BPH BLOk 20
-
Upload
brian-angelo-soekamto -
Category
Documents
-
view
44 -
download
12
Transcript of BPH BLOk 20
Patofisiologi BPH
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra par prostatika dan akan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urin, bulli – buli harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan
itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli – buli
berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli –
buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-bli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala
– gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter.
Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.7
Hiperplasi prostat
Penyempitan lumen uretra posterior
Tekanan intravesikal ↑
Buli-buli Ginjal dan Ureter
o Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter
o Trabekulasi - Hidroureter
o Selula - Hidronefrosis
o Divertikel buli-buli - Pionefrosis Pilonefritis
- Gagal ginjal
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen
mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya
pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi
gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus
otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada
alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan
tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung
dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.6
6. Gambaran Klinis BPH
Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
di luar saluran kemih.
1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruktif dan gejala
iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena
didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup
kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy)
2. Pancaran miksi yang lemah (weak stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga
faktor, yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor 7,10,11
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun
volume kelenjar periurethral sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat
dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya
kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.8
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna pada
saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat
menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum
penuh.
Gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (nyeri pada waktu miksi)
Gejala-gejala diatas sering disebut sindroma prostatimus. Secara klinis derajat berat gejala
prostatmus dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatimus + sisa kencing
Grade II : Gejala prostatimus + sisa kencing > 50 ml
Grade III: Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin >
150 ml.8
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, WHO
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor
Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem
skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS)
dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang
menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu: - Ringan : skor
0-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35
Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria untuk
mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami kepayahan
(fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi
urin akut.
Faktor pencetus
Kompensasi Dekompensasi
(LUTS) Retensi urin
Inkontinensia paradoksa
International Prostatic Symptom Score
Pertanyaan Jawaban dan skor
Keluhan pada bulan
terakhir
Tidak
sekali<20% <50% 50% >50% Hampir selalu
a. Adakah anda merasa
buli-buli tidak kosong
setelah berkemih
0 1 2 3 4 5
b. Berapa kali anda
berkemih lagi dalam
waktu 2 menit
0 1 2 3 4 5
c. Berapa kali terjadi
arus urin berhenti
sewaktu berkemih
0 1 2 3 4 5
d. Berapa kali anda
tidak dapat menahan
untuk berkemih
0 1 2 3 4 5
e. Beraapa kali terjadi
arus lemah sewaktu
memulai kencing
0 1 2 3 4 5
f. Berapa keli terjadi
bangun tidur anda
kesulitan memulai
untuk berkemih
0 1 2 3 4 5
g. Berapa kali anda
bangun untuk
berkemih di malam
hari
0 1 2 3 4 5
Jumlah nilai :
0 = baik sekali 3 = kurang
1 = baik 4 = buruk
2 = kurang baik 5 = buruk sekali
Timbulnya dekompensasi vesica urinaria biasanya didahului oleh beberapa faktor pencetus,
antara lain :
o Volue vesica urinaria tiba – tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing
terlalu lama, mengkonsumsi obat – obatan atau minuman yang mengandung diuretikum
(alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah yang berlebihan
o Massa prostat tiba – tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut.
o Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau
yang dapat mempersempit leher vesica urinaria, antara lain: golongan antikolinergik atau alfa
adrenergik.7
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala
obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis)., atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
3. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.7
7. Diagnosis BPH
a. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus sfingter ani,
reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam
rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaab prostat harus diperhatkan :
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
2. Adakah asimetris
3. Adakah nodul pada prostat
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulcus medianus prostat
6. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar, konsistensi
prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dan kiri simetris,
tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia
prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi
prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada
batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-
kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang
dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi
total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia
eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis
daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa
kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra
simfisis.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.
1. Darah : - Ureum dan Kreatinin
2. Urin
Elektrolit
Blood urea nitrogen
Prostate Specific Antigen (PSA)
Gula darah
2. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test
Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
Sedimen
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang
menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa
antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran
kemih bagian atas. Sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adanya
penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada vesica urinaria.
d. Pemeriksaan pencitraan
1. foto polos abdomen (BNO)
BNO berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa
prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan vesica urinaria yang penuh terisi urin,
yang merupakan tanda dari suatu retensi urin. Selain itu juga bisa menunjukkan adanya
hidronefrosis, divertikel kandung kemih atau adanya metastasis ke tulang dari karsinoma
prostat.
2. Pielografi intravena (IVP)
Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya :
a. Kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidronefrosis.
b. Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya
pendesakan vesika urinaria oleh kelenjar prostat.
c. Penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya trabekulasi, divertikel,
atau sakulasi vesica urinaria.
d. foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin.
3. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram retrograd
dapat pula memberi gambaran indentasi.
4. USG secara transrektal (Transrectal Ultrasonography = TURS)
Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran
prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan
volume vesica urinaria dan jumlah residual urine, serta mencari kelainan lain yang mungkin
ada di dalam vesica urinaria seperti batu, tumor, dan divertikel.
5. Pemeriksaan Sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine
ditemukan mikrohematuria. Sistografi dapat memberikan gambaran kemungkinan tumor di
dalam vesica urinaria atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter,
atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu juga memberi keterangan mengenai basar
prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke
dalam uretra.
6. MRI atau CT jarang dilakukan
Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam potongan.
e. Pemeriksaan Lain
1. uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh : - daya
kontraksi otot detrusor
tekanan intravesica
resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan puncak laju pancaran
mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik
dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah
pancaran urin yang dihasilkan.
2. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat
membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang
melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran
dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan
intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.
3. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana
dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal atau
ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan
membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya
kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa
urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi
pada penderita prostat hipertrofi.3,6,8,10,11
9. Kriteria Pembesaran Prostat
Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya adalah :
1. Rektal grading
Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :
derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum
derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum
2. Berdasarkan jumlah residual urine
derajat 1 : <>
derajat 2 : 50-100 ml
derajat 3 : >100 ml
derajat 4 : retensi urin total
3. Intra vesikal grading
derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet
derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter
derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter
derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter
4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi : -
derajat 1 : kissing 1 cm
derajat 2 : kissing 2 cm
derajat 3 : kissing 3 cm
derajat 4 : kissing >3 cm6
10. Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan
komplikasi sebagai berikut :
1. Inkontinensia Paradoks
2. Batu kandung kemih
3. Hematuria
4. Sistits
5. Pielonefritis
6. Retensi Urin Akut / Kronik
7. Refluks Vesiko-Ureter
8. Hidroureter
9. Hidronefrosis
10. Gagal Ginja
11. Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan
penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi
berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin, yaitu:
- Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml.
- Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih
menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100
ml.
- Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih
dari 100 ml
- Derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat
gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHOProstate Symptom Score). Skor ini
berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah
dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan
menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul
obstruksi.3,11
Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan
cara penanganan.
Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat
diberikan pengobatan secara konservatif.
Derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan
yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection
(TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam
keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif.
Derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup
berpengalaman biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam
maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka.
Derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan
penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang sistostomi
setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian
terapi definitif dapat dengan TURP atau operasi terbuka.3,11
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas
hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan bedah
masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun
demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang
mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat gejala
klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral,
menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan
gejala klinik ditujukan untuk :
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 7,11
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher
vesica urinaria. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau
tindakan endourologi yang kurang invasif.
