Branchless Banking Setelah Multilicense (Publik)
-
Upload
rifka-mustafida -
Category
Documents
-
view
27 -
download
5
description
Transcript of Branchless Banking Setelah Multilicense (Publik)
-
Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan Sekolah Staf Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI)
Angkatan XXXI
BRANCHLESS BANKING SETELAH MULTILICENSE:
ANCAMAN ATAU KESEMPATAN BAGI PERBANKAN NASIONAL
PUNGKY PURNOMO WIBOWO NIP. 11853
-
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulilah ke hadirat Allah SWT dan atas berkat
dan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan
jadwal yang ditentukan. Makalah ini Penulis susun dan persembahkan sebagai salah
satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan kepemimpinan di Bank Indonesia pada
SESPIBI Angkatan XXXI Tahun 2013. Dalam keterbatasan waktu yang tersedia dalam
program SESPIBI XXXI, Penulis berusaha untuk menghasilkan makalah yang dapat
memberikan kontribusi serta sumbangan pemikiran yang signifikan untuk Bank
Indonesia.
Dalam kesempatan ini, Penulis menyampaikan ungkapan terima kasih kepada
Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Pimpinan Satuan Kerja yang telah memberikan
kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti SESPIBI XXXI ini. Ucapan terima kasih juga
Penulis haturkan kepada Direktur Program SESPIBI XXXI, Pimpinan dan seluruh Staf
Departemen Sumber Daya Manusia, Ibu Eni V. Panggabean selaku pembimbing,
kawan-kawan yang sangat inspiratif di program SESPIBI XXXI, khususnya Sdri. Yunita
Resmi Sari, Sdri. Elisabeth Sukawati, Sdr. Yudi Permana, kawan-kawan di Tim Financial
Inclusion yang telah membantu penyediaan data dan referensi guna penyusunan
makalah ini, dan para pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, yang telah
berkontribusi sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.
Akhir kata, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan
saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak.
Jakarta, 27 Juni 2013
ii
-
ABSTRAK
Peran dan fungsi bank dalam perekonomian yang sangat strategis, membuat posisi perbankan sangat penting untuk mendorong kegiatan ekonomi. Bank dapat mempengaruhi dan menentukan semua aspek kegiatan ekonomi di suatu negara. Ketidakmampuan bank dalam memberikan layanan yang optimal akan menyebabkan kegiatan ekonomi terganggu dan bisa mengakibatkan semua sektor ekonomi tidak bisa bekerja optimal. Melihat dari perspektif demand dan supply, terlihat fungsi Bank sebagai agent of development dapat dikatakan belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan adanya kebijakan insentif yang dapat mengoptimalkan fungsi bank sebagai sebagai agent development. Diakhir tahun 2012 Bank Indonesia mengeluarkan Pengaturan multilicense dan pembukaan jaringan kantor diarahkan untuk mendorong Bank agar meningkatkan efisiensi kegiatan operasionalnya dan daya saing dengan ditunjang oleh permodalan yang kuat. Masih dalam upaya mengoptimalkan fungsi bank sebagai agent development, diawal 2013, Bank Indonesia meluncurkan program branchless banking dalam kerangka besar sebagai salah satu kegiatan financial inclusion. Dengan dukungan inovasi delivery channel Branchless Banking, pangsa pasar untuk unbanked people akan menjadi target bisnis yang menarik bagi perbankan di Indonesia. Disamping itu, dukungan kondisi geografis dan kondisi masyarakat Indonesia, branchless banking diharapkan akan dapat mendukung perluasan akses layanan jasa keuangan bagi masyarakat. Dari sini dapat terlihat adanya sinergi dari kedua kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Kedua kebijakan tersebut memiliki tujuan yang saling mendukung dalam rangka menjembatani permasalahan disparitas layanan keuangan perbankan dimana multilicense dan pengaturan pembukaan kantor cabang akan memberikan insentif bagi bank untuk membuka layanan di daerah yang masih minim layanan perbankan dan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Kedua kebijakan ini juga akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi operasional bank memperluas jangkauan akses layanan perbankan bagi masyarakat dan meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM. Berdasarkan analisa kuantitatif dan kualitatif yang telah dilakukan, terdapat beberapa kesimpulan dan saran kepada Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengawasi dan mengatur perbankan nasional saat ini dan OJK pada waktunya. Selanjutnya disampaikan juga strategi yang dapat ditempuh oleh perbankan nasional, OJK dan BI untuk menjaga agar tujuan dan pelaksanaan kegiatan branchless banking dapat terlaksana secara benar, tepat dan terukur. Keyword: Branchless Banking
iii
-
EXECUTIVE SUMMARY
Bank sebagai lembaga intermediasi sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
utamanya bank yang sehat dan efisien. Perbankan yang efisien akan mendukung pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, masih banyak
penduduk Indonesia belum berbank baik menabung ataupun mendapat fasilitas pembiayaan.
Berdasarkan hasil survei Bank Dunia, kurang dari 50% penduduk Indonesia memiliki rekening
bank pada institusi keuangan formal (bank) dan hanya 17% dari penduduk yang mempunyai
akses kredit. Lebih jauh, hasil survei rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun
2010 menunjukkan bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali. Jumlah
kepemilikan rekening masyarakat Indonesia dinilai masih rendah bahkan se-ASEAN.
Disisi lain, sektor UMKM yang merupakan sektor yang terbukti tangguh dalam menghadapi
krisis ekonomi kurang mendapat perhatian karena berbagai kendala. Sektor ini diperkirakan
memberikan kontribusi sebesar 57,1% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dengan
pangsa mencapai 99 persen dari total unit usaha di Indonesia serta menyerap 97.2% dari total
tenaga kerja. Ironisnya, pangsa kredit UMKM hanya 20% dari total kredit perbankan. Padahal
tiga penelitian yang ada terkait UMKM mengungkapkan potensi pembiayaan perbankan untuk
UMK masih cukup tinggi. Dengan menggunakan asumsi bahwa PDB sampai dengan tahun
2018 tumbuh 6,5%, dan potensi usaha Mikro dan Kecil di tahun 2018 diperkirakan mencapai
Rp1.588,42 triliun.
Fakta dimaksud mengakibatkan rasio outstanding kredit perbankan (27,49% terhadap GDP),
Kredit UMKM (0,67% terhadap GDP) maupun outstanding dana pihak ketiga (36,41%
terhadap GDP) terendah dikawasan. Masyarakat Indonesia ternyata lebih banyak
memanfaatkan layanan keuangan dari sektor informal atau tidak menabung sama sekali.Fakta
ini menjadi kendala untuk percepatan pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan
maupun mendukung sustainability pertumbuhan ekonomi.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab terbatasnya layanan perbankan ke masyarakat
diseluruh pelosok adalah terbatasnya infrastruktur karena kondisi alam Indonesia yang
berkepulauan. Perhitungan skala ekonomis operasional bank di suatu daerah tersebut menjadi
faktor penting seperti tergambar kecilnya indikator jumlah layanan perbankan seperti kantor
cabang dan ATM untuk setiap 1000 km2 luasan wilayah.
Lebih jauh, masyarakat sendiri masih merasakan hambatan dalam memperoleh layanan jasa
keuangan formal dari perbankan. Selain keterbatasan infrastruktur lembaga keuangan
Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 iv
-
dimaksud, juga disebabkan rendahnya penghasilan sehingga pendapatan yang diterima
penduduk desa lebih banyak digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia
79% masyarakat yang tidak memiliki tabungan karena tidak memiliki uang. Namun demikian,
masyarakat berpendapatan rendah adalah active money managers yang sangat membutuhkan
akses keuangan terhadap lembaga keuangan khususnya perbankan. Selain itu, rendahnya
pemahaman masyarakat tentang keuangan (financial literacy) dan belum tersedianya produk
yang sesuai untuk kelompok masyarakat kecil menambah rumit persoalan.
Untuk itu, perlu terobosan dan inovasi agar seluruh masyarakat dapat menikmati jasa layanan
dari perbankan. Hal ini juga terjadi diberbagai belahan dunia terutama di emerging economies
melalui dengan apa yang dinamakan dengan kebijakan keuangan inklusif. Salah satunya
melalui penerapan branchless banking. Keuangan Inklusif adalah sebuah kondisi dimana
masyarakat memiliki akses yang berkesinambungan terhadap jasa keuangan yang dibutuhkan
atau sebuah proses untuk menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat luas dan rumah
tangga berpenghasilan rendah pada harga yang dapat dijangkau.
Untuk menajwab persoalan dimaksud dan atas dasar fakta dan trend yang terjadi, Bank
Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan dengan tujuan meningkatakan jangkauan akses
namun tanpa menimbulkan dampak negative yang berlebihan baik bagi perbankan sendiri,
masyarakat maupun perekonomin. Kebijakan dimaksud ditekankan kepada penguatan
ketahanan, daya saing, sekaligus penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk
penguatan ketahanan dan daya saing perbankan dilakukan melalui penerapan aturan ijin
berlapis (multilisence). Sedangkan kebijakan dalam rangka perluasan akses keuangan
masyarakat melalui kebijakan branchless banking. Kedua kebijakan ini juga didukung dengan
penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui mewajibkan bank untuk
menyalurkan 20 persen dari total kredit untuk sektor UMKM secara gradual.
Namun demikian, kebijakan dimaksud tidak serta merta dapat mencapai tujuan yang
diharapkan, banyak kendala yang dihadapi seperti disebutkan diatas. Harapan agar kebijakan
ini diharapkan dapat menjangkau unbanked people dan masyarakat remote area untuk
menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan bank dalam penyaluran kredit bagi
UMKM bukanlah pekerjaan mudah. Namun hal ini patut dilakukan mengingat berbagai
landasan teori mendukung kearah tersebut diantaranya :
Tujuan negara yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 v
-
Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia dimana implementasi branchless banking diharapkan
dapat membantu pemerataan pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, yang
merupakan pengamalan moral politik kenegaraan sila pertama, dimana meningkatkan
kesejahteraan umum adalah merupakan tanggung jawab yang suci, dalam membangun
dunia baru yang lebih baik berdasarkan keadilan sosial (sila kedua) serta dalam kerangka
memperjuangkan kepentingan nasional (sila ketiga), dengan demikian kedaulatan rakyat
(dalam bidang ekonomi) akan semakin tinggi. Karena itu negara wajib mendengarkan suara
rakyat (sila keempat) dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat dan mengikut
sertakan seluruh rakyat dalam (sila kelima) kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya serta
secara khusus memperhatikan warga bangsa yang lemah kedudukannya agar tidak terjadi
ketidakadilan serta kesewenang-wenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang
lemah.
