BTLS

6
Nama : Fitri Octavia Hadi Putri NIM : 115070201111015 Kelas/ Angkatan : IK Reguler 1/ 2011 Has Increased Nursing Competence in the Ambulance Services Impacted on Pre-Hospital Assessment and Interventions in Severe Traumatic Brain-Injured Patients? Ann-Charlotte Falk, Annika Alm and Veronica Lindström Latar Belakang Trauma adalah salah satu penyebab paling umum mordibitas dan mortalitas pada masyarakat modern, dan cedera otak traumatik (TBI) adalah penyebab utama kematian pada dewasa muda. Di wilayah Nordic, angka kematiannya adalah 12.6/100.00 penduduk per tahun (laki-laki/perempuan, 18.8/6.4), di Swedia dengan median kematian terendah (9.5/100.000) dibandingkan di Norwegia (10.4), Denmark (11.5) dan Finlandia (21.2). Penatalaksanaan akut pasien dengan TBI, pre-hospital dan in-hospital, telah berkembang dalam 15 tahun terakhir, dan panduan evidence-based telah dipublikasikan. Berdasarkan panduan, tujuan dari intervensi akut adalah untuk mengidentifikasi pasien yang membutuhkan intervensi akut sedini mungkin untuk mencegah cedera otak sekunder akibat hipoksia dan/atau hipotensi, serta dengan demikian meminimalkan dampak cacat jangka panjang. Variabel yang dapat memprediksi dampak jangka panjang TBI, diantaranya adalah GCS, reaksi pupil, usia saat terjadi cedera dan penemuan pada CT Scan. Namun, sebagian besar dari variabel tersebut diukur pada saat kedatangan pasien di rumah sakit primer, bukan dalam setting pra-rumah sakit. Hal ini terjadi meskipun fakta bahwa personil dalam Sistem Medis

Transcript of BTLS

Page 1: BTLS

Nama : Fitri Octavia Hadi Putri

NIM : 115070201111015

Kelas/ Angkatan : IK Reguler 1/ 2011

Has Increased Nursing Competence in the Ambulance Services Impacted on Pre-Hospital Assessment and Interventions in Severe Traumatic Brain-Injured Patients?Ann-Charlotte Falk, Annika Alm and Veronica Lindström

Latar BelakangTrauma adalah salah satu penyebab paling umum mordibitas dan mortalitas pada

masyarakat modern, dan cedera otak traumatik (TBI) adalah penyebab utama kematian

pada dewasa muda. Di wilayah Nordic, angka kematiannya adalah 12.6/100.00

penduduk per tahun (laki-laki/perempuan, 18.8/6.4), di Swedia dengan median kematian

terendah (9.5/100.000) dibandingkan di Norwegia (10.4), Denmark (11.5) dan Finlandia

(21.2). Penatalaksanaan akut pasien dengan TBI, pre-hospital dan in-hospital, telah

berkembang dalam 15 tahun terakhir, dan panduan evidence-based telah

dipublikasikan. Berdasarkan panduan, tujuan dari intervensi akut adalah untuk

mengidentifikasi pasien yang membutuhkan intervensi akut sedini mungkin untuk

mencegah cedera otak sekunder akibat hipoksia dan/atau hipotensi, serta dengan

demikian meminimalkan dampak cacat jangka panjang. Variabel yang dapat

memprediksi dampak jangka panjang TBI, diantaranya adalah GCS, reaksi pupil, usia

saat terjadi cedera dan penemuan pada CT Scan. Namun, sebagian besar dari variabel

tersebut diukur pada saat kedatangan pasien di rumah sakit primer, bukan dalam setting

pra-rumah sakit. Hal ini terjadi meskipun fakta bahwa personil dalam Sistem Medis

Darurat (EMS) adalah penyedia layanan kesehatan pertama yang membuat penilaian

pertama dan melakukan intervensi di tempat cedera. Petugas EMS memiliki tingkat

pendidikan, kemampuan dan kualifikasi yang bervariasi, studi sebelumnya telah

menunjukkan bahwa pelayanan pre-hospital dapat berbeda tergantung pada profesi

staf perawatan kesehatan yang pertama merawat mereka.

