami
evolusi. Dalam pertemuan koordinasi antar
Kementerian dan Lembaga, maka DNPI melihat
bahwa sebelum menjajagi suatu think tank
pada tingkat regional, maka lebih tepat untuk
mengembangkan network of network untuk skala
nasional. Untuk menggagas konsep tersebut,
maka dikembangkan suatu konsep Indonesia
Climate Change Center (ICCC), yang merupakan
wadah pertemuan antara tenaga ahli nasional dan
internasional untuk menghasilkan suatu kajian
tematik guna mendukung upaya pengurangan
emisi gas rumah kaca Indonesia dan meningkatkan
kapasitas adaptasi nasional. Konsep ini kemudian
difinalisasikan antara Indonesia-Amerika Serikat.
Pada bulan Oktober 2011 tercapai kesepakatan
antara DNPI dan USFS untuk mengembangkan
Indonesia Climate Change Center, baik dari sisi
pengembangan kelembagaan maupun program.
Pengembangan ICCC diharapkan dapat
menguatkan dan melengkapi institusi atau
lembaga penelitian dalam bidang perubahan iklim
yang ada. ICCC tidak akan menggantikan institusi
atau lembaga yang ada. Kehadiran ICCC diharapkan
dapat menjadi penghubung yang menjembatani
gap antara sains dan kebijakan perubahan iklim.
ICCC diharapkan dapat berkontribusi terhadap
kebijakan Rencana Aksi Nasional Penurunan
Gas Rumah Kaca dan Rencana Aksi Nasional
Adaptasi Perubahan Iklim, melalui kajian-kajian
berbasis sains yang dapat mendukung kebijakan
pemerintah tersebut. Kehadiran pakar nasional dan
internasional dalam pengembangan kajian sains di
dalam ICCC diharapkan akan memperkaya hasil.
Konsensus Definisi Lahan Gambut
Dalam kiprahnya sebagai sebuah pusat penelitian
perubahan iklim, ICCC mengadakan beberapa kali
pertemuan dan kajian yang membahas tentang
definisi lahan gambut. Hal ini dilakukan dalam
upaya penyeragaman pemahaman mengenai
gambut di Indonesia, dalam upaya mengelola
gambut secara lestari. Hasil kajian tersebut menjadi
masukan penting dalam upaya penyempurnaan
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Gambut
tahun 2012. Koordinasi telah dilakukan antar sektor,
badan dan mitra terkait seperti Kementerian
Pertanian,Kementerian Lingkungan Hidup,
Kementerian PU,Kementerian Kehutanan serta
Badan Informasi Geospasial (BIG) tentang konsensus
‘metodologi pemetaan lahan gambut.’ Dalam
upaya menguji akurasi metodologi yang disepakati,
ICCC telah pula melakukan uji metodologi tersebut
di dua Kabupaten yaitu Kabupaten Pelalawan, Riau
dan Katingan, Kalimantan Tengah.
114 | DNPI 5 TAHUN
BAB-4_DNPI_OK.indd 114 8/1/13 6:56 PM
Perlu suatu keputusan pemerintah dan DPR untuk memperkuat
posisi DNPI. Perubahan iklim adalah masalah dunia, masalah global
Kerjasama DNPI-JICA
DNPI dan
Japan International
Cooperation Agency (JICA) melakukan
kerjasama teknis dalam rangka mendukung
peningkatan kapasitas kelembagaan
perubahan perubahan iklim di Indonesia.
Adapun kerjasama tersebut mencakup
tiga kegiatan utama yaitu: pertama,
pengembangan dan analisis kebijakan
yang terkait dengan negosiasi internasional
dan implementasinya pada tingkat
nasional. Kedua, pengembangan sistem
pemantauan dan evaluasi berbagai
aksi dalam mengantisipasi perubahan
iklim, dukungan dan berbagai rangkaian
dialog yang terkait dengan berbagai isu
perundingan global. Ketiga, peningkatan
kapasitas dan kesadaran masyarakat dalam
mensosialisasikan isu-isu perubahan iklim
dan mendorong para pengambil kebijakan
untuk mensosialisasikan langkah-langkah
inovatif yang terkait dengan perubahan iklim.
Tiga kegiatan yang terkait didalam
kerjasama DNPI-JICA terdiri dari beberapa
aktivitas, dan beberapa aktivitas tersebut
adalah seperti berikut:
1. Pengembangan kebijakan:
•Low Emission Development Strategies
•Domestic policies and future global regime
•Land-Use, Land-Use Change, and Forestry
2. Monitoring dan Evaluasi:
•Sistem Monitoring dan evaluasi
•Registry
•Pasar karbon
3. Pengembangan kapasitas dan kesadaran
masyarakat:
•Green Investment
•Youth Camp
•Climate Change Debate Competition
•Asia Forum on Carbon Update
Untuk kegiatan kajian kebijakan telah
dihasilkan beberapa kajian, dan kajian
tersebut adalah:
1. Kajian Awal Penyusunan Kelembagaan
MRV: Pilihan-pilihan yang Memungkinkan
Untuk Indonesia Berdasarkan Pengalaman
Internasional
2. Low Carbon Emission Development
Strategy in Indonesia Energy Sector
3. Land-Use and Land Use Change Dynamics
in Kalimantan, Indonesia (1990-2012)
Adapun dalam upaya peningkatan
kesadaran publik dan menjembatani antara
sektor pemerintah dan swasta didalam
penanganan isu perubahan iklim, DNPI-
JICA mengadakan rangkaian dialog yang
tergabung dalam wadah “Green Investment,
Innovation, and Productivity”.(*)
115DNPI 5 TAHUN |
BAB-4_DNPI_OK.indd 115 8/1/13 6:56 PM
Penguatan Koordinasi dan Internal
Persoalan koordinasi antar sektor/lembaga
masih menjadi kelemahan birokrasi dalam
mewujudkan pembangunan yang menyeluruh,
efektif dan efesien. Upaya pengendalian
perubahan iklim ini membutuhkan kerjasama
yang kuat antar sektor/lembaga pemerintah,
karena dampak perubahan iklim harus segera
direspon dan membutuhkan keputusan
yang cepat. Rantai birokrasi yang singkat dan
koordinasi yang cepat menjadi syarat untuk
menyusun perencanaan serta aksi bersama
guna mengantisipasi atau mengurangi dampak
perubahan iklim kepada aspek sosial, ekonomi
dan lingkungan.
