Bu Let in Hukum 10030912

147
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012 Kemandirian Anggaran Bank Indonesia Penerapan Customer Due Diligence Atas Resolusi Dk PBB Nomor 1267 Guna Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Implementasi Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Di Indonesia Prinsip Parate Executie Dalam Hak Tanggungan Dalam Hal Debitur Wanprestasi Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2012 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2012

Transcript of Bu Let in Hukum 10030912

Page 1: Bu Let in Hukum 10030912

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Kemandirian Anggaran Bank Indonesia

Penerapan Customer Due Diligence Atas Resolusi Dk PBB Nomor 1267

Guna Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

Implementasi Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Di Indonesia

Prinsip Parate Executie Dalam Hak Tanggungan Dalam Hal Debitur Wanprestasi

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2012

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2012

Page 2: Bu Let in Hukum 10030912

Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia

PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung JawabSiddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe

Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe

Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi

Dewan RedaksiImam Subarkah, Sukarelawati Permana, Amsal C. Appy, Rosalia Suci,

Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti

Redaksi PelaksanaAgus Susanto Pratomo, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto,

Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja

Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM

Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH

Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,

Departemen Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan

publikasi, kemudian pilih publikasi”

Page 3: Bu Let in Hukum 10030912

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 4: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10 Nomor 3, Edisi September s.d Desember 2012 kembali

hadir ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya.

Topik utama Buletin menyoroti mengenai Kemandirian Anggaran Bank Indonesia yang merupakan hasil kerjasama

penelitian FH-UGM dengan DHk BI. Kemandirian anggaran bagi Bank Indonesia merupakan hal yang penting dalam

melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai Bank Sentral, mengingat kemandirian anggaran merupakan bagian

dari independensi bank sentral secara keseluruhan.

Selain topik utama diatas dalam edisi kali ini Buletin juga menurunkan 3 artikel lainnya, yaitu:

1. Penerapan Customer Due Diligence Atas Resolusi Dk PBB Nomor 1267 Guna Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan

Terorisme oleh Dr. Go Lisanawati SH. M Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya.

2. Implementasi Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Di Indonesia oleh Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H,

Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Bandar Lampung.

3. Prinsip Parate Executie Dalam Hak Tanggungan Dalam Hal Debitur Wanprestasi oleh Rumawi, Mahasiswa Program

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember.

Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan

memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan September sampai

dengan Desember 2012, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin

mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca.

Jakarta, Desember 2012

Redaksi

i

DARI MEJA REDAKSI

Page 5: Bu Let in Hukum 10030912

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 6: Bu Let in Hukum 10030912

Halaman

Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i

Daftar Isi................................................................................................................................................. iii

Kemandirian Anggaran Bank Indonesia................................................................................................... 1 - 28

Kerjasama Penelitian antara Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia

Penerapan Customer Due Diligence Atas Resolusi Dk PBB Nomor 1267

Guna Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme........................................................................... 29 - 41

Dr. Go Lisanawati SH. M Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya

Implementasi Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Di Indonesia............................................. 43 - 57

Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H, Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum

Universitas Bandar Lampung

Prinsip Parate Executie Dalam Hak Tanggungan Dalam Hal Debitur Wanprestasi....................................... 59 - 71

Rumawi, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember.

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia,

September - Desember 2012................................................................................................................... 73 - 76

Tim Informasi Hukum

(Departemen Hukum, Bank Indonesia)

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia,

September - Desember 2012................................................................................................................... 77 - 140

Tim Informasi Hukum

(Departemen Hukum Bank Indonesia)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

VOLUME 10, NOMOR 3, SEPTEMBER – DESEMBER 2012

iii

Page 7: Bu Let in Hukum 10030912

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 8: Bu Let in Hukum 10030912

A. PENDAHULUAN

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23D Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya disebut UUD Negara RI Tahun 1945),

bahwa Negara memiliki suatu bank sentral yang

susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab,

dan independensinya diatur dengan undang-undang;

menunjukan adanya pengakuan secara konstitusional

terhadap kemandirian bank sentral dalam melaksanakan

tugas dan kewenangannya. Kemandirian bank sentral

dipandang sangat urgent oleh para pembentuk UUD

Negara RI Tahun 1945 sebab, secara historis, ketidak-

mandirian dari bank sentral merupakan salah satu

penyebab utama terjadinya krisis ekonomi pada tahun-

tahun sebelum dilakukannya perubahan Undang-

Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

Bersamaan dengan proses dilakukannya perubahan

terhadap UUD 1945, Presiden dan Dewan Perwakilan

Rakyat juga melakukan proses Undang-UndangNomor

13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Penggantian

UU ini dilakukan karena Bank Indonesia, berdasarkan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968, diberi

kedudukan sebagai pembantu pemerintah dalam

melaksanakan kebijakan moneter yang disusun dan

ditetapkan oleh Dewan Moneter2. Konsekuensinya,

Bank Indonesia, pada saat itu, merupakan bagian

integral dari pemerintah. Oleh karenanya Dewan

Perwakilan Rakyat bersama Presiden bersepakat

memberikan kemandirian kepada Bank Indonesia,

sebagai bank sentral Republik Indonesia3 melalui

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia. Pemberian kemandirian kepada Bank

1

KEMANDIRIAN ANGGARAN BANK INDONESIA

Oleh :

Kerjasama Penelitian antara Tim Peneliti UGM dan Departemen Hukum Bank Indonesia1

Abstrak

Terdapat peluang normatif untuk memberikan kemandirian penganggaran pada Bank Indonesia. Hal tersebut

karena adanya norma terbuka yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 23D,

mengingat Pasal ini tidak menentukan sampai derajat mana kemandirian dan indipendensi yang dapat diberikan kepada

Bank Sentral. Pembentukan Supervisory Board merupakan salah opsi yang dapat mendukung implementasi kemandirian

Bank Indonesia, termasuk dalam bidang penganggaran.

Interpretasi ketentuan Pasal 23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat terbuka, maka Bank Indonesia

sebaiknya berperan lebih aktif dan progressif untuk menyakinkan DPR bahwa kemandirian anggaran bagi Bank Indonesia

merupakan hal yang sangat penting dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai Bank Sentral.

Keyword: kemandirian, anggaran,

1 Tim Peneliti UGM (Prof. Dr. Nindya Pramono, SH., MS, Ertambang Nahartyo, M.Sc. Ph.D, Andi Sandi ATT, SH., LLM, Drs. Paripurna PS, SH, M.Hum, LLM) dan Departemen Hukum Bank Indonesia.

2 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

3 Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Page 9: Bu Let in Hukum 10030912

Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden

bertujuan agar Bank Indonesia tidak lagi menjadi

bagian yang integral dari pemerintah.

Namun dalam perjalanannya, kemandirian Bank

Indonesia yang diberikan oleh UU Nomor 23 Tahun

1999, direvisi melalui Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Revisi

yang dilakukan meliputi redefinisi terhadap kemandirian

Bank Indonesia dengan memberikan batasan terhadap

kemandirian yang dimiliki oleh Bank Indonesia melalui

perubahan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1999. Kemandirian Bank Indonesia, menurut Pasal

4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dibatasi dalam

hal melaksanakan tugas dan kewenangannya. Hal

ini dipandang penting oleh Dewan Perwakilan Rakyat

dan Presiden sebab diperlukan koordinasi yang lebih

erat antara Bank Indonesia, sebagai pemegang

otoritas moneter, dengan Pemerintah, sebagai

pemegang otoritas fiskal dan sektor riil, dalam rangka

mewujudkan kestabilan nilai rupiah4. Redefinisi atas

kemandirian Bank Indonesia, setidaknya menunjukan

bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden telah

membuka kembali kemungkinan adanya kerja sama

antara Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam

menjaga stabilitas perekonomian nasional. Hal mana

sama sekali tidak diberi kemungkinan normatif

berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia sebab dalam UU ini ada

kemandirian Bank Indonesia yang bersifat absolut.

Revisi kemandirian dan luasan cakupan kerja sama

antara Bank Indonesia dan Pemerintah berdasarkan

kondisi normatif di atas setidaknya dapat

mempengaruhi kemandirian Bank Indonesia dalam

melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam

menjaga stabilitas nilai rupiah. Kemandirian Bank

Indonesia tidak lagi seabsolut pada saat sebelumnya,

tetapi kemandirian itu telah dibarengi dengan

mekanisme checks and balances system dengan

lembaga negara lainnya melalui kerja sama. Salah

satu kerja sama dengan lembaga negara lainnya yaitu

dalam penentuan anggaran Bank Indonesia. Mengenai

hal tersebut Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 menentukan

bahwa anggaran Bank Indonesia ditetapkan oleh

Dewan Gubernur Bank Indonesia. Anggaran tersebut

harus dimintakan persetujuan dari komisi Dewan

Perwakilan Rakyat yang membidangi urusan Bank

Indonesia.

Kondisi normatif ini terlihat kontradiktif sebab

Pasal 23D UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah

mengariskan bahwa bank sentral milik negara

haruslah independen, namun kenyataannya masih

ada di bawah "bayang-bayang" DPR dalam proses

penyusunan penganggarannya. Idealnya, sebuah

lembaga yang independen,seharusnya juga

mempunyai kemandirian dalam menentukan

penganggarannya, sebab tanpa itu, sulit untuk

mengkategorikan institusi ini sebagai institusi yang

independen.Dengan kondisi normatif dan empiris di

atas, perlu dilakukan sebuah kajian akademis terkait

kemungkinan diberikannya kemandirian pada Bank

Indonesia dalam proses penyusunan anggaran

agarnorma yang ditentukan dalam UUD Negara RI

Tahun 1945 dapat diimplementasikan.

B. PERUMUSAN MASALAH

Dalam kajian akademik ini akan dibahas dan diberi

jawaban secara akademis dan yuridis normatif atas

permasalahan:

1. Adakah peluang normatif untuk memberikan

kemandirian penganggaran pada Bank Indonesia?

2. Bagaimana prosedur penganggaran Bank

Indonesia yang dapat mendukung implementasi

kemandirian Bank Indonesia?

2

4 Lihat Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 10: Bu Let in Hukum 10030912

C. BANK SENTRAL DAN KEMANDIRIAN BANK

SENTRAL

1. Bank Sentral di Berbagai Negara

Salah satu lembaga keuangan yang terpenting

dalam perekonomian modern adalah bank sentral.

Dewasa ini hampir tiap negara mempunyai bank

sentral. Peter S. Rose, memberi defenisi bahwa

bank sentral adalah agen pemerintah yang

mempunyai fungsi kebijakan publik terpenting

dalam pengawasan kegiatan sistem keuangan

dan pengendalian jumlah peredaran uang5.

Di banyak negara status bank sentral adalah

badan hukum milik negara. Jika pun ada

mempunyai status hukum yang lain, bukan berarti

terlepas sama sekali dari pemerintah. Dalam istilah

perbankan disebut dengan “independent within

the government”, yang kurang lebih berarti bebas

terpimpin6.

Umumnya diberbagai negara peranan bank sentral

di dalam sistem keuangan dan perekonomian

meliputi7:

a. mengontrol peredaran uang.

b. menjaga stabilisasi pasar uang dan pasar modal

c. memberikan jasa peminjaman terakhir (lender

of last resort). Atau, bertindak sebagai bankir

bank umum dalam negeri (banker’s bank).

d. mejaga mekanisme pembayaran.

e. mengawasi sistem perbankan.

Berikut dipaparan pengaturan bank sentral di berbagai

negara, antara lain, Indonesia, Singapura, Jepang dan

Amerika Serikat dalam suatu bentuk tabel.

3

1.

2.

3.

4.

JepangItemNo.

Nama Bank Sentral

Berdiri

Status

Tugas Pokok

Bank Indonesia (BI)

1953

Lembaga negara di luar pemerintah

a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter

b. mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran

c. mengatur dan mengawasi bank

Federal Reserve System (The Fed)

1913

Badan pemerintah yang bertanggungjawab kepada kongres

a. melaksanakan kebijakan moneter

b. mengawasi dan menjaga perbankan

c. menjaga kestabilan system keuangan

d. menyediakan jasa keuangan tertentu.

Monetory Authority of Singapore (MAS)

1970

Badan pemerintah yang bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan

a. melaksanakan kebijakan moneter, kecuali mengedarkan uang-dikelola oleh Board of Commission of Currency.

b. Menetapakan perizinan, pengawasan bank, lembaga pembiayaan, asuransi, dan dana pensiun.

Bank of Japan

1882

Badan khusus non pemerintah yang bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan

a. melaksanakan fungsi otoritas moneter.

b. Mengawasi dan membina perbankan

c. Menjaga kestabilan system keuangan

d. Menyediakan jasa keuangan tertentu

Indonesia Singapura Amerika Serikat

Perbandingan Bank Indonesia dengan Bank Sentral Negara Lain8

5 Peter S Rose, 2000, Money and Capital Markets: Financial Institution and Instrumen in Global Market-Seventh Edition, The McCrow-Hill Inc, North America, hal. 493

6 Siswanto Sutojo, 1997, Manajemen Terapan Bank, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, hal 13

7 Peter. S Rose, Money and Capital Market, op.ct, hal. 494.

8 Didik J. Rachbini, 2000, “BI Menuju Indipensi Bank Sentral ”, Madyo Mulyo, hal. 184

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 11: Bu Let in Hukum 10030912

2. DPR sebagai Pemegang Kekuasaan Legaslatif

Dalam konteks constitutionalism, banyak sekali

teori-teori yang digunakan untuk melakukan

pembatasan kekuasaan. Salah satunya adalah

Trias Politica. Menurut Montesquieu dalam bukunya

“L”Esprit des Lois” (1748), yang mengikuti jalan

pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara

dalam tiga cabang, yaitu: kekuasaan eksekutif

sebagai pembuat undang-undang; (ii) kekuasan

eksekutif yang melaksanakan; dan (iii) kekuasaan

untuk menghakimi atau yudikatif. Dari klasifikasi

Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan

negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legaslatif

(the legaslative function), eksekutif (the executive

or administrative function) dan yudisial (the judicial

function).9

4

5.

6.

7.

JepangItemNo.

Lembaga pimpinan

Masa Jabatan

Otoritas Pengaturan dan sanksi terhadap bank

1 Gubenur, 1 Deputi Gubenur Senior, 4-7 Deputi Gubenur yang diangkat Presiden dengan persetujuan DPR

7 tahun

BI, khusus untuk pengawasan akhir 2002 diserahkan lansung ke lembaga indipenden

1 Chairman2 Vice Chairman5 Board of Governor12 Presiden Federal System Regional

7 tahun

a. The Fed khusus Bank Holding Companies State Member, State and Federally Licensed Branches, dan Foreign Owned Bank Operation.

b. Office of the compotraller of the currency, khusus untuk National Bank, Federally Licensed Branches and agencies of Foreign-owned bonds

c. Federal Deposit Insurance Coorporation, khusus untuk bank-bank yang bergerak dalam Deposit Insurance Fund, yaitu kelompok state non-member bank

d. Office of Thrift Supervission, khusus untuk federation state saving association dan Thrift Holding Companies

e. National Credit Union Administration, khusus untuk credit union (state and federal)

-

4 tahun

MAS

1 Gubenur, 2 Wakil Gubenur yang diangkat Kabinet

7 tahun

Menteri Keuangan

Indonesia Singapura Amerika Serikat

9 Jimly Asshiddiqie, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 283

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 12: Bu Let in Hukum 10030912

Prinsip checks and balances coba diterapkan pada

Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia pasca

dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945.

Khususnya, yang terkait dengan perubahan yang

dilakukan pada Pasal 1 ayat (2) UUD Negara RI

1945, yang menentukan bahwa “Kedaulatan ada

di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-

Undang Dasar”. Kesimpulan ini dapat diambil

karena berdasarkan distribusi kewenangan yang

dilakukan oleh UUD Negara RI Tahun 1945, telah

membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga)

kekuasaan (legaslatif, eksekutif, dan yudikatif)

dan ditambahkan dengan kewenangan di bidang

lain, seperti ekonomi, kebudayaan, agama,

lambang negara, dan pelaksanaan pemilihan

umum. Salah satunya adalah kekuasaan legaslatif

yang dilekatkan kepada DPR.

Jimly Asshiddiqie membagi kekuasan legislatif

atas tiga fungsi, yaitu: pertama, fungsi pengaturan

(legislasi); kedua fungsi pengawasan (control);

dan ketiga fungsi perwakilan (representasi). Fungsi

legislasi menyangkut empat bentuk kegiatan,

pertama, prakarsa pembuatan undang-undang

(legislative initiation); kedua, pembahasan

rancangan undang-undang (law making process);

ketiga, persetujuan atas pengesahan undang-

undang (law enactment approval); empat,

pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi

atas perjanjian atau persetujuan internasional

dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat

lainnya (binding dicision making on international

law agreement and treaties or other legal biding

documents).10

Terkait dengan fungsi kontrol, lembaga perwakilan

rakyat diberikan kewenangan untuk melakukan

kontrol dalam tiga hal, yaitu (i) kontrol atas

pemerintahan (control of executive), (ii) kontrol

atas pengeluaran (control of expenditure); dan

(iii) kontrol atas pemungutan pajak (control of

taxation). Lebih jauh, secara teoritis, fungsi-fungsi

kontrol atau pengawasan oleh parlemen sebagai

lembaga perwakilan rakyat dapat pula dibedakan,

yaitu:11

1. Pengawasan terhadap penentuan kebijakan

(control of policy making);

2. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan

(control of policy executing);

3. Pengawasan terhadap penggaran dan belanja

negara (control of budgeting);

4. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran

dan belanja negara (control of budget

implementation);

5. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan

(control of giverment performances);

6. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat

publik (control of political appoinment of public

officials) dalam bentuk persetujuan atau

penolakan, ataupun dalam bentuk pemberian

pertimbangan oleh DPR.

Khusus kontrol terhadap penganggaran dan

pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja,

yang terkait erat dengan kinerja pemerintahan,

harus dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh

lembaga perwakilan rakyat. Daya serap anggaran

dan pelaksanaan anggaran menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku berhubungan

erat dengan kinerja pemerintahan (goverment

performances). Oleh karena itu, kontrol terhadap

kedua hal ini, sama-sama penting dalam rangka

fungsi kontrol oleh lembaga perwakilan rakyat.

Pasal 69 UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (“UU No. 27 Tahun

2009”), menyebutkan bahwa DPR mempunyai

fungsi: (a) legislasi; (b) anggaran; dan (c)

pengawasan.12 Ketiga fungsi tersebut dijalankan

dalam kerangka representasi rakyat.13 Fungsi

5

10 Jimly Asshiddiqie, op.ct, hal. 300

11 Ibid, hal. 302

12 Lihat Pasal 69 Ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009

13 Lihat Pasal 69 Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 13: Bu Let in Hukum 10030912

legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR

selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-

undang.14 Fungsi anggaran dilaksanakan untuk

membahas dan memberikan persetujuan atau

tidak memberikan persetujuan persetujuan

terhadap rancangan undang-undang tentang

APBN yang diajukan oleh Presiden.15 Fungsi

pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan

atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.16

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,

DPR berhak meminta pejabat negara, pejabat

pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat

untuk memberikan keterangan tentang suatu hal

yang perluditangani demi kepentingan bangsa

dan negara.17 Sehubungan dengan permintaan

DPR tersebut, setiap pejabat negara, pejabat

pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat

wajib memenuhi.18 Penolakan terhadap permintaan

DPR dikenakan panggilan paksa sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.19

3. Beberapa Kajian Kemandirian Bank Sentral

dan Pengaruhnya

Dalam berbagai macam kajian kebanksentralan,

indipendensi dan good governance menjadi dua

topik yang tidak terpisahkan. Tiga prinsip yang

membangun Central Bank Governance (CBG)

adalah independensi, akuntabilitas, dan

transparansi. Beberapa penelitian mengenai

pengaruh independensi bank sentral dan

transparansi bank sentral terhadap berbagai

macam indikator ekonomi telah dilakukan,

diantaranya adalah, pengaruh independensi

terhadap tingkat inflasi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa bahwa tingkat inflasi akan

dapat dikendalikan dengan lebih baik apabila

bank sentral dalam menetapkan dan

melaksanakan kebijakan moneter tidak mendapat

campur tangan dari pemerintah. Berikut ini adalah

beberapa penelitian tersebut:

6

14 Lihat Pasal 70 Ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009

15 Lihat Pasal 70 Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009

16 Lihat Pasal 70 Ayat (3) UU No. 27 Tahun 2009

17 Lihat Pasal 72 Ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009

18 Lihat Pasal 72 Ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009

19 Lihat Pasal 72 Ayat (3) UU No. 27 Tahun 2009

PengujianPeneliti

Grili, Masciandaro dan Tabellini (1991)

Cukierman, webb, dan Neyapti (1992)

Den Haan dan Van’T Hag (1994)

Mengestimasikan pengaruh indikator-indikator ekonomi dan independensi politik terhadap inflasi

Meneliti hubungan antara inflasi; turn over pergantian gubernur dan tingkat independensi

Meneliti hubungan antara CBI dan inlasi, tingkat pengangguran, kebijkan moneter, dan inflasi di lingkungan non-regulatory

CBI selalu mempunyai pengaruh negatif terhadap inflasi

Semakin tidak independen menyebabkan inflasi semakin tinggi. Pergantian gubernur mempunyai pengaruh signifikan dalam menjelaskan inflasi

CBI mempunyai korelasi positif dengan sejarah pengalaman inflasi

18 negara-negara OECD1950-1989

72 negara berkembang dan industri1950-1989

Negara-negara OECD1980-1989

Regresi

Regresi

Regresi

Topik Penelitian Sampel dan Perioda Hasil

Tabel 1. Hubungan antara Central Bank Indipendence (CBI) dengan Tingkat Inflansi

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 14: Bu Let in Hukum 10030912

Selain pengaruh indipendensi terhadap

perekenomian, pernah juga diteliti pengaruh

transparansi bank sentral terhadap kebijakan

moneter, antara lain oleh Eijffinger dkk (2006) dan

Crowde dkk (2007), serta Claessens dkk (2007).

Eijffinger dkk20 (2006) dan Crowe dkk21 (2007)

mengukur tingkat transparansi bank sentral

dengan lima kategori. Pertama, transparansi politik

(political transparency), yaitu kejelasan mandat

legal yang dimiliki oleh bank sentral; kedua,

transparansi ekonomi (economic transparency),

mengacu pada publikasi data ekonomi, model,

dan peramalan yang digunakan oleh bank sentral

untuk menghasilkan kebijakan; ketiga,

transparansi prosedural, yaitu pengkomunikasian

strategi kebijakan dan informas-informasi dalam

proses pengambilan keputusan; keempat,

transparansi kebijakan (policy transparency), yaitu

pengumuman dan penjelasan pelaksanaan

kebijakan dan perkiraan tindakan-tindakan yang

akan dilaksanakan di masa yang akan datang

secara tepat waktu; kelima, transparansi

operasional (operational transparency), yaitu

diskusi dan pembahasan hal-hal yang dapat

menganggu perekonomian maupun hal-hal yang

menyebabkan salah kebijakan yang kemungkinan

mempengaruhi penerapan kebijakan saat ini.

Penelitian tentang corporate governance yang

dilakukan oleh Claessens dkk (2002)22

menunjukkan bahwa transparansi yang rendah

merupakan cerminan dari rendahnya tingkat

corporate governance. Survey yang dilakukan

oleh Fry dkk. (1996)23 terhadap 94 bank sentral

juga menunjukan bahwa 74% dari responden

menganggap bahwa transparansi merupakan

komponen kerangka kebijakan moneter yang

vital dan sangat penting. Berikut ini adalah

penelitian terkait transparansi di bank sentral:

7

22 Claessens, S. & J. P. H Fan. 2002. Corporate governance in Asia: A survey. International Review of Finance, 3( 2), 71-103.

23 Fry, M. J, Goodhart, C. A. E. & Almeida, A. 1996. Central Banking in Developing Countries: Objectives, Activities and Independence. Routledge, London.

PengujianPeneliti

Cukierman dan Webb (1995)

Brumm dan Krashevski (2003)

Ismihan dan Ozkan (2004)

Mengukur hubungan antara inflasi dan CBI

Meneliti hubungan antara sacrifice ratio dan inflasi

Hubungan antara CBI, investasi publik dan inflasi

Negara berkembang secara umum mempunyai inflasi lebih tinggi dibandingkan dengan negara industri

Terdapat hubungan negatif yang sangat kuat antara sacrifice ratio dan CBI

Mengemukakan bahwa pengaruh pertumbuhan membuat CBI sulit untuk menurunkan inflasi dalam jangka panjang

67 negara berkembang dan industri1950-1989

Analisa permasalahan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya

Model teoritis dua perioda

Regresi

Regresi

Model untuk pembuat kebijakan

Topik Penelitian Sampel dan Perioda Hasil

20 Eijffinger, Sylvester, and Petra Geraats.2006. How Transparent Are Central Banks? EuropeanJournal of Political Economy, 22(1), 1–21.

21 Crowe, Christoper dan Meade, Ellen E. 2007.The Evolution of Central Bank Governance around the World.Journal of Economic Perspectives, 21 (4), 69-90.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 15: Bu Let in Hukum 10030912

D. KEMANDIRIAN ANGGARAN BANK INDONESIA

1. Tinjauan Normatif Indipendensi Bank

Indonesia dari Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2009 sampai dengan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2009

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

dapat dilihat norma-norma yang memberikan

kemandirian kepada bank sentral sebagai salah

satu upaya normative demi mewujudkan reformasi

pembangunan. Konsideran huruf d Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1999 sangat jelas

mendeskripsikan bahwa salah satu tujuan

pembentukan undang-undang ini adalah

memberikan kemandirian kepada bank sentral

demi memelihara stabilitas nilai rupiah. Lebih

lanjut, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999 juga disebutkan bahwa

Bank Indonesia sebagai bank sentral harus mandiri,

bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak

lain. Konsekuensinya, kedudukan Bank Indonesia

sebagai lembaga negara yang independen di luar

pemerintahan. Dengan kedudukannya yang

independen tersebut, DPR dan Presiden, sebagai

pemegang kekuasaan pembentukan undang-

undang, memberikan kewenangan kepada Bank

Indonesia untuk mengatur atau membuat/

menerbitkan peraturan yang merupakan

pelaksanaan undang-undang dan menjangkau

seluruh Bangsa dan Negara Indonesia26. Dengan

independensi ini, secara tidak langsung DPR dan

Presiden memberikan sebagian dari kewenangan

konstitusionalnya, untuk membentuk peraturan

perundang-undangan, kepada Bank Indonesia.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak

sekali ditemukan delegasi pengaturan dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999. Meskipun,

jika ditinjau dari sudut pandang teori trias politica,

harusnya merupakan kewenangan dari kekuasaan

legislatif atau rule making function. Kekuasaan

legislatif dalam konteks UUD 1945 diberikan

kepada Presiden dengan persetujuan DPR27.

Berdasarkan kenyataan ini, sangat dimungkinkan

secara konstitusional melakukan atribusi

kewenangan kepada sebuah lembaga negara;

8

24 Eijffinger, Sylvester, and Petra Geraats. 2006. How Transparent Are Central Banks? European Journal of Political Economy, 22(1), 1–21.

25 Amtenbrink, Fabian. 2004. The Three Pillars of Central bank Governance-Towards a Model Central Bank Law or a Code of Good Governance. Working Paper, International Monetary Fund (IMF). Tersedia di: http:// www.imf.org/external/np/leg/sem/2004/cdmfl/eng/amtenb.pdf

PengujianNama Peneliti

Eijffinger dan Hoebrichts (2002)24

De Haan dan Amtenbrink (2003)25

Semakin banyak transparansi yang dilakukan maka tingkat inflasi akan semakin rendah dan juga diperlukan lebih sedikit stabilisasi atas supply shock

Bank sentral di ECB mendapat peringkat tinggi dari indikator pengungakapan. Namun bukti menunjukkan bahwa pasar keuangan tidak menganggap ECB tranparan

5 bank sentral utama

European Central Bank (ECB) dan 5 negara lainnya.

Pembuatan model

Konstruksi indeks pengungkapan

Topik Penelitian Sampel dan Perioda Hasil

Tabel 2. Penelitian Terkait Prinsip Transparansi

Model Teoritis dari transparansi, termasuk juga transparansi dan otoritas dari penanggung jawab akhir untuk kebijakan moneter

Sebuah Indikator dari bank sentral untuk mengukur pengungkapan dengan memasukan tujuan, strategi, dan

26 Lihat Penjelasan Umum UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

27 Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 16: Bu Let in Hukum 10030912

bahkan atribusi ini juga melingkupi kewenangan

konstitusional. Akan tetapi, atribusi dimungkinkan

sepanjang diperbolehkan oleh konstitusi dan

atribusi tersebut harus disertai dengan metode

atau prosedur pengawasannya. Model atribusi

inilah yang disebut dengan delegation doctrine

dalam studi hukum administrasi negara di Amerika

Serikat.

Selain diberi kewenangan untuk mengatur atau

membuat/menerbitkan peraturan, Bank Indonesia

juga diberi keleluasaan dalam mengatur struktur,

kepegawaian, keuangan, dan bahkan gaji bagi

gubernur, deputi senior gubernur, dan para deputi

Bank Indonesia. Dengan demikian kemandirian

tidak hanya sebatas pembentukan peraturan

perundang-undangan saja, tetapi juga diberi

kemandirian dalam menentukan dan mengatur

organisasinya. Lebih lagi, dengan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia juga diberi

kewenangan untuk secara langsung mengusulkan

dan menetapkan anggaran tahunan dan

memberitahukannya ke DPR dan Presiden28.

Konstruksi ini setidaknya sangat mengukuhkan

kemandirian Bank Indonesia dalam konstelasi

sistem ketatanegaraan Indonesia sebab tidak ada

lembaga negara lain dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia yang dapat secara langsung mengajukan

anggarannya kepada DPR dan Presiden; melainkan

harus melalui proses pengganggaran yang normal,

yaitu melalui proses anggaran pendapatan dan

belanja negara sebagaimana diatur dalam Pasal

23 UUD 194529. Meskipun demikian, kemandirian

mengusulkan dan menetapkan penganggaran

secara normatif mulai direduksi dengan

dilakukannya perubahan terhadap Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1999 melalui Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999.

Perubahan yang dilakukan melalui Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2004 secara spesifik difokuskan

pada penyesuaian mekanisme perumusan

kebijakan moneter dan penataan kembali

kelembagaan Bank Indonesia sebagai penanggung

jawab otoritas kebijakan moneter30. Kedua hal

ini menjadi fokus perubahan karena dengan

perubahan ini diharapkan dapat memperkuat

akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas Bank

Indonesia tanpa mengurangi makna independensi

lembaga negara31. Namun, harapan tinggal

menjadi harapan saja, sebab dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2004 sudah mulai

dilakukan pembatasan terhadap independensi

yang dimiliki oleh Bank Indonesia berdasarkan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999.

Pembatasan ini mulai dilakukan dengan membatasi

makna kata “independensi” dalam Pasal 4 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, yaitu

dengan menambahkan frase “...dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya,..”.

Dengan ditambahkannya frase ini, makna

independesi dibatasi hanya dalam melaksanakan

tugas dan kewenangan saja; tidak pada bidang

lain. Maknanya, DPR dan Presiden sepakat untuk

melakukan reduksi derajat independensi yang

telah mereka berikan melalui Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1999.

Kedudukan Bank Indonesia sebagai legal entity

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23D UUD

Negara RI 1945 mendapatkan legitimasi melalui

Pasal 4 Ayat (1) UU Bank Indonesia. Kedudukan

Bank Indonesia sebagai sebuah lembaga negara

9

28 Lihat Pasal 60 UU No.23 Tahun 1999.

29 Note: Dalam UUD 1945 sebutkan secara jelas bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh pemerintah. Artinya, semua penganggaran bagi lembaga negara harus dilakukan melalui pemerintah. Namun berdasarkan Pasal 23 UUD Negara RI Tahun 1945, kewenangan pengusulan anggaran pendapatan dan belanja negara harus diajukan melalui Presiden sebab dalam ketentuan tersebut jelas disebutkan bahwa rancangan undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden. Ketentuan ini menutup kemungkinan adanya pengajuan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara dari pihak DPR.

30 Lihat Penjelasan Umum UU No.3 Tahun 2004.

31 Ibid.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 17: Bu Let in Hukum 10030912

lebih diperjelas dalam rumusan Pasal 4 Ayat (2)

UU Bank Indonesia yang menentukan bahwa Bank

Indonesia adalah lembaga negara yang independen

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,

bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau

pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas

diatur dalam Undang-undang ini .

Dengan kedudukannya dalam Struktur Ketata-

negaraan Republik Indonesia, Bank Indonesia

dibentuk dengan tujuan utama untuk mencapai

dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk

mewujudkan tujuan tersebut, Bank Indonesia

diberi tugas:

1. untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan

moneter,

2. mengatur dan menjaga kelancaran sistem

pembayaran, dan

3. mengatur dan mengawasi bank sebagaimana

ditentukan32.

Dalam UUD Negara RI Tahun 1945, tidak ditentukan

secara jelas kewenangan lembaga negara apa

yang mengatur keuangan negara (dalam perspektif

trias politika: eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Bahkan kewenangan di bidang keuangan negara

didistribusikan kepada beberapa lembaga negara,

seperti DPR (dalam kewenangannya di bidang

budgeter dan perpajakan), DPD (dalam hal

memberikan pertimbangan terhadap RAPBN yang

diusulkan Presiden), Presiden (dalam bidang

mengajukan RAPBN), BPK (dalam hal pengawasan

penggunaan keuangan Negara), dan Bank Sentral.

Dalam tataran akademis, ketika kewenangan itu

diberikan atau diatur lebih lanjut melalui suatu

undang-undang secara tidak langsung kewenangan

lembaga/institusi tersebut berada di bawah

pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang,

yaitu DPR dan Presiden sebab berdasarkan Pasal

23 sampai dengan Pasal 23D UUD Negara RI

Tahun 1945, seluruh hal yang terkait dengan

keuangan negara akan diatur dengan undang-

undang. Konsekuensinya, kemudian, semua

lembaga atau state agencies yang dibentuk

maupun diberi kewenangannya oleh undang-

undang ada di bawah DPR dan Presiden.

Berkaitan dengan independensi setiap lembaga

atau state agencies yang diberi kewenangan atau

dibentuk, tidak berarti mereka sama sekali bebas

dari kekuasaan lembaga negara yang lain sehingga

akan tercipta checks and balances. Oleh karena

itu, setiap lembaga negara yang dibentuk dan

diberi kewenangannya oleh undang-undang hanya

berwenang untuk melaksanakan tugas dan

kewenangan yang diatribusikan oleh undang-

undang.

Berkaitan dengan kedudukan Bank Indonesia

dalam Struktur Kenegaraan Republik Indonesia,

memang tidak ditentukan secara jelas dalam UUD

Negara RI Tahun 1945 tetapi hanya ditentukan

dalam undang-undang Bank Indonesia. Dengan

undang-undang Bank Indonesia inilah Bank

Indonesia secara eksplisit ditentukan sebagai bank

sentral Negara Republik Indonesia. Jadi Bank

Indonesia adalah lembaga negara yang ditentukan

dalam UUD Negara RI Tahun 1945 tetapi

kewenangannya diberikan oleh undang-undang,

sehingga sangatlah sulit untuk mengatakan bahwa

Bank Indonesia adalah state agency (dalam

perspektif state agency adalah lembaga atau

institusi yang dibentuk oleh undang-undang),

sebab Bank Indonesia adalah bank sentral RI

sebagaimana diklaim lewat undang-undang Bank

Indonesia dan keberadaan bank sentral diatur

dalam Pasal 23D UUD Negara RI Tahun 1945.

Akan tetapi, kewenangan dan tugasnya ditentukan

dalam undang-undang Bank Indonesia; bukan

dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Pasal 4 Ayat

(1) undang-undang Bank Indonesia ditentukan

bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral yang

10

32 Note: Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan pengawasan dan pengaturan perbankan yang dimiliki oleh Bank Indonesia harus dialihkan kepada otoritas jasa keuangan paling lambat 31 Desember 2013.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 18: Bu Let in Hukum 10030912

dimaksudkan dalam UUD 1945. Selain itu, pada

ayat (2) pasal yang sama juga ditentukan bahwa

Bank Indonesia adalah lembaga yang independen,

bebas dari pengaruh pemerintah dan pihak-pihak

lain.

Tidak hanya berhenti dengan melakukan

pembatasan makna kata “independesi” saja;

melainkan, DPR dan Presiden juga coba menciptakan

sebuah lembaga supervisi sebagai kepanjangan

tangan DPR dalam melakukan fungsi pengawasan

kepada Bank Indonesia33. Lembaga ini hanya

dimaksudkan untuk melakukan supervisi dan tidak

masuk dalam struktur Bank Indonesia dan

berkewajiban untuk melaporkan hasil supervisinya

kepada DPR. Latar belakang dibentuknya badan

ini setidaknya menunjukan bahwa adanya

peningkatan derajat akuntabilitas Bank Indonesia

kepada masyarakat yang dilakukan melalui para

wakilnya yang duduk di DPR. Peningkatan derajat

akuntabilitas ini juga dibarengi dengan pembatasan

anggaran yang dapat ditetapkan oleh Dewan

Gubernur Bank Indonesia.Dahulu, seluruh

anggaran tahunan Bank Indonesia ditetapkan oleh

Dewan Gubernur dengan kewajiban untuk

dilaporkan saja kepada DPR dan Pemerintah.

Namun, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2004, anggaran tahunan yang dapat ditetapkan

oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia hanya

terbatas pada anggaran kegiatan operasional dan

anggaran untuk kebijakan moneter, sistem

pembayaran, serta pengaturan dan pengawasan

perbankan34. Bahkan terkait dengan anggaran

kegiatan operasional diwajibkan untuk mendapat

persetujuan DPR; sedangkan anggaran lainnya

cukup dilaporkan saja secara khusus kepada DPR.

Konsekuensinya, Kemandirian Bank Indonesia

dalam penetapan anggaran tahunannya pun juga

direduksi oleh DPR dan Presiden. Dengan

tereduksinya kemandirian penganggaran Bank

Indonesia, mau-tidak-mau, Bank Indonesia

diwajibkan untuk dapat bekerja sama dengan

pihak lain, yang dalam hal ini DPR, dalam

menentukan anggarannya.

Elaborasi di atas setidaknya menunjukan bahwa

DPR dan Presiden melakukan redefinisi makna

independesi yang mereka berikan kepada Bank

Indonesia. Hal ini sangat dimungkinkan karena

adanya norma terbuka yang diberikan oleh Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, khususnya Pasal 23D UUD Negara RI Tahun

1945. Pasal ini tidak menentukan sampai derajat

mana kemandirian dan independensi yang dapat

diberikan kepada bank sentral. Derajat tersebut

akan ditentukan melalui kesepakatan antara DPR

dan Presiden dalam produk hukum undang-

undang. Oleh karenanya, tidak mengherankan

jika bank sentral, yang dalam hal ini adalah Bank

Indonesia, dikategorikan sebagai lembaga negara

yang disebutkan dalam UUD Negara RI Tahun

1945, tetapi kewenangannya diatur dengan

undang-undang. Hal ini sangat berdampak kepada

bentuk perlindungan yang dapat digunakan Bank

Indonesia, ketika terjadi konflik kewenangan

dengan lembaga negara lain atau terjadinya

pelanggaran atau pengurangan kewenangan Bank

Indonesia yang dilakukan oleh lembaga negara

lain terhadap Bank Indonesia. Jika derajat

kemandirian dan independensinya ditentukan

dalam konstitusi maka terdapat alat ukur yang

jelas untuk mengetahui telah dilakukan atau

tidaknya reduksi derajat kemandirian dan

independensi yang dimiliki oleh Bank Indonesia.

Selain itu, sengketa kewenangannya pun dapat

diajukan dan diselesaikan melalui Mahkamah

Konstitusi. Ketidakjelasan ukuran inilah yang

menyebabkan lemahnya perlindungan terhadap

derajat kemandirian dan independensi Bank

Indonesia sehingga seberapa tinggi atau rendahnya

derajat kemandirian dan independensi Bank

Indonesia, sangatlah tergantung dari kesepakatan

11

33 Lihat Pasal 58 A UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.3 Tahun 2004.

34 Lihat Pasal 60 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.3 Tahun 2004.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 19: Bu Let in Hukum 10030912

antara DPR dan Presiden. Jadi interprestasinya

diserahkan sepenuhnya kepada DPR dan Presiden.

Jika hal ini dikaitkan dengan kemandirian Bank

Indonesia dalam bidang penganggaran, setidaknya

romantisme masa lalu yang diberikan oleh

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 hanya

akan menjadi idealisme saja; tanpa kejelasan

penerapannya kembali. Semuanya, sangat

bergantung pada DPR dan Presiden. Kondisi ini,

setidaknya menunjukan bahwa kemandirian dan

independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral

akan selalu mendapat “pengaruh” dari interprestasi

yang disepakati oleh DPR dan Presiden. Padahal,

seharusnya Bank Indonesia bebas dari pengaruh

pemerintah dan pihak lain. Yang mana definisi

pihak lain ini pun sangat terbuka, yaitu semua

pihak diluar Bank Indonesia termasuk pemerintah

dan/atau lembaga lainnya35. Seharusnya hal ini

dihindari sebab menurut Charles A.E. Goodhart:

The second strand of argument relates to the

danger that anexecutive, and the legislature,

having together established theunderlying laws

and regulations by which a country should be

run, might then be tempted to bend or to subvert

the subsequent legal and operational rulings in

their own short-run political interest. This danger

is all the greater because the executive, especially

when it dominates the legislature, as it is designed

to do here in the UK, has great power36.

Namun kenyataan yang terjadi di Indonesia

sangatlah berbeda sebab derajat kemandirian dan

independensinya sangat dipengaruhi oleh

interpretasi DPR dan Presiden yang dilakukan

melalui undang-undang.

2. Central Bank Governance (CBG) pada Bank

Indonesia (Indipendensi, Akuntabilitas, dan

Transparansi)

Fungsi bank sentral sebagai pemegang otoritas

moneter menuntut bank sentral untuk menjadi

institusi yang independen sekaligus penegak good

governance dalam setiap aktivitas operasionalnya.

Dalam berbagai macam kajian kebanksentralan,

independensi dan good governance menjadi dua

topik yang tak terpisahkan.Tiga prinsip yang

membangun Central Bank Governance (CBG)

adalah independensi, akuntabilitas, dan

transparansi.37 Dengan demikian, CBG merupakan

fungsi dari independensi dan keduanya berjalan

beriringan.38

a. Independensi

Independensi mengacu pada kemampuan

bank sentral untuk menggunakan berbagai

macam instrumen pengendalian moneter tanpa

instruksi, panduan, atau campur tangan dari

pemerintah (Henning, 2004).39 Di beberapa

literatur, International Monetary Fund (IMF)

lebih memilih untuk menggunakan istilah

otonomi dibandingkan dengan independensi.

Otonomi dianggap lebih mengandung makna

sebagai kebebasan secara operasional

(operational freedom) sedangkan independensi

hanya dianggap mengindikasikan tidak adanya

batasan secara institusional.40 Meskipun

demikian, makalah ini tetap menggunakan

istilah independensi karena di Indonesia istilah

ini sudah lebih umum digunakan.

Sebagai pemegang otoritas moneter, bank

sentral seharusnya berdiri sendiri sebagai

institusi independen yang terlepas dari

12

37 Amtenbrink, Fabian, lot.cit.

38 Ahsan, A., Skully, M., Wickramanayake, J. 2006. Determinants od Central Bank Independence and Governance: Problems and Policy Implications. JOAAG, 1 (1), 47-67

39 Henning, C. R. 1994. Currencies and politics in the United States, Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for International Economics.

40 Lybek, Lot.cit

35 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004.

36 Milton Freidman dan Charles E. A. Goodhart, 2003, Money, Inflation, and the Constitutional Position of the Central Bank, the Institute of Economic Affairs, London, Hal. 92-93.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 20: Bu Let in Hukum 10030912

pengaruh legislatif maupun eksekutif.

