Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

52
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53 Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD 1945? Almizan Ulfa, Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI Pokok Permasalahan Banyak yang berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 itu mengatur tata kelola sumber daya alam dan sektor-sektor ekonomi Indonesia yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pandangan tersebut salah. Pasal 33 UUD 1945 tidak mengatur apa-apa. Frasa “dikuasai oleh negara” pasal 33 tersebut dilaksanakan semaunya oleh rezim (ruling parties) yang sedang berkuasa dan/atau iklim politik dan ekonomi ketika itu, atau, oleh UU pelaksananya. Selain itu pelaksanaan frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” tidak didukung oleh bukti yang kuat dalam berbagai tafsir dan/atau perubahan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” termaksud. Hal ini berbeda dengan banyak pasal UUD45 yang lain yang tidak mengandung multi tafsir. Misalnya, Pasal 1 ayat (1), yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Hal yang sama juga diperlihatkan oleh Pasal 7, yang berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Dan, Pasal 22E angka (3), berbunyi: Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.” Selanjutnya dapat kita lihat bahwa di satu UU tentang bidang ekonomi (cabang produksi) tertentu, itu diinterpretasikan sebagai pemberian hak eksklusif monopoli pada perusahan negara/badan usaha milik negara (PN/BUMN). Tetapi, dalam UU penggantinya hak eksklusif monopoli BUMN dicabut dan BUMN diperlakukan relatif setara dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap swasta lainnya termasuk yang dimiliki oleh asing. Kemudian berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Hak Eksklusif BUMN tersebut dikembalikan lagi tetapi tidak/belum dilaksanakan oleh Pemerintah hingga saat ini. Lebih jauh lagi, di banyak UU pelaksana yang lain dan untuk bidang ekonomi (cabang produksi) yang lain juga tentunya, peran BUMN bukan saja ditetapkan relatif setara dengan perusahaan swasta tetapi juga terpaksa hanya sebagai pemain minoritas. Hasan (2013) mengatakan bahwa Bung Hatta, proklamator Indonesia, sendiri sebetulnya tidak mengharuskan pemerintah Pasal 33 UUD 1945 sisi lain, DPR RI belum juga memilik kesatuan “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) Cabang cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; dan (5) 1 ; Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang Perubahan Keempat UUD 1945 Text Box: 1

Transcript of Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Page 1: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD 1945?

Almizan Ulfa, Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI

Pokok Permasalahan

Banyak yang berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 itu mengatur tata kelola sumber daya alam dan

sektor-sektor ekonomi Indonesia yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang

banyak. Pandangan tersebut salah. Pasal 33 UUD 1945 tidak mengatur apa-apa. Frasa “dikuasai oleh

negara” pasal 33 tersebut dilaksanakan semaunya oleh rezim (ruling parties) yang sedang berkuasa

dan/atau iklim politik dan ekonomi ketika itu, atau, oleh UU pelaksananya. Selain itu pelaksanaan frasa

“digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” tidak didukung oleh bukti yang kuat dalam

berbagai tafsir dan/atau perubahan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” termaksud.

Hal ini berbeda dengan banyak pasal UUD45 yang lain yang tidak mengandung multi tafsir. Misalnya, Pasal 1 ayat (1), yang berbunyi:

“Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Hal yang sama juga diperlihatkan oleh Pasal 7, yang berbunyi:

“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Dan, Pasal 22E angka (3), berbunyi:

“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.” Selanjutnya dapat kita lihat bahwa di satu UU tentang bidang ekonomi (cabang produksi) tertentu,

itu diinterpretasikan sebagai pemberian hak

eksklusif monopoli pada perusahan

negara/badan usaha milik negara

(PN/BUMN). Tetapi, dalam UU penggantinya

hak eksklusif monopoli BUMN dicabut dan

BUMN diperlakukan relatif setara dengan

badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap

swasta lainnya termasuk yang dimiliki oleh

asing. Kemudian berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Hak Eksklusif BUMN

tersebut dikembalikan lagi tetapi tidak/belum

dilaksanakan oleh Pemerintah hingga saat ini.

Lebih jauh lagi, di banyak UU pelaksana yang

lain dan untuk bidang ekonomi (cabang

produksi) yang lain juga tentunya, peran

BUMN bukan saja ditetapkan relatif setara

dengan perusahaan swasta tetapi juga

terpaksa hanya sebagai pemain minoritas.

Hasan (2013) mengatakan bahwa

Bung Hatta, proklamator Indonesia, sendiri

sebetulnya tidak mengharuskan pemerintah

Pasal 33 UUD 1945 sisi lain, DPR RI belum juga

memilik kesatuan “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama

berdasar atas azas kekeluargaan;

(2) Cabang cabang produksi yang penting bagi

Negara dan yang menguasai hajat hidup orang

banyak dikuasai oleh Negara;

(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar

atas demokrasi ekonomi dengan prinsip

kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi nasional; dan

(5)1; Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan

pasal ini diatur dalam undang-undang

Perubahan Keempat UUD 1945

Text Box: 1

Page 2: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

untuk menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer dalam mengelola cabang-cabang produksi yang

penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Dikatakannya lebih lanjut bahwa yang terpenting

adalah negara “tetap menguasai dan mengatur”. Selanjutnya, disampaikan sebagian kutipan dari

pemikiran Bung Hatta tersebut, yaitu:

“Dikuasai negara dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula ‘penghisapan’ orang yang lemah oleh orang lain

yang bermodal…..”1

Sektor Pertambangan Minyak dan Gas

Bumi

Mencla menclenya dan tidak konsistenya

interpretasi, atau, pelaksanaan frasa-frasa

termaksud sangat mencolok di cabang produksi

minyak dan gas bumi. Di era awal kemerdekaan ketika mulai diberlakukannya UUD 1945 hingga terbitnya

UU Pertambangan tahun 1960, frasa “dikuasai oleh negara” dilaksanakan dengan pemberian konsesi

(perizinan) kepada perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan asing seperti Royal Dutch/Shell, Caltex, dan

Stanvac masih beroperasi dengan pola konsesi, yang sebetulnya merupakan kelanjutan dari warisan

kolonial Belanda. Publik belum sempat mengekspus isu Pasal 33 UUD 1945 di masa ini, yang kelihatannya

disebabkan oleh buruknya kondisi sosial ekonomi dan politik. Masifnya berbagai gerakan separatist,

langkahnya berbagai komoditas pokok termasuk obat-obatan dan sembako, dan sangat rapuhnya

pemerintahan. Pembubaran dan pembentukan kabinet pemerintahan silih berganti dalam waktu yang

sangat pendek dan banyak kabinet itu yang hanya berumur dalam beberapa bulan saja. Selain itu, UUD

Indonesia mengalami perubahan beberapa kali hingga Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959.

Seiring dengan Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 yang menyatakan Indonesia kembali ke UUD

1945, UU Pertambangan tahun 1960 disyahkan. UU ini menafsirkan frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33

UUD 1945 sebagai pemberian hak pengelolaan pertambangan (kuasa pertambangan) minyak dan gas

bumi hanya kepada perusahaan negara. Perusahaan swasta utamanya swasta asing hanya diizinkan

beroperasi sebagai kontraktor perusahaan negara. Ini dituangkan secara eksplisit dalam dua pasal dan

penjelasan UU Pertambangan 1960 (Perpu No. 44/1960), sebagai berikut:

Pasal 1 huruf h berbunyi:

1 Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta, 1979, hlm. 201 – 204, dalam Hasan (2013)

Hak Eksklusif Monopoli

Pertamina

Terlihat sekali UU Pertambangan tahun 1960 memberikan kewenangan yang sangat luas kepada perusahaan negara (PT Pertamina) untuk mengelola sektor minyak dan gas bumi Indonesia. Kewenangan tersebut mencakup pengelolaan baik sektor hilir maupun sektor hulu Migas, membuat deals (menandatangani kontrak) dengan perusahaan MIgas swasta, serta yang sangat strategis sekali adalah kewenangan untuk menciptakan kebijakan (policy/bleeid) nasional di bidang minyak dan gas bumi Indonesia.

Page 3: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

“Kuasa pertambangan: wewenang yang diberikan kepada perusahaan negara untuk

melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.”

Pasal 3 berbunyi:

“(1) ……pertambangan minyak dan gas bumi hanya diusahakan oleh negara.”

(2) Usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara

semata-mata.”

Selanjutnya, penjelasan pada angka 10 alinea terakhir Perpu No.44/1960 berbunyi:

“……perusahaan minyak asing hanya dapat mempunyai status kontraktor saja

berdasarkan suatu atau beberapa “perjanjian karya” dengan Perusahaan Negara yang

bersangkutan.”

Implikasi dari tafsir frasa “dikuasai oleh negara” pada UU Pertambangan tahun 1960 (Perpu No.

44/1960) tersebut adalah tidak berlaku laginya hak konsesi pertambangan perusahaan swasta, utamanya

hak konsesi tiga perusahaan asing terbesar, yaitu, Shell, Stanvac, dan Caltex. Negosiasi yang panjang dan

berlarut-larut antara ketiga perusahaan tersebut dengan Indonesia yang difasilitasi oleh Amerika Serikat

mencapai kesepakatan di tahun 1963. Dalam kesepakatan ini dinyatakan bahwa tiga perusahaan asing

tersebut masing-masing diperlakukan sebagai konktraktor perusahaan minyak nasional yaitu Permigan,

Permina, dan Pertamin, yang kewajiban masing-masing mencakup 60% dari laba masing-masing

kontraktor tersebut diserahkan kepada Indonesia. Dengan kata lain, pola kerjasama dengan para kontraktor

tersebut adalah KKS Bagi Laba. Selain itu, disepakati juga bahwa manajemen dari masing-masing

perusahaan kontraktor tersebut sepenuhnya ada ditangan masing-masing kontraktor tersebut.2

Pengaturan-pengaturan yang demikian, terkait erat dengan jasa-jasa pejuang kemerdekaan yang mengambil alih dan/atau menyita berbagai ladang dan kilang Migas yang ketika itu ditinggalkan oleh Jepang pada akhir Perang Dunia Kedua. Sebelumnya, ladang dan kilang tersebut dimiliki oleh perusahaan-perusahaan asing terutama perusahaan Balanda. Gale (2006), menulis:

“With the end of the war in ……….country's anticolonial independence fighters,...…quickly seized on what remaining oil fields and installations they could secure from the retreating Japanese. ……... At the same time, independence fighters in south Sumatra retained control of regional oil facilities and set up their own company, Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI). Elsewhere in Java, another oil company, Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMN), held jurisdiction.”

Pengekspusan Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka adalah sangat penting di era

ini. Hembusan angin nasionalisasi perusahaan asing sangat populer yang merupakan bagian gerakan

penghapusan banyak atribut “warisan penjajah Belanda”. Persepsi publik yang dihembuskan adalah

konstruksi (pola) konsesi itu hanya menguntungkan penjajah yaitu Pemerintah Hindia Belanda. Walaupun

demikian, tidak begitu jelas apakah dengan menerapkan sistem kontrak ini akan menghasilkan “sebesar-

besarnya kemakmuran bagi segenap prakyat dan tumpah darah Indonesa”.

2 Encyclopedia.com. 2004. Pertamina: International Directory of Company Histories. 2004. Diakses 27 April 2016

Page 4: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Di tahun 1966, Direktur Utama PN Pertamina pada waktu itu, Ibnu Sutowo, mengadopsi model

kontrak baru tanpa perlu melanggar interpretasi frasa “dikuasai oleh negara.” Model kontrak baru tersebut

adalah model Kontrak Production Sharing (PSC) Bagi Hasil, atau KKS Bagi Hasil. Berbeda dengan model

kontrak terdahulu yang membagi laba, disini yang dibagi adalah hasil produksi. Misalnya, untuk minyak

bumi Pemerintah dan kontraktor berbagi volume lifting (natura dan bukan uang yang dibagi). Selain itu,

kontraktor juga masih memiliki kewajiban-kewajiban untuk membayar beberapa jenis iuran dan

perpajakan. PSC pertama PN Pertamina adalah PSC dengan Independent Indonesian American Petroleum

Company (IIAPCO), yang ditandatangani oleh Dirut PN Pertamina, Ibnu Sutowo. di tahun 1966.3 Model

IIAPCO ini kemudian dituangkan dalam UU PN Pertamina tahun 1971.

Kembali lagi, pertimbangan frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”

terabaikan disini. Tidak jelas dan tidak ada fakta yang dapat diakses oleh publik yang memperlihatkan

konstruksi KKS Bagi Hasil itu lebih superiror dibandingkan dengan KKS Bagi Laba yang diterapkan

sebelumnya. Tidak ada referensi yang terurai dengan baik dan shahih yang mengatakan bahwa ada

pertimbangan “kemakmuran” dalam melakukan perubahan dari konstruksi “Bagi Laba” menjadi konstruksi

“Bagi Hasil”.

Yang jelas, terlepas dari itu, PN Pertamina mendapat fee dari pengelolaan KKS bagi hasil tersebut.

Nilainya adalah 5% dari hasil penjualan Migas bagian pemerintah dalam KKS tersebut. Nilai fee terkini

hingga tahun 2004 dan berpola hak retensi yaitu dipotong langsung dari hasil penjualan termaksud, berkisar

antara 2 s/d 5 triliun rupiah pertahun. (Mahkamah Konstitusi (2004))

Lebih jauh lagi, tidak jelas apakah hasil keseluruhan dari perubahan pola tersebut lebih

menguntungkan Indonesia. Maksudnya, tidak jelas apakah nilai uang secara keseluruhan yang diterima

Indonesia lebih besar dengan Pola Bagi Hasil dibandingkan dengan Pola Bagi Laba, terlepas dari pola

pembagian antara Pemerintah dengan PN Pertamina. Lebih tidak jelas lagi perbedaan dalam aspek

makroekonomi. Selain itu,juga, tidak jelas ada tidaknya klausal cost recovery dalam pola bagi hasil ketika

itu.

Setelah tergulingnnya rezim Soekarno dan berkuasanya rezim Orde Baru Soeharto di tahun 1965,

kesinambungan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” seperti itu dipertahankan. Tafsir tersebut lebih

diperkuat lagi dengan disyahkannya UU PN Pertamina di tahun 1971, yang memberikan hak eksklusif

monopoli kepada PN Pertamina untuk mengelola sektor Migas Indonesia. Dengan kata lain, sejak

berlakunya UU Pertamina ini frasa “dikuasai oleh negara” ditafsirkan sebagai pemberian hak eksklusif

monopoli kepada PT (Persero) Pertamina untuk mengelola sektor minyak dan gas bumi Indonesia, dari

sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) hingga ke sektor hilir (distribusi dan penjualan BBM/gas). Ini

dituangkan dalam Pasal 3 dan Pasal 2 seperti berikut ini.

Pasal 3 ayat (3) UU PN Pertamina 1971 berbunyi:

“Definisi Perusahaan Negara yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 44 Prp.

Tahun 1960 Pasal 1 ...............harus dibaca Perusahaan dalam pengertian Undang-undang

ini.”

Perusahaan yang dimaksud tersebut adalah tidak lain dari PN Pertamina dan ini dijelaskan oleh Pasal 2

ayat (1) UU PN Pertamina 1971 tersebut, yang menyatakan:

3 Seda (2005) dalam Resosudarmo, Budy P. eds. (2005)

Page 5: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

“…disingkat Pertamina, selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Perusahaan, …..”

Mencla mencle interpretasi/pelaksanaan frasa “dikuasai oleh negara” terus berlanjut seiring

dengan tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto dan mulainya Era Reformasi di tahun 1997/1998. Di Era

ini pada mulanya, tafsir frasa “dikuasai oleh negara,” yang dituangkan dalam UU MIgas 2001, adalah

identik dengan penghapusan hak eksklusif

monopoli pengelolaan Migas PT Pertamina.

Selanjutnya, wewenang dan tanggungjawab

pengelolaan dialihkan dari PT Pertamina ke BP

Migas untuk sektor hulu dan BPH Migas untuk

sektor hilir4 Migas, yang keduanya adalah

Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan bukan

Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT

Pertamina dengan demikian diperlakukan

setara dengan badan usaha swasta dan bentuk

usaha tetap. Perbandingan wewenang dan

tanggungjawab antara BP MIgas, BPH MIgas,

dan PT Pertamina, disajikan dalam Tabel 1

dbawah ini.

4 BP Migas adalah singkatan dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan BPH Migas adalah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi.

Salah satu

fitur unggulan PSC/KKS berpola bagi hasil yang sering

didengungkan sebagai bentuk nyata dari kedaulatan

ekonomi serta sebagai pelaksanaan langsung dari

frasa “dikuasai oleh negara” adalah hasil tambang

termaksud tetap menjadi milik negara hingga ke titik

penyerahan. Walaupun demikian, tidak jelas apa

pentingnya disini utamanya jika dikaitkan harga dan

kontrak ekspor. Untuk LNG, misalnya, para

kontraktor tersebut memiliki kewajiban kontrak

ekspor jangka panjang dengan pembeli di luar negeri

hingga tahun 2022. Dengan demikian, walaupun

dalam aspek peraturan perundang-undangan

produksi itu masih dimiliki oleh Indonesia, tidak

demikian halnya dengan apa yang tercantum dalam

KKS.

Lebih jauh lagi, PT Pertamina akan mengimpor LNG

dari USA sebanyak 0,76 juta ton/tahun mulai tahun

2019 berdasarkan perjanjian kontrak 20 tahun.

Sebelumnya, PT pertamina sudah menandatangani

kontrak serupa sebanyak 0,8 juta ton LNG per tahun

yang akan mulai direalisasikan di tahun 2018.

Terkait dengan harga, tidak ada artinya frasa

“produksi tambang itu tetap dimiliki negara hingga

ke titik penyerahan” jika harga jualnya untuk

pasokan dalam negeri ditetapkan oleh para

kontraktor tersebut dan/atau terikat kuat dengan

harga Migas di pasar dunia.

Text Box: 3 : Fitur PSC & Impor LNG

Page 6: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Terabaikannya tafsir frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” kembali

terjadi. Tidak tersedia data, fakta, dan analisis yang mumpuni, yang dapat diakses oleh publik terkait isu

“kemakmuran rakyat” atas keputusan untuk

mengalihkan wewenang PT Petamina ke BP

MIgas. Sederhananya, publik tidak memiliki

informasi yang memadai terkait masalah

dan/atau kendala apa saja yang melekat pada

PT Pertamina sehingga kebijakan pencabutan

kewenangan dan tanggungjawabnya tersebut

digulirkan. Atau, jika kita lihat dari sisi yang

lain, publik tidak memiliki akses informasi

yang mencukupi terkait janji “kemakmuran

rakyat” yang lebih besar dengan pengalihan

kewenangan termaksud. Persisnya, publik

tidak dapat mengakses, jika ada, Naskah

Akademis RUU Migas 2001 tersebut. Juga,

walaupun NA Itu ada, tetap saja belum ada

jaminan bahwa isu sebesar-besar

kemakmuran rakyat disajikan dengan baik dan

meyakinkan (kredibel) di NA RUU itu.

Walaupun demikian, pola fee hak

retensi PT Pertamina5 (2 s/d 5 triliun rupiah

per tahun hingga tahun 2001) tetap

dilanjutkan oleh BP Migas untuk menutupi

pengeluaran-pengeluaran dan/atau biaya

operasi yang tinggi. Kesemua pengeluaran dan

biaya tersebut tidak didanai oleh APBN.

Sistem APBN tidak mungkin dapat

menutupinya sebab BP MIgas banyak sekali

menggunakan tenaga-tenaga profesional kelas satu baik yang berasal dari dalam negeri sendiri maupun

yang merupakan rekrutan internasional. Selain itu, BP MIgas juga memerlukan berbagai data dan analisa

Migas yang hanya dapat dilakukan oleh badan usaha dan/atau profesional kaliber dunia, yang tentunya

juga akan banyak menelan dana dalam jumlah yang besar. Diatas kesemua itu, BP Migas memerlukan

uang untuk menutupi biaya kegiatan untuk menjual miyak dan gas bumi bagian pemerintah.

