Bramantiyo Marjuki Ge 5579

130
PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT EROSI TANAH Studi Kasus DAS Tinalah Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan S1 pada Fakultas Geografi UGM Oleh : Bramantiyo Marjuki No. Mhs. 04/175633/GE/5579 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS GEOGRAFI YOGYAKARTA 2008

Transcript of Bramantiyo Marjuki Ge 5579

Page 1: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN

INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT EROSI TANAH

Studi Kasus DAS Tinalah Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan S1 pada

Fakultas Geografi UGM

Oleh : Bramantiyo Marjuki

No. Mhs. 04/175633/GE/5579

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS GEOGRAFI

YOGYAKARTA 2008

Page 2: Bramantiyo Marjuki Ge 5579
Page 3: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

i

KATA PENGANTAR

Pertama - tama penulis ingin memanjatkan puji dan syukur sedalam -

dalamnya kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya maka

penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Tulisan ini merupakan laporan dari penelitian yang penulis lakukan guna

memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sains di bidang

geografi pada Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM. Dalam

pelaksanaannya, penulis mengalami berbagai kendala dan hambatan, oleh karena

itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besar kepada nama-nama di bawah ini, karena berkat kebaikan, keiklhasan, dan

pengorbanan mereka, penulis bisa mencapai kondisi sekarang dan dapat

menyelesaikan penyusunan laporan ini. Mereka adalah:

1. Dr. Junun Sartohadi., M.Sc, selaku Ketua Jurusan Geografi Lingkungan

dan Dosen Pembimbing Skripsi, atas begitu besarnya perhatian, gagasan,

masukan, dan ilmu yang telah diberikan, serta akses terhadap Citra SPOT-5

yang digunakan dalam penelitian.

2. Dr. H. Hartono., DEA., DESS, selaku Dekan Fakultas Geografi UGM

yang telah memberikan ijin penelitian.

3. Drs Tukidal Yunianto., M.Sc dan Barandi Sapta Widartono., S.Si.,

M.Si, selaku Dosen Penguji Skripsi, yang dengan segala keramahannya

telah bersedia menguji, mengkritisi hasil penelitian dan memberikan saran-

saran perbaikan yang bermanfaat.

4. Bapak, Ibu, adik-adikku dan keluarga di rumah, atas dukungan moral

dan material selama pelaksaan penelitian dan penulisan laporan skripsi,

sungguh merupakan pengorbanan yang tak mungkin terbalas.

5. Djaka Marwasta., S.Si., M.Si., dan Drs Projo Danoedoro., M.Sc., Ph.D.,

dan., yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi baik secara lisan

maupun melalui email tentang pemrosesan citra dan ekstraksi data biofisik

Page 4: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

ii

dari citra penginderaan jauh.

6. Orang-orang baik yang telah membantu dalam kerja lapangan dan

meminjamkan Komputer, Printer, Laptop, GPS, dan Kamera digital, Aspian

Noor, Duwi Jalestari, Putu Perdana Kusuma Wiguna, Samudera Ivan

Supratikno, Romi Nugroho, Aris Widodo, Fara Dwi Sakti Kartika,

Vidyana Arsanti, Wahyu Kuncoro GIL 04, Dini Anggriani SIGPW 04,

Tommy Andryan GIL 03, Kun Hidayati Arifah dan Rahmi PWK FT

UGM 03.

7. Senior asisten Geografi Lingkungan Rino Cahyadi Srijaya Giyanto S.Si

(alm) dan Nugroho Christanto, S.Si yang telah membantu memperoleh

Citra SPOT-5, Muhammad Anggri Setiawan S.Si., M.Sc untuk beberapa

diskusi tentang erosi, dan Guruh Samodra GIL 04 untuk masukan dan

koreksi abstrak.

8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis yang tidak

dapat disebutkan satu per satu, baik dalam pelaksanaan penelitian maupun

penulisan skripsi.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini merupakan cerminan betapa masih

dangkalnya kemampuan penulis dalam bidang Geografi, oleh karena itu kritik dan

saran dari semua pihak sangat penulis harapkan guna pengembangan kemampuan

akademis penulis. Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat

serta balasan atas segala kebaikan yang telah diberikan. Amin.

Yogyakarta, Juli 2008.

Penyusun

Bramantiyo Marjuki

Page 5: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

iii

PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN

INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT EROSI TANAH

Studi Kasus DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Oleh

Bramantiyo Marjuki 04/175633/GE/5579

INTISARI

Tujuan daru penelitian ini adalah memetakan kondisi tutupan kanopi vegetasi di DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo menggunakan indeks vegetasi (NDVI) dan mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan analisis regresi antara nilai digital NDVI sebagai variabel bebas dan nilai persentase tutupan kanopi vegetasi sebagai variabel terikat. NDVI dalam penelitian ini diturunkan dari Citra SPOT-5 HRG dengan skala dasar pemetaan adalah 1:50.000. Pengumpulan data lapangan untuk menurunkan model dilakukan secara purposive sampling pada dua kelas penggunaan lahan. Analisis hubungan tutupan kanopi vegetasi dan tingkat erosi dilakukan menggunakan tabel silang. Derajat hubungan secara kuantitatif ditentukan menggunakan indeks kappa (κ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan NDVI untuk memetakan tutupan kanopi DAS Tinalah belum memberikan hasil yang memuaskan. Hubungan terbaik diberikan oleh model regresi polinomial orde 2 untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,485 dan nilai determinasi (r2) sebesar 0,235. Untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan hubungan terbaik diberikan model regresi eksponensial dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,305 dan nilai determinasi (r2) sebesar 0,093. Analisis tabel silang antara hasil penilaian tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi menunjukkan tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut dengan nilai (κ) sebagai nilai korelasi sebesar 0,05. Kata kunci: tutupan kanopi, NDVI, tingkat erosi

Page 6: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

iv

APPLICATION OF CANOPY COVER MAPPING BASED ON VEGETATION INDEX AND ITS RELATIONSHIP WITH

EROSION RATE Case Study Tinalah Watershed

Kulonprogo Regency, Yogyakarta Special Province

by Bramantiyo Marjuki 04/175633/GE/5579

ABSTRACT

The main objectives of this research are to apply canopy cover mapping based on vegetation index (NDVI) in Tinalah Watershed and to analyze its relationship with erosion rate. Mapping was done through regression analysis between NDVI value as independent variable and percentage fraction canopy cover as dependent variable. SPOT-5 HRG imagery was used to derive NDVI map at scale 1:50.000. Purposive sampling at two landuse class was chosen to obtain field data for model generation. Relationship analysis between vegetation canopy cover and erosion rate was done through cross tabulation analysis. Kappa index (κ) was used to determine its correlation quantitatively. The study result showed that utilization of NDVI for mapping canopy cover over entire study area was not satisfied. Second order polynomial regression model was the best model for estimating vegetation canopy cover in mixed garden land use (r = 0,485 and r2 = 0,235) while exponential regression model was the best model for field crop landuse (r = 0,305 and r2 = 0,093). Cross tabulation analysis between canopy cover derived from fieldwork and qualitative field assessment of soil erosion rate have shown that both of them was not correlated (k=0,05). Keywords= Canopy cover, NDVI, erosion rate

Page 7: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

v

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..................................................................................... i INTISARI......................................................................................................... iii ABSTRACT.................................................................................................... iv DAFTAR ISI.................................................................................................... v DAFTAR TABEL................................................................................... ......... vii DAFTAR GAMBAR........................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... ......... x BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah.............................................................. ......... 3 1.3 Tujuan Penelitian.................................................................. ......... 4 1.4 Manfaat Penelitian................................................................ ......... 4 1.5 Tinjauan Pustaka........................................................................... 5 1.5.1 Tinjauan Teoritis....................................................... ......... 5 1.5.2 Tinjauan Empiris............................................................... 14 1.6 Kerangka Pemikiran....................................................................... 15 1.7 Batasan Operasional....................................................................... 17

BAB II. METODE PENELITIAN 2.1 Pengumpulan Data........................................................................ 19 2.1.1 Macam Data...................................................................... 19 2.1.2 Sumber Data...................................................................... 19 2.1.3 Alat Penelitian................................................................... 19 2.1.4 Penentuan Lokasi Sampel................................................. 20 2.1.5 Metode Pengumpulan Data............................................... 20 2.2 Pengolahan dan Analisis Data....................................................... 26 2.2.1 Analisis Regresi NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi.. 26 2.2.2 Analisis Hubungan Tutupan Kanopi dan Tingkat Erosi..... 28 BAB III DESKRIPSI WILAYAH 3.1 Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian....................................... 30 3.2 Iklim............................................................................................... 32 3.2.1 Curah Hujan....................................................................... 32 3.2.2 Suhu................................................................................... 33 3.2.3 Tipe Iklim........................................................................... 34 3.3 Geologi........................................................................................... 36 3.4 Geomorfologi dan Bentuklahan..................................................... 38 3.5 Hidrologi......................................................................................... 41 3.6 Tanah.............................................................................................. 42 3.7 Vegetasi dan Penggunaan Lahan................................................... 46

3.8 Kependudukan dan Sosial Ekonomi............................................... 48

Page 8: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

vi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Restorasi Citra................................................................................ 49 4.1.1 Koreksi Geometrik.............................................................. 49 4.1.2 Koreksi Radiometrik........................................................... 51 4.2 Transformasi NDVI........................................................................ 53 4.3 Penggabungan Citra dan Pemetaan Penggunaan Lahan................. 56 4.3.1 Penggabungan Citra............................................................ 56 4.3.2 Pemetaan Penggunaan Lahan.............................................. 59 4.4 Pengukuran Tutupan Kanopi.......................................................... 66 4.5 Pengamatan Bentukan Erosi dan Penilaian Tingkat Erosi Kualitatif......................................................................................... 69 4.6 Analisis Regresi Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi...... 76 4.7 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Regresi................................... 80 4.8 Analisis Hubungan Tingkat Erosi dan Tutupan Kanopi Vegetasi.. 85 4.9 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Hubungan Tingkat Erosi dan

Tutupan Kanopi Vegetasi............................................................... 88 BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan..................................................................................... 91 5.2 Saran................................................................................................ 92 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 94 LAMPIRAN

Page 9: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

vii

DAFTAR TABEL No. Tabel Hal 1.1 Dampak Erosi....................................................................................... 5 1.2 Karakteristik Satelit dan Sensor SPOT-5............................................. 11 1.3 Tingkat Pemrosesan Citra SPOT-5...................................................... 13 2.1 Indikator Tingkat Erosi......................................................................... 26 2.2 Model Regresi Yang Digunakan dan Bentuk Persamaannya............... 27 2.3 Klasifikasi Tutupan Kanopi.................................................................. 28 3.1 Desa Yang Termasuk Dalam DAS Tinalah.......................................... 30 3.2 Curah Hujan Rata-rata Tahunan DAS Tinalah Tahun 1997-2006........ 32 3.3 Suhu Rata-rata Bulanan DAS Tinalah................................................... 34 3.4 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q............................................................ 35 3.5 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian..................................... 35 3.6 Distribusi dan Jenis Batuan DAS Tinalah............................................ 38 3.7 Distribusi Bentuklahan DAS Tinalah................................................... 41 3.8 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah................................. 46 3.9 Karakteristik Demografi DAS Tinalah................................................. 48 4.1 Nilai Bias atmosfer Pada Setiap Saluran Citra SPOT-5....................... 52 4.2 Hasil Uji Akurasi Interpretasi Penggunaan Lahan................................ 62 4.3a Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur....... 77 4.3b Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Tegalan................... 77 4.4 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan

Kanopi Vegetasi.................................................................................... 86 4.5 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Tanah..................................................................................................... 87 4.6 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kelas kemiringan Lereng..................................................................................................... 87

Page 10: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

viii

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Hal 1.1 Proses Erosi........................................................................................... 6 1.2 Canopy Cover dan Canopy Closure...................................................... 8 1.3 Kurva Pantulan Obyek Vegetasi, Tanah dan Air.................................. 9 1.4 Satelit SPOT-5 dan Konfigurasi Instrumen Pencitraannya.................. 12 1.5 Perekaman Nadir dan Off-Nadir Pada Instrumen HRG SPOT-5......... 13 1.6 Kerangka Pemikiran.............................................................................. 18 2.1 USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart......................................... 24 2.2 Plot Sampel............................................................................................ 25 2.3 Diagram Alir Penelitian.......................................................................... 29 3.1 Peta Administrasi Desa Di Sekitar DAS Tinalah................................... 31 3.2 Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan DAS Tinalah Tahun 1997-2006.............................................................................................. 33 3.3 Peta Geologi DAS Tinalah..................................................................... 37 3.4 Peta Bentuklahan DAS Tinalah.............................................................. 39 3.5 Peta Tanah DAS Tinalah........................................................................ 44 3.6 Peta Penggunaan Lahan DAS Tinalah................................................... 47 4.1 Perbandingan Citra SPOT-5 Sebelum dan Sesudah Koreksi Geometrik............................................................................................... 50 4.2 Citra Hasil Orthorektifikasi.................................................................... 51 4.3 Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah....................................... 54 4.4 Citra NDVI SPOT-5 DAS Tinalah........................................................ 55 4.5 Perbandingan Citra Multispektral, Pankromatik dan Citra Gabungan... 57 4.6 Perbedaan Kenampakan Obyek Pada Citra Komposit 432 dan 321...... 58 4.7 Perbandingan Citra Pankromatik dan Komponen Intensitas Dari Komposit 432......................................................................................... 59 4.8 Citra Gabungan Komposit 432 Menggunakan Transformasi IHS......... 60 4.9 Foto Perbandingan Kenampakan Penggunaan Lahan Pada Citra dan

Kenampakan Lapangan.......................................................................... 63 4.10 Foto Yang Menunjukkan Perbedaan Kondisi Penutup lahan Saat Citra

Direkam dan Kondisi Saat Survei Lapangan.......................................... 65 4.11 Foto Contoh Hasil Estimasi Persentase Tutupan Kanopi...................... 67 4.12 Peta Lokasi Sampel................................................................................. 68 4.13 Foto Kenampakan Pedestal.................................................................... 70 4.14 Foto Armour Layer................................................................................ 70 4.15 Foto Singkapan Akar Pada Tanaman Jagung.......................................... 71 4.16 Foto Gundukan Tanah Di bawah Kanopi Tanaman (tree mound)......... 72 4.17 Foto Akumulasi Material Pada Sisi Sebelah Atas Batang Tanaman...... 72 4.18 Foto Endapan Material Hasil Limpasan Permukaan Di sepanjang Saluran Drainase..................................................................................... 73 4.19 Foto Kenampakan Erosi Alur................................................................. 74 4.20 Foto Erosi Parit...................................................................................... 75

Page 11: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

ix

4.21 Grafik Hasil Penilaian Tingkat Erosi Pada 42 Lokasi Sampel................ 76 4.22 Diagram Pencar Hubungan NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi

Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur dan Tegalan ........... 78 4.23 Peta Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur dan Tegalan DAS Tinalah............................................ 79 4.24a Grafik Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Pengukuran dan Hasil Prediksi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur........................................................ 80 4.24b Grafik Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Pengukuran dan Hasil Prediksi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Tegalan.................................................................... 81 4.25 Bukti Pengaruh Kabut Terhadap Perbedaan Nilai Pantulan Vegetasi

Saluran XS2 Pada Penutup Lahan Yang Sama dan Pengaruhnya Terhadap Nilai NDVI............................................................................. 82

4.26 Profil Spektral Antara Area A dan Area B Pada Gambar 4.25 ............. 83 4.27a Foto Area Dengan Tutupan Kanopi Jarang Namun Tutupan Tanahnya Rapat...................................................................................... 84 4.27b Lokasi Gambar 4.26a Pada Citra NDVI.................................................. 84 4.27c Lokasi Gambar 4.26a Pada Citra Komposit 432.................................... 84 4.28 Foto Lahan Tegalan Dengan Tutupan Tanah Rapat dan Jarang............. 88

Page 12: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

x

DAFTAR LAMPIRAN No. Lampiran 1 Hasil Perhitungan Koreksi Radiometrik Kalibrasi Bayangan............... L-1 2. Rekapitulasi Data Lapangan………………………………………...... L-5 3. Hasil Analisis Regresi Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi.... L-7 4. Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Bakosurtanal (dalam

Rahardjo, 1990)...................................................................................... L-10 5. Hasil dan Perhitungan Analisis Tabulasi Silang.................................... L-11 6. Hasil Perhitungan Standar Kesalahan (Standard Error) antara Persentase Tutupan Kanopi Hasil Observasi dan Hasil Prediksi……... L-14 7. Metadata Citra SPOT-5 HRG XS dan PAN………………………….. L-16

Page 13: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan studi erosi menggunakan pendekatan spatio-temporal

semakin banyak memperoleh perhatian. Hal ini dikarenakan antara lain adanya

kebutuhan data dan penilaian secara cepat (rapid assessment) dalam konteks

regional untuk mengidentifikasi area yang terjadi erosi intensif dan penyusunan

perencanaan konservasi pada lahan – lahan kritis (De Jong, 1999; Vrieling, 2004).

Studi erosi secara spasial dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu

pendekatan kuantitatif menggunakan model erosi dan pendekatan kualitatif

dengan factorial scoring (Vrieling, 2004). Kedua pendekatan tersebut

memerlukan data spasial faktor-faktor erosi yang meliputi faktor iklim, topografi,

tanah dan penutup/penggunaan lahan (Baban dan Yusof, 2001). Tutupan kanopi

merupakan salah satu atribut vegetasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap

erosi. Tutupan kanopi memberikan perlindungan terhadap tanah dari daya rusak

air hujan terhadap agregat tanah (Morgan, 2001). Jika kondisi tutupan vegetasi di

suatu daerah sangat rapat, maka tanah mendapat perlindungan yang baik dari air

hujan, sehingga erosi dengan intensitas tinggi yang dicirikan dengan adanya

kenampakan erosi alur dan parit kemungkinan besar tidak akan terjadi (De Jong,

1994; Morgan, 1995). Tutupan kanopi merupakan salah satu parameter utama

dalam beberapa model erosi seperti WEPP, RMMF, RUSLE dan SEMMED (De

Jong, 1999; Lanteri et al., 2004; Morgan, 2001).

Tutupan kanopi mempunyai karakteristik distribusi spasial yang bervariasi

dan heterogen. Distribusi ini seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam

pemetaan tutupan kanopi untuk studi erosi agar dapat diperoleh hasil estimasi

erosi yang akurat dan reliabel (Lanteri et al., 2004), akan tetapi metode untuk

menentukan tutupan kanopi yang telah dikembangkan adalah dengan estimasi dan

pengambilan sampel di lapangan. Metode sampel ini, selain memerlukan waktu

dan biaya yang besar, hasilnya bersifat lokal dan tidak dapat digunakan sebagai

Page 14: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

2

masukan untuk studi erosi secara spasial (Lanteri et al., 2004; Lee, tanpa tahun).

Walaupun demikian, metode ini tetap digunakan oleh Yazidi (2003);

Theklehaimanot (2003); Cartagena (2004) dan Setiawan (2006), untuk

memperoleh data spasial tutupan kanopi dengan cara ekstrapolasi hasil

pengambilan sampel ke unit pemetaan yang lebih luas dengan mendasarkan pada

asumsi homogenitas karakteristik di dalam unit pemetaan yang sama. Asumsi

homogenitas dalam unit pemetaan yang dalam kenyataannya heterogen dan

bervariasi dapat menyebabkan ketidakpastian hasil analisis dan prediksi yang

tidak tepat (De Jong, 1994).

Sejak dua dasawarsa terakhir, teknologi penginderaan jauh telah menjadi

sumber data spasial yang efektif untuk studi erosi (Jaroslav et al., 1996 dalam

Yazidi, 2003). Data penginderaan jauh dapat memberikan informasi faktor

pengontrol erosi secara sinoptik pada area yang luas (Lee, tanpa tahun).

Kelebihaan ini memungkinkan data penginderaan jauh dapat digunakan untuk

memetakan obyek di permukaan bumi secara kontinu dan memperbaiki

kelemahan dari teknik sampel. Terlebih bila karakteristik obyek berkorelasi kuat

dengan nilai spektral citra, maka pemetaan dapat dilakukan dengan analisis

digital. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan salah satu

produk analisis digital citra penginderaan jauh yang mengandung berbagai macam

informasi vegetasi. Atribut spektral NDVI telah diketahui berkorelasi dengan

berbagai macam atribut vegetasi, termasuk di dalamnya tutupan kanopi (Larsson,

2002).

DAS Tinalah merupakan salah satu sub DAS dari DAS Progo yang

berlokasi di Kabupaten Kulonprogo bagian utara. DAS ini merupakan bagian dari

kawasan perbukitan Menoreh utara yang terbentuk akibat proses vulkanik tua dan

proses struktural pengangkatan (up-lifting) dilanjutkan proses denudasi, termasuk

di dalamnya adalah erosi (Bemmelen, 1970). Sstudi yang dilakukan Hartono

(1994) dan Restele (2004) menyimpulkan bahwa lahan – lahan di DAS Tinalah

didominasi lahan dengan kelas kemampuan VI dan VII dengan faktor pembatas

berupa erosi berat. Proses erosi di DAS ini sudah mencapai taraf berat yang

dicirikan dengan ditemukannya berbagai kenampakan erosi, mulai dari erosi

Page 15: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

3

lembar hingga erosi parit di seluruh DAS. Di sisi lain, penggunaan lahan di DAS

Tinalah didominasi oleh kebun dan hutan dengan jenis tanaman berupa tanaman

tahunan dengan kerapatan tutupan vegetasi yang baik. Kontradiksi antara

kerapatan tutupan kanopi dan tingkat erosi yang terjadi di DAS Tinalah

menjadikan topik ini cukup menarik untuk diteliti.

1.2 Perumusan Masalah Studi erosi secara spasial memerlukan integrasi berbagai macam data

spasial faktor erosi. Agar dapat diperoleh hasil yang reliabel dan akurat, data

spasial yang digunakan untuk studi erosi haruslah seakurat mungkin, termasuk

dalam hal ini pertimbangan variabilitas dan heterogenitas fenomena. Kendala

utama dalam penurunan data spasial untuk studi erosi adalah beberapa jenis data

masih diukur dengan metode sampel yang tidak mempunyai dimensi area. Data

hasil pengambilan sampel ini hanya shahih di lokasi pengambilan sampel.

Pemetaan yang dilakukan dengan menggunakan data hasil pengambilan sampel

sering dilakukan dengan cara mengekstrapolasi data ke satuan pemetaan (dari

dimensi titik ke dimensi area). Ekstrapolasi ini sebenarnya kurang dapat diterima

karena dapat menyebabkan ketidakpastian dan kesalahan hasil pengukuran dan

pemetaan mengingat heterogenitas dan variabilitas di dalam satuan pemetaan

diabaikan. Salah satu atribut vegeasi sebagai faktor erosi yang menghadapi

kendala di atas adalah tutupan kanopi.

Citra penginderaan jauh dapat memberikan informasi permukaan bumi

secara sinoptik pada area yang luas dalam waktu singkat. Termasuk dalam hal ini

adalah informasi vegetasi dan penutup lahan. NDVI (Normalized Difference

Vegetation Index) merupakan salah satu teknik analisis digital data penginderaan

jauh untuk memperoleh informasi distribusi spasial vegetasi dan atributnya. NDVI

berkorelasi kuat dengan berbagai macam atribut vegetasi seperti biomassa, LAI

(Leaf Area Index) dan tutupan kanopi.

Tutupan kanopi vegetasi berpengaruh besar terhadap erosi melalui dua

aspek. Pertama, kanopi tumbuhan dapat menahan air hujan dari kontak langsung

dengan tanah. Dengan tertahannya butir – butir air hujan oleh kanopi vegetasi,

Page 16: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

4

energi kinetiknya menjadi berkurang, sehingga ketika sampai di permukaan tanah,

erosivitasnya kecil. Kedua, vegetasi dapat mengintersepsi air hujan sehingga

ketika sampai di permukaan tanah volumenya sudah jauh berkurang. Semakin

rapat tutupan semakin baik perlindungan sehingga erosi yang terjadi semakin

kecil, akan tetapi di DAS Tinalah kondisinya justru berkebalikan.

Bertolak pada masalah tersebut, maka dapat disusun perumusan masalah

sebagai berikut:

1. Apakah NDVI dapat digunakan sebagai sumber data tutupan kanopi?

2. Bagaimana hubungan tutupan kanopi dengan tingkat erosi tanah di DAS

Tinalah?

