blok27-etika dokter

13
Penerapan Etika, Displin dan Hukum Kedokteran dalam Hubungan Dokter-Pasien Angela Mamporok (10.2011.427) Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510 Email : [email protected] PENDAHULUAN 1,2 Dalam era global yang terjadi waktu ini, profesi kedokteran merupakan salah satu profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat banyak yang menyoroti profesi dokter, baik sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia(IDI) sebagai induk organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak maupun media elektronik. IDI menganggap sorotan-sorotan tersebut sebagai suatu kritik yang baik terhadap profesi kedokteran, agar para dokter dapat meningkatkan pelayanan profesi kedokterannya terhadap masyarakat. Bagi IDI, banyaknya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter menggambarkan bahwa masyarakat belum puas dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para dokter. Memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia. Pemerintah menyadari rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil makmur. 1

description

etika dokter

Transcript of blok27-etika dokter

Penerapan Etika, Displin dan Hukum Kedokteran dalam Hubungan Dokter-PasienAngela Mamporok (10.2011.427)Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaAlamat Korespondensi:Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510Email : [email protected],2 Dalam era global yang terjadi waktu ini, profesi kedokteran merupakan salah satu profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat banyak yang menyoroti profesi dokter, baik sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia(IDI) sebagai induk organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak maupun media elektronik. IDI menganggap sorotan-sorotan tersebut sebagai suatu kritik yang baik terhadap profesi kedokteran, agar para dokter dapat meningkatkan pelayanan profesi kedokterannya terhadap masyarakat. Bagi IDI, banyaknya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter menggambarkan bahwa masyarakat belum puas dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para dokter.Memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia. Pemerintah menyadari rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil makmur. Penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Agar penyelenggaraan upaya kesehatan itu berhasil guna dan berdaya guna, maka pemerintah perlu mengatur, membina dan mengawasi baik upayanya maupun sumber dayanya.Dewasa ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuwan yang pengetahuannya sangat diperlukan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kedudukan dan peran dokter tetap dihormati, tetapi tidak lagi disertai unsur pemujaan. Dari dokter dituntut suatu kecakapan ilmiah tanpa melupakan segi seni dan artistiknya.Kesenjangan yang besar antara harapan pasien dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya merupakan faktor prediposisi. Kebanyakan orang kurang dapat memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor lain di luar kekuasaan dokter yang dapat mempengaruhi hasil upaya medis, seperti misalnya stadium penyakit, kondisi fisik, daya tahan tubuh, kualitas obat dan juga kepatuhan pasien untuk mentaati nasehat dokter. Faktor-faktor tadi dapat mengakibatkan upaya medis menjadi tidak berarti apa-apa. Oleh sebab itu, tidaklah salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya medis penuh dengan ketidakpastian dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik.PEMBAHASAN1.Etika, displin dan hukum3-5Aspek etika, disiplin dan hukum sering tumpang-tindih pada kasus tertentu. Di dalam pratek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukum karena ada beberapa norma etik yang diangkat menjadi norma hukum dan norma hukum yang mengandung nilai etika. Kode etik kedokteran sudah ada sepanjang sejarah profesi kedokteran, mulai dengan daftar honor dan hukuman untuk malpratek dalam kode hammurabi, lalu ke sumpah hippocrates pada zaman yunani, sampai ke kode etik kedokteran Indonesia. Perilaku dokter harus sesuai dengan etik masyarakat di mana ia berada karena dokter, sebagaimana