bpp Gdl Meirinapri 30373 3 2008ts 2

24
6 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Kawasan Olahraga II.1.1 Pengertian Kawasan Olahraga Kawasan olahraga adalah sebuah tempat yang khusus untuk aktivitas yang terkait dengan kegiatan berolahraga dan rekreasi yang terintegrasi pada satu kawasan. Dengan demikian pengembangan kawasan olahraga adalah pembangunan bangunan dan lapangan yang dimanfaatkan untuk olahraga sebagai wadah kegiatan olahraga dan berekreasi beserta semua komponen pendukungnya. Kawasan olahraga menjunjung nilai-nilai luhur dan mengayomi masyarakat tercermin dalam tata letak atau konsep pemintakan kawasan yang berkonsep ’mass open space’ atau ruang terbuka berwawasan lingkungan yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Kriteria pengembangan kawasan olahraga sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tabel II.1 berikut Tabel II.1 Kriteria Pengembangan Kawasan Olahraga Karakter Implikasi Kriteria Dasar Publik Dapat dinikmati semua lapisan Aksesibilitas Kapasitas besar Menampung pemain, penonton sesuai skala rencana Kenyamanan Keamanan Massal Sifat kunjungan massal Keselamatan Keamanan Konstruksi berat Menggunakan konstruksi berat (bentang lebar) Keselamatan Sportif dan kokoh Bentuk arsitektural dapat memberikan sportifitas pada semua pengguna Keindahan Keamanan Mudah rusuh Sering terjadi konflik antara penonton Keselamatan Keindahan Multiuse (olahraga, hiburan, rekreasi, dll) Sebagai sarana olahraga rekreasi dan hiburan (show, kampanye, pertemuan massal, dll) Kenyamanan

description

wow

Transcript of bpp Gdl Meirinapri 30373 3 2008ts 2

6

Bab II Tinjauan Pustaka

II.1 Kawasan Olahraga

II.1.1 Pengertian Kawasan Olahraga

Kawasan olahraga adalah sebuah tempat yang khusus untuk aktivitas yang terkait

dengan kegiatan berolahraga dan rekreasi yang terintegrasi pada satu kawasan.

Dengan demikian pengembangan kawasan olahraga adalah pembangunan

bangunan dan lapangan yang dimanfaatkan untuk olahraga sebagai wadah

kegiatan olahraga dan berekreasi beserta semua komponen pendukungnya.

Kawasan olahraga menjunjung nilai-nilai luhur dan mengayomi masyarakat

tercermin dalam tata letak atau konsep pemintakan kawasan yang berkonsep

’mass open space’ atau ruang terbuka berwawasan lingkungan yang dapat

dinikmati oleh seluruh masyarakat.

Kriteria pengembangan kawasan olahraga sebagaimana yang ditunjukkan oleh

Tabel II.1 berikut

Tabel II.1 Kriteria Pengembangan Kawasan Olahraga

Karakter Implikasi Kriteria Dasar

Publik Dapat dinikmati semua lapisan Aksesibilitas

Kapasitas besar Menampung pemain, penonton sesuai skala rencana Kenyamanan

Keamanan Massal Sifat kunjungan massal Keselamatan Keamanan Konstruksi berat Menggunakan konstruksi berat (bentang

lebar) Keselamatan

Sportif dan kokoh Bentuk arsitektural dapat memberikan sportifitas pada semua pengguna Keindahan

Keamanan Mudah rusuh Sering terjadi konflik antara penonton Keselamatan Keindahan Multiuse (olahraga,

hiburan, rekreasi, dll) Sebagai sarana olahraga rekreasi dan hiburan (show, kampanye, pertemuan massal, dll) Kenyamanan

7

II.1.2 Komponen Kawasan Olahraga

Komponen suatu kawasan olahraga adalah bangunan dan lapangan olahraga

sebagai wadah kegiatan berolahraga beserta semua sarana dan prasarana

pendukungnya. Komponen kawasan olahraga terdiri atas 3 tingkatan yaitu:

1. Komponen dengan fungsi/kegiatan utama, terdiri dari:

- Kegiatan olahrga atlit yang diwadahi dengan bangunan yang terdiri

dari tribune dan ruang-ruang lainnya dalam bangunan.

- Kegiatan penonton yang diwadahi dengan lapangan/tempat bermain

olahraga yang dijadikan wadah kegiatan olahraga.

2. Komponen dengan fungsi/kegiatan penunjang adalah fungsi yang

mendukung, menunjang, dan menyokong kegiatan olahraga, dimana tanpa

komponen-komponen kegiatan olahraga tidak dapat berjalan dengan baik,

antara lain jalan, pedestrian, penunjuk arah, mesjid, lahan parkir, gedung

konvensi, kantin, toko, toilet, perkampungan atlit, wisma atlit, hotel, dan

kantor pengelola, drainase, jaringan listrik, jaringan air kotor, dan lainnya.

3. Komponen dengan fungsi/kegiatan pelengkap adalah komponen yang tidak

harus ada namun keberadaannya memberikan nilai tambah bagi kawasan

tersebut, terdiri dari: rumah sakit/balai pengobatan, tempat rekreasi, ruang

terbuka hijau, kolam, tempat duduk, rumah makan, bank, jalur hijau,

reservoir, tempat sampah, pos keamanan dan taman.

II.1.3 Persyaratan Perencanaan Fasilitas Olahraga

Perencanaan fasilitas olahraga erat sekali kaitannya dengan perencanaan suatu

wilayah, karena terdapat perbedaan kemampuan suatu wilayah dalam memenuhi

kebutuhan masyarakat sesuai dengan tingkat wilayahnya. Persyaratan fasilitas

olahraga di Indonesia menurut Musyawarah Olahraga Nasional (Musornas)

pertama tahun 1967 di Jakarta diputuskan bahwa di daerah-daerah harus dipenuhi

kebutuhan akan fasilitas olahraga minimal, ditinjau dari tingkat wilayahnya.