Pengukuran terhadap tingkat independensi

bank sentral dapat dilihat dari karakteristik

dan status hukum institusi. Beberapa

karakteristik yang mencerminkan independensi

bank sentral terhadap pemerintah, yaitu: (1)

apabila pihak manajemen bank sentral

terlindungi dari tekanan politik; (2) pemerintah

tidak dapat ikut campur dalam berbagai macam

pengambilan dan penerapan kebijakan; (3)

mandat yang diterima oleh bank sentral secara

resmi memerinci tujuan dari kebijakan moneter;

dan (4) adanya batasan yang membatasi

pinjaman dari pemerintah (limit lending to

government).41

Sebagaimana telah disebutkan pada Bab

sebelumnya, beberapa penelitian mengenai

pengaruh independensi bank sentral terhadap

berbagai macam indikator ekonomi juga telah

dilakukan, antara lain, adalah pengaruh

independensi terhadap tingkat inflasi. Hasil

dari berbagai penelitian tersebut menunjukkan

bahwa tingkat inflasi akan dapat dikendalikan

dengan lebih baik apabila bank sentral dalam

menetapkan dan melaksanakan kebijakan

moneter tidak mendapat campur tangan dari

pemerintah.

Dalam konteks Bank Indonesia, hingga saat

ini, Independensi Bank Indonesia selaku bank

sentral di Indonesia masih menjadi objek

perdebatan. Banyak pihak yang menganggap

Bank Indonesia masih belum independen

karena masih adanya campur tangan DPR

selaku legislatif dan pemerintah selaku

eksekutif. Otoritas atau mandat yang diberikan

kepada Bank Indonesia masih dalam taraf awal

dan bersifat relatif rentan.

1) Pelajaran dari Sejarah

Bank Indonesia telah mengalami perubahan

secara institusional maupun struktural dari

masa ke masa sejak Indonesia merdeka.

Perubahan-perubahan ini membawa imbas

pada independensi Bank Indonesia. Ada

kalanya Bank Indonesia berdiri sebagai institusi

independen mutlak; namun ada masanya Bank

Indonesia menjadi bagian dari pemerintah.

Berikut ini adalah sejarah perubahan status

independensi Bank Indonesia dari masa ke

masa yang hingga kini pun masih menjadi

bahan perdebatan.

Semestinya pemerintah dapat belajar dari

sejarah dan praktik-praktik terbaik yang ada,

yaitu bahwa bank sentral yang independen

akan mempunyai kemampuan yang lebih baik

dalam membuat berbagai macam kebijakan

moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian

nasional. Hal ini telah dibuktikan melalui

berbagai macam penelitian terkait Independensi

bank sentral yang telah dijabarkan sebelumnya.

Bank sentral yang proses pembuatan kebijakan

moneternya mendapat campur tangan

pemerintah akan mendapatkan tekanan politik

dari pemerintah untuk membantu

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan

mengurangi tingkat pengangguran melalui

kebijakan-kebijakan moneternya. Namun,

apabila kondisi perekonomian tidak bisa

melampaui GDP potensial ataupun tingkat

pengangguran alaminya maka dalam jangka

panjang kebijakan moneter yang diambil justru

akan menciptakan inflasi yang tinggi.42 Oleh

karena itu, solusinya adalah dengan

mendelegasikan kebijakan moneter kepada

bank sentral dan individu-individu yang

independen dari pemerintah.

13

41 Crowe, Christoper dan Meade, Ellen E. 2007. The Evolution of Central Bank Governance around the World. Journal of Economic Perspectives, 21 (4), 69-90.

42 Kydland, Finn, and Edward Prescott.1977. Rules Rather than Discretion: The Inconsistencyof Optimal Plans. Journal of Political Economy 85 (3), 473–90.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 21: Bu Let in Hukum 10030912

2) Hubungan Bank Indonesia dengan

Pemerintah

Bank Indonesia menjalin hubungan dengan

Pemerintah, baik dalam rangka koordinasi

kebijakan maupun hubungan kerja operasional.

Hubungan antara Bank Indonesia dengan

berbagai macam lembaga pemerintah

diperlihatkan pada Peraga 1. Tujuannya Bank

Indonesia berkoordinasi dengan pemerintah

adalah agar kebijakan dan kerja operasional

yang menjadi kewenangan masing-masing

dapat saling bersinergi dalam rangka mencapai

sasaran ekonomi makro.Namun hal ini justru

berlawanan dengan prinsip independensi yang

harus dimiliki oleh bank sentral untuk dapat

menciptakan CBG.Hal ini juga bertentangan

dengan Pasal 23D UUD Negara RI tahun 1945

yang telah menggariskan bahwa bank sentral

haruslah independen.

14

Badan SupervisiSupervisory Body

PresidenPresident

Mengusulkan dan Mengangkat anggota Dewan Gubernur BI

dengan persetujuan DPR

Nominates and appoints members of BI’s board of

Governors with approval from House of Representatives

Mahkamah Agung Supreme Court

Mengambil sumpah/janji anggota Dewan Gubernur BI

Takes the oath/pledge of the BI’s Board of Governors

Badan Pemeriksa KeuanganSupreme Audit Board

Memeriksa Laporan Keuangan BI

Audit’s BI’s Financial Reports

Dewan Perwakilan RakyatHouse of Representatives

Menilai kinerja BI dan Dewan Gubernur BI

Evaluates the performance of BI dan BI’s Board of Gubernur

Masyarakat*Public*

Laporan

Report

Laporan

Report

MasyarakatPublic

Lembaga Tinggi NegaraThe State High Institution

PemerintahThe Government

* Bukan Lembaga Tinggi Negara Not a State High Institution Sumber: www.bi.go.id

Peraga 1. Hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 22: Bu Let in Hukum 10030912

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,

Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur

yang terdiri dari seorang gubernur sebagai

pemimpin dibantu oleh seorang deputi

gubernur senior sebagai wakil, dan sekurang-

kurangnya empat atau sebanyak-banyaknya

tujuh deputi gubernur. Dewan gubernur secara

keseluruhan bertindak sebagai policy-making

body, sedangkan Deputi Gubernur dan

Direktur-Direktur bertindak sebagai executing

body. Gubernur dan Deputi Gubernur Senior

diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan

persetujuan DPR.Sementara Deputi Gubernur

diusulkan oleh Gubernur dan diangkat oleh

Presiden dengan persetujuan DPR. Kinerja

Dewan Gubernur dan Bank Indonesia dinilai

oleh DPR sedangkan laporan keuangannya

diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK).

3) Personnel Indipendence

Dilihat dari sistem pengangkatan Dewan

Gubernur maka Bank Indonesia dapat dikatakan

masih belum memiliki personnel independence,

yaitu kewenangan bank sentral untuk menolak

campur tangan pemerintah dan pihak-pihak

lain dalam pelaksanaan kebijakan moneternya,

termasuk juga dalam penentuan masa jabatan,

jumlah anggota, dan masa jabatan berjenjang

dari anggota pembuat kebijakan moneter yang

dalam hal ini adalah Dewan Gubernur.

Agar Bank Indonesia mempunyai personnel

independence maka semestinya intervensi

pemerintah dan lembaga negara dalam

pemilihan Dewan Gubernur diminimalkan.

Lalu, suara dari pemangku kepentingan Bank

Indonesia lainnya juga dimasukkan ke dalam

proses pemilihan dan pengangkatan Dewan

Gubernur Bank Indonesia, tidak hanya melalui

proses pencalonan pejabat dari Presiden dan

Gubernur Bank Indonesia saja. Untuk

penempatan posisi Gubernur dan Deputi

Gubernur Senior tetap dapat menggunakan

sistem saat ini, sedangkan untuk pemilihan

Deputi Gubernur dapat mengacu pada sistem

yang digunakan oleh Federal Reserved Bank

of America, yaitu pemilihan Deputi Gubernur

secara langsung oleh bank umum agar Deputi

Gubernur mempunyai latar belakang dan

sudut pandang yang berbeda-beda yang pada

akhirnya mendatangkan manfaat dalam proses

pembuatan kebijakan moneter dan kebijakan-

kebijakan lainnya.

Untuk mengurangi keeratan hubungan antara

DPR dengan Bank Indonesia maka pemerintah

perlu menambahkan semacam Supervisory

Board (Dewan Pengawas) yang independen

dengan beranggotakan orang-orang yang

mempunyai kompetensi tinggi di bidang

moneter ke dalam struktur Dewan Gubernur

Bank Indonesia.

4) Financial Indipendence

Selain belum mempunyai personnel

independence Bank Indonesiajuga belum

independen dalam menentukan anggarannya.

Hal ini dikarenakan anggaran operasional

Bank Indonesia harus diajukan dan disetujui

15

Deputi Gubernur

Deputi Gubernur

Deputi Gubernur

Deputi Gubernur

Deputi Gubernur

Deputi Gubernur

Deputi Gubernur

Deputi Gubernur Senior

Gubernur

Peraga 2. Struktur Dewan Gubernur BI

Sumber: www.bi.go.id

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 23: Bu Let in Hukum 10030912

terlebih dahulu oleh DPR. Sedangkan untuk

anggaran kebijakan wajib dilaporkan secara

khusus kepada DPR.Penggunaannya pun

mendapat pengawasan dari DPR. Hal ini

tentunya mendistorsi independensi fungsi dan

kewenangan Bank Indonesia. Dengan demikian,

saat ini Bank Indonesia dapat dikatakan belum

independen secara menyeluruh.

Apabila Bank Indonesiaingin menjadi bank

sentral yang independen dan menerapkan CBG

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

maka sebaiknya sistem ini diubah. Bank

Indonesia dapat merancang sistem

penganggaran baru yang lebih independen

dengan menggunakan dasar pelbagai macam

best practices yang disesuaikan dengan tatanan

politik dan undang-undang yang melandasinya.

Alternatif lainnya, Bank Indonesia dapat juga

mengadopsi mekanisma penganggaran bank

sentral di negara lain yang dianggap lebih baik

dan lebih independen yang tentunya

disesuaikan dengan sistem ekonomi yang

dianut di Indonesia, misalnya saja sistem

anggaran dari Reserved Bank of Australia (RBA)

yang hanya membutuhkan persetujuan dari

Gubernur RBA atau sistem Anggaran dari

Central Bank of Bahrain yang sudah sepenuhnya

independen dengan pertanggungjawaban

pada saat diaudit.

Selain itu, Bank Indonesia juga dapat menjadi

lebih independen lagi apabila beroperasi tanpa

menggunakan modal dari pemerintah.Hal ini

memungkinkan untuk dilakukan mengingat

Bank Indonesia mempunyai karakteristik yang

berbeda dengan bank umum maupun dengan

perusahaan lainnya.

Karakteristik bank umum menuntut bank

umum untuk mempunyai likuiditas jangka

pendek yang tinggi. Bank umum harus mampu

memenuhi permintaan penarikan dana dari

nasabah seketika itu juga saat nasabah

meminta. Penarikan ini tidak bisa ditunda seperti

halnya perusahaan manufaktur yang menunda

pembayaran terhadap pemasoknya saat

mengalami kekurangan kas (cash shortages).

Hal inilah yang mendorong pembuat kebijakan,

yaitu Bank Indonesia untuk menetapkan

cadangan wajib minimum di bank umum.

Sementara itu, bank sentral tidak membutuhkan

cadangan berupa modal dalam jumlah yang

banyak dan bahkan bank sentral dapat tetap

beroperasi dengan normal meski dengan

cadangan modal nol. Cadangan modal yang

dimaksud dalam konteks ini adalah modal

yang berasal dari pemerintah dan laba ditahan.

Hal ini dikarenakan bank sentral mempunyai

kemampuan untuk menciptakan likuiditas

domestik sehingga bank sentral dianggap

sebagai obligor handal dan oleh karenanya

tidak membutuhkan modal sebagai jaminan

dalam melakukan pinjaman. Bank of Canada

dan Bundesbank bahkan telah membuktikan

bahwa mereka dapat beroperasi dengan modal

nol tanpa menimbulkan dampak material pada

kebijakan maupun profitabilitasnya.43

b. Akuntabilatas

Prinsipini menuntut bank sentral untuk

mempertanggungjelaskan kinerjanya secara

transparan dan wajar. Akuntabilitas bank

sentral diperlukan untuk memastikan kalau

pelaksanaan kebijakan dan fungsi-fungsi yang

ada sudah berjalan dengan efektif dan efisien

yang berarti bahwa bank sentral telah mengelola

sumber dayanya juga dengan cara yang efektif

dan efisien dalam upaya pencapaian tujuannya,

yaitu stabilitas harga.

Untuk memudahkan pemantauan kinerja,

undang-undang bank sentral harus mewajibkan

16

43 Stella, Peter.1997. Do Central Banks Need Capital?. Working paper, International Monetary Fund (IMF) Nomor WP/97/83

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 24: Bu Let in Hukum 10030912

bank sentral untuk menerbitkan laporan kinerja

minimal setahun sekali beserta laporan tahunan

tentang kebijakan moneter dan kegiatan

operasional kebanksentralan lainnya. Baru-

baru ini semakin banyak aturan hukum yang

mewajibkan bank sentral untuk menerbitkan

laporan kebijakan moneter dan analisisnya

secara semesteran.

Seringnya pengungkapan informasi mengenai

kebijakan moneter yang diambil oleh bank

sentral juga dapat membuat pemerintah sulit

melakukan intervensi terhadap bank sentral

tanpa diketahui oleh publik.Untuk itu pelaporan

juga harus secara jelas memaparkan faktor-

faktor internal maupun eksternal di luar kendali

bank sentral yang mempengaruhi hasil

kebijakan.

1) Akuntabilitas Bank Indonesia

Sebagai lembaga publik, Bank Indonesia wajib

akuntabel atau mempertanggungjelaskan

tugas dan tujuan yang dilaksanakan, otoritas

yang diberikan, kondisi keuangan, dan efisiensi

sumber daya yang digunakan. Terkait kondisi

keuangan, Bank Indonesia mempertanggung

jelaskan kinerjanya kepada masyarakat, Badan

Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwakilan

Rakyat, serta Pemerintah.

Saat ini, Bank Indonesia menyampaikan laporan

tahunan kepada DPR dan Pemerintah pada

setiap awal tahun beserta anggaran yang

memuat pelaksanaan tugas dan wewenang

pada tahun sebelumnya serta rencana kebijakan,

penetapan sasaran, dan langkah-langkah

pelaksanaan tugas dan wewenang tahun yang

akan datang. Bank Indonesia juga wajib

menyampaikan laporan triwulanan pelaksanaan

tugas dan wewenangnya kepada DPR dan

Pemerintah. Lagi-lagi, akuntabilitas yang dimiliki

oleh Bank Indonesia belum didukung oleh

CBG yang baik dikarenakan persetujuan

terhadap laporan pelaksanaan tugas dan

wewenang harus dievaluasi dan disetujui oleh

DPR.

2) Supervisory Board

Salah satu isu terkait independensi bank sentral

adalah bagaimana bank sentral dapat menjaga

keseimbangan antara independensi dengan

akuntabilitas.Seperti yang disebutkan dalam

undang-undang tentang bank sentral, tugas

bank sentral adalah menjaga kestabilan harga.

Hal ini otomatis membuat bank sentral

mempunyai wewenang untuk mengambil

keputusan-keputusan yang dibutuhkan untuk

merumuskan dan melaksanakan kebijakan

moneter. Wewenang ini harus diimbangi

dengan akuntabilitas agar tidak muncul

“negara di dalam negara.”

Saat ini, undang-undang tentang bank sentral

tengah ditinjau ulang di berbagai negara

terutama terkait dengan topik bagaimana

cara menyeimbangkan independensi dan

akuntabilitas bank sentral. Konsep supervisory

board yang telah digunakan di beberapa

negara dianggap sebagai salah satu opsi yang

tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Supervisory Board dibentuk untuk meningkatkan

akuntabilitas dan transparansi bank sentral,

serta memberikan counterbalance

(penyeimbang) terhadap independensi yang

dimiliki bank sentral. Konsep supervisory board

di tiap negara juga berbeda-beda, tergantung

pada hukum dan lingkungan politiknya.

Supervisory board harus memahami tugas

dan fungsinya dengan baik, seperti (1) tidak

boleh ikut campur dan mempengaruhi

kebijakan moneter yang diambil oleh bank

sentral, dan (2) dapat menjaga kerahasiaan

bank sentral. Keharusan untuk menjaga

kerahasiaan ini dapat bertentangan dengan

tujuan awal pembentukan supervisory board,

yaitu meningkatkan transparansi dan

17

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 25: Bu Let in Hukum 10030912

akuntabilitas bank sentral. Oleh karena itu,

lingkup kerahasian bank sentral harus selalu

dinilai dan dievaluasi ulang.

c. Transparansi

Tranparansi bank sentral mengacu pada

kegiatan yang dilakukan oleh bank sentral

sebagai pemegang otoritas moneter untuk

menyediakan informasi bagi publik sehingga

publik dapat menerima keputusan tersebut

beserta alasan yang mendasarinya. Transparansi

merupakan prekondisi untuk menciptakan

akuntabilitas.44

Sebagaimana telah juga disebutkan sebelumnya

terdapat juga beberapa penelitian terkait

dengan transparansi bank sentral ini.

Diantaranya oleh Eijffinger dan Hoebrichts

yang menunjukkan bahwa semakin banyak

transparansi yang dilakukan maka tingkat

inflasi akan semakin rendah dan juga

diperlukan lebih sedikit stabilisasi atas supply

shock. Claessens dkk.menunjukan bahwa

transparansi yang rendah merupakan cerminan

dari rendahnya tingkat corporate governance.

Survey yang dilakukan oleh Fry dkk terhadap

94 bank sentral juga menunjukan bahwa

74% dari responden menganggap bahwa

transparansi merupakan komponen kerangka

kebijakan moneter yang vital dan sangat

penting. Namun yang menarik adalah hasil

temuan penelitian oleh De Haan dan

Amtenbrink yang menyatakan bahwa Bank

sentral di European Central Bank (ECB)

mendapat peringkat tinggi dari indikator

pengungakapan, namun bukti menunjukkan

bahwa pasar keuangan tidak menganggap

ECB tranparan.

Dalam konteks Bank Indonesia, agar kebijakan

moneter dapat berjalan dengan baik maka

komunikasi yang terbuka antara Bank Indonesia

dengan masyarakat sangat dibutuhkan.

Transparansi juga dibutuhkan karena pasar

dan pelaku ekonomi membutuhkan informasi

untuk mengelola ekspektasi terhadap arah

kebijakan bank sentral. Hal inilah yang

mendorong Bank Indonesia untuk senantiasa

transparan mengkomunikasikan berbagai

macam kebijakan yang diambilnya kepada

masyarakat. Transparansi dilakukan kepada

berbagai pihak seperti parlemen, pemerintah,

pasar, para pemerhati bank sentral, dan media

massa. Komunikasi yang Bank Indonesia

lakukan dapat berupa pengumuman maupun

penjelasan-penjelasan mengenai sasaran inflasi

ke depan, analisis Bank Indonesia terhadap

perekonomian, kerangka kerja, dan langkah-

langkah kebijakan moneter yang telah akan

ditempuh, kerangka kerja, dan langkah-

langkah kebijakan moneter yang telah dan

akan ditempuh, jadwal Rapat Dewan Gubernur

(RDG), serta hal-hal lainnya yang ditetapkan

oleh Dewan Gubernur.

Komunikasi kebijakan dapat dilakukan dalam

bentuk siaran pers, konferensi pers, publikasi

Tinjauan/Laporan Kebijakan Moneter yang

memuat latar belakang pengambilan keputusan,

maupun penjelasan langsung dan diskusi

kepada masyarakat luas, media massa, pelaku

ekonomi, analis pasar dan akademisi. Media

komunikasinya dapat berupa publikasi Tinjauan

Kebijakan Moneter, Laporan perekonomian

Indonesia, Laporan Triwulan DPR RI, dan Siaran

Pers Kebijakan Moneter.

Kewenangan bank sentral untuk mengambil

keputusan kebijakanmoneter diberikan oleh

legislatif sehingga wewenang ini juga dapat

diambil setiap saat dengan undang-undang.

Legislatif hanya akan memberikan

kepercayaannya apabila bank sentral dapat

membuat kebijakan moneter yang beralasan

dan dapat diterima serta dapat menjalankan

18

44 Amtenbrink, Lot.cit

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 26: Bu Let in Hukum 10030912

fungsi lainnya dengan baik. Oleh karena itu

penting bagi bank sentral untuk memaparkan

aktivitas-aktifivasnya agar mendapat dukungan

politik dan publik dalam menjalankan tugasnya

untuk menjaga stabilitas harga. Komunikasi

yang terbuka dan langsung dengan legislatif

sangatlah penting dalam pengelolaan bank

sentral

3. Pentingnya Kemandirian Bank Indonesia

dalam Pencapaian Tujuan Bank Indonesia

Bank sentral dikatakan tidak memiliki personal

independence jika ada otoritas lain (pemerintah

dan/atau parlemen), yang menunjuk atau memilih

anggota-anggota dalam kepemimpinan bank

sentral, dapat melakukan tekanan politik secara

tidak langsung kepada anggota-anggota tersebut.45

Hal seperti ini dapat dilakukan, misalnya, dengan

memberhentikan atau tidak memperpanjang

jabatan dari salah satu atau beberapa anggota

pimpinan bank sentral. Dalam bentuk lain, tidak

adanya personal independence adalah, misalnya,

adanya perwakilan dalam kepemimpinan bank

sentral dan prosedur penunjukan pimpinan bank

sentral.47

Financial Independence atau sering dikenal dengan

budgetary independence adalah kemandirian bank

sentral dalam mendanai pengeluarannya sendiri.48

Jika politisi dapat mempengaruhi bank sentral

dalam penyusunan dan penggunaan anggarannya,

maka dikatakan bahwa bank sentral tidak

mempunyai kemandirian keuangan.

Policy independence menyangkut seberapa besar

ruang gerak dari bank sentral dalam merumuskan

dan melaksanakan kebijakan moneter. Kemandirian

kebijakan ini dapat dibagi dua, yakni, goal

independence dan instrument independence.49

Goal independence menyangkut seberapa besar

kemandirian bank dalam menentukan tujuan bank

sentral, sedangkan instrument independence

menyangkut mengenai ada tidaknya atau seberapa

besar keharusan bank sentral untuk mendapatkan

persetujuan pemerintah dan/atau parlemen dalam

memilih sarana yang dipilih untuk mencapai

tujuannya.

Sepanjang mengenai keputusan tentang tujuan

akhir dan pertanggungjawaban final tentang

kebijakan moneter, kemandirian bank sentral

berlawanan dengan akuntabilitas demokratis.50

Dalam masyarakat yang demokratis, De Haan dan

Eijffinger menyatakan bahwa bank sentral

seharusnya tidak memiliki goal independence baik

eksplisit maupun implisit.51 Meskipun mekanisme

pengenyampingan mengurangi independensi bank

sentral, tetapi dapat meningkatkan akuntabilitas

demokratis, sebagaimana tanggung jawab final

dari kebijakan moneter berada pada tangan politisi

yang dipilih secara demokratis.

Ada tiga bentuk akuntabilitas bank sentral yakni:52

1. Keputusan tetang definisi eksplisit dan

pemeringkatan dari tujuan-tujuan moneter

19

45 Apel Emmanuel Apel, Emmanuel, 2003, Central Banking Systems Compared, The ECB, the pre-euro Bundesbank, and the Federal Rerserve System, Routledge Taylor & Francis Group, London and New York, Hal., 33-35

46 Misalnya, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 menentukan bahwa Presiden dapat memberhentikan Gubernur dan Direktur-Direktur meskipun masa jabatan yang bersangkutan belum berakhir; (a) karena meninggal dunia; (b) karena melakukan sesuatu atau bersikap yang merugikan Bank Indonesia atau yang bertentangan dengan kepentingan Negara; (c) karena sesuatu hal yang menyebabkan ia tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan wajar; (c) atas permintaan sendiri.

47 Lihat misalnya Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 yang menentukan bahwa Bank Indonesia dalam menjalankan tugas pokoknya adalah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ayat (2) dari pasal tersebut kemudian menentukan bahwa Pemerintah dibantu oleh Dewan Moneter.Pasal 10 dari undang-undang tersebut menentukan bahwa Dewan moneter terdiri dari tiga orang anggota, yaitu Menteri-menteri yang membidangi Keuangan dan Perekonomian serta Gubernur Bank Indonesia.

48 Lihat Tshiani, Noël K., 2008, Building Credible Central Banks, Policy Lessons for Emerging Economies, Palgrave Macmillan Studies in Banking and Financial Institutions, Series Editor; Philip Molyneux, Paris, Hal., 15

49 De Haan, Jakob, dan Eijffinger, Sylverster C.W, loc.cit.

50 Loc.cit.

51 Loc.cit.

52 Loc.cit.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 27: Bu Let in Hukum 10030912

2. Transparansi dalam kebijakan monoter yang

29ormat

3. Siapa yang harus memberikan pertanggung-

jawaban final kebijakan moneter

Dalam akuntabilitas demokratis, politisi terpilih

harus menentukan defnisi eksplisit dan peringkat

tujuan-tujuan dari kebijakan moneter. Transparansi

dalam kebijakan moneter dicapai apabila badan

pengambil keputusan dalam bank sentral diminta

untuk mengumumkan berita acara rapat dan atau

mengapa suatu keputusan telah diambil. Dalam

pertanggungjawaban akhir dari kebijakan monoter,

terdapat tiga hal yang krusial, yakni: hubungan

bank sentral dengan parlemen, mekanisme

pengenyampingan, dan prosedur pemecatan

gubernur bank sentral.

Mengenai hubungan bank sentral dengan

parlemen, menurut kehendak akuntabilitas

demokratis seharusnya terdapat keharusan yuridis

bank sentral untuk melaporkan dan atau

menjelaskan policy action-nya dan sebaliknya bank

sentral mempunyai kesempatan untuk menjelaskan

kebijakannya. Parlemen juga harus mendapatkan

kesempatan untuk menilai kinerja bank sentral.

Logika dari hubungan tersebut adalah karena

kebijakan moneter ditetapkan oleh politisi. Dalam

konstruksi ini, politisi diberi kewenangan untuk

merubah peraturan yang menyangkut independensi

bank sentral agar bank sentral memenuhi kebijakan

moneter yang ditetapkan oleh parlemen.

Sehubungan dengan hal ini, De Haan dan Eijffinger

menyatakan bahwa: “It has been argued in the

context of national central banks in general that

Parliament always holds the ultimate responsibility

for monetary policy since it can change the legal

basis of the Central Bank.” Dengan demikian,

lembaga yang menetapkan kebijakan moneter

(dalam hal ini parlemen) harus mempunyai

29ormative29 untuk memastikan bahwa kebijakan

tersebut dijalankan (oleh bank sentral) sesuai

dengan yang diharapkan.

Dalam kaitannya dengan hal ini, De Haan dan

Eijffinger mengatakan bahwa: “Indeed, the mere

threat of a change of the law may induce even

independent central banks to ensure that

monetary policy will in general be in accordance

with the wishes of elected politicians.” Dengan

demikian, jika parlemen telah menetapkan

kebijakan moneter, maka bank sentral harus

mempunyai akuntabilitas demokratis yang tinggi.

Sebaliknya jika goal independence yang dimiliki

oleh bank sentral adalah tinggi, maka akuntabilitas

demokratisnya lebih rendah. Tinggi rendahnya

akuntabilitas secara umum dapat diukur dari

materi yang harus di-“jelaskan” maupun dari

seberapa besar kewenangan pihak yang meminta

penjelasan untuk menggunakan haknya sewaktu-

waktu. Akuntabilitas berupa kewajiban untuk

menyampaikan laporan tahunan dan laporan

triwulan tentang pelaksanaan tugas dan

wewenangnya sebagai evaluasi kinerja tentu

dipandang lebih rendah tingkatannya dibandingkan

dengan kewajiban (juga) untuk menyampaikan

penjelasan secara lisan maupun tertulis selama

diminta oleh pihak evaluator.

Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas,

dengan memperhatikan isi Pasal 7 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 jo. Pasal

8, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999,

jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004,

maka dapat dikatakan bahwa secara yuridis Bank

Indonesia mempunyai goal independence yang

memadai. Pasal 7 Ayat (1) undang-undang Bank

Indonesia tersebut menyatakan bahwa tujuan

Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah. Dalam mencapai tujuan

tersebut, Pasal 8 Ayat (1) undang-undang Bank

Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan

melaksanakan kebijakan moneter. Goal

independence tersebut diperkuat dengan Pasal 9

undang-undang Bank Indonesia, yang melarang

campur tangan pihak lain dan sekaligus

mewajibkan Bank Indonesia untuk menolak dan

atau mengabaikan campur tangan tersebut.

20

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 28: Bu Let in Hukum 10030912

Goal independence Bank Indonesia dibatasi oleh

dua hal, yakni keharusan Bank Indonesia untuk

mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah

di bidang perekonomian (Pasal 7 Ayat (2) undang-

undang Bank Indonesia) dan memperhatikan

sasaran laju inflasi dalam menetapkan sasaran-

sasaran moneter (Pasal 10 Ayat (1) huruf a undang-

undang Bank Indonesia).

Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2004 mewajibkan Bank Indonesia untuk

menyampaikan laporan tahunan secara tertulis

kepada DPR mengenai pelaksanaan tugas dan

wewenangnya yang dilakukan pada tahun yang

lalu maupun rencana kebijakan, penetapan sasaran

dan langkah-langkah pelaksanaan tugas dan

wewenangnya untuk tahun yang akan datang.

Diantara laporan tahunan yang harus diserahkan

kepada DPR, Bank Indonesia wajib melaporkan

pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada

DPR (dan Pemerintah) setiap tiga bulan (triwulanan)

(Pasal 58 Ayat (2) undang-undang Bank Indonesia).

Kewajiban pelaporan perencanaan dan pelaksanaan

tugas dan wewenang Bank Indonesia kepada DPR

tersebut merupakan input bagi DPR dalam rangka

penilaian kinerja Bank Indonesia (Pasal 58 Ayat (3)

undang-undang Bank Indonesia). Memperhatikan

isi Pasal 58 Ayat (1), (2) dan (3) tersebut, secara

teoritis akses DPR terhadap pencapaian tujuan

Bank Indonesia dengan kebijakan moneternya

tampak telah cukup memadai. Artinya, check and

balances antara pembuat kebijakan moneter (Bank

Indonesia) dan pihak yang memberikan penilaian

kinerja (DPR) dicerminkan dengan baik.

Isi dari Pasal 58 Ayat (3) Undang-Undang Nomor

3 Tahun 2004 menunjukkan tingginya tingkat

akuntabilitas demokratis Bank Indonesia. Ayat (3)

dari pasal ini menyatakan bahwa dalam hal DPR

memerlukan penjelasan mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan

wewenangnya, termasuk dalam rangka penilaian

terhadap kinerja Bank Indonesia, Bank Indonesia

wajib menyampaikan penjelasan secara lisan

dan/atau tertulis. Mempertimbangkan perlunya

Bank Indonesia mendapatkan pengawasan dari

DPR dalam menjalankan tugasnya tampaknya isi

pasal ini merupakan pasal yang memadai bagi

DPR untuk “setiap waktu” dapat meminta

penjelasan dari Bank Indonesia terkait dengan

tugas dan wewenang Bank Indonesia. Akan tetapi

perlu diingat bahwa adalah Bank Indonesia yang

mempunyai kemandirian dalam bidang penentuan

kebijakan moneter (goal independence). Dalam

hal ini jika dihubungkan dengan pendapat De

Haan dan Eijffinger tersebut di atas bahwa

sepanjang mengenai keputusan tentang tujuan

akhir dan pertanggungjawaban final tentang

kebijakan moneter, kemandirian bank sentral

berlawanan dengan akuntabilitas demokratis maka

keberadaan Ayat (3) tersebut dapat dipandang

berlebihan. Esensi dari akuntabilitas demokratis

adalah parlemen perlu sarana yuridis yang dapat

memastikan bahwa kebijakan moneter “yang

ditetapkannya” dapat “dilaksanakan” oleh bank

sentral. Manakala bank sentral itu sendiri yang

menentukan kebijakan monerter maka dapat

dipandang kurang seimbang apabila pengawasan

parlemen sampai pada tingkat sebagaimana

dimuat dalam Ayat (3) Pasal 58 undang-undang

Bank Indonesia tersebut di atas.

Dampak dari muatan Pasal 58 Ayat (3) undang-

undang Bank Indonesia tersebut adalah bahwa

DPR dapat melakukan intervensi terhadap

kebijakan jangka pendek yang dibuat oleh Bank

Indonesia. Disamping hal ini menjadi tidak terlalu

efisien, hal ini juga dapat mengarah kepada

pengutamaan kepentingan di luar kepentingan

tujuan moneter Bank Indonesia.53 Dampak lebih

buruk dapat terjadi jika makna dari Ayat (3) pasal

tersebut menyangkut mengenai penganggaran

21

53 Bandingkan dengan pendapat Barth, Caprio, dan Levine tentang “Private Interest View of Regulation” sebagai “one in which banking policies are primarily shaped by the private interest of regulator or regulates (Kroszner and Strahan, 2001), rather than by the public interest. Barth Caprio, dan Leivne, Rethinking Bank Regulation Till Angels Govern, 2008, Cambridge University Press, New York., pp. 34-46

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 29: Bu Let in Hukum 10030912

Bank Indonesia.Jika hal ini terjadi maka bukan

tidak mungkin DPR berdasarkan Ayat (3) pasal

tersebut ikut campur tangan terhadap pelaksanaan

anggaran kebijakan Bank Indonesia yang seharusnya

hanya wajib dilaporkan (tanpa harus dimintakan

persetujuan) DPR. Padahal sebagaimana dengan

jelas dirumuskan dalam Pasal 60 undang-undang

Bank Indonesia bahwa anggaran operasional wajib

mendapatkan persetujuan DPR (Ayat (3)), tetapi

anggaran kebijakan hanya wajib “dilaporkan”

kepada DPR.

4. Perbandingan Kemandirian Penganggaran

Bank Sentral di Berbagai Negara

Untuk menentukan kemandirian penganggaran

yang mungkin dapat diterapkan oleh Bank

Indonesia di masa yang akandatang, penelitian

ini coba melihat proses penganggaran yang

diterapkan di beberapa negara.Sebagaimana

telah disebutkan sebelumnya, pilihan dijatuhkan

pada negara-negara di bawah ini, didasarkan

pada keberagamanan sistem pemerintahan yang

dianut oleh negara-negara ini Australia adalah

negara yang menganut sistem pemerintahan

parlementer; sedangkan Filipina menggunakan

sistem pemerintahan presidensil. Korea Selatan

berbeda dengan kedua kelompok negara

sebelumnya, karena Korea Selatan adalah salah

satu negara yang menganut sistem pemerintahan

hybrid.

Keberanekaragaman sistem pemerintahan dipilih

karena Indonesia tidak sepenuhnya menganut

sistem presidensil dalam sistem pemerintahannya,

namun juga terdapat feature parlementer dalam

sistemnya. Oleh karena itu, pilihan perbandingan

dengan negara-negara di atas digunakan agar

dapat melihat pola-pola yang dilakukan dalam

proses penganggaran dalam berbagai sistem

pemerintahan yang ada saat ini. Berikut adalah

uraian dari setiap negara sebagaimana disebutkan

di atas.

1) Australia

The Reserve Bank of Australia adalah bank sentral

Australia berdasarkan Act No.4 of 1959 tentang

Reserve Bank Act sebagaimana diubah terakhir

Act No.82 of 2010. Bank ini dipimpin seorang

gubernur dan seorang wakil gubernur. Gubernur

adalah pejabat yang bertanggung jawab atas

manajemen dari the Reserve Bank of Australia.

Gubernur ditunjuk oleh Menteri Keuangan dalam

masa jabatan 7 (tujuh tahun) dan dapat dipilih

kembali sepanjang in good behavior54.

Secara normative di dalam pengelolaan the Reserve

Bank of Australia terdapat Board of Bank yang

terbagi atas 2 (dua) kamar, yaitu Reserve Bank

Board dan Payment System Board. Reserve Bank

Board bertanggung jawab atas kebijakan moneter

dan perbankan, serta tanggung jawab lainnya

selain tanggung jawab yang didelegasikan kepada

the Payment System Board; sedangkan the Paymet

System Board mempunyai tanggung jawab

mengenai sistem pembayaran dari the Reserve

Bank of Australia. Lebih lanjut, kedua board ini

harus secara bersama-sama melakukan

kewenangan55:

a. the stability of the currency of Australia;

b. the maintenance of full employment in

Australia; and

c. the economic prosperity and welfare of the

people of Australia.

Namun, kedua board ini sebenarnya hanyalah

pengelompokan dalam proses pengambilan

kebijakan, sebab keduanya secara bersama-sama

beranggotakan gubernur the Reserve Bank of

Australia.

The Reserve Bank Board terdiri atas56:

a. the Governor;

b. the Deputy Governor;

22

54 Lihat Article 24 the Reserve Bank Act 1959.

55 Lihat Article 10 section (2) the Reserve Bank Act 1959.

56 Lihat Article 14 section (1) the Reserve Bank Act 1959.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 30: Bu Let in Hukum 10030912

c. the Secretary to the Department of the

Treasury; and

d. 6 other members, who shall be appointed in

writing by the Treasurer in accordance with

this section.

The Payment System Board beranggotakan57:

a. the Governor;

b. 1 (one) representative of the Reserve Bank of

Australia;

c. 1 (one) representative of Australian Prudential

Regulation Authority (APRA);

d. up to 5 (five) other members.

Lima anggota lain di atas akan ditunjuk secara

tertulis oleh menteri keuangan.

Dengan keanggotaan dan pola penunjukannya,

terlihat sangat jelas bahwa the reserve bank of

Australia mempunyai keterkaitan yang erat dengan

pemerintah, khususnya menteri keuangan. Hal ini

wajib dilaksanakan karena adanya kewajiban untuk

selalu dilakukan kerjasama antara pemerintah dan

the reserve bank of Australia.

Berkaitan dengan penganggaran, dalam the reserve

bank act 1959, sama sekali tidak disinggung

mengenai proses penganggaran the Reserve Bank

of Australia. Meskipun demikian dan berkaitan

dengan sistem pemerintahan yang diterapkan di

Australia, penganggaran harus tetap melalui

persetujuan parlemen. Hal ini disebabkan karena

parlemen adalah pemegang purse power terhadap

seluruh belanja yang akan dilakukan oleh lembaga-

lembaga federal, termasuk bank sentral.

2) Korea Selatan

Sedikit berbeda dengan Jepang, Korea Selatan

adalah salah satu negara yang menerapkan sistem

pemerintahan hybrid. Dikategorikan sebagai sistem

pemerintahan hybrid, karena dalam sistem

pemerintahannya, Korea Selatan, selain memiliki

presiden sebagai kepala negara dan kepala

pemerintahan58, juga terdapat perdana menteri59

yang mempunyai tugas untuk melaksanakan

pemerintahan sehari-hari. Selain kedua jabatan

eksekutif tersebut, dalam sistem Korea Selatan

juga ada parlemen (National Assembly), yang

memegang kekuasaan legaslatif dan merupakan

representasi dari rakyat60.

Berkaitan dengan bank sentral, Bank of Korea di

pimpin oleh seorang gubernur yang melaksanakan

manajemen dan kebijakan yang ditetapkan oleh

the Monetary Policy Committee. The Monetary

Policy Committee tersebut adalah organ yang

mempunyai kewenangan tertinggi dalam struktur

Bank of Korea, khususnya dalam menetapkan

kebijakan61. Committee ini beranggotakan

Gubernur Bank of Korea, Senior Deputy Gubernur

Bank of Korea, seorang anggota yang

direkomendasikan oleh Minister of Strategy and

Finance, seorang anggota yang direkomendasikan

oleh Gubernur Bank of Korea, seorang anggota

yang direkomendasikan oleh Ketua Komisi

Keuangan National Assembly, seorang anggota

yang direkomendasikan oleh Ketua Kamar Dagang

dan Industri, dan seorang anggota yang

direkomendasikan oleh Ketua Perhimpunan

Bank62. Seluruh anggota the Monetary Policy

Committee, termasuk gubernur yang juga

menjabat sebagai ketua committe; kecuali senior

deputy gubernur, diangkat oleh presiden setelah

mendapatkan persetujuan dari the National

Assembly63.

Selain the Monetary Policy Committee, manajemen

sehari-hari the Bank of Korea dilaksanakan oleh

23

57 Lihat Article 25A the Reserve Bank Act 1959.

58 Lihat Chapter IV Section 1 Article 66 of the South Korea Constitution.

59 Lihat Chapter IV Section 2 Article 86 of the South Korea Constitution.

60 Lihat Chapter IIIArticle 40 of the South Korea Constitution.

61 Lihat Chapter II Section 1 Article 12 of the Bank of Korea Act.

62 Lihat Chapter II Section 1 Article 13 of the Bank of Korea Act.

63 Lihat Chapter II Section 1 Article 13 (3) of the Bank of Korea Act.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 31: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

seorang Gubernur, Seorang Deputy Senior Gubernur

dan paling banyak 5 (lima) deputy gubernur64.

Gubernur Bank of Korea diangkat oleh presiden

atas persetujuan the National Assembly, sedangkan

deputy senior gubernur direkomendasikan oleh

gubernur dan diangkat oleh presiden. Berbeda

halnya dengan para deputy, sebab mereka diangkat

dan diberhentikan oleh gubernur.

Dalam melaksanakan tugasnya, para pimpinan

the Bank of Korea menggunakan anggaran yang

ditetapkan oleh the Monetary Policy Committee65.

Namun khusus yang berkaitan dengan gaji, yang

ditetapkan oleh presiden, tetap harus dimintakan

persetujuan kepada Minister of Strategy and

Finance. Konsep penganggaran ini sangat

dimungkinkan karena dalam the monetary policy

committee telah berbaur para anggota eksekutif

dan 35ormative35. Konsekuensinya, penganggaran

tidak lagi harus diajukan secara mandiri kepada

the national assembly sebab assembly telah

memiliki wakil dalam committee; sama halnya

dengan pihak eksekutif. Oleh karenanya, sangat

wajar jika proses penganggaran the Bank of Korea

terlihat cukup sederhana jika dibandingkan dengan

proses penganggaran yang diterapkan pada proses

penganggaran Bank Indonesia.

3) Filipina

Filipina memberikan kewenangan bank sentralnya

kepada the Bangko Sentral ng Pilipinas66. Dalam

melaksanakan fungsinya sebagai bank sentral,

the Bangko Sentral ng Pilipinas diberi kewenangan

policy directions in the areas of money, banking,

and credit67. Yang mana kewenangan tersebut

mempunyai tujuan akhir untuk maintain price

stability conducive to a balanced and sustainable

growth of the economy68.

Dalam melaksanakan kewenangannya, di dalam

struktur the Bangko Sentral ng Pilipinas dibentuk

the Bangko Sentral Monetary Board, yang

beranggotakan 7 (tujuh) orang anggota, yaitu

gubernur bank sentral, yang juga berkedudukan

sebagai ketua dari board tersebut, 1 (satu) wakil

dari pemerintah, dan 5 (lima) orang dari pihak

swasta yang ditunjuk oleh presiden69.

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya the

board dibantu oleh manajemen the Bangko Sentral

ng Pilipinas, yang dipimpin oleh seorang gubernur

dan paling banyak 3 orang deputy gubernur. Lebih

lanjut, Sama dengan mekanisme penunjukan

deputy senior gubernur the Bank of Korea, para

deputy gubernur the Bangko Sentral ng Pilipinas

diangkat oleh gubernur atas persetujuan the

board70.

Dalam melaksanakan fungsinya, the Bangko

Sentral ng Pilipinas menggunakan anggaran yang

ditetapkan oleh the board berdasarkan usulan

yang disampaikan oleh gubernur71. Konstruksi ini

dimungkin secara ormative, karena tingkat

independensi yang dimiliki oleh the Bangko Sentral

ng Pilipinas cukup besar. Namun tetap saja berada

di bawah pengawasan dari the congress, sebab

gubernur diwajibkan untuk bertanggung jawab

dalam penggunaan anggaran yang diperuntukan

bagi the Bangko Sentral ng Pilipinas.