Pasal 27 ayat (2) UUD 45 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28 ayat (2) UUD 45 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan dan keadilan.
Ketahanan Nasional, dimana kemiskinan yang disebabkan salah satunya karena rendahnya
akses pada lembaga keuangan. Implementasi BB merupakan salah satu strategi
pengentasan kemiskinan, secara tidak langsung akan meningkatkan ketangguhan
masyarakat, otomatis akan meningkatkan ketahanan ekonomi, yang pada gilirannya akan
meningkatkan Ketahanan Nasional.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) 2005-2025 dimana untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing,
dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang berorientasi dan berdaya saing global,
dimana salah satunya adalah melalui pengembangan sektor keuangan. Pengembangan
sektor keuangan dilakukan melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank
dan non-bank dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan
bagi orang yang kurang beruntung dimanapun berada.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa
untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, pelaksanaan
pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya perekonomian nasional yang
berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu
bersaing di kancah perekonomian internasional.
Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 vi
-
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank sebagai badan
usaha dalam kegiatannya adalah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Teori Pembangunan untuk Rakyat oleh Ginanjar Kartasasmita menyebutkan bahwa
pembangunan dan kebijakan yang berorientasi serta berpihak pada kepentingan rakyat
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam bukunya Pembangunan
untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (1996). Pertumbuhan hanya
akan berkesinambungan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat
sendiri, baik berupa produktifitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan
rakyat. Makin tumbuh dan bekembang pembangunan yang berdasar pada daya rakyat
sendiri, maka makin kukuh pula kemandirian suatu bangsa. Kemandirian yang dibangun
adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain,
bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandegan (Kartawan, 2011).
Teori Pengembangan UMKM oleh Selanjutnya hasil penelitian Syamsul Hadi dan kawan-
kawan dari CIReS dalam bukunya Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF menyebutkan
bahwa pembangunan Indonesia akan lebih kuat dan mandiri jika dalam prosesnya selalu
mengembangkan program pembangunan usaha kecil dan menengah yang komprehensif
(Syamsul Hadi dkk, 2004).
Survei Bank Dunia di seluruh dunia menunjukkan bahwa sektor keuangan memiliki peran
penting dan signifikan dalam pengentasan kemiskinan, mengurangi perbedaan
pendapatan, dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian.
Karya tulis ini akan mencoba mengukur dan menganalisa efektivitas kebijakan yang dikeluarkan
yaitu pengaturan multi-license dan pembukaan jaringan kantor serta implementasi BB dalam
memperkuat struktur perbankan Indonesia dan pengaruhnya terhadap akses keuangan
masyarakat luas. Terdapat empat pokok permasalahan terkait kebijakan multi-license dan
branchless banking dimaksud dengan penekanan sebagai berikut:
1. Tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB dalam meningkatkan
akses keuangan masyarakat.
2. Tingkat potensi pembiayaan khususnya untuk UMKM yang besar akan semakin besar.
3. Tingkat efisiensi yang mungkin timbul.
4. Tingkat kebehasilan kebijakan Branchless Banking dalam meningkatkan akses keuangan,
dengan penekanan pada probabilitas peningkatan kepemilikan rekening tabungan serta
Estimasi Penambahan Rekening Tabungan.
Berbagai metode yang ada akan dimanfaatkan untuk menjawab rumusan permasalahan diatas,
baik dengan metode kuantitatif maupun kualitatif seperti Metode Data Envelope Analysis (DEA)
dan Matrix BCG untuk menjawab rumusan permasalahan pertama; dan Concentration Ratio
Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 vii
-
(CR) serta Herfindahl-Hirschman Index (HHI) untuk permasalahan yang ketiga. Prediksi
peningkatan pengunaan jasa perbankan akan digunakan pendekatan regresi linear maupun
logistik untuk menjawab permasalahan keempat. Sementara itu analia kuatitatif melalui
konfirmasi dengan hasil penelitian yang ada dilakukan untuk menajwab permasalahan kedua.
Kajian ini juga diperkuat dengan anlisa SWOT dari penerapan branchless banking dan
multilicense sekaligus strategi untuk mengantisipasi ataupun memperkuatnya. Adapun analisa
SWOT terkait kedua kebijakan dimaksud antara lain sebagai berikut :
Strength : seperti perbankan local lebih mengenal nilai-nilai kedaerahan, kemampuan
mengembangkan produk yang sesuai dengan karakteristik masyarakat, kemampuan untuk
bekerjasama dengan unit ekonomi lokal
Weaknesses : seperti tingkat efisiensi usaha yang masih rendah, tingginya suku bunga pinjaman khususnya kredit UMKM, masih kalahnya profesionalitas SDM, kurangnya inovasi
produk dan jasa, pelayanan yang rigid dan formalitas dan kemampuan pengelolaan risiko
dibidang mass market masih terbatas.
Opportunity : seperti masih luasnya pangsa pasar, menurunkan risiko likuiditas dengan
mperoleh sumber dana retail baru, menurunkan risiko kredit dan melalui diversigikasi risiko
dengan peningkatan kredit UMKM khususnya kredit mikro dan efisiensi.
Threat : seperti meningkatnya persiangan dengan ASEAN banking integration,
meningkatnya risiko operasional serta risiko reputasi.
Adanya kebijakan branchless banking dan multilicense tentunya perlu diliat efektivitasnya
melalui beberapa indicator, diantaranya a) Bertambahnya jumlah layanan bank. b) Tersedianya
produk bank yang sesuai, c) Bertambahnya jumlah pemilik rekening d) Tercapainya pemerataan
pendapatan masyarakat yang tercermin dari menurunnya Gini Ratio; e) jika keempat indikator
sebelumnya dapat terpenuhi, maka diharapkan tingkat kemisikinan akan turun.
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan multilicense dan pembukaan
jaringan kantor dapat menjawab permasalahan disparitas layanan keuangan perbankan dan
kebijakan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan
masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Lebih jauh, kebijakan
multilicense dan branchless banking akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi
operasional serta dapat meningkatkan penyaluran kredit bagi UMKM sekalgisu memudahkan
bank memnuhi kewajiban untuk menyalurkan kredit UMKM sebesar 20%.
Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 viii
-
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii ABSTRAK ...................................................................................................... iii EXECUTIVE SUMMARY ................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 3
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 4
1.4 Metode Analisis ........................................................................................ 4
1.5 Alur Pikir ................................................................................................... 7
1.6 Pola Pikir ................................................................................................... 8
BAB 2. LANDASAN PEMIKIRAN DAN OPERASIONAL .......................................... 10
2.1 Landasan Pemikiran .................................................................................. 10
2.2 Paradigma Nasional .................................................................................. 11
2.2.1 Pancasila sebagai Landasan Ideal ..................................................... 11
2.2.2 UUD NRI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional .................... 11
2.2.3 Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konseptual .......................... 12
2.3 Peraturan Perundang-undangan sebagai Landasan Operasional ................. 12
2.3.1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 ..................... 12
2.3.2 Undang-undang nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia ..... 13
2.3.3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan .13
2.4 Landasan Operasional Perbankan .............................................................. 14
2.4.1 Jenis Bank ....................................................................................... 14
2.4.2 Produk dan Kegiatan Usaha Bank .................................................... 14
2.5 Landasan Teori .......................................................................................... 15
2.5.1 Teori Akses Lembaga Keuangan ...................................................... 16
2.5.2 Teori Pembangunan untuk Rakyat ................................................... 16
2.5.3 Teori Pengembangan UMKM .......................................................... 18
Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 ix
-
2.6 Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 18
2.6.1 Sarwono Sudarto, 2004: Optimalisasi Peran Perbankan Guna
Mendorong Pertumbuhan UMKM dan Koperasi dalam rangka
Meningkatkan Ketahanan Nasional .......................................................... 16
2.7 Perkembangan Lingkungan Strategis ......................................................... 16
2.8 Implikasi Financial Inclusion ....................................................................... 17
2.8.1 Terhadap Percepatan Perekonomian Masyarakat ............................. 17
2.8.2 Terhadap Ketahanan Nasional ......................................................... 17
2.9 Pokok-Pokok Persoalan dalam Financial Inclusion ...................................... 18
2.10 Kondisi Financial Inclusion yang Diharapkan ............................................ 18
2.11 Indikasi Keberhasilan ............................................................................... 19
BAB 3. KEBIJAKAN MULTILICENSE DAN PERLUASAN JARINGAN
KANTOR BANK .............................................................................................. 20
3.1 Banyak Masyarakat yang Belum Terlayani .................................................. 22
3.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat terhadap Jasa Keuangan .... 23
3.2.1 Tingkat Pendapatan Masyarakat ...................................................... 23
3.2.2 Keterbatasan Ketersediaan Jasa Perbankan ...................................... 23
3.3 Latar Belakang Kebijakan Multilicense ....................................................... 24
3.3.1 Inefisiensi Perbankan nasional ......................................................... 24
3.3.2 Fokus Khusus pada Usaha Kecil, Mikro dan Menengah .................... 25
3.4 Kebijakan Perizinan Berjenjang (Multilicense) ............................................. 26
3.4.1 Modal Inti ....................................................................................... 27
3.5 Latar Belakang Kebijakan Branchless Banking ............................................ 29