Setelah berjalan selama 11 tahun, yaitu, di tahun 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan

permohonan sembilan LSM dan 33 pemohon perorangan untuk mencabut keseluruhan wewenang dan

tanggungjawab BP Migas, utamanya ketujuh wewenang dan tanggungjawab yang disajikan dalam tabel

diatas. Lebih jauh lagi, MK menyatakan bahwa seluruh pasal-pasal beserta penjelasannya yang terkait

dengan Badan Pelaksana (BP Migas) dalam UU Migas 2001 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

5 Lihat diskusi terdahulu tentang pola Bagi Hasil Vs pola Bagi Laba KKS yang dikelola oleh PT Pertamina.

Krisis Pertamina 1975

Krisis menghantam PT Pertamina di tahun 1975

dengan terkuaknya lilitan utang sebesar US$10.5

miliar dan gagal bayar atas kewajiban-kewajiban

utang yang jatuh tempo. Ada dua sebab utama yang

menjadi sumber krisis tersebut, yaitu::

1. Membangun proyek-proyek besar non-

migas dengan pinjaman luar negeri jangka

pendek;

2. Perjanjian sewa-beli sejumlah tanker

pengangkut minyak bumi yang besar

ukurannya (super tanker) dan banyak

jumlahnya. (Note: terulang kembali dalam

kasus serupa atas penjualan super tanker

milik PT Pertamina yg dilakukan oleh

Menteri BUMN Laksamana Sukardi tahun

2002)

Selain itu, PT Pertamina juga terlibat penggelapan

pajak dan penerimaan bukan pajak pemerintah

termasuk tidak membayar utang-utang pajaknya

sendiri.

Nitisastro (2010), Sidharta (2012), dan Wikipedia

Page 7: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan kata lain, MK memerintahkan pembubaran BP

Migas.

Tabel 1. Perbandingan Kewenangan & Tanggungjawab BP/BPH Migas dan PT Pertamina

Kewenangan dan Tanggung Jawab BP Migas Kewenangan dan Tanggung Jawab BPH Migas

Melakukan pengelolaan dan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi yang mencakup:

1. melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu minyak dan gas;

2. memberikan pertimbangan kepada Menteri

atas kebijakannya dalam hal penyiapan dan

penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak

Kerjasama;

3. melaksanakan penandatanganan Kontrak

Kerja Sama;

4. mengkaji dan menyampaikan rencana

pengembangan lapangan yang pertama kali

akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja

kepada Menteri untuk mendapatkan

persetujuan;

5. memberikan persetujuan rencana kerja dan

anggaran;

6. melaksanakan monitoring dan melaporkan

kepada Menteri mengenai pelaksanaan

Kontrak Kerja Sama;

7. menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas

bumi bagian negara yang dapat memberikan

keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

(UU No 22 tahun 2001)

Melakukan pengelolaan dan pengendalian Kegiatan Usaha Hilir di bidang Minyak dan Gas Bumi yang mencakup a. ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak; b. cadangan Bahan Bakar Minyak nasional; c. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak; d. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa; e. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; f. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi. (UU No 22 tahun 2001)

Kewenangan & Tanggung Jawab PT Pertamina

1. Sebagai Kuasa Pertambangan untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi yang mencakup eksplorasi, eksplotasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan, dan penjualan.

2. Membangun dan memelihara ketahan enerji nasional. 3. Menyediakan dan melayani kebutuhan bahan bakar minyak dan gas bumi untuk dalam negeri 4. Mengelola Kontrak Kerja Sama (persisnya, Kontrak Bagi Hasil (Kontrak Production Sharing) dengan

badan usaha dan bentuk usaha tetap (UU Pertambangan 1960 dan UU Pertamina 1971)

Pembubaran BP Migas tersebut dituangkan dalam butir 1.1 sampai dengan 1.4 Amar Putusan MK

2012. Butir-butir tersebut terkait dengan 12 pasal, yang seluruhnya atau sebagian ayat-ayatnya

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang

mengikat. Selain itu, butir 1.5 dan 1.6 Amar Putusan MK ini menyatakan seluruh hal yang terkait dengan

Page 8: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas 2001 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh

karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Ada beberapa pertimbangan hukum MK2012 ini untuk membubarkan entitas BP Migas itu.

Walaupun demikian, pertimbangan hukum yang terkait dengan tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33

UUD1945 secara berulang dijadikan acuan dalam pertimbangan-pertimbangan hukum yang lain. Tafsir

tersebut merujuk ke tafsir yang tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK 2004 yaitu bahwa

penguasaan oleh negara, atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai

hajat hidup orang banyak termasuk atas “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,”

atau dapat kita disingkat menjadi sumber daya alam (SDA), adalah pemerintah melaksanakan lima fungsi

secara setara dan/atau terintegrasi. Kelima fungsi tersebut adalah: 1.kebijakan (beleid); 2.pengurusan

(bestuursdaad); 3.pengaturan (regelendaad); 4.pengelolaan(beheersdaad); dan 5.pengawasan

(toezichthoudensdaad). Kecuali untuk unsur kebijakan (beleid), keempat unsur yang lain disertai dengan

penjelasan pengertian masing-masing unsur tersebut. Selain itu, penjelasan tentang fungsi pengelolaan

(beheersdaad) dalam pertimbangan hukum Putusan MK2012 menyimpang dengan penjelasan yang

tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK2004.

Sementara itu untuk melengkapi pengertian fungsi dikuasai oleh negara, coba kita lihat

pengertian unsur beleid (kebijakan) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Beleid/be·leid/

/beléid/ Bld n cara (langkah) yang ditempuh untuk melaksanakan program dan sebagainya; kebijaksanaan:

usaha ekspor yang mereka lakukan semakin seret karena terjegal oleh -- negara asing. Contoh KBBI itu

menyatakan kebijakan impor negara asing membuat usaha eskpor mereka menjadi seret. Kebijakan impor

itu dapat berupa kebijakan hambatan tarif atau hambatan bukan tarif.

Contoh lain adalah kebijakan OJK yang dirilis oleh Detik.com baru-baru ini yaitu tentang beleid

asuransi digital. Disini OJK memberikan izin dan/atau kesempatan pada perusahaan asuransi untuk

menjual asuransinya secara online (lewat internet). Kebijakan OJK ini menyusul realita sudah banyaknya

produk lain yang sudah lebih dulu dijual secara online seperti tiket pesawat, paket wisata/hotel, baju, dan

lain sebagainya.

Untuk lebih memahami konsep terintergasinya fungsi-fungsi “dikuasai oleh negara” menurut

Putusan MK 2004 itu, berikut ini diuraikan masing-masing dari keempat fungsi termaksud. Kutipan

langsung dari masing-masing pengertian keempat fungsi tersebut menurut Putusan MK 2004 adalah

sebagai berikut.

“Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan

kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning),

lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad)

dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh

Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan

saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya

negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber

kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula

fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q.

Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan

Page 9: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

penguasaan oleh negara atassumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat”

Kita mulai dulu dari pengawasan. Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad). Menurut putusan MK2004 ini, ini dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. ” Ini merupakan fungsi umum manajemen yaitu fungsi untuk mengarahkan agar pelaksanaan dari kebijakan/perencanaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Selanjutnya kita ke fungsi pengurusan. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) menurut putusan

MK2004 ini dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut

fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Tidak ada penjelasan lebih lanjut

baik tentang fungsi ini maupun keempat fungsi yang lainnya. Walaupun demikian, kita tentu saja dapat

menguraikannya sendiri dengan memperlihatkan beberapa contoh yang logis. Misalnya, untuk

melaksanakan fungsi ini pemerintah menerbitkan/mencabut Izin Usaha Pertambangan batubara,

tembaga, emas, dan Minerba yang lainnya. Contoh yang lain adalah penerbitan/pencabutan izin

pengusahaan hutan yang berupa konsensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan

(HPHH), dan konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI). Contoh yang selanjutnya adalah

penerbitan/pencabutan hak-hak atas tanah yang mencakup hak milik, hak guna usaha, hak guna

bangunan, hak pakai, hak sewa, dan hak membuka tanah.

Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad). Menurut putusan MK ini, ini dilakukan sesuai

dengan kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Ini dapat kita

urai lebih lanjut sebagai berikut. Kewenangan legislasi itu mencakup pembuatan dan revisi UU seperti UU

Migas, UU Agraria, UU Kehutanan, UU Pajak, dan lain sebagainya. Regulasi itu adalah peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah dari UU dan sifatnya adalah pengaturan lebih lanjut dan lebih

teknis. Ini mencakup penerbitan Peraturan Pemerintah, Peraturan/Keputusan Presiden,

Peraturan/Keputusan Menteri, dan regulasi-regulasi lain yang lebih teknis lagi.

Fungsi pengelolaan (beheersdaad). Ini merupakan fungsi kunci dalam analisa tafsir frasa “dikuasai

oleh negara” Pasal 33 UUD1945. Menurut putusan MK ini, ini dilakukan melalui mekanisme pemilikan

saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik

Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q.

Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ada dua unsur penting yang perlu kita cermati disini. Pertama

unsur pemilikan saham (share-holding) dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN. Kedua

unsur instrumen kelembagaan BHMN. Kita coba menafsirkan konsep yang pertama dulu yaitu pemilikan

saham dan keterlibatan langsung dalam manejemen BUMN.

Badan usaha dikendalikan oleh para investornya yaitu para pemilik modal yang menanamkan

uang di badan usaha itu. Pemilik saham mayoritas (50% + 1) memegang kendali yang besar dan akan

memegang kendali penuh jika 100 persen saham dimiliki. Saham mayoritas BUMN dimiliki oleh negara

dan banyak BUMN yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh negara.

Page 10: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Dengan demikian, mungkin maksud frasa kepemilikan saham dan/atau keterlibatan langsung

dalam manajemen BUMN tersebut dalam pertimbangan hukum MK tersebut adalah pemerintah

memberikan wewenang dan tanggungjawab kepada badan usaha milik negara (BUMN) untuk mengelola

sumber-sumber kekayaan negara seperti yang dimaksud oleh Pasal 33 UUD1945. BUMN itu yang akan

melakukan kegiatan usaha yang bersifat operasional dan investasi. Misalnya, kegiatan operasional dan

investasi itu mencakup kegiatan eksplorasi dan eksplotasi untuk sektor hulu Migas6. Kegiatan eksplorasi

bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh

perkiraan cadangan minyak dan gas bumi. Sedangkan kegiatan eksploitasi bertujuan untuk menghasilkan

minyak dan gas bumi, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana

pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di

lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.

Konsep kedua adalah instrumen kelembagaan. Instrumen kelembagaan ini biasanya diartikan

sebagai Satker (Satuan Kerja) Instansi Pemerintah seperti Satker Direktorat Jenderal, atau, Badan, yang

langsung bertanggungjawab kepada Menteri Kabinet. Selain itu, instrumen kelembagaan ini dapat juga

kita artikan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri dan mencakup yang langsung bertanggungjawab

kepada presiden. Entitas ini lebih umum disebut sebagai badan hukum milik negara (BHMN). Contoh

entitas ini adalah Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BHMN untuk sektor hulu MIgas yang kita kenal

adalah BP dan SKK MIgas.

Sampai disini, pengabungan konsep pertama dan kedua itu mengarahkan kita pada kesimpulan

bahwa ada dua opsi penyerahan wewenang pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara tersebut. Opsi

pertama adalah BUMN dan opsi kedua adalah Satker pemerintah atau badan hukum milik negara. Opsi

mana yang akan dipilih dan/atau bagaimana cara memilihnya dan/atau cara menetapkan prioritas pilihan

tidak disinggung dalam pertimbangan hukum MK2004 itu.

Walaupun demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Tim Hakim Konstitusi MK 2004 ini

memposisikan kesetaraan BUMN dengan BHMN. Entitas mana yang akan diserahkan untuk mengelola

sumber-sumber kekayaan negara termaksud tergantung dari parameter efisiensi. Entitas mana yang

dipilih adalah tidak menjadi masalah sepanjang entitas yang terpilih itu memang lebih efisien untuk

mengelola sumber-sumber kekayaan negara tersebut. Bahkan walaupun BUMN yang diserahkan tugas itu

nantinya akan diprivatisasi tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang tujuan privatisasi dan/atau

kompetisi adalah untuk pencapaian efisiensi yang lebih tinggi dan prinsip negara tetap menguasai atau

mengendalikan BUMN itu masih tetap terjaga. Pertimbangan hukum pengujian materil yang tertuang

dalam Putusan MK2004 berbunyi:

“Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 …..maka penguasaan dalam

arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak

harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan

6 Definisi eksplotasi dan eskploitasi menurut UU Migas 2001. Definisi ini pada prinsipnya sama dengan defisini yang tertuang dalam UU Pertambangan tahun 1960.

Page 11: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya.

….Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi,

…juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, …...”

Kelihatannya pertimbangan hukum ini dijadikan pertimbangan utama oleh Tim Hakim Konstitusi MK2004 untuk menolak permohonan pembubaran BP MIgas dan/atau membatalkan UU Migas 2001 secara keseluruhan. Ironinya, pertimbangan hukum ini digunakan oleh Tim Hakim Konstitusi MK2012 untuk mengabulkan permohonan pembubarkan BP MIgas. Untuk melakukan ini, Tim MK2012 terlebih dahulu merekayasa dan/atau menggunakan pendekatan alternatif bertingkat tiga untuk menafsirkan frasa “dikuasai oleh negra” Pasal 33 UUD1945. Butir [3.12] pertimbangan hukum MK2012 ini berbunyi:

“…..kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara ……. harus

dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. … peringkat pertama dan yang paling penting …. Peringkat kedua

adalah… dan fungsi negara dalam peringkat ketiga…”

Pengertian masing-masing tingkatan itu menurut MK2012 adalah sebagai berikut. Tingat pertama

dan yang paling penting dari makna dikuasai oleh negara itu adalah negara melakukan pengelolaan secara

langsung atas sumber daya alam Migas. Sedangkan penguasaan negara pada tingkat kedua adalah negara

sebagai pembuat kebijakan dan melakukan pengurusan. Tingkat ketiga adalah negara melaksanakan

fungsi-fungsi pengaturan dan pengawasan.

Pengelolaan langsung yang dimaksud dalam pertimbangan hukum MK2012 ini adalah pengelolaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dengannya negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Pertimbangan hukum [3,12] Putusan MK2012 berbunyi:

“…..Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam….Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara…”

Seperti sudah disampaikan diatas, untuk sektor hulu Migas itu ada dua kegiatan utama yaitu

kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi. Kedua kegiatan ini harus dilakukan oleh BUMN dan BUMN yang ada untuk itu sekarang ini hanya PT Pertamina. Dengan kata lain, MK 2012 ini secara tidak langsung menghendaki PT Pertamina untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

PT Pertamina memang melakukan kegiatan eksploitasi (memproduksi Migas) untuk ladang Migas dan kilang minyak, yang dimilikinya. Namun demikian, kegiatan eksplorasi, yang membutuhkan modal dan kapasitas manajemen yang tinggi serta mengandung risiko yang sangat tinggi juga, bukan dilakukan oleh PT Pertamina. Kegiatan eksplorasi dilakukan oleh perusahaan swasta yang disebut sebagai badan usaha dan bentuk usaha tetap7. Perusahaan-perusahan swasta ini juga, yang sebagian besar adalah perusahaan

7 Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan terjemahan dari kata Permanent Establishment. Bentuk BUT itu mencakup cabang perusahaan asing yang beroperasi di luar negeri termasuk di Indonesia.

Page 12: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

asing, juga memproduksi Migas (melakukan kegiatan eskploitasi). Lebih jauh lagi, seperti nanti dijelaskan secara lebih terurai, produksi kegiatan eksploitasi Migas (produksi Migas) PT Pertamina sangat kecil dibandingkan dengan produksi Migas nasional Indonesia. Misalnya, di tahun 2013, produksi Migas PT Pertamina hanya 12% dari produksi nasional. Selebihnya, 82% diproduksi oleh badan usaha dan bentuk usaha tetap itu.

Ini berarti bahwa hanya sebagain kecil saja dari kegiatan-kegiatan sektor hulu Migas yang dikelola secara langsung oleh PT Pertamina. Sebagian besarnya dikelola oleh perusahaan swasta yang berbadan hukum badan usaha dan bentuk usaha tetap.

Dengan demikian, pertimbangan hukum MK2012 itu masih belum terpenuhi seandainya BUMN yang ditugaskan untuk itu adalah PT Pertamina. Itu juga masih belum terpenuhi seandainyapun dibuat BUMN baru untuk menggantikan dan/atau mendampingi PT Pertamina. Indonesia belum memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen untuk melakukan seluruh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA Migas. Selain itu, sebagian besar kegiatan eksploitasi (memproduksi Migas) yang dilakukan oleh perusahaan swasta yang ada sekarang ini sudah memiliki kontrak jangka panjang dengan Indonesia, yang sebagian lebih dari 20 tahun. Sangat sulit sekali untuk membatalkan kontrak-kontrak yang sudah ada tersebut dan/atau menerapkan kebijakan (beleid) nasionalisasi perusahaan-perusahaan pertambangan Migas swasta tersebut.

Kemustahilan untuk melaksanakan pertimbangan hukum ini juga sudah diantisipasi oleh Tim Hakim Konstitusi MK2012 tersebut. Ini terlihat dari pertimbangan hukum lebih lanjut dari Tim Hakim Konstitusi MK2012 tersebut, yang menyatakan bahwa pengelolaan langsung oleh BUMN ini tidak mutlak. Pengelolaan itu dapat juga diserahkan kepada asing sepanjang negara belum memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen. Untuk memperkuat argumen ini, MK 2012 ini juga menyatakan bahwa tafsir ini adalah tafsir seperti yang dikehendaki oleh Proklamator Mohammad Hatta. Untuk itu MK2012 menyatakan:

“……Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia….

Uraian-uraian diatas mengarahkan kita pada dua kesimpulan penting. Pertama, negara akan lebih

diuntungkan jika SDA yang dalam hal ini Migas dikelola oleh BUMN. Kedua, keuntungan yang lebih besar

itu hanya mungkin terjadi jika negara memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau

teknologi dan manajemen. Jika tidak memiliki hal-hal tersebut, maka akan lebih menguntungkan jika SDA

Migas itu tidak dikelola secara langsung oleh pemerintah. Beri kesempatan kepada badan usaha dan

bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA Migas.

Dengan demikian, isu kritis yang perlu kita bahas sekarang adalah menentukan pilihan entitas

yang diserahkan wewenang dan tanggungjawab untuk mengelola deals dengan badan usaha dan bentuk

usaha tetap itu. Maksud melakukan deals itu termasuk melakukan rangkaian kegiatan yang mencakup

penandatanganan kontrak. Dan, pertimbangan hukum MK2012 menghendaki bahwa yang melakukan

deals itu adalah BUMN. Butir [3.14] pertimbangan hukum MK dalam putusan ini berbunyi:

“…dikonstruksi dalam bentuk KKS8 ….. BUMN yang diberikan konsesi ….sehingga BUMN

tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap……”

8 KKS adalah Kontrak Kerja Sama yang merupakan padanan frasa Kontrak Production Sharing.

Page 13: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Tidak ada penjelasan mengapa MK2012 ini menghasilkan pertimbangan hukum seperti diatas.

Tidak ada penjelasan bagaimana negara diuntungkan dengan menunjuk BUMN untuk melakukan deals

tersebut. Diatas kesemua ini, tidak ada penjelasan apakah kegiatan BP MIgas selama 11 tahun terakhir

untuk melakukan deals dengan perusahaan swasta tidak membuat negara lebih diuntungkan. Yang ada

hanyalah petimbangan bahwa BP Migas tidak melakukan kegiatan pengelolaan SDA Migas secara

langsung. BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber

daya alam Migas.

