Budaya Malu

4
BUDAYA MALU, ATAU MALU-MALU KUCING? Budaya malu adalah budaya yang menjadikan sifat malu sebagai dasar dalam memilih cara dalam bersikap dan berperilaku sehingga dapat diterima oleh semua orang dengan perasaan yang senang tanpa adanya penafsiran yang bersifat negatif. Dalam menata pola perilaku, masyarakat barat menggunakan konsep ‘dosa’, sedangkan masyarakat timur mengutamakan konsep ‘malu’. Sebagai contoh adalah ‘haji no bunka’ di Jepang dan ‘saemaul undong’ di Korea, yang menggunakan ‘malu’ sebagai konsep dasarnya. Orang Jepang membagi sifat malu (‘haji’) menjadi 2 kriteria yaitu ‘kochi’ atau ‘malu umum’ yang timbul karena kehadiran orang lain dan ‘shuchi’ atau ‘malu pribadi’ muncul dari diri sendiri, yang disebabkan karena keadaan lingkungannya, atau dalam kedudukannya bila dibandingkan dengan orang lain, walaupun sebenarnya belum tentu hal tersebut dianggap ‘malu’ oleh orang lain. Sedangkan bagi orang Korea, ‘saemaul undong’ yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan tradisional yakni prinsip rajin, mandiri dan kerja sama mampu melahirkan rasa tanggung jawab dan ‘sifat malu’ yang diimplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Di tanah Arab setelah bangkit dari zaman kegelapan ‘jahiliyah’ menuju zaman pencerahan, Rasulullah Muhammad SAW mengangkat sifat malu (al-haya’) sebagai akhlak umat Islam melalui beberapa hadits, antara lain: 1. “Sesungguhnya semua agama itu mempunyai akhlak, dan akhlak Islam itu adalah sifat malu.” (H R Imam Malik); 2.“Kekejian itu membuat segala sesuatu menjadi jelek, sebaliknya malu itu selalu membuat segala sesuatu menjadi bagus.” (HR Imam Al Tirmidzi); dan 3. “Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu menjadi satu, maka bilamana lenyap salah satunya hilang pulalah yang lainnya.” (HR Imam Al Hakim). Dalam hadits di atas disebutkan bahwa apabila hilang sifat malu maka hilang pulalah iman, atau dengan perkataan lain ‘orang yang tidak memiliki sifat malu, adalah orang yang tidak memiliki iman’. Jadi kesimpulannya Rasulullah Muhammad SAW menjadikan sifat malu sebagai benteng penjaga iman umat Islam. Sifat malu dapat dikelompokkan ke dalam (3) tiga tingkat/derajat, yaitu: malu kepada orang lain, adalah tingkat terendah; malu kepada diri sendiri; dan tingkat tertinggi adalah malu kepada Allah SWT, dan tingkat ini merupakan kunci di dalam mencapai derajat taqwa.

description

BUdaya malu atau malu-maluin

Transcript of Budaya Malu

Page 1: Budaya Malu

BUDAYA MALU, ATAU MALU-MALU KUCING?

Budaya malu adalah budaya yang menjadikan sifat malu sebagai dasar dalam memilih cara dalam bersikap dan berperilaku sehingga dapat diterima oleh semua orang dengan perasaan yang senang tanpa adanya penafsiran yang bersifat negatif. Dalam menata pola perilaku, masyarakat barat menggunakan konsep ‘dosa’, sedangkan masyarakat timur mengutamakan konsep ‘malu’. Sebagai contoh adalah ‘haji no bunka’ di Jepang dan ‘saemaul undong’ di Korea, yang menggunakan ‘malu’ sebagai konsep dasarnya.

