Briefing Paper (Rio+20)

16
A. PENGANTAR Lebih 100 Delegasi Republik Indonesia akan mengikuti Konferensi Pembangunan Berkelanjutan (UNCSD) yang dikenal sebagai KTT+20 di Rio Dejeneiro Brazil,13 – 22 Juni 2012. Pertemuan sepuluh tahunan pemimpin 193 negara ini membicarakan bagaimana perjalanan pembangunan berkelanjutan. Menipisnya sumber daya alam, krisis ekonomi, meluasnya kerusakan lingkungan, krisis iklim dan keprihatinan terhadap hasil-hasil negosiasi perundingan iklim adalah tantangan utama KTT+20. KOMODIFIKASI ALAM LEWAT EKONOMI HIJAU MEMPERBURUK KRISIS IKLIM Dua puluh tahun lalu dihasilkan Agenda 21, panduan melaksanakan pembangunan yang bertitik tolak dari sustainable consumption of forest atau konsumsi berkelanjutan atas hutan. Ini latar pikir tak beda jauh dari Rio +20 yang mengagendakan pembicaraan Ekonomi hijau, Kerangka Kelembangaan untuk Pembangunan Berkelanjutan (IFSD), kerangka aksi dan tindak lanjut. Capaian kesepahaman keduanya seolah tidak memunculkan kejahatan mencolok, namun melegalkan kebijakan yang membolehkan perusakan lingkungan, yang semuanya akan diatasi secara teknik. Padahal dengan tingkat kerusakan alam yang parah, bumi memerlukan pembalikan orientasi pembangunan. Tak hanya harus bertanggung jawab, perusak lingkungan segera menghentikan upayanya melakukan komodifikasi alam 1 . Dalam pertemuan ini Pemerintah Indonesia akan mengundang investasi sebanyak-banyaknya. Posisi mereka dalam Rio+20 adalah mendukung 1) Ekonomi Hijau, 2) Kelembagaan yang mengintegrasikan tiga pilar, ekonomi, sosial dan lingkungan. Presiden SBY akan mejadi salah satu co-chair, memimpin Sidang Panel Tingkat Tinggi. Indonesia akan melakukan negosiasi, mengeluarkan pernyataan Kepala Negara, menyelenggarakan side event dan pameran berjudul “Indonesia Harta Karun Dunia disponsori perusahaan-perusahaan perusak lingkungan seperti Freeport dan Asia Pulp & Paper (APP) 2 . Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20 Catatan Hasil Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia 10 Tahun Terakhir RIO+20

description

Brazil

Transcript of Briefing Paper (Rio+20)

  • A. PENGANTAR

    Lebih 100 Delegasi Republik Indonesia akan mengikuti Konferensi Pembangunan Berkelanjutan (UNCSD)

    yang dikenal sebagai KTT+20 di Rio Dejeneiro Brazil,13 22 Juni 2012.

    Pertemuan sepuluh tahunan pemimpin 193 negara ini membicarakan

    bagaimana perjalanan pembangunan berkelanjutan. Menipisnya sumber

    daya alam, krisis ekonomi, meluasnya kerusakan lingkungan, krisis iklim

    dan keprihatinan terhadap hasil-hasil negosiasi perundingan iklim adalah

    tantangan utama KTT+20.

    KOMODIFIKASI ALAM LEWAT EKONOMI HIJAU

    MEMPERBURUK KRISIS IKLIM

    Dua puluh tahun lalu dihasilkan Agenda 21, panduan melaksanakan pembangunan yang bertitik tolak dari sustainable consumption of forest atau konsumsi berkelanjutan atas hutan. Ini latar pikir tak beda jauh dari Rio +20 yang mengagendakan pembicaraan Ekonomi hijau, Kerangka Kelembangaan untuk Pembangunan Berkelanjutan (IFSD), kerangka aksi dan tindak lanjut. Capaian kesepahaman keduanya seolah tidak memunculkan kejahatan mencolok, namun melegalkan kebijakan yang membolehkan perusakan lingkungan, yang semuanya akan diatasi secara teknik. Padahal dengan tingkat kerusakan alam yang parah, bumi memerlukan pembalikan orientasi pembangunan. Tak hanya harus bertanggung jawab, perusak lingkungan segera menghentikan upayanya melakukan komodifikasi alam1.

    Dalam pertemuan ini Pemerintah Indonesia akan mengundang investasi sebanyak-banyaknya. Posisi mereka dalam Rio+20 adalah mendukung 1) Ekonomi Hijau, 2) Kelembagaan yang mengintegrasikan tiga pilar, ekonomi, sosial dan lingkungan. Presiden SBY akan mejadi salah satu co-chair, memimpin Sidang Panel Tingkat Tinggi. Indonesia akan melakukan negosiasi, mengeluarkan pernyataan Kepala Negara, menyelenggarakan side event dan pameran berjudul Indonesia Harta Karun Dunia disponsori perusahaan-perusahaan perusak lingkungan seperti Freeport dan Asia Pulp & Paper (APP)2.

    Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20

    Catatan Hasil Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia 10 Tahun Terakhir

    RIO+20

  • 2 Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20

    Dua dokumen disiapkan , Indonesia and Rio+20 dan Submission by the Government of the Republic of Indonesia to the Zero Draft of UNCSD 2012 Outcome Document. Dalam hal ini Pemerintah akan menawarkan sumber daya kelautan dalam gagasan ekonomi biru (blue economy), pengelolaan hutan, keragaman hayati dan lahan gambut. Indonesia mempromosikan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dihijaukan, termasuk di dalamnya REDD3 untuk hutan, Coral Triangle Initive (CTI) untuk kelautan.

    Briefing Paper Rio +20: Komodifikasi Alam Lewat Ekonomi Hijau Memperburuk Krisis Iklim ini bermaksud mengingatkan Presiden SBY dan Delegasi Republik Indonesia untuk berpikir bijak dan menahan kehendak menggunakan perundingan internasional sebagai ajang menjual sumber daya alam. Lantas meletakkan keselamatan warga negaranya dalam jangka panjang di tangan korporasi dan pasar. Dokumen in juga menyerukan semua pihak yang mewakili rakyat dan negaranya bernegosiasi di KTT Rio+20 untuk menolak perdagangan alam dan fungsi-fungsinya, yang akan membuat krisis iklim menjadi lebih mendalam dan tak tertolong.

    B. PENGHANCURAN BERKELANJUTAN INDONESIA 10 TAHUN TERAKHIR.

    Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia membuka ruang demokrasi sekaligus liberalisasi sumber daya alam. Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 4% - 8%4 mendapat banyak pujian, bahkan jumlah penduduk golongan mapan dengan gaji Rp 250 500 juta per tahun jumlahnya mencapai 4 juta orang, menempati urutan ketiga di Asia5. Hal itu telah menciptakan kesenjangan sosial luar biasa, ditengah angka kemiskinan yang masih tinggi. Data Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin banyak tersebar di 10.640 desa pesisir. Pada 2008, ada 7,87 juta atau 25,14% dari 31,02 juta penduduk miskin tinggal di wilayah pesisir6.