1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, penelitian ini bertujuan:

1. Menghitung nilai NDVI dari Citra SPOT-5 HRG multispektral.

2. Memetakan penggunaan lahan DAS Tinalah sebagai basis pemetaan

tutupan kanopi pada skala 1:50.000 menggunakan Citra SPOT-5

multispektral dan pankromatik.]

3. Memetakan tutupan kanopi vegetasi pada setiap unit penggunaan lahan di

DAS Tinalah pada skala 1: 50.000 menggunakan data NDVI yang

diintegrasikan dengan pengukuran lapangan

4. Menilai tingkat erosi DAS Tinalah berdasarkan observasi kenampakan

erosi.

5. Mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi hasil pemetaan sebagai salah

satu faktor erosi dengan tingkat erosi tanah di DAS Tinalah.

1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Dapat memberikan metode alternatif untuk pemetaan tutupan kanopi.

2. Dapat memberikan informasi hubungan tutupan kanopi dengan intensitas

erosi secara empiris berdasarkan kenampakan erosi yang terjadi.

Page 17: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

5

3. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat Sarjana Geografi

Lingkungan pada Fakultas Geografi UGM.

1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Tinjauan Teoritis

1.5.1.1 Erosi, Proses Erosi dan Faktor yang Mempengaruhi Erosi

Erosi adalah hilang atau terkikisnya tanah atau bagian – bagian tanah dari

suatu tempat yang terangkut oleh media alami (air dan angin) te tempat lain

(Arsyad, 1989). Erosi menyebabkan berbagai kerusakan tanah dan lahan seperti

hilangnya lapisan atas tanah yang subur, berkurangnya kemampuan tanah untuk

menyerap dan menahan air, memicu banjir dan pendangkalan. Secara rinci

dampak dari erosi disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 1.1 Dampak Erosi

Bentuk Dampak

Dampak di tempat kejadian erosi

Dampak di luar tempat kejadian

Kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman

Pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan tubuh air lainnya

Kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah

Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan lainnya

Peningkatan penggunaan energi untuk produksi

Menghilangnya mata air dan memburuknya kualitas air

Kerusakan banguan konservasi dan bangunan lainnya

Kerusakan ekosistem perairan

Langsung

Pemiskinan petani dan pemilik/penggarap tanah

Meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan

Berkurangnya alternatif penggunaan lahan

Kerugian oleh memendeknya umur waduk

Tidak langsung

Timbulnya tekanan untuk membuka lahan baru

Meningkatkan frekuensi dan besar banjir

(Arsyad, 1989)

Proses erosi oleh air merupakan kombinasi dua sub proses yaitu (1)

penghancuran struktur tanah menjadi butir – butir primer oleh energi tumbuk butir

– butir hujan yang menimpa tanah (Dh) dan perendaman oleh air yang tergenang

dan pemindahan butir – butir tanah oleh percikan hujan (Th) dan (2)

Page 18: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

6

penghancuran struktur tanah (Di) diikuti pengangkutan butir – butir tanah tersebut

(Ti) oleh air yang mengalir di permukaan tanah. Secara skematis proses tersebut

dapat dijelaskan dengan Gambar 1.1.

(Arsyad, 1989)

Gambar 1.1 Diagram yang Menunjukkan Proses terjadinya erosi

Erosi merupakan hasil interaksi faktor – faktor yang mempengaruhi dan

menyebabkan erosi yang bekerja terhadap tanah. Faktor – faktor tersebut meliputi

iklim, topografi, tanah, vegetasi dan pengelolaan lahan (Arsyad, 1989).

Faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Karakteristik hujan

yang mempengaruhi erosi antara lain besarnya curah hujan, intensitas dan

distribusi. Kombinasi ketiga aspek hujan ini menentukan kekuatan dispersi hujan

terhadap tanah dan kecepatan limpasan permukaan (Utomo, 1994).

Faktor topografi yang berpengaruh terhadap erosi adalah panjang dan

kemiringan lereng. Panjang lereng berpengaruh terhadap volume limpasan,

volume limpasan semakin bertambah dengan bertambahnya panjang lereng.

Page 19: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

7

Kemiringan lereng berpengaruh terhadap kecepatan limpasan. Pada lereng curam

kecepatan limpasan lebih tinggi daripada lereng landai (Utomo, 1994).

Sifat tanah yang berpengaruh terhadap erosi antara lain tekstur, struktur,

bahan organik, permeabilitas, dan kedalaman tanah. Tanah bertekstur pasir

mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, sehingga dapat mengurangi volume

limpasan. Tanah bertekstur pasir halus juga mempunyai kapasitas infiltrasi yang

tinggi, namun butir-butirnya mudah terangkut limpasan. Tanah bertekstur

lempung mudah tersuspensi oleh hujan dan pori-porinya dapat tersumbat,

sehingga dapat menyebabkan erosi berat. Struktur tanah juga berpengaruh

terhadap kapasiltas infiltrasi. Struktur granuler mempunyai kapasitas infiltrasi

yang lebih besar daripada struktur yang lebih mantap. Bahan organik menghambat

aliran limpasan, sehingga limpasan lebih lambat sekaligus meningkatkan infiltrasi.

Tanah yang dangkal dan permeabilitasnya cepat lebih peka erosi daripada tanah

yang dalam dan permeabilitasnya cepat. Kedalaman tanah juga berpengaruh

terhadap kapasitas infiltrasi (Utomo, 1994).

Vegetasi berpengaruh terhadap erosi karena vegetasi dapat melindungi

tanah dari kekuatan perusak hujan melalui penahanan dan intersepsi butir hujan

oleh kanopi vegetasi. Tertahannya hujan oleh kanopi dapat mengurangi kecepatan

jatuh butir hujan dan mengurangi energi hujan ketika mencapai permukaan tanah

serta memberikan waktu lebih untuk infiltrasi, sehingga volume dan kecepatan

limpasan berkurang. Vegetasi melalui perakaran juga mempengaruhi sifat tanah

dalam wujud memperbesar ketahanan massa tanah dari daya rusak hujan dan

limpasan serta memperbesar kapasitas infiltrasi melalui peningkatan porositas

(Utomo, 1994).

1.5.1.2 Kanopi dan Tutupan Kanopi

Kanopi merupakan lapisan paling atas dalam kumpulan vegetasi, yang

dibentuk oleh mahkota (kumpulan daun) tanaman dan menutupi lapisan di

bawahnya. Derajat kerapatan kanopi sering dinyatakan dengan tutupan kanopi

(canopy cover) yang didefinisikan sebagai persentase area permukaan tanah yang

tertutup kanopi proyeksi vertikal dari kanopi vegetasi (Lanteri et al., 2004).

Page 20: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

8

Walaupun demikian, konsepsi tutupan kanopi masih belum sepenuhnya

terbakukan. Terdapat dua konsep tentang tutupan kanopi berkaitan dengan teknik

pengukuran yang digunakan, yaitu canopy cover dan canopy closure. (Jennings et

al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006). Definisi canopy cover telah disebutkan di

atas, sedangkan definisi canopy closure adalah proporsi bidang langit (open sky)

yang ditutupi tumbuhan jika dilihat dari suatu titik. Perbedaan antara canopy

cover dan canopy closure dapat dilihat pada Gambar 1.2. Kerancuan lain

berkaitan dengan konsepsi tutupan kanopi adalah pertimbangan celah diantara

mahkota tanaman sebagai bagian dari kanopi atau tidak. Hal ini penting karena

akan berpengaruh terhadap hasil akhir estimasi. Untuk itu Rauitiainen et al.,

(1995) dalam Korhonen et al, (2006) memperkenalkan konsep tutupan kanopi

tradisional dan tutupan kanopi efektif. Perbedaan dari dua konsep tersebut adalah

tutupan kanopi tradisional menganggap celah di antara mahkota tumbuhan sebagai

bagian dari kanopi, sedangkan tutupan kanopi efektif tidak. Berdasarkan tinjauan

di atas, maka konsep tutupan kanopi yang sesuai dengan pengaruh kanopi

terhadap erosi dan ekstraksi data tutupan kanopi dari citra penginderaan jauh

adalah tutupan kanopi efektif. Konsepsi tutupan kanopi efektif ini yang digunakan

dalam penelitian ini.

(a) (b)

Gambar 1.2 Canopy Cover (a) dan Canopy Closure (b),

(Jennings et al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006),

Page 21: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

9

1.5.1.3 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)

Vegetasi, sebagaimana tanah dan air, mempunyai karakteristik spektral

yang unik dalam merespon energi elektromagnetik matahari yang mengenainya.

Vegetasi menyerap banyak energi pada spektrum tampak (terutama biru dan

merah), namun banyak memantulkan energi pada spektrum inframerah dekat

(Gambar 1.3). Vegetasi hijau menyerap banyak radiasi matahari pada spektrum

merah untuk digunakan sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis,

sedangkan energi pada spektrum inframerah dekat tidak mencukupi untuk

mensintesiskan molekul – molekul organik dalam tumbuhan. Penyerapan energi

pada spektrum ini hanya akan menyebabkan pemanasan yang berlebihan pada

tumbuhan dan berpotensi merusak metabolisme tumbuhan, oleh karena itu

dipantulkan dengan kuat (Gates, 1980 dalam Lee, tanpa tahun).

(A = tanah kering, B = Tanah lembab, C = Vegetasi, D = air)

Gambar 1.3. Kurva Pantulan Obyek Tanah, Vegetasi dan Air (Lillesand dan Kiefer, 2004)

Implikasi hal di atas terhadap data penginderaan jauh adalah pada saluran

merah citra penginderaan jauh multispektral, vegetasi hijau akan berona gelap dan

mempunyai nilai pantulan yang rendah, sedangkan pada saluran inframerah dekat

justru sebaliknya (Hoffer, 1978). Dengan transformasi indeks vegetasi, informasi

respon vegetasi dari saluran merah dan inframerah dekat dapat dikombinasikan

untuk memperoleh informasi vegetasi dengan hasil lebih baik daripada analisis

dua saluran secara terpisah (Schreiber, 2007).

Page 22: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

10

Indeks vegetasi adalah suatu formula transformasi matematis yang

mengkombinasikan dua atau lebih saluran pada citra penginderaan jauh yang

ditujukan untuk memperoleh informasi vegetasi dengan lebih baik. Berbagai

macam indeks vegetasi telah dikembangkan, namun NDVI merupakan indeks

yang paling banyak diaplikasikan (Lee, tanpa tahun).

NDVI dapat dikalkulasi dengan menggunakan rumus berikut:

)()(

REDNIRREDNIR

+− (1)

NIR = saluran infra merah dekat

RED = saluran merah (Schreiber, 2007)

1.5.1.4 Hubungan NDVI Dengan Tutupan Kanopi

Nilai spektral NDVI berkaitan dengan banyak atribut dan karakteristik

kanopi seperti biomasaa, produktivitas daun, leaf area index, PAR

(Photosynthecally Active Radiation) dan tutupan kanopi (Jensen, 1991; Larsson,

2002). Dilihat dari hubungannya dengan obyek vegetasi dan tutupan kanopi

vegetasi, nilai -1 hingga 0 dari citra NDVI mengindikasikan obyek bukan

vegetasi. Nilai positif rendah (nilai spektral saluran inframerah dekat dan saluran

merah berselisih sedikit) mengindikasikan vegetasi dengan kerapatan rendah,

sedangkan nilai positif tinggi (nilai spektral saluran inframerah dekat dan saluran

merah berselisih banyak) mengindikasikan vegetasi dengan kerapatan/tutupan

tinggi (Schreiber, 2007; Lee, tanpa tahun).

1.5.1.5 Sistem Penginderaan Jauh Satelit SPOT-5

Satelit SPOT-5 merupakan generasi kelima dari keluarga Satelit SPOT

(Système pour d’Observation de la Terre). SPOT-5 diluncurkan pada tanggal 4

Mei 2002 dengan membawa tiga instrumen penginderaan jauh untuk berbagai

misi pemetaan tematik sumberdaya. Instrumen-instrumen penginderaan jauh pada

Satelit SPOT-5 merupakan perbaikan dari instrumen generasi satelit sebelumnya.

Instrumen tersebut adalah Instrumen HRG (High Resolution Geometric) yang

Page 23: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

11

merupakan instrumen penerus HRV (High Resolution Visible) pada satelit SPOT

1-4 dengan resolusi spasial dan spektral yang lebih baik, instrumen HRS (High

Resolution Stereoscopic) yang merupakan instrumen pencitraan stereo untuk

pemetaan topografi, dan terakhir adalah VEGETATION-2 untuk pemetaan dan

monitoring vegetasi dalam skala global (SPOT Image, 2006). Karakteristik umum

dari Satelit SPOT dari SPOT-1 hingga 5 dapat dilihat pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Karakteristik Satelit dan Instrumen Pencitraan SPOT-5 dan Satelit

Sebelumnya

Satelit Paramater

SPOT-5 SPOT-4 SPOT-1,2,3

Peluncuran 4 Mei 2002 24 Maret 1998 1. 22 Februari 1986

2. 22 Januari 1990

3. 20 September 1993

Masa Kerja 5 tahun 5 tahun 3 tahun

Orbit Sinkron Matahari Sinkron Matahari Sinkron Matahari

Waktu melintasi ekuator

(waktu lokal)

10.30 10.30 10.30

Ketinggian orbit (ekuator) 822 km 822 km 822 km

Periode Orbit 101,4 menit 101,4 menit 101,4 menit

Sudut inklinasi 98,7 derajat 98,7 derajat 98,7 derajat

Siklus Orbit 26 hari 26 hari 26 hari

Instrumen Resolusi tinggi

- Saluran spektral

- Julat Spektral

- Luas Liputan

- Resolusi Radiometrik

- Resolusi Temporal

2 Sensor HRG

- 2 pankromatik (5m) yang

bisa dikombinasikan

menjadi 1 pankromatik (2,5

m)

- 3 VNIR (10m)

- 1 SWIR (20m)

- P : 0,48-0,71 μm

- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm

- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm

- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm

- B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm

- 60 x 60 km hingga 80 km

- 8 bits

- 2 hingga 3 hari

2 Sensor HRVIR

- 1 Pankromatik (10m)

- 3 VNIR (20m)

- 1 SWIR (20m)

- M : 0,61-0,68 μm

- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm

- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm

- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm

- B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm

- 60 x 60 km hingga 80 km

- 8 bits

- 2 hingga 3 hari

2 Sensor HRV

- 1 Pankromati (10m)

- 3 VNIR (20m)

- P : 0,48-0,71 μm

- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm

- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm

- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm

- 60 x 60 km hingga 80 km

- 8 bits

- 2 hingga 3 hari

Sumber: SPOT Image (2006)

Page 24: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

12

Gambar 1.4 Satelit SPOT5 dan Instrumen Pencitraannya

(SPOT Image, 2006)

Instrumen HRG pada Satelit SPOT-5 merupakan instrumen yang

menghasilkan citra dengan resolusi tinggi pada mode multispektral (10 meter) dan

mode pankromatik (5 meter). Citra Pankromatik dari dua Instrumen HRG dengan

resolusi 5 meter dapat diintegrasikan untuk menurunkan citra sintesis pankromatik

dengan resolusi spasial 2,5 meter yang disebut Supermode (SPOT Image, 2006).

Citra turunan ini dapat digabungkan dengan citra multispektral untuk memperoleh

citra berwarna pada resolusi spasial 2,5 meter. Instrumen HRG merekam

permukaan bumi melalui mekanisme pushbroom scanning baik melalui

perekaman nadir atau off nadir viewing sebagaimana instrumen HRV. Mekanisme

perekaman nadir dan off nadir Sensor HRG SPOT-5 dapat dilihat pada Gambar

1.4. Kapabilitas perekaman off nadir memungkinkan instrumen HRG dapat

digunakan untuk memperoleh citra stereo untuk analisis tiga dimensi dan ekstraksi

DEM. Perekaman data pada Instrumen HRG SPOT-5 menggunakan detektor

berupa CCD linear array sebanyak 6000 detektor (Richards dan Jia, 2006). Citra

yang diperoleh dari instrumen HRG dipasarkan dengan berbagai macam tingkat

pemrosesan yang dapat dilihat pada Tabel 1.3.

Page 25: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

13

Gambar 1.5 Perekaman Nadir dan Off-Nadir Pada Instrumen HRG Satelit SPOT-5

(SPOT Image, 2006)

Tabel 1.3

Tingkat Pemrosesan Citra SPOT-5\HRG

Level Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik Akurasi posisi

1A

- Normalisasi respon CCD untuk memperbaiki variasi radiometrik yang dikarenakan perbedaan sensitivitas detektor

- Pengaruh eksternal (atmosfer) belum dikoreksi.

- N/A < 50 meter

1B - Sama dengan 1A - Distorsi geometrik sistematik sudah terkoreksi (distorsi panoramik, efek rotasi bumi, variasi ketinggian orbit)

< 30 meter

2A - Sama dengan 1A - Pemrosesan level 1B - Transformasi koordinat ke UTM - Orthorektifikasi tanpa menggunakan

GCP, hanya menggunakan informasi ephemeris sensor plus DEM dengan resolusi 1 km

< 30 meter

2B (Precision) - Sama dengan 1A - Pemrosesan Level 2A - Penggunaan GCP untuk koreksi

geometrik guna memperoleh ketelitian posisi yang lebih baik

Tergantung akurasi GCP

3 (Ortho) - Sama dengan 1A - Pemrosesan Level 2A - Orthorektifikasi menggunakan DEM

berkualitas tinggi dan GCP untuk mengkoreksi distorsi geometrik akibat pengaruh medan

< 10 meter, tergantung akurasi GCP dan DEM

Sumber: SPOT Image (2006).

Page 26: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

14

Instrumen HRG dapat beroperasi pada mode multispektral dan

pankromatik. Dibanding instrumen HRV dan HRVIR pada satelit sebelumnya,

instrumen HRG mempunyai banyak perbaikan dari segi resolusi spasial dan

spektral. Resolusi spasial instrumen HRG mempunyai resolusi spasial 10 meter

untuk mode multispektral dan 5 meter untuk mode pankromatik. Resolusi spasial

ini lebih baik dari instrumen HRV dan HRVIR yang resolusi spasialnya 20 meter

untuk mode multispektral dan 10 meter untuk mode pankromatik. Terlebih dengan

menggunakan supermode, dua instrumen HRG pada satelit SPOT-5 dapat

menghasilkan citra pankromatik sintesis dengan resolusi 2,5 meter. Perbaikan dari

segi resolusi spasial ini memungkinkan Citra SPOT-5 dapat digunakan untuk

berbagai aplikasi yang memerlukan detil spasial tinggi dan pemetaan skala detil

yang tidak dapat dilakukan oleh Citra SPOT dari satelit sebelumnya. Selain

resolusi spasial, resolusi spektral instrumen HRG juga lebih baik dari instrumen

HRV dengan adanya penambahan Saluran Inframerah Gelombang Pendek (SWIR)

dengan julat spektral 1500-1750 nm. Penambahan saluran ini membuat instrumen

HRG mempunyai lebih banyak pilihan komposit warna untuk interpretasi visual

dan kapabilitas yang lebih baik dalam klasifikasi multispektral daripada instrumen

HRV. Selain itu citra dari instrumen HRG ini juga dapat dieksploitasi untuk

aplikasi-aplikasi yang memanfaatkan kelebihan spektral saluran SWIR seperti

analisis spektral lahan perkotaan, analisis kelembaban tanah dan kandungan air

pada vegetasi. Aplikasi –aplikasi semacam ini tidak dapat diterapkan dengan

menggunakan Citra SPOT dari Instrumen HRV (SPOT Image, 2006).

1.5.2 Tinjauan Empiris

Studi yang mengkaji hubungan antara tutupan kanopi dan NDVI telah

dilakukan oleh Gitelson (2004) yang melakukan studi penggunaan indeks vegetasi

untuk ekstraksi karakteristik biofisik tumbuhan menggunakan citra NOAA-

AVHRR di Israel. Hasil yang diperoleh menunjukkan korelasi yang kuat antara

tutupan kanopi dan NDVI pada berbagai jenis tumbuhan (R2 = 0,94-0,98).

Kancheva, Borisova (2006) memperoleh nilai R2 sebesar 0,95 dan 0,97 dalam

studi hubungan tutupan kanopi dan NDVI pada dua jenis tanah yang berbeda di

Page 27: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

15

Bulgaria menggunakan LANDSAT TM. Hasil serupa juga diperoleh Nagler et al,

(2003) dengan hasil nilai R2 antara NDVI dan tutupan kanopi sebesar 0,82. Studi

dilakukan menggunakan foto udara multispektral di lembah Sungai Colorado

Amerika. Carreiras et al., (2006) memperoleh nilai R2 sebesar 0,72 dalam studi

estimasi tutupan kanopi di daerah Mediteran Portugal menggunakan LANDSAT

TM.

Studi ekstraksi data tutupan kanopi dari citra penginderaan jauh untuk

studi erosi pernah dilakukan Lanteri et al., (2004) menggunakan citra MODIS di

daerah semi arid California Amerika. Hasil studi menunjukkan NDVI dan tutupan

kanopi mempunyai korelasi positif kuat (R= 0,88), sehingga persamaan regresi

dapat diturunkan dan diaplikasikan untuk mengkalibrasi persentase tutupan

kanopi ke seluruh area penelitian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Data

tutupan kanopi yang diperoleh kemudian digunakan sebagai masukan model erosi

WEPP.

Studi erosi di DAS Tinalah sendiri pernah dilakukan oleh beberapa

peneliti antara lain Wiraswasti (2005); Ariyanto (2004); Setiawan (2005); Restele

(2004); Kumalawati (2005), dengan fokus studi yang berbeda – beda, mulai dari

evaluasi praktek konservasi hingga valuasi ekonomi erosi terhadap lahan

pertanian. Dari beberapa studi erosi yang telah dilakukan, terutama oleh Hartono

(1994) dan Restele (2004), keduanya menyimpulkan bahwa tingkat erosi di DAS

Tinalah termasuk dalam kategori sedang hingga berat.

1.6. Kerangka Pemikiran Erosi tanah oleh air merupakan proses yang bervariasi, heterogen dan

dinamis secara spasial dan temporal. Variabilitas ini ditentukan oleh variabilitas

topografi, iklim, tanah, vegetasi dan pengelolaan lahan yang merupakan faktor –

faktor erosi oleh tenaga air. Pengaruh vegetasi terhadap erosi salah satunya

berasal dari kondisi tutupan kanopi. Vegetasi dengan kondisi tutupan kanopi yang

baik dapat melindungi tanah dari erosivitas hujan, sehingga ketika mencapai

permukaan tanah, energi dan kemampuannya untuk melepas butir tanah dari

agregat tanah sudah jauh berkurang. Selain itu vegetasi dengan kondisi tutupan

Page 28: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

16

baik juga mempunyai kemampuan untuk mengintersepsi air hujan yang lebih

besar sehingga dapat mengurangi volume hujan yang sampai ke permukaan tanah

serta memberi waktu yang lebih banyak untuk proses infiltrasi. Kombinasi dari

tiga aspek di atas menjadikan kemungkinan terjadinya erosi pada lahan dengan

kondisi penutup vegetasi yang baik cukup rendah.

Studi erosi dan pemodelan erosi secara spasial dan temporal memerlukan

data masukan faktor-faktor yang terlibat dalam proses erosi diatas yang

mengakomodasi variabilitas spasial dan temporal faktor-faktor tersebut. Pada

kenyataannya, selain data topografi, data faktor – faktor erosi yang diperlukan

untuk studi erosi dan pemodelan erosi sebagian besar berasal dari data sampel

yang sejatinya bersifat data titik, dimana data ini hanya shahih dan akurat hanya

pada lokasi pengambilan sampel. Untuk memenuhi kebutuhan data pada lingkup

regional, data hasil pengambilan sampel sering diekstrapolasi ke unit area yang

lebih luas dengan asumsi homogenitas karakteristik pada satu unit area.

