Borang Portfolio TB
-
Upload
gesty-zenerra -
Category
Documents
-
view
124 -
download
11
description
Transcript of Borang Portfolio TB
BORANG PORTOFOLIO
Nama Peserta : dr. Pragesty Zenerkinda
Nama Wahana : RSUD Batang
Topik : Tuberkulosis Paru
Tanggal Kasus : 13 November 2013
Nama Pasien : Tn. S No.RM : 291998
Tanggal Presentasi : 22 November 2013 Pendamping : dr. Utariyah
Budiastuti
Tempat Presentasi : Komite Medik RSUD Batang
Obyektif Presentasi
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : laki-laki , 40 tahun, mengeluh batuk darah sejak 2 hari
SMRS
Tujuan : Diagnosis, manajemen, prevensi
Bahan Bahasan : Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas : Diskusi Presentasi dan Diskusi E-mail Pos
Data Pasien : Tn. S No. Registrasi 291998
Nama Klinik : Ruang Melati RSUD Batang Telp. 391033
DATA UTAMA UNTUK BAHAN DISKUSI
1
1. Diagnosis / Gambaran Klinis
Auto anamnesis dilakukan di bangsal Melati pada tanggal 18 November
2013 jam 07.30.
a. Keluhan Utama: Batuk darah
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Batang dengan keluhan utama batuk
darah. Batuk darah dirasakan sejak 2 hari SMRS.
2 bulan SMRS pasien mengeluh batuk berdahak, dahak mudah
dikeluarkan, dahak berwarna kehijauan. Pasien juga mengeluh sesak
nafas. Sesak yang timbul tidak tentu, biasanya sesak muncul bila
pasien beraktivitas. Pasien mengeluh sesak semakin berat bila pasien
merasa kecapekan beraktivitas. Sesak berkurang ketika istirahat.
Pasien juga merasa sering merasa lelah, keringat dingin pada malam
hari, nafsu makan menurun, dan pasien merasakan penurunan berat
badan sebanyak 2 kg dalam 2 bulan ini. Badan panas (-), pusing (+),
nyeri dada (-), nyeri perut (-), mual (-), muntah (-).
2 hari SMRS pasien mengeluh batuk darah. Darah berwarna merah
kehitaman. Batuk darah bercampur dahak setiap kali batuk. Darah
tidak bercampur dengan makanan. Awalnya, darah keluar sedikit
seperti bercak. Batuk berdarah didahului dengan batuk dan tidak
diikuti dengan perasaan mual. Apabila pasien batuk berdarah, maka
pasien akan merasakan dada terasa panas.
4 jam SMRS pasien batuk berdarah kembali sebanyak 1 kali dengan
darah berwarna merah segar di awal batuk dan kehitaman di akhir
batuk. Darah sebanyak sekitar setengah gelas. Sehingga membuat
pasien khawatir dan pergi ke IGD RSUD Batang.
2. Riwayat Pengobatan
2
Pasien berobat 2x ke mantri sejak ± 2 bulan yang lalu dan sudah
disarankan untuk cek dahak.
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit:
• Riwayat merokok : diakui ± ½ bungkus sehari
• Riwayat Pengobatan dengan OAT : diakui (+). Pasien sudah pernah
diberikan obat anti tuberkulosis ± 2 tahun yang lalu namun setelah 2
bulan pengobatan pasien menghentikan pengobatan.
• Riwayat Komorbid Lain : Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), Penyakit
Ginjal (-), Penyakit Jantung (-),Asma (-), Keganasan (-).
• Riwayat Alergi : disangkal
• Riwayat Operasi : disangkal
• Riwayat Opname : disangkal
• Riwayat kontak dengan penderita TB : (+) istri pasien sedang menjalani
pengobatan OAT selama 4,5 bulan.
• Riwayat trauma : disangkal
4. Riwayat Keluarga:
• Istri pasien pernah mengeluhkan gejala yang sama dengan pasien ± 4,5
bulan yang lalu dan didiagnosis TB paru dan sekarang sedang menjalani
pengobatan.
• Riwayat komorbid keluarga : Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-),
Penyakit Ginjal (-), Penyakit Jantung (-),Asma (-), Keganasan (-).
• Riwayat atopi di keluarga : disangkal
5. \Riwayat Pekerjaan:
• Pasien bekerja sebagai buruh tani. Namun selama 2 bulan ini pasien
jarang bekerja karena sering merasa lelah.