    Laporan Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) menunjukkan jumlah keluarga miskin yang tinggal di desa hutan, lebih dari dua kali persentase keluarga miskin di Indonesia7. Bersamaan itu, eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan meningkat, pemiskinan semakin masif dan kesenjangan sosial makin lebar, pelanggaran HAM sipol dan ekosob masih terus berlangsung. Bukti-bukti ini bisa kita lihat dari catatan berikut:

    1. Kebijakan dan Produk Hukum yang Mendukung Korporasi.

    Hampir seluruh kebijakan dan program pembangunan berkait kepentingan politik-ekonomi dari kapitalisme global. Pintu masuk modal diperlebar, dan penghambat investasi dipangkas. Itukah sebabnya lahir beragam produk hukum sektoral paska reformasi yang pro pemodal raksasa, mengabaikan hak masyarakat miskin. Banyak diantaranya dibawa ke Mahkamah Konstitusi karena bertentanga dengan UUD 1945. Di antaranya, UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil , UU Kehutanan No 41/ 1999, UU Perkebunan No. 18/2003, UU Sumber Daya Air No. 7/ 2004 ,UU Mineral dan Batubara No 4/2009, UU Penanaman Modal No. 25/2007, UU Holtikultura, UU Lahan Abadi Pertanian, UU Migas, dan yang terbaru adalah UU Pengadaan Tanah yang baru disahkan Desember 2011.

    Di lapang, praktek kolaboratif kebijakan terlihat dari maraknya pemberian konsesi dan hak penguasaan di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, pertanian, kelautan, pulau-pulau kecil, dan sumber agraria lainnya kepada pengusaha konglomerat pribumi maupun korporasi transnasional (TNC). Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2010) menyebutkan kurang lebih 56% aset nasional dikuasai hanya 0,2% dari penduduk Indonesia. Artinya para petani pedesaan sudah kehilangan jaminan keamanan tenurial atau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan alam8.

    Sumber: dokumentasi Henri Ismail

  • Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20 3

    2. Kedaulatan Pangan Memburuk

    Meski sebagian besar penduduk Indonesia hidup di pedesaan dan bekerja sebagai petani dan nelayan tradisional, namun dari waktu ke waktu pengurus negeri makin meninggalkan mereka, beserta sektor pertanian dan perikanan. Itulah penyebab pangan kita tak berdaulat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah tidak menempatkan perikanan dan pertanian sebagai prioritas utama. Akibatnya dukungan APBN 2012 hanya Rp. 41 Trilyun atau 3,9% dari Kebijakan Pemerintah terhadap dua sektor tersebut. Mereka justru membuka investasi pertanian monokultur skala luas.

    Gagalnya pengutamaan perikanan dan pertanian sebagai bagian dari sumber pangan bangsa, diperburuk rendahnya perlindungan hak-hak petani dan nelayan; serta kurangnya pengawasan dan perlindungan kawasan kelola rakyat. Meski ada UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan No. 41/ 2009, namun laju konversi lahan tidak terkendali, mencapai lebih 100 ribu hektar per tahun. Perebutan hak-hak tersebut berujung konflik. Sepanjang 2009 2011, BPN mencatat 14.377 kasus akibat konflik petani dengan investor atau disebabkan oleh produk kebijakan pemerintah.

    Tak hanya produksi, tata konsumsi yang tidak berkelanjutan dan pergeseran pengelolaan ke arah mekanisme pasar, turut mendorong angka impor pangan terus naik. Impor terigu capai 7 juta ton pada 2011. Tingginya impor memaksa Pengurus Negaramemberi subsidi dan mengeluarkan

    kebijakan pembebasan bea masuk. Harga terigu menjadi lebih murah, namun tepung lokal makin mahal dan dijauhi konsumen. Kebijakan serupa mendorong impor bahan pangan sangat tinggi, mencapai 65% dari kebutuhan pangan atau setara Rp. 125 triliun per tahun.

    Profesi petani dan nelayan terpojokkan menjadi profesi pinggiran dan tidak diminati generasi muda. Apalagi inovasi pertanian dan perikanan tidak mendapatkan perhatian dan dukungan memadai agar tetap berkelanjutan. Meski warga bermata pencaharian petani masih dominan di negeri agraris ini, yakni 39% (BPS,2012). Namun, jumlah mereka terus menurun, selama 2011, berkurang 3.100.000 petani (7,42%)9. Nelayan juga mengalami hal serupa. Menurut KIARA (2012) jumlah warga bermata pencaharian nelayan menurun dalam 10 tahun terakhir, jumlah berkurang hingga 25 persen. Sekarang jumlahnya sekitar 2,7 juta keluarga nelayan tangkap di laut. Atau, rata-rata setiap hari 116 orang nelayan Indonesia meninggalkan laut (beralih profesi). Meski begitu, mereka masih mampu menangkap hingga 10 juta ton di tahun 2012, atau 92% pemenuhan kebutuhan ikan domestik merupakan jerih payah nelayan tradisional10.

    Walau dikenal sebagai negara agraris, masih banyak kasus-kasus gizi buruk, kelaparan, dan krisis pangan. Tahun 2010, angka kelaparan masih cukup tinggi yaitu 13,8 juta jiwa atau sekitar 6% dari jumlah penduduk11, sementara 23,2 juta jiwa di pedesaan masih hidup di bawah standar kemiskinan (FAO). Kondisi itu lebih memprihatinkan bagi perempuan dan anak-anak,

    Sumber: dokumentasi Jatam Kaltim

  • 4 Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20

    mereka menjadi kelompok yang paling rentan terhadap situasi kelaparan. Survey Sosial Ekonomi Nasional 2007 mencatat kasus kurang gizi mencapai 13 persen dan gizi buruk 5,4 persen, dengan total 18,4 persen dari 18 juta balita. Demikian juga data Departemen Kesehatan mencatat adanya 2,5 juta (40,1%) ibu hamil dan 4 juta (26,4%) perempuan usia subur yang menderita anemia.

    3. Menjauhnya Kedaulatan Air

    Hak atas air merupakan hak asasi manusia. Hal itu tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (2): Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jelas negara bertanggung jawab menjamin dan menyelengarakan penyediaan air yang menjangkau setiap individu. Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya Perserikatan Bangsa Bangsa, November 2002 juga memperkuat hak atas air.12 Sayangnya potret kedaulatan air negeri ini memprihatinkan.

    Di kawasan hulu, kawasan hutan wilayah tangkap air mengalami kerusakan rata-rata 1,1 1,7 juta ha pertahun. Itu sebabnya, meski curah hujan cukup tinggi, sungainya cukup banyak, pula luasan hutannya. Ternyata hanya 34 persen saja yang tersimpan menjadi air tanah, sisanya hilang menjadi air permukaan (runoff), yang sebagian besar berakibat bencana seperti banjir13. Sedangkan badan-badan sungai memiliki

    masalah serius. Kementerian Lingkungan Hidup14 mengumumkan 63 persen dari 51 sungai besar di Indonesia sudah tercemar berat, 31 persen tercemar sedang-berat15.

