Bom Fosfor

29
Apa arti “Konflik Bersenjata Non- Internasional” ? In Additional Protocol I on February 3, 2009 at 6:48 am Oleh : Arlina Permanasari Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional. Dieter Fleck “Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara”. Pietro Verri “Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non- internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat- syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut”.

description

pp

Transcript of Bom Fosfor

Page 1: Bom Fosfor

Apa arti “Konflik Bersenjata Non-Internasional” ?In Additional Protocol I on February 3, 2009 at 6:48 am

Oleh : Arlina Permanasari

Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.

Dieter Fleck

“Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara”.

Pietro Verri

“Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut”.

Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.

Hans-Peter Gasser

“Konflik non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut –apakah digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner, kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis lainnya — berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas

Page 2: Bom Fosfor

atau hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut”.

Adapun pengertian mengenai konflik non-internasional menurut Statuta Roma dan pembahasannya, silakan membaca makalah Anthony Cullen, “The Definition of Non-International Armed Conflict in the Rome Statute of the International Criminal Court : An Analysis of the Threshold of Application contained in Article 8(2)(f)”, yang dimuat dalam Jornal of Conflict & Security Law, Oxford University Press, 2008.

KONFLIK INTERNAL, NON-INTERNATIONAL ARMED CONFLICT, PERANG PEMBERONTAKAN,SENGKETA BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

Pengertian “Konflik bersenjata non-internasional” menurut Protokol

Tambahan II, 1977In Additional Protocol I on  January 26, 2009 at 2:32 pm

Oleh : Arlina PermanasariKonflik bersenjata non-internasional, konflik internal, atau perang pemberontakan,  selain diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, diatur pula dalam perjanjian lainnya yaitu Protokol Tambahan II, 1977.

Hal ini dapat kita baca dalam ketentuan Pasal 1 Protokol II 1977 yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1 ayat (1). “Protokol ini, yang mengatur dan melengkapi Pasal 3 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 tanpa memodifikasi syarat-syarat penerapannya, harus diterapkan pada semua konflik bersenjata yang tidak diatur dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I tahun 1977 dan pada semua konflik bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara peserta Protokol, antara angkatan bersenjata negara tersebut dan pasukan pembelot atau kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir lainnya, yang memiliki pemimpin yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, melaksanakan pengawasannya terhadap sebagian wilayah teritorial negara dan dapat melaksanakan operasi militer yang berlanjut dan serentak serta dapat melaksanakan Protokol ini”.

Pasal 1 ayat (2). “Protokol ini tidak berlaku untuk situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindak kekerasan yang bersifat terisolir dan sporadis, serta tindak kekerasan serupa lainnya, yang bukan merupakan konflik bersenjata”.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai maksudnya, maka hal tersebut perlu dilihat pada Komentar Protokol, yaitu hasil persidangan yang diadakan pada waktu Konferensi Diplomatik menjelang pembentukan Protokol ini.

Page 3: Bom Fosfor

Dalam Komentar Pasal 1 Protokol II terdapat penjelasan sebagai berikut :“Karena Protokol tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan ‘non-international armed conflict’ dan mengingat bahwa konflik-konflik seperti ini sangat beraneka ragam jenisnya yang berkembang sejak tahun 1949, maka telah diusahakan untuk merumuskan ciri-ciri khusus dari konflik tersebut.Mengingat bahwa sengketa bersenjata non-internasional melibatkan beberapa pihak, yakni pemerintah yang sah dan pemberontak, maka sengketa bersenjata non-internasional dapat terlihat sebagai suatu situasi di mana terjadi permusuhan antara angkatan bersenjata pemerintah yang sah dengan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) di dalam wilayah suatu negara.Namun, di samping itu, sengketa bersenjata non-internasional mungkin pula terjadi pada situasi-situasi di mana faksi-faksi bersenjata (armed factions) saling bermusuhan satu sama lain tanpa intervensi dari angkatan bersenjata pemerintah yang sah.Selanjutnya, di dalam Komentar tersebut dapat kita ketahui, ternyata terdapat dua macam usulan untuk merumuskan apa pengertian konflik bersenjata non-internasional. Usulan-usulan tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, membentuk suatu prosedur untuk menentukan secara obyektif apakah telah terjadi suatu konflik bersenjata non-internasional;

Ke dua, mengklarifikasi konsep tentang konflik bersenjata non-internasional, misalnya menentukan sejumlah elemen material yang konkrit, sehingga bila unsur-unsur ini terpenuhi maka pemerintah yang bersangkutan tidak lagi mengingkari bahwa suatu konflik bersenjata non-internasional telah terjadi.

Menurut Komentar Protokol, tentu saja alternatif pertama, yaitu untuk membentuk suatu prosedur obyektif dalam hal menentukan apakah telah terjadi konflik bersenjata non-internasional, adalah selalu lebih sulit.

Oleh karena itu alternatif kedua yang lebih dipilih oleh para peserta Konferensi Diplomatik, yaitu untuk menentukan suatu formulasi definisi. Ini mengingat bahwa Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 seringkali diingkari dan tidak diakui karena tidak adanya suatu definisi tentang konflik bersenjata non-internasional.Banyak usulan yang diajukan sehubungan dengan alternatif kedua, di mana akhirnya terdapat tiga perhatian yang harus dibahas oleh peserta Konferensi; yaitu :

menentukan ambang batas tertinggi dan terendah dari konflik bersenjata non-internasional;

Page 4: Bom Fosfor

menentukan unsur-unsur konflik bersenjata non-internasional; menjamin bahwa penerapan pasal 3 tetap berlaku.

Apa yang dimaksud dengan hal tersebut ? Ikuti penjelasan Komentar Protokol berikut ini :

Ambang batas tertinggi dan terendah konflik bersenjata non-internasional

Ambang batas tertinggi ditentukan sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949. Usulan ini kemudian dilengkapi dengan mengacu pula kepada Pasal 1 Protokol I, 1977.Hal ini kiranya telah jelas, karena ke dua ketentuan tersebut mengatur mengenai konflik bersenjata internasional. Jadi, suatu konflik internal, intensitas konflik dan unsur-unsur lainnya, harus berada di bawah intensitas konflik bersenjata internasional.

Ambang batas terendah adalah situasi-situasi sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (2) dari Protokol II, yaitu situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindak kekerasan yang bersifat terisolir dan sporadis, serta tindak kekerasan serupa lainnya. Menentukan unsur-unsur  konflik bersenjata non-internasional

Pada awalnya, ICRC mengajukan suatu definisi yang luas mengenai kriteria substansi yang dimaksud dengan konflik bersenjata non-internasional ; yaitu adanya suatu konfrontasi antara angkatan bersenjata atau kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir yang dipimpin oleh komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, yang mana kelompok tersebut harus memiliki dengan derajat minimum sebagai suatu organisasi.