anggota masyarakat lainnya selain makluk individual juga makluk sosial budaya, dan beragama.Kata etik atau etika berasal dari dua kata bahasa latin, yaitu kata mores dan ethos. Umumnya sebagai rangkaian mores of community (kesopanan masyarakat) dan ethos of the people (akhlak manusia). Kode etik suatu profesi terbentuk bila ahli-ahli kelompok profesi itu mengumpulkan dan menyepakati suatu daftar perilaku etik yang berlaku untuk anggota-anggota profesi itu. Etik profesi seharusnya mencerminkan ikatanmoralantaraprofesi, ikatanmoralantara individuyangdilayani, serta ikatanmoraldengan masyarakat di mana profesi menyediakan jasanyadanpengakuan eksistensinya. Melanggar etik kedokteran berarti juga melanggar prinsip-prinsip moral, nilai dan kewajiban-kewajiban yang dituntut untuk diambil tindakan-tindakan berupa skorsing atau dikeluarkan dari keanggotaan IDI.Disiplin kedokteran merupakan suatu aspek yang berkait dengan norma disiplin seorang dokter. Pelanggaran disiplin terjadi jika seorang dokter melanggar starndar profesi nya. Kualitas profesi termasuk layanan dan perilaku seorang dokter yang bisa menurunkan kehormatan pasien terhadap profesinya. Terdapat beberapa bentuk pelanggaran disiplin kedokteran. Antaranya adalah, tidak kompeten dalam melakukan tugas, tidak merujuk pasien, dokter pengganti tidak memberitahu pasien, tidak memiliki surat ijin pratek, kelalaian dalam pengaturan pasien, pemeriksaan dan pengobatan berlebihan, tidak memberi informasi yang jujur, tidak memberi informed consent, tidak membuat atau menyimpan rekam medis dan peresepan obat psikotropik atau narkotik tanpa indikasi. Hukum kedokteran di batasi pada hukum yang mengatur produk profesi dokter, yang disebabkan karena adannya hubungan dengan pihak yang lain, baik pasien maupun tenaga kesehatan lain. Hukum kedokteran mempunyai obyek yang sama, yaitu pasien yang merupakan obyek inti satu-satunya dalam hukum kedokteran. 2.Hubungan dokter-pasien4-7Hubungan antara dokter dengan pasien dipengaruh dengan etika dokter dan kewajipannya dalam pelayanan. Prinsip moral yang harus ada dalam hubungan ini adalah autonomy, beneficence, non-maleficence dan justice. Selain itu, ditambah juga dengan kewajipan dokter saat memberi pelayanan pada pasien dengan memberikan diagnosis atau informasi yang benar dan akurat pada pasien dan menjaga rahasia pasien. Semua hal ini akan membantu untuk mewujudkan perasaan saling percaya antara dokter dengan pasien.Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran, selanjutnya disingkat PP No. 10 Tahun 1966, yang dimaksud dengan RAHASIA KEDOKTERAN adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaan dalam lapangan kedokteran. Pasal 3 PP No 10 Tahun 1966 menyatakan bahwa yang di wajibkan menyimpan rahasia yang di maksud dalam pasal 1 adalah tenaga kesehatan. Menurut pasal 2 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1966 Tentang Tenaga Kesehatan selanjutnya di sebut PP No 32 Tahun 1966, menyatakan bahwa tenaga kesehatan adalah terdiri dari tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik dan tenaga keteknisan medis. Dokter dalam menjalankan tugas jabatannya di wajibkan atau di haruskan melindungi rahasia penyakit pasien agar tetap terpelihara.Sumpah dokter berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 Tentang Lafal Sumpah Dokter selanjutnya di sebut PP No 26 Tahun 1960 sebagai berikut: "Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter". Namun, sumpah hanyalah suatu pernyataan kehendak pada satu pihak dan pelaksanaannya tergantung dengan hati nurani pelakunya yaitu dokter tersebut.Adapun sumpah dokter berdasarkan pasal 13 Kode Etik Kedokteran Indonesia(KODEKI) sebagai berikut Setiap dokter wajib merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita bahkan juga setelah penderita itu meninggal. Kode ini bersifat intern atau tidak terlalu berat, dan hukuman diberikan oleh yang terkait dengan organisasi dan organisasi itu sendiri.Pelaksanaan rahasia jabatan tidak cukup hanya diatur pada etik, tetapi memerlukan pengaturan dalam undang-undang. Pelanggaran terhadap norma susila hanya diancam oleh sanksi sosial dari masyarakat sedangkan pelanggaran