    Krisis air diperburuk agenda privatisasi dan komersialisasi air yang didorong lembaga keuangan (World Bank, ADB, dan IMF) melalui Undang-undang Sumberdaya Air. Produk hukum itu menjadi persyaratan pencairan pinjaman program WATSAL Bank Dunia. Akibatnya dalam situasi krisis air, yang membuat air barang langka yang diperebutkan, justru perusahaan dan industri komersial yang mendapatkan prioritas penggunaan air.

    Komersialisasi ini berakibat buruk buat masyarakat dan lingkungan setempat. Aqua Danone telah memunculkan jejak kekeringan di Klaten Jawa Tengah dan Sukabumi Jawa Barat. Di Bali terjadi konflik antara masyarakat Subak dengan PDAM yang memasok kebutuhan air industri pariwisata Bali. Masyarakat Bali mengkonsumsi air rata-rata 200 liter/hari/orang atau 1000 liter/hari/KK, sedangkan konsumsi air hotel rata-rata hingga 3000 liter/kamar/hari. Akibatnya, kawasan hulu -hulu kabupaten Gianyar, Tabanan dan Badung Utara yang kaya akan sumber daya air dipaksa kekeringan sehingga sawahnya tidak bisa teraliri air16.

    Sumber: dokumentasi Henri Ismail

  • Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20 5

    4. Memburuknya Krisis Energi.

    Tata produksi dan konsumsi energi Indonesia berantakan. Tak ada perbaikan signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Indonesia bergantung pada fluktuasi harga dan konsumi migas. Konsumsi energi masih didominasi 44% minyak bumi, padahal sejak 1998 produksi minyak mentah terus turun. Gejolak kenaikan harga minyak mentah dunia dan tingginya konsumsi dalam negeri, menjadi asaran empuk kepentingan politik sesaat.

    Buruknya tata konsumsi energi tergambar nyata pada sektor transportasi, industri automotif dan inkonsistensi agenda energi baru dan terbarukan (EBT). Penggunaan EBT masih dibawah 5%, padahal proyeksi pertumbuhannya hingga 2025 sebesar 17% sesuai cetak biru pengelolaan energi nasional. Proyek pengembangan bahan bakar nabati sejak 2006 gagal total. Sekitar 10 juta hektar pohon jarak pagar di babat PTPN XII Jawa Timur, pengembangan biofuel di Nusa Tenggara Timur dan Kebumen Jawa Tengah juga mengalami kegagalan.

    Tata produksi tak kalah ngenes. Indonesia menjadi eksportir batu bara terbesar ke-2 dan gas alam ke-6 dunia. Pengurus negeri dan korporasi minyak transnasional menjadikan Indonesia ladang industri ekstraksi yang membahayakan Warga Negaranya, juga sumber energi kotor bagi dunia, sementara pemenuhan energi dalam negeri terbengkalai. Kaca mata ekonomi sempit digunakan

    menyiasati pengadaan BBM, dengan menurunkan pemakaian BBM dari 46,93% menjadi 20% pada 2025. Porsi batubara justru akan dinaikkan jadi 33% pada 2025. Bersamaan permintaan batu bara pasar dunia terus naik direspon pengurus negeri dengan meningkatkan jumlah perizinan usaha pertambangan batubara. Konsumsi energi untuk industri batubara dan perkebunan skla besar cenderung naik, dan berkompetisi dengan kebutuhan BBM warga. Ini terlihat dari antrian panjang pada setasiun pengisian bahan bakar (SPBU) di Kalimantan, diikuti ancaman empat gubernur se-Kalimantan menghentikan kiriman batubara.

    5. Perusakan Lingkungan Meluas

    Indonesia terus menerus menjadi tempat pembuangan limbah. Penggunaan pestisida sintetis dan bahan-bahan kimia industri, termasuk bahan-bahan beracun berbahaya, juga material nano mengalami peningkatan. Daratan, sungai-sungai dan laut tercemar buangan limbah tailing. Dalam sepuluh tahun terakhir saja, Newmont dan Freeport telah menambah 1,475 Milyar ton limbah tailing buangannya ke sungai dan laut Indonesia tanpa sangsi sedikitpun.

    Negeri ini juga menjadi tujuan buangan limbah B3 luar negeri. Sepanjang 2012 setidaknya 113 kontainer limbah dari Inggris dan Belanda dibuang ke Indonesia, menyusul 118 kontainer

    Sumber: dokumentasi WALHI

  • 6 Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20

    lainnya dari berbagai Negara17. Di bidang pertambangan terjadi obral perizinan. Setidaknya 10.253 izin usaha pertambangan diterbitkan, 59% diantaranya tumpang tindih dan bermasalah18. Belum lagi dampak pertambangan yang beroperasi meninggalkan pencemaran dan kerusakan di darat, laut dan udara, belum lagi konflik sosial, krisis air dan lubang-lubang tambang yang ditinggalkan. Di Bangka Belitung saja terdapat lebih 1000 kolong tambang timah. Di Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur sudah ada 150 lubang tambang19.

    Kini, setidaknya 3,97 juta hektar kawasan lindung tumpang tindih dengan pertambangan, tak luput keanekaragaman hayati di dalamnya. Padahal saat ini tercatat daftar species terancam punah di Indonesia meliputi 104 jenis burung, 57 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan air tawar dan 281 jenis tumbuhan merupakan daftar paling tinggi di dunia. Meski Indonesia memiliki 43 Taman Nasional darat dengan luas kawasan mencapai 12,3 juta hektar. Namun, sekitar 30 persennya dalam kondisi rusak parah akibat perambahan hutan, pembongkaran bahan tambang dan alih fungsi menjadi perkebunan20.

    Laju kerusakan hutan dalam 10 tahun terakhir berkisar 1 - 1,7 juta ha per tahunnya. Di bawah tahun 2000, angka deforestasi mencapai 1,7 juta ha, meningkat tajam pada 2000 - 2006. Dari total 130 juta hektar luasan hutan, hanya sekitar 45 juta hektar saja yang memiliki status jelas secara administratif, sisanya diklaim negara sebagai hutan, sepaket dengan persoalan di dalamnya, seperti lahan masyarakat, pemukiman, sawah serta wilayah-wilayah yang dikelola oleh rakyat. Status dan definisi hutan menjadi salah satu pemicu kerusakan hutan.

    Bahaya di depan mata bersama keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 32 tahun 2011 tentang tentang Master Plan Percepatan Ekonomi Indonesia 2011-2025 tanpa partisipasi publik. Di tengah kelambanan Pengurus Negara melakukan perencanaan tata ruang partisipatif sesuai daya dukung lingkungan sebagai implementasi UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pemerintah malah memotong kompas dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 28 tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk penambangan bawah tanah, yang membuka akses bagi investor melakukan eksploitasi di kawasan hutan lindung21 .

