BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

36
SMF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman BRONKOPNEUMONIA DAN BRONKIOLITIS PADA ANAK Disusun oleh : Cempaka Kusuma Dewi & Mirza Syarischa Pembimbing dr. Hj. Sukartini, Sp. A PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2015

description

IKA

Transcript of BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

  • SMF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

    Fakultas Kedokteran

    Universitas Mulawarman

    BRONKOPNEUMONIA DAN BRONKIOLITIS PADA ANAK

    Disusun oleh :

    Cempaka Kusuma Dewi & Mirza Syarischa

    Pembimbing

    dr. Hj. Sukartini, Sp. A

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

    SAMARINDA

    2015

  • LEMBAR PENGESAHAN

    BRONKOPNEUMONIA DAN BRONKIOLITIS PADA ANAK

    Tutorial Klinik

    Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik

    pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak

    Disusun oleh:

    Cempaka Kusuma Dewi & Mirza Syarischa

    Dipresentasikan pada 24 Maret 2015

    Pembimbing

    dr. Hj. Sukartini, Sp. A

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

    SAMARINDA

    2015

  • DAFTAR ISI

    DAFTAR ISI .................................................................................... iii

    BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................ 1

    1.1 Latar Belakang ................................................................. 1

    BAB 2 LAPORAN KASUS ............................................................. 2

    2.1 Identitas Pasien ................................................................. 2

    2.2 Anamnesis ........................................................................ 2

    2.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................ 2

    2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................... 3

    2.5 Diagnosis Kerja ................................................................ 4

    2.6 Penatalaksanaan ............................................................... 4

    2.7 Prognosis .......................................................................... 4

    2.8 Lembar Follow-Up ........................................................... 5

    BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 8

    3.1 Pneumonia ........................................................................ 8

    3.1.1 Definisi ................................................................... 8

    3.1.2 Fisiologi ................................................................ 8

    3.1.3 Klasifikasi ............................................................. 9

    3.2 Bronkopneumonia ............................................................ 9

    3.2.1 Definisi .................................................................. 9

    3.2.2 Epidemiologi ......................................................... 9

    3.2.3 Etiologi .................................................................. 9

    3.2.4 Patogenesis .......................................................... 10

    3.2.5 Manifestasi Klinis ............................................... 12

    3.2.6 Diagnosis ............................................................. 12

    3.2.7 Diagnosis Banding .............................................. 13

    3.2.8 Penatalaksanaan .................................................. 13

    3.2.9 Komplikasi .......................................................... 16

    3.2.10 Prognosis ............................................................ 16

    3.3 Bronkiolitis ..................................................................... 16

    3.3.1 Definisi ................................................................ 16

    3.3.2 Etiologi ................................................................ 16

    3.3.3 Epidemiologi ....................................................... 17

    3.3.4 Patogenesis .......................................................... 17

    3.3.5 Manifestasi Klinis ............................................... 18

    3.3.6 Diagnosis ............................................................. 18

  • 3.3.7 Penatalaksanaan .................................................. 20

    3.3.8 Prognosis ............................................................. 21

    BAB 4 PEMBAHASAN ................................................................. 22

    4.1 Anamnesis ...................................................................... 22

    4.2 Pemeriksaan Fisik .......................................................... 23

    4.3 Penatalaksanaan ............................................................. 24

    BAB 5 PENUTUP .......................................................................... 28

    5.1 Kesimpulan .................................................................... 28

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 29

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Dunia Internasional tahun 2000 dalam menyongsong abad ke 21 bersepakat menetapkan

    Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDG). Ada 8 tujuan yang

    ingin dicapai satu di antaranya adalah MDG-4 penurunan angka kematian anak dengan target

    Angka Kematian Anak-Balita berkurang dua-pertiga. Tujuan ini hanya dapat dicapai melalui

    upaya-upaya intensif yang fokus pada penyebab utama kematian anak, yaitu : pneumonia,

    diare, malaria, kekurangan gizi, dan masalah neonatal. Diperkirakan dari 8,8 juta kematian

    anak di dunia pada tahun 2008, 1,6 juta adalah akibat pneumonia dan 1,3 juta karena diare.

    Kematian karena penyakit ini sangat terkait dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan

    kurangnya akses perawatan kesehatan. Lebih dari 98% kematian pneumonia dan diare pada

    anak-anak terjadi di 68 negara berkembang.

    Pneumonia di Indonesia dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat teratas

    penyebab kematian bayi dan anak balita. Menurut Riskesdas 2007, pneumonia merupakan

    penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada

    daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan. Prevalensi pada anak balita

    (1-4 tahun) adalah 1,00% dengan prevalensi tertinggi adalah provinsi Gorontalo (19,9%) dan

    Bali (13,2%), sedangkan Kalimantan Timur menempati posisi ke 20 dengan prevalensi

    sebesar 0,9% menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007.

  • 2

    BAB 2

    LAPORAN KASUS

    2.1 Identitas Pasien

    Nama : An. J

    Jenis kelamin : Perempuan

    Umur/TTL : 4 bulan

    Alamat : Desa Muara Cepak, Muara Kaman

    Anak ke : 1 (tunggal)

    Tanggal MRS : 5 Maret 2015

    2.2 Anamnesis

    Anamnesis dilakukan pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 11.00 WITA, di ruang Melati

    RSUD A.W. Sjahranie Samarinda berupa alloanamnesa kepada ibu kandung pasien.

    1. Keluhan Utama

    Sesak napas

    2. Riwayat Penyakit Sekarang

    Sesak napas dialami tiba-tiba malam hari, kemudian pasien batuk-batuk sampai

    memerah wajahnya dan pucat bibirnya. Sebelumnya pasien mengalami demam dan

    rewel dari biasanya. Batuk berdahak hingga suaranya serak dan pilek dengan ingus

    berwarna putih kental sejak 1 hari sebelum MRS. Pasien muntah susu dan lendir setelah

    batuk-batuk sebanyak 1 kali 2 sdm. Ibu menyangkal riwayat tersedak sebelumnya.

    Semua gejala muncul dalam 1 hari. Tidak ada mencret maupun perut kembung.