undang-undang mendapat ancaman hukuman. Dokter yang melakukan pelanggaran itu juga mendapat ancaman hukuman berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rahasia pekerjaan dan rahasia jabatan dokter merupakan dua hal yang hampir sama pada intinya yaitu memegang suatu rahasia. Rahasia pekerjaan adalah sesuatu yang dan harus dirahasiakan berdasarkan lafal janji yang di ucapkan setelah menyelesaikan pendidikan. Contohnya, dalam lafal sumpah dokter, Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter. Rahasia jabatan adalah rahasia dokter sebagai pejabat struktural, misal sebagai Pegawai Negeri Sipil yang disingkat (PNS). Contoh dalam lafal sumpah pegawai negeri."Saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifat atau perintah harus saya rahasiakan".Rahasia jabatan dokter adalah bermaksud untuk melindungi rahasia dan untuk menjaga tetap terpeliharanya kepercayaan pasien dan dokter. Namun, tidak ada batasan yang jelas dan pasti kapan seorang dokter harus menyimpan rahasia penyakit dan kapan ia dapat memberikan keterangan pada pihak yang membutuhkan. Pedoman penentuan sikap dalam mengatasi masalah seperti ini yang harus tetap di sadari dan di tanamkan adalah pengertian bahwa rahasia jabatan dokter terutama adalah kewajiban moral. Dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan bidang profesi dokter selain di ikat oleh lafal sumpahnya sebagai dokter, juga oleh KODEKI. Seorang dokter mempunyai kaitan yang erat dengan tanggung jawab dalam upaya pelayanan kesehatan yang selanjutnya disingkat YANKES. Tanggung jawab tersebut meliputi tiga hal, yaitu anggung jawab etis berlandaskan KODEKI, tanggung jawab profesi berlandaskan pada kualifikasi pendidikan dan tanggung jawab hukum berlandaskan hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi.Hukum kedokteran pada asasnya bertumpu pada dua hak manusia yang sifatnya asasi, yaitu hak atas perawatan kesehatan (the right health care), yang merupakan hak yang menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi (the right to information) yaitu hak dasar individual untuk mengetahui segala informasi yang terkait dengan dirinya. Dalam kaitannya dengan hukum kedokteran, hak atas perawatan kesehatan yang merupakan hak asasi sosial dasarnya dapat ditemukan dalam articel 25 United Universial Declaration of human Rights 1948 khususnya ayat 1. Dengan adanya perkembangan bidang sosial dan budaya yang menyertai perkembangan masyarakat telah membawa perubahan terhadap status manusia sebagai obyek ilmu kedokteran menjadi subyek yang berkedudukan sederajat. Peningkatan status pasien sebagai subyek yang sederajat ini yang oleh Hipocrates, dituangkan dalam suatu hubungan yang disebabkan sebagai transaksi terapeutik. Dalam kaitannya dalam transaksi, maksudnya ialah transaksi untuk mencari dan menemukan terapi yang paling tepat oleh dokter untuk kesembuhan pasien. Pada dasarnya, perubahan pola hubungan antara pemberi jasa YANKES dengan penerima jasa YANKES terjadi dan dapat diidentifikasi dari peristiwa-peristiwa yang berasal semakin meningkatnya jumlah permintaan akan YANKES yang hakikatnya disebabkan karena adanya tiga faktor dominan yaitu meningkatnya jumlah permintaan atas pelayanan kesehatan, berubahnya pola penyakit dan kemajuan teknologi medik. Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu pelindungan hukum bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, yang selanjutnya disingkat UU No.23 tahun 1992. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kelalaian atau kesalahan yang mungkin dapat mengakibatkan kematian atau cacat permanen. UU No. 23 tahun 1992 dilahirkan dengan tujuan untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi dasar bagi pembangunan dibidang kesehatan. Hak menerima jasa YANKES dalam hubungannya dengan pemberi jasa YANKES dalam pola hubungan paternalistik meliputi hak atas informasi, hak untuk memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan medis tertentu, hak untuk memilih pemberi jasa, hak untuk memilih sarana kesehatan, hak atas rahasia medik, hak untuk menolak perawatan dan hak untuk menghentikan pengobatan. Etika profesi seharusnya mencerminkan ikatan moral