bse.docx
-
Upload
andra-adi-esnawan -
Category
Documents
-
view
55 -
download
4
Transcript of bse.docx
Makalah:Prion di saliva sapi yang terinfeksi Bovine Spongiform Encephalopathy
Dari Artikel: Prion in Saliva of Bovine Spongiform Encephalopathy–Infected Cattle
Senin 20 Mei 2013, pukul 11.00-13.00 WIB(pratikum siang)
Okada H, Murayama Y, Shimozaki N, et al. Prion in Saliva of Bovine Spongiform
Encephalopathy Infected Cattle. Emerging Infectious Diseases. 2012;18:2091-2092.
www.cdc.gov/eid/10.3201/eid1812.120528.
Kelompok 2
Ika Septiana Anggun P. B04100091
Maharja Mawali B04100151
Amalia Meini B04100152
Adam Kustiadi B04100154
Aulia Manar Nafisa B04100155
Alfonsa Sri K.W. B04100156
Pawitra Lintang B04100158
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN
DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sapi merupakan salah satu hewan ternak populer di dunia. Seperti hewan lainnya, sapi
juga perlu diperhatikan kesehatannya agar terhindar dari berbagai penyakit. Salah satu
penyakit pada sapi yang sering menjadi pembicaraan adalah Bovine Spongioform
Encephalopathy (BSE) atau dinamakan sapi gila di Indonesia. Agen penyebab BSE adalah
prion. BSE termasuk salah satu penyakit yg tergolong dalam Transmissible Spongiform
Encephalopathy (TSE) yaitu penyakit yg menyerang susunan syaraf pusat dengan gejala
histopatologik utama adanya degenerasi spongiosus atau terbentuknya lubang-lubang kosong
di dalam sel-sel otak, dapat menular kepada manusia dan menyebabkan penyakit yang dalam
istilah kedokteran disebut Subacute Spongiform Encephalopathy (SSE), Irapanussa (2012).
Untuk mendiagnosa Bovine Spongioform Encephalopathy (BSE) pada sapi, dapat digunakan
tes Western blot dan imunohistokimia yang sampelnya dapat diambil dari batang otak. Tes ini
digunakan untuk mendeteksi keberadaan PrPsc pada sampel otak. Pada jurnal yang telah
diberikan, telah diketahui bahwa peneliti menggunakan teknik serial protein misfolding
cyclic amplification (sPMCA) untuk mendeteksi keberadaan PrPsc di saliva yang berasal dari
sapi yang terinfeksi BSE (Okada, et al, 2012).
1.2. Tinjauan Pustaka
1.2.1. Pengertian BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy)
BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) atau disebut juga Mad Cow (sapi gila) merupakan
penyakit yang bersifat progressif, fatal, neurologic pada sapi. BSE disebabkan oleh agen
penyakit yang disebut prion. Prion penyebab penyakit ini tahan terhadap panas dan formalin.
Penyakit BSE ini dikelompokkan dalam satu kelompok dengan penyakit Creutzfeldt-Jakob
Disease (CJD) pada manusia dan Scrapie pada domba dan kambing yang biasanya disebut
Transmissible Spongiform Encephalopathies (TSEs). Secara eksperimental, BSE dapat
ditransmisikan ke mencit, domba, babi, sapi, monyet, mink, dan marmoset. Kemungkinan
BSE pertama kali muncul pada tahun 1970, namun baru dapat didiagnosa pada tahun 1986
dengan temuan pada preparat histopatologi pada otak yang terinfeksi. Diduga penyebab
adanya prion ini adalah penggunaan meat bone meal pada pakan sapi, Asudomo (2011) dan
CDC (2013).
1.2.2. Pengertian prion
Prion (proteinaceous infectious particle) adalah agen infeksi yang terbentuk dari protein.
Dalam tubuh terdapat prion protein (PrP) yang merupakan protein spesifik yang membentuk
prion. PrP dapat ditemukan di sepanjang tubuh baik pada orang yang sehat (PrPC) maupun
terinfeksi (PrPSc). PrPC merupakan bentuk endogen dari PrP yang ditemukan dalam jaringan
tubuh sedangkan PrPSc merupakan bentuk misfolded dari PrP yang nantinya akan membentuk
amyloid dan menyebabkan neurodegenerasi. PrPSc yang terbentuk akan mengubah bentuk
normal dari PrPC melalui perubahan konformasi, bentuk, dan arah lipatannya (NCBI, 2011).
1.3. Metode
Sebelumnya peneliti telah mendeteksi PrPSc pada sapi yang telah terinokulasi virus BSE.