Pertimbangan hukum Putusan MK 2012 pada butir [3.13.1], yang menyatakan bahwa BP Migas

tidak melakukan pengelolaan langsung SDA Migas tetapi hanya melakukan fungsi pengendalian dan

pengawasan, berbunyi:

“….BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas ….”

Seperti sudah disampaikan diatas, memang betul, fungsi pengelolaan (beheersdaad) tidak dilakukan oleh

BP Migas. Tetapi, hal yang sama berlaku juga untuk PT Pertamina. PT Pertamina hanya melakukan

sebagian kecil saja dari fungsi pengelolaan tersebut. Lebih persis lagi, wewenang dan tanggungjawab PT

Pertamina dalam melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan tersebut yang mencakup melakukan

deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap adalah persis sama dengan yang melekat pada BP

Migas. Dalam kaitan ini Hasan (2013) menyatakan:

“…..tugas BP Migas sebagaimana ditetapkan ….. pada prinsipnya tidak berbeda dengan

apa yang dilakukan oleh PT PERTAMINA berdasarkan …..Tentang Syarat-Syarat dan

Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. …dalam pelaksanaan KKS

yang menjangkau hingga ke manajemen operasi. Disini tanggung jawab BP Migas

mencakup memberikan persetujuan mengenai Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang

diajukan oleh Kontraktor, termasuk pelaksanaan dari RKA seperti misalnya memberikan

persetujuan untuk pengeluaran biaya (Authorization for Expenditure atau AFE), dan

penetapan pihak ketiga sebagai sub-kontraktor.”

Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa pertimbangan hukum butir [3.14] MK2012

termaksud adalah cacat hukum. Pertimbangan hukum tersebut memihak ke PT Pertamina walaupun BP

Migas berada pada posisi yang sama dengan PT Pertamina. Baik PT Pertamina maupun BP Migas tidak

melakukan pengelolaan SDA Migas secara langsung. Masing-masing entitas tersebut hanya melakukan

fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas untuk wilayah kerja

pertambangan yang dikelola oleh badan usaha dan bentuk usaha tetap.

Selanjutnya, coba kita lihat unsur lain dari pokok pikiran pertimbangan hukum MK 2012 yang

menyebabkan pembubaran BP Migas. Disini MK berpendirian bahwa jika BP Migas yang membuat deals

dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, maka Pemerintah kehilangan diskresi dalam membuat

regulasi yang bertentangan dengan kontrak tersebut. Kehilangan diskresi ini, menurut putusan MK Ini,

berarti negara kehilangan kedaulatan dan/atau keleluasaan membuat aturan yang diperlukan demi

tercapainya manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pokok pikiran kehilangan diskresi ini

tertuang dalam kalimat-kalimat yang lebih awal dari butir [3.14], yang berbunyi:

Page 14: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

“….ketika kontrak telah

ditandatangani, negara menjadi

terikat pada isi KKS. Akibatnya,

negara kehilangan diskresi untuk

membuat regulasi …….. kehilangan

kedaulatannya dalam penguasaan

sumber daya alam ……. Padahal

negara, ….harus memiliki

keleluasaan membuat aturan yang

membawa manfaat bagi sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.”

Mungkin kita sependapat

bahwa pokok pikiran MK itu cacat

hukum. Pertama, MK tidak dapat

menunjukan satupun bukti tentang

terjadinya ketidakleluasaan pemerin-

tah untuk menerbitkan regulasi

termaksud, jika ada, dalam kurun

waktu 11 tahun Rezim KKS BP Migas.

Dari sisi sebaliknya, MK juga tidak

dapat menunjukan satupun bukti,

juga jika ada, tentang tersedianya ke-

leluasaan pemerintah untuk mener-

bitkan regulasi termaksud selama 51

tahun rezim KKS PT pertamina.

Kedua, Pemerintah tidak dapat sesuka hati (sewenang-wenang), dengan dalih apapun, membuat

regulasi yang bertentangan dengan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak yang sudah ditandatangani,

terlepas apakah kontrak itu ditandatangani oleh BUMN atau BHMN. Badan usaha atau bentuk usaha tetap

yang merasa dirugikan dengan terbitnya regulasi baru pemerintah tetap saja dapat memperkarakan

regulasi itu ke badan arbitrase internasional, terlepas dari apakah itu BUMN, atau, BHMN yang

menandatangani kontrak termaksud.

Lebih jauh lagi, perlu dipahami bahwa kapasitas diskresi pemerintah dalam membuat regulasi

dan/atau peraturan perundang-undangan dengan tujuan pencapaian “kemakmuran” tersebut, tetap

terbatas sekalipun pada rezim konsesi dan bukan rezim KKS. Diskresi yang berlebihan dan menjurus

kesewenang-wenangan akan menyebabkan investasi di sektor hulu Migas menjadi tidak menarik lagi dan

para kontraktor hengkang ke luar negeri. Ini tentu saja tidak menguntungkan dan oleh karena itu tidak

diingini serta bertentangan dengan semangat pengelolaan SDA Proklamator Mohamad Hatta.

Faktor penting yang menyebabkan ini adalah besarnya nilai investasi dan/atau risiko dalam bidang

usaha sektor pertambangan. Selain itu, sektor ini membutuhkan highly skilled manpower dan tingginya

tingkat efisiensi dalam pengelolaan organisasi perusahaan.

Tafsir Pasal 33 UUD 1945 dalam

Putusan MK 2004:

Text Box 5

1.kebijakan (beleid);

2.pengurusan(bestuursdaad);

3.pengaturan (regelendaad);

4.pengelolaan(beheersdaad);

5.pengawasan(toezichthoudensdaad).

Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui

mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau

melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan

Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara

sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara,

c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas

sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Catatan: BHMN atau BUMN untuk melakukan pengelolaan

SDA Migas secara tidak langsung adalah tidak bertentangan

dengan konstitusi. Juga, yang patut dicermati bahwa

keempat unsur selain unsur keempat, pengelolaan

(beheersdaad), pada prinsipnya otomatis melekat pada

fungsi atau peran negara dan ini bersifat universal

Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 Tahun 2004

Page 15: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Contoh terkini tentang terbatasnya diskresi pemerintah untuk membuat regulasi yang

bertentangan dengan kontrak-ontrak yang sudah ditandatangani adalah kasus UU Minerba 2009 yang

mulai diberlakukan dalam tahun 2010. UU ini menyatakan bahwa KKS-KKS pengusahaan batubara

dan/atau mineral yang sudah ditandatangani masih tetap berlaku. Pasal 169 huruf a berbunyi:

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, kontrak karya dan perjanjian karya

pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-

Undang ini tetap diberlaltukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian”

Ketentuan tersebut berlaku secara umum dan terlepas apakah dengan deals PT (Persero) Bukit

Asam, atau, PT (Persero) Antam, atau, deals yang dibuat langsung oleh Pemerintah c.q. Kementerian

ESDM (d/h Kementerian Pertambangan). Misalnya, kasus KKS antara PT Bukit Asam (Persero) dengan PT

Gunung Bayan Pratama Coal tetap dinyatakan berlaku walaupun banyak regulasi yang tertuang dalam UU

Minerba 2009 bertentangan dengan isi kontrak antara kedua perusahaan pertambangan batubara

tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk KKS yang ditandatangani oleh Menteri Pertambangan dan

Energi, I.B. Sudjana dengan PT Kalimantan Energi Lestari.

Jauh ke belakang, hal yang serupa juga berlaku dalam kasus pemberlakuan UU Pertambangan

1960. UU ini jelas menyatakan bahwa rezim pengelolaan sektor pertambangan Indonesia adalah kontrak

kerja sama (KKS). Walaupun, demikian perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi dengan konstruksi

izin (konsesi) dan juga diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, utamanya tiga terbesar perusahaan

asing ketika itu yaitu Shell, Stanvac, dan Caltex tidak secara otomatis mengganti konstruksi hukum usaha

mereka. Diperlukan negosiasi yang memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai kesepakatan

perubahan konstruksi konsesi menjadi konstruksi kontrak (lihat uraian terdahulu).

Terlepas dari cacatnya pokok-pokok pikiran pertimbangan hukum MK diatas, kita masih dapat

mengatakan bahwa pertimbangan hukum tersebut adalah sebagai tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33

UUD 1945. Disini kelihatannya yang ingin dikatakan adalah bahwa “pengelolaan cabang produksi hulu

Migas dengan konstruksi (pola) Kontrak Kerja Sama (KKS), yang mencakup penandatanganan (KKS) dengan

badan usaha atau bentuk usaha tetap, harus diserahkan ke BUMN seperti PT Pertamina9.”

Perlu juga kita cermati kata kunci “konstruksi”. Kata konstruksi Ini perlu kita artikan sebagai

batasan dari tafsir tersebut yaitu keharusan penyerahan pengelolaan sektor hulu Migas kepada BUMN

hanya sebatas jika konstruksi pengelolaan tersebut adalah Kontrak Kerja Sama (KKS). Keharusan BUMN

tersebut gugur dengan sendirinya jika menggunakan konstruksi lain seperti Izin Usaha Pertambangan

(IUP) Migas. Disini tidak ada kontrak yang perlu dibuat antara Pemerintah dan/atau BUMN dengan

perusahaan-perusahaan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi sektor hulu Migas. Yang diperlukan

oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah izin konsesi atau izin usaha.

Konstruksi IUP ini berlaku di rezim pertambangan mineral dan batubara (UU Minerba 2009).

Konstruksi yang serupa terdapat juga di banyak cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang

menguasai hajat hidup orang banyak yang lain. Misalnya, di sektor kehutanan, izin-izin usaha yang

diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencakup penerbitan IUPHHK (Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) pada hutan alam.

9 Sebagai catatan, mungkin juga bermanfaat untuk mengingat bahwa tafsir KKS dikelola oleh BUMN adalah serupa dengan tafsir yang ada pada UU Pertambangan 1960

Page 16: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Lihat juga sektor agraria (pertanahan) yang dikelola langsung oleh Pemerintah dan tidak ada

penugasan sama sekali ke BUMN. Pemerintah c.q. Badan Pertanahan Nasional (Kementerian Agraria dan

Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) menerbitkan beberapa hak pemanfaatan tanah yang mencakup

Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Sewa. Guna Tanah. (UU No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria)

Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa keberadaan entitas BHMN SKK Migas masih dapat

dipertahankan jika rezim pengelolaan sektor hulu Migas diganti dari rezim kontrak menjadi rezim

perizinan. Disini BHMN SKK MIgas sangat jelas adalah setara dengan BHMN BPN (Badan Pertanahan

Nasinal). Jika demikian halnya, maka SKK Migas dapat diberikan tugas dan tanggungjawab lain misalnya

pengelolaan perizinan dan pegawasan sektor hulu Migas.

Selanjutnya, coba kita lanjut dengan Amar Putusan MK 2012 butir 1.7, yang nantinya, minimum,

membawa implikasi hukum yang berlarut-larut. Butir ini berbunyi:

“Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi10 dilaksanakan oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya Undang-Undang yang baru yang mengatur hal tersebut.”

Setelah dibubarkan, MK mengalihkan tugas BP Migas ke pemerintah. Namun, yang menarik

adalah ternyata Pemerintah bukan saja tetap mempertahankan rezim kontrak tetapi juga tidak segera

menunjuk BUMN seperti PT Pertamina untuk mengelola sektor hulu Migas yang merupakan bagian

terpenting dari Amar Putusan MK 2012 ini. Coba kita lihat kembali sebagian kutipan dari Pertimbangan

hukum MK butir [3.14] yang sudah disajikan diatas, yang berbunyi:

“…….BUMN yang diberikan konsesi ….sehingga BUMN tersebut yang melakukan KKS

dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap……”

Sebaliknya, Pemerintah setelah membubarkan BP Migas membentuk BHMN baru yaitu SKK Migas

yang ditugaskan untuk melakukan KKS dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap. Wewenang dan

tanggungjawab SKK MIgas, yang masih tetap melanjutkan pola (konstruksi) KKS, pada prinsipnya persis

sama dengan BP Migas. Hanya ganti nama doang, dari BP Migas menjadi SKK Migas. Perbandingan antara

tugas dan fungsi BP Migas dengan SKK Migas disajikan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 2. Perbandingan Tugas dan Fungsi BP/SKK Migas

Tugas dan Fungsi BP Migas Tugas dan Fungsi SKK Migas

1. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan

usaha hulu minyak dan gas;

2. Memberikan pertimbangan kepada Menteri

atas kebijakannya dalam hal penyiapan dan

penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak

Kerjasama;

3. Melaksanakan penandatanganan Kontrak

Kerja Sama;

1. Melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha

hulu minyak dan gas bumi berdasarkan

Kontrak Kerja Sama

2. Memberikan pertimbangan kepada Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral atas

kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan

penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja

Sama;

10 BP Migas

Page 17: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

4. Mengkaji dan menyampaikan rencana

pengembangan lapangan yang pertama kali

akan diproduksikan dalam suatu Wilayah

Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan

persetujuan;

5. Memberikan persetujuan rencana kerja dan

anggaran;

6. Melaksanakan monitoring dan melaporkan

kepada Menteri mengenai pelaksanaan

Kontrak Kerja Sama;

7. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas

bumi bagian negara yang dapat memberikan

keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

(UU No 22 tahun 2001)

3. Melaksanakan penandatanganan Kontrak

Kerja Sama;

4. Mengkaji dan menyampaikan rencana

pengembangan lapangan yang pertama kali

akan diproduksikan dalam suatu Wilayah

Kerja kepada Menteri Energi dan Sumber

Daya Mineral untuk mendapatkan

persetujuan;

5. Memberikan persetujuan rencana

pengembangan selain sebagaimana

dimaksud dalam poin sebelumnya;

6. Memberikan persetujuan rencana kerja dan

anggaran;

7. Melaksanakan monitoring dan melaporkan

kepada Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja

Sama; dan

8. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas

bumi bagian negara yang dapat memberikan

keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

(Peraturan Menteri ESDM No 9/2013 & Perpres No 9/2013)

Masing-masing butir 1 dari BP Migas dan SKK Migas pada prinsipnya menyatakan bahwa baik BP

maupun SKK Migas diberikan wewenang dan tanggungjawab yang sama untuk mengelola sektor hulu

MIgas. Selanjutnya, wewenang dan tanggungjawab tersebut dijabarkan dalam butir-butir selanjutnya,

yang untuk BP Migas itu dijabarkan dalam butir 2 sampai dengan butir 7 dan untuk SKK Migas dijabarkan

dalam butir 2 hingga butir 8. Namun demikian, perbedaan jumlah butir tersebut tidak menyebabkan

adanya perbedaan wewenang dan tanggungjawab yang prinsipil. Hal ini mirip dengan dagelan Tukul

Arwana, yang menurut Mujiburohman (2013) adalah:

“Ingat dengan program Talk Show Tukul Arwana di Trans7, yang kemudian pada tahun

2008 empat mata dilarang oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dianggap tidak

layak tayang karena tidak sesuai dengan norma dan tradisi ke-Indonesia-an. Namun,

justru pihak Trans7 mengakali vonis tersebut dengan mengubah nama program tersebut

menjadi Bukan Empat Mata dan tetap menayangkannya. Hal ini serupa dengan yang

terjadi dengan BP Migas…….Tidak ada perbedaan yang berarti antara BP Migas dengan

SKK Migas”

Dalam nuansa yang sama tetapi dengan perspektif yang sedikit berbeda, Wicaksono (2015) di

topik Analisis Akibat Hukum menyatakan:

Page 18: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

“……hak menguasai negara yang dipermasalahkan ketika BP Migas eksis pun terulang

kembali dengan adanya SKK Migas. Kewenangan BP Migas yang hanya sebatas

pengendalian dan pengawasan ….ternyata tetap diterapkan pada SKK Migas.”

Wicaksono (2015) tersebut dalam kesimpulannya menggugat agar SKK Migas juga segera

dibubarkan dan diganti dengan BUMN. Ini dinyatakannya sebagai berikut:

“….revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 ….kelembagaan pengelola

minyak dan gas bumi yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara ….sesuai dengan

pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi…

Desakan untuk sesegera mungkin merevisi UU MIgas 2001 tersebut juga disuarakan jauh sebelum

ini oleh LSM Gerakan Menegakan Kedaulatan Negara (GMKN). Aspirasi LSM ini yang disampaikan di

Gedung DPR RI tanggal 8 Januari 2013 disampaikan oleh beberapa politisi nasional seperti Fuad Bawazier

dan beberapa tokoh yang juga merupakan penggugat UU Migas 2001 tersebut seperti Adhie M. Massardi,

Marwan batubara, dan Din Syamsudin. Adhie M. Massardi menyatakan:11

“Kami mendesak DPR dan Pemerintah untuk segera membentuk UU Migas baru yang

sesuai dengan amanat UUD 45 Pasal 33.”

Dapat kita duga bahwa UU Migas yang baru yang mereka maksudkan tersebut tentunya adalah

yang memberikan kewenangan dan/atau semacam kuasa pertambangan ke BUMN seperti PT Pertamina.

BHMN semacam BP/SKK Migas tentunya menurut pendapat mereka itu tidak sesuai dengan konstitusi.

Dari berbagai uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa sebetulnya penunjukan SKK Migas oleh

Pemeritah sebagai ganti BP Migas, sepanjang masih menggunakan konstruksi kontrak, adalah

11 Hukum Online.com, “Segeara Susun Revisi UU Migas” 9 Januari 2013 diakses 6 Juni 2016

Page 19: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

bertentangan dengan konstitusi dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

SKK Migas yang saat ini operasinya

sudah memasuki tahun keempat

seharusnya segera dibubarkan.

Walaupun demikian, status

quo SKK Migas tetap dipertahankan

oleh Pemerintah. Pemerintah

belum mengalihkan wewenang dan

tanggungjawab SKK Migas ke PT

Pertamina dan/atau ke BUMN yang

lain yang dapat merupakan BUMN

baru. Pemerintah kelihatannya baru

akan melaksanakan hal tersebut

setelah revisi UU Migas 2001

disyahkan. Pertanyaannya sekarang

adalah kapan revisi tersebut

disyahkan?

Pertanyaan tersebut layak

kita angkat sebab draft revisi UU

Migas 2001 tersebut sudah

disampaikan oleh Pemerintah ke

DPR RI di tahun 2013. Pembahasan

di DPR sangat alot dan berlarut-larut

dan belum tercapai kesepakatan

hingga berakhirnya jabatan DPR RI

periode 2009 -2014. Hasil

pembahasan tersebut menjadi

hangus dengan sendirinya.

Dalam kaitan ini, Tambang

(Februari, 2016), menyatakan:

“Namun, …. revisi UU Migas menjadi prioritas yang terbelakang,……. Dalam periode sebelumnya, DPR telah melakukan kajian dan hasilnya ‘hangus’ seiring dengan berakhirnya tugas mereka… ……Khusus soal Migas ……. bisa dibayangkan proses yang terjadi, tarik menarik antara kepentingan yang berbeda.”

Mungkin kita sependapat dengan penulis diatas bahwa faktor utama yang menyebabkan berlarut-

larutnya penyelesaiaan revisi UU tersebut adalah adanya unsur tarik menarik antara “kepentingan” yang

berbeda. Kementerian ESDM terkesan berkepentingan untuk mempertahankan keberadaan entitas

BHMN SKK MIgas dengan alasan yang tidak begitu jelas. Di sisi lain, terkesan DPR berkeberatan akan hal

Ada 7 KKS yang ditandatangani SKK Migas tahun 2014.

1. PT Baradinamika Citra Lestari; 2. Konsorsium Bukit Energy

Palmerah Baru Pte Ltd-NZOG Palmerah baru Pty Ltd. – PT Surya

Selaras Sejahtera; 3. Konsorsium Krisenergy (Sakti) B.V. - Golden

Heaven Jaya; 4. Golden Code Commercial Ltd; 5. Husky

Anugerah Limited; 6. PT Innovare Gas; 7. PT Pertamina Cepu

Cepu ADK.

