budaya politik

8
Oleh Asep Setiawan Pendahuluan Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak aliran perilaku (behavioralism). Namun istilah ini mengandung kontroversial karena tidak jelas konsepnya. Para pengkritiknya menyebutkan, penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep menjelaskan fenomena politik. Namun demikian dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, istilah ini kerapkali digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok. Makalah ini akan mengeksplorasi secara luas pengertian budaya politik dari berbagai pakar. Meskipun hanya mengemukakan berbagai pendapat tentang budaya politik diharapkan bisa memberikan gambaran konsep yang kontroversial ini. Pola sikap dan orientasi individu Menurut Gabriel Almond (1966)budaya politik adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap politik diantara anggota sistem politik. Orientasi individu itu memiliki sejumlah komponen yakni : 1. Orientasi Kognitif : pengetahuan, keyakinan 2. Orientasi Afektif : perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya tentang ibyek politik 3. Orientasi Evaluasi : penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian. Orientasi individu terhadap obyek politik dapat dipandang dari tiga hal itu. Oleh karena itu seorang individu mungkin memiliki tingkat akurasi tinggi terhadap cara kerja sistem politik, siapa

Transcript of budaya politik

Page 1: budaya politik

Oleh Asep Setiawan

Pendahuluan

Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak aliran perilaku (behavioralism). Namun istilah ini mengandung kontroversial karena tidak jelas konsepnya. Para pengkritiknya menyebutkan, penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep menjelaskan fenomena politik.

Namun demikian dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, istilah ini kerapkali digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok.

Makalah ini akan mengeksplorasi secara luas pengertian budaya politik dari berbagai pakar. Meskipun hanya mengemukakan berbagai pendapat tentang budaya politik diharapkan bisa memberikan gambaran konsep yang kontroversial ini.

Pola sikap dan orientasi individu

Menurut Gabriel Almond  (1966)budaya politik adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap politik diantara anggota sistem politik. Orientasi individu itu memiliki sejumlah komponen yakni :

1. Orientasi Kognitif  : pengetahuan, keyakinan2. Orientasi Afektif  : perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya tentang ibyek

politik

3. Orientasi Evaluasi : penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian.

Orientasi individu terhadap obyek politik dapat dipandang dari tiga hal itu. Oleh karena itu seorang individu mungkin memiliki tingkat akurasi tinggi terhadap cara kerja sistem politik, siapa pemimpinnya dan masalah-masalah dari kebijakannya. Inilah yang disebut dimensi kognitif.

Namun ia mungkin memiliki perasaan alienasi atau penolakan terhadap sistem. Mungkin keluarga atau sahabatnya sudah punya sikap seperti itu. Mungkin ia tak merespon tuntutan terhadapnya oleh sistem. Itulah yang disebut dimensi afektif.

Akhirnya seseorang mungkin memiliki penilaian moral terhadap sistem. Barangkali noram-norma demokrasinya mendorong dia menilai sistem sebagai tidak cukup responsif terhadap tuntutan politik atas norma-norma etiknya mendorong dia mengecam tingkat korupsi dan nepotisme.Dimensi-dimensi ini saling berkaitan dan mungkin memiliki kombinasi dalam berbagai cara.

Orientasi individu dan kolektif

Page 2: budaya politik

Walter A Rosenbaum menyebutkan, budaya politik dapat didefinisikan dalam dua cara. Pertama, jika terkonsentrasi pada individu, budaya politik merupakan fokus psikologis. Artinya bagaimana cara-cara seseorang melihat sistem politik. Apa yang dia rasakan dan ia pikir tentang simbol, lembaga dan aturan yang ada dalam tatanan politik dan bagaimana pula ia meresponnya.

Kedua, budaya politik merujuk pada orientasi kolektif rakyat terhadap elemen-elemen dasar dalam sistem politiknya. Inilah yang disebut “pendekatan sistem”.