Penanggulangan masalah perubahan iklim
ini perlu dilaksanakan oleh berbagai pihak yaitu
pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor
swasta, masyarakat madani, dunia pendidikan,
masing-masing individu maupun pemangku
kepentingan lainnya. Melihat fungsi DNPI yang
unik dan lintas sektoral, Yetty Rusli berharap
keberadaan DNPI harus tetap dipertahankan,
bahkan diperkuat. “Tanpa adanya DNPI, tidak
dapat dibayangkan nasib perkembangan
perubahan iklim di Indonesia,” tegasnya.
Lebih spesifik, Eddy Pratomo mengatakan,
DNPI sudah saatnya dilengkapi dengan
divisi hukum untuk memperkuat negosiasi
internasional. “Jadi suatu saat, di masa yang akan
datang, harapan saya DNPI dapat mengajak para
ahli-ahli hukum itu baik dari kementerian luar
negeri maupun dari kementerian lain, karena
legal advisor ini dalam setiap perundingan
konvensi internasional, suatu rezim baru, selalu
diperlukan, karena akan timbul masalah-masalah
implikasi hukum karena kita berhubungan
dan bergaul dengan tata kelola internasional.
Konvensi internasional atau perjanjian
internasional dilaksanakan pada tingkat
nasional, kan sistem hukumnya berbeda. Jadi
itu mestinya yang berperan adalag legal advisor-
nya,” demikian harapan Eddy Pratomo.
Anggaran DiperbesarSatya Widya Yudha Anggota Komisi VII DPR
RI, mengatakan pihaknya mendukung upaya
Kerjasama DNPI-UNITAR
Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI)
dan UNITAR (United Nations Institute
for Training and Research) mengadakan
kerjasama dalam pelaksanaan “UN CC
Learn Pilot Project to Strengthen Human
Resources, Learning and Skills Development to
Address Climate Change” untuk mendukung
pengurangan emisi melalui kegiatan-
kegiatan yang bersifat pembangunan
kapasitas SDM melalui pendidikan, pelatihan
dan peningkatan kesadaran masyarakat,
baik di tingkat nasional maupun daerah.
Kegiatan ini bertujuan menguatkan
kapasitas SDM di Indonesia melalui
pendekatan strategis pembelajaran tentang
perubahan iklim dan pengembangan keahlian.
UN CC Learn didukung oleh afiliasi dari 33
badan PBB dalam mendukung kegiatannya.
Indonesia terpilih menjadi salah satu negara
pilot project dari lima negara yang terpilih,
yang mencakup Benin, Republik Dominika,
Malawi dan Uganda.
Kerjasama ini telah menghasilkan Strategi
Nasional Peningkatan Kapasitas Sumber Daya
Manusia dalam menghadapi Perubahan Iklim.
Strategi yang disusun berdasarkan kontribusi
aktif dari Kementerian/Lembaga, akademisi,
lembaga penelitian dan pihak-pihak kunci
terkait, diharapkan dapat mendukung upaya
peningkatan kapasitas SDM bangsa Indonesia
dalam menghadapi perubahan iklim.(*)
116 | DNPI 5 TAHUN
BAB-4_DNPI_OK.indd 116 8/1/13 6:56 PM
pemerintah memperkuat visi pembangunan
berkelanjutan, termasuk penanganan isu
perubahan iklim, dengan cara memperbesar
anggaran untuk hal tersebut dalam APBN.
Menurut Satya, idealnya anggaran untuk itu
mencapai 10 persen dari total anggaran dalam
APBN.
“Kalau negara ini bervisi bahwa ke
depannya Indonesia akan menuju negara yang
berwawasan lingkungan atau menerapkan pola
ekonomi hijau, tentunya Presiden dengan DNPI-
nya mengkoordinasikan ke seluruh kementerian,
sehingga anggaran dan aktualisasi program-
program pro-lingkungan ini ada di setiap
departemen, dan hal itu dikoordinasi oleh DNPI.
Koordinasi tidak berarti ikut mengatur, tetapi
bisa saja memberikan panduan atau melakukan
supervisi dan monitoring. Sehingga, pada waktu
DNPI berbicara keluar bisa mempunyai suara
yang menunjukkan mengerti masalah-masalah
internal atau masalah koordinasi di antara
berbagai macam kementerian,” katanya.
Secara khusus Satya menilai, anggaran untuk
DNPI perlu diperbesar, karena mempengaruhi
Pembalakan liar dan perusakan hutan masih menjadi tantangan berat dalam masalah perubahan iklim:Gambaran deforestasi hutan di Indonesia.
Foto: Dokumentasi DNPI
Koordinasi tidak berarti ikut mengatur, tetapi bisa saja memberikan
panduan atau melakukan supervisi dan monitoring
117DNPI 5 TAHUN |
BAB-4_DNPI_OK.indd 117 8/1/13 6:56 PM
Walaupun perubahan iklim merupakan isu yang baru, Indonesia telah menjadi leader untuk penanganan perubahan iklim global: 5 tahun DNPI.
Foto: Dokumentasi DNPI
pelaksanaan program dan pemberdayaan sumber
daya manusianya. “Kalau dana yang dialokasikan
untuk DNPI kecil dan sumber daya manusianya
juga sangat terbatas, maka apa yang diinginkan
oleh pemerintah tidak mudah terwujud,” kata
Ketua Kaukus Lingkungan Hidup DPR RI itu.
Penguatan Dasar Hukum Baik Satya Widya Yudha sebagai anggota DPR
RI dan Eddy Pratomo sebagai Dubes RI di Jerman
mengatakan bahwa peran DNPI secara nasional
maupun internasional penting, oleh karenanya
keberadaan DNPI perlu diperkuat, tidak hanya
melalui Peraturan Presiden tapi melalui undang-
undang (UU). “Selagi isu perubahan iklim
masih menjadi isu dunia, maka keberadaan
DNPI untuk merespon isu dunia itu dan
mengimplementasikan ke dalam, akan menjadi
sesuatu yang harus tetap ada dan diperjuangkan.
Perlu suatu keputusan pemerintah dan DPR
untuk memperkuat posisi DNPI. Ini kan masalah
dunia, masalah global,” ujar Satya.
Keberadaan sebuah undang-undang,
merupakan keniscayaan, sebab tantangan
perubahan iklim merupakan program jangka
panjang dan mekanisme politik administrasi
pemerintahan maksimum dua periode
kepemimpinan berdurasi 10 tahun, akan sulit
menerapkan komitmen agenda perubahan
iklim di masa mendatang tanpa dasar
instrumen hukum yang memadai. Oleh sebab
itu, dengan keberadaan UU Perubahan Iklim,
pada hakikatnya diharapkan akan mendorong
tiga hal penting: pertama, sebagai fondasi
kerangka pengaturan penetapan target
jangka panjang dan implementasinya secara
sistemik jangka pendek menuju green economy,
sebagaimana yang didengungkan akhir-akhir
ini. Kedua, sebagai landasan dalam tata kelola
yang menurunkan mekanisme pelembagaan
yang terukur, terlaporkan dan terverifikasi dan
ketiga, mendorong berbagai pihak dalam upaya
memobilisasi potensi sumber daya dalam dan
luar negeri.