    6. Melemahnya Perlindungan Hak-hak Dasar Petani, Nelayan, Perempuan dan Masyarakat Adat.

    Pola pembangunan yang berorientasi pada industri ekstraktif dan eksploitasi sumber daya alam, telah mengakibatkan masyarakat adat kehilangan tanah, wilayah dan sumber daya alam. Bahkan dalam banyak kasus, perampasan tanah-tanah adat disertai pelanggaran HAM berat oleh aparat pemerintah, polisi, tentara dan preman terhadap mereka yang berjuang mempertahankan tanah leluhurnya. Konflik agraria di wilayah adat meningkat tajam dalam 10 tahun terakhir.

    Celakanya, masyarakat lokal dikorbankan untuk memenuhi konsumsi kayu, minyak sawit, bahan energi fosil dan mineral dunia. Dari 23 juta ton produksi Sawit Indonesia, hanya 7 juta ton (30 persen) dipergunakan untuk kebutuhan domestik. Sementara 70 persen lainnya dipergunakan melayani kepentingan negara-negara industri. Daripada itu, lahan-lahan pertanian rakyat dirampas, konflik dan kriminalisasi rakyat meningkat, hingga pemiskinan kian akut terjadi disekitar perkebunan sawit. Senada terjadi dalam tambang batubara. Kalimantan Timur memegang rekor jumlah perijinan dan pengerukan batubara tertinggi. Namun hanya 1,06 persen batubara yang dikeruknya digunakan untuk rakyat di Kalimantan Timur.

    Petani menghadapi masalah serupa. Pola pembangunan pertanian selama beberapa dekade terakhir dibangun dengan asumsi sumberdaya air dan energi berlimpah yang menjadi motornya, akan terus tersedia dan iklim akan selalu stabil22. Asumsi itu sungguh bertolak belakang dengan kenyataan lapang. Revolusi hijau telah mendorong industrialisasi pertanian yang melahirkan monopoli sumberdaya agraria dan

    Sumber: dokumentasi pusaka

  • Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20 7

    terpinggirkannya petani dan pertanian rakyat. Green Economy akan mendorong apa yang disebut efisiensi sektor pertanian melalui perluasan ke arah industrialisasi pertanian skala luas, privatisasi air dan pengembangan benih atau tanaman transgenik yang tahan perubahan iklim, banjir dan kekeringan. Model-model tersebut diperkenalkan dengan istilah-istilah rumit serupa climate smart agriculture atau low carbon agriculture menjadi pintu memperkenalkan benih-benih transgenik yang akan semakin merampas hak-hak petani atas tanah, air dan ekosistem.

    Selain pertanian, meluasnya ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar telah berdampak pada hilangnya mata pencaharian perempuan. Di Sumatera Selatan misalnya, 325 perempuan pekerja tikar purun, terpaksa beralih pekerjaan menjadi buruh sektor informal, karena bahan baku tikar menghilang akibat alih fungsi lahan ke perkebunan kelapa sawit. Hanya tinggal 50 perempuan yang bertahan. Begitupun perempuan yang tinggal di sekitar pertambangan. Mulai dari penyakit ISPA, penyakit kulit, gangguan kesehatan reproduksi, hingga pelecehan seksual kerap dialami perempuan di sana.

    Sementara di laut, nelayan tak hanya menghadapi cuaca ekstrim tanpa informasi memadai, mereka juga berhadapan dengan kerusakan sumber daya laut dan pengerusakan keanekaragaman hayati secara masif. Celakanya Pengurus Negara justru melahirkan sejumlah kebijakan kontraproduktif. Seperti (1) Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang diatur di dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

    Pulau-Pulau Kecil23; dan (2) UU Perikanan No. 45 Tahun 2009 yang memperbolehkan penangkapan ikan oleh pihak asing di perairan Indonesia.

    Salah satu yang dihadapi perempuan nelayan adalah kerusakan lingkungan akibat reklamasi pantai yang menggusur sumber-sumber kehidupan perempuan, dan menambah beban hidup perempuan nelayan, terlebih dengan situasi perubahan iklim. Perempuan nelayan di Marunda Jakarta Utara misalnya, akibat reklamasi pantai dan perubahan iklim harus bekerja lebih keras selama 17 jam sehari memenuhi kebutuhan keluarga24. Perempuan di Cilincing juga mengalami hal serupa. Penghasilan perempuan berkurang sejak 3 tahun terakhir, dari Rp.20.000,-/hari, saat ini hanya mendapatkan Rp.10.000 Rp.15.000,- bahkan ketika cuaca ekstrem perempuan nelayan sering tidak mendapatkan penghasilan 25.

    Pembangunan yang bertumpu pada sumber daya alam telah menguatkan subordinasi yang dialami perempuan. Peran, fungsi dan kontrol perempuan terhadap status sosial dan budaya perempuan dalam tradisi pertanian dan perhutanan hilang, sumber-sumber ekonomi perempuan yang berasal dari lingkungan dan sumber daya alam akan hilang. Ini menjadi salah satu pendorong terjadi migrasi ke luar negeri.

    Jumlah buruh migran perempuan setiap tahun terus meningkat. Namun, belum ada sistem perlindungan terhadap buruh migran perempuan. Selama tahun 2010 saja, Kementerian Luar Negeri mencatat terjadi 4.532 kekerasan terhadap Buruh Migran, yang sebagian besar dialami buruh migran perempuan. Mereka mengalami berbagai kasus

    Sumber: dokumentasi KIARA

    Sumber: dokumentasi Oxfam

  • 8 Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20

    pelanggaran hak hak asasi mulai dari kontrak, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, pemerkosaan, serta pelanggaran hak lainnya, bahkan terancam hukuman mati.

    Situasi diatas menunjukkan, negara belum memberikan perlindungan terhadap perempuan, baik perempuan petani, nelayan, termasuk buruh migran perempuan. Kebijakan yang ada juga belum melindungi hak-hak perempuan untuk terlibat dalam pembangunan dan pengelolaan sumber daya alamnya.

    7. Utang, Korupsi dan Ekonomi yang Rapuh

    Pasca krisis moneter 1997/1998, utang luar negeri pemerintah membengkak. Sebelum krisis, jumlah utang luar negeri masih sekitar US$53,8 miliar. Sejak krisis Pengurus Negara terus menerus menambah utang luar negeri, pada akhir 2011 membengkak sekitar US$68.064 miliar. Jika ditambah utang dalam negeri Rp1.188 triliun, total utang sebesar Rp1.803 triliun. Hingga Mei 2012 utang mencapai Rp1.960 triliun, atau meningkat Rp157 triliun dari akhir 201126.

    Jepang, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Belanda dan Australia merupakan enam kreditor bilateral terbesar. Lembaga keuangan Internasional,

    seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, JBIC, Islamic Development Bank, dan sebagainya, mempunyai peran yang sangat kuat terhadap meningkatnya utang Indonesia, mengatasnamakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Hingga 2012, Bank Pembangunan Asia (ADB) telah memberikan utang senilai Rp 96,41 triliun (15,7% jumlah hutang Indonesia), Sementara Bank Dunia sejumlah Rp 112,19 triliun (18,1%)27. Bank Dunia dan Asian Development Bank merupakan dua lembaga multilateral pemberi utang terbesar untuk Indonesia. Komponen terbesar utang diisi Surat Berharga Negara, yang kepemilikan asingnya menguat hingga 29,6% pada Mei 2012.