(Siaran Pers Kementerian ESDM 26 Februari 2014, diakses 29

April 2016)

KKS yang ditandatangani SKK Migas tahun 2015: 12 kontrak

1. Konsorsium Conocophilips – PC Kualakurun; 2. Mentari

Garung Energy Ltd; 3. Shell Pulau Moa Pte Ltd; 4. Konsorsium

Sepapua Energy Pte. Ltd – Kau 2 Pte. Ltd; 5. PT Pertamina Hulu

Energi Abar;

6. PT Pertamina Hulu Energi Anggursi; 7. PC North Madura II Ltd;

8. Statoil Indonesia Aru Trough I B.V; 9. Konsorsium Pacific Oil

& Gas Ltd. – Bukit Energy – NZOG MNK KIsaran; 10. Konsorsium

Bukit Energy Resources Sakakemang Deep Pte. Ltd – PT

pertamina Hulu Energi MNK Sakakemang; 11. Petroselat NC

Ltd.; dan

12. Konsorsium Bukit Energy – NZOG MNK – PT Surya Selaras

MNK

Blok MNK Kisaran, Sumatera Utara, dengan kontraktor

(Siaran Pers Kementerian ESDM, 22 Mei 2015, diakses 29 April

2016)

Deals SKK Migas: 2014-15

Text Box: 6

Page 20: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

ini dan lebih menyukai untuk menugaskan

BUMN yang sudah ada seperti PT

Pertamina dan PT PGN. Lagi-lagi, kita

belum melihat alasan utama apa yang

menyebabkan DPR berkehendak demikian.

Lebih jauh lagi, dapat kita katakan

bahwa pihak-pihak yang berperkara

dan/atau terkait tersebut lebih terobsesi

memperdebatkan frasa “dikuasai oleh

negara” dan mengkerdilkan frasa

“dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”. Dalam hal kedua

frasa tersebut diperlakukan setara, maka

implementasi Pasal 33 UUD 1945 tersebut

tidak akan menimbulkan polemik kronis

seperti ini.

Pentingnya penyatuan kedua frasa

“dikuasai oleh negara” dan “dipergunakan

sebesar-besar kemakmuran rakyat,”

secara eksplisit tertuang dalam Putusan

MK (2012). Butir [3.11] alinea kedua

Pertimbangan Hukum Putusan ini

berbunyi:

“Menurut Mahkamah, Pasal 33 UUD 1945, menghendaki bahwa penguasaan negara itu

harus berdampak pada sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Dalam hal ini,

“pengertian dikuasai oleh negara” tidak dapat dipisahkan dengan makna untuk “sebesar-

besar kemakmuran rakyat” yang menjadi tujuan Pasal 33 UUD 1945.”

Perlu kita ingat bahwa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” tercapai jika tercapainya efisiensi

penguasaan oleh negara tersebut. Termasuk dalam pengertian efisiensi ini adalah tidak terjadinya

pemborosan dan/atau KKN dalam pelaksanaan dikuasai oleh negara tersebut. Biaya-biaya yang

dikorbankan adalah terkecil untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut.

Ini konsisten dengan frasa “efisiensi” yang dituangkan dalam ayat 4 Pasal 33 UUD 1945. Lebih jauh

lagi, ayat 4 ini merangkum roh ketiga ayat yang terdahulu: cabang-cabang produksi yang penting bagi

negara, menguasai hajat hidup orang banyak, dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuian bagi

seluruh rakyat Indonesia. Ketiga roh tersebut harus dipersatukan dalam kesatuan wadah “efisiensi.” Ayat

4 Pasal 33 UUD 1945 berbunyi:

“Perekonomian nasional diselenggarakan ……dengan prinsip ……, efisiensi,..”

Lima konten utama Revisi UU Migas 2001 yang

diusulkan oleh Menteri ESDM, Sudirman Said:

Text Box: 7

1. Perbaikan iklim investasi;

2.Merubah entitas BHMN SKK Migas menjadi BUMN Khusus yang diberikan hak kuasa pertambangan; 3.Mensinergikan BUMN Migas yang sudah ada seperti PT Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN); 4. Mendorong peningkatan daya saing PT Pertamina dan memberikan keistimewaan pada PT Pertamina untuk mendapatkan blok-blok Migas yang masa kontraknya telah habis; dan 5. Memperbaiki sistem pungutan negara di sektor Migas untuk menghilangkan cara pandang bahwa Migas hanya dijadikan sebagai alat penerimaan negara saja.1 Butir kedua merupakan butir yang terpenting.

Katadata.co.id, 2015. “Pemerintah Segera Finalisasi Draft Revisi UU Migas,” 12 Maret 2015 dan diakses

6 Juni 2016

Page 21: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Di sektor hulu Migas, bebarapa indikator efisiensi tersebut mencakup investasi, konservasi

sumber daya alam Migas, kesempatan kerja dan berusaha termasuk kesempatan berusaha perusahaan

nasional, tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), dan tentu saja penerimaan

negara dalam bentuk pajak dan bukan pajak (royalty). Adanya tafsir yang berbeda dan/atau perubahan

tafsir frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 tersebut seharusnya hanya dapat terjadi jika

dilandasi oleh pertimbangan efisiensi sebagaimana tertuang dalam ayat 4 Pasal 33 UUD1945 dan dalam

kerangka “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Isu efisiensi juga sebetulnya tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK 2012. Butir

[3.13.4] pertimbangan hukum tersebut berbunyi:

“Menimbang bahwa tujuan utama …..pengelolaan sumber daya alam “untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat” sehingga implementasinya …..harus disusun berdasar

rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang inefisiensi dan

penyalahgunaan kekuasaan. ….segera memulai penataan ulang pengelolaan sumber daya

alam ….yang berorientasi … “manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat” dengan

organisasi yang efisien….”

Walaupun demikian, sebagaimana sudah disampaikan terdahulu, Putusan MK 2012 tersebut

gagal menghadirkan bukti-bukti yang terkait dengan isu efisiensi ini. MK tidak dapat memperlihatkan bukti

terjadinya inefisiensi selama 11 tahun operasi BP Migas sejauh ini dan/atau potensi kerugian di masa

depan jika BP Migas tetap dipertahankan12. Hal serupa juga tertuang dalam dissenting opinion Putusan

MK 2012 (Hakim Konstitusi Harjono) dan artikel Hasan (2013).

Pertimbangan efisiensi tersebut akan memperluas dan memperluwes tafsir “dikuasai oleh

negara” termaksud. Ini berarti bahwa semua pola yang akan diterapkan tidak akan bertentangan dengan

konstitusi sepanjang pola yang dipilih tersebut menjamin tercapainya efisiensi tertinggi dibandingkan

dengan pola lain yang tersedia. Dengan kata lain, pertimbangan efisiensi lah yang akan menetapkan pola

pengelolaan sektor ekonomi yang dimaksud oleh Pasal 33 UUD 1945 termasuk sektor hulu Migas. Dengan

demikian, apakah pola pengelolaan tersebut konsesi atau kontrak kerjasama, kontrak bagi laba atau bagi

hasil, BUMN atau BHMN, tergantung dari pola mana yang akan menghasilkan efisiensi tertinggi.

Grafik 1. Perkembangan Produksi Minyak Mentah Indonesia: 1980 - 2016

12 Salah satu persyaratan legal standing MK adalah bukti bahwa para pemohon dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan oleh UU yang dimohonujikan terhadap UUD 1945.

Page 22: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Sumber: Index Mundi & NKRAPBN untuk 2014 – 2016

Grafik 1 diatas memperlihatkan trend menurun produksi minyak mentah Indonesia. Trend

menurun sebetulnya sudah mulai di tahun 1982 ketika PT Petamina masih memegang hak eksklusif

monopoli atas SDA Migas. Walaupun demikian, trend penurunan di Era Monopoli Pertamina yang terus

berlanjut baru dimulai tahun 1991.

Ketika pengelolaan sektor hulu Migas, yang mencakup kegiatan produski minyak mentah,

dialihkan dari PT Pertamina ke BP Migas seiring dengan berlakunya UU Migas 2001, penurunan produksi

minyak mentah Indonesia sudah mencapai titik 1.340 barrel/hari, yang pada tahun 1991 masih pada titik

1.592 barrel/hari. Terlihat bahwa BP Migas tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah laju penurunan

produksi Migas Indonesia ini. Penurunan ini terus berlanjut dan sudah mencapai 875 barrel/hari pada

tahun 2012 ketika MK mencabut kewenangan BP Migas dan menyerahkannya ke Pemerintah/SKK Migas.

Selanjutnya, dalam periode pengelolaan SKK Migas, hal yang sama terus berlanjut dan produksi minyak

mentah Indonesia penurunannya sudah mencapai 810 barrel/hari di tahun 2016 (asumsi makro

APBNP_2016).

Pelajaran yang dapat kita ambil disini adalah terlihat indikasi yang kuat bahwa perubahan

penyerahan kewenangan pengelolaan sektor hulu Migas, dari PT Pertamina ke BP Migas dan kemudian

ke SKK Migas, tidak mempengaruhi pola alami penurunan produksi minyak mentah Indonesia. Dengan

kata lain, ketiga entitas tersebut sama-sama tidak berhasil menghentikan deplesi dan/atau meningkatkan

produksi minyak bumi Indonesia dalam periode 1981 hingga saat ini; selama 35 tahun.

Dengan demikian, UU Migas 2001 dapat dikatakan gagal memenuhi amanat Pasal 33 UUD 1945,

dari perspektif efisiensi produksi utamanya peningkatan produksi minyak mentah Indonesia. Hal yang

serupa terjadi kembali dengan Putusan MK 2012. Putusan ini tidak berdampak sama sekali atas upaya

peningkatan produksi minyak mentah Indonesia. Penciptaan perangkat hukum yang sia-sia dan hanya

menghabiskan sumber-sumber langkah negara yang ada.

Walaupun demikian, sebetulnya kita masih bisa membandingkan tingkat efisiensi dari ketiga

entitas tersebut dalam aspek biaya dan penerimaan negara. Unsur biaya tersebut utamanya mencakup

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

19

80

19

82

19

84

19

86

19

88

19

90

19

92

19

94

19

96

19

98

20

00

20

02

20

04

20

06

20

08

20

10

20

12

20

14

20

16

Produksi Minyak Mentah Indonesia; Ribu BBL/Hari

UU Pertambangan 1960 & UU Pertamina 1971

UU Migas 2001

MK12

Page 23: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

cost recovery dan fee penjualan bagian Migas Pemerintah. Sedangkan unsur penerimaan negara adalah

penerimaan pajak dan penerimaan hasil penjualan Migas bagian pemerintah.

Kalu kita kembali pada opsi KKS bagi laba atau KKS bagi hasil, dalam kaitannya dengan analisa

efisiensi tersebut, sementara dapat kita lihat bahwa ada dua kelemahan yang menonjol dari pola KKS bagi

hasil. Pertama, pemerintah perlu mengeluarkan biaya cost recovery atas pembelian aset-aset yang dibeli

dan digunakan oleh kontraktor KKS. Aset-aset tersebut ketika diserahkan ke pemerintah dalam waktu 20

hingga 30 tahun mendatang, sebagian sudah merupakan besi tua dan/atau teknologi yang digunakan

sudah berubah. Kedua, pemerintah perlu mengeluarkan fee jasa penjualan Migas bagian pemerintah. Nilai

fee tersebut berkisar antara 1,84 hingga 3,89 triliun rupiah setiap tahunnya.

Sebelum UU Migas 2001 fee ini diterima PT Pertamina. Setelah UU Migas 2001 hingga Putusan

MK 2012, penerima fee tersebut adalah BP Migas dan PT Pertamina. Sedangkan pasca Putusan MK 2012,

penerima fee adalah SKK Migas hingga tahun 2014. Penerima fee kembali ke PT Pertamina di tahun 2015

ketika pengelolaan SKK Migas didanai oleh APBN yaitu ketika SKK Migas dijadikan Satker di Kementerian

ESDM.

Perkembangan fee penjualan Migas bagian pemerintah dari tahun 2007 hingga tahun 2012,

disajikan di tabel dibawah ini. Formula fee tersebut 5% nilai jual – 60% pajak13. Sedangkan nilai jual

merupakan hasil perkalian antara volume produksi dan harga.

Grafik 2. Perkembangan Fee untuk Pertamina/BP (SKK) Migas: 2007 – 2015. Rp Triliun

Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), LKPP, beberapa edisi, diolah.

Perlu diketahui bahwa sebagian besar produksi minyak dan gas Indonesia berasal dari perusahaan

swasta yang didominasi oleh perusahaan asing. Chevron Pacific Indonesia menguasai sebesar 47% dan PT

Pertamina hanya 18%, selebihnya adalah swasta yang sebagian besar adalah swasta asing. Grafik 3 dibawah ini

menyajikan komposisi produsen Migas Indonesia di tahun 2013.

13 Putusan MK 2004; data dari para pemohon.

2.13

1.84

1.84

3.89

3.68

2.56

2.31

3.71

2.72

0 1 2 3 4 5

2015

2014

2013

2012

2011

2010

2009

2008

2007

Page 24: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Grafik 3. Distribusi Produksi Produsen Migas Indonesia

Sumber: SKK Migas-IPA Technical Division presentation dalam PwC (2014), diolah

Grafik itu sebetulnya dapat mengarahkan kita pada opsi efisiensi dengan masih merujuk ke

konstruksi KKS bagi hasil (natura/in kind). Pertanyaannya adalah PT Pertamina atau SKK/BP Migas yang

paling efisien dalam mengelola sembilan perusahaan-perusahaan Migas tersebut? Jika itu SKK/BP Migas

dimana letak urgensi merubah status hukumnya menjadi BUMN baru? (lihat Tabel 1 dan 2 diatas).

Opsi selanjutnya adalah KKS bagi hasil, seperti sekarang, atau, KKS bagi laba seperti yang

dilaksanakan di tahun 1960? Atau, pertanyaan yang lebih strategis lagi adalah apakah tidak sebaiknya

pemerintah lebih menyempurnakan sistem perpajakan di sektor hulu Migas ini dan beralih ke rezim

perizinan (konsesi) saja? Misalnya, dengan mengadopsi sistem Pajak Super Profit seperti yang diterapkan

oleh Pemerintah Australia14.

Dengan demikian, adalah mendesak sekali untuk mengembangkan perbandingan tingkat efisiensi

antara berbagai pola (konstruksi) yang tersedia. Hasil ini dengan demikian dapat dijadikan sebagai

sebagian rujukan dalam menyusun Naskah Akademis revisi RUU Migas 2001. Sekali lagi, semua alternatif

yang tersedia tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang menjamin tingkat efisiensi tertinggi dalam

kerangka tercapai “sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.”

Lebih menarik lagi, kesimpulan untuk lebih fokus pada isu efisiensi tersebut mengarahkan kita

pada premis awal yang disampaikan dalam tulisan ini bahwa sebetulnya Pasal 33 UUD 1945 itu tidak

mengatur apa-apa. Dengan kata lain, pencabutan/pembatalan Pasal 33 UUD 1945 tidak akan

menggugurkan kewajiban negara untuk memakmurkan dan mensejahterahkan segenap bangsa dan

rakyat Indonesia. Secara universal, adalah fitrah suatu negara untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan

sumber-sumber langkah yang tersedia, termasuk SDA Migas, dalam kerangka maksimalisasi kemakmuran

dan kesejahteraan seluruh rakyat.

Demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh, Faisal Basri, Ekonom

Universitas Indonesa, bahkan menyampaikan gagasan yang lebih revolusioner. Menurutnya, tidak

14 Lihat, Australia (2010)

47%

18%

9%

6%

5%

5%

4%

4%

2%

0% 10% 20% 30% 40% 50%

Chevron Pacific Indonesia

Pertamina

Total E&P Indonesia

PHE-ONWJ

CNOOC Ses.Ltd

Conoco Phillips Ind. Ltd

Cico

Mobil Cepu Ltd.

PetroChina Int. (Jabung) Ltd

Produsen Migas Indonesia: 2013

Page 25: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

diperlukan mengutakatik SKK Migas dan/atau merevisi UU Migas2001 untuk pencapaian efisiensi

pengelolaan sektor minyak dan gas bumi Indonesia. Syeirezi (2015) menyatakan:

“Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM), yang dipimpin ekonom Faisal Basri, ….merilis

12 rekomendasi final, mencakup reformasi tata kelola hulu dan tata niaga hilir…

…..,..TRTKM sama sekali tidak menyinggung dan merekomendasikan revisi UU Migas.”

Hikmah yang dapat kita ambil disini adalah bahwa terlalu naif (sangat keterlaluan) untuk

menyerahkan tafsir Pasal 33 UUD 1945 hanya kepada Tim Hakim Konstitusi. Lebih mendasar lagi, perlu

kita ingat bahwa Pasal 33 UUD 1945 itu terkait dengan prinsip tatanan ekonomi Indonesia. Perumusan

tersebut seharusnya melibatkan juga para ekonom dan pakar pertambangan dalam skala nasional selain

melibatkan para pakar hukum.

Lebih jauh lagi, kita tentunya sepakat

bahwa memang betul Naskah Akademis (NA)

sebagai dasar dari penyusunan RUU melibatkan

berbagai pakar termasuk pakar ekonomi dan

pakar teknik. Walaupun demikian, perekrutan

para pakar termaksud tidak begitu terbuka dan

transparans serta umumnya pembahasan

dan/atau perdebatan substansi yang dilakukan

lebih bersifat dalam lingkungan internal dan

tidak tuntas. Lebih parah lagi, banyak substansi

penting NA RUU merujuk ke hasil kajian yang

tidak dipublikasikan dan/atau tidak dapat

diakses oleh publik.

Coba kita berkunjung ke website pihak-

pihak yang terkait dengan legislasi dan/atau

produk hukum. Di website DPR RI, misalnya,

jangankan Naskah Akademis RUU, Naskah

RUUnya sendiri pun tidak dapat kita akses.

Kebuntuan yang serupa terjadi jika kita

berkunjung baik ke website Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia maupun ke

Kementerian Sektretariat Negara. Semua instansi pemerintah tersebut hanya menyediakan peraturan

perundang-undangan yang sudah disyahkan.

Dengan demikian, sulit untuk mengatakan bahwa NA RUU sejauh ini sudah mengakomodir arus

utama berbagai disiplin ilmu yang yang dibutuhkan. Untuk itu, penulis berpendapat memang sebaiknya

jangan membuat UU Migas baru dulu sebelum adanya kesepakatan nasional tentang tafsir frasa “dikuasai

oleh negara,” dan, tafsir frasa “sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat,” atau, lebih luas

lagi, sebelum adanya penyatuan tafsir Pasal 33 UUD 1945 secara utuh.

Hasan (2013) merupakan salah seorang penggagas penyatuan tafsir Pasal 33 UUD 1945 tersebut.

Menurutnya penyatuan tafsir tersebut lebih memberikan kepastian hukum atas tafsir frasa-frasa dalam

Tugas Pokok Negara secara Universal

Text Box: 8

USA Embassy (2016), misalnya, menyatakan: “…The United States and many other countries have intervened in their economies to limit concentrations of power and address many of the social problems associated with unchecked private commercial interests. As a result, the American economy is perhaps better described as a "mixed" economy, with government playing an important role along with private enterprise…..”

Hasan (2006) menyatakan: “Prinsip hak menguasai dari negara terhadap kekayaan alamnya telah diakui secara universal dalam hubungan dan hukum internasional…seperti Resolusi Majelis Umum PPBB 626 (VII) tanggal 21 Desember 1952….Declaration on the Human Environment (1972).”

Page 26: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Ini akan membantu meyakinkan para investor dalam pengambilan keputusan

investasi. Sebaliknya, tindakan pemerintah yang tidak dapat diprediksi akan menghambat kegiatan

investasi. Disini dikatakannya”

“…..usaha keberhasilan menarik investasi …tergantung pada tiga faktor, yakni peluang, kestabilan politik dan kepastian hukum. … risiko ….ketidakpastian dalam hukum dan kebijakan yang memungkinkan pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang tidak dapat diprediksikan …Risiko politik ini merupakan faktor terbesar yang menghambat

partisipasi modal (terutama asing) dalam kegiatan hulu migas.”

