BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

44
1 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Transcript of BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

Page 1: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

1BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 2: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

2 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Pembaca setia Bekantan, jumpa lagi di Bekantan vol. 4 / No.1 /2016. Masih terekam kuat di benak kita kebakaran dasyat yang melanda Kalimantan tahun 2015. Kebakaran yang menghasilkan asap yang menutup Kalimantan berbulan-bulan. Dampak dari

kebakaran tersebut mempengaruhi berbagai sektor kehidupan. Perekonomian menjadi terganggu, kegiatan belajar mengajar sempat terhenti, jumlah penderita ISPA meningkat tajam. Kebakaran juga merusak lingkungan dan menyisakan kerusakan ekosistem yang cukup parah. Pohon-pohon tumbang, area terbuka yang cukup luas, lahan yang tedegradasi. Lahan yang seperti ini jelas saja tidak produktif dan miskin keanekaragaman hayatinya. Ini merupakan tugas sekaligus tantangan bagi kita, sebagai seorang rimbawan bagaimana cara untuk merehabilitasinya, dan bagaimana cara supaya kebakaran tidak terjadi lagi.Terpanggil dengan tugas yang harus diemban, Bekantan kali ini mengupas masalah restorasi hutan rawa gambut. Rubrik fokus Bekantan mengulas restorasi lahan gambut pasca kebakaran, kesatuan hidrologi gambut dalam restorasi gambut, Badan Restorasi Gambut (BRG), dan Repeat. Rubrik artikel menyajikan keanekaragaman hayati mikroorganisme di hutan rawa gambut, Gerunggang jenis potensial untuk merehabilitasi hutan rawa gambut. Rubrik lansekap edisi kali ini memotret KHDTK Tumbang Nusa, dan profi l hutan kota belangeran Dishut Pulang Pisau. Di rubrik profi l kali ini menampilkan Bapak Tamanuruddin, petani yang telah berhasil merehabilitasi lahan rawa gambut menjadi lahan yang produktif dengan agroforestri. Selain itu juga kami sajikan rubrik-rubrik lain yang tak kalah menarikSelanjutkan kami persilahkan pembaca untuk menikmati Bekantan volume 4 No.1 tahun 2016.

SALAM REDAKSI

PENANGGUNG JAWAB:

Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc

DEWAN REDAKSI:

Dr. Acep Akbar

Junaidah, S.Hut, MSc

Adnan Ardhana, S.Sos

REDAKSI PELAKSANA:

Winingtyas W, S.Hut, MT, MSc

Fauziah, S. Hut

Agus Fitrianto, S. Hut

DESAIN GRAFIS DAN LAYOUT:

Purwanto Budi S., S.Hut, MSc.

Sukma Alamsyah

Henda Ambo Basiang

ALAMAT REDAKSI:

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup

dan Kehutanan Banjarbaru

Jl. A. Yani Km 28,7 Landasan Ulin

Banjarbaru - Kalimantan Selatan 70721

Phone. (0511) 4707872,

Fax. (0511) 4707872

E-mail : [email protected]

BP2LHK Banjarbaru 2016

Page 3: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

3BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 3 1/2016No. 14/No. 4/NVol. 4N VoTAN NTAKANTBEKABE

LANSEKAP:PROFIL TANAMAN BALANGERANDI KABUPATEN PULANG PISAU ...........4

SALAM REDAKSI ........................ 2

LANSEKAP:MEMOTRET KHDTK TUMBANG NUSA ... 7

PROFIL:DARI NGAWIUNTUK GAMBUT LESTARI ................. 11

FOKUS:RESTORASI LAHAN GAMBUT PASCA KEBAKARAN ...................................14KESATUAN HIDROLOGI GAMBUT DAN RESTORASI GAMBUT ................ 23 KEDUDUKAN BRG DALAM RESTORASI LAHAN GAMBUT ............................. 30RE-PEAT : SERUAN BP2LHK BANJARBARU UNTUK REHABILITASI LAHAN RAWA GAMBUT KEPADA MASYARAKAT ................................. 34

ARTIKEL:KEANEKARAGAMAN MIKROB DI HUTAN RAWA GAMBUT ................ 36GERUNGGANG, JENIS POTENSIAL UNTUK RESTORASI LAHAN GAMBUT ... 39

LINTAS PERISTIWA .............................. 43

DAFTAR ISI

3BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 4: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

4 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

PROFIL TANAMAN BALANGERANDI KABUPATEN PULANG PISAUOleh : Nisfu Kusumarestu, S.Hut(Kepala Seksi Konservasi, Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab.Pulang Pisau)

Balangeran (Shorea balangeran/Koth/Burck.) atau yang lebih dikenal dengan nama Kahui (bahasa daerah Kalteng) merupakan kayu kelompok meranti yang memiliki kelas awet ll dan kelas kuat ll, dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Balangeran tumbuh subur di Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah dengan habitat rawa gambut, khususnya di bagian selatan kabupaten, tepatnya di Kecamatan Sebangau Kuala.

Tahun 2000-an populasi Balangeran di Kabupaten Pulang Pisau mulai menurun akibat sebagian habitat balangeran terkena lokasi proyek lahan gambut 1 juta hektar yang tujuannya membuka lahan dan untuk percetakan sawah seluas 1 juta hektar. Berawal dari kondisi tersebut pemerintah Kabupaten Pulang Pisau melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau mencoba melestarikannya dengan cara menanam kembali tanaman Balangeran yang bertujuan untuk tetap menjaga kelestarian.

Dimulai pada tahun 2009, pemerintah Kabupaten Pulang Pisau melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten P u l a n g P i s a u m e m b u a t skema pelestarian tanaman Balangeran dengan pembuatan tanaman hutan kota. Pemilihan lokasi hutan kota didasarkan pada kecocokan jenis tanah, kemudahan akses pemeliharaan dan pengamanan. Kemudian untuk menindaklanjuti rencana pemerintah daerah dimaksud,

Dinas Perkebunan dan Kehutanan membuat sebuah kegiatan dengan nama Pembangunan Hutan Kota 10 Ha yang dituangkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran. Hutan kota tersebut terbagi ke dalam 7(tujuh) hektar untuk tanaman Balangeran 3 hektar untuk tanaman kehutanan lainnya dan MPTS (Multi Purpose Tree Species).

Langkah pertama yang dilakukan pemerintah Kabupaten Pulang Pisau untuk melestarikan tanaman Balangeran adalah dengan melegalkan areal atau lokasi yang akan ditanami tanaman Balangeran dengan mengeluarkan SK penunjukan lokasi nomor 128 Tahun 2009 tanggal 23 Maret 2009. Peta lokasi tanaman sketsa Balangeran dapat dilihat dalam gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi penanaman Shorea balangeran di Pulang Pisau.

LANSEKAP

Page 5: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

5BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Setelah surat keputusan menunjukan lokasi hutan kota terbit, Dinas Perkebunan dan Kehutanan melakukan survey/ground check habitat Balangeran di Desa Paduran Sebangau, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau untuk mencari anakan alam/benih tanaman Balangeran yang kemudian disapih di persemaian lokal Luntuk sehingga menjadi bibit yang akan ditanam di lokasi yang telah di tunjuk sebagai Hutan Kota. Kondisi anakan alam Balangeran dapat dilihat dalam gambar 2 dan 3.

Gambar 2. Pencabutan anakan Gambar 3. Anakan alam di Kecamatan Sebangau Kuala

Profi l Hutan Kota Belangeran

Jenis Tanaman : Balangeran (Shorea balangeran)Letak lahan administratif : Desa Bereng, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan TengahPengelola : Dinas Perkebunan dan Kehutan Kabupaten Pulang PisauLertak Geografi s : GL 02 42 57,6-024311,9 LSGaris Bujur : 114 18,7-114 18 21,3 BT Topo Grafi : datar, jenis tanah organ usul, texture lemah kedalaman : 4 - 8 mDrainase : Jelek, PH 3,8Iklim : AJumlah Tanaman : 11.000 batangUsia Tanaman : ±6 tahun

Setalah bibit disapih dan siap tanam selanjutnya penanaman dilakukan oleh tim pelaksana dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau di areal Hutan Kota pada Tahun 2009. Tanaman muda dilihat dalam gambar 4.

Gambar 4. Bibit Balangeran yang telah ditanam

5BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 6: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

6 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Sejak Balangeran ditanam sampai sekarang yaitu tahun 2016, Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau telah melakukan pemeliharaan secara berkala setiap tahun meliputi pemupukan, pembersihan saluran tanaman dan pemberantasan gulma.

Banyak kegiatan yang telah di lakukan untuk mengembangkan hutan kota antara lain :1. Pada tahun 2015 Dinas

Perkebunan dan Kehutanan bekerjasama dengan Balai Pe n e l i t i a n K e h u t a n a n B a n j a r ba r u m e l a k u k a n penelitian potensi serapan karbon (Inventarisasi Hutan Kota) dengan kesimpulan sebagai berikut : ( Qirom dan Susianto, 2015).- Tegakan S. balangeran

mempunyai rata-rata diameter sebesar 10,24cm pada umur 6 tahun atau tiap diameter rata-rata tahunan mencapai 1,71 cm pertahun.

- Pada umur 6 tahun, tanaman S. balangeran mempunyai rata-rata tinggi sebesar 10,29 m atau tanaman S.balangeran mempunyai tiap tinggi rata-rata mecapai 1,72 m/tahun.

- Potensi simpanan karbon terbesar S.balangeran 30,74 ton per hektar dan rata-rata potensi simpanan karbon mencapai 26,77ton/hektar.

2. Pada tahun 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru juga melakukan eksplorasi Materi Genetis (Pengambilan anakan) untuk keperluan pembibitan atau penelitian S.Balangeran (Gambar 5).

3. Pada tahun 2015 untuk menambah nilai ekonomis dan menggali PDA sektor Kehutanan, Dinas Perkebunan dan Kehutanan mengusulkan kepada Balai Pembenihan Tanaman Hutan(BPTH) Kalimantan di Banjarbaru agar areal tanaman Balangeran pada hutan kota dapat di jadikan Sumber Benih Tanaman Hutan seluas ±seluas 7 Hektar. Setelah melalui verifi kasi terbitlah sertifi kat Sumber Benih Tanaman Hutan nomor 243/BPTH.KAL-2/STFK/2015 tanggal 29 Oktober 2015, nomor Sumber Benih 62.10059 dengan kapasitas produksi benih 475 kilogram per hektar dan total produksi benih 3.325 Kilogram sehingga nantinya melalui Peraturan Bupati pengunduhan atau pengambilan anakan Balangeran akan di kenakan tarif.

Sebagai areal pelestarian tanaman S.balangeran, areal serapan/penyimpanan karbon, tempat hidupnya fauna dan sebagai sumber benih, Dinas Perkebunan dan Kehutanan mengusulkan kepada Bupati Pulang Pisau agar dapat meningkatkan status menjadi penetapan Hutan Kota, dan sekarang masih dalam proses pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau.

Upaya lain pemerintah Kabupaten Pulang Pisau untuk melestarikan tanaman Balangeran sekaligus merehabilitasi hutan dan lahan pasca kebakaran adalah dengan memilih jenis tanaman S. b alangeran sebagai tanaman utama untuk pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan sejak tahun 2010 sampai dengan sekarang. Tahun 2015 Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanan telah menanam sebanyak ± 20.000 batang S.balangeran di areal blocking kanal (Instruksi Presiden Jokowi) Desa Tumbang Nusa Kecamatan Jabiren Raya dan ± 40.000 batang di dalam kawasan sebagai tanaman pengkayaan.

6 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Gambar 5. Aktifi tas pengambilan anakan S.balangeran

untuk keperluan pembibitan

Page 7: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

7BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

OOleh: Purwanto BS dannn MM. Abdul Qirom

LANSEKAP

Pendahuluan

Kawasan Hutan Penelitian dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Tumbang Nusa adalah sebuah stasiun penelitian rawa gambut di Indonesia yang dikelola oleh Badan Litbang dan Inovasi. Terletak di desa Tumbang

Nusa, Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah (Koordinat 3027’-30359’ S - 11302’ 36” - 114044’ 00” E). Akses menuju lokasi sangat mudah ditempuh. Dengan menggunakan perjalanan darat, lokasi terletak di pinggir jalan poros Palangkaraya - Banjarmasin tepatnya di km 31. Jika menggunakan transportasi udara jarak dari bandara Tjilik Riwut ke lokasi dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda 4 dapat ditempuh dalam waktu 40 menit.

Pembentukan KHDTK Tumbang Nusa sesuai dengan amanat UU No. 41 tahun 1999 yaitu KHDTK merupakan kawasan hutan yang ditetapkan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta kepentingan religi dan budaya setempat. KHDTK Tumbang Nusa sebelum dikelola sebagai stasiun riset, merupakan areal eks areal HPH Arjuna Wiwaha. Status areal KHDTK adalah kawasan hutan produksi, kecuali di sekitar camp yang dibeli dari lahan masyarakat tahun 2002. Berdasarkan surat Menteri Kehutanan No SK. Menhut No 76/Menhut-II/2005 luas areal KHDTK yang dikelola adalah 5000 ha.

Sejak dibangun pada tahun1999, di lokasi ini telah banyak dilakukan kegiatan-kegiatan penelitian untuk mendukung upaya rehabilitasi lahan rawa gambut yang telah mengalami degradasi. Banyak perubahan yang telah terjadi di lokasi ini, khususnya ke arah perbaikan eksosistem walaupun ancaman kerusakan ekosistem lahan rawa gambut terus menghadang.

Potensi fl ora dan faunaKondisi awal areal KHDTK Tumbang Nusa

didominasi oleh semak belukar. Areal tersebut merupakan areal bekas terbakar pada tahun 1997. Pada awal pengelolaan, vegetasi semak belukar didominasi oleh kelakai dan pakis-pakis. Sedangkan vegetasi berkayu yang ada adalah tegakan pioner seperti punak (Tetramerista glabra), gerunggang (Cratoxylum sp), Tanah-tanah (Combretucarpus rotundatus). Selain tumbuhan berkayu terdapat juga jenis-jenis kantong semar yang berada di lantai hutan. Untuk jenis HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu), terdapat jenis Jelutung (Dyera polyphylla) yang dapat dimanfaatkan getahnya untuk bahan pembuatan permen karet dan isolator. Tanaman jelutung dapat tumbuh baik di lahan gambut terbuka. Plot tanaman jelutung ini telah ditanam di KHDTK Tumbang Nusa sejak tahun 2000 dan saat ini diameter tanaman mencapai 20-30 cm. Selain Jelutung, terdapat juga tanaman yang berpotensi sebagai obat-obatan yaitu Gemor (Notaphoebe coriacea). Gemor dimanfaatkan kulit kayunya sebagai bahan baku hio, dupa dan obat nyamuk bakar. Potensi fauna antara lain adalah terdapat 32 jenis burung (Ariani, 2015), orang utan, dan makro fauna tanah yang membantu meningkatkan kesuburan dilahan gambut (Halwany, 2014). Berdasarkan hasil penelitian BP2LHK Banjarbaru, kulit kayu dan daun gemor mengandung zat fi tokimia berpotensi sebagai obata-obatan. Dalam penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa fi tokimia dalam tumbuhan gemor ternyata dapat digunakan sebagai suplemen antidiabetes melitus (Suhartono et al;2015)

Dukungan PenelitianDalam rangka memfasilitasi kegiatan penelitian,

KHDTK Tumbang Nusa digunakan sebagai lokasi kegiatan penelitian yang mencakup beberapa aspek, antara lain : pembibitan, budidaya jenis, revegetasi, model agroforestry lahan gambut, teknologi pengendalian dan pencegahan kebakaran, lingkungan dan produktifi tas tegakan hutan.

Kegiatan penelitian pembibitan dalam rangka memperbanyak, membuat dan menyediakan bibit jenis-jenis rawa gambut berkualitas. Informasi yang digali dan teknik perbanyakan yang dipelajari adalah teknik perbanyakan bibit vegetative dan generative, media sapih yang digunakan dalam pembibitan, pemeliharaan di persemaian dan aplikasi

7BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 8: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

8 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016888 BEBEBEBEB KAKAKAKAKK NTNNTNTANANANANAN VVVVVolololo . 4/4/4/4/NoNoNooNo. 1///20201666

mikoriza lokal /indegeneus pada akar bibit untuk meningkatkan pertumbuhan dan daya hidup tanaman. Dari pengalaman perbanyakan yang telah dilakukan, diketahui bahwa jenis-jenis rawa gambut pada umumnya memerlukan waktu setidaknya ± 8 bulan di persemaian sampai siap tanam. Sedangkan untuk melakukan penanaman, di lokasi / areal yang tergenang diketahui bahwa penggunaan bibit dengan tinggi > 50 cm agar pada saat tanam bibit tidak tenggelam.

P e n i n g k a t a n k u a l i t a s bibit rawa gambut, aplikasi mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan seperti laporan Turjaman (2000) dan Yuwati (2003) bahwa aplikasi Glomus clarum dan Gigaspora sp.dapat meningkatkan pertumbuhan jelutung (Dyera pollyphyla ) dan pulai rawa (Alstonia sp.). Pada aspek revegetasi kegiatan penelitian meliputi karakteristik lahan gambut, uji jenis rawa gambut untuk rehabilitasi lahan gambut, dan teknik persiapan l a h a n d a n p e m e l i h a r a a n tanaman.Persiapan lahan pada lahan gambut yang tergenang dapat menggunakan gundukan mengurangi risiko bibit tergenang. Pertumbuhan tanaman dengan penyiapan lahan digunduk ini juga menunjukkan pertumbuhan dan daya hidup yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan pada tanaman balangeran (Shorea balangeran), Gerunggang (Cratoxylum sp.) dan Gemor (N. coriacea. Harun, 2000, Santosa, 2012; Wahyuningtyas, 2013; Santosa 2015) . Pada aspek pemeliharaan tanaman di lapangan, untuk mengurangi persa ingan gu lma dengan tanaman di fase awal tanam dilakukan pemeliharaan tanamam dengan cara penebasan gulma. Pemeliharaan secara manual ini

sebaiknya dilakukan dengan interval 3-4 bulan sekali, hal ini terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. (Santosa, 2014).

Kebakaran dan Kerusakan Ekositem Tumbang NusaKebakaran hutan dan lahan adalah penyebab utama kerusakan

eksosistem di Tumbang Nusa sejak dibangun pada tahun 1997. Kebakaran hutan hampir terjadi setiap tahun. Tercatat telah terjadi beberapa kebakaran di wilayah KHDTK Tumbang Nusa yaitu pada tahun 1997, 2003, 2006 dan tahun 2015.