antara profesi, ikatan moral antara individu yang dilayani, serta ikatan moral dengan masyarakat di mana profesi menyediakan jasanya dan pengakuan eksistensinya. Dalam transaksi terapeutik yang diperjanjikan adalah upaya mencari atau menemukan terapi yang paling tepat dan untuk upaya penyembuhan, dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Disinilah letak keterkaitan antara etika dengan hukum yaitu dokter yang terlibat dalam hubungan transaksi terapeutik dengan pasien dalam melaksanakan tugasnya dilandasi oleh dasar-dasar etika sebagai seorang dokter yang dibekali dengan sumpah jabatan dan kode etik profesi kedokteran.3.Contoh kasus yang terkait dengan isu etika, disiplin dan hukum dalam kedokteran.Dokter P adalah seorang dokter spesialis obgin yang berpengalaman. Beliau baru saja akan menyelesaikan tugas jaga malamnya di sebuah rumah sakit ketika seorang wanita muda dating dengan ditemani oleh ibunya untuk berobat. Namun, ibu tersebut langsung pergi lagi setelah berbicara dengan suster jaga dengan alasan harus menjaga anak-anaknya yang lain. Pasien lalu menceritakan keluhannya yaitu mengalami pendarahan per vaginam dan sangat kesakitan. Dokter P kemudiaan melakukan pemeriksaan dan menduga bahwa kemungkinan pasien mengalami keguguran dan mencoba aborsi. Dokter P segera melakukan dilatasi dan curettage dan mengatakan pada suster untuk menanyakan kepada pasien apakah dia bersedia diopname di rumah sakit sampai keadaannya benar-benar baik. Tidak lama kemudiaan, dokter Q datang untuk menggantikan dokter P, yang langsung pulang tanpa berbicara dengan pasien. Dalam kasus ini, dokter P tidak menerapkan etika kedokteran yang seharusnya ada, yaitu tidak melakukan komunikasi yang baik dengan pasien. Setelah mengetahui kondisi sebenar pasien, dokter P tidak menjelaskan sama sekali ke pasien tentang kondisi kesehatannya dan langsung melakukan dilatasi dan curettage tanpa meminta kebenaran dari pasien terlebih dahulu. Selain melanggar etika seorang dokter, tindakan ini turut melanggar disiplin dan hukum kedokteran, di mana informed consent tidak diberikan kepada pasien sebelum melakukan rawatan.7 Hal ini sangat penting karena, jika saat merawat pasien, terjadi sesuatu yang bisa menyebabkan luka berat atau kematian ke atas pasien, dokter yang merawat bisa dituntut dan dihukum karena dianggap memberikan pelayanan kesehatan tanpa kerelaan pasien. Selanjutnya, dokter P tidak memaklumkan pada pasiennya saat dokter Q datang untuk menggantikan tugasnya di rumah sakit. Masalah seperti ini akan menjejaskan hubungan dokter dengan pasien karena, pasien yang sudah percaya pada dokter yang merawatnya akan merasa dikhianati jika mengetahui dokter yang merawatnya telah diganti tanpa pengetahuannya. KESIMPULANPenerapan aspek etika, disiplin dan hukum kedokteran amat penting dalam profesi sebagai dokter. Hal ini karena, dewasa ini, terdapat banyak kasus malpratek dan tuntutan dari pasien ke atas dokter yang merawatnya. Justeru itu, hubungan dokter dengan pasien harus ditingkatkan agar pasien akan lebih percaya dan yakin dnegan dokter agar kasus seperti tuntutan pasien ke atas dokter dapat dielakkan. Selain dari meningkatkan hubungan baik antara dokter dengan pasien, penerapan etika, disiplin dan hukum kedokteran secara tidak langsung akan membantu memperbaiki dan meningkatkan pelayanan kesehatan dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA1. Achadiat, Chrisdiono.M. Pernik-Pernik Hukum Kedokteran, Melindungi Pasien dan Dokter. Jakarta: Widya Medika;2007.h.417-312. Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafikatama Jaya;2008.h.85-63. Anderson & Foster. Antropologi Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia Press; 2009.h.120-1214. Bertens K. Dokumen Etika dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Universitas Atmajaya; 2007.h.351-3535. Hanafiah M, Yusuf, Amir, Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan EGC, Jakarta; 2008.h.113-1156. Hart, H.L.A. The Concept of Law. London: Clarendon Press Oxford; 2009.h.251-2547. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja T.D. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta; 2007.h. 8-83.

1