Orang Jepang membagi sifat malu (‘haji’) menjadi 2 kriteria yaitu ‘kochi’ atau ‘malu umum’ yang timbul karena kehadiran orang lain dan ‘shuchi’ atau ‘malu pribadi’ muncul dari diri sendiri, yang disebabkan karena keadaan lingkungannya, atau dalam kedudukannya bila dibandingkan dengan orang lain, walaupun sebenarnya belum tentu hal tersebut dianggap ‘malu’ oleh orang lain. Sedangkan bagi orang Korea, ‘saemaul undong’ yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan tradisional yakni prinsip rajin, mandiri dan kerja sama mampu melahirkan rasa tanggung jawab dan ‘sifat malu’ yang diimplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.

Di tanah Arab setelah bangkit dari zaman kegelapan ‘jahiliyah’ menuju zaman pencerahan, Rasulullah Muhammad SAW mengangkat sifat malu (al-haya’) sebagai akhlak umat Islam melalui beberapa hadits, antara lain:

1. “Sesungguhnya semua agama itu mempunyai akhlak, dan akhlak Islam itu adalah sifat malu.” (H R Imam Malik);

2. “Kekejian itu membuat segala sesuatu menjadi jelek, sebaliknya malu itu selalu membuat segala sesuatu menjadi bagus.” (HR Imam Al Tirmidzi); dan

3. “Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu menjadi satu, maka bilamana lenyap salah satunya hilang pulalah yang lainnya.” (HR Imam Al Hakim).

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa apabila hilang sifat malu maka hilang pulalah iman, atau dengan perkataan lain ‘orang yang tidak memiliki sifat malu, adalah orang yang tidak memiliki iman’. Jadi kesimpulannya Rasulullah Muhammad SAW menjadikan sifat malu sebagai benteng penjaga iman umat Islam. Sifat malu dapat dikelompokkan ke dalam (3) tiga tingkat/derajat, yaitu: malu kepada orang lain, adalah tingkat terendah; malu kepada diri sendiri; dan tingkat tertinggi adalah malu kepada Allah SWT, dan tingkat ini merupakan kunci di dalam mencapai derajat taqwa.

Bagaimana di Indonesia? Ternyata selama lebih dari satu dasawarsa era reformasi dengan perubahan konstitusi yang menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, telah mengikis ‘budaya malu’ bangsa secara perlahan namun pasti, demokrasi diartikan bebas ‘semau gue’. Kehidupan berdemokrasi yang ‘liar’ tanpa kendali telah menjadi lahan yang subur bagi gaya hidup ‘hedonis’ dan 'pragmatis’ yang menghalalkan segala cara demi kesenangan dan kemudahan belaka. Bahkan para pemimpin dan pejabat negara ikut larut di dalamnya, sehingga masyarakat hidup dalam kegalauan bagaikan anak ayam kehilangan induk. Korupsi telah menjadi ‘budaya’ hampir di seluruh lapisan masyarakat dan kehidupan bangsa Indonesia.

Adalah salah dan sangat fatal apabila kita mengartikan korupsi secara sempit dengan hanya menyebutkan orang-orang yang ‘mencuri uang rakyat’. Kata korupsi berasal dari kata kerja corrupt dalam bahasa Inggris yang artinya (Macmillan Dictionary) adalah “doing dishonest, illegal, or immoral things in order to gain money or power” sedangkan dishonest dan illegal mencakup

Page 2: Budaya Malu

juga unlawful (tidak sah), shady (curang), wrongful (salah, melanggar undang-undang), unauthorized (tidak berhak), improper (tidak patut/layak), illicit (gelap, haram), underhand (licik), clandestine (sembunyi-sembunyi) dan lain-lain yang semuanya berkonotasi ‘rusak’ dan dalam hal ini adalah ‘rusak jiwa/mental’. Jadi mencuri uang rakyat hanya salah satu dari perwujudan ‘jiwa/mental yang rusak’ sehingga tindakannya disebut ‘korupsi’ (corruption) dan orang yang melakukannya disebut koruptor (corruptor). Jadi kalau kita bertolak dari definisi korupsi tersebut, maka nyatalah bahwa pemilu legislatif 2014 yang baru saja selesai dapat disebut sebagai ‘pemilu yang korup’ karena penuh dengan kekurangan, kelicikan, pelanggaran dan kesalahan. Bahkan kalau kita mau jujur dan berbudaya malu, maka tindakan melanggar rambu-rambu lalu-lintas atau bolos sekolah seharusnya juga digolongkan ke dalam tindakan yang korup. Jadi dapat kita bayangkan sudah sejauh mana merajalelanya korupsi di Indonesia, dan mungkin yang tersisa hanya para ‘bayi dan balita’ saja lagi.