    Besarnya beban utang ini membebani APBN. Pada 2010, realisasi pembayaran cicilan dan pokok utang dalam APBN mencapai Rp215.546 triliun. Atau setara 20,6 persen total realisasi belanja Negara pada 2010 yang berjumlah Rp1.042,12 triliun28. Pembayaran utang tersebut meningkat pada 2011 mencapai Rp240.517 triliun, bahkan jumlah pembayaran utang Pengurus Negaradalam pagu APBN-P 2012 sudah mencapai Rp322.709 triliun29. Tiap tahun, lewat pembayaran itu, Pengurus Negara taat mensubsidi negara-negara kaya dan pemilik surat berharga negara, termasuk kalangan perbankan yang menikmati warisan bunga obligasi perbankan.

    Sumber: http://awanthaartigala.blogspot.com/

  • Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20 9

    Celakanya, jumlah utang Pengurus Negara tidak menunjukkan korelasi signifikan terhadap kualitas ekonomi, sebab tak digunakan menggerakkan sektor riil seperti pertanian, perikanan dan sektor lainnya. Sejumlah 58,3% utang itu adalah utang sektor swasta30, sekitar 39,6% utang luar negeri untuk sektor keuangan, hanya 9,3% untuk perbaikan listrik, gas dan air bersih, sejumlah 4,7% untuk pengangkutan dan komunikasi, sedang sektor pertanian hanya sebesar 3,0%.

    Yang lebih ngeri, Dirjen Pengelolaan Utang Kementrian Keuangan RI menyebutkan utang menjadi instrumen utama pembiayaan APBN menutup defisit APBN, dan untuk membayar kembali utang yang jatuh tempo (debt refinancing)31. Besarnya utang makin membuat Indonesia lebih mudah diintervensi Syarat-syarat yang mengikat dari sebuah perjanjian utang, mengharuskan Pengurus NegaraIndonesia menerapkan kebijakan liberalisasi dan deregulasi di bidang ekonomi.

    Tak hanya utang, angka korupsi juga masih tinggi. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) tahun 2011 yang diluncurkan oleh Transparency International menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,832. Semakin kecil angka indeks ini menunjukkan bahwa potensi korupsi semakin tinggi. Dalam indeks tersebut Indonesia berada

    di peringkat ke-100 bersama 11 negara lainnya. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, skor Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4).

    8. Menumpuknya Pelanggaran HAM dan Konflik Agraria.

    Dalam 10 tahun terakhir praktis tidak ada kemajuan-kemajuan berarti dalam pemenuhan HAM di Indonesia. Belum ada kemajuan berarti dalam tindak lanjut dan pengusutan masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu, ujar Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM33 . Tak ada raihan prestasi dalam perlindungan dan pemenuhan HAM. Sepanjang dua tahun terakhir Komnas HAM menerima 10.139 kasus pengaduan pelangggaran HAM, dan 1.557 di antaranya konflik agraria dan sumber daya alam mendominasi jumlah pengaduan tersebut34. Begitupun kasus-kasus pelanggaran HAM perempuan, berdasar catatan tahunan Komnas Perempuan (KP), angka kasus HAM pada 2011 hingga sekarang terdata 195 kasus. Angka ini meningkat dibanding 2010 lalu yang tercatat 105 kasus.

    Di Sumatera Barat saja kasus perkebunan kelapa sawit mendominasi konflik agraria. Sejak 1997 hingga 2011 terjadi konflik lahan seluas 119.229 hektar yang melibatkan 52 perusahaan, sementara

  • 10 Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20

    korbannya mencapai 6.670 keluarga petani, 102 nagari dan korban kriminalisasi sebanyak 64 orang35. Secara nasional, Sawit Watch mencatat lebih 633 komunitas mengalami konflik dengan lebih 172 perusahaan pada 2010. Korbannya 106 orang warga ditangkap36. Sementara di Pertambangan terdapat sedikitnya 156 konflik yang terjadi.

    Khusus di Aceh, paska damai dihadapkan persoalan baru37 120 perusahaan tambang yang menguasai 731.380.63 ha lahan. Disetiap lokasi eksplorasi sering terjadi konflik antara warga dengan perusahaan tambang, mulai konflik ganti rugi tanah, intimidasi dan kekerasan oleh aparat keamanan yang berjaga di lokasi perusahaan hingga pencemaran lingkungan. Sebagian perusahaan-perusahaan tersebut diduga tidak membayar pajak, seperti PT. Lhoong Setia Mining Aceh Besar dan PT. Pinang Sejati Utama Aceh Selatan yang tidak membayarkan pajak selama 3 tahun.

    Pelanggaran hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan, tidak terlepas dari peran-peran sektor swasta yang diperkuat dukungan aparat keamanan atau militer. Seperti penembakan yang menewaskan 3 warga di Bima yang mempertahankan tanah mereka, Kasus-kasus penembakan dan intimidasi bagi masyarakat yang mempertahankan tanah dan sumber daya alamnya kerap melibatkan aparat keamanan atau militer.

    C. RIO+20: EKONOMI HIJAU MEMPERBURUK KRISIS IKLIM.

    Pembangunan berkelanjutan berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Namun paparan sebelumnya menjadi

    bukti gagalnya Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, yang terjadi justru penghancuran berkelanjutan. Keselamatan manusia dan lingkungan ditinggalkan naiknya pertumbuhan ekonomi yang diagung-agungkan pemerintah, dan justru menciptakan kesejangan antara si miskin dengan si kaya, termasuk pemiskinan perempuan.

    Model pembangunan di atas membuat dampak perubahan iklim makin memburuk, keselamatan lingkungan dan warga makin memburuk. Dari 1.598 kejadian bencana menimpa Indonesia sepanjang 2011 sekitar 75% adalah bencana hidrometeorologi. Telah menyebabkan korban meninggal dan hilang sebanyak 834 orang, sekitar 325.361 orang dilaporkan menderita dan harus mengungsi, sejumlah 60.623 rumah mengalami rusak berat hingga ringan. Celakanya Pengurus Negara bernafsu mendapat laba dari upaya mitigasi, dibanding melakukan langkah yang diperlukan membantu warganya menyesuaikan diri dengan iklim ekstrim (adaptasi). Upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) jadi prioritas Pengurus Negara menciptakan pasar baru komodifikasi hutan.

