Botchan

3
Botchan Anggi Hafiz Al Hakam Prelude Membaca Botchan bagi saya adalah suatu keharusan setelah membaca buku Two Japanese Novelists dari Edwin McClellan. Dalam buku itu, McClellan menjelaskan biografi singkat dari kehidupan dua novelis Jepang yang terkenal pada masanya, yaitu Natsume Kinnosuke yang lebih dikenal dengan Natsume Soseki dan Shimazaki Toson. Selain menjelaskan periode kehidupan dua novelis tersebut, McClellan juga memberikan semacam review singkat berisi pembahasan dan penilaian terhadap karyakarya dua novelis itu. McClellan memberikan pembahasan yang mendetail tentang masingmasing cerita (novel) lengkap dengan berbagai proses kreatif, penggalan cerita, dan halhal lain disekitar penulisnya dalam pembuatan karya tersebut. Sayangnya, Botchan sebagai novel kedua yang ditulis pada tahun 1906 oleh Soseki setelah I am a Cat tidak mendapatkan atensi penuh dari McClellan, berbeda dengan karya Soseki lainnya, yaitu I am a Cat, Kokoro, Kusamakura (The Grass Pillow), dll. Mengenai Botchan, McClellan hanya memberikan sedikit penggalan cerita dan penjelasan tentang penyangkalan dari Soseki bahwa proses kreatif penulisan Botchan dianggap sebagai refleksi perjalanan hidupnya saat itu, sebagai seorang guru di daerah terpencil. Dalam bukunya, McClellan menulis, “His personal experiences let him to consider the philosophical and cultural significance of human isolation from a variety of perspectives. The style has a certain crudeness which, thoughtfully intended, limits the range of expression and prevents the novel from having much depth. Style free from ornateness and his quest for naturalness and simplicity, he chose the familiar drive of making a hero, a not very intelligent through wellbred young man. The novel is, therefore in a sense an indictment of modern society. But it is doubtful that Soseki would have admired the young man very much in the role of an arrogant Hatamoto (Shogunal retainers).” Menarik untuk disimak bahwa Soseki melakukan penyangkalan atas karya yang dinilai beberapa pengamat sebagai refleksi dari masamasa awal karirnya. Penilaian ini muncul karena tokoh Botchan digambarkan sebagai orang yang berpendidikan lumayan dan bekerja sebagai seorang guru di derah terpencil, tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang dialami Soseki. Maka, wajar apabila terjadi silang pendapat dan penyangkalan dari penulisnya sendiri mengenai kaitan antara realita yang dialami penulis dengan latar belakang serta jalan cerita keseluruhan.

description

 

Transcript of Botchan

Page 1: Botchan

Botchan Anggi Hafiz Al Hakam 

Prelude 

Membaca Botchan bagi saya adalah suatu keharusan setelah membaca buku Two Japanese Novelists 

dari Edwin McClellan. Dalam buku  itu, McClellan menjelaskan biografi  singkat dari kehidupan dua 

novelis  Jepang  yang  terkenal pada masanya,  yaitu Natsume Kinnosuke  yang  lebih dikenal dengan 

Natsume Soseki dan Shimazaki Toson. Selain menjelaskan periode kehidupan dua novelis tersebut, 

McClellan  juga memberikan  semacam  review  singkat  berisi  pembahasan  dan  penilaian  terhadap 

karya‐karya dua novelis  itu. McClellan memberikan pembahasan  yang mendetail  tentang masing‐

masing  cerita  (novel)  lengkap  dengan  berbagai  proses  kreatif,  penggalan  cerita,  dan  hal‐hal  lain 

disekitar penulisnya dalam pembuatan karya tersebut. 

Sayangnya, Botchan sebagai novel kedua yang ditulis pada tahun 1906 oleh Soseki setelah I am a Cat 

tidak mendapatkan atensi penuh dari McClellan, berbeda dengan karya Soseki  lainnya, yaitu I am a 

Cat, Kokoro, Kusamakura  (The Grass Pillow), dll. Mengenai Botchan, McClellan hanya memberikan 

sedikit  penggalan  cerita  dan  penjelasan  tentang  penyangkalan  dari  Soseki  bahwa  proses  kreatif 

penulisan Botchan dianggap sebagai refleksi perjalanan hidupnya saat  itu, sebagai seorang guru di 

daerah terpencil.  