    3. Riwayat Penyakit Dahulu

    MRS 3 Februari 2015 dengan keluhan sesak napas dan batuk disertai BAB cair

    (riwayat tersedak (+))

    Sakit campak saat usia 2 bulan

    4. Riwayat Penyakit Keluarga

    Riwayat mengalami keluhan yang serupa disangkal

    Riwayat DM (-), asma (+) [kakak ayah], tumor (-), penyakit jantung (-), hipertensi

    (+) [ibu], alergi dingin (+) [ayah]

  • 3

    5. Faktor Lingkungan

    Pasien tinggal bersama orang tuanya di rumah bersama (bangsal) milik PT K dimana

    ayah pasien bekerja. Rumah berisi 10 orang pekerja, dengan 2 orang pekerja sudah

    menikah dan termasuk ayah pasien ini yang sudah memiliki anak. Kondisi rumah cukup

    besar, namun tidak memiliki sekat dan jendela hanya ada satu. Di dalam rumah banyak

    pekerja yang merokok termasuk ayahnya.

    6. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

    Berat badan lahir : 2.800 grm

    Panjang badan lahir : 43 cm

    Berat badan sekarang : 5,2 kg

    Tinggi badan sekarang : 58 cm

    Gigi keluar : ibu lupa

    Tersenyum : 3 bulan

    Miring : 4 bulan

    Tengkurap : belum

    Duduk : belum

    Merangkak : belum

    Berdiri : belum

    Berjalan : belum

    Berbicara 2 kata : belum

    7. Makan dan Minum Anak

    ASI : sejak lahir usia 1 minggu, karena bayi menolak ASI

    Susu formula : 1 minggu sekarang, susu Lactogen (2 sdt + 60 cc air)

    8. Pemeriksaan Prenatal

    Periksa di : bidan (kontrol 1 x saat usia kehamilan 8 bulan)

    Penyakit kehamilan : -

    Obat-obatan : vitamin

    9. Riwayat Kelahiran

    Lahir di : klinik

    Ditolong oleh : bidan

    Usia dalam kandungan : cukup bulan (9 bulan)

    Jenis partus : spontan

    10. Pemeliharaan Postnatal

    Jumat, 14 Nov 2015 (22.00 WITA), bayi terlahir tidak menangis dan membiru, namun

    setelah dirangsang dan dihisap lendir dari hidung dan mulutnya bayi kemudian

    menangis kuat dan memerah kulitnya.

  • 2

    11. Jadwal Imunisasi

    Imunisasi Usia Saat Imunisasi

    I II III IV Booster I Booster II

    BCG 2 bulan //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////

    Polio 0 bulan 1 bulan - - - -

    Campak - //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////

    DPT 1 bulan 2 bulan - //////////// - -

    Hepatitis B 0 bulan - - //////////// - -

    2.3 Pemeriksaan Fisik

    Kesan umum : sakit berat

    Kesadaran : E4V5M6

    Tanda Vital

    Nadi : 120 x/menit

    Pernapasan : 60 x/menit

    Temperatur : 38,4o C

    Berat badan : 5,2 kg

    Panjang badan : 58 cm

    Status gizi : baik

    Kepala

    Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut

    Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor diameter

    3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)

    Hidung : sekret hidung (+), pernafasan cuping hidung (-)

    Mulut : mukosa bibir tampak lembab, sianosis (-), faring hiperemis (-)

    Leher : kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)

    Toraks

    a. Pulmo

    Inspeksi : bentuk dan pergerakan dada simetris, retraksi subkostal (+)

    Palpasi : fremitus raba simetris D = S

    Perkusi : sonor di semua lapangan paru

    Auskultasi : vesikuler, rhonki (+/+), wheezing (-/-)

  • 3

    b. Cor

    Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

    Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCLS

    Perkusi : batas jantung

    kanan : ICS III right parasternal line

    kiri : ICS V left midclavicular line

    Auskultasi : S1, S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)

    Abdomen

    Inspeksi : flat

    Palpasi : soefl, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), turgor kulit

    baik

    Perkusi : timpani

    Auskultasi : bising usus (+) kesan normal

    Ekstremitas : akral hangat (+), edem (-)

    2.4 Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan Laboratorium (IGD)

    Laboratorium 5/Maret/2015

    Darah Lengkap

    Hb [g/dL] 11,2

    HCT [%] 32,1

    Leukosit [103/L] 21,9

    Trombosit [103/L] 370

    Kimia Darah

    GDS [mg/dl] 93

    Natrium [mmol/L] 135

    Kalium [mmol/L] 4,9

    Chloride [mmol/L] 97

  • 4

    Roentgen toraks (IGD)

    2.5 Diagnosis Kerja

    Suspek bronkopneumonia ddx. bronkiolitis

    2.6 Penatalaksanaan

    IGD :

    O2 - 1 lpm (nasal kanula)

    Nebulisasi combivent flz

    Ruangan Melati :

    IVFD D5 NS 520 cc/ 24 jam

    O2 1 lpm (nasal kanula)

    Nebulisasi combivent flz + NACL 0,9% 2 cc per 8 jam

    Paracetamol syr 3 x cth

    Cefotaxime 3 x 180 mg, IV

    2.7 Prognosis

    Dubia ad bonam

  • 5

    2.8 Lembar Follow-Up

    Tanggal Perjalanan Penyakit Pengobatan

    9/3/2015

    BB = 5,2 kg

    S : sesak napas, batuk berdahak dan

    pilek, demam, muntah susu dan lendir

    putih

    O :

    KU : tampak sakit berat

    Kesadaran : E4V5M6

    TTV :

    N 100 x/i, RR 42 x/i, T 35,9o C

    ane (-), ikt (-), limfadenopati (-),

    vesikuler +/+, Rh +/+, Wh +/+,

    ekspirasi memanjang(+), retraksi

    subkostal (+), S1/S2 tunggal reguler,

    murmur (-), BU(+)N, NTE (-), akral

    hangat, edema (-)

    A : Bronkopneumonia dan bronkiolitis

    ddx. wheezing atopi

    O2 1 lpm (nasal kanula)

