bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam...

29
ANALISIS EFISENSI FINANSIAL DAN EKONOMI PADA USAHA PETERNAKAN AYAM PEDAGING DI KABUPATEN MALANG Oleh : Zaenal Fanani 1) Sutawi 2) Nur Sucipto 3) 1) Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang 2) Dosen Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang 3) Dosen Faklutas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Gresik Abstrak Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat efisiensi finansial dan ekonomi usaha yam pedaging di Kabupaten Malang. Pengambilan data dilaksanakan selama 3 bulan, dari 5 April 2015 sampai Juni 2015 dengan metode survei. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive di Kabupaten Malang dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Malang merupakan sentra produksi peternakan ayam pedaging terbesar pertama di Provinsi Jawa Timur, Sampel dalam penelitian ini terdiri peternak plasma (kontrak) ayam pedaging, Kemitraan Pabrikan atau Kemitraan Mandiri, dan pedagang/pemotong besar (whole seller) yang memiliki Rumah Potong Ayam (RPA). Jumlah peternak plasma di Kabupaten Malang sebanyak 533 orang (Disnakkeswan, 2010) dengan sebaran populasi antara 2.000-12.000 ekor dan rata- rata 5.528 ekor (Bahari, 2010). Sesuai SK Mentan No. 362/Kpts/TN.120/5/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Ijin dan Pendaftaran Usaha Peternakan, peternakan ayam pedaging di bawah populasi 15.000 ekor/siklus masuk kategori peternakan rakyat yang pendiriannya tidak memerlukan ijin usaha, atau identik dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UKM). Sampel ditentukan sebanyak 69 peternak. Jenis data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Analisis data Secara umum konsep efisiensi adalah maksimisasi keuntungan. Tingkat efisiensi ditunjukkan oleh indikator keuntungan privat dan keuntungan sosial. Pada keuntungan privat, penerimaan dan biaya dihitung berdasarkan harga aktual (harga pasar) yang diterima dan dibayar oleh peternak. 1

Transcript of bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam...

Page 1: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

ANALISIS EFISENSI FINANSIAL DAN EKONOMI PADA USAHA PETERNAKAN AYAM PEDAGING DI KABUPATEN MALANG

Oleh :

Zaenal Fanani 1) Sutawi 2) Nur Sucipto 3)

1) Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang2) Dosen Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang

3) Dosen Faklutas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Gresik

Abstrak

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat efisiensi finansial dan ekonomi usaha yam pedaging di Kabupaten Malang. Pengambilan data dilaksanakan selama 3 bulan, dari 5 April 2015 sampai Juni 2015 dengan metode survei. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive di Kabupaten Malang dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Malang merupakan sentra produksi peternakan ayam pedaging terbesar pertama di Provinsi Jawa Timur,

Sampel dalam penelitian ini terdiri peternak plasma (kontrak) ayam pedaging, Kemitraan Pabrikan atau Kemitraan Mandiri, dan pedagang/pemotong besar (whole seller) yang memiliki Rumah Potong Ayam (RPA). Jumlah peternak plasma di Kabupaten Malang sebanyak 533 orang (Disnakkeswan, 2010) dengan sebaran populasi antara 2.000-12.000 ekor dan rata-rata 5.528 ekor (Bahari, 2010). Sesuai SK Mentan No. 362/Kpts/TN.120/5/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Ijin dan Pendaftaran Usaha Peternakan, peternakan ayam pedaging di bawah populasi 15.000 ekor/siklus masuk kategori peternakan rakyat yang pendiriannya tidak memerlukan ijin usaha, atau identik dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UKM). Sampel ditentukan sebanyak 69 peternak. Jenis data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Analisis data Secara umum konsep efisiensi adalah maksimisasi keuntungan. Tingkat efisiensi ditunjukkan oleh indikator keuntungan privat dan keuntungan sosial. Pada keuntungan privat, penerimaan dan biaya dihitung berdasarkan harga aktual (harga pasar) yang diterima dan dibayar oleh peternak. Harga tersebut telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah berupa subsidi, proteksi, bea masuk, pajak, atau kebijakan lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa: usaha peternakan ayam pedaging di Kabupaten Malang merupakan usaha yang efisien baik dari sisi finansial maupun ekonomi. Profitabilitas skala ≤ 5000 ekor (Rp 579,00/kg) lebih rendah daripada skala > 5000 ekor (Rp 707,00/kg) karena perbedaan faktor ekonomis dan teknis. Profitabilitas privat (Rp 579,00/kg dan Rp 579,00/kg) yang lebih rendah daripada profitabilitas sosial (Rp 2.398,00/kg dan Rp 2.585,00/kg) menunjukkan bahwa kemitraan ayam pedaging di Kabupaten Malang menanggung harga input yang lebih mahal dan harga output yang lebih murah daripada harga sosialnya. Kemitraan ayam pedaging di Kabupaten Malang menanggung bea masuk bahan pakan dan obat-obatan yang lebih mahal daripada insentif yang diterima dari kebijakan pemerintah berupa subsidi listrik dan gas.

1

Page 2: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Besarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi daging sapi. Konsumsi daging sebesar 7,75 kg/kapita/tahun dipenuhi dari daging ayam sebanyak 3,80 kg (49%), sedangkan dari daging sapi hanya 0,36 kg (0,05%), dan sisanya berasal dari daging ternak lain (Kementan, 2009). ASOHI (2001) mengemukakan beberapa faktor yang memengaruhi besarnya konsumsi daging ayam pedaging, antara lain: (1) memiliki karakteristik yang disukai masyarakat luas termasuk penduduk perdesaan; (2) elastisitas permintaan terhadap pendapatan relatif tinggi sebesar 1,11 dan relatif paling tinggi dibandingkan produk ternak lainnya; (3) dibandingkan dengan daging lain, daging ayam ras dipercaya sebagai produk dengan kadar kolesterol rendah; (4) harga relatif lebih murah dibandingkan dengan harga daging lain, biasanya sekitar sepertiga dari harga daging sapi; dan (5) perkembangan usaha di tingkat off farm (proses hilir) yang sangat efektif dalam mendukung sistem distribusinya.

Produksi ayam pedaging yang mendominasi produksi daging dalam negeri ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan konsumi daging ayam yang mencapai 3,8 kg/kapita/tahun (49%) dari total konsumsi daging sebesar 7,75 kg/kapita/tahun. Untuk memenuhi kekurangan tersebut, Indonesia mengimpor daging ayam dalam jumlah yang cenderung meningkat, yaitu 1.313,9 ton (2004) menjadi 7.495,1 ton (2008) (Kementan, 2011). Jika dibandingkan volume produksi pada tahun yang sama, volume impor daging ayam tersebut tergolong relatif kecil, yaitu 0,15 persen (2004) menjadi 0,74 persen (2008). Fenomena tersebut membuktikan bahwa Indonesia telah berswasembada daging ayam pedaging.