Dalam bukunya, McClellan menulis, “His personal experiences  let him to consider the philosophical 

and cultural significance of human isolation from a variety of perspectives. 

The  style has a certain crudeness which,  thoughtfully  intended,  limits  the  range of expression and 

prevents the novel from having much depth. Style free from ornateness and his quest for naturalness 

and simplicity, he chose the familiar drive of making a hero, a not very intelligent through well‐bred 

young man. 

The novel is, therefore in a sense an indictment of modern society. But it is doubtful that Soseki would 

have admired the young man very much in the role of an arrogant Hatamoto (Shogunal retainers).” 

Menarik  untuk  disimak  bahwa  Soseki melakukan  penyangkalan  atas  karya  yang  dinilai  beberapa 

pengamat sebagai refleksi dari masa‐masa awal karirnya. Penilaian ini muncul karena tokoh Botchan 

digambarkan sebagai orang yang berpendidikan lumayan dan bekerja sebagai seorang guru di derah 

terpencil,  tidak  jauh  berbeda  dengan  kenyataan  yang dialami  Soseki. Maka, wajar  apabila  terjadi 

silang  pendapat  dan  penyangkalan  dari  penulisnya  sendiri  mengenai  kaitan  antara  realita  yang 

dialami penulis dengan latar belakang serta jalan cerita keseluruhan. 

Page 2: Botchan

Melihat pada waktu penulisannya, Botchan lahir semasa modernisasi Jepang dengan Restorasi Meiji. 

Pada waktu  itu,  Jepang  sedang mengalami pergolakan hasrat budaya untuk mengikuti modernitas 

dunia barat atau tetap bertahan dengan nilai‐nilai budaya tradisional. Hal  ini terjadi karena setelah 

Jepang membuka dirinya, pengaruh dan terpaan dunia barat seakan tidak terelakkan lagi. Maka tak 

heran bila kini di  zaman  Jepang modern muncul Patung Liberty dan Golden Gate San Fransisco di 

Obaida sebagai simbol Young Dynamics Japanese Spirit of Western Culture. 

Sublimasi Karakter dalam Cerita 

Mengenai  asal‐usul  nama  Botchan  sendiri  terdapat  beberapa  penafsiran.  Botchan  diterjemahkan 

McClellan  sebagai  “Little Masters”. Selain  itu, ada pendapat yang menyebutkan bahwa  “Botchan” 

bisa diartikan sebagai suatu panggilan yang sopan untuk anak laki‐laki.  

Botchan  sendiri  diceritakan  sebagai  anak  yang  memiliki  pengalaman  masa  kecil  yang  kurang 

menyenangkan.  Dalam  keluarganya  ia  selalu  dianggap  sebagai  pembawa masalah  karena  sering 

melakukan  hal‐hal  yang  diluar  kewajaran  untuk  anak  seusianya.  Orang  tuanya  pun  tidak  terlalu 

menyukai Botchan karena selalu menyebabkan timbulnya suatu masalah. Sebagai gantinya, Botchan 

hanya mendapat kasih  sayang dari Kiyo, pembantu yang bekerja di  rumah mereka. Kelak, mereka 

berdua akan tinggal bersama. Botchan hidup dan besar dalam gemerlap modernisme Tokyo. Satu hal 

yang kemudian disadarinya ketika menerima pekerjaan sebagai guru di daerah terpencil Shikoku. 

Botchan  tumbuh  dan  besar  di  kehidupan  ultra‐modern  Tokyo  sebelum  pindah  mengajar  di 

Matsuyama, sebuah daerah yang masih tradisional dalam kultur kehidupan masyarakatnya. Botchan 

sendiri  seringkali  dikejutkan  oleh  beberapa  kebiasaan  yang  tidak  lazim  sebagaimana  sering 

ditunjukkan oleh kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Botchan memiliki masalah pada perilakunya, 

suatu hal yang menjadi titik pusat cerita novel ini. 

