Blok 27 Polimorfisme Genetik

18
Polimorfisme Genetik pada Pasien TBC Pengguna INH Riana Angelina 102010177 Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat Email: [email protected] Pendahuluan Pengaruh obat yang terjadi dari pemberian obat pada manusia akan keranekaragam (bervariasi) dari orang ke orang. Keanekaragaman ini dipengaruhi oleh berbagai penyebab, baik yang berasal dari obat maupun dari individu yang bersangkutan. Farmakogenetik merupakan salah satu bidang dalam farmakologi klinik yang mempelajari keanekaragaman (respons) obat yang dipengaruhi atau disebabkan oleh karena faktor genetik. Atau dengan kata lain merupakan studi pengaruh genetik terhadap respons obat. Kepentingan dari studi farmakogenetik ini yang paling penting adalah untuk mengetahui atau mengenali individu– individu tertentu dalam populasi, yang dikarenakan adanya ciri-ciri genetik tertentu, akan bereaksi atau mendapatkan pengaruh obat yang tidak sewajarnya dibandingkan anggota populasi lain pada umumnya. Sehingga dengan dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan agar pengaruh yang tidak dikehendaki tidak sampai terjadi, misalnya dengan menyesuaikan 1

description

asdf

Transcript of Blok 27 Polimorfisme Genetik

Page 1: Blok 27 Polimorfisme Genetik

Polimorfisme Genetik pada Pasien TBC Pengguna INH

Riana Angelina

102010177

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat

Email: [email protected]

Pendahuluan

Pengaruh obat yang terjadi dari pemberian obat pada manusia akan keranekaragam

(bervariasi) dari orang ke orang. Keanekaragaman ini dipengaruhi oleh berbagai penyebab,

baik yang berasal dari obat maupun dari individu yang bersangkutan. Farmakogenetik

merupakan salah satu bidang dalam farmakologi klinik yang mempelajari keanekaragaman

(respons) obat yang dipengaruhi atau disebabkan oleh karena faktor genetik. Atau dengan

kata lain merupakan studi pengaruh genetik terhadap respons obat. Kepentingan dari studi

farmakogenetik ini yang paling penting adalah untuk mengetahui atau mengenali individu–

individu tertentu dalam populasi, yang dikarenakan adanya ciri-ciri genetik tertentu, akan

bereaksi atau mendapatkan pengaruh obat yang tidak sewajarnya dibandingkan anggota

populasi lain pada umumnya. Sehingga dengan dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan

agar pengaruh yang tidak dikehendaki tidak sampai terjadi, misalnya dengan menyesuaikan

besar dosis atau dengan menghindari pemakaian obat tertentu pada individu tertentu.

Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan kesemutan. Kesemutan atau parestesia adalah sensasi sentuh

abnormal seperti rasa terbakar, tertusuk, atau kesemutan, seringkali tanpa adanya rangsangan

luar. Kesemutan / parestesia merupakan salah satu gejala neuropati. Neuropati dapat

disebabkan banyak penyebab.

Pertanyaan yang harus diajukan pada pasien untuk mengetahui penyebab dari neuropati

adalah :

Apakah terdapat riwayat kontak dengan bahan toksik seperti thalium (alopesia), timah

(mengenai ekstremitas atas, neuropati motorik dengan “wrist drop” dan adanya garis

1

Page 2: Blok 27 Polimorfisme Genetik

timah pada gusi), logam lain seperti tembaga, seng (Zn), dan air raksa ( Hg )?

Pertimbangkan kemungkinan keracunan bahan organic dan kontak akibat pekerjaan. 1

Tanyakan kemungkinan penggunaan obat-obat yang dapat menyebabkan neuropati.

Nitrofurantoin dan INH sering menimbulkan neuropati.

Apakah pernah menderita penyakit sistemik yang berkaitan dengan neuropati seperti

hipotiroidisme, myeloma, lepra (bercak anestesi pada kulit), lupus eritematosus,

AIDS, sarkoidosis, poliarteritis, anemia pernisiosa, diabetes mellitus, dsb.

Apakah gejala nya terjadi berulang ? Salah satu yang paling penting adalah CIDP

( chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy ) dengan jenis polyneuritis

yang memberi respon baik dengan pemberian steroid, neuropati berulangkali mungkin

disebabkan alkohol, porfiria, atau keracunan timah.