Kebakaran lahan dan hutan di Kalimantan Tengah tahun 2015 lalu tergolong parah. Kebakaran tersebut tidak hanya membakar vegetasi pohon dan gambut, tetapi juga menimbulkan kabut asap yang pekat. Bahkan kebakaran yang terjadi di desa Tumbang Nusa mendapat perhatian khusus dari Presiden Jokowi yang datang ke lokasi. (Kalteng Pos, 24/9/2015). Tercatat sejak bulan Agustus 2015 secara sporadik terjadi kebakaran di beberapa titik di areal KHDTK. Kondisi kering musim kemarau, seresah yang tebal di lantai hutan dan gambut yang kering mengakibatkan penjalaran api setidaknya mencapai 500 meter / hari.

Dampak dari kebakaran tahun 2015 kemarin, hampir 1/3 luas areal diperkirakan ikut terbakar. Vegetasi pohon yang mencapai 500 m3/ha (Qirom, 2014) terbakar, keanekaragaman hayati, plot-plot tanaman, serta data dan informasi penelitian ikut musnah.

8 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 9: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

9BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 99999BEBEBBEBBEBEEBBBBEBBBB KAKAKAKAK NTNTTNTNTANANANANAN VVVVolololol. . 4/4/4/4/4/NNoNoNoNo. . 1/1/1/1/1/202020201616616

Regenerasi pasca terbakarPendataan vegetasi pasca terbakar di KHDTK Tumbang Nusa telah dilakukan oleh Tim Peneliti BP2LHK

yang dipimpin oleh M. Abdul Qirom. Pendataan dilakukan dengan pembuatan petak ukur pengamatan pada areal pasca terbakar dan loc over area tahun 1983 yang tidak terbakar. Pengamatan dan pendataan vegetasi dilakukan pada areal terbakar tahun 1997, 2003 dan 2006.

Regenerasi beberapa waktu pasca terbakar dan tidak terbakar (Qirom et al, 2014)

sampai berada di atas permukaan gambut sampai merendam dan menenggelamkan tanaman, bisa mengakibatkan tanaman mati. Berkaitan dengan kebakaran lahan dan hutan rawa gambut, semakin rendah permukaan air dari permukaan gambut, kondisi lahan akan semakin berisiko kebakaran. Hal ini karena permukaan gambut semakin kering.

B P 2 L H K B a n j a r b a r u menggunakan alat SESAME untuk memonitor tinggi muka air di KHDTK Tumbang Nusa. Berdasarkan hasil monotiring tinggi muka air, diketahui bahwa mulai bulan Agustus 2015 tinggi muka air 0,5 meter di bawah permukaan gambut dan semakin cenderung turun sampai bulan Oktober 2015 mencapai titik terendah yaitu 1,3 meter di bawah permukaan gambut.

Qirom et al.,( 2014) melakukan pendataan vegetasi di KHDTK Tumbang Nusa berdasarkan areal yang bekas terbakar dan tidak terbakar. Pendataan vegetasi pada lokasi bekas terbakar tahun 2006 (8 tahun pasca terbakar), 2003 (11 tahun pasca terbakar), 1997 (17 tahun pasca terbakar) dan sebagai pembanding adalah lokasi hutan sekunder pasca eksploitasi tahun 1983 atau LOA (Log Over Area).

Hasil penelitian bahwa secara umum, komposisi permudaan di areal bekas terbakar menunjukkan regenerasi yang relative baik. Perkembangan semai (seedlings), pancang (saplings), tiang (poles) dan pohon (tree) menunjukkan peningkatan seiring waktu pasca terjadinya kebakaran. Pada kondisi vegetasi hutan rawa gambut jika tidak terbakar selama 17 tahun akan muncul jenis-jenis tegakan pada fase tiang (diameter 10 cm ke atas). Hal ini dapat dijadikan pengalaman bahwa sebenarnya menjaga kondisi hutan rawa gambut tidak terbakar saja, regenerasi yang terjadi cukup baik. Tata (2013) juga melaporkan bahwa kebakaran hutan rawa gambut te lah menurunkan keragaman jen is vegetas i , baik tingkat pohon pancang,

tiang maupun semai. Proses suksesi walapun lambat dapat memulihkan vegetasi menyerupai hutan sekunder asalkan tidak terjadi kebakaran berulang .

Monitoring tinggi muka air untuk mendukung revegetasi dan earli warning system (EWS)

Tinggi muka air berperanan penting dalam menentukan k e b e r h a s i l a n k e g i a t a n revegetasi, rehabilitasi terkait dengan kemampuan tanaman mendapatkan suplai air untuk pertumbuhan tanaman. Jika permukaan air semakin turun, maka akar tanaman tidak dapat memperoleh air yang cukup. Hal ini bisa mengakibatkan tanaman kekeringan dan kematian tanaman. Sebaliknya, jika permukaan air naik

Monitoring Tinggi Muka Air di KHDTK TN

menggunakan SESAME (Qirom, 2015)

diya

nzah

ro.fi

les.

wor

dpre

ss.c

om

9BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 10: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

10 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Pada tahun 2015 kemarin kebakaran terjadi mulai bulan JULI dan semakin parah sampai bulan Oktober 2015. Dari gambar te r sebut d i ke tahu i bahwa kebakaran terjadi semakin besar karena curah hujan sangat kurang, tercatat tidak ada hujan dari Agustus sampai akhir Oktober 2015, kondisi permukaan air gambut semakin turun dan kondisi gambut semakin kering.

Berdasarkan data t inggi muka air dan evaluasi kejadian kebakaran tahun 2015, dapat d i l a k u k a n s t r a t e g i u n t u k m e m i n i m a l i s i r k e j a d i a n kebakaran gambut. Strategi yang dilakukan dikategorikan dalam persiapan pencegahan kebakaran (patroli, pembuatan sumur bor, pengecekan alat dan mesin pompa air dll), pembasahan gambut (rewetting), penutupan kanal dll.

Rewetting adalah pembasahan kembali material gambut yang mengering akibat turunnya muka air tanah gambut dengan cara meningkatkan kadar air dan tinggi muka air tanah gambut, antara lain melalui pembuatan sekat-sekat di dalam kanal-kanal yang sudah terlanjur ada di lahan gambut dan dapat juga melakukan pompanisasi yaitu dengan menyedot air dari dalam sumur bor dan kemudian membasahi permukaan gambut yang kering. Pompanisasi dapat dilakukan secara bertahap pada lokasi-lokasi prioritas areal yang rawan terbakar, misalnya di tepi jalan raya dengan vegetasi semak belukar yang kering.

Pompanisasi rencananya akan dilakukan dari sumur-sumur bor yang telah dibuat di KHDTK Tumbang Nusa. Setidaknya terdapat 20 sumur bor yang ditempatkan di beberapa titik prioritas yang rawan terbakar. Berdasarkan laporan terhadap penutupan kanal di Taman

Nasional Sebangau, tinggi muka air 40 cm merupakan ambang kritis rawan kebakaran (Anonim 2012).Oleh karena itu, di bawah ambang batas perlu segera dilakukan pembasahan gambut.Rewetting dengan pompanisasi dilakukan jika tinggi muka air turun di bawah 50 cm. Pada titik –titik rawan api, dilakukan penyemprotan di permukaan baik vegetasi sekaligus permukaan gambut. Dengan kondisi vegetasi dan permukaan gambut yang basah, diharapkan pada lokasi tersebut risiko kebakaran akan kurang

Tindakan penabatan kanal-kanal juga terbukt i efekt i f mengurangi resiko kebakaran.Penutupan saluran air/penabatan adalah cara untuk menaikkan

permukaan air bawah tanah (ground water level), sehingga pada musim kemarau kelembaban tanah tetap terjaga dan mencegahnya terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Praktek ini telah dilakukan di Taman Nasional Sebangau. Pihak taman Nasional Sebangau bersama WWF telah melakukan penabatan kanal / kanal bloking sebanyak 1.164 buah. Dari luas areal 542.121 Ha, terbakar tahun 2015 seluas 16.506 Ha, atau hanya 3% saja. Artinya penabatan kanal yang dilakukan dapat menekan kebakaran lahan gambut karena kondisi permukaan air yang meningkat.

B e rd a s a r k a n i n d i k a t o r turunnya permukaan air gambut, disimulasikan tindakan yang harus dilakukan dan tingkat resiko

kebakaran yang dihadapi.

Tabel Simulasi tindakan prosedur persiapan dan pencegahan kebakaran berdasarkan tinggi muka air

No Tinggi muka air (meter) Tindakan Bahaya api

1. - 0,4 s/d - 0,5 1. Pembuatan sumur bor2. Patroli 3. Persiapan dan pengecekan alat-

mesin

Rendah

2. -0,6 s/d - 0,8 1. Patroli2. Persiapan dan pengecekan alat-

mesin3. pompanisasi(rewetting)4. Penutupan kanal

Sedang

3. > 0,8 1. Patroli2. Persiapan dan pengecekan alat-

mesin3. Pompanisasi (rewetting)4. Penutupan kanal

Tinggi

Penutup

Tantangan pengeloaan KHDTK Tumbang Nusa ke depan semakin tidak ringan. Kepentingan para pihak terhadap akses kelola lahan gambut di sekitar areal menjadi tantangan yang perlu dijawab. Keberadaan KHDTK Tumbang Nusa dalam kesatuan ekosistem dan hidrologi gambut (KHG) tidak bisa berdiri sendiri. Ekosistem gambut yang selalu basah hendaknya juga bisa mengakomodir berbagai kepentingan, termasuk bagi kepentingan untuk budidaya dan juga peran dan KHDTK sebagai areal konservasi.

10 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 11: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

11BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

DARI NGAWIUNTUK GAMBUT LESTARI

PROFIL

Seorang guru honorer lulusan PGA (Pendidikan guru Agama) , Akhmad Tamanuruddin bersemangat mengayuh sepedanya menuju kantor transmigrasi Kabupaten Ngawi, setelah berbulan bulan mendaftar ke ketua RT tidak kunjung

diberangkatkan. Akhirnya November 1980 bersama istri dan putera pertamanya merantau ke desa Kelampangan, Kab. Pulang pisau Kalimantan Tengah lewat program transmigrasi. Harapan punya lahan sebesar 2 Ha dan diberi rumah gratis, dalam bayangan awal pasti sangat menyenangkan karena hobinya memang bertani. Namun kenyataannya jauh dari bayangan, kondisi tanah gambut yang sulit diolah, membuat sebagian transmigran saat itu putus asa, termasuk Pak Taman demikian nama panggilan beliau.Untuk bertahan di Kalimantan, berbekal ijazah PGA , beliau diangkat menjadi guru dan ditempatkan di Muarateweh. Sempat meninggalkan lahan pertaniannya beliau kembali lagi dan sampai sekarang terus tekun membangun lahan pertaniannya.Lantas bagaimana kisah lengkap perjuangan Pak Akhmad Tamanuruddin dari tanah gambut yang sulit diolah hingga saat ini memiliki lahan berbasis agroforestry yang menghasilkan dan terkelola dengan baik ? berikut petikan wawancara tim redaksi majalah bekantan dengan beliau.

Page 12: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

12 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Bisa Bapak ceritakan awal bapak bertani di lahan gambut ?Saya bertani di lahan gambut karena mengikuti program transmigrasi. Awalnya lahan gambut dibuka dan diolah untuk ditanami sayur-sayuran. Namun, tanaman sayur yang ditanam sulit tumbuhnya sehingga lahan pertanian tidak menghasilkan. Sebagian transmigran ada yang kembali ke Jawa, saya juga sempat berpikir demikian. Namun niat pulang diurungkan setelah mendengar info pengangkatan guru di Palangkaraya. Singkat cerita saya ditempatkan di Muawateweh, 4 tahun menjadi guru disana, saya pindah kembali ke desa Kelampangan demi lahan pertanian saya agar tetap bisa saya kelola.

Kira-kira tantangan atau kesulitannya bertani di gambut apa pak ?Yang pasti kesulitan yang utama adalah kondisi tanah gambut yang sulit diolah karena tanahnya yang asam. Awalnya saya tanam sayur sayuran namun tidak mau tumbuh. Selain itu bila musim hujan lahan jadi tergenang, dan kebalikannya ketika musim kemarau lahan rawan terbakar. Ditambah lagi hama penyakit yang menyerang tanaman.

Usaha apa yang bapak lakukan mengatasi kesulitan tersebut ?Saya mengamati bahwa tanaman justru tumbuh di bekas kebakaran. Akhirnya kami (saya dan transmigran yang lain) membuat abu, alang-alang kami kupas pakai cangkul, dikumpulkan dan dibakar. Nah, lahan yang mau ditanami diberi abu tersebut.

Sampai sekarang hal ini terus dilakukan. Tapi saya pikir bila setiap menanam seperti itu lama-lama tanah akan turun dan rusak. Saya menggunakan cara lain, karena gambut miskin hara dan asam maka untuk menambah zat-zat hara yang kurang dari tanah gambut saya membeli tanah mineral . Jadi sejak tahun 2000 - an saya tidak menggunakan abu lagi. Menurut saya dengan tanah mineral itu justru akan menyelamatkan lingkungan. Kalau masalah air yang menggenang di musim hujan, saya membuat parit-parit untuk mengalirkan air. Dan untuk ancaman kebakaran di musim kemarau, mau tidak mau harus sering patrol dan membuat sumur untuk sumber air bila api sudah terlanjur masuk.

12 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 13: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

13BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 13BEKANTAN Vol. 3/No. 1/2015BBBBEBEBBBB ////// ///////// 66666 131111313131131313113131331133133331313131311111111111111111131331313313131331111313131311311133131113133111311113333BEBBBEBEBEBEBEEBEBEEBEBEBEBEBEBEEBEBEEBEBEBBEBEEBEEBEEBBB KAKAKAKAKAKAKAKAKAKKAKAKAKAKAKAKAKAKAKAKAKKAKAKAKAKAKAKAKAKAKAKAAAAKAAAAAAAAKKAAAKAKAKAAAKKAKAAAAAAAAKKKAAKAKAAAAAANTNTNTNTNNNTNTNTNTNTNNTNTNTNTNTTTNTNTTNTNTNTTTTNTTNTAAAAAANANNNANNNAAAAAAAANAAAAAAANANNANAANAAAANANAN VVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVolololllolooooloolollolooololooololooooolooll. .. 44444/4/4/4//4/4///44/4/4/444/4444444//444/4444/4444//4/44//4/4/4//44/44///4///NoNoNoNoNoNoNoNoNoNoNoNoNoNoNoNNNoNoNoNoNNoNoNoNoNoNNoNNNoNoNNoNoNNNNoNNNNoNNNNNNNNNNooNN ... . 111/1/1/1//1//1//1/1/1/1/1/1/1/1/1/1/111/11/1/111/11/11//11///1/1/111//1//11//111/1111/1/1//2202020202020202022 161666666161616616BBBEBEBBEEEBEBBEBEBEBEBEEBBBEBEEBEBEBBBEBEBEBEEBBEEBB KAKAKKKAKAKKAKKKAKAKAKKAKKAKKKAKAKAKAKKAKAAAAKAAAAAKAKKAKAKKAKAKKAAAAAAAAAAAANTNTTNNNTNTNTNTNTTNTNTNTNTTTNTTNTTNTTTNTAAAAANNNNNNNAAAAAANAAANAAAAANAANAANANAN VVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVololollolollololollololololooooollololool... 444444/4/4/4////444//4444/44/4444444/4/4444//4/44///44////NoNoNoNoNoNoNoNoNNoNNooNooNooNNoNoNoNoNNoNoNNooNNNNNNoNoNNNNNNoNNNNNNNNNNNNNoNNoNNNNoNo... 11//11//111/1/11/////1/1/1111111/1/1111/11/11/1/1///11/111/11111/1/2202020020220200202 11666166666161616666

Petani/transmigran yang lain mengikuti cara bapak ?Ada beberapa orang yang mengikuti. Namun masih banyak yang menggunakan abu karena alasan biaya. Padahal bila dihitung-hitung, hampir sama saja karena membuat abu juga memerlukan biaya untuk mengupah orang . Tapi tidak semua orang sadar dengan penyelamatan tanah dan lingkungan.

Jenis yang ditanam apa saja pak ?Jenis-jenis yang ditanam untuk tanaman keras saya tanam sengon tapi kurang berhasil, kemudian jelutung, dan sedikit gaharu. Dan tanaman sayur mayur : buncis, kacang panjang, seledri, jagung, sawi, jeruk,cabe, dll.

Motivasi bapak hingga sekarang masih bertani?Disamping saya ada pekerjaan tetap, yang saya pikirkan adalah generasi saya, anak-anak harus sekolah dan perlu dana besar. Kalo tadi saya tetap di Muarateweh kasihan mereka. Saya besar dari keluarga petani jadi saya ingin melestarikan budaya keluarga yang turun menurun. Selain itu juga untuk menjaga kesehatan. Jadi sejak pensiun rutinitas saya rumah, langgar, masjid dan ladang.

Motto hidup bapak ?Pas pensiun semua utang selesai, ibadah bisa khusuk, bisa ke Mekkah, diberi umur dan badan yang sehat bisa melihat anak dan cucu sehat semua. Saya menanam bukan untuk saya tapi untuk anak-anak atau orang lain.

Cita-cita yg blm terwujud ?Secara pribadi sudah.

Saran untuk pengelolaan rawa gambut ?Olah lah gambut dengan tidak merusak lingkungan. Terus belajar.

Pesan untuk pemerintah ?Bantulah petani, dengan mebuat mekanisme pasar yang bagus. Agar masyarakat petani dapat menjual hasil taninya dengan harga yang menguntungkan.

Pesan untuk pembaca bekantan ?Bagi petani dan pengusaha yang bekecimpung di lahan gambut pesan saya selamatkan gambut, jangan dibakar tapi dikelola dengan benar sesuai dengan kondisi gambut itu sendiri.

13BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 14: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

14 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

RESTORASI LAHAN GAMBUT PASCA KEBAKARAN Dr. Acep Akbar

F O K U S

1. PENDAHULUANKebakaran hutan dan lahan gambut yang

terus berlanjut hingga tahun 2015 telah banyak mengundang perhatian berbagai pihak. Sebagian kalangan tertarik dengan aspek pelanggaran hukum, kondisi sosial ekonomi masyarakat, budaya dan pendidikan masyarakat yang menyebabkan kebakaran. Sebagian lagi tertarik dengan aspek teknologi yang berhubungan dengan kemampuan deteksi dini, respon pemadaman, dan teknologi restorasi pasca kebakaran. Kini aspek tindakan pasca kebakaran telah menjadi perhatian khusus pemerintah yang ditandai dengan adanya lembaga baru bernama Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan. BRG dibentuk melalui Peraturan Presiden No.1 tahun 2016 tanggal 6 Januari 2016. Organisasi tersebut berkedudukan langsung di bawah presiden yang akan menerima perintah secara langsung dari presiden. Kedua lembaga ini diharapkan akan bertanggung jawab dalam pemulihan kerusakan lahan gambut pasca kebakaran. BRG nampaknya akan lebih berkonsentrasi pada restorasi lahan gambutnya sedangkan Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran hutan akan mendukung upaya pencegahan kebakaran dalam mensukseskan kegiatan restorasi lahan gambut.