118 | DNPI 5 TAHUN
BAB-4_DNPI_OK.indd 118 8/1/13 6:56 PM
120 | DNPI 5 TAHUN
Kesadaran tentang perubahan iklim, kini boleh jadi telah
menjadi sebuah kepedulian baru
120 | DNPI 5 TAHUN
BAB-5_DNPI_OK.indd 120 8/1/13 7:25 PM
122 | DNPI 5 TAHUN
KESADARAN tentang perubahan iklim kini telah menjadi sebuah kepedulian baru, walaupun apabila diteliti secara seksama, kesadaran dan kepedulian tersebut tidaklah merata ke seluruh pelosok ma-syarakat. Banyak yang merasakan perubahan se-bagai sesuatu yang abstrak, disebabkan peristiwa iklim yang terjadi merupakan peristiwa global atau makro. Namun, dampak dari perubahan iklim yang berlangsung perlahan tetapi pasti ini, sudah dibukti-kan secara ilmiah dan penuh kehati-hatian. Bahkan, di berbagai tempat, dampak perubahan iklim sangat terasa nyata dan semakin tinggi frekuensinya, misal-nya berupa perubahan cuaca ekstrem yang tidak menentu, banjir, tanah longsor, perubahan musim, yang menyebabkan munculnya wabah penyakit,
Tidak ada satu masa pun dalam kurun setelah Indonesia merdeka, di mana pemerintah, berbagai komunitas, sektor swasta, akademia, lem-baga swadaya masyarakat bahkan agamawan, menyampaikan him-bauan dan mencanangkan tema-tema gerakan dan aksi mereka untuk lingkungan dan perubahan iklim — serancak sekarang ini. Juga dalam beberapa dekade terakhir ini semakin banyak manusia menyatakan, mereka mencintai planet bumi di mana mereka tinggal.
EPILOG
kesulitan pangan, kendala transportasi dan lain-lain. Perubahan iklim ekstrem adalah peristiwa ti-
dak biasa. Ia bukan fenomena alam, melainkan lebih disebabkan karena ulah manusia yang tidak biasa pula, yakni abai menjaga keserasian dengan alam dan sebaliknya, boros dalam mengekploitasi alam. Upaya mengatasinya merupakan tantangan per-adaban melalui pelaksanaan pembangunan rendah emisi karbon yang berkelanjutan. Karena itulah De-wan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) hadir. Dewan ini dibentuk sebagai jawab an tidak biasa dan sebagai wujud eksistensi bangsa Indonesia yang bermarta-bat dan memiliki kepedulian yang serius dalam me-ng atasi pemanasan global serta perubahan iklim.
DNPI telah hadir selama lima tahun. Ibarat kere-ta api, perannya sebagai koordinator bagaikan loko-motif yang berusaha “menyeret gerbong-gerbong” kepedulian atas perubahan iklim bersama para mitra dan sektor terkait pada rel kepenting an Bangsa Indo-nesia dan untuk masa depan planet bumi yang kita cintai.
Indonesia, sejak merdeka berdiri dengan politik bebas aktif, kini semakin dihormati dan mampu lebih tegak mengangkat dagu karena menjadi anggota
Foto : DNPI
BAB-5_DNPI_OK.indd 122 8/1/13 7:25 PM
123DNPI 5 TAHUN |
DNPI hadir untuk koordinasi dan persiapan posisi Indonesia dalam negosiasi internasional
yang membicarakan perubahan iklim
123DNPI 5 TAHUN |Foto : DNPI
BAB-5_DNPI_OK.indd 123 8/1/13 7:25 PM
124 | DNPI 5 TAHUN
pro-aktif dan berperan penting dalam kancah dialog dan perundingan internasional — bersama bangsa-bangsa lain di planet bumi — menjadi warga dunia yang menyatakan peduli dan sanggup bersinergi mengantisipasi perubahan iklim. DNPI berperan di dalamnya, memberikan sumbangsih pemikiran, ra-sionalitas, filosofi dan kerja nyata.
DNPI dalam koordinasi dan persiapan posisi Indonesia dalam negosiasi internasional perubahan iklim, bukan sekadar mewakili bangsa, tetapi juga mengingatkan bangsa lain: negara-negara maju yang ikut mengubah gaya hidup manusia dan yang menyeret planet bumi pada krisis iklim seperti yang kita rasakan saat ini, perlu pemimpin untuk menu-runkan emisi gas-gas rumah kaca (GRK), mendukung mitigasi dan adaptasi negara berkembang melalui bantuan pendanaan, alih teknogi serta pengem-bangan kapasitas. Kiprah DNPI yang mendapatkan dukungan dari Kementerian dan Lembaga anggota DNPI maupun lembaga dan organisasi lain termasuk LSM, sektor swasta dan perguruan tinggi, diharapkan dapat semakin ditingkatkan di kemudian hari.
Lima tahun tentu jangka yang terlalu singkat untuk memberikan penilaian atas sebuah dewan nasional yang diberi amanah mampu memberikan jawaban nasional bahkan global dalam menanggu-
langi perubahan iklim yang dampaknya luar biasa luas dan serius bagi kelangsungan hidup umat manusia. Sekalipun demikian, DNPI melihat, dalam beberapa tahun terakhir semakin banyak mitra yang peduli untuk mengatasi perubahan iklim, dan hal ini mencerminkan semakin banyak teman dan sektor yang perlu bersinergi serta berkoordinasi. Lebih jauh, dengan menjalankan fungsinya seba-gai koordinator, khususnya dalam negosiasi pe-rubahan iklim, DNPI terlibat aktif atas sejarah dan dinamika kita sebagai bangsa bermartabat untuk ikut serta menjaga planet bumi dari kerusakan dan sebaliknya berupaya mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia.
Sebagai institusi yang menjadi harapan ba-nyak pihak, DNPI memang memerlukan penyem-purnaan di masa depan. Namun, kita dapat belajar bersama dari perjalanan lima tahun DNPI ini, me-metik berbagai hal penting untuk dikembangkan di masa mendatang, dan senantiasa membangun optimisme bahwa di tangan orang-orang yang berkomitmen, kiprah hari ini akan tercatat sebagai sejarah peretas jalan menuju masa depan yang lebih gemilang.