Pilihan Terapi pada Hiperplasi Prostat Benigna7
Terapi Konservatif Non Operatif
1. Observasi (Watchful waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasihat yang diberikan adalah
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-
obatan dekongestal (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi, dan tidak diperbolehkan
Observasi Medikamentosa Operasi Invasif Minimal
Watchfull
waiting
Penghambat
adrenergik αProstatektomi terbuka
TUMT
TUBD
Penghambat
reduktase α
Fitoterapi
Hormonal
Endourologi
1. TUR P
2. TUIP
3. TULP
(laser)
Strent uretra
dengan
prostacath
TUNA
minuman alkohol agar tidak sering miksi. Setiap 3 bulan lakukan kontrol keluhan (sistem
skor), sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur.5
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk:
1. mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan blocker (penghambat
alfa adrenergik)
1. menurunkan volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dehidrotestosteron (DHT)
Obat Penghambat adrenergik
Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di dalam prostat dan leher
vesica berkurang dengan menghambat rangsangan alpha adrenergik. Seperti diketahui di
dalam otot polos prostat dan leher vesica banyak terdapat reseptor alpha adrenergik. Obat-
obatan yang sering digunakan prazosin, terazosin, doksazosin, dan alfuzosin. Obat
penghambat alpha adrenergik yang lebih selektif terhadap otot polos prostat yaitu
α1a (tamsulosin), sehingga efek sistemik yang tak diinginkan dari pemakai obat ini dapat
dikurangi. Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaan
antagonis alpha 1 adrenergik untuk mengurangi obstruksi pada vesica tanpa merusak
kontraktilitas detrusor.
Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran urine, menurunkan sisa urine
dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini juga memberi penyulit hipotensi, pusing, mual,
lemas, dan meskipun sangat jarang bisa terjadi ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai
merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2 minggu setelah pemakaian obat.
Obat Penghambat Enzim 5 Alpha Reduktase
Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat golongan ini
dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron sehingga prostat yang membesar dapat
mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan alpha blocker dan
manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat besar. Salah satu efek samping obat ini
adalah melemahkan libido dan ginekomastia. 3,4,12
Fitoterapi
Merupakan terapi alternatif yang berasal dari tumbuhan. Fitoterapi yang digunakan untuk
pengobatan BPH adalah Serenoa repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin Seeds. Keduanya,
terutama Serenoa repens semakin diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian
prostatisme BPH dalam konteks “watchfull waiting strategy”.
Saw Palmetto menunjukkan perbaikan klinis dalam hal:
frekuensi nokturia berkurang
aliran kencing bertambah lancar
volume residu di kandung kencing berkurang
gejala kurang enak dalam mekanisme urinaria berkurang.
Mekanisme kerja obat diduga kuat:
menghambat aktivitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor androgen
bersifat antiinflamasi dan anti oedema dengan cara menghambat aktivitas enzim
cyclooxygenase dan 5 lipoxygenase. 4,5
3. Terapi Operatif
Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasi prostat yang sudah menimbulkan penyulit
tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih, hematuri, infeksi saluran kemih,
kelainan pada saluran kemih bagian atas, atau keluhan LUTS yang tidak menunjukkan
perbaikan setelah menjalani pengobatan medikamentosa. Tindakan operasi yang dilakukan
adalah operasi terbuka atau operasi endourologi transuretra.
1. Prostatektomi terbuka
a.1. Retropubic infravesica (Terence Millin)
Keuntungan :
Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal
Mortaliti rate rendah
Langsung melihat fossa prostat
Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
Perdarahan lebih mudah dirawat
Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila
membuka vesika
Kerugian :
Dapat memotong pleksus santorini
Mudah berdarah
Dapat terjadi osteitis pubis
Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam
vesika
Komplikasi : perdarahan, infeksi, osteitis pubis, trombosis
a.2. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)
Keuntungan :
Baik untuk kelenjar besar
Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit : batu buli,
batu ureter distal, divertikel, uretrokel, adanya sistostomi, retropubik sulit karena kelainan os
pubis, kerusakan sphingter eksterna minimal.
Kerugian :
- Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica sembuh
Sulit pada orang gemuk
Sulit untuk kontrol perdarahan
Merusak mukosa kulit
Mortality rate 1 – 5 %
Sulit pada orang gemuk
Sulit untuk kontrol pe rdarahan
Merusak mukosa kulit
Mortality rate 1 -5 %
Komplikasi :
Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neckstenosis 4%)
Inkontinensia (<1%)
Perdarahan
Epididimo orchitis
Recurent (10 – 20%)
Carcinoma
Ejakulasi retrograde
Impotensi
Fimosis
Deep venous trombosis
a.3. Transperineal
Keuntungan :
Dapat langssung pada fossa prostat
Pembuluh darah tampak lebih jelas
Mudah untuk pinggul sempit
Langsung biopsi untuk karsinoma
Kerugian :
Impotensi
Inkontinensia
Bisa terkena rektum
Perdarahan hebat
Merusak diagframa urogenital 3,6,7,8,1011
b. Prostatektomi Endourologi
b.1.Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya terdiri
dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini
cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian
kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan
tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk
membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi.Evaluasi ini berperan selektif
dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR.
Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh
dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan
(pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah.
Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak
terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup
murah adalah H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat
masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi.
Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air
atau dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai
gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.
Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam
keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.
Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non ionik yang lain
tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah cairan glisin, membatasi
jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk
mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.
Keuntungan :
Lama perawatan lebih pendek
Morbiditas dan mortalitas rendah
Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol
Kerugian :
Teknik sulit
Resiko merusak uretra
Intoksikasi cairan
Trauma sphingter eksterna dan trigonum
Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
Alat mahal
Ketrampilan khusus
Komplikasi:
- Selama operasi: perdarahan, sindrom TURP, dan perforasi
- Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi lokal atau sistemik
- Pasca bedah lanjut: inkontinensia, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, dan striktura uretra.
b.2. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)
Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran prostatnya
mendekati normal.Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang
umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau
bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik
yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi memakai alat
pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai
dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat.
Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan menurunnya kejadian
ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR.
b.3.Trans Urethral Laser of the Prostate (Laser prostatectomy)
Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat prostat yang
membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF
belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara operasi yang
dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.
Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-
masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan
ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan
prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera menjadi lebih lebar, yang kemudian
masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang akan menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam
setelah 4-24 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat
menyerupai rongga yang terjadi sehabis TUR.
Keuntungan bedah laser ialah :
1. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi akibat
bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
2. Teknik lebih sederhana
3. Waktu operasi lebih cepat
4. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
5. Tidak memerlukan terapi antikoagulan
6. Resiko impotensi tidak ada
7. Resiko ejakulasi retrograd minimal
Kerugian :
Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional).6,8,11
3. Invasif Minimal
1. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Cara memanaskan prostat sampai 44,5C – 47C ini mulai diperkenalkan dalam tiga tahun
terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar periuretral yang membesar ini dengan
gelombang mikro (microwave) yaitu dengan gelombang ultarasonik atau gelombang radio
kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis jaringan prostat, selain itu juga akan
menurunkan tonus otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra menurun sehingga
obstruksi berkurang. lanjut mengenai cara kerja dasar klinikal, efektifitasnya serta side efek
yang mungkin timbul.
2. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)
Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan dengan jalan
melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan melalui operasi terbuka
(transvesikal).
Prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar. Mekanismenya :
1. Kapsul prostat diregangkan
2. Tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut
3. Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika dirusak
3. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)
Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk menghasilkan ablasi
termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang baik guna mencapai tujuan untuk
menghasilkan prosedur dengan perdarahan minimal, tidak invasif dan mekanisme ejakulasi
dapat dipertahankan.
4. Stent Urethra
Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja kateter tersebut
dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang spiral dibuat dari logam
bercampur emas yang dipasang diujung kateter (Prostacath). Stents ini digunakan sebagai
protesis indwelling permanen yang ditempatkan dengan bantuan endoskopi atau bimbingan
pencitraan. Untuk memasangnya, panjang uretra pars prostatika diukur dengan USG dan
kemudian dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter
pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars prostatika maka spiral tersebut dapat
dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent ini merupakan cara mengatasi obstruksi
infravesikal yang juga kurang invasif, yang merupakan alternatif sementara apabila kondisi
penderita belum memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif. 2,7,8,11
DAFTAR PUSTAKA
1. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC,
1994.
2. Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek – Efek
Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.
3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC, 1997.
4. Majalah Illmu Bedah Indonesia: ROPANASURI Vol XXV, No. 1, Januari-Maret 1997; 37
5. Anonim. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina, 1997.
6. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK
UNDIP.
7. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.
8. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan,
Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto
Mangunkusumo, 1993.
9. Cockett A.T.K, Koshiba K : Manual of Urologic Surgery, New York, Springer Verlag, 5,
1979, 125-4
10. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama,
Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.
11. Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah
Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.
12. Mansjoer, A., dkk, Kapita Selekta Indonesia, Penerbit Media Asculapius, FK UI 2000;
320-3
BAB I
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar
periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke
perifer dan menjadi simpai bedah1.
B. Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40
tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai
pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-
an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hyperplasia1.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini dialami
oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun3.
C. Etiologi
Belum diketahui secara pasti, saat ini terdapat beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hiperplasia prostat antara lain1:
Teori Hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH, juga
terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen
juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan
keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan
adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron
diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan
untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif
testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain
yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam
keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon
androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya
usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan
penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon
gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari
fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi
terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Terdapat
empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth factor, transforming growth 1,
transforming growth factor 2, dan epidermal growth factor.
Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkurangnya Sel yang Mati
Teori Sel (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada
dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati,
keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang
dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel
stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi
abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel
kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
Teori Dihidro Testosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar
adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex
hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas.
Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati
membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh
enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan
reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor
complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk
kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA.
RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar
prostat.
Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada kelenjar
periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular budding” kemudian
bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal
budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan perkembangan
prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti
perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh
lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang penyebab
terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-
zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori
peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan
sebab-akibatnya.
D. Patofisiologi
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen
mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya
pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi
gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus
otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada
alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan
tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung
dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik1.
Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi uretra. Selanjutnya
hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk mengatasi resistensi uretra yang
meningkat, otot-otot detrusor akan berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang
terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan
otot detrusor ini disebut fase kompensasi1.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-
gejala prostatismus1.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter.
Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal1.
E. Gambaran Klinis
Gejala Klinis
Gejala hyperplasia prostat menurut Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas gejala obstruktif dan
gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan karena penyempitan uretra pars prostatika karena
didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup
kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala-gejalanya antara lain1:
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga
factor, yaitu:
a. Volume kelenjar periuretral
b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada
saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran
prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun
belum penuh., gejalanya ialah1 :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis
pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring
yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skorInternational
Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skorAmerican Urological
Association (AUA). Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski.
Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan
obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7
ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat3.
Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan untuk
menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor dapat berkisar
antara 0-29. Skor <> 20 berat. Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen
Iversen penderita tidak menilai sendiri derajat keluhannya. Perbedaan ini yang mendasari
mengapa skor Madsen-Iversen digunakan di Sub Bagian Urologi RSUPN Cipto
Mangunkusumo3.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan
colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo
cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan
tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan1:
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Simetris/ asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba
ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada
carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat
tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi1.
Kelenjar prostat Normal
Kelenjar prostat Hiperplasia, ada pendorongan prostat kearah rectum
Kelenjar prostat Karsinoma,teraba nodul keras
Gambar 4. Digital Rectal Examination , Kelenjar Prostat Normal, Hiperplasia, Karsinoma2.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-
kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit
pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi
retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia.
Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain
yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra
anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus1.
F. pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium1
Darah
Ureum, kreatinin, elektrolit, Blood urea nitrogen, Prostate Specific Antigen (PSA), Gula
darah
Urine
Kultur urin dan test sensitifitas, urinalisis dan pemeriksaan mikroskopis, sedimen
Pemeriksaan pencitraan1
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih,
hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya
metastasis ke tulang dari carsinoma prostat
b. Pielografi Intravena (IVP)
Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat pada dasar kandung
kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).
Dapat pula mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter
ataupun hidronefrosis serta penyulit (trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli). Foto
setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin.
c. Sistogram retrograde
Memberikan gambaran indentasi pada pasien yang telah dipasang kateter karena retensi urin.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
Deteksi pembesaran prostat dengan mengukur residu urin
e. MRI atau CT scan
Jarang dilakukan. Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam –
macam potongan
Pemeriksaan lain1
Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran ditentukan oleh daya kontraksi otot
detrusor, tekanan intravesika, resistensi uretra. Angka normal laju pancaran urin ialah 12
ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju
pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik.
Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat
membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang
melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran
dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan
intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.
Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana
dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal.
Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto
post voiding atau USG.
G. Diagnosis
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui1:
1. Anamnesis : adanya gejala obstruktif dan gejala iritatif
2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai prostat yang
membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol ke dalam rektum.
Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas semakin sulit untuk diraba.
3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi
H. Diagnosis Banding
Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya3:
1. Struktur uretra
2. Kontraktur leher vesika
3. Batu buli-buli kecil
4. Kanker prostat
5. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan obat-obat
parasimpatolitik.
Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :
1. Instabilitas detrusor
2. Karsinoma in situ vesika
3. Infeksi saluran kemih
4. Prostatitis
5. Batu ureter distal
6. Batu vesika kecil.
I. Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan
komplikasi sebagai berikut1
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Refluks Vesiko-Ureter
h. Hidroureter
i. Hidronefrosis
j. Gagal Ginjal
J. Penatalaksanaan
Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan teknologi yang
canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi bedah minimal invasif yang
memerlukan teknologi canggih serta tingkat keterampilan yang tinggi. Berikut ini akan
dibahas penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah
konvensional, dan terapi minimal invasif.3
Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS <>3.
1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar mengurangi
nokturia.
2. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan).
3. Mengurangi kopi.
4. Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil. Penderita
dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring, uroflowmetri, dan TRUS.
5. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.
Terapi Medikamentosa
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa). Terdapat tiga
macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu dengan penghambat
adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi3.
Penghambat adrenergik a-1
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan pada otot polos
ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan demikian, akan terjadi
relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars prostatika menurun dan
mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi relatif
cepat.
Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat menimbulkan keluhan
pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah (fatique).
Pengobatan dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa pertanyaan,
seperti berapa lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap baik mengingat
sumbatan oleh prostat makin lama akan makin berat dengan tumbuhnya volume prostat.
Contoh obat: prazosin, terazosin dosis 1 mg/hari, dan dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/hari.
Tamsulosin dengan dosis 0.2-0.4 mg/hari2.
Penghambat enzim 5a reduktase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga testosteron tidak
diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi DHT dalam jaringan
prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein. Obat ini baru akan memberikan
perbaikan simptom setelah 6 bulan terapi.
Salah satu efek samping obat ini adalah menurunnya libido dan kadar serum PSA2. Contoh
obat : finasteride dosis 5 mg/hari.
Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase
Terapi kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a reduktase pertama
kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat penurunan skor dan
peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan penghambat adrenergik a-1. Namun,
masih terdapat keraguan mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih kecil dibandingkan
kelompok lain. Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Fitoterapi
Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan poluler diberikan di Eropa dan baru-baru ini di
Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis rooperis,
Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula, Echinacea
purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan
keamanannya3.
Terapi Bedah Konvensional
Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan3:
1. Prostatektomi terbuka :
a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)
b. Prostatektomi retropubik (Terence Millin)
c. Prostatektomi perinealis (Young)
2. Prostatektomi tertutup :
a. Reseksi transuretral.
b. Bedah beku
Open simple prostatectomy
Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu besar, di atas 100
gram, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli. Dapat dilakukan dengan teknik
transvesikal atau retropubik. Operasi terbuka memberikan morbiditas dan mortalitas yang
lebih tinggi daripada TUR-P1-23.