Gejala apa yang menyertai kesemutan seperti mual, muntah, mudah lelah,pusing,dsb ?

Apakah pasien seorang peminum alcohol ? Alkohol diketahui dapat menyebabkan

neuropati juga.2

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan neuropati perifer dimulai dengan pemeriksaan sistem sensorik yaitu sentuhan

ringan, sensasi getaran, dan tes sensasi nyeri, suhu, dan raba.

a. Sentuhan Ringan

Dengan kapas yang dipilin sehingga terbentuk ujung yang lancip, sentuhlah kulit pasien

secara ringan dengan menghindari penekanan. Minta pasien menjawab saat ia merasakan

sentuhan dan kemudian membandingkan satu daerah dengan daerah lain.3

b. Sensasi Getaran dan posisi

Ketika melakukan tes sensasi getaran dan posisi, pertama lakukan tes tersebut pada jari

tangan dan kaki. Jika hasilnya normal, dapat diasumsikan bahwa daerah yang lebih proksimal

juga memberikan hasil yang normal.

Tes sensasi getaran ini menggunakan garpu tala bernada rendah 128 Hz. Caranya : ketukkan

garpu tala pada telapak tangan pemeriksa dan letakkan dengan erat pada artikulasio

interfalangeal distal jari tangan pasien kemudian di artikulasio interphalangeal ibu jari

kakinya. Tanyakan apa yang dirasakan pasien

Untuk tes posisi caranya : pegang ibu jari kaki pasien pada kedua sisnya dengan

menggunakan ibu jari dan telunjuk pemeriksa. Gerakkan ibu jari kaki nya menjauhi jari kaki

yang lain untuk menghindari gesekan. Demonstrasikan gerakan naik turun setelah pasien

2

Page 3: Blok 27 Polimorfisme Genetik

menutup mata nya dan minta kepadanya untuk menyebutkan apakah gerakan tersebut naik

atau turun.

c. Tes sensasi nyeri, suhu, dan raba.

Ketika melakukan pemeriksaan ini bandingkan daerah distal extremitas dengan daerah

proksimal nya.

Tes rasa nyeri : gunakan jarum atau peniti, minta pada pasien menyebutkan apakah

benda yang disentuhkan ke bagian tubuhnya itu tajam atau tumpul.

Tes suhu : dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi air panas dan dingin

Pada neuropati diabetic akan terlihat penurunan atau hilang nya sensasi getaran dan

nyeri. Pada perjalanan klinik secara progresif dapat terjadi paresis simetris yang mulai

pada otot kedua kaki yang kemudian secara progresif menuju ke atas yaitu paresis

otot tungkai, badan, tangan, lengan,dst.

Pemeriksaan berikut yang perlu dianjurkan adalah reflex tendon dalam 3

d. Refleks Tendon Dalam

Untuk menimbulkan reflex tendon dalam, minta pasien untuk rileks, kemudian tempatkan

ekstremitasnya dalam posisi yang benar serta simetris, dan ketuk tendonnya dengan

pergerakan pergelangan tangan yang cepat. Ketukan pemeriksa harus cepat dan langsung,

bukan hanya mengambang. Dapat menggunakan ujung palu reflex yang lancip atau datar.

Respon reflex sebagian bergantung pada kekuatan rangsangan yang pemeriksa berikan.

Refleks dapat berkurang atau hilang sama sekali jika sensasi nya terganggu, atau segmen

spinal yang terkait mengalami lesi atau jika saraf tepinya rusak. Untuk kasus ini berhubung

pasien mengalami kesemutan di tangan maka pemeriksa perlu memeriksa reflex biseps,

triseps, dan brakioradialis. Jika pasien mengalami keluhan di bagian kaki maka perlu

diperiksa juga reflex pergelangan kaki ( Achilles) dan reflex Patella. 4

Pada neuropati, akan terlihat hypoactive atau bahkan tidak ada. Lakukan pengujian kekuatan

dan memeriksa apakah ada atrofi otot ekstremitas

Karena penyakit kesemutan ( neuropati ) berhubungan dengan pemakaian obat anti-TBC

perlu dilakukan beberapa pemeriksaan yang berhubungan dengan defisiensi vitamin B6 yang

hubungannya akan dijelaskan pada bagian patofisiologi. Inspeksi oral diperlukan untuk

mengetahui apakah terdapat glositis atau cheilosis.