Sebagai dasar pertimbangan tujuan akhir restorasi lahan gambut, tulisan ini bermaksud memperjelas tentang apa arti restorasi dalam ekosistem hutan, tahapan apa saja yang harus dilalui dalam merestorasi suatu ekosistem, parameter apa saja yang dapat menentukan keberhasilan suatu tindakan restorasi. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk menentukan keberhasilan restorasi.

2. ISTILAH RESTORASI DALAM EKOSISTEM HUTANRes toras i ekos i s tem ada lah t indakan

mengembalikan suatu ekosistem yang telah rusak kembali kepada fungsi aslinya (Charman, 2002). Wheeler (1995) menyatakan bahwa restorasi bisa meliputi variasi tujuan akhir yaitu dapat bertujuan kembali ke keadaan asli atau bertujuan mengembalikan ke kondisi sebelumnya. Tetapi kebanyakan kondisi asli sudah tidak jelas karena lahan gambut berubah secara alami melalui suksesi. Charman (2002) menyatakan

Page 15: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

15BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

tujuan restorasi setidaknya sampai kepada kembalinya vegetasi yang sama. Kondisi yang asli tidak mungkin dicapai. Untuk mengetahui kondisi ekosistem aslinya diperlukan pengetahuan tentang komponen-komponen pembentuk ekosistem itu sendiri. Dalam suatu ekosistem biasanya terdiri dari unsur biotik dan abiotik. Unsur biotik terdiri dari berbagai jenis fl ora dan fauna beserta jasad reniknya, sedangkan unsur abiotik terdiri dari tanah dan iklim mikro yang berlaku dalam komunitas hutan yang direstorasi. Jika restorasi ditujukan untuk pemulihan ekosistem gambut maka sebagian jenis-jenis tumbuhan utama hutan rawa gambut mesti diketahui. Setelah tumbuhan khas rawa gambut tumbuh menjadi komunitas maka selanjutnya hewan-hewan utama penghuni hutan rawa gambut akan muncul.

Demikian pula tanah lumpur dalam (mire) sebagai faktor abiotik ekosistem gambut yang biasanya mendominasi media tumbuh lahan gambut harus

stabil. Upaya restorasi lahan gambut tidak menarik bagi masyarakat sehingga biasanya restorasi yang berjalan selama ini adalah dengan membiarkan secara suksesi alam. Melalui perubahan-perubahan lahan secara alami maka lambat-laun vegetasi pioner akan tumbuh diikuti jenis-jenis klimaks. Mungkin hal ini terjadi akibat kesulitan pengerjaan restorasi dan kecilnya minat masyarakat dalam menghijaukan lahan gambut. Ekosistem hutan rawa gambut (peat swamp forest) memiliki sifat yang rapuh (fregile ecosystem), artinya jika komunitas tumbuhannya rusak akan sulit untuk dikembalikan ke ekosistem semula.

Jenis-jenis tumbuhan pohon yang ditemukan di Kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah juga dapat dijadikan dasar penentuan jenis yang ditanam di hutan rawa gambut di Kalimantan. Jenis-jenis tersebut disajikan dalam Tabel 1.

15BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 16: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

16 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/201616 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Whee le r ( 1995 ) menya rankan empat pertimbangan saat memutuskan tujuan dari restorasi yaitu : a. Kemungkinan keberhasilan : Jika kita menemui

lahan gambut, maka pertanyaan yang harus timbul adalah bagaimana bentuk lahan gambut dan asosiasi vegetasinya, apakah secara ilmiah dan ekonomi memungkinkan berhasil jika restorasi dilakukan. Upaya pemulihan lahan gambut mungkin tidak akan tercapai akibat adanya perubahan iklim, ketersediaan air atau akibat kondisi lansekap di sekitarnya.

b. Pengetahuan karakter site sebelumnya : Sejauhmana kita telah mengenal baik seperti apa lahan gambut sebelumnya. Pada tahap yang

mana, pembangunan harus difokuskan. Apakah baru diperlukan kegiatan sipil teknis (reklamasi) ataukah sudah harus direvegetasi.

c. Mencermati sesuatu yang khas: Kita harus memilih prioritas, apakah akan mengutamakan suatu habitat yang langka atau jenis yang langka. Kita tidak mungkin melakukan kedua tujuan tersebut dalam suatu tempat tumbuh (site).

d. Peluang yang dapat dilakukan : Untuk sebagian lahan, mungkin kembalinya kondisi komunitas relatif mudah dicapai, tetapi untuk lokasi lain mungkin hanya sedikit yang dapat dikerjakan, sehingga tujuan yang menjadi angan-angan kecil kemungkinannya dapat menjadi kenyataan.

Tabel 1. Jenis-jenis Pohon Hutan Rawa Gambut KHDTK Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah.

No Nama Jenis Pohon No Nama Jenis Pohon N0 Nama Jenis Pohon

1 Pintik (Homalium caryophyllaceum)

16 Mailas(Parastemon urophyllum)

31 Malam-malam/Kacapuri (Diospyros malam)

2 Pampaning(Litocarpus sp) 17 Medang lengkuas (Adinandra bornensis Kobuski)

32 Nangka-nangka (Neoscortechimia kinggi)

3 Kopi-kopi(Gardenia fornsteniana Miq)

18 Kaja (Lophopetalum subovatum)

33 Bintangur (Calophyllum kuntsleri King)

4 Galam tikus (Eugenia sp) 19 Pasir-pasir/Medang telur (Urandra secondifl ora O.Ktze)

34 Medang telur(Stemonurus scorpiodes Becc)

5 Belangeran (Shorea belangeran)

20 Manggis hutan (Garcinia sp) 35 Asam kambasera(Ilex cymosa)

6 Lamijo (Diosphyros maingayi Bakh)

21 Punak (Tetramerista glabra) 36 Rambutan hutan (Nephelium lappaceum L.)

7 Terentang (Camnosperma auriculata Hook. F)

22 Nyatoh (Palaquium cochleria) 37 Maharuang (Diospyros sp.)

8 Papung/Kecapi hutan (Sondaricum sp)

23 Jambu-jambu (Eugenia sp) 38 Darah-darah(Horsfeldia sp.)

9 Pisang-pisang (Microcos saccifera)

24 Meranti bunga (Shorea teysmanniana)

39 Tambuluh (Calophyllum soulattri)

10 Nyatoh ambaulis (Palaquium sp)

25 Gemor (Alseodapne sp.) 40 Gerunggang (Cratoxylon arborescent)

11 Saga (Diospyros buxifolia) 26 Tumih/Merapat (Combretocarpus rotundatus)

41 Rahanjang(Xylopia fusca Hook.F)

12 Ramin (Gonystilus bancanus) 27 Pantung/Jelutung (Dyera polyphylla)

42 Jangkang (Xylopia malayana)

13 Kempas (Koompassia malaccensis)

28 Meranti batu (Shorea sp) 43 Martibu (Dactilocladus stenostachys)

14 Kapurnaga jangkar (Calophyllum macrocarpum Hk.F.)

29 Perupuk (Lopopethalum javanicum)

15 Lilin-lilin (Paratocarpus triandus JJS)

30 Meranti balau (Shorea parvifoilia)

Sumber : Akbar (2015).

16 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 17: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

17BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 171717177171717771717BEBEBEBEBEBBEBEBEBEBEBEEB KAKKKKKAKKAKAKAKAKKAKAKAANTNTNTNTNTNTNNTTTTTTTANANANANANANANAN VVVVVVVVVVVVVolooloolololoooo .. 4/4/4/4/4/4///4/4/4//NNoNoNoNoNoNoNooo. . . . 1/1/1/1/1/1/1/1/1/1/1/1//11 20202020202020220202022 161616161616161616

3. TAHAPAN KEGIATAN RESTORASI LAHAN GAMBUT DAN KENDALANYABerbagai jenis tumbuhan

yang hidup bersama membentuk suatu komunitas memerlukan kriteria tempat tumbuh yang mendukung pertumbuhan secara fisik dan kimia maupun secara biologis . Kegiatan-kegiatan sipil teknis diperlukan untuk memperbaiki tempat tumbuh yang telah terdegradasi. Secara fi sik, tempat tumbuh harus stabil tidak tererosi, memiliki porositas yang baik, tekstur dan struktur yang mantap, disertai kondisi air kapasitas lapang yang memadahi bagi pertumbuhan. Sifat kimia dari tempat tumbuh seyogyanya memiliki unsur hara makro dan mikro yang cukup mendukung pertumbuhan. Kondisi nutrien NPK dalam tanah akan sangat menentukan per tumbuhan tanaman baik terhadap organ generatif maupun vegetatif. Nutrisi lainnya yang dikenal sebagai unsur mikro, sering menjadi limiting factor bagi pertumbuhan tanaman. Setyadi (person com. 2013) menyatakan bahwa re s to ra s i b i a sanya terdiri dari kegiatan reklamasi. Sedangkan dalam restorasi lahan gambut, kegiatan teknik sipil yang mendukung penanaman atau revegetasi adalah membuat saluran drainase, membuat sumur bor, dan membangun bendungan/tabat pada kanal.

Kestabilan muka air tanah (water table) terutama dimusim ke r i n g d i h a r a p k a n m a s i h mendukung kelembaban tanah dan air kapasitas lapang. Untuk mengatasi kekeringan media gambut, teknologi yang diterapkan adalah dengan memasang mesin pompa air untuk memindahkan air dari sungai atau muara menuju bagian kubah gambut (dome).

Pengelolaan sistem tata air gambut yang tepat, menjadi kunci pembangunan tanaman atau revegetasi di lahan gambut. Syarat utama yang diperlukan dalam upaya revegetasi adalah muka air tanah (water table) yang stabil dan tinggi sepanjang tahun dengan kualitas air hujan yang baik. Perlakuan yang spesifi k untuk menstabilkan air di lahan gambut diantaranya : pengkonturan (recontouring), pembentukan tempat tumbuh (shaping), dan pembendungan par i t a tau kanal (Canal blocking). Kegiatan restorasi di lahan gambut dapat dilakukan pada kawasan bekas terbakar, perladangan, kebakaran, ladang atau kawasan terdegradasi. Pada dasarnya restorasi diarahkan pada suatu ekosistem yang tidak dapat menjalankan fungsinya seperti semula sehingga dengan kegiatan tersebut diharapkan struktur tegakan pulih kembali dan ekosistem dapat berfungsi kembali seperti semula apakah fungsi produksi, fungsi konservasi ataupun fungsi lindung.

Terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk melakukan suatu kegiatan restorasi dimana tahapan-tahapan ini harus diketahui, dipahami dan dicermati oleh para pelaku restorasi sehingga kegiatan restorasi dapat terlaksana sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu kembalinya fungsi hutan. Hal pertama dan mendasar yang perlu diketahui oleh pelaku restorasi terhadap lokasi/kawasan yang akan direstorasi adalah nama lokasi, alamatnya di mana dan peta lokasi. Hal ini diperlukan untuk kemudahan akses pelaku restorasi menuju lokasi serta pelaku restorasi mempunyai gambaran letak kawasan yang akan direstorasi terutama terkait dengan aksesibilitas.

Setelah diketahui lokasi yang akan direstorasi maka sebelum dilakukan survey ke lapangan, beberapa informasi tentang legal status kawasan harus diketahui misalnya apakah kawasan restorasi termasuk hutan produksi?, hutan konservasi? atau hutan lindung?. Jika areal dikelola perusahaan maka i j in terkait baik dar i Kementerian Lingkungan Hidup seperti dokumen AMDAL, UKL, UPL atau Departemen Kehutanan (Permit) serta informasi yang terkait dengan site history harus dikumpulkan dan dipahami. Hal ini diperlukan untuk menentukan arah dan strategi t indakan restorasi yang akan dilakukan, dimana restorasi harus dilakukan secara spesifik sesuai dengan fungsi kawasan terutama terkait dengan pemilihan jenis. Selain itu restorasi harus dilakukan selaras dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ijin terkait yang telah ditetapkan semula. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat dalam hal ketentuan ketentuan yang ada didalamnya, misalnya spesies yang harus ditanam, dalam hal ini pelaku restorasi dapat melakukan tindakan restorasi sesuai dengan apa yang diyakininya apabila pelaku restorasi mempunyai argumen yang kuat dengan didasari percobaan-percobaan ilmiah serta tingkat kesuksesan yang tinggi. Setelah data sekunder dikumpulkan maka tahapan selanjutnya adalah melakuan survey lapangan (ground chek) untuk melihat secara langsung kondisi kawasan yang akan direstorasi serta mengumpulkan data site karakteristik. Adapun data site karakteristik yang diperlukan adalah kondisi biofi sik dan sosial ekonomi kawasan. Kondisi biofi sik meliputi informasi tentang topografi , klimatik, tanah,

17BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 18: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

18 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

vegetasi dan satwa. Informasi kondisi topografi diperlukan untuk menentukan tindakan konservasi lahan yang diperlukan, apakah d iper lukan s i s tem gundukan (mounding/surjan) atau tidak?. Informasi klimatik diperlukan untuk menentukan jadwal kegiatan penanaman serta menentukan spesies yang mampu beradaptasi dengan kondisi iklim yang ada. Informasi tentang kondisi vegetasi diperlukan untuk menentukan tingkat penutupan vegetasi serta mengidentifikasi jenis jenis yang tumbuh di lokasi serta di sekitar lokasi yang akan direstorasi sehingga kemungkinan dapat menjadi sumber bibit untuk kegiatan restorasi. Kendala yang sering timbul dalam kegiatan restorasi gambut adalah adanya faktor pembatas (contstraint) seperti yang disajikan dalam Gambar 1.

pertumbuhan vegetasi. Pembatas tersebut dapat berupa kurangnya nutrisi tanah, tanah compact, pH yang rendah, KTK yang rendah (<16), HC yang rendah, Mg>Ca, tingginya kandungan logam berat seperti: Cu, Al, Zn dan Fe sehingga bersifat toxic, mis : kandungan Al > 3 me (60%). Setelah dilakukan survey lapangan maka tahapan selanjutnya dibuat daftar vegetasi yang potensial untuk ditanam

unsur-unsur hara dan air untuk produksi makanan yang diperlukan tanaman untuk hidup. Beberapa negara telah dikembangkan teknologi peremajaan akar, yaitu akar akar lateral ujungnya dipotong sehingga diharapkan munculnnya tunas-tunas akar baru. Tindakan ini biasanya dilakukan pada saat tanaman tumbuhnya stagnan. Perlakuan lain yang berkaitan dengan akar adalah pengaktifan akar dengan mikoriza atau bioorganic seh ingga akar mempunya i kemampuan dengan cepat untuk menembus lubang tanam. Bersamaan dengan kegiatan penyiapan bibit dapat dilakukan kegiatan penyiapan lahan (site preparation) yaitu menyiapkan lahan agar cocok untuk ditanami sehingga akar tanaman dapat berkembang dengan normal. Penyiapan lahan dapat dilakukan dengan ripping (penggemburan) sehingga tanah menjadi remah, pembuatan drainage sehingga tanaman t idak te rgenang , menghilangkan kompetisi dengan melakukan pembersihan gulma atau menggunakan teknik mulsa. Tahapan selanjutnya adalah melakukan perbaikan kondisi tanah (soil amandment) seperti pemberian pupuk misalnya NPK untuk mengatasi kurangnya nutrisi tanah, penggunaan kompos aktif menggunakan remedy, kapur, pemberian Humic Substance Complex (HSC) atau polimer untuk mengatasi KTK yang rendah (< 16). Hal pertama yang perlu dilakukan adalah membuat layout (design) penanaman yaitu menentukan jarak tanam dan komposisi jenis dimana dalam hal ini perlu dipertimbangkan perkembangan tajuk masing-masing spesies tanaman yang pada akhirnya diharapkan dapat terbentuk stratifikasi tajuk. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam

Gambar 1. Pembatas yang sering timbul saat restorasi dilakukan

Pengambilan sampel tanah dilakukan pada lapisan top soil (0-30cm) dan sub soil (30-50cm) dengan titik pengambilan sampel diupayakan dapat mewakili dan tersebar pada masing masing block ing area . Se lanjutnya terhadap sample tanah dilakukan uji laboratorium untuk mengetahui sifat f is ik dan kimia tanah. Tidak perlu melakukan analisa semua sifat fi sik dan kimia tanah melainkan sifat-sifat tertentu yang dapat menjadi pembatas vegetasi untuk dapat tumbuh. Sifat-sifat tersebut adalah tekstur, pH, KTK, Bulk Density, Hydrolic conductivity, kadungan unsur hara makro (bahan organic, N, P, K, Ca, Mg) dan mineral toksik seperti Al, Fe, Zn,S, Mn. Berdasarkan uji sample tanah pada masing-masing block dan site history kemudian dilakukan pembacaan kendala-kendala yang ada yaitu menganalisis mengenai pembatas yang mengganggu

(spesies selection), kemudian ditentukan jenis yang terpilih berdasarkan per t imbangan iklim dan adaptabilitas jenis dan kebiasaan dijumpai pada vegetasi pada lokasi restorasi. Hal terpenting yang perlu diketahui adalah akar merupakan organ tanaman yang penting dalam kehidupan tanaman karena akar merupakan organ vital yang berperan dalam penyerapan

PEMBATASRESTORASILAHANGAMBUT

Kompetisi dgn Semakbelukar

Kedalaman&kematangangambut

Ketersediaan hara tanahtersedia

Genangan air

Ketersediaan pupukbiologis

Keasaman& toksisitastanah

Ancaman

Kebakaran

semak

dan

dan kematangan gambut

Page 19: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

19BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

kegiatan penanaman adalah penyiapan lubang tanam dimana ukuran lubang tanam harus disesuaikan dengan kesuburan tanah serta ukuran bibit tanaman.

muka air tanah dalam satu tahun dapat dilihat dalam Gambar 2. Evaluasi dilakukan pada akhir kegiatan untuk melihat hasilnya, apakah kegiatan yang telah dilakukan berhasil atau tidak.