Ekstrapolasi ini sebenarnya kurang dapat diterima karena variabilitas dan

heterogenitas fenomena menjadi tidak diperhatikan. Terlebih dalam kenyataannya,

faktor-faktor erosi mempunyai variabilitas dan heterogenitas yang besar. Salah

satu faktor erosi yang datanya secara konvensional dikumpulkan dengan teknik

sampel adalah tutupan kanopi vegetasi. Penggunaan sampel dalam pemetaan

tutupan kanopi lebih dipilih karena pemetaan secara menyeluruh memerlukan

waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Sejak tahun 1972, data penginderaan jauh satelit telah digunakan untuk

memperoleh informasi permukaan bumi, pada cakupan area yang luas, dalam

waktu yang singkat. Jenis data ini dapat memberikan informasi distribusi spasial

dan temporal secara sinoptik, sehingga variabilitas dan heterogenitas fenomena

dapat dipetakan dengan baik. Perolehan informasi vegetasi dan karakteristiknya

saat ini telah menjadi salah satu fokus utama dalam bidang penginderaan jauh.

Terlebih saat ini telah diketahui bahwa atribut spektral data penginderaan jauh

berkorelasi dengan berbagai macam atribut vegetasi seperti leaf area index,

biomassa, Photosyntecally active radiation dan tutupan kanopi. Dengan demikian,

data penginderaan jauh mempunyai potensi sebagai sumber data spasial tutupan

Page 29: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

17

kanopi vegetasi sebagai data masukan dalam studi dan pemodelan erosi, dengan

beberapa kelebihan dibanding data hasil pengambilan sampel yang diekstrapolasi.

1.7 Batasan Operasional

Daerah aliran sungai adalah seluruh daerah yang dialiri sebuah sungai atau anak

sungai yang berhubungan sedemikia rupa sehingga semua aliran yang

berasal dari daerah itu keluar sebagai keluaran tunggal (Sutikno, 1985).

Erosi adalah proses pelepasan partikel – partikel tanah dari massa tanah oleh

tenaga erosi seperti air dan angin (Morgan, 1995)

NDVI adalah indeks yang dihitung dari hasil pengukuran pantulan obyek pada

saluran merah dan inframerah citra satelit penginderaan jauh (Lanteri et

al.,, 2006)

Tingkat Erosi adalah besarnya erosi yang terjadi pada suatu permukaan tanah

(Arsyad, 1989)

Tutupan Kanopi adalah proporsi dari area permukaan tanah yang tertutup oleh

proyeksi vertikal dari kanopi tumbuhan (Lanteri et al, 2004).

Page 30: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

18

Erosi

Faktor erosi Erosi aktual

Erosi potensial

Topografi

Vegetasi

Tanah

Iklim

Variasi spasial dan temporal

Pengambilan l

ekstrapolasi

Pemetaan Terabaikan

Citra PJ

Berkorelasi

Terakomodasi

Nilai spektral

Pemetaan

Tutupan kanopi

Peta tutupan kanopi

Korelasi

NDVI

Gambar 1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian

18

Page 31: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

19

BAB II

METODE PENELITIAN

Untuk mencapai tujuan - tujuan penelitian, penelitian dilakukan melalui

beberapa tahap sebagai berikut:

2.1 Pengunpulan Data 2.1.1 Macam Data

Untuk dapat memperoleh data tutupan kanopi yang diturunkan dari citra

dan bagaimana hubungannya dengan erosi yang terjadi, diperlukan beberapa

macam data yang dikategorikan menjadi data primer dan data sekunder. Adapun

yang termasuk dalam data primer adalah:

1. Data hasil pengukuran tutupan kanopi di lapangan.

2. Data bentukan erosi dan karakterisiknya.

Adapun yang termasuk dalam data sekunder adalah:

1. Data NDVI daerah penelitian.

2.1.2 Sumber Data

Data di atas, sebagian dapat diperoleh dari sumber data berikut:

1. Citra SPOT-5 HRG1 XS resolusi 10 meter dan PAN resolusi 2,5 meter

tingkat pemrosesan 1A, rekaman Mei 2006.

2. Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25.000 Tahun 2001 Lembar

Sendangagung.

2.1.3 Alat Penelitian

Alat penelitian yang diperlukan untuk memperoleh data adalah sebagai

berikut:

1. Peralatan Lapangan untuk pengukuran persentase tutupan kanopi dan

bentukan erosi yang meliputi pita ukur, meteran, dan abney level.

2. GPS Garmin 60 untuk memperoleh koordinat titik pengukuran.

3. Kamera digital untuk perekam kenampakan visual di lapangan.

Page 32: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

20

4. Checklist untuk mencatat data lapangan.

5. Perangkat lunak untuk menjalankan model dan analisis data, yang

meliputi:

1. ILWIS 3.4 Open Source Version untuk pemrosesan dan analisis

data spasial serta penurunan model regresi tutupan kanopi.

2. ENVI 4.3 untuk orthorektifikasi Citra SPOT-5 dan pembuatan

Citra NDVI.

3. ArcGIS ArcInfo 9.2 untuk pembuatan peta secara kartografis.

4. Microsoft Excell 2003 untuk analisis tabel silang.

2.1.4` Penentuan Lokasi Sampel

Penentuan lokasi observasi dan pengukuran persentase tutupan kanopi

dilakukan dengan menggunakan plot kuadrat. Teknik pengambilan sampel yang

digunakan adalah purposive sampling dikarenakan hanya dua kelas penggunaan

lahan yang menjadi fokus penelitian. Selain itu pada unit penggunaan lahan yang

areanya cukup luas, sampel diambil beberapa kali agar dapat diperoleh data yang

signifikan secara statistik untuk menurunkan model regresi.

2.1.5 Metode Pengumpulan Data

A. Orthorektifikasi dan Koreksi Radiometrik Citra

Citra penginderaan jauh mengandung berbagai distorsi radiometrik dan

geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber data spasial yang akurat,

distorsi ini harus dihilangkan. Penelitian ini menggunakan citra SPOT 5 HRG1

Level 1A. Berdasarkan SPOT technical guide (2006), citra level 1A merupakan

citra yang sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum terkoreksi

geometrik. Karena baru terkoreksi radiometrik sistem, distorsi radiometrik yang

disebabkan pengaruh hamburan atmosfer dan perawanan masih belum tereduksi.

Oleh karena itu, distorsi radiometrik dan geometrik citra harus dikoreksi terlebih

dulu sebelum digunakan sebagai sumber informasi tematik.

Menurut Danoedoro (1996), terdapat tiga metode sederhana untuk

mengkoreksi distorsi radiometrik citra penginderaan jauh, yaitu:

Page 33: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

21

1. Penyesuaian histogram,

2. Penyesuaian regresi,

3. Kalibrasi bayangan,

Metode penyesuaian histogram dan penyesuaian regresi tidak dapat diaplikasikan

pada citra SPOT yang digunakan untuk penelitian. Hal ini dikarenakan kedua

metode tersebut memerlukan informasi nilai spektral dari obyek air jernih dan

dalam untuk menentukan nilai bias dan offset, sedangkan citra yang digunakan

tidak meliput obyek air jernih dan dalam. Sebagai alternatifnya, metode kalibrasi

bayangan yang digunakan. Selain itu, metode kalibrasi bayangan juga memiliki

kelebihan dibanding metode penyesuaian histogram dan regresi karena dapat

mengkompensasi hamburan atmosfer yang tidak homogen pada seluruh liputan

citra, sehingga nilai offset yang diperoleh lebih mewakili.

Metode kalibrasi bayangan menggunakan informasi nilai spektral dari

obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan (obyeknya sama). Dari

pembandingan nilai spektral obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan

akan diketahui nilai bias akibat hamburan atmosfer dari setiap saluran. Mengingat

gangguan atmosfer tidak homogen di semua tempat, maka pembacaan nilai

spektral piksel dilakukan beberapa kali secara menyebar di seluruh liputan citra.

Penentuan nilai bias rata-rata ditentukan dengan menggunakan analisis regresi

antara nilai spektral obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan. Rumus

yang digunakan adalah sebagai berikut:

(1 )Eit A xEis D Aλ λ λ λ λ= + − (2)

Eitλ = nilai piksel obyek tertutup awan

Eisλ = nilai piksel obyek tidak tertutup awan

Dλ = Nilai bias

(Danoedoro, 1996)

Nilai baru hasil koreksi ditentukan berdasarkan rumus berikut:

DNi DNo Dλ= − (3)

DNi = nilai piksel sesudah dikoreksi

DNo = nilai piksel sebelum dikoreksi (Danoedoro, 1996)

Page 34: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

22

Koreksi geometrik citra dapat dilakukan dengan menggunakan

transformasi dua dimensi maupun tiga dimensi (Petrie, 2006). Transformasi tiga

dimensi disebut juga orthorektifikasi. Pemilihan teknik orthorektifikasi untuk

mengkoreksi distorsi geometrik citra didasarkan pada pertimbangan akurasi yang

lebih baik dan ketersediaan data pendukung. Transformasi dua dimensi persamaan

polinomial tidak dipilih karena transformasi ini tidak dapat mengkompensasi

variasi ketinggian medan yang dapat menyebabkan pergeseran bayangan atau

relief displacement (Harintaka, 2003). Orthorektifikasi dilakukan menggunakan

DEM sebagai sumber data elevasi dan informasi orientasi internal dan eksternal

sensor dalam bentuk koefisien RPC (Rational Polynomial Coefficient). DEM

diperoleh dari data kontur peta RBI yang diinterpolasi linier. Informasi koefisien

RPC diperoleh dari header citra.

B. Pembuatan Peta Unit Penggunaan Lahan Sebagai Satuan Pemetaan

Jenis vegetasi yang berbeda mempunyai kondisi penutupan yang berbeda.

Selain itu, vegetasi dengan kondisi tutupan yang sama namun jenisnya berbeda,

pengaruhnya terhadap erosi juga berbeda. Oleh karena itu, analisis kondisi tutupan

kanopi dengan menggunakan data NDVI harus dilakukan secara terpisah pada

setiap jenis vegetasi. Hal ini dikarenakan NDVI tidak dapat membedakan jenis

vegetasi karena NDVI berkaitan dengan karakteristik internal vegetasi, bukan

pada jenis vegetasinya. Skala dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1:50.000. Skala tersebut terlalu kecil untuk pemetaan vegetasi hingga tingkat

jenis. Oleh karena itu unit penggunaan lahan digunakan sebagai alternatif satuan

pemetaan untuk membedakan jenis vegetasi. Asumsi yang digunakan adalah di

dalam satu unit penggunaan lahan, jenis dan karakteristik vegetasinya relatif

homogen.

Pembuatan Peta penggunaan lahan skala 1:50.000 diturunkan dari citra

SPOT-5. Teknik yang digunakan adalah interpretasi visual dengan mendasarkan

pada kunci interpretasi citra. Klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan

mengikuti klasifikasi penggunaan lahan menurut BAKOSURTANAL dalam

Rahardjo (1990). Skema klasifikasi dapat dilihat pada lampiran 4.

Page 35: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

23

Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua citra, yaitu

citra multispektral (XS) dengan resolusi spasial 10 meter dan citra Pankromatik

(PAN) dengan resolusi spasial 2,5 meter. Citra multispektral dengan resolusi

spasial 10 meter sering kali dianggap kurang detil untuk memperoleh informasi

penggunaan lahan pada skala 1: 50.000 (Richards dan Jia, 2006), oleh karena itu

informasi dari citra pankromatik perlu ditambahkan untuk mencapai standar

kerincian informasi untuk pemetaan penggunaan lahan menurut

BAKOSURTANAL. Untuk itu, citra multispektral dan pankromatik digabungkan

dengan menggunakan teknik pan-sharpening. Algoritma pan-sharpening yang

dipilih digunakan adalah transformasi IHS (Intensity Hue Saturation). Pemilihan

algoritma ini didasarkan pertimbangan algoritma IHS dapat memberikan hasil

citra dengan kontras yang baik dan layak untuk interpretasi visual.

C. Transformasi NDVI

Citra NDVI diturunkan dari saluran XS2 (tampak merah) dan XS3

(inframerah dekat) dari citra SPOT-5. Penurunannya dilakukan menggunakan

rumus transformasi berikut:

SPOT NDVI = (5)

XS2 = SPOT XS saluran 2 (merah)

XS3 = SPOT XS saluran 3 (inframerah dekat)

Nilai NDVI hasil kalkulasi berkisar antara -1 hingga +1. Nilai di sekitar 0 hingga

-1 mengindikasikan obyek bukan vegetasi, sedangkan nilai positif rendah hingga

+1 menunjukkan obyek vegetasi dengan berbagai variasi tutupan kanopi.

D Estimasi Tutupan Kanopi di Lapangan

Menurut Korhonen et al, (2006), penentuan tutupan kanopi di lapangan

melalui pengukuran langsung dapat dilakukan menggunakan alat pengukur

(Densiometer, Cajanus Tube), Fotografi (Hemisferikal dan standar) dan estimasi

oskular. Teknik pengambilan sampelnya dapat secara plot (point sampling)

maupun transek (line intercept sampling). Karena konsep tutupan kanopi yang

)23()23(

XSXSXSXS

+−

Page 36: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

24

digunakan dalam penelitian ini adalah tutupan kanopi efektif, maka teknik yang

dapat digunakan adalah fotografi standar dengan sudut pandang (angle of view)

kamera kecil atau estimasi oskular. Dalam penelitian ini metode estimasi tutupan

kanopi yang digunakan adalah estimasi oskular dengan menggunakan USDA FIA

Canopy Cover Estimation Chart pada Gambar 2.1.

.

Gambar 2.1. USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart (Jennings et al., 1999 dalam

Korhonen et al., 2006)

Pengukuran dilakukan mengikuti prosedur yang dilakukan Korhonen et al,

(2006). Pengukuran dilakukan pada plot sampel berukuran 40 x 40 meter. Lima

pengamatan diambil pada setiap plot, meliputi satu pengamatan di tengah plot dan

empat yang lain di arah barat laut, tenggara, timur laut dan barat daya pusat plot

dengan jarak kurang lebih 15 meter . Representasi plot dapat dilihat pada Gambar

2.2.

Page 37: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

25

Gambar 2.2 Plot Pengukuran

E. Pengukuran Tingkat Erosi di Lapangan

Menurut Linden (1980), penentuan tingkat erosi di lapangan dapat

dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Dalam penelitian ini, penentuan

tingkat erosi dilakukan secara kualitatif berdasarkan kenampakan erosi di

lapangan. Bentuk – bentuk erosi yang dapat dijadikan indikator tingkat erosi

antara lain kenampakan erosi alur, parit, pedestal, singkapan akar tanaman,

armour layer dan tree mound (Stocking, dan Murnaghan, 2001). Tingkat erosi

secara kualitatif ditentukan menggunakan kriteria tingkat erosi menurut Morgan

(1995) sebagai berikut:

40 m

15 m

1

2 3

4 5

Page 38: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

26

Tabel 2.1 Indikator Tingkat Erosi di Lapangan

Kelas Indikator

Sangat ringan Tidak terdapat akar pohon yang nampak di permukaan, tidak ada

kenampakan pedestal, tidak terdapat permukaan yang keras

Ringan Akar pohon terlihat di atas permukaan tanah, terdapat

kenampakan pedestal dan gundukan tanah yang terlindungi

vegetasi (tree mound) dengan kedalaman 1-10 mm, terdapat

sedikit permukaan kasar (armour layer)

Sedang Akar pohon yang kelihatan, pedestal dan gundukan tanah dengan

ketinggian 1-5 cm, terdapat permukaan yang mengeras.

Berat Akar pohon yang nampak, pedestal dan gundukan tanah

berkedalaman 5-10 cm, kenampakan material kasar (armour

layer) yang renggang, terdapat erosi alur dengan kedalaman

kurang dari 8 cm.

Sangat Berat Terdapat erosi parit, terdapat erosi alur dengan kedalaman lebih

dari 8 cm

Sumber: Analisis, 2008 berdasarkan Morgan, 1995

2.2 Pengolahan dan Analisis Data 2.2.1 Pembuatan Model Regresi untuk Estimasi Tutupan Kanopi dari

Citra NDVI

Untuk memperoleh data spasial tutupan kanopi daerah penelitian, analisis

regresi digunakan untuk menurunkan hubungan antara persentase tutupan kanopi

hasil pengukuran lapangan dengan nilai digital NDVI. Berdasarkan penelitian-

penelitian yang telah dilakukan, nilai NDVI berkorelasi kuat dengan persentase

tutupan kanopi, oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa nilai digital NDVI

sangat dipengaruhi oleh kerapatan tutupan kanopi. Dengan demikian penggunaan

analisis regresi untuk memperoleh hubungan fungsional antara NDVI dan

persentase tutupan kanopi dapat diterima. Walaupun demikian, linearitas

hubungan antara persentase tutupan kanopi vegetasi dan nilai NDVI belum dapat

Page 39: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

27

diketahui dengan baik. Hasil dari berbagai penelitian sebelumnya memperlihatkan

adanya variabilitas hubungan antara nilai NDVI dan persentase tutupan kanopi

pada lokasi geografis yang berbeda, mulai dari hubungan linier (Larsson, 2002)

hingga polinomial orde dua (Purevdorj et al., 1998). Oleh karena itu analisis

regresi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan lima model regresi

yang meliputi model regresi linear, polinomial orde dua, power, eksponensial dan

logaritmik. Bentuk persamaan regresi pada setiap model ditunjukkan pada Tabel

2.2.

Tabel 2.2 Model Regresi Yang Digunakan Beserta Bentuk Persamaannya

Model Persamaan

Linear y = α + βx Logaritmik y = α + βLn(x) Polinomial orde 2 y = α + β1x + β2x2 Power y = αxβ Eksponensial y = αeβx

Sumber: ILWIS User guide

Tujuan penelitian adalah memprediksi nilai persentase tutupan kanopi dari

nilai digital NDVI, maka formula diatas diterapkan pada NDVI dan persentase

tutupan kanopi dengan NDVI sebagai variabel independen (X) dan persentase

tutupan kanopi sebagai variabel (Y). NDVI sebagai variabel independen karena

NDVI merupakan variabel yang sudah diketahui nilainya, dan persentase tutupan

kanopi (% CC) merupakan variabel yang akan diprediksi. Persamaan pada Tabel

2.2 digunakan untuk mengkalibrasi citra NDVI menjadi peta persentase tutupan

kanopi. Hasil dari pemetaan kemudian diklasifikasikan untuk analisis lebih lanjut

dengan berpedoman pada klasifikasi tutupan kanopi menurut Keputusan Dirjen

RRL Departemen Kehutanan No. 041/Kpts/V/1998 tentang Petunjuk Teknis

Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Kriteria penentuan dapat dilihat pada

Tabel 2.3.

Page 40: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

28

Tabel 2.3 Klasifikasi Tutupan Kanopi

Tutupan kanopi Kelas > 80% Sangat baik 61 – 80% Baik 41- 60% Sedang 21 - 40% Buruk < 20% Sangat buruk

Sumber: Departemen Kehutanan (2004)

2.2.2 Analisis Hubungan Kelas Tutupan Kanopi dengan Tingkat Erosi

Tanah.

Analisis hubungan antara persentase tutupan kanopi dengan tingkat erosi

tanah dilakukan menggunakan teknik tabulasi silang. Tabulasi silang lebih dipilih

karena kedua variabel yang dihubungkan mempunyai sifat data ordinal. Indeks

kappa (Campbell, 2002) digunakan untuk menilai derajat hubungan antara dua

variabel hasil operasi tabulasi silang secara kuantitatif. Indeks kappa (κ)

mempunyai nilai berkisar dari -1 hingga +1 yang mengindikasikan besar dan arah

hubungan antara dua variabel. Nilai indeks ditentukan dari persamaan 6. Metode

perhitungan untuk menentukan parameter observed value dan expected value dari

tabel silang mengacu pada Campbell (2002). ‘

(6)

(Campbell, 2002)

exp1 exp

observed ectedected

κ −=

Page 41: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

29

Peta Rupabumi Indonesia skala 1:25.000

Data kontur

Interpolasi linier

DEM

Citra SPOT-5 XS dan PAN level 1A

Orthorektifikasi dan koreksi radiometrik

Citra terkoreksi

NDVI

Survei lapangan

1. Pengukuran persentase tutupan kanopi di lapangan

2. Pengukuran tingkat erosi di lapangan

Analisis korelasi dan regresi

Peta persentase tutupan kanopi

Tabulasi silang

Transformasi NDVI

Data tingkat erosi tanah

Data hasil pengukuran persentase tutupan kanopi

Informasi hubungan tingkat erosi dan tutupan kanopi

Gambar 2.3 Diagram Alir Penelitian

Input

Proses

Output sementara

Output akhir

XS PAN

Transformasi IHS

Interpretasi visual Citra gabungan

Peta penggunaan lahan

Keterangan:

29

Page 42: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

30

BAB III

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

3.1 Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian DAS Tinalah terletak di Pegunungan Progo Barat (West Progo Mountains)

bagian utara. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah

Kecamatan Samigaluh dan Kalibawang Kabupaten Kulonprogo. DAS Tinalah

dibatasi:

1. Kabupaten Magelang di sebelah utara

2. Desa Kebonharjo Kecamatan Samigaluh dan Desa Purwosari Kecamatan

Girimulyo di sebelah selatan.

3. Kecamatan Kalibawang di sebelah timur.

4. Kabupaten Purworejo di sebelah barat.

Secara geografis daerah penelitian terletak antara 110o 08’ 15’’-110o 13’

00’’ BT dan 07o 38’ 45’’-07o 43’ 15’’ LS. Peta administrasi DAS Tinalah disajikan

dalam Gambar 3.1. Berdasarkan peta tersebut, DAS Tinalah terdiri dari beberapa

desa di Kecamatan Samigaluh dan satu desa di Kecamatan Kalibawang. Nama

desa dan luas wilayah disajikan pada tabel 3.1.

Tabel 3.1

Desa yang Termasuk dalam Wilayah DAS Tinalah

Desa Kecamatan Luas wilayah (ha)

Luas wilayah (%)

Banjararum Kalibawang 163.42 3.73Purwoharjo Samigaluh 943.98 21.55Banjarsari Samigaluh 775.84 17.71Pagerharjo Samigaluh 159.26 3.64Gerbosari Samigaluh 1055.08 24.09Ngargosari Samigaluh 608.83 13.90Sidoharjo Samigaluh 673.61 15.38Luas Keseluruhan 4380.02 100.00Sumber : Analisis Peta administrasi Kabupaten Kulonprogo

Page 43: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

31

31

Page 44: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

32

III.2 Iklim Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi erosi. Pengaruh

iklim terutama adalah pada kecepatan pelapukan batuan, pembentukan bahan

induk tanah, dan parameter erosivitas hujan yang meliputi curah hujan, energi dan

intensitas hujan. Parameter iklim yang penting untuk diketahui dalam kaitannya

dengan erosi antara adalah curah hujan, suhu dan tipe iklim.

3.2.1 Curah Hujan

Curah hujan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan data hujan dari

stasiun hujan terdekat. Stasiun tersebut meliputi stasiun Samigaluh yang berada di

dalam lokasi penelitian dan tiga stasiun di sekitarnya yang meliputi stasiun

Kaligesing, Kalibawang dan Kenteng. Hasil analisis curah hujan rata – rata

bulanan selama 10 tahun (1997-2006) dari keempat stasiun disajikan dalam tabel

3.2 dan grafik 3.1.

Tabel 3.2

Curah Hujan Rata-rata Bulanan Daerah Penelitian Tahun 1997-2006 (mm)

Bulan Kaligesing Kenteng Kalibawang SamigaluhJanuari 434,7 248,1 359,8 333,3Februari 470,8 241,4 396,2 389,1Maret 363,6 208,2 302,2 401,9April 306,0 180,2 174,8 237,6Mei 159,6 89,4 98,3 134,5Juni 59,7 36,5 61,0 48,4Juli 59,0 20,2 22,7 43,3Agustus 2,8 7,0 19,4 17,1September 10,8 10,0 11,4 11,9Oktober 154,0 97,9 184,4 211,7November 290,6 172,2 189,7 292,5Desember 613,8 254,9 300,1 347,5Curah hujan tahunan 2925,3 1566,0 2119,9 2468,6Sumber : Perhitungan data sekunder, 2008

Page 45: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

33

Sumber: Perhitungan data sekunder, 2008

Gambar 3.2

Dari tabel dan grafik diatas dapat diketahui bahwa bulan – bulan terbasah

adalah sekitar november hingga april, dan bulan kering sekitar mei hingga

september. Bulan dengan curah hujan tertinggi dari Desember hingga Februari

dengan curah hujan terbesar 600 mm. Dalam kaitannya dengan laju erosi, bulan –

bulan ini merupakan waktu dimana erosi intensif terjadi.