Keacuhan  dan  pembawaannya  yang  dinilai  “lack  of  respect” menjadi  sesuatu  yang mengejutkan 

kalangan  pembaca  di  Jepang.  Pembaca  yang  belum  begitu  paham  dengan  perilaku  semacam  itu 

tetap  bisa  menerimanya  karena  banyak  sekali  hal  yang  tidak  masuk  akal  dan  menarik  untuk 

diceritakan. Botchan sangat tidak terkesan dengan orang‐orang disekitarnya. Botchan menjadi orang 

yang  cenderung  lambat  untuk memahami  sesuatu  yang  terjadi  padanya  sehingga  ia  sendiri  tidak 

pernah yakin  tentang posisinya karena berbagai  tindakan dari guru‐guru disekelilingnya. Benturan 

sering terjadi akibat karakter Botchan yang berlawanan nilai‐nilai dan norma‐norma yang berlaku di 

daerah itu. Pun dengan kolega di tempat kerja, Hotta dan Kameja Merah. 

Perdebatan  dalam  hati  dan  pikiran  Botchan  seputar  Hotta  dan  Kameja Merah,  apakah  Botchan 

dengan segala kebiasaan dan moralnya menjadi terkikis lantara Kameja Merah, atau Botchan malah 

Page 3: Botchan

akan bersekongkol dengan Hotta untuk melawan dan mengembalikan tradisi moral pada tempatnya 

semula, setelah terlanjur dikotori oleh kelakuan Kameja Merah. Kiranya, hal ini menjadi pertanyaan 

besar yang diwakili seluruh bagian cerita dalam novel ini. 

Hal yang paling penting untuk dipelajari dari seorang Botchan adalah penting sekali untuk menjadi 

manusia  berkarakter.  Apapun  situasinya  dan  bagaimanapun  perubahan  terjadi,  karakter  yang 

melekat  tetap pada pendirian dan pembawaan  tidak akan  terkikis hanya karena masalah  loyalitas 

dan mentalitas kelompok. 

Sedikit Tentang Soseki 

Natsume  Kinnosuke  atau  yang  lebih  dikenal  dengan  nama  pena  Natsume  Soseki  lahir  pada  9 

Februari  1867  di  Shinjuku  dan meninggal  pada  9 Desember  1916.  Pada  tahun  1900,  Pemerintah 

Jepang mengirim Soseki ke Inggris melalui program beasiswa. Tahun 1903,  ia pulang ke Jepang dan 

kembali mengajar di Tokyo Imperial University. 

Tema‐tema utama yang muncul dalam  karya‐karya Natsume  Soseki adalah kehidupan masyarakat 

dalam berjuang melawan kesulitan ekonomi, konflik antara tugas, keinginan dan harapan,  loyalitas 

dan  mentalitas  kelompok  melawan  kebebasan  dan  individualitas,  keterasingan  individu  dan 

kesendirian, pertumbuhan industrialisasi Jepang beserta konsekuensi sosialnya, keterbukaan Jepang 

dalam menerima kultur Barat, dan pandangan pesimistis sebagai sifat bawaan manusia.  

Soseki  juga menaruh perhatian pada para penulis yang tergabung dalam Shirakaba Literary Group. 

Dalam  tahun‐tahun  terakhirnya  sebagai penulis, Ryunosuke Akutagawa dan Kume Masao menjadi 

pengagum gaya menulisnya. 

Sekedar Bacaan 

McClellan, Edwin. 2004. Two Japanese Novelists: Soseki & Toson. Boston: Tuttle Publishing 

Soseki, Natsume. 2004. My  Individualism and  the Philosophical  Foundations of  Literature. Boston: 

Tuttle Publishing 

Soseki, Natsume. 2009. Botchan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 

 

Penulis adalah penikmat sastra