Dapat dikatakan bahwa selama sepuluh tahun pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah ‘gagal’ dalam upaya pemberantasan korupsi. Secara empiris telah terbukti bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mampu memberantas korupsi, apabila bibit-bibit korupsi terus saja bersemai dan tumbuh dengan suburnya. KPK bukan solusi yang tepat untuk memberantas korupsi, apalagi kalau kita mendefinisikan korupsi secara luas seperti yang tersebut di atas. KPK bekerja di hilir sungai korupsi, dan ironisnya KPK bahkan tidak ‘tahu-menahu’ tentang apa-apa yang terjadi di hulu dan di sepanjang aliran dan cabang-cabang sungai tersebut.

Selama sepuluh tahun ini, kelihatannya pemerintah hanya bersembunyi dibalik kedok KPK yang kelihatan ‘gagah perkasa’, namun yang terjadi sebenarnya justru korupsi dilakukan oleh orang-orang, pejabat-pejabat dan para pemimpin yang seharusnya berdiri di depan untuk memberantas korupsi. Bagaimana mungkin seorang ayah yang juga seorang menteri kabinet tidak mengetahui bahwa anaknya terlibat kasus korupsi di dalam kementeriannya? Atau bagaimana mungkin seorang ketua umum partai politik tidak mengetahui bahwa banyak sekali dari para elite partainya terlibat korupsi? Anehnya para legislator yang menyusun undang-undang anti-korupsi, malah ikut-ikutan korupsi, dan yang paling dramatis adalah para penegak hukum, yang seharusnya menjatuhkan hukuman bagi para koruptor juga ikut-ikutan korupsi. Rakyat telah ‘tertipu’ dengan kehadiran KPK dan menumpukan semua harapan dan cita-citanya akan Indonesia yang bebas korupsi.

Malu-malu kucing, sering disambung dengan suaranya yang berbunyi ‘meong-meong’ yang maksudnya adalah ‘mau-mau’. Jadi yang dimaksud dengan ungkapan tersebut adalah sifat orang yang ‘malu tapi mau’, namun yang berbeda, dan yang menjadikannya ‘rumit’ adalah orang-orang yang bersifat ‘malu tapi mau’ tidak pernah bersuara ‘meong-meong’. Tindakan akan segera diambil apabila rasa ’malu’ telah hilang atau tertutupi oleh sesuatu, hilang apabila tidak ada orang lain yang melihat atau menganggap tidak ada yang melihat, dan tertutupi biasanya oleh orang lain yang telah lebih dahulu melakukan tindakan tersebut. Jadi apabila dikaitkan dengan korupsi, maka ternyata sifat malu-malu kucing dapat memicu terjadinya korupsi. Apabila ia menganggap tidak ada yang melihat/mengetahui (sifat malu masih pada tingkat terendah), maka ia akan melakukan korupsi dan apabila ia melihat ada orang lain yang ‘berhasil’ korupsi, maka iapun ikut-ikutan korupsi. Dan orang-orang seperti ini dapat dikategorikan sebagai orang yang ‘tidak beriman’.

Akhirnya, pernyataan Bapak SBY dengan Partai Demokrat-nya yang mengaku bahwa salah

Page 3: Budaya Malu

satu indikator keberhasilan pemerintahan di bawah kepemimpinannya adalah ‘pemberantasan korupsi’ ternyata tidak dapat dikategorikan sebagai ‘budaya malu’ atau ‘malu-malu kucing’, namun dapat disebut sebagai pengakuan yang ‘malu-malu-in’.

Wallahu’alam.