Pada dasarnya peternakan ayam pedaging memiliki potensi yang sangat besar dan bersifat progresif, responsif, dan artikulatif (Rusastra, 2001). Bersifat progresif ditunjukkan oleh proporsi terhadap produksi daging nasional relatif besar dengan laju peningkatan yang tinggi. Industri ini tanggap dalam merespon perubahan harga, elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan relatif tinggi, dan tingkat konsumsinya masih rendah. Perbaikan perekonomian nasional dan peningkatan pendapatan masyarakat akan diikuti oleh peningkatan konsumsi dan produksi ayam pedaging secara signifikan. Industri ayam pedaging belum dieksploitasi secara penuh dan peluang peningkatan nilai tambah masih sangat besar. Sifat artikulatif (keterkaitan) diindikasikan oleh peluang peningkatan skala usaha dan berkembangnya kegiatan pengolahan dan produksi produk olahan ayam pedaging. Hal ini selanjutnya akan memberikan efek pengganda yang besar terhadap pertumbuhan pertanian dan perekonomian nasional.

Namun demikian, agribisnis ayam pedaging menghadapi permasalahan sangat berat dan mengancam keberlanjutannya. Saptana dan Rusastra (2001) mengemukakan beberapa permasalahan utama dalam agribisnis ayam ras pedaging, antara lain: (1)

2

Page 3: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

penyediaan bahan baku pakan yang sebagian besar mengalami ketergantungan impor tinggi, seperti jagung mencapai 40-50%; bungkil kedelai 95%; tepung ikan 90-92%; tepung tulang dan vitamin (feed additive) hampir 100% impor; (2) adanya indikasi terjadinya ketimpangan struktur pasar, baik pada pasar input (sapronak) maupun pasar output (daging) yang sekarang sudah dalam bentuk struktur pasar yang oligopolistik; dan (3) kemitraan usaha tidak dijalankan secara konsisten, yang seharusnya bersifat saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan, namun yang terjadi justru sebaliknya, timbul eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Kondisi tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa perkembangan agribisnis ayam pedaging di Indonesia sangat tergantung pada sumberdaya genetik, pakan, dan teknologi dari luar negeri, serta kurang didukung oleh kerjasama usaha yang baik.

Sejalan dengan era globalisasi dan pemberlakuan mekanisme pasar bebas, produk ayam pedaging Indonesia berpeluang untuk dipasarkan ke pasar internasional, baik produk segar maupun olahan. Apabila peluang pasar dalam negeri dan luar negeri dapat dimanfaatkan dengan berbasis pada keunggulan komparatif dan kompetitif, maka hal ini akan menjadi pasar yang sangat besar bagi produk perunggasan Indonesia. Berkenaan dengan kinerja dan potensi serta perspektif ke depan, maka daya saing usaha ayam pedaging ini patut mendapatkan perhatian dari segenap pemangku kepentingan, baik pengusaha, pemerintah, maupun akademisi. Salah satunya adalah dengan menekan biaya secara efisiensi baik secara finansial maupun ekonomi.1.2. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat efisiensi finansial dan ekonomi usaha yam pedaging di Kabupaten Malang.

II. METODE PENELITIAN

2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data dilaksanakan selama 3 bulan, dari 5 April 2015 sampai Juni 2015 dengan metode survei. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive di Kabupaten Malang dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Malang merupakan sentra produksi peternakan ayam pedaging terbesar pertama di Provinsi Jawa Timur,

2.2. Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini terdiri peternak plasma (kontrak) ayam pedaging, Kemitraan Pabrikan atau Kemitraan Mandiri, dan pedagang/pemotong besar (whole seller) yang memiliki Rumah Potong Ayam (RPA). Jumlah peternak plasma di Kabupaten Malang sebanyak 533 orang (Disnakkeswan, 2010) dengan sebaran populasi antara 2.000-12.000 ekor dan rata-rata 5.528 ekor (Bahari, 2010). Sesuai SK Mentan No. 362/Kpts/TN.120/5/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Ijin dan Pendaftaran Usaha Peternakan, peternakan ayam pedaging di bawah populasi 15.000 ekor/siklus masuk kategori peternakan rakyat yang pendiriannya tidak memerlukan ijin usaha, atau identik dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UKM). Sampel ditentukan sebanyak 69 peternak.

3

Page 4: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

2.3. Jenis Data

Jenis data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara dan penyebaran kuisioner kepada peternak, perusahaan kemitraan, dan pedagang besar. Data yang diambil dari peternak meliputi identitas responden, biaya produksi (jumlah dan harga input), penerimaan (jumlah dan harga output), selama periode produksi tahun 2014. Data primer dari perusahaan kemitraan meliputi identitas responden, perkembangan harga input dan output ayam pedaging selama tahun 2014. Data primer dari pedagang besar meliputi identitas responden, kapasitas pembelian/pemotongan ayam, harga beli ayam, biaya pemotongan dan pemasaran, serta harga jual daging ayam (karkas) selama tahun 2014. Data sekunder yang diperlukan seperti populasi ayam pedaging, perkembangan harga input dan output ayam pedaging, perkembangan nilai tukar rupiah, harga impor dan ekspor input dan output ayam pedaging, dan tarif bea masuk, diperoleh dari Dinas/Instansi terkait seperti Dinas Peternakan, Perusahaan Peternakan, Dinas Perdagangan, Kantor Bea Cukai, PT Pelindo, dan Bank Indonesia, dan sebagainya.

2.4. Metode Analisis Data

Secara umum konsep efisiensi adalah maksimisasi keuntungan. Tingkat efisiensi ditunjukkan oleh indikator keuntungan privat dan keuntungan sosial. Pada keuntungan privat, penerimaan dan biaya dihitung berdasarkan harga aktual (harga pasar) yang diterima dan dibayar oleh peternak. Harga tersebut telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah berupa subsidi, proteksi, bea masuk, pajak, atau kebijakan lainnya. Keuntungan privat mengukur daya saing (competitiveness) pada tingkat harga privat (Pearson dkk., 2005). Apabila suatu sistem agribisnis memperoleh keuntungan privat positif, berarti agribisnis tersebut mampu bersaing pada tingkat harga aktual, di mana termasuk di dalamnya dampak distorsi kebijakan dan kegagalan pasar. Pada Tabel PAM Keuntungan Privat atau Private Profitability (PP) dihitung dengan rumus D=A-(B+C).

Pada keuntungan sosial, penerimaan dan biaya dihitung berdasarkan harga sosial (harga efisiensi) yang mencerminkan social opportunity cost. Keuntungan sosial mengukur keunggulan komparatif (comparative advantage) pada tingkat harga efisiensi (Pearson dkk., 2005). Suatu output dinilai dalam harga efisiensi untuk mengukur seberapa besar penerimaan yang akan diterima oleh perekonomian secara keseluruhan dengan memproduksi satu unit komoditas ekspor, atau seberapa besar penghematan yang akan dilakukan dengan tidak mengimpor satu unit komoditas impor. Apabila sebuah sistem agribisnis menghasilkan keuntungan sosial positif, berarti agribisnis tersebut bisa bersaing pada tingkat harga internasional tanpa kebijakan pemerintah apa pun. Pada Tabel PAM Keuntungan Sosial atau Social Profitability (SP) dihitung dengan rumus H= E–(F+G).