3.2.2 Suhu

Suhu merupakan salah satu komponen iklim yang secara tidak langsung

berpengaruh terhadap erosi. Gambaran fluktuasi curah hujan dan suhu di daerah

penelitian dapat menjelaskan bagaimana iklim berpengaruh terhadap erosi.

Pengaruh suhu terutama pada proses pelapukan batuan yang menjadi sumber

bahan induk tanah. Fluktuasi suhu yang ekstrim dapat menyebabkan laju

pelapukan batuan yang lebih intensif dan mempercepat pembentukan bahan induk

tanah. Stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah tidak menyediakan data suhu, oleh

karena itu, data suhu rerata bulanan di daerah penelitian dihitung dengan

menggunakan data dari ketinggian tempat dalam PSBA UGM (2004). Rumus

yang digunakan adalah sebagai berikut:

T max = 32,11 – 0,00618*h

T min = 23,09 – 0,00642*h (6)

Keterangan : Tmax/min : suhu udara maksimum/minimum

Grafik Curah Hujan Rata-rata Bulanan Stasiun Hujan Daerah Penelitian (1997-2006)

0,0

100,0

200,0

300,0

400,0

500,0

600,0

700,0

Januari Maret Mei Juli September November

Bulan

Cura

h hu

jan

(mm

)

Stasiun Kaligesing

Stasiun KentengStasiun kalibawangStasiun Samigaluh

Page 46: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

34

h : ketinggian tempat (mdpl)

23,09 dan 0,00642 : tetapan untuk perhitungan suhu minimum

32,11 dan 0,00618 : tetapan untuk perhitungan suhu maksimum

Rumus di atas pernah digunakan PSBA UGM (2004) untuk menentukan

suhu bulanan rata-rata di kabupaten Purworejo, mengingat daerah penelitian

dengan Kabupaten Purworejo masih berada pada satu jalur pegunungan, dapat

diasumsikan kondisi iklimnya tidak jauh berbeda, dengan demikian maka rumus

() dapat digunakan untuk menghitung suhu bulanan rata – rata di DAS Tinalah.

Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Suhu rata-rata bulanan di DAS Tinalah

Ketinggian Suhu maksimum (oC) Suhu minimum (oC) 300 30,26 21,16 400 29,64 20,52 500 29,02 19,88 600 28,4 19,24 700 27,78 18,6 800 27,17 17,95

Sumber: Hasil analisis, 2008

Daerah penelitian mempunyai ketinggian antara 300 hingga 800 meter.

Berdasarkan nilai ketinggian rata-rata daerah penelitian tersebut, maka dapat

diperkirakan suhu maksimum dan minimum daerah penelitian, yaitu berkisar 17

hingga 30 oC untuk suhu maksimum. Fluktuasi suhu sebesar 13 oC relatif cukup

untuk dapat mempercepat proses pelapukan batuan dan pembentukan bahan induk

tanah. Proses pembentukan bahan induk tanah yang relatif cepat ditambah curah

hujan yang tinggi dan kemiringan lereng yang terjal menyebabkan laju kehilangan

tanah yang tinggi di daerah penelitian.

3.2.3 Tipe Iklim

Tipe iklim daerah penelitian dapat ditentukan dengan menggunakan

klasifikasi iklim sistem Schmidt-Ferguson. Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson

mendasarkan pada banyaknya bulan basah dan bulan kering untuk menentukan

tipe iklim suatu daerah. Penentuan bulan basah dan bulan kering menggunakan

klasifikasi Mohr sebagai berikut:

Page 47: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

35

a. Bulan basah apabila CH lebih dari 100 mm per bulan.

b. Bulan lembab apabila CH antara 60-100 mm per bulan.

c. Bulan kering apabila CH kurang dari 60 mm per bulan.

Tipe iklim menurut sistem Schmidt-Ferguson ditentukan berdasarkan nilai

Q (quotient). Nilai Q ditentukan berdasarkan rumus berikut:

Rata-rata jumlah bulan kering Q = X 100% (7)

Rata-rata jumlah bulan basah

Tipe iklim ditentukan berdasarkan nilai Q dalam Tabel 3.3 sebagai berikut:

Tabel 3.4 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q

Golongan Nilai Q Keterangan

A 0,000 ≤ Q ≤ 0,143 Sangat basah

B 0,143 ≤ Q ≤ 0,333 Basah

C 0,333 ≤ Q ≤ 0,600 Agak basah

D 0,600 ≤ Q ≤ 1,000 Sedang

E 1,000 ≤ Q ≤ 1,670 Agak kering

F 1,670 ≤ Q ≤ 3,000 Kering

G 3,000 ≤ Q ≤ 7,000 Sangat kering

H 7,000 ≤ Q Luar biasa kering

Sumber: Wisnubroto dan Aminah (1986)

Hasil perhitungan dan penentuan tipe iklim dari empat stasiun hujan di

sekitar daerah penelitian terlampir dalam Tabel 3.4.

Tabel 3.5 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian

Stasiun Rata-rata bulan basah

Rata-rata bulan kering

Q Golongan Keterangan

Samigaluh 8 4 0,428 C Agak basah Kalibawang 7 3 0,714 D Sedang Kenteng 6 4 0,667 D Sedang Kaligesing 8 4 0,5 C Agak basah

Sumber: Pengolahan data sekunder, 2008

Page 48: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

36

Berdasarkan hasil perhitungan, stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah

mempunyai rasio kurang lebih 7 bulan basah dan 3 bulan kering. Oleh karena itu

daerah penelitian termasuk dalam iklim agak basah hingga sedang.

3.3 Geologi Secara geologis, DAS Tinalah termasuk dalam kawasan Perbukitan Progo

Barat yang membentang sepanjang jurus utara-selatan mulai dari bagian barat

Kabupaten Kulonprogo hingga bagian timur Kabupaten Purworejo. Menurut

Bemmelen (1970), Perbukitan Progo Barat mempunyai struktur kubah (dome)

dengan proses evolusi geologis yang cukup kompleks. Proses geologi yang

membentuk perbukitan ini dimulai pada Masa Eosen. Pada masa ini Alas

Nanggulan terbentuk. Pada kurun waktu Oligosen hingga Miosen Awal, aktivitas

geologi di daerah ini didominasi oleh aktivitas vulkanik tiga gunung api tua, yaitu

Gunungapi Gajah, Ijo dan Menoreh yang merupakan gunung api termuda di

bagian utara. Material dari tiga gunung api tersebut didominasi oleh breksi

andesit. Seiring dengan berakhirnya aktivitas vulkanik Gunungapi Menoreh,

daerah ini mengalami proses pengangkatan (uplifting) yang pertama. Pada kurun

waktu Miosen Bawah-Tengah, bagian yang terangkat mengalami penenggelaman

(subsidence) hingga di bawah permukaan laut. Pada waktu ini Formasi

Jonggrangan yang terdiri dari batu gamping, lignit dan marl mulai terbentuk dan

diendapkan, diikuti pembentukan Formasi Sentolo di sebelah selatan pada Miosen

Tengah. Masih dalam kurun waktu yang sama, proses pengangkatan dimulai lagi

di bagian selatan. Bagian utara tetap berupa dataran rendah dan peneplain dengan

sisa Gunungapi Menoreh membentuk igir dengan ketinggian 700 meter.

Pengangkatan terakhir baru terjadi pada masa Pleistosen Tengah yang membentuk

perbukitan dengan struktur kubah dengan puncak yang datar.

Page 49: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

37

37

Page 50: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

38

Dengan latar belakang geologi di atas, maka di daerah penelitian

setidaknya kini terdapat empat formasi batuan utama. Deskripsi karakteristik tiap

formasi batuan disajikan dalam Tabel 3.6.

Tabel 3.6

Distribusi dan Jenis Formasi Batuan di Daerah Penelitian

No. Formasi Batuan Kode Litologi Waktu pembentukan/pengendapan

1. Andesit Tua Tmoa Breksi volkanik (lahar) dengan sisipan lava andesit dan batupasir tufan.

Oligosen Akhir – Miosen Awal

2. Jonggrangan Tmj Napal tufan, batupasir gampingan dengan sisipan lignit, dan ke arah atas berubah menjadi batugamping berlapis dan batugamping terumbu

Miosen Awal– Tengah

3. Endapan koluvial

Qc Material koluvial hasil rombakan formasi andesit tua

Pleistosen-Holosen

4. Endapan Merapi Muda

Qa tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava

Pleistosen-Holosen (Kuarter)

Sumber: Peta Geologi Yogyakarta Skala 1:100.000 Direktorat Geologi Indonesia (2004)

3.4 Geomorfologi dan Bentuk Lahan Berdasarkan Peta Bentuk lahan DAS Tinalah, secara umum, terdapat tiga

proses geomorfologi yang membentuk konfigurasi bentuk lahan di daerah

penelitian, yaitu proses struktural, denudasional dan fluvial. Proses struktural

berupa pengangkatan (uplifting) dan penenggelaman (subsidence) yang terjadi

pada masa Miosen hingga Pleistosen yang kemudian menyebabkan terbentuknya

jalur patahan di beberapa tempat. Pengangkatan Kubah Progo menyebabkan Plato

Jonggrangan reliefnya naik yang kemudian terdenudasi dan tersolusi kuat,

sehingga sebagian besar material gampingan kini menghilang dan digantikan

material dibawahnya (material volkanik tua). Sisa – sisa dari Plato Jonggrangan di

daerah penelitian masih dapat ditemui di daerah hilir berupa perbukitan struktural

gamping dengan tingkat pengikisan yang bervariasi. Perbukitan ini merupakan

sisa dari Plato Jonggrangan di daerah penelitian yang terdenudasi sehingga

morfologinya berubah menjadi perbukitan.

Page 51: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

39

39

Page 52: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

40

Proses denudasional merupakan proses dominan dan yang paling

berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan kondisi bentuk lahan di

daerah penelitian. Hal ini tidak lepas pula dari pengaruh iklim yang relatif basah

dengan fluktuasi curah hujan dan temperatur yang tinggi, sehingga pelapukan,

terutama pelapukan mekanis terjadi secara intensif. Material lapukan kemudian

terdeposisi melalui mekanisme erosi dan longsoran ke daerah bawah. Proses erosi

terjadi secara intensif yang dicirikan dengan kenampakan – kenampakan erosi

berat seperti alur dan parit yang lebar dan dalam hingga mencapai batuan dasar.

Dikarenakan bekerja pada satuan litologi yang relatif seragam (batuan andesit

tua), hasil proses denudasi di daerah penelitian juga relatif seragam membentuk

susunan morfoaransemen perbukitan, lereng, lembah, walaupun tingkat

pengikisannya bervariasi pada setiap satuan bentuk lahan. Satuan – satuan bentuk

lahan ini diklasifikasikan sebagai perbukitan dan lereng denudasional dengan

tingkat pengikisan bervariasi.

Proses fluvial terjadi di daerah lembah antar perbukitan dimana disini

terjadi akumulasi limpasan permukaan membentuk jaringan Sungai Tinalah.

Proses fluvial yang terjadi berupa pengangkutan dan pengendapan material hasil

proses denudasi di sepanjang aliran Sungai Tinalah dan membentuk dataran

aluvial sungai di hilir. Di beberapa bagian DAS, material aluvium ini bercampur

dengan material koluvium dari perbukitan diatasnya membentuk dataran fluvio-

koluvial. Secara lebih rinci, bentuk lahan yang terdapat di DAS Tinalah dapat

dilihat pada Tabel 3.7 dan Gambar 3.4.

Page 53: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

41

Tabel 3.7

Distribusi Bentuk Lahan di Daerah Penelitian

Nama Bentuk Lahan Luas (Ha) Dataran Aluvial Endapan Vulkanik Merapi Muda 0,4Dataran Aluvial Sungai Tinalah 2,3Dataran Fluvio-Koluvial 2,9Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Napal Tuf Terkikis Sedang 35,7Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Napal Tuf, Gamping Terkikis Kuat 53,7Kompleks Perbukitan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Sedang 27Lembah Antar Perbukitan 35,5Lembah Sungai Tinalah 4,6Lereng Atas Perbukitan Denudasional Andesit, Breksi Andesit Terkikis Kuat 16,4Lereng Bawah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat 11,8Lereng Kaki Koluvial 46,8Lereng Kaki Koluvial Gamping Koral 0,4Lereng Kaki Koluvial Gamping Tersisip 7,4Lereng Landai Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Lemah 24Lereng Landai Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Gamping Koral Terkikis Ringan 7Lereng Tengah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat 48,3Lereng Terjal Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat 29,1Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat 30,5Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Ringan 18,3Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Sedang 7,7

Sumber: Peta Bentuk Lahan DAS Tinalah

3.5 Hidrologi Kondisi iklim, geologi dan geomorfologi sangat menentukan kondisi

hidrologi suatu DAS, baik air permukaan maupun air tanah. Kondisi iklim daerah

penelitian termasuk dalam kategori agak basah menurut klasifikasi Schmidt-

Ferguson. Hujan yang tersedia relatif cukup untuk mengalirkan sungai sepanjang

tahun. Oleh karena itu Sungai Tinalah termasuk dalam kategori sungai perenial.

Jenis pola aliran sungai di DAS Tinalah termasuk dalam tipe dentritik dengan

distribusi cabang sungai yang relatif rapat. Terbentuknya pola aliran sungai

dentritik di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh struktur geologi dan litologi

Pegunungan Progo Barat yang didominasi batuan breksi andesit. Pola aliran

sungai yang rapat dengan beberapa anak sungai masih berupa parit alam yang

Page 54: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

42

lebar dan dalam hingga mengikis batuan induk mengindikasikan bahwa proses

erosi telah berlangsung intensif dalam jangka waktu yang lama.

Litologi yang bersifat masif berupa andesit dan gamping merupakan

penyebab langkanya air tanah di daerah penelitian, terutama di daerah perbukitan.

Dua jenis batuan di atas tidak mampu menyimpan air dalam jumlah besar.

Terlebih perbukitan yang ada mempunyai kemiringan lereng yang relatif terjal,

sehingga sebagian besar material hasil rombakan dan pelapukan langsung tererosi

dan terendapkan di lereng kaki dan dataran aluvial. Dua hal diatas yang

menyebabkan aquifer tidak dapat berkembang dengan baik di daerah perbukitan.

Walaupun demikian, pada area dengan solum tanah yang cukup tebal, aquifer

lokal dan dangkal dapat terbentuk. Lapisan ini biasanya langsung mengalami

kontak dengan batuan induk yang dicirikan dengan munculnya mata air dan

rembesan. Aquifer di daerah penelitian terbentuk di daerah bentuk lahan lereng

kaki koluvial dan dataran aluvial yang merupakan tempat akumulasi dan

pengendapan material hasil proses fluvial dan denudasional.

3.6 Tanah Pembentukan tanah di DAS Tinalah dikontrol oleh faktor – faktor

pembentukan tanah, terutama oleh iklim, topografi, batuan dan waktu. Kombinasi

ketiga faktor tersebut mempengaruhi jenis tanah yang terbentuk di daerah

penelitian. Bahan induk tanah di DAS Tinalah berasal dari tiga formasi batuan,

yaitu Andesit Tua, Jonggrangan dan Nanggulan. Pada setiap bahan induk yang

berasal dari formasi berbeda, jenis tanah yang terbentuk juga berbeda. Kondisi

iklim yang fluktuatif mempercepat proses pelapukan batuan, sehingga

pembentukan bahan induk tanah berlangsung cepat. Namun demikian, curah

hujan yang tinggi juga membawa konsekuensi tingkat erosi dan longsoran yang

tinggi sehingga sebagian besar material biasanya langsung tererosi dan

terakumulasi di lereng bawah. Oleh karena itu, tanah di daerah perbukitan dan

lereng atas biasanya mempunyai ciri - ciri solum tanah yang tipis. Kondisi iklim

di daerah penelitian kondisinya relatif sama (sedang hingga agak basah), sehingga

praktis proses pembentukan tanah di daerah penelitian ditentukan oleh topografi

Page 55: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

43

dan batuan sebagai sumber bahan induk tanah. Tanah yang terbentuk pada batuan

yang sama namun kondisi reliefnya berbeda, tanah yang terbentuk dan

perkembangannya juga berbeda.

Berdasarkan Peta Tanah DAS Tinalah pada Gambar 3.4, ordo tanah yang

berkembang di daerah penelitian adalah ordo Entisol, Inceptisol dan Alfisol.

Berikut ini diuraikan karakteristik setiap ordo.

1. Entisol

Ordo Entisol merupakan tanah yang paling mendominasi di daerah

penelitian. Entisol merupakan ordo tanah belum berkembang. Ciri khas dari ordo

ini yang juga ditemui pada tanah di daerah penelitian adalah horison-horisonnya

belum terdiferensiasi secara jelas. Tanah Entisol di daerah penelitian berkembang

terutama di bentuk lahan perbukitan dengan kemiringan lereng relatif terjal, oleh

karena itu kepekaannya terhadap erosi juga relatif tinggi. Solum tanahnya pada

umumnya tipis. Hal ini dikarenakan material hasil lapukan yang merupakan bahan

induk tanah kebanyakan langsung tererosi sebelum mengalami pedogenesis.

Karena belum menunjukkan kecenderungan perkembangan ke ordo lain, Tanah

Entisol di daerah penelitian diklasifikasikan ke dalam subordo Orthents. Rejim

kelembabannya termasuk dalam kategori tropis, sehingga termasuk dalam group

Troporthents. Pada area yang solum tanahnya tipis akibat sering tererosi, Alfisol

yang terbentuk diklasifikasikan lebih detil ke dalam subgroup Lithic.

Page 56: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

44

44

Page 57: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

45

2. Inceptisol

Inceptisol merupakan ordo tanah yang baru berkembang yang dicirikan

dengan diferensiasi antar horison yang mulai tampak. Subordo Inceptisol yang

berkembang di daerah penelitian adalah eutropepts karena mempunyai

karakteristik rejim tropis dengan kejenuhan basa yang tinggi. Ciri lainnya adalah

kedalaman tanahnya tipis (di bawah 30 cm) sehingga termasuk dalam subgroup

lithic dan sebagian lainnya mempunyai sifat yang khas sehingga termasuk dalam

subgroup typic. Di lapangan, tanah ini berkembang di bentuk lahan lereng kaki

perbukitan dengan kemiringan lereng 8 sampai 20%. Bahan induknya sebagian

besar berasal dari material koluvium dari perbukitan di atasnya. Tingkat

kesuburannya secara umum lebih baik daripada Entisol dengan kepekaan erosi

yang lebih rendah.

3. Alfisol

Alfisol merupakan tanah yang sedang berkembang. Salah satu penciri dari

ordo ini adalah adanya horison argilik yang merupakan hasil proses iluviasi.

Subordo Alfisol yang berkembang di daerah penelitian adalah udalfs karena

memiliki rejim kelembaban udik. Ciri lain dari sifat Tanah Alfisol di DAS Tinalah

adalah horison argilik yang ada perkembangannya belum maksimal yang dicirikan

dengan tidak jelasnya perbedaan antara horison argilik dan non argilik, sehingga

dimasukkan dalam group Hapludalfs. Pada umumnya, ciri khas group Hapludalfs

hampir semua ditemui di Tanah Alfisol di daerah penelitian. Adanya sifat ini

memungkinkan tanah Alfisol di daerah penelitian dapat diklasifikasi secara lebih

rinci ke dalam subgroup Typic Hapludalfs. Tanah Alfisol di daerah penelitian

berkembang di bentuk lahan lereng perbukitan dengan batuan dasar breksi andesit

dan gamping. Tekstur tanahnya didominasi lempung dengan kedalaman tanah

antara 50 hingga 100 cm. Sebagian dari Alfisol ini terdapat secara asosiasi dan

kompleks baik dengan ordo Entisol maupun Inceptisol, terutama pada bentuk

lahan dengan kemiringan lereng bervariasi.

Page 58: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

46

3.7 Vegetasi dan Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil intepretasi citra SPOT hasil operasi penggabungan citra

dan kerja lapangan, daerah penelitian didominasi penggunaan lahan kebun dan

tegalan. Tanaman yang ada pada penggunaan lahan kebun antara lain jati, mahoni,

akasia, sengon, cengkeh dan ketela. Sedangkan jenis tanaman yang terdapat di

penggunaan lahan ladang berupa tanaman semusim seperti kacang tanah, kedelai,

ketela, dan jagung. Proporsi dan jenis penggunaan lahan yang terdapat di DAS

Tinalah dapat dilihat pada Tabel 3.8. Permukiman penduduk di DAS Tinalah

mempunyai karakteristik distribusi yang menyebar. Konsentrasi permukiman

terbesar di Desa Gerbosari dimana desa ini merupakan ibukota Kecamatan

Samigaluh. Penggunaan lahan sawah tadah hujan berada pada bentuk lahan lereng

kaki dan dataran aluvial.

Tabel 3.8 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah

No Penggunaan lahan Luas (Ha) 1 Sawah irigasi 48,1 2 Sawah tadah hujan 463,0 3 Kebun 3029,9 4 Ladang 367,2 5 Permukiman 450,4 6 Semak 72,0

Total 4430,5 Sumber: Hasil interpretasi Citra SPOT-5 Pan sharpened resolusi spasial 2,5 meter (2006).

Vegetasi pada setiap bentuk penggunaan lahan mempunyai karakteristik

tutupan yang berbeda. Penggunaan lahan kebun didominasi vegetasi strata pohon

dengan tutupan vertikal kanopi yang tebal dan ketinggiannya bisa mencapai lebih

dari 5 meter. Penggunaan lahan ladang dan semak didominasi vegetasi strata

pohon dan semak dengan ketinggian kanopi maksimal 5 meter. Ketebalan kanopi

vegetasi di penggunaan lahan ladang pada umumnya lebih tipis dari vegetasi pada

penggunaan lahan kebun. Penggunaan lahan sawah didominasi vegetasi strata

herba dan rumput yang termasuk dalam kategori penutupan tanah (ground cover)

dengan ketinggian di bawah 2 meter. Karakteristik vegetasi yang berbeda pada

setiap bentuk penggunaan lahan menyebabkan erosi yang terjadi juga berbeda.

Page 59: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

47

47

Page 60: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

48

3.8 Kependudukan dan Sosial-Ekonomi Kondisi lingkungan fisik berupa perbukitan sangat mempengaruhi kondisi

kependudukan dan sosial ekonomi penduduk di sekitar DAS Tinalah. Berdasarkan

data PODES 2005 Kabupaten Kulonprogo, jumlah penduduk di DAS Tinalah

sekitar lima puluh ribu jiwa yang tersebar di beberapa desa. Desa Gerbosari yang

berada di bagian tengah DAS merupakan desa dengan jumlah penduduk dan luas

permukiman terbesar, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.9. Hal ini dikarenakan

Desa Gerbosari merupakan ibukota Kecamatan Samigaluh dimana segala aktivitas

ekonomi terpusat di sini, sehingga penduduk banyak yang terkonsentrasi di desa

ini. Permukiman di DAS Tinalah mempunyai karakteristik distribusi yang

menyebar tidak teratur (random). Keberadaan permukiman biasanya di bawah

lereng perbukitan dan dibangun dengan memotong lereng. Pemotongan lereng

untuk pembangunan permukiman menyebabkan daerah penelitian memiliki

tingkat kerawanan longsor yang tinggi. Mata pencaharian penduduk sebagian

besar di sektor pertanian dan perkebunan. Ketergantungan yang tinggi pada

sumber daya alam yang ada menyebabkan degradasi lahan, terutama erosi

berdampak nyata terhadap kondisi perekonomian penduduk DAS. Keterbatasan

kemampuan lahan daerah penelitian untuk mendukung berbagai penggunaan

menyebabkan penduduk tidak dapat memanfaatkan lahan yang ada secara

optimal. Oleh karena itu tidak heran apabila Kecamatan Samigaluh merupakan

salah satu kecamatan termiskin di Kabupaten Kulonprogo.

Tabel 3.9 Karakteristik Demografi DAS Tinalah

Nama Desa Laki-Laki (jiwa)

Perempuan (jiwa)

Jumlah Luas permukiman

(ha)

Kepadatan penduduk pada

permukiman (jiwa/ha)

Banjarsari 1951 1969 3920 42.8 91.6Purwoharjo 1998 2209 4207 38.5 109.3Sidoharjo 2601 2501 5102 61.8 82.6Gerbosari 2857 2569 5426 63.8 85.0Ngargosari 2018 2001 4019 38.7 103.9

Jumlah 24106 24678 48784 Sumber: Analisis data PODES 2005.