3.5.1 Alternatif Model Branchless Banking .............................................. 31
BAB 4. ANALISA KEBIJAKAN BRANCHLESS BANKING SETELAH PENERAPAN
KEBIJAKAN MULTILICENSE UNTUK MEMPERLUAS BASIS NASABAH BANK .......... 37
4.1 Studi Empiris Kebijakan Multilicense, perluasan jariangan Kantor, dan BB di
Indonesia ........................................................................................................ 38
4.1.1 Studi Empiris Multilicense Terkait Modal inti, Perluasan Jaringan
Kantor, dan Tingkat Kejenuhan Bank........................................................ 38
4.1.2 Studi Empiris Pemetaan, Potensi, serta Forecasting Pembiayaan UMKM
(BCG Matrix) ............................................................................................ 46
Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 x
-
4.1.3 Studi Empiris Analisis Efisiensi Perbankan Indonesia Berkaitan Dengan
Tingkat Efisiensi Yang Timbul dari Sinergi Pengaturan Multilicense,
Pembukaan Jaringan Kantor dan Implementasi Branchless Banking ........... 58
4.1.4 Analisis Penerapan Branchless Banking Dalam Meningkatkan Jumlah
Rekening .................................................................................................. 61
BAB 5. ANALISA SWOT PENERAPAN BRANCHLESS BANKING SETELAH KEBIJAKAN
MULTILICENSE DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERBANKAN NASIONAL ............. 64
5.1 Kapasitas Bank di Indonesia dibandingkan Bank di Negara ASEAN ............. 64
5.1.1 Perbandingan Asset dan Modal Inti Perbankan Nasional dengan
Regional ................................................................................................... 64
5.1.2 Modal Inti ....................................................................................... 65
5.1.3 Capital Adequacy Ratio (CAR) ......................................................... 66
5.2 Tingkat Efisiensi Bank di Indonesia ............................................................ 68
5.2.1 BOPO Bank ..................................................................................... 69
5.2.2 Net Interest Margin ......................................................................... 69
5.2.3 Loan to Deposit Ratio ...................................................................... 70
5.3. Analisis SWOT Perbankan Nasional dalam Melaksanakan Kebijakan
Branchless Banking setelah Penerapan Multilicense Policy ......................... 73
5.3.1 Penguatan Strategi SWOT dan Konsepsi Kebijakan .......................... 73
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 75
6.1 KESIMPULAN ............................................................................................ 75
6.2 SARAN ..................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 76
LAMPIRAN .................................................................................................... 85
Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 xi
-
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Jumlah Bank Perkapita Maret 2012 ........................................................ 1
Gambar 1.2 Tingkat Kepadatan Bank di Beberapa Pulau Besar di Indonesia 2011 ....... 2
Gambar 1.3 Indeks Stabilitas Sistem Keuangan .......................................................... 11
Gambar 2.1 Kerangka Kerja Kebijakan Keuangan Inklusif (Financial Inclusion) ............ 12
Gambar 3.1 Persebaran Jaringan Kantor Bank di Indonesia ........................................ 21
Gambar 3.2 Rasio Jumlah Kantor Bank dengan Jumlah Kecamatan ............................ 21
Gambar 3.3 Pergeseran Distribudi Pendapatan Masyarakat Indonesia ......................... 22
Gambar 3.4 Presentase Jumlah Bank Komersial dan BPR di Pedesaan ......................... 24
Gambar 3.5 Akses Kepada Jasa Tabungan ................................................................. 24
Gambar 3.6 Kontribusi UMKM Dalam Perekonomian Indonesia ................................. 25
Gambar 3.7 Jumlah Bank Menurut Modal Inti ............................................................ 27
Gambar 3.8 Analisis GAP Kebijakan Multilicense di Indonesia ..................................... 28
Gambar 3.9 Ruang Lingkup Kegiatan Usaha Bank Berdasarkan BUKU ........................ 29
Gambar 3.10 Tingkat Akses Keuangan di Berbagai Negara Asia ................................. 30
Gambar 3.11 Model Branchless Banking .................................................................... 31
Gambar 3.12 Alur Bank-based Model ........................................................................ 35
Gambar 3.13 Alur Non-bank Based............................................................................ 35
Gambar 3.14 Alur Hybrid Model ................................................................................ 36
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Analisis DEA Perbankan Indonesia .................................. 39
Gambar 4.2 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia ................................. 43
Gambar 4.3 BCG Matriks Tingkat Kepadatan Bank di Indonesia ................................. 44
Gambar 4.4 Sepuluh Provinsi dengan Share Dana Pihak Ketiga dan Kredit Terbesar di
Indonesia ................................................................................................................... 46
Gambar 4.5 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia dan Kebijakan
Branchless Banking .................................................................................................... 46
Gambar 4.6 Pemetaan Kondisi Pembiayaan UMKM di Indonesia ................................ 48
Gambar 4.7 Pemetaan Kondisi UMK di Indonesia ....................................................... 52
Gambar 4.8 Forecast Total kredit dan Kredit UMKM di Indonesia ............................... 53
Gambar 4.9 Analisis Perkembangan Kredit UMKM di Indonesia ................................. 54
Gambar 5.1 Perbandingan Asset 5 Bank Terbesar di Beberapa Negara ASEAN ............ 66
Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 xiii
-
Gambar 5.2 Modal Inti Bank Besar di ASEAN ............................................................. 66
Gambar 5.3 CAR Perbankan di Beberapa Negara ASIA Triwulan IV-2011.................... 68
Gambar 5.4 Perkembangan CAR, ATMR, dan Modal Industri Perbankan Nasional ...... 68
Gambar 5.5 Perkembangan ROA dan NIM Industri Perbankan Nasional ...................... 69
Gambar 5.6 BOPO Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011 .................. 69
Gambar 5.7 Perkembangan BOPO Industri Perbankan Nasional .................................. 70
Gambar 5.8 NIM Perbankan di Beberapa Negara ASIA Triwulan IV-2011 .................... 70
Gambar 5.9 LDR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011 ..................... 72
Gambar 5.10 Rata-Rata Suku Bunga Kredit dan DPK Rupiah ...................................... 73
Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 xiv
-
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perbandingan Tingkat Penggunaan Layanan Keuangan Indonesia dengan
Negara Lain Tahun 2010 ............................................................................. 20
Tabel 3.2 Perbandingan Tingkat Akses Terhadap Perbankan Tahun 2010 ................... 21
Tabel 3.3 Bank Based Model ...................................................................................... 33
Tabel 3.4 Non-Bank Based Model .............................................................................. 34
Tabel 4.1 Status persaingan Usaha Tingkat Provinsi .................................................... 45
Tabel 4.2 Estimasi Kreditel Ritel dengan Alternatif 1 ................................................... 49
Tabel 4.3 Estimasi Kreditel Ritel dengan Alternatif 2 ................................................... 50
Tabel 4.4 Rangkuman Estimasi Potensi Pembiayaan UMK ........................................... 51
Tabel 4.5 Hasil Estimasi Markov Switching untuk Fungsi Kredit ................................... 56
Tabel 4.6 Matriks Transisi dan Matriks Durasi ............................................................. 57
Tabel 4.7 Perkembangan Efisiensi Perbankan dan Cooperation Ratio .......................... 59
Tabel 4.8 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia-Kredit ............................. 61
Tabel 4.9 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia-Kredit ............................. 61
Tabel 4.10 Hasil Perhitungan model regresi Logistik ................................................... 62
Tabel 4.11 Hasil Analisis Model Regresi Linier ............................................................. 63
Tabel 4.12 Estimasi Pertambahan Rekening Berdasarkan Zona Provinsi ....................... 64
Pungky Purnomo Wibowo Nip. 11853 xv
-
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fungsi utama bank adalah sebagai lembaga intermediasi, antara pihak yang kelebihan dana
(supply unit) dengan pihak yang membutuhkan dana (demand unit). Dana yang diterima
bank dapat disalurkan pada kegiatan-kegiatan produktif, menyerap tenaga kerja,
meningkatkan output dan pada akhirnya menggerakkan siklus perekonomian. Oleh karena
itu, pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat memerlukan dukungan industri perbankan1
yang sehat dan efisien.
Dalam proses intermediasi, bank memiliki kemampuan untuk menjembatani kepentingan
yang berbeda antara deposan dan peminjam dalam hal preferensi likuiditas atau waktu dari
uang. Pada level ekonomi makro bank merupakan sarana transmisi dari kebijakan moneter;
sedangkan pada level mikro ekonomi, bank merupakan sumber utama pembiayaan bagi para
pengusaha maupun individu (Konch, 2000).
Keberadaan masyarakat merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan oleh
perbankan, oleh karena itu, jumlah kantor bank di suatu wilayah harus memperhatikan
tingkat populasi dan kepadatan penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk di suatu
wilayah, maka semakin tinggi kebutuhan mereka terhadap jasa perbankan. Gambar 1.1
menunjukkan jumlah kantor bank dan jumlah bank perkapita di setiap provinsi di Indonesia.
Gambar 1.1 Jumlah Bank Perkapita Maret 2012
Sumber: Statistik Perbankan, Bank Indonesia, diolah.
DKI Jakarta merupakan provinsi dengan rasio jumlah bank perkapita tertinggi. Hal ini
disebabkan karena provinsi tersebut merupakan ibukota negara dengan tingkat aktivitas
1 Sampai dengan saat ini sistem keuangan masih didominasi oleh perbankan dengan pangsanya dilihat dari sisi asset mencapai 75,8 persen. Sementara itu, kontribusi lembaga keuangan lainnya seperti asuransi hanya mencapai 10,1 persen, perusahaan pembiayaan sebesar 6,1 persen, dan lembaga keuangan lainnya memiliki pangsa asset kurang dari 5 persen. Dari gambaran tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat kita yang melek lembaga keuangan lebih memilih perbankan, padahal di sisi lain apabila masyarakat membutuhkan pembiayaan atau ingin mencari outlet penempatan dananya, pasar modal atau asuransi dapat dijadikan sebagai pilihan.