5. Proses Penganggaran yang Tepat bagi Bank

Indonesia

Berdasarkan uraian dari negara-negara di atas,

cukup jelas terlihat bahwa kemandirian

penganggaran dapat dilakukan sebab telah terjadi

mixed atau pembauran antara pihak-pihak

eksekutif dan legislaif dalam sebuah board atau

komisi di bank sentral. Dengan pembauran ini,

24

64 Lihat Chapter III Section 1 Article 32 of the Bank of Korea Act.

65 Lihat Chapter VII Section 1 Article 98 (2) of the Bank of Korea Act.

66 Lihat Chapter I Article I Section 2 of the Republic Act No.7563.

67 Lihat Chapter I Article I Section 3 of the Republic Act No.7563.

68 Ibid.

69 Lihat Chapter I Article II Section 1 of the Republic Act No.7563.

70 Lihat Chapter I Article III Section 21 of the Republic Act No.7563.

71 Chapter I Article II Section 15(d) of the Republic Act No.7563

Page 32: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

maka proses penganggaran tidak lagi dimintakan

secara langsung kepada parlemen atau legislatif

sebagai pemegang kekuasaan keuangan negara;

tetapi persetujuan telah diberikan melalui wakil

yang mereka tunjuk atau yang mereka tugasi

untuk duduk dalam board di bank sentral. Oleh

karena itulah, tidak mengherankan jika proses

penganggaran yang dilakukan terlihat sederhana

dan nirpolitik, sebab telah ada pembauran dalam

board yang merupakan lembaga tertinggi dalam

bank sentral.

Kembali kepada kemungkinan kemandirian

penganggaran bagi Bank Indonesia, sebenarnya

hal tersebut di atas sangatlah terbuka untuk

diterapkan di Indonesia. Bahkan melalui Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1999, kewenangan

kemandirian penganggaran yang dimiliki oleh

Bank Indonesia jauh lebih besar jika dibandingkan

dengan negara-negara di atas.

Kemungkinan ini secara konstitusional sangat

terbuka dan sangat bergantung pada will dari

pembentuk undang-undang untuk dapat

diterapkan di Indonesia. Namun jika menginginkan

pola sebagaimana diterapkan oleh negara-negara

pada sistem parlementer di atas, dapat saja Badan

Supervisi Bank Indonesia dilebur menjadi bagian

dari sebuah dewan tertinggi dalam struktur Bank

Indonesia. Dengan begitu, secara tidak langsung

DPR sudah mempunyai wakil dalam struktur

Bank Indonesia, sehingga dalam menentukan

anggarannya, cukup dimintakan persetujuan pada

dewan tersebut. Akan tetapi, kemungkinan ini

juga memiliki kelemahan. Kelemahan utamanya

adalah politisasi dalam pelaksanaan fungsi bank

sentral karena tidak dapat dihindari bahwa dengan

memasukannya DPR dalam struktur Bank Indonesia,

pengaruh politik akan sangat terasa dalam

langkah-langkah yang dapat diambil oleh Bank

Indonesia dalam melaksanakan kewenangannya.

Pada sisi lainnya, mekanisme penganggaran yang

saat ini diterapkan mungkin adalah mekanisme

yang terbaik untuk tetap menjaga independensi

Bank Indonesia dan juga untuk menekan

kemungkinan politisasi dalam proses pelaksanaan

kewenangan bank Indonesia.

E. PENUTUP

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam bab-bab

terdahulu untuk memberikan jawaban atas

permasalahan yang telah ditentukan, berikut ini adalah

kesimpulan dan rekomendasi terkait permasalahan-

permasalahan yang telah ditentukan:

1. Kesimpulan

a. Bahwa terdapat peluang normatif untuk

memberikan kemandirian penganggaran pada

Bank Indonesia. Hal tersebut karena adanya

norma terbuka yang diberikan oleh UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

khususnya Pasal 23D, mengingat Pasal ini tidak

menentukan sampai derajat mana kemandirian

dan indipendensi yang dapat diberikan kepada

Bank Sentral. Oleh karenanya, kemungkinan

ini secara konstitusional sangat terbuka dan

sangat bergantung pada will dari pembentuk

undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat

dan Presiden), untuk menginterpretasikan

sejauh mana ketentuan Pasal 23D tersebut.

b. Pembentukan Supervisory Board merupakan

salah opsi yang dapat mendukung implementasi

kemandirian Bank Indonesia, termasuk dalam

bidang penganggaran. Melalui opsi ini, maka

proses penggaran tidak lagi dimintakan secara

langsung ke DPR sebagai pemegang kekuasaan

keuangan negara, mengingat persetujuan

telah diberikan oleh DPR melalui wakilnya yang

ditugasi untuk duduk di Board bank sentral-

dalam ini Bank Indonesia. Supervisory Board

dibentuk untuk meningkatkan akuntabilitas

dan transparansi bank sentral serta memberikan

counterbalance (penyeimbang) terhadap

indipendensi yang dimiliki oleh bank sentral.

25

Page 33: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

2. Rekomendasi

a. Mengingat bahwa interpretasi ketentuan Pasal

23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945 bersifat terbuka, maka Bank Indonesia

sebaiknya berperan lebih aktif dan progressif

untuk menyakinkan DPR bahwa kemandirian

anggaran bagi Bank Indonesia merupakan hal

yang sangat penting dalam melaksanakan

tugas dan kewenangannya sebagai Bank

Sentral.

b. Selain point pertama tersebut di atas, ada

baiknya Bank Indonesia menginisiasi pihak-

pihak terkait, antara lain, pakar hukum

perbankan, hukum tata negara, pakar hukum

administrasi negara, ekonom, pelaku usaha

perbankan, dan pemangku kepentingan

lainnya, untuk dapat memberikan sejauh bana

batasan interpretasi ketentuan Pasal 23D UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

bersifat terbuka tersebut. Tujuannya adalah

untuk memberikan atau memperoleh

pemahaman dari para pakar dari berbagai

kalangan terkait batasan interpretasi Pasal

23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945, sehingga Bank Indonesia mempunyai

gambaran pendapat dari berbagai pakar

terkait.

26

Page 34: Bu Let in Hukum 10030912

Ahsan, A., Skully, M., Wickramanayake, J. 2006, “Determinants od Central Bank Independence and Governance: Problems

and Policy Implications”. JOAAG, 1 (1), 47-67

Amtenbrink, Fabian, 2004, “The Three Pillars of Central bank Governance-Towards a Model Central Bank Law or a Code

of Good Governance. Working Paper, International Monetary Fund (IMF)”, tersedia di:

http://www.imf.org/external/np/leg/sem/2004/cdmfl/eng/amtenb.pdf

Aziz, Harry Azhar, 2011, “Governance dan Akuntabilitas Bank Indonesia”, Available at :

http://pekikdaerah.wordpress.com/2011/02/08/governance-dan-akuntablitas-bank-indonesia/

Apel Emmanuel Apel, Emmanuel, 2003, Central Banking Systems Compared, The ECB, the pre-euro Bundesbank, and

the Federal Rerserve System, Routledge Taylor & Francis Group, London and New York.

Barro, Robert, and David Gordon, 1983, “Rules, Discretion, and Reputation in a Model of Monetary Policy”. Journal of

Monetary Economics, 12(1), 101–21.

Barth, Caprio, dan Levine tentang “Private Interest View of Regulation” sebagai “one in which banking policies are

primarily shaped by the private interest of regulator or regulates (Kroszner and Strahan, 2001), rather than

by the public interest. Barth Caprio, dan Leivne, Rethinking Bank Regulation Till Angels Govern, 2008, Cambridge

University Press, New York.

Claessens, S. & J. P. H Fan. 2002, “Corporate governance in Asia: A survey. International Review of Finance”, 3( 2), 71-103.

Crowe, Christoper dan Meade, Ellen E, 2007, “The Evolution of Central Bank Governance around the World”. Journal

of Economic Perspectives, 21 (4), 69-90.

De Haan, Jakob, dan Eijffinger, Sylverster C.W, The Democartic Accountability of the European Central Bank: A Comment

on Two Fairy-tales, dalam Journal of Common Market Studies, Vol. 38. No. 3.

Eijffinger, Sylvester, and Petra Geraats, 2006, “How Transparent Are Central Banks?”, European Journal of Political

Economy, 22(1), 1–21.

Fry, M. J, Goodhart, C. A. E. & Almeida, A, 1996, Central Banking in Developing Countries: Objectives, Activities and

Independence, Routledge, London.

Freidman, Milton dan Charles E.A. Goodhart, 2003, Money, Inflation, and the Constitutional Position of the Central Bank,

the Institute of Economic Affairs, London.

Henning, C. R. 1994. Currencies and politics in the United States, Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for

International Economics.

Http://www.bi.go.id

DAFTAR PUSTAKA

27

Page 35: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Kydland, Finn, and Edward Prescott. 1977. Rules Rather than Discretion: The Inconsistencyof Optimal Plans. Journal of

Political Economy 85(3), 473–90.

Lybek, Tonny. 2004. Central Bank Autonomy, Accountability, and Governance: Conceptual Framework. Working Paper,

International Monetary Fund (IMF). Tersedia di: http://www.imf.org/external/np/leg/sem/2004/cdmfl/eng/lybek.pdf

Lybek, T. dan Morris, J. 2004. Central Bank Governance: A Survey of Board and Management. Working paper, Internatioanl

Monetary Fund (IMF) Nomor 04/226. Tersedia di :http://www.ksri.org/bbs/files/research02/wp04226.pdf

Ribeiro, Fausto de Andrade. 2002. Central Bank: Independence, Governance and Accountability. Working paper, Minerva

Program, The George Washington University. Tersedia di:

http://www.gwu.edu/~ibi/minerva/Fall2002/Fausto.Ribeiro.pdf

Oritani, Yoshiharu. 2010. Public Governance of Central Banks: an Approach from New Institutional Economics. Working

Paper, Bank For Internatioanl Settlements. Tersedia di:

http://www.kisc.meiji.ac.jp/~oritani/Homepage2005/BISFINAL.pdf

Stella, Peter.1997. Do Central Banks Need Capital?. Working paper, International Monetary Fund (IMF) Nomor WP/97/83

Tshiani, Noël K., 2008, Building Credible Central Banks, Policy Lessons for Emerging Economies, Palgrave Macmillan

Studies in Banking and Financial Institutions, Series Editor; Philip Molyneux, Paris.

Peraturan:

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka

Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4357);

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang

Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901)

Bank of Japan Act (Act No.89 of June 18, 1997)

Constitution of the People’s Republic of Bangladesh.

The Bangladesh Bank Order 1972 (President’s Order No.127 of 1972) sebagaimana diubah terakhir 10 Maret 2003.

The South Korea Constitution.

The Bank of Korea Act.

28

Page 36: Bu Let in Hukum 10030912

PENDAHULUAN

Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

pendanaan terorisme sama pentingnya dengan

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana lainnya

yang mengingat sifat dan hakikatnya muncul menjadi

tindak pidana yang membahayakan negara dengan

sifatnya yang trans boundaries. Sama halnya dengan

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme,

pendanaan terorisme juga harus dicegah dan diberantas

dengan sekuat tenaga. Saat ini sedang dilakukan

dilakukan usul untuk segera mengundangkan rancangan

Undang Undang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini tidak

terlepas dari berbagai aspek yang melandasi, yaitu aspek

filosofis, aspek yuridis, dan aspek sosiologis. Ditinjau

dari sudut filosofis, maka perlu dipahami bahwa dalam

rangka mewujudkan ultimate value, yang merupakan

tujuan dari social policy, maka perlu diadakan suatu

kebijakan kriminal atas pendanaan terorisme. Ultimate

value itu adalah untuk perwujudan masyarakat yang

adil dan makmur, dan tercapainya kesejahteraan seluruh

rakyat Indonesia. Kerangka kebijakan kriminal yang harus

dituju adalah dikriminalisasikannya pendanaan terorisme

sebagai suatu tindak pidana, mengingat sifat dan hakikat

yang sama berbahayanya dengan terorisme itu sendiri.

Mengenai social policy ini, Kongres PBB ke-7 di Milan

mengenai “National Development and the prevention

of crime” menegaskan sebagai berikut:

Crime prevention as a part of social policy

21. The criminal justice system, besides being an

instrument to effect control and deterrence, should also

contribute to the objective of maintaining peace and

order for equitable social and economic development,

redressing inequalities and protecting human rights. In

order to relate crime prevention and criminal justice to

national development targets, effort should be made to

secure the necessary human and material resources,

including the allocation of adequate funding, and to

utilize as much as possible all relevant institutions and

29

PENERAPAN CUSTOMER DUE DILIGENCE ATAS RESOLUSI DK PBB NOMOR 1267 GUNA PENCEGAHAN

TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISMEOleh :

Dr. Go Lisanawati SH, M.HumFakultas Hukum Universitas Surabaya

Abstrak

Penerapan prinsip ketaatan dan kepatuhan bank pada aturan yang berlaku bagi bank merupakan salah satu

hal yang penting di dalam upaya perwujudan rezim pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme.

Berdasarkan sifat dan karakteristik perpindahan uang untuk kegiatan pendanaan terorisme yang cepat

membutuhkan kecermatan dan ketepatan dari Bank untuk mampu mengenali dan dengan kemudian melakukan

pembekuan atas dana tersebut. Hal tersebut sejalan dengan diimplementasikannya Resolusi Dewan Keamanan

PBB Nomor 1267 oleh semua negara sebagai suatu bentuk perwujudan rezim pemberantasan pendanaan

terorisme. Penerapan prinsip ketaatan tersebut dapat dilaksanakan melalui penerapan Customer Due Diligence.

Kata Kunci: Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Resolusi 1267, Customer Due Diligence

Page 37: Bu Let in Hukum 10030912

resources of society, thus ensuring the appropriate

involvement of the community

Aspek yuridis yang dijadikan landasan berpijak untuk

dilakukannya kriminalisasi adalah adanya Undang Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme (selanjutnya disebut sebagai UU Terorisme),

Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang (selanjutnya disebut sebagai UU TPPU), serta

Undang Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Ratifikasi

International Convention for the Suppression of the

Financing of Terrorism, 1999.

Aspek sosiologis yang melandasi adalah adanya Resolusi

Dewan Keamanan PBB Nomor 1267 tanggal 15 Oktober

1999, yang secara khusus menghendaki dilakukannya

pembekuan seketika atas asset-asset yang berasal dari

individual terrorist ataupun organisations terrorist baik

yang merupakan afiliasi dengan Taliban, Al-Qaeda,

maupun dengan Usama Bin Laden. Dengan demikian

harus dilakukan pencegahan sedini mungkin mengenai

kemungkinan penggunaan dana-dana hasil kegiatan

terorisme untuk dipakai kembali membiayai kegiatan

terorisme. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373

(2001) juga menghendaki dilakukannya prevent and

suppress the financing of terrorist act. Selain itu juga

diterapkannya international best practices melalui

rekomendasi-rekomendasi dari The Financial Action Task

Force.

Terkait dengan keberadaan kedua resolusi tersebut,

maka perbankan memiliki peranan dan tanggung jawab

yang tidak kalah besar di dalam upaya pencegahan dan

pendanaan terorisme. Perbankan harus tanggap di dalam

upaya pembekuan aset-aset terorisme sebagaimana

dikehendaki oleh resolusi tersebut, sekaligus harus aktif

di dalam mengupayakan pencegahan dipergunakannya

aset-aset tersebut untuk mendanai kegiatan terorisme.

Namun demikian untuk menjembatani pencegahan dan

pemberantasan pendanaan terorisme dapat dilakukan

dari berbagai sudut, dengan menggunakan aturan-

aturan hukum yang sudah ada, maupun bentuk regulasi-

regulasi lainnya. Tulisan ini akan membahas bagaimana

penerapan prinsip Customer Due Diligence oleh

Perbankan dapat berperan aktif di dalam pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.

Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1267 dan

Resolusi No. 1373

Rezim pencegahan dan pemberantasan pendanaan

terorisme menghendaki diadakannya suatu akselerasi di

berbagai bidang dan semua komponen manusia

pelaksananya. Tindak pidana pendanaan terorisme sejauh

ini dianggap kurang penting dibandingkan dengan tindak

pidana itu sendiri. Namun demikian pandangan tersebut

ternyata harus bergulir, dan akhirnya tiba pada suatu

pemahaman yang komprehensif bahwasanya pendanaan

terorisme itu sama berbahayanya dengan tindak pidana

terorisme.

Hal tersebut dapat dipahami dari ketentuan Resolusi

Dewan Keamanan PBB Nomor 1267, dalam

pertimbangannya menjelaskan:

Deploring the fact that the Taliban continues to provide

safe haven to Usama bin Laden and to allow him and

others associated with him to operate a network of

terrorist training camps from Taliban-controlled territory

and to use Afghanistan as a base from which to sponsor

international terrorist operations,...

Insists that the Afghan faction known as the Taliban,

which also calls itself the Islamic Emirate of Afghanistan,

comply promptly with its previous resolutions and in

particular cease the provision of sanctuary and training

for international terrorist and their organizations, take

appropriate effective measures to ensure that the territory

under its control is not used for terrorist installations

and camps, or for the preparation of organizations of

terrorist acts against other States or their citizen, and

cooperate with efforts to bring indicted terrorist to

justice..

Berdasarkan penjelasan tersebut dipahami bahwa ada

kepentingan yang sama besarnya untuk melakukan

30

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 38: Bu Let in Hukum 10030912

pemberantasan tindak pidana terorisme sekaligus

pendanaan atasnya. Mengenai Resolusi tersebut,

dijelaskan oleh wikipedia sebagai berikut:

United Nations Security Council Resolution 1267, adopted

unanimously on 15 October 1999, after recalling

resolutions 1189 (1998), 1193 (1998) and 1214 (1998)

on the situation in Afghanistan, the council established

a sanctions regime to cover individuals and entities

associated with Al-Qaida, Osama bin Laden and/or the

Taliban wherever located...

The regime has since been reaffirmed and modified by

a dozen further UN Security Council Resolutions. It caused

dire hardship to the people of Afghanistan under the

Taliban regime at a time when they were heavily reliant

on international food aid, while failing to satisfy any of

its demands. Since the US of Afghanistan in 2001, the

sanctions have been applied to individuals and

organizations in all parts of the world1.

Penekanan dari Resolusi 1267 adalah upaya pembekuan

seketika atas setiap dana dan aset keuangan lainnya

atau sumber-sumber ekonomis dari individu dan entitas

yang berkaitan dengan Al-Qaeda, Usama bin Laden,

dan/atau Taliban.2 Point 4 huruf b dari Resolusi 1267

tersebut mengatur:

Freeze funds and other financial resources, including

funds derived or generated from property owned or

controlled directly or indirectly by the Taliban, or by any

undertaking owned or controlled by the Taliban, as

designated by the committee established by paragraph

6 below, and to ensure that neither they nor any other

funds or financial resources so designated are made

available, by their nationals or by any undertaking owned

or controlled, directly or indirectly by the Taliban, except

as may be authorized by the Committee on a case-by-

case basis on the grounds of humanitarian need.

Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 merupakan

resolusi yang terkait dengan upaya pemberantasan tindak

pidana terorisme. Resolusi 1373 dalam penjelasannya

menegaskan bahwasanya tindak pidana terorisme itu

harus diberantas dengan berbagai cara karena telah

mengancam keamanan dan perdamaian internasional,

yang dapat dilakukan melalui upaya-upaya

pengorganisasian, penghasutan, pembantuan maupun

turut serta di dalam tindak pidana terorisme. Secara

lengkap penegasan tersebut adalah:

Reaffirming the need to combat by all means, in

accordance with the Charter of the United Nations,

threats to international peace and security caused by

terrorist acts...

Reaffirming the principle established by the General

assembly in its declaration of October 1970 (resolution

2625 (XXV)) and reiterated by the Security Council in its

resolution 1189 (1998) of 13 August 1998, namely that

every State has the duty to refrain from organizing,

instigating, assisting or participating on terrorist acts in

another State or acquiescing in organized activities within

its territory directed towards the commission of such

acts...

Tujuan dari resolusi tersebut adalah untuk mencegah

dan memberantas kelompok teroris dengan berbagai

cara, mengingat bahwa tindak pidana terorisme muncul

dan menjelma menjadi tindak pidana serius menurut

hukum dan peraturan domestik, sekaligus mengancam

dunia internasional. Mengingat keseriusan tersebut perlu

diimbangi dengan ancaman pidana sebagaimana

mestinya. Melalui resolusi ini, dipahami bahwa ada 4

(empat) kewajiban dari negara-negara peserta yaitu

meliputi:

a. Prevent and suppress the financing of terrorist acts;

b. Criminalize the willful provisions or collection, by any

means, directly or indirectly, of funds by their nationals

or in their territories with the intention that the funds

should be used, or in the knowledge that they are to

be used, in order to carry out terrorist acts;

c. Freeze without delay funds and other financial assets

or economic resources of persons who commit, or

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

31

1 Diakses dari http://en.wikipedia.org, pada tanggal 24 Mei 2012

2 Yunus Husein. Sosialisasi RUU Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Jakarta, 9 Februari 2011, h.10

Page 39: Bu Let in Hukum 10030912

attempt to commit, terrorist acts or participate in or

facilitate the commission of terrorist acts; of entities

owned or controlled directly or indirectly of such

persons and entities, including funds derived or

generated from property owned or controlled directly

or indirectly by such persons and associated persons

and entities;

d. Prohibit their nationals or any persons and entities

within their territories from making any funds, financial

assets or economic resources or financial or other

related services available, directly or indirectly, for the

benefit of persons who commit or attempt to commit

or facilitate or participate in the commission of terrorist

acts, of entities owned or controlled, directly or

indirectly, by such persons and of persons and entities

acting on behalf of or at the direction of such persons.

Selain itu negara-negara harus melaksanakan kewajiban

lainnya, yang meliputi:

a. Deny safe haven to those who finance, plan, support,

or commit terrorist acts, or provide safe havens;

b. Prevent those who finance, plan, facilitate or commit

terrorist acts from using their respective territories for

those purposes against other States or their citizens;

c. Ensure that any person who participates in the

financing, planning, preparation or perpetration of

terrorist acts or in supporting terrorist acts is brought

to justice and ensure that, in addition to any other

measures against them, such terrorist acts, including

assistance in obtaining evidence in their possession

necessary for the proceedings;

Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh para teroris

(baik individual maupun kelompok) membutuhkan

perpindahan yang sifatnya cepat, aman, dan dalam

jumlah yang cukup besar. Salah satu caranya adalah

melibatkan lembaga perbankan untuk dapat melakukan

pendanaan terorisme.

Resolusi No. 1904 DK PBB menghukum Al-Qaida, Usama

bin Laden, dan Taliban, maupun teroris perseorangan,

organisasi teroris, maupun pihak-pihak yang berhubungan

dengan teroris tersebut, untuk dilaksanakannya berbagai

tindak pidana terorisme (condemned Al-Qaida, Usama

bin Laden, the Taliban and other individuals, groups,

undertakings and entities, associated with them, for

ongoing and multiple criminal terrorist acts). Perihal yang

dimaksud dengan Persons atau Entities, dijelaskan oleh

Peter Scott, sebagai berikut:

Persons or entities identified by the resolutions as being

subject to financial sanctions are:

RES 1267/1333 (now RES 1988)

• Al-Qaida;

• Individuals, groups, undertakings and entities

associated with them, as referred to in the list created

pursuant to RES 1267.

RES 1267/1333 (now RES 1989)

• The Taliban;

• Individuals, groups, undertakings and entities

associated with them, as referred to in the list created

pursuant to RES 1989, i.e UNSC itself designates who

is subject to the measure

RES 1373

Persons or entities identified by the resolution as being

subject to financial sanctions are:

- Persons who commit, or attempt to commit, terrorist

acts or participate in or facilities the commission of

terrorist acts;

- entities owned or controlled directly or indirectly by

such persons;

- persons and entities acting on behalf of, or at the

direction of, such persons and entities3.

Memahami hal tersebut, maka sesungguhnya dapat

disimpulkan adanya beberapa kategori yang dimaksud

sebagai orang atau perusahaan yang termasuk sebagai

pelaku tindak pidana terorisme, yaitu:

- Setiap orang, siapapun, baik yang berupa orang

perseorangan, kelompok, maupun organisasi, yang

melakukan atau mencoba melakukan, atau

32

3 Peter Scott. 2011. “Terrorist Asset freezing Best Practices”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26– 28 September 2011

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 40: Bu Let in Hukum 10030912

berpartisipasi di dalam kegiatan terorisme. Secara

khusus dimaksudkan adalah Al-Qaida, Usama bin

Laden, dan Taliban, meliputi pula orang-orang yang

termasuk di dalamnya;

- Perusahaan yang dimiliki atau dikendalikan oleh

orang-orang yang dimaksudkan sebelumnya.

- Orang atau perusahaan lain yang bertindak mewakili

kepentingan orang atau perusahaan lain yang

dimaksudkan sebelumnya.

Pendekatan Follow the Money dalam Pendanaan

Terorisme

Standar internasional sebagaimana dimaksud di dalam

the Financial Action Tasks Force Recommendation (The

FATF Recommedations) tentang International Standards

on Combating Money laundering and the Financing of

Terrorism and Proliferation, menghendaki agar

dilakukannya kriminalisasi atas pendanaan terorisme.

Kriminalisasi tersebut tidak saja meliputi pendanaan atas

tindak pidana terorisme, tetapi juga pendanaan oleg

organisasi teroris maupun teroris individu (terrorist

organisation and individual terrorist) yang tidak harus

dihubungkan dengan suatu kegiatan tertentu dari teroris.

Interpretative note atas rekomendasi mengenai tindak

pidana pendanaan terorisme tersebut sebenarnya

mengingatkan kepada negara-negara agar menjadikan

pendanaan terorisme sebagai salah satu tindak pidana

asal dari pencucian uang. Untuk itu pendekatan yang

dapat dipergunakan adalah sama dengan pendekatan

yang dipakai di dalam tindak pidana pencucian uang.

Terkait dengan hal tersebut, David Shannon4

memaksudkan bahwa: Following the money is at the

heart of combating the financing of terrorism.

Pendekatan follow the money pada hakikatnya

meletakkan prinsip bahwasanya yang harus dirampas

adalah harta kekayaan hasil kejahatan, tidak semata-

mata pada pelakunya. Dengan dikuasainya harta kekayaan

hasil kejahatan maka dapat diyakini bahwa pelaku tindak

pidana asal akan jera, dan lama kelamaan akan dapat

menghentikan tindak pidana asal. Oleh karenanya sangat

dibutuhkan instrumen-instrumen terkait dengan upaya

pembekuan sampai dengan perampasan aset hasil

kejahatan. Pendekatan follow the money ini dipergunakan

dalam keadaan sebagai berikut:

- Follow the money dapat menghubungkan kejahatan

dengan pelaku intelektual;

- Follow the money merupakan alat untuk asset recovery5

Melalui penjelasan tersebut dapat dimaknakan bahwa

melalui pendekatan follow the money diharapkan dapat

memberantas aset-aset maupun sumber-sumber

ekonomis yang dihasilkan dari hasil illegal maupun legal,

tetapi dipergunakan untuk mendanai kegiatan terorisme.

Pendanaan Teroris (Terrorist Financing) itu sendiri dapat

meliputi 2 hal, yaitu:

- Funding specific terrorist operations

- Broader organisational costs to develop and maintain

an infrastructure of organisational support and to

promote the ideology of a terrorist organisation6

Merujuk pada pendapat tersebut di atas dapat dipahami

bahwa area pendanaan terorisme itu sangat luas, yang

dapat dipergunakan oleh siapapun yang akan

mempergunakan dana tersebut untuk mengembangkan

maupun mendukung terlaksananya ideologi dari

organisasi teroris tersebut.

Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dalam Perspektif

Tindak Pidana Pencucian Uang

Secara hakikat, yang dimaksud dengan tindak pidana

pendanaan terorisme merupakan tindak pidana sebagai

suatu bagian dalam pelaksanaan kegiatan terorisme.

33

5 Muhammad Yusuf. “Pendekatan Rezim Anti Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 dalam Rangka Perampasan Aset Hasil Kejahatan”, Makalah, disampaikan pada Diskusi Terbatas, di Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 19 Februari 2011, h. 3

6 Tim Goodrick. “Counter-Terrorist Financing Legislative Framework”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011, h.2

4 David Shannon. 2011. “Terrorism Financing (TF) International Standards and Regional TF Risks”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 41: Bu Let in Hukum 10030912

Hal tersebut sebenarnya dapat dilihat dari derivatif

ketentuan pasal-pasal yang ada di dalam UU Terorisme.

Ketentuan Pasal 11 UU Terorisme menentukan: “...,

setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau

mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan

atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau

seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme...”.

Berdasarkan hal tersebut, nyatalah bahwa penyediaan

dana ataupun pengumpulan dana tersebut dilakukan

secara sengaja atau patut diduganya akan dipergunakan

sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana

terorisme.

Ketentuan Pasal 12 UU Terorisme mengatur: “..., setiap

orang yang dengan sengaja menyediakan atau

mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan

digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan

sebagian atau seluruhnya untuk melakukan...”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 UU Terorisme ini dipahami

pula bahwasanya kegiatan pendanaan terorisme dilakukan

sebagai upaya untuk melaksanakan kegiatan terorisme.

Bentuk kesalahan yang nampak dari rumusan mengenai

pendanaan terorisme tersebut diwujudkan dalam suatu

bentuk kesengajaan, ataupun kealpaan yang diperberat

(culpa lata).

Ketentuan selanjutnya adalah Pasal 13 huruf a UU

Terorisme, yang menentukan: “Setiap orang yang dengan

sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap

pelaku tindak pidana terorisme, dengan: a. Memberikan

atau meminjamkan uang atau barang atau harta

kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme”.

Tindak pidana yang dimaksudkan di sini adalah tindak

pidana perbantuan, yang dapat diberikan dengan

memberikan kemudahan kepada pelaku tindak pidana,

yaitu yang dapat berupa memberikan atau meminjamkan

uang atau barang atau harta kekayaan lainnya.

Merujuk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum di

dalam UU Terorisme tersebut dipahami sesungguhnya

pendanaan terorisme merupakan bagian penting dari

kegiatan terorisme itu sendiri. Di samping UU Terorisme,

pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan

menggunakan UU TPPU. Pasal 2 ayat (2) UU TPPU

menentukan: “Harta Kekayaan yang diketahui atau patut

diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara

langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme,

organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan

dengan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf n” (tindak pidana terorisme, red). Ketentuan

Pasal 2 ayat (2) UU TPPU menunjukkan bahwasanya

tindak pidana pendanaan terorisme menjadi sama

berbahayanya dengan tindak pidana terorisme itu sendiri,

sehingga patut diperhatikan dan dipertimbangkan

sebagai tindak pidana asal, yang dapat saja menghasilkan

suatu tindak pidana lanjutan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sesungguhnya

dapat dipahami bahwasanya tindak pidana pendanaan

terorisme merupakan sumber munculnya proceeds of

crime, yang pastinya adalah merupakan sumber yang

tidak sah. Tindak pidana pendanaan terorisme sendiri

dapat dihasilkan dari sumber pendanaan yang legal

maupun yang illegal. Berdasarkan uang atau harta

kekayaan atau barang yang diperolehnya tersebut,

diupayakan untuk disembunyikan asal usul sumbernya,

demi membiayai atau mendukung atau melaksanakan

kegiatan terorisme. Diupayakan serapi mungkin untuk

menghindari terkuaknya asal usul dana terorisme tersebut.

Ketentuan Special Recommendation II of FATF

menegaskan:

Terrorist financing offences should extend to:

- Funds from legitimate or illegitimate sources.

- Funds that were not actually used to commit/attempt

a terrorist act, and are not linked to a specific terrorist

act.

- The financing of terrorist acts, terrorist organisations

and individual terrorist that are located in the same

or a different country from the terrorist financier

Melalui ketentuan Special Recommendation II of FATF

tersebut, maka pendanaan terorisme itu haruslah

diperluas, meliputi:

- Dana-dana (termasuk di dalamnya semua properti)

yang digunakan untuk pendanaan terorisme yang

diperoleh dari sumber-sumber yang sah dan yang

tidak sah.

34

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 42: Bu Let in Hukum 10030912

- Dana-dana tersebut yang walaupun pada

kenyataannya tidak jadi digunakan untuk melakukan

terorisme, dan tidak harus dihubungkan dengan

kegiatan terorisme tertentu.

- Kegiatan untuk pendanaan terorisme baik yang

dilakukan oleh organisasi teroris maupun teroris

perseorangan, yang dilakukan di tempat yang sama

maupun di tempat uang berbeda dari penanggung-

jawab di bidang keuangan dari kegiatan terorisme

itu sendiri.

Dengan diperluasnya pemahaman mengenai dana, maka

haruslah didekati dengan pendekatan Follow the money

yang juga diberlakukan kepada tindak pidana pencucian

uang. FATF pada bulan Februari 2012 telah mengeluarkan

suatu standar baru terkait dengan tindak pidana pencucian

uang dan pendanaan terorisme, yang sebelumnya diatur

di dalam Special Recommendation of FATF, yaitu dalam

International Standards on Combating Money Laundering

and the Financing of Terrorism & Proliferation. Berdasarkan

standar tersebut, dinyatakan bahwa:

Combating terrorist financing is a very significant challenge.

An effective AML/CFT (Anti Money Laundering/Counter

Financing of Terrorism, red) system, in general, is important

for addressing terrorist financing, and most measures

previously focused on terrorist financing are now

integrated throughout Recommendations, therefore

obviating the need for special recommendations. However,

there are Recommendations that are unique to terrorist

financing, which are set out in Section C of the FATF

Recommendation

Dengan mengingat sifat dan hakikat pendanaan terorisme

itu sendiri, maka menjadi sangat relevan apabila kegiatan

tersebut harus dicegah bahkan diberantas. Cara berpikir

yang harus dimiliki guna mengkriminalisasikan pendanaan

terorisme ini adalah dengan merujuk kembali pada adanya

Ultimate Value dari Social Policy, yaitu demi kesejahteraan

seluruh rakyat Indonesia, dan demi mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur, tertib dan aman.

Scott Burkard menambahkan bahwasanya Terrorist

Financing itu dijelaskan dalam konteks:

- All terrorism activities require funding.

- Amounts involved can be small or large.

- All fundraising activities opportunities for investigations

and disruption.

- Raising funds through local criminal activity brings

terrorist into contact with petty criminals motivated

by greed not ideology7.

Dengan demikian dapat dipahami bahwasanya

pencegahan pendanaan terorisme menjadi suatu hal

yang sangat signifikan dilaksanakan.

Customer Due Diligence sebagai Instrumen

Pencegahan Pendanaan Terorisme

Salah satu instrumen yang dapat dipergunakan untuk

mencegah adanya pendanaan terorisme adalah melalui

instrumen-instrumen mengenali nasabah. Prinsip Know

Your Customer yang kemudian dikukuhkan dengan

prinsip Customer Due Diligence sekaligus pelaksanaan

Enhance Due Diligence bagi pihak-pihak yang

dikategorikan sebagai high risk customer, dengan high

economic profile ataupun tergolong sebagai Politically

Exposed Persons (PEPs).

International Standards on Combating Money Laundering

and the Financing of Terrorism & Proliferation, yang

merupakan instrumen baru dari ketentuan 9 Special

Recommendation of the FATF, pada hakikatnya dipakai

sebagai suatu standar baru bagi standar pengawasan

kepatuhan atas tindak pidana-tindak pidana yang terkait

dengan pencucian uang, pendanaan terorisme, maupun

proliferation. Instrumen pengenalan nasabah dan

pengguna jasa menjadi instrumen utama yang harus

dapat dijadikan sebagai sarana terdepan (the first resort)

untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pencucian uang maupun pendanaan terorisme.

Secara teori antara Customer Due Diligence dan Enhance

Due Diligence terdapat perbedaan. Yang dimaksud

dengan Customer Due Diligence merupakan identifikasi

35

7 Scott Bruckard. 2011. “Terrorist Financing in Australia”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26– 28 September 2011.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 43: Bu Let in Hukum 10030912

dan verifikasi atas informasi dan dokumen pelapor,

sementara Enhance Due Diligence pada dasarnya

merupakan verifikasi yang lebih ketat terhadap calon

pengguna jasa yang berisiko tinggi. Customer Due

Diligence dijelaskan sebagai:

Financial institutions should be prohibited from keeping

anonymous accounts or accounts in obviously fictitious

names.

Financial institutions should be required to undertake

customer due diligence (CDD) measures when:

(i). establishing business relations;

(ii). carrying out occasional transactions: (i). above the

applicable designated threshold (USD/EUR 15,000);

or (ii) that are wire transfers in the circumstances

covered by the interpretative Note to

Recommendation 16;

(iii).there is a suspicion of money laundering or terrorist

financing;

(iv).the financial institution has doubts about the veracity

or adequacy of previously obtained customer

identification data

The CDD measures to be taken are as follows:

(a). Identifying the customer and verifying that customer’s

identity using reliable, independent source documents,

data or information.

(b). Identifying the beneficial owner, and taking reasonable

measures to verify the identity of the beneficial owner,

such that the financial institution is satisfied that it

knows who the beneficial owner is. For legal persons

and arrangements this should include financial

institutions understanding the ownership and control

structure of the customer;

(c). Understanding and, as appropriate, obtaining

information on the purpose and intended nature of

the business

(d).Conducting ongoing due diligence on the business

relationship and scrutiny of transactions undertaken

throughout the course of that relationship to ensure

that the transactions being conducted are consistent

with the institution’s knowledge of the customer,

their business and risk profile, including where

necessary, the sources of funds.

Financial institutions should be required to apply each of

the CDD measures under (a) to (d) above, but should

determine the extent of such measures using a risk-based

approach (RBA)

Berdasarkan penjelasan dari FATF new recommendation

tersebut dapat dipahami bahwasanya mekanisme Due

Diligence merupakan suatu keharusan bagi penyedia

jasa keuangan. Mekanisme ini dianggap sebagai suatu

mekanisme penghati-hati, mengingat bahwa kesulitan

yang mungkin timbul berikut dengan ancamannya akan

membuat penyedia jasa keuangan berhadapan dengan

ketentuan hukum. Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman

paling tidak menggaris bawahi dalam sebuah konteks:

“The Law is rather a coercive method of social control:

It demands both the attention and compliance of those

to whom its regulations are directed”.8 Persinggungan

antara hukum dengan etik sangat tipis, yang kemudian

menuntut kepatuhan pihak-pihak yang terikat dan terkait

dengan kegiatan-kegiatan di bidang keuangan, dan

secara keseluruhan bagi seluruh masyarakat. Untuk

memenuhi persyaratan memaksa, sebetulnya dapat

teratasi dengan adanya kepatuhan. Dengan demikian

tidak perlu diberikan suatu sanksi apabila dari subjek

hukum memiliki etika dan kesadaran untuk patuh.

Namun demikian hukum adalah hukum, di mana hukum

harus mengandung suatu sanksi yang bersifat untuk

memaksa kepatuhan subjek hukum tersebut. KYC dan

CDD, berikut juga EDD pada akhirnya menjadi suatu

keharusan yang harus ditaati di tengah pergulatan dan

pergolakan munculnya berbagai jenis tindak pidana

serius, bersifat transnasional, dan extra ordinary yang

memang harus dicegah dan ditanggulangi. Instrumen

ini sama pentingnya dengan upaya penegakan hukumnya.

FATF Recommendation lebih lanjut menyatakan:

Financial Institutions should be required to verify the

identity of the customer and beneficial owner before and

during the course of establishing a business relationship

or conducting transactions for occasional customers.

36

8 Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman. 1990. Philosophy of Law: An Introduction to Jurisprudence. Westview Press, London, p. 20

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 44: Bu Let in Hukum 10030912

Countries may permit financial institutions to complete

the verification as soon as reasonably practicable following

the establishment of the relationship, where the money

laundering and terrorist financing risks are effectively

managed and where this is essential not to interrupt the

normal conduct of business.

Where the financial institution is unable to comply with

the applicable requirements under paragraph (a) to (d)

above (subject to appropriate modification of the extent

of the measure on a risk-based approach), it should be

required not to open the account, commence business

relations or perform the transaction; or should consider

making a suspicious transactions report in relation to the

customer.

These requirements should apply to all new customers,

although financial institutions should also apply this

Recommendation to existing customers on the basis of

materiality and risks abd should conduct due diligence

on such existing relationships at appropriate times.

Penjelasan dari FATF Recommendation di atas menegaskan

kembali bagaimana kebutuhan dan keharusan

pelaksanaan mekanisme CDD menjadi suatu mekanisme

untuk mencegah kemungkinan terancamnya sistem

keuangan dari resiko besar yang meliputinya, termasuk

pada munculnya tindak pidana. Resiko itu adalah berupa

munculnya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan

terorisme. Tindak pidana-tindak pidana tersebut semakin

lama semakin menguat seiring dengan perkembangan

masyarakat itu sendiri. Hal inilah yang harus dicegah

sedini mungkin. CDD dipandang sebagai suatu mekanisme

yang harus diperkuat dan dilaksanakan secara patuh dan

ketat, dengan sebuah dimensi pemahaman kritis akan

fungsi dan peruntukannya yang memang dewasa ini

berkembang menjadi alat hal yang sangat penting terkait

dengan pencegahan berkembangnya tindak pidana yang

menggunakan jasa dari penyedia jasa keuangan.

Tindak pidana tersebut pada hakikatnya rentan atas

disalahgunakannya oleh orang-orang yang memiliki

kedudukan secara politis menjadi salah satu pihak yang

dianggap patut diwaspadai karena posisinya yang rentan

dengan penyalahgunaan kekuasaan yang dimilikinya

secara sah. Pihak-pihak dalam posisi ini disebut sebagai

suatu Politically Exposed Persons (PEPs), yang dalam posisi

ini dapat berposisi sebagai nasabah, ataupun pemilik.

Guna mengatasi kemungkinan disalahgunakannya

penyedia jasa keuangan berikut berbagai fasilitas

yang diberikan oleh sektor keuangan, maka FATF

Recommendation, sebagaimana diejahwantahkan dalam

UU TPPU, menegaskan perlunya dilaksanakan mekanisme

Enhance Due Diligence (EDD) sebagai suatu mekanisme

tambahan untuk nasabah-nasabah khusus dan berbagai

aktifitasnya.

Financial institutions should be required, in relation to

foreign politically exposed persons (PEPs) (whether as

customer or beneficial owner), in addition to performing

normal customer due diligence measures, to:

(a).Have appropriate risk management systems to

determine whether the customer or the beneficial

owner is a politically exposed person;

(b).Obtain senior managemnet approval for establishing

(or continuing, for existing customers) such business

relationships;

(c).Take reasonable measures to establish the source of

wealth and source of funds; and

(d).Conduct enhanced ongoing monitoring of the business

relationship.

Financial institutions should be required to take reasonable

measures to determine whether a customer or beneficial

owner is a domestic PEP or a person who is or has been

entrusted with a prominent function by an international

organisation. In cases of a higher risk business relationship

with such persons, financial institutions should be to

apply the measures referred to in paragraphs (b), (c),

and (d).

The requirements for all types of PEP should also apply

to family or close associates of such PEPs.

Memperhatikan ketentuan di atas sesungguhnya

memahami tindak pidana-tindak pidana yang berhubungan

dengan pendanaan terorisme dan money laundering,

merupakan tindak pidana yang sangat complicated dan

rumit. Pendanaan terorisme selalu dipandang sama jahat

37

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 45: Bu Let in Hukum 10030912

dan berbahayanya dengan tindak pidana terorisme itu

sendiri, bahkan dengan posisi yang lebih sulit dilacak

karena berhubungan dengan kemudahan dalam sistem

keuangan yang dipergunakan sebagai sarana untuk

mencapai tujuan melakukan suatu tindak pidana yang

semakin hari semakin canggih.

Sebagaimana dimaksudkan dalam Interpretative Note to

recommendation about Terrorist Financing Offence,

karakteristik tindak pidana pendanaan terorisme yang

harus diperhatikan adalah:

- Terrorist financing offences should extend to any

person who willfully provides or collects funds by any

means, directly or indirectly, with the unlawful intention

that they should be used, or in the knowledge that

they are to be used, in full or in a part: (a). To carry

out a terrorist act(s); (b). By a terrorist organization;

or (c). By an individual terrorist.... .

- Terrorist financing offences should apply, regardless

of whether the person alleged to have committed

the offence(s) is in the same country or a different

country from the one in which the terrorist(s)/ terrorist

organization(s) is located or the terrorist act(s)

occurred/will occur.

Melalui karakteristik tersebut sesungguhnya dapat

dipahami bahwa permasalahan financing of terrorism

sangat membutuhkan perhatian dan keseriusan yang

lebih, khususnya terkait dengan terancamnya kehidupan

dan integritas semua rakyat. Dengan krakteristiknya

yang tumbuh sebagai extra ordinary crime dan

transnational organized crime, financing of terrorism

telah menjadi sesuatu yang hars dicegah dan diberantas.