Pada akhirnya upaya mengatasi perubahan iklim sama artinya dengan upaya menegakkan martabat bangsa : Hutan dan sungai di Pekanbaru Foto : DNPI
BAB-5_DNPI_OK.indd 124 8/1/13 7:25 PM
AAU : Assign Amount Unit
ADP : Ad-hoc Working Group on Durban Platform for Enhance Action.
AGF : Advisory Group on Finance
AOSIS : Alliance of Small Island States
APBN : Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara
APL : Areal Penggunaan Lain
AR : The First Assessement Report
AR 4 : Assessment Report No 4
AR 5 : Assessment Report No 5
AWG-KP : Ad hoc Working Group on further commitments for Annex I Parties under the Kyoto
Protocol
AWG-LCA : Ad hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention
BAP : Bali Action Plan
BAU : Bussiness as Usual
BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
BMKG : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
BOCM : Bilateral Offset Crediting Mechanism
BPPT : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
CAN : Climate Action Network
CBDR : Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities.
CDM : Clean Development Mechanism
CER : Certified Emission Reduction
CIFOR : Center for International Forestry Research
CLS : Carbon Linked Incentive Scheme
CMP : Conference of the Parties serving as the Meeting of the Parties to the Kyoto Protocol
COP : Conference of the Parties
CSF : Civil Society Forum
CTC-N : Climate Technology Centre and Network
DELRI : Delegasi Republik Indonesia
DNA : Designated National Authority
DNPI : Dewan Nasional Perubahan Iklim
EGTT : Expert Group on Technology Transfer
EIT : Economies in Transition.
ESDM : Energi dan Sumber Daya Mineral
ET : Emission Trading
EU : European Union
EU-ETS : European Union Emission Trading Scheme
FIRM : Facilitating Implementation and Readiness for Mitigation
FVA : Framework for Various Approach
GEF : Global Environment Facility
GRK : Gas Rumah Kaca
DAFTAR SINGKATAN
125DNPI 5 TAHUN |
DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 125 8/1/13 10:12 PM
GWP : Global Warming Potensial
ICCC : Indonesia Climate Change Center
ICCSR : Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap
ICCTF : Indonesia Climate Change Trust Fund
ICSU : International Council of Scientific Union
IPB : Institut Pertanian Bogor
IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change
ITB : Institut Teknologi Bandung
ITL : Intrenational Trade Log
ITS : Institut Teknologi Surabaya
JCM : Joint Credit Machanism
KIARA : Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
KLH : Kementerian Lingkungan Hidup
KNMPB : Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih
KTT : Konferensi Tingkat Tinggi
LCA : Longterm Cooperative Action
LCAPs : Low Carbon Action Plans
LCGs : Low Carbon Growth Strategy
LDC : Least Developed Country
LDCs : Least Developed Countries
LEDS : Low Emission Development Scenario
LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LoA : Letter of Approval
LOI : Letter of Intent
LPBI : Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
LULUCF : Land Use, Land Use Change and Forestry
MDGS : Millennium Development Goals
MRV : Monitoring, Reporting and Verification
NAMAC : Nationally Appropriate Mitigation Commitments or Actions of Annex-1 Parties
NAMAs : Nationally Appropriate Mitigation Actions.
NASA : National Aeroautics and Space Administration
Natcom : National Communication
NMM : New Market Mechanism
PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa
PMR : Partnership for Market Readiness
RAD GRK : Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
RAN API : Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim
RAN GRK : Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
RAN MAPI : Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
RBCS : Regenerate Burns Combustion System
REDD : Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation
REDD+ : Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus
126 | DNPI 5 TAHUN
DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 126 8/1/13 10:12 PM
REL : Reference Emission Level
RIL : Reduce Impact Logging
RKTN : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
RL : Reference Level
RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Satgas REDD+ : Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+
SBI : Subsidiary Body for Implementation.
SBSTA : Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice
SFM : Sustainable Forest Management
SIDS : Small Island Developing States
SIGN : Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional
SIS : Safeguard Information System
SKN : Skema Karbon Nusantara
SMF : Sustainable Management of Forest
TAPs : Technology Action Plans
TEC : Technology Executive Committee
TNAs : Technological Need Assessments
TWN : Third World Network
UGM : Universitas Gajah Mada
UKAID : United Kingdom Agency for International Development
UKM : Usaha Kecil dan Menengah
UKP4 : Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan.
UNCCD : United Nations Convention to Combat Desertification
UNCED : United Nations Conference on Environmental Development.
UNEP : United Nations Environment Programme
UNFCC : United Nations Framework Convention on Climate Change
UNFPA : United Nations Population Fund
WG : Work Group
WMO : World Meteorological Organization
127DNPI 5 TAHUN |
DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 127 8/1/13 10:12 PM
Environment and Development.
rev 3 8.indd 43 8/2/13 10:09:07 AM
Bappenas. 2010. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-PE GRK). Bappenas. Jakarta.
Bappenas-GTZ, 2010: Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). Bappenas-GTZ, Jakarta.
Boer, R. 2009. “Potensi Pembangunan Bersih (MPB) di Indonesia.” Presentasi disampaikan pada Diskusi Panel Kegiatan
MPB Kehutanan Indonesia, Bogor 23 Juni 2010. Kerjasama antara Dewan Nasional Perubahan Iklim,
Kementreian Kehutanan, dan International Finance Institution (IFC).
[DNPI] Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2010. Emissions, abatement and carbon stock of Indonesia’s forests and peat-
lands. Tidak dipublikasikan.
[DNPI] Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2011. Penyusunan Informasi Tematik Untuk Mengantisipasi Dampak
Perubahan Iklim Terhadap Isu Prioritas Nasional Bidang Pangan,Kesehatan, Dan Fenomena Iklim Ekstrim.
Gore, Albert. 2011. Our Choice: Rencana untuk Memecahkan Krisis Iklim. (Terjemahan: P Handono Hadi). Kanisius
Jakarta. 446 halaman.
Huelsenbeck, M. 2012, Ocean-Based Food Security Threatened in a High CO2 World : A Ranking of Nations’ Vulnerability to
Climate Change and Ocean Acidification. OCEANA.