6. Kondisi lingkungan Sosial dan Fisik :
• Pasien tinggal bersama istri, ibu mertua dan kedua anaknya. Pembiayaan
pasien menggunakan Jamkesmas, kesan ekonomi kurang.
7. Anamnesis Sistemik:
3
• Demam : (-)
• CNS : kejang (-), penurunan kesadaran (-), kaku kuduk(-)
• Kardiovaskuler : sesak napas saat aktivitas (+)
• Respirasi : batuk (+), dahak (+), darah (+), pilek (-),nyeri telan
(-)
• Gastrointestinal : nyeri perut (-), mual (-) muntah (-), BAB (+)
• Urogenital : BAK (+) seperti biasa
• Integumen : ujud kelainan kulit (-)
• Muskuloskeletal : kelemahan otot(-), keterbatasan gerak (-)
8. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6,
Status Gizi : Berat badan sebelum sakit : 56 kg
Berat badan sesudah sakit : 54 kg
Tinggi badan : 172 cm
IMT : 18,2 (underweight)
Vital Sign :
- Tekanan darah : 120/70 mmHg
- Nadi : 85 x/mnt
- Respiration rate : 20 x/mnt
- Suhu : 36,5oC
Kepala : Mesocephal, rambut hitam, tidak mudah rontok,
distribusi merata.
Mata :
Pupil : Isokhor (3 mm/ 3 mm)
Refleks cahaya : +/+
Konjungtiva : Anemis -/-
Sklera : Ikterik -/-
4
Hidung :
Septum deviasi : -
Sekret : -/-
Hiperemis : -/-
Telinga :
Bentuk telinga normal kanan dan kiri
Membran timpani intak kanan dan kiri
Mukosa : tidak hiperemis kanan dan kiri
Serumen : -/-
Sekret : -/-
Mulut :
Mukosa bibir kering (+)
Karies pada gigi (-)
Faring tidak hiperemis
Leher :
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid
Pemeriksaan Fisik Thoraks
Paru
Inspeksi : simetris ka – ki, ketinggalan gerak (-), retraksi
intercosta (-).
Palpasi : - ketinggalan gerak
Anterior Posterior
- - - -
5
- - - -
- - - -
- Fremitus
Anterior Posterior
N N N N
N N N N
N N N N
- Perkusi
Anterior Posterior
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
- Auskultasi : suara dasar vesikuler
Anterior Posterior
Suara tambahan:
6
+ + +
+ + + +
+ + + +
Wheezing (-/-),
Ronkhi (+/-)
Jantung
- Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
- Palpasi : iktus cordis tidak kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kanan di linea sternalis dekstra ICS 4,
Batas jantung kiri di linea midclavicularis sinistra ICS 5
- Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 tunggal, murmur -, gallop –
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar, tidak ada venektasi, tidak ada scar.
Auskultasi : Bising usus 12 kali per menit
Perkusi : Shifting dullness (-)
Asites : Negatif
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-)
Hepatomegali (-)
Spleenomegali (-)
Nyeri epigastrium (-)
Ekstremitas
- Clubbing finger (-),
- Oedem
- -
- -
- Akral dingin
- -
- -
7
Genital : tidak dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Jenis
Pemerikasaan
Hasil
13/11
Nilai Normal
Leukosit 7,29 4,8 – 10,8 x 103/uL
Eritrosit 4,39 L: 4,7 – 6,1 x 106/uL P: 4,2 –
5,4 x 106/uL
Hemoglobin 11,8 L: 14 -18 g/dL P: 12 -16 g/dL
Hematokrit 34,4 L: 42 – 52 % P: 12 -16 %
MCV 78,4 79 – 99 fL
MCH 26,9 27 – 31 pg
MCHC 34,3 33 - 37 g/dL
Trombosit 375 150 – 450 x 103/ uL
LED I/II 55/90 (L:0-15, P:0-20)
Neutrofil% 60,2 (50-70)
Limfosit% 20,7 (25-40)
Monosit% 14,4 (2-8)
Eosinofil% 4,3 (2-4)
Basofil% 0,4 (0-1)
GDS 153 < 200
Pemeriksaan Radiologi
8
Foto Thoraks PA
Corakan bronkovaskuler pulmo prominent
Tampak fibroinfiltrat kedua pulmo
Sinus lancip. Tenting diafragma dextra
Cor CTR < 0,5
Kesan: TB paru duplex aktif lama
Besar cor dalam batas normal
Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum SPS sudah dilakukan namun menunggu hasil.