Kewajiban Freezing Without Delay and Without

Prior to Notice Oleh Penyedia Jasa Keuangan

The New FATF Recomendation mewajibkan setiap negara

untuk memberlakukan penjatuhan sanksi keuangan

(targeted financial sanctions) atas kelompok-kelompok

teroris maupun teroris perorangan, sebagaimana

dimaksudkan dalam Resolusi DK PBB No. 1267 (1999)

berikut resolusi-resolusi lainnya yang terkait, dan Resolusi

DK PBB No. 1373 (2001). Lebih lanjut melalui rekomendasi

ini, negara dapat melakukan suatu upaya-upaya

pencegahan yang khusus dan unik untuk menghentikan

perputaran dana maupun aset lainnya dari para kelompok

teroris, dan penggunaan dana-dana dan aset-aset

tersebut oleh kelompok teroris.

Penyedia Jasa Keuangan diharapkan dapat memiliki

kemampuan untuk mengidentifikasikan dan menentukan

mengenai orang perorangan maupun lembaga keuangan

ataupun badan-badan yang mendukung pelaksanaan

kegiatan terorisme, misalnya sebagaimana yang dimaksud

sebelumnya, seperti Al-Qaida, The Taliban, Usama bin

Laden. Menindaklanjuti hal tersebut perlu diimbangi

dengan proses listing dan delisting. Hal ini yang harus

selalu diperhatikan oleh pihak Penyedia jasa keuangan

dengan memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian.

Salah satu hal yang harus dikerjakan dan diperhatikan

oleh Penyedia Jasa Keuangan adalah terkait dengan

upaya bagaimana menyelamatkan negara dari

kemungkinan untuk dipergunakannya dana-dana yang

dihasilkan dari tindak pidana ataupun kegiatan legal yang

dipakai untuk mendukung kegiatan terorisme. Hal tersebut

adalah terkait dengan upaya undue delay atas harta

kekayaan yang didapatkan dari tindak pidana pendanaan

terorisme tersebut. Upaya undue delay sangat diperlukan

terkait perpindahan dana terorisme yang sangat cepat

dan tidak terlihat secara fisik. Selain itu pemanfaatan

dana tersebut dapat dicegah pemanfaatannya secara

lebih dini.

Berdasarkan Ketentuan UNSCR 1373 ditegaskan

bahwasanya setiap negara haruslah mempunyai peraturan

maupun prosedur untuk beberapa hal yang dirasakan

diperlukan untuk melakukan pembekuan atas aset-aset

kekayaan teroris yang didapatkan melalui pendanaan

terorisme. Secara lengkap dijelaskan sebagai berikut:

Countries are required to have laws and procedures to:

1. Freeze the funds and their assets of terrorist and

associated persons and entities without delay and

without prior notice to targets (e.g through domestic

listing mechanism or through criminal justice

procedures); this involves both a domestic decision-

38

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 46: Bu Let in Hukum 10030912

making process on designations and a process to then

freeze the funds of those designated.

2. Receive from other countries requests to take UNSCR

1373 freezing action;

3. Examine such requests (i.e promptly determine

whether reasonable grounds or a reasonable basis

exists to initiate a freezing action); and

4. Take action to freeze assets in response to the request,

if appropriate, without delay and without prior notice

to targets.

Mendasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksudkan

di atas harus diikuti dengan kemampuan Penyedia Jasa

Keuangan untuk tidak salah di dalam menelaah dana-

dana apa saja yang masuk dan keluar dari rekening

seseorang yang tentunya harus memiliki kemampuan

untuk memahami apakah rekening tersebut terindikasi

dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan pendanaan

terorisme ataukah tidak. Ketentuan dalam UNSCR 1373

jelas menghendaki adanya sensitivitas dari penyedia jasa

keuangan untuk mampu mengenali dengan baik siapa

customer yang melakukan transaksi menggunaan jasa

pada bank tersebut.

Hasil analisis terhadap perputaran masuk dan keluarnya

dana dari nasabahnya tersebut, yang apabila terindikasi

dipergunakan untuk pendanaan terorisme, maka

Penyedia Jasa Keuangan, dalam hal ini bank, wajib

melakukan pembekuaan dana tanpa menunda dan tanpa

pemberitahuan. Hal tersebut merupakan kewajiban dari

bank. Penciptaan mekanisme Freezing without delay

dan without prior to notice membawa kepada suatu

dimensi berpikir munculnya rezim baru yang disebut

sebagai Extraordinary Regime, yang oleh David Shanon

dijelaskan sebagai berikut:

An extraordinary regime:

1. Requires an indefinite freeze to be possible, even in

the absence of a prosecution

2. May include administrative and/ or judicial process

1. Must not be reliant on having to prove or

investigate a TF (Terrorist Financing, red) offence

to keep funds frozen

2. Must involve a direct obligation on financial

institutions and those who hold assets to freeze

without undue delay9

Rezim extraordinary ini tentunya dibangun berdasarkan

suatu pemahaman akan hakikat dan eksistensi tindak

pidana pendanaan terorisme yang telah bersifat

transnational organized dan sama berbahaya serta

jahatnya dengan tindak pidana terorisme itu sendiri.

Berdasarksn rezim inilah harus dibangun suatu mekanisme

pencegahan dan pengawasan secara ketat dalam

kegiatan transaksi dari nasabah yang ditengarai dipakai

dalam kegiatan terorisme. Untuk itu perlu diperkuatnya

pengoperasionalisasian standar-standar pengenalan

nasabah, Customer Due Diligence, dan Enhance Due

Diligence.

Kesimpulan

Rezim extraordinary yang dipahami dalam keterkaitannya

dengan tindak pidana pendanaan terorisme menempatkan

kemampuan dan kemauan dari penyedia jasa keuangan

untuk dapat mengoperasionalisasikan dengan tepat dan

bijak setiap standar-standar pengenalan akan nasabah

beserta dengan transaksi yang dilakukan dari, dalam,

dan melalui institusi bank. Kecermatan bank di dalam

mengenali nasabah dan transaksi yang dilakukannya

akan membawa pada adanya upaya untuk mengantisipasi

semakin meluasnya dan cepatnya pendanaan terorisme.

Upaya lain yang dituntutkan kepada Penyedia Jasa

Keuangan untuk dilakukan adalah upaya melakukan

pembekuan atas aset atau kekayaan orang-orang ang

diduga, dindikasi, dan diidenifikasikan terlibat dalam

kegiatan pendanaan terorisme tanpa ada kewajiban

untuk menunda-nunda maupun memberikan peringatan

terlebih dahulu. Hal tersebut sesungguhnya didasarkan

dari pemahaman akan sifat dan hakikat dari tindak pidana

pendanaan terorisme, dantindak pidana terorisme itu

sendiri. Dengan demikian Indonesia akan daat menjadi

negara yang mendukung upaya-upaya pencegahan tindak

pidana pendanaan terorisme, sebagaimana ditegaskan

39

9 David Shannon, Op.Cit, p. 20

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 47: Bu Let in Hukum 10030912

dan dikehendaki dalam dunia internasional. Terlebih

khusus adalah adanya kewajiban untuk membekukan

aset teroris perseorangan maupun organisasi teroris yang

telah dimaksudkan di dalam UNSCR 1267 dan UNSCR

1373.

40

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 48: Bu Let in Hukum 10030912

41

Bruckard, Scott. 2011. “Terrorist Financing in Australia”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study

Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011

Goodrick, Tim. “Counter-Terrorist Financing Legislative Framework”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism

Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011

http://en.wikipedia.org, pada tanggal 24 Mei 2012

Muhammad Yusuf. “Pendekatan Rezim Anti Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 dalam Rangka Perampasan

Aset Hasil Kejahatan”, Makalah, disampaikan pada Diskusi Terbatas, di Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 19

Februari 2011

Murphy, Jeffrie G., and Jules L. Coleman. 1990. Philosophy of Law: An Introduction to Jurisprudence. Westview Press,

London

Scott, Peter. 2011. “Terrorist Asset freezing Best Practices”, Paper, disajikan dalam Counter Financing of Terrorism Study

Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011

Shannon, David. 2011. “Terrorism Financing (TF) International Standards and Regional TF Risks”, Paper, disajikan dalam

Counter Financing of Terrorism Study Tour, Sydney, Australia, 26 – 28 September 2011

Yunus Husein. Sosialisasi RUU Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Jakarta, 9

Februari 2011

DAFTAR PUSTAKA

Page 49: Bu Let in Hukum 10030912

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 50: Bu Let in Hukum 10030912

1. Pendahuluan

Hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan

bermasyarakat di dalam semua aspek kehidupan,

baik dalam aspek kehidupan social, kehidupan politik,

budaya, pendidikan dan yang cukup penting adalah

fungsi dan peranannya dalam mengatur kegiatan

ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum

sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi

yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya

permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi

dilain pihak sehingga konflik antara sesama warga

dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi

tersebut akan sering terjadi. Namun demikian

berdasarkan pengalaman umat manusia sendiri,

peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga

tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia

yang menjadi daya dorong utama dalam

pembangunan ekonomi.

Semua perubahan yang terjadi dalam masyarakat

tidak mungkin terjadi apabila manusia tidak

43

IMPLEMENTASI HUKUM PEMBANGUNANDALAM SISTEM PERBANKAN DI INDONESIA

Oleh : Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H.1

Abstrak

Di Indonesia dengan pembaharuan masyarakat melalui jalur hukum, berarti dilakukan pembaharuan hukum

terutama melalui perundang-undangan. Hal tersebut berarti proses pembentukan Undang-Undang harus dapat

menampung semua hal yang erat hubungannya (relevan) dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan

Undang-Undang tersebut, apabila perundang-undangan tersebut diharapkan merupakan suatu pengaturan hukum

yang efektif. Lebih lanjut menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa pengertian hukum yang memadai harus tidak

hanya memandang hukum sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam

masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan

hukum tersebut dalam kenyataan.

Pemikiran hukum sebagai sarana pembaharuan adalah adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha

pembaharuan atau pembangunan merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak perlu, dan hukum

dalam arti kaidah atau peraturan hukum dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan, dalam arti

penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Untuk itu salah satu

upaya penting dalam sistem perbankan nasional di Indonesia diperlukan konsep pengembangan dan pembaharuan

Hukum Perbankan Nasional melalui perbaikan dan perubahan Undang-Undang Perbankan dengan memperhatikan

perangkat hukum yang berlandaskan pada perumusan aturan hukum yang tidak saja melihat hukum sebagai suatu

perangkat aturan akan tetapi juga didasarkan pada hukum sebagai sarana yang dapat mengikuti perubahan dan

perkembangan kondisi masyarakat baik dalam kegiatan sosial politik, maupun ekonomi dan kegaiatan perbankan.

1 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Bandar Lampung dan saat ini juga sebagai Ketua Pusat Studi Hukum Perbankan Universitas Bandar Lampung (PSHP-UBL).

Page 51: Bu Let in Hukum 10030912

mempunyai kesempatan dan keluasan untuk berpikir

dan berkreasi. Karenanya diperlukan berbagai bentuk

aturan yang mengatur bagaimana manusia agar bisa

melaksanakan kegiatannya dengan aman, tidak saling

mengganggu atau bahkan saling menghancurkan

sehingga kesempatan untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan menjadi terhambat. Dengan demikian

diperlukan peranan hukum yang bertujuan untuk

melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan

ekonomi sehingga dinamika kegiatan ekonomi dapat

diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi

seluruh masyarakat. Hukum bukan hanya dapat

membatasi dan menekan saja, akan tetapi juga

memberi kesempatan bahkan mendorong masyarakat

untuk menemukan berbagai penemuan yang dapat

menggerakkan kegiatan perekonomian suatu negara.

Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu hukum adalah

ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu praktis

dengan menempati kedudukan istimewa dalam

klasifikasi ilmu dengan alasan karena sifatnya sebagai

ilmu normatif yang mengandung sifat khas tersendiri.

Obyek telaahannya juga berkenaan dengan tuntutan

berprilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya

tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas

yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh

kekuatan publik.2

Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu

bangsa merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan

keberadaannya. Sehingga sangat jelas, jika kondisi

hukum suatu bangsa itu efektif, maka pembangunan

ekonomi pun akan mudah untuk dilaksanakan.

Namun, sebaliknya jika hukum tidak mampu berperan

secara efektif, maka dapat dipastikan akan berdampak

buruk terhadap pembangunan ekonomi.

Kondisi ini tentu berlaku pula bagi Indonesia sebagai

sebuah negara yang sedang giat-giatnya melakukan

pembangunan ekonomi. Apalagi, tatkala Indonesia

menyatakan diri dalam konstitusinya sebagai negara

hukum (rechtstaat). Dari sini tersirat pula bahwa

Indonesia menghendaki dua hal; Pertama, hukum

diharapkan dapat berfungsi; dan Kedua, dengan

hukum dapat berfungsi, maka pembangunan ekonomi

pun akan mudah untuk direalisasikan.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, jika dikaji dari sisi

politik hokum, seringkali pembentukan hukum,

khususnya hukum ekonomi tak selalu sinkron dengan

harapan-harapan tersebut. Sebagai faktor yang

menjadi pemicu tidak adanya kesinkronan ini karena

banyak kepentingan yang berkembang di seputar

pembentukan hukum. Politik hukum yang berkembang

berupa adanya tarik menarik antara kepentingan

nasional dan asing, sehingga hukum yang dapat

dijadikan sarana bagi pembangunan ekonomi akan

menjadi sia-sia karena yang dikedepankan justru

kepentingan asing yang dominan.

Perkembangan globalisasi ekonomi dan kerjasama

ekonomi di dunia internasional sedikit banyak telah

menggambarkan adanya polarisasi dalam artian

substansi permasalahan di bidang hubungan ekonomi

sebagai dampak dari upaya pengaturan yang dilakukan

oleh Negara-negara ataupun pelaku ekonomi Negara-

negara maju. Upaya pengaturan baik secara global

melalui World Trade Organization (selanjutnya disingkat

dengan WTO), regional melalui berbagai kerjasama

sekawasan serta bilateral melalui berbagai kerjasama

bilateral ternyata tidak mengurangi munculnya berbagai

penyimpangan dari norma-norma yang telah disepakati.

Merupakan suatu keharusan bagi suatu negara tatkala

merumuskan suatu peraturan perundang-undangannya

senantiasa memperhatikan pada aspek kepentingan

nasional (national interests). Untuk dapat mencapai

hal demikian, maka faktor politik hukum akan sangat

menentukan. Bagi beberapa negara pola pemikiran

ini menjadi sarana yang cukup efektif.

Berangkat dari persoalan tersebut di atas, peranan

politik hukum dalam konteks hukum sangat

memegang peranan yang sangat strategis. Melalui

pendekatan politik hukum, hukum yang dibentuk

44

2 Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm.16.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 52: Bu Let in Hukum 10030912

pun setidaknya akan banyak memperhatikan kepada

kepentingan nasional. Pengertian kepentingan nasional

bukan berarti dimaknai dalam arti yang sempit, namun

kepentingan nasional merupakan titik tolak dalam

upaya memasuki dunia global.

Dari prinsip kepentingan nasional pemerintah

selanjutnya mengambil langkah strategis dalam upaya

meraup manfaat ekonomi dan manfaat ekonomi

tersebut dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia sendiri

bukan oleh bangsa lain yang menikmati hasil dari

pembentukan hukum tersebut. Dengan kenyataan

tersebut, sudah sewajarnya apabila pemerintah dalam

menjalankan orientasi politik hukum lebih

mengedepankan pembentukan instrumen-instrumen

hukum yang terkait dengan permasalahan tersebut.

2. Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan

Nasional.

Pembangunan yang dilaksanakan Indonesia

merupakan pembangunan yang menyeluruh dalam

semua sektor. Untuk itu diharapkan semua lapisan

masyarakat ikut berperan serta dalam pembangunan.

Demikian pula pembangunan dalam bidang ekonomi

diharapkan dapat menunjang pembangunan pada

sektor-sektor lain dan untuk tertibnya pelaksanaan

pembangunan yang tertib dan berkeadilan, maka

penunjang utamanya adalah pembangunan dalam

bidang hukum yang mengabdi kepada kepentingan

hukum nasional.

Menurut Sunaryati Hartono, pembangunan hukum

dilakukan dengan terus menerus dan merupakan

proses yang tidak pernah selesai (never ending

process), karena setiap kemajuan akan menuntut

perubahan-perubahan yang lebih maju dalam

masyarakat yang terus berubah-ubah. Makna dari

pembangunan hukum tersebut, meliputi:3

a. Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih

baik);

b. Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern;

c. Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum

ada, atau

d. Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem

lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok

dengan sistem baru.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mochtar

Kusumaatmadja, bahwa di Indonesia dengan

pembaharuan masyarakat melalui jalur hukum, berarti

dilakukan pembaharuan hukum terutama melalui

perundang-undangan. Hal tersebut berarti proses

pembentukan Undang-Undang harus dapat

menampung semua hal yang erat hubungannya

(relevan) dengan bidang atau masalah yang hendak

diatur dengan Undang-Undang tersebut, apabila

perundang-undangan tersebut diharapkan merupakan

suatu pengaturan hukum yang efektif.4 Selanjutnya

dijelaskan bahwa pengertian hukum yang memadai

harus tidak hanya memandang hukum sebagai suatu

perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur

kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus

pula mencakup lembaga (institutions) dan proses

(process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum

tersebut dalam kenyataan.5

Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara

ketertiban dalam masyarakat.6 Hukum bersifat

memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai.

Fungsi ini diperlukan dalam masyarakat, karena

terdapat hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi,

dan diamankan. Dalam masyarakat yang sedang

membangun, fungsi hukum harus dapat juga

membantu proses perubahan masyarakat, sehingga

hukum mempunyai peranan dalam proses pembaruan

masyarakat.

45

3 CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1988, hlm.

4 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Binacipta, Bandung, tanpa tahun, hlm.14. Lihat pula Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni Bandung, 2006, hlm.3.

5 Ibid, hlm. 15.

6 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ….. Op.cit., hlm.13.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 53: Bu Let in Hukum 10030912

Latar belakang konsepsi hukum sebagai alat atau

sarana pembaharuan disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, adanya tanggapan bahwa hukum tidak

dapat berperan bahkan menghambat perubahan

dalam masyarakat. Kedua, telah terjadi perubahan

pemikiran tentang hukum dalam beberapa dasawarsa

terakhir. Hukum bukan hanya kaidah tetapi juga

merupakan gejala.

Peranan hukum dalam pembangunan untuk menjamin

bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur

atau hukum sebagai alat pembaruan masyarakat.7

Perubahan yang teratur dapat dibantu oleh perundang-

undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi

dari keduanya. Perubahan yang teratur melalui

prosedur hukum lebih baik daripada perubahan yang

tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-

mata, karena baik perubahan maupun ketertiban

merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang

sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang

tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.

Teori Hukum Pembangunan yang digagas oleh

Mochtar Kusumaatmadja, pada dasarnya

memperkenalkan konsep hukum baru dengan

menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai

sarana pembaruan masyarakat. Pengertian hukum

menurut teori ini tidak hanya memandang hukum

sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang

mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi

harus pula mencakup lembaga dan proses yang

diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam

kenyataan.

Pemikiran hukum sebagai sarana pembaharuan adalah

adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha

pembaruan atau pembangunan itu merupakan suatu

yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak perlu,

dan hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum

memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau

sarana pembangunan, dalam arti penyalur arah

kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh

pembangunan atau pembaharuan.

Disesuaikan pada situasi dan kondisi di Indonesia,

konsepsi law as a tool of social engineering oleh

Mochtar Kusumaatmadja dikembangkan menjadi

konsepsi hukum sebagai ”sarana” pembaharuan

masyarakat Indonesia yang lebih luas jangkauan dan

ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat

kelahirannya. Hal tersebut dikarenakan beberapa

hal, yaitu:8

a. Lebih menonjolnya perundang-undangan dalam

proses pembaharuan hukum di Indonesia,

walaupun yurisprudensi juga memegang peranan,

berlainan dengan keadaan di Amerika Serikat

dimana teori Pound ditujukan terutama pada

peranan pembaruan daripada keputusan-

keputusan pengadilan, khususnya keputusan

Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi.

b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap

kenyataan masyarakat menolak aplikasi mechanistis

dari konsepsi law as a tool of social engineering.

Aplikasi mekanistis demikian yang digambarkan

dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang

tidak banyak berbeda dari penerapan legisme

yang dalam sejarah Hukum Indonesia (Hindia

Belanda) telah ditentang dengan keras. Dalam

pengembangannya di Indonesia, konsepsi (teoretis)

hukum sebagai alat atau sarana pembangunan

ini dipengaruhi pula oleh pendekatan-pendekatan

filsafat budaya dari Northrop dan pendekatan

policy oriented dari Laswell dan Mc. Dougal.9 Sifat

mekanistis nampak dengan digunakannya istilah

”tool” oleh Roscoe Pound. Itulah sebabnya

mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung

menggunakan istilah ”sarana” daripada alat.10

46

7 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ….. Op.cit., hlm.19 - 20.

8 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ….. Op.cit., hlm.83-84.

9 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat ….. Op.cit., hlm.9.

10 Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002,.hlm.73.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 54: Bu Let in Hukum 10030912

c. Apabila dalam pengertian hukum termasuk pula

hukum internasional kita di Indonesia sebenarnya

sudah menjalankan asas hukum sebagai alat

pembaruan jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan

secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan

hukum. Dengan demikian, perumusan resmi itu

sesungguhnya merupakan perumusan pengalaman

masyarakat dan bangsa Indonesia menurut sejarah.

Perombakan hukum di bidang pertambangan

(termasuk minyak dan gas bumi); tindakan-tindakan

di bidang hukum laut, nasionalisasi perusahaan-

perusahaan milik Belanda dan tindakan lain di

bidang hukum sejak Tahun 1958 yang bertujuan

mengadakan perubahan-perubahan mendasar

merupakan perwujudan dari aspirasi bangsa

Indonesia yang dituangkan dalam bentuk hukum

dan perundang-undangan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, walaupun secara

teoritis konsepsi hukum yang melandasi kebijaksanaan

hukum dan perundang-undangan dapat diterangkan

menurut peristilahan teori masa kini yang berkembang

di Eropa dan Amerika Serikat, namun hakikatnya

konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan lahir

dari masyarakat Indonesia sendiri berdasarkan

kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi faktor-

faktor yang berakar dalam sejarah masyarakat dan

bangsa Indonesia.

Pembangunan bidang hukum harus dapat dan mampu

mengikuti perkembangan masyarakat yang sedang

berkembang ke arah modernisasi. Pembangunan

hukum juga harus mampu menampung semua

kebutuhan pengaturan kehidupan masyarakat

berdasarkan tingkat kemajuan masyarakat dalam

semua bidang. Bagi Indonesia sendiri, hukum berperan

sebagai sarana pembangunan, yaitu hukum harus

mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat

kemajuan serta tahapan pembangunan disegala

bidang, sehingga dapat diciptakan ketertiban dan

kepastian hukum untuk menjamin serta memperlancar

pelaksanaan pembangunan.11

Lebih lanjut, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan

bahwa penggunaan hukum sebagai sarana

pembaharuan, akan lebih terasa daya kerjanya dalam

bidang-bidang hukum yang sifatnya netral.12 Bidang

hukum yang sifatnya netral akan dengan mudah

untuk mengadaptasi hukum asing dan mengikuti

perkembangan yang terjadi di Negara lain, asalkan

tidak bertentangan dengan Undang-Undang,

ketertiban dan kepatutan.

Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah

Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari

Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana

pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum

Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum

nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap

tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan

hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat

bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara

nasional.13

Beberapa masalah dalam penerapan Teori Hukum

Pembangunan, dalam pembaharuan hukum melalui

perundang-undangan, adalah kesulitan untuk secara

rasional dan pasti menetapkan prioritas yang sesuai

dengan kebutuhan masyarakat, dan untuk menyusun

hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran

hukum masyarakat.

Fungsi hukum dalam pembangunan nasional, untuk

menjamin adanya kepastian dan ketertiban

digambarkan dengan ungkapan sebagai ”sarana

pembaharuan masyarakat” atau ”sarana

pembangunan” mempunyai pokok-pokok pikiran:

(1) adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha

pembangunan atau pembaruan itu merupakan suatu

yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak)

47

11 Komar Kantaatmadja, Peran Dan Fungsi Profesi Hukum Dalam Undang-Undang Perpajakan, Makalah, Juli 1985.

12 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat ….. Op.cit., hlm.16. Lihat pula Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep …..Op.cit., hlm.38-39.

13 Ady Kusnadi, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional), FH-UNPAD, Bandung, 2008, hlm.189.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 55: Bu Let in Hukum 10030912

perlu; (2) hukum dalam arti kaidah atau peraturan

hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur)

atau sarana pembangunan14 dalam arti penyalur arah

kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh

pembangunan atau pembaruan.

Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh

diidentikkan dengan pembangunan Undang-Undang

atau peraturan perundang-undangan menurut istilah

yang lazim digunakan di Indonesia. Membentuk

Undang-Undang sebanyak-banyaknya, tidaklah berarti

sama dengan membentuk hukum. Pembentukan

Undang-Undang hanya bermakna pembentukan

norma hukum. Padahal tatanan sosial, ekonomi

budaya, dan politik bukanlah tatanan normatif semata,

karena itu diperlukan ruh tertentu agar tatanan

tersebut memiliki kapasitas. Norma hukum hanya

merupakan salah satu bagian dari kehidupan hukum.

Meminjam konsep Lawrence Friedman,15 norma

hukum adalah aspek substansial hukum. Di samping

substansi hukum terdapat struktur dan kultur hukum.

Struktur merujuk pada lembaga pembentukan dan

pelaksana hukum (penegak hukum) dan kultur hukum

merujuk pada nilai, orientasi, dan harapan atau mimpi-

mimpi orang tentang hukum. Aparatur dan model

hukumlah yang harus dijadikan fokus pembangunan

hukum. Artinya pembentukan, tata kelola, tata nilai,

orientasi, dan mimpi-mimpi orang tentang hukum

harus menjadi prioritas utama.

Walaupun norma-norma hukum yang terdapat dalam

setiap Undang-Undang secara positif dianggap

merupakan panduan nilai dan orientasi dari setiap

orang, namun secara empiris selalu saja terlihat cacat

celahnya. Perilaku orang tidak selalu sejalan dengan

norma-norma yang ada dalam Undang-Undang.

Penyebabnya sangat beragam, diantaranya adalah

norma tersebut tidak sejalan dengan orientasi dan

mimpi mereka. Itu sebabnya sebagian ahli hukum16

mengatakan bahwa kehidupan hukum lebih

merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian dan

kemanfaatan hukum hanyalah mitos yang indah.

Pemahaman mengenai fungsi hukum dalam

masyarakat sangat diperlukan, karena sebagian

masyarakat menganggap hukum dan penggunaannya

tidak dapat dipercaya, sementara sebagian masyarakat

lain masih mendengungkan “the rule of law” dengan

harapan segala sesuatu akan beres kembali dan

tercapai masyarakat yang damai. Fungsi hukum dalam

masyarakat dapat dijawab melalui tujuan hukum.

Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban.

Kebutuhan akan ketertiban merupakan syarat pokok

bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.

Ketertiban merupakan suatu fakta obyektif yang

berlaku bagi seluruh masyarakat manusia dalam

segala bentuk. Hal tersebut, mengingat manusia

selalu hidup di masyarakat dan hukum merupakan

pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga

pemeo Romawi “ubi societas ibi ius” sangat tepat

untuk menggambarkan hal ini.

Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan,

sehingga harus diusahakan terwujudnya kepastian

dalam masyarakat, yang pada akhirnya akan tercapai

suatu masyarakat yang berkehidupan teratur. Tanpa

kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang

dijelmakan oleh hukum, manusia tak mungkin

mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang

diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di dalam

masyarakat tempat masyarakat tersebut hidup.17

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan

hukum yang hidup dalam masyarakat.18 Dalam suatu

48

14 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat ….. Op.cit., hlm. 13.

15 Margarito Kamis, “Arah Pemikiran Pembangunan Hukum Pasca Perubahan UUD 1945”, 28 Maret 2007, hlm.5, melalui http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=234&Itemid=76 (12/12/2009)

16 Ibid., hlm. 5.

17 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan.….Op.cit., hlm. 2 - 3.

18 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan….Op.cit., hlm. 8

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 56: Bu Let in Hukum 10030912

masyarakat dalam masa transisi, perubahan terjadi

pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Pembangunan nasional yang terpenting bukanlah

pembangunan secara fisik, tetapi perubahan yang

sedang terjadi pada anggota masyarakat dan nilai-

nilai yang mereka anut. Sehingga, hakikat dari

pembangunan nasional adalah masalah pembaruan

cara berpikir dan sikap hidup. Selanjutnya harus dipilih

nilai-nilai yang akan diadopsi oleh hukum di Indonesia.

Perkembangan dan pembaharuan suatu negara

dipelopori oleh Pemerintah, maka hukum memegang

peranan dalam proses pembaharuan ini, karena segala

tindakan Pemerintah akan berwujud pembentukan

peraturan perundang-undangan.

Hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban

dalam masyarakat. Sifat hukum pada dasarnya adalah

konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan

mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian

diperlukan dalam setiap masyarakat, karena ada hasil

yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan.

Disamping itu, dalam masyarakat transisi, hukum

berfungsi juga untuk membantu proses perubahan

masyarakat.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, yang

kemudian sebagian pasal-pasalnya diubah dan

ditambah dengan keluarnya Undang-Undang Nomor

3 Tahun 2004 dan terakhir dikeluarkan kembali

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank

Indonesia, sebagaimana Teori Hukum Pembangunan,

bahwa hukum sebagai sarana pembaharuan

masyarakat, untuk itu dalam penyusunan Undang-

Undang tentang Bank Indonesia tersebut merupakan

sebagai produk hukum yang disepakati Pemerintah

bersama DPR, dilakukan karena adanya kondisi yang

mengharuskan adanya pembaharuan hukum dalam

instrumen Hukum Perbankan yang memberikan

kedudukan independen kepada Bank Indonesia,

dengan pertimbangan penerbitan Undang-Undang

tersebut adalah untuk memelihara kesinambungan

pelaksanaan pembangunan nasional guna

mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan

makmur.

3. Kepastian Hukum Dalam Sistem Perbankan

Nasional.

Negara Indonesia adalah Negara berdasarkan atas

hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan, demikian

sebagaimana di tegaskan Undang-Undang Dasar

1945, yang berarti bahwa Negara Kesatuan Republik

Indonesia adalah nagara hukum (Recht staat) yang

mana tindakan-tindakan pemerintah maupun

lembaga-lembaga lain termasuk warga masyarakat

harus berdasarkan hukum. Secara umum hukum

merupakan ketentuan tata tertib yang berlaku dalam

masyarakat, dimana hukum tersebut dalam

pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan

mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.

Keadilan dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan jiwa

atau sikap. Keadilan bukanlah sesuatu yang bisa di

ubah-ubah melalui logika atau penalaran, melainkan

melibatkan seluruh pribadi seseorang.19 Roscoe Pound

menyatakan bahwa keadilan dikonsepkan sebagai

hasil konkrit yang bisa di berikan kepada masyarakat.

Dimana menurut Roscoe Pound, bahwa hasil yang

diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan

manusia sebanyak- banyaknya dengan pengorbanan

sekecil-kecilnya, atau dengan kata lain semakin meluas/

banyak pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka

akan semakin efektif menghindari pembenturan

antara manusia.

Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan

bahwa tujuan dari hukum adalah menghendaki

keadilan semata- mata dan isi dari pada hukum

ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang

dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil.

Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan

luhur ialah keadilan dengan memberikan kepada tiap-

tiap orang apa yang berhak ia terima serta memerlukan

peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Untuk

terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini

hukum harus membuat apa yang dinamakan

49

19 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1993, hlm. 16.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 57: Bu Let in Hukum 10030912

“Algemeene Regels” (Peraturan/Ketentuan umum),

dimana peraturan/ketentuan umum tersebut

diperlukan masyarakat demi kepastian hukum.20

Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin

ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena

kepastian hukum ( peraturan/ketentuan umum)

mempunyai sifat yaitu adanya paksaan dari luar

(sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan

dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara

alat- alatnya, serta Sifat Undang- Undang yang berlaku

bagi siapa saja.21

Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia,

yang tidak mempersoalkan apakah sikap batin

seseorang itu baik atau buruk, dan yang diperhatikan

adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian

hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang

mempunyai sikap bathin yang buruk, akan tetapi

yang di beri sanksi adalah perwujudan dari sikap

bathin yang buruk tersebut atau menjadikannya

perbuatan yang nyata atau konkrit.

Pada praktiknya apabila kepastian hukum di kaitkan

dengan keadilan, maka akan kerap kali tidak sejalan

satu sama lain. Hal tersebut di karenakan di suatu

sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan

prinsip-prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang

pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian

hukum. Kemudian apabila dalam praktiknya terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan,

maka keadilanlah yang harus diutamakan. Alasannya

adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari hati

nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum

lahir dari sesuatu yang konkrit.

Penegakkan Hukum merupakan elemen yang tidak

dapat dipisahkan dan sangat penting dalam menjaga

sistem demokrasi yang berkualitas dan juga mendukung

iklim berusaha yang baik agar kegiatan ekonomi

dapat berjalan dengan pasti, aman dan efisisen,

dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat. Sasaran

reformasi penegakan hukum adalah tercapainya

suasana dan kepastian keadilan melalui penegakan

hukum (rule of law) dan terjaganya ketertiban umum.

Tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan

ketertiban (order). Tujuan tersebut sejalan dengan

fungsi utama hukum, yaitu mengatur. Ketertiban

merupakan syarat dasar bagi adanya suatu masyarakat.

Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan

kebutuhan objektif bagi setiap masyarakat manusia.22

Sebagian besar para ahli hukum menyatakan bahwa

“kepastian hukum” sebagai tujuan hukum, dimana

ketertiban atau keteraturan, tidak mungkin terwujud

tanpa adanya garis-garis perilaku kehidupan yang

pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada kepastian

dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat

dalam bentuk yang pasti pula (tertulis).23 Kepastian

hukum yang dimaksud adalah kepastian yang

fleksibel, bukan dalam arti dapat ditafsir secara luas,

melainkan bersifat lengkap, konkrit, prediktif dan

antisipatif.24 Masyarakat mengharapkan adanya

kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian

hukum, masyarakat akan lebih tertib. Oleh karenanya,

maka hukum bertugas menciptakan kepastian hukum

yang tujuan akhirnya adalah ketertiban masyarakat.25

Adanya aturan-aturan yang dibuat oleh negara

menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani

atau melakukan tindakan terhadap individu serta

pelaksanaan dari aturan tersebut menimbulkan

kepastian hukum.26 Kepastian hukum mengandung

2 (dua) pengertian, yaitu:27

50

20 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 28.

21 R. Soeroso, Op.cit, hlm. 29.

22 Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 127.

23 Ibid.

24 Ibid.

25 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 141.

26 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 158.

27 Ibid.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 58: Bu Let in Hukum 10030912

a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat

individu mengetahui perbuatan apa yang boleh

atau tidak boleh dilakukan;

b. Adanya keamanan hukum bagi individu dari

kesewenangan pemerintah karena dengan adanya

aturan yang bersifat umum tersebut individu dapat

mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau

dilakukan oleh negara terhadap individu.

Masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan

diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-

kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan

masyarakat juga menginginkan agar terdapat

peraturan-peraturan yang memberikan jaminan

kepastian dalam hubungan individu satu sama lain.

Dengan demikian, hukum dituntut untuk memenuhi

berbagai karya dan oleh Gustav Radbruch di dalam

hukum tersebut harus mengandung Nilai-nilai dasar.

Adapun nilai-nilai dasar tersebut disamping berupa,

keadilan dan kegunaan juga terdapat kepastian

hukum. Selanjutnya, yang utama bagi kepastian

hukum adalah adanya peraturan itu sendiri.28

Indonesia sebagai Negara hukum (Rechtsstaat/the

rule of law), sebagaimana yang telah ditegaskan

dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen ke 4)

bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Ide dasar

negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide dasar

tentang ‘rechtsstaat” atau Negara Hukum yang dianut

oleh Belanda yang meletakkan dasar perlindungan

hukum bagi rakyat pada asas legalitas, yaitu semua

harus bersifat positif, hal tersebut berarti hukum harus

dibentuk secara sadar.

Dalam suatu rechtsstat yang modern, fungsi peraturan

Perundang-undangan bukanlah hanya memberikan

bentuk kepada nilai-nilai dan norma-norma yang

berlaku dan hidup dalam masyarakat, dan Undang-

Undang bukanlah hanya sekedar produk fungsi negara

di bidang pengaturan. Selanjutnya, Peraturan

Perundang-undangan adalah salah satu metoda dan

instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan

mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-

cita yang diharapkan. Dalam praktik memang demikian

yang dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang,

karena saat ini kekuasaan pembentuk Undang-Undang

adalah terutama memberikan arah dan menunjukkan

jalan bagi terwujudnya cita-cita kehidupan bangsa

melalui hukum yang dibentuknya.29

Dunia perbankan memiliki hubungan yang sangat

erat dengan maju mundurnya perekonomian suatu

negara. Jika sistem perbankan suatu negara sehat,

maka akan dapat menunjang pembangunan ekonomi.

Sebaliknya, apabila sistem perbankan suatu negara

tidak sehat akan berdampak tidak baik bagi

pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, terwujudnya

suatu sistem perbankan yang sehat perlu terus

dilakukan secara berkesinambungan yang berdampak

pada terwujudnya kepastian hukum dalam

pelaksanaan kegiatan perbankan di Indonesia melalui

prinsip kehati-hatian.

Lembaga yang bertanggungjawab dalam mewujudkan

sistem perbankan nasional yang sehat adalah Bank

Sentral.30 Kewenangan Bank Sentral dalam melakukan

pembinaan dan pengawasan bank adalah sebagai

alat atau sarana untuk mewujudkan sistem perbankan

yang sehat, yang menjamin dan memastikan

dilaksanakannya segala bentuk Peraturan perundang-

undangan yang terkait dalam penyelenggaraan usaha

bank oleh lembaga perbankan yang bersangkutan.

Dalam upaya meningkatkan pemberdayaan perbankan

nasional khususnya di dalam pelaksanaan

perekonomian Indonesia, Bank Indonesia dapat

bersikap lebih tegas untuk melakukan pembinaan

dan pengawasan terhadap semua lembaga perbankan

di Indonesia tanpa adanya campur tangan dari pihak

51

28 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 19.

29 Endang Sutrisno, Bunga Rampai : Hukum Dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 104-105.

30 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Op.cit, hlm. 164

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 59: Bu Let in Hukum 10030912

lain (per 1 Januari 2014 beralih ke OJK). Di samping

itu, Bank Indonesia dapat lebih independen dan tegas

untuk melaksanakan penegakan hukum (law

enforcement) yang juga diikuti dengan penerapan

sanksi-sanksi berkaitan dengan pembinaan perbankan

di Indonesia.

Bank Indonesia sebagai lembaga yang independen

mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan

melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya

sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-Undang

tentang Bank Indonesia. Fungsi pembinaan dan

pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia

terhadap lembaga perbankan nasional di Indonesia

dimaksudkan untuk menciptakan sistem perbankan

yang sehat dengan memelihara kepentingan

masyarakat dan menjaga agar perbankan dapat

tumbuh secara wajar dan dapat bermanfaat bagi

perekonomian nasional.

Pengawasan dan penegakkan hukum (Law

Enforcement) merupakan dua komponen yang tak

terpisahkan dalam suatu sistem rule of law. Tidak

akan ada law enforcement kalau tidak ada sistem

pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau

tidak ada law enforcement yang memadai. Jika hal

ini di analogkan dengan sistem perbankan, maka

pengawasan dan law enforcement dapat berperan

dalam mengoptimalkan fungsi perbankan agar

tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem

perbankan secara menyeluruh maupun individual,

dan mampu memelihara kepentingan masyarakat

dengan baik, berkembang secara wajar dan

bermanfaat bagi perekonomian nasional.

Kebijakan perbankan yang komprehensif, transparan

dan mengandung kepastian hukum antara lain

berkaitan dengan pengaturan kepemilikan,

kepengurusan, pembukaan kantor bank dan perluasan

jaringan, perubahan kegiatan usaha Bank dan Badan

Hukum bank, serta pencabutan izin usaha atas

permintaan sendiri (pada saat ini masih merupakan

kewenangan Bank Indonesia). Sesuai dengan

Perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia

mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan

peraturan, memberikan dan mencabut izin atas

kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank,

melaksanakan pengawasan Bank dan mengenakan

sanksi terhadap Bank yang tidak mematuhi peraturan

perbankan yang berlaku.

Demikian pula di bidang Hukum Perdata dalam

membangun sistem hukum perbankan nasional yang

bertujuan untuk mengatur agar kegiatan usaha bank

selaku lembaga intermediasi dapat dilakukan secara

berhati-hati (prudent), aman, dan sehat, dipengaruhi

oleh filosofi usaha bank sebagai intermediary institution

(lembaga intermediasi) dan dianutnya doktrin dalam

penyelenggaraan usaha perbankan yang sehat seperti

prudent banking dan good corporate governance.

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha bank

secara prudent atau hati-hati, serta untuk memberikan

kepatian hukum, maka otoritas perbankan harus

menerbitkan peraturan terkait dengan kehati-hatian

dalam pengelolaan bank dan mewajibkan bank untuk

memenuhi peraturan prudential banking, terkait

dengan ratio-ratio pengukuran tingkat likuiditas

bank, seperti Capital Adequacy Ratio (CAR), Batas

Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), Kualitas Aktiva

Produktif (KAP), dan Posisi Devisa Netto (PDN).31

52

31 CAR adalah Modal dibagi dengan ATMR, atau rasio kecukupan modal bank yang merupakan pembagian jumlah modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko.ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko) terdiri dari: Aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar risiko kredit yang melekat, dan beberapa pos dalam off balance sheet yang diberikan bobot sesuai dengan kadar risiko kredit yang melekat. BMPK adalah: Prosentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank (lihat Pasal 1 angka (2) Peraturan Bank Indonesia No.7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum). Aktiva Produktif adalah: Penanaman dana bank baik dalam Rupiah maupun valuta asing dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, penyertaan, termasuk komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif. PDN adalah: Angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing dengan selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontijensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing dinyatakan dalam Rupiah. (Dikutip dari Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia, hlm. 30, Jakarta, 2010).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 60: Bu Let in Hukum 10030912

Krisis moneter Tahun 1997 - 1998 dijadikan

pembelajaran mengenai arti pentingnya suatu

perangkat hukum yang mampu berfungsi sebagai

landasan hukum untuk mengupayakan penyelamatan

bank bermasalah dan sebagai perangkat hukum yang

mampu memberikan kepastian kepada para nasabah

serta meminimalkan kemungkinan terjadinya rush

(serbuan) terhadap individual bank serta sekaligus

berfungsi sebagai jaring pengaman bagi nasabah

penyimpan dana apabila suatu bank dinyatakan

bermasalah dan pada akhirnya tidap dapat

diselamatkan lagi sehingga dinyatakan sebagai Bank

gagal dan dicabut izin usahanya.

Gejolak dalam lembaga keuangan khususnya bank,

merupakan salah satu sumber instabilitas. Oleh karena

itu, krisis perbankan harus dicegah atau ditangani

untuk menghindarkan gangguan terhadap sistem

pembayaran dan arus kelancaran penyaluran kredit

dalam kegiatan perekonomian. Terkait dengan hal

tersebut di atas, maka upaya membangun sistem

keuangan yang stabil memerlukan perangkat aturan

hukum (legal framework) yang mampu menjadi

landasan bagi penyelenggaraan fungsi bank sentral

secara utuh khususnya di Indonesia.

Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, dapat

dijelaskan bahwa dalam upaya melakukan

perkembangan pembangunan hukum ekonomi

nasional, khususnya yang berkaitan dengan

pembangunan hukum perbankan, maka pembenahan

perangkat hukum dalam sektor perbankan di Indonesia

sangat diperlukan untuk memberikan landasan bagi

terselenggaranya pembangunan hukum secara

keseluruhan. Perangkat hukum sistem perbankan

yang ada akan sangat berperan sebagai landasan

dalam pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan

pembangunan hukum perbankan dan hukum

ekonomi secara keseluruhan serta memberikan

kepastian hukum bagi para pengguna jasa perbankan

di Indonesia.

