Budaya Banyuwangi
-
Upload
lionel-lukman -
Category
Documents
-
view
226 -
download
1
description
Transcript of Budaya Banyuwangi
1. PETIK LAUT MUNCAR
SekilasDalam tiap bulan Muharam atau Syuro dalam penanggalan Jawa, bukan hanya petani, nelayan
pun menggelar ritual untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan. Waktu pelaksanaan
petik laut tiap tahun berubah karena berdasarkan penanggalan Qamariah dan kesepakatan
pihak nelayan. Biasanya digelar saat bulan purnama, karena nelayan tidak melaut, mengingat
pada saat itu terjadi air laut pasang
Tujuan utama diadakannya ritual petik laut adalah untuk untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan
sekaligus ungkapan terima kasih kepada Tuhan.
Di Muncar ( sekitar 35 kilometer dari kota Banyuwangi ), ritual ini berkembang setelah
kehadiran warga Madura yang terkenal sebagai pelaut. Tak mengherankan, jika petik laut
selalu dipenuhi ornamen suku Madura. Salah satunya, seragam pakaian Sakera, baju hitam
dan membawa clurit, simbol kebesaran warga Madura yang pemberani.
Bagi nelayan Muncar, petik laut adalah gawe besar yang tidak boleh ditinggalkan. Hari yang
dipilih bulan purnama, tepat tanggal 15 di penanggalan Jawa.
Prosesi RitualRitual diawali pembuatan sesaji oleh sesepuh nelayan. Mereka adalah keturunan warga
Madura yang sudah ratusan tahun turun-temurun mendiami pelabuhan Muncar. Disiapkan
perahu kecil ( perahu sesaji ) dibuat seindah mungkin mirip kapal nelayan yang biasa
digunakan melaut. Pada malam harinya, di tempat perahu untuk sesaji dipersiapkan dilakukan
tirakatan. Di beberapa surau atau rumah diadakan pengajian atau semaan sebelum perahu
sesaji dilarung ke laut.
2. KUNTULAN
Hadrah Kuntulan yang juga disebut kundaran, merupakan salah satu dari sekian seni tradisi
yang masih bertahan hingga kini. Berbagai perubahan yang mewarnai perjalanan kuntulan
menunjukan kecerdasannya dalam menghadapi setiap perubahan. Identifikasi sebagai karya
seni bernuansa Arab - Islam melekat pada kesenian ini pada masa awal kemunculanya.Tidak
hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan
kolaborasi unik kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian gurun. Kehadirannya juga
menambah perbendaharaan dan warna kesenian tradisional di tanah air.
Filosofi Burung KuntulSebutan Kuntul sebagai simbol, menurut Sutedjo HN, budayawan Banyuwangi, merupakan
representasi dari gaya hidup sosial yang lebih mementingkan kebersamaan, serasa dan
sepenanggungan di antara sesamanya. Hal ini di ilhami dari cara hidup burung Kuntul/Bangau
yang selalu memanggil teman-temannya dikala mendapatkan makanan.
3. KEBO KEBOANSejarah Kebo-Keboan
Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharam
atau Suro (penanggalan Jawa). Bulan ini diyakini memiliki
kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di
Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di
Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan,
Kecamatan Rogojampi.
Munculnya ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya
musibah pagebluk ( epidemi - red ). Kala itu, seluruh warga
diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak
warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam
kondisi genting itu, sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit.
Selama meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh
menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai
simbol kemakmuran.
Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak
sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan.
Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.
Seorang tokoh agama (Subkhi, wawancara: 9 Juli 2011),
menganggap tradisi kebo-keboan itu sebagai hal yang wajar untuk ekspresi kebudayaan.
Memang dalam ritual tersebut ada beberapa orang yang masih percaya adanya
kekuatan magic yang akan membantu untuk mengantarkan manusia pada tujuan yang
diinginkan, tapi itu hanya sebagian kecil. Kebanyakan warga, yang terbilang kurang agamis
sekalipun hanya menganggap sebagai kekayaan budaya yang perlu dilestarikan.
Kalaupun ada orang yang percaya terhadap kekuatan makhluk halus yang mengiringi
ritual tersebut tidak sampai mengantar mereka kepada syirik. Apalagi al Quran, sebagai
pegangan pokok orang Islam juga sudah menyebut eksistensi makhluk halus yang disebut jin
tersebut (QSal Jinn: 1-2).
4. TRADISI ENDOG-ENDOGAN BANYUWANGI
Endog dalam bahasa Indonesia berarti telur. Telur tersebut direbus dan diletakkan pada tusukan bambu kecil yang dihias dengan kembang kertas yang disebut dengan kembang endog. Nantinya kembang endog akan ditancapkan pada jodang, yaitu pohon pisang yang juga dihias dengan kertas warna-warni.