Aspek politik sistem nilai

Albert Widjaja menyatakan budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan diakui sebagain besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional untuk mneolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Ia malah menyamakan budaya politik dengan konsep “ideologi” yang dapat berarti “sikap mental”, “pandangan hidup”, dan “struktur pemikiran”. Budaya politik, katanya, menekankan ideologi yang umum berlaku di masyarakat, bukan ideologi perorangan yang sifatnya sering khusus dan beragam.

Obyek-obyek Orientasi Politik

Obyek yang jadi orientasi politik adalah sistem politik secara keseluruhan, peran politik atau struktur tertentu,individu atau kelompok yang memikul peran tertentu, kebijakan publik yang khusus. Termasuk didalamnya adalah aktor politik dan ego dari aktor politik.

Almond sendiri seperti dikutip dalam Mochtar Mas’oed (1984) membagi tiga jenis budaya politik.

1. Budaya politik parokial dimana kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada semakli terhadap sistem politik. Kelompok ini aka ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.

2. Budaya politik kaula adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur inputs.

3. Budaya politik partisipan adalah individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses  dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan.

Rosenbaum menulis daftar tentang orientasi terhadap elemen-elemen tatanan politik.

1. 1. Orientasi terhadap struktur pemerintah2. Orientasi rejim, bagaimana individu mengevaluasi dan merespon terhadap lembaga

pemerintahan, simbol-simbol, para pejabat dan norma-normanya.

3. Orientasi terhadap inputs dan outputs pemerintah, bagaimana individu merasakan dan merespon terhadap tuntutan untuk kebijakan publik dan kebijakan yang diputuskan pemerintah.

Page 3: budaya politik

4. 2. Orientasi terhadap yang lain dalam sistem politik

5. Orientasi identifikasi, kesatuan politik, wilayah geografis dan kelompok dimana ia merasa memilikinya.

6. Kepercayaan politik, sejauh mana seseorang merasa terbuka, kooperatif atau bersikap toleran dalam bekerja dalam kehidupan masyarakat.

7. “Aturan permainan”, konsep individu tentang aturan mana yang harus diikuti dalam kehidupan kenegaraan.

8. 3. Orientasi terhadap Aktivitas Politiknya

9. Kompetensi Politik, seberapa sering dan dalam cara bagaimana seseorang berpartisipasi dalam kehidupan politik, mana yang paling sering digunakan sebagai sumber politik baginya dalam masalah kenegaraan.

10. Political Efficacy, perasaan bahwa tindakan politik individu memiliki atau dapat menghadirkan pengaruh atas proses politik.

Penutup

Meskipun pengertian budaya politik masih kabur, namun berbagai pandangan yang muncul dari pakar politik memperlihatkan upaya untuk menguraikan soal pelik ini. Dari berbagai pendapat itu memang terlihat bahwa bidaya politik terkait dengan sesuatu yang abstrak dalam kehidupan politik.

Namun kehidupan yang abstrak itu memang ada dan kadang-kadang dalam praktek mendominasi proses politik.

Daftar Pustaka

Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr.,

Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH Publishing Co, 1976

Anderson, Benedict, R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.

Emmerson, Donald,  K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics. London: Cornell University Press, 1976.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,  Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan pemilu 1987: Laporan  Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI, 1987.

Kajian Budaya Politik

Page 4: budaya politik

Oleh philips vermonte

Kuliah comparative politics theory minggu ini menarik. Soal political culture. Dalam bidang comparative politics, kajian budaya politik memang sempat tertinggal. Padahal, di masa jaya bidang studi comparative politics tahun 1950-an dan 1960-an, penekanan kajiannya lebih banyak pada budaya politik. Agaknya karena di masa-masa itu kajian comparative politics amat di dominasi paradigma modernisasi, dimana persoalan budaya politik dianggap merupakan bagian inheren dari proyek modernisasi.