Page 61: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

49

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tujuan utama dari studi ini adalah memprediksi dan memetakan tutupan

kanopi vegetasi dengan menggunakan atribut spektral citra penginderaan jauh dan

mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi kualitatif yang

dinilai dari bentukan erosi yang terjadi. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian

dilaksanakan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan, mulai dari pemrosesan

citra dan pembuatan peta dasar, kerja lapangan pengamatan erosi dan pengukuran

persentase tutupan kanopi vegetasi. Bagian ini akan menguraikan tentang jalannya

penelitian yang telah dilakukan dan hasil - hasil yang diperoleh, mulai dari

pemrosesan citra hingga analisis tabulasi silang untuk melihat hubungan antara

tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi.

4.1 Restorasi Citra Citra penginderaan jauh mengalami berbagai macam kesalahan baik

radiometrik maupun geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber informasi

tematik sumber daya, kesalahan – kesalahan ini harus dikoreksi terlebih dulu.

Citra SPOT 5 HRG yang digunakan dalam penelitian mempunyai tingkat

pemrosesan 1A yang berarti sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum

terkoreksi geometrik.

4.1.1 Koreksi Geometrik

Citra SPOT 5 tingkat pemrosesan 1A yang digunakan dalam penelitian

masih bersifat data mentah (raw image), artinya kesalahan geometrik sistematik

dan non sistematik yang diakibatkan mekanisme perekaman sebagai aspek

internal sensor dan sifat-sifat bumi sebagai aspek eksternal masih belum

diperbaiki, sehingga citra perlu dikoreksi geometrik. Koreksi geometrik untuk

memperbaiki kesalahan geometrik dilakukan dengan menggunakan transformasi

tiga dimensi atau orthorektifikasi. Orthorektifikasi citra dalam penelitian ini

dilakukan menggunakan RPC dan informasi elevasi dari DEM ataupun titik

Page 62: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

50

kontrol tanah. Jika citra yang digunakan tidak mempunyai informasi RPC,

informasi RPC dapat diperoleh dengan menerapkan model persamaan RPC

dengan menggunakan minimal tujuh titik kontrol tanah (untuk transformasi orde

1) hingga 39 (untuk transformasi orde3) (Harintaka dkk, 2006). Dikarenakan citra

SPOT yang digunakan telah mengandung informasi RPC dalam header citranya,

maka orthorektifikasi dalam penelitian ini dilakukan tanpa menggunakan titik

kontrol tanah. Informasi ketinggian pada setiap piksel citra diperoleh dari DEM

(digital elevation model) yang diturunkan dari data kontur Peta Rupabumi.

Perbandingan citra sebelum dan sesudah koreksi geometrik dapat dilihat pada

Gambar 4.1.

(a) (b)

Gambar 4.1. Citra SPOT-5 sebelum koreksi geometrik (a) dan sesudah koreksi geometrik

(b)

Ketelitian posisi citra hasil koreksi dapat dinilai secara kualitatif maupun

kuantitatif dengan menggunakan RMSE (root mean square error). Dalam

penelitian ini, ketelitian posisi dinilai secara kualitatif dengan menggunakan data

vektor dari Peta Rupabumi Indonesia Bakosurtanal Skala 1:25.000 (Harintaka,

Page 63: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

51

2003). Pembandingan dilakukan dengan mentumpangsusunkan antara citra hasil

koreksi dengan obyek sungai yang diturunkan dari Peta RBI. Hasil

orthorektifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dari Gambar tersebut, obyek

sungai dari peta RBI ternyata dapat tepat berimpit dengan kenampakan sungai dari

peta. Hasil ini menunjukkan bahwa orthorektifikasi menghasilkan ketelitian posisi

yang tinggi.

Gambar 4.2 Citra hasil orthorektifikasi

4.1.2 Koreksi Radiometrik

Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian ini sudah terkoreksi

radiometrik sistematik. Terkoreksi radiometrik sistematik dapat diartikan bahwa

kesalahan – kesalahan radiometrik yang berkaitan dengan mekanisme internal

sensor sudah dikoreksi oleh stasiun penerima, namun demikian faktor eksternal

sensor seperti pengaruh hamburan atmosfer belum tentu sudah terkoreksi

(Danoedoro, komunikasi pribadi). Pengaruh hamburan atmosfer dapat

diidentifikasi jika terdapat obyek air yang mempunyai nilai piksel lebih dari 0

pada saluran inframerah gelombang pendek (saluran 4 pada sensor SPOT-5).

Page 64: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

52

Secara teori, obyek air yang jernih, tenang dan dalam seharusnya mempunyai nilai

piksel tidak jauh dari 0. Hal ini dikarenakan obyek air banyak menyerap sinyal

elektromagenik matahari pada saluran inframerah gelombang pendek, sehingga

respon spektral air pada saluran ini biasanya sangat lemah. Namun jika nilainya

bukan 0, maka bisa dipastikan telah terjadi penambahan informasi spektral yang

mencapai sensor yang tidak berasal dari obyek air di permukaan bumi, melainkan

dari hamburan atmosfer (Danoedoro, 1996). Berdasarkan hasil pengamatan yang

dilakukan pada seluruh area liputan citra, kenampakan air yang jernih dan dalam

(Waduk Sermo) ternyata tidak menunjukkan nilai 0 pada saluran 4 (saluran

inframerah gelombang pendek), sehingga bisa dipastikan bahwa ada pengaruh

hamburan atmosfer yang menyebabkan peningkatan respon spektral.

Koreksi radiometrik citra dilakukan dengan menggunakan metode

kalibrasi bayangan. Tahapan dalam koreksi diawali dengan pengambilan pasangan

sampel nilai piksel yang merepresentasikan obyek penutup lahan yang sama, yang

berada di daerah yang tertutup bayangan awan (Eis) dan daerah yang tidak

tertutup bayangan awan (Eit). Dari pembacaan yang dilakukan, diperoleh 10 titik

sampel pengamatan yang tersebar merata di seluruh area liputan citra. Informasi

nilai piksel pada setiap titik sampel dapat dilihat pada lampiran 1.

Penentuan nilai bias atmosfer (Dλ) dilakukan dengan menggunakan

analisis regresi antara Eit dan Eis. Persamaan regresi linier yang diperoleh

kemudian disubstitusikan ke persamaan 2 untuk memperoleh nilai Dλ. dan nilai

bias (Dλ) yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.2. Hasil analisis regresi dan

persamaan yang diperoleh serta perhitungan lengkap dapat dilihat pada lampiran

1.

Tabel 4.1 Nilai Bias Atmosfer Setiap Saluran Citra SPOT-5

Nama Saluran Nilai bias (Dλ)

Saluran 1 (Hijau) 36

Saluran 2 (Merah) 21

Saluran 3 (Inframerah dekat/NIR) 33

Saluran 4 (Inframerah gelombang pendek/SWIR) 21

Sumber: Hasil analisis kalibrasi bayangan, 2008

Page 65: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

53

Hasil koreksi radiometrik pada tabel menunjukkan saluran XS1 SPOT

merupakan saluran yang paling terpengaruh oleh kondisi atmosfer berupa

hamburan yang menyebabkan penambahan pantulan spektral, sehingga respon

spektral yang direkam sensor tidak mencerminkan hasil interaksi obyek dengan

tenaga matahari yang sebenarnya. Berdasarkan hasil analisis, nilai biasnya cukup

tinggi yaitu berkisar 20 hingga 36. Semakin bertambah panjang gelombang,

pengaruh hamburan seakin berkurang yang ditandai dengan penurunan nilai bias.

Hasil analisis menunjukkan saluran 2, 3 dan 4 mempunyai nilai bias yang lebih

rendah dari saluran 1.

Hasil yang diperoleh dari operasi restorasi citra adalah citra yang minim

kesalahan baik secara radiometrik maupun geometrik untuk digunakan dalam

tahapan analisis berikutnya, yaitu pembuatan citra NDVI dan ekstraksi data

tutupan kanopi.

4.2 Transformasi NDVI NDVI dirancang untuk dapat memilahkan obyek vegetasi dan bukan

vegetasi secara cepat dengan menggunakan informasi karakteristik pantulan

vegetasi pada saluran merah dan inframerah dekat. Pantulan vegetasi yang tinggi

pada saluran inframerah dekat dan sebaliknya pada saluran merah menyebabkan

obyek vegetasi mengumpul di kisaran nilai positif tinggi pada citra NDVI,

sedangkan obyek tanah air yang pantulannya lebih tinggi pada saluran merah

mengumpul pada nilai positif rendah hingga nol untuk obyek air, dan negatif

rendah untuk obyek tanah dan lahan terbangun. Dengan karakteristik tersebut,

maka obyek vegetasi, tanah dan air dapat dibedakan dengan mudah menggunakan

teknik density slicing.

Berdasarkan hasil analisis, NDVI yang diperoleh mempunyai karakteristik

julat nilai digital antara -0,5 hingga 0,89. Dari histogram citra pada Gambar 4.3

dapat diketahui bahwa frekuensi nilai digital kebanyakan mengumpul di julat 0,4

hingga 0,8. Hasil ini menunjukkan bahwa daerah penelitian didominasi penutup

lahan vegetasi. Hasil inspeksi pada seluruh bagian citra menunjukkan nilai

ambang batas (treshold) untuk membedakan obyek vegetasi dan bukan vegetasi

Page 66: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

54

adalah 0,4. Dengan demikian maka nilai di bawah 0,4 dari citra NDVI tidak

digunakan dalam analisis regresi untuk menurunkan model tutupan kanopi. Nilai

yang digunakan adalah julat 0,4 hingga 1 yang mencerminkan obyek vegetasi

dengan kondisi tutupan yang bervariasi.

Gambar 4.3 Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah

Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

-0,5

0

-0,2

0

-0,1

0

-0,1

0

0,00

0,05

0,11

0,17

0,23

0,29

0,35

0,41

0,47

0,53

0,59

0,65

0,71

0,77

0,83

0,89

Nilai NDVI

Frek

uens

i

Page 67: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

55

55

Page 68: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

56

4.3 Penggabungan Citra dan Pemetaan Penggunaan Lahan 4.3.1 Penggabungan Citra

Pemetaan penggunaan lahan pada skala 1:50.000 memerlukan citra

penginderaan jauh dengan resolusi spasial sama atau lebih tinggi dari 10 meter

(Richards dan Jia, 2006). Persyaratan ini menyebabkan citra SPOT-5

multispektral tidak selalu dapat digunakan untuk menurunkan informasi

penggunaan lahan pada skala yang menjadi tujuan penelitian. Hambatan ini dapat

diatasi dengan menggunakan citra pakromatik yang direkam pada waktu yang

sama dengan citra multispektral, namun mempunyai resolusi dan detil spasial

yang lebih baik (2,5 meter). Namun demikian, citra ini hanya dapat

divisualisasikan secara monokromatik karena direkam pada saluran tunggal. Oleh

karena itu, pembedaan obyek dari segi spektral hanya bisa dilakukan dari

identifikasi perbedaan rona pada citra. Hal ini membawa kesulitan tersendiri

karena saluran pankromatik SPOT hanya peka pada saluran hijau – merah (0,51-

0,73µm), sehingga obyek tertentu seperti vegetasi berdaun jarum kerapatan jarang

dan tanah terbuka menunjukkan respon spektral yang hampir seragam sehingga

sukar dibedakan dari ronanya. Permasalahan di atas yang mendasari dilakukannya

penggabungan citra (image fusion) antara citra multispektral dan pankromatik.

Dengan digabungkannya kedua citra, kelebihan –kelebihan dari citra multispektral

dan pankromatik dapat diintegrasikan menjadi citra baru yang memiliki kerincian

informasi spektral citra multispektral sekaligus kedetilan spasial citra pakromatik.

Hasil operasi penggabungan citra dengan susunan komposit warna 432 dan

perbandingannya dengan citra asal dapat dilihat pada Gambar 4.5

Page 69: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

57

(a) (b) (c)

Gambar 4.5 Citra multispektral (a), Citra Pankromatik (b) dan Citra gabungan (c)

Penggunaan komposit warna 432 dan algoritma transformasi IHS

(Intensity Hue Saturation) untuk menggabungkan citra multispektral dan

pankromatik memberikan beberapa kelebihan dilihat dari aspek kegunaannya

untuk interpretasi penggunaan lahan. Pelibatan saluran 4 (SWIR) yang peka

terhadap kandungan air dalam penyusunan komposit warna memberikan

keuntungan berupa kemudahan dalam membedakan obyek tanah terbuka lembab

(berasosiasi dengan penggunaan lahan sawah) dan lahan terbangun. Sebaliknya,

pada susunan komposit warna semu standar 321 SPOT yang biasa diterapkan

pada Citra SPOT 1-3, lahan terbuka lembab dan lahan terbangun tidak dapat

dibedakan dengan mudah. Hal ini disebabkan pada saluran 1 dan 2, kedua obyek

tersebut mempunyai karakteristik spektral yang mirip. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada Gambar 4.6.

Page 70: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

58

Gambar 4.6 Perbedaan Kenampakan Obyek Pada Komposit 321 dan 432

Penggunaan transformasi IHS untuk penggabungan citra memberikan

kelebihan berupa hasil citra yang dapat mensimulasikan komposit warna alami

(natural color composite). Efek warna alami ini dapat terjadi karena adanya

perbedaan karakteristik spektral citra pankromatik yang diinjeksikan sebagai

komponen intensitas dan komponen intensitas citra multispektral. Citra

pankromatik kepekaan sensornya hanya mencapai spektrum merah sehingga

pantulan obyek vegetasi relatif rendah namun relatif tinggi untuk obyek air,

sedangkan komponen intensitas citra multispektral komposit 432 justru

menunjukkan karakteristik yang sebaliknya sebagai akibat penggunaan saluran 3

dan 4. Akibat dari adanya perbedaan karakteristik spektral ini adalah ketika

transformasi balik (inverse transformation) ke sistem RGB dilakukan, obyek

vegetasi mengalami pengurangan intensitas menghasilkan warna yang lebih gelap

dan mendekati warna alami obyek, sedangkan obyek air ditingkatkan

intensitasnya menghasilkan warna biru yang lebih cerah. Citra hasil transformasi

dapat dilihat pada Gambar 4.8.

321 432

Lahan terbangun

Tanah terbuka lembab

Page 71: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

59

(a) (b)

Gambar 4.7 Citra SPOT Pankromatik (a) dan Komponen Intensitas dari Citra SPOT

Multispektral Komposit 432 (b)

4.3.2 Pemetaan Penggunaan Lahan

Kondisi tutupan kanopi vegetasi memberikan perlindungan terhadap tanah

dari proses erosi. Jenis vegetasi berbeda mempunyai efektivitas perlindungan

terhadap erosi yang berbeda. Pemetaan penutup/penggunaan lahan sering

dilakukan untuk menilai peran dan pengaruh vegetasi terhadap erosi (Vierling,

2006). Dalam studi ini, pemetaan penggunaan lahan dilakukan untuk melihat

perbedaan pengaruh jenis dan kondisi tutupan kanopi vegetasi terhadap tingkat

erosi. Asumsi yang digunakan adalah pada penggunaan lahan berbeda, jenis dan

tutupan kanopi vegetasinya juga berbeda, sehingga pengaruhnya terhadap erosi

juga berbeda. Dengan mendasarkan pada asumsi ini, kelas penggunaan lahan

berfungsi sebagai strata dalam penentuan lokasi sampel pengukuran tutupan

kanopi vegetasi dan lokasi pengamatan bentuk erosi untuk menilai tingkat erosi.

Page 72: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

60

60

Page 73: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

61

Peta penggunaan lahan dalam studi ini diturunkan dari interpretasi visual

Citra SPOT-5 hasil penggabungan saluran multispektral dan pankromatik. Operasi

penggabungan citra multispektral komposit 432 dan pankromatik menggunakan

transformasi IHS memberikan hasil citra gabungan yang mendekati komposit

warna alami. Efek warna alami dan kontras citra pankromatik yang dapat

dipertahankan pada citra gabungan membuat proses interpretasi dan deduksi

penggunaan lahan dapat dilakukan dengan mudah dibanding penggunaan citra

multispektral dan pankromatik secara terpisah. Integrasi kerincian spektral citra

multispektral dan kerincian spasial citra pankromatik memungkinkan pembedaan

bentuk – bentuk penggunaan lahan yang sebelumnya sulit dibedakan pada citra

multispektral menjadi lebih mudah. Penggunaan lahan tertentu seperti sawah

dapat diidentifikasi dan dideliniasi dengan mudah dari bentuk penggunaan lahan

lain seperti kebun dan permukiman. Berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan,

sebanyak enam kelas penggunaan lahan utama dapat diperoleh sesuai dengan

skema klasifikasi yang digunakan. Penggunaan lahan kebun dengan jenis vegetasi

campuran merupakan penggunaan lahan dominan di DAS Tinalah (Tabel 3.7).

Ketelitian hasil interpretasi secara keseluruhan (overall accuracy) adalah

sebesar 95% sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.2. Uji akurasi dilakukan

menggunakan matriks kesalahan atau error matrix (Campbell, 2002). Pengujian

dilakukan dengan membandingkan data hasil interpretasi sebagai data klasifikasi

dan data pengamatan penggunaan lahan di lapangan sebagai data referensi.

Distribusi lokasi sampel pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.12.

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa kesalahan interpretasi terbesar

adalah pada penggunaan lahan tegalan yang salah terklasifikasikan sebagai kebun

(User Accuracy sebesar 90%). Demikian pula sebaliknya. Kesalahan ini

disebabkan karena kedua jenis penggunaan lahan ini tidak dapat dibedakan

dengan mudah menggunakan kunci interpretasi citra seperti pola dan tekstur,

walaupun resolusi spasial citra yang digunakan sudah cukup detil (2,5 meter).

Kesamaan karakteristik dan jenis vegetasi pada kedua penggunaan lahan tersebut

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi. Penggunaan lahan kebun

didominasi oleh tanaman berkayu dan keras seperti jati, mahoni, dan kelapa.

Page 74: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

62

Tanaman – tanaman ini juga ditemui pada penggunaan lahan tegalan, walaupun

frekuensinya tidak sebanyak pada penggunaan lahan kebun. Kesamaan jenis

vegetasi ini yang menyebabkan batas antara penggunaan lahan kebun dan tegalan

susah diidentifikasi. Karakteristik setiap kelas penggunaan lahan pada citra dan

bukti kenampakan sesungguhnya di lapangan dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Tabel 4.2 Hasil Uji Akurasi Interpretasi Penggunaan Lahan

Data Hasil Klasifikasi

Permukiman Kebun

campur Semak belukar

Tegalan Sawah Irigasi

Sawah Tadah hujan

Total Producer's Accuracy (%)

Permukiman 12 0 0 0 0 0 12 100

Kebun campur 0 28 0 0 0 0 28 100

Semak belukar 0 0 2 0 0 0 2 100

Tegalan 0 3 0 7 0 0 10 100

Sawah irigasi 0 0 0 0 2 0 2 100 Dat

a R

efer

ensi

Sawah tadah hujan 0 0 0 0 0 13 13 100

Total 12 31 2 7 2 13 64

User Accuracy (%) 100 90 100 100 100 100 96 Sumber : Hasil analisis (2008)

Page 75: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

63

Gambar 4.9

Foto Kenampakan Penggunaan Lahan Pada Citra dan Kenampakan Sesungguhnya di Lapangan untuk Sawah (a), Tegalan (b), Kebun (c) dan

Lahan terbangun (d)

Page 76: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

64

Dinamika temporal vegetasi dan penutup lahan di daerah penelitian juga

merupakan salah satu faktor penyebab sulitnya pembedaan penggunaan lahan

kebun dan tegalan. Dinamika ini nampak jelas terutama pada penggunaan lahan

sawah dan tegalan dimana perubahannya bisa mencapai skala harian. Dengan

selisih waktu yang cukup signifikan antara tanggal perekaman citra (Mei 2006)

dan survei lapangan (April 2008), tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi penutup

dan penggunaan lahan di daerah penelitian telah banyak berubah. Pada saat citra

direkam, sebagian besar penggunaan lahan sawah berada pada kondisi pasca

panen dengan penutup lahan berupa tanah terbuka lembab yang dicirikan dengan

warna biru cerah pada citra, namun pada waktu survei lapangan dilakukan,

kondisi penutup lahan pada penggunaan lahan sawah berada pada tahap

pertumbuhan maksimum. Bukti dari uraian di atas dapat dilihat pada Gambar

4.10a dan 4.10b. Ketidaksesuaian ini menjadikan penggunaan indeks vegetasi

untuk menentukan persentase tutupan kanopi pada penggunaan lahan sawah tidak

dapat diaplikasikan karena nilai digital NDVI tidak mencerminkan kondisi

tutupan di lapangan. Dengan adanya ketidak sesuaian ini, untuk selanjutnya

analisis hubungan tutupan kanopi vegetasi dan tingkat erosi pada penggunaan

lahan sawah tidak dilakukan karena bisa dipastikan hasilnya tidak akan shahih dan

memuaskan.

Page 77: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

65

(a) (b) Gambar 4.10 Foto Kondisi penutupan lahan pada penggunaan lahan sawah

pada saat citra direkam (a) dan kondisi penutupan lahan pada saat survei lapangan dilakukan (b)

Faktor terakhir yang menjadi kendala dalam pemetaan penggunaan lahan

daerah penelitian adalah kualitas citra. Citra SPOT-5 Pankromatik resolusi 2,5

meter yang digunakan dalam operasi penggabungan citra sebenarnya bukan

merupakan citra yang direkam pada resolusi 2,5 meter murni, melainkan

merupakan citra sintesis hasil penggabungan dua citra pankromatik indentik

resolusi 5 meter dari sensor HRG1 dan HRG2 satelit SPOT-5 (SPOT IMAGE,

2006). Karena merupakan citra sintesis hasil proses resampling, maka kualitas dan

detil spasial citra kurang begitu tajam dan citra tampak sedikit kabur (blur).

Kurang tajamnya detil spasial citra berimplikasi pada sulitnya identifikasi jenis

vegetasi dan pembedaan penggunaan lahan kebun dan tegalan di daerah

penelitian.

Page 78: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

66

4.4 Kerja Lapangan Pengukuran Persentase Tutupan Kanopi Pengukuran persentase tutupan kanopi di lapangan dilakukan untuk

memperoleh data referensi guna menurunkan model regresi. Pengukuran

dilakukan secara purposive sampling pada kelas penggunaan lahan kebun campur

dan tegalan. Pengukuran dan observasi lapangan dilakukan selama kurang lebih

tiga minggu, yaitu pada minggu pertama hingga ketiga bulan April 2008. Selain

pengukuran tutupan kanopi, pengamatan bentuk erosi dan pengumpulan data

referensi untuk menilai akurasi hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra juga

dilakukan pada waktu yang sama. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan

teknik estimasi oskular sebagaimana telah diuraikan pada butir 2.1.5.

Berdasarkan hasil survei lapangan yang telah dilakukan, sebanyak 42

sampel dapat dikumpulkan, meliputi 29 sampel pada penggunaan lahan kebun

campur, 12 sampel pada penggunaan lahan tegalan dan 1 sampel pada

penggunaan lahan semak. Pengamatan pada penggunaan lahan sawah tidak

dilakukan dikarenakan alasan sebagaimana telah dijelaskan pada butir 4.3.2.

Sedangkan pengamatan pada penggunaan lahan permukiman tidak dilakukan

karena diasumsikan pada penggunaan lahan ini tutupan kanopi vegetasinya adalah

0%. Distribusi spasial dari sampel yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 4.12.