1. Untuk tingkat propinsi minimal 1 kompleks olahraga yang memenuhi

syarat, yang terdiri dari:

a. 1 lapangan terbuka/stadion

b. 1 gedung olahraga tertutup

8

c. 1 kolam renang

d. Tempat olahraga umum (untuk latihan)

2. Tingkat kabupaten/kota minimal mempunyai:

a. Gedung olahraga

b. Lapangan sepak bola/atletik

c. Lapangan bola basket

d. Lapangan bola volley

e. Lapangan bulutangkis

3. Tingkat kecamatan minimal mempunyai :

a. Lapangan sepak bola

b. Lapangan bulu tangkis

c. Lapangan terbuka

Selain itu perencanaan fasilitas olahraga dapat pula dikelompokkan menurut

prioritas kebutuhan yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari

wilayah yang hendak direncanakan, yang secara garis besar dapat digambarkan

melalui skema. (Gambar II.1)

Gambar II.1 Perencanaan wilayah dalam kaitannya dengan perencanaan olahraga

9

Dari Gambar II.1 dapat dijelaskan :

Prioritas I : Penyediaan suatu ruang terbuka bersifat aktif, yang dapat diperluas,

menampung kebutuhan ruang untuk berolahraga. Pada tahap ini prioritas

diutamakan kepada kebutuhan generasi muda akan berolahraga dan rekreasi.

Prioritas II : Jika prioritas I sudah dapat dipenuhi, maka barulah kita

merencanakan sarana dan fasilitas olahraga, pada tahapan ini ditujukan untuk

mereka yang ingin berolahraga. Persyaratan standard dan teknis pun lebih

diperhatikan, akan tetapi sehubungan dengan masalah tersebut diatas, maka

sebaiknya direncanakan fasilitas yang serbaguna, yang dapat menampung

bermacam-macam kegiatan olahraga.

Prioritas III : Penyediaan sarana dan fasilitas olahraga yang lengkap dan ideal,

jelas hanya diperlukan oleh wilayah-wilayah tertentu yang potensial atau

mempunyai kaitan tujuan kebijaksanaan dari Pemerintah.

II.2 Sistem Pembiayaan Melalui Kerjasama Pemerintah dan Swasta

II.2.1 Bentuk-Bentuk Kerjasama Investasi

Kerjasama investasi antara pelaku pembangunan, baik antara Pemerintah daerah

dengan dunia usaha swasta maupun masyarakat perlu didasarkan pada asas-asas

dan prinsip-prinsip kerjasama investasi.

Asas Kerjasama Investasi

1. Didasarkan pada asas saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling

menguntungkan.

2. Ditujukan bagi peningkatan ekonomi kawasan/wilayah sekitarnya

3. Dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan potensi sektor

unggulan atau kualitas pelayanan dalam mendukung pengembangan

ekonomi kawasan dan wilayah sekitarnya.

10

Prinsip Kerjasama Investasi

1. Mengikuti dan tunduk pada peraturan dan perundang-undangan serta

ketentuan yang berlaku.

2. Dalam pelaksanaan kerjasama, Pemerintah harus tetap memiliki

kewenangan dalam menjalankan fungsi pengaturan untuk melindungi

kepentingan masyarakat banyak.

3. Memiliki multiplier effect terhadap pengembangan ekonomi kawasan.

4. Diselenggarakan secara transparan, terbuka dan kompetitif.

5. Diharapkan tidak menimbulkan dampak sosial yang dapat menyebabkan

keresahan masyarakat.

6. Diarahkan untuk tidak merusak/menurunkan kualitas lingkungan.

7. Menggunakan sumber-sumber yang tersedia di kawasan atau wilayah

sekitarnya.

Bentuk-bentuk Kerjasama Investasi

Bentuk-bentuk Kerjasama Investasi ditinjau dari 4 (empat) aspek, yaitu aspek

perhitungan biaya, aspek perhitungan jasa, aspek cara pembayaran, aspek

pembagian tugas. Pada penelitian ini lebih ditekankan pada aspek cara

pembayaran dan aspek pembagian tugas yang dijelaskan pada penjelasan berikut.

Aspek Cara Pembayaran (Nazarkhan., 2003)

1. Cara Pembayaran Bulanan

Dalam cara pembayaran ini, prestasi penyedia jasa dihitung setiap akhir bulan.

Setelah prestasi tersebut diakui Pengguna Jasa maka Penyedia Jasa dibayar

sesuai prestasi tersebut.

2. Cara Pembayaran atas Prestasi

Dalam bentuk kontrak dengan cara ini, pembayaran kepada Penyedia Jasa

dilakukan atas dasar prestasi/kemajuan pekerjaan yang telah dicapai sesuai

dengan ketentuan dalam kontrak. Jadi tidak atas dasar prestasi yang dicapai

dalam satuan waktu (bulanan).

11

3. Pra Pendanaan Penuh dari Penyedia Jasa (Contractor’s Full Pre-financed)

Dalam bentuk kontrak dengan cara pembayaran ini, Penyedia Jasa harus

mendanai dahulu seluruh pekerjaan sesuai kontrak. Setelah pekerjaan selesai

100% dan diterima baik Pengguna Jasa barulah Penyedia Jasa mendapatkan

bayaran sekaligus. Dapat saja pada saat itu dibayar Pengguna Jasa adalah

sebesar 95% dari nilai kontrak karena yang 5% ditahan (retention money)

selama masa tanggung jawab atas cacat atau pembayaran penuh 100%, tapi

Penyedia Jasa harus memberikan jaminan untuk masa tanggung jawab atas

cacat, satu dan lain hal sesuai kontrak.

Sistem/cara pembayaran dalam bentuk Pra Pendanaan Penuh dari Penyedia Jasa

Contractor’s Full Pre-financed) biasanya digunakan dalam pembangunan

pengembangan kawasan olahraga dikarenakan keterbatasan dana dari Pengguna

Jasa dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung dan dana yang

digunakan dalam investasi pengembangan kawasan olahraga sangat besar.

Aspek Pembagian Tugas (Direktorat Pengembangan Kawasan, Depkimpraswil)

1. Kerjasama Konsesi (Consession Contract)

Yaitu pemberian hak secara utuh yang dalam hal ini pemegang hak konsesi

diberi hak dalam mengembangkan investasinya, melakukan pembangunan,

pengelolaan dan pengoperasian, melakukan penjualan atas jasa/produk yang

dihasilkan, memperoleh keuntungan yang wajar serta menanggung segala

resiko atas kegiatan investasi dan produksi yang dilakukan.