Pemikiran tentang perlunya kesepakatan nasional tersebut lebih diperkuat dengan

memperhatikan bahwa tafsir frasa “dikuasai oleh negara” yang serupa dan/atau mendekati dengan yang

ada di sektor hulu Migas hanyalah untuk sektor kelistrikan. Disini PT PLN diberikan hak ekslusif monopoli

dalam pengelolaan kelistrikan di Indonesia. Tafsir frasa termaksud berbeda untuk banyak cabang produksi

yang lain yang juga penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Pertama, coba lihat di sektor pertambangan mineral dan batubara (Minerba). Disini tidak ada

perintah UU yang berlaku bahwa “kuasa pertambangan” diserahkan ke badan usaha milik negara seperti

PT BA, PT Antam, dan PT Timah. Maksudnya, tidak ada perintah UU yang mewajibkan perusahaan swasta

untuk membuat perikatan bisnis dengan BUMN-BUMN termaksud seperti yang ditafsirkan oleh MK untuk

sektor hulu Migas. Di sektor Minerba ini Kuasa Pertambangan diserahkan oleh negara kepada Pemerintah

dan selanjutnya Pemerintah c.q. Kementerian ESDM menerbitkan semacam surat Izin Usaha

Pertambangan.

Kedua, coba lihat juga sektor-sektor pertanahan, perkebunan, kehutanan, dan sumber daya air.

Di kesemua sektor itu tidak ada UU yang berlaku sejauh ini yang menyerahkan kuasa sektornya ke badan

usaha milik negara. Negara menyerahkan kuasa sektor masing-masing tersebut ke Pemerintah dan

selanjutnya Pemerintah c.q. kementerian dan lembaga negara terkait menerbitkan semacam konsesi,

atau surat izin pungusahaan (izin usaha).

Di sektor agraria, Hasan (2013) berpendapat bahwa pengertian kata “dikuasai” dari Pasal 33 UUD

1945 tidak identik dengan kata “dimiliki”. Pengertian kata dikuasai itu menurutnya adalah sebagai:

“ ‘yang memberi wewenang kepada negara’ sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk:

1). Mengatur dan menyelenggarakan …. ; 2). Menentukan dan mengatur hak-hak….; 3).Menentukan dan mengatur …. mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran rakyat.”

Jelas sekali bahwa tafsir Pasal 33 UUD1945 yang dituangkan dalam UU Agraria ini tidak

menyatakan bahwa sektor agraria harus dikelola langsung oleh pemerintah melalui BUMN. Ini menjadi

tambah menarik mengingat sejauh ini tidak ada atau belum adanya yang menggugat bahwa UU yang

mengatur sektor-sektor tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Lebih luas lagi serta

merisaukan jika kita melihat fakta atas terjadinya deplesi SDA ini dalam skala yang besar. Ini utamanya

sangat jelas untuk sektor minyak bumi dan hutan alam.

Page 27: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Dibawah ini disajikan analisis tafsir frasa “dikuasai oleh negara” yang lebih terurai untuk masing-

masing sektor (cabang produksi) tersebut termasuk juga untuk sektor Migas. Selain itu, sajian termaksud

akan dimulai dengan tafsir yang ada di Era Awal-awal kemerdekaan.

Era Awal-awal Kemerdekaan

Era ini ditandai oleh semangat kebangsaan yang sangat tinggi tetapi organ-organ dan aset pemerintah

sebagian besar, kalau tidak seluruhnya, masih merupakan warisan kolonial Belanda. Tafsir penguasaan

oleh negara adalah identik dengan kepemilikan dan pengelolaan langsung pemerintah atas aset-aset

yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ini dilakukan oleh jawatan-jawatan dan dinas-

dinas pemerintah misalnya untuk kegiatan angkutan trem dan bis kota serta penyediaan air minum.

Lebih jauh lagi, beberapa perusahaan minyak asing yang sudah memiliki konsesi kuasa pertambangan

sebelumnya masih diizinkan untuk beroperasi. Beberapa diantaranya adalah Royal Dutch/Shell dan

Standard-Vacuum Oil Company (Stanvac) serta Caltex, yang masa konsensinya akan berakhir pada tahun

195115. Wilayah Pertambangan Stanvac di Sumatera Selatan dan Caltex/Royal Dutch/Shell rasanya di

Sumatera Utara/Tengah/Riau. Kegiatan eksplorasi dan/atau esploitasi dari masing-masing perusahaan

asing tersebut kemudian diperpanjang sekitar 25 hingga 30 tahun lagi, walaupun dengan pola izin/kontrak

dengan Indonesia yang berbeda.

(Disarikan dari Hasan (2006) dengan diberikan sedikit penekanan dan tambahan ilustrasi)

Sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas)

Uraian tentang sektor minyak dan gas bumi sudah disampaikan diatas dengan cukup terinci. Disini hanya

akan ditambahkan dua elemen penting. Pertama, rangkuman tafsir-tafsir frasa “dikuasai oleh negara”

Pasal 33 UUD 1945 Pra-Putusan Mahkamah Konstitusi 2012. Kedua, tambahan ilustrasi atas tiga pengujian

UU Migas 2001 yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi.

Ada dua kesimpulan dari tafsir frasa “dikuasai oleh negara,” Pasal 33 UUD 1945 sektor minyak dan

gas Pra-Putusan Mahkamah Konstitusi 2012. Pertama, pengertian sektor migas dikuasai oleh negara

adalah identik dengan kepemilikan dan penguasaan langsung (melalui dinas/jawatan pemerintahan) atau

tidak langsung oleh negara (melalui badan usaha/perusahaan milik negara seperti PT Pertamina). Isu

terpenting disini adalah deals dengan perusahaan-perusahaan pertambangan diserahkan kepada

dinas/jawatan pemerintah (penguasaan langsung) dan kemudian berubah menjadi itu diserahkan hanya

ke PT Pertamina (penguasaan tidak langsung). (UU Pertambangan tahun 1960 dan UU PT Pertamina tahun

1971).

Kedua, deals dengan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut diserahkan kepada BHMN

BP Migas. Walaupun demikian, konsep yang dipegang adalah yang terpenting negara tetap mengatur

dan/atau mengendalikan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup

orang banyak termasuk cabang produksi hulu minyak dan gas bumi. Dengan kata lain, pengelolaan sektor

hulu migas (eksplorasi dan eksploitasi) beralih dari yang sebelumnya dilakukan secara monopoli oleh PT

Pertamina (d/h PN Pertamina) menjadi dilakukan oleh BP Migas. (UU Migas 2001)

15 Encyclopedia.com. 2004. Pertamina: International Directory of Company Histories. 2004. Diakses 27 April 2016

Page 28: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

UU Migas tahun 2001 mengalami tiga kali gugatan dan pada gugatan ketiga Mahkamah Konstitusi

(MK) memutuskan untuk membubarkan BP Migas. Keputusan ini terutama didasarkan pada pertimbangan

hukum MK bahwa tugas dan fungsi entitas BP Migas, utama yang terkait dengan dengan pembuatan deals

dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, bertentangan dengan semangat frasa “dikuasai oleh

negara” Pasal 33 UUD 1945. Selanjutnya ditegaskan bahwa tugas dan fungsi BP Migas perlu dikembalikan

lagi ke badan usaha milik negara semacam PT Pertamina walaupun tidak harus tunggal.

Berikutnya dan sebagai bahan perbandingan, disajikan juga tafsir/interpretasi frasa “dikuasai oleh

negara” menurut beberapa UU yang lain yang tentunya terkait dengan sektor produksi yang penting bagi

negara dan/atau sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak yang lain juga. Ini mencakup sektor

mineral dan batubara, sektor agraria (pertanahan), sektor kehutanan, sektor perkebunan, dan sektor daya

air.

Gugatan/Pengujian UU No 22/2001

ke Mahkamah Konstitusi

Gugatan atau permohonan pengujian

UU No. 22/2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi ke Mahkamah Konsitusi (MK)

sudah dilakukan sebanyak tiga kali.

Gugatan pertama, 2003 – 2005, dan

ketiga, 2012, pada prinsipnya

mencakup substansi (materi)

mendasar yang sama yaitu menggugat

agar kewenangan pengelolaan sektor

minyak dan gas bumi Indonesia

diserahkan kembali ke BUMN seperti

PT Pertamina. Ini menurut para penggugat adalah wujud/implementasi yang paling benar dari semangat

Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, institusi seperti BP Migas perlu dibubarkan karena bertentangan

dengan Pasal 33 UUD 1945.

Dalam gugatan ketiga ini, seperti sudah disajikan diatas, sebagian besar permohonan pengujian

pasal-pasal UU Migas a quo diterima oleh Mahkamah dan diantaranya yang paling penting adalah

pembubaran BP Migas. Sebaliknya, dalam gugatan pertama hanya permohonan yang tidak prinsipil dan

tidak memiliki dampak penting yang diterima oleh Mahkamah. Selanjutnya, gugatan kedua mencakup

substansi yang berbeda dibandingkan dua gugatan yang disebutkan terdahulu itu. Gugatan kedua ini lebih

terkait dengan fungsi dan wewenang DPR dalam persetujuan/pengawasan perjanjian internasional yang

dibuat oleh pemerintah. Gugatan kedua ini ditolak sepenuhnya sebab MK berpendapat bahwa para

pemohon tidak memiliki kualifikasi (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian suatu UU

terhadap UUD 1945.

Gugatan kedua

Substansi gugatan kedua ini, yang dimohonkan oleh perseorangan sebanyak delapan orang dan mereka

ini semuanya adalah anggota DPR RI ketika itu, menuntut adanya persetujuan DPR atas kontrak yang

Gugatan Kedua UU Migas 2001 Putusan Nomor: 20/PUU-V/2007, 13 Desember 2007

Text Box: 9

Penggugat:

1. Zainal Arifin; 2. Sonny Keraf; 3. Alvin Lie; 4. Ismayatun; 5.

Hendarso Hadiparmono; 6. Bambang Wuryanto; 7. Dradjad

Wibowo; dan 8. Tjatur Sapto Edy. (Kesemuanya adalah

anggota DPR RI 2004 – 2009)

Hakim Konstitusi:

1. Jimly Asshidiqie; 2. H.A.S. Natabaya; 3. H.M. Laica

Marzuki; 4. H Achmad Roestandi; 5. H. Abdul Mukthie

Fadjar; 6. Soedarsono; 7. H. Harjono; 8. Maruarar Siahaan;

dan 9. I Dewa Gede Palguna

Commented [AU1]: mungkin sektor listrik perlu juga diulas sedikit.

Page 29: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

dibuat oleh BP Migas dengan para para kontraktor perusahaan pertambangan. Dengan kata lain, menurut

mereka bahwa tidak cukup kontrak termaksud hanya dilaporkan saja ke DPR tetapi setiap kontrak antara

BP Migas dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap asing harus mendapat persetujuan terlebih dahulu

dari DPR. Kontrak-kontrak tersebut menurut para pemohon ini adalah sama dengan Perjanjian

Internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Catatan text box16.

Pasal-Pasal UUD 1945 yang mereka rujuk adalah Pasal 11 ayat (2), yang berbunyi:

“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Menurut para pemohon tersebut, Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 tersebut sudah sudah dilanggar oleh Pasal 11 Ayat (2) UU Migas No. 22/2001, yang selengkapnya berbunyi:

“Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.”

Perjanjian internasional tersebut menurut UUD 1945 harus mendapat persetujuan terlebih

dahulu dari DPR. Sebaliknya, itu tidak perlu menurut UU Migas karena perjanjian/kontrak yang dibuat

oleh BP Migas tersebut tidak termasuk Perjanjian Internasional seperti yang dimaksud oleh UUD 1945

tersebut. Dengan kata lain, para pemohon menyatakan pasal dalam UU Migas diatas bertentangan

dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dan untuk itu perlu diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai

“bertentangan dengan konstitusi dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.”

Persisnya, mereka menuntut agar Pasal 11 ayat (2) tersebut dicabut.

Gugatan kedua ini ditolak secara keseluruhan oleh MK sebab para pemohon tidak memenuhi

syarat (legal standing) untuk menyampaikan permohonan pengujian UU a quo terhadap UUD 1945.

Pendapat MK [3.13] bullet 8 berbunyi:

“…para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK, .. Dengan demikian, para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) selaku para Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang a quo.”

Mahkamah juga memberikan penjelasan tambahan bahwa jikapun permohonan tersebut dikabulkan,

artinya Pasal 11 ayat (2) UU Migas termaksud dicabut, posisi DPR dalam kaitan kontrak BP Migas ini

bertambah buruk dengan tidak tersedianya akses informasi langsung terhadap kontrak-kontrak tersebut.

BP Migas tidak mempunyai lagi kewajiban untuk menyampaikan secara tertulis atas kontrak kerja sama

yang sudah ditandatanganinya. Keterangan ini konsisten dengan Putusan Mahkamah tahun 2012 yang

tidak mencabut pasal ini ketika sebagian besar pasal-pasal dalam UU Migas a quo dinyatakan tidak berlaku

(tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat).

Mungkin bermanfaat untuk mengetahui bahwa para pemohon tidak dapat dapat menghadirkan bukti yang kuat tentang kerugian yang sudah mereka alami dan/atau berpotensi untuk dialami dengan berlakunya UU a quo ini. Mereka hanya menyatakan bahwa terdapat arus uang yang demikian besar dalam pengelolaan sektor hulu Migas dan oleh karena itu penandatanganan kontrak KKS harus mendapat

16 Nama Hakim I Dewa Gede Palguna tidak tercantum dalam File PDF Putusan MK No. 20/PUU-V/2007

Page 30: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

persetujuan terlebih dahulu dari DPR. Dengan adanya persetujuan terlebih dahulu dari DPR ini, maka, menurut pemohon, potensi kerugian negara dapat dihindari dan/atau diminimalisir. Hanya pernyataan verbal itu saja. Tidak ada dukungan fakta, data, apalagi analisism yang mumpuni. Alasan permohonan pengujian 3.3.4.2 berbunyi:

“……betapa besarnya pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan minyak dan gas bumi yang ada di bumi dan air Indonesia, yang apabila tanpa …..diawasi secara ketat oleh DPR-RI dalam bentuk pemberian persetujuan, akan sangat berpotensi merugikan Negara, …..”

Gugatan pertama

Tuntutan utama para pemohon

Disini para pemohon tidak menggugat pasal-pasal tertentu dari UU Migas 2001 ini melainkan mereka

menggugat UU a quo secara keseluruhan. Untuk itu para pemohon menyampaikan 20 alasan/unsur yang

menurut mereka membuktikan bahwa UU

Migas a quo bertentangan dengan Pasal 33

UUD 1945. Untuk mendukung alasan ini,

kemudian mereka tambahkan penjelasan

tentang lima dampak buruk (negatif) dari

berlakunya UU Migas ini, yang dilengkapi

dengan uraian/paparan tentang kontribusi

efisiensi monopoli alamiah sektor

pertambangan Migas Indonesia yang

dimiliki oleh PT Pertamina selama ini.

Penyampaian 20 alasan/unsur yang menurut para pemohon tersebut bertentangan dengan konstitusi, dimulai dengan pengungkapan fakta sejarah tentang tafsir frasa “dikuasai oleh negara”. Disini frasa itu mereka identikan dengan pemberian hak eksklusif monopoli kepada PT Pertamina (d/h PN Pertamina) dalam pengelolaan pertambangan minyak dan gas bumi Indonesia termasuk pengelolaan sektor hilir (kilang) dan distribusi BBM dan gas. Kesemua ini sebetulnya hanyalah

perintah UU Pertambangan tahun 1960 dan UU Pertamina tahun 1971. Kedua UU ini dibatalkan oleh UU Migas 2001. Butir 1.c. pertimbangan pemohon berbunyi:

“Dalam hal ini pengertian "dikuasai oleh negara" di dalam Pasal 33 UUD 1945 bagi kekayaan alam

minyak dan gas bumi ……secara fakta historis ditunjukkan oleh kenyataan dikuasainya lapangan

MIGAS berikut kilang ….. oleh negara (c.q. Perusahaan Milik Negara/BUMN). ….. secara prinsipiil

Persyaratan Legal Standing

Text Box: 10 a) Adanya hak konstitusional Pemohon yang

diberikan oleh UUD 1945; b) Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut

dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji;

c) Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat dipastikan akan terjadi;

d) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;

e) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan tersebut maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak

akan atau tidak lagi terjadi.

Putusan MK No. 006/PUU-III/2005

Page 31: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

setelah masa kontraknya berakhir maka lapangan17 yang dikerjakan oleh Kontraktor Bagi Hasil

tersebut harus kembali kepada negara c.q. BUMN ….”

Dalam pengungkapan fakta sejarah ini juga para pemohon menyebut dua orang founding fathers Indonesia, Mr. Wilopo dan Bung Hatta, dalam kapasitas sebagai Ketua dan Penasehat Komisi Anti Korupsi tahun 1969/70. Mereka juga menyatakan bahwa Bung Hatta (Mantan Wapres Presiden Soekarno) sebagai arsitek dari Pasal 33 UUD 1945. Disini para pemohon mengemukakan bahwa Beliau berdua itulah yang menginisiasi pembentukan PN Pertamina di tahun 1971 dan dengan demikian pemberian hak eksklusif monopoli PN Pertamina untuk mengelola sektor (cabang produksi) minyak dan gas bumi Indonesia adalah wujud nyata dari pelaksanaan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD !945.

Selanjutnya pemohon menyatakan bahwa PN Pertamina diberikan wewenang untuk menandatangani kontrak dengan badan usaha swasta. Ini merupakan bagian dari pertimbangan butir 1.b pemohon, yang berbunyi:

“PERTAMINA diperbolehkan menjalin kerjasama dengan perusahaan swasta nasional maupun asing dalam bentuk Production Sharing Contract (selanjutnya disingkat PSC) sehingga para pengusaha asing dan nasional hanya berperan sebagai kontraktor jasa dari BUMN.”

Dengan kata lain, para pemohon berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 menghendaki agar yang

melakukan deals dengan perusahaan Migas swasta hanyalah BUMN dan BUMN itu adalah PT Pertamina. Namun demikian, terlepas dari adanya perintah dari UU pertambangan dan UU Pertamina yang sudah dibatalkan tersebut, para pemohon tidak memberikan penjelasan lebih jauh tentang pentingnya untuk mempertahankan PT Pertamina sebagai pengelola deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap.

Para pemohon hanya memberikan alasan-alasan secara parsial, sepotong-sepotong, dan tidak komprehensif. Misalnya, mereka menyampaikan beberapa isu terkait dengan keberlanjutan dan/atau investasi pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Sebagai contoh adalah utang untuk investasi seperti utang investasi invetasi pembangunan LNG Arun. Menurut pemohon, utang ini akan jadi utang PT Pertamina tetapi jika dilakukan oleh BP Migas itu akan jadi utang Pemerintah. (Penjelasan Tim Ahli Pemohon: Ir. Ramses Octavianus Hutapea). Tidak disampaikan perbandingan tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan utang antara jika dilakukan oleh PT Pertamina dan jika dilakukan oleh BP Migas.

Contoh lain yang disampaikan oleh para pemohon terkait dengan rendahnya kinerja penandatangan kontrak kerja sama (KKS) yang dilakukan oleh BP Migas. Menurut mereka, hingga gugatan ini disampaikan ke MK (2002 – 2003) hanya ada 1 (satu) KKS yang berhasil ditandatangani oleh BP Migas. Dilanjutkan dengan pernyataan bahwa seharusnya minimal 10 KKS yang ditandatangani setiap tahun agar Indonesia dapat menambah produksi minyak sebesar 500 juta barrel setiap tahunnya dalam kerangka menghindari posisi Indonesia sebagai net importer minyak mentah.

