BPHTB Kota Denpasar

161
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PEMERINTAH KOTA DENPASAR BEKERJASAMA DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010

Transcript of BPHTB Kota Denpasar

Page 1: BPHTB Kota Denpasar

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PEMERINTAH KOTA DENPASAR BEKERJASAMA DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010

Page 2: BPHTB Kota Denpasar

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA

DENPASAR TENTANG BEA PEROLEHAN HAK

ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Page 3: BPHTB Kota Denpasar

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

TIM PENELITI TIM PENGARAH GEDE MARHAENDRA WIJA ATMAJA, SH. MHum. PROF. DR. I.G.N. WAIROCANA, SH., M.H.

I KETUT SUDIARTA, SH. MH. I NYOMAN SUYATNA, SH., MH.

MADE MAHARTA YASA, SH., MH. DR. IGST KT ARIAWAN, SH MH.

NI LUH GEDE ASTARIYANI, SH., MH. DR. IB WYASA PUTRA, SH. M.Hum.

A.A. SRI UTARI, SH., MH. KETUT WIRAWAN, SH. M.Hum.

A.A. ISTRI ARI ATU DEWI, SH., MH. I NENGAH SUANTRA, SH.MH.

NYOMAN MAS ARYANI, SH. , SE., MH.

PEMERINTAH KOTA DENPASAR KERJASAMA DENGAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2010

Page 4: BPHTB Kota Denpasar

PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA Jalan Bali Nomor 1 Denpasar Tlp. (0361)222666

Page 5: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ii

NARASI PENGANTAR

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas

daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak

dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya

untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan

dan pelayanan kepada masyarakat.

Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini ditentukan Pajak Daerah

yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.

Mengenai perpajakan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat

memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah harus didasarkan pada

Undang-Undang. Selama ini pungutan daerah yang berupa Pajak diatur

dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

34 Tahun 2000, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Undang-

Undang ini diatur tentang Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:Pajak

Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan

Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air

Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan

dan Perkotaan; dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Page 6: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan iii

Pajak hanya dapat dipungut dengan menetapkan Peraturan Daerah.

Dalam Peraturan Daerah tentang Pajak ini ditentukan penetapan dan

muatan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini paling sedikit mengatur

ketentuan mengenai: a) Nama, Objek, dan Subjek Pajak; b) dasar

pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; c). wilayah pemungutan; d)

Masa Pajak; e) penetapan; f) tata cara pembayaran dan penagihan;

g)kedaluwarsa; h)sanksi administratif; dan i) tanggal mulai berlakunya.

Disamping itu juga mengatur ketentuan mengenai: a). pemberian

pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas

pokok pajak dan/atau sanksinya; b)tata cara penghapusan piutang pajak

yang kedaluwarsa; dan/atau c).asas timbal balik, berupa pemberian

pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan,

konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman

internasional.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya

diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan yang kemudian diubah dengan Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan adalah kewenangan pemerintah pusat. Namun dalam UU No. 28

Tahun 2009 pajak ini diserahkan kepada kabupaten/kota. Berdasarkan

kenyataan itu maka Pemerintahan Kota Denpasar membuat Peraturan

Daerah Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan harus

efisien dan efektif berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan,

peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Tujuan pemungutan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan salah satu sumber

pendapatan Daerah Kota yang penting guna membiayai pelaksanaan

pembagunan Pemerintahan Kota Denpasar.

Page 7: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan v

DAFTAR ISI

Narasi Pengantar. >> ii

Daftar Isi. >> v

Daftar Ragaan. >> viii

Daftar Tabel. >> ix

BAB I PENDAHULUAN >>> 1

A. Latar Belakang. >>> 1

B. Identifikasi Masalah. >>> 1

C. Tujuan dan Kegunaan. >>> 2

D. Landasan Konseptual. >>> 3

1. Menempatkan Sudut Pandang Perbedaan Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah. >>> 3

2. Konsep Pajak Daerah. >>>5

3. Konsep Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. >>> 8

4. Konsep Peraturan Daerah. >>> 9

5. Konsep Naskah Akademik. >>> 10

E. METODE PENELITIAN >>> 11

1. Pendekatan. >>> 11

2. Sumber Bahan Hukum. >>> 12

3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum. >>> 13

4. Metode Analisis. >>> 13

BAB II KONDISI EKSISTING BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN

BANGUNAN KOTA DENPASAR >>> 17

A. Kondisi Eksisting Kota Denpasar. >>> 17

B. Identitas dan Kapasitas Perda Kota Denpasar Tentang

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. >>> 19

C. Usulan Raperda Kota Denpasar tentang

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. >>>35

BAB III LANDASAN KEABSAHAN DAN ASAS-ASAS DALAM

PENYUSUNAN RAPERDA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH

DAN BANGUNAN >>> 51

A. Landasan Keabsahan. >>> 51

1. Aspek Teoritik dan Otentik

Landasan Keabsahan. >>> 51

Page 8: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan vi

2. Relevansinya dengan Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan. >>> 59

B. Asas-Asas Yang Digunakan Dalam Penyusunan Norma.

>>>63

1. Asas-Asas Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan Yang Baik. >>> 63

2. Relevansinya dengan Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan. >>> 72

BAB IV RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RAPERDA BEA PEROLEHAN

HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DAN KETERKAITANNYA

DENGAN HUKUM POSITIF >>> 79

A. Orientasi Umum. >>> 79

B. Kriteria Materi Muatan Raperda tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan. >>> 80

C. Materi Muatan Raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan. >>> 85

1. Ketentuan Umum. >>> 85

2. Materi Pokok Yang Diatur. >>>87

a. Objek dan Subjek Pajak. >>>87

b. Dasar Pengenaan, Tarif, dan

Cara Penghitungan Pajak. >>> 89

c. Wilayah Pemungutan. >>> 91

d. Masa Pajak. >>> 91

e. Penetapan. >>> 91

f. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan. >>> 95

g. Kedaluwarsa dan Tata Cara Penghapusan

Piutang Pajak yang Kedaluwarsa. >>> 96

h. Sanksi Administratif. >>> 97

i. Pemberian Pengurangan, Keringanan, dan Pembebasan

dalam Hal-Hal Tertentu Atas Pokok Pajak dan/atau Sanksi

Administratif. >>> 99

3. Ketentuan Penyidikan. >>> 99

4. Ketentuan Pidana. >>> 101

5. Ketentuan Peralihan. >>> 103

6. Ketentuan Penutup. >>> 103

D. Batas Materi Muatan. >>> 104

E. Keterkaitan dengan Hukum Positif Lainnya. >>> 109

F. Kerangka Raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan. >>> 112

Page 9: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan vii

BAB V PENUTUP >>> 115

A. Rangkuman. >>> 115

B. Konklusi. >>> 123

C. Rekomendasi. >>> 124

DAFTAR PUSTAKA >> 126

DAFTAR PERATURAN DAN DOKUMEN LAINNYA >> 129

LAMPIRAN:

1. Konsep Awal Raperda Kota Denpasar tentang

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. >> 131

2. Sandingan Konsep Awal Raperda Kota Denpasar tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Penjelasan. >> 153

3. Kesepakatan Kerjasama. >>> 168

4. Keputusan Dekan tentang Tim Peneliti.

Page 10: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan viii

DAFTAR RAGAAN

Ragaan 1 : Keterhubungan Nilai-nilai Dasar Hukum dan Kesahan

Berlakunya Hukum. >>> 52

Ragaan 2: Ragaan 2: Validitas Hukum secara Filsafati, Sosiologis, dan

Yuridis. >>> 53

Ragaan 3: Penelitian Empiris dalam Rangka Validitas Sosiologis dari Norma

Hukum. >>> 55

Ragaan 4 : Muatan dan Tujuan Landasan Keabsahan Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan. >>> 57

Page 11: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Luas Lahan Kota Denpasar. >>> 18

Tabel 2: Jumlah Penduduk Kota Denpasar >>> 19

Tabel 3: Pembagian Wilayah Administrasi Kota Denpasar. >>> 20

Tabel 4: Penggunaan Tanah di Wilayah Kota Denpasar >>> 20

Tabel 5: Penerbitan Sertifikat Peralihan Hak Atas Tanah di

Kota Denpasar >>> 21

Tabel 6: Analisis Raperda Usulan SKPD

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. >>> 22

Tabel 7: Delegasi Pengaturan Materi Muatan Pajak Kabupaten/Kota

dengan Peraturan Perundang-undangan

Kabupaten/Kota dan yang Tidak Didelegasikan. >>> 81

Tabel 8: Keterkaitan Dengan Undang-Undang Lainnya. >>> 112

Page 12: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kota Denpasar (yang menurut UU No 5 Tahun 1974 bernama

Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar) belum pernah membentuk

Peraturan Daerah mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Hal ini disebabkan oleh karena pajak jenis ini sebelumnya dipungut oleh

Pemerintah Pusat.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebelumnya diatur

dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan yang kemudian diubah dengan Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21

Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Berdasarkan kedua undang-undang itu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) adalah kewenangan pemerintah pusat. Namun dengan

diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009 BPHTB menjadi kewenangan

kabupaten/kota.

Dengan adanya kenyataan itu, maka perlu diadakan kajian yang

dituangkan dalam sebuah Kajian Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

B. Identifikasi Masalah

Kajian hukum perundang-undangan atau kajian terhadap suatu

pengaturan menyangkut dua isu pokok, yaitu penormaan materi muatan dan

prosedur pembentukan, kajian ini fokus pada upaya penyusunan naskah

akademik rancangan peraturan daerah, oleh karena itu berada pada isu

Page 13: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 2

penormaan materi muatan atau perumusan materi muatan sebagai suatu

aturan yang mengandung norma hukum.

Isu perumusan aturan melingkupi beberapa sub isu yaitu:

(a) landasan;

(b) asas-asas dalam pengaturan;

(c) batas-batas kewenangan pengaturan;

(d) ruang lingkup materi muatan pengaturan.

Dikaitkan dengan pengaturan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan pada Kota Denpasar, maka kajian ini dituntut oleh pertanyaan-

pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi landasan pengaturan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan?

2. Apakah yang menjadi asas-asas dalam pengaturan Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan?

3. Bagaimanakah batas-batas kewenangan Kota Denpasar dalam

pengaturan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan?

4. Bagaimanakah ruang lingkup materi muatan pengaturan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan?

C. Tujuan dan Kegunaan

A. Tujuan, yaitu:

1. Merumuskan landasan ilmiah penyusunan rancangan Peraturan

Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan.

2. Merumuskan arah dan cakupan ruang lingkup materi bagi

penyusunan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Page 14: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 3

B. Kegunaan, yaitu:

1. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna sebagai masukan bagi

pembuat rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

2. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang

berkepentingan dalam penyusunan Peraturan Daerah Kota

Denpasar tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

D. Landasan Konseptual

Konsep-konsep pokok yang digunakan dalam kajian ini adalah konsep

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan rancangan peraturan

daerah, yang akan diurai dalam urutan sebagai berikut:

1. Menempatkan sudut pandang perbedaan pajak daerah dan

retribusi daerah.

2. Konsep pajak daerah.

3. Konsep Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

4. Konsep peraturan daerah.

5. Konsep naskah akademik

1. Menempatkan Sudut Pandang Perbedaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Secara umum, pendapatan daerah dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu: (1) Retribusi yang dipungut dengan kompensasi layanan tertentu dan

(2) Pajak yang dipungut tanpa kompensasi layanan.1 Pada retribusi daerah

terdapat suatu tegenprestatie atau pengembalian jasa yang langsung dari

1Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi Fiskal: Politik PerubahanKebijakan

1974-2004, Kencana, Jakarta, hlm. 125.

Page 15: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 4

pihak pemerintah.2 Secara argumentum a contrario, pada pajak daerah tidak

terdapat pengembalian jasa yang langsung dari pihak pemerintah.

Unsur pengembalian jasa yang lansung dan yang tidak lansung

merupakan pembeda retribusi daerah dan pajak daerah, sebagaimana

tampak pada pendapat berikut. Pajak Daerah, di dalamnya harus pula

terdapat unsur imbalan/kontraprestasi sebagaimana halnya retribusi daerah.

Faktor yang membedakan, pada pajak daerah kontraprestasi tersebut untuk

masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor pajak yang

bersangkutan, sedangkan pada retribusi daerah kontraprestasinya langsung

kepada pembayar retribusi.3 Artinya, setiap pembayaran pajak memberi

kontribusi atas jasa-jasa pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah,

tetapi pembayarannya tidak menerima konstraprestasi langsung yang dapat

dinikmati, dan setiap pembayaran retribusi menerima kontraprestasi

langsung berupa jasa-jasa pembayaran yang telah disediakan atau dibuat

untuk itu.4

Jenis pelayanan yang membedakan dalam pengenaan pajak dan

retribusi adalah tergantung pada tipe pelayanan. Pelayanan suatu barang

publik, yaitu barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara

kolektif, maka pembebanan pungutannya adalah pajak. Pelayanan suatu

barang privat, yaitu barang/jasa yang memberi keuntungan pada diri sendiri,

maka pembebanan pungutannya adalah retribusi.5

Dengan demikian, secara konseptual dalam konsep pajak daerah

terdapat ciri-ciri, yang membedakannya dengan retribusi daerah, yaitu:

2 R. Soedargo, 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco, Bandung,

hlm. 29. 3 Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta,

hlm. 56. 4 Kesit Bambang Prakosa, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Press,

Yogyakarta, hlm. 35. 5 Kesit Bambang Prakosa, Ibid., 36.

Page 16: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 5

a. pengembalian barang/jasa yang tidak langsung dari pihak

pemerintah daerah;

b. berupa barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang

secara kolektif; dan

c. untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk

sektor pajak yang bersangkutan.

2. Konsep Pajak Daerah.

Pada hampir di semua Negara kekuasaan pengenaan pajak oleh

Negara secara tegas dicantumkan dalam konstitusinya (Undang-Undang

Dasar). Sebagai contoh, di Belgia diatur dalam Pasal 170, Meksiko dalam

Pasal 31, Italia dalam Pasal 23, Prancis dalam Pasal 34, Portugal dalam

Pasal 107, dan Spanyol dalam Pasal 133.6 Di Indonesia, ketentuan

konstitusional pengenaan pajak oleh Negara diatur dalam Pasal 23A UUD

1945, yang menentukan: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa

untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Artinya, ada 2 (dua)

macam pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara, yaitu

pajak dan pungutan lain (selain pajak). Frase “diatur dengan undang-

undang” menunjukan politik hukum7 pembatasan kekuasaan pemerintah

dalam mengenakan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan

Negara, baik pajak maupun pungutan lain (selain pajak). Pengaturan dengan

undang-undang bermakna adanya keterlibatan rakyat baik melalui

mekanisme perwakilan melalui Dewan Perwakilan Rakyat maupun

mekanisme partisipasi publik, sehingga pemerintah mengenakan pungutan

tersebut berdasarkan kehendaknya sendiri.

6 Darussalam dan Danny Septriadi, 2006, Membatasi Kekuasaan Untuk

Mengenakan Pajak: Tinjauan Akademis terhadap Kebijakan, Hukum, dan Administrasi Pajak di Indonesia, Grasindo, Jakarta, hlm. 2.

7 Politik hukum adalah arah resmi yang dijadikan dasar untuk membuat dan

melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Lihat Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, hlm. 6 dan 15.

Page 17: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 6

Pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara, dari segi

kewenangan pengenaannya, dibedakan menjadi dua, yaitu (1) yang

dikenakan oleh Pemerintah Pusat; dan (2) yang dikenakan oleh Pemerintah

Daerah. Untuk jenis pungutan yang kedua ini telah diundangkan UU PDRD

2009. UU ini menentukan jenis pungutan yang bersifat memaksa menjadi:

pajak daerah dan retribusi daerah, sebagai bentuk dari pungutan lain yang

bersifat memaksa.

Pasal 1 angka 1 UU PDRD 2009 menentukan Pajak Daerah adalah

kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan

yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan

Derah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.8

Unsur utama dari pengertian pajak daerah dalam UU PDRD 2009

adalah kontribusi wajib, yang berbeda dengan unsur utama dari pengertian

Retribusi Daerah, yaitu pungutan Daerah. Retribusi Daerah, yang

selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran

atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau

diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau

Badan.9

Penggunaan istilah atau tanda yang berbeda untuk menandai pajak

daerah dan retribusi daerah menunjukan: (1) retibusi daerah adalah

pungutan, sedangkan pajak daerah bukanlah pungutan; dan (2) retribusi

daerah tidak bersifat memaksa, sedangkan pajak daerah bersifat memaksa.

Pembedaan ini tidak koheren dengan karakter pungutan yang bersifat

8 Bandingkan dengan konsep Pajak Daerah dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 34

Tahun 2000, bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

9 Pasal 1 angka 1 UU PDRD 2009.

Page 18: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 7

memaksa dalam Pasal 23A UUD 1945. Berdasarkan karakter konstitusional

ini, maka pemahamannya adalah:

1. Pajak Daerah (sebagai spesies pajak) adalah pungutan yang

bersifat memaksa. Pemahaman ini diperoleh dengan menafsirkan

teks “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa”, yang

maknanya pungutan yang bersifat memaksa terdiri dari pajak dan

pungutan lain yang bersifat memaksa. Jadi, pajak daerah adalah

pungutan yang bersifat memaksa.

2. Retribusi Daerah adalah pungutan yang bersifat memaksa, yang

dalam konteks Pasal 23A UUD 1945 termasuk dalam “pungutan

lain yang bersifat memaksa”.

Pembedaan pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan

pungutan yang bersifat memaksa dan dipungut oleh Daerah adalah pada

imbalan. Pada pajak daerah, imbalannya tidak langsung, sedangkan pada

retribusi daerah, imbalannya langsung berupa jasa atau izin tertentu.

Sekali pun ditemukan pengertian pajak daerah tidak ada koherensi

dengan karakter yang terdapat dalam Pasal 23A UUD 1945, namun dalam

rangka pembentukan peraturan daerah pengertian tersebut tetap digunakan.

Oleh karena, pembentukan peraturan daerah pada prinsipnya adalah

pelaksanaan undang-undang.

Hal itu dapat dipahami dalam kerangka implementasi kebijakan publik,

yang salah satu aktivitasnya adalah interpretasi (interpretation), yaitu

aktivitas menjabarkan substansi kebijakan agar menjadi rencana dan

pengarahan yang diterima dan dilaksanakan.10 Dapat dipahami, aktivitas

interpretasi dalam implementasi kebijakan publik adalah menjabarkan

sebuah kebijakan publik yang masih bersifat umum ke dalam kebijakan

publik yang lebih operasional, atau pembuatan kebijakan pelaksanaan.

10

Charles O. Jones, 1991, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), terjemahan, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 296. Menurutnya ada 3 (tiga) aktivitas dalam implemetansi kebijakan publik, yaitu pengorganisasian, interpretasi, dan penerapan.

Page 19: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 8

Pembuatan kebijakan publik, termasuk kebijakan pelaksanaan, dalam

bentuknya yang positif hakekatnya merupakan perumusan norma hukum ke

dalam aturan hukum.11 Dalam konteks ini, kebijakan pelaksanaan dari

kebijakan pajak daerah yang dituangkan dalam UU PDRD 2009 tersebut

adalah Peraturan Daerah, yang memuat norma hukum yang mengikat

secara umum.

3. Konsep Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Pasal 1 angka 41 UU PDRD 2009 menentukan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah

dan/atau bangunan.

UU PDRD 2009 tidak memberikan isi konsep atau pengertian

perolehan hak atas tanah dan bangunan, namun UU PDRD 2009 hanya

memberikan hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan sebagai perolehan

hak atas tanah dan/atau bangunan.Oleh karena itu ditelusuri dalam undang-

undang sebelum PDRD, yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Perolehan hak atas tanah dan

atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan

diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau

badan.12

11 Marhaendra Wija Atmaja, 2006, “Pembuatan Kebijakan Penanggulangan

HAIV/AIDS dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006”, Makalah, Lokakarya Legal

Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS bagi Anggota DPRD 10 Provinsi Di Indonesia,

diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN), pada Minggu-Rabu

11-14 Juni di Bandung, hlm. 2-4. 12) Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan

Hak Atas dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Page 20: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 9

4. Konsep Peraturan Daerah

Menurut Pasal 1 angka 7 UU P3, Peraturan Daerah adalah Peraturan

Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah

dengan persetujuan bersama kepala daerah. Peraturan Daerah merupakan

salah satu jenis dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan, yang berada

pada posisi paling bawah (Pasal 7 ayat (1) huruf e UU P3).13

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e

meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat

daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah

kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota

bersama bupati/walikota; dan c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat,

dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan

kepala desa atau nama lainnya.

Peraturan Daerah yang dimaksud dalam kajian ini adalah Peraturan

Daerah Kabupaten, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

DPRD kabupaten dengan persetujuan bersama bupati.

Pasal 1 Angka 2 UU P3 menentukan Peraturan Perundang-undangan

adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat

yang berwenang dan mengikat secara umum.

Dengan demikian dalam pengertian Peraturan Daerah Kabupaten

terdapat unsur-unsur:

1. bentuknya berupa peraturan tertulis;

2. pembentuknya adalah DPRD kabupaten dengan persetujuan

bersama bupati; dan

13

) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU P3 adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.

Page 21: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 10

3. kekuatan mengikat adalah mengikat secara umum.