[IPCC ] Intergovermental Panel on Climate Change. 2007. Assessement Report Fourth (AR4).http://www.ipcc.ch/
publications_and_data/publications_ipcc_fourth_assessment_report_synthesis_report.htm ( diakses 20
Mei 2013)
[IPCC] Intergovermental Panel on Climate Change .2003. Good Practice Guidance for Land Use,Land-Use Change
and Forestry. IPCC- National Greenhouse Gas Inventories Programme (NGGIP) The Institute for Global
Environmental Strategies (IGES). http://www.ipcc-nggip.iges.or.jp/public/gpglulucf/gpglulucf_contents.html
(diakses 14 Juni 2013)
Met-Office. 2011. Climate: Observations, projections and impacts – Indonesia, Met-Office, UK. http://www.metoffice.
gov.uk/media/pdf/8/f/Indonesia.pdf (diakses 17 Juni 2013)
Murdiyarso, D. 2010. Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi ke Meja Perundingan. Prisma. Vol 29 (2) 23. LP3ES.
Jakarta
Nugroho, W. 2011. Rachmat Witoelar dan Perubahan Iklim. Penerbit Kompas. Jakarta.
[KLH ] Kementerian Lingkungan Hidup. 2007. Indonesia Contry Report: Climate Variability and Climate Change, and
Their Implication . Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim di Malang Raya. KLH-GIZ-
AusAID.
Stern,N.H. 2007. The Economic of Climate Change :The Stern Review. Cambrigde University Press.
http://www.hm-treasury.gov.uk/d/Executive_Summary.pdf (diakses 13 Mei 2013)
Timmermann, A. 2001, Changes of ENSO stability due to Greenhouse Warming. Geophysical Research Letters 28 ( 8): 2064-
2066.
Timmermann, A., M. Latif, A. Bacher, J. Oberhuber, E. Roeckner. 1999. Increased El-Niño. Nature. 398: 694-696.
Torrence, C. and G. P. Compo., 1999, A Practical Guide to Wavelet Analysis, Bulletin of the American Meteorological Society,
79, 1:61–78.
Vermeer, M. and S. Rahmstorf. Global sea level linked to global temperature, PNAS, 106, 51, 21527-21532.
Webster, P. J., G. J. Holland, J. A. Curry, and H. R. Chang. 2005. Changes in tropical cyclone number, duration, and intensity
in a warming environment. Science. 309: 1844-1846.
World Bank. 2012. Turn Down the Heat Why 40 Centrigrade Warmer World Must be Avoided. A Report for the World Bank
by the Potsdam Institute for Climate Impact Research and Climate Analytics. http://climatechange.worldbank.
org/sites/default/files/Turn_Down_the_heat_Why_a_4_degree_centrigrade_warmer_world_must_be_
avoided.pdf (diakses 23 Juni 2013)
WEBSITE: http://green.kompasiana.com/iklim/2011/03/27/bogor-kota-yang-tidak-sejuk-lagi-351962.html
http://www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends
http://www.ipcc.ch/ipccreports/1992_assessments_far_overview.pdf.
http://www.cifor.org
DAFTAR PUSTAKA
128 | DNPI 5 TAHUN
DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 128 8/1/13 10:12 PM
0
http: //www.dnpi.go.id
rev 3 8.indd 44 8/2/13 10:09:08 AM
CATATAN SUMBER RUJUKAN BAB 3. KIPRAH DNPI SELAMA LIMA TAHUNBahan-bahan pada bab tiga diolah dan dirangkum dari kontribusi tulisan Kelompok Kerja di DNPI. Adaptasi ditulis oleh Ari
Muhammad; Mitigasi ditulis oleh Farhan Helmy; Komunikasi, Informasi dan Edukasi ditulis oleh Amanda Katili Niode;
Kehutanan dan Alih Guna Lahan ditulis oleh Doddy S. Sukadri; Alih Teknologi ditulis oleh Widiatmini Sih Winanti; Pendanaan
ditulis oleh Suzanty Sitorus; Perdagangan Karbon ditulis oleh Dicky Edwin Hindarto; Negosiasi Internasional ditulis oleh
Muhammad Farid; UKP-PPI dan KaHar DNPI oleh Moekti H. Soejachmoen; Peningkatan Kapasitas ditulis oleh Agus Supangat
ICCC (Indonesia Climate Change Center) ditulis oleh Murni Titi Resdiana
CATATAN SUMBER RUJUKAN BAB 4. TANTANGAN DAN HARAPANDiolah dari hasil wawancara dengan para narasumber dan ditulis kembali oleh Fachruddin M. Mangunjaya, Yani Saloh, Nur R. Fajar,
Farhan Helmy, dan Agus Soetomo.
129DNPI 5 TAHUN |
DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 129 8/1/13 10:12 PM
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2009. Album Peta Informasi Tematik untuk Mengantisipasi Dampak Perubahan
Iklim Terhadap Isu Prioritas Nasional Bidang Pangan, Kesehatan dan Fenomena Iklim Ekstrim. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2009. Profil Perubahan Iklim di Indonesia. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2009. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. DNPI bekerjasama dengan
Dana Mitra Lingkungan. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2009. National Economic, Environment, and Development Studies for Climate
Change – NEEDS (DNPI dan UNFCCC). Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2009. Opsi-opsi Pembangunan Rendah Karbon – Peluang dan Kebijakan
Pengurangan Emisi: Sektor Manufaktur. Kerjasama DNPI, Kementerian Keuangan dan World Bank. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2009. Opsi-opsi Pembangunan Rendah Karbon – Peluang dan Kebijakan
Pengurangan Emisi: Sektor Transportasi. Kerjasama DNPI, Kementerian Keuangan dan World Bank. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Penyusunan Pemetaan Kerentanan Perubahan Iklim Provinsi Sumatera
Utara. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Rekomendasi Langkah Tindak: Pengembangan Measurable, Reportable
and Verifiable (MRV). DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Kurva Biaya (Cost Curve) Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia.
DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Menciptakan Kesejahteraan Rendah Karbon di Kalimantan Tengah.
DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Strategi Pembangunan Kalimantan Timur yang Berkelanjutan dan
Ramah Lingkungan. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Menciptakan Kesejahteraan Rencah Karbon di Jambi. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Panduan Observasi Perubahan Iklim di Indonesia. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Indonesia’s Technology Needs Assessment for Climate Change Mitigation.
DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Indonesia’s Technology Needs Assessment for Climate Change
Adaptation. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Policy Memo – Economic Incentive Policies for REDD+ in Indonesia:
Findings from OSIRIS Model. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2010. Studi Kebijakan dan Sains Adaptasi. Kerjasama: DNPI, LAPI ITB, UK AID,
British Council. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Kajian Respon Masyarakat terhadap Rencana Aksi Nasional Perubahan
Iklim. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Soul Views on Climate Change. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi serta Inventarisasi Kebijakan
dan Kelembagaan Dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Pendanaan Adaptasi. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Indonesia. DNPI.
Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Bumiku: Pegangan Guru tentang Perubahan Iklim. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. Bumiku: Pegangan Siswa tentang Perubahan Iklim. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2011. DNPI Green Review on REDD+ . DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012.Kajian Kerentanan Perubahan Iklim di Provinsi Kepulauan Riau. DNPI.
Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Indonesia’s Technology Needs Assessment and Technology Action Plans
for Climate Change Mitigation. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Indonesia’s Technology Needs Assessment and Technology Action Plans
for Climate Change Adaptation. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Direktori Data dan Informasi Adaptasi Perubahan Iklim. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Menegosiasikan Pendanaan: Panduan untuk Negosiator Indonesia
mengenai Pendanaan Perubahan Iklim dalam Konteks UNFCCC. DNPI. Jakarta.
PUBLIKASI DNPI 2009-2012
130 | DNPI 5 TAHUN
DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 130 8/1/13 10:12 PM
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Pendanaan Perubahan Iklim melalui Kerjasama Pemerintah-Swasta.
DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Kajian Penelaahan Mengenai Pendanaan Jangka Pendek (Fast-Start
Finance) Perubahan Iklim untuk Indonesia. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Evaluasi dan Pemutakhiran Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim di
Indonesia. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Skema Karbon Nusantara: Persyaratan dan Ketentuan. DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Panduan Pelatihan Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko
Bencana: “Mengintegrasikan Kemampuan Masyarakat Dalam Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan
Risiko Bencana”. LPBI NU, WWF-Indonesia, DNPI. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Kajian Awal Penyusunan Kelembagaan MRV: Pilihan-pilihan yang
Memungkinkan untuk Indonesia Berdasarkan Pengalaman Internasional Kerjasama. DNPI, JICA. Jakarta
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Land-Use and Land Use Change Dynamics in Kalimantan, Indonesia
(1990-2012). DNPI, JICA. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Low Carbon Emission Development Strategy in Indonesia: Energy Sector.
DNPI, JICA. Jakarta.
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Policy Memo: Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia.
DNPI, ICCC. Jakarta
Dewan Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. 2012. Population Dynamics and Climate Change in Indonesia: Mobilizing for a
Sustainable Future. Kerjasama UNFPA Indonesia, DNPI. Jakarta.
PUBLIKASI NON-MATERI (FILM) DNPITahun 2009 • Lakukan Sekarang Juga
Tahun 2010 • Perubahan Iklim di Halaman Kita
Tahun 2011• Bumiku
Tahun 2012 • Senandung Bumi
131DNPI 5 TAHUN |
DS_DP_Pub_DNPI_OK.indd 131 8/1/13 10:12 PM
AGUS PURNOMOSTAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG PERUBAHAN IKLIM, KEPALA SEKRETARIAT DNPI DAN SEKRETARIS SATGAS PERSIAPAN KELEMBAGAAN REDD+Agus Purnomo, atau akrab dipanggil Pungki, pada bulan Mei 2010, ditugaskan melakukan negosiasi kerja sama Indonesia dengan Norwegia dan berhasil memperoleh komitmen pendanaan sebesar satu miliar dollar AS.
RACHMAT WITOELAR UTUSAN KHUSUS PRESIDEN INDONESIA UNTUK PERUBAHAN IKLIM DAN KETUA HARIAN DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM INDONESIA. PRESIDEN COP 13/CMP 3 DI BALI TAHUN 2007 DAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP (2004-2009)Pernah ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia untuk Rusia (1993-1997), setelah sebelumnya memiliki masa jabatan yang panjang sebagai anggota DPR RI (1971-1993). Ia menerima Gelar Kehormatan Profesor dalam Pengelolaan Lingkungan dari Griffith University, Australia, 20 Maret 2008.
TIM KERJA PENYUSUN BUKU
AMANDA KATILI NIODEKOORDINATOR DIVISI KOMUNIKASI, INFORMASI & EDUKASI DNPIAktif dalam organisasi internasional sebagai Manajer di The Climate Reality Project Indonesia, bagian dari Al Gore’s Climate Change Leadership Programme yang bertujuan untuk mendidik masyarakat umum tentang dampak perubahan iklim serta solusinya. Ia merupakan National Focal Point & UNFCCC untuk pendidikan, pelatihan dan penyadaran masyarakat.
MURNI TITI RESDIANAKOORDINATOR DIVISI ADMINISTRASI UMUM DNPIIa dipercayai menangani kegiatan-kegiatan administrasi di DNPI, mulai dari koordinasi internal hingga pengembangan program dan kerja sama luar negeri. Selain itu, Titi juga dikenal sebagai ahli program Cleaner Production mengenai perubahan iklim.
AGUS TAGORKOORDINATOR DIVISI PEMANTAUAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN KEPUTUSAN
DEWAN DNPIPernah menjadi Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup, anggota MPR/DPR RI dan anggota KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Ia juga dikenal sebagai tokoh Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia ( PRSSNI)
132 | DNPI 5 TAHUN
TKPB_DNPI_OK.indd 132 8/1/13 7:19 PM
program, termasuk pengembangan program kerja. Disamping itu, ia juga bertanggung-jawab mengkoordinasikan kerja sama luar negeri.
DICKY EDWIN HINDARTOKOORDINATOR DIVISI MEKANISME PERDAGANGAN KARBONBerbekal pengalaman lebih dari 12 tahun di bidang manajemen energi, pengembangan kebijakan energi, dan konservasi energi serta energi terbarukan, Dicky kemudian diberi tanggung jawab untuk mengembangkan skema perdagangan karbon di DNPI.
AGUS SUPANGATKOORDINATOR DIVISI PENINGKATAN KAPASITAS PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DNPIAgus Supangat bertugas mengkaji dan merumuskan kebijakan untuk mitigasi maupun adaptasi berbasis ilmiah, menyiapkan pelatihan kesadaran publik, serta menulis tulisan ilmiah populer, artikel ilmiah, dan novel bertema peningkatan kesadaran perubahan iklim masyarakat.
DODDY S SUKADRISEKRETARIS, LAND USE LAND USE CHANGE AND FORESTRY (LULUCF)Doddy Sukadri berpengalaman lebih dari 25 tahun di bidang kehutanan, maka ia pun dipercaya melakukan perencanaan kehutanan, reforestasi dan rehabilitasi lahan, pengembangan dan riset kebijakan kehutanan, serta strategi perubahan iklim global.
FARHAN HELMYSEKRETARIS KELOMPOK KERJA MITIGASI DNPIMemiliki pengalaman internasional lebih dari 20 tahun di bidang penelitian dan analisis kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan. Saat ini ia menjadi lead negotiator Indonesia untuk perundingan isu mitigasi di forum UNFCCC. Keahliannya terfokus pada bidang dinamika spasial dan perubahan tataguna lahan, permodelan ekonomi dan lingkungan (LEDs).