Terapi Invasif Minimal
Transurethral resection of the prostate (TUR-P)
Prinsip TUR-P adalah menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang menimbulkan
obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter. Sampai saat ini, TUR-P masih
merupakan baku emas dalam terapi BPH. Sembilan puluh lima persen prostatektomi dapat
dilakukan dengan endoskopi3.
Komplikasi jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia (sindrom TUR), dan
retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang adalah struktur uretra, ejakulasi
retrograd (75%), inkontinensia (<1%),>3.
Transurethral incision of the prostate (TUIP)
Dilakukan terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan dengan ukuran prostat
kecil, yang sering terdapat hiperplasia komisura posterior (leher kandung kemih yang
tinggi)3.
Teknik ini meliputi insisi pada arah jam 5 dan 7. Penyulit yang bisa terjadi adalah ejakulasi
retrograd3.
Terapi laser
Terdapat dua sumber energi yang digunakan, yaitu Nd YAG dan holmium YAG. Tekniknya
antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP) yang dilakukan dengan
bantuan USG, Visual coagulative necrosis, Visual laser ablation of the prostate
(VILAP), dan interstitial laser therapy3.
Keuntungan terapi laser adalah perdarahan minimal, jarang terjadinya sindrom TUR,
mungkin dilakukan pada pasien yang menjalani terapi antikoagulan, dan dapat dilakukan
tanpa perlu dirawat di rumah sakit3.
Kerugiannya di antaranya tidak didapatkan jaringan untuk pemeriksaan histopatologi,
diperlukan waktu pemasangan kateter yang lebih lama, keluhan iritatif yang lebih banyak,
dan harga yang mahal1,2. Efek samping yang pernah dilaporkan di Indonesia adalah
perdarahan (2%), nyeri pasca operasi (3%), retensi (19%), ejakulasi retrograd (3%), dan
disfungsi ereksi (1%)3.
.
Microwave hyperthermia
Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau rektum
sampai suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi3.
Trans urethral needle ablation (TUNA)
Alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2
jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas, sehingga terjadi koagulasi
sepanjang jarum yang menancap di jaringan prostat3.
High intensity focused ultrasound (HIFU)
Melalui probe yang ditempatkan di rektum yang memancarkan energi ultrasounddengan
intensitas tinggi dan terfokus3.
Intraurethral stent
Adalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk mempertahankan
lumen uretra tetap terbuka. Dilakukan pada pasien dengan harapan hidup terbatas dan tidak
dapat dilakukan anestesi atau pembedahan3.
Transurethral baloon dilatation
Dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher
kandung kemih. Prosedur ini hanya efektif bila ukuran prostat kurang dari 40 g, sifatnya
sementara, dan jarang dilakukan lagi3.
BAB III
KESIMPULAN
Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria
lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat bertambah karena terjadi
hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel kelenjar (jaringan dalam kelenjar
prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini terdiri dari gejala obstruksi dan gejala iritatif.
Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional,
dan terapi minimal invasif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mahummad A., 2008., Benigna Prostate Hiperplasia., http://ababar.blogspot
.com/2008/12/benigna-prostate-hyperplasia.html., 3 Maret 2009
2. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi ke – 2.
Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85
3. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign prostatic
hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ.Campbell’s urology. 7th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company; 1998.p.1429-52
BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)
I. PENGERTIAN
Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi adalah hiperplasia
kelenjar
periuretra yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi kapsul
bedah.
(Anonim FK UI 1995).
Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di
inferior dari
kandung kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr, didalamnya berjalan uretra
posterior + 2,5
cm.
Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan sebelah inferior
oleh
diafragma urogenitale. Pada prostat bagian posterior bermuara duktus ejakulatoris
yang
berjalan miring dan berakhir pada verumontanum pada dasar uretra prostatika tepat
proksimal
dari spingter uretra eksterna.
II. PATOFISIOLOGI
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadinya
pembesaran
prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot
destrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan
destrusor
ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah
dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi
retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih
atas.
III. ETIOLOGI
Penyebab secara pasti belum diketahui, namun terdapat faktor resiko umur dan
hormon androgen (Anonim,FK UI,1995). Pada umur diatas 50 tahun, pada orang laki-
laki akan timbul mikronodule dari kelenjar prostatnya.
1V. GAMBARAN KLINIS
Gejala-gejala pembesaran prostat jinak dikenal sebagai Lower Urinary Tract
Symptoms
(LUTS),yang dibedakan menjadi:
1. Gejala iritatif, yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun pada malam hari untuk
miksi (nokturia),perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada
saat miksi ( disuria).
2. Gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas setelah miksi, kalau
mau miksi harus menunggu lama, harus mengedan,kencing terputus-putus, dan waktu
miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinen karena
overflow.
(Anonim,FK UI,1995).
2 / 19BPH
V.PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus,
mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada
perabaan melalui colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri,
adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi
dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi spontan. Sisa miksi
ditentukan engan mengukur urine yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa
urine dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah
miksi.
2.Pemeriksaan laboratorium
a.Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin, elektrolit, kadar ureum kreatinin.
b.Bila perlu Prostate Spesific Antigen (PSA), untuk dasar penentuan biopsi.
3.Pemeriksaan radiologi :
a.Foto polos abdomen
b.BNO-IVP
3 / 19BPH
c.Systocopy
d.Cystografi
4.USG
VI. PENATALAKSANAAN
1. Terapi medikamentosa
2. Terapi bedah : Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya
gejala
dan komplikasi. Indikasi terapi bedah yaitu :
a. Retensio urin berulang
b. Hematuria
c. Tanda penurunan fungsi ginjal
d. Infeksi saluran kencing berulang
e. Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel,hidroureter, dan hidronefrosis.
4 / 19BPH
f. Ada batu saluran kemih.
Macam-macam tindakan pada klien BPH :
1. PROSTATEKTOMI
a. Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu
insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
b. Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih
praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka.
Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung, drainage oleh
bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah
penglihatan langsung,angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta ideal
bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien sangat tua dan
ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan
dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat
mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada
rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.
c. Prostatektomi retropubik.
5 / 19BPH
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik dimana insisi
abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan
kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk
kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang keluar dapat
dikontrol dengan baik dan letak bedah lebih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat
terjadi dalam ruang retropubis. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati
penyakit kandung kemih yang berkaitan serta insiden hemorargi akibat pleksus venosa
prostat meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan
lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.
2. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretra. Cara ini
diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif
dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan
dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
3. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan
6 / 19BPH
terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami
pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan
secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan
reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika
(Anonim,FK UI,1995).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang
dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari
kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila
tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan
jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat
berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari
sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat
untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,
hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka
panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%).
Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan
timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
VII. KOMPLIKASI
1. Perdarahan.
2. Pembentukan bekuan
3. Obstruksi kateter
4. Disfungsi seksual tergantung dari jenis pembedahan.
5. Komplikasi yang lain yaitu perubahan anatomis pada uretra posterior menyebabkan
ejakulasi retrogard yaitu setelah ejakulasi cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih
dan diekskresikan bersama urin. Selain itu vasektomi mungkin dilakukan untuk mencegah
penyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vas deference dan ke dalam epidedemis.
Setelah prostatektomi total ( biasanya untuk kanker ) hampir selalu terjadi impotensi. Bagi
pasien yang tak mau kehilangan aktifitas seksualnya, implant prostetik penis mungkin
digunakan untuk membuat penis menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual.