Sebagai evaluasi dalam pelayanan perawat, penelitian Naylor et al, menunjukkan bahwa

asuhan keperawatan sebagai pusat dan penting untuk pemberian perawatan berkualitas

tinggi di berbagai pengaturan perawatan kesehatan. Pada setting di rumah sakit, hasil

penelitian Aiken et al. Menunjukkan hubungan positif antara tingkat pendidikan perawat

dan penurunan angkat kematian dan kegagalan penyelamatan. Pada tahun 2005, terjadi

Page 2: BTLS

perubahan dalam kompetensi dalam layanan ambulans di Swedia karena regulasi dari

Badan Kesehatan Nasional. Setiap ambulans harus diwakili oleh satu orang EMT dan

satu orang RN dengan kompetensi advanced life support dan petugas EMT dengan

pengetahuan BLS. Perubahan ini untuk memastikan kompetensi keperawatan yang

lebih tinggi secara teoritis dapat meningkatkan kemampuan untuk melakukan perawatan

lanjutan dan pengobatan selama berada di ambulans dan mungkin memiliki efek pada

pasien TBI. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki apakah

peningkatan kompetensi dapat berdampak pada pengkajian pre-hospital dan intervensi

pasien cedera otak yang parah yang dirawat pada layanan ambulans.

MetodeStudi observasional retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Universitas di Swedia selama

tahun 2000-2009.

Setting

EMS dan rumah sakit universitas (pusat trauma level 1) mencakup sekitar 2,1 juta

penduduk di daerah Stockholm. Waktu untuk mencapai rumah sakit tersebut kurang dari

60 menit. Insidensi cedera otak di daerah tersebut selama penelitian mencapai 120-

160/100.000 penduduk per tahun. The County Council bertanggung jawab atas EMS,

dan selama masa studi disediakan oleh suatu organisasi di negara tersebut dan tiga

perusahaan swasta yang dikontrak oleh County Council. Selama masa penelitian

terdapat 55 armada ambulans.

Pasien dan Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dari database cedera trauma otak selama tahun 2000-2009, termasuk

didalamnya semua pasien TBI parah dewasa (> 15 tahun) dengan GCS kurang dari 8

dan membutuhkan perawatan intensif. Tidak ada pasien yang dikeluarkan dalam

penelitian ini.

Pengukuran

Data yang dikumpulkan dari database adalah variable demografi rumah sakit (usia, jenis

kelamin, mekanisme dan tipe cedera, GCS) dan dokumentasi awal GCS pre-hospital,

pengkajian TTV dan intervensi mengenai jalan nafas dan sirkulasi. Langkah-langkah

pengukuran tingkat kesadaran/ GCS pasien dengan pasien membuka mata, respon

Page 3: BTLS

motorik dan respon verbal. Skor bervariasi antara 3-8 (cedera otak berat), 9-13 (cedera

otak sedang) dan 14-15 (cedera otak ringan). Dalam penelitian ini, TBI berat

didefinisikan sebagai pasien dengan GCS kurang dari 8 saat masuk ke rumah sakit.

PembahasanLayanan ambulans di Swedia telah berkembang dari sebuah organisasi terutama yang

membawa pasien ke rumah sakit menjadi sebuah organisasi dengan perawatan lanjutan

dan perawatan medis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kompetensi RNS dalam ambulans

mungkin memiliki dampak pada bentuk pengkajian yang diberikan. Fakta bahwa

pengkajian saturasi ebih sering didokumentasikan bisa menjadi hasil dari peningkatan

kompetensi secara keseluruhan. Hal ini didukung oleh hasil Laudermilch et al. yang

menunjukkan bahwa dokumentasi lengkap dari penurunan data fisiologis kematian

menjadi 4,5 % vs 10,3 % dibandingkan dengan mereka yang dokumentasinya tidak

lengkap dalam EMS. Hal ini dapat mengurangi jumlah cedera sekunder di tempat

cedera, jika pengkajian mengarah ke intervensi seperti administrasi cairan IV, oksigen,

manajemen jalan napas dan identifikasi tingkat perawatan yang optimal. Namun,

dampak pada hasil primer, angka kematian di rumah sakit, menunjukkan tidak ada

perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah RNS bekerja di ambulans. Hasilnya

pengukuran GOS menunjukkan penurunan setelah tahun 2006 (14 % vs 6 %). Hal ini

dapat dikaitkan dengan fakta bahwa lebih banyak pasien (dalam kelompok setelah

tahun 2005) yang mengalami luka lain serta cedera otak berat.

Kurangnya hasil positif bisa disebabkan oleh beberapa alasan; salah satumya fakta

bahwa tindakan yang digunakan tidak berlaku untuk mengukur kualitas asuhan

keperawatan. Seperti yang dilaporkan oleh Naylor et al. status kesehatan, kualitas

hidup,

dan pengalaman pasien atau kerabat dapat digunakan untuk mengukur kualitas asuhan

keperawatan dalam pengaturan perawatan kesehatan. Namun, dalam layanan

ambulans, mungkin ada langkah-langkah lain yang dapat menangkap kualitas

keperawatan. Untuk lebih mempelajari indikator kualitas dalam berbagai pengaturan

keperawatan seperti kemampuan RNS dalam mengidentifikasi tingkat optimal perawatan

untuk pasien akan berkontribusi terhadap perdebatan tentang perlunya kompetensi yang

lebih tinggi antara perawat di EMS.

Fakta bahwa pengukuran outcome yang digunakan dalam studi tidak diukur secara

Page 4: BTLS

langsung dengan perawatan EMS tetapi selama tinggal di rumah sakit juga harus

dipertanggungjawabkan. Lama rawat inap di ICU mungkin harus dipersingkat setelah

tahun 2005 ketika RNS yang diatur untuk bekerja di ambulans. Salah satu alasan untuk

memperpendek lama tinggal di rumah sakit dapat dilakukan dengan peningkatkan

pengobatan dan perawatan di rumah sakit; alasan lain bisa menjadi pengembangan

perawatan di EMS, seperti dilansir Rudehill dan Hartl.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi skor GCS baik di tempat kejadian

cedera dan setelah masuk ke rumah sakit tidak memiliki perbedaan yang signifikan

dalam kedua periode studi, yang bisa berarti bahwa peningkatan kompetensi tidak

berdampak pada cedera primer. Hal ini mungkin menunjukkan perlunya kesadaran akan

kesulitan dalam identifikasi awal TBI berat dan potensi untuk pengelolaan yang optimal.

Fakta bahwa sebagian besar pasien jatuh kurang dari tiga meter lebih berbahaya

dibanding dengan yang jatuh dari berdiri behubungan dengan cedera otak traumatis

daripada kecelakaan di jalan dan lalu lintas di Swedia.

Kenyataan bahwa waktu transportasi di wilayah ini kurang dari 60 menit juga bisa

menjadi penjelasan lain untuk dampak yang rendah pada intervensi. Namun demikian,

studi lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki dampak yang benar mengenai kompetensi

EMS pada outcome pasien dan untuk mengeksplorasi indikator yang mungkin dalam

pelayanan keperawatan di ambulans.

Dapat disimpulkan, menerapkan personel lebih kompeten dalam ambulans mungkin

dapat menghasilkan pengkajian kebutuhan pasien yang lebih baik tetapi tidak

menunjukkan dampak saat dilakukan intervensi pre-hospital atau kematian di rumah

sakit.