    IVFD D5 NS 520 cc/ 24

    jam

    Cefotaxime 3 x 180 mg, IV

    Dexamethasone 3 x 1 mg,

    IV

    Nebulisasi ventolin amp

    + NaCl 0,95% 2 cc, per 8

    jam

    Puyer (ambroxol 2,5 mg,

    salbutamol 0,5 mg, CTM

    0,5 mg dan efedrin 2,5 mg)

    3 x 1 pulv

    10/3/2015

    BB = 5,2 kg

    S : sesak napas, batuk berdahak dan

    pilek, dan demam

    O :

    KU : tampak sakit sedang

    Kesadaran : E4V5M6

    TTV : N 110 x/i, RR 41 x/i, T 36,3o C

    ane (-), ikt (-), limfadenopati (-),

    vesikuler +/+, Rh +/+, Wh +/+, retraksi

    subkostal (+), S1/S2 tunggal reguler,

    murmur (-), BU(+)N, NTE (-), akral

    hangat, edema (-)

    A : Bronkopneumonia dan bronkiolitis

    ddx. wheezing atopi

    O2 1 lpm (nasal kanula)

    IVFD D5 NS 520 cc/ 24

    jam

    Cefotaxime 3 x 180 mg, IV

    Dexamethasone 3 x 1 mg,

    IV

    Nebulisasi ventolin amp

    + NaCl 0,95% 2 cc, per 8

    jam

    Puyer (ambroxol 2,5 mg,

    salbutamol 0,5 mg, CTM

    0,5 mg dan efedrin 2,5 mg)

    3 x 1 pulv

  • 6

    11/3/2015

    BB = 5 kg

    S : sesak napas berkurang, batuk

    berdahak dan pilek berkurang, masih

    demam

    O :

    KU : tampak sakit sedang

    Kesadaran : E4V5M6

    TTV : N 100 x/i, RR 37 x/i, T 35,8o C

    ane (-), ikt (-), limfadenopati (-),

    vesikuler +/+, Rh +/+, Wh +/+,

    ekspirasi memanjang(+), retraksi

    subkostal (+), S1/S2 tunggal reguler,

    murmur (-), BU(+)N, NTE (-), akral

    hangat, edema (-)

    A : Bronkopneumonia dan bronkiolitis

    ddx. wheezing atopi

    O2 1 lpm (nasal kanula)

    stop

    IVFD D5 NS 520 cc/ 24

    jam

    Cefotaxime 3 x 180 mg, IV

    Dexamethasone 3 x 1 mg,

    IV

    Nebulisasi ventolin amp

    + NaCl 0,95% 2 cc, per 8

    jam

    Puyer (ambroxol 2,5 mg,

    salbutamol 0,5 mg, CTM

    0,5 mg dan efedrin 2,5 mg)

    3 x 1 pulv

    Susu PHP pro 8 x 30 cc, PO

    [saran dokter tidak dipenuhi

    orang tua]

    12/3/2015

    BB = 5 kg

    S : sesak napas berkurang, batuk

    berdahak dan pilek berkurang, disertai

    demam

    O :

    KU : tampak sakit sedang

    Kesadaran : E4V5M6

    TTV : N 130 x/i, RR 59 x/i, T 36,3o C

    ane (-), ikt (-), limfadenopati (-),

    vesikuler +/+, Rh +/+, Wh +/+,

    ekspirasi memanjang(+), retraksi

    subkostal (+), S1/S2 tunggal reguler,

    murmur (-), BU(+)N, NTE (-), akral

    hangat, edema (-)

    A : Bronkopneumonia dan bronkiolitis

    ddx. wheezing atopi

    IVFD D5 NS 520 cc/ 24

    jam

    Cefotaxime 3 x 180 mg, IV

    Dexamethasone 3 x 1 mg,

    IV

    Nebulisasi ventolin 1 amp +

    NaCl 0,95% 4 cc, selang-

    seling dengan budesonide 1

    amp + NaCl 0,95% 4 cc, per

    8 jam

    Puyer (ambroxol 2,5 mg,

    salbutamol 0,5 mg, CTM

    0,5 mg dan efedrin 2,5 mg)

    3 x 1 pulv

  • 7

    Susu PHP pro 8 x 30 cc, PO

    [saran dokter tidak dipenuhi

    orang tua]

    13/3/2015

    BB = 5,2 kg

    S : sesak napas berkurang, batuk

    berdahak dan pilek berkurang, tidak

    ada demam

    O :

    KU : tampak sakit sedang

    Kesadaran : E4V5M6

    TTV : N 120 x/i, RR 57 x/i, T 36,7o C

    ane (-), ikt (-), limfadenopati (-),

    vesikuler +/+, Rh +/+, Wh +/+,

    ekspirasi memanjang(+), retraksi

    subkostal (-), S1/S2 tunggal reguler,

    murmur (-), BU(+)N, NTE (-), akral

    hangat, edema (-)

    A : Bronkopneumonia dan bronkiolitis

    ddx. wheezing atopi

    IVFD D5 NS 520 cc/ 24

    jam

    Cefotaxime 3 x 180 mg, IV

    Dexamethasone 3 x 1 mg,

    IV

    Nebulisasi ventolin 1 amp +

    NaCl 0,95% 4 cc, selang-

    seling dengan budesonide 1

    amp + NaCl 0,95% 4 cc, per

    8 jam

    Puyer (ambroxol 2,5 mg,

    salbutamol 0,5 mg, CTM

    0,5 mg dan efedrin 2,5 mg)

    3 x 1 pulv

    Susu PHP pro 8 x 30 cc, PO

    [saran dokter tidak dipenuhi

    orang tua]

  • 8

    BAB 3

    TINJAUAN PUSTAKA

    3.1 Pneumonia

    3.1.1 Definisi

    Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru (Said, 2010) yang biasanya

    disebabkan oleh infeksi (Kabra, 2013) bakteri, virus, jamur dan benda asing (Hassan &

    Alatas, 1998), serta secara radiografik diasosiasikan sebagai suatu opacity parenkimal

    (Haddad & Cornfield, 2009).

    Definisi klasik dari pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai dengan batuk,

    sesak napas, demam, ronki basah halus, dengan gambaran infiltrat pada foto polos dada

    (Retno, Landia, & Makmuri, 2006).