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1. Identifikasi Input dan Output

Pada peternakan ayam pedaging bahan baku berupa sarana produksi yang digunakan seperti bibit ayam (DOC, day old chick), pakan, obat, vaksin dan desinfektan, dan sapronak lainnya. Unang (2005) menyebutkan bahwa komponen input tradabel pada produksi ayam pedaging adalah DOC, pakan, OVD (obat, vitamin, vaksin, desinfektan), dan bahan bakar pemanas (gas), sedangkan faktor domestik terdiri atas

4

Page 5: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

biaya tenaga kerja, modal (bangunan kandang, tempat pakan, tempat minum, alat pemanas), dan sewa lahan. Komponen input untuk peternakan ayam pedaging di Kabupaten Malang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Input Output Produksi Kemitraan Ayam Pedaging di Kabupaten Malang Tahun 2015

Input/Output Satuan Skala ≤ 5000 Skala > 5000Input TradableDOC Ekor 17.014 31.686Pakan Kg 56.505 101.723OVD Unit 189 194Gas Kg 893 1.664Faktor DomestikTenaga kerja Rp/ekor hidup 300 300Listrik kWh 608 1.132Sekam Rp/ekor 250 250Lahan m2 697 1.506Modal investasi Rp/tahun 5.504.718 11.886.344Kandang m2 436 941Pemanas Unit 4 8Tempat pakan Unit 117 251Tempat minum Unit 59 126Lain-lain Rp/ekor 150 150OutputPengangkutan, Pemotongan dan Pemasaran

Rp/kg 1000 1.000

Ayam hidup Ekor 15.714 29.899Ayam hidup Kg 31.093 59.319Karkas Kg 21.765 41.523Ket.: DOC (bibit ayam), OVD (obat, vaksin, vitamin, desinfektan),

Jumlah DOC yang dipelihara peternak bervariasi antara 1.500-14.400 ekor menyesuaikan kapasitas kandang, dengan rata-rata 3.486 ekor per periode (17.014 ekor per tahun) untuk peternak skala ≤ 5000 ekor, dan 7.528 ekor per periode (31.686 ekor per tahun) untuk peternak skala > 5000 ekor. Skala usaha peternak ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Siswoyo (2002) dan Bahari (2010) yang menyebutkan sebaran DOC peternak plasma di Kabupaten Malang masing-masing antara 2.500-12.000 ekor dan 2.000-12.000 ekor. Rata-rata jumlah pakan yang dihabiskan sebanyak 56.505 kg per tahun untuk peternak skala ≤ 5000 ekor, dan 101.723 kg per tahun untuk peternak skala > 5000 ekor.

Peternak umumnya menggunakan tenaga kerja pria, baik tenaga keluarga maupun tenaga upahan. Jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan antara 1-2 orang untuk setiap 5.000 ekor ayam. Tenaga kerja ini melakukan pekerjaan antara lain: (1) pembersihan kandang, kebersihan lingkungan (biosekuriti), pencucian peralatan, dan persiapan DOC masuk, (2) pemeliharaan (pemberian pakan dan minum, vaksinasi, desinfeksi, dan pengobatan, pengaturan pemanas, dan tirai kandang), dan (3) panen dan pengangkutan. Kesibukan harian tenaga kerja adalah pemberian pakan dan minum, selebihnya menjalankan fungsi pengawasan.

5

Page 6: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

Peternak menggunakan barang modal berupa kandang, alat pemanas (brooder), tempat pakan, dan tempat minum. Luas kandang menentukan secara proporsional kepadatan populasi ayam dan peralatan yang digunakan. Luas kandang yang dimiliki peternak antara 188-1800 m2, dengan kepadatan rata-rata 8 ekor/m2, sedangkan kapasitas alat pemanas 1.000 ekor/unit, tempat pakan 30 ekor/unit, dan tempat minum 60 ekor/unit.

Peternak memelihara ayam sebanyak 2-6 siklus produksi, dengan rata-rata 5 siklus untuk peternak skala ≤ 5000 ekor dan 4 siklus untuk peternak skala > 5000 ekor dalam satu tahun. Satu siklus produksi adalah masa pemeliharaan ayam dari DOC sampai umur panen antara 32-47 hari. Ayam dipanen dengan bobot antara 1,54-2,29 kg/ekor, dengan konversi pakan 1,62-2,06. Selama satu siklus produksi jumlah ternak yang dipanen mencapai 94 persen atau mengalami kematian sebanyak 6 persen, lebih tinggi daripada mortalitas standar 4,5 persen. Tingkat mortalitas tersebut sesuai dengan hasil penelitian Zalizar dan Rahayu (2000) dan Siswoyo (2002) bahwa tingkat mortalitas ayam pedaging pada pola kemitraan di Kabupaten Malang mencapai 5-10 persen dan 5,67 persen. Tingginya angka mortalitas ini selain karena faktor alam (iklim/cuaca) dan serangan penyakit, diduga juga disebabkan kebiasaan peternak mengurangi penggunakan vaksin dan obat untuk menghemat biaya produksi.

3.1.1. Harga Privat dan Harga Sosial Input dan Output

Harga privat untuk komoditas tradabel, baik input maupun output, dan barang-barang impor maupun ekspor, diperoleh dari harga pasar (aktual) pada tingkat peternak, sementara harga sosial untuk produk-produk tersebut adalah border price (harga impor untuk importables, dan harga ekspor untuk exportables). Harga pasar untuk input (DOC, pakan, dan OVD) dan output (ayam hidup) di tingkat peternak adalah harga kontrak yang telah disepakati antara perusahaan mitra dan peternak mitra. Harga sosial (harga efisiensi) untuk barang-barang tradabel adalah harga internasional (harga dunia) untuk barang sejenis (comparable) yang merupakan ukuran social opportunity cost terbaik bagi barang-barang tersebut. Untuk sebuah importable (barang yang diimpor), harga impor barang tersebut menunjukkan opportunity cost untuk menghasilkan tambahan satu unit produk untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Untuk sebuah exportable (barang yang dieskspor), harga ekspor barang tersebut menunjukkan opportunity cost satu unit tambahan produksi domestik untuk diekspor, bukan untuk konsumsi dalam negeri. Untuk menetapkan harga sosial digunakan harga perbatasan (border prices) fob (free on board) jika input atau output sedang diekspor atau barang ekspor potensial di masa mendatang, dan memakai harga cif (cost, insurance and freight) jika input atau output sedang diimpor atau kemungkinan diimpor. Hal ini dilakukan karena harga sosial sungguhan yang berlaku dalam keadaan pasar bersaing sempurna dan pada kondisi keseimbangan tidak pernah ada (Gittingger, 2008).