Kajian budaya politik kemudian ditinggalkan karena beberapa sebab. Sebab pertama, konsep budaya politik terlalu abstrak alias vague. Persoalan yang ditimbulkan dari abstraknya konsep budaya politik ini antara lain adalah persoalan menentukan unit analisa. Atribut budaya politik harus diasosiasikan pada level mana: kultur individu, kelompok atau negara? Jika pada level individu, apakah dia bisa digeneralisasi? Kalau pada level negara, apakah dia mencerminkan individu? Bila diletakkan dalam konteks kelompok (etnis atau relijius misalnya), bagaimana menjelaskan variasi kultur kelompok yang satu dengan yang lainnya? Persoalan kedua yang ditimbulkan karena terlalu abstrak adalah variabel budaya sering diperlakukan sebagai variabel residu. Artinya, variabel kultur menjadi the last resort, kalau variabel lain tidak mampu menjelaskan sebuah fenomena. Alias, kalau sudah mentok dan otak sudah malas berpikir, tinggal bilang: “yah emang udah budayanya begitu”…he..he.

Sebab kedua ia ditinggalkan adalah bahwa politik selalu dikaitkan dengan political correctness. Artinya, budaya politik cenderung dijadikan alat untuk menyalahkan keadaan. Misalnya, bila sebuah masyarakat gagal membangun demokrasi, maka budaya dijadikan kambing hitam latar belakang gagalnya demokrasi itu.

Sejak tahun 1990-an, kajian budaya politik kembali mendapat perhatian dari para comparativists. Ada beberapa penyebabnya, diantaranya adalah mulai tersedianya data set global mengenai budaya, seperti data dari World Value Survey. Tersedianya data set ini memungkinkan budaya politik dikaji secara lebih saintifik dengan dukungan data empirik. Sehingga, kajian budaya politik tidak lagi menjadi kajian yang vague dan abstrak.

Sebab lain berkembangnya kajian budaya politik adalah munculnya karya-karya akademis yang solid dan lebih kaya mengenai budaya. Ada dua ilmuwan yang sering disebut dalam hal ini. Pertama adalah Robert Putnam dengan bukunya Making Democracy Work (1993). Selama satu dekade Putnam melakukan penelitian, ia membandingkan Italia bagian utara dan selatan dan dia sampai pada kesimpulan bahwa Italia sebelah utara lebih makmur dan demokratis karena densitas network dan asosiasi kemasyarakatan di sana jauh lebih tinggi daripada Italia wilayah selatan. Penyebabnya adalah trust antara anggota masyarakat di Italia sebelah utara jauh lebih tinggi.

Selanjutnya, trust menjadi social capital yang membentuk basis bagi civil society. Sementara di Italia selatan, berkembang apa yang disebut oleh Banfield sebagai amoral familial , dimana orang hanya mempercayai anggota keluarganya. Keadaan semacam ini menjadi lahan amat subur untuk nepotisme dan terbentuknya masyarakat yang tertutup.

Page 5: budaya politik

Ilmuwan politik kedua adalah Ronald Inglehart yang melakukan banyak kajian mengenai budaya politik dengan data empirik, antara lain dengan menggunakan dataset dari World Value Survey itu. Ada artikel Ingelhart yang seru, judulnya Trust, Well-being and Democracy. Walaupun ada beberapa kritik untuk tulisan itu, tetapi artikel ini cukup memprovokasi pikiran.

Salah satu temuan Inglehart adalah mengenai tingkat interpersonal trust yang dihubungkan dengan tradisi agama dan budaya serta tingkat pembangunan ekonomi. Ingelhart menggunakan data World Value Survey dan juga data World Bank (Purchasing Power Parity Estimates). Pertanyaan dalam World Value Survey itu kira-kira adalah: “apakah menurut Anda orang lain bisa dipercaya?”