Pemeriksaan Penunjang

3

Page 4: Blok 27 Polimorfisme Genetik

Riwayat klinis yang merupakan kunci untuk mendiagnosis neuropati, tapi harus ditunjang

dengan pemeriksaan laboratorium lainnya. Pemeriksaan laboratorium bertujuan membedakan

neuropati et causa defisiensi vitamin B6 dan neuropati jenis lain

1. Pemeriksaan CBC dan serum piridoksin

Defisiensi Piridoksin (vitamin B 6) : CBC ( complete blood count ) menunjukkan

anemia, hipokromik mikrositik dengan tingkat zat besi yang normal. Kadar piridoksin

serum adalah <25 mg / mL

Alkoholik neuropati : low platelet count dan anemia megaloblastik5

2. Hemoglobin A1C

Hemoglobin A1C dan glukosa plasma puasa adalah tes skrining penting laboratorium

pada neuropati diabetik. Hemoglobin A1C pengukuran yang berguna untuk menilai

kecukupan kontrol diabetes terakhir, tingkat kemungkinan akan meningkat pada

pasien dengan neuropati diabetes.

Hemoglobin A terdiri dari 91-95 % dari jumlah hemoglobin total. Molekul glukosa

berikatan dengan Hb A1 yang merupakan bagian dari hemoglobin A.

Hb A1C merupakan indicator yang baik untuk pengendalian Diabetes Mellitus.

Peningkatan kadar HbA1C >8 % mengindikasikan diabetes mellitus yang tidak

terkendali dan pasien berisiko tinggi mengalami komplikasi jangka panjang, seperti

nefropati, neuropati, retinopati, dan / atau kardiomiopati.

Nilai normal HbA1C : non diabetic : 2-5 %. 5

3. Serum folat

Pada neuropati et causa defisiensi folat, kadar serum folat akan menurun.

Nilai rujukan : 3-16 ng / mL

4. Studi Konduksi Saraf ( Nerve Conduction Study )

Studi konduksi saraf (NCS) atau lebih dikenal dengan pemeriksaan kecepatan hantar

saraf dan elektromiografi (EMG) dapat menampilkan karakteristik neuropati

(misalnya, aksonal, demielinasi) dan lokalisasi (misalnya, mononeuropati

dibandingkan radiculopathy atau neuropati distal) dan, mungkin, tingkat keparahan

dan bahkan prognosis Studi konduksi saraf (Nerve Conduction Study) tergantung

pada pola kerusakan serabut saraf. Pada neuropati perifer terjadi penurunan NCS.

Diagnosis Kerja

Polimorfisme genetik adalah ilmu tentang bagaimana faktor penentu genetik mempengaruhi

kerja obat. Respons berbagai obat bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya

4

Page 5: Blok 27 Polimorfisme Genetik

Gambar 1. Distribusi berbagai respons terhadap efek obat. Gambar 1-A adalah distribusi efek (respons terhadap obat) berupa distribusi kontinu atau unimodal yang merupakan distribusi umum pada sebagian besar obat-obatan. Gambar 1-B adalah distribusi kontinu atau polimodal yang terdapat pada respons obat-obat tertentu saja yang dipengaruhi oleh faktor genetik.

karena variasi ini biasanya mempunyai distribusi Gaussian. Dalam keadaan normal, variasi

dalam respon terhadap obat yang paling sering ditemukan dalam observasi ialah yang

mempunyai distribusi normal atau distribusi Gaussian, atau normal error curve. Variasi

respon obat sering diobservasi pada orang Caucasia. Hasil observasi menunjukkan bahwa

dalam satu populasi, respon terhadap obat-obat tersebut memperlihatkan distribusi kontinu,

dan populasi tersebut terbagi 2 atau lebih kelompok (dengan variasi kontinu pada tiap

kelompok) yang menunjukkan adanya suatu gen tunggal yang sangat menentukan.

Distribusi variasi respon yang berbentuk diskontinu ini disebut polimodal (bimodal dan

trimodal) dan karena dipengaruhi oleh faktor genetik, maka disebut polimorfisme genetik

yang menunjukkan adanya polimorfisme gen tunggal. Sifat tersebut dipengaruhi oleh satu

gen tunggal (monogenik) dalam satu lokus kromosom. Dalam hal ini, individu dalam suatu

populasi terbagi menjadi 2 atau lebih golongan fenotip yang berlainan, seperti yang

ditunjukkan oleh respon obat Isoniazid dengan terdapatnya fenotip asetilator cepat dan

fenotip asetilator lambat.