ARI MUHAMMADSEKRETARIS KELOMPOK KERJA ADAPTASI DNPIAri bertugas membantu penguatan dan pengarusutamaan adaptasi di Indonesia. Ia merencanakan program adaptasi, aktif menulis artikel tentang kebijakan lingkungan hidup dan adaptasi perubahan iklim serta beberapa penelitian.
MOEKTI HANDAJANI SOEJACHMOEN (KUKI)SEKRETARIS KELOMPOK KERJA NEGOSIASI INTERNATIONAL.Selain itu, ia juga menjadi Asisten Khusus pada Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI). Kuki juga aktif dalam proses negosiasi internasional pengendalian perubahan iklim.
MUHAMMAD FARIDSEKRETARIS KELOMPOK KERJA ALIH GUNA LAHAN DAN KEHUTANAN DNPIFarid memulai karirnya di Conservation International (CI) pada tahun 1999, dan kemudian menekuni bidang REDD+, LULUCF, NAMAs dan Adaptasi sejak tahun 2007.
NUR R. FAJARDEPUTI ASISTEN STAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG PERUBAHAN IKLIMIa mempunyai keahlian sebagai penulis sekaligus analis pemberitaan isu perubahan iklim. Nur R Fajar juga tercatat sebagai wartawan pada Kantor Berita Antara Jakarta.
133DNPI 5 TAHUN |
TKPB_DNPI_OK.indd 133 8/1/13 7:19 PM
Focal Point Article 6 unFccc untuk pendidikan, penelitian dan penyadaran masyarakat.
rev 3 8.indd 46 8/2/13 10:21:30 AM
AGUS PURNOMOSTAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG PERUBAHANIKLIM, KEPALA SEKRETARIAT DNPI DANSEKRETARIS SATGAS PERSIAPAN KELEMBAGAANREDD+Agus Purnomo, atau akrab dipanggil Pungki,pada bulan Mei 2010, ditugaskan melakukan negosiasi kerja sama Indonesia dengan Norwegia dan berhasil memperoleh komitmen pendanaan sebesar satu miliar dollar AS.
RACHMAT WITOELARUTUSAN KHUSUS PRESIDEN INDONESIA UNTUKPERUBAHAN IKLIM DAN KETUA HARIAN DEWANNASIONAL PERUBAHAN IKLIM INDONESIA.PRESIDEN COP 13/CMP 3 DI BALI TAHUN 2007DAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP (2004-2009)Pernah ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia untuk Rusia (1993-1997), setelah sebelumnya memiliki masa jabatan yang panjang sebagai anggota DPR RI (1971-1993). Ia menerima Gelar Kehormatan Profesor dalam Pengelolaan Lingkungan dari Griffith University, Australia, 20 Maret 2008.
TIM KERJA PENYUSUN BUKU
AMANDA KATILI NIODEKOORDINATOR DIVISIKOMUNIKASI, INFORMASI &EDUKASI DNPIAktif dalam organisasi internasional sebagai Manajer di The Climate Reality Project Indonesia, bagian dari Al Gore’s Climate Change Leadership Programme yang bertujuan untuk mendidik masyarakat umum tentang dampak perubahan iklim serta solusinya.Ia merupakan NationalFocal Point & UNFCCC untuk pendidikan, pelatihan dan penyadaran masyarakat.
MURNI TITI RESDIANAKOORDINATOR DIVISIADMINISTRASI UMUM DNPIIa dipercayai menangani kegiatan-kegiatan administrasi di DNPI, mulai dari koordinasi internal hingga pengembangan program dan kerja sama luar negeri. Selain itu,Titi juga dikenal sebagai ahli program Cleaner Production mengenai perubahan iklim.
AGUS TAGORKOORDINATOR DIVISIPEMANTAUAN DAN EVALUASIPELAKSANAAN KEPUTUSAN
DEWAN DNPIPernah menjadi Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup,anggota MPR/DPR RI dan anggota KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara). Ia juga dikenal sebagai tokoh Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia ( PRSSNI)
132 | DNPI 5 TAHUN
TKPB_DNPI_OK.indd 132 8/1/13 7:19 PM
DICKY EDWIN HINDARTOKOORDINATOR DIVISI MEKANISME PERDAGANGAN KARBONBerbekal pengalaman lebih dari 12 tahun di bidang manajemen energi, pengembangan kebijakan energi, dan konservasi energi serta energi terbarukan, Dicky kemudian diberi tanggung jawab untuk mengembangkan skema perdagangan karbon di DNPI.
AGUS SUPANGATKOORDINATOR DIVISI PENINGKATAN KAPASITAS PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DNPIAgus Supangat bertugas mengkaji dan merumuskan kebijakan untuk mitigasi maupun adaptasi berbasis ilmiah, menyiapkan pelatihan kesadaran publik, serta menulis tulisan ilmiah populer, artikel ilmiah, dan novel bertema peningkatan kesadaran perubahan iklim masyarakat.
DODDY S SUKADRISEKRETARIS, LAND USE LAND USE CHANGE AND FORESTRY (LULUCF)Doddy Sukadri berpengalaman lebih dari 25 tahun di bidang kehutanan, maka ia pun dipercaya melakukan perencanaan kehutanan, reforestasi dan rehabilitasi lahan, pengembangan dan riset kebijakan kehutanan, serta strategi perubahan iklim global.
FARHAN HELMYSEKRETARIS KELOMPOK KERJA MITIGASI DNPIMemiliki pengalaman internasional lebih dari 20 tahun di bidang penelitian dan analisis kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan. Saat ini ia menjadi lead negotiator Indonesia untuk perundingan isu mitigasi di forum UNFCCC. Keahliannya terfokus pada bidang dinamika spasial dan perubahan tataguna lahan, permodelan ekonomi dan lingkungan (LEDs).
ARI MUHAMMADSEKRETARIS KELOMPOK KERJA ADAPTASI DNPIAri bertugas membantu penguatan dan pengarusutamaan adaptasi di Indonesia. Ia merencanakan program adaptasi, aktif menulis artikel tentang kebijakan lingkungan hidup dan adaptasi perubahan iklim serta beberapa penelitian.
MOEKTI HANDAJANI SOEJACHMOEN (KUKI)SEKRETARIS KELOMPOK KERJA NEGOSIASI INTERNATIONAL.Selain itu, ia juga menjadi Asisten Khusus pada Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI). Kuki juga aktif dalam proses negosiasi internasional pengendalian perubahan iklim.