Dari pemetaan penggunaan lahan yang telah dilakukan, diketahui bahwa

pengunaan lahan di daerah penelitian didominasi oleh penggunaan lahan kebun,

oleh karena itu proporsi sampel pada penggunaan lahan ini lebih banyak untuk

mengakomodasi variabilitas parameter pada lokasi yang berbeda. Sesuai dengan

teknik pengambilan sampel yang digunakan, pengamatan dilakukan sebanyak

lima kali pada setiap plot sampel. Hasil dari pengamatan di setiap plot kemudian

dirata-ratakan untuk memperoleh nilai persentase tutupan kanopi pada plot yang

bersangkutan. Contoh hasil estimasi pada lahan kebun dengan tutupan kanopi

berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.11

Page 79: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

67

Gambar 4.11 Foto Contoh Hasil Estimasi Tutupan Kanopi

Page 80: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

68

68

Page 81: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

69

4.5 Pengamatan Bentuk Erosi dan Penilaian Tingkat Erosi

Kualitatif Pengamatan bentuk erosi di lapangan bertujuan untuk menilai secara

kualitatif tingkat erosi di lapangan. Bentukan erosi yang terjadi pada suatu lahan

merupakan indikator intensitas laju kehilangan tanah pada area pengamatan. Dari

pengamatan yang telah dilakukan selama satu bulan (April 2008), terdapat

setidaknya tujuh macam bentukan yang ditemui pada lahan – lahan di DAS

Tinalah. Bentukan erosi tersebut antara lain pedestal, material kasar di permukaan

tanah (armour layer), gundukan tanah di bawah pohon (tree mound), singkapan

akar tanaman (root exposure), endapan tanah pada saluran drainase (sedimen in

drains), akumulasi endapan tanah di sisi sebelah atas tanaman pada lereng yang

miring (build up against tree trunk/plant stem), alur (rill) dan parit (gully).

Pedestal merupakan bentukan yang paling sering ditemui pada sebagian

besar area pengamatan di daerah penelitian. Pedestal adalah suatu kolom tanah

yang menyerupai tiang, yang diatasnya ditutupi oleh material resisten (akar, batu),

yang berfungsi sebagai material pelindung (capping material). Pedestal

disebabkan proses pemecahan partikel tanah (soil detachment) pada lahan dengan

kekasaran permukaan yang bervariasi. Ketika terjadi hujan, partikel tanah di

sekitar pedestal terpecah dari agregat tanah akibat tumbukan dengan butir-butir

hujan dan kemudian terangkut oleh limpasan permukaan. Partikel-partikel tanah

dalam pedestal sendiri tidak terpengaruh percikan hujan karena adanya material

pelindung yang menyerap kekuatan perusak dari butir – butir hujan. Di daerah

penelitian, pedestal ditemui pada penggunaan lahan kebun dan tegalan dengan

berbagai variasi tutupan kanopi vegetasi, kemiringan lereng, penutupan tanah,

sifata tanah dan praktek konservasi tanah. Perbedaan ketinggian pedestal

mencerminkan perbedaan intensitas erosi yang terjadi pada suatu area

pengamatan.

Page 82: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

70

(a) (b)

Gambar 4.13 Foto Kenampakan Pedestal dengan Material Pelindung Batu (a) dan Akar Tanaman (b)

Armour layer juga merupakan bentukan yang sering ditemui pada berbagai

area pengamatan. Armour layer adalah konsentrasi partikel – partikel kasar di

permukaan tanah yang umumnya tersebar secara acak pada tanah atas (top soil).

Bentukan ini terjadi karena limpasan permukaan hanya mampu mengangkut

partikel tanah yang berukuran halus, sedangkan partikel yang lebih kasar

tertinggal di permukaan tanah. Di daerah penelitian, bentukan ini kebanyakan

terbentuk pada penggunaan lahan tegalan dengan tutupan kanopi (canopy cover)

vegetasi dan penutupan tanah (ground cover) yang jarang. Tutupan kanopi dan

tutupan tanah yang jarang menyebabkan proses pemecahan partikel tanah (soil

detachment) dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan

berlangsung tanpa adanya penghalang.

Gambar 4.14 Foto Armour Layer Pada Penggunaan Lahan Tegalan dengan Tutupan Kanopi dan Tutupan Tanah Jarang

Page 83: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

71

Bentukan erosi lain seperti singkapan akar, tree mound, dan sediment in

drains ditemui hanya pada beberapa lokasi pengamatan. Singkapan akar

disebabkan partikel tanah di sekitar batang tanaman mengalami pemecahan dan

pemindahan oleh aliran batang (stemflow). Pemecahan dan pemindahan material

di sekitar batang tanaman menyebabkan penurunan permukaan tanah dan

selanjutnya menyebabkan akar tanaman menjadi tersingkap. Kedalaman

singkapan akar menunjukkan intensitas erosi yang terjadi.

Gambar 4.15 Foto Singkapan Akar (root exposure) Pada Tanaman Jagung

Tree mound merupakan bentukan erosi berupa permukaan tanah di bawah

kanopi pohon yang lebih tinggi dari permukaan di sekitarnya yang tidak tertutup

kanopi. Bentukan ini terjadi karena area yang tidak terlindungi kanopi tererosi

lebih intensif daripada area yang terlindungi kanopi. Ketinggian permukaan tanah

pada tree mound menunjukkan permukaan tanah semula sebelum tererosi.

Bentukan ini ditemui terutama pada penggunaan lahan kebun dengan vegetasi

dominan berupa pohon.

Page 84: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

72

Gambar 4.16

Foto Gundukan Tanah di bawah Kanopi Tanaman (tree mound)

Bentukan akumulasi tanah di sisi sebelah atas tanaman (build up against

tree trunk/plant stem) merupakan bentukan erosi berupa akumulasi material hasil

erosi pada sisi sebelah atas tanaman. Bentukan ini terjadi karena material hasil

pemecahan partikel tanah yang terbawa oleh limpasan permukaan terhalang oleh

batang tanaman, sehingga kemudian terendapkan di sisi sebelah atas dari batang

tanaman. Bentukan ini terjadi pada penggunaan lahan kebun dengan kemiringan

lereng lebih dari 15%. Ketebalan material mengindikasikan intensitas proses erosi

yang terjadi.

Gambar 4.17 Foto Akumulasi Material Pada Sisi Sebelah Atas Batang Tanaman Pada Lereng Lebih Dari 15%

Bentukan akumulasi sedimen pada saluran drainase (sediment in drains)

terjadi pada penggunaan lahan kebun yang dibuat teras, dan tegalan. Ciri khas

bentukan ini berupa adanya endapan material berukuran halus di sepanjang

saluran drainase. Material yang terendapkan ini berasal dari lahan di atas saluran

Page 85: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

73

drainase. Terkonsentrasinya limpasan permukaan yang membawa material hasil

pemecahan butir hujan pada saluran drainase merupakan penyebab terjadinya

bentukan ini. Material yang terangkut ini kemudian terendapkan di sepanjang

saluran akibat berkurangnya kecepatan dan kemampuan limpasan untuk

mengangkut material. Kedalaman material sedimen mengindikasikan seberapa

besar tingkat erosi yang terjadi.

Gambar 4.18 Foto Endapan Material Hasil Limpasan Permukaan di sepanjang Saluran Drainase Pada Penggunaan Lahan Tegalan.

Bentukan yang mengindikasikan erosi berat hingga sangat berat seperti

alur (rill) dan parit (gully) jarang ditemui selama observasi lapangan dilakukan.

Dari 42 lokasi pengamatan, hanya ditemui tiga lokasi yang terdapat erosi alur, dan

tiga lokasi yang terdapat erosi parit. Penyebab jarangnya ditemukan kenampakan

erosi alur di daerah penelitian disebabkan sebagian besar lahan di daerah

penelitian sudah terkonservasi dalam bentuk teras. Praktek konservasi tanah

berupa teras pada lereng landai hingga curam menyebabkan konsentrasi limpasan

permukaan yang dapat berkembang menjadi erosi alur tidak terjadi. Selain itu,

berdasarkan pengamatan oskular, sebagian besar lahan di daerah penelitian

mempunyai tutupan kanopi vegetasi dan atau tutupan tanah yang rapat. Tutupan

kanopi yang rapat memberikan perlindungan terhadap tanah dari daya rusak butir

hujan dalam bentuk penahanan butir hujan oleh kanopi, sehingga ketika butir

hujan mencapai permukaan tanah, erosivitasnya sudah berkurang dan mengurangi

jumlah partikel tanah yang terlepas. Adanya penutupan tanah (ground cover) yang

Page 86: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

74

rapat mencegah terjadinya limpasan permukaan, sehingga pelepasan dan

pengangkutan material oleh limpasan permukaan tidak terjadi.

Di daerah penelitian, erosi alur terbentuk pada penggunaan lahan tegalan

yang baru mengalami pembajakan tanah (tillage), sehingga belum terdapat

vegetasi yang tumbuh di atasnya. Sebagai akibatnya, proses pemecahan partikel

tanah dan pengangkutan material hasil pemecahan oleh limpasan permukaan

terjadi secara hebat karena tanah berada dalam kondisi terbuka dan tanpa

perlindungan. Erosi alur yang terbentuk di lokasi penelitian mempunyai

kedalaman rata-rata 4 cm. Dengan kedalaman tersebut, maka tingkat erosi pada

daerah pengamatan termasuk dalam kategori berat. Selain pada tegalan yang baru

dibajak, erosi alur juga terjadi pada area-area yang baru mengalami longsor lahan.

Material hasil longsoran besar yang umurnya relatif baru pada umumnya memiliki

karakteristik material yang bersifat lepas, penutupan tanah yang jarang, lereng

yang panjang (lebih dari 5 meter) dan kemiringan lereng lebih dari 8%.

Kombinasi faktor-faktor di atas menyebabkan limpasan permukaan terkonsentrasi

pada area tertentu dan membentuk depresi memanjang atau alur (rill). Proses

pemecahan dan pengangkutan material terjadi sepanjang alur ini.

(a) (b)

Gambar 4.19 Foto Erosi Alur Pada Daerah Bekas Longsoran (a) dan Tegalan yang Baru Dibajak (b)

Erosi parit merupakan bentuk perkembangan dari erosi alur. Erosi alur

yang tidak segera dikontrol dalam jangka waktu lama akan semakin lebar dan

dalam. Jika kedalaman alur mencapai lebih dari 30 cm, maka alur ini dapat

dikategorikan sebagai parit. Perkembangan parit akan semakin intensif jika lereng

Page 87: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

75

di daerah terbentuknya parit cukup panjang dan tanah berada dalam kondisi

terbuka tanpa tutupan vegetasi dalam jangka waktu lama. Di daerah penelitian,

erosi parit lebih sering ditemukan daripada erosi alur. Kedalaman rata-rata erosi

parit di daerah penelitian sekitar 0,5 hingga 1 meter dengan lebar hingga mencapai

4 meter. Erosi parit yang ditemui di daerah penelitian merupakan bentukan

permanen, kompleks dan terbentuk dalam jangka waktu lama. Kompleksitas

pembentukan dan perkembangan erosi parit di daerah penelitian tidak dapat

dijelaskan hanya dengan mendasarkan pada hasil analisis dan pengamatan faktor-

faktor pengaruh erosi pada satu waktu saja. Oleh karena itu, dalam studi ini

analisis hubungan tingkat erosi kualitatif berdasarkan kenampakan erosi yang

terjadi dengan kondisi tutupan kanopi vegetasi hanya dibatas sampai pada erosi

alur.

Gambar 4.20 Foto Erosi Parit Pada Penggunaan Lahan Tegalan

Bentuk – bentuk erosi di atas merupakan bukti proses erosi yang terjadi di

area pengamatan dan dapat dijadikan alat untuk menilai tingkat erosi area

pengamatan secara kualitatif (Linden, 1980). Penilaian dilakukan dengan

mendasarkan pada kriteria tingkat erosi kualitatif menurut Morgan (1995) yang

Page 88: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

76

disesuaikan menjadi 5 kelas. Acuan klasifikasi mengikuti tabel 2.1. Penilaian

dilakukan pada 42 lokasi pengamatan. Hasil penilaian dapat dilihat pada grafik

4.2.

Gambar 4.21 Grafik Hasil Penilaian Tingkat Erosi Pada 42 Lokasi Pengamatan

Hasil tabulasi pada Gambar 4.21 menunjukkan bahwa sebagian besar area

pengamatan mempunyai tingkat erosi sangat ringan. Tingkat erosi sangat ringan

diindikasikan dengan tidak ditemukannya bentukan–bentukan yang

memperlihatkan adanya erosi pada lokasi pengamatan, sedangkan erosi sangat

berat diindikasikan dengan ditemukannya erosi alur yang dalam dan erosi parit.

4.6 Analisis Regresi Untuk Pemetaan Persentase Tutupan

Kanopi Berdasarkan survei lapangan yang telah dilakukan, diperoleh 42 sampel

persentase tutupan kanopi pada penggunaan lahan kebun campur dan tegalan.

Data persentase tutupan kanopi ini kemudian diregresikan dengan data nilai

digital NDVI untuk memprediksi secara deterministik persentase tutupan kanopi

vegetasi seluruh DAS untuk penggunaan lahan kebun campur dan tegalan.

Analisis regresi dilakukan dengan menggunakan lima model regresi yang meliputi

Hasil Penilaian Tingkat Erosi Berdasarkan Observasi Kenampakan Erosi Di Lapangan

02468

10121416

Sangat Ringan Ringan Sedang Berat Sangat berat

Tingkat Erosi

Frek

uens

i

Page 89: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

77

satu model regresi linear dan empat model regresi non linear. Hasil analisis regresi

beserta koefisien korelasi (r), koefisien determinasi (r2) dan model yang

dihasilkan untuk setiap kelas penggunaan lahan dapat dilihat pada tabel 4.3.a dan

4.3.b sebagai berikut.

Tabel 4.3.a. Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur

Model R r2 Persamaan Linear 0,481 0,232 y = 109,39x - 5,3485 Logaritmik 0,478 0,223 y = 73,964Ln(x) + 97,884 Polinomial orde 2 0,485 0,235 y = 207,64x2 - 175,17x + 91,354 Power 0,473 0,224 y = 105,53x1,1494 Eksponensial 0,475 0,226 y = 21,278e1,6958x

Sumber: Hasil analisis (2008)

Tabel 4.3.b. Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Tegalan

Model r r2 Persamaan Linear 0,207 0,043 y = 106,1x - 25,463 Logaritmik 0,205 0,042 y = 64,895Ln(x) + 71,601 Polinomial orde 2 0,211 0,045 y = 460,76x2 - 465,87x + 150,6 Power 0,299 0,089 y = 143,69x3,4591 Eksponensial 0,305 0,093 y = 0,7813e5,7209x

Sumber: Hasil analisis (2008)

Hasil analisis regresi pada tabel 4.3.a dan 4.3.b menunjukkan bahwa

model regresi non linear polinomial orde 2 merupakan model terbaik untuk

memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi pada penggunaan lahan kebun

yang diindikasikan dengan koefisien korelasi dan koefisien determinasi yang lebih

baik dari model yang lain. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan Purevdorj

et al., (1998), yang menyimpulkan bahwa persamaan regresi polinomial orde 2

merupakan model terbaik untuk memprediksi tutupan kanopi vegetasi dari nilai

indeks vegetasi. Untuk penggunaan lahan tegalan, model terbaik adalah regresi

eksponensial. Diagram pencar yang menunjukkan hubungan antara nilai digital

NDVI (x) dan persentase tutupan kanopi (y) pada setiap kelas penggunaan lahan

Page 90: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

78

dapat dilihat pada Gambar 4.22. Model regresi terbaik untuk setiap kelas

penggunaan lahan kemudian diaplikasikan pada citra NDVI untuk menghasilkan

peta persentase tutupan kanopi vegetasi di DAS Tinalah. Hasil pemetaan

kemudian diklasifikasikan menjadi 5 kelas tutupan berdasarkan skema klasifikasi

Departemen Kehutanan pada Tabel 2.2. Peta kelas tutupan kanopi vegetasi yang

dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.23.

(a) (b)

Gambar 4.22 Diagram Pencar Hubungan NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi Vegetasi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur (a) dan Tegalan (b)

Page 91: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

79

79

Page 92: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

80

4.7 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Regresi dan Pemetaan

Tutupan Kanopi Hasil analisis regresi antara nilai digital NDVI SPOT dan persentase

tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan menunjukkan nilai koefisien korelasi

terbaik adalah 0,485 dengan koefisien determinasi sebesar 0,235 untuk vegetasi

pada penggunaan lahan kebun campur dan koefisien korelasi sebesar 0,305

dengan koefisien determinasi sebesar 0,093 untuk vegetasi pada penggunaan

lahan tegalan. Jika dibandingkan dengan berbagai penelitian sebelumnya yang

telah dilakukan, hasil ini menunjukkan bahwa hubungan antara nilai digital NDVI

dari citra multispektral SPOT-5 dan nilai persentase tutupan kanopi hasil

pengukuran lapangan tidak begitu kuat. Dengan nilai korelasi dan determinasi

yang rendah, maka prediksi nilai suatu variabel menggunakan analisis regresi

akan memberikan hasil yang tingkat kepercayaannya rendah. Jika hasil prediksi

persentase tutupan kanopi dalam bentuk peta pada Gambar 4.23 dibandingkan

dengan data persentase tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan sebagai data

referensi (grafik 4.4a dan 4.4b) dapat dilihat bahwa persamaan regresi yang

dihasilkan tidak dapat memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi di daerah

penelitian dengan tepat. Standar kesalahannya bahkan mencapai 13,5% untuk

vegetasi pada penggunaan lahan kebun dan 33,5% untuk vegetasi pada

penggunaan lahan tegalan.

Gambar 4.24a

Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Prediksi dan Nilai Hasil Pengukuran Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur

0

20

40

60

80

100

120

2 3 5 8 10 13 14 17 19 20 21 22 23 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42

Nomor sampel

Per

sent

ase

Tutu

pan

Kan

opi (

%)

Nilai referensiNilai prediksi

Page 93: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

81

Gambar 4.24b

Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa penggunaan data NDVI dari Citra

SPOT-5 untuk memprediksi dan memetakan tutupan kanopi vegetasi di DAS

Tinalah menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Hasil yang kurang

memuaskan ini besar kemungkinan disebabkan kurang idealnya beberapa faktor

dan kondisi yang sangat berpengaruh terhadap baik buruknya hasil prediksi.

Faktor tersebut antara lain kualitas radiometrik citra, perbedaan temporal antara

citra yang digunakan dan waktu penelitian yang cukup signifikan, serta kondisi

medan yang kurang ideal.

Penggunaan nilai spektral citra penginderaan jauh untuk mengekstraksi

atribut – atribut biofisik memerlukan citra dengan kualitas radiometrik yang baik.

Yang dimaksud dengan kualitas radiometrik yang baik disini antara lain adalah

pengaruh gangguan atmosfer dalam bentuk hamburan dan serapan yang minimal.

Adanya hamburan dan serapan akibat pengaruh atmosfer dapat menyebabkan

penambahan atau pengurangan intensitas radiansi yang diterima sensor, sehingga

radiansi yang terekam tidak mewakili interaksi antara obyek dengan tenaga

iradiansi matahari. Radiansi yang tidak mencerminkan interaksi tenaga-obyek

dapat menyebabkan kesalahan dalam penggunaan nilai radiansi ini untuk

mengekstrak atribut obyek. Berdasarkan inspeksi menyeluruh pada seluruh area

liputan Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa

Perbandingan Nilai Persentase Tutupan kanopi Hasil Prediksi dan Nilai Hasil Pengukuran Untuk Penggunaan Lahan Tegalan

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1 4 6 7 9 11 12 15 16 18 24 25 26

Nomor sampel

Pers

enta

se T

utup

an K

anop

i (%

)

Nilai referensiNilai prediksi

Page 94: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

82

citra yang digunakan masih belum terbebas dari pengaruh atmosfer berupa adanya

kabut tipis (haze), walaupun citra sudah dikoreksi radiometrik. Kabut ini nampak

terutama di bagaian hilir daerah penelitian. Adanya kabut tipis menyebabkan

peningkatan pantulan spektral vegetasi secara seragam pada saluran XS1 (hijau)

dan XS2 (merah), sehingga nilai NDVI yang diturunkan dari salah satu dari dua

saluran tersebut tidak mewakili interaksi iradiansi matahari dan respon spektral

vegetasi pada area yang tertutup kabut. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis

profil spektral (spectral profile) area yang dilingkari merah pada Gambar 4.25.

Profil Spektral dapat dilihat pada Gambar 4.26. Dari Gambar 4.26 dapat dilihat

bahwa nilai spektral pada saluran XS1 hingga XS3 untuk area A mempunyai nilai

yang lebih tinggi dari yang seharusnya (area B). Nilai yang lebih tinggi ini terjadi

karena ada penambahan tenaga akibat pengaruh kabut dan hamburan atmosfer

yang disebut path radiance (Richards dan Jia, 2006). Implikasi dari hal di atas

terhadap tujuan penelitian ini adalah nilai NDVI Citra SPOT-5 yang digunakan

dalam penelitian ini menjadi tidak berkorelasi dengan persentase tutupan kanopi

vegetasi.

(a) (b)

Gambar 4.25 Bukti Pengaruh Kabut Terhadap Perbedaan Nilai Pantulan Vegetasi Saluran XS2 Pada Penutup Lahan Yang Sama (a) dan Pengaruhnya

Terhadap Nilai NDVI (b).

Page 95: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

83

Gambar 4.26 Profil Spektral Antara Area A dan Area B Pada Gambar 4.25

(Area A dan B Penutup Lahannya Sama)

Faktor kedua adalah perbedaan temporal ntara waktu perekaman citra dan

pelaksanaan penelitian yang cukup signifikan. Sebagaimana telah diuraikan pada

butir 4.3.2, waktu perekaman citra dan waktu validasi berselisih hampir dua tahun.

Dalam kurun waktu dua tahun, tentunya telah terjadi perubahan besar terhadap

karakteristik dan komposisi vegetasi daerah penelitian. Walaupun perubahan ini

tidak terlalu nampak untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur yang

didominasi tanaman keras berumur panjang, namun pada penggunaan lahan

tegalan perubahan ini nampak jelas terlihat. Pengamatan pada beberapa lokasi

sampel memperlihatkan adanya perbedaan komposisi vegetasi pada citra dan

kondisi terkini (Gambar 4.7b pada butir 4.3.2). Bukti ini merupakan salah satu

jawaban atas rendahnya korelasi antara nilai NDVI dan persentase tutupan kanopi

vegetasi pada penggunaan lahan tegalan.

Faktor terakhir adalah adanya pengaruh tutupan tanah (ground cover)

berupa rumput yang rapat pada area dengan tutupan kanopi jarang. Kondisi

ditemui pada penggunaan lahan kebun campur dengan tutupan kanopi vegetasi

yang kurang rapat (open mixed garden) dan tegalan. Adanya penutupan tanah

berupa rumput pada area dengan tutupan kanopi jarang menyebabkan respon

spektral dari area tersebut dipengaruhi oleh gabungan interaksi penutup tanah

(ground cover) dan tutupan kanopi (canopy cover), sehingga hasil akhirnya adalah

0

20

40

60

80

100

120

XS 1 XS 2 XS 3 XS 4

Saluran Citra SPOT-5

Nila

iSpe

ktra

lArea AArea B

Page 96: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

84

nilai NDVI di area tersebut tetap tinggi walaupun tutupan kanopinya jarang.

Kondisi di atas ditunjukkan pada Gambar 4.27. Gambar 4.27a menunjukkan

penggunaan lahan kebun campur dengan tutupan kanopi jarang namun tutupan

tanahnya rapat. Pengaruh tutupan tanah terhadap nilai NDVI ditunjukkan pada

Gambar 4.27b yang menunjukkan lokasi pada Gambar 4.27a. Nilai NDVI rata-

rata pada lokasi tersebut adalah 0,73. Nilai ini cukup tinggi untuk area dengan

tutupan kanopi jarang, sehingga dari sini bisa dipastikan adanya pengaruh respon

spektral dari tutupan tanah.

(a) (b) (c)

Gambar 4.27 Foto Area Dengan Tutupan Kanopi Jarang Namun Tutupan Tanahnya Rapat (a), Lokasi Gambar a Pada Citra NDVI (b) dan Lokasi

Gambar a Pada Citra Komposit 432 (c)

Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas bahwa penggunaan atribut

spektral citra penginderaan jauh untuk memprediksi dan memetakan kondisi

tutupan kanopi masih belum optimal. Tidak idealnya beberapa faktor mulai dari

kualitas citra, hingga kondisi medan yang kompleks sangat mempengaruhi akurasi

hasil estimasi. Walaupun demikian, jika melihat kembali hasil pemetaan pada

Gambar4.23, nampak jelas adanya kelebihan pendekatan ini dalam pemetaan

tutupan kanopi vegetasi, yaitu terakomodasinya variabilitas tutupan di dalam

satuan pemetaan (mapping unit). Sebagaimana nampak pada peta, variabilitas

tutupan pada penggunaan lahan kebun campur yang mendominasi daerah

penelitian dapat terpetakan dengan baik. Informasi variabilitas tutupan ini sangat

berharga sebagai masukan dalam model erosi berbasis SIG raster untuk

memprediksi laju kehilangan tanah tahunan (annual soil loss) suatu daerah aliran

sungai, sebagaimana telah diuraikan oleh De Jong (1994).