Mengikat secara umum merupakan konsekuensi logis dari karakter

norma hukum yang termuat dalam peraturan tertulis tersebut, yaitu norma

hukum yang umum-abstrak, atau sekurang-kurangnya norma hukum yang

umum-konkret.14 Norma umum-abstrak adalah norma yang ditujukan kepada

orang tidak tertentu dan objek yang diatur berupa fakta tidak tertentu. Norma

umum-konkret adalah norma yang ditujukan kepada orang tidak tertentu dan

objek yang diatur berupa fakta tertentu.

Berdasarkan pemahaman tersebut, penyusunan konsep awal

Raperda tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai

salah satu keluaran dari kajian akademik ini diarahkan pada karakter norma

hukum tersebut di atas.

5. Konsep Naskah Akademik

Pasal 1 angka 7 Perpres nomor 68 Tahun 200515 menentukan

Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan,

sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah

pengaturan Rancangan Undang-Undang.

Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Nomor M.Hh-01.PP.01.01 Tahun 200816 menentukan Penyusunan Naskah

Akademik adalah pembuatan Naskah Akademik yang dilakukan melalui

14

A. Hamid S. Attamimi, 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV”, Disertasi Doktor, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm 317.

15 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang Undang, Rancangan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

16 Tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Perundang-undangan.

Page 22: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 11

suatu proses penelitian hukum dan penelitian lainnya secara cermat,

komprehensif, dan sistematis.

Isi Naskah Akademik ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut memuat dasar filosofis,

yuridis, sosiologis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur, serta konsep

awal Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya pada ayat (2)

ditentukan, Naskah Akademik disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan

Naskah Akademik sebagaimana tercantum dalam lampiran.

E. Metode Penelitian

Menggunakan metode penelitian hukum (legal research), dalam

artian menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta

didukung bahan hukum informatif. Bahan-bahan hukum ini dianalisis secara

hermeneutika hukum.

1. Pendekatan.

Pendekatan yang digunakan untuk menjawab isu hukum dalam kajian

ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan

konseptual (conceptual approach), pendekatan historis (historical approach),

pendekatan filsafat (philosophical approach). 17

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) beranjak pada

peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, antara lain Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah kedua kalinya dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan

beranjak pada pandangan dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum

17

Tentang pendekatan tersebut berdasarkan Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama Offset, hal. 93-137.

Page 23: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 12

berkenaan dengan pajak daerah. Pendekatan historis (historical approach)

beranjak pada sejarah perkembangan pengaturan pajak daerah, khususnya

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Pendekatan filsafat

(philosophical approach) beranjak dari dasar ontologis dan landasan filosofis

UU PDRD serta ratio legis dari ketentuan-ketentuan tertentu dalam UU

PDRD, khususnya tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

2. Sumber Bahan Hukum

Sumber Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder.18 Bahan hukum primer adalah segala dokumen

resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini adalah Undang-undang

Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

sebagaimana diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2008, serta peraturan perundang-undangan yang lain yang terkait

dengan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil penelitian atau karya

tulis para ahli hukum berkenaan dengan pengaturan Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan, yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.

Bahan hukum informatif berupa informasi dari lembaga atau pejabat,

baik dari lingkungan Pemerintah Daerah Kota Denpasar maupun para pihak

yang membidangi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Bahan ini

digunakan sebagai penunjang dan untuk mengkonfirmasi data primer dan

sekunder.

18

C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung, hal. 134.

Page 24: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 13

3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.

Untuk bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dilakukan

studi dokumenter dan kepustakaan. Untuk bahan hukum informatif dilakukan

studi lapangan bersaranakan FGD (Focus Group Discussion), wawancara,

mendengan pendapat narasumber atau para ahli.

4. Metode Analisis.

Terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan interpretasi

secara hermeneutikal, yaitu memahami aturan hukum:

a. berdasarkan pemahaman tata bahasa (gramatikal), yaitu

berdasarkan makna kata dalam konteks kalimatnya;

b. dipahami dalam konteks latar belakang sejarah pembentukannya

(historikal) dan dalam kaitan dengan tujuan yang mau

diwujudkannya (teleologikal) yang menentukan isi aturan hukum

positif itu (untuk menentukan ratio legis-nya); serta

c. dipahami dalam konsteks hubungannya dengan aturan hukum

yang lainnya (sistematikal) dan secara kontekstual merujuk pada

faktor-faktor kenyataan kemasyarakatan dan kenyataan ekonomi

(sosiologikal) dengan mengacu pandangan hidup, nilai-nilai

kultural dan kemanusiaan yang fundamendal (filosofikal) dalam

proyeksi ke masa depan (futurological).19

Interpretasi secara hermeneutikal tiada lain adalah hermeneutika

hukum, sebagaimana dikemukakan Gregory Leyh, bahwa tugas

hermeneutika hukum adalah menempatkan perdebatan kontemporer

mengenai interpretasi hukum dalam kerangka interpretasi yang lebih luas.20

19

Bernard Arief Sidharta, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal”, dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, eds.,2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refeksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 145-146.

20 Gregory Leyh, “Pendahuluan”, dalam Gregory Leyh, ed., 2008, Hermeneutika

Hukum: Sejarah, Teori, dan Praktik, (judul asli: Legal Hermeneitics, University of California Press, 1992), terjemahan M. Khozim, Penerbit Nusa Media, Bandung, hlm. 1.

Page 25: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 14

Makna ”dalam kerangka interpretasi yang lebih luas” adalah hermeneutika,

sebagaimana diungkapkan, upaya mengkontekstualisasikan teori hukum

dengan cara seperti ini mengisyaratakan bahwa hermeneutika mengandung

manfaat tertentu bagi yurisprudensi (ilmu hukum).21 Jadi, tugas hermeneutika

hukum adalah menempatkan perdebatan kontemporer mengenai interpretasi

hukum dalam kerangka hermeneutika.

Untuk mendapatkan pemahaman secara utuh diperlukan proses

pemahaman yang berlangsung dalam suatu gerakan bolak-balik antara

bagian dan keseluruhan. Proses pemahaman ini disebut lingkaran

hermeneutis, yaitu bagian hanya dapat dipahami dalam konsteks

pemahaman terhadap keseluruhan, yang mengandaikan pemahaman

terhadap bagian-bagian. Demikianlah, untuk dapat memahami dengan baik

sebuah teks, maka:

a. terlebih dahulu harus memahami keseluruhan teks untuk dapat

menginterpretasi dengan baik tiap kalimat yang mewujudkan

keseluruhan teks tersebut; dan

b. untuk dapat memahami keseluruhan teks maka terlebih dahulu tiap

kalimat harus diinterpretasi dengan baik.22

Interpretasi hukum secara hermeneutika dalam kajian ini beranjak dari

lingkaran hermeneutis tersebut, yaitu memahami suatu peraturan

perundang-unangan secara keseluruhan untuk dapat menginterpretasi

dengan baik tiap norma hukum yang mewujudkan peraturan perundang-

undangan tersebut, dan untuk dapat memahami suatu peraturan perundang-

unangan secara keseluruhan maka terlebih dahulu tiap norma hukum harus

diinterpretasi dengan baik.

21

Ibid. 22

Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu HUkum sebagai Landasan Pengmbangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 98-99.

Page 26: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 15

Pentingnya pendekatan hermeneutika dalam ilmu hukum, karena

interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap

aturan hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat yang merupakan

bunyi teks hukum dan yang tersirat yang merupakan gagasan yang ada di

belakang aturan hukum.23 Karenanya, diperlukan ketepatan pemahaman

(subtilitas intellegendi), ketepatan penafsiran (subtilitas explicandi), dan

ketepatan penerapan (subtilitas applicandi). 24

Penafsiran bukan tindakan tambahan yang secara berkala dilakukan

sebelum pemahaman, tetapi pemahaman selalu sebuah penafsiran, dan

karena itu penafsiran adalah bentuk eksplisit dari pemahaman. Berikutnya

adalah penerapan, yaitu penerapan terhadap teks untuk dipahami oleh

situasi penafsir sekarang, yang merupakan bagian integral dari tindakan

hermeneutika sebagaimana pemahaman dan penafsiran.25

Dalam kajian ini tindakan yang dilakukan adalah memahami teks atau

aturan hukum berkenaan dengan pajak daerah, khususnya Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan, melalui menafsirkan, dan menerapkannya

dalam bentuk Konsep Awal Rancangan Peraturan Daerah tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

23

E. Sumaryono, 1999, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Edisi Revisi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 29. Lihat juga Peter Mahmud Marzuki, 2005, “Arti Penting Hermeneutik dalam Penerapan Hukum”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hlm.17, yang mengutip dari E. Sumaryono.

24 E. Sumaryono, 1999, hanya menyebut subtilitas intellegendi (ketepatan

pemahaman) dan subtilitas explicandi (ketepatan penafsiran, yang disebutnya ketepatan penjabaran). Tiga tindakan hermeneutika tersebut dikutip dari Hans-Georg Gadamer, 2004, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terjemahan Ahmad Sahidah (judul asli: Truth and Method, The Seabury Press, New York, 1975), Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 370.

25 Hans-Georg Gadamer, 2004, Ibid, hlm. 370-371.

Page 27: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 16

BAB II

KONDISI EKSISTING BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KOTA DENPASAR

A. Kondisi Eksisting Kota Denpasar

1. Letak Geografis

Kota Denpasar terletak di tengah-tengah Pulau Bali, selain merupakan

Ibukota Daerah Kota Denpasar, juga merupakan Ibukota Provinsi Bali

sekaligus sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, perekonomian. Letak

yang sangat strategis ini sangatlah menguntungkan, baik dari segi ekonomis

maupun dari kepariwisataan karena merupakan titik sentral berbagai

kegiatan dan sekaligus sebagai penghubung dengan kabupaten lainnya.

Kota Denpasar terletak diantara 08° 35" 31'-08° 44" 49' lintang selatan

dan 115° 10" 23'-115° 16" 27' Bujur timur, yang berbatasan dengan: di

sebelah Utara Kabupaten Badung, di sebelah Timur Kabupaten Gianyar, di

sebelah Selatan Selat Badung dan di sebelah Barat Kabupaten Badung.

Ditinjau dari Topografi keadaan Kota Denpasar secara umum miring

kearah selatan dengan ketinggian berkisar antara 0-75m diatas permukaan

laut. Morfologi landai dengan kemiringan lahan sebagian besar berkisar

antara 0-5% namun dibagian tepi kemiringannya bisa mencapai 15%.

2. Luas Wilayah

Luas seluruh Kota Denpasar 127,78 km2 atau 12.778 Ha, yang

merupakan tambahan dari reklamasi Pantai Serangan seluas 380 Ha. Dari

luas tersebut di atas tata guna tanahnya meliputi Tanah sawah 2.717 Ha dan

Tanah Kering 10.051 Ha. Tanah kering kering terdiri dari Tanah Pekarangan

7.831 Ha, Tanah Tegalan 396 Ha, Tanah Tambak/Kolam 10Ha, Tanah

Page 28: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 17

sementara tidak diusahakan 81Ha,Tanah Hutan 613 Ha , Tanah Perkebunan

35 Ha dan Tanah lainnya: 1.162 Ha.

Tabel 1: Luas Lahan Kota Denpasar

3. Penduduk

Menurut Registrasi jumlah Penduduk sampai akhir Tahun 2008:

642.358 orang, tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 8,09 %, sedangkan

sensus penduduk 2000 menunjukan pertumbuhan dengan rata-rata sebesar

: 3,01 %, hal ini disebabkan karena program keluarga berencana yang ada di

Kota Denpasar dapat dilaksnakan dengan baik.Tingginya tingkat

pertumbuhan penduduk ini disebabkan oleh faktor migrasi yang sangat

dominan, dengan alasan pokok untuk mencari pekerjaan.

Secara regional penyebab banyaknya penduduk yang masuk ke

daerah Kota Denpasar karena Denpasar merupakan kota Propinsi, dimana

hampir semua kegiatan ekonominya maupun pendidikan terfokus di daerah

ini. Selama tahun 2008 bertambahnya penduduk sebesar : 477.199 orang

dari 165.159 orang pada tahun 2007 menjadi 642.358 orang pada tahun

2008. Pertumbuhan penduduk tersebut hanya sebagian kecil saja

disebabkan oleh pertumbuhan alami tetapi lebih banyak karena mutasi

penduduk baik dari Kabupaten di Bali maupun dari luar Bali. Hal ini

menyebabkan kepadatan penduduk yang makin meningkat, yang dapat

dirinci sebagai berikut:

Page 29: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 18

Tabel 2: Jumlah Penduduk Kota Denpasar

4. Pembagian Wilayah Administrasi

Secara administratif terbagi menjadi 4 wilayah kecamatan yang

meliputi kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar Selatan dan

Denpasar Utara. Wilayah Kecamatan dibagi menjadi beberapa

Desa/Kelurahan, masing-masing terdiri beberapa Dusun/Lingkungan.

Disamping Desa Dinas juga terdapat Desa Adat yang masing-masing terdiri

dari beberapa Banjar Adat. Antara Desa dinas dengan Desa adat tidak

terjadi tumpang tindih, justru sebaliknya terdapat keserasian dan kerjasama

yang saling mendukung. Jumlah Kelurahan/Dinas dan Banjar di Kota

Denpasar:

Tabel 3: Pembagian Wilayah Administrasi Kota Denpasar

Page 30: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 19

Dari 16 Kelurahan dan 27 Desa yang ada semuanya sudah termasuk

kategori Desa/Kelurahan Swasembada.

5. Kondisi Penggunaan Tanah

Kota Denpasar didominasi oleh tanah alluvial yang terdapat pada

topografi datar sampai bergelombang. Berdasarkan data Luas Wilayah

menurut Penggunaan Tanah maka terdiri dari :

Tabel 4: Penggunaan Tanah di Wilayah Kota Denpasar

6. Kondisi Penerbitan Sertifikat Perolehan Hak Atas Tanah

Berikut tabel mengenai penerbitan sertifikat hak atas tanah selama

tahun 2008:

Page 31: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 20

Tabel 5: Penerbitan Sertifikat Perolehan Hak Atas Tanah di Kota Denpasar

Pemaparan tersebut di atas dapat menggambarkan adanya

penggunaan tanah di wilayah Kota Denpasar dan oleh karenanya terdapat

pula peralihan atas tanah dan juga bangunan di wilayah Kota Denpasar.

Peralihan hak atas tanah dan bangunan di dalamnya terdapat pihak yang

melepaskan hak dan pihak yang memperoleh hak. Perolehan Hak atas

Tanah dan/atau Bangunan.adalah objek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan (Pasal 85 ayat (1) UU PDRD 2009). Sekaligus menunjukkan

adanya Wajib Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yaitu orang

pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

(Pasal 86 ayat (2) UU PDRD 2009).Tanpa ada Wajib Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan, maka pengaturan Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan tidak relevan dibuat.

Page 32: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 21

B. Usulan Raperda Kota Denpasar Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang tugas dan

wewenangnya di bidang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

telah membuat usulan Raperda Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan. Naskah usulan ini perlu dianalisis berkenaan

dengan kerangka dan materi muatan, untuk mengetahui derajat

kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan.

Tabel 6: Analisis Raperda Usulan SKPD tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan

RAPERDA USULAN SKPD TENTANG

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

ANALISIS

Nama dalam judul: Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) huruf e UU PDRD 2009.

Menimbang :

a. bahwa dengan berlakunya

Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah

yang merupakan perubahan

kedua kalinya dari Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 1997

tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah membawa

implikasi terhadap kewenangan

daerah terkait dengan Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah;

b. bahwa sejalan dengan semangat

Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah

untuk melakukan penguatan

1. Dasar pertimbangan itu sudah tepat. a.

2. Sesuai Pedoman angka 18 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran), dasar pertimbangan Perda harus mencerminkan aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Page 33: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 22

perpajakan daerah (Local Taxing

Empowerment) maka beberapa

jenis pajak yang merupakan

kewenangan Pemerintah Pusat

dan Provinsi sekarang

kewenangan tersebut, telah

diserahkan kepada Pemerintah

Kabupaten/Kota;

c. bahwa Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan (BPHTB)

merupakan salah satu sumber

pendapatan daerah yang

diserahkan kewenangannya

kepada Pemerintah Kota

Denpasar;

d. bahwa potensi Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) merupakan salah satu

sumber pendapatan daerah yang

cukup potensial guna membiayai

penyelenggaraan pemerintahan

dan pembangunan di Kota

Denpasar;

e. bahwa berdasarkan

pertimbangan sebagaimana

dimaksud huruf a.huruf b. huruf c

dan huruf d diatas perlu

ditetapkan dengan Peraturan

Daerah tentang Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB).

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 69

Tahun 1958 tentang

Pembentukan Daerah-daerah

Tingkat II dalam Wilayah Daerah-

daerah Tingkat I Bali, Nusa

1. Seharusnya, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara

Page 34: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 23

Tenggara Barat dan Nusa

Tenggara Timur (Lembaran

Negara Tahun 1958 Nomor 122;

Tambahan Lembaran Negara

Nomor 1655);

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun

1992 tentang Pembentukan Kota

Denpasar (Lembaran Negara

Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3465);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara

Pidana (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1981

Nomor 76; Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia

Nomor 3209);

4. Undang-Undang Nomor 17

Tahun 1997 tentang Badan

Penyelesaian Sengketa Pajak

(Lembaran Negara Republik

Tahun 1997 Nomor 40;

Tambahan Lembaran Negara

Republik Negara Republik

Nomor 3684 );

5. Undang-Undang 19 Nomor 1997

tentang Penagihan Pajak

dengan Surat Paksa (Lembaran

Negara Republik Indonesia

Tahun 1997 Nomor 42;

Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3686)

sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2000 tentang

Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 1997 tentang

Penagihan Pajak dengan Surat

Paksa (Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3465); 2. UU tentang Pemerintahan

Daerah telah tidak sesuai dengan UU yang sekarang berlaku, yaitu: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah dengan Undang Nomor 12 Tahun 2008.

3. Dasar hukum yang lain juga harus disesuaikan dengan yang baru.

Page 35: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 24

Republik Indonesia Tahun 2000

Nomor 129; Tambahan

Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3987);

6. Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (Lembaran

Negara Republik Indonesia

Tahun 2004 Nomor 53,

Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor

4389);

7. Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor

125, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia

Nomor 4437) sebagaimana telah

diubah beberapa kali terakhir

dengan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor

59, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4844

);

8. Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia

Tahun 2004 Nomor 126,

Page 36: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 25

Tamabahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor

4438);

9. Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah

(Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor

130; Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia

Nomor 130);

10. Peraturan Pemerintah Nomor

144 Tahun 2000 tentang Jenis

Barang dan Jasa yang tidak

dikenakan Pajak Pertambahan

Nilai (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2000 Nomor

260; Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia

Nomor 4062).

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

DAERAH KOTA DENPASAR

1. Tidak sesuai dengan Pedoman angka 38 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran).

2. Sesuai pedoman itu, semestinya: Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA DENPASAR

dan WALIKOTA DENPASAR

M E M U T U S K A N: Menetapkan :

PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR TENTANG

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

1. Tidak sesuai dengan Pedoman angka 40 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran).

2. Sesuai pedoman itu, semestinya:

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH

Page 37: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 26

DAN BANGUNAN

BAB I KENTENTUAN UMUM Pasal 1

a. Daerah adalah Daerah Kota

Denpasar;

b. Pemerintah kota adalah

Pemerintah Daerah kota

beserta perangkat daerah

otonom yang lain sebagai

Badan Eksekutif Daerah;

c. Kepala Daerah adalah

Walikota Denpasar yang

selanjutnya disebut Walikota;

d. Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang selanjutnya

disebut DPRD adalah Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah

Kota Denpasar;

e. Pejabat adalah Pegawai yang

diberi tugas tertentu dibidang

perpajakan daerah sesuai

dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

f. Dinas Pendapatan adalah

Dinas Pendapatan Kota

Denpasar;

g. Kantor Pertanahan adalah

Kantor Pertanahan Kota

Denpasar;

h. Kantor Lelang Negara adalah

Kantor Lelang Negara di

Provinsi Bali;

i. Nilai Jual Objek Pajak yang

selanjutnya disingkat NJOP

adalah harga rata-rata yang

diperoleh dari transaksi jual beli

yang terjadi secara wajar, dan

bilamana tidak terdapat

Perumusannya tidak sesuai dengan Pedoman angka 77 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran).