David M. Trubek (Guru Besar dari University of

Wisconsin) menyatakan bahwa “rule of law”

merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan

ekonomi dan akan memberikan dampak yang luas

bagi “reformasi” sistem ekonomi di seluruh dunia,

yang berdasarkan pada teori apa yang dibutuhkan

untuk pembangunan dan bagaimana peranan hukum

dalam perubahan ekonomi.32 Hal tersebut juga dapat

diimplementasikan dalam sistem perbankan nasional,

dimana hukum pembangunan dalam kegiatan

perbankan menjadi suatu hal yang strategis dalam

menyikapi perkembangan perekonomian dunia

khususnya dalam lingkup regional dan internasional.

Pentingnya dikaji kembali teori hukum sebagai dasar

dalam pembangunan dan peranan hukum dalam

pembangunan ekonomi tidak lain karena secara

umum pelaku ekonomi dalam memandang kegiatan

perekonomian hanya pada pendekatan satu sisi saja,

hal tersebut dapat dilihat pada kebijakan yang

diterapkan oleh International Monetary Fund (IMF)

dan Bank Dunia (World Bank), dirasakan telah

mengakibatkan kebijakan ekonomi menjadi tidak

terkontrol yang kemudian terjadinya market shock.33

Liberalisasi pasar keuangan tanpa disertai peraturan

hukum yang efektif dan memadai akan menyebabkan

terjadinya instabilitas ekonomi dan dapat memicu

suku bunga tinggi yang pada gilirannya akan

menyulitkan sektor riil dan pelaku ekonomi menengah

ke bawah.

Selanjutnya Trubek juga menyatakan bahwa pada

saat ini setiap negara membutuhkan suatu upaya

yang sistematis untuk memahami keterkaitan antara

hukum, sosial, ekonomi dan politik, jika tidak bisa

dilakukan secara komprehensif, konsistensi dan

koherensi, akan berdampak pada terjadinya krisis

hukum (crisis of law).34

53

32 David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report: Law and Economic Development: Critiques and Beyond” disampaikan pada Spring Conference Harvard Law School, April 13-14 2003, hlm. 1.

33 Ibid.

34 David M. Trubek, “Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of Law and Development”, The Yale Law Journal, (Vol. 82, 1 November 2000), hlm. 2.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 61: Bu Let in Hukum 10030912

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam upaya

melakukan perkembangan dalam pembangunan

nasional terutama yang berkaitan dengan

pembangunan ekonomi, secara umum dapat

dijelaskan bahwa keterkaitan antara regulasi/

pengaturan sistem pengamanan keuangan untuk

menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia akan

berkorelasi pula dengan peranan Hukum perbankan

dalam Pembangunan Ekonomi secara keseluruhan.

Membangun indsutri perbankan yang kuat dan sehat

adalah suatu prasyarat mutlak dalam perekonomian

nasional, karena melalui peran intermediasi perbankan,

roda perekonomian dapat digerakkan lebih cepat,

sistem kuangan dapat berjalan dengan maksimal,

sehingga stabilitas ekonomi juga dapat terpelihara.

Dengan demikian lembaga perbankan nasional harus

dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan

mengedepankan prinsip prudensialitas serta

diperlukan pula arah yang jelas dalam upaya

menciptakan indsutri perbankan yang sehat, kuat

dan efisen. Oleh karenanya dalam implementasi

kegiatan perbankan yang efektif sangat diperlukan

regulasi yang efektif sebagai legal framework

khususnya yang berkaitan dengan Kebijakan Bank

Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai

lender of the last resort, dalam pemberian kebijakan

bantuan likuiditas terhadap penyelamatan perbankan

nasional sebagai upaya penyelematan perekonomian

nasional sehingga tercipta kepastian hukum yang

efektif sesuai dengan aturan dan norma-norma yang

ada.

Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional

yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang

hukum dan politik, mandiri di bidang ekonomi, dan

berkepribadian di bidang budaya. Srategi

pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat

merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi

yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua

dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-

anggota masyarakat.

4. Penutup

Konsep Hukum Pembangunan yang digagas oleh

Mochtar Kusumaatmadja, pada dasarnya

memperkenalkan konsep hukum baru dengan

menyatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai

sarana pembaruan masyarakat. Pemikiran hukum

sebagai sarana pembaharuan adalah adanya

keteraturan atau ketertiban dalam usaha

pembaharuan atau pembangunan itu merupakan

suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak

perlu, dan hukum dalam arti kaidah atau peraturan

hukum memang dapat berfungsi sebagai alat

pengatur atau sarana pembangunan, dalam arti

penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang

dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.

Pembangunan bidang hukum harus dapat dan mampu

mengikuti perkembangan masyarakat yang sedang

berkembang ke arah modernisasi. Pembangunan

hukum juga harus mampu menampung semua

kebutuhan pengaturan kehidupan masyarakat

berdasarkan tingkat kemajuan masyarakat dalam

semua bidang. Bagi Indonesia sendiri, hukum berperan

sebagai sarana pembangunan, yaitu hukum harus

mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat

kemajuan serta tahapan pembangunan disegala

bidang, sehingga dapat diciptakan ketertiban dan

kepastian hukum untuk menjamin serta memperlancar

pelaksanaan pembangunan. Penggunaan hukum

sebagai sarana pembaharuan, akan lebih terasa daya

kerjanya dalam bidang-bidang hukum yang sifatnya

netral. Bidang hukum yang sifatnya netral akan dengan

mudah untuk mengadaptasi hukum asing dan

mengikuti perkembangan yang terjadi di Negara lain,

asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang,

ketertiban dan kepatutan.

Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah

Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari

Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana

pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum

Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum

nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap

54

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 62: Bu Let in Hukum 10030912

tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan

hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat

bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara

nasional.

Penggunaan hukum sebagai sarana pembaharuan,

akan lebih terasa daya kerjanya dalam bidang-bidang

hukum yang sifatnya netral. Bidang hukum yang

sifatnya netral akan dengan mudah untuk

mengadaptasi hukum asing dan mengikuti

perkembangan yang terjadi di Negara lain, asalkan

tidak bertentangan dengan Undang-Undang,

ketertiban dan kepatutan.

Salah satu bidang hukum yang bersifat netral adalah

Hukum Perbankan yang merupakan bagian dari

Hukum Ekonomi, sehingga hukum sebagai sarana

pembaharuan akan berperan besar dalam Hukum

Perbankan. Pelaksanaan pembangunan hukum

nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap

tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan

hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat

bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara

nasional.

Pengawasan dan penegakkan hukum (Law

Enforcement) merupakan dua komponen yang tak

terpisahkan dalam suatu sistem rule of law. Tidak

akan ada law enforcement kalau tidak ada sistem

pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau

tidak ada law enforcement yang memadai. Jika hal

ini di analogkan dengan sistem perbankan, maka

pengawasan dan law enforcement dapat berperan

dalam mengoptimalkan fungsi perbankan agar tercipta

sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan

secara menyeluruh maupun individual, dan mampu

memelihara kepentingan masyarakat dengan baik,

berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi

perekonomian nasional.

55

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 63: Bu Let in Hukum 10030912

A. Buku-Buku:

Adam Smith, An Inqury into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, Penguin Book, London, 1979, hlm. 397.

Ady Kusnadi, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional,

(Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional), FH-UNPAD, 2008.

Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pengetahuan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,

2007.

Anthony T. Kronman, The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession, Harvard University Press, Cambridge, 1993.

CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1988.

Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1991.

Djuhaendah Hasan, Fungsi Hukum Dalam Perkembangan Ekonomi Global, Bandung, 2008.

Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007.

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

John Rawls, Teori Keadilan, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2005.

---------------------------, Ilmu Dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia & LEKNAS-LIPI, Jakarta, 1984, hlm. 4

Kartharina Pistor dan Philip A. Wellon, et al, Asian Development Bank, The Rule of Law and Legal Institutions in Asian

Economic Development 1960-2000, Oxford University Press, New York, 2001.

Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.

---------------, dan Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Meuwissen, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum (terjemahan

B. Arief Sdharta), Refika Aditama, Bandung, 2007.

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta,

2007.

DAFTAR PUSTAKA

56

Page 64: Bu Let in Hukum 10030912

------------------------, Politik Hukum Di Indonesia, LP3IS, Jakarta, 2001.

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung,

1996.

------------------------, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni Bandung, 2006.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1982.

Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Little Brown Co, Boston, 1983.

Richard B. Mc. Kenzie dan Gordon Tullock, Modern Political Economy, An Introduction to Economics, Mc Graw-Hill, Inc,

New York, 1988.

R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lectures on Jurisprudence, Liberty Fund, Indianapolis, 1982.

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1998.

Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung, 2006.

Soerjanto Poespowardojo, Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Budaya Sebuah Pendekatan Filsafat, PT. Gramedia

Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1998.

B. Makalah, Jurnal dan Artikel Ilmiah:

Anwar Nasution, Makalah tentang Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum dan Agenda Ke Depan, dalam

Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII – BPHN, 2004.

Chairijah, Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Pelatihan

Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia, Jakarta, 2008.

David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report: Law and Economic Development: Critiques and Beyond” disampaikan

pada Spring Conference Harvard Law School, April 13-14 Tahun 2003.

------------------------, “Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of Law and Development”, The Yale Law

Journal, (Vol. 82, 1 November 2000).

Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Makalah, Jakarta, 2004

Komar Kantaatmadja, Peran Dan Fungsi Profesi Hukum Dalam Undang-Undang Perpajakan, Makalah, Juli 1985.

57

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 65: Bu Let in Hukum 10030912

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 66: Bu Let in Hukum 10030912

1. Latar Belakang Masalah

Sebelum lahir UUHT, ada dua hak jaminan yaitu hak

jaminan hipotik dan hak jaminan Credietverband.

Hal ini disebabkan tanah masih dibedakan dari hak-

hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak

barat yang tunduk pada ketentuan-ketentuan hipotik

yang diatur dalam KUH Perdata, dan hak-hak atas

tanah yang berasal dari konversi hak-hak Indonesia

asli (adat), yang tunduk pada ketentuan-ketentuan

Credietverband yang diatur dalam S. 1908-542

sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190.1

Ketentuan-ketentuan tentang Hipotik diatur dalam

Buku II KUH Perdata dan Credietverband dalam S.

1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-

190, sepanjang mengenai pembebanan hak

tanggungan atas hak-hak atas tanah dan benda-

benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak

berlaku lagi dan diganti dengan UUHT.2

Hak Tanggungan merupakan suatu istiah baru dalam

hukum jaminan yang dipopulerkan dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria (sering disebut dengan

UUPA), yang semua tidak dikenal dalam hukum adat

maupun KUH Perdata. Hak tanggungan dapat

dibebankan terhadap hak milik, hak guna usaha, dan

hak guna bangunan,3 sebagaimana tercantum dalam

Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1960. Atas dasar amanat

tersebut, terbitlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang

terkenal dengan sebutan UUHT.

UUHT ditetapkan dengan pertimbangan yang mendasar,

seperti yang termaktub dalam konsideransnya.

Pertimbangan tersebut meliputi pertimbangan filosofis

yuridis dan filosofis sosiologi. Pertimbangan filosofi

yuridis, yaitu UUHT sebagai pelaksanaan amanat Pasal

51 UUPA, dan pertimbangan filosofi sosiologis4 yaitu

pertama, bahwa ketentuan-ketentuan tentang Hipotik

dalam KUH Perdata dan Credietverband dalam S.

1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S.1937-

190, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan

kebutuhan perkembangan perkreditan dalam tata

ekonomi Indonesia. Kedua, untuk penyesuaian

perkembangan pengaturan dan administrasi hak-hak

atas tanah sehingga selain hak milik, hak guna usaha,

dan hak guna bangunan, juga hak pakai atas tanah

tertentu, yang wajib didaftar dan menurut sifatnya

dapat dipindahkan, dapat dibebani hak tanggungan.

PRINSIP PARATE EXECUTIE DALAM HAK TANGGUNGAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

Oleh : Rumawi*

59

* Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember, dan bekerja pada Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten Lumajang, Jawa Timur; Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

1 Herowati Poesoko, Kepastian Hukum Parate executie Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, Jurnal Yustika, Volume 10 Nomor 2 Desember 2007, hlm. 172.

2 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.

3 Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

4 Rachmadi Usman, 1998, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta: Djambatan, hlm. 42.

Page 67: Bu Let in Hukum 10030912

Dengan kata lain, UUHT yang disahkan dan

diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 April 1996

sebagai realisasi dari Rancangan Undang-undang

(RUU) Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-

benda yang berkaitan dengan tanah. Pemerintah

dalam penjelasan mengenai RUU tersebut yang

disampaikan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertahanan Nasional tanggal 15 September

1996 disebutkan untuk memenuhi tuntutan

pembangunan dan melaksanakan amanat UUPA.

Dua alasan itu yang menjadi latar belakang RUU

tersebut.5

Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan

atau badan hukum yang mempunyai kewenangan

untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek

Hak Tanggungan yang bersangkutan, dan Pemegang

Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau

badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak

yang berpiutang.6 Kreditur pemegang hak tanggungan

yang pemenuhan piutang didahulukan dari piutang-

piutang yang lain disebut kreditur preferen. Dan

sebaliknya, kreditur konkuren yaitu kreditur yang

kedudukannya sama berhak dan tak ada yang harus

didahulukan dalam pemenuhan piutangnya.7 Apabila

debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan

pertama mempunyai hak untuk menjual atas

kekuasaan sendiri terhadap objek Hak Tanggungan

melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan

piutangnya.8

2.Rumusan Masalah

2.1Apa Yang Dimaksud Pemegang Hak Tanggungan

Pertama Dapat Menjual Atas Kekuasaan Sendiri

Terhadap Objek Hak Tanggungan Secara Lelang?

2.2Apakah Pemegang Hak Tanggungan Pertama

Dapat Menjual Atas Kekuasaan Sendiri Terhadap

Objek Hak Tanggungan Tanpa Melalui Lelang?

2.3Mengapa Dalam Praktik Parate Executie Yang

Diberikan Kepada Pemegang Hak Tanggungan

Sulit Dilaksanakan?

3.Pembahasan Masalah

3.1Pemegang Hak Tanggungan Pertama Dapat

Menjual Atas Kekuasaan Sendiri Terhadap Objek

Hak Tanggungan Secara Lelang

Pemegang hak tanggungan pertama dapat menjual

atas kekuasaan sendiri terhadap objek hak

tanggungan artinya pemegang hak tanggungan

baik orang perseorangan atau badan hukum yang

berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang

sebagai pemegang hak tanggungan pertama

mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan

sendiri terhadap objek hak tanggungan melalui

pelelangan umum serta mengambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dengan

kata lain ”suatu penjualan yang berada di luar

wilayah hukum acara dan tidak perlu ada penyitaan,

tidak melibatkan juru sita, kesemuanya dilaksanakan

seperti orang yang menjual barang sendiri di

depan umum.”9 Kewenangan untuk menjual atas

kekuasaan sendiri dalam hal debitur wanprestasi

oleh kreditur pemegang hak tanggungan pertama

bisa dilaksanakan eksekusi terhadap objek hak

tanggungan tanpa harus minta fiat dari ketua

pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan main

dalam hukum acara perdata, tidak perlu ada sita

terlebih dahulu, dan karenanya tidak perlu

60

5 Zulkarnain Situmpul, Jaminan Kredit Kendala dan Masalah, Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk, diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.

6 Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.

7 Netty Endrawati, Eksekusi Hak Tanggungan Oleh Kreditur Preferen Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, tt., tp.

8 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.

9 Menurut Pitlo dikutip dari Herowati Poesoko, 2008, Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Yogyakarta: Laksbang Pressindo, hlm. 242.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 68: Bu Let in Hukum 10030912

melibatkan juru sita.10 Dengan kata lain, Pemberi

hak tanggungan adalah orang perorangan atau

badan hukum yang mempunyai kewenangan

untuk melakukan perbuatan hukum terhadap

objek hak tanggungan yang bersangkutan,

kewenangan yang sudah dimiliki ketika dilakukan

pendaftaran hak tanggungan,11 sedang pemegang

hak tanggungan adalah perorangan atau badan

hukum sebagai pihak yang berpiutang.12

Hak tanggungan dinyatakan dalam UUHT, tertulis

bahwa: hak tanggungan atas tanah beserta benda-

benda yang berkaitan dengan tanah, yang

selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak

jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut

benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan

dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,

yang memberikan kedudukan yang diutamakan

kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor

lain.13

Definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa

pengertian hak tanggungan mempunyai tiga

unsur, yaitu: 1. Merupakan hak jaminan untuk

pelunasan utang; 2. Dapat dibebankan pada hak

atas tanah, dengan atau tanpa benda di atasnya;

dan 3. Menimbulkan kedudukan didahulukan

daripada kreditor-kreditor lain.14

Hak tanggungan sebagai bentuk jaminan yang

kuat bagi kreditur karena beberapa hal: 1. Memberi

kedudukan yang diutamakan bagi kreditor;15 2.

Selalu mengikuti objek yang dijaminkan, dalam

tangan siapapun objek berada;16 3. Memenuhi

azas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat

pihak ketiga serta memberikan kepastian hukum

bagi para pihak yang berkepentingan;17 dan 4.

eksekusi mudah dan pasti dalam pelaksanaannya.18

Ada tiga ciri lagi dari hak tanggungan yang

menyebabkannya mempunyai sifat sebagai hak

kebendaan, sebagai lawan dari hak perorangan,

yaitu:19 1. Mempunyai hubungan langsung

dengan/atas benda atau hak atas benda tertentu,

yang benda atau hak atas benda itu merupakan

milik pemberi hak tanggungan; 2. Yang lebih tua

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, yaitu

menyangkut soal peringkat masing-masing hak

tanggungan dalam objek hak tanggungan dibebani

dengan lebih dari satu hak tanggungan;20 dan 3.

Dapat dipindahkan/dialihkan kepada pihak lain.21

Pemegang hak tanggungan pertama sebagai

kreditur yang diutamakan atau diistimewakan

(preferen) merupakan kedudukan yang diberikan

Hak Tanggungan. Dalam KUH Perdata, kreditur

dibedakan menjadi kreditur konkuren dan kreditur

preferen. Pasal 1131 KUH Perdata disebutkan

bahwa segala kebendaan dari si berutang (debitur),

baik yang bergerak maupun yang tak bergerak,

baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada

di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk

segala perikatan yang dibuatnya. Hal ini berarti

bahwa segala harta kekayaan orang perseorangan

atau badan hukum menjadi jaminan untuk seluruh

utang-utangnya, dalam hal pada saat jatuh tempo

61

10 J. Satrio,1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku II, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Hlm. 60; lihat juga J. Satrio,1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 212.

11 Pasal 8 ayat (1) dan (2) UUHT.

12 Pasal 9 UUHT.

13 Pasal 1 butir 1 UUHT.

14 Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasan, hlm. 40.

15 Pasal 1 butir 1 UUHT.

16 Pasal 7 UUHT.

17 Pasal 11 jo. Pasal 13 UUHT.

18 Pasal 14 s/d 20 UUHT.

19 J. Satrio, 1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 237; juga Zulkarnain Situmpul, Jaminan Kredit Kendala dan Masalah, Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk, diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.

20 Pasal 5 UUHT.

21 Pasal 16 UUHT.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 69: Bu Let in Hukum 10030912

utangnya dan lalai dalam memenuhi kewajiban

terhadap krediturnya, maka kekayaan tersebut

dapat disita dan dilelang, yang hasil penjualannya

digunakan untuk pemenuhan kewajiban atau

membayar hutang kepada krediturnya.

Namun, jaminan pelunasan utang dalam Pasal

1131 KUH Perdata tidak diberi jaminan bahwa

seorang kreditur akan mendapat pembayaran

penuh dari hasil lelang barang-barang debitur.

Hal ini disebabkan ada kemungkinan hasil

penjualan lelang tidak cukup untuk membayar

para kreditur secara penuh sehingga terpaksa

harus menerima pembayaran menurut

keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya

piutang masing-masing kreditur. Kreditur yang

dikecualikan dari pembagian menurut prinsip

keseimbangan tersebut adalah kreditur yang

mempunyai kedudukan diistimewakan. Oleh

karenanya, ada dua jenis kreditur, yaitu kreditur

yang piutangnya tidak diistimewakan yang disebut

kreditur konkuren, dan kreditur yang piutangnya

diistimewakan yang disebut kreditur preferen.

Kreditur preferen akan mendapat pembayaran

lebih dahulu dari hasil penjualan barang-barang

debitur yang telah diikat sebagai jaminan, dan

apabila terdapat sisa lebih nanti sisanya yang

dibayarkan kepada kreditur konkuren menurut

prinsip keseimbangan secara proporsional sesuai

dengan besar kecilnya utang.22

Di dalam Pasal 1133 KUH Perdata disebutkan

pihak-pihak yang berkedudukan sebagai kreditur

preferen, yaitu: 1. orang yang berpiutang yang

mempunyai hak istimewa; 2. orang-orang

pemegang gadai; dan 3. orang-orang pemegang

Hipotik. Kreditur yang mempunyai hak istimewa

adalah kreditur yang piutangnya oleh undang-

undang diberi kedudukan yang lebih tinggi

terhadap kreditur-kreditur lain karena sifatnya

piutang itu. Contoh penjual barang yang harga

barangnya belum dibayar mendapat hak istimewa

terhadap hasil penjualan barang. Namun, menurut

pasal tersebut pemegang gadai dan Hipotik

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari

kreditur yang mempunyai hak istimewa tadi.

Keistimewaan atau keutamaan yang dimiliki oleh

pemegang gadai, Fidusia, Hipotik, dan hak

tanggungan, dalam hal pihak debitur lalai dalam

membayar utangnya atau wanprestasi/cidera janji.

Untuk memperoleh pelunasan atas piutangnya

kreditur tidak perlu menggugat melalui pengadilan,

bahkan bagi pemegang hak tanggungan pertama

mempunyai hak menjual atas kekuasaan sendiri

terhadap objek hak tanggungan melalui pelelangan

di muka umum, yang dinamakan parate executie.

Dalam praktik berlaku untuk pemberian Hipotik

dengan menggunakan Surat Kuasa Memasang

Hipotik, pemberian hak tanggungan dapat

dilakukan berdasarkan Surat Kuasa Membebankan

hak tanggungan. Dalam praktiknya, Surat Kuasa

Memasang Hipotik fungsinya hanya untuk

mengamankan posisi kreditur kalau debitur lalai

dalam membayar utangnya sehingga jarang kreditur

yang benar-benar menggunakan surat kuasa

tersebut untuk memasang hipotik. Hal yang sama

sulitnya, jangka waktu berlakunya Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan hanya satu bulan

untuk tanah yang sudah terdafdar atau tiga bulan

untuk tanah yang belum terdaftar. Suatu hal yang

sangat beresiko bagi kreditur apabila Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan tidak segera

digunakan untuk memasang Hak Tanggungan.

Hak tanggungan merupakan hak jaminan yang

bersifat accessoir sehingga untuk pemberian hak

tanggungan harus diperjanjikan dalam perjanjian

pokok, yaitu perjanjian utang-piutang yang dibuat

antara kreditor dan debitur.23 Pemberian hak

tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta

62

22 Pasal 1132 KUH Perdata. 23 Pasal 10 ayat (1) UUHT.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 70: Bu Let in Hukum 10030912

Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT).24 Namun, kelahiran

hak tanggungan bukan pada tanggal pembuatan

APHT melainkan tanggal pendaftaran pada buku

tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak

tanggungan di kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Tanggal pendaftaran pada buku tanah sebagai

tanggal kelahiran hak tanggungan, juga penentu

peringkat hak tanggungan apabila suatu objek

dibebani lebih dari satu hak tanggungan. Hak

tanggungan yang didaftarkan lebih awal

mempunyai peringkatlebih tinggi dari hak

tanggungan yang didaftarkan belakangan. Dalam

hal pendaftaran tersebut dilakukan pada hari

yang sama, maka peringkat masing-masing hak

tanggungan ditentukan oleh tanggal pembuatan

APHT-nya. Penentuan peringkat hak tanggungan

sangat penting bagi kreditur karena semakin

tinggi peringkatnya semakin tinggi pula

kemungkinan untuk memperoleh pembayaran

piutang secara penuh. Bagi pemegang hak

tanggungan mempunyai kedudukan sebagai

peringkat pertama dapat memperoleh pelunasan

piutang melalui parate executie.

Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang diterbitkan

Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota

sebagai bukti keberadaan hak tanggungan. SHT

yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,

yang memberi titel eksekutorial sehingga

mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan

hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap

dan berlaku sebagai pengganti Grosse Akta Hipotik

yang dapat dimintakan eksekusi ke pengadilan

berdasarkan Pasal 258 RBg (Pasal 224 HIR).

Hak tanggungan bersifat accessoir terhadap

perjanjian pokok, apabila terjadi pengalihan

piutang, misal cessie, subrogasi, atau pewarisan

maka hak tanggungan juga beralih kepada kreditor

yang baru.25 Peralihan piutang tersebut harus

didaftarkan pada Kantor Pertanahan yang akan

dicatat pada buku tanah hak atas tanah yang

menjadi objek hak tanggungan, yang selanjutnya

disalin ke dalam SHT, dan tanggal pendaftaran

tersebut berlaku sebagai tanggal peralihan hak

tanggungan bagi pihak ketiga.26

Hak tanggungan bersifat yang accessoir terhadap

perjanjian pokok, apabila piutang yang dijamin

dengan hak tanggungan hapus maka hak

tanggungan juga menjadi hapus. Sebagai salah

satu jenis perikatan, perjanjian kredit hapus karena

terjadi salah satu hal, dalam Pasal 1381 KUH

Perdata, yaitu pembayaran secara sukarela atau

proses eksekusi, penawaran pembayaran yang

diikuti dengan penitipan (konsinyasi), pembaharuan

utang (novasi), perjumpaan utang (konpensasi),

pencampuran utang, pembebasan utang,

musnahnya barang yang terutang, kebatalan atau

pembatalan perikatan. Di samping itu, hak

tanggungan hapus karena dilepaskan secara

sukarela oleh pemegang hak tanggungan yang

dilakukan pernyataan tertulis dari pemegang hak

tanggungan kepada pemberi hak tanggungan.

Hak tanggungan hapus karena pembersihan hak

tanggungan berdasarkan penetapan peringkat

oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pembersihan

tersebut dapat dilakukan atas permintaan pembeli

dari objek hak tanggungan kepada pemegang

hak tanggungan agar objek yang dibeli, dibebaskan

dari beban hak tanggungan yang melebihi harga

pembelian. Pembersihan dilakukan dengan

pernyataan tertulis dari pemegang hak tanggungan

yang menyatakan penghapusan beban hak

tanggungan yang melebihi harga pembelian.

Apabila objek hak tanggungan dibebani beberapa

hak tanggungan, dan tidak terdapat kesepakatan

di antara para pemegang hak tanggungan untuk

membersihkan hak tanggungan yang melebihi

harga pembelian, maka pembeli objek hak

63

24 Pasal 10 ayat (2) UUHT.

25 Pasal 16 ayat (1) UUHT.

26 Pasal 16 ayat (2), (3) dan (5) UUHT.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 71: Bu Let in Hukum 10030912

tanggungan dapat mengajukan permohonan

kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah objek

hak tanggungan untuk ditetapkan pembersihan

dan sekaligus ditetapkan ketentuan pembagian

hasil penjualan lelang di antara kreditur, dan

peringkatnya sesuai peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Pembersihan tersebut

tidak dapat dilakukan apabila pembelian dilakukan

dalam jual beli sukarela (diluar lelang eksekusi)

atau ada janji untuk tidak dilakukan pembersihan

beban hak tanggungan yang melebihi harga

penjualan, yang diperjanjikan dengan pemegang

hak tanggungan pertama dalam APHT.

3.2Pemegang Hak Tanggungan Pertama Menjual

Atas Kekuasaan Sendiri Terhadap Objek Hak

Tanggungan Tanpa Melalui Lelang

Eksekusi hak tanggungan diatur dalam Pasal 20

dan 21 UUHT. Pasal 20 ayat (1) dinyatakan sebagai

berikut:

Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan:

a. hak pemegang hak tanggungan pertama untuk

menjual objek hak tanggungan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6, atau b. titel eksekutorial

sebagaimana terdapat dalam sertifikat hak

tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

14 ayat 2, objek hak tanggungan dijual melalui

pelelangan umum menurut tatacara yang

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan

untuk pelunasan piutang pemegang hak

tanggungan dengan hak mendahului kreditor-

kreditor lainnya.

Ketentuan ayat ini, suatu hal pertama yang harus

dijelaskan kapan atau dalam hal apa seorang

debitur disebut cidera janji. Hal itu harus dilihat

pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit

atau utang piutang (pinjam meminjam uang),

apabila diatur dalam perjanjian pokok, sesuai

dengan Pasal 1338 KUH Perdata, ketentuan dalam

perjanjian harus diperlakukan. Kalau dalam

perjanjian pokok tidak diatur, maka berlaku

ketentuan Pasal 1763 KUH Perdata, yang

menyatakan bahwa debitur dipandang cidera

janji apabila tidak mengembalikan pinjaman sesuai

dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang

ditentukan. Ketentuan pasal tersebut, dapat

disimpulkan bahwa seorang debitur dipandang

cidera janji dalam hal: 1. Tidak mengembalikan

pinjaman sama sekali, baik pinjaman pokok

maupun bunganya; 2. Mengembalikan pinjaman

tetapi tidak sesuai dengan jumlah yang

diperjanjikan; dan 3. Mengembalikan pinjaman

tetapi melewati waktu yang diperjanjikan.

Ketentuan tentang cidera janji perlu diperhatikan,

terutama dalam kasus kredit macet perbankan,

karena biasanya di dalam perjanjian kredit

perbankan pengembalian pinjaman tidak dilakukan

sekaligus melainkan dalam beberapa termin

angsuran, yang setiap angsuran sudah ditentukan,

baik jumlah pinjaman yang harus dikembalikan

maupun waktu pengembalian. Seorang debitur

pada waktu yang ditentukan tidak membayar

angsuran atau membayar tetapi besarnya tidak

sesuai dengan perjanjian, atau membayar angsuran

tetapi terlambat dari waktu yang ditentukan dalam

perjanjian, maka debitur telah melakukan cidera

janji. Dalam keadaan seperti itu, apabila kreditur

menghendaki sudah dapat dilakukan proses

eksekusi sekalipun perjanjian kredit belum jatuh

tempo. Sebelum dinyatakan cidera janji, debitur

harus diberi ingebrekestelling (peneguran) terlebih

dahulu oleh kreditur secara tertulis. Peneguran

harus diberitahukan dengan jelas apa yang dituntut

dan atas dasar apa, serta kapan diharapkan

pemenuhannya.27 Namun, peneguran tidak

diperlukan apabila ditentukan untuk tidak

diperlukan peneguran yang diatur dalam perjanjian

pokok.

Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang

yang diberikan pemegang hak tanggungan kepada

64

27 R. Setiawan, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta,

hlm. 17.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 72: Bu Let in Hukum 10030912

debitur. Apabila debitur cidera janji, maka hak

atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan

berhak dijual oleh pemegang hak tanggungan

tanpa persetujuan dari pemberi hak tanggungan,

dan pemberi hak tanggungan tidak dapat

menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.

Untuk menjamin pelaksanaan penjualan dilakukan

secara jujur, diharuskan penjualan dilaksanakan

melalui pelelangan umum sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, Pasal 6 UUHT memberikan kewenangan

kepada pemegang hak tanggungan pertama untuk

menjual atas kekuasaan sendiri terhadap objek

hak tanggungan melalui pelelangan umum serta

mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan

apabila debitur cidera janji, dan tidak perlu meminta

persetujuan terlebih dahulu dari pemberi hak

tanggungan serta tidak perlu meminta penetapan

dari Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk

dilakukan eksekusi.28 Pemegang hak tanggungan

pertama cukup mengajukan permohonan kepada

kepala kantor lelang negara setempat untuk

pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka

eksekusi objek hak tanggungan. Kewenangan

pemegang hak tanggungan pertama merupakan

kewenangan yang diberikan oleh undang-undang,

artinya kewenangan tersebut dimiliki demi

hukum.29 Oleh karenanya, Kantor Lelang Negara

harus menghormati dan mematuhi kewenangan

tersebut. Lembaga jaminan kebendaan memiliki

ciri-ciri yang antara lain bersifat asesoir (pelengkap),

memberikan hak didahulukan (privilege), dan droit

de suite yaitu selalu mengikuti bendanya dimana

saat itu berada. Jaminan tersebut diantaranya hak

tanggungan sebagaimana diatur dalam UU Nomor

4 Tahun 1996, dan hak gadai atau hak agunan

atas kebendaan lainnya. Pemegang hak

tanggungan, ataupun pemegang hak gadai

ataupun pemegang hak agunan mempunyai hak

retensi.30 Oleh karenanya, pelaksanaan eksekusi

atas harta pailit di antaranya perlu memperhatikan

hak-hak yang dimiliki oleh kreditur pemegang

hak jaminan preferen atas kebendaan milik debitur

pailit. Pemegang hak preferen memperoleh hak

mendahului atas kreditur lain untuk perolehan

pelunasan utang-utang debitur, dengan cara

menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan

kepada kreditur tersebut secara preferen. Kreditur

yang memegang hak jaminan atas kebendaan,

mempunyai hak separatis. Hak Separatis merupakan

hak yang diberikan oleh undang-undang kepada

kreditur pemegang hak jaminan bahwa barang

jaminan yang dibebani dengan hak jaminan tidak

termasuk harta pailit.

Kreditur pemegang hak tanggungan pertama

berhak untuk melakukan menjual atas kekuasaan

sendiri yang diberikan oleh undang-undang

sebagai manifestasi dari hak kreditur pemegang

hak jaminan untuk didahulukan dari para kreditur

yang lainnya. Kreditur Separatis merupakan

kreditur yang tidak terkena akibat kepailitan,

artinya kreditur separatis tetap dapat melaksanakan

hak-hak eksekusi meskipun debitur telah

dinyatakan pailit. Pemegang hak jaminan atau

hak agunan merupakan kreditur yang mempunyai

jaminan khusus atas kekayaan debitur berdasarkan

perjanjian, misal hak tanggungan, hipotik, gadai

dan fidusia.31

Pemegang hak tanggungan pertama dapat

menjual atas kekuasaan sendiri terhadap hak

tanggungan tanpa melalui proses yang diatur

Pasal 20 UUHT adalah batal demi hukum. Dalam

Pasal 20 UUHT dinyatakan bahwa:

65

28 Arie Hutagalung, Praktek Pembebanan Dan Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Di Indonesia, Jurnal Hukum Dan Pembangunan, Tahun ke-38 Nomor 2 April-Juni 2008, hlm. 163.

29 Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung, hlm. 165.

30 Pasal 1812 KUHPerdata.

31 Pasal 1133 BW.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 73: Bu Let in Hukum 10030912

(1)Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama

untuk menjual obyek Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam

sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek

Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan

umum menurut tata cara yang ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan

untuk pelunasan piutang pemegang Hak

Tanggungan dengan hak mendahulu dari

pada kreditor-kreditor lainnya.

(2)Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak

Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan

dapat dilaksanakan di bawah tangan jika

dengan demikian itu akan dapat diperoleh

harga tertinggi yang menguntungkan semua

pihak.

(3)Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah

lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan

secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang

Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang

berkepentingan dan diumumkan sedikit-

dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar

di daerah yang bersangkutan dan/atau media

massa setempat, serta tidak ada pihak yang

menyatakan keberatan.

(4)Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak

Tanggungan dengan cara yang bertentangan

dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan

ayat (3) batal demi hukum.

(5)Sampai saat pengumuman untuk lelang

dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan

pelunasan utang yang dijamin dengan Hak

Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi

yang telah dikeluarkan.

Atas dasar pasal 20 UU Nomor 6 Tahun 1996,

menjual objek hak tanggungan tanpa melalui

proses sebagaimana diatur dalam Pasal 20 adalah

batal demi hukum, meski pemegang hak

tanggungan pertama pemegang hak tanggungan

mempunyai kuasa menjual atas kuasa sendiri.

3.3Mengapa Dalam Praktik Parate Executie Yang

Diberikan Kepada Pemegang Hak Tanggungan

Sulit Dilaksanakan?

Parate executir hak dalam hak tanggungan

diberikan oleh Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 1996

yang menyatakan bahwa: Apabila debitur cidera

janji, pemegang Hak Tanggungan pertama

mempunyai hak untuk menjual obyek Hak

Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui

pelelangan umum serta mengambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Parate executie dalam hak tanggungan tersebut

sulit untuk dilaksanakan permohonan eksesuki.

Ada beberapa Kantor Lelang Negara yang tidak

bersedia untuk melakukan lelang atas objek hak

tanggungan. Hal ini disebab oleh dua hal, yaitu

pertama, kerancuan dalam Undang-Undang Nomor

4 Tahun 1996 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung.

Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 1996 mempunyai

kekuatan kekuatan eksekutorial dan sebagai

pengganti grosse acte Hypotheek. Pasal 14 Ayat

5 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:

Sertipikat Hak Tanggunan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial

yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekeuatan hukum tetap dan berlaku

sebagai pengganti grosse acte Hypotheek

sepanjang mengenai hak atas tanah.

Eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang

ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen

Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene

Indonesisch Reglement). Sertipikat Hak Tanggungan

tersebut dinyatakan sebagai pengganti grosse

66

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 74: Bu Let in Hukum 10030912

acte Hypotheek, yang untuk eksekusi Hypotheek

atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam

melaksanakan ketentuan pasal 224 HIR.32 Pasal

224 HIR dinyatakan bahwa:

Surat asli dari pada surat hipotik dan surat utang,

yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan

yang memakai perkataan: "atas nama keadilan"

di kepalanya, kekuatannya sama dengan surat

putusan hakim. Dalam hal menjalankan surat yang

demikian, jika tidak dipenuhi dengan jalan damai,

maka dapat diperlakukan peraturan pada bagian

ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa

badan hanya boleh dilakukan sesudah diizinkan

oleh putusan Hakim. Jika hal menjalankan putusan

itu harus dijalankan sama sekali atau sebagian di

luar daerah hukum pengadilan negeri, yang

ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka

peraturan-peraturan pada pasal 195 ayat kedua

dan yang berikutnya dituruti.

Menurut Pasal 224 HIR jelas bahwa grosse akta

dapat langsung dieksekusi oleh kreditur dengan

meminta fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri

dalam hal debirut wanprestasi. Grosse akta dapat

langsung dieksekusi sebagaimana putusan hakim,

serta mekanisme eksekusi mengikuti eksekusi

putusan hakim sesuai dalam HIR, yang meliputi

dengan peringatan kepada debitur, penyitaan,

dan penjualan.33 Grosse Akte Hipotek yang disebut

dalam Pasal 224 HIR adalah syarat pelaksanaan

parate eksekusi. Jika debitur wanprestasi, bagi

kreditur pemegang hipotek dapat meminta kepada

ketua pengadilan negeri untuk diadakan apa yang

disebut parate eksekusi. Dalam praktik, untuk

melaksanakan parate eksekusi, ketua pengadilan

negeri menuntut penyerahan grosse akte hipotek.34

Akta hipotek dan akta ikatan kredit tidak digantikan

dengan akta hak tanggungan, namun dengan

sertifikat hak tanggungan. Hal ini dapat ditelusuri

pada peraturan-peraturan tahun 1960-an. Pada

tahun tersebut grosse akta hipotek/credietverband

dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah,

dan disertakan di sertifikat terkait untuk berlaku

sebagai grosse akta.35 Tahun 1996 ditegaskan

bahwa sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor

Pertanahan, yang memuat irah-irah “Demi

Keadilan …..” berlaku sebagai grosse menurut

Pasal 224 HIR.36 Hal ini merupakan peran pembuat

dan pendaftar akta yang pada masa kolonial

menjadi tanggung jawab satu pihak yang sama,

yaitu Ketua Raad van Justitie (lihat Peraturan Balik

Nama/Overschrijvingsordonnantie, S. 1834-27,

terakhir diubah S. 1933-48jo.S.1938-2).37

Dalam putusannya, Pelelangan dengan parate

execute yang dikemukakan oleh pemohon kasasi,

Mahkamah Agung mempertimbangkan Bahwa

berdasarkan Pasal 224 HIR, pelaksanaan pelelangan

sebagai akibat adanya grosse akte hipotek dengan

memakai kepala “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai

kekuatan yang sama dengan suatu putusan

pengadilan, seharusnya dilaksanakan atas perintah

dan pimpinan ketua pengadilan negeri apabila

tidak terdapat perdamaian pelaksanaan.38 Di

putusan lainnya, Mahkamah Agung mempunyai

pendapat bahwa berdasar atas rasa keadilan

dengan berpedoman pada kreditur (pembukuan

bank) pada saat kreditur mengajukan permohonan

lelang eksekusi grosse akta hipotek kepada Ketua

Pengadilan Negeri.39

67

32 Poin A.9 Penjelasan Atas UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

33 Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna, http://hukumonline.com/berita/baca/lt4bce9ab50b7e9/titel-eksekutorial-grosse-akta-ketika-nama-tuhan-tidak-lagi-bermakna--, diakses terakhir 23 Desember 2011.

34 Sebastian Pompe, dkk. (ed.), 2011, Penjelasan Hukum tentang Grosse Akte, Jakarta: Nasional Legal Reform Program, hal 52.

35 Pasal 7 Permen Agraria No. 15/1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hypotheek serta Credietverband

36 Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

37 Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna, ibid.

38 Putusan Mahkamah Agung No. 3210/K/Pdt/1984, tanggal 30 Januari 1986.

39 Putusan Mahkamah Agung No. 2702.K/Pdt/1995, tanggal 28 Oktober 1998.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 75: Bu Let in Hukum 10030912

Pendapat pengadilan untuk memeriksa dan menguji

grosse akta yang dimintakan eksekusi yang

akhirnya hak penerima hak tanggungan/pemegang

hipotek untuk melakukan parate executie menjadi

terbatas. Hal ini bukan permasalahan dalam ranah

praktik sehari-hari. Kesalahan piker makna eksekusi

telah muncul dari penjelasan atas Undang-Undang

No. 4 Tahun 1996 yang dinyatakan bahwa parate

executie dan eksekusi dengan menggunakan

grosse akta.40 Dalam praktik ketentuan parate

executie yang terdapat dalam Pasal 6 UU Nomor

4 tahun 1996 tetap sulit dilaksanakan karena ada

persyaratan dari kantor lelang yang sulit dipenuhi,

antara lain:

(a) Permohanan lelang tetap diperlukan fiat dari

Kepala Pengadilan Negeri. Hal ini didasarkan pada

petunjuk Mahkamah Agung dalam Buku II

Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 1994,

yang menyatakan bahwa eksekusi harus atas

perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan

negeri, yang ketentuan ini diberlakukan juga

terhadap eksekusi Hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud pada Putusan Mahkamah Agung

tanggal 30 Januari 1986 No. 3201K/Pdt/1984),

dan (b) Apabila tidak ada fiat dari Kepala Pengadilan

Negeri, kantor lelang meminta syarat agar ada

persetujuan harga limit lelang dari Pemberi Hak

Tanggungan kecuali ia sudah tidak diketahui lagi

keberadaannya, dan ada surat pernyataan dari

Pemegang Hak Tanggungan untuk bertanggung

jawab bila ada gugatan di kemudian hari.41

Hal tersebut terjadi dilatarbelakangi oleh kekeliruan

pikir para pembentuk undang-undang dan lembaga

peradilan dalam memahami dua lembaga eksekusi

yaitu antara parate eksekusi dengan eksekusi

grosse akta. Yurisprudensi Mahkamah Agung

ditindaklanjuti dengan penerbitan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan,

yang mencampuradukan antara pengertian parate

executie dengan eksekusi grosse akta. Hal ini

menimbulkan kebingungan para pemegang hak

tanggungan yang telah memperjanjikan hak untuk

menjual atas kekuasaannya sendiri terhadap objek

hak tanggungan. Pertimbangan Putusan MA-RI

Nomor: 3201 K/Pdt/1984 yang menyatakan bahwa

penjualan objek jaminan tanpa melalui pengadilan

merupakan perbuatan melawan hukum. Putusan

tersebut berdampak ketakutan bagi para pelaksana

lelang untuk menerima permohonan pelelalangan

berdasarkan titel parate eksekusi dari para

pemegang jaminan pertama.42

4.Kesimpulan

4.1.Pemegang hak tanggungan pertama dapat

menjual objek hak tanggungan secara lelang

ketika debitur wanprstasi. Penjualan objek hak

tanggungan ini tidak perlu fiat dari ketua

pengadilan, dan tidak perlu ada sita terlebih

dahulu. Penjualan objek hak tanggungan ini juga

tidak perlu melibatkan juru sita. Objek hak

tanggungan dapat dijual oleh pemegang hak

tanggungan pertama secara langsung melalui

kantor lelang.