Hasil-hasil percobaan revegetasi yang telah dilakukan oleh para peneliti Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak tahun 2003 hingga tahun 2015 ini diperoleh bahwa dalam teknik penyemaian jenis-jenis pohon lahan gambut menunjukkan adanya perbedaan kemudahan cara perbanyakan, sebagaimana disajikan dalam Tabel 3. Salah satu persyaratan semai siap tanam adalah akar yang kompak ditandai dengan terbentuknya sistem akar (root ball). Dalam teknik penanaman, percobaan-percobaan yang perlu dilakukan adalah analisis tipologi lahan gambut, uji jenis, uji persiapan lahan, aplikasi pupuk biologis mikoriza, dan ujicoba model-model agroforestry. Analisis tipologi lahan gambut diarahkan menuju pengetahuan tipe-tipe tapak, dan kesatuan hidrologi gambut (KHG). Uji jenis diarahkan untuk mengetahui jenis-jenis yang berpotensi tinggi untuk tumbuh di lahan gambut. Uji persiapan lahan dilakukan dalam rangka mencari teknik manupulasi lingkungan tanam yang bebas dari kompetisi, meningkatkan penetrasi cahaya, membuat fl uktuasi temperatur dan kelembaban yang kecil. Mikoriza digunakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan bibit dan tanaman muda di lapangan. Model-model

www.greenpeace.org

RAINY SEASON DRY SEASON DRY SEASON

Hardening Transport Planting STOP Tending

Watel level

Tending

MOUND

Moist zone in dry seasonWibisono et al (2005)

Gambar 2. Fluktuasi Muka Air Tanah dan Musim Tanam di Lahan Gambut

(Wibisono et al, 2005)

Penentuan waktu tanam yang tepat akan sangat menentukan keberhasilan hidup tanaman. Untuk itu dibutuhkan informasi kondisi klimatik dan kondisi muka air tanah (water level/water table) di kawasan tersebut. Penanaman bulan November merupakan waktu penanaman terbaik di lahan gambut. Fluktuasi

19BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 20: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

20 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

agroforestry diperlukan untuk sarana pemberdayaan masyarakat dalam membangun tanaman dan mencegah terjadinya kebakaran hutan.

Tanaman yang prospektif berdasarkan hasil-hasil percobaan dengan parameter daya hidup setelah berumur 5 tahun oleh Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Metode Perbanyakan Bibit Jenis Pohon Hutan Rawa Gambut dan Daya Hidup Tanaman di Lapangan 5

tahun setelah Penanaman.

No. Nama Lokal Nama ilmiah Cara perbanyakan

Persen hidup tanaman di lapangan

1 Jelutung/Pantung

Dyera polyphylla Generatif biji dan vegetatif stek 50%

2 Pulai Alstonia spatulata Generatif biji dan vegetatif stek

kurang dari 50%

3 Punak Tetramerista glabra Generatif biji dan vegetatif stek 50%

4 Kapurnaga Callophylum soulatri

Generatif biji dan vegetatif stek 50%

5 Medang telur

Litsea sp Generatif biji dan vegetatif stek

kurang dari 50%

6 Belangeran Shorea belangeran Generatif biji dan vegetatif stek 50%

7 Meranti bunga

Shorea teysmanniana

Generatif anakan alam 50%

8 Bintangur Calophyllum sp Generatif anakan alam 50%

9 Papung Sandoricum Generatif anakan alam -

Sumber : Yuwati et al. 2013

Aspek perlindungan tanaman dar i kebakaran yang per lu mendapat perhatian adalah : (1) Karakteristik bahan bakar dan api pada berbagai kondisi dan tipe hutan, (2) Potensi cadangan air di dalam lapisan gambut, (3) Ketersediaan sekat bakar, (4) Kecepatan api pada vegetasi pakuan dan bawah permukaan gambut, (5) Efektifi tas pemadaman ap i dengan menggunakan teknologi alat pemadam dan early warning system, dan (6) Penerapan pencegahan kebakaran berbasis masyarakat.

4. PARAMETER PENTING D A N L A M A W A K T U KEBERHASILAN RESTORASI Parameter keberhas i lan

restorasi tahap pertama adalah adanya tumbuhan yang hijau

subur. Tumbuhan yang hijau akan memantapkan tanah lumpur tebal (mire) menjadi suatu hamparan berfungsi sebagai media tumbuh yang layak bagi habitat tumbuhan rawa. Untuk menilai fungsi lahan gambut dapat melalui penilaian siklus karbonnya. Restorasi yang dilakukan dengan metode suksesi alam, penilaiannya dengan cara mengukur parameter-parameter ekologi yang sudah baku seperti kerapatan relatif, dominasi relatif, frekuenai relatif, dan nilai penting dari jenis-jenis yang ada. Dari nilai penting inilah dapat ditentukan nilai indeks kesamaan komunitas. Dari hasil pengukuran total vegetasi hutan rawa gambut akan diketahui dua struktur yaitu struktur vertikal dan struktur horizontal. Sedangkan struktur secara horizontal dicirikan oleh

berbagai jenis tumbuhan yang hidup dalam suatu komunitas hutan rawa gambut. Faktor edafi s dicirikan apabila semakin stabi l tanah gambut halus mencerminkan semakin stabilnya tempat tumbuh yang akan menjadi media tumbuh tanaman sebagai organisme primer.

Adapun parameter parameter yang digunakan untuk evaluasi restortasi vegetatif adalah : (1) Tingkat survival, jika survival > 80% maka pembangunan tanaman dianggap berhasil, (2) pertumbuhan normal, daun tidak kekuningan, tidak stagnan, (3) Akar sudah menembus bagian luar lubang tanam, (4) Serasah s u d a h te rc a m p u r d e n g a n tanah (terdekomposisi ) , (5) Adaptability (tanaman dapat hidup), (6) Sustainability (tanaman dapat melanjutkan hidup), (7) Terbentuknya struktur tegakan, (8) Terdapatnya satwa yang ditemukan pada lokasi restorasi, (9) Adanya kolonisasi alami atau tumbuhnya permudaan alam yang memenuhi areal restorasi.

Saat ini ada bukti hasi l sur vey strat igraphik bahwa untuk regenerasi alami pada lahan gambut di Eropah yang vegetas inya d i tebang dan tanahnya dieksavator, ternyata dapat kembali setelah memerlukan waktu lebih dari 100 tahun. Bukti lain bahwa jika regenerasi dimulai oleh jenis sphagnum dapat mempercepat yaitu kurang dari 25 tahun (Robert et al, 1999). Contoh di Indonesia, hasil pengamatan regenerasi hutan rawa gambut di Tumbang Nusa Kalimantan Tengah pasca kebakaran tahun 1997/1998 nampak bahwa vegetasi telah mulai didominasi jenis pioner dan klimaks tingkat pancang dan tiang pada tahun 2015 (perlu waktu regenerasi 18 tahun). Jika terjadi regenerasi vegetasi alami pada kondisi site yang sama pasca kebakaran tahun 2015 lalu, maka diperlukan waktu 18 tahun untuk

20 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 21: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

21BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 221212112111122212111112111112121211112211112221111121111112221111121212111121212121211211121212121212121111211BEBEBEBEBEBEBEBEBEBBEBEBEBEBEBEEEEEEEEBBBBBEB KAKAKAKAKAKAKAKAAAKAKAKAKAKKKAKAKKKKAKAAKAKAKAAKAKAKAKAKAKAKAKAKAKAAKAKKKAKKANTNNTNNNNTNTNTTTNNNTNTNTTTTTTNTTNNTTTTNNTNTNTTTTNTNTTTNNTNTTTNTNNTNNNTNTNTTTNNNNNTTNNTTNTNTAANANANANANNAANANANAANNAAANANANAAAAAANNNNANANAAAANANAANNNANAAAANNNANANANNAANAAN VVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVV lloloololloooolollooooolooololoooo ... ... . 44444/4/////44444//444444444/4/4444/444444//44//4444//NNoNoNoNoooooooNoNooNoNNNoNooooo. . . 1/1///1/1//1/1/1//11/11/1/1/1/11/1////11//////1///1111////////2020202020002020022000202022202020002022202020200222200020002222020020202200220000161616166616661616616661666666111666166666116666116161166

melihat kembali hutan muda di lahan gambut Tumbang Nusa.

4. PENUTUPRestorasi gambut adalah

tindakan mengembalikan sesuatu ekosistem gambut kembal i kepada fungsi aslinya. Tujuan restorasi dapat bervariasi antara mengembalikan suatu kawasan menuju komunitas aslinya dan ke komunitas sebelumnya. Dua tujuan tersebut dapat ditempuh mela lu i sukses i a lam atau perlakuan revegetasi dan sipil teknis.

Restorasi ekosistem dalam arti luas adalah upaya pengembalian unsur hayati dan non hayati suatu kawasan kepada jenis aslinya berikut keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Unsur hayati meliputi flora dan fauna dalam satu kawasan, sedangkan unsur nonhayati yang terdiri dari tanah, iklim, topografi suatu kawasan. Kondisi keanekaragaman jenis tumbuhan dan hewan disertai struktur tegakan berlapis dapat menjadi salah satu indikator

keberhasilan restorasi.Restorasi di lahan gambut

dalam pelaksanaannya akan memiliki faktor pembatas seperti genangan air, keasaman dan toksisitas tanah, kompetisi dengan semak belukar, ketersediaan unsur hara tanaman, kematangan gambut, kedalaman gambut, dan ketersediaan pupuk biologis.

Ke b e r h a s i l a n re s to r a s i ditentukan oleh persen hidup > 80%, tanah lumpur tebal stabil ditumbuhi jenis-jenis andalan setempat dan telah ter jadi kolonisasi jenis-jenis tumbuhan lokal setempat ke areal restorasi. Waktu yang diperlukan untuk mengembalikan fungsi ekosistem adalah antara 18 s/d 100 tahun.

PUSTAKAAkbar, A., S.Adriani, E. Priyanto, I.

Anwar, R. Ariani, dan M. Effendi. 2015. Model Pengelolaan Hutan Rawa Gambut Berisiko Kecil Kebakaran. Laporan Hasil Penelitian. BPK Banjarbaru.

Charman, D. 2002. Peatlands and Environmental Change. John

Wiley & Sons, LTD.231-257. Pages 300.

Daryono, H. 2000. Kondisi Hutan Setelah Penebangan dan Pemilihan Jenis Pohon yang Sesuai untuk Rehabilitasi dan Pengembangan Hutan Tanaman di Lahan Rawa Gambut.

Naughton, S.J. & Larry, L.W. 1998. Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

R i e l e y, J . O. & S . E . Pa g e . 1995 . B iod ive r s i t y and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands, Held in Palangka Raya. Central Ka l imantan . Indones ia . Samara Publishing Limited.

Yuwati, T.W.; D. Rachmanadi and P.B. Santosa. 2013. Rehabilitation Technique of Degraded Peat Swamp Forest in Central Kalimantan. FGD. Heindseidel. 2013. BPK Banjarbaru.

republika.com

21BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 22: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

22 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

KESATUAN HIDROLOGI GAMBUT DAN RESTORASI GAMBUT.Oleh: Dian Lazuardi

22BEKANTAN Vol. 3/No. 1/2015

www.absoluterevo.wordpress.com

22BEKANTAN Vol. 3/No. 1/2015

I. PENDAHULUANKebijakan pengelolaan ekosistem gambut

Indonesia selama hampir dua dekade selalu berlandaskan pada cakupan kewenangan yang bersifat sektoral. Hal ini tercermin dari munculnya beberapa istilah dan definisi yang dikeluarkan oleh beberapa peraturan pemerintah, keputusan presiden dan keputusan menteri. Inkonsistensi definisi yang terdapat pada beberapa peraturan tersebut mengakibatkan adanya peluang yang sangat besar untuk terjadinya perusakan dan menimbulkan konfl ik yang akan sangat merugikan (Indrarto, 2015).

Selain itu, istilah-istilah yang telah lama dikenal masyarakat sebelum adanya peraturan-peraturan tersebut, seperti dalam konteks klasifi kasi tanah, dan zonasi potensi pemanfaatan lahan menjadi semakin membingungkan.

Ekosistem gambut dan kesatuan hidrologis gambut yang tercantum dalam PP No14 tahun 2014, merupakan istilah yang selaras dengan semangat ekoregion yang dimandatkan dalam UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kesatuan hidrologis gambut sebagai sebuah ekoregion (bioregion) merupakan batas wilayah kesatuan pengelolaan ekosistem gambut. Penentuan unit pengelolaan berdasarkan ekoregion tersebut merupakan pendekatan yang ideal untuk diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis ekosistem, terutama kelebihannya dalam hal kejelasan batas wilayah, kemampuannya dalam menggambarkan hubungan timbal balik antara kondisi bio-fisik dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat di dalamnya (Slocombe. 1998). Ekoregion berdasarkan undang-undang tersebut merupakan suatu wilayah geografi s yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, fl ora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Sedangkan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) adalah ekosistem gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut, dan/atau pada rawa ( P P N o 1 4 tahun 2014). Berdasarkan u r a i a n

F O K U S

22 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 23: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

23BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

di atas, dapat dikatakan bahwa KHG sebagai salah satu bentuk operasional dari bioregion, konsep pengelolaan ekosistem gambut berbasis ekoregion merupakan jawaban dari permasalahan konflik sektoral yang terjadi selama ini. Pengelolaan berbasis ekoregion merupakan suatu konsep pengelolaan sumberaya a l a m t e r k i n i , d a n d a p a t dipandang sebagai perbaikan dan pengembangan dari konsep p e n g e l o l a a n s e b e l u m n y a (Slocombe. 1998; Schlaepfer R. 1997; Baskent and Yolasimaz, 2000.). Prinsip utama yang mendasari konsep pengelolaan ini adalah adanya hubungan saling ketergantungan diantara unit-unit penggunaan lahan yang ada di dalam satu ekoregion. Oleh karena itu, fokus perhatian dari pengelolaan berbasis ekoregion tersebut, tidak terbatas pada tata-kelola dalam satu unit tipe penggunaan lahan , tetapi fokus perhatian meluas ke arah unit-unit pengelolaan sektor lain yang ada di seluruh wilayah kesatuan hidrologis.

Deforestasi, degradasi hutan dan kebakaran telah menjadi ancaman tahunan terhadap kelestarian ekosistem gambut, dan kejadian kebakaran pada tahun 2015 yang melanda hampir seluruh KHG di Indonesia dapat dikatakan sebagai puncak dari semua proses pengrusakan tersebut. Kejadian ini menjadi tonggak awal bagi pemerintah untuk membangun kembal i fungsi ekos istem gambut dan menata kembali pola pemanfaatan yang sedang berjalan saat ini. Hal ini ditandai dengan dibentuknya suatu Badan Restorasi Gambut yang bertugas untuk melaksanakan program restorasi ekosistem gambut dan restrukturisasi pola peruntukan lahannya (Perpres No 1 tahun 2016).

Restorasi merupakan upaya pemul ihan kembal i fungs i

ekos is tem ke arah kondis i ekosistem aslinya atau ke arah kondis i ekosistem sebelum te r jad i ke rusakan . O leh karena itu, identif ikasi dan pemahaman tentang kondisi acuan tersebut menjadi sangat esensial keberadaanya, karena kondisi acuan merupakan tujuan restorasi itu sendiri dan sebagai alat pengukur keberhasi lan serta sebagai alat pengukur efesiensi dan efektivitas setiap perlakuan manajemen. Paper ini bertujuan untuk membahas beberapa karakteristik biofi sik dan proses ekosistem gambut yang berhubungan dengan kondisi acuan (refference condition) yang diperlukan bagi restorasi gambut di satu unit zona perlindungan (konser vaasi ) dan restorasi ekosistem gambut dalam skala KHG.

II. KARAKTERISTIK BIOFISIK KESATUAN HIDROLOGI GAMBUT

A. Lahan Dan Hutan Rawa Gambut . Istilah rawa merujuk pada

suatu kondisi lahan tergenang secara periodik dan adanya jenis vegetasi tumbuh di atasnya, sedangkan lahan yang tergenang dalam secara permanen dan tidak ditumbuhi oleh vegetasi disebut danau. Gambut adalah akumulasi bahan organik sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposis i t idak sempurna akibat adanya genangan air dan lingkungan tanpa oksigen (anoxic atau anaerobic). Kondisi tersebut mengakibatkan laju akumulasi bahan organik lebih cepat dari laju dekomposisinya.(Brady, 1997). Lahan pasang surut (tidal lands) adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut < 50cm yang dipengaruhi oleh pasang surut air sungai dan atau air laut. Lahan-lahan ini dalam klasifikasi tanah USDA

termasuk dalam kelompok ordo tanah Entisol (Soi Survey Staff. 1996 ), atau Fluvisol dan Gleysol (FAO, 1994). Lahan rawa seperti ini sering disebut sebagai lahan atau tanah bergambut.. Lahan rawa gambut adalah lahan rawa yang memiliki lapisan gambut dengan ketebalan lebih dari 50 cm, dan tanah ini masuk dalam kelompok ordo tanah Histosol (Soi Survey Staff. 1996) atau tanah Organosol (FAO,1994). Istilah hutan rawa gambut merupakan istilah dalam perspektif ekosistem gambut, yang mencakup seluruh karaktersitik biofisik (air, tanah, vegetasi, iklim dan kehidupan bio-mikro) alami dan interrelasinya yang terdapat di dalam satu KHG.

B. Mekanisme Pengaturan Hidrologis E k o s i s t e m g a m b u t

menyimpan suatu fenomena yang disebut dengan paradoks “tinggi dan basah” (The paradox “high and wet ’ ) . Paradoks dapat dipandang sebagai suatu kebenaran yang seolah-olah bertentangan dengan pendapat umum. Realitasnya bahwa vegetasi, air dan gambut di dalam struktur kubah ekosistem gambut memiliki suatu hubungan saling ketergantungan (mutually) yang sangat erat diantara satu dengan lainnya. Hubungan tersebut dikenal sebagai mekanisme hidrologis alami ( hydrological self-regulation mechanism ) . Tumbuhan akan menentukan tata-air permukaan gambut dan karakteristik gambut yang terbentuk. Tinggi permukaan air menentukan jenis tumbuhan yang akan tumbuh, tingkat akumulasi dan tingkat dekomposisi gambut. Penutupan vegetasi dan struktur gambut sangat mentukan pola aliran air dan fl uktuasi permukaan air. Mekanisme hidrologis tersebut merupakan faktor kunci yang mampu menopang eksistensi ekositem hutan rawa gambut

23BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 24: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

24 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/20162422224 BEBEB KAKAKAKAKAAKAAKANNTNNNTNTNNTAANANANANANAN VVolol. . 4/4//NoNoN .. 1/1/2020166166

dari fl uktuasi kondisi iklim ekstrim selama berabad-abad tahun lamanya. Interelasi dari tiga komponen tersebut berimplikasi bahwa ketika salah satu komponen mengalami kerusakan maka akan mengakibatkan kerusakan pada komponen lainnya, walaupun dampaknya tidak terjadi secara langsung pada waktu yang bersamaan, tetapi akan terlihat dalam jangka waktu yang panjang (Dommain et al., 2010).