    3.1.2 Fisiologi

    Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah

    infeksi dan terdiri dari (Hassan & Alatas, 1998) :

    susunan anatomis rongga hidung

    jaringan limfoid di naso-oro-faring

    bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang

    dikeluarkan oleh sel epitel tersebut

    refleks batuk

    refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi

    drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional

    fagositosis, aksi enzimatik dan respon imunohumoral terutama dari IgA

    Anak dengan daya tahan yang terganggu akan mudah menderita pneumonia berulang atau

    tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Faktor lain yang mempengaruhi

    timbulnya pneumonia adalah daya tahan tubuh yang menurun, misalnya akibat malnutrisi

    energi protein, penyakit menahun, faktor iatrogenik seperti trauma pada paru, anestesi,

    aspirasi, maupun pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna (Hassan & Alatas,

    1998).

  • 9

    3.1.3 Klasifikasi

    Pembagian pneumonia tidak ada yang memuaskan. Pada umumnya dibedakan berdasarkan

    anatomis dan etiologis. Secara anatomis, pneumonia dibagi menjadi (1) pneumonia lobaris,

    (2) pneumonia lobularis (bronkopneumonia), dan (3) pneumonia interstisialis (bronkiolitis).

    Sedangkan secara etiologis, pneumonia dibagi menjadi : (1) bakteri, (2) virus, (3)

    Mycoplasma pneumonia, (4) jamur, (5) aspirasi, (6) pneumonia hipostatik, (7) sindrom

    Loeffler (Hassan & Alatas, 1998).

    3.2 Bronkopneumonia

    3.2.1 Definisi

    Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus

    atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution)

    (Rahajoe, Supriyatno, & Setyanto, 2010).

    Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus

    paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat (WHO, 2013).

    3.2.2 Epidemiologi

    Pneumonia di Indonesia dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat teratas

    penyebab kematian bayi dan anak balita. Menurut Riskesdas 2007, pneumonia merupakan

    penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada

    daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan. Prevalensi pada anak balita

    (1-4 tahun) adalah 1,00% dengan prevalensi tertinggi adalah provinsi Gorontalo (19,9%) dan

    Bali (13,2%), sedangkan Kalimantan Timur menempati posisi ke 20 dengan prevalensi

    sebesar 0,9% menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007 (Kemenkes RI, 2010).

    3.2.3 Etiologi

    Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :

  • 10

    Faktor Infeksi

    Faktor Non Infeksi (Fadhila, 2013)

    Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :

    Bronkopneumonia hidrokarbon. Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah

    atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).

    Bronkopneumonia lipoid. Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak

    secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu

    mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal,

    atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang

    menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis

    minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak

    contohnya seperti susu dan minyak ikan.

    3.2.4 Patogenesis

    Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan

    ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru

    merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat

    berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke

  • 11

    dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain : inhalasi langsung dari

    udara, aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring, perluasan langsung

    dari tempat-tempat lain, penyebaran secara hematogen (Retno, Landia, & Makmuri, 2006).

    Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke

    alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu

    mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat

    stadium, yaitu (Setyoningrum, Setiawati, & Makmuri, 2006) :

    Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti) disebut hiperemia, mengacu pada respon

    peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi (Secticsh &

    Prober, 2003). Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di

    tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari

    sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut

    mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur

    komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk

    melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini

    mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi

    pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler

    dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida

    maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan

    penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

    Stadium II (48 jam berikutnya) disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh

    sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari

    reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan

    leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti

    hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan

    bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

    Stadium III (3 8 hari) disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

    mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di

    seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di

    alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna

    merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

    Stadium IV (7 11 hari) disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun

    dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag

    sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

  • 12

    3.2.5 Manifestasi Klinis

    Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama

    beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40C dan mungkin disertai

    kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea, pernafasan cepat dan

    dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk

    biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa

    hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Hassan &

    Alatas, 1998).

    3.2.6 Diagnosis

    Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena

    pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman penyebab

    tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu, WHO (2013) mengajukan pedoman diagnosa

    dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia

    dibedakan berdasarkan :

    Bronkopneumonia sangat berat :

    Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka anak harus dirawat di

    rumah sakit dan diberi antibiotika.

    Bronkopneumonia berat :

    Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,maka anak

    harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.

    Bronkopneumonia :

    Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :

    60 x/menit pada anak usia < 2 bulan

    50 x/menit pada anak usia 2 bulan 1 tahun

    40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.

    Bukan bronkopenumonia :

    Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan tidak

    perlu diberi antibiotika. Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:

    Kultur sputum atau bilasan cairan lambung

    Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus

    Deteksi antigen bakteri

  • 13

    Pemeriksaan Penunjang (IDAI, 2009)

    Radiologi : direkomendasikan pada pasien yang dirawat inap atau bila tanda klinis membingungkan.

    Laboratorium : pemeriksaan jumlah leukosit, kultur dan pewarnaan gram sputum, kultur darah, kultur

    virus, pungsi pleura (jika ada efusi pleura), pemeriksaan CRP, LED, uji tuberkulin (jika ada riwayat

    kontak TB).

    3.2.7 Diagnosis Banding

    Bronkiolitis

    Aspirasi benda asing

    Asma

    Bronkiektasis

    (Bennett, 2014)

    3.2.8 Penatalaksanaan

    Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi hal ini tidak

    dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama, maka dalam praktek diberikan

    pengobatan empiris (WHO, 2013) :

    Antibiotik (WHO, 2013)

    - Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang

    harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons

    yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau

    di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5

    hari berikutnya.

    - Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat

    (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,

    letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan

    kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).

    - Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan

    pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.

    - Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).

    - Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat foto dada.

    - Apabila diduga pneumonia stafilokokal (dijelaskan di bawah untuk pneumonia

    stafilokokal), ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan

    kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15

  • 14

    mg/kgBB/hari 3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin

    (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3

    minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.

    - Terapi berdasarkan usia (IDAI, 2009) :

    Neonatus 2 bulan : ampisilin + gentamisin

    2 bulan 5 tahun :

    Ampisilin/amoksisilin (bila dalam 3 hari tidak membaik bisa ditambahkan

    kloramfenikol)

    Seftriakson

    Co-amoxiclav

    Cefaclor

    Eritromisin

    Claritromisin

    Azitromisin

    Anak 5 tahun : makrolid

    (IDAI, 2009)

    Terapi oksigen (WHO, 2013)

    - Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia pulse oximetry,

    gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen (berikan pada anak dengan saturasi

    oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa

  • 15

    oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila

    saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna

    Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.

    - Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan oksigen pada

    bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak direkomendasikan.

    - Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap waktu.

    - Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada

    bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit) tidak ditemukan lagi.

    - Perawat sebaiknya memeriksa sedikitnya setiap 3 jam bahwa kateter atau prong tidak

    tersumbat oleh mukus dan berada di tempat yang benar serta memastikan semua

    sambungan baik.

    - Sumber oksigen utama adalah silinder. Penting untuk memastikan bahwa semua alat

    diperiksa untuk kompatibilitas dan dipelihara dengan baik, serta staf diberitahu

    tentang penggunaannya secara benar.

    Perawatan suportif (WHO, 2013)

    - Bila anak disertai demam (> 39o C) yang tampaknya menyebabkan distres, beri

    parasetamol.

    - Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronkhodilator kerja cepat. Bila terdapat sekret

    kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan alat

    pengisap secara perlahan.

    - Pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak, tetapi hati-

    hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi.

    o Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.

    o Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan

    rumatan dalam jumlah sedikit tetapi sering. Jika asupan cairan oral

    mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan

    asupan, karena akan meningkatkan risiko pneumonia aspirasi.

    - Jika oksigen diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada

    lubang hidung yang sama.

    - Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan.

    - Beri makanan sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam

    menerimanya.

  • 16

    3.2.9 Komplikasi

    Efusi pleura

    Empiema

    Pneumotoraks

    Pneumatokel

    Abses paru

    Sepsis

    Gagal napas

    (Retno, Landia, & Makmuri, 2006)

    3.2.10 Prognosis

    Secara keseluruhan prognosis bronkopneumonia cukup baik. Kebanyakan pneumonia yang

    disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Bakteri patogen tipikal dan

    organisme atipikal penyebab pneumonia berespon baik terhadap terapi yang diberikan.

    Gangguan fungsi paru jangka panjang sangatlah arang, bahkan pada anak-anak yang telah

    berkomplikasi empiema dan abses paru (Bennett, 2014).

    3.3 Bronkiolitis

    3.3.1 Definisi

    Bronkiolitis adalah penyakit IRA-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada

    bronkiolus (Zain, 2010) dan manifestasi berupa panas, pilek, batuk dan mengi (IDAI, 2009).

    Infeksi saluran respiratorik bawah yang disebabkan virus ini biasanya lebih berat pada bayi

    muda, terjadi epidemik setiap tahun dan ditandai dengan obstruksi saluran pernapasan dan

    wheezing (WHO, 2013).

    3.3.2 Etiologi

    Penyebab tersering adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) (Zain, 2010). Penyebab

    lainnya adalah rhinovirus, adenovirus, parainfluenza virus, enterovirus, influenza virus

    (WHO, 2013), mycoplasma pneumoniae (Hassan & Alatas, 1998), tetapi belum ada bukti

    kuat bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri (Zain, 2010). Infeksi bakteri sekunder bisa

    terjadi dan biasa terjadi pada keadaan tertentu (WHO, 2013).

  • 17

    3.3.3 Epidemiologi

    Penyakit bronkiolitis akut merupakan infeksi respiratorik akut bagian bawah (IRA-B) yang

    sering pada bayi. Sekitar 20% anak pernah mengalami satu episode IRA-B dengan mengi

    pada tahun pertama (Subanada, Setyanto, Supriyatno, & Boediman, 2009). Paling sering

    terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya pada usia 2-8 bulan. Bayi laki-laki berusia 3-6 bulan

    yang tidak mendapatkan ASI dan hidup di lingkungan padat penduduk dikatakan paling

    sering mengalami bronkiolitis (Zain, 2010).

    3.3.4 Patogenesis

    Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respon inflamasi akut, ditandai

    dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris seluler/sel-sel

    mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema

    submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang

    saluran respiratorik, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran

    udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori kecil.

    Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena

    radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menimbulkan air trapping

    dan hiperinflasi. Atelektasi dapat terjadi pada saat obstruksi total dan udara yang terjebak

    diabsorpsi (Zain, 2010).

    Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja

    ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang berikutnya

    akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi

    karbondioksida tidak selalu terjadi, kecuali pada beberapa pasien. Semakin tinggi laju

    respirasi, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan akan meningkat

    selama end-expiratory lung volume meningkat dan komplians paru menurun. Hiperkapnea

    biasanya baru terjadi apabila respirasi mencapai 60x/menit (Zain, 2010).

    Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari. Tetapi silia akan diganti setelah 2 minggu.

    Jaringan mati akan dibersihkan oleh makrofag (Zain, 2010).

    Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus.

    Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin

    merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat

    transien dan tidak lengkap. Infeksi berulang akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit

    karen terjadi cumulative imunity, sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa

  • 18

    cenderung resisten terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia akibat RSV (Landia, Retno,

    & Makmuri, 2005).

    3.3.5 Manifestasi Klinis

    Mula-mula bayi mengalami ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini

    berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang.

    Kemudian timbul distres napas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, dan sesak

    napas. Bayi akan menjadi rewel, muntah, serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya

    terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita ISPA yang

    ringan (Landia, Retno, & Makmuri, 2005).

    Biasanya tanpa disertai kenaikan suhu atau hanya subfebris. Anak mulai mengalami sesak

    napas, makin lama makin hebat, pernapasan dangkal dan cepat, serta retraksi interkostal dan

    supra sternal, anak gelisah dan sianotik. Perkusi ditemukan hipersonor, eksperium

    memanjang disertai mengi (Hassan & Alatas, 1998).

    3.3.6 Diagnosis

    Diagnosis ditegakkan berdasarkan serangkaian proses, meliputi anamnesis, pemeriksaan

    fisik dan pemeriksaan penunjang (IDAI, 2009), yakni :

    Anamnesis

    - Sering terjadi pada anak usia < 2 tahun. Insiden tertinggi pada usia 3-6 bulan.

    - Mengalami demam atau riwayat demam, namun jarang terjadi demam tinggi.

    - Rhinorrhe, nasal discharge, sering timbul sebelum gejala lain seperti batuk,

    takipneu, sesak napas dan kesulitan makan.

    - Batuk disertai gejala nasal adalah gejala yang pertama muncul pada bronkiolitis.

    Batuk kering dan mengi khas untuk bronkiolitis.

    - Poor feeding. Banyak penderita mempunyai kesulitan makan yang berhubungan

    dengan sesak napas, namun gejala tersebut bukanlah hal mendasar untuk diagnosis

    bronkiolitis.

    - Bayi dengan bronkiolitis tampak toksik (mengantuk, letargis, gelisah, pucat,

    mottling dan takikardi) membutuhkan penanganan segera.

    Pemeriksaan Fisik

    - Takikardia

    - Peningkatan suhu diatas 38,5oC

  • 19

    - Dapat ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis

    - Napas cepat sebagai gejala utama LRTI terutama pada bronkiolitis dan pneumonia

    - Retraksi dinding dada sering terjadi. Batuk dada tampak hiperinflasi dan keadaan

    tersebut membedakan bronkiolitis dengan pneumonia

    - Fine inspiratory crackles pada seluruh lapangan paru sering ditemukan pada

    bronkiolitis. Bayi dengan mengi tanpa crackles lebih sering dikelompokkan sebagai

    viral induced wheeze

    - High pitched expiratory wheeze

    - Apnea dapat terjadi terutama pada bayi prematur, BBLR atau usia yang sangat muda

    (< 6 minggu)

    - Untuk menilai berat-ringannya penyakit secara klinis dapat menggunakan skor

    Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yakni bila skor >15

    dimasukkan kategori berat, bila skor < 3 dimasukkan kategori ringan (Landia, Retno,

    & Makmuri, 2005).

    Pemeriksaan Penunjang

    - Saturasi oksigen dengan pulse oxymetry

    - Analisis gas darah, untuk menilai bayi dengan distres napas berat dan kemungkinan

    gagal napas

    - Foto toraks, dipertimbangkan pada bayi dengan diagnosis meragukan atau penyakit

    atipikal

    - Pemeriksaan virologi

    - Pemeriksaan bakteriologi secara rutin tidak diindikasikan pada kasus tipikal.

    Bakteriologi urin dipertimbangkan pada bayi berusia < 60 hari

    - Hematologi

    - CRP

  • 20

    3.3.7 Penatalaksanaan

    Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yakni pemberian oksigen,

    minimal handling pada bayi, IVFD, kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar

    konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu dan nutrisi. Setelah itu barulah

    digunakan bronkodilator, anti inflamasi, anti viral dan preventif dengan vaksin RSV (Zain,

    2010).

    Antibiotik (WHO, 2013)

    - Apabila terdapat napas cepat saja, pasien dapat rawat jalan dan diberikan

    kotrimoksazol (4 mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari, atau amoksisilin (25

    mg/kgBB/kali), 2 kali sehari, selama 3 hari.

    - Apabila terdapat tanda distres pernapasan tanpa sianosis tetapi anak masih bisa

    minum, rawat anak di rumah sakit dan beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/

    kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72

    jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka terapi dilanjutkan di rumah

    atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (25 mg/kgBB/kali, dua kali sehari) untuk

    3 hari berikutnya. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat

    keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan

    semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka

    ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam) sampai

    keadaan membaik, dilanjutkan per oral 4 kali sehari sampai total 10 hari.

    - Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat (pneumonia berat) segera berikan

    oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-

    gentamisin.

    - Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB/kali IM atau IV sekali sehari).

    Oksigen (WHO, 2013)

    - Beri oksigen pada semua anak dengan wheezing dan distres pernapasan berat.

    - Metode yang direkomendasikan untuk pemberian oksigen adalah dengan nasal

    prongs atau kateter nasal. Bisa juga menggunakan kateter nasofaringeal.

    - Pemberian oksigen terbaik untuk bayi muda adalah menggunakan nasal prongs.

    - Teruskan terapi oksigen sampai tanda hipoksia menghilang

    Perawatan suportif (WHO, 2013)

    - Jika anak demam ( 390 C) yang tampak menyebabkan distres, berikan parasetamol.

  • 21

    - Pastikan anak yang dirawat di rumah sakit mendapatkan cairan rumatan harian secara

    tepat sesuai umur, tetapi hindarkan kelebihan cairan/overhidrasi.

    - Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.

    - Bujuk anak untuk makan sesegera mungkin setelah anak sudah bisa makan.

    3.3.8 Prognosis

    Anak biasanya dapat mengatasi serangan sesudah 48-72 jam. Anak biasanya meninggal

    karena jatuh dalam keadaan apneu yang lama, asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau

    karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipneu dan kurang makan minum (Hassan &

    Alatas, 1998).

    Beberapa studi menemukan bahwa 23% dari bayi dengan riwayat bronkiolitis akan

    berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun dan penurunan fungsi paru saat berusia 7 tahun

    (Zain, 2010).

  • 22

    BAB 4

    PEMBAHASAN

    4.1 Anamnesis

    Teori Fakta

    1. Bronkopneumonia biasanya didahului

    oleh infeksi saluran nafas bagian atas

    selama beberapa hari. Suhu dapat naik

    secara mendadak sampai 39-40C dan

    mungkin disertai kejang karena demam

    yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea,

    pernafasan cepat dan dangkal disertai

    pernafasan cuping hidung dan sianosis di

    sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya

    tidak dijumpai pada awal penyakit, anak

    akan mendapat batuk setelah beberapa hari,

    di mana pada awalnya berupa batuk kering

    kemudian menjadi produktif.

    2. Pada bronkiolitis, mula-mula bayi

    mengalami ISPA atas ringan berupa pilek

    yang encer dan bersin. Gejala ini

    berlangsung beberapa hari, kadang-kadang

    disertai demam dan nafsu makan

    berkurang. Kemudian timbul distres napas

    yang ditandai oleh batuk paroksismal,

    wheezing, dan sesak napas. Bayi akan

    menjadi rewel, muntah, serta sulit makan

    dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi

    setelah kontak dengan orang dewasa atau

    anak besar yang menderita ISPA yang

    ringan (Landia, Retno, & Makmuri, 2005).