1
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853
-
ekonomi yang tinggi. Sementara itu, Bali dan DI Yogyakarta memiliki rasio jumlah bank
perkapita tertinggi kedua dan ketiga setelah DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena kedua
Provinsi tersebut memiliki volume transaksi dan perputaran uang yang cukup tinggi mengingat
banyaknya wisatawan asing maupun lokal yang berkunjung. Di sisi lain, banyak Provinsi-
Provinsi yang memiliki jumlah penduduk yang banyak namun hanya dilayani dengan sedikit
kantor bank, seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Meskipun industri
perbankan memiliki perkembangan yang signifikan di Indonesia, akan tetapi, tingkat
persebaran bank di Indonesia tidak merata. Gambar 1.2 di bawah ini menunjukkan tingkat
kepadatan bank (bank density) di pulau-pulau besar di Indonesia.
Gambar 1.2 Tingkat Kepadatan Bank di Beberapa Pulau Besar di Indonesia 2011
Sumber: SEKDA-Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik, 2011, diolah.
Kepadatan bank dapat dilihat dari sisi spasial yaitu jumlah bank per kilometer persegi maupun
dari sisi ukuran pasar, yaitu jumlah bank per seribu penduduk. Gambar di atas menunjukkan
bahwa Jawa adalah pulau dengan jumlah kantor bank per kilometer persegi tertinggi. Setiap
dua kilometer persegi wilayah di Jawa dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan, di Maluku,
setiap 253 kilometer persegi wilayah hanya dilayani oleh satu kantor bank. Dari sisi ukuran
pasar, Sumatera merupakan pulau dengan jumlah kantor bank per seribu penduduk tertinggi.
Setiap seribu penduduk mampu dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan di Papua, setiap
17.000 penduduk hanya mampu dilayani oleh satu bank.
Untuk dapat berperan optimal dalam perekonomian, bank perlu untuk bekerja secara efisien.
Perbankan yang efisien berkaitan erat dengan sistem keuangan yang efisien. Sektor keuangan
yang efisien akan mendorong efektivitas alokasi sumber daya keuangan dan mengurangi
misalokasi sumber daya produktif. Selain itu, perbankan yang efisien akan mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.
Data terakhir yang menunjukkan bahwa perbankan Indonesia masih belum efisien. Salah satu
indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin. Secara khusus, 14 bank Tier 3 dan Tier 4
dapat memenuhi himbauan BI untuk menurunkan suku bunga dana pihak ketiga yang
2
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853
-
mendekati BI rate. Namun, ketika BI Rate stabil di kisaran 6.5 s.d 6.75% dan suku bunga dana
pihak ketiga (DPK) stabil di kisaran suku bunga penjaminan LPS, suku bunga kredit secara
umum masih berada di atas 10%. Hal ini menujukkan sebuah anomali, dimana seharusnya
suku bunga kredit berada di bawah 10%. Kondisi tersebut menyebabkan net interest margin
perbankan Indonesia masih berada pada kisaran 6% atau tertinggi di kawasan ASEAN+52.
Sebagai upaya untuk merealisasikan hal tersebut, maka Bank Indonesia mengeluarkan
beberapa kebijakan dalam rangka penguatan ketahanan, daya saing perbankan, sekaligus
penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk penguatan ketahanan dan daya
saing perbankan dilakukan melalui penerapan aturan ijin berlapis (multilisence). Sedangkan
dalam rangka penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui kebijakan yang
mewajibkan bank untuk menyalurkan 20% dari total kredit untuk sektor usaha mikro, kecil,
dan menengah; dan melalui perluasan akses keuangan masyarakat melalui kebijakan
branchless banking (selanjutnya disingkat BB).
1.2. Rumusan masalah
Terdapat empat pokok rumusan permasalahan yang coba dibahas terkait dengan
kebijakan branchless banking setelah multi license apakah merupakan ancaman dan
keuntungan bagi perbankan nasional. Keempat rumusan permasalahan di bawah ini
untuk menganalisis sinergi dari kedua kebijakan dimaksud dengan penekanan kepada:
5. Tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB3 oleh Bank
Indonesia (BI) dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat terhadap perbankan;
khususnya masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang UMKM (Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah).
6. Tingkat potensi pembiayaan khususnya untuk UMKM yang besar diprediksi akan
semakin mendorong perbankan untuk mengambil potensi tersebut, terutama dengan
adanya kebijakan multilicense dan BB tersebut. Tingkat sinergi dari kedua kebijakan
tersebut selanjutnya akan berdampak positif; tidak hanya terhadap industri perbankan
dan perekonomian nasional; Namun dalam penulisan penelitian ini, akan dilihat lebih
jauh apakah terjadi down-side effect atau ancaman yang mungkin timbul apabila
tidak terjadi sinergi di antara kedua kebijakan tersebut.
7. Tingkat efisiensi yang mungkin timbul, sebagai akibat adanya sinergi pengaturan
multilicense, pembukaan jaringan kantor dan implementasi BB, terhadap kondisi
perbankan dan perekonomian Indonesia. Pengukuran peluang ini dilakukan dengan
2 Asean+5 terdiri dari negara Indonesia, Philipine, Thailand, Malaysia, Singapur dan Brunei, Kamboja,Laos, Myanmar dan Vietnam. 3 Kebijakan multilicense dan branchless banking (BB) tersebut akan dibahas secara mendalam di Bab 3.
3
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853
-
membandingkan down-side effect atau ancaman dan sinergi antara kebijakan
multilicense dan BB tersebut.
8. Tingkat kebehasilan kebijakan branchless banking dalam meningkatkan akses
keuangan terhadap perbankan, dengan penekanan pada probabilitas peningkatan
kepemilikan rekening tabungan serta Estimasi Penambahan Rekening Tabungan.
Dalam hal ini apabila tingkat keberhasilan BB tersebut menunjukan hasil yang kurang
memuaskan, maka kebijakan BB tersebut dapat dipandang sebagai ancaman (down-
side effect) bagi perbankan nasional.
1.3 Tujuan Penelitian
Karya tulis ini akan mengukur dan menganalisa kemampuan pengaturan multilicense dan
pembukaan jaringan kantor serta implementasi BB dalam memperkuat struktur
perbankan Indonesia dan pengaruhnya terhadap akses keuangan masyarakat luas sebagai
bagian dari program inklusi keuangan, dengan menjawab keempat rumusan
permasalahan di atas. Dengan memiliki analisa yang komprehensif dari seluruh
permasalahan dalam penelitian ini, karya tulis ini diharapkan mampu menjawab dampak
positif berupa keuntungan atau kesempatan maupun ancaman (down-side effect) yang
mungkin timbul dari kebijakan branchless banking dan multilicense terhadap perbankan
dan perekonomian nasional. Penulisan penelitian ini mencoba menjelaskan pula critical
point yang perlu menjadi perhatian dalam implementasi kedua kebijakan tersebut.
1.4 Metode Analisis
Keempat rumusan pokok permasalahan di Sub Bab 1.2 di atas dapat dianalisa dengan
menggunakan 4 analisa kuantitatif4. Dua analisa kuantitatif (DEA dan Matrix BCG) yang
pertama dilakukan untuk menjawab rumusan permasalahan pertama dan kedua; dan
analisa kuantitatif Concentration Ratio (CR) yang selanjutnya dianalisis lebih jauh dengan
menggunakan metode Herfindahl-Hirschman Index (HHI) untuk menjelaskan rumusan
permasalahan yang ketiga; sementara rumusan permasalahan keempat dilakukan dengan
metode regresi logistik dan lineaer . Alur anisa kuantitatif yang akan dibahas secara
mendalam di Bab 4 dalam penulisan penelitian ini, dapat dijelaskan secara singkat sebagai
berikut:
1. Menjawab rumusan permasalahan pertama (tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB)
a. Analisa kuantitatif mengenai perlunya diatur produk dan kegiatan perbankan
secara lebih terinci berdasarkan kapasitas yang dimiliki oleh bank yang meliputi
kapasitas modal inti, skala ekonomi dan struktur organisasi perusahaan dijelaskan
4 Analisa secara menyeluruh dengan menggunkaan analisa kuantitatif dapat diiukuti secara lengkap di Bab 4. 4
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853
-
dengan menggunakan Metode Data Envelope Analysis (DEA)5.DEA ini
menggambarkan pentingnya kebijakan multilicense (perijinan berjenjang),
khususnya dalama pembukaan jaringan kantor bank dalam mendorong
optimalnya pelayanan kantor bank kepada masyarakat Indonesia.
b. Sebagai kelanjutan dari hasil yang diperoleh dari Analisa DEA di point 1 tersebut,
dilakukan analisa kejenuhan bank (bank density6) di seluruh wilayah Indonesia
sebagai dasar untuk perlunya dilakukan kebijakan inovatif untuk perluasan
pelayanan perbankan (antara lain kebijakan BB). Tingkat kejenuhan tersebut
diukur menggunakan teknik Matrix BCG, yang dikembangkan oleh Boston
Consulting Group pada tahun 19707, berdasarkan economic of scale dan financial
service coverage8.
2. Membahas permasalahan kedua (Tingkat Pemetaan dan Potensi Pembiayaan
UMKM Khususnya UMK)
Dilakukan dengan Analisa BCG Matriks untuk tingkat kejenuhan layanan perbankan
di suatu daerah tertentu. Hal ini dikonfirmasi pula dengan tiga hasil penelitian dari
Bank Tabungan Pensiunan Nasional, Kementerian Koperasi dan UMKM serta Bank
Indonesia (penelitian berdasarkan household survey tahun 2010) dan forecasting
kebutuhan kredit UMKM.
3. Merespon Permasalahan Ketiga (Tingkat Efisiensi dari Sinergi Pengaturan
Multilicense and BB)
a. Dalam menjelaskan tingkat efisiensi yang mungkin timbul dari sinergi kebijakan
multilicense dan BB, dilakukan perhitungan ukuran penguasaan pangsa pasar
kredit dan dana pihak ketiga (DPK) yang dilakukan oleh kelompok bank, yang
dikategorikan besar berdasarkan peraturan multilicense, terhadap total kredit
dan DPK. Ukuran tersebut disebut dengan Concentration Ration (CR).