4.2.Pemegang hak tanggungan pertama tidak dapat

menjual objek hak tanggungan tanpa lelang

kecuali dipenuhi persyaratan yang diatur dalam

Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU HT dimungkinkan

penjualan di bawah tangan sehingga menjual

objek tanggungan tanpa lelang dan tidak

memenuhi persyaratan Pasal 20 ayat (2) dan ayat

(3) UUHT di atas bertentangan dengan undang-

undang, maka penjualan objek hak tanggungan

secara demikian batal demi hukum.

68

40 Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna, ibid.

41 Sebastian Pompe, dkk. (ed.), 2011, Penjelasan Hukum tentang Grosse Akte, ibid.

42 D.Y. Witanto, parate Eksekusi Vs Eksekusi Grosse Akta Dalam Lembaga jaminan Hak Tanggungan, http://www.pn-blambanganumpu.go.id/?p= 731, diakses terakhir 23 Desember 2011.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 76: Bu Let in Hukum 10030912

4.3.Parate Executie yang diberikan oleh Pasal 6 UU

No. 4 Tahun 1996 dimandulkan oleh poin A.9

penjelasan UU No. 4 Tahun 1996, dan

yurisprudensi Mahkamah Agung. Di sinilah terjadi

konflik norma yang mengatur tentang parate

executie, yang menimbulkan kesulitan dalam

menerapkan peraturan perundangan-undangan

untuk pelaksanaan parate executie.

69

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 77: Bu Let in Hukum 10030912

Arie Hutagalung, Praktek Pembebanan dan Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Di Indonesia, Jurnal Hukum Dan

Pembangunan, Tahun ke-38 Nomor 2 April-Juni 2008.

D.Y. Witanto, parate Eksekusi Vs Eksekusi Grosse Akta Dalam Lembaga jaminan Hak Tanggungan, http://www.pn-

blambanganumpu.go.id/?p=731, diakses terakhir 23 Desember 2011.

Herowati Poesoko, 2008, Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran

dalam UUHT), Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Herowati Poesoko, Kepastian Hukum Parate executie Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, Jurnal Yustika, Volume

10 Nomor 2 Desember 2007.

Imam Nasima, Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna, http://hukumonline.com/ berita/

baca/lt4bce9ab50b7e9/titel-eksekutorial-grosse-akta-ketika-nama-tuhan-tidak-lagi-bermakna--, diakses terakhir

23 Desember 2011.

J. Satrio,1997, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I, Bnadung: PT. Citra Aditya Bakti.

J. Satrio,1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku II, Bnadung: PT. Citra Aditya Bakti.

Netty Endrawati, Eksekusi Hak Tanggungan Oleh Kreditur Preferen Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 dan

Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, tt., tp.

Penjelasan Atas UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah

Permen Agraria No. 15/1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hypotheek serta Credietverband.

Putusan Mahkamah Agung No. 2702.K/Pdt/1995, tanggal 28 Oktober 1998.

Putusan Mahkamah Agung No. 3210/K/Pdt/1984, tanggal 30 Januari 1986.

R.Setiawan, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta.

Rachmadi Usman, 1998, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta: Djambatan.

Sebastian Pompe, dkk. (ed.), 2011, Penjelasan Hukum tentang Grosse Akte, Jakarta: Nasional Legal Reform Program,

hal 52.

DAFTAR PUSTAKA

70

Page 78: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasan.

Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan masalah yang Dihadapi oleh

Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan

Tanah.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Zulkarnain Situmpul, Jaminan Kredit Kendala dan Masalah, Disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi

Staf PT Bank NISP Tbk, diselenggarakan oleh HKGM & Partner Law Firm, Jakarta, 16 September 2004.

71

Page 79: Bu Let in Hukum 10030912

72

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 80: Bu Let in Hukum 10030912

73

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) SEPTEMBER - DESEMBER 2012

Tanggal Satker PerihalNo. Peraturan

14/12/PBI/2012

14/13/PBI/2012

14/14/PBI/2012

14/15/PBI/2012

14/16/PBI/2012

14/17/PBI/2012

14/ 18 /PBI/2012

14/19/PBI/2012

14/20/PBI/2012

14/21/PBI/2012

14/22/PBI/2012

14/23/PBI/2012

14/24/PBI/2012

15 Oktober 2012

16 Oktober 2012

22 Oktober 2012

24 Oktober 2012

23 November 2012

23 November 2012

28 November 2012

30 November 2012

17 Desember 2012

21 Desember 2012

21 Desember 2012

26 Desember 2012

26 Desember 2012

DPNP

DPU

DPNP

DPU

DPNP

DPNP

DPNP

DKBU

DbPS

DSM

DKBU

DASP

DPNP

Laporan Kantor Pusat Bank Umum

Penitipan Sementara Surat yang Berharga dan Barang Berharga

pada Bank Indonesia

Transparansi dan Publikasi Laporan Bank (mengubah PBI

No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi dan Kondisi Keuangan

Bank)

Penilaian Kualitas Aset Bank Umum

Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum

Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan

(Trust)

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/20/PBI/2003

Tentang Pengalihan Pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia

Dalam Rangka Kredit Program

Perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009

tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank

Umum Syariah

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa

Pemberian Kredit Atau Pembiayaan dan Bantuan Teknis Dalam

Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Transfer Dana

Kepemilikan tunggal Pada Perbankan Indonesia

Page 81: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Tanggal Satker PerihalNo. Peraturan

14/25/PBI/2012

14/26/PBI/2012

14/27/PBI/2012

27 Desember 2012

27 Desember 2012

28 Desember 2012

DSM

DPNP

DPNP

Penerimaan Devisa Ekspor dan penarikan Devisa Utang Luar

Negeri

Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Bardasarkan Modal Inti

Bank

Penerapan program APU PPT Bagi Bank Umum

74

Page 82: Bu Let in Hukum 10030912

Tanggal Satker PerihalNo. Peraturan

14/25/DPbS

14/26/DKBU

14/27/DASP

14/28/DPM

14/29/DPU

14/30/DInt

14/31/DPNP

14/32/DPM

14/33/DPbS

14/34/DASP

14/35/DPNP

12 September 2012

19 September 2012

25 September 2012

27 September 2012

18 Oktober 2012

22 Oktober 2012

31 Oktober 2012

7 November 2012

27 November 2012

27 November 2012

10 Desember 2012

DPbS

DKBU

DASP

DPM

DPU

DInt

DPNP

DPM

DPbS

DASP

Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank

Syariah dan Unit Usaha Syariah

Pedoman Kebijakan Dan Prosedur Perkreditan Bagi Bank

Perkreditan Rakyat

Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit

Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat

Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia

Dalam Rangka Standing Facilities Syariah

Tata Cara Penitipan Sementara Surat yang Berharga dan

Barang Berharga pada Bank Indonesia

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor

9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar

Negeri Bank

Laporan Kantor Pusat Bank Umum

Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat

Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia

Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah

Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah

dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum

Syariah dan Unit Usaha Syariah

Batas Maksimum Suku Bunga Kartu Kredit

Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu

yang Disampaikan kepada Bank Indonesia

75

DAFTAR SURAT EDARAN EKSTERN (SE) BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2012

Page 83: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Tanggal Satker PerihalNo. Peraturan

14/36/DKBU

14/37/DPNP

14/38/DASP

14/39/DPM

21 Desember 2012

27 Desember 2012

28 Desember 2012

28 Desember 2012

DKBU

DPNP

DASP

DPM

Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank

Perkreditan Rakyat

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai Profil Risiko

dan Pemenuhan Capital Equivalency Maintained Assets

(CEMA)

Pedoman Standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang

dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara

Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM

tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum

76

Page 84: Bu Let in Hukum 10030912

77

RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2012

1. Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI)

No.14/12/PBI/2012 ini adalah:

a. Perlu penambahan informasi baru yang selama ini dilaporkan secara

offline menjadi online dalam sistem LKPBU dalam rangka meningkatkan

efektivitas pemantauan kebijakan dan efisiensi di perbankan.

b. Perlu penambahan periode laporan yang semula bulanan dan triwulanan

menjadi mingguan, bulanan, triwulanan, dan tahunan.

c. Perlu percepatan waktu penyampaian beberapa laporan di LKPBU

dalam rangka harmonisasi dengan percepatan waktu penyampaian

laporan lainnya seperti LBU dan LBBU.

2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI tersebut meliputi antara lain:

a. Menambah laporan baru secara online, sebagai berikut:

1) proyeksi arus kas;

2) aktivitas bank sebagai agen penjual produk non bank, yang meliputi:

a) bancassurance;

b) agen penjual efek reksa dana;

c) aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri;

3) e-banking;

4) structured product;

5) pejabat eksekutif;

6) jaringan kantor;

7) laporan keuangan publikasi;

8) tenaga kerja perbankan;

b. Menambah periode laporan dari 2 (dua) periode yaitu bulanan dan

triwulanan menjadi 4 (empat) periode yaitu: (1) mingguan; (2) bulanan;

(3) triwulanan; (4) tahunan.

c. Mempercepat waktu penyampaian beberapa laporan di LKPBU sebagai

berikut:

1) batas waktu penyampaian laporan dan koreksi laporan dipercepat

dari tanggal 15 menjadi 5 hari kerja (HK) tiap awal bulan untuk

laporan kegiatan kustodian, SKBDN, remittance TKI, mutasi rekening

pemerintah, e-banking, structured products, pejabat eksekutif,

14/12/PBI/2012

RingkasanTanggalNo. Peraturan

15 Oktober 2012

Page 85: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

78

jaringan kantor, laporan keuangan publikasi bulanan, dan pengaduan

nasabah.

2) batas waktu penyampaian laporan lainnya masih menggunakan

batas waktu penyampaian laporan pada tanggal 15.

3. Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka ketentuan dibawah

ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu:

a. PBI No.10/3/PBI/2008 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum;

b. Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 47 ayat (4), Pasal

49 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54 ayat (1) dan ayat

(2), Pasal 57 ayat (3), Pasal 59 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 63

ayat (2) dan ayat (3), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 65 ayat (1)

dan ayat (2) PBI No.11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah;

c. Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (2), Pasal 24 ayat (2)

dan ayat (3), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 30,

Pasal 32 ayat (2), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37 ayat (2), Pasal

38, Pasal 39 PBI No.11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah;

d. Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 36 PBI No.11/26/PBI/2009

tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Kegiatan Structured

Product bagi Bank Umum; dan,

e. Pasal 19 PBI No.12/9/PBI/2010 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam

Melaksanakan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri oleh

Bank Umum.

1. Peraturan Bank Indonesia mengenai penitipan sementara surat yang

berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia diterbitkan dengan

pertimbangan:

a. Bank Indonesia melakukan kegiatan penitipan sementara surat yang

berharga, sekuritas, dan barang berharga pada Bank Indonesia dalam

rangka membantu pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan;

b. Bank Indonesia memandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan

mengenai jenis titipan, pihak yang dapat menitipkan, dan mekanisme

penitipan sementara pada Bank Indonesia.

2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang

Penitipan Sementara Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada

Bank Indonesia meliputi:

a. Titipan yang dapat dititipkan di Bank Indonesia merupakan Titipan

tertutup yang terdiri atas:

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/13/PBI/2012 16 Oktober 2012

Page 86: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

79

1) surat yang berharga;

2) sekuritas; dan/atau

3) barang berharga

c. Bank Indonesia dapat menerima Titipan berupa uang Rupiah palsu

dan uang Rupiah tiruan.

d. Titipan harus memiliki kriteria sebagai berikut:

1) dalam rangka membantu pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan;

dan/atau

2) dalam rangka penyitaan oleh penyidik dan/atau penetapan sita

oleh pengadilan tingkat pertama dalam perkara pidana, perdata

atau tata usaha negara dalam rangka penanganan kasus yang

berdampak luas.

e. Titipan bukan merupakan Titipan yang dianggap berbahaya atau

dilarang oleh Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

f. Penitip terdiri atas:

1) kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/

lembaga negara;

2) pengadilan tingkat pertama atau lembaga yang mempunyai

kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang;

3) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan/atau

4) pihak internal Bank Indonesia.

g. Jangka waktu penitipan ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan

sejak tanggal penitipan, dan dapat diperpanjang paling lama 12

(dua belas) bulan sejak tanggal jatuh waktu penitipan untuk setiap

perpanjangan.

h. Bank Indonesia tidak mengenakan biaya atas Titipan yang ditata-

usahakan pada Bank Indonesia.

i. Titipan yang telah jatuh waktu harus diambil oleh Penitip.

j. Bank Indonesia dibebaskan dari tanggung jawab apabila terjadi

kehilangan, kerusakan, penyusutan, kadaluwarsa dan/atau hal-hal lain

yang mungkin timbul atas Titipan yang mengakibatkan berkurangnya

nilai, kualitas dan/atau fisik Titipan.

3. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank

Indonesia Nomor 7/16/PBI/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang Penyimpanan

Sekuritas, Surat Yang Berharga dan Barang Berharga Pada Bank Indonesia

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Page 87: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

1. Tujuan pengaturan Peraturan Bank Indonesia No.14/14/PBI/2012 ini adalah

agar sejalan dengan implementasi Basel II sesuai perkembangan standar

internasional dan standar akuntansi, memayungi beberapa kewajiban

penyampaian Laporan, serta meningkatkan transparansi Bank secara

umum.

2. Laporan Keuangan yang wajib disusun dan disampaikan Bank adalah

sebagai berikut:

a. Laporan Tahunan

b. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan

c. Laporan Keuangan Publikasi Bulanan

d. Laporan Keuangan Konsolidasi

e. Laporan Publikasi Lain

3. Cakupan Laporan Tahunan yang perlu disesuaikan antara lain:

a. Pada Informasi umum mengenai perkembangan usaha bank dan

kelompok bank, strategi dan kebijakan manajemen, dan laporan

manajemen yang dulu hanya mencakup Bank Konvensional sekarang

ditambahkan Unit Usaha Syariah (UUS).

b. Menambahkan Laporan Pelaksanaan Fungsi Sosial dan Laporan Distribusi

Bagi Hasil bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan UUS.

c. Khusus untuk Bank Umum Konvensional (BUK) ditambahkan kewajiban

penyajian informasi mengenai:

1) Penyajian informasi secara kualitatif maupun kuantitatif terhadap

potensi kerugian (risk exposures) atas beberapa jenis risiko tertentu

sesuai Pilar 3 Basel 2.

2) Informasi permodalan secara kualitatif dan kuantitatif (khusus

BUK), yang terdiri dari kecukupan modal dan struktur permodalan.

4. Penyesuaian yang dilakukan terhadap Laporan Keuangan Publikasi

Triwulanan dan Bulanan, antara lain sebagai berikut:

a. Pengelompokkan informasi yang harus disampaikan dalam LKP

Triwulanan dan Bulanan.

b. Mekanisme penyampaian LKP melalui Laporan Kantor Pusat Bank

Umum (LKPBU).

c. Jangka waktu penyampaian LKP melalui LKPBU.

5. Apabila Bank merupakan bagian dari kelompok usaha atau Bank memiliki

Perusahaan Anak, selain Laporan Tahunan Bank juga wajib menyampaikan:

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/14/PBI/2012 18 Oktober 2012

80

Page 88: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

81

RingkasanTanggalNo. Peraturan

a. Laporan Tahunan Perusahaan Induk atau Perusahaan Induk di bidang

Keuangan;

b. Laporan Tahunan pemegang saham langsung yang memiliki saham

mayoritas atau perusahaan yang melakukan Pengendalian langsung

kepada Bank; dan

c. Laporan Tahunan Perusahaan Anak.

6. Bank wajib mengumumkan Laporan Publikasi Lain secara berkala atau

sewaktu-waktu apabila diperlukan. Yang dimaksud dengan Laporan

Publikasi Lain antara lain adalah Laporan Suku Bunga Dasar Kredit dan

Laporan Lainnya.

7. Dalam rangka meningkatkan transparansi kondisi keuangan Bank, perlu

diatur kewajiban Bank untuk mengumumkan Laporan Tahunan dan Laporan

Keuangan Publikasi Triwulanan melalui website.

8. Dalam hal Bank belum memiliki website, Bank wajib memiliki website

paling lambat akhir Desember 2012.

9. PBI ini hanya mengatur mengenai Laporan yang wajib disampaikan dan

disajikan oleh Bank. Pengaturan mengenai Kantor Akuntan Publik tetap

mengacu pada PBI sebelumnya, yaitu PBI No.3/22/PBI/2001.

10.Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Pasal 1 sampai

dengan Pasal 15 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 38 serta Pasal 40

sampai dengan Pasal 41 PBI No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi

Keuangan Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Namun, ketentuan

pelaksanaan dari PBI No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi

Keuangan Bank masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan

Peraturan Bank Indonesia ini.

I. Latar Belakang

Sebagaimana diketahui bersama, perbankan sebagai lembaga keuangan

yang menjalankan fungsi intermediasi dituntut untuk menyajikan laporan

keuangan yang akurat, komprehensif, dan mencerminkan kinerja Bank

secara utuh. Salah satu syarat dalam rangka penyajian laporan keuangan

yang akurat dan komprehensif, laporan keuangan dimaksud harus

disajikan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.

14/15/PBI/2012 24 Oktober 2012

Page 89: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

82

Dalam rangka memelihara kelangsungan usahanya, Bank perlu tetap

mengelola eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai antara lain

dengan menjaga kualitas aset dan tetap melakukan penghitungan

penyisihan penghapusan aset.

Selanjutnya tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi perekonomian global

dapat mempengaruhi kondisi dan kinerja perbankan nasional. Sehubungan

dengan itu diperlukan langkah-langkah antisipasi untuk menjaga dan

melindungi kondisi perbankan.

Selain itu, ketentuan yang mengatur mengenai kualitas aset telah mengalami

beberapa kali penyesuaian dan juga berkaitan dengan ketentuan-ketentuan

Bank Indonesia lainnya sehingga perlu dilakukan harmonisasi agar

implementasi atas ketentuan-ketentuan dimaksud dapat dilaksanakan

dengan baik.

II. Pokok-pokok Ketentuan

Ketentuan ini merupakan penyempurnakan dari ketentuan kualitas aset

sebelumya yaitu PBI No.7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang

Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum sebagimana diubah terakhir kali

dengan PBI No.11/2/PBI/2009. Adapun penyempurnaan ketentuan

dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Pembentukan cadangan berlaku untuk kelonggaran tarik kredit baik

yang bersifat committed maupun uncommitted namun cadangan

yang dibentuk hanya cadangan khusus yaitu untuk kelonggaran tarik

kredit yang memiliki kualitas non lancar.

2. Bank dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance)

tidak lagi menjadi kriteria penilaian kualitas penempatan antar bank

yang digolongkan macet.

3. Penilaian kualitas kredit dan penyediaan dana lainnya untuk debitur

UMKM posisi bulan Agustus s.d. Januari mengacu pada penilaian TKS

posisi bulan Juni. Sedangkan penilaian kualitas kredit dan penyediaan

dana lainnya untuk debitur UMKM posisi bulan Februari s.d. Juli

mengacu pada penilaian TKS posisi bulan Desember tahun sebelumnya.

Hasil penilaian pengawas yang diberitahukan BI kepada Bank

disampaikan pada prudential meeting.

4. Deposito yang diakui sebagai agunan tunai hanya dapat disimpan

pada Bank penyedia dana.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Page 90: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

83

RingkasanTanggalNo. Peraturan

5. Kriteria Prime Bank adalah AA- berdasarkan penilaian S & P; Aa3

berdasarkan penilaian Moody’s; AA- berdasarkan penilaian Fitch.

6. Terkait Restrukturisasi Kredit terdapat beberapa perubahan yaitu:

a. Kualitas Kredit yang direstrukturisasi hanya dapat meningkat paling

tinggi 1 (satu) tingkat dari kualitas Kredit sebelum dilakukan

Restrukturisasi, setelah debitur memenuhi kewajiban pembayaran

angsuran pokok dan/atau bunga secara berturut turut selama 3

(tiga) kali periode sesuai waktu yang diperjanjikan.

b. Pengakuan pendapatan atas Kredit yang direstrukturisasi diakui

dan dicatat sesuai dengan ketentuan PSAK yang berlaku.

c. Pelaporan atas Kredit yang direstrukturisasi dilakukan secara on line

bersamaan dengan pelaporan LBBU.

7. Terkait Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) terdapat beberapa perubahan

yaitu:

a. Terdapat pencadangan sesuai konsep impairment dalam bentuk

Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dan tetap mempertahankan

konsep PPA sebagai prudential purposes.

b. Atas aset produktif tetap menghitung PPA umum dan khusus, yang

tidak dibebankan pada L/R namun hanya mempengaruhi perhitungan

KPMM. Hasil perhitungan PPA Produktif akan mempengaruhi

perhitungan KPMM setelah dikurangkan dari CKPN yang dibentuk.

c. Atas aset non produktif tetap menghitung PPA khusus, yang tidak

dibebankan pada L/R namun hanya mempengaruhi perhitungan

KPMM. Pengaruh PPA Non Produktif pada perhitungan KPMM

tidak melihat CKPN yang dibentuk, mengingat hal ini merupakan

disinsentif karena bank memiliki aset non produktif.

8. PBI ini diberlakukan pada tanggal ditetapkan.

I. Latar Belakang

Ketentuan ini merupakan penyempurnaan PBI tentang Fasilitas Pendanaan

Jangka Pendek yang telah diterbitkan tahun 2008 dengan latar belakang

sebagai berikut:

1. Kondisi makro ekonomi dan stabilitas sektor keuangan saat ini cukup

terjaga. Namun demikian, globalisasi dapat memicu tekanan terhadap

sistem perbankan yang tercermin pada keketatan likuiditas secara

mendadak. Apabila tidak diatasi secara cepat, Bank dapat mengalami

liquidity mismatch sehingga tidak mampu memenuhi kewajiban GWM.

14/16/PBI/2012 23 November 2012

Page 91: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

2. Dalam rangka mengantisipasi potensi tekanan yang bersumber dari

keketatan likuiditas tersebut, perlu diberikan akses bagi Bank untuk

memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia

sebagai lender of the last resort. Pengaturan kembali Fasilitas Pendanaan

Jangka Pendek merupakan upaya untuk dapat memelihara kepercayaan

masyarakat serta menjaga integritas sistem perbankan secara khusus

dan sistem keuangan secara menyeluruh.

II. Pokok-Pokok Pengaturan

Pokok-pokok penyempurnaan PBI ini meliputi antara lain:

1. Penyempurnaan ketentuan terutama terkait dengan:

a. persyaratan Bank yang dapat mengajukan permohonan,

b. persyaratan tentang agunan,

c. suku bunga Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek.

2. Persyaratan Bank disempurnakan menjadi: memiliki rasio Kewajiban

Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling kurang 8% dan memenuhi

modal sesuai dengan profil risiko bank. Suku bunga fasilitas pendanaan

jangka pendek sebesar repurchase agreement (repo) rate ditambah

100 basis poin.

3. Bank yang dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh fasilitas

tersebut adalah bank yang memenuhi persyaratan permodalan tertentu

dan memiliki agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya mencukupi.

Agunan aset kredit hanya dapat dijadikan agunan apabila Bank tidak

mempunyai surat-surat berharga yang mencukupi atau Bank tidak

memiliki surat-surat berharga yang dapat diagunkan. Aset kredit

yang dapat diagunkan adalah yang memiliki kualitas Lancar dalam 12

bulan terakhir berturut-turut, dijamin oleh tanah dan atau bangunan

senilai 140%, bukan kredit kepada pihak terkait bank, belum pernah

direstrukturisasi, memiliki sisa jatuh tempo minimal 12 bulan dan baki

debetnya tidak melampaui batas maksimum pemberian kredit.

4. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia, maka beberapa

ketentuan dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu:

1. PBI No.10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek

Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2008 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4912); dan

RingkasanTanggalNo. Peraturan

84

Page 92: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

85

2. PBI No.10/30/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank

Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan

Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 175, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4923),

I. Latar Belakang Pengaturan

1. Dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional, Bank

Indonesia mengemban tugas untuk mencapai dan memelihara stabilitas

nilai tukar rupiah yang banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

mempengaruhi keseimbangan antara permintaan dan penawaran

valuta asing di pasar keuangan dalam negeri;

2. Sumber pasokan valuta asing di pasar keuangan dalam negeri selama

ini sebagian besar berasal dari sektor keuangan terutama berupa

investasi portofolio asing yang berisiko mengalami pembalikan mendadak

(sudden capital reversal). Sementara itu pasokan devisa dari hasil

kegiatan ekspor yang merupakan dana yang berkesinambungan

(sustainable) belum dimanfaatkan secara optimal.

3. Sejalan dengan kebijakan pengelolaan pasokan devisa dan kebijakan

untuk meningkatkan peran serta daya saing perbankan dalam negeri,

maka diperlukan kebijakan yang dapat mendorong pelaku ekonomi

dalam mengelola devisa yang dimilikinya dengan menggunakan jasa

dan keahlian perbankan di dalam negeri. Kebijakan tersebut juga

ditujukan untuk mendorong pendalaman pasar keuangan (financial

deepening) di domestik.

4. Mempertimbangkan tujuan dan manfaat dari pengelolaan devisa melalui

perbankan di dalam negeri, keterkaitannya dengan upaya menjaga

stabilitas nilai tukar rupiah dan sasaran kebijakan makroprudensial,

serta untuk memberikan kepastian hukum atas kegiatan Trust dan

untuk mengakomodir kegiatan pengelolaan devisa, maka Bank

Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Kegiatan

Usaha Bank dalam Bentuk Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) yang

tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999

tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/17/PBI/2012 23 November 2012

Page 93: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

II. Materi Pengaturan :

Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini adalah sebagai berikut:

1. Trust adalah kegiatan usaha Bank berupa penitipan dengan pengelolaan.

2. Dalam kegiatan penitipan dengan pengelolaan (Trust) ini, terdapat 3

pihak yang terlibat yaitu Settlor sebagai pihak penitip yang memiliki

harta/dana dan memberikan kewenangan untuk mengelola dana

kepada Trustee; Trustee (dalam hal ini Bank) sebagai pihak yang diberi

kewenangan oleh Settlor/Penitip untuk mengelola harta/dana guna

kepentingan penerima manfaat yaitu Beneficiary; dan Beneficiary

sebagai pihak penerima manfaat dari harta/dana tersebut.

3. Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam kegiatan Trust adalah sebagai

berikut:

a. Kegiatan Trust dilakukan oleh unit kerja yang terpisah dari unit

kegiatan Bank lainnya;

b. Harta yang dititipkan Settlor untuk dikelola oleh Trustee terbatas

pada aset finansial;

c. Harta yang dititipkan Settlor untuk dikelola oleh Trustee dicatat

dan dilaporkan terpisah dari harta Bank;

d. Dalam hal Bank yang melakukan kegiatan Trust dilikuidasi, semua

harta Trust tidak dimasukkan dalam harta pailit (boedel pailit) dan

dikembalikan kepada Settlor atau dialihkan kepada Trustee pengganti

yang ditunjuk Settlor;

e. Kegiatan Trust dituangkan dalam perjanjian tertulis menggunakan

Bahasa Indonesia antara Trustee dan Settlor;

f. Trustee menjaga kerahasiaan data dan keterangan terkait kegiatan

Trust sebagaimana diatur dalam perjanjian Trust, kecuali untuk

kepentingan pelaporan kepada Bank Indonesia;

g. Bank yang melakukan kegiatan Trust tunduk pada ketentuan dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya

ketentuan mengenai Anti Pencucian Uang dan Pencegahan

Pendanaan Terorisme (APU - PPT).

4. Kegiatan Trust yang diatur dalam PBI ini mencakup kegiatan antara

lain sebagai: agen pembayar (paying agent); agen investasi (investment

agent) dana secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah;

dan/atau agen peminjaman (borrowing agent) dan/atau agen pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah.

5. Trustee dapat dilakukan oleh Bank atau kantor cabang dari bank yang

berkedudukan di luar negeri (KCBA) dengan persyaratan sebagai

berikut:

RingkasanTanggalNo. Peraturan

86

Page 94: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

87

a. Bank: berbadan hukum Indonesia; memiliki modal inti paling sedikit

Rp5 Triliun dan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum

(KPMM) paling rendah 13% selama 18 bulan terakhir secara

berturut-turut; memiliki Tingkat Kesehatan Bank (TKS) paling

rendah Peringkat Komposit (PK) 2 selama 2 periode penilaian (12

bulan) terakhir dan paling rendah PK 3 selama 1 periode sebelumnya;

mencantumkan rencana kegiatan Trust dalam Rencana Bisnis Bank;

memiliki kapasitas untuk melakukan kegiatan Trust berdasarkan

hasil penilaian Bank Indonesia.

b. KCBA: berbadan hukum Indonesia paling lambat 3 tahun sejak

berlakunya PBI ini; hasil asesmen Bank Indonesia memiliki kapasitas

untuk melakukan kegiatan Trust; mencantumkan rencana kegiatan

Trust dalam Rencana Bisnis Bank; memiliki Capital Equivalency

Maintained Assets (CEMA) minimum dengan perhitungan sesuai

ketentuan yang berlaku dan paling sedikit sebesar Rp5 Triliun

dan rasio KPMM paling rendah 13% selama 18 bulan terakhir

secara berturut-turut; memiliki TKS paling rendah PK 2 selama 2

periode penilaian terakhir dan paling rendah PK 3 selama 1 periode

sebelumnya.

6. Selama melakukan kegiatan Trust, Trustee wajib memenuhi persyaratan

terkait dengan modal inti minimum (bagi Bank) atau CEMA (bagi

KCBA), rasio KPMM dan TKS Bank, dengan rincian yaitu:

a. Bank: memiliki modal inti paling sedikit Rp5 Triliun; memiliki rasio

KPMM paling rendah 13%; memiliki Tingkat Kesehatan Bank (TKS)

paling rendah Peringkat Komposit (PK) 2;

b. KCBA: memiliki CEMA minimum dengan perhitungan sesuai

ketentuan yang berlaku dan paling sedikit sebesar Rp5 Triliun;

memiliki KPMM paling rendah 13%; memiliki TKS paling rendah

PK 2.

7. Bank/KCBA yang melakukan merger atau konsolidasi wajib memenuhi

persyaratan sebagai Trustee.

8. Trustee yang tidak dapat memenuhi persyaratan sebagai Trustee

diberikan waktu 6 bulan untuk memenuhi persyaratan dan dalam

masa tersebut tidak boleh membuat Perjanjian Trust yang baru.

9. Dalam hal sampai dengan batas waktu 6 bulan Trustee tidak dapat

memenuhi persyaratan, maka harta/dana Trust wajib dikembalikan

kepada Settlor atau kepada Trustee pengganti yang ditunjuk Settlor

sesuai Perjanjian Trust.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Page 95: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/18/PBI/2012 28 November 2012

10.Bank/KCBA wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia, berupa izin

prinsip dan surat penegasan yang diberikan kepada satu kantor Bank,

untuk dapat melakukan kegiatan Trust.

11.Dalam melaksanakan kegiatan Trust, Trustee memperoleh fee atau

ujroh sesuai dengan perjanjian Trust.

12.Trustee wajib menggunakan rekening pada bank di dalam negeri

untuk seluruh kegiatan Trust dan melakukan pencatatan mutasi

rekening secara terpisah untuk masing-masing Settlor dan Beneficiary.

13.Bank yang melakukan kegiatan Trust wajib memberikan laporan

tertulis secara berkala kepada Bank Indonesia dan Settlor mengenai

kinerja Trustee dalam pengelolaan harta Trust. Laporan kepada Bank

Indonesia wajib disampaikan paling lambat tanggal 15 pada bulan

berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.

14.Bank yang tidak memenuhi ketentuan akan dikenakan sanksi.

15.Dalam hal Bank dicabut izin usahanya atas permintaan Bank (self

liquidation) atau dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia, maka

Bank atau Tim Likuidasi wajib mengembalikan harta Trust kepada

Settlor atau mengalihkan harta Trust kepada Trustee pengganti sesuai

dengan perjanjian Trust.

1. Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini adalah:

a. Sejalan dengan upaya untuk menciptakan sistem perbankan yang

sehat, mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun

internasional, perhitungan kecukupan modal Bank disesuaikan dengan

standar internasional yang berlaku.

b. Selain itu, diperlukan alokasi sejumlah modal kantor cabang dari bank

yang berkedudukan di luar negeri untuk ditempatkan ke dalam instrumen

keuangan tertentu untuk mengantisipasi dinamika perekonomian dan

sistem keuangan global.

2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI tersebut meliputi antara lain:

a. Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko, sehingga

tidak hanya mampu menyerap potensi kerugian dari risiko kredit, risiko

pasar, dan operasional, melainkan juga risiko-risiko lainnya seperti

risiko likuiditas dan risiko lain yang material. Penyediaan modal minimum

sesuai profil risiko ditetapkan paling rendah sebagai berikut:

1. 8% dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 1;

2. 9% s.d kurang dari 10% dari ATMR untuk Bank dengan profil

risiko peringkat 2;

88

Page 96: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

89

3. 10% s.d kurang dari 11% dari ATMR untuk Bank dengan profil

risiko peringkat 3;

4. 11% s.d 14% dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat

4 atau peringkat 5;

Penetapan peringkat faktor profil risiko mengacu pada ketentuan

Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum.

b. Untuk menghitung modal minimum sesuai profil risiko, Bank wajib

memiliki Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP), yang

mencakup (i) pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; (ii)

Penilaian Kecukupan Permodalan; (iii) Pemantauan dan Pelaporan; (iv)

Pengendalian Internal.

c. Bank Indonesia akan melakukan kaji ulang terhadap ICAAP atau

disebut Supervisory Review and Evaluation Process (SREP).

d. Perhitungan modal minimum sesuai profil risiko untuk pertama kali

dilakukan untuk posisi Maret 2013 dengan menggunakan peringkat

profil risiko posisi Desember 2012.

e. Kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri wajib

memenuhi Capital Equivalency Maintained Asset (CEMA) Minimum

sebesar 8% dari total kewajiban bank pada setiap bulan dan paling

sedikit sebesar Rp1triliun.

f. Perhitungan CEMA minimum dilakukan setiap bulan dan wajib dipenuhi

paling lambat tanggal 6 bulan berikutnya.

g. Aset keuangan yang dapat diperhitungan dalam CEMA adalah (i)

Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia;

(ii) Surat berharga yang diterbitkan oleh Bank lain yang berbadan

hukum Indonesia, dan (iii) Surat berharga yang diterbitkan oleh

korporasi berbadan hukum Indonesia, yang memenuhi kriteria tertentu.

h. Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib

memenuhi CEMA minimum sebesar 8% dari total kewajiban bank

paling lambat pada posisi bulan Juni 2013.

i. Apabila CEMA minimum lebih kecil dari Rp1 triliun maka kantor

cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib memenuhi

CEMA minimum sebesar Rp1 triliun paling lambat pada posisi bulan

Desember 2017.

j. Peraturan Bank Indonesia ini berlaku secara efektif sejak tanggal

ditetapkan dan mencabut PBI No. 9/13/PBI/2007 tentang Kewajiban

Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan

Risiko Pasar dan mencabut PBI No. 10/15/PBI/2008 tentang Kewajiban

Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Page 97: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Tanggal

1. Latar belakang dikeluarkannya perubahan Peraturan Bank Indonesia ini

adalah:

a. Perlunya lebih meningkatkan efektivitas pengawasan dan pemeriksaan

terhadap pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) oleh

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan penyaluran KLBI oleh Bank

Pelaksana.

b. Perlunya menetapkan suku bunga acuan sebagai dasar perhitungan

sanksi apabila terjadi pelanggaran dalam pengelolaan KLBI yang

dilakukan BUMN atau penyaluran KLBI oleh Bank Pelaksana.

2. Pokok-pokok pengaturan dalam perubahan PBI dimaksud meliputi antara

lain:

a. Perubahan jumlah BUMN yang melakukan pengelolaan KLBI dari

semula 3 BUMN menjadi 2 BUMN, yaitu PT. Bank Tabungan Negara

(Persero) dan PT. Permodalan Nasional Madani (Persero).

b. Memperjelas wewenang Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan

dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan pengelolaan KLBI oleh BUMN

dan penyaluran KLBI oleh Bank Pelaksana.

c. Memperjelas batas waktu penyampaian laporan penerimaan angsuran,

penyesuaian baki debet, penyaluran kembali dan pelunasan.

d. Penetapan suku bunga Jakarta Inter Bank Offered Rate (JIBOR) overnight

ditambah 200 bps sebagai pengganti suku bunga Sertifikat Bank

Indonesia (SBI) 1 (satu) bulan untuk acuan perhitungan sanksi atas

pelanggaran:

1. penyaluran kembali (relending) angsuran KLBI di luar tujuan kredit

atau pembiayaan;

2. BUMN pengelola angsuran KLBI tidak dapat menyediakan dana

pada rekening giro yang ada di Bank Indonesia pada saat KLBI

jatuh tempo; dan

3. tidak dilaporkannya pelunasan dini KLBI oleh Bank Pelaksana sesuai

dengan batas waktu yang telah ditetapkan yaitu 14 (empat belas)

hari kalender setelah terjadinya pelunasan dini.

e. Pelanggaran atas ketentuan di atas yang terjadi sebelum berlakunya

PBI ini akan dikenakan sanksi sebagai berikut:

1. Untuk pelanggaran yang terjadi sebelum dan pada tanggal 9 Juni

2010, sebagai acuan perhitungan sanksi atas pelanggaran yang

dilakukan oleh BUMN atau Bank Pelaksana dipergunakan suku

bunga SBI jangka waktu 1 (satu) bulan hasil lelang terakhir.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/19/PBI/2012 30 November 2012

90

Page 98: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

91

RingkasanTanggalNo. Peraturan

2. Untuk pelanggaran yang terjadi setelah tanggal 9 Juni 2010,

sebagai acuan perhitungan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan

oleh BUMN atau Bank Pelaksana dipergunakan suku bunga SBI

jangka waktu 1 (satu) bulan hasil lelang pada tanggal 9 Juni 2010.

3. PBI ini mulai berlaku sejak tanggal 30 November 2012.

I. Latar Belakang

Ketentuan ini merupakan penyempurnaan PBI tentang Fasilitas Pendanaan

Jangka Pendek yang telah diterbitkan tahun 2009 dengan latar belakang

karena kondisi makro ekonomi dan stabilitas sektor keuangan serta

kepercayaan masyarakat terhadap perbankan saat ini semakin membaik,

sehingga dilakukan penyesuaian persyaratan bank penerima Fasilitas

Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FJPJPS).

II. Pokok-Pokok Pengaturan

Pokok-pokok penyempurnaan PBI ini meliputi antara lain:

1. Penyempurnaan ketentuan terutama terkait dengan:

a. persyaratan Bank yang dapat mengajukan permohonan,

b. persyaratan tentang agunan,

2. Bank yang dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh FPJPS

adalah bank yang mengalami kesulitan jangka pendek, memiliki rasio

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah 8%

dan modal sesuai dengan profil risiko bank, serta memiliki agunan

yang berkualitas tinggi yang nilainya mencukupi.

3. Agunan aset Pembiayaan hanya dapat dijadikan agunan apabila Bank

tidak mempunyai surat-surat berharga yang mencukupi atau Bank

tidak memliki surat-surat berharga yang dapat diagunkan.

Aset Pembiayaan yang dapat diagunkan adalah yang memiliki kualitas

tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir berturut-turut,

bukan merupakan Pembiayaan konsumsi kecuali pembiayaan pemilikan

rumah, Pembiayaan dijamin dengan agunan tanah dan/atau bangunan

dengan nilai paling rendah 140% (seratus empat puluh persen) dari

plafon Pembiayaan, bukan merupakan Pembiayaan kepada pihak

terkait, Pembiayaan belum pernah direstrukturisasi, sisa jangka waktu

jatuh tempo Pembiayaan paling singkat 12 (dua belas) bulan dari saat

persetujuan FPJPS, baki debet (outstanding) Pembiayaan tidak melebihi

14/20/PBI/2012 17 Desember 2012

Page 99: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

92

batas maksimum penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak

melebihi plafon Pembiayaan, dan memiliki perjanjian Pembiayaan dan

pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum.

4. Haircut aset Pembiayaan yang dapat dijadikan agunan FPJPS paling

kurang 200% (dua ratus persen) dari plafon FPJPS.

5. Bank Indonesia menghentikan pencairan FPJPS dan/atau mengakhiri

perjanjian FPJPS sebelum jatuh waktu dalam hal terjadi pelanggaran

persyaratan FPJPS oleh Bank. Penghentian pencairan FPJPS dan/atau

pengakhiran perjanjian FPJPS yang disebabkan karena pelanggaran

persyaratan agunan FPJPS dilakukan setelah Bank tidak dapat melakukan

penggantian/penambahan agunan FPJPS atau Bank telah melakukan

penggantian/penambahan agunan FPJPS namun tetap tidak dapat

memenuhi persyaratan agunan FPJPS.

6. Bank wajib menyampaikan laporan daftar aset Pembiayaan yang

memenuhi persyaratan untuk menjadi agunan FPJPS kepada Bank

Indonesia setiap 6 (enam) bulan sekali yaitu untuk posisi akhir bulan

Juni dan Desember, paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah

posisi akhir bulan bersangkutan. Untuk pertama kalinya laporan daftar

aset Pembiayaan disampaikan untuk posisi bulan Juni 2013. Bank

dapat menyampaikan laporan nihil apabila tidak memiliki aset

Pembiayaan yang memenuhi persyaratan sebagai agunan FPJPS atau

tidak mengalokasikan aset Pembiayaan sebagai agunan untuk

mengantisipasi kebutuhan FPJPS.

7. Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah Bank penerima

FPJPS di Bank Indonesia dalam hal FPJPS jatuh tempo (pendebetan

sebesar nilai pokok dan imbalan FPJPS), FPJPS belum jatuh tempo

namun saldo rekening giro Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban

GWM (pendebetan paling tinggi sebesar nilai pokok FPJPS yang telah

diterima Bank), dan/atau FPJPS diakhiri sebelum perjanjian jatuh tempo

(pendebetan sebesar nilai pokok dan imbalan FPJPS).

8. Dalam rangka pengawasan terhadap penggunaan FPJPS, Bank wajib

menyampaikan Bank kepada Bank Indonesia berupa laporan mengenai

penggunaan FPJPS, kondisi likuiditas Bank, pemantauan pemenuhan

persyaratan FPJPS dan persyaratan agunan FPJPS pada setiap akhir

hari kerja dan rencana tindak perbaikan (action plan) untuk mengatasi

kesulitan likuiditas paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pencairan

FPJPS.

9. Bank yang melanggar PBI ini akan dikenakan sanksi.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Page 100: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

93

RingkasanTanggalNo. Peraturan

1. Tujuan :

Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini diterbitkan dalam rangka menyempurnakan

dan mengintegrasikan ketentuan pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa

(LLD) Lembaga Bukan Bank (LBB) dan Utang Luar Negeri (ULN). Hal ini

dimaksudkan untuk mengurangi duplikasi kedua pelaporan tersebut

sehingga efektivitas dan efisiensi pemantauan kegiatan LLD dapat

ditingkatkan.

2. Pokok-pokok dalam PBI ini mencakup:

A. Ruang lingkup pelaporan:

a. Laporan LLD yang meliputi keterangan dan data mengenai: (1)

transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara

Penduduk dengan bukan Penduduk; (2) posisi dan perubahan

AFLN dan/atau KFLN; dan (3) rencana dan/atau realisasi ULN.

b. Informasi Keuangan, khususnya bagi Pelapor yang memiliki posisi

ULN.

B. Ruang lingkup Pelapor:

a. Berdasarkan jenis usaha

1. Lembaga keuangan

a. Bank

b. Lembaga keuangan bukan Bank

2. Bukan lembaga keuangan

b. Berdasarkan kepemilikan usaha

1. BUMN

2. BUMD

3. BUMS

4. Badan lainnya

5. Perseorangan

C. Penyampaian laporan:

a. Untuk Laporan LLD disampaikan tanggal 1 s.d. 15, masa koreksi

dari tanggal 16 s.d. 20 setelah periode laporan.