Page 38: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 27

transaksi jual beli, NJOP

ditentukan melalui

perbandingan harga dengan

objek lain yang sejenis, atau

nilai perolehan baru, atau

NJOP pengganti;

j. Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan yang

selanjutnya disebut pajak

adalah pungutan daerah atas

perolehan hak atas tanah

dan/atau bangunan;

k. Perolehan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan adalah

perbuatan atau pristiwa hukum

yang mengakibatkan

diperolehnya hak atas tanah

dan/atau bangunan oleh orang

pribadi atau badan;

l. Hak atas Tanah dan/atau

Bangunan adalah hak atas

tanah, termasuk hak

pengelolaan, beserta

bangunan diatasnya,

sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang di bidang

pertanahan dan bangunan;

m. Surat Ketetapan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan Kurang Bayar

selanjutnya disingkat

SKBPHTBKB adalah surat

keputusan yang menentukan

besarnya jumlah pajak yang

terutang, jumlah kekurangan

pembayaran pokok pajak,

besarnya sanksi administrasi

dan jumlah yang masih harus

dibayar;

n. Surat Ketetapan Bea

Page 39: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 28

Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan Kurang Bayar

Tambahan yang selanjutnya

disingkat SKBPHTBKBT

adalah surat keputusan yang

menentukan tambahan atas

jumlah pajak yang telah

ditetapkan;

o. Surat Ketetapan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan Lebih Bayar yang

selanjutnya disingkat

SKBPHTBLB adalah surat

keputusan yang menentukan

jumlah kelebihan pembayaran

pajak karena jumlah kredit

pajak lebih besar dari pajak

yang terutang atau tidak

seharusnya terutang;

p. Surat Ketetapan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan Nihil yang

selanjutnya disingkat

SKBPHTBN adalah Surat

Keputusan yang menentukan

jumlah pajak yang terutang

sama besarnya dengan jumlah

kredit pajak atau pajak tidak

terutang dan tidak ada kredit

pajak;

q. Surat Tagihan Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan

Bangunan, yang disingkat

STBPHTB adalah surat untuk

melakukan tagihan pajak dan

atau sanksi administrasi

berupa denda dan atau bunga;

r. Surat Setoran Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan

yang dapat disingkat

Page 40: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 29

SSBPHTB, adalah surat yang

oleh Wajib Pajak digunakan

untuk membayar atau

penyetoran pajak yang

terutang ke Kas Daerah atau

tempat lain yang ditentukan

oleh Walikota dan sekaligus

untuk melaporkan data

perolehan hak atas tanah dan

atau bangunan;

s. Surat Keputusan Pembetulan

adalah surat keputusan untuk

membetulkan kesalahan tulis,

kesalahan hitung dan atau

kekeliriuan dalam penerapan

peraturan perundang-

undangan perpajakan yang

terdapat dalam Surat

Ketetapan BPHTB Kurang

Bayar, Surat Ketetapan BPHTB

Kurang Bayar Tambahan,

Surat Ketetapan BPHTB Lebih

Bayar, Surat Ketetapan BPHTB

Nihil, atau Surat Tagihan

BPHTB;

t. Surat Keputusan Keberatan

adalah surat keputusan atas

keberatan terhadap Surat

Ketetapan BPHTB Kurang

Bayar, Surat Ketetapan BPHTB

Kurang Bayar Tambahan,

Surat Ketetapan BPHTB Lebih

Bayar, Surat Ketetapan BPHTB

Nihil yang diajukan oleh Wajib

Pajak;

u. Putusan Banding adalah

putusan Badan Peradilan Pajak

atas banding terhadap Surat

Keputusan Keberatan yang

diajukan oleh Wajib Pajak.

Page 41: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 30

BAB II NAMA, OBYEK DAN SUBYEK PAJAK Pasal 2 (1) Dengan nama Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dipungut pajak atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

(2) Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan setiap hak atas tanah dan/atau bangunan yaitu terhadap peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan haknya yang meliputi pemindahan hak dan perolehan hak baru ;

(3) Objek perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. Pemindahan hak karena:

1. jual beli;

2. tukar menukar;

3. hibah;

4. hibah wasiat;

5. waris;

6. pemasukan dalam

perseroan atau badan

hukum lainnya;

7. pemisahan hak yang

mengakibatkan

peralihan;

8. penunjukan pembeli

karena lelang;

9. pelaksanan putusan

hakim yang mempunyai

kekutan hukum tetap;

10. penggabungan usaha;

1. Perumusan ini merupakan kebiasaan dalam praktek.

2. Nama “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan” memang sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Huruf k UU PDRD, namun rumusan ini tidak dikenal dalam UU PDRD.

3. Rumusan tersebut juga tidak tepat oleh karena nama tidak dapat dijadikan dasar hukum melakukan pungutan pajak. Dasar hukum pemungutan pajak adalah Peraturan Daerah.

4. Sesuai Pedoman angka 13 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran), nama “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan” semestinya tercantum dalam Judul dan Diktum Perda, tidak perlu dirumuskan kembali dalam Materi Pokok yang Diatur.

5. Sebagai analogi, tanggal mulai berlakunya (Pasal 95 ayat (3) huruf I UU PDRD) tidak perlu ada perumusan tersendiri, akan tetapi dirumuskan dalam Bab Ketentuan Penutup.

6. Objek Pajak sudah sesuai dengan UU PDRD (Pasal 85 ayat (2) dan (3)).

Page 42: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 31

11. peleburan usaha;

12. pemekaran usaha, atau

13. hadiah.

b. Pemberian hak baru

karena:

1. kelanjutan pelepasan

hak,atau

2. di luar pelepasan hak.

c. Pemberian hak baru

karena:

1. kelanjutan pelepasan

hak,atau

2. di luar pelepasan hak.

d. Hak atas tanah adalah :

1. hak milik;

2. hak guna usaha;

3. hak guna bangunan;

4. hak pakai;

5. hak milik atas satuan

rumah susun, dan

6. hak pengelolaan.

Pasal 3

Objek Pajak yang tidak dikenakan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

atau Bangunan adalah :

a. Perwakilan Diplomatik dan

Konsulat berdasarkan asas

perlakuan timbal balik;

b. Negara untuk penyelenggaraan

pemerintahan dan/atau untuk

pelaksanan pembangunan

guna kepentingan umum;

c. Badan atau Perwakilan

Lembaga Internasional yang

ditetapkan dengan Peraturan

Menteri Keuangan dengan

syarat tidak menjalankan

usaha atau melakukan

kegiatan lain di luar fungsi dan

Sudah sesuai dengan UU PDRD. Namun UU PDRD (Pasal 95) pengaturan terhadap Perwakilan Diplomatik dan Konsulat dapat dibuat dalam Bab tersendiri. Satuan Kerja Pemerintah Daerah, dalam FGD yang diselenggarakan tanggal 27 April 2010 menghendaki pengaturan yang serupa dengan UU PDRD.

Page 43: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 32

tugas Badan atau Perwakilan

Organisasi tersebut;

d. Orang pribadi atau badan

karena konversi hak atau

karena perbuatan hukum lain

dengan tidak adanya

perubahan nama;

e. Orang pribadi atau badan

karena wakaf, dan

f. Orang pribadi atau badan yang

digunakan untuk kepentingan

ibadah.

Pasal 4 (1) Subjek Pajak Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan atau dengan kata lain subjek pajak Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan adalah pihak yang menerima pengalihan hak baik itu badan atau orang pribadi;

(2) Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.

Ayat (1) Tidak sesuai UU PDRD (Pasal 86 ayat (1))

Penggunaan kata ”dengan kata lain” pada ayat (1) bersifat ambigu dan membingungkan, sebaiknya ditempatkan pada Penjelasan.

Ayat (2) sudah sesuai dengan UU PDRD Pasal 86 ayat (2).

BAB III DASAR PENGENAAN DAN TARIF PAJAK Pasal 5

(1) Dasar pengenaan pajak adalah

Nilai Perolehan Objek Pajak

(NPOP).

(2) Nilai Perolehan Objek Pajak

sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) adalah dalam hal:

Tidak sesuai dengan UU PDRD Pasal 87, karena tidak mencantumkan ayat (4), (5) dan (6) pasal ini. Ketentuan Pasal 87 ayat (4), (5) dan (6) justru dimasukkan ke dalam Bab cara penghitungan. Pasal 87 ayat (4), (5) dan (6) berkaitan erat dengan dasar pengenaan bukan dengan cara penghitungan.

Page 44: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 33

a. jual beli adalah harga

transaksi;

b. tukar menukar adalah nilai

pasar;

c. hibah adalah nilai pasar;

d. hibah wasiat adalah nilai

pasar;

e. waris adalah nilai pasar;

f. pemasukan dalam

peseroan atau badan

hukum lainnya adalah nilai

pasar;

g. pemisahan hak yang

mengakibatkan peralihan

adalah nilai pasar;

h. peralihan karena

pelaksanan putusan hakim

yang mempunyai kekuatan

hukum tetap adalah nilai

pasar;

i. pemberian hak baru atas

tanah sebagai kelanjutan

dari pelepasan hak adalah

nilai pasar;

j. pemberian hak baru atas

tanah diluar pelepasan hak

adalah nilai pasar;

k. penggabungan usaha

adalah nilai pasar;

l. peleburan usaha adalah

nilai pasar;

m. pemekaran usaha adalah

nilai pasar;

n. hadiah adalah nilai pasar,

dan/atau

o. penunjukan pembeli dalam

lelang adalah harga

transaksi yang tercantum

dalam risalah lelang.

(3) Apabila Nilai Perolehan Objek

Page 45: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 34

Pajak sebagaimana dimaksud

ayat (2) huruf a sampai dengan

huruf n tidak diketahui atau

lebih rendah daripada NJOP,

yang digunakan dalam

pengenaan Pajak Bumi dan

Bangunan pada tahun

terjadinya perolehan, dasar

pengenaan yang digunakan

adalah NJOP Pajak Bumi dan

Bangunan.

Pasal 6 Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan sebesar 5 % (lima persen).

Sesuai dengan Pasal 88 UU PDRD, daerah diperkenankan menetapkan tarif dengan Perda dan paling tinggi 5%.

BAB IV WILAYAH PEMUNGUTAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK Pasal 7 Wilayah pemunggutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan yang terutang dipungut di Wilayah Kota Denpasar.

Sesuai dengan Pasal 89 ayat (2) UU PDRD. Hanya saja penormaannya kurang tepat, seharusnya: BPHTB yang terutang dipungut di Wilayah Kota.

Pasal 8

(1) Besaran Nilai Perolehan Objek

Pajak Tidak Kena Pajak

(NPOPTKP) ditetapkan paling

rendah sebesar Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta

rupiah) untuk setiap Wajib

Pajak;

(2) Perolehan hak karena waris

atau hibah wasiat yang diterima

orang pribadi yang masih dalam

hubungan keluarga sedarah

dalam garis keturunan lurus satu

Tidak sesuai dengan UU PDRD, seharusnya ayat (1) dan ayat (2) disebutkan dalam Pasal mengenai dasar pengenaan.

Ayat (3) adalah cara penghitungan pajak.

Page 46: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 35

derajat ke atas atau kebawah

dengan pemberi hibah wasiat,

termasuk suami/istri Nilai

Perolehan Objek Pajak Tidak

Kena Pajak (NPOPTKP)

ditetapkan paling rendah

sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga

ratus juta rupiah);

(3) Besaran pokok Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan

yang terutang dihitung dengan

cara mengalikan tarif

sebagaimana dimaksud pada

Pasal 6 dengan dasar

pengenaan pajak sebagaimana

dimaksud pada Pasal 5 ayat (1)

setelah dikurangi Nilai

Perolehan Objek Pajak Tidak

Kena Pajak (NPOPTKP)

sebagaimana dimaksud ayat (1)

dan ayat (2) pasal ini.

BAB V MASA PAJAK DAN SAAT PAJAK TERUTANG Pasal 9 Masa pajak adalah pada saat terjadinya perolehan hak.

Dalam UU PDRD Pasal 1 angka 46 disebutkan, masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.

Dalam FGD dengan SKPD tanggal 27 April 2010, disebutkan masa BPHTB yang optimal adalah 1 bulan.

Seharusnya penormaannya: Masa BPHTB ditetapkan 1 (satu) bulan kalender terhitung sejak

Page 47: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 36

saat terutang pajak.

Pasal 10

Saat terutang Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan/atau Bangunan

ditetapkan untuk:

a. jual beli adalah sejak tanggal

dibuat dan ditandatanganinya

akta;

b. tukar menukar adalah sejak

tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta;

c. hibah adalah sejak tanggal

dibuat dan ditandatanganinya

akta;

d. hibah wasiat adalah sejak

tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta;

e. waris adalah sejak tanggal

yang bersangkutan

mendaftarkan peralihan haknya

ke kantor bidang pertanahan;

f. pemasukan dalam perseroan

atau badan hukum lainnya

adalah sejak tanggal dibuat

dan ditandatanganinya akta;

g. pemisahan hak yang

mengakibatkan peralihan

adalah sejak tanggal dibuat

dan ditandatanganinya akta;

h. putusan hakim adalah sejak

tanggal putusan pengadilan

yang mempunyai kekuatan

hukum yang tetap;

i. pemberian hak baru atas tanah

sebagai kelanjutan dari

pelepasan hak adalah sejak

tanggal diterbitkannya Surat

Keputusan Pemberian Hak;

Sesuai dengan Pasal 90 UU PDRD.

Page 48: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 37

j. pemberian hak baru diluar

pelepasan hak adalah sejak

tanggal diterbitkannya Surat

Keputusan Pemberian Hak;

k. penggabungan usaha adalah

sejak tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta;

l. peleburan usaha adalah sejak

tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta;

m. pemekaran usaha adalah sejak

tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta;

n. hadiah adalah sejak tanggal

dibuat dan ditandatanganinya

akta; dan

o. lelang adalah sejak tanggal

penunjukan pemenang.

BAB VI TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK Pasal 11

(1) Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan terutang

dibayar sekaligus atau lunas;

(2) Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan terutang

dibayar oleh Wajib Pajak tidak

mendasarkan pada adanya

surat ketetapan pajak;

(3) Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan terutang

disetorkan ke Kas Umum

Daerah Kota Denpasar atau

tempat lain yang ditetapkan

dengan Keputusan Walikota;

(4) Pembayaran pajak

sebagaiamana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2) disetor

Pasal tidak merupakan materi muatan Perda tentang Pajak Daerah menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD 2009.

Pasal 90 ayat (2) UU PDRD, menyebutkan bahwa Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak. Namun menurut SKPD dalam FGD tanggal 27 April 2010, sebaiknya diberikan jangka waktu 1 bulan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan BPHTB yang terutang.

Ayat (2), sesuai dengan sifat BPHTB yang merupakan pajak self assessment, maka tidak mendasarkamn pada surat ketetapan pajak, namun pengaturan ini sebaiknya dimasukkan ke dalam Bab

Page 49: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 38

dengan menggunakan Surat

Setoran Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan/atau Bangunan

selanjutnya (SSBPHTB);

(5) Tata cara pembayaran pajak

ditetapkan dengan Peraturan

Walikota.

mengenai Penetapan Pajak.

BAB VII TATA CARA PENAGIHAN PAJAK Pasal 12

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima)

tahun sesudah saat

terutangnya pajak Walikota,

atau Pejabat dapat

menerbitkan Surat Ketetapan

Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan Kurang Bayar

(SKPHTBKB) apabila

berdasarkan hasil pemeriksaan

atau keterangan lain ternyata

jumlah pajak yang terutang

kurang bayar;

(2) Jumlah kekurangan pajak yang

terutang dalam Surat

Ketetapan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan

Kurang Bayar (SKBPHTBKB)

sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditambah dengan

sanksi administrasi berupa

denda 2 % (dua persen) setiap

bulan untuk jangka waktu

paling lama 24 (dua puluh

empat) bulan, dihitung mulai

saat terutangnya pajak sampai

dengan diterbitkannya Surat

Ketetapan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan

Kurang Bayar (SKBPHTBKB).

Dalam UU PPDRD 2009 bab ini disatukan dengan tata cara pembayaran. Jadi hal ini tidak sesuai dengan UU PDRD 2009.

Page 50: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 39

Pasal 13

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima)

tahun sesudah saat

terutangnya pajak, Walikota

atau Pejabat dapat

menerbitkan Surat Ketetapan

Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan Kurang Bayar

Tambahan (SKBPHTBKBT)

apabila ditemukan data baru

dan/atau data yang semula

belum terungkap yang

menyebabkan penambahan

jumlah pajak yang terutang

setelah diterbitkannya Surat

Ketetapan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan

Kurang Bayar (SKBPHTBKBT);

(2) Jumlah kekurangan pajak yang

terutang dalam Surat

Ketetapan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan

Kurang Bayar Tambahan

(SKBPHTBKBT) sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)

ditambah dengan sanksi

administrasi berupa kenaikan

sebesar 100 % (seratus

persen) dari jumlah

kekurangan pajak tersebut,

kecuali Wajib Pajak

melaporkan sendiri sebelum

dilakukan tindakan

pemeriksaan

Pasal 14

(1) Walikota atau Pejabat dapat

menerbitkan Surat Tagihan

Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan (STBPHTB)

Page 51: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 40

apabila:

1. pajak yang terutang tidak

atau kurang bayar;

2. dari hasil pemeriksaan

Surat Setoran Bea

Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan terdapat

kekurangan pembayaran

pajak sebagai akibat salah

tulis dan atau salah hitung;

3. wajib pajak dikenakan

sanksi administrasi berupa

bunga.

(2) Jumlah pajak yang terutang

yang tidak atau kurang bayar

dalam Surat Tagihan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (STBPHTB)

sebagaimana dimaksud ayat

(1) huruf a dan huruf b

ditambah sanksi administrasi

berupa bungan 2 % (dua

persen) setiap bulan untuk

jangka waktu paling lama 24

(dua puluh empat) bulan sejak

saat terutangnya pajak.

Pasal 15

(1) Surat Ketetapan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan Kurang Bayar

SKBPHTBKB), Surat

Ketetapan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan

Kurang Bayar Tambahan

(SKBPHTBKBT), Surat

Tagihan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan

STBPHTB), dan Surat

Keputusan Pembetulan, Surat

Page 52: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 41

Keputusan Keberatan maupun

Putusan Banding yang

menyebabkan jumlah pajak

yang harus dibayar bertambah,

merupakan dasar penagihan

pajak;

(2) Pajak yang terutang

berdasarkan Surat Ketetapan

Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan Kurang Bayar

(SKBPHTBKB), Surat

Ketetapan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan

Kurang Bayar Tambahan

(SKBPHTBKBT), Surat

Tagihan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan

(STBPHTB), dan Surat

Keputusan Pembetulan, Surat

Keputusan Keberatan maupun

Putusan Banding yang

menyebabkan jumlah pajak

yang harus dibayar bertambah,

harus dilunasi dalam jangka

waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari sejak diterima oleh

Wajib Pajak;

(3) Tata cara penagihan pajak

ditetapkan dengan

Peraturan Walikota.

Pasal 16 Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar

Sesuai dengan Pasal 102 UU PDRD 2009.

Page 53: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 42

Tambahan (SKBPHTBKBT), Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan STBPHTB), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa.

BAB VIII PENGURANGAN DAN PEMBEBASAN PAJAK Pasal 17

(1) Walikota atau Pejabat

berdasarkan permohonan

Wajib Pajak dapat memberikan

pengurangan Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) terutang karena hal-

hal tertentu ;

(2) Tata cara pemberian

pengurangan Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) terutang

sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), ditetapkan dengan

Peraturan Walikota.

Tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 107 UU PDRD 2009.

BAB IX

TATA CARA PEMBETULAN,

PEMBATALAN, PENGURANGAN

KETETAPAN DAN

PENGHAPUSAN

Pasal 18

(1) Walikota atau Pejabat karena

jabatan atau atas permohonan

Wajib Pajak dapat :

a. membetulkan yang dalam

1. Pasal 18 dan Pasal 19 ini tidak sesuai dengan tata cara penagihan menurut Pasal 102 UU PDRD 2009.

2. Pasal 18 dan Pasal 19 ini tidak merupakan materi muatan Perda Pajak Daerah menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD 2009.

Page 54: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 43

penerimaannya terdapat

kesalahan tulis, kesalahan

hitung, dan atau kekeliruan

dalam penerapan

Peraturan Perundang-

undangan perpajakan

daerah;

b. membatalkan,

mengurangkan dan atau

menghapuskan ketetapan

pajak yang tidak benar;

(2) Permohonan pembetulan,

pembatalan, pengurangan,

ketetapan dan penghapusan

atas SKBPHTB sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus

disampaikan secara tertulis

oleh Wajib Pajak kepada

Walikota atau Pejabat

selambat-lambatnya 30 (tiga

puluh) hari sejak tanggal

diterima SKBPHTB dengan

memberikan alasan yang jelas;

(3) Walikota atau Pejabat, paling

lama 3 (tiga) bulan sejak surat

permohonan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2)

diterima, sudah harus

memberikan jawaban;

(4) Apabila setelah lewat waktu 3

(tiga) bulan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3)

Walikota atau Pejabat tidak

memberikan keputusan,

permohonan, pembetulan,

pembatalan, pengurangan

ketetapan dan penghapusan

atau pengurangan sanksi

administrasi dianggap

dikabulkan.

Page 55: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 44

BAB X KEBERATAN DAN BANDING (Pasal 19-Pasal 21)

Keberatan dan banding tidak merupakan materi muatan Perda tentang Pajak Daerah menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UUD PDRD 2009.

Namun menurut SKPD dalam FGD tanggal 27 April 2010, sebaiknya hal ini sebaiknya diatur saja.

BAB XI PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK (Pasal 22)

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak tidak merupakan materi muatan Perda tentang Pajak Daerah menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD 2009.

BAB XII KETENTUAN BAGI PEJABAT (Pasal 23-Pasal 25)

Ketentuan bagi pejabat bukan materi muatan tentang Perda tentang Pajak Daerah menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD 2009.

BAB XIII PELAPORAN DAN SANKSI ADMINISTRASI (Pasal 26-Pasal 27)

1. Pelaporan tidak merupakan materi muatan Perda Pajak Daerah menurut Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD 2009.

2. Namun sanksi administrasi disebutkan dalam Bab tersendiri tersendiri.

3. Materi ini sesuai dengan Pasal 169 ayat (2) UU PDRD 2009 pengaturannya didelegasikan dengan Perwali.

BAB XIV KEDALUWARSA PENAGIHAN Pasal 28

(1) Hak untuk melakukan

penagihan pajak,

kedaluawarsa penagihan

setelah melampaui jangka

waktu 5 (lima) tahun terhitung

Tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 166 ayat (3) sampai dengan ayat (4) UU PDRD 2009.

Page 56: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 45

sejak saat terutangnya pajak,

kecuali apabila wajib pajak

melakukan tindak pidana

dibidang perpajakan daerah;

(2) Kadaluwarsa penagihan pajak

sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tertangguh apabila :

a. diterbitkan surat peringatan

dan surat paksa atau ;

b. ada pengakuan utang

pajak dari wajib pajak baik

langsung maupun tidak

langsung.

BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 29

(1) Wajib pajak karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang.

(2) Wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan Keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang

Pasal 29 ini mendasarkan pada Pasal 174 UU PDRD. Seharusnya ketentuan pidana sebagai materi muatan Perda mendasarkan pada UU Pemda.

Page 57: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 46

Pasal 30 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 29 tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak.

Pasal 30 ini tidak sesuai dengan Pasal 175 UU PDRD 2009, karena tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.

BAB XVI PENYIDIKAN (Pasal 31)

Judul Bab semestinya adalah Ketentuan Penyidikan dan ditempatkan sebelum Bab Ketentuan Pidana, sesuai dengan Pedoman angka 182 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran).

BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Walikota

Pasal 32 ini tidak sesuai dengan Pedoman angka 166 dan 172 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran).Frase Keputusan Walikota tidak merupakan bentuk pengaturan (regeling), tapi merupakan bentuk penetapan (beschikking).

Sumber : Diolah dari Raperda Kota Denpasar usulan SKPD tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Jalan, UU PDRD 2009, dan UU P3.

Hasil analisis menunjukan usulan rancangan tersebut lemah dari segi

landasan yuridisnya, oleh karena tidak berdasarkan dan bersumberkan pada

UU PDRD 2009 dan UU Pemda 2004, serta perumusannya tidak sesuai

dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana

diamanatkan Pasal 44 ayat (2) UU P3.

Page 58: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 47

BAB III

LANDASAN KEABSAHAN DAN ASAS-ASAS DALAM PENYUSUNAN RAPERDA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KOTA DENPASAR

A. Landasan Keabsahan

Uraian dalam sub-bab ini dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu: (1)

aspek teoritik dan otentik landasan keabsahan; dan (2) relevansinya dengan

pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang meliputi

landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis.

1. Aspek Teoritik dan Otentik Landasan Keabsahan

Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav

Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum

serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu

dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai

nilai-nilai dasar dari hukum, yaitu keadilan, kegunaan (zweckmaszigkeit), dan

kepastian hukum.26

Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai

dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa

norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan

pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya

masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu,

pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh

masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai

keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan diri kepada

*Dipersiapkan untuk bahan diskusi dalam Penyusunan Naskah Akademis Raperda-

Raperda Kota Denpasar tentang Pajak Daerah, Pusat Perancangan Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Mei 2010.

26 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 19.

Page 59: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 48

masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus

memerhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat

serta memberikan pelayanan kepadanya. Inilah yang dimaksud dengan

kegunaan sebagai salah satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga,

masyarakat tidak hanya ingin keadilan diciptakan dalam masyarakat dan

kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan juga

menginginkan agar dalam masyarakat terdapat peraturan yang menjamin

kepastian dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain.27

Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh

W. Friedmann. Gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bias formal,

tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum, yaitu keadilan. Tetapi,

keadilan sebagai suatu cita adalah yang sama harus diperlakukan sama,

yang tidak sama diperlakukan tidak sama. Untuk mengisi cita keadilan ini

dengan isi yang konkret, harus menoleh pada kegunaannya sebagai unsur

kedua dari cita hukum. Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus

pasti. Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian yang

tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentangan-pertentangan bagi

pendapat politik. Kegunaan memberi unsur relativitas. Tetapi tidak hanya

kegunaan sendiri yang relatif, hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu

juga relatif. Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau kepastian

lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus diputuskan

oleh sistem politik masing-masing.28 Masalah ini biasanya dibicarakan dalam

hubungannya dengan kesahan berlaku hukum. Satjipto Rahardjo

menggambarkan dalam ragaan sebagai berikut.

27

Satjipto Rahardjo, Ibid., hlm. 18-19. 28

W. Fiedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (Susunan II), diterjemahkan oleh Mohamad Arifin (dari judul asli: Legal Theory), Penerbit CV Rajawali. Jakarta, 1990, hlm. 43.

Page 60: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 49

Ragaan tersebut menunjukkan keterhubungan antara “Kesahan

Berlakunya Hukum” dengan “Nilai-nilai Dasar Hukum”, bahwasanya hukum

didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum mencerminkan nilai

keadilan, didasarkan pada keberlakuan sosiologis supaya hukum

mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan pada keberlakuan yuridis

supaya hukum mencerminkan nilai kepastian hukum.

Validitas norma hukum dari Radbruch, sebagaimana dipaparkan baik

oleh Satjipto Rahardjo maupun W. Friedman, adalah dalam pengertian

kualitas hukum atau dunia seharusnya” (das sollen). Pada intinya,

pandangan ini adalah bahwa hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati

supaya hukum mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan

sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan

pada keberlakuan yuridis supaya hukum mencerminkan nilai kepastian

hukum. Hal ini dapat digambarkan dalam ragaan sebagai berikut.

Page 61: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 50

Senada dengan pandangan tersebut, Bagir Manan mengemukakan,

agar hukum ditaati, maka hukum harus mempunyai dasar-dasar berlaku

yang baik. Biasanya ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan

berlaku secara baik, yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis.

Dengan demikian peraturan perundang-undangan sah secara hukum (legal

validity) dan berlaku efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat

secra wajar dan berlaku untuk waktu yang panjang. 29

Selanjutnya dikemukakan, dasar berlaku secara yuridis (juridische

gelding) mengandung makna: 1) keharusan adanya kewenangan dari

pembuat peraturan perundang-undangan, dengan perkataan lain, setiap

peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang

berwenang; 2) keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan

perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama yang

diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau

sederajat; 3) keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya; dan 4) keharusan mengikuti tata

cara tertentu dalam pembentukannya. Dasar berlaku secara sosiologis

(sociologische gelding) berarti mencerminkan kenyataan yang hidup dalam

29

Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992, hal. 14-17.

Page 62: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 51

masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau

masalah-masalah yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian. Dengan

dasar sosiologis ini diharapkan peraturan perundang-undangan akan

diterima oleh masyarakat, sehingga tidak banyak memerlukan pengerahan

institusional untuk melaksanakannya. Dasar berlaku secara filosofis

(filosofiische gelding) berarti mencerminkan nilai yang terdapat dalam cita

hukum (rechtsidee), baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun

sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.30

Jimly Asshiddiqie mengemukakan adanya 5 (lima) landasan

keberlakuan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan politis,

landasan yuridis, dan landasan administratif. Berikut dikemukan pengertian

landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Pertama,

landasan filosofis harus mencerminkan cita-cita luhur kehidupan

bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan atau nilai-nilai filosofis yang

dianut negara. Kedua, landasan sosiologis harus mencerminkan tuntutan

kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan

kesadaran hukum masyarakat. Ketiga, landasan yuridis terpenuhi apabila

suatu norma hukum ditetapkan berdasarkan norma yang lebih tinggi,

ditetapkan menurut prosedur yang berlaku oleh lembaga yang berwenang.31

Makna “sosiologis” dalam pengertian validitas sosiologis adalah untuk

mendapatkan data mengenai kebutuhan hukum masyarakat, sehingga

peraturan perundang-undangan yang hendak dibuat memenuhi nilai

kegunaan. Ini dapat diperoleh berdasarkan penelitian empiris, yaitu meneliti

tentang kebutuhan-kebutuhan masyarakat atau sebagian besar anggota

masyarakat berkenaan dengan perlu dibuatnya peraturan perundang-

undangan. Hasil penelitian empiris inilah yang digunakan sebagai validitas

sosiologis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Jadi,

30

Bagir Manan, 1992, Ibid. 31

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hlm.170-172, 240-244.

Page 63: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 52

penelitian empiris di sini bukan penelitian empiris pelaksanaan peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan. Akan tetapi, penelitian empiris

dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan. Ini dapat digambarkan dalam ragaan berikut.

Uraian aspek teoritik landasan keabsahan sebagaimana telah

dikemukakan di atas, berikut ini dilengkapi dengan uraian otentik landasan

keabsanan dengan mendasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut

UU P3) dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 Tentang Pedoman

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan

(selanjutnya disebut Permenkum PPNA).

Pedoman angka angka 18 Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-

Undangan ­selanjutnya disebut TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3), bahwa

pokok-pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau Peraturan

Daerah memuat unsur folosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar

belakang pembuatannya. TP3 tidak menjelaskan makna masing-masing

unsure tersebut

Makna tersebut ditemukan dalam Pedoman Penyusunan Naskah

Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan (vide Permenkum

PPNA), yang selanjutnya disebut PPNA, yaitu:

Page 64: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 53

Latar Belakang Pemikiran mengenai alasan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis, yang mendasari pentingnya materi hukum yang bersangkutan segera diatur dalam peraturan perundang-undangan. 1. Landasan Filosofis. Memuat pandangan hidup, kesadaran dan

cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

2. Landasan Yuridis. Memuat suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan judul Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada dan masih berlaku (hukum positif). Yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan pada landasan yuridis adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

3. Landasan Sosiologis. Memuat suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial-ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat yang mendorong perlu dibuatnya Naskah Akademik. Landasan/alasan sosiologis sebaiknya juga memuat analisis kecenderungan sosiologis-futuristik tentang sejauh mana tingkah laku sosial itu sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan hukum nasional yang ingin dicapai.

Terhadap muatan Landasan Yuridis yang utama bukanlah tentang

suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya.

Sesuai dengan Pedoman angka angka 26 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU

P3), bahwa dasar hukum (landasan yuridis istilah yang digunakan dalam

PPNA) memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-

undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan

pembuatan Peraturan Perundang-undangan tersebut. Jadi, dasar hukum

atau landasan yuridis memuat:

1. Dasar hukum formal, yaitu Peraturan Perundang-undangan yang

menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu Peraturan

Perundang-undangan.

2. Dasar hukum substansial, yaitu Peraturan Perundang-undangan

yang memerintahkan materi muatan tetentu diatur dalam suatu

Peraturan Perundang-undangan.

Page 65: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 54

Berdasarkan uraian landasan keabsahan baik dalam perspektif

teoritis maupun otentik, maka muatan dan tujuan landasan keabsahan dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan dapat digambarkan dalam

ragaan berikut:

2. Relevansinya dengan Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangiunan

Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yaitu filofofis, yuridis, dan

sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3.

Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia

merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk memberikan

pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam rangka

Page 66: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 55

mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan

berkeadilan.

Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-

daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu

mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintahan daerah itu

mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas otonomi dan

tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah otonomi seluas-luasnya.

Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana

telah diubah beberapa kali terakhir denganUndang-Undang Nomor 12 Tahun

2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Daerah. Berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan

pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang

seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban

menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan

pemerintahan Negara.

Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang

penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam rangka

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu

dilakukan perluasan objek pajak daerah dan pemberian diskresi dalam

penetapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan

Page 67: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 56

berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta

masyarakat, dan akuntabilitas dengan memerhatikan potensi daerah.32

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis

pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah bahwa

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah sumber pendapatan

daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah

dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu

pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berdasarkan

prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan

akuntabilitas dengan memerhatikan potensi daerah.

Jadi, Pemerintahan Kota Denpasar membuat Peraturan Daerah

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, berdasarkan prinsip

demokrasi, pemerataan dan keadilan, peranserta masyarakat, dan

akuntabilitas. Adapun tujuan pembentukan Peraturan Daerah ini adalah

sebagai landasan hukum pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan, yang merupakan salah satu sumber pendapatan Kota Denpasar

yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan pemerintahan

daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di Kota Denpasar.

Kedua, Landasan Yuridis. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat

(5), penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-

daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan

kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk

meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan

pelayanan kepada masyarakat.

32

Didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konsideran “Menimbang” Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Page 68: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 57

Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini, yaitu

Pasal 158 ayat (1), ditentukan Pajak Daerah ditetapkan dengan Undang-

Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Daerah.

Pengaturan perpajakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 terdapat dalam Pasal 23A, yang menegaskan Pajak

dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur

dengan undang-undang.

Ketentuan-ketentuan konstitusional tersebut menegaskan, bahwa

pemungutan Pajak Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang. Selama

ini pungutan daerah yang berupa Pajak diatur dengan Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000,

yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Jenis Pajak kabupaten/kota yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2009 terdiri atas: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,

Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan

Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak

Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah menegaskan di dalam Pasal 95 ayat (1), pajak daerah

ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Selanjutnya dalam Pasal 95 ayat (3)

Page 69: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 58

ditentukan Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur

ketentuan mengenai:

a. nama, objek, dan Subjek Pajak;

b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;

c. wilayah pemungutan;

d. Masa Pajak;

e. penetapan;

f. tata cara pembayaran dan penagihan;

g. kedaluwarsa;

h. sanksi administratif; dan

i. tanggal mulai berlakunya.

Berikutnya dalam 95 ayat (4) ditentukan Peraturan Daerah tentang

Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai:

a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-

hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;

b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau

c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan

pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan

negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.

Uraian tersebut menegaskan landasan yuridis pengaturan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah

beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Ketiga, Landasan Sosiologis. Di Kota Denpasar Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan belum diatur dengan Peraturan Daerah, oleh

Page 70: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 59

karena itu Peraturan Daerah mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan perlu disusun.

B. ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN NORMA

Uraian dalam sub-bab ini dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu: (1)

aspek teoritik dan otentik asas-asas pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik, baik yang formal maupun yang materiil; (2)

relevansinya dengan pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan.

1. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik

A. Hamid S. Attamimi, dalam disertasinya mengemukakan, bahwa

asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut meliputi:

a. Asas-asas formal dengan perincian:

(1) asas tujuan yang jelas;

(2) asas perlunya pengaturan;

(3) asas organ/lembaga yang tepat;

(4) asas materi muatan yang tepat;

(5) asas dapatnya dilaksanakan; dan

(6) asas dapatnya dikenali.

b. Asas-asas material, dengan perincian:

(1) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma

Fundamental Negara;

(2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;

(3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Berdasar atas

Hukum; dan

Page 71: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 60

(4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan Berdasar

Sistem Konstitusi.33

Kategori asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang

patut dari A. Hamid S. Attamimi tersebut bertitik tolak pada pendapat Van der

Vlies. Asas-asas formal menurut kategori Van der Vlies, sebagaimana

diterangkan A. Hamid S. Attamimi34 mencakup lima asas. Pertama, asas

tujuan yang jelas. Asas ini mencakup tiga hal, yaitu mengenai ketepatan

letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum

pemerintahan, tujuan khusus peraturan perundang-undangan yang akan

dibentuk, dan tujuan dari bagian-bagian peraturan perundang-undangan

yang akan dibentuk tersebut.

Kedua, asas organ/lembaga yang tepat. Latar belakang asas ini

memberikan penegasan tentang perlunya kejelasan kewenangan organ-

organ/lembaga-lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan.

Menurut A. Hamid S. Attamimi, di Indonesia mengenai organ/lembaga

yang tepat itu perlu dikaitkan dengan materi muatan dari jenis-jenis peraturan

perundang-undangan. Oleh karena, materi muatan peraturan perundang-

undangan itulah yang menyatu dengan kewenangan masing-masing

organ/lembaga yang membentuk jenis peraturan perundang-undangan

bersangkutan. Atau dapat juga sebaliknya, kewenangan masing-masing

organ/lembaga tersebut menentukan materi muatan peraturan perundang-

undangan yang dibentuknya.

33

A. Hamid S. Attamimi; 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 345-346.

34 Ibid., hlm. 337-343. I.C. Van Der Vlies, Buku Pegangan Perancang Peraturan

Perundang-undangan, terjemahan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005, hlm. 238-309.

Page 72: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 61

Ketiga, asas perlunya pengaturan. Asas ini tumbuh karena selalu

terdapat alternatif atau alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu

masalah pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-

undangan.

Keempat, asas dapatnya dilaksanakan. Asas ini mencakup usaha

untuk dapat ditegakkannya peraturan perundang-undangan. Sebab tidaklah

ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan yang tidak dapat

ditegakkan.

Kelima, asas konsensus. Yang dimaksud dengan konsensus ialah

adanya “kesepakatan” rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan

menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan.

Asas-asas material menurut kategori Van der Vlies, sebagaimana

diterangkan A. Hamid S. Attamimi35 mencakup lima asas. Pertama, asas

terminologi dan sistematika yang benar. Maksudnya, agar peraturan

perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat dan rakyat, baik

mengenai kata-katanya maupun mengenai struktur atau susunannya.

Kedua, asas dapat dikenali. Alasan pentingnya asas ini ialah, apabila

suatu peraturan perundang-undangan tidak dikenali dan diketahui oleh setiap

orang, lebih-lebih oleh yang berkepentingan, maka ia akan kehilangan

tujuannya sebagai peraturan.

Ketiga, asas perlakuan yang sama dalam hukum. Artinya, tidak boleh

ada peraturan perundang-undangan yang ditujukan hanya kepada

sekelompok orang tertentu, karena hal ini akan mengakibatkan adanya

ketidaksamaan dan kesewenang-wenangan di depan hukum terhadap

anggota-anggota masyarakat.

35

Ibid., hlm. 337-343. I.C. Van Der Vlies, Ibid., hlm. 238-309.

Page 73: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 62

Keempat, asas kepastian hukum. Asas ini mula-mula diberi nama

lain, yaitu asas harapan yang ada dasarnya haruslah dipenuhi, yang

merupakan pengkhususan dari asas umum tentang kepastian hukum.

Kelima, asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.

Asas ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau

keadaan-keadaan tertentu, sehingga dengan demikian peraturan perundang-

undangan dapat juga memberikan jalan keluar selain bagi masalah-masalah

umum, juga bagi masalah-masalah khusus.

Menurut A. Hamid S. Attamimi, meskipun asas ini memberikan

keadaan yang baik bagi menghadapi masalah dan peristiwa individual,

namun asas ini dapat menghilangkan asas kepastian di satu pihak dan asas

persamaan di lain pihak apabila tidak dilakukan dengan penuh

kesinambungan.

Beberapa catatan dapat diberikan. Pertama, asas konsensus dalam

kategori Van der Vlies dapat disamakan posisinya dengan asas dapat

dikenali dalam kategori Hamid Attamimi dan asas keterbukaan menurut

pengertian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sebab, implikasi dari

asas konsensus antara lain adalah penyebarluasan rancangan peraturan

perundang-undangan kepada masyarakat sebelum pembentukannya dan

adanya keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan

perundang-undangan; dan keterlibatan masyarakat (partisipasi masyarakat)

adalah inti dari asas keterbukaan; yang dengan demikian peraturan

perundang-undangan yang dibentuk akan dikenali oleh masyarakatnya.36

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang

bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 UU Nomor 10 Tanun 2004

36

Marhaendra Wija Atmaja, 2004, “Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik”, Makalah, pada Pembekalan Calon Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Denpasar Periode 2004-2009, diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Denpasar, pada 13-14 Agustus di Denpasar, hlm. 11.

Page 74: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 63

(khususnya dalam pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut

diatur dalam Pasal 137 UU Pemda), dengan sebutan “asas pembentukan

Peraturan Perundang-undangan yang baik”.

Selengkapnya dalam Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004 dirumuskan,

bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus

berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

baik yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Mengenai pengertian asas-asas formal tersebut selanjutnya dijelaskan

dalam Penjelasan Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004. Pertama, asas

kejelasan tujuan. Bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-

undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

Kedua, asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Bahwa

setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh

lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang

berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau

batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

Ketiga, asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Bahwa

dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus benar-benar

memerhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-

undangannya.

Keempat, asas dapat dilaksanakan. Bahwa setiap pembentukan

peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas

Page 75: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 64

peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara

filosofis, yuridismaupun sosiologis.

Kelima, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Bahwa setiap

peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara.

Keenam, asas kejelasan rumusan. Bahwa setiap peraturan

perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan

peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau

terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga

tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Ketujuh, asas keterbukaan. Bahwa dalam proses pembentukan

peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,

penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan

demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-

luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan

perundang-undangan.

Asas keterbukaan berkaitan dengan ketentuan tentang partisipasi

masyarakat dalam Pasal 53 UU P3 dan Pasal 139 ayat (1) UU Pemda.

Intinya adalah masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau

tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Raperda. Dengan

demikian diperlukan proses konsultasi publik sehingga masyarakat dapat

memberikan masukan.

Ketentuan tersebut berkaitan dengan ketentuan tentang

penyebarluasan Raperda. Penyebarluasan Raperda yang berasal dari DPRD

dilaksanakan oleh sekretariat DPRD dan yang berasal dari Kepala Daerah

dilaksanakan oleh sekretariat daerah (Pasal 142 UU Pemda. Pasal 30 UU

P3). Tanpa penyebarluasan Raperda, masyarakat akan menemukan

kesulitan menggunakan hak untuk memberikan masukan.

Page 76: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 65

Penggunaan kata “harus” dalam rumusan pembuka Pasal 5 UU

Nomor 10 Tahun 2004 tersebut menandakan adanya kaidah hukum perintah.

Perintah adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu. Secara negatif dapat

dirumuskan artinya sebagai “tidak boleh tidak melakukan sesuatu”.

Sehingga merupakan kewajiban bagi pembentuk peraturan perundang-

undangan dalam membentuk peraturan perundang-undangan mendasarkan

pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 (khususnya

berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU

Pemda), yaitu: materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung

asas:

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhineka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat

berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-

undangan yang bersangkutan.

Mengenai pengertian asas-asas materiil tersebut selanjutnya

dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004. Pertama, asas pengayoman. Bahwa setiap peraturan

perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam

Page 77: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 66

rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Kedua, asas kemanusiaan.

Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus

mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia

serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia

secara proporsional.

Ketiga, asas kebangsaan. Bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa

Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip

negara kesatuan Republik Indonesia. Keempat, asas kekeluargaan. Bahwa

setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

musyawarah untuk mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

Kelima, asas kenusantaraan. Bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan senantiasa memerhatikan kepentingan seluruh

wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang

dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang

berdasarkan Pancasila. Keenam, asas bhineka tunggal ika. Bahwa setiap

materi muatan peraturan perundang-undangan harus memerhatikan

keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah,

dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ketujuh, asas keadilan. Bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional

bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Kedelapan, asas kesamaan

kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Bahwa setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat

membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku,

ras,golongan, gender, atau status sosial.

Kesembilan, asas ketertiban dan kepastian hukum. Bahwa setiap

materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan

Page 78: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 67

ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

Kesepuluh, asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Bahwa materi

muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan,antara kepentingan individu dan

masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai dengan bidang hukum

Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan dalam Penjelasan Pasal

6 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2004, yang dimaksud dengan asas sesuai

dengan bidang hukum masing-masing antara lain:

a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman

tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga

tak bersalah;

b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara

lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Penggunaan kata “harus” dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU

Nomor 10 Tahun 2004 tersebut menandakan adanya suatu perintah kepada

pembentuk peraturan perundang-undangan untuk mengimplementasikan

asas-asas materiil dalam materi muatan peraturan perundang-undangan.

2. Relevansinya dengan Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan

Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik dengan pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, kejelasan tujuan. Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi masyarakat

mengenai siapa dan apa yang dikenakan pajak, dan berapa besaran yang

harus dibayar dan bagaimana cara membayarnya; dan (2) memperkuat

dasar hukum bagi Pemerintah Kota melakukan pungutan Bea Perolehan Hak

Page 79: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 68

Atas Tanah dan Bangunan, sehingga Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah dalam rangka

membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan kepada

masyarakat.

Tujuan pemungutan pajak sebagai sumber pedapat asli daerah atau

menambah kas daerah secaea teoritik dapat dibenarkan. Ini terkait dengan

teori tentang fungsi pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu

fungsi penerimaan (bubgetair) dan fungsi pengaturan (regulerend). Fungsi

Penerimaan adalah pajak sebagai instrumen untuk mengisi kas Negara yang

digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.

Fungsi Pengaturan adalah pajak digunakan sebagai instrumen untuk

mencapai tujuan tertentu.37 Misalnya pajak rokok dimaksudkan untuk

mengurangi konsumsi rokok, sehingga konsumen dapat hidup sehat.38

Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat . Pengaturan

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dengan Peraturan Daerah

dilakukan oleh Walikota Denpasar dengan persetujuan bersama DPRD Kota

Denpasar. Rancangan dapat berasal dari Walikota atau dari DPRD, dalam

hal ini rancangan berasal dari Walikota.

Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Pungutan pajak

daerah, termasuk Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan harus

dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan

Peraturan Daerah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan mengacu

pada Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD.

37

Anggito Abimanyu, et.al., 2005, Evaluasi Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan RI, Jakarta, hlm. 34. Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, t.t., Pedoman Nasional Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan RI, Jakarta, hlm. 15-16.

38 Fungsi Pengaturan tersebut lazimnya ditentukan oleh pemerintah dengan

menggunakan dua cara, yaitu cara umum dan cara khusus yang meliputi cara positif dan cara negative, lihat H. Mustaqiem, 2008, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, UII Press, Yogyakarta ,hlm. 55-70.

Page 80: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 69

Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan dengan

dibentuknya Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan harus memerhatikan beberapa aspek: (1) filosofis, yaitu ada

jaminan keadilan dalam pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan; (2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam pengenaan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, termasuk subsansinya tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan memang dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah kota

maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan

dengan kepentingan umum.

Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan

sepanjang pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi

pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan memang benar-

benar dibutuhkan adalah adanya wajib Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan, sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting di atas.

Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan

pembentukan Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan sesuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-

undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa

hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan

berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan

aturan hukum dalam Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan yang menjamin kepastian.

Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini

harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin

haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta

Page 81: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 70

kewajiban Pemerintah Kota untuk menjamin masukan tersebut telah

dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi

masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Kota memberikan informasi

tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.

Relevansi asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik dengan pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, keadilan. Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan harus mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga masyarakat tanpa kecuali. Tuntutan keadilan

mempunyai dua arti. Dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum

berlaku umum. Dalam arti materiil dituntut agar hukum sesuai dengan cita-

cita keadilan dalam masyarakat.39 Demikian pula dalam penyusunan norma

hukum Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah dimaksudkan

untuk berlaku umum (untuk setiap wajib pajak dan dikenakan untuk setiap

objek pajak). Agar mendapatkan rumusan norma hukum Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan yang sesuai dengan aspirasi keadilan yang

berkembang dalam masyarakat, maka harus diadakan konsultasi publik.

Kedua, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.

Berdasarkan asas ini materi muatan Peraturan Daerah tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan tidak berisi ketentuan-ketentuan

yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama,

suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah

keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan

kewajibannya.40

39

Franz Magnis-Suseno, 1987, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moden, Gramedia, Jakarta, hlm. 81.

40 Tentang inti dari kesamaan tersebut diadaptasi dari Franz Magnis-Suseno, Ibid.,

hlm. 116.

Page 82: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 71

Ketiga, ketertiban dan kepastian hukum. Agar Peraturan Daerah

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dapat menimbulkan

ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

Jaminan kepastian hukum mempunyai dua arti. Pertama, kepastian hukum

dalam arti kepastian pelaksanaannya, yaitu bahwa hukum yang diundangkan

dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kedua, kepastian hukum dalam arti

kepastian orientasi, yaitu hukum harus sedemikian jelas sehingga

masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman padanya.

Masing-masing pihak dapat mengetahui tentang hak dan kewajibannya.41

Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah

kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi. Ini berarti yaitu norma

hukum Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan harus sedemikian

jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman

padanya. Terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan

kewajiban dalam kaitannya dengan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan. Termasuk di sini, adalah norma hukum pajak dan sanksinya atas

pelanggarannya tidak boleh berlaku surut.

Keempat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dalam

konteks penyusunan norma hukum Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan harus ada keseimbangan beban dan manfaat, atau, kewajiban

membayar pajak dengan hak yang didapatkannya dengan membayar pajak.

Juga harus ada keseimbangan antara sanksi antara aparatur dan wajib pajak

ketika melakukan kelalaian atau pelanggaran.42

Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal

6 ayat (2) UU P3, dalam pengaturan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah

41

Tentang dua arti kepastian hukum berdasarkan Franz Magnis-Suseno, Ibid., hlm. 79-80.

42 Berdasarkan H. Lauddin Marsuni, 2006, Hukum dan Kebijakan Perpajakan Di

Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hlm. 113.

Page 83: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 72

dan Bangunan berkaitan dengan kriteria umum tentang perpajakan daerah,

yaitu:

1. prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastik, artinya

dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat

pendapatan masyarakat.

2. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan

kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi

setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang

kebal pajak.

3. administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung,

pelayanan memuaskan bagi wajib pajak.

4. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul

motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak.

5. non-distorsi terhadap perekonomian, implikasi pajak atau pungutan

yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap

perekonomian. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan

menimbulkan beban tambahan yang berlebihan, sehingga akan

menimbulkan kerugian pada masyarakat.43

Selain itu, berkaitan dengan prinsip yang diperkenalkan oleh Adam

Smith sebagai “The Four Maxims” untuk dipertimbangkan dalam

merumuskan suatu kebijakan perpajakan, temasuk Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan, yaitu:

1. Prinsip keadilan (Equity). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya

keseimbangan berdasarkan kemampuan masing-masing subjek

43

Anggito Abimanyu, et.al., Op. Cit., hlm 32. Tjip Ismail, “Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam Orpha Jane, et.al., eds., Prosiding Workshop Internasional Implementasi Desentralisasi Fiskal sebagai Upaya Memberdayakan Daerah dalam Membiayai Pembangunan Daerah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2002, hlm. 115-143. Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Edisi Kedua, Yellow Printing, Jakarta, hlm. 197-202.

Page 84: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 73

pajak, yaitu dalam pemungutan pajak tidak ada diskriminasi di

antara sesame wajib pajak yang memiliki kemampuan yang

sama.

2. Prinsip kepastian (Certainty). Dalam prinsip ini ditekankan

pentingnya kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua

wajib pajak dan seluruh masyarakat, antara lain mencakup dasar

hukum yang mengaturnya, kepastian mengenai subjek pajak,

kepastian mengenai objek pajak, dan kepastian mengenai tata

cara pemungutannya.

3. Prinsip kemudahan (Convenience). Dalam prinsip ini ditekankan

pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi wajib pajak dalam

memenuhi kewajiban perpajakannya. Pelaksanaan pemungutan

pajak sebaiknya pada saat wajib pajak menerima penghasilan

dan penghasilan yang diterimanya di atas kebutuhan pokok untuk

hidup.

4. Prinsip efisiensi (Efficiency). Dalam prinsip ini ditekankan

pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya biaya yang

dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh

lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut.44

Sejalan dengan hal tersebut, W.J. Langen juga memberikan prinsip-prinsip

pemungutan pajak adalah:

1. Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus

berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin

tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.

44

Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, t.t.,hlm. 13-14.

Page 85: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 74

2. Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan

untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan

umum.

3. Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan

untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

4. Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak

yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah

yang sama (diperlakukan sama).

5. Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak

diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika

dibandinglan sengan nilai obyek pajak. Sehingga tidak

memberatkan para wajib pajak.

Adolf Wagner menyebutkan prinsip pemungutan pahak adalah:

1. Asas politik finalsial : pajak yang dipungut negara jumlahnya

memadadi sehingga dapat membiayai atau mendorong semua

kegiatan negara

2. Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat Misalnya:

pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah

3. Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa

diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.

4. Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan

(kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan

(bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.

5. Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-

Undang.

Page 86: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 75

BAB IV

RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RAPERDA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF

A. Orientasi Umum

Bab ini berisi uraian mengenai: (1) ruang lingkup materi muatan45

raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan; dan (2) keterkaitan

ruang lingkup materi muatan raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan dengan hukum positif lainnya.

Dimaksud dengan ruang lingkup materi muatan raperda Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah jangkauan materi

pengaturan yang khas yang dimuat dalam raperda Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan, yang meliputi materi yang boleh dan materi yang tidak

boleh dimuat dalam raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan.46 Materi yang boleh dimuat ditentukan oleh kriteria materi

muatan, baik yang digali dari asas otonomi daerah dan tugas pembantuan

maupun yang ditentukan secara objektif-normatif dalam peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai materi muatan Perda tentang

45

Materi muatan peraturan perundang-undangan adalah materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam suatu jenis peraturan perundang-undangan, yang tidak dimuat dalam jenis peraturan perundang-undangan lainnya. Diadaptasi dari A. Hamid S. Attamimi, 1982, “Materi muatan peraturan perundang-undangan”, dalam BPHN, 1982, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, hlm. 59-78. Bandingan dengan Pasal 1 angka 12 UU P3 yang menentukan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Frase “sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan” menunjukan materi pengaturan yang khas pada setiap jenis Peraturan Perundang-undangan.

46 Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija

Atmaja, 1995, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, hlm. 14.

Page 87: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 76

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Materi yang tidak boleh

dimuat yaitu batas materi muatan Perda tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan, seperti tidak boleh bertentangan dengan kepentingan

umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

B. Kriteria Materi Muatan Raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Pemerintahan daerah kabupaten/kota mempunyai kewenangan untuk

mengatur Pajak Daerah dengan Peraturan Daerah, sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD. Mencermati ketentuan-

ketentuan berkenaan dengan pajak daerah, khususnya pajak

kabupaten/kota, tidak seluruhnya merupakan materi muatan Peraturan

Daerah tentang Pajak Daerah Kabupaten/Kota, sebagaimana tampak pada

tabel berikut.

Tabel 7: Delegasi Pengaturan Materi Muatan Pajak Kabupaten/Kota dengan Peraturan Perundang-undangan Kabupaten/Kota dan yang Tidak Didelegasikan

PENDELEGASIAN DENGAN PERDA TENTANG PAJAK

DAERAH (PERDA PD)

PENDELEGASIAN DALAM PERDA APBD

PENDELEGASIAN DENGAN PERATURAN KEPALA

DAERAH (PKD)

NON DELEGASI

DALAM PASAL 95 UU PDRD

DI LUAR PASAL 95 UU PDRD

TERKAIT PERDA PD

LANGSUNG KE PKD

1 2 3 4 5 6

1. Materi muatan imperatif (Pasal 95 (3)):

a. nama, objek, dan subjek pajak;

b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;

c. wilayah pemungutan;

d. masa pajak; e. penetapan; f. tata cara

pembayaran dan penagihan;

g. kedaluwarsa;

1. Tarif Pajak Hotel (Pasal 35 (2)).

2. Tidak termasuk objek Pajak Penerangan Jalan adalah pelayanan yang disediakan oleh Penerangan Jalan yang nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu

Pemberian insentif ditetapkan melaui APBD.

1. Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersa-makan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT (Pasal 99 (1)).

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan

1. Tata cara pelaporan bagi PPAT/ Notaris dan kepala kantor yang membi-dangi pelayanan lelang negara tentang pembu-atan akta atau risalah lelang

1. Keberat-an dan banding (Pasal 103 106).

2. Keten- tuan Khusus (Pasal 172).

Page 88: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 77

h. sanksi administrasi; dan

i. tanggal mulai berlakunya.

2. Materi muatan fakultatif (Pasal 95 ayat (4 UU):

a. pemberian pengurang-an, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya.

b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau

c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurang-an, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.

(Pasal 37 (3)).

3. Tarif Pajak Restoran (Pasal 40 (2)).

4. Penyelenggaraan hiburan yang dikecualikan sebagai objek Pajak Hiburan (Pasal 42 (3)).

5. Tarif Pajak Hiburan (Pasal 45 (4)).

6. Penyelenggaraan reklame lainnya yang tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame (Pasal 47 (3) e).

7. Cara penghitungan nilai sewa reklame (Pasal 49 (5)).

8. Tarif Pajak Reklame (Pasal 50 (2)).

9. Penggunaan tenaga listrik lainnya yang dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan (Pasal 52 (3) d).

10. Tarif Pajak Penerangan Jalan (Pasal 55 (4)).

11. Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya yang

, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT (Pasal 99 (2)).

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak (Pasal 101 (4)).

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau pengha-pusan sanksi administrative dan pengurang-an atau pemba-talan ketetapan pajak (Pasal 107 (3)).

5. Penetapan Peninjauan tarif Retribusi (Pasal 155 (3)).

6. Tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa (Pasal 168 (4)).

kepada Walikota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya (Pasal 92 (2)).

2. Tata cara pengem-balian kelebihan pemba-yaran Pajak (Pasal 165 (8)).

3. Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembuku-an atau pencatat-an (Pasal 169 (2)).

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemerik-saan Pajak (Pasal 170 (3)).

Page 89: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 78

dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Pasal 57 (2) c).

12. Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Pasal 60 (2)).

13. Penyelenggaraan tempat parker lainnya yang tidak termasuk objek Pajak Parkir (Pasal 62 (2) d).

14. Dasar pengenaan Pajak Parkir (Pasal 64 (2)).

15. Tarif Pajak Parkir (Pasal 65 (2)).

16. Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah lainnya yang dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah (Pasal 67 (2) b).

17. Tarif Pajak Air Tanah (Pasal 70 (2)).

18. Kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet lainnya yang tidak termasuk objek Pajak Sarang

Page 90: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 79

Burung Walet (Pasal 72 (2) b).

19. Tarif Pajak Sarang Burung Walet (Pasal 75 (2)).

20. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Tidak Kena Pajak (- Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan) (Pasal 77 (5)).

21. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Pasal 80 (2)).

22. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (BPHTB) (Pasal 87 (6)).

23. Tarif BPHTB (Pasal 88 (2)).

Sumber: Diolah dari UU PDRD

Kolom 2 dan kolom 4 tabel tersebut di atas menunjukan materi

muatan yang berkaitan dengan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah.

Kolom 2 berisi pendelegasian dengan peraturan daerah sebagai penegasan

materi muatan dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah (kolom 1), dan

kolom 4 berisi pendelegasian dengan peraturan kepala daerah untuk

melaksanakan materi muatan dalam Peraturan Daerah tentang Pajak

Daerah (kolom 1).

Page 91: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 80

Selain itu, sejumlah ketentuan pajak daerah kabupaten/kota yang

tidak terkait dengan materi muatan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah

(kolom 1), yang dapat dikelompokan menjadi tiga pola, yaitu: (1)

pendelegasian ke dalam Perda tentang APBD (kolom 2 tabel); (2)

pendelegasian dengan Peraturan Kepala Daerah yang tidak merupakan

materi pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah (kolom 5 tabel);

(3) materi muatan Pajak Daerah Kabupaten/Kota yang tidak memerlukan

delegasi pengaturan.

Mengenai pendelegasian dengan Peraturan Kepala Daerah yang tidak

merupakan materi pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah

atau langsung didelegasikan dengan Peraturan Kepala Daerah tanpa

melalui Peraturan Daerah (kolom 5 tabel) secara hukum dapat dibenarkan.

Dasar hukumnya adalah Pasal 146 ayat (1) UU Pemda, bahwa untuk

melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan,

kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah atau keputusan kepala

daerah. Jadi, peraturan kepala daerah dapat ditetapkan atas kuasa

peraturan perundang-undangan, tanpa harus materi bersangkutan dituang

terlebih dahulu dalam peraturan daerah.

Berdasarkan uraian tersebut, batas kewenangan pengaturan pajak

daerah kabupaten/kota dengan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah

adalah materi muatan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah sebagaimana

diatur dalam Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD (kolom 1 tabel), yang

berkaitan:

a. materi muatan yang didelegasikan dengan peraturan daerah

sebagai penegasan materi muatan dalam Peraturan Daerah

tentang Pajak Daerah (kolom 2 tabel), dan

b. materi muatan yang didelegasikan dengan peraturan kepala

daerah untuk melaksanakan materi muatan dalam Peraturan

Daerah tentang Pajak Daerah (kolom 4).

Page 92: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 81

C. Materi Muatan Raperda Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan

Batang tubuh Peraturan Daerah berisi: ketentuan umum, materi pokok

yang diatur, ketentuan pidana (jika diperlukan), ketentuan peralihan (jika

diperlukan), dan ketentuan penutup (Pedoman angka 43 TP3, vide Pasal 44

ayat (2) UU P3).

Materi pokok yang diatur adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan. Pembagian materi pokok yang diatur ke dalam kelompok yang

lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian

(Pedoman angka 84 TP3, vide Pasal 44 ayat (2) UU P3). Terkait Peraturan

Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, kriteria yang

dijadikan dasar pembagian mengacu pada ketentuan Pasal 95 ayat (3) dan

ayat (4) UU PDRD.

Materi muatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dapat

dirumuskan dalam anatomi batang tubuh sebagai berikut:

1. Ketentuan Umum

Pedoman angka 74 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3) Ketentuan

umum berisi:

a. batasan pengertian atau definisi;

b. singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan;

c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal)

berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas,

maksud, dan tujuan.

Pedoman angka 80 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3) menentukan

jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam

ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan

pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan

rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan

Page 93: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 82

lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.

Mengacu pada pedoman tersebut, ketentuan umum dalam konsep

awal Raperda tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berisi

antara lain:

1. Kota adalah Kota Denpasar.

2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Denpasar.

3. Walikota adalah Walikota Denpasar.

4. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang

perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

5. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi

wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan

yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

6. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang selanjutnya

disingkat BPHTB, adalah pajak atas perolehan hak atas tanah

dan/atau bangunan.

2. Materi Pokok Yang Diatur

Materi Pokok yang diatur merupakan substansi sebenarnya dari

Peraturan Daerah yang dirumuskan secara normatif, yang mengharuskan

(keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan) atau yang membolehkan

(kebolehan untuk melakukan atau tidak melakukan).47 Pengelompokan

Materi Pokok yang Diatur, yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan, mengacu pada Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD 2009,

47 Marhaendra Wija Atmaja, 2006, “Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah

Berdasarkan Asas dan Teknik Penyusunan serta Perumusan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, Pertemuan Konsultasi Legal Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS, diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN), pada 3-6 September di Jayapura, hlm. 11.

Page 94: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 83

dan diberikan isi yang mengacu pada ketentuan-ketentuan lainnya dalam

UU PDRD 2009. Materi pokok yang diatur ini dirumuskan dalam kerangka

atau anatomi Peraturan Perundang-undangan.

a. Objek dan Subjek Pajak.

Lazimnya Perda tentang Pajak Daerah terdapat bab Nama, Objek,

dan Subjek Pajak. Nama pajak, kebiasaan dalam praktek pembentukan

peraturan daerah tentang pajak daerah dirumuskan sebagai berikut:

Dengan nama BPHTB dipungut pajak atas perolehan hak atas tanah

dan/atau bangunan.

Nama “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan” memang

sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Huruf k UU PDRD, namun rumusan ini tidak

dikenal dalam UU PDRD.48 Rumusan tersebut juga tidak tepat oleh karena

nama tidak dapat dijadikan dasar hukum melakukan pungutan pajak. Dasar

hukum pemungutan pajak adalah Peraturan Daerah.