Keragaman genetik umumnya, dan khususnya polimorfisme genetik dalam pengaruh atau

respons individu terhadap obat terjadi melalui 2 proses utama dalam tubuh, yaitu:

Proses farmakodinamik, yaitu dengan terjadinya proses interaksi antara molekul

obat dengan reseptornya, dan terdapat kepekaan yang abnormal dari reseptor obat

terhadap molekul obat.

Proses farmakokinetik, yaitu proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi

obat. Proses ini paling banyak ditemukan pada polimorfisme klinik dalam proses

metabolisme obat, sedangkan polimorfisme genetik yang ditemukan pada proses

absorbsi, distribusi, dan ekskresi obat tidak banyak dijumpai dan diketahui.

5

Page 6: Blok 27 Polimorfisme Genetik

Diagnosis Banding

Polineuritis

Segenap saraf perifer terutama pada bagian distal keempat ekstremitas dapat mengalami

gangguan akibat infeksi, proses umonpatologik, defisiensi makanan dan sebagainya. Istilah

yang digunakan untuk keadaan itu adalah polyneuritis. Gejala utamanya dapat bersifat

sensorik atau motorik. Manifestasinya simestris dan terkena terutama bagian-bagian distal

ekstremitas.6

Polyneuritis defisiensi makanan meruapakan polyneuritis campuran yang berarti manifestasi

sensorik dan motorik sama beratnya. Gangguan sensorik berupa hipestesia/parastesia pada

bagian distal lengan dan tungkau dengan pola sarung tangan dan kaos kaki. Polyneuritis

lainnya dapat disebabkan oleh intoksikasi As, alcohol, CO, trichloroethylene, dan sebagainya.

Intoksikasi eksotoksin kuman difteri, intoksikasi Pb, INH, penisilin dan sebaginya lebih

sering menghasilkan mononeuritis daripada polyneuritis.

Neuropati Diabetik

Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan pada

Diabetes Melitus. Risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND antara lain ialah infeksi

berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Kondisi inilah yang

menyebabkan kematian dan kesakitan.7

Proses kejadian ND berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat terjadinya

peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance glycosilation end products(AGEs),

pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur

tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasim sehingga aliran darah ke saraf menurun dan

bersama rendahnya mioinositol dalam sel terjadilah ND. Berbagai penelitian membuktikan

bahwa kejadian ND berhuungan sangat kuat dengan lama dan beratnya DM.

Epidemiologi

Respon manusia terhadap obat akan bervariasi dari satu individu ke individu yang lain yang

dipengaruhi oleh banyak faktor. Perbedaan distribusi obat serta kecepatan metabolisme obat

dan eliminasi obat dipengaruhi oleh faktor genetik dan variabel non-genetik seperti umur,

jenis kelamin, ukuran hati, fungsi hati, ritme carcadian, suhu tubuh, faktor-faktor lingkungan

dan nutrisi Fenotip asetilator lambat terjadi kira-kira 50% dari penduduk kulit hitam dan

kulit putih di Amerika Serikat, 40-70% pada orang Caucasian, lebih sering pada orang Eropa

6

Page 7: Blok 27 Polimorfisme Genetik

serta jauh lebih sedikit orang Asia (10-20%) dan Eskimo. Distribusi INH pada asetilator

lambat dan cepat (kira-kira 50% pada tiap kelompok etnik) nilainya sama pada kebanyakan

kelompok (etnik) manusia, namun pada orang-orang Jepang, lebih 90% populasi Jepang

adalah asetilasi (inaktivator) cepat.