MUHAMMAD FARIDSEKRETARIS KELOMPOK KERJA ALIH GUNA LAHAN DAN KEHUTANAN DNPIFarid memulai karirnya di Conservation International (CI) pada tahun 1999, dan kemudian menekuni bidang REDD+, LULUCF, NAMAs dan Adaptasi sejak tahun 2007.
NUR R. FAJARDEPUTI ASISTEN STAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG PERUBAHAN IKLIMIa mempunyai keahlian sebagai penulis sekaligus analis pemberitaan isu perubahan iklim. Nur R Fajar juga tercatat sebagai wartawan pada Kantor Berita Antara Jakarta.
133DNPI 5 TAHUN |
TKPB_DNPI_OK.indd 133 8/1/13 7:19 PM
Penasehat Bidang PemBangU nan Rendahemisi KaRBon
DICKY EDWINHINDARTOKOORDINATORDIVISI MEKANISMEPERDAGANGANKARBONBerbekal pengalaman lebih dari 12 tahun di bidang manajemen energi,pengembangan kebijakan energi, dan konservasi energi serta energi terbarukan,Dicky kemudian diberi tanggung jawab untuk mengembangkan skema perdagangan karbon di DNPI.
AGUS SUPANGATKOORDINATORDIVISI PENINGKATANKAPASITAS PENELITIANDAN PENGEMBANGANDNPIAgus Supangat bertugas mengkaji dan merumuskan kebijakan untuk mitigasi maupun adaptasi berbasis ilmiah, menyiapkan pelatihan kesadaran publik, serta menulis tulisan ilmiah populer, artikel ilmiah, dan novel bertema peningkatan kesadaran perubahan iklim masyarakat.
DODDY SSUKADRISEKRETARIS, LAND USELAND USE CHANGE
(LULUCF)Doddy Sukadri berpengalaman lebih dari 25 tahun di bidang kehutanan, maka ia pun dipercaya melakukan perencanaan kehutanan, reforestasi dan rehabilitasi lahan, pengembangan dan riset kebijakan kehutanan, serta strategi perubahan iklim global.
FARHAN HELMYSEKRETARISKELOMPOK KERJAMITIGASI DNPIMemiliki pengalaman internasional lebih dari 20 tahun di bidang penelitian dan analisis kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan.Saat ini ia menjadi lead negotiator Indonesiauntuk perundingan isu mitigasi di forum UNFCCC. Keahliannya terfokus pada bidang dinamika spasial dan perubahan tataguna lahan, permodelan ekonomi dan lingkungan (LEDs).
ARI MUHAMMADSEKRETARISKELOMPOK KERJAADAPTASI DNPIAri bertugas membantu penguatan dan pengarusutamaan adaptasi di Indonesia.Ia merencanakan program adaptasi, aktif menulis artikel tentang kebijakan lingkungan hidup dan adaptasi perubahan iklim serta beberapa penelitian.
MOEKTIHANDAJANISOEJACHMOEN(KUKI)SEKRETARISKELOMPOK KERJANEGOSIASIINTERNATIONAL.Selain itu, ia juga menjadi Asisten Khusus pada Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI). Kuki juga aktif dalam proses negosiasi internasional pengendalian perubahan iklim.
MUHAMMADFARIDSEKRETARISKELOMPOK KERJAALIH GUNA LAHAN DANKEHUTANAN DNPIFarid memulai karirnya di Conservation International (CI) pada tahun 1999, dan kemudian menekuni bidang REDD+,LULUCF, NAMAs dan Adaptasi sejak tahun 2007.
NUR R. FAJARDEPUTI ASISTEN STAFKHUSUS PRESIDENBIDANG PERUBAHANIKLIMIa mempunyai keahlian sebagai penulis sekaligus analis pemberitaan isu perubahan iklim. Nur R Fajar juga tercatat sebagai wartawan pada Kantor Berita Antara Jakarta.
133DNPI 5 TAHUN |
TKPB_DNPI_OK.indd 133 8/1/13 7:19 PM
.
rev 3 8.indd 47 8/2/13 10:21:33 AM
TIM KERJA PENYUSUN BUKU
SUZANTY SITORUSSEKRETARIS KELOMPOK KERJA PENDANAAN DNPISelain mendukung tugas Pokja Pendanaan dalam urusan koordinasi pendanaan perubahan iklim di dalam negeri, ia juga mewakili Indonesia dalam berbagai pertemuan dan perundingan internasional.
AGUS SOETOMO Penulis, editor, dan konsultan penerbit untuk berbagai jenis media maupun publikasi.
JANNATA GIWANGKARA Staf Divisi Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Keputusan Dewan (PEPKD) di DNPI, dengan spesialis bidang cuaca dan iklim, analisis lingkungan hidup, penginderaan jauh dan teknologi informasi.
WIDIATMINI SIH WINANTISEKRETARIS KELOMPOK KERJA ALIH TEKNOLOGI DNPIBidang keahlian yang ditekuni di antaranya adalah teknologi rendah karbon, alih teknologi untuk perubahan iklim, teknologi produksi bersih, efisiensi energi, dan teknologi ramah lingkungan.
GITA FARAKonsultan publikasi media dan event organizer.
M. RIDWAN SOLEHStaf Divisi Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Keputusan Dewan (PEPKD) di DNPI, khususnya menangani berbagai hal teknis administrasi, kegiatan lapangan dan dokumentasi fotografi.
YANI SALOHASISTEN STAF KHUSUS PRESIDEN RI BIDANG PERUBAHAN IKLIM
ADECA STUDIOKelompok desainer grafis profesional untuk menangani publikasi dan promosi melalui media
FACHRUDDIN MAJERI MANGUNJAYA Dosen di Fakultas Biologi Universitas Nasional dan juga aktivis yang bergerak di bidang perubahan iklim dan pelestarian lingkungan, serta penulis sejumlah buku lingkungan.
FRANS TORUANSTAF DIVISI PEMANTAUAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN KEPUTUSAN DEWAN (PEPKD) DNPI. Frans dikenal teliti menangani pekerjaan-pekerjaan teknis administrasi dan perencanaan.
MARIZA HAMIDAktivis lingkungan dan perubahan iklim, serta konsultan public relation.
134 | DNPI 5 TAHUN
TKPB_DNPI_OK.indd 134 8/1/13 7:19 PM
Produser Film dan Konsultan Komunikasi Perubahan Iklim.
rev 3 8.indd 48 8/2/13 10:21:33 AM
Sebagai Forestry, Climate Change and Communications Specialist, bagian dari tim Stafsus, memberi-kan masukan kepada Presiden dan Seskab mengenai isu-isu perubahan iklim lokal dan global, termasuk isu kehutanan.