Daftar Pustaka :
9
1. Isbaniyah, F. dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2011.
2. Djojodibroto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.3. Crofton, J., Horne, N., Miller, F. Tuberkulosis Klinis 2nd ed. Jakarta: Widya
Medika; 2002.4. Misnadiarly. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium
Atipik. Jakarta: Dian Rakyat; 2006.5. Hasan, H. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Airlangga University Press; 2010.6. Amin, Z. Asril B. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: FKUI; 2009.7. Aditama, T.Y, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta:
Depkes RI; 2007
Hasil Pembelajaran
10
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
1. Subjektif :
Pasien laki-laki 40 tahun, pekerjaan buruh tani, datang ke RS dengan
keluhan hemoptisis sejak 2 hari SMR. Darah berwarna merah kehitaman. Berupa
bercak campur dahak. Setiap hemoptisis, dada terasa panas. 2 bulan SMRS pasien
batuk berdahak dengan dahak berwarna hijau, sesak napas kambuh-kambuhan,
nafsu makan menurun, keringat malam, berat badan menurun, badan mudah terasa
lelah. 4 jam SMRS pasien hemoptisis sebanyak setengah gelas.
Riwayat merokok (+), riwayat putus OAT (+), riwayat kontak TB (+).
2. Objektif:
Pemeriksaan fisik menunjukan:
Status gizi : Underweight Auskultasi paru: Vesikuler kanan atas menurun, Ronkhi +/-
Pemeriksaan penunjang menunjukkan:Laboratorium:
Rontgen thoraks PA: TB paru dupleks aktif lama
3. Diagnosis
Tuberkulosis Paru rontgen positif, kasus putus obat
4. Penatalaksanaan :
11
Eritrosit 4,39
Hemoglobin 11,8
Hematokrit 34,4
MCV 78,4
MCH 26,9
a. Pengobatan
- Infus RL 20 tpm
- Injeksi Cefoperazone 2x 1 gr
- Injeksi Asam Tranexamat 3x 500 mg
- Ambroxol 3x 1 tab
- Rifampisin 1x 600 mg
- INH 1x 300 mg
- Pirazinamid 3x 500 mg
- Ethambutol 2x 500 mg
- Ofloxacyn 1x 400 mg
b. Edukasi
- Menjelaskan bahwa batuk berdarah yang dirasakan berasal dari
gangguan paru dan kekhawatiran mengenai komplikasi penyakitnya
dapat dicegah bila pasien berobat dan kontrol secara teratur,dan tidak
putus obat lagi sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien.
- Edukasi tentang penyakit tuberkulosis secara umum (etiologi, gejala,
terapi, pencegahan dan penularan).
- Menjelaskan pentingnya penatalaksanaan secara holistik ( terutama
preventif dan kuratif) yaitu mencegah penularan dan kekambuhan
dengan lingkungan rumah yang baik, ventilasi udara dan pencahayaan
rumah yang cukup.
PEMBAHASAN
12
1. Hemoptisis
A. Definisi
Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk
darah, atau sputum yang berdarah. Sputum mungkin bercampur dengan
darah. Mungkin juga seluruh cairan yang dikeluarkan paru-paru berupa
darah. Setiap proses yang mengakibatkan terganggunya kontinuitas aliran
pembuluh darah paru-paru dapat mengakibatkan perdarahan. Batuk darah
merupakan suatu gejala yang serius. Mungkin ini merupakan manifestasi
yang paling dini dari tuberkulosis aktif. Sebab-sebab lain dari hemoptisis
adalah karsinoma bronkogenik, infark, dan abses paru-paru.
Hemoptisis harus dibedakan dengan hematemesis. Hematemesis
disebabkan oleh lesi pada saluran cerna, sedangkan hemoptisis disebabkan
oleh lesi pada paru atau bronkus/bronkiolus. Untuk membedakan antara
muntah darah (hematemesis) dan batuk darah (hemoptisis), berikut tabel di
bawah ini.