1. Air, Topografi dan Ketebalan gambutPasokan utama air bagi seluruh

KHG adalah air hujan. Selain air hujan, pada areal yang berada di bagian tepi KHG dipengaruhi juga oleh sumber air lain yaitu: air pasang laut, sungai atau air limpasan (run-off) dari daratan yang berada di atasnya, termasuk air yang berasal dari areal di bagian tengahnya. Air pasang sungai atau laut, dan air limpasan daratan memiliki kandungan oksigen dan hara lebih tinggi dari air dari air hujan, ketiga sumber air tersebut juga membawa butiran-butiran tanah mineral. Oleh karena itu, lingkungan di semua bagian tepi memiliki tingkat kandungan hara dan oksigen lebih tinggi dibandingkan bagian tengahnya, sehingga proses dekomposisi menjadi lebih sempurna dan lapisan gambut yang terbentuk lebih tipis dibandingkan dengan bagian tengahnya. Perbedaan ketebalan tersebut membentuk suatu perbedaan topograf i permukaan secara konsentrik dari mulai tepi ke arah bagian dalam KHG. Fenomena ini yang dikenal dengan bentuk kubah gambut (dome) . Keberadaan kubah gambut sangat sulit dikenali di lapangan karena kemiringan yang terjadi umumnya < 0,1%. Ketebalan lapisan gambut pada bagian kubah mencapai 8-13m. Adanya bentukan kubah, akan

menyebabkan terjadinya aliran air permukaan pada saat musim hujan ke arah bagian tepi kubah. Aliran-aliran permukaan ini membentuk relief-relief mikro dan menghasilkan sejumlah areal tangkapan aliran air (micro catchment area ) , sehingga memungkinkan terbentuknya lebih dari satu kubah gambut dalam satu KHG (Page et al., 1999; Rieley and Pages, 2008; Rais, 2011).

Perbedaan tingkat kesuburan ini tercermin dari perubahan tingkat kepadatan (luas bidang dasar) dan tinggi kanopi hutan yang terbentuk. Semakin ke arah dalam, kepadatan dan tinggi kanopi hutan akan semakin menurun. Anomali terjadi pada bagian tengah kubah, dimana terdapat asosiasi hutan berkanopi tinggi dan sangat padat dengan hutan vegetasi rendah (tumbuhan herba, semak belukar dan perdu). Tegakan hutan berkanopi tinggi merupakan tegakan yang tumbuh pada lapisan gambut yang tak pernah tergenang, sedangkan hutan vegetasi rendah merupakan tegakan yang tumbuh pada kondisi permukaan yang relatif selalu tergenang. (Page et al., 1999; Rieley and Pages, 2008; Wedeux and Coomes, 2015).

Keberadaan individu-individu pohon akan menghasilkan suatu permukaan gambut yang lebih tinggi dibandingkan sekitarnya, sebagai akibat dari perkembangan ukuran dan bentuk batang ser ta perkembangan sist im perakarannya. Diantara bagian permukaan yang lebih tinggi tersebut membentuk relief-relief berupa cekungan-cekungan dalam beragam bentuk, ukuran, dan kedalaman. Kedalaman relief permukaan mencapai 40-60 cm. Keberaaan relief ini memiliki peran yang sangat besar dalam pengaturan dinamika pergerakan air, pembentukan dan pelestarian lapisan gambut. Pada periode

musim hujan, permukaan air (water table) berada di atas permukaan gambut, secara kontinyu air tersebut mengalir sebagai air limpasan ke arah elevasi yang lebih rendah, aliran air secara perlahan akan tertahan dan membentuk genangan di bagian-bagian cekungannya. Periode musim kering, air genangan akan menyusut masuk ke bawah permukaan sebagian besar melalui bagian cembungannya. Permukaan cembungan menjadi lebih oksik (aerob) dibandingkan dengan bagian cekungannya, sehingga hasil dari proses ini karakteristik lapisan gambut pada bagian cembungan menjadi lebih hemik dibandingkan sifat gambut di bagian cekungan. Kondisi fisik dan kimiawi permukaan gambut bagian cembungan lebih mendukung proses regenerasi jenis-jenis pohon kanopi utama. Sedangkan pada bagian cekungan umumnya ditumbuhi oleh jeis-jenis herba, dan tumbuhan bawah (Dommain et al., 2010).

Tinggi permukaan air akan berfluktuasi selaras dengan perubahan musim, dari mulai di atas permukaan sampai pada kedalaman ter tentu dimana permukaan air menjadi stagnan. Zona mulai permukaan gambut sampai kedalaman air stagnan dinamakan zona fluktuasi atau zona aerasi. Zona yang berada di bawah permukaan air stagnan dikenal dengan zona jenuh permanen (permanent saturated zone /PSZ). Penurunan permukaan air di hutan rawa gambut alami di musim kemarau sebagian besar sampai pada kedalaman 40 cm di bawah permukaan (Rieley and Page, 1999). Kandungan air akan semakin rendah ke a r a h p e r m u k a a n g a m b u t dan sebal iknya kandungan oksigen akan lebih tinggi ke arah permukaan. Perubahan kandungan air permukaan sangat

24 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 25: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

25BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 2525252522BBBBBBBBEBEB KAKKAKK NTTTTTTTTTTTTTTAAAANANANANAANANANAN VVVVVVVVVololololoo . 4/4/4/4/4/4/4/4/4//NoNoNoNoNoNoNoNoNoNoNoNo. .. . 1/1/1/1/11 220202020201616111

tergatung dari fl uktuasi permukaan air di bawah permukaanya, sebagai akibat dari adanya faktor daya hisap (suction) gambut, dan perbedaan suhu pemukaan.

Kandungan air permukaan sangat besar peranannya dalam hal proses dekomposisi, pertumbuhan dan perkembangan vegetasi, serta kerawanan terhadap kebakaran. Kandungan air pada lapisan permukaan gambut sebesar 150% (g/g) atau sekitar 15%-30% (v/v), merupakan batas kritis dimana lapisan gambut mulai dapat terbakar (Usop et al., 2004). Kandungan air optimum untuk aktivitas mikroba dalam proses dekomposisi berada pada tingkat 50% dari kondisi air jenuhnya, aktivitas akan menurun sejalan dengan penurunan kandungan air dan berhenti pada kandungan air sekitar 15% dari kondisi air jenuhnya (Iyama et al., 2012). Titik layu (wilting point) pada lapisan gambut hemic-sapric berada pada kadar air 50%-60% dari kondisi air jenuhnya (Katimon & Melling, 2007).

Hubungan antara tinggi permukaan air dan kandungan air di permukaan gambut (0-25 cm) , pada hutan rawa gambut alami, atau yang tidak banyak terganggu (pristine forest) fl uktuasi permukaan air bawah permukaan yang optimum adalah 0 - 40 cm. Walaupun permukaan air turun sampai kedalaman 80 cm, kondisi alami hutan rawa gambut masih berada pada di atas ambang batas kerawanan api, stagnasi pertumbuhan vegetasi dan stagnasi aktifi tas mikroba.

2. Neraca AirWalaupun hutan rawa gambut tropis tersebut semuanya berada di

wilayah iklim dengan curah hujan lebih besar dari 2,500 mm/th, tetapi tidak pernah membuat seluruh lapisan gambut menjadi jenuh sepanjang tahun (Rieley and Page, 2008; Wousten et al., 2006; Dommain et al., 2010, Rais, 2011). Hasil pengamatan dan perhitungan neraca air pada hutan rawa gambut yang relatif tak terganggu di daerah Kahayan-Kapuas yang dilakukan oleh Rais (2012) selama 3 tahun mulai Desember 2004 sampai Desember 2007, menunjukan bahwa terjadi defi sit simpanan air sebesar 607 mm (7.4%). Kehilangan air terbesar terbesar disebabkan oleh evapotranspirasi (58,6%) dan aliran permukaan (40,7%). Kehilangan air akibat intersepsi (7,9%) dan aliran bawah permukaan 8,1%) merupakan kehilangan air yang paling kecil. Hasil ini konsisten dengan berberapa hasil penelitian di beberapa tempat lainya, bahkan secara proporsi relatif sama dengan hutan rawa gambut daerah temperate.

Evapotranspirasi menjadi faktor terbesar dalam mengeluarkan air dari lingkungn KHG. Evapotranspirasi merupakan ukuran kumulatif kehilangan air yang disebabkan oleh penguapan yang berasal dari permukaan gambut (evaporasi) ditambah dengan penguapan dari permukaan tajuk tumbuhan (transpirasi). Semakin padat tingkat penutupan vegetasi maka evaporasi permukaan gambut akan semakin menurun dan transpirasi akan semakin meningkat, tetapi secara keseluruhan evapotranspirasi akan semakin meningkat (Gambar 1). Walaupun kehadiran vegetasi akan meningkatkan jumlah air yang keluar dari lingkungan KHG melalui intersepsi air hujan dan transpirasi, tetapi keberadaan vegetasi memiliki peran penting dalam mekanisme ekosistem gambut, yaitu : (a) Meningkatkan ketersediaan hara melalui produksi serasahnya dan bahan baku gambut baru. (b) Mengurangi radiasi cahaya matahari langsung ke permukaan gambut melalui efek naungannya, dan (c) Mengurangi kecepatan angin di bawah tegakan,

Semua peran penutupan vegetas i tersebut tersebut berdampak pada kondisi iklim mikro di permukaan gambut, seperti menurunkan perbedaan (albedo) suhu udara dan suhu pemukaan gambut, kestabilan t ingkat ke lembaban udara relatif dan kadar air permukaan yang sangat diperlukan bagi keberlangsungan aktfi tias mikroba dalam proses dekomposisi, dan mendukung perkembangan regeneras i be ragam jen i s t u m b u h a n . S e l a i n i t u , pertumbuhan dan perkembangan sistem perakaran (terutama jenis pohon) sangat berperan dalam mekanisme pembentukan gambut melalui penghambatan aliran air pemukaan, mempertinggi laju infiltrasi serta berperan sebagai pendukung kekuatan mekanis struktur kubah melalui pembentukan ‘anyaman “ sistem perakarannya.

Aliran di bawah permukaan sangat menentukan tingkat kedalaman permukaan a i r, be sa ran kecepa tan a l i r an bawah permukaan yang diukur berdasarkan daya hantar aliran air (hydraulic conductivity / Hc). Hc sangat tergantung dari tingkat kepadatan atau kematangan dan porositas lapisan gambut. Untuk lahan rawa gambut di Sebangau Kalteng, nilai Hc rata-rata pada kedalaman 0-1m (lapisan fi brik-hemik) adalah sebesar 30cm/hari, dan lapisan di bawahnya (lapisan saprik) sebesar 2,2 cm/hari (Takahashi and Yonetani, 1997). Nilai-nilai Hc dan arah alirannya menjadi sangat berguna dalam merancang suatu sistem drainase yang mengatur tingkat penurunan kedalaman permukaan air tanah, dan sebaliknya dapat digunakan juga sebagai acuan dalam merancang perlakuan pembasahan kembali (rewetting).

25BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 26: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

26 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Gambar 1. Perbandingan laju evaporasi, transpirasi dan evapotranspirasi dalam berbagai tingkat kepadatan

vegetasi (Kettridge et al., 2013)

Tingkat penurunan permukaan air akibat pembangunan kanal sangat ditentukan oleh tingkat kepadatan lapisan gambut, ukuran penampang kanal (lebar dan kedalaman) dan kecapatan aliran air keluar kanal. Sebagai contoh: jika lebar kanal 2,5 m dan posisi permukaan air kanal 80 cm di bawah permukaan lahan, maka akan memberikan dampak penurunan air sejauh 25 m dari tepi kanal dengan pola seperti dalam Gambar 2.c., yang diikuti oleh menurunan kadar air permukaan yang relatif sejajar dengan pola penurunan permukaan air tanahnya. Lapisan gambut yang berada di atas zona permukaan air tanah menjadi lebih oksik, dan proses dekomposisi menjadi lebih intensif, sehingga lapisan gambut menjadi lebih padat dan permukaan gambut menjadi lebih menurun ke arah tepi kanal (mini dome). Peningkatan kepadatan lapisan gambut tersebut secara langsung akan menurunkan nilai Hc, dan meningkatkan daya ikat airnya. Fenomena ini dapat diterangkan oleh Gambar 2.a dan 2.b.

Perm

ukaa

n ai

r (c

m)B

ulk

dens

ity

Kada

r ai

r (%

vol

)

(a) kedalaman 0-30 cm

(b) kedalaman 0-30 cm

(c)

Jarak dari tepi kanal (m)

Gambar 2. Hubungan antara jarak dari tepi kanal dengan tinggi permukaan air bawah permukaan, bulk desity dan kandungan air lapisan permukaan setelah 7 tahun pembangunan kanal (Rothwell et al., 1996).

III. RESTORASI EKOSISTEM GAMBUTRestorasi merupakan suatu

pendekatan pemulihan kembali proses dan fungsi ekosistem yang terdegradasi ke arah kondisi alaminya atau kondisi sebelum ter jad i kerusakan , mela lu i perangkaian kembali flora dan fauna asli yang pernah menempati tapak tersebut. Rehabilitasi merupakan pemulihan kembali proses dan fungsi ekosistem tanpa mensyaratkan keberadaan komponen ekosistem aslinya (Lamb, 1994; Covington et.al., 2009; Jaenicke et al., 2010; Riztema et al., 2014; ). Ruang lingkup rehabilitasi dan restorasi yang digunakan oleh Badan Restorasi Gambut I ndones i a ( 2006 ) didasarkan pada perbedaan tindakan managemen sesuai dengan tingkat kerusakannya. Rehabil itasi ditujukan pada kegiatan pemulihan lahan rawa gambut ke arah ekosistem aslinya pada lahan gambut yang masih memiliki fungsi hidrologis normal, tetapi vegetasinya telah rusak atau hilang. Sedangkan restorasi merupakan kegiatan pemulihan ke arah ekosistem aslinya pada lahan rawa gambut yang telah terdegradasi baik fungsi hidrologisnya maupun vegetasinya. Selain mengemban misi rehabilitasi dan restorasi, BRG mengemban misi merestrukturisasi dan memantapkan kembali zona perlindungan (konservasi) dan zona budidaya di dalam setiap satu KHG. Tehnis operasional rehab i l i t a s i dan re s to ra s i difokuskan pada areal-areal yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi, sedangkan untuk kawasan budidaya diserahkan kepada masing-masing pengelola atau pemilik lahannya. Oleh karena itu, dalam papaer ini hanya dibahas mengenai konsep dan prinsip restorasi ekosistem untuk zona perlindungan dan konservasi yang terdegradasi.

Page 27: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

27BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 27BEKANTAN Vol. 4/4/NoNoN . 1/2016

1. Ko n d i s i A c u a n u n t u k Restorasi dan Rehabilitasi Kawasan Lindung/Konservasi Kondisi sebelum terjadinya

kerusakan atau kondisi yang belum terganggu (prist ine ) merupakan suatu kondisi acuan (reference condition) bagi kegiatan restorasi, sehingga selain sebagai tujuan dari restorasi itu sendiri, karakteristik yang dimiliki oleh kondisi acuan tersebut merupakan alat monitoring dan evaluasi tingkat keberhasilan program restorasi secara keseluruhan (Covington et.al., 2009; Jaenicke et al., 2010). Mengingat ekosistem tersebut sangat kompleks, sehingga sangat tidak realistis jika harus menggunakan semua karakteristik secara komprehensif. Karaktersitk ekosistem yang dijadikan kondisi acuan harus sesederhana mungkin, yang terdiri dari satu atau beberapa karaktersitk kunci dan bersifat esensial atau penentu bagi ter jadinya proses di dalam ekosistem tersebut. Kesenjangan (gaps) antara kondisi acuan dengan kondisi saat ini merupakan ukuran tingkat degradasi, dan sebagai dasar pemilihan preskripsi silvikultur yang diperlukan, serta sebagai alat monitoring tingkat keberhasilan perlakuan restoratif yang diterapkan.

B e r d a s a r k a n u r a i a n -uraian sebelumnya, beberapa karaktersitik ekosistem rawa gambut yang dapat dijadikan sebagai komponen kunci dalam upaya restorasi dan rehabilitasinya adalah: (a) permukaan air dan fl ukuasinya, (b) kelembaban dan konfi gurasi permukaan gambut, dan (c) keberadaan vegetasi. Secara gar i s besar, set iap tehnik restorasi ekosistem rawa gambut dapat dikelompokan berdasarkan tujuannya, yaitu yang bertujuan untuk pembasahan kemba l i ( r ewet t ing ) , dan untuk pengembalian vegetasi (revegetation).

a) Pembasahan kembali (Rewetting): Tujuan utama yang diharapkan dari pembasahan kembali adalah hanya untuk meningkatkan permukaan air bawah tanah dan kelembaban permukaan gambut pada musim kering sesuai dengan kondisi acuannya. Kondisi acuan bagi kedalaman permukaan air adalah 40 cm dan kendungan air permukaan ≥ 30% (v/v). Pembasahan kembali mencakup penghambatan dan penyekatan aliran air di dalam kanal (canal blocking), penghambatan aliran permukaan areal gambut, dan penghambatan laju evaporasi permukaan gambut.

Prasyarat utama sebelum pembuatan penyekat kanal (bendungan / tabat) adalah identifi kasi arah aliran air di dalam kanal. Pembuatan bendungan dibuat secara bertahap. Berdasarkan arah aliran air di dalam kanal, bendungan pertama dibuat pada suatu posisi dimana air yang tertahan berada di areal yang akan direstorasi. Pembuatan bendungan berikutnya didasarkan pada hasil evaluasi dampak bendungan pertama terhadap tinggi muka air dan kandungan permukaan gambut di sekitarnya.

Penghambatan aliran permukaan pada dasarnya ditujukan untuk memperbesar laju infi ltrasi air ke bawah permukaan. Konfi gurasi permukaan gambut yang tersusun dari cekungan-cembungan, dan batang-batang pohon merupakan kondisi yang sangat mendukung tujuan penghambatan aliran permukaan. Dalam kondisi areal terbuka, seperti pada areal revegetasi, sangat dianjurkan untuk membuat cekungan-cekungan melalui pemadatan (bukan galian) diantara larikan dan atau titik tanamnya. Cekungan-cekungan ini akan menahan aliran air, dan memperbesar aliran masuk ke bawah permukaan melalui bagian cembungannya.