2 . 3 P E M B E S A R A N P R O S T A T J I N A K
BENIGN PROSTAT IC HYPERPLASIA (BPH)
2.3.1. Ins i d en.
Pembesaran prostat jinak (BPH) me r u p a k a n p e n y a k it p a d a lak i- la k i
u s ia d ia t a s 5 0 t a h u n y a n g s e r in g d ij ump a i. K a r e n a let a k a n a t
ominya y a n g
me nge l i l i ng i ure tr a , p emb e s a r a n d a r i p r o s tat a ka n me nekan l ume n ure tr
a
y a n g me n y e b a b k a n s umb a t a n d a r i a lira n k a n d u n g k emih . S ig n
ifika n
me n in g k a t d e n g a n me n in g k a t n y a u s ia. P a d a p r ia b e r u s ia 5 0 t a h
u n a n g k a
k e j a d ia n n y a s e k it a r 5 0%, d a n p a d a u sia 8 0 t a h u n s e k it a r 8 0%.
S e k it a r 5 0%
d a r i a n g k a t e r s e b u t d i a t a s a k a n men y e b a b k a n g e j a la d a n t a n
d a k linik.
K a r e n a p r o s e s p emb e s a r a n p r o s t at t e r j a d i s e c a r a p e r l a h a n - l
a h a n
ma k a e f e k p e r u b a h a n j u g a t e r j a d i p e r l a h a n - l a h a n (S j ams u h i
d a j a t , 1 9 9 6) .
Di I n d o n e s ia B PH me r u p a k a n u r u ta n k e d u a s e t e l a h b a t u s a l u r a
n
k emih d a n d ip e r k ira k a n d it emu k a n p a d a 5 0% p r ia b e r u s ia d ia t a s
5 0 t a h u n
d e n g a n a n g k a h a r a p a n h i d u p r a t a - r a t a d i I n d o n e s ia y a n g s u
d a h me n c a p a i
6 5 t a h u n d a n d ip e r k ira k a n b a hwa leb ih k u r a n g 5% p r ia I n d o n e s
ia s u d a h
b e r u m u r 6 0 t a h u n a t a u leb ih . K a lau d ih it u n g d a r i s e lur u h p e n
d u d u k
I n d o n e s i a y a n g b e r j uml a h 2 0 0 j u t a l e b i h , k i r a - k i r a 1 0 0 j u t a
t e r d i r i d a r i p r i a ,
d a n y a n g b e r umu r 6 0 t a h u n a t a u leb ih k ir a - k ir a 5 j u t a , s e h in g
g a
d i p e r k i r a k a n a d a 2 , 5 j u t a l a k i - l a ki I n d o n e s ia y a n g me n d e r ita
B PH.
Dengan semakin membaiknya pembangunan dinegara kita yang akan memberikan dampak
kenaikan umur harapan hidup, maka BPH akan semakin bertambah. Oleh karena itu BPH
harus dapat dideteksi oleh para dokter, dengan mengenali manifestasi klinik dari BPH dan
dapat dikelola secara rasional sehingga akan memberikan morbiditas dan mortalitas yang
rendah dengan biaya yang optimal ( R a h a r d j o , 1 9 9 7 ) .
2.3.2. Patofisiologi.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi jalan
kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada
akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritas
disebabkan karena hiersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi,
nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala o\obstruksi terjadi karena detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus – putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat
miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga
vesika sering berkontraksu meskipun belm penuh. Gejala dan tanda ini dberi skor untuk
menentukan berat keluhan klinik. Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi
urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung kemih, dan
timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, suatu saat akan terjadi
kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus
terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan
intra vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada tekanan
sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan
refluks vesikoureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga
lama kelamaan menyebabkan hernia atau haemorroid. Karena selalu terdapat sisa urin, bisa
terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dalat menambah keluhan iritasi
dan hematuria. Batu tersebut dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pielonefritis
2.3.3. E t i o l o g i
Penyebab pasti BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai
tingkat biologi molekuler belum dapat mengugkapkan dengan jelas etiologi
terjadinya BPH. Dianggap adanya ketidakseimbangan hormonal oleh karena
proses ketuaan. Salah satu teori ialah teori testosteron (T) yaitu T bebas yang dirubah
menjadi dehydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 α reduktase yang merupakan bentuk
testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleeh reseptor DHT didalam sitplasma sel prostat
yang kemudian bergabung dengan reseptor inti sehingga dapat masuk kedalam inti untuk
mengadakan iskripsi pada RNA sehingga akan merangsang sintesi protein
B e b e ra p a h i p o t e s i s yan g d i d u g a s e b a g a i p e nye b a b t imb u l nya B
PH
a d a l a h :
• Peran a n d a r i g r owt h f a c t o r ( f a k t o r p e r t umb u h a n ) s e b a g a i p
ema c u
p e r t umb u h a n s t r oma kelen j a r p r o s t a t .
• Me n in g k a t k a n lama h id u p s e l-s e l p r o s t a t k a r e n a b e r k u ra n g nya
s e l
yang mati.
• Teori s e l s t em me n e ran g k a n b a hwa t e r j a d i p r o l i f e ra s i a b n o rma l
s e l
s t em s e h in g g a me nye b a b k a n p r o d u ks i s e l s t r oma d a n s e l e p i t e l
kel e nja r p r o s tat me nja d i b e r l e b i ha n ( P u r n omo , 2 0 0 0 ; R a h a r d j o ,
1 9 9 7 ) .
Gb r. 3 - 1 . a : A . P r o s t a t n o rma l ; 1 . u r e tra 2 . kelen j a r p e r iu r e t ra 3 .
kelen j a r
p r o s t a t ,
B. Hi p e r p l a s i p r o s t a t ; 1 . u r e t ra y g t er j e p i t 2 . p e r i u r e t
ra yan g
h ip e r p las i
3 . kelen j a r a s l i p r o s t a t yan g t e r t e k a n me n j a d i
s e p e r t i s imp a i
(simp a i p r o s tat)
©2003 Digi t ized by USU digi tal l ibrary 11
Gb r 3 . 1 . b : S e rab u t o t o t yan g t e r te k a n memb e n t u k s u r g i c a l c a
p s u l e .
2.3.4. Ge j a l a Kl ini k
Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimtomatik baru terjadi kalau
neoplasma telah menekan lumen urethra prostatika, urethra menjadi panjang
(elongasil), sedangkan kelenjar prostat makin bertambah besar. Ukuran pembesaran
noduler ini tidaklah berhubungan dengan derajat obstruksi yang hebat, sedangkan
yang lain dengan kelenjar prostat yang lebih besar obstruksi yang terjadi hanya
sedikit, karena dapat ditoleransi dengan baik.
Tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur dengan skor IPSS
(Internasional Prostate Symptom Score) diklasifikasi dengan skore 0-7 penderita
ringan, 8-19 penderita sedang dan 20-35 penderita berat (Rahardjo,1997).
A d a j u g a y a n g memb a g i b e r d a s a r k a n d e r a j a t p e n d e r i t a h i p e r
p l a s i
p r o s t a t b e r d a s a r k a n g amb a r a n k l i n i s: ( S j ams u h i d a j a t , 1 9 9 7 )
- De r a j a t I : C o lok d u b u r ; p e n o n j o la n p r o s t a t , b a t a s a
t a s mu d a h
d i r a b a ,
d a n s is a v o lum e u r in < 5 0 m l
- D e r a j a t I I : C o lok d u b u r: p e n o n j o la n p r o s t a t j e la s ,
b a t a s a t a s d a p a t d i c a p a i , s i s a v o l ume u r i n
5 0 - 1 0 0 ml
- D e r a j a t I I I: C o l o k d u b u r ; b a t a s a t a s p ro s t a t t i d a k d a p a t
d i r a b a ,
s i s a v o l ume u r i n>1 0 0 ml
- D e r a j a t I V : Ter j a d i r e tensi uri n total .