Page 97: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

85

4.8 Analisis Hubungan Tutupan Kanopi dan Tingkat Erosi Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah melihat bagaimana erosi terjadi

pada lahan dengan kondisi tutupan vegetasi berbeda. Untuk menjawab tujuan ini,

maka hasil dari observasi bentukan erosi di lapangan kemudian dikorelasikan

dengan hasil prediksi kondisi tutupan kanopi vegetasi dari data NDVI SPOT-5

menggunakan teknik tabulasi silang (cross tabulation). Penggunaan citra

penginderaan jauh untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi

memungkinkan area - area dengan tutupan kanopi berbeda dapat diidentifikasi

untuk kemudian diobservasi bagaimana respon erosi yang terjadi pada area

tersebut. Walaupun demikian, hasil analisis regresi memperlihatkan bahwa

korelasi NDVI sebagai prediktor untuk memprediksi persentase tutupan kanopi

vegetasi dengan data sampel hasil pengukuran persentase tutupan kanopi vegetasi

di lapangan sebagai data referensi kurang memuaskan. Korelasi yang kurang

signifikan menyebabkan hasil prediksi mempunyai bias yang besar, sehingga

validitasnya akan meragukan jika data hasil prediksi ini dihubungkan dengan hasil

analisis tingkat erosi. Sebagai alternatifnya, data hasil pengukuran persentase

tutupan kanopi di lapangan digunakan untuk menilai hubungan antara tingkat

erosi dan kondisi tutupan kanopi vegetasi. Derajat korelasi ditentukan dengan

menggunakan indeks kappa (κ). Hasil analisis ditunjukkan pada tabel 4.4

Tabel 4.4

Page 98: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

86

Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi

Tingkat erosi

sangat berat berat sedang ringan sangat ringan total

sangat buruk 0 1 1 1 1 4

buruk 1 1 0 0 1 3

sedang 2 3 2 1 2 10

baik 3 5 2 3 4 17 Tut

upan

kan

opi

sangat baik 0 0 2 2 4 8

total 6 10 7 7 12 10 Sumber: Hasil analisis (2008)

Hasil penentuan indeks kappa (κ) dari Tabel 4.4 di atas menunjukkan tidak

ada korelasi yang signifikan antara kondisi tutupan kanopi vegetasi dan tingkat

erosi di lapangan. Nilai korelasi yang diperoleh sebesar 0,05. Tidak adanya

korelasi antara tutupan kanopi dan tingkat erosi mengindikasikan bahwa tutupan

kanopi kurang berpengaruh terhadap tingkat erosi di daerah penelitian. Untuk

mengidentifikasi faktor yang lebih berpengaruh terhadap tingkat erosi di daerah

penelitian, tingkat erosi dicoba dihubungkan dengan dua faktor yang juga

mempengaruhi erosi, yaitu faktor topografi berupa kemiringan lereng dan faktor

penutupan tanah (ground cover). Kedua jenis data tersebut dikumpulkan

bersamaan dengan pengumpulan data lain pada waktu kerja lapangan dilakukan.

Penutupan tanah diestimasi secara visual (oscular estimation) dengan

menggunakan acuan yang sama dengan acuan untuk menentukan persentase

tutupan kanopi (Gambar 2.1). Hasil estimasi kemudian diklasifikasikan menjadi 5

kelas dengan mengacu pada pedoman yang sama dengan klasifikasi tutupan

kanopi vegetasi (Tabel 2.2). Kemiringan lereng area pengamatan ditentukan

dengan menggunakan peta lereng yang diturunkan dari DEM SRTM yang

digunakan dalam orthorektifikasi citra. Kelas kemiringan lereng yang diacu

adalah kelas kemiringan lereng dalam Jamulya (1987). Hasil tabulasi silang dari

kedua faktor tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan 4.6.

Tabel 4.5

Page 99: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

87

Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Tanah Tingkat erosi

sangat berat berat Sedang ringan sangat ringan total

sangat buruk 1 3 1 3 1 9

buruk 1 4 2 0 0 7

sedang 0 0 4 1 0 5

baik 1 0 0 4 5 10 Tut

upan

tana

h

sangat baik 0 0 2 2 7 11 total 3 7 9 10 13 20

Sumber: Hasil analisis (2008)

Tabel 4.6 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kelas kemiringan Lereng

Tingkat erosi

sangat ringan ringan sedang berat sangat berat total

datar 0 0 0 1 0 1 landai 1 1 1 1 0 4 miring 4 0 3 1 1 9 curam 9 3 0 2 1 15

kela

s ler

eng

sangat curam 0 5 3 3 2 13 total 14 9 7 8 4 8

Sumber: Hasil analisis (2008)

Hasil pada Tabel 4.4, 4.5 dan 4.6 memperlihatkan bahwa tingkat erosi di

daerah penelitian lebih berkorelasi dengan penutup tanah dari pada kemiringan

lereng dan tutupan kanopi vegetasi. Indeks kappa untuk hubungan tingkat erosi

dan tutupan tanah adalah sebesar 0,34, sedangkan untuk hubungan tingkat erosi

dan kemiringan lereng hanya 0,03.

Page 100: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

88

4.9 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Hubungan Tutupan

Kanopi Vegetasi dan Tingkat Erosi Hasil tabulasi silang antara tingkat erosi tanah dan tutupan kanopi vegetasi

menunjukkan korelasi yang lemah antara dua variabel tersebut. Korelasi yang

lebih baik ditunjukkan oleh hubungan tingkat erosi dan tutupan tanah. Dengan

demikian dapat diketahui bahwa tingkat erosi di daerah penelitian lebih

dipengaruhi dan berhubungan dengan penutup tanah daripada tutupan kanopi

vegetasi. Berdasarkan hasil observasi lapangan, pada dasarnya kenampakan yang

mengindikasikan adanya erosi seperti pedestal, armour layer dan singkapan akar

memang lebih banyak ditemui pada lahan dengan tutupan tanah jarang daripada

tutupan tanah rapat, walaupun kondisi tutupan kanopi pada kedua area

pengamatan tersebut sangat rapat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.27 yang

menunjukkan dua area pengamatan dengan tutupan kanopi yang termasuk dalam

kategori jarang namun kondisi tutupan tanahnya berbeda.

(a) (b)

Gambar 4.28 Foto Lahan Tegalan Dengan Tutupan Tanah Rapat (a) dan Jarang (b)

Gambar 4.28a menunjukkan lahan dengan kondisi penutup tanah yang

rapat. Adanya tutupan tanah yang rapat menyebabkan butir hujan yang mencapai

permukaan tanah ditahan oleh penutup tanah berupa rumput ataupun serasah.

Penahanan butir hujan oleh penutup tanah menyebabkan proses pemecahan tanah

jauh lebih kecil intensitasnya daripada ketika tanah berada dalam kondisi terbuka.

Page 101: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

89

Penutupan tanah yang rapat juga mampu mencegah terjadinya limpasan

permukaan dengan intensitas tinggi ketika terjadi hujan lebat. Pengurangan

intensitas limpasan permukaan menyebabkan pengangkutan partikel tanah oleh

limpasan permukaan jauh berkurang dan tanah menjadi lebih stabil.

Kondisi berbeda terjadi pada Gambar 4.28b yang menunjukkan lahan

tegalan yang berada dalam kondisi terbuka tanpa penutup tanah. Tanah yang

berada dalam kondisi terbuka menyebabkan proses pemecahan butir tanah dari

agregat tanah dan pengangkutan partikel tanah hasil pemecahan oleh limpasan

permukaan terjadi secara hebat dan merata pada seluruh area pengamatan. Bukti

ini dapat dilihat pada Gambar 4.28b yang memperlihatkan adanya kenampakan

gundukan tanah sisa permukaan awal. Kedua area pengamatan pada Gambar 4.28

berada pada lahan dengan kondisi tutupan kanopi vegetasi yang jarang. Untuk

area dengan kondisi tutupan kanopi sangat rapat, selama tutupan tanahnya kurang

rapat maka erosi ringan hingga sedang masih dapat terjadi yang diindikasikan

dengan ditemukannya kenampakan yang mengindikasikan erosi ringan seperti

pedestal, singkapan akar dan armour layer. Hal ini terjadi karena kanopi vegetasi

tidak berlaku sebagai pelindung tanah yang efektif sebagaimana halnya tutupan

tanah. Ketika terjadi hujan, kanopi vegetasi dapat menahan butir hujan agar tidak

langsung jatuh ke tanah, namun butir - butir hujan ini akan berkumpul di ujung

daun dan akhirnya jatuh ke tanah sebagai aliran daun (leafdrop) yang ukurannya

bisa jadi lebih besar dari ukuran normal. Sebagai akibatnya, jika tanah dalam

kondisi tanpa tutupan atau tutupannya kurang rapat, maka butir - butir hujan

berukuran besar tersebut mampu memecahkan partikel tanah dalam jumlah yang

signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis di atas, dapat diketahui bahwa

hubungan erosi dan faktor yang mempengaruhinya bersifat kompleks dan saling

terkait satu sama lain. Kompleksitas ini menyebabkan bentuk hubungan antar

faktor dan tingkat erosi yang terjadi tidak terlihat nyata. Kondisi tutupan kanopi

vegetasi yang seharusnya dapat mencerminkan perlindungan terhadap tanah dari

butir hujan ternyata tidak berkorelasi dengan tingkat erosi. Hal ini disebabkan

karena adanya pengaruh tutupan tanah yang juga berperan dalam mencegah

Page 102: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

90

pemecahan partikel tanah dari agregat tanah dan mencegah terjadinya limpasan

permukaan dalam debit yang besar.

Page 103: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

91

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Berdasarkan tahapan penelitian yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh

dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal berkaitan

dengan tujuan penelitian yang telah tercapai sebagai berikut:

1. Penggunaan indeks vegetasi NDVI yang diintegrasikan dengan data

lapangan untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi di daerah

penelitian belum memberikan hasil yang memuaskan. Hubungan terbaik

diberikan oleh model regresi polinomial orde 2 untuk vegetasi pada

penggunaan lahan kebun campur dengan nilai korelasi yang diperoleh

sebesar 0,485. Untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan, model

regresi eksponensial merupakan model terbaik dengan nilai korelasi yang

diperoleh sebesar 0,305.

2. Penggunaan indeks vegetasi untuk mengestimasi persentase tutupan

kanopi vegetasi dapat memberikan informasi distribusi dan variabilitas

spasial kondisi tutupan kanopi. Informasi ini sangat berharga sebagai

masukan dalam pemodelan erosi berbasis SIG raster.

3. Berdasarkan hasil observasi kenampakan erosi dan penilaian tingkat erosi

secara kualitatif di lapangan, Sebagian besar lahan di DAS Tinalah

mempunyai tingkat erosi yang termasuk dalam kategori sangat ringan..

4. Analisis hubungan tingkat erosi dan kondisi tutupan kanopi vegetasi

berdasarkan hasil pengukuran lapangan menggunakan tabulasi silang

belum menunjukkan hubungan yang signifikan. Nilai korelasi yang

diperoleh sangat rendah, yaitu sebesar 0,05. Hubungan yang lebih kuat

ditunjukkan oleh hubungan tingkat erosi dan tutupan tanah dengan nilai

korelasi sebesar 0,34.

Page 104: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

92

5.2 Saran Mendasarkan pada jalannya penelitian yang telah dilakukan, kendala yang

dihadapi serta hasil yang diperoleh, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai

berikut:

1. Perlu adanya penelitian lanjutan dengan menggunakan citra yang

mempunyai kualitas radiometrik yang lebih baik (minim perawanan dan

pengaruh kabut) dari citra yang digunakan dalam penelitian ini.

Berdasarkan analisis iklim (subbab 3.2), Bulan Juni-Agustus merupakan

bulan yang cukup kering dan perawanan dalam kondisi minimal, serta

kondisi atmosfer biasanya cukup cerah. Citra yang direkam dalam bulan-

bulan ini akan dapat memberikan informasi yang optimal untuk studi

vegetasi di daerah penelitian. Citra dengan kualitas radiometrik yang baik

akan dapat memberikan hubungan antara nilai digital NDVI dan

persentase tutupan kanopi yang lebih nyata. Perbedaan tanggal perekaman

citra dan validasi lapangan juga disarankan tidak berbeda terlalu jauh

(kurang dari dua bulan), mengingat vegetasi mempunyai sifat dinamis dan

kondisi fenologisnya dapat berubah dalamskala harian hingga tahunan.

2. Perlu adanya penelitian pemodelan erosi berbasis SIG raster dengan

menggunakan data persentase tutupan kanopi yang diturunkan dari citra

penginderaan jauh. Saran ini didasarkan pada hasil penelitian yang

menunjukkan citra penginderaan jauh dapat memberikan informasi

variabilitas distribusi spasial tutupan kanopi, sebagaimana variabilitas

kondisi topografi yang dapat dimodelkan dengan menggunakan DEM.

Kajian dan evaluasi terhadap reabilitas keluaran model berupa prediksi

laju kehilangan tanah juga perlu dilakukan.

3. Memperhatikan rendahnya akurasi hasil pemetaan tutupan kanopi dengan

menggunakan Citra SPOT-5 pada skala 1: 50.000, maka pemetaan tutupan

kanopi menggunakan indeks vegetasi dari citra SPOT-5 disarankan

dilakukan pada skala yang tidak lebih detil dari 1: 100.000.

4. Perlu adanya perhatian yang lebih baik pada kondisi penutupan tanah

dalam setiap studi erosi di daerah penelitian. Hal ini dikarenakan dari hasil

Page 105: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

93

penelitian telah diketahui bahwa penutupan tanah lebih berpengaruh secara

signifikan terhadap tingkat erosi daripada faktor erosi yang lain seperti

kemiringan lereng dan tutupan kanopi vegetasi.

Page 106: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

94

DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2005). ILWIS 3.3 Academic User Guide. Enschede: ITC. Ariyanto, K.N. (2004). Evaluasi Konservasi Tanah Cara Teras Bangku di DAS

Tinalah Kabupaten Kulonprogo. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM

Arsyad, S. (1989). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB. Baban, M.J.S., dan Yusof, K.W. (2001). Modelling Soil Erosion in Tropical

Environments using Remote Sensing and Geographical Information Systems. Hydrological Sciences Journal 46, 191-198.

Bemmelen, R.W.V. (1949). The Geology of Indonesia, Vol 2. Goverment Printing

Office. The Haque Campbell, J.B. (2002). Introduction to Remote Sensing (Third edition). New

York: Guilford Press. Carreiras, M.J.B., Pereira, J.M.C., dan Pereira, J.S. (2006). Estimation of Tree

Canopy Cover in Evergreen Oak Woodlands using Remote Sensing. Forest Ecology And Management 223, 45-53.

Cartagena, D.F. (2005). Remotely Sensed Land Cover Parameter Extraction for

Watershed Erosion Modelling. M.Sc Thesis. ITC. Enschede. Danoedoro, P. (1989). Hubungan antara Nilai Digital Citra Multispektral SPOT

dengan Konsentrasi Klorofil di Lereng Gunung Merapi Bagian Selatan. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

Danoedoro, P. (1996). Pengolahan Citra Digital, Teori dan Aplikasinya dalam

Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. De Jong, S. M. (1994). Application of Reflective Remote Sensing to Land

Degradation Studies in Mediteranian Environment. Utrecht: Netherlands Geographical Studies.

De Jong, S. M., Parrachini, M. L., Bertolo, F., Folving, S., Megier, J., dan De

Roo, A. P. J. (1999). Regional Assessment of Soil Erosion using the Distributed Model SEMMED and Remotely Sensed Data. Catena 37, 291-308.

Page 107: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

95

Departemen Kehutanan. (2004). Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis.http:www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/skdirjenRLPS/isi1670.htm tanggal akses 19 Januari 2008 Pukul 12.45

Gitelson, A.A. (2004). Wide Dynamic Range Vegetation Index for Remote

Quantification of Biophysical Characteristics of Vegetation. Journal Of Plant Physiology 161, 165-173.

Harintaka. (2003). Penggunaan Persamaan Kolinier Untuk Rektifikasi Citra

Satelit SPOT Secara Parsial. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM.

Harintaka., Heliani, L.S., dan Nugroho, P.D. (2006). Evaluasi Ketelitian RPC

untuk Orthorektifikasi Citra Satelit IKONOS. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM

Hartono, B. (1994). Perencanaan Konservasi Lahan dengan Pendekatan Tingkat

Bahaya Erosi dan Kemampuan Lahan di DAS Tinalah Kulonprogo. Skripsi S1. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM

Hoffer, R. M. (1978). Biological and Physical Considerations in Applying

Computer-aided Analysis Techniques to Remote Sensor Data. Dalam Swain, P. H. and Davis, S. M. (1978). Remote Sensing: The Quantitative Approach, Bab 5, 227-289. New York: Mc Graw Hill.

Jamulya. (1987). Lingkungan Non Biotik. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

Jensen, J. R. (1991). The Measurement of Mangrove Characteristics in South- West Florida using SPOT Multispectral Data. Geocarto International, 13–21.

Kancheva, R., dan Borisova, D. (2006). Spectral Unmixing for Information Extraction. ISPRS Commission VII Mid-term Symposium "Remote Sensing: From Pixels to Processes", Enschede, the Netherlands. http://www.itc.nl/isprsc7/symposium/proceedings/PS01_4.pdf. Tanggal akses 14 Desember 2007 pukul 6.45.

Kumalawati, R. (2005). Valuasi Ekonomi Resiko Bencana Alam Gerak Massa

Batuan dan Erosi Terhadap Lahan Pertanian di DAS Tinalah Kulonprogo. Thesis S2. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

Korhonen, L., Korhonen, K.T., Rautiainen, M. dan Stenberg, P. (2006).

Estimation of forest canopy cover:a comparison of field measurement techniques. Silva Fennica 40(4), 577–588.

Page 108: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

96

Lanteri, D.G., Huete, A., Kim, H. K., dan Didan, K. (2004). Estimation of the Fraction Canopy Cover from Multispectral Data to be used in a Water Soil Erosion Prediction Model. Gayana 68, 239-245. Di akses dari situs http://www.scielo.cl/scielo.php?pid=S071765382004000200043danscript=sci_arttext. Tanggal akses 14 Desember 2007 pukul 6.15.

Larsson, H. (2002). Acacia Canopy Cover Changes in Rawashda Forest Reserve,

Kassala Province, Eastern Sudan, Using Linear Regression NDVI Models. International Journal of Remote Sensing 23, 335-339.

Lee, K.S. (t,t). Remote Sensing Methodology to Monitor Vegetation Cover in Northeast

Asia http://www.klter.org/EVENTS/Conference00/html/leegusung.htm, tanggal akses 21 Desember 2007 pukul 06:45

Lillesand, T.M., Kiefer, R.F., dan Chipman, J. (2004). Remote Sensing and Image

Interpretation (5 ed). New York: John Wiley and Son. Linden, V.P. (1980). Introduction to Principles of Erosion and the Application of

Some Soil Conservation Measures (Unpublished Lecture Notes). Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

Morgan, R. P. C. (1995). Soil Erosion and Conservation (Second edition ed.).

Harlow: Longman. _________. (2001). A Simple Approach to Soil Loss Prediction: a Revised

Morgan-Morgan-Finney Model. Catena 44, 305-322. Nagler, P. L., Glenn, E. P., Thompson, T. L., dan Huete, A. (2003). Leaf Area

Index and Normalized Difference Vegetation Index as Predictors of Canopy Characteristics and Light Interception by Riparian Species on the Lower Colorado River. Agricultural and Forest Meteorology 125, 1–17.

Petrie, G. (2006). Rectification and Georeferencing of Optical Imagery. Dalam

Aronoff, S. (2006). Remote Sensing for GIS Managers. California: ESRI Press.

Rahardjo, N. (1990). Penggunaan Citra SPOT untuk Pemetaan Bahaya Erosi di

DAS Alang Wonogiri Jawa Tengah. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Restele, L.O. (2004). Tingkat Bahaya Erosi DAS Tinalah Kulonprogo Daerah

Istimewa Yogyakarta. Thesis S2. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM Richards, J. A., dan Jia, X.P. (2006). Remote Sensing Digital Image Analysis, An

Introduction (4th edition). Berlin: Springer-Verlag.

Page 109: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

97

Schreiber, K.V. (2007). An Approach to Monitoring and Assessment of Desertification using Integrated Geospatial Technologies. Di akses dari situs http://ams.confex.com/ams/pdfpapers/111209.pdf. Tanggal akses 14 Desember 2007 pukul 6.32.

Setiawan, C. (2005). Arahan Penggunaan Lahan Daerah Rawan Gerak Massa di

DAS Tinalah Kulonprogo. Thesis S2. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.

Setiawan, M.A. (2006). Soil Erosion Risk Assesment: Financial Loss Approach

(Case Study Sub Catchment of Progo Watershed, Central Java, Indonesia). M.Sc Thesis. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM

SPOT Image. (2006). SPOT-5 Technical Guide. Diakses dari situs:

http://www.spotimage.fr/automne_modules_files/standard/public/p229_14f50983b6319ae4d5ec6becb005a0c5SPOT_IMAGE_QUALITY_PERFORM_20070415.pdf . Tanggal akses 6 Januari 2008 pukul 12.43.

Stocking, M. dan Murnaghan, N. (2001). Handbook for Field Assessment of Land

Degradation. London: Earthscan. Sugiyono. (2003). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sutikno. 1985. Geomorfologi, Konsep dan Terapannya. Yogyakarta : Fakultas

Geografi UGM. Teklehaimanot, G. (2003). Use of Simple Field Tests and Revised MMF Model

for Assessing Soil Erosion: (Case study Lom Kao Area, Thailand). M.Sc Thesis. ITC. Enschede.

Tim KKL III Geografi Lingkungan. (2007). Evaluasi Sumberdaya Wilayah DAS

Tinalah dan DAS Kayangan Kulonprogo. Laporan Akhir KKL III. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM

Tim PSBA UGM. (2004). Penyusunan Strategi Penanganan Daerah Rawan

Bencana di Kabupaten Purworejo. Laporan Akhir. Purworejo: BAPPEDA Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.

Utomo, W. H.. (1994). Erosi dan Konservasi Tanah. Malang: IKIP. Vrieling, A. (2004). Satellite Remote Sensing for Water Erosion Assessment: A

Review. Catena 65, 2-18. Wiraswasti, Y. (2005). Hubungan Tingkat Torehan Pada Setiap Bentuk Lahan

Terhadap Perkembangan Tanah di DAS Tinalah Kulonprogo DIY.skripsi S1. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

Page 110: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

98

Wisnubroto, S., Nitisapto, M., dan Aminah, S. L. (1986). Asas - asas Meteorologi

Pertanian. Jakarta: Ghalia. Yazidhi, B. (2003). A Comparative Study of Soil Erosion Modeling in Lom Kao

Phetchabun, Thailand. M.Sc Thesis. ITC, Enschede..

Page 111: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-1

LAMPIRAN 1

HASIL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA SPOT-5 HRG XS DENGAN

MENGGUNAKAN METODE KALIBRASI BAYANGAN

1. SALURAN 1 (HIJAU)

1.1 Hasil pengambilan sampel

1.2 Perhitungan nilai bias (Dλ)

Persamaan yang diperoleh : y = 0,42x + 20,892 ≈ Eis = Aλ(Eit) + Dλ (1 – Aλ)

Sehingga, Aλ = 0,42

20,892 = Dλ (1 – Aλ)

Dengan demikian, 20,892 = Dλ (1 – 0,42)

20,892 = Dλ (0,58)

Dλ = 20,892 / 0,58 = 36 (nilai pembulatan)

Eit Eis

49 42

51 38

61 47

51 39

61 48

58 48

64 45

52 49

53 45

55 41

Grafik Regresi Eit lawan Eis Saluran 1 Citra SPOT-5

y = 0,42x + 20,892

0

10

20

30

40

50

60

0 10 20 30 40 50 60 70

Eit (nilai digital piksel daerah tidak tertutup awan)

Eis (nilai digital piksel daerah tertutup awan)

Page 112: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-2

2. SALURAN 2 (MERAH)

2.1 Hasil pengambilan sampel

2.2 Perhitungan nilai bias (Dλ)

Persamaan yang diperoleh : y = 0,4621x + 11,283 ≈ Eis = Aλ(Eit) + Dλ(1–Aλ)

Sehingga, Aλ = 0,4621

11,283 = Dλ (1 – Aλ)

Dengan demikian, 11,283 = Dλ (1 – 0,4621)

11,283 = Dλ (0,5379)

Dλ = 11,283 / 0,5379 = 21 (nilai pembulatan)

Eit Eis

34 27

37 26

47 36

36 25

58 41

54 36

55 30

45 37

37 32

41 28

Grafik Regresi Eit lawan Eis Saluran 2 Citra SPOT-5

y = 0,4621x + 11,283

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 10 20 30 40 50 60 70

Eit (nilai digital piksel daerah tidak tertutup awan)

Eis (nilai digital piksel daerah tertutup awan)

Page 113: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-3

3. SALURAN 3 (INFRAMERAH DEKAT)

3.1 Hasil pengambilan sampel

3.2 Perhitungan nilai bias (Dλ)

Persamaan yang diperoleh : y = 0,213x + 26,027 ≈ Eis = Aλ(Eit) + Dλ(1–Aλ)

Sehingga, Aλ = 0,213

26,027 = Dλ (1 – Aλ)

Dengan demikian, 26,027 = Dλ (1 – 0,213)

26,027 = Dλ (0,787)

Dλ = 26,027 / 0,787 = 33 (nilai pembulatan)

Eit Eis

116 50

163 58

148 59

154 58

72 46

69 39

32 25

68 49

160 57

167 64

Grafik Regresi Eit lawan Eis Saluran 3 Citra SPOT-5

y = 0,213x + 26,027

0

10

20

30

40

50

60

70

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

Eit (nilai digital piksel daerah tidak tertutup awan)

Eis (nilai digital piksel daerah tertutup awan)

Page 114: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-4

4. SALURAN 4 (INFRAMERAH GELOMBANG PENDEK)

4.1 Hasil pengambilan sampel

4.2 Perhitungan nilai bias (Dλ)

Persamaan yang diperoleh : y = 0,3x + 14,519 ≈ Eis = Aλ(Eit) + Dλ(1–Aλ)

Sehingga, Aλ = 0,3

14,519 = Dλ (1 – Aλ)

Dengan demikian, 14,519 = Dλ (1 – 0,3)

14,519 = Dλ (0,7)

Dλ = 14,519 / 0,7 = 21 (nilai pembulatan)

Eit Eis

86 37

96 43

121 49

108 46

130 62

127 39

28 23

103 50

113 54

124 53

Grafik Regresi Eit lawan Eis Saluran 4 Citra SPOT-5

y = 0,3x + 14,519

0

10

20

30

40

50

60

70

0 20 40 60 80 100 120 140

Eit (nilai digital piksel daerah tidak tertutup awan)

Eis (nilai digital piksel daerah tertutup awan)

Page 115: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

TITIK X Y TOPONIMI TINGKAT EROSI INDIKATOR EROSI PENGGUNAAN

LAHANJENIS VEGETASI

DOMINAN

KELAS KEMIRINGAN

LERENG

TUTUPAN TANAH

KELAS TUTUPAN

TANAH

TUTUPAN KANOPI

KELAS TUTUPAN KANOPI

1 412895 9147186 duwet Sedang pedestal 5cm, akar pohon tersingkap semak, jati, sengon, rumput sangat curam 95% Sangat rapat 93% Sangat baik

2 412579 9147470 duwet Sedang gundukan 2 cm, pedestal 4cm kebun campur bambu, jati sangat curam 50% Sedang 45% Sedang

3 411632 9147662 junut Berat pedestal 7cm kebun campur jati, kelapa, bambu curam 30% Jarang 60% Sedang4 411750 9147933 junut Sangat berat parit,alur 13 cm Tegalan kacang tanah, ketela sangat curam 70% Rapat 55% Sedang

5 411529 9148301 Besole Berat akar pohon nampak, pedestal 7 cm kebun campur bambu, jati, kelapa sangat curam 20% Jarang 70% Baik

6 410859 9148816 Besole Sangat ringan - Tegalan ketela curam 45% Sedang 80% Baik7 410603 9148792 Taman Sedang pedestal 5cm Tegalan ketela miring 30% Jarang 76% Baik8 410373 9148352 Dlingseng Sangat ringan - Kebun campur jati, Kelapa miring 15% Sangat jarang 85% Sangat baik

9 410209 9148726 Dlingseng Sedang pedestal, gundukan tanah 5,5 cm, armour layer Tegalan ketela landai 3% Sangat jarang 3% Sangat buruk

10 410637 9149657 Sendangmulyo Sangat ringan - Kebun campur Jati, mahoni landai 80% Rapat 70% Baik

11 409822 9146851 Ngumpil Berat

alur kedalaman 3cm, pedestal 5-6 cm, armour layer renggang, gundukan tanah di sekitar tanaman 5 cm

tegalan ketela, jati, mahoni sangat curam 10% Sangat jarang 20% Buruk

12 409491 9149618 Sendangmulyo Sangat ringan - tegalan ketela, kelapa curam 95% Sangat rapat 10% Sangat buruk13 411524 9149271 Tukharjo Sangat ringan - Kebun campur jati bambu, miring 85% Sangat rapat 85% Sangat baik

14 409755 9150155 Pengos A Sangat ringan - Kebun campur jati bambu, mahoni, sengon curam 80% Rapat 75% Baik

15 409005 9150684 PengosB Sangat berat parit kedalaman 48 cm, pedestal 7,5 cm Tegalan kelapa, pisang, ketela sangat curam 80% Rapat 30% Buruk

16 407325 9151547 Ngroto Berat alur kedalaman 1 cm, pedestal 7 cm tegalan ketela, kelapa sangat curam 20% Jarang 45% Sedang

17 410993 9149623 Taman Ringanarmour layer sedikit, treemound dangkal 1cm, akarpohon tersingkap

Kebun campur Jati, kelapa, mahoni sangat curam 10% Sangat jarang 70% Baik

18 410678 9150251 Tukmudal Ringanarmour layer sedikit, treemound dangkal 1cm, akarpohon tersingkap

Tegalan ketela, kelapa sangat curam 80% Rapat 45% Sedang

19 410657 9150774 Gebang Ringanpedestal 1cm, armour layer, singkapan akar 1,5cm, tree mound 30mm

Kebun campur bambu, kelapa, melinjo, jati, mahoni, curam 70% Rapat 85% Sangat baik

20 410873 9150936 Sumoroto Sedang pedestal 4 cm, armour layer, treemound 3 cm Kebun campur pisang, jati, mahoni, kelapa sangat curam 20% Jarang 55% Sedang

21 411614 9151397 Sumoroto Sangat berat pedestal 10 cm, alur lebih dari 8 cm, Kebun campur jati, kelapa, mahoni curam 30% Jarang 60% Sedang

LAMPIRAN 2REKAPITULASI DATA PENGUKURAN LAPANGAN

Page 116: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

22 409312 9151860 Bleder Sangat ringan - Kebun campur Jati, melinjo, kelapa miring 80% Rapat 70% Baik23 409278 9150874 Pengos B Sangat ringan - hutan jati, kelapa curam 95% Sangat rapat 85% Sangat baik

24 410091 9150742 Gebang Berat pedestal 8 cm, treemound 7 cm, tegalan, ketela miring 15% Sangat jarang 5% Sangat buruk

25 408562 9147958 Balong II Ringan armour layer renggang, sedimen in drain Tegalan, ketela sangat curam 5% Sangat jarang 15% Sangat buruk

26 408241 9148437 Balong I Sangat ringan - Tegalan, pisang, ketela, mahoni, kelapa curam 85% Sangat rapat 45% Sedang

27 407594 9148715 Klendrekan Sedang pedestal 4cm, armour layer renggang Kebun campur bambu, mahoni, jati miring 60% Sedang 90% Sangat baik

28 406683 9148943 Klendrekan Sangat ringan - Kebun campur kelapa, mahoni curam 80% Rapat 50% Sedang

29 408481 9151805 Clumprit Berat pedestal 10 cm Kebun campur pisang, jati, kelapa, bambu landai 45% Sedang 55% Sedang

30 407111 9153130 Ngalian gunung Sangat ringan - Kebun campur pisang, jati, kelapa curam 95% Sangat rapat 35% Buruk

31 406490 9153043 Ngaliyan Ringan pedestal 1cm, build up tree 6 cm Kebun campur jati, kelapa, bambu,

cengkeh curam 65% Rapat 63% Baik

32 406023 9152413 Pucung Sedang pedestal 4cm, armour layer Kebun campur jati, pisang, bambu miring 60% Sedang 75% Baik

33 405511 9151966 Sreguyu Sangat ringan - Kebun campur jati, bambu,kelapa, pisang, mahoni curam 80% Rapat 90% Sangat baik

34 407415 9153022 ngaliyan gunung B Sangat berat parit, pedestal 13 cm Kebun campur jati miring 3% Sangat jarang 67% Baik

35 408221 9152669 Jati Berat pedestal dan treemound 10 cm, singkapan akar 12 cm Kebun campur jati, kelapa, ketela curam 10% Sangat jarang 80% Baik

36 408622 9152816 Manggermalang Ringan pedestal 1cm, Kebun campur jati, bambu, landai 85% Sangat rapat 83% Sangat baik37 410008 9152968 Manggermalang Ringan pedestal 1cm Kebun campur jati, kelapa , mahoni curam 85% Sangat rapat 98% Sangat baik

38 406387 9149223 Bendo Sangat ringan - Kebun campur jati, kelapa, mahoni, cengkeh curam 95% Sangat rapat 70% Baik

39 407176 9149527 Jomblangan 12 Berat alur 3 cm Kebun campur jati, melinjo, cengkeh, mahoni, bambu, kelapa datar 25% Jarang 78% Baik

40 405198 9149163 Plempungan Sangat ringan - Kebun campur cengkeh miring 95% Sangat rapat 3% Sangat buruk41 405451 9150482 Kalinongko Ringan singkapan akar Kebun campur bambu, jati sangat curam 80% Rapat 70% Baik

42 405607 9151444 Suren Ringan singkapan akar, tree mound 1cm Kebun campur jati, kelapa, bambu sangat curam 60% Sedang 70% Baik

Page 117: Bramantiyo Marjuki Ge 5579
Page 118: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

LAMPIRAN 3

Hasil Analisis Regresi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan lahan Kebun Campur

Model Description

MOD_1Persentase tutupan kanopivegetasi (%)LinearLogarithmicQuadraticPowera

Exponentiala

Nilai NDVIIncluded

Unspecified

,0001

Model Name1Dependent Variable

12345

Equation

Independent VariableConstantVariable Whose Values Label Observations inPlots

Tolerance for Entering Terms in Equations

The model requires all non-missing values to be positive.a.

Case Processing Summary

29000

Total CasesExcluded Casesa

Forecasted CasesNewly Created Cases

N

Cases with a missing value in any variable are excluded from the analysis.a.

Variable Processing Summary

29 29

0 0

0 0

0 00 0

Number of Positive Values

Number of ZerosNumber of Negative Values

User-MissingSystem-Missing

Number of MissingValues

Persentasetutupankanopi

vegetasi (%)

Dependent

Nilai NDVI

IndependentVariables

Model Summary and Parameter Estimates

Dependent Variable: Persentase tutupan kanopi vegetasi (%)

,232 8,152 1 27 ,008,229 8,008 1 27 ,009,235 3,994 2 26 ,031,224 7,780 1 27 ,010,226 7,868 1 27 ,009

EquationLinearLogarithmicQuadraticPowerExponential

R Square F df1 df2 Sig.Model Summary

The independent variable is Nilai NDVI.

Page 1

Page 119: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

Model Summary and Parameter Estimates

Dependent Variable: Persentase tutupan kanopi vegetasi (%)

-5,349 109,39497,884 73,96491,354 -175,166 207,636

105,531 1,14921,278 1,696

EquationLinearLogarithmicQuadraticPowerExponential

Constant b1 b2Parameter Estimates

The independent variable is Nilai NDVI.

Hasil analisis Regresi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Tegalan

Model Description

MOD_2Persentase tutupan kanopivegetasi (%)LinearLogarithmicQuadraticPowera

Exponentiala

Nilai NDVIIncluded

Unspecified

,0001

Model Name1Dependent Variable

12345

Equation

Independent VariableConstantVariable Whose Values Label Observations inPlots

Tolerance for Entering Terms in Equations

The model requires all non-missing values to be positive.a.

Case Processing Summary

2916

00

Total CasesExcluded Casesa

Forecasted CasesNewly Created Cases

N

Cases with a missing value in any variable are excluded from the analysis.a.

Variable Processing Summary

13 13

0 0

0 0

0 016 16

Number of Positive Values

Number of ZerosNumber of Negative Values

User-MissingSystem-Missing

Number of MissingValues

Persentasetutupankanopi

vegetasi (%)

Dependent

Nilai NDVI

IndependentVariables

Page 2

Page 120: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

Model Summary and Parameter Estimates

Dependent Variable: Persentase tutupan kanopi vegetasi (%)

,043 ,492 1 11 ,498,042 ,482 1 11 ,502,045 ,234 2 10 ,795,089 1,081 1 11 ,321,093 1,131 1 11 ,310

EquationLinearLogarithmicQuadraticPowerExponential

R Square F df1 df2 Sig.Model Summary

The independent variable is Nilai NDVI.

Model Summary and Parameter Estimates

Dependent Variable: Persentase tutupan kanopi vegetasi (%)

-25,463 106,09871,601 64,895

150,605 -465,869 460,765143,690 3,459

,781 5,721

EquationLinearLogarithmicQuadraticPowerExponential

Constant b1 b2Parameter Estimates

The independent variable is Nilai NDVI.

Page 3

Page 121: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

Tingkat I Tingkat II Tingkat III Tingkat IV

DAERAH BERVEGETASI DAERAH PERTANIAN Sawah irigasi

Sawah tadah hujan

Sawah lebak

Sawah pasang surut

Ladang/Tegalan

Perkebunan Cengkeh

Coklat

Karet

Kelapa

Kelapa sawit

Kopi

Panili

Tebu

Teh

Tembakau

Perkebunan campuran

Tanaman campuran

DAERAH BUKAN PERTANIAN Hutan Lahan kering Hutan bambu

Hutan campuran

Hutan jati

Hutan pinus

Hutan lain-lain

Hutan lahan basah Hutan bakau

Hutan campuran

Hutan nipah

Hutan sagu

Belukar

Semak

Padang rumput

Savana

Padang alang-alang

rumput rawa

DAERAH TAK BERVEGETASI LAHAN TERBUKA Pertambangan terbuka

LAHAR DAN LAVA

BETING PANTAI

GOSONG SUNGAI

GUMUK PASIR

PERMUKIMAN DAN LAHAN BUKAN

PERTANIAN YANG BERKAITAN PERMUKIMAN

BANGUNAN INDUSTRI

JARINGAN JALAN

JARINGAN JALAN KERETA API

JARINGAN LISTRIK TEGANGAN TINGGI

PELABUHAN UDARA

PELABUHAN LAUT

PERAIRAN DANAU

WADUK

TAMBAK IKAN

TAMBAK GARAM

RAWA

SUNGAI

ANJIR PELAYARAN

SALURAN IRIGASI

TERUMBU KARANG

GOSONG PANTAI/DANGKALAN

LAMPIRAN 4

SKEMA KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN BAKOSURTANAL (dalam Rahardjo, 1990)

Page 122: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-11

LAMPIRAN 5

HASIL ANALISIS TABULASI SILANG 1. Tingkat erosi dan Tutupan Kanopi

1.A Hasil Tabulasi Silang

Tingkat erosi

sangat berat berat sedang ringan sangat ringan total

sangat buruk 0 1 1 1 1 4 buruk 1 1 0 0 1 3 sedang 2 3 2 1 2 10 baik 3 5 2 3 4 17

Tutu

pan

kano

pi

sangat baik 0 0 2 2 4 8

total 6 10 7 7 12 10

1.B Rekapitulasi Hasil Tabulasi Silang

grand total 42

total correct 10

observed correct 0,24

1.C Analisis batas (Marginal analysis)

24 40 28 28 48

18 30 21 21 36

60 100 70 70 120

102 170 119 119 204

48 80 56 56 96

1.D Rekapitulasi Hasil Analisis Batas

grand total 1764

diagonal entries 339expected agreement by change 0,19

Indeks kappa 0,06

Page 123: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-12

2. Tingkat erosi dan Tutupan Tanah

2.A Hasil Tabulasi Silang

Tingkat erosi sangat berat berat sedang ringan sangat ringan total

sangat buruk 1 3 1 3 1 9 buruk 1 4 2 0 0 7 sedang 0 0 4 1 0 5 baik 1 0 0 4 5 10

grou

nd c

over

sangat baik 0 0 2 2 7 11 total 3 7 9 10 13 20

2.B Rekapitulasi Hasil Tabulasi Silang

grand total 42

total correct 20

observed correct 0,48

2.C Hasil Analisis Batas (Marginal analysis)

27 63 81 90 117

21 49 63 70 91

15 35 45 50 65

30 70 90 100 130

33 77 99 110 143

2.D Rekapitulasi Hasil Analisis Batas

grand total 1764

diagonal entries 364expected agreement by change 0,206

Indeks kappa 0,34

Page 124: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-13

3. Tingkat erosi dan Kemiringan lereng

3.A Hasil Tabulasi Silang

Tingkat erosi sangat ringan ringan sedang berat sangat berat total

datar 0 0 0 1 0 1landai 1 1 1 1 0 4miring 4 0 3 1 1 9curam 9 3 0 2 1 15

kela

s ler

eng

sangat curam 0 5 3 3 2 28total 14 9 7 8 4 18

3.B Rekapitulasi Hasil Tabulasi Silang

grand total 42

total correct 8

observed correct 0,190

3.C Hasil Analisis Batas (Marginal analysis)

14 9 7 8 4

56 36 28 32 16

126 81 63 72 36

210 135 105 120 60

182 117 91 104 52

3.D Rekapitulasi Hasil Analisis Batas

grand total 1764

diagonal entries 285expected agreement by change 0,161

Indeks kappa 0,03

Page 125: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-14

LAMPIRAN 6 HASIL PERHITUNGAN STANDAR KESALAHAN (STANDARD ERROR) ANTARA PERSENTASE TUTUPAN KANOPI HASIL OBSERVASI DAN

HASIL PREDIKSI 1, Penggunaan Lahan Kebun Campur

No. Hasil Observasi (%) Hasil Prediksi (%) Selisih Selisih kuadrat 2 45 59 -14 196

3 60 66 -6 36

5 70 65 5 25

8 85 65 20 400

10 70 62 8 64

13 85 63 22 484

14 75 67 8 64

17 70 62 8 64

19 73 64 9 81

20 55 67 -12 144 21 60 61 -1 1

22 70 70 0 0

23 85 81 4 16

27 90 79 11 121

28 50 77 -27 729

29 55 74 -19 361

30 35 59 -24 576

31 63 77 -14 196

32 75 75 0 0

33 90 83 7 49

34 67 70 -3 9

35 80 75 5 25

36 83 72 11 121

37 98 68 30 900

38 70 74 -4 16

39 78 71 7 49

40 70 68 2 4

41 70 77 -7 49 42 70 83 -13 169

Total 4949

Variansi 183,30

Standar kesalahan 13,5

Page 126: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-15

2. Penggunaan Lahan tegalan

No. Hasil Observasi (%) Hasil Prediksi (%) Selisih Selisih kuadrat

1 93 36 57 3249

4 55 19 36 1296

6 80 24 56 3136

7 76 20 56 3136

9 3 16 -13 169

11 20 34 -14 196

12 10 28 -18 324

15 30 30 0 0

16 45 43 2 4

18 45 40 5 25

24 5 32 -27 729

25 15 16 -1 1

26 45 38 7 49

Total 12314

Variansi 1119,45

Standar kesalahan 33,46 3. Rumus Standar kesalahan (Purevdorj et al, 1998)

SE =

2

1

( )

2

n

ii

X X

n=

Dimana : n = jumlah pengamatan

X = Persentase Tutupan kanopi hasil observasi

= Persentase Tutupan kanopi hasil estimasi

X

Page 127: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-16

LAMPIRAN 7 METADATA CITRA SPOT5\HRG XS DAN PAN

1. Citra SPOT5\HRG XS (Multispektral) Type Spot SYSTEM SCENE level 1A

Layer SCENE 5 292-365/7 06/05/16 03:02:11 1 J

Format DIMAP

Raster GEOTIFF

General Information

Map Name SCENE 5 292-365/7 06/05/16 03:02:11 1 J

Geometric Processing Level RAW

Radiometric Processing Level SYSTEM

Image dimensions

Number of columns 6000 Number of rows 6000 Number of spectral bands 4

Pixel size 10 meter

Dataset framing

Vertice Longitude (DEG) Latitude (DEG) Row Col #1 110.157267 -7.540804 1 1 #2 110.687844 -7.658809 1 6000 #3 110.568688 -8.189485 6000 6000 #4 110.037362 -8.071444 6000 1

Dataset sources

ID 52923650605160302111J K_J 292365 SAT 7 DATE 2006-05-16 TIME 03:02:17 (GMT) INSTRUMENT HRG1 SENSOR J INCIDENCE_ANGLE 3.402875 (degree)

Page 128: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-17

VIEWING_ANGLE 2.994461 (degree) SUN_AZIMUTH 40.146684 (degree) SUN_ELEVATION 54.829878 (degree)

BAND DESCRIPTION

BAND 1 Type : XS1 Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.327033 Bias : 0.000000 BAND 2 Type : XS2 Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.597198 Bias : 0.000000 BAND 3 Type : XS3 Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.748925 Bias : 0.000000 BAND 4 Type : SWIR Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 10.741221 Bias : 0.000000

Coordinate Reference System

Geocoding tables identification EPSG(5.2) Horizontal Coordinate System type GEOGRAPHIC Horizontal coordinate system identification name WGS 84

Production

Production Date 2006-05-30T00:20:27.000000 Job identification S_CSA_000000000008940_1 Product type identification SPOT_SCENE Dataset Producer Identification MACRES Producer link http://www.macres.gov.my

2. Citra SPOT5\HRG PAN (Pankromatik)

Type Spot SYSTEM SCENE level 1A

Layer SCENE 5 292-365/7 06/05/16 03:02:09 1 T

Format DIMAP

Raster GEOTIFF

Page 129: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-18

General Information

Map Name SCENE 5 292-365/7 06/05/16 03:02:09 1 T

Geometric Processing Level RAW

Radiometric Processing Level SYSTEM

Image dimensions

Number of columns 24000 Number of rows 24000 Number of spectral bands 1 Pixel size 2.5 meter

Dataset framing

Vertice Longitude (DEG) Latitude (DEG) Row Col #1 110.157633 -7.540439 1 1 #2 110.688114 -7.659162 1 24000 #3 110.568938 -8.189931 24000 24000 #4 110.037706 -8.071169 24000 1

Dataset sources

ID 52923650605160302091A K_J 292365 SAT 7 DATE 2006-05-16 TIME 03:02:15 INSTRUMENT HRG1 SENSOR A INCIDENCE_ANGLE 3.393865 () VIEWING_ANGLE 2.994461 () SUN_AZIMUTH 40.156607 () SUN_ELEVATION 54.825037 ()

BAND DESCRIPTION

BAND 1 Type : PAN Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.425000 Bias : 0.704517

ID 52923650605160302091B K_J 292365 SAT 7

Page 130: Bramantiyo Marjuki Ge 5579

L-19

DATE 2006-05-16 TIME 03:02:15 INSTRUMENT HRG1 SENSOR B INCIDENCE_ANGLE 3.394281 () VIEWING_ANGLE 2.994461 () SUN_AZIMUTH 40.156370 () SUN_ELEVATION 54.824757 ()

BAND DESCRIPTION

BAND 1 Type : PAN Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.425000 Bias : 0.704517

Coordinate Reference System

Geocoding tables identification EPSG(5.2) Horizontal Coordinate System type GEOGRAPHIC Horizontal coordinate system identification name WGS 84

Production

Production Date 2006-05-30T01:30:05.000000 Job identification S_CSA_000000000008942_1 Product type identification SPOT_SCENE Dataset Producer Identification MACRES Producer link http://www.macres.gov.my