    1. Keluhan Utama

    Sesak napas

    2. Riwayat Penyakit Sekarang

    Sesak napas dialami tiba-tiba malam hari,

    kemudian pasien batuk-batuk sampai

    memerah wajahnya dan pucat bibirnya.

    Sebelumnya pasien mengalami demam dan

    rewel dari biasanya. Batuk berdahak hingga

    suaranya serak dan pilek dengan ingus

    berwarna putih kental. Pasien muntah susu

    dan lendir setelah batuk-batuk sebanyak 1

    kali 2 sdm. Ibu menyangkal riwayat

    tersedak sebelumnya. Semua gejala muncul

    dalam 1 hari. Tidak ada mencret maupun

    perut kembung.

  • 23

    Anak mulai mengalami sesak napas, makin

    lama makin hebat, pernapasan dangkal, dan

    cepat serta retraksi interkostal dan supra

    sternal, anak gelisah dan sianotik (Hassan &

    Alatas, 1998).

    4.2 Pemeriksaan Fisik

    Teori Fakta

    1. Bronkopneumonia

    Hasil pemeriksaan fisik tergantung pada

    luasnya daerah yang terkena.

    Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai

    adanya kelainan.

    Pada auskultasi mungkin hanya terdengar

    ronki basah gelembung halus sampai

    sedang.

    Bila sarang bronkopneumonia menjadi

    satu (konfluens) mungkin pada perkusi

    terdengar suara yang meredup dan suara

    pernafasan pada auskultasi terdengar

    mengeras. Pada stadium resolusi ronki

    dapat terdengar lagi. Tanpa pengobatan

    biasanya proses penyembuhan dapat

    terjadi antara 2-3 minggu.

    2. Bronkiolitis :

    - Takikardia

    - Peningkatan suhu diatas 38,5oC

    - Dapat ditemukan konjungtivitis

    ringan dan faringitis

    Kesan umum : sakit berat

    Kesadaran : E4V5M6

    Tanda Vital

    Nadi : 120 x/menit

    Pernapasan : 60 x/menit

    Temperatur : 38,4o C

    Berat badan : 5,2 kg

    Panjang badan : 58 cm

    Status gizi : baik

    Kepala

    Rambut :

    warna hitam, tidak mudah dicabut

    Mata :

    konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-

    /-), pupil isokor diameter 3mm/3mm,

    refleks cahaya (+/+)

    Hidung :

    sekret hidung (-), napas cuping hidung (-)

    Mulut :

    mukosa bibir tampak lembab, sianosis (-),

    lidah bersih, faring hiperemis (-)

    Leher : kaku kuduk (-), pembesaran KGB (-)

  • 24

    - Napas cepat sebagai gejala utama

    LRTI terutama pada bronkiolitis

    dan pneumonia

    - Retraksi dinding dada sering

    terjadi. Batuk dada tampak

    hiperinflasi dan keadaan tersebut

    membedakan bronkiolitis dengan

    pneumonia

    - Fine inspiratory crackles pada

    seluruh lapangan paru sering

    ditemukan pada bronkiolitis. Bayi

    dengan mengi tanpa crackles lebih

    sering dikelompokkan sebagai

    viral induced wheeze

    - High pitched expiratory wheeze

    - Apnea dapat terjadi terutama pada

    bayi prematur, BBLR atau usia

    yang sangat muda (< 6 minggu)

    - Untuk menilai berat-ringannya

    penyakit secara klinis dapat

    menggunakan skor Respiratory

    Distress Assessment Instrument

    (RDAI), yakni bila skor >15

    dimasukkan kategori berat, bila

    skor < 3 dimasukkan kategori

    ringan (Landia, Retno, &

    Makmuri, 2005)

    Thoraks

    a. Pulmo

    Inspeksi : bentuk dan pergerakan

    dada simetris, retraksi

    subkostal (+)

    Palpasi : fremitus raba simetris D =S

    Perkusi : sonor di semua lapangan

    paru

    Auskultasi : vesikuler, rhonki

    (+/+), wheezing (-/-)

    b. Cor

    Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

    Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V

    MCLS

    Perkusi : batas jantung dbn

    Auskultasi : S1, S2 tunggal reguler,

    gallop (-), murmur (-)

    Abdomen

    Inspeksi : flat

    Palpasi : soefl, nyeri tekan (-),

    hepatomegali (-),

    splenomegali (-),

    turgor kulit baik

    Perkusi : timpani

    Auskultasi : bising usus (+) N

    Ekstremitas : akral hangat (+), edem (-)

    4.3 Penatalaksanaan

    Teori Fakta

    Bronkopneumonia

    1. Antibiotik

    IVFD D5 NS 520 cc/ 24 jam

    Cefotaxime 3 x 180 mg, IV

  • 25

    - Beri ampisilin/amoksisilin (25-50

    mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6

    jam), yang harus dipantau dalam 24

    jam selama 72 jam pertama. Bila

    anak memberi respons yang baik

    maka diberikan selama 5 hari.

    Selanjutnya terapi dilanjutkan di

    rumah atau di rumah sakit dengan

    amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali

    tiga kali sehari) untuk 5 hari

    berikutnya.

    - Bila keadaan klinis memburuk

    sebelum 48 jam, atau terdapat

    keadaan yang berat (tidak dapat

    menyusu atau minum/makan, atau

    memuntahkan semuanya, kejang,

    letargis atau tidak sadar, sianosis,

    distres pernapasan berat) maka

    ditambahkan kloramfenikol (25

    mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8

    jam).

    - Bila pasien datang dalam keadaan

    klinis berat, segera berikan oksigen

    dan pengobatan kombinasi ampilisin-

    kloramfenikol atau ampisilin-

    gentamisin.

    - Sebagai alternatif, beri seftriakson

    (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali

    sehari).

    - Bila anak tidak membaik dalam 48

    jam, maka bila memungkinkan buat

    foto dada.