Menurut Suhailik, sejarawan lokal Banyuwangi, munculnya tradisi endog-endogan sejak akhir abad 18. "Endog-endogan ini masuk setelah Islam masuk ke wilayah Kerajaan Blambangan. Kenapa harus telur? Karena telur merupakan simbol dari sebuah kelahiran. Untuk tradisi ini adalah bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kembang merupakan simbol pemujaan pada zaman Jahiliyah," jelasnya.Kisah awal tradisi Endog-endogan di Banyuwangi konon diawali dengan adanya pertemuan di Bangkalan antara Mbah Kyai Kholil, pimpinan Ponpes Kademangan Bangkalan dengan KH Abdullah Fakih pendiri Ponpes Cemoro Balak, Songgon, Banyuwangi.Dalam pertemuan tersebut, Kyai Kholil mengatakan bahwa kembange Islam wes lahir di nusantara (Nadlatul Ulama) yang dipersonifikasikan sebagai endhog (telur). Yaitu kulit telur melambangkan kelembagaan NU sendiri, sementara isi telur melambangkan amaliyah.Sepulang dari pertemuan tersebut, Kyai Fakih pun menyebarkan amanah tersebut dengan cara mengarak keliling kampung gedebog (batang) pisang yang telah dihias dengan tancapan telur-telur dan bunga, dengan disertai lantunan sholawat dan dzikir. Ini kemudian menjadi cikal bakal tradisi endog-endogan yang ada di Banyuwang.Selain itu ada makna filosofi yang tinggi dari Tradisi Endog-endogan ini. Endog atau telur memiliki tiga lapisan, yang terdiri dari kuningan, putihan dan cangkang. Berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad, ketiga lapis telur tersebut merupakan bahasa simbolik. Pertama, kuning telur terdapat di bagian paling dalam dari sebuah telur. Dari kuning telur ini merupakan embrio dari sebuah proses kehidupan. Dalam bagian ini terdapat protein yang tinggi maka dapat di ibaratkan sebagai IHSAN dalam kehidupan, sebagai bagian yang paling penting.Kedua, Putihan yang berfungsi sebagai pembungkus dan pelindung kuningan. Putihan disini ibarat ISLAM, setelah ihsan maka membentuklah sebuah kenyakinan yaitu berupa islam. Ketiga, Cangkang adalah kulit terluar dari telur yang melindungi putihan dan kuningan telur tersebut. Cangkang ibarat IMAN dalam kehidupan.Ditancapkannya telur di pohon pisang maknanya adalah pohon pisang di ibaratkan manusia. Dalam diri manusia terdapat perangkat qolbu yang didalamnya dapat tancapkan apa saja, kebaikan ataupun keburukan. Maka iman, islam dan ihsan adalah harmonisasi risalah yang di bawa Nabi Muhammad SAW, yang jika di tancapkan pada diri manusia akan menghasilkan manusia yang tercermin dari pribadi Nabi Muhammad SAW.
5. IDER BUMI
Bagi masyarakat Using/Osing, barong adalah sebuah simbol
kebersamaan. Ritual apa pun di daerah Banyuwangi hampir tidak
pernah lepas dari tarian ini. Kata 'barong' berasal dari bahasa
Using, bareng artinya bersama.
Sejarah BarongAda banyak versi tentang sejarah barong di Banyuwangi. Namun, maknanya tetap sama, "
kebersamaan "
Wujud Sakral Barong Ada yang mengisahkan, barong bermula dari pertarungan dua bangsawan sakti dari Bali dan
Blambangan. Mereka, Minak Bedewang dan Alit Sawung. Tanpa penyebab jelas, keduanya
terlibat pertarungan hebat. Mereka bertarung tanpa henti hingga jangka waktu lama. Tak satu
pun yang terluka. Masing-masing menggunakan wujud sakti yang mengerikan, seekor harimau
besar dan burung garuda. Dua perwujudan ini bertarung dahsyat. Suaranya menggelegar
persis halilintar. Meski saling serang, kedua kesatria itu tetap sama kuatnya. Hingga munculah
suara aneh dari langit. Suara tanpa rupa itu mengingatkan agar menghentikan pertempuran.
Keduanya diminta berdamai. Akhirnya, kedua wujud menyeramkan itu bersatu. Sejak itu,
masyarakat Using memiliki wujud barong sebagai simbol kebersamaan.
Masyarakat Osing dari Banyuwangi, Jawa Timur, memiliki karakteristik yang berbeda dengan
masyarakat Jawa Timur pada umumnya. Salah satunya terlihat dari upacara barong ider bumi.
Upacara ini rutin diadakan setiap tahun, pada hari kedua Bulan Syawal.
Upacara barong ider bumi merupakan ritual pengusir bahaya dan permohonan kesuburan
kepada Sang Maha Kuasa. Selain itu, upacara ini dipercaya sebagai ritual pensucian diri dari
segala kesalahan yang dilakukan selama setahun dan penyembuhan terhadap wabah penyakit.
Tradisi ini telah berjalan selama puluhan tahun, salah satu sumber sejarah menyebutkan ritual
ini pertama kali diselenggarakan sekitar tahun 1940-an.
Dalam upacara ini, masyarakat setempat mengarak sesosok barong berkeliling desa. Barong
merupakan tokoh mitologis yang berasal dari budaya Bali. Barong dianggap sebagai raja dari
para arwah dan simbolisasi kebaikan. Pengarakan barong berkeliling desa dimaksudkan untuk
mengusir kejahatan, hawa nafsu, dan keburukan yang menghalangi datangnya keberuntungan
dan kemakmuran bagi segenap masyarakat desa.
Arak-arakan ritual Barong Ider Bumi diikuti berbagai lapisan masyarakat desa dari anak-anak
hingga para sepuh. Dalam pelaksanaanya, upacara ini juga dimeriahkan dengan berbagai
kesenian khas Banyuwangi, seperti tari gandrung, burdah, singo-singoan, dan hadrah kuntulan.
Sepanjang perjalanan, dilakukan pembacaan macapat atau tembang Jawa kuno yang
merupakan bentuk doa kepada Tuhan dan roh nenek moyang. Seiring menguatnya pengaruh
Islam, macapat ini diawali dengan doa dalam bahasa Arab dan pembacaan Al-Fatihah.