Pemerintah menyatakan bahwa pendapat para pemohon ini salah. Sudah ada 17 KKS yang disetujui (ditandatangani?) hingga saat gugatan ini disampaikan ke MK. Namun demikian, pemerintah tidak menyampaikan perkembangan produksi minyak mentah Indonesia dibawah rezim BP Migas.

Jika kita melihat grafik perkembangan produksi minyak mentah Indonesia diatas, terlihat bahwa BP MIgas tidak mampu mencegah penurunan produksinya. Selain itu, seperti sudah disampaikan terdahulu bahwa baik PT Pertamina, BP Mgas, maupun SKK Migas tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengrem laju penurunan produksi tersebut.

17 Sebetulnya bukan ladang migas itu saja yang kembali ke pemeritah tetapi aset lain perusahaan pertambangan kontraktor tersebut yang mencakup mesin dan peralatan juga harus diserahkan ke pemerintah. Ini disebabkan pemerintah sudah membayar aset termaksud melalui mekanisme cost recovery.

Page 32: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesimpulan para pemohon bahwa deals yang dilakukan oleh BHMN seperti SKK MIgas adalah bertentangan dengan konstitusi, hanyalah retorika frasa hukum belaka. Ini tidak terkait dengan tindakan konkrit peningkatan efisiensi yang mencakup efisinsi peningkatan produksi minyak mentah yang gagal dilaksanakan. Selain itu, itu juga tidak terkait dengan bukti konkrit implementasi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan bersandar kepada tolok ukur efisiensi.

Para pemohon lebih banyak mengulas dan mengkutak-katik frasa hukum yang terkait. Misalnya, pandangan mereka bahwa hanya PT Pertamina yang diperintahkan oleh Pasal 33 UUD 1945 untuk melakukan deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap tertuang dalam pertimbangan hukum pemohon (butir lima). Alinea terakhir dari butir 5 ini berbunyi:

“Pengertian dikuasai oleh negara sebenarnya telah dengan tepat diterjemahkan dan atau diartikan oleh Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, yaitu sebagai: ……..1. ………3. Khusus untuk endapan Migas, pelaksanaan pertambangan Migas hanya diusahakan oleh negara dan dilakukan oleh Perusahaan negara yang diberi Kuasa

Pertambangan oleh negara.”

Selanjutnya dalam 20 alasan atau pertimbangan tersebut, pemohon menyatakan minimal ada dua alasan pokok dari Pengaturan Kuasa Pertambangan (KP) di dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Alasan pertama dari pemohon berbunyi:

“Pengertian/definisi KP di dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001 hanya dibatasi pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi saja seperti dinyatakan: "Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi”

Dengan kata lain, para pemohon tidak setuju dengan kebijakan untuk memisahkan (unbundling) sektor

hulu dan sektor hilir Migas. Ini berarti, menurut para pemohon, Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001

ini telah meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi penting bagi negara dan menguasai

hajat hidup orang banyak yang harus sepenuhnya mencakup sektor hulu hingga dan sektor hilir Migas.

Sedangkan dalam alasan kedua, pemohon dengan keras menyatakan bahwa adalah kesalahan

besar dan bertentangan dengan Pasal 33 UUD untuk memberikan KP kepada badan usaha dan bentuk

usaha tetap (semuanya perusahaan asing). Alasan kedua ini berbunyi:

“…….Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2001 yang menentukan bahwa Menteri

menetapkan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan

kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2)…….”

Gugatan Pertama UU Migas 2001

Putusan No: 002/PUU-I/2003, 15 Desember 2004

Text Box: 11

Penggugat:

1. APHI (Asosiasi Penasehat Hukum Indonesia) Jakarta; 2.

PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Asasi Indonesia)

Jakarta; 3. Yayasan 324, Jakarta; 4.SNB (Solidaritas Nusa

Bangsa), Jakarta; 5. SP KEP – FSPSI Pertamina, Jakarta; dan

6. Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, Jakarta

Hakim Konstitusi:

1. Jimly Asshidiqie; 2. H.A.S. Natabaya; 3. H.M. Laica

Marzuki; 4. H Achmad Roestandi; 5. H. Abdul Mukthie

Fadjar; 6. Soedarsono; 7. H. Harjono; 8. Maruarar Siahaan;

dan 9. I Dewa Gede Palguna

Page 33: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi untuk permohonan ini praktis tidak berdampak sama sekali. Putusan ini

tidak menyentuh sama sekali keberadaan entitas BP Migas, yang mengelola sektor hulu Migas, dan entitas

BPH Migas, yang mengelola sektor Hilir Migas. Pasca, Putusan MK ini, semuanya berjalan seperti biasa,

dan ini lebih populer dengan kata business as usual.

Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang hanya terkait dengan pasal-pasal dan/atau

ayat-ayatnya yang tidak strategis. Itupun hanya terkait dengan tiga pasal saja dari UU Migas 2001 yang

digugat secara keseluruhan; 14 Bab dan 66 Pasal. Lebih jauh lagi, itupun hanya beberapa bagian/ayat dari

pasal-pasal termaksud. Pasal dan/atau ayat-ayatnya yang dibatalkan oleh MK tersebut adalah:

“Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1)

sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi….”

Coba kita lihat Pasal 12 ayat (3) yang kata-kata “diberi wewenang” dibatalkan.

“Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”.

Dengan dibatalkannnya kata “diberi wewenang,” maka Pasal 12 ayat 3 berbunyi:

“Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”.

Penghapusan dua kata tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali baik bagi perusahaan-

perusahaan Migas maupun bagi BP Migas. Ada atau tidak ada kata “diberi wewenang,” perusahaan-

perusahaan tersebut tetap melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas seperti biasanya.

Yang lebih menarik adalah ketika penulis mengunduh UU Migas 2001 di tahun 2015; 11 tahun

pasca keputusan MK 2004 ini. Penulis belum menemukan Copy PDF yang Pasal 12 ayat 3 tersebut sudah

hilang kata-kata “diberi wewenang.” Copy PDF yang berhasil diunduh adalah seperti naskah asli UU Migas

2001 tersebut yaitu yang masih tercantum kata-kata “diberi wewenang”.

Kita lihat juga Pasal 22 ayat (1) yang kata-kata “paling banyak” dibatalkan/dicabut dari pasal ini.

“Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.”

Dengan dibatalkannya kata “paling banyak tersebut,” maka pasal ini berbunyi:

Page 34: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

“Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.”

Pasal ini menjadi janggal sebab jika pemerintah hanya membutuhkan kurang dari 25%, maka apa

pemerintah wajib membeli dalam volume yang lebih besar dari kebutuhan? Juga, misalkan tidak ada

kesepakatan harga antara BU dan/atau BUT tersebut, apa arus pasokan itu tidak terkendala? Lebih jauh

lagi, MK gagal menghadirkan bukti kuantitas pasokan dan kebutuhan Migas dalam negeri Indonesia.

Terakhir kita lihat Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang sepenuhnya dicabut/dibatalkan oleh MK.

“(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”.

Dengan demikian Pasal 28 hanya memiliki satu ayat saja yaitu ayat (1), yang berbunyi:

“Bahan Bakar Minyak serta hasil olahan tertentu yang dipasarkan di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah.”

Ini pernyataan normatif dan bersifat universal. Pemerintah di negara manapun wajib melakukannya terlepas ada atau tidak adanya UU yang berlaku di negara masing-masing. Bahkan setiap produk olahan dan/atau fabrikan wajib mengikuti standar dan mutu yang ditetapkan pemerintah.

Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi tetap mengikuti mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Kenapa? Karena BBM dan BBG itu dibelinya dari mekanisme persiangan usaha yang sehat dan wajar. Misalnya, ketika itu subsidi BBM dan BBG tetap diberlakukan seperti biasanya. Sekarang subsidi pemerintah untu BBM dan BBG tinggal sedikit sekali dan dengan demikian sudah mendekati titik harga yang searah dengan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

Gugatan Ketiga

Seperti sudah disampaikan terdahulu, UU No. 21/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi digugat untuk ketiga

kalinya ke Mahkamah Konstitusi (MK) Pada tanggal 29 Maret 2012. Bagian terpenting dari gugatan ketiga

ini yang dikabulkan oleh Keputusan MK No. 36/PUU-X/2012 ini adalah pembubaran BP Migas dan tugas

BP Migas diserahkan ke pemerintah (Kementerian ESDM) sampai dengan disyahkannya UU Migas yang

baru.

Terdahulu juga sudah disampaikan analisis tentang putusan MK ini secara terurai dan kritis. Ini

mencakup tentang pembatalan-pembatalan tersebut yang tidak memiliki implikasi sosial ekonomi dan

untuk entitas BP MIgas hanya berubah nama menjadi SKK Migas saja. Operasi SKK Migas dapat dikatakan

persis sama dengan operasi BP MIgas.

Page 35: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Selanjutnya, disini hanya disajikan beberapa unsur penting dari Putusan MK 2012 in. Unsur-unsur

tersebut adalah: 1. Pasal-pasal yang dibatalkan yang terkait langsung dengan BP Migas; 2. Daftar pemohon

dan Tim Ahli serta Tim Hakim Konstitusi; dan 3. Analisis Dissenting Opinion Hakim Konstitusi Harjono.

Terdapat enam pasal yang terkait langsung dengan pembubaran BP Migas, yaitu: 1. Pasal 1 angka

23; 2. Pasal 4 ayat (3); 3. Pasal 41 ayat (2); 4. Pasal 44; 5. Pasal 45; dan Pasal 61. Kutipan lengkap dari

keenam pasal tersebut disajikan dibawah ini.

Pasal 1 angka 23 berbunyi:

“Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan

Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.”

Pasal 4 ayat (3) berbunyi:

“Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.”

Pasal 41 ayat (2) berbunyi:

“Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama

dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.”

Pasal 44 berbunyi:

“(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal a ayat (3).”

“(2) Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan

terhadap Kegiatan usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik

negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat.”

“(3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimna dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. Dst; b.

Melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. Dst; d. dst; e. Dst; f. Dst.; dan g.

Menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara negara yang dapat

memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.”

Pasal 45 berbunyi:

“(1) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) merupakan badan hukum

milik negara.”

“(2) Badan Pelaksana terdiri atas unsur pimpinan, tenaga ahli, dst.”

“(3) Kepala Badan Pelaksana diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi

dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan dalam melaksanakan tugas bertanggung jawab

kepada Presiden.”

Pasal 61 berbunyi:

“Pada saat Undang-undang ini berlaku: a. Pertamina tetap melaksanakan tugas dan fungsi

pembinaan dan pengawasan kontraktor Eksplorasi dan Eksploitasi Kontraktor Kontrak Bagi Hasil

sampai terbentuknya Badan Pelaksana; b. Pada saat terbentuknya Persero sebagai pengganti

Pertamina, badan usaha milik negara tersebut wajib mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan

Badan Pelaksana untuk melanjutkan Eskplorasi dan Eksploitasi pada bekas Wilayah Kuasa

Pertambangan Pertamina dan dianggap telah mendapatkan Izin Usaha yang diperlukan

Page 36: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan,

dan Niaga.”

Tabel 3. Daftar Hakim Konstitusi pada Gugatan Ketiga UU Migas tahun 2001

No.

Urut

Nama Hakim Konstitusi Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010, 9 Juni 2012.

1. Moh. Mahfud MD

(Ketua merangkap Anggota)

2. Achmad Sodikin (Anggota)

3. Harjono (Anggota)

4. Hamdan Zoelva (Anggota)

5. M. Akil Mochtar (Anggota)

6. Muhammad Alim (Anggota)

7. Maria Farida Indrawati (Anggota)

8. Ahmad Fadkik Sumadi (Anggota)

9. Anwar Usman (Anggota)

Tabel 4. Daftar Penggugat pada Gugatan Ketiga UU Migas 2001: Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010, 9 Juni 2012

No. Urut Nama dan Kota Pemohon No. Urut Nama dan Kota Pemohon

1. Pimpinan Pusat Muhammadiyah,

Yogyakarta dan Jakarta

22. Adhie M. Massardi, Bekasi, Jabar

2. Lajna Siasiyah Hizbut Tahrir

Indonesia, Jakarta

23. Ali Mochtar Ngabalain, Jakarta

3. Pimpinan Pusat Persatuan Ummat

Islam, Jakarta

24. Hendri Yosodiningrat, SH., Jakarta

4. Pimpinan Pusat Syarikat Islam

Indonesia, Jakarta

25. Laode Ida, Jakarta

5. Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah

Syarikat Islam, Jakarta

26. Sruni Handayani, Jakarta

6. Pimpinan Pusat Persaudaraan

Muslimin Indonesia, Jakarta

27. Juniwati T. Maschun S., Jakarta

7. Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-

Islamiyah, Jakarta

28. Nuraiman, Tangerang, Banten

8. Pimpinan Besar Pemuda Muslimin

Indonesia, Jakarta

29. Sultana Saleh, Jakarta

9. Al-Jami’yatul Washliyah, ? 30. Marlis, Jakarta

10. Solidaritas Juru Parkir, Jakarta 31. Fauziah Silvia Thalib, Jakarta

11. K.H. Achmad Hasyim Muzadi,

Malang

32. King Faisal Sulaiman, SH, LLM., Ternate,

Maluku Utara

Page 37: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

12. Drs. H. Amidhan, Jakarta 33. Soerasa, BA., Jakarta

13. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat,

Tanggerang, Banten

34. Mohammad Hatta, Jakarta

14. Dr. Eggi Sudjana, SH, M.Si., Bogor 35. M. Sabil Raun, Jakarta

15. Marwan Batubara, Jakarta 36. Edy Kuscahyanto, SSI, Jakarta

16. Drs. Fahmi Idris, MH., Jakarta 37. Yudha Ilham, SH., Cianjur, Jabar

17. Moch. Iqbal Sullam, Jakarta 38. Joko Wahono, Yogyakarta

18. Drs. H. Ichwan Sam, Bekasi, Jabar 39. Dwi Saputro Nugroho, Jakarta

19. Ir. H. Salahuddin Wahid, Jombang,

Jawa Timur

40. A.M. Fatwa, Jakarta

20. Nirmala Chandra Dewi M., SH,

Jakarta

41. Hj. Elly Zanibar Madjid, Jakarta

21. HM. Ali Karim Oei, SH, Jakarta 42, Jamilah, Jakarta.

Tabel 5. Daftar Ahli pada Gugatan Ketiga UU Migas 2001: Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010, 9 Juni 2012

No. Urut Ahli Pemohon No. Urut Ahli Pemerintah

1. Dr. Kurtubi 1. Rudi Rubiandini

2. Dr. Ichsanudin Noorsy 2. Dr. Ir. Rachmat Sudibyo

3. Kwik Kian Gie 3. Dr. Erman Rajagukguk

4. Irman Putra Sidin ‘4. Prof. Dr. Hikmahanto Juwana

5. Margarito Kamis ‘5. Sampe L. Purba

6. Rizal Ramli

Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi

Keputusan MK No. 36/2012 tidak ditetapkan dengan suara bulat (aklamasi). Diantara sembilan, satu hakim

konstitusi yaitu Harjonoi menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Pendapat yang

berbeda tersebut dituangkannya dalam delapan butir pendapat yang jika delapan hakim konstitusi yang

lainnya tersebut, sebaliknya, sependapat dengan Hakim Konstitusi Harjono, entitas lembaga negara BP

Migas tidak perlu dibubarkan. Butir pertama dissenting opinion Hakim Konstitusi ini adalah sangat

mendasar yaitu para pemohon tidak memenuhi persyaratan legal standing (kedudukan hukum) untuk

menggugat UU Migas No. 22/2001. Mahkamah Konstitusi yang mengadili perkara ini, menurut Hakim

Konstitusi Harjono, gagal memperlihatkan bukti yang kuat dan shahih tentang adanya kerugian dan/atau

potensi kerugian para pemohon dengan berlakunya UU nomor 22/2001 utamanya yang terkait dengan

pasal-pasal pengalihan sebagian tugas PT Pertamina ke BP Migas. Kutipan dari sebagian substansi butir

pertama tersebut:

“Bahwa Mahkamah kurang saksama dalam mempertimbangkan legal standing para Pemohon .....

Mahkamah tidak mengemukakan argumentasi yang sangat mendasar, yaitu bagaimana hak para

Page 38: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal-pasal UU Migas yang

dimohonkan untuk diuji......”

Penulis sepakat dengan pendapat Hakim Konstitusi Harjono ini. Coba kita lihat pokok

pertimbangan tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon yang dituangkan dalam butir

[3.7] Pertimbangan Hukum Mahkamah, yang berbunyi:

“........menurut Mahkamah, para Pemohon dikategorikan sebagai perorangan warga negara

Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) yang secara potensial

dirugikan hak konstitusional mereka oleh berlakunya pasal-pasal dari UU Migas.... Oleh karena

itu, menurut Mahkamah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo.”

Kata kunci yang penting disini adalah potensi18 kerugian. Artinya Mahkamah berpendapat bawah

sejak berlakunya UU Migas tahun 2001 hingga saat Putusan Mahkamah ini diambil yaitu pada tahun 2012,

atau, selama sekitar 11 tahun, Mahkamah tidak memiliki bukti yang kuat bahwa Para Pemohon tersebut

sudah dirugikan hak-hak konstitusional mereka oleh pasal-pasal UU Migas tersebut. Mahkamah hanya

membuat penalaran yang “wajar” bahwa Para Pemohon tersebut akan dirugikan pada masa yang akan

datang. Walaupun demikian, tidak jelas bagaimana cara Mahkamah menghasilkan penalaran yang wajar

bahwa kerugian termaksud pasti akan terjadi.

Menurut penulis potensi kerugian tersebut, yang seharusnya tetapi gagal diperlihatkan dalam

Pertimbangan Hukum Mahkamah tersebut, harus diuraikan serinci mungkin yang mencakup dari satu atau

beberapa unsur-unsur sebagai berikut yaitu: lingkungan, limbah, kesempatan bekerja/berkarir, cadangan

migas, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, investasi, penerimaan negara, harga migas dalam negeri,

produksi pengolahan migas. dan pasokan migas untuk produksi dan konsumsi dalam negeri. Misalnya,

Mahkamah, berdasarkan hasil analisis Ahli (kualitatif dan/atau kuantitatif termasuk pendekatan

modeling), berkeyakinan bahwa akan terjadi kerusakan lingkungan yang parah dan/atau terjadinya

deplesi cadangan migas yang sangat besar jika tugas dan wewenang lembaga negara semacam BP Migas

tidak dicabut dan tidak diserahkan kembali ke BUMN semacam Pertamina yang tidak harus tunggal.

Menarik untuk disajikan disini bahwa terdapat ratusan blok migas yang sudah dikontrakkan oleh

BP Migas dengan para kontraktor, dalam sekitar 11 tahun tersebut. Namun Mahkamah tidak menemukan

satupun dari kegiatan usaha pertambangan dari ratusan blok migas tersebut yang secara spesifik (aktual)

telah merugikan Para Pemohon akibat kontrak kerja sama tersebut dilakukan oleh BP Migas dan bukan

dilakukan oleh PT Pertamina, seperti dalam periode-periode sebelumnya.

Sebagai contoh dan sejauh informasi yang penulis dapat akses, BP Migas sudah menandatangani

Kontrak Kerja Sama 12 Blok Migas dengan perusahaan swasta di tahun 2004. Perusahaan-perusahaan

swasta tersebut antara lain adalah: 1. Anardako Petroleum (North East Madura III); 2. Petronas Carigali

(North East Madura IV); 3. PT Waropen Perkasa (Manokwari Papua); 4. PT Medco E &P Indonesia

18 Definisi kerugian potensial menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi: “Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat .....potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.”

Page 39: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

(Nunukan, Kaltim); 5. Transworld Exploration Ltd ( Aceh-NAD); dan 6. Genting Oil and Gas LPG (Natuna)19.