Pada umumnya, Pemerintah/Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMP)

memberikan hak atas aset yang dimilikinya (berupa lahan, hak pengelolaan,

sarana dan prasarana) untuk dikembangkan oleh swasta sesuai dengan

kesepakatan dalam kontrak kerjasama. Berjangka waktu panjang dan setelah

masa kontrak berakhir maka semua aset yang dibangun dan dikelola swasta

akan dikembalikan kepada Pemerintah/BUMP kecuali ditentukan lain sesuai

kontrak kerjasama.

12

2. Kerjasama Kontrak Bangun (Build/Rehabilitation Contract)

a. Bangun, Kelola, Alih Milik (Build, Operate, Transfer)

Yaitu bentuk kerjasama dimana pihak swasta diberi tanggungjawab

dan hak untuk membangun proyek/kegiatan usaha, termasuk

membiayai, mengelola/memelihara untuk jangka waktu tertentu.

Dapat digunakan untuk kerjasama di bidang penyediaan prasarana

kawasan dengan investasi yang besar dan jangka waktu kerjasama

yang lama, misalnya penyediaan jalan/jembatan, pelabuhan, bandara,

air bersih, listrik, telepon, dll.

b. Bangun dan Alih Milik (Build and Transfer) atau Turn-Key Project

Yaitu bentuk kerjasama dimana pihak swasta bertanggungjawab

membangun suatu proyek/kegiatan usaha termasuk membiayai

pembangunannya kemudian menyerahkan kepemilikannya kepada

Pemerintah/BUMP yang bersangkutan.

Dikenal pula sebagai Turn-Key Project yang memiliki kesamaan

umum dengan kegiatan pemborongan biasa namun pembayarannya

dilakukan dalam jangka waktu yang lebih panjang dari pemborongan

biasa.

Umumnya digunakan untuk proyek dengan nilai investasi yang besar

dan teknologi tertentu untuk meningkatkan efisiensi kegiatan jasa

pelayanan atau produk yang dihasilkan.

c. Bangun, Milik dan Kelola (Build, Own, Operate)

Yaitu bentuk kerjasama dimana pihak swasta diberi tanggungjawab

dan hak untuk membangun, membiayai dan selanjutnya

mengoperasikan dan memelihara, memperoleh keuntungan serta

menanggung resiko proyek/kegiatan usaha yang dilakukan.

Banyak dilakukan di sektor privat seperti industri, pertanian,

perikanan, perkebunan, perdagangan dan jasa lainnya sehingga

keterlibatan Pemerintah kurang terlihat kecuali dalam hal perijinan dan

pemberian kemudahan.

13

Setelah kerjasama dan pengoprasian berakhir, seluruh aset yang

dimiliki oleh pihak swasta tetap menjadi milik yang bersangkutan dan

apabila diperlukan pengoperasiannya dapat diperpanjang sesuai

kesepakatan kontrak.

d. Bangun, Alih Milik dan Kelola (Build, Transfer and Operate)

Yaitu bentuk kerjasama dimana pihak swasta bertanggungjawab

membangun, termasuk membiayai proyek kemudian menyerahkan

kepemilikannya kepada Pemerintah/BUMP. Selanjutnya, pihak swasta

diberi hak untuk mengoperasikan dan memelihara proyek dalam

jangka waktu tertentu untuk pengembalian modal investasinya serta

memperoleh keuntungan yang wajar.

Umumnya digunakan untuk proyek yang membutuhkan biaya yang

besar dan pengembalian investasi yang panjang, seperti jalan tol,

pembangkit tenaga listrik skala besar, dan prasarana lainnya, dll.

Karena kepemilikan telah diserahkan kepada Pemerintah/BUMP,

risiko pengembalian investasi/ proyek akan menjadi tanggungjawab

Pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah berkewajiban untuk

membeli/membayar idle capacity yang tidak terjual kepada pihak

pengelola swasta, yang dikenal dengan sistem pembayaran Take or

Pay Contract.

e. Bangun, Sewa, Alih Milik (Build, Lease, Transfer)

Merupakan bentuk lain dari BTO, namun dalam hal ini pihak swasta

bertanggungjawab untuk membangun proyek termasuk

pembiayaannya dan setelah selesai pembangunannya disewakan untuk

dikelola dan dioperasikan Pemerintah dengan jangka waktu tertentu.

Setelah perjanjian kontrak berakhir, aset proyek yang bersangkutan

menjadi milik Pemerintah.

14

f. Tambahan, Kelola dan Alih Milik (Add, Operate Transfer)

Yaitu bentuk kerjasama dimana pihak swasta memperoleh hak untuk

melakukan perluasan/ penambahan suatu fasilitas prasarana atau

sarana yang sudah ada yang dimliki oleh Pemerintah, termasuk

melakukan rehabilitasi yang dilakukan.

Pemberian hak pengelolaan kepada swasta dapat dilakukan sebatas

prasarana dan sarana yang diperluas/ditambah atau keselutuhan sistem

prasarana dan sarana, baik yang sudah ada maupun yang belum.

3. Kerjasama Operasi (Operating Contract)

Yaitu kerjasama dimana Pemerintah memberikan hak pengelolaan atas aset

yang dimilikinya untuk dikelola dan dioperasikan dalam jangka waktu tertentu

kepada swasta.

Perbedaannya Konsesi dengan KSO terletak pada lingkup proyek dan sistem

pembagian hasil keuntungan untuk kegiatan yang dikerjasamakan. KSO

dilakukan untuk kerjasama pengoperasian/pengelolaan kegiatan yang

memerlukan teknologi dan keahlian tertentu dan banyak dijumpai dalam

kegiatan pertambangan, kehutanan, pengelolaan sarana dan prasarana lainnya.

Pihak swasta bertanggungjawab menyediakan modal kerja, keahlian dan

teknologi tertentu, melakukan pengoperasian dan pemeliharaan, menjual

produk atau jasa pelayanan serta memenuhi kewajiban memberi kompensasi

kepada Pemerintah dalam bentuk imbal jasa yang diperoleh dari kegiatan yang

dikerjasamakan.