Etiologi

Isoniazid merupakan contoh popular dari keragaman efek obat yang disebabkan oleh faktor

genetic. Isoniazid (INH) adalah suatu obat anti-tuberkulosis yang diperenalkan pada tahun

1952. Pada kira-kira separuh (50%) dari pasien (orang-orang Kaukasia) yang diobati dengan

INH, diketahui bahwa INH mengalami metabolisme (asetilasi) secara lambat dan kadar INH

dalam plasma tinggi setelah pemberian suatu dosis INH. Metabolisme INH pada 50% lainnya

berlangsung dengan cepat dan kadar INH dalam plasma rendah setelah pemberian dosis yang

sama. Proses metabolisme INH ialah dengan reaksi asetilasi yang dikatalisis oleh enzim N-

asetil transferase hepar yang memperlihatkan polimorfisme genetik (enzim ini tidak dapat

diinduksi sehingga perbedaan dalam aktivitas enzim diantara individu bukan disebabkan oleh

perbedaan dalam pengobatan/pengaruh obat lain). Enzim ini berfungsi memindahkan gugus

asetil dari donor asetil (asetil koenzim A) ke obat akseptor sehingga terbentuk metabolit N-

asetilisoniazid.

Analisis keturunan dari 2fenotip metabolisasi S (slow) dan R (rapid), menunjukkan bahwa

sifat asetilator cepat pada seseorang individu ternyata ditentukan oleh gen autosom dengan

sifat asetilatornya dipercepat oleh gen dominan(R) dan asetilator diperlambat oleh gen resesif

(r). Dengan demikian, genotype seorang asetilator cepat mungkin homozigot dominan (RR)

atau heterozigot (Rr), sedangkan asetilator lambat adalah homozigot resesif (rr). Perbedaan

antara kedua fenotipe (asetilator cepat dan asetilator lambat) tersebut terletak pada aktivitas

(kuantitas, jumlah ezim) dari enzim N-asetil transferase tersebut dalam hepar.

Dibandingkan asetilator cepat, asetilator lambat lebih mudah mengalami neuropati perifer

yang merupakan salah satu penyulit utama yang mungkin terjadi pada pengobatan isoniazid

jangka panjang, dan yang jelas disebabkan karena pengaruh samping toksik obat tersebut.

Patofisiologi

Pada beberapa kasus, perbedaan yang ditentukan secara genetis dalam aktivitas enzim

tertentu dapat mengakibatkan perbedaan menyolok antar individu dalam sifatnya untuk

memetabolisis obat tertentu, meskipun hal ini mungkin tidak dihubungkan dengan akibat

7

Page 8: Blok 27 Polimorfisme Genetik

klinis akut manapun. Ilustrasi mengenai hai ini diberikan oleh perbedaan dalam asetilasi obat

isoniazid yang diberikan secara luas dalam pengobatan tuberculosis. Dalam bentuk

terasetilasi, isoniazid untuk pengobatan jauh kurang aktif dan kurang toksik, sehingga obat

tersebut secara efektif ditidakaktifkan dengan asetilasi.8

Individu dapat mudah digologkan ke dalam 2 macam kelompok; ‘fenotip cepat’ yang

menunjukkan kadarnya dalam darah relative rendah beberapa jam setelah minum obat, dan

‘fenotip lambat’ yang menunjukkan kadarnya dalam darah relative tinggi. Pada ‘fenotip

cepat’, obat dengan proporsi yang jauh lebih besar dikeluarkan dalam bentuk terasetilasi

lewat air seni dibandingkan pada ‘fenotip lambat’ yang terutama mengeluarkan obat tak

terasetilasi.

Kajian keluarga menunjukkan bahwa perbedaan ini ditentukan secara genetis, dan hasilnya

sebagian besar dapat diterangkan berkenaan dengan 2 alel umum. Dengan 2 alel ini, ‘fenotip

lambat’ menggambarkan homozigot untuk 1 alel, dan ‘penidakatif cepat’ menggambarkan

baik heterozigot maupun homozigot untuk alel lainnya. Mungkin saja bahwa laju

penidakatifan obat agak lebih cepat pada ‘fenotip cepat’ homozigot daripada heterozigot.

Asetilasi isoniazid dihasilkan dengan enzim asetil transferase yang terdapat dalam hati yang

terlibat dalam suatu reaksi pemindahan gugus asetil dari asetil-koenzim A ke isoniazid.

Pengujian aktivitas asetil transferase dalam sampel hati yang diperoleh dengan biopsi

menunjukkan perbedaan menyolok antara tingkat aktivitasnya pada ‘penidakatif cepat’ dan

‘lambat’. Rata-rata, aktivitasnya jauh lebih tinggi pada kelompok ‘cepat’ daripada kelompok

‘lambat’. Hasil serupa juga telah diperoleh dengan contoh otopsi. Sediaan enzim setengah

murni diperoleh dari fenotip ‘cepat’ dan ‘lambat’ tampaknya sangat serupa dalam sejumlah

sifat seperti tetapan Michaelis dan kekhususan substrat, yang member kesan bahwa

perbedaan antara kedua jenis mungkin tergantung pada jumlah protein enzim yang

sesungguhnya ada dalam sel hati, dan bukan pada perbedaan aktivitas khususnya.