Sesuai dengan Pedoman angka 13 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU

P3, Lampiran), nama “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan”

semestinya tercantum dalam Judul dan Diktum Perda, tidak perlu

dirumuskan kembali dalam Materi Pokok yang Diatur. Sebagai analogi,

tanggal mulai berlakunya (Pasal 95 ayat (3) huruf I UU PDRD) tidak perlu

ada perumusan tersendiri, akan tetapi dirumuskan dalam Bab Ketentuan

Penutup.

Berdasarkan atas pemahaman tersebut, maka ada tiga alternatif,

dengan tanpa pencantuman istilah “nama pajak” dalam judul bab, yaitu:

1. Tidak perlu ada rumusan nama pajak sebagaimana lazimnya.

48

Lihat Lampiran Surat Menteri Keuangan RI Nomor: S-369/MK.7/2010 tentang Hasil Evaluasi Raperda Kabupaten Jembrana, yang intinya rumusan seperti itu sesuai dengan UU PDRD 2009.

Page 95: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 84

2. Dalam Bab I Ketentuan Umum diadakan pasal yang berisi ruang

lingkup pajak daerah yang diatur. Misalnya, Ruang lingkup

pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

meliputi:

a. …;

b. … (isinya disesuaikan dengan Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU

PDRD 2009.

3. Rumusan: Dengan Peraturan Daerah ini dipungut Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan pajak atas perolehan hak atas

tanah dan/atau bangunan.

4. Apabila dalam Ketentuan Umum telah diterangkan: Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat

BPHTB, adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau

bangunan, maka rumusannya:

Dengan Peraturan Daerah ini dipungut Pajak atas perolehan hak

atas tanah dan/atau bangunan.

Objek Pajak, berdasarkan pada Pasal 85 UU PDRD 2009, berisi

ketentuan-ketentuan tentang objek pajak dan pengecualian dari objek pajak,

yaitu:

(1) Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan meliputi

Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan meliputi:

a. pemindahan hak karena:

1. jual beli;

2. tukar menukar;

3. hibah;

4. hibah wasiat;

5. waris;

6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;

Page 96: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 85

7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

8. penunjukan pembeli dalam lelang;

9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan

hukum tetap;

10. penggabungan usaha;

11. peleburan usaha;

12. pemekaran usaha; atau

13. hadiah.

b. pemberian hak baru karena:

1. kelanjutan pelepasan hak; atau

2. di luar pelepasan hak.

(3) Hak atas tanah meliputi:

a. hak milik;

b. hak guna usaha;

c. hak guna bangunan;

d. hak pakai;

e. hak milik atas satuan rumah susun; dan

f. hak pengelolaan.

(4) Objek yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek yang diperoleh:

a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas

perlakuan timbal balik;

b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk

pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan

dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi

dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;

d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena

perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

Page 97: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 86

e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan

f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan

ibadah

Subjek Pajak, berdasarkan pada Pasal 86 UU PDRD 2009, berisi

ketentuan-ketentuan tentang subjek pajak dan wajib pajak, yaitu:

Subjek Pajak meliputi orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak

atas Tanah dan/atau Bangunan.

b. Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak.

Dasar pengenaan pajak, berdasarkan pada Pasal 87UU PDRD 2009,

berisi ketentuan-ketentuan dasar pengenaan pajak, yaitu:

1. Dasar pengenaan BPHTB meliputi Nilai Perolehan Objek Pajak.

2. Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal:

a. jual beli adalah harga transaksi;

b. tukar menukar adalah nilai pasar;

c. hibah adalah nilai pasar;

d. hibah wasiat adalah nilai pasar;

e. waris adalah nilai pasar;

f. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah

nilai pasar;

g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;

h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang

mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;

i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan

hak adalah nilai pasar;

j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai

pasar;

k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;

l. peleburan usaha adalah nilai pasar;

m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;

n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau

o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang

tercantum dalam risalah lelang.

3. Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud huruf a

Page 98: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 87

sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada

NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai

adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.

4. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan

paling sedikit sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)

untuk setiap Wajib Pajak.

5. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang

diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah

dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke

bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai

Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling sedikit

sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Tarif pajak, berdasarkan pada Pasal 88 UU PDRD 2009, berisi

ketentuan-ketentuan:

Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

Besaran pajak, berdasarkan pada Pasal 89 ayat (1) UU PDRD, berisi

ketentuan: Besar Pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif

BPHTB dengan dasar pengenaan setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek

Pajak Tidak Kena Pajak.

c. Wilayah Pemungutan

Wilayah pemungutan, berdasarkan pada Pasal 89 ayat (2) UU PDRD

2009, berisi ketentuan: Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang

terutang dipungut di wilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan

berada.

d. Masa Pajak.

Masa pajak, mengacu pada Pasal 1 angka 6 UU PDRD 2009, berisi

ketentuan: Masa Pajak ditetapkan 1 (satu) bulan kalender.

Page 99: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 88

e. Penetapan

Penetapan, berdasarkan Pasal 96 sampai dengan Pasal 99 UU PDRD

2009, berisi ketentuan-ketentuan:

1. Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.

2. Wajib Pajak wajib menghitung, memperhitungkan, dan

menetapkan sendiri pajak yang terutang dengan berdasarkan

SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.

3. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya

pajak, Walikota dapat menerbitkan:

a. SKPDKB dalam hal:

1. jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain,

pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;

2. jika SPTPD tidak disampaikan kepada Walikota dalam

jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis

tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan

dalam surat teguran;

3. jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang

terhutang dihitung secara jabatan.

b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang

semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan

jumlah pajak yang terhutang.

c. SKPDN jika jumlah pajak yang terhutang sama besarnya

dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terhutang dan

tidak ada kredit pajak.

4. Delegasi pengaturan dengan Peraturan Walikota:

a. Tata cara penerbitan SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT diatur

dengan Peraturan Walikota.

Page 100: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 89

b. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian SPTPD,

SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal

11 diatur dengan Peraturan Walikota.

Ketentuan “Wajib Pajak wajib menghitung, memperhitungkan, dan

menetapkan sendiri pajak yang terutang dengan berdasarkan SPTPD,

SKPDKB, dan/atau SKPDKBT” tersebut di atas diambil dari Pasal ayat (5)

UU PDRD 2009. Ketentuan ini termasuk dalam kategori “Self Assesment

System” atau “dibayar sendiri oleh wajib pajak”. Dalam Pasal 96 ayat (2) UU

PDRD 2009 menunjukkan dianutnya 2 (dua) sistem penegenaan pajak, yaitu:

“Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan surat

ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan

perundang-undangan.” Ini menunjukkan dianutnya Official Assesment

System (Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan

surat ketetapan pajak) dan Self Assesment System (dibayar sendiri oleh

Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan).49

Menurut Penjelasan Pasal 96 ayat (2) UU PDRD 2009, ketentuan ini

mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu ditetapkan oleh Kepala Daerah

atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. Cara pertama, pajak dibayar oleh

Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui

SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan. Cara kedua, pajak dibayar

sendiri adalah pengenaan pajak yang memberikan kepercayaan kepada

Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan

melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.

Selanjutnya dalam dikemukakan Penjelasan Pasal 96 ayat (5) UU

PDRD 2009, Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara

membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan

49 Mengenai sistem pengenaan atau pemungutan pajak, terdapat beberapa sistem,

yaitu: Official Assesment System, Self Assesment System, Semi Self Assesment System, dan With Holding System. Uraian singkat tentang sistem pengenaan (pemungutan) pajak ini antara lain terdapat dalam H. Mustaqiem, Op. Cit., hlm. 88-97. Kesit Bambang Prakosa, Op. Cit., hlm. 7-8.

Page 101: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 90

menggunakan SPTPD. Jika Wajib Pajak yang diberi kepercayaan

menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak

yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, dapat

diterbitkan SKPDKB dan/atau SKPDKBT yang menjadi sarana penagihan.

Sebetulnya UU PDRD 2009 tidak menentukan jenis pajak yang

dipungut berdasarkan surat ketetapan pajak (Official Assesment System)

dan dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Self Assesment System). Ketentuan

penjenisan pajak ini dijanjikan akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 98 UU PDRD 2009 menentukan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis

Pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau

dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan lainnya berkaitan dengan

pemungutan Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sekalipun Peraturan Pemerintah dimaksud belum ditetapkan, namun

dalam praktek pembentukan peraturan daerah tentang pajak daerah,

Departemen Keuangan telah mengambil kebijakan50 jenis Pajak yang

dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Self Assesment System), sebagaimana

dituangkan dalam Surat Menteri Keuangan RI Nomor: S-369/MK.7/2010

tentang Hasil Evaluasi51 Raperda Kabupaten Jembrana, yaitu:

1. Hasil Evaluasi Raperda Kabupaten Jembrana tentang Pajak

Penerangan Jalan, dalam kolom Keterangan dikemukakan antara

lain:

50

Dimaksud dengan kebijakan adalah kebijakan publik, yaitu keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak (Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik Di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah, Lampiran 1, I, E, angka 3).

51 Menurut Pasal 157 ayat (4) UU PDRD 2009, kewenangan evaluasi terhadap

Raperda kabupaten/kota tentang pajak daerah merupakan kewenangan Gubernur. Peran Menteri Kuangan adalah “koordinasi”, sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat (5) UU PDRD 2009, Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

Page 102: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 91

a. Pajak Penerangan Jalan merupakan jenis pajak yang dipungut

berdasarkan sistem self assessment.

b. Pasal 9 disempurnakan dengan menghapus ketentuan

penetapan pajak berdasarkan penetapan Bupati.

c. Frase “SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan” pada

Pasal 11 dihapus, karena Pajak Penerangan Jalan dipungut

berdasarkan sistem self assessment yang tidak menggunakan

SKPD.

2. Hasil Evaluasi Raperda Kabupaten Jembrana tentang Pajak

Restoran, dalam kolom Keterangan antara lain dikemukakan:

a. Pajak Restoran merupakan jenis pajak yang dipungut

berdasarkan sistem self assessment.

b. Pasal 9 disempurnakan dengan menghapus ketentuan

penetapan pajak berdasarkan penetapan Bupati.

c. Frase “SKPD atau dokumen laian yang dipersamakan” pada

Pasal 11 dihapus, karena Pajak Restoran dipungut

berdasarkan sistem self assessment yang tidak menggunakan

SKPD.

Pilihan untuk menetapkan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan sebagai jenis Pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Self

Assesment System) berdasarkan pada kebijakan Menteri Keuangan

tersebut.

f. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan

Tata cara pembayaran dan penagihan, berdasarkan Pasal 100

sampai dengan Pasal 102 UU PDRD 2009, berisi ketentuan-ketentuan:

3. Walikota dapat menerbitkan STPD jika:

a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;

Page 103: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 92

b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran

sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;

c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga

dan/atau denda.

4. Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran,

angsuran, dan penundaan pembayaran pajak:

(1) SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan,

Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang

menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah

merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam

jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal

diterbitkan.

(2) Walikota atau Pejabat atas permohonan Wajib Pajak setelah

memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan

persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau

menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar

2% (dua persen) sebulan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran,

penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan

pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Walikota.

5. Penagihan dengan surat paksa:

(1) Pajak yang terhutang berdasarkan SKPDKB, SKPDKBT,

STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan

Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan

Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada

waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

(2) Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Page 104: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 93

g. Kedaluwarsa dan Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak yang Kedaluwarsa

Kedaluwarsa dan Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak yang

Kedaluwarsa, berdasarkan Pasal 166 dan Pasal 168 UU PDRD 2009, berisi

ketentuan-ketentuan:

1. Kedaluwarsa penagihan:

(1) Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa

setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat

terhutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan

tindak pidana di bidang perpajakan daerah.

(2) Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tertangguh apabila:

a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau

b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung

maupun tidak langsung.

(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa,

kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian

Surat Paksa tersebut.

(4) Pengakuan utang Pajak secara langsung berupa pernyataan

Wajib Pajak masih mempunyai utang Pajak dan belum

melunasinya kepada Pemerintah Kota.

(5) Pengakuan utang secara tidak langsung dapat diketahui dari

pengajuan permohonan angsuran atau penundaan

pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.

2. Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak yang Kedaluwarsa:

(1) Apabila hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa,

piutang pajak dapat dihapuskan.

(2) Walikota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak

yang sudah kedaluwarsa.

Page 105: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 94

(3) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan piutang pajak

yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Walikota.

h. Sanksi Administratif;

Sanksi administratif, berdasarkan Pasal 97 ayat (2) sampai dengan

ayat ((5) dan Pasal 100 ayat (2), berisi ketentuan-ketentuan:

1. Sanksi administrative berkenaan dengan SKPDKB, SKPDKBT:

(1) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a angka 1 dan

angka 2 dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar

2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau

terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua

puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.

(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT

sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf b dikenakan sanksi

administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen)

dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum

dilakukan tindakan pemeriksaan.

(4) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 huruf a angka 3 dikenakan sanksi

administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima

persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa

bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak

yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling

lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat

terutangnya pajak.

2. Sanksi administratif berkenaan dengan STPD:

Page 106: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 95

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dan huruf b ditambah dengan

sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap

bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat

terhutangnya pajak.

i. Pemberian Pengurangan, Keringanan, dan Pembebasan dalam Hal-Hal Tertentu Atas Pokok Pajak dan/atau Sanksi Administratif

Pemberian Pengurangan, Keringanan, dan Pembebasan dalam Hal-

Hal Tertentu Atas Pokok Pajak dan/atau Sanksi Administratif, berdasarkan

pada Pasal 107 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD 2009, berisi ketentuan-

ketentuan:

1. Walikota dapat:

a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa

bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut

peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal

sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau

bukan karena kesalahannya;

b. mengurangkan atau membatalkan SKPDKB, SKPDKBT atau

STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;

c. mengurangkan atau membatalkan STPD;

d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang

dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara

yang ditentukan; dan

e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan

pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi

tertentu objek pajak.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau

penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau

pembatalan ketetapan pajak diatur dengan Peraturan Walikota.

Page 107: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 96

j. Ketentuan Penyidikan

Pedoman angka 180 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran)

menentukan, ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada

Penyidik Pegawai Negeri Sipil instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran

terhadap ketentuan Peraturan Daerah. Berdasarkan Pasal 173 UU PDRD

2009, Ketentuan Penyidikan berisi ketentuan-ketentuan:

1. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kota

mempunyai wewenang melakukan penyidikan tindak pidana di

bidang perpajakan daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Hukum Acara Pidana.

2. Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan

Pemerintah Kota meliputi:

a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan

atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang

perpajakan daerah agar keterangan atau laporan tersebut

menjadi lebih lengkap dan jelas;

b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai

orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang

dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan

daerah;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau

Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang

perpajakan Daerah;

d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan

dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti

pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan

penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;

Page 108: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 97

f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan

tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;

g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang

meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan

sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,

dan/atau dokumen yang dibawa;

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana

perpajakan daerah;

i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa

sebagai tersangka atau saksi;

j. menghentikan penyidikan; dan/atau

k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran

penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kota

memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil

penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat

Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

k. Ketentuan Pidana

Pedoman angka 85, angka 91, dan angka 93 TP3 (vide Pasal 44 ayat

(2) UU P3, Lampiran) menentukan:

3. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan

pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma

larangan atau perintah.

4. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas

norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan

pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut. Dengan demikian,

Page 109: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 98

perlu dihindari: a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan

Perundang-undangan lain.

5. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek

itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai

negeri, saksi.

Pasal 143 ayat (2) UU Pemda menentukan, Perda dapat memuat

ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling

banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Selanjutnya dalam (3)

ditentukan, Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau denda

selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang ancaman pidana

yang dapat dimuat dalam Perda (bukan ancaman pidana sebagai dasar

penegakan hukum Undang-Undang), yang memuat unsur-unsur:

1. Ancaman pidana yang dapat dimuat dalam Perda berupa pidana

kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak

Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

2. Ancaman pidana yang dapat dimuat dalam Perda sesuai dengan

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Dikaitkan dengan UU PDRD 2009, tidak terdapat ketentuan tentang

ancaman pidana yang dapat dimuat dalam Perda. Ketentuan Pidana dalam

UU PDRD 2009 memuat ancaman pidana bagi pelaku yang melanggar UU

PDRD 2009. Artinya, UU PDRD 2009 memuat Ketentuan Pidana sebagai

dasar hukum bagi penegakan UU bersangkutan.

Dengan demikian, ancaman pidana yang dirumuskan dalam konsep

awal Raperda tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

berdasarkan pada Pasal 143 ayat (2) UU Pemda, selain itu juga memuat

batas jangka waktu tuntutan, dan penegasan tentang masuknya denda ke

kas negara,sesuai Pasal 175 dan Pasal 178 UU PDRD 2009, yaitu:

Page 110: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 99

1. Wajib Pajak yang tidak mengisi SPTPD atau diisi dengan tidak

benar atau dengan tidak lengkap atau melampirkan keterangan

yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau

denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud tidak dituntut setelah

melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya

atau berakhirnya masa pajak.

3. Denda sebagaimana dimaksud merupakan penerimaan negara.

l. Ketentuan Penutup

Pedoman angka 111 TP3 (vide Pasal 44 ayat (2) UU P3, Lampiran)

menentukan, Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan

mengenai: a. penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan

Peraturan Perundang-undangan; b. nama singkat; c. status Peraturan

Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan

Perundang-undangan.

Ketentuan Penutup dalam konsep awal Raperda tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan memuat:

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

D. Batas Materi Muatan

Batas materi muatan pengaturan tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan berdasarkan pada ketentuan dalam UU Pemda dan

UU Nomor 33 Tahun 2004, dan UU PDRD 2009.

Berdasarkan UU Pemda, Pasal 136 ayat (4) menentukan, Perda

sebagaimana dimaksud pada ayat (1 dilarang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.

Page 111: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 100

Yang dimaksud dengan "bertentangan dengan kepentingan umum"

dalam ketentuan ini adalah kebijakan yang berakibat terganggunya

kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya Pelayanan umum, dan

terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat

diskriminatif (Penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU Pemda).

Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004, Pasal 7 huruf a dan b

menentukan, dalam upaya meningkatkan PAD, daerah dilarang: a.

menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan

ekonomi biaya tinggi; dan b. menetapkan peraturan daerah tentang

pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan

jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor.

Yang dimaksud dengan peraturan daerah tentang pendapatan yang

menyebabkan ekonomi biaya tinggi adalah peraturan daerah yang mengatur

pengenaan pajak dan tertribusi oleh Daerah terhadap objek-objek yang telah

dikenakan pajak oleh Pusat dan provinsi, sehingga menyebabkan

menurunnya daya saing daerah. Contoh pungutan yang dapat menghambat

kelancaran mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan

kegiatan impor/ekspor antara lain adalah retribusi izin masuk kota dan

pajak/retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke

daerah lain (Penjelasan Pasal 7 huruf a dan huruf b UU Nomor 33 Tahun

2004).

Pasal 2 ayat (3) UU PDRD 2009 menentukan Daerah dilarang

memungut pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2). Ayat (1) dan ayat (2) ini memuat ketentuan:

1. Jenis Pajak provinsi terdiri atas:

a. Pajak Kendaraan Bermotor;

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

d. Pajak Air Permukaan; dan

Page 112: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 101

e. Pajak Rokok.

2. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:

a. Pajak Hotel;

b. Pajak Restoran;

c. Pajak Hiburan;

d. Pajak Reklame;

e. Pajak Penerangan Jalan;

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

g. Pajak Parkir;

h. Pajak Air Tanah;

i. Pajak Sarang Burung Walet;

j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan

k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Batas-batas tersebut yang menjadi dasar dalam menyusun konsep

awal Raperda tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yaitu:

1. Larangan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Larangan menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat

mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan

kegiatan impor/ekspor.

Mengenai larangan bagi Daerah memungut pajak selain jenis Pajak

yang telah ditetentukan Undang-Undang, dalam praktek dimasukkan dalam

pengertian larangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi. Untuk pemahaman yang lebih memadai tentang batasan

materi muatan perlu dikemukakan berikut ini beberapa praktek pembatalan

Perda Pajak mengenai pungutan daerah, yaitu:

1. Kepmendagri Nomor 61Tahun 2007 tentang Pembatalan

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2003 tentang

Retribusi Pemasukan/Pengeluaran Ternak, Produk Hewan Pangan

Page 113: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 102

dan Non-Pangan. Dalam “Menimbang” Kepmendagri

dikemukakan, bahwa Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1

Tahun 2003 tentang Retribusi Pemasukan/Pengeluaran Ternak,

Produk Hewan Pangan dan Non Pangan, bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun alasan

pembatalan lebih rinci terdapat dalam diktum:

Membatalkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2003 tentang Retribusi Pemasukan/Pengeluaran Ternak, Produk Hewan Pangan dan Non Pangan, dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, karena : 1. Penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi dengan Surat

Keputusan Gubernur bertentangan dengan Pasal 24 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

2. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dilarang menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor/impor;

3. Pengenaan retribusi Pemasukan/pengeluaran ternak, produk hewan pangan dan non pangan dapat mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat lalu lintas barang antar daerah.

2. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2008 tentang

Pembatalan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun

2002 tentang Pajak Penerangan Jalan. Dalam “Menimbang”

Kepmendagri dikemukakan, bahwa Peraturan Daerah Kota

Denpasar Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pajak Penerangan Jalan,

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

Page 114: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 103

tinggi. Dalam diktum (Memutuskan-Menetapkan) dapat diketahui

alasan pembatalan yang lebih rinci adalah:

Membatalkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pajak Penerangan Jalan, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, untuk kegiatan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, Nilai Jual Tenaga Listrik sebagai dasar pengenaan PPJ ditetapkan sebesar 30%.