P a d a p e n d e r i t a B PH d e n g a n r et e n s i u r in p ema s a n g a n k a t e t e r
me r u p a k a n s u a t u p e r t o l o n g a n awa l , s e l ain me n g h ilan g k a n r a s a
n y e r i j u g a
me n c e g a h a k i b a t - a k i b a t y a n g d a p a t d it imb u lk a n k a r e n a a d a n
y a b e n d u n g a n
a i r k emi h ( S a r i m , 1 9 8 7 ) .
Ge j a l a kl i ni k yang timb ul d i s e b a b ka n o l e h kar e na d ua hal :
1 . Ob s t u k s i .
2 . I r i t a s i .
Ge j a l a -ge j a l a kl i ni k i ni d a p a t b e r up a (B r own , 1 9 8 2; B l a n d y , 1 9
8 3 ;
B u r k i t , 1 9 9 0; F o r r e s t , 1 9 9 0; We i n e r t h , 1 9 9 2 :
• Ge j a la p e r t ama d a n yan g p a ling s e r in g d ij ump a i a d a la h p e n u r u n
a n
kek u a t a n p a n c a r a n d a n k a l i b e r a l i ra n uri ne , o l e h kar e na l ume n
u r e t h ra me n g e c il d a n t a h a n a n d i d alam u r e t h ra me n g e c il d a n t a h
a n a n
d i d a lam u r e t h ra me n in g k a t , s e h in g g a k a n d u n g kemih h a r u s
©2003 Digi t ized by USU digi tal l ibrary 12memb e r ika n t e k a n a n yan g leb ih b
e s a r u n t u k d a p a t me n g e lu a r k a n
u r ine .
• S ul i t m em u l a i ken c ing ( h e s ita n c y ) me n u n j u k a n a d a nya p ema n j a n
g a n
p e r io d e lat e n , s e b e lum k a n d u n g kemih d a p a t me n g h a s ilka n t e k a n
a n
i n t ra - v e s i k a yan g c u k u p t i n g g i .
• D ip e r lu k a n wak t u yan g leb ih lam a u n t u k m e n g o s o n g k a n k a n d
u n g
kemih , j ik a k a n d u n g kemih t id a k d a p a t memp e r t a h a n k a n t e k a n a n
yan g t i n g g i s e l ama b e r kemi h , al i ra n u r i n e d a p a t b e r h e n t i d a n
d r i b b l i n g ( u r i n e me n e t e s s e t e l ah b e r kemi h ) b i s a t e r j a d i . Un t
u k
me n in g k a t k a n u s a h a b e r kemih p a s ie n b i a s a nya me l a k u k a n val va s a
me n a u ve r s ewak t u b e r kemih.
• Ot o t - o t o t k a n d u n g kemih me n j a d i lema h d a n k a n d u n g kemih g a
g a l
me n g o s o n g k a n u r i n e s e c a ra s empu r n a , s e j umla h u r ine t e r t a h a n
d a lam k a n d u n g kemih s e h in g g a me n imb u lk a n s e r in g b e r kemih
( f r e q u e n c y ) d a n s e r i n g b e r kemi h ma l am har i (no c tur i a ).
• I nfeksi yang me nye r tai r e s i d ua l u r i n e a k a n memp e r b e rat g e j a l a ,
k a r e n a a k a n me n amb a h o b s t r u k s i a k i b a t i n f l ama s i s e k u n d e r d
a n
o e d em.
• Res i d u a l u r i n e j u g a d a p a t s e b a g a i p r e d i s p o s i s i t e r b e n t u k
nya b a t u
k a n d u n g kem ih .
• Hema t u r i a s e r i n g t e r j a d i o l e h k a r e n a p emb e s a ra n p r o s t a t
me nye b a b k a n p emb u lu h d a rah nya me n j a d i rap u h .
• B la d d e r o u t le t o b s t r u c t ion a t a u p u n ove r d is t e n s i k a n d u n g
kemih j u g a
d a p a t me nye b a b k a n r e f lu k ves ikou r e t e r d a n s umb a t a n s a luran
kemih
b a g ia n a t a s yan g a k h ir nya me n imb u lk a n hyd r o u r e t e r o n e p h r o s is .
• B i l a o b s t r u k s i c u k u p b e rat , d a p a t me n imb u lk a n g a g a l g in j a l
( r e n a l
fai l ur e ) d a n g e j a l a -ge j a l a uremi a b e r u p a mu a l , mu n t a h , s omn o l e n
a t a u d i s o r i e n t a s i , mu d a h l e l a h d a n p e n u r u n a n b e rat b a d a n .
2.3.5. Peme r i k s a an F i s i k
Peme r i ksa a n p hi s i k d i a g nos ti k yang p a l i n g p e n t i n g u n t u k B PH a d a
l a h
c o l o k d ub ur (di g i ta l r e c ta l e xami na t i o n ) . Pad a p eme r i k s a a n i n i
a k a n
d i j ump a i p emb e s a ra n p r o s t a t t e rab a s ime t r is d e n g a n kon s ist e n s i
kenya l,
s u l k u s me d i a l i s yan g p a d a kea d a a n n o rma l t e rab a d i g a r i s t e n g a
h ,
me n g a l ami o b l i t e ra s i k a r e n a p emb e s a ra n kel e n j a r. Ol e h k a r e n a
p emb e s a ra n
kelen j a r s e c a ra lon g itu d ina l, d a s a r k a n d u n g kemih ( k u t u b / p o le a t
a s p r o s t a t )
t e ran g k a t ke a t a s s e h in g g a t i d a k d a p a t d i rab a o l e h j a r i s ewak t u
c o l o k d u b u r.
J i k a p a d a c o l o k d u b u r t e rab a kelen j a r p r o s t a t d e n g a n kon s ist e
n s i
keras , h a r u s d ic u r ig a i s u a t u k a r s inoma . F ra n k s p a d a t a h u n 1 9 5 4
me nga ta ka n: B PH ter j a d i p a d a b a g i a n d a l am kel e nja r yang me nge l i l i
ng i
u r e t h ra p r o s t a t ik a s e d a n g k a n k a r s inoma t e r j a d i d i b a g i a n l u a
r p a d a l o b u s
p o s t e r i o r ( J o n h s o n , 1 9 8 8 ; B u r k i t , 1 9 9 0 ) .
Kelen j a r p r o s t a t No rma l
©2003 Digi t ized by USU digi tal l ibrary 13Kelen j a r p r o s t a t Hip e r p las ia ,
a d a p e n d o r o n g a n p r o s t a t kea ra h r e k t um
Kelen j a r p r o s t a t Kar s inoma ,
t e rab a n o d u l keras
Gb r. 3 - 2 A : Di g i t a l Rec t a l E x ami na t i o n , Kel e n j a r P r o s t a t No
rma l ,
H ip e r p las ia , Kar s ino m a .
Gb r. 3 - 2 B : Pot o n g a n h o r izon t a l kelen j a r p r o s t a t n o rma l, Hip e r t r
o f i,
Karsinoma.
©2003 Digi t ized by USU digi tal l ibrary 142 . 3 . 6 . P e m e r i k s a a n P e n c i t r a
a n.
Ul t ra s o n o g raf i d a p a t d i l a k u k a n s e c a ra t ra n s - a b d omi n a l a t a u t
ra n s -
r e k t a l ( T RUS ) . C a ra i n i d i a n g g a p s eb a g a i p eme r i k s a a n yan g b
a i k o l e h
k a r e n a ket e p a t a n nya d a lam me n d e t e k s i p emb e s a ra n p r o s t a t , t id a
k a d a
b a h aya rad ia s i d a n j u g a r e lat if mu rah . S e lain u n t u k me n g e t a h u i p
emb e s a ra n
p r o s t a t p eme r i k s a a n u l t ra s o n o g raf i d a p at p ul a me nentuka n v o l ume
b ul i -b ul i ,
me ngukur s i s a uri n, d a n kea d a a n p a tol o g i l a i n s e p e r ti d i v e r ti ke l ,
tumo r d a n
b a t u . De n g a n USG t ra n s - r e k t a l d a p a t d iu k u r b e s a r p r o s t a t u n t
u k
me n e n t u k a n j e n is t e rap i yan g t e p a t . Per k i ra a n b e s a r p r o s t a t d a
p a t p u l a
d i l a k u k a n d e n g a n USG s u p ra p u b i k . Payaran C T a t a u MR I j a ran g
d i l a k u k a n .