Keadaan Hemoptisis Hematemesis
1. Prodromal Rasa tidak enak di
tenggorokan, ingin
batuk
Mual, stomach distress
2. Onset Darah dibatukkan, dapat
disertai batuk
Darah dimuntahkan
dapat disertai batuk
3. Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih
4. Warna Merah segar Merah tua
5. Isi Lekosit,
mikroorganisme,
makrofag, hemosiderin
Sisa makanan
6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
13
7. Riwayat Penyakit
Dahulu
Menderita kelainan paru Gangguan lambung,
kelainan hepar
8. Anemi Kadang-kadang Selalu
9. Tinja Warna tinja normal Tinja bisa berwarna
hitam
B. Klasifikasi
Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang
dibatukkan.
1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sputum. Umumnya
pada bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih
besar. Biasanya pada kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
4. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas
(di atas laring) atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa
perdarahan buatan (factitious).
C. Etiologi
Penyebab hemoptisis dapat dibagi atas :
1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne
karena jamur dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.
14
D. Patofisiologi Hemoptisis
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan untuk
memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri
pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.
Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang
merupakan asal dari perdarahan pada hemoptisis masih diragukan. Teori
terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah
lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa
terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari
arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada
hemoptisis. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya
pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun
sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme
pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh
jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah
intraluminar seperti pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral
stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada
Goodpasture’s syndrome.
15
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang
dikenal dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini
berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada
bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial.
Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah
bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat
menimbulkan hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan
mengalami transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu
terjadinya batuk darah.
E. Penanganan
Pada umumnya hemoptisis ringan tidak diperlukan perawatan
khusus dan biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu
hemoptisis yang masif.
Tujuan pokok terapi ialah :
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport
kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia
yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan
hemoptisis masif.
Masalah utama dalam hemoptisis adalah terjadinya pembekuan
dalam saluran napas yang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi asfiksia,
tingkat kegawatan hemoptisis paling tinggi dan menyebabkan kegagalan
organ yang multipel. Hemoptisis dalam jumlah kecil dengan refleks batuk
16
yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat
menimbukan renjatan hipovolemik.
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
- Terapi konservatif
- Terapi definitif atau pembedahan.
1. Terapi konservatif
Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring
(lateral decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit
untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.
Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam
saluran saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan
penderita.
Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat
hemostasis), misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan
karbazokrom.
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan
yang terjadi.
Pemberian oksigen
Tindakan selanjutnya bila mungkin :
Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah
dengan bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber
perdarahan.
2. Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
17
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan
pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka
kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70%
menjadi 18% dengan tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptisis yang berulang dapat dicegah.
2. Tuberkulosis
A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex1. Tuberkulosis paru adalah penyakit
radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang
disebabkan oleh M.tuberculosis 2.
B. Etiologi
TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
complex. Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh
Robert Koch pada tahun 1882 3. Mycobacterium tuberculosis adalah
kuman penyebab TB yang berbentuk batang ramping lurus atau sedikit
bengkok dengan kedua ujungnya membulat. Koloninya yang kering
dengan permukaan berbentuk bunga kol dan berwarna kuning tumbuh
secara lambat walaupun dalam kondisi optimal. Diketahui bahwa pH
optimal untuk pertumbuhannya adalah antara 6,8-8,0. Untuk memelihara
virulensinya harus dipertahankan kondisi pertumbuhannya pada pH 6,8 4.
C. Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul
di bagian di mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari
18
sarang primer akan terlihat peradangan pembuluh limfe menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran limfonodi
di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer
ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut 5 :
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus),
c. Menyebar dengan cara:
1) Perkontinuatum
Salah satu contoh adalah epitutuberkulosis, yaitu suatu
kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh
kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi
pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sapanjang bronkus yang tersumbat ini
ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus
yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epitutuberkulosis 5.
2) Penyebaran secara bronkogen
Penyebaran secara bronkogen berlangsung baik di paru
bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan 5.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah
dan virulensi kuman. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai
“persisten” atau “dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat
menghentikan perkembangbiakan kuman, akibatnya yang
bersangkutan akan menjadi penderita TB dalam beberapa bulan.
Bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti TB milier, meningitis
TB, Typhobacillosis landouzy. Penyebaran ini juga dapat
19
menimbulkan TB pada organ lain, misalnya tulang, ginjal, anak
ginjal, genitalia dan sebagainya5.
2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang persisten pada TB primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa
(tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder).
Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. TB sekunder terjadi karena
imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, peyakit maligna,
diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB sekunder ini dimulai dengan sarang
dini yang berlokasi di region atas paru (bagian apical-posterior lobus
superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru
dan tidak ke nodus hiler paru. TB pasca primer juga dapat berasal dari
infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua 6.
Patogenesis dan manifestasi patologi TB paru merupakan hasil
respon imun seluler (cell mediated immunity) dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen kuman TB5.
D. Diagnosis
Diagnosis pada TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik
dan pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui
pemeriksaan kultur bakteriologi, pemeriksaan sputum BTA, radiologi dan
pemeriksaan penunjang lainnya1.
1. Gejala Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu gejala lokal dan sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru
maka gejala lokal adalah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ
yang terlibat) 1.
a. Gejala respiratori :
1) Batuk ≥ 2 minggu
2) Hemoptisis
3) Dyspneu
4) Nyeri dada
20
b. Gejala sistemik
1) Demam
2) Gejala sistemik lain ; malaise, keringat malam, anoreksia, dan
berat badan menurun.
c. Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran
yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada
meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Pada pleuritis TB
terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan 1.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai
tergantung dengan organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan
yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior (S1 dan S2) serta daerah apeks lobus inferior
(S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara
napas bronchial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-anda penarikan paru, diafragma dan mediastinum1.
3. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi
ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, LCS, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses,
dan jaringan biopsi1.
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila:
21
a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian,
bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif bila 3 kali
negatif BTA negatif 7.
4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan
lain atas indikasi yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-
scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:
a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan
opak berawan atau nodular.
c. Bayangan bercak milier.
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
a. Fibrotik
b. Kalsifikasi
c. Schwarte atau penebalan pleura
5. Pemeriksaan Penunjang Lain
a. Analisis cairan pleura
b. Pemeriksaan histopatologi jaringan
c. Pemeriksaan darah1.
22
Gambar 1. Alur Diagnosis TB Paru7
23
Suspek TB Paru
Pemeriksaan dahak mikroskopi- Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)
Antibiotik non OAT
Foto toraks dan pertimbangan dokter
Pemeriksaan dahak mikroskopis
Hasil BTA+++++-
Hasil BTA- - -
Hasil BTA+- -
Tidak ada perbaikan
Ada perbaikan
Hasil BTA- - -
Hasil BTA+++++-+ - -
Foto toraks dan pertimbangan dokter
BUKAN TBTB
E. Penatalaksanaan
Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif
dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap
hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap
semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif 7.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
24
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
Tahap awal (intensif)
• Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
• Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
• Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
• Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
• Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
25
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien
dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT dan peruntukannya.
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru
26
b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
• Pasien kambuh
• Pasien gagal
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
c. OAT Sisipan (HRZE)
27
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien, baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko
resistensi pada OAT lapis kedua.
Pemantauan Hasil Kemajuan Pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk
memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila
ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya
positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
28
29
b. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu
pemeriksaan follow-up sebelumnya
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
30
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang
lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS
a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan
karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan
ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan
yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil
bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses
kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari
kemungkinan tertular TB.
b. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
31
dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi
tersebut sesuai dengan berat badannya.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan
KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.
Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau
kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mg).
d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS
adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama
efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan
pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan
ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan
standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-
prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan
pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk
menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi
terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and
Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).
e. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan
dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan
Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT
tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau
32
peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan
dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak
boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau
2HES/10HE.
g. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik.
OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan
gangguan ginjal.Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh
karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila
fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap paling
aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes
perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah
selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien
Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu
hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan
tersebut.
i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti:
• Meningitis TB
• TB milier dengan atau tanpa meningitis
• TB dengan Pleuritis eksudativa
• TB dengan Perikarditis konstriktiva.
33
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit
dan kemajuan pengobatan.
j. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1) Untuk TB paru:
• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
• Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
2) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang
disertai kelainan neurologik.
EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA
Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan
gejala.
34
.
F. Prognosis
1. Jika berobat teratur sembuh total (95%).
2. Jika dalam 2 tahun penyakit tidak aktif, hanya sekitar 1 % yang
mungkin relaps.
G. Komplikasi
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat
terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena
tersumbatnya jalan napas.
35
2. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari
lobus akibat retraksi bronchial.
3. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau
reaktif) pada paru.
4. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
persendian, dan ginjal.
36