Perhitungan harga sosial untuk barang non-tradabel berbeda dengan barang tradabel. Harga privat untuk non-tradabel diambil dari harga pasar (aktual) pada tingkat peternak seperti pada barang tradabel, namun tidak ada harga dunia (border price) untuk non-tradabel yang bisa digunakan sebagai harga efisiensi. Harga sosial untuk barang non-tradabel diestimasi dengan mengurangkan divergensi yang terjadi, baik karena distorsi kebijakan maupun kegagalan pasar, dari harga privatnya. Bila dampak divergensi tidak bisa diestimasi, langkah berikutnya adalah mencari harga barang substitusinya untuk digunakan sebagai proxy dari harga sosial barang-barang non-

6

Page 7: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

tradabel. Bila langkah ini pun tidak bisa dilakukan, maka langkah yang mungkin dilakukan adalah menggunakan harga barang atau substitusinya di negara tetangga.

Tabel 2. Harga Privat dan Sosial Input Output Kemitraan Ayam Pedaging di Kabupaten Malang Tahun 2015

Komponen Satuan Skala ≤ 5000 Skala > 5000Privat Sosial Privat Sosial

Input TradableDOC Rp/ekor 4.671 4.671 4.465 4.465Pakan Rp/ekor 4.901 4.741 5.208 5.038OVD Rp/unit 48.022 46.548 62.432 60.516Gas Rp/kg 4.500 6.250 4.500 6.250Faktor DomestikTenaga kerja Rp/ekor 300 300 300 300Listrik Rp/kWh 420 1.163 420 1.163Sekam Rp/ekor 250 250 250 250Lahan Rp/m2 1.500 1.500 1.500 1.500Bunga bank %/tahun 12,1 12,1 12,1 12,1CR Kandang Rp/ekor 883 883 883 883CR Pemanas Rp/ekor 70 70 70 70CR Tempat pakan Rp/ekor 209 209 209 209CRTempat minum Rp/ekor 417 417 417 417Pengangkutan, Pemotongan dan Pemasaran

Rp/ekor 1.000 1000 1.000 1.000

Lain-lain Rp/ekor 150 150 150 150OutputAyam hidup Rp/kg 11.912 11.912 12.504 12.504Karkas Rp/kg 19.733 21.220 19.674 21.220

Ket.: DOC (bibit ayam), OVD (obat, vaksin, vitamin, desinfektan), CR (Capital Recovery, pemulihan modal)

3.1.2. Harga Input Tradabel

a. DOC (day old chick, bibit ayam)

Pada periode awal perintisan usaha peternakan ayam ras tahun 1950-1970 bibit ayam ras adalah komoditas impor. Pada dekade 1960-an yang diimpor adalah ayam Final Stock (bibit komersial). Ayam ini kemudian dibibitkan hingga menghasilkan anak-anak ayam turunan pertama (F1), turunan kedua (F2), dan seterusnya, yang akhirnya mengalami kemunduran mutu. Pada tahun 1968-1969 untuk pertama kali Indonesia mengimpor Parent Stock (ayam bibit induk) dari Amerika dan Jepang (ASOHI, 2001). Sejak tahun 1984 pemerintah melarang impor DOC, dan hanya mengijinkan impor Grand Parent Stock (GPS) dan Parent Stock (PS). Strain GPS ayam ras pedaging (broiler) impor adalah strain Cobb, Ross 308, Ross Avia gen, Lohman meat, Hybro PG/PN, Hubbard (Ditjennak, 2008). Ayam broiler PS hanya sebagian yang impor, terutama bila diperhitungkan konsumsi ayam pedaging (broiler) di dalam negeri kekurangan. Pemasukan DOC GPS ayam pedaging triwulan ketiga tahun 2011 sebanyak 134.613 ekor, sedangkan DOC PS sebesar 194.301 ekor (PI, 2011). Bibit ayam broiler FS tidak ada yang berasal dari impor, tetapi diproduksi di dalam negeri.

7

Page 8: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

Pada penelitian ini harga sosial DOC FS dihitung sama dengan harga kontrak yaitu sebesar Rp 4.671,00/ekor untuk skala ≤ 5000 ekor dan Rp 4.465,00/ekor untuk skala > 5000 ekor, dengan pertimbangan bahwa bibit ayam pedaging FS sudah bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri sejak pemerintah melarang impor DOC tahun 1984. Pertimbangan kedua bahwa kemungkinan adanya collusive price (harga kolusif) di industri pembibitan ayam pedaging di Indonesia adalah sangat kecil (Wiyono, 2006) Hal ini dilandasi oleh hasil penelitian terhadap perilaku penetapan harga masing-masing perusahaan pembibit yang menunjukkan adanya uncoordinated-pricing (penetapan harga tak terkoordinasi) di antara perusahaan-perusahaan pembibit, di mana mereka berlomba-Iomba menawarkan harga terendah pada periode permintaan rendah (low demand) dan menetapkan harga setinggi mungkin pada periode kelebihan permintaan (excess demand). Fluktuasi permintaan DOC tidak mendorong terjadinya kolusi diantara perusahaan pembibit baik pada kondisi permintaan rendah maupun tinggi, dan sebaliknya, f1uktuasi permintaan DOC menciptakan disinsentif untuk melakukan kolusi karena berakibat pada inefektivitas pemberian punishment (hukuman) terhadap perusahaan yang melanggar perjanjian. b. Pakan dan OVD

Pakan dan OVD (obat, vaksin, vitamin, dan desinfektan) merupakan dua jenis input yang mengandung komponen asing. Tangenjaya dkk. (2002) menyatakan bahwa komponen terbesar dalam pakan ternak ayam ras adalah jagung 51,4 persen, diikuti oleh bungkil kedelai 18,0 persen, dedak/bekatul 15,0 persen, pollard 10,0 persen, tepung ikan 5,0 persen, dan feed supplement sebesar 0,5 persen. Pasokan bahan pakan sebagian besar masih tergantung pada impor, seperti jagung mencapai 40-50 persen; bungkil kedelai 95 persen; tepung ikan 90-92 persen; tepung tulang dan vitamin (feed additive) hampir 100 persen impor (Saptana dan Rusastra, 2001). Berdasarkan pendapat tersebut dapat diperhitungkan bahwa komponen asing pada pakan adalah sebesar 60 persen (Lampiran 5.3). Dalam hal OVD, Suatmojo (2007) menyatakan bahwa Indonesia masih mengimpor sebanyak 55 persen bahan baku obat untuk hewan dari luar negeri, terutama sebagai bahan baku antibiotik dan desinfektan. Perhitungan harga sosial pakan dan OVD menggunakan harga cif dengan mengeluarkan bea masuk pada komponen asing sebesar 5% sesuai PMK No. 88/PMK.011/2010 dan mengalikan komponen domestik dengan SCF (standard conversion factor). Hasil perhitungan harga sosial pakan dan OVD menghasilkan harga Rp 4.870,00/kg pakan dan Rp 52.621,00/unit OVD

Komponen utama pakan ayam adalah jagung dari sekitar 30 jenis bahan baku yang digunakan, dengan tingkat penggunaan berkisar antara 45-55 persen. Penggunaan jagung yang dominan ini disebabkan oleh harganya yang relatif murah, mengandung kalori yang tinggi, mempunyai protein dengan asam amino yang lengkap, mudah diproduksi, dan digemari oleh ternak. Tingkat kebutuhan jagung untuk pakan ayam pedaging tahun 2009 mencapai 1.043.315 ton (19,87%) dari total kebutuhan jagung sebanyak 3,25 juta ton dengan tingkat pertumbuhan 6,85 persen per tahun (Balitbangtan, 2011). Dominasi kebutuhan jagung untuk pakan ayam pedaging sepola dengan lokasi ternak, di mana Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat kedua setelah Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 122.916 ton (11,78%) dari kebutuhan nasional 1.043.315 ton. Jika dilihat dari aspek produksi, terlihat pada Tabel 5.11 bahwa selama kurun waktu 2000-2008 peningkatan produksi jagung cukup signifikan yaitu 6,3%/tahun. Keberhasilan peningkatan produksi jagung domestik tampak konsisten dengan semakin menurunnya impor jagung sebesar 8,63%/tahun, bahkan ekspor jagung cenderung meningkat sebesar 10,88%/tahun.