Namun usulan ini sulit diterima secara konsensus. Oleh karena itu terdapat sejumlah usulan-usulan lain, dan akhirnya ada tiga kriteria yang dapat diterima oleh para pihak yang berunding untuk menentukan unsur-unsur adanya suatu gerakan pemberontakan, yaitu :

1. Adanya komando yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya;2. Kelompok bersenjata yang terorganisir tersebut dapat melakukan

pengawasan terhadap sebagian wilayah naisonal sehingga memungkinkan mereka melakukan operasi militer secara berlanjut dan serentak;

3. Kelompok bersenjata tersebut mampu untuk melaksanakan Protokol.Adanya persyaratan tersebut membatasi berlakunya Protokol terhadap suatu konflik non-internasional pada suatu intensitas tertentu. Ini berarti tidak semua kasus konflik bersenjata non-internasional diatur oleh Protokol II.

Page 5: Bom Fosfor

Protokol II ini hanya mengatur konflik bersenjata non-internasional dengan persyaratan tersebut di atas; dan tidak termasuk konflik bersenjata non-internasional seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949. Dengan perkataan lain, syarat yang diminta menurut Protokol II adalah lebih tinggi; tidak seperti Pasal 3 Konvensi Jenewa yang bersifat umum.

Dengan demikian pada hakekatnya pada setiap konflik bersenjata non-internasional, maka Pasal 3 Konvensi Jenewa dapat diberlakukan; akan tetapi untuk memberlakukan Protokol II diperlukan sejumlah persyaratan pada kelompok-kelompok perlawanan bersenjata sebagaimana dijelaskan di atas. Atau kemungkinan lain, Protokol II tersebut telah diratifikasi oleh negara yang bersangkutan.

https://arlina100.wordpress.com/2009/01/26/pengertian-konflik-bersenjata-non-internasional-menurut-protokol-tambahan-ii-1977/#more-1020

PERANG PEMBEBASAN NASIONAL, WAR OF NATIONAL LIBERATION

Konflik Bersenjata Internasional. Apa saja jenisnya ? (2)

In Additional Protocol I on  January 1, 2009 at 8:22 am

Oleh : Arlina PermanasariPada tulisan sebelumnya, telah diketahui bahwa berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, maka konflik bersenjata internasional atau perang antar negara terdiri dari tiga jenis situasi, yakni :

1. Perang yang dilakukan dengan cara-cara yang sah, dalam hal ini perang yang didahului dengan pernyataan perang (declaration of war) maupun peperangan yang tidak dilakukan dengan cara-cara tersebut (declared/undeclared war);

2. Peperangan yang diikuti dengan adanya invasi atau pendudukan dari pihak musuh (occupation); baik yang di dalamnya menemui perlawanan maupun yang tidak; serta

3. Situasi yang menegaskan bahwa dalam situasi peperangan di mana para pihak yang bersengketa adalah para pihak atau bukan pihak pada Konvensi Jenewa 1949, maka hal tersebut tidak menyebabkan tidak berlakunya Konvensi Jenewa 1949 itu sendiri.

Praktek negara menunjukkan situasi konflik bersenjata tidak melulu hanya terdiri dari tiga situasi sebagaimana telah disebutkan di atas, melainkan juga terdapat situasi-situasi baru yang tidak diatur dalam Konvensi Jenewa 1949.

Apa saja jenis konflik bersenjata internasional yang baru ?

Page 6: Bom Fosfor

Berakhirnya Perang Dunia II memunculkan paradigma baru yang menimbulkan adanya perlawanan dari bangsa-bangsa terjajah untuk merdeka dan melepaskan dirinya dari cengkeraman penjajahan atau kolonialisme. Secara sederhana, hal ini dapat dilihat dari perbedaan jumlah negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa pada masa awal pembentukannya dan jumlah keanggotaan PBB saat ini. Apa yang terjadi dalam kurun waktu itu, tercermin pula pada ketentuan Hukum Humaniter, yakni pada Protokol Tambahan I 1977 yang mengatur mengenai konflik bersenjata internasional. Protokol Tambahan ini merupakan penyempurnaan dari Konvensi Jenewa 1949, karena Konvensi Jenewa 1949 tidak mengatur jenis-jenis konflik yang timbul setelah Perang Dunia II.

Nah, apa saja jenis-jenis konflik bersenjata yang diatur dalam Protokol Tambahan I, yang merupakan jenis konflik yang baru tersebut ? Coba kita perhatikan apa yang dicantumkan di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan (4) Protokol Tambahan I :

Pasal 1. Prinsip-prinsip umum dan ruang lingkup penerapan(3). Protokol ini, yang melengkapi Konvensi-konvensi Jenewa 1949, harus berlaku dalam situasi-situasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 common article Konvensi Jenewa;(4). Situasi-situasi yang tercantum dalam ayat di atas termasuk konflik bersenjata di mana bangsa-bangsa melawan dominasi kolonial, atau pendudukan asing atau rejim rasialis dalam rangka melaksanakan hak menentukan nasib sendiri (right of self determination), sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional yang mengatur tentang Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar negara sesuai dengan Piagam PBB.Berdasarkan ketentuan ayat (3) Pasal 1 Protokol Tambahan I, maka telah jelaslah bahwa Protokol Tambahan I ini juga berlaku untuk situasi-situasi konflik bersenjata internasional sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 2 common article Konvensi Jenewa 1949; dengan kata lain, tiga jenis situasi peperangan yang disebutkan di awal tulisan ini merupakan situasi yang diatur oleh Protokol Tambahan I.Sedangkan ketentuan ayat (4) Pasal 1 Protokol Tambahan I merupakan ketentuan yang mencantumkan adanya jenis-jenis konflik bersenjata internasional yang baru, yang disebut dengan :

penjajahan (colonial domination) pendudukan asing (alien occupation) rejim rasialis (racist regime)

Page 7: Bom Fosfor

Berdasarkan Komentar Protokol, maka ketiga jenis situasi perang di atas disebut dengan“perang tentang kemerdekaan nasional” (war of national liberation).Perhatikan bahwa frasa dalam ayat (4) mencantumkan “bangsa-bangsa” sebagai suatu pihak yang terlibat konflik yang berjuang melawan “negara” atau bangsa lain yang menjajah negara tersebut.