Pencegahan evaporasi permukaan lebih ditujukan pada areal-areal gambut yang telah hilang lapisan permukaannya akibat kebakaran. Pada bagian gambut ini, kondisi permukaan gambut baik sifat fi sik maupun kimiawinya serta ketergenangannya tidak mendukung berlangsungnya proses revegetasi. Penimbunan kembali dengan berbagai material oraganik (gambut, serasah, nekromasa,atau serbuk gergaji) yang terdapat di permukaan sekitarnya menjadi sangat diperlukan.

b) Pemulihan vegetasi (Revegetation): Pemulihan vegetasi pada dasarnya adalah memfasilitasi, mengarahkan dan melindungi kehadiran, pertumbuhan dan perkembangan individu tumbuhan baik alami maupun tanaman. Pada lahan-lahan yang telah mengalami kehilangan vegetasi alaminnya, revegetasi melalui penanaman merupakan pilihan satu-satunya. Perhatian utama dan menjadi prasyarat adalah mempersiapkan areal sedemikian rupa sehingga menjadi media tempat bertambatnya (anchorage) sistem perakaran tanaman, sebagai penyedia air dan hara. Kondisi ini mengindikasikan bahwa permukaan gambut di setiap titik tanam harus berupa gambut hemik (tekstur halus dan relatif padat). Perlakuan pembersihan sekitar larikan atau titik tanam (site scarifi cation) dari material kasar, pemulsaan (mulching), remediasi, dan pemupukan menjadi sangat diperlukan.

Pada areal yang masih meningggalkan vegetasi alaminya, preskripsi silvikultur berupa penanaman pengkayaan (enrichment planting) dan pembebasan individu pohon dipandang sudah memadai dalam mencapai tujuan restorasi. Jika memungkinkan, pemupukan akan lebih mempercepat pertumbuhannya.

27BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 28: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

28 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016228288222288228 BEBEEBEBEB KAKAKAKAKAK NTNTNTNNTTNTANANANNANNAANNN VVVVVVVVVolololllloololol.... 4/4/4/4/4/4 NoNoNoNoNoNoNoooooo. 1/1/1////1/202020222 16161666

2. Ko n d i s i A c u a n u n t u k Rehabilitasi dan Restorasi pada Tatanan KHGSetiap unit penggunaan

lahan baik yang berada di zona per l indungan (konser vas i ) maupun di zona budidaya tidak selalu mensyaratkan kondisi hidrologis yang sama, dan tidak selalu menghasilkan dampak praktek pengelolaan yang saling menguntungkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, kondisi acuan dalam level KHG harus berupa kondisi masa depan yang diharapkan (desired future condition / DFC). DFC ini disusun dan disepakati secara bersama oleh semua fihak yang terlibat di dalam pengelolaan KHG yang bersangkutan. Prinsip kolaborasi secara hor isonta l d iantara para pengelola unit lahan dan koodinasi secara vertikal dengan institusi yang bertanggung jawab sebagai koordinator di tatanan KHG menjadi prasyarat utama. Dalam lingkup KHG, karakteristik ekos i s tem yang seba iknya dijadikan kondisi acuan adalah karakteristik-karakteristik yang keberadaannya dibutuhkan oleh semua unit penggunaan lahan, atau yang menjadi sumber konfl ik dan atau yang menjadi ancaman bersama. Semua karaktersitik kunci ini akan dapat diketahui setelah terbentuk suatu jalinan komunikasi yang jelas diantara para stakeholder, seperti adanya suatu forum diskusi kelompok terfokus (focus discussion group) .

IV, PENUTUPKesatuan hidrologi gambut

sebagai suatu unit pengelolaan ekosistem gambut, dari sudut pandang pengelolaan ekosistem d i pa n d a n g s u d a h s a n g a t tepat, karena KHG memiliki kejelasan batas, mudah dikenali keberadaanya, mampu mencakup keragaman karakterisitik biofi sik dan kehidupan sosial-budaya

masyarakat di dalamnya. Selain itu, pembentukan KHG telah sejalan dengan semangat ekoregion yang dimandatkan dalam Undang undang per l indungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Mengembalikan meknisme pengaturan hidrologis alami (hydrological self-regulation) merupakan parameter kunci yang dapat dijadikan sebagai kondisi acuan (reference condition) dalam upaya restorasi dan rehabilitasi ekosistem gambut. Selain sebagai arah dari tujuan restorasi, kondisi acuan tersebut juga sebagai alat penilaian atau monitoring tingkat keberhasilan kegiatan restorasi. Kedalaman permukaan air, kadar air permukaan gambut d a n ke b e r a d a a n ve g e t a s i merupakan variabel kunci dari restorasi dan habilitasi ekosistem gambut. Pada level KHG, kondisi acuan seharusnya merupakan suatu kondisi masa depan yang diharapkan oleh seluruh pihak yang berkepentingan. Kondisi ini disusun dan disepakati secara kolaboratif dan dilaksanakan secara adaptif oleh masing-masing pihak yang terl ibat dalam pengelolaan KHG. Tinggi permukaan air, praktek yang bersifat merugikan (eksternalitas) bagi sekitarnya dan kebakaran lahan merupakan faktor-faktor yang harus menjadi komponen dari kondisi mas depan yang diharapkan bersama.

DAFTAR PUSTAKAAnderson, J. A. R., 1961. The

Ecological Types of the Peat Swamp Forests of Sarawak and Brunei in Relation to Their Silviculture, PhD thesis, University of Edinburgh, Edinburgh, UK.

Baskent and Yolasimaz H.A., 2000. Exploring the Concept of a Forest Landscape Management Paradigm. Turk J Agric For 24: 443–45

Brady, M.A. (1997) Effects of vegetation changes on organic matter dynamics in three coastal peat deposits in Sumatra, Indonesia. In: Rieley, J.O. & Page, S.E. (eds.) Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands, Samara Publishing, Cardigan, UK, 113–134.

Brinson M.M., 1993. A H y d r o g e o m o r p h i c Classifi cation for Wetlands. Wetlands Research Program. Technical Report WRP-DE-4. Washington, DC.

Covington, W. W., Niering W. A., Starkey W. A., and Walker W. A.. 2009. Ecosystem restoration and management of public lands: principles and concepts. In: N. C. Johnson, A. J. Malk, W. T. Sexton, and R. Szaro. ( Editors). Ecological stewardship: a common reference for ecosystem management. Elsevier Science, Oxford, UK

Hirano T., Kusin K, Limin S, Osaki M., 2015. Evapotranspiration of tropical peat swamp forest. Glob Chang Biol. 2015 May;21(5):1914-27.

Indrarto G. B., 2015. Aspek legalitas dari perlindungan dan pengelolaan gambut Indonesia. IPN Toolbox Tema A subtema A3. CIFOR. Bogor, Indonesia.

Iyama I., Osawa K., and Nagai T., 2012. A seasonal behavior of surface soil moisture condition in a reclaimed tropical peatland. Soil Science and Plant Nutrition (2012), 58, 543—552]

Jaenicke J., Wösten H., Budiman A., & Siegert F., 2010. Planning hydrological restoration of peatlands in Indonesia to mitigate carbon dioxide emissions. Mitig. Adapt. Strateg. Glob. Change

libregraphics.asia

28 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 29: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

29BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 292929299929292929999BEBEBEBEBEBEBEBEBEBEBEBBBEBBEKAKAKAKAKAKAAKAKAAKAAKKAK NTNTNTNTNTNTNTTNTNTNN ANANAANANANANANAAANAA VVVVVVVVVVVVoolollooolo . .. 4/4/4/4//4/44/4/44 NNoNoooNNooNoNNooNoNo.... 1/1/1/1////1/2020202020202020220116161616161616

15: 223–239Katimon A., & Melling L., 2007.

Moisture retention curve of tropical sapric and hemic peat. Malaysian Journal of Civil Engineering 19(1) : 84-90

Kettridge n., Thompson D. K., Bombonato L., Turetsky M. R., Benscoter B. W., and Addington J. M., 2013. The ecohydrology of forested peatlands: Simulating the effects of tree shading on moss evaporation and species composition. Journal Of Geophysical Research: Biogeosciences, 118: 422–435,

Page SE, Rieley JO, Shotyk W, Weiss D (1999) Interdependence of peat and vegetation in a tropical peat swamp forest. Phil Trans R Soc Lond B 354:1885–1897.

Rais, D.D., 2012. Peatland hydrology and its role in tropical peatland sustainability. Proceedings National Symposium on Ecohydrology March 24, 2011. Jakarta,

RieleyJ. O.and Page S.E., 2008. The Science of Tropical Peatlands and the Central Kalimantan Peatland Development Area. Master Plan for the Rehabilitation and Rehabilitation of the Ex-Mega Rice Project Area in Central Kalimantan. Technical Note 1. Government of Indonesia-Royal Netherlands Embassy, Jakarta

Schlaepfer R. 1997. Ecosystem-Based Management of Natural Resources: a Step Towards Sustainable Development. Occasional paper no. 6. Austria: IUFRO.

Slocombe D.S., 1998. Lessons from experience with ecosystem-based management. Landscape and Urban

Planning 40: 31–39.Soil Survey Staff (1996). Key to

soial taxonomi. 7th USDA Washington.

Takahashi H, Yonetani Y., 1997. Studies on microclimate and hydrology of peat swamp forest in Central Kalimantan, Indonesia. In: Rieley JO, Page SE (eds) Biodiversity and sustainability of tropical peatlands. Samara, Cardigan, pp 179–187

Takahashi, H., Shimada, S., Ibie. B. F., Usup, A., Yudha. & Limin, S. H. 2001. Annual change of water balance and drought index in a tropical peat swamp forest of Central Kalimantan, Indonesia. In Peatlands for people: Natural Resource and Functions and Sustainable Management. Proceeding of the International Symposium on Tropical Peatland, 22-23 August 2001. Jakarta Indonesia. BPPT and Indonesia Peat Association. (Rieley, J. O. & Page, S. E. eds.) with Setiadi. B. Pp. 63-67.

Usup A, Hashimoto Y., Takahashi H , And Hayasaka H., 2004. Combustion and thermal characteristics of peat fi re in tropical peatland in Central Kalimantan, Indonesia. Tropics 14 (1): 1-19.

Wedeux B. M. M. and Coomes D. A., 2015. Landscape-scale changes in forest canopy partially logged tropical peat swamp. Biogeosciences, 12, 6707–6719,

Wösten, J. H. M., J. Van Den Berg, P. Van Eijk, G. J. M. Gevers, W. B. J. T. Giessen, Hooijer A., Idris P., Leenman H, Rais D.S., Siderius C., Silvius M. J., Suryadiputra N, and Wibisono I TC., 2006. Interrelationships between Hydrology and Ecology in Fire Degraded Tropical Peat Swamp Forests. Water Resources Development, Vol.

22, No. 1, 157–174, Ritzema H., Limin S., Kusin K.,

Jauhiainen J., and Wöstena H., 2014. Canal blocking strategies for hydrological restoration of degraded tropical peatlands in Central Kalimantan, Indonesia . Catena 114 (2014) 11–20

Rothwel R.L. l., Silins U., and Hillman R.L.. 1996. . The effect of drainage on substrate water content at several forested peatlands. Can. J.For. 26: 53-62.

29BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 30: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

30 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

KEDUDUKAN BRG DALAM RESTORASI LAHAN GAMBUTOleh: MUHAMMAD ABDUL QIROM

Dalam beberapa dekade terakhir, kebakaran hutan dan lahan telah menjadi bencana tahunan yang belum bisa dicegah dan dikendalikan. Kebakaran tersebut terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan data BNPB tahun 2015, kejadian ini menyebabkan kerugian fi nansial mencapai lebih dari 200 Triliun. Perhitungan tersebut belum termasuk kerugian pada sektor kesehatan, pendidikan, plasma nutfah, emisi karbon dan lainnya. Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disebutkan bahwa pada tahun 2015 telah terjadi kebakaran hutan dan lahan seluas 2,6 Juta Hektar di seluruh wilayah Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan tersebut terjadi pada kawasan Hutan Negara, Areal Konsesi, dan Areal Penggunaan Lain (APL).

F O K U S

www.jurnalasia.com

30 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 31: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

31BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

-

100.000

200.000

300.000

400.000

500.000

600.000

700.000

Sumsel Kalteng Papua Riau Kalsel Jambi Kalbar

Luas

keb

akar

an (

ha)

Provinsi

Luas Kebakaran Gambut terbakar

Gambar 1. Luas areal kebakaran lahan dan areal gambut di beberapa provinsi

Pada tahun 2015, kebakaran terjadi pada seluruh tipe hutan dan lahan termasuk lahan rawa gambut. Kebakaran hutan rawa gambut mencapai lebih dari 700 ribu hektar. Hutan rawa gambut yang terbakar tersebar pada 7 provinsi yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Riau, Kalimantan Selatan, Jambi, dan Kalimantan Barat (Gambar 1). Pada beberapa provinsi, kebakaran lahan gambut mencapai lebih dari 50% dari total areal yang terbakar. Kebakaran lahan gambut menyebabkan kabut asap akibat pembakaran yang tidak sempurna. Kebakaran ini menghasilkan emisi karbon lebih dari 1,1 giga ton CO2 (equaivalen) dan melumpuhkan seluruh aktivitas kehidupan. Menurut Tukirin Partomihardjo Peneliti Biologi LIPI, kebakaran berat pada lahan gambut telah menyebabkan kematian pohon lebih dari 80%. Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap kehilangan keragaman hayati pada lahan gambut. Berdasarkan fakta dari kebakaran-kebakaran yang telah terjadi di lahan gambut, kebakaran tersebut tidak dapat dipadamkan kecuali menunggu datangnya hujan yang sangat lebat dan waktu yang lama. Upaya-upaya pemadaman yang telah dilakukan tidak efektif karena kondisi gambut yang sangat kering dan pemadaman yang dilakukan hanya di permukaan tanah sehingga pada gambut-gambut yang dalam tidak sampai menyentuh sumber api.

Pe n e l i t i C I F O R H e r r y Purnomo mengungkapkan bahwa Pemerintah mulai akhir tahun 2015 telah mengupayakan upaya pencegahan kebakaran secara optimal. Upaya pencegahan kebakaran tersebut melibatkan pemerintah, swasta, masyarakat, dan aparat penegak hukum. Selain upaya pencegahan kebakaran tersebut, pemerintah berkomitmen untuk mengembalikan fungsi-fungsi hutan gambut. Keseriusan

pemerintah tersebut dapat dilihat dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG). BRG dibentuk dengan Peraturan Presiden No 1 Tahun 2016. Berdasarkan Perpres tersebut, tujuan utama pembentukan BRG yakni “percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungs i h id ro log i s gambut akibat kebakaran hutan dan lahan secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh dalam rangka melaksanakan kegiatan restorasi lahan gambut”. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengembalian fungsi lahan gambut bukan hanya tanggung jawab sektor lingkungan hidup dan kehutanan semata melainkan tanggung jawab multi sektoral di bawah koordinasi Badan Restorasi Gambut (BRG).

BRG mempunyai fungsi yang cukup luas yakni koordinasi, penguatan kebijakan, penelitian, edukasi, dan fungsi-fungsi yang lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 dari Peraturan Presiden No 1 Tahun 2016. Pada pasal 3 tersebut disebutkan 9 fungsi BRG antara lain: “a. pelaksanaan koordinasi d a n p e n g u a t a n ke b i j a ka n pelaksanaan restorasi gambut; b. perencanaan, pengendalian dan kerja sama penyelenggaraan restorasi gambut; c. pemetaan

kesatuan hidrologis gambut; d. penetapan zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya; e. pelaksanaan k o n s t r u k s i i n f r a s t r u k t u r pembasahan (rewetting) gambut dan segala kelengkapannya; f. penataan ulang pengelolaan areal gambut terbakar; g. pelaksanaan sosialisasi dan edukasi restorasi gambut; h. pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi; dan i. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden”. Dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, BRG bertanggung jawab langsung kepada Presiden dengan masa kerja selama 5 tahun. Pada masa kerja tersebut, BRG harus dapat menyusun rencana dan melaksanan restorasi ekosistem gambut seluas 2 juta hektar yang tersebar di 7 provinsi. Provinsi-provinsi tersebut merupakan provinsi dengan luasan gambut terbakar yang pa l ing luas (Gambar 1). Pada tahap awal pelaksanaan restorasi, lokasi-lokasi yang menjadi prioritas yakni Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Ogan Komering Il ir Provinsi Sumatera Selatan serta Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau.

Page 32: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

32 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Peraturan Presiden tersebut memandang bahwa ekosistem gambut sangat penting. Hal ini harus dilakukan karena Indonesia mempunyai lahan gambut sangat luas. Berdasarkan data Wetland Indonesia, luas lahan gambut mencapai 20,6 juta Ha (50% dari luas hutan gambut dunia) atau 10,8% dari luas daratan Indonesia. Namun demikian, penutupan lahan gambut yang tersisa hanya 51% dari luas hutan gambut tersebut (Forest Watch Indonesia (FWI), 2011) . Menurut Data FWI (2011) deforestasi lahan gambut seluas 2 juta Ha pada periode tahun 2000 – 2009. Deforestasi terbesar terjadi di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua (Gambar 2).