8

Page 9: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

Tabel 5.3 Perkembangan Produksi, Impor, Ekspor, dan Kebutuhan Jagung untuk Pakan Ayam Pedaging di Indonesia

Tahun Produksi(ton)

Impor(ton)

Ekspor(ton)

Pakan Ayam Pedaging

(ton)2007 9.676.899 1.286.466 28.234 -2008 9.347.192 1.083.792 90.823 -2009 9.654.105 1.205.086 16.617 -2010 10.886.442 1.370.857 34.318 -2011 11.225.243 1.111.638 52.287 -2012 12.523.894 226.040 59.732 1.480.3072013 11.609.463 1.830.718 28.930 1.636.3982014 13.287.527 794.655 102.636 1.791.2902015 16.317.252 170.000 100.000 1.935.595

Trend (%/thn) 6,30 -8,63 10,88 6,85Sumber: Balitbangtan (2015)

c. Gas

Peternak menggunakan gas sebagai bahan bakar pemanas (brooder) menggantikan minyak tanah. Gas yang digunakan adalah gas bersubsidi pada tabung 3 kg seharga Rp 4.500,00/kg. Harga sosial gas menggunakan standar harga gas tanpa subsidi yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar Rp 6.500,00/kg. Tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pemakaian gas tahun 2010 sebesar 63,4 persen (Kementerian ESDM, 2011). Realisasi tersebut melebihi TKDN 2010 yang ditargetkan berdasarkan cetak biru Kementerian ESDM sebesar 55 persen.

3.1.3. Harga Faktor Domestik

a. Tenaga kerja

Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa hampir semua tenaga kerja yang digunakan pada usaha budidaya ayam pedaging adalah tenaga kerja tidak terampil. Hal ini sesuai dengan hasil-hasil penelitian yang dilakukan pada berbagai usahatani di berbagai daerah di Indonesia bahwa hampir seluruh tenaga kerja yang dipakai di usahatani di perdesaan adalah tenaga kerja tidak terampil (Pearson dkk., 2005). Upah tenaga kerja privat untuk semua kategori tenaga kerja tidak terampil di perdesaan dapat digunakan sebagai penduga yang baik untuk upah sosialnya. Tingkat upah privat tenaga kerja diketahui sebesar Rp 300,00/ekor ayam hidup. Tingkat upah tersebut juga merupakan tingkat upah sosial tenaga kerja.

b. Modal Investasi

Perhitungan biaya pemulihan modal (capital recovery cost, CRC) dari kandang dan aset tetap didasarkan pada informasi tentang biaya pemulihan modal dari sebuah investasi, termasuk di dalamnya biaya investasi awal bangunan kandang, alat, umur ekonomis, dan nilai sisa. Biaya bersih adalah biaya awal dikurangi present value (nilai sekarang) dari nilai sisa. Umur ekonomis bangunan kandang diperkirakan 10 tahun, sedangkan alat pemanas dan alat lain masing-masing 5 dan 3 tahun (Unang, 2005). Recovery cost per tahun adalah perkalian antara recovery ratio dengan biaya bersih. Tingkat suku bunga yang digunakan dalam perhitungan biaya pemulihan modal adalah

9

Page 10: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

suku bunga kredit investasi bank umum tahun 2010 sebesar 12,10% (BI, 2010). Bunga privat dan bunga sosial diperhitungkan sama karena tidak ada kredit program pemerintah dengan bunga lebih rendah untuk usaha budidaya ayam pedaging.

Berdasarkan informasi peternak, diperlukan biaya investasi awal kandang sebesar Rp 5.000,00/ekor, pemanas Rp 250,00/ekor, tempat pakan Rp 500,00/ekor, dan tempat minum Rp 1.000,00/ekor. Berdasarkan umur ekonomis, nilai sisa, dan tingkat bunga, diperoleh biaya pemulihan modal per tahun untuk kandang Rp 883,00/ekor, pemanas Rp 70,00/ekor, tempat pakan Rp 209,00/ekor, dan tempat minum Rp 417,00/ekor (Lampiran 5.5).

c. Sewa lahan

Penilaian atas lahan sangat tergantung pada pihak yang memanfaatkan, tujuan, dan lokasinya. Lahan yang sama bisa berbeda nilainya bagi orang/pihak yang berbeda. Jika lahan berfungsi sebagai faktor produksi, maka harga dan nilainya harus mencerminkan kegunaannya dalam menghasilkan sesuatu yaitu nilai produksi bersih lahan tersebut selama jangka waktu tertentu, sedangkan jika lahan tersebut disewakan, maka harga sewanya dapat dianggap mencerminkan nilai lahan tersebut (Soetriono, 2006). Gittinger (2008) menaksir harga bayangan lahan dengan menggunakan sewa yang diperhitungkan tiap musim. Pada penelitian ini, harga sosial lahan diperhitungkan sama dengan harga sewa aktualnya yaitu Rp 1.500,00/m2.

d. Listrik

Peternak menggunakan aliran listrik untuk keperluan penerangan dan penggerak pompa air. Kebutuhan listrik tergolong pelanggan golongan R1 dengan batas daya 900 VA. Jumlah pemakaian arus listrik rata-rata per bulan 70 kWh dengan tarif bersubsidi Rp 420,00/kWh (PLN, 2010). Harga sosial tarif listrik diperhitungkan tarif tanpa subsidi sebesar biaya pokok produksi (BPP) listrik Rp 1.163,00/kWh (PLN, 2010). TKDN untuk pembangkit listrik di Jawa Bali adalah sebesar 40% (Depperin, 2007).

3.1.4. Harga Nilai Tukar

Harga sosial nilai tukar adalah harga bayangan domestik dalam kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang yang bersaing sempurna (Budiharsono, 2001). Harga sosial nilai tukar rupiah ditetapkan berdasarkan pendekatan SCF (Standard Conversion Factor), yaitu dengan membandingkan semua nilai impor dan ekspor (berdasarkan harga batas) dengan nilai-nilai berdasarkan harga domestik. Secara matematis formulasi untuk mencari nilai SCF tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Gittinger, 2008):

SCF= M +X( M +Tm)+( X−Tx )

SER=OERSCF

dimana:M = nilai imporX = nilai eksporTm = nilai pajak imporTx = nilai pajak eksporSCF = faktor konversi baku (Standar Conversion Factor)SER = nilai tukar bayangan (Shadow Exchange Rate)

10

Page 11: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

OER = nilai tukar resmi (Official Exchange Rate)Pada tahun 2015 nilai ekspor dan impor Indonesia masing-masing sebesar

157.779.103.470 US$ dan 135.663.284.048 US$, sedangkan pajak ekspor dan impor masing-masing sebesar Rp 5.454 milyar dan Rp 17.107 milyar (BPS, 2011). Berdasarkan angka-angka tersebut diperoleh nilai SCF 0,99 dan SER 9, 3.1.5.

Harga yang digunakan untuk mengukur harga sosial output adalah harga perbatasan (border price) karena sebagian daging ayam merupakan komoditas impor. Pada penelitian ini harga sosial output yang digunakan adalah harga cif daging ayam impor dari Amerika Serikat. Data BPS (2011) menunjukkan bahwa selama periode 2006-2010 Indonesia mengimpor daging ayam sebanyak 7.488 ton senilai 11.459.193 US$. Ke dalam harga cif kemudian ditambahkan biaya transpor dan pemasaran sampai ke pedagang besar (whole seller) di Malang, sehingga diperoleh harga sosial daging ayam sebesar Rp 21.220,00/kg (Lampiran 5.7). Harga sosial daging ayam lebih mahal jika dibandingkan dengan harga aktual sebesar Rp 19.427,00/kg. 3.1.6. Anggaran Privat dan Anggaran Sosial

Anggaran privat dan anggaran sosial (Lampiran 5.8) diperoleh dengan mengalikan kuantitas input dan output (Tabel 5.9) dengan harga harga privat dan harga sosial per unit masing-masing komponen (Tabel 5.10). Struktur biaya privat produksi daging ayam di Kabupaten Malang tahun 2010 sebesar Rp 418.170.354,00 (19.154,00/kg) untuk skala ≤ 5000 ekor dan Rp 782.988.826,00 (Rp 18.967,00/kg), sedangkan biaya sosialnya masing-masing Rp 410.879.661,00 (Rp 18.822,00/kg) dan Rp 769.147.995,00 per tahun (Rp 18.635,00/kg). Biaya privat usaha peternakan ayam pedaging pada kedua skala usaha lebih mahal daripada biaya sosialnya. Hal ini utamanya disebabkan peternak menanggung harga privat pakan Rp 4.901,00-5.208,00/kg, lebih mahal daripada harga sosial pakan Rp 4.741,00-5.038,00/kg.

Jika diuraikan berdasarkan sifatnya, sebagian besar (87-88%) biaya berasal dari input tradabel seperti DOC, pakan, OVD, dan gas, sedangkan 12-13 persen sisanya berasal dari input non tradabel, seperti tenaga kerja, listrik, peralatan, sewa lahan, bunga modal, sekam, pemotongan dan pengangkutan.

Gambar 1a.. Biaya Input Tradabel dan Non Tradabel (Rp/tahun)

11

Page 12: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

Gambar 1b. Biaya Input Tradabel dan Non Tradabel (Rp/kg)

Jika diuraikan berdasarkan komponen asing dan domestik, di dalam input tradabel maupun non tradabel terdapat komponen asing sebanyak 41-42 persen dan 58-59 persen komponen domestik (Gambar 1a dan Gambar 1b). Beberapa input yang mengandung komponen asing antara lain pakan 60 persen (domestik 40 persen), OVD 55 persen (domestik 45 persen), gas 36,6 persen (domestik 63,4 persen), dan listrik 60 persen (domestik 40 persen), sedangkan input lainnya, seperti DOC, tenaga kerja, lahan, sewa lahan, bunga bank, pemotongan dan pemasaran, diperhitungkan mengandung 100 persen komponen domestik. Penggunaan komponen domestik tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan hasil penelitian Saptana dan Saptana (2001) bahwa komponen domestik DOC 35 persen, pakan 51,21 persen, listrik 50 persen, dan pemasaran dan pemotongan 60 persen.

Gambar 2a. Biaya Komponen Asing dan Domestik (Rp/tahun)

12

Page 13: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

Gambar 2b. Biaya Komponen Asing dan Domestik (Rp/kg)

Berdasarkan penggunaannya, sebagian besar (66-68%) biaya produksi tersebut digunakan untuk biaya pakan, sedangkan sisanya adalah untuk DOC 17-19 persen, pemotongan dan pemasaran 7-8 persen, OVD 1-2 persen, dan tenaga kerja sekitar 1 persen. Hasil perhitungan tersebut berbeda dengan hasil penelitian Saptana dan Rusastra (2001) di Bogor dan Tasikmalaya bahwa biaya ransum ayam ras pedaging berkisar antara 50-65 persen, Unang (2003) di Tasikmalaya bahwa biaya pakan sekitar 57 persen dari biaya total, Yunus (2009) di Palu bahwa biaya pakan sebesar 73,54 persen, dan Bahari (2010) di Malang bahwa biaya pakan peternak kemitraan mencapai 77,39 persen. Perbedaan persentase biaya produksi tersebut disebabkan perbedaan harga masing-masing input di lokasi dan waktu berbeda.3.2.. Analisis Efisiensi

Tingkat efisiensi ditunjukkan oleh indikator keuntungan privat dan keuntungan sosial. Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. Pada analisis PAM, keuntungan merupakan excess profit atau return to management, yaitu nilai lebih setelah semua biaya diperhitungkan. Pada keuntungan privat, penerimaan dan biaya dihitung berdasarkan harga kontrak yang diterima dan dibayar oleh peternak. Harga tersebut telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah berupa subsidi, proteksi, bea masuk, pajak, atau kebijakan lainnya. Keuntungan privat mengukur daya saing (competitiveness) pada tingkat harga privat dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan (Rachman dkk., 2004; Pearson dkk., 2005). Apabila suatu sistem agribisnis memperoleh keuntungan privat positif, berarti agribisnis tersebut mampu bersaing pada tingkat harga aktual, di mana termasuk di dalamnya dampak distorsi kebijakan dan kegagalan pasar. Daya saing tidak hanya berkaitan dengan pihak produsen (peternak, pedagang, pengolah) hasil-hasil pertanian, tetapi juga pengambil kebijakan sektor pertanian, lebih dari itu daya saing juga menjadi perhatian pengambil kebijakan yang terkait dengan pengembangan investasi dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karena investasi harus mampu meningkatkan keuntungan privat bila diharapkan peternak bersedia mengembangkan agribisnisnya.

Pada keuntungan sosial, penerimaan dan biaya dihitung berdasarkan harga sosial (harga efisiensi) yang mencerminkan social opportunity cost. Keuntungan sosial

13

Page 14: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

mengukur keunggulan komparatif (comparative advantage) pada tingkat harga efisiensi (Pearson dkk., 2005). Suatu output dinilai dalam harga efisiensi untuk mengukur seberapa besar penerimaan yang akan diterima oleh perekonomian secara keseluruhan dengan memproduksi satu unit komoditas ekspor, atau seberapa besar penghematan yang akan dilakukan dengan tidak mengimpor satu unit komoditas impor. Semua input, yang terdiri atas input tradabel dan faktor domestik, dinilai pada tingkat harga efisiensi untuk menduga berapa besar pendapatan nasional yang hilang sebagai akibat digunakannya sumberdaya untuk memproduksi suatu komoditas. Efisiensi menunjukkan bagaimana sumberdaya yang langka dialokasikan untuk menghasilkan output dan pendapatan sebesar-besarnya. Apabila sebuah sistem agribisnis menghasilkan keuntungan sosial positif, berarti agribisnis tersebut mampu bersaing pada tingkat harga internasional tanpa kebijakan pemerintah apa pun.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa keuntungan privat peternak pada kedua skala usaha lebih rendah daripada penerimaan sosialnya. Hal ini disebabkan peternak memperoleh harga privat karkas Rp 19.733,00-19.674,00/kg, lebih murah daripada harga sosial karkas Rp 21,220,00/kg. Selisih penerimaan dan biaya memberikan keuntungan privat pada kemitraan ayam pedaging di Kabupaten Malang sebesar Rp 8.689.809,00 (Rp 579,00/kg) untuk skala ≤ 5000 ekor dan Rp 27.186.579,00 (Rp 707,00/kg) untuk skala > 5000 ekor, lebih rendah daripada keuntungan sosialnya masing-masing sebesar Rp 50.970.048,00 (Rp 2.398,00/kg) dan Rp 111.979.401,00 (Rp 2.585,00/kg) (Gambar 5.7a dan Gambar 5.7b).

Gambar 3a. Biaya, Penerimaan, dan Keuntungan (Rp/tahun)

14

Page 15: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

Gambar 3b. Biaya, Penerimaan, dan Keuntungan (Rp/kg)

Perbedaan keuntungan juga terjadi pada kedua skala usaha, di mana skala ≤ 5000 ekor memperoleh keuntungan yang lebih rendah daripada skala > 5000 ekor. Perbedaan keuntungan privat antara kedua skala usaha disebabkan oleh faktor ekonomis maupun faktor teknis. Dilihat dari faktor ekonomis, peternak skala usaha ≤ 5000 ekor ternyata memperoleh harga input (pakan dan OVD) dan harga output lebih murah daripada peternak skala > 5000 ekor (Tabel 5.10). Hal ini terjadi karena penentuan harga kontrak input tidak mempertimbangkan skala usaha peternak, melainkan dengan pertimbangan harga input dari pabrik, sedangkan penentuan harga output (ayam hidup) mempertimbangan efisiensi teknis yang dicapai peternak. Ditinjau dari sisi teknis, peternak skala > 5000 ekor menghasilkan nilai konversi pakan (FCR), bobot badan (BW), dan mortalitas ayam yang lebih baik daripada skala usaha ≤ 5000 ekor (Gambar 5.8). Angka konversi pakan, bobot badan, dan mortalitas ayam peternak skala usaha > 5000 ekor masing-masing sebesar 1,74, 2,00 kg, dan 6,90 persen, sedangkan pada skala usaha ≤ 5000 ekor masing-masing sebesar 1,81, 1,99 kg, dan 8,21 persen. Ketiga indikator teknis tersebut menunjukkan bahwa manajemen pemeliharaan ayam pedaging pada skala usaha > 5000 ekor lebih baik daripada skala usaha ≤ 5000 ekor. Rata-rata konversi pakan (1,77), bobot badan (1,99 kg), dan mortalitas (7,23 persen) dalam penelitian ini ternyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Siswoyo (2002) di Kabupaten Malang dengan hasil konversi pakan 1,76, bobot badan 1,67 kg, dan mortalitas 5,67 persen. Perbedaan angka konversi pakan diduga berkaitan dengan perbedaan umur panen, di mana semakin tua umur panen semakin rendah konversi pakan (angka FCR semakin besar), sedangkan perbedaan angka mortalitas diduga pengaruh intensitas penyebaran penyakit seperti flu burung yang meningkat sejak tahun 2003.

15

Page 16: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

Gambar 4. FCR, Bobot Badan (kg), dan Mortalitas Ayam (%)

Efisiensi teknis peternak skala > 5000 ekor yang lebih baik menghasilkan harga ayam Rp 12.504,00/kg, lebih mahal dibandingkan harga ayam peternak skala ≤ 5000 sebesar Rp 11.912,00/kg, sedangkan harga karkas sedikit lebih murah yaitu Rp 19.674,00/kg dan Rp 19.733/kg. Perbedaan faktor ekonomis dan teknis menghasilkan biaya privat rata-rata skala > 5000 ekor dan skala ≤ 5000 ekor masing-masing Rp 18.967,00/kg karkas dan Rp 19.154,00/kg, penerimaan masing-masing Rp 19.674,00/kg dan Rp 19.733/kg karkas, dan keuntungan masing-masing Rp 579,00/kg karkas dan Rp 707,00/kg karkas (Gambar 5.7b).

Keuntungan privat positif membuktikan bahwa agribisnis ayam pedaging di Kabupaten Malang menguntungkan dan mampu berekspansi. Hal ini dibuktikan oleh perkembangan agribisnis ayam pedaging di Kabupaten Malang yang paling pesat dibandingkan daerah lain di Propinsi Jawa Timur. Populasi ayam pedaging di Kabupaten Malang merupakan yang terbesar di Propinsi Jawa Timur, yaitu 16.020.443 ekor (28,11%) dari 56.993.631 ekor populasi Jawa Timur (Disnak Jatim, 2011). Populasi ayam pedaging tersebut memberi kontribusi sebesar 11.391 ton (7,13%) daging ayam dari total produksi daging ayam di Propinsi Jawa Timur sebesar 159.671 ton. Keuntungan sosial positif menunjukkan bahwa agribisnis ayam pedaging di Kabupaten Malang merupakan usaha yang efisien dan memiliki potensi untuk ekspor. Keuntungan privat yang lebih rendah daripada keuntungan sosial disebabkan peternak menerima harga output aktual yang lebih murah daripada harga efisiensinya dan membayar biaya input pada harga aktual yang lebih mahal daripada pada harga sosialnya.

Pada analisis yang sama, penelitian di Tasikmalaya juga menunjukkan bahwa semakin besar skala usaha maka semakin besar tingkat keuntungannya. Saptana dan Rusastra (2001) menunjukkan bahwa keuntungan finansial peternak skala 4.000 ekor

16

Page 17: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

sebesar Rp 360,00 dan skala 6.000 ekor sebesar Rp 453,00, sedangkan keuntungan ekonomisnya masing-masing Rp 2.076,00 dan Rp 2.029,00 per siklus. Di lokasi yang sama, penelitian Unang (2003) menunjukkan bawa usaha kemitraan ayam pedaging skala < 2000 ekor menghasilkan keuntungan privat sebesar Rp 1.240.732,00 dan skala > 2000 sebesar Rp 1.525.875,00, dan keuntungan sosial masing-masing Rp 2.671.823,00 dan Rp 2.993.913,00 per siklus produksi. Di Sidrap Sulawesi Selatan, penelitian Gusasi dan Saade (2006) juga menyimpulkan bahwa semakin besar skala usaha, maka semakin besar tingkat efisiensinya. Pada skala pemeliharaan 1000 ekor, peternak di Sidrap menghasilkan keuntungan Rp 1.235.950,00 dan efisiensi usaha sebesar 1,12, sedangkan pada skala 2500 mendapat keuntungan Rp 4.294.150,00 dan efisiensi 1,18.

Tingkat keuntungan peternak berkorelasi positif dengan skala usaha, semakin besar skala usaha maka semakin besar tingkat keuntungannya. Oleh karena itu, perusahaan mitra dan pemerintah perlu membantu peternak meningkatkan skala usahanya dalam upaya meningkatkan profitabilitas usahanya. Hal ini dapat dilaksanakan misalnya dengan memberikan kredit lunak yang mudah dijangkau oleh peternak bagi pengembangan usaha peternakan rakyat ayam pedaging.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa: usaha peternakan ayam pedaging di Kabupaten Malang merupakan usaha yang efisien baik dari sisi finansial maupun ekonomi. Profitabilitas skala ≤ 5000 ekor (Rp 579,00/kg) lebih rendah daripada skala > 5000 ekor (Rp 707,00/kg) karena perbedaan faktor ekonomis dan teknis. Profitabilitas privat (Rp 579,00/kg dan Rp 579,00/kg) yang lebih rendah daripada profitabilitas sosial (Rp 2.398,00/kg dan Rp 2.585,00/kg) menunjukkan bahwa kemitraan ayam pedaging di Kabupaten Malang menanggung harga input yang lebih mahal dan harga output yang lebih murah daripada harga sosialnya. Kemitraan ayam pedaging di Kabupaten Malang menanggung bea masuk bahan pakan dan obat-obatan yang lebih mahal daripada insentif yang diterima dari kebijakan pemerintah berupa subsidi listrik dan gas.

4.2. Saran

Beberapa kebijaksanaan yang perlu dipertimbangkan dalam usaha pengembangan agribisnis ayam ras pedaging, utamanya untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing, antara lain:1. Perusahaan usaha ayam pedaging dan pemerintah perlu membantu peternak

meningkatkan skala usahanya dalam upaya meningkatkan profitabilitas usahanya. Hal ini dapat dilaksanakan misalnya dengan menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) melalui perusahaan mitra sebagai penjamin (avalis).

2. Pemerintah perlu mempercepat program swasembada jagung dalam rangka mengurangi ketergantungan industri pakan terhadap bahan baku pakan impor, misalnya dengan pencetakan lahan tanam atau sawah-sawah baru, dan memperluas kemitraan jagung hibrida.

17

Page 18: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

DAFTAR PUSTAKA

Amzah, H. A. 2000. A Comparative Advantage of Livestock Production in Brunei Darussalam. Thesis Submitted in Fulfilment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy in the Faculty of Economics and Management Universiti Putra Malaysia.

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Delgado, C., M. Rosegrant, H. Steinfeld, S. Ehui, and C. Courbois. 1999. Livestock to 2020: The Next Food Revolution. International Food Policy Research Institute, Washington.

Distan Jatim. 2015. Produk Unggulan Jawa Timur. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur. http://www.diperta-jatim.go.id/index3.php?gate=jagung&thn =all (10 Januari 2015).

Fitriani, A., H. Siregar, dan A. Daryanto. 2007. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Pakan Ternak Ayam Lampung dan Jawa Barat. Forum Pascasarjana Vol. 30 No.3 Juli 2007: 245-254.

Golz, J. T. and W. W. Koo. 1991 Competitiveness of Broiler Producers in North America Under Alternative Free Trade Scenarios. Agricultural Economics Report No. 277. Department of Agricultural Economics, North Dakota State University.

Gusasi, A. dan M.A. Saade. 2006. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Usaha Ternak Ayam Potong pada Skala Usaha Kecil. Jurnal Agrisistem, Juni 2006, Vol. 2 No. 1: 1-7.

Hein, P. 2005. Analysis of Competitiveness, Economic Efficiency and Distortions in the Estonian Milk Sector. Faculty for Agriculture and Horticulture, Institute for Agricultural Economics and Social Sciences, Chair for Agricultural Policy, Luisenstr. 56, 10099 Berlin, Germany.

Hutabarat, B. dan B. Winarso. 1994. Analisis Biaya Sumberdaya Dalam Negeri dan Kepekaannya pada Usaha Ternak Babi di Sumatera Utara. Jurnal Agro Ekonomi. Volume 13, No. 1 : 61–75.

Ilham, N. dan D.K.S. Swastika. 2001. Analisis Daya Saing Susu Segar Dalam Negeri Pasca Krisis Ekonomi dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

18

Page 19: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

Kasryno, F. 2004. Strategi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Indonesia yang Memihak Masyarakat Miskin. Agriculture and Rural Development Strategy Study. ADB, CASER-AARD-MoA, SEAMEO-SEARCA, CRESENT.

Kemenkeu. 2010. Peraturan Menteri Keuangan No. 241/PMK.011/2010 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan No. 110/PMK.010/2006 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Kementerian Keuangan RI.

Kementan. 2009. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014. Kementerian Pertanian. Jakarta

Kementan. 2011. Statistik Ekspor Impor Komoditas Pertanian. http://www.deptan.go.id/tampil.php?page=inf_basisdata (Diakses 16 Pebruari 2011).

Prayugo, S. 2010. Analisis Rantai Nilai Ayam Ras Pedaging untuk Meningkatkan Daya Saing (Studi Kasus di PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk). Program Pasca Sarjana Manajemen dan Bisnis IPB.

Priyadi, U., I. Susantun, dan A.S. Dewanta. 2004. Analisis Distribusi Ayam Broiler di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 9 No. 2, Desember 2004 Hal: 193 – 205.

Priyatno, M.A. 2003. Mendirikan Usaha Pemotongan Ayam. Jakarta: PT Penebar Swadaya.

Purwoto, A. dan A. Suryana. 1997. Keunggulan Komparatif dan Struktur Proteksi Produk Tanaman Pangan dan Peternakan. Pangan No. 32 Vol. VIII -1997: 18-28.

Quirke, D., M. Harding, D. Vincent, and D. Garrett. 2003. Effects of Globalisation and Economic Development on the Asian Livestock Sector. ACIAR Monograph Series 97e.

Rachman, B., P. Simatupang dan T. Sudaryanto. 2004. Efisiensi dan Dayasaing Usahatani Padi dalam Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Yusdja, Y., N. Ilham dan R. Sayuti. 2004. Tinjauan Penerapan Kebijakan Industri Ayam Ras: Antara Tujuan dan Hasil. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 22 No. 1, Juli 2004 : 22 – 36.

19

Page 20: bpm.umg.ac.idbpm.umg.ac.id/aset/images/download/Jurnal 8.docx · Web viewBesarnya kontribusi ayam pedaging terhadap produksi daging menyebabkan konsumsi daging ayam melampaui konsumsi

20