Dalam tulisan selanjutnya, akan dibahas tentang pengertian dari perang tentang kemerdekaan nasional.

https://arlina100.wordpress.com/2009/01/01/konflik-bersenjata-internasional-apa-saja-jenisnya-2/

Tipe-tipe Konflik yang diatur dalam Hukum Humaniter

In Additional Protocols 1977, Geneva Conventions 1949 on December 21, 2008 at 9:59 am

Oleh : Arlina PermanasariMengingat banyak sekali jenis konflik yang terjadi pada saat ini, maka tulisan ini akan membahas tentang tipe-tipe konflik yang diatur dalam Hukum Humaniter. Mengapa demikian ? Karena tidak semua ‘konflik’ yang ada diatur dalam Hukum Humaniter walaupun konflik tersebut menggunakan senjata serta mengakibatkan kerusakan dan kehancuran. Jenis konflik apa saja yang diatur dalam Hukum Humaniter ?

Secara garis besar, hanya ada dua tipe konflik saja yang diatur dalam Hukum Humaniter, yaitu : a). “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict); serta b.)  “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).

Tipe-tipe konflik

a). Sengketa atau konflik bersenjata internasionalSengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (lihat gambar di samping, misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.

b). Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasionalSedangkan sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang

Page 8: Bom Fosfor

pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977. Jenis konflik apa yang TIDAK diatur dalam Hukum Humaniter ?

Selain ke dua jenis konflik tersebut di atas, maka terdapat jenis konflik lainnya yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Protokol II 1977 yang berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadis dan terisolir,  serta tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan sengketa bersenjata”. Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk, karena jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan intensitas konflik yang relatif masih rendah.

Transparency : Courtesy of ICRC, Regional Delegation Jakarta.

INSURGENTS, INTERNAL CONFLICT, KONFLIK INTERNAL, NON-INTERNATIONAL ARMED CONFLICT,SENGKETA BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

Pengertian “Konflik bersenjata non-internasional” menurut Konvensi

Jenewa 1949In Geneva Conventions 1949 on  January 13, 2009 at 9:07 am

Oleh : Arlina PermanasariDalam Konvensi Jenewa 1949, konflik bersenjata non-internasional atau konflik internal atau perang pemberontakan hanya diatur di dalam satu pasal saja, yaitu Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 (common article). Bagaimana

Page 9: Bom Fosfor

pengertian dalam Pasal 3 mengenai konflik bersenjata non-internasional ? Ikuti penjelasan berikut.Pengertian “konflik bersenjata non-internasional” dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949Pasal 3 Konvensi Jenewa menggunakan istilah ‘sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional’ (armed conflict not of an international character) untuk setiap jenis konflik yang BUKAN merupakan konflik bersenjata internasional.Sayang sekali Pasal 3 Konvensi Jenewa sendiri tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan ‘armed conflict not of an international character’ tersebut, sehingga hal ini menimbulkan penafsiran yang sangat luas.

Oleh karena tidak terdapat suatu definisi baku secara yuridis, maka sebagai pedoman agar penafsiran kita terhadap maksud frasa tersebut tidak terlalu jauh menyimpang, kita harus melihat apa yang dimaksudkan dengan ‘konflik yang tidak bersifat internasional’ ini pada Commentary atau komentar Konvensi Jenewa. Komentar ini merupakan hasil rangkuman dari hasil-hasil persidangan dan pendapat para ahli yang terjadi pada saat pembentukan Konferensi Diplomatik yang menghasilkan Konvensi Jenewa 1949.Komentar Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa : “Disepakati oleh para peserta Konferensi bahwa keinginan untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan ‘sengketa bersenjata’ (armed conflict), dibatalkan. Sebaliknya disetujui adanya usulan yang berisi syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar Konvensi Jenewa dapat diterapkan dalam suatu konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional. Walaupun usul ini tidak diterima secara resmi (karenanya tidak dirumuskan dalam pasal tersendiri di dalam Konvensi Jenewa), namun kiranyabermanfaat untuk diperkirakan dalam keadaan bagaimana Konvensi Jenewa akan berlaku.Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut : Bahwa pihak pemberontak memiliki kekuatan militer yang terorganisir, di

pimpin oleh seorang Komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, melakukan aksi dalam wilayah tertentu dan memiliki sarana untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi Jenewa.

bahwa Pemerintah yang sah dipaksa untuk menggerakkan pasukan reguler(angkatan bersenjata) untuk menghadapi pemberontak yang terorganisir secara militer dan yang telah menguasai sebagian wilayah nasional;

Page 10: Bom Fosfor

Adapun Pemerintah de jure tempat di mana pemberontak tersebut berada : a). telah mengakui pemberontak sebagai belligerent; b). telah mengklaim bagi dirinya hak sebagai belligerent; c). telah mengakui pemberontak sebagai belligerent hanya untuk keperluan Konvensi Jenewa ini saja; dan d). bahwa pertikaian tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB sebagai ancaman terhadap perdamaian internasional, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi;

Adapun pihak pemberontak telah terorganisir sedemikian rupa dan memiliki : a). suatu organisasi yang mempunyai sifat sebagai ‘negara’; b). penguasa sipil (civil authority) dari pemberontak tersebut dapat melaksanakan kekuasaannya terhadap orang-orang dalam wilayah tertentu; c). Bahwa pasukan pemberontak tersebut melakukan operasi-operasi militernya di bawah kekuasaan penguasa sipil yang terorganisir tersebut;

Bahwa penguasa sipil dari pihak pemberontak setuju untuk terikat pada ketentuan Konvensi”.

Atas adanya usul yang memuat syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas, maka menurut Jean Pictet, usulan tersebut bermanfaat sebagai suatu sarana untuk membedakan suatu sengketa bersenjata dalam pengertian yang sebenarnya, dengan tindakan kekerasan bersenjata lainnya seperti tindakan para penjahat (banditry), atau pemberontakan yang tidak terorganisir dan tidak berlangsung lama (unorganized and shortlived insurrection).Sumber :

Arlina Permanasari, et.all., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 140-142.

KONFLIK INTERNAL, NON-INTERNATIONAL ARMED CONFLICT, PERANG PEMBERONTAKAN,SENGKETA BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 tentang Konflik Internal. Pasal yang “ajaib” !

In Geneva Conventions 1949 on February 5, 2009 at 8:11 am

Oleh : Arlina PermanasariDalam Konvensi Jenewa, sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (konflik/sengketa bersenjata non-internasional atau konflik internal) diatur dalam Pasal 3 ketentuan-ketentuan yang bersamaan (common articles) dari Konvensi Jenewa 1949. Mengapa saya mengatakan Pasal 3 ini sebagai “pasal yang ajaib” ? Mari kita lihat dulu ketentuan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 secara lengkap :

Page 11: Bom Fosfor

“Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu Pihak Peserta Agung, tiap Pihak dalampertikaian itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut :(1) Orang-orang yang tidak turut serta secara aktif dalam pertikaian itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lain yang serupa itu.Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat-tempat apapun juga : (a). tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam

pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan; (b). penyanderaan; (c). perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang

menghina dan merendahkan martabat; (d). menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului

keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan semua jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.