De n g a n p eme r i k s a a n rad i o l o g i s e p er t i f o t o p o l o s p e r u t d a n p
i e l o g raf i
i ntra v e na d a p a t d i p e r o l e h keteranga n me nge na i p e nya ki t i kuta n mi s a l
nya
b a t u s a luran kemih , h id r o n e f r o s is , a t a u d iver t ike l k a n d u n g kemih .
Kalau
d i b ua t foto s e tel a h mi ksi d a p a t d i l i ha t s i s a uri n. Pemb e s a ra n p r o s tat
d a p a t
d i l i ha t s e b a g a i l e s i d e fek i s i a n kontras p a d a d a s a r kandung kemi h. S
e c a ra
t i d a k l a n g s u n g p emb e s a ra n p r o s t a t d ap a t d i p e r k i ra k a n a p a b i l
a d a s a r b u l i -
b u l i p a d a g amb a ra n s i s t o g ram t amp a k t e ran g k a t a t a u u j u n g d is t
a l u r e t e r
memb e l o k kea ta s b e r b e ntuk s e p e r ti ma ta kai l . A p a b i l a fungs i g i nja l
b ur uk
s e h in g g a e k s k r e s i g in j a l k u ran g b a ik a t a u p e n d e r i t a s u d a h d i p
a s a n g k a t e t e r
me n e t a p, d a p a t d i l a k u k a n s i s t o g ram r e t r o g rad (R a h a r d j o , 1 9 9 7 ;
S j ams u h i d a j a t , 1 9 9 7) .
2.5. INF EKSI SALURAN KEMIH.
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi sistem tubuh nomor dua setelah infeksi saluran
nafas. Infeksi ini disebabkan oleh berbagai bakteria piogenik; terutama oleh Eschericia coli,
sedangkan di dalam rumah biasanya oleh bakteri dari kelompok pseudomonas, proteus dan
klebsiela.
2 . 5 . 5 . D i a g n o s a
inf e k s i s a lur a n k emih d it e g a k k an d e n g a n memb u k t ik a n a d a n y a
mik r o o r g a n isme d i d a lam s a lur a n k emih . P eme r ik s a a n s a lur a n k
emih y a n g
p e nti ng d a l am me neg a kkan d i a g nos a i nfeksi s a l ur a n kemi h i ni s e tel a h
i s o l a s i d a n i d e n t i f i k a s i a d a l a h p emer ik s a a n u j i k e p e k a a n k
uma n t e r s e b u t
t e r h a d a p a n t ib io t ik d a lam r a n g k a u n t u k t e r a p i a n t ib io t ik y a n g r
a s io n a l.
Peme r i ksa a n uri ne l e ngkap j ug a har us d i l a kukan p a d a p e nde r i ta i
nfeksi
s a lur a n k emih . De n g a n d emik ia n d ia gnos a i nfeksi s a l ur a n kemi h a d a l
a h
b e r d a s a r kan g e j a l a kl i ni s yang timb ul d a n d ik o n f irma s ik a n d e n g a
n a d a n y a
j umla h b a k t e r i y a n g b e rma k n a d i d a lam u r ine y a n g s e h a r u s n y a
s t e r il
(Dz e n , 1 9 9 6 ) .
Pad a p e nde r i ta i nfeksi s a l ur a n kemi h yang s imtoma ti s , ma s a l a h
d i a g n o s a p r ime r y a n g d i h a d a p i a d a la h d a lam me n e n t u k a n lok a s
i t emp a t
i n f e k s i n y a . S e d a n g k a n p a d a p e n d e r i ta y a n g a s imt oma t is , t e t a
p i p a d a
p eme r i k s a a n l a b o r a t o r i umn y a d i j ump a i b a k t e r iur ia y a n g b e rma k
n a , me n u r u t
p e nel i ti a n 8 0% d a r i p e nde r i ta i ni d a p a t diide n t if ik a s i s a t u d a r i t ig
a r iwa y a t
kl i ni s b e r i kut i ni :
1 . R iwa y a t k a t e t e r is a s i a t a u ins tr ume n t a s i k a n d u n g k emih s e b e
lumn y a .
2 . R iwa y a t inf e k s i k a n d u n g k emih s e b e lumn y a .
3 . A d a nya d i a b e te s me l l i tus, hip e r te ns i d a n kehami l a n.
De n g a n me n a nya k a n kea d a a n i n i , d o k t e r d a p a t l e b i h mu d a h
me n g e t a h u i p eme r i k s a a n t amb a h a n a pa yan g d i p e r l u k a n o l e h p
e n d e r i t a
(Na r a y a n , 1 9 9 5 ; P u r n omo , 2 0 0 0 ) .
Di s amp i n g p eme r i k s a a n l a b o r a t o r ium, d i p e r l u k a n j ug a p eme r i k
s a a n
p e n u n j a n g lain, y a n g h a r u s d ilak u k a n s e c a r a s e lek t if u n t u k me n
e n t u k a n
kel a i na n mo r fo l o g i b a i k a ki b a t i nfeksi a ta u kar e na kel a i na n konge ni ta
l .
P eme r i k s a a n p e n t i n g y a n g s e d a p a t mu n g k in h a r u s di l a k u k a n p
a d a p e n d e r i t a
©2003 Digi t ized by USU digi tal l ibrary 30i n f e k s i s a l u r a n k emi h a d a l a h
I n t r a V e n a P y e lo g r a p h i ( I V P ) y a n g d a p a t
memb e r i k a n g amb a r a n f u n g s i e k s r e s i , k e a d a a n u r e t e r d a n d i s
t o r s i s i s t em
p e l vi o -kal i s e s . Peme r i ksa a n I V P j ug a memb e r i k a n g amb a r a n t e n t a n
g
k emu n g k in a n t e r j a d iny a p y e lo n e f r it is k r o n is d e n g a n me liha t b e n
t u k d a n
b e s a r k e d u a g i n j a l , a d a n y a g amb a r a n y a n g a s ime t r i a n t a r a k
e d u a g i n j a l
k a r e n a p e r b e d a a n b e n t u k d a n u k u r an n y a , k a lise s y a n g t ump u
l, me leb a r
a t a u p u n t e r b e n t u k n y a j a r i n g a n p e r ut . J u g a d a p a t d i t emu k a n
a d a n y a
kel a i na n konge ni ta l , kel a i na n o b s tr ukti f a ta up un kel a i na n a na tomi s .
P eme r ik s a a n Ult r a s o n o g r a f i (USG) y a n g s if a t n y a t id a k inv a s if , s
e m a k in
b a n y a k d i p a k a i u n t u k p eme r i k s a a n g i n ja l . Denga n i ni d a p a t d i ni
l a i b e s a r
g amb a r a n g i n j a l , p e rmu ka a n g i n j a l , a d a n y a b e n du n g a n , k e laina
n b e n t u k ,
ma s s a , k i s t a , b a t u d a n s e b a g a i n y a . Demik ia n j u g a g amb a r a n k
a n d u n g
kemi h d a p a t d i l i ha t, namun g amb a r a n ure te r tid a k d a p a t d i ni l a i d e nga
n USG
i ni ( R a h a r j o , 1 9 9 7 ) .