Peneliti mengoleksi sampel selama 4 bl yang dimulai pada tahun 2009. Ada tiga sapi yang
diteliti, yaitu nomer 5444, 5413, dan 5437. 56 bulan setelah sampel terinokulasi, sampel
disimpan pada suhu -80oc sampai sampel dianalisa. Masing masing 1 ml sampel saliva
dicampur dengan asam sodium phosphotungstic. Setelah itu diencerkan dengan konsentrasi
1 : 10 dengan substrat prion protein 0,5%. Peneliti menggunakan western blot untuk
menganalisa proteinase K dari produk sPMCA (Okada, et al, 2012).
2. Tujuan
Peneliti bertujuan untuk mengetahui keberadaan virus PrPsc pada saliva sapi yang
terinfeksi virus BSE (Bovine Spongioform Encephalopathy).
3. Etiologi
Isoform tahan protease dari protein prion sel normal memiliki peran yang sangat
penting pada patogenesis BSE dan, menurut hipotesis prion, merupakan satu-satunya
agen yang dapat ditransmisikan. Meskipun hipotesis prion agak memaksa,
kemungkinan etiologis lain masih dalam pertimbangan. Termasuk diantaranya virus
atau virino dengan ketahanan tinggi yang terlindungi oleh asam nukleat protein inang.
Bukti bahwa faktor-faktor lingkungan serta bahan-bahan kimia lain dapat
menyebabkan BSE dinilai masih kurang meyakinkan. Jelas terlihat bahwa
epidemiologi BSE diakibatkan oleh pemberian bahan pakan meat-and-bone meal
(MBM) yang terkontaminasi agen BSE pada sapi. Bagaimanapun, asal dari BSE
sendiri masih belum diketahui. Hipotesis yang masih dipertimbangkan termasuk
diantaranya adanya transmisi prion lintas spesies yang bertanggung jawab atas
terjadinya scrapie pada domba atau prion baru yang muncul pada sapi atau beberapa
spesies mamalia lain. Sifat-sifat utama dari prion yang terakumulasi pada tubuh
hewan yakni resistensinya terhadap inaktivasi baik secara fisik maupun kimiawi.
Prosedur-prosedur penginaktivasian tersebut diantaranya pembekuan, desikasi, radiasi
ultraviolet, pembakaran, metode yang biasa diterapkan untuk desinfeksi kimia dan
panas, serta degradasi oleh sejumlah enzim-enzim proteolitik.
4. Gejala klinis
Sapi yang terserang BSE umumnya berumur rata-rata 5 tahun. Masa inkubasi BSE sangat
bervariasi antara 2-8 tahun dengan rata-rata 5 tahun. Gejala klinis yang paling menonjol
adalah gejala syaraf. Secara umum terjadi perubahan pada status mental dan tingkah laku,
abnormalitas bentuk tubuh dan pergerakan serta gangguan sensorik. Gejala umum yang
tampak antara lain nafsu makan hilang, kekurusan, produksi susu turun, ataksia (kejang-
kejang), tremor, agresif dan suka menyepak, telinga tegak dan kaku, kadang hewan
terjatuh. Disamping itu hewan penderita sangat sensitif terhadap suara, sinar dan
sentuhan.
5. Patologis
PatologiAnatomi
Secara umum pada otak terlihat seperti spons atau karet busa (spongiform enchephalopathy).
Pada manusia, pada pasien yang mengalami kematian yang cepat, otak tidak mengalami
perubahan makroskopis. Sedangkan pada penderita pada kematian yang lambat menunjukkan
perubahan penurunan berat otak. Dengan mikroskopik elektron, terjadi perubahan otak dalam
3 tingkatan, yaitu :
1. Disebut perubahan Spongiform atau mulai pembentukan vakuola berbentuk bulat atau
lonjong dengan ukuran paling kecil 1μm dan paling besar 50μm.
2. Sel-sel neuron mulai menghilang, kadang-kadang sukar dideteksi apabila kematian
cepat terjadi.
3. Hilangnya sel-sel neuron diikuti dengan proliferasi astrosit.
Perubahan histopatologis dan perubahan molekuler dari susunan syaraf pusat
menunjukkan sifat yang karakteristik. Dijumpai adanya vakoulisasi pada neuron dari
substansi abu-abu (grey matter). Di sinilah pembentukan vakuolisasi yang paling
menonjol. Pada neuron perikarya juga terjadi pembentukan vakuolisasi pada grey
matter merupakan bentuk vakuolisasi yang terbanyak dijumpai. Hipertropi dari
astrosit sering menemani pembentukan vakuolisasi. Adanya serebral amiloidosis
merupakan gambaran normal dijumpai pada penyakit sapi gila. Banyaknya vakuola
dijumpai paling banyak pada medula oblongata disusul pada otak tengah, talamus,
hipotalamus dan area septal. (Sitepoe, 2000)
6. Penularan
Cara penularan terutama melalui pakan yang mengandung tepung daging dan tulang
(meat bone meal/ MBM) yang berasal dari hewan penderita. Penularan secara kontak
langsung antar hewan tidak pernah dilaporkan, sedangkan penularan secara vertikal dari
induk ke anak sangat kecil kemungkinannya.
Penularan dari hewan ke manusia terjadi melalui makanan (daging) dan turunannya yang
berasal dari hewan (sapi) penderita BSE.
7. Diagnosis
Penyakit yang disebabkan oleh prion sulit untuk didiagnosa menggunakan metode
konvensional seperti PCR, serologi, dan kultur sel. Hal ini karena prion memiliki struktur
protein yang hampir sama dengan protein normal inang sehingga tidak dikenali sebagai benda
asing di dalam tubuh. Diagnosa laboratorium untuk penyakit ini juga sulit karena penyebaran
prion yang tidak merata di dalam tubuh. Konsentrasi prion yang tinggi di dalam tubuh
ditemukan pada sistem syaraf dan konsentrasi prion yang rendah ditemukan pada cairan
tubuh, seperti darah dan urin
Sampai saat ini, belum ditemukan cara mendiagnosa BSE saat praklinis dan diagnosa
antemortem BSE. Diagnosa penyakit ini hanya bisa dideteksi oleh pemeriksaan otak sapi
secara post mortem. Berikut adalah beberapa cara untuk mendiagnosa BSE:
1. Histopatologi dan Imunohistokimia
Metode ini tidak hanya mendeteksi keberadaan prion BSE, tetapi juga penyebarannya
di otak dan jaringan limfoid. Secara histopatologis, otak hewan yang terkena BSE akan
mengalami spongiosis. Perluasan astrosit pada jaringan otak dapat dideteksi secara
imunohistokimia menggunakan antibodi terhadap astrocytic marker protein glial fibrillary
acidic protein (GFAP)
2. Western Blotting
Deteksi prion terjadi setelah pemisahan sampel oleh elektroforesis dan transfer
menuju membran menggunakan antibodi spesifik PrP dan antibodi sekunder alkali
fosfatase-coupled yang menghasilkan chemiluminescence. Hasil positif ditandai dengan
keberadaan sinyal PrP-immunoreactive dengan berat molekul rendah dan pola 3-band
yang khas.
3. Serial protein misfolding cyclic amplification (sPMCA)
Teknik ini merupakan sebuah penelitian yang dipublikasikan pada jurnal Emerging
Infectious Diseases (www.cdc.gov/eid, vol. 18, No. 12, December 2012). Teknik ini
digunakan untuk mendeteksi keberadaan prion PrPsc pada saliva sapi sebelum dan setelah
onset penyakit BSE. Sebanyak 3 ekor sapi disuntikan dengan prion BSE lalu diambil
salivanya secara teratur dengan interval 4 bulan. Saliva yang diambil dianalisa dengan
menggunakan metode sodium phosphotungstic acid precipitation. Setelah itu sampel
diamplifikasi sebanyak 3-8 tabung.
Berdasarkan hasil penelitian, tidak ditemukan prion PrPsc pada ketiga sapi 3-5 bulan
sebelum gejala klinis muncul. Namun ditemukan prion PrPsc pada pada salah satu sapi 2
bulan sebelum gejala klinis muncul.
8. Diagnosa Banding
Kemungkinan BSE dapat dikelirukan dengan penyakit lain yang menyerang susunan
syaraf pusat seperti pada bovine encephalitis (Rabies). Keracunan logam berat seperti
keracunan Pb juga menyebabkan gejala syaraf seperti pada BSE. Disamping itu terdapat
beberapa penyakit metabolis yang juga menyebabkan gejala syaraf seperti nervous ketosis
dan hipomagnesaemia.
9. Daftar Pustaka
Asudomo. 2011. [terhubung berkala] http://asudomo.wordpress.com/2011/01/26/bse-
bovine-spongiform-encephalopathy/.
CDC. 2013. [terhubung berkala] http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/bse/.
Irapanussa, Frans. 2012. [terhubung berkala]
http://irapanussa.blogspot.com/2012/06/penyakit-sapi-gila-bse.html
Kübler, E., Oesch, B., and Raeber, A. J. (2003). Diagnosis of prion diseases. British Medical Bulletin (66). Page: 267-279
NCBI. 2011. [terhubung berkala] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21481020
Okada H, Murayama Y, Shimozaki N, et al. Prion in Saliva of Bovine Spongiform
Encephalopathy Infected Cattle. Emerging Infectious Diseases. 2012;18:2091-2092.
www.cdc.gov/eid/10.3201/eid1812.120528.
Primary Industries Ministrial Council of Australia. 2005. Australian Veterinary Emergency
Plan: Disease Strategy, Bovine Spongioform Encephalopathy.