    REDD merupakan salah satu model ekonomi hijau. Rio + 20 menjadikan Ekonomi hijau sebagai agenda utama. Menurut UNEP, penyelenggara UNCSD Rio+20, 38 Ekonomi hijau salah satu jalan perbaikan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, saat secara signifikan risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi bisa dikurangi. Model ekonomi hijau ini termasuk ekonomi rendah karbon, efisiensi sumber daya energi, mencegah hilangnya keragaman hayati dan jasa-jasa ekosistem, dan terinternalisasi secara sosial. Struktur, fungsi dan layanan alam akan dijadikan modal alam, asset ekonomi penting serta sumber pendapatan, lewat masuknya investasi publik dan swasta

    Tabel. Konflik Agraria di Indonesia Tahun 2011

    Jumlah Kasus

    Luasan (ha)

    Jumlah Korban (keluarga)

    Keterangan Lain

    163 472.048,44 69.975

    97 kasus terjadi di sektor perkebunan (60%); 36 kasus di sektor kehutanan (22%); 21 kasus terkait infrastruktur (13%); 8 kasus di sektor tambang (4%); dan 1 kasus terjadi di wilayah tambak/pesisir (1%). (KPA, 2011)

    120 342.360 68.472 atau 273.888 orang

    Terkait dengan pihak swasta 50% (60 kasus), dengan negara 50% (60 kasus).35 orang petani mengalami kriminalisasi dan 18 orang tewas. (SPI, 2011)

    738Pengaduan sengketa lahan (16,39%), tertinggi dari 4.502 pengaduan. (Komnas HAM, 2011)

  • Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20 11

    yang didukung reformasi kebijakan, perubahan peraturan, subsidi, dan insentif.

    Christophe Aguiton (2012) peneliti asal Perancis dalam artikelnya Is The Green Economy The New Washington Consensus? menyebut ekonomi hijau sebagai upaya untuk memanfaatkan sisa alam yang tersedia untuk memperluas jangkauan modal keuangan dan mengintegrasikannya kedalam pasar. Langkah ini dilakukan dengan cara meletakkan nilai moneter atau harga pada biomassa, keanekaragaman hayati dan fungsi-fungsi ekosistem, seperti: penyimpanan karbon, penyerbukan tanaman, atau penyaringan airdan mengintegrasikan layanan alam tersebut sebagai unit-unit yang dapat diperdagangkan di pasar uang (financial market).

    Atau, secara paradigmatik, ekonomi hijau dilatari kepercayaan peran pasar jauh lebih menentukan terhadap baik-buruknya kualitas suatu lingkungan ketimbang peran negara. Padahal, pelajaran di Indonesia berbeda. Kegagalan negara mengendalikan pasar justru penyebab kerusakan lingkungan kian parah. Ambil contoh perluasan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan di Tanah Air yang dipaparkan sebelumnya.

    Jelas ekonomi hijau tak akan menjawab masalah kemiskinan, masalah ketidakadilan gender apalagi mengurangi krisis sosial, lingkungan dan krisis iklim. Ekonomi Hijau tidak berorientasi menyediakan kebutuhan rakyat selaras dengan lingkungan dan dalam kapasitas dukung bumi. Sebaliknya, ekonomi Hijau tidak mengakui prinsip tanah, air, hutan, atmosfer, ekosistem dan wilayah tidak boleh dikuasai dan dikontrol pihak swasta. Ekonomi hijau juga tak mengakui hak semua orang untuk mengakses sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan

    Ekonomi Hijau akan memperlakukan alam dan fungsi-fungsnya sebagai modal alam, yang bisa dimiliki, dibeli, dijual, diperdagangkan, berdasarkan instrumen keuangan dan mekanisme pasar untuk meraih keuntungan. Ekonomi Hijau akan menaikkan komodifikasi, privatisasi dan finansialisasi alam dan pemusatan kendali atas alam, memperluas komoditas perdagangan air, keanekaragaman hayati, atmosfer, hutan, lahan, bibit, dan lainnya.

    Kebijakan-kebijakan untuk mendukung perluasan eksplitasi dan komodifikasi alam juga sedang giat-giatnya dikeluarkan Pengurus negara. Salah satunya Peraturan Presiden (Perpres) No. 32 tahun 2011 tentang Masterpan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia 2011-2025, atau dikenal MP3EI39, yang akan dipromosikan sebagai bagian Ekonomi Hijau di Rio+20. Perencanaan MP3EI melibatkan lebih 400 perusahaan, namun tak satupun rakyat diikutsertakan, tidak ada musyawarah, tidak ada konsultasi pemangku kepentingan. Meski dinyatakan terintegrasi dengan sistem perencanaan nasional, namun tak satupun kalimat dalam MP3EI merujuk pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Menegah (RPJM), juga Jangka panjang (RPJP) daerah terkait. MP3EI dilaksanakan oleh komite dipimpin Presiden, dengan Ketua Kamar Dagang Industri sebagai salah satu anggotanya. Lantas bagaimana dengan semua perencanaan wilayah yang ada dibawah koordinasi Pemda?

    MP3EI akan menjadi panduan percepatan ekonomi dan masuknya investasi. Salah satunya memastikan tak ada regulasi yang menghambat investasi, termasuk tidak memprioritaskan pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, mandat UU No 32 tahun 2009 mengenai Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebenarnya

    Sumber: dokumentasi WALHI

  • 12 Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20

    tanpa MP3EI pun rakyat Indonesia sedang dalam masalah besar bersama jibunan ijin ekspolitasi sumber daya alam. Di Nusa Tenggara Timur saja, yang ditunjuk sebagai koridor pengembangan pangan dan wisata, kini telah memiliki lebih 300 ijin pertambangan. Padahal tambang rakus air, sementara pertanian dan wisata membutuhkan air.

    MP3EI akan menjadi pintu masuk eksploitasi cepat dan jual murah sumber daya alam tersisa. Titik berat Masterplan ini adalah eksploitasi sumber daya alam, khususnya pertambangan dan kebun sawit skala besar, juga berpotensi menjadi pintu masuk perampasan lahan (land grabbing) dan naiknya emisi GRK. Rakyat dan lingkungan hidup akan menanggung beban paling besar akibat kebijakan ini.

    Salah satu dukungan terhadap MP3EI adalah keluarnya UU Pengadaan Tanah No 2 tahun 2012 yang memperlancar pengambil alihan lahan untuk pembangunan dan kepentingan Negara, serta beberapa UU lain. Pelanggaran HAM dan konflik horisontal berpotensi menyertai proyek-poyek MP3EI. Mengingat karakter politik Indonesia yang memungkinkan terjadinya korupsi dan kolusi pengeluaran ijin penguasaan lahan di pusat dan daerah. Banyak Pelaku bisa terlibat, salah satunya aparat Polisi dan militer dalam memberikan jasa pengamanan lahan. Konflik sumber daya alam masih akan menjadi wilayah pelanggaran HAM paling serius di Indonesia. Hingga saat ini, para pelaku perusak lingkungan dan pembunuhan rakyat tidak disentuh proses hukum yang memadai.