Penulis yakin bahwa ada puluhan blok migas dalam tahun-tahun berikutnya yang dikontrakan oleh BP

Migas ke badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap.

Sektor Kehutanan

Eksploitasi kawasan hutan Indonesia yang dikenal sebagai hutan tropis basah (tropical rain forest) yang

terluas di dunia setelah Brazilia di Amerika Selatan sudah dimulai sejak zaman kolonial Hindia Belanda.

Walaupun demikian, eksploitasi secara besar-besaran mulai dilakukan pada awal-awal rezim Orde Baru

Soeharto dan mencapai puncaknya di tahun 1980an. Menurut Gillis (1988) Indonesia menguasai 40 persen

ekspor kayu bulat/gelondongan (log) dunia di tahun 1980/81. Selanjutnya, akan disampaikan bagaimana

cara negara Indonesia “menguasai” eksploitasi hutannya tersebut menurut peraturan perundang-

undangan yang ada sejauh ini.

Semua UU Pelaksana Pasal 33 UUD 1945 beserta semua peraturan-perturan perundangan

dibawahnya memberikan penafsiran yang sama atas frasa “dikuasai oleh negara” di cabang produksi

(sektor) kehutanan ini. Negara (Pemerintah) diberikan mandat sebatas regulator saja sedangkan operator

untuk eksploitasi kehutanan diserahkan kepada Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha MIlik

Daerah, dan Badan Usaha Milik Swasta. Posisi badan usaha koperasi, badan usaha milik negara/daerah,

dan badan usaha milik swasta adalah setara dan persis sama. Masing-masing beroperasi berdasarkan Izin

pengusahaan hutan yang berupa konsensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan

(HPHH), dan konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI).ii

Izin atau pemberian hak konsesi kehutanan tersebut diterbitkan oleh Kementerian Pertanian di

Era 1960an (UU No. 5 Tahun 1967iii beserta aturan-aturan pelaksananya). Sedangkan di Era 1970an hingga

akhir Kabinet SBY II izin konsensi tersebut diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan dan saat ini Era

Presiden Jokowi (2014 -2019), izin konsesi tersebut diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan). Payung hukum

eksploitasi hutan sejak tahun 1999 hingga saat ini adalah UU Kehutanan Tahun 1999 (UU No. 41 Tahun

1999).

Izin konsensi eksploitasi hutan Indonesia tersebut saat ini dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1.

IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) pada hutan alam; 2. IUPHHK pada hutan tanaman;

dan 3. Izin eksploitasi untuk TSL (tumbuhan dan satwa liar). Lingkup eksploitasi untuk masing-masing-

masing kategori adalah sebagai berikut. IUPHHK pada hutan alam adalah izin konsensi untuk

memanfaatkan kayu alam pada hutan alam produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan,

penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil hutan. Sedangkan IUPHHK

pada hutan tanaman adalah izin konsensi untuk memanfaatkan kayu tanaman pada hutan tanaman yang

kegiatanya terdiri dari penyiapan lahan, pembenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan,

pengamanan, pemanenan atau penebangan, dan pemasaran hasil hutan kayu. Kelompok ini sebagian

besar bergerak di industri pulp and papers dan Sinar Mas Grup memiliki pangsa pasar yang terbesar.

Terakhir, TSl adalah perusahaan yang mengupayakan pembiakan satwa dan tumbuhan liar melalui

pengembangbiakan dan pembesaran dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.

19 Detikfinance.com, 2 Desember 2004, diakses 25 April 2016.

Page 40: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

BPS (2015) melaporkan jumlah perusahaan yang memiliki izin-izin tersebut. Menurut laporan ini terdapat

706 perusahaan kehutanan yang terdiri dari 276 perusahaan HPH (alam) atau IUPHHK pada hutan alam,

258 perusahaan hutan tanam (HPHT) atau IUPHHK pada hutan tanaman, dan 172 perusahaan Tanaman

dan Satwa Liar. Sebagian besar perusahaan kehutanan tersebut berada di Pulau Kalimantan, diikuti yang

berada di Pulau Sumatera.

Belum dapat diakses keberadaan Koperasi dan badan usaha milik daerah di sektor kehutanan ini.

Sedangkan badan usaha milik negara adalah Perum Perhutani. Menurut website Perum Perhutani areal

kawasan hutan yang dimilikinya adalah 2,4 juta Ha yang tersebar di Jawa Barat dan Banten (0,7 juta Ha),

di Jawa Tengah 0,6 juta Ha, dan di Jawa Timur (1,13 juta Ha). Dengan demikian, peran Perum Perhutani20

di sektor kehutanan ini sangat kecil dengan izin konsensi pengusahaan hutan yang kurang dari dua persen

dari seluruh luas kawasan hutan Indonesia. Sebagai informasi tambahan, berikut ini disampaikan potret

luas kawasan hutan Indonesia.

Menurut Forest Watch Indonesia (FWI) 2015 di tahun 2013 tutupan hutan Indonesia, hutan alam

yang relatif masih utuh, tinggal 82,5 juta Ha, atau, 62,6 persen dari seluruh luas kawasan hutan Indonesia.

Dari jumlah ini, sebagian besar (lebih dari 51%) berada di wilayah Kalimantan Timur dan di Papua (Barat

dan Timur). Sedangkan menurut Gillis (1988), luas seluruh kawasan hutan Indonesia adalah 143 juta Ha

yang terdiri dari hutan alam (rain forest) 82,2 juta Ha, hutan rawa (swamp forest) 12 juta Ha, hutan

sekunder (secondary forest) 14,6 juta Ha, dan hutan lain-lain 34,2 juta Ha.

Sektor Agraria

UU yang mengatur agraria atau pertanahan nasional adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria. UU ini menyatakan bahwa peran pemerintah dalam masalah pertanahan nasional

hanya sebatas sebagai regulator saja. Pemerintah hanya berperan sebagai pemberi dan pencabut hak hak-

hak atas tanah yang dimiliki oleh orang pribadi, kelompok masyarakat, badan usaha swasta termasuk

swasta asing, dan badan usaha milik negara. UU ini masih tetap berlaku hingga saat ini dan belum ada

revisi atau amendmen sama sekali.

Ada beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait dengan UU Pokok Agraria ini dan semuanya

menetapkan bahwa peran pemerintah hanya sebagai regulator saja. Posisi perorangan, badan usaha miliki

negara/daerah, dan badan usaha swasta dapat dikatakan sama yaitu terbatas sebagai pemegang hak atas

tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga tahun 2014. BPN yang tadi

merupakan lembaga negara yang bertanggung jawab ke presiden kemudian ditingkatkan menjadi

kementerian negara dengan nama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di

Era Presiden Jokowi saat ini (2014 – 2019).

Pasal 2 dari UU No. 5/1960 ini menyatakan:

“(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang

dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan

seluruh rakyat.

20 Produk kehutanan yang dihasilkan oleh Perum Perhutani mencakup kayu bundar (log) serta retail dan property.

Page 41: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan

bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum

antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;c. menentukan dan mengatur

hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang

mengenai bumi, air dan ruang angkasa.”

Selanjutnya, Pasal 16 mengatur tentang jenis-jenis hak yang dapat diterbitkan oleh Badan

Pertanahan Nasional (BPN) yang sekarang menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional. Kutipan penuh dari Ayat 1 Pasal 16 adalah:

(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah : a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.

Satu dan/atau beberapa hak termaksud dalam Pasal 16 diatas dapat diberikan kepada:

perorangan warga negara Indonesia, perorangan warga negara asing, badan hukum Indonesia/asing

sesuai dengan peruntukan jenis-jenis hak tersebut. Tentunya dipahami bahwa badan hukum Indonesia

tersebut mencakup koperasi, badan usaha milik swasta, dan badan usaha milik negara/daerah. Jelas

terlihat bahwa posisi Badan Usha Milik Negara/Daerah dalam sektor pertanahan ini adalah hanya sebatas

pemegang hak tanah yang dapat hanya satu jenis hak saja, atau, bebarapa hak yang lain, atau, semua hak

yang tersedia. BUMN tidak diberikan mandat sama sekali untuk bertindak sebagai regulator dan/atau

pemain utama dalam bidang pertanahan nasional. Kutipan penuh dari pasal-pasal yang terkait langsung

dengan peran negara dan BUMN dalam bidang pertanahan ini disajikan dalam catatan akhir bab iniiv.

Sektor Daya Air

Pengelolaan daya air Indonesia yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan

pengevaluasian penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan

pengendalian daya rusak air diatur dalam UU Sumber Daya Air (UU No. 7 Tahun 2004). Disini tafsir

Pasal 33 UUD 1945 atas frasa “dikuasai oleh negara” adalah pemerintah bertindak sebagai

regulator yang fungsinya mencakup penerbitan hak atas air yang terdiri dari Hak Guna Air, Hak

Guna Pakai Air, dan Hak Guna usaha Air. Pengertian hak guna tersebut dituangkan dalam Pasal 1

Angka 13, 14, dan 15 UU No. 7 UU tahun 2004 ini.

Angka 13 “Hak Guna Air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan

air untuk berbagai keperluan.”

Page 42: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Angka 14 “Hak Guna Pakai Air adalah untuk memperoleh dan memakai air.” Dan

Angka 15 “ Hak Guna Usaha Air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.”

Hak Guna Usaha Air mencakup pemberian hak oleh Pemerintah kepada perseorangan dan badan

usaha. Ayat (1) Pasal 6 dari UU No. 7 Tahun 2004 menyatakan”

“Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”

Pasal 9 Ayat (1) UU No. 7/2004 menyatakan:

“Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin

dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.”

Ini berarti bahwa hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan

usaha. Dengan kata lain, badan usaha milik negara/daerah posisinya hanya sebatas penerima

manfaat untuk menggunakan hak guna usaha daya air tersebut. BUMN/D tidak mendapat

mandat baik sebagai pemain utama maupun sebagai regulator di sektor daya air ini.

Lebih jauh lagi, dinyatakan secara eksplisit dalam UU Sektor Daya Air ini bahwa

penggunaan air untuk keperluan orang banyak bukan saja tidak wajib untuk dikelola oleh

BUMN/D tetapi juga tidak perlu mendapat izin dari pemerintah (negara). Pasal 8 Ayat (1)

menyatakan:

“Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari

perseorangan dan bagi pertanian rakyta yang berada dalam sistem irigasi.”

Sedangkan Ayat (4) berbunyi:

“Hak guna pakai air sebagai mana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk mengalirkan

air dari atau ke tanahnya memalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.”

Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)

Pengertian pertambangan mineral dan batubara menurut UU No. 4/1999 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010, adalah seperti berikut ini.

“Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan,

di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah,” (Pasal 1 Angka 4), dan Angka 5

berbunyi:

“Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi,

termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.”

Perlu diingat bahwa menurut UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, yang

antara lain sudah diganti dengan UU Menerba tahun 2009 ini, jenis bahan galian panas bumi, minyak dan

Page 43: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

gas bumi, serta air tanah termasuk dalam golongn bahan galian strategis atau bahan galian golongan a.

Untuk lebih memahami penggolongan bahan galian menurut UU Pertambangan tahun 1967 tersebut kita

dapat merujuk ke beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait. Misalnya, PP No 27 Tahun

198021 menjelaskan ada tiga kelompok jenis pertambangan (bahan-bahan galian), yaitu: a. golongan

bahan galian strategis; b. golongan bahan galian vital; dan c. golongan bahan galian yang tidak termasuk

golongan a atau b. Golongan bahan galian a mencakup minyak bumi dan gas alam, serta batubara, timah

dan nikel/kobalt. Sedangkan bahan galian golongan b mencakup besi, tembaga, emas, bauksit dan intan.

Terakhir, bahan galian golongan c mencakup nitrat-nitrat, asbes, marmer, dan pasir (sepanjang tidak

mengandung mineral golongan a dan b).

Selanjutnya, UU Minerba tahun 2009 ini secara eksplisit menyatakan bahwa peran (kewenangan)

pemerintah hanya sebatas regulator yang mencakup penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), yaitu,

izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Dengan kata lain, tafsir frasa “dikuasai oleh negara” dari

Pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan oleh UU Minerba ini dalam bentuk penerbitan izin usaha pertambangan

(IUP). Pemerintah tidak terlibat sama sekali, misalnya melalui instansi/jawatan/dinas pemerintah, dalam

kegiatan usaha pertambangan. Yang melakukan kegiatan usaha pertambangan adalah badan usaha milik

negara/daerah, koperasi, perseorangan, dan badan usaha (perusahaan) swasta. Posisi badan usaha milik

negara/daerah adalah sama dengan poisi yang dimiliki oleh perseorangan dan/atau badan usaha milik

swasta.

Lebih persisnya, Pasal 38 UU/2009 ini menyatakan:

“IUP diberikan kepada: a. badan usaha; b. koperasi; dan c. perseorangan.”

Sedangkan pengertian badan usaha menurut Pasal 1 UU Minerba/2009 adalah:

“Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan

berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.”

Sederhananya, badan usaha tersebut adalah perusahaan pertambangan mineral batubara yang berbadan

hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Ini dapat berupa perusahaan swasta atau perusahaan

milik negara (BUMN) dan BUMD serta Koperasi.

Pada tanggal 30 Juni 2011 kementerian ESDM mempublikasikan daftar perusahaan MInerba

dengan IUP yang masuk dalam kategori C and C (Clear and Clean). Kategori C and C adalah yang sudah

memenuhi persyaratan PP 23 Tahun 2010 serta Surat Edaran Menteri ESDM No 03.E/31/DJB/2009, yang

mencakup: wilayah tidak tumpang tindih, diterbitkan sebelum 1 Mei 2010, dan lain sebagainya. Jumlah

usaha pertambangan dengan IUP yang sudah memenuhi kriteria CNC ini banyak sekali dan dalam hitungan

ribuan. Walaupun demikian, jumlah kumulatif BUMN/D/koperasi yang memiliki IUP C and C ini sangat

kecil dibandingkan dengan yang dimiliki oleh perusahaan swasta. Seluruh provinsi di Indonesia memiliki

21 Perubahan PP No. 25/1964 dan di UU No. 11/1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan, tidak ada definisi tentang masing-masing golongan bahan galian. Disini hanya dikatakan bahwa bahan-bahan galian terdiri dari tiga golongan yaitu a, b, dan bukan a dan b.

Page 44: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

kegiatan usaha pertambangan yang sudah IUP C and C. Daftar perusahaan pertambangan kategori C and

C untuk 10 provinsi disajikan dibawah ini.

Tabel 6. Daftar Jumlah IUP C and C Pertambangan Mineral dan Batubara di 10 Provinsi Indonesia

No Provinsi Jumlah IUP Badan Hukum Pemegang IUP

1 Bangka Belitung 303 16 BUMN dan 287 Perusahaan Swasta

2 Banten 14 Semua perusahaan swasta

3 Bengkulu 68 2 BUMN dan 66 perusahaan swasta

4 Yogyakarta 2 Semua usaha perseorangan

5 Gorontalo 11 1 Koperasi dan 10 perusahaan swasta

6 Jawa Barat 312 3 BUMD, 2 BUMN, 11 Koperasi, dan 296 perusahaan

swasta/perseorangan

7 Jambi 90 3 BUMN dan 87 perusahaan swasta

8 Jawa Tengah 118 1 BUMN dan 117 perusahaan swasta/perseorangan

9 Jawa Timur 209 2 BUMN, 3 BUMD, 5 Koperasi, dan 199 usaha perseorangan

dan perusahaan swasta

10 Kalimantan Barat 235 2 BUMN, 2 BUMD, dan 231 perusahaan swasta

11 Kalimantan

Selatan, dan

provinsi di

Indonesia yang lain

>1000 Pola yang sama seperti no 1 s/d 10 yaitu hanya terdapat

beberapa koperasi, beberapa BUMN/D, selebihnya adalah

perusahaan swasta.

Sumber: Ditjen Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, 2011. Pengumuman Hasil Rekonsialisasi IUP

Sekarang coba kita mundur sedikit untuk melihat tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UD 1945

tersebut di sektor (cabang produksi) mineral dan batubara ini dalam periode-periode sebelum

diberlakukannya UU Mineral dan Batubara tahun 2009 ini. Dalam periode-periode tersebut masih berlaku

UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Sejauh yang penulis dapat akses

sampai saat ini, ada enam peraturan pelaksana UU ini yang terkait lansgung dengan tafsir frasa “dikuasai

oleh negara” Pasal 33 UUD 1945. Tiga dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP)22 dan tiga dalam bentuk

Keputusan Presiden (Keppres). Ketiga Keppres tersebut hanya terkait dengan subsektor pertambangan

batubara.

Selanjutnya coba kita lihat aturan utamanya dulu yaitu UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Pertambangan. Tafsir “dikuasai oleh negara” di undang-undang ini tidak tegas dan

berbelit-belit. Namun demikian, dapat kita tafsirkan “dikuasai oleh negara” adalah dikuasai oleh Menteri

Pertambangan. Menteri pertambangan diberikan mandat oleh UU ini untuk memberikan izin kegiatan

usaha pertambangan, hak kuasa pertambangan, di setiap wilayah pertambangan, baik kepada instansi

pemerintah/perusahaan negara (badan usaha milik negara) maupun kepada perusahaan swasta. Menteri

Pertambangan lah nantinya akan memutuskan ada tidaknya hak eksklusif monopoli kuasa pertambangan

221. PP No 32/1969; 2. PP No 79/1992; dan 3. PP No. 75 tahun 2001.

Page 45: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

baik untuk instansi pemerintah maupun untuk badan usaha milik negara (d/h perusahaan negara). Ini

dapat berlaku di seluruh subsektor pertambangan (seluruh golongan bahan galian) atau hanya untuk satu

dan/atau beberapa subsektor saja. Jika nantinya tidak ada dan/atau dalam perkembangan terkini ternyata

tidak ada, maka dengan demikan, ini dapat berarti bahwa posisi instansi pemerintah/BUMN dengan

perusahaan swasta akan relatif sama di sektor pertambangan ini. Untuk lebih mempertajam tafsir frasa

tersebut, berikut ini disajikan beberapa kasus golongan bahan baku.

Bahan Galian Golongan a

UU Pertambangan tahun 1967 ini membagi sektor pertambangan kedalam tiga subsektor yaitu:

1. Bahan galian golongan a (bahan galian strategis); 2. Bahan galian golongan b (bahan galian

vitaL; dan 3. Bahan galian yang tidak termasuk a dan b. Pasal 3 Huruf (1) berbunyi:

“Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan: a. golongan bahan galian strategis; b. golongan

bahan galian vital; c. Golongan bahan galian yang tidak termasuk a atau b.”

PP No. 27 /198023 tentang Penggolongan Bahan Galian mendefinisikan pengertian masing-masing

golongan bahan galian tersebut sebagai berikut. Bahan galian strategis mencakup minyak bumi dan gas

alam, nikel, timah dan batubara; Bahan galian vital mencakup besi, tembaga, emas, platina, perak, seng,

belerang, dan arsin. Bahan galian bukan a dan b mencakup nitra-nitrat, asbes. Yarosit, batu permata, pasir

kwasa, dan pasir sepanjang tidak mengandung bahan yang ada di golongan a dan/atau b.

Coba kita lihat beberapa Pasal UU No. 11/1967 ini, misalnya pada Pasal 6 dan Pasal 7 UU ini, yang

merujuk ke Pasal 3 huruf (1) diatas.

Pasal 6 berbunyi:

“usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf (a) dilakukan oleh: a.

Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri. b. Perusahaan Negara.”

Pasal 6 ini mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa instansi pemerintah dan/atau perusahaan negara

perlu diprioritaskan dan/atau hak ekslusif monopoli untuk melakukan usaha pertambangan golongan a

(golongan bahan galian startegis). Namun demikian, Pasal 7 dibawah ini mementahkan kesimpulan

pemberian prioritas dan/atau hak eksklusif monopoli tersebut. Pasal 7 ini mengarahkan kita pada

kesimpulan bahwa posisi instansi pemerintah dan/atau perusahaan negara dengan perusahaan swasta

adalah setara. Masing-masing memiliki hak yang sama untuk mendapatkan izin usaha pertambangan.