5 DEA merupakan studi empiris yang dapat digunakan untuk mengevaluasi produktivitas dan performa sebuah bank dengan menggunakan pendekatan non parametik. Grigorian dan Manole (2005) melakukan penelitian pada sektor keuangan di Bahrain sedangkan Wezel (2010) melakukan studi empiris di Amerika Tengah. 6 Bank density mengukur kepadatan bank di suatu wilayah berdasarkan jangkauan layanan dan proporsi jumlah penduduk yang dilayani. Tingkat kejenuhan tersebut dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan total jumlah kantor bank di suatu wilayah dengan luas wilayah untuk melihat kepadatan bank dari sisi spasial jangkauan pelayanan. Disamping itu, tingkat kejenuhan bank juga dapat dilihat dengan membandingkan jumlah kantor bank dengan jumlah penduduk untuk melihat kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanannya. 7 Matriks ini didasarkan pada teori siklus produk (life cycle theory). BCG Matrix merupakan matriks 2x2 dengan variabel pangsa pasar monopoli sebagai sumbu axis dan tingkat pertumbuhan pasar sebagai sumbu ordinat. Model analisis ini dapat digunakan juga untuk memetakan industri perbankan per provinsi di wilayah Indonesia yang memiliki banyak pelaku pasar dengan persaingan monopolistik. Pengembangan model analisis ini untuk industri perbankan dilakukan dengan penyesuaian variabel pada sumbu X dan sumbu Y. 8 McKinnon (1973) dan Levine (1977) menyatakan bahwa persaingan yang sangat ketat akibat penumpukan jumlah bank pada suatu wilayah dapat menimbulkan kejenuhan bank (bank saturation). Sehingga pendirian bank dalam suatu wilayah harus melihat aspek density ratio atau jumlah bank per jumlah penduduk (ritonga et al, 2004)
5
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853
-
b. Concentration ratio yang diperoleh dianalisis lebih jauh dengan menggunakan
Herfindahl-Hirschman Index (HHI). Indeks ini merupakan indeks yang secara umum
diterima sebagai ukuran konsentrasi pasar. Nilai HHI diukur sebagai jumlah dari
kuadrat pangsa pasar perusahaan yang berkompetisi. Dalam hal ini, apabila
dianggap bahwa pada sektor perbankan, keempat kelompok BUKU9 (Bank Umum
Kegiatan Usaha) bank sebagai kelompok yang berkompetisi dalam sektor
perbankan di Indonesia, maka HHI sektor perbankan di Indonesia dapat dikukur.
Nilai HHI ini diharapkan dapat menjawab tngkat efisiensi yang dapat timbul,
sebagai akibat adanya sinergi pengaturan multilicense dan implementasi BB,
sebagaimana dirumuskan dalam perumusan masalah kedua di atas.
4. Menjelaskan tingkat keberhasilan Branchless Banking dalam meningkatkan
probabilitas kepemilikan rekening tabungan dan estimasi peningkatan jumlah
rekening tabungan tersebut, dengan melakukan analisa sebagai berikut:
a. Untuk menghitung probabilitas kepemilikan rekening tabungan akan
digunakan model regresi logistik dengan melibatkan enam variabel prediktor
sebagai indikator kepemilikan rekening.
b. Model regresi linear digunakan untuk melakukan estimasi peningkatan
rekening tabungan jika ada penambahan layanan jasa keuangan. Dasar
perhitungan dengan menggunakan model regresi linier dari setiap zona
kejenuhan bank.
9 Kebijakan Multilicense menggolongkan perbankan di Indonesia menjadi 4 (empat) sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha 1 s.d. 4. Penjelasan tentang hal ini dapat diikuti dengan lengkap di Bab 3.
6
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853
-
1.5 Alur Pikir
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka dapat dibuat alur pikir seperti gambar diatas. Terdapat disparitas (perbedaan) layanan keuangan
perbankan di Indonesia, terutama layanan keuangan yang masih terpusat di Pulau Jawa. Permasalahan spasial ini mendorong Bank Indonesia untuk
dapat meningkatkan layanan perbankan terutama di daerah luar Jawa. Kebijakan multilicense dan BB merupakan kebijakan yang tepat untuk keluar
dari permasalah tersebut. hal ini disebabkan karena untuk membuka bank baru, terutama di luar Jawa, membutuhkan biaya yang besar. Dengan
adanya branchless banking dan multilicense diharapkan kinerja dan akses layanan perbankan meningkat, sehingga pada akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional.
DISPARITAS LAYANAN
KEUANGAN PERBANKAN
SECARA SPASIAL
PERBANKAN DI
INDONESIA
PELUANG
TANTANGAN
KEBIJAKAN MULTILICENSE,
BRANCHLESS BANKING
TINGKAT LAYANAN
PERBANKAN DI DAERAH
PERTUMBUHAN
EKONOMI
KEBIJAKAN MULTILICENSE
KEBIJAKAN PEMBUKAAN
KANTOR CABANG
PENINGKATAN KINERJA DAN
AKSES LAYANAN PERBANKAN
KESEJAHTERAAN
MASYAKARAT
7
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853
-
1.6 Pola Pikir
Pengaruh Lingkungan atau Lingkungan strategis: Global: Masyarakat Dunia Regional: Masyarakat Ekonomi Asean Nasional: Industri perbankan dan keuangan nasional
PELUANG : menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM tantangan dan kendala: (i) potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan disegmen UMKM yang menjadi pemicu antara
efisiensi pemain lain atau mematikan pemain lain (ii) penurunan resiko kredit UMKM (TAMBAL SULAM KREDIT) (iii) Jumlah penduduk yang tersebar di luar Jawa (iv) Ketidakstabilan kondisi lingkungan
PERLUASAN JARINGAN LAYANAN
PERBANKAN
KEBIJAKAN BANK INDONESIA : 1. MULTILICENSE 2. BRANCHLESS BANKING (BB)
Peningkatan (I) Performance (kinerja
perbankan): Profitabilitas, Efisiensi dan Stabilitas Sistem Keuangan.
(II) Memperluas akses layanan perbankan dan penyaluran kredit
Subyek Obyek Metoda
Seluruh bank di Indonesia yang meliputi supra struktur;. sub struktu dan infrastruktur.
Peraturan Perundangan; Perbankan: melalui perluasan jaringan layanan Masyarakat.: dengan meningkatnya
Legisasi dengan Perijinan berjenjang; branhless banking(BB) melalui bank & non bank-based model; Edukasi dan Sosialisasi
KESEJAHTERAAN MASYAKARAT
PERTUMBUHAN EKONOMI
8
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853
-
Pola pikir kajian ini dapat dijelaskan melalui bagan pola pikir diatas. Perluasan
jaringan layanan perbankan dapat dilakukan melalui kebijakan multilicense (perijinan
berjenjang) dan BB. Kebijakan ini bertujuan untuk memperluas basis nasabah dan
memperluas jaringan unit layanan keuangan dengan melakukan beberapa metode.
Kebijakan ini juga didukung dengan lingkungan strategis yaitu lingkungan tingkat
regional (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan nasional.
Selanjutnya, peluang kebijakan ini diharapkan dapat menjangkau unbanked people
dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan, serta
meningkatkan peranan bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM. Adapun
tantangan untuk kedua kebijakan ini adalah terdapat potensi munculnya kepadatan
tingkat layanan perbankan di segmen UMKM. Secara umum dapat disebutkan,
bahwa dampak jangka pendek dari kedua kebijakan tersebut adalah peningkatan
performance, profitabilitas, efisiensi dan Stabilitas Sistem Keuangan yang saat ini
telah terjaga dengan baik (Gambar 1.3), yang pada nantinya dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Secara lebih
khusus Bagan 1.5 dan 1.6 tersebut akan dijelaskan secara lebih mendalam di bab-
bab selanjutnya dalam penulisan makalah ini.
Gambar 1.3 Indeks Stabilitas Sistem keuangan
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 9
-
BAB 2 LANDASAN PEMIKIRAN DAN OPERASIONAL
2.1 Landasan Pemikiran
Sesuai Pembukaan UUD 1945, Pemerintah Negara Republik Indonesia, tujuan negara
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Selanjutnya, agar tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan UUD 1945 dapat tercapai, diperlukan suatu strategi pembangunan nasional
yang tepat, terukur serta terarah.
Gambar 2.1 Kerangka Kerja Kebijakan Keuangan Inklusif (Financial Inclusion)
Sumber: Kantor Wakil Presiden RI, Strategi Nasional Keuangan Inklusif (Revisi), 2012
Namun demikian, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tersentuh oleh jasa
layanan sektor keuangan formal. Salah satu upaya mengatasi hal ini, di beberapa
Negara, khususnya negara yang tergabung dalam G20, dengan melaksanakan program
financial inclusion (selanjutnya disingkat FI) atau kebijakan keuangan inklusif.
Pengurangan Kemiskinan
Stabilitas Sistem Keuangan
Pemerataan Pendapatan
Masyarakat yang berdaya beli dan produktif Sistem Keuangan yang m udah d iakses
Tujuan Utama
Untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui pengurangan kemiskinan, pemerataan pendapatan & stabilitas sistem keuangan di Indonesia dgn menciptakan sistem keuangan yg dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat
Kelompok Sasaran
Kelompok Pekerja Migran dan Penduduk Daerah Terpencil Sangat Miskin Miskin Bekerja / Produktif Hampir Miskinir Miskin Tidak Miskin
Lembaga Keuangan (Bank & Lembaga
Keuangan Non Bank) Saluran
Pemerintah
Keuangan Publik Subsidi Insentif Fiskal Bantuan Sosial BLT Jamkesmas ,
dll
Produk / Jasa Keuangan Tabungan Kredit Asuransi Remitansi Dana Pensiun Reksa dana , dll
Ketahanan Intermediasi
Efisiensi
Fasilitas Intermediasi & Distribusi
Kebijakan / Peraturan Pendukung
Pemetaan Informasi Keuangan
Fasilitas Keuangan
Publik Strategi Perlindungan
Konsumen Edukasi
Keuangan
Pilar Keuangan Inklusif
Mediasi Perbankan Transparansi Produk
TabunganKu Branchless banking Kredit Start - Up Sertifikasi tanah
Multilicensing Kebijakan
B ranchless banking Kebijakan kredit start - up
Edukasi Pelajar , TKI, dan masyarakat
lain Kampanye Bersama
Financial Identity Number (FIN)
Credit Rating Contoh Program
KERANGKA KEUANGAN INKLUSIF
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 10
-
Framework besar kegiatan FI Indonesia dapat digambarkan secara garis besar pada
Gambar 2.1.
Dalam Gambar 2.1 dapat diikuti bahwa salah satu program dalam keuangan inklusif (FI)
adalah kebijakan BB yaitu kegiatan layanan jasa perbankan dan sistem pembayaran
yang diselenggarakan oleh bank dan telco tanpa melalui kantor bank tapi
menggunakan teknologi dan pihak ketiga (agen) sehingga dapat meningkatkan akses
keuangan masyarakat dan kelompok miskin produktif) dan UMKM.
2.2 Paradigma Nasional
2.2.1 Pancasila sebagai Landasan Ideal
Pancasila sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
pandangan hidup bangsa Indonesia adalah suatu nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia, yang mencerminkan moral dan akhlak manusia Indonesia dan
diyakini kebenarannya serta kesaktiannya.
Dalam hal ini, implementasi branchless banking diharapkan dapat membantu
pemerataan pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, yang
merupakan pengamalan moral politik kenegaraan sila pertama, dimana
meningkatkan kesejahteraan umum adalah merupakan tanggung jawab yang
suci, dalam membangun dunia baru yang lebih baik berdasarkan kemanusian
yang adil dan beradab (sila kedua) serta dalam kerangka memperjuangkan
kepentingan nasional (sila ketiga), dengan demikian kedaulatan rakyat (dalam
bidang ekonomi) akan semakin tinggi. Karena itu negara wajib mendengarkan
suara rakyat (sila keempat) dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat
dan mengikut sertakan seluruh rakyat dalam (sila kelima) kehidupan ekonomi,
sosial, dan budaya serta secara khusus memperhatikan warga bangsa yang
lemah kedudukannya agar tidak terjadi ketidakadilan serta kesewenang-
wenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.
2.2.2 UUD NKRI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan sumber dari segala sumber hukum positif di Indonesia. Sebagai
sebuah negara hukum, maka seluruh penyelenggaraan negara diatur menurut
hukum yang berlaku. Dalam sistem hukum, maka semua orang memiliki
kedudukan yang sama dan setara tanpa diskriminasi. Sehingga semua orang
menjadi terlindungi sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NKRI
1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia.
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 11
-
Optimalisasi BB merupakan perwujudan dari amanat tujuan nasional yang
tercantum dalam Pembukaan UUD NKRI 1945 tersebut yakni memajukan
kesejahteraan umum yang berdasarkan keadilan sosial. Selanjutnya pada Pasal
27 ayat (2) menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Amanat pasal 28 ayat (2)
menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan, salah satu caranya adalah dengan berbank.
Dengan demikian pelaksanaan branchless banking sesuai dengan dasar
konstitusional.
2.2.3 Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konseptual
Sudah jamak diketahui bahwa dalam mencapai tujuan nasional, bangsa
Indonesia menghadapi berbagai tantangan, ancaman, hambatan, dan
gangguan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar bangsa Indonesia.
Karena itu bangsa Indonesia membutuhkan Ketahanan Nasional yang tangguh,
salah satunya melalui pendekatan kesejahteraan. BB dapat sebagai sarana agar
setiap orang memperoleh haknya dalam mendapatkan layanan penuh dari
lembaga keuangan secara tepat waktu, aman, nyaman, dan terjangkau, tanpa
mengurangi harkat dan martabatnya. Dalam konteks Ketahanan Nasional, maka
ancaman kemiskinan yang juga disebabkan rendahnya akses pada lembaga
keuangan, dapat dikurangi melalui implementasi BB. Karena itu BB merupakan
salah satu strategi pengentasan kemiskinan, yang secara tidak langsung akan
meningkatkan ketangguhan masyarakat, dan selajutnya secara otomatis akan
meningkatkan ketahanan ekonomi, yang pada gilirannya akan meningkatkan
Ketahanan Nasional.
2.3 Peraturan Perundang-undangan sebagai Landasan Operasional
2.3.1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.
Dalam arah RPJPN 2005-2025 disebutkan bahwa untuk mewujudkan bangsa
yang berdaya saing, dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang
berorientasi dan berdaya saing global, dimana salah satunya adalah melalui
pengembangan sektor keuangan. Pengembangan sektor keuangan dilakukan
melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank dan non-bank
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 12
-
dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan bagi
orang yang kurang beruntung dimanapun berada.
2.3.2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan
bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional
dan pelaksanaan pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya
perekonomian nasional yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata,
mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian
internasional. Sehingga menjadi tugas bagi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
(saat ini juga otoritas pengawas dan pengaturan perbankan) untuk mendukung
semua upaya dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.
Sesuai UU BI, tugas utama Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 8, yaitu:
a) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b) Mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan c) Mengatur dan mengawasi Bank.
Sementara, terkait pengaturan dan pengawasan bank, diarahkan untuk
mengoptimalkan fungsi perbankan nasional sebagai: a) Lembaga kepercayaan
masyarakat dalam penghimpunan dan penyaluran dana; b) Pelaksana kebijakan
moneter; c) Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan
ekonomi serta pemerataan. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut pendekatan
yang dilakukan adalah dengan menerapkan: a) Kebijakan untuk memberikan
keleluasaan berusaha (deregulasi); b) Kebijakan prinsip kehati-hatian bank
(prudential banking); dan c) Pengawasan bank yang mendorong bank tetap
mengacu kepada prinsip kehati-hatian. Berdasarkan Pasal 16 ayat (2) dan Pasal
29 beserta penjelasannya, selanjutnya diatur kewenangan Bank Indonesia dalam
pengaturan dan pengawasan bank10.
2.3.3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Bank sebagai badan usaha dalam kegiatannya adalah dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam kegiatannya, perbankan
10 (1) Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank; (2) Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan; (3)Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision); (4) Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 13
-
dihimbau dan diwajibkan untuk ikut membantu proses peningkatan taraf hidup
rakyat melalui bisnis yang dilakukan. Perbankan dengan fungsi utamanya
sebagai penghimpun dana dan penyalur pinjaman kepada masyarakat, memiliki
peranan yang strategis untuk melakukan hal tersebut. Untuk mewujudkannya
secara lebih efisien, salah satunya melalui penerapan BB.
2.4 Landasan Operasional Perbankan
2.4.1 Jenis Bank
Secara umum, jenis Bank berdasarkan fungsinya menurut Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 yang telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 adalah:
No Jenis Keterangan
1 Bank Umum Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada.
2 Bank Perkreditan
Rakyat (selanjut-nya
disingkat BPR)
BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum selain itu cakupan wilayah BPR juga lebih sempit dibandingkan dengan cakupan wilayah bank umum.
2.4.2 Produk dan Kegiatan Usaha Bank
Berdasarkan UU, produk dan kegiatan usaha bank dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, antara lain:
No Jenis Keterangan
1 Penghimpunan Dana Dilakukan dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito.
2 Penyaluran Dana Dilakukan dalam bentuk penyaluran dana pihak ketiga yang disimpan di bank melalui penyaluran kredit.
3 Trade Finance Berkaitan dengan perdagangan internasional atau ekspor impor.
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 14
-
4 Treasury
Kegiatan inti dalam bank yang berfungsi dan bertanggung jawab untuk mengelola risiko likuiditas, risiko suku bunga, risiko nilai tukar, risiko kredit (dalam penempatan dana selain pada
kredit dan pembelian surat berharga / investasi), risiko kepatuhan (compliance risk) yang terkait dengan treasury, dan risiko operasional yang terkait dengan fungsi treasury.
5 Keagenan dan Ker-ja
sama
Keagenan produk keuangan dalam bentuk instrumen investasi yang diterbitkan oleh penerbit asing di dalam dan luar negeri, antara lain agen reksadana, agen penjualan Surat Berharga Negara (selanjutnya disingkat SBN), bank kustodian, dan wali amanat.
6 Sistem Pembaya-ran
Antara lain penyelenggara kartu kredit, penerbitan kartu Auto Teller Machine (selanjutnya disingkat ATM), penerbitan kartu debet, kliring, inkaso, transfer, dan e-money.
7 E-banking
Jasa dan produk bank secara langsung kepada nasabah melalui elektronik dan saluran komunikasi interaktif. Beberapa media E-banking, antara lain internet banking, SMS atau m-banking, phone banking, dan ATM.
2.5 Landasan Teori
2.5.1 Teori Akses Lembaga Keuangan
Pengalaman Grameen Bank di Bangladesh sejak awal tahun 70-an, menjadi
dasar bagi Muhammad Yunus untuk menyatakan bahwa kemiskinan adalah
penyangkalan terhadap semua hak asasi manusia. Grameen Bank yang dikenal
sebagai bank untuk kaum miskin, hakikatnya adalah pelaksanaan FI yang luar
biasa, karena diberikan khusus kepada perempuan pada suatu negara dimana
perempuan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Pengalaman itulah
kemudian memunculkan tulisan yang saat ini sangat dikenal di dunia keuangan
mikro, yaitu akses terhadap lembaga keuangan adalah hak asasi manusia
(Yunus, 2007). FI yang salah satu kegiatannya dilakukan melalui BB, yang
sebelumnya telah didahului dengan penerbitan kebijakan multilicense, pada
dasarnya sama dengan grameen bank yang memberikan akses seluas-luasnya
pada masyarakat untuk berbank.
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 15
-
2.5.2 Teori Pembangunan untuk Rakyat
Ginanjar Kartasasmita menyebutkan bahwa pembangunan dan kebijakan yang
berorientasi serta berpihak pada kepentingan rakyat dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam bukunya Pembangunan untuk Rakyat,
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (1996). Pertumbuhan hanya akan
berkesinambungan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari
rakyat sendiri, baik berupa produktifitas rakyat maupun dana yang dihimpun
melalui tabungan rakyat. Makin tumbuh dan bekembang pembangunan yang
berdasar pada daya rakyat sendiri, maka akan semakin kukuh pula kemandirian
suatu bangsa. Kemandirian yang dibangun adalah dengan rasa percaya diri dan
dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian
yang menyebabkan kemandegan (Kartawan, 2011).
2.5.3 Teori Pengembangan UMKM
Selanjutnya hasil penelitian Syamsul Hadi dan kawan-kawan dari CIReS dalam
bukunya Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF menyebutkan bahwa
pembangunan Indonesia akan lebih kuat dan mandiri jika dalam prosesnya
selalu mengembangkan program pembangunan usaha kecil dan menengah
yang komprehensif (Syamsul Hadi dkk, 2004).
2.6 Tinjauan Pustaka
2.6.1 Sarwono Sudarto, 2004: Optimalisasi Peran Perbankan Guna
Mendorong Pertumbuhan UMKM dan Koperasi dalam rangka
Meningkatkan Ketahanan Nasional
Dalam tulisannya, Sarwono Sudarto (2004) menyebutkan bahwa kendala
pengembangan UMKM salah satunya adalah karena akses pembiayaan. Namun
dalam tulisan tersebut tidak menyebutkan solusi bagaimana membuka akses
dimaksud dalam rangka mengembangkan UMKM. Dalam hal ini, BI
menekankan kebijakan BB sebaagi salah satu cara untuk meningkatkan akses
keuangan masyarakat.
2.7 Perkembangan Lingkungan Strategis
Kondisi dunia yang semakin tanpa batas (borderless) membuat Indonesia tidak bisa
bersifat eksklusif dari percaturan dunia yang ada dewasa ini. Masing masing negara
saling membutuhkan mengingat terdapat perbedaan competitive advantage di masing-
masing negara. Di kawasan Asia, penerapan masyarakat ekonomi Asia maupun Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 16
-
perdagangan bebas diregional perlu disikapi hati-hati dan dimanfaatkan. Langkah
strategis yang perlu dilakukan adalah melakukan adaptasi agar bisa memanfaatkan
peluang yang dihasilkan dari perubahan tersebut. Tingginya tingkat pertumbuhan
ekonomi dan masih besarnya masyarakat yang belum tersentuh jasa layanan bank di
Indonesia tentunya menarik industri perbankan dari negara lain (asing) untuk masuk ke
Indonesia sebagai negara dengan potensi market yang besar.
Peluang yang bisa diperoleh dari perubahan lingkungan tersebut, antara lain adalah a)
Dukungan masyarakat dunia yang tinggi (APEC dan G20) terhadap program FI; b)
Peningkatan hubungan dagang Indonesia dengan negara mitra semakin membutuhkan
layanan jasa perbankan; c) Rendahnya akses masyarakat kepada lembaga perbankan
sehingga mendorong terciptanya kebijakan strategis untuk meningkatkan akses
keuangan dimaksud; d) Peningkatan kesempatan perbankan untuk melakukan ekspansi
binisnya, e) lahirnya kebijakan yang integratif dan terpusat tentang FI.
Adapun kendala yang bisa terjadi dari lingkungan strategis, antara lain: a) Implementasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 yang mendorong meningkatnya tingkat
kompetisi di sistem keuangan dan perbankan nasional sebagai akibat masuknya
lembaga keuangan dan perbankan asing; b) Fakta luasnya jangkauan wilayah Indonesia
yang harus dilayani menuntut adanya inovatif and strategic action; c) Rendahnya tingkat
efisiensi sektor perbankan nasional jika akan membuka jaringan kantor baru, dan d)
Rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat (financial literacy).
2.8. Implikasi Financial Inclusion melalui Branchless Banking
2.8.1 Terhadap Percepatan Perekonomian Masyarakat
Saat ini pendekatan pengentasan kemiskinan dengan penurunan tingkat
pengangguran salah satunya dilakukan dengan pendekatan akses terhadap
lembaga keuangan. Survei Bank Dunia di seluruh dunia menunjukkan bahwa
sektor keuangan memiliki peran penting dan signifikan dalam pengentasan
kemiskinan, mengurangi perbedaan pendapatan, dan meningkatkan
pertumbuhan perekonomian.11 Melihat kesenjangan pendapatan yang masih
lebar di Indonesia, maka akses terhadap lembaga keuangan sebagai alat untuk
mempercepat pemerataan pendapatan menjadi relevan dan strategic untuk
dilakukan.
11 Keterangan lebih detail lihat www.worldbank.org Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 17
-
2.8.2 Terhadap Ketahanan Nasional
Data indeks Gini di Indonesia tahun 2012 sebesar 0,41 mengindikasikan
kesenjangan pendapatan masih sangat tinggi, sehingga dibutuhkan suatu
kebijakan nyata dalam mendukung percepatan pemerataan perekonomian,
khususnya pemerataan pendapatan masyarakat.
Kebijakan yang inovatif ini sangat diperlukan, mengingat apabila terdapat
ketidakmerataan pendapatan masyarakat, maka akan mengganggu proses
pembangunan nasional. Selanjutnya, disadari jika pembangunan nasional
terhambat terhambat, hal ini berakibat pada lemahnya Ketahanan Nasional
Indonesia. Sebagaimana dikemukakan diatas, salah satu wujud keberhasilan
pembangunan nasional adalah dengan menurunnya tingkat kemiskinan. Salah
satu strategi untuk mengatasi kemisikinan tersebut adalah melalui pemerataan
pendapatan masyarakat dengan memperluas akses terhadap lembaga
keuangan.
2.9 Pokok-Pokok Persoalan dalam Financial Inclusion
Berdasarkan uraian di atas, disadari bahwa pelaksanaan kegiatan FI di Indonesia tidak
dengan mudah dapat dilaksanakan. Hal ini dikarenakan masih adanya beberapa
persoalan strategis yang harus dicarikan solusinya. Beberapa pokok persoalan tersebut
adalah: terbatasnya infrastruktur lembaga keuangan; rendahnya pemahaman
masyarakat tentang keuangan (financial literacy); Belum tersedianya produk yang sesuai
untuk kelompok masyarakat kecil; Belum optimalnya kebijakan Pemerintah tentang FI,
dalam hal ini Pemerintah belum mengeluarkan kebijakan terpadu terkait dengan FI12.
2.10 Kondisi Financial Inclusion yang Diharapkan
Sesuai dengan pembukaan UUD1945 dan UU No. 17/2007 tentang RPJPN tersebut
diatas, maka pembangunan perekonomian harus dapat menjamin kesempatan
berusaha dan bekerja bagi seluruh masyarakat dan mendorong tercapainya
penanggulangan kemiskinan.
Berdasarkan dua landasan tersebut maka kebijakan perekonomian nasional juga harus
mengutamakan kelompok masyarakat bawah (lemah) sehingga akses perbankan harus
dibuka seluas-luasnya. Hal ini sangat sesuai dengan target dari kegiatan FI yang
dilaksanakan oleh BI.
12 Pada Bulan Juli 2012, telah diterbitkan Strategi National Keuangan Inklusif (SNKI) dari Tim Percepatan Penanggulangan Kemisininan dari kantor Wakil Presiden Republik Indonesia. Namun penerbitan SNKI tersebut masih bersifat soft launching, dan belum ditandatangani oleh Wapres RI maupun oleh Presiden Republik Indonesia. Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 18
-
2.11 Indikasi Keberhasilan
Beberapa indikator dalam percepatan FI yang diharapkan bisa terlaksana dengan baik di Indonesia adalah: a) Bertambahnya jumlah kantor bank. Dalam hal ini penambahan jumlah kantor bank difokuskan kepada daerah di luar Jawa dan Bali karena lebih dari 52% kantor bank berada di Jawa; b) Tersedianya produk bank yang sesuai, bank dituntut untuk dapat menyediakan produk bank yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tanpa harus mengurangi prinsip kehati-hatian dan menyediakan layanan produk keuangan tersebut dengan harga yang terjangkau untuk rakyat miskin; c) Bertambahnya jumlah pemilik rekening di bank. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa semikn banyak masyakarkat yang terlayani oleh perbankan; d) Tercapainya pemerataan pendapatan masyarakat yang tercermin dari menurunnya Gini Ratio yang saat ini sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi sebesar 0.41 di tahun 2012; e) jika keempat indikator sebelumnya dapat terpenuhi, maka diharapkan tingkat kemisikinan akan turun; sehingga total jumlah penduduk misikin akan berkurang tahap demi tahap.
Pungky Purnomo Wibowo Nip.11853 19
-
BAB 3 KEBIJAKAN MULTILICENSE, PERLUASAN JARINGAN KANTOR DAN BRANCHLESS BANKING 3.1 Banyak Masyarakat yang Belum Terlayani
Berdasarkan hasil survei Bank Dunia, kurang dari 50% penduduk Indonesia memiliki
rekening bank pada institusi keuangan formal (bank). Selain itu kurang dari separuh
penduduk Indonesia yang memiliki tabungan di bank dan hanya 17% dari penduduk
yang mempunyai akses kredit melalui institusi keuangan formal (bank). Selebihnya
masyarakat lebih banyak memanfaatkan layanan keuangan dari sektor informal ataupun
tidak memiliki akses terhadap jasa keuangan dari segala jenis lembaga keuangan.13
Tabel 3.1 Perbandingan Tingkat Penggunaan Layanan Keuangan Indonesia
dengan Negara Lain tahun 2010
Sumber: Bank Dunia dan IMF
Hasil survei rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2010
menunjukkan bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali. Jumlah
kepemilikan rekening tabungan masih di bawah 50% total penduduk Indonesia. Saat ini
yang hanya sekitar 19,6% masyarakat Indonesia berusia di atas 15 tahun yang
mempunyai rekening tabungan. Sementara itu, jumlah rekening di Malaysia sudah
66,2%, Thailand 72,7%, Singapura 98,2% dan Indonesia hanya lebih baik dari
Kamboja. Jumlah kepemilikan rekening masyarakat Indonesia dinilai masih rendah
bahkan se-ASEAN.