    Proyek lainnya yang berpotensi serupa adalah Blue Carbon, yang diwacanakan sebagai skema perdagangan karbon dan kompensasi (offset) dalam mengatasi perubahan iklim. Proposal

    Pengurus Negara dalam negosiasi iklim menyebutkan lautan mampu menyerap karbon sekitar 50 kali lebih dari atmosfer. Mereka mengusulkan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) untuk karbon yang tersimpan di laut40. Proposal ini muncul dalam Deklarasi Kelautan Manado (MOD), yang belakangan berhasil meraup pendanaan internasional.

    Masyarakat sipil Indonesia di bawah bendera Manado People Alliance (MPA) telah mengkritik deklarasi tersebut. Mereka menyatakan kekhawatiran blue carbon sekedar proposal mitigasi iklim dalam skema pasar, guna menuntut dana receh negara-negara industri yang paling bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perubahan iklim41. Blue Carbon justru akan merugikan Indonesia, seperti yang sedang terjadi di sekitar proyek Coral Triangel Initiatives (Inisiatif Segitiga Karang). Di sana, nelayan kian dijauhkan dari lautnya sejalan dengan pemenuhan target industrialisasi kawasan konservasi laut hingga 20 juta hektar pada 2020. Lebih dari itu, memudahkan perusahan-perusahaan transnasional dan negara-negara industri yang kerap mencemari laut terlepas dari kewajiban membayar utang ekologi.

    Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim percaya komodifikasi alam melalui konsep Ekonomi Hijau justru akan memperburuk krisis iklim. Itulah sebabnya Pertemuan Rio+20 akan memberikan dampak luar biasa bagi keselamatan penduduk bumi, yang kini menghadapi krisis kerusakan lingkungan, krisis ekonomi dan krisis iklim. Di tengah keprihatinan warga dunia terhadap hasil-hasil negosiasi perundingan iklim, komitmen 193 negara yang hadir pada KTT Rio+20 untuk menyepakati tindakan nyata bagi pemulihan dan pengelolaan sumber-sumber kehidupan yang lebih adil dan berkualitas sangat dinantikan.

    Sumber: dokumentasi pusaka

  • Briefing Paper Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20 13

    Catatan kaki1 Upayamemperlakukanunsur-unsuralamsebagaibarang

    yangbisadiperjualbelikansecarabebas,termasukfungsi-fungsinya dalam menyerap dan menyimpan karbon, airmaupun keragaman hayati. Misalnya fungsi menyerapkarbon diperdagangkan melalui perdagangan karbon,fungsikeragamanhayatimelaluibiodiversityoffset.

    2 IndonesianCompaniesMarkEarthDaybyLayingGroundfor Rio+20 Summit, http://www.rainforestrealities.com/newsroom/press-releases/indonesian-companies-mark-earth-day-by-laying-ground-for-rio20-summit/

    3 REDD, atau Reducing Emissions from Deforestationand Forest Degradation (Pengurangan emsisi darideforestasi dan degradasi hutan) : Sebuah mekanismeuntuk mengurangi emisi GRK dengan cara memberikankompensasi kepada pihak pihak yang melakukanpencegahan deforestasi dan degradasi hutan. http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/melindungi-hutan-alam-terakhir/apa-itu-redd/

    4 http://www.indonesiaberprestasi.web.id/?p=5116

    5 http://fokus.vivanews.com/news/read/208195-mengapa-orang-mapan-semakin-banyak-

    6 Versi PODES (Potensi Desa) 2008 dan PPLS (PendataanProgramPerlindunganSosial)

    7 Lihat HYPERLINK: http://www.kabarbisnis.com/opini/2814996-Masyarakat_Desa_Hutan__Komunitas_yang_Terabaikan.html;diaksespada30September2010.Fakta ini diakui dalam Rencana Pembuatan RenstraKehutanan 2010-2014. Lihat Permenhut P.51/Menhut-II/2010tentangRencanaStrategis(Renstra)KementerianKehutanan20102014

    8 Lihat HYPERLINK: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/462985/

    9 http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/11/179899/Petani-Menipis-di-Negeri-Agraris

    10 http://indomaritimeinstitute.org/?p=979

    11 WorldDevelopmentIndicator,2007

    12 PBB juta telahmengeluarkanResolusi tentangHakAtasAirdanSanitasi,2009

    13 http://nasional.vivanews.com/news/read/298881-ri-kaya-sumber-air-tapi-minim-air-bersih

    14 HasilPemantauankualitasairsungai(PKA)di33provinsioleh Pusat Sarana Pengendalian Dampak Ling kungan(Sarpedal)KementerianLingkunganHidup(KLH),2011.

    15 http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI /MI /2012 /03/29/Art ic leHtmls /Lebih-dari-Separuh-Sungai-di-Indonesia-Tercemar-Berat-29032012002024.shtml?Mode=1

    16 WawancaradenganWalhiBali,2012

    17 Lagi Ditemukan 118 Kontainer Limbah B3, MediaIndonesia, 30 April 2012, http://www.mediaindonesia.com/read/2012/04/30/316534/37/5/Lagi-Ditemukan-118-Kontainer-Limbah-B3-

    18 59% Izin TambangBermasalah, 28 Februari 2012, http://bisnis.vivanews.com/news/read/291824-59--izin-tambang-bermasalah

    19 BrieingPaperHariAntiTambang,29Mei2012 :PulihkanRakyat,lawanPembodohandanLupa

    20 Taman Nasional Rusak Parah, http://nasional.kompas.com/read/2012/04/19/01422024/

    21 ___________Catatan Akhir Tahun Indonesian Center forEnvironmentalLawTahun2011

    22 M. Altieri, et al. 2012. The Scaling Up of Agroecology:SpreadingtheHopeforFoodSovereigntyandResiliency

    23 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010,Mahkamah Konstitusi membatalkan seluruh pasal yangterkaitdenganHP-3.

    24 MidaSaragihdanDedyRamanta. (2008).Pembangunanuntuk Siapa? Dampak Reklamasi terhadap PerempuandanAnakNelayandiPantaiJakartaUtara.Jakarta:KIARA;

    25 PenelitianSolidaritasPerempuanbersamaAPWLD,2011

    26 Perkembangan Utang Negara (Pinjaman dan SuratBerhargaNegara),DirektoratJenderalPengelolaanUtangKementerianKeuangan,Mei2012.

    27 http://finance.detik.com/read/2012/05/22/103916/1921504/4/jepang-masih-paling-rajin-kasih-utang-ke-ri,

    28 LaporanKeuanganPemerintahPusat(audited),2010.

    29 Perkembangan Utang Negara (Pinjaman dan SuratBerhargaNegara),Mei2012

    30 http://www.neraca.co.id/2012/05/27/stop-utang-luar-negeri-pemerintah/

    31 http://www.dmo.or.id/dmodata/5Statistik/1Posisi_Utang/4BSPUN/Buku_Saku_Perkembangan_Utang_Negara_Edisi_Februari_2012.pdf

    32 IndonesiaPeringkatKe-100IndeksPersepsiKorupsi2011,http://nasional.kompas.com/read/2011/12/01/17515759

    33 http://www.komnasham.go.id/profil/1596-pengusutan-ham-masa-lalu-jalan-di-tempat

    34 http://www.indonesiamedia.com/2011/12/12/komnas-ham-penyiksaan-oleh-polisi-meningkat-tahun-2011/

    35 http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/3138

    36 http://cahasta.wordpress.com/2012/01/30/kebijakan-agraria-tanpa-ham/

    37 DataDinasPertambanganAceh,2011

    38 UNEPreportonASynthesisforPolicyMakers:TowardsaGreenEconomy: PathwaystoSustainableDevelopmentandPovertyEradication,2011.