(2). Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Internasional Palang Merah, dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam pertikaian.Para pihak dalam pertikaian, selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lain dari Konvensi ini.Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian”.Dengan melihat ketentuan Pasal 3 tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat kita ketahui : Konvensi Jenewa menyatakan suatu konflik bersenjata non-internasional

dengan perumusan kalimat masih kabur maknanya, yakni dengan frasa ” Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional“.  Formulasi yang sangat kabur ini, tentu saja, menimbulkan tafsiran yang sangat luas, sehingga dapat menimbulkan berbagai pertanyaan seperti : bagaimana sifat permusuhan; haruskah permusuhan tersebut hanya

Page 12: Bom Fosfor

terjadi antara angkatan bersenjata pemerintah dan angkatan bersenjata pemberontak saja, atau haruskah angkatan bersenjata pemberontak ini telah dapat mengawasi suatu wilayah tertentu ? Apakah sebenarnya pengertian ‘tidak bersifat internasional’ dalam praktek ? Bagaimana bila terjadi intervensi asing ? dan lain-lain. Dengan kata lain, Pasal 3 belum merumuskan suatu keadaan atau situasi obyektif, juga belum memberikan kriteria obyektif mengenai apa yang dimaksud dengan “pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional“.  Hal ini merupakan kelemahan Pasal 3, namun sekaligus juga merupakan keuntungan karena Pasal 3 tidak menolak adanya penafsiran yang luas.

Ayat (1) Pasal 3 ini mencerminkan adanya perlindungan hukum yang begitu besar terhadap golongan yang disebut dengan “hors de combat”; juga mencerminkan bahwa setiap ketentuan Konvensi sekaligus mengakomodir asas-asas hukum humaniter, dalam hal ini asas kesatriaan dan asas kemanusiaan. Orang yang sudah tidak mampu lagi untuk melakukan serangan, menurut ayat ini, harus dilindungi hak-haknya serta diperlakukan secara manusiawi. Seorang kombatan yang turun di medan pertempuran memang dapat dibunuh, akan tetapi ketika ia menjadi “hors de combat”, maka ia mendapatkan perlindungan hukum; termasuk tidak boleh dibunuh atau dianiaya. Seorang prajurit sejati, pada hakekatnya adalah prajurit yang menjunjung tinggi prinsip kesatriaan; jika ia menemui musuh dalam keadaan siaga, bersenjata dan masih melakukan perlawanan, maka tentu saja ia harus  bertempur dan jika perlu membunuh prajurit musuh. Sebaliknya, jika musuh tersebut sudah tidak berdaya, maka jiwa ksatria melarangnya untuk menganiaya, membunuh atau melakukan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi, karena memang pada hakekatnya musuh tersebut sudah benar-benar tidak mampu melakukan serangan lagi dan dapat ditaklukkan. Anggota militer mempunyai kehormatan militer dan sikap ksatria, sehingga sepatutnya tunduk pada aturan ini. Sebaliknya, perlakuan yang tidak manusiawi, penganiayaan atau pembunuhan tanpa melalui proses peradilan, hanya mencerminkan tindakan premanisme dari seseorang yang berjiwa kerdil dan primitif, dan sudah seharusnya hal ini tidak tercermin dalam tingkah laku para prajurit yang merupakan organ resmi negara . Jadi, peperangan memang terlihat kejam; namun jika diperhatikan, ada sisi-sisi kemanusiaan dalam setiap ketentuannya.

Jika kita lihat lagi mengenai hak-hak apa saja yang harus dijamin atas golongan orang-orang yang termasuk dalam “hors de combat ini”, maka ketentuan ayat (1) butir (a) hingga (d) mencerminkan hak-hak yang paling mendasar bagi setiap insan manusia, termasuk di medan perang. Ketentuan tersebut, nyaris serupa dengan hak-hak asasi manusia yang

Page 13: Bom Fosfor

paling mendasar dan fundamental, yakni intisari HAM atau sering disebut dengan istilah “hak-hak yang tidak dapat diganggu-gugat” (non-derogable rights), yang harus dijamin dalam keadaan apapun juga, termasuk dalam keadaan perang.

Ayat (2) Pasal 3 ini sangat mencerminkan asas kemanusiaan, walaupun dalam keadaan yang genting (peperangan). Ketentuan untuk memperlakukan secara manusiawi terhadap “hors de combat” yang ada dalam ayat (1), perlu pula dilengkapi dengan ketentuan ayat(2) yang menyatakan bahwa mereka harus pula dirawat, jika perlu dengan bantuan organisasi-organisasi kemanusiaan lain yang tidak berpihak.

Demikian pula, jika sebagian orang berfikir “ah, kalau terjadi konflik internal maka yang berlaku hanya satu pasal saja; yakni Pasal3 Konvensi Jenewa”, maka sebenarnya tidak selalu demikian. Jika kita perhatikan ayat (2) ini, maka pelaksanaan sebagian maupun ketentuan lain dalam Konvensi, dapat dilakukan oleh para pihak dengan suatu persetujuan khusus. Jadi, harus dipahami bahwa walaupun hanya Pasal 3 saja dari Konvensi Jenewa yang berlaku dalam suatu konflik yang bersifat non-internasional, namun dengan persetujuan-persetujuan khusus antara para pihak, maka mereka dapat bersepakat untuk menerapkan bagian-bagian lainnya dari Konvensi Jenewa. Contoh aktual mengenai hal ini adalah dibentuknya suatu persetujuan khusus antara pihak-pihak yang bersengketa pada konflik di bekas Yugoslavia. Dalam perjanjian khusus tersebut disepakati bahwa para pihak menyetujui untuk memberlakukan Konvensi Jenewa ke-III tentang perlakuan terhadap tawanan perang, dalam konflik tersebut.

Sedangkan kalimat terakhir dari ayat (2), yang berbunyi “Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian”, memberikan suatu jaminan kepada pemerintah yang sah, bahwa apabila mereka memberlakukan Pasal 3 ini terhadap pemberontak, maka hal tersebut tidak merubah status hukum pemberontak (insurgent) menjadibelligerent. Hal ini ditegaskan dalam kalimat yang terakhir, karena praktek negara menunjukkan bahwa pada umumnya pemerintah yang sah berusaha untuk mengingkari Pasal 3 Konvensi Jenewa karena menganggap bahwa pemberlakukan Pasal 3 akan mengubah status pemberontak menjadi belligerent, atau sebagai suatu subyek hukum internasional. Dengan ayat(2) alinea terakhir dalam Pasal ini, maka ketakutan tersebut tidak perlu terjadi. Hal ini merupakan perkembangan hukum yang sangat progresif, karena pemberontakan yang merupakan masalah dalam negeri suatu negara dan mewajibkan negara lain untuk tidak turut campur dalam masalah itu (prinsip non-

Page 14: Bom Fosfor

intervensi), namun ternyata pengaturannya (walaupun secara umum) terdapat di dalam suatu perjanjian internasional, yakni dalam Konvensi Jenewa 1949.

Dengan melihat beberapa uraian tersebut di atas, maka saya mengatakan ketentuan Pasal 3 ini sebagai pasal yang ajaib. Pasal 3 ini mematahkan anggapan bahwa dalam setiap peperangan hanya kekejaman yang terjadi; pasal ini juga telah mencakup intisari hak-hak asasi manusia yang tidak dapat diganggu-gugat, sehingga merupakan respons positif hukum humaniter terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia pada waktu perang; pasal ini juga sangat mengutamakan aspek-aspek kemanusiaan dalam waktu perang; demikian pula, pasal ini juga bersifat ‘lentur’, karena memungkinkan pemberlakuan klausula lain dari Konvensi Jenewa dalam hal perlakuan terhadap tawanan perang dan juga dapat diterapkan pada setiap konflik internal tanpa persyaratan apapun; serta sekaligus menjamin bahwa suatu masalah dalam negeri seperti perang pemberontakan, pada hakekatnya bukanlah masalah yang memungkinkan negara lain untuk ikut campur tangan, karena masalah tersebut mutlak berada dalam wilayah kekuasaan Pemerintah yang sah.

https://arlina100.wordpress.com/2009/02/05/pasal-3-konvensi-jenewa-1949-tentang-konflik-internal-pasal-yang-ajaib/#more-1041

KONFLIK INTERNAL, NON-INTERNATIONAL ARMED CONFLICT, PERANG PEMBERONTAKAN,SENGKETA BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

Penerapan Protokol Tambahan II 1977. Sulitkah?

In Additional Protocol I, Additional Protocols 1977, The Geneva Laws on February 16, 2009 at 7:32 am

Oleh : Arlina PermanasariMembandingkan ketentuan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan ketentuan pasal-pasal dalam Protokol Tambahan II, 1977 tentu saja tidak adil. Selintas, mungkin kita berfikir, tentu saja lebih mudah untuk menerapkan ketentuan Pasal 3 tersebut, daripada serangkaian ketentuan dalam Protokol II. Namun, dalam tulisan yang lalu telah dinyatakan bahwa negara-negara yang dilanda konflik internal umumnya tidak mau menerapkan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 tersebut. Jika demikian, bagaimanakah prospek Protokol Tambahan II akan berlaku dalam suatu sengketa bersenjata non-internasional ?

Berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa, ketentuan dalam Protokol II telah memberikan suatu ‘rambu-rambu’ tentang pemberlakuan

Page 15: Bom Fosfor

Protokol II, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 1 ayat(1) Protokol II sebagai berikut :

“This Protocol, which develops and supplements Article 3 common to the Geneva Conventions of 12 August 1949 without modifying its existing conditions of application, shall apply to all armed conflicts which are not covered by Article 1 of the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) and which take place in the territory of a High Contracting Party between its armed forces and dissident armed forces or other organized armed groups which, under responsible command, exercise such control over a part of its territory as to enable them to carry out sustained and concerted military operations and to implement this Protocol” Dinyatakan dalam ketentuan di atas bahwa pasal 1 diterapkan pada “all

armed conflicts which are not covered by Article 1 (of Protocol I)”; dengan kata lain, pasal ini tidak diterapkan pada konflik bersenjata internasional, sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 1 Protokol I, termasuk konflik yang disebut perang pembebasan nasional (war of national liberation). Ini adalah ambang batas tertinggi yang dicantumkan dalam pasal 1 Protokol II ini.

Persyaratan selanjutnya terdapat dalam pasal ini; yaitu “Protokol ini harus berlaku pada konflik yang terjadi di dalam wilayah negara peserta, akan tetapi antara angkatan bersenjata negara tersebut dengan angkatan bersenjata yang membelot/memberontak atau dengan kelompok bersenjata lainnya“.

Juga disebutkan bahwa angkatan bersenjata pemberontak ini harus memiliki suatu komando yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya (“responsible command”). Keberadaan suatu komando yang bertanggung jawab menyiratkan adanya suatu tingkat pengorganisasian dari kelompok pemberontak /pembangkang bersenjata. Namun hal ini bukan selalu berarti bahwa dalam organisasi pemberontak tersebut teradapat suatu sistem hierarki organisasi militer yang serupa dengan angkatan bersenjata reguler. Ini berarti bahwa di satu pihak, organisasi tersebut mampu merencanakan dan melaksanakan operasi-operasi militer yang berlanjut dan bersama-sama; dan di pihak lain, memiliki suatu otoritas secara de facto.

Syarat lainnya, pemberontak harus dapat melaksanakan pengawasan atas sebagian wilayah (“exercise such control over part of its territory”). Kriteria ini, yaitu mampu melaksanakan pengawasan atas sebagian wilayah menyiratkan bahwa kelompok pemberontak bersenjata tersebut adalah kelompok yang terorganisir. Sedangkan

Page 16: Bom Fosfor

pengertian ‘sebagian wilayah’ tidak ditentukan lebih lanjut dalam Protokol II. Dalam Konferensi Diplomatik, ada usulan untuk mengartikannya dengan ‘bagian wilayah yang sangat penting’ atau ‘bagian yang substansial dari suatu wilayah’; namun usulan ini tidak dapat diterima. Kata ‘such’ menyiratkan bahwa pengawasan yang dilakukan pihak pemberontak haruslah bersifat signifikan, sehingga memungkinkan pemberontak untuk melakukan operasi militer yang berlanjut dan bersama-sama, dan melaksanakan ketentuan Protokol seperti merawat mereka yang luka dan sakit, menahan para tawanan dan memperlakukan mereka sesuai dengan Pasal 4 Protokol (tentang jaminan-jaminan dasar) dan Pasal 5 Protokol (tentang orang-orang yang kemerdekaannya dibatasi).

Syarat di atas berkaitan erat dengan syarat lainnya, yaitu bahwa pihak pemberontak mampu melakukan operasi-operasi militer secara berkelanjutan dan bersama-sama (“as to enable them to carry out sustained and concerted military operations”). Kata ‘berlanjut’ (sustained) berarti bahwa operasi-operasi militer yang digelar harus tetap berlangsung secara kontinu. Penekanannya disini adalah kontinuitas (continuity) dan terus-menerus (persistence). Sedangkan, kata ‘bersama-sama’ (concerted) berarti menyetujui, merencanakan dan menyusun suatu persetujuan sesuai dengan rencana. Jadi ini adalah mengenai operasi militer yang direncanakan dan disusun oleh suatu kelompok pemberontak bersenjata. Kriteria tentang jangka waktu dan intensitas tidak termasuk dalam definisi ini, karena mengandung unsur subyektivitas. (Sebaliknya, syarat kontinuitas dan terus-menerus menyiratkan adanya obyektivitas).

Oleh karena itu, Protokol ini tidak berlaku untuk situasi-situasi di mana pihak lawan adalah merupakan suatu gerakan gerilya bawah tanah(“underground guerilla movement”), karena gerakan gerilya umumnya melaksanakan aksi-aksinya secara insidental, di sana-sini [tidak pada sebagian wilayah tertentu yang berada di bawah pengawasannya], dan melakukan taktik ‘serang dan sembunyi’ (“hit and run”).

Syarat selanjutnya adalah bahwa pihak pemberontak mampu untuk melaksanakan ketentuan Protokol (“to implement this Protocol”). Kriteria ini merupakan kriteria dasar yang membenarkan syarat-syarat telah ada, yakni : ada di bawah komando yang bertanggung jawab dan mengawasi sebagian wilayah, maka pihak pemberontak harus ada dalam posisi untuk menerapkan ketentuan Protokol. Walaupun hal ini terasa sulit dan merupakan keinginan dari Konferensi Diplomatik, perlu ditambahkan di sini bahwa karena pihak pemberontak umumnya

Page 17: Bom Fosfor

memiliki infrastruktur yang terbatas, maka sudah barang tentu hal ini umumnya tidak dapat terpenuhi.

Oleh karena itulah maka syarat-syarat tersebut di atas terasa sangat ketat dan susah untuk diterapkan dalam konflik-konflik yang terjadi dewasa ini.

Di samping adanya persyaratan yang ketat seperti disebutkan di atas, maka terdapat pembatasan lainnya yang semakin memperketat penerapan Protokol II. Pembatasan ini tercermin dalam ayat(2) dari Pasal 1 Protokol II, yang berbunyi :

“This Protocol shall not apply to situations of internal disturbances and tensions, such as riots, isolated and sporadic acts of violence and other acts of a similar nature, as not being armed conflicts”Dalam Protokol, tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan istilah ‘kekerasan dan ketegangan-ketegangan dalam negeri’ (internal disturbances and tensions). Protokol hanya memberikan contoh dari ‘kekerasan dan ketegangan dalam negeri’ seperti : keributan-keributan (riots), tindakan-tindakan kejahatan yang terpencar dan sporadis (isolated and sporadic acts of violence) serta tindakan lainnya yang serupa (other acts of a similar nature).Oleh karena tidak terdapat definisi dalam Protokol, maka beberapa ahli mengemukakan pendapat mereka mengenai hal tersebut :

1. Hans-Peter Gasser menyatakan bahwa :“Internal disturbances and tensions are marked by a degree of violence, exceeding that found in ‘normal’ times. In general, the violence breaks out quite openly. The authorities resort to repressive action beyond the usual limits. Typical of such situations, then, are phenomena such as :– mass arrests often followed by arbitrary detention;– bad conditions of detention;– disappearances, unacknowledged detention;– ill-treatment, even torture;– hostage taking;– suspension of or failure to respect the most elementary legal guarantees.”

2. Marion Harroff-Tavel menyatakan bahwa :“Internal disturbances are marked by serious disruption of domestic order resulting from acts of violence which do not, however, have the characteristics of an armed conflict. … For a situation to be qualified as one of internal disturbances, it is of no consequence whether State repression is involved or not, whether the disturbances are lasting, brief with durable effects, or intermittent, whether only a part or all of the national territory is

Page 18: Bom Fosfor

affected or whether the disturbances are of religious, ethnic, political or any other origin”.

3. Sedangkan ICRC, dalam Konferensi Para Ahli Pemerintahan (Government Experts) pada tahun 1971, mendeskripsikan apa yang disebut dengan ‘internal disturbances’ sebagai berikut :“This involves situations in which there is no non-international armed conflict as such, but there exists a confrontation within the country, which is characterized by a certain seriousness or duration and which involves acts of violence. These latter can assume various forms, all the way from the spontaneous generation of acts of revolt to the struggle between more or less organized group or the authorities of power. In this situations, which do not necessarily degenerate into open struggle, the authorities call upon extensive police forces, or even armed forces, to restore international order.As regards internal tensions, these could be said to include in particular situations of serious tensions (political, religious, racial, social, economic, etc), but also the sequels of armed conflict or of internal disturbances. Such situations have one or more of the following characteristics, if not all at the same time :– large scale arrests;– a large number of political prisoners;– the probable existence of ill-treatment or inhumane conditions of detention;– the suspension of fundamental judicial guarantees, either as part of promulgation of a state of emergency or simply as a matter of fact;– allegations of disappearances.”.

Jika melihat deskripsi ICRC ini maka singkatnya dikatakan bahwa : dapat terjadi suatu kekerasan-kekerasan dalam negeri walaupun hal itu tidak berubah menjadi suatu sengketa bersenjata, ketika Negara menggunakan kekuatan angkatan bersenjata untuk memulihkan ketertiban; dapat pula terjadi ketegangan-ketegangan dalam negeri yang tidak akan berubah menjadi suatu kekerasan dalam negeri, apabila Negara menggunakan kekuatan bersenjatanya untuk memulihkan ketertiban.

Jadi setelah mengetahui mengenai apa yang dimaksud dengan ‘kekerasan dan ketegangan dalam negeri’, maka harus dipahami bahwa semua tindakan ini tidak diatur dalam Protokol II. Hal ini merupakan ambang batas terendah dalam Protokol II.

[Oleh karena masalah yang berkenaan dengan ‘kekerasan dan ketegangan dalam negeri’ tidak (atau belum) di atur dalam Protokol II, maka mengingat kenyataan bahwa justru situasi-situasi seperti itulah yang sering terjadi

Page 19: Bom Fosfor

dewasa ini, maka timbul pertanyaan : apakah korban-korban akibat situasi demikian tidak pula mendapatkan perlindungan hukum ? Hal inilah yang kiranya menjadi keprihatinan para ahli. Namun, beberapa pakar secara individual maupun kelompok, telah berhasil merumuskan suatu deklarasi yang disebut dengan ‘Minimum Humanitarian Standard’. ]Dengan demikian, kita melihat bahwa untuk menerapkan Protokol II pada suatu sengketa bersenjata non-internasional, terdapat sedemikian banyak persyaratan yang harus terpenuhi sebagaimana dimuat dalam ayat(1) dan ayat(2) yang telah disebutkan di muka. Sengketa bersenjata tersebut harus “benar-benar terukur” sehingga ia tidak boleh ‘memasuki’ ambang batas terendah, sebagaimana definisi dalam Pasal 1 ayat(2) Protokol II, maupun ambang batas konflik yang tertinggi sebagaimana definisi Pasal 1 Protokol I.

Persyaratan tersebut tergolong berat, di bandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa. Karena ‘berat’nya, maka seorang ahli, Green, sampai perlu merasa khawatir bahwa ada kemungkinan Protokol II tidak dapat diterapkan dalam suatu perang saudara (civil war), kecuali sampai telah terbentuknya suatu kelompok pemberontak yang sedemikian terorganisir seperti yang pernah terjadi di Spanyol :“The definition of a non-international armed conflict in Protocol II has a treshold that is so high in fact, that it would exclude most resolutions and rebellions, and would probably not operate in a civil war until the rebels were well established and had set up some form of de facto government, as had been the case with the nationalist revolution in Spain”.

Sedangkan Rosemary Abi-Saab menyatakan bahwa apabila kita membandingkan bagaimana perbedaan dari penerapan Pasal 3 Konvensi Jenewa dan Pasal 1 Protokol II, maka akan terlihat beberapa kesulitan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan Protokol tersebut dalam praktek. Kesulitan pertama, adalah karena pada umumnya konflik yang terjadi akhir-akhir ini tidak berkaitan dengan kriteria dan syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam ke dua perjanjian tersebut, terutama adanya syarat pengawasan sebagian daerah yang efektif seperti yang tercantum dalam Protokol. Kesulitan ke dua, adalah bagaimana menentukan sifat dari peralatan militer yang dipergunakan, dan demikian juga bagaimana menentukan sifat dari taktik-taktik militer yang diterapkan, karena dalam prakteknya, semua itu seperti terlihat menyerupai suatu peperangan dalam pengertian yang klasik. Lagi pula, di berbagai belahan dunia saat ini, sering sekali terjadi kekacauan dan ketegangan-ketegangan dalam negeri (internal disturbances and tensions) yang tidak secara formal diatur dengan ketentuan-ketentuan hukum. Padahal harus diakui, bahwa situasi-situasi

Page 20: Bom Fosfor

demikian juga telah mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan yang akan menjustifikasi adanya tindakan independen dari badan-badan kemanusiaan yang netral seperti ICRC, misalnya. Inilah masalah yang sampai sekarang belum terpecahkan.Namun, terlepas dari adanya masalah yang belum terpecahkan seperti di atas, maka yang perlu digarisbawahi adalah adanya suatu perlindungan yang memadai terhadap manusia (human person). Perlindungan yang memadai ini, telah disepakati dengan diusulkannya suatu standar kemanusiaan yang paling tidak, harus diterapkan dalam situasi demikian (Minimum Humanitarian Standard).Sumber : Arlina Permanasari et.all, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 148-156.About these ads

Loading...

Related

KONFLIK INTERNAL, NON-INTERNATIONAL ARMED CONFLICT, PERANG PEMBERONTAKAN,SENGKETA BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

Perang Pemberontakan : Hukum apa yang berlaku ?

In Additional Protocol I, Additional Protocols 1977, The Geneva Laws on February 17, 2009 at 8:35 am

Oleh : Arlina PermanasariApabila terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional atau perang pemberontakan, maka pertanyaan yang sering dilontarkan adalah : hukum apa yang berlaku ? Dalam hal ini terdapat masalah hukum yang perlu diperhatikan dengan saksama. Masalah hukum tersebut adalah :

1. Ketentuan manakah yang berlaku dalam sengketa bersenjata non-internasional atau perang pemberontakan ?, Apakah pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ataukah Protokol II ? Siapakah yang menentukan hal ini ?

2. Apabila dalam sengketa bersenjata non-internasional yang diberlakukan adalah Protokol II, apakah ada jaminan bahwa “pemberontak” akan mematuhi Protokol itu ? (Kekhawatiran ini pantas dikemukakan karena para pemberontak bukanlah pihak pada Konvensi Jenewa dan Protokol). Bagaimanakah bila mereka tidak mentaati ketentuan pasal 3 Konvensi Jenewa dan Protokol ?

a). Ketentuan mana yang berlaku ?

Page 21: Bom Fosfor

Apabila terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, dari penjelasan pada tulisan sebelumnya, maka apabila syarat-syarat dalam Protokol terpenuhi atau negara yang bersangkutan telah meratifikasinya, maka Protokol dan Pasal 3 Konvensi Jenewa akan berlaku secara simultan. Namun bila konflik tersebut intensitasnya rendah dan tidak terlihat ada unsur apapun seperti dalam Protokol, maka yang berlaku hanyalah Pasal 3 Konvensi Jenewa saja. Hal ini dapat dilihat dalam Commentary Protokol yang menyatakan sebagai berikut :[1]“Thus, in circumstances where the conditions of application of the Protocol are met, the Protocol and common Article 3 will apply simultaneously, as the Protocol’s field of application is included in the broader one of common article 3. On the other hand, in a conflict where the level of strive if low, and which does not contain the characteristic features required by Protocol, only common article 3 will apply”.Jadi, sekali telah terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, maka pada saat itu pulalah berlaku Pasal 3 Konvensi Jenewa. Jadi pasal 3 ini bersifat otomatis, tanpa harus memenuhi suatu unsur atau syarat tertentu. Namun walaupun para ahli menyetujui memberlakukan Pasal 3 Konvensi Jenewa pada konflik-konflik yang intensitasnya rendah, namun praktek negara menunjukkan bahwa negara hanya berkehendak untuk menerapkan Pasal 3 ini dalam konflik-konflik yang memiliki intensitas tertentu saja.[2]

b). Siapakah yang menentukan ?Apabila terjadi suatu sengketa bersenjata non-internasional, maka Protokol tidak menentukan ketentuan manakah yang berlaku. Tidak ada pula ketentuan dalam hukum humaniter lainnya yang mengatur hal ini.[3]

Oleh karena itu, terdapat beberapa pendapat dari para ahli :1. Menurut Alberto Muyot :[4] “… melihat kepada pertimbangan umum negara-negara bahwa mereka

menyatakan tidak ada suatu otoritas pun yang berwenang untuk menentukan bahwa Protokol dapat berlaku mengikat pada suatu situasi tertentu, maka konsekuensinya, Pemerintah dari negara di mana terjadi sengketa bersenjata non-internasional ini harus menggunakan haknya untuk menyatakan apakah kekerasan yang terjadi itu telah mencapai suatu intensitas yang diperlukan, untuk menerapkan Protokol ini”

2. Menurut Fritz Kalshoven :[5] “Terdapat pula pertimbangan umum yang menyatakan bahwa tidak satu

pun otoritas yang berwenang untuk menentukan bahwa Protokol berlaku untuk suatu situasi tertentu. Oleh karena itu, hal ini lebih banyak

Page 22: Bom Fosfor

tergantung kepada iktikad baik pemerintah negara yang bersangkutan, atau pula pada tekanan dunia luar”.

Dengan melihat ke dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menentukan hukum manakah yang berlaku dalam sengketa bersenjata non-internasional adalah : Pemerintah dari negara yang bersangkutan.

Namun, sebagaimana diungkapkan di awal bagian ini, bahwa terdapat suatu kecenderungan bahwa negara enggan memberlakukan Protokol dengan mengajukan berbagai alasan. Keengganan ini dikarenakan kekhawatiran negara bahwa pemberlakuan Protokol II akan memberikan status belligerent kepada pemberontak.Tidak itu saja, bahkan negara-negara juga enggan untuk memberlakukan Konvensi Jenewa, karena dengan penafsirannya yang meluas pada berbagai macam jenis konflik internal, membuat negara-negara menolak menerapkannya (Seperti yang terjadi dewasa ini, ada berbagai jenis konflik internal dengan berbagai sebutan, seperti : international armed conflict, internal conflict of an armed character, internationalized-internal conflict, internal strife accompanied by violence, internal tensions not accompanied by violence, dan lain-lain).[6]

c). Adakah jaminan bahwa pemberontak mematuhi Protokol ? dan Bagaimana bila mereka tidak mentaati ?Dalam Commentary, disebutkan pula mengenai persoalan ini; yaitu :[7]“… the commitment made by a State not only applies to the government but also to any established authorities and private individuals within the national territory of that State, and certain obligations are therefore imposed on them. The extent of rights and duties of private individuals is therefore the same as that of the rights and duties of the State.If an insurgent party applies article 3 so much the better for the victims of the conflict. No one will complain. If it does not apply it, it will prove that those who regard its (the insurgent’s) action as mere acts of anarchy or brigandage are right”.Dengan demikian, maka persoalan hukum di atas telah terjawab; yaitu : bahwa kelompok pemberontak sebagai warga negara dari negara yang bersangkutan turut mengemban hak dan kewajiban yang sama sebagaimana hak dan kewajiban yang diberikan kepada negara yang terlibat dalam konflik tersebut.

Sedangkan apabila pihak pemberontak tidak mau mentaati ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa maupun dalam Protokol, maka hal itu akan merugikan mereka sendiri, karena dengan demikian status mereka adalah sebagai penjahat biasa.***

Page 23: Bom Fosfor

Sumber :

[1] Yves Sandoz, Ch. Swinarski & Bruno Zimmermann (eds), Commentary to the Additional Protocols of 8 June1977 to the Geneva Conventions of 12 August 1949, ICRC, Martinus Nijhoff Publishers, Geneva, 1987, hal. 1350.

[2] Joële Nguyên Duy-Tân, “The Law Applicable to Non-International Armed Conflicts”, dalam Mohammed Bedjaoui (ed), International Law : Achievements and Prospects, UNESCO, France, 1991, pp. 795-796.

[3] Lihat GPH. Haryomataram, op.cit., p. 18.

[4] Alberto Muyot, The Humanitarian Law on Non-International Armed Conflicts : Common Article 3 and Protocol II, 1994, p. 57 dalam ibid., p. 18

[5] Fritz Kalshoven, Constraint on the Waging of War, ICRC, Second Edition, May 1991, hal. 138.

[6] Theodor Meron, Human Right in Internal Strife : Their International Protection, dalam GPH. Haryomataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter, Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988, hal. 20.

[7] Yves Sandoz, Ch. Swinarski & Bruno Zimmermann (eds), op.cit., hal. 21.

Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 157-160.

About these ads

Bom Fosfor atau nama kerennya sering di sebut WP (White Phosphorus) atau lebih keren lagi disebut Willy Pete. Tujuan utama penggunaan WP ini adalah sebagai tanda bagi pasukan dimalam hari dan untuk tujuan pembakaran atau bom. 

Penggunaannya memang boleh didalam perang tetapi menjadi terlarang jika digunakan di kawasan penduduk atau daerah yang banyak penduduk sipil.

Penggunaan WP sudah dilakukan sejak Perang Dunia I. WP yang banyak digunakan dalam militer adalah pyrophoric material yang bersifat mudah terbakar secara spontan, dan sangat aktif mudah bereaksi dengan oksigen.

Page 24: Bom Fosfor

Saat bersentuhan dengan udara terbuka WP akan menyala dan beroksidasi menjadi phosphorus pentoxide. Panas yang dihasilkan akibat reaksi ini meledak menjadi nyala api kuning dan menghasilkan asap putih yang tebal.

Fosfor merupakan sebuah unsur yang berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “phosphoros “. Ditemukan pada tahun 1669, ada dalam bentuk allotropic berwarna putih (atau kuning), merah, dan hitam (atau violet).

Biasanya fosfor dijumpai dalam bentuk lilin putih yang padat, dalam bentuk aslinya fosfor tidak berwarna dan transparant.

Page 25: Bom Fosfor

Fosfor tidak pernah ditemukan secara bebas di alam. Fosfor biasanya terkandung dengan kombinasi mineral. Sumber dari WP ini adalah batu fosfor yang banyak ditemukan di Rusia, Maroko, Florida, Utah, Idaho, Tennessee.

Akibat yang DitimbulkannyaWP jika mengenai manusia menyebakan luka bakar yang dalam dan menyakitkan, luka bakar yang dihasilkan bisa sampai menembus tulang.

Ciri-ciri luka bakar yang dihasilkan tampak pada bagian necrotic dengan warna kekuning-kuningan dan bau seperti bawang putih. Banyak yang meyakini bahwa luka bakar akibat WP ini memakan waktu lama untuk disembuhkan.

Page 26: Bom Fosfor

Sifatnya yang terbakar karena bersentuhan dengan udara terbuka, membuat terbakarnya kulit menjadi lama karena selama WP masih kontak dengan udara dia akan terus terbakar sampai materialnya benar-benar habis terbakar.

Beberapa Fakta tentang Bom Fosfor / WP :

Fosfor putih bisa mengakibatkan kepulan asap kimia yang dapat membakar kulit hingga ke tulang.

Bahan kimia ini bereaksi cepat ketika terpapar oksigen dengan memercik dalam api jingga tua.

Dalam perang, materi ini sering digunakan sebagai kepulan asap penghalau pandangan, namun dapat juga digunakan sebagai pembakar yang mengakibatkan luka fatal.

Luka bakar akibat fosfor selalu pada stadium dua atau tiga karena partikel tersebut tetap tidak berhenti terbakar dan menyala meski telah kontak dengan kulit, hingga benar-benar habis. Itu kadang tidak disadari hingga akhirnya luka telah mencapai tulang.