Buat apa sekolah
-
Upload
najib-cryptos-scientist -
Category
Documents
-
view
39 -
download
1
Transcript of Buat apa sekolah
Buat Apa Sekolah?
Seorang ibu berkata pada anaknya" nak kalau sudah besar kamu harus jadi pegawai negeri sipil (PNS) biar
hidupmu tidak susah, jangan meniru bapak dan ibumu yang tiap hari harus jualan sayur kepasar, biar bapak dan ibu saja
yang bodoh dan susah cari uang liat tetangga kita itu sekolahannya tinggi coba lihat hidupnya enak kamu harus
mencontoh dia" . Sementara dilain pihak seorang ibu berkata " buat apa sekolah tinggi-tinggi ? dokter sudah ada, menteri
sudah ada, guru banyak, presiden sudah ada, mendingan uang sekolahmu dibelikan sapi biar beranak-pinak lebih jelas
hasilnya dari pada harus dibayarkan untuk sekolah, coba lihat si lukman itu sekolah jauh-jauh tapi setelah selesai
nganggur dan akhirnya sekarang jadi sopir anggutan.." !
Sadar atau tidak, ditingkatan masyarakat opini yang terbangun mengenai dunia pendidikan (sekolah) seperti yang
diilustrasikan diatas. Masyarakat menilai bahwa salah satu alat keberhasilan seseorang bersekolah adalah sejauh mana dia
mampu membawa dirinya pada status social yang tinggi dimasyarakat indikasinya adalah apakah seseorang itu bekerja
dengan berpenampilan elegan (berdasi, pake sepatu mengkilap, dan membawa tas kantor) atau tidak, dan apakah
seseorang tersebut bisa kaya dengan pekerjaannya? Kalau seseorang yang telah menempuh jenjang pendidikan (SLTA,
D1, D2, D3, S1, S2, dan S3) lulus dan setelah itu menganggur maka dia telah gagal bersekolah. Hal semacam inilah yang
sering ditemui di masyarakat kita.
Mencermati hal diatas, apakah memang praktek-praktek pendidikan yang selama ini dijalani ada kesalahan
proses?, mengapa dunia pendidikan belum bisa memberikan pengaruh pencerahan ditingkatan masyarakat, lantas apa
yang selama ini dilakukannya oleh dunia pendidikan kita? kalaupun yang diopinikan masyarakat itu adalah kesalahan
berpikir, mengapa kualitas pendidikan di Indonesia tidak lebih baik dari negara lainnya, bukankah setiap hari upaya
perbaikan pendidikan terus dilakukan mulai dari seminar sampai dengan pembuatan undang-undang system pendidikan
nasional? Atau inilah yang dimaksud oleh Ivan Ilich bahwa "SEKOLAH itu lebih berbahaya daripada nuklir. Ia adalah
candu! Bebaskan warga dari sekolah."
Jelasnya pendidikan (sekolah) bukanlah suatu proses untuk mempersiapkan manusia-manusia penghuni pabrik,
berpenampilan elegan apalagi hanya sebatas regenerasi pegawai negeri sipil (PNS), tapi lebih dari itu adalah pendidikan
merupakan upaya bagaimana memanusiakan manusia. Tentunya proses tersebut bukan hal yang sederhana butuh
komitmen yang kuat dari setiap komponen pendidikan khusunya pemerintah bagaimana memposisikan pendidikan
sebagai inventasi jangka panjang dengan produk manusia-manusia masa depan yang hadal, kritis dan bertanggung jawab.
Kalau dunia pendidikan hanya diposisikan sebagai pelengkap dunia industri maka bisa jadi manusia-manusia Indonesia
kedepan adalah manusia yang kapitalistik, coba perhatikan menjelang masa-masa penerimaan siswa/mahasiswa tahun
ajaran baru dipinggir jalan sering kita temukan mulai dari spanduk, baliho, liflet, brosur, pamlet dan stiker yang
bertuliskan slogan yang kapitalistik seperti " lulus dijamin langsung kerja, kalau tidak uang kembali 100%, adapula yang
bertuliskan "sekolah hanya untuk bekerja, disini tempatnya" apalagi banyaknya sekolah-sekolah yang bergaya industri
semakin memperparah citra dunia pendidikan yang cenderung lebih berorientasi pada pengakumulasian modal daripada
pemenuhan kualitas pelayanan akademik yang diberikan. Akhirnya terlihat dengan jelas bagaimana mutu SDM Indonesia
yang jauh dari harapan seperti dilaporkan oleh studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development
Indeks (HDI) Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162
negara.
Jadi, tidak mengherankan kalau ditingkatan masyarakat memandang dunia pendidikan (sekolah) sampai hari ini
seperti layaknya sebagai institusi penyalur pegawai negeri sipil (PNS) indikasi dari pandangangan tersebut bisa dilihat
bagaimana animo masyarakat yang cukup tinggi ketika pembukaan pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS)
seolah-olah status/gelar akademik yang mereka capai (D1,D2,D3,S1,S2, dan S3) hanya cocok untuk kerja-kerja kantoran
(PNS) hal inipun merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingkat pengangguran kaum terdidik setiap tahunnya
bertambah sebab kesalahan motiv sekolah sebagai akibat dari prilaku sekolah yang kapitalistik akhirnya banyak
melahirkan kaum terdidik yang bermentalitas "Gengsi gede-gedean"
Beberapa hal diatas setidaknya menjadi renungan bagi dunia pendidikan kita bahwa pendidikan bukanlah sesederhana
dengan hanya mengupulkan orang lantas diceramahi setelah itu pulang kerumah mengerjakan tugas besoknya kesekolah
lagi sampai kelulusan dicapainya (sekolah berbasis jalan tol), kalau aktivitas sekolah hanya monoton semacam ini maka
pilihan untuk bersekolah merupakan pilihan yang sangat merugikan akan tetapi kalau proses yang dijalankannya tidak
seperti sekolah jalan tol maka pilihan untuk beinvestasi di dunia pendidikan dengan jalan menyekolahkan anak-anak kita
merupakan pilihan yang sangat cerdas. Oleh sebab itu sudah saatnya dunia pendidikan kita mereformasi diri secara serius
khusunya bagaimana pembelajaran di sekolah itu bisa dijalankan melalui prinsip penyadaran kritis sehingga melalui
kekuatan kesadaran kritis bisa menganalisis, mengaitkan bahkan menyimpulkan bahwa persoalan kemiskinan,
pengangguran, dan lainnya merupakan persoalan system bukan karena persoalan jenjang sekolah. Inilah yang seharusnya
menjadi muatan penting untuk diinternalisasikan disetiap diri siswa.
Selain itu, mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa sekolah itu tidak sekedar tahapan untuk bekerja
kantoran menjadi salah satu agenda dunia pendidikan yang harus segera dilakukan sehingga masyarakatpun bisa
memahami secara holistik untuk apa pendidikan itu dilahirkan. Agenda semacam ini akan bisa dijalankan secara baik
kalau masing-masing insitusi pendidikan bertindak secara fair bagaimana proses penerimaan siswa baru tidak lagi
memakai slogan yang menyesatkan. Mempertahankan sekolah yang kapitalistik sama saja menggerogoti minat dan
motivasi masyarakat untuk turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Naguib Mahfoudz (XII A 1 / 19)