Pasal 7 berbunyi:

“Bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a, dapat pula diusahakan oleh pihak swasta

yang memenuhi syarat-syarat sebagai dimaksud dalam pasal 12 ayat (1), apabila menurut

pendapat Menteri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari segi ekonomi dan

23 PP No. 27/1980 ini mencabut PP No. 25 tahun 1964 tentang Penggolongan Bahan Galian.Namun demikian, kedua PP ini pada prinsipnya tidak berubah banyak. Untuk minyak dan gas bumi, batubara, emas, tembaga, misalnya, tetap berada dalam golongan bahan galian yang sama.

Page 46: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

perkembangan-perkembangan, lebih menguntungkan bagi negara apabila diusahakan oleh pihak

swasta.”

Kata “lebih menguntungkan bagi negara” dapat kita tafsirkan usaha pertambangan tersebut dapat

lebih besar memberikan kontribusi keuangan ke negara, dapat lebih baik dan lebih berkelanjutan dalam

melakukan eksplorasi dan eksploitasi serta komersialisasi, dan/atau dapat lebih baik memelihara

lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam pertambangan, dan lain sebagainya dari tujuan-tujuan

yang hendak dicapai oleh pemerintah dengan pengorbanan sumber-sumber langkah yang paling kecil.

Secara sederhana, pertimbangan efisiensilah yang menentukan kepada siapa suatu wilayah

pertambangan tertentu akan diberikan. Menteri Pertambangan memutuskan pemberian hak kuasa

pertambangan kepada siapa saja, ya itu, bisa BUMN/D, koperasi, perseorangan, atau, perusahaan swasta

tergantung dari kemampuan masing-masing untuk menciptakan efisiensi yang lebih baik. Dengan

demikian, kesan prioritas apalagi hak eksklusif monopoli di sektor Pertambangan untuk BUMN/D menjadi

hilang disini. Tidak adanya ketentuan prioritas tersebut lebih diperkuat oleh Pasal 1 PP No. 32/1969 yang

berbunyi:

“Setiap usaha pertambangan bahan galian jang termasuk dalam golongan bahan galian strategis

dan golongan bahan galian vital baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah

mendapatkan Kuasa Pertambangan dari Menteri Pertambangan……”

Dengan demikian, terlepas apakah itu instansi pemerintah, atau, perusahaan negara, atau,

perusahaan swasta, masing-masing wajib memiliki Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri

Pertambangan untuk dapat melakukan usaha pertambangan. Selanjutnya, Kuasa Pertambangan tersebut

dapat berbentuk salah satu dari: a. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan; b. Surat Keputusan Izin

Pertambangan Rakyat; dan c. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan. (Pasal 2 Ayat (1) PP No.

32/1969 tersebut diatas.

Pertambangan Galian Batubara (sub bahan golongna a; bahan galian strategis)

Sebagaimana telah disampaikan diatas, khusus untuk pertambangan bahan galian batubara (sub

bagian pertambangan bahan galian golongan a) terdapat tiga peraturan pelaksana UU No.

11/1967 yang terkait langsung dengan frasa “dikuasai oleh negara” pasal 33 UUD 194524. Ketiga

peraturan pelaksana yang berbentuk Keppres ini adalah Keppres No. 49/1981, Keppres No.

21/1993, dan Keppres No. 75/1996. Keppres No. 75/1996 ini mencabut hak eksklusif monopoli

Kuasa Pertambangan PT Tambang Batubara Bukit Asam (PT BA) yang diberikan oleh dua Keppres

terdahulu itu. Selanjutnya, dalam Keppres tahun 1996 ini, Kuasa Pertambangan langsung

diberikan oleh Kementerian Pertambangan kepada perusahaan swasta. Di dua Keppres terdahulu

Kuasa Pertambangan untuk perusahaan swasta diberikan oleh PT BA kepada perusahaan swasta

melalui Perjanjian Kontrak Karya.

24 Sejauh yang penulis dapat akses hingga saat ini.

Page 47: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Dengan demikian, Keppres No. 75/1996 ini menafsirkan frasa “dikuasai oleh negara” Pasal

33 UUD 1945 sebagai pemerintah memiliki mandat penuh berdasarkan UU No. 11/1967 untuk

secara langsung membuat perjanjian dengan perusahaan swasta dalam pengusahaan

pertambangan batubara. Perusahaan swasta adalah kontraktor pemerintah secara langsung,

yang kewajibannya mencakup memberikan 13.5 persen hasil produksinya ke negara selain dari

kewajiban-kewajiban perpajakan yang lain. Pasal 1 Keppres no. 75/1996 ini berbunyi:

“Dalam Keputusan Presiden ini, yang dimaksud dengan Perjanjian adalah Perjanjian Karya antara

Pemerintah dan perusahaan Kontraktor Swasta untuk melaksanakan pengusahaan

pertambangan galian batubara.”

Disini akan disajikan dua contoh Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah cq

Kementerian Pertambangan dan Energi dengan kontraktor swasta. Pertama, dengan PT Kalimantan Energi

Lestari yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 20 November 1997. Kontrak karya ini berjangka waktu

selama 30 tahun (periode eksploitasi) dan dapat diperpanjang serta Kementerian Pertambangan dan

Energi bertindak selaku wakil Pemerintah RI. Kedua, dengan PT Mahakam Sumber Jaya yang

ditandatangani di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2000. Kontrak Karya ini berjangka waktu selama 30

tahun (periode eksploitasi) dan dapat diperpanjang serta sebagai wakil pemerintah adalah Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral.

Sebaliknya, dua Keppres terdahulu yaitu Keppres No. 21/1993 dan Keppres No. 49/1981

menafsirkan frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 sebagai pemberian mandat oleh UU No.

11/1967 kepada perusahaan negara (BUMN) yang dalam hal ini adalah PT BA untuk membuat peerjanjian

dengan kontraktor swasta dalam pengusahaan pertambangan batubara. Sedangkan kewajiban kontraktor

kepada negara pada prinsipnya sama dengan yang diatur dalam Keppres tahun 1996 tersebut yaitu

mencakup memberikan 13.5 persen hasil produksinya ke negara selain dari kewajiban-kewajiban

perpajakan yang lain. Pasal 1 Keppres No. 49/1981 berbunyi:

“Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan Perjanjian Kerjasama adalah perjanjian

antara Perusahaan Negara Tambang Batubara sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan dan

pihak swasta sebagai Kontraktor untuk pengusahaan tambang batubara untuk jangka waktu 30

(tigapuluh) tahun berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam Keputusan Presiden ini.”

Contoh Kontrak Karya antara PT BA dengan kontraktor swasta dalam periode ini adalah Kontrak

Karya dengan PT Kaltim Prima Coal. Perjanjian ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 8 April 1982 dan

berlaku selama 30 tahun serta dapat diperpanjang.

Sedangkan Pasal 1 Keppres No. 21/1993 berbunyi:

“Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan Perjanjian Kerjasama adalah perjanjian

antara Perusahaan Negara Tambang Batubara sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan dan

perusahaan kontraktor baik dalam rangka Penanaman Modal Asing maupun dalam rangka

Penanaman Modal Dalam Negeri untuk mengadakan pengusahaan pertambangan bahan galian

batubara.”

Page 48: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Disini jelas terlihat bahwa Keppres tahun 1993 itu hanya menegaskan bahwa pihak swasta yang

dimaksud dalam Keppres terdahulu mencakup swasta asing. Prinsip tafsir frasa “dikuasai oleh negara”

dalam kedua Keppres ini persis sama yaitu entitas yang diberikan mandat untuk memberikan izin

pengusahaan tambang batubara kepada perusahaan swasta, yang dalam hal ini berbentuk Kontrak Karya,

adalah PT Tambang Batubara Bukit Asam (PT BA).

Contoh Kontrak Karya antara PT BA dengan kontraktor swasta dalam periode ini adalah Kontrak

Karya dengan PT Gunung Bayan Pratama Coal. Perjanjian ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 15

Agustus 1994 dan berlaku selama 30 tahun serta dapat diperpanjang. Sebagai catatan Keppres Nomor 75

tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara ditujukan

untuk mencabut Keppres Nomor 21 tahun 1993 tentang hak Kuasa Pertambangan PT Tambang Batubara

Bukit Asam.

Bahan Galian Golongan b

Tafsir “dikuasai oleh negara” untuk bahan galian golongan b (vital) pada prinsipnya sama dengan kasus

bahan galian a yaitu Menteri Pertambangan diberikan mandat oleh UU ini untuk memberikan izin kepada

entitas-entitas tertentu untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan. Dengan kata lain, Menteri

Pertambangan diperintahkan oleh UU ini untuk memberikan hak Kuasa Pertambangan kepada entitas-

entitas tertentu dengan syarat-syarat tertentu.

Selanjutnya, pihak yang dapat diberikan hak oleh Menteri Pertambangan untuk melakukan

kegiatan usaha pertambangan, yaitu, hak Kuasa Pertambangan untuk bahan galian vital ini (golongan b)

hanya: 1. Koperasi; 2. Badan hukum swasta; dan c. Perseorangan. Dengan demikian, jangankan hak

eksklusif monooli kuasa pertambangan, hak kuasa pertambangan biasa saja tidak dapat dimiliki oleh

perusahaan negara/daerah untuk bahan galian golongan b (vital) ini.

Kesimpulan dari dua alinea diatas merujuk ke Pasal 12 UU No.11/1967 ini. Ayat (1)nya berbunyi:

“Kuasa Pertambangan untuk pelaksanaan usaha pertambangan bahan-bahan galian yang

tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada: a. Badan Hukum Koperasi; b.

Badan Hukum Swasta…..; dan c. Perseorangan…”

Sebagai contoh pemberian Kuasa Pertambangan untuk jenis bahan galian golongan b (logam dalam

bentuk emas dan perak) dalam periode-periode ini adalah pemberian Kuasa Pertambangan kepada PT

Freeport Indonesia (PT FPI) pada tanggal 7 April 196725. Kuasa pertambangan yang diberikan tersebut

dalam bentuk Kontrak Karya I antara Menteri Pertambangan RI, Slamet Bratana, dengan PT FPI untuk

masa 30 tahun untuk wilayah Pertambangan di Papua (d/h Irian Barat) yang dinamakan juga sebagai

Proyek Ertsberg. Usahanya adalah pertambangan mineral logam tembaga dan emas. Di tahun 1981

Pemerintah Indonesia membeli 8,5% saham PTFI dan cadangan Grasberg ditemukan di tahun 1988.

25 Sebetulnya ini diatur dalam UU (Perpu) No. 37/1960 tentang Pertambangan. Walaupun demikian, pengaturan untuk bahan galian golongan b pada prinsipnya sama dengan yang diatur pada UU No. 11/1967.

Page 49: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Kontrak Karya II antara Pemerintah RI dengan PTFI ditandatangi di tahun 1991 untuk masa waktu 30 tahun

dan dapat diperpanjang selama 2x 10 tahun.26

Referensi

Australia, 2010. Australia’s future tax system Report to the Treasurer. Commonwealth of Australia 2010

Dauvergne, Peter. 2001. Loggers and Degradation in the Asia-Pacific, Cambridge University Press

Forest Watch Indonesia (FWI), 2015. Intip Hutan. Media Informasi Seputar Hutan Indonesia. Februari

2015.

Gale, Thomson, 2006. International Directory of Company Histories 2004. Diakses via Ecyclopedia.com,

21 Juni 2016

Hasan, Madjedi. 2013. Penyatuan Makna Pasal 33 UUD 1945 dalam pengelolaan Sumber Daya Energi.

Makalah yang disajikan dalam diskusi Forum Eksekutip Energi Bimasena II, Jakarta, 16 September 2013.

……………………….. 2006. Kajian atas Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Konstitusional

Undang-undang tentang Sumber Daya. Makalah (Term Paper) Kapita Selekta Hukum Tata Negara

Program Doktoral Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadajaran, Bandung, Indonesia.

Mujiburohman, Dian Aries. 2013. “Akibat Hukum Pembubaran BP Migas,” Mimbar Hukum Vol. 25, No. 3,

Oktober 2013, Halaman 462 – 475

Mahkamah Konstitusi RI, 2012a. Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bmi terhadap

Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 36/PUU-X/2012, 5 November 2012.

………………………………….., 2012b. Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010, 9 Juni 2012.

………………………………….., 2007. Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bmi terhadap

Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 20/PUU-V/2007, 13 Desember 2007.

………………………………….., 2004. Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap

Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 002/PUU-I/2003, 15 Desember 2004.

Nitisastro, Widjojo. 2010. Pengalaman pembangunan Indonesia: kumpulan tulisan dan uraian. PT

Kompas Media Nusantara, Jl. Palmerah Selatan 26 -28, Jakarta

Nurjaya, I Nyoman. 2005. “Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia,” Jurisprudence, Vol.2, No. 1,

Maret 2005: 35 – 55

PwC, 2014. Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide. Tersedia di www.pwc.com/id,

Repetto, Robert and Malcolm Gillis, Eds, 1988. Public policies and the misuse of forest resources,

Cambridge University Press.

Seda, Francisia S.S.E. 2005. “Petroleum Paradox: The Politics of Oil and Gas,” dalam Resosudarmo eds.

2005. The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources. Singapore: ISEAS.

26 Sumber: Berita Kita, media komunikasi komunitas Freeport Indonesia. Edisi No. 240, Maret 2014

http://ptfi.co.id/media/files/publication/5626fabe75911_bk240.pdf, diakses 20 April 2016

Page 50: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Sidharta, Edi H. 2012. Pertamina: Belajar dari Sejarah. Kompasiana, sosial media Kompas Grup. W.W.W.

Kompasiana.com, diakses 14 Juni 2016

Syeirazi, M. Kholid, 2015. “Mengawal Revisi UU Migas,” Sindonews.com, 7 Juli 2015, dakses 6 Juni 2016

Tambang.co.id, 2016. “Revisi UU Migas dan Penataan Sektor Hilir,” 29 Februari 2016, diakses 6 Juni 2016.

USA Embassy, 2016. “How the U.S. Economy Works,” Http://usa.usembassy.de/etexts/oecon /chap2.htm, diakses 24 Maret 2016

Wicaksono, Ganesha Patria. 2015. “Kelembagaan Pengelola Minyak dan Gas Bumi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,” Yuridika: Volume 30 No 1, Januari – April 2015

Wikipedia bahasa Indonesia, 2016. Ibnu Sutowo. W.w.w.Wikipedia.org., diakses 14 Juni 2016

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang (UU)

UU No. 5/1960 (UU Agraria/Pertanahan)

UU No. 20/1961 (UU Agraria/Pertanahan)

UU No. 5/1967 (UU Kehutanan)

UU No. 41/1999 (UU Kehutanan)

UU No. 21/2001 (UU Minyak dan Gas Bumi)

UU No. 4/1982 (UU Lingkungan Hidup)

UU No. 23/1997 (UU Lingkungan Hidup)

UU No. 7/2004 ( UU Daya Air)

Please insert and analyse UU Kelistrikan dan UU Perkebunan

Peraturan Pemerintah (PP)/Peraturan Menteri

PP No. 21/1970 (Kehutanan)

PP No. 18/1975 (Kehutanan)

PP No. 40/1996 (Agraria)

PP No. 24/1997 (Agraria)

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 5/2015

i Pokok-pokok pendapat yang berbeda dari Hakim Konstitusi Harjono, adalah sebagai berikut:

1. Tidak terpenuhinya legal standing para pemohon (42 pemohon). Mahkamah gagal memperlihatkan

bukti dan/atau argumentasi yang mendasar tentang “bagaimana hak para Pemohon yang diberikan

oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal-pasal UU Migas yang dimohonkan untuk diuji.”

2. Frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 perlu ditafsirkan secara situasionil dan tidak dapat

ditafsirkan secara otomatis dan mutlak bahwa negara harus mengelola sumber daya alam secara

langsung. Alternatif terbaik, first best solution, adalah memang pemerintah perlu terlibat langsung.

Namun demikian, disebabkan kendala modal, teknologi, risiko, dan manejemen, model kontrak kerja

sama bagi hasil dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap dalam eksplorasi dan eksploitasi

sumber daya alam dapat saja dilakukan untuk sementara waktu sampai lembaga negara Presiden dan

DPR menyatakan hal yang lain. Dengan kata lain, menurut penulis, Hakim Konstitusi Harjono

Page 51: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

berpendapat bahwa tafsir frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 tidak identik dengan

pelaksanaan kelima unsur : 1.kebijakan (beleid); 2. pengurusan (bestuurdaad); 3. pengelolaan

(beheersdaad); 4. Pengaturan (regelendaad); dan 5. Pengawasan (toezichthoudensdaad), secara

terintegrasi dan menyeluruh. Unsur ketiga, pengelolaan (beheersdaad), dapat diserahkan ke badan

usaha dan/atau bentuk usaha tetap dalam kondisi dan situasi tertentu serta tidak harus diserahkan

ke BUMN seperti PT Pertamina.

3. Badan pemerintahan (penulis duga yang dimaksud disini termasuk Badan Pengelola Migas) yang

dibentuk oleh pemerintah tetapi tidak diatur dan/atau ditetapkan oleh UUD, tidak secara otomotis

bertentangan dengan UUD.

4. Kewenangan BP Migas untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan badan usaha dan/atau

bentuk usaha tetap tidak merendahkan (mendegradasi) martabat negara jika dalam pengadilan

arbitase internasional ternyata BP Migas kalah. BP Migas dalam hal ini tidak mewakili negara secara

langsung, yang tentunya berbeda jika kontrak tersebut ditandatangnai oleh jajaran menteri kabinet

pemerintahan. Jajaran menteri kabinet pemerintahan tersebut mewakili negara (pemerintah) secara

langsung.

ii UU No. 5/1967. Landasan hukum eksploitasi dan/atau izin konsensi hutan di Era Orde Baru ini adalah

UU No. 5 Tahun 1967 yang aturan operasionilnya dituangkan dalam PP No. 21 Tahun 1970. Pasal 9 PP ini

kemudian direvisi melalui PP No. 18 Tahun 1975. Izin-izin tersebut menurut PP No. 21 Tahun 1970

diterbitkan oleh Menteri Pertanian.

Pasal 14 Ayat 3 UU No. 5 Tahun 1967 berbunyi:

“Kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta dapat diberikan hak

pengusahaan hutan.”

Ketentuan ini kemudian diperjelas dan diperluas yang memungkin swasta asing dapat mendirikan

perusahaan patungan pengusahaan hutan. Pasal 9 PP No. 21 Tahun 1970 menyatakan:

“Hak pengusahaan hutan dapat diberikan kepada: a. Perusahaan Milik Negara; b. Perusahaan

Milik Swasta; dan c. Perusahaan campuran.”

UU Kehutanan Tahun 1999 ( UU No. 41/1999)

Pasal 28 Ayat 2

Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan,

izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha

pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan

hasil hutan bukan kayu.

Pasal 29 Ayat 3 dan 4

Ayat 3 “Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 28 Ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik

swasta Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.”

Page 52: Booklet tentang Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD ...

Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53

Ayat 4 “Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28

Ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik swasta

Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.”

iii Di Era Orde Baru, pemain utama dalam penentuan/pengaturan kebijakan eksploitasi hutan di Indonesia adalah

Mohamad Bob Hasan yang lebih dikenal dengan nama Bob Hasan saja.

iv UU No. 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 21 (1) Hanya warganegara

Indonesia dapat mempunyai hak milik; Pasal 30 (1) Yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah :a.

warganegara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia. Pasal 36 (1) Yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah : a. warganegara Indonesia; b.

badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Pasal 42, Yang

dapat mempunyai hak pakai ialah : a. warga negara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di

Indonesia; c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d.

badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pasal 45, Yang dapat menjadi pemegang

hak sewa ialah : a. warganegara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan

hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. badan hukum asing

yang mempunyai perwalikan di Indonesia