Sistoskopi khususnya pada infeksi saluran kemih yang berulang perlu
dilakukan untuk mengetahui kepastian penyebabnya (misalnya infeksi tuberkulosis)
atau untuk mencari faktor predisposisi, seperti adanya batu, hipertrofi prostat,
divertikel dan sebagainya. Bila dijumpai adanya tanda-tanda klinis infeksi saluran
kemih, tetapi pada pemeriksaan laboratorium tidak dijumpai adanya bakteri, maka
dengan adanya lekosit dalam urine masih perlu dipikirkan adanya infeksi. Infeksiinfeksi
seperti tuberkulosis, jamur, virus, bakteri aerob, parasit ataupun infeksi
protozoa yang kesemuanya memerlukan suatu pemeriksaan khusus (Weinerth,1992;
Raharjo,1997).
DAFTAR PUSTAKA
Bahnson R.R ; ‘Physiology Of the Kidney, Ureter and Bladder ’, ‘ in Basic cience
Review For Surgeous’ , Edi ted by Simmons R.L and Steed D.L,
W.B.Saundrs Company, 1992: 270-287.
Besimon H ; ‘Surgery of the Prostat ’ , in ‘Urologic Surgery’ , Mc Graw-Hi l l , 1991:
260-266.
©2003 Digi t ized by USU digi tal l ibrary 39Blandy J .P : ‘Lecture Notes on Urology’,
3th ed, Blackwell-Scientific
Publ icat ions, 1983: 159-221
Brown R.B ; ‘Cl inical Urology I l lust rated’ , ADIS Heal th Schience Press, 1982:
54-59
Burki t H. J ; ‘Problem Diagnosis And Management ’ , in “Essensial Surgery” ,
Churchi l l Livingstone, London, 1992 : 405-482
Cravens D.D; Ur inary Catheter Management, American Family
Physician,2000, :ht tp: /www. f indar t icles.com/cf_
O/m3225/2_61/59486856/pr int . jhtml
Dzen S.M. ; ‘Kuman Penyebab Infeksi Saluran Kemih dan Kepekaannya
Terhadap Antibiotik’, Lab. Mikrobiolkogi FK Unibraw, Medika, Malang,
1996; 12(10) : 944-949.
For rest APM. Et .al ; ‘Úrological Surgery’, Pr inciples and Pract ise Of Surgery,
2nd Ed, Churchi l l Livingstone, 1990 : 601-639. 1990
Ganong WF; Berkemih’ , Fisiologi Kedokteran (Review of Medical
Physiology) ,Edisi 10, Di ter jemahkan oleh: Adj i Dharma, EGC,1983: 626-
628.
Hakim S.L ; ‘Bacter ial Pat tern In Fi rst and Recur r ing Ur ine Retension on BPH’
in Hasan Sadikin Hospital, Medical Faculty, Padjajaran University
Bandung, PIT IKABI XI I I , Jogjakar ta, 2001.
Harahap S ; ‘ Hubungan infeksi saluran kemih pra bedah dengan insiden
kebocoran pada prostatektomi t ransvesikal ’ , Karya tul isan akhi r
program pendidikan Dokter Spesial is Bedah Bagian Bedah F.K USU,
Medan, 1997.
Hargreave T.B; ‘Bladder and Prostate’ in ‘Farquhanson’s Text book of
Operat ive Surgery’ , 8th ed, Churchi l l Livingstone, London, 1995: 621-
653.
Hol lander J .B, Diokno A.C ; ‘Prostatism Benign Prostatic Hyperplasia’, WB
Saunders Company, Michigan, 1996, 23(1) .
Janas dkk ; ‘ Infeksi Nosokomial Saluran Kencing ( INSK) Di R.S. Khusus
Penyaki t Menular ’ , Bulet in Penel i t ian Kesehatan, Jakar ta, 1992; 20(2) :
22-35.
Johnson DE, et .al : ‘Tumors Of The Geni to Ur inary Tract ’ , in ‘Smi th’s General
Surgery’ , 12th Ed, Edi ted by Tanagho. EA and Mc Aninch, JW, Appler ton
& Lange, 1988: 360-366.
Kass E.H : ‘Asymptomat ic infect ion of the ur inary t ract ’ , Trans Associat ion
Amer ican Physicians, 1956; vol 69 : 56 - 64.
Marshal: ‘Perbandingan jenis dan sensitifitas kuman kandung kemih pada
penderita dengan transvesikal prostatektomi dan vesikolitotomi’, Bagian
I lmu Bedah FK.USU / RSP.H. Adam mal ik dan RS. Pi rngadi , Medan,
1996.
Narayan P; ‘Neoplasms of the Prostate Gland’ , in “Smi th’s General Urologi ” ,
14th ed, Edi tor : Tanagho EA, Appleton & Lange, San Francisco, 1995;
392-430
Nasar I .M ; ‘Saluran Kemih Bagian Distal dan Alat Kelamin Pria’ dalam
‘Patologi Anatomi ’ , Edi tor Himawan S, Bagian Patologi Anatomi FK-UI ,
1985 : 285-307.
Neal D; ‘The prostat and Seminal vesicles’ , in ‘Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery’ , 22th Ed; Mann C.V et .al , ELBS, Madr id, 1995 : 970-992
Nichols R.L ; “ Infeksi Bedah dan Pemilihan Antibiotik”, dalam “Buku Ajar
Bedah” , Editor Sabiston D.C, Ter jemahan: Andr ianto P & Timan, EGC,
Jakar ta, 1995; 206-207
Purnomo B.B ; ‘Dasar -dasar Urologi ’, CV. Infomedika, Jakar ta, 2000: 200-214.
©2003 Digi t ized by USU digi tal l ibrary 40Rahar jo D ; ‘Pembesaran Prostat J inak
Manifestasi Klinik Dan Manajemen’,
Ropanasur i , Jakar ta, 1997, 15(1) : 37-44.
Rochani ; ’Retensio urin’ dalam ‘Kedaruratan Non Medik dan Bedah’ , Balai
Penerbi t FKUI , Jakar ta, 2000 : 95-98.
Sar im E.S : ‘Usaha Menurunkan Angka Bakter iur ia Setelah Pemasangan
Kateter Uret ra Menetap dan Perawatan Terbuka dengan pemakaian
Salep Povidone iodine’ , UPF I lmu Bedah FK UNPAD/ RS. Hasan Sadikin,
Bandung, 1987.
Schaeffer A.J; ‘Infections Of The Urinary Tract’, in “Campbell’s Urologi”, 7th
ed, Vol .1, W.B Saunders Company, Phi ladelphia, 1998; 533-550.
Schulmann CC, et .al : ‘Oral Immunoteraphy Of Recur rent Ur inary6 Tract
Infections : A Double Blind Placebo Controlled Multicenter Study’, The
Journal Of Urology, vol .150, 1993: 917-921.
Sinaga Usul.M & Ronald S : ‘The cur rent status of prostat it is in Medan
Indonesia’, 6th Bayer Symposium of Tractus Urinary Infection, Shin
Yokohama Jepang, 1996.
Sjamsuhidajat R dan Jong WD : ‘Buku Ajar Bedah’ , Ed Revisi , Penerbi t Buku
Kedokteran EGC, Jakar ta, 1997; 995-1093
Suyasa ; ‘ Bacter ial Pat tern In The Urologi Cases That Were Treat ted At
Sanglah General Hospital’, Medical Faculty of Udayana University Bali,
PIT IKABI XI I I , Jogjakar ta, 2001.
Turek PJ, Savage EB ; ‘Kidney and Urinary Tract Physiology’ in ‘Essensials of
Basic Science in Surgery’ , Edi ted by: Savage EB, et .al , J .B Lippicot t
Company, 1993: 264-280.
Weinerth J.L : ‘The Male Genital System’ in ‘Texbook of Surgery, Pocket
Companion’ , Edited by: Sabiston DC and Liver ly HK, Wb Saunders
Company, 1992 : 670-680.