Variasi lainnya adalah Product Sharing Contract (PSC) yang biasa digunakan

pada sektor pertambangan namun tidak populer lagi karena sulit

mengendalikan pengoperasian proyeknya.

4. Kerjasama Pengelolaan (Management Contract)

Yaitu bentuk kerjasama dimana pihak swasta diberi tanggungjawab atas

pengelolaan suatu proyek atau aset yang dimiliki oleh Pemerintah yang

berkaitan dengan penyediaan jasa untuk mengelola baik sebagian atau seluruh

15

aset tersebut, termasuk penyediaan modal kerja, pengoperasian, pemeliharaan

serta pemberian layanan kepada masyarakat pengguna jasa layanan tersebut.

Umumnya digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan

suatu instalasi prasarana dan sarana kepada masyarakat pengguna.

5. Kerjasama Patungan (Joint Venture Contract)

Yaitu kerjasama dimana Pemerintah bersama-sama pihak swasta membentuk

suatu badan usaha patungan dalam bentuk perseroan.

Perusahaan patungan ini diberi tanggungjawab atas pembangunan/pengelolaan

suatu aset yang dimiliki oleh perusahaan patungan tersebut, termasuk segala

kegiatan yang menjadi lingkup usaha perusahaan patungan.

Pembagian risiko dan keuntungan sebagai hasil dari usaha patungan

diperhitungkan berdasarkan proporsi besarnya nilai penyertaan aset dan modal

dari masing-masing pihak, setelah dikurangi dengan penyusutan, biaya modal

kerja, biaya operasi dan pemeliharaan, pembayaran hutang, dll.

Setelah masa berakhirnya kontrak, aset atau modal yang dikuasakan kepada

perusahaan patungan akan dikembalikan kepada masing-masing pihak sesuai

kondisi sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak.

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Keppres 7/1998, kerjasama antara Pemerintah

dan swasta dalam pembangunan dan atau pengelolaan infrastruktur, secara umum

dapat meliputi bentuk-bentuk sebagai berikut :

1. Build, Operate, Transfer, merupakan bentuk Perjanjian Kerjasama dalam

jangka waktu yang disepakati, dimana pihak Badan Usaha Swasta

bertanggung jawab atas kegiatan konstruksi, termasuk pembiayaannya,

dilanjutkan pengoperasian dan pemeliharaan asset infrastruktur. Untuk

pengembalian modal investasi, biaya pengoperasian dan pemeliharaan serta

keuntungan yang wajar bagi Badan Usaha Swasta, pengguna dikenakan

biaya pemakaian layanan selama jangka waktu yang telah disepakati. Pada

Akhir Perjanjian Kerjasama seluruh asset proyek diserahkan kepada

Pemerintah, tanpa penggantian biaya apapun.

16

2. Build and Transfer, merupakan bentuk Perjanjian Kerjasama dimana pihak

Badan Usaha Swasta bertanggung jawab atas kegiatan konstruksi, termasuk

pembiayaannya, dan setelah selesai pembangunannya menyerahkan fasilitas

tersebut kepada Pemerintah. Pembayaran dari Pemerintah kepada Badan

Usaha Swasta dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam Perjanjian.

3. Build Transfer and Operate, merupakan bentuk Perjanjian Kerjasama

dimana Badan Usaha Swasta membangun proyek infrastruktur termasuk

menanggung pembiayaannya. Proyek diserahkan kepada Pemerintah setelah

selesai dibangun, sedangkan pengoperasian dan pemeliharaan proyek

tersebut dilaksanakan oleh Badan Usaha Swasta tersebut. Pengembalian

biaya pembangunan, operasi dan pemeliharaan proyek infrastruktur serta

keuntungan yang wajar diperoleh dari biaya pemakaian oleh pengguna

layanan dan fasilitas infrastruktur tersebut.

4. Build Lease and Transfer, merupakan bentuk Perjanjian Kerjasama dimana

Badan Usaha Swasta membangun proyek infrastruktur termasuk

menanggung pembiayaannya. Setelah pembangunan proyek selesai, fasilitas

tersebut disewakan kepada Pemerintah dalam bentuk sewa beli sesuai jangka

waktu yang disepakati. Pada akhir Perjanjian Kerjasama, fasilitas

infrastruktur tersebut diserahkan kepada Pemerintah.

5. Build Own and Operate, merupakan bentuk Perjanjian Kerjasama dimana

Badan Usaha Swasta membangun proyek infrastruktur termasuk

pembiayaannya, mengoperasikan, dan memelihara fasilitas infrastruktur serta

mendapat pengembalian investasi, operasi dan pemeliharaan termasuk

keuntungan yang wajar dengan cara menarik biaya dari pengguna fasilitas

dan layanan infrastruktur. Pada akhir Perjanjian Kerjasama, fasilitas tersebut

tetap menjadi milik Badan Usaha Swasta.

6. Rehabilitate Own and Operate, merupakan bentuk Perjanjian Kerjasama

dimana fasilitas infrastruktur milik Pemerintah diserahkan kepada Badan

17

Usaha Swasta untuk direhabilitasi dan dioperasikan. Biaya untuk rehabilitasi,

operasi, pemeliharaan, dan keuntungan yang wajar diperoleh dengan cara

menarik biaya dari pengguna fasilitas dan layanan infrastruktur. Jangka

waktu Perjanjian Kerjasama dapat dihentikan bila Badan Usaha Swasta tidak

dapat memenuhi standar pelayanan yang disepakati.

7. Rehabilitate Operate and Transfer, merupakan bentuk Perjanjian Kerjasama

dimana fasilitas infrastruktur diserahkan kepada Badan Usaha Swasta untuk

direhabilitasi, dioperasikan dan dipelihara dalam jangka waktu tertentu, dan

pada akhir Perjanjian Kerjasama fasilitas tersebut diserahkan kembali kepada

Pemerintah.

8. Develop Operate and Transfer, merupakan bentuk Perjanjian Kerjasama

dimana terdapat kondisi yang menguntungkan disekitar proyek infrastruktur

tersebut, yaitu terdapat kegiatan lain yang dapat dikembangkan oleh Badan

Usaha Swasta dan diintegrasikan ke dalam proyek kerjasama untuk

dioperasikan dalam jangka waktu tertentu. Pada akhir Perjanjian Kerjasama,

fasilitas tersebut diserahkan kepada Pemerintah.