Adanya masing-masing perbedaan menyolok dalam fenotipan isoniazid ini menimbulkan

pertanyaan tentang maknanya dalam penggunaan obat tersebut untuk pengobatan

Tuberkulosis. Dalam membandingkan kelompok besar penderita pada pengobatan

antituberkulosis terbaku termasuk isoniazid, biasanya tidak dijumpai perbedaan nyata antara

hasil pengobatan pada fenotip ‘cepat’ dan ‘lambat’. Tetapi, sementara mungkin ada

perbedaan sedikit atau tidak ada perbedaan bila skema dosis obatnya optimal, rupanya dosis

8

Page 9: Blok 27 Polimorfisme Genetik

ini suboptimal, misalnya bila isoniazid diberikan terlalu sering, maka mungkin terjadi

perbedaan dalam tanggapan.

Dibandingkan fenotip ‘cepat’, fenotip isoniazid ‘lambat’ tampaknya agak lebih mudah

mengalami neuropati tepi yang merupakan salah satu penyulit utama yang mungkin terjadi

pada pengobatan isoniazid jangka panjang, dan yang jelas disebabkan karen apengaruh

samping toksik obat tersebut. Tetapi, timbulnya neuritis tepi sebagai penyulit pengobatan

isoniazid sekarang jarang, karena dapat dicegah dengan pemberian piridoksin bersama-sama.

Manifestasi Klinik

Defisiensi/kekurangan vitamin B6 menimbulkan keluhan dan gejala seperti, gangguan

neurologis/system saraf, seperti kesemutan atau rasa baal pada ektremitas atas ataupun

bawah. Pada tingkat yang lebih parah dapat menyebabkan koordinasi tubuh terganggu,

gugup, gelisah, cemas, emosi-marah, lekas marah, insomnia, depresi, kelelahan, tekanan

darah rendah, pusing, gangguan kulit seperti jerawat, rambut rontok, cheilosis (retak di sudut

mulut), lidah sakit, anoreksia dan mual, anemia, gangguan penyembuhan luka, arithitis.9

Penatalaksanaan

Medika Mentosa

Asetilator (inaktivator) lambat dapat menyebabkan obat lebih banyak terakumulasi dan lebih

jelas memperlihatkan efek toksisitas dibanding dengan asetilator cepat dalam regimen dosis

yang sama. Untuk pengobatan dengan INH, asetilator lambat akan lebih mudah menderita

efek samping INH berupa neuropati perifer karena defisiensi vitamin B-6. INH akan

menghambat pemakaian vitamin B-6 oleh jaringan dan akan memperbesar ekskresi vitamin

B-6.10

Asetilator cepat umumnya lebih resisten terhadap pengobatan. Asetilator cepat akan

memerlukan dosis obat yang lebih tinggi dan pemberian yang lebih sering untuk

mempertahankan suatu level terapi yang efektif dan adekuat.

Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 5mg/kgBB/hari. Bila pasien

tidak diberi piridoksin frekuensinya mendekati 2%. Bila diberikan dosis lebih tinggi, pada

sekitar 10 sampai 20% pasien dapat terjadi neuritis perifer.10 Pemberian vitamin B-6 pada

pasien dengan pengobatan INH. Vitamin B-6 disarankan lebih baik diberikan juga sebagai

profilaksis. Atau saat ini juga telah tersedia sediaan obat INH yang telah disertai dengan

Vitamin B6.11

9

Page 10: Blok 27 Polimorfisme Genetik

Gambar 1. Contoh sediaan obat INH yang dikombinasikan dengan Vitamin B6.

Sumber : http://medicastore.com/tbc/image/tb_vit_6.jpg

Komplikasi

Insiden reaksi-reaksi merugikan akibat isoniazid diperkirakan 5,4% pada lebih dari 2000 pasien

yang mendapat obat ini; reaksi yang paling menonjol adalah ruam (2%), demam (1,2%), ikterus

(0,6%), dan neuritis perifer (0,2%). Hipersensitivitas terhadap isoniazid dapat berakibat demam,

berhagai erupsi kulit, hepatitis, serta ruam morbiliform, makulopapular, purpuria, dan urtikaria.