Hal tersebut berdampak pada rasio outstanding kredit perbankan (27,49% terhadap
GDP), Kredit UMKM (0,67% terhadap GDP), Jumlah depositor di perbankan per 1000
13 The World Bank 2009. Improving Access to Financial Services in Indonesia Pungky Purnomo Wibowo NIP.11853 20
-
penduduk dewasa, maupun outstanding dana pihak ketiga (36,41% terhadap GDP)
yang relatif lebih rendah sebagaimana Tabel 3.1. Kredit UMKM baru mencapai 0,67%,
masih jauh dibandingkan Malaysia dan Thailand. Dana Pihak Ketiga (DPK) share
terhadap GDP juga masih rendah yaitu sebesar 36,41%.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab adalah terbatasnya infrastruktur karena
kondisi alam Indonesia yang berkepulauan menjadi kendala melayani masyarakat
daerah terpencil. Terbatasnya layanan perbankan ke beberapa daerah tersebut sejatinya
juga tidak terlepas dari perhitungan skala ekonomis operasional bank di suatu daerah
tersebut. Hal ini terlihat pada indikator indikator jumlah layanan perbankan seperti
kantor cabang dan ATM untuk setiap 1000 km2 serta rasio antara layanan perbankan
dengan luasan wilayah sebagaimana Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Perbandingan Tingkat Akses Terhadap Perbankan Tahun 2010
Sumber: Bank Dunia dan IMF
Di daerah Papua Barat dan Papua, sebuah layanan perbankan melayani radius lebih dari
1000 km2. Jarak yang jauh yang harus ditempuh masyarakat untuk menikmati layanan
perbankan yang juga dipersulit dengan kondisi medan dan minimnya infrastruktur.
Gambar 3.1 Persebaran Jaringan Kantor Bank di Indonesia
Sumber: Statistik Keuangan Daerah Berbagai Provinsi, Bank Indonesia, diolah
Pungky Purnomo Wibowo NIP.11853 21
-
Disparitas layanan perbankan juga terjadi di tingkat kecamatan. Tingkat layanan
perbankan di tingkat kecamatan yang tertinggi ada di Jakarta, rata-rata setiap
kecamatan dilayani oleh 91 kantor bank. Sedangkan di Papua tingkat layanan
perbankannya paling rendah, dimana satu kecamatan hanya dilayani oleh kurang dari
satu kantor bank atau tidak semua kecamatan tersedia layanan perbankan. Disparitas
layanan bank menyebabkan terciptanya kondisi financial exclusion bahkan mengarah
kepada financial explotation.
Gambar 3.2 Rasio Jumlah Kantor Bank dengan Jumlah Kecamatan
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.
Disparitas dalam pelayanan jasa keuangan tersebut selanjutnya menimbulkan kenaikan
pendapatan dari kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi yang jauh lebih cepat dari
pada kenaikan dari kelompok masyarakat terendah dan menengah (Gambar 3.3). Hal ini
harus segera diatasi dengan kebijakan serta tindakan yang cepat dan strategik,
khususnya dalam memperluas jaringan kantor perbankan nasional tanpa harus
meningkatakan biaya overhead cost perbankan secara signifikan bagi perbankan namun
dapat menjangkau masyarakat luas (outreach yang lebih luas).
Gambar 3.3 Pergeseran Distribusi Pendapatan Masyarakat Indonesia
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.
Pungky Purnomo Wibowo NIP.11853 22
-
3.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat terhadap Jasa Keuangan
3.2.1 Tingkat Pendapatan Masyarakat
Masyarakat masih merasakan hambatan14 dalam memperoleh layanan jasa keuangan
formal dari perbankan. Selain keterbatasan fasilitas lembaga keuangan, juga disebabkan
rendahnya penghasilan di pedesaan sehingga pendapatan yang diterima penduduk desa
lebih banyak digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 79%
masyarakat yang tidak memiliki tabungan karena tidak memiliki uang. Namun demikian,
masyarakat berpendapatan rendah adalah active money managers yang sangat
membutuhkan akses keuangan terhadap lembaga keuangan khususnya perbankan.
3.2.2 Keterbatasan Ketersediaan Jasa Perbankan
Bank umum sebagai lembaga keuangan yang mendominasi sektor keuangan di
Indonesia ternyata hanya melayani sebagian kecil keluarga di Indonesia. Sektor informal
lebih banyak melayani masyarakat dibandingkan sektor perbankan. Dalam hal ini,
sepertiga dari penduduk Indonesia bahkan tidak memiliki tabungan, dan masuk ke
dalam kategori financially excluded atau penduduk yang terpinggirkan dari jasa
tabungan. Berdasarkan survei PODES (tahun 2005) dan survei ATF (tahun 2007), jumlah
layanan perbankan seperti keberadaan kantor bank komersil dan khususnya BPR
(Gambar 3.4) yang seharusnya bisa menyentuh masyarakat kelas bawah masih sangat
terbatas. Namun keberadaan bank komersil di daerah pedesaan menurut survei ATF
hanya 25,9% walaupun angka tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan survei
Bank Dunia yang hanya menunjukan porsi sebesar 16,1%.
14 Beberapa faktor penghambat akses masyrakat terhadap layanan jasa keuangan tersebut antara lain jauhnya jarak tempuh atau lamanya waktu yang diperlukan dari rumah kecabang bank atau ATM terdekat; persyaratan yang ditetapkan oleh bank khususnya untuk persyaratan identitas sulit dan memerlukan proses yang kompleks; besarnya biaya administrasi bulanan atau saldo minimum yang tinggi; produk seperti tabungan sederhana, kredit investasi atau asuransi kesehatan yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan; tingkat pengetahuan keuangan (financial literacy) yang rendah; dan psikologi dan budaya yang belum terbiasa menggunakan layanan perbankan. Pungky Purnomo Wibowo NIP.11853 23
-
Gambar 3.4 Persentase Jumlah Bank Komersial dan BPR di Pedesaan
Sumber : Improving Access to Financial Services in Indonesia, Bank Dunia. 2009
Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 2009, menunjukkan bahwa 38% penduduk
Indonesia termasuk financially excluded. Presentase penduduk yang masuk
financially included namun menabung di sektor informal mencapai 18%,
sehingga bila dijumlah dengan yang tidak memiliki perbankan adalah 56%
penduduk tidak menggunakan jasa perbankan. Hal ini menutut adanya suatu
kebijakan yang bersifat inovatif untuk meningkatkan akses layanan keuangan
penduduk kepada perbankan melalui peningkatan kantor atau point-point
layanan bank (Gambar 3.5).
Gambar 3.5 Akses kepada Jasa Tabungan
Sumber: meningkatkan akses terhadap jasa keuangan di Indonesia, Bank Dunia. 2009
3.3 Latar Belakang Kebijakan Multilicense dan Perluasan Jaringan Kantor
3.3.1 Inefisiensi Perbankan nasional
Perbankan Indonesia masih menunjukkan adanya inefisiensi, dari sisi skala
usaha, dimana struktur perbankan nasional memiliki rentang yang sangat lebar
berdasarkan modal inti yang dimiliki. Struktur perbankan Indonesia saat ini
didominiasi oleh 18 bank besar, dengan sebagian bank memiliki modal inti
Pungky Purnomo Wibowo NIP.11853 24
-
dibawah Rp5 triliun; hal ini mengandung konsekuensi sebagian kecil bank
Indonesia yang mampu beroperasi secara efisien.
Salah satu indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin (selanjutnya
disingkat NIM). Saat ini net interest margin perbankan Indonesia masih berada
pada kisaran 6 persen atau tertinggi di kawasan ASEAN-5; padahal sektor
perbankan yang efisien sangat penting adalah merupakan sangat strategik
dalam rangka mendorong perekonomian dan stabilitas sistem keuangan.
Perkembangan tersebut apabila dihubungkan dengan adanya rencana
pembentukan Masyrakat Ekonomi Asean (selanjutnya disingkat MEA) pada
tahun 2020, dimana akan dilakukan penghapusan pembatasan perdagangan
jasa untuk semua sektor ekonomi yang tersisa, maka tingkat efisiensi sektor-
sektor utama termasuk sektor perbankan menjadi sangat mutlak dalam menjaga
momentum pertumbuhan ekonomi nasional, sebagai akibat meningkatnya
persaingan yang mungkin timbul akibat terbentuknya MEA. Untuk itu perlu
segregation pelayanan bank berdasarkan kekuatannya agar efisien dan
berdampak positif bagi perbankan sendiri, ekonomi dan stabilitas dalam bentuk
kebijakan perijinan berjenjang (multilicense).
3.3.2 Fokus Khusus pada Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM)
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa sebagian besar pendudk Indonesia
berusaha di sektor UMKM, maka perhatian kepada sektor UMKM menjadi suatu
hal yang mutlak dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Sektor UMKM
merupakan sektor yang terbukti tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi
yang dialami Indonesia. Pada Krisis Asia 1998, sektor UMKM merupakan sektor
yang dapat bertahan dibandingkan dengan sektor yang lebih besar.
Gambar 3.6 Kontribusi UMKM dalam Perekonomian Indonesia
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.
Pungky Purnomo Wibowo NIP.11853 25
-
Data Kementerian Koperasi dan UKM (2011) menunjukkan bahwa UMKM
diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 57,1% terhadap Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) (dengan menggunakan harga konstan tahun dasar 2011).
Dari kontribusi sebesar 57,1% tersebut, 32%merupakan kontribusi usaha mikro,
dan 10,99% merupakan kontribusi usaha kecil. Pangsa UMKM sendiri mencapai
99 persen dari total unit usaha di Indonesia. Sedangkan dalam hal tenaga kerja,
UMKM menyerap 97.2% dari total tenaga kerja di Indonesia (Gambar 3.6).
Menyadari peran penting UMKM dalam perekonomian, dan berdasarkan UU
No.20 tahun 200815 mengenai Usaha Mikro Kecil dan Menengah, maka Bank
Indonesia mengeluarkan PBI No.14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau
Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka
Pengembangan UMKM. Dalam