    39 CatatanAkhirTahun,IndonesianCenterforEnvironmentalLaw2011

    40 _________. 4 Nov 2009. RI wants Manado meetingto target carbon trading. Lihat HYP: http://www.thejakartapost.com/news/2009/04/11/ri-wants-manado-meeting-target-carbon-trading.html

    41 ___________. 2009. Menggusur Nelayan,Menenggelamkan Iklim:SisiGelapdanBahayaWOC-CTI.Jakarta:AliansiManado

  • Sejak Deklarasi Rio tentang Pembangunan Berkelanjutan pada 1992. Nelayan, Petani, Masyarakat adat, Buruh, Kaum Miskin kota, Perempuan, Pemuda

    dan anak-anak menjadi saksi menurunnya keselamatan rakyat dan kualitas lingkungan. Ditambah dengan dampak Perubahan iklim telah membuat pilihan-

    pilihan ekonomi menjadi lebih sulit. Sementara Perundingan-perundingan internasional untuk Perubahan Iklim dari waktu ke waktu tak membawa kabar

    menggembirakan.

    Kertas Posisi Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim untuk KTT Rio+20

    UBAH ORIENTASI PEMBANGUNAN UNTUK KESELAMATAN PENDUDUK BUMI

    Gbr. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

    Tingkat kerusakan alam telah demikian parah, sementara upaya pemulihannnya berjalan di tempat. Bumi yang terbatas ini memerlukan pembalikan orientasi pembangunan. Pengurus negara harus mengutamakan keselamatan rakyat dan lingungannya di atas keuntungan korporasi. Tak hanya harus bertanggung jawab, korporasi perusak lingkungan segera menghentikan upayanya mendorong komodifikasi alam di Rio +20.

    Kami menyerukan pentingnya komitmen 193 negara pada KTT Rio+20 untuk sungguh-sungguh memikirkan nasib penghuni bumi dan menghasilka tindakan nyata bagi pemulihan sumber-sumber kehidupan yang lebih adil dan berkualitas. Oleh karena itu kami menyatakan:

    Pertama. Menuntut perubahan orientasi pembangunan yang memastikan terjadinya pemajuan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Lewat pembalikan orientasi pembangunan berkelanjutan

    yang neoliberal dan terbukti gagal, bahkan menjadi pemicu krisis iklim yang kian memburuk dan mengancam keselamatan kolektif penduduk dunia. Ke arah perubahan sistem ekonomi, moda produksi dan konsumsi yang sejalan dengan batas daya dukung bumi.

    Kedua.Menolak Green Economy yang dibangun dalam kerangka sistem ekonomi neoliberal, dan akan mendorong perluasan privatisasi, komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam yang merampas sumber-sumber kehidupan rakyat dan menghancurkan keragaman hayati dengan skema dan pertimbangan apapun, termasuk perdagangan karbon, tukar guling kawasan atau biodiversity offset yang mengemuka dalam perundingan-perundingan global.

    Pemerintah harus menjamin akses yang adil terhadap sumberdaya alam khususnya bagi masyarakat lokal.

  • Ketiga.Mendesak Pengurus negara secara konsisten menjalankan Agenda 21 berdasarkan prinsip prinsip yang tertuang dalam Deklarasi Rio, terutama keadilan gender dan pengakuan terhadap masyarakat adat, kehati-hatian dini, respon dan tanggung jawab sama tapi berbeda, pelunasan utang ekologis sebagai sebuah bentuk tanggungjawab atas yang telah dilakukan oleh negara-negara industri dan korporasi dan lembaga keuangan internasional terhadap negara miskin dan berkembang, serta memperkuat prinsip akses (akses terhadap informasi, akses terhadap partisipasi publik, serta akses terhadap keadilan lingkungan)

    Keempat.Menuntut Pemerintah tidak bekerjasama dengan perusahaan perusak lingkungan untuk pendanaan

    Indonesia Civil Society Forum for Climate JusticeJl. Lengkeng Blok J No.5 Perumahan Kalibata Indah Jakarta Selatan, 12750 Indonesia.Tlp / Faks. (021) 798 9543Website: www.csoforum.netKontak : Siti Maemunah + 62 811920462

    Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim - kerap disebut CSF merupakan Forum beranggotakan kelembagaan didukung berbagai individu yang memperjuangkan keadilan iklim. CSF lahir 2007 untuk mengawal proses dan menggalang forum alternatif saat Pertemuan Para Pihak Negosiasi Perubahan Iklim (COP 13) di Bali. CSF mengorganisir sejumlah program dan kegiatan sebelum dan paska COP, baik dalam maupun diluar sistem PBB. Saat ini, jumlah organisasi pendukung 29 organisasi. CSF mempromosikan HELP sebagai prinsip Keadilan Iklim, Human Security, Ecological Debt, Land Right dan Production Consumption Pattern. Forum ini terbuka bagi pihak manapun untuk berkomitmen dan terlibat sepanjang sepakat dengan prinsip Keadilan Iklim.

    Selain anggota CSF, kontributor Briefing Paper ini adalah: KAU, SPI, BIC, Kontras, dan SDE.

    Sumber: dokumentasi Henri Ismail

    Keterangan

    (1) Prinsip 10 Rio berbunyi: Environmental issues are best handled with the participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, including information on hazardous materials and activities in their communities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available. Effective access to judicial and administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.

    (2) Prinsip 20 Rio: Women have a vital role in environmental management and development. Their full participation is therefore essential to achieve sustainable development.

    (3) Prinsip 22: Indigenous people and their communities, and other local communities, have a vital role in environmental management and development because of their knowledge and traditional practices. States should recognize and duly support their identity, culture and interests and enable their effective participation in the achievement of sustainable development.

    (4) Pasal 65 ayat (2) UU No. 32 tahun 2009: Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, aksesinformasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

    negosiasi dan pencitraan yang mengatasnamakan keberlanjutan ekosistem, pelestarian lingkungan dan pengentasan kemiskinan

    Kelima. Mendesak Pengurus Negeri merealisasikan komitmen pembentukan konvensi mengenai Prinsip 10 , prinsip 20, prinsip 22 Deklarasi Rio dan mendorong implementasi Pasal 65 ayat (2) UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    Pembangunan bisa membawa kesejahteraan terhadap masyarakat perempuan dan laki-laki- serta menjaga keberlanjutan daya dukung bumi, apabila mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan ekologis, keadilan sosial dan keadilan gender, juga memasukkkan Pilar Budaya sebagai salah satu Pilar Pembangunan Berkelanjutan.