Khusus untuk Laporan LLD berupa rencana ULN disampaikan setiap

awal tahun, paling lambat tanggal 15 Maret, sedangkan perubahan

rencana ULN disampaikan paling lambat tanggal 1 Juli.

b. Khusus Informasi Keuangan (bagi perusahaan yang memiliki posisi

ULN) disampaikan setiap 6 bulan paling lambat tanggal 15 Juni

dengan masa koreksi dari tanggal 16 s.d. 20 Juni dan paling lambat

tanggal 15 Desember dengan masa koreksi dari tanggal 16 s.d.

20 Desember.

14/21/PBI/2012 21 Desember 2012

Page 101: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

D. Sanksi administratif berupa:

1. denda:

a. ketidaklengkapan dan/atau ketidakbenaran sebesar Rp50.000,00

untuk setiap baris (record) yang tidak lengkap dan/atau tidak

benar dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00.

b. keterlambatan sebesar Rp500.000,00 untuk setiap hari

keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar

Rp5.000.000,00.

c. tidak menyampaikan laporan sebesar Rp10.000.000,00.

2. surat peringatan dan/atau pemberitahuan kepada otoritas/instansi

berwenang untuk pelapor yang terlambat atau tidak menyampaikan

rencana ULN, perubahan rencana ULN, dan/atau Informasi Keuangan.

E. Masa parallel run:

Khusus untuk penyampaian Laporan LLD berupa rencana dan/atau

realisasi ULN dan Informasi Keuangan, parallel run kewajiban pelaporan

kegiatan LLD dan kewajiban pelaporan SIUL existing diberlakukan selama

enam bulan, yaitu sejak data bulan Januari 2013 yang disampaikan

bulan Februari 2013 s.d data bulan Juni 2013 yang disampaikan bulan

Juli 2013.

F. Pemberlakuan sanksi:

1. Untuk laporan LLD berupa realisasi ULN mulai diberlakukan sejak

data bulan Januari 2014 yang disampaikan bulan Februari 2014.

2. Untuk laporan LLD berupa rencana ULN mulai berlaku sejak pelaporan

rencana ULN tahun 2014 yang disampaikan paling lambat bulan

Maret 2014.

3. Untuk Informasi Keuangan mulai berlaku sejak pelaporan data

posisi bulan Desember 2013 yang disampaikan paling lambat bulan

Juni 2014.

G. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari

2013, sehingga:

a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tentang Pemantauan

Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 62, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5222) dan Peraturan Bank

Indonesia Nomor 14/4/PBI/2012 tanggal 7 Juni 2012 tentang

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011

tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan

Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor

128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5320),

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Februari 2013.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

94

Page 102: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

95

b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/1/PBI/2010 tanggal 28 Januari

2010 tentang Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 20,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5102) dan

Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/24/PBI/2010 tanggal 29

Desember 2010 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 156,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5181),

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Agustus

2013.

1. Latar belakang dikeluarkannya PBI ini adalah:

a. Sejalan dengan berlakunya UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta telah dicabutnya PBI

No.3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil (KUK) maka

diperlukan keberadaan ketentuan yang dapat mendorong peningkatan

penyaluran kredit atau pembiayaan oleh bBank uUmum kepada UMKM

yang sekaligus mampu mendorong peningkatan akses UMKM kepada

lembaga keuangan melalui penguatan kapabilitasnya.

b. Sebagai salah satu bentuk dukungan konkret Bank Indonesia dalam

mendorong percepatan pengembangan keuangan inklusif, keberpihakan

kepada sektor UMKM sebagai salah satu pilar ekonomi yang sangat

penting dalam mendukung perekonomian nasional, serta dukungan

terhadap program pemerintah yang berorientasi pada pro growth,

pro poor dan pro job.

2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI meliputi:

a. Kewajiban bank umum untuk menyalurkan dananya dalam bentuk

kredit/pembiayaan kepada UMKM dengan pangsa sebesar minimal

20% secara bertahap yang diikuti dengan penerapan insentif/disinsentif.

b. Pencapaian target kredit/pembiayaan kepada UMKM di atas dapat

dipenuhi oleh bank umum baik dengan pemberian kredit/pembiayaan

secara langsung dan/atau secara tidak langsung kepada UMKM melalui

kerjasama pola executing, pola channeling dan pembiayaan bersama.

c. Definisi kredit usaha mikro, kredit usaha kecil dan kredit usaha menengah

diharmonisasikan dengan kriteria usaha sebagaimana yang ditetapkan

dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/22/PBI/2012 21 Desember 2012

Page 103: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

96

d. Perluasan bentuk dan penerima bantuan teknis. Kegiatan bantuan

teknis dilaksanakan dalam bentuk penelitian, pelatihan, penyediaan

informasi dan fasilitasi. Sementara penerima bantuan teknis adalah

Bank Umum, BPR/BPRS, Lembaga pembiayaan UMKM, Lembaga

Penyedia Jasa (LPJ) dan UMKM. Bantuan teknis yang disediakan oleh

Bank Indonesia di atas antara lain untuk meningkatkan kompetensi

bagi SDM perbankan dalam melakukan pembiayaan kepada UMKM

dan dalam rangka meningkatkan capacity building UMKM agar mampu

memenuhi persyaratan dari perbankan.

e. Dalam memberikan Kredit atau Pembiayaan UMKM, bank umum

wajib berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur

mengenai rencana bisnis bank; laporan bulanan bank umum; laporan

keuangan publikasi triwulanan dan bulanan bank umum serta laporan

tertentu; sistem informasi debitur; transparansi informasi produk bank

dan penggunaan data pribadi nasabah.

f. Lebih lanjut dalam pokok-pokok PBI di atas, juga diatur tentang

perlunya penguatan koordinasi dan kerjasama dengan Pihak Lain

dalam pengembangan UMKM agar tercipta keselarasan program

pengembangan UMKM.

g. Bank Umum yang melanggar hal-hal yang diatur dalam Peraturan Bank

Indonesia ini akan dikenakan sanksi.

h. Ketentuan Penutup:

1. PBI ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu 21 Desember

2012. Namun, khusus pengaturan untuk pencapaian rasio Pembiayaan

UMKM mulai berlaku bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha

Syariah pada tahun 2014.

2. Pada saat PBI ini berlaku, maka PBI No.7/39/PBI/2005 tentang

Pemberian Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2005 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4543), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Namun, peraturan pelaksanaan dari PBI No.7/39/PBI/2005, dinyatakan

masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan

ketentuan dalam PBI ini.

1. Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari amanat dalam UU No.3 Tahun

2011 tentang Transfer Dana. Adapun materi utama yang diatur dalam

PBI ini adalah mengenai:

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/23/PBI/2012 26 Desember 2012

Page 104: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

97

a. perizinan penyelenggaraan transfer dana;

b. pelaksanaan transfer dana;

c. transfer dana yang ditujukan untuk diterima secara tunai;

d. jasa, bunga, atau kompensasi;

e. biaya transfer dana;

f. pemantauan; dan

g. sanksi.

2. Badan usaha bukan Bank yang bermaksud untuk menyelenggarakan

kegiatan Transfer Dana wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. Untuk

memperoleh izin tersebut, badan usaha bukan Bank wajib berbentuk

badan hukum Indonesia serta mengajukan permohonan izin secara tertulis

kepada Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

3. Persyaratan untuk memperoleh izin sebagai Penyelenggara akan dituangkan

dalam bentuk Surat Edaran Bank Indonesia, dan antara lain akan mencakup

persyaratan terkait keamanan sistem, permodalan, integritas pengurus,

pengelolaan risiko, dan/atau kesiapan sarana dan prasarana.

4. Kerjasama antara Penyelenggara dengan pihak lain di luar negeri untuk

menyelenggarakan kegiatan Transfer Dana hanya dapat dilaksanakan

dengan pihak yang telah memperoleh izin dari otoritas di negara setempat.

Kerja sama tersebut harus didasarkan pada perjanjian tertulis yang paling

kurang memuat pengaturan mengenai penerapan asas resiprositas antar

para pihak, hak dan kewajiban para pihak, mekanisme penetapan kurs,

biaya, dan penyelesaian akhir, dan mekanisme penyelesaian permasalahan.

5. Terkait pelaksanaan Transfer Dana, dalam PBI ini dimuat ketentuan mengenai

pelaksanaan Transfer Dana dalam keadaan memaksa, mekanisme perbaikan

dalam hal terjadi kekeliruan pelaksanaan Transfer Dana, serta mekanisme

pengembalian Dana kepada pihak yang berhak.

6. Terkait Transfer Dana yang ditujukan untuk diterima secara tunai, diatur

mekanisme yang harus dilakukan oleh Penyelenggara dalam menyampaikan

pemberitahuan kepada Penerima dan Pengirim Asal akan adanya Dana

yang harus diambil, serta mekanisme penyampaian Dana kepada Balai

Harta Peninggalan dalam hal Dana dimaksud tidak diambil oleh Penerima

dan Pengirim Asal (unclaimed funds).

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Page 105: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

7. Terkait jasa, bunga, atau kompensasi, diatur mekanisme pembayarannya

dari Penyelenggara kepada pihak yang berhak, sedangkan tata cara

perhitungannya akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.

8. Terkait biaya Transfer Dana, diatur mengenai mekanisme pengenaan dan

penyampaian informasi biaya dari Penyelenggara kepada Pengirim Asal.

9. Terkait pemantauan, diatur mekanisme dan kegiatan yang dapat dilakukan

oleh Bank Indonesia dalam melakukan pemantauan, pelaksanaan

pemantauan oleh pihak ketiga serta koordinasi antara Bank Indonesia

dengan otoritas lain dalam melakukan pemantauan.

10.Bagi badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang telah

memperoleh izin sebagai Penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman

Uang dari Bank Indonesia, maka badan usaha dimaksud diakui sebagai

Penyelenggara menurut PBI ini setelah memenuhi persyaratan yang

ditentukan.

11.Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan sebagai Money Transfer

Operator harus mengajukan dan memperoleh izin dari Bank Indonesia

sebagai Penyelenggara paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya

Peraturan Bank Indonesia ini.

12.Pengertian Penyelenggara dalam PBI Ini mencakup pula Bank dan badan

usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang memperoleh

persetujuan atau izin dari Bank Indonesia sebagai peserta Sistem BI-RTGS,

peserta SKNBI, dan penyelenggara Alat Pembayaran dengan Menggunakan

Kartu yang menyediakan jasa Transfer Dana.

13.Pelanggaran atas Peraturan Bank Indonesia ini akan dikenakan sanksi.

14.Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank

Indonesia No.8/28/PBI/2006 tentang Kegiatan Usaha Pengiriman Uang

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

98

Page 106: Bu Let in Hukum 10030912

99

Latar Belakang

Untuk mengantisipasi dinamika perkembangan perekonomian regional dan

global, industri perbankan perlu meningkatkan ketahanan dan daya saing

sehingga memerlukan struktur perbankan yang kuat. Untuk mencapai struktur

perbankan yang sehat tersebut diperlukan pengaturan kembali kebijakan

Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia dalam suatu Peraturan Bank

Indonesia.

Pokok-Pokok Pengaturan

1. Setiap pihak hanya dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1

(satu) Bank. Dalam hal suatu pihak:

a. telah menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu)

Bank; atau

b. melakukan pembelian saham Bank lain sehingga yang bersangkutan

menjadi Pemegang Saham Pengendali pada lebih dari 1 (satu) Bank,

maka yang bersangkutan wajib memenuhi ketentuan Kepemilikan

Tunggal.

2. Pemenuhan kewajiban ketentuan Kepemilikan Tunggal dilakukan dengan

cara:

a. merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya;

b. membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan; atau

c. membentuk Fungsi Holding.

3. Ketentuan Kepemilikan Tunggal dikecualikan bagi:

a. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang masing-masing

melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda, yakni secara

konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah; dan

b. Pemegang Saham Pengendali pada 2 (dua) Bank yang salah satunya

merupakan Bank Campuran (Joint Venture Bank).

4. Bagi PSP yang memilih opsi merger/konsolidasi untuk memenuhi struktur

kepemilikan sesuai PBI ini maka akan memperoleh insentif berupa:

a. pelonggaran sementara pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM);

b. perpanjangan waktu penyelesaian pelampauan Batas Maksimum

Pemberian Kredit (BMPK);

c. kemudahan pembukaan kantor cabang; dan/atau

d. pelonggaran sementara penerapan Good Corporate Govenance (GCG).

14/24/PBI/2012 26 Desember 2012

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 107: Bu Let in Hukum 10030912

100

5. Bentuk badan hukum Perusahaan Induk di Bidang Perbankan adalah

Perseroan Terbatas yang didirikan di Indonesia dan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

6. Fungsi Holding hanya dapat dilakukan oleh Pemegang Saham Pengendali

berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia atau instansi Pemerintah

Republik Indonesia.

7. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan Fungsi Holding wajib

memberikan arah strategis dan mengkonsolidasikan laporan keuangan

Bank-Bank yang menjadi anak perusahaannya.

8. Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap

Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan terhadap Fungsi Holding

sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas pengaturan dan

pengawasan Bank.

9. Pemegang Saham Pengendali yang tidak melakukan pemenuhan ketentuan

Kepemilikan Tunggal dilarang melakukan pengendalian dan dilarang

memiliki saham dengan hak suara pada masing-masing Bank lebih dari

10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham Bank dan wajib mengalihkan

kelebihan saham di atas 10% (sepuluh perseratus) tersebut kepada pihak

lain paling lama 1 (satu) tahun setelah berakhirnya jangka waktu pemenuhan

ketentuan.

10.Bank-Bank dengan Pemegang Saham Pengendali yang tidak melakukan

pemenuhan ketentuan Kepemilikan Tunggal wajib mencatat kepemilikan

saham dan hak suara yang bersangkutan dalam Rapat Umum Pemegang

Saham paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham

Bank.

11.Bank yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam

Peraturan Bank Indonesia ini akan dikenakan sanksi.

12.Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:

a. Peraturan Bank Indonesia No.8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan

Tunggal pada Perbankan Indonesia (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2006 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4642) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 108: Bu Let in Hukum 10030912

101

RingkasanTanggalNo. Peraturan

b.Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf e, Pasal 3 dan Pasal 7 Peraturan

Bank Indonesia No.8/17/PBI/2006 tentang Insentif dalam rangka

Konsolidasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank

Indonesia No.9/12/PBI/2007 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

c. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.8/16/PBI/2006

tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 73, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4642) dinyatakan masih tetap

berlaku sepanjang belum dicabut dan tidak bertentangan dengan

Peraturan Bank Indonesia ini.

1. Tujuan:

Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini diterbitkan dalam rangka menyempurnakan

ketentuan Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang

Luar Negeri yang diatur melalui PBI No.13/20/PBI/2011 sebagaimana diubah

melalui PBI No.14/11/PBI/2012. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan

efektivitas pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor dan penarikan

devisa utang luar negeri melalui perbankan di Indonesia guna mendukung

optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri.

2. Pokok-pokok Perubahan dalam PBI ini mencakup:

A. Kewajiban Penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) melalui Bank Devisa.

1. Kewajiban penerimaan DHE melalui bank devisa tidak berlaku

untuk DHE milik pemerintah yang diterima melalui Bank Indonesia

atau DHE yang diterima secara tunai di dalam negeri sepanjang

dibuktikan dengan penjelasan tertulis yang disertai dokumen

pendukung yang memadai.

2. Penerimaan DHE wajib dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga

setelah bulan pendaftaran Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).

3. Penerimaan DHE yang berasal dari cara pembayaran usance L/C,

konsinyasi, pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya

melebihi atau sama dengan 3 bulan setelah bulan pendaftaran

PEB, wajib dilakukan paling lama 14 hari setelah tanggal jatuh

tempo pembayaran yang bersangkutan. Dalam hal batas akhir

jatuh pada hari libur, maka penerimaan DHE dapat dilakukan pada

hari kerja berikutnya.

14/25/PBI/2012 27 Desember 2012

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 109: Bu Let in Hukum 10030912

4. Penyampaian informasi yang tercantum pada PEB kepada bank

devisa serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung bagi

penerimaan DHE berlaku untuk PEB dengan nilai lebih besar dari

USD10,000.00 atau ekuivalennya. Penyampaian informasi yang

tercantum pada PEB terkait DHE melalui bank devisa dilakukan

paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima.

5. Dalam hal eksportir menerima DHE secara tunai untuk PEB dengan

nilai lebih besar dari USD10,000.00 atau ekuivalennya maka

eksportir wajib menyampaikan penjelasan tertulis beserta dokumen

pendukung paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan

pendaftaran PEB.

6. Untuk penerimaan DHE yang berasal dari cara pembayaran usance

L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, collection yang jatuh

temponya melebihi atau sama dengan 3 bulan setelah bulan

pendaftaran PEB, eksportir harus menyampaikan penjelasan tertulis

disertai dokumen pendukung kepada bank devisa untuk diteruskan

kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya

setelah bulan pendaftaran PEB. Dalam hal batas akhir merupakan

hari libur maka penyampaiannya dapat dilakukan pada hari kerja

berikutnya.

7. Dalam hal DHE lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang

paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 maka DHE yang diterima

dianggap sesuai dengan nilai PEB dan eksportir tidak perlu

menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung.

8. Untuk selisih kurang nilai DHE dengan Nilai PEB lebih besar dari

ekuivalen Rp50.000.000,00, yang disebabkan oleh:

a. selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya

lainnya terkait perdagangan internasional, sehingga terdapat

selisih kurang antara DHE dan Nilai PEB paling banyak 10%

(sepuluh per seratus) dari nilai PEB; dan/atau

b. maklon, jasa perbaikan, operational leasing atau financial leasing,

perbedaan penilaian harga barang pada saat perjanjian ekspor

dengan harga pada saat barang diterima, perbedaan komposisi

barang, perbedaan kualitas barang, dan/atau perbedaan

kuantitas barang,

penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung disampaikan

kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia paling

lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh

eksportir melalui Bank Devisa.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/14/PBI/2012 18 Oktober 2012

102

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 110: Bu Let in Hukum 10030912

RingkasanTanggalNo. Peraturan

9. Dalam hal terdapat perbedaan antara data PEB yang disampaikan

eksportir dengan data PEB yang diterima dari Direktorat Jenderal

Bea dan Cukai (DJBC) maka Bank Indonesia dapat memutuskan

data PEB yang dijadikan sebagai acuan pemenuhan ketentuan

DHE dan menginformasikan perbedaan antara data PEB dimaksud

kepada DJBC.

10.Penerimaan DHE yang lebih kecil dari nilai PEB yang disebabkan

netting antara tagihan ekspor dengan kewajiban eksportir hanya

diperbolehkan untuk netting dengan pembayaran impor barang

terkait kegiatan ekspor yang bersangkutan, sepanjang terdapat

kesepakatan netting antara eksportir yang bersangkutan dengan

importir terkait (counterparty). Penerimaan DHE yang berasal dari

hasil netting dianggap sesuai dengan nilai PEB apabila eksportir

menyampaikan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung

yang memadai.

11.Dalam hal importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan

memaksa (force majeure) maka untuk:

• eksportir yang menerima DHE lebih kecil dari Nilai PEB, dengan

selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 maka

eksportir harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai

dengan dokumen pendukung yang memadai paling lambat

akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB kepada

bank devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia;

• eksportir yang tidak menerima DHE, atau menerima DHE secara

tunai lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang lebih

besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 maka eksportir harus

menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen

pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia paling

lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB.

Untuk ekspor yang dilakukan dengan dari cara pembayaran usance

L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau collection yang

jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 bulan setelah bulan

pendaftaran PEB maka eksportir harus menyampaikan penjelasan

tertulis disertai dokumen pendukung terkait importir wanprestasi,

pailit, atau mengalami keadaan memaksa paling lama 14 hari

setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.

12.Dalam hal ekspor dilakukan melalui Perusahaan Jasa Titipan (PJT),

kewajiban penyampaian informasi dan penjelasan tertulis yang

disertai dokumen pendukung menjadi tanggung jawab pemilik

103

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 111: Bu Let in Hukum 10030912

104

barang. Dalam hal ini PJT harus menyampaikan informasi terkait

PEB kepada pemilik barang.

B. Pengenaan Sanksi

1. Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban

penerimaan DHE dikenakan sanksi administratif berupa denda

sebesar 0,5% dari nilai nominal DHE yang belum diterima dengan

nominal paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 untuk satu

bulan pendaftaran PEB.

2. Dalam hal ekspor dilakukan melalui PJT, maka sanksi denda dan

sanksi penangguhan atas pelayanan ekspor dikenakan kepada

pemilik barang.

3. Pembayaran sanksi administratif berupa denda disetorkan ke Bank

Indonesia yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.

C. Ketentuan Peralihan

Penerimaan DHE yang dilakukan tidak melalui Bank Devisa karena

telah diperjanjikan pembayarannya melalui trustee yang berada di luar

Indonesia, tidak wajib diterima melalui Bank Devisa sampai dengan

tanggal 30 Juni 2013. Dalam hal ini, eksportir harus menyampaikan

penjelasan tertulis dan dokumen pendukung.

D. Ketentuan Penutup

1. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari

2013.

2. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:

a. Ketentuan Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/22/PBI/

2011 tentang Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang

Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5243);

b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011 tentang

Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang

Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5241); dan

c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/11/PBI/2012 tentang

Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011

tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa

Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2012 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5338), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 112: Bu Let in Hukum 10030912

105

RingkasanTanggalNo. Peraturan

1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor

Berdasarkan Modal Inti Bank mengatur mengenai cakupan kegiatan usaha

dan pembukaan jaringan kantor sesuai dengan modal inti Bank yang

bertujuan untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing perbankan

nasional.

2. Pokok-pokok pengaturan PBI ini meliputi antara lain:

a. Umum

1. Bank hanya dapat melakukan kegiatan usaha dan memiliki jaringan

kantor sesuai dengan modal inti yang dimiliki.

2. Ketentuan ini berlaku untuk Bank Umum Konvensional (BUK), Bank

Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dari Bank Umum

Konvensional dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan

di luar negeri (Kantor Cabang Bank Asing – KCBA)

b. Pengaturan Kegiatan Usaha Bank

1. Berdasarkan modal inti yang dimiliki Bank dikelompokkan dalam

4 kelompok usaha (Bank Umum Kelompok Usaha – BUKU) sebagai

berikut:

a. BUKU 1, Bank dengan modal inti kurang dari Rp1 Triliun;

b. BUKU 2, Bank dengan modal inti Rp1 Triliun sampai dengan

kurang dari Rp5 Triliun;

c. BUKU 3, Bank dengan modal inti Rp5 Triliun sampai dengan

kurang dari Rp30 Triliun; dan

d. BUKU 4, Bank dengan modal inti di atas Rp30 Triliun.

2. Cakupan produk dan aktivitas yang dapat dilakukan BUKU sebagai

berikut:

i. Bank Umum Konvensional

a. BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan penghimpunan

dan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas

dasar dalam Rupiah, kegiatan pembiayaan perdagangan,

kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan

kerjasama, kegiatan sistem pembayaran dan electronic

banking dengan cakupan terbatas, kegiatan penyertaan

modal sementara dalam rangka penyelamatan kredit, dan

jasa lainnya, dalam Rupiah. BUKU 1 hanya dapat melakukan

kegiatan valuta asing terbatas sebagai pedagang valuta

asing.

14/26/PBI/2012 27 Desember 2012

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 113: Bu Let in Hukum 10030912

b. BUKU 2 dapat melakukan kegiatan produk atau aktivitas

dalam rupiah dan valuta asing dengan cakupan yang lebih

luas dari BUKU 1. BUKU 2 dapat melakukan kegiatan

treasury terbatas mencakup spot dan derivatif plain vanilla

serta melakukan penyertaan sebesar 15% pada lembaga

keuangan didalam negeri;

c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam

Rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar

25% pada lembaga keuangan di dalam dan di luar negeri

terbatas di kawasan Asia.

d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam

rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar

35% pada lembaga keuangan di dalam dan di luar negeri

dengan cakupan wilayah yang lebih luas dari BUKU 3

(international world wide).

ii. Bank Umum Syariah

a. BUKU 1 hanya dapat melakukan kegiatan penghimpunan

dan penyaluran dana yang merupakan produk atau aktivitas

dasar dalam Rupiah, serta kegiatan pembiayaan perdagangan,

kegiatan dengan cakupan terbatas untuk keagenan dan

kerjasama, kegiatan sistem pembayaran dan electronic

banking dengan cakupan terbatas, kegiatan penyertaan

modal sementara dalam rangka penyelamatan pembiayaan,

dan jasa lainnya, dalam Rupiah berdasarkan akad yang tidak

bertentangan dengan prinsip syariah. BUKU 1 hanya dapat

melakukan kegiatan dalam valuta asing terbatas sebagai

pedagang valuta asing.

b. BUKU 2 hanya dapat melakukan kegiatan produk atau

aktivitas dalam Rupiah dan valuta asing dengan cakupan

yang lebih luas dan berdasarkan akad yang tidak bertentangan

dengan prinsip syariah. BUKU 2 dapat melakukan kegiatan

treasury terbatas mencakup transaksi spot dan kegiatan

treasury dasar lainnya berdasarkan akad yang tidak

bertentangan dengan prinsip syariah, serta melakukan

penyertaan sebesar 15% pada lembaga keuangan syariah

di dalam negeri;

c. BUKU 3 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam

Rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar

25% pada lembaga keuangan syariah di dalam dan di luar

negeri terbatas di kawasan Asia;

RingkasanTanggalNo. Peraturan

106

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 114: Bu Let in Hukum 10030912

107

d. BUKU 4 dapat melakukan seluruh kegiatan usaha dalam

Rupiah dan valuta asing dan melakukan penyertaan sebesar

35% pada lembaga keuangan dalam dan luar negeri dengan

cakupan wilayah yang lebih luas dari BUKU 3 (international

world wide).

3. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Unit Usaha Syariah mengacu

pada kegiatan usaha Bank Umum Syariah sesuai dengan kelompok BUKU

dari Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya; dan untuk kegiatan-

kegiatan usaha tertentu yang tidak termasuk produk atau aktivitas dasar

bank syariah (kegiatan usaha Bank Umum Syariah BUKU 1) hanya dapat

dilakukan oleh Unit Usaha Syariah setelah memperoleh persetujuan dari

Bank Indonesia.

4. Bagi Bank Umum Konvensional yang melakukan penyertaan kepada Bank

Umum Syariah sebesar 5% dari modal Bank atau lebih, diberikan tambahan

batasan penyertaan sebesar 5% dari modal Bank sehingga batasan

penyertaan modal pada BUKU 2 paling tinggi sebesar 20% dan BUKU 3

sebesar 30% dari modal Bank.

5. Bank dalam semua BUKU wajib menyalurkan kredit atau pembiayaan

produktif termasuk kredit atau pembiayaan kepada UMKM dengan target

tertentu, yaitu:

a. BUKU 1 paling rendah 55% dari total kredit atau pembiayaan;

b. BUKU 2 paling rendah 60% dari total kredit atau pembiayaan;

c. BUKU 3 paling rendah 65% dari total kredit atau pembiayaan;

d. BUKU 4 paling rendah 70% dari total kredit atau pembiayaan

6. Pengecualian kewajiban menyalurkan kredit atau pembiayaan produktif

diberikan kepada Bank yang memfokuskan diri untuk membiayai

kepemilikan rumah untuk kepentingan rakyat paling kurang 75% dari

total kredit atau pembiayaan.

7. Bank wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk melakukan

produk/aktivitas tertentu yang bukan merupakan cakupan produk atau

aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi,

antara lain penerbitan structure product, penerbitan surat utang ekuitas

dan kegiatan jasa sistem pembayaran.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 115: Bu Let in Hukum 10030912

c. Pengaturan Jaringan Kantor

1. Persyaratan pembukaan jaringan kantor adalah Tingkat Kesehatan

Bank dan alokasi modal inti (Theoretical Capital – TC) sesuai lokasi

dan jenis kantor Bank.

2. BUKU 3 dapat membuka kantor cabang, kantor perwakilan dan

jenis kantor lainnya didalam dan luar negeri terbatas di kawasan

Asia. Sedangkan BUKU 4 dapat membuka kantor cabang, kantor

perwakilan dan jenis kantor lainnya di wilayah yang lebih luas dari

BUKU 3 (international world wide).

3. Dalam perhitungan ketersediaan modal inti untuk jaringan kantor,

Bank Indonesia menetapkan:

a. pembagian zona berdasarkan tingkat kejenuhan Bank dan

pemerataan pembangunan;

b. koefisien masing-masing zona; dan

c. biaya investasi pembukaan jaringan kantor Bank untuk masing-

masing BUKU.

4. Bank wajib menyediakan alokasi modal inti yang cukup bagi

seluruh jaringan kantor yang dimiliki bank. Dalam hal Bank tidak

memiliki ketersediaan alokasi modal inti yang cukup, Bank tidak

dapat melakukan pembukaan jaringan kantor yang baru sampai

terpenuhinya peningkatan modal untuk mencukupi alokasi modal

inti yang dibutuhkan. Bank masih dapat dipertimbangkan untuk

membuka jaringan kantor yang baru apabila bank menyalurkan

kredit atau pembiayaan kepada UMKM minimal 20% atau UMK

minimal 10% dari total kredit atau pembiayaan bank serta terdapat

upaya pemupukan modal yang dilakukan bank.

5. Dalam menentukan jumlah jaringan kantor yang dapat dibuka,

selain pertimbangan TKS, alokasi modal inti, pangsa UMKM/UMK

dan pemupukan modal, Bank Indonesia akan mempertimbangkan:

a. Memberikan insentif tambahan jumlah jaringan kantor yang

dapat dibuka bagi Bank yang memiliki ketersediaan alokasi

modal inti yang cukup dan menyalurkan kredit UMKM paling

rendah 20% atau UMK paling rendah 10%.

b.pencapaian efisiensi bank.

6. Ketersedian alokasi modal inti tidak diberlakukan bagi:

a. pembukaan Kantor Fungsional yang melakukan kegiatan

operasional khusus penyaluran kredit atau pembiayaan kepada

UMK;

RingkasanTanggalNo. Peraturan

108

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 116: Bu Let in Hukum 10030912

109

b. pembukaan Jaringan Kantor bagi Bank yang dimiliki oleh

Pemerintah Daerah dalam wilayah provinsi tempat kedudukan

kantor pusatnya.

7. Dalam rangka perimbangan penyebaran jaringan kantor, Bank

dalam BUKU 3 dan BUKU 4 yang membuka jaringan kantor di

Zona 1 atau Zona 2 dalam jumlah tertentu wajib diikuti dengan

pembukaan jaringan kantor di Zona 5 atau Zona 6 dengan jumlah

tertentu. Kewajiban ini dikecualikan bagi bank yang mayoritas

sahamnya dimiliki oleh Pemda yang melakukan pembukaan kantor

di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan provinsi tempat kedudukan

kantor pusatnya.

d. Rencana Tindak (Action Plan)

1. Bank wajib menyampaikan rencana tindak penyesuaian kegiatan

usaha, kegiatan valuta asing, penyertaan, dan pemenuhan kewajiban

penyaluran kredit atau pembiayaan produktif paling lambat akhir

bulan Maret 2013.

2. Rencana tindak yang telah disetujui Bank Indonesia tersebut, akan

dijadikan acuan bagi Bank dalam merevisi RBB yang disampaikan

paling lambat akhir bulan Juni 2013.

3. Jangka waktu untuk melakukan penyesuaian produk, aktivitas,

dan penyertaan paling lama akhir Juni 2016. Sedangkan bagi BPD

jangka waktu penyesuaian paling lambat Juni 2018.

e. Perlakuan pengawasan terhadap Bank yang mengalami penurunan

Modal Inti.

Bank yang mengalami penurunan Modal Inti sehingga mengalami

penurunan BUKU selama 3 bulan berturut-turut wajib menyusun

rencana tindak yang dapat berupa penghentian kegiatan usaha yang

tidak sesuai dengan BUKU atau menambah modal. Bank diberikan

jangka waktu 1 tahun untuk menyelesaikan pelaksanaan action plan

tersebut.

f. Pengenaan sanksi kepada Bank.

Pengenaan sanksi kepada Bank mengacu kepada Pasal 52 UU Perbankan

atau Pasal 58 UU Perbankan Syariah yaitu teguran tertulis, penurunan

peringkat Tingkat Kesehatan, larangan pembukaan jaringan kantor

dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu.

g. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, beberapa

peraturan dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku yaitu:

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 117: Bu Let in Hukum 10030912

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/27/PBI/2012 28 Desember 2012

1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia

No.5/10/PBI/2003 tanggal 11 Juni 2003 tentang Prinsip Kehati-

hatian dalam Penyertaan Modal (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2003 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4296).

2. Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 huruf b Surat Keputusan Direksi Bank

Indonesia No.28/64/KEP/DIR tanggal 7 September 1995 tentang

Persyaratan Bank Umum Bukan Bank Devisa Menjadi Bank Umum

Devisa.

3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/64/KEP/DIR tanggal

7 September 1995 tentang Persyaratan Bank Umum Bukan Bank

Devisa Menjadi Bank Umum Devisa dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku, pada saat berlakunya peraturan pelaksanaan dari Peraturan

Bank Indonesia ini yang mengatur mengenai kegiatan valuta asing

bagi Bank.

I. Latar Belakang

Dengan adanya dinamika nasional, regional maupun global yang diiringi

dengan perkembangan produk, aktivitas dan teknologi informasi bank

yang semakin kompleks, sehingga berpotensi akan meningkatkan peluang

bagi para pelaku kejahatan untuk menyalahgunakan fasilitas dan produk

perbankan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme,

dengan modus operandi yang lebih canggih.

Selain itu, Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) juga mengalami

penyesuaian sehingga menjadi lebih komprehensif dalam mendukung

upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan

pendanaan terorisme.

Sehubungan dengan hal tersebut, Ketentuan Bank Indonesia mengenai

Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan

Terorisme Bagi Bank Umum yang selama ini diterapkan, dinilai perlu

disesuaikan dalam rangka harmonisasi dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan standar internasional. Penyesuaian pengaturan

tersebut antara lain meliputi:

a. Pengaturan mengenai transfer dana.

b. Pengaturan mengenai area berisiko tinggi.

110

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 118: Bu Let in Hukum 10030912

111

c. Pengaturan Customer Due Dilligence (CDD) sederhana khususnya

dalam rangka mendukung dengan strategi nasional dan global keuangan

inklusif (financial inclusion).

d. Pengaturan mengenai Cross Border Correspondent Banking.

II. Pokok-pokok pengaturan

1. Pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris

Pengawasan aktif Direksi paling kurang mencakup:

a. memastikan Bank memiliki kebijakan dan prosedur program Anti

Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan

PPT);

b. mengusulkan kebijakan tertulis program APU dan PPT kepada

Dewan Komisaris;

c. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai

dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan;

d. membentuk unit kerja khusus yang melaksanakan program APU

dan PPT dan/atau menunjuk Pejabat yang bertanggungjawab

terhadap Program APU dan PPT di Kantor Pusat;

e. melakukan pengawasan atas kepatuhan satuan kerja dalam

menerapkan program APU dan PPT;

f. memastikan bahwa kantor cabang wajib memiliki unit kerja khusus

dan memiliki:

1. pegawai yang menjalankan fungsi unit kerja khusus; atau

2. pejabat yang mengawasi penerapan program APU dan PPT.

g. memastikan bahwa kantor cabang dengan kompleksitas usaha

yang tinggi memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada

huruf f di atas dan terpisah dari satuan kerja yang melaksanakan

kebijakan dan prosedur program APU dan PPT.

h. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai

program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan

produk, jasa, dan teknologi Bank serta sesuai dengan perkembangan

modus pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan

i. memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari unit

kerja terkait dan pegawai baru, telah mengikuti pelatihan yang

berkaitan dengan program APU dan PPT secara berkala. Sementara

itu, Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup:

a. persetujuan atas kebijakan penerapan program APU dan PPT;

dan

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 119: Bu Let in Hukum 10030912

Tanggal

b. pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap

penerapan program APU dan PPT

2. Kebijakan dan prosedur

Dalam menerapkan program APU dan PPT, Bank wajib memiliki

pedoman pelaksanaan Program APU dan PPT yang memuat kebijakan

dan prosedur tertulis paling kurang mencakup:

a. Permintaan informasi dan dokumen;

b. Beneficial Owner;

c. Verifikasi dokumen;

d. CDD yang lebih sederhana;

e. Penutupan hubungan dan penolakan transaksi;

f. Ketentuan mengenai area berisiko tinggi dan PEP;

g. Pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga;

h. Pengkinian dan pemantauan;

i. Cross Border Correspondent Banking;

j. Transfer dana;

k. Penatausahaan dokumen; dan

l. Pelaporan kepada PPATK

3. Pengendalian Intern

Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif. Dalam

memastikan efektivitas penerapan program APU dan PPT oleh Bank,

Bank mengoptimalkan satuan kerja Audit Intern yang telah ada antara

lain untuk melakukan uji kepatuhan (termasuk penggunaan sample

testing) terhadap kebijakan dan prosedur yang terkait dengan program

APU dan PPT Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif

antara lain dibuktikan dengan:

a. dimilikinya kebijakan, prosedur, dan pemantauan internal yang

memadai;

b. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait

dengan penerapan program APU dan PPT; dan

c. dilakukannya pemeriksaan untuk memastikan efektivitas pelaksanaan

program APU dan PPT oleh satuan kerja audit intern.

4. Sistem informasi manajemen

Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi,

menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif

mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah Bank.

Sistem informasi tersebut harus dapat memungkinkan Bank untuk

menelusuri setiap transaksi (individual transaction) apabila diperlukan,

baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia, maupun dalam

kaitannya dengan kasus peradilan.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

112

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 120: Bu Let in Hukum 10030912

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Selain itu, Bank wajib memiliki dan memelihara profil Nasabah secara

terpadu (Single Customer Identification File), yang merupakan data

profil Nasabah yang mencakup seluruh rekening yang dimiliki oleh

satu Nasabah pada suatu Bank antara lain tabungan, deposito, giro

dan kredit, serta memiliki dan memelihara profil WIC.

5. Sumber daya manusia dan pelatihan

Untuk mencegah digunakannya Bank sebagai media atau tujuan

pencucian uang atau pendanaan terorisme yang melibatkan pihak

intern Bank, Bank wajib melakukan:

a. prosedur penyaringan dalam rangka penerimaan karyawan baru

(pre employee screening); dan

b. pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan. Pemanfaatan

jasa perbankan sebagai media pencucian uang dan pendanaan

terorisme dimungkinkan juga melibatkan karyawan Bank itu sendiri.

Dengan demikian untuk mencegah ataupun mendeteksi terjadinya

dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui

lembaga perbankan perlu diterapkan Know Your Employee (KYE)

yang diantaranya adalah melalui prosedur pre employee screening,

pengenalan dan pemantauan profil yang mencakup karakter,

perilaku dan gaya hidup karyawan.

Bank wajib menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan

tentang:

a. implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

program APU dan PPT;

b. teknik, metode, dan tipologi pencucian uang atau pendanaan

terorisme; dan

c. Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta

peran dan tanggungjawab pegawai dalam memberantas pencucian

uang atau pendanaan terorisme.

6. Penerapan Program APU dan PPT bagi Kantor Cabang dari Bank yang

Berbadan hukum Indonesia di luar negeri

Dalam hal ini berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Bank yang berbadan hukum Indonesia wajib meneruskan kebijakan

dan prosedur program APU dan PPT ke seluruh jaringan kantor

dan anak perusahaan di luar negeri, dan memantau pelaksanaannya.

b. Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor Bank memiliki

peraturan APU dan PPT yang lebih ketat, maka kantor Bank dimaksud

wajib tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara

dimaksud.

113

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 121: Bu Let in Hukum 10030912

114

c. Dalam hal di negara tempat kedudukan kantor Bank belum

mematuhi rekomendasi FATF atau sudah mematuhi namun standar

Program APU dan PPT yang dimiliki lebih, kantor Bank dimaksud

wajib menerapkan Program APU dan PPT sebagaimana diatur

dalam Peraturan Bank Indonesia.

d. Dalam hal penerapan Program APU dan PPT mengakibatkan

pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang

berlaku di negara tempat kedudukan kantor Bank berada maka

pejabat kantor Bank di luar negeri tersebut wajib menginformasikan

kepada kantor pusat Bank dan Bank Indonesia.

7. Pelaporan

Dalam menerapkan program APU dan PPT, Bank wajib menyampaikan

kepada Bank Indonesia:

a. penyesuaian action plan pelaksanaan program APU dan PPT dalam

laporan pelaksanaan tugas Direktur yang membawahkan fungsi

kepatuhan pada bulan Juni 2013;

b. penyesuaian Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lambat 6

(enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia;

c. laporan rencana kegiatan pengkinian data disampaikan setiap tahun

dalam Laporan Direktur yang membawahkan fungsi Kepatuhan

bulan Desember; dan

d. laporan realisasi pengkinian data disampaikan setiap tahun dalam

laporan pelaksanaan tugas Direktur yang membawahkan fungsi

Kepatuhan bulan Desember.

8. Sanksi

Terdapat pengenaan sanksi administratif terhadap kewajiban penyampaian

pedoman dan laporan berupa:

a. kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)

per hari keterlambatan dan setinggi-tingginya Rp30.000.000,00

(tiga puluh juta rupiah).

b. dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban

membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Selain itu, terhadap Bank yang:

a. tidak melaksanakan komitmen penyelesaian hasil temuan pemeriksaan

Bank Indonesia dalam kurun waktu 2 (dua) kali pemeriksaan; dan/

atau

b. tidak melaksanakan komitmen yang telah dituangkan dalam action

plan dan/atau rencana kegiatan pengkinian data,

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 122: Bu Let in Hukum 10030912

RingkasanTanggalNo. Peraturan

c. tidak melaksanakan kebijakan dan prosedur yang tertuang dalam

pedoman pelaksanaan program APU dan PPT yang berdampak

signifikan terhadap pelaksanaan program APU dan PPT, dikenakan

sanksi administratif berupa kewajiban membayar paling banyak

sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

9. Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan

Bank Indonesia No.11/28/PBI/2009 mengenai Penerapan Program Anti

Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank

Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 106,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5032),

dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Seluruh ketentuan Bank Indonesia

yang mengacu kepada ketentuan mengenai Penerapan Program Anti

Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank

Umum selanjutnya mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia ini,

kecuali diatur tersendiri.

115

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Page 123: Bu Let in Hukum 10030912

116

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 124: Bu Let in Hukum 10030912

117

RINGKASAN SURAT EDARAN BANK INDONESIA SEPTEMBER - DESEMBER 2012

1. Surat Edaran Nomor 14/24/DSM Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas

Devisa Lembaga Bukan Bank merupakan ketentuan pelaksanaan dari

Peraturan Bank Indonesia No.14/4/PBI/2012 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 Tentang Pemantauan

Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank. Surat Edaran ini

mencabut Surat Edaran No. 13/21/DSM tanggal 15 Agustus 2011 perihal

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank.

2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini yang berubah dibandingkan

aturan sebelumnya mencakup:

a. Penyesuaian batas waktu penyampaian Laporan LLD dan koreksi

laporan LLD, yaitu:

1. Penyampaian laporan LLD dari sebelumnya paling lama tanggal

10 menjadi tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan

periode laporan.

2. Penyampaian koreksi laporan LLD dari sebelumnya paling lama

tanggal 15 menjadi tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya

bulan periode laporan.

b. Pengunduran waktu pemberlakuannya sanksi atas Laporan LLD dan

koreksi Laporan LLD, yaitu dari sebelumnya mulai data periode laporan

Januari 2012 yang disampaikan pada bulan Februari 2012 menjadi

mulai data periode laporan Juli 2012 yang disampaikan pada bulan

Agustus 2012.

3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 September

2012 dan berlaku surut sejak tanggal 2 Januari 2012.