Sumatera Kalimantan PapuaDeforestasi 2000 - 2009 0,99 0,88 0,13Tutupan hutan 2009 1,83 2,79 6,16

0

1

2

3

4

5

6

7

Luas

(Ju

ta H

a)

Gambar 2. Luas tutupan hutan dan deforestasi lahan gambut periode tahun 2000 – 2009

Sumber: FWI, 2011

Kondisi ini menyebabkan lahan gambut tidak lagi berfungsi secara optimal. Menurut Nazir Foead (Kepala BRG) dari 51% gambut yang tidak berhutan tersebut, sekitar 2,7 juta ha gambut dalam kondisi rusak parah dan mengalami kebakaran setiap tahun. Lahan-lahan gambut ini menjadi prioritas untuk dilakukan restorasi secepatnya. Langkah awal dalam

penentuan prioritas restorasi ini, BRG mengklasifikasikan lahan gambut menjadi 4 yakni prioritas restorasi, usulan moratorium, gambut yang perlu direhabilitasi, dan gambut yang terkelola dengan baik. Klasifi kasi tersebut berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria-kriteria tersebut antara lain: 1) klasifi kasi prioritas restorasi:

gambut tidak berhutan tahun 2012, terbakar ≥ 3 kali dari 2000 – 2011, dengan dan tanpa indikasi kanal

gambut tidak berhutan tahun 2012, terbakar ≥ 3 kali dari 2000 – 2011, terbakar ≥ 1 kali pada 2012 – 2015, indikasi kanal

gambut berhutan tahun 2012, terbakar 2012 – 2015, dengan dan tanpa indikasi kanal

2) klasifi kasi usulan moratorium: gambut berhutan tahun

2012, tidak terbakar pada 2012 – 2015

32 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 33: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

33BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 33333333333333333BEBEBEBEBEBEBEBBEBEEBEEB KAKAKAKAKAAKAKAKAKAAAAANTNTNTNTNTNTNTNTNTTNTTNTTTTNN ANAANANAANNNANAAANAANANA VVVVVVVVVVVVVVoololooolloolooooll.. . . 4/44/4//4/4/44//4/44/NoNoNoNoNoNoNoNoNoNNoNooooo. .. 1/1/1/1/1/1/1/1////1//////20202020020202020222222 16161616161661661666

3) klasifi kasi gambut yang perlu direhabilitasi gambut tidak berhutan

tahun 2012, terbakar ≥ 3 kali dari 2000 – 2011, terbakar ≥ 1 kali dari 2012 – 2015, tanpa indikasi kanal

4) klasifi kasi gambut yang terkelola dengan baik: gambut tidak berhutan

tahun 2012, terbakar < 3 kali pada 2012 -2015, dengan dan tanpa indikasi kanal

Berdasarkan klasifikasi dan kriteria-kriteria tersebut, BRG telah menentukan lahan gambut seluas 2,67 juta Ha sebagai target restorasi yang tersebar di 7 provinsi target (Tabel 1). Restorasi ini merupakan pekerjaan yang sangat berat dan multi sektoral. Menurut BRG, restorasi tidak sama dengan rehabilitasi. Perbedaan utama yakni restorasi

dapat “mengubah fungsi kawasan atau status perizinan jika upaya pemulihannya menunjukkan adanya keharusan perubahan status lahan”, sedangkan rehabiltasi yakni upaya pemulihan vegetasi tanpa perlu perbaikan hidrologis. Kondisi ini mengharuskan BRG berkolaborasi dengan berbagai pihak mulai lembaga-lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, mitra luar negeri, perusahaan swasta (dunia usaha), dan masyarakat lokal. Hal ini karena “Restorasi gambut merupakan restorasi fi sik, ekosistem, hidrologi, revegetasi, ditambah dengan restorasi sosial” ujar Dr. Myrna A. Savitri (Deputi Edukasi, sosialisasi, partisipasi, dan kemitraan, BRG). BRG berpandangan bahwa masyarakat tidak boleh ditinggal/dianaktirikan dalam pelaksanaan program kerjanya. Masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah harus menjadi aktor dalam kegiatan restorasi lahan gambut. Program kerja BRG harus diintegrasikan dengan keterlibatan masyarakat agar kesalahan pembangunan di masa lalu tidak terulang. Keberhasilan restorasi ini bukan hanya untuk perbaikan ekosistem gambut semata namun restorasi ini dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar.

Kondisi ini selaras dengan yang telah dilakukan BRG. BRG mencoba melakukan peningkatan kapasitas masyarakat lokal melalui kegiatan-kegiatan pelatihan, penguatan kelembagaan masyarakat lokal, dan upaya penerapan Best practice dalam pengelolaan lahan gambut. Namun demikian, kegiatan-kegiatan tersebut tidak meninggalkan aspek teknis seperti pembasahan gambut ataupun teknis sipil yang lain. Dalam pelaksanaan program tersebut, BRG telah bekerjasama dengan lembaga pendidikan atau litbang untuk meningkatkan kapasitas dalam kegiatan restorasi gambut.

Tabel 1. Klasifi kasi ekosistem gambut

Klasifi kasi Gambut Riau Sumsel Jambi Papua Kalbar Kalsel Kalteng

Terkelola baik 1.680.851 434.746 252.747 327.383 396.417 32.032 529.065

Rehabilitasi 194.165 140.728 28.027 41.496 79.993 35.806 423.624

Moratorium 1.069.183 52.661 168.248 3.073.267 424.627 3.993 870.874

Prioritas restorasi 938.619 445.749 136.541 82.296 324.285 68.734 683.024 Sumber: BRG, 2016

Badan Restorasi Gambut (BRG) menjadi harapan baru dalam upaya restorasi gambut. Badan ini harus mendapatkan dukungan dari semua pihak agar BRG ini berhasil mewujudkan cita-citanya. BRG harus mampu merestorasi gambut secara cepat namun prinsip kehati-hatian dan penghormatan pada hak masyarakat harus menjadi pegangan dalam setiap programnya sehingga restorasi gambut mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar ekosistem gambut.

id.wikipedia.org

33BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 34: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

34 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Re-Peat : Seruan BP2LHK Banjarbaru Re-Peat : Seruan BP2LHK Banjarbaru untuk Rehabilitasi Lahan Rawa Gambut untuk Rehabilitasi Lahan Rawa Gambut kepada Masyarakatkepada Masyarakat

KKawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Tumbang Nusa yang terletak di Pulang Pisau Kalimantan Tengah merupakan satu-satunya hutan penelitian rawa gambut yang ada

di Indonesia. Dengan luas 5000 Ha, KHDTK ini merupakan habitat bagi berbagai jenis tanaman khas rawa gambut dan juga satwa liar. Sebagai hutan penelitian, KHDTK ini memberikan sumbangsih yang besar terhadap ilmu pengetahuan kehutanan terutama pengelolaan hutan rawa gambut. Hingga saat ini kurang lebih 30 jenis tanaman rawa gambut telah diteliti secara intensif di sini.

Peristiwa kebakaran tahun 2015 di KHDTK Tumbang Nusa menghanguskan sekitar separo wilayah KHDTK Tumbang Nusa dan beberapa plot penelitian penting juga ikut terbakar.

Secara alami, lahan rawa gambut yang sudah terbakar dapat pulih kembali melalui suksesi alami yang ditandai dengan tumbuhnya jenis-jenis pioneer di lahan rawa gambut antara lain munculnya jenis pakis atau dikenal dengan nama lokal Kelakai. Meskipun demikian, munculnya jenis pohon di lokasi bekas terbakar ternyata memerlukan waktu yang lama. Sehingga, rehabilitasi lahan rawa gambut dengan bantuan manusia sangat diperlukan untuk menghijaukan kembali KHDTK Tumbang Nusa melalui kegiatan replanting. Meskipun demikian, kegiatan rehabilitasi di lahan gambut tidaklah semudah seperti halnya di lahan kering karena adanya faktor akses lahan yang sulit , kondisi lahan yang tergenang, nutrisi di lahan rawa gambut yang miskin hara , dan harus ada ketepatan pemilihan jenis dalam kegiatan rehabilitasi.

Berkaca dari kegiatan rehabil itasi yang telah dilakukan, ternyata belum sepenuhnya menumbuhkan kepedulian banyak orang tentang

F O K U S

34 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 35: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

35BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

pentingnya menjaga hutan rawa gambut dari kebakaran, hal inilah yang menyebabkan kebakaran selalu berulang.

M e l i h a t f e n o m e n a tersebut, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru berinisiatif mengajak serta masyarakat untuk ikut terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dengan membuat suatu gerakan yang bernama Re-Peat. Apa itu Re-Peat?

Re-Peat adalah singkatan dari Rehabilitation of Peat Land yang merupakan gerakan rehabilitasi di lahan rawa gambut bekas terbakar secara sukarela, dimana kegiatan ini mengajak semua kalangan masyarakat untuk bersama-sama menyelamatkan hutan rawa gambut.

Ide Re-peat ini berasal dari kegiatan penamaan secara sukarela oleh masyarakat pada lahan rawa gambut di Raja Musa Malaysia. Kegiatan rehabilitasi yang dimulai dari menggali lubang tanam, membawa bibit dan juga menanam. Ternyata ini memberikan pengalaman sendiri bagi masyarakat, sehingga menjadi tergerak untuk melestarikan hutan rawa gambut.

kondisi lahan gambut, menyadari bahwa kegiatan penanaman di lahan rawa gambut ternyata tidak mudah sehingga merehabilitasi lahan rawa gambut yang terbakar dan rusak perlu usaha yang luar biasa.

Respon posi t i f in i juga ditunjukkan oleh media lokal yang mengangkat tentang kegiatan Re-peat ini pada tanggal 15 Mei 2016 yakni Kalteng Pos . Publikasi melalui media massa sangatlah penting sebagai sarana kampanye untuk menggugah kepedulian publ ik tentang pent ingnya pencegahan kebakaran di hutan rawa gambut dan pentingnya kelestarian hutan rawa gambut.

Akhirnya, kegiatan Re-Peat ini bukanlah solusi utama dari masalah akibat terbakarnya hutan di KHDTK Tumbang Nusa. Namun, inilah usaha yang dilakukan untuk merangkul masyarakat dan menyebarkan suatu pemikiran bahwa memelihara kelestarian hutan rawa gambut bukanlah beban pihak tertentu saja, tapi juga menjadi tanggung jawab banyak pihak. Kedepannya, Re-peat diharapkan bisa lebih sering dilakukan dan melibatkan banyak pihak untuk terlibat sehingga semakin banyak yang menyadari p e n t i n g n y a m e m e l i h a r a kelestarian hutan rawa gambut.

Diluncurkan pada Februari 2016 melalui layanan jejaring sosial facebook, Re-Peat mendapat respon positif dari berbagai pihak. Pelaksanaan Repeat tahap I yang dilakukan pada tanggal 25 Februari 2015 melibatkan 52 peserta yang terdiri dari Organisasi pemuda, Dosen, Mahasiswa, dan TNI yang melakukan penanaman kurang lebih 2800 jenis tanaman rawa gambut antara lain Balangeran (Shorea balangeran), Pulai rawa (Alstonia pneumatophora), dan Jelutung (Dyera polyphylla).

Mengu lang kesuksesan Repeat I, Re-Peat ke II dan ke III dilaksanakan lagi pada bulan Maret dan April 2016. Kali ini, peserta Re-Peat bukan hanya dari komunitas mahasiswa dan akademisi tetapi juga dari Seksi Pelayanan Pemuda dan Remaja (SPR) GKE Banjarbaru. Selanjutnya, Re-Peat ke IV dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 2016 oleh peserta pelatihan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Total, kurang lebih 6300 bibit ditanam dalam empat kali pelaksanaan Re-Peat.

Kesan yang sangat beragam dari peser ta terkait kondisi medan penanaman yang cukup sulit dijangkau. Peserta yang sebelumnya tidak mengenal

35BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 36: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

36 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Oleh: Tri Wira Yuwati

KEANEKARAGAMANKEANEKARAGAMANMIKROB DI HUTAN MIKROB DI HUTAN

RAWRAWAA GAMBUT GAMBUT

Pendahuluan

Lebih dari 50 % atau sekitar 27 juta hektar hutan rawa gambut tropis dunia berada di Indonesia (Page et al., 2011; Barchia, 2006). Hutan rawa gambut tropis merupakan sumber simpanan karbon yang besar.

Selain itu, hutan rawa gambut merupakan sumber keanekaragaman hayati, tidak hanya fl ora dan fauna tetapi juga mikrob. Mikrob tanah memiliki peranan yang menguntungkan bagi tanaman, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah organik, recycling hara tanaman, fi ksasi biologis nitrogen, pelarut fosfat, merangsang pertumbuhan, pengendalian hayati (bio-control) pathogen dan membantu penyerapan unsur hara. Beberapa mikrob yang menguntungkan bagi tanaman yang ditemukan di hutan rawa gambut dan memiliki potensi untuk dikembangkan adalah: mikoriza, fungi endofi t, bakteri pelarut fosfat, mikrob perombak bahan organik dan bakteri pengikat Nitrogen (N-fi xer).

MikorizaMikoriza adalah bentuk asosiasi antara jamur dan akar tanaman. Jamur mendapatkan suplai makanan dari tanaman sedangkan tanaman mendapatkan pasokan hara Posfor (P) dari jamur. Selain berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman di persemaian maupun lapangan dan meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit dan stress air, mikoriza juga melindungi tanaman dari pengaruh lingkungan yang kurang kondusif. Menurut Smith dan Read (2006) terdapat tujuh tipe fungi mikoriza yang berasosiasi dengan tanaman yang saat ini telah diketahui yakni Mikoriza Arbuskula, Ektomikoriza, Ektendomikoriza, Arbutroid mikoriza, Monotropoid mikoriza, Ericoid mikoriza, dan Orchid Mikoriza. Mikoriza yang telah dipastikan keberadaannya di hutan rawa gambut ada dua jenis yaitu Mikoriza Arbuskula dan Ektomikoriza. Mikoriza arbuskula memiliki bentuk asosiasi di dalam akar tanaman sedangkan ektomikoriza membentuk asosiasi di luar akar tanaman.

ARTIKEL

36 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 37: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

37BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 37373737BBEBEBEKAKAKANTNTN ANANA VVolol.. 4/4/NoNo. 1/1 2020161666

a. Mikoriza ArbuskulaTawaraya e t a l . (2003 )

menemukan 22 jenis tanaman rawa gambut di hutan rawa gambut Kalimantan Tengah yang berasosiasi dengan mikoriza arbuskula, termasuk diantaranya adalah Shorea teysmanniana, Shorea balangeran , Shorea uliginosa (Dipterocarpaceae), Calophyl lum sclerophyl lum , Calophyllum soulattri (Guttiferae), C r a t o x y l u m a r b o r e s c e n s ( G u t t i f e r a e ) , Te t ra m e r i s t a g labra ( Te t ramer i s taceae ) , Palaquium gutta (Sapotaceae), Melas toma me labathr i cum (Melastomataceae), Gonystylus bancanus (Thymelaeaceae), Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae), dan Campnosperma auriculatum (Anacardiaceae). C. soulattri, C. arborescens, G. bancanus, Acacia mangium, M. melabathricum, dan H. brasiliensis menunjukkan persen kolonisas i mikor iza diatas 50%. Yuwati et al. (2015) mengemukakan variasi jumlah spora mikoriza arbuskula pada vegetas i p ioneer d i hutan rawa gambut KHDTK Tumbang Nusa Kalteng yang didominasi Geronggang (Cratoxylon glaucum) dan Merapat (Combretocarpus rotundatus) adalah 1212 spora per 100 gram dan pada vegetasi klimaks yang didominasi oleh Ramin (Gonystylus bancanus), Punak (Tetramerista glabra) dan Kapur Naga (Callophylum sp.) adalah 3394 spora per 100 gram tanah. Sedangkan di bawah vegetasi pioneer di hutan gambut Taman Nas iona l Sebangau Kalteng adalah 153 spora per 100 gram tanah dan pada vegetasi klimaks adalah 338 spora per 100 gram tanah. Lebih lanjut, Yuwati et al. (2015) menambahkan bahwa jenis spora mikoriza arbuskula yang diisolasi didominasi oleh jenis Glomus sp, dan Gigaspora sp. Hermawan et al. (2015) juga melaporkan variasi jumlah spora mikoriza arbuskula di tegakan

Ekaliptus hutan gambut Kalbar adalah 398-433 spora per 100 gram tanah yang di dominasi jenis spora Glomus sp. Genus Glomus dan Gigaspora merupakan genus mikoriza arbukula yang mampu bertahan pada kondisi yang ekstrim. Penggunaan mikoriza arbuskula yang diisolasi dari hutan rawa gambut untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman telah banyak didemonstrasikan pada tingkat persemaian (Yuwati et al., 2007; Yuwati, 2008; Turjaman et al., 2005; 2006; 2008 dan 2011).

b. EktomikorizaB e b e r a pa j e n i s f a m i l y

pohon yang berasosiasi dengan jamur ektomikor iza adalah Dipterocarpaceae, Fagaceae, P i n a c e a e d a n M y r t a c e a e (Alexander dan Lee, 2005). Semua spesies Dipterocarpaceae berasosiasi dengan ektomikoriza dan family jamur ektomikoriza yang melimpah di hutan Dipterokarpa adalah yang termasuk family Sclerodermataceae, Russulaceae, Boletaceae dan Amanitaceae (Sims et al., 1997; Smits, 1994).

Fungi Endofi tFungi endofit adalah fungi

yang mengkoloni jaringan internal inang dan tidak menyebabkan gejala apapun yang jumlahnya sangat berlimpah (Schulz, 2006). Fungi endofi t memiliki hubungan simbiosis mutualisme dengan tanaman inang. Manfaat fungi endofi t adalah: (1) meningkatkan kandungan nutrisi pada tanaman inang. Hasi l-hasi l produksi senyawa metabolit yang dihasilkan oleh fungi endofi t memungkinkan untuk fungi endofi t memberikan nutrisi bagi tanaman inang, m e n g a t a s i ko n d i s i s t re s s lingkungan, dan meningkatkan ketahanan sistematik dan mekanis (Schulz, 2006); (2). Menekan pertumbuhan hama dan penyakit tanaman. Senyawa metabolit yang dihasilkan oleh fungi endofi t dapat

menekan pertumbuhan hama, salah satunya adalah senyawa regulosin. Miller et al. (2002) menyatakan bahwa regulosin merupakan senyawa yang cukup efektif dalam menekan pertumbuhan hama ulat pucuk pada jenis-jenis pinus di skala laboratorium. Untuk pencegahan p e n y a k i t t a n a m a n , f u n g i endofit juga terbukti menekan pertumbuhan jamur patogen dumping off Fusarium sp. secara in vitro (Hakim, 2014); (3). Toleransi terhadap Cekaman.Redman et al., (2002) dalam Schulz (2006) menyebutkan bahwa fungi endofi t Curvularia sp. dapat membantu tanaman dalam menghadapi berbagai kondis i cekaman diantaranya terhadap panas. Hakim et al. (2016) menemukan 57 morphospesies fungi endofi t dari 222 jumlah isolate yang diamati yang dikoleksi dari hutan rawa gambut Kalimantan Tengah.

Mikrob pelarut fosfatMikroorganisme pelarut fosfat

adalah mikroorganisme yang dapat melarutkan P yang sukar larut menjadi larut sehingga dapat diserap oleh tanaman. Berbagai spesies mikrob pelarut P, antara lain : Pseudomonas, Microccus, B a c i l l u s , F l a v o b a c t e r i u m , Penicillium, Sclerotium, Fusarium, dan Aspergillus berpotensi tinggi dalam melarutkan P terikat menjadi P tersedia dalam tanah (Alexander 1977, Il lmer and Schinner 1992, Goenadi et al. 1993, Goenadi dan Saraswati 1993). Rohyani et al. (2014) menemukan 74 isolat bakteri pelarut fosfat dari hutan gambut Zamrud dan Taman Nasional Tesso Nilo di Sumatera. Penggunaan mikrob pelarut P merupakan salah satu pemecahan masalah untuk meningkatan efi siensi pemupukan P yang aman lingkungan dan dapat menghemat penggunaan pupuk P.

37BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 38: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

38 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/201638338 BEBEBEKAKAK NTNTNTANANAN VVVololol. . 4/4/4/NoNoN .. 1/1//202016166

Mikrob perombak bahan organik

Mikrob perombak bahan organik adalah mikroorganisme yang memiliki peran penting di dalam ekosistem karena mikrob ini dapat mengurai sisa organik yang telah mati menjadi unsur-unsur tanah dalam bentuk hara mineral N, P, K, Ca, Mg, dan atau dalam bentuk gas yang dilepas ke atmosfer berupa CH4 atau CO2. Dengan adanya mikrob ini, siklus hara proses kehidupan di muka bumi dapat berlangsung secara berkelanjutan. Mikrob yang termasuk ke dalam kategori perombak bahan organik adalah bakteri genus Trichoderma yaitu Trichoderma reesei, T. harzianum, T. koningi i , Phanerochaeta crysosporium , Cellulomonas , Pseudomonas , Thermospora , Aspergillus niger , A. terreus , Penicillium dan Streptomyces. Mikrob perombak bahan organik akhir-akhir ini mulai banyak digunakan untuk mempercepat proses dekomposisi sisa-sisa tanaman yang banyak mengandung lignin dan selulosa

untuk meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah. Mikrob ini merupakan alternatif untuk mempercepat dekomposisi bahan organik. Inokulan perombak bahan organik telah tersedia secara komersial dengan berbagai nama, seperti EM-4, Starbio, M-Dec, Stardek, dan Orgadek.

Bakteri Pengikat Nitrogen (N-fi xer)

Bakteri Pengikat Nitrogen adalah bakteri yang mampu mengikat nitrogen (terutama N2) bebas di udara dan mereduksinya menjadi senyawa amonia (NH4) dan ion nitrat (NO3-) oleh bantuan enzim nitrogenase. Bakteri pengikat Nitrogen ini ada dua jenis yaitu simbiosis (root-nodulating bacteria) maupun non simbiosis (free-living nitrogen-fixing rhizobacteria). Contoh bakteri pengikat nitrogen yang bersimbiosis adalah Rhizobium sedangkan bakteri pengikat nitrogen yang hidup bebas adalah Azotobacter, Clostridium dan Rhodospirillum. Rohyani et

al. (2014) melakukan eksplorasi bakteri pengikat Nitrogen di tanah gambut hutan Zamrud dan Taman Nasional Tesso Nilo di Riau dan memperoleh 77 isolat bakteri pengikat nitrogen simbiotik, 47 isolat bakteri non simbiotik yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai agen biofertilizer. Elviana (2014) juga melaporkan 37 isolat bakteri penambat Nitrogen yang diisolasi dari tanah gambut Semenanjung Kampar, Riau.

PenutupHutan rawa gambut ternyata

memi l i k i keaneka ragaman mikrob tanah yang melimpah. Mikrob tersebut memiliki peran yang sangat penting terutama dalam membantu penyerapan hara oleh tanaman sehingga sering disebut sebagai agen biofertilizer. Potensi dari mikrob asli rawa gambut sebagai agen biofertilizer ini perlu digali lebih lanjut agar dapat dioptimalkan pemanfatannya terutama dalam membantu merehabilitasi dan merestorasi hutan rawa gambut yang terdegradasi di Indonesia.

Spora Mikoriza Arbuskula Isolat fungi endofi t

38 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 39: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

39BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 39BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Oleh: Reni Setyo Wahyuningtyas

Gerunggang,Jenis Potensial untuk Restorasi Lahan Gambut

Pendahuluan

Ru s a k n y a e k o s i s t e m gambut te lah m e n g a k i b a t k a n hilangnya beragam jenis

pohon asli rawa gambut. Agar ekosistem gambut dapat kembali seperti semula, maka upaya pemulihan dan penataan kembali fungsi hidrologi lahan gambut mulai dilakukan (Anonim, 2015). Hal ini bertujuan untuk menjaga lahan gambut agar tetap basah dan sulit terbakar, serta mendukung terjadinya suksesi alami.

Gerunggang (Cratoxylum arborescens (Vahl.) Blume.) merupakan salah satu jenis asli rawa gambut yang memiliki potensi sebagai tanaman rehabilitasi. Sebagai jenis asli, daya adaptasi gerunggang akan lebih baik dibandingkan jenis introduksi. Jenis ini dapat tumbuh pada kondisi rawa gambut tergenang sampai cenderung kering dan berpasir kuarsa. Kemampuan gerunggang yang mampu tumbuh pada lingkungan tergenang sangat menguntungkan, karena untuk merehabilitasi lahan gambut tergenang tidak membutuhkan upaya silvikultur terlalu banyak.

Mengenal Gerunggang Gerunggang termasuk dalam famili Guttiferae,

namun beberapa literatur menyebut termasuk famili Clusiaceae. Merupakan jenis asli rawa gambut dengan penyebaran meliputi Malaysia, Brunei dan Indonesia. Jenis ini dapat tumbuh mulai dari daerah bergambut sangat tipis sampai ketebalan gambut kurang lebih 40 cm (Daryono, 2000), juga pada zone peralihan antara rawa dan tanah

ARTIKEL

Page 40: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

40 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

kering sampai ketinggian 60 m dpl (Martawijaya et al., 1981). Menurut masyarakat Kalimantan Tengah, ada 2 sebutan gerunggang yaitu gerunggang dan mitah. Jenis yang disebut gerunggang cenderung lebih lambat pertumbuhannya, memiliki diameter batang rata-rata hanya 30 cm, sebaliknya mitah dapat tumbuh lebih besar dan berbatang lurus sehingga cocok untuk kayu pertukangan. Karena eksploitasinya yang berlebihan, mitah saat ini sudah sangat jarang ditemukan. Sebaliknya populasi gerunggang masih cukup banyak.

Gerunggang te rgo long jenis pioner, selalu menghijau sepanjang tahun dan memiliki kemampuan tumbuh baik pada areal terbuka. Menurut Saito et al. (2005) semai gerunggang termasuk toleran dengan kondisi penyinaran matahari penuh,

tanah yang kering dan suhu tanah yang tinggi selama masa perkecambahan. Pertumbuhannya cepat, dengan pertambahan tinggi 118-289 cm/tahun, dan pertambahan diameter tanaman muda 1,3 cm/tahun. Diameter dan tinggi pohon dapat mencapai 658 cm dan 50 m (Soerinegara dan Lemmens, 2001).

Pa d a ko n d i s i t e r b u k a , gerunggang berbuah hampir sepanjang tahun. Tetapi pada k o n d i s i t e r t u t u p , m u s i m berbuahnya tidak teratur. Oleh karena itu, regenerasi alami gerunggang di tempat tertutup cukup jarang (Anonim, 1994), dan melimpah pada kondisi bukaan atau gaps di hutan. Biji gerunggang berukuran kecil dan ringan. Panjang biji 6-7 mm, tebal 0,3-0,5 mm, berat 1000 butir biji gerunggang sekitar 20,9-

22,3 gram. Bijinya terbungkus di dalam buah gerunggang yang berbentuk cawan berwarna merah tua atau merah kecoklatan ketika tua. Buah akan pecah ketika buah masak dan tersebar dengan bantuan angin. Karena cadangan makanan untuk embrio dalam biji sangat sedikit, maka biji gerunggang akan menurun viabilitasnya setelah 3 bulan. Biji gerunggang diduga termasuk golongan biji intermediate yang memiliki karakter antara biji ortodoks dan rekalsitran . Biji gerunggang termasuk memiliki perkecambahan epigeal yaitu keping lembaganya terangkat ke atas tanah. Berikut ini adalah gambar pohon gerunggang, buah gerunggang, buah gerunggang sebelum diekstraksi dan biji gerunggang yang ber tunas (Gambar 1).

Gambar 1. A. Pohon gerunggang.

B. Buah gerunggang yang masih muda.

C. Buah gerunggang tua dan belum diekstraksi

D. Biji gerunggang yang bertunas.

A B

C

2 mm

D

40 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 41: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

41BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Kegunaan S e c a r a u m u m k a y u

gerunggang telah dikenal sebagai kayu pertukangan. Akan tetapi informasi nilai ekonomi kayu gerunggang belum banyak tersedia. Menurut Wong, Choon, & Meeting (2009) keawetan kayu gerunggang termasuk kelas awet 4 (kategori tidak awet) karena keawetannya kurang dar i 2 tahun. Gerunggang merupakan jenis alternatif untuk kayu pulp. Rendemen pulp pada kayu gerunggang cukup tinggi, sedangkan untuk kualitas serat kayu termasuk kelas II (Junaedi dan Aprianis, 2010). Untuk obat tradisional, gerunggang dapat digunakan untuk mengobati penyakit demam, batuk, diare, gatal, bisul dan sakit lambung ( S i d a h m e d e t a l . , 2 0 1 3 ) . Sedangkan menurut beberapa hasil penelitian, bagian kulit batang, ranting, daun dan akar gerunggang memiliki kandungan metabolit sekunder yang memiliki potensi yang baik sebagai bahan baku obat. Beberapa kandungan metabolit sekunder dari hasil uji fi tokimia pada ranting dan daun gerunggang seperti Xanthone, Tannin, Saponin, flavonoid dan quinon (Cassels & Asencio 2011, dan Yusro, 2011)

SilvikulturU pa y a p e n g e m ba n g a n

gerunggang perlu didukung oleh teknik budidayanya, mulai dari teknik produksi bibit, penanaman, pemeliharaan, pemanenan serta upaya pemuliaan. Gerunggang mudah dikembangbiakkan dari biji dan stek batang. Biji gerunggang mudah berkecambah pada media pasir, gambut dan top soil. Pada media tersebut, umumnya biji akan berkecambah pada hari ke-13 sampai hari ke-49. Penggunaan media yang terlalu remah dan kurang mengikat a i r t idak

disarankan karena biji gerunggang lambat berkecambah dengan ketersediaan air dalam media yang kurang mencukupi. Gerunggang juga mudah dikembangbiakkan dengan stek batang. Bahan stek dari anakan alam lebih mudah berakar dibanding jika berasal dari pohon dewasa. Bahan stek dipilih dari batang yang sudah berkayu, diameter batang 2 mm dan juvenil (muda). Hasil percobaan menunjukkan stek gerunggang pada media pas i r sunga i , campuran gambut+sekam padi (3:1), campuran top soil+sekam padi (3:1) , campuran sabut kelapa+sekam (2:1) memberikan persen berakar stek hampir seragam dengan persen hidup stek 56,25-80%. Stek gerunggang yang diberi hormon perangsang akar (Rootone F) mulai berakar setelah 4 minggu. Bibit dapat disapih dengan media top soil+sekam (3:1) atau gambut + sekam (3:1). Pertumbuhan tinggi bibit dengan kedua media tersebut berkisar 1 cm/m i n g g u d a n p e r t a m ba h a n d a u n 2 lembar per 3 minggu. Bibit gerunggang u m u m n y a siap tanam setelah umur 6 bulan d i persemaian.

P a d a k o n d i s i yang umum gerunggang t i d a k

inggu. Bibit dapat gan media top

(3:1) atau kam (3:1). n tinggi kedua

ebut cm/

d a n h a n

2 r 3 bit g

a

r i

a

memerlukan persiapan lahan khusus. Akan tetapi pada kondisi lahan tergenang air seperti pada cekungan-cekungan gambut sisa kebakaran, perlu dibuat gundukan. F u n g s i g u n d u k a n a d a l a h memberikan posisi yang lebih tinggi dari genangan sehingga tanaman tidak tenggelam pada musim banjir. Oleh karena itu tinggi gundukan juga harus memperhatikan fluktuasi air tanah di lokasi (Wibisono et al., 2005). Ukuran yang umum digunakan adalah 30x30x30 cm atau 30x30x50 cm(panjang x lebar x tinggi). Gundukan dibuat pada musim kemarau atau 2-3 bulan sebelum penanaman dengan maksud agar gundukan lebih kuat dan kompak. Waktu 3 bulan juga memberikan kesempatan gambut dalam gundukan terurai

leb ih lan jut sehingga menjadi lebih subur. Gambar 2 berikut ini menunjukkan pengaruh gundukan t e r h a d a p p e r t u m b u h a n t a n a m a n g e r u n g g a n g di lahan rawa

gambut.

41BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 42: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

42 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/20164242422424 BEBEBEBEBEEEEKAKAKAKAKANNTNTNTTNTTTANANANAN VVVVoooloooooooo . 4/No. /1/20201616

Gambar 2. A. Pertambahan tinggi gerunggang dengan gundukan dan tanpa gundukan

B. Pertambahan diameter gerunggang dengan gundukan dan tanpa gundukan

C. Pertambahan jumlah daun gerunggang dengan gundukan dan tanpa gundukan

D. Daya hidup tanaman gerunggang dengan gundukan dan tanpa gundukan

E. Tanaman gerunggang yang ditanam dengan gundukan

F. Tanaman gerunggang yang ditanam tanpa gundukan

di Hutan Lahan Basah, Banjarmasin, 9 Maret 2000. pp 21-28.

Junaedi A. & Aprianis Y. (2010). Sifat kayu Gerunggang sebagai jenis pulpable alternatif pada lahan gambut. Buletin Hasil Hutan Vol. 16 (1) : 25-32. Puslit Teknologi Hasil Hutan, Bogor.

Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, S.A. Prawira. (1981). Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Puslitbang Kehutanan, Bogor.

Saito, H., Shibuya, M., Tuah, S. J., Turjaman, M., Takahashi, K., Jamal, Y., … Limin, S. H. (2005). Initial Screening of Fast-Growing Tree Species Being Tolerant of Dry Tropical Peatlands in Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Forestry Research, 2(2), 1–10.

Soerinegara, I. dan R.H.M.J. Lemmens. (2001). Plant Resources of South-East Asia. Timber Trees, Major commercial timbers 5 (1): 102 - 108. Prosea. Bogor.

Wibisono, I.T.C, L. Siboro dan I.N. Suryadiputra. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di lahan gambut. Wetland International-Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.

Wong, A. H. H., Choon, L. W., & Meeting, A. (2009). Natural Durability Variations of Malaysian Timbers from Sarawak after 26 Years Exposure by Stake Test Natural Durability Variations of Malaysian Timbers from Sarawak after 26 Years Exposure by Stake Test. Science And Technology.

Yusro, F. (2011). Rendeman ekstrak etanol dan uji fi tokima tiga jenis tumbuhan obat Kalimantan Barat. Jurnal Tengkawang Vol 1 No 1:29-36. Universitas Tanjungpura. http://jurnal.untan.ac.id/

A

C

E

B

D

F

PenutupSecara umum gerunggang

memiliki kemampuan yang baik sebagai tanaman rehabilitasi lahan gambut. Ketersediaan sumber benih unggul melalui pemuliaan dan seleksi berdasarkan karakter tertentu perlu dilakukan untuk m e n d u k u n g p e n i n g k a t a n produktifitas dan keberhasilan penanaman di lapangan. Selain itu, penelitian dan kajian terkait pemanfaatan kayu dan nilai kayu serta sosialisasi informasi hasil-hasil penelitian jenis gerunggang, diharapkan mampu meningkatkan minat masyarakat untuk menanam gerunggang dan mendukung program rehabi l i tas i lahan gambut.

REFERENSIAnonim (2015). Pedoman

pemilihan ekosistem gambut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Cassels, B.K. & Marcelo Asencio, M. (2011). Anti-HIV activity of natural triterpenoids and hemisynthetic derivatives 2004–2009. Phytochem Rev (2011) 10:545–564. DOI 10.1007/s11101-010-9172-2

Daryono, H. (2000). Kondisi hutan setelah penebangan dan pemilihan jenis pohon yang sesuai untuk rehabilitasi dan pengembangan hutan tanaman di lahan rawa gambut. In: Daryono et al. (Eds.). Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian

42 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Page 43: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

43BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 43BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

LINTAS PERISTIWA

43BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016

Dengan maksud untuk belajar pengenalan jenis pohon dan cara membuat tanaman,

sebanyak 21 siswa dan 3 guru Duta Lingkungan SDIT Robbani Banjarbaru, pada hari senin 21 Maret 2016 mengunjungi Kantor BP2LHK Banjarbaru. Sebagai instruktur dalam kunjungan duta wisata ini adalah Rudy Supriyadi, S. Hut, Arif Susianto dan Budi Hermawan. Instruktur mengajak anak-anak berkeliling arboretum untuk pengenalan jenis pohon. Selanjutnya anak-anak diperagakan cara pembuatan bibit. Acara ditutup dengan permaianan kuis dan pemberian cinderamata.

SMK Farmasi Banjarbaru, pada bulan April 2016, mengadakan perkemahan Sabtu-Minggu

(Persami) di KHDTK Riam Kiwa. Sebanyak 21 siswa dan guru SMK tersebut mengikuti kegiatan ini. Persami diisi dengan berbagai kegiatan, diantaranya pengenalan lingkungan sekitar yang dikemas dalam kegiatan tracking. Para siswa juga dilibatkan dalam kegiatan penanaman di areal KHDTK Riam Kiwa. Acara yang berlangsung selama 2hari ini memberikan pengalaman yang mengesankan bagi para peserta.

Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, identik dengan BP2LHK

Banjarbaru. Hal ini yang mendorong Sekretariat Bakorluh mengadakan bimbingan teknis tentang hal tersebut dengan melibattkan BP2LHK sebagai nara sumbernya. Bimbingan teknis yang berlangsung selama 2 hari ini diikuti oleh penyuluh kehutanan se Kalsel. Sebagai nara sumber dari BP2LHK yaitu Dr. Acep Akbar dan tim kebakaran.

Dalam rangka memperingati hari lingkungan sedunia, BP2LHK Banjarbaru menyelenggarakan

turnamen bola volly. Turnamen bolla volly yang diikuti oleh 6 instansi, memperebutkan trophy B2LHK Banjarbaru dan uang pembinaan. Di puncak acara trunamen volly pada tanggal 3 Juni, diselenggarakan senam bersama, donor darah dan penanaman di kantor BP2LHK Banjarbaru. Keluar sebagai pemenang trunamen volly adalah BPKH wil 5 Banjarbaru, yang berhak mendapatkan trophy dan uang pembinaan sebesar satu juta rupiah.

Page 44: BPK Banjarbaru - BEKANTAN Vol 4 No 1 Agustus 2016.indd

44 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016