Reaksi-reaksi hematologis juga mungkin terjadi (agranulositosis, eosinofilia, trombositopenia,

anemia). Vaskulitis yang terkait dengan antibodi antinukleus dapat muncul selama pengobatan

tetapi akan hilang jika obat ini dihentikan. Gejala-gejala artritis (nyeri punggung;

dipengaruhinya sendi interfalangeal proksimal bilateral; artralgia pada lutut, siku, dan

pergelangan tangan; dan sindrom "bahu-tangan") telah dihubungkan dengan obat ini.10

Prognosis

Prognosis penyakit ini baik apabila mendapat penanganan yang segera sebelum terjadi

komplikasi kronik dari penggunaan INH jangka panjang.

Kesimpulan

Pengetahuan mengenai farmakogenetika diperlukan untuk mengetahui adanya

keanekaragaman pengaruh obat yang ditentukan oleh faktor genetik, sehingga dapat dicegah

kemungkinan terjadinya pengaruh buruk obat dengan menghindari pemakaian obat tertentu

pada orang-orang dengan ciri-ciri genetik tertentu.

Sayangnya, tidak semua bentuk keanekaragaman genetik yang sudah umum diketahui dan

relatif mudah didiagnosis tidak selalu mempunyai makna klinik secara langsung dalam

10

Page 11: Blok 27 Polimorfisme Genetik

praktek. Di luar ini semua masih banyak bentuk keanekaragaman yang belum diketahui

secara jelas, baik mekanisme terjadinya, cara pewarisannya serta makna kliniknya.

Pada pasien dengan asetilator lambat, pemberian INH dapat menyebabkan gangguan

penyerapan Vitamin B6 dan peningkatan ekresi vitamin B6. Hal ini menyebabkan defisiensi

Vitamin B6 pada tubuh pasien. Pada akhirnya defisiensi vitamin B6 pada tingkat ringan ini

menyebabkan manifestasi rasa baal atau kesemutan pada pasien. Dapat dilakukan profilaksis

pada pasien dengan asetilator lambat yang mendapat terapi INH dengan pemberian vitamin

B6. Atau saat ini juga telah tersedia sediaan obat INH yang telah disertai dengan Vitamin B6.

Daftar Pustaka

1. Langkah-Langkah Penatalaksanaan Neuropati. Dalam : Weiner, Howard dan Lawrence

Levitt.Buku Saku Pemeriksaan Neurologi. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2001.h.136-7

2. Neuropati Perifer. Dalam Gleadle, Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.

Jakarta: Erlangga; 2003.h.182

3. Pemeriksaan Neurologi Sistem Sensorik. Dalam : Bickley, Lynn. Bates Buku Ajar

Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC ;

2009.h.593-5

4. Pemeriksaan Refleks Tendon Dalam. Dalam : Bickley, Lynn. Bates Buku Ajar Pemeriksaan

Fisik & Riwayat Kesehatan. Edisi 8. Jakarta: EGC ; 2009. h.596-600

5. Hemoglobin A1C. Dalam : Joyce LK. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik.

Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2008.h.237

6. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat,2008.h.104-5

7. Subekti I. Neuropati Diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK,

Setiati S. Buku Ajar ilmu Penyaki Dalam, Edisi ke-4. Jilid 3. Jakarta: Pusat Penerbit

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,2007.h.1902-3.

8. Katzung, Bertram G. 1998. Farmokologi Dasar dan Klinik Edisi IV. Jakarta: EGC. h.59-61.

9. Hemoglobin A1C. Dalam : Joyce LK. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik.

Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2008.h.237

10. Prinsip Farmakogenetik, Syamsuir Munaf, Staf pengajar departemen farmakologi FK

universitas sriwijaya, Kumpulan kuliah Farmakologi, Rio Rahardjo ed, edisi 2, cetakan 1,

2009, jakarta, penerbit buku kedokteran (EGC), h311-3.

11. Istiantoro YH, Setiabudy . Tuberkulostatik dan leprostatik. Dalam: Gunawan SG, Nafrialdi,

Setiabudy R, Elysabeth, editor. Farmaklogi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI, 2008.h.613-5.

11

Page 12: Blok 27 Polimorfisme Genetik

12