Hasilnya: level interpersonal trust tertinggi ditemukan di negara-negara dengan tradisi Protestan (tertinggi adalah Norwegia, kurang lebih 65 persen responden di sana menyatakan bahwa orang lain bisa dipercaya). Level interpersonal trust yang tinggi juga ditemukan di negara dengan tradisi Confusian (yakni tertinggi Cina dengan 50 persen lebih, Jepang, lalu Taiwan, dan Korea Selatan). India, yang bisa dikategorikan sebagai negara miskin, juga memiliki level of trust yang tinggi, hampir 40 persen, lebih tinggi dari Korea Selatan.

Masyarakat Islam membukukan catatan rendah dalam hal trust kepada orang lain ini. Kurang lebih 20 persen saja dari responden di beberapa negara bertradisi Islam (seperti Bangladesh dan Azerbaijan) yang menyatakan bisa mempercayai orang lain.

Saya jadi ingat sebuah tulisan Reinald Khasali, pakar manajemen UI itu. Dalam sebuah emailnya yang beredar luas di internet dia menceritakan pengamatannya bahwa level personal trust orang Indonesia amat rendah. Contoh sederhana mengenai rendahnya level of trust yang dia berikan adalah bahwa di Indonesia, sejak kecil kita diajarkan untuk membuat tanda tangan yang susah, agar tidak mudah dipalsukan orang lain. Padahal di negara maju seperti Amerika, kata Reinald Khasali, justru tanda tangan itu seharusnya bisa dibaca dan dikenali.

Studi Inglehart juga menemukan bahwa masyarakat bertradisi Katolik juga memiliki level trust yang rendah. Terendah adalah Brazil dengan hanya 3 persen saja responden di sana yang menyatakan bisa mempercayai orang lain. Gap-nya sungguh besar bila dibandingkan dengan Norwegia yang 65 persen itu. Masyarakat Katolik di beberapa negara lain (Perancis, Austria, Portugal, Italia, Belgia misalnya), berada di kisaran 20 hingga 30 persen. Masyarakat Filipina dan Peru yang bertradisi Katolik juga rendah tingkat kepercayaannya pada orang lain: kurang dari 10 persen yang menyatakan percaya pada orang lain.Mengapa masyarakat Katolik memiliki tingkat kepercayaan pada orang lain yang rendah dibandingkan dengan Protestan? (Inglehart tidak memberi penjelasan apa-apa mengenai masyarakat Islam). Menurutnya, hal itu merefleksikan prinsip bahwa organisasi horizontal dan terdesentralisasi seperti gereja Protestan lebih kondusif dibandingkan dengan organisasi hierarkis yang remote (pusat gereja Katolik di Roma tentu jauh dari Brazil misalnya). Gereja Protestan lebih kecil, terdesentralisasi dan lebih terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat lokal. Karena itu, secara natural, gereja Protestan lebih mendorong partisipasi masyarakat di tempatnya berada. Tampaknya kesimpulan Inglehart ini konsisten dengan pengamatan Max Weber yang klasik mengenai etika Protestant yang mendorong tumbuh berkembangnya kapitalisme.

Page 6: budaya politik

Banyak sekali hal menarik dari tulisan Inglehart ini. Walaupun ada beberapa substansi ataupun metodologi dari studi Inglehart ini yang bisa diperdebatkan (misalnya, dia tidak menjelaskan peran budaya politik dalam konteks masyarakat yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi) tapi Inglehart dengan konsisten menunjukan bahwa budaya politik bisa dikaji dengan data-data empirik. Karena itu, studi budaya politik kembali menarik. Mungkin relevan juga untuk kembali dikembangkan dalam studi politik Indonesia. Karena sebelumnya banyak karya besar klasik dunia mengenai budaya atau nasionalisme misalnya, merupakan hasil kajian mengenai Indonesia. Seperti studi yang dibuat oleh antropolog ternama Clifford Geertz, Bennedict Anderson mengenai Imagined Communities, atau ilmuwan politik terkenal Arendt Lijphart yang pernah mengkaji Papua.