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2008 tentang

Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 4

Tahun 1999 Tentang Pajak Penerangan Jalan. Dalam

“Menimbang” Kepmendagri disebutkan, bahwa Peraturan Daerah

Kabupaten Klungkung Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pajak

Penerangan Jalan, bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Alasan pembatalan lebih rinci terdapat

dalam diktum:

Sesuai Pasal 60 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, khusus untuk kegiatan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, Nilai Jual Tenaga Listrik sebagai dasar pengenaan PPJ ditetapkan sebesar 30%.

4. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 217 Tahun 2009 tentang

Pembatalan Peraturan Daerah Kota Palangkaraya Nomor 11

Tahun 2001 Tentang Pengusahaan Pertambangan Umum. Dalam

“Menimbang” Kepmendagri disebutkan, bahwa Peraturan

Daerah Kota Palangkaraya Nomor 11 Tahun 2001 tentang

Pengusahaan Pertambangan Umum, bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Alasan

pembatalan lebih rinci terdapat dalam diktum:

1. Pemerintah Daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar pajak dan retribusi sesuai dengan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Page 115: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 104

2. Kegiatan usaha pertambangan bahan galian golongan A dan B telah dikenakan pungutan Pusat (PNBP) berupa iuran tetap/landrent dan iuran eksplorasi dan eksploitasi/royalty sesuai Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Lampiran II A angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

3. Pengenaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi terhadap produksi bahan galian golongan C duplikasi dengan Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C sesuai dengan Pasal 63 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.

Alasan pembatalan angka 2 dan angka 3 dalam Keputusan Menteri

Dalam Negeri Nomor 217 Tahun 2009 tentang Pembatalan Peraturan

Daerah Kota Palangkaraya Nomor 11 Tahun 2001 Tentang Pengusahaan

Pertambangan Umum, sebenarnya masuk dalam kategori Larangan

menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat lalu lintas barang antar

daerah. Namun, Kepmendagri Nomor 61Tahun 2007 tentang Pembatalan

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2003 tentang Retribusi

Pemasukan/Pengeluaran Ternak, Produk Hewan Pangan dan Non-Pangan,

menunjukan alasan pembatalan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan

menghambat lalu lintas barang antar daerah dimasukan ke dalam alasan

pembatalan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.

E. Keterkaitan Dengan Hukum Positif Lainnya

Dasar hukum materiil dari pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan dalam Peraturan Daerah adalah UU PDRD 2009. Selain itu

masih ada sejumlah undang-Undang yang berkaitan dengan pengaturan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yaitu UU Pemda yang

merupakan dasar hukum formal pembentukan Peraturan Daerah, UU Nomor

Page 116: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 105

33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintahan Daerah (disingkat UU PKP3D), dan UU P3. Keterkaitan

dimaksud sedbagaimana tampak dalam tabel berikut:

Tabel 8: Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya.

UU PDRD

2009

KETERKAITAN DENGAN

UU P3 UU PEMDA UU PKP3D

1. Sebelas jenis Pajak Kabupaten/Kota, antara lain Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ((BPHTB) Pasal 2 ayat (2)). Merupakan dasar hukum materiil pembentukan Perda BPHTB.

2. Materi muatan imperatif (Pasal 95 ayat (3): b. nama, objek,

dan subjek pajak;

c. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;

d. wilayah pemungutan;

e. penetapan; f. tata cara

pembayaran dan penagihan;

g. kedaluwarsa; h. sanksi

administrasi; dan

i. tanggal mulai berlakunya.

3. Materi muatan

fakultatif ( Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4)):

a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan

1. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik (AP3YB) (Pasal 5). Merupakan AP3YB yang formal pembentukan Perda BPHTB.

2. Asas yang terkandung dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik (Pasal 6). Merupakan AP3YB yang materiil pembentukan Perda BPHTB.

3. Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 12). BPHTB merupakan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

4. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (ayat (2) Pasal 44), khususnya mengenai kerangka Peraturan Perundang-

1. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: ... p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh PPu (ayat (1) Pasal 14). Terkait PP 38/2007, Lampiran, huruf T, Sub Bidang 3. Administrasi Keuangan Daerah, Sub-sub Bidang, a. Pajak dan Retribusi Daerah. Terkait Perda Denpasar tentang Urusan. Merupakan dasar hukum materiil pembentukan Perda BPHTB.

2. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD (ayat (1) Pasal 136). Merupakan dasar hukum formal pembentukan Perda BPHTB.

3. Perda dibentuk berdasarkan pada AP3YB (Pasal 137). Merupakan AP3YB yang formal pembentukan Perda BPHTB.

4. Asas yang terkandung dalam Perda (Pasal 138). Merupakan AP3YB yang materiil pembentukan Perda BPHTB.

5. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan (ayat (2) Pasal 136), yang merupakan penjabaran

1. Pajak Daerah merupakan salah satu sumber PAD (ayat (1) huruf a Pasal 6). Merupakan tujuan pemungutan Pajak yaitu sebagai sumber PAD atau penerimaan dari PAD dimasukkan ke kas daerah.

2. Dalam rangka meningkatkan PAD, Daerah dilarang: a. menetapkan Perda tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan b. menetapkan Perda tentang pendapatan yang meng-hambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar-daerah, dan kegiatan impor/ ekspor (Pasal 7). Batasan materi

Page 117: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 106

dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya.

b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau

c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurang-an, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.

undangan (PPu): a. Judul. b. Pembukaan. c. Batang Tubuh:

1) Ketentuan Umum.

2) Materi Pokok yang Diatur.

3) Ketentuan Pidana (jika diperlukan).

4) Ketentuan Peralihan (jika diperlukan).

5) Ketentuan Penutup ().

d. Penutup. e. Penjelasan (jika

diperlukan). f. Lampiran (jika

diperlukan) (Pedoman angka 1 dan angka 43).

Materi muatan imperatif dan materi muatan fakultatif dimasukan dalam kerangka PPu. Lebih rinci, contoh: Nama BPHTB dimasuk-an dalam Judul dan Diktum dari Pembukaan dan saat mulai berlakunya dimasukan dalam Ketentuan Penutup.

lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memerhatikan ciri khas masing-masing daerah (ayat (3) Pasal 136). BPHTB merupakan materi muatan dalam rangka penyelenggara-an otonomi daerah, yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memerhatikan ciri khas masing-masing daerah.

6. Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (ayat (4) Pasal 136). Batasan materi muatan Perda BPHTB.

7. Ancaman pidana kurungan dan denda yang dapat dimuat dalam Perda (ayat (2) dan ayat (3) Pasal 143). Perda BPHTB dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00

muatan Perda BPHTB.

3. Ketentuan mengenai Pajak Daerah dilaksanakan sesuai dengan UU (Pasal 8). UU dimaksud adalah UU PDRD 2009.

Sumber : Diolah dari UU PDRD 2009, UU P3, UU Pemda, dan UU PKP3D

Keterkaitan dengan hukum positif lainnya tidak saja dengan UU PDRD

2009, UU P3, UU Pemda, dan UU PKP3D, melainkan juga dengan peraturan

perundang-undangan pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor

38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun

2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Kota

Denpasar.

Page 118: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 107

F. Kerangka Raperda Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan

Berdasarkan pada Materi Muatan Raperda dan Keterkaitan dengan

Hukum Positif dapat disusun kerangka Raperda tentang Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan sebagai berikut:

1. Judul: Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor … Tahun …

Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

2. Pembukaan, antara lain berisi Menimbang dan Mengingat.

3. Batang Tubuh:

a. Bab I Ketentuan Umum.

b. Bab II Objek dan Subjek Pajak.

c. Bab III Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak.

d. Bab IV Wilayah Pemungutan dan Masa Pajak.

e. Bab VI Penetapan.

f. Bab VII Tata Cara Pembayaran dan Penagihan.

g. Bab VIII Kedaluwarsa dan Tata Cara Penghapusan Piutang

Pajak yang Kedaluwarsa.

h. Bab IX Sanksi Administratif.

i. Bab X Pemberian Pengurangan, Keringanan, dan Pembebasan

dalam Hal-Hal Tertentu Atas Pokok Pajak dan/atau Sanksi

Administratif.

j. Bab X Ketentuan Penyidikan.

k. Bab XI Ketentuan Pidana.

l. Bab XIII Ketentuan Penutup

4. Penutup.

5. Penjelasan.

Pemberian isi atas kerangka tersebut berdasar pada teknik

penyusunan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diamanatkan

Page 119: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 108

Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU P3, dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam UU

P3. Adapun Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU P3 menentukan:

a. Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan

dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan peraturan

perundang-undangan.

b. Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-

undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum

dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Untuk dapat lebih memadai memahami dan menginterpretasi

ketentuan UU P3 digunakan juga sebagai acuan adalah:

1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007

tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan

Peraturan Perundang-undangan.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang

Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah.

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2006 tentang

Lembaran Daerah dan Berita Daerah.

Produk hukum tersebut bukan peraturan perundangan-undangan

dalam kerangka Pasal 7 ayat (4) UU P3, oleh karena dalam UU P3 tidak ada

delegasi pengaturan materi-materi tersebut. Khusus kedua Permendagri itu

juga tidak ada delegasi pengaturan di dalam UU Pemda.

Dalam kerangka teori, produk hukum tersebut masuk dalam kategori

peraturan kebijakan. Sekalipun demikian, ketentuan-ketentuan dalam

peraturan kebijakan itu diikuti dalam praktek pembentukan peraturan daerah,

bukan karena kekuatan hukum darinya, melainkan karena bersesuaian

dengan kebutuhan masyarakat atau dianggap baik diikuti dalam rangka

melengkapi peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks itu, misalnya, tempat dimuatnya Penjelasan Perda

tidak terdapat ketentuannya dalam UU P3. Ini menimbulkan interpretasi: (1)

Page 120: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 109

Penjelasan Perda tidak perlu ditempatkan dalam Tambahan Lembaran

Daerah sebagaimana lazimnya dalam praktek sebelum diundangkan UU P3;

(2) sekaligus ditempatkan dalam Lembaran Daerah bersama Perdanya

sendiri; atau (3) ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Daerah mengikuti

praktek yang sudah berjalan sebelum diundangkannya UU P3.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 dan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2006 berada dalam

kerangka interpretasi yang ketiga. Pasal 19 ayat (2) Peraturan Presiden

menentukan: Penjelasan Peraturan Daerah ditempatkan dalam Tambahan

Lembaran Daerah. Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri menentukan:

Untuk menjamin keresmian dan keterkaitan antara materi muatan peraturan

daerah dengan penjelasan, penjelasan dicatat dalam tambahan lembaran

daerah. Dalam praktek pembentukan Perda, Penjelasan Perda ditempatkan

dalam Tambahan Lembaran Daerah.

Page 121: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 110

BAB V

PENUTUP

A. Rangkuman

Berdasarkan UU PDRD 2009, Kota Denpasar perlu membentuk Perda

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai dasar hukum

pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Dalam rangka

pembentukan Perda dimaksud perlu didukung dengan kajian akademik yang

hasilnya dituangkan dalam Naskah Akademik Raperda Kota Denpasar

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Empat isu hukum yang perlu dikaji untuk mendapatkan bahan hukum

dalam rangka pembentukan Perda tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan adalah:

i. Aspek-aspek yang digunakan sebagai landasan keabsahan

pengaturan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

dalam Peraturan Daerah.

ii. Asas-asas yang digunakan sebagai dasar perumusan norma hukum

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dalam

Peraturan Daerah.

iii. Ruang lingkup materi muatan pengaturan tentang Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan dalam Peraturan Daerah.

iv. Keterkaitan materi muatan pengaturan Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan dengan hukum positif lainnya.

Empat isu hukum tersebut dikaji dalam perspektif penelitian hukum

(legal research), dalam artian menggunakan bahan hukum dan dianalisis

secara hermeneutika hukum, yaitu memahami, menginterpretasi, dan

menerapkan suatu norma hukum secara bolak-balik antara keseluruhan dan

bagian.

Page 122: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 111

Landasan filosofis pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan adalah bahwa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai

pelaksanaan pemerintahan daerah dan meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat, sehingga perlu pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran

serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memerhatikan potensi daerah.

Landasan yuridis pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah. Salah satu jenis pajak daerah adalah Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Undang-Undang ini menegaskan

di dalam Pasal 95 ayat (1), pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan

Daerah. Selanjutnya dalam Pasal 95 ayat (3) ditentukan Peraturan Daerah

tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai: a. nama,

objek, dan Subjek Pajak; b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan

pajak; c. wilayah pemungutan; d. Masa Pajak; e. penetapan; f. tata cara

pembayaran dan penagihan; g. kedaluwarsa; h. sanksi administratif; dan i.

tanggal mulai berlakunya.

Berikutnya dalam 95 ayat (4) ditentukan Peraturan Daerah tentang

Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai: a. pemberian

pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas

pokok pajak dan/atau sanksinya; b. tata cara penghapusan piutang pajak

yang kedaluwarsa; dan/atau c. asas timbal balik, berupa pemberian

pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan,

konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman

internasional.

Landasan sosiologis, Kota Denpasar belum memiliki Peraturan Daerah

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan oleh karena itu

Peraturan Daerah yang bersangkutan perlu dibentuk.

Page 123: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 112

Asas-asas yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dalam Peraturan Daerah adalah

Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang formal

dan yang materiil.

Asas formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik,

yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan adalah:

1 Asas kejelasan tujuan. Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi

masyarakat mengenai siapa dan apa yang dikenakan pajak, dan

berapa besaran yang harus dibayar dan bagaimana cara

membayarnya; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi

Pemerintah Kota melakukan pungutan Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan, sehingga Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah dalam

rangka membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan

pelayanan kepada masyarakat.

2 Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat . Pengaturan

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dengan Peraturan

Daerah dilakukan oleh Walikota Denpasar dengan persetujuan

bersama DPRD Kota Denpasar.

3 Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Pungutan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan harus dengan Peraturan

Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan mengacu pada Pasal 95

ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD.

4 Asas dapat dilaksanakan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan harus memerhatikan

beberapa aspek: (1) filosofis, yaitu ada jaminan keadilan dalam

Page 124: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 113

pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan; (2)

yuridis, adanya jaminan kepastian dalam pengenaan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, termasuk subsansinya

tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan memang dapat memberikan

manfaat, baik bagi pemerintah kota maupun bagi masyarakat,

termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan

kepentingan umum.

5 Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Pembentukan Peraturan

Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam

mengatur pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan dan membiayai pelaksanaan pembangunan.

6 Asas kejelasan rumusan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sesuai persyaratan

teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika

dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas

dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai

macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan

aturan hukum dalam Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan menjamin kepastian.

7 Asas keterbukaan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan harus menjamin

partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya

untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta

kewajiban Pemerintah Kota untuk menjamin masukan tersebut

telah dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya

partisipasi masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Kota

Page 125: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 114

memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan

Daerah bersangkutan.

Asas materiil Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

Baik, yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah:

1. Asas keadilan. Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan harus mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga masyarakat tanpa kecuali.

Tuntutan keadilan mempunyai dua arti. Dalam arti formal

keadilan menuntut norma hukum dalam Peraturan Daerah

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berlaku

umum. Dalam arti materiil dituntut agar norma hukum dalam

Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.

2. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.

Mmateri muatan Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan tidak berisi ketentuan-ketentuan yang

bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain

agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari

kesamaan adalah keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama,

sesuai hak dan kewajibannya.

3. Asas ketertiban dan kepastian hukum. Materi muatan Peraturan

Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

dituntut dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat

melalui jaminan adanya kepastian hukum. Jaminan kepastian

hukum mempunyai dua arti. Dalam artian, norma hukum Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan harus sedemikian jelas

sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat

berpedoman padanya. Terutama masyarakat dapat dengan jelas

Page 126: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 115

mengetahui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, termasuk norma hukum

pajak dan sanksinya atas pelanggarannya tidak boleh berlaku

surut.

4. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Norma hukum

dalam Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan harus mengandung keseimbangan beban dan

manfaat, atau, kewajiban membayar pajak dengan hak yang

didapatkannya dengan membayar pajak.

Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal 6

ayat (2) UU P3, dalam pengaturan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan berkaitan dengan kriteria umum tentang perpajakan daerah,

yaitu:

1. Kecukupan dan elastik, artinya dapat mudah naik turun mengikuti

naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.

2. Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan

kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi

setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang

kebal pajak.

3. Fleksibelitas administrasi artinya sederhana, mudah dihitung,

pelayanan memuaskan bagi wajib pajak.

4. Keterimaan secara politik, secara politik dapat diterima oleh

masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi

untuk membayar pajak.

5. Non-distorsi, jangan sampai suatu pajak atau pungutan

menimbulkan beban tambahan yang berlebihan, sehingga akan

menimbulkan kerugian pada masyarakat.

Page 127: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 116

6. Kemudahan (Convenience). Dalam prinsip ini ditekankan

pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi wajib pajak dalam

memenuhi kewajiban perpajakannya.

7. Efisiensi (Efficiency). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya

efisiensi pemungutan pajak, artinya biaya yang dikeluarkan dalam

melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari

jumlah pajak yang dipungut.

Kriteria menetapkan materi muatan Peraturan Daerah tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah berdasarkan ketentuan

dalam Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD:

1. Materi muatan imperatif:

b. nama, objek, dan subjek pajak;

c. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;

d. wilayah pemungutan;

e. masa pajak;

f. penetapan;

g. tata cara pembayaran dan penagihan;

h. kedaluwarsa;

i. sanksi administrasi; dan

j. tanggal mulai berlakunya.

2. Materi muatan fakultatif:

b. pemberian pengurang-an, keringanan, dan pembebasan dalam

hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;

c. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa;

dan/atau

d. asas timbal balik, berupa pemberian pengurang-an,

keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan,

konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan

kelaziman internasional.

Page 128: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 117

Batas materi muatan pengaturan tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan berdasarkan pada ketentuan dalam UU Pemda dan UU

Nomor 33 Tahun 2004 adalah:

1. Larangan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Larangan menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat

mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan

kegiatan impor/ekspor.

Keterkaitan dengan hukum positif lainnya tidak saja dengan UU PDRD

2009, UU P3, UU Pemda, dan UU PKP3D, melainkan juga dengan peraturan

perundang-undangan pelaksanaan dari UU Pemda, seperti Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan

Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4

Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kota Denpasar .

B. Konklusi

Konklusi yang dikemukakan berikut tidaklah secara eksplisit

berkenaan isu hukum yang dikemukakan dalam Bab Pendahuluan. Konklusi

semacam ini telah diungkapkan dalam bagian Rangkuman di atas. Isu hukum

tersebut hanyalah sebagai panduan melakukan penelitian dalam rangka

penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang bermuara pada Konsep Awal

Rancangan Peraturan Daerah tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan. Adapun konklusinya adalah:

1. Kota Denpasar perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai dasar hukum

pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun

Page 129: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 118

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dengan terlebih

dahulu dipersiapkan konsep awal rancangannya.

2. Materi muatan konsep awal Rancangan Peraturan Daerah Kota

Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

berdasarkan pada ketentuan Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah, dalam batas-batas yang ditentukan dalam Pasal

136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor

33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintahan Daerah, dengan mendasarkan pada

Landasan keabsahan filosofis, yuridis, dan sosiologis, dan Asas

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik yang

bersifat formal dan bersifat materiil.

3. Materi muatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

sebagaimana diamanatkan Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, yang dituangkan dalam konsep awal Peraturan Daerah

Kota Denpasar, dirumuskan dalam Kerangka Peraturan Perundang-

undangan sesuai amanat Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Dengan demikian ada beberapa materi yang tidak

perlu dirumuskan secara eksplisit dengan judul bab materi

bersangkutan, seperti:

a. Nama Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, tidak

perlu dirumuskan: ”Dengan nama Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan dipungut pajak atas ...” di bawah Bab

yang berjudul Nama, Objek, dan Subjek Pajak, melainkan

Page 130: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 119

dimasukkan dalam Judul dan Diktum pada Pembukaan

Peraturan Daerah, lebih-lebih telah dirumuskan dalam Bab

Ketentuan Umum.

b. Saat mulai berlakunya, tidak memerlukan Bab yang berjudul

Saat Mulai Berlakunya (atau Saat Mulai Berlaku Peraturan

Daerah ini), melainkan telah masuk dalam Bab yang berjudul

Ketentuan Penutup.

C. Rekomendasi

Rekomendasi yang dapat diajukan dalam rangka pembentukan

Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan, yang diawali dengan penyusunan konsep awal rancangannya,

adalah:

1. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga

masyarakat dapat memberikan masukan dalam penyusunan

Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sesuai dengan asas

keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 139 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2008.

2. Agar segera dipersiapkan Rancangan Peraturan Walikota

mengenai:

a. tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersa-

makan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT;

Page 131: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 120

b. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan

penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan,

SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT;

c. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran,

penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan

pembayaran pajak;

d. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau

penghapusan sanksi administrative dan pengurangan atau

pembatalan ketetapan pajak; dan

e. tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa;

sehingga saat Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan telah

ditetapkan dan diundangkan menjadi Peraturan Daerah dapat

dilaksanakan secara efektif.

3. Perlu dicermati ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berikut:

a. tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak (ayat (8)

Pasal 165);

b. kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata

cara pembukuan atau pencatatan (ayat (2) Pasal 169); dan

c. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak

(ayat (3)Pasal 170);

apabila berkenaan dengan pengaturan Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan, agar segera dipersiapkan Peraturan

Walikota, oleh karena materi-materi tersebut pengaturannya

didelegasikan langsung dengan Peraturan Walikota, tanpa harus

terlebih dahulu diatur dalam Peraturan Daerah.