1. Surat Edaran Bank Indonesia ini merupakan petunjuk pelaksanaan Peraturan

Bank Indonesia No. 14/6/PBI/2012 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan

(Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah tanggal 18 Juni

2012. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan atas ketentuan sebelumnya

14/24/DSM

RingkasanTanggalNo. Peraturan

7 September 2012

14/25/DPbS 12 September 2012

Page 125: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

118

yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/6/DPbS tanggal

8 Maret 2010 perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)

Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

2. Surat Edaran Bank Indonesia ini menjelaskan secara lebih rinci uji kemampuan

dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai berikut:

a. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT New Entry) terhadap calon Pemegang

Saham Pengendali (PSP), calon anggota Dewan Komisaris dan calon

anggota Direksi Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan

Rakyat Syariah (BPRS), calon Direktur UUS yang telah ditetapkan sejak

awal hanya akan menjabat sebagai Direktur UUS, dan calon pemimpin

Kantor Perwakilan Bank Asing (KPwBA);

b. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) terhadap:

1. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat

Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS, dan Pejabat Eksekutif UUS,

serta pemimpin KPwBA; dan

2. Pihak yang sudah tidak menjadi PSP BUS dan BPRS atau tidak

menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan

Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS, dan Pejabat Eksekutif

UUS, serta pemimpin KPwBA, namun yang bersangkutan ditengarai

terlibat atau bertanggung jawab terhadap perbuatan atau tindakan

yang sedang dalam proses uji kemampuan dan kepatutan pada

BUS, BPRS, UUS, atau KPwBA.

c. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT New Entry) tidak dilakukan terhadap

perpanjangan jabatan bagi anggota Dewan Komisaris dan anggota

Direksi BUS atau BPRS, Direktur UUS, dan pemimpin KPwBA kecuali

perpanjangan jabatan untuk “Bank Syariah hasil penggabungan” yang

berasal dari “Bank Syariah yang menerima penggabungan (surviving

bank)”.

3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mengatur secara lebih jelas mengenai

rincian dokumen administratif dalam uji kemampuan dan kepatutan (FPT

New Entry) yang harus dipenuhi oleh calon PSP, calon anggota Dewan

Komisaris dan calon anggota Direksi BUS dan BPRS, calon Direktur UUS

yang telah ditetapkan sejak awal hanya akan menjabat sebagai Direktur

UUS, dan calon pemimpin KPwBA, berikut contoh format dokumen

administratif yang dipersyaratkan.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Page 126: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

119

4. Surat Edaran Bank Indonesia ini mengatur lebih rinci mengenai tata cara

(proses) uji kemampuan dan kepatutan (FPT New Entry) terhadap calon

PSP, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi BUS dan

BPRS, calon Direktur UUS yang telah ditetapkan sejak awal hanya akan

menjabat sebagai Direktur UUS, dan calon pemimpin KpwBA, yang

meliputi:

a. penelitian administratif;

b. pelaksanaan wawancara; dan

c. penetapan hasil penilaian.

5. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini dijelaskan secara lebih rinci

pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) terhadap PSP,

anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS

dan BPRS, Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, dan pemimpin KPwBA

yang terindikasi memiliki permasalahan integritas, kelayakan keuangan,

reputasi keuangan dan/atau kompetensi, yang meliputi:

a. Cakupan yang menjadi obyek uji kemampuan dan kepatutan (FPT

Existing) terkait dengan permasalahan integritas, kelayakan keuangan,

reputasi keuangan dan/atau kompetensi untuk PSP, anggota Dewan

Komisaris, anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS,

Direktur UUS dan Pejabat Eksekutif UUS, dan pemimpin KPwBA;

b. Tata cara atau prosedur yang dilakukan dalam uji kemampuan dan

kepatutan (FPT Existing) terhadap PSP, anggota Dewan Komisaris,

anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS

dan Pejabat Eksekutif UUS, dan pemimpin KPwBA; dan

c. Penetapan hasil dan konsekuensi atas hasil uji kemampuan dan

kepatutan (FPT Existing) bagi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota

Direksi dan Pejabat Eksekutif BUS dan BPRS, Direktur UUS dan Pejabat

Eksekutif UUS, dan pemimpin KPwBA.

6. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) dilakukan setiap saat

berdasarkan bukti, data dan informasi yang diperoleh dari hasil pengawasan

(off site supervision dan/atau on site supervision) maupun informasi lainnya

yang diperoleh Bank Indonesia.

7. Uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) dilakukan dengan melalui

4 (empat) langkah yaitu:

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Page 127: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

120

a. klarifikasi bukti, data dan informasi kepada pihak yang diuji;

b. penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan dan

kepatutan kepada pihak yang diuji;

c. tanggapan dari pihak yang diuji terhadap hasil sementara uji kemampuan

dan kepatutan; dan

d. penetapan dan pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan kepatutan

kepada pihak yang diuji.

8. Penetapan hasil uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) dilakukan

berdasarkan tingkat keterlibatan atau peranan pihak yang diuji terhadap

permasalahan atau tindakan pelanggaran yang dilakukan, yang dikategorikan

menjadi Pelaku dan Pelaku Pembantu.

9. Apabila PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS,

Pejabat Eksekutif, atau pemimpin KPwBA dinyatakan Tidak Lulus dalam

uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) karena memiliki permasalahan

integritas, kelayakan keuangan, reputasi keuangan dan/atau kompetensi

pada BUS, UUS, BPRS atau KPwBA maka yang bersangkutan dilarang:

a. menjadi PSP pada seluruh BUS dan BPRS;

b. menjadi pemegang saham lebih dari 10% (sepuluh persen) pada

seluruh BUS dan BPRS;

c. menjadi pemegang saham pada Bank Umum Konvensional atau Bank

Perkreditan Rakyat; dan/atau

d. bertindak sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur

UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin KPwBA pada industri perbankan,

sejak tanggal surat penetapan Bank Indonesia.

10.Jangka waktu larangan terhadap PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota

Direksi, Direktur UUS, Pejabat Eksekutif, atau pemimpin KPwBA dinyatakan

Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan (FPT Existing) dibedakan

menjadi 3 (tiga) tahun, 5 (lima) tahun dan 20 (dua puluh) tahun sesuai

dengan perbuatan atau tindakan pelanggaran yang dilakukan.

1. Surat Edaran yang diterbitkan tanggal 19 September 2012 ini merupakan

tindak lanjut amanat pasal 2A PBI Nomor 13/26/PBI/2011 tanggal 28

Desember 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan

Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat yang

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/26/DKBU 19 September 2012

Page 128: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

121

RingkasanTanggalNo. Peraturan

telah diterbitkan dan mulai berlaku pada tanggal 28 Desember 2011. SE

ini mewajibkan BPR untuk memiliki pedoman kebijakan dan prosedur

perkreditan secara tertulis.

2. SE Ekstern melampirkan Pedoman Standar Kebijakan Perkreditan bagi

Bank Perkreditan Rakyat yang merupakan acuan standar minimal yang

wajib dipenuhi oleh BPR dalam menyusun Pedoman Kebijakan Perkreditan

BPR (PKPB). BPR harus menyusun dan mengembangkan Pedoman Kebijakan

Perkreditan BPR sesuai dengan kebutuhan, struktur organisasi BPR dan

kompleksitas operasional usahanya dengan tetap mengacu pada Pedoman

Standar Kebijakan Perkreditan bagi BPR sebagaimana lampiran SE Ekstern.

3. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan penting dimiliki oleh setiap

BPR dalam rangka:

a. Meningkatkan governance BPR terutama dalam pelaksanaan operasional

perkreditan.

b. Memastikan penerapan prinsip kehati-hatian dan azas-azas perkreditan

yang sehat dalam pelaksanaan perkreditan BPR.

c. Pelaksanaan mitigasi risiko terhadap penambahan jenis dan bentuk

pengikatan agunan yang dapat digunakan sebagai faktor pengurang

dalam pembentukan PPAP sebagaimana diatur dalam PBI No.13/26/2011

dalam rangka peningkatan akses kredit UMKM kepada BPR.

4. Pokok-pokok kebijakan perkreditan BPR yang mengacu pada Pedoman

Standar KPB paling kurang mencakup:

a. Kebijakan Pokok dalam Perkreditan, yang paling kurang meliputi:

1. Prinsip Kehati-hatian dalam Perkreditan;

2. Organisasi dan Manajemen Perkreditan;

3. Kebijakan Persetujuan Kredit;

4. Dokumentasi dan Administrasi Kredit;

5. Pengawasan Kredit; dan

6. Penanganan Kredit Bermasalah;

b. Transparansi, yang merupakan kebijakan BPR untuk memberikan

informasi dengan lengkap dan jelas mengenai kredit yang ditawarkan

kepada debitur/calon debitur. Informasi tersebut paling kurang meliputi:

1. Informasi mengenai karakteristik kredit yang ditawarkan kepada

debitur/calon debitur yang mencakup nama kredit yang ditawarkan,

manfaat dan risiko yang melekat, persyaratan kredit, biaya-biaya

yang melekat, perhitungan bunga dan jangka waktu kredit yang

ditawarkan; dan

Tanggal

Page 129: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

122

2. Kejelasan mengenai bentuk dan isi Perjanjian Kredit serta pengikatan

agunan.

5. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan aktif terhadap pelaksanaan

kebijakan perkreditan, yang paling kurang mencakup:

a. Menelaah dan menyetujui kebijakan perkreditan BPR yang diusulkan

oleh Direksi;

b. Mengawasi pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan

pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan BPR;

c. Melaporkan hasil pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan dan

prosedur perkreditan BPR oleh Direksi kepada Bank Indonesia dalam

laporan pelaksanaan rencana kerja.

d. Laporan hasil pengawasan tersebut paling kurang memuat:

1. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit

2. Penilaian terhadap pelaksanaan penanganan kredit bermasalah

6. BPR melakukan evaluasi atas PKPB untuk memastikan PKPB telah sesuai

dengan perkembangan organisasi dan kompleksitas operasional BPR.

Perubahan/perbaikan terhadap PKPB yang dilakukan atas dasar hasil

evaluasi tersebut harus tetap mengacu pada Pedoman Standar KPB ini.

7. BPR wajib menyampaikan PKPB kepada Bank Indonesia paling lambat

tanggal 28 Desember 2012, sedangkan bagi BPR yang didirikan setelah

tanggal 28 Desember 2012, wajib menyampaikan PKPB kepada Bank

Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak izin usaha BPR diberikan.

1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan sebagai aturan pelaksana

Pasal 58B Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 yang pada intinya

mewajibkan Penerbit Kartu Kredit melakukan penyesuaian kepemilikan

Kartu Kredit khususnya yang dimiliki Pemegang Kartu Kredit yang

berpendapatan antara Rp3juta s.d. Rp10juta tiap bulan. Penyesuaian

kepemilikan Kartu Kredit ini untuk meningkatkan penerapan aspek

kehati-hatian, dan aspek manajemen risiko pemberian kredit dalam

penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK).

2. Pokok-pokok materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini

antara lain:

a. penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit, yang meliputi pengaturan

mengenai:

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/27/DASP 25 September 2012

Page 130: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

123

1. kewajiban Penerbit Kartu Kredit menyampaikan seluruh data

Pemegang Kartu Kredit kepada asosiasi Penerbit Kartu Kredit;

2. pelaksanaan kompilasi dan identifikasi data Pemegang Kartu Kredit

oleh asosiasi Penerbit Kartu Kredit;

3. penyampaian hasil identifikasi data Pemegang Kartu Kredit oleh

asosiasi Penerbit Kartu Kredit;

4. kewajiban Penerbit menutup/mengakhiri penggunaan Kartu Kredit,

serta melakukan penyesuaian Kartu Kredit yang dimiliki oleh

Pemegang Kartu Kredit yang memiliki pendapatan tiap bulan

antara Rp3juta s.d. Rp10juta;

5. kewajiban Penerbit Kartu Kredit untuk meminta Pemegang Kartu

Kredit memilih/menentukan sendiri Kartu Kredit yang akan ditutup

dan/atau disesuaikan; dan

6. penyelesaian tagihan Kartu Kredit.

b. konsultasi dengan Bank Indonesia, yang meliputi pengaturan mengenai:

1. persyaratan dan tata cara permohonan konsultasi;

2. pelaksanaan konsultasi: tahap konsultasi awal, tahap konsultasi

lanjutan, dan tahap pelaksanaan hasil konsultasi;

c. metode penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit, yaitu:

1. penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit berdasarkan kualitas kredit

dan masa perolehan Kartu Kredit; dan

2. penyesuaian plafon Kartu Kredit.

d. pengawasan dan laporan perkembangan penyesuaian Kartu Kredit,

meliputi pelaporan hasil identifikasi data Pemegang Kartu Kredit, dan

pelaporan pelaksanaan hasil konsultasi.

3. Dalam melakukan penyesuaian kepemilikan Kartu Kredit, Penerbit diberikan

jangka waktu selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari

2013. Dengan demikian per 1 Januari 2015, seluruh Pemegang Kartu

Kredit telah memenuhi persyaratan batas minimum usia, batas minimum

pendapatan, batas maksimum plafon kredit, dan batas maksimum jumlah

Penerbit Kartu Kredit yang memberikan fasilitas Kartu Kredit.

1. Peraturan ini diterbitkan untuk melakukan penyempurnaan mekanisme

Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara

(SBSN) dalam rangka Standing Facilities Syariah (Repo SBSN).

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/28/DPM 17 September 2012

Page 131: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

124

2. Repo SBSN merupakan transaksi penjualan SBSN oleh BUS/UUS kepada

Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh BUS/UUS sesuai

dengan harga dan jangka waktu yang disepakati dalam rangka Standing

Facilities Syariah.

3. Akad yang digunakan dalam Repo SBSN adalah menggunakan akad al

bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’d (janji) oleh BUS/UUS kepada

Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN.

4. Repo SBSN dilakukan melalui mekanisme non lelang, dengan jangka

waktu Repo SBSN adalah 1 hari kerja (overnight).

5. BUS/UUS dapat mengikuti Repo SBSN untuk kepentingan sendiri, dengan

memenuhi syarat :

a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;

b. tidak dalam masa pengenaan sanksi penghentian sementara untuk

mengikuti kegiatan OMS;

c. memiliki rekening giro di Sistem BI-RTGS; dan

d. memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS.

6. SBSN yang dapat di-repo-kan memenuhi syarat sebagai berikut :

a. SBSN Jangka Panjang dan SBSN Jangka Pendek;

b. tercatat dalam Rekening Surat Berharga di BI-SSSS;

c. tidak sedang diagunkan; dan

d. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada saat

second leg Repo SBSN.

7. Window time Repo SBSN adalah pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul

18.00 WIB pada setiap hari kerja. BUS/UUS dapat mengajukan Repo SBSN

melalui BI-SSSS yang meliputi antara lain nilai nominal, jenis dan seri SBSN

yang di-repo-kan.

8. Atas Repo SBSN, Bank Indonesia menetapkan Marjin Repo SBSN yaitu

tingkat keuntungan (profit rate) dalam setahun (per annum) yang disepakati

oleh para pihak yang melakukan transaksi Repo SBSN. Bank Indonesia

menetapkan Marjin Repo SBSN sebesar BI-Rate yang berlaku pada tanggal

transaksi ditambah marjin tertentu.

9. Setelmen dilakukan melalui BI-SSSS dengan ketentuan sebagai berikut:

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Page 132: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

125

a. first leg

• setelmen first leg dilakukan pada tanggal setelmen setelah pre cut

off Sistem BI-RTGS.

• BUS/UUS wajib menyediakan jenis dan seri SBSN yang direpokan

dalam jumlah yang cukup untuk setelmen first leg.

b.second leg

• setelmen second leg dilakukan pada tanggal setelmen second leg

BI-SSSS secara otomatis sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan

cut off warning Sistem BI-RTGS.

• BUS/UUS wajib menyediakan saldo Rekening Giro dalam jumlah

yang cukup untuk setelmen second leg.

10.Dalam hal BUS/UUS tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen second

leg, Repo SBSN diperlakukan sebagai transaksi penjualan secara outright.

11.Atas pembatalan Repo SBSN karena tidak terpenuhinya kewajiban

setelmen, BUS/UUS dikenakan sanksi :

a. sanksi teguran tertulis;

b.kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai

transaksi Repo SBSN yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar

Rp10.000.00,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

c. dalam hal BUS/UUS melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal

sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, BUS/UUS

dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti

kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut; dan

d.sanksi tambahan dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg

dan harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN

pada transaksi first leg.

12.Surat Edaran Bank Indonesia ini mencabut:

a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/44/DPM tanggal 10 Desember

2008 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat

Berharga Syariah Negara (SBSN) Dengan Bank Indonesia;

b.Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/24/DPM tanggal 30 Agustus

2010 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor

10/44/DPM tanggal 10 Desember 2008 perihal Tata Cara Transaksi

Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)

Dengan Bank Indonesia.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Page 133: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

126

1. Surat Edaran Bank Indonesia mengenai tata cara penitipan sementara

surat yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia diterbitkan

dengan pertimbangan:

a. sebagai ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia

No.14/13/PBI/2012 tanggal 16 Oktober 2012 tentang Penitipan

Sementara Surat yang Berharga dan Barang Berharga pada Bank

Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor

191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5350);

b. memberikan informasi mengenai tata cara penitipan sementara surat

yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia kepada

masyarakat.

2. Materi pokok yang tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia mengenai

tata cara penitipan sementara surat yang berharga dan barang berharga

pada Bank Indonesia meliputi:

a. tata cara penerimaan barang yang akan dititipkan dari calon penitip

kepada Bank Indonesia;

b. tata cara pengambilan titipan baik pada tanggal jatuh waktu maupun

sebelum tanggal jatuh waktu;

c. tata cara penggantian Bukti Titipan Sementara yang hilang atau rusak;

d. tata cara perpanjangan jangka waktu titipan;

e. waktu pelaksanaan penerimaan titipan, penyerahan titipan, penggantian

BTS yang hilang atau rusak, atau perpanjangan jangka waktu titipan;

f. tata cara penyelesaian titipan kedaluwarsa; dan

g. tata cara pemutusan hubungan penitipan oleh Bank Indonesia.

3. Pada saat Surat Edaran BI ini mulai berlaku, Surat Edaran BI No.7/21/DPM

tanggal 1 Juli 2005 perihal Tata Cara Penyimpanan Sekuritas, Surat yang

Berharga dan Barang Berharga pada Bank Indonesia sebagaimana telah

diubah dengan Surat Edaran BI No.11/20/DPM tanggal 4 Agustus 2009,

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

I. Latar Belakang Perubahan Pengaturan

1. Review atas pengaturan Pinjaman Luar Negeri (PLN) Bank perlu dilakukan

secara kontinu dalam upaya untuk senantiasa meningkatkan kredibilitas,

kualitas dan efektifitas pengaturan, serta konsistensi kebijakan dengan

melihat antara lain perkembangan kondisi perbankan, pasar keuangan,

dan perekonomian.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/29/DPU 16 Oktober 2012

14/30/DInt 22 Oktober 2012

Page 134: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

2. Perubahan terhadap SE Ekstern No.9/1/DInt perihal PLN Bank dilakukan

karena dipandang perlu memperjelas pengaturan PLN Bank khususnya

mengenai mekanisme perpanjangan (roll over) PLN Bank. Dalam hal

ini, cakupan roll over adalah roll over PLN Jangka Panjang dan/atau

roll over PLN Jangka Pendek menjadi PLN Jangka Panjang.

II. Bentuk Perubahan

Penambahan satu butir ketentuan, yaitu butir I.D.3.f1 (di antara butir

I.D.3.f dan I.D.3.g) mengenai realisasi persetujuan roll over PLN Jangka

Panjang dan/atau roll over PLN Jangka Pendek menjadi PLN Jangka Panjang

yang dapat disesuaikan dengan jatuh tempo per tranche.

III.Pokok-pokok Perubahan

Realisasi untuk persetujuan roll over PLN Jangka Panjang dan/atau roll

over PLN Jangka Pendek menjadi PLN Jangka Panjang dapat disesuaikan

dengan jatuh tempo per tranche. Dengan demikian, apabila realisasi PLN

Bank pada awalnya dilakukan secara bertahap (dalam beberapa tranches),

maka realisasi perpanjangan PLN tersebut dapat melampaui 3 (tiga) bulan

dari tanggal persetujuan roll over sesuai dengan jatuh tempo masing-

masing tranche pinjaman tersebut.

1. Penyempurnaan SE BI ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya

Peraturan Bank Indonesia No. 14/12/PBI/2012 tanggal 15 Oktober 2012

dan dalam rangka menciptakan keseragaman dalam penyusunan dan

penyampaian Laporan Kantor Pusat Bank Umum.

2. Pokok-pokok pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini adalah

menyempurnakan pedoman penyusunan laporan dan petunjuk teknis

aplikasi laporan khususnya terkait dengan laporan-laporan sebagai berikut:

1. proyeksi arus kas.

2. aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non Bank yang meliputi:

a. bancassurance;

b. reksadana; dan

c. produk keuangan luar negeri.

3. transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking.

4. structured products.

5. pejabat eksekutif.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/31/DPNP 31 Oktober 2012

127

Page 135: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

6. jaringan kantor

7. laporan keuangan publikasi Bank

8. tenaga kerja perbankan

3. SE BI ini mulai berlaku sejak tanggal 1 November 2012.

1. Repo SBSN Operasi Pasar Terbuka (OPT) Syariah merupakan instrumen

yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk penambahan likuiditas Bank

dalam rangka Operasi Moneter Syariah (OMS) atau ekspansi moneter.

2. Akad yang digunakan dalam Repo SBSN adalah menggunakan akad al

bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’d (janji) oleh BUS/UUS kepada

Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN.

3. Repo SBSN OPT Syariah dapat dilakukan pada setiap hari kerja Bank

Indonesia dengan jangka waktu Repo SBSN OPT Syariah paling singkat

1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam

hari.

4. Repo SBSN OPT Syariah dilakukan melalui mekanisme lelang, baik lelang

fixed rate tender maupun variable rate tender.

5. BUS/UUS dapat mengikuti Repo SBSN OPT Syariah untuk kepentingan

sendiri, dengan memenuhi syarat :

a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;

b. tidak dalam masa pengenaan sanksi penghentian sementara untuk

mengikuti kegiatan OMS;

c. memiliki rekening giro di Sistem BI-RTGS; dan

d. memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS.

6. BUS/UUS dapat mengajukan penawaran Repo SBSN OPT Syariah secara

langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara.

7. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah dan valuta asing,

dan pialang pasar modal yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik

Indonesia sebagai dealer utama. Lembaga Perantara Lembaga Perantara

hanya dapat mengajukan penawaran untuk kepentingan BUS/UUS dan

harus memenuhi syarat sebagai berikut:

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/32/DPM 7 November 2012

128

Page 136: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

a. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS; dan

b.tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas pengawas

yang berwenang.

8. SBSN yang dapat di-repo-kan memenuhi syarat sebagai berikut :

a. SBSN Jangka Panjang dan SBSN Jangka Pendek;

b.tercatat dalam Rekening Surat Berharga di BI-SSSS;

c. tidak sedang diagunkan; dan

d.memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) hari kerja pada saat

second leg Repo SBSN.

9. Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Repo SBSN OPT Syariah

melalui BI-SSSS paling lambat sebelum window time, pelaksanaan lelang

antara pukul 08.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB.

10.Pengajuan penawaran Repo SBSN OPT Syariah antara lain meliputi:

a. nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan, untuk lelang

dengan metode fixed rate tender; atau

b.nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan dan Marjin Repo

SBSN, untuk lelang dengan metode variable rate tender.

11.Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Repo SBSN OPT Syariah

setelah window time ditutup secara individual kepada pemenang lelang

maupun secara keseluruhan.

12.Setelmen dilakukan melalui BI-SSSS dengan ketentuan sebagai berikut:

a. first leg

BUS/UUS wajib menyediakan jenis dan seri SBSN yang direpokan dalam

jumlah yang cukup untuk setelmen first leg.

b.second leg

• setelmen second leg dilakukan secara otomatis di BI-SSSS pada

tanggal Repo SBSN OPT Syariah jatuh waktu (second leg), sejak

Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan cut off warning Sistem BI-

RTGS.

• BUS/UUS wajib menyediakan saldo Rekening Giro dalam jumlah

yang cukup untuk setelmen second leg.

13.Dalam hal BUS/UUS tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen second

leg, Repo SBSN diperlakukan sebagai transaksi penjualan secara outright.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

129

Page 137: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

14.Atas pembatalan Repo SBSN karena tidak terpenuhinya kewajiban

setelmen, BUS/UUS dikenakan sanksi :

a. sanksi teguran tertulis;

b.kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai

transaksi Repo SBSN yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar

Rp10.000.00,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

c. dalam hal BUS/UUS melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal

sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, BUS/UUS

dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti

kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut; dan

d.sanksi tambahan dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg

dan harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN

pada transaksi first leg.

1. Latar belakang

Sebagaimana pada perbankan konvensional, pertumbuhan pembiayaan

kepemilikan rumah (KPR iB) yang terlalu tinggi pada perbankan syariah

dapat mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan

harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan risiko kredit

bagi bank yang memiliki eksposur pembiayaan properti yang besar.

Demikian pula untuk pembiayaan kendaraan bermotor (KKB iB) bahwa

pembiayaan KKB iB yang terlalu ekspansif dapat meningkatkan risiko

kredit bagi bank.

Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan peningkatan peran

perbankan syariah dalam mendukung pertumbuhan perekonomian nasional

melalui pembiayaan yang produktif maka sebagaimana yang telah

diberlakukan untuk perbankan konvensional, perbankan syariah perlu

menetapkan kebijakan terkait denganpembiayaan KPR iB dan KKB iB.

Kebijakan dalam pembiayaan KPR iB dan KKB iB pada perbankan syariah

dilakukan dengan tetap memperhatikan karakteristik produk perbankan

syariah termasuk fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-

Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

2. Pokok-pokok ketentuan

a. Produk pembiayaan KPR iB

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/33/DPbS 27 November 2012

130

Page 138: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

131

1) Pengaturan pembiayaan KPR iB hanya diberlakukan untuk pembiayaan

KPR iB untuk rumah/bangunan tipe 70 ke atas dan tidak termasuk

KPR iB dalam rangka pelaksanaan program perumahan yang

ditetapkan pemerintah.

2) Pembiayaan KPR iB dengan akad Murabahah atau Istishna dikenakan

ketentuan batasan Financing to Value (FTV) paling tinggi 70% artinya

jumlah pembiayaan yang dapat diberikan oleh bank syariah paling

banyak sebesar 70% dari nilai agunan yang diserahkan nasabah.

Agunan dalam hal ini adalah rumah/bangunan yang dibiayai bank.

3) Pembiayaan KPR iB dengan skim Musyarakah Mutanaqisah (MMQ)

dipersyaratkan adanya batasan penyertaan (sharing) kepemilikan

rumah/bangunan pada saat awal oleh bank syariah ditetapkan

paling tinggi 80% dari nilai rumah/bangunan, atau dengan kata

lain nasabah diharuskan melakukan penyertaan (sharing) kepemilikan

awal paling rendah 20% nilai rumah/bangunan.

4) Pembiayaan KPR iB dengan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik

(IMBT) dipersyaratkan adanya uang jaminan (deposit) yang harus

diserahkan oleh nasabah kepada bank syariah paling rendah 20%

dari nilai rumah/bangunan. Uang jaminan tersebut nantinya akan

diperhitungkan sebagai pembayaran atas pembelian rumah/

bangunan pada saat akad IMBT jatuh tempo dalam hal nasabah

mengambil opsi untuk membeli rumah/bangunan yang menjadi

obyek IMBT.

Dalam hal nasabah tidak mengambil opsi untuk membeli rumah/

bangunan yang menjadi obyek IMBT, maka uang jaminan tersebut

akan dikembalikan kepada nasabah.

b. Produk pembiayaan KKB iB

Pembiayaan KKB iB pada perbankan syariah dipersyaratkan adanya

uang muka (down payment) dari nasabah yaitu:

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Ketentuan Keterangan

Uang muka paling rendah

25%

Uang muka paling rendah

30%

untuk pembelian kendaraan bermotor

roda dua atau roda 3.

untuk pembelian kendaraan bermotor

roda empat untuk keperluan non

produktif.

Page 139: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

132

3. Ketentuan FTV, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk

KPR iB serta uang muka (down payment) untuk KKB iB sebagaimana

dimaksud dalam angka 2 dan angka 3 tersebut di atas dapat disesuaikan

dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia.

4. Sanksi pelanggaran:

a. Bank Indonesia meminta BUS atau UUS untuk menghentikan kegiatan

produk KPR iB dan/atau KKB iB apabila melanggar ketentuan butir

IV.C, butir V.B, butir V.D, dan butir VI.B Surat Edaran ini.

b. BUS atau UUS yang tidak menghentikan kegiatan produk KPR iB

dan/atau KKB iB sesuai permintaan Bank Indonesia sebagaimana

dimaksud pada huruf a, dikenakan sanksi administratif sebagaimana

diatur dalam Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/17/PBI/2008

tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

5. BUS atau UUS yang telah memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai

penyaluran KPR iB dan/atau KKB iB sebelum Surat Edaran ini berlaku,

wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur KPR iB dan/atau KKB iB serta

menyampaikannya kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal

31 Maret 2013.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Ketentuan Keterangan

Uang muka paling rendah

20%

untuk pembelian kendaraan bermotor

roda empat atau lebih untuk keperluan

produktif, yaitu bila memenuhi salah

satu syarat :

1) merupakan kendaraan angkutan

orang atau barang yang memiliki

izin yang dikeluarkan oleh pihak

berwenang untuk melakukan

kegiatan usaha tertentu; atau

2) diajukan oleh perorangan atau

badan hukum yang memiliki izin

usaha tertentu yang dikeluarkan

oleh pihak berwenang dan

digunakan untuk mendukung

kegiatan operasional usaha yang

dimiliki.

Page 140: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

6. Ketentuan FTV, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk

KPR iB dan uang muka (down payment) untuk KKB iB tidak berlaku untuk

KPR iB dan KKB iB yang sudah mendapat persetujuan Bank sebelum

berlakunya Surat Edaran ini.

7. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tanggal 27 November 2012, sedangkan

ketentuan FTV, penyertaan (sharing), dan uang jaminan (deposit) untuk

KPR iB serta uang muka (down payment) untuk KKB iB mulai berlaku

pada tanggal 1 April 2013.

1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan untuk meningkatkan aspek

perlindungan konsumen pengguna Kartu Kredit di Indonesia serta

mendukung praktek pemberian Kartu Kredit yang lebih memperhatikan

manajemen risiko pemberian kredit.

2. Materi pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain mencakup:

a. penetapan batas maksimum suku bungan Kartu Kredit yang wajib

diterapkan oleh Penerbit Kartu Kredit, yaitu sebesar 2,95% (dua koma

sembilan puluh lima persen) per bulan atau 35,40% (tiga puluh lima

koma empat puluh persen) per tahun;

b. batas maksimum suku bunga Kartu Kredit tersebut berlaku baik untuk

transaksi pembelanjaan maupun transaksi tarik tunai; dan

c. penegasan bahwa Bank Indonesia dapat mengubah batas maksimum

suku bunga Kartu Kredit tersebut dengan mempertimbangkan, antara

lain:

1) indikator perekonomian seperti BI rate;

2) struktur biaya Kartu Kredit yang meliputi biaya dana (cost of fund),

biaya operasional dan pengelolaan risiko kredit oleh Penerbit (risk

premium); dan/atau

3) praktek suku bunga yang dikenakan oleh Penerbit.

3. Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku secara efektif pada 1 Januari

2013.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/34/DASP 27 November 2012

133

Page 141: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

Latar Belakang Pengaturan :

Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya

Peraturan Bank Indonesia No. 14/14/PBI/2012 tanggal 18 Oktober 2012

tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank. SE ini mewajibkan bank

untuk menyampaikan informasi berkala mengenai kondisi Bank secara

menyeluruh, sehingga dapat meningkatkan transparansi kondisi keuangan

Bank kepada publik dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga

perbankan. Penyesuaian SE ini juga diselaraskan dengan implementasi Pilar

3 Basel II mengenai market discipline.

Substansi Pengaturan :

1. Laporan Tahunan paling kurang mencakup:

a. Informasi Umum

b. Laporan Keuangan Tahunan

c. Opini dari Akuntan Publik

d. Pengungkapan Permodalan serta Pengungkapan Eksposur Risiko dan

Penerapan Manajemen Risiko Bank

e. Aspek Transparansi sesuai Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan

f. Aspek Pengungkapan yang terkait dengan Kelompok Usaha

g. Aspek Pengungkapan sesuai Standar Akuntansi Keuangan

h. Informasi Lain

2. Penyesuaian utama dalam cakupan Laporan Tahunan adalah diwajibkannya

pengungkapan secara lebih detail dan komprehensif mengenai eksposur

risiko dan penerapan manajemen risiko bank, serta kecukupan permodalan

yang dimiliki. Pengungkapan permodalan serta pengungkapan eksposur

risiko dan penerapan manajemen risiko bank dilakukan untuk Bank secara

individual dan Bank secara konsolidasi dengan perusahaan anak, serta

paling kurang terdiri atas:

a. Pengungkapan permodalan; dan

b. Pengungkapan eksposur risiko dan penerapan manajemen risiko paling

kurang untuk risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas,

risiko hukum, risiko stratejik, riisko kepatuhan dan risiko reputasi.

3. Selain menyampaikan Laporan Tahunan, Bank yang merupakan bagian

dari kelompok usaha dan/atau Bank yang memiliki Perusahaan Anak,

wajib menyampaikan laporan tahunan tertentu kepada Bank Indonesia

yang paling kurang mencakup:

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/35/DPNP 10 Desember 2012

134

Page 142: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

135

a. Laporan tahunan Perusahaan Induk dan laporan tahunan Perusahaan

Induk di Bidang Keuangan;

b. Laporan tahunan pemegang saham langsung yang memiliki saham

mayoritas atau laporan tahunan perusahaan yang melakukan

pengendalian langsung kepada Bank; dan

c. Laporan tahunan Perusahaan Anak.

4. Ketentuan penyampaian Laporan Tahunan dan laporan tahunan tertentu

mulai berlaku terhadap penyampaian Laporan Tahunan dan laporan

tahunan tertentu Tahun Buku 2012.

1. Surat Edaran ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari PBI No.14/9/PBI/2012

tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) BPR.

2. Dengan diberlakukannya ketentuan ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia

No.6/35/DPBPR tanggal 16 Agustus 2004 perihal Penilaian Kemampuan

dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Perkreditan Rakyat, dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku.

3. Penyempurnaan pengaturan ini antara lain:

a. Penyempurnaan cakupan pihak-pihak yang wajib menjalani uji

kemampuan dan kepatutan.

1. Penambahan calon Pemegang Saham Pengendali (PSP), calon

anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi BPR yang

melakukan merger dan konsolidasi sebagai pihak-pihak yang wajib

menjalani uji kemampuan dan kepatutan.

2. Penambahan PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan

atau Pejabat Eksekutif yang sudah tidak lagi menjadi PSP atau

tidak lagi menjabat sebagai anggota Komisaris, Direksi, atau Pejabat

Eksekutif namun terindikasi mempunyai permasalahan integritas,

kelayakan/reputasi keuangan dan/atau kompetensi pada bank,

sebagai pihak yang wajib menjalani uji kemampuan dan kepatutan.

3. Terhadap pengangkatan kembali jabatan anggota Dewan Komisaris

dan anggota Direksi pada BPR yang sama tidak dilakukan uji

kemampuan dan kepatutan. Pengangkatan kembali jabatan anggota

Dewan Komisaris dan anggota Direksi tersebut dilaporkan kepada

Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah RUPS dengan

memperhatikan berakhirnya masa jabatan anggota Dewan Komisaris

dan anggota Direksi.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/36/DKBU 24 Desember 2012

Page 143: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

b. Penyempurnaan tatacara uji kemampuan dan kepatutan:

1. New Entry

Memuat penjelasan mengenai:

• tata cara uji kemampuan dan kepatutan melalui penelitian

administratif dan wawancara.

• tatacara penghentian uji kemampuan dan kepatutan bagi calon

yang diajukan BPR.

2. Existing

Memuat penjelasan mengenai:

• tindakan/perbuatan yang termasuk dalam permasalahan

integritas, kelayakan/reputasi keuangan dan/atau kompetensi

bagi uji kemampuan dan kepatutan.

• sumber bukti/data/informasi sebagai dasar dilakukan uji

kemampuan dan kepatutan.

• tahapan penilaian.

• klasifikasi tingkat keterlibatan/peran dari pihak yang diuji.

• konsekuensi tidak lulus khususnya apabila pihak yang ditetapkan

tidak lulus tersebut telah menjadi pemegang saham atau

pengurus pada bank lain.

• surat kuasa menjual saham (bentuk, isi, dan pihak yang dapat

menerima surat kuasa menjual).

c. Penjelasan pengenaan jangka waktu sanksi, sebagaimana tercantum

dalam Lampiran 3a dan 3b Surat Edaran ini.

d. Penjelasan ketentuan peralihan.

1. Penyempurnaan SE BI ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya

Peraturan Bank Indonesia No. 14/18/PBI/2012 tanggal 28 November 2012

tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.

2. Pokok-pokok pengaturan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini meliputi

antara lain:

a. Komponen Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP)

paling kurang mencakup:

1. Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi

Tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi dalam ICAAP antara

lain adalah (i) memahami sifat dan tingkat risiko yang dihadapi

oleh Bank, menilai kecukupan kualitas manajemen risiko, dan

mengaitkan tingkat risiko dengan kecukupan modal yang dimiliki

Bank untuk mengantisipasi risiko-risiko yang dihadapi dan untuk

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/37/DPNP 27 Desember 2012

136

Page 144: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

137

mendukung rencana bisnis serta rencana strategis Bank di masa

mendatang dan (ii) memastikan terlaksananya ICAAP secara

konsisten dan terintegrasi dalam aktivitas operasional Bank.

2. Penilaian Kecukupan Modal

Dalam pelaksanaan penilaian kecukupan modal, bank antara lain

wajib memiliki kebijakan dan prosedur yang memadai untuk

memastikan bahwa seluruh risiko telah diidentifikasi, diukur, dan

dilaporkan secara berkala kepada Dewan Komisaris dan Direksi.

Selain itu Bank wajib memiliki metode dan proses dalam melakukan

penilaian kecukupan permodalan dengan mengaitkan tingkat risiko

dengan tingkat permodalan yang dibutuhkan untuk menyerap

potensi kerugian dari risiko dimaksud. Hasil pengukuran risiko dan

perhitungan tingkat permodalan yang dibutuhkan, termasuk

metode dan asumsi yang digunakan wajib didokumentasikan.

3. Pemantauan dan Pelaporan

Dalam proses pemantauan dan pelaporan, Bank wajib memiliki

sistem informasi yang memadai untuk memantau dan melaporkan

eksposur risiko serta mengukur dampak perubahan profil risiko

terhadap kebutuhan modal Bank. Laporan disampaikan secara

berkala kepada Dewan Komisaris dan Direksi.

4. Pengendalian Internal

Dalam pelaksanaan pengendalian internal, Bank wajib memiliki

sistem pengendalian intern yang memadai untuk memastikan

keandalan dari ICAAP yang diimplementasikan serta melakukan

kaji ulang ICAAP secara berkala paling kurang 1 (satu) tahun sekali

dan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan Bank.

b. Terhadap ICAAP bank, Bank Indonesia melakukan Supervisory Review

and Evaluation Process (SREP), yang meliputi penilaian terhadap:

1. Kecukupan pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;

2. Kecukupan penilaian kecukupan modal;

3. Kecukupan pemantauan dan pelaporan;

4. Kecukupan pengendalian internal.

c. Laporan penilaian kecukupan modal minimum sesuai profil risiko dan

Laporan pemenuhan CEMA minimum disusun sesuai pedoman yang

diatur dalam SE BI ini.

d. Dalam rangka pemenuhan CEMA, aset keuangan yang digunakan

sebagai CEMA harus bebas dari klaim pihak manapun yang dibuktikan

dengan surat pernyataan dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan

di luar negeri. Surat pernyataan tersebut mengacu pada format surat

pernyataan dalam Lampiran SE BI ini.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Page 145: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

138

e. Pemenuhan CEMA minimum dilakukan melalui tahapan implementasi

sebagai berikut:

1. Seluruh kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri

wajib memenuhi CEMA minimum sebesar 8% (delapan persen)

dari total kewajiban bank paling lambat posisi bulan Juni 2013.

2. Dalam hal CEMA minimum sebesar 8% terhadap rata-rata total

kewajiban lebih kecil dari Rp1 Triliun sejak posisi bulan Juni 2013

sampai dengan posisi bulan November 2017, kantor cabang dari

bank yang berkedudukan di luar negeri tetap wajib memenuhi

CEMA minimum sebesar 8% (delapan persen) dari total kewajiban

bank.

3. Kewajiban pemenuhan CEMA minimum paling sedikit Rp1 Triliun

bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri

sebagaimana dimaksud pada angka 2), berlaku sejak posisi bulan

Desember 2017.

1. Surat Edaran Bank Indonesia ini merupakan peraturan pelaksanaan dari

Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/3/PBI/2012 tentang Program Anti

Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara

Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2012 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5302), Surat

Edaran ini memuat pedoman standar penerapan program Anti Pencucian

Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa

Sistem Pembayaran Selain Bank.

2. Dalam menerapkan Program APU dan PPT, Penyelenggara wajib memiliki

kebijakan dan prosedur tertulis yang paling kurang mencakup:

a. pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence

(EDD), yang terdiri dari:

1. permintaan informasi dan dokumen;

2. verifikasi dokumen; dan

3. pemantauan transaksi.

b. penatausahaan dokumen;

c. penetapan profil pengguna jasa dan pengkinian informasi pengguna

jasa;

d. penolakan dan penghentian hubungan usaha;

e. kebijakan dan prosedur transfer dana; dan

f. pelaporan kepada PPATK.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/38/DASP 28 Desember 2012

Page 146: Bu Let in Hukum 10030912

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012

3. Dalam hal Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank berhubungan

dengan Pengguna Jasa yang tergolong berisiko tinggi terhadap kemungkinan

pencucian uang dan pendanaan terorisme, Penyelenggara tersebut wajib

melakukan prosedur CDD yang lebih mendalam yang disebut dengan

Enhanced Due Diligence (EDD).

4. Penyelenggara wajib menatausahakan dokumen dengan baik sebagai

upaya untuk membantu pihak yang berwenang dalam melakukan

penelusuran terhadap dana-dana yang diindikasikan berasal dari hasil

tindak pidana.

5. Penyelenggara wajib memiliki fungsi pengendalian internal yang efektif

yang dilakukan dengan penetapan kebijakan Direksi, yang dapat memastikan

bahwa pelaksanaan Program APU dan PPT telah sesuai dengan kebijakan

dan prosedur yang ditetapkan.

6. Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada

tanggal 8 Juni 2013.

I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan Surat Edaran Bank Indonesia

Nomor 13/3/DPM perihal Laporan Harian Bank Umum sehubungan dengan

adanya pengembangan sistem dan tata cara pelaporan Laporan Harian

Bank Umum melalui perubahan beberapa form pelaporan.

II. Penyempurnaan pengaturan meliputi :

1. Penyempurnaan pelaporan proyeksi arus kas terkait dengan

penyempurnaan metode perhitungan proyeksi arus kas berdasarkan

pendekatan remaining maturity dan berdasarkan pendekatan behavioral

dan rencana pendanaan-penggunaan.

2. Penyempurnaan pelaporan transaksi valas meliputi penyempurnaan

kode tujuan transaksi yang lebih rinci dan penambahan field jenis

dokumen untuk transaksi tod/tom/spot, transaksi derivatif berupa

forward, swap, option, dan transaksi derivatif lainnya.

3. Pengaturan waktu dan media penyampaian koreksi atas data jenis

dokumen untuk transaksi tod/tom/spot, transaksi derivatif berupa

forward, swap, option, dan transaksi derivatif lainnya, yaitu paling

lama pukul 16.00 WIB pada tanggal valuta transaksi valas yang

bersangkutan. Koreksi atas data jenis dokumen dimaksud disampaikan

RingkasanTanggalNo. Peraturan

14/39/DPM 28 Desember 2012

139

Page 147: Bu Let in Hukum 10030912

140

kepada Bank Indonesia melalui daftar pesan pada sistem Laporan

Harian Bank Umum.

4. Perubahan waktu penyampaian koreksi terhadap data suku bunga

penawaran pada tanggal laporan, yang semula paling lama pukul

11.00 WIB pada hari kerja yang sama menjadi paling lama pukul 10.45

WIB pada hari kerja yang sama.

5. Penghapusan kewajiban pelaporan suku bunga dasar kredit rupiah

dan valuta asing dalam ketentuan mengenai laporan harian bank

umum. Pelaporan suku bunga dasar kredit tersebut akan diatur lebih

lanjut dalam ketentuan mengenai laporan berkala bank umum.

6.Penyempurnaan penyebutan nama satuan kerja di Bank Indonesia

sehubungan dengan adanya perubahan struktur dan fungsi organisasi

di Bank Indonesia.

RingkasanTanggalNo. Peraturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 10, Nomor 3, September - Desember 2012