    Dexamethasone 3 x 1 mg, IV

    Nebulisasi ventolin 1 amp + NaCl

    0,95% 4 cc, selang-seling dengan

    budesonide 1 amp + NaCl 0,95% 4 cc,

    per 8 jam

    Puyer (ambroxol 2,5 mg, salbutamol 0,5

    mg, CTM 0,5 mg dan efedrin 2,5 mg) 3

    x 1 pulv

    Susu PHP pro 8 x 30 cc, PO

    [saran dokter tidak dipenuhi orang tua]

  • 26

    Terapi oksigen

    - Beri oksigen pada semua anak

    dengan pneumonia berat Bila

    tersedia pulse oximetry, gunakan

    sebagai panduan untuk terapi

    oksigen (berikan pada anak dengan

    saturasi oksigen < 90%, bila tersedia

    oksigen yang cukup). Lakukan

    periode uji coba tanpa oksigen

    setiap harinya pada anak yang

    stabil. Hentikan pemberian oksigen

    bila saturasi tetap stabil > 90%.

    Pemberian oksigen setelah saat ini

    tidak berguna Gunakan nasal

    prongs, kateter nasal, atau kateter

    nasofaringeal.

    - Penggunaan nasal prongs adalah

    metode terbaik untuk

    menghantarkan oksigen pada bayi

    muda. Masker wajah atau masker

    kepala tidak direkomendasikan.

    - Oksigen harus tersedia secara terus-

    menerus setiap waktu.

    - Lanjutkan pemberian oksigen

    sampai tanda hipoksia (seperti

    tarikan dinding dada bagian bawah

    ke dalam yang berat atau napas >

    70/menit) tidak ditemukan lagi.

    Perawatan suportif

    - Bila anak disertai demam (> 390 C)

    yang tampaknya menyebabkan

    distres, beri parasetamol.

  • 27

    - Bila ditemukan adanya wheeze, beri

    bronkhodilator kerja cepat. Bila

    terdapat sekret kental di

    tenggorokan yang tidak dapat

    dikeluarkan oleh anak, hilangkan

    dengan alat pengisap secara

    perlahan.

    - Pastikan anak memperoleh

    kebutuhan cairan rumatan sesuai

    umur anak, tetapi hati-hati terhadap

    kelebihan cairan/overhidrasi.

    2. Bronkiolitis

    Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis

    pada bayi bersifat suportif, yakni pemberian

    oksigen, minimal handling pada bayi,

    IVFD, kecukupan cairan, penyesuaian suhu

    lingkungan agar konsumsi oksigen

    minimal, tunjangan respirasi bila perlu dan

    nutrisi. Setelah itu barulah digunakan

    bronkodilator, anti inflamasi, anti viral dan

    preventif dengan vaksin RSV (Zain, 2010).

  • 28

    BAB 5

    PENUTUP

    5.1 Kesimpulan

    Bronkopneumonia dan bronkiolitis adalah penyakit saluran napas bawah yang seringkali

    dialami oleh anak-anak. Penyebabnya bervariasi, mulai dari virus, bakteri, jamur, aspirasi,

    dsb. Diagnosis dini dan terapi yang adekuat diharapkan mampu menurunkan angka

    morbiditas dan mortalitas pada anak, yang pada akhirnya bertujuan agar tercapainya MDG

    poin ke-4 yakni penurunan angka kematian anak dengan target Angka Kematian Anak-Balita

    berkurang dua-pertiga.

  • 29

    DAFTAR PUSTAKA

    Bennett, N. J. (2014). Pediatric Pneumonia. Medscape.

    Fadhila, A. (2013). Penegakan Diagnosis Dan Penatalaksanaan Bronkopneumonia

    Pada Pasien Bayi Laki-Laki Berusia 6 Bulan. Medula.

    Haddad, I. Y., & Cornfield, D. N. (2009). Pneumonia and Empyema. In D. S.

    Wheeler, H. R. Wong, & T. P. Shanley, The Respiratory Tract in Pediatric Critical Illness

    and Injury. London: Springer.

    Hassan, R., & Alatas, H. (1998). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian

    IKA FK UI.

    IDAI. (2009). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:

    IDAI.

    Kabra, S. K. (2013). Community Acquired Pneumonia. In A. Parthasarathy,

    Textbook of Pediatric Infectious Diseases (pp. 147-153). New Delhi: Jaypee Brothers

    Medical Publisher.

    Kemenkes RI. (2010). Situasi Pneumonia Balita di Indonesia. Buletin Jendela

    Epidemiologi.

    Landia, S., Retno, A. S., & Makmuri, M. (2005, September). Tata Laksana

    Bronkiolitis. Continuing Education : Ilmu Kesehatan Anak XXXV, Kapita Selekta IKA IV.

    Surabaya: SMF IKA FK UNAIR.

    Rahajoe, N. N., Supriyatno, B., & Setyanto, D. B. (2010). Buku Ajar Respirologi

    Anak, Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

    Retno, A. S., Landia, S., & Makmuri, M. (2006, Juli). Pneumonia. Continuing

    Education : Ilmu Kesehatan Anak XXXVI, Kapita Selekta IKA VI. Surabaya: SMF IKA FK

    UNAIR.

    Said, M. (2010). Pneumonia. In N. N. Rahajoe, B. Supriyatno, & D. B. Setyanto,

    Buku Ajar Respirologi Anak, Edisi Pertama (pp. 350-365). Jakarta: Penerbit IDAI.

    Secticsh, T., & Prober, C. (2003). Pneumonia. In R. Behrman, R. Kliegman, & H.

    Jenson, Nelson Textbook of Pediatrics, 17th. Philadelphia: Saunders.

    Setyoningrum, R., Setiawati, L., & Makmuri, M. (2006). Pneumonia. Continuing

    Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI.

    Subanada, I. B., Setyanto, D. B., Supriyatno, B., & Boediman, I. (2009). Faktor-

    Faktor yang Berhubungan dengan Bronkiolitis Akut. Saripediatri, 392-396.

  • 30

    WHO. (2013). Pocket Book of Hospital Care for Children, 2nd Ed. Geneva: World

    Health Organization.

    Zain, M. S. (2010). Bronkiolitis. In N. N. Rahajoe, B. Supriyatno, & D. B. Setyanto,

    Buku Ajar Respirologi Anak, Edisi Pertama (pp. 333-349). Jakarta: Penerbit IDAI.