Page 132: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 123

DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu, Anggito, et.al., 2005, Evaluasi Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan RI, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta.

Attamimi, A. Hamid S., 1982, “Materi muatan peraturan perundang-undangan”, dalam BPHN, 1982, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta.

………….., 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV”, Disertasi Doktor, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Atmaja, Gede Marhaendra Wija, 1995, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

………….., 2004, “Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik”, Makalah, pada Pembekalan Calon Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Denpasar Periode 2004-2009, diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Denpasar, pada 13-14 Agustus di Denpasar.

…………….., 2006, “Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HAIV/AIDS dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006”, Makalah, Lokakarya Legal Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS bagi Anggota DPRD 10 Provinsi Di Indonesia, diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), pada Minggu-Rabu 11-14 Juni di Bandung.

…………….., 2006, “Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Berdasarkan Asas dan Teknik Penyusunan serta Perumusan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, Pertemuan Konsultasi Legal Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS, diselenggarakan

Page 133: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 124

oleh Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN), pada 3-6 September di Jayapura.

Darussalam dan Danny Septriadi, 2006, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak: Tinjauan Akademis terhadap Kebijakan, Hukum, dan Administrasi Pajak di Indonesia, Grasindo, Jakarta.

Fiedmann, W., 1990, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (Susunan II), diterjemahkan oleh Mohamad Arifin (dari judul asli: Legal Theory), Penerbit CV Rajawali. Jakarta.

Gadamer, Hans-Georg, 2004, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terjemahan Ahmad Sahidah (judul asli: Truth and Method, The Seabury Press, New York, 1975), Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 2 , Alumni, Bandung.

Ismail, Tjip, 2002, “Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam Orpha Jane, et.al., eds., Prosiding Workshop Internasional Implementasi Desentralisasi Fiskal sebagai Upaya Memberdayakan Daerah dalam Membiayai Pembangunan Daerah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

………….., 2007, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Edisi Kedua, Yellow Printing, Jakarta.

Jones, Charles O., 1991, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), terjemahan, Rajawali Pers, Jakarta.

Kumorotomo, Wahyudi, 2006, Desentralisasi Fiskal: Politik Perubahan Kebijakan 1974-2004, Kencana, Jakarta.

Leyh, Gregory, “Pendahuluan”, dalam Gregory Leyh, ed., 2008, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori, dan Praktik, terjemahan M. Khozim, (judul asli: Legal Hermeneitics, University of California Press, 1992), Penerbit Nusa Media, Bandung.

Magnis-Suseno, Franz, 1987, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moden, Gramedia, Jakarta.

Mahfud MD, Moh., 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta.

Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Ind-Hill.Co, Jakarta.

Marsuni, H. Lauddin, 2006, Hukum dan Kebijakan Perpajakan Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.

Page 134: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 125

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Interpratama Offset, Jakarta.

……………., 2005, “Arti Penting Hermeneutik dalam Penerapan Hukum”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.

Mustaqiem, H., 2008, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, UII Press, Yogyakarta.

Prakosa, Kesit Bambang, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Press, Yogyakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.

Sidharta, Bernard Arief, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu HUkum sebagai Landasan Pengmbangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

……………., “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal”, dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, eds.,2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refeksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Soedargo, R., 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco, Bandung.

Sumaryono, E., 1999, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Edisi Revisi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, t.t., Pedoman Nasional Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan RI, Jakarta.

Vlies, I.C. Van Der, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta.

Page 135: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 126

PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR

NOMOR TAHUN

TENTANG

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA DENPASAR,

Menimbang: a.

bahwa dalam rangka pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan yang efisien dan efektif berdasarkan prinsip demokrasi

pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas,

perlu dilakukan pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan;

b. bahwa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, merupakan

salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai

pelaksanaan pemerintahan daerah;

c. bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan

Retribusi Daerah mengamanatkan pengaturan Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan dengan peraturan daerah;

d. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah Tentang

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;

Mengingat: 1.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan

Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3465);

2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Dengan

Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997

Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3686) sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun

Page 136: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 127

2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997

tentang Penagihan Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3988);

3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4339;

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor

125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5049);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA DENPASAR

dan

WALIKOTA DENPASAR

M E M U T U S K A N:

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN

BANGUNAN

Page 137: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 128

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah yang dimaksud :

2. Kota adalah Kota Denpasar.

3. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Denpasar.

4. Walikota adalah Walikota Denpasar.

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kota Denpasar.

6. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik

yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan

terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN),

atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun,

firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi

massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan

lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

8. Kantor Pertanahan adalah Kantor Pertanahan Kota Denpasar.

9. Kantor Lelang Negara adalah Kantor Lelang Negara di Provinsi Bali.

10. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat BPHTB,

adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.

11. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa

hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh

orang pribadi atau Badan.

12. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak

pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-

undang di bidang pertanahan dan bangunan.

13. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada

tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.

14. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang

diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak

terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan

objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

15. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan.

16. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong

pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

Page 138: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 129

17. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang adalah Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayar dalam Masa Pajak sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

18. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek

dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan

penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.

19. Surat Pemberitahuan Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah

surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau

pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan

kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

daerah.

20. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti

pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan

formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat

pembayaran yang ditunjuk oleh Walikota.

21. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat

ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.

22. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB,

adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah

kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi

administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

23. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat

SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah

pajak yang telah ditetapkan.

24. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat

ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah

kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

25. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah

surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena

jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak

terutang.

26. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk

melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

27. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan

tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu

dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat

Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat

Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil,

Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat

Keputusan Pembetulan atau Surat Keputusan Keberatan.

28. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat

Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat

Page 139: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 130

Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil,

Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau

pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

29. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat

Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

BAB II

NAMA, OBYEK DAN SUBYEK PAJAK

Pasal 2 Dengan nama BPHTB dipungut pajak atas Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau

Bangunan.

Pasal 3

(1) Objek BPHTB meliputi Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

a. pemindahan hak karena:

1. jual beli;

2. tukar menukar;

3. hibah;

4. hibah wasiat;

5. waris;

6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;

7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

8. penunjukan pembeli dalam lelang;

9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

10. penggabungan usaha;

11. peleburan usaha;

12. pemekaran usaha; atau

13. hadiah.

b. pemberian hak baru karena:

1. kelanjutan pelepasan hak; atau

2. di luar pelepasan hak.

(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:

a. hak milik;

b. hak guna usaha;

c. hak guna bangunan;

d. hak pakai;

e. hak milik atas satuan rumah susun; dan

f. hak pengelolaan.

(4) Objek yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek yang diperoleh:

Page 140: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 131

a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan

pembangunan guna kepentingan umum;

c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan

Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan

organisasi tersebut;

d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum

lain dengan tidak adanya perubahan nama;

e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan

f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah

Pasal 4

(1) Subjek Pajak meliputi orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan.

(2) Wajib Pajak meliputi orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan.

BAB III DASAR PENGENAAN, TARIF, DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK

Pasal 5

1. Dasar pengenaan BPHTB meliputi Nilai Perolehan Objek Pajak.

2. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:

a. jual beli adalah harga transaksi;

b. tukar menukar adalah nilai pasar;

c. hibah adalah nilai pasar;

d. hibah wasiat adalah nilai pasar;

e. waris adalah nilai pasar;

f. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;

g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;

h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan

hukum tetap adalah nilai pasar;

i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah

nilai pasar;

j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;

k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;

l. peleburan usaha adalah nilai pasar;

m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;

n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau

Page 141: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 132

o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam

risalah lelang.

3. Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a

sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang

digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya

perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.

4. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling sedikit

sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

5. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi

yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu

derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk

suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling sedikit

sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 6

Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).

Pasal 7

Besar Pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif BPHTB sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5).

BAB IV

WILAYAH PEMUNGUTAN DAN SAAT TERUTANGNYA PAJAK

Pasal 8

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di Wilayah

Kota tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.

Pasal 9

(1) Saat terutangnya pajak ditetapkan untuk:

a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya

ke kantor bidang pertanahan;

f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal

dibuat dan ditandatanganinya akta;

g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan

Page 142: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 133

ditandatanganinya akta;

h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai

kekuatan hukum yang tetap;

i. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah

sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya

surat keputusan pemberian hak;

k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan

o. lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.

(2) BPHTB yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 10

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan

Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan SSPD.

(2) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat

menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

setelah Wajib Pajak menyerahkan SSPD.

(3) Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas

Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan

SSPD.

Pasal 11

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan

lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas

Tanah dan/atau Bangunan kepada Walikota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh)

bulan berikutnya.

(2) Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Walikota.

BAB V

PENETAPAN

Pasal 12

(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.

(2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang dengan dibayar sendiri oleh

Page 143: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 134

Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(3) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan

menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.

Pasal 13

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Walikota dapat

menerbitkan:

a. SKPDKB dalam hal:

1) jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang

terutang tidak atau kurang dibayar;

2) jika SPTPD tidak disampaikan kepada Walikota dalam jangka waktu tertentu

dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya

sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;

3) jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung

secara jabatan.

b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap

yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.

c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit

pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

Pasal 14

(1) Tata cara penerbitan SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12 ayat (3) diatur dengan Peraturan Walikota.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD,

SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) diatur

dengan Peraturan Walikota.

BAB VI

PENELITIAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 15

(1) Walikota atau Pejabat yang ditunjuk wajib melakukan kegiatan Penelitian atas SPTPD

yang disampaikan Wajib Pajak.

(2) Penelitian yang dilakukan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Tarif dan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak harus sesuai dengan

yang ditetapkan;

b. Adanya kepastian bahwa Wajib Pajak telah membayar BPHTB dan telah disetor

ke Kas Daerah;

Page 144: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 135

c. Pembayaran yang dilakukan harus sesuai dengan basis pajak;

d. Dalam peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan, tidak terdapat tunggakan

Pajak Bumi dan Bangunan.

Pasal 16

(1) Walikota berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan

kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-

undangan perpajakan daerah.

(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:

a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang

menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak

yang terutang;

b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap

perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau

c. memberikan keterangan yang diperlukan.

Pasal 17

(1) Pemeriksaan sederhana kantor dilakukan dengan membandingkan laporan Wajib

Pajak dengan basis data yang dimiliki Pemerintah Daerah sehingga nantinya dapat

diterbitkan SKPDKB, SKPDLB dan SKPDN.

(2) Apabila ada perubahan yang signifikan pada objek pajak antara yang dilaporkan

dengan basis data yang dimiliki Pemerintah Daerah, maka dilakukan pemeriksaan

sederhana lapangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak diatur dengan

Peraturan Walikota.

BAB VII TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN

Pasal 18

(1) Walikota dapat menerbitkan STPD jika:

a. pajak tidak atau kurang dibayar;

b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat

salah tulis dan/atau salah hitung;

c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga

sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak

saat terutangnya pajak.

Page 145: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 136

Pasal 19

(1) Walikota menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang

terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan

paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPTPD oleh Wajib Pajak.

(2) SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,

dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar

bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka

waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

(3) Walikota atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang

ditentukan, dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur

atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua

persen) sebulan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat

pembayaran, angsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan

Walikota.

Pasal 20

(1) Pajak yang terutang berdasarkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan

Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau

kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

(2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 21

(1) Pajak terutang dibayar sekaligus atau lunas.

(2) Pajak terutang disetorkan ke Kas Umum Daerah Kota atau tempat lain yang

ditetapkan dengan Peraturan Walikota.

(3) Wajib pajak yang telah melakukan pembayaran akan memperoleh SSPD.

BAB VIII KEBERATAN DAN BANDING

Pasal 22

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Walikota atau pejabat yang

ditunjuk atas suatu:

a. SKPDKB;

b. SKPDKBT;

c. SKPDLB;

Page 146: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 137

d. SKPDN; dan

e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-

alasan yang jelas.

(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak

tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak

dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit

sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.

(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga

tidak dipertimbangkan.

(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Walikota atau pejabat yang

ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai

tanda bukti penerimaan surat keberatan.

Pasal 23

(1) Walikota dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat

Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

(2) Keputusan Walikota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau

sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Walikota

tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap

dikabulkan.

Pasal 24

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak

terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Walikota.

(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis

dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga)

bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan

tersebut.

(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai

dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

Pasal 25

Page 147: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 138

(1) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau

seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan

bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)

bulan.

(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan

sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.

(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak

dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari

jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah

dibayar sebelum mengajukan keberatan.

(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif

berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) tidak dikenakan.

(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak

dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah

pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah

dibayar sebelum mengajukan keberatan.

BAB IX

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pasal 26

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran

pajak kepada Walikota atau Pejabat secara tertulis dengan menyebutkan sekurang-

kurangnya :

a. nama dan alamat wajib pajak;

b. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD);

c. besaran kelebihan pembayaran pajak;

d. alasan yang jelas.

(2) Walikota atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak

diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampaui, Walikota atau

Pejabat tidak memberikan keputusan permohonan pengembalian kelebihan

pembayaran pajak dianggap dikabulkan, SKPDLB harus diterbitkan dalam waktu

paling lama 1 (satu) bulan.

(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang lainnya kelebihan pembayaran pajak

sebagaiamana dimaksud pada ayat (2) langsung diperhitungkan untuk melunasi

terlebih dahulu utang pajak dimaksud.

(5) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam waktu paling lama 2

(dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB dengan menerbitkan Surat Perintah

Page 148: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 139

Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).

(6) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua)

bulan sejak diterbitkannya SKPDLB, Walikota atau Pejabat memberikan imbalan

bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan

pajak.

BAB X KEDALUWARSA

Pasal 27

(1) Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui

waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya BPHTB, kecuali apabila Wajib

Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.

(2) Kedaluwarsa penagihan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh

apabila:

a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau

b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak

langsung.

(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat

Paksa tersebut.

(4) Pengakuan utang BPHTB secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai

utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Kota.

(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf

b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan

pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.

BAB XI TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK YANG KEDALUWARSA

Pasal 28

(1) Apabila hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa, piutang BPHTB dapat

dihapuskan.

(2) Walikota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang BPHTB yang sudah

kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Tata cara penghapusan piutang BPHTB yang sudah kedaluwarsa diatur dengan

Peraturan Walikota.

Page 149: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 140

BAB XII SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 29

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13 huruf a angka 1 dan angka 2 dikenakan sanksi administratif berupa bunga

sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat

dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat

terutangnya pajak.

Pasal 30

(1) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar

100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

(2) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan jika Wajib Pajak

melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

Pasal 31

Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 huruf

a angka 3 dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima

persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua

persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka

waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.

Pasal 32

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan

lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10

ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar

Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.

(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan

lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10

ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar

Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.

(3) Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Page 150: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 141

BAB XIII PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN, DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 33

(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Walikota dapat membetulkan

SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya

terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan

ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

(2) Walikota dapat:

a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda,

dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan

perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan

Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

b. mengurangkan atau membatalkan SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau

SKPDLB yang tidak benar;

c. mengurangkan atau membatalkan STPD;

d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau

diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan

e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan

kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi

administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal 34

(1) Walikota berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat memberikan keringanan Pajak.

(2) Tata Cara pemberian keringanan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan

Peraturan Walikota.

BAB XIV

KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 35

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kota diberi wewenang

khusus melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.

(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. menerima, mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan

Page 151: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 142

berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah agar keterangan

atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;

b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi

atau badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah

tersebut;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan

dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah;

d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain yang

berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan daerah;

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,

pencatatan, dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap

bahan bukti tersebut;

f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak

pidana dibidang perpajakan daerah;

g. menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat

pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan

atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan

daerah;

i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi;

j. menghentikan penyidikan;

k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana

dibidang perpajakan daerah menurut hukum yang dapat dipertanggung

jawabkan.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya

penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang

berlaku.

BAB XV

KETENTUAN PIDANA

Pasal 36

(1) Setiap orang/badan yang melanggar ketentuan Pasal 12 ayat (3) diancam dengan

pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak

Rp.50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah).

(2) Tindak pida sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara.

Page 152: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 143

Pasal 37

Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka

waktu 5 (lima ) tahun sejak saat terutangnya pajak.

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 38

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Denpasar.

Disahkan di Denpasar

Pada tanggal

WALIKOTA DENPASAR

Ttd

RAI DHARMA WIJAYA MANTRA

Diundangkan di Denpasar

Pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH KOTA DENPASAR

Ttd

A.A. NGR RAI ISWARA

LEMBARAN DAERAH KOTA DENPASAR TAHUN.................NOMOR.......................

Page 153: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 144

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR TAHUN 2010

TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

I. UMUM

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas

daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan

kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini ditentukan Pajak

Daerah yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.

Mengenai perpajakan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan

negara diatur dengan undang-undang.

Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.

Selama ini pungutan daerah yang berupa Pajak diatur dengan Undang-Undang Nomor

18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, yang kemudian diganti dengan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dalam Undang-Undang ini diatur tentang Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:Pajak

Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak

Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung

Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan.

Pajak hanya dapat dipungut dengan menetapkan Peraturan Daerah. Dalam Peraturan

Daerah tentang Pajak ini ditentukan penetapan dan muatan yang diatur dalam

Page 154: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 145

Peraturan Daerah ini paling sedikit mengatur ketentuan mengenai: a) Nama, Objek, dan

Subjek Pajak; b) dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; c). wilayah

pemungutan; d) Masa Pajak; e) penetapan; f) tata cara pembayaran dan penagihan;

g)kedaluwarsa; h)sanksi administratif; dan i) tanggal mulai berlakunya. Disamping itu

juga mengatur ketentuan mengenai: a). pemberian pengurangan, keringanan, dan

pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya; b)tata cara

penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau c).asas timbal balik, berupa

pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan,

konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya diatur dalam Undang-

undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan adalah kewenangan pemerintah pusat. Namun dalam UU No.

28 Tahun 2009 pajak ini diserahkan kepada kabupaten/kota. Berdasarkan kenyataan itu

maka Pemerintahan Kota Denpasar membuat Peraturan Daerah Tentang Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan harus efisien dan efektif

berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peranserta masyarakat, dan

akuntabilitas. Tujuan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah Kota yang penting guna membiayai

pelaksanaan pembagunan Pemerintahan Kota Denpasar.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Page 155: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 146

Huruf a angka 1 Cukup jelas angka 2 Cukup jelas angka 3 Cukup jelas angka 4

Yang dimaksud dengan hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi wasiat hibah meninggal dunia.

angka 5 Cukup jelas angka 6 Yang dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan atau badan hukum

lainnya adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.

angka 7 Yang dimaksud dengan pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan

adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.

angka 8 Yang dimaksud dengan penunjukan pembeli karena lelang adalah

penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang.

angka 9 Yang dimaksud dengan pelaksanan putusan hakim yang mempunyai

kekuatan hukum tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.

angka 10

Yang dimaksud dengan penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.

Page 156: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 147

angka 11 Yang dimaksudkan dengan peleburan usaha adalah penggabunngan

dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.

angka 12 Yang dimaksud dengan pemekaran usaha adalah pemisahan satu badan

usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagaian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.

angka 13 Yang dimaksud dengan hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa

penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.

Huruf b angka 1

Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.

angka 2

Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (3)

Huruf a Yang dimaksud dengan hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan

terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.

Huruf b Yang dimaksud dengan hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah

yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Huruf c Yang dimaksud dengan hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan

mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Huruf d Yang dimaksud dengan hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau

memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik

Page 157: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 148

orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undang yang berlaku.

Huruf e Yang dimaksud dengan hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas

satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.

Huruf f Yang dimaksud dengan hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang

kewenangan pelaksanannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Ayat (4)

Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksudkan dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk

penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik untuk pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Misalnya tanah dan atau bangunan yang digunakan instansi pemerintah, rumah sakit pemerintahan, jalan umum.

Huruf c Yang dimaksud badan atau perwakilan organisasi internasional adalah badan

atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non pemerintah.

Huruf d Yang dimaksud konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak

baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh pemerintah.

Contoh:

1. hak guna bangunan menjadi hak milik tanpa adanya perubahan nama; 2. bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat girik atau sejenisnya)

menjadi hak baru.

Page 158: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 149

Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama. Contoh: Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB), yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya HGB.

Huruf e Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang

memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.

Huruf f Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah

disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Huruf b sampai dengan huruf o Cukup jelas Ayat (3) Contoh:

Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (harga transaksi) Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar 35.000.000 ,00 (tiga puluh lima juta rupiah), maka yang dipakai sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Rp 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) dan bukan Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Ayat (4)

Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7

Contoh:

Page 159: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 150

Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp.65.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp.60.000.000,00 (-) Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = Rp. 5.000.000,00

Pajak Yang Terutang = 5% x Rp5.000.000,00 = Rp. 250.000,00 Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Huruf a Yang dimaksud dengan sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta dalam pasal

ini adalah tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat akta Tanah/Notaris

Huruf b sampai dengan huruf n Cukup jelas Huruf o Yang dimaksud dengan sejak tanggal penunjukan pemenang lelang adalah tanggal

ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang.

Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “risalah lelang” adalah kutipan risalah lelang yang

ditandatangani oleh Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)

Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan SPTBPHTB.

Jika Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, dapat diterbitkan SKBPHTBKB dan/atau SKBPHTBKBT yang menjadi sarana penagihan.

Page 160: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 151

Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas

Page 161: BPHTB Kota Denpasar

Tim Peneliti Pusat Perancangan Hukum CLD Fakultas Hukum Universitas Udayana

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Denpasar tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 152

Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas