Blue Print NTDS - Pertanian
Transcript of Blue Print NTDS - Pertanian
PERATURAN MENTERI PERTANIAN
No. 18/ Permentan/OT.140/2/2010
Tentang
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR :18/ Permentan/OT.140/2/2010
TENTANG
BLUE PRINT PENINGKATAN NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING PRODUK PERTANIAN DENGAN
PEMBERIAN INSENTIF BAGI TUMBUHNYA INDUSTRI PERDESAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERTANIAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian sesuai karakteristik keinginan konsumen di pasar domestik dan/atau ekspor, perlu upaya secara sistematis dan terintegrasi;
b. bahwa nilai tambah dan daya saing produk pertanian saat ini masih rendah karena keterbatasan skala teknis dan ekonomis;
c. bahwa untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian dilakukan melalui penumbuhan agroindustri perdesaan yang disusun berdasarkan komoditas strategis;
d. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas, perlu menetapkan Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian dengan Pemberian Insentif bagi Tumbuhnya Industri Perdesaan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);
3. Undang-Undan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);
4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4043);
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4411);
6. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4660);
7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5015);
8. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5068);
9. Peraturan Pemerintah RI Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan Pembinaan dan Pengembangan Industri;
10. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Republik Indonesia;
11. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
12. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
13. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Pertanian juncto
Peraturan Menteri Pertanian Nomor
11/Permentan/OT.140/2/200;
14. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan
Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Pertanian juncto Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 12/Permentan/OT.140/2007
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG BLUE PRINT PENINGKATAN NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING PRODUK PERTANIAN DENGAN PEMBERIAN INSENTIF BAGI TUMBUHNYA INDUSTRI PEDESAAN.
Pasal 1
(1) Menetapkan Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan, seperti tercantum pada Lampiran sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri Pertanian ini.
(2) Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai acuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melakukan perencanaan, penyelenggaraan, evaluasi, pengendalian dan Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian Dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan.
Pasal 2
(1) Pelaksanaan dalam perumusan peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian dengan pemberian insentif bagi tumbuhnya industri pedesaan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal, Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
(2) Perumusan Peningkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berkoordinasi dengan instansi terkait.
(3) Evaluasi dan pengendalian Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian Dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan instansi terkait.
Pasal 3
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Februari 2010 MENTERI PERTANIAN, SUSWONO
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertanian masih merupakan sektor penting dalam perekonomian
Indonesia. Sektor pertanian telah berperan besar dalam
pembentukan PDB Nasional hingga mencapai 13-14 %. Sektor
agribisnis (pertanian serta industri dan jasa pertanian)
menyumbangkan sekitar 45% dari total nilai tambah, menyerap
75% tenaga kerja, penyedia pangan, dan tempat bergantung
sebagian besar penduduk perdesaan. Peran ini akan bertambah
di masa yang akan datang dengan berkembangnya teknologi
dan berkurangnya sumberdaya tak terbarukan, yakni pertanian
menjadi tumpuan untuk penyediaan pangan yang makin
beragam (food), pakan yang semakin bertambah (feed), dan
energi alternatif (fuel).
Keadaan pertanian saat ini masih belum mampu menopang
semua peran tersebut dengan baik. Pendapatan petani sebagai
pelaku terdepan masih sangat rendah karena sebagian besar
usaha tani berskala kecil. Petani mempunyai banyak
keterbatasan modal, teknologi sederhana, akses pembiayaan,
dan gangguan iklim yang semakin tidak menentu. Akibatnya
produktivitas masih relatif rendah, kualitas komoditi belum baik,
dan harga pokok masih tinggi. Situasi ini menjadikan komoditas
pertanian Indonesia kalah bersaing dengan komoditas dari
negara lain.
LAMPIRAN: PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR : 18/ Permentan/OT.140/2/2010
TANGGAL : 5 Februari 2010
2
Dalam situasi seperti itu, pembangunan pertanian tetap penting
dari keseluruhan pembangunan ekonomi. Beberapa
pertimbangan adalah: (i) potensi sumberdaya yang besar dan
beragam, (ii) berpotensi besar sebagai penyumbang terhadap
pendapatan nasional, (iii) banyaknya penduduk yang
bergantung pada sektor ini, dan (iv) peluang pasar yang masih
terbuka dan berkembang. Arah pembangunan pertanian
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (petani)
melalui pemanfaatan secara optimal sumberdaya pertanian
dan nilai komoditas. Dengan demikian, keterpaduan hulu-hilir
menjadi pilihan arah yang dapat memberdayakan pertanian
secara ekonomi, sosial dan lingkungan.
Selain situasi dan kondisi tersebut, pembangunan pertanian
dihadapkan pada perdagangan dunia yang semakin bebas.
Komoditas dan produk pertanian harus mampu bersaing di pasar
domestik (dengan impor) dan di pasar internasional (dengan
produk yang berasal dari negara lain). Kemampuan bersaing
produk harus dipahami sebagai output dari sinergi komponen
sistem pertanian secara menyeluruh dari sektor hulu hingga hilir.
Pada tingkat yang lebih maju, dayasaing negara bergantung
dari kapasitas berinovasi dan berkembang dari industri negara
tersebut.
Perdagangan internasional yang mendorong terjadinya
globalisasi ditandai dengan semakin berkembangnya sistem
inovasi teknologi informasi, perdagangan, reformasi politik,
transnasionalisasi sistem keuangan, dan investasi. Indonesia
mengikuti arus perdagangan bebas internasional dengan
menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) yang menghasilkan pembentukan World Trade
Organization (WTO) dan deklarasi Asia Pasific Economic
Cooperation (APEC) tentang sistem perdagangan bebas dan
investasi yang berlaku penuh
3
pada tahun 2010 untuk negara maju dan tahun 2020 bagi
negara berkembang. Tidak kalah pentingnya, Indonesia
bersama-sama negara di lingkungan ASEAN lainnya telah
sepakat membentuk perdagangan bebas ASEAN, yaitu ASEAN
Free Trade Area (AFTA) yang sudah mulai diberlakukan pada
tahun 2002, terakhir berkembang China-AFTA mulai tahun 2010.
Melalui berbagai kesepakatan internasional tersebut, pasar bagi
produk Indonesia sudah dan akan menghadapi persaingan
yang semakin ketat, baik dalam perdagangan domestik
maupun internasional serta dalam upaya menarik investasi
multinasional. Keterbukaan pasar Internasional harus
dimanfaatkan melalui persaingan global. Sebaliknya, upaya
yang kurang sungguh-sungguh akan menjadikan Indonesia
sebagai pasar produk dunia. Saat ini, sebagian besar ekspor
berupa produk primer (bahan baku). Potensi nilai tambah yang
terdapat di dalamnya justru dimanfaatkan oleh negara lain yang
kemudian sebagian dibayar kembali melalui impor.
Pelaku usaha agribisnis Indonesia dalam pasar internasional pasti
akan menghadapi pembeli besar berupa importir atau industri
pengolahan lanjutan. Dalam situasi tersebut, Indonesia berada
pada posisi yang lemah karena besarnya volume pembelian
yang dilakukan oleh pasar industri dan sedikitnya jumlah
pembeli. Kelemahan ini semakin menumpuk karena adanya
kecenderungan atas homogenitas produk dengan negara lain.
Publikasi The Global Competitiveness Report yang diterbitkan
oleh World Economic Forum pada tahun 2009 menunjukkan
dayasaing Indonesia dalam persaingan global berada di urutan
ke–54 dari 134 negara.
4
Banyak upaya pemenangan persaingan internasional yang
dapat dilakukan, diantaranya adalah peningkatan nilai tambah,
dayasaing, dan ekspor. Hal ini sesuai dengan Visi pertanian tahun
2010 – 2014 adalah “Pertanian industrial unggul berkelanjutan
yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan
kemandirian pangan, nilai tambah, ekspor dan kesejahteraan
petani”. Salah satu misi dari pertanian adalah “Menjadikan
petani yang kreatif, inovatif, dan mandiri, serta mampu
memanfaatkan iptek dan sumberdaya lokal untuk menghasilkan
produk pertanian berdayasaing tinggi”.
Sektor pertanian berada dalam dinamika perubahan lingkungan
strategis internasional menuju persaingan pasar yang semakin
kompetitif. Dengan diratifikasinya beberapa kesepakatan
internasional, telah memaksa setiap negara membuka segala
rintangan perdagangan dan investasi serta membuka ekspor-
impor seluas-luasnya. Hal tersebut akan mendorong persaingan
pasar yang semakin ketat karena terjadinya integrasi pasar
regional/internasional terhadap pasar domestik.
Praktek perdagangan bebas yang cenderung menghilangkan
perlakuan non tariff barier telah berdampak besar terhadap
sektor pertanian Indonesia, baik ditingkat mikro (usahatani) dan
makro (nasional – kebijakan). Di tingkat mikro, liberalisasi
perdagangan ini sangat terkait dengan efisiensi, produktifitas
dan skala usaha. Pada tingkat makro, kebijakan pemerintah
sangat diperlukan untuk “melindungi” petani produsen dan
masyarakat konsumen. Pada kenyataannya kelompok negara
maju lebih berhasil dalam mengamankan petaninya agar tetap
bergairah berproduksi, sementara negara-negara berkembang
relatif kurang berhasil memproteksi petani produsen dan
masayarakat konsumen.
5
Tantangan ke depan yang harus dihadapi adalah meningkatkan
dayasaing komoditas pertanian dengan karakteristik yang sesuai
keinginan konsumen dan memenangi persaingan, baik pasar
domestik, maupun pasar ekspor. Pengembangan dayasaing dan
ekspansi pasar komoditas ekspor tradisional harus lebih
ditingkatkan, terutama pengembangan produk olahan. Di
samping itu, pengembangan komoditas dan produk baru yang
memiliki permintaan pasar yang tinggi juga harus dirintis
Pendekatan pull dan push dapat dijadikan pijakan sebagai
penghela berkembangnya agroindustri perdesaan yang
berorientasi produk (Gambar 1). Pengembangan agroindustri
perdesaan yang berbasis produk dihela dengan tarikan pasar
(pull system) yang berupa peluang pasar yang tinggi mencakup
ekspor dan domestik, ketersediaan infrastruktur dan
kelembagaan pemasaran yang didukung dengan market
intelligent. Sementara sebagai sitem pendorongnya (push
system) adalah kesiapan hulu (kebijakan dan input). Penentuan
produk harus dilakukan secara matang dengan mengacu pada
skala prioritas utama komoditas yang mencakup komoditas
pangan strategis sebagai penopang kemandirian pangan.
1.2. Tujuan dan Outcomes
Tujuan disusunnya konsep peningkatan dayasaing dan nilai
tambah produk dengan pemberian insentif bagi tumbuhnya
industri perdesaan adalah sebagai rancangan acuan
pembangunan pertanian setidaknya dalam kurun waktu lima
tahun ke depan. Capaian yang akan menjadi ukuran adalah
terjadinya peningkatan ekspor, tumbuhnya industri dan
penggunaan produk untuk substitusi impor, serta meningkatnya
konsumsi produk di dalam negeri.
6
•• P rodukP roduk segarsegar & & olahanolahan
•• UntukUntuk K ebutuhanK ebutuhan DomestikDomestik, ,
S ubstitus iS ubstitus i ImporImpor, , E ksporE kspor..
•• P unyaP unya multiplier effectmultiplier effect tinggitinggi
PUL LPUL L
((tarikantarikan pasarpas ar))
PUS HPUS H
((kes iapankes iapan huluhulu & &
on farm)on farm)
PRODUKPRODUK
((ag roindus triag roindus tri
pedes aanpedes aan))
•• S NIS NI
•• S ertifikas iS ertifikas i
•• DukunganDukungan perbenihanperbenihan
•• DukunganDukungan onon--farm farm
((kuantitaskuantitas , , kualitaskualitas , ,
kontinyuitaskontinyuitas ))
•• P eluangP eluang pasarpasar tinggitinggi..
•• K etersediaanK etersediaan infrastrukturinfras truktur & &
kelembagaankelembagaan pemasaranpemasaran..
•• DukunganDukungan market intelligent market intelligent
& & pemasaranpemasaran yang yang kuatkuat
PUL LPUL L
((tarikantarikan pasarpas ar))
PUS HPUS H
((kes iapankes iapan huluhulu & &
on farm)on farm)
PRODUKPRODUK
((ag roindus triag roindus tri
pedes aanpedes aan))
•• S NIS NI
•• S ertifikas iS ertifikas i
•• DukunganDukungan perbenihanperbenihan
•• DukunganDukungan onon--farm farm
((kuantitaskuantitas , , kualitaskualitas , ,
kontinyuitaskontinyuitas ))
•• P eluangP eluang pasarpasar tinggitinggi..
•• K etersediaanK etersediaan infrastrukturinfras truktur & &
kelembagaankelembagaan pemasaranpemasaran..
•• DukunganDukungan market intelligent market intelligent
& & pemasaranpemasaran yang yang kuatkuat
Gambar 1. Konsep push and pull systems Untuk Industri Perdesaan
1.3. Ruang Lingkup
Cakupan dari Blue Print ini adalah arah dan tujuan
pembangunan pertanian secara umum dalam perspektif lintas
sektor dengan konsentrasi pada pembentukan nilai tambah dan
dayasaing produk. Keberhasilan pertanian sangat ditentukan
oleh dukungan sektor lain dan dinamika lingkungan
perdagangan internasional. Oleh karena itu, program
pembangunan yang terkait dengan pembentukan nilai tambah
dan dayasaing dirinci menjadi program aksi. Selebihnya, akan
dikelompokkan dalam program penguat/penunjang yang
menjadi kewenangan instansi lain.
1.4. Metodologi
Sistematika Blue print diawali dari pemahaman kondisi sekarang,
menetapkan arah masa depan yang akan dituju, memahami
situasi internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal
(peluang dan ancaman). Pemahaman ini melahirkan strategi
umum yang menjadi panduan dan melahirkan kebijakan yang
diperlukan. Mengacu pada kebijakan, disusun program aksi dan
rencana implementasi dengan target yang ingin dicapai.
7
Verifikasi pemikiran dilakukan melalui pembahasan di tingkat
Direktorat Jendral dengan masukan dari pejabat esilon I
Kementerian Pertanian. Pendalaman dilakukan melalui
”sosialisasi” ke beberapa Perguruan Tinggi. Dengan demikian,
dokumen ini diharapkan telah mendapatkan justifikasi akademis.
Bentuk insentif yang dicakup adalah pengadaan dan bantuan
alat dan mesin pengolahan hilir, dukungan pembiayaan,
perluasan pasar dan kebijakan pendukung lainnya (pajak impor
dan ekspor, skema pembiayaan khusus pertanian).
Blue print ini berbasis komoditas. Pemilihan jenis komoditas ini
diharapkan dapat mewakili dari kelompok komoditi yang ada,
mempunyai potensi untuk peningkatan dayasaing dan nilai
tambah yang tinggi serta mempunyai multiplier effect yang luas
terhadap peningkatan industri perdesaan. Kementerian
Pertanian, melalui rangkaian kajian dan diskusi menetapkan
komoditas berikut sebagai prioritas:
a. Pangan utama yang meliputi beras, jagung, kedelai, daging
sapi.
b. Andalan ekspor yang meliputi sawit, karet, kakao dan
daging ayam.
c. Emerging products yang mempunyai peluang pasar yang
luas baik internasional maupun domestik seperti buah tropika
(mangga, manggis, salak dan pisang),biofarmaka, tanaman
hias daun dan minyak atsiri.
d. Substitusi impor seperti susu, tepung lokal (cassava dan sagu)
serta jeruk.
8
2. KONSEP DAYASAING DAN NILAI TAMBAH
KOMODITAS PERTANIAN
2.1. Dayasaing Produk dan Nilai Tambah
Dayasaing menggambarkan kemampuan bersaing di masa lalu,
masa kini, dan dapat diproyeksikan ke masa depan. Dayasaing
bersifat dinamis dan akan mengalami fluktuasi dari waktu ke
waktu bergantung pada tingkat kompetisi, perubahan perilaku
permintaan, dan kemampuan dasar industri. Dayasaing produk
dicapai melalui konversi keunggulan komparatif menjadi
kenggulan kompetitif dengan penerapan teknologi,
pengelolaan dan pengembangan pasar dari produk tersebut
terhadap jenis produk yang sama. Keunggulan kompetitif ini
berkaitan dengan upaya peningkatan nilai tambah yang
membentuk dayasaing. Banyak faktor mempengaruhi dayasaing
produk (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Faktor yang Mempengaruhi Dayasaing
9
Konsep keunggulan kompetitif adalah suatu cara yang dilakukan
oleh perusahaan untuk memperkuat posisinya dalam
menghadapi pesaing dan mampu menunjukkan perbedaan-
perbedaan dengan lainnya. Dalam konteks komoditas
pertanian, semua faktor (Gambar 2.1) berpengaruh secara
langsung. Indonesia mempunyai sumberdaya alam yang unggul
dibandingkan banyak negara lain di dunia. Keunggulan ini
sangat nyata bila difokuskan pada pertanian tropis (tropical
agriculture) dengan karakteristik dan faktor non-harga yang
kuat.
Dalam faktor yang lain, Indonesia masih perlu melakukan upaya
yang sungguh-sungguh untuk membentuk dayasaing. Fokus
upaya adalah mengembangkan dan menerapkan teknologi
yang dapat menekan biaya (cost reducing technology) dan
memperbaiki mutu (quality enhancement technology). Dalam
jangka pendek, orientasi pada skala kecil dan infrastruktur
terbatas.
Pengelolaan dan pengembangan SDM berbasis usaha kecil
dengan arah peningkatan skala menjadi keharusan dam jangka
pendek dan menengah. Dayasaing harus dibangun dari
perbaikan efisiensi pengelolaan sehingga kualitas SDM menjadi
fakror penentu.
Faktor yang sepenuhnya dapat dikelola dengan baik adalah
kebijakan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, kebijakan
yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi sektor pertanian
harus segera dikeluarkan. Sebaliknya, kebijakan yang
menghambat, secara bertahap dikurangi sehingga perbaikan
dayasaing menjadi arus utama pembangunan pertanian.
Infrastruktur menentukan dayasaing karena terkait dengan
produktivitas serta efisiensi pengadaan faktor produksi dan
distribusi produk. Pada giliranya menjadi faktor penentu harga
pokok produksi, ketetapatan waktu dan mutu produk.
10
Oleh karena itu, upaya perbaikan dayasaing tidak terlepas dari
pengadaan dan pengembangan infrastruktur pendukung dan
terkait dengan semua aspek produksi pertanian.
Strategi perusahaan dan struktur industri pendukung meskipun
terkait langsung dengan dayasaing komoditas pertanian, tidak
menjadi faktor penentu inti dalam pembangunan pertanian
Indonesia. Nilai tambah akan menjadi bagian tersendiri yang
tidak ditempatkan sebagai faktor tetapi lebih dari itu sebagai
program penguat pembangunan pertanian.
Nilai tambah dapat diartikan dari berbagai perspektif. Dari
perspektif komoditas atau produk adalah nilai yang diberikan
(attributed) kepada produk sebagai hasil dari proses tertentu
(proses produksi, penyimpanan, pengangkutan). Oleh karena itu,
nilai yang terbentuk tergantung pada banyaknya tahapan
pengolahan yang dilakukan. Secara teoritis, semakin ke hilir
penerapan proses akan semakin besar nilai tambah yang
dibentuk.
Nilai bagi konsumen (customer value) adalah perpaduan dari
faktor dayasaing yang berpadu dengan nilai tambah sehingga
dapat ditingkatkan melalui tiga cara, yaitu kegiatan-kegiatan
yang mampu menciptakan: keunggulan bersaing (competitive
advantage), menekan biaya proses, atau mempercepat proses
penyediaan produk ke tangan konsumen. Peningkatan
dayasaing ini dapat diperoleh dengan menerapkan cara-cara
baru dalam melakukan kegiatan, menerapkan prosedur dan
teknologi baru, atau menggunakan masukan (input) yang
berbeda.
Disisi lain, peningkatan dayasaing produk melalui peningkatan
nilai tambah harus memberikan multiplier effect yang tinggi
seperti yang digambarkan pada Gambar 2.1.
11
Sasaran program penguatan dayasaing ini diarahkan untuk
memperkuat dan menumbuhkembangkan industri perdesaan
dengan multiplier effect yang tinggi karena sebagian besar
penduduk ada di area perdesaan dan relatif dari sisi ekonomi
masih lemah. Diharapkan melalui industri perdesaan akan
tercipta lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan
perekonomian perdesaaan.
2.2. Konsep Peningkatan Dayasaing dan Nilai Tambah Produk
Peningkatan dayasaing dan nilai tambah melalui industri
perdesaan harus melalui perumusan yang komprehensif yang
melibatkan lintas sektoral yang mencakup hulu hilir sehingga
program yang dikembangkan dapat saling menunjang satu
sama lain. Dengan memperhatikan push and pull factors (faktor
pendorong dan penarik) dirumuskan insentif yang dapat
diberikan dalam aspek kebijakan dan operasional untuk
menciptakan iklim tumbuhnya industri yang kondusif, modal,
dukungan infrastruktur, penerapan teknologi, peningkatan SDM
serta fasilitasi pemasaran produk. Peningkatan nilai tambah
dapat difokuskan pada produk strategis dalam rantai nilai
dengan mempertimbangkan skala prioritas.
Penentuan skala prioritas ini mengacu pada kondisi terkini,
permasalahan yang ada, dan peluang ke depan yang dapat
ditentukan melalui analisis SWOT. Proses penyusunan program
aksi mengikuti tahap tertentu (Gambar 2.2).
Besarnya nilai-tambah yang ditimbulkan dari proses pengolahan
dihitung dari nilai produk yang dihasilkan dikurangi biaya bahan
baku dan input lainnya. Proses ini ditempuh melalui proses
produksi, distribusi, transportasi dan pemasaran. Tingkat
keuntungan diperoleh dari kelebihan yang didapat setelah
harga dikurangi dengan keseluruhan biaya yang keluar selama
proses pengadaan produk,
sehingga keunggulan bersaing diperoleh jika keseluruhan proses
dapat menghasilkan nilai konsumen yang sama dengan atau
lebih rendah dari biaya atau penerapan cara yang
12
Input L ing kungan
SWO T Vis i, Mis i
Pemba ngunan
Harapan
Ma sa
Depan
Sasa ran
-Daya s aing
-Nila i tambah
-Rantai n ilai
Indikator
capaian
Penyusunan
strategi
Identifikasi
masalah
Kondi si
terkin i
•Insentif
•Kebijakan
•Pembiayaan
•Input p ertanian
•SD M
•infrastrukr
P rogram/
pro gram a ks i
menghasilkan nilai konsumen yang lebih besar. Analisis rantai-nilai
dapat menghitung kontribusi nilai-tambah dari setiap aktivitas
dalam proses pengolahan suatu produk, sehingga dapat
digunakan untuk menghitung besarnya nilai yang layak diterima
oleh masing-masing pelaku dalam suatu sistem komoditi. Analisis
nilai tambah bermanfaat untuk memperoleh informasi mengenai
faktor-faktor yang menaikkan nilai tambah atau sebaliknya.
Strategi pengembangan industri perdesaan didasarkan pada
hasil analisis SWOT. Berdasarkan strategi tersebut selanjutnya
disusun strategi umum pengembangan produk yang dipilih.
Peran dari masing-masing sektoral untuk masing-masing produk
yang dikembangkan diidentifikasi melalui mapping program
lintas sektoral yang ada di Departemen terkait. Selanjutnya
strategi operasional pengembangan produk dirumuskan
berdasarkan pada strategi masing-masing produk dan
dijabarkan dalam rencana aksi yang disusun berdasarkan jangka
panjang, menengah dan pendek selama lima tahun (2010-2014).
Gambar 2.2. Konsep Peningkatan Daya Saing dan Nilai Tambah
13
3. KEADAAN DAN PERMASALAHAN PERTANIAN INDONESIA
3.1. Keadaan Pertanian Indonesia
Pertanian Indonesia masih berperan sebagai salah satu sektor
ekonomi yang sangat penting dalam penyerapan tenaga kerja,
pembentuk pendapatan, produksi pangan, perolehan devisa,
penghasil bahan baku dan penggerak kehidupan sosial.
Perjalanan panjang pembangunan pertanian belum menggeser
dan atau memperbaiki peran tersebut secara signifikan,
sehingga capaiannya masih belum optimal. Situasi masa lalu
masih mewarnai wajah pertanian yakni lahan sempit tidak
memenuhi skala ekonomis atau teknis, lahan kering, irigasi
terbatas, jalan pertanian belum memadai, penerapan teknologi
belum memadai, sumberdaya modal terbatas, dan jangkauan
pasar yang terbatas.
Situasi tersebut menyebabkan pertanian terpusat pada kegiatan
hulu dengan dayasaing komoditas relatif rendah. Keterbatasan
skala teknis menghambat penerapan teknologi (khususnya cost
reducing technology) menyebabkan biaya produksi menjadi
lebih mahal. Keterbatasan skala ekonomis menyebabkan
pengelolaan bersifat subsisten yang berorientasi pada
pemenuhuan kebutuhan lokal dan sesaat sehingga tidak
bersaing. Hal inilah menjadi potret umum pertanian Indonesia
yakni menghasilkan bahan baku dengan dayasaing rendah
(mutu rendah dan biaya tinggi).
Kondisi subsisten tersebut dibebani dengan “keharusan”
menampung tambahan angkatan kerja secara berlebih
sehingga terjadi fraksinasi usaha tani menjadi lebih tidak efisien
dan membelenggu (buruh) petani dalam lingkaran kemiskinan.
Hal ini terjadi karena pertumbuhan sektor hilir pertanian relatif
lamban sehingga surplus tenaga kerja pertanian menjadi beban
yang menyebabkan disefisiensi teknis dan ekonomis dalam
produksi hulu pertanian.
14
Lahan pertanian semakin tertekan oleh kegiatan ekonomi
lainnya menyebabkan terjadi konversi pada laju yang
menghawatirkan. Selain itu, praktek pertanian yang “memaksa”
produktivitas tinggi dengan asupan pupuk kimia dan pestisida
telah menurunkan kesuburan tanah secara nyata.
Kecenderungan ini memaksa upaya (input) yang lebih besar
untuk menghindari laju penurunan produktivitas yang semakin
cepat. Sebaliknya, pemanfaatan lahan tidur dan tidak produktif
masih belum optimal.
Upaya peningkatan produktivitas dan perluasan lahan beririgasi
semakin sulit karena perubahan iklim yang semakin tidak
menentu. Kekeringan dan banjir menjadi fenomena yang sangat
sering mengganggu produksi pertanian. Kelangkaan air akan
menjadi faktor pembatas program intensifikasi dan ekstensifikasi
di masa mendatang. Pemanfaatan air semakin kompetitif dan
tidak mustahil menjadi faktor produksi yang mahal.
Penerapan teknologi budidaya masih belum optimal dan belum
merata. Penggunaan benih unggul yang belum merata menjadi
faktor pembeda penerapan teknologi. Keberlanjutan program
penyeragaman benih, di satu sisi diharapkan mampu
memperbaiki kinerja pertanian, tetapi di sisi yang lain
menimbulkan kekhawatiran kerentanan terhadap gangguan
hama dan persoalan lingkungan.
Persoalan hilir yang belum menyatu dengan hulu membentuk
situasi yang tidak menguntungkan dalam pasar dan tataniaga.
Hal inilah yang menyebabkan rendahnya nilai tukar dan
dayasaing produk pertanian. Sistem informasi pasar dalam arti
luas belum berkembang dan terpadu dengan rencana produksi
pertanian. Aktivitas pertanian di hulu tidak secara langsung dan
terencana terkait dengan kegiatan di hilir (permintaan,
pengolahan dan pemasaran).
15
Kesenjangan hulu-hilir manjadikan pertanian sebagai kegiatan
ekonomi yang tidak berbasis pada distribusi marjin yang adil dan
perolehan nilai tambah yang optimal.
Pelaku pertanian (petani, buruh tani, dan pelaku lainnya) belum
bekerja sesuai dengan tuntutan persaingan yang ketat. Kualitas
SDM yang relatif rendah menghambat pertumbuhan sektor
pertanian yang berdayasaing dan berkontribusi dalam
perolehan nilai tambah (ekonomi). Revolusi pertanian hampir
tidak terjadi selama kurun waktu pembangunan yang telah
dijalani karena SDM-nya belum mampu menjadi penggerak
yang tidak memenuhi kebutuhan.
Pertanian sebagai obyek pembangunan melibatkan banyak
pemangku kepentingan baik pelaku langsung maupun
pengambil kebijakan dan layanan pendukung. Pada tataran
kebijakan belum terpadu dan serasi antar pembuatan kebijakan
baik di hulu (Badan Pertanahan Nasional, Departemen Pekerjaan
Umum, Departemen Keuangan), dalam produksi (Departemen
Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Daerah), dan
di hlir (Departemen Perindustrian dan Departemen
Perdagangan). Pemaduserasian kebijakan menjadi bagian
penting dari pembangunan pertanian masa datang.
16
3.2. Permasalahan Pertanian Indonesia
3.2.1. Skala Teknis dan Ekonomis
Skala teknis adalah ukuran dan keadaan lahan pertanian
sehingga memungkinkan penerapan teknologi dan
penggunaan alat-mesin pengolahan lahan, budidaya dan
penanganan pasca panen. Ukuran petakan sawah dan kebun
yang kecil serta kemiringan yang curam tidak memungkinkan
penerapan teknonologi secara optimal. Skala ekonomis adalah
luasan pengusahaan lahan sehingga diperoleh penerimaan
(ekonomis) yang melebihi biaya dan kebutuhan petani secara
wajar. Lahan yang kecil tidak memungkinkan petani
memperoleh hasil yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga
usahataninya tidak dapat mensejahterakan. Rataan pemilikan
lahan petani di pedesaan sebesar 0,41 ha dan 0.96 ha masing-
masing di Jawa dan Luar Jawa.
Dalam perspektif dayasaing, skala kecil menyebabkan:
a) Tidak efisien: pengadaan dan penggunaan input,
pengelolaan usaha serta penanganan dan pemasaran hasil
dilakukan dengan korbanan yang besar. Akibatnya “biaya”
yang digunakan melebihi kewajaran membentuk harga
pokok produksi menjadi sangat tinggi sehingga tidak dapat
bersaing.
b) Pemaksaan produktivitas: Dalam skala yang kecil,
pendapatan hanya dapat ditingkatkan dengan
memaksimumkan penggunaan lahan yang dimiliki.
Penggunaan yang berlebih (over exploitation) menguras
kesuburan tanah, menggunakan air secara “berlebih” dan
menghilangkan keragaman hayati. Dalam jangka panjang
akan terjadi kerusakan lahan yang berakibat pada
penurunan produktivitas normal.
17
c) Penerapan teknologi dan mekanisasi terbatas: alat dan
mesin pertanian mempunyai kelayakan skala minimum, jika
lebih kecil menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Lahan yang
kecil menyebabkan penerapan mekanisasi menjadi sangat
terbatas.
d) Penyebab kemiskinan: penghasilan adalah faktor utama
pembentuk kesejahteraan. Bagi petani, penghasilan
berbanding lurus dengan produksi yang merupakan
pengalian produktivitas dengan luas. Dengan demikian, luas
adalah faktor penentu yang dalam banyak aspek tidak
dapat dikendalikan oleh petani.
e) Tidak terorganisir: skala kecil tidak dapat berdiri sendiri untuk
memperbaiki efisiensi. Dalam perspektif ekonomi, kecuali
ada kekhasan, skala kecil lemah dalam pengelolaan usaha
(pengadaan sarana produksi sampai dengan pemasaran).
Hal ini menyebabkan lemahnya kelembagaan dan posisi
tawar petani yang berakibat pada panjangnya tataniaga
dan belum adilnya sistem pemasaran.
f) Tidak kompetitif: skala kecil merupakan kumpulan
karakteristik penyebab inefisiensi. Di hulu berhadapan
dengan biaya produksi, di tengah bertemu dengan skala
ekonomis dan di hilir dihadang persoalan volume, mutu dan
kesinambungan. Semua ini berakhir pada dayasaing yang
lemah.
3.2.2. Alih Fungsi Lahan
Lahan yang baik untuk pertanian adalah tanah subur, topografi
relatif rata, iklim menunjang, dan infrastruktur memadai.
Pembangunan perkotaan, pertambahan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi menyebabkan permintaan terhadap
lahan meningkat cepat.
18
Sektor non-pertanian yang membutuhkan banyak lahan adalah
permukiman (settlement), industri, perdagangan, jalan,
perhotelan dan perkantoran. Semua sektor ini dapat
memberikan penerimaan yang lebih baik terhadap nilai lahan
dibandingkan pertanian. Oleh karena itu, laju konversi lahan
pertanian menjadi penggunaan tersebut semakin meningkat.
Akibatnya, lahan (subur) pertanian berkurang dengan
berjalannya waktu. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa
besaran laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke non
sawah sebesar 187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi
ke non pertanian sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi ke
pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun. Demikian juga
dengan alih fungsi lahan kering pertanian ke non pertanian
sebesar 9.152 ha per tahun.
3.2.3. Perdagangan
Perdagangan produk pertanian sebagian besar dalam bentuk
primer dengan rantai tataniaga panjang. Situasi seperti ini
menyebabkan petani tidak memperoleh nilai produk yang
terkandung dalam komoditas sehingga distribusi marjin tidak
wajar dan nilai tambah tidak optimal. Dalam jangka panjang,
selain petani tidak memperoleh pendapatan yang wajar juga
mengurangi minat mereka untuk mengambangkan
usahataninya.
3.2.4. Produk Pertanian
Produk pertanian Indonesia sangat beragam sehingga, dalam
banyak kasus, tidak memenuhi skala minimum perdagangan.
Lebih dari itu, mutu rendah dan kesinambungan tidak terjamin
menyebabkan produk tersebut bukan menjadi pilihan utama
konsumen dan sulit diharapkan menjadi bahan baku industri
pengolahan.
19
3.2.5. Fluktuasi Harga
Fluktuasi produksi dan harga terutama terjadi pada panen raya.
Harga turun (drastis) pada saat produksi tinggi sehingga volume
besar bukan jaminan bagi petani untuk memperoleh
pendapatan yang memadai. Situasi seperti ini menjadi
kekhawatiran sekaligus keengganan petani untuk berkonsentrasi
pada komoditas tertentu. Akibat langsung perubahan harga
adalah petani tidak pernah menikmati penerimaan yang relatif
besar dan keterandalan komoditas tersebut sangat rendah.
3.2.6. Infrastruktur Terbatas
Salah satu persyaratan pertanian modern yang kompetitif
adalah tersedianya infrastruktur (irigasi dan jalan tani) yang
memadai. Kecukupan infrastruktur menjadi penjamin bagi
produktivitas dan efisiensi total usaha tani. Pertanian Indonesia
belum didukung dengan infrastruktur yang memadai sehingga
beroperasi pada tingkat efisiensi yang rendah. Akibatnya,
penerapan teknologi tidak optimal. Sistem alih teknologi dan
diseminasi teknologi pengolahan pertanian masih rendah.
3.2.7. Pembiayaan Pertanian Terbatas
Akses petani ke sumberdaya produktif termasuk permodalan dan
layanan usaha masih sangat terbatas. Hal ini menyebabkan
usaha tani tidak dijalankan dengan optimal. Akibatnya adalah
pertanian tidak tumbuh dengan baik dan beroparasi secara
terbatas sehingga tidak efisien.
3.2.8. Konsentrasi Pembangunan
Pembangunan pertanian terpusat pada padi (beras) dan tebu
(gula) sehingga dana pembangunan terserap (atau
dialokasikan) secara berlebih.
20
Di sisi lain, banyak komoditas yang mempunyai nilai (fungsional
dan ekonomis) kesetaraan dengan komoditas tersebut tidak
mendapat perhatian yang setara. Dana pembangunan yang
terbatas seyogiyanya dialokasikan secara wajar bagi komoditas
prospektif secara ekonomi dan kontributif bagi ketahanan
pangan.
3.2.9. Sumberdaya Manusia
Kualitas SDM pertanian masih sangat rendah. Hal ini
menyebabkan atau menjadi kendala bagi upaya perbaikan
aspek teknis dan ekonomis usaha tani melalui penerapan
teknologi dan pengelolaan berbasis agribisnis. Orientasi subsisten
sudah melekat dan menjadi ciri pertanian sehingga sulit berubah
ke arah yang lebih produktif, efisien dan berorientasi pasar.
3.2.10. Perubahan iklim
Perubahan iklim telah menjadi fenomena alam yang sangat
mengganggu pertanian. Musim hujan selain tidak berpola juga
intensitasnya tidak menentu. Banyak gagal panen akibat banjir
(musim penghujan) atau kekeringan (musim kemarau). Lebih dari
itu, perubahan iklim menyebabkan penurunan produktivitas,
erosi, kerusakan lahan dan serangan hama/penyakit. Akibatnya,
pola tanam, produksi dan perencanaan pertanian dilakukan
dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi.
Dengan situasi dan kondisi pertanian di atas, maka ekonomi
perdesaan yang didominasi oleh pertanian dicirikan oleh:
a. Bertumpu pada pertanian yang sangat rapuh
b. Pertanian yang rapuh tidak mampu menopang
perekonomian yang kuat
c. Pertanian seperti itu tidak akan pernah mensejahterakan
rakyat
d. Struktur subsisten hanya untuk bertahan dalam banyak
keterbatasan.
21
4. STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM
4.1. Strategi
Keadaan dan permasalahan pertanian masih sangat banyak
dan beragam, sehingga menuntut strategi yang komprehensif.
Beradasarkan pada analisis SWOT komoditas dikembangkan
strategi spesifik dalam memanfaatkan peluang dan kekutan
serta mengatasi masalah dan ancaman. Dari strategi spesifik
tersebut dikembangkan strategi pokok yang bersifat umum
sebagai berikut:
a. Perbaikan skala teknis dan eknomis usaha tani
b. Pengendalian konversi lahan subur
c. Perbaikan teknologi budidaya dan penanganan pasca
panen (perbaikan dayasaing)
d. Peningkatan produkstivitas dan produksi
e. Peningkatan kualitas penanganan pasca panen untuk
perbaikan mutu dan pengurangan susut
f. Pengembangan agroindustri (perolehan nilai tambah)
g. Penyediaan dana pengembangan pertanian
h. Penguatan posisi tawar produk pertanian
i. Penganekaragaman bahan pangan pokok dan gula
j. Pertanian adaptif dan berkelanjutan
k. Penguatan kelembagaan (Poktan, Gapoktan dan Koptan)
l. Peningkatan kualitas SDM penyuluh, petani dan pelaku
agroindustri perdesaan
m. Pemberian insentif yang berorientasi penguatan dayasaing
dan penumbuhan agroindustri perdesaan
n. Percepatan pembangunan infrastruktur pendukung
pertanian
22
4.2. Kebijakan
Pembangunan pertanian tidak dapat berdiri sendiri dan secara
kuat terkait dengan kementerian dan instansi lainnya. Bahkan
dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian
sebagian besar ditentukan oleh kontribusi sektor lain (Gambar
4.1).
Keperluan dukungan sektor lain untuk pembangunan pertanian
antara lain:
a. Departemen Pekerjaan Umum – jaringan irigasi primer dan
sekunder, waduk, embung besar, jalan, dan pengendalian
banjir
b. Departemen Perindustrian – jaminan pasokan pupuk dari
produsen dan bahan-bahan kimia untuk pertanian
c. BUMN – program Corporate Social Responsibility (CSR) BUMN
d. BULOG - stabilisasi harga pangan
e. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi – transformasi
tenaga kerja pertanian ke sektor industri
f. Departemen Perhubungan – kapasitas pelabuhan, kapal,
kereta api, dan pesawat udara untuk arus barang antar
pulau, antar wilayah dan antar negara; tarif angkutan
produk pertanian
g. Departemen Keuangan – pembiayaan yang murah dan
terjangkau bagi petani, asuransi pertanian
h. Kementerian Koordinasi Bidang Ekonomi – koordinasi
kebijakan terkait produksi, distribusi, dan harga sarana
produksi dan produk pertanian
23
i. Departemen Energi Sumberdaya dan Mineral – jaminan
pasokan gas sesuai kebutuhan industri pupuk, percepatan
penggunaan bio-energi sebagai energi alternatif
j. Departemen Perdagangan – jaminan pendistribusian pupuk
sampai lini 4, stabilisasi harga pangan pokok, pasar lelang
komoditi pertanian,
k. Departemen Dalam Negeri – koordinasi APBN lintas sektor
untuk pelaksanaan dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan, pemberdayaan masyarakat desa, dan
koordinasi pelaksanaan monitoring dan evaluasi
pembangunan daerah.
l. BKPM – peningkatan daya tarik investasi sektor pertanian
m. BPN – reformasi agraria, pengendalian konversi lahan dan
sertifikasi lahan
n. Departemen Pendidikan Nasional – promosi diversifikasi
konsumsi pangan
o. Departemen Kesehatan – promosi diversifikasi konsumsi
pangan dan koordinasi pengendalian kesehatan
masyarakat veteriner.
24
Kementrian Pertanian Kementrian Lain Lintas Kementrian
26 % 59 %
15 %
26 %
Dalam konteks pengembangan pertanian dewasa ini, khususnya
penguatan dayasaing dan nilai tambah, keperluan tersebut
dapat diterjemahkan menjadi kebijakan kementerian dan
instansi terkait lainnya. Beberapa kebijakan berupa insentif bagi
tumbuh-kembangnya agroindustri sekaligus penguatan
dayasaing. Secara umum kebijakan dan insentif yang diperlukan
dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan 4.2.
Gambar 4.1. Keterkaitan kementerian dan instansi lain dalam
pembangunan pertanian
15%
25
Tabel 4.1. Kebijakan Terkait Dengan Pembangunan Nilai Tambah dan Agroindustri
Kebijakan Instansi/Lembaga
1) Pelaksanaan UU PLPPB No.41 tahun 2009, DEPTAN/BPN/
KMBUMN)
2) Revisi PP No 17 tahun 1986 tentang
Kewenangan, Pengaturan, Pembinaan
dan Pengembangan Industri
3) Penegakan hukum pelaksanaan
peraturan pemotongan sapi betina
produktif
DEPKUHAM
4) Pendirian Bank pertanian atau lembaga
keuangan non bank yang dapat
menyediakan skema pembiayaan yang
sesuai dengan karakteristik pertanian
dan industr perdesaan (sejenis KUP)
DEPKEU/BI
5) Pengalihan impor sapi bakalan menjadi
sapi induk (betina)
DEPTAN?DEPKEU/
DEPDAG
6) Kebijakan pengembangan RPU di sentra
produksi
DEPTAN
7) Pergeseran subsidi input ke subsidi output
secara bertahap
DEPTAN
8) Pengembangan kawasan
pembangunan pertanian terintegrasi
Deptan, Pemda
9) Peningkatan koordinasi lintas
departemen dalam penentuan
komoditas unggulan
DEPTAN/DEPRIN/DEPD
AG/DEPDIKNAS/
KMNRT
10) Kebijakan pengaturan produk pertanian
untuk keperluan pangan dan biofuel
secara jelas dan tegas
DEPTAN/DEPRIN/DEPES
DM/ DEPDIKNAS/
KMNRT
11) Revisi peraturan beras bersubsidi menjadi
pangan bersubidi
Sekneg
12) Penambahan gerbang ekspor di
beberapa daerah
DEPPU/DEPKEU
13) Kebijakan pendorong tumbuhnya industri
hilir
DEPKEU
14) Kebijakan pengurangan pajak impor
mesin dan peralatan industri hilir yang
belum bisa disediakan oleh industri
dalam negeri
DEPKEU
15) Kebijakan pengurangan pajak impor
untuk produk hilir yang sudah mampu
diproduksi di dalam negeri
DEPKEU
26
Kebijakan Instansi/Lembaga
16) Kebijakan subsidi biofuel DEPESDM/DEPKEU
17) Pengembangan tranportasi pertanian
18) Kebijakan mewajibkan eksportir dan
gudang teregistrasi
DEPDAG/DEPTAN
19) Penetapan harga minimal regional PEMNDA
20) Stabilisasi harga komoditas pokok (HPP
beras, ubikayu, jagung)
DEPTAN/BULOG
21) Stabilisasi harga melaui SPS dan TBT, DEPDAG/DEPTAN
22) Kebijakan pengembangan dana riset
untuk pengembangan produk unggulan
dengan pendekatan hulu hilir secara
komprehensif sampai pada tahap
komersialisasi teknologinya.
DEPTAN/DEPDIKNAS
/KMNRT
23) Kebijakan pengambangan dana riset
untuk memperkuat posisi tawar
komoditas unggulan dan produk
turunannya.
DEPTAN/DEPDIKNAS
/KMNRT
24) Kebijakan penyerap tepung 26mpor oleh
26mporter/pengguna tepung terigu
DEPDAG/DEPRIN/
DEPTAN
25) Kebijakan tepung komposit minimal
sampai 20%
DEPRIN/DEPTAN
26) Kebijakan premix biofuel secara
bertahap ke BBM pertamina
DepESDM
TBT=Technical barrier trade, SPS=sanitary and phytosanitary agreement
27
Tabel 4.2. Kebijakan Terkait Dengan Pembangunan Nilai Tambah
dan Agroindustri Insentif Instansi/ lembaga
1) Pengembangan skema pengusahaan
lahan kepada petani produktif dari lahan
HGU yang habis masa perijinannya
DEPTAN/BPN/KMN
BUMN
2) Memperbesar/memperluasjangakuan
KUPS
DEPKEU
3) Pemberian KUPS pada peternak “breeder” DEPTAN
4) Mengembangan skema pembiayaan
seperti KUPS pada komoditas pertanian
lainnya
DEPKEU
5) Bantuan sarana produksi pertanian untuk
peningkatan produksi dan produktivitas
DEPTAN
6) Bantuan mesin dan peralatan untuk
menekan susut pasca panen dan
perbaikan mutu
DEPTAN
7) Pemberian insentif pengurangan pajak
impor untuk memasukkan sapi betina
DEPKEU
8) Pembangunan/penguatan infrastrukut (
Ijalan, pelabuan, penggudangan) untuk
mendukung peningkatan daya saing
DEP PU/DEP HUB
9) Pembangunan infrastruktur pertanian
(jalan sawah, irigasi)
DEP PU/DEPTAN
10) Penetapan HPP sedini mungkin DEPTAN/BULOG
11) Insentif dana penelitian untuk
pengembangan teknologi dan
komersialisasi teknologi untuk mendorong
tumbuhnya industri hilir
DEPTAN/DEPDIKNAS
/KMNRT/SWASTA
12) Insentif dana penelitian untuk
pengembangan teknologi dan
komersialisasi benih/bibit unggul yang
tahan perubahan iklim
DEPTAN/DEPDIKNAS
/KMNRT/SWASTA
13) Insentif dana penelitian untuk peningkatan
posisi tawar komoditas unggulan dan
produk turunannya di dubia internasional.
DEPTAN/DEPDIKNAS
/KMNRT/SWASTA
14) Bantuan untuk rakyat miskin atau bencana DEPDAGRI/BULOG
28
Insentif Instansi/ lembaga
tidak hanya dalam bentuk beras
bersubsidi akan tetapi dapat dalam
bentuk pangan berbahan baku tepung
lokal
15) Jaminan pasar biofuel dari PT. Pertamina DEP ESDM/KMN
BUMN/PERTAMINA
16) Pelatihan penerapan SJMKP untuk
peningkatan kualitas produk
17) Pengurangan pajak impor mesin dan
peralatan industri hilir yang belum bisa
disediakan oleh industri dalam negeri
DEPKEU
18) Pengurangan pajak impor untuk produk
hilir yang sudah mampu diproduksi di
dalam negeri
DEPKEU
19) Fasilitasi pameran dagang di dalam dan
luar negeri
DEPTAN
Keterpaduan dalam Kementerian Pertanian harus menjadi awal
gerakan pembentukan dayasaing dan nilai tambah. Direktorat
Jenderal dan Instansi lain yang berwenang di hulu (perkebunan,
peternakan, tanaman pangan dan hortukultura) harus mengacu
kepada pembentukan nilai tambah. Instansi di hilir senantiasa
menselaraskan program untuk meneruskan produk dengan
dayasaing hingga ke konsumen akhir. Direktorat Jenderal PPHP
harus mampu menjadi penghubung hulu-hilir (petani dan
konsumen) melalui program terpadu pembentukan nilai tambah
dan dayasaing berbasis produk.
Pembangunan pertanian menuntut keterpaduan hulu dan hilir
yang terencana, tepat dan berkesinambungan. Keberhasilan
dalam satu rantai nilai tidak akan
berhasil bila tidak ditopang oleh rantai sebelumnya dan tidak
diteruskan oleh rantai sesudahnya. Pemenggalan kewenangan
lintas kementerian menyulitkan kordinasi strategi, kebijakan dan
program penguatan dayasaing dan nilai tambah. Oleh karena
itu, revisi PP 17/1986 tentang kewenangan, pengaturan,
pembinaan dan pengembangan industri seyogianya diarahkan
29
untuk menjadikan agroindustri menjadi satu dalam Kementerian
Pertanian.
Selain koordinasi dan keterpaduan antar Instansi Pemerintah (G),
keberhasilan program juga ditentukan oleh peran aktif dunia
bisnis/B (penggerak, penghela dan pelaksana utama) dan
akademisi (A) sebagai penghasil teknologi termasuk pemikiran
ilmiah pembentuk dayasaing. Peran aktif harus terencana,
terpadu dan terprogram sehingga terjadi keserasian yang saling
terkait dan menguatkan (Lihat Bab 6).
4.3. Program Aksi
Secara umum program aksi yang diperlukan untuk
melaksanakan strategi dan kebijakan adalah sebagai berikut:
4.3.1. Peningkatan Produksi dan Produktivitas
a) Pengembangan benih unggul untuk tujuan khusus
seperti ketahanan pangan dan energi, bahan
baku industri dan ekspor.
b) Pengembangan benih unggul tanaman pangan
yang tahan kekeringan dan kebanjiran untuk
mengantisipasi perubahan iklim.
c) Penyediaan benih unggul sesuai dengan
kebutuhan yang telah ditentukan
d) Pengembangan pertanian yang berkelanjutan
dengan menerapkan cara budidaya yang baik
(GAP)
e) Pengembangan pertanian berbasis kawasan
(kawasan ternak terpadu, kebuh buah tropika
untuk ekspor, sentra biofarmaka)
f) Peningkatan skala usaha tani/ternak
g) Ekstensifikasi terbatas, misalnya untuk padi dengan
program rice estate
30
4.3.2. Peningkatan Kualitas dan Penurunan Susut Panen dan
Pasca Panen Melalui:
a). Perbaikan cara panen
a) Penguatan teknologi pasca panen
b) Perbaikan penanganan pasa panen (transportasi)
4.3.3. Penumbuhkembangan Industri Perdesaan Untuk
Meningkatkan Nilai Tambah dan Dayasaing Produk
Pertanian:
a) Perbaikan dan penguatan teknologi dari industri
perdesaan yang sudah ada
b) Mendorong tumbuhnya industri perdesaan yang
dapat memanfaatkan hasil samping secara
optimal
c) Peningkatan fasilitas/kapasitas dari RPH/RPU
d) Menumbhukan industri pengolahan yang mampu
dikerjakan oleh kelompok tani, gabungan
kelompok tani dan koperasi pertanian.
e) Menumbuhkan industri perdesaan penanganan
produk segar hortikultura
4.3.4. Peningkatan Dayasaing Produk Pertanian Melalui
Penguatan Posisi Tawar Produk Pertanian Dengan:
a) Penerapan HPP untuk komditas strataegis
b) Peningkatan citra produk pertanian Indonesia
c) Kampanye yang dapat mendorong peningkatan
konsumsi produk lokal
4.3.5. Peningkatan Kapasitas POKTAN/GAPOKTAN Untuk
Memperkuat Posisi Tawar Dalam Perdagangan Produk
Pertanian Dengan:
a) Penguatan kelembagaannya (aspek legal dalam
bentuk koperasi )
b) Pengembangan kemitraan POKTAN dengan pihak
ketiga (industri pengolahan, eksportir, BULOG dll)
31
c) Penguatan kemampuan poktan untuk melakukan
penanganan bahan segar dan pengolahan
produk pertanian.
4.3.6. Perbaikan/Peningkatan Mutu Untuk Meningkatkan
Dayasaing Produk Pertanian Dengan:
a) Penguatan/perbaikan teknologi (misalnya pada
penggilingan beras)
b) Pengembangan/penerapan standar perkebunan
sawit berkelanjutan
c) Pengembangan/penerapan SJMKP/SJM pada
penanganan produk segar dan pengolahan
produk pertanian.
4.3.7. Peningkatan Kualitas SDM Penyuluh, Petani dan Pelaku
Industri Perdesaan Untuk Peningkatan Efisiensi Biaya
Produksi dan Peningkatan Mutu Dengan:
a) Pelatihan TOT untuk penyuluh pertanian
b) Pelatihan dan pendampingan
4.3.8. Insentif diperlukan Untuk Meningkatkan Dayasaing dan
Penciptaan Nilai Tambah Untuk Pengembangan Industri
Perdesaan Melalui:
a) Insentif penelitian dan pengembangan untuk
peningkatan produktivitas dan pengembangan
produk bernilai tambah.
b) Pemberian insentif untuk produksi produk pertanian
yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat seperti
kedelai atau yang mempunyai nilai potensial
ekspor yang sangat baik.
c) Insentif skema pembiayaan dengan bunga rendah
yang dapat dijangkau petani dan industri
pedesaan
32
4.3.9. Pengembangan Dayasaing dan Nilai Tambah Sangat
Ditentukan Kebrhasilannya Oleh Adanya Dukunga
Infrastruktur Yang Memadai yaitu:
a) Infrstruktur produksi seperti irigasi dan jalan usaha
tani
b) Sarana transportasi darat, laut dan udara
c) Sarana pelabuhan dan penggudangan
4.4. Agenda dan Tahap Pembangunan
4.4.1. Empat Agenda (Catur Dharma) Pembangunan Pertanian
Perspektif peningkatan nilai tambah dan dayasaing tidak
terlepas dari situasi makro ekonomi dan pembangunan
pertanian. Empat Agenda Pembangunan Pertanian penting
(Catur Dharma Pembangunan Pertanian) adalah:
Melepaskan Ketergantungan Kepada Beras; Indonesia
mempunyai sumberdaya pertanian dan biologi yang sangat
kaya. Di masa yang lalu, masyarakat dengan kearifan lokal,
telah memanfaatkan sumberdaya tersebut sebagai penopang
kehidupan. Salah satu diantaranya adalah keragaman dalam
bahan pangan pokok. Orang Maluku sudah terbiasa
mengkonsumsi sagu, orang Madura makan jagung, orang Papua
makan sagu dan ubi jalar dan sebagian penduduk Jawa makan
ubi kayu. Melepaskan ketergantungan pada beras berarti
mengurangi beban (biaya) pembangunan sekaligus menjadikan
beras sebagai komoditi komersial.
Penghematan dana pembangunan dapat menjadi modal
percepatan penangan komoditas lainnya. Tingkat konsumsi
beras relatif tinggi, yaitu 139,15 kg/kapita/tahun.
Melepaskan Ketergantungan Pada Gula Pasir; konsumsi gula
pasir sudah cukup tinggi dan cenderung meningkat. Di sisi lain
dayasaing gula pasir sangat rendah memaksa pemerintah untuk
mensubsidi (dari hulu hingga hilir) dan mengimpor gula.
Pengurasan devisa dan penyedotan biaya pembangunan yang
besar sangat kontras dengan jumlah petani yang terlibat
33
langsung dengan sektor ini. Negara-negara pengekspor gula
umumnya menggantungkan konsumsi dalam negeri mereka
terhadap gula lain (non-tebu) dengan pertimbangan tingkat
kemanisan dan kesehatan. Diversifikasi produksi dan konsumsi
gula dapat mengurangi beban pembangunan sekaligus
memperkokoh ketahanan pangan nasional.
Pembangunan Prasarana Pertanian (irigasi dan jalan pertanian);
pertanian modern yang dinilai sangat efisien dan kompetitif tidak
lain ditdukung dengan infrastruktur yang memadai. Inefisiensi di
hulu menjadi penentu keberhasilan di hilir dalam perbaikan
dayasaing dan nilai tambah.
Perbaikan Skala Teknis dan Ekonomis Usaha Tani; kesejahteraan
petani tidak mungkin dibangun berbasis usaha kecil yang tidak
mampu menghasilkan pendapatan yang melebihi kebutuhan
dasar. Pertanian yang berdayasaing juga tidak mungkin
dibangun berbasis usaha yang tidak memenuhi skala teknis (dan
ekonomis). Perluasan pengelolaan (bukan kepemilikan yang
akan terfragmentasi lagi) adalah basis pembangunan menuju
kesejahteraan petani melalui perbaikan produktivitas, efisiensi
dan pendapatan pokok.
34
4.4.2. Tiga Tahap (Tri Jangka) Pembangunan Pertanian
Bertolak pada keadaan terkini pertanian nasional, cita-cita luhur
tidak mungkin dicapai dalam waktu dekat secara bersamaan.
Oleh karena itu, perlu dan harus ada pentahapan
pembangunan pertanian. Tiga tahap simultan (Tri Jangka)
pembangunan pertanian yakni perbaikan skala teknis dan
ekonomis, pengorganisasian petani dan pengembangan industri
pedesaan adalah pilihan bijak yang menjadi pijakan program
pembangunan pertanian sangat beralasan. Tri Jangka adalah
satu kesatuan yang tidak terpisah sehingga berawal pada titik
yang sama dengan orientasi dan target yang berbeda (Gambar
4.1).
Jangka Panjang; Perbaikan skala teknis dan ekonomis melalui
reformasi agraria adalah satu-satunya pilihan menuju
masyarakat pertanian yang sejahtera. Reformasi agraria
menuntut adanya landasan yang kuat, metode yang tepat serta
kalkulasi yang akurat. Perhitungan sederhana dapat dijadikan
acuan yakni rata-rata pengelolaan 2 ha/KK petani yang dapat
dicapai melalui strategi: (i) ekstensifikasi dan redistribusi lahan, (ii)
pengembangan pertanian mandiri berorientasi industri, (iii)
pengembangan sektor hilir (pengolahan), dan penataan
tataguna lahan. Program jangka panjang ini harus dimulai dari
sekarang yang diawali dengan menentukan cara, metode dan
target tahunan hingga 25 tahun ke depan.
Jangka Menengah; Pengorganisasian petani dengan skala kecil
yang ada dewasa ini adalah pilihan moderat untuk memperbaiki
efisiensi sehingga dapat berkontribusi dalam membentuk
dayasaing. Falsafah “sapu lidi” yaitu kuat dan teguh dalam
kesatuan dapat dijadikan “slogan” pengorganisasian petani.
Pengorganisasian atau dalam bahasa yang umum
kelembagaan sudah dimulai sejak empat dikade yang lampau
masih relevan untuk diteruskan.
35
Dalam perspektif kelembagaan, organisasi terkecil adalah
Kelompok Tani (Poktan) yang dapat dipandang sebagai gugus
pertama (primer) dalam satelit pertanian. Beberapa Poktan tani
membentuk Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) mempunyai
kekuatan yang lebih besar sebagai basis pengembangan industri
perdesaan dan dapat dipandang sebagai gugus kedua
(sekunder) dari satelit pertanian.
Gapoktan yang bergabung dapat membentuk kelompok yang
lebih besar dan kuat dapat menjadi basis pengembangan
industri besar hilir (Gambar 4.2).
Gambar 4.1. Keterkaitan antara Jangka Pembangunan Pertanian
36
Jangka Pendek; pertanian Indonesia, terlepas dari berbagai
masalah dan keadaanya, telah menghasilkan produk dalam
jumlah besar. Dengan demikian, pengembangan penanganan
pasca panen dan pengolahan (agroindustri perdesaan)
mempunyai modal dasar yang kuat.
Dalam perspektif pembangunan pertanian, maka
pembangunan agroindustri (perdesaan) adalah pilihan yang
dapat segera dilakukan. Basis pengembangan dapat dipilih
menurut situasi dan kondisi nyata di lapangan. Secara umum,
basis tersebut adalah Poktan dan Gapoktan atau bahkan
Koptan.
Gambar 4.2 Gugus Pengorganisasian Petani
37
5. PROGRAM PENINGKATAN DAYASAING DAN NILAI
TAMBAH KOMODITAS
5.1. Tinjauan Umum
Secara khusus program peningkatan dayasaing dan nilai
tambah komoditas pertanian difokuskan kepada kegiatan off
farm melalui program aksi yang berkaitan dengan peningkatan
nilai tambah komoditas seperti penanganan pasca panen dan
pengolahan primer. Program peningkatan dayasaing dan nilai
tambah komoditas tidak bisa berdiri sendiri, tertapi harus
terintegrasi dan tidak terpisahkan dengan kegiatan hulu yang
berkaitan dengan budidaya pertanian untuk peningkatan
produksi dan produktivitas sampai dengan kegiatan hilir yang
merupakan program penghela terciptanya peningkatan
dayasaing dan nilai tambah.
Program peningkatan dayasaing dan nilai tambah komoditas
pertanian terdiri dari program aksi yang secara langsung
bersentuhan dengan program penguat yang merupakan
prasyarat maupun penghela peningkatan dayasaing dan nilai
tambah komoditas. Peningkatan dayasaing dan nilai tambah
dapat dicapai dengan syarat bahwa program penguat tersebut
ada dan dilaksanakan secara lintas sektoral dengan
departemen terkait maupun pemangku kepentingan lainnya
seperti asosiasi dan pelaku usaha. Demikian juga dengan strategi
insentif untuk mendorong tumbuhnya industri perdesaan harus
ada dan dilaksanakan secara terintegrasi dan lintas sektoral.
38
5.2. Program Komoditas
Komoditas yang dipilih sebagai penghela tumbuhnya industri
perdesaan disesuaikan dengan komoditias prioritas yang
dikelompokkan sebagai komoditas pangan utama yang meliputi
beras, jagung, kedelai, daging sapi.
Komoditas andalan ekspor yang meliputi sawit, karet, kakao dan
daging ayam. Kelompok emerging products yang mempunyai
peluang pasar yang luas baik internasional maupun domestik
seperti buah tropika (mangga, manggis, salak dan pisang),
produk biofarmaka, tanaman hias daun dan minyak atsiri
Kelompok produk yang diarahkan untuk substitusi impor seperti
susu, tepung lokal (cassava dan sagu) serta jeruk. Pemilihan jenis
komoditas ini diharapkan dapat mewakili dari kelompok komoditi
yang ada, mempunyai potensi untuk peningkatan dayasaing
dan nilai tambah yang tinggi serta mempunyai multiplier effect
yang luas terhadap peningkatan industri perdesaan.
Program peningkatan dayasaing dan nilai tambah komoditas
dijabarkan secara terpisah dengan mengacu pada konsep
peningkatan daya siang dan nilai tambah dengan
mempertimbangkan kondisi terkini dan permasalahan, kondisi
yang diharapkan, strategi pengembangan berdasarkan analisis
SWOT (Lampiran), program aksi, rencana implementasi program
aksi serta sasaran program aksi untuk masing-masing komoditas.
39
5.2.1. Beras
Pag e ďż˝ 3 3
O R IE NT AS I P ENG EMB AN G AN B ER ASSw as emb ad a be rkel an juta n me la lui e kste nsi f ika si ter ba ta s (ric e es ta te ) p en uru na n sus ut p as ca pa ne n
d an p en go la ha n, pe nga ne ka rag ama n b ah an pa nga n po ko k da n pe numb uhke mb an ga n i ndu st ri pe de sa a n p en go la h tep ung d an turun an nya s erta h as il sa mpi ng
SW A SEMB A DA
Pro d u k s i:
• Pro duks i: p ad i 6 3.8 4juta to n pa di) ( Di tj en
Ta na ma n Pa nga n)Pa sc a Pa n en /
Pe n g o la h an :
• Sus ut p an en da n pa sca p an en 1 0.8 2 %
(BPS )• Re nd eme n(P PK:
55 .7% , P PM:59 .6 9%
da n PPB: 61 .48 % )• Mutu b era s be lum
ba ik• Be ras be rla be l mas ih
terb ata s
• Indu st ri pe de sa a ntep ung b er as da n
turun an nya , p at i be ras da n
turun an nya , b eka tul
mas ih ter ba ta s untuk pa kan
Pe rd a g an g a n(Pe m as a ra n) :
• Ko nsu msi
12 7 kg/ka pita / th(w id ya kar ya P & G)
• Eksp or be ras o rga ni k: kec il (18 to n)
• Ba ha n b aku tep ung
be ras ma sihimpo r(me ni r)
SW A SEMB A DA
Pro d u k s i:
• Pr od uksi pa di
7 5.7 0 juta to n (D it je n T an ama n
Pa ng an )Pa sc a Pa n en /
Pe n g o la h an :
• Su sut pa ne n da n pa sc a pa ne n 9%
• R en de men(P PK:5 9.6 9% ,
PP M:61 .48 % ,
PP B6 2% )• Mu tu be ras se su ai
SN I 2 5%• Be ra s b er lab el 2 5%
• Ind ustri p ed es aa n
te pun g be ra s d an turu na nny a, pa t i
be ra s d an turu na nny a, be ka tu l
un tuk pa ng an da n
pa ka n be rke mb an gPe rd a g an g a n
(Pe m as a ra n) :• Ko ns umsi 9 4
kg /ka pi ta/th
• Eks po r a roma t ik da n o rga ni k
me ni ngka t (10 .0 00 to n)
• Ba ha n ba ku te pun g
be ra s ( me ni r) da pa tdi pe nu hi
Ko ndi s iTerkin i
Kon disi Y an g
Dih arap kan
5. Pening katan prod uksi pad i 6. Peng endal ian konversi lahan7. Peng em bang an varie tas tah an ke keringan d an
banj ir 8. Eksten sif ikasi te rb atas9. Peng uran gan ke terg antung an bahan po ko k
hanya pa da b eras10. Peng em bang an inf rast ru ktur p ertani an
St rat egi In dust ri Ped esaan
1 . Penguatan tekno logi dan pe nerapan SJMKP pasca panen untuk mene kan s usut pasca p anen dan peni ngkatan mutu g abah
2 . Penguatan tekno logi dan pe nerapan SJMKP pada PPK d an PPM untuk mene kan susut pe ngo lahan dan p ening katan mutu b eras
3 . Penumbuhan ind ustri ped esaan berbas is beras &hasil samping be ras
4 . Penge mbangan p asar b eras
St rat egi P eng uat
1 . 1. Ba n tu an p er a la tan u ntu k meneka n s us u t pa ne n da n
pas c a p an en
1 . 2. Pe n in gk a tan k e mampu an p en y u luh d an p e ta ni un tu k me ne ka n s us ut pa sc a pa ne n
P r o g r a m A k s i
2 . 1. Pe n ingk at an k apa si tas t ek n olog i P PK & PP M
2. 2. Ak se ler asi p en er a pan GMP
2 . 3. Pe n ingk at an k ua lit as b e ras
2 . 4. Pe ngembang an kemitr aa n PP K- PP M-P PB
3 . 1. Ba n tuan me sin d an p era lat an in du st r i ped esaan
te pung be ra s, p r oduk t ur un an ( pas ta , mie , b ih un)
3 . 2. Pe n ingk at an k emamp uan peny ulu h dan p okta n mela k uk an peng emba ng an i ndu st ri p edes aan 3 . 1.
3 . 3. Pe ngemb an ga n sk ema pe mbi ay aan ya ng d ap at di ak ses in dus tr i p ed esaa n
3 . 4 Pe ngemb an ga n kemitr aan unt uk fasi li at si pe masa ra n
4 .1 . S tabi li sasi h a r ga me lalu i mekan is me HPP
4 .2 . E ksp an si pa sa r be ra s d a la m d an lu a r ne ge r i4 .3 . P enge mban gan s is ite m in fo r ma si pa s ar
4 .4 . P enge mban gan k e rja s ama k emitr aan po ktan /ga pok tan -B UL O G
5 . 1. Pe nyed ia an sa pr od i d an beni h un ggu l tep at waktu
(Dep tan/ D ep da g)
5 . 2. Pe ngemb anga n tekno log i pen gend a lian h ama t er padu(Dep tan/ D ep d iknas/ KMN R T)
5 . 3. Pe ngemb anga n p ro du ks i be r as o rga n ik d an a r omatik d i 13 k a bu pa te n/ ko t a (D ept an )
5 . 4. Pe mant ap an p rodu ks i be ra s konsu msi dalam neg er i di
14 p r op ins i ( De p tan )
6 . 1. Me mper ta ha nk an la ha n pad i dar i kon ve rsi la ha n
pe rt an ia n (sesu a i U U P LP PB) (D e phuk ham)6 . 2. P ene ga k kan hu k um bag i pe la ku k onver si ta nah p er tan ia n
( se s ua i UU P LP PB) (D ep hukh am)
7 .1 . I nsent if unt uk R &D pa d i un gg ul t aha n k ek e ri nga n d an ban jir (D ep tan /D epdik n as /K MN RT)
7 .2 . I nsent if unt uk u ji mu ltiloka s i pad i ung gul ( - sd a - )
7 .3 . I nsent if unt uk kome r sia lis as i p adi u nggu l ( -sda - )
8 .1 . P ema nfaa tan p ot ens i lah an ( D ep tan /K MNB UMN )
8 .2 . P eng emba ng an r i ce es ta te (D ept an / Pemda)
9 . 1. Di ver s ifi ka si pa ng an poko k be rb as is s umb er ka rbo - h id ra t
non b e r as da n ga ndum(D ep ta n / De pd ik nas)
K eb ijakan1 ) Pe laksanaan UU PLPPB No .41 tahun 20 09, 2) R evisi Pe raturan beras bersub sidi me njadi pangan b ersubsi di
(Se kneg), 3) T ersed ianya ske ma pemb iayaan b unga rend ah yang d apat di akses petani, d an 4 ) S tabili sasi melalui pe nguatan p eran BUL OG
10. 1 . Peng emba ngan d an pe r ba ik an i ri gas i ( PU?D ept an )
10. 2 . P en ge mbang an f arm ro ad ( PU )
Gambar 5.1. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Beras
40
Tabel 5.1. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Beras
Sasaran tahunan Program Aksi dan Rencana Implementasi
2010 2011 2012 2013 2014 Keterangan
1.1. Bantuan peralatan untuk menekan susut panen dan
pasca panen
• Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
• Penentuan kelompok tani penerima
• Realisasi bantuan
• Pendampingan
10.4
2
10.0
2
9.62 9.32 9.00 Persen susut panen
dan pasca
1.2. Peningkatan kemampuan penyuluh dan petani untuk
menekan susut pasca panen
• Pelatihan TOT untuk penyuluh pertanian spesialis
(panen, pasca panen dan pengolahan)
• Pelatihan untuk peningkatan kemampuan petani
menangani panen, pasca panen
10.4
2
10.0
2
9.62 9.32 9.00 Persen susut panen
dan pasca
2.1. Peningkatan kapasitas teknologi PPK & PPM
• Identifikasi kekeurangan peralatan
• Penetapan bantuan untuk penguatan
• Realisasi bantuan
• Pendampingan
15 35 100 125 150 Unit usaha poktan
2.2 Akselerasi penerapan GMP
• Penyusunan buku pedoman GHP dan GMP yang
mudah dipahami
• Sosialisasi GHP dan GMP ke penyuluh/tenaga
pendamping
• Sosialisasi ke Kelompok tani dan pelaku
penggilingan beras
50 75 100 100 100 % poktan di 14
prop. sentra
produksi dan 14
kab.kota poktan
penghasil speciality
rice
41
• Peningkatan kualitas beras
• Sosialisasi standar mutu beras organik dan
aromatik
• Sertifikasi beras organik dan beras aromatik
5 10 15 20 25 Kumulatif % beras
sesuai SNI
2.3 Pengembangan kemitraan PPK-PPM-PPB
• Penyusunan model kemitraan
• Sosialisasi kepada pelaku usaha
• Pengembangan model kemitraan di Jawa Timur
dan Jawa Barat
10 40 100 130 150 Kumulatif jumlah
poktan yang
terlibat
3.1. Bantuan mesin dan peralatan industri perdesaan
tepung beras, produk turunan (pasta, mie, bihun)
• Identifikasi mesin yang diperlukan
• Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
• Penentuan kelompok tani penerima
• Realisasi bantuan
• Pendampingan
10 20 50 20 10 Unit usaha (poktan/
gapoktan)
3.2. Peningkatan kemampuan penyuluh dan poktan
melakukan pengembangan industri perdesaan
tepung beras, produk turunan (pasta, mie, bihun)
• Pelatihan TOT untuk penyuluh pertanian spesialis
(panen, pasca panen dan pengolahan)
• Pelatihan untuk peningkatan kemampuan petani
menangani panen dan pasca panen
5% 25% 65% 90% 100
%
Kumulatif %
penyuluh dan
tenaga
pendamping
3.3. Pengembangan kemitraan untuk fasilitasi pemasaran
• Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama
• Menguatkan faktor kerjasama
• Mengawasi faktor kerjasama
•
25 55 100 125 150 Kumulatif jumlah
poktan yang
terlibat
42
4.1. Stabilisasi harga melalui mekanisme HPP
• Pemantatapan jaminan BULOG untuk pembelian
gabah/beras melalui jalur HPP dan jalur komersial
• Penetapan HPP tepat waktu
• Kebijakan ekspor tepat waktu
10% 10% 10% 10% 10% Pengadaan BULOG
(% x jumlah
produksi)
4.2. Ekspansi pasar beras dalam dan luar negeri
• Pameran dalam dan luar negeri
2 5 5 5 5 Jumlah pameran
yang diikuti
4.3. Pengembangan sisitem informasi pasar
• Peningkatan kemampuan poktan untuk akses
informasi pasar
10 20 50 75 100 % Jumlah poktan di
sentra produksi
4.4. Pengembangan kerjasama kemitraan
poktan/gapoktan-BULOG
• Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama
• Menguatkan faktor kerjasama
• Mengawasi faktor kerjasama
10 40 75 100 150 Jumlah poktan
terlibat
43
5.2.2. Jagung
Page ďż˝ 53
Kondisi
Terkini
Kondisi YangDiharapkan
4. Peningkatan produksi danproduktivitas jagung
5. Pengembangan kasawan ternakterpadu
6. Penguatan kelembagaan poktan7. Pengembangan infrastruktur dan
sarana transportasi
1. Penguatan teknologi dan SJMKP pasca panenuntuk peningkatan kualitas jagung
2. Penumbuhkembangan industri pedesaan pakanternak dan pangan (tepung dan grits) di sentraproduksi jagung
3. Pengembangan pasar jagung
Strategi Penguat
1.1. Peningkatan sarana pengeringan jagung yang sesuai dengan kondisi daerah
1.2. Penurunan kehilangan hasil dan perbaikankualitas jagung
1.3. Penerapan SNI wajib jagung
P r o g r a m A k s i
2.1. Pengembangan industri pedesaan pakan ternak2.2. Pengembangan industri pedesaan tepung & grits
6.1. Penguatan kelembagaan poktandan gapoktan (Deptan)
6.2. Penguatan SDM poktan dangapoktan (Deptan)
4.1. Penyediaan sarana produksipertanian yang tepat waktu(Deptan/Depdag)
4.2. Penyediaan benih unggul yang
mudah diakses petani (Deptan)4.3. Pemanfaatan lahan kebun sawit
sampai umur 2 tahun (KMNBUMN)
3.1. Pengembangan sistem informasi pasar3.2. Pengembangan kerjasama kemitraan industri
pedesaan pakan ternak dengan kelompokpeternak
3.3. Pengembangan kerjasama kemitraan industripedesaan grits dengan industri pakan danpengolahan snack
3.4. Pengembangan kerjasama kemitraan industripedesaan tepung dengan industri tepung terigu
Kebijakan1) Stabilisasi harga melaui mekanisme SPS dan TBT (Depdag, 2) Penetapan harga minimal regional
(Pemda), 3) Peningkatan Peran BULOG sebagai penyangga harga jagung (Bulog), 4) Kebijakan penyerapan tepung lokal oleh importir/pengguna tepung terigu (Deprin/Depdag/Deptan),
Kebijakan skema pembiayaan bunga rendah yang dapat diakses oleh petani dan industripedesaan
5.1. Pengembangan kawasan ternaktepadu di sentra produksi jagung(Deptan)
7.1. Perbaikan infrastruktur jalan disentra produksi jagung (Dep PU)
Strategi Industri Pedesaan
ORIENTASI PENGEMBANGAN JAGUNGSwasembada berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan dan energi dengan penurunan susut
pasca panen dan penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan pangan dan energi
Swasembada
Produksi: 17,66 juta ton
Pasca Panen/Pengolahan:
• Susut panen, pasca panen masih tinggi
• Ketersediaan mesin dan peralatan pasca panen terbatas
• Kandungan aflatoksin masih tinggi (>50 ppb)
• Industri pedesaan pakan dan pangan(grits, tepung) belum berkembang
Perdagangan (Pemasaran):
• Sentra produksi dengan industri pakan belum selaras
• Pangan: 3,0 juta ton• Pakan: 4,07 juta ton• Impor: 170 ribu ton
jagung pipilan• Ekspor 150 ribu ton
jagung pipilan• Bioenergi terbatas
Swasembada
Produksi::29 juta ton
Pasca panen/ pengolahan:
• Susut dipanen diturunkan sebesar 10%
• Ketersediaan alat dan mesin pasca pane
• Kandungan aflatoksin dapat ditekan <20 ppb
• Industri pedesaan pengolahan pakan dan pangan (grits dan tepung jagung) berkembang
Perdagangan (Pemasaran):
• Sentra produksi dengan industri pakan dan pangan terintegrasi (klaster)
• Pangan: 3,0 juta ton• Pakan:4.6 juta ton• Impor:0• Ekspor hasil olahan
jagung meningkat• Bioenergi:meningkat
Gambar 5.2. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Jagung
44
Tabel 5.2. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Jagung
Sasaran tahunan
Program Aksi dan Rencana Implementasi 201
0
201
1
201
2
201
3
201
4
Keterangan
1.1. Peningkatan sarana pengeringan jagung yang sesuai dengan
kondisi daerah
• Revitalisasi silo jagung (14 unit) di Musi Banyuasin, Lombok
Tengah, Tanah laut, Bulukumba, Taklar, Maros, Soppeng,
Sinjai, Bone, Pinrag, jeneponto, Tojo Una-una, Pahuwato,
Bolmong
• Pembangunan silo jagung yang terintegrasi dengan unit
pengering dengan bahan bakar hibrid biomassa (30
unit/tahun) di sentra produksi jagung
• Pelatihan dan pendampingan poktan untuk peningkatan
kemampuan dalam bidang panen dan pascapanen
30 30 30 30 30 Unit
silo/tahun
1.2. Penurunan kehilangan hasil dan perbaikan kualitas jagung
• Fasilitasi peralatan penanganan pasca panen jagung
kepada gapoktan
• Pelatihan dan pendampingan penanganan pasca panen
jagung
• Penerapan manajemen mutu sehingga produk yang
dihasilkan sesuai persyaratan mutu pasar, melalui
pelatihan dan penyuluhan yang intensif tentang
manajemen mutu
2.4 2.2 2.0 1.8 1.7 %
kehilangan
hasil
45
1.3. Penerapan SNI wajib jagung
• Sosialisasi penerapan SNI jagung
30 40 60 80 100 Persentase
wajib SNI
2.1. Pengembangan industri perdesaan pakan ternak
• Penetapan gapoktan untuk mendukung industri
perdesaan pakan ternak
• Mendorong tumbuhnya kawasan peternakan terpadu
secara lintas sekoral
• Pemberian bantuan peralatan pengolahan pakan ternak
• Pelatihan dan pendampingan
2 4 8 10 12 Kumulatif
industri
perdesaan
pakan
ternak
2.2. Pengembangan industri perdesaan tepung dan grits
• Penetapan gapoktan untuk mendukung industri
perdesaan tepung dan grits
• Pemberian bantuan peralatan untuk pengolahan grits dan
tepung
• Pelatihan dan pendampingan
4 8 12 16 20 Kumulatif
industri
perdesaan
grits dan
tepung
jagung
3.1. Pengembangan sistem informasi pasar
• Penyusunan database jagung
• Penguatan kemampuan poktan/gapoktan melakukan
akses informasi pasar
Ad
a
Ad
a
Ad
a
Ad
a
Ad
a
Ketersediaa
n informasi
pasar
3.2.Pengembangan kerjasama kemitraan industri perdesaan
pakan ternak dengan kelompok peternak
10 30 75 100 125 Kumulatif
poktan
yang
terlibat
46
• Fasilitasi Kerjasama antar gapoktan sentra produksi jagung
utama (Jatim, Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, NTT, Sulsel,
Sulut dan Gorontalo)
• Fasilitasi kemitraan saling menguntungkan antara
Gapoktan dan industri hilir berbahan baku jagung
3.3.Pengembangan kerjasama kemitraan industri perdesaan grits
dengan industri pakan dan pengolahan snack
• Fasilitasi penyusunan badan hukum gapoktan untuk
kemitraan bisnis jagung
• Fasilitasi kemitraan saling menguntungkan antara
Gapoktan dan industri hilir berbahan baku jagung
10 30 75 100 125 Kumulatif
poktan
yang
terlibat
3.4.Pengembangan kerjasama kemitraan industri perdesaan
tepung dengan industri tepung terigu
• Keringanan pajak bagi industri pengolahan hilir jagung
yang beorientasi substitusi imporPemberian kredit dengan
suku bunga rendah kepada industri jagung.
10 30 75 100 125 Kumulatif
poktan
yang
terlibat
47
5.2.3. Kedelai
Impor lebih dari
50% dari kebutuhan
Produksi:• Produksi: 1 juta
ton
Pasca Panen/Pengolahan:
• Mutu kedelai belum baik
• Industri pedesaan belum melakukan praktek yang baik
Perdagangan (Pemasaran):
• Konsumsi dalamnegeri 2 juta ton
Swasembada
Produksi:
• Produksi: 2.7 juta ton
Pasca Panen/Pengolahan:
• Mutu kedelai lokal 30% sesuai SNI
• Tumbuhkemban
gnya industri pedesaan pengolahan
kedelai yang menerapkan GMP
Perdagangan
(Pemasaran):• Konsumsi dalam
negeri 2.2 juta
ton
Kondisi
Terkini
Kondisi YangDiharapkan
4. Peningkatan produksi dan produktivitas
kedelai5. Pemberian insentif untuk penanaman
kedelai
6. Pengembangan benih unggul sesuai dengan kebutuhan industri
1. Pengembangan penanganan pasca
panen 2. Penumbuhkembangan industri
pedesaan pengolahan kedelai dan
hasil sampingnya.3. Perbaikan pemasaran kedelai dalam
negeri
Strategi Penguat
1.1. Bantuan peralatan perontok multi guna
pada kelompok tani untuk menekan susut
panen, pasca panen dan meningkatkan
kualitas.
1.2. Membangun unit-unit penyimpanan kedelai
di sentra-sentra produksi untuk
mempertahankan mutu kedelai dan
menjaga pasokan kedelai sepanjang tahun.
1.3. Pengembangan SDM (penyuluh dan
petani) dalam penanganan pasca panen.
P r o g r a m A k s i
2.1. Peningkatan kapasitas teknologi industri
pedesaan tahu, tempe, susu kedelai dan
tepung kedelai
2.2. Penumbuhan industri pedesaan
pengolahan ampas tahu menjadi tepung
ampas tahu
3.1. Perbaikan harga kedelai di tingkat petani
4.1. Penyediaan benih kedelai (Deptan)
4.2. Pengembangan mutu benih unggul kedelai(Deptan)
4.3. Penyediaan input produksi mandiri dan berkelanjutan (Deptan/Depdag)
4.4. Penanggulangan hama penyakit kedelai
(Deptan)4.5. Optimalisasi pembinaan petani (Deptan/Pemnda)
Kebijakan1) Stbilisasi harga melalui mekanisme SPS dan TBT (Depdag), 2) Insentif untuk produksi benih unggul
(Depkeu) 3) Kebijakan stabilisasi harga ditingkat petani (HPP) (Deptan/Bulog)
5.1. Bantuan benih unggul (Deptan)
5.2. Subsidi saprotan (pupuk) untuk
pengembangan budidaya kedelai (Depkeu)
5.3. Pembangunan sarana dan infrastruktur
penunjang (Dep PU)
6.1. Insentif untuk penelitian dan pengembangan benih kedelai dengan polong besar untuk industritempe pedesaan (Deptan/Depdiknas/KMNRT)
6.2. Insentif untuk komersialisasi penghasil benih unggul yang sesuai dengan kebutuhan industri.(Deptan/Depdiknas/KMNRT)
Strategi Industri Pedesaan
ORIENTASI PENGEMBANGAN KEDELAIMenuju swasembada untuk mencukupi kebutuhan kalori protein melalui peningkatan produktifitas dan
penguatan industri pedesaan pengolahan pangan berbasis kedelai
Gambar 5.3. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Kedelai
48
Tabel 5.3. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Kedelai
Sasaran tahunan Program Aksi dan Rencana Implementasi
2010 2011 2012 2013 2014 Keterangan
1.1. Bantuan peralatan perontok multi guna pada kelompok
tani untuk menekan susut panen, pasca panen dan
meningkatkan kualitas
• Identifikasi peralatan yang dibutuhkan
• Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
• Penentuan poktan penerima
• Realisasi bantuan
• Pendampingan
5 10 20 25 30 Kumulatif %
poktan kedelai
1.2. Membangun unit-unit penyimpanan kedelai di sentra-
sentra produksi untuk mempertahankan mutu kedelai.
• Penetapan kapasitas unti penyimpanan yang
dibutuhkan
• Realisasi bantuan
• Pendampingan
1 2 3 2 1 Unit
1.3. Pengembangan SDM (penyuluh dan petani) dalam
penanganan pasca panen
• Penyuluhan TOT untuk penyuluh dan pendamping
• Penyuluhan pada poktan
5 15 30 40 50 Kumulatif % jml
penyuluh
&pendamping
49
2.1. Peningkatan kapasitas teknologi industri perdesaan
tahu, tempe, susu kedelai dan tepung kedelai
• Identifikasi kondisi terkini industri perdesaan
pengolah kedelai
• Penetapan bantuan untuk penguatan
• Realisasi bantuan
• Pendampingan
5 15 25 35 40 Kumulatif unit
usaha
2.2.Penumbuhan industri perdesaan pengolahan ampas
tahu menjadi tepung ampas tahu
• Pelatihan pengolahan hasil samping pengolahan
kedelai
• Bantuan peralatan pengolahan hasil samping
kedelai
• Pengembangan kemitraan pemasaran
5 15 25 35 40 Unit usaha
3.1. Perbaikan harga kedelai di tingkat petani
• Penetapan HPP yang merangsang petani
menanam kedelai
• Pengembangan kemitraan antara kelompok tani
dengan industri pengguna kedelai
1 3 10 15 20 Kumulatif
Jumlah
kerjasama
50
5.2.4. Gula
ORIENTASI PENGEMBANGAN GULASwasembada gula melalui perbaikan produktivitas dan efisiensi, pengembangan bibit unggul,
revitalisasi pabrik dan pengembangan gula non-tebu
MASIH IMPOR(Gula rafinasi:379
ribu ton)
Produksi:• Produksi: 4,4 juta
ton (2.75 juta julakristal dan 1,5 juta
ton gula rafinasi)
• Kandungan sukrosarendah (5.5-8%)
Pasca Panen/Pengolahan:
• Produktivitasrendah
•• Rendemen rendah Rendemen rendah
(PTPN): (PTPN): 66––9% 9%
•• HPP HPP tinggitinggi
•• KondisiKondisi pabrikpabrik
sudahsudah tuatua
Perdagangan(Pemasaran):
•• Konsumsi gula Konsumsi gula
pasir: 12 pasir: 12
kg/kapita/tahunkg/kapita/tahun
•• KebutuhanKebutuhan
nasional:4,85 nasional:4,85 jutajuta
ton (2,7 ton (2,7 jutajuta ton ton
konsumsikonsumsi rumahrumah
tanggatangga dandan 2,15 2,15
industriindustri))
•• KebutuhanKebutuhan pemanispemanis
sebagiansebagian besarbesar daridari
gulagula pasirpasir
SWASEMBADA
Produksi:• Produksi: 5 juta ton
(2.75 juta gulakristal dan 2,25 juta
ton gula rafinasi)• Kandungan sukrosa
10%
Pasca Panen/Pengolahan:
• Produktivitasmeningkat
• Rendemen (PTPN): 9%
• HPP turun• Kondisi pabrik
membaik
Perdagangan(Pemasaran):
• Konsumsi gula pasir:
11kg/kapita/tahun• Kebutuhan
nasional:5,29 jutaton (2,9 juta ton
konsumsi rumahtangga dan 2,3
industri).
• Kebutuhan pemanisindustri sebagian
dipenuhi gula cair
Kondisi
Terkini
Kondisi YangDiharapkan
6. Perbaikan produktivitas tebu
dengan pengembangan varitas
unggul
7. Pengembangan insentif budidaya
tebu
8. Pengaturan impor gula
9. Pengembangan varitas teburesisten terhadap perubahan iklim
1. Pengembangan gula non-tebu
2. Perbaikan efisiensi pengolahan
3. Revitalisasi pabrik
4. Pemanfaatan tetes sebagai bagian terpadu
dari industri gula
5. Perbaikan mutu gula
Strategi Penguat
1.1. Pembangunan pabrik pengolahan gula palmaberbasis gapoktan
1.2. Insentif bagi investasi pabrik pembuatan gula cair
berbasis karbohidrat (umbi-umbian dan biji-bijian)1.3. Kampanye gula sehat non-tebu untuk konsumsi
rumah tangga dan industri
P r o g r a m A k s i
2.1. Perbaikan sistem tebang muat angkut pabrik gula
2.2. Penerapan SOP manis, bersih dan segar secaraoptimal
2.3. Pengawasan pabrik oleh pihak ke III
3.1. Realisasi revitalisai pabrik yang layak secara teknisdan ekonomis
4.1. Pendirian atau penambahan pabrik pengolahan
tetes sesuai skala teknis dan ekonomis pabrik gula4.2. Penyediaan insentif investasi pengolahan tetes
6.1. Dukungan riset dan pengembangan
bibit unggul wilayah khatulistiwa(Deptan/Depdiknas/KMNRT)
6.2. Perbaikan kandungan sukrosa tebuhingga di atas 10%
(Deptan/Depdiknas/KMNRT)
7.1. Pemberian subsidi input pertanian
(Depkeu)7.2. Penyediaan bibit varitas unggul
(Deptan)
8.1. Pengenaan tarif impor gula (Depkeu)8.2. Penetapan volume impor sesuai
kebutuhan (Deptan)
9.1. Insentif bagi Lembaga penelitian danPerguruan Tinggi
(Deptan/Depdiknas/KMNRT)9.2. Penyebarluasan varitas tahan kering
dan panas (Deptan)
Kebijakan1) Insentif penelitian pengembangan dan komersialisasi bibit unggul (Deptan/Depdiknas/KMNRT), 2)
Dukungan investasi gula non-tebu (Pemda), 3) peningkatan konsumsi gula non-tebu untuk rumahtangga dan industri (Deptan/KADIN)
5.1. Pengaturan kerjasama pabrik dan petani tebudengan pengawasan pemerintah
5.2. Penambahan fasilitas pengolahan gula bermutu dipabrik BUMN
Strategi Industri Pedesaan
Gambar 6. 4. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Gula
51
Tabel 5.4. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Gula
Sasaran tahunan Program Aksi dan Rencana Implementasi
2010 2011 2012 2013 2014 Keterangan
1.1. Pembangunan pabrik pengolahan gula palma
berbasis gapoktan
• Bantuan sarana produksi dan modal awal industri
kecil gula palma berbasis gabungan kelompok tani
• Pendampingan teknologi dan pengembangan
pasar
3 5 5 5 5 Pabrik/ tahun
1.2. Insentif bagi investasi pabrik pembuatan gula cair
berbasis karbohidrat (umbi-umbian dan biji-bijian)
• Penguatan petani penghasil bahan baku
• Insentif harga beli bahan baku produksi petani
• Pembebasan pajak dalam masa produksi awal
2 2 2 2 2 Pabrik/ tahun
1.3. Kampanye gula sehat non-tebu untuk konsumsi rumah
tangga dan industri
• Penyiapan brosur dan leaflet yang memuat
konsumsi gula sehat
• Talk show di media TV dan Radio
• Penayangan iklan gula sehat non-tebu
50 75 100 100 100 Jam tayang
kampanye/
iklan dalam
Televisi
2.1. Perbaikan sistem tebang muat angkut pabrik gula
• Perbaikan jadwal terpadu rencana tanam dan
giling
• Pelatihan tebang, muat dan angkut bersama
pabrik gula
• Monitoring dan pengawasan tebang muat angkut
4 4 4 4 4 Pabrik
gula/tahun
52
2.2. Penerapan SOP manis, bersih dan segar secara
optimal
• Penguatan insentif dan punishment pelaksanaan
MBS (manis, bersih, segar)
• Penyuluhan dan pengawasan pelaksanaan MBS
5 5 5 5 5 Pabrik
gula/tahun
2.3. Pengawasan pabrik oleh pihak ke III
• Pembentukan Tim Pengawas
• Perbaikan proses dan efisiensi produksi
5 5 5 5 5 Pabrik
gula/tahun
3.1. Realisasi revitalisai pabrik yang layak secara teknis
dan ekonomis
• Penetapan pabrik layak revitalisasi
• Pelaksanaan dan pengawasan revitalisasi
3 3 3 3 3 Pabrik
gula/tahun
4.1.Pendirian atau penambahan pabrik pengolahan tetes
sesuai skala teknis dan ekonomis pabrik gula
• Penetapan bentuk, skala dan lokasi indutri
pengolahan tetes
• Dukungan kebijakan industri pengolahan tetes
1 1 1 1 1 Pabrik
pengolah
tetes/tahun
4.2. Penyediaan insentif investasi pengolahan tetes
• Bantuan penyediaan dana persiapan pendirian
industri
• Dukungan kebijakan
1 1 1 1 1 Pabrik
pengolah
tetes/tahun
53
5.1.Pengaturan kerjasama pabrik dan petani tebu
dengan pengawasan pemerintah
• Dukungan pembiayaan kelompok tani tebu
• Pengawasan kesepakan dan bantuan sarana
produksi tebu
5 5 5 5 5 Pabrik
gula/tahun
5.2.Penambahan fasilitas pengolahan gula bermutu di
pabrik BUMN
• Penetapan fasilitas perbaikan mutu pabrik gula
• Insentif dalam pengadaan fasilitas baru
3 3 3 3 3 Pabrik
gula/tahun
54
5.2.5. Daging Sapi
ORIENTASI PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPISwasembada daging sapi 2014 untuk peningkatan kualitas asupan gizi melalui pengembangan beternak intensif
berkelanjutan, pengembangan mutu pakan, pengembangan peternakan terintegrasi dengan perkebunan, penguatan RPH dan pengembangan sistem pasokan rantai dingin.
Impor(daging, jeroan beku,
sapi bakalan)
Produksi:• Populasi ternak: 11 –
12 juta ekor
• Populasi betina: 900
rb ekor
• Produksi daging:
249.925 ton
Pasca Panen/Pengolahan:
• RPH belum
menerapkan SJMKP
• Industri pedesaan
pengolahan kompos
belum berkembang
dengan baik
• Industri pedesaan
pengolahan kulit
belum berkembang
dengan baik
• Industri pedesaan
pengolaha daging
masih belum
menerapkan SJMKP
Perdagangan(Pemasaran):
• Impor ternak dan
daging: 28% dari
kebutuhan (70.000
ton daging dan
jeroan, dan 639.000
sapi bakalan
SWASEMBADA DAGING SAPI
Produksi:• Populasi ternak:
14,6 juta ekor
• Populasi sapi
betina: 1 juta ekor
• Produksi daging :
550 rb ton
Pasca Panen/Pengolahan:
• 75% RPH
menerapkan
SJMKP
• Industri pedesaan
pengolahan
kompos
berkembang
dengan baik
• Industri pedesaan
pengolahan kulit
berkembang
dengan baik
• 50% Industri
pedesaan
pengolahan
daging
menerapkan
SJMKP
Perdagangan (Pemasaran):
• Impor sapi bakalan
dan daging 0%
KondisiTerkini
Kondisi Yang
Diharapkan
5. Pengembangan bibit sapi dan intensifikasi usaha
peternakan6. Pengembangan usaha peternakan terintegrasi dengan
perkebunan sawit dan karet (Integrated farming system)7. Penyediaan dan Pengembangan mutu pakan8. Peningkatan kualitas kesehatan hewan
9. Pengembangan insentif untuk mencegah pemotongan sapi betina poduktif
Strategi Industri Pedesaan
1. Pengembangan dan peningkatan kualitasrumah potong hewan di sentra produksi
2. Pengembangan industri pakan pedesaan3. Pengembangan industri pedesan yang
mengolah hasil samping (kulit, kompos)4. Peningkatan kualitas produksi produk olahan
industri pedesaan
Strategi Penguat
1.1. Peningkatan fasilitas RPH (cold storage, alat
transportasi berpendingin) di sentra produksi1.2. Penerapan SJMKP pada RPH1.3 Peningkatan kualitas SDM
P r o g r a m A k s i
2.1. Bantuan peralatan untuk pengolahan pakan
ternak2.2. Pelatihan dan pendampingan2.3. Pengembangan kerjasama kemitraan antara
peternak (industri pedesaan pakan ternak) dengan peternak
3.1. Bantuan mesin dan peralatan industripedesaan pengolahan kulit, dan kompos
3.2. Pelatihan dan pendampingan3.3. Pengembangan kerjasama kemitraan
produsen kulit dengan pengrajin tas, sepatu .
5.1. Pengembangan pembibitan rakyat (Deptan)5.2. Pengembangan pembibitan swasta (Deptan)5.3. Optimalisasi inseminasi buatan dan intensifikasi kawin
alam (Deptan/Pemnda)5.4. Insentif untuk peternak berupa pembebasan biaya
inseminasi buatan (Pemnda)5.5. Peningkatan kepemilikan jumlah sapi per keluarga tani
(Deptan/Pemnda)
6.1. Pengembangan usaha peternakan terintegrasi denganperkebunan sawit. (Deptan/KMNBUMN)
6.2. Pengembangan usaha peternakan terintegrasi denganperkebunan karet (Deptan/KMNBUMN)
6.3. Pengembangan peternakan terintegrasi dengan sentraproduksi jagung (Deptan/Pemnda)
7.1. Penyediaan lahan untuk pakan hijauan (BPN).7.2. Peningkatan pengetahuan pakan peternak
(Deptan/Pemnda)7.3. Peningkatan kemampuan poktan melakukan
pengolahan pakan (DEPTAN)
8.1. Peningkatan kualitas layanan kesehatan (Deptan/Pemnda)
8.2. Penurunan gangguan reproduksi (Deptan/Pemnda)
9.1. Pengembangan skema pembiayaan dengan bungarendah untuk pembibitan rakyat dan swasta (Depkeu)
Kebijakan
1) Pengalihan impor sapi bakalan menjadi sapi induk (betina) (Deptan), 2) insentif bantuan permodalan untuk pembibitan sapi oleh
peternak rakyat dan swasta KUPS (Depkeu),3)memperketat pelaksanaan peraturan pemotongan sapi betina produktif , (DEPKUHAM) 4)kebijakan pengembangan infrastruktur RPH yang dilengkapi dengan coldstorage dan coldchain distribution
facility di sentral produksi (Deptan/Pemda)
4.1. Pelatihan penerapan SJMKP pada produsenpengolahan daging
4.2. Penerapan SJMKP pada produsenpengolahan daging dan pendampingan
Gambar 5.5. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Daging Sapi
55
Tabel 5.5. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Daging
Sapi
Sasaran tahunan Program Aksi dan Rencana Implementasi
2010 2011 2012 2013 2014 Keterangan
1.1.Peningkatan fasilitas RPH (cold storage, alat
transportasi berpendingin) di sentra produksi
• Identifikasi kekurangan fasilitas RPH
• Penguatan fasilitas
- 1 3 5 5 Kumulatif
sentra
produksi
1.2.Penerapan SJMKP pada RPH
• Sosialisasi SJMKP
• Pendampingan penerapan SJMKP
5 20 40 60 80 Kumulatif
RPH yang
menerapka
n SJMKP
1.3.Peningkatan kualitas SDM
• Pelatihan manajemen pengelolaan RPH
• Pelatuhan SJMKP
20 40 100 160 200 Jumlah
SDM
terlatih/
tahun
2.1.Bantuan peralatan untuk pengolahan pakan ternak
• Identifikasi kebutuhan peralatan
• Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
• Penentuan kelompok tani penerima
• Realisasi bantuan
• Pendampingan
3 8 15 20 25 Poktan (unit
usaha)/th
56
2.2. Pelatihan dan pendampingan
• Pelatihan produksi dan manajemen pengelolaan
industri perdesaan pakan ternak
• Pendampingan operasionalisasi industri perdesaan
pakan ternak.
20 40 100 160 200 SDM
terlatih/
tahun
2.3.Pengembangan kerjasama kemitraan antara peternak
(industri perdesaan pakan ternak dengan peternak
• Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama
• Menguatkan faktor kerjasama
• Mengawasi faktor kerjasama
10 30 50 100 125 Kumulatif
poktan
terlibat
3.1.Bantuan mesin dan peralatan industri perdesaan
pengolahan kulit, dan kompos
• Identifikasi kebutuhan peralatan
• Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
• Penentuan kelompok tani penerima
• Realisasi bantuan
• Pendampingan
5 10 20 40 50 Unit
(poktan)
3.2. Pelatihan dan pendampingan
• Pelatihan produksi dan manajemen pengelolaan
industri perdesaan pakan ternak
• Pendampingan
20 40 100 160 200 SDM
terlatih/
tahun
57
3.3.Pengembangan kerjasama kemitraan produsen kulit
dengan pengrajin tas, sepatu
• Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama
• Menguatkan faktor kerjasama
• Mengawasi faktor kerjasama
10 30 50 100 125 Kumulatif
poktan
terlibat
4.1.Pelatihan penerapan SJMKP pada produsen
pengolahan daging
• Pelatihan SJMKP (GMP, SSOP dan HACCP) pada
pelaku usaha industri perdesaan pengolaha
daging
20 40 100 160 200 SDM
terlatih/tah
un
4.2 Penerapan SJMKP pada produsen pengolahan daging
dan pendampingan
5 15 25 50 75 Unit usaha
menerapka
n SJMKP
58
5.2.6. Sawit
Produksi:
• Produktivitas
perkebunan rakyat 8
ton TBS/ha/th, KBS
dan KBN 15-20
TBS/ha/th
• Produksi: 19.440
ribu ton
• Belum memiliki
standar perkebunan
kelapa sawit
berkelanjutan
Pasca Panen/
Pengolahan:
• Sawit rakyat belum
terserap semua oleh
PKS
Perdagangan
(Pemasaran):
• Kampanye negatif
(isu lingkungan dan
kesehatan)
Dalam Negeri:14.060
ribu ton
• Pangan:11.155 ribu
ton
• Oleokimia:815 ribu
ton
• Biodisel:2.090 ribu
ton
Ekspor
• CPO:40%
• Produk turunan
CPO:60%
Produksi:• Produktivitas 20 ton
TBS/ha/th• Produksi:28,439 ribu
ton
• Memiliki standar
perkebunan kelapa
sawit berkenjutan
Pasca Panen/
Pengolahan:
• Sawit rakyat terserap
semua oleh PKS
• Berkembangnya
industri produk hilir
sawit
Perdagangan
(Pemasaran):
• Berkurangnya
kampanye negatif
perdagangan sawit
Dalam Negeri: 17.090
ribu ton
• Pangan:12.412 ribu
ton
• Oleokimia:1.313 ribu
ton
• Biodisel:3.366 ribu
ton
Ekspor
• CPO:25%
• Produk turunan
CPO:75%
Kondisi
TerkiniKondisi Yang
Diharapkan
4. Peningkatan produksi dan produktivitas sawit5. R & D untuk penguatan industri sawit
nasional.6. Perbaikan infrastruktur7. Pengembangan standar perkebunan sawit
berkelanjutan
1. Peningkatan penyerapan TBS kebun
rakyat oleh PKS
2. Pengembangan industri hilir sawit
3. Peningkatan pemasaran produk
sawit dan turunannya di DN dan LN
Strategi Penguat
4.1. Peningkatan produksi kelapa sawit (Deptan)
4.2. Peningkatan produktivitas kebun sawit (Deptan)
P r o g r a m A k s i
1.1. Peningkatan kemitraan antara petani
dan PKS
1.2. Pendirian PKS bagi kebun rakyat
yang tidak bisa dimitrakan skala 30
ton TBS/jam (coorporate farming)
5.1. Penguatan riset dan pengembangan yang
berkaitan dengan perkebunan sawit dalam kaitannya dengan isu lingkungan
(Deptan/KMNRT/Depdiknas)
5.2. Penguatan riset dan pengembangan produk hilir sawit (Deptan/KMNRT/Depdiknas)
5.3. Dukungan riset dan pengembangan produk sam-ping hasil kelapa sawit (Deptan/KMNRT/Depdiknas)
Kebijakan1)Insentif riset untuk menjawab kampanye negatif tentang isu lingkungan pengembangan perkebunan
sawit dan isu kesehatan minyak sawit (Deptan/Depdiknas/KMNRT) 2)Insentif pembebasan
pajak impor mesin dan peralatan industri hilir dan hasil samping sawit (Depkeu), 3)Kebijakan
alokasi untuk pangan dan biofuel (Deptan/Dep ESDM) 4)Subsidi harga untuk biodiesel(Depkeu)
6.1. Pembangunan/perbaikan akses jalan di
kebunkelapa sawit (Dep PU)6.2 Inisiasi pembangunan jalur kereta di sentra
produksi sawit (Dep PU)
6.3. Advokasi pembangunan pelabuhan CPO (Dep PU/Dephub)
6.4. Penyediaan pasokan gas dan listrik untuk
pengembangan industri sawit (Dep ESDM)
2.1. Mendorong investasi pengembangan
industri produk hilir sawit (oleokimia,
nutracitical)
2.2. Mendorong investasi pengembangan
industri biodiesel
2.3. Mendorong investasi
pengembangan industri berbasis
TBK dan pohon sawit
3.1. Kebijakan advokasi untuk menangkal
kampanye negatife pengembangan
kelapa sawit nasional
3.2. Pengaturan harga TBS
7.1. Penyusunan standar perkebunan kelapa sawit
berkelanjutann (BSN/Deptan)7.2. Penetapan dan pemberlakuan standar
perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (Deptan)
Strategi Industri Pedesaan
ORIENTASI PENGEMBANGAN SAWITMempertahankan pertumbuhan nilai ekspor sawit melalui peningkatan peran perkebunan sawit rakyat
dan penguatan industri hilir untuk mendukung peningkatan nisbah ekspor produk olahan
Gambar 5.6. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Sawit
59
Tabel 5.6. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Rasaran Pengembangan Industri Perdesaan Sawit
Sasaran tahunan Program Aksi dan Rencana Implementasi
2010 2011 2012 2013 2014 Keterangan
1.1. Peningkatan kemitraan antara petani dan PKS
• Penyusunan model kemitraan
• Sosialisasi kepada pelaku usaha
• Pengembangan contoh model kemitraan di Sumut, Riau,
Sumsel, Kalsel, Kalteng, Kaltim dan Papua
60 70 80 90 100 Persentase
penyerapan
TBS dari kebun
rakyat oleh
PKS
1.2.Pendirian PKS bagi kebun rakyat yang tidak bisa dimitrakan
skala 30 ton TBS/jam (coorporate farming)
• Pendirian PKS dengan kapasitas minimal 30 ton TBS/jam
60 70 80 90 100 Persentase
penyerapan
TBS dari kebun
rakyat oleh
PKS
2.1.Mendorong investasi pengembangan industri produk hilir
sawit (oleokimia, nutracitical)
• Insentif pajak bagi industri hilir sawit
• Kebijakan tarif bea keluar
- - 1 - 1 Pertambahan
industri hilir
produk sawit
2.2.Mendorong investasi pengembangan industri biodiesel
• Insentif jaminan pasar produk biodiesel
• Insentif harga untuk subsidi di tingkat konsumen
• Insentif pajak untuk peralatan produksi
- 1 - 1 - Pertambahan
industri
biodiesel
60
2.3.Mendorong investasi pengembangan industri berbasis
TBK dan pohon sawit
• Insentif pembiayaan untuk pengembangan industri
berbasis TBK dan pohon sawit
- 1 - 1 - Pertambahan
industri hasil
samping sawit
3.1.Kebijakan advokasi untuk menangkal kampanye negatife
pengembangan kelapa sawit nasional
• Penguatan dukungan riset hulu dan hilir kelapa sawit
• Peningkatan intensitas counter negative campaign
melalui media cetak dan website
• Temu bisnis dengan importir CPO
2 2 2 2 2 Kegiatan
kampanye
sawit melalui
seminar atau
temu bisnis
3.2.Pengaturan harga TBS Ada Ada Ada Ada Ada Penetapan
harga TBS
61
5.2.7. Karet
Page ďż˝ 65
Produksi:• Produksi 2.652
ribu ton/th
• Produktivitas 0.8 ton/ha/th
• Peremajaan
kebun karet
rakyat 700 ribu ha
Pasca Panen/Pengolahan:
• Pengolahn lateks
di tingkat kelompok tani
belum ada• Mutu lateks
rendah
Perdagangan
(Pemasaran):
• Penyerapan bahan baku karet
DN 15% (55%
untuk industriban)
• Ekspor 85% dari
produksi (2.4 jutaton) dalam bentuk
setengah jadi
(crumrubber danlateks)
Produksi:• Produksi 2.801
ribu ton/th
• Produktivitas 1 ton/ha/th
• Peremajaan
kebun rakyat1.350 ribu ha
Pasca Panen/
Pengolahan:
• Pengolahan
lateks di tingkat kelompok tani
berkembang
• Penerapan SNI lateks 70%
Perdagangan
(Pemasaran):
• Penyerapan
bahan baku karet oleh
industri DN
50%.• Ekspor
setengah jadi75%
• Ekspor produk
olahan 10%
Kondisi
Terkini
Kondisi YangDiharapkan
4. Peningkatan produksi karet dan perbaikan teknologi produksi serta peralatan budidaya dan industri
5. Perbaikan kebijakan dan penurunan biaya ekspor
6. penyediaan dana subsidi untuk ekspor7. Peningkatan kualitas bokar
1. Peningkatan mutu komoditas dan produk karet alam
2. Peningkatan efsiensi biaya produksi melalui peningkatan keterampilan kinerja sumberdaya manusia, serta penguatan kelembagaan
3. Perluasan pemasaran
Strategi Penguat
4.1. Peningkatan produktifitas kebun (Deptan)4.2. Pengembangan industri karet olahan
(Deptan/Deprin)
P r o g r a m A k s i
2.1. Peningkatan keterampilan, teknis, keahlian dan manajemen usaha
2.2. Penguatan kelembagaan asosiasi usaha komoditas karet
5.1. Mendorong pertumbuhan investasi industri
pendukung (BKPM/Depkeu)5.2. Insentif perpajakan kepada industri yang
membantu peremajaan perkebunan karet(Depkeu)
5.3. Perbaikan ekonomi biaya tinggi (Depdagri)
Kebijakan1) Revitalisasi kebun karet rakyat melalui peremajaan (Deptan/Depkeu) 2) Kebijakan pendorong
tumbuhnya industri hilir (ban) di dalam negeri (Deprin/Depkeu)
1.1. Penerapan Good Agricultural Practices(GAP)
1.2. Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP)pada industri karet
1.3. Standarisasi mutu produk1.4. Peningkatan kemampuan kelompok tani
mengolah sheet
3.1. Peningkatan ekspor komoditas dan produk karet ala
6.1. Pengenaan PPN ekspor sheet (Depkeu)6.2. Insentif pajak untuk ekspor produk hilir
(Depkeu)
7.1. Peningkatan kemampuan mengolah petanikaret (deptan)
7.2. Pelatihan dan pendampingan(Deptan/Pemnda)
7.3. Insentif harga untuk kualitas bokar yang baik (Deptan)
Strategi Industri Pedesaan
ORIENTASI PENGEMBANGAN KARETPeningkatan mutu melalui penerapan GAP dan GMP yang didukung oleh perbaikan produktivitas kebun
dan pengembangan industri hilir
Gambar 5.7. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Karet
62
Tabel 5.7. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Karet
Sasaran tahunan
Program Aksi dan Rencana Implementasi 201
0 2011 2012 2013 2014
Keterangan
1.1. Penerapan Good Agricultural Practices (GAP)
• Sosialisasi pedoman GAP
30 40 50 60 70 Persentase wajib
standar SNI
1.3. Penerapan Good Manufacturing Practices
(GMP)pada industri karet
• Sosialisasi pedoman GMP
30 40 50 60 70 Persentase wajib
standar SNI
1.3. Standarisasi mutu produk
• Sertifikasi dan apresiasi mutu produk karet dan
produk olahannya
• Penerapan dan pengawasan SNI bokar dan
SNI ban
• Penerapan standar mutu produk karet olahan
selain ban sesuai SNI
30 40 50 60 70 Persentase wajib
standar SNI
1.4. Peningkatan kemampuan poktan mengolah
sheet
• Pelatihan/magang poktan dalam pengolahan
sheet karet
• Pendampingan teknologi pengolahan karet
30 40 50 60 70 Persentase wajib
standar SNI
63
2.1. Peningkatan keterampilan, teknis, keahlian dan
manajemen usaha
• Pelatihan/magang pelaku usaha di bidang
budidaya, produksi karet, serta pengolahan
karet menjadi produk turunannya
• Peningkatan kemampuan SDM
petani/pengolah karet dalam melaksanakan
GAP dan akuisisi teknologi serta berorientasi
pada mutu
• Peningkatan peran balai penelitian dalam
transfer teknologi pasca panen maupun
pengembangan industri olahan karet
• Pengembangan kelembagaan koperasi
petani
10 10 10 10 10 Program
penguatan
kelembagaan
petani dan
kemitraan
(kegiatan/th)
2.2. Penguatan kelembagaan asosiasi usaha
komoditas karet
• Pelatihan kemampuan manajerial pengurus
asosiasi usaha komoditas karet
10 10 10 10 10 Program
penguatan
kelembagaan
petani dan
kemitraan
(kegiatan/th)
3.1. Peningkatan ekspor komoditas dan produk karet
alam
• Membangun dan mempromosikan merk lokal
di pasar internasional
• Bilateral agreement dengan pasar utama
produk untuk meningkatkan pasar ekspor
• Pengembangan pasar ekspor
2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 Peningkatan
pertumbuhan
ekspor (juta
ton/th)
64
5.2.8. Kakao
Produksi:• Produksi: 850 ribu
ton
Pasca Panen/
Pengolahan:• Sebagian besar
unfermented bean• Mutu belum baik
• Industri pedesaan
pengolahan biji kakao menjadi
lemak kakao dan bubuk kakao belum
berkembang
Perdagangan (Pemasaran):
• Fermented bean masih impor
• Ekspor dalam
bentuk biji kakao: olahan = 20:80%
Produksi:• Produksi:1.648
ribu ton
Pasca Panen/Pengolahan:
• 100% fermented bean
• Mutu 100% sesuai SNI
• Tumbuhnya industri pedesaan
pengolahan biji kakao menjadi lemak kakao dan
bubuk kakao
Perdagangan (Pemasaran):
• Fermented bean
dicukupi produksi
dalam negeri• Ekspor dalam
bentuk fermented bean : olahan =
50:50
KondisiTerkini
Kondisi YangDiharapkan
5. Peningkatan dan produktivitasperkebunan kakao
6. Perbaikan cara budidaya untuk peningkatan mutu kakao
7. Penguatan permodalan petani kakao
Strategi Penguat
1.1. Pembangunan fasilitas unit fermentasi dan
pengeringan di sentra kakao1.2. Penerapan SJMKP untuk peningkatan mutu
P r o g r a m A k s i
Kebijakan1) Menghilangkan peraturan yang menghambat pengembangan industri olahan kakao
(Deptan/Deprin/Depdag) , 2)Adanya skema pembiayaan yang bisa diakses oleh industri kecil,
(Depkeu) 3)Poktan dan gapoktan menjadi lembaga berbadan hukum (koperasi poktan/gapoktan) (Deptan/KMN Kop dan UKM), 4)Kebijakan mewajibkan eksportir dan gudang teregistrasi
(Deptan/Depdag)
6.1. Penerapan GAP (Deptan)
6.2. Penguatan SDM pengolahan (Deptan)
5.1. Peningkatan produktivitas tanaman
secara bertahap hingga mencapai sekitar
1,1 ton/hektar/tahun (Deptan)5.2. Peningkatan penggunaan tanaman kakao
unggul pada perkebunan kakao nasional
(Deptan)
5.3. Penguatan kelembagaa poktan/gapoktan sebagai penyedia sarana produsi
(Deptan/Pemnda)
1. Peningkatan kemampuan prosesfermentasi skala kecil
2. Perluasan pemasaran 3. Penumbuhkembangan industri pedesaan
hilir pengolahan kakao4. Penerapan SJMKP
4.1. Penerapan Good Handling Practices (GHP)
dan Good Manufacturing Practices (GMP)
4.2. Penerapan SNI pada unit fermentasi danpengolahan
2.1. Pengembangan kemitraan poktan dengan
industri pedesaan pengolahan kakao
2.2. Peningkatan jumlah ekspor dalam bentuk
fermented bean dan olahan2.3. Peningkatan kerjasama perdagangan
internasional
2.4. Penguatan kelembagaan petani
3.1. Pengembangan industri pedesaan
pengolahan lemak kakao dan bubuk kakao7.1. Pengembangan skema pembiayaan yang
dapat diakses oleh petani kakao (Depkeu)
7.2. Penguatan SDM pengolahan Deptan)
Strategi Industri Pedesaan
ORIENTASI PENGEMBANGAN KAKAOMeningkatkan nilai ekspor kakao melalui pengembangan proses fermetasi biji kakao skala kecil dan
penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan lemak kakao dan bubuk kakao untuk memenuhi
kebutuhan industri dalam negeri dan mendukung peningkatan jumlah ekspor dalam bentuk produk olahan
Gambar 5.8. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Kakao
65
Tabel 5.8. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Kakao
Sasaran tahunan Program Aksi dan Rencana Implementasi
2010 2011 2012 2013 2014 Keterangan
1.1.Pembangunan fasilitas unit fermentasi dan
pengeringan di sentra kakao
• Penentuan sentra produksi sasmentasi
• Pembangunan fasilitas unit fermentasi
• Palatihan dan pendampingan
15 35 70 90 100 Kumulatif
persentase kakao
terfermentasi (%)
1.2. Penerapan SJMKP untuk peningkatan mutu
• Pelatihan SJMKP
• Pendampingan penerapan SJMKP
10 25 60 80 100 Kumulatif
persentase poktan
yang menerapkan
SJMKP
2.1.Pengembangan kemitraan poktan dengan industri
perdesaan pengolahan kakao
• Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama
• Menguatkan faktor kerjasama
• Mengawasi faktor kerjasama
25 60 100 130 150 Kumulatif jumlah
poktan yang terlibat
2.2.Peningkatan jumlah ekspor dalam bentuk
fermented bean dan olahan internasional
• Peningkatkan jaringan pemasaran
• Peningkatkan mutu dan pengembangan merk
Indonesia di pasar internasional
• Peningkatkan promosi ekspor dan fasilitasi
perdagangan
10 10 10 10 10 Persentase
peningkatan
volume ekspor
fermented bean
dan olahan
66
• Peningkatkan akses pasar ekspor dan dalam
negeri
• Peningkatan mutu biji kakao yang dijual petani
dari unfermented bean menjadi fermented
bean
• Pengembangan riset dan teknologi untuk
produk kakao olahan pangan dan non pangan
2.3. Peningkatan kerjasama perdagangan
• Penyelenggaraan
seminar/lokakarya/konferensi dan pameran
produk kakao dan olahannya di tingkat
internasional
5 15 30 45 50 Kumulatif kerjasama
perdagangan antar
negara
2.4. Penguatan kelembagaan petani 25 60 100 130 150 Kumulatif jumlah
poktan/gapoktan
yang berhasil
melakukan
kerjasama
perdagangan
67
3.1.Pengembangan industri perdesaan pengolahan
lemak kakao dan bubuk kakao
• Penyediaan enegji alternatif untuk efisiensi
produksi pada industri kecil kakao olahan
• Modifikasi teknologi pengolahan dan produksi
kakao olahan
• Penumbuhkembangan industri pengolahan biji
kakao skala kecil di perdesaan
• Pelatihan pelaku usaha di bidang pengolahan
kakao dan produk turunannya
5 15 40 55 65 Jumlah industri
perdesaan
pengolahan lemak
kakao dan bubuk
kakao
4.1.Penerapan Good Handling Practices (GHP) dan
Good Manufacturing Practices (GMP)
• Sosialisasi pedoman GHP dan GMP
• Pelatihan dan pendampingan
20 40 80 120 140 Jumlah unit
pengolahan yang
menerapkan GHP
dan GMP
4.2. Penerapan SNI pada unit fermentasi dan
pengolahan
10 30 60 80 100 Persentase kumulatif
jumlah unit
fermentasi dan
pengolahan yang
menerapkan SNI
68
5.2.9. Ayam Pedaging
ORIENTASI PENGEMBANGAN PETERNAKAN AYAM PEDAGINGPengembangan industri pedesaan pengolahan daging ayam untuk peningkatan kualitas asupan gizi
melalui pengembangan usaha ternak yang intensif berkelanjutan, pengembangan pakan, dan penerapanSJMKP pada industri pengolahan daging ayam pedesaan
Produksi Surplus
Produksi:• Produksi: 1.360
ribu ton
Pengolahan:• Industri
pengolahan daging
ayam sebagian
besar adalah industri besar di
perkotaan
• Industri pedesaan
pengolahan daging ayam belum
berkembang
dengan baik
• Industri pedesaan pengolahan daging
masih belum
menerapkan
SJMKP• Pengembangan
Pakan ternak
berbasis bahan
baku lokal
Perdagangan
(Pemasaran):
• Konsumsi: 1.013
ribu ton
Produksi Surplus
Produksi:
• Produksi:1.488 ribu
ton
Pasca Panen/
Pengolahan:
• Industri pedesaan pengolahan daging
ayam berkembang
dengan baik
• 50% Industri
pedesaan pengolahan daging
ayam menerapkan
SJMKP
• Pengembangan Pakan ternak
berbasis bahan
baku lokal
berkembang
Perdagangan
(Pemasaran):
• Konsumsi: 1.293 ribu ton
• Ekspor produk
olahan
Kondisi
Terkini
Kondisi YangDiharapkan
5. Penyediaan pakan ternak6. Peningkatan skala usaha peternakan dengan
pengembangan kemitraan yang berkeadilan7. melindungi produk perunggasan dalam negeri dari
ancaman produk luar baik legal maupun ilegal8. Penciptaan iklim investasi yang kondusif
9. Penanganan dan pencegahan flu burung
Strategi Industri Pedesaan
1. Pengembangan dan peningkatan kualitas rumahpotong unggas di sentra produksi
2. Peningkatan industri pedesaan pengolahan dagingayam dengan mengenalkan produk baru
3. Peningkatan kualitas produk olahan denganpenerapan SJMKP
4. Peningkatan konsumsi daging ayam
Strategi Penguat
1.1. Peningkatan fasilitas RPU (cold storage, alattransportasi berpendingin) di sentra produksi
1.2. Penerapan SJMKP pada RPU1.3 Peningkatan kualitas SDM
P r o g r a m A k s i
2.1. Pengenalan produk baru olahan daging ayam(baso)
2.2. Bantuan peralatan untuk pengolahan daging ayam.2.3. Pelatihan dan pendampingan2.4. Fasilitasi pemasaran
5.1. Penyediaan bahan bakan (jagung, tepung ikan)5.2. Pengembangan usaha pakan ternak pedesaan5.3. Pengembangan pakan ternak yang lebih murah
dengan memanfaatkan sumber pakan lokal
6.1. Pengembangan kemitraan antara peternakdengan perusahaan peternakan dengan prinsipyang lebih berkeadilan (Deptan/Deprind/Depdag)
7.1. Peraturan ekspor dan impor yang lebih
melindungi kepentingan peternak (Depkeu)7.2. Penegakkan hukum yang tegas bagi pelaku
pemasukan produk unggas ilegal (Depkuhham)
8.1. Penghapusan PPN untuk sarana produksiunggas (Depkeu)
8.2. Penghapusan ekonomi biaya tinggi (Depdagri)
9.1. Sistem penanganan, pencegahan flu burung
yang lebih komprehensif (Deptan)9.2. Penyediaan sarana pencegahan flu burung
dalam jumlah yang memadai (Deptan)
Kebijakan
1) Skema pembiayaan untuk mendukung pengembangan peternakan unggas, (Depkeu), 2)Peraturan
impor yang dapat melindungi kepentingan peternak unggas, (Deptan/Depkeu) 3) pengembangan
dan penguatan RPU di sentra produksi (Deptan/Dep PU)
3.1. Pelatihan penerapan SJMKP pada produsenpengolahan daging
3.2. Pendampingan penerapan SJMKP pada produsenpengolahan daging
4.1. Kampanye makan daging ayam untukmeningkatkan asupan gizi
4.2. Pengembangan diversifikasi produk olahan dagingayam
Gambar 5.9. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Ayam Pedaging
69
Tabel 5.9. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Ayam
Pedaging Sasaran tahunan
Program Aksi dan Rencana Implementasi 2010 2011 2012 2013 2014
Keterangan
1.1.Peningkatan fasilitas RPU (cold storage, alat
transportasi berpendingin) di sentra produksi
• Identifikasi kekurangan fasilitas RPH
• Penguatan fasilitas
2 7 10 15 20 RPU
1.2. Penerapan SJMKP pada RPU
• Sosialisasi SJMKP
• Pendampingan penerapan SJMKP
5 10 20 30 40 RPU yang
menerapkan SJMKP
1.3 Peningkatan kualitas SDM
• Pelatihan manajemen pengelolaan RPH
• Pelatihan SJMKP
20 60 100 160 200 Kumulatif jumlah staf
RPU yang ikut
pendam-pingan
2.1. Pengenalan produk baru olahan daging ayam
(baso) pemasaran
• Penerbitan media deseminasi pengolahan
berbagai produk olahan berbasis daging ayam
ada ada ada ada ada Tersedianya media
diseminasi
2.2. Bantuan peralatan untuk pengolahan daging
ayam
• Identifikasi kebutuhan peralatan
• Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
• Penentuan kelompok tani penerima
• Realisasi bantuan
5 10 20 35 50 Unit usaha (poktan)
2.3. Pelatihan dan pendampingan
• Pelatihan teknologi produksi pengolahan daging
ayam
20 60 120 160 200 Kumulatif orang
terlatih
70
2.4. Fasilitasi peralatan pengolahan daging ayam
• Bantuan peralatan penmgolahan daging ayam
10 30 50 75 100 Kumulatif poktan
yang terlibat
3.1. Pelatihan penerapan SJMKP pada produsen
Pengolahan daging
• Pelatihan penerapan SJMKP
20 40 80 100 120 Kumulatif jumlah
poktan ikut
pelatihan
3.2. Pendampingan penerapan SJMKP pada produsen
Pengolahan daging
• Pendampingan penerapan SJMKP
5 25 35 40 50 Kumulatif jumlah
poktan (unit usaha)
yang menerapkan
4.1. Kampanye makan daging ayam untuk
meningkatkan asupan gizi
MM MM
& ME
MM
& ME
MM
& ME
MM
& ME
Media kampanye
(MM= media massa,
ME= Media
elektronik)
4.2. Pengembangan diversifikasi produk olahan daging
ayam
1 1 1 1 1 Produk olahan
71
5.2.10. Buah Tropika
Produksi:
• Produksi 18.400 ributon
• Produksi tersebar
berbasis masyarakat• Belum menerapkan
GAP
Pasca Panen/Pengolahan:
• Kehilangan pasca panen masih tinggi
(30-50%) • Mutu buah segar
belum baik• Industri pedesaan
manisan, selai, bubur
buah dan lainnya belum berkembang
dengan baikPerdagangan (Pemasaran):
• Ekspor Buah segar
15.651 ton• Ekspor buah olahan• 107.574 ton
Produksi:
• Produksi 22.543 ribu ton
• Produksi terintegrasi pola klaster di sentra
produksi• Menerapkan GAP
Pasca Panen/
Pengolahan:• Kehilangan pasca
panen 20-25% • Mutu buah segar
sesesuai standar ekspor
• Industri pedesaan
manisan, selai, bubur buah dan
produk olahan lainnya berkembangdengan baik
Perdagangan (Pemasaran):
• Ekspor Buah segarmeningkat10%/tahun
• Ekspor buah olahan
meningkat10%/tahun
KondisiTerkini
5. Peningkatan produksi melalui
penguatan teknologi budi daya6. Pengembangan kawasan kebun
buah tropika7. Penerapan SJMKP pada budidaya
buah tropika
8. Dukungan infrastruktur (sarana danprasarana)
1. Penguatan teknologi pasca panen untuk
menekan kerusakan dan susut2. Penerapan SJMKP
3. Pengembangan industri pedesaanpengolahan manisan, selai dan buburbuah (pulp buah).
4. Peningkatan pemasaran domestik danekspor
Strategi Penguat
5.1. Peningkatan produksi buah tropika (Deptan)
5.2. Perluasan areal tanam buah varietas yang
sesuai dengan permintaan pasar buahsegar (Deptan/Pemnda)
5.3. Perluasan areal tanam buah sesuaikebutuhan industri pengolahan
(Deptan/Pemnda)
P r o g r a m A k s i
3.1. Bantuan peralatan industri pedesaanpengolahan manisan, selai, dan bubur buah
(pulp buah)3.2. Skema bantuan modal dengan bunga
rendah
3.3. Pelatihan dan pendampingan7.1. Pengembangan Indo GAP yang
diharmonisasi global-GAP (BSN/Deptan)7.2. Akselerasi penerapan Indo-GAP (Deptan)
Kebijakan1)Penerbitan bea masuk impor buah tropika (Depkeu), 2)Dukungan sarana transportasi darat, laut
dan udara yang mendukung transportasi buah segar (Dephub), 3)pengembangan kawasan
produksi buah tropika (Deptan, Pemda)
2.1. Akselarasi penerapan SOP, GHP, GMP
4.1. Peningkatan pemasaran dalam negeri
4.2. Peningkatan pemasaran produk buah untukpasar ekspor
4.3. Pengembangan promosi4.4. Pengembangan sisitem informasi pasar
1.1. Bantuan peralatan VHT untuk mengatasipenyakit pasca panen
1.2. Peningkatan kualitas SDM penyuluh danpetani untuk penanganan pasca panen buah
6.1. Peningkatan kawasan kebun buah tropikasesuai dengan kebutuhan pasar ekspor
(Deptan/Pemnda)
8.1. Pengembangan sarana packaging house (Deptan)
8.2. Pengembangan sarana cold storage (Deptan)
Strategi Industri Pedesaan
Kondisi YangDiharapkan
ORIENTASI PENGEMBANGAN BUAH TROPIKAMeningkatkan pasar (DN dan LN) buah tropika melalui penerapan SJMKP pada kegiatan on farm dan off
farm serta penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan buah
Gambar 5.10. Strategi pengembangan industri buah tropika
72
Tabel 5.10. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Buah
Tropika Sasaran tahunan
Program Aksi dan Rencana Implementasi 2010 2011 2012 2013
201
4
Keterangan
1.1. Bantuan peralatan VHT untuk mengatasi penyakit
pasca panen
• Identifikasi poktan
• Realisasi bantuan
• Pendampingan teknologi
5 20 40 65 75 Kumulatif
jumlah poktan
penerima
bantuan
1.2.Peningkatan kualitas SDM penyuluh dan petani untuk
penanganan pasca panen buah
• Pelatihan farm manajemen
• Training penerapan Global GAP, GHP, GMP
• Pendampingan penerapan GlobalGAP, GHP, GMP
• Sosialisasi penerapan QMS (quality management
system)
10 20 40 50 1.7 Kumulatif
persentase
penyuluh dan
poktan
2.1. Akselarasi penerapan SOP, GHP, GMP
• Penyusunan SOP, GHP dan GMP
• Sosialisasi keamanan produk SOP, GHP, GMP
• Fasilitasi penerapan keamanan produk (HCCP, MLR
(minimum level residue) SOP, GHP dan GMP
30 40 50 60 60 Persentase
gapoktan yang
menerapkan
GHP dan GMP
3.1.Bantuan peralatan industri perdesaan pengolahan
manisan, selai, dan bubur buah (pulp buah)
• Identifikasi poktan
• Fasilitasi pengembangan industri kecil olahan buah
berbasis perdesaan
• Bantuan peralatan pengolahan
10 25 50 70 80 Jumlah industri
perdesaan
pengolahan
buah
73
3.2. Skema bantuan modal dengan bunga rendah
• Identifikasi poktan
• Bantuan permodalan
• Monitoring dan evaluasi
ada ada ada ada ada Skema
bantuan modal
dengan bunga
rendah atau
syariah
3.3. Pelatihan dan pendampingan
• Pendampingan teknologi
• Pendampingan pemasaran
10 25 50 70 80 Jumlah
kelompok yang
mendapat
pelatihan dan
pendampingan
4.1. Peningkatan pemasaran dalam negeri
• Gerakan cinta produksi buah local
• Insentif peralatan dan teknologi dalam bentuk
sarana seperti packing house untuk meningkatan
kualitas buah lokal
5% 5% 5% 5% 5% Persentase
peningkatan
pasar dalam
negeri
4.2. Peningkatan pemasaran produk buah untuk pasar
Ekspor
10% 10% 10% 10% 10% Persentase
peningkatan
pasar dalam
negeri
74
• Pameran produksi buah tropika untuk menarik
konsumen luar negeri
• Peningkatan lobi dengan pembeli di luar negeri
• Branding produk untuk menjaga loyalitaas
konsumen ekspor
• Temu bisnis (petani, eksportir, importir)
• Preferensi produk oleh calon konsumen di negara
tujuan
4.3. Pengembangan promosi
• Pencitraan buah tropika Indonesia melalui tayangan
iklan
MM MM
&
ME
MM
&
ME
MM
&
ME
MM
&
ME
Media
kampanye
4.4. Pengembangan sistem informasi pasar
• Penyusunan data base produksi buah
ada ada ada ada ada Informasi pasar
75
5.2.11. Biofarmaka
Produksi:Produksi:0.5 juta
ton
Pasca Panen/Pengolahan:
• Pengolahan simplisia di tingkat petani
belum dilakukan• Mutu simplisia
masih rendah
Perdagangan (Pemasaran):
• Perdagangn dari petani dalam rimpang segar
• Rantai pasokbelum terintegrasi
Produksi:Produksi: 0.6 juta
ton
Pasca Panen/Pengolahan:
• Poktan/gapoktan
melakukan
pengolahan
simplisia
• Mutu simplisia
sesuai SNI 50%
Perdagangan (Pemasaran):
• Perdangan dari
poktan/gapoktan
dalam bentuk
simplisia
• Peningkatan
ekspor 100%
(20%/th)
• Rantai pasok
terstruktur secara
klaster/kemitraan
KondisiTerkini
Kondisi YangDiharapkan
5. Peningkatan produksi melalui
pengembangan sentra produksi biofarmaka
6. Penelitian dan Pengembangan dan penyediaan benih unggul
7. Kebijakan pendukung dan penguatan industri biofarmaka (Departemen Kesehatan)
1. Pemberian insentif untuk pengembangan
penanganan pasca panen danpengolahan primer
2. Penguatan dan penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan biofarmaka
3. Peningkatan kualitas produk biofarmaka
4. Pengembangan kemitraan poktan dengan IK/IM/IB pengolahan biofarmaka.
Strategi Penguat
1.1. Bantuan peralatan pengolahan simplisia
kepada poktan/industri pedesaan
1.2. Pengembangan SDM (penyuluh dan petani)
dalam pengolahan simplisia
P r o g r a m A k s i
2.1. Penguatan teknologi dengan bantuan
peralatan industri pedesaan pengolahan
minuman instan dan minuman siap minum
(RTD)
2.2. Penguatan penguasaan teknologi SDM
penyuluh dan pelaku usaha
2.3. Fasilitasi akses pasar
2.4. Pengembangan skema pembiayaan yang
dapat diakses industri pedesaan
4.1. Pengembangan kemitraan poktan/gapoktan
dengan IK/IM/IB pengolahan biofarmaka
5.1. Penyediaan benih unggul (Deptan)
5.2. Pengembangan teknologi pengendalian
OPT (Deptan)
5.3. Penerapan GAP pada budidaya
biofarmaka (Deptan)
5.4. Pengembangan kemitraan
poktan/gapoktan dengan industri
pengolahan (Deptan)
5.5. Pengembangan budidaya biofarmaka
organik (Deptan)
Kebijakan1. Kebijakan menjadikan biofarmaka menjadi komoditas prioritas (Deptan/Depdiknas/KMNRT)
2. Skema pembiayaan yang dapat diakses oleh industri pedesaan (Depkeu, Deptan)
6.1. Insentif untuk penelitian dan pengembanganbenih unggul (Deptan/Depdiknas/KMNRT)
6.2. Insentif untuk produksi benih unggul
(Deptan/Depdiknas/KMNRT)
3.1. Penerapan GHP pada penanganan pasca
panen dan GMP pada pengolahan7.1. Pengujian produk biofarmaka (Depkes)7.2. Standarisasi produk biofarmaka
(Depkes/BSN)7.3. Legalisasi penggunaan produk biofarmaka
oleh dokter (Depkes)
Strategi Industri Pedesaan
ORIENTASI PENGEMBANGAN BIOFARMAKAMeningkatkan pasar (DN dan LN) biofarmaka melalui penerapan SJMKP pada kegiatan on farm dan off
farm, penguatan industri pedesaan (poktan ) untuk melakukan pengolahan sampai simplisia
Gambar 5.11. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Biofarmaka
76
Tabel 5.11. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan
Biofarmaka Sasaran tahunan
Program Aksi dan Rencana Implementasi 2010 2011 2012 2013 2014
Keterangan
1.1. Bantuan peralatan pengolahan simplisia kepada
poktan/industri perdesaan
• Identifikasi peralatan yang dibutuhkan
• Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
• Penentuan kelompok tani penerima
• Realisasi bantuan
• Pendampingan
10 35 85 100 110 Kumulatif
poktan
1.2.Pengembangan SDM (penyuluh dan petani) dalam
pengolahan simplisia
• Pengembangan SDM (penyuluh dan petani)
dalam pengolahan primer.
• Pelatihan TOT untuk penyuluh dan pendamping
• Penyuluhan pada petani (kelompok tani)
5 15 25 35 40 Kumulatif %
jumlah
penyuluh di
sentra
produksi
2.1.Penguatan teknologi dengan bantuan peralatan
industri perdesaan pengolahan minuman instan dan
minuman siap minum (RTD)
• Identifikasi peralatan yang dibutuhkan
• Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
• Penentuan kelompok tani penerima
• Realisasi bantuan
• Pendampingan
5 15 25 35 40 % Poktan di
sentra
produksi
77
2.2. Penguatan penguasaan teknologi SDM penyuluh dan
pelaku
usaha
• Pelatihan TOT untuk penyuluh dan pendamping
• Penyuluhan pada petani (kelompok tani)
10 35 85 100 110 Kumulatif unit
usaha
(poktan)
2.3. Fasilitasi akses pasar
• Pengembangan informasi pasar
5 15 25 35 40 Kumulatif %
jumlah
penyuluh di
sentra
produksi
2.4 Pengembangan skema pembiayaan yang dapat
diakses industri perdesaan
• Penyediaan skema pembiayaan yang dapat
diakses oleh industri kecil
5 15 25 35 40 % Poktan
disentra
produksi
3.1.Penerapan GHP pada penanganan pasca panen dan
GMP pada pengolahan
• Sosialisasi penerapan GHP dan GMP
25 50 75 100 100 Kumulatif %
sentra
produksi
4.1.Pengembangan kemitraan poktan/gapoktan dengan
IK/IM/IB pengolahan biofarmaka
• Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama
• Menguatkan faktor kerjasama
• Mengawasi faktor kerjasama
- ya ya ya ya Tersedia
78
5.2.12. Tanaman Hias
Produksi:• Sentra produksi
tersebar
Penangan
Pasca Panen:• Terbatasnya
packing house
Perdagangan (Pemasaran):
• Gerbang eksporterbatas
• Ekspor leather
leaf 3 juta• Impor tanaman
hias 591 ton (2008)
• Eksportanaman hias5.655 ton (2008)
Produksi:• Clustering
sentra produksi
Penanganan
Pasca Panen:• Tersedianya
sarana packing house di sentra produksi
Perdagangan (Pemasaran)
• Terbangunnya
gerbang ekspordi beberapadaerah untukpenguatanekspor
• Ekspor leather leaf 10.1 juta
• Peningkatanekspor 100%
KondisiTerkini
Kondisi YangDiharapkan
4. Peningkatan produksi dan mututanaman hias
5. Peningkatan kemampuan kelompok tani untuk melakukan pembenihan tanaman hias
6. Dukungan infrastruktur
1. Penguatan penanganan pasca panen dan distribusi
2. Capacity building3. Peningkatan daya saing dan volume
pemasaran domestik dan ekspor
Strategi Penguat
4.1. Penggunaan bibit unggul
4.2. Pembuatan GAP tanaman hias
4.3. Penerapan GAP tanaman hias
P r o g r a m A k s i
1.1. Penerapan teknologi pasca panen untuk
dapat mempertahankan kesegaran
tanaman hias
1.2. Penerapan cold chain management
2.1. Pengembangan kelembagaan usaha
2.2. Fasilitasi terpadu pengembangan
florikultura
3.1. Peningkatan permintaan dan akselerasi
ekspor
3.2. Pengembangan gerbang ekspor tanaman
hias
3.3. Pengembangan kerjasama kemitraan
poktan dengan eksportir
6.1. Subsidi sarana produksi
(Deptan/Depkeu)
6.2. Ketersediaan bibit bunga yang mudah
diakses (Deptan)
6.3. Peningkatan fasilitas dan sarana
transportasi ekspor tanaman hias (Dep
PU/DEP HUB)
Kebijakan1) Insentif dukungan infrastruktur untuk peningkatan ekspor, penambahan gerbang ekspor di beberapa
daerah (DepPU/Depkeu)
5.1. Pelatihan pembibitan/pembenihan
tanaman hias (Deptan)
5.2. Magang pembibitan/pembenihan tanaman
hias (Deptan)
Strategi Industri Pedesaan
ORIENTASI PENGEMBANGAN TANAMAN HIASMeningkatkan pasar ekspor tanaman hias melalui pengembangan sentra produksi dengan pola
kluster dan penerapan teknologi pasca panen untuk mempertahankan tingkat kesegaran tanaman hias
Gambar 5.12. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Tanaman Hias
79
Tabel 5.12. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan
Tanaman Hias Sasaran tahunan
Program Aksi dan Rencana Implementasi 2010
201
1
201
2 2013 2014
Keterangan
1.1. Penerapan teknologi pasca panen untuk dapat
mempertahankan kesegaran tanaman hias
• Pelatihan dan pendampingan teknologi
kepada poktan tanamanhias
20 20 40 40 20 Jumlah poktan yang
diintroduksi
1.2. Penerapan cold chain management
• Sosialisasi GHP
• Penerapan GHP dalam penanganan
tanaman hias
• Fasilitasi packing house
79 82 85 88 90 Jumlah bantuan
packing house
komulatif (total untuk
hortikultura)
2.1. Pengembangan kelembagaan usaha
• Penguatan gapoktan
• Pembentukan asosiasi petani produsen
tanaman hias
5 5 5 5 5 Kegiatan
pendampingan
poktan tanaman hias
per tahun
2.2.Fasilitasi terpadu pengembangan florikultura
• Identifikasi poktan sasaran
• Fasilitasi green house
• Pendampingan, monitoring dan evaluasi
30 40 50 60 70 Persentase poktan
yangmenerima
sosialisasi SOP, Gap
dan GMP
80
3.1.Peningkatan permintaan dan akselerasi
ekspor
• Promosi dan Pameran
• Peningkatan motovasi petani tanaman hias
• Pengembangan pasar bunga
10 10 10 10 10 Persentase
peningkatan
permintaan ekspor
3.2.Pengembangan gerbang ekspor tanaman
hias
• Sosialisasi dan workshop dengan melibatkan
pelaku usaha, eksportir, kelompok tani
hortikultura, serta berbagai institusi terkait
pada berbagai event.
• Kerjasama dan kemitraan usaha antar
produsen dan pelaku usaha telah dapat
dilaksakan, sehingga akhirnya mendorong
pada peningkatan ekspor
• Pengembangan sistem infomasi pasar
2 3 5 5 5 Kumulatif jumlah
gerbang ekspor
tanaman hias
3.3. Pengembangan kerjasama kemitraan poktan
dengan eksportir
• Promosi dan Pameran
• Peningkatan motivasi petani tanaman hias
• Pengembangan pasar bunga
10 25 50 75 90 Kumulatif poktan
yang terlibat dalam
kerjasama
81
5.2.13. Minyak Atsiri
Produksi:
• Minyak atsiri 5000 ton/th
• Peningkatan produksi 20%/th
• Nilam 90 rb ton/th
Pasca Panen/Pengolahan:
• Penyulingan di tingkat petani dengan teknologi
yang sederhana• Mutu minyak atsiri
rendah
Perdagangan (Pemasaran):
• Ekspor produk
setengah jadi • Rantai pasok
belum terstruktur dan masih
tersebar
Produksi:
• MInyak atsiri 7500
ton/th
• Nilam 124 rb ton/th
Pasca Panen/
Pengolahan:
• Poktan/gapoktan
melakukan
penyulingan
dengan alat
penyuling standard
• Mutu minyak atsiri
sesuai SNI
• Penerapan REACH
untuk 12 jenis
minyak atsiri utama
Perdagangan (Pemasaran):
• Rasio ekspor
minyak atsiri
setengah jadi dan
produk jadi 75:25%
• Rantai pasok
terstruktur secara
klaster/kemitraan
KondisiTerkini
Kondisi Yang
Diharapkan
4. Budidaya secara sustainablemelalui pendekatan kluster
5. Dukungan pembiayaan
1. Peningkatan efisiensi penyulingan dan
kualitas minyak atsiri2. Pengembangan kemitraan poktan dengan
industri hilir minyak atsiri 3. Penguatan riset dan pengembangan produk
Strategi Penguat
P r o g r a m A k s i
3.1. Penguatan poktan/gapoktan dan asosiasi
penyuling
3.2. Pembentukan forum komunikasi antara poktan,
dinas pertanian, pelaku usaha
3.3. Penguatan kemitraan antara petani/poktan dan
pelaku industri pengolahan minyak atsiri
4.1. Esktensifikasi dengan
memperitmbangkan daya serap pasar
(Deptan)4.2. Klasterisasi sentra produksi
(Deptan/Deprind)
4.3. Penguatan pilot project Cultiva di 5
lokasi (Deptan/Deprin)
4.4. Perluasan sentra produksi melalui pilot
project Cultiva (Deptan/Deprin)
4.5. Penerapan GAP (Deptan)
Kebijakan1. Kebijakan yang menjadikan minyak atsiri sebagai komoditas unggulan (Deptan/Depdiknas/KMNRT)
2. Skema pembiayaan yang dapat diakses oleh industri pedesaan (Depkeu, Deptan, Perbankan)
1.1. Bantuan peralatan alat penyulingan standard
kepada poktan
1.2 Penerapan GHP pada penanganan pasca panen
dan GMP pada pengolahan
1.3. Sosialisasi kondisi dan peraturan yang berlaku pada bisnis atsiri, baik di tingkat nasional
maupun internasional
1.4. Penerapan standar harga berdasarkan tabel
mutu minyak atsiri
Strategi Industri Pedesaan
ORIENTASI PENGEMBANGAN MINYAK ATSIRI Meningkatkan pasar Luar Negeri dan domestik melalui penerapan GAP di on farm dan GHP, GMP di off farm,
penguatan industri pedesaan (poktan ) untuk melakukan proses penyulingan dengan peralatan standard
5.1. Pengembangan skema pembiayaan
yang bisa diakses oleh industri
pedesaan (Depkeu)
2.1. Pembinaan melalui pendampingan teknologi oleh
PT, Litbang, eksportir
2.2. Insentif untuk penelitian dan pengembangan
produk minyak atsiri
Gambar 5.13. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Minyak Atsiri
82
Tabel 5.13. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Minyak
Atsiri Sasaran tahunan
Program Aksi dan Rencana Implementasi 2010 2011 2012 2013 2014
Keterangan
1.1.Bantuan peralatan alat penyulingan standard
kepada poktan
• Identifikasi peralatan yang dibutuhkan
• Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
• Penentuan kelompok tani penerima
• Realisasi bantuan
• Pendampingan
10 10 10 10 10 Bantuan alat
penyulingan standard ke
poktan
1.2.Penerapan GHP pada penanganan pasca panen
dan GMP pada pengolahan
• Penyusunan GHP dan GMP
• Sosialisasi GHP dan GMP ke petani/poktan dan
pelaku usaha
5 5 5 5 5 Kegiatan sosialisasi dan
pelatihan GHP, GMP dan
peraturan standard
perrdagangan minyak
atsiri ke poktan
1.3.Sosialisasi kondisi dan peraturan yang berlaku
pada bisnis atsiri, baik di tingkat nasional maupun
internasional
• Sosialisasi peraturan yangberkaitan dengan
minyak atsiri ke petani/poktan atau pelaku
usaha
5 5 5 5 5 Kegiatan sosialisasi dan
pelatihan GHP, GMP dan
peraturan standard
perrdagangan minyak
atsiri ke poktan
1.4.Penerapan standar harga berdasarkan tabel mutu
minyak atsiri
• Penyusunan tabel harga berdasarkanmutu
minyak atsiri
• Sosialisasi standar harga
• Penerapan tabel harga
1 Penyusunan standard
harga dan
penerapannya
83
2.2.Insentif untuk penelitian dan pengembangan
produk minyak atsiri
• Penentuan kelompok sasaran
• Pendampingan teknologi kepada poktan
1 1 1 1 1 Kegiatan pendampingan
ke poktan skema ABGC
ke sentra produksi
3.1. Penguatan poktan/gapoktan dan asosiasi
penyuling
• Pendampingan poktan
3 3 3 3 3 Jumlah poktan sasaran
3.2.Pembentukan forum komunikasi antara poktan
dinas pertanian, pelaku usaha
• Inisiasi pembentukan forum komunikasi antara
poktan, dinas dan pelaku usaha
3 3 3 3 3 Jumlah forum komunikasi
antara poktan, dinas
pertanian dan pelaku
usaha
3.3.Penguatan kemitraan antara petani/poktan dan
pelaku industri pengolahan minyak atsiri
• Temu bisnis antara poktan, dinas dan pelaku
usaha
3 3 3 3 3 Peningkatan kemitraan
antara poktan dan
pelaku usaha
84
5.2.14. Susu Sapi
Produksi:• Produksi: 600.000
ton• Produktivitas:
<10.5 l/hari• Kepemilikan 2-3
ekor/keluarga taniPasca Panen/Pengolahan:
• Koperasipengolah susu
terbatas• Industri turunan
masih terbatas• Mutu susu rendah
Perdagangan (Pemasaran):
• Impor susu 1.9 juta ton
• Kebiasaan minumsusu segar belumberkembang
• Perdagangandalam bentuk
susu segar
Produksi:
• Produksi: 1.30 juta ton
• Produktivitas: 15 l/hari
• Kepemilikan >10 ekor/ keluarga tani
Pasca Panen/Pengolahan:
• Koperasi pengolah susu
berkembang• Industri turunan
berkembang
• Mutu susu baik dan aman
dikonsumsiPerdagangan (Pemasaran):
• Impor susu turunmenjadi 1.30
juta ton• Peningkatan
konsumsi sususegar
• Perdagangandalam bentuk
susu siapkonsumsi
meningkat
Kondisi
TerkiniKondisi YangDiharapkan
1. Peningkatan mutu susu2. Peningkatan kemampuan koperasi
peternak dalam pengolahan susu
3. Penyerapan susu poktan oleh industripengolah.
4. Peningkatan serapan susu segarmelalui program minum susu segar
5. Peningkatan produksi susu nasional(melalui peningkatan produktivitas dan
jumlah ternak) 6. Pengembangan sentra ternak sapi
perah.7. Pengembangan usaha breeder
8. Penerapan cara produksi susu yang baik
Strategi Penguat
5.1. Insentif harga bibit dan pakan(Deptan/Depkeu)
5.2. Bantuan modal bunga rendah.(Depkeu)
5.3. Pendampingan ke sentra peternak (Deptan)
P r o g r a m A k s i
6.1. Insentif fasilitas yang dibutuhkan sentra(Deptan)
6.2. Fasilitasi pendirian kelompok peternak di
wilayah terpilih (Deptan)
1.1. Peningkatan kualitas SDM dalam carapenanganan panen dan hasil panen susu
segar
1.2. Bantuan peralatan pemerahan susu1.3. Penyediaan container susu segar
1.4. Penerapan SJMKP pada produk susu segar
maupun pasteurisasi
Kebijakan1)Pengembangan kemitraan dengan pola klaster (Deprin/Deptan/KMNKOPUKM),
2) Peningkatan jangkauan KUPS (Depkeu), 3) Program minum susu untuk anak sekolah
(Depdiknas/PEMNDA)
7.1. Fasilitasi kerjasama dengan lembaga
penelitian (Deptan)
2.1. Penguatan SDM
2.2. Bantuan peralatan dan penguatan modal industri pedesaan pengolahan susu
pasteurisasi dan susu fermentasi
2.3. Pelatihan dan pendampingan
3.1. Fasilitasi kemitraan antara petani, poktandan industri besar dengan pola kluster
4.1. Program minum susu untuk anak sekolah
4.2. Kampanye minum susu segar
8.1. Peningkatan kemampuan peternak untuk melakukan cara produksi susu yang baik(Deptan)
8.2. Penerapan cara produksi susu yang baik oleh peternak (Deptan)
Strategi Industri Pedesaan
ORIENTASI PENGEMBANGAN SUSUPeningkatan produksi dan kualitas susu untuk pengurangan impor melalui peningkatan produktifitas,
peningkatan kemampuan koperasi/penumbuhkembangan industri pedesaan pengolah susu pasteurisasi
dengan menerapkan SJMKP
Gambar 5.14. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Susu Sapi
85
Tabel 5.14. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Susu
Sapi Sasaran tahunan Keterangan
Program Aksi dan Rencana Implementasi 2010 2011 2012 2013 2014
1. Peningkatan kualitas SDM dalam cara penanganan
panen dan hasil panen susu segar
• Pelatihan TOT untuk penyuluh dan tenaga
pendamping
• Pelatihan untuk peternak
15 30 60 85 100 Kumulatif %
penyuluh/
pendamping
peternak
1.2. Bantuan peralatan pemerahan susu
• Identifikasi kebutuhan
• Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
• Penentuan kelompok tani penerima
• Realisasi bantuan
10 20 40 50 60 Poktan
1.3. Penyediaan container susu segar 100 200 1.000 1.500 1.700 Kumulatif unit
1.5. Penerapan SJMKP pada produk susu segar maupun
pasteurisasi
10 30 60 85 100 Jumlah
koperasi (%)
2.1. Penguatan SDM
• Pelatihan pengolahan susu segar dan produk
olahan
• Pendampingan untuk pengolahan dan
pemasaran
1 2 5 6 7 Kumulatif unit
2.2.Bantuan peralatan dan penguatan modal industri
perdesaan pengolahan susu pasteurisasi dan susu
fermentasi
• Identifikasi kebutuhan
• Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
ad
a
ad
a
ada ada ada Skema
pembiayaan
86
• Penentuan kelompok tani penerima
• Realisasi bantuan
2.3.Pelatihan dan pendampingan 10 25 50 60 70 Poktan yang
terlibat
3.1.Fasilitasi kemitraan antara petani, poktan dan industri
besar dengan pola kluster
• Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama
• Menguatkan faktor kerjasama
• Mengawasi faktor kerjasama
• Insentif pajak bagi industri penyerap
1 4 25 35 40 Daerah
4.1. Program minum susu untuk anak sekolah
• Pemberian susu untuk program makanan
tambahan untuk anak sekolah
MM MM
&
ME
MM
& ME
MM
& ME
MM &
ME
Media
kampanye
4.2. Kampanye minum susu segar
• Integrasi dengan kurikulum sekolah tentang
pentingnya minum susu
• Kampanye melalui media massa
15 30 60 85 100 Kumulatif %
penyuluh/
pendamping
peternak
87
5.2.15. Cassava
Produksi:
• Produksi:21 juta
ton
• Pertanian tidak
intensif
Pasca Panen/
Pengolahan:
• Industri
pedesaan
pengolahan
tepung cassava
belum
berkembang
(produksi 2 ribu
ton/th)
• Industri hilir
turunan pati
belum
berkembang
Perdagangan
(Pemasaran):
• Perdagangan
terutama berupa
umbi segar
• Harga fluktuasi
Produksi:
• Produksi:37 juta
ton
• Pertanian intensif
dengan bibit unggul
Pasca Panen/
Pengolahan:
• Industri pedesaan
tepung cassava
berkembang
(produksi 600 ribu ton)
• Industri hilir
turunan pati
berkembang
Perdagangan (Pemasaran):
• Perdagangan
sebagai bahan
baku dan produk
olahan
• Harga minimal
umbi segar
Rp.500/kg
Kondisi
Terkini
Kondisi Yang
Diharapkan
6. Pengembangan
pertanian modern
7. Pengaturan pajak impor
produk hilir cassava
yang telah dihasilkan di
dalam negeri
1. Penguatan industri gaplek dan tapioka
2. Pengembangan industri hilir cassava
3. Pengembangan kemitraan hulu-hilir
4. Pengembangan standar mutu produk hilir cassava
5. Pendirian Pusat Penelitian Terpadu Cassava (P3TC)
Strategi Penguat
1.1. Insentif harga untuk subsidi harga beli cassava dari petani
1.2. Bantuan peralatan pembuatan dan pengeringan chip pada
tingkat kelompok tani untuk perbaikan mutu gaplek.
1.3. Membangun kemitraan petani dan pabrik tapioka
P r o g r a m A k s i
3.1. Penguatan kelompok tani dan gapoktan cassava
3.2. Fasilitasi pendirian asosiasi petani cassava Indonesia
3.3. Mendorong kerjasama asosiasi dan koperasi petani dengan
industri pengolahan cassava
7.1. Pengenaan pajak impor
produk serupa (Depkeu)
7.2. Pengurangan pajak ekspor
produk serupa (Depkeu)
6.1. Penyediaan benih unggul
(Deptan)
6.2. Bantuan sarana produksi
pertanian (Deptan)
Kebijakan1. Kebijakan tepung komposit minimal sampai 20% (Deprin/Depdag/Deptan), 2)Pajak impor untuk produk hilir cassava seperi tapioka,
fruktosa, dekstrin yang sudah mampu diproduksi di dalam negeri (Depkeu), 3)Kebijakan untuk penyerapan tepung lokal oleh pengimpor gandum dan tepung terigu, 4) kebijakan subsidi bioetanol (DepESDM/Depkeu), 5)Kebijakan premix bioetanol secara bertahap ke BBM
pertamina (DepESDM/Deptan).
5.1. Penentuan Konsep P3TC, 5.2. Penyusunan Program
5.3. Pendirian P3TC
4.1. Penyusunan dan penyuluhan standar mutu produk hilir
cassava
4.2. Bantuan teknis dan teknologis pengembangan industri
pangan berbasis cassava
2.1. Pengembangan industri tepung cassava berbasis petani
2.2. Pengembangan industri pengolahan tepung
2.3. Penyediaan insentif bagi berkembangnya industri hilir
pengolahan cassava untuk pangan dan bioetanol
2.5. Program penyerapan tepung cassava, tapioka dan mokaf
oleh industri pengimpor dan pengguna tepung
Strategi Industri Pedesaan
ORIENTASI PENGEMBANGAN CASSAVAPeningkatan produksi dan kualitas untuk mendukung ketahanan pangan dan energi serta ekspor produkolahan dan substitusi impor melalui penumbuhkembangan industri pedesaan mocaf dan bioetanol serta
produk turunan pati
Gambar 5.15. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Cassava
88
Tabel 5.15. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan
Cassava Sasaran tahunan
Program Aksi dan Rencana Implementasi 2010 2011 2012
201
3
201
4
Keterangan
1.1. Insentif harga untuk subsidi harga beli cassava dari
petani
• Penetapan harga dasar cassava segar yang
layak bagi petani
• Penyusunan mekanisme subsidi
• Pemberian subsidi harga
100 200 250 300 300 X 1000 ton
cassava
1.2. Bantuan peralatan pembuatan dan pengeringan chip
pada tingkat kelompok tani untuk perbaikan mutu
gaplek.
• Penyusunan mekanisme pemberian bantuan
• Penentuan kelompok tani penerima
• Realisasi bantuan
10 20 25 30 35 Poktan
1.3.Membangun kemitraan petani dan pabrik tapioka
• Menetapkan faktor dan ketentuan kerjasama
• Menguatkan faktor kerjasama
• Mengawasi faktor kerjasama
5 10 15 20 25 Kumulatif
jumlah
kerjasama
2.1.Pengembangan industri tepung cassava berbasis
petani
• Penetapan kelompok tani basis pengembangan
• Bantuan peralatan dan teknologi
• Bantuan dan jaminan pemasaran
10 20 25 30 35 Kumulatif
jumlah industri
89
2.2. Pengembangan industri pengolahan tepung
• Mendorong pertumbuhan industri modified starch
yang banyak digunakan oleh industri farmasi dan
pangan, seperti pati alfa dan dekstrin
1 3 5 6 7 Kumulatif
jumlah industri
2.3. Penyediaan insentif bagi berkembangnnya industri
hilir pengolahan cassava untuk pangan dan
bioetanol
• Kemudahan perijinan
• Dukungan subsidi bahan baku kepada petani
• Bantuan pengembangan pasar
5 15 25 35 40 Kumulatif
jumlah
poktan
2.4. Program penyerapan tepung cassava, tapioka dan
mokaf oleh industri pengimpor dan pengguna
tepung
• Penerbitan peraturan ketentuan impor terigu dan
tepung beras lainnya
• Kewajiban menyerap 5 (lima) persen dari volume
setara terigu atau 2,5 (dua setengah) persen
setara tepung lainnya
1 3 4 5 10 Kumulatif
industri hilir
baru
3.1.Penguatan kelompok tani dan gapoktan cassava
• Bantuan penyusunan badan hukum
• Bantuan dana operasional yang
dipertanggungjawabkan
• Bantuan pengembangan jejaring
100 200 300 400 500 X 1000
tonKumulatif
tepung
cassava yang
diserap
90
3.2. Fasilitasi pendirian asosiasi petani cassava
Indonesia
• Pertemuan perwakilan gapoktan daerah
produsen utama (Lampung, Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur)
• Pendirian Asosiasi Petani Cassava Indonesia
20 40 60 70 80 Kumulatif
poktan
3.3.Mendorong kerjasama asosiasi dan koperasi petani
dengan industri pengolahan cassava
• Mengadakan pertemuan asosiasi petani dengan
industri pengolah cassava
• Menyusun program atau kesepakatan kerjasama
1 Assosiasi
petani
cassava
4.1. Penyusunan dan penyuluhan standar mutu produk
hilir cassava
• Inventarisasi produk hilir yang belum memiliki
Standar Nasional
• Adopsi standar Internasional untuk tujuan ekspor
• Penyusunan standar sebagai acuan
pengembangan industri hiliR
4 10 15 Kumulatif
jumlah
kerjasama,
91
4.2.Bantuan teknis dan teknologis pengembangan industri
pangan berbasis cassava
• Menyediakan layanan pendirian Usaha Kecil dan
Menengah Produk Hilir cassava berorientasi
pangan
• Bantuan promosi produk pangan berbasis
cassava
• Pembelian produk pangan cassava oleh instansi
pemerintah
- 2 4 6 10 Kumulatif
standar mutu
baru
5.1.Penentuan Konsep P3TC ada ada Konsep
pengembang
an
5.2. Penyusunan Program
5.3. Pendirian P3TC
92
5.2.16. Sagu
Produksi:• Produksi: 200 ribu
ton• Luas tanaman
budidaya saguterbatas
Pasca Panen/Pengolahan:
• Industri pedesaan pati sagu dan turunnya belum berkembang
Perdagangan (Pemasaran):
• Harga
berfluktuasi dancenderungrendah
Produksi:• Produksi: 300
ribu ton
• Berkembangnya budidaya sagu
berkenjutan
Pasca Panen/Pengolahan:
• Industri
pedesaan pati sagu dan turunnya
berkembang• Pati sagu
menjadi produk penguat
ketahanan pangan dan energi
Perdagangan (Pemasaran)
• Harga menarikuntuk
melakukanusaha dari sagu
KondisiTerkini
Kondisi YangDiharapkan
7. Pengembangan budidaya
sagu secara luas8. Pengembangan bibit unggul
berumur pendek
9. Pengembangan budidayasagu berkelanjutan
1. Pengembangan industri hilir pangan berbasis sagu
2. Pengembangan industri bioetanol berbasis sagu3. Perbaikan teknologi pengolahan pati sagu
4. Perbaikan cara pemanenan5. Pengadaan peralatan industri pati sagu skala kecil
6. Pengembangan industri pangan (pokok) berbasis sagu
Strategi Penguat
1.1. Pengembangan teknologi terapan untuk industri
pengolahan sagu
1.2. insentif bagi investasi di pengolahan hulu sagu1.3. Pengembangan pasar produk olahan sagu
P r o g r a m A k s i
2.1. Inisiasi pengembangan industri bioetanol berbasis sagu
2.2. Fasilitasi dan pemberian insentif untuk investasi industri
bioetanol berbasis sagu
4.1 Penyuluhan pemeliharaan dan pemanenan sagu
4.2. Penyuluhan pengelolaan hutan (tanaman) sagu yang berkelanjutan
5.1. Penyuluhan teknologi pengolahan pati sagu yang berorientasi mutu
5.2. Pengadaan peralatan pengolahan pati sagu
3.1. Penyuluhan teknologi pengolahan sagu bagi petani3.2. Bantuan peralatan pengolahan sagu kepada poktan
7.1. Penyediaan benih unggul
(Deptan) 7.2. Bantuan sarana produksi
pertanian (Deptan)
6.1. Kampanye nasional diversifikasi pangan pokok6.2. Pengembangan produk pangan (beras sagu) untuk
pangan pokok
6.3. Insentif dan kemudahan investasi industri pengolahanpangan berbasis sagu
8.1. Pengenaan pajak impor
produk serupa (Depkeu)
8.2. Pengurangan pajak eksporproduk serupa (Depkeu)
Kebijakan1. Kebijakan tepung komposit sampai 20% (Deprin/Deptan), 2)Pajak impor untuk produk hilir berbais starch seperti fruktosa,
dekstrin yang sudah mampu diproduksi di dalam negeri (Depkeu), 3) Kebijakan untuk penyerapan tepung lokal bagi importir gandum dan tepung terigu, 4)Perubahan kebijakan beras bersubsidi menjadi pangan bersubsidi (Sekneg)
Strategi Industri Pedesaan
ORIENTASI PENGEMBANGAN SAGUPeningkatan produksi dan kualitas untuk mendukung ketahanan pangan dan
energi serta ekspor melalui penumbuhkembangan industri pedesaan pati sagudan bioetanol
Gambar 5.16. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Sagu
93
Tabel 5.16. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Sagu
Sasaran tahunan Program Aksi dan Rencana Implementasi
2010 2011 2012 2013 2014 Keterangan
1.1. Pengembangan teknologi terapan untuk industri
pengolahan sagu
• Pembiayaan penelitian dan penyusunan profil
kelayakan teknologi terapan skala industri (kecil,
menengah dan besar)
• Diseminasi teknologi terapan pengolahan sagu
• Pembangunan pilot proyek industri hilir pengolahan
sagu
5 10 20 35 40 Jumlah
kumulatif
teknologi tepat
terap
1.2. insentif bagi investasi di pengolahan hulu sagu 10 20 30 40 50 Jumlah
kumulatif
industri hulu
sagu
1.3. Pengembangan pasar produk olahan sagu
• Pameran produk pengolahan sagu nasional
• Sosialisai produk olahan sagu
• Membangun jejaring pasar dalam dan luar negeri
20 30 40 50 60 Persen kenaikan
volume
perdagangan
produk sagu
• Inisiasi pengembangan industri bioetanol berbasis
sagu
• Penyusunan kelayakan regional pembangunan
industri bioetanol
• Penyiapan roadmap pembangunan industri bioetanol
2 4 6 8 10 Kumulatif
penyiapan
pendirian
industri
bioetanol
2.2. Fasilitasi dan pemberian insentif untuk investasi industri
bioetanol berbasis sagu
• Penyusunan mekanisme pemberian insentif
3 5 10 12 Jumlah
kumulatif
industri
94
• Penentuan penerima insentif
• Realisasi insentif
bioetanol yang
berdiri
3.1.Penyuluhan teknologi pengolahan sagu bagi petani
• Pelatihan calon pengusaha lokal pengolahan sagu
• Penyusunan kelayakan dan rencana pengembangan
industri kecil pengolahan sagu
• Fasilitasi tumbuhnya industri kecil pengolahan sagu
• Pelatihan penyuluh pemanenan sagu yang baik
• Bantuan peralatan pemanenan bagi petani sagu
300 600 1000 1300 1500 Jumlah
kumulatif petani
sagu yang
dilatih
3.2.Bantuan peralatan pengolahan sagu kepada poktan
• Penetapan kelompok penerima
• Penyediaan dan realisasi bantuan perlatan
pengolahan sagu bagi kelompok tani
4 8 12 16 20 Jumlah unit
pengolahan
yang dibangun
4.1Penyuluhan pemeliharaan dan pemanenan sagu
• Pelatihan penyuluh pemanenan sagu yang baik
• Bantuan peralatan pemanenan bagi petani sagu
300 600 1000 1300 1500 Jumlah
kumulatif petani
sagu yang
dilatih
4.2.Penyuluhan pengelolaan hutan (tanaman) sagu yang
berkelanjutan
• Pelatihan penyuluh pemeliharaan hutan sagu yang
berkelanjutan
• Penyuluhan pengelolaan hutan sagu yang
berkelanjutan
300 600 1000 1300 1500 Jumlah
kumulatif petani
sagu yang
dilatih
5.1.Penyuluhan teknologi pengolahan pati sagu yang
berorientasi mutu
5 10 15 20 25 Jumlah industri
kecil
5.2.Pengadaan peralatan pengolahan pati sagu
• Penetapan rancangan proses pengolahan
• Penetapan spesifikasi peralatan
5 10 15 20 25 Jumlah industri
kecil
95
• Pemberian bantuan peralatan bagi industri kecil hilir
pengolah produk pangan berbasis sagu
6.1.Kampanye nasional diversifikasi pangan pokok
• Penyiapan bahan dan media kampanye
• Penyusunan Tim Kampanye
• Pelaksanaan kampanye
300 300 300 300 300 Jam tayang per
tahun pada
televisi nasional
6.2.Pengembangan produk pangan (beras sagu) untuk
pangan pokok
• Pemantapan teknologi proses
• Pembuatan contoh beras sagu
• Sosialisasi beras sagu
2 4 6 8 10 Jumlah
kumulatif
industri
pengolah beras
sagu
6.3. Insentif dan kemudahan investasi industri pengolahan
pangan berbasis sagu
• Penetapan mekanisme dukungan
• Identifikasi dukungan yang diperlukan
• Penyediaan insentif bagi industri baru
5 10 15 20 25 Industri baru
tumbuh/tahun
96
5.2.17. Jeruk
Produksi:• Produksi: 2.5
juta ton
Pasca Panen/
Pengolahan:• Kualitas rendah
• Penanganan Pasca panen
belum baik
• Pengolahan
produk turunan
belum berkembang
Perdagangan
(Pemasaran):
• Konsumsi3.85/Kg/th
• Ekspor:1443 ton• Impor143.661
• Produksi:
• Produksi: 3.5
juta ton
• Pasca Panen/
• Pengolahan:
• Terjadi
peningkatan
kualitas• Penanganan
pasca panen lebih baik (ada
grading)
• Industri
pengolahan
produk turunan berkembang
• Perdagangan
(Pemasaran)
• Konsumsi• Konsumsi
5.64/Kg/th• Ekspor:naik
• Impor turun
Kondisi
TerkiniKondisi YangDiharapkan
5. Peningkatan produksi dengan penguatan
teknologi benih dan budidaya
6. Pengembangan pemberantasan hama penyakit terpadu
7. Pengembangan benih unggul yang sesuai
permintaan pasar.8. Penerapan GAP pada budidaya jeruk
1. Pengembangan industri pedesaan
penanganan jeruk segar
2. Pengembangan industri pedesaanpengolahan jeruk
3. Penerapan SJMKP
4. Peningkatan pemasaran domestik
Strategi Penguat
P r o g r a m A k s i
5.1. Peningkatan produktivitas jeruk(Deptan)
5.2. Perluasan areal tanam jeruk (Deptan)
5.3. Pengembangan kebun jerukmonokultur (Deptan)
2.1. Bantuan peralatan industri pedesaan pengolahan
sari buah, marmalaid dan selai jeruk2.2. Skema bantuan modal dengan bunga rendah
2.3. Pelatihan dan pendampingan
4.1. Gerakan cinta buah nasional
4.2. Pengembangan packing house
Kebijakan1. Perbaikan Infrastruktur transportasi dan jalan (DepPU), 2) Insentif penelitian untuk pengembangan produk hilir jeruk sampai
dengan komersialisasinya (Deptan/Depdiknas/KMNRT), 3) Stabilisasi harga jeruk dengan penerapan SPS dan TBT pada
impor jeruk segar dan produk turunannya (Depdag)
1.1. Pengembangan kemampuan petani melakukan
penanganan pasca panen1.2. Penerapan penanganan pasca panen (sortasi,
grading, pelapisan kulit) untuk meningkatkan daya
saing1.3. Pengembangan kerjasama kemitraan poktan
dengan pelaku pasar jeruk segar
1.4. Bantuan peralatan dan modal usaha bunga rendah
untuk industri pedesaan penanganan jeruk segar
3.1. Akselarasi penerapan GHP pada penanganan pasca
panen jeruk segar
3.2. Penerapan GMP pada industri pedesaan pengolah
jeruk
6.1. Peningkatan kemampuan petani
melakukan pemberantasan hama dan penyakit (Deptan)
6.2. Pengembangan insektisida hayati
(Deptan/Depdiknas/KMNRT)
7.1. Pengembangan benih unggul untuk
keperluan konsumsi buah segar
(Deptan/Depdiknas/KMNRT)7.2. Pengembangan benih unggul untuk
keperluan industri pengolahan(Deptan/Depdiknas/KMNRT)
7.3. Melakukan bimbingan penggunaan
benih unggul sesuai dengan kebutuhan (Deptan)
8.1. Penerapan GAP pada budidaya
jeruk (Deptan)
Strategi Industri Pedesaan
ORIENTASI PENGEMBANGAN JERUKPeningkatan produksi dan kualitas untuk pengurangan impor jeruk melalui penumbuhkembangan industri
pedesaan penanganan buah segar dan pengolahan yang menerapkan SJMKP
Gambar 5.17. Strategi Pengembangan Industri Perdesaan Jeruk
97
Tabel 5.17. Program Aksi, Rencana Implementasi dan Sasaran Pengembangan Industri Perdesaan Jeruk
Sasaran tahunan Program Aksi dan Rencana Implementasi
2010 2011 2012 2013 2014 Keterangan
1.1.Pengembangan kemampuan petani melakukan
penanganan pasca panen
• Penyusunan SOP, GHP dan GMP
• Sosialisasi keamanan produk SOP, GHP, GMP
• Fasilitasi (pendampingan) penerapan OP, GHP
dan GMP
20 40 60 40 20 Jumlah poktan
terlatih
1.2.Penerapan penanganan pasca panen (sortasi,
grading, pelapisan kulit) untuk meningkatkan
dayasaing
• Identifikasi poktan sasaran
• Fasilitasi peralatan dan pendampingan
teknologi
• Monitoringdan evaluasi
5 10 15 10 5 Jumlah poktan
yang menerapkan
penanganan
pasca panen
1.3.Pengembangan kerjasama kemitraan poktan
dengan pelaku pasar jeruk segar
• Fasilitasi pertemuan
• Penyusunan mekanisme kerjasama
20 40 60 40 20 Jumlah poktan
yang terlibat
1.4.Bantuan peralatan dan modal usaha bunga
rendah untuk industri perdesaan penanganan jeruk
segar
• Penetapan target Gapoktan yang telah siap
• Inventarisir teknologi pre cooling yang mudah
dan murah diterapkan
• Pemberian bantuan
• Insentif pajak
20 40 60 40 20 Jumlah poktan
sasaran
2.1. Bantuan peralatan industri perdesaan pengolahan
sari buah, marmalaid dan selai jeruk
• Identifikasikelompok sasaran
• Bantuan peralatan
• Monitorng dan evaluasi
5 15 40 60 75 Jumlah industri
perdesaan
penerima
bantuan
2.2. Skema bantuan modal dengan bunga rendah ada ada ada ada ada Skema
98
• Pemberian bantuan permodalan pembiayaan
bunga rendah
2.3. Pelatihan dan pendampingan
• Penentuan poktan sasaran
• Pelaksanaan kegiatan pendampingan dan
pelatihan teknologi
20 40 60 40 20 Jumlah poktan
terlatih
3.1.Akselarasi penerapan GHP pada penanganan
pasca panen jeruk segar
• Penyusunan GHP
• Sosialasi GHP ke poktan
5 10 20 25 30 Kumulatif poktan
yang menerapkan
GHP
3.2.Penerapan GMP pada industri perdesaan pengolah
jeruk
• Sosialisai GMP ke poktan/gapoktan dan industri
jeruk
5 10 20 25 30 Industri perdesaan
yang menerapkan
GMP
4.1.Gerakan cinta buah nasional
• Fasilitasi kerjasama dengan usaha distribusi dan
pasar supermarket
• Penyusunan iklan
• Penayangan iklan
Ada Ada Ada Ada Ada Tayangan iklan ke
media
4.2. Pengembangan packing house
• Identifikasi target lokasi kebutuhan
• Sosialisasi
• Pendirian packing house
• Pendampingan pengelolaan packing house
1 1 1 1 1 Fasilitasi packing
house (unit/tahun)
P a g e | 99
6. ABG UNTUK PENUMBUHKEMBANGAN INDUSTRI
PEDESAAN
Kesuksesan pelaksanaan Blue Print ini sangat tergantung dari
keberhasilan seluruh pemangku kepentingan memerankan
tugasnya masing-masing. Pemangku kepentingan yang
dimaksud adalah akademisi, dunia bisnis dan pemerintah serta
masyarakat sebagai subyek yang harus disejahterakan atau
sering disebut sebagai ABG-C. Berdasarkan Global
Competitiveness Index (GCI), ada sembilan pilar yang perlu
diperhatikan untuk membangun National Competitiveness, yaitu:
1. Berjalannya fungsi lembaga publik dan swasta (G)
2. Infrastruktur yang tepat (G)
3. Situasi makroekonomi stabil (G)
4. Kesehatan yang baik dan pendidikan dasar yang memadai
(G)
5. Pendidikan tinggi dan pelatihan (A)
6. Efisiensi pasar (B)
7. Kesiapan teknologi (A)
8. Kecanggihan proses produksi (B)
9. Inovasi (A)
Peran masing-masing pemangku kepentingan terhadap
kesembilan pilar tersebut dapat dibagi sebagai berikut:
a) Akademisi harus bertanggung jawab atas:
5. Pendidikan tinggi dan pelatihan
7. Kesiapan teknologi
9. Inovasi
b) Dunia Bisnis harus bertanggungjawab atas:
6. Efisiensi pasar
8. Kecanggihan proses produksi
c) Sedangkan Pemerintah tentunya harus bertanggung jawab
atas:
1. Berjalannya fungsi lembaga publik dan swasta
2. Infrastruktur yang tepat
P a g e | 100
3. Situasi makroekonomi stabil
4. Kesehatan yang baik dan pendidikan dasar yang
memadai
Tentu saja masing-masing pemangku kepentingan juga saling
terkait dengan pilar-pilar lain yang bukan tanggungjawab
utamanya. Dari kesembilan pilar tersebut empat pilar pertama
diperuntukan bagi negara-negara yang tingkat kompetisinya
masih berdasarkan atas tenaga kerja yang kurang terampil dan
berbasis sumberdaya alam (factor-driven). Perusahaan menjual
produknya berbasis pada harga dan bahan baku atau bahan
setengah jadi dengan produktivitas yang rendah yang tercermin
dari upah yang rendah. Pilar ke lima, enam dan tujuh
diperuntukkan bagi negara-nagara yang sudah mengarah
kepada faktor efisisiensi sebagai pendorongnya (efficiency-
driven). Pilar ke delapan dan sembilan diperuntukkan bagi
negara yang sudah mengandalkan produknya pada tingkatan
tertinggi (innovation-driven), sehingga hanya dapat dicapai
melalui kedua pilar tersebut.
Berdasarkan pengelompokan tersebut di atas maka Indonesia
masih berada pada tingkat pertama atau terrendah, dimana
seluruh pilar yang harus dilaksanakan, penanggungjawab
utamanya adalah pemerintah. Untuk itu semua peran tersebut
(pilar 1-4) harus segera dilakukan dengan sebaik-baiknya dan
dalam waktu yang bersamaan akademisi dan dunia bisnis dapat
membantu mempercepat menuju ke tahap yang kedua melalui
perannya pada pilar lima, enam dan tujuh. Dalam jangka
menengah perlu segera disiapkan pula pelaksanaan pilar yang
kedelapan dan sembilan oleh dunia bisnis dan akademisi, agar
dapat segera mengejar ketertinggalan dari negara lain.
Indonesia harus melakukan terobosan dengan menjalankan
seluruh pilar secara simultan namun dengan membuat prioritas
sesuai dengan tingkat kepentingannya. Peran pemerintah
sebagai regulator dan fasilitator yang sangat penting bagi
pembangunan pertanian di Indonesia. Dari berbagai aspek
tinjauan, kebijakan yang berpihak pada pembangunan ekonomi
P a g e | 101
yang berbasis perdesaan harus segera diperbaiki. Disamping itu
pembangunan infrastruktur yang masih tertinggal,
mengakibatkan terhambatnya pembangunan pada sektor-
sektor yang lain. Kondisi khas lain yang masih harus dilakukan
pemerintah adalah fungsi fasilitasi yang tidak saja dalam bentuk
bantuan non-fisik tapi juga sering kali dalam bentuk bantuan fisik.
Dari sisi pengusaha (bisnis) pada umumnya masih berfikir jangka
pendek dan sederhana. Pilihan menjual dalam bentuk bahan
baku atau bahan setengah jadi adalah ciri khas dari kondisi
factor-driven. Untuk itu pengusaha hendaknya berperan untuk
meningkatkan nilai tambah setinggi-tingginya di dalam negeri.
Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendorong
para pengusaha untuk sebesar-besarnya meningkatkan nilai
tambahnya di dalam negeri. Pada saat yang sama pengusaha
memperbaiki kinerjanya di berbagai bidang, agar tercapai
tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi agar bisa bersaing
di pasar global.
Dunia pendidikan tinggi diharapkan melalui penelitian-
penelitiannya dapat menghasilkan temuan-temuan atau
teknologi-teknologi yang sesuai dengan keiinginan para
pengusaha atau dunia bisnis. Untuk itu perlu diciptakan
penelitian-penelitian yang mengikutsertakan dunia usaha dan
atau sekaligus menjawab tantangan dunia usaha. Kerjasama
yang baik antar keduanya akan menciptakan efisiensi
penggunaan sumberdaya, baik di perguruan tinggi bahkan
terutama di dunia usaha itu sendiri. Kedepan, para pengusaha
didorong untuk sebesar-besarnya memanfaatkan perguruan
tinggi sebagai pusat penelitian dan pengembangan usahanya.
Untuk mempercepat terjadinya suasana tersebut, pemerintah
harus memfasilitasi melalui kebijakan yang tepat seperti
memberikan insentif pajak bagi pengusaha yang melibatkan
perguruan tinggi sebagai pusat penelitian dan
pengembangannya.
Bagi masyarakat pertanian Indonesia sebagai subjek
pembangunan pertanian harus terlibat aktif dalam
P a g e | 102
mensukseskan program pemerintah. Sebagai contoh untuk
memperbaiki infrastruktur pertanian diperlukan konsolidasi lahan.
Apabila para petani dapat bekerjasama dengan baik, maka
permasalahan sosial yang biasanya timbul akibat kegiatan ini
dapat dikurangi atau bahkan dapat dihapuskan sama-sekali.
Untuk itu peran pemerintah sangat penting dalam memberikan
pengertian kepada masyarakat akan pentingnya pelaksanaan
program seperti itu.
Tidak ada satupun pembangunan pertanian di dunia ini yang
berhasil jika hanya ditangani oleh satu lembaga saja, melainkan
harus oleh seluruh pemangku kepentingan secara bersamaan di
bawah koordinasi pemerintah. Dalam Blue Print ini telah
diusahakan untuk memasukkan seluruh pemangku kepentingan
yang terkait dalam pembangunan nilai tambah dan dayasaing
pertanian Indonesia. Namun demikian keberhasilannya sangat
ditentukan oleh pelaksanaan dan peran serta masing-masing
pemangku kepntingan sesuai dengan skenario atau rencana
yang telah disepakati dan ditetapkan bersama.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Februari 2010 MENTERI PERTANIAN, SUSWONO
P a g e | 103
L A M P I R A N
P a g e | 104
Lampiran A.
Lampiran 4.1. Analisis SWOT Beras
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Permintaan pasar
dalam negeri
sangat besar
• Tersedia beih padi
unggulan lokal.
• Budaya kerja petani
domestik yang baik
dalam menanam
padi.
Kelamahan (W)
• Akses petani
terhadap saprodi,
benih unggul dan
modal terbatas.
• Kualitas beras
belum baik
• Susut masih tinggi
Peluang (O)
• Pasar beras
internasional terbuka
• telah tersedia
teknologi panen,
pasca panen dan
pengolahan yang
dapat menekan susut
• Pasar beras organik
dan aromatik semakin
meningkat
• Hasil samping dapat
diolah menjadi produk
turunan yang bernilai
ekonomi baik
Strategi (S-O)
• Peningkatan produksi
padi
• Penumbuhan industri
perdesaan berbasis
beras dan hasil
samping beras
Strategi (W-O)
• Pengembangan
sistem bantuan
teknis, benih dan
permodalan
• Penerapan
teknologi panen,
pasca panen dan
pengolahan yang
baik
• Penerapan
teknologi modern
pengolahan beras
Ancaman (T)
• Ketersediaan lahan
sawah semakin
terbatas
• Harga beras ber
fluktuasi
• Tingginya laju konversi
lahan sawah untuk
tujuan lain di luar
pertanian
• Perubahan iklim
• Pangan pokok sangat
tergantung pada
beras
Strategi (S-T)
• Pengurangan
ketergantungan
bahan pokok hanya
pada beras
• Pengendalian
konversi lahan
• Pengembangan
varietas tahan
kekeringan dan
banjir (perubahan
iklim)
Strategi (W-T)
• Stabilisasi harga
beras
• Ekstensifikasi
terbatas
P a g e | 105
Lampiran 4.2. Analisis SWOT Jagung
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Swasembada
• Potensi peningkatan
produktivitas melalui
penggunaan benih
hibrida
• Potensi perluasan
areal tanam melalui
lahan kering
• Adanya insentif
pemerintah untuk
peningkatan produksi
• Petani jagung
Indonesia sudah
menguasai teknologi
budidaya jagung
• Sudah ada Dewan
Jagung Nasional
• Tersebarnya sentra
produksi jagung
Kelemahan (W)
• Kurangnya
kemampuan SDM
dalam proses
pasca panen
• Akses terhadap
benih unggul
belum merata
• Kualitas jagung
masih rendah
• Kurangnya
fasilitas peralatan
pasca panen
Peluang (O)
• Pasar jagung dunia
kekurangan 34.8 juta
tiap tahunnya
• Kebutuhan jagung
untuk industri pakan
ternak dan pangan
domestik meningkat
• Peluang peningkatan
nilai tambah melalui
proses pasca panen
di tingkat petani
• Peningkatan
produktivitas dari 4
ton/ha menjadi 6 – 8
ton/ha
Strategi (S-O)
• Pemanfaatan lahan
kering untuk jagung di
luar jawa
• Pengembangan
usaha tani jagung
varietas unggul
• Pengembangan
usaha pengolahan
jagung
• Pengembangan
industri pakan ternak
yang berdekatan
dengan sentra
produksi jagung
Strategi (W-O)
• Penyediaan bibit
unggul yang
mencukupi.
• Perbaikan
insfrastruktur jalan
• Penguatan
gapoktan
• Kemitraan
agrobisnis jagung
• Peningkatan
kualitas jagung
• Pendampingan
teknologi pasca
panen
Ancaman (T)
• Perluasan areal tanam
bersaing dengan
produk lain
• Panen jagung
bertepatan dengan
musim hujan
• Ketatnya kualitas
Strategi (S-T)
• Pembangunan alat
pengering mekanis
Strategi (W-T)
• Penerapan SNI
• Sosialisasi SNI
melalui
bimbingan teknis
• Kebijakan bea
masuk impor
P a g e | 106
jagung yang
diterapkan oleh
negara pengimpor
atau industri pakan
dan pangan
• Industri pangan lebih
memilih jagung impor
karena relatifl ebih
murah dan mudah
pembiayaannya
P a g e | 107
Lampiran 4.3. Analisis SWOT Kedelai
Faktor
Internal
Faktor
Eksternal
Kekuatan (S)
• Tersedia benih unggul
• Konsumsi kedelai dan
produk turunannya
(tahu, tempe, kecap,
dll) sangat tinggi
Kelamahan (W)
• Petani tidak
tertarik menanam
kedelai
• Produktivitas
masih rendah
• Pasca panen
belum ditangani
dengan baik
• Usahatani kedelai
tidak menarik
Peluang (O)
• Kondisi
Indonesia
belum
swasembada.
• Industri
pengolahan
kedelai
berkembang
dengan baik
• Permintaan
kedelai sangat
besar dan
tumbuh 4.3%/th.
• Hasil samping
pengolahan
belum
dimanfaatkan
secara optimal
Strategi (S-O)
• Penggunaan benih
unggul untuk
peningkatan produksi
kedelai
• Penumbuhkembangkan
industri pengolahan
kedelai dan hasil
sampingnya.
Strategi (W-O)
• Pemberian insentif
untuk
penanaman
kedelai
• Pengembangan
penanganan
pasca panen
Ancaman (T)
• Ketersediaan
lahan
berkompetisi
dengan
komoditas
lainnya
• Tidak ada HPP
• Pasokan
kedelai luar
negeri lebih
menarik dan
lebih berkualitas
Strategi (S-T)
• Pengembangan benih
unggul sesuai dengan
kebutuhan industri
Strategi (W-T)
• Perbaikan
pemasaran
kedelai dalam
negeri
P a g e | 108
Lampiran 4.4. Analisis SWOT Gula
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Indonesia memiliki
pabrik gula dan
perkebunan tebu
yang luas
• Konsumsi gula
dalam negeri
sangat tinggi
Kelemahan (W)
• Produktivitas tebu
rendah
• Rendemen pabrik
rendah
• Indonesia tidak
dapat memenuhi
kebutuhan dalam
negeri
• HPP tinggi
• Tetes tidak
dimanfaatkan
sendiri
Peluang (O)
• Dukungan
pemerintah
sangat besar
• Sumberdaya
bahan baku gula
non tebu
melimpah
• Pasar dalam
negeri tumbuh
dengan cepat
Strategi (S-O)
• Pengembangan
gula non-tebu
Strategi (W-O)
• Perbaikan
produktivitas tebu
dengan
pengembangan
varitas unggul
• Perbaikan efisiensi
pengolahan
• Revitalisasi pabrik
• Pembangunan
industri gula non-
tebu
• Pemanfaatan tetes
sebagai bagian
terpadu dari industri
gula
Ancaman (T)
• Petani tebu
semakin
berkurang
• Perubahan iklim
• Mutu gula impor
lebih baik dan
lebih murah
Strategi (S-T)
• Pengembangan
insentif budidaya
tebu
• Pengembangan
varitas tebu resisten
terhadap
perubahan iklim
• Perbaikan mutu
gula
Strategi (W-T)
• Pengaturan impor
gula
P a g e | 109
Lampiran 4.5. Analisis SWOT Daging Sapi
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Agroklimat dan
ketersediaan lahan
• SDM tersedia
• Dukungan riset dan
teknologi
• Dukungan
pemerintah untuk
mewujudkan
swasembada daging
sapi
Kelemahan (W)
• Impor ternak
dan daging: 28%
dari kebutuhan
• Tingkat
penerapan
SJMKP di RPH
masih rendah.
• Industri
perdesaan
pengolahan
kompos belum
berkembang
dengan baik
• Industri
perdesaan
pengolahan kulit
belum
berkembang
dengan baik
Peluang (O)
• Konsumsi daging sapi
dalam negeri terus
meningkat
• Pasar produk hasil
samping peternakan
sapi berkembang
Strategi (S-O)
• Peningkatan kualitas
SDM
• Peningkatan riset dan
teknologi untuk
produk hasil samping
ternak sapi
• Peningkatan akses
pembiayaan untuk
usaha peternakan
sapi potong
Strategi (W-O)
• Pengembangan
bibit sapi dan
intensifikasi
usaha
peternakan
• Pengembangan
usaha
peternakan
terintegrasi
• Penyediaan dan
Pengembangan
mutu pakan
• Peningkatan
fasilitas RPH
(cold storage,
alat transportasi
berpendingin) di
sentra produksi
• Penerapan
SJMKP pada RPH
• Bantuan
P a g e | 110
peralatan untuk
pengolahan
pakan ternak
Ancaman (T)
• Negara penghasil
ternak sapi mampu
menghasilkan ternak
sapi dengan kualitas
baik
• Harga daging sapi
impor lebib murah
Strategi (S-T)
• Pengembangan dan
peningkatan kualitas
rumah potong
hewan di sentra
produksi
• Pengembangan
industri pakan
perdesaan
• Pengembangan
industri pedesan
yang mengolah hasil
samping (kulit,
kompos)
• Peningkatan kualitas
produksi produk
olahan industri
perdesaan
Strategi (W-T)
• Pengembangan
kerjasama
kemitraan
• Bantuan mesin
dan peralatan
industri
perdesaan
pengolahan
kulit, dan
kompos
• Pengembangan
kerjasama
kemitraan
produsen kulit
dengan
pengrajin tas,
sepatu
• Pelatihan
penerapan
SJMKP pada
produsen
pengolahan
daging
P a g e | 111
Lampiran 4.6. Analisis SWOT Sawit
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Kesesuaian lahan dan
ketersediaan lahan.
• Potensi peningkatan
produksi dan
produktivitas
• Ketersediaan tenaga
kerja
• Jaminan pasar dalam
negeri dan ekspor
• Teknologi
pengolahan.CPO
yang mapan
• Kelembagaan dan
asosiasi yang mapan
• Kemudahan akses
perbankan.
Kelemahan (W)
• Isu lingkungan di
perkebunan
sawit
• Kurangnya
dukungan riset
dari hulu sampai
hilir
• Belum
terserapnya
sawit dari kebun
rakyat oleh PKS
• Ketersediaan
sarana produksi.
• Minimnya kondisi
infrastruktur jalan
dan pelabuhan
• Perbedaan
harga jual
ekspor dan
domestik
Peluang (O)
• Peningkatan
permintaan CPO dunia
• Pengembangan
industri produk hilir
sawit
• Pengembangan
industri produk hasil
samping sawit
• .Pengembangan
industri biodiesel
Strategi (S-O)
• Peningkatan bantuan
bibit bersertifikat bagi
perkebunan sawit
rakyat
• Peningkatan produksi
dan produktivitas
sawit melalui
penerapan SOP
budidaya sawit
• Peningkatan SDM
melalui SL PPHP
• Insentif
pengembangan
industri produk hilir
• Insentfi
pengembangan
industri hasil samping
sawit
• Insentif
pengembangan
Strategi (W-O)
• Kemitraan
antara petani
sawit dan PKS
• Pendirian PKS di
sentra produksi
sawit rakyat.
Dengan
kapasitas
minimal 30 ton
TBS per jam
• Kebijakan bea
keluar
• Dukungan
sarana produksi
• Perbaikan
infrastruktur
P a g e | 112
industri biodiesel
Ancaman (T)
• Negative campaign
tentang sawit
• Isu perusakan
lingkungan dan
biodersivitas hutan
tropis.
• Isu dampak kesehatan
minyak sawit
• Penambahan
persyaratan mutu CPO
di pasar ekspor (DOBI).
• Dipersyaratkannya
sertifikat RSPO bagi
kebun sawit
• Pelarangan organisasi
lingkungan
internasional terhadap
budidaya sawit di
lahan gambut
• Hambatan non tarif
Strategi (S-T)
• Pengembangan
kebun sawit yang
berwawasan
lingkungan (RSPO)
diluar hutan lindung
dan tanah gambut.
• Peningkatan mediasi
didunia internasional
oleh asosiasi dan
dewan kelapa sawit
dalam rangka
mengcounter isu
lingkungan, ikatan
trans minyak sawit
dan penghapusan
biodiversivitas.
Strategi (W-T)
• Penguatan riset
di hilir untuk
mengcounter
negative
campaign
P a g e | 113
Lampiran 4.7. Analisis SWOT Karet
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Indonesia
produsen nomor 2
terbesar dunia.
• sebaran daerah
produksi yang
cukup luas
• kemampuan
memproduksi
berbagai jenis
barang karet.
• dukungan industri
bahan penolong
• keberadaan
Asosiasi Produsen
(GAPKINDO)
• dukungan
lembaga riset
• keterlibatan
tenaga kerja yang
tinggi,
• tersedianya
teknologi
pengolahan,
• PN dan swasta
nasional mampu
memproduksi RSS
dan latek pekat.
Kelemahan (W)
• Mutu karet yang
relatif rendah.
• Belum dipahaminya
sertifikasi mutu.
• Teknologi
pengolahan lateks
masih sederhana.
• Terjadinya
pencemaran
lingkungan limbah
karet
• Rendahnya nilai
tambah industri
karet.
• Fasilitas pembiayaan
yg minim.
• Keberadaan industri
hilir yang terbatas.
• Masih lemahnya Iklim
usaha
• Lemahnya dukungan
sarana dan
prasarana
• Rendahnya tingkat
kepercayaan
terhadap produk
dalam negeri.
Peluang (O)
• Penurunan
produksi karet
pesaing utama
(Malaysia).
• Permintaan
produk hilir di
pasar ekspor.
• Peluang pasar
dan diversifikasi
produk karet.
• Perluasan areal
lahan budidaya
karet masih
terbuka
• pasokan karet
alam rata-rata
Strategi (S-O)
• Peningkatan
produksi dan
produktivitas
kebun karet
dalam rangka
meraih pasar
ekspor dan
pengembangan
ekspor industri hilir
karet.
• Pengembangan
industri hilir
pengolahan
karet.
• Insentif
pengembangan
Strategi (W-O)
• Pengembangan
pengolahan karet
pada tingkat
petani/kelompok
tani.
• Pengembangan
industri pengolahan
karet yang
memperhatikan
mutu, berdayasaing,
bernilai tambah dan
ramah lingkungan.
• Penerapan GAP,
GMP
• Peningkatan SDM
• Peremajaan kebun
P a g e | 114
2,9 juta ton per
tahun yang
baru
dimanfaatkan
didalam negeri
sekitar 15 %.
industri hilir
karet rakyat
• Peningkatan
kemitraan petani
dan industri
pengolahan karet
Ancaman (T)
• Bahan substitusi
karet sintetik
yang lebih baik
• Peningkatan
produksi karet
pesaing lain
(Thailand).
• Hambatan non-
tarif.
• Akses modal
investasi karet
yang terbatas.
• Isu pencemaran
lingkungan.
Strategi (S-T)
• Peningkatan
penyediaan
sarana produksi
pertanian dan
manajemen
kebun Insentif
kebijakan untuk
perdagangan
mengatasi
hambatan non
tarif
• Penguatan peran
asosiasi karet
Strategi (W-T)
• Peningkatan akses
modal usaha dari
perbankan
• Pengembangan
teknologi
pengolahan karet
yang tidak
mencemari
lingkungan
• Standarisasi mutu
produk
P a g e | 115
Lampiran 4.8. Analisis SWOT Kakao
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Produk impor
penghasil devisa
• Menyerap
tenaga kerja
• Sebaran lahan
produsen kakao
yang luas.
• Kebutuhan
teknologi
pengolahan
sederhana,
• Tersedianya
rantai pasar dan
informasi harga.
Kelemahan (W)
• Sarana fermentasi
kurang
• Ketidakseragaman
mutu
• Harga kakao
fermentasi rendah
• Produktivitas kakao
yang rendah.
• Ekspor masih dalam
bentuk tidak
terfermentasi
Peluang (O)
• Meningkatnya
konsumsi kakao
dunia.
• Menurunnya
produksi pesaing
• Tersedianya
lahan yang luas.
• Permintaan
produk olahan
kakao terus
meningkat
• Impor kakao
fermentasi
Strategi (S-O)
• Peningkatan
produksi dan
produktivitas
kebun kakao
• Pengembangan
industri hilir
pengolahan
kakao
Strategi (W-O)
• Penguatan dan
peningkatan
produksi kakao
fermentasi
• Peningkatan
produktivitas
dengan bibit
unggul
• Kemitraan
kelompok tani
dengan industri
pengolahan
Ancaman (T)
• Produk kakao
luar negeri yang
lebih baik
kualitasnya
• Tuntutan
standarisasi
• Hambatan non
tarrif
Strategi (S-T)
• Penguatan
industri
pengolahan
kakao
Strategi (W-T)
• Peningkatan mutu
kakao
P a g e | 116
Lampiran 4.9. Analisis SWOT Daging Ayam
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Surplus lebih dari
300 ribu ton.
• Ketersediaan SDM
• Potensi agroklimat
• Tumbuhnya industri
pakan ternak di
sentra produksi
jagung
• Industri daging
ayam olahan terus
berkembang
• Dukungan
pemerintah
• Dukungan sosiasi
dan kelembagaan
Kelemahan (W)
• Industri
perdesaan pe-
ngolahan
daging ayam
belum
berkembang
• Industri
perdesaan pe-
ngolahan
daging be-lum
menerapkan
SJMKP
• Pengembangan
pakan ternak
berbasis bahan
baku lokal
belum
berkembang
• Adanya kasus
flu burung
Peluang (O)
• Konsumsi daging
ayam DN
meningkat
• Peluang ekspor
daging ayam ke
negara muslim
• Preferensi
konsumen Asia
terhadap daging
ayam cukup tinggi
• Pasar produk
daging ayam
olahan terbuka
Strategi (S-O)
• Peningkatan
kualitas rumah
potong unggas di
sentra produksi
• Peningkatan
kualitas produk
olahan dengan
penerapan SJMKP
• Peningkatan
konsumsi daging
ayam melalui
kampanye sumber
protein tinggi
Strategi (W-O)
• Pengembangan
usaha
peternakan
terintegrasi
• Penyediaan
dan
Pengembangan
mutu pakan
• Peningkatan
fasilitas RPU
(cold storage,
alat trans-portasi
berpendingin)
• Peningkatan
industri
perdesaan
pengolahan
daging ayam
P a g e | 117
Ancaman (T)
• Ancaman impor
paha ayam dari
Amerika
• Penerapan
”Bioterrorism Act”
• Permentan No.
20/2009 ini kurang
bisa memihak
petani dan
peternak
• Konsumen
domestik tertarik
untuk membeli
karkas unggas
yang lebih murah
dari luar
• Free Trade Asean-
Australia-New
Zealand (FTA A-A-
NZ) dimana akan
mulai berlaku
tanggal 27 Agustus
2009
• Pasar ekspor
unggas masih sulit
karena terhalang
aturan Sanitary
and Phytosanitary
(SPS) karena
penyakit Avian
Influenza (AI/flu
burung).
Strategi (S-T)
• Peningkatan skala
usaha peternakan
dengan
pengembangan
kemitraan yang
berkeadilan
• Penciptaan iklim
investasi yang
kondusif
• Skema
pembiayaan untuk
mendukung
pengembangan
peternakan
unggas,
• Peraturan impor
yang dapat
melindungi
kepentingan
peternak unggas,
Strategi (W-T)
• Pelatihan
penerapan
SJMKP pada
produsen
pengolahan
daging
• Pencegahan lfu
burung dengan
menerapkan
standar
kesehatan
ternak di
peternakan
unggas
• Kampanye
menggunakan
daging ayam
oriduk dalam
negeri
P a g e | 118
Lampiran 4.10. Analisis SWOT Buah Tropika
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Potensi
peningkatan
produksi buah
melalu perluasan
area tanam di
masyarakat
• Teknologi rekayasa
bibit unggul buah
sudah dikuasai
• Varietas buah
tropika yang ada
di Indonesia tidak
dipunyai oleh
negara lain
• Buah tropika
Indonesia sudah
masuk ke pasar
negara Eropa, Asia,
Timur tengah
• Buah pisang sudah
bisa menembus
pasar Jepang
Kelemahan (W)
• Kebun buah tidak
monokultur dan
tersebar
• Kurangnya
kemampuan SDM
dalam GAP, GMP
• Kualitas buah relatif
rendah
• Dayasaing lokal dan
internasional rendah
Kesempatan (O)
• Pasar
internasional
masih terbuka
luas
• Pasar domestik
masih terbuka
luas karena
• Konsumsi buah
penduduk
Indonesia per
kapita per tahun
masih rendah
• Berkembangkan
industri berbahan
baku buah
Strategi (S-O)
• Peningkatan lobi
ke negara
pengimpor buah
• Peningkatan
promosi dan temu
bisnis
• Kemitraan
petani/gapoktan
buah dengan
industri olahan
buah
Strategi (W-O)
• Clustering kebun
buah
• Penyediaan bibit
unggul
• Peningkatan kualitas
buah melalu
penerapan GAP,
GMP
P a g e | 119
Ancaman (T)
• Negara
pengimpor
mensyaratkan
adanya GAP Pest
List, Packing
House yang telah
diregistrasi
• Produk buah
impor berkualitas
tinggi
Strategi (S-T)
• Pencitraan produk
buah eksotik khas
Indonesia
• Branding produk
buah eksotik
Indonesia
• Pembangunan
packing house
• Penyuluhan dan
pendampingan
penerapan GAP
Strategi (W-T)
• Sosialisasi SOP,
keamanan produk,
GAP dan GMP ke
petani produsen
• Penerapan SOP,
kemanan pangan
(HCCP, MLR) GAP,
GMP
• Dukungan kebijakan
untuk menggunakan
bahan baku buah
lokal pagi industri
• Gerakan cinta buah
lokal
P a g e | 120
Lampiran 4.11. Analisis SWOT Produk Biofarmaka
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Kesesuaian
agroklimat sesuai
• Penyerapan tenaga
kerja baik
• Ketersediaan lahan
cukup
• Konsumsi biofarmaka
dalam bentuk jamu,
obat herbal dan
fotofarmaka dan
minuman herbal
meningkat terus
Kelamahan (W)
• Petani tidak
melakukan
pengolahan
primer/penangana
n pasca panen
yang memadai
• Ketersediaan dan
penggunaan benih
unggul/sangat
terbatas
• Usahatani
biofarmaka
terpencar.
Kesempatan (O)
• Produksi dalam
negeri belum
mencukup
kebutuhan
sendiri
• Pasar ekspor
tinggi
• Industri
pengolahan
biofarmaka
sudah
berkembang
dengan baik
Strategi (S-O)
• Peningkatan produksi
biofarmaka dengan
melakukan
ekstensifikasi
• Penguatan dan
penumbuhkembang
an industri
pengolahan
biofarmaka terutama
yang skala kecil dan
menengah
Strategi (W-O)
• Pengembangan
dan penyediaan
benih unggul
• Pemberian insentif
untuk
pengembangan
penanganan
pasca
panen/pengolaha
n primer
Ancaman (T)
• Tidak ada
jaminan harga
yang pasti
• Industri obat-
obatan kimia
berkembang
• Perhatian
pemerintah
kurang
Strategi (S-T)
• Pengembangan
benih unggul sesuai
dengan kebutuhan
industri
• Peningkatan kualitas
produk biofarmaka
Strategi (W-T)
• Perbaikan rantai
pasok dari petani
ke industri
pengolahan
biofarmaka
• Kebijakan
pendukung dan
penguat industri
biofarmaka
P a g e | 121
Lampiran 4.12. Analisis SWOT Produk Tanaman Hias
Faktor Internal
Faktor Eskternal
Kekuatan (S)
• Potensi
peningkatan
produksi tanaman
hias
• Teknologi
rekayasa bibit
tanaman hias
sudah dikuasai
• Beragamnya jenis
tanaman hias
Indonesia
• Berkembangnya
sentra produksi
• Pasar tanaman
hias Indonesia
sudah masuk ke
pasar global
cukup besar
Kelemahan (W)
• Sentra produksi
tanaman hias masih
relatif minim
• Kurangnya
kemampuan SDM
dalam GAP dan GHP
• Teknologi pasca
panen tanaman hias
masih minim
• Adanya persaingan
antar petani dan
pelak usaha
tanaman hias
• Belum diterapkannya
cold chain
management
dengan baik
Peluang (O)
• Pasar domestik
masih terbuka
luas
• Peluang pasar
internasional
masih terbuka
Strategi (S-O)
• Pengembangan
sentra produksi
tanaman hias
• Peningkatan
promosi dan temu
bisnis
• Pengembangan
pasar bunga lokal
• Pengembangan
gerbang ekspor
Strategi (W-O)
• Penyediaan benih
bunga dan tanaman
hias
• Penyediaan fasilitas
dan prasarana ekspor
tanaman hias
• Pengembangan
packing house
• Peningkatan kualitas
tanaman hias melalui
penerapan GAP, GHP
• Penguatan
Kelembagaan Petani
Ancaman (T)
• Negara pesaing
mempunyai
kemampuan
yang lebih baik
dalam teknologi
penanganan
pasca panen
tanaman hias
Strategi (S-T)
• Pencitraan
tanaman hias
eksotik khas
Indonesia
• Branding
tanaman hias
khas Indonesia
Strategi (W-T)
• Sosialisasi SOP, GAP
dan GHP ke petani
dan pelaku uasaha
• Penerapan SOP, GAP,
GHP di tingkat petani
dan pelaku usaha
P a g e | 122
Lampiran 4.13. Analisis SWOT Produk Minyak Atsiri
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan
• Agroklimat sesuai
• Potensi dan
keragaman
tanaman atsiri
• Pemasok utama
minyak atsiri dunia
(nilam).
• Industri sudah
mampu
memproduksi
produk turunan
minyak atsiri
• SDM dan
kemampuan IPTEK
• Kesadaran stake
holder untuk
memajukan dan
meningkatkan
dayasaing IKM/
Produk minyak
atsiri.
• Dukungan
Pemerintah
Kelemahan
• Budidaya sebagai
usaha sampingan,
tersebar dan skala
usaha kecil.
• Produk minyak atsiri
masih bernilai
tambah rendah .
• Produksi yang
belum standar
• Sistem tataniaga
yang kurang
memberikan insentif
bagi petani dan
penyuling
• Persaingan yang
tidak sehat antar
pelaku usaha
• Terbatasnya akses
sumber
pembiayaan
• Kelembagaan
lemah
Peluang (O)
• Konsumsi dunia
terhadap bahan flavour
dan fragrance yang
meningkat (5
persen/tahun).
• Kecenderungan
penggunaan bahan
alami
• Tumbuhnya industri
pangan, kosmetik yang
menggunakan produk
minyak atsiri
• Kemampuan SDM dan
IPTEK untuk
menghasilkan produk
turunan minyak atsiri
Strategi (S-O)
• Esktensifikasi
dengan
mempertimbangk
an daya serap
pasar
• Penguatan riset
dan
pengembangan
produk
• Peningkatan
peran dan
pemanfaatan
perguruan tinggi
dan lembaga
penelitian/
pengembangan
untuk
pengembangan
dan diseminasi
inovasi proses dan
Strategi (W-O)
• Klasterisasi sentra
produksi
• Penguatan pilot
project Cultiva di 5
lokasi dan replikasi
• Pengembangan
kemitraan poktan
dengan industri hilir
• Pengembangan
skema pembiayaan
yang bisa diakses
oleh industri
• Penerapan standar
harga berdasarkan
tabel mutu
• Pembinaan melalui
pendampingan
teknologi oleh PT,
Litbang, eksportir
• Penguatan
P a g e | 123
produk atsiri.
• Insentif untuk
penelitian dan
pengembangan
produk minyak
atsiri
poktan/gapoktan
dan asosiasi
penyuling
Ancaman (T)
• Globalisasi
perdagangan dunia,
serta isue-isue non tariff
barrier.
• Negara pesaing
mampu memproduksi
minyak atsiri, dengan
produktivitas, efisiensi
produksi dan mutu
yang lebih baik.
• Munculnya produk
substitusi sintetik
• Program yang
pengembangan IKM
Minyak atsiri yang
masih belum
terintegrasi
Strategi (S-T)
• Peningkatan
efisiensi
penyulingan dan
mutu minyak atsiri
• Penguatan lobi
untuk pemasaran
ekspor
• Sinkronisasi
program
pemerintah antar
instansi yang
berkaitan dengan
pengembangan
minyak atsiri
Strategi (W-T)
• implementasi GAP
dan GHPdan GMP
• Bantuan peralatan
alat penyulingan
standard kepada
poktan
• Sosialisasi kondisi
dan peraturan yang
berlaku pada bisnis
atsiri, baik di tingkat
nasional maupun
internasional
• Pembentukan forum
komunikasi antara
poktan, dinas
pertanian, pelaku
usaha
P a g e | 124
Lampiran 4.14. Analisis SWOT Susu
Faktor Internal
Faktor Eskternal
Kekuatan (S)
• Iklim mendukung
• Lahan dan
sumber pakan
cukup
• Teknologi
pengolahan susu
pasteurisasi telah
dikuasai
Kelemahan (W)
• Bibit sapi berkualitas
belum tersedia
cukup
• Kualitas susu rendah
• Kemampuan modal
petani terbatas,
sehingga usaha
ternak hanya
sampingan
• Kemampuan
manajerial
koperasi/Gapoktan
belum bagus
• Peternak belum
semua terkonsentrasi
pada wilayah
tertentu
Peluang (O)
• Kebutuhan susu
tinggi
• Program minum
susu segar dari
pemerintah
• Pasar substitusi
impor sebesar
1.85 juta ton/th
Strategi (S-O)
• Penciptaan
sentra sapi perah
• Peningkatan
program
konsumsi susu
segar
• Pengembangan
koperasi
pengolah susu
Strategi (W-O)
• Penyediaan bibit
unggul yang
mencukupi.
• Peningkatan skala
usaha peternak
• Peningkatan
kemampuan
produksi dan
pemasaran di
koperasi
Ancaman (T)
• Kualitas susu
impor jauh lebih
bagus
• Kebijakan
keleluasaan
impor susu
• Industri pengolah
lebih memilih
susu impor
Strategi (W-T)
• Kampanye
minum susu segar
Strategi (W-T)
• Peningkatan mutu
susu dari peternak
P a g e | 125
Lampiran 4.15. Analisis SWOT Cassava
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Dapat tumbuh di
lahan marjinal dan
kering
• Tanaman tradisi
yang telah dikuasai
petani
• Mempunyai peran
pangan dan
bahan baku
industri
• Kesenjangan
produktivitas masih
besar
Kelemahan (W)
• Bukan sebagai
komoditi utama
• Produktivitas masih
rendah
• Varitas lokal
• Perdagangan
dalam bentuk
segar
• Industri
pengolahan
belum
berkembang
Peluang (O)
• Indonesia masih
impor tapioca
dan beberapa
produk turunan
cassava
• Permintaan
gaplek dan
tapioka besar
• Permintaan
produk turunan
besar
Strategi (S-O)
• Pengembangan
pertanian cassava
varitas unggul
• Penguatan industri
gaplek dan
tapioca
• Pengembangan
industri hilir cassava
• Pendirian Pusat
Penelitian Terpadu
Cassava
Strategi (W-O)
• Pemberian insntif
sarana produksi
• Penanaman
varitas unggul
• Pengembangan
industri hilir
Ancaman (T)
• Harga pokok
produk negara
lain lebih
rendah
• Penggunaan
lahan untuk
tanaman lain
lebih menarik
• Produk negara
lain lebih
unggul
Strategi (S-T)
• Bantuan saprotan
• Insentif bagi industri
dalam negeri
• Pengenaan tarif
impor produk
turunan cassava
yang telah
dihasilkan dalam
negeri
• Pengembangan
standar mutu
produk
Strategi (W-T)
• Pengembangan
pertanian
cassava
monokultur
modern
P a g e | 126
Lampiran 4.16. Analisis SWOT Sagu
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Luas tanaman
sagu sekitar 1
juta hektar
• Produktivitas
tinggi (25 ton
pati kering/ha-
tahun)
• Dapat tumbuh
di lahan
marginal
(tergenang,
gambut dan
rawa)
• Industri
pengolahan
sagu sudah ada
dengan merek
produk yang
sudah dikenal
Kelemahan (W)
• Teknologi
pemanfaatan masih
sangat sederhana
dan tradisional
• Cara penebangan
yang dilakukan
mengancam
kelestarian tanaman
• Masa panen
pertama mencapai 8
tahun
• Rendemen
pengolahan dan
mutu rendah karena
keterbatasan alat
• Industri pengolahan
masih terbatas
• Industri pengolahan
untuk pangan belum
berkembang
Peluang (O)
• Teknologi budi
daya sagu
tergolong mudah
dan sederhana
• Potensi produksi
sekitar 200 kg
pati/batang atau
setara dengan 20-
25 ton per hektare
• Nilai ekonomi budi
daya sagu cukup
tinggi
• Potensi konversi
menjadi energi
(bioetanol) tinggi
Strategi (S-O)
• Pengembangan
budidaya sagu
secara luas
• Pengembangan
industri hilir
pengolahan
sagu
• Pengembangan
industri
bioetanol
berbasis sagu
Strategi (W-O)
• Perbaikan teknologi
pengolahan pati
sagu
• Perbaikan cara
pemanenan
• Pengembangan
industri kecil
pengolahan sagu
• Pengembangan bibit
unggul berumur
pendek
• Pengembangan
industri pangan
(pokok) berbasis sagu
P a g e | 127
• Permintaan dari
tepung sagu
sebagai bahan
baku untuk industri
makanan
meningkat
• Pati sagu dapat
diolah menjadi
bahan pangan
pokok
Ancaman (T)
• Kerusakan hutan
sagu
Strategi (S-T)
• Pengembangan
budidaya sagu
berkelanjutan
Strategi (W-T)
• Pengembangan
sagu berwawasan
lingkungan
P a g e | 128
Lampiran 4.17. Analisis SWOT Jeruk
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
• Area tanam di
masyarakat
• Teknologi rekayasa
bibit unggul sudah
dikuasai
• Varietas unik
Indonesia
Kelemahan (W)
• Kebun buah tidak
monokultur dan
tersebar
• Kurangnya
kemampuan SDM
dalam GAP, GMP
• Kualitas dan
dayasaing buah
relatif rendah
Peluang (O)
• Pasar domestik
masih terbuka luas
• Berkembangnya
industri berbahan
baku buah
Strategi (S-O)
• Kemitraan
gapoktan dgn
industri olahan buah
• Mendorong
gapoktan untuk
memiliki usaha
industri buah
Strategi (W-O)
• Clustering kebun
jeruk
• Penyediaan bibit
unggul
• Peningkatan
kualitas buah
melalui
penerapan GAP,
GMP
Tantangan (T)
• Produk jeruk impor
berkualitas tinggi
• Persepsi negative
konsumen terhadap
jeruk lokal
Strategi (S-T)
• Pencitraan produk
buah eksotik khas
Indonesia
• Pembangunan
sorting, gradin and
packing house
• Gerakan cinta buah
lokal
Strategi (W-T)
• Peningkatan
kemampuan
petani dan
Gapoktan
• Penerapan SOP,
GAP, GMP
• Dukungan
kebijakan untuk
menggunakan
bahan baku
buah lokal pagi
industri
P a g e | 129
Lampiran B
BLUE PRINT
PENINGKATAN NILAI TAMBAH DAN DAYASAING PRODUK
PERTANIAN DENGAN PEMBERIAN INSENTIF BAGI
TUMBUHNYA INDUSTRI PERDESAAN
________________________________________________________
RINGKASAN EKSEKUTIF
Latar Belakang
1. Pertanian masih merupakan sektor penting dalam perekonomian
Indonesia. Sektor pertanian telah berperan besar dalam
pembentukan PDB Nasional hingga mencapai 13-14 %. Sektor
agribisnis (pertanian serta industri dan jasa pertanian)
menyumbangkan sekitar 45% dari total nilai tambah, menyerap
75% tenaga kerja, penyedia pangan, dan tempat bergantung
sebagian besar penduduk perdesaan. Peran ini akan bertambah
di masa yang akan datang dengan berkembangnya teknologi
dan berkurangnya sumberdaya tak terbarukan, yakni pertanian
menjadi tumpuan untuk penyediaan pangan yang makin
beragam (food), pakan yang semakin bertambah (feed), dan
energi alternatif (fuel).
2. Keadaan pertanian saat ini masih belum mampu menopang
semua peran tersebut dengan baik. Pendapatan petani sebagai
pelaku terdepan masih sangat rendah karena sebagian besar
usaha tani berskala kecil.
Petani mempunyai banyak keterbatasan modal, teknologi
sederhana, akses pembiayaan, dan gangguan iklim yang
semakin tidak menentu. Akibatnya produktivitas masih relatif
rendah, kualitas komoditi belum baik, dan harga pokok masih
tinggi. Situasi ini menjadikan komoditas pertanian Indonesia kalah
bersaing dengan komoditas dari negara lain.
P a g e | 130
3. Pertanian terpusat pada kegiatan hulu dengan dayasaing
komoditas relatif rendah. Keterbatasan skala teknis menghambat
penerapan teknologi (khususnya cost reducing technology)
menyebabkan biaya produksi menjadi lebih mahal.
Keterbatasan skala ekonomis menyebabkan pengelolaan
bersifat subsisten yang berorientasi pada pemenuhuan
kebutuhan lokal dan sesaat sehingga tidak bersaing. Hal inilah
menjadi potret umum pertanian Indonesia yakni menghasilkan
bahan baku dengan dayasaing rendah (mutu rendah dan biaya
tinggi)...
4. Tantangan ke depan yang harus dihadapi adalah meningkatkan
dayasaing komoditas pertanian dengan karakteristik yang sesuai
keinginan konsumen dan memenangi persaingan, baik pasar
domestik, maupun pasar ekspor. Pengembangan dayasaing dan
ekspansi pasar komoditas ekspor tradisional harus lebih
ditingkatkan, terutama pengembangan produk olahan. Di
samping itu, pengembangan komoditas dan produk baru yang
memiliki permintaan pasar yang tinggi juga harus dirintis.
5. Blue print ini berbasis komoditas yang meliputi pangan utama
(beras, jagung, kedelai, daging sapi), andalan ekspor (sawit,
karet, kakao dan daging ayam), emerging products yang
meliputi buah tropika (mangga, manggis, salak dan pisang),
biofarmaka, tanaman hias daun dan minyak atsiri, dan substitusi
impor (susu, tepung lokal dan jeruk).
Daya Saing Produk dan Nilai Tambah
6. Dayasaing bersifat dinamis dan akan mengalami fluktuasi dari
waktu ke waktu bergantung pada tingkat kompetisi, perubahan
perilaku permintaan, dan kemampuan dasar industri. Dayasaing
produk dicapai melalui konversi keunggulan komparatif menjadi
kenggulan kompetitif dengan penerapan teknologi,
P a g e | 131
pengelolaan dan pengembangan pasar dari produk tersebut
terhadap jenis produk yang sama. Banyak faktor mempengaruhi
dayasaing produk (keunggulan sumberdaya, SDM, teknologi,
karakteristik produk, infrastrktur).
7. Nilai tambah dapat diartikan dari berbagai perspektif. Dari
perspektif komoditas atau produk adalah nilai yang diberikan
(attributed) kepada produk sebagai hasil dari proses tertentu
(proses produksi, penyimpanan, pengangkutan). Oleh karena itu,
nilai yang terbentuk tergantung pada banyaknya tahapan
pengolahan yang dilakukan. Secara teoritis, semakin ke hilir
penerapan proses akan semakin besar nilai tambah yang
dibentuk.
8. Peningkatan dayasaing dan nilai tambah melalui industri
perdesaan harus melalui perumusan yang komprehensif yang
melibatkan lintas sektoral yang mencakup hulu hilir sehingga
program yang dikembangkan dapat saling menunjang satu
sama lain. Dengan memperhatikan push and pull factors (faktor
pendorong dan penarik) dirumuskan insentif yang dapat
diberikan dalam aspek kebijakan dan operasional untuk
menciptakan iklim tumbuhnya industri yang kondusif, modal,
dukungan infrastruktur, penerapan teknologi, peningkatan SDM
serta fasilitasi pemasaran produk.
9. Strategi pengembangan industri perdesaan didasarkan pada
hasil analisis SWOT. Berdasarkan strategi tersebut selanjutnya
disusun strategi umum pengembangan produk yang dipilih.
Peran dari masing-masing sektoral untuk masing-masing produk
yang dikembangkan diidentifikasi melalui mapping program
lintas sektoral yang ada di Departemen terkait. Selanjutnya
strategi operasional pengembangan produk dirumuskan
berdasarkan pada strategi masing-masing produk dan
dijabarkan dalam rencana aksi yang disusun berdasarkan jangka
panjang, menengah dan pendek selama lima tahun (2010-2014).
P a g e | 132
Strategi, Kebijakan, dan Program
10. Beradasarkan pada analisis SWOT komoditas dikembangkan
strategi spesifik dalam memanfaatkan peluang dan kekutan
serta mengatasi masalah dan ancaman. Dari strategi spesifik
tersebut dikembangkan strategi pokok yang bersifat umum
sebagai berikut: (i) perbaikan skala teknis dan ekonomis usaha
tani, (ii) pengendalian konversi lahan subur, (iii) perbaikan
teknologi budidaya dan penanganan pasca panen (perbaikan
dayasaing, (iv) peningkatan produkstivitas dan produksi, (v)
peningkatan kualitas penanganan pasca panen untuk
perbaikan mutu dan pengurangan susut, (vi) pengembangan
agroindustri (perolehan nilai tambah), (vii) penyediaan dana
pengembangan pertanian, (viii) penguatan posisi tawar produk
pertanian, (ix) penganekaragaman bahan pangan pokok dan
gula, (x) pertanian adaptif dan berkelanjutan, (xi) penguatan
kelembagaan (Poktan, Gapoktan dan Koptan), (xii) peningkatan
kualitas SDM penyuluh, petani dan pelaku industri perdesaan,
(xiii) pemberian insentif yang berorientasi penguatan dayasaing
dan penumbuhan industri perdesaan, dan (xiv) percepatan
pembangunan infrastruktur pendukung pertanian.
11. Pembangunan pertanian tidak dapat berdiri sendiri dan secara
kuat terkait dengan kementerian dan instansi lainnya. Bahkan
dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian
sebagian besar ditentukan oleh kontribusi sektor lain. Diantara
kebijakan eksternal tersebut adalah penataan lahan (redistribusi
lahan), revisi kewenangan di bidang pembinaan agroindustri,
skim kredit khusus untuk mendorong industri hilir peranian (bunga
rendah), bank pertanian, subsidi output, kebijakan perbaikan
infrastruktur dan pemberian insentif transportasi produk pertanian,
peningkatan pajak impor untuk produk hilir yang sudah mampu
P a g e | 133
diproduksi di dalam negeri, peningkatan pajak ekspor untuk
produk primer perkebunan (khususnya biji kakao), penghilangan
pungutan retribusi produk pertanian, stabilisasi harga, dan
kebijakan pengutamaan penggunaan bahan baku lokal untuk
pemenuhan kebutuhan agroindustri dalam negeri (khususnya
susu, tepung, jagung, kakao).
12. Kebijakan teknis internal yang diperlukan dalam peningkatan
daya saing dan nilai tambah adalah bantuan sarana produksi,
bantuan mesin dan peralaran pasca panen dan pengolahan,
pembangunan infrastruktur pertanian (khususnya jaringan irigasi
tersier, jalan usahatani, embung), pelatihan dan pendampingan,
penerapan system jaminan mutu melalui instrumen SPS dan TBT,
dan penguatan promosi (pameran, iklan layanan masyarakat).
13. Selain kordinasi dan keterpaduan antar Instansi Pemerintah
(Government), keberhasilan program juga ditentukan oleh peran
aktif dunia usaha (Business) sebagai pelaku utama kegiatan
ekonomi, dan akademisi (Academic) sebagai penghasil
teknologi termasuk pemikiran ilmiah pembentuk dayasaing.
Peran aktif harus terencana, terpadu dan terprogram sehingga
terjadi keserasian yang saling terkait dan menguatkan.
Program Aksi
14. Program aksi peningkatan nilai tambah dan daya saing melalui
penumbuhan agroindustri perdesaan disusun berdasarkan
komoditas strategisn yang dianalisis berdasar kondisi terkini dan
sasaran minimum lima tahun yang akan datang. Dari analisis
tersebut disusun strategi (inti dan penguat) yang dijabarkan
dalam rencana aksi yang akan dilaksanakan setiap tahun oleh
semua pemangku kepentingan.
P a g e | 134
15. Komoditas yang dipilih sebagai penghela tumbuhnya industri
perdesaan disesuaikan dengan komoditias prioritas yang
dikelompokkan sebagai komoditas pangan utama yang meliputi
beras, jagung, kedelai, daging sapi. Komoditas andalan ekspor
yang meliputi sawit, karet, kakao dan daging ayam. Kelompok
emerging products yang mempunyai peluang pasar yang luas
baik internasional maupun domestik seperti buah tropika
(mangga, manggis, salak dan pisang), produk biofarmaka,
tanaman hias daun dan minyak atsiri Kelompok produk yang
diarahkan untuk substitusi impor seperti susu, tepung lokal
(cassava dan sagu) serta jeruk. Pemilihan jenis komoditas ini
diharapkan dapat mewakili dari kelompok komoditi yang ada,
mempunyai potensi untuk peningkatan dayasaing dan nilai
tambah yang tinggi serta mempunyai multiplier effect yang luas
terhadap peningkatan industri perdesaan.
16. Outcome masing-masing rencana aksi pengembangan produk
adalah sebagai berikut:
a. Beras: Swasembada berkelanjutan melalui ekstensifikasi
terbatas (rice estate) penurunan susut pasca panen dan
pengolahan, penganekaragaman bahan pangan pokok dan
penumbuhkembangan industri pedesaan pengolah tepung
dan turunannya serta hasil samping. Juga penumbuhan
beras-beras berkualitas tinggi dan specialty.
b. Jagung: Swasembada berkelanjutan untuk mendukung
ketahanan pakan dan pangan dengan penurunan susut
pasca panen dan penyediaan pergudangan, serta
penumbuhkembangan industri pedesaan pengolahan pakan
dan pangan.
c. Kedelai: Menuju swasembada untuk mencukupi kebutuhan
kalori protein melalui peningkatan produktifitas dan
penguatan industri pedesaan pengolahan pangan berbasis
kedelai.
P a g e | 135
d. Gula: Swasembada gula melalui perbaikan produktivitas dan
efisiensi, pengembangan bibit unggul, revitalisasi pabrik dan
pengembangan gula non-tebu
e. Sapi: Swasembada daging sapi untuk peningkatan kualitas
asupan gizi melalui pengembangan budidaya intensif
berkelanjutan, pengembangan mutu pakan, pengembangan
peternakan terintegrasi dengan tanaman, penguatan Rumah
Potong Hewan (RPH) dan pengembangan sistem pasokan
rantai dingin.
f. Sawit: Meningkatkan pertumbuhan nilai ekspor produk
berbasis sawit melalui peningkatan peran perkebunan sawit
rakyat, infrastruktur transportasi dan pelabuhan, dan
pengembangan industri hilir turunan minyak sawit (termasuk
bioenergy) untuk meningkatan nisbah ekspor produk olahan.
g. Karet: Peningkatan mutu melalui penerapan SNI wajib, GAP
dan GMP yang didukung oleh perbaikan produktivitas kebun
dan pengembangan industri hilir berbasis karet (khususnya
sheet)
h. Kakao: Memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam
negeri dan meningkatkan nilai ekspor kakao melalui
pengembangan kakao fermetasi dan penumbuhkembangan
industri pedesaan pengolahan kakao (lemak dan bubuk
kakao).
i. Kopi: Meningkatkan ekspor melalui penerapan system
jaminan mutu dan sertifikasi kopi specialty (khususnya organic,
geographical indicative), penerapan registrasi bagi para
eksportir.
j. Ayam Pedaging: Memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk
meningkatkan asupan gizi dan meningkatkan ekspor melalui
pengembangan usaha ternak yang intensif berkelanjutan,
pengembangan pakan berbasis sumberdaya lokal, dan
penerapan system jaminan mutu pada industri pengolahan
daging ayam pedesaan, pengembangan sistem pasokan
rantai dingin.
P a g e | 136
k. Buah Tropika (khususnya jeruk, pisang, manggis, salak,
mangga): Meningkatkan pangsa pasar (dalam negeri dan
luar negeri) buah tropika melalui penerapan system jaminan
mutu pada kegiatan on farm dan off farm, pengembangan
fasilitas grading and packing, serta penumbuhkembangan
industri pedesaan pengolahan buah, pengembangan sistem
pasokan rantai dingin, serta promosi kecintaan buah
nusantara.
l. Biofarmaka: Meningkatkan penyediaan industri farmasi dan
kosmetik dalam negeri dan meningkatkan pangsa pasar
ekspor melalui penerapan system jaminan mutu kegiatan on
farm dan off farm, penguatan industri pedesaan (poktan)
untuk melakukan pengolahan sampai simplisia.
m. Tanaman Hias: Meningkatkan ekspor tanaman hias melalui
pengembangan sentra produksi dengan pola kluster dan
penerapan teknologi pasca panen (rantai dingin) untuk
mempertahankan tingkat kesegaran tanaman hias.
n. Minyak Atsiri: Meningkatkan ekspor melalui penerapan system
jaminan mutu di on farm dan off farm, penguatan industri
pedesaan untuk melakukan proses penyulingan dengan
peralatan standar.
o. Cassava dan Sagu: Memenuhi kebutuhan tepung dalam
negeri untuk mendukung diversifikasi dan ketahanan pangan
melalui pengembangan industri pengolahan tepung (cassava
termodifikasi), pemberian insentif investasi agroindustrui
tepung di perdesaan, dan kebijakan penyerapan tepung
lokal untuk industri makanan.
p. Susu: Memenuhi kebutuhan susu dalam negeri untuk
mendukung peningkatan gizi masyarakat melalui
pengembangan industri pengolahan susu perdesaan berbasis
kluster, pemberian insentif investasi agroindustrui susu di
perdesaan, dan kebijakan penyerapan susu lokal untuk
industri pengolahan susu.