9. Contract Add Operate, merupakan bentuk Perjanjian Kerjasama dimana

Badan Usaha Swasta melakukan penambahan fasilitas infrastruktur yang

telah ada, kemudian mengoperasikan iambahan atau keseluruhan fasilitas

tersebut dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu Perjanjian Kerjasama

dapat dihentikan bila Badan Usaha Swasta tersebut tidak dapat memenuhi

standar pelayanan yang disepakati.

II.2.2 Dasar Pemikiran Pemilihan Alternatif Sistem Kerjasama

Pada penelitian ini diambil bentuk kerjasama berdasarkan aspek pembagian tugas

yaitu kerjasama bangun dan alih milik ( Build and Transfer), kerjasama kontrak

bangun, operasi, alih milik (Build, Operate, Transfer), kerjasama kontrak bangun,

sewa, alih milik ( Build, Lease, Transfer), dan kerjasama kontrak bangun, alih

18

milik dan operasi (Build, Transfer, Operate) . Dasar pemikiran dalam pemilihan

alternatif bentuk kerjasama yaitu adalah antara lain karena kawasan olahraga ini

merupakan kawasan baru dengan bangunan baru, kerjasama ini umumnya

digunakan untuk proyek dengan nilai investasi yang besar, lebih memperhatikan

pertimbangan anggaran keuangan dan kemampuan anggaran Pemerintah Daerah

Kabupaten Bandung.

Build and Transfer

Dengan pendekatan sistem kerjasama BT, pengguna jasa dimana disini adalah

Pemerintah Kabupaten Bandung memilih sebuah perusahaan untuk merencanakan

dan sekaligus membangun fasilitas. Dengan memilih satu perusahaan untuk

merencanakan dan membangun fasilitas, keberhasilan proyek langsung

bergantung pada stabilitas keuangan, pengawasan pengelolaan dan efektifitas

operasional perusahaan tersebut. Begitu sesuatu terbukti tidak memuaskan, sulit

untuk mencabut kontrak proyek, tanpa biaya besar, jadwal dan dampak teknis.

Sistem kerjasama ini melimpahkan tanggungjawab penyelesaian proyek secara

dominan, bahkan mungkin keseluruhan. Sistem ini Pemerintah akan sangat berat

pada proses pembayaran dikarenakan apabila pekerjaan telah selesai, Pemerintah

harus membayar sekaligus atau per termin sesuai kemajuan pekerjaan. Bangunan

yang sudah siap pakai dapat dioperasikan oleh Pemerintah sehingga pendapatan

dari bangunan dapat digunakan untuk membayar investor.

Pembayaran kepada investor membutuhkan dana yang sangat besar dan waktu

pembayaran yang telah ditentukan, oleh karena itu perlu adanya tambahan dana

dari anggaran Pemerintah apabila pendapatan yang diperoleh dari penyewaan

bangunan sangat kecil. Hal ini akan membutuhkan dana yang sangat besar yang

harus disediakan Pemerintah dalam waktu yang telah ditentukan. Akan tetapi

sistem ini akan menguntungkan bagi pihak investor karena masa investasi yang

singkat, sehingga pengembalian investasi yang cepat.

19

Build, Operate, Transfer

Sistem kerjasama ini merupakan pola kerjasama antara pemilik lahan yaitu

Pemerintah Kabupaten Bandung dan investor yang akan menjadikan lahan

tersebut menjadi satu fasilitas kawasan olahraga. Pada sistem ini investor diberi

hak untuk membangun, mengelola, dan memungut hasil dari fasilitas tersebut

selama kurun waktu tertentu. Setelah masa pengoperasian/ konsesi selesai,

fasilitas tadi dikembalikan kepada Pemerintah.

Sistem ini akan menguntungkan pihak Pemerintah karena tidak harus

mengeluarkan dana yang besar, hanya biaya pembebasan lahan. Akan tetapi

risiko yang besar akan ditanggung oleh pihak investor yang membangun dan

mengelola fasilitas dikarenakan pengembalian investasi yang lama sesuai dengan

kesepakatan masa pengelolaan (concession period). Biasanya investor akan lebih

menyukai yaitu masa membangun disatukan dengan masa pengelolaan supaya ada

rangsangan bagi investor untuk mempercepat konstruksi agar masa pengelolaan

menjadi lebih panjang sehingga pengembalian investasinya dapat lebih cepat.

Build, Lease, Transfer

Bentuk kerjasama ini sedikit berbeda dengan bentuk kerjasama BOT. Disini

setelah fasilitas selesai dibangun oleh investor, Pemerintah sebagai pemilik seolah

menyewa fasilitas untuk suatu kurun waktu kepada investor untuk dipakai sebagai

angsuran dari investasi yang sudah ditanam. Besarnya pembayaran sewa

tergantung dari perjanjian sewa. Keuntungan dan kerugian yang dialami pihak

Pemerintah dan investor sama dengan sistem kerjasama BOT. Disini Pemerintah

yang harus menyediakan dana lebih, apabila tidak mencukupi untuk membayar

sewa maka harus menyediakan dana dari anggaran keuangan Pemerintah.

Build, Transfer, Operate

Sistem kerjasama ini sebenarnya merupakan variant dari sistem kerjasama BOT.

Dalam sistem BTO, begitu selesai pembangunan proyek, langsung saja proyek

yang bersangkutan diserahterimakan kepada pihak Pemerintah. Dengan demikian

segala risiko yang timbul setelah penyerahan tersebut menjadsi tanggungjawab

20

dari pihak Pemerintah. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya operasi dan

pemeliharaan karena pihak Pemerintah mempersilakan investor untuk

mengoperasikan proyek tersebut termasuk memungut hasil/revenue dari proyek

tersebut untuk jangka waktu tertentu, yang merupakan imbalan dari pelaksanaan

pembangunan proyek tersebut. Risiko pihak investor yaitu pengembalian

investasi yang lama.

Build, Own, Operate

Dalam sistem kerjasama ini, setelah selesai pembangunan proyek, maka

kepemilikan proyek yang bersangkutan justru beralih kepada pihak investor.

Sementara dalam masa operasi, pihak investor wajib membayar sewa lahan

kepada Pemerintah. Sistem kerjasama ini tidak mungkin dilakukan karena proyek

pembangunan Kawasan Olahraga Soreang merupakan fasilitas milik Pemerintah.

Kerjasama Operasi dan Kerjasama Pengelolaan

Dalam penelitian ini telah diungkapkan dalam lingkup bahasan yaitu sistem

kerjasama yang dilakukan mulai dari membangun fasilitas. Sistem kerjasama

operasi dan kerjasama pengelolaan merupakan sistem kerjasama pada masa

operasi dan masa pengelolaan dari fasilitas tersebut. Sedangkan masa

membangun tidak dilakukan pada perjanjian kerjasama ini. Oleh karena itu pada

penelitian ini sistem kerjasama ini tidak diperhitungkan.

Add, Operate, Transfer

Sistem kerjasama ini merupakan kerjasama perluasan/ penambahan suatu fasilitas

yang sudah ada yang dimliki oleh Pemerintah, termasuk melakukan rehabilitasi

yang dilakukan. Pada penelitian ini pembangunan kawasan olahraga dibangun

mulai dari awal, jadi belum adanya penambahan fasilitas ataupun perluasan

fasilitas. Oleh karena itu pada penelitian ini sistem kerjasama ini tidak

diperhitungkan.

21

II.3 Analisis Kelayakan Finansial

Analisis kelayakan finansial merupakan analisis yang dilakukan bila manfaat dan

biaya investasi berkaitan dengan kepentingan pihak individu/pengusaha untuk

mendapat manfaat langsung. Mengukur kelayakan suatu proyek secara finansial

dimulai dari estimasi biaya dan pendapatan yang dihasilkan dari proyek tersebut.

• Estimasi biaya investasi awal

Estimasi segala biaya yang merupakan pengeluaran yang dipergunakan untuk

memperoleh aset fisik yang diharapkan memiliki umur pemakaian lama, meliputi

biaya memperoleh ijin usaha, biaya peralatan, biaya instalansi, biaya engineering,

biaya pelatihan, biaya pembelian tanah, dan lain-lain.

• Estimasi biaya operasi

Biaya operasi umumnya diklasifikasikan atas biaya langsung (segala biaya yang

terkait langsung dengan proses produksi mencakup biaya bahan langsung dan

biaya tenaga kerja langsung), biaya tidak langsung (segala biaya yang tidak terkait

langsung dengan proses produksi mencakup biaya bahan tak langsung, biaya

tenaga kerja tak langsung) dan biaya komersial (mencakup biaya pemasaran,

biaya administrasi).

• Estimasi pendapatan

Proyeksi pendapatan dapat dilakukan dengan melakukan estimasi jumlah

konsumen yang mampu diraih, serta pendapatan yang diperoleh per konsumen

yang terkait dengan komponen harga produk per unit. Pada akhirnya dapat

dilakukan evaluasi atas kelayakan suatu proyek secara finansial berdasarkan cash

flow yaitu aliran kas yang akan dihasilkan oleh suatu proyek. Perlu dicatat bahwa

dasar evaluasi adalah menggunakan cash flow dan bukan menggunakan

pendapatan, karena hanya kas-lah yang dapat dipergunakan oleh perusahaan kelak

untuk membayar dividen atau dipergunakan untuk investasi kembali.

22

Terdapat beberapa indikator finansial yang lazim digunakan oleh analis dalam

menilai layak atau tidaknya suatu proyek secara finansial, yaitu :

1. Internal Rate of Return (IRR)

IRR didefinisikan sebagai tingkat pengembalian investasi yang dihasilkan suatu

proyek, diukur dengan membandingkan cash flow yang dihasilkan proyek

terhadap investasi yang dikeluarkan untuk proyek tersebut. Pada umumnya

investor akan membandingkan IRR ini dengan apa yang dinamakan Minimal

Attractive Rate of Return (MARR).

MARR merupakan suatu tingkat pengembalian minimum yang diterima investor

sebelum berinvestasi dimana termasuk risiko investasi didalamnya atau

berinvestasi pada tempat lain yang memiliki tingkat pengembalian yang lebih

besar. Risiko investasi yang diperhitungkan dalam penentuan MARR, antara lain

risiko sosial-ekonomi, risiko pemerintahan (politik, hukum dan peraturan), risiko

konstruksi (kinerja proyek).

Investor yang menginginkan profit yang tinggi akan memberikan nilai MARR

yang tinggi. Apabila tingkat pengembalian yang didapat investor rendah, maka

investor akan menerima keuntungan yang lama, dan begitu pula sebaliknya.

Sebagai contoh, sebuah perusahaan membutuhkan estimasi MARR 10% (rendah)

untuk investasi sebuah bangunan baru di kota besar, hal lain apabila investasi di

sebuah kota dengan kondisi politik yang tidak stabil yang dapat mempengaruhi

nilai estimasi MARR yang dapat mencapai 20% (tinggi).

Faktor-faktor yang biasanya dipertimbangkan dalam penetuan MARR untuk

digunakan selama periode waktu tertentu (Eugene, 1996), antara lain:

1. Tersedianya dana untuk investasi dan sumber-sumbernya, modal sendiri

atau pinjaman.

2. Kesempatan-kesempatan investasi bersaing.

3. Perbedaan-perbedaan dalam risiko yang terlibat dalam kesempatan

investasi yang bersaing dan berlainan.

23

4. Perbedaan-perbedaan dalam waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian

investasi dengan rate of return yang diinginkan, investasi berumur pendek

lawan berumur panjang.

5. Harga uang yang berlaku yang dinyatakan oleh tingkat suku bunga yang

dibayarkan atau dibebankan pada investasi tersebut, tingkat utama yang

digunakan oleh bank-bank besar dan surat-surat berharga Pemerintah

jangka panjang atau pendek dan obligasi-obligasi.

2. Net Present Value (NPV)

NPV didefinisikan sebagai nilai dari proyek yang bersangkutan yang diperoleh

berdasarkan selisih antara cash flow yang dihasilkan terhadap investasi yang

dikeluarkan. NPV yang positif, ditinjau dari segi profitibilitas, proyek yang

direncanakan akan dibangun cukup layak, dimana ini berarti cash flow yang

dihasilkan melebihi jumlah yang diinvestasikan. Sebaliknya apabila NPV

negative, rncana investasi proyek yang bersangkutan tidak layak.

3. Benefit Cost Ratio Method (BCR)

Metoda ini dipakai untuk mengevaluasi kelayakan proyek dengan

membandingkan total keuntungan terhadap total biaya yang telah diekivalenkan

ke tahun dasar dengan memakai nilai discount rate yang berlaku. Metoda ini

dilakukan berdasarkan nilai sekarang, yaitu dengan membandingkan selisih

manfaat dengan biaya yang lebih besar dari nol dan selisih manfaat dan biaya

yang lebih kecil dari nol.

Dalam melakukan analisis dengan menggunakan ketiga indikator di atas, perlu

diperhatikan dua faktor yaitu :

• Periode evaluasi

Periode yang dipergunakan untuk melakukan evaluasi secara finansial

diestimasikan berdasarkan faktor tertentu misalnya usia kepemilikan (ownership

life) usaha apakah terhingga atau abadi.

24

• Konsep nilai uang terhadap waktu (time value of money)

Uang mempunyai nilai terhadap waktu dan besar nilai itu sangat tergantung pada

saat kapan uang itu diterima. Konsep ini mengandung implikasi bahwa sejumlah

uang tertentu saat ini tidak sama nilainya dengan sejumlah uang yang sama di saat

yang lalu atau yang akan datang. Baik metode analisis IRR maupun NPV di atas

dihitung setelah sebelumnya menyesuaikan nilai cash flow di masa yang akan

datang (future value) ke nilai saat ini (present value). Hal ini dilakukan dengan

menggunakan Weighted Average Cost of Capital (WACC) yang merupakan

kombinasi antara cost of debt (suku bunga pinjaman apabila sebagian proyek akan

dibiayai oleh hutang) dan cost of equity (tingkat pengembalian yang diinginkan

oleh investor).

II.3.1 Inflasi Dan Eskalasi

Seperti diketahui tugas estimator adalah memperkirakan keadaan masa depan

yang ditunjukkan dengan angka biaya. Dalam hubungan ini, salah satu yang

paling sulit adalah yang berkaitan dengan memperkirakan pergerakan atau

perubahan harga barang, upah tenaga kerja, dan lain-lain terhadap waktu, yang

dikenal sebagai inflasi dan eskalasi. Padahal masalah tersebut besar dampaknya

terhadap total biaya proyek, lebih-lebih untuk proyek yang berlangsung dengan

jangka waktu relatif lama.

Inflasi sering diartikan sebagai kenaikan harga barang. Sedangkan eskalasi

mempunyai makna yang lebih penting, karena mencerminkan perubahan harga

akibat inflasi ditambah faktor-faktor lain, seperti upah tenaga kerja, subkontrak,

dan lain-lain. Atau dengan kata lain, dalam menganalisis eskalasi perkiraan biaya

proyek, estimator menghadapi kenyataan bahwa harga penjualan barang dan jasa

yang sesungguhnya, sebagian besar dipengaruhi oleh kegiatan usaha atau situasi

ekonomi pada saat itu, tidak hanya oleh biaya sesungguhnya yang dikeluarkan

untuk memproduksinya. Jadi, ini mengandung arti bahwa laju eskalasi dapat

berbeda dengan laju inflasi. Dengan kata lain, eskalasi dapat diartikan sebagai

provisi atau cadangan pada perkiraan biaya yang dimaksudkan untuk menutup

25

kenaikan tingkat harga karena waktu. Cara yang lazim dipakai menghitung

eskalasi ialah menggunakan angka indeks harga atau faktor indeks yang

diterbitkan oleh kalangan dagang dan industri atau oleh Pemerintah.

II.3.2 Deflasi

Dalam keadaan inflasi harga barang-barang dan jasa terus meningkat tajam.

Sedang dalam keadaan deflasi, harga barang-barang dan jasa terus menurun

dengan tajam. Keduanya dapat mengancam dan merusak stabilitas perekonomian

suatu negara.

Berdasarkan kondisi dan indikasi-indikasi tersebut dapatlah didefinisikan bahwa

yang dimaksud dengan deflasi (deflation) adalah suatu keadaan ekonomi dimana

harga barang-barang dan jasa mengalami penurunan dengan tujuan untuk

menggairahkan produksi, industri, kesempatan kerja, dan meningkatkan nilai

uang.

II.4 Risiko dan Ketidakpastian

II.4.1 Pengertian Risiko dan Ketidakpastian

Risiko merupakan kemungkinan terjadinya kerugian atau kehilangan yang

merupakan hasil dari tidak dapat diperkirakannya dampak suatu ketidakpastian

dalam situasi pengambilan keputusan (Hertz, 1983). Sedangkan menurut Porfirio

(2003), risiko berkaitan dengan semua situasi yang mempengaruhi nilai

perusahaan sehingga menyimpang dari tujuan bisnis. Risiko tidak hanya

memungkinkan terjadinya risiko negatif seperti terjadinya kerugian, tetapi juga

dapat mengakibatkan terjadinya risiko positif. Jadi dapat dikatakan bahwa risiko

terjadi karena adanya ketidakpastian pada saat pengambilan keputusan yang dapat

berdampak pada terjadinya kejadian positif maupun kejadian negatif.

Risiko dan ketidakpastian dapat dinilai menggunakan berbagai metode,

diantaranya adalah metode probabilitas, metode utility, serta metode simulasi dan

analisis sensitivitas.

26

II.4.2 Manajemen Risiko

Untuk menangani risiko, diperlukan proses manajemen risiko. Manajemen risiko

adalah sistem yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi semua

risiko sehingga dapat ditetapkan metoda penanganan risiko yang tepat.

Manajemen risiko terdiri dari kegiatan yang bertujuan untuk memaksimalkan

kejadian positif dan meminimalisir konsekuensi dari kejadian negatif. Kerangka

kerja manajemen risiko dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar II.2 Kerangka Kerja Manajemen Risiko

(Sumber: Flanagan & Norman, 1993).

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa proses identifikasi merupakan

langkah awal dalam kerangka kerja manajemen risiko. Identifikasi risiko

dilakukan untuk menentukan sumber kejadian dan dampak dari risiko. Identifikasi

risiko pada proyek konstruksi berkaitan dengan risiko finansial, risiko waktu, dan

risiko teknik, dimana masing-masing risiko tersebut saling terkait satu sama lain.

Penjelasan dari gambar diatas di atas dapat dijelaskan sebagai berikut (Flanagan

dan Norman, 1993) :

a. Risk Identification, adalah mengidentifikasi sumber dan jenis dari risiko.

b. Risk Classification, adalah mempertimbangkan jenis risiko dan

pengaruhnya terhadap manusia dan organisasi.

c. Risk Analysis, adalah mengevaluasi konsekuensi yang berhubungan

dengan jenis risiko, dengan menggunakan teknik analitis. Nilai dampak

risiko dengan menggunakan teknik pengukuran risiko yang bervariasi.

27

d. Risk Attitude, adalah setiap keputusan mengenai risiko akan dipengaruhi

oleh sikap dari manusia atau organisasi dalam membuat keputusan.

e. Risk Response, adalah mempertimbangkan bagaimana resiko harus

dikendalikan dengan memindahkannya ke pihak lain atau menahannya

II.4.3 Risiko-Risiko dalam Investasi

Risiko-risiko yang dapat terjadi dalam investasi, The Chase Manhattan Bank

(1996) mengelompokkan risiko menjadi:

1) Risiko kinerja proyek (project performance risk), meliputi risiko

perencanaan konstruksi, risiko penyelesaian konstruksi, risiko

pengoperasian.

2) Risiko kredit proyek (project credit risk), meliputi risiko pasar, risiko

counterpart default, risiko nilai tukar mata uang, risiko tingkat suku bunga,

risiko pembiayaan kembali.

3) Risiko Pemerintahan (termasuk hukum dan peraturan), meliputi risiko

politik, risiko hukum dan peraturan, risiko kemampuan tukar mata uang.

4) Risiko force majeure, meliputi risiko bencana alam, risiko akibat

pemberontakan politik.

World Bank (1997) menyebutkan setidaknya terdapat 17 faktor risiko, yang dapat

dikategorikan ke dalam risiko desain dan pengembangan, risiko konstruksi, risiko

operasional, risiko pendapatan, risiko finansial, risiko keadaan kahar (force

majeure), risiko asuransi, dan risiko lingkungan. Sedangkan Asian Development

Bank (2000) menyebutkan, setidaknya terdapat 21 faktor risiko, yang dapat

dikategorikan ke dalam risiko desain dan pengembangan, risiko konstruksi, risiko

operasional, risiko pendapatan, risiko keadaan kahar (force majeure), risiko

politik, risiko institusional atau legal, dan risiko lingkungan.

Risiko-risiko yang dapat terjadi serta alokasi risiko dalam investasi

pengembangan kawasan olahraga ini dapat diuraikan sebagai berikut.

28

Tabel II.2 Alokasi Risiko Dalam Pengembangan Kawasan Olahraga Alokasi Risiko

Jenis Risiko Shared Pemerintah Swasta

1-Pembebasan Lahan α 2-Penyesuaian Lahan α 3-Lingkungan α 4-Kesehatan, Keselamatan & Perizinan α 5-Availability & Transferability α 6-Biaya Operasional α 7-Interest Rate α

8-Exchange Rate α (power sector) α

9-Pasar α 10-Tanggungjawab Desain α 11 Detail Desain, Spesifikasi & Standar α 12-Data Desain α 13-Pengadaan & Konstruksi α 14 Biaya Konstruksi α 15-Rencana Kerja α 16-Operasional α 17-Pemeliharaan α 18-Fasilitas Tambahan α 19-Transfer α 20-Risiko Peraturan α 21-Politik α 22-Force Majeure α (Sumber:Pemkab Bandung,2006 )

Alokasi risiko pada Tabel II.2 diatas merupakan contoh risiko-risiko yang akan

diterima oleh pihak Pemerintah dan swasta atau keduanya pada pengembangan

kawasan, dimulai dari kegiatan pembebasan lahan sampai dengan pengoperasian

dan pemeliharaan serta peraturan dan keadaan politik yang sedang berlangsung.

II.4.4 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas bertujuan untuk menghitung kepekaan investasi terhadap

perubahan-perubahan faktor harga, biaya investasi kapital, biaya investasi non

kapital, biaya produksi, dan perubahan nilai tukar. Evaluasi kebijaksanaan

29

dilakukan untuk mengevaluasi kebijaksanaan Pemerintah yang dapat

mempengaruhi nilai investasi, yaitu pajak, dan tingkat suku bunga.

Analisis sensitivitas berhubungan dengan besar relatif dari perubahan di satu atau

lebih faktor dari persoalan ekonomi yang akan mengubah sebuah keputusan di

antara alternatif. Jadi, jika sebuah faktor tertentu dapat dibuat berbeda di suatu

rentang nilai tanpa mempengaruhi keputusan, keputusan di bawah pertimbangan

itu disebut tidak sensitif terhadap ketidakpastian yang berhubungan dengan suatu

faktor tertentu. Di pihak lain, jika suatu perubahan kecil pada perkiraan satu

faktor akan mengubah keputusan, keputusan itu disebut sebagai sangat sensitif

terhadap perubahan di dalam perkiraan faktor itu.

Karena semua perkiraan merupakan sasaran bagi sejumlah ketidakpastian,

pendekatan sensitivitas bisa sangat membantu di dalam menganalisa sebuah

usulan atau sekumpulan usulan. Pemakaian konsep sensitivitas menjadi sebuah

langkah perantara di antara analisa numeric yang berdasarkan pada perkiraan-

perkiraan terbaik untuk berbagai faktor dan keputusan akhir. Masing-masing

faktor dapat diperiksa untuk melihat sampai di mana sensitifnya keputusan itu

terhadap variasi dari perkiraan terbaik, dan hasil-hasil yang digunakan di dalam

proses pengambilan keputusan akhir.